perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL ECOMMERCE MELALUI ARBITRASE
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: TATAK EKO YULIANTO NIM. E0006238
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE oleh : Tatak Eko Yulianto NIM. E 0006238 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Rabu
Tanggal : 20 Juli 2011 DEWAN PENGUJI 1.Yudho Taruno M, S.H, M.Hum NIP. 19770107 200501 1 001 Ketua
:
...........................
2.Djuwityastuti, S.H., M.H. NIP. 19540511 198003 2 001 Sekretaris
:
...........................
3.Munawar Kholil, S.H., M.Hum NIP. 19681017 199403 1 003 Anggota
:
...........................
Mengetahui : Dekan,
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. NIP. 19570203 198503 2 001
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Tatak Eko Yulianto
NIM
: E0006238
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
:
”PENYELESAIAN
INTERNASIONAL
SENGKETA
MENGGUNAKAN
TRANSAKSI
E-COMMERCE
BISNIS
MELALUI
ARBITRASE”adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Mei 2011 yang membuat pernyataan
TatakEkoYulianto NIM. E0006238
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
TatakEkoYulianto, E0006238. PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE. FakultasHukumUniversitasSebelasMaret Surakarta. 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase yaitu mengenai dasar pengaturan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce melalui arbitrase dan ketentuan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif untuk menemukan jawaban atas isu hukum mengenai penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce melalui arbitrase. Pendekatan penelitian yang digunakan meliputi pendekatan undang-undang. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi kepustakaan untuk selanjutnya dianalisis dengan teknik silogisme dan interpretasi. Hasil penelitian diperoleh bahwa dalam pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce di Indonesia menggunakan beberapa prinsip yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan yaitu, prinsip kesepakatan para pihak yang terdapat dalamPasal 4 ayat (1) Undang-Undang APS, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UU ITE, prinsip kebebasan memilih hukum yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE dan Pasal 56 ayat (2) UU APS, prinsip itikad baik terdapat dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), prinsip pengedepanan penyelesaian sengketa menggunakan Hukum Nasional terdapat dalam Pasal 2 UU ITE. Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnise-commerce melalui arbitrase, dalam UU ITE pada dasarnya dikembalikan pada kebebasan para pihak dan jika para pihak tidak menentukan maka hukum yang berlaku dikembalikan ke asas-asas Hukum Perdata Internasional. Mengenai putusan arbitrase asing di Indonesia sepenuhnyadiaturdalamUndang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dimana putusan tersebut harus didaftarkan kePengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kata kunci: penyelesaiansengketabisnisinternasional, e-commerce,arbitrase
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Tatak Eko Yulianto, E0006238. DISPUTE SETTLEMENT OF TRANSACTION INTERNATIONAL BUSINESS E-COMMERCE THROUGH ARBITRATION. Faculty of Law University of Surakarta Eleven March. 2011. This study aims to find the dispute settlemen transaction internasional business e-commerce trough arbitration about the principles used in dispute resolution business transactions using e-commerce, laws that apply in the dispute resolution business e-commerce transactions with arbitration and enforcement of foreign arbitration in Indonesia. This research is a normative laws that are prescriptive to find answers to legal issues regarding dispute resolution business e-commerce transactions through arbitration.The approach used in this research include law approach. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques being used are literature studies were subsequently analyzed by syllogism technique and interpretation. The results showed that in international business transactions using ecommerce in Indonesia there are some principles concerning the settlement of disputes arbitrationnamely, the principle agreement of the parties in Article 4 clause (1) of Act APS, the principle of freedom to choose the ways of dispute resolution in Article 18 clause (4) of Act ITE, the principle of freedom of choice of law in Article 18 clause (2) of Act APS and Article 56 clause (2) of the Act APS,the principle of good faith inCivil Code Section 1338 subsection (3), the principle preposing settlement of disputes using the National Lawinparties contained in Article 2 of Act ITE. Applicable law in dispute settlement business e-commerce transactions through arbitration, in the of Act ITE basically returned to the freedom of the parties and if the parties do not specify the applicable law is returned to the principles of Private International Law. Applicable law in e-commerce transactions is the law of the seller and this is in line with the theory of the Most Characteristic Connection, where the law of the seller assumed to have the most distinctive achievement (characteristics). Regarding the foreign award is fully regulated in of Actno. 30 of 1999 in which the decision shall be registered with the Central Jakarta District Court. Keywords: international business disput resolution, e-commerce, arbitration
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN MOTTO
Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan berkelana enam perkara, yaitu : cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan guru, dan waktu yang lama (Ali bin Abi Thalib) Carilah ilmu dengan sungguh-sungguh sampai kamu merasakan nikmatnya mencari ilmu, dan tetaplah mempelajarinya dengan cara yang terpuji. (Syaikh Qiwamuddin Hammad)
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Penulis dengan sepenuh hati mempersembahkan karya ini kepada :
Orang tua penulis Bpk. Slamet Siswo Harjono dan Ibu Hartini yang tak kenal lelah mendidik, membimbing, memberi kritik yang membangun dan memberikan pendidikan yang terbaik serta do’a yang tak pernah terputus bagi penulis.
Kedua adiku Totok Siswanto dan BimaTri Atmojo yang selalu berbagi kebahagiaan dengan penulis.
Setyo Wardani atas doa dan motivasinya yang telah membuat semangat yang takkunjung padam bagi penulis.
Sahabat-sahabat dan teman-teman penulis, yang telah memberi kesan mendalam bagi penulis akan berharganya hidup ini
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan karya ini
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr. Wb. Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segalakarunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan
Penulisan
Hukum
(Skripsi)
ini
dengan
judul
:”PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE”. Penulisan Hukum ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi) initidak terlepas dari dukungan serta bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata dan Pembimbing I penulis yang telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat, arahan, bantuan dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk penulis berkonsultasi dengan tangan terbuka. 3. Bapak Munawar Kholil, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II penulis yang telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat, arahan, bantuan dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk penulis berkonsultasi dengan tangan terbuka. 4. Sabto Hermawan, S.H. selaku Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Segenap Pimpinan Fakultas hukum, Dosen dan seluruh Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Untuk kedua orang tua penulis, Bapak Slamet Siswo Harjono dan Ibu Hartini yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang,
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendoakan, mendidik, dan mencurahkan segalanya demi terwujudnya segala hal yang terbaik bagi diri penulis, yang semua itu tak akan habis diungkapkan dengan kata-kata, tak dapat tergantikan, dan tak ternilai dengan apapun. 7. Untuk kedua Adiku Totok Siswanto dan Bima Tri Atmojo yang selalu memberikan semangat bagi penulis. 8. Untuk Setyo Wardani yang telah selalu menemani dan memberikan dukungan baik moril dan spirituil meskipun terpisah jarak. Semoga hari esok akan terus lebih baik. 9. Teman-teman Ari, Qomar, Andri Kurnia, SFC Mania (Made,Wayan dkk), LPM NOVUM FH UNS (Dedi, Yoyo dkk), Yolanda FC (Ponggih dkk),Wild Hogs(Othonk dkk) dan Justitia 2006 terima kasih atas warna dan silaturahmi selama perjalanan pendidikan di Fakultas Hukum. Semoga ini menjadi awal dari kehidupan yang lebih dewasa. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini bermanfaat bagi diri pribadi penulis maupun para pembaca. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surakarta, Juli 2011 Penulis
Tatak Eko Yulianto NIM. E0006238
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .......................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
ABSTRACT .......................................................................................................
vi
MOTTO ..........................................................................................................
vii
PERSEMBAHAN ...........................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xi
DAFTAR BAGAN` .........................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN ..................................................................
1
a. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
b. Rumusan Masalah ............................................................
5
c. Tujuan Penelitian .............................................................
5
d. Manfaat Penelitian ............................................................
6
e. Metode Penelitian ............................................................
7
f. Sistematika Penulisan Hukum ..........................................
10
: TINJAUAN PUSTAKA..........................................................
12
A. Kerangka Teori...................................................................
12
1. Tinjauan Umum tentangBisnis Internasional ...............
12
a. Pengertian Bisnis Internasional ..............................
12
b. Dasar Hukum Bisnis Internasional ........................
14
2. Tinjauan Umum tentang Electronic Commerce..........
18
a. Peristilahan Electronic Commerce .........................
18
b. Keuntungan Penggunaan Electronic Commerce....
19
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Mekanisme Transaksi Electonic Commerce d. dan Waktu Terjadinya Kontrak ..............................
20
e. Karakteristik Transaksi E-Commerce ...................
24
f. Jenis-jenis Transaksi Electonic Commerce............
26
g. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce 28 h. Pengaturan
Electronic
Commerce
dalam
Bisnis
Internasional ...........................................................
29
i. Sengketa Electronic Commerce .............................
34
j. Pilihan Hukum Penyelesaian Electronic Commerce
BAB III
3. Tinjauan tentang Arbitrase ..........................................
37
a. Pengertian Arbitrase ...............................................
37
b. Sejarah Arbitrase ....................................................
41
c. Badan Arbitrase Asing .......................................... `
49
d. Prosedur Penggunaan Arbitrase ............................
50
e. Prinsip-Prinsip Arbitrase ........................................
54
B. Kerangka Pemikiran ...........................................................
56
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .....................
58
A. Dasar Pengaturan yang Digunakan dalam Pengaturan Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional E-commerce di Indonesia ..................................................
58
B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis E-commerce Melalui Arbitrase ..............
69
C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional ......................................................
90
: Kesimpulan dan Saran.............................................................
97
A. Kesimpulan ........................................................................
97
B. Saran...................................................................................
98
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
100
BAB IV
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di Indonesia ................................................................................
commit to user xiii
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Kerangka Pemikiran..........................................................
56
Bagan 2. Tahap-Tahap Eksekusi Putusan Arbitrase.............................
92
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perdagangan merupakan salah satu sektor jasa yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Indonesia dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus guna memelihara kemantapan stabilitas nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna merealisasikan pertumbuhan ekonomi adalah melalui proses pengintegrasian antara sistem perekonomian, termasuk perdagangan dengan perkembangan teknologi informasi. Pada permulaan abad ke- 20, salah satu penemuan besar di bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian adalah ditemukannya internet (Interconnection Networking), sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Sistem perdagangan dengan memanfaatkan internet telah mengubah wajah dunia bisnis dari pola perdagangan tradisional kebentuk yang lebih modern, yaitu secara virtual. Mengenai hal ini Alinafiah dan Prasetyo menyatakan e-commerce lahir selain disebabkan oleh adanya perkembangan teknologi informasi, juga karena tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah, praktis, dan menghendaki kualitas lebih yang baik (http//:perkembanganinternet.mkn.com: diakses tanggal 15 Agustus 2010). Negara-negara maju, perkembangan e-commerce di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukan peningkatan yang sangat signifikan, sekalipun dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Pasifik, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Australia, Taiwan, perkembangan penggunaan internet di Indonesia masih jauh tertinggal.
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Teknologi internet memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perdagangan global dalam hal layanan (service). Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain (Ahmad Yahya Zein, 2008:45): 1.
Electronic commerce memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan dan setiap saat pelanggan dapat mengakses seluruh informasi yang terus menerus.
2.
Electronic commerce dapat mendorong kreatifitas dari pihak penjual secara cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang disampaikan berlangsung secara periodik.
3.
Electronic commerce dapat menciptakan efisiensi yang tinggi, murah serta informatif.
4.
Electronic commerce dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, dengan pelayanan yang cepat, mudah, aman dan akurat. Transaksi perdagangan melalui internet sangat menguntungkan banyak
pihak, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati, tidak saja
bagi
produsen tetapi juga konsumen. Bagi konsumen electronic commerce telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang diinginkan, sedangkan bagi produsen, electronic commerce telah mempermudah proses pemasaran suatu produk. Michael Pattison mengemukakan, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar Munir yang menyatakan (Abu bakar Munir, 2003:67): There are several features,which distinguish electronic commerce from business conducted by traditional means. In particular: 1.
Electronic commerce establishes a global market-place, where traditional geographic boundaries are not only ignored, they are quite simply irrelevant.
2.
Electronic commerce allows business to be conducted anonymously.
3.
Rather than direct selling between parties, electronic commerce requires business to be conducted through the use of intermediaries of unknown trustworthiness. This means that the transactions are inherently insecure. Penggunaan internet dalam transaksi bisnis menjanjikan berbagai kemudahan,
hal ini tidak berarti e-commerce adalah suatu sistem yang bebas dari permasalahan, karena bagaimanapun majunya teknologi tetap akan menyisakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
berbagai permasalahan, khususnya bagi negara yang belum sepenuhnya mampu menguasai teknologi tersebut, seperti halnya Indonesia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga internasional, telah banyak kasus yang merugikan konsumen sebagai akibat dari penggunaan media internet dalam transaksi perdagangan, sebagai contoh satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang dapat dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen, dua orang pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang dibeli tapi tidak sesuai dengan pemesanan dan barangnya tidak dikirim, banyak penjual (suppliers atau sellers) yang tidak mampu memberikan kuitansi atau bukti transaksi dan lainlain (http://rmarpaung.tripod.com// ElectronicCommerce.doc, diakses: 28 Agustus 2010). Kondisi ini tentunya akan merugikan baik bagi produsen terlebih konsumen yang memiliki posisi tawar (bargaining position) lebih rendah. Hal yang sama dikemukakan Riyeke Ustadiyanto saat menyatakan besarnya nilai transaksi electronic commerce di dunia masih dibayangi masalah “kurang amannya” (unsecure) transaksi online ini. Internet telah menimbulkan berbagai masalah terutama yang berkaitan dengan masalah yang berkaitan dengan hukum yang mengatur transaksi tersebut (Riyeke Ustadiyanto, 2002:93). Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera diselesaikan secara memadai tidak tertutup kemungkinan kepercayaan masyarakat pada sistem ecommerce akan hilang, akibatnya pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat. Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan masalah-masalah di atas adalah dengan digunakannya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, disertai biaya murah. Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien serta berbiaya murah merupakan hal yang tidak dapat ditundatunda lagi realisasinya guna terwujudnya kepercayaan para pihak (produsen atau merchant dan konsumen) pada sistem electronic commerce (http :// www.hukum online.com, Makalah Ahmad Zakaria atau J: arbitrase %20onlineatau arbitraseonline-terobosan-baru-di html, diakses: 31 Agustus 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, dan berbiaya murah agar segera diterapkan, dilatarbelakangi kenyataan bahwa transaksi electronic commerce sangat rentan terhadap lahirnya berbagai sengketa atau masalah diantara para pihak, sebagai akibat dari saling berjauhannya domisili para pihak yang bertransaksi serta bahasa, budaya dan sistem hukum yang berbeda serta adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) dalam hal ini arbitrase, dilatarbelakangi masih banyaknya ditemukan berbagai kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan (litigasi), seperti (Yahya Ahmad Zein, 2009:67): 1.
litigasi memaksa para pihak bberada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan (advocacy);
2.
litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahankelemahan pihak lainnya;
3.
proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal;
4.
hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru. Kelemahan di atas jelas bahwa penyelesaian melalui jalur peradilan atau
litigasi sangat berlawanan dengan hakikat dari electronic commerce sebagai suatu sistem perdagangan virtual (maya) yang membutuhkan sistem yang efektif dan efisien. Mekanisme penyelesaian sengketa (bisnis) yang sifatnya konvensional atau tradisional sangat dibatasi oleh letak geografis dan hukum tempat aktivitas bisnis dilakukan. Penentuan mengenai hukum serta pengadilan (yurisdiksi) manakah
yang berwenang memeriksaatau
mengadili suatu sengketa, sering
menjadi masalah pada saat para pihak akan membuat suatu kontrak, sekalipun akhirnya, dalam transaksi konvensional penentuan hukum mana yang akan berlaku relatif lebih mudah ditentukan. Kondisi di atas sangat berlainan pada saat transaksi perdagangan terjadi di dunia maya (cyberspace), pertanyaan yang sering timbul adalah hukum serta yurisdiksi manakah yang akan digunakan apabila dikemudian hari muncul
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
sengketa di antara para pihak, sedangkan dalam cyberspace setiap interaksi tidak dibatasi oleh batas wilayah (borderless). Oleh karena itu, adanya kebutuhan terhadap suatu lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa bisnis (e-commerce) merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya. (Imamulhadi, 2001:80). Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di bidang ecommerce melalui arbitrase persoalan yang mungkin muncul adalah mengenai hukum yang berlaku mengingat transaksi dilakukan melalui media internet. Dari uraian diatas penulis mencoba untuk mengangkat persoalan mengenai PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE.
B. Perumusan Masalah Mengacu pada latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu: 1.
Apa yang menjadi dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia?
2.
Pilihan hukum manakah yang dapat digunakan dalam penyelesaiaan sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase?
3.
Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian disini ialah penelitian berkenaan dengan maksud penulis melakukan penelitian, terkait dengan perumusan masalah dan judul Penulis mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Tujuan penelitian ini adalah:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan dalam pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia. b. Untuk mengetahui pilihan hukum di Indonesia yang berlaku dalam penyelesaiaan sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase. c. Untuk mengetahui pelaksanan putusan arbitrase asing di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktik
di lapangan
Hukum Perdata, khususnya Hukum Bisnis dan Teknologi Informasi. b. Untuk mengetahui kemampuan penulis dalam meneliti di bidang ilmu hukum khususnya Perdata. c. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian Setiap peneltian selalu diharapkan dapat memberi manfaat pada berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase. c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
2.
Manfaat Praktis a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Memberikan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas terkait dengan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional ecommerce melalui arbitrase.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Dua syarat utama yang harus dipenuhi
sebelum
mengadakan
penelitian
dengan
baik
dan
dapat
dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dahulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan yang berisi (sistem dan ilmunya) dan metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut (Johny Ibrahim, 2006:26). Penelitian hukum berisi konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuantemuannya tidak terjebak dalam relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006:28). Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penulisan sebagai berikut: 1.
Jenis penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif menurut adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006:57). Penelitian hukum normatif memilki definisi yang sama dengan penelitian hukum doktrinal (doctrinal research)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim, 2006:44). 2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang subtansial di dalam ilmu hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:22).
3.
Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Penulis akan menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach) dari kelima pendekatan penelitian hukum tarsebut. Peneliti menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan permaslahan hukum yang sedang ditangani, untuk menelaah unsur filosofis adanya suatu peraturan perUndang-Undangan tertentu yang kemudian dapat disimpulkan ada atau tidaknya benturan filosofis antara Undang-Undang dengan isu hukum yang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93-94), penelitian ini yang ditelaah yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Kitab Undang-Undang Hukun Perdata.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
4.
Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perUndang-Undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan dan putusan hakim, sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Bahan hukum primer yang digunkan oleh penulis dalam penelitian ini antara lain: a. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik. b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. d. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Arbitrase Asing. Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis antara lain: a. Black Law Dictionary (kamus hukum) b. Buku-buku tentang E-commerce, Arbitrase dan Transaksi Bisnis Internasional. c. Jurnal-jurnal Hukum tentang E-commerce, Arbitrase dan Transaksi Bisnis Internasional.
5.
Teknik Pengumpulan bahan hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan sebagai sumber di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perUndang-Undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini. 6.
Teknik Analisis Penelitian ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti utuk kemudian mendiskripsikan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah disinggung diatas. Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan yang khusus. Dalam penelitian ini, penulis mengkritisi teori-teori ilmu yang bersifat untuk kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dengan isu hukum yang diteliti atau dianalisis, yaitu mengenai penyelesaian sengketa bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase.
F. Sistematika Penulisan Hukum Gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum, serta untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang terdiri dari empat bab. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama ini merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta patokan dari penulisan hukum ini.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini mengenai Tinjauan Pustaka berisi subbab Kerangka Teori dan subbab Kerangka Pemikiran. Kerangka Teori ini memuat berbagai pengertian yang mendukung dari judul yang ada hingga memudahkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
para pembacanya. Tinjauan pustaka ini diawali dengan menjelaskan pengertian bisnis internasional dan dasar hokum bisnis internasional. Tinjauan kedua mengenai e-commerce yang di dalamnya memuat pengertian e-commerce, mekanisme transaksi e-commerce, jenis-jenis transaksi e-commerce, pihak-pihak dalam transaksi, pengaturan internasional mengenai e-commerce, sengketa e-commerce. Tinjauan yang ketiga yaitu mengenai arbitrase yang terdiri dari pengetian arbitrase, sejarah arbitrase, nama-nama badan arbitrase asing, prosedur penggunaan dan prinsip-prinsip arbitrase. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan bab inti dan bab yang paling penting. Memaparkan dan menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju. Bab ini dimulai dengan dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia, pemilihan hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa e-commerce dan peleksanaan dan pembatalan arbitrase asing di Indonesia.
BAB IV
: PENUTUP Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan harus tetap merujuk pada pokok rumusan masalah yang ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan. Saran lebih bersifat universal yang memunculkan ide untuk menciptakan keadaan lebih baik terutama dalam kaitannya dengan inti dari penulisan ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Bisnis Internasional a.
Pengertian Bisnis Internasional Bisnis Internasional merupakan kegiatan perdagangan yang melibatkan negara lain, berikut definisi beberapa sarjana mengenai bisnis internasional sebagaimana dikutip dalam bukunya Gunawan Wijaya, antara lain (Gunawan Wijaya, Ahmad Yani, 2003:13): 1) Ball, Mc Culloch, Frantz, Geringer, Minor, “Bisnis yang kegiatannya melampaui batas Negara. Definisi tersebut mencakup perdagangan internasional.
pemanufakturan
diluar
negeri
juga
industri
jasa diberbagai bidang seperti transportasi, pariwisata, perbankan, periklanan, konstruksi, perdagangan eceran, perdagangan besar dan komunikasi massa. 2) Charles WH Hill, ”Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan maupun investasi internasional”. 3) Daniels, Radebaugh & Sullivan, “Semua transaksi komersial baik oleh swasta maupun pemerintah diantara 2 negara atau lebih”. Bisnis internasional secara umum merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan melewati batas - batas suatu negara. Transaksi bisnis seperti ini merupakan transaksi bisnis internasional atau transaksi bisnis yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang sering disebut sebagai bisnis internasional (International Trade). Dilain pihak transaksi bisnis itu dilakukan oleh suatu perusahaan dalam suatu negara dengan perusahaan lain atau individu di negara lain disebut pemasaran internasional (International Marketing). Pemasaran internasional inilah yang biasanya diartikan sebagai bisnis internasional, meskipun pada dasarnya terdapat dua pengertian, sehingga kita dapat membedakan adanya dua buah transaksi bisnis internasional yaitu:
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
1) Perdagangan Internasional (International Trade) Perdagangan internasional yang merupakan transaksi antar negara itu biasanya dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan cara ekspor dan impor. Transaksi ekspor dan impor yang terjadi akan menimbulkan neraca perdagangan antar negara atau Balance of Trade. Suatu egara dapat memiliki surplus neraca perdagangan atau devisit neraca
perdagangannya.
Neraca
perdagangan
yang
surplus
menunjukan keadaan dimana negara tersebut memiliki nilai ekspor yang lebih besar dibandingkan dengan nilai impor yang dilakukan dari negara partner dagangnya. Neraca perdagangan yang mengalami surplus ini mengakibatkan apabila keadaan yang lain konstan maka aliran kas masuk ke negara itu akan lebih besar dengan aliran kas keluarnya ke negara partner dagangnya tersebut. Besar kecilnya aliran uang kas masuk dan keluar antar negara tersebut sering disebut sebagai neraca pembayaran atau Balance of Payments. Neraca pembayaran yang mengalami surplus ini sering juga dikatakan bahwa negara ini mengalami pertambahan devisa negara. Sebaliknya apabila negara itu mengalami devisit neraca perdagangannya maka berarti nilai impornya melebihi nilai ekspor yang dapat dilakukannya dengan negara lain tersebut, sehingga negara tersebut akan mengalami devisit neraca pembayarannya dan akan menghadapi pengurangan devisa negara. 2) Pemasaran International (International Marketing) Pemasaran internasional yang sering disebut sebagai bisnis internasional (International Bussines) merupakan keadaan dimana suatu perusahaan dapat terlibat dalam suatu transaksi bisnis dengan negara lain, perusahaan lain ataupun masyarakat umum di luar negeri. Transaksi bisnis internasional ini pada umumnya merupakan upaya untuk memasarkan hasil produksi di luar negeri. Persoalan semacam ini memungkinkan pengusaha tersebut akan terbebas dari hambatan perdagangan dan tarif bea masuk karena tidak ada transaksi ekspor
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
impor. Dengan masuknya langsung dan melaksanakan kegiatan produksi dan pemasaran di negeri asing maka tidak terjadi kegiatan ekspor impor. Produk yang dipasarkan itu tidak saja berupa barang akan tetapi dapat pula berupa jasa. Transaksi bisnis internasional semacam ini dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain : a) Licencing b) Franchising c) Management Contracting d) Marketing in Home Country by Host Country e) Joint Venturing f) Multinational Coporation (MNC) Semua bentuk transaksi internasional tersebut diatas akan memerlukan transaksi pembayaran yang sering disebut sebagai Fee. Dalam hal itu negara atau Home Country harus membayar sedangkan pengirim atau Host Country akan memperoleh pembayaran fee tersebut. Pengertian perdagangan internasional dengan perusahaan internasional sering dikacaukan atau sering dianggap sama, akan tetapi seperti dalam uraian diatas sebenarnya berbeda. Perbedaan utama terletak pada perlakuannya dimana perdagangan internasional dilakukan oleh negara sedangkan pemasaran internasional adalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pemasaran internasional juga menentukan kegiatan bisnis yang lebih aktif serta lebih progresif dari pada perdagangan internasional. b.
Dasar Hukum Bisnis Internasional Menurut Munir Fuady dalam bukunya “ Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik” dasar hukum transaksi bisnis internasional antara lain (Munir Fuadi, 1996:13): 1) Contract Provosions Contrak provision merupakan hal-hal yang diatur dalam kontrak tersebut oleh kedua belah pihak. Contract provision ini merupakan dasar hukum utama bagi suatu kontrak. Segala sesuatu yang diatur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
dalam dalam contract provision terserah pada para pihak. Hukum hanya memberikan rambu-rambu untuk melindungi berbagai kepentingan lain yang lebih tinggi, misalnya keadilan, ketertiban umum, kepentingan negara dan sebagainya. Jika provisi suatu kontrak tidak dapat menampung aspirasi kedua belah pihak, misalnya ada hal dalam pelaksanaan perjanjian yang tidak diatur sama sekali dalam kontrak, hukum akan menyediakan optional law (hukum yang mengatur) untuk mengisi kekosongan hukum dalam masyarakat. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Indonesia, asa free dom of contract ini juga diperlukan. Dalam konteks perdagangan internasional, kedua belah pihak, yaitu eksportir dan importer diberi kebebasan yang seluasluasnya untuk menentukan isi kesepakatan dalam kontrak. 2) General Contract Law Tiap-tiap negara memiliki general contract law masing-masing. Di Indonesia, general contract law ini dapat dilihat dalam ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga. Buku ketiga ini mengatur secara umum dan berlaku bagi seluruh kontrak, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan sebagainya. 3) Specific Contract Law Selain Ketentuan-ketentuan umum, Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur tenang ketentuan khusus yang berkenaan dengan
kontrak-kontrak
tertentu.
Dalam
Perjanjian
jual
beli
internasional misalnya, jika yang berlaku adalah hukum Indonesia, maka berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual beli yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan 1540. 4) Kebiasaan Bisnis Kebiasaan-kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum. Demikian pula halnya dengan kebiasaan dalam bisnis (trade usage atau custum) merupakan salah satu sumber hukum bisnis dan dapat menjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
pedoman dalam menginteprestasi kontrak bisnis tremasuk kontrak jual beli internasional. 5) Yurisprudensi Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yurisprudensi) dapat menjadi dasar hukum bagi berlakunya kontrak. Yurisprudensi akan terasa maknanya jika ada hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang, atau yang memerlukan penafsiranpenafsiran terhadap suatu undang-undang. Namun demikian, dalam hukum transaksi perdagangan internasional, peranan yurisprudensi kurang begitu berarti karena biasanya penyelesaian suatu kasus menggunakan arbitrase. 6) Kaidah Hukum Perdata Internasional Kaidah hukum perdata internasional banyak digunakan karena pada umumnya dalam setiap transaksi perdagangan internasional berbagi pihak dari berbagai negara. Berkaitan dengan hal itu, jika terjadi perselesihan mengenai hukum mana yang berlaku bila mana hal tersebut tidak diatur dalam kontrak, maka digunakan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (conflict of law) ini. Salah satu yang terkenal adalah teori yang disebut The Most Caracteristic Conection Rule. Menurut teori ini hukum para pihak yang mempunyai presatasi yang sangat karakteristik. Dalam bidang jual beli internasional, maka ketentuan hukum dari pihak penjual lah yang berlaku karena dianggap mengandung paling banyak karakteristik (yang unik) dalam setiap transaksi perdagangan. 7) Internasional Convention International
convention
adalah
kesepakatan-kesepakatan
internasional yang telah, sedang atau akan diratifikasi oleh negaranegara di dunia, agar suatu konvensi dapat mengikat maka negara kedua belah pihak tersebut harus merupakan peserta dari konvensi internasional tersebut dan telah meratifikasi sehingga telah menjadi bagian dari hukum nasional masing-masing negara. Ketantuan-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
ketentuan konvensi internasional ada juga yang mengatur mengenai perjanjian jual beli internasional. Konvensi-konvensi internasional yang khusus mengatur mengenai jual beli internasional adalah sebagai berikut: a)
United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods Konvesi merupakan hasil karya The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dari perserikatan bangsa-bangsa (PBB), yang kemudian diadopsi oleh Konferensi Diplomatik tanggal 11 April 1980. Konvensi ini mengatur mengenai ketentuan yang seragam tentang jual beli internasional. Sebelum itu, persiapan terhadap uniform law mengenai jual beli internasional sudah dilakukan sejak tahun 1930 di International Institute Law for the Unification of Private Law (UNIDROIT) di Roma. Sistematika konvensi ini adalah sebagai berikut: (1) ruang lingkup aplikasi dan ketentuan umum (2) formasi dari kontrak (3) penjualan barang (4) ketentuan penutup
b) Conventionon the Limination Period in the International Sale of Good Konvesi ini merupakan hasil kerja UNCITRAL yang kemudian diterima oleh General Assemmbly di New York pada tanggal 14 Juni 1974 dan selanjutnya diamandemir pada tahun 1980. Konvensi ini berisikan keseragaman tentang ketentuanketentuan
mengenai
kadaluwarsanya
suatu
gugatan
yang
berhubungan dengan jual beli. Sistemetikanya adalah sebagai berikut: (1) ruang lingkup penerapan (2) lamanya dan mulai berlakunya masa kadaluwarsa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
(3) perhentian dan perpanjangan masa kadaluwarsa (4) total waktu untuk suatu kadaluwarsa (5) konsekuensi hukum dari lewatnya masa kadaluwarsa (6) ketentuan lain-lain dan ketentuan penutup 8) Ketentuan-ketentuan Domestik Ketentuan domestik merupakan aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah setempat seperti aturan yang berkenaan dengan ekspor impor, letter of Credit, Asuransi, Bill of Lading, Bill of Ex change, dan lain sebagainya.
2. Tinjauan Umum tentang E-commerce a. Peristilahan Electronic Commerce Electronic commerce yang biasa disebut dengan e-commerce merupakan sistem yang relatif baru dibandingkan dengan sistem perdagangan lainnya. Akibatnya, bagi sebagian pihak masih belum jelas apa yang dimaksud dengan electronic commerce. Munculnya berbagai pengertian electronic commerce tidak akan mengubah keberadaan electronic commerce sebagai suatu sistem perdagangan yang sangat efektif dan efisien. Timbulnya berbagai pengertian electronic commerce semata-mata lebih disebabkan adanya perbedaan latar belakang keilmuan dari si pembuat definisi. David Baum, dalam “Business Links”, Oracle Magazine, No. 3, Vol. XIII, 1999, sebagaimana dikutip Onno W. Purbo dan Aang Aris Wahyudi, mendefinisikan electronic commerce: a dynamic set of technologies, applications, and business process that link enterprises, consumers, and communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, service, and information, Howard E. Abrams,menyatakan: electronic commerce sebenarnya adalah: refers to the use of computer networks to facilitate transactions involving the production, distribution sale, and delivery of goods and services in the market (Purbo, Onno, W, 2001: 181). Sekalipun terdapat berbagai definisi dari electronic commerce, tetapi pada dasarnya semua definisi memiliki kesamaan, yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
1) adanya penawaran melalui Internet; 2) transaksi antara 2 belah pihak; (apabila terjadi kata sepakat) 3) adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi; 4) internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme transaksi tersebut. Mengacu pada beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa electronic commerce merupakan suatu transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi, proses pemesanan barang,pembayaran transaksi sampai dengan pengiriman barang dikomunikasikan melalui internet. b. Keuntungan Penggunaan Electronic Commerce Pada dasarnya, keuntungan penggunaan electronic commerce dapat dibagi dalam dua bagian, yakni keuntungan bagi pedagang (merchant) dan keuntungan bagi pembeli. Menurut Joseph Luhukay (Presiden Director, Capital Market Society) sebagaimana dikutip oleh PB, Triton, keuntungan bagi pedagang (merchant) antara lain (PB, Triton, 2006: 76): 1) Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan (revenue generation) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa; menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall, dan sebagainya. 2) Menurunkan biaya operasional. Berhubungan langsung dengan pelanggan melalui Internet dapat menghemat kertas dan biaya telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf operasional yang banyak, gudang yang besar, dan sebagainya. 3) Memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan dapat memesan bahan baku atau produk ke supplier langsung ketika ada pemesanan sehingga perputaran barang lebih cepat dan tidak perlu gudang besar untuk menyimpan produk-produk tersebut. 4) Melebarkan jangkauan (global reach). Pelanggan dapat menghubungi perusahaanatau penjual dari manapun di seluruh dunia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
5) Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu. 6) Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui Internet pelanggan bisa menyampaikan kebutuhan maupun keluhan secara langsung sehingga perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya. Keuntungan bagi pembeli, antara lain (PB, Triton, 2006: 78): 1) Home shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi. 2) Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja atau melakukan transaksi melalui Internet. 3) Pembeli
memiliki
pilihan
yang
sangat
luas
dan
dapat
membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya. 4) Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja selama 24 Jam per hari, 7 hari per minggu. 5) Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit diperoleh di outlet-outlet atau pasar tradisional. Keuntungan-keuntungan di atas apabila dipergunakan dengan sebaik-baiknya akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
electronic
commerce
yang
pada
akhirnya
dapat
pula
meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. c.
Mekanisme Transaksi Electronic Commerce dan Waktu Terjadinya Kontrak Transaksi perdagangan melalui media internet atau electronic commerce pada dasarnya memiliki kesamaan dengan mekanisme perdagangan biasa (konvensional). Perbedaan antara keduanya adalah dalam electronic commerce, sistem yang digunakan dalam seluruh proses transaksi dilakukan secara online, mulai dari penawaran produk, pembelian, sampai dengan pembayaran, sedangkan dalam transaksi biasa, seluruh proses transaksi dilakukan secara manual (off line). Seperti halnya dalam transaksi biasa (konvensional), transaksi electronic
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
commerce diawali dengan adanya penawaran oleh produsen (merchant) kepada calon pembeli (consumer) melalui media Internet, sedangkan apabila pembeli (costumer) berpendapat bahwa produk yang ditawarkan dari segi kualitas, harga, jenis telah sesuai dengan keinginannya, maka pembeli dapat langsung memesan (order) atas barang yang dimaksud dengan cara mengisi formulir isian yang telah ditampilkan pada layar monitor. Formulir yang harus diisi umumnya memuat identitas pemesan, seperti nama, alamat, kantor, dan sebagainya. Formulir isian memuat pula syarat- syarat transaksi yang harus disetujui oleh konsumen. Pada tahap akhir setelah semua formulir isian diisi dan syarat-syarat transaksi disetujui, pembeli tinggal menyatakan setuju dengan transaksi tersebut dengan cara mengklik kolom OK atau Submit (PB, Triton, 2006: 92). Gambaran proses transaksi electronic commerce di atas adalah proses yang umum dilakukan, mengingat dalam prakteknya proses transaksi electronic commerce banyak
jenisnya. Permasalahan yang
paling sering muncul dalam transaksi electronic commerce adalah berkaitan dengan pertanyaan kapan suatu transaksi (kontrak) dikatakan telah terjadi. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dikemukakan terlebih dahulu beberapa bentuk kontrak electronic commerce yang selama ini berkembang. Beberapa bentuk kontrak elektronik yang selama ini berkembang, yaitu: 1) Suatu kontrak yang dibentuk secara sah melalui e-mail. Penawaran dan
penerimaan
dapat
dipertukarkan
melalui
e-mail
atau
dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya, dokumen tertulis, fax, dan lain-lain. 2) Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui web sites dan jasa online lain, yaitu suatu web site menawarkan penjualan barangatau jasa dan konsumen dapat menerima penawaran dengan mengisi dan mengirimkan suatu formulir yang terpampang pada layar monitor.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
3) Bentuk kontrak lain adalah mencakup direct online transfer dari informasi dan jasa, web site digunakan sebagai medium of communication dan sekaligus sebagai medium of exchange. 4) Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu pertukaran informasi bisnis secara elektronik dalam komputer processable format melalui komputer milik para mitra dagang (trading partners). 5) Suatu cara berkontrak dalam Internet dapat bersifat perjanjian lisensi click-wrap dan shrink-wrap. Software yang di download dari Internet lazimnya dijual dengan suatu lisensi click-wrap. Lisensi tersebut muncul pada monitor pembeli pada saat pertama kali software akan dipasang (install) dan calon pembeli ditanya apakah ia bersedia menerima persyaratan lisensi tersebut sebelum menggunakan program tersebut. Pengguna dapat click “I accept” atau I don’t accept”. Apabila pembeli menyetujui persyaratan lisensi, software tersebut dapat dipasang (install). Permasalahan kapan terjadinya suatu kontrak pada perdagangan secara online perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat hal ini membawa akibat hukum pada penentuan lahirnya hak dan kewajiban masing-masing pihak, peralihan kepemilikan, peralihan risiko, juga yurisdiksi mana yang berkompeten untuk menyelesaikan sengketa jika dikemudian hari muncul sengketa (Budi Rahardjo. E-commerce di Indonesia Peluang dan Tantangan (http:// www.cert.or.id/ ~budi/ articles/1999-02.pdf: diakses tanggal 30 Agustus 2010). Penentuan saat terjadinya perjanjian (kontrak) berkaitan erat dengan tempat dimana perjanjian itu dibuat, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang tempat terbentuknya perjanjian yaitu (PB, Triton, 2006: 112): 1) Pada saat disampaikannya persetujuan (consent) oleh pihak penerima penawaran (expedition theory). 2) Pada saat dikirimnya penerimaan tersebut oleh pihak penerima penawaran (acceptors acceptance atau disebut transmission theory).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
3) Pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak yang menawarkan (offeror) atau disebut reception theory. 4) Pada saat pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan (acceptance) tersebut atau disebut information theory. Menurut Julian Ding dalam bukunya Electronic Commerce, Law and Practices, sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman disebutkan bahwa terjadinya kontrak dalam transaksi electronic commerce adalah a contract is struck when two or more persons agree to a certain course of conduct, maksudnya bahwa sebagai suatu pertemuan dimana dua atau lebih pihak setuju melakukan tindakan tertentu, sehingga pada saat itulah kesepakatan tercapai. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa untuk menentukan kapankah suatu kontrak terjadi, maka dapat dilihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu offer (penawaran), acceptance (penerimaan) dan consideration. Suatu offer merupakan suatu invitation to enter into binding agreement, suatu offer adalah benar merupakan suatu tawaran jika pihak lain memandangnya sebagai suatu penawaran, namun perlu diperhatikan bahwa suatu offer haruslah benar merupakan suatu offer dalam hal mana memang benar penawaran telah dilakukan dan ditujukan pada offeree. Jika suatu offer sudah ditujukan pada offeree maka ia dapat choose whether yes or not to accept it. Suatu offer harus secara jelas dinyatakan dan dalam hal offer disampaikan dengan mempergunakan e-mail harus disebutkan bahwa jika terjadi suatu offer dari seorang offeror, harus terdapat suatu kepastian berupa diterima atau tidaknya hal tersebut dengan kata-kata “I accept or I reject and go fourth”. Menemukan offer and acceptance dalam cybersystem adalah tergantung pada keadaan dari cybersystem itu sendiri. Seorang offeror adalah bebas untuk menentukan suatu manner of acceptance, misalnya offeror menentukan bahwa hal penjualan melalui web site atas barang dagangannya maka penawaran ditujukan pada halaman dari e-mail addressnya sehingga dalam hal ini acceptance dapat dalam bentuk e-mail saja (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 86).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
Jika offer pada web site secara umum mendapatkan acceptance dari publik yang cukup banyak, sedangkan massage dalam offer di web site tersebut hanya menawarkan sebuah barang saja maka dalam hal ini dipakai prinsip “first come first serve”, maka yang paling awal dinyatakan bahwa ia yang akan menerima tawaran itulah yang berhak. Peraturan ini menyatakan bahwa suatu acceptance dari offer adalah efektif berlaku pada saat pengiriman pos, dalam hal ini yaitu pada saat pengiriman acceptance melalui pos tradisional melalui surat (dropping a place of corespondence in to the mailbox). Cyberspace menerangkan jika suatu pernyataan setuju dari offeree telah dikirim dan benar telah diterima oleh offeror, maka dalam hal terjadi keterlambatan atau tidak sampainya pesan adalah kewajiban dan risiko dari offeror jika tidak ada klausul pembatasan hari dari offeror, namun dalam hal acceptance berlangsung dalam suatu on line contract, maka tidak akan terjadi keterlambatan sehingga mailbox rule tidak berlaku (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 87). d.
Karakteristik Transaksi E-Commerce Berbeda
dengan
transaksi
perdagangan
biasa,
transaksie-
commerce memiliki beberapa karakteristik yang sangat khusus, yaitu: (Sakti, Nuransa,2001 :76) 1) Transaksi tanpa batas Sebelum
era
internet,
batas-batas
geografi
menjadi
penghalang suatu perusahaan atau individu yang ingin gointernational. Sehingga, hanya perusahaan atau individu dengan modal besar yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Dewasa ini dengan internet pengusaha kecil dan menengah dapat memasarkan produknya secara internasional cukup dengan membuat situs web atau dengan memasang iklan di situs-situs internet tanpa bataswaktu (24 jam), dan tentu saja pelanggan dari seluruh dunia dapat mengakses situs tersebut dan melakukan transaksi secara online.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
2) Transaksi anonim Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet tidak harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak memerlukan nama dari pembeli sepanjang mengenai pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia sistem pembayaran yang ditentukan, yangbiasanya dengan kartu kredit. 3) Produk digital dan non digital Produk-produk digital seperti software komputer, musik dan produk lain yang bersifatdigital dapat dipasarkan melalui internet dengan
cara
mendownload
secara
elektronik.
Dalam
perkembangannya obyek yang ditawarkan melalui internet juga meliputi barang-barang kebutuhan hidup lainnya. 4) Produk barang tak berwujud Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce dengan menawarkan barang tak berwujud seperti: data, software dan ide-ide yang dijual melalui internet. Implementasi e-commerce pada dunia industri yang penerapannya semakin lama semakin luas tidak hanya mengubah suasana kompetisi menjadi semakin dinamis dan global, namun telah membentuk suatu masyarakat tersendiri yang dinamakan Komunitas Bisnis Elektronik (Electronic Business Community). Komunitas memanfaatkan cyberspace sebagai tempat bertemu, berkomunikasi dan berkoordinasi ini secara intens memanfaatkan media dan infrastruktur telekomunikasi dan teknologi informasi dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari. Seperti halnya pada masyarakat tradisional, pertemuan antara berbagai pihak dengan beragam kepentingan secara natural telah membentuk sebuah pasar tersendiri tempat bertemunya permintaan (demand) dan penawaran (supply). Transaksi yang terjadi antara demand dan supply dapat dengan mudah dilakukan walaupun yang bersangkutan berada dalam sisi geografis yang berbeda karena kemajuan dan perkembangan teknologi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
informasi.
Yang
dalam
hal
ini
adalah
teknologi
e-commerce
(Indrajit,Richardus, 2001: 60) e. Jenis-jenis Transaksi Electronic Commerce Electronic commerce dalam pelaksanaannya yang menggunakan media internet sebagai sarana utamanya tidak terlepas dari ada dalam internet itu sendiri. Kemudahan tersebut diantaranya adalah kemudahan untuk diakses
dimana
saja
dan
dengan
siapaseorang
pengguna
akan
berhubungan. Selain itu, sudut pandang dari e-commorce sangatlah luas. Berdasarkan sudut pandang para pihak dalam bisnis e-commerce jenis-jenis dari suatu kegiatan e-commerce adalah sebagai berikut: 1) Busines to Busines (B2B) Busines to Busines merupakan kegiatan bisnis e-commerce yang paling banyak dilakukan. Busines to Busines (B2B) terdiriatas: a) Transaksi Inter Organizational System (IOS), misalnyatransaksi extranest, electronic funds transfer, electronic forms,intrgrated messaging, share data based, supply chainmanagement, dan lain-lain. b) Transaksi pasar elektronik (electronic market transfer) (MunirFuady, 2005 : 408). Busines
to
Busines
(B2B)
juga
dapat
sistemkomunikasi bisnis online antar
diartikan
pelaku
sebagai
bisnis
(Onno
W.Purbo,2000:2). Busines to Busines (B2B) mempunyai karakteristik, dimana menurut Budi Raharjo dalam Mengimplementasikan Electronic Commerce di Indonesia menyebutkan bahwa karekteristik itu antara lain: a) Trading
Partners
yang
sudah
diketahui
dan
umumnya
memilikihubungan (relationship) yang cukup lama. Informasi hanyadipertukarkan
dengan
partner
tersebut.
Sehingga
jenisinformasi yang dikirimkan dapat disusun sesuai kebutuhan dankepercayaan (trust). b) Pertukaran data (data exchange) berlangsung berulang-ulangdan secara berkala, dengan format data yang sudah disepakati
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
bersama. Sehingga memudahkan pertukaran data untuk duaentiti yang menggunakan standar yang sama. c) Salah satu pelaku dapat melakukan inisiatif untuk mengirimkan data, tidak harus menunggu partner. d) Model yang umum digunakan adalah per-to-per dimana processing intelligence
dapat
didistribusikan
di
kedua
belah
pihak
(http://www.cert.or.id/~budi/articles/1999-02.pdf, diakses tanggal 20 Juli 2011). 2) Bussines to Cunsumer (B2C) Bussines to Cunsumer (B2C)
merupakan transaksi
ritel
denganpembeli individual (Munir Fuady, 2005 : 408). Selain itu Bussines to Cunsumer (B2C) juga dapat berarti mekanisme took online (electronic shoping mall) yaitu transaksi antara e-merchant dengan ecustomer (Onno W.Purbo, 2000:2). Budi Raharjo juga menyebutkan Bussines to Cunsumer (B2C) mempunyai karakteristik tersendiri, dimana karakteristik tersebut adalah: a) Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan ke umum b) Servis yang diberikan bersifat umum (generic) dengan mekanisme yang dapat digunakan oleh khayalak ramai. Sebagai contoh, karena system web sudah umum digunakanmaka servis diberikan dengan menggunakan basis web c) Servis
diberikan
berdasarkan
permohonan
(on
demand)
Consumer melakukan inisiatif dan produser harus siapmemberikan respon sesuai dengan permohonan. d) Pendekatan client atau server sering digunakan dimana diambil asumsi
client (consumer)
menggunakan
sistem
yang
minimal(berbasis web) dan processing (bussines procedure) diletakandi sisiserver (http://www.cert.or.id/~budi/articles/1999-02.pdf, diakses tanggal 20 Juli 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
3) Consumer to Consumer (C2C) Consumer to Consumer (C2C) merupakan transaksi dimana konsumen menjual produk secara langsung kepada konsumenlainnya. Dan juga seorang individu yang mengiklankan produk barang atau jasa, pengetahuan, maupun keahliannya di salah satusitus lelang (Munir Fuady, 2005 : 408). 4) Consumer to Bussines (C2B) Consumer to Bussines (C2B) merupakan individu yangmenjual produk atau jasa kepada organisasi dan individu yangmencari penjual dan melakukan transaksi (Munir Fuady,2005:408). 5) Non-Bussines Electronic Commerce Non-Bussines Electronic Commerce meliputi kegiatan nonbisnis seperti kegiatan lembaga pendidikan, organisasi nirlaba,keagamaan dan lain-lain (Munir Fuady, 2005 : 408). 6) Intrabussines (Organizational) Electronic Commerce Kegiatan
ini
meliputi
semua
aktivitas
internal
organisasimelalui internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa, dan informasi, menjual produk perusahaan kepada karyawan, dan lain-lain (Munir Fuady, 2005 : 408) f. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce Transaksi electronic commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan, artinya apakah semua proses transaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara on-line. Apabila seluruh transaksi electronic commerce dilakukan secara on-line, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran, maka pihak-pihak yang terlibat terdiri dari: 1) Penjual
(merchant),
yaitu
perusahaan
atau
produsen
yang
menawarkan produknya melalui internet. Menjadi seorang merchant, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card. 2) Konsumen atau card holder, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara online. 3) Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). 4) Issuer; perusahaan credit card yang menerbitkan kartu. 5) Certification Authorities; pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada card holde. Apabila transaksi electronic commerce tidak sepenuhnya dilakukan secara on-line, dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang online, sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual atau cash, maka pihak acquirer, issuer, dan certification authority tidak terlibat di dalamnya . g. Pengaturan E-commerce dalam Bisnis Internasional Transaksi bisnis internasional e-commerce dalam pelaksanaanya dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yaitu: 1) Kontrak Perdagangan Internasional (secara umum) Berdasarkan United Nations in Contracts for International Sale of Goods (UNCISG) 1980 dan 1986. Kontrak perdagangan internasional secara umum (bukan dalam konteks e-commerce) diatur dalam United Nations in Contracts for International Sale of Goods (UNCISG) 1980 dan 1986. Indonesia belum meratifikasi untuk UNCISG tahun 1980, meskipun demikian konvensi ini patut kita pertimbangkan sebagai platform bagi konvensi jual beli internasional yang baru. Konvensi ini mengatur masalahmasalah kontraktual yang berhubungan dengan kontrak jual beli internasional. Konvensi ini sebenarnya hanya mengatur masalah jual
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
beli antara business to business (B2B), sedangkan e-commerce yang kita bahas disini adalah hubungan bisnis antara Business to Consumer (B2C) dan juga business to business tetapi didalam konvensi tersebut terdapat beberapa prinsip yang dapat di adopsi dalam makalah ini. Konsepsi yang bisa diambil dari konvensi ini antara lain adalah (http//bisnis internasional e-commerce.mkn.com: diakses 15 Agustus 2010): a) Bahwa kontrak tidak harus dalam bentuk tertulis (in writing form), tetapi kontrak tersebut bisa saja berbentuk lain bahkan hanya berdasarkan saksi. Berdasarkan aturan tersebut suatu kontrak dapat juga dalam bentuk data elektronik (misalnya dalam format data form yang di-sign dengan digital signature) tapi didalam UNCISG ini belum diatur secara spesifik mengenai digital signature. Berdasarkan hal tersebut diatas maka suatu kontrak jual-beli secara internasional yang menggunakan digital signature berdasarkan hukum internasional secara hukum mengikat (legally binding) atau mempunyai kekuatan hukum. Mengenai sahnya suatu kontrak yang berbentuk digital signature ini sebaiknya diatur dalam perUndangUndangan tersendiri seperti seperti halnya yang dilakukan di Amerika (negara bagian Utah, California), Malaysia, Singapura. b) CISG mencakup materi pembentukan kontrak secara internasional yang bertujuan meniadakan keperluan menunjukkan hukum negara tertentu dalam kontrak perdagangan internasional serta untuk memudahkan para pihak dalam hal terjadi konflik antar sistem hukum . CISG berlaku terhadap kontrak untuk pejualan barang yang dibuat diantara pihak yang tempat dagangnya berada di negara yang berlainan Pasal 1 ayat (1). Dengan demikian yang menentukan
adalah
tempat
perdagangannya
dan
bukan
kewaarganegaranya. Konteks digital signature tempat kedudukan dari Merchant yang adalah kedudukan hukum yang tercantum di digital certificate miliknya. Suatu kontrak yang dibuat berdasarkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
CISG (misalnya berupa digital signature) atau yang tunduk kepada CISG harus ditafsirkan berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam CISG dan kalau CISG belum menentukan, berdasarkan kaaidah-kaidah hukum perdata internasional. Disamping itu, CISG menerima kebiasaan dagang serta kebiasaan antara para pihak sebagai dasar penafsiran ketentuan kontrak. Seperti halnya dalam hukum kontrak Indonesia, itikad baik dijadikan prinsip utama dalam penaafsiran utama dalam penafsiran ketentuan dan pelaksanaan kontrak. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka hendaknya setiap bentuk kontrak perdagangan internasional dengan menggunakan digital signature selain didasarkan pada peraturan yang mengatur secara spesifik mengatur tentang digital signature juga didasarkan pada UNCISG karena CISG banyak dipakai oleh negara-negara di dunia. c) Saat terbentuknya kontrak, Ini menyangkut kapan terjadinya kesepakatan terutama apabila kesepakatan ini terjadi tanpa kehadiran para pesertaatau
pihak. Transaksi di internet kita
analogikan sebagai transaksi yang dialukan tanpa kehadiran para pelaku di satu tampat (between absent person). CISG memberikan kepastian di dunia perdagangan internasional mengenai saat terjaadinya suatu kontrak. kepastian ini akan memberikan dalam ecommerce tanpa adanya kepastian ini, pertukaran antara suatu digital signature akan sulit menimbulkan hak dan kewajiban yang diakui
oleh
hukum
kontrak.
E-mail
meskipun
sifatnya
menghubungkan para pihak dengan hampir seketika tetapi tetap saja terjadi kelambatan (delay) dalam masalah transmisinya, demikian juga harus dipertimbangkan adanya sistem yang tidak bekerja secara sempurna sehingga suatu offer atau acceptance tidak dapat diterima secara seketika. Kontrak jual-beli dianggap sudah ada setelah adanya kesepakatan yang datang dari kedua belah pihak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
2) Kontrak Berdasarkan United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) model law on Electronic Commerce. Model law ini mengatur tentang e-commerce secara umum, mulai dari definisi-definisi yang dipakai, bentuk dokumen-dokumen yang dipakai dalam e-commerce, keabsahan kontrak, saat terjadinya kontrak selain itu model law ini mengatur juga tentang carriage of goods. Pendekatan yang diambil dalam model law ini adalah bahwa suatu informasi tidak dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum, karena informasi itu berbentuk data message. Berdasarkan pendekatan diatas maka suatu data messaages apapun bentuk atau formatnya tidak dapat dikatakan tidak mempunayai kekuatan hukum hanya karena ia berbentuk suatu data messages. Pendekatan ini akan menimbulkan suatu kepastian dikemudian hari apabila terdapat suatu bentuk atau
format data
messages dalam bentuk yang baru. Pendekatan ini juga akan menyebabkan suatu kontrak atau
perjanjian yang dibuat dengan
digital signature mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan apabila dalam suatu perUndang-Undangan terdapat persyaratan bahwa harus dalam bentuk tertulis, maka persyaratan ini dapat dicapai, selama informasiatau data tersebut dapat diakses. Apabila suatu perUndangUndangan menghendaki adanya suatu tandatangan sebagai tanda sahnya suatu dokumen maka hal ini dapat dicapai dengan cara: a) Terdapat suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan seseorang dan juga dapat mengindikasikan didalam dokumen tersebut telah mendapat persetujuan dari orang tersebut. b) Bahwa metode tersebut diatas dapat dipercaya atau dapat dipertanggungjawabkan sehingga data tersebut dapat dengan aman disebarluaskan. c) Pendekatan tersebut diatas sifatnya adalah sangat luas atau tidak jelas. Metode Digital signature adalah salah satu cara yang dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
mensiasati kebutuhan adanya suatu tandatangan dalam sebuah dokumen. 3) General Usage for International Digitally Ensured Commerce (GUIDEC) dari The International Chamber of Commerce (ICC). GUIDEC adalah suatu panduan yang dibuat oleh International Chamber of Commerce bagi penggunaan suatu metode yang akan menjamin keberadaan suatu dokumen atau
data elektronis dalam
penggunaannya dalam dunia internasional. Panduan ini menggunakan terminologi ensured untuk membedakannya dengan terminologi sign dalam hal panandatanganan (sign in atau signature) terhadap suatu dokumen (Kantaatmaja, 2002:23). GUIDEC ini dimaksudkan untuk menunjang perkembangan dari e-commerce dengan memberikan kepastian bagi penerapan adanya tandatangan dalam suatu dokumen elektronis. Panduan ini akan menjelaskan berbagai terminologi atau istilah yang ada didalam UNCITRAL model law on e-commerce seperti apakah sebenarnya maksud dari penandatangan suatu data messages secara elektronis (electronically signed Messages). Penandatanganan disini maksudnya adalah bukan dilakukan secara fisik, tetapi membutuhkan suatu perangkat elektronik. Terminologi dari electronically signed yang dipakai dalam GUIDEC ini adalah penggunaan teknik enkripsi dengan menggunakan kunci publik yang lebih dikenal sebagai digital signature. Penggunaan digital signature ini akan memberikan kepastian akan keamanan, keutuhan dari data messages yang digunakan dalam e-commerce. Faktor keamanan dan keutuhan dari suatu data messages adalah suatu hal yang sangat menentukan dalam menunjang perkembangan e-commerce. E-commerce yang dilakukan melalui media internet yang merupakan suatu jaringan publik akan memberikan berbagai ketidakpastian bagi para penggunaanya. Panduan mengenai bagaimana suatu data messages dapat dijamin keamanan dan keutuhan melalui cara digital signature.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
4) United
Nations
Commision
on
International
Trade
Law
(UNCITRAL), Draft on Electronic Signature Draft ini berisi bagaimana suatu data messages dapat ditandatangani secara elektronis. Sebenarnya terminologi Electronic Signature yang dipakai dalam draft ini adalah sama dengan digital signnature, namun pihak UNCITRAL memilih terminologi ini mungkin karena medium yang dipakai dalam menandatangani suatu data messages adalah secara elektronik. Berdasarkan aturan-aturan yang berlaku secara internasional seperti disebut diatas, maka keberadaan digital signature (dan berbagai macam istilah lain yang sebenarnya mempunyai maksud yang sama) dalam kontrak perdagangan internasional adalah hampir menjadi semacam standar bagi perdagangan internasional dimasa yang akan datang. Keberadaan digital signature pada saat ini dalam penggunaannya sebagai salah satu bentuk kontrak perdagangan internsional telah mempunyai kekuatan hukum. Ia secara hukum mengikat (legally binding), meskipun belum ada konvensi yang mengaturnya secara tersendiri. h. Sengketa E-Commerce Secara umum sengketa terbagi dalam dua macam, yaitu sengketa menyangkut kontrak dan yang bukan menyangkut kontrak.
Sengketa
menyangkut kontrak dapat dibagi lagi menjadi sengketa pengusaha dengan pengusaha dan sengketa pengusaha dengan konsumen, namun sebagai konsekuensinya, dari pengusaha ke konsumen telah memunculkan pula sengketa antara konsumen dengan konsumen. Sengketa menyangkut kontrak dapat terjadi, misalnya jika layanan yang dilakukan oleh penyedia jasa sangat buruk. Contohnya dalam perdagangan saham secara online yang sistemnya ternyata cacat, akses terhadap database yang ternyata sangat minim (Paustinus Sibsruan, 2004: 5).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Berikut ini akan diuraikan bentuk- bentuk
wanprestasi yang
dilakukan oleh penjual ( merchant ) dalam transaksi e-commerce yaitu ( Edmon Makarim, 2005: 269-272): 1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Dalam transaksi e-commerce,
merchant
mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk menanggung segala kerusakan barang yang dikirim. Jika penjual tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut,
merchant
dapat
dikatakan wanprestasi. Contohnya toko online kakilima.com yang menawarkan kue ulang tahun. Kakilima menjanjikan untuk mengantar pesanan pembeli dalam waktu satu minggu setelah pesanan diterima. Apabila pembeli memesan kue ulang tahun tersebut pada tanggal 12 Juli 2001, seharusnya roti tersebut sampai di tempat pembeli pada tanggal 19 Juli 2001. Akan tetapi, ternyata penjual tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, ia tidak mengirimkan kue tersebut sehingga dengan demikian penjual telah
melakukan
wanprestasi. 2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. Contohnya adalah pembeli memesan satu buah rangkaian bunga pada kakilima.com. Saat memesan tersebut, yang pembeli lihat adalah sebuah gambar di layar monitornya yang menampilkan gambar sebuah rangkaian bunga mawar merah yang segar. Akan tetapi, ternyata rangkaian bunga yang sampai ke tempatnya adalah rangkaian bunga mawar merah yang sudah layu atau tidak segar lagi seperti yang ada pada gambar di layar monitor. Merchant telah melakukan wanprestasi
karena
melaksanakan
prestasinya
dengan
tidak
sebagaimana mestinya. 3) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. Untuk wanprestasi model ini sebenarnya mirip dengan wanprestasi bentuk yang pertama. Jika barang pesanan datang terlambat, tetapi tetap dapat dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
terlambat. Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat dipergunakan lagi, digolongkan sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Misalnya pembeli memesan buku dari Toko Sanur-Online. Pesanan yang seharusnya hanya memerlukan waktu pengiriman selama tiga hari ternyata baru tiba pada hari yang ke tujuh. Hal ini jelas menunjukkan penjual telah wanprestasi. akan tetapi, karena barangnya masih dapat dipergunakan, wanprestasi ini digolongkan sebagai prestasi yang terlambat dan bukan tidak melakukan prestasi. 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Untuk wanprestasi yang terakhir ini, contohnya
merchant
yang
berkewajiban untuk tidak menyebarkan kepada umum identitas dan data diri dari pembeli, tetapi ternyata
merchant
melakukannya.
Demikianlah aplikasi dari wanprestasi yang mungkin terjadi dalam transaksi
e-commerce.Wanprestasi yang dilakukan oleh
merchant
tentu saja sangat merugikan pihak pembeli. Akan tetapi, untuk mengajukan tuntutannya, pembeli harus mendahului tuntutannya dengan somasi. Somasi tersebut berupa peringatan agar
merchant
melaksanakan kewajibannya. Jika somasi tersebut tidak diindahkan, merchant berada dalam keadaan wanprestasi, somasi tidak diperlukan jika merchant keliru berprestasi. i. Pilihan Hukum Penyelesaian Sengketa E-commerce Dalam Hukum Perdata Internasional jika telah ditentukan di dalam klausula perjanjian tersebut mengenai pilihan hukum, maka pilihan hukum itulah
yang
akan
menyelesaikannya.
Tetapi
jika
ternyata
tidak
dicantumkan mengenai pilihan hukum tersebut maka hukum yang berlaku dapat ditentukan
berdasarkan
teori-teori yang ada (www.hukum
online.com,diakses tanggal 16 Juli 2011): 1) Teori kotak pos (mail box theory) Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
kotak pos. Dalam hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Teori ini mempunyai kelemahan sebab ada kemungkinan pihak lawan tidak menerima pesannya atau terlambat menerima pesan tersebut. Oleh karena itu diperlukan konfirmasi pihak penjual. 2) Acceptance Theory (teori penerimaan) Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum dimana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Dalam transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku menurut teori ini adalah hukum si penjual. 3) Proper Law of The Contract Menurut teori ini hukum yang berlaku adalah hukum yang mempunyai titik-titik pertalian yang paling banyak, atau hukum yang paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya bahasa yang dipergunakan bahasa Jepang, mata uang yang dipakai dalam transaksi yen, arbitrase yang dipergunakan arbitrase Jepang, maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Jepang. 4) The Most Characteristic Connection Dalam teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum pihak mana yang melakukan prestasi yang paling karakteristik atau paling banyak. Dengan demikian teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan hukum mana yang berlaku jika terjadi sangketa di kemudian hari.
3. Tinjauan tentang Arbitrase a. Pengertian Arbitrase Arbitrase atau dalam beberapa istilah Indonesia sering disebut peradilan wasit, dalam hal ini penulis sengaja memilili menggunakan istilah arbitrase karena dirasa bahwa istilah kata arbitrase di Indonesia sudah menjadi suatu bahasa baku yang langsung dapat di pergunakan, hal ini juga termuat jelas dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam negara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Indonesia menggunakan istilah arbitrase dalam penyebutannya , bukan pula dengan penyebutan Peradilan Wasit ataupun Arbitrasi. Berikut akan coba dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian secara harfiah dari makna kata arbitrase, banyak pendapat yang dapat dijadikan batasan dari arbitrase. What is arbitration? Arbitration is a final, and binding resolution of a dispute by a person called an “arbitrator” or “Neutral”, or a panel of three or more “neutrals”. The courts of the majority of jurisdictions uphold the binding nature of an arbitrator's judgment to the same extent that they up hold a ruling by a judge (Leacock, 2001: 19). Dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering di singkat B.Rv. atau Rv. Tersebut istilah Arbitrage (bahasa Belanda) yang mengadung pengertian dalam bahasa Inggris “arbitration “, yang dirumuskan, sebagai the submission for determination ofdisputted matterr to private unofficial persons selected in manner provided by law or agreement. (Akhmad Ichsan, 1993:10). Yahya Harahap berpendapat arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut (M.Yahya Harahap,1991:108): 1) Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa: a) Kontraversi pendapat (Controversy); b) Kesalahan pengertian (misunderstanding); c) Ketidaksepakatan (disagreement). 2) Pelanggaran perjanjian (breach
of contract) termasuk didalamnya
adalah: a) Sah atau tidaknya kotrak; b) Berlaku atau tidaknya kontrak; 3) Pengakhiran kontrak (termination of contract);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
4) Klaim mengenai
ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau
melawan hukum. Menurut Abdurrachman arbitrase dimaksudkan sebagai memeriksa sesuatu, atau mengambil keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan diserahkan kepada satu pihak atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan atau arbitator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih, tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Pelaksanaan prosedur arbitration kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah menyetujui akan menerima keputusan arbitrator (Abdurrachman, A., 1991:50). Definisi menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan arbitrase adalah : “Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999) Beberapa definisi yang ada tentang pengertian arbitrase, Munir Fuady menyimpulkan terdapat beberapa karakteristik yuridis dari arbitrase. Karateristik yuridis tersebut adalah sebagai Berikut (Munir Fuady, 2000:13): 1) Adanya kontroversi diantara para pihak; 2) Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter; 3) Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu; 4) Arbiter adalah pihak diluar badan peradilan umum; 5) Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian; 6) Arbiter melakukan pemeriksaan perkara; 7) Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase tersebut dan mengikat para pihak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
Perbedaan arbitrase ke dalam arbitrase domestik dan arbitrase internasional atau dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah arbitrase asing disebabkan adanya anasir asing yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat para pihak baik berupa subyek, obyek, ataupun bentuk formalitas perjanjian. (Kushartoyo budi S. dalam Majalah Hukum Trisakti; 1995:70). Sudargo Gautama memberikan pengertian arbitrase internasional secara agak luas menurutnya arbitrase akan bersifat Internasional jika beberapa hal terpenuhi, yaitu : Pertama, apabila para pihak yang membuat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha (places of business) mereka di negara-negara yang berbeda.
Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam
perjanjian arbitrase ini letaknya diluar negara tempat para pihak mempunyai tempat usaha mereka. Ketiga, apabila suatu tempat di mana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat di mana obyek sengketa paling erat hubungannya (most closely connected), memang letaknya diluar negara tempat usaha para pihak. Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa obyek perjanjian mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara (Sudargo Gautama, 1989:3-4). Penulis sengaja memilih istilah arbitrase asing dengan maksud untuk memudahkan penyebutan dan menspesifikan arti dari istilah “asing” itu sendiri, dengan memaknai “asing” disini adalah sama dengan luar negeri seperti juga termaksud dalam Konvensi New York 1958, dengan mengambil istilah padanan dengan “foreign”, sehingga arbitrase asing disini dimaksudkan lebih kepada arbitrase yang berada diluar batas yurisdiksi maupun wilayah Indonesia. Hal ini sejalan dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Arbitrase Asing di Indonesia. Istilah “Putusan Arbitrase Asing” (Pasal 2), dan istilah “Putusan Arbitrase Internasional” (Pasal 1 ayat (9)) dapat dijelaskan dalam Undang-Undang Arbitrase No. 30 tahun 1999.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
b. Sejarah Arbitrase 1) Sejarah Arbitrase di Amerika dan Eropa Arbitrase sebagai bentuk perwasitan di bidang proses peradilan di luar peradilan umum merupakan sarana yang sangat membantu menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak, khusus dalam hukum privat baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional, seperti dalam pelaksanaan perjanjian komersial dan perjanjian investasi (penanaman modal) (Akhmad Ichsan,1992:l). Penggunaan istilah Hukum Privat di sini dimaksudkan baik yang di sebut civil law maupun common law. Berdasarkan sejarah perkembangannya, sebenarnya cikal bakal lembaga arbitrase sudah ada sejak Zaman Yunani Kuno, terus berkembang pada zaman Romawi dan Yahudi, seterusnya di negaranegara bisnis di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian menyebar ke Perancis (1250), Scotlandia (1695), Irlandia (1700), Denmark (1795) dan USA (1870) (Huala Adolf, 1990:2). Penelusuran tentang sejarah hukum tentang arbitrase ada yang berpendapat bahwa arbitrase mendapat akarnya dalam hukum-hukum gereja (ecclesiastical law). Berdasarkan sejarah hukum Inggris misalnya, terlihat bahwa arbitrase telah digunakan oleh asosiasiasosiasi bisnis abad pertengahan (medieval guilds) di Inggris. Arbitrase juga sudah digunakan di sana dalam transaksi-transaksi maritim tempo dulu (Munir Fuady, 2000:15). Undang-Undang yang paling tua di dunia tentang Arbitrase adalah Arbitration Act (1697) di Ingggris, Undang-Undang tersebut sampai sekarang telah mengalami beberapa kali perubahan. Di Inggris dalam
sejarah
perkembangann
arbitrase
banyak
mengalami
pertentangan bahkan timbulnya sikap antipati terhadap lembaga arbitrase. Pada abad 18 menjadi fashionable disana bagi hakim-hakim untuk memutuskan bahwa arbitrase clause atau contract bertentangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
dengan public policy karena arbitrase dapat mengakibatkan oust the jurisdiction (of the courts). Arbitrase di Perancis diatur dalam Code de Procedure Civile (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata) yang mulai berlaku sejak tahun 1806, yang kemudian sejalan dengan perkembangan zaman lahir Undang-Undang arbitrase tahun 1925, yang lebih memberikan tempat kepada sistem peradilan arbitrase ini (Munir Fuady,2000:22). Praktek dirasakan bahwa kewenangan dan yurisdiksi dari peradilan arbitrase ini masih belum memuaskan. Campur tangan badan peradilan konvensional dianggap masih terlalu kuat terhadap arbitrase. Karena itu, pada tanggal 14 Mei 1980, Pemerintah Perancis mengeluarkan Dekrit (decree) yang memberikan kewenangan dan yurisdiksi yang lebih mandiri terhadap badan arbitrase, di mana badan peradilan pada prinsipnya tidak dapat mencampuri urusan arbitrase. Badan-badan peradilan konvensional bahkan mempunyai kewajiban untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas arbitrase. Namun begitu, banding terhadap putusan arbitrase ke badan peradilan umum diperkenankan dalam hal-hal tertentu saja. USA telah terdapat Arbitration Act (1925), yang asas-asanya masih berlaku dalam Undang-Undang (federal) yang sekarang. Karena hukum di USA berasal dari Inggris Raya, maka prinsip-prinsip hukum tentang arbitrase di USA juga tidak jauh berbeda (dengan yang ada di Inggris, kecuali dalam beberapa hal yang secara detail ada perkembangan yang berbeda dalam praktek perUndang-Undangan dan Praktek yurisprudensinnya (Munir Fuady, 2000:21). Sejarah arbitrase di Belanda mempunyai keterkaitan dengan sejarah di Indonesia. Semula, hukum arbitrase yang diterapkan di negeri Belanda yang bersumber dari kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdatannnya tidak jauh berbeda dengan praktek yang di terapkan di Indonesia yang berdasarkan pada RV, tetapi kemudian pada perkembangannya ternyata hukum arbitrase di negeri Belanda
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
berbeda dengan hukum arbitrase di Indonesia. Hal ini disebabkan dua hal pokok sebagai berikut (Munir Fuady, 2000:23): a) Perkembangan praktek arbitrase di negeri Belanda yang pesat telah memberi pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan hukum arbitrase disana. Sementara di Indonesia, praktek hukum arbitrase relatif tidak berkembang, dan penyelesaian sengketa lewat arbitrase itu sendiri tidak populer. b) Dibentuknya peraturan arbitrase yang baru di negeri Belanda yang mulai berlaku sejak 1 Desember 1986. Peraturan ini merupakan buku keempat yang baru dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, mulai dari Pasal 1020 sampai dengan Pasal 1076. Sementara peraturan tentang arbitrase yang lama di Belanda termuat dalam Pasal 620 sampai dengan Pasal 657 Kitab UndangUndang Hukum Acara Perdatannya, yang mirip-mirip dengan ketentuan dalam Pasal 605 sampai dengan Pasal 651 RV Indonesia. 2) Sejarah Arbitrase di Asia. Perkembangan arbitrase di kawasan Asia dapat terlihat dalam perkembangan institusionalisasi lembaga arbitrase ini. Dalam hal ini, Cina, Sri langka dan Philipina, dianggap yang terdepan dalam perkembangannya dari segi institusioinalisasi tersebut (Marifa, Isna, 1996:37), sedangkan di Indonesia, Badan Arbitras Nasional Indonesia (BANI) sudah di bentuk pada tanggal 3 Desember 1977 oleh Kamar dagang dan Industri (KADIN), tetapi perkembangan arbitrase di negeri ini dianggap masih belum sesuai harapan, sementara itu keberadaan arbitrase khusus yang coba dibentuk Indonesia dalam rangka penyelesaian sengketa yang berkenaan dengan bank yang berdasarkan syariat Islam juga belum efektif berjalan. Institusi penyelesaian sengketa alternatif di Philipina diarahkan terhadap
pengembangan
institusionalisasi
ke
tingkat
pedesaan
(barangay), yang dibentuk dengan dekrit (decree) Presiden No. 1508 Tahun 1978. Jalur penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
merupakan suatu hal terpenting, dalam hal ini telah dibentuk institusi mediasi penyelesaian sengketa di 42000 desa di seluruh Philipina. Bahkan begitu pentingnya kedudukan badan-badan mediasi ini sehingga seseorang tidak dapat langsung maju ke pengadilan untuk berperkara sebelum menunjukan adanya sertifikasi dari Sekretaris Panel Mediasi yang menyatakan bahwa proses mediasi sudah dilaksanakan tapi tidak berhasil (Munir Fuady, 2000:25). Sri Langka melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1958, pemerintah
telah
memformulasikan
terbentuknya
suatu
badan
konsiliasi. Undang-Undang tersebut diamendir dengan Undang-Undang No. 72 Tahun 1988 yang memformulasi terbentuknya Badan Mediasi. Dewasa ini telah ada ratusan panel mediasi di Sri Langka dengan seluruh mediator sudah ribuan jumlahnya. Kedudukan mediasi di Sri Langka sangatlah penting bahkan wajib diikuti terlebih dahulu sebelum sebelum perkara di bawa ke pengadilan-pengadilan konvensional (Suyud Margono, 2000:54). Jepang, tradisi menyelesaikan perkara di luar badan peradilan juga
sudah
sangat
membudaya
dalam
kehidupan
hukum
kemasyarakatannya. Jepang sudah lama di kenal Konsiliasi Tokugawa (Atsukai, Naisai), yang merupakan bentuk konsiliasi tradisionalnya, di samping badan penyelesaian sengketa dalam arti modern, seperti Konsiliasi Informal (Jidan), Konsiliasi (Chotel), dan Kompromi (wakai). Malaysia,
penyelesaian
sengketa
alternatif
juga
populer,
khususnya dikalangan bisnis. Sejak tahun 1978, di sana sudah ada the Kuala Lumpur Regional Center For Arbitration (KLRCA), yang melaksanakan tugasnya sebagai mediasi dan arbitrase, baik untuk sengketa domestik maupun sengketa Internasional. Negara ini juga Asia-Afrika Legal Consultative Committee (AALCC), mempunyai pusat arbitrase untuk Asia, sedangkan untuk Afrika dipusatkan di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Kairo, dengan menggunakan Uncitral Rules (suatu prosedur arbitrase yang telah acceptable oleh PBB sejak tahun 1976). Singapore, terdapat pusat arbitrase yang menangani kasus-kasus bisnis. Badan arbitrase internasional yaitu Singapore International Arbitration, yang terbentuk dalam tahun 1990, juga sangat memegang peranan di kawasan ini dalam menangani sengketa-sengketa bisnis Internasional. 3) Sejarah Arbitrase di Indonesia Jalur penyelesaian sengketa secara alternatif diluar pengadilan sesungguhnya sangat mungkin terjadi di masyarakat Indonesia, dan sejak dahulu budaya ini telah ada dalam masyarakat Indonesia, sengketa-sengketa yang timbul dimasyarakat Indonesia terutama yang masih kuat memegang nilai kulture adat, jarang sekali dibawa kepengadilan
negara
untuk
diselesaikan.
Mereka
lebih
suka
membawanya ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk diselesaikan secara damai. Masyarakat hukum adat, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan dihadapan kepala desa atau hakim adat. Alasan Kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan dengan alasan tidak efisien proses peradilan dalam menangani sengketa (Suyud Margono, 2000:38). Berdasarkan tata peradilan Indonesia sudah lama dikenal sitem pengadilan alternatif atau peradilan wasit. Arbitrase telah dikenal sebelum perang Dunia II dan dijalankan dalam praktek, akan tetapi masih jarang sekali digunakan, disebabkan kecuali karena kurang pengertian juga karena tidak ada keyakinan tentang manfaatnya. (Asikin Kusumah Armaja, 1973:61) Pada jaman Hindia Belanda badan peradilan yang ada saat itu adalah: a) Golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan
golongan
tersebut
adalah
Raad
van
Justitie
dan
Residentiegerechr sebagai peradilan sehari-hari dengan hukum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
acara yang digunakan termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat B.Rv atau RV. b) Golongan Bumiputera yang terdiri dari bangsa Indonesia asli dan mereka yang disamakan kedudukannya adalah Landraad sebagai pefadilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik dan sebagainya. Hukum Acara yang digunakan adalah Herziene Inlandsch Reglement disingkat H.I.R., sedangkan untuk daerah luar jawa dan madura adalah Rechtsreglement Buitepgewesten atau R.B.G. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan bumiputra, baik HIR maupun RBG, tidak mengatur tentang arbitrese, melalui Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBG, ketentuanketentuan dalam RV berlaku juga untuk golongan bumiputera. Berdasarkan pada Pasal 377 HIR, 705 RBG tersebut apabila seorang bumiputera hendak tunduk pada peraturan orang Eropa, maka ketentuan arbitrase yang terdapat dalam RV Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 juga diberlakukan bagi orang Indonesia. Ketentuan dalam RV mengenai arbitrase meliputi lima bagian yaitu: a) Bagian I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 623 tentang Persetujuan Arbitrase dan Pengangkatan Atbiter. b) Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 tentang Pemeriksaan Perkara di Depan Arbitrase. c) Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 tentang Putusan Arbitrase. d) Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 tentang UpayaUpaya Hukum terhadap Putusan Arbitrase. e) Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 tentang Berakhirnya Perkara Arbitrase. Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II peraturan peralihan Undang-Undang dasar 1945 ketentuan mengenai arbitrase masih berlaku untuk orang Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Undang - Undang tentang Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1950 memuat pengakuan bagi institusi arbitrase atau perwasitan yaitu diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 108 sampai dengan Pasal 111, yang mengatur tentang banding terhadap putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung (Pasal 15 Juncto Pasal 108) dengan ketentuan sengketa tersebut meliputi nilai f 500,00 (Pasal 615 RV) atau Rp. 25.000,00 atau lebih, namun setelah dikeluarkannya peraturan tentang Mahkamah Agung menggantikan Undang - Undang No. 1 Tahun 1950, yaitu Undang Undang No. 13 Tahun 1965 kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tidak terdapat lagi ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase. Undang-Undang Pokok Kekuasaan kehakiman No. 14 Tahun 1970 Pasal 10 membagi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh : a) Peradilan Umum. b) Peradilan Agama. c) Peradilan Militer. d) Peradilan Tata Usaha Negara. Ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tersebut bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan UndangUndang. Eksistensi arbitrase tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang sebagai salah satu lembaga peradilan di Indonesia, namun dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 kini telah diubah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada tanggal 3 Desember 1997 atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdiri sebagai lembaga penyelesaian sengketa bisnis diluar badan peradilan konvensional yang ada di Indonesia dengan anggaran dasar yang baru dibuat tahun 1985, yang tugasnya menyelesaikan sengketa ataupun sekedar memberikan pendapat yang mengikat (binding advice) untuk sengketa yang bersifat nasional maupun internasional. Sejak itu penyelesaian sengketa melalui arbitrase terus berkembang pesat. Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) dibentuk sebagai arbitrase kusus yang dibentuk dalam rangka penyelesaian sengketa kusus di bidang
bisnis
yang
berdasarkan
syariat
Islam
juga
turut
menyemarakkan perkembangan arbitrase di Indonesia (Munir Fuadi, 2000:57). Sejalan dengan berkembangnya arbitrase dalam praktek peradilan Indonesia sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang timbul dari suatu kontrak kebutuhan akan pengaturan mengenai masalah hukum arbitrase ini pun terus mendesak karena dirasa ketentuan yang ada sudah tidak memadai lagi, hingga pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang Arbitrase yang telah dikeluarkan maka ketentuan mengenai arbitrase yang sebelumnya diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 :227), dinyatakan tidak berlaku, hal ini sebagaimana di ungkapkan dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tersebut diatas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
c. Badan Arbitrase Asing Nama-nama badan Arbitrase Asing yang terkenal dan sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa bisnis Intemasional, sebagai berikut (Munir Fuadi, 2000:62): 1) International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada tahun 1923. 2) American Arbitration Association (AAA) didirikan pada tahun 1926. 3) American Society of Maritimes Arbitration (SMA). 4) London Court of International Arbitration (LCIA) didirikan pada tahun 1892. 5) Centre For Dispute Resolution (CEDR) di London, didirikan pada tahun 1990. 6) Australian
Centre
for
International
Commercial
Arbitration
(ACICA) di Australia. 7) Singapore international Arbitration Centre (SIAC) yang didirikan pada tahun 1991. 8) Regional Centre for Arbitration di Kuala Lumpur, yang didirikan pada tahun 1978. 9) Regional Centre for Arbitration di Kairo, atau yang disebut dengan Asian-African Legal Consultative Committee. 10) British Columbia International Commercial Arbitration Centre, yang didirikan pada tahun 1986. 11) London Maritime Arbitrators Association (LMAA). 12) Hong Kong International
Arbitration Centre di Hongkong, yang
didirikan pada tahun 1985. 13) China international
Economic and Trade Arbitration Commission
(CIETAC). 14) Koren Commercial Arbitration Board (KCAB). 15) Thai Arbitration Board. 16) Japan Commercial Arbitration Association (JCAA). 17) Vietnam International Arbitration Centre (VIAC). 18) The Arbitration Institute, Stockholm.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
19) The International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID). 20) Netherlands Arbitration Institute. 21) Interamerican Commission on Commercial Arbitration. 22) The International commercial Arbitration Court (ICAC) di Rusia. 23) The Maritime Arbitration Commission (MAC) di Rusia. 24) The Arbitration (Tretejskyi) Court for settlement of economic Disputes di Rusia. d. Prosedur Penggunaan Arbitrase Menyadari besarnya kemungkinan terjadinya sengketa dalam pelaksanaan kotrak bisnis internasional para pihak biasanya membuat klausul atau kontrak arbitrase dalam perjanjian atau kontrak bisnis yang dilakukan. Pemilihan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa oleh
para
pihak
dapat
dilakukan
sebelum
(pactum
de
Compromitendo) atau setelah terjadinya sengketa (akta kompromis). 1) Pactum De Compromitendo Istilah tersebut ditujukan kepada kesepakatan pemilihan arbitrase di antara para pihak yang dilakukan “sebelum” tejadinya perselisihan. Pasal 7 Undang-Undang Arbitrase mengisyaratkan sebagai berikut: “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antar mereka untuk diselesaikan melaui arbitrase”. Pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam bentuk perjanjian, sehingga ketentuan hukum kontrak yang berlaku. Ketentuan hukum kontrak tersebut bersumber dari Buku ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, oleh karena itu pula para pihak bebas untuk memilih apakah merumuskan klausul arbitrase terpisah dalam kontrak tersendiri untuk itu, atau ditempatkan menjadi bagian dari kontrak yang merupakan transaksi pokok, sebagaimana lazimnya dalam praktek. (Munir Fuady, 2000: 118). Prinsip kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak buntutan (accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sitafnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
sebagai accessoir tersebut tidak diikuti secara penuh yaitu, jika perjanjian pokok batal maka kontrak arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase). 2) Akta kompromis Istilah
kata
kompromis
digunakan
untuk
mendefinisikan
kesepakatan penyelesaian sengketa lewat arbitrase. Kesepakatan ini dilakukan setelah adanya sengketa tersebut. Pembuatan akta kompromis mempunyai syarat-syarat yang cukup ketat yang apabila tidak dipenuhinya salah satu syarat maka dapat membatalkan perjanjian atau akta tersebut dengan muatan syarat
sebagaimana
tertuang
dalam
Undang-Undang Arbitrase
Indonesia No. 30 Tahun 1999 Pasal 9, yaitu : a) Harus dibuat dalam bentuk tertulis. b) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak. c) Jika para pihak tidak dapat menandatanganinya, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. d) Muatan wajib dari akta tertulis tersebut adalah sebagai berikut: (1) Nama lengkap pihak yang bersengketa. (2) Tempat tinggal para pihak. (3) Nama lengkap arbiter atau majelis arbitrase. (4) Tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase. (5) Tempat arbiter atau majelis arbitrase yang akan mengambil keputusan. (6) Nama lengkap sekreatris. (7) Jangka waktu penyelesaian sengketa. (8) Pernyataan kesediaan dari arbiter. (9) Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya arbitrase. Pembuatan kontrak arbitrase baik yang berdiri sendiri atau bersama perjanjian pokok, maka perumusan arbitration clause harus dirumuskan secara jelas. Perumusan arbitration clause sebagaimana dimaksud harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
memenuhi beberapa ketentuan standar. Perumusan arbitration clause yang salah dapat menimbulkan akibat yang fatal, faktor kehati-hatian dalam merumuskan klausul tersebut harus sangat diperhatikan agar pihak-pihak tidak ada yang merasa dirugikan nantinya. Menurut Sudargo Gautama, praktek-praktek dibanyak negara kususnya dinegara berkembang seperti Indonesia, justru sering dibodohi (Sudargo Gautama, 1989 : 151). Beberapa Lembaga arbitrase telah menentukan tentang klausula standar yang dapat digunakan oleh para pihak yang tentu saja dalam prakteknya klausula standar tersebut dapat dimodifikasi menurut keinginan para pihak, sehingga terjadi karena klausula standar yang dirumuskan belum tentu dapat mengkover semua persyaratan yang dapat memenuhi keinginan para pihak (Huala Adolf, 2003 :21) dalam perumusan kontrak arbitrase. Model yang paling sederhana adalah : Any dispute arising out of this agreement shall be settle by arbitration. (Setiap sengketa yang terbit dari perjanjian ini harus diselesaikan oleh arbitrase). Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merekomendasikan model klausul arbitrase sebagai berikut: “Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir” (Huala Adolf, 2003: 23). United
Nation
Commission
for
International
Trade
Law
(UNCITRAL) memberikan model klausula arbitrase sebagai berikut: “Any dispute, controversyor claim arising out of or relating to the contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as Present in force” (Munir Fuadi, 2000: 123124). Selanjutnya para pihak dapat mempertimbangkan untuk menambah sebagai berikut : (a) The appointing authority shall be ..... (b) The number of arbitration shall be..... (c) The place of arbitration shall be ....
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
(d) The language (s) to be used in arbitral proceeding shall be ..... Model International Chamber of Commerce (ICC): “Any dispute arising in connection the present contract shall be finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordace with the said Rules” (Huala adolf, 2003:22). London Court of Arbitration menyarankan klausula sebagai berikut : a) Untuk kemungkinan sengketa yang akan datang. (1) Klausula Arbitrase “Any dispute arising out of or in connection with this contact, including any question regarding its existence,
validity or
termination, shall be referred to and finally resolved by arbitration under the Rules of the London Court of International Arbitration, which Rules are deemed to be incorporeted by reference into this clause “. (2) Pengaturan hukum subtantif yang mengatur persengketaan “ The governing law of this contract shall be the substantive law of.....” (3) Pengaturan tata cara pemilihan arbiter “The tribunal shall consist of......(satu atau tiga arbiter)”. Jika yang dipilih tiga arbiter, maka LC1A menyarankan agar ditambah kata-kata sebagi berikut : “... two of them shall be nominated by the respective parties “. (4) Pengaturan tempet arbirrase dan bahasa yang digunakan. “The place of arbitration shall be.... (nama kota). The language of the arbitration shall be... “ b) Sengketa yang sudah terjadi “Any dispute having arisen between the parties concerni, the parties hereby agree that the matter shall referred to and finally be resolved under the Rules of the London Court of International Arbitration”. Klausula arbitrase yang telah termuat dalam kontrak arbitrase baik yang dibuat bersama perjanjian pokok atau di luar perjanjian pokok, merupakan dasar yang kuat yang dapat digunakan oleh para
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
pihak untuk mengajukan permohonan penggunaan arbitrase bila terjadi persengketaan. Penggunaan arbitrase dalam usaha penyelesaian sengketanya harus mengikuti prosedur sebagaimana yang diatur dalam Rules dari lembaga arbitrase yang dipilih. Klausul tersebut menjadikan suatu kompetensi absolut bagi arbitrase untuk menyelesaikan kemungkinan sengketa yang timbul dari kontrak bisnis yang dibangun para pihak. Karena kontrak yang dibangun oleh kedua belah pihak merupakan Undang-Undang bagi para Pihak yang telah membuatnya. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 11 yaitu: Ayat satu : “adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri”. Ayat dua: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”. e. Prinsip-Prinsip Arbitrase Menurut Munir Fuady agar dapat menjadi badan penyelesaaian sengketa yang ampuh, arbitrase seharusnya menganut beberapa prinsip sebagai berikut (Munir Fuady, 2000:79): 1) Efisien,
dalam
hubungannya
dengan
waktu
dan
biaya
jika
dibandingkan dengan penyelesaiaan sengketa lewat badan-badan peradilan umum. 2) Accessibilitas, arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat. 3) Proteksi hak para pihak, terutama pihak yang tidak mampu misalnya untuk mendatangkan saksi ahli atau untuk menyewa pengacara terkenal, harus dapat perlindungan yang wajar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
4) Final and Binding, kepurusan arbitrase haruslahatau inaatau
and
binding kecuali memang para pihak tidak menghendaki demikian atau jika ada alasan-alasan yang berhubungan dengan “due Process”. 5) Fair and Just, tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya. 6) Sesuai dengan sence of justice dari masyarakat, dengan demikian akan lebih terjamin unsur “deterrant” dari pelanggar, dan sengketa akan dapat dicegah. 7) Credibilitas, para arbiter dan badan arbitrase yang bersangkutan haruslah orang-orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputus dan akan lebih dihornmati.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
B. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran menggambarkan logika hukum untuk menjawab permasalahan penelitian. Guna mempermudah gambaran dari penelitian ini dapat dilihat dari kerangka pemikiran sebagai berikut.
Penjual
Transaksi bisnis internasional e-commerce
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia Pilihan hukum yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase
Pembeli
Sengketa bisnis internasional e-commerce
Arbitrase internasional
Putusan arbitrase internasional Eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia Bagan I Kerangka Pemikiran
Keterangan: Transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia pelaksanaanya diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1999 tentang Informasi dan Transaksi Elektronil dimana peraturan tersebut mengadopsi prinsip-prinsip penyelasaian sengketa transaksi bisnis internasional yang sudah ada. Dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
pelaksanaan transaksi bisnis internasional e-commerce tidak selalu berjalan dengan baik sesuai dengan kehendak para pihak yang akhirnya menimbulkan sengketa , hal ini disebabkan tidak bertemunya antara penjual dan pembeli secara fisik, tempat kediaman para pihak saling berjauhan dan sistem hukum yang berbeda antara para pihak. Kondisi seperti ini tentunya menimbulkan berbagai permasalahan yang memerlukan penyelesaian yang tepat. Pengadilan yang mempunyai banyak kelemahan, membuat para pihak enggan untuk menempuh jalur pengadilan, sehinggga penyelesaian sengketa alternatif melalui arbitrase menjadi pilihan utama, mengingat proses penyelesaian melibatkan para ahli dibidangnya sehingga dapat mempercepat tercapainya suatu penyelesaian yang adil. Mekanisme penyelesaian sengketa alternatif pun menyediakan penyelesaian yang murah, rahasia, serta dapat dipercaya. Penggunaan arbitrase sebagai lembaga alternatife penyelesaian sengketa juga membutuhkan cara menentukan pilihan hukum yang dpat digunakan dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis ecommerce sehingga lembaga yang digunakan mempunyai kompetensi dalam menyelesaikan sengketa yang ada. Penyelesain sengketa transaksi bisnis e-commerce menggunakan arbitrase asing menghasilkan
putusan dan eksekusinya diserahkan kepada pengaturan
masing-masing negara, begitu juga dengan Negara Indonesia yang eksekusinya diatur dalam peraturan nasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pengaturan yang digunakan dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional E-commerce di Indonesia
Transaksi-transaksi atau hubungan bisnis yang menggunakan e-commerce ini pada dasarnya bermacam-macam seperti hubungan jual-beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain-lain. Transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan konflik atau sengketa. Berkaitan dengan sengketa dan bagaimana cara menyelesaikannya adalah inheren dalam setiap sistem hukum, termasuk dalam sistem hukum Internasional, perbedaan pendapat dan bagaimana para subyek hukum mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat ini untuk sampai pada suatu penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa, baik secara sukarela maupun karena dirasakan sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat yang diatur sistem hukum yang bersangkutan, akan memperkuat dan memperkaya sistem hukum yang bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasinya sebagaimana yang dikemukakan oleh Shabtai Rosenne bahwa “Dispute and controversy are the life blood of international law (as of all law) without which international law would degenerate simply into an abstraction, unrelated to what is happening in the world,”yaitu perselisihan dan kontroversi adalah nyawa dari hukum internasional (sebagai hukum semua) tanpa yang hukum internasional akan menurun hanya sebuah abstraksi, tidak berhubungan dengan apa yang sedang terjadi di dunia (http//:mkn.perdagangan internasional.blog.com: diakses tanggal 15 Agustus 2010). Salah satu fungsi dari penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce adalah agar norma-norma hukum yang mengatur hubungan di antara anggota masyarakat dipatuhi, dengan perkataan lain di dalamnya terkandung fungsi pengawasan, dalam masyarakat nasional pengawasan ini dipercayakan kepada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
masyarakat internasional yang tidak terdapat atau mempunyai kekuatan sentral maka pengawasan ini diserahkan kepada para anggotanya sendiri. Transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce salah satu institusi yang terkait dengan pengawasan terhadap kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari seseorang atau pelanggan adalah apa yang disebut dengan Certification Authority (CA), C.A. berkedudukan sebagai pihak ketiga yang dipercaya untuk memberikan kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari seseorangatau pelanggan (klien C.A. tersebut), selain itu C.A. juga mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci privat milik orang tersebut. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan dari C.A. dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap: 1.
Pelanggan atau subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat dan kunci publiknya dengan menggunakan software yang ada di dalam komputernya.
2.
Menunjukkan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang disyaratkan C.A.
3.
Membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat dipasangkan dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan kunci privatnya. Tahapan-tahapan tersebut tidak mutlak harus seperti di atas, akan tetapi
tergantung pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh C.A. itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan level atau tingkatan dari sertifikat yang diterbitkannya dan level atau tingkatan ini berkaitan juga dengan besarnya kewenangan yang diperoleh pelanggan atau “subscriber” berdasarkan sertifikat yang didapatkannya. Semakin besar kewenangannya yang diperoleh dari suatu Digital Certificate yang diterbitkan oleh C.A., semakin tinggi pula level sertifikat yang diperoleh serta semakin ketat pula persyaratan yang ditetapkan oleh C.A.. Sebagai contoh, untuk mendapatkan suatu sertifikat yang mempunyai level kewenangan yang cukup tinggi, terkadang C.A. bahkan memerlukan kehadiran secara fisik si “subscriber” sehingga C.A. dapat memperoleh kepastian pihak yang akan memperoleh sertifikat tersebut, setelah persyaratan-persyaratan tersebut diuji keabsahannya maka C.A. menerbitkan sertifikat pengesahan (dapat berbentuk hard-copy maupun soft-copy).“Subscriber” telah diumumkan secara luas sebelumnya, terlebih dahulu mempunyai hak untuk melihat apakah informasi-informasi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
ada pada sertifikat tersebut telah sesuai atau belum. Jika informasi-informasi tersebut telah sesuai, maka subscriber berdapat mengumumkan sertifikat tersebut secara luas atau tindakan tersebut dapat diwakilkan kepada C.A. atau suatu badan lain yang berwenang untuk itu (suatu lembaga notariat). Selain untuk memenuhi sifat integrity dan authenticity dari sertifikat tersebut, C.A. akan membubuhkan digital signature miliknya pada sertifikat tersebut. Informasi-informasi yang terdapat di dalam sertifikat tersebut di antaranya dapat berupa : 1.
Identitas C.A. yang menerbitkannya.
2.
Pemegang atau pemilikatau subscriber dari sertifikat tersebut.
3.
Batas waktu keberlakuan sertifikat tersebut.
4.
Kunci publik dari pemilik sertifikat. Setelah sertifikat tersebut diumumkan maka pihak-pihak lain dapat
melakukan transaksi, transfer pesan dan berbagai kegiatan dengan media internet secara aman dengan pihak pemilik sertifikat. Fungsi-fungsi C.A yang telah kita bicarakan di atas dapat kita golongkan sebagai berikut : 1.
Mernbentuk hierarki bagi penandatanganan digital.
2.
Mengumumkan peraturan-peraturan mengenai penerbitan sertifikat.
3.
Menerima dan memeriksa pendaftaran yang diajukan. Berkaitan dengan konteks transaksi bisnis internasional yang menggunakan
e-commerce dalam fungsi pengawasan internasional ada baiknya kita lihat pendapat Van Hoof sebagaimana dikutip dalam buku Diana Anastasya yang membagi pengawasan internasional ini menjadi tiga fungsi (Diana Anastasya, 2001:36): 1.
Review Function : pada umumnya “review” diartikan sebagai mengukur atau menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu, dalam konteks hukum hal ini berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan aturan hukum, review function dalam hubungannya dengan negara dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status internasional, pengawasan ini dilakukan oleh suatu negara atau lebih atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
oleh suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan dengan hukum. 2.
Correction Function: fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional, namun demikian fungsi ini dapat pula bersifat preventif, misalnya dalam transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce, CA dapat memberitahukan apabila ternyata identitas dari seseorang atau pelanggan (klien C.A. tersebut) ternyata tidak valid atau tidak benar. Tujuan dari correction function ini adalah untuk menjamin dan memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan hukum para pihak, oleh karena itu terhadap pelanggarnya harus diperbaiki atau dikoreksi.
3.
Creative Function: sekalipun review dan creative function merupakan bagian pokok dari pengawasan, namun pengawasan ini juga dapat berfungsi kreatif, terutama dalam hukum internasional, hal ini disebabkan karena tidak adanya semacam lembaga eksekutif dan judikatif, tindakan-tindakan legislatif seringkali abstrak dan tidak jelas, oleh karena itu usaha untuk memperjelas norma-norma hukum internasional ini khususnya berkaitan dengan transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce merupakan bagian dari fungsi pengawasan yaitu fungsi kreatif, jadi fungsi kreatif ini berupa penafsiran atas aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas. Dalam kerangka teoritis tersebut di atas maka mekanisme penyelesaian
sengketa internasional, (khususnya transaksi bisnis yang menggunakan ecommerce) merupakan salah satu bentuk dari mekanisme pengawasan dalam hukum internasional. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce dan pengaturanya hukumnya di Indonesia dapat di tunjukan dalam Tabel 1.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Tabel 1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di Indonesia
No
Prinsip-prinsip yang Digunakan dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional e-commerce
1
Prinsip kesepakatan para pihak UU No. 30 Tahun 1999 tentang (Konsensus) Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat (1)
2
Prinsip kebebasan memilih UU No. 11 Tahun 2008 tentang cara-cara penyelesaian Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (4) sengketa
3
Prinsip hukum
4 5
Pengaturan dalam Hukum Indonesia
kebebasan
memilih a. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (2) b. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2) Prinsip itikad baik (good faith) KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3)
Prinsip Exhaustion of Local UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Remedies Pasal 2
Penjelasan berdasarkan Tabel 1 dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus) Prinsip kesepakatan para pihak ini merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa bisnis internasional termasuk transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce, karena prinsip ini yang merupakan dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri atau tidak, jadi prinsip ini sangat esensial dan logis karena dalam suatu sengketa setidaktidaknya ada kehendak para pihak yang saling berseberangan atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
bertentangan dan tentu saja kesepakatan para pihak untuk memilih cara-cara penyelesaian sengketa tersebut adalah sangat penting, badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang telah menjadi kesepakatan para pihak ini. Lingkup pengertian kesepakatan ini adalah sebagai berikut (Huala Adolf, 2003). a. Bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya melakukan tindakan yang mengarah kepada penipuan, menekan atau berupaya menyesatkan pihak lainnya. b. Bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan para pihak, artinya pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak. Prinsip diatas termuat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatife Penyelesaian Sengketa yaitu: ” Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka”. Dari Pasal tersebut menjelaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan hasil kesepakatan para pihak sehinngga para pihak harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan. 2.
Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Prinsip ini mengandung makna di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (Principle of free choice of means). Prinsip ini termuat dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International commercial Arbitration, Pasal ini memuat mengenai definisi perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian menyerahkan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak, artinya penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya. Bahwasanya para pihak dalam hal terjadinya sengketa antara mereka mempunyai kebebasan penuh untuk memilih cara-cara apa yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
mereka gunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut (Huala Adolf, 2003:74). Kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa di Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: ”Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”. Isi Pasal tersebut menjelaskan bahwa para pihak dalam transaksi e-commerce apabila terjadi sengketa diantara mereka mempunyai kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa. 3.
Prinsip Kebebasan Memilih Hukum Prinsip kebebasan memilih hukum ini juga merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk juga kebebasan untuk memilih kepatutan atau kelayakan (exaequo etbono). Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutuskan sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan atas suatu penyelesaian sengketa, contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah Pasal 28 ayat (1) UNCTTRAL Model Law on International Commercial Arbitration adalah sebagai berikut : “The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute, Any designation of the law or legal system of a given state shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that state and not to its conflict of law rules” Kebebasan dalam memilih hukum ini (Lex Cause) sudah barang tentu ada batas-batasnya, hal yang paling umum dikenal balk dalam sistem hukum Common Law maupun Civil Law adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut harus (Huala Adolf, 2003:76): a. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau ketertiban umum; b. Kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
c. Hanya berlaku untuk hubungan bisnis (kontrak); d. Hanya berlaku dalam bidang hukum bisnis (dagang); e. Tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan f. Tidak untuk menyeludupkan hukum. Hukum Indonesia sendiri mengatur prinsip kebebasan memilih hukum yang digunakan dalam penyelesaian e-commerce juga diatur dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Informasi Elektronik dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu: ”Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuaatnya”, dan diatur juga dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2) yaitu: “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak”, hal tersebut tentunya tidak bertentantangan dengan peraturan UndangUndangan yang berlaku dan ketertiban umum. 4.
Prinsip itikad baik (Good Faith) Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Prinsip penyelesaian sengketa ini tercermin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan baik di antara negara. Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketa yang dikenal dalam hukum bisnis internasional, yaitu: negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya. Itikad baik ini menjadi salah satu prinsip penting dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce, namun prinsip itikad baik ini masih menimbulkan permasalahan berkaitan dengan keabstrakkan makna dari itikad baik tersebut, sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal dari itikad baik ini, dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
praktek timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut, akibatnya makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara kasuistis, sehingga hal ini akan mengakibatkan di mana prinsip itikad baik ini diterima maka di situ pula akan terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan itikad baik tersebut, memang dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik ini, bahkan E. Allan Farnsworth dalam buku Ridwan Khairandy, mencatat bahwa di Inggris doktrin itikad baik masih merupakan sesuatu yang kontroversial, karena pengadilan belum mampu menemukan makna itikad baik yang kongkrit dalam konteks hukum kontrak, tanpa makna itikad baik yang jelas, doktrin itikad baik dapat menjadi suatu ancaman bagi kesucian prinsip kepastian dan prediktabilitas hukum. E. Allan Farnsworth juga menyatakan bahwa di Amerika Serikat banyak sekali pandangan yang mencoba memberikan pengertian itikad baik. Akibat ketidakjelasan tersebut, penerapan itikad baik seringkali lebih banyak didasarkan pada institusi pengadilan yang mana hasilnya seringkali tidak dapat diprediksi dan tidak konsisten ( Ridwan Khairandy, 2007:31). Frase itikad baik ini biasanya dipasangkan dengan fair dealing, itikad baik tersebut juga seringkali dihubungkan dengan makna fairness, reasonable standard of fair dealing, decency, reason ableness, a common ethical sense, a spirit of solidarity, and community standards. Mengingat itikad baik dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan ecommerce merupakan suatu prinsip atau asas yang berasal dari hukum romawi, maka untuk mendapat pemahaman yang lebih baik harus dilacak kedalam doktrin itikad baik yang berkembang dalam hukum romawi tersebut, doktrin tersebut bermula dari doktrin ex bona fides, perkembangan itikad baik dalam hukum kontrak romawi tidak lepas dari evolusi hukum kontrak itu sendiri, pada mulanya hukum kontrak romawi hanya mengenai iudicia strcti iuris, yakni suatu kontrak yang lahir dari perbuatan menurut hukum (negotium) yang secara ketat dan formal mengacu kepada lus civile. Apabila hakim menghadapi hukum kontrak yang semacam itu, maka hakim harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
memutusnya sesuai hukum, hakim terikat apa yang secara tegas telah dinyatakan dalam kontrak (express term), berikutnya berkembang pula iudicia bonae fidie, perbuatan hukum yang didasarkan iudicia bonae fidie disebut negotia bonae fidie, negotia berasal dari ius gentium yang mensyaratkan pihak untuk membuat dan melaksanakan kontrak sesuai dengan itikad baik, dengan demikian hukum kontrak Romawi mengenai dua macam kontrak, yakni iudicia strictiuris dan iudicia bonae fidie (Huala Adolf, 2003:78). Doktrin itikad baik di atas berkembang seiring dengan mulai diakuinya kontrak konsensual informal yang pada mulanya hanya meliputi kontrak jualbeli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan mandat. Doktrin itikad baik berakar pada etika sosial romawi mengenai kewajiban yang komprehensif akan ketaatan dan keimanan yang berlaku bagi warga negara maupun bukan. Itikad baik dalam kontrak romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku dalam kontrak, sebagaimana yang dikemukakan oleh dalam buku Ridwan Khairandy. Itikad baik dalam trak, yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:44) : a. Para pihak harus memegang teguh janji atau perkataan yang telah diucapkannya, b. Para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak, c. Para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas diperjanjikan. Prinsip itikad baik diatas juga tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dalam hukum perjanjian itikad baik memiliki tiga fungsi, itikad baik dalam fungsinya yang pertama, mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah, fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
5.
Prinsip Exhaustion of Local Remedies Prinsip exhaustion of local remedies ini sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional, dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam Pasal 22 dinyatakan sebagai berikut : “When the conduct of state as created a situation not in conformity with the result of it by an international obligation concerning the treatment too be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achtived by subsequent conduct of the state, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment” Prinsip ini menjelaskan bahwa hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 2 menyebutkan ”Undang‐Undang ini berlaku untuk setiap Orang
yang
melakukan
perbuatan hukum
sebagaimanadiatur
dalam
Undang‐Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luarwilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia”. Pasal tersebut bertujuan untuk mengakomodir segala bentuk sengketa supaya dapat diselesaikan menggunakan hukum Nasional Negara Indonesia sebelum menempuh jalur pengadilan internasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis E-commerce melalui Arbitrase Masalah hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce adalah salah satu masalah krusial dalam hukum kontrak internasional termasuk dalam hukum perdagangan internasional, masalahnya adalah hukum yang berlaku ini akan menjadi penentu kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menetapkan hukumnya dengan benar, dalam hal ini badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam menetapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa kehadapannya. Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE pada dasarnya mengatur berkaitan dengan hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce, sebagai berikut: ayat (2) “Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”, ayat (3) “dan apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasiona”l. Pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu berarti bahwa badan peradilan negara tersebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya, dan pada prinsipnya choice of law ini berbeda dengan choice of forum sebagai peran choice of law dalam transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce adalah hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) dalam hal : 1. Menentukan keabsahan suatu kontrak dagang (dalam konteks ini khusus berkaitan dengan sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan ecommerce); 2. Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan atau persetujuan dalam kontrak yang dibuat para pihak; 3. Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi yang menjadi objek kontrak tersebut (pelaksanaan suatu kontrak dagang);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
4. Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak yang telah disepakati para pihak. Hukum yang berlaku ini dapat mencangkup beberapa macam hukum, hukum-hukum tersebut adalah : 1. Hukum yang diterapkan dalam hal terhadap pokok sengketa (applicable substantive law atau lex causae); 2. Hukum yang akan berlaku untuk proses persidangan yang akan dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihanatau sengketa yang terjadi antara para pihak. Hukum yang berlaku ini akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan para pihak, hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu negara tertentu, biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak, cara pemilihan inilah yang lazim ditetapkan dewasa ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih netral. Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono) namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada kesepakatan para pihak. Menurut Gerald Cooke, kebebasan para pihak untuk menentukan pilihan hukum yang mereka gunakan akan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak maupun oleh kedua belah pihak), tidak hanya sekedar menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak, artinya apakah hukum di suatu negara tertentu sering berubah-ubah atau tidak. Dengan tegas Cooke menyatakan sebagai berikut (Gerald Cooke , 2001:22): “The significance of needing to provide for the 'prover' law is that the parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal system which is perhaps independent of each of the parties or which is recognized to have highly sophisticated and consistent trading law” Arti pentingnya perlu memberikan standar benar kepada para pihak untuk memilih hukum yang digunakan sebagai penyelesaian perselisihan mereka alami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
oleh sistem hukum yang mungkin independen dari salah satu pihak atau yang memiliki sangat canggih dan koheren hukum dagang. Hukum nasional Indonesia menjelaskan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yaitu dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka, Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut menyatakan sebagai berikut: “para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah timbul antara para pihak”. Model Arbitration Law 1985 juga mengandung prinsip yang sama dalam hal hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa ini. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut : 1. The arbital tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to, the substance of the dispute, any designation of the law or legal, system of a given state shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that state and not to its conflict of law rules. 2. Failing any designation by the parties, the arbital tribunal shall apply the law determined by the conflict of law rules which it considers applicable. 3. The arbital tribunal shall decide ex aequo ot bono or amiable compositeur only if the parties expressly authorized to do so. 4. In all cases, the arbital tribunal shall decide in accordance with the terms of the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to the transaction. Kedua instrumen hukum di atas menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menekankan arbiter atau badan arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil suatu putusan, Pasal ini tidak mensyaratkan atau menentukan bahwa hukum yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan hukum para pihak, sementara itu Model Law dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus menetapkan hukum yang dipilih para pihak. Kedua, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 membolehkan arbiter atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo ot bono (Pasal 56 ayat (1)), ketentuan yang sama dengan Model Law tercantum dalam Pasal 28 ayat (3), bedanya adalah Undang-Undang nasional kita tidak dengan tegas menyatakan bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan tegas memerintahkan hal tersebut. Penjelasan Pasal 56 hanya menyebutkan “dalam hal arbiter diberi kebebasan” rumusan ini tidak dengan tegas siapa yang memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan. Ketiga, adalah masalah ketika para pihak tidak memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda, UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan Pasal 56 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 bahwa apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbiter atau badan arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan, sementara itu Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, badan arbitrase atau arbiter harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional (conflict of law rules) yang dianggap berlaku oleh arbiter atau badan arbitrase. Oleh karena sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan ecommerce ini menyangkut asas-asas dalam hukum perdata internasional, maka berarti harus ditinjau dari segi Hukum Perdata Internasional (HPI). Hukum perdata negara mana dapat diketahui bahwa hukum perdata yang diberlakukan dalam rangka penyelesaian sengketa mengenai transaksi e-commerce antarnegara, maka perlu diketahui asas-asas maupun prinsip-prinsip yang diatur di dalam Hukum Perdata Internasional (HPI). Hukum Perdata Internasional (HPI) memuat istilah pilihan hukum atau (choice of law), sedangkan S. Gautama menyebutnya sebagai “Rechtskenze” atau “Rechtswakl”. Pilihan hukum merupakan masalah sentral dalam Hukum Perdata Internasional. la telah diterima baik di kalangan akademisi maupun praktek pengadilan. Yansen Derwanto Latif, sebagaimana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
dikutip oleh Ridwan Khairandy menyebutkan bahwa pilihan hukum dihormati dengan beberapa alasan, yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:127) : 1. Pilihan hukum sebagaimana dimaksud para pihak, dianggap sangat memuaskan oleh mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku dibanyak Negara. Hal ini merupakan fakta yang menarik karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian antara pengadilan di berbagai Negara. 2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur kontrak tersebut. 3. Akan memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Alasan tersebut memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak efisien, meningkatkan persaingan hukum dan mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang digunakan. 4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan para pihak memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dari setiap sistem hukum. Pada dasarnya para pihak bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan mengingat beberapa pembatasan : 1. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 2. Pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa. 3. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan tersebut bukan tidak ada batasnya tetapi dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum (public policy) dan hukum yang memaksa (dwingen recht). Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi pasar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
4 (empat) macam pilihan hukum yang dikenal dalam Hukum Perdata Internasional (HPI), yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:130): 1. Pilihan hukum secara tegas, di dalam klausula kontrak tertentu dapat dilihat adanya pilihan hukum yang ditentukan secara tegas dan jelas oleh para pihak. 2. Pilihan hukum secara diam-diam, para pihak dalam suatu kontrak dapat memilih hukum secara diam-diam. Hal ini dapat disimpulkan dari maksud, ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang terdapat dalam kontrak tersebut. Misalnya bahasa yang digunakan, mata uang yang digunakan, gaya kontrak, pelaksanaan kontrak dan pilihan domisili. 3. Pilihan hukum yang dianggap, pilihan hukum secara ini dianggap hanya merupakan presumption iuris, atau suatu dugaan hukum. Hakim menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasar dugaan belaka. Dugaan hakim merupakan pegangan yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak benar-benar telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum tertentu. 4. Pilihan hukum secara hipotesis, sebenarnya para pihak tidak menentukan pilihan hukum, namun hakimlah yang memilih. Hakim yang melakukan pilihan hukum, Hakim bekerja dengan fiksi. Kontrak mengenai transaksi bisnis e-commerce antar negara, tidak semuanya memuat dan menggunakan kontrak sebagaimana kontrak bisnis pada umumnya, akan tetapi dalam transaksi bisnis yang berhubungan dengan software umumnya para pihak (penjual) menentukan adanya pilihan hukum baik secara tegas maupun diam-diam, dan umumnya hukum yang diberlakukan dalam hal jika terjadinya sengketa antara mereka adalah hukum dari negara penjual software, misalnya jika yang menjual software tersebut adalah
Amerika Serikat maka
dalam kontrak pembelian software tersebut akan dinyatakan bahwa jika terjadi sengketa maka perdata negara yang dipilih adalah Hukum Amerika Serikat. Dengan adanya pilihan hukum tersebut, para pihak yang membuat kontrak dalam transaksi bisnis e-commerce harus tunduk dan taat pada hukum yang ditentukan (Ridwan Khairandi, 2007:135).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
Sebaliknya, apabila dalam kontrak mengenai transaksi e-commerce, para pihak tidak menentukan adanya pilihan hukum, maka jelas menimbulkan masalah mengenai hukum perdata negara mana yang akan diberlakukan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Maka dapat menggunakan asas-asas HPI untuk menentukan hokum yang berlaku yaitu: 1. Lex Loci Contractus Lex Loci Contractus ini adalah teori klasik, di mana ditentukan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasional adalah hukum di mana tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat. Dalam Pasal 18 AB disebutkan bahwa: "De vorm van elke handeling wordbeoordeeld naarde wetten van net land of de plaats, alwaardie handeling is verrigt". terjemahannya adalah "bentuk dari tiap perbuatan ditentukan oleh Undang-Undang (hukum) dari negara atau tempat di mana perbuatan tersebut telah dilakukan (Werhan Asmin, 2003:89). Transaksi bisnis konvensional di mana para pihak yang mengadakan kontrak berada pada tempat yang sama (face to face) mungkin teori ini masih dapat digunakan, namun pada saat sekarang apalagi berkaitan dengan transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce maka teori ini sulit sekali untuk dapat diterapkan karena dalam transaksi bisnis yang menggunakan ecommerce tersebut para pihak yang mengadakan kontrak tidak hadiratau tidak berada pada tempat yang sama, sehingga tidak mudah untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut apalagi menyangkut beberapa negara karena sangat sulit untuk bisa menentukan di mana kontrak tersebut terjadi. 2. Mail Box Theory dan Theory of Declaration Kesulitan pada penerapan teori lex loci contractus dapat diatasi, maka negara-negara Common Law memperkenalkan Mail Box Theory, di mana dalam teori ini dinyatakan bahwa kedua belah pihak dalam suatu kontrak tidak saling bertemu muka, maka yang terpenting adalah salah satu pihak mengirimkan surat yang berisi penerimaan atas tawaran kontrak tersebut, dalam hal ini hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum, negara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
pihak yang mengirimkan penerimaan penawaran tadi, Sudargo Gautama memberikan contoh; A yang berada di Negara X menawarkan kepada B di negara Y (negara common law) suatu barang dengan kondisi tertentu, B kemudian menulis surat penerimaannya dan memposkannya di negara Y, jadi jika diterima lex loci contractus di negara Y, maka hukum yang berlaku adalah hukum negara Y( Sudargo Gautama, 1989:50) Adanya perbedaan ini tidak dapat ditentukan di mana tempat dilangsungkannya perjanjian, permasalahan ini penting artinya dalam hubungannya dengan penentuan di hadapan forum hakim mana perkara ini dapat diajukan. Jadi walaupun posisi kasusnya sama bisa saja hasilnya akan berbeda, di samping itu penggunaan lex loci contractus ini dapat menimbulkan digunakannya hukum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kontrak yang bersangkutan. Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos. Dalam hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Teori ini mempunyai kelemahan sebab ada kemungkinan pihak lawan tidak menerima pesannya atau terlambat menerima pesan tersebut. Oleh karena itu diperlukan konfirmasi pihak penjual. 3. Lex Loci Solution Teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat di mana kontrak itu tersebut dilaksanakan. Sudargo Gautama menjelaskan dalam praktek hukum internasional umumnya diakui bahwa berbagai peristiwa tertentu dipastikan oleh hukum yang berlaku pada tempat pelaksanaan kontrak. Berkaitan dengan hal ini ketentuan Pasal 18, A-B juga menentukan bahwa suatu permasalahan yang berkaitan dengan perbuatan hukum harus diselesaikan berdasarkan hukum dimana perbuatan itu dilaksanakan, kontrak adalah suatu perbuatan hukum, dengan perkataan lain bahwa kontrak adalah bagian dari perbuatan hukum, sehingga dalam hal ini jika ada perkara kontrak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
yang mengandung unsur asing di Indonesia, dan ternyata tidak dijumpai klausula pilihan hukum dalam penyelesaian sengketanya maka harus diselesaikan berdasarkan hukum negara di mana kontrak itu dilaksanakan, misalnya A yang berada di Bandung membeli suatu barang dari perusahaan B yang berada di Amerika, kemudian barang-barang tersebut diserahkan di Bandung, barang tersebut telah diterima di Bandung, karena merasa telah dirugikan karena A wanprestasi dalam hal pembayaran maka Perusahaan B menggugat A di pengadilan negeri Bandung, jika ternyata dalam klausula kontrak mereka tidak dijumpai adanya pilihan hukum maka pengadilan dapat menyelesaikan perkara wanprestasi ini didasarkan kepada hukum Indonesia, karena perjanjian dilaksanakan di Bandung, Indonesia (Sudargo Gautama, 1989:54). Penerapan teori ini dalam praktek juga sering menimbulkan berbagai permasalahan, karena saat ini para pihak yang melakukan kontrak dapat melaksanakan kontrak di berbagai negara, sehingga dalam konteks ini akan mengalami kesulitan hukum negara mana yang akan diberlakukan mengingat ada beberapa negara yang terlibat dalam melaksanakan kontrak tersebut. 4. The Proper Law of Contract Prinsipnya asas ini tidak akan digunakan jika para pihak memilih suatu sistem hukum tertentu ketika kontrak dibuat (pilihan hukum), pengadilan akan menerapkan sistem hukum lain yang bertujuan untuk menyesuaikan maksud para pihak, walaupun sudah ada pilihan hukum, pengadilan masih memperhatikan lex loci contractus dengan menafsirkan hal-hal yang tidak terkait dengan hukum suatu negara di mana kontrak itu dibuat, jadi pengadilan lebih mengutamakan hukum suatu negara dengan menggunakan pandangan pada suatu hukum di mana kontrak itu dibuat. Pengadilan Kanada mengadopsi doktrin Proper law yang kemudian banyak dimodifikasi oleh Dicey dan Morris yaitu sebagai suatu sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak. Jika maksud para pihak baik yang diungkapkan secara tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka digunakan suatu sistem hukum yang mempunyai kaitan paling erat dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
paling nyata dengan transaksi yang terjadi. Ketika para pihak telah mengungkapkan bahwa proper law yang mereka pilih, maka tidak ada kesulitan untuk menerapkan hukum yang dikehendaki oleh para pihak, akan tetapi jika tidak disebutkan tentang proper law yang mereka pilih, hal ini tidak menjadi masalah apakah pengungkapan maksud mereka merupakan sistem hukum yang dikehendaki secara langsung oleh para pihak dalam kontrak, ataupun merupakan sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak yang paling berwenang dalam kontrak. Berkaitan dengan permasalahan apakah doktrin proper law ini sebaiknya diformulasikan secara subjektif atau objektif, maka jika diterima pandangan bahwa para pihak dapat selalu memilih proper law secara tegas dengan batasan tertentu, maka perbedaan formulasi proper law secara subjektif dan objektif sangat penting, khususnya jika seseorang mempertimbangkan hasilhasil yang diperoleh oleh pengadilan, hasilnya akan tetap sama apabila digunakan kedua formulasi tersebut. Jika tidak ada pilihan yang tegas, maka pengadilan akan menerapkan hukum suatu negara di mana kontrak tersebut dianggap berada, atau di mana transaksi tersebut mempunyai kaitan dengan faktor-faktor yang relevan yang mempunyai hubungan paling dekat dan subtansial, pengadilan akan menegaskan proper law secara objektif yang sesuai dengan fakta dan keadaan tiap kasus, termasuk tempat kontrak itu dibuat, tempat pelaksanaan kontrak, tempat kedudukan atau bisnis para pihak, subjek kontraknya, dan lain-lain. Formulasi doktrin proper law secara singkat dapat dinyatakan sebagai berikut: "Jika dalam suatu kontrak telah ditentukan sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, maka pilihan hukum itulah yang akan diberlakukan bagi penyelesaian sengketa kontrak tersebut, namun jika kehendak itu tidak dinyatakan secara tegas, atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi" (Sudargo Gautama 1989: 58). Sistem hukum dalam penentuannya yang mempunyai kaitan paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi, pengadilan mempertimbangkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
faktor-faktor relevan yang memungkinkan seperti tempat pembuatan kontrak dan tempat pelaksanaan kontrak, selain itu juga tetap diperhatikan aturanaturan domestik suatu negara yang bersangkutan dan juga hubungan antara negara terhadap transaksi yang terjadi dan para pihaknya. Kepentingan negara yang bersangkutan terhadap putusan tentang hal-hal yang menyangkut kepentingan mereka juga harus diperhatikan, terlebih lagi jika negara tersebut mempunyai kepentingan yang lebih daripada pihak lainnya untuk menerapkan sistem hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan. Jika para pihak menyetujui pengadilan dari negara tertentu mempunyai eksklusif jurisdiksi terhadap kontrak tersebut, maka pengadilan akan berpendapat bahwa hukum yang dikehendaki para pihak adalah hukum yang diterapkan oleh negara itu. Adanya klausula tersebut bukanlah merupakan hal yang menentukan akan tetapi hal ini hanya merupakan bahan pertimbangan saja. Tidak ada pernyataan tentang pilihan hukum proper law oleh para pihak dalam kontrak mereka, pengadilan di common law, khususnya AngloCanadian dalam menyatakan bahwa mereka akan menghubungkan setiap maksud para pihak atau menentukan proper law bagi para pihak dan dalam hal ini sistem hukum yang digunakan dalam kontrak adalah sistem hukum suatu negara di mana kontrak itu dianggap berlokasi, lokasi ini ditandai oleh pengelompokan elemen-elemen, berdasarkan fakta-fakta atau lainnya dalam transaksi tersebut. Kelemahan teori ini menurut Sudargo Gautama adalah bahwa sebelum suatu perkara yang terjadi diajukan ke pengadilan, sukar sekali menentukan terlebih dahulu hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut, sebab di sini hakim harus menyelidiki dulu dengan seksama semua titik taut yang ada dalam kontrak tersebut untuk menentukan hukum negara mana yang berlaku bagi kontrak itu (Sudargo Gautama, 1989:60). 5. Teori Most Characteristic Connection Teori ini menurut Sudargo Gautama merupakan teori yang terbaik untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan persoalan pemakaian hukum dan kontrak bisnis internasional dewasa ini. Menurut Rabbel apabila
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
para pihak dalam suatu kontrak bisnis internasional tidak menentukan sendiri pilihan hukumnya, maka akan berlaku hukum dari suatu negara di mana kontrak yang bersangkutan memperlihatkan most characteristic connection (hubungan yang paling karakteristik) (Sudargo Gautama, 1989:61). Teori ini kewajiban untuk melakukan prestasi yang paling khas (karakteristik) menjadi tolak ukur penentuan yang akan mengatur kontrak, dalam setiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melakukan prestasi yang paling khas, menjadi hukum yang seharusnya berlaku bagi kontrak, misalnya dalam kontrak jual-beli, pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang khas, dalam perjanjian kredit bank, pihak bank dianggap memiliki prestasi yang paling khas, demikian juga hubungan antara klien dan advokat, prestasi pihak advokat dianggap paling khas. Teori ini memiliki beberapa kelebihan, dengan adanya prinsip prestasi yang paling khas, dapat secara pasti ditentukan terlebih dahulu prestasi yang paling khas sehingga sebelum kontrak dibuat sudah dapat diketahui hukum yang seharusnya berlaku, di sini juga tidak perlu lagi diadakan kualifikasi yang rumit seperti lex loci contractus dan lex loci solutions, walaupun teori ini dianggap sebagai teori terbaik, akan tetapi tidak berarti memiliki kelemahan, ada kelemahan yang melekat di dalam, misalnya jika di dalam kontrak jualbeli, prestasi pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang paling khas, tetapi jika perhatian terhadap pembeli lebih besar atau jika pihak pembeli dinyatakan lebih harus dilindungi, maka keadaannya menjadi lain. Sehingga hukum yang
berlaku adalah hukum pihak mana yang
melakukan prestasi yang paling karakteristik atau paling banyak. Dengan demikian teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan hukum mana
yang berlaku jika terjadi sangketa di kemudian hari. Dalam transaksi ecommere teori ini yang paling sesuai karena mudah menetukan hukum yang digunakan yaitu menggunakan hukum dari pihak yang memiliki karaktristik yang kas dalam artian prestasinya yang paling besar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
6. Lex Mercatoria Hukum yang berlaku di dalam suatu kontrak internasional tidak hanya merujuk pada salah satu hukum negara tertentu, tetapi dapat juga tidak mengacu pada salah satu hukum negara tertentu. Hukum secara historis lex mercatoria ini merupakan hukum kebiasaan di antara para pedagang Eropa, yang kemudian diadministrasi oleh pengadilan pedagang, di mana pedagang itu sendiri yang jadi hakimnya. Lex mercatoria dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip dan kebiasaan yang diterima secara umum dalam praktek perdagangan internasional tanpa merujuk pada suatu sistem hukum internasional tertentu, dengan demikian lex mercatoria merupakan suatu norma yang bersifat otonom, suatu norma yang berlaku di kalangan masyarakat bisnis (Sudargo Gautama, 1989:68). Elemen-elemen lex mercatoria adalah sebagai berikut : 1. Peraturan-peraturan
yang
terdapat
dalam
perjanjian-perjanjian
internasional. 2. Hukum-hukum yang seragam. 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa pedagang di seluruh dunia seperti asas pacta suntservanda. 4. Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB. 5. Rekomendasi-rekomendasi dan kode-kode perilaku yang dikeluarkan lembaga-lembaga Internasional. 6. Kebiasaan-kebiasaaan yang berlaku dalam bidang perdagangan dan kontrak-kontrak standar yang diterima secara universal. 7. Putusan-putusan Arbitrase. Disamping pilihan hukum, dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) dikenal istilah kualifikasi. Kualifikasi yang dimaksud adalah melakukan "translation''atau "penyalinan"daripada fakta-fakta sehari-hari dalam istilahistilah hukum". Garis besarnya terdapat tiga macam kualifikasi, yaitu : 1. Lex Fori. 2. Lex Causae.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
3. Teori Kualifikasi yang dilakukan secara otonom berdasarkan metode perbandingan hukum. Menurut kualifikasi Lex Fori, bahwa hukum yang berlaku adalah hukum materiil negara sang hakim yang mengadili perkaranya. Para penganut teori ini pada umumnya berpendapat bahwa beberapa kualifikasi yang disebut di bawah ini dikecualikan dari kualifikasi Lex Fori, yaitu : a. Kualifikasi kewarganegaraan. b. Kualifikasi benda bergerak-tidak bergerak. c. Kualifikasi suatu kontrak yang tidak ada pilihan hukumnya. d. Kualifikasi berdasarkan konvensi-konvensi internasionali e. Kualifikasi perbuatan melawan hukum. f. Pengertian yang digunakan Mahkamah Internasional. Sisi positif atau kebaikan dari teori ini adalah, bahwa kaidah-kaidah hukum Lex Fori paling dikenal hakim, perkara yang ada relatif lebih mudah diselesaikan. Kelemahannya adalah adakalanya menimbulkan ketidakadilan, karena kualifikasi dijalankan menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan, atau bahkan dengan ukuran-ukuran yang sama sekali tidak dikenal oleh sistem hukum asing tersebut (Sudargo Gautama, 1989:70). Kualifikasi Lex causa beranggapan, bahwa kualifikasi harus dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI mana dari Lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan dengan mendasarkan diri pada kualifikasi yang telah dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, barulah ditetapkan kaidah-kaidah hukum apa di antara kaidah Lex fori yang harus digunakan untuk menyelesaikan perkara. Kualifikasi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum untuk membangun suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara universal. Kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
satu sistem hukum tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada pengertian hukum yang khas dan berlaku umum serta mempunyai makna yang sama dimanapun di dunia ini. Mengacu pada kualifikasi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa apabila sengketa transaksi e-commerce antarnegara diadili oleh negara A, maka hukum yang berlaku adalah hukum sang hakim dari negara A, meskipun demikian, kesimpulan itu belumlah bersifat final, dalam artian bahwa masalah hukum yang berlaku terhadap penyelesaian sengketa transaksi e-commerce masih perlu diperdebatkan lagi oleh para akademisi maupun praktisi hukum. Prinsip yang ditemukan dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) juga dikenal adanya 2 (dua) prinsip, yaitu : 1. Prinsip tempat badan hukum didirikan (The Place of Incorporation) yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum adalah hukum tempat badan hukum itu didirikan. 2. Prinsip tempat kedudukan yang efektif (Siege Reel) yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi status badan hukum adalah hukum tempat badan hukum itu melakukan usahanya. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, apabila transaksi e-commerce antarnegara dilakukan oleh badan hukum dengan perseorangan dan terjadi sengketa, maka hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana badan hukum itu didirikan atau tempat di mana badan hukum itu melakukan usahanya. Misalnya, transaksi dilakukan antara badan hukum Indonesia (PT) dengan warga negara Singapura (perseorangan) dan terjadi sengketa, maka hukum yang berlaku adalah hukum di Indonesia, meskipun demikian, kedua prinsip ini masih tetap menimbulkan masalah berkenaan dengan hukum yang berlaku dalam sengketa e-commerce antarnegara, baik pelaku bisnisnya berupa badan hukum dan perseorangan maupun antara sesama badan hukum. Terciptanya kepastian hukum mengenai hukum yang berlaku dalam rangka penyelesaian sengketa transaksi e-commerce antarnegara, maka para pihak perlu menentukannya dalam kontrak yang dibuatnya baik secara pilihan hukum atau secara kualifikasi hukum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
Alternatif lainnya adalah bahwa para pelaku bisnis yang akan menggunakan internet dalam melakukan transaksi e-commerce antarnegara, baik sesama badan hukum, perseorangan maupun antara badan hukum dengan perseorangan perlu membentuk sebuah forum seperti General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Forum ini perlu disepakati antara lain mengenai hukum yang akan diberlakukan apabila terjadi sengketa transaksi e-commerce. Ketentuan di atas berkaitan dengan persoalan hukum yang berlaku (applicable law), dalam kontrak bisnis internasional negara-negara yang menganut sistem common law dan civil law berusaha melakukan harmonisasi peraturan perUndang-Undangan berkaitan dengan hukum yang diberlakukan tersebut dan hasilnya ada dua konvensi utama yang sangat penting dalam menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak bisnis internasional, yaitu (PB Triton, 2006:73): 1. Convention on the law Applicable to Contract for International Sale of Goods (the Hague Convention), dalam Pasal 7 konvensi ini mengadopsi prinsip-prinsip bahwa para pihak bebas untuk membuat pilihan hukum yang mengatur kontrak yang mereka buat, kemudian Pasal 8 menentukan bahwa untuk memperluas hukum yang berlaku dalam suatu kontrak jualbeli yang tidak dipilih para pihak sesuai Pasal 7, maka kontrak diatur oleh hukum negara di mana kedudukan bisnis penjual pada saat kontrak dibuat. 2. The European Convention on the Law Applicable to Contractual Obligations (Rome Convention 1980). Pasal 1 ayat (1) dari konvensi ini menyatakan bahwa ketentuan pilihan hukum berlaku bagi kewajiban kontraktual dalam setiap situasi yang menyangkut tentang pilihan hukum antara dua negara yang berbeda, yaitu kontrak yang menyangkut satu atau lebih elemen asing di dalamnya. Pasal 2 secara tegas menyatakan bahwa setiap hukum yang telah ditetapkan oleh konvensi ini harus diterapkan baik hukum itu merupakan hukum dari contracting state ataupun bukan, selanjutnya ketentuan Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa konvensi ini tidak berlaku untuk konflik hukum wilayah yang berbeda dalam satu negara yang sama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
Kontrak akan diatur hukum negara di mana pembeli memilih tempat bisnisnya pada saat kontrak dibuat jika pertama, negosiasi diadakan dan kontrak ditandatangani oleh dan dalam kehadiran para pihak, dalam suatu negara, kedua, kontrak menentukan secara tegas bahwa penjual harus memenuhi kewajibannya untuk mengirim barang dalam suatu negara, dan ketiga, kontrak ditandatangani dengan syarat yang ditentukan sebagian besar oleh pembeli dan dalam tanggapan atas suatu undangan oleh pembeli ditujukan kepada orang yang diundang untuk mengajukan penawaran. Pasal 13 the Hague Convention menentukan bahwa dalam hal tidak ada pilihan yang tegas, maka berlaku hukum negara di mana pemeriksaan barang dilakukan. Inggris sejak Tahun 1990 telah memiliki The Contract (Applicable Law) Act 1990, Undang-Undang ini merupakan implementasi Konvensi Roma 1980 tentang Hukum yang berlaku terhadap kewajiban kontraktual (Rome Convention 1980 on The Law Applicable to Contract Obligations), keadaan ini mengakibatkan perubahan terhadap doktrin proper law dalam kontrak yang dianut Inggris. Konvensi Roma ini menjadi tanda bagi kemajuan harmonisasi hukum bagi negara anggota masyarakat Eropa (Europen Community, EC), unifikasi hukum yang terjadi akan mengurangi ketidakadilan yang disebabkan dari forum perdagangan antarnegara anggota EC, konvensi ini bertujuan untuk mengidentifikasi hukum yang berlaku, terlepas dari ke mana dan di mana setiap tindakan negara anggota EC ini akan dibawa. Ruang lingkup pilihan hukum dalam Rome Convention tidak mencangkup pada semua hal. Beberapa pengecualian terhadap ruang lingkup pilihan hukum itu, dengan perkataan lain pilihan hukum tidak dapat diterapkan pada beberapa permasalahan, yakni ( Suyud Margono, 2000:73): 1. Persoalan yang berkaitan dengan status atau kepastian hukum seseorang, tetapi yang merupakan subjek dari Pasal 11 Rome Convention. 2. Kewajiban kontraktual yang terkait dengan surat wasiat dan warisan. 3. Kewajiban kontraktual yang terkait dengan hak atas harta benda yang timbul dari hubungan perkawinan, masalah keluarga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
4. Kewajiban yang timbul dalam wesel, cek, surat sanggup, atau surat promise, dan instrumen yang dapat diperjualbelikan lainnya. 5. Perjanjian arbitrase dan yurisdiksi. 6. Persoalan yang diatur oleh hukum perusahaan dan badan usaha lainnya seperti pembentukan, kapasitas hukum, organisasi internal atau winding up, dan tanggung jawab karyawan dan anggota sebagai suatu kewajiban perusahaan atau badan usaha itu. 7. Persoalan apakah agen itu mampu untuk mengikat prinsipal, atau suatu organ mampu untuk mengikat perusahaan atau badan usaha pada pihak ketiga. 8. Pengaturan trust dan hubungan antara settlors, trustee, dan beneficiaries. 9. Pembuktian dan prosedur yang termasuk subjek Pasal 14 Rome 5: Convention. 10. Kontrak asuransi yang mencangkup risiko yang berada dalam wilayah negara anggota EC. Ketentuan common law Inggris yang dikemukakan oleh Munir Fuadi, konvensi ini juga memberikan perbedaan yang mendasar antara situasi di mana hukum yang berlaku itu dipilih oleh para pihak dan situasi di mana tidak ada pilihan hukum yang tegas dari para pihak, maka hukum yang berlaku harus diketahui, biasanya hukum yang berlaku dalam konvensi ini mengacu pada hukum domestik suatu negara dan disesuaikan dengan doktrin renvoi. Pasal 3 ayat (1) konvensi ini menyatakan bahwa kontrak itu diatur oleh hukum yang dipilih oleh para pihak, asalkan pilihan itu dinyatakan dengan tegas dan ditujukan dengan alasan yang patut sesuai dengan term kontraknya atau situasi kasusnya. Sesuai dengan Pasal di atas para pihak dapat memilih hukum yang berlaku dalam kontrak mereka baik sebagian atau seluruhnya dan para pihak juga dapat memilih dua hukum yang berbeda untuk mengatur bagian yang berbeda dalam kontrak. Hal ini disebut dengan depecage yaitu menggunakan dua sistem hukum yang berbeda dalam satu kontrak, sebagai contoh para pihak dapat memilih satu hukum untuk mengatur tentang penafsiran kontraknya dan menggunakan sistem hukum yang lain untuk mengatur tentang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
pemutusan kontrak itu. Pasal 3 ayat (2) Konvensi Roma menyatakan bahwa para pihak dapat membuat pilihan hukum kapan saja, walaupun hal itu disebut setelah penandatanganan kontrak, mereka sewaktu-waktu juga dapat merubah pilihan hukum yang telah dibuat sebelumnya, perubahan itu diperbolehkan dengan ketentuan perubahan pilihan hukum itu tidak melanggar syarat sahnya suatu kontrak sesuai dengan peraturan yang ada dalam Pasal 9, atau merugikan pihak ketiga. Ketentuan ini memungkinkan para pihak untuk mempunyai kebebasan yang maksimum untuk membuat pilihan hukum mereka, selaln itu pilihan hukum itu juga bisa dibuat pada saat pembuatan kontrak, ataupun setelah atau sesudah penandatanganan kontrak (Munir Fuady, 2000: 84). Jika pihak gagal dalam membuat pilihan hukum baik secara tegas ataupun secara diam-diam, maka pilihan hukum itu akan ditentukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal ketika pilihan hukum itu tidak dapat dipilih sesuai dengan Pasal 3 maka kontrak tersebut diatur oleh hukum suatu negara yang mempunyai hubungan paling dekat dengan kontrak itu. Pasal 4 ayat (2) menjelaskan tentang anggapan bahwa kontrak ini mempunyai hubungan yang paling dekat dengan negara di mana para pihaknya mempunyai karakterlstik tertentu pada pelaksanaan kontrak seperti tempat tinggal mereka saat penandatanganan kontrak. Menurut the Giuliano-Lagarde Report, biasanya karakteristik prestasinya itu ditandai pada saat pembayaran itu terjadi seperti pengiriman barang, ketentuan pelayanan, memberikan hak untuk membuat item barangnya, dan lain-lain, walaupun Pasal 4 ayat (2) ini lebih menekankan pada ciri khas prestasi, akan tetapi di sini juga dijelaskan tentang hukum negara mana yang berlaku ketika para pihaknya mempunyai tempat tinggal yang tetap, atau untuk kasus sebuah badan hukum atau tidak berbadan hukum, di mana pusat administrasinya pada saat penandatanganan kontrak, ketika tempat tinggal para pihak dan pusat administrasi dari suatu perusahaan tidak disebutkan maka kemudian hukum sebuah forum akan dianggap diterapkan dalam kontrak itu (http//the giuliano lagarde-e-commerce.doc. diakses 28 September 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Kehadiran internet walaupun masih dalam fase pertumbuhan, telah memperkokoh keyakinan tentang pentingnya peranan teknologi dalam pencapaian tujuan finansial. Salah satu sarana guna melakukan transaksi perdagangan seperti penjualan, pembelian, promosi, dan lain-lain, internet dirasakan manfaatnya pada saat sejumlah situs yang menyajikan breaking news telah menarik para pelaku bisnis. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa perkembangan transaksi
e-
commerce menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan, tidak saja di negara-negara maju tetapi juga negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Keuntungan yang ditawarkan transaksi e-commerce yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui cara-cara transaksi konvensional. Transaksi e-commerce terbuka kemungkinan terjadinya sengketa antara para pihak yang membuatnya, oleh karena dalam transaksi
e-
commerce para pihak tidak bertemu secara fisik dan tidak menggunakan tanda tangan asli, sehingga salah satu pihak bisa saja mengingkari kontrak yang telah dibuat. Jika dalam transaksi e-commerce terjadi sengketa antara para pihak yang berbeda negara, maka selain dikenal adanya pilihan hukum juga dikenal adanya pilihan yurisdiksi (Choice of Forum). Pilihan yurisdiksi ini bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak akan bersepakat memilih pengadilan negara manakah yang berwenang mengadili perkara mereka. Transaksi ecommerce dilakukan antara perseorangan bukan berbentuk badan usaha, untuk mengetahui pengadilan negara yang berwenang mengadili sengketa yang terjadi, maka dapat dilihat pada pilihan yurisdiksi sebagaimana disebutkan di atas. Jika dalam kontrak e-commerce antarnegara, para menentukan pilihan yurisdiksi baik secara tegas maupun diam, maka pengadilan sebagaimana ditentukan dalam tersebutlah yang diberlakukan. Kualifikasi hukum tertentu dalam kontrak transaksi e-commerce, maka yang berwenang mengadili sengketa yang terjadi adalah pengadilan yang ditentukan dalam kualifikasi tersebut sesuai dengan hukum yang diberlakukan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
Jika pelaku bisnis dalam transaksi e-commerce berupa badan usaha seperti Perseroan Terbatas (PT) dan perseorangan, kemudian terjadi sengketa, maka berdasarkan prinsip Siege Statutair, pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya adalah pengadilan tempat didirikannya perusahaan (Werhan Asmin, 2003:97), oleh karena menurut prinsip Siege Statutair bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum itu didirikan. Prinsip ini pada hakekatnya identik dengan prinsip The Place of Incorporation atau prinsip tempat badan hukum didirikan yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum adalah hukum tempat badan hukum itu didirikan. Kemudian prinsip Siegle Reel atau prinsip tempat kedudukan yang efektif yaitu hukum yang berlaku bagi status badan hukum ialah hukum tempat badan hukum itu melakukan usahanya. Berdasarkan prinsip ini bahwa pengadilan yang berwenang mengadili sengketa transaksi e-commerce antarnegara, di mana para pelaku bisnisnya badan hukum dan perseorangan adalah pengadilan tempat badan hukum melakukan usahanya, meskipun telah ada beberapa prinsip yang dapat menjadi acuan untuk menentukan pengadilan yang berwenang mengadili sengketa mengenai transaksi e-commerce antara badan hukum dengan perse masalah apabila transaksi
orangan, namun hal ini akan menimbulkan e-commerce antarnegara dilakukan antara badan
hukum, apakah prinsip tersebut di atas dapat diterapkan. Oleh karena itu, dalam rangka mengantisipasi terjadinya sengketa dalam pelaksanaan transaksi e-commerce, maka sudah seharusnya para pihak yang menentukan pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya dalam kontrak yang dibuatnya. Para pihak pada umumnya dianggap mempunyai kebebasan untuk memilih, namun mereka bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih hakim lain, namun tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana kaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan menentukan bahwa hakim tidak berwenang adanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
Menurut Convention on the Coice of court 1965, pilihan yurisdiksi; terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional, namun tidak berlaku bagi: 1. Status kewarganegaraan orang atau hukum keluarga termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan atau antara suami dan istri. 2. Permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir 1. 3. Warisan. 4. Kepailitan. 5. Hak-hak atas benda tidak bergerak. Pilihan Yurisdiksi yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu pengadilan di negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum mengadili perkara harus meneliti dulu apakah ia berwenang mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Salah satu caranya adalah dengan meneliti klausula pilihan Yurisdiksi yang terdapat dalam kontrak tersebut.
C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
Putusan arbitrase asing dalam pelaksanaanya termasuk dalam perkara ecommerce, ada prosedur yang harus dijalani atau dilaksanakan agar putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. Peraturan yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia, diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999. Perma No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999 tidak banyak perbedaan
dalam
prosedur
pelaksanaan
putusan
arbitrase
asing,
yang
membedakan antara Perma No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999 adalah mengenai pemberian eksekuatur. Dalam Perma No. 1 Tahun 1990, putusan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
arbitrase asing baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung, sedangkan dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999, kewenangan Eksekuatur Mahkamah Agung berpindah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kecuali jika keputusan arbitrase internasional menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, maka pelaksanaan putusannya hanya dapat dilakukan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung, kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase hanya dapat diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia jika memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: 1.
Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau mejelis arbitrase di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dalam kaitannya dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
2.
Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf 1 terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3.
Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4.
Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dati Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
5.
Putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI, yang selanjutnya dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika diperhatikan isi Pasal tersebut, huruf 1 sampai dengan 4 adalah sama
dengan Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 1990 (Gatot Sumartono, 2006:92), dengan pengecualian huruf d tentang kompetensi pengadilan untuk memberikan eksekusi, yaitu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 3 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 1990 menyebutkan bahwa “suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
Indonesaia setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Prosedur yang harus dilakukan untuk melaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999, dimana dalam Pasal 67 ayat (1) menjelaskan bahwa pemohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendeponiran putusan arbitrase asing, semuanya disentralisir di kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendeponiran putusan arbitrase asing, menjadi kompetensi relatif tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa yang berwenang mengenai masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Secara garis besar tahap-tahap eksekusi putusan arbitrase dapat digambar dengan bagan sebagai berikut: Permohonan pelaksanaan putusan
Tahap I
Penyerahan dan pendaftaran putusan
Tahap II
Perintah pelaksanaan putusan (eksekatur)
Tahap III
Pelaksanaan putusan
Tahap IV
Bagan 2 Tahap-tahap Eksekusi Putusan Arbitrase
Perintah
pelaksanaan
(eksekuatur)
putusan
arbitrase
asing
dapat
dimintakan dengan mengajukan pelaksanaan putusan arbitrase asing kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan disertai persyaratan sebagaimana diatur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
dalam Undang-Undang Pasal 67 ayat (2)
yaitu dengan menyertakan berkas
permohonan dengan: 1.
lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
2.
lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokimen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
3.
keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di Negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut di tetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat pada perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Praktiknya, hanya dokumen 1 dan 2 yang diserahkan pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada saat putusan arbitrase internasional didaftarkan. Selanjutnya pada saat permohonan eksekusi dilakukan, dokumen 1 dan 2 tidak perlu diserahkan lagi, cikip menunjukkan bukti surat pendaftaran putusan dan dokumen 3 (Gatot Sumartono, 2006:90). Pasal 68 mengatur bahwa, jika Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional, maka putusan tersebut tidak dapat diajukan banding atau kasasi, tetapi jika putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan malaksanakan putusan arbitrase internasional, maka putusan tersebut dapat dimintakan kasasi, Mahkamah Agung mempertimbangkan dan memutuskannya. Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dapat diajukan upaya perlawan. Seluruhan prosedur permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional telah dilakukan dan ternyata putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan dapat dilaksanakan berdasarkan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka selanjutnya adalah pelaksanaan eksekusi berdasarkan perintah eksekusi yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kemudian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Mengenai peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan eksekusi, terdapat di dalam Pasal 69 UU No. 30 Tahun 1999. Pasal 69 ayat (2) menyatakan bahwa sita eksekusi dapat dilaksanakan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Hal ini sama dengan Perma No. 1 Tahun 1990 Pasal 6 ayat (3), dimana dalam Perma tersebut dikatakan sita eksekutorial dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi. Pasal 69 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 memyatakan tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata, sehingga dalam pelaksanaannya, tidal diperlukan lagi peraturan-peraturan yang baru dalam pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase internasional tersebut. Tentang pembatalan putusan arbitrase, hal ini diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 yang menentukan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan, jika putusan tersebut diduga mengandung unsure-unsur antara lain sebagai berikut: 1.
surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu,
2.
setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
3.
putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Prosedur permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional terdapat di
dalam Pasal 71 dan 72 ayat (1) s/d ayat F(3) UU No. 30 Tahun 1999, yaitu permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tehitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan akibat pembatalan seluruhnya atau sebagai dari putusan arbitrase.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
Pasal 71 dapat disimpulkan bahwa pendaftaran putusan arbitrase harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum putusan tersebut dapat dimohonkan pembatalannya (Gatot Sumartono, 2006:94). Pendaftaran pembatalan putusan arbitrase harus diajukan dalam format permohonan. Menurut UU No. 30 Tahun 1999, pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 1.
putusan tersebut memenuhi salah satu atau beberapa unsure sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70,
2.
putusan tersebut sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dilengkapi dengan persyaratan dokumen, dan pendaftarannya pun harus dilakukan oleh arbitrase atau kuasanya,
3.
pengajuannya harus dalam bentuk format permohonan. Pelaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing, sering kali mengalami
kendala-kendala yang membuat pelaksanaan eksekusi tersebut tertunda bahkan gagl untuk di eksekusi, seperti diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional yang mengakui putusan arbitrase asing. Namun, sampai sejauh ini pelaksanaan putusan arbitrase masih menghadapi kendala di dalam praktik. Keengganan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan putusan arbitrase, khususnya putusan arbitrase asing, telah diingatkan oleh Sunayarti Hartono beliau menyatakan antara lain (Sunaryati Hartono, 1991:15): “Sayang sekali masih sering dialami, bahwa pihak Indonesia yang sudah dinyatakan wajib membayar ganti rugi oleh instansi yang berwenang di Indonesia, sama sekali tidak menghormati keputusan itu, yang menyebabkan image Indonesia dimata pengusaha asing tidak bertambah baik, sekalipun Indonesia sudah bersedia mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase asing melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.” Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia berupa kendala yuridis yang menyebabkan terjadi titik singgung kewenangan
Peradilan
Umum
dengan
kewenangan
absolute
arbitrase
(Panggabean, 2002:75). Titik singgung kewenangan itu dapat terjadi dalam halhal sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
a. bahwa badan arbitrase juga berperan sebagai “particuliere rechtpraak” (Pengadilan
Swasta),
sebenarnya
memberikan
putusannya
lebih
didasarkan pada aspek keadilan dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid=ex aequo et bono) tanpa menyebut aspek kepastian hukum dan kemanfaatan, artinya wasit (arbiter) dapat mengesampingkan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Peran seperti ini, para pihak bersangkutan dapat saja “menolak” putusan arbitrase dengan alasan subjektif bahwa putusan arbitrase tersebut kurang sesuai dengan keadilan hukum, atau alasan lainnya, b. bahwa beberapa putusan arbitrase terdahulu sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 dapat digunakan pedoman untuk mempersoalkan kewenangan absolute badan arbitrase, c. bahwa UU No. 30 Tahun 1999 sendiri telah mengatur beberapa alasan untuk membatalkan putusan arbitrase. d. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dengan tegas mengatur yurisdiksi arbitrase, namun dalam praktik penyelesaiaan sengketa melalui lembaga arbitrase hanya dapat efektif jika para pihak yang terlibat dalam sengketa mempunyai niat baik untuk menerima dan menghormati keputusan arbiter (Panggabean, 2002:80). Efektifitas putusan arbitrase juga tergantung ketaatan Pengadilan Negeri untuk menggormati yurisdiksi lembaga arbitrase yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang mengandung klausula arbitrase. Kendala tersebut diatas diakibatkan karena adanya celah hukum dimana peradilan arbitrase atau yang disebut dengan peradilan swasta sering kali dianggap tidak sesuai dengan keadilan hukum, selain itu kendala yang muncul dalam peraturan perUndang-Undangan mengenai arbitrase itu sendiri yaitu dengan mengatur beberapa alasan untuk membatalkan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan. Niat baik para pihak juga sangat berpengaruh dalam kelancaran pelaksanaan putusan arbitrase.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa: 1.
Dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional ecommerce di Indonesia antara lain, prinsip kesepakatan para pihak (Konsensus) terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat (1), prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa diatur dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, prinsip kebebasan memilih hukum terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (2) dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2), prinsip itikad baik (Good Faith) diatur dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), prinsip Exhaution of local remidies (Pengedepanan Penyelesaian Sengketa menggunakan Hukum Nasional) diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal (2).
2.
Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase pada dasarnya diberikan kebebasan para pihak begitu pula yan diatur dalam peraturan di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2), apabila tidak menentukan pilihan hukum maka didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional mengenal empat macam choice of law atau pilihan hukum yaitu: pilihan hukum secara tegas, pilihan hukum secara diam-diam, pilihan hukum yang dianggap dan pilihan hukum secara hipotesis. Apabila pilihan hukum tersebut tidak dipilih maka hakim dapat menentukan pilihan hukum dengan menggunakan bantuan titik taut diantaranya: lex loci contractus, mail box theory, lex loci solution, the proper law of contract, theory most characteristic conection. Dalam pelaksanaanya teori most
commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
characteristic conection dapat dijadikan sebagai pilihan hukum dalam sengketa e-commerce karena penjual dianggap mempunyai prestasi yang kas sehingga menggunakan hukum dari pihak yang mempunyai prestasi yang terbesar. 3.
Ketentuan yang mengatur tentang eksekusi putusan arbitrase asing di wilayah Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Arbitrase Asing. Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990, yang pada intinya mengatur tentang tahapan-tahapan serta prosedur dan persyaratan yang harus dilalui dalam rangka eksekusi putusan arbitrase asing yang mana harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemungkinan adanya upaya hukum terhadap pemberian eksekuatur pengadilan, dan penggunaan hukum acara perdata dalam hal tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR. Pembatalan putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 71 dan 72. Pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sering terjadi kendala hukum yang menyebabkan terjadi titik singgung kewenangan peradilan umum dengan kewenangan absolut arbitrase sehingga putusan arbitrase dalam sengketa e-commerce akan mendapat perlakuan yana sama.
B. Saran Beberapa saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terkait antara lain sebagai berikut: 1.
Para pelaku bisnis dapat menggunakan teori pemilhan hukum Most Characteristic Connection dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce dimana hukum dari pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang paling khas, sehingga memberikan perlindungan hukum yang lebih terhadap konsumen apabila terjadi sengketa.
2.
Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia yang belum efektif dikarenakan terdapat kendala
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
yaitu terjadinya titik singgung kewenangan peradilan umum dengan kewenangan absolut arbitrase, sehingga diperlukan ratifikasi peraturan internasional secara keseluruhan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa supaya pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
commit to user