PENYAKIT Fusarium spp. PADA TANAMAN KARET Hilda Syafitri Darwis, SP.MP. dan Ir. Syahnen, MS. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Medan JL. Asrama No. 124 Medan Kel. Cinta Damai Kec. Medan Helvetia (20126) Fax. 8466771, Telp. (061) 8470504, 8458008, 8445794, 8466787
Indonesia memiliki perkebunan karet seluas 3,4 juta hektar yang terdiri atas perkebunan rakyat 85% dan perkebunan besar 15% dengan total produksi 2,76 juta ton karet kering (Situmorang dkk, 2013). Pada umumnya produktivitas karet di Indonesia masih relatif rendah karena masih kurangnya penerapan teknologi budidaya karet, gangguan cuaca, iklim, dan hama penyakit. Dalam upaya meningkatan produksi, cara yang paling mudah dilaksanakan petani pada umumnya adalah meningkatkan intensitas penyadapan. Peningkatan intensitas penyadapan tanpa diikuti dengan pemupukan dan keterampilan menyadap misalnya, seringkali berdampak buruk terhadap produktivitas tanaman dalam jangka panjang. Bahkan pada beberapa kasus kebun sering ditemui tanaman tidak menghasilkan lateks akibat penyadapan yang terlalu berat. Beberapa penyakit pada batang dan cabang yang cukup mengkhawatirkan saat ini diantaranya adalah KAS, penyakit lapuk batang dan cabang Fusarium, jamur upas, serta penyakit bidang sadap Mouldy rot. Penyakit-penyakit tersebut dapat menurunkan produksi sekitar 5-40% serta menambah biaya produksi yang cukup tinggi untuk menanggulangi penyakit tersebut. Jamur Fusarium spp. sebagai penyebab nekrosis kulit tanaman karet dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1980 (Situmorang, dkk. 2013). Selanjutnya Li, dkk. (2014) juga melaporkan penyakit lapuk batang dan cabang Fusarium menyerang tanaman karet di Hekuo Provinsi Yunan, Cina pada bulan Oktober tahun 2013 dan telah menurunkan produksi hingga 30%. Penyakit tanaman karet Fusarium ditemukan hampir di seluruh sentra tanaman karet di Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Bengkulu dan Kalimantan Selatan. Penyakit ini diketahui tidak sekedar menunjukkan adanya nekrosis pada kulit tetapi diikuti dengan proses pelapukan di bagian kayu (empelur).
Penyakit ini mengakibatkan kerusakan pada kulit cabang dan batang sehingga tanaman tidak bisa disadap. Hingga saat ini, Fusarium diketahui sebagai penyebab lapuk cabang dan batang. Kerusakan oleh penyakit ini sudah mencapai taraf mengkuatirkan pekebun. Jamur Fusarium dapat mengakibatkan turunnya potensi produksi hingga 30%. Penurunan produksi tersebut disebabkan karena rusaknya bidang sadap (nekrosis kulit), patahnya cabang utama dan lapuk serta tumbangnya pohon (Budiman dan Suryaningtyas (2004) dalam Budiman (2005)). Penyebab Penyakit Penyakit nekrosis kulit ini disebabkan oleh jamur Fusarium spp., namun jamur Botryodiplodia theobromae juga ditemukan pada kulit yang sakit dengan menimbulkan gejala yang sama (Situmorang, dkk. 2013)
Gambar 1. Biakan murni jamur Fusarium spp pada media PDA umur 4 HSI
Gambar 2. Morfologi jamur Fusarium spp pada pengamatan perbesaran 10x100 kali
Gejala Jamur Fusarium dapat dijumpai sejak tanaman di pembibitan hingga tanaman di lapangan. Gejala di lapangan biasanya terlihat pada sesudah tahun sadap kedua, dan gejala timbul pada kulit perawan (virgin bark) di balik bidang sadap (Semangun, 2008). Pada kulit batang mula-mula timbul bercak setempat berwarna coklat kehitaman dengan ukuran 2-5 cm dan bagian kambium berwarna coklat. Bercakbercak makin membesar, bergabung satu sama lain, basah dan akhirnya sebagian atau seluruh kulit batang dan cabang mengalami pembusukan. Penyakit ini dapat muncul mulai dari kaki gajah sampai di percabangan. Penyakit Fusarium ini juga mempunyai arti yang penting dalam pembibitan karet, karena dapat menyerang tanaman bibit di polibeg. Bibit yang telah terinfeksi Fusarium, dapat dengan mudah menyebar ketanaman di polibeg disekitarnya sehingga menyebabkan kerugian yang besar. Gejala penyakit layu Fusarium pada bibit dipolibeg dapat ditandai dengan adanya pembusukan pada pertautan mata okulasi mati dan kulit batang. Gejala di mulai dari terjadinya bercak coklat kehitaman yang menyebar keseluruh cabang dan diikiuti oleh layunya daun selanjutnya seluruh daun akan gugur, dan mengakibatkan bibit di polibeg mati (Gambar 3).
Gambar 3. Gejala serangan Fusarium pada bibit tanaman karet
Pada kebun entres gejalanya adalah seperti kudis pada jaringan kulit, mulai dari pertautan okulasi sampai ke jaringan apikalis. Jaringan akan membusuk, dan dapat menyebabkan patah. Bahan tanaman polibeg yang terserang akan
memperlihatkan gejala stagnasi yang berlarut, daun kekuningan dan busuk kering pada batang sampai pertautan okulasi. Bila akar dibelah akan tampak luka kecoklatan sampai hitam. Di kebun TBM, Fusarium dapat mematikan tanaman karet yang diserangnya. Gejalanya yang terlihat adalah: daun mengering tapi tidak gugur atau menjadi tidak berdaun (gundul). Serangan pada jaringan batang menyebabkan luka-luka yang lebar, membusuk (busuk kering) yang akhirnya akan menyebabkan luka-luka yang lebar, yang akhirnya akan menyebabkan kepatahan. Di bagian bawah daerah serangan akan tumbuh tunas-tunas baru. Pada tanaman menghasilkan (TM), serangan Fusarium dapat berupa serangan pada cabang utama, serangan pada jaringan kulit (nekrosis kulit), dan serangan pada pertautan okulasi (kaki gajah). Semua tipe serangan berakibat patahnya cabang atau batang karet. Di bagian bawah daerah serangan akan tumbuh tunas-tunas baru. Adanya tunas baru pada TM dapat dijadikan peringatan bahwa tanaman sudah terinfeksi Fusarium.
A
B
Gambar 4. Gejala serangan lanjut Fusarium, munculnya tunas baru di daerah bawah serangan (A) dan klateks keluar pada bagian yang tidak disadap (B)
Adanya kulit yang busuk dan rusak akan mengundang kumbang penggerek Xyleborus mascarensis dan Platypus cupulatus, bahkan diikuti oleh jamur Ustulina sp, sehingga menimbulkan kerusakan batang/cabang tanaman yang lebih berat (Situmorang, 2013). Akibat pembusukan kulit dan adanya serangan penggerek batang menyebabkan keluarnya lateks pada bagian batang yang tidak disadap (Gambar 4b) Serangan pada bidang sadap, gejala awalnya tampak seperti kebocoran lateks pada bidang sadap. Jaringan yang bocor tersebut selanjutnya mengering dan busuk. Kemudian pada kambium terdapat nekrosis yang berwarna hitam atau coklat, yang seolah-olah menjalar ke bagian tajuk tanaman. Selain itu sering terjadi pembengkakan pada bidang sadap. Serangan lanjut dapat mengakibatkan patahnya cabang, tumbang atau patah di tengah/patah pinggang di bagian panel sadap (Gambar 5).
Gambar 5. Tanaman karet patah di tengah (patah pinggang di bagian panel sadap) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Sebagai jamur patogenik, Fusarium dapat berkembang dengan baik di daerah yang lembab dan panas. Menurut Wellman dalam Semangun (1989) dalam Budiman (2005), jamur Fusarium banyak terdapat di daerah iklim zone 1 (0-300 m di atas permukaan laut). Di Sri lanka Fusarium dinyatakan sebagai penyebab sekunder
pada kasus penyakit akar. Gejalanya mirip gejala serangan JAP, yaitu daun yang melipat ke dalam (Liyanage dan Dantarayana, 1983). Penyakit tanaman karet yang disebabkan oleh jamur Fusarium spp. dapat menyerang biji/benih, tanaman di kebun entres, bahan tanaman polibeg, tanaman belum menghasilkan (TBM), dan tanaman menghasilkan (TM). Tingkat serangan rata-rata rendah sampai sedang. Di beberapa tempat dapat menyebabkan kematian tanaman. Klon-klon karet yang diduga rentan terhadap penyakit Fusarium antara lain GT 1, RRIM 600, PR 300, RRIC 100, dan TM 6 (Thomas dan Budiman (2002) dalam Budiman (2005)) . Klon-klon karet yang diduga rentan adalah klon-klon yang telah ditanam secara luas di perkebunan rakyat, swasta dan perkebunan negara. Cara penularan penyakit ini berlangsung dengan penyebaran spora yang dibawa oleh angin. Penularannya berlangsung pada kulit batang/cabang (melalui luka kulit dan melalui akar) bahkan penyakit dapat terjadi secara serentak pada areal yang terbatas (Situmorang dkk, 2013).
Pengelolaan Penyakit Pengendalian penyakit tanaman berpedoman pada prinsip “pencegahan lebih baik daripada pengobatan”. Pencegahan pada awalnya tampak sulit dan mahal tetapi pada akhirnya akan menjadi lebih murah dan memberikan keuntungan. Sebaliknya pengobatan tampak lebih murah pada awalnya tetapi pada akhirnya menjadi lebih mahal dan sering mengakibatkan kerugian berupa kematian tanaman jika cara pengobatannya tidak tepat. Pengendalian penyakit Fusarium yang dapat dilakukan menurut Situmorang, dkk (2013) adalah: 1. Melakukan pengamatan serangan dan pemeriksaan tanaman sakit - Pada kebun-kebun yang rawan penyakit, pengamatan serangan dilakukan sebulan sekali selama musim hujan terutama pada awal dan akhir musim hujan pada kebun-kebun yang rawan penyakit. Pada serangan dini terlihat bagian kambium berwarna coklat sampai hitam. Pada serangan lanjut tampak kulit pecah atau busuk yang menyebar ke atas dan ke bawah batang/cabang. - Pemeriksaan tanaman yang diobati dilakukan 3 bulan sekali dengan melihat adanya gejala serangan berbatas dengan bagian batang/cabang yang diobati atau pada bagian kulitnya.
2. Tidak menanam klon yang rentan seperti pada daerah yang rawan penyakit ini. 3. Pengobatan tanaman sakit dilakukan dengan pengolesan fungisida berbasis minyak. Hal ini disebabkan letak bagian yang sakit, tegak lurus (vertikal). Fungisida yang berbasis minyak adalah Antico F-96. Fungsida berpelarut air dapat digunakan asal dicampur dengan perekat (stiker), seperti: Benlate 50 WP atau Agrosid 50 SD. Obat dioleskan dengan kuas pada bagian kulit sakit, 4 kali ulangan pertahun 4. Tidak dianjurkan memotong bagian cabang yang terinfeksi penyakit ini. 5. Tanaman sehat di sekitar tanaman yang terserang dioles batang/cabangnya dengan fungisida tersebut di atas 3 bulan sekali untuk mencegah penyebaran penyakit yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA Budiman, A. 2005. Antico F-96 sebagai Bahan Pemulih Jaringan Kulit Tanaman Karet yang Terserang Penyakit Cabang, Batang dan Bidang Sadap. Warta Perkaretan 24 (1) : 41-45 Li B.-X., T.Shi, X.-B. Liu, C.-H. Lin dan G.-H. Huang. 2014. First Report of Rubber Tree Stem Rot Caused by Fusarium oxysporum in China. Journal Plant Disease, July 2014, Vol. 98, No. 7 : 1,008.1 - 1,008.1 Situmorang A, A. Budiman, H. Suryaningtyas, TR. Febbiyanti dan M. Munir. 2013. Penyakit Tanaman Karet dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Sembawa Pusat Penelitian Karet