Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
PENTINGNYA QUANTITATIVE REASONING (QR) DALAM PROBLEM SOLVING Agustinus Sroyer Program Studi Pendidikan Matematika PMIPA FKIP Uncen Jl. Raya Sentani Abepura Jayapura, e-mail:
[email protected] Abstrak Quantitative Reasoning (QR) atau Penalaran Kuantitatif merupakan suatu penalaran yang menekankan suatu penarikan kesimpulan berdasarkan data-data atau informasi kuantitatif. Penalaran ini sangat penting karena sangat baik untuk menyelesaikan soal-soal problem solving. Diharapkan, penalaran ini menjadi salah satu pilihan karena dapat meningkatkan daya nalar siswa. Keywords: penalaran, penalaran kuantitatif, informasi kuantitatif, problem solving
PENDAHULUAN Menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (tahun 2000), tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan: komunikasi matematis, penalaran matematis, problem solving matematis, koneksi matematis, dan representasi matematis. Lebih lanjut menurut NCTM, salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa adalah kemampuan problem solving matematis. Standar problem solving NCTM, menetapkan bahwa program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk: membangun pengetahuan matematika baru melalui problem solving; memecahkan masalah yang muncul di dalam matematika dan di dalam kontekskonteks yang lain; menerapkan dan menyesuaikan bermacam-macam strategi yang sesuai untuk memecahkan masalah; dan memonitor dan merefleksikan proses dari problem solving matematis. Penelitian dari Wahyudin (1999) mengungkapkan bahwa hasil belajar matematika dalam hal penalaran belum menggembirakan karena siswa kurang menggunakan penalaran yang logis dalam menyelesaikan masalah matematika. Pentingnya problem solving juga ditegaskan dalam NCTM (2000: 52) yang menyatakan bahwa problem solving merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika. Seperti yang dikemukakan Ruseffendi (1991) bahwa kemampuan pemecahan masalah amatlah penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang di kemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kita ketahui bersama bahwa kenyataan di lapangan pada umumnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari pembelajaran matematika masih cenderung berorientasi pada buku teks; guru matematika masih menggunakan cara konvensional seperti: menyajikan materi pembelajaran, memberikan contoh-contoh soal dan meminta siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat dalam buku teks yang mereka gunakan dalam Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
25
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
mengajar dan kemudian membahasnya bersama siswa. Pembelajaran seperti ini tentunya kurang dapat mengembangkan kemampuan penalaran dan problem solving matematis siswa. Siswa hanya dapat mengerjakan soal-soal matematika berdasarkan apa yang dicontohkan guru, jika diberikan soal yang berbeda mereka akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji tipe-tipe soal yang berkaitan dengan penalaran kuantitatif (QR). Diharapkan, soal-soal yang berkaitan dengan QR dapat diberi dan dilatih kepada siswa agar kemampuan bernalar secara kuantitatif menjadi lebih baik.
PEMBAHASAN 1. Penalaran Kuantitatif (QR) Penalaran merupakan proses berpikir dalam proses penarikan kesimpulan (Sumarmo, 2013: 148). Secara garis besar, penalaran dibagi menjadi dua yaitu induktif dan deduktif. Penarikan kesimpulan berdasarkan sejumlah kasus atau contoh terbatas disebut induksi sedangkan penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati disebut deduksi (Sumarmo, 1987). John Carroll (1993) menyatakan bahwa penalaran kuantitatif sudah ada pada anak usia lima tahun sampai dewasa. Beliau menyimpulkan bahwa ada tiga kemampuan penalaran utama: sekuensial (deduktif), induktif, dan kuantitatif. QR adalah kemampuan yang dikembangkan dalam pembelajaran matematika untuk menganalisis informasi kuantitatif dan untuk menentukan keterampilan dan prosedur yang dapat diterapkan pada masalah tertentu untuk sampai pada suatu solusi. Oleh karena itu, tidak terbatas pada keterampilan yang diperoleh dalam mata pelajaran matematika, tetapi mencakup kemampuan penalaran yang dikembangkan dari waktu ke waktu melalui praktek di hampir semua program sekolah atau perguruan tinggi, serta dalam kegiatan sehari-hari seperti penganggaran dan pembelanjaan barang. Penalaran kuantitatif, baik secara umum maupun untuk tujuan penilaian, difokuskan pada problem solving. Hal tersebut meliputi enam kemampuan: membaca dan memahami informasi yang diberikan dalam berbagai bentuk; menafsirkan informasi kuantitatif dan membuat gambaran kesimpulan; problem solving menggunakan aritmatika, aljabar, geometri, atau metode statistik; memperkirakan jawaban dan memeriksa kelayakan; mengkomunikasikan informasi kuantitatif; dan membuat batasan dari metode matematika atau statistik. NCTM (2000), Asosiasi Matematika Amerika (MAA, 2003), masyarakat matematika Amerika (AMS) (Howe, 1998), dan (Asosiasi Matematika Amerika untuk Diploma Dua [AMATYC], 1995), dalam laporan mereka tentang tujuan pendidikan matematika, semua membahas penalaran kuantitatif sebagai kemampuan yang harus dikembangkan pada semua siswa SMA dan mahasiswa.
26
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
2. Problem Solving Kemampuan problem solving adalah suatu keterampilan pada diri siswa agar mampu menggunakan kegiatan matematis untuk memecahkan masalah dalam matematika, masalah dalam ilmu lain dan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan pemecahan masalah diperlukan
untuk
melatih siswa agar terbiasa menghadapi berbagai permasalahan dalam
kehidupannya yang semakin kompleks, bukan hanya pada masalah dalam matematika itu sendiri tetapi juga masalah-masalah dalam bidang studi lain dan masalah dalam kehidupan seharihari. Oleh karena itu, kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah matematis perlu terus dilatih sehingga seseorang itu mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya.
3. Tipe-tipe Pertanyaan Penalaran Kuantitatif Menurut ETS (2010), terdapat 4 tipe pertanyaan untuk mengukur QR yaitu: perbandingan kuantitatif (quantitative comparison), pilihan ganda (multiplechoice-select one), pilihan ganda (multiplechoice-select one or more), dan memasukkan jawaban dalam kotak (numeric entry). Berikut diberikan beberapa contoh yang berkaitan dengan 4 tipe tersebut.
a). Perbandingan kuantitatif. Pertanyaan ini untuk membandingkan dua kuantitas (A dan B) kemudian menentukan pernyataan mana yang menjelaskan perbandingan. Contoh: (1). Kuantitas A
Kuantitas B
54% dari 360
150
A. Kuantitas A lebih besar. B. Kuantitas B lebih besar. C. Dua kuantitas adalah sama. D. Hubungan tidak dapat ditentukan dari informasi yang diberikan. (2). Panjang PQ = PR
Kuantitas A
Kuantitas B
Panjang PS
Panjang SR
A. Kuantitas A lebih besar. B. Kuantitas B lebih besar. C. Dua kuantitas adalah sama. D. Hubungan tidak dapat ditentukan dari informasi yang diberikan. Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
27
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
b). Pilihan ganda satu pilihan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan pilihan ganda untuk memilih hanya satu pilihan jawaban dari lima pilihan. Contoh: (1). Sebuah mobil menghabiskan 1 galon bensin tiap 33 mil, di mana biaya bensin 2,95 dollar per galon. Berapa perkiraan biaya bensin (dalam dollar) yang digunakan dalam mengendarai mobil sejauh 350 mil? A. $10 B. $20 C. $30 D. $40 E. $50 (2).Sebuah kantong berisi 60 jelly kacang-22 putih, 18 hijau, 11 kuning, 5 merah, dan 4 ungu. Jika jelly kacang dipilih secara acak, berapakah probabilitas bahwa jelly kacang bukan merah atau ungu? A. 0,09 B. 0,15 C. 0,54 D. 0,85 E. 0,91
c). Pilihan ganda beberapa pilihan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan pilihan ganda untuk memilih satu atau lebih pilihan jawaban dari daftar pilihan. Contoh: (1). Manakah dari bilangan bulat berikut kelipatan 2 dan 3? Tunjukkan semua bilangan bulat tersebut. A. 8 B. 9 C. 12 D. 18 E. 21 F. 36 (2). Yang mana dari bilangan-bilangan berikut mempunyai hasil kali yang lebih besar dari 60? A. -9 B. -7 C. 6 D. 8
28
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
d). Memasukkan jawaban dalam kotak. Pertanyaan ini untuk memasukkan jawaban berupa integer atau desimal atau pecahan. Contoh: (1). Satu pena seharga 0,25 dollar dan satu spidol seharga 0,35 dollar. Berapa biaya total 18 pena dan 100 spidol?
(2). Persegi panjang R memiliki panjang 30 dan lebar 10, dan persegi S memiliki panjang 5. Berapa keliling S dari keliling R?
Selain keempat tipe tersebut, terdapat satu tipe QR yang menggambarkan QR secara umum yaitu menginterpretasikan data. Maksud dari menginterpretasikan data adalah dengan merujuk pada tabel, grafik, atau presentasi data lainnya. Pertanyaan-pertanyaan ini meminta kita untuk menafsirkan atau menganalisis data yang diberikan. Jenis-jenis pertanyaan mungkin pilihan ganda (bisa 1 pilihan atau beberapa pilihan).
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
29
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
SIMPULAN DAN SARAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problem solving dalam matematika merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari penalaran atau QR. Dengan kata lain, jika seseorang
mempunyai
daya
nalar
yang
baik
maka
kemungkinan
untuk
menyelesaikan/memecahkan suatu masalah dalam matematika menjadi mudah. QR juga sangat perlu dikembangkan dari usia Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Penalaran Kuantitatif (QR) merupakan suatu bentuk penalaran yang sangat berguna dalam pembelajaran matematika karena melalui penalaran ini siswa dapat mengembangkan kemampuan mereka masing-masing melalui informasi kuantitatif (berhubungan dengan angka/bilangan) yang diberikan. Pertanyaan/Soal-soal QR yang bervariasi sangat berguna untuk melatih cara berpikir siswa. Gurupun diharapkan mengajukan soal-soal yang berhubungan dengan problem solving sehingga siswa menjadi terbiasa untuk memecahkan masalah, baik masalah matematika maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran yang merujuk kepada pembelajaran konvensional harus segera ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA American Mathematical Association of Two-Year Colleges. (1995). Crossroads in mathematics: Standards for introductory college mathematics before calculus. Retrieved October 15, 2002, from http://www.imacc.org/standards/ Carroll, J. B. (1993). Human cognitive abilities: A survey of factor-analytic studies. Cambridge, England: Cambridge University Press. Dwyer, C. A., Gallagher, A., Levin, J., & Morley, M. E. (2003). What is Quantitative Reasoning? Defining the Construct for Assessment Purposes. Pricenton, NJ: Educational Testing Service. Educational Testing Service (ETS). (2010). Introduction to the Quantitative Reasoning Measure. United States.
30
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Howe, R. (1998). The AMS and mathematics education: The revision of the “NCTM standards.” Notices of the AMS, 45(2), 243-247. Mathematical Association of America (MAA). (2003). Guidelines for programs and departments in undergraduate mathematical sciences. Washington, DC: Author. National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: Author. Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan. Sumarmo, U. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya: Kumpulan Makalah. Jurusan Pendidikan Matematika, UPI, Bandung. Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
31
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK Sakrani Jurusan Pendidikan Matematika SPs UPI Jl. Setia Budhi, Bandung. Email:
[email protected] ABSTRAK Makalah ini mengkaji pembelajaran matematika dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik(PMR) dalam meningkatkan kemampuan representasi dan penalaran matematis siswa. PMR menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR mangacu pada pendapat Fruedhental yang mengatakan bahwa “Proses belajar siswa akan terjadi ketika pengetahuan yang sedang dipelajari menjadi bermakna (meaningful) bagi siswa. Karakteristik pendidikan matematika realistik meliputi: (1) penggunaan konteks; (2) penggunaan model untuk matematisasi progresif; (3) pemanfaatan hasil konstruksi siswa; (4) interaktivitas; (5) keterkaitan. Dalam hal ini kemampuan representasi matematis siswa meliputi: representasi visual, simbolik dan verbal. Sedangkan kemampuan penalaran dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Kata kunci: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik(PMR), kemampuan representasi, dan kemampuan penalaran.
PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu yang kaya dan menarik, karena banyak materi matematika yang bisa dikaitkan dengan kehidupan nyata, sehingga memungkinkan banyak hal yang bisa dieksplorasi dan diinteraksikan dengan siswa. Namum pada saat pembelajaran interaksi matematika yang sering terjadi hanyalah pemberian informasi berupa penjelasan definisi, penjelasan contoh dan pemberian latihan kepada siswa, sehingga siswa tidak dijadikan sebagai subjek pembelajaran. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Russefendi menyatakan bahwa bagian terbesar dari matematika yang dipelajari siswa di sekolah tidak diperoleh melalui eksplorasi matematika, tetapi melalui pemberitahuan. Pembelajaran yang demikian membuat siswa kurang aktif karena kurang memberi peluang kepada siswa untuk lebih banyak berinteraksi dengan sesama dan dapat membuat siswa memandang matematika sebagai suatu kumpulan aturan dan latihan yang dapat berujung pada rasa bosan dan bingung saat diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan. Berdasarkan pedoman penyusunan KTSP Depdiknas (2006 : 36) tujuan dari pembelajaran matematika meliputi: memahami konsep, menggunakan penalaran, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan dan memiliki sikap menghargai terhadap matematika. Rumusan tujuan pembelajaran matematika dipertegas lagi dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) yaitu belajar untuk berkomunikasi (mathematical
32
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
communication), belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving), belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection), belajar untuk merepresentasikan ide-ide (mathematical representation). Dari tujuan pembelajaran yang tercantum baik di KTSP dan NCTM maka kelima tujuan pembelajaran harus mampu dihadirkan setelah melakukan pembelajaran matematika. Dalam makalah ini penulis memilih dua dari lima tujuan pembelajaran matematika yang perlu dihadirkan yaitu kemampuan representasi dan penalaran matematis. Kedua tujuan pembelajaran tersebut juga memeberikan peranan penting dalam mencapai hasil belajar matematika yang optimal. Kemampuan representasi matematis untuk dimiliki oleh siswa, karena sangat membantu siswa dalam memahami konsep matematis berupa gambar, simbol, dan kata-kata tertulis. Penggunaan representasi yang benar oleh siswa akan membantu siswa menjadikan gagasangagasan matematis menjadi lebih konkrit. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hudiono (Indah Widiati,
2012)
menyatakan bahwa kemampuan representasi matematis yang masih lemah adalah aspek visual. Sementara itu hasil yang berbeda ditunjukkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Pujiastuti (2008) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar siswa lemah dalam menyatakan ide atau gagasannya melalui kata-kata atau teks tertulis, ini artinya salah satu aspek representasi yang kurang berkembang adalah aspek verbal. Sedangkan kemampuan penalaran merupakan kemampuan untuk menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Materi matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu matematika dipahami melalui penalaran, dan penalaran dilatih melalui belajar matematika (Depdiknas). Meskipun kemampuan representasi matematis salah satu kemampuan yang harus dimiliki siswa setelah pembelajaran matematika, akan tetapi pelaksanaannya bukan merupakan hal yang mudah. Keterbatasan pengetahuan guru dan kebiasaan siswa belajar dengan cara pembelajaran matematika biasa belum memungkinkan mengembangkan kemampuan representasi secara optimal. Hal tersebut dikarenakan siswa cendrung meniru langkah guru, siswa kurang diberikan kesempatan untuk menghadirkan kemampuan representasinya yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Partini dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan penalaran matematis yang merupakan salah satu kompetensi yang diharapkan dalam KTSP, secara keseluruhan belum mencapai hasil yang memuaskan. Indikatornya ditunjukkan oleh hasil studi tentang kemampuan penalaran matematis pada siswa SMA ditemukan bahwa baik secara keseluruhan maupun dikelompokkan menurut tahap kognitif siswa, kemampuan siswa dalam penalaran matematis masih kurang memuaskan.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
33
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Sesuai dengan amanat KTSP, pembelajaran yang dianjurkan sejalan dengan teori belajar konstruktivisme. Menurut Pusat Perkembangan Kurikulum Kementrian Pendidikan Malaysia, konstruktivisme merupakan teori belajar yang berpusat pada siswa artinya pengetahuan dibina sendiri oleh siswa secara aktif berdasarkan pengetahuan yang ada. Bertitik tolak dari itu maka pengetahuan dibina secara aktif oleh siswa, siswa tidak menyerap secara pasif pengetahuan yang disampaikan oleh guru, siswa menyesuaikan sebarang pengetahuan dengan pengetahuan yang ada untuk membentuk pengetahuan baru sehingga bermuara pada pembelajaran bermakna. Oleh sebab itu diperlukan model atau pendekatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berperan aktif, menarik dan menantang siswa untuk berfikir sehingga berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam merepresentasi dan menggunakan penalaran dalam memahami materi pada saat pembelajaran berlangsung. Dengan penggunaan model atau pendekatan pembelajaran yang tepat maka materi pelajaran yang disampaikan dapat dengan mudah dimengerti oleh siswa dan diharapkan terjadi pembelajaran yang optimal. PMR merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa. Karena PMR memiliki karakteristik dan prinsip yang memungkinkan siswa dapat berkembang secara optimal, seperti kebebasan siswa untuk menyampaikan pendapatnya, adanya masalah konstektual yang dapat mengaitkan konsep matematika dengan kehidupan nyata. Menurut Russefendi (2004), alasan digunakannya pendekatan matematika realistik di sekolah karena matematika dapat digunakan diberbagai keadaan, digunakan oleh setiap manusia pada setiap kegiatan baik pola pikir maupun matematika itu sendiri, dan siswa yang bersekolah itu mempunyai kemampuan beragam.
LANDASAN TEORI A. Representasi Matematis Dalam psikologi umum representasi berarti proses membuat model konkrit dalam dunia nyata ke dalam konsep abstrak atau simbol. NCTM mengemukakan representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematis yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Terkait dengan kemampuan representasi matematis Sternberg, (2008 : 217) mengemukakan bahwa ada dua jenis representasi yaitu representasi eksternal dan internal. Representasi eksternal terdiri dari simbol, kaidah (ketentuan), dan diagram yang digunakan siswa untuk menyatakan definisi. Sedangkan representasi internal, berhubungan secara individu, membangun psikologi, dan penetapan sebuah definisi. Lesh, Post, dan Bohr (Indah Widiati, 2012) menyatakan bahwa terdapat lima representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika yang terdiri dari (1) representasi objek dunia nyata (2) representasi konkrit (3) representasi simbol aritmatik (4) representasi bahasa dalam
34
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
berbicara (5) representasi gambar dan grafik. Di antara kelima representasi tersebut, tiga representasi yang terakhir lebih abstrak dan level representasinya lebih tinggi.
B.
Kemampuan Penalaran Menurut Kreaf (Sukirwan, 2008: 32) istilah penalaran merupakan proses berfikir yang
berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kesimpulan. Tim PPPG matematika (2005) menyatakan bahwa penalaran adalah suatu proses atau aktivitas berfikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada pernyataan yang telah dibuktikan (diasumsikan) kebenarannya. Sejalan dengan itu, penalaran itu sendiri merupakan proses berfikir untuk menarik kesimpulan berupa pengetahuan dengan menggunakan logika tertentu berdasarkan informasi yang diberikan. Sebagai bukti kebenaran dari kesimpulan tersebut seorang siswa harus memberikan argument atau alasan yang logis. Selama mempelajari matematika di kelas, aplikasi penalaran seringkali ditemukan meskipun tidak secara formal disebut sebagai belajar bernalar. Misalnya: Untuk menentukan hasil dari 5 X 9, berdasarkan pengetahuan yang sudah dimilikinya para siswa yaitu (5 X 10 ) – 5, maka para siswa diharapkan dapat menyimpulkan 5 X 9 adalah sama dengan 50 – 5 atau sama dengan 45.
Sumarmo (2010) mengatakan bahwa secara garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif di antaranya adalah: 1.
Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada kasus khusus yang lainnya. Contoh: segitiga ABC siku-siku di A berlaku BC2 = AC2 + AB2.
2.
Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses.
Dari Jakarta ke Bandung ada
Relasi
dua rute bis, dan dari Bandung
pasangan
celana
banyaknya panjang
(warna putih, biru, hitam) dan
ke Semarang ada tiga rute bis. Relasi antara banyaknya rute
antara
Serupa dengan
kemeja (warna kuning dan
bis dari Jakarta ke Semarang
merah) dengan bilangan:
melalui
a. 2
c. 5
b. 3
d. 6
Bandung
dengan
bilangan 6.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
e. 8
35
Volume 2
3.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati. Contoh soal
Berdasarkan gambar di atas, terdapat pola 1, pola 2, pola 3, dan pola 4. Tentukanlah pola ke-n dari gambar di atas.
4.
Menggunakan pola hubungan untuk menaganalisis situasi, dan menyusun konjektur. Contoh soal: berdasarkan gambar pada soal c) tentukanlah pola ke tujuh dari gambar di atas.
5.
Memperkirakan jawaban, solusi, kevendrungan, interpolasi dan ekstrapolasi. Contoh soal: berdasarkan laporan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Bima, dikabupaten Bima tercatat 200 siswa sekolah menengah yang putus. Diantaranya 150 siswa disebabkan oleh ekonomi, 30 siswa disebabkan oleh narkoba, serta sisanya disebabkan oleh faktor lain. Berapakah peluang bahwa siswa tersebut putus sekolah bukan karena faktor ekonomi?
6.
Memberikan penjelasan terhadap model, fakta, sifat hubungan, atau pola yang ada. Contoh soal: sebuah kolam renang memliki panjang 50 m, lebar 20 m, dan kedalaman 3 m. Andi ingin mengisi kolam hingga penuh dalam waktu 20 hari? Berikan alasan. Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai
kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah tidak bisa sekaligus keduanya. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif diantaranya adalah sebagai berikut: 1.
Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu
2.
Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argument, membuktikan dan menyusun agumen yang valid. Contoh soal: seseorang hendak berpergian dari kota A menuju kota C melalui kota P atau kota Q. dari kota A ke kota Q ada 2 jalan dan dari kota Q ke kota C ada 5 jalan. Dari kota P ke kota Q atau sebaliknya tidak ada jalan. Berapa banyak cara yang dapat ditempuh untuk berpergian dari kota A menuju kota C?
3.
Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tidak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika
C.
36
Pendidikan Matematika Realistik (PMR)
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) merupakan salah satu teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori PMR pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970an oleh sekelompok ahli matematika dari Institut Freudentahl dengan berlandaskan pada filosofi matematika sebagai aktivitas manusia “mathematics as human activity” yang dicetuskan oleh Hans Freudhental (Ariyadi Wijaya, 2012). Teori ini mengacu pada pendapat Freudhental yang mengatakan bahwa “Proses belajar siswa akan terjadi ketika pengetahuan yang sedang dipelajari bermakna (meaningful) bagi siswa Freudentahl & CORD. Suatu pengetahuan akan menjadi bermakna bagi siswa jika proses belajar melibatkan masalah realistik atau dilaksanakan dalam dan dengan suatu konteks. (NCTM: 2000). Secara umum menurut Treffers (Ariyadi Wijaya, 2012) menyebutkan lima karakteristik dari pembelajaran matematika realistik, yaitu: penggunaan konteks, penggunaan model untuk matematisasi progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Karakteristik yang pertama mengemukakan pentingnya menggunakan kontek. Kontek memainkan peranan penting dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa juga sesuatu yang bisa dibayangkan siswa. Konteks terbagi dalam tiga jenis (De Lange dalam Jarnawi 2011) yakni kontek orde satu, kontek orde dua, kontek orde tiga. Kontek orde satu berbentuk terjemahan dari soal-soal matematika dalam bentuk teks. Sebagai contoh: Tentukan volume bak mandi yang berbentuk balok dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 50 cm Konteks orde dua memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan proses matematika. Sebagai contoh: Misalkan diketahui kapasitas bis yang akan dipakai untuk karyawisata SD A berkapasitas 40 penumpang. Jika pada saat karyawisata tersebut digunakan 4 bis siswa terisi penuh, berapa banyak siswa yang mengikuti karyawisata tersebut?
Konteks orde tiga memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan konsep maupun algoritma dalam matematika. Sebagai contoh: Dalam suatu pertemuan warga RT 05 setiap orang yang hadir saling bersalaman. Jika diketahui warga yang ikut pertemuan tersebut 25 orang, berapa banyak salaman yang terjadi?
Karakteristik yang kedua mengemukakan tentang pentingnya menggunakan model dalam menyelesaikan masalah matematika. Dalam pendidikan matematika realistik, model digunakan
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
37
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Model merupakan tahapan proses transisi level informal menuju level matematika formal dalam artian dari hal-hal yang konkrit menuju hal-hal abstrak. Karakteristik yang ketiga pemanfaatan hasil konstruksi siswa maupun kontribusinya dalam memecahkan masalah diperoleh melalui berbagai kegiatan, sisa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep maupun algoritma dalam matematika melalui kegiatan doing mathematics. Untuk terwujudnya konstruksi tersebut guru perlu merangsang siswa agar dapat berkontribusi secara maksimal. Karakteristik yang keempat adalah pelunya interaksi antar siswa maupun antara siswa dengan guru dalam pembelajaran matematika. Interaksi antar siswa maupun antara siswa dengan guru dalam bentuk interprestasi, diskusi, kerja sama, dan evaluasi merupakan kegiatankegiatan interaktivitas dalam pembelajaran matematika. Dengan adanya interaksi dari berbagai unsur akan membuat suasana kelas menjadi dinamis dan hidup. Hal ini akan membuat siswa termotivasi dalam belajar matematika. Interaksi tersebut akan membuat siswa menjadi fokus dari segala kegiatan di kelas. Guru berfungsi sebagai moderator agar interaksi yang terjadi berlangsung secara efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran. Karakteristik terakhir mengenai pentingnya keterkaitan antar topik dalam matematika maupun dengan topik di luar matematika bertujuan mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep yang terdapat dalam topik yang bersangkutan. Suatu topik dalam matematika lebih sukar dipahami bila terpisah dengan topik lain. Peran guru dalam karakteristik ini adalah memberikan wawasan baru (new insight) tentang keterkaitan antar topik tersebut dan siswa memahami keterkaitan tersebut, serta memunculkan konsep yang terdapat pada topik-topik tersebut. Menurut Hadji (Akbar & Jarnawi, 2011: 6.23-6.24) terdapat lima langkah atau tahapan yang dilakukan dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan realistik, yakni sebagai berikut: 1.
Guru mengkondisikan kelas agar kondusif
2.
Guru menyampaikan dan menjelaskan masalah kontekstual
3.
Siswa menyelesaikan masalah kontekstual
4.
Penarikan kesimpulan
5.
Penegasan dan pemberian tugas
D. Hubungan PMR dengan Representasi Matematis dan Penalaran Matematis Salah satu dari lima karakteristik pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik yang diungkapkan oleh Ariyadi Wijaya (2012 : 22) yaitu
“Penggunaan model untuk
matematisasi progresif”. Pada karakteristik ini penggunaan model berfungsi sebagai jembatan
38
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
(bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Dalam PMR, masalah nyata berfungsi sebagai sumber dari proses belajar masalah nyata dan situasi nyata, keduanya digunakan untuk menunjukkan dan menerapkan konsep-konsep matematika. Ketika siswa mengerjakan masalah-masalah nyata mereka dapat mengembangkan ide-ide/konsep-konsep matematika dan pemahamannya. Pertama, mereka mengembangkan strategi yang mengarah (dekat) dengan konteks. Kemudian aspek-aspek dari situasi nyata tersebut dapat menjadi lebih umum. Artinya model atau strategi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah lain. Bahkan model tersebut memberikan akses siswa menuju pengetahuan matematika yang formal. Jadi proses pendekatan ini, siswa mencoba menemukan hubungan-hubungan antara bagianbagian masalah kontekstual dan mentransfernya ke dalam model matematika melalui kemampuan representasi. Secara garis besar seperti berikut : “Konstekstual → Informal → Formal”. Pengembangan pengetahuan dimulai dari masalah kontekstual hingga sampai ke masalah formal merupakan suatu proses yang bertahap, proses tersebut dapat didukung dengan penggunaan kemampuan representasi dan penalaran yang tepat.
PENELITIAN YANG RELEVAN Pembelajaran dengan pendekatan realistik dan kontekstual memiliki berbagai kesamaan baik dari teori belajar serta masalah kontekstual (masalah yang bisa dibayangkan) sebagai karakteristik khusus dari kedua pendekatan ini, sehingga penelitian yang relevan untuk pendekatan realistik bisa diambil dari hasil penelitian yang menggunakan pendekatan kontekstual. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartini Hutagaol (2007) dan dinyatakan dalam tesisnya menjelaskan bahwa siswa yang mendapat pendekatan pembelajaran Kontekstual untuk meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa lebih besar persentasenya daripada siswa yang mendapat belajar matematika dengan pendekatan pembelajaran matematika biasa. Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan hubungan PMR terhadap penalaran, juga pernah dipaparkan pada workshop pembelajaran matematika oleh Siswono (2006), “PMRI: Pembelajaran Matematika yang Mengembangkan Pealaran, Kreativitas dan Kpribadian siswa”. Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh Putri (2012) dan dinyatakan dalam tesisnya bahwa siswa yang belajar dengan pendekatan PMR memliki pengaruh postif terhadap kemampuan penalaran matematis.
KESIMPULAN 1.
Secara teoretis, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
39
Volume 2
2.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Secara teoretis, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan penalaran matematis siswa.
SARAN 1.
Guru matematika pada semua jenjang pendidikan hendaknya mempelajari dan lebih memperdalam lagi tentang konsep-konsep dan teori-teori pendekatan PMR
2.
Guru hendaknya memilih atau membuat soal- soal kontekstual sesuai dengan kemampuan matematis yang dicapai
DAFTAR PUSTAKA
Ariyadi Wijaya (2012). PMR: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu. Areti Panaoura (2007). The Impact of Recent Metacognitive Expereiences on Preservice Teachers‟ Self-representation in Mathematics and its Teaching. University of Cyprus, Fredrick Institute of Technology. Athanasios Gagagtsis, dkk, (2006) Are Registers of Representations and Problem Solving Processes on Functions Compartmentalized in Students‟ Thinking. Depdiknas. (2006). Pedoman Penyusunan; Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar. Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jica: Bandung. Finola Marta Putri. (2012). Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik terhadap Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis Siswa SMP. Tesis UPI: Tidak diterbitkan. Hutagaol, Kartini (2007). Pembelajaran Matematika Konstektual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Jarnawi Afgani D. & Akbar Sutawidjaja (2011). Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka. NCTM (2000). “Principles and Standards for School Mathematics” United States. Partini (2009). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan kemampuan Penalaran dan Represesntasi Matematis Siswa SMA. Tesis UPI Robert J. Sternberg, dkk. (2008). Psikologi Kognitif. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
40
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Russefendi (2004), “landasan Filosofis dan Psikologi Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah disajikan dalam lokakarya pembelajaran matematika realistik bagi guru SD. Bandung. Sofia Anastasiadou & Athanasios Gagatsis (2007). Exploring the Effects of Representations on the Learning of Statistics in Greek Primary School. University of Western Macedonia dan University of Cyprus. Sukirwan (2008). Kegiatan Pembelajaran Exploratif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis siswa Sekolah Dasar. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Sumarmo, Utari (2010), Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Bandung FMIPA UPI. Supardi (2012). Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar Matematika ditinjau dari Motivasi Belajar. Jurnal Cakrawala Pendidikan. Tatang Yuli Eko Siswono (2006), PMRI: Pembelajaran Matematika yang Mengembangkan Penalaran, Kreativitas dan Kepribadian Siswa. Makalah Workshop Pembelajaran Matematika. Zulkardi, (2005). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dan Implementasinya. Makalah pada seminar kenaikan jabatan dari Lektor Kepala ke Guru Besar Pendidikan Matematika pada tanggal 29 Maret 2005 di Inderalaya. Zulkardi, (2001). Realistik Mathematics Education dan Pembelajarannya. Makalah dalam seminar kenaikan Jabatan pada tanggal 21 Maret 2001: FKIP Uniersitas Sriwijaya Palembang.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
41
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Kajian Literatur tentang Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika Indah Riezky Pratiwi Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung 40154, email:
[email protected] Abstrak Masalah Matematika digambarkan sebagai persoalan atau tantangan dimana seorang siswa tidak langsung mengetahui bagaimana cara/prosedur khusus yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki oleh semua siswa. Namun kenyataannya, kemampuan pemecahan masalah Matematika siswa Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini bisa diamati berdasarkan hasil studi TIMMS tahun 2011 (Trends in International Mathematics and Science Study) yang menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah yaitu berada pada peringkat ke-38 dari 45 negara yang berpartisipasi pada penilaian tersebut. Siswa indonesia mengalami kesulitan dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi.Perlu diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa kurang terampil dalam memecahkan masalah adalah karena kurangnya kemampuan heuristik. Studi literatur ini bertujuan untuk membahas mengenai apa itu heuristik, pentingnya heuristik, apa saja komponen dari heuristik, dan bagaimana Heuristik dapat diajarkan dalam pembelajaran Matematika. Kata Kunci: Pemecahan Masalah Matematika, Heuristik.
PENDAHULUAN Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh semua siswa. Kemampuan pemecahan Masalah Matematika dibutuhkan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai hal. Masalah Matematika berkaitan dengan persoalan atau tantangan dimana seseorang tidak langsung mengetahui
bagaimana
cara/prosedur khusus
yang bisa
diterapkan
untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah Matematika yang dimiliki oleh siswa Indonesia tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Kemendikbud (2012) memaparkan hasil studi TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Selain itu, beberapa hasil penelitian yang memfokuskan pada bagaimana kemampuan pemecahan masalah Matematika menunjukkan bahwa siswa masih saja sering menemui kesulitan dalam memecahkan masalah Matematika. Arslan dan Altun (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa kurang terampil dalam menyelesaikan masalah adalah kurangnya kemampuan heuristik. 42
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Ketika dihadapkan pada masalah kompleks yang tidak familiar, sebagian besar siswa tidak secara langsung menerapkan strategi heuristik seperti menggambarkan skema yang cocok, atau membuat tabel, dan sebagainya. Siswa biasanya hanya melihat masalah secara sekilas dan mencoba memutuskan perhitungan apa yang cocok untuk dijalankan terhadap bilangan yang ada pada permasalahan. Sebagai dimensi proses, pemecahan masalah dibelajarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir Matematik siswa dalam memecahkan masalah Matematika. Pemecahan masalah dilakukan melalui tahapan-tahapan berpikir yang disebut heuristik. Oleh karena itu, konsep heuristik tidak dapat dipisahkan dari kajian tentang pemecahan masalah dan pembelajarannya (Yusnita,2012). Lemahnya keterampilan siswa dalam menggunakan heuristik tentu saja menghambat proses pemecahan masalah yang dilakukan. Sehingga diperlukan upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebelum mencari solusi yang tepat untuk meningkatkan keterampilan heuristik ini, pengkajian literatur secara lebih mendalam sangat diperlukan untuk mengupas tuntas mengenai heuristik dan konsep-konsep yang berhubungan dengannya sehingga melalui penelitian, selanjutnya peneliti dapat mengembangkan keterampilan heuristik tersebut melalui treatment yang tepat.
A. Masalah matematika dan Pentingnya pemecahan masalah Dalam proses pembelajaran Matematika, seringkali kita mendengar tentang masalah Matematika. Namun, masih sering terjadi kesalahpahaman mengenai pendefinisian „masalah‟ itu sendiri. Bahkan ada sebagian dari kita yang memaknai semua soal Matematika sebagai suatu „masalah Matematika‟. Ternyata konsep dan pendefinisian „masalah‟ bukan merupakan suatu yang sederhana. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) menyatakan bahwa menyusun masalah Matematika merupakan salah satu tantangan untuk para guru, karena bukan merupakan satu hal yang mudah. Banyak hambatan yang sering ditemui oleh guru dalam menyusun masalah Matematika. Dari pernyataan di atas, kita dapat menangkap suatu fenomena mengenai kesalahpahaman dari pendefinisian konsep „masalah Matematika‟ yang mungkin masih ada sampai sekarang. Karena masih ada di antara kita yang memahami „masalah Matematika‟ sebagai soal biasa yang sering digunakan dalam proses pembelajaran matematika. Baik yang berupa soal ingatan biasa atau bahkan soal cerita. Sehingga diperlukan pengkajian secara lebih mendalam mengenai hal tersebut. Beberapa ahli merangkum definisi masalah sebagai berikut : a. Krulik dan Rudnik (1995) mendefinisikan masalah secara formal sebagai berikut : “A problem is a situation, quantitatif or otherwise, that confront an individual or group of individual, that requires resolution, and for wich the individual sees no apparent or obvius
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
43
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
means or path to obtaining a solution”. Definisi tersebut menjelaskan bahwa masalah merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang atau kelompok yang memerlukan suatu pemecahan tetapi individu atau kelompok tersebut tidak melihat secara jelas atau langsung mengenai cara/jalan untuk dapat memperoleh solusinya. b. Kusnandi (2012) menyatakan bahwa masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang siswa sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Maksudnya adalah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya, tetapi ia harus mampu menyelesaikannya berdasarkan baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya terlepas dari apakah ia sampai atau tidak kepada jawabannya. c. Cooney dkk (Shadiq, 2004) mengatakan bahwa suatu pernyataan akan menjadi masalah jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pelaku. Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan oleh beberapa ahli di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa masalah Matematika dipandang sebagai suatu tantangan yang dihadapkan kepada seorang individu atau suatu kelompok yang mana individu atau kelompok tersebut tidak dapat menyelesaikan tantangan tersebut secara langsung melalui prosedur biasa (langkah-langkah rutin dengan penggunaan rumus langsung) sehingga mereka harus memiliki kesiapan mental maupun pengetahuan untuk memperoleh solusi dari masalah yang diberikan melalui berbagai strategi/trik yang bisa digunakan untuk mendekatkan siswa kepada solusi yang diharapkan. Sekarang pemahaman konsep kita tentang masalah Matematika harus digeser ke arah yang lebih mendalam, bahwa tidak semua soal yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran Matematika bisa dikatakan sebagai suatu masalah. Masalah Matematika bersifat relatif, bahwa suatu tantangan/soal bisa menjadi masalah bagi seorang siswa, namun belum tentu bagi siswa lainnya. Sehingga seorang guru harus benar-benar menguasai karakteristik dan pemahaman siswa sehingga masalah yang dikonstruk oleh guru untuk digunakan dalam proses pembelajaran dapat menjadi masalah bagi seluruh siswa secara universal. Tentu saja hal ini merupakan tantangan bagi para guru, karena menyusun masalah Matematika bukanlah merupakan hal yang mudah. Dibawah ini dilampirkan contoh masalah Matematika dan soal rutin.
Sumber: Yoong (2006)
44
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Kita dapat melihat perbedaan dari kedua jenis soal di atas. Pertanyaan nomor 1 bisa dikategorikan sebagai masalah bagi siswa kelas 1 SMP. Karena ketika siswa kelas 1 SMP diberikan soal tersebut, mereka tidak dapat secara langsung menentukan solusi dari masalah tersebut hanya dengan sekedar mensubstitusikan nilai ke dalam rumus. Melainkan mereka harus memilih strategi yang melibatkan proses berpikir untuk memecahkan masalah tersebut. Berbeda dengan pertanyaan nomor 2, dimana siswa kelas 1 SMP dapat memecahkan masalah tersebut hanya dengan melakukan operasi hitung biasa. Sehingga pertanyaan nomor 2 tidak bisa dikatakan sebagai masalah, melainkan termasuk soal rutin. Melalui masalah yang diberikan oleh guru, siswa diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut sehingga ditemukan solusi yang memenuhi masalah tersebut. Menurut Wardhani (Munaka, 2007) menjelaskan pemecahan masalah sebagai proses penerapan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dalam situasi baru yang belum diketahui. Masalah bersifat relatif, artinya masalah bagi seorang pada suatu saat belum tentu merupakan masalah bagi orang lain pada saat itu atau pada orang itu sendiri berapa saat kemudian. Masalah pada hakekatnya adalah pertanyaan yang harus dijawab. Sebaliknya suatu pertanyaan belum tentu menjadi masalah bagi seseorang. Pentingnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah tertuang dalam tujuan kurikulum. Namun kenyataannya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah masih sangat kurang. Sehingga masih sangat perlu dilakukan pengkajian mendalam mengenai hal ini. Josep (2010) menambahkan bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Kai Kow Joseph YEO dalam penelitiannya mengenai kesulitan siswa SMP dalam menyelesaikan masalah nonrutin diperoleh informasi bahwa siswa terbiasa menggunakan satu jenis heuristik. Siswa tidak menunjukkan fleksibilitas dalam mencari cara untuk memecahkan masalah dengan menggunakan lebih dari satu heuristik.Siswa yang bekerja dengan satu solusi sering tidak menyadari bahwa solusi yang mereka ambil tidak benar. Selain itu juga, siswa tidak berusaha memeriksa apakah solusi mereka benar atau memenuhi kondisi masalah atau tidak.
Pendapat dari ahli lain yang mendukung hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Kai Kow Joseph, Arslan dan Altun (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa kurang terampil dalam menyelesaikan masalah adalah kurangnya kemampuan heuristik. Ketika dihadapkan pada masalah kompleks yang tidak familiar, sebagian besar siswa tidak secara langsung menerapkan strategi heuristik seperti menggambarkan skema yang cocok, atau membuat tabel, dan sebagainya. Siswa biasanya hanya melihat masalah secara sekilas dan mencoba memutuskan perhitungan apa yang cocok untuk dijalankan terhadap bilangan yang ada pada permasalahan. Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
45
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Ho dan Tan (2013) mengemukakan bahwa tidak seluruh siswa memiliki pengetahuan umum tentang berbagai heuristik. Mereka berada pada titik tolak dan tingkatan pengetahuan heursitik yang berbeda. Penyajian dari apa yang mereka kerjakan mengenai langkah-langkah pengerjaannya sangat bergantung pada bagaimana guru matematika yang mengajar sebelumnya dan seberapa luas pembelajaran yang mereka ikuti sebelumnya
B. Heuristik dalam Pemecahan Masalah
Pemecahan Masalah Matematika terintegrasi dalam proses pembelajaran, dimana melalui proses pembelajaran siswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mereka. Wong Khoon Yoong (2006) mengatakan bahwa pemecahan masalah sudah menjadi fokus utama dalam Kurikulum Matematika Singapore selama lima belas tahun terakhir. Untuk sukses dalam menyelesaikan berbagai jenis masalah, khususnya masalah nonrutin, seorang siswa yang termotivasi harus menerapkan empat tipe kemampuan matematika yaitu konsep matematika, keterampilan, proses, dan metakognisi untuk memecahkan masalah. Dalam kemampuan proses adalah menggunakan heuristik. Powwel dan Lai (2010) menjelaskan bahwa melalui heuristik, kita dapat menjelaskan setiap tahap-tahap pengerjaan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan yang menyajikan sebuah makna untuk meningkatkan pemahaman dalam tugas pemecahan masalah. Kita
tidak
menyatakan
secara
tidak
langsung
bahwa
ketika
pemecah
masalah
mengimplementasikan heuristik hal itu dapat menghantarkan mereka menuju penemuan solusi, tapi hanya bermaksud melakukannya. Pemikiran kita tentang heuristik memasukan strategi umum yang harus dipatuhi dan secara nyata seperti yang dijelaskan oleh Polya. Definisi mengenai Heuristik sangat beragam. Romanycia dan Pelletier (1985) menegaskan bahwa sesuatu bisa disebut sebagai heuristik oleh seorang peneliti belum tentu dikatakan juga oleh peneliti lain. Hal ini disebabkan karena beberapa heuristik memasukkan berbagai sisi yang menonjol yang berbeda dan beberapa peneliti sudah menekankan perbedaan dari masing-masing karakteristik ini sebagai sesuatu yang mendasar untuk menjadi sebuah definisi heuristik. Definisi Heuristik menurut beberapa ahli yang dirangkum melalui berbagai sumber. Adapun definisi-definisi yang terangkum adalah sebagai berikut:
1. Lidinillah (2009) menjelaskan bahwa heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu pemecah masalah dalam menentukan solusi masalah. Berbeda dengan algoritma yang berupa prosedur penyelesaian sesuatu dimana jika prosedur itu digunakan maka akan sampai pada solusi yang benar. Sementara heuristik tidak menjamin solusi yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi. Jika langkah-langkah algoritma harus dilakukan secara berurutan, maka heuristik tidak menuntut langkah berurutan.
46
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
2. Slage (Romanycia dan Pelletier,1985) menjelaskan heuristik sebagai rule of thumb, strategi, metode, atau trik yang biasa digunakan untuk mengembangkan ketepatgunaan suatu sistem yang dicoba untuk menemukan solusi dari permasalahan yang kompeks.
3. Ministry of Education Singapore(2009) menjelaskan bahwa heuristik merupakan apa yang siswa dapat lakukan untuk mendekatkan sebuah permasalahan ketika solusi dari permasalahan tersebut tidak jelas.
4.
Chaves
(2007) menjelaskan bahwa Heuristik dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah non rutin atau masalah yang tidak jelas bentuk penyelesaiannya. Teknik ini adalah petunjuk umum yang sangat berguna dalam menyelesaikan masalah yang luas kajiannya. Perbedaan heuristik menyajikan maksud yang berbeda yaitu membantu anak memahami masalah, mengidentifikasi segala alasan yang mungkin terjadi, mengidentifikasi beberapa solusi yang memungkinkan, berfikir atau bernalar. Sehingga dapat kita tarik benang merah dari beberapa definisi heuristik tersebut dalam memahami konsep heuristik. Kita melihat suatu kata kunci dari penjabaran beberapa pengertian heuristik yang sudah didefinisikan oleh para ahli. Heuristik erat kaitannya dengan tahapantahapan/langkah-langkah berpikir/aturan/strategi/teknik/apa saja yang bisa dilakukan terhadap suatu permasalahan yang diberikan dengan tujuan mendekatkan permasalahan tersebut kepada solusi yang tepat ketika kita dihadapkan oleh permasalahan yang tidak familiar. Seringkali, dalam pembelajaran Matematika di sekolah siswa akan cederung mudah menyerah ketika mereka menemui kesulitan dan merasa tidak bisa berbuat banyak atas permasalahan yang mereka hadapi. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang tidak familiar. Newell (1981) menyatakan bahwa heuristik disini erat kaitannya dengan langkahlangkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya. Adapun karakteristik dari heuristik yang diadopsi dari tahapan berfikir Polya adalah sebagai berikut: Proses yang dilibatkan dalam model Polya dielaborasi pada tahun 2001 pada silabus Matematika, seperti yang ditunjukkan di bawah ini : Langkah – Langkah untuk Pemecahan Masalah 1.
2.
Memahami Masalah
Mencari informasi yang diberikan
dapat memberikan gambaran tentang informasi yang diberikan
mengatur informasi yang diberikan
menghubungkan informasi yang diberikan
Merencanakan sebuah rancangan
Act it out (menunjukkan/ membuktikan)
Menggunakan diagram atau pemodelan
Menggunakan terkaan dan pengecekan
Membuat sebuah daftar yang teratur
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
47
Volume 2
3.
4.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Mencari pola-pola
Bekerja dari langkah belakang
Menggunakan konsep sebab akibat
Membuat sebuah anggapan/perkiraan/dugaan/pengandaian
Menyelesaikan masalah dengan menggunakan jalan lain
Menyederhanakan masalah
Menyelesaikan bagian dari permasalahan
Memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan
Menggunakan sebuah persamaan
Menjalankan Rencana
Menggunakan Kemampuan perhitungan
Menggunakan kemampuan geometri
Menggunakan Penalaran Logika
Refleksi/Evaluasi
Mengoreksi solusi yang telah diselesaikan
Membetulkan metode yang digunakan
Mencari solusi alternatif
Mengembangkan cara untuk masalah lain Ministery of Education Singapore (2009 )
Pada kenyataannya, heuristik tidak selalu menjamin kebenaran selalu tercapai dalam proses penyelesaian masalah, namun proses tersebut yang paling penting, bagaimana siswa berusaha mencari jalan keluar untuk mendekatkan masalah pada solusi yang diharapkan. Wong Khoon Yoong (2006) mengatakan bahwa guru Matematika sering berkeinginan untuk menunjukan perbedaan strategi untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini dilakukan dengan niat untuk meningkatkan kemampuan berfikir kreatif siswa dan untuk mematahkan persepsi umum bahwa masalah Matematika selalu hanya memiliki satu cara yang benar dan satu-satunya jawaban yang benar. Guru berharap siswa berfikir keras tentang perbedaan strategi untuk pemecahan masalah dalam masalah yang sama. Karena berdasarkan hal tersebut, guru memperoleh pemahaman yang mendasar tentang bagaimana siswa berfikir secara Matematis, seringkali dalam cara yang benar-benar tidak terduga, jawaban yang benar ataupun salah. Berdasarkan uraian di atas, sangat diperlukan adanya pengkajian secara lebih mendalam mengenai kemampuan heuristik yang mengarah pada keterampilan siswa dalam menggunakan heuristik dengan tujuan untuk memperkuat keterampilan proses pemecahan masalah. Selain itu, siswa yang cenderung menggunakan beberapa heuristik dalam menyelesaikan masalah yang sama diharapkan akan memiliki kemampuan berfikir kreatif yang baik. John, Hedberg,dan Luis (2010) mengatakan bahwa dalam pelaksanan proses pembelajaran, tidak semua macam heuristik dapat diajarkan oleh guru secara eksplisit, karena 48
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
kenyataannya kadangkala ada beberapa heuristik yang digunakan oleh siswa diperoleh dari pengalaman pemecahan masalah mereka pribadi atau yang diidentifikasi ketika mereka mengobservasi pemecahan masalah dari orang lain. Kita juga dapat mempelajari macam-macam heuristik melalui pengujian dan belajar berdasarkan pada contoh yang ada pada textbook. Alasan yang paling penting untuk mempelajari heuristik adalah karena heuristik dapat membantu menyelesaikan masalah pada topik yang tidak familiar, walaupun sebenarnya tanpa bantuan heuristik, siswa mungkin masih bisa menyelesaikan masalah, dalam hal ini heuristik hanya meningkatkan kesempatan untuk menemukan solusi yang tepat. Pengajaran tentang penggunaan Heuristik ini diterapkan oleh guru melalui penugasan penyelesaian masalahmasalah Matematika sehingga siswa terbiasa dalam menggunakan berbagai macam Heuristik.
KESIMPULAN Heuristik tidak dapat dipisahkan dari proses pemecahan masalah Matematika. Heuristik dipandang sebagai proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah Matematika yang berkaitan dengan tahapan-tahapan/langkah-langkah berpikir/aturan/strategi/teknik/apa saja yang bisa lakukan terhadap suatu permasalahan yang diberikan dengan tujuan mendekatkan permasalahan tersebut kepada solusi yang tepat ketika kita dihadapkan oleh permasalahan yang mereka hadapi. Heuristik erat kaitannya dengan dengan langkah-langkah pemecahan masalah Polya yaitu: (1) Memahami masalah; (2) Merencanakan sebuah rancangan; (3) Menjalankan rencana; dan (4) Refleksi/evaluasi. Heuristik dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran Matematika melalui latihan pengerjaan masalah nonrutin sehingga diharapkan siswa dapat meningkatkan keterampilan mereka dalam mengaplikasikan heuristik dalam penyelesaian masalah Matematika. DAFTAR PUSTAKA Arslan dan Altun.(2007).Learning to Solve Non-Routine Mathematical
Problems.Elementary
Education Online 6 (1). Ho,K.Fai dan Preston T.(2013).Weaving Reflection into Enchance ProblemMathematics Classroom,Innovation an Exemplary Practice Education
:The6th East Asia Regional Conference on
Proceedings
Vol.2,64-72.Phuket,Thailand:ICMI-
Mathematical
Instruction
in
Mathematics
Mathematics
International
Solving in
Education
Commission
on
Jhon Tion dkk.(2010).A Metacognitive Approach to Support Heuristic Solution of Mathematical Problems.diakses tanggal 20 Oktober 2012. Josep,Kai
Kow.(2010).Secondary
2
Student‟s
Difficulties
in
Solving
Non-Routine
Problems.National Institute of Education. Krulik, Stephen dan Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Boston : Temple University.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
49
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Kusnandi.(2012).Penalaran Matematika.Modul Perkuliahan UPI: Tidak diterbitkan. Kemendikbud.(2012).Dokumen Kurikulum 2013.Jakarta:Kemendikbud Lidinillah.(2009).Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika dan Pembelajarannya di Sekolah
Dasar.
Diakses
melalui
http://file.u[i.edu/Direktori/KD-
TASIKMALAYA/DIDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KD-TASIKMALAYA)197901132005011003/132313548%20%20didin%20abdul%20muiz%20lidinillah/Heuristik%20Pemecahan%20Masalah.pdf Ministry of Education Singapore.(2009).The Singapore Model Method for
Learning
Mathematics.Singapore : Ministry of Education Singapore Munaka, Fitrianty.(2007).Makalah Peserta Seminar Nasional Pendidikan Matematika (Pemberdayaan
Siswa
Berbakat
Pembeljajaran
Pemecahan
Intelektual
Masalah
Sebagai
Matematika
di
Asisten
Guru
Sekolah
salam
Menengah
Pertama).Palembang:UNSRI Newell,Allen.(1981).The Heuristic of George Polya and Its Relation to Artificial Intelligence.United States :Department of Computer Science Carnegie
Mellon
University Pittsburgh,Pennsylvania 15213 Pratiwi,I.R.(2012).Pembelajaran Palembang.Skripsi
Pemecahan
Masalah
Matematika
di
SMAN
15
UNSRI:Tidak diterbitkan
Romanycia,Pelletier.(1985).What is a heuristics?.Comput.Intel vol 1, 1985. Shadiq,Fajar.(2004).Pemecahan Masalah,Penalaran dan Komunikasi Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA 19
Disampaikan
pada
Jenjang Dasar Tanggal 6 s.d
Agustus 2004 di PPPG Matematika.Yogyakarta:Depdiknas
Yoong.(2006).
Enhancing
Mathematical
Reasoning
at
Secondary
School
Level.
http://math.nie.edu.sg/ame/mtc06/Mathematics%20Teachers%27%20Conference%20W ongKY%20Math%20Reasoning.pdf/tanggal 10 Oktober 2012) Yoong dan Tiong.(2008).Developing the Repertoire of Heuristics for Mathematical Problem Solving: Student Problem Solving Exercises Attitude. Technical Report for Yusnita.(2012).Pembelajaran
and
Project CRP38/03 TSK Heuristik
Pemecahan
Masalah
Matematika.(http://kejora216.wordpress.com/elementary-school/pembelajaranmatematika-heuristik/ tanggal 10 Oktober 2013).
50
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENENTUKAN POLA GAMBAR TUMBUH SEBAGAI PENDUKUNG PEMBELAJARAN ALJABAR Georgius Rocki Agasi1), M. Andy Rudhito2) 1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, e-mail:
[email protected] 2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, email:
[email protected] Abstract Kemampuan berpikir menentukan pola sangat diperlukan dalam pembelajaran aljabar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan cara berpikir siswa SMP dalam menentukan pola gambar tumbuh. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan subyek penelitian 5 siswa SMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa siswa mengalami kesulitan dalam menentukan pola gambar tumbuh. Ada berbagai variasi cara berpikir siswa dalam menentukan pola gambar perulangan dengan benar. Siswa yang masih mengalami kesulitan dalam menentukan pola masih sulit diungkap cara berpikirnya. Keywords:siswa SMP, pola, gambartumbuh, pembelajaranaljabar.
PENDAHULUAN Matematika dipandang sebagai dasar dari penalaran tentang objek dan hubungan. Selain itu
matematika
hal
lain
melibatkan
seperti
memeriksa,
menyelidikikebenaran
dan
klaimtentangbenda danhubungan ( Carpenter et al. 2003) ( dalam E. Warren • T. Cooper.2008) . Kelebihan matematika terletak pada hubungan sehingga menimbulkan pola dan generalisasi. (Soekadijo, 1999: 134) ( dalam Herdian. 2010) mengatakan bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu disebut generalisasi. ( Rahman, 2004: 15) ( dalam Herdian. 2010) mengatakan bahwa generalisasi adalah proses penarikan kesimpulan dimulai dengan memeriksa keadaan khusus menuju kesimpulan umum. Penalaran tersebut mencakup pengamatan contoh-contoh khusus dan menemukan pola atau aturan yang melandasinya. Sedangkan (Trisnadi, 2006:11) ( dalam Dedy, 2013) mengungkapkan bahwa generalisasi adalah menyatakan pola, menentukan struktur/ data/ gambaran/ suku berikutnya dan memformulasikan keumuman secara simbolis. Abstrak pola adalah transformasi dasar pengetahuan struktural bertujuan untuk pembelajaran matematika dalam konteks pendidikan. Jadi tujuan pembelajaran matematika harus diarahkan untuk mendorong keterampilan dasar dalam hal generalisasi. Memahami pola untuk menduga dan membuat generalisasi (kesimpulan) merupakan salah satu Kompetensi Dasar yang ada dalam Kurikulum 2013 ( Lampiran Permendikbud tentang Kurikulum SMP-Mts, 2013:68). Kegiatan yang sering terjadi pada sekolah dasar selama beberapa tahun adalah eksplorasi pola berulang sederhana menggunakan bentuk, warna , gerakan, merasakan dan suara . Biasanya siswa diminta untuk menyalin dan melanjutkan polapola , mengidentifikasi bagian mengulang, dan menemukan unsur-unsur yang hilang , fokus pada pemikiran variasional tunggal dimana variasi terjadi dalam pola itu sendiri. Pada Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
51
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
kenyataannya hanya sedikit aktivitas terjadi dengan pola pertumbuhan visual. Tetapi pendekatan dengan memperkenalkan aljabar untuk anak-anak di usia rata-rata 12-13 tahun membangun eksplorasi awal pola visual, ini digunakan untuk menghasilkan ekspresi aljabar. Pola yang digunakan dalam pengalaman pengantar aljabar formal didominasi pola pertumbuhan visual. Siswa diminta untuk membentuk hubungan antara pola dan posisi mereka , dan
menggunakan
generalisasi
ini
untuk
menghasilkan
langkah-langkah
dalam
polauntukposisilain, yaitu, dimanamereka diminta untuk mempertimbangkan kembali pola yang tumbuh sebagai fungsi (yaitu , sebagai hubungan antara pola dan posisinya ) bukan sebagai variasi satu set data ( yaitu , sebagai hubungan antara periode yang berurutan dalam pola itu sendiri ) . Umumnya ini menghasilkan representasi visual , data rekaman dalam tabel ( posisi dan jumlah elemen pada posisi itu ) , dan dari tabel teridentifikasi hubungan antara dua set data . Ini berbeda dari pengenalan pola yang digunakan dalam induksi matematika. Fokus di hasil adalah memastikan pada hubungan fungsional antara set data dan mengeksplorasi konsep variabel. Kesulitan-kesulitan yang terjadiyaitu kurangnya bahasa yang tepat diperlukan untuk menggambarkan hubungan ini , kecenderungan hanya tertuju pada satu data tunggal untuk menggambarkan generalisasi dan ketidakmampuan untuk memvisualisasikan spasial atau pola lengkap.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriptif Waktu dan Tempat Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah anak SMP kelas 7 yang rata-rata berusia 12-13 tahun. Untuk teknik memperoleh subjek adalah meminta subjek penelitian yang berasal dari sekolah tempat Peneliti PPL ( Progam Pengalaman Lapangan) di SMPN 6 Yogyakarta. Selain itu subjek juga berasal SMP Stella Duce 2. Prosedur Penelitian dilakukan dibeberapa dua tempat dan waktu yang berbeda, yang pertama adalah di rumah subjek yaitu di Kadipaten Wetan no 196 Yogyakarta dan SMPN 6 Yogyakarta yaitu berada di kelas 7A. Data didapat dengan meminta subjek untuk mengerjakan Tes yang diberikan kepada mereka dengan waktu 30 menit. Prosedur pengambilan penelitian adalah dengan meminta subjek mengerjakan soal dengan memilih jawaban yang telah disediakan dan didalam soal itu terdapat kolom alasan mengapa subjek memilih jawaban yang telah disediakan. Selain mengisi soal ada juga wawancara lisan yang digunakan untuk mengetahui secara detail apa yang menyebabkan siswa tidak mengisi kolom alasan yang diberikan secara jelas.
52
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Untuk pengambilan data di Kadipaten wetan no 196 Yogyakarta diambil waktu malam hari pk 20.00 WIB sedangkan untuk di SMPN 6 Yogyakarta, data diambil pada siang hari sepulang sekolah pk 11.30. Teknis pengumpulan data pada subjek di SMPN 6 Yogyakarta adalah dengan mengempulkan mereka sepulang sekolah dan meminta mereka untuk menegerjakan tes yang diberikan dan tentunya dengan waktu yang sudah disiapkan yaitu 30 menit sedangkan untuk pengambilan data yang berada di Kadipaten wetan yaitu dengan membuat janji terlebih dahulu dengan subjek untuk waktu yang tepat lalu mendatangi subjek di waktu yang telah dijanjikan.
Berikut Instrumen Tes pola gambar tumbuh yang diberikan kepada subjek : SOAL – SOAL GAMBAR POLA TUMBUH “ Selamat Mengerjakan” I. Kerjakan soal-soal dibawah ini dengan benar dan lengkap seperti contoh diatas ! II. 1.
Alasan :
2
Alasan :
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
53
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
3
Alasan :
4
Alasan :
5
Alasan :
6
Alasan :
54
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
7.
Alasan :
Gambar 1.Soal – soal Tes Pola gambar tumbuh Teknik Analisis Data Cara memaknakan data yang diperoleh dengan dua cara yaitu dengan melihat dari kolom alasan dan wawancara lisan terkait jawaban yang dipilih subjek.Untuk menegetahui jawaban yang benar yaitu melihat kunci jawaban yang sudah benar. Dari pengisian kolom alasan dan wawancara lisan dapat mengetahui apa saja yang menjadi pemikiran subjek serta dapat mengetahui permasalahan apa saja terkait masalah gambar pola tumbuh dan dari situ dapat diketahui seberapa pemahaman siswa mengenai hubungan gambar pola tumbuh dan juga pemahaman tentang bentuk aljabarnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada saat pengambilan data awalnya mengambil 5 subjek untuk diteliti tetapi saat hasil sudah didapat banyak terdapat hasil kurang memuaskan dikarenakan banyak jawaban yang tidak dijawab dan tidak memberikan alasan. Untuk itu perlu dilakukan pengambilan data dari subjek lain maka ditambah lagi pencarian data dan mendapatkan 10 subjek untuk diteliti. Setelah dilakukan pencarian data yang kedua dihasilkan data yang dicari tetapi masih perlu disaring karena masih terdapat jawaban kurang memuaskan dari subjek yang diteliti. Pada akhirnya daritotal 15 data yang dicari hanya lima yang dianggap cukup memuaskan untuk diteliti lebih lanjut. Berikut adalah hasil yang didapat dari penelitian ini.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
55
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Tabel 1. Alasan Siswa dalam Memilih Jawaban Nama
Soal no 1
Soal no 2
Soal no 3
Soal no 4
Soal no 5
Soal no 6
Soal no 7
MRM
Karena garis dari kiri
Karena
Karena
Karenadari
Karena
Karena 1 –
K
adalah angka kecil
garisnya
Urutan
1 lalu
garis
1 = 0 (D).
4,3 lalu
jika diurutkan yang
besar(D).
titiknya
loncat
dalam
BENAR
2(F)
paling besar garis 6
BENAR
adalah
3(C).
segitiga
dan urutan. (E).
angka
SALAH
berawalan
BENAR
berikutnya
dari angka
(D)
4 sampai
BENAR
dengan 10
Karena
BENAR
(A) BENAR
DAJ
Soalnya itu kan
Karena, itu
Itu urut (
Titiknya
adalah
Lingkaran
Lingkaran
tambah garis ke
urut
titiknya )
urut (B)
persamaan
nya terus
dikurang
kanan ( ukurannya
kebalikan
1–5
BENAR
arah
berkurang
dan kotak
selang-seling)
dari arah
Searah
dengan 2.
(D)
ditambah
(E)BENAR
jarum jam
jarum jam
Misal 1
BENAR
(D)
dan warna
(D)
dengan 5 (
titik tengah
BENAR
sama-
selang
sama
seling (D)
segitiga
BENAR
)(D)
BENAR
SALAH PRR
56
Karenasetiappolapast
Karena
Karenapad
Setiap
Saya tidak
Ketika
Setiap
iditambahgarispanjan
pola-pola
apolaini,
titiknya
bisa
lingkaran
Kotaknya
gataupendek.
ini
panahituak
bertamba
menjawab
dikurangi,
tambah,
Polaketigadiakhiride
berselang
andiputar
h, maka
.
maka kotak
lingkaran
ngangarispendek.
seling
90⁰. Dan
titiknya
SALAH
ditambah.
diatas
Makaharusditambahg
(dari
padapangk
akan
Makajawab
akan
arispanjangpadapolas
lingkaran
al,
berada di
an yang
berkurang.
elanjutnya (E).
tengah
titiknyaber
seberang
tepatadalah
Pada pola
BENAR
hitam –
tambah.
titik yang
(D).
terakhir,
putih –
Makadariit
terdahulu
BENAR
kotak ada
hitam –
u, yang
secara
satu dan
putih ) dan
arahdanju
diagonal.
lingkaran
setiap
mlahtitik
Jadi yang
ada satu.
bentuk
yang
pas
Maka
selanjutny
tetapadalah
adalah
apabila
a akan
D.
(B).
kotak
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
ditambah
BENAR
Volume 2
ditambah
BENAR
satu garis.
dan
Maka
lingkaran
jawaban
dikurangi,
yang tepat
maka yang
adalah E.
tepat
BENAR
adalah (F) BENAR
MFD
Jika diurutkan dari
Karena
Hanya
Jika titik
Bagian
Hanya
Hanya
yang pertama
bagian atas
mengikuti
pertama
bawah
mengurutk
mengurutk
dimulai dari garis
ditengah
arah panah
dimulai
sama
an dari
an dari
pendek sedangkan
hanya
sebelumny
dari kanan
seperti
atas.(D)
atas.(F)
yang ke-3 berhenti
kebalikan
a (D)
bagian
bagian
BENAR
BENAR
digaris yang pendek
dari yang
atas, lalu
atas
maka
dibawah
titik
cuman di
garisselanjutnya
(D).
keduadiba
putar
dimulai dari garis
BENAR
gian
saja.(D)
bawah,
SALAH
panjang.(E) BENAR
maka titik ketiga dan keempat pasti sebaliknya dari titik kesatu dan kedua.(B) SALAH AA
Jika dilihat dari kiri,
Karena
Karena
Jika
Karena
Karena
Karena
jumlah garis ada 3
jika
jika
diurutkan
jika
jika
jika
dan diurutkan sesuai
diurutkan
diurutkan
pola dan
dilihat-
diurutkan
dilihat-
dengan jumlah dan
jawaban
sesuai
jumlah
lihat
sesuai pola
lihat
pola.(E)
ini benar.
jumlah dan
titik
jawaban
dan jumlah
jawaban
BENAR
(D)
pola
menurut
ini
titik dan
ini benar. (
BENAR
jawaban
saya ini
menurut
kotak,
F)
ini
benar.(B)
saya
menurut
BENAR
benar.(D)
BENAR
benar. ( A
saya ini
).
benar.(D)
BENAR
BENAR
BENAR
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
57
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Pada awal ketika soal ini diberikan kepada subjek hampir semua subjek merasa kebingungan dengan maksud dari soal. Untuk itu, disiapkan juga contoh pengerjaan soal. disini mulai tampak perbedaan daya tangkap subjek mengenai penjelasan contoh yang diberikan. Tiga subjek dapat mengerti dengan cepat dan 2 subjek lainnya membutuhkan waktu cukup lama untuk mengerti tentang contoh pengerjaan soal itu sendiri. Namun demikian pada akhirnya semua siswa dapat mengerti dengan contoh yang diberikan sehingga mereka dapat mulai mengerjakan soal. Pembahasan dimulai dari nomor 1. Dari hasil penelitian semua subjek mampu menjawab dengan benar. Pada soal nomor 1 dapat dilihat dari pola yang tumbuh dari kiri ke kanan dan jumlah terus bertambah maka gambar yang terakhir adalah pola yang memiliki jumlah yang paling banyak selain melihat jumlah pola yang dilihat sebagai indikator benar adalah dari garis panjang garis pendek yang berurutan dimulai dari gambar yang pendek dahulu sehingga jawaban yang paling tepat adalah (E) karena jawaban (E) terdapat jumlah garis yang berjumlah 6 dan berurutan dimulai dari dari garis yang pendek. Semua subjek menjawab dengan benar yaitu (E). Tetapi untuk alasan yang mereka buat terdapat perbedaan hanya pada kalimatnya saja. Untuk pemikiran pola yang ada pada mereka dapat dikatakan sama karena kesimpulan yang mereka buat hampir sama. Pada pengerjaan pada nomor 2. Jawaban nomor 2 adalah D karena pada soal dapat dilihat bahwa ada dua proses yang terjadi yaitu pola berulang dari lingkaran putih – hitam – putih – hitam dan ada garis tumbuh seperti mau membuat bentuk lingkaran dengan bertambah 1 garis di tiap gambarnya dan tambahan gambar berlawanan arah jarum jam. Dari 2 proses tadi maka jawaban yang paling tepat adalah lingkaran yang berwarna putih dan memiliki jumlah garis 4 yaitu D. Semua subjek mampu menjawab dengan benar, tetapi untuk alasan terdapat banyak perbedaan seperti alasan pada subyek yang bernama MRMK. Alasan yang dia kemukakan adalah karena garisnya besar. Jika berpedoman pada alasan ini maka jawabannya menjadi kurang tepat untuk itu peneliti melakukan sedikit wawancara. P
: “ kog alasannya bisa begitu?”
MRMK : “ iya mas, aku bingung soalnya, ya pokoknya gitu mas” P
: “ Lha idemu gimana to?”
MRMK : “ Ya pokoknya gini mas.” Pada wawancara yang dilakukan pun masih belum terungkap maksud dari subjek. Jika dilihat dari alasan yang subjek buat memang belum menunjukkan alasan yang kuat mengapa dia memilih jawaban D tetapi dari pengerjaannya mungkin subjek melihat dari jumlah garis yang bertambah jadi jawaban yang dia pilih adalah D. Pada soal nomor 3, Semua subjek memilih jawaban yang sama dan memang benar bahwa jawaban untuk soal nomor 3 adalah D. Jawaban ini benar karena pada soal yang dicari untuk gambar kelima adalah gamabar yang memiliki jumlah titik paling banyak yaitu 5 dan arah
58
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
panah mengikuti arah jarum jam. Dari alasan subjek mereka mempunyai ide yang sama walaupun kata-kata yang mereka buat berbeda. Untuk nomor 3 tidak terlihat perbedaan cara pikir atau pun pilihan yang berbeda. Untuk nomor 3 kesimpulan dari pemahaman mereka adalah sama. Hal ini terkait pada pembelajaran aljabar di kelas VII yang berhubungan dengan bilangan bulat saat menggunakan garis bilangan. Pengerjaan soal nomor 4, semua subjek telah menjawab tetapi ada satu subjek yang menjawab salah yaitu MRMK. Jawaban yang benar pada soal nomor 4 adalah B. Pada pola yang terdapat di soal nomor 4 adalah dari 1 titik di gambar satu lalu menjadi 1titik dan 2 titik di gambar 2 lalu di gambar 3 menjadi 1 titik dengan 2 titik dan 3 titik. Maka dapat disimpulkan gambar selanjutnya akan bertambah 4 titik. MRMK mengalami kesalahan dikarenakan tidak dapat melihat pola yang terlihat dari awal sampai akhir dan dia tidak tahu jawaban mana yang paling tepat sehingga hanya dia yang mengalami kesalahan dalam pengerjaannya. Untuk keempat subjek yang lain dapat memberikan jawaban yang benar dan hanya 3 subjek yang memberi jawaban secara rinci dan tepat. Ada satu subjek yaitu AA yang memberikan alasan tetapi kurang rinci bagaimana cara dia mencari jawabannya. Pada soal nomor 5 jawaban yang tepat adalah A. Karena setiap gambar bergerak searah dengan jarum jam dengan sudut rata-rata 30⁰. Jika diperhatikan pola garis pada setiap perubahan gerak. Garis tersebut mewakili bilangan angka romawi maka jawaban yang paling tepat adalah jawaban A. Semua subjek mengalami kesulitan dalam mengerjakan dan juga mereka sampai akhir pun tidak mampu menemukan pola yang terdapat pada soal nomor 5. Tetapi yang mengejutkan bahwa ada satu subjek yang memberi jawaban yang benar yaitu MRMK tetapi alasan yang dia buat kurang tepat jika melihat dari kunci jawaban yang tersedia. Pada pengerjaan soal nomor 6 sistem gambar tumbuh dibuat terbalik dan pola itu sendiri dibagi menjadi tiga baris sehingga bisa terlihat bahwa polanya semakin lama semakin mengecil bisa dari baris atas ke baris bawah atau bisa dari kolom kiri ke kolom kanan. Untuk jawaban yang paling tepat adalah D. Pada pengerjaannya kelima subjek mampu menjawab dengan benar. Dalam hal ini kelima subjek yang menjawab dengan benar mereka mempunyai alasan yang berbeda termasuk pola pikir yang ada pada mereka. Seperti DAJ dengan MRMK, DAJ mempunyai ide bahwa semakin kebawah ataupun ke kanan jumlah lingkarannya akan terus berkurang dan MRMK menjawab nilai 0 yang didapat adalah hasil dari 1-1 yaitu 0. Dari dua alasan yang ada di sini disebutkan bahwa DAJ mempunyai pemahaman yang sama dengan kunci jawaban sedangkan MRMK mempunyai alasan yang tidak sama. Perbedaan yang terjadi disebabkan pemahaman dasar tentang pola gambar tumbuh yang dan bentuk aljabarnya kurang dapat dipahami dengan baik. Sehingga dia tidak dapat memberikan alasan yang tepat saat disuruh menuliskan alasannya tentang soal nomor 6. Untuk Mengerjakan Soal nomor 7, cara pengerjaannya ada dua cara yaitu melalui kolom kiri ke kolom kanan atau per baris yaitu dari baris atas ke baris. Jawaban yang paling
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
59
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
tepat pada soal nomor 7 yaitu F karena jika dilihat dari pola yang berjalan misalkan dilihat per baris maka nilai kotak akan bertambah dan nilai lingkaran berkurang. Seperti pada baris 1 mempunyai nilai kotak dari 2 – 3 – 4 dan lingkaran 4 – 3 – 2. Jika di teruskan sampai baris ke 3 maka jawaban yang tepat adalah F. Begitu juga jika dilihat per kolom tetapi bedanya dengan baris nilai kotak semakin mengecil sedangkan nilai lingkaran tetap mengecil. Dari jawaban para subjek semuanya menjawab benar dan alasan mereka juga hampir sama hanya penulisannya saja yang berbeda-beda tetapi pola pikirnya sama semua.
SIMPULAN DAN SARAN Dari Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan pemahaman yang para subjek dapat sewaktu masih berada di Sekolah Dasar tentang pola setiap anak berbeda-beda dan itu sangat penting untuk sekarang ini. Apalagi dengan paham akan pola maka mereka akan lebih mudah dalam memahami pembelajaran tentang aljabar karena Pola gambar tumbuh ini dapat digunakan sebagai pendukung dalam pembelajaran aljabar. Selain itu juga, penelitian ini dimulai untuk mengidentifikasi tindakan yang mendukung guru dalam memeriksa gambar tumbuh sebagai pola hubungan fungsional antara pola dan posisinya.Dari situ guru dapat mengetahui gambaran pemikiran yang ada pada siswayang tampak pada proses ini. Selain itu juga
diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk pendukung pemikiran dalam
mempermudah pemahaman akan pembelajaran aljabar.
DAFTAR PUSTAKA E. Warren • T. Cooper 171, Generalising the pattern rule for visual growth patterns: Actions that support 8 year olds9 thinking, Educational Studies in Mathematics, Vol. 67, No. 2 (Feb., 2008), http://www.jstor.org/stable/40284643 I. Dedy, Kemampuan Generalisasi Dalam Pembelajaran Matematika, (Juli.,2013), http://matematikadedi.blogspot.com/2013/07/kemampuan-generalisasi-dalam.html. Herdian, Kemampuan Generalisasi Matematika, (Mei., 2010)http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-generalisasi-matematis/ PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG KERANGKA DASAR DAN STRUKTUR KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH HAL 48 Taufiqurrohman, Hak Cipta Tes Potensi Akademik, http://www.TesPotensiAkademik.com Sukses Psikotest, http://www.Suksespsikotest.blogspot.com
60
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN ARIAS (Assurance, Relevance, Interest, Assessment, Satisfaction) Sonya Fanny Tauran Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNAI Jl. Kolenel Masturi Km 6,5 Parongpong,Bandung Barat Email :
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih kurangnya kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa Sekolah Menengah Pertama dalam pelajaran matematika. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model pembelajaran ARIAS (Assurance, Relevance, Interest, Assessment, Satisfaction) sebagai salah satu alternatif pembelajaran dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 di Cisarua Bandung Barat. Desain penelitian ini adalah Randomised Pretest Postest Control Group Design. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri tes tertulis dalam bentuk uraian untuk mengukur kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa, angket skala sikap dan lembar observasi. Analisis data yang dilakukan adalah uji normalitas, uji homogenitas, uji perbedaan dua rata-rata dan uji Anova dua jalur. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 1) peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa; 2) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis (kelompok atas, tengah dan bawah); 3) siswa-siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS memiliki sikap positif terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran dengan model ARIAS; dan 4) kegiatan pembelajaran dengan model ARIAS mendapat respon yang baik dari guru. Kata Kunci: Model Pembelajaran ARIAS, Kemampuan Pemahaman Matematis dan Kemampuan Penalaran Matematis.
PENDAHULUAN Salah satu mata pelajaran yang perlu mendapat perhatian dalam KTSP yaitu pelajaran matematika. Depdiknas (2003) menyatakan bahwa pembelajaran matematika bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan, bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, efisien dan efektif. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah melalui Permen Diknas nomor 22 dan 23 tahun 2006 telah menetapkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk mata pelajaran matematika. Secara garis besar Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan pada pelajaran matematika meliputi kemampuan pemahaman, penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis serta sikap menghargai matematika dalam kehidupan. Namun ada beberapa kenyataan yang menunjukkan bahwa hasil pencapaian siswa pada pelajaran matematika masih tergolong rendah. Hasil survey TIMSS (Trends in International Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
61
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Mathematics and Science Study) tahun 2003, peringkat Indonesia pada pelajaran matematika yaitu peringkat ke 35 dari 46 negara, sedangkan tahun 2007 mendapat peringkat 36 dari 49 negara. Sedangkan berdasarkan hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2009, peringkat siswa Indonesia pada pelajaran matematika yaitu ranking 61 dari 65 negara (Litbang Kemdikbud, 2011). Sutama (dalam Latief, 2011) menjelaskan bahwa kesenjangan lain di lapangan, guru dalam mengajar Matematika sering kurang memerhatikan kemampuan awal siswa. Guru tidak melakukan pengajaran bermakna dengan metode pengajaran yang kurang variatif dan terkesan membosankan. Hal ini mengakibatkan motivasi belajar siswa sulit ditumbuhkan dan pola belajarnya cenderung menghafal. Kondisi-kondisi siswa yang masih terjadi dalam kegiatan pembelajaran matematika adalah kurangnya motivasi dan minat belajar, cenderung pasif, cemas, takut dan tidak berani untuk mengungkapkan gagasan, pertanyaan atau jawaban baik secara lisan maupun tulisan dalam menyelesaikan soal maupun mempresentasikannya. Hal ini menimbulkan anggapan siswa bahwa sulit untuk belajar matematika, bahkan ada yang tidak menyukainya. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Wahyudin (1999) yang menunjukkan bahwa salah satu kecenderungan yang mengakibatkan sejumlah siswa gagal dalam menguasai pokok-pokok bahasan matematika adalah karena kurangnya kemampuan bernalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan matematika yang diberikan. Selanjutnya Priatna (2003), Somatanaya (2005), dan Muin (2005) menemukan bahwa kualitas kemampuan pemahaman dan penalaran matematika siswa Sekolah Menengah Pertama masih tergolong rendah. Hutajulu (2010), Nasution (2010), dan Wildan (2010) menemukan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa Sekolah Menengah Atas berada dalam katagori sedang. Sehubungan dengan keberhasilan dalam pembelajaran matematika, maka siswa diharapkan dapat menguasai kompetensi matematika.Pemahaman matematis yang merupakan bagian dari kompetensi matematika perlu dikembangkan oleh siswa saat mempelajari matematika. Menurut Herdian (2010), pemahaman matematis memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri. Penalaran matematis juga merupakan salah satu kompetensi matematika yang memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan tidak dapat dipisahkan dengan materi matematika dan pemahaman matematis. Menurut Herdian (2010), “penalaran adalah proses berpikir yang dilakukan dengan satu cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat individual”. Baroody (dalam Dahlan, 2004) menyatakan bahwa pemahaman dan penalaran dapat meningkatkan hasil belajar. Selanjutnya, jika siswa diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan bernalarnya dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalamannya
62
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
sendiri, maka siswa akan lebih mudah memahami konsep. Jika siswa diberikan permasalahan dengan menggunakan benda-benda nyata, melihat pola, mereformulasikan dugaan dengan pola yang sudah diketahui dan mengevaluasinya, maka hasil yang diperoleh siswa lebih informatif. Hal ini akan membantu siswa dalam memahami proses yang disiapkan dengan cara doing mathematics dan eksplorasi matematika. Selain kemampuan pemahaman dan penalaran matematis, sikap positif siswa terhadap matematika juga merupakan kompetensi yang perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa. Sebagaimana yang telah dituliskan dalam standar isi dan standar kompetensi lulusan untuk mata pelajaran matematika, sikap siswa dalam menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan berhubungan dengan memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Tidak adanya sikap-sikap di atas, dapat berakibat adanya siswa yang tidak senang terhadap matematika apalagi memahami dan menalar konsep yang dipelajari. Hal ini sejalan dengan pernyataan Siskandar (2008) bahwa siswa secara efektif akan memperoleh kemampuan dalam menyelesaikan soal-soal matematika yang bekenaan dengan pemahaman terhadap fakta, konsep, prosedur dan keterampilan dalam mengerjakan operasi hitung, jika memiliki sikap positif terhadap pelajaran matematika dan memiliki motivasi dalam belajar matematika. Menurut Sabandar (2008), seseorang akan sulit untuk mempelajari matematika, jika ia tidak memandang matematika sebagai subjek yang penting untuk dipelajari manfaatnya untuk berbagai hal. Sedangkan menurut Ruseffendi (2006), siswa bersikap positif dapat ditunjukkan dengan mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, menyelesaikan tugas dengan baik, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas rumah dengan tuntas dan selesai pada waktunya, dan merespon dengan baik tantangan dari bidang studi. Sikap positif terhadap matematika berkolerasi positif dengan prestasi belajarnya. Pemahaman dan penalaran matematis yang merupakan bagian dari kompetensi matematika sangat perlu dikembangkan oleh siswa saat mempelajari matematika. Hal ini disebabkan oleh beberapa fakta yang menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran yang masih belum memuaskan. bGuru memiliki peran untuk memotivasi siswa agar kemampuan pemahaman dan penalaran matematis dapat ditanamkan dan dikembangkan dengan baik. Upaya guru untuk membangun dan meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk memiliki rasa percaya diri, menarik minat siswa agar dapat memahami konsep dan melatih siswa untuk bernalar. Hal ini diperkuat dengan pernyatan Meece & Blumenfeld (dalam Suciati, 1990) bahwa jika guru mengajar dengan cara yang menarik, menantang siswa berpikir dan berperan aktif, maka itu akan mempengaruhi motivasi siswa secara positif, sedangkan jika guru tidak bersemangat, tidak kreatif dan cenderung membosankan dalam mengajar, maka akibatnya motivasi siswa akan menjadi rendah.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
63
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Salah satu model pembelajaran telah dikembangkan dalam upaya untuk memotivasi dan mengaktifkan siswa dalam kegiatan pembelajaran adalah model pembelajaran ARIAS. Model pembelajaran ARIAS adalah pengembangan dari model pembelajaran
ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction). Model pembelajaran ARCS yang dikembangkan oleh Keller (Suzuki, 1995; Keller,1999; Small, 2000) merupakan jawaban pertanyaan “bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa”. Ada lima komponen dari model pembelajaran ARIAS yaitu assurance (percaya diri), relevance (relevan), interest (minat/perhatian), assessment (penilaian), dan satisfaction (kepuasan/rasa bangga). Model pembelajaran ARIAS merupakan suatu kegiatan pembelajaran untuk menanamkan rasa percaya diri pada siswa, relevan dengan aktivitas pengalaman siswa, dan berusaha membangkitkan minat/perhatian siswa. Selanjutnya penilaian terhadap siswa diadakan selama proses pembelajaran dan di akhir pembelajaran, dan pemberian penguatan positif untuk menumbuhkan rasa bangga/puas atas hasil yang dicapai siswa. Model pembelajaran ARIAS dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pembelajaran dalan upaya peningkatan pemahaman dan penalaran matematis siswa. Strategi yang dapat dilakukan dalam komponen pembelajaran ini adalah Assurance (percaya diri), yaitu guru menginformasikan siswa mengenai pembelajaran, prasyarat kinerja dan kriteria penililaian, memberikan kesempatan yang menantang dan berarti bagi pembelajaran yang berhasil, menghubungkan kesuksesan belajar dengan usaha dan kemampuan siswa. Relevance (relevan),yaitu guru memberikan informasi tentang kompetensi yang akan dicapai, mengemukakan tujuan dan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa dimasa sekarang dan akan datang, mengizinkan siswa untuk mempresentasikan hasil kerja secara lisan atau tertulis untuk mengakomodasi kebutuhan dan gaya belajar yang berbeda-beda, memberi contoh-contoh yang berhubungan dengan kehidupan nyata serta menghubungkan pengetahuan dan aktivitas pengalaman siswa. Interest (minat/perhatian), yaitu guru memberikan kejutan untuk merangsang persepsi, mengajukan pertanyaan atau masalah untuk diselesaikan, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk berpatisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah, mengadakan demonstrasi, mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran, atau menggunakan media/alat peraga sehingga menarik perhatian siswa, menggunakan cerita atau biografi yang terkait dengan materi yang dipelajari. Assessment (penilaian), yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menilai diri mengenai apa yang sudah atau belum dipahami, mengadakan penilaian terhadap teman seperti kegiatan tanya jawab atau memeriksa pekerjaan teman, memberikan evaluasi tertulis dan menginformasikan hasil evaluasi kepada siswa. Satisfaction (kepuasan/rasa bangga), yaitu dorongan dan dukungan dalam diri siswa dari pengalaman belajar, penghargaan secara verbal (ucapan “luar biasa” atau “bagus sekali”) maupun non-verbal (senyuman, tepuk tangan, hadiah) kepada siswa atas kemampuan mereka dalam menyelesaikan kerja.
64
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Sopah (1998), Lienda Yanti (2008), Hamidah (2008,2010), Faizah (2011), Istianah (2009) menunjukan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat meningkatkan motivasi belajar dan kemampuan-kemampuan matematis. Tujuan penelitian ini adalah adalah unutk mengetahui:Apakah peningkatan ARIAS lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa?, Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS lebih baik daripada peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa?, Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis (atas, tengah dan bawah)?Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis (atas, tengah dan
bawah)?, Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran ARIAS? Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan pembelajaran matematika antara lain: Bagi siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS, dapat memiliki motivasi belajar yang lebih baik lagi sehingga memperoleh peningkatan dalam hasil belajar khususnya peningkatan pemahaman dan penalaran matematis.Bagi guru matematika dapat menggunakan pembelajaran dengan model ARIAS sebagai acuan dalam memperluas dan memperkaya wawasan dalam pembelajaran matematika.Bagi peneliti dapat menjadikan penelitian ini menjadi rujukan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang relevan.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Randomized Pre-test Post-test Control Group Design. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun ajaran 2012-2013 di SMP Negeri 1 Cisarua, Bandung Barat. Target/Subjek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII. Sampel dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua kelas yaitu kelas VIII-A sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII-B sebagai kelas kontrol. Prosedur Penelitian Tahap persiapan penelitian yang dilakukan adalah melakukan studi pendahuluan dengan mengidentifikasi masalah yang terjadi dalam pembelajaran di sekolah, merumuskan masalah, dan melakukan kajian pustaka terhadap teori-teori yang berkaitan dengan model pembelajaran
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
65
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
ARIAS, menyusun rencana pembelajaran dan instrumen penelitian, melakukan uji coba instrumen penelitian, dan mengurus perizinan terkait dengan penelitian. Tahap pelaksanaan penelitian dilakukan adalah memilih dua kelas dari kelas untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol, memberikan tes awal kemampuan pemahaman dan penalaran matematis untuk mengetahui pengetahuan awal siswa, melakukan kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan jadwal dan jam pelajaran matematika yang ditetapkan, memberikan tes akhir kemampuan pemahaman dan penalaran matematis dilaksanakan setelah semua kegiatan pembelajaran berakhir pada kedua kelas, memberikan angket kepada siswa kelas eksperimen, untuk mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran ARIAS. Tahap Analisa Data yang dilakukan adalah sebagai berikut: melakukan analisa data secara kuantitatif dan kualitatif, dan memberikan kesimpulan dan rekomendasi. Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi skor kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa, data tentang sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model ARIAS. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu: 1) tes tertulis berbentuk uraian untuk mengetahui kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa, dan 2) non tes dalam bentuk angket skala sikap. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan tes, angket skala sikap. Data yang berhubungan dengan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa dikumpulkan melalui tes yaitu pretes dan postes. Data yang berhubungan dengan sikap siswa dalam pembelajaran dengan model ARIAS dikumpulkan melalui angket siswa. Teknik Analisis Data Terhadap data skor pretes dan postes dilakukan analisis gain ternormalisasi
untuk
mengetahui besarnya peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Selanjutnya sebelum uji beda dua rata-rata, dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Analisis dilakukan dengan menggunakan perangkat lunakPASW Statistics 18. Jika populasi kedua kelas berdistribusi normal dan homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji-t
dengan menggunakan PASW Statistics 18 :
Independent Sample T-Test. Jika ada hasil perhitungan data yang tidak berdistribusi normal atau tidak homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji non-parametrik: Mann-Whitney. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal dilakukan
analisis
ANOVA dua jalur.
66
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Kemampuan Pemahaman Matematis Di bawah ini disajikan tabel-tabel yang akan menunjukkan apakah terdapat perbedaan kemampuan pemahaman matematis siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen Tabel 1. Uji Normalitas Kemampuan Pemahaman Matematis Kelas
Statistic Pretes Pemahaman
Postes Pemahaman
Gain Pemahaman
Keterangan
Shapiro-Wilk df
Sig.
Eksperimen
.584
33
.000 Tidak normal
Kontrol
.835
31
.000 Tidak normal
Eksperimen
.946
33
.104 Normal
Kontrol
.934
31
.055 Normal
Eksperimen
.961
33
.279 Normal
Kontrol
.889
31
.004 Tidak normal
Tabel 2. Uji Homogenitas Kemampuan Pemahaman Matematis Levene Statistic
Keterangan df1 df2 Sig.
Pretes Pemahaman
Based on Mean
1.438
1
62 .235 Homogen
Postes Pemahaman
Based on Mean
1.855
1
62 .178 Homogen
Gain Pemahaman
Based on Mean
1.010
1
62 .319 Homogen
Tabel 3. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Gain Kemampuan Pemahaman Matematis Mann-Whitney U Asymp. Sig. (2-tailed)
199.500 .000
Karena berdasarkan tabel 1 dan 2, populasi data gain tidak terdistribusi normal, walau homogen, maka digunakan uji Mann Whitney. Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa pada kelas eksperimen (yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS) lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa pada kelas kontrol (yang memperoleh model pembelajaran biasa). Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
67
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Selanjutnya hasil uji ANOVA dua jalur disajikan pada Tabel sebagai berikut: Tabel 4 Analisis Varians Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemahaman Matematis berdasarkan Klasifikasi Kemampuan Awal Matematis Siswa Source
Type III
Keterangan
Sum of
KELOMPOK
Mean
Squares
df
21866.668
2
Square
F
Sig.
10933.334 67.244
.000
H0 ditolak
(atas, tengah dan bawah)
Hasil pada tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan peningkatan
kemampuan pemahaman matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis (atas, tengah dan bawah). c. Kemampuan Penalaran Matematis Di bawah ini disajikan tabel-tabel yang akan menunjukkan apakah terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen Tabel 5. Uji Normalitas Kemampuan Penalaran Matematis Kelas
Statistic Pretes Penalaran
Postes Penalaran
Gain Penalaran
Keterangan
Shapiro-Wilk df
Sig.
Eksperimen
.377
33
.000 Tidak normal
Kontrol
.567
31
.000 Tidak normal
Eksperimen
.968
33
.436 Normal
Kontrol
.933
31
.054 Normal
Eksperimen
.979
33
.754 Normal
Kontrol
.908
31
.012 Tidak normal
Tabel 6 .Uji Homogenitas Hasil Pretes, Postes dan Gain Ternormalisasi Kemampuan Penalaran Matematis Levene Keterangan Statistic
68
df1 df2 Sig.
Pretes Penalaran
Based on Mean
6.761
1
62 .010 Tidak homogen
Postes Penalaran
Based on Mean
2.714
1
62 .105 Homogen
Gain Penalaran
Based on Mean
1.532
1
62 .221 Homogen
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Tabel 7. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Gain Ternormalisasi Kemampuan Penalaran Matematis Gain Penalaran Mann-Whitney U
250.000
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
Keterangan
Ho ditolak
Karena berdasarkan tabel 5 dan 6, populasi data gain tidak terdistribusi normal, walau homogen, maka digunakan uji Mann Whitney. Tabel 7 menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen (yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS) lebih baik daripada peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas kontrol (yang memperoleh model pembelajaran biasa). Selanjutnya hasil uji ANOVA dua jalur disajikan pada tabel sebagai berikut: Tabel 8 Analisis Varians Gain Ternormalisasi Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Klasifikasi Kemampuan Awal Matematis Siswa Source
KELOMPOK
Type III Sum
Mean
Keteranga
of Squares
df
Square
F
19133.287
2
9566.644
50.83
(atas, tengah dan
Sig.
n
.000 H0 ditolak
2
bawah)
Hasil pada tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis (atas, tengah dan bawah). Secara keseluruhan peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS secara signifikan lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini dikarenakan pembelajaran dengan model ARIAS dirancang untuk memotivasi mengaktifkan siswa selama kegiatan pembelajaran. Peningkatan hasil kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS didukung juga oleh sikap positif siswa terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran dengan model ARIAS. Selain itu juga menurut observasi dari guru, aktivitas guru dan siswa pada pembelajaran dengan model ARIAS dilakukan dengan baik, sehingga
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
69
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
model ini dapat dirujuk untuk menjadi
salah satu alternatif pembelajaran matematika di
sekolah.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisa data dan temuan dalam penelitian ini, makadapat disimpulkan bahwa: Pembelajaran dengan model ARIAS sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran
matematis siswa SMP, dan dapat membedakan kemampuan
pemahaman dan penalaran
matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal
matematis (atas, tengah dan bawah). Selanjutnya, siswa-siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model ARIAS memiliki sikap positif terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran dengan model ARIAS. Disarankan agar pembelajaran dengan model ARIAS digunakan sebagai salah satu alternatif pembelajaran matematika dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa di Sekolah Menengah Pertama.
DAFTAR PUSTAKA Akinsola, M.K. & Olowojaiye, F.B. (2008). Teacher Instructional Metods and Student Attitudes Towards Mathematics. International Electronic Journal of Mathematics Education. Vol.3, No.1, February 2008. Tersedia: http://www.iejme.com/012008/d4.pdf Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Bergqvist, T., Lithner, J., &Sumpter, L. (2006). Upper Secondary Students‟ Task Reasoning. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, Vol. 00, No. 00, September 2006, 1–9. Tersedia: http://snovit.math.umu.se/forskning/Didaktik/Rapportserien/060904VR1.pdf Cai, J.L. & Jakabcsin, M.S. (1996). Communication in Mathematics K-12 And
Beyond.
Virginia : NCTM. Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi PPs UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan. Depdiknas. (2002). Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004, Standar Kompetensi, Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. Driscoll, M. (2000). Psychology of Learning for Instruction. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.
70
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Faizah, U. (2011). Efektifitas Model pembelajaran ARIAS (Assurance, Relevance, Interest, Assessment, Satisfaction) dengan Media Lingkungan dalam Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Materi Pokok Himpunan. Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo,Semarang. Hake, R.R. (2007). Should We Measure Change? Yes!. Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/~hake/MeasChangeS.pdf Hamidah.(2008). Efektivitas Pembelajaran Model ARIAS Disertai Liquid Crystal Display (LCD) pada Materi Aritmatika Sosial Di Kelas VII. Skripsi FKIP UNTAN. Pontianak: Tidak Diterbitkan. Hamidah.(2010). Pengaruh Model Pembelajaran ARIAS Terhadap Kemamuan Pemahaman Matematis Siswa SMP Ditinjau Dari Tingkat Kecerdasan Emosional. Tesis SPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. Hopkins, C. D. & Antes, R. L. (1990). Classroom Measurement and Evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Herdian. (2010). Kemampuan Pemahaman Matematika. Tersedia: http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-pemahaman-matematis/ Herdian. (2010). Kemampuan Penalaran Matematika. Tersedia: http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-penalaran-matematis/ Hutajulu, M. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman Dan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Tesis SPs UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan. Istianah, I. (2009). Pengaruh Penerapan Pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) Terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika Siwa Sekolah Menengah Pertama. Skripsi UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan Jacob, C. (2003). Pemecahan Masalah, Penalaran Logis, Berpikir Kritis & Pengkomunikasian. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan. Keller, J. M. & Koop, T.W. (1987). An Application of the ARCS Model of Motivational Design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Keller, J.M. (1999). Motivation in cyber learning environments. International Journal of Educational Technology, 1, 7-30. Knowlton, A., Savage, T. & Shellnut, B. (1998). Using the ARCS Model to Design Multimedia College Engineering Courses. Paper presented at the National Convention of the Association for Educational Communications and Technology, St. Louis, MO.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
71
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Latief, M. (2011). Matematika Dan Guru Yang Membosankan. Kompas. Tersedia: http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/06/17533529/Matematika.dan.Guru.yang.Memb osankan. Latief, M. (2011). 76.6 Persen Siswa SMP Buta Matematika. Kompas. Tersedia: http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/31/19444535/76.6.Persen.Siswa. SMP.Buta.Matematika Lienda, Y. (2009). Pembelajaran Matematika dengan menggunakan Model Pembelajaran ARIAS (Assurance, Relevance, Interest, Assessment, Satisfaction) dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar dan Motivasi Siswa. Skripsi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan. Mills, R.J. & Sorensen, N. (2004). Kids CollegeTM 2004: An Implementation of the ARCS Model of Motivational Design. Manuscript. Utah State University. Tersedia:http://www.contentedits.com/img.asp?id=1706 Muin. A. (2005). Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Matematika Siswa SMA. Tesis SPs UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan. Nasution, S.L. (2010). Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan Ketrampilan Metakognitif dengan Model Advance Organizer Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, Virginia. NCTM. (2000). Princip AndStandards for School Mathematics. Reston, Virginia. Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran Induktif dan Deduktif serta Kaitannya dengan Pemahaman Matematik Siswa Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kota Bandung. Disertasi PPs UPI . Bandung : Tidak Dipublikasikan. Razali, N.M. & Wah, Y.B. (2011). Power Comparisons Of Shapiro-Wilk, Kolmogorov-Smirnov, Lilliefors and Anderson-Darling Test. Journal of Modeling Statistical dan Analytics Vol.2 No.1, 21-33, 2011.Faculty of Computer and Mathematical Sciences. Universiti Teknologi MARA. Selangor, Malaysia. Tersedia: http://instatmy.org.my/downloads/ejurnal%202/3.pdf Rodgers, D.L.,& Thorton, B.J.W. (2005). The Effect of Instructional Media On Learner Motivation. International Journal of Instructional Media Vol.32 (4).Tersedia: https://pantherfile.uwm.edu/simonec/public/Motivation%20retention%20articles/Articles/ Rodgers_EffectOfInstuctionalMedia.pdf Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
72
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Sabandar. J. (2008). Pembelajaran Matematika Sekolah Dan Permasalahan Ketuntasan Belajar Matematika. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan Alam, UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan. Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis Dan Komunikasi Matematik Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. UPI : Tidak Diterbitkan. Siskandar. (2008). Sikap dan Motivasi Siswa dalam kaitan dengan Hasil Belajar Matematika di SD. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 072 Tahun ke-14, Mei 2008. Slavin, R.E. (1988). Educational Psychology (Theory Into Practice). 2nd edition. Prentice Hall, Englewood Cliff, New Jersey. Small, R. (2000). Motivation in Instructional Design. Teacher Librarian. 27(5), 29-31.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
73
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
EFEKTIFITAS MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E DENGAN STRATEGI MOTIVASI ARCS PADA MATERI TRANSPORTASI DITINJAU DARI KETUNTASAN BELAJAR SISWA, AKTIVITAS BELAJAR SISWA, RESPON SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN, DAN KEMAMPUAN PENGELOLAAN PEMBELAJARAN1 Bambang Sugiarto, Yemi Kuswardi, Gatut Iswahyudi, Mardjuki2 Pendidikan Matematika UNS Abstrak Materi Transportasi merupakan materi yang sulit bagi siswa. Kesulitan pada materi ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kepasifan siswa selama perkuliahan, kekurang telitian siswa, kurangnya latihan-latihan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, dan kekurangberanian siswa dalam menanyakan segala sesuatu yang belum mereka pahami kepada pengajar dan kekurang beranian siswa dalam mengungkapkan pendapat. Untuk mengatasi hal tersebut penulis akan mencoba menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 5Edengan strategi motivasi ARCS Model pembelajaran Learning Cycle 5E secara sistematis menuntun dan membantu siswa melalui langkah-langkah atau tahapantahapan tertentu, yang dapat membangkitkan minat siswa terhadap pembelajaran, mengajak siswa untuk aktif mengeksplor pengetahuan, mengembangkan sikap ilmiah siswa dengan melakukan penemuan sendiri, membangkitkan keberanian siswa dalam mengkonfirmasikan pendapatnya kepada orang lain. Model pembelajaran learning cycle 5E diperkenalkan oleh Robert Karplus dan dikembangkan oleh Lorsbach. Model pembelajaran ini terdiri dari 5 tahapan, yaitu: (1) pembangkitan minat (engagement), (2) menyelidiki (exploration), (3) menjelaskan (explanation), (4) memperluas (elaboration/extention), (5) penilaian (evaluation). Strategi motivasi ARSC (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) merupakan strategi yang dapat meningkatkan motivasi terhadap materi pembelajaran dan aktifitas belajar siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) ketuntasan belajar pada penerapan model pembelajaran Learning Cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS pada materi Transportasi, (2) aktifitas belajar selama mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran Learning Cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS pada materiTransportasi, (3) respon siswa terhadap model pembelajaran Learning Cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS pada materi Transportasi, (4) kemampuan pengelolaan pembelajaran model pembelajaran Learning Cycle 5Edengan strategi ARCS pada materi Transportasi, dan (5) efektifitas model pembelajaran Learning Cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS pada materi Transportasi.Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah siswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang menempuh mata kuliah Program Linier. Pada penelitian ini diperoleh hasil (1) ketuntasan belajar siswa tercapai karena terdapat 97,5% siswa tuntas (dari 40 siswa, 39 siswa yang tuntas), (2) Keefektifan aktifitas belajar siswa tercapai (pada rata-rata aktifitas belajar siswa dari enam indikator aktifitas belajar siswa semua indikator efektif), (3) Respon siswa terhadap pembelajaran positif, (4) keefektifan kemampuan pengajar dalam mengelola pembelajaran tercapai, karena rata-rata nilai setiap aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran berada pada interval 2,50 – 4,00 dan kegiatan inti berada pada kategori baik, dan (5) model pembelajaran Learning Cycle 5Edengan strategi ARCS efektif untuk mengajarkan materi Transportasi, hal ini dikarenakan ketuntasan belajar siswa tercapai, keefektifan aktifitas belajar siswa efektif, respon siswa terhadap pempelajaran positif, dan keefektifan kemampuan pengelolaan pembelajaran tercapai. Keyword: Learning Cycle 5E, strategi motivasi ARCS , efektifitas pembelajaran
74
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
PENDAHULUAN Salah satu materi yang terdapat didalam mata kuliah program linier adalah Transportasi. Dalam mempelajari materi Transportasi ini sangat diperlukan keterampilan didalam memahami suatu permasalahan sehari-hari dan memodelkannya ke dalam bentuk kalimat matematika. Selain itu diperlukan pula pemahaman, ketelitian, dan keterampilan didalam menggunakan operasi-operasi bilangan dalam menerapkan algoritma Transportasi. Dalam pembelajaran yang selama ini berlangsung, siswa dalam mengikuti pembelajaran kurang aktif dalam pengungkapan pendapat, kurang aktif dalam mengkonstruk pengetahuan sehingga konsep hanya sekedar menerima untuk diterapkan. Hal ini berdampak pada rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep. Dan dampaknya hasil pembelajaran tidak seperti yang diharapkan. Untuk mengatasi hal tersebut maka salah satu alternatif penyelesaiannya adalah dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS. Keller (1987: 2) memperkenalkan suatu strategi motivasi ARSC (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction). Selanjutnya Keller (1987: 3) mengemukakan bahwa: “strategi motivasi model ARCS adalah suatu metode untuk meningkatkan motivasi terhadap materi pembelajaran”. Dalam hal ini strategi motivasi ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) memiliki strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi, dan aktivitas siswa dalam belajar. Dalam strategi motivasi ARCS terdapat kiat-kiat sebagai berikut. (1) Untuk meningkatkan perhatian siswa terhadap materi pelajaran; (2) menghubungkan materi dengan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari; (3) untuk meningkatkan kepercayaan siswa terhadap materi yang diberikan guru; dan (4) untuk mewujudkan kepuasan siswa dalam proses pembelajaran dan materi yang dipelajarinya. Sedangkan Model pembelajaran Learning Cycle 5E secara sistematis menuntun dan membantu siswa melalui langkah-langkah atau tahapantahapan tertentu, yang dapat membangkitkan minat siswa terhadap pembelajaran, mengajak siswa untuk aktif mengeksplor pengetahuan, mengembangkan sikap ilmiah siswa dengan melakukan penemuan sendiri, membangkitkan keberanian siswa dalam mengkonfirmasikan pendapatnya kepada orang lain. Model pembelajaran learning cycle 5E diperkenalkan oleh Robert Karplus dan dikembangkan oleh Lorsbach. Model pembelajaran ini terdiri dari 5 tahapan, yaitu: (1) pembangkitan minat (engagement), (2) menyelidiki (exploration), (3) menjelaskan (explanation), (4) memperluas (elaboration/extention), (5) penilaian (evaluation).
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas sebelas Maret Surakarta.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
75
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang menempuh mata kuliah Program Linier pada tahun ajaran 2012/2013
Metode Pengumpul Data Dalam penelitian ini diperlukan data hasil belajar siswa, data aktivitas siswa, data kemampuan pengelolaan pembelajaran, dan data tentang respon siswa. Untuk memperoleh data hasil belajar siswa pada materi Transportasi, kepada siswa diberikan tes sesudah kegiatan pembelajaran. Untuk memperoleh data aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran dilakukan observasi oleh 4 orang observer selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Data kemampuan pengelolaan pembelajaran diperoleh dengan melakukan pengamatan terhadap kegiatan pengajar selama melakukan pembelajaran. Pengamatan ini dilakukan oleh 3 observer.
Untuk
memperoleh data tentang respon siswa, kepada siswa diberikan angket respon siswa setelah kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS.
Analisis Data a. Data Hasil Belajar Analisis data hasil belajar siswa secara deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan ketuntasan hasil belajar siswa. Ketuntasan belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah taraf penguasaan sebagai nilai batas lulus (NBL) berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Sebelas Maret tahun 2008.
b. Data Aktivitas Siswa Analisis data aktivitas siswa dengan menggunakan percentase bertujuan untuk mengetahui keefektifan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran. Keefektifan aktivitas siswa didasarkan pada alokasi waktu yang direncanakan dalam rencana pembelajaran. Keefektifan aktivitas siswa ditentukan oleh kesesuaian terhadap aktivitas ideal yang diindikasikan dengan waktu ideal yang ditetapkan. Presentase waktu ideal untuk setiap kategori aktivitas siswa adalah seperti disajikan pada tabel berikut ini. Aktivitas Siswa
76
Waktu Ideal
1. Memperhatikan/mendengarkan penjelasan pengajar
20%
2. Membaca/mencatat (yang relevan dengan KBM)
20%
3. Mengerjakan/menyelesaikan masalah
25%
4. Berdiskusi/bertanya antar siswa atau antar siswa dan
30%
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
pengajar
5. Mengkomunikasikan hasil kerja kelompok
5%
6. Perilaku yang tidak relevan dengan KBM
0%
Tabel 1. Waktu ideal Kategori Aktivitas siswa Batas toleransi pencapaian keefektifan aktivitas siswa untuk tiap indikator ditetapkan sebesar 5%. Sehingga kriteria pencapaian efektifitas aktivitas siswa dalam pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut ini. Aktivitas Siswa
Waktu
Kriteria batasan
Ideal
efektivitas (%)
1. Memperhatikan/mendengarkan penjelasan pengajar
20%
15 – 25
2. Membaca/mencatat (yang relevan dengan KBM)
20%
15 – 25
3. Mengerjakan/menyelesaikan masalah
25%
20 – 30
4. Berdiskusi/bertanya antar siswa atau antar siswa dan
30%
25 – 35
5. Mengkomunikasikan hasil kerja kelompok
5%
0 – 10
6. Perilaku yang tidak relevan dengan KBM
0%
0–5
pengajar
Tabel 2. Batas Toleransi Pencapaian Keefektifan Aktivitas Siswa Aktivitas siswa dikatakan efektif jika empat dari enam indikator tersebut memenuhi kriteria batasan efektivitas siswa dengan syarat indikator 3 dan 4 terpenuhi.
c. Data Respon Siswa Respon siswa terhadap komponen kegiatan pembelajaran dikelompokkan dalam kategori senang dan tidak senang. Komponen kegiatan pembelajaran meliputi materi pembelajaran, lembar kegiatan kelompok. Respon siswa terhadap model pembelajaran dikelompokkan dalam kategori mengalami kesulitan atau tidak dalam mempelajari modul, lembar kegiatan kelompok, dan diskusi dalam kelompok. Selain itu ditanyakan pula apakah siswa mengalami kesulitan atau tidak dalam diskusi kelas, apakah mengalami kemajuan atau tidak bagi diri siswa, serta ditanyakan juga tentang ketertarikan dan manfaat kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS. Selanjutnya siswa diminta memberikan komentar mengenai bahasa dan penampilan pada modul. Untuk menentukan kriteria efektivitas respon siswa terhadap komponen dan kegiatan pembelajaran dilakukan sebagai berikut. 1) Dari hasil angket respon siswa dianalisis secara diskriptif dalam bentuk persentase dan dikelompokkan untuk setiap indikator
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
77
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
2) Respon siswa dikatakan positif apabila persentase yang terbesar dari rata-rata persentase setiap indikator berada dalam kategori senang, tidak ada kesulitan, ada kemajuan, tertarik, berminat , paham, jelas, dan baik.
d. Data Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran Data pengamatan tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dianalisis dengan menghitung rata-rata setiap aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran dari lima kali pertemuan. Selanjutnya nilai rata-rata tersebut dikonversikan dengan kategori pembelajaran interaktif setting kooperatif menggunakan kriteria: tidak baik (1,00 – 1,49), kurang baik (1,50 – 2,49), baik (2,50 – 3,49), dan sangat baik (3,50 – 4,00), (Adopsi Alhadad, 2002: 73). Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dikatakan efektif apabila rata-rata nilai setiap aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran berada pada interval 2,50 – 4,00 dengan syarat hasil pengamatan pada kegiatan inti untuk setiap aspek yang diamati mencapai kategori minimal baik.
e. Kriteria Keefektifan Model Learning Cycle 5Edengan Strategi Motivasi ARCS Keefektifan model Learning Cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS dalam pembelajaran materi Transportasi pada mata kuliah program linier tercapai jika paling sedikit tiga aspek dari empat aspek berikut dipenuhi (1)Ketuntasan belajar tercapai, (2) keefektifan aktivitas siswa tercapai, (3)respon siswa terhadap pembelajaran positif, dan (4) kemampuan pengelolaan pembelajaran efektif [dengan syarat aspek (1) terpenuhi]
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis deskriptif dilakukan untuk menganalisa data hasil belajar siswa, data aktifitas belajar siswa, data kemampuan pengelolaan pembelajaran, serta data respon siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran pada materi Transportasi dengan menerapkan model pembelajaran learning cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS.
Hasil Belajar Siswa Pelaksanaan tes hasil belajar pada materi Transportasi dilakukan pada 40 mahasiswa. Data hasil belajar 40 mahasiswa dan deskripsi data tes hasil belajar dapat dilihat pada tabel berikut ini.
78
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Grafik 1. Data Tes Hasil Belajar pada Materi Transportasi
Tabel 3. Deskripsi Data Tes Hasil Penelitian Keterangan
Kelas Eksperimen
Rata-Rata Nilai
74,92
Banyaknya siswa
40
Banyak siswa yang mencapai nilai 60
39
Persentase banyak siswa yang mencapai nilai
97,5
60 Dari hasil tersebut tampak bahwa penerapan model pembelajaran learning cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS untuk mengajarkan materi Transportasi pada mata kuliah program linier dapat dianggap berhasil, karena banyaknya siswa yang mencapai nilai 60 atau lebih sebanyak 39 anak dari 40 anak atau 97,5%. Karena banyaknya siswa yang mencapai nilai kelulusan di atas 75% maka berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Sebelas Maret Nomor: 475/J27/PP/2005 Bab IX tentang Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa pada pasal 14 (3) a, ketuntasan belajar tercapai.
Aktivitas Siswa Berdasarkan hasil pengamatan dari para pengamat mengenai aktivitas siswa selama pembelajaran dengan model pembelajaran learning cycle 5E dengan strategi motivasi ARCSdapat dilihat pada tabel berikut ini.
Grafik 2. Aktivitas Siswa Pertemuan Pertama
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Grafik 3. Aktivitas Siswa Pertemuan Kedua
79
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Grafik 4. Aktivitas Siswa Pertemuan Kedua
Tabel 4. Persentase Aktivitas siswa Persentase Aktivitas Siswa Pertemuan KeKategori Pengamatan
1
2
3
Rata Rata
Batas
Keefek
waktu
Tivan
toleransi keefektifa n (%)
1. Memperhatikan penjelasan pengajar
16.6
20.6
24.8
21
15 – 25
2. Membaca/Mencatat
19.6
18.5
18
18.9
15 – 25
(yang
relevan
Efektif
Efektif
dengan KBM)
3. Mengerjakan/menyelesaikan masalah
23.07
20
24.2
22.3
20 – 30
Efektif
4. Berdiskusi/bertanya antar siswa dan
25.9
31
1
4
25 – 35
Efektif
24.9
27.5
antar siswa dan pengajar
5. mengkomunikasikan
hasil
kerja
12.5
6. perilaku yang tidak relevan dengan
0 – 10
8.16 6.37
kelompok 2.29
Efektif
8.46 0–5
1.7 1.68
KBM
Efektif
1,8
Efektif
Dari tabel tersebut tampak bahwa jika dilihat secara keseluruhan semua kategori pengamatan efektif, meskipun pada pertemuan pertama pada kegiatan mengkomunikasikan hasil kerja kelompok tidak efektif.
Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran Penerapan model pembelajaran learning cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS diberikan pada 3 pertemuan. Pada masing-masing pertemuan dilakukan pengamatan terhadap kemampuan pengajar dalam pengelolaan pembelajaran. Pengamatan dilakukan oleh 3 orang observer. Pada pengamatan kemampuan pengelolaan pembelajaran dilakukan pengamatan terhadap kemampuan pengelolaan pembelajaran yang disesuaikan dengan langkah-langkah
80
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
model pembelajaran learning cycle 5E. Hasil pengamatan pada masing-masing pertemuan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Pertemuan Pertama
Grafik 5. Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran
Pertemuan Kedua
Grafik 6. Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran
Pertemuan Ketiga
Grafik 7. Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran
Grafik 8. Rata-Rata Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran
Pada Grafik 8 terlihat bahwa rata-rata nilai setiap aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran baik pada fase Engage, fase Explore, Fase Explain, Fase Extend, maupun pada fase Evaluate berada pada interval 2,50 – 4,00 dengan hasil pengamatan pada kegiatan inti yang meliputi fase Explore, Fase Explain, Fase Extend, maupun pada fase Evaluate untuk setiap aspek
yang diamati mencapai kategori baik. Dengan berdasar hal tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa kemampuan pengajar dalam mengelola pembelajaran efektif. Respon siswa Data tentang respon siswa diperoleh setelah proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran learning cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS selesai. Data ini diperoleh dengan cara memberikan angket respon siswa kepada 40 mahasiswa. Namun, saat pengembalian tidak semua angket terkumpul. Dari 40 angket yang disebar hanya terdapat 30 angket saja yang terkumpul. Dari 30 angket yang terkumpul diperoleh data prosentase respon siswa yang tampak pada tabel berikut ini. Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
81
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Grafik 9. Presentase Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Dari Grafik di atas menunjukkan bahwa persentase yang terbesar dari persentase setiap indikator berada dalam kategori senang, tidak ada kesulitan, tertarik, berminat, paham, dan jelas sehingga respon siswa terhadap komponen model pembelajaran learning cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS dapat dikatakan positif dan siswa berminat untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dengan strategi motivasi ARCS.
Keefektifan Pembelajaran Model Pembelajaran Learning cycle 5E dengan Strategi Motivasi ARCS Berdasarkan kriteria keefektifan yang telah ditetapkan pada Bab III maka pembelajaran dengan menerapkan model pembalajaran learning cycle 5E dengan strategi Motivasi ARCS pada materi transportasi efektif. Keefektifan ini tercapai karena keseluruhan peninjauan keefektifan baik pada Ketuntasan belajar siswa, aktivitas belajar siswa, kemampuan pengelolaan pembelajaran efektif serta adanya respon siswa terhadap pembelajaran yang positif.
DAFTAR PUSTAKA Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mcraw-Hill. _________ . 2001. Learning to Teach. Fourth Edition. New York: Mcraw-Hill Higher Education. Borich, G. D. 1994. Observation Skill for Effective Teaching. New York: Macmillan Publishing Company. Carrin, arthur. A. 1993. Teaching Modern Science. Sixth Edition. New York: Macmillan Publishing Company. Dafid J Benson. 2008. The Standard-Based Teaching/Learning Cycle. The Colorado Coalition for standard-Based Education 82
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Dahar, R. W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud P2LPTK. Eggen, Paul. D. Kauchak, Donald. P. 1996. Strategis for Teachers Teaching Content and Thinking Skill. Third Edition. Boston: Allyn & Bacon. Gagne, Robert. M., & Briggs, Leslie, J. 1979. Principles of Instructional Design. New York: Holt Rinerhett and Winston. Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK. Keller, Jhon. ARCS Model, P.5, 2007 (http://www.arcsmodel.com/home.htm). Kemp, JE. 1994. Designing Effective Instruction. New York: Macmillan College Publishing Company. Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology Theory Into Practices. Fourt Edition. Boston: Allyn and Bacon. Soedjadi, R. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta. __________.1992. Pokok-Pokok Pikiran tentang Orientasi Masa Depan Matematika Sekolah di indonesia. Media Pendidikan Matematika Nasional No. 2 Th 1.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
83
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM MEMBUAT DUGAAN NILAI KEBENARAN PERNYATAAN MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS PENGEMBANGAN INTUISI Dyah Ratri Aryuna, Getut Pramesti, Ponco Sujatmiko Program Studi Pendidikan Matematika PMIPA FKIP UNS Jl. Ir Sutami 36A Surakarta, e-mail :
[email protected] Abstrak Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa peserta mata kuliah Kalkulus 1 dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan melalui pembelajaran berbasis pengembangan intuisi. Penelitian dilaksanakan dalam tiga siklus pada semester ganjil tahun akademik 2013/2014 pada bulan Juli – Oktober 2013 di Program Studi Pendidikan Matematika UNS. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi untuk data pelaksanaan pembelajaran, metode tes untuk data kemampuan membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan dan metode angket untuk data respon mahasiswa .Teknik analisis data adalah dengan teknik analisis deskripitif. Pembelajaran berbasis pengembangan intuisi dalam penelitian ini didesain untuk melatih mahasiswa membuat dugaan nilai kebenaran pernyatan melalui tahapan cara kerja munculnya intuisi dalam memecahkan masalah menurut Graham Wallis dengan langkah-langkah pembelajarannya disusun sebagai berikut : dosen menampilkan pernyataan yang akan diuji nilai kebenarannya, lalu melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan membimbing mahasiswa melakukan kegiatan (i)tahap persiapan :mahasiswa mengumpulkan dan menyebutkan semua informasi yang terkait setelah membaca secara cermat pernyataan (ii) tahap inkubasi: mahasiswa menggunakan informasi yang telah dipunyai untuk memunculkan kasus-kasus yang sesuai dengan mencoret-coret atau menggambar grafik atau ilustrasi (iii)tahap iluminasi : mahasiswa memuncul kan ide-idenya mengorganisasi kasus, melihat pola, mencari kesamaan, mengamati sifat yang tak berubah, mengamati perilaku yang khas (iv) tahap verifikasi : mahasiswa merumuskan dugaan dan menjustifikasi dugaan. Indikator kinerja yang ditetapkan pada penelitian ini adalah 60 % mahasiswa memiliki kemampuan membuat dugaan telah mencapai tingkat sedang ( skor tes 60) dan 70 % mahasiswa memberikan respon positif ( skor angket 70 ) terhadap pembelajaran berbasis pengembangan intuisi. Hasil penelitian menunjukkan penerapan pembelajaran berbasis pengembangan intuisi dapat terlaksana , mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan dan memenuhi indikator kinerja yang ditetapkan. Diperoleh data yang menunjukkan terjadi peningkatan persentase banyaknya mahasiswa yang telah mencapai tingkat sedang, yakni sebesar 40 % pada siklus I, 56 % pada siklus II dan 67% pada siklus III. Persentase mahasiswa yang memberikan respon positif setelah mengikuti pembelajaran pada ketiga siklus mencapai 90% . Kata kunci : dugaan, intuisi, pengembangan intuisi
PENDAHULUAN Matematika adalah ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis. Menemukan dan mengungkapkan keteraturan atau urutan ini dan kemudian memberikan arti merupakan makna dari mengerjakan matematika ( doing mathematics ). Dengan demikian pembelajaran matematika bukanlah sekedar pekerjaan mencari jawaban dari soal. Pembelajaran matematika seharusnya berisi bermacam-macam kegiatan yang didasarkan pada kata kerja seperti : mengungkapkan,
84
menyelidiki,
menduga,
menyelesaikan,
membuktikan,
menyajikan,
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
merumuskan,
menemukan,
mengkonstruksi,
Volume 2
menguji,
menerangkan,
memperkirakan,
mengembangkan, menggambarkan dan menggunakan ( Van de Walle, 2007 ). Dari segi bahasa, dugaan adalah klaim atau pernyataan yang belum dibuktikan, seperti yang
dikemukan
pada
http://www.icoachmath.com/math_dictionary/conjecture.
html
“Conjecture is a statement that is believed to be true but not yetproved . Byatt ( 1997 ) mengemukan pengertian dugaan sebagai susunan kesimpulan dari bukti yang belum lengkap ( “the formation of conclusion from incomplete evidence” ) . Jadi dugaan dapat dikatakan sebagai kesimpulan sementara yang dibuat berdasarkan bukti yang belum lengkap dan masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Dalam matematika, bukti adalah penting tapi itu adalah akhir dari suatu proses. Tahap penyelidikan dalam berpikir matematika membangun semua gambaran hubungan dan gambaran hubungan tersebut memunculkan dugaan. Investigasi matematika seringkali melibatkan pola dan struktur. Di awal eksplorasi kita mungkin mengumpulkan contoh-contoh fungsi, bilangan, ukuran atau objek matematika yang lain. Selanjutnya kita memperhatikan beberapa sifat dari contoh-contoh dan melihat kemungkinan sifat itu berlaku untuk semua. Jika pengujian lebih lanjut dan pertimbangan kita memperkuat keyakinan kita bahwa contoh-contoh kita merefleksikan kebenaran secara lebih umum, maka kita membuat dugaan . Jadi dugaan dapat dilihat sebagai awal atau bagian dari munculnya ide pembuktian. Canadas ( 2007) mengemukakan beberapa tipe cara membuat dugaan antara lain berdasarkan pengamatan pada berhingga bilangan dari kasus diskrit, berdasarkan aturan umum yang dideskripsikan secara natural dari himpunan kejadian-kejadian yang dihubungkan , melalui analogi terhadap suatu fakta yang telah diketahui , melalui representasi visual dari masalah atau translasi secara perseptual dari pernyataan. Dari semua tipe cara membuat dugaan, secara umum langkah-langkah dalam membuat dugaan yang digunakan adalah: (1) memunculkan kasus atau mentranslasi masalah ke dalam representasi yang dapat dilihat melalui pengamatan - mungkin berupa
grafik atau ilustrasi , (2) mengorganisasi kasus, melihat pola, mencari kesamaan,
mengamati sifat yang tak berubah, mengamati perilaku yang khas , (3) merumuskan dugaan dan (4) memeriksa atau menguji dugaan Matematikawan Jacques Hadamard mengemukakan bahwa banyak penemuan matematika didahului dengan periode inkubasi tak sadar yang lama kemudian diikuti pemahaman secara tiba-tiba. Henri Poincare melihat bahwa intuisi adalah landasan dimana usaha matematis didasarkan. Davis dan Hersh, dalam deskripsinya “the mathematical experience” melihat intuisi sebagai sesuatu yang dengannya kita mengerjakan matematika, yakni dengannya kita meninjau dan menguji objek-objek matematika ( Dehaene , 2009 ) Tetapi menurut Fiscbein (1999), tidak ada definisi intuisi yang diterima secara bersamasama oleh para ahli. Istilah intuisi biasanya digunakan sebagai istilah primitif dalam matematika, seperti titik, garis, himpunan dan lain-lain. Namun demikian para ahli menerima
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
85
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
sifat-sifat secara implisit dari intuisi yaitu self evident yang berlawanan dengan usaha secara logika dan analitis. Menurut Bruner (1977), intuisi adalah tindakan seseorang menggapai makna atau struktur suatu masalah, yang tidak menggantungkan secara eksplisit pada analisis dalam bidang keahliannya. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contohcontoh tindakan intuitif. Lebih jauh mengenai intuisi, Bruner mengemukakan : ... in general intuition is less rigorous with respect to proof, more oriented to the whole problem than to particular parts, less verbalized with respect to justification, and based upon a confidence to operate with insufficient data . Secara umum intuisi tidak seketat bukti, berorientasi pada masalah secara keseluruhan bukan pada bagian yang khusus, tidak severbal justifikasi dan berdasarkan pada keyakinan meski dengan data yang mugkin kurang lengkap. Adanya perbedaan dalam model berpikir, menyebabkan adanya perbedaan antara proses berpikir intuisi dan berpikir menggunakan logika matematika yang formal. Intuisi melibatkan pemrosesan yang sangat berbeda dalam langkah demi langkahnya dibandingkan pemrosesan yang membutuhkan deduksi yang ketat ( Tall, 1991 ). Dari pendapat para ahli tersebut dapat dilihat secara umum bahwa intuisi sesuatu yang bersifat “self evident” , tidak menggantungkan secara eksplisit pada analisis, tidak seketat bukti, berorientasi pada masalah secara keseluruhan bukan pada bagian yang khusus, tidak severbal justifikasi dan berdasarkan pada keyakinan meski dengan data yang mugkin kurang lengkap. Jika diperhatikan langkah-langkah dalam membuat dugaan, intuisi memegang peran penting dalam tahap menentukan dan memilih kasus yang akan dicermati, melihat pola, mencari kesamaan, mengamati sifat yang tak berubah dan mengamati perilaku yang khas. Menurut de Villiers ( 2003 ) , “conjectures, generalitation or conclusions are made on the basis of intuition, analogy or experience obtained through any of the preceding experimental methods, etc “. Dugaan, generalisasi atau kesimpulan dibuat berdasarkan intuisi, analogi atau pengalaman yang didahului dengan beberapa eksperimen terlebih dahulu. Jadi intuisi adalah salah satu hal yang mendasari munculnya dugaan Pada buku-buku teks Kalkulus sering ditemui soal-soal tipe benar salah, yakni berupa pernyataan-pernyataan yang harus ditentukan nilai kebenarannya.Soal-soal ini diperlukan untuk mengecek penguasaan konsep mahasiswa. Untuk menjawab soal-soal dengan tipe benar salah tersebut diperlukan kemampuan untuk membuat dugaan terlebih dahulu. Aryuna ( 2012 ) , dalam penelitian tentang justifikasi mahasiswa pada mata kuliah kalkulus menemukan bahwa banyak mahasiswa yang tidak membuat dugaan sama sekali untuk menjawab soal-soal tipe benar salah tersebut. Ketidakmampuan membuat dugaan itu karena mereka tidak terlatih untuk menggunakan intuisinya.
86
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Selama ini pembelajaran yang diterapkan pada mata kuliah kalkulus di Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sebelas Maret tampaknya kurang menyediakan ruang untuk berkembangnya intuisi mahasiswa. Harus diakui bahwa pelaksanaan pembelajaran pada mata kuliah kalkulus selama ini cenderung menggunakan pendekatan logika. Dosen belum mendesain pembelajarannya agar mahasiswa berproses menggunakan intuisinya untuk melakukan penyelidikan, membuat dugaan dan membuat justifikasi untuk dugaannya. Tall ( 1985 ), mengemukakan suatu kritik yang dilontarkan oleh Richard Skemp dalam pendahuluan Psychology of Learning Mathematics ( 1971 ) berkaitan dengan pendekatan logika tersebut : It gives only the end-product of mathematical discovery („This is it: all you have to do is learn it‟), and fails to bring about in the learner those processes by which mathematical discoveries are made. It teaches mathematical thought, not mathematical thinking. Pendekatan logika menyebabkan siswa hanya melihat produk akhir dari penemuan secara matematika bukan bagaimana temuan matematika tersebut diperoleh. Usodo ( 2012 ) mengemukakan bahwa upaya untuk mengembangkan intuisi dapat dilakukan dengan mendesain kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang didesain dapat didasarkan pada tahapan cara kerja munculnya intuisi menurut Graham Wallis ( 2006 ) : (1) tahap persiapan, pada tahap ini kita mendefinisikan masalah atau tujuan, dan mengumpulkan semua informasi terkait, dan menentukan kriteria untuk memverifikasi apakah sebuah solusi bisa diterima atau tidak , (2) tahap inkubasi, pada tahap ini, kita mundur dari persoalan dan membiarkan pikiran kita bekerja di belakang layar. Sama seperti tahap persiapan, tahap ini bisa berakhir dalam beberapa menit, minggu, atau bahkan bertahun-tahun , (3) tahap iluminasi, pada tahap ini ide-ide bermunculan dari pikiran yang menyediakan dasar untuk respons kreatif. Ideide tersebut bisa berupa bagian-bagian dari keseluruhan, atau langsung keseluruhan. Ide-ide tersebut merupakan intuisi (4)tahap verifikasi, tahap ini merupakan tahapan terakhir di mana pengujian dilakukan untuk menentukan apakah inspirasi yang diperoleh dari tahap sebelumnya memenuhi kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan.Dari model ini, Wallis mengakui adanya kerja sama yang erat antara alam pikiran sadar yang berpikiran rasional (pada tahap persiapan dan verifikasi) dengan alam bawah sadar yang bercorak intuitif (pada tahap inkubasi dan iluminasi) Berdasarkan uraian sebelumnya , maka dilaksanakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan pada mata kuliah Kalkulus melalui penerapan pembelajaran berbasis pengembangan intuisi. Selanjutnya permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimana pelaksanaan pembelajaran berbasis pengembangan intuisi yang dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan ?
2.
Apakah pembelajaran berbasis pengembangan intuisi dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan ?
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
87
Volume 2
3.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Bagaimana respon mahasiswa terhadap pembelajaran berbasis pengembangan intuisi sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan?
METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014, dimulai bulan Juli2013 sampai bulan Oktober 2013. Objek kajian penelitian ini adalah peningkatan kemampuan membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan dan respon positif mahasiswa. Subyek penelitian ini adalah peneliti sebagai pengampu dan mahasiswa peserta mata kuliah Kalkulus I( di kelas yang diampu peneliti ) pada semester ganjil tahun pelajaran 2013-2014. Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas ( class action research ). Penelitian dilaksanakan dalam tiga siklus. Pada setiap siklus dilaksanakan empat tahap kegiatan yakni perencanaan ( planning ), pelaksanaan ( acting ), pengamatan ( observing ) dan refleksi ( reflecting ). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data pelaksanaan pembelajaran, data peningkatan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan dan data respon mahasiswa terhadap pembelajaran. Sesuai dengan data yang dikumpulkan, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi, metode tes dan metode angket . Teknik analisis data adalah dengan teknik analisis deskripitif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi, tes kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan dan angket respon mahasiswa. Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis yang berbentuk uraian. Tingkat kemampuan mahasiswa membuat dugaan nilai kebenaran suatu pernyataan ditentukan oleh persentase capaian skor dibandingkan dengan skor maksimal tes dan mengacu kriteria ( dalam % )
80 Skor
= sangat tinggi
70 Skor 80
= tinggi
60 Skor 70
= sedang
50 Skor 60
= rendah
Skor 50
= sangat rendah
Angket yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk dafatar cek ( chek list ) dengan prosedur pemberian skor sebagai berikut : skor 4 jika memilih Sangat Setuju , skor 3 jika memilih Setuju, skor 2 jika memilih Kurang Setuju dan skor 1 jika memilih Tidak Setuju . Tingkat respon mahasiswa ditentukan oleh persentase capaian skor terhadap skor maksimal angket dan mengacu kriteria ( dalam %) :
80 Skor
= sangat positif
70 Skor 80
= positif
88
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
60 Skor 70
Volume 2
= negatif
Skor 60 = sangat negatif Selanjutnya indikator kinerja dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut : 1.
Terjadi peningkatan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan dan pada akhir siklus ketiga 60 % mahasiswa kemampuannya mencapai tingkatan sedang
2.
Pada akhir siklus ketiga lebih dari 70 % mahasiswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran berbasis pengembangan intuisi sebagai upaya meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian a.
Siklus I Pada pertemuan 1 mahasiswa diminta membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan : “Jika
x y
maka x y “. Hasil observasi pada setiap langkah pembelajaran dideskripsikan
sebagai berikut : (i) persiapan : banyak mahasiswa yang tidak tahu informasi yang diperlukan, dosen memancing mahasiswa mengumpulkan informasidan menuliskan informasi yang dipunyai dan kemudian mengecek informasi yang diperoleh (ii) inkubasi : mahasiswa mulai menduga dengan melakukan beberapa cara antara lain menggunakan garis bilangan, memberikan contoh untuk bilangan negatif, menggunakan definisi nilai mutlak terkait dengan interpretasinya di garis bilangan, dosen mencoba memberi kasus yang memenuhi pernyataan dan menguji mahasiswa apakah sudah dibuat dugaan (iii) iluminasi : beberapa mahasiswa menyampaikan contoh kasus dengan mengambil dua bilangan dan mengaitkan dengan kasus, dosen
mencoba mendorong
mahasiswa untuk melihat pola-pola khas dari contoh kasus yang telah diperoleh (iv) verifikasi : dosen meminta mahasiswa mengumpulkan kembali hal-hal yang bisa menguatkan dugaan . Pada pertemuan 2 mahasiswa diminta membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan : “Jika f suatu fungsi maka berlaku f (s) f (t ) s t “. Hasil observasi pada setiap langkah pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut : (i) persiapan : mahasiswa melihat dan memahami kembali definisi fungsi , beberapa mahasiswa mengeksplorasi juga pengertian tentang daerah asal dan daerah kawan , dosen bersama mahasiswa mengevaluasi kembali semua informasi yang dikumpulkan, mana yang digunakan mana yang tidak (ii) inkubasi : mahasiswa melihat kasus-kasus khusus untuk melihat/menguji nilai kebenaran pernyataan.Ada yang memunculkan grafik, membuat formula dalam bentuk aljabar dan membuat contoh kasus dalam bentuk diagram panah (iii) iluminasi : dosen dan mahasiswa melihat contoh-contoh yang telah diberikan oleh mahasiswa pada tahap inkubasi dan melihat adanya pola-pola tertentu yang menguatkan dugaan bahwa pernyataan yang diberikan bernilai salah. Beberapa hal yang dilihat adalah pada kasus fungsi linier dan fungsi kuadrat (iv) verifikasi : mahasiswa dengan bimbingan dosen menguji kembali bahwa pernyataan yang diberikan bernilai salah dengan memberi contoh-contoh baru terkait temuan yang Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
89
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
telah diperoleh. Hasil tes kemampuan membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan menunjukkan 40% mahasiswa mencapai tingkatan sedang. Refleksi siklus I yang dibuat bersama anggota tim peneliti menyarankan : (i) Pada siklus I pembelajaran berbasis pengembangan intuisi dapat terlaksana, tapi tingkat kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan masih dibawah kriteria pada indikator kinerja. Penelitian akan dilanjutkan pada siklus II (ii) Dari hasil observasi pelaksanaan pembelajaran pada langkah persiapan terlihat masih banyak mahasiswa yang belum tahu bagaimana menentukan informasi yang terkait dengan pernyataan dan diperlukan untuk membuat dugaan nilai kebenaran. Ini akan menjadi fokus perbaikan pada siklus II b.
Siklus II Pada pertemuan 1 mahasiswa diminta membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan : “Jika
f bukan fungsi ganjil maka f fungsi genap “. Hasil observasi pada setiap langkah pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut : (i) persiapan : mahasiswa menuliskan definisi fungsi ganjil dan fungsi genap, ada yang mencoba memaknainya secara geometris, belum ada yang menuliskan negasinya, dosen mengajak siswa untuk mencoba melihat negasi dari definisi tersebut terkait dengan pernyataan yang akan dibuktikan (ii) inkubasi : mahasiswa memberi contoh beberapa fungsi genap (sebagian besar adalah fungsi kuadrat ) , fungsi ganjil dengan fungsi kubik dan ada yang memberi contoh fungsi linier f ( x) x 3 dan menjelaskan bahwa fungsi tersebut bukan fungsi ganjil dan bukan fungsi genap , dosen meminta mahasiswa melihat kembali pernyataan dan menilai apakah contoh yang diberikan terkait dengan pernyataan ( iii ) iluminasi : beberapa mahasiswa mulai menyadari dan memanfaatkan simetris fungsi ganjil dan mengkonstruksi fungsi bukan ganjil dan bukan genap dari grafik yang dibuat, ada juga mahasiswa yang mulai sadar bahwa kebanyakan fungsi linier adalah bukan fungsi ganjil dan bukan fungsi genap, dosen membantu mengaitkan ide-ide yang dimunculkan mahasiswa. (iv) verifikasi : berdasarkan beberapa temuan sebelumnya, banyak mahasiswa yang mulai mudah mengkontruksi contoh penyangkal untuk membuktikan bahwa pernyataan salah. Pada pertemuan 2 mahasiswa diminta membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan : “Jika f dan g suatu fungsi ganjil maka f g fungsi ganjil “. Hasil observasi pada setiap langkah pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut : (i) persiapan : mahasiswa mengingat kembali definisi fungsi ganjil, ada mahasiswa yang menuliskan informasi tambahan seputar penjumlahan dua fungsi, ada juga yang menuliskan informasi yang tidak berhubungan langsung dengan pernyataan, dosen mengajak mahasiswa untuk melihat kembali pernyataan dan menganalisa apakah informasi yang dipakai terkait atau tidak dengan pernyataan (ii) inkubasi : mahasiswa memunculkan kasus terkait dengan persoalan, baik berupa contoh maupun menggambar grafik fungsi, misalnya mahasiswa mengecek untuk kasus fungsi
f ( x) x 3 dan menunjukkan pernyataan bernilai benar, beberapa kasus dimunculkan seperti
f ( x) x dan f ( x) 0 (iii) iluminasi : kebanyakan mahasiswa membuat generalisasi hanya dari
90
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
satu atau dua contoh atau kasus, dosen mengingatkan mahasiswa bahwa melakukan generalisasi dalam membuat dugaan harus hati-hati, harus diusahakan sebanyak mungkin contoh dan harus ditinjau dari berbagai kasus-kasus yang mungkin (iv) verifikasi : mahasiswa kembali mengecek penjumlahan beberapa fungsi ganjil untuk memastikan dugaan. Hasil tes kemampuan membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan menunjukkan 56% mahasiswa mencapai tingkatan sedang Refleksi siklus II yang dibuat bersama anggota tim peneliti menyarankan : (i) Pada siklus II pembelajaran berbasis pengembangan intuisi dapat terlaksana, tapi tingkat kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan masih dibawah kriteria pada indikator kinerja, penelitian dilanjutkan pada siklus III (ii) Dari hasil observasi masih terlihat pada tahap inkubasi mahasiswa memunculkan kasus yang tidak terkait dengan pernyataan dan informasi yang dikemukakan dan pada tahap iluminasi masih terlihat mahasiswa melakukan generalisasi dari satu contoh saja. Pada siklus III dosen harus lebih sering bertanya pada mahasiswa tentang kaitan contoh, diagram atau grafik yang dibuat mahasiswa dengan informasi yang dikemukakan dan pernyataan. Dosen juga harus bertanya tentang berbagai kemungkinan contoh dan kasus yang dumunculkan sebelum melakukan generalisasi. Ini menjadi fokus perbaikan pada siklus III c.
Siklus III Pada pertemuan 1 mahasiswa diminta membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan : “Jika
f ( x) g ( x) untuk setiap x maka lim f ( x) lim g ( x) “. Hasil observasi pada setiap langkah x c
x c
pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut : (i) persiapan : kebanyakan mahasiswa melihat kembali pengertian dari limit fungsi dari segi interpretasi geometrinya, beberapa menggunakan definisi limit fungsi dengan limit kiri dan limit kanan, sebagian kecil menuliskan pengertian f ( x) g ( x) , untuk setiap x tapi belum ada yang mencoba melihat kaitannya dengan pernyataan, dosen membimbing mahasiswa untuk melihat fakta yang diperoleh dari keterangan
f ( x) g ( x), x dan mengaitkannya dengan pernyataan ( ii) inkubasi : beberapa mahasiswa mencoba mengkonstruksi fungsi-fungsi yang tidak saling berpotongan grafiknya tapi memiliki nilai
2 x 0 , ada juga 1 x 0
limit yang sama di suatu titik, misal satu f ( x) x 2 2 dan g ( x)
mahasiswa yang mengklaim pernyatan benar dengan memberi contoh f ( x) 2 dan g ( x) 3 (iii) iluminasi : mahasiswa dibantu oleh dosen mengkonstruksi fungsi
f dan g , dengan
f ( x) g ( x), x tetapi memiliki limit yang sama di suatu titik. Salah satu pola yang diambil yaitu melihat dua fungsi yang berpotongan di satu titik dan mencoba membuat nilai kedua fungsi tersebut tetap berbeda di titik tersebut dengan mengubah nilai fungsi khusus di titik tersebut (iv) verifikasi : dengan mengetahui dan dapat mengkonstruksi fungsi-fungsi dengan sifat f ( x) g ( x), x tetapi
c sehingga lim f ( x) lim g ( x) , maka mahasiswa menduga pernyataan bernilai salah dan x c
x c
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
91
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
melihat kembali contoh yang sudah dikemukakan yang dapat dipakai untuk menguatkan bukti. Pada pertemuan 2 mahasiswa diminta membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan :
“Jika
lim f ( x) g ( x) ada maka lim f ( x) dan lim g ( x) ada “. Hasil observasi pada setiap langkah x c
xc
xc
pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut : (i) persiapan : mahasiswa memberi penjelasan mengenai limit fungsi pada suatu titik dan melihat kembali pengertian jumlah dua fungsi (ii) inkubasi : beberapa mahasiswa mencoba memberi counter example seperti : f ( x) 4 dan
2 x x 2 g ( x) , beberapa fungsi kuadrat, ada juga yang memberi contoh fungsi tangga x 2 x 2 tetapi masih banyak yang gagal memberi bukti bahwa counter example yang dipilih berlaku. Ada
2 x 2 1 x 2 dan g ( x) (iii) iluminasi : Dari 1 x 2 1 x2
mahasiswa yang memberi contoh f ( x)
contoh-contoh yang disampaikan sebelumnya, mahasiswa berkesimpulan bahwa pernyataan bernilai salah,namun belum ada mahasiswa yang memberi bentuk umum dari counter example yang bisa digunakan (iv) verifikasi : dengan hasil yang diperoleh pada tahap sebelumnya mahasiswa menduga bahwa pernyataan bernilai salah dan melihat kembali contoh-contoh yang ditampilkan yang dapat digunakan untuk menguatkan dugaan. Hasil tes kemampuan membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan menunjukkan 67% mahasiswa mencapai tingkatan sedang, hasil ini memenuhi indikator kinerja. Hasil angket menunjukkan 90% mahasiswa memberikan respon positif , hasil ini memenuhi indikator kinerja . Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan penerapan pembelajaran berbasis pengembangan intuisi dapat terlaksana ,
mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai
kebenaran pernyataan dan memenuhi indikator kinerja yang ditetapkan. Tabel berikut menunjukkan perubahan persentase banyaknya mahasiswa pada setiap tingkatan kemampuan pada setiap siklusnya. Tabel 2 : Persentase banyaknya mahasiswa pada setiap tingkatan kemampuan membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan
Tingkat
92
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Sangat rendah
17 %
0%
3%
Rendah
43 %
44%
30 %
Sedang
13 %
30 %
34 %
Tinggi
20 %
23 %
23 %
Sangat Tinggi
7%
3%
10 %
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
Pada akhir siklus I terdapat 40 % mahasiswa yang kemampuannya dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan mencapai tingkatan sedang. Pada akhir siklus II terdapat 56 % mahasiswa yang kemampuannya dalam membuat nilai kebenaran pernyataan mencapai tingkatan sedang. Terjadi peningkatan sebesar 16 % dari siklus I. Pada akhir siklus III terdapat
67 %
mahasiswa yang kemampuannya dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan mencapai tingkatan sedang.Terjadi peningkatan sebesar 11 % dari siklus II Peningkatan presentase mahasiswa yang kemampuannya dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan mencapai tingkatan sedang dapat dilihat pada diagram berikut Diagram 1: Persentase banyak mahasiswa yang kemampuannya dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan mencapai tingkatan sedang
Hasil angket respon positif mahasiswa terhadap pembelajaran mahasiswa memberikan gambaran tentang respon positif mahasiswa terhadap pembelajaran setelah diberi tindakan pada Siklus I, II dan III.
Tabel 3 Hasil Angket Respon Positif Mahasiswa terhadap Pembelajaran
Level
Sangat positif
Angket Respon Jumlah
Prosentase
Siswa
(%)
13
43 %
Positif
14
47 %
Negatif
3
10 %
Sangat Negatif Jumlah
0
0%
30
100 %
Dari hasil angket dapat dilihat bahwa 90% mahasiswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran pada akhir siklus III Banyaknya mahasiswa yang kemampuannya dalam memmbuat dugaan nilai kebenaran pernyataan mencapai tingkatan sedang melebihi indikator kinerja yang ditetapkan, tetapi belum Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
93
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
terlalu baik jika melihat persentasenya yang hanya 67%. Intuisi dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan tidak bisa terlepas dari pemahaman siswa terhadap konsep yang terkait dengan pernyataan, kemungkinan hal inilah yang menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan. Selain itu jika ditinjau bagaimana tahap-tahap intuisi muncul , waktu yang dibutuhkan pada tahap inkubasi bisa lama padahal waktu yang diberikan untuk membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan pada penelitian ini relatif singkat, mungkin hal ini juga menyebabkan intuisi mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan belum muncul secara optimal. Di sisi lain banyaknya mahasiswa yang memberikan respon positif melebihi indikator kinerja yang ditetapkan dan persentasenya mencapai 90%. Hal ini mungkin berkaitan dengan apa yang dikemukakan dalam http://www.edc.org/makingmmath/handbook/teacher/conjectures.asp “Once students become comfortable with the process of developing conjectures, they will start to initiate explorations based on their observation and research become a daily possibility “. Jika siswa menjadi nyaman dengan proses membangun dugaan, mereka akan bereksplorasi berdasarkan observasinya dan penelitian menjadi kegiatan sehari-hari. Lebih jauh dikemukakan bahwa sebagai bagian dari mengajarkan siswa tentang bagaimana pengetahuan matematis dibangun, penekanan pada membuat dugaan seringkali menarik bagi siswa.
SIMPULAN DAN SARAN 1.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1.
Pembelajaran berbasis pengembangan intuisi dapat didesain berdasarkan tahapan cara kerja
munculnya
pembelajarannya
intuisi
menurut
Graham Wallis
adalah
sebagai
berikut
dengan
:(i)tahap
langkah-langkah
persiapan
:mahasiswa
mengumpulkan dan menyebutkan semua informasi yang terkait setelah membaca secara cermat pernyataan (ii) tahap inkubasi: mahasiswa menggunakan informasi yang telah dipunyai untuk memunculkan kasus-kasus yang sesuai dengan mencoret-coret atau menggambar grafik atau ilustrasi (iii)tahap iluminasi : mahasiswa memuncul kan ide-idenya mengorganisasi kasus, melihat pola, mencari kesamaan, mengamati sifat yang tak berubah, mengamati perilaku yang khas (iv) tahap verifikasi : mahasiswa merumuskan dugaan dan menjustifikasi dugaan. 2.
Penerapan
pembelajaran berbasis
pengembangan
intuisi
dapat
meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan dan dapat memunculkan respon positif mahasiswa. Pada akhir siklus I terdapat 40 % mahasiswa yang kemampuannya dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan mencapai tingkatan sedang. Pada akhir siklus II terdapat 56 % mahasiswa yang kemampuannya dalam membuat nilai kebenaran pernyataan mencapai tingkatan sedang. Terjadi
94
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
peningkatan sebesar 16 % dari siklus I. Pada akhir siklus III terdapat 67 % mahasiswa yang kemampuannya dalam membuat dugaan nilai kebenaran mencapai tingkatan sedang.Terjadi peningkatan sebesar 11 % dari siklus II. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semua indikator kinerja terpenuhi. 3.
Mahasiswa
memberikan
respon
yang
baik
terhadap
pembelajaran
berbasis
pengembangan intuisi, hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan 90% mahasiswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran pada akhir siklus III 2. Saran Berdasarkan pelaksanaan dan hasil yang dicapai dari penelitian ini, dikemukakan saran sebagai berikut : 1.
Intuisi dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan tidak bisa lepas dari pemahaman siswa terhadap konsep yang terkait dengan pernyataan. Oleh sebab itu disarankan sebelum pembelajaran berbasis pengembangan intuisi dilaksanakan dosen harus menyiapkan mahasiswa terlebih dahulu untuk memahami konsep yang terkait dengan pernyataan.
2.
Kemampuan membuat dugaan dalam penelitian ini diukur berdasarkan kebenaran jawaban siswa pada tes ditinjau dari tahap-tahap membuat dugaan. Terdapat beberapa kriteria lain yang digunakan oleh para ahli untuk menentukan tingkat kemampuan siswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan. Mungkin dapat dikembangkan penelitian lanjutan, untuk melihat secara lebih dalam karakteristik siswa dalam membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan
3.
Berlatih membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan menuntut mahasiswa untuk mengaitkan konsep-konsep yang telah dipelajari dan kemudian menjelaskannya kepada orang lain. Diharapkan hal tersebut akan memperkuat pemahaman mahasiswa. Oleh sebab itu disarankan kepada mahasiswa untuk terus berlatih membuat dugaan nilai kebenaran pernyataan.
DAFTAR PUSTAKA Budi Usodo. 2012. Pengembangan Intuisi Siswa Dalam Memecahkan Masalah Matematika. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika yang dilaksanakan pada tanggal 21 Nopember 2012 di Universitas Sebelas Maret Surakarta Brenda Bicknell. 1999. The Writing of explanations and Justification in Mathematics : Differences and Dilemmas , MERGA 22 , page 76 David Hopkins. 2011. A Teacher‟s Guide to Classroom Research ( 4th Ed ). MacGraw HillOpen University Press, New York, USA Dehaene ,2009. Origins of Mathematical Intuitions. Annals of the New York Academy of Sciences 1156 (1) : 232-259 D.O. Tall. 1985 The Gradient of a Graph. Mathematics Teaching , 111, 48–52.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
95
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
D.O. Tall ( 1991) Intuition and Rigour : the role of visualization in the Calculus. Visualization in Mathematics (ed. Zimmermann & Cunningham), M.A.A., Notes No. 19, 105–119 Dyah Ratri Aryuna. 2012. Kesalahan Mahasiswa Dalam Justifikasi (Temuan pada Mata Kuliah Kalkulus ). Prosiding Seminar CAME 6 oktober 2012 UIN Yogyakarta. 213-224. E. Fischbein.1999. Intuition and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies In Mathematics Vol. 38: Netherland: Kluwer Academic Publishers G. Wallis (2006)
Intuition Effect in Creativity .http://www.itpin.com/blog/category/mind-
thinking/intuition/. Diakses tanggal 19 Oktober 2013 http://www. edc.org/making math/handbook/teacher/conjectures.asp . Diakses tanggal 19 Oktober 2013 J.S.Bruner. 1977 „Bruner on the learning of mathematics – A “process” orientation. Dalam Aichele, D.B., Readings in Secondary School Mathematics. Boston : Prindle, Weber, & Schmidt. Jhon.A. Van de Walle. 2007. Elementary and Middle School Mathematics. Sixth Edition. Pearson Education, Inc. USA Maria. E,Canadas Deolofeu,Jordi, Figueiras,Lourdes, Reid,David, Yevdokimov, Oleksiy. 2007. The Conjecturing Process : Perspectives in Theory and Implications in Practise. Journal of Teaching and Learning. Vol.3.No1. 55-7 Michael De Villiers, , 2003. The Value of Experimentation in Mathematics. Paper given in at 9th National Congress of AMESA.Proceeding , pp 174-185. Cape Town Suparno, Paul. Riset Tindakan Untuk Pendidik. 2008. PT Grasindo,Jakarta Steve.A Byatt. Conjecturing Atmosphere In 11-16 Mathematics Classrooms: Factors Affecting Its Creation and Maintanance
96
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TREFFINGER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH PADA MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA Bambang Priyo Darminto Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo Jl. KHA.Dahlan 3 Purworejo 54111, e-mail:
[email protected] HP.081804380770 Abstrak Salah satu kompetensi profesional guru matematika adalah kemampuan memecahkan masalah matematis. Di tingkat sekolah menengah, peningkatan kemampuan ini dipengaruhi oleh kreativitas. Artinya, jika kreativitas siswa semakin tinggi, maka kemampuan memecahkan masalah matematisnya punsemakin baik, dan sebaliknya. Penerapan model Treffingerdalam pembelajaran matematika di sekolah menengah telah terbukti dapat mengembangkan kreativitassiswa. Dalam penelitian ini, model Treffinger diterapkan pada mahasiswa calon guru matematika dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan matematis. Sampel sebanyak 32 mahasiswa dari program studi pendidikan matematika diambil secara purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan instrumen tes tentang kemampuan memecahkan masalah matematika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran Treffinger tidak signifikan mempengaruhi peningkatan kemampuan memecahkan masalah matematis. Hal ini disebabkan karena mahasiswa telah memiliki variasi, kreativitas dan pengalaman dalam memecahkan masalah matematis. Kreativitas dan pengalaman ini telah dikembangkan sejak duduk di sekolah menengah atas. Kata kunci: Treffinger, kreativitas, pemecahan masalah matematis.
PENDAHULUAN Pendidikan tinggi memiliki peran yang amat strategis dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM). Dalam salah satu laporan tahun 1999, Bank Dunia menyatakan bahwa terdapat kontribusi yang signifikan dari sektor pendidikan tinggi terhadap upaya peningkatan daya saing bangsa (Depdiknas, 2004). Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompetitif, setiap calon guru matematika harus benar-benar menyiapkan dan mengembangkan kemam-puannya. Hal ini perlu dilakukan agar setelah terjun ke masyarakat, mahasiswa dapat menjadi guru yang profesional. Pemerintah telah memutuskan bahwa mulai tahun 2015 untuk menyiapkan guru-guru profesional tidak lagi melalui penilaian porto folio dan program PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru), tetapi diserahkan kepada LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)melalui PPG (Program Profesi Guru). Oleh karena itu, LPTK harus menyiapkan dan melaksanakan program ini secara baik. Kemampuan guru terletak pada kompetensi yang dimiliki. MenurutUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, setiap guru harus memiliki kompetensi profesional, kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, dan kompe-tensi kepribadian. Sehubungan dengan hal tersebut, setiap calon guru harus dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai. Hal ini juga sesuai dengan tujuan pemerintah dalam meningkatkan mutu lulusan perguruan tinggi, yakni lulusan yang terampil, kreatif dan Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
97
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
inovatif dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, ahli, profesional, serta memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan (Depdiknas, 2005). Universitas Muhammadiyah Purworejo (UMP) merupakan lembaga perguruan tinggi yang memiliki fakultas keguruan yang terdiri dari beberapa program studi, satu di antaranya adalah program studi pendidikan matematika. Dilihat dari asal-usul mahasiswa pada program studi pendidikan matematika, diketahui bahwa kira-kira 30% mahasiswa yang berasal dari SMA/MA Jurusan IPA, sedangkan kira-kira 70% mahasiswa berasal dari SMA/MA Jurusan IPS dan SMK (Bambang Priyo Darminto; 2013: 2). Di samping itu, UMP merupakan pilihan terakhir dari sejumlah pilihan mahasiswa ketika akan melanjut-kan ke perguruan tinggi. Dengan melihat kondisi mahasiswa tersebut, maka pembelajaran pada program studi pendidikan matematika perlu dilaksanakan dengan baik. Kemampuan memecahkan masalah matematis termasuk dalam berpikir matematis tingkat tinggi. Kemampuan ini sangat penting karena dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia selalu berhadapan dengan berbagai masalah yang harus diselesaikan. Dalam dunia pendidikan, pengembangan kemampuan memecahkan masalah matematis dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain menerapkan beberapa model dan metode pembelajaran matematika yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa. Di samping itu, menurut Polya (Bambang Priyo Darminto;12:79) untuk memecahkan masalah matematika diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3) melaksana-kan perhitungan, dan (4) memeriksa kembali proses dan hasil. Dalam setiap langkah, pengembangan kreativitas selalu diperlukan guna memilih strategi yang tepat. Setelah mengkaji beberapa model pembelajaran, peneliti menerapkan model pembelajaran Treffinger dalam kuliah Telaah Kurikulum Matematika. Penggunaan model pembelajaran Treffinger ini karena memiliki keungulan utama yaitu dapat meningkatkan kreativitas dalam memecahkan masalah(Sarson Wliyatimas; 2005: 116). Dengan demi-kian, menurut Munandar (Sarson Waliyatimas; 2005: 13) kreativitas yang berkembang akan meningkatkan kemampuan untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah. Menurut Ekawati (2013: 1), model pembelajaran Treffinger merupakan proses belajar secara kreatif digunakan proses berpikir divergen (proses berpi-kir ke macam-macam arah dan menghasilkan banyak alternatif penyelesaian) dan proses berpikir konvergen (proses berpikir yang mencari jawaban tunggal yang paling tepat). Berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah, model pembelajaran Treffinger nampaknya sangat tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematis. Hal tersebut didasarkan pada kreativitas yang dapat meningkatkan: (1) percaya diri dalam menjawab
98
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
pertanyaan, (2) rasa ingin tahu, (3) keberanian mengemukakan jawaban baru, dan (4) kemampuan mengidentifikasi masalah. Manfaat terpenting dalam penelitian ini adalah mengembangkan konsep berpikir mahasiswa dalam rangka memecahkan masalah matematis dengan menggunakan daya kreativitasnya. Dengan kreativitas, mahasiswa diharapkan mempunyai berbagai cara yang benar dalam menyelesaikan masalah. Karena kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah meningkat, maka diharapakan kompetensi profesionalnya pun meningkat.
METODE PENELITIAN Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa program studi pendidikan matematika tahun 2013/2014 di Universitas Muhammadiyah Purworejo. Sampel diambil sebanyak 32 mahasiswa dengan teknik purposive samplingkarena peneliti mempunyai pertimbanganpertimbangan tertentu dalam pengambilan sampel. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain: asal SLTA, kuota mahasiswa dalam satu kelas, mata kuliah yang langsung terkait dengan materi matematika di SMA/MA, dan kedudukan mahasiswa dalam semester tertentu. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain kelompok pretes-postes (pretest-postest control group design). Dalam desain ini, sebelum perlakuan sampel diukurkemampuan memecahkan masalah matematis dengan pretes (O1), kemudian setelah diberi perlakuandiukur lagi kemampuan memecah-kanmatematis dengan postes (O2). Kelompok eksperimen diberi pemebelajaran model Treffinger, sedangkan
kelompok kontrol pembelajarannya secara
konvensional, yakni ekspositori dan tanya jawab. Desain penelitian ini disajikan sebagai berikut: O1XO2
O1 : Pretesdan O2: Postes
O1O2
X : Model pembelajaran Treffinger
Sesuai dengan kemampuan awalnya, sampel dikategorikan ke dalam tiga kelompok yakni kelompok rendah (lower group), kelompok sedang (middle group), dan kelompok tinggi (upper group). Banyaknya kelompok rendah atau kelompok tinggi kira-kira 25%-27%, sedangkan kelompokmenengah/sedang kurang lebih 56%-50%. Pengelompokkan tersebut didasarkan pada hasil skor pretes dari setiap mahasiswa dengan skor ideal sama dengan 100. Penentuan skor ideal ini diperoleh dari 40 item soal pretes dikalikan 2,5. Skema desain faktorial penelitian ini, disajikan pada Tabel 1. Untuk menguji hipotesis, menganalisis, dan membahas hasil penelitian, peneliti menggunakan beberapa langkah sebagai berikut: a. Menghitung rata-rata skor pretes untuk menentukan kemampuan awal mahasiswa. b. Mengolah skor pretes dan postes untuk melihat deskripsi kemampuan secara umum. c. Melakukan analisis statistik uji normalitas, uji homogenitas variansi, dan uji rata-rata dari distribusi skor pretes dan postes.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
99
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
d. Melakukan pembahasan dari setiap pengujian hipotesis. e. Penarikan kesimpulan.
Tabel 1. Skema Desain Penelitian Kemampuan Memecahkan Masalah Matematis
KAM
Kel. Eksperimen
Kel. Kontrol
Tinggi
ET
KT
Sedang
ES
KS
Rendah
ER
KR
Keterangan: KAM: Kemampuan Awal Mahasiswa. : Rata-rata skor kemampuan memecahkan masalah matematis kelompok tinggi pada ET kelompok eksperimen. ES : Rata-rata skor kemampuan memecahkan masalah matematis kelompok sedang pada kelompok eksperimen. ER : Rata-rata skor kemampuan memecahkan masalah matematis kelompok rendah pada kelompok eksperimen. KT : Rata-rata skor kemampuan memecahkan masalah matematis kelompok tinggi pada kelompok kontrol. KS : Rata-rata skor kemampuan memecahkan masalah matematis kelompok sedang pada kelompok kontrol. KR : Rata-rata skor kemampuan memecahkan masalah matematis kelompok rendah pada kelompok kontrol.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pembahasan Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol sebelum Pemberian Perlakuan Penelitian ini diawali dengan pemberian pretes tentang kemampuan pemecahan masalah matematis kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Deskripsi hasil tes kemampuan awal dari kedua kelompok tersebut disajikan pada Tabel 2 di bawah. Tabel 2. Deskripsi Skor Tes Kemampuan Awal Kelompok Eksprimen dan Kelompok Kontrol Group
N
Mean
Std.Deviation Minimum
Maximum
Eksperimen
32
59.7188
12.35819
30.00
85.00
Kontrol
34
58.9118
9.86382
35.00
80.00
Berdasarkan Tabel 2 di atas, secara matematis mean dari kedua kelompok memiliki skor yang berbeda, namun perbedaannya sangat kecil yaitu 0,807. Jika dilihat simpangan bakunya ternyata kelompok eksperimen lebih hiterogen dibanding kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok sampel yang berada dalam kelompok eksperimen memiliki skor
100
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
pretes yang lebih bervariasi. Deskripsi ini sesuai dengan range skor antara skor maksimum dan skor minimum antara 30 sampai dengan 85. Sebelum kelompok eksperimen diberi perlakuan, terlebih dulu kedua kelompok tersebut diuji keseimbangannya untuk menunjukkan apakah secara statistis perbedaan 0,807 itu signifikan atau tidak.Selanjutnya, sebelum uji keseimbangan dilaksanakan perlu ditunjukkan normalitas dan homogenitas kedu kelompok tersebut. Dalam penelitian ini taraf siginikansi (α ) yang digunakan adalah 5%. Uji normalitas dilakukan dengan metode Lilliefors. Dari hasil perhitungan dipero-leh Lmaks sama dengan 0,08975 dan Ltabelatau 𝐿0.05;32 sama dengan 0,15662 sehingga DK sama dengan {𝐿|𝐿 > 0,15662}. Dengan demikian Lmaks berada di luar DK. Kesimpu-lannya bahwa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol terdistribusi normal. Uji homogenitas dilakukan dengan uji Barlett. Dari hasil perhitungan, diperoleh bahwa 𝜒 2 𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖 sama dengan 2 1,62 sedangkan 𝜒 2 𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 atau 𝜒0,05;1
sama dengan 3,841. Dengan demikian daerah
kritis(𝐷𝐾) sama dengan {𝜒 2 |𝜒 2 > 3,841}. Oleh karena itu, 𝜒 2 𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖 tidak berada dalam daerah kritis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebelum pelaksanaan penelitian, kelompok eksperi-men dan kelompok kontrol masing-masing homogen homogen. Uji keseimbangan dilaksanakan dengan uji t. Berdasarkan data hasil penelitian, hasil uji keseimbangan
diperoleh
tobservasisama
dengan 0,29 dan
pada
tabel
distribusi
t
ditunjukkan𝑡0,025;64 sama dengan 1,9977.Ini berarti bahwa daerah kritiknya (DK) adalah sama dengan {𝑡|𝑡 < −1,9977 atau 𝑡 > 1,9977}. Dengan demikian,𝑡𝑜𝑏𝑠 berada di luar DK. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kelompokeksperimen dan kelompok kontrol berasal dari populasi yang memiliki kemampuan awal yang sama.Artinya bahwa sebelum dilaksanakan pembelajaran Treffinger kelompok-kelompok sampel
tersebut memiliki kemampuan
pemecahan masalah yang relatif sama.
B.
Pembahasan Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol setelah Pemberian Perlakuan Setelah kelompok eksperimen melaksanakan pembelajaran dengan model Trefinger dan
kelompok kontrol melaksanakan pembelajaran secara konvensional, maka kedua kelompok tersebut diberi tes kemampuan memecahkan masalah. Hasil tes kemampuan memecahkan masalah kedua kelompok tersebut disajikan pada Tabel 3 di bawah. Tabel 3. Deskripsi Skor Tes Kemampuan Akhir Kelompok Eksprimen dan Kelompok Kontrol Group
N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Eksperimen
32
66.1250
13.94228
40.00
90.00
Kontrol
34
61.7941
11.07831
37.50
90.00
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
101
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Berdasarkan Tabel 3 di atas, terlihat bahwa kedua kelompok mencapai skor maksi-mum yang sama yaitu 90. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan potensi mahasiswa antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol relatif sama. Skor minimum dan rata-rata kelompok eksperimen sedikit lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Namun, simpangan baku kelompok kontrol sedikit lebih rendah dibanding kelompok eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi kemampuan kelompok kontrol lebih kecil atau dengan kata lain bahwa kelompok kontrol memiliki kemampuan memecahkan masalah matematis yang lebih homogen daripada kelompok eksperimen. Berdasarkan Tabel 2 di atas, rata-rata skor postest kelompok eksperimen sama dengan 66,1250 dan kelompok kontrol sama dengan 61,7941.Dengan demikian selisih rata-rata skorpostest antara kedua kelompok tersebut adalah 4,3309. Secara matematis, rata-rata skor pretest tersebut jelas berbeda, namun secara statistis perbedaan tersebut belum tentu sama. Artinya, perbedaan skor pretest tersebut belum tentu signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan dalam uji keseimbangan dengan menggunakan uji t, diperoleh bahwa tobservasisama dengan 1,406 dan ttabel atau
𝑡0,025;64 sama dengan 0,9977.
Dengan demikian 𝐷𝐾 sama dengan {𝑡|𝑡 < −1,9977atau 𝑡 > 1,9977}. Ini berarti bahwa 𝑡𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖 ∉ 𝐷𝐾. Jadi perbedaan skor postest sebesar 4,3309 adalah tidak signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti tentang kemampuan memecahkan masalah matematis antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian, penerapan pembelajaran model Treffinger tidak menunjukkan kenaikan kemampuan memecahkan masalah matematis yang berarti bagi mahasiswa calon guru matematika di Universitas Muhammadiyah Purworejo. Kesimpulan di atas, tidak sesuai dengan hasil penelitian Sarson Waliyatimas DP (2005:116) yang menyatakan bahwa penerapan model Treffinger dalam pembelajaran di SMP dapat meningkatkan kemampuan kreatif matematis dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Perbedaan simpulan penelitian ini, menurut peneliti disebabkan oleh adanya strata pendidikan sampel yang di ambil dan hal ini akan mempengaruhi tingkat kematangan berpikir serta daya dan kemampuan berpikir individu. Di perguruan tinggi, kematangan berpikir dan kreativitas mahasiswa calon guru matematika dalam memecahkan masalah matematis sudah cukup baik. Proses pengem-bangan kreativitas dan pengalaman untuk memecahkan masalah matematis ini sudah berlangsung sejak usia dini. Hal ini dapat terjadi karena selama pengembangan kognitif mahasiswa telah mempunyai banyak pengalaman yang dapat membangun sendiri pengetahuannya. Pengalamanpengalaman tersebut dapat berasal dari belajar sendiri atau interaksi dengan dengan orang lain. Sebagai contoh bahwa ketika seseorang belajar di SMP atau SMA, beberapa guru matematika boleh jadi telah menerapkan berbagai model pembelajaran guna meningkatkan kreativitas dan
102
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 2
kemampuan memecahkan masalah. Dari berbagai pengamatan ketika peneliti menjadi tutor para guru, diketahui bahwa saat ini tidak sedikit guru-guru SD, SMP, dan SMA telah melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penerapan berbagai metode dan model pembelajaran. Di samping itu, sebagai motivator dan fasilitator, guru memberi keleluasaansiswa untuk kreatif menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan cara-cara yang ia kehendaki (Ekawati;2013).Dengan demikian kema-tangan berpikir dan
kreativitas siswa dalam memecahkan masalah matematis memang sudah
dikembangkan sejak usia dini. Akhirnya, ketika seseorang duduk di perguruan tinggi ia sudah memiliki beberapa kreativitas dan pengalaman dalam memecahkan soal matematika. Meskipun kenaikan rata-rata skor postest kelompok eksperimen tidak terlalu tinggi yaitu hanya 4,3309 dan hal inisecara statistis tidak signifikan, namun pembelajaran dengan model Treffinger tetap dapat diterapkan di perguruan tinggi. Selanjutnya model Trffinger ini terus dikembangkan dan dipadukan dengan model-model pembelajaran lainnya guna meningkatkan mutu pembelajaran. Dengan mutu pembelajaran yang semakin baik diharapkan kemampuan dan hasil belajar mahasiswa semakin meningkat.
KESIMPULAN
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai peningkatan kemampuan memecahkan masalah
matematis
antara
mahasiswa
yang
diajar
dengan
menggunakan
model
Treffingerdengan mahasiswa yang diajar secara konvensional. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan kreativitas mahasiswa yang telah berkembang sebelumnya. Di samping itu, secara konstruktivistis mahasiswa telah membangun sendiri pengetahuannya sehingga telah memiliki konsep dalam menyelesaikan masalah melalui penyelidikan yang didasarkan metode ilmiah. Dengan demikian, hasil pembelajaran di perguruan tinggi dengan menggunakan model Treffinger atau lainnya tidak menunjukkan perbedaan dalam meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Darminto, Bambang Priyo. 2013. Analisis Kompetensi Profesional Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Tahun 2012/2013. Hasil Penelitian pada Universitas Muhammadiyah Purworejo: Tidak dipublikasikan. Darminto, Bambang Priyo. 2013. Strategi Belajar-Mengajar Matematika. Purworejo: Prodi Pendidikan Matematika Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 200320010 (HELTS). Jakarta : Depdiknas.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6
103
Volume 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta : Depdiknas. Ekawati. 2013. Pengertian Model Pembelajaran Treffinger. http://eccawati.blogspot.com/ 2013/03/blog-post.html [diakses 31 Agustus 2013] Pomalato, Sarson Waliyatimas DJ. 2005. Pengaruh Penerapan Model Treffinger dalam Mengembangkan Kemampuan Kreatif dan Pemecahan Maslah matematika Siswa Kelas 2 Sekolah Menengah Pertama. DisertasiDoktor pada PPS-UPI Bandung : Tidak dipublikasikan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
104
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 6