PENGURANGAN UTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN BAGI WAJIB PAJAK KORBAN GEMPA BUMI TAHUN 2006 DI BANTUL Oleh : Faisal Luqman Hakim* dan Udiyo Basuki**
Abstract The earthquake that occurred on Saturday, May 27, 2006 in Special Region of Yogyakarta and its surroundings causing casualties injuries and fatalities and thousands of homes damaged buildings even collapsed. The number of homes damaged and collapsed the government made the call to ease the burden of their suffering by providing debt relief Land and Building Tax (PBB) with the issuance of the Minister of Finance Number 92/PMK.03/ 2006. Regulation of the Minister of Finance Number 92/PMK.03/2006 applied to all taxpayers PBB also became victims of the earthquake in Yogyakarta and surrounding areas. Place the research was conducted in Bantul. The study was conducted to determine how the substance of the Regulation of the Minister of Finance Number92/PMK.03/2006 and technical implementation. This study uses qualitative analytical descriptive method using structured interviews to informants and respondents. The results obtained are that the Minister of Finance Regulation No. 92/PMK.03/2006 was imposed on all taxpayers PBB who also victims of the earthquake in Yogyakarta and Central Java Province and partly imposed for Tax Year 2006 through Tax Year 2009. But not all taxpayers who are earthquake victims obtain debt reduction from the Land and Building Tax Year 2006 to Year 2009. Reduction of the Land and Building Tax (PBB) taxpayer in Bantul are varied, there is a reduction of tax debts for the Year 2006 to Year 2009, there is a reduction of tax debts just in the Year 2006 and Year 2007, even some taxpayers who did not get a tax reduction Land and Building. Keywords: Earthquake, Debt Reduction Tax, Land and Building Tax
*
Dosen Hukum Perdata Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
**
1
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Gempa bumi pada Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.53 WIB berkekuatan 5,9 Skala Richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Tercatat sekitar 4983 orang tewas dan sebanyak 3080 orang berasal dari Kabupaten Bantul. Gempa juga meluluhlantakkan sekitar 3900 bangunan berupa rumah penduduk dan infrastruktur serta memutuskan jaringan telekomunikasi di Bantul dan Yogyakarta. Rumah rusak bahkan roboh berjumlah sekitar 3500 buah dan paling banyak berada di Bantul. Bencana gempa sudah barang tentu menyisakan berbagai persoal an, diantaranya adalah adanya kesulitan mendapatkan tempat sekadar untuk berteduh dari panas dan hujan serta beristirahat pada malam hari karena rumah tempat tinggal mereka luluh lantak rata dengan tanah akibat gempa. Kesulitan diperparah dengan ketidakmampuan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari sehingga roda perekonomian masyarakat Bantul tidak dapat berjalan sebagaimana biasanya. Fenomena alam yang terjadi tersebut dengan segala akibat yang ditimbulkannya menjadikan Pemerintah merasa terpanggil dan peduli untuk membantu meringankan beban penderitaan yang dialami. Kepedulian itu ditunjukkan dengan mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 92/PMK.03/2006. Kebijakan pengurangan PBB bagi korban gempa bumi ini berlaku sampai tahun 2009.1 Artinya, bagi korban gempa 1
bumi di Bantul ada pengurangan PBB selama 4 (empat) tahun, yaitu dari tahun 2006 sampai tahun 2009. Pengurangan Pajak ini tidak berlaku bagi korban gempa yang telah membayarkan PBB Tahun 2006 sebelum gempa terjadi, namun dia akan dikurangi utang pajaknya mulai Tahun 2007.2 Adanya kebijakan bagi korban gempa ini dibenarkan oleh warga Bantul yang memang sejak Tahun 2006 tidak membayarkan PBB sampai Tahun 2009. Hal itu seperti pengakuan yang disampaikan Bapak Rohmadi, Ketua RT dan Bapak Subardjo, warga Dukuh, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul. Mereka membenarkan adanya pengurangan pembayaran PBB dari Tahun 2006 hingga Tahun 2009, sehingga tidak pernah mendapatkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB (SPPT PBB).3 Kebijakan pengurangan PBB selama 4 (empat) tahun pada kenyataannya tidak berlangsung secara maksimal. Hal ini terbukti dari adanya warga yang tidak mendapatkan pengurangan PBB selama 4 (empat) tahun meskipun warga tersebut termasuk salah satu yang menjadi korban. Bapak Suratman dari Dukuh, Desa Mulyodadi, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul membenarkan bahwa memang ada kebijakan pengurangan PBB hingga 100%. Namun ia mengaku hanya mendapatkan pengurangan pembayaran PBB pada tahun 2008 saja. 4 Dengan demikian Bapak Suratman sebagai Wajib Pajak tetap membayarkan kewajiban membayar PBB untuk tanah pekarangan dan rumahnya dari tahun 2006 hingga tahun 2009. Hanya pada Tahun 2008 saja yang tidak membayar PBB.
Pasal 11 (a) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 92/PMK.03/2006 Wawancara singkat dengan Bapak Indra, Kepala Sub Bagian Pelayanan Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul pada tanggal 23 Desember 2010 pukul 08.57 WIB. 3 Wawancara dengan Bapak Rohmadi dan Bapak Subardjo di Dukuh, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul. 4 Wawancara dengan Bapak Suratman di Dukuh, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul. 2
2
Adanya perbedaan keterangan yang disampaikan oleh beberapa warga di Dukuh, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul tersebut maka di rasa perl u untuk menanyakan lebih lanjut kepada pegawai Kantor Direkto rat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul. Berdasarkan keterangan dari Bapak Rahmat diperoleh keterangan bahwa memang benar ada peraturan menteri keuangan tentang pengurangan PBB bagi warga masyarakat korban gempa bumi di Bantul, dan itu berlaku selama 4 (empat) tahun, yaitu dari Tahun 2006 sampai Tahun 2009.5 2. Tujuan Penelitian Penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan substansi Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 92/PMK.03/2006 dan bagaimana pelaksanaan teknis pemberian pengurangan utang PBB bagi Wajib Pajak korban gempa bumi Tahun 2006 di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Tinjauan Pustaka Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplusnya” digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.6 Pajak juga dapat didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat7 PJA. Adriani mengemukakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengel uaran-pengel uaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.8 Kesimpulan yang dapat ditarik dari definisi tersebut adalah bahwa PJA.Adriani memasukkan pajak sebagai pengertian yang dianggapnya sebagai suatu species dari suatu genus yang berupa pungutan.9 Sehingga pajak merupakan bagian dari pungutan. Oleh karena itu pajak merupakan bentuk khusus dari pungutan atau juga dapat dikatakan lingkup pajak adalah lebih sempit daripada pungutan. Termasuk dalam pungutan misalnya adalah retribusi dan sumbangan. Sehingga unsur-unsur yang ada di dalam pengertian pajak dapat disimpulkan sebagai berikut :10 1. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanannya. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaranpengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
5
Wawancara dengan Bapak Rahmat, Kepala Sub Bagian Umum Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung, Refika Aditama, 2008), hal. 6 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 8 Santoso Brotodiharjo, Op. Cit, hal. 6 9 Ibid, hal. 2 10 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta, Salemba Empat, 2008), hal. 6 6 7
3
5. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang bukan budgeter, yaitu mengatur. Dari unsur-unsur di atas maka dapat lebih diketahui secara lebih jelas bahwa pajak dipungut karena adanya suatu aturan perundang-undangan dan berbagai aturan pelaksanaannya. Maka kemudian dikenal adanya suatu asas yang menyatakan bahwa taxation without representation is robbery. Suatu pajak yang dipungut oleh negara kepada warga negaranya dengan tidak ada perwakilan dan berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan maka dikategorikan sebagai tindakan perampokan. Khusus hal ini dapat dipahami bahwa pajak pada dasarnya merupakan peralihan kekayaan dari seseorang kepada negara. Karena pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat, maka pemungutan pajak haruslah mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis pajak apa saja yang akan dipungut serta berapa besar pemungutan pajak tersebut.11 Hukum Pajak sebagai Hukum Positif merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum publik. Substansi hukum pajak memuat kaidah hukum tertulis karena berdasar pada kenyataan bahwa kelahirannya didasarkan pada UndangUndang Perpajakan sebagai produk politik dari Dewan Pewakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Ketentuan ini tersebar dalam berbagai Undang-undang mengenai perpajakan yang bersifat formal maupun material. Hal i ni bertujuan untuk mengingatkan kepada pihak-pihak yang terkai t dengan hukum pajak agar
11
memahami kaidah hukum pajak dalam pelaksanaan dan penegakannya, baik di luar maupun di dalam lembaga peradilan pajak. Dengan demikian, hukum pajak tidak mengenal keberadaan kaidah hukum pajak tidak tertulis karena kelahirannya tidak dilandasi dengan praktik perpajakan di dalam masyarakat.12 Disamping itu dikenal juga kaidah hukum pajak yang bersifat umum maupun bersifat abstrak dan terarah kepada pihakpihak yang diharapkan menaati hukum pajak. Sehingga menurut Jimly Asshiddiqie, ditujukan kepada semua subjek yang terikat tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak atau individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum maupun bersifat abstrak, inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.13 Hukum Pajak sering juga disebut dengan Hukum Fiskal. Istilah Hukum Fiskal dipergunakan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Istilah pajak sering disamakan dengan istilah fiskal. Kata “fiskal” berasal dari bahasa latin yang berarti kantong atau keranjang uang.14 Sebenarnya pengertian terminologi fiskal dengan pajak agak berbeda. Kata fiskal berasal dari kata fiskaliteit yang berarti memasukkan uang sebanyakbanyaknya ke dalam kas negara di mana di dalamnya termasuk juga adanya denda dan sitaan. Sedangkan untuk pajak mempunyai tugas lain, yakni di samping mengisi kas negara, juga mempunyai tugas mengatur masyarakat dalam segala
Ibid, hal. 7 Djafar Muhammad Saidi dan Eka Merdekawati, Kejahatan di Bidang Perpajakan, (Jakarta, Rajawali, 2011), hal. 6 Ibid, 14 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta, Rajawali, 2010), hal. 5 12 13
4
bidang, baik bidang sosial, bidang ekonomi/keuangan, bidang politik dan kebudayaan.15 Menurut Santoso Brotodihardjo, hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturanperaturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).16 Tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturanperaturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum ini, dalam pada itu adalah penting sekali bahwa tidak harus diabaikan begitu saja latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat tersebut.17 Sedangkan Bohari mengatakan bahwa hukum pajak adalah s uatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Sehingga hukum pajak bisa juga dikatakan menerangkan mengenai:18 1. Siapa-siapa yang menjadi wajib pajak (subjek pajak); 2. Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak); 3. Kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah;
4. Timbulnya dan hapusnya utang pajak; 5. Cara penagihan pajak; dan 6. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak. Membicarakan hukum pada umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturanperaturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.19 Maka, hukum pajak adal ah keseluruhan peraturan mengenai pajak yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak dimana di dalam pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan disertai sanksi bagi para pihak yang melakukan pelanggaran. Akan halnya Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1985 yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994. Perubahan yang ada dalam UU Nomor 12 Tahun 1994 itu berkaitan dengan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4), menghapus ketentuan Pasal 17, dan merubah ketentuan dalam Pasal 23. UU tentang Pajak Bumi dan Bangunan tidak menyebutkan secara jelas pengertian Pajak Bumi dan Bangunan, namun hanya disebutkan mengenai objek Pajak Bumi dan Bangunan. Objek PBB adalah Bumi dan Bangunan. Bahwa yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.20 Terdapat tiga kemungkinan objek pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan ini, yaitu bumi (saja), bangunan (saja), serta bumi dan bangunan. Objek
15
Ibid, Santoso Brotodihardjo, Op. Cit, hal. 1 Ibid, 18 Bohari, Loc. Cit 19 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta, Liberty, 2005), hal. 40 20 Pasal 1 angka 1 UU Nomor 12 Tahun 1985 16 17
5
pajak yang berupa bumi saja dapat dengan mudah ditemui, misalnya tanah kosong, sawah, ladang, kebun, dan objek sejenis lainnya.21 Objek pajak yang berupa bumi dan bangunan juga dapat dengan mudah ditemui, misalnya rumah yang berdiri di atas sebidang tanah yang dimiliki oleh seseorang, bangunan gedung beserta tanah tempat bangunan berdiri, dan objek sejenis lainnya.22 Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. 23 Termasuk dalam pengertian bangunan adalah sebagai berikut:24 1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lai n-lai n yang merupakan s atu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut; 2. Jalan tol; 3. Kolam renang; 4. Pagar mewah; 5. Tempat olah raga; 6. Galangan kapal, dermaga; 7. Taman mewah; 8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat. Pajak Bumi dan Bangunan, menurut Erly Suandi adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/ tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang berkewajiban membayar) tidak ikut menentukan besar pajak.25 21
Seringkali dijumpai adanya orang atau badan memiliki rumah di atas tanah orang lain. UU Nomor 12 Tahun 1994 memungkinkan pemilik rumah dikenakan tersendiri Pajak Bumi dan Bangunan. Begitu juga pemilik tanah akan dikenakan pajak tersendiri. Dengan demikian terdapat pemisahan secara horizontal antara pemilik tanah dan bangunan/rumah.26 Penerapan as as pemis ahan horizontal ini telah diakomodasi dalam UU Pajak Bumi dan Bangunan, sehingga untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam pengenaan pajak atas suatu objek pajak digunakan kata bumi dan/ atau bangunan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pengenaan pajak atas bumi dan bangunan yang pemilikan dan pemanfaatannya secara hukum ditentukan terpisah. Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan, bahwa dalam penerapan ketentuan perpajakan, sebenarnya Hukum Pajak juga memungkinkan diadopsinya ketentuan yang berlaku dalam Hukum Agraria di Indonesia. Hal ini berarti bahwa hukum pajak tidak berdiri sendiri tetapi memiliki kaitan erat dengan sistem hukum lain yang berlaku di Indonesia.27 Masalah ini menjadi akurat karena sekarang di kota-kota besar banyak dibangun rumah bersusun yang masingmasing tingkat dimiliki oleh orang lain. Mengenai bumi dan bangunan milik perorangan/badan yang digunakan oleh negara, kewajiban pemajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak.28 Ada suatu asas yang berlaku dalam bidang perpajakan, yaitu bahwa negara tidak akan membayar pajak kepada diri
Marihot Pahala Siahaan, Pajak Bumi dan Bangunan Teori dan Praktik, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009), hal. 83 Ibid, Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 1985 24 Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 1985 25 Erly Suandi, Hukum Pajak, (Jakarta, Salemba Empat, 2008), hal. 59 26 Bohari, Op. Cit, hal. 96 27 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010), hal. 33 28 Bohari, loc cit 22 23
6
sendiri dan jika ini terjadi maka negara akan dibebaskan dari pajak tersebut. Dengan demikian tidaklah tepat kiranya jika negara membayar pajak karena bertentangan dengan asas tersebut.29 Walaupun pada dasarnya setiap bumi dan bangunan yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia termasuk dalam pengertian bumi dan bangunan yang dikenakan PBB, tetapi Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan menentukan pengecualian atas golongan bumi dan/ atau bangunan tertentu dari pengenaan PBB. Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :30 1. Di gunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/ badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.31 2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; 3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; 4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik; 5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organis asi internas ional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Pengenaan pajak bumi dan bangunan kepada Wajib Pajak menggunakan Official Assessment System, yaitu suatu sistem pengenaan pajak yang memberi kewenangan kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ol eh wajib pajak. 32 Pengenaan i tu dilakukan dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB (SPPT PBB), sehingga apabila fiskus tidak menerbitkan SPPT PBB maka tidak ada pajak terutang yang harus dibayar.33 Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak langsung karena pajaknya harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dan tidak boleh dibebankan kepada pihak lain.34 Wajib pajak yang dimaksud dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah siapa saja orang yang menguasai, menempati, dan mengambil manfaat atas suatu tanah dan atau bangunan. Jadi jika ada seorang warga negara Indonesia yang menguasai, menempati, dan mengambil manfaat atas suatu tanah dan atau bangunan, maka secara objektif warga negara tersebut telah memenuhi syarat untuk dibebankan kewajiban membayar pajak.
29
Ibid, hal. 97 Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1985 Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta, Andi Ofset, 2009), hal. 314 32 Ibid, hal. 80 33 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010), hal. 131 34 Bohari, Op. Cit, hal. 97 30 31
7
B. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif,35 metode penelitian yang bersifat deskriptif memberikan batasan sebagai suatu metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya mendeskripsikan gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Pendekatan kualitatif menurut Robert Bogdan adalah suatu pendekatan yang mengarah pada keadaan atau individu-individu secara utuh. Jadi pokok kajiannya tidak akan disederhanakan pada variabel yang telah ditata atau suatu hipotesis yang telah direncanakan sebelumnya. 2. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dan informasi berdasarkan fakta maka digunakan : a. Penelitian Kepustakaan, yaitu dengan cara mengumpulkan data dari buku, artikel maupun Undang-undang yang berhubungan dengan penelitian ini. b. Penelitian Lapangan, yaitu pengumpulan data dengan dialog atau wawancara dan terjun langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Wawancara merupakan sumber informasi yang esensial bagi studi kasus, yang dalam hal ini dapat mengambil beberapa bentuk. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan ti pe yang pali ng umum, yai tu
35 36 37
wawancara studi kasus bertipe open ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada responden atau informan kunci tentang fakta s uatu peristi wa disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi, peneliti bahkan bisa meminta informan untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bi sa menggunakan proporsi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya. Informan seringkali sangat penting bagi keberhasilan studi kasus.36 Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dimana terjadi komunikasi secara verbal antara pewawancara dengan subjek wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai, yang memberikan jawaban pertanyaan itu.37 3. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian yang dipilih adalah di Kabupaten Bantul. 4. Penentuan Informan dan Responden Informan dalam penelitian ini adalah para Pegawai Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul, yaitu : a. Bapak Indra, Kepala Sub Bagian Pelayanan Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul b. Bapat Rahmat, Kepala Sub Bagian Umum Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul.
Moh. Nazir, Metode Penulisan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 63 Robert K. Yin, Studi Kasus Desain dan Metode, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 108 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 135
8
Sedangkan untuk responden, didapat 6 warga Bantul yang bertempat di 3 (tiga) Kecamatan berbeda, yaitu : a. Bapak Surahmat dan Bapak Subardjo dari Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul. b. Bapak Tukijan, Bapak Barmawi dan Bapak Dwi Atmojo yang bertempat tinggal di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. c. Bapak Suratman yang tinggal di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. 5. Metode Analisis Data: Teknik analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Menganalisa hasil wawancara dengan para Pegawai Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul untuk mengetahui tentang pelaksanaan kebijakan pengurangan utang Pajak Bumi dan Bangunan hingga 100% bagi warga masyarakat di Bantul dengan keterangan hasil wawancara dari warga masyarakat Bantul itu sendiri. 2. Menganalis a hasil wawancara tersebut untuk memperbandingkannya guna mengetahui persamaan dan perbedaan diantara keduanya. 3. Data yang telah diperoleh kemudian disusun, disajikan, dan dianalisa dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa pemaparan yang dinarasikan sesuai dengan masalah penelitian. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Substansi Permenkeu Republik Indonesia Nomor 92/PMK.03/2006 Permenkeu Nomor 92/PMK.03/2006 tersebut menetapkan bahwa yang
mendapatkan pengurangan PBB adalah wajib pajak yang juga korban gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006.38 Wajib pajak yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dapat mengajukan permohonan untuk memperol eh pengurangan pajak terutang PBB.39 Pengurangan utang PBB diberikan atas pajak terutang yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak.40 Dan pengurangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang.41 Berkaitan dengan permohonan pengurangan pajak terutang PBB sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP. Permohonan pengurangan pajak untuk tahun pajak Tahun 2006 sebagaimana dimaksud diajukan dalam jangka waktu paling lama hingga tanggal 31 Desember 2007. Sedangkan permohonan pengurangan untuk tahun pajak setelah tahun pajak 2006 diajukan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP.42 Permohonan pengurangan pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diajukan secara kolektif ataupun perseorangan. Permohonan pengurangan pajak terutang secara perseorangan tersebut harus dilampiri fotokopi SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya. Sedangkan permohonan pengurangan pajak terutang secara kolektif dapat diajukan sebelum SPPT diterbitkan,
38
Pasal 1 ke-1 (a) Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 Pasal 2 Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 Pasal 3 Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 41 Pasal 4 Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 42 Pasal 5 Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 39 40
9
selambatnya pada tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang bersangkutan melalui Pemerintah Daerah setempat. Khus us untuk tahun pajak 2006, permohonan pengurangan Pajak terutang secara kolektif dapat diajukan selambatlambatnya tanggal 10 Januari 2007. Kemudi an untuk permohonan pengurangan pajak terutang untuk Wajib Pajak Badan harus dilampiri dengan fotokopi SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya, fotokopi SPT Tahunan tahun pajak terakhir beserta l ampirannya dan Laporan Keuangan. Permohonan pengurangan pajak terutang tersebut harus dilampiri Surat Keterangan dari Pemerintah Daerah setempat atau instansi terkait.43 Semua objek PBB dapat diajukan permohonan pengurangan pajak terutang PBB. Pengurangan pajak tersebut tidak melihat berapa besar nilai pajak yang terutang. Namun untuk pengajuan pengurangan pajak tersebut keputusan kebijakannya dilakukan berdasarkan besaran nilai pokok pajaknya. Untuk objek pajak dengan pokok pajak lebih dari Rp 1.500.000.000,00 (satu mi lyar l ima ratus juta rupi ah), keputusannya ada pada Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan. Kemudian untuk objek pajak yang nilai pokok pajaknya antara Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah), keputusannya ada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan. Sedangkan untuk objek pajak yang nilai pokok pajaknya tidak lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), keputusannya ada pada Kepala Kantor 43
Pasal 6 Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 Pasal 7 ayat (1) sampai (3) Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 Pasal 7 ayat (4) sampai (8) Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 46 Pasal 11 (a) Permenkeu RI Nomor 92/PMK.03/2006 44 45
10
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan.44 Produk Keputusan sebagaimana di maks ud di atas dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau bisa juga menolak permohonan. Keputusan dimaksud harus diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengurangan Wajib Pajak.Apabila jangka waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut terlampaui dan keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan dianggap dikabulkan. Jangka waktu tersebut dapat dihitung sejak tanggal tanda terima Surat Permohonan secara lengkap, jika surat permohonan tersebut disampaikan secara langsung dan juga dapat dihitung berdasarkan tanggal stempel pos, jika surat permohonan secara lengkap dikirimkan melalui pos baik biasa maupun tercatat atau bisa juga dengan sarana pengiriman lainnya.45 Permenkeu ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 26 Mei 2009.46Sehingga penelitian yang dilakukan adalah mengenai kewajiban wajib pajak dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama rentang waktu antara Tahun 2006 hingga Tahun 2009. Keterangan tersebut di atas juga diperkuat oleh keterangan Bapak Indra selaku Kepala Sub Bagian Pelayanan Direktorat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul yang mengatakan bahwa memang benar bagi korban gempa bumi di Bantul ada pengurangan PBB selama 4 (empat) tahun, yaitu dari Tahun 2006 sampai Tahun 2009. Pengurangan Pajak ini tidak berlaku bagi korban gempa yang telah membayarkan PBB Tahun 2006 sebelum gempa terjadi,
namun dia akan dikurangi utang pajaknya mulai Tahun 2007.47 2. Pelaksanaan Teknis Pemberian Pengurangan Utang PBB bagi Wajib Pajak Korban Gempa Bumi Tahun 2006 di Kabupaten Bantul Dari wawancara yang dilakukan kepada beberapa warga di Bantul, maka dapat diketahui bahwa memang ada kebijakan Menteri Keuangan dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.03/2006. Namun pada umumnya mereka tidak tahu secara pasti tentang dasar hukum yang menjadi pijakan atau landasannya. Pengakuan yang disampaikan oleh responden pun berbeda-beda. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Rohmadi, Ketua RT di Kecamatan Bambanglipuro, Bantul. Ia mengetahui bahwa ada pengurangan utang pajak bagi wajib pajak PBB dimana pengurangan itu berlaku selama 4 (empat) tahun, yaitu dari Tahun 2006 hingga Tahun 2009. Namun jika PBB itu dibayarkan sebelum terjadinya gempa bumi, maka tidak dapat dimintakan restitusi. Untuk Bapak Rohmadi, berkaitan dengan pengurangan utang PBB ini nyaris tanpa kendala. Pengurangan utang PBB yang Bapak Rohmadi dapatkan adalah 4 (empat) tahun, yaitu dari Tahun 2006 hingga Tahun 2009. Keadaan yang sama juga dialami oleh Bapak Subardjo yang tinggal satu RT dengan Bapak Rohmadi. Bapak Subardjo mengetahui adanya kebijakan pemerintah berupa pengurangan utang PBB dari Bapak Rohmadi. Sama dengan yang dialami oleh Bapak Rohmadi, ia juga mendapat pengurangan utang PBB dari Tahun 2006 hingga Tahun 2009. Ia tidak menerima SPPT PBB selama kurun waktu tersebut.
47
Di Kecamatan Imogiri terdapat 3 (tiga) orang responden, yaitu Bapak Tukijan, Bapak Barmawi dan Bapak Dwi Atmodjo. Bapak Tukijan mengetahui dan mengakui bahwa ada kebijakan dari pemerintah tentang adanya pengurangan PBB bagi warga Bantul dan sekitarnya yang menjadi korban bencana alam gempa bumi. Namun ia tidak mengetahui secara pas ti aturan dari pemerintah itu. Pengakuannya, ia mengetahui ada pengurangan utang PBB itu dari salah satu surat kabar lokal di Yogyakarta. Bapak Tukijan tidak membayar PBB dengan tidak diterimanya SPPT PBB, Namun ia tidak membayar utang PBB hanya pada Tahun 2006 dan Tahun 2007. Tahun 2006 ia menerima SPPT PBB pada awal tahun, namun belum sempat membayarkan tagihan PBBnya, muncul kebijakan pengurangan PBB pada bulan Oktober 2006. Sedangkan untuk tagihan PBB Tahun 2007, ia tidak menerima SPPT PBB sehingga tidak melakukan pembayaran utang PBBnya, dan baru pada Tahun 2008 sudah kembali mendapatkan tagihan SPPT PBB. Sementara Bapak B armawi memberikan keterangan bahwa memang pada Tahun 2006 dan Tahun 2007 tidak membayar tagihan utang PB Bnya. Sebelumnya ia tidak mengetahui akan kebijakan pemerintah itu. Karena seperti yang dialami Bapak Tukijan, Bapak Barmawi pada Tahun 2006 mendapatkan SPPT PBB di awal Tahun 2006 dan kemudian ada pemberitahuan bila pada Tahun 2006 warga Bantul yang juga menjadi korban gempa dengan rusaknya tanah dan atau bangunan yang dikuasai dibebaskan dari pembayaran tagihan utang PBBnya. Pada tahun berikutnya, yaitu Tahun 2007 juga tidak membayar tagihan PBB yang ditandai dengan tidak diterimanya
Wawancara singkat dengan Bapak Indra, Kepala Sub Bagian Pelayanan Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kabupaten Bantul
11
SPPT PBB Tahun 2007. Hal ini juga diperkuat dengan informasi dari aparat desa setempat bahwa pada Tahun 2007 tidak ada kewajiban membayar tagihan utang PBB. Atas dasar informasi itu, Bapak Barmawi pada Tahun 2007 tidak membayar tagihan utang PBBnya. Selanjutnya Bapak Dwi Atmodjo yang juga mengetahui adanya pengurangan utang pajak bagi wajib pajak PBB. Ia tidak membayar tagihan PBB sejak Tahun 2006 sampai Tahun 2007. Pada Tahun 2006 ia mendapatkan tagihan pajak yang berupa SPPT PBB pada awal Tahun 2006. Namun karena sebelum terjadinya gempa bumi pada Tahun 2006 ia belum membayar tagihan utang PBB, maka setelah gempa, dibebaskan dari kewajiban pembayaran atas PBB. Informasi yang ia dapatkan mengenai pengurangan utang PBB didapatkan dari aparat pemerintah, yang dalam hal ini disampaikan oleh Bapak Dukuh setempat. Sehingga pada Tahun 2006 Bapak Dwi Atmojo tidak membayar PBB. Pada Tahun 2007 ia juga tidak membayarkan PBBnya karena tidak mendapatkan SPPT PBB sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, tidak disampaikannya SPPT PBB sebagai dasar dalam pengenaan pajak tanah dan atau bangunan itu disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah yang memberikan keringanan adanya pengurangan pembayaran utang PBB kepada warga Bantul yang juga menjadi korban bencana alam gempa bumi Tahun 2006. Tahun 2008 kembali mendapatkan SPPT PBB yang disampaikan oleh Bapak Dukuh, karenanya ia beranggapan bahwa kebijakan pemerintah berkai tan pengurangan utang PBB itu hanya diberikan untuk tagihan PBB Tahun 2006 dan Tahun 2007. Di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, tepatnya di Dusun Sanggrahan,
12
Desa Cenden, terdapat responden bernama Bapak Suratman, seorang petani. Informasi yang didapatkan darinya sangat jauh berbeda dari info rmas i yang didapatkan dari responden sebelumnya. Ketika ditanya mengenai adanya pengurangan kewajiban pembayaran utang PBB yang besarnya hingga 100%, ia ti dak mengetahuinya. Menurut pengakuannya, Tahun 2006 hingga Tahun 2007 ia tetap membayar PBB. Tahun 2006 kebetul an B apak Suratman telah membayar PBB sebelum gempa bumi terjadi. Kebijakan itu baru terbit pada Bulan Oktober 2006, maka pembayaran atas PBB itu tidak bisa diminta kembali. Selanjutnya pada Tahun 2007 hingga Tahun 2009, ia tetap membayar PBB seperti biasa. Bapak Suratman mengaku tidak tahu secara persis adanya kebijakan pengurangan PBB itu. Pada kenyataannya ia tetap mendapatkan tagihan berupa SPPT PBB, maka ia tetap menunaikan kewajibannya sebagai wajib pajak atas PBB dengan tetap membayar PBB. Berdasarkan hasil wawancara dengan 6 (enam) responden di atas yang berasal dari 3 (tiga) kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Bambanglipuro, Kecamatan Imogiri, dan Kecamatan Jetis maka dapat diambil beberapa kesimpulan berikut ini : 1. Pada umumnya 6 (enam) orang res ponden warga Bantul ini merupakan korban gempa bumi Tahun 2006 yang mengetahui bahwa ada kebijakan pemerintah terkait adanya kebijakan pengurangan utang Pajak Bumi dan Bangunan. 2. Dari 6 (enam) orang responden, 5 (lima) diantaranya mengetahui bahwa ada kebijakan berupa pengurangan utang Pajak Bumi dan Bangunan sejak Tahun 2006. Sedangkan 1 (satu) responden lainnya tidak mengetahui
secara pasti, dibuktikan dengan tetap dilakukannya pembayaran PBB sejak Tahun 2006 hingga Tahun 2009. 3. Dari 6 (enam) responden, 2 (dua) res ponden di Kecamatan Bambanglipuro mengaku tidak membayar PBB sejak Tahun 2006 hingga Tahun 2009. Tidak membayar PBB itu karena dilandasi pada tahuntahun tersebut kedua orang responden tersebut tidak mendapatkan SPPT PBB yang merupakan dasar untuk menentukan besarnya utang PBB dari pemerintah. 4. Dari 6 (enam) responden, selain 2 (dua) tidak membayar PBB sejak Tahun 2006 hingga Tahun 2009 di Kecamatan Bambanglipuro, sebanyak 3 (tiga) responden lainnya yang tinggal di Kecamatan Imogiri mengaku tidak membayar PBB hanya pada Tahun 2006 dan Tahun 2007. Pada Tahun 2006 mereka mengaku mendapatkan SPPT PBB namun tidak membayar PBB karena ada kebijakan dari pemerintah. Sedangkan Tahun 2007, ketiga responden di Kecamatan Imogiri ini ti dak mendapatkan SPPT PB B, sehingga tidak membayarkan PBBnya. Dan kemudian pada Tahun 2008 dan Tahun 2009 mereka kembali mendapatkan tagihan PBB seperti biasanya. 5. Dari 6 (enam) responden, 1 (satu) responden yang bertempat tinggal di Kecamatan Jetis mengaku tidak mengetahui secara pasti ada kebijakan pengurangan utang PBB dari pemerintah. Hal ini terbukti bahwa responden di Kecamatan Jetis ini tetap mendapatkan SPPT PBB selama kurun waktu dari Tahun 2006 hingga Tahun 2009, sehingga responden tetap melakukan pembayaran PBBnya dari Tahun 2006 hingga Tahun 2009.
D. KESIMPULAN Dari apa yang diuraikan di muka, dapat diambil diktum kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa pada tanggal 13 Oktober Tahun 2006 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.03/ 2006 tentang Pemberi an Pengurangan Pajak B umi dan Bangunan Sehubungan Dengan Bencana Alam Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sebagian Provinsi Jawa Tengah Serta Gempa Bumi dan Tsunami di Pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa. Peraturan Menteri Keuangan ini memberikan keringanan bagi warga masyarakat Bantul dan sekitarnya berupa pengurangan kewajiban pembayaran utang Pajak Bumi dan Bangunan selama 4 (empat) tahun, yaitu pada Tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009. 2. Pelaksanaan kebijakan pengurangan kewajiban pembayaran utang Pajak Bumi dan Bangunan itu tidak dapat dilakukan secara merata. Hal ini dapat di lihat masih adanya warga masyarakat yang mendapat keringanan berupa pengurangan kewajiban pembayaran utang Pajak Bumi dan Bangunan hingga 100% pada Tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009. Namun ada juga warga Bantul yang hanya mendapatkan keringanan pengurangan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan itu hanya pada Tahun 2006 dan Tahun 2007. Bahkan ada pula warga Bantul yang sama sekali tidak mendapatkan pengurangan pembayaran PBB.
13
DAFTAR PUSTAKA Bohari, 2010, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Pers, Jakarta Brotodihardjo, Santoso, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton, 2008, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta Mardiasmo, 2009, Perpajakan, Andi Ofset, Yogyakarta Mertokusumo, Sudikno, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta Moleong, Lexy J,1993, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung Nazir, Moh.,1988, Metode Penulisan, Ghalia Indonesia, Jakarta Saidi, Muhammad Djafar dan Eka Merdekawati, 2011,Kejahatan di Bidang Perpajakan, Rajawali Pers, Jakarta. Siahaan, Marihot Pahala, 2010, Hukum Pajak Bumi dan Bangunan: Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta Siahaan, Marihot Pahala, 2010, Hukum Pajak Elementer, Graha Ilmu, Yogyakarta Siahaan, Marihot Pahala, 2010, Hukum Pajak Formal, Graha Ilmu, Yogyakarta Suandy, Erly, 2008, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta Yin, Robert K, 2003, Studi Kasus Desain dan Metode, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/ PMK.03/2006 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sehubungan dengan Bencana Alam Gempa Bumi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sebagian Propinsi Jawa Tengah Serta Gempa Tsunami di Pesisir Pantai Selatan Jawa.
14
KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA (Studi Kasus di Kabupaten Klaten) Oleh : Hartanti, SH., MH*
Abstract Domestic violence is a case that can happen to anyone who does not view education as well as social status, but such cases could be prevented / reduced, ie when each of us (children, husband, wife) or anyone in the household aware of and implement the rights and obligations of each, each should carry out and accept their roles and mutual respect. The occurrence of cases of domestic violence is caused partly because they only put forward the rights, but they set aside their obligation. Moreover, there is less or no understanding of the existing norms (religion, morality and the rule of law). The government itself has made the rules of Domestic Violance as contained in Act No. 23 Year 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence. To avoid the occurrence of domestic violence is not enough just to know its laws, but each party must also implement the law in life so that we do not become victims or perpetrators of domestic violence. If you see or are victims of domestic violence, you have to complaint to authorities or a trusted friend, so that the incident / case is not protracted. Keywords: Domestic Violence A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Manusia adalah sebagai makluk sosial yang dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lainnya. Hidup bersama manusia lain adalah merupakan salah satu bentuk atau cara mempertahankan kelangsungan hidupnya. Menurut kodratnya manusia mempunyai
kebutuhan biologis, sebagai manusia yang beradab maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus melakukan suatu perkawinan. Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
15
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Membaca ketentuan pasal tersebut jelas bahwa perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, kebahagian dirasa belum lengkap kalau belum ada anak, namun kadang anak bisa juga menjadi sumber permasalahan dalam suatu keluarga atau menjadi sasaran kemarahan dalam suatu keluarga. Seperti yang terjadi di Semarang “seorang ibu tega menyiram anaknya dengan air mendidih karena kesal suaminya gemar main judi”1 , juga yang terjadi di Purworejo dua anak dipaksa minum racun oleh ibunya, “ seorang ibu Leginah (28) bunuh diri dengan meminum racun serangga, dalam aksi nekat tersebut Leginah juga meracuni dua anaknya, Puput Ismawati (4) dan Agus Pitoyo (12). Dalam peristiwa tersebut Leginah dan Puput meninggal sementara Agus masih dalam keadaan kritis, dalam kasus tersebut terungkap bahwa Leginah telah satu bulan pis ah rumah dengan suaminya” 2 . Kekerasan itu tidak hanya menimpa anak saja tetapi juga suami atau istri kadang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kasus yang terjadi di Sleman, “Lusi Indri Hapsari (29) terdakwa kasus kekeras an dalam rumah tangga, dinyatakan terbukti bersalah melakukan kekerasan fisik terhadap suaminya dan divonis dua bulan penjara” 3 dalam kasus tersebut yang menjadi korban adalah suami, sedang di Klaten juga ada kasus kekerasan dalam rumah tangga dimana korbannya adalah istri, “terdakwa kasus penganiayaan terhadap istri, Irwan Anis mahsun (27) dijatuhi hukuman sembilan 1
Kompas Agustus 2007 Kompas 3 Juli 2007 Kompas 19 Februari 2008 4 Kompas 9 Maret 2005 5 Kompas 16 Mei 2008 2 3
16
tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Klaten”4. Kasus yang terjadi akhir-akhir ini yaitu ‘dua Kepala Polsek di Sleman diduga selingkuh”5 Sungguh kasus yang sangat hangat dan menarik untuk dibicarakan, karena dua-duanya adalah sebagai penegak hukum bahkan si wanita sebenarnya adalah mau dijadikan bintang iklan pada baliho antinarkoba yang dibuat oleh pemerintah kabupaten Klaten. Dari beberapa kasus tersebut diatas maka penulis tertarik mengadakan penelitian tentang kerkerasan yang terjadi dalam rumah tangga, walaupun mungkin sudah banyak penelitian yang dilakukan dengan tema yang sama. Tetapi dalam penelitian ini tentu saja mengenai lokasi dan permasalahan yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. 2. Rumusan Permasalahan Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Mengapa terjadi kekerasan dalam rumah tangga? b. Bagaimana upaya mencegah atau menanggulangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga? c. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga? 3. Tujuan Penelitian. Adapun Tujuan Penelitian adalah: a. Tujuan subyekti f yaitu, untuk mengetahui mengapa terjadi kekerasan dalam rumah tangga, mengetahui bagaimana upaya mencegah atau paling ti dak mengurangi terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga dan Untuk mengetaui bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga. b. Tujuan obyektif adalah, untuk menambah wawasan peneli ti mengenai kekerasan dalam rumah tangga, menambah pemahaman masyarakat mengenai kekerasan dalam rumah tangga, supaya tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah tangga, sebagai masukan bagi instansi atau lembaga yang berko mpeten mengenai terjadinya kekerasan dalam rumah tanggaserta untuk menambah bahan bacaan yang sudah ada. 4. Tinjauan Pustaka Salah satu persoalan yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat adalah terjadinya kejahatan, terutama adalah kejahatan yang berkaitan dengan adanya kekerasan. Romli Atmasasmita menyatakan Masalah kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan umat manusia, karena ia berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban umat manusia. Sejarah perkembangan masyarakat sejak sebelum, selama, dan sesudah abad pertengahan kehidupannya, dan hampir sebagian besar memiliki unsur kekerasan sebagai fenomena dalam dunia realita. Bahkan kehidupan umat manusia abad ke-20 an ini, masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai suatu fenomena yang tidak berkesudahan, apakah fenomena dalam usaha mencapai tujuan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perorangan.6
6 7
Adapun macam-macam kekerasan menurut ketentuan Undang-Undang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah: a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; dan d. Penelatantaran rumah tangga. Kel uarga adalah merupakan kelompok masyarakat yang paling kecil, dalam suatu keluarga. Menurut hubungan keluarga, bentuk masyarakat dapat dibedakan menjadi empat : 1) Keluarga inti (nuclear family), yang anggotanya hanya terdiri atas suami, istri dan anaknya. 2) Keluarga luas (extended family) yang anggotanya lebih luas dari keluarga inti, meliputi orang tua, saudara sekandung, saudara sepupu, paman, bibi, dan sanak saudara lainnya yang masih ada hubungan darah satu sama lain. 3) Suku bangsa. 4) Bangsa 7 Ketentuan pidana dalam UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga diatur dalam Bab VIII Pasal 44 sampai dengan Pasal 53. Mengenai sebab-sebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga dibedakan dari beberapa aspek antara lain yaitu : a. Sosial Budaya Di Indonesia kita mengenal adanya beberapa sys tem kekeluargaan yang dianut yaitu: 1) Patrilinial dalam hal ini hak dan kedudukan suami lebih tinggi dari hak dan kedudukan istri. Istri adalah pendamping dan pembantu suami dalam menegakkan rumah
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 63 J.B. Daliyo, B. Arief Sidharta, Ign. Sembiring, et.all, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 1994, Hal. 14.
17
tangga, 8 2) Matrilinial dilihat dari sudut kekerabatan istri, maka hak dan kedudukan suami lebih rendah dari hak dan kedudukan istri. Suami adalah pembantu istri dalam menegakkan rumah tangga dalam mempertahankan serta meneruskan keturunan istri, istri memegang kendali dalam urusan rumah tangga, keluarga dan kerabatnya.9 3) Parental, hak dan kedudukan suami istri adalah sederajat dan seimbang, baik dalam kehidupan keluarga rumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan keluargaan yang demikian merupakan ciri kehidupan yang ideal bagi keluarga Indomesia yang modern tanpa meninggalkan asas kekeluargaan, walaupun tidak lagi terikat dalam hubungan kekerabatan.10 Terkadang di masyarakat sendiri ada nilai-nilai yang keliru antara lain: 1) Suami berhak memperlakukan istrinya sesuai dengan keinginannya, termasuk memukul; 2) Terjadinya tindak kekerasan karena istri memicu kemarahan suami; 3) Bila ada pertengkaran suami-istri orang lain tidak diperbolehkan ikut campur, meskipun sampai terjadi kekerasan; 4) Perempuan korban kekerasan beranggapan bahwa bercerita pada orang lain tentang kekerasan yang dialaminya adalah sesuatu yang tabu, yang akan merusak 8
nama baik suami dan keluarganya.11 Nilai-nilai yang masih keliru itulah yang harus diluruskan atau dibetulkan antara lain melalui penyuluhanpenyuluhan. b. Agama c. Social Ekonomi d. Psikologi”ataupun ilmu jiwa adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakantindakan atau tingkah laku manusia yang dihubungkan dengan jiwa para pelakunya”12. e. Teknologi Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah masalah pribadi suatu keluarga, melainkan kekerasan adalah suatu tindakan melawan hukum oleh karena itu harus dihentikan syukur bisa dicegah. Dalam KUHP pun kekrasan tersebut telah diatur dalam pasal 351 jo 356 KUHP (tentang penganiayaan). Jika mengalami atau melihat terjadinya kekeas an sebaiknya diceriterakan pada seseorang yang benar-benar bisa dipercaya seperti misalnya saudara, teman dekat atau biro konsultasi terdekat kalau di Klaten pada “Mutiara Women And Children Crisis Center” yang beralamat di jalan Pemuda Nomer 294 (Bagian Sosial) Pemda Kabupaten Klaten, RSUD Dr. Suradji Tirtonegoro atau di RPK Polres Klaten. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi pada pasangan yang memulai perkawinannya dengan komitmen yang baik dan saling mencintai, pada pasangan yang berpendidikan tinggi, pada golongan sosial ekonomi yang tinggi, seringkali bukan disebabkan oleh masalah yang besar hal yang kecilpun bisa menyebabkan terjadinya kekerasan, kadangkala dilakukan oleh laki-
Hilman Hadikusumo, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung , Jakarta, 1987, hal. 15-16 Ibid., hal. 22. Ibid., hal. 27. 11 Brosur Rifka Annisa 12 A. Qirom syamsudin Meliala, E. Sumaryono, Kejahatan anak (suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum) Liberty Yogyakarta, Hal. 37 9
10
18
laki yang tampaknya sopan dan bertanggungjawab, s ehingga kekejamannya tidak tampak oleh orang lain, biasanya istri yang mempunyai ketergantungan ekonomi dan emosional pada suami lebih rentan menjadi korban kekerasan.13 Oleh karena itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga harus dihentikan atau dicegah adapun penanggulangan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara garis besar ada beberapa cara antara lain adalah: a. Cara Moralistik Cara ini adalah dengan menyebar luaskan ajaran-ajaran agama dan norma-norma, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk menyakiti pihak lain, cara ini adalah cara yang paling mendasar kalau sudah tertanam dalam jiwa manusia akan dapat mengontrol dirinya sendiri serta mengawasi gerak-geriknya dalam melakukan segala tindakannya. Moral yang ditimbulkan oleh keyaki nan beragama lebih membentang atau membentengi jiwa, karena agama adalah ajaran yang pal ing tinggi dari semua il mu pengetahuan, dia berasal dari wahyu Tuhan yang diterima oleh para rasul (utusan Tuhan) untuk disampaikan kepada ummat manusia, yang diyakini sepenuhnya oleh para pemeluknya, guna menyelamatkan manusia baik di dunia maupun di akherat kelak. Agama menyebabkan pemeluknya secara otomatis mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri.14 Ada banyak langkah yang harus segera kita lakukan. Agar kita terhindar dar kekerasan dalam rumah tangga, 13 14
Dua belah pihak (suami dan istri) harus bersama-sama berusaha untuk menjauhkan diri terlibat dengan KDRT. Walaupun, aktor penting dalam masalah ini adalah suami, akan tetapi istri juga berpeluang menciptakan KDRT. Langkah-langkah untuk menanggulangi KDRT, antara lain adalah: 1. Landasan Iman yang kuat yaitu antara suami dan istri harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Insya Allah, manakala suami sholeh dan istri sholehah akan jauh dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2. Reinterpretasi penafsiran terhadap “legalitas pemukulan”. Tindak kekerasan yang berbentuk penganiayaan terhadap istri dianggap sudah merupakan hal yang biasa. Ironisnya, tafsir agama seringkali dipakai sebagai unsur pembenaran. 3. Menyadari akan akibat buruk dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ada beberapa akibat buruk dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga antara lain: a. Suami bisa dituntut ke Pengadi lan karena penyerangan terhadap istri merupakan tindakan melanggar KUHP. b. Rumah Tangga menjadi berantakan (Broken Home). c. Mengakibatkan gangguan mental (kejiwaan) terhadap istri dan juga anak. d. melanggar syari’at agama. Agama mengajarkan untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa
Brosur dikeluarkan oleh Rifka Annisa A. Qirom syamsudin Meliala, E. Sumaryono, Op.cit. , Hal. 48
19
rahmah bukan keluarga yang dihiasi dengan pemukulan dan penganiayaan. 4. Khusus bagi para suami berlaku lemah lembutlah kepada istri. 5. Khusus kepada para istri. Berusahalah untuk menjadi istri sholehah. Berhias diri untuk suami, melayani suami dengan baik, mematuhi perintah yang baik dari suami, menjaga harga diri dan suami, dan lain sebagainya. Berusahalah untuk selalu membuat suami tersenyum bahagia walaupun pahit rasanya.15 b. Cara abolisionistik, adalah dengan memberantas sebab-sebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, misalnya faktor social ekonomi seperti telah dikemukakan di atas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, maka usaha mencapai kesejahteraan dan kemakmuran adalah penanggulangan yang paling baik selain factor agama sehingga bisa mengurangi atau syukur mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. c. Preventif, Tindakan preventif ini sangat penting dan berdaya guna karena sesuai semboyan ilmu pengetahuan kedokteran yaitu “ bahwa mencegah adalah lebi h baik daripada mengobati”16 d. Repres if, berarti sudah terjadi perbuatan atau dalam hal ini telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga, dalam hal sudah terjadi adanya kekerasan dalam rumah tangga maka diupayakan semaksimal 15
mungkin diusahakan diselesaikan secara kekeluargaan, kalau upaya kekeluargaan s udah tidak dimungkinkan lagi baru diproses memurut hukum yang berlaku. “Penegakan hukum adalah suatu proses yang dilakukan untuk mewujudkan kei nginan hukum supaya menjadi kenyataan. Keinginan hukum diartikan sebagai pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum yang bertujuan menegakkan keadilan.” 17 Dal am menegakkan hukum pidana ada beberapa proses atau tahapan yang harus dilalui yaitu: a. Tahap formulas i, yaitu tahap penegakan hukum in-abstraktsi yang dilakukan oleh badan pembuat undangundang, tahap ini dapat pula disebut tahap legislative. Dalam tahap ini suatu peraturan itu dirumuskan. b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulasi dari kepolisisan sampai ke pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap yudikatif. c. Tahap eksekusi , yaitu tahap pelaksanaan pidana secara konkrit oleh aparat pelaksana pidana, tahap ini dapat pula disebut sebagai tahap kebijaksanaan eksekutif atau administrative.18 Semua tahap-tahap penegakan hukum tersebut sama pentingnya dalam upaya penegakan hukum, namun dalam prakteknya penegakan hukum tahap ke dua dan tahap ke tiga yang memegang peranan sangat penting, yaitu diaplikasi dan dieksekusinya hukum pidana, sebab peraturan tanpa aplikasi dan eksekusi hanyalah merupakan simbul tanpa makna.
Diah Widya Ningrum, “Ketika Adat dan Tradisi kekerasan telah melembaga Dalam Masyarakat”, Waspada Online, (http:// ilalang.wordpress.com/2007/01/08/tips menanggulangi kekerasan menurut Islam. A. Qirom syamsudin Meliala, E. Sumaryono, Op.cit. , Hal. 49 17 Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1993, Hal.15. 18 Ibid., hal.54 16
20
Menurut Soerjono Soekanto ada beberapa factor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum yaitu: a. Faktor hukumnya sendiri; misalnya unadang-undangnya. b. Faktor penegak huku, yakni pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. e. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.”19 Semakin baik suatu peraturan hukum (undang-undang) akan semakin memungkinkan hukum untuk ditegakkan, peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang memenuhi konsep keberlakuan yaitu: 1. Berlaku secara yuridis, artinya keberlkuannya berdasarkan efektivitas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, dan terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan; 2. Berlaku secara sosiologis, artinya peraturan hukum tersebut diakui atau diterima masyarakat kepada siapa peraturan hukum itu diberlakukan; 3. Berlaku secara fisologis, artinya peraturan hukum terasebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai hukum positif yang tertinggi; 4. Berlaku secara futuristic, artinya peraturan hukum tersebut dapat berlaku lama (bukan temporer) sehingga akan diperoleh suatu kekekalan hukum.”20
19 20 21
Kes adaran hukum dalam masyarakat meliputi antara lain: 1) Adanya pengetahuan tentang hukum 2) Adanya penghayatan fungsi hukum 3) Adanya ketaatan terhadap hukum21 B. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode pendekatan, Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis, dalam artian bahwa dalam menganalisa permasalahan yang ada s elai n berdasarkan ketentuan atau peraturan perundangundangan yang berlaku juga berdasarkan pandangan atau pendapat masyarakat. 2. Jenis penelitian Penelitian ini adal ah termasuk penelitian diskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteli ti mungkin tentang kekerasan dalam rumah tangga. 3. Data yang digunakan Penelitian ini menggunakan data : a. Data primer, yaitu data yang di pero leh langsung pada sumbernya b. Data sekunder, yaitu data yang dalam keadaan siap digunakan yang berdasarkan kekuatan mengikat terdiri dari : 1) Bahan hukum primer, yaitu berupa norma dasar atau peraturan perundangundangan yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. 2) Bahan hukum sekunder, berupa literature, tulisan-tulisan atau hasil penelitian yang ada
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2006, Hal. 232-233 Ibid., hal. 233, lihat juga dalam bukunya Soedikno Mertokusumo, Mengenal hukum (Suatu Pengantar), hal. 75-76 Ibid., Hal.235
21
hubungannya dengan obyek yang diteliti. 3) Bahan hukum tertier, yaitu kamus atau ensiklopedi yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi dokumen/ kepustakaan, yaitu dengan membaca atau mempelajari dokumen atau literature-l iteratur yang ada hubungannya dengan topik penelitian. b. Wawancara/kuisioner, dalam peneli tian ini mel akukan wawancara dengan narasumber yang berkompeten atau yang menangani terjadinya kekerasan dalam keluarga. c. O b s e r v a s i / p e n g a m a t a n , melakukan pengamatan pada masyarakat sekitar atau keluarga yang rentan terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 5. Narasumber Narasumber atau responden yang akan diteliti antara lain adalah : a. Briptu Nanik Suryani, SH., MH selaku Kanit PPA Polres Klaten b. Bapak Joko Purwanto, SH selaku Kasi Pidum Pengadilan Negeri Klaten 6. Analisis Data Analisis data dalam Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh di saji kan secara diskriptif dan dianalisis secara kualitati dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan
22
penelitian ; Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan; c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan das ar dalam mengambil kesimpulan. b.
C. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
1. Upaya Mencegah Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, entah itu yang menjadi korban istri ataupun anak ternyata semakin banyak, hal ini antara lain disebabkan karena kesadaran atau pengetahuan masyarakat adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga. Suatu peristiwa (kekerasan) yang terjadi dalam rumah tangga tadinya dianggap sebagai hal yang biasa atau merupakan aib kalau sampai diketahui orang lain, sekarang sudah tidak lagi tetapi tentunya bagi masyarakat tertentu. Menurut Briptu Nanik Suryani, SH., MH, “kebanyakan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah istri, adapun penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga karena cemburu, punya wanita idaman lain dan karena Kemiskinan atau penelantaran ekonomi. Adapun bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan fisik, penelantaran ekonomi”.22 Upaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga disini dikelompokkan menjadi dua yaitu: a. Cara preventif Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain melalui
Wawancara dengan Briptu Nanik Suryani PPA Polres Klaten tanggal 6 Agustus 2010 hal itu juga dikuatkan oleh Bapak Joko Purwanto Kasi Pidum Pengadilan Negeri Klaten 11 Nofember 2010.
22
penyuluhan atau sosialisasi Undangundang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. “Program tersebut memang diprogramkan oleh Pemda kemudian pelaksanaannya kerja sama antara Pemda, Kepolisian dalam hal ini Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) juga dengan Perguruan tinggi maupun dengan LSM. Pertama ada 170 desa, kemudian 120 desa, 100 desa, 50 desa. Makin lama desa yang mendapat sosialisasi semakin sedikit karena, selain anggarannya semakin berkurang juga karena sudah banyak desa yang mendapatkan sosialisasi.”23 Rumah Tangga bukan tempat (ajang) melampiaskan emosional suami terhadap istri. Tetapi, rumah adalah tempat yang aman. Tempat dimana kehangatan selalu bersemi. Di dalamnya terdapat pasangan suamiistri yang saling mencintai. Dalam rumah tangga kadang terjadi konflik atau ketegangan hal tersebut sebenarnya adalah merupakan hal yang biasa, namun apabila konflik atau ketegangan tersebut kemudian berlanjut dengan suatu kekerasan seperti, s eperti: menampar, menendang, memaki, menganiaya dan lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa dan merupakan suatu tindak pidana. Kekerasan dalam rumah tangga tersebut bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, suami, istri, anak atau pembantu rumah tangga. b. Cara Represif Cara yang represif berarti, berarti segala usaha/tindakan yang harus dilakukan oleh aparat negara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku apabila telah terjadi suatu
23
pelanggaran hukum dalam hal ini adalah terjadi kekerasan dalam rumah tangga, kalau ada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mau dilaporkan ke Reskrim maka oleh Kepala Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak di suruh masuk ke ruangannya dulu (ruang PPA). Dalam ruangan tersebut korban atau pelapor disuruh membeberkan kasusnya, setelah selesai baru dijelaskan atau dinasehati, pernah ada seorang wanita (istri) datang melaporkan bahwa dia telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yaitu penelantaran ekonomi oleh suaminya (suami penghasilan ti dak mencukupi) kemudian ditanya oleh petugas sejak kapan dia mendapat perlakuan demikian, (katanya sudah lama), la sebelum nikah tahu nggak kalau kondisi suami demikian, katanya tahu. Berarti ya seharusnya hal tersebut tidak dipermasalahkan toh dia sudah tahu sejak awal. Suami memang wajib memberi nafkah kepada keluarganya tetapi tentunya s esuai dengan kemampuannya. Istri jangan meuntut di luar kemampuan suami. Setelah dijelaskan maka dia (istri) menyadari kemudian baikan lag dengan suamii. Hampir setiap bulan di Polres Klaten selalu ada laporan mengenai terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, hal ini bisa dilihat dari table di bawah sebagai berikut:
Wawancara dengan Briptu Nanik Suryani PPA Polres Klaten tanggal 6 Agustus 2010
23
DATA KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI UNIT PPA POLRES KLATEN
NO
Bulan
Tahun
No
2008
2009
2010
1.
Januari
4
5
2
2.
Februari
2
6
5
3.
Maret
-
2
5
4.
April
1
3
10
5.
Mei
1
2
6
6.
Juni
3
4
2
7.
Juli
2
3
6
8.
Agustus
1
4
-
9.
September
4
1
-
10.
Oktober
2
3
-
11.
November
3
6
-
12.
Desember
1
5
-
24
44
36
Jumlah
Sumber Polres Klaten.
Melihat data tersebut setiap tahun kasusnya bertambah bahkan tahun 2009 dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2008 sangat kenaikannya sangat signifikan yaitu jumlahnya hampir lipat dua, sedangkan tahun berikutnya yaitu tahun 2010 jumlahnya 36 karena data tersebut belum sampai satu tahun, data diperoleh bulan Agustus 2010 sehingga kasus yang terjadi pada akhir tahun belum bisa diketahui, namun demikian kasus tersebut di atas ternyata tidak semuanya sampai ke pengadilan hal itu disebabkan karena di cabut dan ada pula yang dapat diselesikan secara baik-baik di tingkat kepolosian khususnya oleh unit PPA, hal tersebut dapat dilihat dari table tersebut di bawah ini.
24
DATA KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI UNIT PPA POLRES KLATEN YANG DI CABUT DAN YANG DI LANJUTKAN (P 21) Tahun
Dicabut
P 21
1
2008
14
7
2
2009
13
15
3
2010
15
16
Sumber Polres Klaten
Dari data tersebut ternyata kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan ke Polres tidak semuanya sampai ke pengadilan, kurang lebih hanya separo dari kasus yang sampai ke pengadilan. Tahun 2008 kasus yang masuk 24, P 21 hanya 7 (tujuh), tahun 2009 kasus yang masuk 44, yang P 21 hanya 15 (limabelas) tahun 2010 kasus yang masuk 36 yang P21 16 (enam belas). Tidak samapainya kasus dari Polres sampai ke pengadilan, penyebabnya antara lain bahwa kasusnya dicabut oleh korban karena pelaku menyesal dan tidak akan mengulangi lagi, atau telah diselesaikan di luar pengadilan yaitu telah terjadi perdamaian. Aparat penegak hukum terutama pihak kepolisian biasanya akan mengus ahakan terlebih adanya perdamaian, dengan memberikan pengertian atau meyadarkan hak dan kuwajban masing-masing pihak, juga akibat lebih jauh kalau perkara itu sampai ke pengadilan, ini khusus untuk kasus dimana korban tidak ada halangan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari . 2. Penegakan Hukum Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perbedaan pendapat dal am keluarga atau rumah tangga merupakan hal yang biasa, namun kalau perbedaa paham kemudian berlanjut dengan
kekerasan (baik fisik maupun psikis) ini yang perlu dicegah atau dihentikan. Kalau ada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masuk ke Polres Klaten kalau sudah tidak ada upaya lain maka kasus akan diproses sesuai aturan yang berlaku. Berikut diberikan contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diproses sampai ke pengadilan dan telah mempunyai hukum tetap yaitu: a. Putusan Pengadilan Negeri Klaten No. 167/Pid.B/2010?PN. Klt. 1). Identitas Terdakwa: a) Nama : HL b) Tempat Lahir : Klaten c) Umur/tgl. Lahir : 45 Tahun/ 04 April 1965 d) Jenis kelamin : Laki-laki e) Kebangsaan : Indonesia f) Tempat tinggal : Dk. Bendan Rt.13/06, Ds. Kalitengah, Kec. Wedi, Kab. Klaten g) Agama : Islam h) Pekerjaan : wiraswasta 2) Posisi Kasus: Terdakwa HL pada hari Senin tanggal 25 Mei 2010 sekitar pukul 17.30 WIB atau setidaktidaknya di suatu waktu lain dalam bulan Mei 2010 bertempat di Dk. Bendan Rt.13/06, Ds. Kalitengah, Kec. Wedi, Kab. Klaten atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Klaten, melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap korban NMW anak kandungnya sendiri yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: Terdakwa HL adalah orang tua kandung dari korban NMW,
karena saat itu terdakwa jengkel terhadap anak kandungnya yang selalu membantah terhadap setiap pertanyaan terdakwa bahkan di dalam menjawabnya juga disertai dengan sikap tidak sopan dan tidak menghargai terdakwa sebagai orang tuanya, terdakwa menjadi emosi dan kalap lalu melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya dengan menggunakan alat pemijat berwarna hitam bergagang merah muda/pink dimana pada saat itu baik terdakwa maupun korban sedang menonton TV, namun korban lebih asyik menggunakan Hpnya untuk saling SMS dengan temannya s ehi ngga bunyi deringnya mengganggu konsetrasi terdakwa yang sedang menikmati tayangan TV, lalu terdakwa menegur dengan mengatakan “dari tadi kok SMSan terus to” namun oleh korban dijawab “yo ben to” sambil meletakkan HP di gelaran tikar tempat dimana terdakwa maupun korban nonton TV, namun oleh terdakwa HP tersebut diambilnya untuk dicek tentang positif tidaknya anaknya saling mengirimkan SMS lalu dikalungkannya di leher, namun beberapa saat kemudian terdengar dering nada panggilan dan terdakwa berusaha menjawabnya namun terputus tetapi terdakwa berusaha mengecek asal penelponnya tetapi dalam data tersebut tertulis “privat number” sehingga terdakwa perlu menanyakan arti privat number kepada korban dengan kata-kata “ privat number iku opo to?” korban menjawab dengan nada kata ketus dan sikap yang kurang sopan “ yo
25
mboh” kemudian terdakwa berkata lagi “ kowe lungoo kono, wong ditakoni wong tuwo kok jawabe ra sopan” dijawab korban “ lha ngopo aku lungo lha iki omahe sopo” karena terdakwa emosi lalu berkata “lha le mbangun omah iki sopo?” tetapi korban menjawab lagi “lha le duwe duit sopo ibu to?” mendengar jawaban dari korban tersebut terdakwa tidak bisa menahan emosi lalu terdakwa memukul menggunakan alat pemijat berwarna hitam lebih dari 5 kali mengenai kepala sebanyak 2 kali, kening 1 kali, pantat 1 kali, betis kanan 2 kali, mata kaki sebelah kiri 1 kali, lengan kanan 1 kali dan lengan kiri 1 kali sehingga kening korban sampai mengeluarkan darah karena korban ketakutan lalu memanggil saksi Siti Purwani dengan katakata “ibu-ibu” mendengar panggilan tersebut saksi yg sedang tidur di kamar terus keluar dan menenangkan korban, setelah korban diam dari menangis lalu ditanya dan korban menjawab bahwa telah dipukul terdakwa dengan menggunakan alat pemijat warna hitam kemudian korban oleh saksi dibawa ke rumah sakit untuk diobatkan dengan diantar saksi Antik Sutami. 3) Tuntutan Penuntut Umum Tuntutan penuntut umum terhadap terdakwa pada pokoknya berkesimpulan, bahwa terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melkukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, dan karena itu menuntut supaya pengadilan menjatuhkan putusan
26
sebagai berikut: a) Menyatakan terdakwa HL terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) jo Pasal 5 huruf a Undang –undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekeras an Dal am Rumah Tangga sebagaimana surat dakwaan pertama; b) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa HL dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bul an dikurangi sel ama terdakwa ditahan dengan perintah terdakwa tetap ditahan; c) Menyatakan barang bukti berupa satu buah alat pemijat berwarna hitam bergagang/ bertangkai merah muda/pink dirampas untuk dimusnahkan; d) Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,(dua ribu rupiah). 4) Putusan Setelah mendengar tuntutan Penuntut Umum, keterangan terdakwa dan keterangan saks i serta menimbang beberapa hal yang terjadi selama di persidangan maka hakim memutuskan sebagai berikut: a) Menyatakan terdakwa HL telah terbukti s ecara s ah dan meyaki nkan bersal ah melakukan tindak pidana kejahatan “mel akukan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga”; b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan; c) Menetapkan lamanya terdakwa ditahan dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; d) Memerintahkan terdakwa tetap ditahan; e) Memerintahkan barang bukti berupa : 1 (satu) alat pemijat berwarna hitam bergagang/ bertangkai merah muda/pink dirampas untuk dimusnahkan; f) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). 5) Analisis Melihat kronologis kasus dalam putusan tersebut, penyebab mengapa ayah sampai menganiaya tehadap putrinya sendiri, penyebabnya karena anaknya mainan HP atau SMS an sehingga ayah merasa terganggu, ayah menegur atau melarang anaknya tetapi malahan mendapat jawaban yang ti dak menyenangkan atau bisa dikatakan menyakitkan. Disitu kelihatan bahwa hubungan antara ayah dengan ibu kurang harmonis dan anaknya mengetahui ketidakharmonisan tersebut, kalau hubungan antara suami dan istri baik tentu saja ayah atau suami tidak akan sampai ke kepolisian bahkan sampai ke pengadilan. Memang kadang anak juga sering menjengkelkan, dididik baik-baik tetapi kadang hasilnya tidak baik, namun seandainya hubungan suami istri itu baik tentunya kalau anak berani sama ayahnya ibu
yang akan menasehatinya dan sebaliknya kalau anak berani sama ibu tentunya ayah yang akan menasehatinya. Dalam kasus tersebut mungkin korban atau ibunya sudah faham adanya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun karena aturan itu tidak hanya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga, banyak aturan lain yang harus kita pahami dan ditaati atau diimplementasikan dalam kehidupan seperti misalnya hak dan kuwajiban suami atau istri, termasuk hak dan kewajiban anak terhadap orang tua atau orang tua terhadap anaknya. Kalau masingmasing pihak tahu, memahami dan melaksanakan apa yang menjadi hak dan kuwajibannya masing-masing maka masyarakat pada umumnya atau keluarga khususnya akan terasa tentram dan harmonis. Dalam kasus tersebut masing-masing pihak kurang atau tidak memahami apa yang menjadi hak dan kuwajiban masingmasing. Suami atau ayah yang harusnya melindungi anaknya justru melakukan kekerasan atau penganiayaan, anak yang harusnya menghormati orang tua tetapi justru berani atau merendahkan ayahnya, demikian juga istri atau ibu yang harusnya jadi penengah dalam kasus tersebut, justru mengadukan suaminya ke pihak yang berwajib. Sebenarnya kasus tersebut termasuk delik aduan dimana delik tersebut juga bisa dicabut sewaktu-waktu asal belum
27
sampai putusan. Demi kepastian hukum, kalau terjadi pelanggaran terhadap kaedah hukum harus diproses sesuai ketentuan berlaku, namun tentu s aja kita juga harus memperhati kan adanya kemanfaatannya jika suatu perkara tersebut diproses sampai ke pengadilan. Seperti dalam kasus ini karena atah mel akukan kekeasan terhadap anaknya maka dia telah diproses dan di putus oleh hakim bersalah dan dijatuhi pidana penjara 5 bulan dan masuk tahanan, dari putusan tersebut permasalahannya nanti kalau terpidana selesai menjalani pidana, bagamaimana hubungan antara ayah dengan anak apakah tidak canggung. Kalau dengan istri, seandainya pisah atau cerai memang wajar karena kalau bekas istri itu ada, tetapi kalau dengan anak? Karena tidak ada mantan atau bekas anak. Aparat penegak hukum kalau memproses atau memutuskan suatu perkara hendaknya juga memikirkan akibatnya bagi para pihak setelah perkara tersebut diproses atau di putus. b. Putusan Pengadilan Negeri Klaten No. 192/Pid.B/2010,PN. Klt. 1) Identitas terdawa: a) Nama : NP b) Tempat Lahir : Klaten c) Umur/tgl. Lahir: 1 Agustus 1983 d) Jenis kelamin : Laki-laki e) Kebangsaan : Indonesia f) Tempat tinggal : Dk. Tawangsari Rt.01/09 Ds. Randusari, Kec. Prambanan. Kab. Klaten
28
g) Agama h) Pekerjaan i) Pendidikan
: Islam : Tidak bekerja : SMA
2) Posisi Kasus: Pada tanggal 22 Maret 2010 sekitar jam 23.00 WIB atau setidaktidaknya pada suatu waktu dalam bulan Maret 2010 bertempat di dalam rumah saksi KD dukuh Tawangsari Rt. 01/09 Des a Randus ari, Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Klaten, telah melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, perbuatan terdakwa tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: Awalnya pada hari Kamis tanggal 14 Juni 2007 terdakwa NP telah melakukan pernikahan dengan saksi PS di jalan di Jalan Tongkol IV/03 Rt 10/02, Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman dengan kutipan akta Nikah nomor 27308/VI/ 2007 tanggal 14 Juni 2007 dan dalam pernikahan tersebut atas dasar cinta serta telah dikarunia seorang anak lakilaki di beri nama DYV, s etel ah pernikahan terdakwa hidup satu rumah dengan saksi PS di Jalan Tongkol IV/ 03 Rt 10/02, Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Kemudian pada hari Sabtu tanggal 20 Maret 2010 terdakwa mengajak saksi PS dan anaknya pergi ke rumah orang tua terdakwa di dukuh Tawangsari Rt. 01/09 Desa Randusari, Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten, setelah sampai di tempat yang dituju lalu terdakwa menginap di rumah orang tuanya, selanjutnya pada
hari Senin tanggal 22 Maret 2010 sekitar jam 23.000WIB mengajak saksi PS menginap di rumah kakak terdakwa bernama KD yang rumahnya bersebelahan dengan rumah orang tua terdakwa tersebut. Pada saat terdakwa menginap di rumah saksi KD tersebut telah menerima sms dari seseorang yang mengaku telah meminjami uang kepada saksi PS istri terdakwa dan menjel ek-njelekkan terdakwa, terdakwa menjadi marah setelah membaca sms tersebut, kemudian terdakwa mendekati saksi PS yang sedang duduk dalam keadaan emosi terdakwa menendang saksi PS dengan menggunakan kaki kanan sebanyak satu kali tepat mengenai pipi kanan, saksi meninggalkan terdakwa yang masih dalam keadaan marah. Tidak lama kemudian terdakwa melihat saksi PS sedang tidur telentang sambil nonton TV bersama anaknya, terdakwa mendekati saksi PS yang s elanjutnya dengan menggunakan kaki kanan terdakwa menendang PS tepat mengenai hidung sebanyak satu kali, setelah itu terdakwa mengejar saksi PS masuk ke dalam kamar, setelah sampai di dalam kamar terdakwa melihat saksi PS sedang mengemasi pakaian dalam posisi jongkok, terdakwa mendekati saksi PS setelah dekat langsung menendang dengan menggunakan kaki kanan, tepat mengenai mul ut sebanyak satu kali hingga berdarah. Aki bat perbuatan terdakwa tersebut korban mengalami luka lecet di bibir 2x2 cm, bibir bengkak, hal ini diperkuat dengan visum et repertum Nomor 445/83 tanggal 23 Maret 2010 3) Tuntutan Penuntut Umum Penuntut Umum pada pokoknya
menuntut bahwa: a) Menyatakan terdakwa NS bersalah melakukan tindak pidana “telah melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga” sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 44 ayat (1) jo. Pasal 5 huruf a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam dakwaan tunggal tersebut di atas; b) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa NS dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan; c) Menetapkan supaya terdakwa NS dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000; (dua ribu rupiah). 4) Putusan Setelah mendengar permohonan terdakwa, yang pada pokoknya terdakwa telah mengakui kesalahannya, menyesali dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya, karenanya mohon agar dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya pidana, mendengar tuntutan Penuntut Umum juga keterangan para saksi maka pengadilan menyatakan bahwa: a) Terdakwa NS telah terbutki secara sah dan meyakinkan bersalah mel akukan tindak pi dana “ melakukan Kekerasan fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga”; b) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan; c) Menetapakan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangi seluruhnya dari pada
29
yang dijatuhkan; d) Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; e) Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus ribu rupi ah) kepada terdakwa. 5) Analisis Memahami kasus tersebut di atas, yaitu suami melakukan kekerasan terhadap istri gara-gara suami mendapat laporan melalui SMS bahwa istrinya punya hutang dan istrinya juga di jelek-jelekkan dalam SMS tersebut, kalau melihat kasus tersebut di atas suami emosi dan percaya pada laporan tersebut tanpa klarifikasi terhadap istrinya lebih dulu bahkan istri langsung dianiaya. Melihat kasus tersebut bisa disimpulkan bahwa hubungan suami istri kurang harmonis, seorang suami harusnya sebagai pelindung dan pengayom istri kalau mendapat cerita atau berita tentang keluarganya harusnya di cek dulu kebenarannya, seandainya berita itu benar kan bisa di tanya mengapa is tri sampai demikian. Istripun sama saja kenapa harus diselesaikan sampai ke pengadilan, apa sudah tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau secara kekeluargaan. Dalam hukum pidana kita mengenal adanya istilah ultimum remidium, yang maksudnya adalah apabila dengan berbagai upaya tidak bisa baru kita selesaikan melalui jalur hukum, apalagi kekerasan fisik dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari termasuk delik aduan,
30
dalam artian tanpa aduan dari pihak korban dalam hal tersebut adalah istri maka delik tersebut tidak dapat diproses sampai ke pengadilan. Seandainya mau ngasih pelajaran supaya suami tidak melakukan kekerasan lagi toh delik tersebut bisa ditarik kembali. Tetapi dalam kasus tersebut ternyata sampai putusan, bahkan pidananya juga penjara dalam artian suami masuk ke Lembaga Pemasyarakatan. Putusan terhadap kasus tersebut memang ada segi positip maupun negatifnya, segi po siti f akan menimbulkan rasa jera terutama terhadap suami maupun orang lain untuk melakukan kekerasan terhadap keluarganya, negatifnya terhadap hubungan suami istri dan keluarga kedua belah pihak, bagaimanapun keluarga suami tentu akan merasa tidak senang kalau anak, atau saudaranya sampai menjadi penghuni hotel prodeo dan seolah-olah yang memasukkan adalah istrinya sendiri, belum lagi akibat psikologis terhadap anaknya. Perbuatan kekerasan dalam rumah tangga hendaknya dipikirkan akibatnya baik akibat hukum maupun akibat psikologisnya, akibat hukum kalau sampai diproses secara hukum atau sampai ke pengadilan dan sampai putusan pidana, akibat psikologis walaupun seandainya kasus tidak sampai ke pengadilan perbuatan tersebut bisa menimbulkan rasa trauma bagi korban, keluarga, saudara atau yang lainnya. D. KESIMPULAN DAN SARAN a.Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian baik penelitian kepustakan maupun hasil
wawancara dengan responden yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain adalah, karena adanya pria/wanita idaman lain, rasa cemburu, kemiskinan atau penelantaran ekonomi, juga karena kemajuan teknologi. 2. Upaya mencegah atau mengurangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain adalah dengan: 1) Penyul uhan atau mensosialisasikan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, supaya masyarakat jangan sampai menjadi pelaku atau korban kekerasan dalam rumah tangga; 2) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dengan kursus-kursus atau pelatihanpelatihan. 3. Penegakan hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan memproses pelaku kekerasan dalam rumah tangga sesuai ketentua yang berlaku apabila upaya damai tidak bisa dilakukan. Pelaku walaupun keluarga, dalam kasus yang disajikan
adalah ayah atau suami namun tetap dijatuhi pidana penjara dan menjalani di dalam lembaga pemasyarakatan, berarti cukup bagus karena sebagai shock terapi kepada anggo ta masyarakat yang lain supaya jangan sampai menjadi atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga. b. Saran 1. Supaya aparat penegak hukum lebih selektif terhadap perkara-perkara khususnya kekerasan dalam rumah tangga, mana perkara yang dimungkinkan untuk diselesaikan secara kekeluargaan atau damai, dan mana kasus yang harus diselesaikan atau diproses sesuai ketentuan yang berlaku. 2. Pihak yang rentan menjadi korban supaya juga introspeksi kalau terjadi kekerasan dalam rumah tangga, bagaimana posisi korban karena korban kadang juga berperanan dalam terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 3. Masyarakat lebih peka terhadap kejadian yang terjadi di sekitarnya, cegah kalau ada atau sampai terjadi perbuatan yang menjurus ke tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA A. Qirom Syamsudin Meliala, E. Sumaryono, Kejahatan anak (suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum) Liberty, Yogyakarta Hartono dkk,1991, Ilmu Budaya Dasar, Bina Ilmu, SurabayA Hilman HadiKusumo, 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta J.B. Daliyo, B. Arief Sidharta, Ign. Sembiring, et.all, 1994, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
31
Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung, Satjipto Raharjo, 1993, Masalah Penegakan, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung Soedikno Mertokusumo, 1991, Mengenal hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakarya, Jakarta.
Jurnal/Majalah/Internet/Koran : Heru Susetyo, Penegakan Hukum Yang Menciptakan Keadilan, Harian Sindo, 2008 Diah Widya Ningrum, “Ketika Adat dan Tradisi kekerasan telah melembaga Dalam Masyarakat”, Waspada Online, (http://ilalang.wordpress.com/2007/01/08/tips menanggulangi kekerasan menurut Islam. Pengakuan beberapa anak yang pernah mengalami penyimpangan dalam hidupnya , KickAndy, Metro TV, 3 Februari 2011 Brosur Rifka Annisa Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kompas Agustus 2007 Kompas 3 Juli 2007 Kompas 19 Februari 2008 Kompas 9 Maret 2005 Kompas 16 Mei 2008
32
SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN URUSAN KESEHATAN UNTUK PELAYANAN KESEHATAN DI KOTA YOGYAKARTA Oleh : Ishviati J Koenti *
Abstract Health is a public service sector is more related to the implementation of the general duties of government, of providing various public services and social facilities to the community. Public demands on the quality of public services is increasing, the response of these demands is the emergence of people’s aspirations for quality public services, including services for the health sector. Autonomy should be able to create an efficient public service and prevent High Cost Efficiency Economy is achieved through economies of scale (economies of scale) public service. Economies of scale can be achieved through optimal care coverage authorized centers create norms, standards, procedures, monitoring and evaluation, supervision, facilitation and government affairs with national externalities provincial authorities govern and administer the affairs of government with regional externalities (Across District / City ). District / Municipal authorities manage and administer the affairs of government with local externalities. Health sector is a matter that is still managed as government affairs is divided into the affairs of the central government, provincial government and the affairs of the district / city. In realizing Yogyakarta Healthy City should be able to fulfill the order as settlement area facilities and adequate public infrastructure; area orderly means of traffic and transportation services, health office area; healthy tourism region; food security and nutrition; independent healthy community life and social life healthy. For the city of Yogyakarta legislation requires a complete and in sync with the rules on it. Keywords: Synchronization, Regulations, Health, Yogyakarta A. PENDAHULUAN Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia. Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memenuhi kebutuhan sesuai UndangUndang Dasar 1945 pasal 28 ayat 1 *
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pelayanan Kesehatan merupakan sektor pelayanan publik lebih berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan, kegiatan pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial kepada masyarakat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
33
Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik semakin meningkat, bentuk respon tuntutan tersebut adalah munculnya aspirasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas. termasuk di dalamnya pelayanan untuk bidang kesehatan. Seiring dengan penyelenggaraan otonomi daerah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka urusan di bidang kesehatan banyak dilimpahkan kepada daerah, baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota. Dengan pelaksanaan otonomi daerah maka sebagi an urus an pemeri ntah diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan si sanya (urusan res idu) menjadi kewenangan Pemeri ntah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat. Sektor kesehatan merupakan salah satu urusan yang diserahkan ke daerah, daerah kemudian melakukan modifikasi program-program pusat tersebut. Dalam bidang administrasi , kedudukan tugas dan fungsi pelayanan kesehatan dalam rangka otonomi daerah dapat di katagorikan: 1. Pemerintah Pusat membuat kebijakan; 2. Pemerintah propinsi menyiapkan perencanaan program dan evaluasi; 3. Pemerintah Kota/Kabupaten memonitor dan supervisi pelaksanaan program dan evaluasi; 4. Pemerintah desa melaksanakan fungsi pelayanan dan menginventarisasi kasus-kasus yang ada dilapangan.1 Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai unsur supervisi pelaksanaan pro1 2
gram perlu mempersiapkan perangkat peraturan pelaksanaan untuk mengimplementas ikan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Targettarget pembangunan daerah di bidang kesehatan akan disesuaikan dengan tujuan program yang dicanangkan pemerintah. Untuk itu perlu adanya sinkronisasi perangkat perundang-undangan dari pemerintah pusat dengan peraturan perundang-undangan di daerah khususnya dalam hal ini Kota Yogyakarta. Pada Penelitian pendahuluan ini meninjau ketersediaan perangkat peraturan perundang-undangan di Kota Yogyakarta untuk diinventarisasi, apakah pemerintah Kota melakukan langkahlangkah untuk menyiapkan peraturan pelaksanaan dari kebijakan kesehatan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat , agar pelayanan kesehatan dapat berjalan sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat melalui perangkat hukum yang memadai. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Penyerahan Urusan Kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota Penyelenggaraan desentralisasi menuntut pers ebaran urus an pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. 2 Kebi jakan desentrali sasi di maks udkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanggung jawab akhi r dari penyel enggaraan urusan-urus an pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena
www.scribd.com/doc/ Sistim-Informasi Kesehatan, februari 2007. Diakses tanggal 25 Pebruari 2010 Sri Susilih ,Desentralisasi Public Service Dalam Era Otonomi Daerah, Artikel Jurnal Administrasi, Vol II. No.02. Maret 2002.hlm 16
34
ex ternal ities (dampak) akhi r dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi daerah akan banyak bers ifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, mo nitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan l ebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam mel aksanakan otonominya daerah berwenang membuat kebijakan daerah. Kebijakan yang diambil daerah adalah dalam batas -batas o tonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.3 Daerah Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang dis erahkan kepada daerah. Pemeri ntah Pusat yang mengatur hubungan antara pusat dan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi daerah sehingga tercipta sinerji antara kepentingan pusat dan daerah. Urusan pemerintahan adalah fungsifungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 4 Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan
yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang di desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD. Persebaran urusan pemerintahan ini memiliki dua prinsip pokok yaitu : a. Selalu terdapat urusan pemerintahan yang umumnya secara universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara seperti urusan pertahanankeamanan, politik l uar negeri, moneter, dan peradilan; b. Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan-urus an pemeri ntahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent). Ini berarti ada bagianbagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Provinsi dan bahkan ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara optimal. Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis maka dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa.
3
Hoessein, Bhenyamin., Kedudukan dan Peran DPRD dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Makalah yang disampaikan dalam diskusi dengan tema “Menelaah Kinerja DPRD Kabupaten di Era Desentralisasi: Tinjauan Kritis Terhadap Proses Revisi UU Otoda” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), Jakarta. Tanggal 28 Maret 2002 4 DJPKPD, “Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2001 – 2003”, tahun 2004. hlm.2
35
Untuk menjamin kepastian, perubahanperubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika dalam distribusi urusan pemerintahan (intergovernmental function sharing) antar tingkatan pemerintahan; Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat. 2. Pemerintahan Daerah Sebagai Penyedia Layanan Publik Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik sebagai refleksi dari pros es demokratis as i dan tujuan kesejahteraan. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribus i pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulatif (public regulations), sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public go ods yai tu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, Pemda akan kes ul itan dal am memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Untuk itulah maka seluas apapun otonomi atau kewenangan yang
36
dilaksanakan oleh daerah, kewenangan itu tetap ada batas—batasnya, yaitu ramburambu berupa pedoman dan arahan, serta kendali dari pemerintah, baik berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya. Disamping itu haruslah kewenangan tersebut berkorelasi dengan kebutuhan riil masyarakat. Kewenangan tersebut yang memungki nkan daerah mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Argumen inilah yang menjadi dasar kenapa urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dikelompokkan menjadi dua yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan urus an pil ihan terkai t dengan pengembangan potensi unggulan yang menjadi ke-khas -an daerah yang bersangkutan. Dari tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas, maka misi utama dari keberadaan Pemda adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Untuk mampu menyediakan pelayanan publik yang optimal dan mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum (SPM). Dalam menjalankan misinya untuk mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang
berl aku pada negara dan bangsa tersebut.5 Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi daerah dapat berjalan secara o pti mal. K onsekwens inya Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan memberdayakan Daerah agar mampu menjalankan otonominya secara efektip, efisien, ekonomis dan akuntabel. Untuk supervis i dan fas il itas i terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Provinsi dilakukan langsung oleh Pemerintah. Sedangkan untuk melakukan kegiatan supervis i dan fas il itas i terhadap pelaks anaan o to no mi di tingkat Kabupaten/Kota, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, tidak akan efektip dan efisien kalau dilakukan langsung oleh Pemerintah. Untuk itu Pemerintah berdasarkan prinsip “dekonsentrasi” menugaskan Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah untuk melakukan kegiatan supervisi dan fasilitasi tersebut. 3. Perundang-Undangan Berbasis Tata Kelola Yang Baik Dibidang Kesehatan. Dalam peraturan perundangundangan ada ciri-ciri yang harus dimiliki, yaitu: 1). bersifat umum dan komprehensif , 2). bersifat universal, karena ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya. 3). memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, meliputi:6 1). Kejelasan tujuan.
2). Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. 3). Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. 4). Dapat dilaksanakan. 5). Kedayagunaan dan kehasilgunaan. 6). Kejelasan rumusan, dan 7). Keterbukaan. Jika ditinjau dari materi muatan, Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, terlihat materi ditetapkan secara bertingkat dan bersifat delegatif, yaitu: a. Materi muatan undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD yang meliputi: hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara, serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagi an daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, keuangan, serta diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang. b. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sama dengan materi muatan undangundang. c. Materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk menjalankan undang-undang “sebagaimana mestinya” adalah materi muatan yang diatur dalam Peratuan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. (Pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). d. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintah oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. e. Materi muatan Peraturan Daerah
5
hubungan-pusat-dan-daerah http://sakatik.blogspot.com/2008/10/ diakses tanggal 25 Pebruari 2010 Tim Depkumham, Panduan Praktis memahami Peraturan Daerah, Depkumhan &UNDP, Cet I. 2008.hlm9-13
6
37
f.
adalah keseluruhan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
4. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan UU No 10 Tahun 2003 Analisis hukum yang menyingkap karakter dinamis dari sistem normatif dan fungsi norma dasar juga menunjukkan kekhususan lebih lanjut dari hukum yaitu: hukum mengatur kreterianya sendiri sepanjang suatu norma hukum menentukan cara norma lain dibuat, dan juga isi dari norma tersebut. Sejak norma hukum adalah valid dibuat karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma hukum lain, maka norma terakhir adalah validitas norma pertama.7 Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan norma lain dan norma tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub ordinasi lam konteks spesial, Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior sedangkan norma yang dibuat adalah inverior. Tata hukum khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan suatu system norma yang dikoordinasi satu dengan lainnya tetapi suatu herarkhi dari norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta
7 8 9
bahwa pembuatan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, Pembuatan yang ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.8 Suatu norma yang mengatur pembuatan norma lain adalah dilakukan dalam pembuatan norma lain tersebut. Pembuatan hukum (law creating) adalah selalu merupakan pelaksanaan hukum (law applying). Pembuatan hukum adalah suatu pelaksanaan hukum yang lebih tinggi, dan pelaksanaan hukum yang lebih tinggi normalnya adalah pembuatan suatu norma lebih rendah.9 Dalam Pasal 7, UU Nomor 10, Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diatur mengenai hierarki peraturan perudangundangan, yaitu : a. UUD Negara Republik Indonesia, Tahun 1945. b. UU /Perpu. c. Peraturan Pemerintah (PP). d. Peraturan Presiden (Perpres). e. Peraturan Daerah (Perda) yang meliputi : Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh DPRD provinsi bersama gubernur; Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh DPRD kabupaten/kota bersama bupati/ walikota;Peraturan Desa/peraturan setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. Tiap jenis dengan herarkhinya mempunyai materi muatan yang berbedabeda: 1). Undang-Undang mengatur lebih lanjut ketentuan UUDN-RI Tahun 1945 yang
Kelsen, General Theory of Law end State Transleted by:Andres Wedberg, New York Rusell Rusell, 1961, hlm 123 Ibid.hlm.124 Jimly Assidiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Setjen Kepaniteraan-MK, Jakarta, 2006.hlm 11
38
meliputi: a) hak-hak asasi manusia; b). hak dan kewajiban warga negara; c). pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara d). wilayah negara dan pembagian daerah; e). kewarganegaraan dan kependudukan; f). keuangan negara; Hal-hal tersebut di atas diperintahkan oleh UUD 1945 u n t u k diatur dlm UU 2). Untuk materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) : Mengatur hal-hal yang bersifat delegatif dan /atau penjabaran pelaksanaan suatu UU dan tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU ybs PP atau peraturan pelaksanaan lainya wajib ditentukan batas waktu penetapannya untuk melaksanakan suatu UU, kecuali dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara yang tidak atas permintaan secara tegas dari suatu UU 3). Peraturan presiden: Mengatur materi yang diperintahkan o leh UU atau melaksanakan PP baik dipertintahkan secara tegas atau tidak untuk pembentukannya. Sesuai dengan kedudukannya Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan, maka Perpres dapat dibuat oleh Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai kewenangan atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUDN-RI Tahun 1945
10 11
4). Peraturan Daerah (Perda) : a). Perda provinisi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan gubernur; b). Perda kab/kota dibuat oleh DPRD kab/kota bersama bupati/ walikota; c). Perdes/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan permusyawaratan desa atau nama lain bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.10 Batasan Perda: a. Ditetapkan oleh KDH dengan persetujuan DPRD; b. Untuk menyelesaikan otonomi daerah dan tugas pembantuan; c. Penjabaran lebih lanjut dari pert per UU-an l ebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas daerah; d. Dil arang bertentangan dgn kepentingan umum dan/atau pert peruu-an yang lebih tinggi e. Berlaku setelah diundangkan dlm lembaran daerah. Peraturan Per-UUan memiliki sifat: Pengayoman; Kemanusiaan: K ebangsaan; Kekeluargaan; Kenusantaraan; Bhinneka tunggal ika; Keadilan; Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Ketertiban dan kepastian hukum; Keseimbangan, keserasian; dan keselarasan.11 5. Materi Muatan Dalam Perda Kesehatan Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 200 Tim Depkumham, op.cit.hlm.34
39
Di era otonomi daerah atau desentralisasi, DPRD dan Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang luas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam praktek, tidak jarang terjadi kewenangan tersebut dilaksanakan tidak selaras bahkan bertentangan dengan Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi (vertikal) atau dengan Peraturan Perundang undangan yang sama (horizontal). Oleh karena itu, DPRD dan Kepala Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah harus selalu memperhatikan asas pembentukan dan asas materi muatan Peraturan Perundang undangan. pedoman tentang materi muatan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang undangan tingkat daerah lainnya (Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota), juga diatur dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dalam Peraturan Pelaksanaannya. Mengenai materi Peraturan Daerah perlu memperhatikan asas materi muatan yang meliputi: a. Pengayoman b. Kemanusiaan c. Kebangsaan d. Kekeluargaan e. Kenusantaraan f. Bhinneka Tunggal Ika g. Keadilan h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan i. Ketertiban dan kepastian hukum j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Selanjutnya materi Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau/ Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 136 ayat (4) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
40
Daerah, yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi”. Dalam penjelasan Pasal tersebut, yang dimaksud dengan “bertentangan dengan kepentingan umum” dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7 ditegaskan pula bahwa: “Kebijakan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lain”. Peraturan daerah di bidang kesehatan memuat kebijakan daerah yang mencakup: a. alokasi anggaran kesehatan yang memadai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna meningkatkan kesehatan; b. penyediaan tenaga medis, paramedis, dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat; c. jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan yang cukup; d. penyediaan obat dan perbekalan kes ehatan yang murah bagi masyarakat; e. penyediaan air bersih dan sanitasi yang memadai; f. mewujudkan lingkungan pelayanan kesehatan yang baik, bersih, dan sehat; seluruh wilayah secara merata, antara lain: imunisasi, layanan
h.
i. j.
k.
l.
m. n. o. p. q. r.
s.
t.
Keluarga Berencana, Pos Pelayanan Terpadu, dan sebagainya; penyediaan makanan tambahan dan nutrisi yang cukup bagi balita dan ibu hamil atau menyusui; upaya mengurangi angka kelahiran dan kematian ibu dan bayi; peningkatan pendidikan untuk menangani masalah kesehatan termasuk metode pencegahan dan pengendalian penyakit; peningkatan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pemeliharaan kesehatan, mis alnya melal ui penyuluhan atau kursus tentang kesehatan; penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana alam, wabah, penyakit menular, atau penyakit endemik; pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan; pencegahan dan penanggulangan gizi buruk; kebijakan tentang pembiayaan layanan kesehatan. kebijakan tentang penyediaan Sumber Daya Manusia di bidang kesehatan. kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam urusan kesehatan, antara lain: manajemen layanan kesehatan, antara lain memberikan layanan kesehatan dengan kualitas yang baik kepada seluruh pasien; jaminan tindakan bagi penderita penyakit tertentu (HIV/AIDS, Flu Burung, TBC, kusta dll) terhadap akses layanan kesehatan; tersedianya jaminan dan kepastian pemenuhan hak hak pasien, meliputi: 1. hak untuk memilih dokter yang merawat; 2. hak untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang: a) penyakit yang diderita; b) tindakan medis apa yang akan dilakukan dan kemungkinan
3.
4. 5.
6. 7.
8.
timbulnya penyulit sebagai akibat tindakan tersebut; c) alternatif pengobatan lain; d) prognosis atau riwayat penyakit; dan e) perkiraan biaya pengobatan. hak meminta untuk tidak diinformasikan tentang penyakitnya kepada orang atau pihak lain; hak untuk menolak tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya; hak untuk mengajukan keluhan keluhan dan memperoleh tanggapan segera; hak untuk didampingi keluarga pada saat kondisi kritis; hak mengakhiri pengobatan dan rawat inap atas tanggung jawab sendiri; hak untuk menjalankan ritual agama dan kepercayaannya di Rumah Sakit, selama tidak mengganggu pengobatan dan pasien yang lain.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini mempunyai tujuan menginventaris asi dan menjajaki sinkronisasi perda di bidang kesehatan di Kota Yogyakarta sebagai pengkajian pendahuluan untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan-bahan pembuatan peraturan pelaksanaan kesehatan di Kota Yogyakarta . Penelitian ini menggunakan model penelitian normatif, yaitu penelitian hukum yang normatif (legal research). yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja yang berupa peraturan perundang-undangan, dokumen2, teori hukum, dan pendapat para sarjana. Penelusuran dengan inventarisasi hukum positif dibidang kesehatan ini dimaksudkan untuk melakukan usaha usaha penemuan hukum (in concreto) yang sesuai untuk
41
diterapkan di bidang kesehatan di Kota Yogyakarta. Pengumpulan data diperoleh dari sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, yaitu pada dasarnya menggunakan pemi ki ran lo gi s, anali sa l ogika. Selanjutnya data diolah untuk memperoleh penarikan kesimpulan menggunakan logika induktif, analisis informasi, proses penafsiran, dan penyimpulan hasil penelitian, sesuai dengan tujuan penelitian yaitu : inventarisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan sebagai bentuk pembagian urusan antara Pusat dan Daerah di bidang Kesehatan Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundangundangan tersebut. Sedang apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi secara horisontal, maka yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama. D. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS 1. Distribusi Urusan Pemerintah antar Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Propinsi dan Pemerintahan Kota/Kab Bidang Kesehatan Kri teri a di stri busi urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan: Externalitas (Spill-0ver) siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus Akuntabilitas yang berwenang mengurus adalah tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan dampak tersebut (sesuai prinsip demokrasi) Efisiensi Oto nomi Daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien
42
dan mencegah High Cost Economy Efisiensi dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik Skala ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan (catchment area) yang optimal. Pusat berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monev, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kab/Kota). Kabupaten/Kota Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kab/ Kota). kewenangan antar tingkatan pemerintahan: Pembagian Urusan SDM Kesehatan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 meliputi: Pendayagunaan tenaga kesehatan makro s kala nas ional; Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Taining of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional; Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundang-undangan; Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundang-undangan 22 Provinsi. Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/kota skala provinsi; Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi; Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi; registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundangundangan; Pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing. Kabupaten/Kota Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis; Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota; Pelatihan teknis skala kabupaten/kota; Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala
kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan; Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu. Urusan Pemerintah Bidang Upaya Kes ehatan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit, Lingkungan Sehat Perbaikan Gizi Masyarakat Kesehatan Perorangan dan Masyarakat meliputi :
1. Sub Bidang Pembiayaan Kesehatan 2. Sub Bidang SDM Kesehatan 3. Sub Bidang Obat dan Perbekalan Kesehatan 4. Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat 5. Manajemen Kesehatan 12
Tabel 1: Matrik Pengelolaan Urusan-urusan Kesehatan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota/Kab. 13 Sub Bidang
Upaya Kesehatan
Sub - Sub
Pemerintah
1. Pencegahan dan Pemberanta san Penyakit
1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional. 2. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular ber potensial wabah, dan yang merupakan komitmen global skala nasional dan internasional. 3. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala nasional. 4. Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala nasional. 5. Pengelolaan karantina kesehatan skala nasional.
Pemerintah Provinsi Pemerintah Kab/Kota 1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala provinsi. 3. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi. 4. Pengendalian operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi.
1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala kabupaten/ kota. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala kabupaten/ kota. 2. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala kabupaten/kota.
12
Kertas Kerja Direktur Urusan Pemerintah Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri.Peningkatan Peran Provinsi dalam Pembangunan Perencanaan Pembangunan di Bidang Kesehatan di Tingkat Kab/Kot Dirangkum dari PP No. 41/2007 dan berbagai Keppres dan Kemenkes Bidang kesehatan 14 Sumber data sekunder : http\\www.jogjakarta.go.id. diakses tanggal 8 Maret 2010 13
43
Sub Bidang
Sub - Sub Lingkungan Sehat :
2. Pembiayaan Kesehatan
44
Pemerintah 1.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala nasional. Pemerintah
Pemerintah Provinsi Pemerintah Kab/Kota Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi.
1.
2.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala kabupaten/kota. Penyehatan lingkungan.
3. Perbaikan Gizi Masyarakat
1.
Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional. 2.a. Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala nasional.
1.
Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala provinsi. 2.a. Pemantauan penanggulangan gizi buruk skala provinsi.
1.
4. Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat
1. Pengelolaan pelayanan kesehatan haji skala nasional. 2. Pengelolaan upaya kesehatan dan rujukan nasional. 3. Pengelolaan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala nasional. 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundangundangan. 5.a. Pemberian izin sarana kesehatan tertentu.
1. Bimbingan dan pengendalian pelayanan kesehatan haji skala provinsi. 2. Pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan tersier tertentu. 3. Bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala provinsi. 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. 5.a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah. b.Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas B non pendidikan, rumah sakit khusus, rumah sakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara.
1.
1. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat
1.a.Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan. b.Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional.
1.a.Pengelolaan/penyeleng garaan, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi. b.Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).
1.a. Pengelolaan/ penyelenggaraan, jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal. b. Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).
Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala kabupaten kota 2.a. Penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota. b. Perbaikan gizi keluarga dan masyarakat.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji skala kabupaten/ Skota. 2. Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala kabupaten/kota. 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. 5.a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah dan provinsi. b. Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas C, Kelas D, rumah sakit swasta yangsetara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis, rumah bersalin,
Sub Bidang
Sub - Sub
Pemerintah
3. Sumber Daya
1. Peningkatan Jumlah, Mutu dan Penyebaran Tenaga Kesehatan
1. Pengelolaan tenaga kesehatan strategis. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala nasional. 3. Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional.
Manusia Kesehatan
4. Obat dan Perbekalan Kesehatan
1. Ketersediaan, 1. Penyediaan dan Pemerataan, pengelolaan Mutu Obat bufferstock obat dan nasional, alat Keterjangkau kesehatan tertentu, an Harga reagensia tertentu Obat dan vaksin tertentu Serta skala nasional. 2.a. Registrasi, Perbekalan kesehatan akreditasi, sertifikasi komoditi kesehatan sesuai peraturan perundangundangan. Pemberian izin 3.a. industri komoditi kesehatan, alat kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Pemerintah Provinsi Pemerintah Kab/Kota 1. Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/ kota skala provinsi. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi. 3. Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi. 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundang-undangan. 5. Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundang-undangan.
1. Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota. 3. Pelatihan teknis skala kabupaten/kota 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundangundangan. 5. Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu.
1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi. Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) Kelas II. 2.a. Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK). b. Pemberian izin PBF Cabang dan IKOT.
1.
Penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/ kota 2.a. Pengambilan sampling/ contoh sediaan farmasi di lapangan. b. Pemeriksaan setempat sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi. c. Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga. d. Sertifikasi alat kesehatan dan PKRT Kelas I. 3.a. Pemberian rekomendasi izin PBF Cabang, PBAK dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) b. Pemberian izin apotik, toko obat.
5. Pemberdayaan 1. Pemberdaya 1. Pengelolaan an Individu, promosi Masyarakat Keluarga dan kesehatan skala Masyarakat nasional. Berperilaku Hidup Sehat dan Pengem bangan Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM)
1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi.
6. Manajemen Kesehatan
1. Bimbingan dan 1. Penyelenggaraan,bimbingan pengendalian norma, dan pengendalian standar, prosedur, dan operasionalisasi bidang kriteria bidang kesehatan. kesehatan.
1. Kebijakan
1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan
Penyelenggaraan promosi kesehatan skala kabupaten/kota.
45
2. Penyelenggaraan Urusan Bidang Kesehatan pada Kota Yogyakarta. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/ atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Urusan-urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan urusan pemerintah kabupaten/kota. Urusanurus an yang dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat atau menurut sifat:nya merupakan tanggung-jawab masyarakat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat menyelenggarakan sendiri; atau menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. ditugaskan penyelenggaraannya kepada pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap. Daerah Isti mewa Yogyakarta merupakan propinsi pertama yang mengembangkan Sistem Kesehatan Propinsi (SKP). Kegiatan pengembangan struktur organisasi, sistem regulasi, surveilans, pembiayaan dikembangkan secara terpisah melalui berbagai task force. Namun pada tahun-tahun berikutnya, integrasi dan sinkronisasi berbagai kegiatan pengembangan semakin ditekankan. Pengalaman Propinsi DIY ini mempengaruhi transformasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, dari suatu dinas yang cenderung bersifat pelaksana (operator) menjadi dinas yang mempunyai
46
banyak misi regulator. Urusan pemerintah pro pins i adalah: (1) pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah; dan (2) pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumahsakit pemerintah Kelas B nonpendidikan, rumahsakit khusus, rumahsakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara. Sementara itu urusan pemerintah (pusat) adalah pemberian izin sarana kesehatan tertentu. salah satu makna PP No.38/2007 adalah adanya pemisahan fungsi pemerintah sebagai regulator dan operator rumahsakit. Di daerah jelas bahwa rumahsakit pemerintah bukan lagi bersifat sebagai UPT dinas, namun merupakan lembaga pelaksana (operator) yang terpisah dari dinas (UU No.32/2004, UU No.1/2005 tentang BLU, PP No.41/2007). PP No.41/ 2007 sebagai turunan dari UU No.32/2004 tegas menyatakan bahwa RSD bukan bagian dari perumpunan kedinasan (PP No.41/2007 Pasal 22). Rumahsakit daerah mengalami proses yang disebut korporatisasi, sementara dinas kesehatan di harapkan mengal ami pros es pemantapan sebagai regulator. Dengan demikian di masa depan, PP No.41/2007 memberikan arah jelas kepada hubungan dinas kesehatan dan rumahsakit pemerintah berdasarkan asas good governance. Dengan berubahnya rumahsakit pemerintah pusat menjadi BLU pusat, memang sebaiknya ada perubahan Ditjen Bina Pelayanan Medik. Rumahsakit pemerintah pusat berubah menjadi operator-operator rumahsakit yang perlakuannya sama dengan rumahsakit swas ta, rumahsakit pemda dan rumahsakit militer. Hal ini dinyatakan tegas dalam PP No.38/ 2007. Keadaan sebelum desentralisasi (sebelum PP No.38/2007 UKP melalui Ditjen Binkesmas dan Ditjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan. Dengan adanya PP
No.25/2000 dan UU No.32/2004 bahwa rumahsakit dapat berbentuk badan di luar Dinas Kesehatan, terjadi pemisahan antara rumahsakit dan dinas kesehatan. Akibatnya di daerah seolah ada dua kelompok berbeda: rumahsakit dan dinas kesehatan. Keadaan yang diharapkan PP No.38/ 2007 dan PP No.41/2007 adalah dinas kesehatan menjadi pelaku sentral untuk pengawas, pembinaan, pelaksanaan, pembiayaanUKM dan UKP. Rumahsakit sebagai pemberi UKP merupakan lembaga yang harus diawasi dan membutuhkan perizi nan, termas uk rumah sakit pemerintah. Ditjen Binkesmas dan Ditjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan diharapkan lebih terpadu kebijaksanaannya. Diharapkan pula di level pusat ada penggabungan kedua Ditjen dan ada unit baru yang mengurusi rumahsakitrumahsakit sebagai operator. Dinas-dinas merupakan unsur pelaksana pemerintahan di daerah, yang diangkat oleh kepala daerah atas usul sekretaris daerah. Dalam pelaksanaan tugasnya dinas bertanggungjawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Dinas daerah melaksanakan urusan kewenangan daerah otonom yang disentralisasikan oleh pemerintah pusat sesuai dengan bidang kewenangan tertentu. Bidang kesehatan merupakan urusan yang masih dikelola sebagai urusan-urusan pemerintah yang dibagi menjadi urusan pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan urusan pemerintah kabupaten /kota. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menganggap penting pengembangan peran perizinan sarana pel ayanan kesehatan mengingat banyaknya sarana serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Peran perizinan dinas kesehatan ini perlu ditingkatkan dalam konteks fungsi regulasi pemerintah. Aktivitas regulasi bertujuan untuk mencapai perbaikan mutu
yang berkelanjutan sehingga dapat memberikan pelayanan yang aman. Tugas pemerintah dalam hal pelayanan kesehatan tidak hanya terbatas pada mengusahakan supaya pel ayanan kesehatan menjadi tersedia tetapi lebih jauh harus mampu menjaga agar pelayanan tersebut dapat berfungsi dengan baik. Dengan kerangka kerja sama dinas kesehatan propinsi dirancang desain untuk mewadahi peran regulasi ke dalam struktur kelembagaan dinas kesehatan yang baru. Dalam hal ini peran dinas kesehatan sebagai regulator pelayanan kesehatan ditingkatkan. Tanggal 15 November 2005 ditetapkan Perda No.11/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan. Dalam struktur kelembagaan baru tersebut ada bidang yang mewadahi peran dan fungsi regulasi yaitu Bidang Regulasi dan SDM. Dengan terbentuknya bidang tersebut alokasi SDM dan anggaran pemda untuk fungsi regulasi mendapat dasar yang kuat. Pengembangan peran perizinan sarana pelayanan kesehatan di Kota Yogyakarta yang di lakukan pada tahun 2005 mempunyai beberapa fase: a. Fase pertama adalah diagnosis dengan kegiatan-kegiatan: identifikasi SDM dan tupoksi di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, identifikasi standar dan pedoman berkaitan dengan regulasi sarana pel ayanan kesehatan, identifikasi produk hukum yang ada, pendataan jumlah sarana pelayanan kesehatan di Kota Yogyakarta, identifikasi pembiayaan yang tersedia untuk peran regulasi, eksplorasi persepsi mengenai peran regulasi dan kebutuhan pengembangannya, dan formulasi masalah dan intervensi yang akan dilakukan. b. Fase kedua dengan kegiatan: (1) menetapkan model implementasi
47
peran regulasi. Dalam konteks PP No.38/2007 dan PP No.41/2007, ditekankan bahwa peran dinas kesehatan harus mengkoordinasi berbagai pelaku dalam sektor kesehatan. Desentralisasi kesehatan secara prinsip menyerahkan urusan kesehatan ke pemda. Dalam hal ini dinas di pemda menjadi lembaga tertinggi yang mengurusi suatu sektor yang diserahkan ke daerah. c. Fase ketiga adalah pelaksanaan. Secara umum aktivitas regulasi pelayanan kesehatan dapat dilihat dari berbagai kegiatan yaitu: lisensi, sertifikasi, dan akreditasi. Lisensi adalah suatu proses pemberian izin oleh pemerintah kepada praktisi individual atau lembaga pelayanan kesehatan untuk melaksanakan atau terlibat dalam suatu profesi/pekerjaan yang bersifat wajib. Lisensi diberikan kepada individu maupun sarana pelayanan kesehatan s etel ah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis (sebagai standar minimal). Untuk mengoptimalkan pelaksanaan regulasi pelayanan kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta bekerja sama dengan Badan Mutu Pelayanan Kesehatan Propinsi DIY, sebagai bagian dari SKP. Dengan pengembangan peran regulasi pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Di nas Kesehatan Kota Yo gyakarta diharapkan penyelenggara pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan yang bermutu dan aman kepada masyarakat serta peran dinas kesehatan sebagai regulator dapat berjalan secara optimal. Khusus di bidang kesehatan, pemerintah pusat telah mencanangkan kebijakan kesehatan dengan mengatur bahwa Peraturan daerah di bidang kesehatan yang memuat kebijakan daerah mencakup:
48
a. alokasi anggaran kesehatan yang memadai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna meningkatkan kesehatan; b. penyediaan tenaga medis, paramedis, dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat; c. jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan yang cukup; d. penyediaan obat dan perbekalan kes ehatan yang murah bagi masyarakat; e. penyediaan air bersih dan sanitasi yang memadai; f. mewujudkan lingkungan pelayanan kesehatan yang baik, bersih, dan sehat; g. program layanan kesehatan yang terjangkau di seluruh wilayah secara merata, antara lain: imunisasi, layanan Keluarga Berencana, Pos Pelayanan Terpadu, dan sebagainya; h. penyediaan makanan tambahan dan nutrisi yang cukup bagi balita dan ibu hamil atau menyusui; i. upaya mengurangi angka kelahiran dan kematian ibu dan bayi; j. peningkatan pendidikan untuk menangani masalah kesehatan termasuk metode pencegahan dan pengendalian penyakit; k. peningkatan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pemeliharaan kes ehatan, mi sal nya melal ui penyuluhan atau kursus tentang kesehatan; l. penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana alam, wabah, penyakit menular, atau penyakit endemik; m. pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan; n. pencegahan dan penanggulangan gizi buruk;
o. kebijakan tentang pembiayaan layanan kesehatan yang meliputi: 1. pengalokasian anggaran dalam rangka pembebasan biaya kes ehatan bagi masyarakat miskin; 2. transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan pembiayaan kesehatan. p. kebijakan tentang penyediaan Sumber Daya tertentu (HIV/AIDS, Flu Burung, TBC, kusta dll) terhadap akses layanan kesehatan; t. tersedianya jaminan dan kepastian pemenuhan hak-hak pasien, meliputi: 1). hak untuk memilih dokter yang merawat; 2). hak untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang: a). penyakit yang diderita; b). tindakan medis apa yang akan dilakukan dan kemungkinan timbulnya penyulit sebagai akibat tindakan tersebut; c). alternatif pengobatan lain; d). prognosis atau riwayat penyakit; e). perkiraan biaya pengobatan. 3). hak untuk tidak diinformasikan tentang penyakitnya kepada orang atau pihak lain; 4). hak untuk menolak tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya; 5). hak untuk mengajukan keluhankel uhan dan mempero leh tanggapan segera; 6). hak untuk didampingi keluarga pada saat kondisi kritis; 7). hak mengakhiri pengobatan dan rawat inap atas tanggung jawab sendiri; 8). hak untuk menjalankan ritual agama dan kepercayaannya di Rumah Sakit, selama tidak mengganggu pengobatan dan
pasien yang lain. Dal am bidang kesehatan pemerintah menetapkan kebijakan umum yaitu : Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Kota Yogyakarta melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang memadai, penyediaan SDM pelayanan kes ehatan yang berkuali tas dan mempunyai kompetensi yang tinggi serta didukung oleh partisipasi masyarakat dalam rangka menciptakan kualitas kehidupan dan kesehatan lingkungan yang lebih baik. Tahun 2010 Kota Yogyakarta sebagai kota yang sehat dan nyaman huni dengan pengelolaan fasilitas pelayanan publik yang memadai. Tahun 2011 Kota Yogyakarta sebagai kota yang tertata rapi dengan tingkat polusi rendah yang didukung dengan pelayanan yang optimal. Derajat kesehatan masyarakat Yogyakarta dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini dikarenakan meningkatnya ti ngkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, meningkatnya ti ngkat pelayanan kesehatan, serta meningkatnya jumlah dan cakupan sarana dan prasarana kesehatan. Masalah yang harus diatasi antara lain : a. meningkatnya jumlah kasus penyakit menular karena peran serta dan pengetahuan masyarakat dalam memberantas dan mencegah penyakit menular masih kurang b. peredaran obat-obatan terlarang (NAPZA) yang semakin marak c. belum optimalnya mutu pelayanan kesehatan d. kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan e. terbatasnya pembiayaan kesehatan f. belum optimalnya pemberdayaan sumber daya kesehatan dan potensi daerah yang dimiliki kota Yogyakarta g. terbatasnya sarana dan prasarana kesehatan
49
Kebijakan diambil untuk mengatur dan memberikan pelayanan kepada masyarakat Yogyakarta yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Tentu saja diperlukan penyederhanaan dari segala ko mpleksitas yang ada. Tanpa penyederhanaan maka akan sulit mengambil keputusan karena kepentingan akan sangat beragam. Meskipun demikian, penyederhanaan yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang sehingga nantinya kebijakan yang diambil tidak akan menimbulkan polemik. Penyederhanaan yang berlebihan dan tanpa Peraturan daerah di bidang kesehatan memuat kebijakan daerah yang mencakup: a. alokasi anggaran kesehatan yang memadai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna meningkatkan kesehatan; b. penyediaan tenaga medis, paramedis, dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat; c. jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan yang cukup; d. penyediaan obat dan perbekalan kes ehatan yang murah bagi masyarakat; e. penyediaan air bersih dan sanitasi yang memadai; f. mewujudkan lingkungan pelayanan kesehatan yang baik, bersih, dan sehat; g. program layanan kesehatan yang terjangkau di seluruh wilayah secara merata, antara lain: imunisasi, layanan Keluarga Berencana, Pos Pelayanan Terpadu, dan sebagainya; h. penyediaan makanan tambahan dan nutrisi yang cukup bagi balita dan ibu hamil atau menyusui; i. upaya mengurangi angka kelahiran
50
j.
k.
l.
m. n. o.
p.
q.
dan kematian ibu dan bayi; peningkatan pendidikan untuk menangani masalah kesehatan termasuk metode pencegahan dan pengendalian penyakit; peningkatan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pemeliharaan kesehatan, mis alnya melal ui penyuluhan atau kursus tentang kesehatan; penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana alam, wabah, penyakit menular, atau penyakit endemik; pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan; pencegahan dan penanggulangan gizi buruk; kebijakan tentang pembiayaan layanan kesehatan yang meliputi: 1. pengalokasian anggaran dalam rangka pembebasan biaya kes ehatan bagi masyarakat miskin; 2. transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan pembiayaan kesehatan. kebijakan tentang penyediaan Sumber Daya Manusia di bidang kesehatan, antara lain: 1. penyediaan dan penyebaran tenaga medis, tenaga para medis dan tenaga kesehatan lainnya yang mencukupi dan merata, untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat; 2. pemberian akses seluas-luasnya kepada SDM di bidang kesehatan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya dalam memberikan layanan kesehatan. kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam urusan kesehatan, antara lain: 1. mengikutsertakan masyarakat dalam menciptakan lingkungan
hidup yang sehat; 2. mengikutsertakan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit. r. manajemen layanan kesehatan, antara lain memberikan layanan kesehatan dengan kualitas yang baik kepada seluruh pasien; s. jaminan tindakan bagi penderita penyakit Bahwa untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara merata dan berkualitas, maka RSUD Kota Yogyakarta perlu mengembangkan sarana dan prasarana yang ada di RSUD seperti pembangunan ruang VIP, peningkatan kualitas sumber daya manusia tenaga medis, keperawatan dan tenaga lainnya. Untuk itu RSUD dalam pengelolaan keuangan menjadi Badan Layanan Umum Daerah yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 423/KEP/2007 tentang Penetapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan layanan Umum Daerah (PPK BLUD) secara Penuh di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta. Ruang l ingkup Kegiatan aksi mewujudkan Yogyakarta Kota Sehat meliputi : a. Regulasi dan Pengembangan Sumber Daya Kesehatan b. Upaya Pelayanan Kesehatan c. Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat d. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan e. Pengembangan Jaminan Kesehatan. f. Pengembangan Puskesmas dan Rumahsakit g. Peningkatan Mutu Bahan Pangan . h. Peningkatan pengendali an pencemaran dan kerusakan lingkungan. i. Pengembangan Kinerja Pengelolaan air limbah. j. Pengelolaan ruang terbuka.
k. Penanggulangan Pencemaran & kerusakan lingkungan akibat Bencana. Peraturan Daerah di bidang kesehatan memuat kebijakan daerah yang mencakup: a. alokasi anggaran kesehatan yang memadai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna meningkatkan kesehatan; b. penyediaan tenaga medis, paramedis, dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat; c. jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan yang cukup; d. penyediaan obat dan perbekalan kes ehatan yang murah bagi masyarakat; e. penyediaan air bersih dan sanitasi yang memadai; f. mewujudkan lingkungan pelayanan kesehatan yang baik, bersih, dan sehat; g. program layanan kesehatan yang terjangkau di seluruh wilayah secara merata, antara lain: imunisasi, layanan Keluarga Berencana, Pos Pelayanan Terpadu, dan sebagainya; h. penyediaan makanan tambahan dan nutrisi yang cukup bagi balita dan ibu hamil atau menyusui; i. upaya mengurangi angka kelahiran dan kematian ibu dan bayi; j. peningkatan pendidikan untuk menangani masalah kesehatan termasuk metode pencegahan dan pengendalian penyakit; k. peningkatan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pemeliharaan kesehatan, mis alnya melal ui penyuluhan atau kursus tentang kesehatan; l. penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana alam, wabah, penyakit menular, atau penyakit endemik;
51
m. pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan; n. pencegahan dan penanggulangan gizi buruk; o. kebijakan tentang pembiayaan layanan kesehatan yang meliputi: 1. pengalokasian anggaran dalam rangka pembebas an biaya kes ehatan bagi masyarakat miskin; 2. transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan pembiayaan kesehatan. p. kebijakan tentang penyediaan Sumber Daya Manusia di bidang kesehatan, antara lain: 1. penyediaan dan penyebaran tenaga medis, tenaga para medis dan tenaga kesehatanlainnya yang mencukupi dan merata, untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat; 2. pemberian akses seluas-luasnya kepada SDM di bidang kesehatan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya dalam memberikan layanan kesehatan. q. kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam urusan kesehatan, antara lain: 1. mengikutsertakan masyarakat dalam menciptakan lingkungan hidup yang sehat; 2. mengikutsertakan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit. r. manajemen layanan kesehatan, antara lain memberikan layanan kesehatan dengan kualitas yang baik kepada seluruh pasien; s. jaminan tindakan bagi penderita penyakit tertentu (HIV/AIDS, Flu Burung, TBC, kusta dll) terhadap akses layanan kesehatan; t. tersedianya jaminan dan kepastian pemenuhan hak-hak pasien, meliputi: 1. hak untuk memilih dokter yang
52
merawat; 2. hak untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang penyakit yang diderita; a). tindakan medis apa yang akan dilakukan dan kemungkinan timbulnya penyulit sebagai akibat tindakan tersebut; b). alternatif pengobatan lain; c). pro gnos is atau riwayat penyakit d). perkiraan biaya pengobatan. 3. hak memi nta untuk ti dak dii nformasi kan tentang penyakitnya kepada orang atau pihak lain; 4. hak untuk menolak tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya; 5. hak untuk mengajukan keluhankel uhan dan mempero leh tanggapan segera; 6. hak untuk didampingi keluarga pada saat kondisi kritis; 7. hak mengakhiri pengobatan dan rawat inap atas tanggung jawab sendiri; 8. hak untuk menjalankan ritual agama dan kepercayaannya di Rumah Sakit, selama tidak mengganggu pengobatan dan pasien yang lain. 3. Perangkat peraturan perundangundangan untuk Mewujudkan Yogyakarta Kota Sehat Dalam penyusun Peraturan Daerah tentang Kesehatan ini, Pemerintah Ko ta Yogyakarta melal ui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pemerintah Kota berpedoman pada landasan idiil yaitu Pancasila dan Landasan Kontitusional Undang-Undang Dasar 1945 serta landasan operasional yang meliputi sel uruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembangunan Kota Yogyakarta.
Untuk lebi h menjamin keberhasil an program-program pembangunan yang disusun dalam RPJMD ini, maka disusun Rencana Aksi Daerah (RAD) yang merupakan kumpulan program kesehatan dan kegiatan yang komprehensif untuk menyeles aikan beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi serta ditentukan sasaran capaiannya. RAD dis usun dan dilaksanakan dengan melibatkan para pemangku kepentingan, sehingga dapat lebih optimal hasilnya. Salah satu RAD yang dirumuskan dalam kelompok “Mewujudkan Yogyakarta Kota Sehat” Dalam mewujudkan Yogyakarta Kota Sehat harus mampu memenuhi tatanan sebagai kawasan permukiman sarana dan parsarana umum yang memadai; kawasan tertib sarana lalulintas dan pelayanan transportasi, kawasan perkantoran sehat; kawasan pariwisata sehat; ketahanan pangan dan gizi masyarakat; kehidupan masyarakat sehat yang mandiri dan kehidupan sosial yang sehat. 3.1. Tujuan Tujuan rencana aksi daerah mewujudkan Yogyakarta kota sehat adalah: a. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. b. Mengurangi Angka kematian Bayi dan Balita. c. Meningkatkan kesehatan ibu hamil dan ibu melahirkan. d. Meningkatkan status gizi balita dan masyarakat. e. Mengurangi ancaman penyakit menular dan tidak menular termasuk penderita kanker pada perempuan miskin. f. Meningkatkan partisipasi masyarakat
untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, olah raga teratur serta berperan aktif dalam upaya kesehatan berbasis masyarakat; g. Meningkatkan cakupan jaminan kesehatan daerah menuju universal coverage h. Meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur RS dan Puskesmas yang didukung pelayanan prima. 3.2. Ruang Lingkup Ruang l ingkup Kegiatan aksi mewujudkan Yogyakarta Kota Sehat meliputi : a. Regulasi dan Pengembangan Sumber Daya Kesehatan b. Upaya Pelayanan Kesehatan c. Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat d. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan e. Pengembangan Jaminan Kesehatan. f. Pengembangan Puskesmas dan Rumah sakit g. Peningkatan Mutu Bahan Pangan . h. Peningkatan pengendali an pencemaran dan kerusakan lingkungan. i. Pengembangan Kinerja Pengelolaan air limbah. j. Pengelolaan ruang terbuka. k. Penanggulangan Pencemaran & kerusakan lingkungan akibat bencana. Dari Tujuan dan Ruang Lingkup kesehatan tersebut, maka pemerintah kota perlu menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk peraturan daerah maupun peraturan wali kota secara harmonis dan satu sama lain harus terjadi singkronisasi peraturan perundang-undangan
53
Tabel 2 : Matrik Peraturan Perundang-Undangan Daerah Terkait dengan Ruang Lingkup dan Tujuan Kesehatan di Kota Yogyakarta :
1.
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah.
a. Regulasi dan Pengembangan Sumber Daya Kesehatan b. Upaya Pelayanan Kesehatan
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
2.
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pencabutan Perda Kota Nomor 11 tahun 2005 Tentang retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit umum Daerah
Upaya PelayananKesehatan
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
3.
Peraturan daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat
Regulasi dan Pengembangan Sumber Daya Kesehatan Upaya Pelayanan Kesehatan Pengembangan Puskesmas dan Rumahsakit
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
4.
Peraturan Walikota Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Daerah Kota Yogyakarta
a. Upaya Pelayanan Kesehatan b. Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat c. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan d. Pengembangan Jaminan Kesehatan.
a. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. b. Mengurangi Angka kematian Bayi dan Balita. c. Meningkatkan kesehatan ibu hamil dan ibu melahirkan. d. Meningkatkan status gizi balita dan masyarakat.
5.
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 423/KEP/2007 tentang Penetapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan layanan Umum Daerah (PPK BLUD) secara Penuh di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta.
a. Regulasi dan Pengembangan Sumber Daya Kesehatan b. Upaya Pelayanan Kesehatan c. Pengembangan Puskesmas dan Rumah sakit
a. Meningkatkan cakupan jaminan kesehatan daerah menuju universal coverage b. Meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur RS dan Puskesmas yang didukung pelayanan prima.
6.
PERWAL Nomor 249/Kep/ 2009 tentang Penyediaan Pergola Tanaman rambat Pada Tempat2 Usaha di sepanjang jalan Urip Sumoharjo, Jl.Diponegoro, Jl.Mangkubumi, Jl.Malioboro, Jl. A. Yani, Jl. Sutomo dan Jl. Suryotomo
a. Peningkatan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan. b. Pengembangan Kinerja Pengelolaan air limbah. c. Pengelolaan ruang terbuka. d. Penanggulangan Pencemaran & kerusakan lingkungan akibat Bencana.
Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, olah raga teratur serta berperan aktif dalam upaya kesehatan berbasis masyarakat
7.
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2009 tentang Retribusi Pengelolaan Air Limbah Domestik
a. Peningkatan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan. b. Pengembangan Kinerja Pengelolaan air limbah. c. Pengelolaan ruang terbuka. d. Penanggulangan Pencemaran & kerusakan lingkungan akibat Bencana.
Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, olah raga teratur serta berperan aktif dalam upaya kesehatan berbasis masyarakat;
8.
Peraturan Walikota Yogyakarta No29 Tahun 2010 Tentang Pelayanan Psikologi Klinis Puskesmas Dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan puskesmas di Kota Yogyakarta
Upaya Pelayanan Kesehatan
54
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
9.
Peraturan Walikota Yogyakarta No12 Tahun 2009 Tentang Rumah Pemulihan Gizi Balita di Kota Yogyakarta
Peningkatan Mutu Bahan Pangan
10.
Peraturan Walikota Yogyakarta No5 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan daerah Tahun 2008
Upaya Pelayanan Kesehatan
11.
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 423/KEP/2007 tentang Penetapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan layanan Umum Daerah (PPK BLUD) secara Penuh di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta.
a. Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat b. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan c. Peningkatan Mutu Bahan Pangan . d. Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
D. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Pembagi an urusan yang dijabarkan oleh PP No.38/2007 , antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/ kota sebagai dasar dalam restrukturisasi organisasi dinas kesehatan harus melihat fungsi dari Departemen Kesehatan dan dinas kesehatan terlebih dahulu, sehingga struktur yang disusun ini adalah “ struktur mengikuti fungs i”. perlu adanya harmonisasi antara kementerian kesehatan dan dinas-dinas yang menjadi hal penting dalam perancangan. Untuk merumuskan fungsi dan struktur yang sesuai dengan PP No.38/2007 dan PP No.41/2007 sebaiknya ada peranan pemerintah pusat, pemerintahan propinsi dan pemerintahan kabupaten/kota. Kementerian Kesehatan berwenang untuk memfasilitasi daerah dalam penyusunan struktur organisasi dinas kesehatan seperti yang akhirnya dituangkan dalam Kepmenkes No.267/ 2008. PP No.38/2007 adalah adanya pemisahan fungsi pemerintah sebagai regulator dan operator rumah sakit. Di daerah jelas bahwa rumah sakit pemerintah bukan lagi bersifat sebagai UPT
a. Mengurangi Angka kematian Bayi dan Balita. b. Meningkatkan kesehatan ibu hamil dan ibu melahirkan. c. Meningkatkan status gizi balita dan masyarakat. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
a. Mengurangi Angka kematian Bayi dan Balita. b. Meningkatkan status gizi balita dan masyarakat. c. Meningkatkan cakupan jaminan kesehatan daerah menuju universal coverage
dinas, namun merupakan lembaga pelaksana (operator) yang terpisah dari dinas (UU No.32/2004, UU No.1/2005 tentang BLU, PP No.41/2007). Di daerah, PP No.41/2007 sebagai turunan dari UU No.32/2004 tegas menyatakan bahwa RSD bukan bagian dari perumpunan kedinasan (PP No.41/2007 Pasal 22). Rumahsakit daerah mengalami proses yang disebut korporatisasi, sementara dinas kesehatan di harapkan mengal ami pros es pemantapan sebagai regulator. Dengan demikian di masa depan, PP No.41/2007 memberikan arah jelas kepada hubungan dinas kesehatan dan rumahsakit pemerintah berdasarkan asas good governance. Dengan adanya PP No.25/2000 dan UU No.32/2004 bahwa rumahsakit dapat berbentuk badan di luar Dinas Kesehatan, terjadi pemisahan antara rumah sakit dan dinas kesehatan. Akibatnya di daerah seolah ada dua kelompok berbeda: rumahsakit dan dinas kesehatan. Keadaan yang diharapkan PP No.38/2007 dan PP No.41/2007 adalah dinas kesehatan menjadi pelaku sentral untuk pengawas,
55
pembinaan, pelaksanaan, pembiayaanUKM dan UKP. Rumahsakit sebagai pemberi UKP merupakan lembaga yang harus diawasi dan membutuhkan perizinan, termasuk rumahsakit pemerintah. Dinas-dinas merupakan unsur pelaksana pemerintahan di daerah, yang diangkat oleh kepala daerah atas usul sekretaris daerah. Peraturan daerah di bidang kesehatan yang memuat kebijakan daerah mencakup kelembagaan dinas kesehatan propinsi. Kota Yogyakarta sudah menerbitkan Peraturan Daerah tentaang Kelembagaan Dinas Kesehatan maupun Peraturan Walikota tentang Rumah sakit Daerah. Dengan demikian, di harapkan struktur yang disus un berdasarkan fungsi yang ada di dalam pengembangan. Penjabaran dari fungsi ini juga menekankan dinas kesehatan di samping sebagai operator juga sebagai regulator (pengawasan). Identifikasi dari struktur dan penyelenggaraan sistem kesehatan secara keseluruhan terlihat siapa pelaku-pelaku yang memiliki peranan masing-masing sesuai dengan peraturan di dalam sistem (siapa yang operator dan siapa yang regulator) di Kota Yogyakarta. Selanjutnya Pemerintah kota perlu menyiapkan perangkat peraturan
perundang-undangan baik dalam bentuk peraturan daerah maupun peraturan wali kota secara harmonis dan satu sama lain harus terjadi singkronisasi peraturan perundang-undangan. b. Saran Dengan memahami peran masingmasing di dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan disarankan pemkot Yogyakarta segera merancang berbagai peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis dengan memperhatikan peraturan yang lebih tinggi sehingga terjadi si nkro nisasi dan hamonisas i agar pelayanan publik di bidang kesehatan menuju pada pelayanan yang baik (good services) bidang kesehatan dengan dasar hukum yang kuat. Dengan rasa memiliki ini diharapkan peningkatan status kesehatan masyarakat dapat diwujudkan secara baik Sebaiknya Departemen Kesehatan mempunyai kelompok organisasi yang menjadi regulator dan penetap kebijakan. dilihat dalam konteks hubungan antara pusat, propinsi, dan kabupaten sehingga akan cepat menetapkan regulasi yang peraturan yang dibutuhkan dan sinkron dengan peraturan perundang-undangan di atasnya khususnya antara dinas kesehatan dengan rumahsakit, termasuk rumahsakit pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Defny-holidin, Reformasi Pemerintah Daerah dalam Pembangunan di Indonesia http://netsains.com/author/ diakses tanggal 25 Pebruari 2010 Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2006. Pedoman Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat: Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan, Nomor 34 Tahun 2005, Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005. Yogyakarta: Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
56
DJPKPD, Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2001 – 2003, tahun 2004. Tim Depkumham, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, CAPPLER Project, Jakarta ,2008. Hans Kelsen, General Theory of Law end State Transleted by:Andres Wedberg, New York Rusell Rusell, 1961. Hoessein, Bhenyamin., Kedudukan dan Peran DPRD dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Makalah yang disampaikan dalam diskusi dengan tema “Menelaah Kinerja DPRD Kabupaten di Era Desentralisasi: Tinjauan Kritis Terhadap Proses Revisi UU Otoda” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), Jakarta. Tanggal 28 Maret 2002. Hoessein, Bhenyamin., (2003). Makalah yang disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya OptimalisasiPengelolaan Perkotaan di Era Otonomi Daerah yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia tanggal 8 Oktober 2003. Sistem Informasi Kesehatan, Februari 2007 www.scribd.com/doc/ Indosiar.com,tingkatpelayanan-kesehatan-masyarakat http://www.indosiar.com/ragam Jimly Assidiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Setjen Kepaniteraan MK, Jakarta, 2006. Sakatik, Hubungan-pusat-dan-daerah-dari-aspek, http://sakatik.blogspot.com/2008/10/ Sri Susilih , Desentralisasi Public Service Dalam Era Otonomi Daerah, Artikel Jurnal Administrasi, Vol II. No.02. Maret 2002. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang dasar Negara RI Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan di Daerah Undang-Undang No 25 Tahun 2010 tentang Pelayanan Publik Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Undang –Undang Nomor .1 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum Peraturan Pemerintah Nomor .41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
57
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/ 7/2003 Peraturan daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah mengatur Urusan Wajib Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan Peraturan Walikota Yogyakarta No5 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan daerah Tahun 2008 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pencabutan Perda Kota Nomor 11 tahun 200 Tentang retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit umum Daerah Peraturan daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Peraturan Walikota Nomor 249/Kep/ 2009 tentang Penyediaan Pergola Tanaman rambat Pada Tempat2 Usaha di sepanjang jalan Urip Sumoharjo, Jl.Diponegoro, Jl.Mangubumi, Jl.Malioboro, Jl. A.yani, Jl. Sutomo dan Jl. Suryotomo Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2009 tentang Retribusi Pengelolaan Air Limbah Domestik Peraturan Walikota Yogyakarta No29 Tahun 2010 Tentang Pelayanan Psikologi Klinis Puskesmas Dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan puskesmas di Kota Yogyakarta Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 423/KEP/2007 tentang Penetapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan layanan Umum Daerah (PPK BLUD) secara Penuh di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta. Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 423/KEP/2007 tentang Penetapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan layanan Umum Daerah (PPK BLUD) secara Penuh di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta. Peraturan Walikota Yogyakarta No12 Tahun 2009 Tentang Rumah Pemulihan Gizi Balita di Kota Yogyakarta
58
PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK MENUJU SISTEM MULTIPARTAI YANG BERKUALITAS DALAM MENDUKUNG KINERJA PEMERINTAHAN Oleh : R Mujiyanto *
Abstract In a democratic country like Indonesia, political parties are the main pillars of the development of democratic process, because the top of the wheels of government control is in the hands of the executive, the president and vice president. As formulated in the UUD 1945 Pasal 6A ayat (2), that the candidates for president and vice-presidential nominated by political parties or coalitions of political parties. This means that the right of proposing candidates for exclusively political party mentioned in the 1945 Constitution granted to political parties. For this reason, all democracies need strong political parties and established in order to channel the various demands of its citizens, ruled for the benefit of the public and meet the basic needs of society. Very rational argument if it attempts to strengthen the political party established by the realization that political parties are the pillars of a necessary and even essential to democratic development of a nation. So the degree of institutionalization of political parties that largely determine the quality of democratic political life of a country. Policy settings that party extreme multiparty system greatly affects the stability of the organization of the State, especially in the Presidential system of government. Multiparty system also affects the political instability that could affect the performance of inefficiency of government. So far it is necessary restructuring and simplifiying of the political parties, in order to form an effective multiparty system and strengthen the system of government. Besides, the arrangement and streamlined political parties are technically directed, can facilitate the implementation of the election, but the role of political parties can still be effective in supporting the government’s performance. A. PENDAHULUAN Kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945, harus dil aksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis. Sebagai bentuk dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat guna keikutsertaan warga negara
dalam pemerintahan dan bernegara, diwujudkan dengan pembentukan partai pol itik. Indonesia sebagai negara demokrasi, harus membuka peluang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik sebagai pilar demokrasi. Dengan didukung oleh keberagaman dan masyarakat pluralis, cenderung s angat memungkinkan
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
59
tumbuhnya partai-partai politik yang beragam. Adanya keragaman dari bangsa Indonesia merupakan hal yang tidak dapat di ingkari. Bangsa Indo nesi a yang mendiami benua maritim nusantara terdiri dari beragam etnis, bahasa maupun agama. Semua keragaman tersebut adalah pluralisme horisontal yang sangat luas skala dan dimensinya. Pluralisme tersebut ditambah dengan adanya pluralisme struktural yang berkaitan dengan kenyataan luasnya disparitas tingkat perkembangan, baik dari segi ekonomi, akses informasi, pendidikan, dan pusat pengambilan keputusan politik dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga tingkat keragaman masyarakat Indonesia menjadi sangat kompleks dan tidak mudah untuk diurai.1 Namun demikian dari pengalaman sejarah bahwa dengan sistem multipartai yang menghasilkan banyaknya partai politik sebagai peserta pemilu, terdapat kelemahan-kelemahan, baik menyangkut teknis pelaksanaan pemilu, maupun menyangkut hubungan kelembagaan dalam pemerintahan khususnya antara parlemen dan eksekutif. Persoalan yang terjadi dalam sistem multipartai di Indonesia, tidak hanya menyangkut jumlah banyaknya partai politik, tetapi menyangkut kualitas partai politik, yang masing-masing tidak dapat menunjukkan kualitas dan performa yang kuat, sehingga yang terjadi antara partai yang satu dengan yang lain hampir dalam posisi yang sama, sehingga dapat membingungkan masyarakat dalam memilih. Multipartai (partai dengan jumlah yang banyak) sebenarnya sudah muncul sejak pemilu Orde Lama diselenggarakan 1 2
3
pertama kalinya tahun 1955 yang didorong dengan keluarnya Maklumat X Wakil Presiden tanggal 3 Nopember 1945 yang isi nya adal ah anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Dengan maklumat ini direncanakan adanya Pemilu pada bulan Januari 1946, akan tetapi karena kondisi politik yang belum stabil, maka tertunda hingga sepuluh tahun, akhirnya dilaksanakan tahun 1955 dan diikuti oleh lebih dari 30 partai politik.2 Seperti digambarkan, bahwa persoalan yang dihadapi oleh sistem demokrasi multipartai di Indonesia bukan semata-mata soal jumlah, melainkan juga persoalan kualitas atau performa partai politik.3 Dengan berbagai kelemahan dalam sistem multipartai, maka perlu diadakan penyederhanaan, melalui penataan dan penyempurnaan partai politik di Indonesia, agar dapat tercipta sistem multipartai yang sederhana, baik menyangkut jumlah maupun kualitas partai politik. Dengan partai politik yang berkualitas dalam arti fungsi dan peranannya, maka akan tercipta kinerja pemerintahan yang baik dan stabil. Dalam rangka upaya penataan dan penyempurnaan partai politik tersebut telah dilakukan antara lain melalui perubahan ketentuan perundang-undangan yang menyangkut kepartaian. Sebagaimana masalah kepartaian telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang kemudian diadakan perubahan dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan, yaitu Tanggal 15 Januari 2011. Penyederhanaan partai politik ini
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Yang Demokratis, Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hal.593 Fadillah Putra, 2003, Partai Politik & Kebijakan Publik, Analisis terhadap kongruensi janji politik partai dengan realisasi produk kebijakan publik di Indonesia 1999-2003, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 10 Ari Dwipayana, Multi Partai, Presidensialisme dan Efektifitas Pemerintahan, h 5
60
diperlukan agar partai politik dapat berfungsi secara efektif dan mendukung sistem kinerja pemerintahan yang demokratis. Sehingga segala produk yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan rakyat, dan akhirnya kepercayaan rakyat akan timbul dengan sendirinya. B. PERMASALAHAN Dari uraian latar belakang yang berhubungan dengan penyederhanaan partai politik menuju sistem multipartai yang berkualitas dalam mendukung kinerja pemerintahan, maka dapat disusun beberapa permasalahan, yaitu : a. Bagaimana pengaruh sistem multipartai terhadap sistem pemerintahan di Indonesia ? b. Bagaimana penyederhanaan partai politik dapat dilakukan, agar dapat terbentuk sistem multipartai yang efektif dan mendukung kinerja pemerintahan ? C. PEMBAHASAN Sebagai negara demokrasi, Indonesi a yang memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan Undang-Undang Dasar 1945 berikut amandemennya, telah meletakkan dasar sebuah negara demokrasi, yang menjami n hak bagi s etiap warga negaranya untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. Dalam sistem demokrasi perwakilan, maka warga negara melalui organisasi partai politiknya dapat menempatkan wakilwakilnya melalui proses pemilihan umum, untuk dapat duduk dalam parlemen ataupun menduduki jabatan sebagai kepala pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Konfigurasi politik demokrasi adalah 4 5
susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebi jaks anan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemili han-pemi lihan berkal a yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik.4 Partai politik diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Di dalam pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem multipartai adalah salah satu varian beberapa system kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Kata kunci dari system multi partai tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu, lebih dari dua partai politik. Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya pendekatan yang hanya berdasarkan jumlah dan interaksi antar partai politik tersebut mendapat kritikan bahwa system kepartaian tidak bias ditentukan sematamata oleh jumlah partai politik yang ikut dalam pemilu, akan tetapi sebagai fenomena yang multi dimensi.5
Mahfud MD, Muh, Politik Hukum di Indonesia, h 24 Ari Dwipayana, op cit, , h 1
61
Ketika membahas konfigurasi politik pada periode 1945-1959, diperoleh kesimpulan bahwa pada periode itu dianut system banyak partai. Hal tersebut berimplikasi pada kuatnya parlemen yang menjadi ajang partai-partai untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Pemerintahan menjadi tidak stabil dan jatuh bangun dalam waktu yang relatif pendek.6 Dari pengalaman sejarah Indonesia tersebut, maka digambarkan bahwa sistem banyak partai yang terbuka terdapat kelemahan, terutama yang berakibat pada ketidakseimbangan hubungan antara parlemen dan kekuasaan eksekutif. Pada umumnya system multi partai memberikan kedudukan parlemen yang sangat kuat, dan disisi lain kedudukan eksekutif sangat lemah, sehingga dapat menimbulkan dampak instabilitas politik pemerintahan. Konsekuensi sistem multipartai tidak hanya mempengaruhi mekanisme dan efisiensi pembahasan rancangan undangundang dan rancangan peraturan daerah di DPR atau DPRD, melainkan juga birokrasi pemerintahan yang harus dipegang oleh banyak orang sebagai representasi dari partai politik yang menang dalam pemilihan umum. Wakilwakil rakyat yang duduk di legislatif dan pemerintahan akan memperjuangkan aspirasi para pendukungnya yang sangat bervariasi.7 1. Penguatan peran partai politik dalam demokrasi Partai politik pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Tidak ada negara demokrasi tanpa partai politik. Karena itu partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka 6 7
memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizen). Indonesia menganut paham demokrasi yang artinya kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan tersebut selanjutnya dijalankan melalui mekanisme pelembagaan yang bernama partai politik. Kemudian partai politik saling berkompetisi secara sehat untuk memperebutkan kekuasaan pemerintahan negara melalui mekanisme pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam demokrasi, partai politik merupakan pilar utama (bukan kedua atau ketiga), karena pucuk kendali roda pemerintahan ada di tangan eksekutif, yaitu presiden dan wakil presiden. Sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (2), bahwa calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya hak itu secara eksklusif hanya partai politik yang disebut UUD 1945 diberikan kepada partai politik. Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi kemaslahatan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sangat rasional argumentasinya jika upaya penguatan partai politik dibangun oleh kesadaran bahwa partai politik merupakan pilar yang perlu dan bahkan sangat penting untuk pembangunan demokrasi suatu bangsa. Jadi derajat pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.
Mahfud MD, Muh, op cit, h 147 http://www.djpp.info/htn-dan-puu/439-dampak-sistim-multipartai-dalam-kehidupan-politik-indonesia.html (12-04-2011)
62
Di dalam Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 Jo. 2 Tahun 2011, khususnya pasal 11 dijelaskan, bahwa Partai Politik mempunyai fungsi sebagai : a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumus kan dan menetapkan kebijakan Negara d. Partisipasi politik warga negara Indonesia, dan e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanis me demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Untuk memperkuat jalannya pemerintah, dengan sistem multi partai di Indonesia memaksa partai berkuasa membentuk koalisi, namun koalisi yang terbentuk terkesan rapuh.8 Koalisi yang terbentuk i tu hanya atas dasar pertimbangan prakmatis-jangka pendek, sehingga dalam perjalanan selanjutnya, selalu ditandai dengan upaya memaksimalkan daya guna posisi politik dalam kabinet untuk kepentingan ekonomipolitik elit partai. Bagi rakyat terhadap partai pol itik cenderung tingkat kepercayaan sangat rendah, karena jauh dari perilaku elit partai yang memperjuangkan rakyat, dan lebih mementingkan untuk kepentingan elit partai baik dari aspek ekonomi dan politik terutama kekuasaan. Bagi rakyat terjadi 8 9
keraguan terhadap partai politik dalam posisinya, yang terkadang menunjukkan perilaku akrobat politik yang seolah-olah berjuang untuk kepentingan rakyat, namun manakala berbenturan dengan kepentingan politiknya kemudian menjadi berhenti. Sebaliknya pemerintah juga tidak berani mengambil suatu keputusan tegas, manakala berbenturan dengan elit-elit partai yang mempunyai suara dominan di parlemen. Kondisi demikian dapat menimbulkan ketidakstabil an pemeri ntahan dan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat, baik terhadap partai politik maupun pemerintah. Kebijakan pengaturan kepartaian yang menganur system multipartai ekstrim sangat mempengaruhi stabili tas penyelenggaraan negara terutama dalam system pemerintahan Presidensial. Sistem multipartai juga berpengaruh pada ketidakstabilan politik yang dapat berimbas pada inefisiensi kinerja pemerintahan.9 Dari pengalaman selama ini maka diperlukan adanya penataan dan penyederhanaan partai politik, agar terbentuk sistem multipartai yang efektif dan memperkuat sistem pemerintahan. Disamping itu penataan dan penyederhaan partai diarahkan secara teknis, dapat mempermudah dalam pelaksanaan pemilu, namun peran partai politik tetap dapat efektif dalam memperkuat sistem pemerintahan. 2. Penyederhanaan sistem multipartai yang efektif Pengalaman sejarah di Indonesia dengan system multipartai menimbulkan berbagai kelemahan, khususnya menyangkut stabilitas politik pemerintahan. Hal ini ditunjukkan pada beberapa kali masa
Ari Dwipayana, Multi Partai, op cit h 9 Ni’matul Huda, Dr.,AH.,M.Hum, Sistem Pemerintahan dan Sistem Kepartaian dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia, h 4
63
berlakunya sistem multipartai di Indonesia yang menunjukkan banyak persoalan, baik pada tataran teknis pemilu, maupun menyangkut hubungan kelembagaan khususnya antara parlemen dengan eksekutif. Jusuf Kalla mengatakan bahwa sistem multi partai yang dipraktikan sekarang di Indonesia, menyebabkan kinerja pemerintahan tidak optimal. Meskipun pemerintah didukung banyak partai, namun ternyata di Parlemen dukungan itu tidak efektif. Oleh sebab itu, pemerintah berkeinginan untuk menata kembali sistem multi partai tersebut. Diharapkan, penyederhanaan sistem multi partai dilakukan setelah selesaianya masa Pemilu 2009.10 Sedangkan menurut Nazaruddin, sistem multipartai yang terlalu besar akan memacetkan sis tem presidensial. Kenyataan hari ini, investasi politik untuk memilih pemimpin nasional begitu besar. Sistem presidensial akan mogok jika harus menghadapi multipartai yang terlalu besar.11 Meskipun banyak partai memberi pilihan yang lebih banyak pada rakyat untuk menentukan mana yang cocok dengan pilihannya, akan tetapi terlalu banyak partai justru membingungkan bagi rakyat (pemilih). Pengalaman pemilu legislatif April 2009, dengan jumlah partai sebanyak 38 partai nasional dan 6 partai lokal membuat rakyat sulit untuk mengenal partai-partai tersebut, bahkan untuk menyebut namanya saja mungkin tidak tahu, apalagi untuk mengetahui programprogram yang ditawarkan. Fakta menunjukkan bahwa pada saat ini tingkat kedewasaan berpolitik rakyat belum pada taraf ideal, karena belum seluruh rakyat Indonesia mempunyai 10 11 12
pengetahuan dan pemahaman yang sama akan masalah politik. Pendidikan politik rakyat belum berjalan dengan baik. Selama kurun waktu berlakunya UUDS 1950 yang terjadi adalah instabilitas pemeri ntahan, karena pemerintah seringkali dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi. Demokrasi liberal dengan system banyak partai yang menjadi salah satu sendi ketatanegaraan pada periode ini telah mengal ami kegagalan untuk mengombinasikan secara optimum dua nilai, yakni jaminan dan penghargaan terhadap hak-hak rakyat untuk turut serta dalam proses pembuatan keputusan dengan jalan memilih wakil-wakilnya secara bebas serta tingkat stabilitas politik sebagai syarat bagi aktivitas bureaucratic power untuk mencapai tujuan negara. Apa yang sering disebut demokrasi liberal menimbulkan ekses berupa konflik-konflik sosial yang terus menerus. Stabilitas politik hampir tidak ada sama sekali, sehingga kabinet hampir tidak dapat berfungsi.12 Namun sebaliknya pada era partaipartai menjadi lemah dan tidak dapat mengimbangi kekuasaan Soekarno, sebagaimana dikatakan sebagai demokrasi terpimpin yang diawali dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang kemudian secara formal dinyatakan dalam Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965, mengandung ketentuan tentang mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan “musyawarah untuk mufakat”, dengan konsekuensi bahwa jika sampai tahap tertentu mufakat bulat tidak dapat dicapai, maka keputusan tentang masalah yang dimusyawarahkan itu diserahkan kepada pimpinan untuk menentukannya. Dengan system pemerintahan yang demikian sebenarnya tidak ada sistem kepartaian, partai-partai yang ada tidak
Kompas, Sistem Multi Partai Penyebab Kinerja Pemerintah Tak Optimal, 13 Nopember 2008 Kompas ,Multipartai Hambat Kepemimpinan, Rabu, 12 November 2008 Mahfud MD, Muh, op cit, h 304
64
berfungsi karena tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan dal am pengambilan keputusan, Sejalan dengan lemahnya partaipartai yang dapat dikualifikasi sebagai tiadanya sistem partai kepartaian itu, DPR yang ada pada era demokrasi terpimpin juga sangat lemah. Bahkan DPR yang dibentuk melalui pemilu tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1960, karena parlemen menolak rancangan APBN yang diajukan pemerintah. Sedang DPRGR yang dibentuk berdasarkan Penpres No. 4 Tahun 1960 untuk menggantikan DPR yang telah dibubarkan juga berada pada posisi lemah, sebab anggota-anggota DPRGR diangkat oleh Soekarno dari mereka yang dipercaya untuk selalu member legitimasi keinginan-keinginan presiden. 13 Pada awal masa kepemimpinan orde baru di bawah presiden Soeharto mencoba format politik baru, sekalipun dengan partai politik lebih dari dua, namun pemerintah membentuk partai Golkar yang sangat kuat dan mendominasi perannya. Dengan kemenangan Golkar yang besar pada pemilu Tahun 1971 yang kemudian bersama kekuatan ABRI menjadikan kekuatan partai politik Golkar menjadi tumpuan utama pemerintah untuk mendominasi semua proses politik. Kualifikasi mengenai konfigurasi po liti k era Orde B aru yang tidak demokratis, dengan eksistensi parpol dan lembaga perwakilan berada dalam kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh kontrol dan penetrasi birokrasi yang sangat kuat. Rekruitmen anggota DPR sangat dominan yang disertai dengan mekanisme recall bagi legislator yang dianggap melanggar kebijakan partai. Sementara parpol tidak mempunyai otonomi yang berarti, karena secara politis pemerintah dapat melakukan 13 14
kontrol dan penetrasi. Sebaliknya eksekutif sangat kuat, mengatasi semua kekuatan yang ada di dalam masyarakat, sehingga kontestasi dan partisipasi politik dari kekuatan di luar birokrasi sangat lemah.14 Dengan tumbangnya kekuasaan orde baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto, dan memasuki era yang disebut reformasi, dengan suasana eforia kemenangan era demokrasi dan kebebasan, maka beberapa kali pemilu telah diselenggarakan dengan sistem multi partai . Namun ternyata dal am perkembangannya sistem multi partai dengan sistem pemerintahan presidensial pada era reformasi juga banyak kelemahan-kelemahan, bahkan akhirnya pada ti tik terjadinya s emakin ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik, dan disisi lain para elit partai juga kurang mempedulikan kepentingan rakyat. Dari pengalaman sistem multi partai dengan berbagai kelemahannya, maka telah dilakukan upaya guna memperbaiki sistem ketatanegaraan, antara lain dengan melakukan beberapa kali amandemen UUD 1945 hingga amandemen ke 4. Perubahan tersebut terutama berkaitan dengan hubungan parlemen dan eksekutif (presiden), dengan memperbaiki sistem kepartaian multi partai dan memperkuat sistem pemerintahan presidensial, sehingga sistem pengawasan dapat berjalan efektif . Dalam rangka memperbaiki sistem kepartaian tersebut, telah dilakukan perubahan undang-undang dibidang partai politik, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang diberlakukan sejak tanggal
Ibid, h 307 & 309 Ibid, h 316
65
diundangkan yaitu Tanggal 15 januari 2011. Di dalam perubahan undang-undang partai politik tersebut dilakukan penataan dan penyempurnaan partai politik untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Penatan dan penyempurnaan partai politik tersebut diarahkan pada dua hal utama, yaitu pertama, membentuk sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Kedua memaksimalkan fungsi partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk mengahsilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil tersebut, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu, pertama, mengkonsolidasikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengko ndis ikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian di tingkat masyarakat. Hal-hal pokok yang di atur dalam penataan dan penyempurnaan Partai politik antara lai n adalah, persyaratan pembentukan partai politik, persyaratan kepengurusan partai politik, perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga, rekrutmen dan pendidikan politik, pengelolaan keuangan partai politik dan kemandirian partai politik. 15 16
Pada era demokrasi pembatasan partai politik memang dapat mengurangi makna dari demokrasi. Sehingga dalam rangka penataan dan penyederhanaan partai politik tidak mengandung arti pembatasan, tetapi bagaimana agar sistem multipartai itu dapat bermakna secara kualitas dan efektif dalam memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem demo kras i, pembatasan partai politik dilakukan dengan memberikan prasyarat minimal, artinya kebebasan mendirikan partai tetap dijamin sepenuhnya (dimensi substansi) akan tetapi disertai prasyarat-prasyarat tertentu agar kebebasan itu dapat dipertanggung jawabkan, terkontrol dan diterjemahkan dalam mekanisme politik (dimensi prosedural).15 Cara pembatasan partai politik yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan seleksi kepartaian melalui “persyaratan minimum perolehan suara partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (electoral threshold)”. Ada perbedaan definisi electoral threshold yang ada di Indonesia dengan di luar negeri, kalau di Indonesia electoral threshold diartikan “persyaratan minimal perolehan suara partai politik untuk dapat ikut pada pemilu berikutnya”, sedangkan di luar negri diartikan sebagai “persyaratan minimal perolehan suara partai politik untuk masuk ke parlemen”, 16 yang kemudian dikenal dengan parliamentary threshold. Anggota DPR Nursyahbani Katjasungkana berpendapat electoral thresho ld di butuhkan untuk menyederhanakan partai politik. Dua pemilu terakhir membuktikan hanya sedikit partai yang bisa mendudukkan wakilnya di Senayan. Partai yang wakilnya sedikit
Joko J Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP21 Press, Semarang, 2003, hal 56 http//:www.infotakalar.com, Membincang Electoral Threshold, diakses tgl 28 Maret 2011
66
dal am reali tas kurang efektif memperjuangkan banyak hal di parlemen. “Penyederhanaan partai secara bertahap tetap harus dilakukan,” ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu.17 Penyederhanaan partai politik ini dapat dilakukan melalui kebijakan yang di tuangkan dal am ketentuan yang diatur dalam sebuah Undang-Undang Partai Politik, ataupun ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan umum. Perampingan jumlah parpol tersebut akan terjadi dengan sendirinya dengan mengacu pada electoral threshold. Dengan electoral threshold maka partai yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold tidak akan diperbolehkan mengikuti Pemilu berikutnya. Electoral threshold merupakan seleksi alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup di Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya sistem tiga partai pada era Orde Baru melalui penggabungan partai yang dipaksakan. Dengan pengaturan baik melalui per undang-undangan di bidang partai politik maupun bidang penyelenggaraan pemilu, dapat diarahkan pada terbentuknya system kepartaian yang berkualitas, dan mendukung sistem pemerintahan yang efektif. Dengan demikian akan terbangun tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik. D. PENUTUP Dari uraian masal ah penyederhanaan partai politik menuju
sistem multi partai yang berkualitas dalam mendukung kinerja pemerintahan, dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Sistem multipartai berpengaruh terhadap sistem pemerintahan di Indo nesi a, yaitu bagi kinerja pemerintahan dapat menyebabkan pemerintahan ti dak stabil dan multipartai yang tidak berkualitas dapat menyebabkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik menjadi menurun. b. Penyederhanaan partai politik, dengan mel akukan penataan dan penyempurnaan partai politik yang diatur dalam peraturan undangundang, baik di bidang partai politik maupun di bidang pemilu. Penataan dan penyempurnaan partai politik tersebut diarahkan untuk, pertama, membentuk sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sis tem demokrasi , dan kedua memaksimalkan fungsi partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun terhadap rakyat mel alui pendidi kan poli tik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk mengahsilkan kaderkader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku : Ari Dwipayana, Multi Partai, Presidensialisme dan Efektifitas Pemerintahan, 2011, Makalah Seminar, Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 17
http://hukumonline.com Electoral Threshold Hanya Dikenal di Indonesia, di akses tgl 23 Maret 2011
67
Fadillah Putra, 2003, Partai Politik & Kebijakan Publik, Analisis terhadap kongruensi janji politik partai dengan realisasi produk kebijakan publik di Indonesia 1999-2003, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Jimly Asshiddiqie,2008, Menuju Negara Yang Demokratis, Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta Joko J Prihatmoko, 2003, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP21 Press, Semarang Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. ——————————, Politik Hukum di Indonesia, 1998, PT Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta Ni’matul Huda, Dr.,AH.,M.Hum, Sistem Pemerintahan dan Sistem Kepartaian dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia, Makalah Seminar, 2011, Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Peraturan : UUD 45 Setelah Perubahan dan UU RI No. 10/ 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Per Undang-Undangan dilengkapi dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, 2005, CV. Duta Nusindo, Semarang. Undang-Undang Nomor : 2 Th 2008 Tentang Partai Politik Undang-Undang nomor : 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU no. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Internet dan Koran : http//:www.infotakalar.com, Membincang Electoral Threshold, diakses tgl 28 Maret 2011 http://hukumonline.com Electoral Threshold Hanya Dikenal di Indonesia, di akses tgl 23 Maret 2011 http://www.djpp.info/htn-dan-puu/439-dampak-sistim-multipartai-dalam-kehidupanpolitik-indonesia.html (12-04-2011) Kompas ,Multipartai Hambat Kepemimpinan, 12 November 2008 Kompas, Sistem Multi Partai Penyebab Kinerja Pemerintah Tak Optimal, 13 Nopember 2008
68
PELAKSANAAN PERKAWINAN POLIGAMI DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Tinjauan Yuridis Sosilogis dan Agamis) Oleh : R. Tri Yuli Purwono*
Abstract Polygamy is an act of a man (husband) who marries more than one woman (wife) in the same time. In practice, men have been polygamous since centuries ago. Polygamy is part of a community tradition in Arabia before Islam arrived, the King or the nobility and the rich in the past around the world. Polygamy also occurs in inter-faith. Polygamy, in Islam, occurs only restriction to four wives under the conditions that are very heavy. Polygamous husbands must know and understand the terms, either in any formal rules, as well as the rules of religion, so that implementation can marriage running smoothly and polygamy goals can be achieved, either in law or in religion. A. PENDAHULUAN Perkawinan poligami mempunyai cerita panjang dalam sejarah kehidupan manusia. Berabad-abad yang lalu di jaman sebelum Islam, peradaban manusia khususnya mengenai perkawinan poligami telah terjadi bahkan tidak terbatas. Seorang laki-laki (suami) boleh kawin lebih dari empat istri. Setelah masuknya Islam, poligami dibatasi hanya sampai empat istri. Raja-raja/bangsawan maupun orang-orang kaya Eropa, Asia bahkan di Indonesia banyak yang melakukan poligami, bahkan sampai sekarang ada tokoh-tokoh masyarakat yang poligami. Poligami berdasar pada kamus adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Perkawinan poligami bila mengacu pada *
kamus Bahasa Indonesia tersebut berarti bisa dilakukan oleh siapa saja, artinya poligami bisa dilakukan lintas bangsa dan agama dan kenyataannya banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hukum positif Lembaga Perkawinan memberikan peluang untuk suami berpoligami apabila memenuhi ketetuan Pasal 3 (2) Undang-undang No 1 tahun 1974, yaitu bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pi hak-pihak yang bersangkutan”. Dalam Penjelasan Umum pasal tersebut, dari undang-undang ini mengatakan bahwa undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
69
bersangkutan mengijinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Perkawinan adalah hak yang asasi bagi manusia, sehingga negara mestinya tidak usah mencampuri terlalu dalam. Serahkan saja pada orang yang mau berpoligami dan pada agamanya. Seperti yang diatur dalam Pasal 1337 BW bahwa : “perjanjian boleh diadakan asal tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum”. Dalam praktek sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan poligami. Penyimpangan bisa terjadi dalam memenuhi syarat formil yang harus dipenuhi ataupun penyimpangan terhadap tujuan perkawinan poligami. Tujuan perkawinan poligami antara lain adalah untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang istrinya mandul, menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, walaupun istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai is tri dan menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dari prianya akibat perang. Tujuan poligami menurut Islam adalah untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama, mempersatukan sukusuku bangsa dan kepentingan sosial dan kemanusiaan. Tujuan poligami yang baik ini, bisa tidak tercapai karena sistem hukum, kekuasaan, dan penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkaitan dalam pelaksanaan poligami. Sehingga timbul, pertanyaan, bagaimana melaksanakan poligami yang baik dan benar. Tulisan ini mengupas tentang pelaksanaan perkawinan poligami menurut Hukum positif Indonesia dan agama.
1
B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan sangat penting artinya dalam kehidupan manusia baik sebagai perseorangan maupun kelompok, dengan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi lebih terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makluk yang mulia diantara makluk Allah. Melalui perkawinan kehidupan rumah tangga juga dapat dibina dalam suasana yang lebih harmonis dan keturunan dari perkewinan yang sah juga akan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup secara mul ia karena itu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 mengatur masalah perkawinan ini dengan sangat teliti dan terperinci untuk membawa umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik. a. Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974. “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istrai dengan tujuan membentuk keluargha yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Es a”. Selain i tu perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan karena pada kenyataannya batas umur yang lebih rendah bagi ses eorang untuk mel angs ungkan perkawinan, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi bagi orang yang melangsungkan perkawinan.1 Penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan sebagai suatu perjanjian antara seseorang pria dan wanita sebagai suami isteri, haruslah dilakukan oleh mereka yang sudah cukup umur. Di
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang No.1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, Liberty 1 Hal. 9
70
samping itu perkawinan juga merupakan salah satu aspek syari’at agama yang telah berurat dan berakar s erta tel ah melembaga pula dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia. Perkawinan juga mengendaki kematangan biologis dan kematangan psikologis. Hal ini adalah untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan itu sendiri, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Perkawinan pada umur muda banyak yang menyebabkan perceraian. Perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian keluarga yang melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk di dalam lingkungan keluarga itu,.UndangUndang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan dapat mempertegas hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan menyangkut syarat-syarat batas umur. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ditentukan batas umur untuk melakukan perkawinan yaitu bahwa untuk pria sudah mencapai 19 tahun dan untuk wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Penentuan batas usi a untuk melangsungkan perkawinan sangat penting untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bagahia untuk selamanya. Dari ketentuan Pasal 1 tersebut dapat diketahui bahwa perkawinan bukan hanya merupakan ikatan lahir saja, melainkan juga meliputi ikatan lahir batin dan ketentuan–ketentuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga). Mengingat pasangan yang dimiliki dalam hidup bersama ini sangat penting bagi tegak dan sejahteranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan kaidah-kaidah yang mengatur hidup
2
bersama ini. Peraturan–peraturan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan, yaitu hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi syaratsyarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.2 b. Asas-asas Perkawinan Di dalam perkawinan, perlu adanya suatu ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip suatu perkawinan. Berikut ini diuraikan tentang prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tujuan zaman, yang diatur dalam Penjelasan Umum UndangUndang No. 1 tahun 1974 yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu sal ing membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan keperibadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 2. Suatu perkawinan adal ah s ah bilamana dilakukan menurut hukum mas ing-masi ng agamanya dan kepercayaan itu dan disamping itu tiaptiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-ti ap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting kehidupan, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, suatu akte resmi yang juga di muat dalam pencatatan. 3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila di kehendaki yang bersangkutan karena hukum dari
Soimin, Hukum Orang dalam Keluarga, Sinar Grafika, 1986 Hal. 11
71
agama yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. 4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami istri telah masak ji wa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dengan perceraian dan dapat keturunan yang baik dan sehat. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masal ah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seo rang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik untuk pria maupun bagi wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. 5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan. 6. Hak dan kependudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkat dan diputuskan bersama oleh suami istri. Peranan seorang wanita dan pria sebenarnya sama, karena baik suami istri maupun suami mempunyai hak dan
72
kewajiban yang seimbang untuk samasama memikul kewajiban yang luhur dalam menegakkan rumah tangga, artinya bahwa dalam kehidupan berkeluarga salah satu pihak tidak boleh merupakan beban terhadap orang lain, sehingga kedudukan yang seimbang ini menurut sifat dan hakekatnya adalah bahwa suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga yang mengatur dan menata rumah tangga sebaik-baiknya. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri; dengan adanya sepakat antara suami istri, maka dapat mendukung semua tindakan untuk keperluan rumah tangga sehingga akan dapat dijadikan sebagai pegangan dengan harapan agar terhadap kesesuaian yang sei rama dengan harmonis dal am kehidupan rumah tangga yang diharapkan. c. Syarat-Syarat Perkawinan Suatu perkawinan yang sah jika perkawinan tersebut memenuhi syaratsyarat dengan prosedur tertentu yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974, perkawinan dianggap s ah apabi la dilaksanakan menurut hukum agamanya dan kepercayaan itu, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang Undang ini. Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa sah tidaknya suatu perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melalcsanakan perkawinan. Ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan hukum agama, dengan sendirinya menurut UndanUndang perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum
sebagai suatu ikatan perkawinan. Berdasakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut, maka bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam, apabila akan melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam, demikian juga bagi mereka yang beragama Nasrani, Hindu dan Budha, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya suatu perkawinan. Yang masih menjadi masalah adalah perkawinan antara mereka yang berbeda agama, sebab pelaksanaan perkawinan bagi yang berbeda agama tidak ada ketentuannya, baik dalam UndangUndang Perkawinan maupun dalam ketentuan pelaksanaannya. Melihat ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka sebetulnya tujuan diadakannya ketentuan tersebut adalah untuk menghindari konflik hukum antar hukum, hukum agama dan hukum antar golongan. Dengan demikian apabila terjadi perkawinan antar 2 orang yang berbeda agama maka terlebih dahulu harus didakan pemilihan agama dan kepercayaan yang mereka anut. Tanpa menentukan agama atau kepercayaan yang akan dianut terlebih dahulu, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 41) tidak mungkin dapat dilaksanakan perkawinan, sebab tidak mungkin sekaligus di gunakan 2 ketentuan hukum agama dan kepercayaan, karena bagaimanapun sifat universal suatu agama antara satu dan lainnya tentu mempunyai perbedaanperbedaan kaidah hukum yang mengatur tata cara, persyaratan dan rukun-rukun yang melandasi suatu upacara perkawinan diantara 2 pihak yang berbeda agama dan kepercayaan maka mereka harus menentukan pilihan salah satu agama dan keyakinan yang mereka anut. Ketentuan Pasal 2 ayat (1), bahwa sahnya suatu perkawinan adalah ditentukan oleh agama dan kepercayaan
masing-masing, maka menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, bahwa suatu perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan pencatatan ini dalam Undang-Undang Perkawinan ti dak dijelaskan lebih lanjut, hanya di dalam Penjelasan Umum dikatakan bahwa “Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam syrat-syarat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Apa yang termuat dalam Penjelasan Umum dapat diketahui bahwa pencatatan perkawinan bertujuan agar peristiwaperistiwa perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu dan sewaktu-waktu catatan perkawinan itu dapat digunakan sebagai alat bukti otentik,sehingga dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan orang lain. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar-benar terjadi, semata-mata bersifat administratif. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6-11 yaitu : 1) Adanya persetujuan calon mempelai. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa : “Perkawinan harus didasarkan persetujuan dari kedua cal on mempelai”. Yang dimaksud dengan persetujuan yaitu bahwa perkawinan
73
itu harus dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas calon mempelai pria maupun wanita. Persetujuan kedua belah pihak untuk melaksanakan perkawinan adalah merupakan syarat yan penting sekali untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri. 2) Adanya izin kedua belah orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun. Izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun adalah erat hubungan dengan pertanggungjawaban orang tua dalam pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua secara susah payah dalam membes arkan dan mendidik anakanaknya, sehingga kebebasan yang ada pada si anak untuk menentukan pilihan calon suami/istri jangan sampai menghilangkan fungsi tanggung jawab orang tua fungsi dan tanggung jawab oarang tua ini dapat di lihat dalam Pasal 6 ayat (2),(3),(4),(5) UndangUndang No.1 tahun 1974 yaitu sebagai berikut : (2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua oarang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih atau yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin di peroleh dari wali, orang
74
yang memlihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan keadaannya. (5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat ti nggal orang yang akan melangssungkan perkawinan atas permintaan orang tesebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang tersebut dalam ayat-ayat (2),(3) dan (4) pasal ini. Ketentuan tersebut ayat (2) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 3) Usia calon mempelai pria 19 tahun dan calon mempelai wanita 16 tahun seperti yang di atur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.! tahun 1974 bahwa :” Perkawinan hanya diizinkan bila pihak sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”. Penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri haruslah dilakukan oleh mereka yang sudah cukup matang baik dilihat dari segi biologis dan fisik 4) Antara calon mempelai pria dan wanita tidak dalam hubungan darah/ keluarga yang tidak boleh kawin. Hubungan darah/ keluarga yang tidak kawin menurut pasal 8 UndangUndang
No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut : (1) Berhubungan darah dalam garis lurus kebawah maupun ketas. (2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan dengan neneknya; (3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. (4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, saudara susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. (5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam seorang suami yang beristri lebih dari seorang. (6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang. 5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan pihak lain. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. I tahun 1974 yang mengatakan bahwa :” Seorang yang terikat tali perkawinan dengan “orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (3) dan pasal Undang-Undang ini”. 6) Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin satu sama laindan bercerai lagi untuk kedua kal inya, agama dan kepercayaanmereka tidak melarang mereka untuk kawin untuk ketiga kalinya seperti diatur dalam Pasal (10) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yaitu: “ Apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara
mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan yang lain”. 7) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda. (1). Dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ditentukan bahwa : Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2). Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan di atur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. d. Akibat Perkawinan Akibat hukum dari adanya suatu perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 pada dasarnya disebabkan dalam 3 hal, yaitu mengenai hak dan kewajiban suami istri, hak dan kewajiban antara anak dan orang tua,dan mengenai harta benda dalam perkawinan. 1) Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang Undang perkawinan yaitu sebagi berikut : Pasal 30 : “Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Menurut Pasal 30 tersebut, memang perkawinan yang bertujuan untuk menegakkan rumah tangga adalah suatu perbuatan yang luhur, yang dianggap sebagai perbuatan yang terpenting diantara perbuatanperbuatan lain dalam kehidupan seorang. Anggapan bahwa perkawinan adalah hal yang terpenting di antara
75
perbuatan-perbuatan yang lain dalam kehidupan seorang, menyebabkan terlibatnya seluruh keluarga bahkan sebagian masyarakat ikut memberikan restunya; di samping itu juga petuah petuah yang berharga banyak diberikan dengan tujuan supaya perkawinan dapat berjalan kekal sampai akhir hayat. Tujuan keluhuran perkawinan sesuai Pas al 30 Undang-Undang perkawinanan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga, karena keluarga atau rumah tangga adalah merupakan sandi struktur masyarakat, untuk mencapai tujuan itu maka para pihak yang melaksanakan perkawinan harus saling mengadakan pendekatan dengan cara : a) Antara kedua belah pihak harus mau saling berkorban sebab tanpa pengorbanan antara kedua belah pi hak yang mas ing-masi ng mempunyai latar belakang yang berbeda,maka tujuan luhur dari pada perkawinan tentu saja sukar untuk dicapai. b) Kedua belah pihak harus berbudi pekerti yang tinggi sebagai sarana mewujudkan rumah tangga, sebab keluhuran budi pekerti tidak lepas dari pengertian akhlak dan moral.Seperti diketahui, rumah tangga adalah merupakan unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, maka apabila tiaptiap rumah tangga sudah terbina dengan bai k hal ini akan mempengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kedudukan suami istri dalam rumah tangga dan dalam bermasyarakat diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan yaitu :
76
“Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”. Makna ketentuan Pasal 31 ayat (1) ini sebenarnya adalah agar di dalam kehidupan berkeluarga tidak ada dominasi antara keduanya. Di samping itu, dengan adanya ketentuan tersebut akan memungkinkan si istri dapat menduduki jabatan-jabatan penting dalam masyarakat yang pada umumnya hanya didominasi oleh laki-laki saja, dan istri juga mendapat kebebasan untuk mengembangkan kecakapan dan bakatnya sebagaimana yang di miliki oleh suaminya.Tetapi yang terpenting dan perlu diingat bagi istri, bahwa walaupun Undang-Undang memberikan persamaan dalam bertindak khususnya di dalam masyarakat tapi jangan sampai melalaikan kewajiban pokoknya sebagai ibu rumah tangga, karena dengan melalaikan kewajiban utama sebagai ibu,maka keluarga atau rumah tangga bisa berantakan dan bahkan bisa hancur sama sekali. 1) Masing-masing pihak berhak untuk mel akukan perbuatan hukum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan dalam hukum Adat maupun Islam bahwa seorang istri yang bersuami dapat melakukan tindakan hukum dalam masyarakat tanpa bantuan suaminya s eperti s ebel um dia bersuami. Jadi menurut ketentuan ini, seorang istri sudah dapat dengan bebas melakukan tindakan-tindakan hukum yang bersangkutan dengan kegiatan ekonomi dan bisnis tanpa perlu mendapat izin dan bantuan dari suaminya. 2) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Ketentuan ini sebenarnya hanya merupakan pembagian tugas antara
suami istri raja dalam membina rumah tangga. Kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga secara hukum adalah cukup beral asan, sebab bagaimanapun keinginan seorang istri untuk menyamai kedudukan suami baik ditinjau dari segi fungsinya dalam rumah tangga maupun dari segi biologinya masing-masing atau ada perbedaanya. Kedudukan suami sebagai kepala keluarga sebab ditinjau dari segi kewajiban suami sebagai seorang laki-laki lebih rasional dibandingkan dengan istri. Demikian juga dari segi fisik, seorang lakilaki lebih kuat dan juga mempunyai daya juang untuk hidup. Kedudukan istri sebagai ibu rumah tangga itu sangatlah wajar, karena apabila ditinjau dari segi kewajiban dan fisik, istri sebagai seorang wanita dianugerahi sifat emosional yang dapat dipakai sebagai modal untuk melaksanakan tugas yang menuntut kesabaran dan ketabahan terutama dalam pemeliharaan dan pengasuhan anak. Jika suami istri melahirkan kewanibannya maka masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Pas al 32 Undang-Undang Perkawinan : (1) Suami harus mempunyai kediaman yang tetap. (2) Rumah tangga kediaman yang bertnaksud data ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh istri bersama. Pas al 33 Undang-Undang Perkawinan : “Suami istri waji b saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”. Pas al 34 Undang-Undang Perkawinan :
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami istri atau melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan dapat diketahui bahwa pada dasarnya Pasal-Pasal tersebut menentukan kepada suami istri bahwa selain diberikan hak dan kewajiban yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga, dalam pergaulan hidup dimasyarakat, dalam membina dan menegakkan rumah tangga sebagai sendi dasar susunan masyarakatnya pun mereka diber hak dan kewajiban yang seimbang pula. Dalam membina rumah tangga agar tercipta keluarga yang harmonis diperlukan sating mencintai, menyayangi, menghormati, saling mengahargai dan saling membantu dan loyalitas yang tinggi dalam melaksanakan kewajiban lahir bathin, selin itu juga suami istri juga hams mempunyai tempat tinggal tetap yang ditentukan bersama suami istri. Dalam melaksanakan perbuatan hukum suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula seperti melakukan perjanjianperjanjian lainnya. Seorang istri dapat melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau didampingi oleh suami, begitu juga melakukan gugatan ke Pengadilan. 2. Pengertian Poligami Poligami adalah tindakan seseorang laki-laki yang mengawini lebih dari satu perempuan dalam waktu yang sama. Sesuai kamus, istilah poligami berarti
77
sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan.3 Poligami punya sejarah yang panjang dalam peradaban manusia. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, po ligami merupakan tradis i bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada keadilan di antara para istri. Suami menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Istri-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperkokoh keadilan. 4 Kedatangan Islam melalui Qur’an ( Q.S. An-Nisa’: 3 dan 129) tidak menghapus praktik poligami tapi Islam membatasi poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat. Menurut Asghar, dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Qur’an begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada, oleh karena al-Qur’an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Asghar mengutip al Tabari, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebol ehan po ligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka. Poligami dalam Hukum Islam (fiqih) telah menjadi kes epakatan ulama walaupun dengan persyaratan yang ketat, yaitu harus berlaku adil terhadap istriistrinya. Kasus poligami memang masih terjadi pro dan kontra, karena hingga kini masih sulit ditemukan batasan yang ketat untuk mendefinisikan poligami sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bahkan kalangan yang pro 3 4 5
poligami mengatakan bahwa poligami justru merupakan bentuk perlindungan terhadap perempuan. Asas monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dna bahagia. Islam memandang poligami lebih banyak membawa mudarat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami itu menjadi sumber konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istriistri. Hukum asal perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi siat atau watak cemburu dan iri hati. Berbeda dengan kehi dupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan tersinggung timbulnya perasaan cemburu, iri dengki, dan suka mengeluh. Sehingga bisa tenganggu dan membahayakan keutuhan keluarga. Kalangan pengamat luar Islam menganggap dibolehkannya melakukan poligami ini membuktikan bahwa Islam sangat mengabaikan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan suami istri. Poligami menurut mereka, merupakan salah satu bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan (istri).5 3. Poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta 2001, Hal. 885 Asghar Ali Engincer, Pembebasan Perempuan, LKS, Yogyakarta, 2003, Hal. 11 Ibnu Mushtaf, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, Al-Bayan, Bandung, 1989, Hal. 74
78
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada asasnya melarang poligami. Azas monogami dalam undang-undang ini tampak dari defmisi perkawinan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara satu orang pria dengan satu orang wanita dijabarkan lagi dalam Pasal 3 ayat (1)Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa : “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. Dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka istri wajib mengajukan permohonan secara tertulis lebih kepada pengadilan (vide Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1975 dan Pasal 40 PP Nomor 9 Tahun 1975). Pegawai pencatat perkawinan dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan (Pasal 44 PP Nomor 9 tahun 1975). Khusus pegawai negeri sipil dan yang dipersamakan, seperti pejabat pemerintah desa, telah keluarkan PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang isi perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dengan maksud agar pegawai negeri sipil dapat menjadi contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang balk dalam
masyarakat termasuk dalam membina kehidupan berkeluarga. Apabila pegawai negeri melakukan perceraian dan poligami tanpa izin lebih dahulu dari pejabat yang berwenang, maka ia dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat sebagai pegawai negeri tidak atas permintaan sendiri (pasal 16). Hal di atas merupakan ketentuan pokok dari PP Nomor 10 Tahun 1983, yang bertujuan untuk mencegah atau mempersulit poligami di kalangan pegawai negeri. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan”. Undang-undang ini menganut asas monogami. Apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, dapat dilakukan apabila dipenuhi persyaratan dan diputuskan Pengadilan. Hikmah diizinkan berpoligami dengan syarat berlaku adil ialah : a) Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul. b) Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyaki t yang tidak dapat sembuhkan. c) Menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak, misalnya akibat perang yang cukup lama.
79
a. Syarat dan Ketentuan Poligami Pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan syarat-syarat bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu: 1) Ada persetujuan dari istri. 2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka (material). 3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istriistri dan anak-anak mereka (immaterial). Suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, jika syarat-syarat di atas dipenuhi, namun dalam prakteknya, syaratsyarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari Pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan, bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan. Pada prins ipnya dasar-das ar landasan perkawinan poligami adalah : 1) Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 2) Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 3) Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam 4) Pasal 14 ayat (2) Pemenag Nomor 3 Tahun 1975. 5) Penjelasan Pasal 49 ayat (2) point 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. b. Alasan-alasan berpoligami yaitu : 1) Istri tidak dapat menjalankan sebagai istri. 2) Istri mendapat cacat badan atau yang tidak dapat disembuhkan. Alasan yang merupakan syarat kumulatif (Pasal 5 (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 41 huruf b,c
80
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ) yaitu : 1) Adanya persetujuan dari istri / istri-istri 2) Mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka. 3) Adanya jaminan suami berlaku adil. Pihak-pihak dal am perkara permohonan poligami adalah Pemohon (suami) dan Termohon (istri/istri-istri). Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari sejak diterimanya (Pasal 42 (2). Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). Pemohon dan Termohon hams didengar di depan sidang (Pasal 42 Nomor (1), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). Pada prinsipnya sidang dilakukan terbuka untuk umum (Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam masalah poligami: 1) Surat keterangan tentang keadaan istri yang dapat menjadikan alasan berpoligami, sebagaimana alasanalasan yang diatur dalam Pasal 4 ayat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 41 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 2) Surat persetujuan untuk dimadu dan diperkuat dalam sidang (Pasal 5 ayat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 3) Surat keterangan tentang kemampuan suami untuk menjami n anak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) sub b Undang–Undang Nomor 1 Tahun 197 4 Jo. 41 sub c Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh Bendahara tempat istri bekerja, atau Surat Keterangan pajak penghasilan, atau Surat Keterangan lisan yang dapat diterima oleh Pengadilan.
a) Surat Pernyataan berlaku adil dari Pemohon (suami) (Pasal 5 ayat (1) sub c Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 41 ayat (1) sub dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). b) Akta Nikah dengan istri Pertama c) Surat keterangan tentang : (1) Status dari calon istri masih perawan (Surat Keterangan dari Kepala Desa). (2) Untuk PNS (Izin dari alasan (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983); (3) Janda mati (akta kematian suami). 4) Poligami Menurut Agama Islam Poligami diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an beberapa ayat al Qur’an yang berkenaan dengan monogamy adalah surat an Nisa ayat 2-3. “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta-harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur adukannya) kepada hartamu. Sesungguhnya tindakan – tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhaap (hakhak) wanita yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja baik dari pada aniaya. Ayat 2 dan 3 surat an –Nisa di atas berkaitan pada relevansinya), sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan jelek dengan jalan yang tidak sah. Sedangkan ayat 3 mengingatkan
kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil yakni si wali wajib memberikan mahar dan hakhak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. (Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah r.a. waktu ditanya oleh Urwah bin Zubair mengenai maksud ayat 3 Surat an-Nisa tersebut). Wali yatim masih khawatir atau takut tidak bisa berbuat baik terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya, jika tidak bisa berlaku adil, ia hanya boleh beristri seorang. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya. Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat an–Nisa, maka masalah pokoknya ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zali m terhadap keluarganya, sedangkan menurut Aisyah r.a., yang didukung oleh Muhammad Abdul, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami yang dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi. Kemudian ada pendapat lain
81
lagi ialah al-Razi, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah larangan berpoligami yang mendorong orang yang bersangkutan memakai harta anak yatim guna mencukupi kebutuhan istri-istrinya.6 Di dalam Islam, jika suamimu merasa dirugikan dengan perilaku maupun kondisi istrinya, ia berhak menjatuhkan talak. Begitu juga sebaliknya bagi istri, jika ia merasa dirugikan dengan perilaku dan kondisi suaminya, i a pun dapat mengajukan khulu’. Khulu’ dalam istilah fikih dinamakan juga tebusan karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan emas kawin sebagaimana yang dia terima ketika pernikahan. Menurut ahli fikih, khulu’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. Khulu’ dapat dilakukan bila ada alasan yang benar, misalnya suami tidak dapat memenuhi kewajibannya, cacat fisik yang dapat menganggu keharmonisan, perilaku jelek, dan sebagainya yang dapat mencegah tercapainya tujuan perkawinan Khulu’ dapat terjadi dengan persetujuan atau tanpa persetujuan suami. Jika tidak tercapai persetujuan antara suami-istri, pengadilan dapat menjatuhkan khulu’ kepada suami. Dalam sebuah hadis diceritakan, istri Tsabit bin Wais bin Syammas datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata, “Hai Rasulullah ! Saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi saya tidak ingin mengingkari ajaran Islam”, maka jawab Rasulullah SAW, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya?” Jawabnya, “Mau”, maka Rasulullah SAW bersabda, “Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali”. Dalam hadis tersebut Nabi tidak menanyakan lebih lanjut kepada Tsabit apakah ia setuju atau tidak dengan
6
pernyataan ketidaksenangan istrinya. Dengan demikian, khulu’ dianggap sah meskipun suaminya tidak setuju karena yang dirugikan adalah pihak istri. Nabi Muhammad berpoligami dengan maksud dan tujuan yang mulia istri diisyaratkan untuk mengendalikan diri dan setia, kebajikan moral ini juga penting untuk suami. Al-Qur’an jelas tidak menekankan pada suatu tingkat yang tinggi dan beradab untuk wanita sementara membiarkan laki-laki berinteraksi dengan yang lain pada tingkat yang paling hina. Alasan Nabi Muhammad beristri lebih dari satu sebagai berikut: a) Kepenti ngan pendidi kan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/rumah tangga. b) Kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwariyah, putri al Harist kepada suku Bani Musthaliq. Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiah, seorang tokoh dari suku Bani Quraizah dan Bani Nadhir. c) Kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal setelah kembali dari hidjrah Abessinia), Hafsah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaiman (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud).
Abdurahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Rajawali, Jakarta, 2002, Hal. 45
82
Mereka memerlukan perlindungan untuk melindungi jiwa dan agamanya, dan penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Muhammad Anas Ja’far. Al Huquq a-Syasiyah li al Mar’ah. Kairo: Dar al Nahdhah al Aranoyah.hal 1) Perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks, sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan berbagai suku. Pada masa itu, Nabi masih berusia muda, kenyataannya adalah nabi pada usia 25 tahun menkah dengan Khadijah seorang janda berumur 40 tahun dan pasangan suami istri ini selama lebih kurang 25 tahun berumah tangga benar-benar sejahtera dan bahagia serta mendapat keturunan dua anak laki-laki, tetapi meninggal masih kecil, dan empat anak wanita. Setelah Khadijah wafat tahun ke 10 sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi, barulah kemudian Nabi memikirkan kawin lagi. Mula-mula kawin dengan Saudah binti Zum’ah seorang janda kemudian disusul dengan istri-istrinya yang
lain, tetapi tidak ada seorang istripun yang dikawini mendapat keturunan, karena maksud perkawinannya hanya untuk melindungi dan menjamin kehidupannya dengan tujuan agama, politik, sosial dan kemanusiaan. Baru setelah menikah dengan Aisyah, Nabi mendapatkan putra. C. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat dis impulkan bahwa pelaksanaan perkawinan poligami di Indonesia akan berjalan dengan baik dan benar apabila para pihak yang melaksanakan perkawinan poligami melaksanakan ketentuan undangundang yang berlaku, serta menurut aturan agama. Bagi pejabat, dalam hal ada pelaksanaan perkawinan poligami harus bertindak sesuai aturan yang berlaku terutama tentang syarat-syarat untuk melakukan poligami bagi suami harus benar-benar diperhatikan dan dipenuhi. Bagi suami yang berpoligami harus mentaati aturan agama dan harus mencontoh perilaku/perbuatan NabiNya, sehingga perkawinannya bisa berjalan dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA Abdurraman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Rajawali, Jakarta, 2002 Ali Afandi,2004, Hukum Waris Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta,Bhineka Cipta. Amir Syarifuddin, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Manafakat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana. Asghar Ali Engincer, 1992, Pembebasan Perempuan, LKS Yogyakarya, 2003, Bandung. Ibnu, Mushtaf,1989, Wanita Islam Menjelang tahun 2000, Al Bayan,Bandung.
83
Lili Rasyidi, 1991, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta. Pustaka Karya. Soemiyati,1986, Hukum Perkawinan Islam Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty. Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press. Soimin Soedaryo, 1992, Hukum Orang Dalam Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta. Subekti, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradya Paramitha. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Tentang Perkawinan, Tanpa Penerbit, Jakarta.
84
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN DALAM SISTEM PERBANKAN INDONESIA* Oleh : Sudiyana**
Abstract Indonesia Banking aims to support the implementation of national development in order to improve equity, economic growth and national stability towards improving the welfare of the people. Banking has a function as an intermediary institutions and supporting the payment system. Banking business in the form of collecting funds from the public is always risky, especially for saving customers the possibility of losses due to penyalahgunakan or misappropriation of customer funds. What matters is how the Depositor Protection Law of the banking system in Indonesia? This research is a normative legal research, which focuses on normatife juridical method, data that is needed is the result of research literatury form of qualitative data, so the discussion is more emphasis on qualitative descriptive methods. Legal protection of customers’ storage was made since the establishment of a bank to bank in the control of the LPS. Form of crime that exist in banking, fraud or embezzlement of client funds with the modus operandi is issuing securities for sale to the public / customers or other form, and a violation of credit analysis. Law enforcement must be optimized, and replacement of customer funds need to be implemented without requiring complicated procedures. Key words: Legal Protection, Depositor, Indonesia Banking. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam UU No.10 tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UUPB), menyatakan bahwa Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak1.
Selanjutnya, peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi sehingga memperkuat perekonomian nasional2.
* Hasil penelitian hukum normatif ** Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta. 1 Pasal 4 UU No.10 tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan (UUPB) 2 Penjelasan Umum UUPB.
85
Dalam menjalankan peran tersebut perbankan mempunyai fungsi sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran. Berdasarkan undangundang, fungs i utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat3. Dalam rangka menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, usaha perbankan selalu berpegang pada asas demokrasi ekonomi dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Hal ini terbukti dari kegiatan bank yang fokus pada segmen mikro, kecil dan menengah (MKM), seperti: BRI 4 yang dalam triwulan I-2009 bank kedua terbesar ini menyalurkan kredit bersih Rp 4,16 triliun, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN)5 yang gencar melakukan perluasan jaringan BTPN-Mitra Usaha Rakyat (MUR), yang sejak diluncurkan November 2008 hingga 27 Mei 2009 BTPN telah membangun 113 cabang MUR dengan total kredit Rp 11 triliun atau tumbuh 5,6%. Penyaluran kredit yang ekspansif itu berkontribusi terhadap pencapaian laba bersih bank-bank tersebut. Laba bersih BRI mencapai Rp 1,72 triliun selama triwulan I-2009. Tahun 2008 laba bersih BTPN Rp 378,89 Miliar, Sampai Maret 2009 BTPN asetnya Rp 16,1 triliun atau tumbuh 37%. Bank BCIMB Niaga hasil merger Bank Niaga dan Bank Lipo mencatat perolehan laba bersih konsolidasi per-triwulan I-2009 sebesar Rp 263 mi li ar, naik 14% dibandingkan periode yang sama tahun 20086. Diantara bank papan atas, BRI yang fokus pada MKM lebih ekspansif dari pada Bank Mandiri, BNI, BCA yang fokus pada kredit korporasi.
3
Rasio kecukupan modal perbankan nasional diperkirakan terus meningkat menyus ul langkah perbankan meningkatkan porsi laba ditahan. Pada akhi r tahun 2008 rata-rata ras io kecukupan modal (capital adequacy ratio/ CAR) perbankan 16.7%. Pada Januari 2009, CAR meningkat menjadi 17,82%, naik lagi menjadi 18,03% pada akhir Maret 2009 7 . Berdas arkan RU PS, BNI memutuskan 10% dari laba bersih 2008 yang dibagikan dalam bentuk deviden. CAR BNI naik 0,6% menjadi 14,01%, sehingga sudah cukup untuk menopang ekspansi kredit sebesar 14-17%. RUPS Bukopin menetapkan 30% dari laba bersih, CAR Bukopin 11,2%, margin bunga bersih (net interest margin/NIM) naik dari 4,29% menjadi 4,8%. Menurut ekonom Djoko Retnadi, penguatan modal dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya kredir bermasalah (nonperforming loan/NPL) dan penopang ekspansi kredit, meningkatkan investasi jaringan dan keperluan lain, serta CAR yang tinggi membuat daya tahan perbankan nasional dalam mengantisipasi gejolak perekonomian semakin kuat8. Berdasarkan pencapaian kinerja perbankan nasional yang cukup untuk mengantisipasi gejolak perekonomian global tersebut, tidak terlepas dari sisi fungsi perbankan dalam menghimpun dana masyarakat. Dana mas yarakat yang dipercayakan untuk disimpan di bank dapat berbentuk Giro, Deposito, Tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Peran masyarakat yang menyimpan dananya di bank ternyata cukup menunjang pencapaian kinerja bank
Pasal 3 UUPB. Harian Kompas Jumat 1 Mei 2009, Bank Bermasis UMKM Lebih Gencar Berekspansi, hal 17. Harian Kompas Rabu 27 Mei 2009, Bank Kurangi Deviden-Ekspansi Butuh Modal kuat, hal 19. 6 Ibid. 7 Harian Kompas Kamis 28 Mei 2009, Rasio Kecukupan Modal Terus Meningkat, hal 19. 8 Ibid. 4 5
86
yang selama ini dipandang dapat mempertahankan gejolak ekonomi global. Arti nya masyarakat juga turut berpartisipasi dalam membesarkan peran bank sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Pertanyaannya, apakah mereka yang menyimpan dana sudah mendapatkan suatu perlindungan hukum? Usaha perbankan yang berupa menghimpun dana dari masyarakat selalu mengandung risiko terutama bagi nasabah penyimpan yakni kemungkinan akan adanya kerugian aki bat adanya penyalahgunakan/penyelewengan dana nasabah. Sayuti Michael alias Amin (47), nasabah Bank Century Jambi, yang tewas karena diduga bunuh diri pada tangal 13 Februari 2009 karena stress memikirkan uangnya sebesar Rp 125 juta di Bank Century. Amin ditemukan Tewas setelah jatuh dari lantai tujuh Hotel Abadi, Jambi9:. Kasus Bank Century mulai mencuat ketika Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengambil alih bank, yang tengah mengalami krisi likuiditas pada November 2008. Sejak saat itu terungkap bahwa dana nasabah sebesar Rp 1,45 trilun telah diselewengkan oleh pemilik bank. Komisaris Utama Robert Tantular telah ditetapkan sebagai tersangka utama10. Modus operandinya adalah dengan menerbitkan Reksa Dana Fiktif yang dijual pada nasabah Century, sejak tahun 2002, dan baru dirungkap tahun 2005. Kasus Bank IFI, Bank IFI yang telah dilikuidasi oleh Bank Indonesia, mempunyai kewajiban membayar dana nasabah sebesar Rp 350 milyar.
Menurut catatan LPS dari total dana Rp 350 milyar, 80% diantaranya dalam bentuk deposito, sisanya Tabungan dan Giro. Adapun dari 9.630 rekening, ada 9.600 rekening dengan dana di bawah Rp 2 milyar atau masuk dalam penjaminan pemerintah. Meskipun DPK Bank IFI mencapai Rp 350 milyar, namun LPS hanya menyediakan Rp 200 milyar. Menurut Kepala Ekskutif LPS Firdaus Djaelani, dana itu cukup untuk mengembalikan dana nasabah karena tidak semua nas abah memenuhi syarat penjaminan LPS11. Secara yuridis, simpanan nasabah yang dijamin pemerintah adalah simpanan yang berbentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu12. Disamping itu terdapat persyaratanpersyaratan tertentu yang tidak setiap nasabah penyimpan dapat memenuhi persyaratan untuk dijamin oleh LPS. Kondisi yang demikian akan menimbulkan keti dakpas ti an pada di ri nas abah penyimpan. Bagaimanakah nasib nasabah Bank Century, yang dananya diselewengkan oleh Komisaris Utama bank tersebut, dan bagaimanakah nasib dana nasabah sebesar Rp 150 milyar, sisa dari Rp 350 milyar yang hanya dijamin sebesar Rp 200 milyar. 2. Permasalahan Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebagaimana tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan konkrit kaitannya dengan nasabah penyimpan. yaitu sebagai berikut: 1). Bagaimanakah Perlindungan Hukum terhadap Nas abah
9
Kompas 16 Februari 2009, Tiga Hal yang Dapat Dilakukan BI dan Bapepam-LK untuk Tangani Bank Century. hal 19 Ibid. Harian Kompas, Senin 25 Mei 2009, IFI diselesaikan awal Juli 2009, hal 18. 12 Pasal 10 Undang-undang No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). 10 11
87
Penyimpan dal am si stem perbankan di Indonesia? 2). Bagaimanakah upaya hukum dalam penyelesaian terhadap persoalan nasabah bank? B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pada s tudi kepustakaan. Sebagai penelitian hukum normatif, pendekatannya lebih menekankan pada segi abstraksi13. Sifat penelitian yang akan dilakukan adalah deskriptif. Dengan bertitik tolak pada sifat penelitian ini, maka analisisnya bersifat kualitatif. Terhadap data kualitatif, yaitu yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan14, selanjutnya dianalisis terhadap berbagai aspek yang diteliti sehubungan dengan Perlindungan hukum nasabah penyimpan dalam perbankan di Indonesia. Bahan peneletian yang akan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan penelitian kepustakaan berupa: Ketentuan perundang-undangan yang menyangkut Perbankan, Pencucian Uang, Persoran Terbatas, Pasar Modal, Lembaga Penjaminan, KUHP. Berbagai bahan kepustakaan mengenai Pasar Modal, Perbankan, Persoran Terbatas. Hasil penelitian, hasil seminar dan tulisantulisan di media massa, Kamus hukum dan Kamus lainnya.
13
C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1. Pengertian Perbankan di Indonesia Secara yuridis, Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahannya15. Selanjutnya yang dimaksud bank, dalam Black’S Law Dictionary, bank adalah: 1. a financial establishment for the deposit, loan, exchange, or issue of money and for the transmition of funds; esp., a member of the Federal Reserve System., 2. The office in which such an establishment conducts transactions16. Dalam undang-undang perbankan disebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk l ai nnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak17. Badan usaha ini adalah berbentuk Perseroan Terbatas, Koperasi atau Perusahaan Daerah dan bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk dapat mendirikan usaha perbankan harus memenuhi persyaratan undangundang, dan mendapatkan izin dari Bank Indonesia. Sal ah s atu usaha bank adalah menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan. Yang dimaks ud si mpanan 18 adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
Soemarjono, SW. 1990. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.hal 10 Arikunto, 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Hal 209. Pasal 1 angka 1 UUPB. 16 Bryan A. Garner, Black’S Law Dictionary, ST. Paul, Minn., 1999., hal 139. 17 Pasal 1 angka 2 UUPB. 18 Pasal 1 angka 5 UUPB. 14 15
88
itu. Menurut undang-undang, nasabah penyimpan 19 adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Maks ud para nas abah penyi mpan menempatkan dana di bank adalah untuk mendapatkan bunga. Para deposan besar umumnya menginginkan bunga yang tinggi, termasuk deposan institusional (Taspen). Hal ini berdampak pada penyaluran kredit bunga tinggi. Bunga deposito Maret 2009 sudah tidak rasional, misal perusahan BUMN dan dana pensiun yang memiliki deposito miliaran rupiah umumnya meminta bunga di atas 12% per tahun. Bank Indonesia pernah menghimbau perbankan agar menurunkan suku bunga deposito supaya suku bunga kredit dapat diturunkan dengan harapan dapat merangsang gairah sektor riil yang kini melesu akibat krisis global20. 2. Kegiatan Usaha Perbankan Kegiatan perbankan itu dilakukan oleh dua jenis bank, yakni bank umum dan bank perkreditan rakyat. Bank umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Salah satu usaha Bank Umum adalah21: menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Fokus kegiatan perbankan dalam pembahasan ini, adalah yang berkaitan dengan menghimpun dana dari
masyarakat. Dana yang tersimpan dalam perbankan ini sering disebut juga Dana Pihak Ketiga (DPK). Berdasarkan data Bank Indonesia per Maret 2009, dari total dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional telah mencapai Rp1.801 triliun, sebagian itu Rp 319, 3 trilun atau 17,7% berupa denominasi valas. Sedangkan total kredit perbankan sebesar Rp 1.297 triliun, porsi valas 18%22. Rasio kredit terhadap DPK valas sebesar 73%, mencerminkan kondisi likuiditas yang tergolong aman. Pada pertengahan tahun 2009, kepercayaan investor asing terhadap perekonomian nasional juga terus meningkat. Hal ini ditandai dengan adanya pembel ian s urat-s urat berharga berdenominasi rupiah, seperti Sertifikat Bank Indonesia, Surat Berharga Negara, Saham, bahkan kredi t valas dari perbankan asing kepada perbankan nasional yang dulu berhenti, kini mengalir lagi23. 3. Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan a. Pengertian Perlindungan Hukum Ketika berbicara masalah hukum, harus insaf bahwa hukum adalah suatu pranata sos ial. Hukum di bentuk dimaksudkan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Menurut Van Apledorn24, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Tujuan pokok hukum 25 adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Hubungan antara bank
19
Pasal 1 angka 17 UUPB. Harian Kompas, Rabu 11 Maret 2009., BI Imbau Perbankan Turunkan Suku Bunga., hal 19. Pasal 6 UUPB. 22 Kompas 19 Mei 2009, Kepercayaan Asing Meningkat, Likuiditas Valas Membaik. hal 19. 23 Tony prasetiantono, Kepercayaan Asing Meningkat, Likuiditas Valas Membaik. Kompas 19 Mei 2009. 24 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta, 1990. 25 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1990. 20 21
89
dengan nasabah juga diatur oleh hukum. Hukum juga memberikan perlindungan kepada bank dan nasabahnya. Pada dasarnya, perlindungan hukum nasabah penyimpan adalah segala upaya untuk memberikan perlindungan secara hukum terhadap nas abah penyimpan. Berbeda dengan kegiatan di Pasar modal, dimana pemerintah hanya menjamin atas transparansi informasi, kecukupan dan kelengkapan informasi bagi nasabah/ investornya, sedangkan dana yang disimpan di pasar modal tidak mendapatkan jaminan. Dalam kegiatan perbankan, perlindungan nasabah tidak difokuskan pada aspek transparansi informasi, namun pada aspek keamanan atas dana yang disimpannya. Perlindungan hukum dilakukan tentunya untuk menjaga keseimbangan antara kedudukan bank dengan kedudukan nasabah penyimpan. Pada satu sisi, kondisi perbankan nasional tetap terjaga likuiditasnya, tingkat NPL kecil, capital adequacy rati o/ CAR meningkat, dan pada sisi lain kondisi keuangan nasabah tetap aman tidak ada penyelewengan, dan lain-lain.. b. Pentingnya Perlindungan Hukum Lembaga perbankan, adal ah lembaga yang mengandalkan kepercayaan mas yarakat. Dengan demikian, pemerintah harus berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga ataupun oknum pejabat/pegawai bank yang tidak bertanggungjawab dan merusak sendi kepercayaan masyarakat. Melihat begitu besarnya risiko yang dapat terjadi apabila kepercayaan masyarakat terhadap perbankan merosot ti dak berlebi han apabi la usaha perlindungan konsumen jasa perbankan mendapat perhatian yang khusus. Dalam rangka usaha melindungi konsumen 26
secara umum telah ada Undang-undang perlindungan Konsumen yakni UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perl indungan Konsumen. Dalam rangka pemberdayaan konsumen jasa perbankan, maka Bank Indo nesi a s ebagai bank s entral bertanggungjawab sebagai pelaksana otoritas moneter sangat diharapkan mempunyai kepedulian. Menurut UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pelaku Usaha diwajibkan: 1) Beretikat baik dalam menjalankan usaha; 2) Memberikan informasi yang benar jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang dibeirkannya; 3) Memperlakukan atau mel ayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4) Menjamin usaha perbankan yang dijalankan sesuai dengan standart perbankan yang berlaku. Persoalan perlindungan nasabah tertuju pada ketentuan perundangundangan serta ketentuan mengenai perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dan nasabahnya. Hubungan hukum yang terjadi antara bank dan nasabahnya dapat didasarkan adanya suatu perjanjian. B agi nas abah penyimpan, maka perjanjian yang dibuat adalah perjanjian pembukaan rekening atau perjanjian penitipan barang. Perlindungan ini menjadi sangat penting, mengingat kedudukan nasabah penyimpan mempunyai kelemahan. Cont oh 26 ; ketentuan kewajiban nasabah penyimpan/ penabung untuk memelihara sisa tabungan minimal, yang biasanya pula apabila kurang dari minimal akan dikenakan biaya administrasi yang lebih besar, tetapi tidak mendapatkan bunga.
Muhamad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Adidtya, Bandung, 2006, hal 340.
90
c. Bentuk Perlindungan Hukum Bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan ini adalah peraturan perundang-undangan baik di bidang perbankan maupun bidang lainnya yang berkai tan dengan kegi atan perbankan, yaitu: c.1. UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Beberapa ketentuan krusial dalam UU Perbankan yang dapat dianggap memberi kan perl indungan kepada nasabah. 1). Tentang Perizinan Perlindungan hukum diawali dari ketentuan persyaratan pendirian bank di Indonesia. Setiap pihak yang melakukan kegi atan menghi mpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari pimpinan Bank Indonesia, kecuali ditentukan undangundang27. Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya merupakan kegiatan yang harus diawasi, mengingat kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana itu. Kegiatan menghimpun dana hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum dan atau Bank Perkreditan Rakyat. Untuk memperoleh izin Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat, wajib memenuhi persyaratan sekurangkurangnya28:
a. Susunan o rganisasi dan kepengurusan; b. Permodalan; c. Kepemilkan; d. Keahlian di bidang perbankan; e. Kelayakan Rencana Kerja. Dengan adanya lisensi dari Bank Indonesia, maka secara legal suatu bank sudah dapat melaksanakan kegiatannya di bidang perbankan. 2). Tentang Bentuk Usaha Bentuk usaha bagi setiap badan yang menghimpun dana masyarakat harus berbadan hukum (rechts persoon), baik dalam bentuk Perseroan, Koperasi, Perusahaan Daerah. Hal ini dimaksudkan agar kekayaan perusahaan terpisah dengan kekayaan pengurus atau pemilik. Dengan demikian prosedur pendirian usaha tersebut juga akan mengikuti peraturan yang telah di tentukan sebagaimana dalam proses pendirian Perseroan29, Koperasi30 atau Perusahaan Daerah. Bentuk pertanggungjawaban pengurus terhadap pengelolaan bank juga telah mendapat pengaturan yang jelas, sehingga segala tindakan yang mungkin akan menimbulkan kerugian bagi nasabah dapat dicegah sedini mungkin. Bentuk pertanggungjawaban ini berupa absolute liability maupun relative liability. 3). Ketentuan Rahasia Bank. Menurut undang-undang perbankan, Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan31. Menurut
27
Pasal 16 ayat (1) UUPB. Pasal 16 ayat (2) UUPB. UU No.40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 30 UU No.21 tahun 1992 Tentang Koperasi. 31 Pasal 1 angka 16 UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. 28 29
91
Ketentuan yang baru, Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan nasabah penyimpan dan simpanannya 32. Eksistensi ketentuan Rahasia Bank ini mengandung makna, bahwa Bank wajib merahasiakan tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah. Kerahasian ini diperlukan demi kepentingan bank sendi ri s erta kepercayaan masyarakat. Penafsiran resmi mengenai rahasi a bank ters ebut mel iputi, memberikan gambaran sebagai berikut bahwa hal-hal yang dirahasiakan tersebut meliputi; a. keadaan keuangan nasabah yang tercatat padanya ialah keadaan keuangan yang terdapat pada bank yang meliputi segala simpanannya yang tercantum dalam semua pos passive, dan segala pos aktiva yang merupakan pemberian kredit dalam berbagai macam bentuk kepada yang bersangkutan. b. hal-hal yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan adalah segala keterangan orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya, yaitu: a. Pemberian pelayanan dan jasa dalam lalu lintas uang baik dalam maupun luar negeri; b. Pendiskontoan dan jual beli surat berharga; c. Pemberian kredit. Dalam praktek bisnis, merahasiakan sesuatu yang lazim dirahasiakan itu merupakan hal yang wajar. Namun, ketentuan rahas ia i ni sebenarnya merupakan suatu ketentuan prinsip atau asas, artinya tidak selamanya hal-hal yang 32
dirahasiakan itu adalah mutlak atau absolute, ada batas-batas kewajaran yang menurut undang-undang perlu di buka bahkan wajib. Dalam ilmu hukum, ada dua macam teori yang mendasari rahasia bank, yakni teori absolut dan teori nisbi. Dalam teori absolute, sebagaimana dikenal di Swis, rahasia bank hanya dibuka apabila ada putusan pengadilan. Undang-undang perbankan di Indonesia manganut teori nisbi, rahasia bank dapat dimungkinkan untuk dibuka. Misalnya: Untuk kepentingan perpajakan 33 , penyelesaian piutang Negara 34, peradilan 35, dan kegiatan perbankan36. Dalam perkara perdata, yang dapat dimungkinkan untuk membuka rahasia bank hanyalah perkara yang menyangkut Bank dan nasabahnya, sehingga perkara perdata yang tidak menyangkut bank tidak mungkin untuk membuka rahasia bank. Seandainya ada perkara antara orang yang satu dengan lainnya tentang perbuatan melawan hukum, dimana uang hasil perbuatan melawan hukum itu disimpan di bank, maka pihak Penggugat tidak dapat meminta Pengadilan untuk membuka rahasia bank atas nasabah Tergugat. Rahasia Bank yang dijamin oleh undangundang ini tidak serta merta kemudian memberikan perlindungan penuh kepada nasabah. Nas abah yang dal am penyimpanannya adal ah tidak dimaksudkan sebagai kegiatan investasi dan tidak mempunyai etikat baik atas kegiatan menyimpan dana di bank, maka dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindakan yang melanggar undang-undang,
Pasal 1 angka 28 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 41 UU No.7 tahun 1992 Perbankan Jo. Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU No.9 tahun 1994. Pasal 41 A UUPB. 35 Pasal 42 UUPB. 36 Pasal 44 UUPB. 33 34
92
yang tentunya tidak akan mendapat perlindungan. Tindakan menyembunyikan uang di bank yang dapat dikatahui atau patut diketahui bahwa uang itu merupakan hasil kejahatan maka ini merupakan tindak pi dana pencucui an uang (mo ney laundring). Tindakan ini sering juga dapat dikatakan sebagai penyalah gunakan fungsi perbankan sebagai penghimpun dana masyarakat. c.2. UU No.24 tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan nasional merupakan salah satu kata kunci untuk memelihara stabilitas industri perbankan sehingga krisis ekonomi yang pernah ada tidak akan terulang. Kepercayaan ini dapat diperoleh dengan dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank serta penjaminan simpanan nasabah bank untuk kelangsungan usaha bank secara sehat. Kelangsungan usaha bank secara sehat dapat menjami n keamanan simpanan para nasabah bank serta meningkatkan peran bank sebagai penyedia dana pembangunan dan pelayan jasa perbankan. Untuk itulah maka dibentuk Undang-undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UULPS). Berdasarkan Pasal 4 UULPS, fungsi Lembaga Penjamin Simpanan adalah: a. menjamin s impanan nas abah penyimpan; dan b. turut aktif dalam memelihara stabilitas system perbankan s es uai kewenangan. Selanjutnya seti ap bank yang melakukan kegiatan usaha di Wilayah 37 38
Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan37. Kata wajib dalam ketentuan tersebut mengandung arti keharusan, artinya bahwa bank harus menjadi peserta penjaminan. Dalam praktek perbankan, terdapat pengumuman tentang kepersetaan pada Lembaga Penjaminan Simpanan, dengan demikian nasabah akan merasa aman, sehingga dapat menambah tingkat kepercayaan masyarakat pada bank yang bersangkutan khususnya, dan pada bank pada umumnya. Namun demikian, tidak semuanya si mpanan di bank akan dijamin sepenuhnya oleh LPS. Simpanan Nasabah yang dijamin oleh LPS adalah simpanan yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu38. 4. Upaya Hukum dalam Penyelesaian permasalahan Nasabah Bank. Dalam ketentuan UU perbankan tidak diatur mengenai hak nasabah terhadap bank. Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dengan bank adalah hubungan hukum keperdataan yakni hubungan jasa penyimpanan uang dan pemberian kuasa. Sebagaimana diketahui, yang dimaksud simpanan adalah dana yang dipercayakan ol eh mas yarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Oleh karena itu hak dan kewajiban nasabah penyi mpan diatur dal am perjanjian penyimpanan, dan bukan dalam UU perbankan. Apabila terjadi suatu kerugian yang diderita oleh nasabah penyimpan yang disebabkan karena kelalaian bank, maka secara hukum bank yang harus bertang-
Pasal 8 ayat (1) UULPS. Pasal 10 UULPS.
93
gungjawab untuk mengganti kerugian nasabah. Seperti kasus pembobolan dana Citibank oleh karyawanya dan atau kasus pembobolan dana Elnusa di Bank Mega. Upaya hukum dengan mengajukan gugatan perdata memang terasa sangat ironis, karena mengapa harus nasabah yang susah-susah mengajukan gugatan, bukannya kerugian itu jelas akibat perbuatan bank. Hal ini terjadi jika memang bank yang bersangkutan tidak bertanggung jawab terhadap nasabahnya. Dalam kasus Citibank, pihak Citibank telah bersedia akan bertanggung jawab terhadap nasabah private banking yaitu dengan mengganti kerugian yang diderita oleh nasabah. Apabila Citibank tidak bersedia bertanggungjawab, maka tidak ada jalan lain bagi nasabah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap Citibank dengan mendasarkan pada Pasal 1365 KUH perdata. Dalam hal adanya pelanggaran hukum terhadap UU perbankan, dan guna memberikan perlindungan pada nasabah, maka ada beberapa ketentuan perbankan yang dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan proses hukum secara pidana. Beberapa ketentuan mengenai kegiatan yang dilarang UU Perbankan, yaitu39: 1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia.“ 2. tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafi li as i untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
39 40 41
Pasal 46 dan 47 ayat (1) UUPB Pasal 47 ayat (2), 47 A, 48 ayat (1) dan (2) UUPB Pasal 49 UUPB.
94
Beberapa ketentuan yang melarang bagi Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya40: 1. yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40.” 2. sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44a “ 3. dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) “ 4. dengan lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2).” Di larang bagi Anggo ta Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja41: 1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; 2. menghi langkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; 3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghilangkan, menghapus, adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dal am laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut. D. KESIMPULAN a. Kesimpulan Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan, dilakukan sejak pendirian sebuah bank sampai dengan bank dalam pengendalian Lembaga Penjamin Simpanan. Perlindungan mana, adalah dalam bentuk
penggantian kerugian atau dana yang disimpannya. 2. Bentuk kejahatan yang ada di perbankan, berupa penipuan dan atau penggelapan dana nasabah dengan modus operandi adalah menerbitkan surat berharga untuk dijual kepada nasabah, Pelanggaran atas analisa kredit, dan pembo bolan dana nasabah. Pelakunya dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana. b.Saran Perlu dilakukan langkah-langkah prefentive yakni memperketat pengawasan yang dilakukan oleh BI dan Bapepam-LK dan langkah represife, mengoptimalkan penegakan hukum atas s emua pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, 1993, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Bryan A. Garner, 1999, Black’S Law Dictionary., ST. Paul, Minn Muhamad Jumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Adidtya, Bandung, Soemarjono, SW. 1990, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Susilo. R., 1996, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor. Sudikno Mertokusumo, 1990, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta. Van Apeldorn, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita., Jakarta. Widjanarto, 1997, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, Pusataka Utama Grafiti, Jakarta .
95
Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-undang No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Undang Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Undang Undang No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Undang Undang No.8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Harian : Harian Kompas, Senin 16 Februari 2009 Harian Kompas, Rabu 11 Maret 2009 Harian Kompas, Jumat 1 Mei 2009 Harian Kompas, Sabtu 16 Mei 2009 Harian Kompas, Selasa 19 Mei 2009 Harian Kompas, Senin 25 Mei 2009 Harian Kompas, Rabu 27 Mei 2009 Harian Kompas, Kamis 28 Mei 2009 Harian Radar Jogja, Rabu 8 Juli 2009 Harian Kompas, Sabtu 6 April 2011 Harian Kompas, Sabtu 25 April 2011
96
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-VII/2009 TERHADAP PROFESI ADVOKAT DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Oleh : Takariadinda Diana Ethika *
Abstract The Constitutional Court Decision No. 101/PUU-VII/2009 has no implications for the implementation of professional lawyers in Yogyakarta. The existence of the Constitutional Court does not give any implications for the PERADI (advocate organization), also for KAI (advocate organization), the Decision of the Constitutional Court also does not give effect to the candidates advocate in KAI. With the Constitutional Court ruling that the candidates of KAI advocates were not sworn in open court of the High Court, so it does not comply with the requirements to become an advocate as required by UU No. 18 Tahun 2003. This is reinforced by Circular Letter of the Supreme Court Chairman. No. 089/KMA/VI/2010 that one of them it was “the President of the Court of Appeal may take the oath of the candidates who are qualified lawyers, with the stipulation that the proposal swearing must be presented by the Executive of PERADI. Keywords: Implications, Decision of the Constitutional Court, the Advocate Profession. A. PENDAHULUAN Pasal 28 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menyebutkan bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Awalnya, organisasi advokat yang ada adalah Perhi mpunan Advokat Indonesia (Peradi). Sehingga, surat Ketua *
Mahkamah Agung (MA) seperti Surat KMA/ 445/VI/2003 dan Surat Sekretaris MA 07/ SEK/01/2007 menyebut secara tersirat kartu anggota Peradi yang digunakan untuk beracara di Pengadilan. Namun, dalam praktiknya, kemudian terjadi perpecahan organisasi advokat. Yakni, dengan terbentuknya Kongres Advokat Indonesia (KAI). KAI juga mengklaim dirinya sebagai wadah tunggal organisasi advokat. Artinya, ada dua organisasi yang mengklaim
Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
97
sebagai wadah tunggal organisasi advokat, yakni Peradi dan KAI. Kedua lembaga ini mempunyai argumentasi hukum masing-masing. Akibat kisruh ini, Ketua MA Harifin A. Tumpa pada 1 Mei 2009 mengeluarkan surat kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia agar tidak mengambil sumpah calon advokat dari kedua organis asi itu sebelum terjadinya perdamaian dan terciptanya sebuah organisasi advokat yang benar-benar tunggal. Surat ini mengesampingkan pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan “Sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguhsungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Tiga calon advokat membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mengajukan permohonan pengujian (judicial review) pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Pokok Permohonan yang diajukan oleh para pemohon adalah sebagai berikut: 1. Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang berbunyi, “sebelum menjalankan profesinya, Advokatwajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.. 2. Menurut para Pemo hon, Surat Keputusan Pengangkatan Advokat oleh organisasi advokat yang telah dilantik dan diangkat menjadi advokat, tidak serta merta dapat berpraktik atau beracara di pengadilan, karena harus diambil sumpahnya terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah
98
hukum masing-masing. 3. Terbitnya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 052/KMA/V/2009 bertanggal 1 Mei 2009, yang intinya memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk menunda pengambilan sumpah bagi para kandidat advokat, telah menutup pintu hukum dan kecil kemungkinannya bagi para Kandidat Advokat (termasuk para Pemohon) untuk diangkat/disumpah sebagai advokat. 4. Akibat dari terbitnya surat edaran tersebut dianggap telah mencederai kemandirian dan hak-hak konstitusional para Pemohon dan secara langsung ataupun tidak langsung dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. Atas permohonan para pemohon tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan di antaranya sebagai berikut : 1. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advo kat bertentangan dengan Undang-U ndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjal ankan profes inya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
2. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengai tkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”; 3. Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum; Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 yang mengharuskan agar calon advokat diambil sumpah di Pengadilan Tinggi sebelum berpraktek, oleh Mahkamah Konstitusi memang tidak di nyatakan bertentangan dengan konstitusi, melainkan hanya memberi petunjuk agar Pasal itu dijalankan sesuai dengan rohnya. Akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka pengadilan tinggi tidak boleh menolak mengambil sumpah calon advokat dari organisai PERADI dan KAI yang saat ini sedang berkonflik selama jangka waktu 2 tahun. Namun dengan putusan tersebut apakah dengan sendirinya MA s ebagai l embaga pengadilan tertinggi mau melaksanakan hasil putusan tersebut (mengingat MK dan MA kedudukannya setingkat), yang kemudian diikuti kesediaan Pengadilan Tinggi untuk melantik mengambil sumpah para advokat baik dari organisasi PERADI
dan KAI. Atau nasib para advokat tetap terkatung-katung karena persyaratan yang ditetapkan dalam UU No. 18 TAhun 2003 yaitu “dilantik dan disumpah oleh Pengadilan Tinggi sebagai persyaratan untuk berpraktek di pengadilan” tetap tidak dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi. Hal ini juga menimbulkan permasalahan terhadap sikap hakim atas Putusan Mahkamah Konstitusi, apakah akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi atau tetap patuh pada lembaga di atasnya yang dalam hal ini adalah Mahkamah Agung. Atas dasar uraian singkat di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/ PUU-VII/2009 Terhadap Profesi Advokat Di Daerah Istimewa Yogyakarta ? Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 terhadap pelaksanaan profesi advokat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konsitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; 3. Memutus pembubaran partai politik; dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
99
Dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, pemohon adalah pihak yang menganggap hak konstitusional 1 dan/atau kewenangan ko ns ti tusi onal nya di rugi kan ol eh berlakunya undang-undang. Pemohon pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dalam hal ini meliputi : Perorangan warga negara Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang dan Badan hukum publik atau privat atau Lembaga negara.2 Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Dalam permohonan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa : 1. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-undang Dasar Negara RI 1945; dan/atau 2. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/ atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
1
Dasar yang dipergunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara adalah Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Sebagai organ konstitusi, lembaga ini didesain untuk menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya.3 UUD Negara RI Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, UUD yang menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadi lan, termas uk us aha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Selain dalam proses peradilan, peran advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 18 Tahun 2003 yang berbunyi :”Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
Berdasarkan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, yng dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h lm. 50-51. 3 Bambang Sutiyoso (1), 2009, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, hlm. 97. 2
100
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.” Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Organisasi advokat merupakan satusatunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Lebih lanjut dalam Pasal 32 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2003, menyebutkan bahwa “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undangundang ini, organisasi advokat telah terbentuk.” Berdasarkan ketentuan tersebut selambat-lambatnya 2 tahun diharuskan adanya organisasi advokat yang menjalankan tugas dan kewenangan dalam UU No. 18 Tahun 2003. Oleh karena itu, pada tanggal 21 Desember 2004, para advokat Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), sepakat mendirikan organisasi advokat Indonesia dengan nama “Perhimpunan Advokat Indonesia” sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab berdasarkan UUD 1945 dan UndangUndang Advokat.4 Sebelum menjalankan profesinya untuk menjadi advokat, calon advokat harus mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh PERADI, lulus ujian yang diselenggarakan 4 5
PERADI, dan bersumpah di sidang terbuka Pengadil an Ti nggi . Namun dal am perkembangannya, muncul organisasi advokat lain yaitu Kongres Advokat Indo nesi a (KAI) yang juga menyelenggarakan ujian, pendidikan khusus advokat bagi calon advokat baru. Tetapi timbul persoalan bagi calon advokat KAI, karena calon advokat tidak bisa disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Atas dasar inilah kemudian beberapa calon advokat KAI mengajukan pengujian materi Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi. B. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Menurut Soerjono Soekanto, secara umum dikenal ada 3 (tipe) perencanaan penelitian (research design) yaitu survey design, case-study design, dan experimental design. 5 Dalam penelitian ini menggunakan tipe case-study design, karena penelitian ini meskipun meneliti sejumlah populasi tetapi hasil penelitiannya tidak hanya bergantung pada sejumlah populasi yang ditetapkan sebagai sampel penelitian tetapi mendasarkan pula hasil penelitian yang diperoleh para narasumber 2. Populasi dan Sampel Penelitian a. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan sampel Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. b. Populasi, sampel dan teknik pengambilan sampelPopulasi dalam penelitian ini adalah para advokat yang belum dilantik sejumlah 150 orang dan para hakim pengadilan sejumlah 90 or
Perhimpunan Advokat Indonesia, 2007, Kitab Advokat Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 56. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 54.
101
ang. Adapun narasumber terdiri dari Pengadilan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, PERADI dan KAI Cabang Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. 3. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa: Studi dokumen/pustaka yaitu dengan pengumpulan data dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis bahan-bahan hukum. Wawancara dilakukan secara langsung kepada pihak yang bersangkutan sebagai narasumber, dengan menggunakan pedoman wawancara yang bersifat terbuka. Kuesioner pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner yang ditujukan kepada responden. Kuesio ner/daftar pertanyaan dibuat secara kombinasi antara sistem terbuka dan tertutup. 4. Teknik Analisis Data Data dari hasil wawancara, kuesioner, dan dengan didukung data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan yang ada. C.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Ada beberapa pihak yang terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VIII/2009 yaitu organisasi advokat; Pengadilan Tinggi; Hakim-hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan PTUN; dan para advokat. Ada dua organisasi advokat yang terkait dengan permasalahan ini yaitu PERADI dan KAI. Kedua organisasi tersebut menyelenggarakan pendidikan profesi advokat, ujian advokat dan mengeluarkan kartu ijin praktik advokat.
102
Akan tetapi, advo kat PE RADI melaksanakan penyumpahan dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi sehingga memenuhi persyaratan sebagai advokat yang sah seperti yang dikehendaki UU No. 18 Tahun 2003, sedangkan para advokat KAI hingga saat ini belum ada yang melaksanakan penyumpahan dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memberikan implikasi apa pun bagi organisasi advokat PERADI. Sejak awal dibentuknya PERADI, PERADI telah menghasilkan advokat yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh UU No. 18 Tahun 2003 yaitu telah mengikuti Pendidikan Profesi Khusus Advokat yang diselenggarakan oleh PERADI bekerja sama dengan perguruan tinggi, telah lulus ujian PERADI, dan telah dilakukan penyumpahan oleh Pengadilan Tinggi di wilayah hukum advokat yang bers angkutan. Namun demi ki an pers yaratan keharus an dil akukan penyumpahan di si dang terbuka Pengadilan Tinggi seperti yang dihendaki Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 pernah mengalami kendala dengan dikeluarkannya Surat Ketua MAhkamah Agung No. 052/KMA/V/2009, di mana Ketua MA memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk tidak mengambil sumpah advokat baru. Namun itu tidak berlangsung lama, karena pada bulan Juni tahun 2010 keluar Surat Ketua Mahkamah Agung No. 089/ KMA/VI/2010 yang isinya mencabut Surat Ketua MA No. 052/KMA/V/2009 dan memerintahkan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus PERADI. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 tidak
memberikan pengaruh keberlangsungan organisasi PERADI. Organisasi PERADI tetap utuh dan tunggal. Organisasi PERADI tetap menyelenggarakan pendidikan, ujian, pemagangan, dan calon advokat PE RADI tetap dilantik dan dapat bersumpah di dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Organisasi PERADI tetap dapat menjalankan tugas-tugas dan fungsi PERADI tanpa ada halangan dan yang menghalangi. Organisasi PERADI justru menilai bahwa adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hingga saat ini belum bisa menyelesaikan masalah/ konflik organisasi advokat. Dengan alasan tersebut, DPP PERADI mengeluarkan surat tentang “Verifikasi/Data Ulang Advokat dan Penyelesaian Masalah Calon Advokat Kongres Advokat Indonesia (“KAI”)”. Verifikasi/Data Ulang Advokat dan Penyelesaian Masalah Calon Advokat Kongres Advokat Indonesia (“KAI”) hanya berlaku bagi calon advokat KAI yang sudah terdaftar di KAI per tanggal 24 Juli 2010. Jangka waktu pendaftaran untuk verifikasi adalah 1 (satu) bulan dan dimulai pada tanggal 20 Oktober 2010 s/d. 19 November 2010. Syarat-syarat dan tata cara pendaftaran: 1. Pendaftaran dilakukan di alamat kantor Dewan Pimpinan Cabang (“DPC”) PERADI sesuai dengan domisili hukum calon advokat (alamat DPC terlampir); 2. Dalam hal di kota/kabupaten calon Advokat belum terdapat DPC PERADI, pendaftaran dapat dilakukan di kantor DPC PERADI terdekat atau termudah untuk dicapai oleh calon advokat; 3. Jangka waktu pendaftaran untuk verifikasi adalah 1 (satu) bulan dan dimulai pada tanggal 20 Oktober 2010 s/d. 19 November 2010 pada hari dan jam kerja; 4. Membayar biaya sebesar Rp. 450.000 (empat ratus lima puluh ribu Rupiah) 5. Mengisi Formulir Pendaftaran yang
dapat diperoleh di kantor Sekretariat DPC PERADI ; 6. Menyerahkan Formulir Pendaftaran dalam 2 (dua) rangkap ke kantor DPC PERADI sesuai dengan domisili masingmas ing dengan melampirkan dokumen-dokumen seperti Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku, Fotokopi ijazah sarjana strata satu (S1) berlatar belakang pendidikan tinggi hukum yang dilegalisir oleh perguruan tinggi yang mengeluarkan, Pas foto berwarna ukuran 3 x 4 sebanyak 3 (tiga) lembar dll. 7. Setelah di teri manya fo rmul ir pendaftaran berikut lampiran persyaratan tersebut di butir (6) dan selama proses verifikasi berlangsung, DPN PERADI akan menerbitkan Tanda Pengenal Sementara Advokat (TPSA) dengan masa berlaku selama 1 (satu) tahun. 8. Calon Advokat yang dinyatakan memenuhi syarat tersebut dalam butir (6), berhak untuk mengikuti “Ujian Khusus” yang akan diselenggarakan oleh PERADI. 9. Calon Advokat yang dinyatakan memenuhi persyaratan tersebut pada butir (8) di atas, akan diangkat sebagai Advokat dan diusulkan ke Pengadilan Tinggi untuk diambil sumpah atau janji. Tiga DPC Peradi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Kota Yogyakarta, Bantul, dan Sleman pada tanggal 20 Oktober 2010 secara serentak membuka pendaftaran verifikasi bagi advokat KAI yang ingin bergabung ke PERADI. Namun hingga penelitian ini dilakukan, belum ada yang mendaftar di DPC Peradi Bantul, sedangkan di DPC PERADI Sleman sudah ada 15 orang advokat KAI yang mengambil formulir pendaftaran namun belum
103
mengembalikan lagi ke DPC PERADI Sleman. Bagi organisasi advokat KAI, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga tidak memberikan pengaruh terhadap para calon advokat KAI. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi itu pun para calon advokat KAI juga tidak disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi, sehingga tidak memenuhi ketentuan persyaratan-persyaratan untuk menjadi advokat seperti yang dikehendaki oleh UU No. 18 Tahun 2003. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 089/KMA/VI/2010 yang salah satunya isinya adalah “para Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus PERADI. Menurut Ketua DPD K AI Yogyakarta, Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta tidak pernah mentaati Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003. Berbagai upaya dilakukan oleh KAI untuk memperjuangkan nasib para advokat KAI. Pada tanggal 7 Agustus 2009, DPP KAI bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung yang didampingi Wakil Ketua Mahkamah Agung di Gedung Mahkamah Agung RI . Dari pertemuan i tu menghasilkan suatu kesepakatan atau keputusan. Atas kesepakatan tersebut, DPP KAI mengeluarkan surat nomor : 069/ SK/DPP-KAI/VIII/2009 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri seIndonesia. Isi surat tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut : bahwa karena dalam praktek ada beberapa hakim pengadilan yang menolak para advokat baru K AI beracara dalam si dang pengadilan dengan alasan tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah dari Pengadilan Tinggi; dan ada permasalahan
104
sumpah yang sebenarnya DPP KAI telah berulang kali meminta kepada seluruh Pengadilan Tinggi di Indonesia untuk membuka sidang terbuka mendengar sumpah advokat namun Pengadilan Tinggi tidak melaksanakan kewajibannya, maka untuk menyelesaikan masalah tersebut DPP KAI telah bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung yang didampingi Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial dan Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Non-Yudisial tanggal 7 Agustus 2009 di Gedung Mahkamah Agung RI dengan kesepakatan/keputusan yaitu : “Advokat baru KAI yang beracara di pengadilan cukup menunjukkan kartu advokat/identitasnya sebagai advokat yang dikeluarkan oleh DPP KAI, tidak harus menunjukkan berita acara sumpah lagi”. (terdapat pada butir 10 surat No. 069/SK/ DPP-KAI/VIII/2009). Surat No. 069/SK/DPP-KAI/VIII/ 2009 tersebut ditanggapi oleh Mahkamah Agung dengan Surat Ketua Mahkamah Agung No. 113/KMA/IX/2009 yang ditujukan kepada DPP KAI, yang isinya adalah sebagai berikut : 1. Dalam pertemuan Pi mpinan Mahkamah Agung RI dengan DPP KAI pada tanggal 7 Agustus 2009, tidak pernah ada kesepakatan sebagaimana tercantum dalam butir 10 surat No. 069/SK/DPP-KAI/VIII/ 2009. 2. Perlu kiranya ditegaskan bahwa penyumpahan advokat telah diatur dengan tegas sesuai Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2003, sehingga tidak dapat disimpangi. 3. Hakim memang tidak perlu meminta Berita Acara Sumpah setiap advokat yang beracara di Pengadilan, akan tetapi apabil a ada yang mempersoalkan keabsahannya sebagai advokat, maka tentu hakim
dapat meminta persyaratan yang ditentukan oleh UU. Karena Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tidak ditaati maka timbul banyak permasalahan terkait dengan hak hidup, hak atas pekerjaan yang layak bagi ribuan calon advokat dari KAI. Oleh karena itu, menurut Ketua DPD KAI Yogyakarta KAI terus memperjuangkan hak-hak mereka melalui berbagai upaya sebagai berikut : 1. Melakukan hearing dengan Komisi III DPR pada tanggal 27 Juli 2010 2. Mengajukan upaya pembatalan Surat Ketua Mahkamah Agung No. 089/ KMA/VI/2010 ke PTUN Jakarta Pusat. 3. Melaporkan ke POLDA Metrojaya bahwa Mahkamah Agung telah melakukan tindakan/perbuatan yang tidak menyenangkan. Lebih lanjut menurut Ketua DPD KAI Yogyakarta, Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 seharusnya dipahami secara menyeluruh. Ada dua substansi yang terkandung dalam Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2003, yaitu : 1. Sebelum menjalankan profesinya advokat wajib bersumpah; 2. Dilaksanakan dihadapan sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Berdasarkan pemahaman tersebut, ada kewajiban dalam hal ini yang meliputi : 1. Kewaji ban advo kat bersumpah sebelum menjalankan profesinya 2. Kewajiban Pengadilan Tinggi untuk menyediakan fórum untuk para advokat bersumpah s ebel um menjalankan profesinya. Dengan tidak melaksanakan kewajiban menyediakan fórum tersebut, berarti Pengadilan Tinggi telah melakukan perbuatan melawan hukum. Atas dasar hal inilah kemudian ada permintaan pengujian Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Ketua DPD KAI Yogyakarta, amar putusan Mahkamah Konstitusi jelas dan tegas bahwa Pengadilan Tinggi wajib mentaati bunyi Pasal tersebut. Apabila Pengadilan Tinggi tidak melaksanakan berarti Pengadilan Tinggi telah melanggar UUD Negara RI 1945. Namun demikian, putusan Mahkamah Konstitusi itu pun tidak dipatuhi oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan harus ditaati oleh setiap orang tidak terkecuali dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dengan alasan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi merasa tidak terikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 itu belum dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait, namun dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut KAI mempunyai landasan hukum yang kuat untuk terus memperjuangkan nasib dari para advokat KAI. Atas dasar belum dilaksanakannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/ PUU-VII/2009 dan masih adanya advokat KAI yang ditolak oleh hakim untuk beracara di pengadilan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pada tanggal 6 Oktober 2010 pengurus DPD KAI Yogyakarta didampingi 100 orang advokat KAI mendatangi Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan melakukan audiensi, mendiskusikan bersama mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009. Hasil dari audiensi di Pengadilan Tinggi Yogyakarta tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kepala Pengadilan Tinggi Yogyakarta akan memerintahkan kepada hakimhakim Pengadilan Negeri di Yogyakarta agar tidak mempermasalahkan advokat KAI yang menjadi kuasa hukum dalam persidangan di
105
pengadilan. 2. Pengadilan Tinggi akan membawa masalah tersebut ke rakernas Mahkamah Agung di Balikpapan Oktober 2010. 3. Pengadilan Tinggi tidak akan melakukan pelantikan dan penyumpahan advokat selama PERADI dan KAI belum bersatu. Selain itu, KAI juga berencana akan melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 point ketiga yaitu apabila setelah jangka waktu dua tahun Organi sasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum. Atas dasar putusan tersebut, apabila setelah dua tahun belum ada penyelesai an KAI berencana akan mengajukan perselisihan advokat tersebut ke Peradilan Umum.Seperti disampaikan pada paragraf sebelumnya, karena adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/ PUU-VII/2009 tidak dapat menyelesaikan masalah, maka DPN PERADI mengeluarkan surat pengumuman tentang “Verifikasi/ Data Ulang Advokat dan Penyelesaian Masalah Calon Advokat Kongres Advokat Indonesia (“KAI”)”. Menurut Sekjen KAI, adanya surat pengumuman tentang “Verifikasi/Data Ulang Advokat dan Penyelesaian Masalah Calon Advokat Kongres Advokat Indonesia (“KAI”)” tersebut tidak digubris oleh KAI, KAI tetap akan memperjuangkan agar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009 tersebut dilaksanakan oleh pihakpihak yang berkompeten terutama dalam hal ini dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi. Dalam Putus an Mahkamah Konstitusi tersebut, pihak yang paling terkait dengan putusan adalah Pengadilan
106
Tinggi, karena materi yang diajukan pengujian adalah Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 yang mewaji bkan Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah advokat di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Pengadilan Tinggi Yogyakarta merasa bahwa dirinya tidak perlu terikat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena merasa bukan sebagai pihak dalam perkara tersebut, bahkan pada saat penelitian Pengadilan Tinggi belum mengetahui isi Putusan Mahkamah Kons titusi No. 101/PUU -VII/2009. Pengadilan Tinggi Yogyakarta merasa hanya perlu tunduk pada Mahkamah Agung. Adanya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 089/KMA/VI/2010 yang salah satu isinya adalah “para Ketua Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa us ul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus PERADI”, maka Pengadilan Tinggi Yogyakarta hanya akan menyumpah para calon advokat yang diusulkan oleh pengurus PERADI. Sikap Pengadilan Tinggi ini berbeda lagi setelah ada audiensi antara Pengurus KAI didampingi para advokat KAI dengan Pengadilan Tinggi Yogyakarta beberapa waktu yang lalu (lihat paragraf sebelumnya). Adanya perbedaan sikap Pengadilan T inggi Yogyakarta ini, menunjukkan bahwa Pengadilan Tinggi Yogyakarta bingung terhadap kondisi yang terjadi saat berkaitan dengan konflik organisasi advokat. Sebagai lembaga yang berada di bawah MA, Pengadilan Tinggi Yogyakarta merasa harus tunduk pada Mahkamah Agung. Namun adanya berbagai macam protes dan tekanan serta
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Mo. 101/PUU-VII/2009 menjadikan Pengadilan Tinggi bimbang dan tidak tegas. Hingga penelitian ini dilakukan, sejak adanya Putusan Mahkamah Kons titusi No. 101/PUU -VII/2009, Pengadilan Tinggi belum melakukan pelantikan dan penyumpahan terhadap advokat PERADI maupun advokat KAI. DPC PERADI yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta telah melakukan pengajuan permohonan pelantikan dan penyumpahan advokat PERADI, namun hingga penelitian ini dilakukan belum ada jawaban dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Menurut para hakim, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009 tidak memberikan implikasi dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini bisa dilihat dalam tabel berikut. Tabel Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan menurut pendapat hakim Pendapat Hakim
Jumlah
1.
Berpengaruh
5
2.
Tidak berpengaruh
19
3.
Tidak menjawab Jumlah
6 30
Sumber : data primer tahun 2010
Berdas arkan tabel ters ebut,s ebagi an bes ar hakim berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 tidak memberikan pengaruh terhadap proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi hingga sekarang, advokat yang
belum disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi dapat beracara di pengadilan tetapi harus didampingi oleh advokat yang sah dan sudah disumpah. Sepanjang pi hak l awan tidak mempermasalahkan, maka advokat yang belum disumpah tetap dapat beracara. Namun apabila pihak l awan mempermasalahkan maka akan timbul penafsiran yang berbeda-beda, namun secara umum hakim akan melihat Surat Keputusan Mahkamah Agung untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, bukan melihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi. Hakim yang berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 memberikan pengaruh terhadap proses pemeriksaan perkara di pengadilan, didasarkan pada alasan bahwa PERADI dan KAI boleh beracara di pengadil an sepanjang tidak dipermasalahkan pihak lawan. Hal ini juga dilakukan oleh hakim sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009 tidak memberikan pengaruh terhadap proses pemeriksaan perkara di pengadilan. D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan análisis di atas dapat disimpulkan bahwa : Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 tidak berimplikasi terhadap pelaksanaan profesi advokat di Yogyakarta. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memberikan implikasi apa pun bagi organisasi advokat PERADI. Sejak awal dibentuknya PERADI, PERADI telah menghasilkan advokat yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh UU No. 18 Tahun 2003
107
yaitu telah mengikuti Pendidikan Profesi Khusus Advokat yang diselenggarakan oleh PERADI bekerja sama dengan perguruan tinggi, telah lulus ujian PERADI, dan telah dilakukan penyumpahan oleh Pengadilan Tinggi di wilayah hukum advokat yang bersangkutan. Bagi organisasi advokat KAI, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga tidak memberikan pengaruh terhadap para calon advokat KAI. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi itu pun para calon advokat KAI juga tidak disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi, sehingga tidak memenuhi ketentuan persyaratan-persyaratan untuk menjadi advokat seperti yang dikehendaki oleh UU No. 18 Tahun 2003. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat Edaran ketua Mahkamah Agung No. 089/KMA/VI/2010 yang salah satunya isinya adalah “para Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil
sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus PERADI. 2. Saran Agar advokat memiliki legalitas, memenuhi persyaratan sebagai advokat yang sah seperti yang dikehendaki UU No. 18 Tahun 2003, maka Putusan Mahkamah Ko nsti tusi No. 101/PU U-VI I/2009 seharusnya dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi dengan mengadakan sidang terbuka untuk melakukan penyumpahan terhadap para advokat tanpa memandang organisasinya. Apalagi mengingat asas “erga omnes” yaitu bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat setiap orang.
Daftar Pustaka Bambang Sutiyoso (1), Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, 2009. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Perhimpunan Advokat Indonesia, Kitab Advokat Indonesia, Alumni, Bandung, 2007. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1984. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
108
TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK DIDIK (BULLYING) DI SEKOLAH MENENGAH UMUM Oleh : Yusnanik Bakhtiar*
Abstract The violence that occurred in the school environment is known by the term bullying is aggressive behavior that made repeatedly by a / a group of students who have authority over other students with the goal of hurting the weak. This study aims to determine the background of the causes of violence against students and identify mitigation measures that do the bullying related to acts of violence. The research method used is an empirical normative data using primary and secondary data. Sampling technique using a non-random sampling. This type of sampling was done by purposive sampling. The results showed that the background causes of violence against students is a sense of solidarity among members of the gang, emotions among teenagers, gain social recognition in order to be respected and powerful in a group, self-actualization, seniority and environmental influences. Violence bullying categorized as a crime. Overcoming bullying broadly divided into two: namely, the Penal and Non Penal. Reduction in Penal was done after the bullying takes place and enter into legal proceedings in the Court while the efforts of non Penal done if the bullying has not happened and after going on but have not entered the legal process can then attempt to use sanctions to overcome academic or academic processes. Keywords: Violence (bullying), and Protégé (Children)
A. PENDAHULUAN Kekerasan terhadap anak seringkali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisik dan seksual. Padahal, kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (structural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak.
Karenanya istilah child abuse atau perlakuan salah terhadap anak bisa bergantung mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse), dari yang bersifat psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural.1
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten 1
Abu Huraerah, 2007, Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak), cet ke-2 Edisi Revisi, Nuansa, Bandung, hlm. 22.
109
Kekerasan dalam dunia pendidikan anak di Indonesia memang marak terjadi dan menjadi sorotan masyarakat luas serta menjadi satu masalah dari sekian banyak permasalahan yang melilit dunia pendidikan di Indonesia. Posisi anak didik dalam sekolah belum mendapatkan porsi yang proporsional. Anak didik masih di ibaratkan obyek yang pantas diperlakukan sekehendak guru. Dengan alasan untuk mencerdaskan, guru berhak untuk memaksa, menghardik, bahkan kalau perlu menyakiti dengan tindakan kekerasan. 2 Kekerasan dalam dunia pendidikan tersebut tentu saja tidak hanya dilakukan oleh guru, tetapi juga dapat dilakukan oleh teman sekelas maupun oleh kakak kelas kepada adik kelasnya. Seperti kejadian tindakan kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh teman atau kakak kelas mereka yang membentuk sebuah geng di Pati Jawa Tengah pada bulan Juli tahun 2008, kekerasan tersebut direkam di dalam sebuah ponsel.3 Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan, idealnya menjadi tempat ramah bagi anak didik, dalam artian dapat memberi jaminan untuk melangsungkan proses pembelajaran. Suatu tempat yang ramah dan kondusif berarti harus dapat memberikan kesenangan, keleluasaan atau kebebasan kepada anak untuk melakukan pengembangan diri secara optimal, karena hal ini akan melahirkan rasa suka dan anak termotivasi untuk berkreasi sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga bisa membangun kesadaran kritis sebagai jalan menuju terciptanya kemandirian anak. Selain itu, sekolah yang ramah juga harus diartikan sebagai suatu kondisi 2
institusi pendidikan yang jauh dari berbagai tindakan kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun non-fisik. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru dengan memukul dan menyiksa siswa karena emosi atau apapun alasannya merupakan perbuatan yang tercela. Sebagai contoh, di Surabaya seorang siswa meninggal dunia karena disetrap oleh gurunya dan dihukum dengan cara disuruh lari mengelilingi lapangan sebanyak 20 kali. Siswa yang dihukum lari tersebut terjatuh karena dipukul dengan to ngkat oleh gurunya gara-gara kecapekan dan tidak kuat lari lagi, kepalanya membentur batu hingga kemudian tewas.4 Kekerasan fisik yang dilakukan oleh guru atau keluarga pada anak atas nama pendisiplinan atau disebut corporal punishment 5 ti dak banyak diperbincangkan. Pertama, karena belum ada paradigma bahwa sebenarnya kekerasan pendidikan itu tidak saja memiliki dampak negatif bagi tumbuh kembang anak, tetapi juga merupakan pelanggaran hak asasi anak. Kedua, kekerasan yang dilakukan oleh guru atau keluarga sering kali terbungkus oleh persepsi masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai persoalan domestik karena itu tidak layak atau tabu untuk diekspo s secara terbuka. Ketiga, masyarakat Indonesi a merupakan masyarakat “keep silent” yaitu tidak terbiasa menyuarakan suara hatinya walau sebenarnya kekerasan dalam pendidikan yang dialami dan merugikan dirinya. Tindak kekerasan guru terhadap si swa berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak. Anak
Cfssyogya, “Mendidik Anak Tanpa Kekerasan”, www.wordpress.com, diakses 7 Januari 2010 "Geng Nero Resahkan Warga Pati, Jawa Tengah”, www.jawapos.co.id, diakses 2 Februari 2010 4 Ibnu Anshori, “Kekerasan dalam Dunia Pendidikan”, www.google.com, diakses 4 November 2009. 5 Corporal punishment merupakan respon terhadap pelanggaran aturan (rule violation) di sekolah, rumah, militer, penjara, dilihat dalam “Coporal Punishment” Barda Nawawi Arief, www.google.com, diakses 17 Desember 2009 3
110
menjadi malas untuk belajar mata pelajaran yang diajarkan oleh guru dan menyebabkan anak menjadi tidak bisa menerima materi yang diajarkan oleh gurunya di s eko lah. Traumatik berkelanjutan akan tercipta pada jiwa anak. Sekolah seakan-akan menjadi hal yang menakutkan bagi para siswa setiap hendak berangkat sekolah. Fenomena ini sangat memprihatinkan, karena sikap tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak dasar anak, tetapi secara psikologis dan fisik sangat merugikan anak-anak. Perlakuan semacam ini hanya akan menciptakan ketaatan semu anak-anak. Dengan demikian, kemauan belajar bukan karena berangkat dari kesadarannya sendiri, melainkan karena takut akan sanksi yang diberikan kepada anak didik. Secara psikologis, tindakan kekerasan terhadap anak akan menciptakan mental pecundang, penurut palsu dan pembangkang.6 Dalam dunia pendidikan, tidak seharusnya terjadi kekerasan karena kekerasan justru akan menimbulkan korban. Anak didik akan membenci dan takut terhadap gurunya yang bisa mengakibatkan anak tidak bisa konsentrasi dalam belajar karena adanya tekanan dari guru (trauma). Berbagai kasus yang terjadi itu harus dipahami sebagai hasil interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Sebuah kasus yang terjadi memang tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang melingkarinya, baik dari sisi korban maupun pelaku. Dampak kekerasan, baik kekerasan fi si k, kekeras an s eksual , maupun kekerasan psikologis atau juga dikenal dengan kekeras an verbal s angat berpengaruh pada kondisi psikologis emosional siswa. Korban (victim) akan 6
7
mengalami gangguan kepribadian, seperti sering menyendiri, menarik diri dari pergaulan dengan teman sebayanya (peer group), kehilangan kepercayaan diri, dihantui perasaan takut jika berhadapan dengan guru, semangat dan motivasi belajar menurun, dan daya kreativitas berkurang yang berpengaruh pada menurunnya prestasi belajar siswa. 7 Kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik, tetapi juga kekerasan psikis yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan dampak trauma bagi korban. Tindak kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying. Pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun seorang guru terhadap muridnya. Terlepas dari alasan apa yang melatar belakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan sekolah. Bullying terjadi di lingkungan sekolah, terutama di tempat-tempat yang bebas dari pengawasan guru maupun orang tua. Bullying juga terjadi pada kawasan yang lebih luas, seperti jalan menuju sekolah atau sebaliknya. Bullying bisa terjadi di dalam kelas yang dapat dilakukan oleh siapa saja baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas bahkan bullying dapat juga dilakukan oleh guru. Tindakan kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psi ki s. Kekeras an fi si k dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan
A. Ridwan Halim, 1986, Tindak Pidana Pendidikan Dalam Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia (Suatu Tinjauan Yuridis-Edukatif), Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 29. Abu Huraerah, Op Cit, hlm 107.
111
(menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Dampaknya, tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup oleh si korban. Adapun kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain. Dampak bullying secara psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang, bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama terhadap anak didik. Selain itu, karena ada tindakan bullying yang tidak tampak secara fisik, penanggulangannya bisa menjadi sulit karena biasanya si korban malu untuk mengungkapkan atau menceritakannya. Sebaliknya tentu saja ada faktor- faktor atau latar belakang yang menyebabkan terjadinya bullying. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis mengkaji dan menelitinya dalam bentuk tulisan dengan judul: TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK DIDIK (BULLYING) DI SEKOLAH MENENGAH UMUM”. Mengingat bahwa sekolah adalah tempat untuk menimba ilmu dan karena latar belakang atau motivasi dari penyebab individu atau kelompok melakukan bullying, maka penuli s membatasi ruang l ingkup penelitian terhadap anak didik yang berada di Sekolah Menengah Umum (SMU). Berdas arkan pemaparan latarbelakang di atas, dapat dikemukakan bahwa permasalahan pokok dalam pengkajian penelitian ini adalah (1). Apa yang menjadi latar belakang penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak didik (bullying)?, (2). Bagaimana upaya yang dilakukan pihak terkait dalam
112
penanggulangan tindak kekerasan terhadap anak didik ?. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1). Untuk mengetahui latar belakang terjadinya tindak kekerasan terhadap anak (bullying). (2). Untuk mengindentifikasi upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak terkait dalam penanggulangan tindak kekerasan terhadap anak didik. B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian di atas merupakan jenis penelitian yang ditinjau dari berbagai sudut pandang. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian yang bersifat deskriptif, yang menggambarkan tentang sifat-sifat individu, keadaan dan gejala dari pelaku bullying di sekolah. Dari tujuannya penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris. Penelitian ini mengkaji perilaku masyarakat (law in action), memfokuskan pada permasalahan hukum dan penelitian sosial, mengkaji latar belakang kekerasan yang terjadi pada anak didik di Sekolah Menengah Umum. Penelitian ini menggunakan studi dokumen, wawancara dan penyebaran kuisioner. Penulis melakukan wawancara kepada hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Guru Bimbingan Konseling di SMU Negeri 4, SMU Negeri 10, SMU BOPKRI 2 dan SMU Bhineka Tunggal Ika, serta penyebaran kuisioner kepada anak didik yang ditunjuk oleh guru bimbingan ko ns el ingnya, kemudian penul is menyimpulkannya. Pada dasarnya analisis data dapat dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif. Namun demikian tidak jarang data kualitatif digabung dengan data kuantitatif. Pengolahan, analisa dan konstruksi data secara kualitatif dan kuantitatif, pada hakekatnya merupakan dua cara yang
saling melengkapi.8 Penelitian terhadap kekerasan di sekolah (bullying) ini merupakan penelitian hukum normatif empiris yang memandang hukum sebagai fenomena sosial dan dalam menganalisa kasus menggunakan analisis secara kualititatif. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Latar Belakang Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Anak Didik (Bullying) Ti ndak kekerasan (bul lyi ng) terhadap anak didik dal am dunia pendidikan merupakan istilah yang akhirakhir ini sering didengar, namun tidak banyak yang memahami istilah bullying ini. Belum adanya kesamaan pemahaman tentang bullying antara pihak sekolah, orang tua dan masyarakat merupakan salah satu penyebabnya. Bullyi ng merupakan masalah yang sering dihadapi oleh hampir semua sekolah. Oleh sebab itu hubungan sosial yang akrab, yang dijalin oleh pihak sekolah dengan komunitasnya seperti guru, murid, staf, orang tua dan masyarakat disekitarnya dapat meminimalisasi tindak kekerasan (bullying) di sekolah. Seko lah yang terkena kas us bullying pada umumnya berada dalam situasi sebagai berikut 9 (1). Sekolah dengan ciri peril aku dis kriminatif dikalangan guru dan siswa. (2). Kurangnya pengawasan dan bimbingan etika dari para guru dan satuan pengamanan (s atpam). (3). Seko lah dengan kesenjangan besar antara siswa kaya dan miskin. (4). Adanya kedisiplinan yang sangat kaku atau yang terlalu lemah. (5). Bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.
Dari s ituasi s ekol ah di atas diasumsikan bahwa penyebab terjadinya bullying adalah10 (1). Perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, jender, etnisitas/ rasisme. (2). Tradisi senioritas. (3). Keluarga yang tidak rukun. (4). Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif. (5). Karakter individu/ kelompok seperti, iri, dendam atau iri hati, adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan dengan kekuatan fisik dan daya tarik seksual, untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainannya. (6). Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban. Bullying merupakan sebuah situasi yang tercipta ketika tiga karakter yang bertemu pada satu tempat. Bullying dapat terjadi dengan memahami tiga aktor, yaitu11 (1). Pelaku bullying. Pelaku bullying inilah sebagai aktor utama. Pelaku bullying i ni umumnya merupakan provokator, inisiator bullying. Pelaku bullying umumnya seseorang yang berbadan besar dan kuat, namun tidak jarang juga yang berbadan kecil mampu untuk melakukan bullying, karena memiliki dominasi psikologi yang besar di kalangan teman-temannya. Ada banyak alasan seseorang menjadi pelaku bullying, antara lain adanya rasa kepuasan apabila pelaku berkuasa di kalangan teman-temannya. Dengan melakukan bullying, pelaku mendapatkan label betapa “besarnya” pelaku dan betapa kecilnya korban. Pelaku bullying umumnya temperamental, mereka melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya. Umumnya mereka merasa tidak punya teman, sehingga pelaku menciptakan situasi bullying. Pelaku bullying kemungkinan besar juga sekedar mengulangi yang pernah mereka lihat dan
8
Ibid, hlm 69. Ponny Retno Astuti, 2008, Meredam Bullying, PT. Grasindo, Jakarta, hlm 8. Ibid 11 Sejiwa, 2008, Bullying Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak, PT. Grasindo, Jakarta, hlm 14. 9
10
113
mereka alami sendiri. (2). Korban bullying. Bullying tidak akan terjadi tanpa adanya korban bullying. Ciri-ciri korban bullying diantaranya :12 (a).Berfisik kecil, lemah, (b), Berpenampilan lain dari biasanya, (c). Sulit bergaul (d). Siswa yang rendah kepercayaan dirinya, (e). Anak yang canggung (sering salah bicara/ bertindak/ berpakaian), (f). Anak yang memiliki aksen berbeda, (g). Anak yang dianggap menyebalkan dan menantang pelaku bullying, (h). Cantik/ ganteng, tidak cantik/ tidak ganteng, (i). Anak orang tidak punya/ anak orang kaya, (j). Kurang pandai, (k). Anak yang gagap, (l). Anak yang sering argumentatif terhadap pelaku bullying. (3).Saksi bullying. Berhubung situasi bullying terkadang menyerupai sebuah pertunjukan, maka tidak akan berlangsung tanpa adanya penonton. Saksi bullying akan menjadi penonton dari pertunjukan bullying. Saksi bullying akan berperan serta dengan dua cara, yaitu aktif menertawakan dan mendukung pelaku bullying atau diam dan acuh tak acuh. Saksi bullying yang aktif menyoraki korban biasanya adalah anggota geng yang dipimpin oleh pelaku bullying tersebut. Sejarah keikutsertaan saksi bullying ini dipengaruhi oleh beberapa alasan diantaranya ingin menyelamatkan diri dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku bullying atau naluri dari saksi bullying untuk ikut serta menertawakan korban bullying. Dampak serta gejala-gejala yang terjadi pada korban bullying adalah sebagai berikut :13 (1). Mengurung diri (school phobia), (2). Menangis, (3). Minta pindah sekolah, (4). Kosentrasi anak berkurang, (5). Prestasi belajar menurun, (6). Tidak mau bersosialisasi (7). Suka membawa barang-barang tertentu yang diminta oleh pelaku bullying, (8). Anak jadi 12 13
Ibid, hlm 17 Ibid, hlm 12
114
penakut, (9). Marah-marah, menjadi kasar dan dendam, (10). Gelis ah, (11). Berbohong, (12). Melakukan perilaku bullying terhadap orang lain, (13). Tidak bersemangat, (14). Sensitif, (15). Tidak percaya diri. Kasus kekerasan terhadap anak dapat terjadi di lingkungan keluarga, lingkungan sosial maupun sekolah. Pelaku kekerasan terhadap anak mempunyai hubungan yang akrab dengan korban. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Yogyakarta didapat bahwa bullying hanya terjadi antara siswa dengan siswa yang terekspos, baik media mass a maupun yang dipro ses di pengadilan, namun tidak terjadi pada guru ke anak didik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kasus kekerasan yang terjadi pada guru ke anak didik masuk ke ranah hukum di Pengadi lan Negeri K ota Yogyakarta. Kekerasan yang terjadi antar anak didik ini dibuktikan dengan adanya beberapa kasus yang masuk ke Pengadilan Negeri Yogyakarta, diantaranya : (1). Perkara Nomor 14/Pid. An./2008/PN. YK dengan terdakwa bernama Calvin Valenty yang bersekolah di SMU Bhineka Tunggal Ika. (2). Perkara Nomor 24/Pid. An./2008/ PN.YK dengan terdakwa bernama Andika Prasetya yang bersekolah di SMU 10 Yogyakarta. (3). Perkara Nomor 33/Pid. An./2008 dengan terdakwa bernama Suhendra Alias Hendra yang bersekolah di SMU 3 Yogyakarta. (4). Perkara Nomor 38/Pid. An/2008/PN. YK dengan terdakwa bernama Yosafat. Secara umum masyarakat belum mengenal bullying. Dari kuisioner yang penulis sebarkan kepada 20 orang anak yang ditunjuk oleh guru Pembimbing Konseling di SMU yang dipilih oleh penulis secara acak, maka di dapat data bahwa :
Tabel 3. Latar Belakang Bullying dan Pemahaman Bullying Oleh Anak Didik No. 1. 2. 3. 4.
Uraian Anak sering dimarahi di rumah Anak sering mengejek siswa lain Anak sering diejek siswa lain Anak mengetahui dan memahami bullying Jumlah Total
Persentase 18% 30% 26% 26%
100%
Sumber : Diolah dari hasil kuisioner
Dari data di atas dilihat bahwa anak didik sering mengejek siswa lain dan tidak jarang diantara mereka adalah korban ejekan dari siswa lain. Di samping itu dapat dilihat bahwa anak didik belum mengetahui dan memahami bullying itu sendiri. Biasanya yang menjadi pelaku bullying atau korban bullying adalah anak didik yang bermasalah di rumah dan lingkungan sekolah. Dari hasil penelitian di Pengadilan Negeri Yogyakarta, hanya kasus-kasus yang sudah terekspos oleh media massa maupun elektronik saja yang dapat dimintakan sebagai bahan wawancara dan analisa. Berikut terdapat dua kasus yang dapat diminta datanya, yaitu: 1. Perkara Nomor 38/Pid. An/2008/ PN. YK, Pengadilan Negeri Yogyakarta yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara pidana anak dalam peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara atas nama terdakwa I Yosafat Andrian Sulistyo alias Totok, dan terdakwa II Wayan Indra Swastika alias Paijo dengan dakwaan bahwa terdakwa I dan terdakwa II bersalah bersama-sama melakukan tindak Pidana penganiayaan sebagaimana diatur dan diancam
pidana Pasal 351 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP. Terjadi perkelahian antara Pran Pohan Silaban sebagai saksi korban dengan saksi Thelematos Kristo Here alias Kristo, Totok, dan Paijo dan beberapa anak yang tidak dikenal yang melakukan pemukulan terhadap saksi korban. Penganiayaan dilakukan karena solidaritas kepada saksi Thelemantos Kristo Here. 2. Perkara Nomor 40/Pid. An/ 2008/ PN. YK, dengan terdakwa Andika Prasetya, Resta Maji, Seno Bramono, Dwi Budi Setianto, Edi Hidayat, Muhammad Yusuf Bakhtiar, Edwin Bagus Yuwono, R Krisma Eka Putra, Muhammad Iqbal Arfinsyah, Ihksan Mustofa, telah melakukan penganiayaan terhadap saksi Muhammad Reza Noor Arfan. Penganiayaan terjadi pada saat Muhammad Reza Noor Arfan mengirimkan Pesan Singkat (SMS) kepada Silva Syanora yang mengungkapkan kekesalannya kepada para terdakwa dengan kali mat “Angkatan 09 brengsek semua” yang membuat para terdakwa tersinggung dan melakukan penganiayaan terhadap saksi korban. Dari dua kasus di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah (bullying) adalah karena rasa solidaritas terhadap anggota kelompok dan emosi di kalangan anak didik sebagai remaja. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di kota Yogyakarta, dapat dikemukakan bahwa secara umum masyarakat kurang mengetahui dan menyadari tentang bullying khususnya di kalangan guru, siswa dan orang tua. Bullying pernah terjadi hampir di semua SMU yang ada di kota Yogyakarta, biasanya banyak terjadi pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS). Bullying
115
yang terjadi pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS) dianggap untuk pengenalan dan pendisiplinan siswa terhadap sekolah dan peraturan sekolah. Dari penelitian yang penulis lakukan di beberapa sekolah dan penelusuran beberapa kasus di Pengadilan Negeri Yogyakarta dapat diketahui bahwa yang menjadi latar belakang tindak kekerasan di lingkungan sekolah adalah sebagai berikut (1). Solidaritas antar sesama geng yang menyebabkan terjadinya perkelahian atau penganiayaan terhadap seseorang yang dianggap telah menggangu anggota kelompoknya. (2). Emosi di kalangan remaja, sehingga menimbulkan sikap saling mengejek antar kelompok geng. (3). Untuk mendapatkan pengakuan sosial, agar merasa dihormati dan berkuasa di dalam sebuah kelompok. (4). Aktualisasi diri, (5). Senioritas, (6). Kesalahpahaman antar teman, (7). Mencari perhatian orang lain, (8). Pengaruh lingkungan sekitarnya Perilaku bullying yang dilakukan anak didik di sekolah dapat dilihat berdas arkan teori subkul tur yang dikemukakan oleh Cohen dengan teorinya yang disebut dengan delinquent subculture dan Cloward dan Ohlin dengan teorinya differential opportunity, yang menjelaskan tentang kenakalan remaja. Melalui penelitian yang telah diuji, Cohen menyatakan bahwa perilaku delinkuen lebih banyak terjadi pada laki-laki kelas bawah (lower class) dan lebih banyak membentuk geng. Menurut Cohen, semua anak-anak/ para remaja mencari status sosial. Namun tidak semua remaja dapat berlomba bersama-sama dalam mencapai status. Berdasarkan kedudukan di dalam struktur sosial, remaja kelah bawah tidak memiliki materi dan keuntungan simbolis, sehingga ketika berlomba dengan remaja 14 15
Made Darma, 1996, Kriminologi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm 36. Ibid, hlm 39.
116
kelah menengah maka remaja kelas bawah akan merasa kecewa. Hal inilah yang dikatakan Cohen sebagai problema status. Problema status yang dimaksud oleh Cohen adalah permasalahan yang dihadapi para remaja kelas bawah di dalam sistem sekolah.14 Cloward dan Ohlin dengan teorinya differential opportunity mengemukakan tipe geng kenakalan subkultur, diantaranya : (1) Criminal subculture, yaitu bilamana masyarakat secara penuh berintegrasi, geng akan berlaku sebagai kelompok para remaja yang bel ajar dari o rang dewas a. Menekankan pada aktivi tas yang menghasilkan keuntungan materi dan berusaha menghindari penggunaan kekerasan. (2) A retreatist subculture, yaitu kelompok remaja yang tidak memiliki struktur kesempatan. Subkultur yang seperti ini lebih banyak melakukan kegiatan mabuk-mabukan dan aktivitas geng yang lebih mengutamakan pencarian uang dengan tujuan mabuk-mabukan. (3) Conflict subculture, yaitu dalam suatu masyarakat yang tidak terintegrasi, akan menyebabkan melemahnya s uatu organisasi. Geng subkultur yang seperti ini akan memperlihatkan perilaku yang bebas. Kekerasan perampasan hak milik, dan perilaku lain menjadi tanda dari geng tersebut.15 Jika dihubungkan dengan kasus bullying di atas maka dapat dilihat bahwa kekerasan yang terjadi di sekolah karena kenakalan-kenakalan anak didik. Cohen mengatakan bahwa tingkah laku kelompok bersifat tidak berfaedah, dengki dan jahat. Tingkah laku yang ditonjolkan oleh kelompok menimbulkan kegelisahan pada orang lain. Tujuan para pelaku bullying di sekolah adalah mencari status sosial, agar merasa di hormati dan pengakuan dari
kelompok tertentu serta berkuasa di dalam sebuah kelompok. Tipe geng conflict subculture menurut Cloward dan Ohlin juga dapat dikaitkan dengan bullying, karena geng s ubkultur seperti i ni memperlihatkan perilaku bebas, kekerasan perampasan hak milik dan perilaku lain yang menjadi tanda dari geng tersebut, seperti senioritas di kalangan anak didik yang menjadi tanda dari kelompok kakak kelas kepada adik kelas, atau rasa solidaritas antar anggota geng. Dari kasus dan hasil penelitian di lapangan dapat disimpulkan bahwa kegiatan-kegiatan bullying yang dilakukan anak didik adalah aktivitas yang tidak bermanfaat yang dapat meresahkan korbannya, hanya dengan pesan singkat yang bernada mengejek dan rasa solidaritas antar teman menyebabkan pelaku melakukan tindakan bullying. Rasa senioritas, emosi yang berlebihan, mencari perhatian orang lain, kesalah pahaman antar anak didik dan pengaruh lingkungan sekitarnya juga merupakan salah satu pemicu kegiatan bullying di sekolah. 2. Upaya Penanggulangan Yang Dilakukan Pihak Terkait Terhadap Tindak Kekerasan (Bullying) Tindak kekerasan, termasuk di dalamnya bullying dapat di kategorikan sebagai ti ndak pidana. Dal am menanggulangi bullying tidak bisa lepas dari konsep penanggulangan tindak pidana pada umumnya. Kebijakan atau upaya penanggulangan tindak pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (s ocial welfare).16 Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtpolitiek”.17 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “politik hukum” adalah18 (1). Usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. (2). Kebijakan dari negara melalui badanbadan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Jadi menurut Prof. Sudarto melaksanakan “politik hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Usaha atau kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pada hakikatnya bertujuan untuk menanggulangi ti ndak pidana. Penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari politik kriminal. Kebijakan penanggulangan tindak pidana atau yang biasa dikenal dengan istilah “politik kriminal”. Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan tindak pidana dapat ditempuh dengan19 : (a). Penerapan
16
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 2. 17 Ibid, hlm 22 18 Ibid 19 Ibid, hlm 39-40.
117
hukum pidana (criminal law application), (b). Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), (c). Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Dengan demi ki an, upaya penanggulangan tindak pidana secara garis besar dapat dibagi dua, jalur penal (hukum pidana) dan jalur non penal (di luar hukum pidana). Jika dilihat dari upaya penanggulangan yang dikemukakan oleh G.P. Hoefnagels maka butir (b) dan (c) dapat dimasukan ke dalam jalur non penal. Upaya penanggulangan secara penal policy lebih menitikberatkan pada upaya represif, yaitu upaya penanggulangan tindak pidana sesudah tindak pidana terjadi sedangkan non penal poli cy lebih menitikberatkan pada upaya preventif atau upaya pencegahan agar tindak pidana tidak terjadi.
20
Tindak kekerasan, termasuk di dalamnya bullying di kategorikan sebagai ti ndak pidana maka dal am upaya penanggulangannya juga tidak berbeda dari penanggulangan tindak pidana pada umumnya. Upaya penanggulangan bullying dapat menggunakan kebijakan penal (hukum pidana) dan kebijakan non penal (di luar hukum pidana). Kebijakan penal digunakan ketika tindak pidana sudah terjadi dan melalui proses hukum di Pengadilan. Kebijakan penal dalam menanggulangan tindak pidana khususnya kejahatan bullying dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada seperti Pasal 170 ayat (1), (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana20, Pasal 351 sampai Pasal 355 Kitab UndangUndang Hukum Pidana21, Pasal 80 UndangUndang Nomor 23 tahun 200222. Upaya penal ini dapat dilaksanakan apabila kasus bullying yang terjadi di sekolah masuk ke dalam ranah hukum. Namun tidak semua
Pasal 170 ayat (1) merumuskan “ Barang siapa terang- terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”. Ayat (2) merumuskan “ yang bersalah diancam : ke-1 dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau kekerasan yang yang digunakan mengakibatkan lukaluka, ke-2 dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat, ke-3 dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut”. 21 Pasal 351 (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 352 (1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagaimana penganiayaan ringan, dengan pidana penjarapaling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. (2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 353 (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka- luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lam sembilan tahun. Pasal 354 (1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Pasal 355 (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 22 Pasal 80 UU No.23 Tahun 2002 merumuskan “(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
118
kasus bullying diselesaikan melalui sarana penal (hukum pidana), sanksi akademik atau proses akademik juga di gunakan s ebagai s arana untuk menanggulangi bullying ketika bullying sudah terjadi di lingkungan sekolah. Perdamaian secara kekeluargaan adalah jalan yang terbai k dal am upaya menanggulangi tindak kekerasan bullying ini sebelum sampai kepada proses hukum di Pengadilan serta pendampingan oleh guru bimbingan konseling, ustad, keluarga atau psikiater bagi korban bullying yang mengalami kekerasan psikis . Sedangkan upaya penanggulangan bullying secara non penal merupakan upaya pencegahan tindak pidana terjadi di lingkungan sekolah. Upaya pencegahan tindak pidana ini dapat dilaksanakan ketika bullying tersebut belum terjadi. Sebelum terjadinya bullying, upaya pencegahan dapat di lakukan dengan cara mensosialisasikan akibat dari bullying kepada anak didik dan hak-hak anak didik ketika bullying terjadi pada dirinya, serta upaya memberikan kesadaran kepada anak didik sebagai pelaku bullying dengan cara menanamkan kepada pemikiran anak didik bahwa bullying merupakan perbuatan tercela dan dibenci oleh semua orang. Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan secara pribadi kepada pelaku bullying. Secara ideal penanganan kasuskasus kekerasan terhadap anak didik memang memerlukan aparat penegak hukum yang memiliki integritas dan minat yang besar terhadap perkembangan anak sehingga penanganannya akan disesuaikan dengan tujuan akhir kesejahteraan anak, khususnya menumbuhkan sense of child protection. Selama ini hukum belum menempatkan korban kejahatan dalam sistem peradilan yang bertujuan untuk social welfare. Hukum baru melangkah pada batas perbuatan, pelaku, dan sanksi pidana.
Upaya penanggulangan terhadap bullying dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik guru yang berada di lingkungan sekolah, orang tua di rumah maupun LSM sebagai pemerhati sosial. Dari penelitian dan wawancara yang dilakukan dengan nara sumber maka dapat disimpulkan bahwa upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulangi bullying oleh pihak terkait setel ah bull yi ng terjadi dapat menggunakan sarana penal melalui persidangan di Pengadilan, sedangkan upaya pencegahan tindak pidana dapat menggunakan sarana non penal. Namun tidak semua bullying yang terjadi dapat diselesaikan melalui sarana penal, proses akademik atau sanksi akademik dapat digunakan dalam upaya penanggulangan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Upaya pencegahan bullying dengan cara non penal, yaitu: (1). Memberikan informasi kepada anak didik tentang bullying, upaya pengendalian emosi anak didik, (2). Pemberian layanan konseling bagi para anak didik di sekolah, (3). Adanya sosialisasi, pemberian penyuluhan tentang hukum, no rma agama, penanaman ahklak yang baik oleh pihak terkait seperti guru, ustad/pembimbing rohani, polisi, Departemen Hukum dan HAM serta LSM, (4). Menyiapkan anak didik yang bebas dari aksi bullying, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban bullying, (5). Menumbuhkan empati anak didik Sedangkan upaya penanggulangan bullying dengan cara proses akademis (1). Pendekatan secara pribadi/ individu, (2). Perdamaian antara anak didik yang terlibat bullying, (3). Menggunakan bantuan guru bimbingan konseling sebagai mediator anak didik yang terlibat bullying, (4). Melibatkan orang tua dalam proses perdamain antar anak didik yang terlibat bullying, (5). Pemberian sanksi akademis kepada pelaku bullying.
119
Menurut Ponny Retno Astuti dalam bukunya Meredam Bullying ada tiga model pencegahan bullying yang mampu mengatasi bullying, yaitu :23 (1). Model Transteori (Transtheoretical Model/ TTM) merupakan metode penyadaran bahaya bullying yang bersifat ajakan, mudah dipahami, bertahap namun relatif aman dan cepat bagi orang tua, guru atau anak didik, korban maupun pelaku. Menurut metode ini proses penyadaran bullying memerlukan perubahan perilaku dengan menggunakan unsur kognitif (daya pikir) dan emosi (perasaan). Model transteori mempunyai 5 tahap progres perubahan, yakni prakesadaran (tahap ketika individu merasa keadaan sekarang sudah positif dan tidak menyadari adanya kesenjangan dalam hubungan dengan orang lain), kesadaran (tahap saat seseorang berada dalam kondisi ingin berubah dalam waktu tertentu, namun mereka masih ragu apakah ada perimbangan antara aspek negatif dan positif dari perubahan ters ebut), persi apan (tahap saat seseorang bermaksud untuk bereaksi sesegera mungkin), tindakan/ aksi, pemeli haraan. Pro gram i ni l ebih memerlukan peran serta orang tua dalam mencegah bull yi ng. (2). J aringan Pendukung(Support Network) membantu jalannya tahapan transteori. Support network adalah program untuk melakukan upaya komunikasi pihak sekolah dan komunitasnya. Dalam upaya pencegahan bullying, support network perlu dilakukan terlebih dahulu, yakni dengan menggalang berkumpulnya seluruh komunitas sekolah untuk di satukan pemahaman dan keterlibatan mereka secara bersama mengenai bullying. Program jaringan pendukung ini lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh kelompok atau komunitas seperti 23
Ponny Retno Astuti, Op Cit, hlm 25.
120
program ekstrakulikuler di sekolah, kegiatan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). (3). Program Sahabat ini merupakan program yang dapat membantu program yang lainnya seperti program Transtheoretical Model/ TTM sebagai alat untuk mengukur atau membantu peran serta orang tua yang secara proaktif ikut menanggulangi masalah bullying di sekolah. Program Sahabat lebih menekankan pada nilai-nilai etika dan metode organisasional. Nilai-nilai etika ini meliputi kasih sayang, harmonis, kebaikan hati dan tanggung jawab siswa di s ekol ah. Sementara meto de organisasional meliputi penciptaan struktur dan fungsi organisasi, antara lain melalui jaringan pendukung (support network). Dari beberapa metode pencegahan bullying diatas penulis lebih cendrung dengan program Sahabat, karena metode ini lebih menekankan pada nilai-nilai etika dan metode organisasional. Dengan menanamkan nilai-nilai etika yang meliputi kasih sayang, keharmonisan keluarga dan lingkungan, kebaikan hati serta tanggung jawab dari s is wa ters ebut dapat menghindari perilaku bullying. Disamping itu pendekatan kepada nilai-nilai religius adalah faktor yang sangat penting dalam upaya pencegahan bullying ini. D. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan rumusan masalah dan hasil dari penelitian, maka penulis menyimpulkan bahwa : (1). Latar belakang penyebab terjadinya bullying terhadap anak didik di SMU di kota Yogyakarta disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu solidaritas antar sesama geng yang menyebabkan terjadinya perkelahian atau penganiayaan terhadap seseorang yang dianggap telah mengganggu anggota kelompoknya, emosi di kalangan remaja,
sehingga menimbulkan sikap saling mengejek antar kelompok geng, untuk mendapatkan pengakuan sosial agar merasa dihormati dan berkuasa di dalam sebuah kelompok, aktualisasi diri, senioritas, kesalahpahaman antar teman, mencari perhatian orang lain, serta pengaruh lingkungan sekitarnya. Penyebab bullying di kalangan anak didik yang dominan adalah solidaritas antar geng yang menyebabkan emosi di kalangan anak didik, ejek mengejek antar anak didik yang menimbulkan tawuran dan tindakan penganiayaan yang dilakukan kepada temannya. Namun demikian tidak jarang pengakuan sosial dari sesama teman dan adik kelas agar dihormati dan berkuasa di kalangan kelompok atau geng. Perilaku bullying yang dilakukan anak didik di sekolah dapat dilihat berdasarkan teori subkultur yang dikemukakan oleh Cohen dengan teorinya yang disebut dengan delinquent subculture dan Cloward dan Ohlin dengan teorinya differential opportunity, yang menjelaskan tentang kenakalan remaja. Jika dihubungkan dengan kasus bullying di atas maka dapat dilihat bahwa kekerasan yang terjadi di sekolah karena kenakalan-kenakalan anak didik. Cohen mengatakan bahwa tingkah laku kelompok bersifat tidak berfaedah, dengki dan jahat. Tingkah laku yang ditonjolkan oleh kelompok menimbulkan kegelisahan pada orang lain. Dari kasus dan hasil penelitian di lapangan dapat disimpulkan bahwa kegiatan- kegiatan bullying yang dilakukan anak didik adalah aktivitas yang tidak bermanfaat yang dapat meresahkan korbannya, hanya dengan pesan singkat yang bernada mengejek dan rasa solidaritas antar teman menyebabkan pelaku melakukan tindakan bullying. (2). Upaya penanggulangan terhadap bullying sama dengan penanggulangan tindak pi dana pada umumnya. U paya
penanggulangan tindak pidana secara garis besar dapat dibagi ke dalam, penanggulangan kejahatan secara penal (hukum pidana) dan penanggulangan kejahatan secara non penal (di luar hukum pidana). Penanggulangan bullying secara garis besar juga dibagi dua yaitu, secara penal dan secara non penal . Penanggulangan secara penal dilakukan setelah bullying terjadi dan masuk ke dalam proses hukum di Pengadilan sedangkan upaya non penal dilakukan apabila bullying belum terjadi. Upaya pencegahan bullying dengan cara non penal yaitu, (a) memberikan informasi kepada anak didik tentang bullying, (b) upaya pengendalian emosi anak didik, (c) pemberian layanan konseling bagi para anak didik di sekolah, (d) adanya sosialisasi, pemberian penyuluhan tentang hukum, norma agama, penanaman ahklak yang baik oleh pihak terkait seperti guru, us tad/pembimbi ng rohani, pol is i, Departemen Hukum dan HAM serta LSM, (e) menyiapkan anak didik yang bebas dari aksi bullying, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban bullying, menumbuhkan empati anak didik. Namun upaya penanggulangan bullying tidak semuanya menggunakan sarana penal (hukum pidana), proses akademis atau sanksi akademis juga digunakan untuk menanggulangi bullying yang terjadi di li ngkungan seko lah. U paya penanggulangan bullying dengan cara proses akademis yaitu, 1) pendekatan secara pribadi/individu, 2) perdamaian antara anak didik yang terlibat bullying, 3) menggunakan bantuan guru bimbingan konseling sebagai mediator anak didik yang terlibat bullying, 4) melibatkan orang tua dalam proses perdamain antar anak didik yang terlibat bullying, 5) pemberian sanksi akademis kepada pelaku bullying.
121
Berdasarkan pada hasil penelitian dan kesimpulan, maka penulis memberikan beberapa masukan sebagai saran, yaitu: (1). Pemerintah beserta jajarannya khusus nya Di nas Pendidikan Ko ta Yo gyakarta diharapkan dapat mengoptimalkan upaya-upaya preventif untuk mencegah semakin menjamurnya kasus-kasus tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah dengan cara
memberikan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya dan dampak bullying bagi anak didik terutama di Sekolah Menengah Umum. (2). Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta diharapkan memberikan penataran dan pelatihan bagi guru terutama guru Bimbingan Konseling tentang bentuk bullying, dampak bullying, dan cara menanggulangi bullying di lingkungan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Buku Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Astuti, Retno, Ponny, 2008, Meredam Bullying, PT. Grasindo, Jakarta. Huraerah, Abu, 2007, Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak), cet ke-2 Edisi Revisi, Nuansa, Bandung. Moeljatno, 2003, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta. Nawawi Arief, Barda, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ridwan A., Halim, 1986, Tindak Pidana Pendidikan Dalam Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia (Suatu Tinjauan Yuridis-Edukatif), Ghalia Indonesia, Jakarta. Sejiwa, 2008, bullying Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak, PT. Grasindo, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Weda Darma, Made, 1996, Kriminologi, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) Internet Anshori, H. Ibnu, “Kekerasan dalam Dunia Pendidikan”, www. google.com. Cfssyogya, “Mendidik Anak Tanpa Kekerasan”, www.wordpress.com. “Geng Nero Resahkan Warga Pati Jawa Tengah”, www.jawapos.co.id. Nawawi, Barda, “Coporal Punishment”, www.google.com.
122
PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau artikel yang berisi pemikiran. 2. Naskah belum pernah dikirim atau dimuat di jurnal/media massa yang lain. 3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia baku, berupa ketikan, rekaman dalam disket (MS Word), spasi ganda, tipe huruf Times New Roman, Font 12, dengan panjang antara 15 – 25 halaman format kwarto. 4. Naskah disertai abstrak (100-250 kata) dalam Bahasa Inggris dan dilengkapi dengan kata kunci (Key Words). 5. Sistematika tulisan yang berisi artikel pemikiran memuat hal-hal sebagai berikut: a. Judul, nama penulis, dan tempat penulis bekerja. b. Abstrak (Abstract) dan kata kunci (Key Words) c. Pendahuluan d. Pembahasan (terdiri dari subjudul-subjudul sesuai dengan kebutuhan) e. Penutup (kesimpulan dan saran) f. Daftar Pustaka. 5. Sistematika penulisan yang berupa hasil penelitian memuat hal-hal sebagai berikut: a. Judul, nama penulis, dan tempat penulis bekerja. b. Abstrak (Abstract) dan Kata Kunci (Key Words) c. Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, sedikit tinjauan pustaka, dan masalah/tujuan penelitian). d. Metode Penelitian e. Hasil Penelitian dan Pembahasan f. Penutup (Kesimpulan dan Saran) g. Daftar Pustaka. 6. Daftar Pustaka disusun secara alfabetis dan ditulis sebagai berikut : a. Buku : nama pengarang (tanpa gelar), tahun penerbitan, judul buku (cetak miring), nama penerbit, dan tempat penerbit. b. Karangan/artikel dalam jurnal : nama penulis artikel (tanpa gelar), tahun, judul artikel (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), nama jurnal (cetak miring), nomor penerbitan. c. Karangan dalam buku kumpulan karangan/bunga rampai : nama pengarang (tanpa gelar), tahun, judul karangan (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), editor, judul buku (cetak miring), nama dan tempat penerbitan. d. Karangan dalam seminar : nama pengarang (tanpa gelar), tahun, judul karangan (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), nama seminar (cetak miring), waktu, dan tempat seminar. e. Internet : nama pengarang (tanpa gelar), judul tulisan (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), tempat tulisan dimuat (dicetak miring), website, tanggal diakses. Contoh : a. Bagir Manan, 2004, Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta. b. Sigit Setyadi, 2004, “Kebijakan Pemberian Remisi Kepada Narapidana Di Yogyakarta”, Forum Hukum, Volume 8, No. 2.
123
c.
Muckleston, K.W., 1990, “Intregated Water Management In The United States”, dalam M. Bruce (ed), Intregated Water Management, International Experiences and Perspectives, Belhaven Press, London. d. Ginandjar Kartasasmita, 2005, “DPD Dan Penguatan Demokrasi”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Penguatan DPD Dalam Sistem Keparlemenan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, 9 Desember 2005, Bagian Hukum Tata Negara FH-UAJY bekerjasama dengan DPD-RI. e. Azhar, “Peranan Komisi Yudisial Dalam Menjaga Kekuasaan Kehakiman”, Inovasi Online – Vo. 4/XVIII/Agustus 2005 (http://io.ppi-jepang.org/article), 2 Januari 2006. 7. Kutipan menggunakan catatan kaki (footnote). 8. Pustaka yang dirujuk hendaknya dari edisi mutakhir. 9. Naskah dilampiri Curriculum Vitae penulis.
124