PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MAKROZOOBENTOS DI DELTA MAHAKAM
ELLIS NURJULIASTI NINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur Balik Akustik untuk Klasifikasi Dasar Perairan dan Hubungannya dengan Makrozoobentos di Delta Mahakam adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Ellis Nurjuliasti Ningsih NIM C552100071
RINGKASAN ELLIS NURJULIASTI NINGSIH. Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur Balik Akustik untuk Klasifikasi Dasar Perairan dan Hubungannya dengan Makrozoobentos di Delta Mahakam. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK dan TOTOK HESTIRIANOTO. Substrat dasar perairan merupakan salah satu potensi abiotik yang luar biasa. Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah bagi sebagian besar organisme akuatik (Susanto 2000). Selain itu dasar perairan memiliki komposisi yang sangat kompleks mulai dari substrat berukuran kecil sampai batu-batuan. Eksploitasi yang berlebihan membuat kualitas dan komposisi dasar perairan berubah. Penelitian mengenai habitat dasar perairan biasanya berdasarkan sampling menggunakan corer atau van veen grab (Romimohtarto dan Juwana 2009). Namun membutuhkan waktu yang lebih lama, jangkauan yang relatif sempit, dan lokasi yang terbatas. Salah satu metode yang dapat membantu untuk mengatasi kekurangan ini adalah dengan menggunakan teknologi hidroakustik. Teknologi hidroakustik adalah teknologi yang digunakan untuk mendeteksi objek bawah air dengan memanfaatkan perambatan gelombang suara. Sistem klasifikasi akustik substrat dasar perairan yang dapat memperkirakan tipe substrat dan sifat geoteknik dari jarak jauh telah banyak dipergunakan diberbagai bidang geologi kelautan, teknik sipil, ilmu militer,dan perikanan (Lambert et al. 2002; Richardson et al. 2002). Teknologi ini mampu memberikan informasi mengenai relief dasar perairan, densitas ikan, arah dan pergerakan renang ikan, serta tipe substrat dasar perairan dalam waktu yang relatif cepat dan jangkauan yang luas. Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus serta lapisanlapisan yang memiliki komposisi yang berbeda-beda (Urick 1983). Beberapa penelitian mengenai habitat dasar perairan di Indonesia telah dilakukan oleh Manik et al. (2006) untuk pengukuran surface backscattering strength (SS) menggunakan Quantitative Echo Sounder (QES) dan pendekatan nilai SS untuk identifikasi habitat ikan, Pujiyati (2008) pendekatan metode hidroakustik untuk analisis keterkaitan anatara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas demersal, Harahap (2010) kuantifikasi nilai hambur balik akustik dasar perairan menggunakan echosounder multibeam, Allo (2011) menerapkan metode Manik et al. (2006) untuk kuantifikasi dan karakterisasi acoustic backscattering dasar perairan di Pulau Seribu. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data lapangan dan tahap kedua adalah pengolahan dan analisis data. Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan instrumen scientific split beam echosounder system SIMRAD EY60 frekuensi 120 kHz dan direkam dengan menggunakan perangkat lunak ER60. Pengambilan contoh substrat dilakukan pada 9 stasiun perekaman data akustik stasioner dengan menggunakan van veen grab. Analisis data akustik meliputi nilai SV E1, SV E2, dan SS. Analisis data substrat meliputi persentase fraksi substrat (pasir, lanau, liat) dan
makrozoobentos (kepadatan, keanekaragaman, dominansi). Analisis hubungan antara nilai akustik, fraksi substrat, dan makrozoobentos menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe substrat yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah pasir, pasir berlumpur, lumpur berpasir, dan lumpur. Berdasarkan nilai SS pasir sebesar -12.97 dB, pasir berlumpur sebesar -13.96 dB, lumpur berpasir sebesar -17.14 dB dan -15.64 dB, serta lumpur sebesar -30.87 dB sampai -19.25 dB. Nilai hambur balik substrat pasir lebih besar dibandingkan tipe substrat lumpur karena pasir memiliki tingkat kekasaran, kekerasan, dan ukuran butir lebih besar daripada lumpur. Struktur komunitas yang mendiami lokasi penelitian berada pada kategori sangat buruk dalam kondisi sangat rendah dan tidak stabil. Berdasarkan analisis AKU belum terlihat hubungan antara struktur komunitas makrozoobentos dengan pembentukan nilai SS. Namun hubungan antara nilai akustik, tipe substrat, dan struktur komunitas makrozoobentos dapat dijelaskan sebesar 77.55% yang artinya terdapat hubungan yang kuat antar varians pembentuk komponen dan telah dapat menjelaskan keadaan lokasi penelitian.
Kata kunci: dasar perairan, hidroakustik, surface backscattering strength (SS), makrozoobentos
SUMMARY ELLIS NURJULIASTI NINGSIH. Acoustic Backscattering Strength Analysis for Riverbed Substrate Classification and Its Relationship with Macrozoobenthos of Delta Mahakam Water. Supervised by HENRY M. MANIK and TOTOK HESTIRIANOTO. Riverbed substrate is a one of potential abiotic resources. It is useful as habitat, foraging area, and spawning area for most aquatic organisms (Susanto 2000). Riverbed has a very complex substrate composition from small sized substrate into rocky substrate. Over exploitation makes the quality and composition of bottom waters changed. Research on aquatic habitats are usually based on a sampling basis using a corer or a van veen grabber (Romimohtarto and Juwana 2009). But it is not time efficient, covering only narrow area and can be applied only in limited location. One of method that can help to overcome this deficiency is using hydroacoustic technology. Hydroacoustic technology is a technology which used to detect underwater objects by using sound propagation. Acoustic classification system of bottom substrate can predict the substrate type and its geotechnical properties. Hydroacoustic also has been widely used in various applications including marine geology, civil engineering, military science, and fisheries (Lambert et al. 2002; Richardson et al. 2002). This technology is able to provide information regarding the relief of the bottom, fish density, direction and movement of fish, as well as the type of bottom substrate in a relatively rapid and extensive reach. Sea bottom has characteristic in reflecting and scattering sound waves as well as the waters of the sea surface. The resulting effect is more complex due to the nature of the sea floor that is composed of diverse elements ranging from hard rock to soft clay and layers that have different compositions (Urick 1983). Some initial researches on aquatic habitats in Indonesia have been conducted by Manik et al. (2006) using the measurement of surface backscattering strength (SS) of Quantitative Echo Sounder (QES) and the SS value for identification of fish habitat, Pujiyati (2008) which using hydroacoustic method for relationship analysis between bottom substrate types with fish demersal community, Harahap (2010) in quantification of the value of bottom acoustic backscatter using multibeam echosounder, and Allo (2011) which applying the method of Manik et al. (2006) for the quantification and characterization of acoustic backscattering of bottom habitat in the Seribu island. This study was conducted in two phases. The first phase is collection of field data and the second is data processing and analyzing phase. Acoustic data collected were using hydroacoustics instrument SIMRAD EY60 120 kHz frequency and recorded by ER60 software. Sampling substrate was conducted at 9 stations acoustic data recording. Analysis of acoustic data include the value of SV E1, SV E2, and SS. Analysis of the substrate data include the percentage of the fraction (sand, silt, clay), and macrozoobenthos (density, diversity, dominance). Analysis of the relationship between acoustic values, the fraction of the substrate, and macrozoobenthos are using Principal Component Analysis (PCA). The results showed that the type of substrates that are found on sites are sand, muddy sand, sandy mud, and mud. Based on the value of SS for sand (-
12.97 dB), muddy sand (-13.96 dB), sandy mud (-17.14 dB and -15.64 dB), and mud (-30.87 dB to -19.25 dB). It shows also that sand has a high substrate roughness, hardness, and grain size larger than the type of mud substrate. The acoustic backscattering values of sand were greater than mud. Community structures that inhabit the location of the study are in very poor condition, very low abundance and unstable. Based on the PCA analysis, there is no distinct relationship between the macrozoobenthos community structure with SS value. However, the relationship between acoustic values, substrate type, and macrozoobenthos community structure can be explained by 77.55%, which means there is a strong relationship between the variance-forming components and have been able to explain the condition of the research location. Keywords: bottom, hydroacoustic, macrozoobenthos
surface
backscattering
strength
(SS),
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MAKROZOOBENTOS DI DELTA MAHAKAM
ELLIS NURJULIASTI NINGSIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji luar komisi
: Dr Fauziyah, SPi
Judul Tesis : Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur Balik Akustik untuk Klasifikasi Dasar Perairan dan Hubungannya dengan Makrozoobentos di Delta Mahakam Nama : Ellis Nurjuliasti Ningsih NIM : C552100071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Henry M. Manik, SPi MT Ketua
Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Jonson L. Gaol, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Juni 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Tema dalam penelitian ini adalah teknologi hidroakustik, dengan judul penelitian Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur Balik Akustik untuk Klasifikasi Dasar Perairan dan Hubungannya dengan Makrozoobentos di Delta Mahakam. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Henry M. Manik, SPi MT dan Bapak Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, kesabaran, pengetahuan, kritik, dan saran selama penulis menyelesaikan penelitian dan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Syarifah Nurdawati, MSi selaku ketua kelompok peneliti estuari dari Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Kementrian Kelautan Perikanan, Palembang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut dalam kegiatan penelitian di Delta Mahakam. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada: 1. Kedua orang tua (Bapak Jauhari dan Ibu Rusmiyati), Mertua (Bapak Nazir dan Ibu Nani Hindarsih), suami (Freddy Supriyadi), dan adik-adik tercinta (Rika Dwi Susmiarni, Tri Desfriana Putri, dan Indra Lesmana) atas segala doa, kesabaran, dan dukungan kepada penulis. 2. Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Bapak Dr Ir Jonson L. Gaol, MSi dan Sekretaris Ibu Dr Ir Sri Pujiyati, MSi. 3. Staf Pengajar dan karyawan program studi Teknologi Kelautan atas segala bantuannya selama penulis menjadi mahasiswa di TEK. 4. Teman-teman seangkatan TEK 2010 (Bambang Soepartono, John C. Karuwal, Acta Withamana, Murjat Hi. Untung, Widya Kusumaningrum, dan Meiske Manery) atas kebersamaan dan dukungan selama ini. 5. Romie Jhonnerie dan Nurchalis Wahidin atas kekeluargaan, dukungan, dan bantuannya selama ini. 6. Uki Bulkis, Nunik Lestari, dan Fatmawaty Damra atas kekeluargaan, suka, dan duka selama di Perwira 51. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar dapat bermanfaat bagi kita semua terutama perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang Bogor, Juli 2013 Ellis Nurjuliasti Ningsih
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tujuan Penelitian
2
1.3 Manfaat Penelitian
2
1.4 Perumusan Masalah
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Delta Mahakam
4
2.2 Sedimen
5
2.3 Teknologi Hidroakustik
7
2.3.1 Definisi dan Prinsip Instrumen Akustik
7
2.3.2 Transducer Split Beam
8
2.4 Klasifikasi Dasar Perairan Menggunakan Teknologi Hidroakustik 2.5 Makrozoobentos 3 METODE
9 12 14
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
14
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
15
3.3 Prosedur Penelitian
17
3.3.1 Diagram Alir Penelitian
17
3.3.2 Desain Survei
18
3.3.3 Pengambilan Data Akustik
18
3.3.4 Pengambilan Data Contoh Dasar Perairan
19
3.3.5 Pengolahan Data Akustik
20
3.3.6 Pengolahan Data Contoh Dasar Perairan
21
3.3.7 Analisis Komponen Utama (AKU)
23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
24
4.1 Substrat Dasar Perairan
24
4.2 Nilai Backscattering Strength (BS) Dasar Perairan
26
4.3 Nilai Volume Backscattering Strength (SV) Kolom Perairan
34
4.4 Komposisi Makrozoobentos
35
4.5 Kepadatan, Keanekaragaman, dan Dominansi Makrozoobentos
38
4.6 Hubungan Parameter Akustik terhadap Fraksi Substrat
42
4.6.1 E1 terhadap Fraksi Substrat
42
4.6.2 E2 terhadap Fraksi Substrat
43
4.6.3 SS terhadap Fraksi Substrat
44
4.7 Pengelompokkan Stasiun Berdasarkan Nilai SV dan Persentase Substrat 45 4.8 Analisis Komponen Utama (AKU)
46
4.9 Hubungan SV Kolom Perairan dan Fraksi Lanau
49
5 SIMPULAN DAN SARAN
50
5.1 Simpulan
50
5.2 Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
55
RIWAYAT HIDUP
65
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Ukuran besar butir sedimen menurut skala Wentworth Koordinat stasiun penelitian Daftar alat dan bahan yang digunakan di lapangan Daftar alat dan bahan yang digunakan pada pengolahan data Spesifikasi SIMRAD EY60 scientific echosounder system Spesifikasi transducer tipe ES-120 7C Persentase fraksi substrat di lokasi penelitian Nilai backscattering strength (BS) dasar perairan Nilai standar deviasi dan standar error parameter akustik Urutan Scattering Volume (SV) Penelitian nilai backscattering strength (BS) dasar perairan di Indonesia Penelitian nilai backscattering strength (BS) di luar negeri Nilai SV pada kolom perairan Komposisi makrozoobentos Kepadatan, indeks keanekaragaman, dan dominansi makrozoobentos Kriteria penilaian pembobotan kualitas lingkungan bentos
6 15 15 16 18 19 24 27 27 27 32 33 34 36 39 41
DAFTAR GAMBAR 1 Segitiga Shepard (Dyer 1986) 2 Komponen utama dan prinsip dasar echosounder (Johannesson dan Mitson 1983) 3 Transducer split beam (Simrad 1993) 4 Arah hambur balik tipe dasar perairan yang berbeda (Preston dan Collins 2000) 5 Pola gema pertama dasar perairan (Burczynski 2002) 6 Pola gema kedua dasar perairan (Burczynski 2002) 7 Pola hambur balik sinyal aksutik dasar perairan (Siwabessy et al. 2000) 8 Lokasi penelitian dan lintasan survei akustik 9 Diagram alir penelitian 10 Pengolahan data akustik 11 Sebaran tipe substrat berdasarkan stasiun 12 Sebaran tipe substrat berdasarkan lintasan survei akustik 13 Contoh echogram tipe substrat pasir 14 Contoh echogram tipe substrat pasir berlumpur 15 Contoh echogram tipe substrat lumpur berpasir 16 Contoh echogram tipe substrat lumpur 17 Perbandingan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya 18 Persentase komposisi kepadatan makrozoobentos 19 Distribusi jumlah jenis makrozoobentos 20 Distribusi jumlah individu makrozoobentos 21 Kepadatan makrozoobentos 22 Indeks keanekaragaman 23 Indeks dominansi 24 Hubungan E1 terhadap fraksi substrat
7 8 9 10 11 11 12 14 17 21 25 25 29 30 30 31 33 35 37 37 39 40 42 43
25 Hubungan E2 terhadap fraksi substrat 26 Hubungan SS terhadap Fraksi substrat 27 Pengelompokkan stasiun berdasarkan nilai akustik dan persentase sedimen 28 Loading plot hubungan antara SS, tipe substrat, dan struktur komunitas makrozoobentos 29 Sebaran stasiun pengamatan 30 Analisis regresi linier kolom perairan terhadap lanau
44 45 46 47 48 49
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
SIMRAD EY60 scientific echosounder system Transducer split beam tipe ES-120 7C Global Positioning System (GPS) tipe Garmin 76CSx Proses pemasangan transducer Van veen grab Proses pengambilan contoh sedimen Proses pengambilan contoh makrozoobentos Shieve shaker (ASTM E-11. USA standard) Tampilan awal Echoview 4.0 Proses integrasi cell pada Echoview 4.0 Contoh makrozoobentos
56 57 57 58 58 59 59 60 60 61 61
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan delta Mahakam memiliki potensi sumber daya alam hayati dan non hayati yang luar biasa. Potensi tersebut menyebabkan aktivitas di kawasan ini menjadi begitu pesat, selain sebagai pusat kegiatan lokal masyarakat, juga ada kawasan perikanan (tambak), anjungan minyak, dan penebangan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan. Perubahan tata guna lahan yang dialami kawasan delta Mahakam tidak terkendali sehingga mengakibatkan banyak dampak negatif. Eksploitasi berlebihan mengakibatkan proses pendangkalan dan tekanan ekologis yang telah lama terjadi terhadap lingkungan kawasan delta Mahakam. Peristiwa pasang surut membawa sedimen yang berasal dari daerah aliran sungai dan lepas pantai mengalami pengendapan di muara sungai Mahakam. Akumulasi pengendapan substrat dasar delta Mahakam tidak hanya berasal dari pertanian atau pemukiman tapi juga berasal dari bahan sisa galian tambang yang terdapat di sekitar kawasan delta Mahakam. Hal ini mempengaruhi komposisi dan distribusi dari organisme bentik karena telah terjadi perubahan kualitas dari substrat dasar sebagai habitatnya. Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah bagi sebagian besar organisme akuatik (Susanto 2000). Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring makanan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemar (Pratiwi et al. 2004). Makrozoobentos memiliki peran penting dalam pencampuran sedimen melalui kegiatan menggali dan makan mereka (Sumich 1976). Jenis substrat dalam perairan sangat menentukan keberadaan jenis-jenis hewan bentos yang hidup di dalamnya, seperti komposisi jenis, kepadatan, dan pola sebarannya (Brower et al. 1990). Penelitian mengenai habitat dasar perairan biasanya berdasarkan sampling menggunakan corer atau van veen grab (Romimohtarto dan Juwana 2009). Masalah utama dari metode ini adalah membutuhkan waktu yang lama dalam pengumpulan contoh, jangkauan yang relatif sempit, dan lokasi yang terbatas. Salah satu metode mengatasi masalah ini adalah menggunakan teknologi hidroakustik. Teknologi hidroakustik merupakan teknologi yang digunakan untuk mendeteksi objek bawah air dengan memanfaatkan gelombang suara. Teknologi ini mampu memberikan informasi mengenai relief dasar perairan, densitas ikan, tipe substrat perairan, dan lain-lain dalam waktu yang relatif cepat serta jangkauan yang luas. Beberapa penelitian mengenai habitat dasar perairan menggunakan teknologi hidroakustik maupun hubungannya dengan organisme bentik telah banyak dilakukan di Indonesia diantaranya telah dilakukan oleh Manik et al. (2006) untuk pengukuran surface backscattering strength (SS) menggunakan Quantitative Echo Sounder (QES) dan pendekatan nilai SS untuk identifikasi habitat ikan, Pujiyati (2008) pendekatan metode hidroakustik untuk analisis keterkaitan antara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas demersal, Harahap (2010) kuantifikasi nilai hambur balik akustik dasar perairan
2 menggunakan echosounder multibeam, Allo (2011) menerapkan metode Manik et al. (2006) untuk kuantifikasi dan karakterisasi acoustic backscattering dasar perairan di Pulau Seribu. Informasi mengenai habitat dasar perairan menjadi sangat penting untuk diteliti karena dapat dijadikan indikator organisme bentik yang hidup disekitarnya dan melihat karakteristik suatu perairan. Pengkajian parameter-parameter tersebut diharapkan dapat membantu dalam upaya pengelolaan delta Mahakam demi terjaganya keberlangsungan ekosistemnya. Hal ini dapat bermanfaat bagi masyarakat di sekitar kawasan delta Mahakam.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1 Pengukuran dan klasifikasi nilai hambur balik dari substrat dasar perairan. 2 Mengetahui struktur komunitas makrozoobentos. 3 Mengkaji hubungan antara nilai hambur balik akustik, tipe substrat, dan makrozoobentos.
1.3 Manfaat Peneltian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk: 1 Melengkapi data base di bidang hidroakustik dalam pengembangan ekologi pada daerah muara sungai. 2 Instansi terkait sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan dalam pengelolaan delta Mahakam.
1.4 Perumusan Masalah Kawasan delta Mahakam berkembang dengan pesat yang ditunjukkan dengan adanya berbagai kegiatan perikanan (tambak), transportasi, pertambangan minyak, dan gas sehingga menyebabkan terjadinya percepatan pendangkalan yang mengakibatkan terganggunya komposisi dan distribusi dari substrat dasar perairan. Substrat dasar sebagai habitat makrozoobentos memegang peranan yang penting bagi keberlangsungan populasi komunitas makrozoobentos. Penurunan kualitas substrat dasar perairan akan mempengaruhi komposisi dari makrozoobentos yang hidup di tempat tersebut. Susanto (2000) menyatakan tipe substrat dasar perairan mempengaruhi jumlah dan spesies hewan bentos di suatu perairan. Penelitian tentang habitat dasar perairan pada umumnya dilakukan berdasarkan sampling fisik menggunakan grab atau corer. Metode ini dianggap kurang efektif karena jangkauannya yang sempit dan waktu yang dibutuhkan relatif lama. Oleh karena itu penelitian ini mencoba untuk mengukur dan mengklasifikasi berbagai tipe substrat dasar perairan menggunakan teknologi hidroakustik serta mengkaji hubungannya dengan struktur komunitas makrozoobentos berdasarkan sampling fisik (grab).
3 Analisis nilai hambur balik dasar perairan berupa SV E1 (kekasaran), SV E2 (kekerasan), dan SS. Nilai parameter E1 dan E2 dihubungkan untuk mengklasifikasi tipe sedimen atau dengan nilai SS saja. Hasil pengukuran tersebut dihubungkan dengan struktur komunitas makrozoobentos sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk menentukan karakteristik suatu perairan. Hal-hal tersebut menjadi penting untuk dikaji karena lingkungan delta Mahakam telah mengalami peningkatan kerusakan lingkungan yang membutuhkan solusi upaya pengelolaan.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Delta Mahakam Sungai Mahakam merupakan nama sebuah sungai terbesar di provinsi Kalimatan Timur yang bermuara di Selat Makassar. Sungai dengan panjang sekitar 920 km ini melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu, hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian Hilir. Sungai Mahakam memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air, potensi perikanan, maupun sebagai prasarana transportasi (DKP Kabupaten Kutai Kartanegara 2010). Muara sungai atau estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan (Bengen 2002). Fairbridge (1980), diacu dalam Wibisono (2010) berpendapat bahwa estuaria merupakan suatu tempat masuknya air laut hingga mencapai lembah sungai sejauh pengaruh pasang. Muara sungai Mahakam memiliki delta yang jika dilihat dari atas berbentuk seperti kipas. Menurut Storms et al. (2005) delta Mahakam merupakan tipikal delta dunia yang berbentuk kipas, terbentuk karena adanya endapan sedimen dengan jumlah besar yang dibawa oleh sungai Mahakam dan adanya pengaruh pasang surut yang berasal dari selat Makassar. Pasang surut yang mendominasi daerah estuaria terjadi secara berkala dan sangat berpengaruh terhadap lingkungan pantai dan daratan di wilayah pesisir. Hal ini disebabkan karena terdapatnya partikel sedimen yang dibawa pada saat pasang dan pada saat surut. Aliran air laut pada saat pasang akan membawa partikel sedimen dari laut dan akan mengendap di bagian hilir sungai, sedangkan aliran air dari sungai juga akan membawa partikel sedimen yang berasal dari hulu sungai dan juga pada akhirnya akan mengendap di hilir sungai, sehingga proses sedimentasi yang terjadi di bagian hilir sungai sangat tinggi seiring dengan berlangsungnya dinamika air melalui proses pasang surut (Bilgili et al. 2003). Faktor lain yang menyebabkan tingginya sedimentasi di daerah ini adalah meningkatnya aktivitas manusia yang memberikan dampak negatif sangat besar. Wilayah delta Mahakam yang memiliki kekayaan sumberdaya alam hayati dan non hayati sangat potensial untuk dikelola. Pramudji et al. (2007) mengemukakan tingginya sumberdaya alam yang dimiliki tersebut, maka kegiatan industri dan ekonomi banyak ditemukan di daerah ini. Misalnya adalah kegiatan pengeboran gas dan minyak, penambangan batu bara, pemanfaatan hasil hutan, dan pertambakan, serta transportasi. Perubahan tata guna lahan ini menyebabkan pengikisan tanah sepanjang daerah aliran sungai serta bahan sisa galian dari penambangan dan kegiatan pertanian di daratan Kalimantan meningkat sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah sedimen di sungai dan akhirnya terjadi pendangkalan. Sedimen yang terkumpul di muara sungai Mahakam komposisinya menjadi unik karena berasal dari berbagai sumber yang berbeda.
5 2.2 Sedimen Beberapa pengertian dari sedimen diantaranya menurut Shirley (1994), sedimen merupakan pecahan material yang melayang-layang dalam udara, air, maupun dikumpulkan di dasar sungai atau laut oleh pembawa atau perantara alami lainnya. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara horizontal (Garrison 2005). Sedimen adalah bahan utama pembentuk morfologi (topografi dan batimetri) pesisir. Sedimen berasal dari fragmentasi (pemecahan) batuan. Pemecahan tersebut terjadi karena pelapukan (weathering) yang dapat berlangsung secara fisik, kimiawi atau biologis. Berubahnya morfologi pesisir terjadi sebagai akibat berpindahnya sedimen yang berlangsung melalui mekanisme erosi, pengangkutan (transport), dan pengendapan (deposition). Ukuran partikel-partikel sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisiknya dan berakibat sedimen yang terdapat pada berbagai tempat di dunia mempunyai sifat-sifat yang berbeda antara satu dan yang lainnya (Hutabarat dan Evans 2008). Sedimen diciri atau dikarakterisasi menurut sifat-sifat alami yang dimilikinya, yaitu misalnya: ukuran butir (grain size), densitas, komposisi, porositas, bentuk, awal terbentuknya, dan lain sebagainya (Poerbandono dan Djunasjah 2005). Wibisono (2010) mengklasifikasikan sedimen berdasarkan: 1. Klasifikasi berdasarkan asalnya a. Lithogeneous Jenis sedimen yang berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan vulkanik. b. Biogenous Sedimen ini berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remahremah tulang, gigi-geligi, dan cangkang-cangkang tanaman maupun hewan mikro. Komponen kimia yang sering ditemukan dalam sedimen ini adalah CaCO3 dan SiO2. Sedangkan partikel-partikel yang sering ditemukan dalam sedimen calcareous terdiri dari cangkang-cangkang Foraminifera, Cocolithophore, dan Pteropoda. Cangkang Diatomae dan Radiolaria merupakan kontributor yang paling penting dari partikel Siliceous. c. Hydrogenous Sedimen ini berasal dari komponen kimia yang larut dalam air laut dengan konsentrasi yang kelewat jenuh sehingga terjadi pengendapan (deposisi) di dasar laut. Contohnya endapan Mangan (Mn) yang berbentuk nodul, endapan fosforite (P2O5), dan endapan glauconite (hidro silikat yang berwarna kehijauan dengan komposisi yang terdiri dari ion-ion K, Mg, Fe, dan Si). d. Cosmogenous Sedimen ini berasal dari luar angkasa di mana partikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan mengandung banyak unsur besi sehingga mempunyai respon magnetik dan berukuran antara 10 – 640 μ. Sedimen di sekitar wilayah muara sebagian besar berasal dari lithogenous yang mengikuti drainase sungai, kemudian terendapkan di dasar perairan muara. Proses pengendapan (flocculation) yang didahului dengan proses absorpsi dari
6 tiap partikel yang bermuatan ion tampaknya merupakan fungsi dari salinitas. Makin tinggi tingkat salinitas yang biasanya makin ke arah laut, proses bersatunya partikel yang bermuatan tersebut sangat bervariasi. Kenyataan menunjukkan bahwa di sedimen muara juga banyak didapati bahan-bahan organik, serasah (detritus) yang mengalami proses pembusukan, koloida dari asam humus (humic acid colloids), dan sebagainya. 2. Klasifikasi berdasarkan besar butir Berdasarkan ukuran besar butir, maka sedimen dapat digolongkan atau diklasifikasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Ukuran besar butir sedimen menurut skala Wentworth Nama Batu (stone)
Pasir (sand)
Lumpur (silt)
Lempung (clay)
Partikel Bongkah (Boulder)
Ukuran (mm) >256
Krakal (Coble) Kerikil (Peble) Butiran (Granule) Pasir sangat kasar (very coarse sand) Pasir kasar (coarse sand) Pasir sedang (medium sand) Pasir halus (fine sand) Pasir sangat halus (very fine sand) Lumpur kasar (coarse silt) Lumpur sedang (medium silt) Lumpur halus (fine silt) Lumpur sangat halus (very fine silt) Lempung kasar (coarse clay) Lempung sedang (medium clay) Lempung halus (fine clay) Lempung sangat halus (very fine clay)
64 – 256 4 – 64 2–4 1–2 1/2 – 1 1/4 – ½ 1/8 – ¼ 1/16 – 1/8 1/32 – 1/16 1/64 – 1/32 1/128 – 1/64 1/256 – 1/128 1/640 – 1/256 1/1024 – 1/640 1/2360 – 1/1024 1/4096 – 1/2360
Sumber: Wibisono (2010).
Mulyo (2004) menambahkan klasifikasi sedimen berdasarkan lingkungan pengendapan menjadi tiga, yaitu: 1 Sedimen laut (marine), diendapkan di laut contohnya batu gamping, dolomite, napal, dan lain sebagainya. 2 Sedimen darat (teristris/kontinen), proses terjadinya di daratan misalnya endapan sungai (alluvium), endapan danau, talus, koluvium, endapan gurun (aeolis), dan sebagainya. 3 Sedimen transisi, lokasi pembentukannya terletak antara darat dan laut misalnya delta. Selain ketiga kelompok tersebut, klasifikasi sedimen dapat ditentukan dengan menggunakan diagram segitiga Shepard (Gambar 1).
7
Gambar 1 Segitiga Shepard (Dyer 1986)
2.3 Teknologi Hidroakustik
2.3.1 Definisi dan Prinsip Instrumen Akustik Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini mediumnya adalah air. Data hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration melalui proses pendeteksian bawah air, sehingga dalam akustik proses pembentukan gelombang suara dan sifat-sifat perambatannya dibatasi oleh air. Berdasarkan pemancaran gelombang suara, sistem akustik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu echosounder (sistem pancar vertikal) dan sonar (sistem pancar horizontal) (Burczynsky 1982). Secara prinsip sistem SONAR tersebut terdiri dari empat komponen utama (Gambar 2) yakni Transmitter, Transducer, Receiver, dan Display atau Recorder. Di samping itu dilengkapi dengan Time Base untuk tujuan kuantitatif dengan echo signal processor atau echo intergrator (Medwin dan Clay 1998).
8
Gambar 2 Komponen utama dan prinsip dasar echosounder (Johannesson dan Mitson 1983)
Time base berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter melalui transducer. Suatu perintah dari time base akan memberikan saat kapan pembentuk pulsa bekerja pada unit transmitter dan receiver. Transmitter berfungsi menghasilkan pulsa yang akan dipancarkan. Suatu perintah dari kotak pemicu pulsa pada recorder akan memberitahukan kapan pembentuk pulsa bekerja. Pulsa dibangkitkan oleh oscillator kemudian diperkuat oleh power amplifier, sebelum pulsa tersebut disalurkan ke transducer (Johannesson dan Mitson 1983). Fungsi utama dari transducer adalah mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan ke medium dan mengubah energy suara menjadi energi listrik ketika echo diterima dari suatu target. Selain itu fungsi lain dari transducer adalah memusatkan energi suara yang akan dipantulkan sebagai beam (Mitson 1983). Receiver adalah sinyal echo (energi listrik) yang lemah yang dihasilkan oleh transducer harus diperkuat beberapa ribu kali sebelum diteruskan ke recorder. Penguat echo ini dilakukan oleh receiver amplifier dan besarnya penguatan dapat diatur oleh sensivity control ataupun pengatur volume (Medwin dan Clay 1998). Display atau recorder adalah bagian yang sangat penting dalam komponen sistem sonar karena semua informasi yang diterima oleh echosounder digambarkan dan direkam dalam bentuk echogram (Mitson 1983).
2.3.2 Transducer Split Beam Metode split beam pertama kali ditemukan oleh Ehrenberg pada tahun 1984 yang kemudian dikembangkan di Norwegia. Metode ini merupakan metode baru yang dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan–kelemahan dari metode sebelumnya seperti single beam method dan dual beam method (Foote et al. 1988).
9 Metode ini menggunakan receiving transducer yang dibagi menjadi empat kuadran (Gambar 3). Pada prinsipnya secara elektrik keempat kuadran tersebut terdiri dari: fore (bagian depan), aft (buritan kapal), port (sisi kiri kapal), dan starboard (sisi kanan kapal). Alat ini mempunyai sudut beam yang sangat sempit dan mampu menentukan posisi target dalam beam suara (Simrad 1993).
Gambar 3 Transducer split beam (Simrad 1993)
Selama pengukuran fase pada bidang alongship didapat dari penjumlahan sinyal antar bagian Fore Port (FP) dengan Fore Starboard (FS) dari transducer. Jumlah sinyal antara bagian Aft Port (AP) dengan Aft Starboard (AS) dari transducer. Sedangkan pengukuran fase pada bidang transverse (melintang) juga diperoleh dengan cara yang sama. Fase alongship dan fase transverse ini digunakan untuk menentukan arah target terhadap sumbu pusat dalam beam suara (Simrad 1993).
2.4 Klasifikasi Dasar Perairan Menggunakan Teknologi Hidroakustik Klasifikasi akustik untuk dasar perairan adalah suatu pengelolaan dari dasar laut dan sedimen permukaan dasar laut dangkal menjadi jenis atau kelas berdasarkan respon akustik (Preston dan Collins 2000). Menurut Urick (1983) dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus serta lapisanlapisan yang memiliki komposisi yang berbeda-beda.
10
Gambar 4 Arah hambur balik tipe dasar perairan yang berbeda (Preston dan Collins 2000)
Jenis dasar perairan dapat ditentukan dengan mengekstraksi kekuatan sinyal kembali dari gema yang berasal dari dasar dan menggunakan informasi ini untuk menghitung intensitas gema (E1) dari dasar. E1 adalah fungsi dari sedimen bulk density, sejumlah gas di rongga dekat permukaan dasar dan keseragaman geometris (kerataan) dasar (Shields 2010). Semua parameter ini terkait langsung atau tidak langsung dengan ukuran butir sedimen dan koefisien refleksi, meskipun tidak ada hubungan sederhana antara sinyal hambur balik, jenis surficial sediment, dan struktur (Anderson et al. 2008). Bagian awal dari gema dasar perairan yang pertama disebabkan oleh pantulan pertama yang tegak lurus dengan sumbu utama transducer. Bagian dari gema ini (specular dan koheren) sangat peka terhadap pitch dan roll dari kapal dan transducer. Sisa dari gema dasar perairan yang pertama disebabkan oleh oblique back reflection (non-koheren) dan kurang peka terhadap pitch dan roll. Gema dasar perairan yang pertama berhubungan dengan kekasaran dan kekasaran dasar laut akan ditingkatkan oleh bagian kedua dari gema dasar perairan yang pertama (oblique refelection) (Burczynski 2002). Gema dasar perairan yang kedua dihasilkan oleh pantulan specular ganda dari dasar laut dan pantulan tunggal dari permukaan air. Untuk bagian dasar perairan yang datar, pantulan specular akan langsung berhubungan dengan kekerasan dari bagian dasar perairan. Bagian awal dari gema dasar perairan yang kedua akan ditingkatkan dengan kekerasan dari bagian dasar. Jika bagian dasar perairan adalah kasar, maka kekasaran akan memiliki efek mengurangi gema di bagian dasar yang kedua. Gema dasar perairan yang kedua akan menandai kekerasan dengan berkurangnya kekasaran itu (Burczynski 2002).
11
Gambar 5 Pola gema pertama dasar perairan (Burczynski 2002)
Gambar 6 Pola gema kedua dasar perairan (Burczynski 2002)
Diasumsikan bahwa refleksi jumlah koefisien tekanan akustik adalah deskriptor terbaik dari kekerasan dasar laut, tekanan akustik yang diterima dari kembalinya sinyal hambur balik kedua dari dasar laut harus mencakup komponen coherent dan incoherent, yaitu batas integrasi harus meliputi echo envelope yang lengkap (Siwabessy et al. 2000).
12
Gambar 7 Pola hambur balik sinyal akustik dasar perairan (Siwabessy et al. 2000)
2.5 Makrozoobentos Makrozoobentos adalah organisme yang sebagian besar atau seluruh hidupnya berada di dasar perairan, hidup secara sesil, merayap atau menggali lubang. Berdasarkan cara makannya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi filter feeder yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring air dan deposit feeder yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar. Kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) umumnya tedapat dominan di substrat berpasir misalnya molusca, bivalvia, beberapa jenis echinodermata, dan crustacea. Sedangkan deposit feeder banyak tedapat pada substrat berlumpur seperti jenis polychaeta (Odum 1996). Tipe substrat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis hewan bentos di suatu perairan (Susanto 2000). Tipe substrat seperti rawa tanah dasar berupa lumpur. Berbagai macam tipe substrat sangat penting dalam perkembangan komunitas hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan
13 karena itu organisme yang hidup didalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan ini (Ramli 1989). Wilhm (1975) menyatakan bentos sering dipakai sebagai alat atau cara menentukan tekanan ekologis yang terjadi pada suatu perairan karena bentos memiliki tiga keistimewaan, yaitu: 1 mempunyai tingkat kepekaan yang berbeda-beda terhadap berbagai jenis bahan pencemar dan memberikan reaksi yang cepat terhadap perubahan yang terjadi, 2 mempunyai mobilitas yang rendah, sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, 3 mudah ditangkap dan diidentifikasi. Respon komunitas makrozoobentos terhadap perubahan lingkungan digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh dari berbagai kegiatan seperti industri, perminyakan, pertanian, dan tata guna lahan. Perubahan komunitas makrozoobentos secara umum disebabkan oleh masuknya bahan organik, bahan kimia, dan perubahan substrat dasar. Selain itu, komunitas makrozoobentos dipengaruhi oleh kondisi lingkungan lainnya dan faktor-faktor biologi (APHA 1989).
14
3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data lapangan yang telah dilaksanakan pada tanggal 20 - 29 Maret 2012 di kawasan Sungai Mahakam, Provinsi Kalimatan Timur. Tahap kedua adalah pengolahan data akustik, substrat, dan organisme bentik yang telah dilaksanakan sampai bulan Juli 2012 di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Berikut adalah lokasi stasiun dan lintasan penelitian (Gambar 8) serta koordinat posisi stasiun penelitian (Tabel 2).
Gambar 8 Lokasi penelitian dan lintasan survei akustik
15 Tabel 2 Koordinat stasiun penelitian Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Daerah Pulau Kelambu Pulau Tiga Tanjung Berukang Benati Muara Bayur Pipa 9 Muara Pantuan Laut Pantuan Muara Ilu
Posisi Lintang 0 40’ 35.3” 0o 44’ 42.6” 0o 47’ 53.9” 0o 43’ 59.0” 0o 43’ 47.5” 0o 42’ 01.4” 0o 35’ 52.1” 0o 35’ 44.4” 0o 29’ 48.4” o
Bujur 117 22’ 53.7” 117o 24’ 17.3” 117 o 28’ 39.7” 117 o 33’ 46.2” 117 o 32’ 55.6” 117 o 34’ 41.7” 117 o 30’ 47.9” 117 o 34’ 13.0” 117 o 34’ 49.5” o
3.2 Alat dan Bahan Penelitian Peralatan dalam penelitian ini meliputi peralatan pada saat survei di lapangan dan peralatan pada saat pengolahan data (Tabel 3 dan Tabel 4).
Tabel 3 Daftar alat dan bahan yang digunakan di lapangan No. 1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Peralatan Kapal nelayan
Fungsi Sarana Penelitian
Instrumen akustik Scientific echosounder type SIMRAD EY60 Transducer split beam Pemancar dan penerima type ES-120 7C echo Perangkat lunak ER60 Perekam data Penentu data posisi Global Positioning System (GPS) Termometer batang Pengukur suhu Tempat menyimpan Cool box contoh Pengukur salinitas Hand refraktometer Alat pengambil contoh Van veen grab substrat dan bentos Kantung plastic Tempat menyimpan contoh Formalin 10% Bahan pengawetkan contoh Alat tulis
Keterangan Loa=15 m, L=3 m, ukuran mesin 15 GT Tabel 5
Tabel 6 Simrad Garmin 76csx derajat celcius
per mill 20 x 20 cm 15 x 15 cm
16 Tabel 4 Daftar alat dan bahan yang digunakan pada pengolahan data No. 1
2
Nama Alat dan Bahan Komputer
Fungsi Media pengolah data
Data yang diolah
3
Data akustik delta Mahakam Maret 2012 Data Oseanografi
4
Sampel substrat
5
Sampel organisme bentos
Bahan yang akan dianalisis Bahan yang akan dianalisis
6
Echoview 4.0
7 8
Microsoft Excel 2010 Statistica 8.0
9
AcrGIS 9.3
Data yang diolah
Perangkat lunak menterjemahkan echo sebagai target dan menghasilkan keluaran berupa file echogram dan file dengan format *.raw, *.bot, *.idx Perangkat lunak pentabulasi data Perangkat lunak pengolah data statistik Perangkat lunak penyaji data dalam bentuk peta sebaran
Keterangan AMD Turion ™ II dual-core mobile, 4GB DDR2, 320 GB HDD, VGA ATI Radeon HD 4200 (1GB), OS Windows 7 Home Premium 64-bit *.idx *.raw *.bot salinitas, suhu, kedalaman Fraksi dan tekstur kepadatan, keanekaragaman, dominansi
17 3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Diagram Alir Penelitian Adapun diagram alir penelitian ini disajikan dengan Gambar 9 berikut.
Gambar 9 Diagram alir penelitian
18 3.3.2 Desain Survei Desain survei merupakan suatu bentuk rencana atau rancangan jalur perjalanan yang dibuat untuk memudahkan survei akustik. Menurut Simmonds dan MacLennan (2005) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan desain survei, yaitu: 1 Menentukan wilayah geografis yang akan diamati sesuai dengan strategi efektif dan prinsip kerja yang akan diterapkan selama survei. 2 Memperhitungkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencakup seluruh area survei dengan memperhatikan luasan daerah yang akan di survei. 3 Memperhitungkan waktu yang tersedia untuk survei, berikan renggang waktu untuk melakukan aktifitas lainnya. 4 Menentukan strategi pengambilan contoh dan tipe dari jalur perjalanan yang akan dilakukan. 5 Menggambarkan perhitungan panjang jalur perjalanan di atas sebuah peta, pastikan bahwa contoh sampel akan dapat dikumpulkan dari semua bagian wilayah sepanjang jalur perjalanan. Pada penelitian ini desain bentuk jalur survei yang digunakan adalah berupa jalur survei tipe garis menyesuaikan dengan kondisi kontur perairan. Desain yang dibuat dianggap dapat mewakili sampel dari bagian objek penelitian. Pengukuran parameter oseanografi ditentukan berdasarkan stasiun pengukuran. Posisi setiap stasiun berada pada setiap transek lintasan survei dengan interval jarak tertentu.
3.3.3 Pengambilan Data Akustik Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan peralatan akustik yaitu SIMRAD EY60 split-beam windows scientific echosounder (Tabel 5) dan transducer ES-120 7C frekuensi 120 kHz (Tabel 6) yang digunakan sebagai pemancar dan penerima gelombang pulsa.
Tabel 5 Spesifikasi SIMRAD EY60 scientific echosounder system Operating frequency Operating modes Transmission power Ping rate Maximum ping rate Data collection range Receiver filtering Receiver noise figure Split-beam Synchronization Bottom detection settings Transmit power Receiver instantenous dynamic range
120 kHz active adjustable in steps 50 watt adjustable 60 m 20 pings/sec 0 to 1500 m matched digital filters 4 dB complex digital demodulation internal and external adjustable maximum 4 kW 150 dB
19 Tabel 6 Spesifikasi transducer tipe ES-120 7C Spesifikasi Resonant frequency Beamwidth, circular Directivity DI = 10 log D Equivalent two-way beam angle 10 log 𝝍 Maximum pulse power input Maximum transducer depth
Keterangan 120 kHz 7 deg 28 ±1 dB -20.5 ±1 dB 1000 W 150 m
Transducer dipasang pada kedalaman 1 meter dari permukaan air agar pengaruh noise minimum dan tidak berpengaruh terhadap mutu rekaman. Instrumen dioperasikan di setiap stasiun dalam keadaan kondisi kapal diam. Perekaman data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ER60 yang akan merekam dan mengintegrasi semua target yang terdeteksi dalam satu file. Perekaman dilakukan selama 15-20 menit. Hasil dari perekaman oleh ER60 menghasilkan data dengan format: raw data (*.raw), indeks files (*.idk), dan bottom files (*.bot).
3.3.4 Pengambilan Data Contoh Dasar Perairan Teknik pengambilan contoh substrat Pengambilan contoh substrat dilakukan disetiap stasiun yang berada di muara sungai Mahakam, Kalimantan Timur dengan menggunakan van veen grab dengan luas bukaan sebesar 20 × 20 cm. Contoh substrat yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik yang selanjutnya akan dianalisis dengan metode ayakan bertingkat. Jenis atau tipe substrat beserta ukuran substrat diketahui setelah dilakukan analisis tekstur substrat di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah, Kementrian Pertanian, Bogor. Teknik pengambilan contoh makrozoobentos Pengambilan sampel makrozoobentos baik jenis maupun jumlah individu dilakukan dengan cara mengambil contoh substrat dasar perairan. Alat yang digunakan adalah van veen grab (15 x 15 cm). Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali ulangan diusahan tepat di bawah transducer. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik berisi formalin 10% yang telah dicampur dengan rose bengal agar awet. Sampel yang telah diawetkan kemudian dibawa ke laboratorium hidrobiologi, Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Palembang untuk selanjutnya dilakukan identifikasi.
20 3.3.5 Pengolahan Data Akustik Pengolahan data akustik dilakukan di laboratorium akustik dan istrumentasi kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nilai acoustic backscattering volume (Sv) dasar perairan diekstrak menggunakan perangkat lunak Echoview 4.0 (Gambar 10). Data pantulan pertama (E1) diolah menggunakan threshold minimum -50 dB dan maksimum 0 dB. Data pantulan kedua (E2) diolah menggunakan threshold minimum -70 dB dan maksimum 0 dB. Elementary Sampling Distance Unit (ESDU) sebesar 100 ping. Ketebalan integrasi E1 dan E2 adalah 0.2 m (Gambar 10). Prinsip dasar perhitungan nilai Sv adalah: 𝑆𝑉 (𝑑𝐵) = 10 log
𝑏𝑎𝑐𝑘𝑠𝑐𝑎𝑡𝑡𝑒𝑟𝑒𝑑 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 𝑓𝑟𝑜𝑚 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑡 1 𝑚 𝑑𝑖𝑠𝑡𝑎𝑐𝑒 𝑖𝑛𝑐𝑖𝑑𝑒𝑛𝑡 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦
………… (1)
(Johanesson and Mitson 1983) Nilai acoustic surface backscattering (Ss) diperoleh menggunakan persamaan yang menghubungkan bottom volume backscattering coefficient (Sv) dan surface backscattering coefficient (Ss). Pada echosounder dengan bim yang sempit (sharp beam), nilai integrasi sudut beam untuk volume backscattering (ψ) ekuivalen dengan sudut beam untuk permukaan dasar (Ф) atau ψ ≈ Ф, sehingga nilai hambur balik dasar perairan diperoleh dari (Manik 2011): 𝑆𝑠 =
𝑐𝜏 2
𝑆𝑣𝐵 ………………………………....(2) 𝑐𝜏
𝑆𝑆 (𝑑𝐵) = 10 log( 2 )+𝑆𝑉𝐵 ……………….. (3) Keterangan: Ф = instantaneous equivalent beam angle for surface scattering ψ = equivalent beam angle for volume scattering c = kecepatan suara (m/s) τ = pulse length SvB = volume backscattering of bottom
21
Gambar 10 Pengolahan data akustik
3.3.6 Pengolahan Data Contoh Dasar Perairan Analisis substrat Contoh substrat yang diambil dengan menggunakan van veen grab dengan luas bukaan 20 x 20 cm selanjutnya dianalisis sifat fisiknya yaitu tekstur substrat dan densitas dari substrat tersebut yang nantinya digunakan sebagai data in situ sekaligus sebagai data pembanding dari hasil data pengukuran akustik. Klasifikasi metode analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan metode ayakan bertingkat. Klasifikasi tipe substrat menggunakan diagram segitiga dari Shepard (1954). Diagram dibangun dengan sudut-sudut terdiri dari kerikil-pasir-lumpur (Gambar 1). Fraksi kerikil (gravel) merupakan gabungan material ukuran kerikil dan kerakal. Fraksi pasir (sand) merupakan gabungan material ukuran pasir halus sampai kasar. Fraksi lumpur (mud) merupakan gabungan material lanau dan lempung (Dyer 1986). Analisis contoh organisme bentik Contoh organisme bentik yang telah diawetkan selanjutnya disaring pada saringan bertingkat dengan ukuran mata saringan yang telah disesuaikan (0.25 mm, 0.50 mm, dan 1.00 mm). Hasil saringan tersebut kemudian dicuci dengan air tawar hingga bersih dan diawetkan kembali dengan larutan formalin 10% atau alkohol 70%. Identifikasi sampel yang telah dibersihkan dilakukan di bawah mikroskop binokuler, dihitung jumlah individu dan jumlah jenis, serta ditabulasikan sebagai data pengamatan.
22 Analisis populasi dan komunitas makrozoobentos Kepadatan Kepadatan makrozoobentos menurut Brower et al. (1990) didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobentos per satuan luas (m2). Sampel makrozoobentos yang telah diidentifikasi kemudian dihitung kepadatannya dengan menggunakan rumus:
𝐾𝑖 =
10000 𝑥 𝑁𝑖 𝐴
…………………………………………(4)
Keterangan : K = Kelimpahan makrozoobentos (individu/m2) a = Jumlah makrozoobentos (individu) b = Luas bukaan van veen grab (cm2) 10000 = Konversi dari cm2 ke m2 Keanekaragaman Indeks keanekaragaman Shannon (H’) adalah angka yang menunjukkan keanekaragaman suatu organisme dalam suatu ekosistem dan hubungannya dengan ekologi ekosistem tersebut. 𝐻′ = −
𝑛𝑖 𝑠 𝑖=1 𝑁
𝑙𝑜𝑔2
𝑛𝑖 𝑁
= −
𝑠 𝑖=1(𝑝𝑖
𝑙𝑜𝑔2 𝑝𝑖) …………………(5)
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener 𝑛 pi = 𝑖 = Komposisi organisme jenis ke-i 𝑁 ni = Jumlah individu pada spesies ke-i N = Jumlah individu total (Bengen 2000) Dominansi Indeks dominansi adalah angka yang menunjukkan ada atau tidaknya dominansi spesies tertentu terhadap spesies-spesies lainnya yang berada dalam satu ekosistem yang sama, berkaitan erat dengan kestabilan kondisi lingkungan dan tekanan ekologi dalam ekosistem tersebut.
𝐶=
𝑛𝑖 2 𝑠 𝑖=1 𝑁
=
𝑠 2 𝑖=1 𝑝𝑖
……………………………(7)
Keterangan: C = Indeks dominansi ni = Jumlah individu pada spesies ke-i N = Jumlah total individu dari semua spesies pi = Perbandingan jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah total individu yang telah ditemukan. (Krebs 2009)
23 3.3.7 Analisis Kompenen Utama (AKU) Analisis komponen utama (AKU) adalah teknik yang digunakan untuk menyederhanakan suatu data dengan cara mentransformasi data secara linier sehingga berbentuk sistem koordinat baru dengan varians maksimum (Miranda et al. 2008). Dalam penerapannya, analisis komponen utama justru dibatasi oleh asumsi-asumsinya, yaitu asumsi kelinearan model regresi, asumsi keorthogonalan komponen utama dan asumsi varians yang besar memiliki struktur yang penting (Johnson dan Wichern 2007). Siswadi dan Suharjo (1997) menyatakan analisis komponen utama (AKU) bertujuan untuk menerangkan struktur variansi-kovariansi melalui kombinasi linear dari variabel-variabel asal. AKU biasanya digunakan untuk: 1 Mengidentifikasi variabel-variabel baru yang mendasari data variabel ganda. 2 Mengurangi banyaknya dimensi himpunan variabel asal yang terdiri atas banyak variabel dan saling berkorelasi. 3 Menetralisir variabel-variabel asal yang memberikan sumbangan informasi yang relatif kecil. Variabel baru yang dimaksud di sini disebut dengan komponen utama, yang berciri merupakan kombinasi linear variabel-variabel asal, jumlah kuadrat koefisien dalam kombinasi linear bernilai 1, tidak saling berkorelasi, dan ragamnya terurut dari yang terbesar ke yang terkecil. Keeratan hubungan antara peubah asal dengan komponen utama dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi antara peubah asal dengan komponen utama (Isyriyah dan Poerbaningtyas 2011). Pada penelitian ini AKU digunakan untuk melihat hubungan antara komposisi partikel tipe substrat dan nilai backscattering volume dasar perairan serta hubungannya dengan komunitas makrozoobentos.
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Substrat Dasar Perairan Pengambilan contoh substrat pada penelitian ini diambil dari masing-masing stasiun yang kemudian dilakukan analisis untuk menentukan tekstur substratnya. Penentuan tekstur substrat dasar perairan didasarkan pada komposisi dan persentase fraksi substrat yang menyusunnya. Pada umumnya tekstur substrat disusun atas kombinasi antara fraksi pasir (sand), lanau (silt), dan liat (clay) di mana pemisahannya digunakan teknik pengayakan. Persentase ketiga fraksi tersebut akan dikalkulasikan kemudian ditentukan jenis substratnya dengan mencocokkannya pada segitiga Shepard (Tabel 7).
Tabel 7 Persentase fraksi substrat di lokasi penelitian Posisi Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Fraksi (%)
Lintang
Bujur
0o 40’ 35.3” 0o 44’ 42.6” 0o 47’ 53.9” 0o 43’ 59.0” 0o 43’ 47.5” 0o 42’ 01.4” 0o 35’ 52.1” 0o 35’ 44.4” 0o 29’ 48.4”
117o 22’ 53.7” 117o 24’ 17.3” 117 o 28’ 39.7” 117 o 33’ 46.2” 117 o 32’ 55.6” 117 o 34’ 41.7” 117 o 30’ 47.9” 117 o 34’ 13.0” 117 o 34’ 49.5”
Pasir Lanau Liat (sand) (silt) (clay) 23.1 85.7 19.2 0.3 72.1 6.8 38.8 1.2 7.3
52.8 6.8 47.6 57 3.5 75.6 38 83.6 61.8
24.1 7.5 33.2 42.7 24.4 17.6 23.2 15.2 30.9
Tipe Substrat Lumpur berpasir Pasir Lumpur Lumpur Pasir berlumpur Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Lumpur
Hasil analisis seluruhlaboratorium stasiun pengamatan tipe substrat didominasi Sumber: Hasil analisis fisika tanah, menunjukkan Balai Penelitian Tanah, Kementrian Pertanian oleh (2012). fraksi lanau yaitu rata-rata persentase sebesar 47.18% dengan fraksi Hasil analisis seluruh stasiun pengamatan menunjukkan tipe substrat didominasi oleh fraksi debu yaitu rata-rata persentase sebesar 47.41% dengan fraksi pasir sebesar 28.27%, dan liat sebesar 24.31% (Tabel 7). Komposisi debu dan liat ditemui di semua stasiun kecuali pada stasiun 2. Stasiun 2 pasir memiliki komposisi fraksi pasir sebesar 85.7% dan kedalaman 2.72 m. Fraksi debu tertinggi tercatat pada lokasi stasiun 8 dengan persentase sebesar 83.6% pada kedalaman 4.59 m. Persentase fraksi liat tertinggi tercatat pada lokasi stasiun 4 dengan persentase sebesar 42.7% pada kedalaman 3.44 m. Lumpur berpasir ditemui pada stasiun 1 dan 7. Substrat tipe pasir hanya ditemui pada stasiun 2. Substrat tipe pasir berlumpur hanya ditemui pada stasiun 5 dan substrat tipe lumpur ditemui pada stasiun 3, 4, 6, 8, dan 9 (Gambar 11 dan 12). Ukuran fraksi yang tidak diketahui secara rinci menyebabkan sulitnya pembuatan klasifikasi tipe substrat berdasarkan ukuran butir.
25
Gambar 11 Sebaran tipe substrat berdasarkan stasiun
Gambar 12 Sebaran tipe substrat berdasarkan lintasan survei akustik
26 Stasiun pengamatan dengan posisi menjauhi muara sungai, memiliki tipe substrat berupa lumpur. Stasiun 2, 5, dan 7 komposisi substrat didominasi oleh fraksi pasir kecuali pada stasiun 1 karena posisi stasiun berada di mulut sungai sehingga kecepatan aliran air sungai dan debit air yang tinggi mampu membawa butiran substrat berukuran besar dan kasar. Selain itu, butiran substrat yang dibawa tidak hanya berasal dari satu aliran sungai saja tetapi berasal dari beberapa aliran anak sungai sehingga meningkatkan kecepatan arus dari aliran sungai. Pada stasiun 3, 4, 6, 8, dan 9 komposisi substrat didominasi oleh lanau (silt) dan liat (clay), hal ini dikarenakan posisi stasiun yang menjauhi mulut sungai sehingga pengaruh arus dari aliran sungai dan gelombang sudah melemah sehingga hanya mampu membawa substrat berukuran kecil dan halus. Fraksi lanau dan liat yang memiliki massa dan diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan fraksi pasir lebih mudah terbawa oleh arus air. Semakin menuju laut lepas maka kekuatan arus semakin lemah sehingga butiran berukuran besar dan berat seperti pasir tidak dapat terbawa oleh aliran air seperti lanau dan liat. Purbani et al. (2010) menyatakan daerah yang dekat dengan muara sungai cenderung memiliki butiran substrat yang lebih kasar dibandingkan dengan substrat yang diendapkan jauh dari muara sungai terutama sungai-sungai yang memiliki debit yang besar. Hal tersebut dapat dilihat dari pola sebaran substratnya di mana substrat berupa pasir terendapkan di sekitar muara sungai, sedang ke arah laut lepas ukuran butir substrat berangsur halus. Tipe substrat akan mempengaruhi jenis dan pola sebaran dari organisme bentik. Substrat lumpur mengandung bahan nutrien tinggi yang berasal dari zat-zat organik sebagai bahan makanan, sebagai tempat berlindung dan memijah. Oleh karena itu, tipe substrat lumpur merupakan habitat yang ideal bagi organisme bentik. Sebaran tipe substrat sepanjang 140 km sesuai dengan lintasan survei akustik (Gambar 12). Penentuan tipe substrat lintasan didasarkan pada nilai SV stasioner yang divalidasi dengan tipe substrat contoh. Secara umum tipe substrat yang dideteksi sepanjang lintasan didominasi oleh tipe substrat lumpur dan lumpur berpasir.
4.2 Nilai Backscattering Strength (BS) Dasar Perairan Pantulan dari setiap ping yang diterima oleh receiver disajikan dalam bentuk echogram. Interpretasi dan kuantifikasi echogram dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Echoview 4.0. Analisis mengenai dasar perairan menggunakan tiga parameter, yaitu pantulan pertama (E1), pantulan kedua (E2), dan surface scattering strength (SS). Masing-masing pantulan akan membawa informasi yang berbeda sesuai dengan sifat dasar perairannya dan disajikan dalam bentuk echogram atau jejak gema. E1 menggambarkan kekasaran dan E2 menggambarkan kekerasan dari dasar perairan (Tabel 8 dan 9).
27 Tabel 8 Nilai backscattering strength (BS) dasar perairan Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 a
Kedalaman (m) 2.77 2.72 6.09 3.44 3.00 2.00 2.85 4.59 2.82
ca (m/s) 1509.13 1504.37 1504.37 1506.78 1506.78 1504.37 1504.37 1504.37 1504.13
SV (dB) E1 E2 -18.55 -49.72 -13.48 -46.22 -20.53 -54.59 -28.65 -75.69 -15.25 -47.92 -23.47 -56.13 -18.62 -50.78 -24.96 -57.59 -22.27 -52.53
SS (dB) -17.14 -12.97 -19.25 -30.87 -13.96 -22.31 -15.64 -24.19 -20.67
Tipe Substrat Lumpur berpasir Pasir Lumpur Lumpur Pasir berlumpur Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Lumpur
c: kecepatan suara di kolom perairan.
Tabel 9 Nilai standar deviasi dan standar error parameter akustik Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Standar Deviasi E1 E2 SS 4.234E-03 1.960E-06 5.977E-03 2.692E-02 2.312E-05 2.610E-02 3.553E-03 2.861E-06 9.700E-03 7.865E-04 2.298E-08 5.616E-04 3.274E-02 2.851E-04 2.253E-02 8.124E-03 6.398E-06 5.029E-03 6.046E-03 6.978E-06 2.408E-02 5.303E-03 4.703E-06 2.279E-03 8.548E-04 2.731E-06 8.945E-03
E1 4.675E-04 2.937E-03 3.809E-04 7.945E-05 3.432E-03 9.852E-04 6.718E-04 5.529E-04 1.022E-04
Standar Error E2 SS 2.165E-07 1.336E-03 2.523E-06 6.525E-03 3.067E-07 2.925E-03 2.321E-09 1.288E-04 2.989E-05 6.022E-03 7.759E-07 1.125E-03 7.753E-07 6.435E-03 4.903E-07 4.974E-04 3.265E-07 2.000E-03
Tabel 10 Urutan Scattering Volume (SV) Stasiun 4 8 6 9 3 7 1 5 2 a
Kedalaman
ca
(m)
(m/s)
E1
E2
(dB)
3.44 4.59 2 2.82 6.09 2.85 2.77 3 2.72
1506.78 1504.37 1504.37 1504.13 1504.37 1504.37 1509.13 1506.78 1504.37
-28.65 -24.96 -23.47 -22.27 -20.53 -18.62 -18.55 -15.25 -13.48
-75.69 -57.59 -56.13 -52.53 -54.59 -50.78 -49.72 -47.92 -46.22
-30.87 -24.19 -22.31 -20.67 -19.25 -15.64 -17.14 -13.96 -12.97
c: kecepatan suara di kolom perairan.
SV (dB)
SS
Tipe Substrat Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur berpasir Lumpur berpasir Pasir berlumpur Pasir
28 Nilai E1 lebih besar daripada E2 (Tabel 8), hal ini disebabkan oleh energi yang hilang karena faktor jarak, penyerapan energi oleh medium air, dan penyebaran energi. E1 terbentuk dari satu kali pantulan dengan dasar perairan sedangkan E2 terbentuk dari satu kali pantulan dengan permukaan perairan dan dua kali dengan dasar perairan yang menyebabkan E2 kehilangan energi lebih banyak daripada E1. Berdasarkan tipe substratnya, tipe substrat pasir pada stasiun 2 terdeteksi pada nilai E1 sebesar -13.48 dB dan E2 sebesar -46.22 dB. Tipe pasir berlumpur pada stasiun 5 terdeteksi pada nilai E1 sebesar -15.25 dB dan E2 sebesar -47.92 dB. Nilai E1 tipe lumpur pada stasiun 3, 4, 6, 8, dan 9 terdeteksi antara -28.65 dB sampai -20.53 dB dan nilai E2 antara -75.69 dB sampai -54.59 dB. Nilai E1 tipe lumpur berpasir pada stasiun 1 dan 7 sebesar -18.55 dB dan 18.62 dB serta nilai E2 sebesar -49.72 dB dan -50.78 dB. Artinya perbedaan nilai gema yang terdeteksi mengindikasikan bahwa masing-masing gema membawa informasi berbeda yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik substrat yang mengenainya. Brekhovskikh dan Lysanov (1982) menyatakan E1 diproduksi oleh hamburan dan dengan demikian memberikan informasi mengenai kekasaran. E2 diproduksi oleh refleksi dan menyediakan informasi mengenai kekasaran dasar perairan. Pasir memiliki nilai hambur balik lebih besar daripada lumpur (Tabel 10), hal ini dikarenakan ukuran butir pasir lebih besar dan porositasnya rendah daripada lumpur. Pasir memiliki pori-pori makro yang sebagian besar diisi gelembung udara yang bersifat memantulkan energi sehingga energi yang diterima oleh pasir lebih kuat. Energi yang cukup kuat dapat menimbulkan dua kali pantulan (E2) atau lebih. Lumpur cenderung bertekstur halus memiliki ukuran butir kecil dan porositasnya tinggi. Porositas tinggi berarti memiliki ruang pori total lebih banyak yang tersusun atas pori-pori kecil yang sebagian besar diisi oleh air yang sifatnya menyerap energi. Oleh karena itu energi yang mengenai lumpur sebagian akan diserap oleh air yang terkandung di dalam lumpur sehingga energi yang kembali akan lebih sedikit. Jumlah energi yang berkurang menyebabkan nilai hambur balik lumpur menjadi kecil dan kemungkinan pembentukan E2 menjadi lebih kecil. Selain faktor-faktor tersebut, hal lain yang mempengaruhi hamburan dan pantulan adalah impedansi akustik antara air dan dasar perairan. Namun karakteristik dari dasar perairan yang berbeda akan menghasilkan nilai akustik E1 dan E2 yang berbeda pula karena dasar perairan memiliki sifat-sifat fisik yang kompleks dan hubungan lainnya yang belum diketahui. Boulton dan Wyness (2001) menyatakan permukaan dasar perairan yang keras akan menghasilkan pantulan yang kuat, sementara itu permukaan yang lunak akan menghasilkan sinyal yang lemah. Permukaan yang kasar akan menyebabkan gema meluruh secara perlahan, sementara permukaan yang rata akan menyebabkan gema meluruh secara cepat. Surface backscattering strength merupakan model yang dikembangkan untuk mengetahui nilai hambur balik dari permukaan dasar perairan. Nilai SS diperoleh dengan menggunakan persamaan logaritma yang menghubungkan antara maximum backscattering volume (SVmax) dasar perairan, cepat rambat suara (c), dan besar pulsa (τ) (Manik 2012). Nilai SS berbanding lurus dengan nilai SV (E1 dan E2) (Tabel 10). Nilai SS untuk pasir pada stasiun 2 adalah -12.97 dB dan pasir berlumpur pada stasiun 5 adalah -13.96 dB. Nilai SS untuk lumpur pada stasiun 3, 4, 6, 8, dan 9 adalah antara -30.87 dB sampai -19.25 dB. Nilai
29 lumpur berpasir pada stasiun 1 dan 7 adalah -17.14 dB dan -15.64 dB. Secara akustik semakin besar ukuran butiran substrat semakin tinggi nilai SS yang terdeteksi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sifat fisik lain dari substrat atau adanya organisme bentik yang mendiami daerah tersebut. Jika diamati nilai standar deviasi untuk E1, E2, dan SS lebih kecil daripada nilai rata-ratanya. Semakin kecil nilai standar deviasi terhadap rata-rata berarti variasi nilai data semakin sama karena data tersebut merupakan data stasioner. Hal ini membuktikan nilai rata-rata dapat digunakan untuk representasi dari keseluruhan data stasioner (Tabel 9). Secara akutik telah dapat dibedakan beberapa tipe substrat berdasarkan kekasaran dan kekerasannya (Tabel 10). Tipe substrat dibedakan menjadi empat yaitu lumpur yang memiliki nilai pantulan paling rendah, lumpur berpasir, pasir berlumpur, pasir yang memiliki pantulan paling tinggi. Namun belum dapat dibedakan secara rinci berdasarkan ukuran butir substrat karena hasil analisis fraksi tanah tidak diketahui ukuran masing-masing tipe substrat. Perbedaan tipe substrat yang terdeteksi akan terlihat secara jelas pada echogram yang ditunjukkan melalui perbedaan warna. Semakin merah menuju coklat warnanya maka tipe substrat yang dideteksi semakin keras dan kasar (Gambar 13, 14, 15, dan 16).
Gambar 13 Contoh echogram tipe substrat pasir
30
Gambar 14 Contoh echogram tipe substrat pasir berlumpur
Gambar 15 Contoh echogram tipe substrat lumpur berpasir
31
Gambar 16 Contoh echogram tipe substrat lumpur
Pasir dengan ukuran butiran lebih besar akan memberikan pantulan yang lebih kuat ditunjukkan dengan warna merah (Gambar 13). Echogram tipe pasir berlumpur digambarkan dengan warna merah bercampur kuning dan jingga menunjukkan pantulan yang sedikit melemah karena persentase pasir semakin berkurang (Gambar 14). Tipe lumpur berpasir digambarkan dengan warna echogram lebih dominan hijau gelap bercampur kuning menunjukkan pantulan dari lumpur yang lemah lebih dominan karena persentase lumpur lebih banyak dibandingkan pasir (Gambar 15). Tipe substrat lumpur digambarkan dengan warna echogram hijau dan biru gelap menunjukkan pantulan dari lumpur sangat lemah karena jumlah pantulan yang sedikit sehingga energinya melemah (Gambar 16). Semakin halus dan kecil ukuran butiran substrat maka pantulannya semakin lemah yang ditunjukkan dengan warna echogram yang semakin keabuan. Pujiyati et al. (2010) menyatakan bahwa kekasaran, kekerasan, dan ukuran butiran substrat sangat mempengaruhi nilai hambur balik dasar perairan. Semakin besar ukuran butiran umumnya akan semakin besar tingkat kekasaran dan kekerasan dari tipe substrat dasar perairan. Secara teori kedalaman perairan sebagai fungsi dari jarak mempengaruhi jumlah energi yang dipancarkan dan dipantulkan sebagai fungsi dari kecepatan suara. Jumlah energi berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan. Kehilangan energi akibat jarak ini akan berdampak pada hasil pengukuran akustik. Sistem echosounder modern memiliki solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Time varied gain adalah suatu sistem otomatis yang digunakan untuk menstabilkan energi suara karena pengaruh jarak agar hasil pengukuran dapat optimal. Namun pada penelitian ini faktor jarak atau kedalaman tidak memberikan pengaruh terhadap hasil pengukuran akustik karena jarak kedalaman tidak lebih dari 100 m. Menurut Brennan (2009) kecepatan suara akan bertambah sebesar 1.7 m/s setiap penambahan kedalaman sebesar 100 m atau 10 atm.
32 Beberapa penelitian mengenai nilai hambur balik dasar perairan telah dilakukan di Indonesia dan luar negeri (Tabel 11 dan 12).
Tabel 11 Penelitian nilai backscattering strength (BS) dasar perairan di Indonesia Peneliti/ Tahun Manik et al. 2006
Nama alat/ Perangkat lunak Quantitive Echosounder Multiple-beam Multifrequency/ Matlab
Samudera Hindia
Pujiyati 2008
SIMRAD EY500 Split-beam 38 kHz/EP500
Perairan Bangka Pasir: -20.00 Belitung dan Lumpur: -35.91 Laut Jawa
Purnawan 2009
SIMRAD EY60 Split-beam 120 kHz/Matlab
P. Pari, Kep. Seribu
Pasir: -16.35
Zulham 2010
SIMRAD EM3000 Multibeam 300 kHz/Matlab
Perairan Aceh
Pasir: -19.19 Pasir berlumpur: -19.54 Lumpur berpasir: -21.89 Lumpur: -26.96
Taruk Allo 2011
SIMRAD EY60 Split-beam 120 kHz/Echoview dan Matlab
P. Pramuka, P. Panggang, P. Karya, P. Semak Daun, Kep. Seribu
Pasir: -13.23 Pasir berlumpur: -21.15
Penelitian ini 2012
SIMRAD EY60 Split-beam 120 kHz/Echoview
Delta Mahakam, Kalimantan Timur
Pasir: -12.97 Pasir berlumpur: -13.96 Lumpur berpasir: -17.14 Lumpur: -30.87
Lokasi
Nilai BS (dB) Pasir: -18.30 Lumpur berpasir: -23.40 Lumpur: -29,00
33
Gambar 17 Perbandingan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
Tabel 12 Penelitian nilai backscattering strength (BS) di luar negeri Peneliti/ Tahun Kagesten 2008
Nama Alat
Lokasi
Nilai BS (dB)
SIMRAD EM3002 Dual head multibeam 300 kHz
Teluk Bosnia
Sand: -14.1 Silt: -17.4 Clay: -25
Herrmann dan Lamarche 2009
SIMRAD EM300 Multibeam 30 kHz
Selat Cook, New Zealand
Gravel: -13.57 Coarse sand: -17.17 Medium sand: -22.65 Fine sand: -24.92
Furusawa 2011
Quantitative Echosounder (KFC-3000, Sonic) Multifrekuensi
Laut Jawa, Indonesia
Sand: -14.8 Silt: -19.2 Silty clay: -27.5
Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Gambar 17), maka dapat dilihat nilai BS yang dihasilkan dari tipe substrat yang sama nilai hambur baliknya berbeda. Perbedaan nilai BS dapat terjadi karena perbedaan karakteristik dari suatu perairan. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi salinitas, kecepatan suara, tekanan, dan kedalaman. Frekuensi dan panjang gelombang dari echosounder yang digunakan pada saat pengambilan data juga sangat mempengaruhi. Frekuensi rendah dengan panjang gelombang yang panjang akan menghasilkan data yang relatif lebih baik. Selain itu perangkat lunak yang digunakan juga akan mempengaruhi hasil pengolahan data karena setiap perangkat lunak menggunakan algoritma yang berbeda. Namun
34 penggunaan echosounder harus tetap disesuaikan spesifikasinya dengan kondisi lokasi dan objek penelitian. Walaupun nilai hambur balik yang dihasilkan berbeda, polanya tetap sama. Semakin kecil dan halus ukuran butir substrat maka nilai hambur balik akustiknya akan semakin lemah.
4.3 Nilai Volume Backscattering Strength (SV) Kolom Perairan Pada penelitian ini nilai kuantifikasi SV tidak hanya berasal dari dasar perairan tetapi juga berasal dari kolom perairan. Nilai diperoleh dari hasil integrasi kolom perairan sebesar 50 cm dari dasar perairan. Hal ini karena pada zona tersebut fraksi lanau paling banyak tersuspensi karena pengaruh arus sebelum mengendap (Tabel 13).
Tabel 13 Nilai SV pada kolom perairan K1 Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SV (dB) -69.70 -59.59 -67.32 -64.42 -30.78 -57.62 -64.96 -54.39 -45.00
SE 1.92890E-08 1.79515E-07 1.65774E-08 5.87847E-08 2.08773E-04 2.77584E-07 3.19212E-07 3.16619E-07 6.57518E-06
K2 SD 7.71561E-08 7.18059E-07 6.83503E-08 2.56236E-07 8.85749E-04 1.00084E-06 2.89996E-07 1.30546E-06 2.18074E-05
SV (dB) -79.53 -69.30 -82.96 -83.48 -31.85 -60.11 -69.82 -69.02 -63.03
SE 8.40674E-10 1.50348E-08 8.64171E-10 2.81283E-10 1.53143E-04 2.45731E-07 1.46917E-08 5.42115E-08 3.50785E-08
SD 3.36270E-09 6.01390E-08 3.56307E-09 1.22608E-09 6.31424E-04 8.85996E-07 5.87670E-08 2.23520E-07 1.16342E-07
Fraksi lanau digunakan sebagai parameter yang diukur karena secara umum jika dilihat dari semua stasiun fraksi lanau memiliki persentase yang tinggi atau dominan yang terkandung di perairan. Nilai threshold minimum untuk pemrosesan data adalah -100 dB untuk K1 dan -120 dB untuk K2, sedangkan untuk nilai threshold maksimum untuk K1 dan K2 adalah sama yaitu 0 dB. Nilai rata-rata untuk K1 sebesar -40.12 dB dan untuk K2 sebesar -41.38 dB. Nilai tertinggi K1 dapat ditemui pada stasiun 5 sebesar -30.78 dB dengan persentase lanau sebesar 3.5%. Hal ini karena persentase lanau sangat sedikit sehingga energi yang dipantulkan sebagian besar berasal dari pasir yang memiliki persentase sebesar 72.1%. Semakin tinggi nilai akustik maka ukuran objek yang dideteksi akan semakin besar. Nilai terendah K1 dapat ditemui pada stasiun 1 sebesar 69.70 dB dengan persentase lanau sebesar 52.8 %. Dilihat dari standar deviasinya, nilai SD untuk K1 atau K2 jauh lebih kecil daripada nilai SV untuk K1 atau K2, ini berarti variasi nilai sebaran K1 dan K2 semakin sama, sehingga nilai SV K1 dan K2 dapat digunakan untuk merepresentasikan keseluruhan data.
35 4.4 Komposisi Makrozoobentos Makroozoobentos yang dikumpulkan dari lokasi penelitian kemudian dilakukan observasi di laboratorium. Komposisi makrozoobentos yang ditemukan terdiri dari 9 kelas yaitu kelas Polychaeta (9 famili dan 5 spesies), Oligochaeta (2 spesies), Turbellaria (1 ordo), Insecta (1 famili), Ophiuroidea (1 spesies), Crustacea (1 spesies), Malacostraca (3 spesies), Bivalvia (3 spesies), dan Gastropoda (1 spesies). Supriharyono (2000) menyatakan beberapa spesies yang hidup di muara sungai berasal dari Polychaeta, Crustacea, Mollusca, kerang, anemon laut, kepiting, teritip, dan bintang laut (Tabel 14 dan Gambar 18). Gastropoda 2% Bivalvia 12% Malacostraca 9% Crustace 5% Insecta Ophiuroidea 2% 2% Turbellaria 3%
Polychaeta 52%
Oligochaeta 13%
Gambar 18 Persentase komposisi kepadatan makrozoobentos
36 Tabel 14 Komposisi makrozoobentos Makrozoobentos POLYCHAETA Phyllodocidae Orbiniidae Pontodora sp. Polycirrus sp. Ampharitidae Terebellidae Hesionidae Chrysopetalidae Fabricia sp. Polydora sp. Pectinariidae Parergodrilidae Polynoidae Nereis sp. OLIGOCHAETA Tubificidae (Immature tubificids with hair setae) Tubificidae (Immature tubificids without hair setae) TURBELLARIA Polycladida INSECTA Chironomidae OPHIUROIDEA Ophioderma sp. CRUSTACEA Gammarus sp. MALACOSTRACA Mysis oculata relicta Aega psora Cyclaspis sp. BIVALVIA Nerita lineate Pandora inornata Pandora glacialis GASTROPODA Melanoides granifera JUMLAH JENIS JUMLAH INDIVIDU Sumber: Pennak (1989).
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
1 1
7
12 -
7 3 1 -
1 -
3 1 1 -
1 -
1 -
2 1 -
-
-
-
2
-
3
4
-
-
-
-
-
-
-
1
1
-
-
-
-
-
-
1
1
-
-
-
2
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
1
-
1
-
-
-
-
-
-
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
1 2 2
-
-
-
-
5 -
-
-
-
-
-
1 -
3 1
2 4
2 12
1 12
2 7 20
3 4
11 17
3 6
2 2
4 7
37
Gambar 19 Distribusi jumlah jenis makrozoobentos
Gambar 20 Distribusi jumlah individu makrozoobentos
38 Jumlah jenis dan individu yang ditemui antar stasiun bervariasi (Tabel 14, Gambar 19, dan 20). Jumlah jenis tertinggi ditemukan pada stasiun 6 dengan jumlah 11 jenis dan terendah ditemukan pada stasiun 3 yaitu hanya 1 jenis. Jumlah individu tertinggi ditemukan pada stasiun 3 dengan jumlah 20 individu dan jumlah individu terendah ditemukan pada stasiun 8 dengan jumlah 2 individu. Hasil perhitungan komposisi menunjukkan persentase kelas Polychaeta sebesar 51.19%, Oligochaeta sebesar 13.09%, Turbellaria sebesar 2.38%, Insecta sebesar 2.38%, Ophiroidea sebesar 2.38%, Crustacea sebesar 4.76%, Malacostraca sebesar 8.33%, Bivalvia sebesar 11.9%, dan Gastropoda sebesar 2.38% (Gambar 18). Pada stasiun 4, 5, dan 6 (Gambar 19) distribusi makrozoobentos lebih tinggi daripada stasiun lainnya karena pada stasiun 4, 5, dan 6 tipe substratnya adalah lumpur, pasir berlumpur, dan lumpur. Tipe substrat tersebut mendukung sebagai tempat hidup bagi makrozoobentos karena posisinya yang berdekatan maka kebutuhan makrozoobentos terhadap oksigen, makanan, perlindungan, dan perkembangbiakan dapat terpenuhi. Tipe substrat pasir mengandung oksigen yang tinggi namun miskin nutrien, sedangkan tipe substrat lumpur sebaliknya miskin oksigen namun kaya nutrien. Kedua tipe substrat tersebut memaksa organisme bentik untuk dapat beradaptasi. Hal ini terbukti pada makrozoobentos kelas Polycaheta yang merupakan biota yang paling banyak ditemui diseluruh stasiun. Polychaeta memiliki kemampuan untuk menggali, membentuk tabung, pemakan detritus, dan pemakan suspensi. Kemampuan tersebut sangat berguna untuk dapat Polychaeta bertahan hidup di habitat pasir maupun lumpur. Pada stasiun 3 hanya ditemukan 1 jenis individu dari kelas Polychaeta yaitu Orbiniidae. Hal ini diduga posisi stasiun 3 dengan tipe substrat lumpur berada dekat dengan tambak udang yang kaya akan bahan organik, namun hanya Orbiniidae yang mampu bertahan hidup karena daerah tersebut miskin oksigen sehingga hanya Polychaeta sebagai biota pemakan deposit (deposit feeder) dan sifatnya tidak berpindah serta ada beberapa famili yang bersifat opportunistik yaitu dapat bertahan hidup pada kondisi yang kurang stabil maka Polychaeta dapat digunakan sebagai indikator lingkungan suatu perairan (Pearson et al. 1983).
4.5 Kepadatan, Keanekaragaman, dan Dominansi Makrozoobentos Karakteristik dari suatu perairan dapat ditentukan dari banyak faktor, salah satunya adalah dengan mengamati hubungan antara tingkah laku biota terhadap lingkungannya. Perubahan kualitas suatu perairan sangat berpengaruh terhadap komposisi, kepadatan, keanekaragaman, dan dominansi dari biota yang hidup didalamnya (Tabel 15).
39 Tabel 15 Kepadatan, indeks keanekaragaman, dan dominansi makrozoobentos Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kepadatan (K) (ind/m2) 177.78 533.33 533.33 888.89 177.78 755.56 266.67 88.89 311.11
Keanekaragaman Dominansi (H’) (C) 0.45 0.29 0.00 0.65 0.45 0.99 0.37 0.30 0.55
0.37 0.51 1.00 0.21 0.37 0.11 0.50 0.50 0.30
Tipe Substrat Lumpur berpasir Pasir Lumpur Lumpur Pasir berlumpur Lumpur Lumpur berpasir Lumpur Lumpur
1000 900 Kepadatan (ind/m2)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 21 Kepadatan makrozoobentos
Kepadatan makrozoobentos tertinggi terdapat pada stasiun 4 dengan total kepadatan sebesar 888.89 ind/m2. Kondisi ini diduga karena posisi stasiun 4 dekat dengan tepi hutan mangrove dan nypa yang substratnya mengandung nutrien cukup tinggi (Tabel 15 dan Gambar 21). Hal ini didukung oleh Sunarto (2008) yang menyatakan bahwa pada satu wilayah dasar perairan yang mendapatkan guguran serasah daun mangrove cukup banyak akan didegradasi oleh mikroba menjadi bahan organik dengan kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Kandungan nutrisi yang cukup tinggi dan kandungan bahan organik yang cukup banyak maka
40 akan memberikan kesempatan kepada biota bentik untuk hidup dan tumbuh berkembang. Karakteristik perairan ini memiliki pola sebaran kepadatan biota rendah pada muara sungai, meningkat di lokasi depan muara sungai, kemudian akan kembali menurun di stasiun terjauh. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh arus dan debit air sungai, semakin ke arah laut maka arus dan debit air relatif menurun sehingga arus yang lemah hanya mampu membawa objek yang berukuran kecil. Nybakken (1988) menyatakan arus akan dapat mempengaruhi pola penyebaran organisme. Akibat adanya arus yang kuat butiran substrat dapat teraduk dan tersuspensi kembali. Hal ini sangat mempengaruhi hewan infauna yang hidup di dalam substrat. Kepadatan terendah ditemui pada stasiun 8 dengan total kepadatan sebesar 88.89 ind/m2. Posisi stasiun yang jauh dari muara dan dekat dengan bangunan kilang minyak diduga mempengaruhi pasokan nutrien, suhu, dan salinitas di lokasi tersebut, sehingga hanya jenis tertentu saja yang mampu beradaptasi sisanya akan terdegradasi. Odum (1996) menyatakan jumlah spesies dapat berkurang jika suatu lingkungan mendapat tekanan baik secara fisik, biologi maupun secara kimia.
1.2 1
Indeks H'
0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5
6
7
Stasiun
Gambar 22 Indeks keanekaragaman
8
9
41 Menurut Wibisono (2010) kriteria penilaian indeks keanekaragaman dibagi menjadi lima (Tabel 16).
Tabel 16 Kriteria penilaian pembobotan kualitas lingkungan bentos H’ > 2.41 1.81 – 2.4 1.21 – 1.8 0.61 – 1.2 < 0.6
Kondisi struktur komunitas Sangat tinggi, sangat stabil Tinggi, lebih stabil Sedang, stabil Rendah, cukup stabil Sangat rendah, tidak stabil
Kategori Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Skala 5 4 3 2 1
Sumber: Wibisono (2010).
Nilai indeks keanekaragaman (H’) untuk lokasi penelitian secara umum berkisar antara 0 – 0.99 (Tabel 15). Jika disesuaikan dengan kriteria pembobotan kualitas lingkungan bentos (Tabel 16) berarti kondisi struktur komunitas keanekaragaman sangat rendah dan tidak stabil. Kondisi ini masuk dalam skala 1 dalam kategori sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak dan pertambangan sehingga menurunkan kualitas perairan dan mempengaruhi jumlah keanekaragaman makroozoobentos yang mendiami tempat tersebut, hanya makrozoobentos tertentu yang mampu bertahan hidup pada kondisi seperti ini. Nilai H’ terendah ada pada stasiun 3 sebesar 0 yang berarti kondisi struktur komunitas sangat rendah dan tidak stabil artinya masuk dalam kategori sangat buruk. Pada lokasi ini hanya ditemui 1 jenis individu dari kelas Polychaeta. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana posisi stasiun berada dekat dengan lokasi pertambakan sehingga terjadi laju substratasi yang cukup tinggi dan hanya jenis tertentu dari Polychaeta yang mampu bertahan hidup. Pada stasiun ini yang mampu bertahan hidup adalah dari famili Orbiniidae. Beberapa jenis dari famili ini termasuk jenis oportunistik dan memiliki karakteristik sebagai pemakan deposit. Pemakan deposit dan jenis oportunistik menyukai tipe substrat lumpur sehingga dapat memanfaatkan kandungan oksigen yang rendah di dalam substrat. Odum (1996) menyatakan jumlah spesies dapat berkurang jika suatu lingkungan mendapat tekanan baik secara fisik, biologi maupun secara kimia. Nilai H’ tertinggi ada pada stasiun 6 sebesar 0.99 yang artinya tingkat keanekaragamannya rendah dengan kondisi lingkungan cukup stabil artinya lokasi tersebut masuk dalam kategori buruk. Pada stasiun 6 dapat dijumpai 11 jenis dari 6 famili yang berbeda. Kondisi ini diduga karena posisi stasiun yang berada jauh dari muara sungai tingkat substrattasi dari sungai dan pengaruh limbah tambak berkurang, namun adanya bangunan pertambangan mengakibatkan suhu dan sedimentasi yang berasal dari buangan limbah pertambangan meningkat.
42 1.2 1
Indeks C
0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 23 Indeks dominansi Nilai indeks dominansi berkisar antara 0.11 – 1 (Tabel 15 dan Gambar 23). Odum (1971) menyatakan nilai indeks dominansi (C) berkisar antara 0-1. Bila nilai indeks dominansi mendekati 1 maka terdapat organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan, namun bila nilai indeks dominansi mendekati 0, maka tidak ada jenis yang dominan. Indeks dominansi tertinggi dapat dijumpai pada stasiun 3 sebesar 1. Kondisi ini karena pada stasiun ini hanya ditemukan 1 famili yaitu Orbiniidae sebanyak 12 individu. Indeks dominansi terendah dapat ditemui pada stasiun 6 sebesar 0.11 terdiri dari 17 individu. Tingginya indeks dominansi pada stasiun 3 diduga karena posisi stasiun yang berada di dekat tambak, limbah tambak mempengaruhi bahan organik yang dikandung oleh perairan sehingga hanya organisme bentik tertentu yang mampu bertahan hidup di lingkungan yang kurang baik. Nilai indeks dominansi akan berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman artinya semakin banyak jenis makrozoobentos yang dapat ditemui dalam suatu perairan maka akan menurunkan peluang dominansi dari jenis makrozoobentos tertentu. Tingkat dominansi yang tinggi menunjukkan kondisi lingkungan yang buruk dan berakibat pada tekanan ekologis terhadap organisme bentik. Odum (1996) dominan di dalam semua golongan ekologi akan nyata terjadi pada lingkungan yang ekstrim.
4.6 Hubungan Parameter Akustik terhadap Fraksi Substrat 4.6.1 E1 terhadap fraksi substrat Hubungan antara E1 terhadap ukuran butir substrat (Gambar 24). Terlihat bahwa semakin kecil ukuran butirnya semakin kuat nilai koefisien determinasinya (r2). Pasir memiliki hubungan paling kuat dengan E1, hal ini karena pasir
43 memiliki ukuran butir cukup besar dan kasar sehingga energi yang dipantulkan lebih banyak. Liat memiliki hubungan paling lemah terhadap pembentukan E1 karena liat memiliki ukuran butir yang kecil dan porositas yang tinggi sehingga jumlah pantulan dari liat lebih sedikit.
Gambar 24 Hubungan E1 terhadap fraksi substrat
Berdasarkan persamaan-persamaan di atas dapat diasumsikan bahwa E1 berhubungan kuat dengan kekasaran substrat. Maka, jika nilai hambur balik E1 semakin besar maka semakin kasar pula tipe substrat yang dideteksi. Collier dan Brown (2005) menyatakan ada korelasi positif antara kekuatan hambur balik dan ukuran butir sedimen, secara umum bahwa hambur balik tertinggi berkorelasi dengan sedimen kasar. Hubungan antara nilai E1 dengan tipe substrat secara keseluruhan dapat dilihat dengan menggunakan analisis regresi berganda. E1 = 0.027 + 0.502 pasir – 0.431 lanau – 0.174 liat Nilai r2 sebesar 99.4%, hal ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara fraksi tipe substrat terhadap pembentukan nilai E1.
4.6.2 E2 terhadap fraksi substrat E2 dihasilkan dari satu kali pantulan dengan permukaan perairan dan dua kali pantulan dasar perairan. Hanya tipe substrat yang memiliki densitas tinggi dan porositas rendah yang mampu menghasilkan gema pantulan kedua. Hubungan antara E2 terhadap ukuran butir substrat yang paling kuat ditunjukkan oleh persamaan hubungan E2 terhadap pasir (Gambar 25).
44
Gambar 25 Hubungan E2 terhadap fraksi substrat
Persamaan hubungan antara E2 terhadap pasir menunjukkan semakin tinggi persentase substrat berukuran butir besar maka semakin tinggi nilai E2 dan semakin tinggi persentase substrat berbutir halus maka nilai E2 akan semakin rendah. Nilai r2 E2 terhadap pasir sebesar 90.9%, ini menunjukkan pasir memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan nilai E2. Secara teori E2 menggambarkan kekerasan. Pasir memiliki porositas yang rendah dan densitas yang tinggi sehingga energi yang mengenainya akan langsung dipantulkan ke transducer, energi yang kuat menyebabkan pasir mampu membentuk pantulan kedua atau lebih. Chivers et al. (1990) menyatakan nilai E2 yang tinggi berasal dari substrat yang keras dan nilai E2 yang rendah berasal dari substrat yang lunak. Hubungan antara nilai E2 dengan tipe substrat secara keseluruhan dapat dilihat dengan menggunakan analisis regresi berganda. E2 = -0.00057 + 3.43 pasir + 2.33 lanau + 1.12 liat Nilai r2 sebesar 47.9%, hal ini menunjukkan hubungan yang lemah antara fraksi tipe substrat terhadap pembentukan nilai E2. Ini terjadi karena fraksi tipe substrat didominasi oleh lanau dan liat yang berukuran kecil sehingga energi E2 yang terbentuk juga lemah.
4.6.3 SS terhadap fraksi substrat SS merupakan nilai hambur balik dari permukaan dasar perairan yang merupakan persamaan turunan dari SV. Persamaan di bawah menunjukkan hubungan SS dengan ukuran butir substrat. Nilai r2 tertinggi ditunjukkan pada persamaan hubungan SS terhadap pasir (Gambar 26).
45
Gambar 26 Hubungan SS terhadap fraksi substrat
Pasir memiliki ukuran butir yang lebih besar daripada lanau dan liat, sehingga pasir mampu memberikan pantulan paling kuat sesuai dengan persamaan SS yang menggunakan SVmax. Hal ini sesuai dengan pernyataan Manik et al. (2006) menyatakan SS dipengaruhi oleh ukuran butir dan kedalaman perairan karena pasir memiliki porositas yang rendah dibandingkan lanau atau liat. Hubungan antara nilai SS dengan tipe substrat secara keseluruhan dapat dilihat dengan menggunakan analisis regresi berganda. SS = 0.129 – 1.28 pasir – 1.98 lanau – 0.8 liat Nilai r2 sebesar 99.1%., hal ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara fraksi tipe substrat terhadap pembentukan nilai SS. Besarnya nilai r2 SS dengan E1 hampir sama karena nilai SS dibentuk dari nilai pantulan SVmax yang pertama.
4.7 Pengelompokkan Stasiun Berdasarkan Nilai SV dan Persentase Substrat Analisis klaster merupakan salah satu analisis multivariat yang bertujuan untuk mengklasifikasikan objek ke dalam beberapa kelompok berdasarkan sifat kemiripan objek. Masing-masing kelompok bersifat homogen antar anggota dalam kelompok berdasarkan pada variabel-variabel yang dipertimbangkan untuk diteliti.
46
Gambar 27 Pengelompokkan stasiun berdasarkan nilai akustik dan persentase sedimen
Interpretasi dendogram dilakukan secara subjektif karena belum ada cara yang baku untuk diterapkan (Gambar 27). Hasil dendogram didasarkan pada nilai akustik dan persentase sedimen masing-masing stasiun. Pembagian kelompok dendogram didasarkan pada kemiripan sifat parameter substrat. Dendogram dibagi menjadi dua kelompok, kelompok 1 terdiri dari 1, 3, 4, 9, 6, 8, dan 7 karena kemiripan sifat tipe substratnya yang dominan mengandung lumpur. Kelompok 2 meliputi stasiun 2 dan 5 karena tipe substrat pada kedua stasiun tersebut dominan pasir (Gambar 28). Perbedaan pembentukan kelompok didasarkan pada parameter substrat dan akustik yang memiliki karakteristik kemiripan tersendiri pada masing-masing stasiun.
4.8 Analisis Komponen Utama (AKU) Analisis komponen utama digunakan untuk melihat seberapa besar hubungan antara parameter fisika substrat dasar perairan, parameter akustik, dan makrozoobentos. Parameter fisika substrat meliputi fraksi pasir, lanau, dan liat sedangkan parameter akustik meliputi nilai scattering surface (SS) dan kedalaman. Parameter makrozoobentos meliputi kepadatan, keanekaragaman, dan dominansi (Gambar 28).
47
Gambar 28 Loading plot hubungan antara SS, tipe substrat, dan struktur komunitas makrozoobentos
Hasil Analisis Komponen Utama (AKU) menunjukkan 77.55% dari total variansi dalam rata-rata proporsi dan total dari struktur komunitas dalam hubungannya dengan nilai akustik dan substrat. Berdasarkan hasil AKU tersebut didapatkan informasi bahwa distribusi kepadatan dipengaruhi oleh lanau dan liat. Kepadatan tinggi ditemukan di lokasi stasiun yang terletak di muara sungai dengan tipe substrat lumpur. Lumpur mengandung banyak nutrien meskipun miskin oksigen sehingga hanya organisme tertentu saja yang mampu beradaptasi pada kondisi seperti ini. Nybakken (1992) menyatakan kemampuan menjebak bahan organik dalam sedimen semakin meningkat seiiring dengan semakin halusnya substrat. Polychaeta banyak dijumpai karena memiliki kemampuan sebagai pemakan deposit dan cara hidupnya yang mampu menggali dan membuat tabung sehingga mampu memanfaatkan kandungan oksigen yang rendah di dalam substrat. Wilhm (1975) menyatakan sedimen yang kaya akan bahan organik biasanya didukung oleh melimpahnya fauna yang didominasi oleh deposit feeder. Hubungan positif terlihat pada dominansi yang dipengaruhi oleh kedalaman, hal ini karena semakin dalam perairan maka kandungan oksigen dan makanan akan semakin berkurang sehingga hanya organisme yang memiliki rentang toleransi luas yang mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang buruk. Keadaaan ini akan bertolak belakang dengan keanekaragaman. Pada loading plot ditunjukkan keanekaragaman tidak dipengaruhi oleh parameter apapun, hal ini diduga karena kondisi kualitas lingkungan yang rendah dan buruk sehingga
48 jumlah jenis organisme yang mampu bertahan hidup semakin menurun. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa perairan delta Mahakam mengalami tekanan ekologis yang cukup tinggi dari pengayaan bahan organik yang masuk ke perairan. SS dipengaruhi oleh pasir karena pasir memiliki ukuran butir yang lebih besar dan kasar dibandingkan lanau dan liat sehingga pasir mampu memantulkan energi lebih kuat. Namun pada penelitian ini belum dapat dilihat hubungan antara struktur komunitas dengan pembentukan nilai hambur balik akustik (SS) artinya struktur komunitas tidak memberikan pengaruh terhadap pembentukan nilai SS. Hal ini diduga karena jumlah makrozoobentos yang sedikit, ukurannya yang terlalu kecil, dan luas bukaan grab yang tidak sama dengan bukaan beam. Hubungan ketiga parameter ini dapat dijelaskan sebesar 77.55% dari total varians yang artinya ada hubungan yang cukup kuat dan saling mempengaruhi antara total delapan varians tersebut (pasir, lanau, liat, SS, kedalaman, kepadatan, keanekaragaman, dan dominansi). Bax et al. (1999) menyatakan nilai akustik dapat dilihat dari adanya hubungan antara tipe dasar dan total biomassa biota bentik. Namun persentase kumulatif sebesar 77.55% dari total varians dianggap sudah cukup untuk dapat menjelaskan informasi dari total delapan varians (pasir, lanau, liat, SS, kedalaman, kepadatan, keanekaragaman, dan dominansi) data dan variabel-variabel tersebut memiliki tingkat korelasi yang tinggi. Ini artinya keragaman data sebesar 77.55% telah mampu menjelaskan keadaan lokasi penelitian. Nilai ini dapat diterima karena menurut Supranto (2010) batas minimum nilai faktor adalah 60%.
Gambar 29 Sebaran stasiun pengamatan
49 Sebaran stasiun pengamatan secara subjektif menunjukkan 3 kelompok (Gambar 29). Kelompok 1 terdiri dari stasiun 2, 5, 7, dan 1 yang mengandung fraksi pasir. Kelompok 2 terdiri dari stasiun 6, 4, dan 9 yang memiliki keanekaragaman makrozoobentos tertinggi. Kelompok 3 meliputi stasiun 8 dan 3 yang memiliki dominansi makrozoobentos tertinggi.
4.9 Hubungan SV Kolom Perairan dan Fraksi Lanau Pada analisis faktor sebelumnya parameter lanau tidak memberikan pengaruh yang berarti untuk pembentukan kelompok faktor. Lanau memiliki ukuran butir yang halus, lebih ringan, dan mampu melayang mengikuti arus sehingga lebih banyak terdapat di kolom perairan. Analisis regresi linier digunakan untuk melihat hubungan antara SV kolom perairan dan lanau (Gambar 30). Variabel dependent (terikat) adalah SV kolom perairan sedangkan variabel independent (bebas) adalah lanau karena nilai SV kolom perairan dipengaruhi oleh persentase jumlah lanau yang terdapat di kolom perairan.
Gambar 30 Analisis regresi linier kolom terhadap lanau
Hasil pengujian regresi linier sederhana diperoleh dua persamaan (Gambar 29). Nilai koefisien determinasi (r2) kolom 1 sebesar 0.998 dan kolom 2 sebesar 0.784, hal ini menunjukkan bahwa variabel lanau dapat menerangkan sebesar 99.8% untuk kolom 1 dan 78.4% untuk kolom 2. Variasi nilai SV kolom perairan dan sisanya dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam perhitungan. Nilai r2 sebesar 0.998 untuk kolom 1 dan r2 sebesar 78.4% untuk kolom 2 dianggap dapat diterima serta telah menggambarkan adanya hubungan yang kuat antara SV kolom perairan 1 dan kolom perairan 2 dengan persentase lanau. Sugiyono (2010) menyatakan koefisien determinasi (r2) menjelaskan tentang tingkat keberhasilan model yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel dependen (terikat). Besar r2 adalah 0 < r2 < 1, di mana semakin nilai r2 mendekati 1 maka semakin besar pula kemampuan model dalam menerangkan variasi perubahan variabel dependen (terikat) akibat pengaruh variabel independen (bebas).
50
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Tipe substrat yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah pasir, pasir berlumpur, lumpur berpasir, dan lumpur. Berdasarkan nilai SS pasir sebesar 12.97 dB, pasir berlumpur sebesar -13.96 dB, lumpur berpasir sebesar -17.14 dB dan -15.64 dB, serta lumpur sebesar -30.87 dB sampai -19.25 dB. Nilai hambur balik substrat pasir lebih besar dibandingkan tipe substrat lumpur karena pasir memiliki tingkat kekasaran, kekerasan, dan ukuran butir lebih besar daripada lumpur. Struktur komunitas yang mendiami lokasi penelitian berada pada kategori sangat buruk dalam kondisi sangat rendah dan tidak stabil. Berdasarkan analisis AKU belum terlihat hubungan antara struktur komunitas makrozoobentos dengan pembentukan nilai SS. Namun hubungan antara nilai akustik, tipe substrat, dan struktur komunitas makrozoobentos dapat dijelaskan sebesar 77.55% yang artinya terdapat hubungan yang kuat antar varians pembentuk komponen dan telah dapat menjelaskan keadaan lokasi penelitian.
5.2 Saran Penelitian mengenai analisis tipe substrat menggunakan teknologi hidroakustik sebaiknya dilakukan pada daerah yang terkontrol. Pengambilan sampel tanah sebaiknya tidak terganggu sehingga dapat dilakukan analisis lengkap parameter fisika seperti tekstur tanah, densitas tanah, densitas partikel, ruang pori total, ukuran butir, dan lain-lain.
51
DAFTAR PUSTAKA AA Miranda, Borgne Yann-Ael Le, Bontepi G. 2008. New Routes from Minimal Approximation Error to Principal Components. Neural Processing Letters. 27(3):197-207. Allo OAT. 2011. Kuantifikasi dan karakterisasi acoustic backscattering dasar perairan di Kepulauan Seribu-Jakarta [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anderson JT, Holliday D Van, Kloser R, Reid DG, Simard Y. 2008. Acoustic seabed classification: current practice and future directions. ICES Journal of Marine Science. 65(6):1004-1011. [APHA] American Public Health Association. 1989. Standart Methods for the Examination of Water and Waste. Ed ke-18. Washington: APHA. Bax NJ, Kloser RJ, Williams A, Gowlett-Holmes K, Ryan T. 1999. Seafloor habitat definition for spatial management in fisheries: a case study on the continental shelf of south east Australia using acoustic and biotic assemblages. Oceanologica Acta. 22(6):705-719. Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID): PKSPL IPB. Bengen DG. 2002. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor (ID): PKSPL IPB. Bilgili A, Swift MR. 2003. Modelling bed-load transport of coarse sediments in the great Bay Estuary. Journal of Estuarine, Coastal, and Shelf Science. 58(4):937-950. Boulton B, Wyness R. 2001. Annual Report: Sangachal Seabed Mapping Survey. London: Kwaerner. Brennan CW. 2009. Basic Acoustic Theory. Austin: R2 Sonic LLC. Brekhovskih L, Lysanov Y. 1982. Fundamentals of Ocean Acoustics. Berlin: Springer Brower JE, Zar J, Ende Carl N von. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edisi ke-3. Michigan: WMC Brown Company Publisher. Burczynski J. 1982. Introduction to The Use of Sonar System for Estimating Fish Biomass. FAO. Fisheries Technical Paper No.191. Burczynski J. 2002. Bottom Classification. Seattle: BioSonics Inc. Chivers RC, Emerson N, Burns D. 1990. New acoustic processing for underwater surveying. The Hydrographic Journal. 56:9-17. Collier JS, CJ Brown. 2005. Correlation of sidescan backscatter with grain size distribustion of surficial seabed sediments. International Journal of marine Geology, Geochemistry, and Geophysics. 214:431-449. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara. 2010. Profil dan Upaya Penyelamatan Delta Mahakam Tahun 2010. Kutai Kartanegara: DKP Kutai Kartanegara. Dyer KR. 1986. Coastal and Estuarine Sediment Dynamics. Bidston: Institute of Oceanography Science.
52 Foote KG, Traynor JJ. 1988. Comparison of walleye pollock target strength estimates determined from in situ measurements and calculations based on swimbladder form. Journal of the Acoustical Society of America. 83(1):9-17. Furusawa M. Echo Integration near the seabed. Journal of Marine Science and Technology. 19(3):259-266. Garrison T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science. Ed ke-5. Connecticut: Thomson Learning, Inc. Harahap, ZA. 2010. Kuantifikasi nilai hambur balik akustik dasar perairan menggunakan echosounder multibeam [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Herrmann M, Lamarche G. 2009. Investigating the relationship between backscatter strength and sediment grain size in a dynamic geological environment, Cook Strait, New Zealand. Di dalam: Terje T, Kim P, editor. Geohab 2009, Marine Geological and Biological Habitat Mapping; 2009 May 5-7; Trondheim, Norway. Norway (NO): Norsk Geologisk Forening. p 44. Hutabarat S, Evans SM. 2008. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI Press. Isyriyah L, Poerbaningtyas E. 2011. Perbandingan reduksi data menggunakan transformasi cosinus diskrit dan analisis komponen utama. Jurnal SMATIKA 1(1). Johannesson KA, Mitson RB. 1983. Fisheries Acoustic A Practical Manual for Acoustic Biomass Estimation. Roma: FAO Fisheries Technical Paper. http://www.fao.org/docrep/X5818E/X5818E00.html [20 Desember 2011]. Johnson RA, Wichern DW. 2007. Applied Multivaried Statistical Analysis. Ed ke4. New Jersey: Prentice Hall. Kagesten G. 2008. Geological seafloor mapping with backscatter data from a multibeam echosounder [thesis]. Gothenburg (SE): Gothenburg University. Krebs CJ. 2009. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Ed ke-6. San Francisco: Benjamin Cummings. LH Shirley. 1994. Penuntun Praktis Geoteknik dan Mekanika Tanah. Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Bandung: Nova. Manik HM, Furusawa M, Amakasu K. 2006. Measurement of sea bottom surface backscattering strength by quantitative echosounder. Fisheries Science: The Japanese Society of Fisheries Science. 72(3):503-512. Manik HM. 2011. Underwater acoustic detection and signal processing near the seabed. Sonar Systems. Croatia: Intechweb. 255-274. Manik HM. 2012. Seabed identification and characterization using sonar. Journal of Advanced in Acoustics and Vibration. 2012(2012):10.1155/2012/532458. Medwin H, Clay CS. 1998. Fundamentals of Acoustical Oceanography. Boston: Academic Press. Mitson RB. 1983. Fisheries Sonar. England: Fishing News Books Ltd. Mulyo A. 2004. Pengantar Ilmu Kebumian Pengetahuan Geologi Untuk Pemula. Bandung: Pustaka Setia. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Ed ke-3. Toronto: WB Saunders Company.
53 Odum EP. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Ed ke-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pearson TH, Gray JS, Johannessen PJ. 1983. Objective selection of sensitive species indicative of pollution-induced changed in benthic communities. Mar. Ecol. Progr. Ser. 12:237-255. Pennak RW. 1989. Freshwater invertebrates of the United States. Ed ke-2. New York: John Willey and Sons Inc. Poerbandono, Djunansjah E. 2005. Survei Hidrografi. Bandung: Rafika Aditama. Pramudji, Susetiono, Pratiwi R, Suharti RS, Heriyanto. 2007. Laporan Akhir: Penelitian Biota yang Berasosiasi pada Ekosistem Mangrove dan Estuaria di Pesisir Delta Mahakam Kalimantan Timur. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Pratiwi N, Krisanti, Nursiyamah I, Maryanto R, Ubaidillah, Noerdjito WA. 2004. Panduan Pengukuran Kualitas Air Sungai. Bogor: IPB. Preston JM, Collins WT. 2000. Bottom Classification in Very Shallow Water by High-Speed Data Acquisition. Canada: Quester Tangent Corporation. Pujiyati S. 2008. Pendekatan metode hidroakustik untuk analisis keterkaitan antara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas ikan demersal [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pujiyati S, Hartati S, Wijopriyono. 2010. Efek ukuran butiran, kekasaran, dan kekerasan dasar perairan terhadap nilai hambur balik hasil deteksi hidroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(1):59-67. Purbani D, Sukresno B, Mustikasari E, Kusumah G, Solihuddin Tb. 2010. Laporan Akhir: Optimalisasi Data Fisik Perairan Untuk Kajian Kelimpahan dan Jenis Ikan di Teluk Banten. Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non Hayati, KKP. Purnawan S. 2009. Analisis model Jackson pada sedimen berpasir menggunakan metode hidroakustik di gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ramli D. 1989. Ekologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Romimohtarto K, Juwana S. 2009. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan. Shields FD. 2010. Aquatic habitat bottom classification using ADCP. Journal of Hydraulic Engineering. 136(5):336-342. Simmonds J, MacLennan D. 2005. Fisheries Acoustics. New York: Blackwell Science. Simrad. 1993. Simrad EK500 Scientific Echosounder Operator Manual. Horten: Simrad Subsea A/S Horten. Siswadi, Suharjo B. 1997. Analisis Eksplorasi Data Peubah Ganda. Bogor: FMIPA IPB. Siwabessy PJW, Penrose JD, Fox DR, Kloser RJ. 2000. Bottom classification in the continental shelf: a case study for the North-west and South-east Shelf of Australia. Australian Acoustical Society Conference, 15-17 November 2000, Australia. Storms JEA, Hoogendoorn RM, Dam RAC, Hoitink AJF, Kroonenberg SB. 2005. Late-holocene evolution of the Mahakam Delta, East Kalimantan, Indonesia. Sedimentary Geology. 180(3-4):149-166. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
54 Sumich JL. 1976. An Introduction to the Biology of marine Life. Iowa: WC Brown Co. Sunarto. 2008. Karya Ilmiah: Peranan Ekologis dan Antropogenis Ekosistem Mangrove. Bandung: Universitas Padjajaran. Supranto J. 2010. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Jakarta: Rineka Cipta. Susanto P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Depdiknas. Urick RJ. 1983. Principles of Underwater Sound. Ed ke-3. New York: McGrawHill Book Company. Wibisono MS. 2010. Pengantar Ilmu Kelautan. Ed ke-2. Jakarta: Penerbit UI. Widarjono A. 2010. Analisis Statistik Multivariat Terapan. Ed ke-1. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Wilhm JL. 1975. Biological Indicators of Pollutan. London: Blackwell Scientific Publication.
55
56 Lampiran 1 SIMRAD EY60 scientific echosounder system
57 Lampiran 2 Transducer split beam tipe ES-120 7C
Lampiran 3 Global Positioning System (GPS) tipe Garmin 76CSx
58 Lampiran 4 Proses pemasangan transducer
Lampiran 5 Van veen grab
59 Lampiran 6 Proses pengambilan contoh sedimen
Lampiran 7 Proses pengambilan contoh makrozoobentos
60 Lampiran 8 Shieve shaker (ASTM E – 11. USA Standard)
Lampiran 9 Tampilan awal Echoview 4.0
61 Lampiran 10 Proses integrasi cell pada Echoview 4.0
Lampiran 11 Contoh makrozoobentos Polychaeta
Phyllodocidae
Orbiniidae
Polycirrus sp.
Ampharitidae
62
Terebellidae
Hesionidae
Chrysopetalidae
Fabricia sp.
Polydora sp.
Nereis sp.
Ophioroidea
Ophioderma sp.
63 Crustacea
Gammarus sp.
Malacostraca
Mysis oculata relicta
Aega psora
Cyclaspis sp.
Bivalvia
Nerita lineata
Pandora inornata
64
Pandora glacialis
Crustacea
Gammarus sp. Sumber: http://animaldiversity.ummz.umich.edu
65
RIWAYAT HIDUP Ellis Nurjuliasti Ningsih dilahirkan di Palembang pada 10 Juli 1986 dari pasangan Bapak Jauhari dan Ibu Rusmiyati. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Bina Bangsa pada tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 9 Palembang tahun 2001, pendidikan di SMAN 6 Palembang pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Sriwijaya dan selesai pada tahun 2009. Tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan untuk strata 2 di Program Studi Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana, IPB. Pada tahun kedua penulis memperoleh beasiswa on going selama 1 tahun dari program Beasiswa Unggulan Calon Dosen DIKTI. Penulis menikah dengan Freddy Supriyadi pada 9 Februari 2013.