Kristal no.7/Oktober/1992
1
PENGUKURAN, PENGOLAHAN & ANALISA DATA EKSPERIMEN Lokakarya Metodologi Penelitian Universitas Surabaya, 7-8 Juli 1992 oleh : Sugata Pikatan Eksperimen adalah kegiatan yang tak terpisahkan dengan istilah penelitian di bidang eksakta. Kegiatan ini meliputi tiga hal sekaligus yakni : pengukuran, pengolahan dan analisa data. Ketiga hal ini terkait satu dengan lainnya demikian erat sehingga pembahasannya pun tidak dapat dipisahkan secara tegas. Sifat kemanunggalannya dapat dipahami melalui uraian-uraian dalam tulisan ini. Mengapa eksperimen penting ? Eksperimen adalah kegiatan yang mengarah pada pengujian suatu hipotesa teoritis. eksperimen adalah cara bertanya seorang ilmuwan kepada alam. Hasil eksperimen merupakan jawaban yang diberikan oleh alam yang harus ditafsirkan oleh ilmuwan sebagai dukungan atau tolakan terhadap hipotesa yang diajukannya. Oleh sebab itu agar seorang ilmuwan mendapatkan jawaban yang baik (mudah ditafsirkan) tentunya ia perlu bagaimana cara bertanya dan cara menafsirkan jawaban yang baik dan benar. Pengukuran adalah kegiatan pengumpulan data, sedangkan data sendiri adalah kumpulan jawaban yang diberikanalam. Kumpulan jawaban ini harus diolah dulu supaya dapat tampil secara terintegrasi dan ilmiah. Tampilan hasil pengolahan inilah yang kemudian perlu diinterprestasikan melalui suatu analisa. PENGUKURAN Kegiatan pengukuran memerlukan dua perangkat penting yaitu instrumen (peralatan) sebagai perangkat kerasnya dan metoda pengukuran sebagai perangkat lunaknya. Keduanya digunakan secara serempak untuk mendapatkan data yang sebaikbaiknya. Sebelum pembahasan tentang pengukuran dilanjutkan, ada baiknya kita mengetahui dulu watak-watak hasil pengulkuran (data) yang akan diperoleh. Data hasil pengukuran terhadap suatu besaran fisis tidak akan memberikan suatu nilai yang tepat. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain keterbatasan jangkauan ukur alat yang digunakan, kelemahan metoda pengukurannya, karakteristik alamiah besaran itu sendiri, dan lain-lain. Jadi data yang dapat disajikan nantinya hanyalah merupakan perkiraan terbaik tentang nilai besaran yang diukur. Hasil ukur biasanya ditampilkan dalam bentuk : (x ± s) dimana x adalah nilai perkiraan terbaiknya dan s adalah galat (error) ukurnya. Nilai ukur yang dapat diterima dengan demikian adalah antara ( x-s ) sampai dengan (x + s). Hasil pengukuran dikatakan sah hanya jika diserati dengan ketelitiannya (ditampilkan oleh galat s). Pengukuran dapat dibagi menjadi tiga jenis menurut cara kita melakukannya, yaitu : 1. Pengukuran langsung Pengukuran ini dilakukan dengan cara membandingkan langsung sesuatu yang akan diukur dengan sebuah standar yang dipakai sebagai alat ukurnya.
Kristal no.7/Oktober/1992
2
Misalnya seseorang mengukur panjang seutas tali, ia akan membandingkan panjang tali itu dengan mistar yang dimilikinya. 2. Pengukuran tidak langsung Pengukuran ini terpaksa dilakukan karena berbagai macam sebab, antara lain keterbatasan panca indera manusia sebagai sensor terhadap gejala alam yang akan diukur. Untuk melihat benda-benda mikroskop manusia perlu alat bantu yaitu mikroskop. Untuk mengukur arus listrik manusia perlu mengubah dulu gejala listrik menjadi gejala mekanik jarum amperemeter. 3. Pengukuran dengan perhitungan Pengukuran ini dilakukan berdasarkan pada hasil-hasil pengukuran yang dilakukan sebelumnya. Hasil ukurnya didapat melalui suatu perhitungan data pengukuran langsung maupun tak langsung. Volume tabung dapat diukur langsung dengan gelas ukur, dan dapat juga dihitung dari hasil ukur diameter dan tingginya. Contoh lain adalah massa jenis suatu zat cair dapat diukur dengan densimeter, dan dapat juga dihitung dengan mengukur lebih dulu massa dan volumenya. Mengingat data yang dihasilkan pengukuran ini selalu mengandung ketidakpastian sebesar s, maka semua rancangan instrumen dan metoda pengukuran dimaksudkan untuk mendapatkan nilai galat s yang sekecil-kecilnya. Seorang eksperimen yang menggunakan alat ukur dan metoda pengukuran yang tidak dirancangnya sendiri ttap mutlak harus mengetahui batasan-batasan apa saja yang dimilikinya terhadap hasil ukurnya nanti. Perangkat keras pengukuran yang berupa peralatan ukur memiliki watak-watak yang mutlak diketahui seorang eksperimenter. Watak tersebut adalah : o resolusi : tingkat kemampuan alat itu untuk membedakan ukuran terkecil. Misal mistar 30 cm-an memiliki resolusi orde mm, sedangkan sebuah mikrometer dapat memiliki resolusi yang lebih tinggi, yaitu orde 1/1000 mm. o
akurasi : tingkat kemampuan alat itu untuk memberikan hasil ukur yang mendekati nilai yang sebenarnya. Jika panjang 10,0 cm diukur oleh sebuah mistar sebagai 9,9 cm, akurasi mistar hanyalah 1 %. o
presesi : tingkat kemampuan alat itu untuk memberikan hasil ukur yang sama pada saat pengulangan pengukuran dilakukan.
Alat yang beresolusi dan berpresisi tinggi belum tentu memiliki akurasi yang tinggi pula. Idealnya di dalam sebuah eksperimen semua instrumen yang dipakai memiliki resolusi dan akurasi yang tinggi. Tingkat resolusi dan akurasi sebuah alat ukur biasanya dapat dipelajari dalam buku manualnya. Kadang-kadang tampilan alat itu sendiri sudah menunjukkan resolusinya, misalnya dilihat dari pembagian skala pada alat tersebut. Akurasinya biasanya dinyatakan dalam prosen. Jika akurasinya bersifat linier bebas, akurasi alat dinyatakan dalam % f.s. (full-scale). Jika akurasinya bersifat linier proporsional, akurasi alat cukup dinyatakan dalam % saja (berarti terhadap hasil ukurnya).
Kristal no.7/Oktober/1992
3
Metoda pengukuran ikut berperan dalam menentukan keberhasilan suatu pengukuran. Metoda ini berkaitan dengan dua komponen yang saling menunjang, yakni sistem yang diukur (sebagai obyek) dan si pengukur sendiri (sebagai subyek). Pada umumnya pengukuran dilakukan dengan cara mengganggu sistem yang diukur, akibatnya hasil ukurnya tentu meleset dari nilai yang sebenarnya akan diukur. Contoh : pengukuran suhu suatu benda mau tidak mau harus dilakukan dengan cara mengambil sedikit panas darinya untuk masukan termometer yang digunakan. Atau pengukuran arus listrik menggunakan amperemeter, mau tak mau sebagian arus yang akan diukur harus ditarik masuk ke dalam tahanan shunt-nya. Sifat obtek pengukuran bahwa ia harus diganggu ini tidak sulit untuk dikoreksi. Kesalahan yang berasal dari subyek pengukuran tentu sama sekali tidak dikehendaki dan dapat dihindari yaitu dengan melakukan pengukuran itu secara hati-hati. Contoh : kesalahan paralaks, yaitu pembacaan skala alat ukur tidak secara tegak lurus, akan memberikan data yang meleset. Atau eksperimen lupa melakukan zero-offset tentu membuat semua hasil ukur terlau besar atau terlalu kecil. Semua galat ukur yang timbul dari perangkat keras maupun perangkat lunak pengukuran dikategorikan pada satu jenis galat ukur yaitu : galat sistematis. Watak galat ini yang terpenting adalah ia dapat dihilangkan (dilkoreksi) jika penyebabnya sudah diketahui, tetapi sayangnya kehadirannya justru seringkali sulit dideteksi. Ia pandai bersembunyi. Hanya eksperimen berpengalamanlah yang seringkali dapat mencium adanya galat sistematis ini. Kadang-kadang galat sistematis suatu eksperimen baru terdeteksi setelah ada hasil eksperimen lain yang pndekatannya berbeda. Beberapa watak alat yang dapat menyebabkan timbulnya galat sistematis, dengan sendirinya mempengaruhi akurasinya, antara lain adalah : o histeresis : respons alat terhadap input yang meningkat berbeda dengan responsnya ketika inputnya menurun. Contoh: histeresis magnetik pada bahanbahan feromagnetik. o damping : misalnya akibat efek gesekan zat alir. Di sini kecepatan alir ikut menetukan respons alat itu. o drifting : disebabkan perubahan sifat-sifat bahan dalam alat itu terhadap waktu (umurnya). Contoh : pegas akan mengalami deformasi tetap jika sudah sering dipakai. Untuk minimisasi galat sistematik ini eksperimenter biasanya melakukan kalibrasi ulang terhadap semua alat ukur yang digunakannya. Apabila kalibrasi ini tidak mungkin dilaksanakan, diambil suatu kebijakan dengan menganggap galat ukurnya sekitar separo satuan terkecil yang terdapat pada alat ukur (batas resolusinya). Walaupun langkah ini riskan tetapi masih lebih baik daripada tidak mendapatkan galat ukur. PENGOLAHAN DATA Dalam kegiatan pengolahan data hasil pengukuran konsentrasi terletak pada perhitungan galat ukur s yang harus menyertai hasil ukur x. Galat ukur ternyata tidak hanya ditimbulkan oleh perangkat pengukuran sebagai galat sistematis, tetapi juga oleh dinamika besaran maupun proses pengukurannya. Kata dinamika di sini dimaksudkan
Kristal no.7/Oktober/1992
4
untuk suatu keadaan yang tidak konstan. Galat yang timbul akibat gejala ini dikategorikan dalam jenis galat rambang. Ada dua hal penyebab dinamika besaran yang diukur : 1. Fluktuasi nilai besaran terhadap waktu Terdapat banyak sekali besaran yang berubah-ubah terhadap waktu, sehingga pengukurannya tidak mungkin menghasilkan nilai tunggal. Contoh : tekanan dan suhu udara yang selalu berubah besarnya setiap saat. Bila tekanan udara merupakan salah satu besaran yang menentukan dalam eksperimen, pengukurannya harus dilakukan berulangulang, dari awal sampai akhir percobaan. Contoh lain adalah pengukuran tegngan listrik dari PLN, setiap saat besarnya berfluktuasi. 2. Formula ideal dalam perhitungan Ada besaran misalnya luasan penampang suatu benda, tidak memiliki cara pengukuran secara langsung maupun tak langsung. Luasan harus diukur melalui suatu perhitungan. Katakanlah penampang yang akan diukur adalah penampang seutas kawat yang berbentuk lingkaran, luasnya (L) dapat dihitung dengan mengukur diameter (D) kawat kemudian memasukkannya ke dalam formula : L = ¼ π D2. Permasalahannya terletak pada asumsi kita yang menganggap bentuk penampang itu sebagai lingkaran sempurna (ideal), padahal kenyataannya tentu tidak demikian karena bentuk geometri sempurna tidak pernah ada. Asumsi tetap dapat diterapkan asalkan “diameter” kawat diukur secara berulang-ulang pada arah diametral yang berbeda. Rataratanya nanti kita pakai sebagai pendekatan terbaik “diameter” yang dapat digunakan dalam formula luasan lingkaran diatas. Jadi dinamika suatu besaran yang akan diukur menghendaki pengukuran yang berulang-ulang, agar nilai yang diharapkan sekaligus dengan galat ukurnya dapat didekati semaksimal mungkin. Perhitungan rata-rata yang disinggung di atas dan juga nanti perhitungan galat ukurnya memerlukan suatu metoda untuk menghitungnya. Untuk tujuan perhitungan semacam ini perangkat metodanya sudah tersedia yaitu metoda statistika, sehingga galat yang timbul dari dinamika besaran disebut juga galat statistik. Perhitungan nilai rata-rata dari data pengukuran amat jelas, yaitu : N
x = (1 / Ν) ∑ x i i=l
(1)
Penjumlahan dilakukan dari data pertama (i = 1) sampai data terakhir (i = N), dengan N adalah cacah seluruh data. Untuk selanjutnya tanda sumasi ∑ menunjukkan penjumlahan dengan i = 1 sampai dengan N. Berbeda dengan perhitungan nilai rata-rata, perhitungan galat rambang suatu pengukuran ternyata tidak sederhana. Pertama, kita harus tahu dulu watak besaran yang diukur. Kemudian kita asumsikan tidak ada lagi galat sistematis, artinya semua galat sistematis diasumsikan sudah terkoreksi. Asumsi ini tentu saja tidak selalu benar, tetapi dengan metoda ujian statistik nantinya asumsi ini dapat kita uji kebenarannya.
Kristal no.7/Oktober/1992
5
Ada dua jenis besaran yang perhitungan ralat rambangnya berbeda perlakuan statistiknya. Kesamaan hanya terletak pada watak dinamikanya yang bersifat acak. kedua jenis itu adalah : a. besaran yang diukur dengan pencacahan Contoh : deteksi radioaktivitas dilakukan dengan cara mencacah peluruhan yang terjadi, misalnya dengan pencacah Geiger-Muller. Contoh lain adalah pencacahan cacah molekul gas, cacah bintang dalam galaksi, dan lain-lain. Galat rambang yang timbul dari proses pencacahan ini kebolehjadiannya mengikuti distribusi Poisson, sehingga galat ukurnya adalah : Ν dan hasil ukurnya menjadi : Ν ± Ν. Ν adalah rata-rata pencacahan dalam beberapa selang waktu. b. besaran yang diukur nilainya Semua besaran yang tidak diukur melalui pencacahan termasuk golongan ini. Galat rambang yang timbul dari pengukurannya memiliki kebolehjadian yang mengikuti distribusi Gauss (normal). Jadi nilai terbaik pengukuran adalah rata-rata semua data yang diambil x, sedangkan galat ukur nilai terbaiknya adalah :
sx =
Σ (xi − Χ)2 N ( N − 1)
Dari persamaan (2) ini tampak bahwa semakin banyak data pengukuran berarti semakin kecil galatnya. Tetapi ini tidak berarti kita dapat menghilangkannya sama sekali. Kadang-kadang pengukuran suatu besaran hanya dilakukan sekali saja, hal ini disebabkan antara lain oleh terbatasnya resolusi alat ukurnya. Contohnya adalah pengukuran panjang seutas kawat logam, pengukuran dengan menggunakan mistar biasa menghambat eksperimen mengetahui batas potongan pada ujung kawat ini secara mikroskopik tentu tidak rata, tetapi mistar biasa tidak dapat “melihat”nya. Akibatnya, pengulangan pengukurannya akan sia-sia saja, sehingga pengukuran cukup dilakukan sekali. Tentu saja galat ukurnya tidak dapat dihitung dari persamaan (2), galat ukurnya diasumsikan didominasi oleh galat sistematis, misalnya untuk mistar biasa dapat diambil 0,5 mm, yaitu separo satuan terkecilnya. Khusus untuk pengukuran dengan perhitungan, galat yang timbul erupakan perpaduan dari galat-galat ukur besaran-besaran lain yang dipakai untuk menghitungnya. Contoh : pengukuran keliling dan luas sebuah meja berbentuk empat persegi panjang dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar meja lebih dulu, misalnya : ( p ± s p ) dan ( l ± s l ) Galat s p dan s l akan berperanan dalam menentukan galat yang dimiliki keliling meja atau luas meja. Proses galat ukur mempengaruhi galat hitung disebut perambatan galat. Sekarang akan dihitung berapa hasil hitung untuk keliling dan luas meja itu. Keliling meja mewakili operasi penjumlahan dua besaran, sedangkan luas meja mewakili operasi perkalian dua besaran. Keliling meja : K = 2 ( p + l ) ± 2 ( s p + s ) 1
Kristal no.7/Oktober/1992
sehingga
6
= Κ±sΚ s Κ = 2( s p + s ) l
Tampak bahwa operasi penjumlahan akan menyebabkan galat semua suku penjumlahannya saling bergabung membentuk galat hasil julahnya. Secara umum, jika Y = Σ Zi, Y dan Z adalah besaran-besaran berdimensi sama, maka galat-galatnya memiliki hubungan : sY = Σ sZi (3) Luas meja : L = ( p. l ) ± ( p . s l + l . s p + s p + s p . s l ) Hasil kali s p . s l tentu merupakan bilangan yang sangat kecil sehingga dapat diabaikan terhadap dua suku di depannya. sL = p. s l + l . s p s L / ( p. l ) = s l / l + s p / p SL = Sl + S p Agar tampak lebih kompak, untuk operasi perkalian galat s dapat digantikan oleh galat fraksional S, yaitu galat s dibagi dengan nilai ukurnya sendiri. Secara umum, jika Y = Π Zi maka galat fraksionalnya akan memiliki hubungan : sY = Σ SZi (4) Persamaan (3) dan (4) sebenarnya mengandung asumsi bahwa galat setiap komponen pengukurannya saling menunjang satu sama lain. Artinya jika sebuah komponen memiliki galat positif (hasil ukur terlalu besar), maka galat komponen yang lain juga positif. Peristiwa semacam ini sangant tak terbolehjadi, kecuali semua galat tersebut memiliki dependensi satu sama lain melalui suatu fenomena lain. Jadi persamaan (3) dan (4) tetap boleh dipakai apabila galat-galatnya saling gayut. Kegayutan galat disebabkan antara lain oleh penggunaan alat ukur yang sama, contohnya pada pengukuran panjang dan lebar meja di atas, sp dan s1 saling gayut jika pengukurannya dilakukan dengan mistar yang sama. Bagaimana sekarang jika galat komponennya tidak saling gayut, katakanlah karena menggunakanalat ukur yang berbeda. Untuk memahami kebolehjadian nilai galat dapat dipakai pengertian vektor. Vektor galat dapat digambarkan sebagai panah ke kanan +s dan panah ke kiri -s. Timbulnya galat ukur bersifat acak, sehingga kebolehjadian untuk bernilai + s dan -s sama besar. Maka jika ada dua galat s1 dan s2 saling menjumlah, orientasi s2 terhadap s1 yang paling baik untuk menggambarkan sifat acaknya itu adalah saling tegak lurus, yaitu arah netral sehingga tidak mendukung maupun menentang galat yang lain.
Kristal no.7/Oktober/1992
7
Gambar 1. Orientasi galat saling bebas Dari gambar 1 di atas jelaslah bahwa nilai s dapat dihitung melalui persamaan Pytagoras : s2 = (s12 + s22) Penggunaan cara di atas dapat diperluas jika galat komponennya lebih dari dua buah. Demikian pula jika operasi antar komponen besarannya merupakan perkalian, semua S digantikan oleh S. Persamaan (3) dan (4) digantikan oleh dua persamaan berikut jika galat-galatnya saling bebas yaitu : sY2 = Σ sZi2 (5) 2 2 sY = Σ SZi (6) Kadang-kadang perhitungan melibatkan fungsi transendental seperti logaritma, eksponensial atau fungsi-fungsi trigonometrik dan hiperbolik, misalnya Y = f(x1,x2,x3,..) maka perhitungan galatnya adalah : sY = Σ [(∂f /∂Xi).sxi] , galat saling gayut (7) sY2 = Σ [(∂f / ∂Χi).sxi]2 , galat saling bebas
(8)
Persamaan (7) dan (8) adalah persamaan umum untuk galat, yaitu yang dapat diturunkan menjadi persamaan (3), (4), (5) dan (6). Hanya karena jarang dipakai, empat persamaan yang pertama lebih dominan untuk diingat. Contoh kasus : Seorang eksperimenter akan mengukur volume sehelai kertas. Alat yang akan digunakan adalah jangka sorong untuk mengukur panjang (p) dan lebarnya (l), dan mikrometer untuk mengukur tebalnya (t). Volume kertas : V = p.l.t. Galat ukurnya : SV2 = (Sp + S1)2 + St2 Perhatikan bahwa galat Sp dan S1 saling gayut karena pengukurannya menggunakan mistar yang sama. Sedangkan galat St berdiri bebas karena pengukurannya menggunakan mikrometer.
Kristal no.7/Oktober/1992
8
Pengukuran panjang, lebar dan tebal kertas dilakukan berulangkali di berbagai tempat pada kertas, hal ini disebabkan oleh pemakaian formula V = p.l.t, yakni volume balok sempurna. Padahal ukuran kertas bagaimanapun tentu tidak ideal. Seringkali eksperimen dilakukan dengan variasi salah satu besaran yang lain terhadap variasi tersebut. Besaran yang divariasi disebut sebagai variabel bebas, sedangkan besaran yang merupakan respons disebut variabel respons. Ini penting untuk memeriksa watak kesebandingan dua besaran tersebut. Untuk maksud ini pengukuran harus dilakukan pada berbagai kondisi, dan menghasilkan beberapa set hasil ukur. Setiap set data berasal dari satu kondisi eksperimen (satu harga variabel bebas). Ambil contoh pengukuran tebal kertas yang begitu tipisnya sehingga berada di luar jangkauan alat ukur yang ada. Bila terdapat banyak lembaran kertas sejenis itu, metoda pengukurannya dapat diatur cara tak langsung , yaitu pengukuran dilakukan terhadap tebal 20, 50, atau 100 lembar kertas. pengukuran tebal 20 lembar kertas memberikan satu set data, demikian juga pengukuran terhadap 50 atau 100 lembar. Setiap set memberikan nilai terbaik untuk tebal kertas sehelainya : (t i ± s ti ). Lalu dari tiga set data di atas berapa hasil pengukuran terhadap tebal kertas tiap lembarnya ? Oleh karena tiap set data diambil dengan kondisi pengukuran yang berbeda, kita tidak boleh merata-rata tiga nilai rata-rata itu begitu saja. Dalam teori statistik dikatakan ketiga set data itu berasal dari populasi parental yang berbeda. Cara menghitung nilai terbaik beserta galatnya dari ketiga set data itu dengan pembobotan pada setiap nilai rataratanya. Bobotnya dapat diambil dari kebalikan kuadrat galat rambang rata-rata setiap set data : t = Σ ( t i / s ti2 ) / Σ ( 1 / s ti2 ) (9) 1 / s 2t = Σ ( 1 / s ti2 )
(10)
Persamaan (9) dan (10) sah digunakan bila ( t i
±S
ti ) saling kompatibel, artinya tidak saling menyangkal satu sama lain. Bila penyangkalan terjadi di antara ketiga set data itu pastilah terdapat galat sistematis, bukan galat rambang lagi. Misalnya saja ada kesalahan perhitungan cacah kertas pada salah satu set pengukuran, atau ada kertas-kertas tak sejenis yang ikut diukur. Cara lain untuk memperlakukan beberapa set data seperti ini akan dibahas dalam analisa data di bawah, karena menyangkut pengkajian tentang hubungan kesebandingan antara variabel bebas dan variabel responsnya. Sebagai catatan tambahan, pengukuran yang memiliki galat sistematis kecil dikatakan sebagai pengukuran yang teliti (akurat), sedangkan pengukuran dengan galat rambang kecil dikatakan sebagai pengukuran yang tepat (presisi tinggi). Jadi pengukuran yang tepat (dilakukan dengan baik) belum tentu teliti (dekat dengan nilai sebenarnya). ANALISA DATA Terdapat dua tugas pokok dalam analisa data pengukuran, yaitu mencari ketergantungan (korelasi) antara dua besaran fisis yang terkait dengan hipotesanya, dan mengevaluasi normalitas distribusi kebolehjadian data yang diambil. 1. Korelasi dan regresi linier
Kristal no.7/Oktober/1992
9
Kita mulai dari pencarian ketergantungan (fungsi) antar besaran pengukuran. Analisa yang paling berguna adalah regresi linier, karena linieritas merupakan hubungan yang paling sederhana antara dua besaran dan dapat dengan mudah dilihat dari grafiknya. Fungsi-fungsi yang tidak linier dapat pula didekati dengan fungsi linier. Tiap set pengukuran akan menghasilkan satu data (x,y) yang digambarkan sebagai sebuah titik pada grafiknya, sumbu y dimiliki oleh variabel respons dan sumbu x adalah variabel bebasnya.
Gambar 2. Regresi linier Garis lurus terbaik yang dapat ditarik berbentuk : y = A + Bx Untuk menghitung A dan B digunakan azas kuadrat terkecil, yaitu simpangan hasil pengukuran yi terhadap nilai prediksi garis tersebut harus sekecil-kecilnya. Asumsi yang diberlakukan di sini sementara adalah variabel x bebas dari galat ukur dan variabel respons y adalah besaran yang diukur langsung/tak langsung, bukan hasil perhitungan. Hasilnya adalah : ∑ x i 2 ∑ yi − ∑ x i ∑ ( x i y i ) Α= (11) Ν∑ xi 2 − ( ∑ x i )2 Β=
Ν∑ ( x i y i ) − ∑ x i y i Ν∑ x i 2 − ( ∑ x i ) 2
(12 )
Masing-masing memiliki galat sebesar :
SΑ
SΒ
=
=
∑ Χ2i ∑ ( yi − A − BΧ i )2 ( Ν−2 ) [ Ν ∑ X2 − ( ∑ Xi )2 ] i Ν ∑ ( yi − Α − ΒΧi )2 ( Ν − 2 ) [ Ν ∑ Χ 2 − ( ∑ Χ i )2 ]
(13)
(14)
i
Bagaimana kita dapat yakin bahwa hubungan linier ini betul-betul ada ? Untuk meyakinkan adanya linier ini dihitunglah koefisien korelasi antar x dan y :
Kristal no.7/Oktober/1992
rxy
=
10
∑ xi ∑ yi ]2 2 2 [ N ∑ x 2 − ( ∑ x i )2 ] [ N ∑ y − ( ∑ y i ) ] i i [ N ∑ xi yi −
(15)
Nilai rxy ada di antara 0 dan 1, nilai 0 berarti mutlak tidak ada ketergantungan antara x dan y, sedangkan nilai 1 berarti terdapat linieritas sempurna antara x dan y. Tingkat keyakinannya dapat dilihat pada tabel koefisien korelasi misalnya yang ada dalam Young (2).
Seandainya baik x maupun y tidak ada yang bebas galat, azas kuadrat terkecil harus diberlakukan di kedua sumbu, artinya selain persamaan y = A + Bx harus ditinjau pula persamaan x = A' + B'y (dengan asumsi y yang bebas galat). Jadi terdapat dua buah garis lurus yang menjadi pendekatan terbaiknya, yang kemudian harus diwakili oleh sebuah garis saja dengan menarik sebuah garis yang bebeda di antara kedua garis tersebut. Garis terbaik itu dapat saja berada di tengah-tengah y = A + Bx dan x = A' + B'y, jika memang galat fraksional di x dan y setingkat (memiliki orde yang sama). Jika tidak, maka harus dilakukan pembobotan terlebih dahulu sesuai dengan tingkatan galat masing-masing. Seringkali dalam merumuskan suatu persamaan fisis kita memberlakukan berbagai asumsi sehingga sah saja melakukan pengabaian-pengabaian. Hal ini nanti akan tampak pada grafik yang dihasilkan. Linieritas hukum Ohm misalnya akan terbukti meleset jika jangkauan beda potensial listriknya amat besar. Kalau hal ini terjadi maka analisa datanya masih dapat dilakukan brdasarkan pembatasan jangkauan yang memungkinkan diberlakukannya watak linieritas. Atau jika ingin lebih lengkap dan eksak untuk seluruh jangkauan eksperimen, dapat digunakan regresi dengan orde yang lebih tinggi. Jika hubungan antara x dan y tidak linier, data pengukurannya masih dapat dianalisa dengan regresi linier setelah bentuk persamaannya dimodifikasi sekaligus dengan redefinisi variabel respons dan atau variabel bebasnya. Analisa ini dengan sendirinya mengatakan bahwa variabel responsnya diperoleh melalui perhitungan, sehingga untuk keperluan ini persamaan-persamaan (11) sampai dengan (14) perlu dimodifikasi juga. Modifikasi dilakukan dengan menyisipkan pembobotan (wi) pada data yang dipakai dalam perhitungan. Berikut ini adalah hasil modifikasi tersebut : ∑ w i x i 2 ∑ wi yi − ∑ w i xi ( ∑ w i x i y i ) Α= ∑ w i ∑ wi xi2 − ( ∑ wi xi ) 2 Β=
∑ w i ( ∑ w i x i y i ) − ∑ w i x i ∑ w i yi
dan galatnya ;
∑ w i ∑ w i xi2 − ( ∑ w ixi )
2
(16)
(17)
Kristal no.7/Oktober/1992
SΑ
=
SΒ
=
∑ wi xi2 ∑ w i ∑ wi xi2 − ( ∑ wi xi ) 2 ∑ wi 2 ∑ w i ∑ w i x 2i − ( ∑ w i x i )
11
(18)
(19)
Bobot wi dapat didekati dengan persamaan berikut : wi = [ df (yi) / dy]-2. Si-2
(20)
f(yi) adalah fungsi modifikasinya, sedangkan Si adalah galat yang dimiliki data yi Modifikasi dengan pembobotan ini juga berlaku apabila pengambilan data dilakukan dengan alat-alat ukur yang berbeda resolusinya. Juga untuk analisa dengan yi yang merupakan hasil ukur melalui perhitungan. Untuk kedua kasus ini persamaan (20) tentu saja berubah menjadi : wi = Si-2 (21) 2 2. Kajian Chi square (χ χ) Untuk menguji apakah distribusi kebolehjadian seluruh data yang diambil sesuai dengan asumsi bahwa distribusinya bersifat normal (mengikuti distribusi Gauss), digunakan kajian Chi-square. Kajian ini berguna sekali untuk mendeteksi adanya galat sistematis yang belum terkoreksi sehingga mengakibatkan penyimpangan pada distribusi normalnya. Tentu saja untuk menghilangkan galat sistematis ini butuh penelitian lagi dengan perbaikan-perbaikan agar penyebab galat tersebut dapat diketahui. Penyimpangan normalitas distribusi juga dapat disebabkan karena adanya kelompok-kelompok data yang memiliki latar belakang pengukuran yang berbeda, hal ini dapat diatasi dengan memberikan pembobotan pada datanya. Jadi secara garis besar kajian ini berguna untuk menilai sah tidaknya perlakuan kita terhadap data di dalam pengolahannya dan bagus tidaknya fitting data melalui analisa regresi di atas. Definisi χν2 tereduksi pada regresi linier : 1 ∑[ w i ( y − Α − Βx ) 2 ] (22) χ v2 = i i N−2 N adalah cacah data, sedangkan ν = N-2 adalah derajat kebebasan setelah melakukan fitting data ke dua buah parameter A dan B. Fitting akan semakin bagus jika χv2 mendekati angka 1 (<1,5), distribusi kebolehjadiannya biasanya dapat dilihat pada tabel-tabel statistik, misalnya dalam Bevington(3). Kebolehjadian χv2 yang lebih besar daripada 0,5 menunjukkan kesahihan fitting yang dilakukan, yakni tidak menyalahkan asumsi normalitas distribusi kebolehjadian ketidakpastian data pengukuran. Bila ternyata kebolehjadiannya kecil sekali maka seorang eksperimen harus segera tanggap bahwa kemungkinan besar dia sedang berhadapan dengan galat sistematis yang belum dideteksinya.
Kristal no.7/Oktober/1992
12
KESIMPULAN Pengukuran, pengolahan serta analisa data dengan demikian merupakan serangkaian kegiatan yang utuh. Data yang disodorkan tanpa pengetahuan tentang "sejarah" data itu, misalnya bagaimana alat ukurnya bekerja, tidak akan mampu berbicara banyak. Seperti yang dijelaskan di depan, cara perlakuan terhadap data pengukuran tergantung juga pada "sejarah" data itu. Oleh sebab itu seorang eksperimen harus dapat melakukan serangkaian kegiatan itu sendiri, kecuali sejak awal dia sudah bekerja sama dengan orang-orang yang nantinya hanya bertugas mengolah datanya berdasarkan "sejarah" data tersebut. RUJUKAN : 1. Rabinowicz, Ernest : An Introduction to Experimentation, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 1970 2. Young, Hugh D. : Statistical Treatment of Experimental Data, McGraw-Hill Book Company, Inc., 1962 3. Bevington, Philip R. : Data Reduction and Error Analysis for the Physical Science, McGraw-Hill, Inc., 1969 4. Sterrenburg, W.A. : Data Fitting, Lab. Fisika Dasar Universitas Gadjah Mada, 1987