PENINGKATAN KUALITAS DOSEN (PENDEKATAN AKADEMIS) *) Oleh: DR. SUPRIYOKO, M.PD:
A. PENGANTAR Kemajuan dalam sistem pembinaan pendidikan tinggi di Indonesia telah dapat direalisasikan, meskipun belum sampai titik optimal; hal ini ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No:30/1990 sebagai penjabaran operasional dari Undang-Undang RI No:2/1989 tentang Sis-tem Pendidikan Nasional. Butir terpenting yang terkandung dalam PP No:30/ 1990 adalah dihilangkannya garis dikhotomi antara pergu-ruan tinggi negeri (PTN) yang diselenggarakan langsung o leh pemerintah dengan perguruan tinggi swasta (PTS) yang diselenggarakan langsung oleh masyarakat. PP No:30/1990 ini sekaligus mendekatkan realisasi dari cita-cita pola tunggal PTN-PTS yang pernah diletupkan sejak tahun 70-an. Pada sisi yang lain hilangnya garis dikhotomi ini secara otomatis membawa konsekuensi diberlaku-samakannya berba-gai ketentuan dan aturan antara PTN dengan PTS; misalnya saja dalam hal penyusunan kurikulum, penilaian hasil be-lajar, kebebasan akademik, otonomi keilmuan, sampai pada masalah akreditasi perguruan tinggi. ________________ *) Disampaikan dalam Temu Ilmiah Dosen Tetap Yayasan Kelompok Akademi/Politeknik/Sek-Ting/Institut Rayon I Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah Semarang, 31 Agustus 1991 Meskipun berbagai ketentuan yang terkandung dalam PP tersebut sampai saat ini belum sepenuhnya dapat dilak sanakan, misalnya saja dalam soal akreditasi, akan teta-pi keluarnya PP tersebut merupakan moment penting untuk mengawali berlakunya sistem dan mekanisme pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia pada taraf yang lebih ba-ik dan lebih mantap.
B. TIGA ISU BESAR Dikeluarkannya PP tentang pendidikan tinggi, mes-kipun pelaksanaan berbagai ketentuannya belum maksimal, ternyata telah menimbulkan tiga isu besar yang akhir-akhir ini banyak memunculkan opini masyarakat, khususnya masyarakat kalangan perguruan tinggi. Adapun tiga isu be sar yang dimaksudkan adalah sebagai berikut.
1. Otonomi keuangan pada PTN 2. "Loncatan" guru besar ke PTS 3. Akreditasi PTN Berbeda dengan PTS yang selama ini memiliki oto-nomi penuh di dalam hal keuangan maka PTN lebih bersifat "disusui" oleh pemerintah. Besar kecilnya dukungan dana untuk memutar roda-roda akademik pada PTN sangatlah ter-gantung pada "susu" yang disediakan oleh pemerintah; ini berarti bahwa alokasi dana pendidikan yang tertuang da-lam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara langsung akan ikut menentukan perikehidupan akademik PTN. Minimnya dana pendidikan dalam APBN dapat diartikan seba gai "terancamnya" perikehidupan akademik pada PTN, mes-kipun hal ini masih disertai dengan berbagai catatan-ca-tatan khusus. Keadaan tersebut dapat diperbaiki oleh PP No:30/ 1990. Pasal 112 memberikan otonomi dalam bidang keuangan bagi PTN maupun PTS yang mencakup kewenangan perguruan tinggi untuk menerima, menyimpan, serta menggunakan dana yang berasal secara langsung dari masyarakat (ayat 1). Sementara itu pasal sebelumnya, Pasal 111, secara tegas menyebutkan bahwa untuk membiayai penyelenggaraan pergu-ruan tinggi dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu pemerintah, masyarakat dan pihak luar negeri (ayat 1). Jenis-jenis dana yang dapat dijaring dari masya-rakat pun diungkap secara terinci oleh PP; dan itu semua berlaku baik bagi PTS maupun PTN. Bagi PTS adanya otono-mi semacam itu memang bukan hal baru, akan tetapi bagi PTN memang merupakan hal yang belum membiasa. Oleh kare-nanya wajarlah kemudian muncul isu mengenai otonomisasi keuangan pada PTN. Dalam kadar tertentu otonomi semacam itu memang dapat diterima oleh PTN, akan tetapi tidaklah bersifat mutlak sebagaimana yang dimiliki PTS. Pasal 113 dan Pasal 114 tetap mengikat PTN untuk mengelola sumber keuangannya berdasarkan ketentuan yang berlaku. Isu besar kedua menyangkut gejala "loncatan" para (mantan) guru besar atau profesor ke PTS. Akhir-akhir i-ni relatif banyak guru besar yang begitu memasuki masa purna bhakti pada PTN terus "hengkang" ke PTS; beberapa di antaranya justru telah "diijon" oleh PTS jauh hari se belum masa purna tugas datang. Di dalam kasus ini secara empiris banyak guru besar yang menerima tawaran "ijonan" dari beberapa PTS sekaligus menjelang masa purna bhakti-nya pada PTN habis. Secara kelakar bisa dikatakan itulah "surga dunia" bagi para guru besar. Kepindahan para guru besar ke PTS memang sah dan wajar-wajar saja oleh karena dengan dihilangkannya garis dikhotomi PTN dan PTS oleh PP No:30/1990 maka peristiwa seperti itu tidak akan menurunkan kredibilitas para guru besar itu sendiri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gejala "loncatan" guru besar ke PTS; antara lain (1) mem pertahankan jabatan akademis yang disandangnya, (2) mem-perkuat barisan PTS tidak akan mengganggu kredibilitas akademik dan keilmuannya, (3) adanya "udara" baru yang dapat digunakan untuk refreshing psikologis, (4) lebih berifat fungsional, dan (5) mendapatkan "counter presta-si" finansial relatif lebih tinggi daripada yang didapat sewaktu di PTN. Lima faktor inilah yang mendorong muncul nya gejala "loncatan" profesor ke PTS. Keadaan tersebut di atas sebenarnya sangat wajar, akan tetapi bagi PTN yang hanya
mempunyai guru besar da-lam jumlah relatif sedikit dengan usia kelompok "glamur" (golongan lanjut umur) maka hal tersebut merupakan "an-caman" tersendiri. Klarifikasinya: pada saat para guru memasuki masa purna bhakti dalam periode yang hampir ber samaan maka secara hampir bersamaan pula mereka berpin-dah tempat ke PTS. Akibatnya PTN itu sendiri akan keha-bisan guru besar, sedangkan beberapa PTS tertentu yang sanggup menerima kepindahan guru besar dengan segala kon sekuensinya akan makin kaya guru besar. Dalam kasus tersebut maka trend peningkatan kuali tas lembaga PTS akan lebih mudah diikuti. Secara empirik jabatan guru besar berkaitan dengan peningkatan mutu dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga. Isu besar ketiga menyangkut akreditasi bagi PTN. Selama ini sistem akreditasi hanyalah menjangkau lembaga pendidikan tinggi swasta, alias PTS. Oleh karena sistem akreditasi berkaitan langsung dengan masalah kualitas lembaga maka sistem akreditasi yang hanya dikenakan pada PTS sering menimbulkan persepsi keliru di kalangan masya rakat; yaitu dianggap lebih rendahnya kualitas PTS seca-ra umum dibandingkan kualitas PTN. Pasal 121 PP No:30/1990 mengisyaratkan perlunya akreditasi dalam konteks pembinaan, pengawasan, dan efi-siensi perguruan tinggi bukan saja hanya ditujukan pada PTS, akan tetapi ditujukan bagi semua perguruan tinggi. Hal itu berarti bahwa PTN pun pada gilirannya akan diakreditasi sebagaimana dengan PTS. Masalahnya adalah se-jauh mana kesiapan PTN itu sendiri dalam menerima sistem akreditasi tersebut; pada sisi lain juga menyangkut kesi apan masyarakat dalam menerima hasil akreditasi itu sen-diri. Katakanlah misalnya hasil akreditasi PTN tertentu yang selama ini dipersepsikan baik ternyata justru tidak optimal; apakah dalam hal ini masyarakat sudah siap un-tuk menerima kenyataan dengan segala konsekuensinya. Hal-hal penting yang harus diperhatikan menyangkut akreditasi tersebut terutama menyangkut netralitas badan akreditasi sebagai "wakil" Mendikbud, terminologi status akreditasi yang sudah "basi" dan tidak membangun, serta timing akreditasi yang berkaitan langsung dengan kewiba-waan PP itu sendiri. Dengan keluarnya PP No:30/1990 maka sistem dan mekanisme akreditasi memang sudah sudah saat-nya ditinjau kembali, apabila perlu dirombak total untuk digantikan dengan sistem dan mekanisme akreditasi baru.
C. KUALITAS DOSEN Berbagai dampak (isu) yang timbul akibat dikeluar kannya PP tentang pendidikan tinggi tersebut sebenarnya mengarah pada terciptanya iklim kompetisi yang lebih o-bjektif dalam pengembangan pendidikan tinggi, antara PTN dengan PTS. Kalau kelak sistem akreditasi telah dilaksa-nakan maka masyarakat akan lebih fair menilai mana-mana PTN yang berkualitas dan tidak berkualitas dan mana-mana PTS yang berkualitas dan tidak berkualitas. Situasi seperti tersebut di atas merangsang para pengelola perguruan tinggi untuk bersaing secara sehat dalam upaya meningkatkan mutu lembaganya masing-masing. Diberikannya otonomi yang lebih besar pada PTN, ditarik-nya beberapa (mantan) profesor ke PTS, serta dibangunnya berbagai sarana dan fasilitas belajar tidak lepas dari kerangka tersebut. Sekarang ini para pengelola perguruan tinggi nampak lebih serius dalam mengelola dan mengem-bangkan lembaga yang dipimpinnya; itu semua mutlak perlu karena bagi lembaga yang tidak dapat
memanfaatkan iklim kompetisi sehat ini pasti akan "ambruk". Melimpahnya kan didat mahasiswa baru pada PTN dan PTS yang benar-benar bonafide serta menipisnya kandidat pada PTN dan PTS yang tidak bonafide merupakan indikator yang paling gampang untuk dicermati. Meskipun PP No:30/1990 membuka terciptanya iklim kompetisi yang sehat di antara lembaga-lembaga pendidik-an tinggi untuk meningkatkan kualitasnya akan tetapi ada hambatan yang masih ditemui; yaitu berkaitan dengan rela tif rendahnya kualitas dosen yang terdistribusi pada ma-sing-masing perguruan tinggi pada umumnya. Bila jabatan akademik yang disandang oleh seorang dosen dapat diangkat sebagai indikator kualitas maka se-cara umum kualitas dosen pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia dapat dinyatakan sebagai masih rendah. Secara kuantitatif jenjang jabatan dosen, baik di PTN maupun PTS, masih mengelompok pada jabatan terendah asisten dengan kewenangan akademis yang sangat terbatas. Data tahun akademik 1988/1989 menunjukkan formulasi sbb: dari sebanyak 35.923 dosen tetap PTN yang terdistribusi di seluruh Indonesia ternyata 48,5% di antaranya masih berjabatan asisten, baik asisten ahli madya maupun asis-ten ahli, 24,6% berjabatan lektor muda dan lektor madya, 14,1% berjabatan lektor, 10,9% berjabatan lektor kepala madya dan lektor kepala, dan hanya 1,9% yang berjabatan guru besar (Depdikbud, "Laporan Tahunan Direktorat Jen-deral Pendidikan Tinggi Tahun 1988/1989", 1989). Secara umum keadaan pada PTS lebih memprihatinkan lagi. Sebagai komparasi dapat disajikan data dosen DPK (dipekerjakan) di lingkungan Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta sbb: dari sebanyak 700 dosen negeri yang dipekerjakan pada 55 PTS di lingkungan Kopertis Wi-layah V ternyata 75,71% masih menduduki jabatan asisten, baik asisten ahli madya maupun asisten ahli, 17,14% ber-jabatan lektor muda, 5,29 berjabatan lektor madya, 1,14% berjabatan lektor, 0,43% berjabatan lektor madya, 0,29% berjabatan lektor kepala, dan tidak seorang pun yang mem punyai jabatan guru besar (data per Agustus 1991). Perbandingan kualitas dosen PTN secara nasional dengan dosen DPK di lingkungan Kopertis Wilayah V Yogya-karta disajikan dalam Grafik 1 berikut.
Indikator lain mengenai rendahnya kualitas dosen terdapat pada masih sedikitnya dosen yang mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan lanjutan, baik program S2, S3 maupun program spesialisasi. Sampai saat ini baru sekitar 25% dosen PTN yang telah mengikuti dan menyele-saikan program pendidikan lanjutan; sementara itu jumlah yang lebih rendah terdapat pada dosen PTS. Relatif rendahnya kuantitas dan kualitas peneli-tian yang dilaksanakan oleh para dosen PTN dan PTS juga merupakan indikator lain mengenai relatif rendahnya mutu dosen pada umumnya. Secara kuantitatif banyak dosen yang tidak pernah mengadakan penelitian secara rutin atau ter program, bahkan ada pula dosen yang sama sekali belum pernah melaksanakan penelitian secara individual. Secara kualitatif jarang didapatkan hasil penelitian dosen yang pantas dikelompokkan sebagai karya profesional; umumnya hasil penelitian dosen baru sampai pada taraf "passing grade line" saja. Tiga hal yang menyebabkan mutu penelitian dosen belum maksimal menyangkut masalah abilitas, motivasi dan orientasi. Realitanya sampai kini masih banyak dosen be-lum memiliki kemampuan meneliti (research ability) serta pengalaman meneliti (research experience) yang memadai, meskipun sering diberi "kehormatan" membimbing mahasiswa. Pada sisi yang lain banyak dosen yang dalam melaksanakan penelitian lebih bermotivasi mengejar "kum" atau kredit (credit oriented) berkaitan dengan pengurusan kenaikan jabatan akademis dan/atau pangkatnya. Sementara itu ba-nyak pula dosen yang cenderung melaksanakan penelitian internal, yaitu penelitian yang diadakan di dalam lemba-ganya sendiri (inhouse), meskipun materinya sesungguhnya kurang bersifat problem solving. Akumulasi tiga faktor ini menyebabkan mutu penelitian dosen tidak maksimal. Relatif rendahnya kualitas dosen pada umumnya ter sebut di atas secara langsung maupun tak langsung telah menimbulkan kendala dalam memajukan lembaga di tengah-te ngah iklim kompetisi yang makin sehat dan objektif. Hal ini berkesan antagonistik; iklim kompetisinya makin se-hat dan obejktif akan tetapi para dosennya belum siap. Oleh karena para dosen dan pengurus lembaga menja di "prime mover" dalam upaya memajukan perguruan tinggi maka rendahnya kualitas harus segera diantisipasi, sebab apabila tidak maka perguruan tingginya akan makin sulit berkompetisi meningkatkan kualitas sekaligus menjaring simpati masyarakat. Dengan ungkapan lain adanya korelasi yang positif antara kualitas dosen dengan kualitas per-guruan tinggi maka peningkatan mutu dosen sangat diperlu kan dalam upaya meningkatkan mutu perguruan tinggi. D. ALTERNATIF SOLUSI Secara empirik terdapat banyak faktor yang menye-babkan rendahnya kualitas dosen; faktor-faktor tersebut dapat diidentifikasi sbb: (1) ratio dosen-mahasiswa yang belum seimbang, (2) rendahnya kualitas perguruan tinggi, (3) relatif banyaknya tugas-tugas nonakademik, (4) sedi-kitnya dosen yang mengikuti pendidikan lanjutan, dan (5) kurang bergairahnya sementara dosen dalam upaya mengem-bangkan diri. Ratio dosen-mahasiswa sampai saat ini belum seim-bang, dalam artian sangat sedikit dosen harus membimbing banyak mahasiswa. Data tahun 1988/1989 menunjukkan ratio dosenmahasiswa pada perguruan tinggi di Indonesia rata-rata adalah 1:23,6, artinya setiap dosen rata-
rata harus membimbing 23 atau 24 mahasiswa sekaligus. Ratio dosen- mahasiswa pada PTN memang relatif memadai, yaitu 1:13,9, akan tetapi ratio dosen-mahasiswa pada PTS angkanya ma-sih jauh dari memuaskan, yaitu 1:38,5. Gejala disbalansi ratio dosen-mahasiswa ini mengakibatkan tersitanya waktu dan konsentrasi dosen pada masalah-masalah "kemahasiswaan", akibatnya kemudian adalah upaya untuk mengembangkan diri menjadi tersendat-sendat. Alternatif solusi terhadap masalah ini, khususnya bagi PTS, adalah memperbanyak jumlah dosen. Konsekuensi PTS sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dikelola lang sung oleh masyarakat dengan sifat kemandiriannya harus berani mengangkat dosen ("yayasan") di dalam jumlah yang memadai, tidak semata-mata mengandalkan bantuan dari pe-merintah dalam bentuk bantuan dosen negeri yang dipeker-jakan (dpk) bagi lembaganya. Rendahnya kualitas perguruan tinggi juga bersifat resiprokal terhadap kualitas dosen. Dari 40-an PTN yang terdistribusi di seluruh wilayah Indonesia ternyata be-lum mampu menunjukkan keseragaman dalam hal kualitas, di sisi yang lain dari 900-an PTS ternyata mayoritas masih berada dalam mutu yang belum memuaskan. Bila status akre ditasi dapat dijadikan indikator kualitas maka sekitar 85% dari keseluruhan PTS di Indonesia masih berstatuskan terdaftar. Sementara itu perbandingan kualitas PTS ling-kungan Kopertis V Yogyakarta dengan Kopertis VI Jawa Te-ngah (Juli 1991) divisualisasi dalam Grafik 2 berikut.
Baik PTS di lingkungan Kopertis V maupun Kopertis VI mayoritas berstatus terdaftar (TDF). Dari 201 program studi yang dikembangkan oleh 55 PTS di DIY maka 143 di antaranya
berstatus TDF, dan dari 301 program studi yang dikembangkan oleh 67 PTS di Jateng maka 191 di antaranya berstatus TDF. Solusi terhadap kompleksitas problematika terse-but adalah meningkatkan kualitas lembaga dengan kualitas dosen secara bersama-sama. Hal-hal yang secara strategis menyangkut kualitas lembaga dan kualitas dosen harus men dapat prioritas; misalnya memperlancar kenaikan jabatan akademis dosen, kenaikan status akreditasi, manajemen te naga edukatif, dan sebagainya. Banyaknya tugas-tugas nonakademik bagi para dosen juga dapat menghambat peningkatan mutu. Hal ini dialami oleh dosen PTN dan dosen PTS secara bersama-sama, terle-bih lagi para dosen pada PTS "gurem". Contoh konkritnya: banyak dosen yang secara rutin harus menduduki berbagai jabatan struktural dan nonstruktural sekaligus, misalnya saja menjadi pejabat universitas/fakultas, pengurus KKN, pengurus PPL, panitya penerimaan mahasiswa baru, panitya dies natalis, panitya wisuda, tim pembangunan gedung ba-ru, tim peringatan hari besar, panitya rekreasi keluarga kampus, panitya ini-itu, dan sebagainya. Lebih dari itu masih dibebani tugastugas administratif, misalnya harus mengisi KRS, KHS, daftar ini-itu, dan sebagainya. Kegiat an semacam ini memang sangat "mulia" akan tetapi praktis akan mempengaruhi kelancaran peningkatan mutu akademik para dosen yang bersangkutan. Solusi terhadap masalah tersebut ialah dengan me-ngembalikan dosen kepada fungsi yang sebenarnya, yaitu sebagai pengemban tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) dalam pengertian yang semestinya. Jangan sekali-kali membebani tugas non-akademik secara berlebihan bagi para dosen apabila harus dibayar dengan pengorbanan mutu akademiknya. Relatif sedikitnya para dosen yang mengikuti pen-didikan lanjutan secara tidak langsung kurang mendukung pengembangan kualitas. Terciptanya iklim akademik pada setiap sudut kampus menjadi kurang terangsang; akibatnya bisa menimbulkan fenomena stagnasi di dalam pengembangan ilmu dan teknologi, juga dalam hal pengembangan diri pa-ra dosen. Untuk menetralisasi hal ini maka pimpinan per-guruan tinggi harus memberi kemudahan bagi para dosennya yang akan mengembangkan potensi akademiknya; misalnya dengan mendorong dosen untuk melanjutkan studi, mengada-kan berbagai forum diskusi dan ilmiah, dan sebagainya. Dimensi lain yang cukup memprihatinkan adalah ma-sih adanya sementara dosen yang memang kurang mempunyai gairah untuk mengembangkan diri. Hal ini memang bukan se kedar masalah akademis saja, akan tetapi lebih merupakan masalah kultural; oleh karena itu solusinya pun juga ha-rus bersifat kultural, yaitu dengan menciptakan keadaan tertentu yang secara kondusif dapat menghantarkan peru-bahan sikap dan minat. Adapun kegiatan operasionalnya ha rus disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat dosen tersebut mengabdikan diri.
KEPUSTAKAAN: Depdikbud. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal PendidikJakarta: Ditjen Dikti, 1989
an Tinggi Tahun 1988/1989.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun Tinggi. Jakarta: C.V. Eko jaya, 1990
1990 tentang Pendidikan
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia NoSistem Pendidikan Nasional. Jakarta: C.V. Ekojaya, 1989
mor 2 Tahun 1989 tentang
Supriyoko. Analisis Komparatif PTS Kita : Kasus di DIY Kedaulatan Rakyat, 28 Juni 1991
dan Jawa Tengah. Yogyakarta:
Supriyoko. Kualitas Penelitian Dosen. Surabaya: Surabaya
Post, 1 Agustus 1991
Supriyoko. Mutu PTS di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2 Ju-
li 1991
Supriyoko. Netralitas dalam Mengakreditasi PTN. Jakarta: 1991
Media Indonesia, 23 Agustus
Supriyoko. Rendahnya Mutu Penelitian Dosen. Yogyakarta: Supriyoko. Seni Menggaet Profesor. Denpasar: Bali Post, Supriyoko. Tugas Perguruan Tinggi : Kembangkan Abilitas MM Depdikbud, 1985
Berita Nasional, 17 Juni 1991 13 Agustus 1991 dan Personalitas. Jakarta: