LAPORAN KASUS
Penyakit Weil pada Kehamilan
Satriawan Abadi1, Fransiscus Jefri Manibuy, Syafri Kamsul Arief, Hisbullah2
CASE SUMMARY
A 22 years old, pregnant woman presented to ICU due to decreased level of conscioussness (E3M3V4), shortness of breath with pinkfrothy sputum and fever. Clinically she looked pale and bilateral ronchi on chest auscultation. The labarotory findings showed low hemoglobin and albumine, elevated white cell count, liver enzyme, ureum and creatinine, hyperkalemia (K 6,6 mEq/L) as well as hyperlactatemia. Her chest X-ray showed cardiomegali and bilateral lung congestion. APACHE II score was 24. She used to work as a farmer and confirmed by the leptodipstick screening so the working diagnosis were pregnancy, leptospirosis (Weil`s disease) complicated by acute respiratory failure secondary to cardiogenic lung edema, AKI stage III, hiperkalemia, hyperlactatemia. During her ICU stayed she was given antibiotic, intubated and mechanically ventilated, transfusion 2 units of PRC, infuse of albumin, good responsed to furosemide infuson as well as the blood lactate and potassium were undercontrolled. The patient was discharged to the internal ward on day-7, but unfortunately 28 hours later she was readmitted to
1. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Taman Lanrea - Makasar 2. Departemen Anestesi, Perawatan Intensif, dan Manajemen Nyeri - Fakultas Kedokteren Universitas Hasanudin Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Taman Lanrea - Makasar Korespondensi :
[email protected] Volume 2 Nomor 1 Januari 2012
ICU with the same clinical symptoms as above due to recurrent cardiogenic lung edema and complicated by carrdiac arrest but she still responding well with CPR. The central venous pressure was 21,9 mmHg and her hemodynamic initially was supported by low dose of noradrenaline and dobutamine. The concerning from suffering leptospirosis (Weil`s disease) and following CPR, the medical teams decided to terminate her pregnancy and the patient finally was discharged home. (Maj Ked Ter Intensif. 2012; 2(1): 49 - 56) Keywords: pregnant, leptospirosis (Weil`s disease), cardiogenic lung edema, AKI, CPR PENDAHULUAN
Penyakit leptospirosis menyerang segala umur meskipun sebagian besar terjadi pada usia muda. Di Amerika Serikat, dijumpai 50-150 kasus per 100.000 penduduk.1 Di Indonesia leptospirosis menjadi kasus endemis nomor tiga dengan angka kematian yang tinggi. Kelompok risiko tinggi yaitu pembersih parit, petani, petugas survei hutan, dokter hewan dan pekerja laboratorium.2 Berdasarkan manifestasi klinik, leptospirosis dibagi menjadi leptospirosis ikterik dan anikterik. Gambaran dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, anemia dan trombositopenia, kenaikan enzim transaminase dan enzim kreatinin posfokinase. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan serologik (leptodipstik).3 Diagnosis pasti leptospirosis berdasarkan ditemukannya leptospira dari suatu isolat atau gejala klinis dengan serologis positif. Secara klinis, leptospirosis dibagi menjadi 4 fase yaitu fase 49
Penyakit Weil pada Kehamilan
Gambar 1. Perjalanan klinis leptospirosis4
inkubasi, fase septikemi, fase antara dan fase imun yang berlangsung dari awal penyakit sampai 30 hari.(Gambar 1)4 Berdasarkan berat ringannya gejala klinik, leptospirosis dibagi menjadi 2 jenis leptospirosis ringan (leptospirosis tanpa ikterik) dan leptospirosis berat (leptospirosis dengan ikterik).5 Leptospirosis berat atau yang dikenal sebagai penyakit Weil, memiliki gejala klinis yang khas yaitu ikterus, pneumonia, perdarahan, gagal ginjal dan meningitis. Penyakit Weil dilaporkan sering mengakibatkan Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan Severe Pulmonary Haemorrhage Syndrome (SPHS), dengan angka mortalitas 520%.6,7 KASUS
Wanita hamil (G1P0A0), 22 tahun, pindahan dari ruang rawat penyakit dalam dengan penurunan kesadaran, sesak napas spontan merah berbusa disertai demam, pada penyakit Weil. Pasien ini adalah seorang petani, sebelum dirawat di ruang penyakit dalam, pasien rujukan dari 50
RS lain yang dirawat dengan diagnosis hiperemesis gravidarum disertai gagal ginjal akut. Selama dirawat di ruangan penyakit dalam pasien demam disertai penurunan jumlah urin. Pemeriksaan penunjang menunjukan adanya gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati, serta Leptodipstik positif, sehingga ditegakan diagnosis penyakit Weil. Terapi yang diberikan adalah rehidrasi, antibiotik pemicillin prokain 3000.000 U im dan ceftriaxon 2gm/24jam. Namun setelah 6 hari dirawat mengalami perburukan, sehingga dialih rawat ke ICU Pemeriksaaan fisik sewaktu masuk ICU: Pasien tampak sakit berat, kesadaran menurun (GCS E3M3V4). Tekanan darah 132/91 mmHg, laju nadi: 120x/menit, laju napas: 40x/menit, suhu: 38,8oC, Konjungtiva anemis, pada pemeriksaan auskultasi paru ronki basah difus di kedua lapangan, jantung dalam batas normal, dan tampak edema pada kedua ekstremitas bawah sedangkan tanda-tanda lateralisasi tidak ada. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb: 9,1g/dL Ht: 27,6%, lekosit: 22750/mm3, trombosit 357.000, AGD pH7,336 PCO2 27,8mmHg PO2 45,1mmHg HCO3 14,5 BE-9,5 Saturasi O2 73,1 %,
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Satriawan Abadi, Fransiscus Jefri Manibuy, Syafri K. Arief, Hisbullah
dengan oksigen 5 l/menit melalui kanul nasal. Kadar ureum 105mg/dL, kreatinin 3,4mg/dL, SGOT 721 u/ L, SGPT 642 u/L, Protein Total 4,7mg/dL, Globulin 2,2mg/dL, Albumin 2,5,g/dL. Leptodipstik (+). Diagnosis kerja adalah gagal napas hipoksemia karena edema paru disertai penyakit Weil, acute kidney injury dengan kehamilan. Skor APACHE II 24 dengan prediksi angka mortalitas sekitar 49,7 %. Pengelolaan pasien ini dimulai dengan pemberian bantuan ventilasi mekanik dengan pola Pressure Controlled Ventilation (PCV) : Inspiratory Pressure (Pi) 15cmH2O, respiratory rate (RR) 15, Inspiratory time (Ti) 1,2 detik dengan target tidal volume 350– 400ml dan Positive End - Ekspiratory Pressure (PEEP) 10cmH2O. Fraksi oksigen (FiO2)1 yang kemudian dititrasi sampai 0,6 berdasarkan saturasi oksigen denyut (SpO2) dan hasil analisis gas darah (AGD). Beberapa jam kemudian dilakukan pemeriksaan AGD dengan hasil pH 7,394, pCO2 42,0 mmHg, pO2 93,8 mmHg, BE -1,5, HCO3 24,8, FiO2 0,8, (Rasio Perfusion/Inspired O2 Fraction(PF) 116,5 leukosit 27340 mm3, Hb 8,6 g/dl, PT 23,7 detik, APTT 30,1 detik, INR 1,99, SGOT : 751 u/L, SGPT 558 u/L, albumin 2,2 gr/dl, Na+ 134 mEq/L, K 6,6 mEq/L, Cl 107 mEq/L, laktat 4,4. Foto toraks menunjukan gambaran kardiomegali dan tanda-tanda edema paru.(Gambar 2 A) Kecuali dengan bantuan ventilasi mekanikdengan PEEP tinggi, infus furosemid 10mg/jam dan isorbid dinitrat 2mg/jam diberikan untuk mengatasi edema paru. Terapi antibiotik Seftriakson 2g/hari yang telah diberikan sejak dirawat di ruang rawat penyakit dalam dengan dosis yang disesuaikan dengan fungsi ginjal tetap dilanjutkan. Sampel kultur darah diambil dari dua tempat yang berbeda dilakukan pada saat yang sama. Pada hari pertama ini pasien masih dalam keadaan hipoperfusi yang ditandai dengan B
A
hiperlaktatemia sehingga pasien belum diberikan terapi nutrisi. Gangguan faal koagulasi yang terjadi dikoreksi dengan pemberian vitamin K selama 3 hari. Untuk terapi hiperkalemia diberikan kalsium glukonas 1000mg dan kombinasi insulin 104 dan 50ml dextrose 40%. Fentanyl 1 Ug/kg BB/jam, omeprazole 40 mg diberikan. Transfusi sel darah merah pekat 500 ml. Pengendalian suhu dengan infus parasetamol 1 gram/8 jam dan kompres dingin, serta dilakukan pengendalian kadar gula darah dengan target kadar gula darah 120-150 mg/dL. Pasien ini segera dilakukan hemodialisis karena oliguria, edema paru dan hiperkalemia. Pada hari kedua sudah tampak perbaikan oksigenasi dan ventilasi, dengan hasil AGD pH 7,408, PCO2 42 mmHg, pO2 129,6 mmHg, HCO3 24,8, BE,1,5 dengan pola pressure support ventilation (PSV) 8cmH2O, PEEP 10cmH2O dan FiO2 0,4, sehingga dipersiapkan dilakukan penyapihan bantuan ventilasi mekanik. Fungsi ginjal membaik dengan kadar ureum 85 mg/dL dan kreatinin 1,7 mg/dL dengan jumlah urin >1ml/kg BB/jam tanpa diberikan furosemid. Pada hari ketiga, diberikan tambahan terapi antibiotik levofloksin 750mg, karena kadar lekosit meningkat sebesar 21,900mm3, dan secara klinis ada tanda infeksi paru dan hasil kultur darah ditemukan pertumbuhan Staphylococcus sapropticus dengan antibiotik yang sensitif adalah meropenem, levofloksacin, doksisiklin, dan vankomisin. Keadaan perfusi membaik yang ditandai dengan tekanan darah 112/81mmHg dengan kadar laktat 1,7, terapi nutrisi enteral dengan nefrisol dimulai. Pada hari berikutnya hasil pemeriksaan, AGD pH 7,408, pCO2 42, BE 1,5, HCO3 24,8, pO2 129, rasio PF 320,5 kadar Hb 10,6 g/dL, leukosit 15.000 mm3, ureum 37mg/dL, kreatinin 1,1mg/dl. Pemeriksaan foto toraks menunjukan kardiomegali tanpa tandatanda edema paru (Gambar 1B). Penyapihan dari C
Gambar 2: Fototoraks, A: pada waktu masuk ICU, B: Hari ketiga perawatan. C: Hari keenam perawatan Volume 2 Nomor 1 Januari 2012
51
Penyakit Weil pada Kehamilan
ventilasi mekanik dimulai dengan cara Spontaneus breathing trial (SBT) selama 2 jam. Pemantauan Rapid Shallow Breathing Index (RSBI) 42 sehingga diputuskan untuk dilakukan ekstubasi pipa endotrakeal. Pada hari keenam, dilakukan ekstubasi pipa endotrakeal dan diberikan oksigen dengan Non rebreathing mask (NRM) 10L/menit dan pada hari berikutnya diberikan oksigen melalui kanul nasal 4L/menit (Gambar 2). Pada hari ke 8, pasien dipindahkan ke ruang rawat penyakit dalam. Namun demikian setelah 28 jam dirawat di ruang penyakit dalam, pasien mengalami penurunan kesadaran, sesak napas berat sputum merah berbusa disertai demam. Pasien tersebut alih rawat kembali ke ICU. Hasil pemeriksaan AGD pH 7.023, pCO2, pO2 56,1mmHg, 136,3mmHg, BE -0,9, HCO3 34,6. Kadar Hb 10,9g/dl, leukosit 11.900 mm3, ureum 68mg/dl, SGOT 42u/L, SGPT 111u/L, Foto toraks gambaran edema paru, kardiomegali dan atelektasis. Pasien kembali masuk ke ICU. Pada pemeriksaan fisik, kesadaran apatis, tekanan darah 62/40 mmHg, laju nadi 128 kali/menit, dan tampak sianosis dengan SpO2 terukur 70%. Pasien mengalami henti jantung dan segera dilakukan resusitasi jantung paru dan berhasil. Tekanan vena sentral terukur 21,9 cmH2O Diagnosis kerja sebagai gagal napas karena edema paru kardiogenik dengan penyulit syok kardiogenik. Skor APACHE II adalah 37 dengan prediksi angka mortalitas sekitar 83,1 %. Pasien kemudian diberikan bantuan ventilasi mekanik dengan pola PCV, RR 30 Pi 15cmH2O, PEEP 15cmH2O dengan FiO2 1 dititrasi sampai 0,6. Keadaan hemodinamik yang belum stabil diberikan norepinefrin dan dobutamin dengan dosis dititrasi. Nasogastrictube (NGT) warna kehitaman sehingga terapi nutrisi belum dilakukan dan diberikan omeprazol 40mg. Infus furosemid diberikan setelah tekanan darah sistolik > 90 mmHg.Terapi antibiotik diganti sesuai dengan hasil kultur yaitu meropenem. Hari berikutnya keadaan umum pasien mulai membaik, ditandai dengan hemodinamik yang membaik, sesak berkurang dan ronkhi basah pada kedua lapangan paru sudah berkurang. Pada pemantauan denyut jantung janin negatif, maka dilakukan terminasi kehamilan. Hasil pemeriksaan AGD pH 7,37, pCO2 43,7mmHg, pO2 91,2mmHg BE -0,1, HCO3 25,2, rasio PF 212,5. Bantuan ventilasi mekanik diubah ke pola SIMV dengan RR 15 PS10 cmH2O (target TV 350-400 ml), PEEP 10cmH2O, FiO2 0,4. 52
Pada hari ketiga, pasien sadar, sesak dan demam tidak ada, ronki basah tidak ada lagi. Hasil pemeriksaan AGD pH 7,38, PCO2 41, 7mmHg, pO2 111,3mmHg. BE -0,8, HCO3 25,6 , dengan FiO2: 0,4, rasio PF 308,4. Foto toraks menunjukan kardiomegali tidak ditemukan edema paru. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukan Ejection Fraction (EF) 72%, Mitral Insufficiency (MI) ringan, Aortic Isufficiency (AI) ringan. Penyapihan ventilasi mekanik dilakukan dengan SBT selama 2 jam dan pemantauan dengan RSBI 30 sehingga dilakukan ekstubasi pipa endotrakeal. Setelah observasi selama 24 jam pasien dipindahkan kembali ke ruang rawat penyakit dalam. PEMBAHASAN
Demam yang berlangsung terus menerus disertai adanya riwayat pekerjaan di sawah , pemeriksaan fisis ditemukan tanda-tanda edema paru, dan pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan inflamasi hati dan tanda-tanda gagal ginjal, serta didukung hasil positif pada pemeriksaan antibodi terhadap leptospirosis, maka pada pasien ini didiagnosis sebagai penyakit Weil. Adanya gangguan pada paru yang menyertai penyakit Weil dapat memperkirakan prognosis. Insidens gangguan paru yang menyertai penyakit Weil berkisar 20-70%.8 Martinez Garcia dan kawan-kawan melaporkan bahwa komplikasi paru dihubungkan dengan hipotensi dan adanya gagal ginjal. Lebih lanjut keterlibatan paru memberikan implikasi prognosis dan kematian yang tinggi. Dua bentuk utama keterlibatan paru adalah Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan Pulmonary Haemorrhage.9 Pasien ini mengalami edema paru kardiogenik, karena pada pemeriksaan fisis ditemukan tandatanda kongesti berupa edema perifer, distensi dari vena jugularis dan ronki basah difus pada kedua lapangan paru. Pemeriksaan foto toraks menunjukan adanya kardiomegali. Sayangnya saat itu pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dan pemeriksaan brain natriuretic peptide. Edema paru dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik. Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan bukan gangguan pada jantung. Sedangkan edema paru kardiogenik dihubungkan dengan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru.10 (Gambar 3)
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Satriawan Abadi, Fransiscus Jefri Manibuy, Syafri K. Arief, Hisbullah
Gambar 3. Perbedaan gejala klinik antara edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik.11
Gambar 4.Pengelolaan hemodinamik pasca syok kardiogenik 16 Volume 2 Nomor 1 Januari 2012
53
Penyakit Weil pada Kehamilan
Tabel 1. Pilihan terapi antibiotik pada penyalit Weil.24 Leptospirosis ringan
Antibiotik
Dosis
Doksisiklin (hidoklrorida, hiklat) Amoksisiklin Azitromisin dehidrat
2 x 100mg peroral
Antiobiotik Pilihan pertama Pilihan lain
Penisilin G
500mg/6jam atau 1g/jam Peroral Ampisilin IV 1g bolus, selanjutnya 500mg OD Azitromisin dihidrat untuk 2 hari Peroral Seftriakson Sefotaksime
Penanganan awal kasus edema paru kardiogenik adalah dimulai dengan resusitasi Airway Breathing Circulation (ABC). Pemberian oksigen ditujukan untuk mempertahankan saturasi oksigen di atas 90%. Pada pasien hipoksemia atau hiperkarbia refrakter, tindakan intubasi trakea dan ventilasi mekanik merupakan pengelolaan pertama dan utama. Indikasi pemberian PEEP yang tinggi pada ventilasi mekanik pada edema paru akan memudahkan terjadinya redistribusi cairan edema sehingga dapat memperbaiki proses oksigenasi.15 Pengelolaan edema paru kardiogenik ialah:17 • Penurunan preload : Dapat menurunkan tekanan hidrostatik kapiler pulmoner dan menurunkan transudasi cairan ke interstisium pulmoner dan alveolus. Terapi diuretik adalah pilihan utama dalam menurunkan preload, demikian pula golongan cukup nitrat efektif untuk memperbaiki preload. Pada pasien diberikan terapi infus furosemid 10mg/jam dan isosorbid dinitrat 2mg/ jam • Penurunan afterload: Dapat meningkatkan cardiac output sehingga akan memperbaiki perfusi ke ginjal yang dapat menyebabkan diuresis pada pasien overload. Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat atau masalah katup tidak toleran terhadap penurunan preload dan afterload. • Memperbaiki kontraktilitas bertujuan memberikan dukungan inotropik untuk mempertahankan tekanan perfusi yang adekuat. Inotropik yang biasa digunakan adalah dobutamin. Obat ini termasuk golongan katekolamin yang bekerja direseptor β1 agonis,memiliki efek inotropik positif, sedikit efek kronotropik dan vasodilatasi perifer minimal. Edema paru yang berulang (recurrent pulmonary 54
Leptospirosis sedang-berat Dosis 1.5000n/6-8jam 0.5-1.0 gm/6jam 500mg OD untuk 5 hari 1gm/24jam 1 gm/6jam
edema) dapat dipengaruhi oleh derajat beratnya penyakit jantung yang mendasari, terapi yang suboptimal, dan bisa juga akibat ketidakseimbangan cairan dalam tubuh.12 Pada kasus ini, pasien mengalami edema paru kembali setelah dirawat di ruang rawat penyakit dalam, tampaknya penyakit jantung yang ada dan pengendalian pemberian cairan yang menjadi penyebabnya. Efek ketidakseimbangan cairan atau overload telah dilaporkan oleh Schier dan kawan kawan. Mereka menemukan banyaknya yang mati dibanding yang hidup pada mereka yang balans cairannya positif, sebaliknya, pada mereka dengan balans yang negatif malah tetap hidup sampai 100%.13 Sahr dan kawan-kawan juga melaporkan peningkatan 10% resiko mortalitas dengan peningkatan 1 L balans kumulatif cairan.14 Hipervolumia ini sebenarnya jarang terjadi, karena tubuh punya mekanisme kompensasi yang demikian baiknya untuk mencegah overload isotonik kearah yang lebih berat. Mekanisme kompensasi ini dilakukan oleh ginjal, namun oleh adanya gagal ginjal akut maka kompensasi tidak terjadi. Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh keadaan hipoksemia yang berat dan lama sehingga akan memudahkan terjadi henti jantung. Pada pasien ini terjadi syok kardiogenik diikuti henti jantung pada waktu masuk ICU kembali setelah dirawat di ruang penyakit dalam selama 28 jam Pada pasien ini diberikan terapi norepinephrine dengan dosis yang titrasi karena ditemukan nya tanda-tanda syok dengan tekanan darah sistolik kurang dari 70 mmHg. (Gambar 4) Pasien ini mengalami oliguri berlangsung lebih dari 24 jam sehingga berdasarkan Kriteria AKIN digolongkan AKI stadium III. Indikasi dari dialisis meliputi oliguria <200ml/12jam atau anuria <50 ml/12 jam, hiperkalaemia >6.5 mmol/L, asidosis berat pH <7.0, ureum >0,3 mg/dL, komplikasi Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Satriawan Abadi, Fransiscus Jefri Manibuy, Syafri K. Arief, Hisbullah
uremik, hiper/hipotermia, dan overdosis dari obat tertentu. Pasien ini dilakukan dialisis karena adanya oligouria yang menetap, disertai dengan tanda-tanda bendungan paru yang hebat dan hiperkalemia.18,19,20 Suatu penelitian di Sao Paulo pada 33 pasien leptospirosis yang dirawat di ICU, melaporkan adanya penurunan yang bermakna angka mortalitas pada kelompok pasien yang mendapatkan dialisis segera dibandingkan dengan kelompok pasien yang terapi dialisis tertunda.21 Pada penelitian oleh Maria Rosa dan kawankawan (UPLOAD Trial), tindakan ultrafiltrasi lebih baik dibandingkan dengan terapi diuretik dalam membuang cairan pada gagal jantung akut.22 Pemberian nutrisi pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis atau Continous Renal Replacement Therapy (CRRT) sebaiknya mendapatkan protein hingga maksimal 2,5 g/kgBB/hari, guna mencegah kehilangan protein selama dialisis.23 Terapi Weil yang penting adalah pemberian antibiotik yang optimal. Pemberian antibiotik yang tepat dapat memberikan penurunan yang bermakna pada antigen leptospirosis. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 7 hari. (Tabel 1 ) Pada pasien ini telah diberikan penisilin dan Seftriakson, namun selanjutnya mengalami pneumonia, sehingga diberikan pula antibiotik sesuai hasil kultur. Leptospirosis selama kehamilan dapat menimbulkan kematian janin, dan sering dijumpai pada trimester pertama kehamilan. Pada pasien ini dilakukan terminasi kehamilan setelah diperiksa denyut jantung janin tidak ada. DAFTAR PUSTAKA
1. Lomar AV, Diament D, Torres JR. Leptospirosis in Latin America. Infect Dis Clin North Am. 2000;14(1):23-39, vii-viii. 2. Budiharta S. Epidemiologi leptospirosis. Seminar nasional bahaya leptospirosis dan ancamannya. Yogyakarta 2002. 3. Wagenaar JF, Goris MG, Partiningrum DL, Isbandrio B, Hartskeerl RA, Brandjes DP, et al. Coagulation disorders in patients with severe leptospirosis are associated with severe bleeding and mortality. Trop Med Int Health. 2010;15(2): 152-9. 4. Chie M, et al. Leptospirosis guidelines. Philiphina Society for Microbiology and Infectious Disease.2010. p. 23-5 5. Speelman P. Leptospirosis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Volume 2 Nomor 1 Januari 2012
Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. Philadelphia: McGraw Hill; 2006. p.988-91 6. Ricaldi JN, Vinetz JM. Leptospirosis in the tropics and in travelers. Curr Infect Dis Rep. 2006; 8(1):51-8. 7. Carvalho CR, Bethlem EP. Pulmonary complications of leptospirosis.Clin Chest Med. 2002; 23(2):469-78. 8. Chaudhry R, Pandey A, Chandel D, Dhawan B, Gupta DK, Panigrahi P. Pulmonary involvement in leptospirosis: a diagnostic enigma. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2009;51(1):53-5. 9. Martínez García MA, de Diego Damiá A, Menéndez Villanueva R, López Hontagas JL. Pulmonary involvement in leptospirosis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2000;19(6):471-4. 10. Bernard GR, Pou NA, Coggeshall JW, Carroll FE, Snapper JR.Comparison of the pulmonary dysfunction caused by cardiogenic and noncardiogenic pulmonary edema. Chest. 1995; 108(3): 798-803. 11. Ware LB, Matthay MA. Clinical practice. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005; 353(26): 2788-96. 12. Kwok T, et alTreatment and outcome of acute cardiogenic pulmonary oedema presenting to an emergency department in Hong Kong: retrospective cohort study. Hong J Emer Med. 2006; 13: 148-54 13. Schrier RW, et al. Fluid administratin in Critically Ill. Clin J Am Soc Neph. 2010;10:733 14. Sahr Y. High Tidal Volume and Positive fluid balance associatedwith worse outcome in acute lung Injury. Chest. 2005;128(5): 3098-3108 15. Bolton R. Non Invasive ventilation and continous positive pressure ventilation in emergency department : where are we now?Emer Med Jour. 2008; 25: 190-4 16. Topalm S, et al. Cardiogenic Shock. Critical Care Medicine. 2008; 36(1): S66-74 17. Mattu A, et al. Modern management of Cardiogenic Pulmonar edema. Emerg Med Clin N Am. 2005; 23: 1105-25 18. Wellta R, et al. Acute Kidney Injury Network : report aninitiative to improve outcome in acute kidney injury. Citical Care. 2007;11:R31 19. Bellomo R, et al. Acute Renal failure, definition, outcome measurements, anials models, fluid and information technology needs. The Second International Concensus of Acute Dialysis Initiative (ADQI) Group. Critical Care. 2004;8: R204-12
55
Penyakit Weil pada Kehamilan
20. Lameire N, et al. Acute Renal failure. Lancet. 2005; 365;417-30 21. Andrade L, et al. Door to dialysis time and daily hemodialysis patients with leptospirosis. Impact on ortality. Clin J Am Soc Neph. 2007; 2: 73944 22. Costanzo MR, et al. Ultrafiltation versus intravenous diuretics for patients hospitalized for acute decompensated heart failure. Jour of Amer Coll of Card. 2007; 49:675-83
56
23. Mc Clave SA, et al. Guidelines for the provision and assessment of nutrition support therapy in adult critically ill patients: Society of Critical Care edicine (SCCM) and American Society for Parenteral dan Enteral Nutrition (ASPEN). JPEN. 2009;33:277 24. Gilbert DN, et al. The Sanford Guide to antimicrobial therapy. 40th ed. Sperring Ville, VA. 2010.p. 179-85
Majalah Kedokteran Terapi Intensif