Pengujian Peraturan Daerah I. Latar Belakang Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Eksistensi Perda secara tegas mulai dirumuskan dalam Amandemen UUD 1945 yang Kedua dan dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang kemudian selanjutnya ditetapkan pula dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah. Pasal 7 Ayat (2) selanjutnya dinyatakan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf e diatas meliputi Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota; dan Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua termasuk Perda. Dengan demikian, Perda adalah peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang memiliki materi muatan yang paling banyak & memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Ini dapat dipahami dari sudut pandang pendekatan Stufenbau des Recht yang diutarakan Hans Kelsen, bahwa hukum positif (peraturan) dikonstruksikan berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi1, yang kemudian kita kenal dengan asas lex superior derogat legi in feriori.
1
Teori Hans Kelsen tentang Hukum, www.jimly.com.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum
1
Dalam
perspektif
lain,
Perda
juga
dapat
dianggap
sebagai
peraturan
yang
mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat di daerah karena dimungkinkan muatan Perda yang mengakomodasi kondisi khusus daerah seperti yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam. Posisi Perda yang terbuka tersebut juga sering digunakan Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai instrumen untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pungutan yang timbul dari Perda Pajak Daerah atau Perda Retribusi Daerah yang sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sejak otonomin daerah, telah ribuan Perda dibuat oleh Pemda baik pada tingkatan Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Diantara perda-perda tersebut banyak yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masalah di daerah dan berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya2. Berdasarkan data Departemen Dalam Negeri dari tahun 2002 hingga 2009, sekitar 1.064 Perda telah dibatalkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri sedangkan 1.999 Perda lainnya masih dalam proses pembatalan.3 Sebagai instrumen hukum negara, perda-perda yang bermasalah tersebut dapat dilakukan pengujian. Sekarang ini, perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga lewat dua model kewenangan, yaitu judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah c.q Departemen Dalam Negeri. II. Rumusan Masalah Bagaimanakah Pengujian Peraturan Daerah Yang Bertentangan Dengan Kepentingan Umum dan/atau Bertentangan Dengan Peraturan Yang Lebih Tinggi Tersebut? III. Pembahasan 1. Pengujian Perda oleh Mahkamah Agung (Judicial Review) Mahkamah Agung merupakan lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk dapat melakukan pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan demikian ini kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah Agung, kewenangan judicial review juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD.
2
Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Seri Pengembangan Wacana HuMa, No.1. September 2002, hal 16. 3 Mendagri Akan Batalkan 1.999 Perda, www.depdagri.go.id, 6 Oktober 2009.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum
2
Bila dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundangan, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: 1. Peraturan Pemerintah; 2. Peraturan Presiden; dan 3. Peraturan Daerah. Landasan hukum kewenangan Mahkamah Agung untuk dapat melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas terkandung dalam Pasal 24A Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 19454, kemudian Pasal 11 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman5, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung6 memberi ukuran atau alasan suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, yaitu: 1. karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil); atau 2. pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil). Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Dalam Perma ini kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD dan UU diberi kewenangan menguji materil dan formil peraturan perundang-undangan menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak akan memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang, termasuk Perda. Dalam menjalankan kewenangannya itu, Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan yaitu suatu permohonan sekelompok masyarakat atau perorangan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi diajukan ke Mahkamah Agung baik secara langsung ke Mahkamah Agung maupun melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon untuk mendapatkan putusan. 4
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berbunyi : Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. 5 Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 6 Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung berbunyi : Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum
3
Ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah menjawab pertanyaan, apakah suatu Perda : a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau b. pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Bila satu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK). Perda atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya hanya dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung paling lambat sebelum 180 hari pengundangan peraturan tersebut7. Hal lain yang perlu dicermati adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan, termasuk perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Dengan menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung berpotensi membuat Perda yang sedang diuji terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama. 2. Evaluasi Perda oleh Pemerintah (Executive Review) Pengujian Perda oleh Pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi) Pemerintahan Daerah. Dalam rangka pengawasan terhadap daerah, UU No.32 Tahun 2004 memberi perintah bahwa Perda yang dibuat oleh DPRD bersama Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan8. Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” Kemudian Pasal 145 ayat (2) UU tersebut menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.” Ayat (3) menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda ... ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda...” selanjutnya Ayat (5) menyebutkan “Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda ... dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh 7 8
Pasal 2 ayat (4) Perma Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Pasal 145 Ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum
4
peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.” Dalam rangka executive review, ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif terhadap Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta tata ruang Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur, sedangkan pengawasan preventif terhadap Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta tata ruang Provinsi dilakukan oleh Pemerintah (Pusat). Selanjutnya pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Perda yang sudah dibuat oleh Pemerintah Daerah, termasuk perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif. Dengan demikian dimungkinkan dalam satu Perda dilakukan dua pengawasan tersebut. Berbeda dengan judicial review Perda yang dilakukan oleh satu lembaga kehakiman, Mahkamah Agung, executive review Perda dalam bentuk pengawasan oleh pemerintah dilakukan melalui beberapa lembaga negara departemen, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan terhadap Perda bermuatan keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum terhadap Perda Tata Ruang, serta departemen sektoral sumberdaya alam terhadap Perda yang bermuatan sumberdaya alam. Tidak jarang proses evaluasi/pengujian perda oleh pemerintah dilakukan lintas departemen yang dikoordinasikan oleh Departemen Dalam Negeri selaku “pembina” Pemerintah Daerah. UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya Perda oleh Pemerintah Pusat (vide Pasal 145 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Pemda), namun dalam pelaksanaannya evaluasi Perda oleh Pemerintah Pusat tetap memakan waktu yang lama. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Pemerintah ini akan berimplikasi pada terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah. Standar pengujian Perda oleh Pemerintah berbeda dengan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh Mahakamah Agung. Bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah melakukan pengujian perda dilakukan dengan standar yang lebih luas. Dikatakan lebih luas karena pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum9. Kepentingan umum adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada legalis. Sehingga pengujian terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam penjelasan Pasal 136 Ayat (4)
9
Pasal 145 Ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum
5
UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘bertentangan dengan kepentingan umum’ dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.” Dengan demikian, bertentangan dengan kepentingan umum menjadi standar yang longgar yang ditafsirkan berdasarkan kekuasaan penafsir. Bentuk hukum pembatalan Perda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 adalah Peraturan Presiden (selanjutnya disingkat Perpres). Namun dalam praktiknya, Pembatalan Perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan demikian, pembatalan Perda melalui (Kepmendagri) merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan perda harus dalam bentuk Perpres bukan Kepmendagri. Lagi pula sangat janggal karena perda yang masuk dalam rumpun regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam rumpun beschikking. Setidaknya, Kepmendagri yang membatalkan Perda tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Perda oleh pemerintah, karena keputusan tersebut harus dikukuhkan atau dikemas ulang dalam bentuk Perpres. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Perpres untuk membatalkan Perda, maka Perda tersebut dinyatakan tetap berlaku. IV. Kesimpulan Perbandingan Wewenang Pengujian Perda UUD 1945
Pasal 24 A (1) MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang
UU No 5 Tahun 2004 tentang MA
Pasal 1 angka 20 mengenai perubahan Pasal 31 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang. (2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku
Sie Infokum – Ditama Binbangkum
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
PP No 79 TAHUN 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pasal 145 (1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan, kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Apabila provinsi/ kabupaten/kota - tidak dapat menerima keputusan pembatalan
Pasal 37 (1) Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan. (2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. (3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri. (5) Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud
6
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 185 (1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi (5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
V. Referensi -
Disparitas Pengujian Peraturan Daerah : Suatu Tinjauan Normatif, www.legalitas.org.
-
Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Sistem Hukum di Negara Republik Indonesia, Makalah Temu Konsultasi Penyusunan Program Legislasi Daerah, BPHN, Depkumham, 13 – 15 September 2005.
-
Kajian Perda, www.kppod.org.
-
UUD 1945.
-
UU No.10 Tahun 2004.
-
UU No.32 Tahun 2004.
-
UU No.4 Tahun 2004.
-
UU No. 5 Tahun 2004.
-
PP No.79 Tahun 2005.
-
Perma No. 1 Tahun 2004.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum
7