PENILAIAN KESEHATAN HUTAN KOTA DI KABUPATEN GARUT
YUKI SAGITA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penilaian kesehatan hutan kota di Kabupaten Garut, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pebimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Yuki Sagita NIM E44110037
ABSTRAK YUKI SAGITA. Penilaian Kesehatan Hutan Kota di Kabupaten Garut. Dibimbing oleh Dr Ir SUPRIYANTO. Kabupaten Garut merupakan kota yang sedang berkembang sehingga banyak terjadi perubahan dalam berbagai bidang. Kegiatan pembangunan kota sering kali tidak memperhatikan lingkungan, padahal aspek lingkungan merupakan aspek yang penting. Salah satu cara untuk menjaga lingkungan perkotaan agar sehat adalah dengan membangun hutan kota. Kondisi tegakan di hutan kota harus dalam keadaan sehat dan memenuhi fungsinya. Metode Forest Health Monitoring (FHM) merupakan metode yang dapat digunakan untuk menilai kondisi tegakan di hutan kota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai status kesehatan hutan kota di Kabupaten Garut. Hutan kota yang dinilai dalam penelitian ini adalah Kerkop, Nusa Indah, Ngamplang, Guntur, Situ Bagendit, dan Situ Cangkuang. Informasi tingkat kesehatan hutan kota didapatkan dari data indikator produktivitas, biodiversitas, kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Situ Cangkuang merupakan hutan kota yang memiliki tingkat kesehatan tertinggi dengan tingkat kesehatan hutan yang sangat sehat. Situ Bagendit dan Kerkop memiliki tingkat kesehatan hutan yang sehat, sedangkan Guntur, Ngamplang dan Nusa Indah memiliki tingkat kesehatan hutan yang sedang. Tingkat kesehatan di hutan kota Kabupaten Garut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pengelolaan hutan kota, jenis pohon penyusun tegakan hutan kota, dan aktivitas manusia. Kata kunci : Forest health monitoring, hutan kota, tingkat kesehatan tegakan
ABSTRACT YUKI SAGITA. City Forest Health Assessment in Garut. Supervised by Dr. Ir SUPRIYANTO. Garut District is a growing city, so that many changes in various fields. Urban development often don‟t pay attention to the environment, whereas the environmental is an important aspect. One of the ways to maintain a healthy urban environment is to develop of urban forests. The condition of forest stand in the city must be healthy and fulfill its function. Forest Health Monitoring (FHM) method can be used to assess the condition of forest stand in the city. The aim of this research is evaluating health status of urban forest in Garut Distrik. Urban forests assessment in this study were conducted in Kerkop, Nusa Indah, Ngamplang, Guntur, Bagendit, and Cangkuang Lake urban forest. Informations of urban forest health level were obtained from the data of productivity, biodiversity, tree damage and canopy condition. The results showed that Cangkuang Lake is a urban forest having the highest health level or very healthy. Bagendit Lake and Kerkop has a healthy level of forest health, while Guntur, Ngamplang and Nusa Indah has a medium level of forest health. The level of health in the urban forest of Garut District was influenced by several factors, those are urban forest management, forest stand structure and human activitis. Keywords: Forest Health Monitoring, urban forests, forest health level
PENILAIAN KESEHATAN HUTAN KOTA DI KABUPATEN GARUT
YUKI SAGITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi
: Peni aian Kesehatan Hutan Kota di Kabupaten Garut
Nama
:Yuki Sagita
NIM
: E441 00".
Disetujui oleh
Dr Ir Supriyanto Pembimbing
MS
Tanggal Lulus :
:J·. .
l u
·-
)i ....
rQ"'•..J �
PRAKATA Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh subhanahu wa ta‟ala yang telah menganugerahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada teladan umat Nabi Muhammad SAW. Tema yang dipilih terkait dengan penilaian kesehatan di hutan kota yang dilaksanakan di Kabupaten Garut. Hutan kota yang menjadi lokasi penelitian merupakan hutan kota yang berada di kawasan lindung dan di kawasan pemukiman yang memiliki perbedaan dalam pengelolaannya. Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua dan kakak-kakak saya yang senantiasa mendukung penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang luar biasa penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Supriyanto selaku pembimbing yang telah membimbing penulis. Ungkapan terima kasih juga saya ucapkan kepada keluarga Silvikultur 48 dan Keluarga Ipa Delapan (KURAPAN) atas kebersamaan, dukungan, dan doanya serta kepada Dinas Kehutanan Kab. Garut atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2015 Yuki Sagita
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Alat dan Bahan
2
Metode Penelitian
2
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN
8 8 16 21
Simpulan
21
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
23
RIWAYAT HIDUP
31
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Kriteria kondisi tajuk Nilai peringkat visual crown ratio (VCR) individu pohon
4 5
Deskripsi kode lokasi kerusakan pohon Deskripsi kode tipe kerusakan dan nilai ambang keparahan Nilai pembobotan untuk setiap tipe, lokasi dan tingkat keparahan
6 6 7
Sebaran jenis tanaman di hutan kota Kabupaten Garut Struktur vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan tanaman di hutan kota Kabupaten Garut
9 11
8 9 10 11 12
Data indikator biodiversitas di hutan kota Kabupaten Garut Nilai luas bidang dasar (LBDS) di hutan kota Kabupaten Garut
11 12
Sebaran lokasi kerusakan pohon di hutan kota Kabupaten Garut Sebaran tipe kerusakan pohon di hutan kota Kabupaten Garut Nilai plot level index (PLI) kerusakan pohon di hutan kota Kabupaten Garut 13 Nilai visual crown ratio (VCR) pohon di hutan kota Kabupaten Garut 14 Skoring masing-masing indikator kesehatan hutan kota 15 Skoring indikator dan nilai akhir kesehatan hutan kota di Kabupaten Garut
12 13 14
15 15 16
DAFTAR GAMBAR 1 Plot ukur forest health monitoring 2 Kode lokasi untuk indikasi kerusakan 3 Peta lokasi hutan kota di Kabupaten Garut (1) Kerkop, (2) Nusa Indah, (3) Guntur, (4) Ngamplang, (5) Situ Bagendit, dan (6) Situ Cangkuang 4 Kerusakan pohon di Guntur : (A) cabang patah atau mati di Kerkop, (B) luka terbuka di Nusa indah 5 Kerusakan pada pohon sengon akibat Xystrocera festiva 6 Kerusakan pohon berupa luka terbuka akibat kegiatan manusia di Situ Bagendit
3 5 8 13 14 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Peta lokasi klaster plot di Situ Cangkuang Peta lokasi klaster plot di Situ Bagendit Peta lokasi klaster plot di hutan kota Kerkop Peta lokasi klaster plot di hutan kota Nusa Indah Peta lokasi klaster plot di hutan kota Ngamplang Peta lokasi klaster plot di hutan kota Guntur
23 25 27 28 29 30
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kota dengan membangun sarana dan prasarana dapat menunjang aktivitas penduduk kota dan akan memajukan kota, tetapi dengan adanya pembangunan kota dan aktivitas manusia juga dapat menyebabkan kualitas lingkungan menurun. Kabupaten Garut merupakan salah satu kota di provinsi Jawa Barat yang sedang berkembang sehingga banyak terjadi perubahan dalam berbagai bidang. Pembangunan kota yang tidak teratur membuat keadaan kota menjadi tidak tertata. Pembangunan kota sering kali tidak memperhatikan aspek lingkungan dan dapat mengurangi ruang terbuka hijau serta meningkatkan polusi. Penghijauan kota seharusnya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan, karena kota merupakan pusat kegiatan manusia sehingga diperlukan lingkungan sehat yang dapat mendukung kegiatan di dalamnya. Pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan merupakan salah satu cara dalam memperbaiki kualitas lingkungan dan dapat mengurangi polusi. Menurut Peraturan Daerah Kab. Garut No. 29 Tahun 2011, RTH merupakan area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik tanaman yang tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam. Salah satu contoh bentuk RTH di perkotaan ialah hutan kota. Hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya di dalam kota, pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat pemukiman yang berkembang karena proses urbanisasi (Khoiri 2004). Pepohonan yang berada di hutan kota memiliki banyak kegunaan terutama dalam memperbaiki kualitas lingkungan kota. Menurut Carpenter et al.(1975) dalam Farida (2013) mengemukakan bahwa tanaman dapat merekayasa estetika, mengontrol erosi dan air tanah, mengurangi polusi udara, menurunkan suhu, mengurangi kebisingan, mengendalikan air limbah, mengontrol lalu lintas dan cahaya yang menyilaukan, serta mengurangi bau. Hutan kota yang berada di Kabupaten Garut memiliki luasan sebesar 18.6 hektar yang terbagi ke dalam enam lokasi, yaitu Hutan Kota Guntur, Hutan Kota Kerkop, Hutan Kota Nusa Indah, Hutan Kota Ngamplang, Hutan Kota Situ Bagendit, dan Hutan Kota Situ Cangkuang. Hutan kota di Guntur, Kerkop, Nusa Indah dan Ngamplang merupakan hutan kota yang berada di daerah pemukiman, sedangkan hutan kota di Situ Cangkuang dan Situ Bagendit berada di kawasan sejarah yang dilindungi. Keberadaan hutan kota di kawasan perkotaan di Kabupaten Garut sangat penting. Selain karena hutan kota memiliki banyak fungsinya, terdapat juga hutan kota yang memiliki nilai sejarah sendiri bagi Kabupaten Garut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian kesehatan hutan kota untuk menjaga agar hutan kota tetap sehat serta dapat memenuhi fungsinya. Penilaian kesehatan hutan dengan metode forest health monitoring (FHM) merupakan salah satu cara dalam mengevaluasi kondisi kesehatan tegakan hutan kota. Metode FHM dapat memberikan informasi status, perubahan, kecenderungan dan saran kepada pengelola agar tegakan hutan kota memiliki kondisi yang sesuai dengan fungsinya.
2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai status kesehatan tegakan hutan kota di Kabupaten Garut. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai status kesehatan tegakan hutan kota di Kabupaten Garut. Hasil dari penilaian status kesehatan hutan kota diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan dan pemeliharaan hutan kota. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian dilakukan di hutan kota Kabupaten Garut yang terbagi ke dalam enam lokasi, yaitu Hutan Kota Guntur, Hutan Kota Kerkop, Hutan Kota Nusa Indah, Ngamplang, Situ Bagendit, dan Situ Cangkuang. Penilaian status kesehatan hutan kota dilakukan dengan metode FHM. Indikator kesehatan hutan yang digunakan pada penelitian ini dibatasi hanya pada indikator produktivitas (LBDS), biodiversitas (struktur dan komposisi jenis), dan vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 yang bertempat di hutan kota Kabupaten Garut yang terdiri dari enam lokasi yaitu Hutan Kota Kerkop, Hutan Kota Nusa Indah, Hutan Kota Guntur, Hutan Kota Situ Cangkuang, Hutan Kota Situ Bagendit dan Hutan Kota Ngamplang. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, alat tulis, tally sheet, patok, kamera dan laptop beserta software microsoft word dan software microsoft excel, sedangkan bahan yang digunakan adalah tegakan yang berada di hutan kota Kabupaten Garut. Metode Penelitian Pembuatan Plot Pengamatan Pengambilan data di lapangan menggunakan plot ukur FHM (USDA-FS 1999). Plot FHM dibuat secara purposive sampling dengan memperhatikan kondisi hutan kota agar dapat mewakili suatu area hutan kota. Jumlah sampel pohon adalah sebanyak pohon yang berada dalam plot FHM (Gambar 1). Lokasi
3 plot FHM di Situ Cangkuang (4 klaster), Situ Bagendit (4 klaster), Kerkop (1 klaster), Nusa Indah (1 klaster), Ngamplang (2 klaster), dan Guntur(1 klaster) dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, 3, dan 4.
Gambar 1 Plot ukur forest health monitoring Penilaian Kesehatan Pohon 1. Biodiversitas Pengamatan biodiversitas ditujukan untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis di setiap hutan kota. Penilaian biodiversitas didasarkan kondisi kemerataan (evenness index) Pielou (Pielou 1969), indeks ini mencakup perhitungan kemerataan dan keanekaragaman jenis. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: , dengan nilai Hʹ = - ( Keterangan: Jʹ = indeks kemerataan jenis Pielou Hʹ = indeks keragaman jenis Shannon-Wiener S = jumlah jenis yang ditemukan ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu
)
4 2. Pertumbuhan pohon Pertumbuhan pohon dapat diukur dari penambahan diameter pohon pada dua waktu pengukuran yang saling berurutan. Dari data diameter dapat digunakan untuk menentukan nilai luas bidang dasar (LBDS). LBDS dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan sesaat atau produktivitas pohon dari waktu ke waktu. LBDS dapat dihitung dengan menggunakan rumus: LBDS =
D2
Keterangan: LBDS = nilai luas bidang dasar per pohon = konstanta (3.14) D = Diameter setinggi dada (dbh) 3. Vitalitas Indikator vitalitas diamati dengan menggunakan parameter kerusakan pohon dan kondisi tajuk. Kondisi kerusakan pohon diukur berdasarkan kriteria penilaian kerusakan menurut metode FHM, yang terdiri dari tiga kode berurutan yang menggambarkan lokasi terjadinya kerusakan (Tabel 1), tipe (penyebab) kerusakan (Tabel 2) dan tingkat keparahan (Tabel 3) yang terjadi pada pohon. Lokasi ditemukannya kerusakan pada pohon antara lain pada akar, batang, cabang, tajuk, daun pucuk dan tunas (Gambar 2 dan Tabel 1).
Gambar 2 Kode lokasi untuk indikasi kerusakan
5 Tabel 1 Deskripsi kode lokasi kerusakan pohon (Tallent-Halsell 1994 dalam Putra 2004) Kode Definisi 0 Tidak ada kerusakan 1 Akar terbuka dan “stump” (12 inch (30 cm) di atas permukaan tanah) 2 Kerusakan pada akar dan antara akar dan batang bagian bawah 3 Kerusakan pada batang bagian bawah (di bawah pertengahan antara “stump” dan dasar tajuk 4 Kerusakan pada batang bagian bawah yang terdapat pula pada batang bagian atas 5 Kerusakan pada batang bagian atas (di atas pertengahan antara “stump” dan dasar tajuk 6 Kerusakan pada dahan utama yang terdapat pada bagian tajuk, di atas dasar tajuk 7 Kerusakan pada ranting (dahan-dahan kecil dan dahan lain selain dahan utama) 8 Kerusakan pada daun muda dan pucuk daun 9 Kerusakan pada tajuk Tabel 2 Deskripsi kode tipe kerusakan dan nilai ambang keparahan (TallentHalsell 1994 dalam Putra 2004) Nilai ambang keparahan (pada kelas Kode Definisi 10% - 99%) 01 Kanker, gol (puru) ≥ 20% dari titik pengamatan 02 Konk, tubuh buah (badan buah), Tidak ada, kecuali ≥ 20% pada akar ˃ dan indikator lain tentang lapuk 3 feet (0.91 m) dari batang lanjut 03 Luka terbuka ≥ 20% dari titik pengamatan 04 Resinosis/gummosis ≥ 20% dari titik pengamatan 05 Batang pecah Tidak ada 06 Sarang rayap ≥ 20% dari titik pengamatan 11 Batang atau akar patah < 3 feet Tidak ada (0.91 m) dari batang 12 Brum pada akar atau batang Tidak ada 13 Akar patah atau mati ˃ 3 feet ≥ 20% pada akar (0.91 m) dari batang 14 Kutu lilin ≥ 20% 20 Liana ≥ 20% 21 Hilangnya ujung dominan, mati ≥ 1% pada dahan pada tajuk ujung 22 Cabang patah atau mati ≥ 20% pada ranting atau pucuk 23 Percabangan atau brum yang ≥ 20% pada ranting atau pucuk berlebihan 24 Daun, kuncup atau tunas rusak ≥ 30% dedaunan penutupan tajuk 25 Daun berubah warna (tidak ≥ 30% dedaunan penutup tajuk hijau) 31 Lain-lain -
6 Tabel 3
Nilai pembobotan untuk setiap tipe, lokasi, dan tingkat keparahan (Nuhamara dan Kasno 2001) Kode Kode lokasi Tingkat Nilai Nilai Nilai kerusakan kerusakan Keparahan 11 2 0 0 10‒19% 1.1 01 1.9 1, 2 2 20‒29% 1.2 02 1.7 3, 4 1.8 30‒39% 1.3 12 1.6 5 1.6 40‒49% 1.4 03, 04, 13 1.5 6 1.2 50‒59% 1.5 21 1.3 7, 8, 9 1.0 60‒69% 1.6 14, 22, 23, 1.0 70%‒79% 1.7 24, 25, 31 80‒89% 1.8 >90% 1.9 0 1.5 Parameter pengukuran kondisi kerusakan pohon (tipe kerusakan, lokasi kerusakan dan tingkat keparahan) dirumuskan dalam sebuah Indeks Kerusakan (IK) sebagai berikut: IK = [xTipe kerusakan*yLokasi*zKeparahan] Keterangan : x, y dan z adalah nilai pembobotan yang besarnya berbeda-beda bergantung kepada tipe kerusakan, lokasi kerusakan, dan tingkat keparahan (Tabel 3). Pencatatan kerusakan pohon dilakukan sebanyak jumlah kerusakan pohon yang terjadi, dimulai dari lokasi dengan kode terendah. Kerusakan yang tidak memenuhi nilai ambang, akan diberi nilai 0 dalam tingkat keparahannya. Apabila terdapat kerusakan ganda pada lokasi yang sama, maka semua kerusakan tetap dicatat supaya tingkat keparahannya dapat diperkirakan secara pasti dan tepat. Indeks kerusakan dihitung pada tingkat pohon dengan menggunakan rumus: Kerusakan tingkat pohon atau Tree damage level index (TDLI) = (Tipe 1*Lokasi 1*keparahan 1) + (Tipe 2*Lokasi 2*keparahan 2) + (Tipe x*Lokasi y*keparahan z) IK dapat dihitung pada tingkat plot dengan menggunakan rumus: Indeks tingkat plot (PLI) = rata-rata kerusakan [pohon 1, pohon 2,pohon 3,..] Indikator lain dari vitalitas adalah kondisi tajuk pohon, kondisi tajuk yang diukur dalam metode FHM adalah A. Nisbah tajuk hidup (live crown ratio-LCR), yaitu nisbah panjang batang pohon yang tertutup daun terhadap tinggi total pohon. B. Kerapatan tajuk (crown density-CDen), yaitu berapa persentase cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk yang tidak mencapai permukaan tanah. C. Crown dieback (CDB), yaitu kematian pada pucuk tajuk pohon atau cabang dan ranting yang baru saja mati dimana bagian yang mati dimulai dari bagian ujung yang merambat ke bagian pangkal. D. Transparansi tajuk (foliage transparancy-FT), yaitu jumlah persentase cahaya matahari yang melawati tajuk dan dapat mencapai permukaan tanah.
7 E. Diameter tajuk-Cd (crown diameter width- CdWd dan crown diameter at 90o-CD90), yaitu nilai rata-rata dari pengukuran panjang dan lebar tajuk yang bersangkutan. Pengukuran nilai LCR dapat diketahui dengan membandingkan nilai panjang batang pohon yang tertutupi daun dengan tinggi total pohon. Parameter kondisi tajuk dinilai berdasarkan pada tiga kelas parameter kondisi tajuk, yaitu nilai 3 untuk kondisi tajuk baik, nilai 2 untuk kondisi tajuk sedang, dan nilai 1 untuk kondisi tajuk jelek. Penilaian persentase kriteria kondisi tajuk dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kriteria kondisi tajuk (Anderson et al. 1992 dalam Putra 2004) Klasifikasi Parameter Baik (nilai 3) Sedang (nilai 2) Jelek (nilai 1) Nisbah Tajuk Hidup >40% 20‒35% 5‒15% Kerapatan Tajuk >55% 25‒50% 5‒20% Transparansi Tajuk 0‒45% 50‒70% >75% Dieback 0‒5% 10‒25% >30% Diameter Tajuk >10.1 m 2.5‒10 m <2.4 Semua parameter pengukuran kondisi tajuk pohon yaitu LCR, Cden, FT, Cd, dan Cdb digabungkan ke dalam penilaian peringkat penampakan tajuk (visual crown rating-VCR) untuk masing-masing pohon. VCR memiliki nilai 1, 2, 3, dan 4 tergantung kepada besaran nilai pengamatan setiap parameter kondisi tajuk (Anderson et al. (1992) dalam Putra (2004)). Nilai VCR disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai peringkat Visual Crown Rating (VCR) individu pohon (Anderson et al. 1992 dalam Putra 2004) Nilai VCR Kriteria 4 (Tinggi) Seluruh parameter kondisi tajuk bernilai 3, atau hanya 1 parameter yang memiliki nilai 2, tidak ada parameter yang bernilai 1 3 (Sedang) Lebih banyak kombinasi antara 3 dan 2 pada parameter tajuk, atau semua bernilai 2, tetapi tidak ada parameter yang bernilai 1 2 (Rendah) Setidaknya 1 parameter bernilai 1, tetapi tidak semua parameter 1 (Sangat Rendah) Semua parameter kondisi tajuk bernilai 1 4. Tingkat kesehatan tegakan hutan kota Penentuan tingkat kesehatan tegakan hutan kota didapatkan berdasarkan data produktivitas, biodiversitas, kondisi tajuk dan kondisi kerusakan pohon. Nilai skor diperoleh melalui penentuan nilai selang (interval) terhadap nilai setiap parameter. Skoring untuk setiap indikator diberikan interval 0‒10 (Tabel 14). Nilai akhir kesehatan hutan didapat dari jumlah skoring dari seluruh indikator dengan interval 0‒40. Semakin tinggi nilai skor menunjukkan tingkat kesehatan yang semakin tinggi. Kondisi kesehatan sangat rendah ditunjukkan oleh nilai (0‒7), rendah (8‒15), sedang (16‒23), sehat (24‒31), dan sangat sehat (32‒40).
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Kabupaten Garut memiliki beberapa hutan kota yang berada di lokasi yang berbeda-beda. Penelitian ini dilakukan pada enam hutan kota antara lain Kerkop (0.4 ha), Guntur (0.6 ha), Nusa indah (0.5), Ngamplang (5.5 ha), Situ Bagendit (5.1), dan Situ Cangkuang (6.5 ha). Kerkop, Guntur, Nusa Indah, dan Ngamplang berada di kawasan pemukiman yang padat, sedangkan Situ Cangkuang dan Situ Bagendit barada pada kawasan lindung dan tempat wisata. Dasar pemilihan hutan kota tersebut sebagai lokasi penelitian antara lain didasarkan oleh adanya perbedaan lokasi keberadaan dan perbedaan pengelolaan hutan kota yang ada di kawasan pemukiman dengan yang ada di kawasan lindung. Peta lokasi hutan kota di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Gambar 3.
6 5 3
2 1
4
Gambar 3 Peta lokasi hutan kota di Kabupaten Garut (1) Kerkop, (2) Nusa Indah, (3) Guntur, (4) Ngamplang, (5) Situ Bagendit, dan (6) Situ Cangkuang. Hutan kota Kerkop, Nusa Indah, dan Guntur berada pada persimpangan jalan raya, sedangkan Ngamplang berada di tepi lapangan golf. Hutan kota Situ Bagendit dan Situ Cangkuang memiliki danau di dalam kawasan. Situ Bagendit merupakan saluran tersier bendungan Copong yang digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Di Situ Bagendit terdapat cerita rakyat yang cukup terkenal yaitu cerita tentang Nyi Endit dan sering disebut menjadi asal mula terbentuknya situ tersebut. Kawasan situ Bagendit menjadi kawasan objek wisata sejak tahun
9 1980an. Hutan Kota Situ Cangkuang berada di tengah danau dan berbentuk pulau. Di dalam kawasan tersebut terdapat situs Candi Cangkuang, kampung adat yang disebut Kampung Pulo, dan terdapat makam Embah Dalem Arief Muhammad. Danau di Situ Cangkuang terbentuk karena adanya pembendungan air yang dilakukan oleh Embah Dalem Arief Muhammad bersama masyarakat. Setelah dilakukan pemugaran dan rekronstruksi oleh pemerintah, kawasan ini kemudian diresmikan pada tahun 1976. Pohon di hutan kota memiliki umur yang bermacam-macam. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan pohon di hutan kota sudah ada, tetapi Dinas Kehutanan Kabupaten Garut telah melakukan beberapa kali peremajaan hutan kota. Pada tahun 2011 terjadi penanaman besar-besaran oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut di beberapa kawasan hutan kota dengan berbagai jenis tanaman. Terakhir penanaman di hutan kota dilakukan pada tahun 2013. Biodiversitas Biodiversitas merupakan keanekaragaman suatu organisme. Semakin tinggi tingkat biodiversitas dalam hutan akan meningkatkan tingkat kelenturan hutan tersebut karena tingkat kelenturan hutan ditunjukkan oleh keragaman fungsi ekologi yang dimiliki, sehingga tingkat stabilitas ekosistem akan lebih tinggi (Darmansyah 2014). Berdasarkan pengamatan, di hutan kota Kab. Garut dapat ditemukan 36 jenis tanaman. Situ Bagendit merupakan hutan kota yang memiliki jumlah jenis terbesar dibandingkan hutan kota lainnya. Dari seluruh jenis tanaman yang ditemukan, mahoni merupakan jenis tanaman yang paling sering ditemui di setiap hutan kota, diikuti beringin, trembesi, ketapang, sengon, bungur, dan mangga. Jenis tanaman yang ditemukan akan berpengaruh terhadap keanekaragaman dari setiap hutan kota. Sebaran jenis tanaman di setiap hutan kota dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran jenis tanaman di hutan kota Kabupaten Garut Jumlah jenis per ha Nama Jumlah Nama ilmiah lokal KRK NIN GTR NPG SBA SCA lokasi Acacia mangium Adenanthera pavonina Aleurites moluccaana Alstonia scholaris Altingia excelsa Anthocephalus cadamba Arthocarpus heteorphyllus Artocarpus elasticus Bauhinia purpurea
Akasia
-
3
-
-
1
-
2
Saga
-
-
-
-
-
5
1
Kemiri
-
-
-
-
3
-
1
Pulai Rasamala
-
-
-
3 -
6
-
1 1
Jabon
-
3
-
-
1
-
2
Nangka
-
-
-
-
-
1
1
Teureup Kupukupu
-
-
-
-
-
4
1
-
-
-
-
2
-
1
KRK: Kerkop, NIN: Nusa Indah, GTR: Guntur, NPG: Ngamplang, SBA: Situ Bagendit, SCA: Situ Cangkuang
10 Tabel 6 Sebaran jenis tanaman di hutan kota Kabupaten Garut (lanjutan) Nama ilmiah Cassia grandis Cerbera manghas Delonix regia Eucalyptus deglupta Falcataria moluccana Ficus ampelas Ficus benjamina Filicium decipiens Gluta renghas Gmelina arborea Lagerstromia speciosa Maesopsis eminii Mangifera indica Manglieta glauca Manilkara kauki Maniltoa brawneodes Murraya paniculata Penorema canescens Pinus merkusii Prunus avium Ptherocarpus indicus Samanea saman Spathodea campanulata
Syzygium cumini Swietenia sp. Terminalia catapa Toona sureni
Jumlah jenis
Nama lokal Johar
KRK -
Jumlah jenis per ha NIN GTR NPG SBA 20 -
SCA -
Jumlah lokasi 1
Bintaro Flamboyan
-
-
-
5
10 4
-
1 2
Eucalyptus
-
-
-
-
5
-
1
Sengon Hampelas Beringin Krey payung Reunghas
5
25 2
3 -
21 3
2
6 6
3 1 5
10 -
-
-
-
-
11 3
2 1
Gmelina
-
22
-
16
-
-
2
Bungur Kayu afrika
2
8
-
3
-
-
3
-
-
-
-
-
1
1
Mangga
-
-
2
-
1
1
3
Manglid Sawo kecik Sapu tangan
-
-
-
-
1
-
1
-
-
-
-
3
-
1
-
-
-
-
3
-
1
Muraya
-
-
-
-
-
2
1
Sungkai Pinus Kersen
5 -
-
-
-
1
14
-
1 1 1
Angsana Trembesi
5 3
5
-
-
3
1 -
2 3
Ki acret
-
-
10
-
-
-
1
10
7
5 12
8
1 5
11
2 6
-
5 -
-
-
1 -
1
3 1
7
9
6
7
18
15
Jamblang Mahoni Ketapang Suren
4
KRK: Kerkop, NIN: Nusa Indah, GTR: Guntur, NPG: Ngamplang, SBA: Situ Bagendit, SCA: Situ Cangkuang
11 Struktur vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan di hutan kota terdiri dari semai, pancang, tiang, dan pohon. Situ Cangkuang memiliki jumlah pohon per ha yang paling banyak dibandingkan dengan hutan kota lainnya, sedangkan jumlah pohon paling sedikit adalah Kerkop (Tabel 7). Jumlah pohon per hektar atau kerapatan pohon di hutan kota akan berpengaruh terhadap nilai LBDS. Semakin banyak jumlah pohon atau semakin rapat tegakan maka nilai LBDS akan semakin besar, sebaliknya semakin rendah kerapatannya maka nilai LBDS juga akan semakin kecil. Tabel 7 Struktur vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan tanaman di hutan kota Kabupaten Garut Tingkat pertumbuhan Pohon Tiang Pancang Semai
KRK 40 20 10 0
NIN 60 13 7 0
Jumlah individu per ha GTR NPG SBA 55 59 53 25 17 8 5 4 4 0 5 3
SCA 71 6 5 4
KRK: Kerkop, NIN: Nusa Indah, GTR: Guntur, NPG: Ngamplang, SBA: Situ Bagendit, SCA: Situ Cangkuang
Tabel 8 menunjukkan nilai indikator biodiversitas yang didasarkan kondisi keanekaragaman dan kemerataan jenis dengan menggunakan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener dan indeks kemerataan jenis Pielou. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman jenis tertinggi terdapat di Situ Bagendit dengan nilai Hʹ 2.55, dan keragaman jenis terendah terdapat pada lokasi Guntur dengan nilai Hʹ 1.51. Keragaman jenis dipengaruhi oleh jumlah jenis yang ditemukan di hutan kota. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka keragaman jenis akan tinggi. Sebaliknya jika jumlah jenis di kawasan sedikit maka nilai keragamannya akan kecil. Indeks kemerataan di setiap hutan kota memiliki kemerataan jenis hampir sama yaitu mendekati 1. Suatu komunitas dikatakan stabil apabila mempunyai nilai indeks kemerataan jenis mendekati 1. Oleh karena itu setiap hutan kota di Kabupaten Garut dapat dikatakan mendekati stabil. Tabel 8 Data indikator biodiversitas di hutan kota Kabupaten Garut Indeks Indeks Hutan kota Jumlah jenis keragaman kemerataan jenis (Hʹ) jenis (Jʹ) Kerkop 7 1.87 0.96 Nusa Indah 9 1.81 0.82 Guntur 6 1.51 0.85 Ngamplang 7 1.56 0.80 Situ Bagendit 18 2.55 0.88 Situ Cangkuang 15 2.33 0.86
12 Produktivitas Tanaman Penilaian produktivitas tanaman dilakukan dengan melihat pertumbuhan pohon yang diukur dari diameter pohon. Dari data diameter dapat digunakan untuk menentukan LBDS. LBDS dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan sesaat atau produktivitas pohon dari waktu ke waktu. Setiap hutan kota memiliki nilai LBDS yang berbeda-beda, nilai LBDS hutan kota paling besar terdapat pada Situ Cangkuang yaitu sebesar 14.72 m2/ha dan yang paling kecil adalah Ngamplang dengan nilai LBDS sebesar 3.70 m2/ha (Tabel 9). Hutan kota di Kabupaten Garut memiliki Nilai LBDS per ha yang rendah, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah pohon per ha yang rendah. Selain itu, sebagian besar pohon di hutan kota memiliki diameter yang kecil dikarenakan pohon tersebut baru ditanam beberapa tahun yang lalu. Tabel 9 Nilai luas bidang dasar (LBDS) di hutan kota Kabupaten Garut Jumlah pohon Rata-rata diameter LBDS Hutan kota (N/ha) (cm) (m2/ha) Kerkop 40 42.34 8.13 Nusa Indah 60 27.26 3.94 Guntur 55 49.83 12.23 Ngamplang 59 27.53 3.70 Situ Bagendit 53 35.58 6.51 Situ Cangkuang 71 44.86 14.72 Vitalitas Indikator vitalitas diamati dengan menggunakan parameter kerusakan pohon dan kondisi tajuk. Penilaian kerusakan pohon dilakukan dengan mengamati setiap pohon di hutan kota yang meliputi lokasi kerusakan, tipe kerusakan, dan tingkat keparahan kerusakan. Hasil pengamatan tersebut kemudian dilakukan skoring dan dirangkum dalam sebuah indeks kerusakan. Tabel 10 Sebaran lokasi kerusakan pohon di hutan kota Kabupaten Garut Lokasi KRK NIN GTR NPG SBA SCA Jumlah kerusakan 0 2 1 2 3 56 56 120 1 0 0 0 0 1 1 2 2 0 0 0 0 0 0 0 3 1 3 6 0 0 0 10 4 2 2 7 4 3 3 21 5 0 2 0 1 1 1 5 6 3 2 3 13 29 29 79 7 6 19 14 27 22 22 110 8 3 2 0 0 0 0 5 9 2 2 3 9 2 2 20 KRK: Kerkop, NIN: Nusa Indah, GTR: Guntur, NPG: Ngamplang, SBA: Situ Bagendit, SCA: Situ Cangkuang
13 Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kerusakan pada pohon di hutan kota ditemukan pada beberapa lokasi bagian pohon. Sebaran lokasi kerusakan pohon di hutan kota dapat dilihat pada Tabel 10. Kerusakan yang terjadi di hutan kota paling banyak terdapat pada lokasi kerusakan 7 (dahan kecil atau ranting) yaitu sebanyak 110 pohon. Lokasi lain yang paling banyak ditemukan kerusakan adalah lokasi 6 (dahan utama), lokasi 4 (batang bagian bawah terdapat juga pada batang bagian atas), dan lokasi 20 (tajuk). Lokasi kerusakan tersebut berhubungan dengan tipe kerusakan pohon yang terjadi. Berdasarkan tipe kerusakan, terdapat sepuluh tipe kerusakan yang ditemukan di seluruh hutan kota dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda (Tabel 11). Pada setiap hutan kota, tipe kerusakan 22 (Gambar 4A) merupakan tipe kerusakan yang paling dominan terjadi. Selain itu, tipe kerusakan 3 (Gambar 4B) juga dapat ditemui di seluruh hutan kota. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor abiotik dan biotik, seperti hama, penyakit, polusi udara, aktivitas manusia, dan aktivitas lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon. Kerusakan di hutan kota akibat hama dan aktivitas manusia dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Tabel 11 Sebaran tipe kerusakan pohon di hutan kota Kabupaten Garut Tipe KRK NIN GTR NPG SBA SCA Jumlah kerusakan 1 0 2 1 1 0 0 4 2 0 0 1 0 0 2 3 3 2 3 10 4 5 3 27 4 1 0 0 0 0 0 1 5 0 1 0 0 0 0 1 20 3 1 0 0 0 1 5 21 2 1 3 1 3 0 10 22 6 21 18 40 53 50 188 24 1 2 0 7 2 0 12 25 2 1 0 1 1 2 7 KRK: Kerkop, NIN: Nusa Indah, GTR: Guntur, NPG: Ngamplang, SBA: Situ Bagendit, SCA: Situ Cangkuang
A B Gambar 4 Kerusakan pohon : cabang patah atau mati, di Kerkop (A), luka terbuka di Nusa Indah (B)
14
Gambar 5 Kerusakan pohon pada sengon akibat Xystrocera festiva di Ngamplang
Gambar 6 Kerusakan pohon berupa luka terbuka akibat kegiatan manusia di Situ Bagendit Hasil penilaian kesehatan pohon yang telah dilakukan terhadap tiga parameter lokasi kerusakan, tipe kerusakan, dan tingkat keparahan kerusakan kemudian dikumpulkan dan diperhitungkan dalam indeks kerusakan pohon. Berdasarkan nilai PLI kerusakan pohon, Situ Cangkuang merupakan hutan kota yang memiliki kerusakan pohon paling kecil dengan nilai PLI sebesar 0.81, sedangkan Guntur memiliki kerusakan pohon paling tinggi dengan nilai PLI sebesar 3.57 (Tabel 12). Semakin tinggi nilai PLI maka kerusakan pohon yang terjadi semakin parah, sebaliknya nilai PLI yang rendah menunjukkan bahwa tingkat kerusakan pohon yang terjadi masih sedikit atau tidak parah. Tabel 12 Nilai plot level index (PLI) kerusakan pohon di hutan kota Kabupaten Garut Lokasi hutan kota Kerkop Nusa Indah Guntur Ngamplang Situ Bagendit Situ Cangkuang
PLI 2.01 2.75 3.57 1.94 1.25 0.81
15 Kondisi tajuk pohon yang diukur adalah nisbah tajuk hidup, kerapatan tajuk, dieback, transparansi tajuk, dan diameter tajuk. Kelima kondisi tajuk tersebut dikumpulkan ke dalam peringkat tajuk visual (VCR). Hasil penilaian VCR menunjukkan bahwa hutan kota Kerkop, Nusa Indah, Ngamplang, Situ Bagendit, dan Situ Cangkuang memiliki kondisi tajuk yang baik, sedangkan Guntur memiliki kondisi tajuk yang kurang baik dan memiliki nilai VCR terendah yaitu sebesar 2.70 (Tabel 13). Nilai VCR yang rendah menggambarkan kondisi tajuk yang tidak sehat karena dapat mengurangi aktivitas fotosintesis dan laju pertumbuhan sehingga pohon tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Tabel 13 Nilai visual crown ratio (VCR) pohon di setiap hutan kota Kabupaten Garut Lokasi hutan kota Kerkop Nusa Indah Guntur Ngamplang Situ Bagendit Situ Cangkuang
VCR 3.75 3.29 2.70 3.30 3.79 3.90
Tingkat Kesehatan Hutan Kota Nilai tingkat kesehatan tegakan hutan kota didapatkan dari penggabungan indikator produktivitas, biodiversitas, kualitas tajuk dan kondisi kerusakan pohon (Tabel 14). Skoring untuk setiap indikator diberikan interval 0-10. Berdasarkan hasil skoring, Situ Cangkuang merupakan hutan kota yang memiliki nilai akhir paling tinggi yaitu sebesar 37 yang menunjukkan bahwa hutan kota di Situ Cangkuang sangat sehat, sedangkan Nusa Indah memiliki nilai akhir yang paling rendah yaitu sebesar 18 dan memiliki tingkat kesehatan yang sedang. Nilai akhir kesehatan hutan di setiap hutan kota dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 14 Skoring masing-masing indikator kesehatan hutan kota Produktivitas (LBDS) 13.38‒14.72 12.04‒13.39 10.70‒12.05 9.36‒10.71 8.02‒9.37 6.68‒8.03 5.34‒6.69 4.01‒5.35 2.67‒4.02 1.33‒2.68 0‒1.34
Kerusakan pohon (PLI) 0‒0.32 0.33‒0.65 0.66‒0.97 0.98‒1.30 1.31‒1.62 1.63‒1.95 1.96‒2.27 2.28‒2.60 2.61‒2.92 2.93‒3.25 3.26‒3.57
Indikator Kondisi tajuk (VCR) 4 3.60‒3.99 3.30‒3.59 3.00‒3.29 2.60‒2.99 2.30‒2.59 2.00‒2.29 1.60‒1.99 1.30‒1.59 1.01‒1.29 1
Biodiversitas (Hʹ) 2.33‒2.55 2.10‒2.32 1.87‒2.09 1.63‒1.86 1.40‒1.62 1.17‒1.39 0.94‒1.16 0.71‒0.93 0.47‒0.70 0.23‒0.46 0‒0.22
Skor 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
16 Tabel 15 Skoring indikator dan nilai akhir kesehatan hutan kota di Kabupaten Garut Indikator Hutan Nilai Kerusakan Kondisi Ket. Produktivitas Biodiversitas akhir kota Pohon Tajuk (LBDS) (Hʹ) (PLI) (VCR) 6 4 9 8 27 Sehat KRK 2 2 7 7 18 Sedang NIN 9 0 6 6 21 Sedang GTR 2 5 8 6 21 Sedang NPG 4 7 9 10 30 Sehat SBA sangat 10 8 9 10 37 SCA sehat KRK: Kerkop, NIN: Nusa Indah, GTR: Guntur, NPG: Ngamplang, SBA: Situ Bagendit, SCA: Situ Cangkuang
Pembahasan Biodiversitas Setiap hutan kota memiliki keanekaragaman jenis tanaman yang berbedabeda. Dari 36 jenis tanaman yang ditemukan, jenis tanaman mahoni adalah satusatunya jenis tanaman yang dapat ditemui di seluruh hutan kota. Jenis ini sendiri merupakan tanaman yang ditanam oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut. Pemilihan jenis mahoni di hutan kota didasarkan pada fungsi keteduhan dan kekuatan sebagai syarat jenis tanaman penyusun hutan kota. Cabang mahoni tidak mudah patah terkena hembusan angin dan lapuk akibat serangan jamur serta tidak mudah tumbang karena sistem perakarannya yang kuat. Mahoni juga tanaman yang tahan terhadap polusi, menurut Fakuara et al. (1996) dalam Sulistijotiri (2009) menyatakan bahwa tanaman damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), dan pala (Mirystica fragans) mempunyai kemampuan sedang hingga tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara. Dahlan (1989) dalam Desianti (2011) menjelaskan bahwa kenari dan mahoni merupakan jenis yang mampu menjerap debu semen dan cocok ditanam di daerah yang terdapat banyak pembangunan. Seperti mahoni, sengon dan gmelina juga tanaman yang ditanam oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut. Sengon dan gmelina dipilih karena sifatnya yang cepat tumbuh, tanaman tersebut ditanam di areal yang tadinya tidak bervegetasi terutama di Ngamplang dan Nusa Indah serta di sebagian areal Situ Cangkuang. Penanaman jenis tersebut kurang tepat untuk hutan kota, selain karena tidak sesuai dengan kriteria tanaman hutan kota, tanaman banyak mengalami kerusakan. Selain ditanam oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut, tanaman lainnya merupakan tanaman yang tumbuh sendiri ataupun ditanam oleh pengelola kawasan (Situ Cangkuang dan Situ Bagendit) dan masyarakat sekitar hutan kota. Seluruh jenis yang ditemukan di hutan kota tidak semuanya termasuk ke dalam karakteristik pohon yang sesuai untuk hutan kota. Adapun karakteristik pohon untuk hutan kota antara lain pohon-pohon dengan perakaran kuat, ranting tidak mudah patah, daun tidak mudah gugur, pohon penghasil bunga atau buah,
17 memiliki tajuk yang tebal, dan memiliki nilai keindahan (Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002). Berdasarkan karakteristik pohon tersebut dan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 tahun 2008, tanaman di Hutan Kota Garut yang sesuai untuk ditanam hanya 12 jenis dari 36 jenis tanaman yang ditemukan antara lain mahoni, krey payung, angsana, beringin, johar, bungur, flamboyan, kupu-kupu, sawo kecik, akasia, bintaro, mangga, dan nangka. Oleh karena itu, masih diperlukan adanya kegiatan pengayaan tanaman dengan jenis yang sesuai agar tegakan hutan kota dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan nilai indeks keragaman (Hʹ), Keanekaragaman jenis di Situ Bagendit dan Situ Cangkuang memiliki keanekaragaman jenis tanaman yang paling tinggi dibandingkan dengan hutan kota lainnya. Keanekaragaman jenis yang tinggi ini karena terdapat jenis-jenis tanaman di Situ Cangkuang dan Situ Bagendit sudah tumbuh sejak lama dan terpelihara dengan baik. Keanekaragaman bertambah dengan adanya kegiatan penanaman yang dilakukan di dalam kawasan. Sementara itu, hutan kota Kerkop, Ngamplang, Nusa indah, dan Guntur memiliki keanekaragaman yang lebih rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar pohon penyusun tegakan hutan kota merupakan tanaman yang baru ditanam. Penanaman biasanya menggunakan tanaman dengan jenis yang sama sehingga keanekaragaman menjadi lebih rendah. Ukuran kemerataan merupakan indikator gejala dominasi antar jenis dalam komunitas. Setiap hutan kota memiliki nilai kemerataan yang hampir sama dengan kisaran nilai Jʹ antara 0.80 hingga 0.96. Suatu komunitas dikatakan stabil apabila mempunyai nilai kemerataan jenis mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa setiap hutan kota di Kabupaten Garut dapat dikatakan mendekati stabil. Penyebaran jumlah jenis tanaman di setiap hutan kota merata, tidak ada jenis tertentu yang mendominasi di hutan kota. Apabila terjadi dominasi suatu jenis dalam kawasan maka nilai kemerataan akan semakin rendah. Produktivitas Tanaman Nilai LBDS per hektar di Situ Cangkuang dan Guntur merupakan LBDS terbesar dibandingkan dengan hutan kota lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh sebagian besar pohon yang berada di hutan kota tersebut telah berumur tua dan memiliki diameter yang besar. Kerkop, Situ Bagendit, Ngamplang, dan Nusa indah memiliki nilai LBDS lebih rendah yang disebabkan karena kawasan tersebut baru dilakukan penanaman sehingga sebagian besar pohon memiliki diameter yang kecil. Secara keseluruhan nilai LBDS di hutan kota masih rendah, hal ini sangat dipengaruhi oleh jumlah pohon atau kerapatan tegakan yang rendah. Rendahnya kerapatan pohon ini berhubungan dengan kondisi di hutan kota. Di dalam area hutan kota sendiri terdapat bangunan (rumah adat dan warung pedagang) dan jalan yang menyebabkan area hutan kota menjadi lebih terbuka. Selain karena kerapatan pohon, tidak adanya pemeliharaan pohon dapat menyebabkan pohon tidak tumbuh dengan baik sehingga pertumbuhan diameter pohon menjadi lebih lama. Sejauh ini kegiatan pemeliharaan yang baru dilakukan hanya sebatas pemeliharaan pagar dan tempat duduknya saja.
18 Vitalitas Indikator vitalitas diamati dengan menggunakan parameter kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk. Indikator kondisi kerusakan pohon merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kesehatan tegakan. Kerusakan pohon (tergantung lokasi, jenis, dan keparahannya) akan berpengaruh terhadap fungsi fisiologis pohon, menurunkan laju pertumbuhan pohon, dan dapat menyebabkan kematian pohon (Putra 2004). Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor abiotik dan biotik, seperti hama, penyakit, polusi udara, aktivitas manusia, dan aktifitas lain yang dapat mempengaruihi pertumbuhan dan perkembangan pohon. Lokasi kerusakan di hutan kota ditemukan pada beberapa bagian pohon, yang paling banyak ditemukan antara lain lokasi 4 (batang bagian bawah yang terdapat juga pada bagian atas), lokasi 6 (dahan utama yang terdapat pada bagian tajuk), lokasi 7 (dahan kecil atau ranting), dan lokasi 9 (daun tajuk). Tipe kerusakan yang terjadi pada lokasi tersebut yaitu tipe kerusakan 3 (luka terbuka), tipe kerusakan 22 (cabang patah atau mati), tipe kerusakan 21 (mati ujung) dan tipe kerusakan 24 (daun, kuncup, atau tunas rusak). Tipe kerusakan 21 diduga terjadi karena adanya busuk pada akar tanaman akibat serangan jamur atau adanya genangan air, sedangkan tipe kerusakan 24 diduga terjadi karena hama yang menyerang pohon. Tipe kerusakan 22 (cabang patah atau mati) merupakan tipe kerusakan paling dominan di setiap hutan kota. Penyebab adanya kerusakan yang terjadi berbeda-beda di setiap hutan kota. Di Situ Cangkuang, Kerkop, dan Guntur kerusakan 22 terjadi diakibatkan adanya kegiatan pemangkasan pohon dan banyaknya pohon yang telah berumur tua. Menurut Sodikin (2014) pohon yang tua akan semakin rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan gangguan teknis dari luar karena tingkat metabolisme tubuhnya untuk kembali ke kondisi awal lebih rendah dibanding pohon muda. Kerusakan tanaman di Situ Bagendit disebabkan karena adanya pemangkasan dan akibat adanya aktivitas manusia berupa perdagangan di sebagian areal hutan kota. Banyak bangunan atau warung yang didirikan pedagang berdekatan dengan pohon bahkan ada yang mendirikannya di bawah pohon sehingga mengakibatkan kerusakan pada pohon baik rusak ringan maupun sedang. Kerusakan di Hutan kota Ngamplang dan Nusa Indah terjadi pada tegakan yang memiliki jenis tanaman yang sama yaitu sengon dan gmelina. Di Ngamplang tipe kerusakan 22 lebih banyak disebabkan oleh adanya serangan hama boktor Xystrocera festiva pada tanaman sengon. Hama tersebut dapat mengakibatkan cabang pohon mati. Tanaman sengon tumbuh mengelompok sehingga serangan hama ini menjadi besar dan hampir menyerang seluruh tanaman sengon. Sementara itu, di Nusa Indah tipe kerusakan 22 berada pada tegakan gmelina. Gejala yang terlihat adanya cabang yang mati dan daunnya berguguran. Cabang patah yang dijumpai disebabkan karena cabang lapuk dan akhirnya patah. Menurut Pracaya (2003) dalam Miardini (2006), hal ini dimungkinkan karena adanya parasit, non parasit, atau hama. Tipe kerusakan 3 (luka terbuka) juga merupakan tipe kerusakan yang banyak ditemukan, kerusakan ini dapat dijumpai di seluruh hutan kota. Luka terbuka disebabkan oleh sayatan golok atau pisau dan pemangkasan yang tidak tepat. Ukuran luka dapat membesar seiring dengan bertumbuhnya pohon.
19 Kerusakan ini dapat mengakibatkan pohon menjadi rusak berat, dan dapat menyebabkan kanker, konk atau kerusakan lainnya jika terserang patogen yang menyebabkan sakit. Berdasarkan nilai PLI, Situ Cangkuang dan Situ Bagendit memiliki nilai paling rendah, hal ini berarti kerusakan yang terjadi tidak parah atau masih rendah. Rendahnya nilai PLI kerusakan pohon di Situ Bagendit dan Situ Cangkuang dikarenakan terdapat pengelola kawasan di dalamnya sehingga kondisi pohon lebih terjaga. Selain itu pengunjung yang datang ke kawasan mempunyai rasa memiliki hutan kota, hal ini dapat dilihat pada Situ Cangkuang dan Situ Bagendit tidak ditemukan adanya kerusakan pada pohon bagian bawah (lokasi 1, 2, dan 3). Lokasi Guntur merupakan hutan kota dengan nilai PLI terbesar atau memiliki tingkat kerusakan pohon yang paling berat dibandingkan hutan kota lainnya. Tingginya tingkat kerusakan pohon di Guntur dapat disebabkan oleh drainase yang buruk, aktivitas manusia yang menyebabkan luka pada pohon dan letak hutan kota ini berdekatan dengan terminal bus dan sering dilalui oleh kendaraan umum yang menghasilkan polusi udara tinggi. Ukuran tajuk dapat menggambarkan kondisi kesehatan pohon secara umum. Pengamatan tajuk pohon dapat mencerminkan proses pertumbuhan, pengaruh tempat tumbuh, kerapatan pohon, dan gangguan dari luar. Menurut Nuhamara (2002) evaluasi tajuk yang dilakukan dengan cara pengukuran secara kuantitatif terhadap parameternya sangat berhubungan dengan ukuran kualitas tempat tumbuh, kerapatan pohon, dan tekanan dari luar. Tajuk pohon memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan pengaturan energi matahari, siklus hara, distribusi curah hujan, dan retensi kelembaban yang terjadi di dalam hutan. Berdasarkan data yang diperoleh, Situ Cangkuang, Situ Bagendit, Kerkop, Ngamplang dan Nusa Indah memiliki kualitas VCR yang baik. Pohon-pohon yang berada di hutan kota tersebut memiliki tajuk yang lebar dan lebat sehingga nilai VCR tinggi. Menurut Putra (2004) tajuk yang lebar dan lebat menggambarkan laju pertumbuhan yang cepat. Nilai VCR yang baik menggambarkan kondisi tajuk yang sehat sehingga pohon masih dalam pertumbuhan optimal dan dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Hutan kota Guntur memiliki nilai VCR terendah, disebabkan adanya mati pucuk atau CDb pada tajuk pohon-pohon di Guntur. Hal ini dapat terjadi karena kondisi tanah di Guntur padat dan drainasenya buruk. Selain itu menurut Rahayu (2000) dalam Khoiri (2004), mati ujung atau CDb umumnya terjadi karena kerusakan jaringan tanaman atau penyumbatan xylem yang disebabkan oleh adanya serangan penyakit yang bekerja sama dengan serangan hama. Kerusakan jaringan akan mengganggu pengambilan zat hara dalam tanah dan mengakibatkan pucuk mati. CDb yang semakin parah mengakibatkan nilai VCR akan semakin rendah. Nilai VCR yang rendah menggambarkan kondisi tajuk yang tidak sehat karena dapat mengurangi aktivitas fotosintesis dan laju pertumbuhan sehingga pohon tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk dapat menentukan vitalitas suatu pohon. Vitalitas merupakan hal yang dapat menggambarkan kesuburan suatu jenis dalam perkembangannya sebagai respon terhadap lingkungan. Apabila pohon dengan kerusakan yang rendah dan memiliki kondisi tajuk yang baik maka vitalitas suatu pohon baik pula. Salah satu cara untuk menggambarkan vitalitas ini adalah dengan memperhatikan struktur vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan.
20 Situ Cangkuang yang memiliki kerusakan pohon sedikit dan kondisi tajuk yang baik dapat ditemukan anakan berupa semai, begitu juga dengan Situ Bagendit dan Ngamplang. Walaupun seharusnya hutan kota dapat dikatakan masih memiliki vitalitas yang baik, tetapi kegiatan regenerasi di hutan kota tidak berlangsung dengan baik. Peremajaan di hutan kota dapat ditemukan beberapa kendala terutama di Kerkop, Nusa Indah, dan Guntur antara lain luasan hutan kota yang kecil, tidak adanya kegiatan pemeliharaan hutan, dan terdapat juga aktivitas manusia tinggi berupa lalu lalang manusia di dalam tegakan. Kendala tersebut dapat mengganggu peremajaan di hutan kota, terutama peremajaan secara alami. Peremajaan di hutan kota sendiri dilakukan secara buatan yaitu dengan cara penanaman oleh Dinas Kehutanan maupun masyarakat. Sebagian besar tanaman-tanaman yang ada di hutan kota merupakan hasil dari kegiatan penanaman. Tingkat Kesehatan Hutan Kota Hutan yang sehat artinya hutan yang dapat menjalankan fungsinya secara optimal sesuai dengan fungsi hutan yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan penilaian kesehatan hutan kota di Kabupaten Garut, Nilai akhir tingkat kesehatan Situ Cangkuang, Situ Bagendit, Ngamplang, Kerkop, Guntur, dan Nusa indah berturut-turut adalah 37, 30, 21, 27, 21, dan 18. Situ cangkuang merupakan hutan kota yang memiliki tingkat kesehatan paling baik diantara hutan kota lain yaitu dengan tingkat kesehatan yang sangat sehat. Situ Bagendit dan Kerkop memiliki tingkat kesehatan hutan yang sehat, sedangkan Guntur, Ngamplang dan Nusa Indah memiliki tingkat kesehatan hutan yang sedang. Tingkat kesehatan Guntur, Ngamplang, dan Nusa Indah yang lebih rendah sangat dipengaruhi oleh produktivitas dan kondisi kerusakan pohon. Walaupun Guntur memiliki produktivitas yang baik tapi kerusakan yang terjadi di hutan kota ini paling parah di bandingkan hutan kota lainnya. Tingkat kesehatan hutan kota di Kabupaten Garut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pengelolaan hutan kota, jenis tanaman, dan aktivitas manusia. Pengelolaan hutan kota merupakan faktor yang paling penting, Situ Cangkuang dan Situ Bagendit yang dikelola dengan baik memiliki kesehatan tegakan yang baik pula, berbeda dengan tegakan hutan kota lainnya yang tidak dipelihara dengan baik memiliki kesehatan yang lebih rendah. Oleh karena itu pengelolaan hutan kota perlu diperhatikan agar kesehatan tegakan dapat terjaga. Jenis tanaman yang ditanam di hutan kota haruslah sesuai dengan karakteristik tanaman untuk hutan kota antara lain pohon-pohon dengan perakaran kuat, ranting tidak mudah patah, daun tidak mudah gugur, memiliki tajuk yang tebal, dan memiliki nilai keindahan. Berdasarkan pengamatan di lapangan tanaman mahoni merupakan tanaman yang sesuai dan paling sedikit mengalami kerusakan. Tanaman mahoni merupakan jenis yang memiliki resiliensi yang baik karena kemampuan mahoni untuk menjerap partikel debu, timbel, dan seng yang berasal dari kendaraan bermotor. Menurut Putra (2004) resiliensi (kelenturan) didefinisikan sebagai kemampuan untuk kembali ke keadaan semula dengan cepat setelah mengalami kemunduran atau perubahan. Tanaman yang memiliki resiliensi yang baik akan cepat kembali ke keadaan yang sehat setelah mengalami gangguan dari luar seperti serangan hama penyakit atau kerusakan teknis akibat aktivitas manusia. Untuk hutan kota di Kabupaten Garut sendiri perlu adanya
21 pengayaan tanaman dengan tanaman yang sesuai karakteristik untuk hutan kota, karena terdapat tanaman yang tidak sesuai karakteristik seperti sengon dan gmelina mengalami kerusakan dan menggangu kesahatan tegakan hutan kota. Aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap kesehatan tegakan karena terdapat beberapa kerusakan pada pohon yang terjadi disebabkan oleh adanya aktivitas manusia. Luka terbuka merupakan kerusakan yang paling parah akibat adanya aktivitas manusia seperti pemangkasan cabang yang tidak benar, pemasangan iklan, dan kegiatan lainnya baik sengaja maupun tidak sengaja. Luka terbuka ini dapat menimbulkan penyakit kanker dan serangan jamur pelapuk kayu. Aktivitas lainnya seperti kegiatan perdagangan (mendirikan tempat berjualan) dapat mengakibatkan kerusakan pohon, kerusakan akibat kegiatan ini paling banyak terdapat di Situ Bagendit.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat kesehatan hutan kota di Kabupaten Garut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pengelolaan hutan kota, jenis pohon penyusun tegakan, dan aktivitas manusia dalam bentuk pemangkasan cabang dan kegiatan perdagangan (mendirikan tempat berjualan). Berdasarkan penilaian yang dilakukan, tingkat kesehatan hutan kota dari tertinggi sampai terendah berturutturut ialah Situ Cangkuang, Situ Bagendit, Kerkop, Guntur, Ngamplang, dan Nusa Indah. Situ Cangkuang merupakan hutan kota yang memiliki tingkat kesehatan tertinggi dengan tingkat kesehatan hutan yang sangat sehat. Situ Bagendit dan Kerkop memiliki tingkat kesehatan hutan yang sehat, sedangkan Guntur, Ngamplang dan Nusa Indah memiliki tingkat kesehatan hutan yang sedang. Saran 1. 2. 3. 4.
5.
Melaksanakan upaya pemeliharaan hutan kota dan pemantauan secara periodik untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan hutan kota. Evaluasi pemilihan jenis tanaman dan melakukan pengayaan dengan tanaman-tanaman jenis lokal. Menegakan hukum yang tegas terhadap pihak yang melakukan kerusakan di hutan kota. Pedagang di Situ Bagendit perlu ditertibkan dan dihimbau agar berdagang di tempat yang sudah ditentukan dan tidak mendirikan warung di bawah tegakan hutan kota yang dapat merusak pohon. Memasang papan himbauan peraturan agar masyarakat dapat ikut serta menjaga dan memelihara hutan kota.
22 DAFTAR PUSTAKA
Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan. Jakarta (ID) : APHI Darmansyah RA. 2014. Penilaian kondisi kesehatan tegakan di areal pasca tambang PT ANTAM Tbk UBPE Pongkor, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Desianti A. 2011. Evaluasi fungsi ekologis jalur hijau jalan kawasan Sentul City, Bogor. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Farida N. 2013. Perencanaan jalur hijau jalan tol jagorawi ruas gerbang tol Bogor sampai Terminal Baranang Siang. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [Kemen PU] Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Jakarta (ID) : Kemen PU. Khoiri S. 2004. Studi tingkat kerusakan pohon di Hutan Kota Srengseng Jakarta Barat. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Miardini A. 2006. Analisis kesehatan pohon di Kebun Raya Bogor. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Nuhamara ST. 2002. Inventarisasi Kerusakan Hutan (Indikator Kerusakan Struktur Vegetasi dan Tanaman). [skripsi]. Bogor (ID) : Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Nuhamara ST, Kasno. 2001. Present Status of Crown Indikator. Technical Report No 6. Dalam Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainable of Indonesian Tropical Rain Forest Volume I. Japan: ITTO dan Bogor (ID): SEAMEO-BIOTROP. [Pemkab Garut] Pemerintah Kabupaten Garut. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 29 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wiilayah Kabupaten Garut Tahun 2011-2031. Garut (ID) : Pemkab Garut. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2002. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia. Pielou EC. 1969. An Introduction to Mathematical ecology. Toronto (US) : Wiley-Interscience. Putra IE. 2004. Pengembangan metode penilaian kesehatan hutan alam produksi. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB Sodikin D. 2014. Penilaian kesehatan jalur hijau di Kota Bogor. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sulistijorini. 2009. Keefektifan dan toleransi jenis tanaman jalur hijau jalan dalam mereduksi pencemar NO2 akibat aktivitas transportasi. [skripsi]. Bogor (ID) : Sekolah Pasca Sarjana IPB. [USDA-FS NASF] USDA Forest Service – National Association of State Foresters. 1999. Forest Health Monitoring Fact Sheet Series :Tree Crown Condition Indicator. Asheville NC (US): United States Department of Agriculture – Forest Service.
23 Lampiran 1 Peta lokasi klaster plot di Situ Cangkuang
24 Lampiran 1 Peta lokasi klaster plot di Situ Cangkuang (lanjutan)
25 Lampiran 2 Peta lokasi klaster plot di Situ Bagendit
26 Lampiran 2 Peta lokasi klaster plot di Situ Bagendit (lanjutan)
27 Lampiran 3 Peta lokasi klaster plot di hutan kota Kerkop
28 Lampiran 4 Peta lokasi klaster plot di hutan kota Nusa Indah
29 Lampiran 5 Peta lokasi klaster plot di hutan kota Ngamplang
30 Lampiran 6 Peta lokasi klaster plot di hutan kota Guntur
31
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Garut tanggal 8 Desember 1992. Penulis merupakan anak ke-4 dari 4 bersaudara dari pasangan ayah Adjum Muljadi dan ibu Ena Permana. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1998 di TK Tunas Harapan, tahun 1999 melanjutkan pendidikan di SDN Regol IX, kemudian tahun 2005 melanjutkan pendidikan di SMPN 123 Jakarta selama satu tahun dan pada tahun 2006 melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Garut. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Garut dan lulus pada tahun 2011. Tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor memlalui jalur Undangan sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan Departemen Silvikultur. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi Tree Grower Community dan Himpunan Mahasiswa Garut. Pada periode 2013/2014 kepengurusan TGC, penulis pernah menjadi ketua Pathology Group dan melaksanakan EKSFLORASI di Gunung Anak Krakatau. Penulis telah melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Sancang dan Papandayan Kabupaten Garut, Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Pada bulan Februari hingga April 2015 penuli melaksanakan Praktik Kerja Profesi di PT. Sumalindo Hutani Jaya, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Guna memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul „Penilaian Kesehatan Tegakan Hutan Kota di Kabupaten Garut” di bawah bimbingan Dr Ir Supriyanto.