Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
PENINGGALAN ARKEOLOGI MASA AWAL HOLOSEN DI KAWASAN GUNUNG TUKUM LEMBAH BALIEM KABUPATEN JAYAWIJAYA Rini Maryone (Balai Arkeologi Jayapura) Papua is the eastern end of Indonesia, who inhabited the coastal areas to the mountains with abundant diversity of archaeological remains, both from the Pleistocene to the Holocene. From the research that has been conducted by the Institute for Archaeology Jayapura, the cultural remains of Pleistocene danholosen in the Mountains High. These sites include the area in the district of Mount Tukum Jayawijaya. Research in the area surrounding Mount Tukum and there are a number of archaeological remains in the form of natural cave site, location of cutting pork, pork burning locations and there are a number of artifacts that human bones, handheld axe Baliem types I, II, pelandas stone materials, stone axe makers of materials quartz sand, stone and granite grindstones. Based on the survey to review the components of the environment there is still a gap which still has not found a review of biological components (ecofak) that characterizes the end of life plestosen. But characterize some of the artifacts found at the pattern of human life during the Holocene. Keywords: Culture Holocene, Mount Tukum, Stone axe Pendahuluan Papua berada di ujung timur Nusantara, memiliki keragaman tinggalan arkeologis yang berlimpah, baik dari masa Pleistosen sampai Holosen. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Jayapura, mengenai tinggalan budaya Holosen di kawasan Pegunungan Tengah, ditemukan beberapa situs prasejarah di Gunung Tukum, Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Zaman Holosen adalah kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung mulai sekitar 10.000 tahun radio karbon atau kurang lebih 11.430 ± 130 tahun kalender yang lalu Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
1
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
(antara 9560 hingga 9300 SM). Holosen adalah kala keempat dan terakhir dari periode neogen. Namanya berasal dari bahasa Yunani ὅλος (“holos”) yang berarti keseluruhan dan καινή (“kai-ne”) yang berarti baru atau terakhir. Kala ini kadang disebut juga sebagai “Kala Alluvium”. Melihat kehidupan zaman Holosen, di wilayah Papua khususnya di daerah Pegunungan Tengah, Kabupaten Jayawijaya masih dapat kita jumpai dengan ditemukannya situs-situs yang bercirikan budaya Holosen. Untuk dapat mengetahui kehidupan yang bercirikan budaya holosen dengan cara merekontruksi kawasan Gunung Tukum dan wilayah sekitarnya. Merekonstruksi kawasan ini diperlukan data yang memenuhi komponen-komponen pokok yaitu komponen lingkungan (ekofak), komponen buatan (artefak), dan komponen sisa manusia (fosil hominid) (Soebroto, 2005). Salah satu komponen pokok yang penting yaitu komponen lingkungan, di sekitar Gunung Tukum, sehingga komponen - komponen lain seperti artefak akan terungkap. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Soejono (1994 : 24) dalam tulisannya “Prasejarah Irian Jaya”, pada buku Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Soejono mengatakan bahwa untuk mengetahui asal mula orang Papua, perlu mempelajari sejarahnya, mulai dari zaman prasejarah, dan yang terpenting adalah membuat rekonstruksi dari sejarah perkembangan kebudayaan zaman prasejarah dengan memakai bekas-bekas benda kebudayaan yang tertinggal dalam lapisan-lapisan bumi sebagai sumber keterangan yang diperoleh dengan metode penggalian. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah tinggalan arkeologis apa saja yang ditemukan di wilayah Gunung Tukum, Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya? dan bagaimana pola budaya kehidupan awal Holosen di wilayah Gunung Tukum, Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya? Kerangka Pemikiran yang digunakan dalam penulisan ini, dalam buku: Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis oleh Poesponegoro (1993 : 26-27). Dimana beliau mengatakan bahwa kehidupan awal Holosen, mencirikan kehidupan budaya dimana pada masa itu manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan hidup dengan cara yang sederhana dengan melakukan perburuan serta mengumpulkan bahan-bahan makanan sebagai mata pencaharian utama. Bukti-bukti hasil budaya pertama yang ditemukan di Indonesia berupa alat-alat batu jenis serpih bilah dan kapak-kapak perimbas serta beberapa alat dari tulang dan tanduk. Corak kehidupan pada masa ini menggantungkan diri kepada alam, mementingkan perburuan dan mengumpulkan bahan makanan (umbiumbian, kerang dan lain-lain). 2
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
Kerangka pemikiran yang ke dua dikatakan dalam Simanjuntak (1999 : 4) dalam tulisannya: Budaya Awal Holosen di Gunung Sewu dalam Berkala Arkeologi Tahun XIX Edisi No. 1/ Mei 1999, beliau mengatakan bahwa semenjak Kala Pleistosen-Holosen, manusia sudah mulai mengenal tempat tinggal dengan memanfaatkan gua-gua atau ceruk alam. Dari beberapa temuan gua dan ceruk yang pernah diteliti di Indonesia, terdapat berbagai indikasi kegiatan yang pernah dilakukan di tempat tersebut yaitu sebagai tempat; penguburan, perbengkelan (pembuatan peralatan untuk keperluan hidup), hunian/permukiman, dan kemungkinan ada juga yang berfungsi ganda: misalnya untuk hunian dan penguburan atau permukiman dengan perbengkelan (Prasetyo, 2004 : 51) juga subsistensi perburuan. Penelitian ini bertujuan: untuk mengetahui jenis-jenis tinggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah Gunung Tukum, Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, serta untuk mengetahui pola budaya kehidupan Awal Holosen di wilayah Gunung Tukum dan Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskripsi dan eksplorasi. Yang dimaksud dengan deskripsi yaitu penelitian diarahkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci tentang data arkeologi. Eksplorasi yaitu menjajagi, mengenali, menemukan, dan menginventarisasi kemungkinan potensi data arkeologi. Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan beberapa tahap, yaitu pengumpulan data dan pengolahan data. Proses penjaringan data dan informasi dalam penelitian ini menggunakan berbagai metode sebagai berikut: studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data tertulis yang berhubungan dengan situs yang diteliti, baik dari publisitas arkeologi maupun penelusuran data dari internet. Selain itu studi pustaka berarti mengadakan penelusuran yang bermanfaat untuk menggali teori-teori dasar dan konsep yang telah dikemukakan oleh para peneliti terdahulu, mengikuti perkembangan bidang yang diteliti, memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik yang dipilih, memanfaatkan data sekunder, dan menghindari duplikasi penelitian. Survei adalah pengamatan tinggalan arkeologi disertai analisis yang dalam. Survei yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah survei permukaan tanah. Survei Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
3
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
permukaan tanah adalah kegiatan dengan cara mengamati permukaan tanah dari jarak dekat. Pengamatan tersebut dilakukan dengan pemetaan, pencatatan, dan pemotretan seluruh data maupun gejala arkeologis, penggambaran, serta pengambilan sampel yang representatif dari benda tinggalan arkeologis yang ditemukan. Wawancara secara selektif untuk memperoleh informasi dari penduduk mengenai artefak yang pernah ditemukan penduduk. Serta melakukan wawancara langsung dengan informan yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti, di kawasan Gunung Tukum dan Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya. Untuk mengetahui fungsi artefak dilakukan analisis artefaktual (analisis morfologi, analisis teknologi), dan analisis kontekstual yaitu analisis yang mempelajari konteks (hubungan) dengan ruang dimana artefak ditemukan, dan dengan benda-benda lain yang ditemukan bersama-sama dengan artefak. Pembahasan Penelitian yang dilakukan di sekitar Gunung Tukum berada pada titik koordinat 3 0 58 ‘8. 22 92 “ S 139 0 1 ‘ 45. 2489 “ E (http : // foto. infospesial. net). Gunung Tukum tersebut berada di Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya. Baliem adalah lembah yang sangat besar, dengan panjang kurang lebih 15 kilometer, dan lebar sekitar 10 kilometer. Lembah ini diairi Sungai Baliem yang bersumber di lereng Pegunungan Jayawijaya dan mengalir ke arah timur. Pada 1390 BT sungai ini membelok dan terjun ke selatan ke dalam Sungai Vriendschap, yang mengalir deras ke pantai selatan Papua (Soejono 1994 : 258). Lembah Baliem terletak di Kabupaten Jayawijaya yang beribukota Wamena, yang wilayah topografisnya bergunung-gunung, berbukit-bukit serta berlembah-lembah yang sangat luas dan subur dengan ketinggian yang berfariasi antara 600- 3000 meter di atas permukaan laut. Dengan luas 52.916 kilometer persegi dan terletak di garis meridian Bujur Timur 1380 30‘ – 1390 40‘ BT dan Lintang Selatan 30 45‘ – 40 20‘ LS. Lembah ini didiami oleh suku besar yaitu Suku Dani. Suku terbesar yang berdiam di Lembah Baliem adalah Suku Dani. Pemukiman Suku Dani di Lembah Baliem, umumnya berada di pungung-pungung bukit dan di lembah yang berada dekat dengan sumber air. Pada setiap pemukiman tradisional (osilimo) biasanya terdiri dari beberapa bangunan. Berupa bangunan rumah untuk pria (pilamo), rumah tidur untuk wanita (ebe-ai), dapur (hunila/ desela), kandang babi (wam dabula), 4
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
halaman umum (silimo) yang umumnya terdapat tempat bakar batu (bekte) dan halaman untuk babi (wam lalma) serta pekarangan rumah (hakiloma). Bangunan-bangunan dalam osilimo ini dihubungkan dengan pagar mini dan bagian luarnya dikelilingi pagar (leget) yang ditanami cukup rapat dengan memiliki satu pintu/ gapura (mokari) masuk- keluar osilimo (Maryone, 2006 : 23). Pada umumnya Suku Dani, menganut sistem kekerabatan patrilineal yang garis keturunannya diperhitungkan berdasarkan garis keturunan laki-laki. Mereka juga mengenal dua paroh besar dalam masyarakat yaitu: waya dan wita. Suku Dani umumnya bermata pencaharian sebagai petani dengan tanaman ubi jalar (hipere), talas, keladi, pisang, tebu, sayur-sayuran (gembili, bayam, kecipir, ketimun), berbagai macam labu serta mereka juga berternak babi, dan berburu. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Jayawijaya meliputi tiga distrik terdiri atas Distrik Welelegama, Distrik Kurulu, dan Distrik Wamena Kota. Penelitian ini berhasil menemukan tinggalan arkeologis yang dapat diuraikan sebagai berikut: ditemukan empat gua, sebuah ceruk, tempat pemotongan babi, dan tempat pembakaran babi dan dua bukit, dua sumur alam dan satu sungai. Penelitian di Kampung Parema/ Wasaput, Distrik Wamena Kota, ditemukan dua gua yaitu Gua Parema I/Papah I, dan Gua Parema II/ Papah II (tidak ada temuan). Hasil penelitian di Kampung Siepkosi, Distrik Welelagama, ditemukan dua gua yaitu GuaIsuguaga (temuan berupa tulang manusia pada bagian lantai gua. Deposit tulang ini berupa: tulang paha/ femur, tulang lengan /humerus, dan tulang belakang/vetebrae lumbalis,) dan Gua Huam (tidak ada temuan). Serta sebuah ceruk yaitu Ceruk Watiwaga (temuan berupa: kapak genggam tipe Baliem I, kapak gengam tipe Baliem II, alat batu dari bahan pasir kuarsa dan batu pelandas (batu penumbuk) dan ditemukan batu granit di Sungai Mimil. Survei di Kampung Sopolebaga ditemukan dua buah sumur alam yaitu: Sumur Sopolebaga I, dan sumur Sopolebaga II. Kampung Yumigama ditemukan Bukit Balingga (temuan yaitu sebuah batu, bahan pembuat kapak lonjong yang terbuat dari batuan beku dengan jenis batuan andesit). Selanjutnya ditemukan tempat pembakaran babi “Mawarek“. Survei di Kampung Tulem, Distrik Kurulu, ditemukan Bukit Tulem dengan artefak berupa batu asah yang berfungsi untuk mengasah kapak batu, juga berfungsi untuk pembuat api. Hasil temuan-tumuan ini, dapat menjawab permasalahan penelitian yang kedua yaitu pola budaya kehidupan awal Holosen di wilayah Gunung Tukum.
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
5
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
Hasil survei yang dilakukan pada permukaan Gua Isuwaga terdapat deposit tulang manusia, berupa: tulang paha/ femur, tulang lengan /hemerus, dan tulang belakang/vetebrae lumbalis, dari temuan-temuan ini dapat diklasifikasikan sebagai gua penguburan. Gua ini tidak dapat ditinggali manusia sebab lantainya tidak rata, sempit, kurang mendapat sinar matahari dan sirkulasi udara dalam gua kurang dan juga gua ini jauh dari sumber air. Sistem penguburan di dalam Gua Isuguwaga di sekitar Gunung Tukum mengenal sistem penguburan sekunder. Dimana dalam tradisi mereka bahwa apabila kerabat meninggal, mayat tersebut akan diletakan di belakang honai pria, setelah beberapa lama, tulang g tersebut akan dikumpulkan dan dibawa ke gua-gua atau ceruk penguburan dan akan diletakan di dalam lantai gua. Tetapi di Kampung Wosiala, wilayah Kurulu ada perbedaan dalam sistem penguburannya, walaupun mereka masih dalam satu daerah kebudayaan Lembah Baliem. Tradisi penguburan di dalam gua tidak dikenal di Kampung Wosiala. Walaupun gua-gua yang pernah diteliti juga menyimpan sejumlah deposit tulang manusia. Hasil wawancara dengan masyarakat yang berada di sekitar situs Gua Kesik, Kurulu, bahwa deposit tulang ini bukan merupakan tulang dari kerabat, atau leluhur mereka yang meninggal tetapi, tulang ini merupakan tulang dari hasil mengayau/ perang (tulang para musuh perang) yang diletakan di belakang honai laki-laki, setelah daging terlepas dan tinggal tulang kemudian diletakan di dalam gua atau ceruk. Bila dibandingkan dengan tradisi penguburan di Tolikara dan Pegunungan Bintang walaupun mereka dalam satu wilayah kebudayaan daerah Pegunungan Tengah, tetapi tradisi penguburan antara satu daerah sangat berbeda sekali. Masyarakat Tolikara tidak mengenal adanya tradisi penguburan di dalam gua, tetapi mereka mengenal tradisi pembakaran mayat. Jika kerabat mereka ada yang meninggal maka, akan diadakan ritual pembakaran mayat. Kerabat dikumpulkan dan mereka akan memotong babi untuk dimasak dan makan bersama. Keluarga yang berduka akan diberi sejumlah barang oleh keluarga yang mengunjungi. Keluarga yang berduka akan menyanyi dan meratap, badan dan muka mereka akan dilumuri dengan lumpur tanda mereka sedang berada dalam suasana duka. Para perempuan yang berduka akan dipotong jarinya tanda ia berduka. Dalam prosesi pembakaran mayat, mereka akan menyiapkan sejumlah batu yang diatur rapi tersusun, mayat akan diletakan di atas batu-batu tersebut. Setelah itu mereka akan meletakan kayu di atas mayat dan selanjutnya mereka akan melakukan upacara pembakaran mayat. Upacara pembakaran mayat dilakukan di tengah-tengah halaman honai. Setelah pembakaran 6
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
mayat selesai, mereka akan memotong babi dan akan makan bersama, abu jenasah akan diletakkan di atas daun pisang dan abu ini ditaruh di belakang honai laki-laki. Sedangkan tradisi penguburan di Pegunungan Bintang sangat berbeda, yaitu tradisi penguburan di dalam gua/ceruk dan di dalam pohon-pohon yang besar yang dilubangi tengahnya. Tradisi penguburan di dalam gua masih berlangsung hingga kini, anggota keluarga yang meninggal mayatnya akan dibalut dengan kulit kayu dan setelah itu mayat akan diletakan di lantai gua/ ceruk. Bekal kubur berupa sebuah noken, yang diisi perlengkapan si mati semasa hidupnya. Dengan ditemukannya gua penguburan di situs Gua Isuguwaga memberikan gambaran tentang pendukung budaya awal Holosen di sekitar Gunung Tukum, Lembah Baliem. Tingkat budaya manusia pada masa itu oleh para ahli prasejarah dimasukan ke dalam tingkat budaya mesolitk yaitu tingkat budaya batu madya (Soejono, 1994). Sebab salah satu karakter budaya yang khas pada awal Holosen adalah pemanfaatan gua dan ceruk secara intensif, seperti yang ditemukan pada situs ini. Temuan alat batu di Ceruk Watiwaga, yaitu jenis kapak genggam tipe Baliem I, II terbuat dari batuan sedimen dari batuan sedimen jenis silicified tuff warna abu-abu kehitaman, kapak genggam tipe Baliem I terdentifikasi dari bekas dataran pukul di samping kanan serta permukaan batu, bagian belakang, di atasnya terlihat pengerjaan yang diberi tempat untuk mengenggam dengan ibu jari. Kapak genggam Baliem II teridentifikasi dari bekas dataran pukul yang meruncing di bagian permukaan batu, samping kiri dan kanan terlihat dataran pukulnya. Ada bagian untuk mengenggam berada di bagian atas, yang diberi tempat untuk memegang dengan ibu jari. Dari kedua batu yang ditemukan ini, bila dilihat dari bentuknya dapat terlihat ada bekas pengerjaannya yang di bagian belakang dan di atas batu yang sengaja dapat digenggam oleh ibu jari, sehingga penamaan dua batu ini adalah batu genggam tipe Baliem I dan II. Temuan batu pelandas/ penumbuk terbuat dari batuan beku dari jenis batu andesit. Batu pelandas ini terindentifikasi dari bentuk dan seluruh permukaan batu yang lebar, batu ini dipakai sebagai batu penumbuk yang digunakan untuk keperluan hidup seharihari dalam kelangsungan kehidupan mereka. Temuan alat batu, yang terbuat dari bahan batu pasir kuarsa, berwarna agak kecoklatan, seluruh bagian belum diasah halus dan tajamannya dibuat dengan mengasah bagian ujung permukaan bawah ke arah pinggir permukaan atas. Bagian belakangnya terlihat patah dengan penampang lintangnya berbentuk segi tiga dengan punggung yang Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
7
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
agak tinggi. Dengan ciri-ciri inilah maka kesimpulan sementara adalah alat batu yang ditemukan ini berasal dari masa neolitik. Temuan yang didapat pada halaman Ceruk Watiwaga, adalah: berbagai alat batu yaitu jenis kapak batu seperti kapak genggam tipe Baliem I, kapak gengam tipe Baliem II, alat batu dari bahan pasir kuarsa dan batu pelandas. Dengan ditemukannya sejumlah batu di Ceruk Watiwaga, maka Gua Watiwaga dapat diklasifikasikan sebagai ceruk tempat kegiatan industri menghasikan berbagai alat dari batu. Keberadaan batuan di sekitar Ceruk Watiwaga telah melahirkan teknologi alat batu yang menghasilkan berbagai jenis alat dari batu, yang berkembang sejak jaman Paleolitik sampai neolitik. Sebab salah satu karakter budaya yang khas pada akhir Holosen adalah pembuatan alat dari batu. Dari temuan kapak genggam I, II, batu pelandas berbahan batu pasir kuarsa, calon kapak lonjong dari bahan batuan beku jenis andesit didukung oleh ketersediaan bahan batu yang terdapat di Jayawijaya. Wilayah Pegunungan Tengah, Tolikara, Pegunungan Bintang/Ngalum, termasuk Jayawijaya sangat kaya akan berbagai jenis batu khususnya batuan sedimen dalam hal ini batu gamping, rijang, batuan beku serta batuan andesit. Hal inilah memungkinkan bagi manusia pendukung pada masa lalu di Lembah Baliem dalam membuat batu yang digunakan untuk memudahkan berbagai macam aktivitas mereka diantaranya berburu dan meramu makanan. Batu bahan pembuat kapak lonjong yang terbuat dari batuan beku dengan jenis batu andesit di Bukit Balingga, terindentifikasi pada bentuknya yang lonjong dan jenis batunya yang kasar dapat berfungsi sebagai batu untuk bahan pembuat kapak batu. Selain itu juga penemuan batu ini yang dekat dengan area perang, dapat juga difungsikan sebagai alat senjata dalam peperangan. Batuan beku jenis andesit ini banyak ditemukan di daerah sungai atau kali, dapat dibuktikan dengan keterdekatan bukit ini dengan kali/ sungai yang kami jumpai. Temuan di Bukit Tulem, berupa batu asah yang berfungsi untuk mengasah kapak batu, juga berfungsi untuk pembuat api, dapat terindentifikasi pada bentuknya yang tipis berwarna kecoklatan. Cara mengasahnya dengan mengambil kapak batu atau alat yang mau ditajamkan dengan menggosokan ke arah ketajaman dengan berulang-ulang. Sedangkan cara untuk membuat api adalah pertama-tama mengambil dua batu asah, kemudian menyiapkan pula rumput-rumput, daun-daun, atau kulit kayu yang kering. Dua buah batu asah tersebut digesek-gesek sehingga mengeluarkan percikan-percikan api, dari percikan-perikan api tersebut diletakan di atas daun, rumput, kulit kayu kering, 8
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
sehingga mengeluarkan api dan dapat dipergunakan untuk keperluan hidup manusia untuk memasak atau sebagai penerangan dan sebagainya. Ketersedian batu asah banyak dijumpai di Bukit Tulem juga difungsikan sebagai alat pembuat api. Manusia mulai mengenal api pada tingkat hidup berburu dan meramu. Keberadaan Bukit Tulem dan ketersediaan batu asah ini dapat menjawab kehidupan manusia pada masa Holosen. Salah satu karakteristik budaya pada masa Holosen adalah aktivitas perapiannya. Kondisi lingkungan alam Gunung Tukum dan sekitarnya mendukung kehidupan manusia yang hidup pada masa lalu, dengan dibuktikan ditemukannya dua buah sumur/ i hulelek yaitu Sumur Sopolebaga I, dan II. Ketersediaan air yang tersedia, membuktikan ada kehidupan di wilayah ini pada masa lalu. Sebab setiap makluk hidup/ manusia membutuhkan air bagi kelangsungan hidupnya. Keadaan kondisi air di Sumur Sopolebaga I dan II saat ini sudah kering, sehingga sumur ini beralih fungsi sebagai tempat jebakan bagi babi-babi liar. Hasil eksplorasi ditemukan tiga buah gua alam, ketiga gua alam tersebut merupakan data pelengkap saja, yaitu: Gua Parema I/Papah I, Gua Parema II/ Papah II, dan Gua Huam. Ketiga gua alam yang ditemukan ini tidak ditemukan sisa-sisa tinggalan manusia, seperti tulang hewan maupun artefak kapak batu. Tetapi Gua Parema II/Papah II kemungkinan besar pernah ditinggali manusia, ruangan gua ini cukup besar dan luas, lantai gua agak datar, gua ini dekat dengan aliran sungai/ aliran air. Kedua gua alam yang ditemukan yaitu Gua Perema I/Papah I, dan Gua Huam, kedua gua ini dapat dimasuki, tetapi tidak dapat ditinggali manusia sebab lantai gua digenangi oleh air, tetapi ada kemungkinan kedua gua ini pernah ditinggali manusia sebab kemungkinan pada waktu-waktu lalu gua ini kering. Tempat pemotongan babi yang terletak di Gunung Ukul Kabelet, merupakan tempat yang dikhususkan untuk memotong babi. Tempat ini berukuran panjang kurang lebih 1 m, lebar 1 m, tempat ini menyerupai kolam kecil yang digenangi oleh air, dan di sekitarnya ditumbuhi rumput-rumput. Letak tempat ini di bawah Gunung Ukul Kabelet. Tempat pemotongan babi ini hanya dikhususkan untuk acara kematian. Setelah pemotongan babi dilakukan, maka selanjutnya acara pembakaran babi, pada tempat pembakaran babi dikhususkan pula oleh masyarakat di Kampung Yumigama, yang diberi nama “Mewarek”. Tempat ini berada di antara pohon-pohon akasia yang rindang dan batu-batu besar. Tempat pembakaran ini diberi tanda lingkaran dengan abu yang diameternya kurang lebih 1 m, tempat ini merupakan tempat yang kering. Mereka akan makan daging babi bersama, Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
9
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
kemudian untuk menenangkan diri dari kesedihan, mereka akan naik ke puncak Gunung Sekan, kondisi lingkungan sekitar Gunung Sekan terdapat pohon-pohon yang padat dan rimbun, tradisi ini masih berlanjut sampai sekarang. Dari eksplorasi yang dilakukan, ditemukan sungai yang oleh masyarakat dinamakan Sungai Mimil, yang banyak ditemukan bebatuan kali, salah satu batu kali yang ditemukan adalah batu granit biotite. Batuan ini dapat dipergunakan manusia sebagai bahan alat batu. Sekitar Gunung Tukum sebagai suatu kesatuan geografis yang dicirikan oleh keberadaan bukit karst menampilkan sejarah kehidupan manusia yang khas sejak masa Holosen. Kesamaan geografis dengan kesamaan sumberdaya pokok yang dimiliki mendorong tumbuhnya budaya yang mengandalkan eksploitasi lingkungan. Penghuni awal Holosen adalah manusia mengeksploitasi berbagai relung alam, terutama untuk hunian, penguburan, dan kegiatan industri. Keberadaan jenis batuan membuka berkembangnya teknologi alat batu untuk menghasilkan alat batu. Eksplorasi ini tidak ditemukan teknologi untuk menghasilkan alat serpih bilah, hanya teknologi pembuatan berbagai alat batu yaitu jenis kapak batu seperti menyerupai kapak genggam, alat batu dari bahan pasir kuarsa dan batu pelandas (batu penumbuk). Keragaman sisa fauna pada gua-gua hunian menunjukan bahwa perburuan tidak terbatas pada suatu jenis tertentu, tetapi beragam binatang yang tersedia. Eksplorasi ini tidak ditemukan sisa-sisa tulang fauna di dalam gua dan ceruk, yang menjadi pengolahan binatang buruan sebagai bahan makanan. Tetapi tulang-tulang binatang yang dimanfaatkan untuk berbagai peralatan yang dijumpai di tengah-tengah masyarakat hanya terbatas pada tulang babi saja. Subsistensi perburuan didapatkan dalam penelitian adalah penangkapan ikan air tawar, terlihat dengan adanya Gua Parema I/Papah I yang dimanfaatkan sebagai areal menangkap ikan. Temuan batu di Ceruk Watiwaga menunjukkan budaya sekitar Gunung Tukum merupakan subkelompok budaya yang mempunyai wilayah eksploitasi di sekitar bukit kars. Unsur-unsur budaya yang dimiliki kekhasan tersebut banyak ditemukan budaya kontemporer dalam satuan- satuan perbukitan gamping lainnya di Pegunungan Tengah. Dilihat dari satuan geografis perbukitan karst, terdapat kesamaan budaya pokok, antara Pegunungan Bintang/ Oksibil. Kesamaan budaya pokok antara lain eksploitasi intensif sumberdaya alam, penguburan gua/ceruk menampakan kesamaan dipengaruhi oleh sumberdaya lingkungan yang tersedia, sistem penguburannya yang berbeda dengan 10
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
sistem penguburan yang berada di daerah lainnya di daerah Pegunungan Tengah yaitu penguburan di dalam gua, dan juga pembuatan alat-alat dari batu, yang dijumpai di kedua wilayah ini. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di wilayah Gunung Tukum dan sekitarnya, di Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya menunjukkan sejumlah tinggalan arkeologi berupa empat buah gua alam yaitu Gua Isuguwaga, Parema I/ Papah I, Gua Parema II/ Papah II, Gua Huam, sebuah yaitu Ceruk Watiwaga. Dua buah bukit yaitu Bukit Tulen dan Bukit Balingga. Satu lokasi tempat pemotongan babi, satu lokasi tempat pembakaran babi “Mewarek“. Dua buah sumur alam yaitu sumur Sopelebaga I dan II. Satu sungai yaitu Sungai Mimil. Terdapat sejumlah materi arkeologi berupa tulang manusia, kapak genggam, batu pelandas (batu penumbuk), bahan alat batu, pembuat kapak dari batu sedimen jenis andesit, batu asah dan batu granit. Berdasarkan hasil analisis lingkungan, bentuk dan konteks temuannya dapat disimpulkan Ceruk Watiwaga dapat diklasifikasikan sebagai ceruk tempat kegiatan industri menghasilkan berbagai alat dari batu, salah satu karakter budaya yang khas pada masa Holosen adalah pembuatan alat dari batu. Gua Isuguwaga sebagai gua penguburan memberi gambaran tentang pendukung budaya masa Holosen di sekitar Gunung Tukum. Sedangkan Bukit Tulem memberikan gambaran kehidupan manusia masa Holosen adalah aktivitas perapiannya. Sebagai data pelengkap bahwa: ketiga gua alam yang ditemukan yaitu Gua ParemaI/ papah I, Gua Parema II/ Papah II, dan Gua Huam, ketiga gua alam ini tidak ditemukan tinggalan arkeologi. Berdasarkan survei yang telah dilakukan pada tinjauan komponen-komponen lingkungan di sekitar Gunung Tukum masih ada celah yang kosong dimana masih belum ditemukannya komponen tinjauan biologis (ekofak) yang berupa fosil-fosil vetebrata dan komponen berupa alat (artefak) dari tulang binatang, cangkang moluska dan alat litik, yang mencirikan kehidupan akhir Pleistosen. Belum ditemukannya artefak ini apakah karena lingkungan kurang mendukung tersedianya bahan untuk menciptakan alat? atau memang belum ditemukan artefak ini, sehingga pola kehidupan manusia akhir Pleistosen di sekitar Gunung Tukum tidak dapat dijumpai, tetapi beberapa artefak yang ditemukan di sekitar wilayah Gunung Tukum mencirikan pola kehidupan manusia pada masa Holosen. Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
11
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2009. Kabupaten Jayawijaya dalam Angka. Deetz, James. 1967. Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press. File///F:/Wamena nama kampung. Htm diakses 11 April 2012 pukul 11.00 WIT. Http://foto. Infospesial. Net diakses 27 Februari 2012 pukul 13.00 WIT. Maryone, Rini. 2006. Berita Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Jayapura. Noerwidi, Sofwan. 2008. Mengarungi Garis Wallace: Awal Migrasi Manusia dari Paparan Sunda menuju Kawasan Wallacea, dalam Berkala Arkeologi edisi tahun XXXVIII November 2008. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Poesponegoro, Djoened Marwati dan Nugraha Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka. Prasetyo, Bagyo. 1999. Artefak Tulang Situs Gua (Kalimantan Selatan): Variasi Tipologis dan Teknologisnya. Balai Arkeologi Yogyakarta. __________. 2004. Religi pada Masyarakat Prasejarah Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi. Schiffer, Michael B. 1976. Behavior Archaeology. New York: Academic Press. Simanjuntak, Truman. 1999. Budaya Awal Holosen di Gunung Sewu. Berkala Arkeologi Tahun XIX Edisi No. 1/ Mei 1999. Balai Arkeologi Yogyakarta. Siswanto. 2007. Komponen Lingkungan Pendukung Kehidupan Manusia Kala Pleistosen di Situs Patiayam, Kudus. Berita Penelitian Arkeologi. Yogyakarta. Balai Arkeologi Yogyakarta. Soebroto, Ph. 2001. Kondisi Lingkungan pada Manusia Pleistosen dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Manusia Prasejarah di Jawa. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya- Universitas Gadjah Mada.
12
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Rini Maryone Peninggalan Arkeologi Masa Awal Holosen Di Kawasan Gunung Tukum Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya
------------------- 2005. Lingkungan Masa Lalu dalam Perspektif Arkeologi. Artefak- Edisi XXVII/ September 2005. Yogyakarta. Soejono. 1994. Prasejarah Irian Jaya dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan.
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
13