Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
PENINGKATAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU MELALUI LESSON STUDY BERBASIS PENELITIAN TINDAKAN KELAS Trimo Guru Sekolah Dasar Negeri 1 Magelung Kendal Abstrak Guru memegang peranan dan tanggung jawab penuh atas ketercapaian tujuan pembelajaran dan menjalin hubungan emosional yang bermakna selama proses penyerapan nilai-nilai dari lingkungan. Guru dituntut menguasai kompetensi secara holistik yang mencakupi kompetensi pedagogik, kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Peningkatan kompetensi khususnya kompetesi profesional menyelenggarakan
dilakukan secara
pendidikan
yang
sistematis
multimakna
dan berkelanjutan agar
guru
yang
pembudayaan,
berorientasi
pada
mampu
pemberdayaan, pembentukan akhlak mulia, budi perkerti luhur, dan watak, kepribadian, atau karakter unggul, serta berbagai kecakapan hidup (life skills). Paradigma ini memperlakukan, memfasilitasi, dan mendorong peserta didik menjadi subjek pembelajar mandiri yang bertanggung jawab, kreatif, inovatif, sportif, dan berkewirausahaan. Salah satu alternatif untuk merealisasikan maksud luhur tersebut dimulai dari evaluasi diri guru untuk menemukan permasalahan dan sekaligus alternatif pemecahannya melalui aktivitas lesson study berbasis penelitian tindakan kelas. Guru melakukan aktivitas merencanakan, melaksanakan, mengobervasi, dan merefleksi secara kolaboratif dan berkelanjutan. Proses lesson study berbasis penelitian tindakan kelas bertujuan agar guru mampu melakuan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Kulminasi proses
lesson study berbasis penelitian tindakan kelas bermuara pada
peningkatan kompetensi profesional guru yang berorientasi pada student centered. Kata-kata kunci: kompetensi profesional, lesson study, PTK
Pengantar Berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan, tidak terlepas dari peningkatan kualitas profesional guru. Faktor guru memegang peranan yang paling menentukan bagi keberhasilan siswa. Guru yang profesional menurut Sahertian (2000:30) memiliki ciri-ciri antara lain: (a) ahli dalam mengajar dan mendidik, (b) memiliki rasa tanggungjawab terhadap tugasnya, (c) memiliki rasa kesejawatan
193
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
sehingga ada rasa aman dan perlindungan jabatan. Kualitas guru berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki guru. Menurut UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 dinyatakan bahwa guru memiliki kompetensi yang mencakupi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sejalan dengan tugas utama guru di atas, Peraturan Mendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru disebutkan bahwa guru menguasai materi, struktur,
konsep, dan pola pikir keilmuan yang
mendukung mata pelajaran yang diampu. Di samping itu, guru perlu memahami standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran dari mata pelajaran yang diampu. Mengingat peran guru sangat strategis dalam kegiatan belajar mengajar, maka upaya peningkatan kualitas guru merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara terus menerus. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, pemerintah telah menempuh berbagai cara meningkatkan kualitas guru melalui peningkatan jenjang pendidikan, penyediaan sarana dan prasarana, penyediaan anggaran yang memadai, penyempurnaan dan perbaikan kurikulum secara terus menerus, memperbaiki kesejahteraan guru, memperbaiki sistem pembinaan guru, dan sebagainya. Sayangnya usaha dari pemerintah ini kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan mutu guru, apalagi pengembangan sumber daya manusia. United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2009 melaporkan Human Development Index. Dari 182 negara yang diteliti, Indonesia berada pada peringkat ke-111. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawazan Asia, HDI dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1: Perbandingan Peringkat HDI 2009 Negara Asia Country Japan Singapore Hongkong Korea Brunai
Life expectancy (years) 82,7 80.2 82,2 79,2 77,0
Adult Literacy rate (%)
94,9
Gross enrolment ratio (%) 86,6 94,4 74,4 98,5 77,7
GDP per Capita (PPP US$) 33,632 49,704 42,306 24,801 50,200
HDI Rank 10 23 24 26 30 194
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
Malaysia Thailand China Philippines Indonesia Vietnam India Cambodia Myanmar
74.1 68.7 72,9 71.6 70,5 74.3 63,4 60,6 61.2
91,9 94,1 93,9 93.4 92,0 90,3 66,0 76,3 89,9
ISBN :
71.5 78 68,7 79,6 68,2 62.3 61,0 58,5 56.3
13,518 8,135 5,383 3,406 3,712 2,600 2,753 1,802 904
66 87 92 105 111 116 134 137 138 (UNDP, 2009)
Berdasar pada tabel di atas, posisi Indonesia sangat memprihatinkan. Jika dikaji mendalam, upaya peningkatan mutu pendidikan yang belum membuahkan hasil bersumber secara sistemik. Contohnya, peningkatan mutu pendidikan khususnya guru. Minimal ada dua hal yang menyebabkan pelatihan guru belum berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Pertama, pelatihan tidak berbasis pada permasalahan nyata di dalam kelas. Materi pelatihan yang sama disampaikan kepada semua guru tanpa mengenal daerah asal. Padahal kondisi sekolah di suatu daerah belum tentu sama dengan sekolah di daerah lain. Kadang-kadang pelatih menggunakan sumber dari literatur asing tanpa melakukan ujicoba terlebih dahulu untuk kondisi di Indonesia. Kedua, hasil pelatihan hanya menjadi pengetahuan saja, tidak diterapkan pada pembelajaran di kelas atau kalaupun diterapkan hanya sekali, dua kali dan selanjutnya kembali “seperti dulu lagi, back to basic”. Hal ini disebabkan tidak ada kegiatan monitoring pascapelatihan, apalagi kalau kepala sekolah tidak pernah menanyakan hasil pelatihan. Selain itu, kepala sekolah tidak memfasilitasi forum sharing pengalaman di antara guru-guru. Sadar akan hasil-hasil pendidikan yang belum memadai, maka banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan. Upaya-upaya tersebut,
adalah
melakukan
perubahan
atau
revisi
kurikulum
secara
berkesinambungan, program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Pusat Kegiatan Guru (PKG), program kemitraan antara sekolah dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, proyek peningkatan kualifikasi guru dan dosen, dan masih banyak program lain dilakukan untuk perbaikan hasil-hasil pendidikan tersebut. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan secara intensif, tetapi pengemasan pendidikan sering tidak sejalan dengan hakikat belajar dan pembelajaran.
195
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
Dengan kata lain, reformasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia masih belum seutuhnya memperhatikan konsepsi belajar dan pembelajaran. Reformasi pendidikan seyogyanya dimulai dari bagaimana siswa dan guru belajar dan bagaimana guru mengajar, bukan semata-mata pada hasil belajar (Brook & Brook, 1993). Podhorsky & Moore (2006) menyatakan, bahwa reformasi pendidikan hendaknya dimaknai sebagai upaya penciptaan program-program yang berfokus pada perbaikan praktik mengajar dan belajar, bukan semata-mata berfokus pada perancangan kelas dengan teacher proof curriculum. Dengan demikian, praktik-praktik pembelajaran benar-benar ditujukan untuk mengatasi kegagalan siswa belajar. Praktik-praktik pembelajaran hanya dapat diubah melalui pengujian terhadap cara-cara guru belajar dan mengajar serta menganalisis dampaknya terhadap perolehan belajar siswa. Agar hal ini terjadi, sekolah perlu menciptakan suatu proses yang mampu memfasilitasi para guru untuk melakukan kajian terhadap materi pembelajaran dan strategi-strategi mengajar secara sistematis, sehingga dapat memfasilitasi siswa untuk meningkatkan perolehan belajar. Guru seyogyanya mulai meninggalkan caracara rutinitas dalam pembelajaran, tetapi lebih menciptakan program-program pengembangan yang profesional. Upaya tersebut merupakan implikasi dari reformasi pendidikan dengan tujuan agar mampu mencapai peningkatan perolehan belajar siswa secara memadai. Program-program pengembangan profesi guru tersebut membutuhkan fasilitas yang dapat memberi peluang kepada mereka learning how to learn dan to learn about teaching. Fasilitas yang dimaksud, misalnya lesson study (kaji pembelajaran). Lesson Study (LS) atau Kaji Pembelajaran adalah suatu pendekatan peningkatan pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Di Indonesia, LS telah diterapkan di tiga daerah (Malang, Yogyakarta, dan Bandung) sejak tahun 2006 melalui skema Strengthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science (SISTTEMS) (Susilo, 2007). Untuk melakukan kaji pembelajaran secara cermat maka guru perlu melakukan refleksi diri sehingga apa yang direnungsarikan merupakan hal yang kontekstual. Salah alternatif yang dapat dilakukan guru adalah melakukan penelitian tindakan kelas yang merupakan penelitian yang bersifat reflektif dengan tujuan memperbaiki proses dan hasil pembelajaran.
196
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
Kompetensi Profesional Guru Pemaknaan kompetensi yang holistik merupakan condition sine qua non manakala guru hendak melakukan kaji pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dimiliki, dihayati, dan dikuasi oleh guru dlam melaksanakan tugas keprofesionalannya (UU Nomor 20 tahun 2003). Ditegaskan pula dalam pasal 10 UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen bahwa seorang guru perlu memiliki kompetensi pedagodik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik adalah kompetensi
yang terkait
dengan kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian guru yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Sedangkan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran luas dan mendalam. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru disebutkan bahwa guru perlu memiliki 4 (empat kompetensi) sebagai berikut: 1. Kompetensi pedagogik yang mencakup: (a) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (b) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (c) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (d) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (e) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (f) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, (g) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, (h) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (i) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan (j) melakukan tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. 2. Kompetensi kepribadian yang meliputi: (a) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, (b) menampilkan diri sebagai 197
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (c) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, (d) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, dan (e) menjunjung tinggi kode etik profesi guru 3. Kompetensi sosial yang meliputi: (a) bersikap inklusif, bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi, (b) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat, (c) beradaptasi di tempat bertugas, di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya, dan (d) berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. 4. Kompetensi profesional guru yang meliputi: (a) menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, (b) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, (c) mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, (d) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, dan (e) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Terkait dengan perlunya penguasaan kompetensi guru khususnya kompetensi profesional, pemerintah telah melalukan berbagai upaya peningkatan kualitas guru, antara lain melalui pelatihan, seminar, dan lokakarya, bahkan melalui pendidikan formal, dengan menyekolahkan guru pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun upaya tersebut paling tidak teah menghasilkan suatu kondisi yang menunjukkan bahwa sebagian besar guru memiliki ijazah perguruan tinggi. Dalam praktik pendidikan sehari-hari, masih dijumpai guru yang melakukan kesalahan-kesalahan dalam menunaikan tugas dan fungsinya. Kesalahan-kesalahan tersebut seringkali tidak disadari oleh para guru, bahkan masih banyak di antaranya menganggap hal yang wajar. Menurut Mulyasa (2005:20) sedikitnya ada tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran yakni: (a) mengambil jalan
198
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
pintas dalam pembelajaran, (b) menunggu peserta didik berperilaku negatif, (c) menggunakan destruktif disiplin, (d) mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik, (e) merasa diri paling pandai, (f) tidak adil (diskriminatif), dan (g) memaksa hak peserta didik. Perihal teori tentang guru profesional telah banyak dikemukakan oleh para pakar manajemen pendidikan, seperti Glickman (1981) bahwa guru profesional adalah guru yang mampu mengelooa dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Profesionalisasi guru oleh pakar tersebut dipandang sebagai satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan (ignorance) menjadi tahu, dari ketidakmatangan (immaturity) menjadi matang, dari diarahkan oleh orang lain (other-directedness) menjadi mengarahkan diri sendiri. Peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah mensyaratkan adanya guru-guru yang memiliki pengetahuan luas, kemagtangan, dan mampu menggerakkan dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah (Bafadal, 2004:5). Sedangkan Glickman (1981) menegaskan bahwa seorang akan bekerja secara profesional bilamana orang tersebut memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Maksudnya adalah seseorang akan bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya memenuhi salah satu di antara dua persyaratan di atas. Jadi, betapa pun tingginya kemampuan seseorang ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi. Sebaliknya, betapa pun tingginya motivasi kerja seseorang ia tidak akan sempurna dalam menyelesaikan tugas-tugasnya bilamana tidak didukung oleh kemampuan. Lebih lanjut menurut Glickman, sesuai dengan pemikiran di atas, seorang guru dapat dikatakan profesional bilamana memiliki kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi high level of commitment). Tingkat komitmen guru terbentang dalam satu garis kontinum, bergerak dari yang paling rendah menuju yang paling tinggi. Guru memiliki komitmen yang rendah biasanya kurang memberikan perhatian kepada siswa, demikian pula waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran pun sangat sedikit.
199
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
Sebaliknya, seorang guru yang memiliki komitmen tinggi biasanya tinggi sekali prhatiannya kepada siswa, demikian pula waktu yang sediakan untuk peningkatan mutu pendidikan sangat banyak. Sedangkan tingkat abstraksi yang dimaksudkan adalah tingkat kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, mengklarifikasi
masalah-masalah
pembelajaran,
dan
menentukan
alternatif
pemecahannya. Menurut Glickman (1981) guru yang memiliki tingkat abstraksi yang tinggi adalah guru yang mampu mengelola kelas, menemukan berbagai permasalahan dalam tugas, dan mampu secara mandiri memecahkannya. Perihal pentingnya profesionalisme guru, juga dipertegas dalam Renstra Depdiknas 2010-2014 bahwa memperlakukan peserta didik sebagai subjek merupakan penghargaan terhadap peserta didik sebagai manusia yang utuh. Peserta didik memiliki hak untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, dan kinestetik. Paradigma ini merupakan fondasi dari pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk berhasil sebagai pribadi yang mandiri (makhluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling berin teraksi dan mendukung satu sama lain (makhluk sosial) dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi (makhluk tuhan). Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional. Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni: 1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya. 2. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar. 4. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan
200
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa. 5. Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98). Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kredit Dalam konteks peningkatan kompetensi guru, pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang kenaikan pangkat guru melalui Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya tanggal 10 November 2009. Regulasi tersebut sebagai pengganti Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Munculnya regulasi tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan guru lantaran isi dari regulasi tersebut dirasa memberatkan. Salah satu butir perubahan terletak pada kegiatan yang dulu dinamakan pengembangan profesi kemudian berganti nama pengembangan keprofesian berkelanjutan, salah satunya publikasi ilmiah. Dulu, kewajiban menulis karya ilmiah hanya dipersyaratkan untuk guru golongan IVa ke atas. Namun, regulasi yang baru mensyaratkan penulisan karya ilmiah, dimulai dari golongan IIIb. Sungguh merupakan terobosan baru yang bermuara pada peningkatan kinerja guru. Dulu seorang guru dengan mudah naik pangkat dari golongan III sampai golongan IV dalam rentang waktu 2-2,5 tahun. Setelah sampai pada golongan IVa guru tersebut mentok karena tidak bisa naik ke IVb. Regulasi baru tersebut sudah barang tentu bermakud meningkatkan kompetensi guru dalam mengembangkan profesi, di antaranya menulis karya ilmiah. Terdapat berbagai perubahan mendasar dalam regulasi tersebut, di antaranya: 1. Unsur utama, terdiri atas: a. Pendidikan, meliputi: (1) pendidikan formal dan memperoleh gelar/ijazah; dan (2) pendidikan dan pelatihan (diklat) prajabatan dan memperoleh surat tanda tamat pendidikan dan pelatihan (STTPP) prajabatan atau sertifikat termasuk program induksi. b. Pembelajaran/bimbingan dan tugas tertentu, meliputi: (1) melaksanakan proses pembelajaran, bagi Guru Kelas dan Guru Mata Pelajaran; (2) melaksanakan 201
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
proses bimbingan, bagi Guru Bimbingan dan Konseling; dan (3) melaksanakan tugas lain yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah. c. Pengembangan keprofesian berkelanjutan, meliputi: (1) pengembangan diri (diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian guru), (2) publikasi Ilmiah (publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal; dan publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman guru), dan (3) karya Inovatif (menemukan teknologi tepat guna, menemukan/menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum, danmengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya). 2. Unsur penunjang tugas Guru, meliputi: a. memperoleh gelar/ijazah yang tidak sesuai dengan bidang yang diampunya; b. memperoleh penghargaan/tanda jasa; dan c. melaksanakan kegiatan yang mendukung tugas Guru, antara lain: (1) membimbing siswa dalam praktik kerja nyata/praktik industri/ekstrakurikuler dan sejenisnya, (2) menjadi organisasi profesi/kepramukaan, (3) menjadi tim penilai angka kredit; dan/atau (4) menjadi tutor/pelatih/instruktur. Perubahan lain terdapat pada jenjang jabatan fungsional guru dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, yaitu: Guru Pertama, Guru Muda, Guru Madya, dan Guru Utama. Jenjang pangkat Guru untuk setiap jenjang jabatan, yakni: 1. Guru Pertama (Penata Muda, golongan ruang III/a; dan Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b). 2. Guru Muda (Penata, golongan ruang III/c; dan Penata Tingkat I, golongan ruang III/d). 3. Guru Madya (Pembina, golongan ruang IV/a; Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b; dan Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c). 4. Guru Utama (Pembina Utama Madya, golongan ruang IV/d; dan Pembina Utama, golongan ruang IV/e). Pengembangan keprofesian berkelanjutan mensyaratkan guru untuk memenuhi angka kredit tertentu untuk kenaikan pangkat (pasal 17 Permenpan dan Reformasi Birokrasi No. 16 tahun 2009), seperti dalam tabel berikut: Tabel 2: Pemenuhan Angka Kredit Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
202
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
Golongan Ruang IIIa ke IIIb
Angka Kredit Unsur Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Pengembangan Publikasi Ilmiah dan/atau Diri Karya Inovatif 3 -
ISBN :
Ket. -
IIIb ke IIIc
3
4
-
IIIc ke IIId
3
6
-
IIId ke IVa
4
8
-
IVa ke IVb
4
12
-
IVb ke IVc
4
12
-
IVc ke IVd
5
14
Presentasi ilmiah
IVd ke IVe
5
20
Sebagai contoh: Guru Pertama, pangkat Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b yang akan naik jabatan/pangkat menjadi Guru Muda, pangkat Penata,golongan ruang III/c angka kredit yang dipersyaratkan untuk kenaikan jabatan/pangkat, paling sedikit 4 (empat) angka kredit dari sub unsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif, dan paling sedikit 3 (tiga) angka kredit dari sub unsur pengembangan diri. Lesson Study Berbasis PTK Lesson Study merupakan terjemahan dari bahasa Jepang jugyou (instruction = pengajaran, atau lesson = pembelajaran) dan kenkyuu (research = penelitian atau study = kajian). Lesson study, yang dalam bahasa Jepangnya jugyou kenkyuu, adalah sebuah pendekatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran di Jepang. Perbaikanperbaikan pembelajaran tersebut dilakukan melalui proses-proses kolaborasi antar para guru. Lewis (2002) mendeskripsikan lesson study adalah suatu proses yang kompleks, didukung oleh penataan tujuan secara kolaboratif, percermatan dalam pengumpulan data tentang belajar siswa, dan kesepakatan yang memberi peluang diskusi yang produktif tentang isu-isu yang sulit. Lesson Study (kaji
pembelajaran) menyediakan suatu proses untuk
berkolaborasi dan merancang lesson (pembelajaran) dan mengevaluasi kesuksesan strategi-strategi mengajar yang telah diterapkan sebagai upaya meningkatkan proses dan perolehan belajar siswa (Lewis, 2002; Lewis, et al., 2006). Dalam proses-proses lesson study tersebut, guru bekerja sama untuk merencanakan, mengajar, dan
203
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
mengamati suatu pembelajaran yang dikembangkannya secara kooperatif. Sementara itu, seorang guru mengimplementasikan pembelajaran dalam kelas, yang lain mengamati, dan mencatat pertanyaan dan pemahaman siswa. Penggunaan proses lesson study dengan program-program pengembangan yang profesional tersebut merupakan wahana untuk mengembalikan guru kepada budaya mengajar yang proporsional. Lesson Study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsipprinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lesson Study
dilaksanakan
dalam
tiga
tahapan
yaitu
Plan
(merencanakan),
Do
(melaksanakan), dan See (merefleksi) yang berkelanjutan. Dengan kata lain lesson study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang tak pernah berakhir (continous improvement). Peningkatan mutu pendidikan melalui lesson study dimulai dari tahap perencanaan (Plan) yang bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa dan berpusat pada siswa, bagaimana supaya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Perencanaan yang baik tidak dilakukan sendirian tetap dilakukan bersama, beberapa guru dapat berkolaborasi atau guru- guru dan dosen dapat pula berkolaborasi untuk memperkaya ide-ide. Langkah kedua dalam lesson study adalah pelaksanaan (Do) pembelajaran untuk
menerapkan
perencanaan.
Dalam
rancangan
pembelajaran
perencanaan
telah
yang telah
disepakati
siapa
dirumuskan guru
yang
dalam akan
mengimplementasikan pembelajaran dan sekolah yang akan menjadi tuan rumah. Langkah ini bertujuan untuk mengujicoba efektivitas model pembelajaran yang telah dirancang. Guru-guru lain dari sekolah yang bersangkutan atau dari sekolah lain bertindak sebagai pengamat (observer) pembelajaran. Juga dosen-dosen atau mahasiswa melakukan pengamatan dalam pembelajaran tersebut. Kepala sekolah terlibat dalam pengamatan pembelajaran dan memandu kegiatan ini. Sebelum pembelajaran dimulai sebaiknya dilakukann briefieng kepada para pengamat untuk menginformasikan kegiatan pembelajaran yang direncanakan oleh seorang guru dan mengingatkan bahwa selama pembelajaran berlangsung pengamat tidak mengganggu kegiatan pembelajaran tetapi mengamati aktivitas siswa selama
204
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
pembelajaran. Fokus pengamatan ditujukan pada interaksi siswa-siswa, siswa- bahan ajar, siswa-guru, dan siswa-lingkungan yang terkait dengan 4 (empat) kompetensi guru sesuai dengan UU No. 14 tentang guru dan dosen. Langkah ketiga dalam kegiatan lesson study adalah refleksi (See). Setelah selesai pembelajaran langsung dilakukan diskusi antara guru dan pengamat yang dipandu oleh kepala sekolah atau personel yang ditunjuk untuk membahas pembelajaran. Guru mengawali diskusi dengan menyampaikan kesan-kesan dalam melaksanakan pembelajaran. Selanjutnya pengamat diminta menyampaikan komentar dan lesson learnt dari pembelajaran terutama berkenaan dengan aktivitas siswa. Tentunya, kritik dan saran untuk guru disampaikan secara bijak demi perbaikan pembelajran. Sebaliknya, guru harus dapat menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan masukan dari diskusi ini dapat dirancang kembali pembelajaran berikutnya Jika dicermati secara mendalam, siklus plan-do-see dalam konteks lesson study erat kaitannya dengan konsep dasar penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang mengusung 4 (empat) prosedur yakni planning (perencanaan), acting (pelaksanaan), observing (pengamatan), dan reflecting (refleksi). Penelitian tindakan kelas merupakan kajian sistematik tentang upaya meningkatkan mutu praktik pendidikan oleh sekelompok masyarakat melalui tindakan praktis yang mereka lakukan dan merefleksi hasil tindakannya. Penelitian tindakan adalah studi yang dilakukan untuk memperbaiki diri sendiri, pengalaman kerja sendiri, tetapi dilaksanakan secara sistematis, terencana, dan dengan sikap mawas diri (Hopkins, 1993; Kemmis & McTaggart, 1988). PTK berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pembelajaran kelas. Di ruangan kelas, PTK dapat berfungsi sebagai (a) alat untuk mengatasi masalah-masalah yang didiagnosis dalam situasi pembelajaran di kelas; (b) alat pelatihan dalam-jabatan, membekali guru dengan keterampilan dan metode baru dan mendorong timbulnya kesadaran-diri, khususnya melalui pengajaran sejawat; (c) alat untuk memasukkan ke dalam sistem yang ada (secara alami)
pendekatan
tambahan atau inovatif; (d) alat untuk meningkatkan komunikasi yang biasanya buruk antara guru dan peneliti; (e) alat untuk menyediakan alternatif bagi pendekatan yang subjektif, impresionistik terhadap pemecahan masalah kelas (Cohen & Manion,1980:
205
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
211). Ada tiga butir penting yang perlu disebut di sini. Pertama, hasil penelitian tindakan dipakai sendiri oleh penelitinya, dan tentu saja oleh orang lain yang menginginkannya. Kedua, penelitiannya terjadi di dalam situasi nyata yang pemecahan masalahnya segera diperlukan, dan hasil-hasilnya langsung diterapkan/ dipraktikkan dalam situasi terkait. Ketiga, peneliti tindakan melakukan sendiri pengelolaan, penelitian, dan sekaligus pengembangan. Hal serupa juga dikatakan Lewis (2002) bahwa peluang yang dapat diperoleh oleh guru, apabila dia melaksanakan lesson study secara berkesinambungan sangat erat kaitannya dengan pengembangan profesionalisme guru, yaitu (1) memikirkan dengan cermat mengenai tujuan pembelajaran, materi pokok, dan bidang studi, (2) mengkaji dan mengembangkan pembelajaran yang terbaik yang dapat dikembangkan, (3) memperdalam pengetahuan mengenai materi pokok yang diajarkan, (4) memikirkan secara mendalam tujuan jangka panjang yang akan dicapai yang berkaitan dengan siswa, (5) merancang pembelajaran secara kolaboratif, (6) mengkaji secara cermat cara dan proses belajar serta tingkah laku siswa, (7) mengembangkan pengetahuan pedagogis yang kuat penuh daya, dan (8) melihat hasil pembelajaran sendiri melalui mata siswa dan kolega. Kelebihannya melaksanakan PTK seperti dikatakan Burns seperti dikutip Madya (2009) sebagai berikut. Proses penelitian kolaboratif memperkuat kesempatan bagi hasil penelitian tentang praktik pendidikan untuk diumpanbalikkan ke sistem pendidikan dengan cara yang lebih substansial dan kritis. Proses tersebut mendorong guru untuk berbagi masalah-masalah umum dan bekerja sama sebagai masyarakat penelitian untuk memeriksa asumsi, nilai dan keyakinan yang sedang mereka pegang dalam kultur sosio- politik lembaga tempat mereka bekerja. Proses kelompok dan tekanan kolektif
kemungkinan besar akan mendorong keterbukaan terhadap
perubahan kebijakan dan praktik. Penelitian tindakan kolaboratif secara potensial lebih memberdayakan daripada penelitian tindakan yang dilakukan secara individu karena menawarkan kerangka kerja yang mantab untuk perubahan keseluruhan. Selain itu, ada kelebihan lain dari PTK kolaboratif (Wallace dalam Madya, 2009): (1) kedalaman dan cakupan, yang artinya makin banyak orang terlibat dalam proyek penelitian tindakan, makin banyak data dapat dikumpulkan, apakah dalam hal kedalaman
(misalnya studi kasus kelas bahasa Inggris) atau dalam hal cakupan
206
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
(misalnya beberapa studi kasus suplementer; populasi yang lebih besar), atau dalam keduanya dan ini disebabkan makin banyak perspektif yang digunakan akan makin intensif pemeriksaan terhadap data atau makin luas cakupan persoalan dalam hal tim peneliti saling berkolaborasi dalam meneliti kelasnya masing-masing; (2) Validitas dan reliabilitas, yaitu keterlibatan orang lain akan mempermudah penyelidikan terhadap satu persoalan dari sudut yang berbeda, mungkin dengan menggunakan teknik penelitian yang berbeda (yaitu menggunakan trianggulasi); dan (3) Motivasi yang timbal lewat dinamika kelompok yang benar, di mana bekerja sebagai anggota tim lebih bersemangat daripada bekerja sendiri. Kelemahan yang sering terjadi dalam PTK kolaboratif terkait dengan sulitnya mencapai keharmonisan kerjasama antara orang-orang yang berlatar belakang yang berbeda. Hal ini dapat dipecahkan dengan membicarakan aturan-aturan dasar (Wallace dalam Madya, 2009). Terlepas dari kelemahan tersebut, melaksanakan PTK yang merupakan salah satu kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan merupakan conditio sine qua non yang harus dilaksanakan guru untuk kepentingan proses pembelajaran dalam konteks makro dan mikro. Proses lesson study berbasis PTK tentu akan membiasakan guru untuk melakukan kegiatan penelitian. Apalagi pemberlakuan regulasi Permenpan dan Reformasi Birokrasi No. 16 tahun 2009 merupakan “lampu hijau” bagi guru yang hendak mengembangtingkatkan kompetensi dan bisa menjadi “lampu merah” bagi guru yang belum mau belajar dan bangkit dari rutinitas yang kurang bermakna.
Simpulan Pembelajaran yang multimakna mensyaratkan guru untuk menguasai kompetensi secara holistik khususnya kompetensi professional yakni kemampuan penguasaan materi pelajaran luas dan mendalam. Oleh karena itu, guru perlu melakukan evaluasi dan refleksi diri atas proses pembelajaran yang dilakukan. Salah satu manifestasi dari proses evaluasi dan refleksi diri adalah menemukan permasalahan dan mengurainya dalam bentuk kegiatan penelitian tindakan kelas. Ide dasar penelitian tindakan kelas selaras dengan konsep lesson study yang bermuara pentingnya guru melakukan kajian pembelajaran yang multimakna secara
207
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
sistematis. Melalui aktivitas plan-do-see nya lesson study yang diperkuat dengan aktivitas planning, acting, observing, dan reflecting nya penelitian tindakan kelas tentu akan memberi nuansa tersendiri dalam meningkatkan kompetensi profesional guru. Mewujudkan kondisi ideal yang berakar pada peningkatan kompetensi professional guru melalui lesson study berbasis penelitian tindakan kelas bukanlah hal yang mudah lantaran mind set guru yang inovatif membutuhkan sentuhan dan pemikiran emas. “Setiap anak memiliki tambang emas kecerdasan, demikian pula penulis beranggapan bahwa “Setiap guru juga memiliki tambang emas kecerdasan”. Dengan demikian setiap guru perlu berlomba untuk menggali tambang emas tersebut dengan sentuhan emas dan pola pikir yang emas pula.
DAFTAR PUSTAKA Bafadal, Ibrahim. 2004. Peningkatan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Cohen, L & Manion, L. 1980. Research Methods in Education. London & Canberra: Croom Helm. Glickman. 1981. Developmental Supervision: Alternative Practices for Helping Teachers Improve Instruction. Washington. Association for Supervision and Curriculum Development. Hopkins, David. 1993. A. Teacher’s Guide to Classroom Research. Second Edition. Philadelphia: Open University Press.
208
Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Minggu, 17 Juli 2010
ISBN :
Kemmis, S & McTaggart, R. 1998. The Action Research Planner, Third Edition. Victoria: Deakin University. Lewis, C. 2002. Lesson Study: A Handbook of Teacher-led Instructional Change. Philadelphia: Research for Better Schools. Lewis, C., Perry, R., Hurd, J., & O’Connel, M. P. 2006. Teacher collaboration: Lesson study comes of age in North America. Tersedia pada http://www.Lessonresearch.net/LS_06Kappan.pdf. update pada tanggal 28 Agustus 2009. Madya, Suwarsih. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. www.ktionline.upadate 28 Agustus 2009. Mulyasa, Enco. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014 Sahertian. 2000. Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional. Susilo, H. 2006. Apa dan Mengapa Lesson Study Perlu Dilakukan untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Dosen MIPA. Makalah. Disajikan dalam Seminar Peningkatan Profesionalisme Guru dan Dosen MIPA melalui Lesson Study, di Singaraja, 25 November 2006. United Nations Development Programme (UNDP).2009. Human Development Index. www.undp.org. upadate 28 Agustus 2009. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
209