Penilaian Awal terhadap Kebutuhan Kayu untuk Rekonstruksi NAD dan Implikasinya
Januari 2005
Executive Summary This study assesses the volume of logs required to provide temporary barrack accommodation, low cost permanent housing, reconstruction and repair of office buildings, schools, hospitals and houses of worship, as well as for rebuilding the fishing fleet of 3,000 boats during the Phases of Emergency Response and subsequent Reconstruction of Nanggroe Aceh Darussalam. Depending on the timber content of permanent houses the volume of logs required ranges from around 4 to a maximum of 8 million cubic meters. A survey of some potential domestic timber sources (stolen, found, seized, and donated timber, as well as from timber plantations, community owned forests and crop plantations) shows that these are very limited and inadequate. Fifty thousand m3 of timber from Aceh’s own production forests is legally available immediately. This timber was permitted to be logged in 2004 but was never harvested. However, this volume would only be sufficient to allow the building of 1,000 temporary barraks or rebuilding of Aceh’s fishing fleet. The use of imported, sustainably produced timber is instead recommended in order to avoid the opportunistic practices that could occur, should traders of illegal timber use the “attractive” opportunities that will surely be provided by the great reconstruction need. This imported timber could be supplied free as in-kind assistance by donor states, with its value being deducted from the total aid commitment made, or by global corporations involved in the trade of such timber. The Indonesian Government should expedite the import process for this timber by ensuring there are no barriers that would delay this and by providing special facilities to ensure it. The Government is advised to use local and international NGOs within existing forestry networks to assist it in lobbying and in the necessary technical preparations, e.g. directing the flow of donated timber.
1
I.
Pengantar Studi ini merupakan hasil penilaian awal (preliminary assessment) terhadap estimasi kebutuhan bahan baku kayu dan sumber pemenuhannya guna merespon kebutuhan dalam Fase Tanggap Darurat dan Fase Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Studi ini dapat dijadikan sebagai basis analisis bagi pemerintah, lembaga-lembaga internasional, dan para pihak relevan lainnya dalam mengantisipasi kebutuhan bahan baku kayu dalam Fase Tanggap Darurat dan Fase Rekonstruksi NAD. Metodologi penilaian awal dalam studi ini berbasis pada pedoman rekonstruksi bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Terhadap hasil estimasi kebutuhan kayu untuk rekonstruksi bangunan, konsultasi teknis dilakukan dengan pihak Perum Perumnas, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kantor Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Sedangkan untuk estimasi kebutuhan armada penangkapan ikan, data survei lapangan diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan, yang selanjutnya dikonsultasikan dengan pihak Dinas Perikanan Propinsi NAD. Sementara, terhadap analisis kebutuhan kayu dan sumber pemenuhannya, konsultasi teknis dilakukan dengan pihak Departemen Kehutanan. Studi ini membahas kebutuhan bahan baku kayu (demand side) untuk Fase Tanggap Darurat dan Fase Rekonstruksi NAD, yang meliputi: (a) konstruksi barak penampungan, (b) konstruksi perumahan sederhana sehat, (c) konstruksi perkantoran, rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah, dan (d) konstruksi armada penangkapan ikan. Untuk mengeksplorasi sumber-sumber pemenuhan bahan baku kayu, studi ini menjelaskan beberapa alternatif dan tantangan yang meliputi: (a) pemanfaatan kayu hasil temuan, rampasan, dan sumbangan, (b) pemanfaatan kayu dari hutan produksi NAD, (c) pemanfaatan kayu dari hutan tanaman, (d) pemanfaatan kayu dari hutan rakyat dan peremajaan perkebunan, dan (e) sumber bahan baku kayu impor.
II.
Kebutuhan Bahan Baku Kayu
2.1.
Konstruksi Barak Penampungan dalam Fase Tanggap Darurat Sebelum melaksanakan konstruksi perumahan di Propinsi NAD, dalam Fase Tanggap Darurat, Pemerintah merencanakan membangun 1.000 unit barak penampungan sementara bagi para pengungsi. Untuk konstruksi satu unit barak penampungan, diperlukan sekitar 12,5 hingga 15 m3 kayu gergajian. Sehingga, untuk membangun 1.000 unit barak dibutuhkan kayu sebanyak 12.500 hingga 15.000 m3 kayu gergajian. Atau, dengan asumsi tingkat rendemen sebesar 40%, konstruksi 1.000 unit barak tersebut membutuhkan 31.250 hingga 37.500 m3 kayu bulat. Tiap unit barak tersebut dirancang untuk menampung 50 orang pengungsi, sehingga konstruksi 1.000 unit barak tersebut baru dapat menampung 50.000 orang pengungsi. 2
Angka tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengungsi yang mencapai di atas 500.000 orang (data per 11 Januari 2005). Untuk dapat menampung seluruh pengungsi tersebut, dibutuhkan minimal 10.000 unit barak penampungan, yang diperlukan selama para pengungsi menunggu pengadaan perumahan dari pemerintah. Sehingga, diperkirakan total kebutuhan kayu untuk membangun 10.000 unit barak tersebut mencapai 125.000 hingga 150.000 m3 kayu gergajian. Dengan tingkat rendemen 40%, diperkirakan membutuhkan 312.500 hingga 375.000 m3 kayu bulat. 2.2.
Konstruksi Perumahan Sederhana Sehat (Rs-S)1 Kebutuhan kayu untuk konstruksi perumahan Rs-S dengan luas bangunan 36 m2 (Rs-S2) dibedakan atas tiga spesifikasi teknis, yaitu: (1) Rumah Kayu Tidak Panggung, (2) Rumah Kayu Panggung, dan (3) Rumah Beton dengan Dinding Batubata/Batako. Ketiga spesifikasi teknis tersebut memerlukan volume kayu yang berbeda-beda untuk tiap unit rumah, sehingga memberikan konsekuensi terhadap kalkulasi kebutuhan kayu yang berbeda. Kalkulasi tersebut mengacu pada rencana pemerintah untuk membangun 500.000 unit rumah (data per 18 Januari 2005). Kebutuhan kayu terhadap ketiga spesifikasi teknis di atas adalah sebagai berikut: a. Rumah Kayu Tidak Panggung Konstruksi rumah kayu tidak panggung Rs-S2 dengan luas bangunan 36 m2 diperkirakan memerlukan kayu kurang lebih antara 5-6 m3 kayu gergajian per unit rumah. Sehingga, jika dibangun 500.000 unit rumah Rs-S2, maka dibutuhkan 2,5 hingga 3 juta m3 kayu gergajian. Dengan tingkat rendemen 40%, guna menghasilkan kayu gergajian tersebut akan dibutuhkan kayu bulat (logs) sebesar 6,25 hingga 7,5 juta m3. b. Kombinasi antara Rumah Kayu Panggung dan Rumah Kayu Tidak Panggung Konstruksi rumah kayu panggung Rs-S2 dengan luas bangunan 36 m2 ini diperkirakan memerlukan kayu yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe rumah tidak panggung. Rumah kayu panggung membutuhkan bahan baku kayu antara 9-10 m3 kayu gergajian per unit rumah. Jika ada pilihan pemerintah untuk membangun tipe rumah panggung, tentu tidak semua dari 500.000 unit rumah yang akan dibangun bertipe rumah panggung. Jika pilihannya adalah 100.000 unit rumah dibangun dengan tipe rumah panggung dan 400.000 unit rumah tidak panggung, maka diperkirakan kebutuhan kayu
1
Lihat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia Nomor: 403/KPTS/M/2002 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). 3
antara 2 hingga 2,4 juta m3 kayu gergajian untuk rumah tidak panggung dan 0,9 hingga 1 juta m3 kayu gergajian untuk rumah panggung. Sehingga, total kebutuhan kayu untuk perumahan berkisar adalah antara 2,9 hingga 3,4 juta m3 kayu gergajian. Dengan tingkat rendemen 40%, maka dibutuhkan kayu bulat (logs) sebesar 7,25 hingga 8,5 juta m3. c. Rumah Beton (Dinding Batu Bata/Batako) Rumah dengan konstruksi seperti ini merupakan rumah dengan penggunaan bahan baku kayu yang paling minimal dibandingkan dengan pilihan rumah kayu tidak panggung dan rumah kayu panggung. Untuk rumah beton dengan dinding batu bata/batako hanya diperlukan kayu antara 3-4 m3 kayu gergajian per unit rumah. Untuk membangun 500.000 unit rumah dengan konstruksi ini akan membutuhkan bahan baku kayu antara 1,5 hingga 2 juta m3 kayu gergajian. Dengan asumsi tingkat rendemen 40%, maka dibutuhkan antara 3,75 hingga 6 juta m3 kayu bulat. 2.3.
Konstruksi Perkantoran, Rumah Sakit, Sekolah, dan Rumah Ibadah Berdasarkan data kompilasi kerusakan bangunan dari berbagai sumber, untuk konstruksi perkantoran, rumah sakit, dan rumah ibadah dengan struktur bangunan beton, diperkirakan akan membutuhkan bahan baku kayu antara 81.675 hingga 108.540 m3 kayu gergajian. Dengan menggunakan faktor koreksi sebesar 25%, maka kebutuhan bahan baku kayu diperkirakan mencapai antara 101.756 hingga 135.675 m3 kayu gergajian. Sehingga, dengan tingkat rendemen 40%, maka akan membutuhkan bahan baku kayu bulat antara 254.301 hingga 339.188 m3.
2.4.
Armada Penangkapan Ikan (rebuilding boat fishing) Kebutuhan bahan baku kayu untuk memenuhi rekonstruksi dan perbaikan armada penangkapan ikan--dalam hal ini perahu tanpa motor (PTM), motor tempel (MT), dan kapal motor (KM)--diperkirakan antara 14.774 hingga 18.468 m3 kayu gergajian (asumsi 25% faktor koreksi). Sehingga, kebutuhan kayu dengan tingkat rendemen 40% untuk sarana armada penangkapan ikan tersebut antara 36.936 hingga 46.170 m3 kayu bulat.
2.5.
Rekapitulasi Kebutuhan Kayu Berdasarkan kalkulasi kebutuhan kayu untuk konstruksi barak penampungan, perumahan, bangunan perkantoran, sekolah, rumah sakit, dan rumah ibadah, serta armada penangkapan ikan, maka kebutuhan kayu dapat direkapitulasi sebagai berikut:
4
Tabel 1. Rekapitulasi Kebutuhan Kayu No.
Konstruksi
1
Barak penampungan
Volume Kebutuhan Kayu (m3) Jumlah (Unit)
Kayu Gergajian
Minimal a. Rencana Pemerintah dalam Fase Tanggap Darurat b. Usulan jumlah barak untuk kelayakan tempat tinggal sementara bagi > 500.000 pengungsi 2
3
4
Maksimal
Kayu Bulat yang Dibutuhkan untuk Menghasilkan Kayu Gergajian Minimal
Maksimal
1.000
12.500
15.000
31.250
37.500
10.000
125.000
150.000
312.500
375.000
2
Perumahan sederhana sehat (total 500.000 unit tipe 36 m ) a. Pilihan rumah kayu tidak panggung
500.000
2.500.000
3.000.000
6.250.000
7.500.000
b. Pilihan kombinasi (rumah kayu panggung 100.000 unit dan rumah kayu tidak panggung 400.000 unit)
500.000
2.900.000
3.400.000
7.250.000
8.500.000
c. Pilihan rumah beton
500.000
1.500.000
2.000.000
3.750.000
6.000.000
Perkantoran, rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah
6.098
101.756
135.675
254.301
339.188
Armada penangkapan ikan
3.000
14.774
18.468
36.936
46.170
Total Kebutuhan Kayu ALTERNATIF 1
1.629.030
2.169.143
4.072.487
6.422.858
Total Kebutuhan Kayu ALTERNATIF 2
2.629.030
3.169.143
6.572.487
7.922.858
Keterangan: • Total kebutuhan kayu ALTERNATIF 1 [1a + 2c + 3 + 4] meliputi: (i) Barak Penampungan Fase Tanggap Darurat sebanyak 1.000 unit, (ii) Perumahan sederhana pilihan rumah beton sebanyak 500.000 unit, (iii) Perkantoran, rumah sakit, sekolah, rumah ibadah sebanyak 6.098 unit, dan (iv) Armada penangkapan ikan sebanyak 3.000 unit. • Total kebutuhan kayu ALTERNATIF 2 [1a + 2a + 3 + 4] meliputi: (i) Barak Penampungan Fase Tanggap Darurat sebanyak 1.000 unit, (ii) Perumahan sederhana pilihan rumah kayu tidak panggung sebanyak 500.000 unit, (iii) Perkantoran, rumah sakit, sekolah, rumah ibadah sebanyak 6.098 unit, dan (iv) Armada penangkapan ikan sebanyak 3.000 unit.
Berdasarkan rekapitulasi kebutuhan kayu di atas, maka kebutuhan kayu untuk pilihan ALTERNATIF 1 dibutuhkan kayu gergajian antara 1,6 hingga 2,2 juta m3. Untuk memasok kebutuhan kayu gergajian tersebut, maka dibutuhkan kayu bulat antara 4,1 hingga 6,4 juta m3. Sedangkan untuk pilihan ALTERNATIF 2, kayu gergajian yang dibutuhkan antara 2,6 hingga 3,2 juta m3--dengan pasokan kayu bulat antara 6,6 hingga 7,9 juta m3. Dengan asumsi bahwa konstruksi tersebut dilakukan dalam kurun waktu lima tahun, maka dibutuhkan rata-rata antara 325.806 hingga 633.828 m3 kayu gergajian per tahun, atau setara dengan kebutuhan kayu bulat (logs) antara 814.497 hingga 1,58 juta m3.
5
III.
Pemenuhan Kebutuhan Kayu
3.1.
Kayu Hasil Rampasan, Temuan, Sitaan, dan Sumbangan Data Departemen Kehutanan per 13 Januari 2005 menunjukkan bahwa rekapitulasi kayu yang akan dikirim ke Aceh dari hasil rampasan dan temuan di 7 propinsi di Sumatera berjumlah 699,2 m3 kayu bulat dan 1.780 m3 kayu gergajian. Sedangkan sumbangan dari industri kayu di Propinsi Sumatera Utara, Jambi, Lampung, dan Riau sebanyak 950 m3 kayu gergajian dan 22.700 lembar kayu lapis (plywood). Sementara, dalam Fase Tanggap Darurat untuk membangun barak sebanyak 1.000 unit saja, dibutuhkan bahan baku kayu sebesar antara 12.500 hingga 15.000 m3 kayu gergajian, atau 31.250 hingga 37.500 m3 kayu bulat. Belum lagi, jika dibangun sebanyak 10.000 unit barak untuk menampung lebih dari 500.000 pengungsi yang membutuhkan bahan baku kayu sebanyak antara 125.000 hingga 150.000 m3 kayu gergajian, atau antara 312.500 hingga 375.000 m3 kayu bulat. Sementara, sumber bahan baku kayu dari hasil sitaan tentu membutuhkan waktu selesainya proses pengadilan. Sehingga, menjadi sulit untuk diperkirakan sebagai sumber bahan baku kayu dalam Fase Tanggap Darurat.
3.2.
Pemanfaatan Kayu dari Hutan Produksi NAD Pemanfaatan kayu dari hutan alam produksi di wilayah administratif Propinsi NAD dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku kayu untuk memenuhi sebagian dari total kebutuhan kayu untuk proses rekonstruksi NAD. Pada tahun 2003, kuota produksi kayu dari hutan alam produksi di NAD sebesar 55.000 m3. Namun, data yang dilaporkan oleh Departemen Kehutanan memperlihatkan bahwa kuota tersebut tidak terdapat realisasi produksi (belum dimanfaatkan).2 Pada tahun 2004, Departemen Kehutanan mengurangi kuota produksi untuk propinsi tersebut menjadi 50.000 m3 (diturunkan sebesar 5.000 m3 dari tahun 2003).3 Kuota produksi kayu tersebut juga secara resmi tidak ada rencana dan realisasi RKT (produksi nihil secara resmi). Berdasarkan data tersebut di atas, maka pemanfaatan sisa kuota produksi kayu dari hutan alam NAD tahun 2004 sebesar 50.000 m3 dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku untuk memenuhi kebutuhan maksimal rekonstruksi armada penangkapan ikan bagi nelayan di wilayah Propinsi NAD yang terkena bencana. Atau, pilihan lainnya dapat pula dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pelengkap untuk membantu rekonstruksi rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah.
2
Tidak adanya laporan realisasi produksi tersebut didasarkan pada tidak adanya rencana dan realisasi RKT yang dilaporkan kepada Departemen Kehutanan. 3 Angka kuota sebesar 50.000 m3 tersebut sudah termasuk dalam angka sisa kuota nasional tahun 2004 yang “belum dimanfaatkan” sebesar 4,66 juta m3. 6
Pilihan selanjutnya, sumber bahan baku tersebut juga dapat dimobilisasi secara cepat untuk memenuhi kebutuhan penyiapan barak penampungan dalam Fase Tanggap Darurat (lihat Tabel 1). 3.3.
Pemanfaatan Kayu dari Hutan Tanaman Ketimpangan antara kebutuhan industri terhadap bahan baku kayu dari hutan tanaman sangat signifikan. Bahkan, industri pengolahan kayu skala besar yang memiliki hutan tanaman sendiri pun masih harus memanfaatkan sumber bahan baku dari hutan alam bersumber dari kuota produksi kayu yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan serta Izin Lainnya yang Sah/ILS, dan HPH 100 hektar yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten.4 Sehingga, pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman untuk rekonstruksi NAD diperkirakan akan sangat kecil sekali (tidak signifikan). Sementara, proses land clearing terhadap kawasan hutan tanaman dalam rangka percepatan pembangunan hutan tanaman sebagai sumber bahan baku kayu tentu tidak mungkin dilakukan, karena pada kawasan tersebut tidak terdapat potensi kayu. Hal ini sesuai dengan PP No. 34 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa IUPHHK pada hutan tanaman hanya dapat diberikan pada kawasan hutan berupa areal lahan kosong, semak belukar, dan tidak produktif.
3.4.
Pemanfaatan Kayu dari Hutan Rakyat dan Peremajaan Perkebunan Pemanfaatan kayu dari hutan rakyat menjadi salah satu sumber bahan baku bagi industri pengolahan kayu, misalnya untuk pemenuhan bahan baku industri di Pulau Sumatera. Berdasarkan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) untuk Pulau Sumatera, persentase pemenuhan total kebutuhan bahan baku industri dari hutan rakyat di pulau tersebut selama 2 tahun terakhir (2003-2004) masingmasing hanya sebesar 0.46% dan 1,79%. Artinya, sumber bahan baku dari hutan rakyat sebagai penopang sumber bahan baku untuk rekonstruksi NAD menjadi tidak signifikan. Di samping sebagai pemasok bagi kebutuhan bahan baku industri yang terus meningkat, kayu dari hutan rakyat juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Namun, yang perlu dicatat bahwa potensi kayu dari hutan rakyat masih belum terdata secara baik dan akurat. Sehingga, arahan untuk mendorong pemanfaatan kayu dari hutan rakyat menjadi sulit diharapkan sebagai pemasok bahan baku yang dapat dimobilisasi dalam Fase Tanggap Darurat dan Fase Rekonstruksi NAD.
4
Sejak PP No. 34 Tahun 2002 diterbitkan (Juni 2002), ILS dan HPH 100 hektar telah dianggap sebagai perizinan ilegal, kecuali sampai masa berlakunya berakhir. Namun, masih banyak ditemukan perizinan ILS dan HPH 100 hektar baru dalam dokumen Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) tahun 2003-2004. 7
Sementara itu, pasokan bahan baku dari peremajaan perkebunan juga menjadi salah satu sumber bahan baku industri. Berdasarkan RPBBI di Pulau Sumatera, kontribusi bahan baku yang bersumber dari peremajaan perkebunan terhadap pemenuhan total kebutuhan industri tahun 2003 dan 2004 masing-masing sebesar 0,12% dan 1,16%. Kontribusi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi bahan baku dari hutan rakyat terhadap total kebutuhan industri di Pulau Sumatera. Dalam upaya mengarahkan bahan baku dari peremajaan perkebunan ini untuk membantu Fase Tanggap Darurat dan Fase Rekonstruksi NAD, tentu dihadapkan pada penjadwalan peremajaan perkebunan itu sendiri dan rendahnya tingkat produksi kayu yang dihasilkan. Artinya, jika bahan baku dari peremajaan perkebunan ini dianggap sebagai sumber bahan baku kayu untuk membantu NAD, maka diperkirakan akan tidak signifikan.
IV.
Rekomendasi Pemenuhan Kebutuhan Kayu melalui Sumber Bahan Baku Kayu Impor a. Pemanfaatan sumber bahan baku kayu impor merupakan salah satu pilihan strategis untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu dalam Fase Rekonstruksi NAD untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam Indonesia yang telah melampaui batas. Hal ini untuk menghindari praktik moral hazard (aji mumpung) pemanfaatan kayu secara ilegal atau “terpaksa dilegalkan” sebagai konsekuensi dari kebutuhan bahan baku kayu yang sangat besar untuk rekonstruksi NAD. b. Impor bahan baku kayu perlu ditempuh melalui negosiasi antara Pemerintah dengan negara-negara donor, agar impor bahan baku kayu tersebut dapat dilakukan secara gratis. Artinya, bantuan komitmen finansial (pledges) kepada Indonesia, di antaranya dapat diusulkan berupa bantuan kayu impor (in-kind assistance), yang dapat dipotong dari total komitmen finansial negara donor yang bersangkutan. c. Untuk tujuan impor bahan baku kayu tersebut, pemerintah perlu mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk membentuk Tim Khusus untuk Asistensi Teknis dan Negosiasi Internasional, yang terdiri dari unsur pemerintah dan non pemerintah. Tim Khusus tersebut dapat bekerja sama dengan jaringan kehutanan global, di antaranya untuk mendukung lobi-lobi khusus di tingkat internasional.
8