PENTINGNYA BUDAYA ORGANISASI BAGI PERGURUAN TINGGI: TANTANGAN UMUM DAN KHUSUS SETIA TJAHYANTI STIE Trisakti
[email protected] Abstrak: Sejumlah literatur, hasil penelitian telah mendokumentasikan bahwa budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis terhadap keberhasilan maupun kesuksesan suatu organisasi dalam meningkatkan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Namun pemahaman dan kesadaran para pelaku organisasi terhadap pentingnya budaya organisasi bagi Perguruan Tinggi khususnya masih sangat lemah, hal ini disebabkan karena institusi pendidikan bukannlah organisasi yang berorientasi bisnis dimana anggotanya memiliki latar belakang dan norma-norma yang sangat beragam, sehingga menimbulkan kesulitan dalam menghadapi berbagai macam tantangan yang bersifat strategis mulai dari kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan nasional pada umumnya dan Pendidikan Tinggi pada khususnya, menguatnya arus globalisasi, pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta adanya perubahan tuntutan masyarakat sebagai pelanggan utama. Tantangan tersebut pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap kualitas Pendidikan Tinggi selaku lembaga pendidikan yang harus menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki keuanggulan dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pengelolaan kelembagaan, dan perluasan kapasitas Perguruan Tinggi diberbagai macam aspek diantaranya aspek struktural, kultural, layanan maupun pengembangan kualitas dan sistem SDM (Sumber daya Manusia).
PENDAHULUAN
B
udaya Organisasi terdiri atas sekumpulan ideologi, simbol, dan nilai inti yang kompleks yang dianut seluruh anggota organisasi dan mempengaruhi cara organisasi melakukan bisnis. Budaya organsisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggotaanggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain (Tunggal 2006). Menurut Brown (2004), banyak penelitian dan observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keberhasilan suatu organisasi dapat dipengaruhi oleh budaya organisasinya. Lebih lanjut Brown (2004) mengatakan bahwa organisasi yang berhasil mempunyai budaya yang berbeda yang mampu memotivasi seluruh anggotanya untuk memberikan yang terbaik dalam aktivitasnya. Budaya yang kuat dapat ditemukan pada kebijakan, struktur organisasi
serta prosedur dan peraturan yang detil. Brown (2004) juga mengatakan bahwa dari literatur mengenai kepemimpinan di dunia pendidikan yang telah dilakukan sejak 20 tahun yang lalu, telah diyakini bahwa jika ingin memperbaiki pendidikan, maka kita harus memperbaiki budaya dan struktur melalui peningkatan peran serta kepemimpinan. Namun upaya perubahan budaya organisasi di institusi pendidikan tidaklah semudah hanya dengan memperbaiki budaya dan struktur karena institusi pendidikan bukanlah organisasi berorientasi bisnis dan anggota di institusi pendidikan sangat beragam dengan berbagai latar belakang dan norma-norma yang telah dimiliki. Institusi pendidikan merupakan institusi yang cukup rumit karena menghadapi tantangan baik secara sosial maupun politik (Goodlad 1975).
1
BUDAYA ORGANISASI PERGURUAN TINGGI Budaya organisasi di perguruan tinggi menggambarkan lingkungan yang memberi pengaruh bagi perilaku semua anggota perguruan tinggi tersebut termasuk di dalamnya mahasiswa, pengajar dan karyawan. Budaya organisasi perguruan tinggi merupakan kepercayaan dan perilaku yang diyakini bersamasama membentuk organisasi dan menetapkan batasan-batasan didalamnya. Budaya organisasi perguruan tinggi merupakan pemahaman bersama dari semua komponen perguruan tinggi yang membentuk respon mereka terhadap tuntutan lingkungan eksternal dan permintaan lingkungan internal. Budaya organisasi perguruan tinggi didasarkan pada pengalaman masa lampau yang menyediakan rancangan atau panduan bagi aksi-aksi dimasa mendatang dalam rangka bagaimana menjalankan atau melaksanakan sesuatu dalam organisasi (Gordon & Hymes, 1994). Lebih lanjut, Gordon dan Hymes (1994) menjelaskan bahwa elemen atau komponen dari budaya organisasi di perguruan tinggi adalah sebagai berikut (1) Artefak dan simbol – tata kelola dan lay out bangunan, (2) Nilai-nilai - bagaimana para anggota perguruan tinggi melakukan fungsinya dan berinteraksi satu sama lain, (3) Asumsi – keyakinan yang bersifat taken for granted tentang keberadaan manusia. Brown (2004) mengemukan bahwa budaya organisasi perguruan tinggi harus memiliki elemen (1) Visi yang menginspirasi, jelas dan menantang misi, (2) Kurikulum, model instruksi, penilaian dan peluang yang dikaitkan dengan visi-misi dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mahasiswa, (3) Kualitas, (4) Hubungan kerja yang baik, (5) Ruang atau wadah untuk menciptakan dan mengembangkan budaya, (6) Kepemimpinan, (7) Sistem kerja, (8) Dukungan pihak-pihak terkait. Di lain pihak, Freed et al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles
in Higher Education, memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup: (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) sistems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) sistematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Sebagai suatu entiti atau organisasi, perguruan tinggi juga membutuhkan suatu perubahan dalam menjalankan aktivitas. Riset menunjukkan bahwa tidak ada perusahaan atau organisasi di tahun 1990-an yang mempertahankan konstansi, kesamaan atau status quo mereka bila dibandingkan dengan masa 10 tahun ke belakang. Stabilitas lebih banyak diintepretasikan sebagai kondisi yang stagnan dibandingkan daripada kesiapan mereka untuk beradaptasi, bahkan organisasi yang tidak mengalami perubahan berarti dalam bisnis dan kegiatannya dipandang sebagai organisasi yang menolak perubahan. Oleh sebab itu, sejak tahun 1991 banyak perusahaan atau organisasi yang melakukan perubahan-perubahan yang mempengaruhi budaya organisasinya sematamata untuk menciptakan suatu pencapaian atau kinerja yang lebih baik. Atau dengan kata lain, perubahan fundamental dalam hal budaya organisasi pada dasarnya memberi sedikit harapan bagi mempertahankan perubahan dan perbaikan kinerja organisasi (Cameron 1995). Oleh sebab itu, Reschke dan Aldag (2000) menyatakan bahwa budaya organisasi di perguruan tinggi haruslah menyediakan keunggulan kompetitif yang strategis bagi perguruan tinggi itu sendiri. Budaya organisasi di perguruan tinggi haruslah unik, secara strategis sesuai dengan kondisi organisasi dan sulit untuk diduplikasi. Budaya organisasi harus kuat artinya dibagi secara luas dan menyeluruh serta budaya tersebut dipegang teguh oleh setiap anggota organisasi perguruan tinggi. 2
Sebagai suatu strategi, Deal & Kennedy (1982) menyatakan bahwa budaya organisasi di perguruan tinggi harus dijadikan elemen penting dalam hal (1) Kerjasama, (2) Pengambilan keputusan, (3) Pengawasan, (4) Komunikasi, (5) Komitmen, (6) Persepsi, dan (7) Justifikasi terhadap perilaku. Hayden (1986) menggambarkan kepentingan budaya organisasi di perguruan tinggi dalam aspek yang lebih luas lagi yaitu (1) Strategi dalam beradaptasi dengan perubahan elemen lingkungan eksternal. Budaya organisasi merupakan bagian dari (a) misi, visi dan strategi, (b) sasaran, (c) struktur dan pemberdayaan karyawan, (d) pemantapan perencanaan dan sistem pengawasan; (2) Pengikat integrasi internal, dalam hal (a) kesamaan bahasa, (b) tanggung jawab, wewenang dan Elemen-elemen Budaya Organisasi: - Asumsi - Nilai-nilai - Narratives - Simbol - Heroes/Role Model - Perayaan, Seremoni dan Ritual Dukungan terhadap Budaya Organisasi: - Visi-misi organisasi - Keahlian kepemimpinan
akuntabilitas, (c) hubungan kerja, (d) evaluasi kinerja, (e) pemantapan prosedur dan sistem kerja. Berdasarkan pembahasan mengenai budaya organisasi di perguruan tinggi pandangan Reschke dan Aldag (2000) mungkin dapat dipakai bahan acuan dalam memandang bagaimana seharusnya budaya organisasi dikembangkan di dalam perguruan tinggi. Reschke dan Aldag (2000) secara luas menggambarkan suatu model keterkaitan budaya organisasi dengan kinerja individu dan efektivitas organisasi. Model ini menyatakan bahwa keberhasilan perubahan budaya organisasi disuatu perguruan tinggi haruslah mendapat perhatian yang ekstra hati-hati untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan menghasilkan organisasi yang unik dan sulit untuk diduplikasi. Efektivitas Organisasi:
Kinerja Individu/Team: - Kepuasan Kerja - Identifikasi Organisasi - Keterlibatan dalam pekerjaan
- Komitmen - Kinerja maksimal - Usaha untuk beradaptasi
-
Tingkat Pertama - Kehadiran - Turnover - Produktivitas - Kualitas Kerja - Keberhasilan Rekrutmen
Tingkat Kedua - - Kreativitas/inovasi - - Pemecahan masalah - - Tim yang solid - - Komunikasi yang mantap
- Peluang untuk berkembang
- Pengembangan tim kerja - Komunikasi - Sistem manajemen kinerja
- Sistem insentif dan penghargaan - Sistem manajemen SDM
Tingkat Ketiga - Market share - Profit - Pencapaian sasaran formal organisasi
Gambar 1 Model pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku dan kinerja individu/tim kerja serta efektivitas organisasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi di perguruan tinggi haruslah tercermin dalam (1) Visi, misi dan strategis, (2) Struktur Organisasi, (3) Sistem Manajemen SDM, (4) Sistem Komunikasi, (5) Pemimpin dan (6) Sistem Pendukung kerja lainnya yang terkait dengan pelanggan, stakeholders dan pihak terkait lainnya. 3
TANTANGAN UMUM PERGURUAN TINGGI Perguruan Tinggi merupakan salah satu subsistem pendidikan nasional yang tidak dapat dipisahkan dari subsistem lainnya baik di dalam maupun di luar sistem pendidikan. Keberadaan pendidikan tinggi dalam keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara, mempunyai peran yang amat besar melalui tri dharma pendidikan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa pendidikan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (pasal 20 ayat 2). Memasuki milenium ketiga sekarang ini, penyelenggaraan pendidikan tingkat nasional menghadapi berbagai macam tantangan yang bersifat strategis mulai dari kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan nasional pada umumnya dan pendidikan tinggi pada khususnya, menguatnya arus globalisasi, pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta adanya perubahan tuntutan masyarakat sebagai pelanggan utama. Pertama, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005 sampai 2025 Pemerintah mencanangkan untuk meningkatkan kemampuan manusia bangsa ini, sehingga memiliki daya saing yang seimbang dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selaku badan yang melakukan perencanaan nasional sudah menuangkan program-program Depdiknas ke dalam 15 program. Sementara itu, Depdiknas selaku bagian dari pemerintah yang mendapat amanat untuk melakukan pengembangan manusia dari sisi pendidikan pun telah membuat 39 kegiatan pokok yang pada intinya mengacu pada tiga misi pembangunan nasional. Dalam RPJP tersebut (Bappenas 2004 & Program Kebijakan Depdiknas 2004) terdapat kegiatan-kegiatan
pokok seperti (1) Perluasan akses PT, (2) Mendorong jumlah jurusan di PT yang masuk dalam 100 besar Asia dan 500 besar dunia, (3) Akselerasi jumlah program studi kejuruan, vokasi, dan profesi, (4) Peningkatan kreativitas, entrepreneurship, dan kepemimpinan mahasiswa, (5) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (6) Pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, (7) Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/SM Terpadu, SLB, dan PT, (8) Survei Benchmarking Mutu Pendidikan terhadap standar internasional (9) Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi PT. Berdasarkan program yang disusun oleh Depdiknas diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tantangan bagi pendidikan tinggi adalah (1) meningkatkan inovasi melalui perluasan standar, jumlah dan mutu jurusan dan kurikulum (poin 2, 3, 4, dan 5); (2) Lebih berorientasi pada hasil (poin 1, 2, 8 dan 9); (3) Beorientasi pada pengembangan kompetensi SDM (poin 6 dan 7); (4) Mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan (poin 1, 2, 7 dan 8). Kedua, pesatnya perkembang teknologi informasi (TI) merupakan salah satu ciri utama perkembangan global di abad 21. Sebagai suatu organisasi PT juga dihadapkan pada tantangan bagaimana upaya yang dilakukan oleh PT untuk dapat mengoptimalkan perubahan TI menjadi suatu keunggulan bersaingnya. Brynjolfsson dan Hitt, (1998) mengatakan bahwa optimalisasi pemanfaatan TI itu memerlukan melek TI semua sivitas akademika. Programprogram untuk meningkatkan melek TI harus dilakukan untuk meningkatkan kapabilitas enduser yang merupakan syarat untuk optimalisasi pemanfaatan TI untuk meningkatkan kinerja PT. Namun di sisi lain perkembangan TI ini menciptakan tantangan baru bagi PT yaitu dimana sebagai salah satu solusi perkembangan TI harus diikuti dengan solusi pada bidang yang lain; sumber daya manusia, proses, dan
4
organisasi (manajemen dan struktur) untuk menghasilkan layanan yang terbaik sesuai dengan tuntutan pelanggan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan teknologi merupakan tantangan bagi PT karena dengan perkembangan ini PT dituntut untuk lebih meningkatkan inovasi, kompetensi SDM (orientasi pada manusia), serta keluaran yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan pelanggan (orientasi pada hasil). Ketiga, perkembangan ilmu pengetahuan ternyata juga memberi dampak bagi perkembangan dunia atau industri perguruan tinggi di Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan juga terkait dengan tuntutan dari dunia kerja. Pendidikan tinggi dalam hal ini tentunya harus berupaya untuk senantiasa mampu mengikuti perubahan tersebut dengan mendirikan jalur tertentu. Pemerintah juga memasuki area ini dengan mengeluarkan kebijakan yang disusun dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi melalui SK Mendiknas No 045/U/2002 perihal Kurikulum Inti, yang disebutkan disini bahwa pengajaran harus relevan dengan kompetensi yang ditentukan industri terkait dan organisasi profesi. Oleh sebab itu, kerjasama dengan industri sering dijadikan nilai jual suatu pendidikan. Di antaranya beberapa pendidikan tinggi mencantumkan pelatihan dan sertifikasi dalam media promosinya juga memasukkan nama-nama perusahaan besar sebagai tempat magang dan penampung lulusan mereka. Kerja sama internasional-berupa program transfer, double degree dengan universitas luar negeri, dan pertukaran mahasiswa-sering ditonjolkan sebagai daya tarik karena dipercaya meningkatkan citra pendidikan tinggi sebagai institusi berkualitas internasional dan tanggap terhadap perubahan ilmu pengetahuan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa persaingan antar PT menjadi semakin tinggi tidak hanya persaingan dengan PTN tetapi juga antar PTS di dalam negeri
bahkan juga persaingan dengan PT dari luar melalui program double degree atau program pertukaran mahasiswa. Oleh sebab itu setiap PT dituntut untuk tetap memastikan bahwa program yang disediakan telah disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja dan pelanggan (orientasi pada kualitas), meningkatkan inovasi sehingga lebih mampu bersaing, serta meningkatkan kemampuan adaptasi (agility) dan dapat bekerja dengan pihak lain. Keempat, sebagai pelanggan utama keberadaan masyarakat tentu memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan kelangsungan suatu pendidikan tinggi. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan arus globalisasi masyarakat saat ini semakin mudah mendapatkan informasi mengenai pendidikan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan mereka terutama melalui internet. Oleh sebab itu, pendidikan tinggi harus mengembangkan suatu strategi pemasaran yang semakin kreatif. Semakin banyak pendidikan tinggi (misalnya STIE Trisakti, STAN) melakukan strategi "menjemput bola" atau menjaring calon mahasiswa ke daerah-daerah target dimana seleksi dan tes masuk juga bisa dilakukan di kota yang dikunjungi, sehingga siswa tidak harus jauh-jauh meninggalkan kota asal untuk berburu pendidikan tinggi. Selain itu pendidikan tinggi (misalnya BINUS, Universitas Tarumanegara, STIE Perbanas) juga menyelenggarakan lomba-lomba antar siswa siswi SMU seperti Economic & Accounting Competition, lomba pidato, debat dalam bahasa Inggris, dance dll. Untuk strategi jangka panjang berupa program menjalin relasi dan kerjasama dengan SMA. Program kerjasama ini diharapkan bisa menanamkan brand awareness di kalangan guru dan siswa SMA dan membuat mereka mengingat pendidikan tinggi itu untuk dipilih di kemudian. Namun keberhasilan dari strategi ini pada akhirnya akan ditentukan oleh pilihan akhir dari masyarakat sebagai konsumen utama dunia atau industri pendidikan tinggi.
5
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan PT dituntut untuk meningkatkan fokusnya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan informasi yang mereka dapatkan terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan globalisasi (orien-
tasi pada hasil), agresif, dan mampu mengadaptasi dan mengimplementasikan strategi baru (agility) dalam bersaing dengan institusi sejenis. Sesuai dengan hasil pembahasan di atas, tantangan umum pendidikan tinggi dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Tantangan Umum Perguruan Tinggi No 1.
Kriteria
Tantangan
Kebijakan pemerintah
Berdasarkan program yang disusun oleh Depdiknas diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tantangan bagi perguruan tinggi adalah: -Meningkatkan inovasi melalui perluasan standar, jumlah dan mutu jurusan dan kurikulum (poin 2, 3, 4, dan 5) -Lebih berorientasi pada hasil (poin 1, 2, 8 dan 9) -Beorientasi pada pengembangan kompetensi SDM (poin 6 dan 7) -Mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan (poin 1, 2, 7 dan 8)
2.
Perkembangan teknologi
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan teknologi merupakan tantangan bagi PT karena dengan perkembangan ini PT dituntut untuk lebih meningkatkan inovasi, kompetensi SDM (orientasi pada manusia), serta keluaran yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan pelanggan (orientasi pada hasil).
3.
Perkembangan ilmu pengetahuan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa persaingan antar PT menjadi semakin tinggi tidak hanya persaingan dengan PTN tetapi juga antar PTS di dalam negeri bahkan juga persaingan dengan PT dari luar melalui program double degree atau program pertukaran mahasiswa. Oleh sebab itu setiap PT dituntut untuk tetap memastikan bahwa program yang disediakan telah disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja dan pelanggan (orientasi pada kualitas), meningkatkan inovasi sehingga lebih mampu bersaing, serta meningkatkan kemampuan adaptasi (agility) dan dapat bekerja dengan pihak lain.
4.
Tuntutan pelanggan
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan PT dituntut untuk meningkatkan fokusnya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan informasi yang mereka dapatkan terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan globalisasi (orientasi pada hasil), agresif, dan mampu mengadaptasi dan mengimplementasikan strategi baru (agility) dalam bersaing dengan institusi sejenis.
6
TANTANGAN KHUSUS PERGURUAN TINGGI Perubahan era global yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang penuh dengan tantangan persaingan, cepat atau lambat pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas Perguruan Tinggi selaku lembaga pendidikan yang harus menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan. Maka, sebagai bagian dari pendidikan tinggi nasional Perguruan Tinggi berhadapan dengan tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pengelolaan kelembagaan, dan perluasan kapasitasnya. Berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, UndangUndang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, perkembangan pendidikan tinggi paling mencakup pengembangan aspek struktural, kultural, substansi layanan, dan SDM (Orasi Ilmiah PB PGRI, 2007). Pertama, dalam aspek struktur tantangan yang dihadapi Perguruan Tinggi adalah bagaimana mengkaji struktur kelembagaan menjadi suatu struktur yang responsif bagi perubahan tuntutan internal maupun eksternal. Termasuk di dalamnya bagaimana mengkaji hubungan struktural dan fungsional antar lembaga atau divisional, hubungan dengan pihak Yayasan, hubungan dengan pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional/ Dinas Pendidikan serta hubungan dengan pihak-pihak terkait lainnya sehingga diperoleh satu struktur yang menunjang eksistensinya. Berdasarkan hasil observasi dan diskusi dengan beberapa dosen dan karyawan hubungan antar elemen di lingkungan internal Perguruan Tinggi saat ini masih perlu untuk dibenahi. Hal ini terjadi karena rasa saling percaya belum tumbuh. Oleh karena itu, tantangan bagi Perguruan Tinggi untuk menciptakan suatu struktur yang dapat memandang sivitas akademika sebagai manusia dan bukan mesin produksi. Tantangan itu mencakup bagaimana memben-
tuk hubungan informal antar sesama anggota Perguruan Tinggi menjadi suatu unsur yang penting, tanpa mengabaikan prosedur rasional yang telah disepakati. Bagaimana menciptakan semangat kebersamaan, kolegalitas, atau silaturahmi antar semua elemen sebagai perekat merupakan tujuan dari pengembangan aspek struktural bagi Perguruan Tinggi. Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya meningkatkan semangat kebersamaan dan kolegalitas serta upaya untuk menciptakan hubungan kerja baik formal maupun informal yang lebih baik di antara elemen internal Perguruan Tinggi, maka pembenahan atau kajian terhadap aspek struktural merupakan suatu hal yang penting. Kedua, menurut ketua umum PB PGRI dalam orasi ilmiahnya pada Dies Natalis ke 45 Universitas PGRI Yogyakarta (2007) dalam aspek pengembangan kultural perlu dilakukan pola-pola budaya yang sedemikian rupa sehingga dapat menunjang berkembangnya lembaga pendidikan tinggi yang bercorak khas sebagai cerminan jatidiri, visi, misi dan strategi Perguruan Tinggi. Budaya birokratis dan feodal harus bergeser ke budaya “pedagogis” yang demokratis dalam suasana nilai-nilai kebersamaan. Budaya komunikasi satu arah yang “top down” harus digeser menjadi budaya komunikasi dua arah dan “bottom up”, Budaya pengaturan yang sentrarlistik ke budaya pemberdayaan dan desentralistik yang otonom. Berdasarkan penjelasan aspek kultural tersebut dapat dikatakan bahwa Perguruan Tinggi merupakan suatu aktualisasi kultur pendidikan, sehingga paradigma pendidikan harus menjadi landasan utama dalam perwujudan kinerjanya melalui aktualisasi tridharma pendidikan tinggi. Ketiga, dari perspektif substansi layanan Lovelock (2006) mengidentifikasi enam karakteristik yang melekat pada sebuah institusi PT. Sebagai suatu institusi PT, Perguruan Tinggi juga ditantang untuk menciptakan layanan tingkat tinggi sesuai dengan karakteristik tersebut, yaitu (1) the nature of the service act, 7
tantangan disini adalah bagaimana menciptakan suatu sistem pelayanan yang lebih mengarah kepada hal yang bersifat intangible – people based – daripada hal-hal yang bersifat fisik – equipment based; (2) The relationship with the customer, Perguruan Tinggi ditantang untuk menciptakan layanan pendidikan dengan melibatkan hubungan konsumen yang berlangsung lama dan bersifat formal serta dilakukan terus-menerus (continuous). Mahasiswa sebagai konsumen mempunyai hubungan ”keanggotaan” (”membership” relationship) dengan pihak pendidikan tinggi. Hal ini memungkinkan terbentuknya loyalitas konsumen yang tinggi (pihak mahasiswa) dan peningkatan kualitas layanan terhadap konsumen (pihak Perguruan Tinggi); (3) The level of customization and jugdement in service delivery, Perguruan Tinggi ditantang untuk menciptakan suatu sistem kustomisasi pendidikan yang inovatif. Semakin terkustomisasinya layanan yang ditawarkan menjadikan konsumen memiliki tingkat pengharapan yang tinggi terhadap kualitas layanan, terutama terkait dengan kualitas staf pengajar; (4) Sistem pengembangan program studi baru dan fokus pada pengembangan program studi yang sudah ada merupakan tantangan Perguruan Tinggi selanjutnya karena terkait dengan adanya permintaan konsumen; (5) The method of service delivery, Metode pelayanan tergantung pada outlet layanan (single atau multiple) dan sifat interaksi antara konsumen dengan penyedia jasa. Perguruan Tinggi ditantang untuk mengembangkan suatu sistem dimana konsumen atau mahasiswa tidak harus datang ke kampus untuk urusan yang terkait dengan administrasi; (6) Sistem penjaminan mutu proses, Perguruan Tinggi harus menciptakan suatu sistem dimana mutu proses yang dikembangkan mendapat jaminan dan bagaimana menciptakan sistem ini menjadi sebuah kesadaran bersama. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan suatu organisasi yang dapat berkembang dengan
baik, maka Perguruan Tinggi sebagai suatu institusi PT harus mampu menyediakan sistem pelayanan yang mampu menghasilkan kualitas terbaik bagi pelanggannya. Keempat, dalam rangka menciptakan suatu lingkungan organisasi yang sehat, peran serta SDM sangat penting dalam menciptakan suatu budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan pelaksanaan operasional organisasi. Pengembangan leadership, kompetensi dan kualitas SDM menjadi tantangan bagi Perguruan Tinggi. Dalam hal ini Perguruan Tinggi ditantang untuk menyiapkan leader atau pemimpin yang mampu menjadi panutan bagi setiap anggota di organisasi sehingga dapat bekerja secara bersama untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Pengembangan tenaga pengajar yang berpendidikan tinggi, kreatif dan inovatif, dan mampu untuk mandiri, baik dalam menerapkan, memelihara, mengembangkan, dan melakukan pendalaman serta mengintegrasikan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian juga merupakan tantangan bagi Perguruan Tinggi dalam upaya menghadapi perubahan lingkungan eksternal. Pengembangan kompetensi dan kualitas karyawan juga merupakan tantangan bagi Perguruan Tinggi terutama dalam memberikan layanan tingkat tinggi bagi konsumen Perguruan Tinggi. Satu hal yang tidak kalah pentingnya bagi Perguruan Tinggi adalah bagaimana menciptakan suatu Sistem Manajemen SDM yang akan mengatur seluruh ruang lingkup pelaksanaan aktivitas dalam tubuh organisasi dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan bersama-sama. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan kualitas SDM dan sistem manajemen SDM merupakan salah satu tantangan bagi Perguruan Tinggi dalam upaya meningkatkan kualitas keluaran yang akan dihasilkan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tantangan khusus Perguruan Tinggi dapat disimpulkan pada Tabel 2 di bawah ini.
8
Tabel 2 Tantangan khusus Perguruan Tinggi No.
Kriteria
Tantangan
1.
Aspek struktural
Menciptakan struktur yang responsif
2.
Aspek kultural
Menciptaan budaya yang menjadi jatidiri Pendidikan Tinggi
3.
Aspek layanan
Menciptakan layanan tingkat tinggi sesuai dengan kebutuhan pelanggan
4.
SDM
Mengembangan SDM dan sistem manajemen SDM yang baik
PENUTUP Budaya organisasi perguruan tinggi merupakan pemahaman bersama dari semua komponen perguruan tinggi yang membentuk respon mereka terhadap tuntutan lingkungan eksternal dan permintaan lingkungan internal. Budaya organisasi di perguruan tinggi dapat meningkatkan keunggulan kompetitif yang strategis bagi kinerja organisasi serta memiliki keunikan secara strategis sesuai dengan kondisi organisasi dan tidak mudah untuk diduplikasi. Budaya organisasi di perguruan tinggi haruslah tercermin dalam: (1) Visi, misi dan strategis, (2) Struktur Organisasi, (3) Sistem Manajemen SDM, (4) Sistem Komunikasi, (5) Pemimpin dan (6) Sistem Pendukung kerja lainnya yang terkait dengan pelanggan, stakeholders dan pihak terkait lainnya. Institusi pendidikan merupakan institusi yang cukup rumit karena menghadapi tantang-
an baik secara sosial maupun politik diantaranya tantangan yang bersifat strategis mulai dari kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan nasional pada umumnya dan Pendidikan Tinggi pada khususnya, menguatnya arus globalisasi, pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta adanya perubahan tuntutan masyarakat sebagai pelanggan utama. Tantangan tersebut pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap kualitas Pendidikan Tinggi selaku lembaga pendidikan yang harus menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki keuanggulan dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pengelolaan kelembagaan, dan perluasan kapasitas Perguruan Tinggi diberbagai macam aspek diantaranya aspek struktural, kultural, layananan maupun pengembangan kualitas dan sistem SDM.
REFERENSI: Davis, S.M. 1984. Managing Corporate Culture. Ballinger, Cambridge-Massachusetts. Deal, T.E., dan Kennedy, A.A. 1982. Corporate Culture: The Rites and Rituals of Corporate Life Reading. Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company, Inc. Djanali, Supeno. 2005. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Freed, Jann E., et al., 1997. A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education”. ERIC Digest. Graves, D. 1986. Corporate Culture Diagnosis and Change: Auditing and Changing the Culture Organizations. London: Frances Pinter (Publisher) Limited.
9
Handy, C.B., 1985. Understanding Organizations, 3rd Ed. Harmondsworth: Penguin Books. Hofstede, G., 1980. Culture’s Consequences. International Differences in Work Related Values. Beverly Hills, C.A: Sage Publications. John P. Kotter dan James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 222/U Tahun 1998 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Luthan, Fred. 1998. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill, Inc. Moeljono, Djokosantoso. Dr., 2005. Cultured! Budaya Organisasi dalam Tantangan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi. Schein, Edgar H., 1985. Organizational Culture & Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass. Undang-undang Repbulik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
10