PENYIMPANGAN PENGGUNAAN RAGAM BAHASA PRIA OLEH PENUTUR WANITA SEBAGAI BENTUK REFLEKSI KONDISI PERTENTANGAN JIWA TERHADAP PERBEDAAN GENDER Subandi* Abstract Language as a means of communication develops along with the dynamics of cultural development in the society in which the language is used. The cultural condition of a society is a determinant factor of the kind of language used. Therefore, the personal identity of a language user can also be determined by the language used. As a developed country, Japan still places differences in gender roles in the society, and language is just one of many aspects that reflects these differences. Meanwhile, Japanese women ’s awareness of gender equity brings about some violations in the use of male language style by women. These violations are thought to reflect women ’s reaction to gender differences. Key Words: language style, feminism, masculinism, language level, social role A. Pendahuluan
Tidak ada bahasa yang tidak memiliki masyarakat penutur, sebaliknya tidak ada masyarakat yang tidak memiliki bahasa. Bahasa identik dengan masyarakat penuturnya. Dalam satu masyarakat penutur bahasa, dimungkinkan adanya perbedaan bentuk ungkapan yang dikarenakan adanya tuntutan sistem norma masyarakat penuturnya. Seperti yang disampaikan oleh Coates bahwa faktor penyebab munculnya perbedaan bentuk ungkapan dan cara berbicara adalah, salah satunya jenis kelamin (1991:4). Kiranya faktor jenis kelamin ini tidak selalu dimiliki oleh setiap bahasa. Bahasa dapat merefleksikan dan mentransmisikan perbedaan sosial, salah satunya refleksi perbedaan gender dalam bahasa. Trudgill (2003:54) mendefinisikan bahwa ragam bahasa gender adalah ragam bahasa yang identik dengan pria dan wanita. Secara sosial budaya, peran pria dan wanita berbeda dan dalam aspek bahasa pun pada tataran tertentu ada bahasa yang memiliki perbedaan antara ragam bahasa pria dengan ragam bahasa wanita. Seperti yang disampaikan oleh Kuntjara (2004:1) bahwa perbedaan ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita tidak hanya terletak pada perbedaan suaranya atau pemakaian kata dan kalimat saja, tetapi juga cara penyampaiannya. Selanjutnya Gal (dalam Coupland, 1997:376) menyebutkan bahwa * Dr. Subandi, MA adalah staf pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
85
Subandi, Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa Pria oleh Penutur Wanita Sebagai Bentuk Refleksi Kondisi Pertentangan Jiwa Terhadap Perbedaan Gender
perbedaan ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita dapat dilihat dari berbagai level gramatikal, fonologi, sintaksis, dan pragmatik, serta pemilihan leksikon dalam interaksi percakapan. Dari pendapat tersebut di atas dapat dikatakan bahwa, dalam bahasa tertentu terdapat perbedaan ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita. Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa yang memiliki vareasi perbedaan gender dalam tuturannya, yang dikenal dengan istilah danseigo untuk ragam bahasa pria dan joseigo untuk ragam bahasa wanita. Vareasi ragam bahasa gender ini nampak pada aspek kebahasaan seperti perbedaan partikel yang dipakai pada akhir ungkapan (shujoshi), perbedaan pronomina persona, interjeksi, dan sebagainya (Tsujimura, 199:445). Sebagai contoh dapat diperhatikan perbedaan bentuk ungkapan yang menggunakanragam bahasa pria dan wanita jenis pronomina persona dan shujoshi pada kalimat berikut. Contoh ini dikutip dari Ide dan Yoshida (dalam Tsujimura, 1999:463). 1) . Kore kara ore ga isshokenmei yaru zo.(^ ) (Mulai saat ini saya akan berusaha sungguh-sungguh). 2) . Kore kara atas h i isshokenmei yaru ) (Mulai saat ini saya akan berusaha sungguh-sungguh). Contoh 1) diucapkan oleh penutur pria sedangkan contoh 2) diucapkan oleh penutur wanita. Yang perlu diperhatikan pertama, pronomina persona [ore] pada contoh kalimat 1) dan [atashi] pada contoh kalimat 2). Kedua kata tersebut sama-sama menunjuk pada orang pertama [saya]. Pronomina persona [ore] memberikan kesan makna lebih kuat, perkasa dan lebih maskulin ketika digunakan oleh penutur pria, sedangkan pronomina persona [atashi] memberikan kesan makna yang lebih halus, lembut dan lebih fenim. Pronomina persona ini tidak dapat dipertukarkan dalam penggunaan, karena apabila dipertukarkan akan menimbulkan persepsi yang kurang menguntungkan kepada penuturnya. Selanjutnya adalah shujoshi Izol dan Iwal. Kedua shujoshi ini sama- sama berfungsi sebagai penanda akhir sebuah kalimat. Secara semantik, keduanya memiliki makna yang menyatakan keseriusan. Shujoshi Izol memberikan kesan makna lebih berwibawa, perkasa dan lebih maskulin, sedangkan shujoshi Iwal memberikan kesan makna yang lebih halus, lembut dan feminim kepada penuturnya. Kedua shujoshi ini juga akan memberikan persepsi yang kurang bagus kepada penuturnya, apabila penggunaannya dipertukarkan. Kalimat 1) dan kalimat 2) akan menjadi netral tidak memiliki vareasi berbedaan gender apabila unsur-unsur pembeda tersebut diubah seperti bentuk kalimat berikut. 3) . Kore kara watashi ga isshokenmei yaru £0. (Mulai saat ini saya akan berusaha sungguh-sungguh). Pronomina persona [watashi ] dan shujoshi /yo/ pada kalimat 3) adalah bentuk standar yang netral, dapat diganakan baik oleh penutur pria maupun penutur wanita.
86
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 2/Desember 2006, ISSN 1858-4845
Jepang sebagai negara maju, tetapi dikenal sebagai negara yang masih menempatkan sistem nilai gender yang cukup ketat. Pembatasan pada aspek fungsi sosial budaya dengan menggunakan garis pembatas gender masih cukup kuat. Dalam perkembangannya, sebagai salah satu akibat dari kemajuan peradapan, masyarakat wanita Jepang dewasa ini menunjukkan adanya gejala pergeseran pada aspek gaya hidup dan pola pikir. Hal ini nampak pada semakin berubahnya fungsi dan peranan wanita Jepang dalam konteks fungsi sosial budaya. Dewasa ini banyak wanita Jepang berperan di depan ingin tampil menyamai pria atau lebih dari pria, bahkan ada kecenderungan masyarakat wanita Jepang mengabaikan tugas kodrat kewanitaannya. Perubahan tersebut salah satunya ditandai oleh penggunaan bentuk ungkapan. Dewasa ini sering dijumpai masyarakat wanita muda Jepang menggunakan bentuk ungkapan ragam bahasa pria. Penggunaan ragam bahasa pria oleh penutur wanita sebagai wujud aktualisasi kondisi jiwanya. Sebaliknya, ada sekelompok wanita muda Jepang yang menganggap sebagai wanita lemah atau sebagai wanita polos, jika masih memperhatikan dan menggunakan norma sosio kebahasaan (hasil wawancara peneliti dengan pekerja wanita muda Jepang, 2004). Hal ini dapat dilihat pada bentuk ungkapan 4) di bawah yang digunakan oleh penutur wanita berumur 31 tahun, yang bekerja sebagai pelayan pada sebuah super market. Ungkapan ini dilatarbelakangi oleh konteks diskusi tentang tugas pokok yang mendasar seorang pria dan seorang wanita. Percakapan ini hasil pengambilan data melalui teknik perekaman pada Februari tahun 2004, dan telah ditranskripsikan. 4) ... .dakedo sa, ichinichiju ie no shigoto bakari tte ore mo iya dayo (^). 5) ... .dakedo sa, ichinichiju ie no shigoto bakari tte watakushi mo iya nan dawa (£) (...tetapi, kalau seharian hanya disuruh ngurusi pekerjaan rumah saja, saya juga tidak mau) Pronomina persona [ore] dan shujoshi /dayo/ adalah bentuk vareasi ragam bahasa pria. Tetapi dalam kasus di atas, ragam bahasa ini juga digunakan oleh penutur wanita sebagai upaya mengaktualisasikan tuntutan jiwanya, yaitu
87
Subandi, Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa Pria oleh Penutur Wanita Sebagai Bentuk Refleksi Kondisi Pertentangan Jiwa Terhadap Perbedaan Gender
D. Ragam Bahasa dalam frame Sosiopragmatik 1. Ragam Bahasa Pria dan Wanita
Munculnya vareasi ragam bahasa merupakan akibat dari adanya ragam sosial. Oleh karena itu fenomena ragam bahasa menjadi obyek kajian bidang linguistik yang dikemas khususnya dalam sub bidang sosiolinguistik. Vareasi ragam bahasa secara tidak langsung juga merupakan refleksi struktur sosial masyarakat penuturnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Coates (1986:12) yang menyebutkan vareasi struktur sosial yang ditemukan dalam komunitas percakapan diinterpretasikan dalam vareasi bahasa. Tannen (dalam Tsujimura 1999:448) menyebutkan, keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan struktur dan sikap sosial. Berdasarkan pendapat ini, berarti antara vareasi ragam bahasa dengan struktur sosial terikat hubungan timbal balik. Struktur sosial menandai dirinya dengan munculnya ragam bahasa, sedangkan ragam bahasa merupakan identitas dan refleksi dari ragam struktur masyarakat penuturnya. Faktor pembeda bahasa yang tidak selalu dimiliki oleh setiap bahasa adalah faktor gender atau faktor jenis kelamin. Beberapa rumpun bahasa menunjukkan ciri khusus berupa perbedaan ragam bahasa pria dengan ragam bahasa wanita yang menjadi identitas tersendiri sebagai pembeda dengan rumpun bahasa yang lain. Holmes (2001:150) membagi perbedaan ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita dalam dua kategori yaitu, pemilihan bentuk bahasa secara tidak khusus. Kategori ini banyak terjadi pada masyarakat barat. Aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat barat saling melengkapi, sehingga pria dan wanita tidak menggunakan bentuk bahasa secara lengkap. Perbedaan bentuk bahasa secara khusus, biasanya terjadi pada bukan masyarakat barat. Perbedaan bentuk bahasa ini meliputi perbedaan keseluruhan bentuk yang terdapat dalam rumpun bahasa suku Amazon Indian. Perbedaan yang terjadi terbatas pada fitur-fitur linguistik, artinya hanya terjadi pada ragam bahasa pria atau hanya pada ragam bahasa wanita, yang meliputi dalam tataran fonetik yaitu sistem pelafalan. Dalam masyarakat penutur bahasa yang memiliki perbedaan pada tataran fonetik, apabila seorang penutur yang menggunakan bentuk pelafalan yang berbeda dengan jenis gendernya, maka penutur tersebut akan dianggap biseksual. Perbedaan jenis ini dimiliki oleh masyarakat suku Indian Amerika Gross Ventre di Montana. Perbedaan yang terjadi pada tataran morfem (jenis prefiks dan sufiks) dan pronomina persona. Perbedaan jenis ini terdapat pada bahasa Jepang. Dalam vareasi ragam bahasa wanita bahasa Jepang terdapat prefik /o-/ atau /go-/ yang berfungsi selain sebagai penanda bentuk honorefik/sopan, juga berfungsi sebagai penghalus bentuk ujaran penanda gender kewanitaan. Sebagai contoh, kata /kome/ (beras) /pasokon/ (komputer) adalah bentuk standart, artinya bentuk tersebut dapat digunakan baik oleh penutur pria maupun penutur wanita, dan secara semantik
90
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 2/Desember 2006, ISSN 1858-4845
bentuk tersebut dapat diterima karena tidak menyimpang dari kaidah kebahasaan. Tetapi bentuk kata /kome/ dan /pasokon/ akan dapat berubah menjadi /okome/ dan /gopasokon/ ketika digunakan oleh seorang penutur wanita terutama yang ingin menonjolkan gender kewanitaannya. Penanda gender dalam bahasa Jepang juga dapat berupa partikel akhir (sufiks) yang muncul di akhir kalimat atau ungkapan. Sufiks penanda gender wanita antara lain kashira, wa, no, ne, yo, na, kai dan lainnya, sedangkan sufiks penanda gender pria antara lain zo, de, ze, dayo dan sebagainya. Dan penanda gender lain dalam bahasa Jepang berupa pronomina persona pertama dan kedua. Pronomina persona pertama /watashi/ (saya) adalah bentuk netral. Untuk menunjuk referent yang sama dalam ragam bahasa pria ada /ore/, /boku/ sedangkan pada ragam bahasa wanita ada /watakushi/, /atashi/. Sedangkan pada pronomina persona kedua /anata/ (anda) pada ragam bahasa pria ada /kimi/, /omae/ dan pada ragam bahasa wanita ada /anta/, /anata/ (dalam konteks memanggil secara langsung). Bagan 1 merupakan contoh perbedaan ragam bahasa pria dan wanita dalam bahasa Jepang yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat tatarannya. Yang dimaksud dengan bahasa wanita (atau vareasi ragam wanita) yaitu, ragam bahasa yang digunakan oleh hanya penutur wanita, yang dapat memberikan kesan feminism terhadap penuturnya. Ketentuan penggunaan ragam bahasa wanita ini tidak ditentukan oleh kaidah kebahasaan tetapi lebih dibatasi oleh sistem norma dan etika yang berlaku di dalam masyarakat penuturnya. Penyimpangan penggunaan ragam bahasa semacam ini tidak menimbulkan sangsi secara langsung kepada penuturnya. Penutur pria yang menggunakan vareasi ragam bahasa wanita tidak akan mendapatkan sangsi secara langsung apapun dari lawan bicara atau masyarakat penutur, tetapi hanya akan menimbulkan persepsi yang tidak menguntungkan terhadap penutur pria. Menurut Ohara (1997:12) penutur pria yang menggunakan vareasi ragam bahasa wanita akan dianggap feminim seperti wanita, serta akan dianggap sebagai figur yang lemah, lembut, tidak mencerminkan karakter kewibawaan yang dapat mengurangi sifat kelakiannya. Artinya penyimpangan penggunaan ragam bahasa wanita oleh penutur pria, akan menimbulkan tekanan psikologis pada penuturnya. Perbedaan ragam bahasa pria dan wanita pada masyarakat tertentu seperti masyarakat bahasa Jepang, dikarenakan bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial, masyarakat menentukan peranan yang berbeda antara pria dan wanita (Coates, 1986:12, Sumarsono, 2002:113). Selanjutnya Coates menekankan ada dua pendekatan utama untuk membedakan jenis kelamin dalam reflek bahasa. Pertama pendekatan perbedaan yang lebih menitikberatkan dari ide bahwa wanita dan pria tergolong dalam sub budaya yang berbeda. Perbedaan bahasa dalam percakapan wanita dan pria dapat diinterpretasikan sebagai refleksi perbedaan sub budaya ini. Kedua, pendekatan dominan melihat wanita sebagai kelompok minoritas dalam peran sosial budaya.
91
Subandi, Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa Pria oleh Penutur Wanita Sebagai Bentuk Refleksi Kondisi Pertentangan Jiwa Terhadap Perbedaan Gender
Perbedaan bahasa diinterpretasikan dalam percakapan wanita dan pria sebagai refleksi dari dominasi pria dalam peran sosial budaya sedangkan bahasa wanita merefleksikan minimnya peran wanita dalam sosial budaya (1986:12). Artinya, ragam bahasa wanita terjadi akibat dari perbedaan sikap sosial terhadap tingkah laku wanita, serta dari sikap yang dimiliki wanita itu sendiii terhadap bahasa sebagai lembaga sosial. Ragam bahasa wanita cenderung lebih lemah lembut, halus kooperatif, dan bersifat tidak langsung. Berikut disampaikan tabel klasifikasi ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita dalam bahasa Jepang. Klasifikasi Menurut Tataran
Prefiks
A f
Pria
Wanita
k
Sufiks
s
Pronomina
Pertama
Persona Kedua
Arti
(*0) kome (*0) Okomc
Kome
Beras
sora
Sora
Langit
Pasokon Osora
(*Go) senmon
i
Standart
Gopasokon
Pasokon
Komputer
Gosenmon
Senmon
Keahlian Pulang lo ya
Kacru $o Kaeru Kaeru wa Kaeru
Kaeru (lesu
ie
12
Kaeru
de none Kaeru wane
Kaeru(n) dayo
Kaeru wavo
Ore
Watakushi
Boku
Atashi
Omae
Anata
Kimi
Anta
Watashi
Saya
Anata
Kamu
2. Pemaknaan Ragam Bahasa Pria dan Wanita
Munculnya ragam bahasa wanita dalam bahasa Jepang sebagai akibat dari adanya perbedaan status sosial dalam masyarakat Jepang. Secara umum status sosial wanita pada strata masyarakat Jepang ditempatkan pada posisi yang tidak lebih tinggi dari posisi status sosial pria. Akibat dari strata status sosial tersebut juga berlanjut pada peranan wanita di dalam keluarga. Sosok wanita dianggap sebagai sosok yang lemah, halus, lembut, dan sabar, maka ketika di dalam penampilan bertingkahlaku, bertutur kata pun dituntut mencerminkan sifat dan karakter seperti lembut, halus, dan sopan. Sikap semacam ini juga berlaku pada pasangan suami istri. Seorang istri dalam masyarakat Jepang relatif bersikap halus dan menghormati kepada suaminya. Dalam berkomunikasi pun seorang istri relatif menggunakan ungkapan-ungkapan yang memberikan penghormatan kepada suaminya. Ungkapanungkapan yang digunakan oleh kaum wanita untuk menghormati kaum pria pada masyarakat Jepang pada saat itu dalam perkembangannya, melekat pada pribadi wanita sebagai penciri khusus sekaligus identitas pribadi wanita. Ungkapan-ungkapan yang awalnya digunakan sebagai bentuk ungkapan penghormatan, akhirnya tidak hanya mengungkapkan rasa hormat seorang wanita,
92
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 2/Desember 2006, ISSN 1858-4845
tetapi juga berfungsi sebagai bentuk yang mengungkapkan gambaran pribadi seorang wanita yang utuh. Oda menyebutkan, seorang wanita Jepang yang tidak dapat menampilkan pribadi kewanitaannya melalui bahasa, maka akan menjadi sulit menemukan status pribadinya dalam lingkungan sosial budaya (dalamTsujimaru, 1999:449). Dapat dipahami betapa berartinya ragam bahasa khususnya pada masyarakat penutur bahasa Jepang. Di atas telah disampaikan beberapa bentuk ragam bahasa wanita bahasa Jepang. Berdasarkan sifat pemaknaannya, ragam bahasa wanita bahasa Jepang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu; a. Ragam bahasa wanita yang memiliki sifat pemaknaan mutlak. Jenis ragam bahasa tersebut hanya digunakan oleh penutur wanita. Ragam bahasa wanita jenis ini memiliki fungsi sebagai penanda gender pribadi kewanitaan pada penuturnya. Gambaran pribadi penutur dapat tersampaikan melalui bentuk ungkapan ragam bahasa ini. Ragam bahasa wanita yang memiliki sifat pemaknaan mutlak ini terjadi pada jenis fitur pronomina persona pertama dan kedua serta preposisi final (sufiks). Kedua jenis fitur ini memiliki bentuk khusus dimana dalam pemakaiannya tidak dapat dipinjamkan dan atau dipertukarkan pada penutur dengan gender yang berbeda (lihat bagan hal 12). Perhatikan contoh bentuk percakapan berikut (contoh dikutip dari Mizutani, 1987:67). 6) W : Atashi, kyou ikenai wa. (Saya hari ini tidak dapat pergi)□ £ ) P : Are, doushita no? (Memangnya kenapa?) W: Kyuu ni youji ga dekita noyo. Anta hitori de ikeru wayone. (Karena tiba-tiba saya dapat tugas. Kamu bisa pergi sendiri kan?) P : Un, waka/ta. (Baiklah kalau begitu) 7) P : Ore, kyou ikenai zo. (Saya hari ini tidak dapat pergi) □ ^ ) W : Ara, doushita kashira! (Memangnya kenapa?) P : Kyuu ni youji ga dekita yo. Omae hitori de ikeru yonel (Karena, tiba-tiba saya dapat tugas. Kamu bisa pergi sendiri kan?) W : Hai, wakarimashita. (Baiklah kalau begitu) Percakapan 6) dan 7) di atas terjadi antara dua pelaku penutur yang sama yaitu, penutur wanita (W) dan penutur pria (P). Secara semantik, percakapan 6) dan 7) mengungkapkan makna yang persis sama. Tetapi ketika kalimat-kalimat itu digunakan oleh penutur yang dipertukarkan, (pada percakapan 6), kalimat pertama diucapkan oleh penutur wanita, tetapi ketika kalimat tersebut diucapkan oleh penutur pria seperti pada percakapan 7) terlihat pronomina persona orang pertama (/atashi,/ pada percakapan 6) dan /ore/ pada percakapan 7) berbeda. Selanjutnya preposisi final sufiks (/wa/ pada percakapan 6) dan /zo/ pada percakapan 7) juga berbeda. Begitu juga bentuk ungkapan ragam bahasa yang lain (dicetak miring).
93
Subandi, Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa Pria oleh Penutur Wanita Sebagai Bentuk Refleksi Kondisi Pertentangan Jiwa Terhadap Perbedaan Gender
b. Ragam bahasa wanita yang memiliki sifat pemaknaan relatif. Jenis ragam tersebut masih memungkinkan terjadinya penukaran atau peminjaman pada gender penutur yang berbeda. Jenis ini nampak pada bentuk fitur prefiks (O) dan (Go), dan pada kata sifat yang berfungsi untuk mengungkapkan situasi perasaan. Prefiks (O) dan (Go) pada ragam bahasa wanita secara semantik memiliki makna ganda yaitu, sebagai bentuk ungkapan kesopanan dan sebagai bentuk penanda gender wanita. Pada fungsi pananda bentuk kesopanan prefiks (O) dan (Go) dapat digunakan oleh penutur pria (bagan halaman 9). Untuk mengungkapkan situasi perasaan yaitu rasa kagum dan sebagainya, ada dua bentuk kata sifat yang mengungkapkan makna yang sama yaitu Isutekil dan /kakkouii/ (untuk mengungkapkan rasa kagum). Kata Isutekil lebih menunjukkan kesan feminism penuturnya ketika digunakan oleh penutur wanita untuk mengungkapkan rasa kagum terhadap gender wanita maupun pria. Penutur pria juga dapat menggunakan kata Isutekil, tetapi hanya digunakan untuk mengungkapkan rasa kagum kepada gender wanita. Ketika penutur pria menggunakan kata Isutekil, bukan perarti penutur yang mendapat kesan feminism, tetapi kata Isutekil digunakan untuk menyampaikan kesan feminism yang ditangkap oleh penutur dari lawan tutur wanita. Sehingga kata Isutekil lebih sering digunakan oleh penutur wanita. Sedangkan kata Ikakkouiil lebih menonjolkan kesan perkasa atau maskulin kepada penutur pria. Kata ini digunakan oleh penutur pria untuk mengungkapkan rasa kagum terhadap lawan tutur pria maupun wanita. Penutur pria akan berkurang kesan maskulinnya apabila mengungkapkan rasa kagum dengan menggunakan kata Isutekil, khususnya terhadap lawan tutur pria. Penutur wanita juga dapat menggunakan kata Ikakkouiil, ketika penutur wanita kagum terhadap kesan keperkasaan atau maskulin dari lawan tutur pria. Penutur wanita tidak dapat menggunakan kata Ikakkouiil apabila lawan tutur wanita. E. Penutup
Bahasa sebagai salah satu wujud hasil budaya, memiliki identitas yang serupa dengan corak sosial budaya masyarakat penutur. Munculnya ragam bahasa pria dan wanita dalam bahasa Jepang, juga disebabkan oleh keberadaan dan berlakunya perbedaan gender dalam masyarakat Jepang. Bahasa Jepang memiliki ketentuan yang tegas dalam hal penentuan identitas pribadi penutur yaitu melalui penanda bentuk ungkapan yang mencirikan jenis gender penutur. Dalam sejarah ragam bahasa gender diterima dan dipatuhi penggunaannya oleh masyarakat Jepang karena, secara tidak langsung juga menjadi standar penentu nilai kepribadian penutur. Dalam perjalanan sejarah Jepang mencapai tingkat perkembangan perdaban yang tinggi, yang ditandai dengan kemajuan baik dalam bidang teknologi, informasi, pendidikan dan bidang lainnya. Perkembangan dan kemajuan peradaban tersebut memberikan konsekuensi pada pola pikir dan gaya hidup masyarakat, khusunya masyarakat wanita muda Jepang. Mereka mulai menyadari bahwa perbedaan gender
94
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 2/Desember 2006, ISSN 1858-4845
baik dalam hal perbedaan peran sosial maupun kepatuhan penggunaan bahasa gender, merupakan penindasan terhadap harkat dan martabat kaumnya. Dengan didasari pemahaman seperti ini, masyarakat wanita muda Jepang mulai menyuarakan suara penolakan jiwanya dengan menjadikan nilai sosial dari ketentuan kepatuhan yang mengikat penggunaan bahasa gender lebih longgar. Bahkan dalam perkembangannya, masyarakat wanita muda Jepang mulai mengabaikan kaidah sosial bahasa tersebut, dengan bentuk penyimpangan penggunaan ragam bahasa pria. Penyimpangan dilakukan sebagai bentuk realisasi dari jiwa penolakan terhadap perbedaan gender dan sebagai bentuk penyampaian dari kondisi jiwa yang menuntut atas persamaan gender. Daftar Pustaka
Bodgan, Robert C. 1990. Riset Kualitatif untuk Pendidikan, (terjemahan oleh Munandir) Jakarta:Depdikbud Chino, Naoko. 1996. Partikel Penting Bahasa Jepang, (terjemahan oleh Nasir Ramli) Jakarta:Balai Pustaka Coatcs, Jennifer. 1986. Women, Men, and Language. London & New York:Longman Coupland, Nicholas & Adam Jaworski. 1997. Sociolinguistics A Reader and Coursebook. London:MacMillan Press LTD Fishman. J. 1970. Sociolinguistics: A Brief Introduction, Rowley Mass:Newbury House Holmes, Janet. 2001. A n Introduction to Sociolinguistics. England:Longman Ide, Shoko. 1982. Nichieigo Hikaku Kooza Daigomaki Bunka to Shakai. Japan:Daishuukan Shoten Kuntjara, Esther. 2004. Gender, Bahasa, dan Kekuasaan. Jakarta:BPK Gunung Mulia Leech, Geoffrey N. 1983. Principles ofPragmatics, London, New York:Longman Mizutani Osamu dan Noboku Mizutani. 1987. How to be Polite in Japanese. Tokyo: Japan Times Poedjo Soedarmo, Soepomo. 1985. Komponen Tutur dalam Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta:Perbit Arca.
95
Subandi, Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa Pria oleh Penutur Wanita Sebagai Bentuk Refleksi Kondisi Pertentangan Jiwa Terhadap Perbedaan Gender
Samarin William. J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogjakarta:Kanisius Schiffrin, Deborah. 2002. Approach to Discourse. USA:Blackwell Published Inc Searle, J. 1975. Indirect Speech Act (dalam P.Cole and J.Morgan). Syntax and Semantics Spolky, Bemard. 1998. Sociolinguistics. New York:Oxfort University Press Trudgill, Peter. 2003. ,4 Glossary ofSociolinguistics. Edinburg-.Edinburg Uni versity Press Tsujimura, Natsuko. 1999. An Introduction to Japanese Linguitics. USA: Blackwell Publisher
96