Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
PENGUKURAN KEBISINGAN BANGUNAN GEREJA TERBUKA STUDI KASUS: GEREJA PUH SARANG - KEDIRI Maria Suzanna G. Poetiray*1, Sri Nastiti N. Ekasiwi2, Dhany Arifianto3 1 Postgraduate Programme, Departement of Architecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia 2 Departement of Architecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia 3 Departement of Physics Engineering, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia * Email:
[email protected] Abstrak Bangunan gereja sebagai tempat ibadah memiliki kebutuhan utama terhadap akustik ruang. Gereja Puh Sarang sebagai bangunan tropis konsevatif memiliki masalah kualitas akustik yaitu kebisingan yang diakibatkan oleh kebutuhan bangunan terhadap penghawaan alami. Kebisingan terjadi akibat perambatan udara yang masuk kedalam bangunan melalui celah atau lubang sebesar 50% dari keseluruhan luas dinding bangunan yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Metode pengukuran bising akustik pada lapangan merupakan interpretasi performa akustik didalam ruangan. Pengukuran kebisingan dilakukan untuk melakukan analisa kualitas akustik ruang terhadap kebisingan. Kebisingan dipengaruhi oleh nilai dari tingkat tekanan bunyi (SPL) pada frekuensi 63 Hz-8000 Hz. pada bangunan ibadah perlu akustik yang baik untuk mendapatkan suasana khidmat. Kondisi ini akan diperoleh oleh SPL dari kebisingan kriteria (NC) pada NC-20 NC-30 (nilai tengah diambil di NC-25 untuk yang terbaik).Nilai NC yang dihasilkan didalam ruang berada pada NC-57 dan nilai NC di luar bangunan berada pada NC-49. Gangguan bising dirasakan oleh jemaat berasal dari aktifitas diluar bangunan. Bertolak belakang dengan hasil pengukuran yang menunjukan bahwa kebisingan didalam lebih besar dari kebisingan di luar bangunan. NIlai SPL ini akan berpengaruh dalam menentukan konfigurasi isolasi bangunan. Hasil akhir berupa analisa dapat digunakan untuk menentukan strategi konfigurasi insulasi yang tepat untuk bangunan yang memiliki fungsi dan jenis yang sama. Kata kunci: Pengukuran Kebisingan Bangunan Gereja, Puh Sarang, Penghawaan Alami. 1.
Pendahuluan Bangunan tropis dengan ventilasi alami sebagai cirinya merupakan isu terkini dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang bertujuan untuk penghematan energi. Peranan Akustik pada pembangunan Berkelanjutan memerlukan pertimbangan tentang peranan suara di dalam bangunan, yang juga harus memperhatikan kondisi lingkungan sekitar bangunan. Gereja Puh Sarang sebagai bangunan tropis yang dilestarikan, memiliki dimensi lubang sebesar 50% luasan bangunan dengan ketinggian dinding berukuran setengah tinggi bangunan. Sedangkan menurut Mediastika (2005) apabila bangunan tidak memiliki bidang batas maka bunyi akan terdefraksi ke luar bangunan. Beberapa penelitian sebelumya, salah satunya oleh field (2008) adalah mengenai pengontrolan peningkatan kebisingan terhadap bangunan perkantoran. Kebisingan bersifat subjektif. Pada perkembangannya, kebisingan utama berasal dari kebisingan jalan raya atau lingkungan. Nilai Kebisingan dipengaruhi oleh nilai Tingkat Tekanan Bunyi /Sound Pressure Level (SPL) pada frekwensi 63 Hz – 8000 Hz. Pada bangunan ibadah butuh akustik yang baik untuk mendapatkan suasana yang khusyuk (Steemers, 2004) Suasana khusyuk didapatkan dengan memenuhi nilai SPL yang berada pada nilai NC- 20 s/d NC 30 (diambil nilai tengah pada NC- 25). Guna memenuhi nilai NC-25 yang diinginkan maka, perlu dilakukan penelitian awal dengan metode pengukuran awal lapangan dengan menggunakan Sound Level Meter (SLM) dan 265
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
perhitungan secara analitis. Metode pengukuran awal ini dilakukan dengan cara dan perbedaan waktu pengukuran. Pengukuran di dalam dan di luar bangunan yang dilakukan selama 24 jam pada waktu sibuk (Sabtu-Minggu), Nilai dari SPL ini dapat dijadikan acuan dalam menentukan konfigurasi insulasi bangunan. Oleh sebab itu, perlu diketahui pengaruh kondisi bangunan gereja terhadap gangguan bising yang dirasakan oleh pengguna bangunan. 2. Isu 2.1 Isu Umum Pada daerah tropis, mengikuti perkembangan jaman penggunaan energy cukup banyak dilakukan dalam proses pendinginan temperatur ruangan dengan penyejuk udara modern (AC). Pendinginan temperatur ruangan dengan penyejuk modern ini disebabkan oleh kondisi bangunan yang menutup semua bukaan, yang awalnya sebagai sarana pertukaran udara atau ventilasi juga sebagai salah satu ciri bangunan tropis dalam fumgsinya beradaptasi dengan iklim. Menutup celah atau bukaan ventilasi memiliki tujuan dalam mengurangi kebisingan dari luar ruangan. Dengan adanya tingkat kebisingan yang semakin meningkat dan kebutuhan akan sistem penghawaan alami dalam mengurangi konsumsi energi, maka diperlukan strategi untuk menghilangkan kebisingan dan tetap menggunakan penghawaan sealami mungkin. 2.2 Isu Spesifik Bangunan dengan kualitas akustik tanpa gangguan merupakan bangunan tertutup rapat tanpa adanya lubang. Bangunan Gereja sangat membutuhkan kualitas akustik yang baik agar mendapatkan suasana yang khusyuk. Sebagai bangunan konsevatif Gereja Puh Sarang merupakan salah satu bentuk arditektur tropis yang menonjolkan sistem penghawaan alami. Gereja Puh Sarang sebagai area wisata religi memiliki aktifitas selain beribadah. Pada area sekitar bangunan kegiatan lain dilakukan oleh pengunjung yang tidak mengikuti proses ibadah seperti anak-anak kecil yang bermain dan berteriak, pengunjung yang hanya bermaksud melihat area sekitar gereja, selain itu adanya aktifitas jalan raya sekitar komplek wisata religi. Aktifitas diluar bangunan menyebabkan ganguan kebisingan yang mengakibatkan ketidak khusyukan dalam beribadah. Gereja Puh Sarang dipilih sebagai studi kasus agar hasil temuan dapat diadopsi oleh bangunan gereja lainnya pada daerah tropis dengan permasalahan yang sama. 3.
Objek Pengukuran diambil dengan mengambil Studi Kasus Gereja Puh Sarang, Kediri- Jawa Timur. Puh Sarang merupakan komplek permukiman , barat daya dari kota Kediri. Lokasi bangunan berada pada kompleks ziarah religi. Dengan kondisi tingkat kegiatan tertinggi pada waktu akhir pekan dan ketika peribadatan hari Minggu. Bangunan berada dekat dengan jalan raya dan lahan parkir. Gereja Puh Sarang merupakan bangunan semi terbuka dengan luasan bangunan 11.7 m x 11.7 m = 136,89 m2 dan memiliki volume ruang sebesar 740, 66 m3. Bukaan yang digunakan sebagai ventilasi memiliki ukuran luas sebesar 3,7 m x 1,2 m = 4,5 m2 pada dinding kiri dan kanan bangunan yang berukuran 3,7 m x 2,7 m. Adapun bukaan lain yang menjadi sarana penghawaan alami adalah area pintu masuk. Hanya saja, pengukuran dilakukaan pada area yang langsung tegak lurus menghadap sumber bising. Terdapat teras yang memisahkan antara bangunan dengan jalan raya, yang juga merupakan area pengukuran. Pengukuran kebisingan dilakukan untuk melakukan analisa tentang kualitas akustik ruang terhadap kebisingan.
266
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Kompek religi Puh Sarang Gereja Puh Sarang
Gambar 1. Site Plan Gambar 1. Merupakan gambaran tentang kondisi permukiman Puh Sarang yang masih asri dengan alam (hutan dan sungai). Jalan raya pada area Puh Sarang ini memiliki kelas Jalan lokal, dimana menurut Mediastika (2005) berdasarkan UU no. 13/1980 dan PP no 26/1985, lokasi ini digunakan untuk melayani angkutan umum dengan ciri perjalanan dekat, kecepatan rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Adapun jenis kendaraan yang melewati jalan raya ini adalah kendaraan besar (bus), Kendaraan roda empat, dan motor (2 tak dan 4 tak). Semakin besar kapasitas dari angkutan maka, kebisingan yang dirimbulkan juga akan semakin besar. Motor dengan mesin laju 2 tak memiliki tingkat kebisingan yang lebih besar dari pada motor dengan mesin laju 4 tak.
Gambar 2. Denah letak Gereja Puh Sarang Gambar 2. menjelaskan tapak dari kompleks religi Puh Sarang. Gereja Puh Sarang berada lebih dekat dengan jalan raya utama seperti yang dapat ditunjukkan pada Gambar 3. Bangunan Gereja berbatasan langsung dengan Plaza, Gang lalu lalang, pemakaman, dan jalan raya. Adapun kegiatan yang dilakukan sekitar bangunan gereja adalah berbincang, bermain, berjualan dan lain sebagainya. Pada area A dan J merupakan area dimana ibadah berlangsung. Pada area E dan J aktifitas yang dilakukan sebagai area lalu lalang menuju ke area G dan H, hanya saja pada area I lebih sering digunakan oleh anak-anak kecil yang tidak mengikuti ibadah untuk bermain.
267
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
L B A
K
J
B
B
A
A
F
E
C
B
B
GA
A
B A
A
I
D
B
H
B
B
A
B
A
B
A
A
A
C B
Legend: A. B. C. D. E. F.
A
Existing Security Street Plaza Alley Guest House (Wisma Hening)
G. Gua Maria (Prayer room) H. Gua Kubur Terbuka (Prayer room) I. Terrace J. Banyan Tree K. Gamelan Room L .Cemetery
Gambar 3. Lay out
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Menunjukan tentang fisik bangunan Gereja Puh Sarang yang memiliki lubang ventilasi berukuran 3,7 x 1,2 m pada dinding bangunan berukuran 3,7 x 2,7 m. (a) Lubang ventilasi alami sebelah kanan bangunan gereja, (b) Lubang ventilasi alami sebelah kiri bangunan gereja, (c) Lubang ventilasi sebgaia area pintu masuk kedalam gereja. Adapun Material yang digunakan merupakan bahan yang diambil dari alam sekitar bangunan. Material pada elemen bangunan berupa terrazo yang tertutup oleh karpet pada lantai, batu kali dan batu bata pada bagian dinding, dan yang terakhir adalah genting dari tanah liat tanpa plafon pada atap. 268
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
4.
Metode/Methods Pengukuran kebisingan dilakukan dengan dua cara yaitu pengukuran secara obyektif dan subyektif. Pengukuran obyektif mengukur kondisi fisik bangunan dan juga aktifitas yang berlaku. Pengukuran subyektif dilakukan untuk mengetahui persepsi pengguna bangunan dengan pemberian kuesioner. Strategi dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pengguna bangunan tentang tingkat kenyamanan akustik. 4.1 Pengukuran obyektif Pengukuran obyektif terhadap aktifitas yang terjadi pada bangunan dilakukan pada pada dua tempat berbeda guna mendapatkan nilai SPL (Sound Pressure Level). Nilai SPL diperlukan untuk mendapatkan nilai Leq (Kebisingan Ekuivalen) yang dilakukan dengan menggunakan SLM (Sound Level Meter). ). Proses pengukuran dilakukan pada 2 area yang berbeda yaitu di dalam dan di luar bangunan. Pengambilan data SPL dilakukan secara umum berdasarkan standar yang dikeluarkan oleh bakumutu: kepmenlh no 46/ th.96 yang juga disarankan oleh Mediastika (2005) yakni, Alat berada pada ketinggian 1,5 meter. Begitu juga dengan peletakan titik ukur yang berada pada jarak 1 m dari bidang pantul, Hal tersebut dikarenakan untuk menghindari pemantulan terhadap fasad. Pada bagian dalam ruangan alat diletakkan menghadap atau tegak lurus dengan bukaan (lubang). Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari bidang fasad merespon kebisingan dari luar. Menurut Smith (1995) tindakan ini merupakan pengukuran yang terlemah. 4.1.1 Di dalam Nilai SPL (Sound Presure Level) atau TTB (Tingkat Tekanan Bunyi). Nilai SPL ini didapat dari lapangan dengan cara merekam dari SLM (Sound Level Meter). SPL yang diambil perekamannya berdasarkan frekwensi 63 Hz- 8000 Hz. Pengambilan data ini dilakukan di dalam bangunan. Data yang diambil dilakukan secara continue (per-detik) selama kurun waktu 2 jam atau 7200 detik perekaman data. Hal ini bertujuan untuk mengetahui nilai nois atau bising yang masuk kedalam ruang selama kegiatan ibadah berlangsung.
. (a)
(b)
Gambar 5. Pengukuran di dalam bangunan (a) titik merah adalah posisi alat/peralatan tata letak, (b) sebenarnya posisi di tempat 4.1.2 Di luar Dengan cara yang sama sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh bakumutu: kepmenlh no 46/ th.96 yang juga disarankan oleh Mediastika (2005). Pengambilan data dengan pengukuran dilakukan dengan perbedaan waktu rekam yang berbeda dengan pengukuran di dalam bangunan. Untuk pengambilan di luar bangunan dilakukan selama 1x 24 jam (mulai pukul 6.00 pagi s/d pukul 6.00 pagi keesokannya). Pengambilan data SPL dilakukan berdasarkan standar yang dikeluarkan oleh bakumutu: kepmenlh no 46/ th.96. dimana didalamnya menjelaskan bahwa proses pengambilan data kebisingan dapat dilakukan dengan cara tersebut ( 1x 24 jam) atau dengan cara memberikan perwakilan waktu tertentu selama 24 jam. Apabila menggunakan waktu perwakilan maka, data direkam selama 10-15 menit. Hal ini dapat dilakukan untuk mempersingkat data yang seharusnya dilakukan secara continue (tiap detik).
269
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
. (a)
(b)
Gambar 6. Pengukuran di luar bangunan (a) titik merah adalah posisi alat/peralatan tata letak, (b) sebenarnya posisi di tempat (di depan dinding Teras). 4.2 Pengukuran Subyektif Hasil kuesioner dilakukan guna melakukan komparasi antara analisa oleh peneliti dan kondisi asli yang dialami dan dirasakan oleh pengguna, sehingga penentuan solusi dan validasi terhadap permasalahan dapat dilakukan pada tahap selanjutnya. Adapun isi dari kuesioner mencakup tingkat sikap toleransi, kualitas performa akustik, kebisingan dan jenis kebisingannya. Pertanyaan dalam kuesioner memilki 3 variabel. Antara lain: 1. Sikap Toleransi Intensitas kehadiran, berkaitan dengan adaptasi terhadap kondisi lingkungan sekitar. Semakin sering atau lama subyek berada dalam kondisi tertentu, maka subyek akan beradaptasi dengan kondisi lingkungan tersebut. Usia, berkaitan dengan keadaan atau kondisi presbyacuis atau dikenal dengan menurunnya kemampuan mendengar secara bertahap yang diakibatkan oleh faktor usia. 2. Performa akustik Posisi duduk, menentukan performa akustik yang didapat berdasarkan litaratur. Suasana ibadah yang dirasakan pada posisi tersebut. kejelasan dalam menerima pesan. 3. Kepekaan terhadap lingkungan Intensitas dari gangguan bising yang dirasakan. Jenis gangguan. 5.
Standar Batas maksimum kriteria kebisingan yang dianjurkan untuk daerah permukiman di pusat kota adalah 45 dBA. Kebisingan jalan raya yang masuk ke dalam bangunan dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain: Sumber Kebisingan, kebisingan terjadi akibat jarak sumber dekat dari penerima (bangunan), tingkat kebisingan sumber, frekuensi, durasi dan waktu munculnya. Media yang dilalui, meliputi Kondisi udara, jarak tempuh gelombang bunyi kebisingan (dengan jarak sumber bising terhadap bangunan) dan ada tidaknya objek dalam medium (dapat terjadi pembelokan perambatan atau pemantulan bunyi). Bangunan sebagai penerima, tingkat kerapatan elemen bangunan menyeluruh (lantai, dinding, plafon, atap) juga kemungkinan ruang lain yang merasa kebisingan serta yang dapat dilindungi dari kebisingan. Pada bangunan keagamaan, diinginkan suasana yang terisolasi dari dunia luar, sehingga tingkat kebisingan harus dikurangi serendah mungkin. Di bangunan yang besar biasa ditemukan pengerasan suara dibutuhkan untuk berceramah. Tingkatan bising latar belakang yang berasal dari ruangan itu sendiri tidak sekritis suara dari luar yang terdengar. Pada bangunan gereja ini menggunakan nilai NC-30. Pada bangunan yang lebih kecil dimana pengeras suara tidak digunakan, standar kenyamanan terhadap bising latar belakang adalah nilai NC 25 (Lawrence, 1970).
270
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Table 1. SPL (Sound Pressure Level) of NC (Noise Criteria)
6. Hasil dan diskusi 6.1 Hasil subyektif
Gambar 7. Posisi bising yang paling dirasakan responden. Gambar 7. Merupakan gambaran tentang posisi yang lebih merasa bising akibat dari suara bising yang masuk dari luar bangunan terdifraksi kedalam bangunan dan terpantul oleh material di dalam bangunan. Penelitian oleh Setiyowati (2008). Menjelaskan bahwa, bentukan atap dapat mempengaruhi kualitas akustik. Kebisingan yang masuk dari luar ke dalam terpantul oleh atap yang berbentuk menyerupai bentuk tajuk (pada kondisi existing Gereja Puh Sarang). Dimana, bidang pemantul (atap) saling berhadapan keempat sisinya sehinnga, mempermudah terjadinya cacat akustik (echo). Gambar dengan lingkaran merah, merupakan area yang paling mendapatkan efek pantulan dari bising yang terdifraksi, dan posisi tersebut adalah posisi 3 dan 4. Posisi nomor 3 seharusnya merupakan posisi penerima pesan yang paling baik. Namun kenyataannya posisi ini merupakan posisi yang paling bising. Sedangkan lingkaran biru merasakan kebisingan paling minim. Gangguan yang paling sering dirasakan adalah gangguan oleh anak-anak yang bermain pada area I (Gambar 3). 6.2 Hasil obyektif Hasil Leq (Kebisingan ekuivalen) sebagai nilai tingkat tekanan bunyi yang berkesinambungan dan stabil dalam interval waktu tertentu, dilakukan di dalam bangunan selama 2 jam (7200 detik) dan hasil Leq (kebisingan Ekuivalen) yang dilakukan diluar bangunan untuk mengetahui bising lingkungan (jalan raya). Kebisingan diluar memiliki nilai yang lebih kecil daripada kebisingan yang diterima di dalam. Menurut teori yang dikemukakan oleh Mediastika (2005) bunyi akan terdifraksi keluar ruangan jika ruangan tidak memiliki bidang batas, yang mana dalam kasus Gereja Puh Sarang ini bersifat sebaliknya yaitu, suara terdifraksi ke dalam dikarenakan ruangan tidak memiliki bidang batas. Seharusnya nilai bising yang diterima di dalam ruang memiliki nilai yang sama dengan nilai kebisingan yang diukur di luar bangunan. Bahkan, ada kemungkinan bahwa nilai kebisingan (SPL/TTB) di dalam bangunan lebih kecil dari pada kebisingan dari sumber bising (di luar bangunan). Karena, Pada bangunan gereja masih memiliki sebagian bidang batas yang 271
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
memiliki nilai koefisien serap () yang setidaknya, dapat mengurangi nilai kebisingan dari luar bangunan sekitar 10 dBA.
dB
Nilai Leq per-frekwensi 70 60 50 40 30 20 10 0
63H 125 250 500 100 200 400 800 z Hz Hz Hz 0Hz 0Hz 0Hz 0Hz SPL in (Leq) 34,71 46,88 52,51 54,99 57,76 54,77 50,37 42,61 SPL out (Leq) 32,44 28,61 43,52 45,91 46,01 45,64 44,26 46,18
Gambar 8. Hasil nilai SPL (di dalam dan di luar bangunan). Berbanding dengan kenyataan pada lapangan, maka analisa diperluas tidak hanya pada pada pada pada dinding batas bangunan saja. Pada bangunan Gereja Puh Sarang tidak terjadi echo karena lantai yang dilapisi karpet dapat meredam bunyi akibat pantulan dari atap. Pada penelitian Setiyowati (2008) yang dilakukan tersebut solusi yang diberikan adalah pemberian celah/ lubang sebesar 26% luasan dinding. Pemberian celah ini dimaksudkan agar bunyi yang terpantulkan sebagian keluar melalui celah tersebut. Pemberian celah ini berdasarkan pada teori oleh Mediastika (2005) yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu, tentang bunyi yang terdifraksi keluar ruangan jika ruangan tidak memiliki bidang batas. Sehingga, berdasar dari penelitian tersebut dan teori kebisingan akibat celah/ lubang bidang batas bangunan, pada bangunan Puh Sarang, lubang ventilasi menyebabkan kebisingan dari luar masuk kedalam bangunan oleh media udara dan langsung terdengar oleh pendengar dan sebagian bising tersebut terpantul dikarenakan bentuk atap yang berhadapan keempat sisinya, yang menyebabkan nilai Leq di dalam bangunan menjadi lebih besar daripada nilai Leq diluar bangunan. Kondisi lain yang memungkinkan lebih besarnya kebisingan di dalam ruangan adalah adanya pembangkit suara (bantuan elektroakustik) ketika ibadah berlangsung. Pembangkit suara (elektroakustik) sesungguhnya, dapat dipergunakan untuk kondisi ruangan dengan kapasitas ruangan untuk kapasitas lebih dari 300 orang (Szokolay, 2004). Adapun teori yang menguatkan tentang gangguan yang dialami oleh jemaat adalah karena adanya gangguan yang terjadi pada waktu tertentu dikenal dengan tingkat kebisingan minoritas yang merupakan kebisingan yang memilki 10% dari dari seluruh data kebisingan ketika pengambilan data (Mediastika, 2005). Gangguan bising terjadi akibat ketika kondisi ruang cenderung tenang, terjadi bunyi secara tiba-tiba yang membuat kondisi tersebut menjadi sebuah gangguan tertentu bagi pengguna bangunan.
272
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Area bermain anak1
Area bermain anak 2
B A B A Area No. 1 & 2
A
A
Area No. 3 & 4
Area No. 5 & 6
Sound Shadow
Gambar 9. Defraksi dari luar bangunan masuk kedalam bangunan an dipantulkan Perambatan kebisingan masuk ke dalam bangunan dapat terjadi dengan 2 medium yang berbeda menurut Mediastika (2005), yaitu: 1. Aiborne Sound (Melalui lubang/celah/retak pada elemen bangunan terutama elemen vertikal seperti dinding dan vertikal atas seperti atap). Hal ini dapat diatasi dengan memberi penghalang perambatan dengan cara memantulkan kembali gelombang bunyi ke arah sumber maupun ke arah lain, mengingat bunyi memiliki sifat terpantul maupun terserap oleh material. Atau penggunaan material yang mampu menyerap gelombang bunyi yang merambat. Penggunaan penghalang (barrier) yang tebal, berat dan permukaannya tanpa cacat merupakan penghalang yang sempurna. 2. Structureborne Sound (melalui elemen bangunan, terjadi ketika sumber berdekatan atau menempel). Perambatan bising dapat diatasi dengan material yang tidak mudah bergetar, material tersebut biasanya tebal, berat, rigid namun elastis. Hanya saja, material ini memilki harga yang tinggi dan tidak tahan terhadap cuaca (Mediastika, 2005). 7.
Kritik dan saran Peningkatan bising dapat dilakukan dengan cara menghalangi bunyi bising sampai ke telinga pendengar dengan cepat. Cara yang tercepat adalah pemberian penghalang pada area lubang bukaan ventilasi. Selain memberikan penghalang kebisingan juga dapat dikurangi dengan memberikan jarak antara sumber bising dengan penerima bunyi. Solusi yang dapat diperhitungkan adalah penggunaan material penyerap guna mengurangi kebisingan tersebut. Ketiga solusi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemberian penghalang pada lubang bukaan tentunya menghilangkan karakteristik bangunan tropis yang mengutamakan penghawaan alami. Pemberian jarak pada sumber bunyi memiliki kesulitan apabila lahan yang tersedia tidak memadai. Adapun pemberian dan pemilihan material yang dapat menyerap sekaligus menjadi penghalang bagi gangguan bising yang masuk ke dalam bangunan memiliki permasalahan dalam hal biaya dan kesesuaian dengan lingkungan bangunan itu sendiri. Untuk penelitian selanjutnya perlu dibahas tentang strategi pemberian penghalang bising pada lubang ventilasi. Perlu dipertimbangkan penghalang yang tetap dapat melestarikan lingkungan sekitar bangunan yang diketahui masih memiliki lingkup vegetasi yang besar dengan fungsi mengurangi kebisingan yang terjadi pada obyek. Salah satu contohnya adalah pemebrian 273
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
penghalang oleh vegetasi. Pemberian Penghalang oleh vegetasi ini perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui seberapa besar dampak yang diberikan untuk menurunkan bising sampai sesuai dengan standar yang diinginkan. References Field. C.D. (2008). Acoustic Design Criteria For Naturally Ventilated Buildings, Acoustic 08 Paris. June 29- July 4, 2008. Lawrence, A. B., (1970), Architectural acoustic. Applied Science Publisher Ltd, London. Mediastika, C. E., (2005), Akustika Bangunan prinsip-prinsip dan penerapannya di Indonesia. Erlangga, Jakarta. Setiyowati, E., (2008), Pengaruh Bentuk Arsitektur Masjid Didaerah Tropis Terhadap Kualitas Akustik Ruang. Tesis. Program magister jurusan teknik arsitektur institute sepuluh nopember, Surabaya. Smith, B. J., (1995), Acoustics and Noise Control, Longman Group, UK. Steemers, K.,Ann M., (2004), Environment Diversity in Architecture. ed. 2004 New York: Spon. Szokolay, S. V., (2004), Introduction to Architectural Science : The Basis of Sustainable Design. Architectural Press, Burlington.
274