PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: DHIMAS KRISNU KUSUMA WARDHANA E.1105069
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA
Disusun Oleh: DHIMAS KRISNU KUSUMA WARDHANA E1105069
Disetujui untuk Dipertahankan
Pembimbing
WALUYO, S.H.,M.Si. NIP. 196808131994031001
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA
Disusun Oleh: DHIMAS KRISNU KUSUMA WARDHANA E1105069
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari
:
Tanggal
: TIM PENGUJI : ……………………….
1. . NIP. 2. . NIP. 3. . NIP.
: ………………………. : ……………………….
MENGETAHUI Dekan,
(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.) NIP. 196109301986011001
PERNYATAAN
Nama
: Dhimas Krisnu Kusuma Wardhana
NIM
: E1105069
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: PENYEDERHANAAN
PROSES
PERIZINAN
PERUSAHAAN
ROKOK
SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA adalah betul-betul karya sendiri. Halhal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, yang membuat pernyataan
Dhimas Krisnu Kusuma Wardhana NIM. E1105069
HALAMAN MOTTO
”Tidak layak bagi seorang Islam laki-laki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan sesuatu peraturan ada pilihan lain bagi mereka” (QS. Al Ahzab: 36) ”Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju yang tidak meragukanmu”. (HR At-Tirmidzi) ”Lazimilah kejujuran, sebab kejujuran itu akan menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan itu akan menunjukkan kepada surga. Seorang laki-laki yang senantiasa jujur dan melazimi kejujuran akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur”. (HR Muslim dan At-Tirmidzi)
HALAMAN PERSEMBAHAN
LAPORAN SKRIPSI INI, PENULIS PERSEMBAHKAN KEPADA:
KEDUA ORANGTUAKU YANG SANGAT SAYA HORMATI DAN CINTAI
TEMAN-TEMAN FAKULTAS HUKUM 2005
KELUARGAKU
ALMAMATERKU
ABSTRAK
Dhimas Krisnu Kusuma Wardhana, 2010. PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA. Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tata cara perizinan perusahaan rokok, mengetahui kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam proses perizinan, dan mengetahui potensi peningkatan penerimaan negara atas penyederhanaan proses perizinan di Kabupaten Tulungagung. Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Lokasi penelitian di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan Perpustakaan Universitas Islam Kediri. Responden yaitu: Bapak Suprapto selaku Petugas Kantor bea dan Cukai Kediri. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama, sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung data primer. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi pustaka. Analisis data kualitatif dengan model interaktif data. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa tatacara perizinan perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung dapat dimintakan ke Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KBC) dengan mencantumkan persyaratan-persyaratan yang diminta serta bangunan pabrik rokok yang didirikan juga harus sesuai dengan persyaratan yang ada. Terhadap pelanggaran ketentuan izin usaha tersebut akan dikenakan sanksi. Kendala di dalam mendirikan bangunan pabrik rokok, diantaranya adalah masyarakat/pemohon kurang menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan sekitar selain itu juga bahwa masyarakat/pemohon sering tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan sering terjadi pula manipulasi data. Dalam hal pengawasan bangunan pabrik rokok dan peredaran hasil produksinya masih terdapat kendala pula, yaitu kurangnya personil dan aparat KBC untuk mengawasinya. Disamping itu pula sarana dan prasarana pendukung masih kurang. Dipandang perlu membangun suatu wadah perhimpunan (paguyuban) berbentuk koperasi atau yayasan perusahaan-perusahaan rokok yang menjual atau meritelkan pita-pita cukai yang dikeluarkan KBC pada perusahaan-perusahaan rokok (skala mikro). Dalam hal ini harga yang tercantum pada pita cukai disesuaikan dengn kemampuan perusahaan-perusahaan skala mikro tersebut, sedemikian sehingga penerimaan daerah dan sekaligus negara menjadi meningkat. Kata Kunci: perizinan, perusahaan rokok, cukai, penerimaan daerah dan negara
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik. Penulisan hukum ini membahas tentang Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok Skala Mikro di Kabupaten Tulungagung dalam Rangka Peningkatan Penerimaan Negara. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya. Namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik material maupun non material sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada: 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS. 2. Bapak Waluyo, S.H.,M.Si. selaku pembimbing penulisan hukum (skripsi), yang telah menyediakan waktu, arahan dan pikirannya untuk memberikan bimbingan bagi tersusunnya penulisan hukum (skripsi) ini. 3. Ibu Gayatri Dyah Suprobowati, S.H., M.H., selaku pembimbing akademis. 4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H selaku ketua bagian penulisan hokum. 5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak Suprapto, S.H. selaku Petugas Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Kabupaten Tulungagung, yang telah memberikan data dan informasi kepada penulis selama mengadakan penelitian. 7. Bapak dan Ibu yang telah membantu doa, memberikan semangat dan memberikan inspirasi, terima kasih bapak ibu. 8. Sahabatku dan teman-teman: Reza Amin Nugroho, S.H., Anton Tri Anggono, S.H., Gesied Eka Ardhi Yunata, Bragas Narantaka, P.D. Didit F., Dwi Kiswanto S.H, Galuh Rina Novitasari, I Putu Wisna Adiwijana, Ilham Yosmidiarso S.H, yang telah mememani dan memberi doa serta semangat. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surakarta,
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................
iv
HALAMAN MOTTO..........................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN..........................................................................
vi
ABSTRAK...........................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................
viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ..
xii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... .......
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Perumusan Masalah........................................................................
4
C. Tujuan Penelitian............................................................................
5
D. Manfaat Penelitian..........................................................................
5
E. Metode Penelitian...........................................................................
6
F. Sistematika Skripsi.........................................................................
17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
19
A. Kerangka Teori............................................................................ .
19
1. Tinjauan Umum tentang Penerimaan Negara..........................
19
2. Tinjauan Umum tentang Pemerintahan Daerah ......................
29
3. Tinjauan Umum tentang Perizinan .........................................
31
4. Tinjauan Umum tentang Perusahaan dan Industri..................
40
5. Tinjauan Teoritis tentang Pendirian Perusahaan Rokok........
49
B. Kerangka Pemikiran.......................................................................
50
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ ..
53
A. Diskripsi Lokasi Penelitian ............................................................
53
1. Gambaran umum Kabupaten Tulungagung..............................
53
2. Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Tulungagung...............
65
B. Tatacara Perizinan Perusahaan Rokok di Kab Tulungagung..........
71
C. Kendala dalam Perizinan Perusahaan Rokok.................................
76
D. Solusi Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok dalam Rangka Peningkatan Penerimaan Negara ..........................
78
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN................................................................
83
A. Simpulan........................................................................................
83
B. Saran..............................................................................................
84
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Lampiran A : Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Lampiran B
: Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/M-Dag/Per/9/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No. No. 36/M-Dag/Per/9/2007 tentang penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan
Lampiran C : Ijin Usaha Industri di Kabupaten Tulungagung
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Bagan Model Analisis Data ...............................................................
14
Gambar 2 : Bagan Kerangka Pemikiran ...............................................................
51
Gambar 3 : Bagan Organisasi Kantor Pelayanan Terpadu Kab Tulungagung ....
66
DAFTAR TABEL
Tabel 1
: Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Tulungagung.............
58
Tabel 2
: Perkembangan Penduduk Kabupaten Tulungagung...........................
59
Tabel 3
: Persebaran Perusahaan Rokok di Kabupaten Tulungagung .............
65
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri rokok di Indonesia mengalami pasang surut, pada tahun 1998 yang merupakan awal krisis, industri rokok justru mencapai puncak produksinya. Selama masa krisis, industri rokok terus mengalami peningkatan. Kondisi ini akibat adanya efisiensi yang dilakukan perusahaan rokok besar dan sedang yang memproduksi lebih dari satu jenis rokok. Perusahaan lebih terfokus pada Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang padat modal dibandingkan dengan jenis produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang padat karya dan syarat dengan isu buruh. Sebagai salah satu penerimaan negara, cukai mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok penerimaan dalam negeri. Penerimaan cukai di pungut dari 3 (tiga) jenis barang yaitu; etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan hasil tembakau (HT) terhadap penerimaan negara yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara selalu meningkat setiap tahunnya. Pada tahun anggaran 1990/1991, penerimaan cukai hanya sebesar RP. 1,8 triliun atau memberi kontribusi sekitar 4 persen dari penerimaan dalam negeri, pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 10,4 triliun atau menyumbang 7,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Pada tahun anggaran 2003, penerimaan cukai ditetapkan sebesar Rp. 27,9 triliun atau sebesar 8,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Hal ini berarti kontribusi penerimaan cukai terhadap penerimaan dalam negeri selama kurun waktu 1 dasawarsa, telah mengalami peningkatan sekitar 100 persen. Dari penerimaan cukai tersebut, 95 persen berasal dari cukai hasil tembakau yang diperoleh dari jenis rokok berupa rokok sigaret kretek mesin,
rokok sigaret tangan dan rokok sigaret putih mesin, yang dihasilkan oleh industri rokok (http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian/Tri-2.pdf.). Dalam satu tahun, sumbangan dari sektor cukai rokok pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat besar. Peningakatan pendapatan negara dari sektor cukai pada tauhun 2008 adalah sebanyak Rp, 51,2 trliun dan Propinsi Jawa Timur menyumbang kurang lebih Rp. 32 triliun atau sekitar 62 persen. Dari sekian banyak penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau atau rokok, ternyata berbanding terbalik dengan peredaran rokok ilegal yang mencapai kurang lebih Rp. 2 triliun rupiah dan ini menggangu kinerja industri rokok. Karena selain merugikan negara juga menghambat perkembangan perusahaan rokok di Indonesia. Pelangaaran dibidang cukai yang dominan diantaranya adalah rokok putih tanpa pita cukai dan lainnya yang lebih besar adalah pita rokok ilegal (http://www.jatimprov.go.id). Besarnya potensi penerimaan negara yang hilang akibat pelanggaran dibidang cukai rokok salah satu nya adalah rokok putih tanpa pita cukai. Salah satu faktor banyaknya peredaraan rokok tanpa dilekati pita cukai ini adalah adanya perusahaan rokok yang tidak memiliki izin mendirikan perusahaan, dimana perusahaan rokok yang belum mempunyai izin untuk mendirikan perusahaan tersebut tentu tidak dapat memesan pita cukai rokok untuk dilekatkan pada hasil produksinya, sebagai tanda bahwa hasil produksi perusaahan rokok tersebut telah mempunyai izin untuk memproduksi dan mengedarkan rokok hasil produksinya. Kabupaten Tulungagung yang terletak di Propinsi Jawa Timur merupakan salah kota Kabupaten yang mempunyai potensi industri rokok yang cukup signifikan dalam menyumbang penerimaan negara dari sektor cukai rokok, hal ini tercermin akan banyaknya petani tembakau dan industri rokok bersklala
mikro di Kabupaten Tulungagung. Banyaknya kegiatan industri pembuatan rokok yang berskala mikro merupakan usaha sampingan dari para petani tambakau maupun para pedagang tembakau. Hal tersebut dikarenakan banyaknya tenaga kerja terampil dibidang industri rokok. Banyak diantara para pelaku usaha mikro dibidang industri rokok tersebut masih belum memiliki izin usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 tentang cukai dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga
potensi penerimaan negara dari sektor cukai
tembakau belum dapat dipungut secara maksimal. Bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 tentang cukai dan Undang-Undang nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mewajibkan setiap orang yang akan menjalankan kegiatan usaha sebagai pengusaha pabrik harus memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) dari Menteri Keuangan. Sehingga setiap orang yang ingin melakukan kegiatan usaha sebagaimana yang termasuk kedalam kriteria barang kena cukai wajib mendaftakarkan usahanya untuk memperoleh izin resmi guna melakukan kegiatan usahanya. Berkaitan dengan
regulasi
yang
mengatur
masalah
perizinan,
diperlukan
untuk
mengamankan potensi penerimaan negara dari sektor cukai, yang diperkirakan hilang karena belum dimilikinya izin kegiatan oleh para pelaku usaha rokok. Didalam Undang-Undang Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara, pendapatan dari dari sektor cukai setiap tahunnya terus mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Apabila potensi
penerimaan negara dalam negeri
tersebut dapat dimaksimalkan, berkaitan dengan masalah regulasi atas izin kegiatan usahanya Industri Rokok tersebut, maka sudah dapat dipastikan akan
semakin besar potensi kenaikan penerimaan negara, terutama perimaan dalam negeri dari sektor cukai. Berdasarkan uraian di atas, mengenai besarnya potensi penerimaan negara atas regulasi yang diterapkan dalam proses perizinan perusahaan rokok, khususnya di Kabupaten Tulungagung yang berdampak terhadap meningkatnya penerimaan negara, maka penulis tertarik untuk mengadakan penulisan hukum berkaitan dengan permasalahan tersebut dengan mengambil judul: Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok Skala Mikro di Kabupaten Tulungagung dalam rangka Peningkatan Penerimaan Negara Menelusuri kepustakaan ternyata belum begitu banyak hasil penelitian dan karya ilmiah di bidang Bea dan Cukai. Berdasarkan pengamatan penulis, penelitian tentang Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok Skala Mikro di Kabupaten Tulungagung dalam rangka Peningkatan Penerimaan Negara sampai saat ini belum pernah ada. Akan tetapi apabila ternyata pernah dilaksanakan, penelitian yang sama atau sejenis walaupun dengan lokasi yang berbeda, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan pertanyaan penulis mengenai permasalahan yang akan diteliti, sehingga dengan perumusan masalah yang jelas dapat memberikan jalan yang lebih mudah dalam memecahkan permasalahan. Adapun masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah tatacara perizinan perusahaan rokok? 2. Kendala apakah yang dihadapi pelaku usaha dalam proses perizinan?
3. Bagaimanakah potensi dalam penerimaan negara atas penyederhanaan proses perizinan? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai seabagai solusi atas masalah yang dihadapi dan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan perorangan dari penulis. Sedangkan tujuan dari penelitian ini sendiri adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui tatacara perizinan perusahaan rokok. 2. Mengetahui kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam proses perizinan. 3. Mengetahui potensi penerimaan negara atas penyederhanaan proses perizinan. D. Manfaat Penelitian Manfaat pelitian adalah kegunaan yang ingin diperoleh dari suatu penelitian. Adapun dalam penulisan hukum ini, penulis mempunyai dua manfaat yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan pengembangan
sumbangan ilmu
pemikiran
hukum
pada
dan
konstribusi
umumnya,
dan
bagi hukum
administrasi negara pada khususnya, yang berkaitan dengan masalah perizinan usaha hasil tembakau dan sumber-sumber penerimaan negara.
b. Hasil penelitian ini dapat menambah kelengkapan koleksi pustaka dan menjadi dasar pertimbangan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis. c. Untuk meningkatkan pemahan tentang berbagai teori yang diperoleh penulis selama kuliah dan memperoleh data sebagai bahan penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada semua pihak terkait dengan masalah yang berhubungan dengan proses perizinan perusaahan rokok skala mikro. b. Untuk memberikan informasi mengenai tata cara dan kendala proses perizinan perusahaan rokok skala mikro dalam kaitannya dengan penerimaan negara. E. Metodologi Penelitian Dalam penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2005: 42-43).
Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian tentang Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok Skala Mikro di Kabupaten Tulungagung dalam rangka Peningkatan Penerimaan Negara ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder dengan cara melakukan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder atau bahan-bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berpeyang terdapat didalam peraturan-peraturan perilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu, pertama sebagai sumber datanya adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, atau tertier. Kedua, karena penelitian hukum
normatif
sepenuhnya
menggunakan
data
sekunder
(bahan
kepustakaan) penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak diperlukan, dapat dipergunakan perumusan-perumusan yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian. Ketiga, dalam penelitian hukum normatif tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada hanya hipotesis kerja. Keempat, konsekuensi dari (hanya) menggunakan data sekunder, maka pada penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas
tersendiri yang tidak bisa diganti dengan data jenis lainnya. Dan biasanya penyajian data dilakukan sekaligus analisanya (Peter Mahmud Marzuki, 2007:141). 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksukan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat tepro-teori lama, atau didalam kerangka penyusunan teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986:10). 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yaitu merupakan suatu penelitian untuk mencari kebenaran secara ilmiah dan memandang obyek secara keseluruhan berdasrkan atas fenomena ilmiah dan digunakan sebagai dasar untuk mengamati dan mengumpulkan informasi. Kirk and Miller mengemukakan bahwa: “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental tergantung pada pengamatan manusia dalam kawasnnya sendiri dan berhubungan
dengan
orang-orang
tersebut
dalam
bahasan
dan
peristilahannya” (Lexy Moleong, 2000: 3). Dalam penelitian yang penting adalah kemampuan peneliti dalam menerjemahkan data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dan studi kepustakaan atau dokumen lain.
4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang digunakan untuk meneliti penelitian ini antara lain: a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Perpustakaan Universitas Islam Kediri. 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian Dalam penelitian ini dibedakan antara data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langusng dari masyarakat, sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka disebut data sekunder (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001:12). Jenis data yang digunakan peneliti dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui pengkajian pustaka-pustaka yang ada, yang berhubungan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian hukum mencakup: 1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004: 118). Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat dan mendasari bahan hukum lainnya, terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar 1945. b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007.
d. Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Pajak Daerah e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 134/PMK.04/2007 tentang perubahan
ketiga
atas
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor:
443/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau. f. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini. g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai Untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau. 2. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen
resmi,
yaitu
bahan
hukum
yang
memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus, juurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,2007:141). 3. Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan lain-lain (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 141). 6. Teknik Pengumpulan Data Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap dan memiliki nilai validitas yang cukup tinggi. Untuk mengumpulkan data tersebut, maka perlu dilakukan dengan cara atau dengan teknik tertentu. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian kepustakaan ini adalah studi dokumen, yaitu mempelajari materi/bahan-bahan hukum, baik yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan materi penelitian. Penelitian hukum ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Inventarisasi Peraturan Inventarisasi peraturan dilakukan dengan cara memberi dan menghimpun peraturan-peraturan yang erat kaitannya dengan penelitian. Tujuan diadakan inventarisasi peraturan adalah untuk mengadakan sinkronisasi antara peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian hukum ini serta untuk memperoleh data sekunder yang bersifat mengikat dan mendasari suatu penelitian. b. Inventarisasi Kepustakaan Inventarisasi memanfaatkan
kepustakaan buku-buku,
dilakukan
dengancara
artikel-artikel
dan
mencari
sebagainya
dan untuk
memperoleh data sekunder yang menunjang kelengkapan penelitian. 7. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian, baik penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode analisis data dengan cara mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang di peroleh dari studi kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini.
Tujuan dari analisis data pada dasarnya adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dibaca dan dimengerti, menginggat penelitian ini merupakan
penelitian
yang
bersifat
deskriptif
maka
penelitian
ini
menggunakan analisa kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisa, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan dan berpijak pada data yang dipeoleh, dan juga perilaku nyatanya yang diteliti dan dipelajari secara utuh, menggunakan metode berfikir secara: a. Deduktif, yaitu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, dengan kata lain prinsip deduktif adalah apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam suatu kelas atau jenis berlaku juga sebagai hal yang benar pada semua peristiwa dalam satu kelas atau jenis. Jika orang dapat membuktikan bahwa suatu peristiwa termasuk dalam kelas yang dipandang benar, maka secara logika orang dapat menarik kesimpulan bahwa kebenaran yang terdapat dalam kelas itu juga menjadi kebenaran bagi peristiwa yang khusus itu. b. Induktif, yaitu cara berfikir mulai dari yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Dalam generalisasi semacam ini sudah tentu hal-hal atau peristiwa-peristiwa khusus yang dijadikan dasar generalisasi itu masih termasuk dalam daerah generalisasi yang dianggap benar. Artinya, jika suatu generalisasi dikenakan pada peristiwa-peristiwa khusus dari mana generalisasi itu diambil, maka harus ada kecocokan hakekat. Setelah data terkumpul, sebelum dianalisa harus diklasifikasikan terlebih dahulu menurut kategori masing-masing, untuk kemudian ditafsirkan dalam usaha menjawab pertanyaan hal-hal tersebut ditunjang data dalam bentuk tabel / angka.
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konsturksi (Soerjono Soekanto, 2005:251). Penganalisaan data merupakan suatu tahap didalam penelitian yang berupa pengolahan data yang telah diperoleh menjadi hasil penelitian yang berupa pengolahan data yang telah diperoleh menjadi hasil penelitian yang akan dilaporkan. Analisis data pada penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan metode penafsirsn atau interpretasi yaitu salah satu metode penelitian hukum yang yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaedah dapat diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu (Sudiko Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993:13). Dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan metode penafsiran: a. Penafsiran otentik yaitu penafsiran yang secara resmi oleh UndangUndang. b. Penafsiran gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan untuk mengetahui makna ketentuan Undang-Undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Analisis data dengan menggunakan metode penafsiran bertujuan untuk memudahkan untuk menganalisa data-data yang relevan dengan penelitian. Upaya untuk menganalisis data dilakukan melaui proses-proses yang tunduk pada aturan logika formal yang disebut sebagai silogisme deduksi. Silogisme deduksi maksudnya mendapat kesimpulan dari sesuatu yang bersifat umum dihubungkan suatu hal yang bersifat khusus. Teknis analisis data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan model analisis interaktif dari Miles dan Huberman. Dalam analisis ini, digunakan
empat komponen analisis yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992:15). Model Analisis Interaktif dari Miles dan Huberman dapat digambarkan pada skema berikut:
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulankesimpulan: Penarikan/Verifikasi
Gambar 1. Bagan Model Analisis Data (Miles dan Huberman,1992:15)
Menurut Lexy J. Moleong (2004;280) “analisis data adalah proses mengorganisasikan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data”. Sedangkan menurut H.B. Sutopo (2002:91) berpendapat bahwa “dalam proses analisis data terdapat 4 komponen utama yang harus dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Empat komponen utama tersebut adalah: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, 93) sajian data, (4) penarikan kesimpulan/verifikasi”.
a. Pengumpulan Data Kegiatan ini digunakan untuk memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan studi dokumentasi. Data yang diperoleh masih berupa data yang mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur. b. Reduksi Data Merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan penyederhanaan dan abstraksi dari field note (data mentah). H.B. Sutopo (2002:92) berpendapat bahwa: “reduksi data adalah bagian dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”. c. Sajian Data Merupakan rakitan dari organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel Semuanya dirakit secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi. d. Penarikan Kesimpulan Kesimpulan akhir akan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir pengumpulan sata, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) agar kesimpulan yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan, dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengambil salah satu komponen. 8. Prosedur Penelitian Kegiatan penelitian ini direncanakan melalui beberapa tahapan, yaitu: persiapa, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian (H.B. Sutopo, 2002;187-190). Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan diuraikan sebagai berikut: a. Persiapan a. Mengurus perijinan penelitian b. Menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data dan menyusun jadwal kegiatan penelitian. b. Pengumpulan Data a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan dokumentasi mendalam, dan mencatat serta merekam dokumen. b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul. c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan. c. Analisis Data a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian. b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian dicrosscheck-kan dengan temuan lapangan. c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang dianggap lebih ahli.
d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian. d. Penyusunan Pelaporan Penelitian a. Penyusunan laporan awal. b. Review laporan: pertemuan diadakan dengan mengundang kurang lebih 2 orang yang cukup memahami penelitian untuk mendiskusikan laporan yang telah disusun sementara. c. Perbaikan laporan sesuai dengan rekomendasi hasil diskusi. d. Penyusunan laporan akhir. F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam penulisan hukum ini digunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Pada awal bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal tentang penelitian yang meliputi: A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metodologi Penelitian F. Sistematika Penulisan
Bab II
Tinjauan Pustaka Dalam bab ini berisi mengenai tinjauan mengenai penerimaan negara, perizinan, perusahaan, ketentuan mengenai pendirian perusahaan rokok, dan kriteria perusahaan rokok.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam bab ini diuraikan tentang permasalahan pokok yang dibahas penulis yakni berkenaan dengan tata cara proses pengajuan perizinan perusahaan rokok skala mikro dan kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam mengajukan proses perizinan serta adanya indikasi potensi peningkatan peneriamaan negara atas penyederhanaan pengajuan proses perizinan. Bab IV Keimpulan dan Saran Kesimpulan dan hasil analisis serta memberikan saran sebagai sumbangan pemikiran penulis dalam memecahkan persoalan mengenai tata cara proses pengajuan perizinan perusahaan rokok skala mikro dan kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam kaitannya dengan potensi peningkatan penerimaan negara. Daftar Pustaka Lampiran
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.
Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Penerimaan Negara Sumber penerimaan negara terdiri atas penerimaan negara dari pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan negara dari hibah, baik dalam negeri maupun luar negeri (Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng, 2008 : 2-3). Sumber-sumber penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi penerimaan dari sektor : (Erly Suandy, 2002 : 2). a. Pajak b. Kekayaan Alam c. Bea dan Cukai d. Retribusi e. Iuran f. Sumbangan g. Laba dari Badan Usaha Milik Negara h. Sumber-sumber lain Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di dalam masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu berkumpul untuk tujuan tertentu (Rochmat Soemitro, 1992 : 8). Dewasa ini hampir seluruh negara di dunia telah mengakui bahwa pajak telah menjadi sumber utama penerimaan negara, dan bahwa pajak adalah alat utama untuk membiayai kegiatan pemerintah (Safri Nurmantu, 2003 : 8). Adapun definisi
pajak menurut Rochmat Soemitro adalah iuran rakyat kepada kas Negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (Rochmat Soemitro, 1994 : 23). Berdasarkan definisi tersebut, maka terdapat beberapa unsur pokok dari pajak, yaitu :
(Safri
Nurmantu, 2003 : 14-21). a. Iuran atau Pungutan; b. Di pungut berdasarkan Undang-Undang; c. Dapat dipaksakan; d. Tidak menerima atau memperoleh kontraprestasi; e. Untuk membiayai pengeluaran umum Pemerintah. Penerimaan negara dari sektor pajak pada hakikatnya adalah pajak negara dalam arti luas yang meliputi : pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah dan bangunan, cukai, bea masuk, dan bea materai (Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng, 2008 : 26). Adapun jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku umum adalah : penerimaan kembali anggaran (sisa anggaran ruitn dan sisa anggaran pembangunan),
penerimaan
hasil
penjualan
barang/kekayaan
negara,
penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan negara, penerimaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro), penerimaan ganti rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan bendaharawan), penerimaan denda keterlambatan penyesuaian pekerjaan pemerintah, penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang (Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng, 2008 : 34). Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah adalah bantuan hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri, baik swasta
maupun pemerintah yang menjadi hak pemerintah (Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng, 2008 : 32). Di samping pajak, sumber penerimaan negara lainnya adalah Bea dan Cukai yang merupakan pungutan negara yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Bea masuk diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean dan pemungutan Bea masuk. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempattempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional dan bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi sejak kemerdekaan Republik Indonesia belum dibentuk UndangUndang yang mengatur tentang cukai yang sesuai dengan perkembangan hukum nasional yang merupakan pengganti peraturan atau ordonansi produk pemerintah Hindia Belanda. Pengertian cukai berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995, tentang cukai yang kemudian diperbarui dengan UndangUndang Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai dan Undang-Undang nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Adapun yang dimaksud dengan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan
karakteristik
yang
ditetapkan,
adalah
barang-barang
yang
dalam
pemakaiannya, antara lain, perlu dibatasi atau diawasi. Barang-barang tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995, tentang Cukai yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai dan Undang-Undang nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dinyatakan sebagai Barang Kena Cukai. Berkenaan dengan ketentuan tentang Barang Kena Cukai, khususnya yang berhubungan dengan hasil tambahan, Pasal 4 ayat (1) huruf c menentukan bahwa hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya dikenakan cukai atau dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai dan Undang-Undang nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka peraturan yang berlaku di Indonesia adalah Ordonansi cukai minyak tanah (Ordanantie Van 27 Desember 1886, Staatblad 1886. Nomor 249), ordonansi cukai alkohol sulingan (Ordonantie van 27 Februari 1898, Staatblad 1898 Nomor 90 dan Nomor 92), ordonansi cukai bir (Bieraccijas Ordonantie, Staatblad 1931 Nomor 488 dan nomor 489) Ordonansi cukai tambahan (Tabaksaccijus Ordonantie, Staatblad 1932, nomor 517), dan ordonansi cukai gula (suikeraccijas Ordonantie, Staatblad 1933 Nomor 351) beserta peraturan pelaksanaannya yang pada saat itu berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Peraturan perundang-undangan cukai sebagaimana diatur dalam beberapa ordonansi tersebut bersifat diskriminatif dalam pengenaan cukainya, yang tercermin pada pembebanan cukai di atas impor barang kena cukai, yaitu gula, hasil tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai atas pengimporannya, sedangkan bir dan alkohol sulingan tidak dikenai cukai. Di samping itu, peraturan perundang-undangan tentang cukai tersebut di dalam negeri. Oleh karena itu potensi yang ada masih dapat digali dengan memperluas obyek cukai sehingga sumbangan dari sektor cukai terhadap penerimaan negara dapat ditingkatkan. Dengan demikian, segala upaya perlu dilakukan untuk menggali, meningkatkan dan mengembangkan semua sumberdaya penerimaan negara dengan tetap memperhatikan aspirasi dan kemampuan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam rangka mendukung kesinambungan pembangunan nasional, diperlukan suatu Undang-Undang tentang cukai yang mampu menjawab tuntutan pembangunan dengan menempatkan kewajiban membayar cukai sebagai perwujudan kewajiban kenegaraan dan merupakan peran serta masyarakat dalam pembiayaan pembangunan. Untuk itulah pada tanggal 30 Desember 1995 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ]Berdasarkan penjelasan umum angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, prinsip yang berlaku bagi cukai adalah sebagai berikut :
a. Keadilan dalam keseimbangan, yaitu kewajiban cukai hanya dibebankan
kepada
orang-orang
yang
memang
seharusnya
diwajibkan untuk itu dan semua pihak yang terkait diperlukan dengan cara yang sama dalam hal dan kondisi yang sama. b. Pemberian insentif yang bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian nasional, yaitu berupa fasilitas pembebasan cukai. c. Pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat di bidang kesehatan, ketertiban dan keamanan. d. Netral dalam pemungutan cukai yang tidak menimbulkan distorsi pada perekonomian nasional. e. Kelayakan
administrasi
dengan
maksud
agar
pelaksanaan
administrasi cukai dapat dilaksanakan secara tertib, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat. f. Kepentingan penerimaan negara, dalam arti fleksibilitas ketentuan dalam Undang-Undang ini dapat menjamin peningkatan penerimaan negara, sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan pembiayaan pembangunan nasional. g. Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Cukai merupakan pungutan negara yang dibebankan kepada pemakai dan bersifat selektif serta perluasan pengenaannya berdasarkan sifat atau karakteristik obyek cukai. Adapun yang dimaksud dengan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan, adalah barang-barang yang dalam pemakaiannya, antara lain, perlu dibatasi atau diawasi. Cukai dikenakan terhadap barang kena cukai yang terdiri dari : a. Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya.
b. Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapapun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alcohol. c. Hasil tambahan, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya. Pengenaan cukai mulai berlaku untuk barang kena cukai yang dibuat di Indonesia pada saat selesai dibuat dan untuk barang kena cukai yang diimpor pada saat pemasukannya ke dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang kepabeanan (Undang-Undang Nomor 10 tahun 1945). Penegasan saat pengenaan cukai adalah penting karena sejak saat itulah secara yuridis (karena Undang-Undang) telah timbul utang cukai sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap barang tersebut sebab terhadap barang tersebut telah melekat hak-hak negara. (Didik J. Rachbini, 2001 : 10). Untuk barang kena cukai yang dibuat di Indonesia, saat pengenaan cukai adalah pada saat selesai dibuat sehingga saat itulah terhadap barang tersebut di lakukan pengawasan. Adapun yang dimaksud dengan barang selesai dibuat adalah saat proses pembuatan barang itu selesai dengan tujuan untuk dipakai. Sedangkan untuk barang kena cukai yang diimpor, saat pengenaan cukai adalah pada saat memasuki Daerah Pabean. Tanggung jawab cukai untuk Barang Kena Cukai yang diproduksi di Indonesia berada pada Pengusaha Tempat Penyimpanan, dan untuk barang kena cukai yang diimpor berada pada importir atau pihak-pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepabeanan. Pemenuhan ketentuan mengenai pengenaan cukai ini dilakukan dengan menggunakan
dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai. Adapun yang dimaksud dengan dokumen pelengkap cukai adalah semua dokumen yang digunakan sebagai dokumen pelengkap dari dokumen cukai. Pelunasan cukai terhadap barang kena cukai, baik yang di produksi di Indonesia, maupun yang diimpor, dilakukan dengan cara pembayaran cukai atau pelekatan pita cukai dan khusus untuk barang kena cukai yang berupa hasil tambahan, pelunasan cukainya dilakukan dengan cara pelakatan pita cukai. Pada prinsipnya pita cukai hanya bisa dilekatkan pada barang kena cukai yang diproduksi oleh pengusaha yang memesan pita cukai tersebut. Oleh karena itu, apabila pita cukai yang telah dipesan diproduksi oleh pengusaha yang memesan pita cukai tersebut. Atau pita cukai yang telah dipesan dipindahtangankan kepada pihak lain, maka perbuatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana karena dapat merugikan keuangan negara. Pemalsuan pita cukai atau tanpa pelekatan pita cukai dewasa ini mulai banyak dilakukan oleh sementara orang yang ingin memperoleh kentungan besar dari perbuatannya tersebut. Namun dibalik perbuatan tersebut negara sangat dirugikan karena dengan adanya pita cukai palsu tersebut atau tanpa pelekatan pita cukai, penerimaan negara menjadi menurun atau berkurang. Tempo interaktif, memberikatakan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kantor wilayah VII Surabaya berhasil membongkar 600 ribu keping pita cukai palsu di Malang dan berhasil meringkus lima orang tersangkanya. (www.tempointeraktif.com). Untuk itu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selaku unsur pelaksana dari tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai terus berupaya untuk memberantas peredaran dan penggunakan pita
cukai palsu, terutama terhadap barang kena cukai yang berupa rokok atau sigaret. Sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri dari sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak menyan. Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan. Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri dari sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain dari pada mesin (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c). Pengertian dari sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, selurunya atau sebagain menggunakan mesin. Adapun yang dimaksud dengan sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain dari pada mesin adalah sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintungan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya di campur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Adapun yang dimaksud dengan cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau
tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Pengertian dari rokok daun adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Selanjutnya yang dimaksud dengan tembakau iris adalah tembakau yang dirajang, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pembuatannya. Kemudian yang dimaksud dengan hasil pengolahan tembakau lainnya adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut dalam huruf c ini yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Penetapan tarif setinggi-tingginya dua ratus lima puluh persen dari harga jual pabrik atau lima puluh persen dari harga jual eceran didasarkan atas pertimbangan bahwa apabila barang kena cukai tertentu yang karena sifat atau karakteristiknya berdampak negatif bagi kesehatan, lingkungan hidup, dan tertib sosial, seperti minuman yang menggandung etil alkohol dalam kadar tinggi (minuman keras) ingin dibatasi secara ketat produksi, peredaran, dan pemakaiannya, cara membatasinya adalah melalui instrumen tarif sehingga barang kena cukai dimaksud dapat dikenai tarif cukai maksimum. Peranan instrumen tarif disini tidak berorientasi pada aspek penerimaan, tetapi pada aspek pembatasan produksi dan konsumsi. (Penjelasan Pasal 5 ayat (1)). Demikian pula penetapan tarif setinggi-tingginya dua ratus lima puluh persen dari Nilai Pabean ditambah Bea masuk atau lima puluh persen dari Harga Jual Eceran didasarkan atas pertimbangan Barang Kena Cukai tertentu
tersebut ingin dibatasi secara ketat tentang impor, peredaran, dan pemakaiannya. Adapun cara membatasinya adalah melalui instrumen tarif sehingga Barang Kena Cukai dimaksud dapat dikenai tarif cukai maksimum. Peranan instrumen tarif disini tidak berorientasi pada penerimaan, tetapi pada aspek pembatasan impor dan konsumsi (Penjelasan Pasal 5 ayat (2)). Pada dasarnya untuk semua jenis Barang Kena Cukai, pelunasan cukainya dapat dilakukan dengan cara pembayaran atau pelekatan pita cukai. Atas barang kena cukai seperti etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol pelunasan cukainya dilakukan dengan cara pembayaran, sedangkan untuk hasil tembakau pelunasan cukainya dilakukan dengan cara pelekatan pita cukai. Untuk barang yang dibuat di Indonesia, pelekatan pita cukainya harus dilakukan sebelum Barang Kena Cukai dikeluarkan dari pabrik atau tempat penyimpanan. Adapun untuk Barang Kena Cukai yang diimpor, pelunasan cukainya dengan pelekatan pita cukai dan harus dilakukan dilakukan ditempat penimbunan sementara atau di tempat pembuatan Barang Kena Cukai ketika masih di luar negeri. Cukai dianggap tidak dilunasi, apabila pelekatan pita cukai pada Barang Kena Cukai tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, antara lain : (Penjelasan Pasal 7 ayat (5)). a. Pita Cukai yang dilekatkan tidak sesuai dengan tarif cukai dan harga dasar Barang Kena Cukai yang ditetapkan; b. Pita Cukai yang dilekatkan tidak utuh atau rusak; c. Jika kemasan yang penjualan ecerannya dibuka, pita cukainya tidak rusak. 2. Tinjauan Umum tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Dasar mengenai pemerintahan daerah tersebut, memuat pokok-pokok pikiran sebagai berikut : a. Daerah Indonesia akan dibagi atas dasar besar dan kecil yang akan diatur dengan undang-undang; b. Pengaturan
tersebut
harus
memandang
dan
mengingat
dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara serta hak-hak asalusul dalam daerah yang bersifat istimewa. Kemudian di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 menyebutkan bahwa : a. Daerah besar dan kecil bukanlah negara bagian, karena daerah tersebut dibentuk dalam negara kesatuan, b. Daerah besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administratif, c. Daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa adalah swapraja
(zelfbestuurende
landschappen)
dan
desa
(volks
gemeenschapppen), d. Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dikenal 3 (tiga)
asas
penyelenggaraan
pemerintahan
di
daerah,
yaitu
asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Asas-asas Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubenur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah, sedangkan asas Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai dengan pembiayaan, saran dan prasarana serta sumber daya
manusia
dengan
kewajiban
melaporkan
pelaksanaannya
dan
mempertanggung-jawabkannya kepada yang menugaskan. Menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdapat beberapa prinsip pemberian otonomi daerah yang dipakai sebagai pedoman dalam pembentukan dan penyelenggaraan daerah otonom yaitu : a. Penyelenggaraan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman Daerah; b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab; c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedangkan Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas; d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah; e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom. 3. Tinjauan Umum tentang Perizinan a. Pengertian Perizinan Izin adalah merupakan suatu penetapan yang merupakan dispensasi dari suatu larangan oleh Undang-Undang. Pada umum yang UndangUndang bersangkutan berbunyi : “dilarang tanpa ijin (melakukan)” dan
seterusnya. Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian dan syarat-syaarat, kriteria dan sebagainya, yang perlu dipenuhi pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaanya kepada pejabat adminitrasi yang bersangkutan. Izin juga merupakan instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum adminitrasi, pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku para warganya. Selain itu, izin juga sebagai insrtumen pemerintah
agar antara masyarakat dan pemerintah
terjadi hubungan timbal balik, masyarakat akan mempengaruhi penguasa dalam menjalankan tugasnya dan disisi lain penguasa memberi pengaruh tertentu. Menurut Sjahran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasakan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perUndang-Undangan. (Ridwan HR, 2006 : 207). Adapun pengertian izin menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge dalam arti luas dan sempit, yaitu : izin dalam arti luas ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat Undang-
Undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat Undang-Undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya. Hal pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuanketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah hanya memberi perkenan dalam keadaan –keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan). (Ridwan HR, 2006 : 208). b. Unsur Perizinan Berdasarkan pemaparan pendapat para pakar tersebut, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perUndang-Undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu sebagai berikut : 1) Instrument yuridis Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai kini masih tetap dipertahankan. Dalam rangaka melaksanakan tugas ini kepada pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan, yang dari fungsi pengatutran ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi peristiwa individual dan konkret, yaitu dalam bentuk ketetapan. Salah satu wujud dari ketetapan ini adalah izin.
2) Peraturan PerUndang-Undangan Pembuatan dan penerbitan ketetapan izin merupakan tindakan hukum pemerintah. Sebagai tindakan hukum, maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perUndang-Undangn atau harus berdasrkan pada asas legalitas. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah. Oleh karena itu, dalam hal membuat dan menerbitkan izin haruslah didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perUndang-Undangan yang berlaku karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut ketetapan izin tersebut menjadi tidak sah. 3) Organ Pemerintah Organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Menurut Sjahran Basah, dari penelusuran pelbagai ketentuan penyelengggaraan pemerintah dapat diketahui bahwa mulai dari administrasi negara tertinggi (presiden) sampai dengan administrasi negara terendah (lurah) berwenang memberikan izin. Ini berarti terdapat aneka ragam administrasi negara (termasuk instansinya) pemberi izin, yang didasarkan pada jabatan yang dijabatnya baik ditingkat pusat maupun daerah. 4) Peristiwa Konkret Peristiwa konkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena peristiwa
konkret
itu
beragam,
sejalan
dengan
keragaman
perkembangan masyarakat, izin pun memiliki berbagai keragaman. Izin yang jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya
tergantung dari kewenangan pemberi izin, macam izin dan struktur organisasi instansi yang menerbitkannya. 5) Prosedur dan Persyaratan Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Disamping harus menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus memenuhi persyaratan-persayaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pemberi izin. Prosedur dan persyaratan perizinan itu berbeda-beda tergantung jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin. (Ridwan HR, 2006 : 210-216) c. Aspek Yuridis dari Sistem Perijinan Sistem perijinan terdiri atas larangan, persetujuan atau izin yang merupakan dasar perkecualian dari ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin. 1) Larangan Larangan dan wewenang suatu organ pemerintah untuk menyimpang dari larangan itu dengan memberi izin, harus ditetapkan dalam suatu peraturan perUndang-Undangan. Ini timbul dari asas legalitas dalam negara hukum demokratis, pemerintahan hanya memiliki wewenangwewenang yang tegas diberikan kepadanyan dalam Undang-Undang dasar atau Undang-Undang lain. Latar belakang asas ini juga disebut asas pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, ialah keharusan untuk memperoleh jaminan-jaminan tertentu terhadap penguasa, karena itu tindakan-tindakan penguasa diikutkan pada aturan-aturan yang jelas.
Norma larangan yang diuraikan secara abstrak menunjukan tingkah laku aman yang pada umumnya tidak diperbolehkan. Pelanggaran norma ini biasanya dikaitkan dengan sanksi-sanksi hukum adminitrasi atau sanksisanksi hukum pidana. Lingkungan kerja larangan tergantung pada uraian tingkah laku yang di larang. Suatu uraian luas mengakibatkan pengaruh luas bagi norma larangan, sebagai contoh membangun tanpa izin di larang, karena disini diuraikan sebagai menempatkan, mendirikan seluruhnya atau sebagian, membaruhi atau mengubah dan membesarkan suatu bangunan. Jadi larangan mencakup sejumlah besar tindakan. Ketentuan-ketentuan larangan menurut teknik perundangan dapat diformulasikan dengan cara : a) Larangan dan persetujuan (izin) dapat dituangkan dalam suatu ketentuan. b) Norma dapat pula ditetapkan dalam suatu ketentuan tersendiri, sehingga larangan itu memperoleh tekanan baru. Aktivitas-aktivitas yang tunduk pada suatu sistem izin dapat dipaparkan dengan teliti didalam Undang-Undang itu sendiri atau lebih rinci didalam suatu peraturan yang berdasarkan Undang-Undang. 2) Izin Ada izin kalau norma larangan umum di kaitkan dengan norma umum yang memberikan kepada suatu organ pemerintah. Wewenang untuk menggantikan larangan itu dengan persetujuan dalam suatu bentuk tertentu. Keputusan yang memberi izin adalah suatu keputusan tata usaha negara. Keputusan tata usaha negara ialah keputusan sepihak dari suatu organ pemerintah, diberikan atas dasar wewenang ketatanegaraan atau ketatausahaan yang menciptakan bagi suatu atau lebih keadaan
konkrit, individual, suatu hubungan hukum, menetapkannya secara mengikatatau membebaskannya atau dalam mana itu ditolak, menurut akibathukumnya. Menurut akibat hukumnya, izin adalah keputusan Tata Usaha Negara yang menciptakan hukum atau konstitutif, ini berarti bahwa dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam hubungan hukum ini oleh organ pemerintah diciptakan hak-hak izin dan kewajiban-kewajiban melalui ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin. 3) Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin Ketentuan-ketentuan adalah syarat-syarat yang menjadi dasar bagi organ pemerintah memberi izin. Fakta bahwa dalam banyak hal izin dilakukan pada syarat-syarat, berhubungan erat dengan fungsi sistem perizinan sebagai salah satu instrumen pengarah dari penguasa. d. Sifat Keputusan Izin Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku para warganya, agar terjadi suatu ketertiban dengan memberi izin pemerintah atau penguasa memperkenankan tindakan-tindakan teretntu yang sebenarnya dilarang, kepada orang yang memohonnya untuk menjadi tindakan yang diperkenankan. Berdasarkan akibat hukumnya perizinan tersebut memiliki sifat-sifat sebagai berikut : 1) Keputusan menciptakan hukum dan menetapkan hukum perbedaan keputusan yang menciptakan hukum atau yang menetapkan hukum merupakan alat bantu untuk menentukan kebebasan menguji dari hakim. 2) Keputusan bebas atau terikat. Dalam hal keputusan perizinan bersifat terikat, ini berarti bahwa dalam mengeluarkan izin organ yang
berwenang akan terikat pada aturan hukum tertulis dan tidak tertulis, dan tidak dimungkinkan keputusannya bisa ditarik kembali. Sedangkan dalam keputusan bebas organ pemerintah mempunyai kebebasan dalammemutuskan pemberian izin dan dimungkinkan keputusan tersebut untuk di tarik kembali. 3) Keputusanyang menguntungkan atau memberatkan. Menurut isinya izin merupakan kekputusan yang menguntungkan, karena memberi hak pada penerimanya. Namun suatu keputusan perizinan dapat mengandung unsur memberatkan dalam ketentuan-ketentuan yang dikaitkan padanya. 4) Keputusan yang segera berahkir atau berlangsung lama.
Didalam
keputusan perizinan dapat diadakan perbedaan antara izin-izin yang menyangkut tindakan-tindakan yang akan segera berakhir dan izin-izin yang berkaitan denagan tindakan-tindakan tanpa batas. Izin bangunan hanya berlaku untuk mendirikan bangunan tidak untuk pengurusan atau pemakaian yang dibangun termasuk dalam jenis pertama. Perbedaan antara izin untuk tindakan yang segera berakhir dan izin dalam waktu yang
lama,
mempunyai
arti
bagi
pertanyaan
tentang
kemungkinanpenarikankembali izin. Secara umum diterimanya bahwa setelah berlakunya tindakan yang segera berakhir, suatu izin yang berhubungan dengannya tidak dapat ditarik kembali. Penarikan kembali hanya dimungkinkan, jika peraturan Undang-Undang menetapkan dengan
tegas
atau
bila
izin
diberikan
secara
salah
karena
perbuatantercela dari pemegang izin. 5) Keputusan yang bersifat pribadi atau kebendaan. Suatu izin disebut pribadi jika isinya tergantung pada sifat aatau kualitas pribadi pemohon izin. Kebendaan adalah izin yang isinya tergantung pada (sifat) UndangUndang gangguan atau izin bangunan diberikan kepada pemohon tanpa adanya peran dari relasi antara pemohon dan obyek izin. Jadi, suatu izin Undang-Undang gangguan dapat diminta oleh setiap orang, dalam
prakteknya sering izin-izin memiliki sifat campuran. Dalam hal ini, izin terdiri atas unsur-unsur kebendaan dan pribadi. e. Ketentuan-Ketentuan, Pembatasan, Syarat-Syarat dan Bentuk Izin Disamping keputusan pasti banyak keputusan Tata Usaha Negara masih mengandung ketentuan-ketentuan, pembatasan-pembatasan atau syarat-syarat, meskipun istilah ini dicampur aduk tetapi ada perbedaannya. 1) Ketentuan-Ketentuan (voorschriften) Yang dimaksud ketentuan ialah kewajiba-kewajiban yang dapat diuraikan dengan keputusan mengguntungkan. Ketentuan-keputusan pada izin terdapat pada praktek adminitrasi, hal ini dapat dilihat pada izin lingkungan, dalam Undang-Undang gangguan misalnya ditujuk jenis-jenis ketentuan mana yang biasa dikaitkan : a) Ketentuan-ketentuan tujuan (mewujudkan tujuan-tujuan tertentu) b) Ketentuan-ketentuan
sarana
(kewajiban
menggunakan
sarana
tertentu) c) Ketentuan-ketentuan instruksi (kkewajiban bagi pemegang izin untuk memberi instruksi-insstruksi tertulis pada personel dalam lembaga) d) Ketentuan-ketentuan ukur dan pendaftaran (pengukuran untuk penilaian kadar bahaya atau gangguan) Dalam hal ini ketentuan-ketentuan tidak dipatuhi, terdapat pelanggaran izin. Tentang sanksi yang diberikan atasnya,pemerintahan harus memutuskan tersendiri.
2) Pembatasan-pembatasan (beperkingen) Petunjuk pembatasan-pembatasandalamizin memberi kemungkinan untuk
secara
praktis
melingkari
lebih
lanjut
tindakan
yang
diperbolehkan. Pembatasan-pembatasan dibentuk dengan menunjuk batas-batas dalam waktu, atau dengan cara lain. 3) Syarat-syarat perizinan Dengan menetapkan syarat-syarat, akibat-akibat hukum tertentu digantungkan pada timbulnya suatu peristiwa dikemudian hari yang belum pasti. Kadang kala syarat-syarat, dengan mengikuti hukum perdata, dibedakan dalam syarat-syarat penagguhan, ketetapan justru memperoleh kekuatan setelah adanya peristiwa. 4) Bentuk-bentuk izin yang pada umumnya ada dikalangan masyarakat ada empat, yang terdiri : a) Izin (vergunning) Merupakan pengikatan aktivitas-aktivitas pada suatu peraturan izin yang pada dasarnya didasarkan pada keinginan pembuat UndangUndang untuk mencapai tatanan tertentu atau menghilangkan keadaan yang buruk. b) Dispensasi Merupakan pengecualian atas larangan sebagai aturan umum karena keadaan khusus pada peristiwa tertentu.
c) Lisensi Merupakan izin untuk perorangan atau perusahaan yang berpindah adalah hak monopoli pemerintah dalam memberikan pelayanan. d) Konsensi Merupakan izin khusus yang diberikan kepada suatu bentuk perusahaan yang berpindah adalah hak biasa. 4. Tinjauan Umum tentang Perusahaan dan Industri a. Pengertian Perusahaan Rumusan pengertian perusahaan terdapat dalam Pasal 1 UndangUndang nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (selanjutnya disingkat UWDP). Dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (UWDP), defiisi perusahaan adalah sebagai berikut : Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terusmenenrus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan laba. (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Bagian 3, 1996 : 1). b. Pengertian Industri Pengertian industri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hasan Alwi, dkk. (2002 : 431), adalah kegiatan memproses atau mengolah suatu barang dengan menggunakan sarana dan peralatan tertentu.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Perindustrian No. 5 Tahun 1994, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, setengah jadi dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah, bahwa pengertian industri adalah suatu unit usaha/kesatuan produksi yang terletak pada tempat tertentu yang melakukan kegiatan untuk mengubah barangbarang (bahan baku) dengan mesin atau dengan tangan menjadi produk baru, atau mengubah barang-barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk mendekatkan produk tersebut kepada konsumen akhir. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dalam suatu industri terdapat suatu proses untuk menghasilkan barang baru dengan nilai yang lebih tinggi. Berdasarkan jumlah tenaga kerjanya, Biro Pusat Statistik (2005 : 242) menggolongkan industri menjadi 4 kelompok, yaitu : a. Industri besar adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih. b. Industri sedang adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 20-99 orang atau lebih.
c. Industri kecil adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 5-19 orang atau lebih. d. Industri skala mikro adalah usaha kerajinan rumah tangga yang mempunyai pekerja antara 1–4 orang. Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Perindustrian No. 5 Tahun 1994, industri digolongkan menjadi 4 menurut sifat dan tingkatan dalam proses produksi, yaitu : a. Industri primer, yaitu industri yang berkaitan dengan sumber dari alam/permukaan bumi, termasuk di dalamnya pertanian, perikanan, pertambangan, dan perkebunan. b. Industri sekunder, di mana pada industri ini sumber-sumber alam yang terkumpul pada tingkat primer dibuat ke dalam produksi-produksi lain. Dengan demikian melibatkan pabrik yang banyak dan bisa bersifat tertentu. Barang-barang yang dibuat oleh salah satu pengusaha, untuk pengusaha lain, atau langsung untuk masyarakat umum. c. Industri tersier, yaitu identik dengan perdagangan, pendistribusian barang, jasa perniagaan untuk ditransfer barang-barang borongan dan eceran. Perjanjiannya adalah industri-industri perusahaan primer dan sekunder dalam bentuk barang. d. Industri kuarter, yaitu industri yang terdiri dari jasa-jasa perorangan. Perjanjiannya tidak sama dengan industri tersier, tetapi dengan orangorang yang memerlukan ketrampilan khusus (1994 : 167-168).
c. Pengertian Industri Kecil dan Industri Skala Mikro Industri kecil adalah perusahaan yang mempunyai tenaga kerja 5 - 19 orang atau lebih (Biro Pusat Statistik, 2005 : 242). Berdasarkan Undang-Undang Usaha Kecil No. 9 Tahun 1995 (1995 : 10), yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah, bahwa usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ciri-ciri industri kecil menurut Mubyarto adalah : a. Kebanyakan tenaga kerja diperoleh dari dalam rumah tangga dan sanak keluarga. b. Teknologi yang digunakan bersifat tradisional, sangat sederhana dan lebih banyak menggunakan tenaga tanpa mesin. c. Bahan dasar umum didapat dari pedesaan setempat atau desa sekitarnya. d. Pemasaran dari industri tidak didasarkan pada profesi dan tengkulak. e. Industri ini selalu merupakan pekerjaan tambahan untuk menambah pendapatan keluarga (Mubyarto, 1983 : 26). Menurut Biro Pusat Statistik (2005 : 242), industri skala mikro adalah usaha kerajinan rumah tangga yang mempunyai tenaga kerja 1 – 4 orang. Industri skala mikro pada umumnya berkembang secara bertahap. Pada
awalnya merupakan usaha sambilan untuk mengisi waktu luang dan hanya menghasilkan barang-barang untuk keperluan sendiri. Selanjutnya usaha tersebut berkembang untuk memenuhi kebutuhan tetangga dan kerajinan yang mulanya hanya sebagai usaha sambilan kemudian berkembang menjadi usaha pokok. Berdasarkan eksistensinya, industri kecil dan skala mikro di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) Indutri lokal adalah industri yang masih menggantungkan usahanya pada pasar setempat. 2) Industri sentra adalah kelompok industri yang jika dipandang dari satuan usaha mempunyai skala kecil, tapi membentuk satu pengelompokan atau kawasan produksi yang menghasilkan barang sejenis 3) Industri mandiri adalah industri kecil yang sudah menerapkan teknologi modern dalam proses kerjanya (Mubyarto, 1985 : 13). Aktivitas di bidang industri kecil dan skala mikro dapat berhasil apabila didukung oleh faktor-faktor produksi. Menurut Renner dalam Mubyarto (1985 : 23), faktor-faktor yang mempengaruhi suatu industri adalah raw material (bahan baku), capital (modal), labour (tenaga kerja), power (sumber tenaga), transportation (transportasi), dan market (pasar). Dalam suatu proses produksi, faktor-faktor tersebut saling mendukung. Menurut Mubyarto, industri kecil dan rumah tangga memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi pedesaan, karena :
a. Industri kecil memberikan lapangan kerja pada penduduk pedesaan yang pada umumnya tidak bekerja secara rutin b. Industri kecil memberikan tambahan pendapatan, tidak saja bagi para pekerja atau kepentingan keluarga, tetapi juga bagi anggota-anggota lain. c. Dalam beberapa hal, industri kecil mampu memproduksi barang keperluan penduduk setempat dan daerah lain secara lebih efisien dibandingkan dengan industri besar dan sedang (Mubyarto, 1983 : 216). Pentingnya industri pedesaan juga dikemukakan oleh Donald Snadgrass dalam Dawam Raharjo, yaitu bahwa kemampuan industri kecil dan industri skala mikro untuk menyerap tenaga kerja lebih besar dari kemampuan industri besar dan sedang. Industri kecil dinilai penting tidak saja dalam segi kesempatan kerja melainkan juga untuk lebih memantapkan landasan pertumbuhan (Dawam Raharjo, 1984). Senada dengan pendapat di atas, Mubyarto mengemukakan bahwa industri kecil yang terdapat di pedesaan pada dasarnya mempunyai peranan antara lain : dapat memberi nafkah dan peningkatan taraf hidup penduduk yang terlibat di dalamnya, dapat memberikan lapangan pekerjaan dan meratakan pendapatan. Dalam hal ini adanya industri di pedesaan akan dapat membantu dan menopang tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor pertanian, sehingga perkembangan industri kecil akan mampu
mengurangi
pengangguran
serta
dapat
meningkatkan
pendapatan
(Mubyarto, 1985 : 12). Sementara itu menurut Surbakti (1992 : 12), keunggulan dari industri kecil dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut : a. Mengurangi laju urbanisasi. b. Sifatnya yang padat karya, akan menyerap tenaga kerja yang lebih besar perunit yang nantinya akan diinvestasikan. c. Masih dimungkinkan lagi tenaga kerja yang terserap untuk kembali ke sektor pertanian, khususnya menjelang saat-saat sibuk karena letaknya yang berdekatan. e. Penggunaan
teknologi
yang
sederhana
mudah
dipelajari
dan
dilaksanakan (Mubyarto, 1985 : 65). Industri kecil merupakan sektor yang secara efisien mampu berperan sebagai sarana pertumbuhan dan sekaligus pemerataan. Kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja menyebabkan ia dapat berperan sebagai katup pengaman bagi penyelesaian masalah pengangguran. Jumlahnya yang sangat banyak dan tersebar hampir di seluruh pelosok nusantara memungkinkan industri kecil mampu memainkan peran yang dibebankan kepadanya (Surbakti, 1992 : 4). Persebaran suatu industri berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah dapat menentukan lokasi industri. Kebijaksanaan ini dapat berupa dorongan atau hambatan dan bahkan
larangan untuk mendirikan industri di tempat tertentu. Dewasa ini, kebijaksanaan pengaturan lingkungan, perencanaan kota yang didasarkan atas pembagian daerah, lazim disebut zoning, merupakan kebijaksanaan yang semakin biasa. Seperti telah disebutkan di atas, maka kebijaksanaan tersebut tidak hanya mengatur masalah yang ada pada lingkungan, akan tetapi dapat juga merupakan pertimbangan dan pertahanan dalam hal perekonomian. Selain industri mengakibatkan pengotoran udara, industri merupakan sasaran dalam perang, oleh karena itu lokasinya perlu dipisahkan dari daerah permukiman (Mubyarto, 1985 : 47). Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk pembangunan suatu industri harus diarahkan pada pemilihan lokasi yang tepat, sesuai dengan kondisi dan potensi geografis daerah tersebut, sehingga diharapkan industri tersebut dapat memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan masyarakat.
d. Bentuk Perusahaan yang Diatur Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) a) Perseroan Menurut Pasal 1618 KUHS, Perseroan (maatschap) adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekututan denagn maksud untuk memabagi keuntungan yang terjadi karenanya. Dalam bentuk perusahaa ini terdapat beberapa orang yang mengadakan persetujuan akan
berusaha bersama-sama guna memeperoleh keuntungan benda, dan untuk mencapai tujuan itu mereka masing-masing berjanji akan menyerahkan uang atau barang-barang atau menyediakan kekuatan kerja atau kerajinannya (vide Pasal 1619 KUHS) (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2005 : 70). b) Perseroan Firma Menururt perumusan Pasal 16 dan 18 KUHD, yang dimaksudkan dengan Persero Firma ialah tiap-tiap perseroan (maatschap) yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dibawah satu nama bersama, dimana anggota-anggotanya langsung dan sendiri-sendiri bertanggung jawab sepenuhnya terhadap orang-orang pihak ketiga (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2005 : 75-76). c) Perseroan Komanditer (CV) Pasal 19 KUHD menyebutkan bahwa Peseroan Komanditer adalah suatu perseroan untuk menjalankan suatu perusahaan yang dibentuk antara satu orang atau beberapa orang pesero yang secara tanggungmenanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung jawab solider) pada satu pihak, dan satu orang atau lebih sebagai pelas uang (geldschieter) pada pihak yang lain (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2005 : 84). d) Perseroan Terbatas (PT) Pada umumnya orang berpendapat bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah suatu bentuk perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas saham-
saham, dalam mana para pemegang saham (persero) ikut serta dengan mengambil satu saham atau lebih dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum dibuat oleh nama bersama, dengan tidak bertanggung jawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu (dengan tanggung jawab yang semata-mata terbatas pada modal yang mereka setorkan) (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2005 : 91). 5. Tinjauan Teoritis tentang Pendirian Perusahaan Rokok Berkaitan dengan izin pendirian perusahaan khususnya perusahaan rokok, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai dan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2008 tentang pajak daerah, bahwa “setiap orang yang akan menjalankan kegiatan usaha sebagai : pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran, wajib memiliki izin berupa Nomor Pokok Barang Kena Cukai dari Menteri. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 didalam Pasal 1 (ayat 2) mengatakan bahwa “Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai bagi pengusaha pabrik dan importir hasil tembakau yang selanjutnya disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik dan importir hasil tembakau”. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 mengatakan bahwa “Setiap orang yang akan menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik atau importir, wajib memiliki NPPBKC” Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 134/PMK.04/2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukia Hasil
Tembakau, Perusaahaan hasil tembakau (rokok) dikelompokkan menjadi tiga kelompok perusahaan yaitu : a. Perusahaan dengan skala besar (Golongan Pengusaha Pabrik I) yaitu perusahaan yang hasil produksinya berupa rokok sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) yang jumlah produksinya lebih dari 2 milyar batang setiap tahunnya b. Perusahaan dengan sklala menengah (Golongan Pengusaha Pabrik II) yaitu perusahaan yang hasil produksinya berupa rokok sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) yang jumlah produksinya lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang. c. Perusahaan dengan skala kecil yaitu (Golongan Pengusaha Pabrik III) yaitu perusahaaan yang hasil produksinya berupa rokok sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) yang jumlah produksinya tidak lebih dari 500 juta batang. Pengelompokan perusahaan hasil tembakau atau rokok tersebut adalah berdasarkan jumlah produksi rokok batangan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. 6. Tinjauan Penelitian Yang Relevan Beberapa penelitian yang telah dilakukan belum ada yang membahas tentang penyederhanaan proses perizinan perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung. Beberapa penelitian di bawah dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam penulisan. Berikut penelitian yang relevan: a. Penelitian dari Yulia Adyana (2008) tentang Perizinan Objek Wisata di Kabupaten Magelang, bertujuan untuk mengetahui proses perizinan obyek wisata Kabupaten Magelang yang dilakukan Pemkab Magelang, serta tidak
lepas dari hambatan dan kendala. Untuk itu, diperlukan kerjasama dari pihak luar. Hasil dari penelitian ini adalah membantu dari segi pendanaan untuk mendukung segala aktivitas yang dilakukan oleh Pemkab Magelang. Dana itu digunakan untuk perizinan kawasan wisata beserta sarana dan prasarananya. b. Penelitian yang dilakukan oleh Puput Tri Komalasari (2005) tentang Degree of Tax Payer Compliance Tax Tariff the Testing on the Impact of Income Types bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai proses terjadinya pembayaran pajak (cukai) sesuai tarif pita cukai yang tertera pada kemasan produk. Hasil dari penelitian ini adalah dibentuknya paguyuban pada komunitas perusahaan ekspor bekerjasama untuk menerapkan aturan tarif pita cukai yang sesuai dan seukuran kemasan produk. c. Penelitian Dhian Widyasari (2007) tentang Ambiguitas Perizinan Pedagang di Jalan Sriwedari Kota Solo. Hasil dari penelitian ini adalah perizinan pedagang terhadap kebijakan relokasi yang digulirkan Pemkot Solo bersifat ganda, yaitu bahwa pemaknaan pedagang secara ideal dimaknai sebagai sesuatu yang positif pula. Selain itu, perizinan pedagang memunculkan dua kategorisasi pedagang yang mengikuti relokasi yang akomodatif dan pedagang liar yang secara terbuka maupun tertutup menolak relokasi. Dari deskripsi hasil penelitian yang relevan, maka dapat diketahui bahwa hasil penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Persamaannya terdapat pada kajian teori yang dilakukan, yaitu sama-sama menggunakan teori fenomenologi, sehingga penelitian yang dilakukan sama-sama ingin mendeskripsikan interaksi antara pedagang dengan Pemkab Magelang. Selain adanya persamaan, dalam penelitian juga terdapat perbedaan, yaitu pada tujuan penelitiannya.
Penelitian
Yulia
Adyana
mengatakan
bahwa
tujuan
penelitiannya yaitu untuk mengetahui proses perizinan obyek wisata Kabupaten Magelang yang dilakukan Pemkab Magelang, serta tidak lepas dari hambatan dan kendala. Dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada implementasi kebijakan Pemkab Magelang dan persepsi masyarakat sekitar terhadap perizinan pedagang yang berada di kawasan wisata Kabupaten Magelang. 2.
Kerangka Pemikiran
Para pelaku kegiatan usaha dibidang hasil tembakau (rokok) dalam malakukan kegiatan usahanya diwajibkan memiliki izin usaha berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Pasal 14 (ayat 1 huruf a). Izin usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 (ayat 1 huruf a) Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tersebut berlaku terhadap perusahaan dengan skala besar, menengah, maupun perusahaan dengan skala mikro dan skala kecil.
UU No. 39 Tahun 2007 PP No. 72 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 134/PMK.04/2007 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008
NPPBKC
Penerimaan Negara
Perusahaan Rokok
Besar
Menengah
Modal
Peningkatan
Saat Ini
Penyederhanaan
Kecil
Kendala
SDM
Hilang
Regulasi
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
Pengurusan perizinan kegiatan usaha dibidang industri rokok, bagi perusahhan yang berskala beasr atau menegah tidak akan mengalami kendala dikarenakan pada umumnya perusahaan skala besar atau menengah memiliki modal maupun sumberdaya manusia yang memadai. Namun tidak demikian hal
nya dengan pelaku usaha rokok yang berskala kecil atau sangat kecil, dikarenakan para pelaku usaha indstri rokok kategori ini tidak memiliki modal yang memadai bahkan sumber daya manusianya pun sangat terbatas. Pada umumnya para pelaku usaha industri rokok skala kecil dan sangat kecil banyak dilakukan sebagai industri rumahan yang dikerjakan hanya dengan satu atau dua orang tenaga kerja saja dan dengan latar belakang pendidikan yang rendah. Pelaku usaha industri rokok kategori kecil dan sangat kecil ini akan menghadapi kendala ketika melegalisasikan izin usaha. Dalam merangka mencari solusi untuk memudahkan atau memberikan kemudahan atas pengurusan izin industri rokok, pemerintah daerah kabupaten Tulungagung telah mengeluarkan keputusan bupati nomor 775 tahun 2005 tentang pelayanan perizinan dengan sistem pelayanan satu pintu, yaitu pemberian pelayan terhadap pengajuan izin usaha industri, izin ganguan (HO), izin mendirikan banguan, izin usaha perdagangan, dan izin pemakaian gudang. Untuk mendapatkan izin pengusaha industri rokok atau Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), pelaku usaha harus melengkapi kelengkapan administrasi beberapa izin dari insatnsi terkait (kantor pelayanan terpadu), hal tersebut merupakan kemudian akan menjadi kendala bagi pelaku usaha industri rokok dengan skala kecil dan skala sangat kecil tersebut. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, maka perlu dicari jalan keluar yang lebih memudahkan bagi para pelaku usaha industri rokok skala kecil dan sangat kecil agar dapat melegalisasikan usahanya guna memperoleh Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Untuk menjaga hilangnya potensi penerimaan negara dari pungutan tembakau agar hak-hak negara yang berasal dari pungutan cukai rokok dapat dimaksimalkan pemungutannya.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi Penelitian Gambaran Umum Kabupaten Tulungagung Kabupaten Tulungagung adalah salah satu dari 25 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur yang berada di sisi selatan. Wilayah Kabupaten Tulungagung membentang ke arah lereng Gunung Wilis. Dengan posisi tersebut, wilayah Kabupaten Tulungagung merupakan wilayah hulu Propinsi Jawa Timur. Pengembangan wilayah Kabupaten Tulungagung tidak terlepas dari kondisi Tulungagung sebagai bagian integral dari Jawa Timur. Sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah dan sosial ekonomi masyarakat, pengembangan pembangunan Kabupaten Tulungagung diarahkan sebagai pusat penghasil pangan, daerah tujuan wisata, pengembangan industri kecil (hasil tembakau), agro industri dan industri jasa. Bahkan dalam perkembangannya, Kabupaten Tulungagung diibaratkan miniatur Indonesia, karena latar belakang budaya masyarakat Tulungagung yang berasal dari berbagai suku di Indonesia. Walaupun demikian kehidupan masyarakat Tulungagung baik penduduk asli dan pendatang sehari-hari tetap menjunjung tinggi nilai budaya Jawa, dengan ciri khas sikap gotong royong yang tinggi dan sikap yang ramah tamah.
a. Geografi dan Topografi Kabupaten Tulungagung secara geografis terletak diantara 1080 15’ 03’’ dan 1080 29’ 30’’ Bujur Timur, 70 34’ 51’’ dan 70 47’ 03’’ Lintang Selatan. Jarak terjauh Utara-Selatan 32 Km, Timur-Barat 35 Km. Wilayah Kabupaten Tulungagung seluas 18% dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur atau seluas 57.482 ha. Dari luas wilayah tersebut termanfaatkan untuk tanah sawah seluas 23.426 ha (40,75%), tanah tegalan seluas 6.429 ha (11,18%), tanah pekarangan seluas 18.794 ha (32,69%), kolam seluas 370 ha (0,64%) dan lain-lain seluas 5.536 ha (9,63%).
Wilayah Kabupaten Tulungagung sebelah selatan berbatasan dengan Laut Kidul, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Blitar, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kediri, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur.
Secara topografis, wilayah Kabupaten Tulungagung merupakan wilayah dataran perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian antara 100 meter hingga 2.500 meter diatas permukaan laut. Wilayah bagian selatan relatif datar kecuali perbukitan sebelah tenggara Kecamatan Bandung dan sebagian Kecamatan Ngantru. Semakin ke selatan kondisi semakin bergelombang. Di bagian utara wilayah Tulungagung (lereng Gunung Wilis) kondisi alam relatif terjal, namun tingkat kesuburannya tinggi dan terdapat banyak sumber air.
b. Iklim Iklim di wilayah Kabupaten Tulungagung termasuk tropis dengan musim hujan antara November – April dan musim kemarau antara Mei – Oktober. Curah hujan rata-rata berkisar antara 1500 – 3000. c. Pembangunan Kota dan Pusat Pertumbuhan Wilayah Perkembangan wilayah perkotaan di Kabupaten Tulungagung banyak dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan masyarakat baik kegiatan sosial maupun ekonomi. Kegiatan tersebut berkaitan dengan karakteristik wilayah, jalur lintas antar daerah, wilayah tumbuh cepat dan pusat-pusat pertumbuhan. 1) Berdasarkan karakteristik sumber daya yang ada, wilayah Kabupaten Tulungagung terbagi menjadi 4 wilayah, yaitu: a) Wilayah
lereng
menghubungkan
Gunung kota
Wilis,
dimulai
Tulungagung,
dari
Kecamatan
jalan
yang
Kalidawir,
Kecamatan Rejotangan dan Kecamatan Pucanglaban sampai dengan puncak Gunung Wilis. Wilayah ini merupakan sumber daya air dan ekowisata yang berorientasi pada kegiatan Gunung Wilis dan ekosistemnya. b) Wilayah timur yang meliputi Kecamatan Bandung, sebagian Kecamatan Gondang dan Kecamatan Gondang. Wilayah ini
merupakan pusat wisata budaya dan daerah lahan kering serta sumber bahan baku putih. c) Wilayah tengah yaitu wilayah aglomerasi kota Tulungagung yang meliputi Kecamatan Ngantru. Wilayah ini merupakan pusat perdagangan dan jasa. d) Wilayah barat meliputi Kecamatan Kedungwaru, Kecamatan Karangrejo, Kecamatan Besuki dan Kecamatan Pakel merupakan daerah pertanian lahan basah yang tersedia cukup air dan sumber bahan baku kegiatan industri hasil tembakau, industri kerajinan mendong, bambu serta gerabah. 2) Berdasar jalur lintas antar daerah, kondisi wilayah Kabupaten Tulungagung dilewati jalur jalan negara yang merupakan jalur ekonomi yang menghubungkan Tulungagung dengan kota-kota lain (Madiun, Blitar, Surabaya). Jalur ini melewati wilayah Kecamatan Bandung, Kecamatan Gondang, Kecamatan Kauman, Kecamatan Pagerwojo dan Kecamatan
Ngantru.
Selain itu, wilayah
Kecamatan
Kauman,
Kecamatan Pagerwojo dan Kecamatan Ngantru juga dilalui jalan lingkar yang merupakan wilayah yang cepat perkembangannya, yaitu dari agraris menjadi industri, perdagangan dan jasa. 3) Berdasarkan
pusat-pusat
pertumbuhan
wilayah,
Kabupaten
Tulungagung merupakan wilayah hinterland. Berdasarkan letak kota Tulungagung dan mobilitas kegiatan masyarakat, dapat dibedakan fungsi kota Tulungagung sebagai berikut: a) Wilayah aglomerasi (perkembangan kota dalam kawasan tertentu). Karena perkembangan kota Tulungagung, maka Kecamatan yang berbatasan dengan kota Tulungagung yaitu Kecamatan Kauman, Kecamatan Ngantru serta sebagian wilayah Kecamatan Sendang dan Kecamatan Pakel merupakan wilayah aglomerasi kota Tulungagung.
b) Wilayah sub urban (wilayah prebatasan antar desa dan kota). Kecamatan
Kedungwaru,
kota
Tulungagung
dan
Kecamatan
Sendang. c) Wilayah fungsi khusus/buffer zone (wilayah penyangga) Kecamatan Kalidawir,
Kecamatan
Rejotangan
dan
Kecamatan
Bandung
merupakan kota pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya dan merupakan pendukung dan batas perkembangan kota ditinjau dari kota Tulungagung.
d. Prioritas Pembangunan Daerah Prioritas pembangunan daerah di Kabupaten Tulungagung dirumuskan sebagai berikut: 1) Mewujudkan Pemerintah Daerah Yang Baik Prioritas
pembangunan
untuk
mewujudkan
pemerintahan
daerah/Kabupaten yang baik dilakukan melalui pembangunan di bidang hukum, bidang politik, bidang penyelenggaraan pemerintahan, bidang komunikasi, informasi dan media massa, bidang ketentraman dan ketertiban. 2) Meningkatkan Kegiatan Ekonomi Daerah Untuk meningkatkan kegiatan ekonomi daerah, prioritas pembangunan di bidang ekonomi meliputi industry hasil tembakau (rokok), pertanian dan kehutanan, sumber daya air dan irigasi, perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah, pengembangan usaha dan keuangan daerah, transportasi, pertambangan, energi dan pariwisata.
3) Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Prioritas pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui pembangunan bidang agama, pendidikan, pemuda dan oleh raga, kependudukan, keluarga berencana, tenaga kerja dan transmigrasi, kesehatan dan kesejahteraan sosial, pemberdayaan perempuan, kebudayaan dan kesenian, serta industry kecil (hasil tembakau). 4) Meningkatkan Kapasitas Pengembangan Potensi Wilayah Meningkatkan pembangunan dalam rangka meningkatkan kapasitas pengembangan potensi wilayah dilaksanakan melalui pembangunan bidang perdesaan dan perkotaan, pemanfaatan ruang, pertanahan, perumahan dan pemukiman, wilayah perbatasan serta sumber daya alam dan lingkungan hidup.
e. Wilayah Administratif Secara administratif Kabupaten Tulungagung terbagi menjadi 17 Kecamatan dan 86 Desa. Untuk membantu pelaksanaan pemerintah desa di Kabupaten Tulungagung terdapat 1.212 dusun, 2.886 RW dan 6.961 RT. Tabel 1. Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Tulungagung No
Kecamatan
Banyaknya Desa
Dusun
Luas (Ha)
1.
Pakel
4
65
2.762
2.
Kedungwaru
7
77
2.684
3.
Karangrejo
5
68
2.727
4.
Ngantru
5
59
2.925
5.
Besuki
5
67
2.663
6.
Boyolangu
4
54
4.309
7.
Kalidawir
8
98
3.249
8.
Tulungagung
6
83
3.132
9.
Sendang
5
87
3.852
10.
Pagerwojo
5
74
2.852
11.
Kauman
3
58
3.555
12.
Pucanglaban
5
73
4.799
13.
Tanggunggunung
5
61
4.384
14.
Rejotangan
5
82
3.571
15.
Sumbergempol
4
80
3.584
16.
Gondang
4
58
2.299
17.
Bandung
6
68
4.135
Jumlah
86
1.212
57.482
Sumber: BPS Kabupaten Tulungagung, 2009
Dengan mempertimbangkan status Kabupaten Tulungagung sebagai hiterland dari Kota Tulungagung maka dari 86 desa yang ada 27 desa terkategorikan sebagai desa pedesaan dan 59 desa merupakan desa perkotaan.
f. Perkembangan Penduduk Menurut registrasi penduduk sampai pertengahan tahun 2005 jumlah penduduk Kabupaten Tulungagung 856.558 (naik 0,84%) yang terdiri dari 423.333 jiwa penduduk laki-laki dan 433.225 jiwa penduduk wanita. Sementara itu kepadatan penduduk Kabupaten Tulungagung rata-rata 1.490 orang per km2. Kepadatanpenduduk yang tertinggi terdapat di Kecamatan Kauman yakni 3.102 orang per km2. Sedangkan kepadatan
penduduk yang paling rendah terdapat di Kecamatan Pucanglaban yakni hanya 554 orang per km2. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tulungagung dari tahun ke tahun diupayakan untuk dikendalikan. Pada tahun 2005 berdasarkan hasil perhitungan rumus dan sensus penduduk (SP) tahun 2003 pertumbuhan penduduk Kabupaten Tulungagung sebesar 1,43%. Sedangkan berdasarkan data registrasi pertumbuhan Kabupaten Tulungagung pada tahun 2005 mencapai 1,48%.
Pertumbuhan penduduk Kabupaten Tulungagung tergolong sangat tinggi dibanding pertumbuhan penduduk kabupaten lain di Jawa Timur. Migrasi masuk lebih besar dibanding migrasi keluar sebagai tujuan pendidikan dan akibat pesatnya pertumbuhan perumahan dan pemukiman di Kabupaten Tulungagung. Sampai bulan Desember 2008 penduduk yang datang mencapai 11,498 orang, lahir 10.610 orang, mati 4.127 orang dan yang migrasi keluar 6.447 orang.
Tabel 2. Perkembangan Penduduk Kabupaten Tulungagung Tahun 2000 2001 2002 2005 2008
Luas Km2 Pertumbuhan Penduduk Kepadatan Penduduk 574,82 819.800 1.426 574,82 828.960 1.442 574,82 838.628 1.442 574,82 850.176 1.479 574,82 862.314 1.500 Sumber: BPS Kabupaten Tulungagung, 2009
Jumlah kepala keluarga di Kabupaten Tulungagung 216.137 Kepala keluarga, terdiri dari kepala keluarga laki-laki 178.952 orang dan kepala keluarga perempuan 37.185 orang. Rata-rata setiap keluarga terdiri dari 4,2 jiwa. Dalam memberikan pelayanan di bidang administrasi kependudukan, telah diterbitkan surat-surat kependudukan yakni: 17.295 lembar kartu keluarga, 175.625 lembar KTP, 948 lembar surat keterangan pendaftaran penduduk sementara dan 13.226 lembar surat izin menjadi penduduk. Sementara jumlah pelayanan catatan sipil terdiri dari akta kelahiran 18.211 lembar, akta perkawinan 746 lembar, akta perceraian 44 lembar, akta kematian17 lembar, akta pengangkatan anak 17 lembar, perubahan nama 4
lembar, kutipan akta ke 2,3 dst 99 lembar dan petikan perkawinan 19 lembar. Dari kegiatan pelayanan di bidang kependudukan Pemerintah Kabupaten Tulungagung memperoleh pemasukan dari Biaya Akte Catatan Sipil sebesar Rp. 125.423.500, - atau 104,52% dari target sebesar Rp. 120.000.000,-
dan
penerimaan
dari
pembaharuan
KTP
sebesar
Rp.131.718.750,- atau 92,43% dari target sebesar Rp. 142.500.000,-.
g. Aparat Pemerintah Untuk melaksanakan kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Hingga bulan Desember 2005, di lingkungan Pemda Kabupaten Tulungagung terdapat 14.218 PNS yang terdiri dari 6.255 (43,99%) PNS wanita dan 7.963 (56,01%) PNS laki-laki. Rasio pegawai terhadap jumlah penduduk 1:60,24 artinya seorang pegawai melayani 60,24 jiwa penduduk Latar belakang pendidikan PNS terdiri dari S2 sebanyak 36 orang atau 0,25%, S1 sebanyak 2.535 orang atau 17,83%, Diploma sebanyak 4.867 orang atau 34,23, SLTA sejumlah 5.665 orang atau 39,84%, SLTP sebanyak 589 orang atau 4,14%, SD sebanyak 526 orang atau 3,70%. Sementara berdasarkan golongan PNS Tulungagung terdiri dari 2,80% atau 398 orang Gol. I, 21,30% atau 3.028 orang Gol. II, 57,64% atau 8.195 orang Gol III dan 18,27 atau 2.597 orang Gol IV. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kinerja aparat pemerintah Kabupaten Tulungagung, peningkatan kualitas SDM terus diupayakan baik melalui peningkatan pendidikan formal, pendidikan penjenjangan, teknis fungsional, maupun Diklat Kader. Untuk tahun anggaran 2005 telah
dialokasikan dana pendidikan sebesar Rp. 984.730.000 terdiri dari dana rutin sebesar Rp. 472.290.000 dan dana pembangunan sebesar Rp. 512.440.000. Dari anggaran tersebut telah dihasilkan alumni diklat sebagai berikut: a. Diklat Struktural terdiri dari Diklat SPAMEN 8 orang, Diklat SPAMA 28 orang, dan Diklat ADUM 9 orang. b. Diklat Fungsional terdiri dari KBD 40 orang, KMP 40 orang, Grafis 1 orang, Upgrading 2 orang, Multi Media 2 orang, Public Relations 2 orang, Balance Score Card 30 orang dan AKIP 1 orang. Formasi jabatan struktural yang terdapat di Kabupaten Tulungagung sebanyak 442 yang terdiri dari 1 jabatan eselon II.a, 14 jabatan eselon II.b, 69 jabatan eselon III.a, 17 jabatan eselon III.b dan 341 jabatan eselon IV.a. Sedangkan jumlah pejabat fungsional sampai dengan bulan Desember 2005 sebanyak 10.482 orang yang terdiri dari guru TK 490 orang, guru SD 4.216 orang, guru SLTP 2.705 orang, guru SMU 1.024 orang, guru SMK 866 orang, guru SLB 173 orang, pengawas 47 orang, tenaga fungsionalis medis 783 orang, pustakawan 4 orang, arsiparis 16 orang, penyuluh pertanian 138 orang, penyuluh kehutanan 18 orang dan penyuluh perindustrian 2 orang. Dalam membina kedisiplinan pegawai, Pemerintah Kabupaten Tulungagung telah memberikan hukuman indisipliner kepada 8 orang PNS terdiri dari: a. Hukuman Disiplin Ringan sebanyak 2 orang terdiri dari pernyataan tidak puas secara tertulis 2 orang. b. Hukuman Disiplin Sedang sebanyak 3 orang berupa penundaan kenaikan gaji berkala 1 orang, penurunan gaji sebesar satu kali
kenaikan gaji berkala 1 orang dan penundaan kenaikan pangkat 1 orang. c. Hukuman Disiplin Berat sebanyak 3 orang terdiri dari penurunan pangkat 1 orang, pembebasan jabatan 1 orang dan pemberhentian tidak dengan hormat 2 orang.
h. Pemerintah Daerah Mulai tahun 2005 Kabupaten Tulungagung melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan UU No 22 tahun 1999. Dalam melaksanakan otonami daerah, Pemda Kabupaten Tulungagung telah melaksanakan berbagai penataan kelembagaan, personil dan fisik perkantoran. Dalam penataan kelembagaan, Pemda hanya menerbitkan sebuah Perda yakni Perda No.12 Tahun 2003 tentang perangkat daerah di Kabupaten Tulungagung, sementara operasionalisasi Perda tersebut dijabarkan melalui SK Bupati. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembenahan dan penyempurnaan lembaga perangkat daerah setelah dilaksanakan evaluasi.
Kondisi perangkat daerah setelah otonomi lebih ramping. Apabila sebelumnya perangkat daerah Kabupaten Tulungagung terdiri dari Sekretariat Wilayah/Daerah, Sekretariat DPRD dan 22 Dinas, maka berdasarkan Perda No. 12 Tahun 2003 perangkat Daerah di tingkat Kabupaten Tulungagung terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 8 Dinas, 3 Badan dan 4 Kantor.
Secara lengkap kelembagaan Kabupaten Tulungagung adalah sebagai berikut: a. Sekretariat Daerah b. Sekretariat DPRD c. Dinas Perizinan d. Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Perhubungan e. Dinas Pertanian dan Kehutanan f. Dinas Perekonomian g. Dinas Kesehatan
h. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan i. Dinas Kesejahteraan Masyarakat j. Dinas Ketentraman dan Ketertiban k. Bappeda l. BPKKD m. Badan Pengawasan Daerah n. Kantor Pelayanan Terpadu o. Kantor Kepegawaian Daerah p. Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan, q. Kantor Data Elektronik, Arsip dan Perpustakaan. Penetapan organisasi daerah tersebut dilakukan dengan pertimbangan utama menggabungkan perangkat daerah yang memiliki spesifikasi karakteristik pekerjaan sejenis, yang terbentuk pada saat pelaksanaan percontohan otonomi daerah tahun 1995. Dalam menata kelembagaan, Kabupaten Tulungagung berupaya menciptakan pekerjaan untuk menciptakan pekerjaan bagi pegawai-pegawai limpahan dari pusat. Untukitu pembentukan struktur organisasi diarahkan sampai level bawah dengan membentuk cabang dinas dan UPTD. Hingga akhir tahun 2005 di Kabupaten Tulungagung telah dibentuk 25 UPTD di Dinas Kesehatan yang terdiri 1 RSUD dan 24 Puskesmas, 1 UPTD Dinas Kesehatan masyarakat yakni BLK, 1 UPTD di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yakni SKB dan 1 UPTD di Dinas Perekonomian yakni UPTD pasar.
i. Keamanan dan Ketertiban Dalam menciptakan kondisi keamanan dan ketertiban umum yang stabil dan terkendali Kabupaten Tulungagung senantiasa menitikberatkan sistem ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kemanunggalan ABRI dengan rakyat, pembangunan rakyat terlatih (RATIH) dan perlindungan masyarakat (LINMAS). Untuk itu koordinasi dengan Polres, Kodim, Sospol dan Mawil Hansip senantiasa dilakukan.
Pada tahun akhir tahun 2005 di Kabupaten Tulungagung tercatat terdapat 40 buah Matrik Hansip berdasarkan SK Bupati Nomor: 67/Kep.KDH/1993 dengan jumlah anggota jumlah anggota sebanyak 18.897 orang. Dari jumlah tersebut yang memiliki KTA 7.072 orang dan anggota Hansip yang belum ber KTA 13.930 orang.
Untuk memberikan ketrampilan dan wawasan tentang kehansipan tersebut, para anggota Hansip senantiasa diikutikan: kegiatan Latsar sebanyak 8.404 anggota, Suskalak “B” sebanyak 365 orang, Suskalak “A” sebanyak 133 orang, Suskapin sebanyak 8 orang, latihan SAR sebanyak 158 orang dan pendidikan instruktur sebanyak 2 orang, Targati PPBN tingkat Propinsi 40 orang dan tingkat Kabupaten sebanyak 190 orang.
Kondisi wilayah Kabupaten Tulungagung pada tahun 2005 cukup aman, tertib dan terkendali, walaupun terdapat gejolak politik dan krisis ekonomi. Peristiwa kejahatan, pelanggaran dan tindak pidana ringan di wilayah Kabupaten Tulungagung yang terjadi masih dalam skala wajar. Tindak kejahatan yang telah terjadi selama tahun 2005 sebanyak 1.744 kasus dengan jumlah kerugian Rp. 19.625.445.936. Dibandingkan tahun sebelumnya terdapat peningkatan baik kuantitas maupun nominal kerugiannya.
Untuk mengatasi kabakaran terdapat 1 buah mobil pemadam kebakaran milik Pemda Tulungagung.
Selama tahun anggaran 2005, wilayah Kabupaten Tulungagung yang rawan kejahatan adalah Kecamatan Kedungwaru dan Kecamatan Kauman.
j. Potensi Industri Hasil Tembakau (Rokok) Secara umum Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai daerah penghasil produk-produk hasil tembakau walaupun berskala kecil dan menengah. Peta persebaran perusahaan-perusahaan rokok adalah: Tabel 3. Persebaran Perusahaan Rokok Kabupaten Tulungagung Jumlah No
Kecamatan
Desa
1.
Pakel
Gesikan
2.
Kedungwaru
Rejoagung
Contoh
Perusahaan
Skala
Merek Rokok
200
Mikro
Dua Deli
6
Mikro
Kemangi, Araya,
Boro
Harum Jaya 3.
Karangrejo
Karangrejo
1
Mikro
Nina
4.
Ngantru
5.
Besuki
6.
Boyolangu
7.
Tulungagung
8.
Sendang
9.
Bandung
Ngantru
Keputihan
Bandung
2
Mikro
Fajar
4
Mikro
Jong
16-20
Mikro
Berlian
2
Menengah
Cempaka
3
Kecil
Sari
40
Mikro
Brown
Sumber: KBC Kabupaten Tulungagung, 2009
Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Tulungagung Berdasarkan Keputusan Bupati Tulungagung No. 775 tahun 2005 tentang pelimpahan sebagian kewenangan di bidang perizinan dari Bupati kepada KPT Kabupaten Tulungagung, untuk sementara izin yang dilimpahkan meliputi izin penggilingan padi dan penyosohan beras, izin penggunaan lapangan olahraga milik pemerintah, izin reklame, isin usaha bidang peternakan, dan izin usaha pemutaran film dan usaha rental media elektronik. Penggunaan system pelayanan satu pintu jenis izin lainnya
yang
pemrosesannya melalui KPT ada 7 (tujuh), yaitu Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Industri (IUI), Izin Hak Penempatan Fasilitas Pasar (IHPFP), Izin Gangguan (HO), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan Surat Izin Pemakaian Gudang (SIPG). a. Struktur Organisasi Struktur organisasi dan tata kerja pada KPT semuanya diatur dalam Surat Keputusan Bupati Tulungagung nomor 405 tahun 2001 tentang Pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu. Susunan organisasi KPT terdiri atas: 1) Koordinator 2) Sekretariat
3) Unit Pelayanan, yang terdiri dari a) Sub Unit Informasi b) Sub Unit Operasional c) Sub Unit Keuangan.
Keterangan: : Garis Komando : Garis Koordinator : Garis Pelaksanaan Teknis Gambar 3. Bagan Organisasi Kantor Pelayanan Terpadu Sumber: Surat Keputusan Bupati Tulungagung No. 405, 2001
1) Koordinator Koordinator mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan umum kepada masyarakat yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat atau lokasi oleh beberapa instansi di lingkungan pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi kegiatan: a) Merencanakan Progaram Kerja KPT b) Mencermati,
mengevaluasi
dan
menindaklanjuti
hasil
kerja
sekretariat dan masing-masing sub unit pada unit pelayanan berdasarkan laporan yang telah diberikan.
c) Melakukan
pemantauan,
pengawasan,
pengendalian
terhadap
sekretariat pada masing-masing sub unit pada unit pelayanan serta mengadakan koordinasi penyelenggaraan pelayanan. d) Melaporkan pelaksanaan tugas. 2) Sekretariat Sekretariat mempunyai tugas: a) Menginventarisir dan memonitor permohonan pelayanan sesuai denganjenis-jenis permohonan yang masuk pada KPT. b) Menyampaikan berkas permohonan kepada instansi. c) Memberikan laporan secara tertulis kepada koordinator mengenai jumlah dan jenis permohonan pelayanan yang masuk. d) Melaksanakan urusan ketatausahaan dan rumah tangga KPT. Sekretariat dipimpin oleh seorang sekretaris yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada koordintor. 3) Unit Pelayanan terdiri atas a) Sub Unit Informasi mempunyai tugas melayani informasi yang berkaitan dengan pelayanan umum di KPT. b) Sub Unit Operasi mempunyai tugas melaksanakan pelayanan umum sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam melaksanakan pelayanan umum sesuai dengan kewenangan yang diberikan secara teknis dibedakan atas dua jenis pelayanan yaitu: a) Pelayanan umum yang tidak memerlukan penelitian lapangan, mempunyai tugas:
Memberikan formulir permohonan. Meneliti kelengkapan persyaratan administrasi permohonan pelayanan. Mengembalikan berkas permohonan bagi pemohon yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Memberikan
tanda
bukti
penerimaan
berkas
permohonan
pelayanan dan rincian biaya sesuai ketentuan yang berlaku. Penyampaian dan pencatatan produk pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan yang koordinator. b) Pelayanan umum yang memerlukan penelitian lapangan, mempunyai tugas : Memberikan formulir permohonan Meneliti kelengkapan persyaratan administrasi Mengembalikan berkas permohonan bagi pemohon yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Memberikan tanda terima berkas apabila penelitian di lapangan telah sesuai ketentuan yang berlaku dan menyampaikan rincian biaya. Penyampaian dan pencatatan produk pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Membuat laporan pelaksanaan tugas kepada koordinator. 4) Unit Keuangan mempunyai tugas: a) Menerima pembayaran b) Melaksanakan pengesahan pembayaran c) Melaksanakan pembukuan administrasi keuangan.
d) Menyetorkan penerimaan pembayaran ke kas daerah atau kas negara sesuai penerimaan dan masing-masing instansi. e) Membuat laporan keuangan harian, bulanan maupun tahunan perinstansi. Dari masing-masing sub unit pada unit pelayanan bertanggung jawab kepada koordinator. b. Hubungan KPT dengan Perizinan Bahwa fungsi pelayanan kepada masyarakat adalah merupakan satu tugas pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan Good Govermence. Misi yang diemban oleh pemerintah daerah yaitu pengabdi masyarakat, lahir untuk melayani masyarakat/warganya. Pemerintah daerah menaruh perhatian besar terhadap upaya-upaya reformasi di bidang perizinan dan pelayanan umum lainnya, salah satunya adalah sistem pelayanan perizinan dan pelayanan umum satu atap. Adapun lembaga yang mengelola sistem ini adalah Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Sistem pelayanan satu atap pada hakekatnya adalah penyelenggaraan pelayanan perizinan dan lainnya dalam satu gedung. Sistem ini diyakini sebagai salah satu timbulnya embrio terjadinya proses transformasi dan akuntabilitas dalam pemberian pelayanan umum oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. c. Tugas dan Fungsi Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) mempunyai tugas membantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pelayanan perizinan tertentu dan pelayanan lainnya, yaitu:
a) Memperbaiki pelayanan kepada masyarakat sesuai kewenangan dan peraturan yang berlaku. b) Mengupayakan terpenuhinya hak dan kewajiban bagi pemberi dan penerima pelayanan. c) Mengupayakan pelayanan yang memenuhi sendi-sendi pelayanan yang meliputi kesederhanaan, kejelasan, efisiensi, ekonomis, adil, dan keterbukaan serta tepat waktu. Fungsi KPT adalah perumusan kebijaksanaan teknis di bidang pelayanan perizinan dan pelayanan lainnya, pemrosesan pelayanan perizinan dan pelayanan lainnya, pengelolaan urusan ketatausahaan dan keuangan kantor, penyampaian informasi pelayanan perizinan dan pelayanan lainnya, pemrosesan pengaduan masyarakat perihal pelayanan perizinan dan pelayanan lainnya. Pengelolaan data pelayanan perizinan dan pelayanan lainnya, yaitu: a) Memberikan pelayanan kepada masyarakat Tulungagung, dan untuk menyenangkan warganya sebagai pelanggan. b) Untuk mewujudkan terlaksananya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat sehingga masyarakat merasa terlayani dengan baik dan selanjutnya merasa ikut handarbeni / memiliki guna mewujudkan kepentingan masyarakat luas. d. Pembiayaan Biaya operasional KPT dibebankan pada APBD dan diikutkan dalam anggaran Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Tulungagung. e. Sistem dan Prosedur Pelayanan
Sistem pelayanan di KPT Kabupaten Tulungagung telah menggunakan sistem komputer dengan costumer service yang berada pada counter yang tersedia, untuk memberikan kenyamaan bagi pemohon, ruangan dilengkapi dengan AC, TV, sound system, air minum dan ruang tunggu. f. Dasar Hukum Pembentukan Keputusan Bupati Tulungagung Nomor 405 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu (KPT).
Tatacara Perizinan Perusahaan Rokok Langkah-langkah proses pengajuan pengajuan perusahaan-perusahaan rokok baru di wilayah Kabupaten Tulungagung, selama ini mengikuti aturan yang dikeluarkan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan BC Kabupaten Kediri, sebagai Kantor Tipe Madya Cukai, yaitu sebagai berikut: a. Memahami persyaratan pendirian perusahaan rokok, diantaranya: 1) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempattempat lain yang bukan bagian perusahaan yang dimintakan izin. 2) Tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal. 3) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum. 4) Memiliki luas bangunan pabrik paling sedikit 200 m2. b. Memahami penggolongan perusahaan rokok, yaitu Golongan I, Golongan II, dan Golongan III. c. Memahami jenis rokok yang diproduksi (SKT/SKTF/KLB/SPT/SPM/ SKM/TIS). d. Membuat konsep Nama Perusahaan Rokok sesuai keinginan. e. Memahami batasan-batasan Nama Perusahaan Rokok.
f. Memeriksa kesamaan Nama Perusahaan Rokok. Nama Perusahaan Rokok tidak boleh sama. g. Menyiapkan KTP yang masih berlaku, gambar lokasi secara mendetail (batas kanan, kiri, depan, belakang, nama jalan dan keterangan lain), HO (Izin Gangguan), IMB (Izin Mendirikan Bangunan), dan Tanda Daftar Industri (TDI)/Izin Usaha Industri (IUI). h. Setelah dokumen lengkap, memasukkan permohonan pendahuluan ke Loket Kantor Bea dan Cukai (KBC). Petugas Bea dan Cukai (BC) akan meneliti kebenaran/kelengkapan permohonan. i. Apabila telah lengkap dan benar, maka akan dilakukan wawancara dalam rangka memeriksa kebenaran atas: data pemohon sebagai penanggung jawab, dan data dalam lampiran permohonan. Dibuatkan Berita Acara Wawancara. j. Kemudian diadakan pemeriksaan fisik/pemeriksaan lokasi calon pebrik rokok baru. k. Setelah pemeriksaan lokasi dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Lokasi. l. Mengisi formulir PMCK-6 dengan huruf cetak, 3 rangkap, disertai dengan 3 materai, dengan lampiran BAP Pemeriksaan, KTP, NPWP, SIUP, TDUP, TDP/TDI, IUI/IUT, HO, IMB, Akte Pendirian Perusahaan, SKCK, Rekomendasi Depnakertrans, dan Surat Pernyataan. m. Menuju loket front office dan menyerahkan semua berkas dalam map. Petugas loket BC akan meneliti kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir. 1) Pengurusan pendaftaran Perusahaan Rokok Baru ke KBC, sebaiknya dilakukan si pemilik sendiri tanpa diwakilkan atau dikuasakan pada pihak lain. 2) Perlu ketelitian terutama pada angka-angka yang tertera dalam IMB, HO, dan dokumen lainnya harus sesuai satu sama lain.
3) Selalu membawa file/softcopy ke dalam disket/flashdisk guna perbaikan di KBC. 4) Selalu membawa stempel perusahan dan cadangan materai. 5) Selalu meminta penjelasan lengkap atau advis atau saran dari para petugas BC apabila dokumen dinyatakan kurang lengkap atau salah. n. Apabila berkas telah diterima lengkap dan benar, petugas BC akan memperoses pendaftaran Perusahaan Rokok Baru. Kepala KBC, atas nama Menteri Keuangan, mengabulkan atau menolak permohonan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan pendaftaran diterima secara lengkap dan benar. 1) Apabila disetujui akan dikirim surat keputusan tentang penetapan NPPBKC atas nama si pendaftar. 2) Apabila ditolak akan dikirim surat pemberitahuan penolakan disertai alas an penolakan dan saran perbaikan. 3) Standar
waktu
pelayanan
(Key
Performance
Indicator)
untuk
pengurusan NPPBKC/Perusahaan Rokok Baru adalah 3 hari kerja per NPPBKC. Setiap perusahaan rokok sebelum memperoduksi rokok dengan merek baru atau mengubah desain atau tampilan kemasan penjualan eceran atas merek yang sudah ada penetapan tarif cukainya, perusahaan wajib mengajukan permohonan secara tertulis penetapan tarif cukai rokok kepada Kepala KBC. Permohonan tersebut dibuat rangkap 3 (tiga), yang masingmasing dilampiri dengan: a. Contoh etiket atau kemasan penjualan eceran rokok. b. Daftar merek-merek rokok yang dimiliki dan masih berlaku. c. Surat pernyataan di atas materai yang cukup bahwa merek/desain kemasan yang dimohonkan tarif cukainya tidak memiliki kesamaan
pada pokoknya atau pada keseluruhan dengan merek/desain kemasan yang telah dimiliki atau dipergunakan oleh perusahaan rokok lainnya. d. Surat penrnyataan di atas materai yang cukup bahwa merek/desain kemasan yang dimohonkan tarif cukainya bersedia diperiksakan kadar tar dan nikotinnya. Sebelum menyesuaikan tarif cukai rokok dari merek yang sudah ada penetapan tarif cukainya, tanpa melakukan perubahan desain atau tampilan kemasan penjualan eceran atas merek yang bersangkutan, perusahaan rokok wajib mengajukan permohonan penetapan penyesuaian tarif cukai rokok kepada Kepala KBC. Permohonan tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) yang masing-masing dilampiri dengan: a. Contoh etiket atau kemasan penjualan eceran rokok. b. Daftar merek-merek rokok yang dimohonkan penyesuaian tarif cukainya. Dalam pengajuan penetapan tarif cukai rokok, perusahaan rokok tidak boleh: a. Untuk merek baru, dalam hal harga jual ecerannya yang diberitahukan lebih rendah dari harga jual eceran rokok yang dimiliki dan masih berlaku dalam satuan batang atau gram untuk jenis-jenis rokok yang sama, atau b. Untuk merek yang memiliki kesamaan atau kemiripan nama, logo atau desain dengan merek yang dimilikinya dan masih berlaku, dalam hal harga jual ecerannya lebih rndah dari harga jual eceran rokok yang dimilikinya dan masih berlaku dalam satuan batang atau gram untuk jenis rokok yang sama.
c. Untuk merek yang terkait dengan tindak pidana di bidang cukai, dalam jangka waktu 2 tahunn sejak keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap. Kepala KBC melakukan penelitian untuk mengabulkan atau menolak permohonan dari perusahaan pabrik rokok dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. Dalam hal berdasarkan penelitian oleh Kepala KBC permohonan disetujui atau dikabulkan maka akan diterbitkan Keputusan Penetapan Tarif Cukai Rokok, dan dalam hal permohonan ditolak akan diterbitkan surat penolakan dengan disertai alas an penolakan. Khusus untuk Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Cukai Kediri, Kepala KBC dapat mengabulkan atau menolak permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) jam sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. Dalam hal merek/desain kemasan rokok milik perusahaan rokok tidak dipergunakan lagi oleh yang bersangkutan, maka merek/desain kemasan rokok tersebut atas persetujuan yang bersangkutan dapat dipergunakan oleh perusahaan rokok lainnya, dengan catatan bahwa merek/desain kemasan rokok tersebut oleh perusahaan rokok sebelumnya tidak dipesankan pita cukainya selama 6 (enam) bulan secara berturut-turut dan dibuktikan dengan lampiran fotokopi dokumen pemesanan pita cukai terakhir pemilik merek sebelumnya. Dalam hal perusahaan rokok mempergunakan merek/desain kemasan rokok tersebut di atas wajib mengajukan permohonan pengajuan penetapan tarif cukai dengan dilampiri bukti berupa:
a. Fotokopi surat lisensi dari pemilik merek atau surat perjanjian persetujuan penggunaan merek/desain kemasan yang telah disahkan oleh notaries, dan/atau b. Fotokopi surat penunjukan keagenan, distributor, atau importer tunggal dari pemegang merek rokok yang akan diimpor, yang disahkan oleh perusahaan rokok. Perusahaan rokok wajib mengajukan permohonan penetapan penyesuaian tarif cukai rokok dalam hal harga transaksi pasar: a. Telah melampaui batasan harga jual eceran per batang atau gram di atasnya, atau b. Berada pada posisi batasan harga jual eceran per batang atau gram tertinggi pada msing-masing jenis rokok telah melampaui 5% dari harga jual eceran yang berlaku atau harga yang tercantum dalam pita cukai.
Kendala dalam Proses Perizinan Perusahaan Rokok Kalau ditelusuri lebih jauh tatacara perizinan pendirian perusahaan rokok yang dikeluarkan oleh KBC dan berlaku sekarang ini, ditinjau dari aspek yuridis sudah memadai dan patut dilaksanakan seoptimal mungkin. Perusahanperusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung wajib memiliki izin pendirian tersebut, apabila tidak memiliki izin maka maka pendirian perusahaan itu akan menjadi illegal dan peredaran rokok hasil produksinya dapat dikenai sanksi. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan izin pendirian perusahaan rokok selama ini masih mengalami hambatan-hambatan antara lain: 1. Dilihat dari segi masyarakat / pemohon :
a) Pemohon tidak memberikan data yang lengkap, tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena belum tahunya masyarakat akan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan lampiran lampiran yang harus dipenuhi dalam mengajukan izin. b) Adanya penyimpangan izin yang dilakukan oleh pemohon izin tidak digunakan sesuai dengan izin yang ada alias menyimpang, contohnya pemilik melakukan kegiatan/pekerjaan menambah bentuk bangunan pabrik, volume produksi, membuat merek rokok yang lain, dan sebagainya. c) Tidak adanya pemohon izin pada saat dilaksanakan peninjauan ke lapangan juga merupakan hambatan karena hal ini akan menyebabkan sulitnya para petugas dalam mengumpulkan data ataupun meneliti kebenaran dari data yang diberikan oleh pemohon. Keadaan ini disebabkan karena pemohon kurang mengerti dan kurang memahami arti penting dan syarat-syarat ataupun lampiran yang diberikan dalam menentukan keluar atau terbitnya izin. Bahkan karena alasan kesibukan atau tidak paham, ada di antara pemohon yang enggan untuk melayani petugas yang sangat membutuhkan data maupun keterangan-keterangan tentang tanah dan bangunan pabrik. Selain itu juga diakibatkan karena pemohon tersebut bukan pemegang hak milik atas tanah dan bangunan pabrik tetapi hanya sebagai penyewa yang tidak tahu/tidak menyimpan surat-surat tanda bukti pemilikan tanahtanah/bangunan pabrik. Sehingga untuk mendapatkan data/keteranganketerangan harus menghubungi si pemilik atau pemegang hak atas tanah dan bangunan pabrik tersebut. d) Pemegang izin kurang menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan, keselamatan kerja, ketertiban dan keamanan lingkungan, hal ini menyebabkan keresahan masyarakat. e) Masyarakat pemilik perusahaan rokok enggan mengurus izin karena ketidaktahuan serta kurang pemahaman masyarakat akan ketentuan izin mendirikan perusahaan rokok.
f) Kesadaran masyarakat masih kurang itu terbukti dengan adanya surat teguran terlebih dahulu baru mengajukan izin. g) Masyarakat belum tahu tentang fungsi izin perusahaan rokok yang sebenarnya. h) Masyarakat masih menganggap biaya perizinan perusahaan rokok itu mahal, padahal itu tergantung letak bangunan pabrik dan besarnya volume produksi rokok. 2. Dilihat dari segi aparatnya (Petugas BC) a) Sarana dan prasarananya masih kurang. Hal ini terbukti apabila aparat (pegawai KBC) akan mengadakan pengawasan dan peninjauan lokasi harus memakai sepeda motornya sendiri. b) Penugasan di luar kantor tidak rutin. Sehingga itu sangat mempengaruhi dalam pengawasan/pelaksanaan dari perusahaan-perusahaan rokok ilegal. c) Keterbatasan petugas di lapangan yang harus mengawasi seluruh Kabupaten Tulungagung. d) Dalam
melakukan
sosialisasi/penyuluhan-penyuluhan
tentang
izin
perusahaan rokok, tidak rutin waktunya dan hanya dilakukan di tempattempat tertentu saja.
Solusi Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok Dalam Rangka Potensi Peningkatan Penerimaan Negara Dalam kegiatan pendirian perusahaan rokok, masih banyak permasalahanpermasalahan yang terjadi. Untuk mengatasi dan mengantisipasi hal tersebut di perlukan solusi-solusi yang benar-benar dapat menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang ada, karena apabila tidak ada usaha untuk meyelesaikannya maka akan semakin banyak masalah-masalah yang timbul akibat tidak terselesaikannya masalah saat ini dan akan mengakibatkan terjadi hal-hal yang
tidak dinginkan, misalnya ketentuan pelekatan pita cukai rokok yang telah digariskan tidak dapat dilaksanakan. Surat izin usaha perusahaan rokok atau fotokopinya yang telah dilegalisasi diwajibkan senantiasa berada di tempat pekerjaan dan dapat diperlihatkan apabila sewaktu-waktu diminta oleh pengawas KBC untuk keperluan legalitas. KBC berwenang untuk memerintahkan penghentian dan pengembalian tindakan pada suatu perusahaan rokok apabila: a. Pelaksanaan pendirian perusahaan rokok belum memiliki izin usaha. b. Pelaksanaan pendirian bangunan pabrik rokok menyimpang dari yang telah di erikan atau syarat-syarat yang telah ditetapkan. c. Pelaksanaan pendirian perusahaan rokok dilakukan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan tindakan dapat berupa perintah tertulis kepada pemilik atau yang melaksanakan pembangunan pabrik rokok untuk mennyita atau melaksanakan tindakan lain yang secara teknis dapat dilaksanakan. Perintah tertulis dapat dilaksanakan selama 3 kali berturut-turut yang masing-masing bertenggang waktu selama 12 hari kerja. Apabila terjadi perubahan
alamat
pemilik
perusahaan
rokok,
maka
pemilik
harus
memberitahukan secara tertulis kepada KBC. KBC nantinya akan mendatangi lokasi yang dimohonkan perusahaan rokok terkait untuk mengadakan pemeriksaan. Pemohon izin dan pelaksana pekerjaan pabrik rokok diwajibkan untuk memperkenankan dilaksanakan pemeriksaan. a) Apabila dalam tempo enam bulan sejak dikeluarkannya izin usaha pekerjaan membangun pabrik rokok belum dimulai, maka izin usaha tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
b) Izin usaha dapat dicabut apabila ternyata dalam melaksanakan pekerjaan bangunan pabrik rokok dan/atau peredaran hasil produksi menyimpang dari ketentuan atau menyatu syarat-syarat teknis yang ditentukan. c) Setiap bangun pabrik rokok yang didirikan atau dirubah, diperbaiki, dibongkar tidak sesuai dengan izin usaha, KBC dapat memerintahkan kepada pemiliknya untuk menyita bangunan-bangunan tersebut sebagian atau seluruhnya atas beban resiko pemilik. d) Diancam pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pemerintah Kabupaten Tulungagung mengeluarkan kebijaksanaan dalam hal penataan dan pengendalian perusahaan rokok, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 4 Tahun 2002 Tentang Izin Mendirikan Perusahaan Rokok. Akan tetapi, semua peraturan tersebut tidak akan dapat berfungsi bila penerapan aturan-aturan tidak ditaati dan disertai dengan penegakan hukumnya, yang dalam kenyataannya masyarakat hanya menganggap penegakan hukum hanyalah melalui proses di pengadilan semata. Penegakan hukum dapat dilakukan melalui berbagai cara atau jujur dengan berbagai sanksinya, misalnya sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana yang pelaksanaannya dapat melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Penegakan hukum berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Penegakan hukum merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana admirnstrasi, kepidanaan dan keperdataan. Untuk itu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Tulungagung khususnya aparat KBC dalam mengatasi hambatan dalam pelaksanaan perizinan
perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung dapat dilakukan dengan cara diantaranya: 1. Perlu diadakan penyuluhan tentang perizinan pendirian perusahaan rokok kepada masyarakat sampai ketingkat bawah agar pengetahuan masyarakat tentang tatacara perizinan tersebut lebih meningkat. Mengenai bentuk penyuluhannya dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung dapat diwujudkan dengan sarasehan atau diskusi di tingkat desa, penyuluhan tidak langsung dapat dilakukan melalui media cetak dan elektronika. Selain itu juga aparat KBC harus selalu mengadakan sosialisasi perizinan kepada masyarakat setiap ada efek yang berhubungan dengan masyarakat. 2. Aparat KBC harus sering mengadakan pemantauan dan pengawasan di jalan jalan yang strategis dan pemantauan ke desa-desa dengan bekerja sama dengan aparat pemerintah kecamatan dan aparat pemerintah desa, sehingga pendirian bangunan pabrik rokok yang tidak berizin dapat diminimalisir atau dicegah. 3. Pihak KBC juga harus mengadakan pemantauan di lapangan tempat akan didirikannya bangunan pabrik rokok, hal ini dilakukannya untuk mencegah adanya pemalsuan data yang dilakukan pemohon pendirian perusahaan rokok. 4. Diadakan penambahan personil bagi aparat KBC agar dalam melakukan pengawasan tidak terjadi kekurangan personil, selain itu juga perlu adanya penambahan jam untuk ketugasan di luar kantor untuk melakukan pengawasan. 5. Untuk mengatasi kesulitan mengenai pemegang izin kurang memahami, menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan, keselamatan kerja, ketertiban dan keamanan lingkungan. Hal ini perlu ditegaskan kewajiban yang berkenaan dan berhubungan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup
yang harus dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan meningkatkan partisipasi pengusaha dalam pembangunan pabrik rokok. 6. Diadakan penyebaran panflet-panflet tentang perizinan perusahaan rokok dan dapat pula diadakan pemasangan spanduk-spanduk tentang perizinan perusahaan rokok yang diletakkan di jalan-jalan yang strategis. 7. Diadakan penambahan sarana dan prasarana pendukung agar aparat KBC dapat melaksanakan tugasnya lebih baik untuk kedepannya, baik untuk tugas pengawasan atau tugas sehari-hari di dalam kantor. 8. Menerapkan sanksi secara penuh tanpa adanya pengecualian, baik itu sanksi berupa pengenaan denda dan pembongkaran bangunan pabrik rokok, sehingga apabila sanksi ini benar-benar diterapkan masyarakat akan menjadi patuh dan akan tercipta ketertiban dalam pelaksanaan izin perusahaan rokok. 9. Setiap rencana usaha atau kegiatan yang memungkinkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisa mengenai dampak lingkungan hidup, dengan demikian dapat diketahui bahwa analisa mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus di penuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha atau kegiatan. 10. Terhadap bangunan pabrik rokok yang telah berdiri tetapi belum mempunyai izin, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pemutihan. Permohonan pemutihan sama dengan pengajuan izin pendirian, tetapi pemohon di wajibkan untuk memenuhi, persyaratan dan ketentuan yang telah diterapkan. 11. Dipandang perlu membangun koperasi pita cukai yang menjual atau meritelkan pita-pita cukai yang dikeluarkan KBC pada perusahaan-perusahaan rokok (skala mikro) yang ada di Kabupaten Tulungagung, sebagaimana halnya masyarakat membeli perangko untuk berkirim surat atau membeli materai untuk membuat perjanjian atau transaksi. Dalam hal ini angka harga-harga yang tercantum pada pita cukai disesuaikan dengan kemampuan perusahaanperusahaan skala mikro tersebut. Pita cukai ini lebih murah dibandingkan dengan pita-pita cukai yang diterapkan pada perusahan-perusahaan besar
seperti Gudang Garam, Djarum Kudus, Bentoel, Sampoerna, dan sebagainya, walaupun ukuran kemasan rokok yang diedarkan berukuran sama dengan kemasan rokok pada umumnya, sedemikian sehingga penerimaan daerah Kabupaten Tulungagung dan penerimaan negara meningkat.
Indonesia menjadi
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok Skala Mikro di Kabupaten Tulungagung dalam
rangka
Peningkatan
Penerimaan
Negara,
maka
penulis
dapat
menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Tatacara perizinan perusahaan rokok dimulai dari pengajuan/ permohonan izin usaha oleh masyarakat pelaku usaha rokok kepada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KBC) dengan melengkapi persyaratanpersyaratan yang diminta serta memberikan data lengkap bangunan pabrik rokok yang didirikan. Setelah dokumen lengkap, memasukkan permohonan pendahuluan
ke
Loket
KBC.
Petugas
KBC
akan
meneliti
kebenaran/kelengkapan permohonan. Kemudian diadakan pemeriksaan fisik/pemeriksaan lokasi calon pabrik rokok baru. Kepala KBC, atas nama Menteri Keuangan, mengabulkan atau menolak permohonan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan pendaftaran diterima secara lengkap dan benar. Apabila terjadi pelanggaran ketentuan izin usaha maka KBC akan memberikan sanksi tegas. 2. Kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam proses perizinan perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung diantaranya adalah: di dalam mendirikan bangunan pabrik rokok, masyarakat/pemohon kurang menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan sekitar selain itu juga bahwa masyarakat/pemohon sering tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan sering terjadi pula manipulasi data. Dalam hal pengawasan bangunan pabrik
rokok dan peredaran hasil produksinya masih terdapat kendala pula, yaitu kurangnya personil dan aparat KBC untuk mengawasinya. Disamping itu pula sarana dan prasarana pendukung masih kurang. Untuk mengatasi hambatan tentang pelaksanaan izin usaha perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung, aparat KBC perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi mengenai perizinan baik dilaksanakan secara langsung ataupun lewat media elektronik sehingga masyarakat dapat lebih mengetahui tentang proses perizinan pendirian perusahaan rokok. Disamping itu juga harus diadakan peningkatan sarana dan prasarana pendukung serta perlu juga penambahan personil KBC dalam melaksanakan tugasnya agar lebih baik dimasa mendatang. 3. Potensi peningkatan penerimaan negara atas penyederhanaan proses perizinan sangat besar. Dipandang perlu membangun suatu wadah perhimpunan (paguyuban) berbentuk koperasi atau yayasan perusahaan-perusahaan rokok yang menjual atau meritelkan pita-pita cukai yang dikeluarkan KBC pada perusahaan-perusahaan rokok (skala mikro) yang ada di Kabupaten Tulungagung, sebagaimana halnya masyarakat membeli perangko untuk berkirim surat atau membeli materai untuk membuat perjanjian atau transaksi. Dalam hal ini angka harga-harga yang tercantum pada pita cukai disesuaikan dengn kemampuan perusahaan-perusahaan skala mikro tersebut. Pita cukai ini lebih murah dibandingkan dengan pita-pita cukai yang diterapkan pada perusahan-perusahaan besar seperti Gudang Garam, Jarum Kudus, Bentoel, Sampoerna, dan sebagainya, walaupun ukuran (size) kemasan rokok yang diedarkan berukuran sama dengan kemasan rokok pada umumnya, sedemikian sehingga penerimaan daerah Kabupaten Tulungagung dan penerimaan negara Indonesia menjadi meningkat.
B. Saran Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas, penulis akan memberikan saran terkait dengan penelitian hukum ini. Saran-saran tersebut antara lain: 1. Untuk kelancaran perizinan perusahaan rokok maka masyarakat/pemohon harus bersedia memberikan data yang lengkap serta harus menjaga / kebersihan dan kesehatan lingkungan sehingga dalam pendirian bangunan pabrik rokok tidak mengganggu lingkungan sekitar. 2. Untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat dalam hal perizinan perusahaan rokok yang dapat dilakukan oleh aparat pemerintah khususnya KBC adalah dengan mengadakan sosialisasi serta penyuluhan-penyuluhan pada masyarakat tentang pentingnya izin usaha rokok dan pelekatan pita cukai pada kemasan, dimana hal itu dapat dilakukan secara langsung atau lewat media elektronik atau media cetak. 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung harus mengadakan penambahan personil KBC untuk melakukan pengawasan pendirian bangunan pabrik rokok dan peredaran rokok hasil produksinya, dan juga harus meningkatkan sarana dan prasarana demi kelancaran tugas. Sanksi yang ada harus benar-benar diterapkan secara penuh agar masyarakat menjadi jera apabila melanggar ketentuan perizinan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Atep Adya Bareta dan Zul Afdi Ardian, 1989, Perpajakan, Jilid I, CV. Amrico, Bandung. Atep Adya Bareta dan Zul Afdi Ardian, 2003, Meminimalisasi Dan Menghindari Sengketa Pajak Dan Bea Cukai, PT. Elek Media Komputindo, Jakarta.Burhan Ashshofa. 1996, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Biro Pusat Statistik. (2005). Upah Buruh Menurut Pekerjaan. Jakarta: BPS. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 1996, Hukum Perusahaan Indonesia (aspek hukum ekonomi) Bagian 1. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. __________________________________. 1996, Hukum Perusahaan Indonesia (aspek hukum ekonomi) Bagian 3. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Dawam Raharjo. (1984). Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Jakarta: UI. Dhian Widyasari. (2007). Ambiguitas Perizinan Pedagang di Jalan Sriwedari Kota Solo. Yogyakarta: Perpus Pusat UGM Didik J. Rachbini, 2001, Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Erly Suandy, 2002, Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Hasan Alwi, dkk. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian/Tri-2.pdf. WIB)
(20 Juli 2009 jam 22.00
http://www.jatimprov.go.id (20 Juli 2009 jam 22.00 WIB) Lexyy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdikarya.
Michael P. Devereux, 1996, The Economics of Tax Policy, Bantam Press, London. Mubyarto. (1983). Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinar Harapan ________. (1985). Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. Yogyakarta: BPFE. Muhamad.Taufik, dkk (2007). Perizinan Pemanfaatan Kawasan Wisata Kabupaten Magelang. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada. Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng. 2008. Hukum Penerimaan Bukan Pajak. Jakarta: Rajawali Pers
Negara
Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: kencana Prenada Media Group. Puput Tri Komalasari. 2005. Degree of Tax Payer Compliance and Tax Tariff the Testing on the Impact of Income Types. Universitas Airlangga. Ridwan H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Persada.
Grafindo
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung.
______________, 1994, Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan,, PT. Eresco, Bandung. Safri Nurmantu, 2003, Pengantar Perpajakan, Penerbit Granit, Jakarta. Santoso Brotodihardjo, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung. Soediyono. (1990). Teori Ekonomi Makro Pengantar Analisis Pendapatan Nasional. Yogyakarta: Liberty. Soerjono Soekanto. 1990. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Soerjono Soekanto dan Sri Mammudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta. Sudikno Mertokusumo dan A. Plito. 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Yogjakarta.: PT. Citra Aditya Bakti.
Surbakti. 1992. Pembinaan Usaha Kecil. Surabaya: Persero Pupuk Surabaya.Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Sutopo H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Tubagus Chairul Amachi Zandjani, 1992, Perpajakan, PAU EK-UI Dan PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Perindustrian. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 134/PMK.04/2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kene Cukai Untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau. Yulia Adyana. (2008). Perizinan Obyek Wisata Kabupaten Magelang. Yogyakarta: AMPTA