120
PENGUJIAN GALUR-GALUR BC2F3-PUP1 DI LAPANGAN Abstrak Pengujian galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath, Situ Bagendit x NIL-C443, Batur x Kasalath, dan Batur x NIL-C443 hasil seleksi menggunakan marka molekuler dilakukan di Kebun Percobaan Taman Bogo, Lampung (Sumatra), pada bulan Januari s.d. Juni 2009. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kelompok, dimana penelitian kelompok menggunakan seluruh galur (masing-masing persilangan 20 galur), sedangkan hasil penelitian yang dilaporkan dalam disertasi ini adalah 6 galur tiap persilangan (galur tersebut sama seperti yang dipakai dalam percobaan larutan hara Yoshida dan perlakuan tanah di dalam rumah kaca). Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah faktorial, dimana petak utama terdiri dari lahan yang tidak diberi pupuk P dan lahan yang diberi pupuk P (SP18). Dosis pupuk P adalah sebesar 500 kg/ha SP 18 yang diberikan pada lahan yang diberi pupuk P, sedangkan Pupuk N dan K diberikan pada kedua perlakuan P dengan dosis sesuai rekomendasi. Karakter agronomis dan komponen hasil diamati untuk melihat respons tanaman terhadap perbedaan dosis pupuk. Berdasarkan analisis statistik terlihat perbedaan dosis pupuk P mempengaruhi hampir semua karakter agronomis yang diamati pada semua persilangan. Pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 pengaruh Pup1 terlihat jelas pada peningkatan bobot kering tajuk yang jauh melebihi tetuanya, namun peningkatan bobot kering tajuk justru mengurangi bobot gabah isi/tanaman pada semua BC2F3 persilangan tersebut. Pada persilangan Batur x Kasalath, NIL-C443 Pup1 tidak hanya meningkatkan bobot kering tajuk pada semua galur BC2F3, tapi juga meningkatkan rata-rata bobot gabah isi/tanaman pada persilangan Batur x Kasalath. Berdasarkan hal tersebut persilangan Batur (terutama Batur x Kasalath) menunjukkan efek yang positif terhadap terhadap kondisi defisiensi P. Seleksi tanaman untuk penanaman tahap berikutnya tidak mengandalkan seleksi per galur, tapi seleksi per individu tanaman. Kata kunci : uji lapang, Taman Bogo, galur BC2F3-Pup1, SP18 Abstract Phenotypic test of BC2F3 lines from derived from crossing of Situ Bagendit x Kasalath, Situ Bagendit x NIL-C443, Batur x Kasalath, and Batur x NIL-C443, the result from molecular analysis were conducted at Taman Bogo’s field experiment, Lampung (Sumatra), on January up to June 2009. This experiment was a part of group experiment, which group experiment used all of lines (20 lines each crossing), but for this dissertation is reported 6 lines each crossing (These lines are same as lines that used at Yoshida nutrient solution and soil treatment in the greenhouse). This experiment used split plot design, which main plot were without P fertilizer and with P fertilizer (SP18). Dosage of P fertilizer was 500 kg/ha SP18 for plot with P, whereas N dan K fertilizers were
121
added on both P treatments as recommendation dosage. Agronomic charaters and yield components were observed to obtain the plant response to two difference P dosages. Based on statistical analysis, P dosage influenced mostly all of agronomic characters at all crossing. On Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 crossing, Pup1 gave effect clearly on increasing shoot dry weight, which they were bigger than their parents, but it decreased yield component (filled grain weight/plant) on all of BC2F3 lines this crossing. On Batur x Kasalath, NIL-C443 crossing, Pup1 was not only to increase shoot dry weight on BC2F3 lines, but to increase average of filled grain weight/plant on Batur x Kasalath crossing. Based of this experiments, Batur crossing (especially Batur x Kasalath) showed positive effect on P deficiency condition. For further research, it is suggested that the selection based on plant individuals rather than based on lines. Keywords : field test, Taman Bogo, BC2F3-Pup1 lines, SP18
Pendahuluan Lahan kering masam di Indonesia cukup besar dan terdapat sembilan jenis tanah pada tingkat ordo. Lahan kering yang termasuk tanah-tanah masam adalah Ultisol, Inceptisol, Oxisols, Entisols, dan Spadosol, dan yang luas sebarannya adalah ordo Ultisol, Entisol, dan Oxisol, namun ordo Ultisol ini yang paling banyak di Indonesia (Mulyani et al. 2004). Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik.
Tanah ini umumnya memiliki kemasaman
tanah dan kejenuhan Al tinggi, miskin hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg dan kandungan bahan organik rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut teknologi yang umum digunakan adalah pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian bahan organik. Teknologi tersebut terbukti telah dapat meningkatkan hasil pada beberapa tanaman pangan (Prasetya dan Suradikarta 2006). Galur-galur padi yang toleran terhadap kondisi tersebut sangat bermanfaat karena bisa mengurangi input pemupukan, pengapuran, dan bahan organik. Masalah-masalah pada tanah yang difokuskan untuk segera dipecahkan adalah defisiensi P, keracunan Al, disusul oleh defisiensi Zn dan keracunan besi (Ismail et al. 2007).
Pengujian-pengujian galur-galur padi yang toleran terhadap
defisiensi P umumnya dilakukan di bawah kondisi terkontrol di dalam rumah kaca, misalnya dengan menggunakan larutan Yoshida (Ni et al. 1998, Ming et al. 2001, Shimizu et al. 2004, dan Hu et al. 2001), dan tanah yang ditempatkan di
122
dalam bak (Wissuwa et al. 1998, Wissuwa et al. 2001, Wissuwa et al. 2002). Pengujian dengan membandingkan dua dosis P di lapangan lebih sulit dilakukan karena kondisi tanah yang tidak seragam dan faktor cuaca (hujan dan angin) kadang membuat pupuk tersebar tidak merata Pada beberapa percobaan pemupukan P di lapangan pada tanah Ultisol efisiensi pemupukan P sangat rendah, hanya sekitar 10%.
Hasil penelitian
menunjukkan untuk mencapai hasil jagung 3,6 ton/ha dibutuhkan P sebanyak 40 kg/ha (setara 300 kg SP36), 4,8 ton/ha pupuk kandang, dan kapur sebanyak 6,5 ton/ha (Prasetya dan Suriadikarta, 2006). Syarif (2005) juga telah melakukan penyaringan padi-padi lokal untuk toleransi terhadap defisiensi P pada tanah Ultisol di Jasinga (Jawa Barat) dan memberikan hasil ada beberapa galur lokal yang toleran terhadap defisiensi P, seperti Gadih Anih, Cempo, Sibatung, Siputiah 1, dan S. Lembulut. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk menyaring galur-galur BC2F3 hasil persilangan antara Situ Bagendit, Batur dengan Kasalath, NIL-C443 di KP Taman Bogo, Lampung, Tujuan dari penelitian ini adalah menyaring galurgalur hasil persilangan tersebut agar mendapat galur-galur yang toleran terhadap defisiensi P dan melihat efek segmen Pup1 pada galur-galur yang diuji.
Bahan dan Metode Kegiatan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Taman Bogo, Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian yang terletak di Propinsi Lampung, mulai Januari sampai dengan Juni 2009.
Bahan Penelitian Materi yang dipakai adalah benih-benih BC2F3 seperti yang disajikan pada Lampiran 3, sedangkan tetua yang digunakan adalah Situ Bagendit, Batur, Kasalath, Nipponbare, dan NIL-C443. Materi tersebut merupakan sebagian dari materi penelitian yang merupakan penelitian kelompok yang ditanam di lokasi dan waktu yang sama.
Sumber P yang digunakan berasal dari pupuk SP18
(Superphospate-18) dengan dosis 500 kg SP18/ha (setara dengan 39,3 kg P/ha)
123
untuk perlakuan diberi pupuk P dan 0 kg SP 18 untuk perlakuan tidak diberi pupuk P.
Metode Penelitian Percobaan menggunakan rancangan Split Plot dimana Petak Utama adalah dosis pupuk : (i) Tanpa pupuk P dan (ii) dipupuk P.
Anak petaknya adalah
genotipe yang diuji dan dibagi ke dalam plot-plot. Masing-masing persilangan diulang 3 kali dalam satu petak utama. Petak tanam masing-masing genotipe berukuran 0,75 x 3 m2. Jarak tanam yang dipakai adalah 25 cm x 25 cm. Pupuk yang digunakan terdiri dari Urea 250 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan SP18 (untuk perlakuan dipupuk) sebesar 500 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan 3 tahap dan pupuk SP18 diaplikasikan pada saat tanam. Benih untuk masing-masing nomor ditanam langsung ke dalam lubang tanam dimana tiap lubang diisi 3-5 butir. Setelah diisi benih dan ditutup tanah, pupuk pertama diaplikasikan dengan cara menebarkannya tiap dua baris lajur pertanaman dan kemudian ditutup kembali dengan tanah. Tiga minggu setelah tanaman tumbuh dilakukan penjarangan dan disisakan 1 tanaman tiap lubang tanam. Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Untuk pengamatan masing-masing nomor dipilih 5 sampel tanaman secara acak. Peubah yang diamati adalah waktu berbunga, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, bobot kering tajuk, dan komponen hasil yang berasal dari dua malai.
Skoring P dilakukan berdasarkan standar IRRI (IRRI, 1996) yang
disajikan dalam Lampiran 6.
Seluruh peubah dianalisis secara statistik
menggunakan program SAS versi 9 untuk melihat respon pemupukan.
Hasil dan Pembahasan Taman Bogo adalah kebun percobaan yang setiap saat ditanami oleh berbagai tanaman pangan dan selalu dilakukan pengolahan tanah dan pemupukan secara rutin, sehingga kondisinya jauh berbeda dibandingkan dengan tanah dari Desa Kentrong (Jawa Barat).
Walaupun berdasarkan analisis kimia tanah
kondisinya tidak berbeda dengan tanah Ultisol dari Desa Kentrong, namun
124
kondisi tanah di kebun percobaan ini jauh lebih baik. Percobaan pemupukan di lapangan sangat rentan terhadap kondisi iklim, misalnya hujan.
Apalagi
penanaman percobaan ini dilakukan pada pertengahan musim hujan karena bisa menghilangkan pupuk yang sudah ditabur di atas tanah. Namun, percobaan di lapangan ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hasil sebenarnya galurgalur yang telah dihasilkan. Apalagi kondisi tanah di KP Taman Bogo ini bisa sebagai wakil dari lahan petani, sehingga hasil yang didapatkan bisa dipakai sebagai gambaran mendapat hasil yang sama apabila galur tersebut ditanam di lahan petani di lokasi lain. Tabel 36. Hasil analisis tanah pada lokasi percobaan (Taman Bogo, Lampung) No 1 2 3 4 5 6
Peubah pH
Metode H2 O KCl Walkey&Black Kjeldahl
Satuan -, % % mg/100gr
Nilai* 4,21 3,74 1,117 0,212 5,269 0,955
Kriteria** Sngt masam Sngt masam Rendah Sedang Rendah Sedang
C Org N total Rasio C/N P tersedia Bray I-II Ion-ion : Ca NH4OAc 1 N me/100g 0,987 Sngt rendah me/100g 0,401 Rendah Mg NH4OAc 1 N me/100g 0,060 Sngt rendah K NH4OAc 1 N Na NH4OAc 1 N me/100g 0,245 Rendah Total 1,693 KTK 14,995 Rendah 7 KB % 11,29 Sngt rendah 8 Al3+ KCl 1 N me/100g 6,873 ---9 H+ KCl 1N me/100g 1,638 ---10 Tekstur : Pasir Hidrometer % 24,915 ---Debu Hidrometer % 21,66 ---Liat Hidrometer % 53,425 ---11 P total HCl 25% mg/100gr 13,446 Sngt rendah 12 Ion mikro : Fe 0,05N HCl ppm 20,49 ---Cu 0,05N HCl ppm 0,552 ---Zn 0,05N HCl ppm 2,716 ---Mn 0,05N HCl ppm 12,054 ---13 Kej Al***) % 67,36 Sngt tinggi Ket. : * BB-Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian ( 16 Juli 2008) ** Kriteria tanah umum yang diterbitkan Balittanah (2005) ---- = kriteria tanah tidak tersedia.
125
Berdasarkan hasil analisis tanah lengkap (Tabel 36), terlihat tanah KP Taman Bogo didominasi oleh partikel liat. Kandungan P totalnya sangat rendah mungkin sebagian besar P sudah diserap oleh tanaman dari pertanaman sebelumnya. Kandungan P tersedianya tergolong sedang, mungkin sebagian Al sudah diikat oleh bahan organik (pupuk kandang) yang ditambahkan di waktu lampau, atau faktor-faktor lain yang bisa mengikat Al, misalnya Ca, Fe, P (pupuk P yang ditambahkan pada percobaan sebelumnya), Mn, Si (Pietraszewska 2001). Barangkali pengapuran yang mungkin terlah dilakukan sekian puluh tahun yang lalu di lokasi ini menyebabkan pH tanah lebih tinggi dibandingkan tanah Kentrong (Tabel 25), walaupun masih tergolong asam. Kandungan Al (68,73 ppm) tergolong tinggi.
Kejenuhan Al yang
mencapai 67,36% menyebabkan akan ada gangguan dalam pertanaman padi di sini. Hal ini sejalan dengan Dobermann dan Fairhurst (2000) yang menyatakan tanah memiliki potensi keracunan Al untuk tanaman padi bila memiliki pH (H2O) kurang dari 5, kejenuhan Al > 30% dan kandungan Al > 1-2 mg Al/liter. Persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 Karakter Agronomis Berdasarkan analisis sidik ragam pada Tabel 37 terlihat untuk perlakuan P yang memberikan hasil beda nyata pada kedua persilangan adalah peubah tinggi tanaman, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan bobot gabah isi/malai. Berarti perbedaan dosis P telah memberikan pengaruh nyata terhadap pebuah tersebut. Sedangkan perbedaan dosis tidak memberikan perbedaan nyata pada peubah jumlah gabah total, dan bobot gabah isi/tanaman untuk kedua persilangan. Beberapa peubah berbeda kondisinya antara dua persilangan tersebut. Pada perlakuan G peubah yang memberikan perbedaan nyata antar genotipe pada kedua persilangan adalah tinggi tanaman, waktu berbunga, bobot tajuk kering tajuk, dan bobot gabah total. Interaksi antara P dan G menunjukkan semua peubah tidak beda nyata, kecuali bobot gabah isi/malai pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath pada persilangan Situ Bagendit x NIL-C443. Kondisi ini menunjukkan secara umum kondisi BC2F3 yang diuji sebetulnya hampir sama antara yang diberi pupuk P dengan yang tidak diberi pupuk P. Sebetulnya kondisi
126
ini yang diharapkan dalam penelitian ini. Kondisi yang hampir sama antara yang dipupuk dengan tidak memberikan harapan baru untuk mengurangi dosis pupuk P di setiap hari. Tabel 37. Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit pada perlakuan pupuk P di KP Taman Bogo, Lampung Sbr TT JAP WB BKTj JGI JGH GBH- BGITOT TAN BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit P 6,2* 0,9ns 2,0ns 8,5** 6,9* 9,5** 0,3ns 2,1ns ** * * ns * ns ** G 25,8 3,1 2,8 0,8 2,6 1,2 3,7 0,7ns ns ** ns * ns ns ns Ul 1,3 9 3,1 5,5 1,1 0,4 0,8 4,8* 1,3ns 2,0ns 1,1ns 1,1ns 1,4ns 1,7ns 0,4ns P*G 1,9ns BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443 dan Situ Bagendit P 15,8** 8,9** 67,7** 0,9ns 6,5* 4,7* 0,5ns 3,5ns G 3,1* 1,9ns 10,3** 8,1** 1,2ns 2,9* 2,6* 2,2ns ** ns ns ns * ns * Ul 9,6 0,2 2,7 2,5 4,3 2 5,5 2,0ns ns ns * ns ns ns ns 2,5 2,6 0,9 1,5 0,8 1,3 1,4ns P*G 1,1 Gabungan Situ Bagendit x Kas, NIL-C443 dan Situ Bagendit P 0,0ns 2,7ns 16,2** 7,1* 0,2ns 0,3ns 0,0ns 0,0ns ** ** ** ** ns * ** G 30,9 5,7 4,0 2,9 1,8 2,0 2,7 2,0* ns * ns ns ns ns ns Ul 0,9 4,6 2,1 2,7 1,5 1,4 2,3 4,6* 2,3* 1,9* 1,0ns 2* 2* 1,3ns 1,1ns P*G 2,4* Ket. : TT=Tinggi Tanaman, JAP=Jumlah Anakan Produktif, WB=Waktu Berbunga, BKTj=Bobot kering tajuk (tanpa malai dan gabah), JGI=Jumlah Gabah Isi/malai, JGH=Jumlah Gabah Hampa/malai, GBHTOT= Jumlah gabah total (isi dan hampa)/malai, BGITAN=Bobot Gabah Isi/Tanaman. Kasalath dan NIL-C443 tidak dimasukkan dalam perhitungan analisis sidik ragam. * = beda nyata pada taraf 5 %, ** = beda nyata pada taraf 1%, ns = tidak beda nyata
Tinggi Tanaman Berdasarkan Gambar 30 peubah tinggi tanaman sedikit terpengaruh oleh dosis pupuk P terbukti semua genotipe memiliki nilai di atas 80 %, bahkan pada kondisi tidak diberi pupuk P tinggi tanaman pada beberapa genotipe malah lebih tinggi dibandingkan yang dipupuk. Hasil yang tidak stabil ini menyebabkan korelasi antara dosis P dengan tinggi tanaman pada persilangan ini menjadi tidak nyata (r=-0.002ns) (Tabel 40). Hasil ini berbeda dengan percobaan di rumah kaca. Umumnya hubungan dosis P dan tinggi tanaman selalu bernilai positif dan nyata, artinya pengurangan dosis P akan mengurangi tinggi tanaman (Dobermann dan Fairhurst 2000).
Berdasarkan nilai relatif tinggi tanaman memang terlihat
127
pengaruh dosis P sangat kecil, bahkan untuk beberapa genotipe seolah-olah tidak terjadi gejala kekurangan P. Hal ini sejalan dengan penelitian Widowati et al. (2004) di lahan di lahan petani dekat KP Taman Bogo, yakni di desa Purwodadi, Lampung Tengah. Kejadian kekurangan hara tidak terjadi apabila dilihat dari tinggi tanaman, sehingga seluruh genotipe hampir sama tinggi tanamannya. Tinggi tanaman pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan tetua Situ Bagendit, sedangkan tinggi tanaman dari galur-galur BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443 cenderung hampir sama dengan tetua Situ Bagendit. Hal ini disebabkan segmen Kasalath yang lebih banyak masih tertinggal pada BC2F3 (dibandingkan persilangan Nipponbare) berdasarkan analisis molekuer, sangat mempengaruhi tinggi tanaman. Kasalath yang memiliki figur tinggi membuat keturunannya lebih tinggi dibandingkan tetua Situ Bagendit. Pada persilangan Situ Bagendit x NIL tinggi tanaman seluruh galur BC2F3nya cenderung naik seiring dengan naiknya dosis P, namun untuk genotipe lainnya (Situ Bagendit x Kasalath dan tetua-tetua yang dipakai) cenderung turun seiring dengan naiknya dosis P.
cm
*
100
Plus P
Minus P *
120
80 60 40 20 0
Gambar 30. Histogram tinggi tanaman BC2F3 persilangan Situ Bagendit pada * pengujian lapang di KP Taman Bogo, Lampung. * = berbeda nyata terhadap tetua situ Bagendit menurut uji t-Student 5% S_P(K) = rata-rata BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath S_P(N) = rata-rata BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443
128
Jumlah anakan produktif Gejala umum tanaman padi yang kekurangan P adalah jumlah anakan yang berkurang akibat penurunan dosis P (Untung et al. 1991). Berdasarkan Tabel 38 seluruh genotipe terlihat sangat toleran semua, hal ini menunjukkan tanah di Taman Bogo ini sebetulnya tidak mengalami kekurangan hara P. Nilai rata-rata galur-galur BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath malah lebih rendah dibanding tetua SituBagendit, sedangkan pada persilangan Situ Bagendit x NILC443 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tetua Situ Bagendit. Pada kondisi tidak dipupuk P pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath tidak ada satu pun galur BC2F3 yang memiliki jumlah anakan lebih banyak dibanding tetua Situ Bagendit. Tabel 38.
Rata-rata peubah jumlah anakan produktif pada Bagendit di KP Taman Bogo, Lampung Genotipe Jumlah Anakan Produktif Minus P Plus P Relatif (%) Kasalath 14,93 17,07 87,46 NIL-C443 15,33 12,73 120,42 Nipponbare 15,20 13,47 112,84 Situ Bagendit 21,47 18,9 113,6
persilangan Situ Kriteria Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran
BC2F3 SB x Kas-1* BC2F3 SB x Kas-2 BC2F3 SB x Kas-3 BC2F3 SB x Kas-4 BC2F3 SB x Kas-5 BC2F3 SB x Kas-6 Rata-rata BC2F3
15,73 16,67 16,20 15,87 17,87 17,80 16,69
15,53 20,53 14,40 16,73 20,13 17,73 17,51
101,29 81,2 112,5 94,86 88,78 100,4 95,32
Sgt Toleran SgtToleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran
BC2F3 SB x NIL-1 BC2F3 SB x NIL-2 BC2F3 SB x NIL-3* BC2F3 SB x NIL-4 BC2F3 SB x NIL-5 BC2F3 SB x NIL-6 Rata-rata BC2F3
23,07 24,00 22,40 24,47 17,13 18,67 21,62
17,93 19,53 20,93 19,53 19,93 19,93 19,63
128,67 122,89 107,02 125,29 85,95 93,68 110,14
Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran
Ket. : *= individu terbaik berdasarkan analisis molekuler
Pada percobaan di rumah kaca dengan tanah Desa Kentrong jumlah anakan pada kondisi kurang P sangat jauh berbeda dengan yang cukup P (Tabel
129
27 dan 32). Demikian juga hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Wissuwa dan Ae (2001) yang menggunakan tanah andosol. Perbedaan hasil yang mencolok ini mungkin karena perbedaan tanah yang digunakan dalam penelitian dan kondisi penelitian yang berbeda. Penelitian P kebanyakan dilakukan di dalam rumah kaca pada container yang diberi tanah dengan perlakuan dipupuk P dan tidak. Faktor lingkungan seperti hujan dapat dihindari. Penelitian pupuk P di lapangan sangat riskan terhadap hujan, apalagi hujan yang bisa menghanyutkan pupuk di lapangan.
Waktu berbunga Perbedaan dosis pupuk P di lapangan ini mempengaruhi waktu berbunga tanaman. Walaupun kondisi tanah tergolong subur, namun pada bagian yang tidak diberi pupuk P terjadi pelambatan waktu berbunga walaupun hanya beberapa hari. Misalnya pada Situ Bagendit mengalami penundaan pembungaan selama 4,83 hari. Persilangan Situ Bagendit x Kasalath mengalami penundaan 1,06 hari, dan Situ Bagendit x NIL-C443 mengalami penundaan waktu berbunga 2,56 hari.
Kasalath, NIL-C443, dan Nipponbare waktu berbunganya tidak
terpengaruh oleh perbedaan dosis pupuk P.
Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian di rumah kaca yang menggunakan tanah, dimana pelambatan waktu berbunga bisa mencapai lebih dari 5 hari. Umumnya pelambatan pada tanaman padi yang kekurangan P pada umumnya bisa mencapai lebih dari 1 minggu (Dobermann dan Fairhurst 2000).
Bobot kering tajuk Secara umum perbedaan dosis P menyebabkan perbedaan dalam bobot kering tajuk. Seperti penelitian pada larutan hara Yoshida dan tanah di rumah kaca pengurangan dosis P juga mengurangi bobot kering tanaman. Pengurangan bobot kering tajuk pada BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath adalah 6,89 gram (14,84%) dari yang dipupuk P, BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443 berkurang 1,46 gram (3,5%) dari yang dipupuk. Pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath nilai rata-rata bobot kering tajuknya jauh lebih besar dibandingkan tetua Situ Bagendit, mungkin Pup1 yang ada dalam galur-galur BC2F3 tersebut memberi pengaruh
130
positif terhadap pembentukan tajuk, namun pembentukan tajuk yang responsif tersebut tidak menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak. Pada kondisi tidak dipupuk P rata-rata persilangan Situ Bagendit x Kasalath memiliki bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan tetuanya (Situ Bagendit). Peningkatan bobot kering tajuk pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath sebesar 3,76 gram (10,51%), dan pada persilangan Situ Bagendit x NILC443 terjadi peningkataan rata-rata bering kering tajuknya sebesar
ini pada
kondisi tidak dipupuk P sebesar 4,42 gram (12,35%). Pada kondisi dipupuk P terlihat peningkatan rata-rata bobot kering tajuk hanya terjadi pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath, yakni sebesar 4,58 gram (10,94%). Pada persilangan Situ bagendit x NIL-C443 justru terjadi pengurangan rata-rata kg kering tajuknya dibandingkan dengan rata-rata tetua Situ Bagendit (Gambar 31) Hasil penelitian untuk peubah jumlah anakan dan bobot kering tajuk ini mirip dengan hasil penelitian pemupukan P di tanah sawah (Syarif, 2005). Tanah sawah yang merupakan tanah petani dan setiap musim tanah pasti dilakukan pengolahan, dan dilakukan pemupukan. Hasil yang didapatkan nilai relatif kedua peubah tersebut sebagian besar di atas 80%. Tanah Lampung walaupun tanah untuk padi gogo tapi selalu dilakukan pengolahan dan pemupukan di waktu yang lampau sehingga kondisinya hampir sama dengan tanah sawah tersebut.
Komponen hasil Tabel 39. Rata-rata peubah jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan jumlah gabah total per malai pada persilangan Situ Bagendit di KP Taman Bogo, Lampung Genotipe Juml Gbh Juml Gbh Juml Gabah Isi/Malai (butir) Hmp/malai (butir) Total/Malai (butir) Min Plus Rltf Min Plus Rltf Min Plus Rltf P P (%) P P (%) P P (%) Kasalath (K) 83 91 91 19 28 69 102 119 86 NIL-C443 (N) 28 35 79 44 22 199 72 57 125 32 24 132 45 55 82 Nipponbare 13 31 44 Situ Bagendit (S) 87 78 111 25 23 109 112 101 111 24 77 97 98 99 Rata-rata SxK 79 74 107 19 24 21 117 99 101 98 Rata-rata SxN 75 81 93 Ket. : Rltf = Relatif
131
Komponen hasil ini penting diukur untuk melihat apakah pengurangan pupuk P akan berpengaruh kepada hasil akhir. Bagi petani, varietas padi yang diharapkan tentu saja yang menghasilkan gabah isi per satuan luas yang tinggi, tidak peduli apakah jumlah anakannya banyak atau sedikit, tanamannya rimbun atau tidak. Walaupun jumlah anakannya banyak sekali kalau gabah isi yang dihasilkan sangat sedikit galur padi tersebut tidak akan diterima. Jumlah gabah isi/malai merupakan salah satu komponen hasil yang sangat penting. Seluruh genotipe yang diuji memiliki nilai relatif di atas 80%, kecuali Nipponbare (Tabel 39). Nilai relatif yang tinggi ini menunjukkan pengurangan dosis P di lapangan tidak mempengaruhi hasil per malai.
Kasalath, sebagai
tanaman di daerah tropis tidak terpengaruh dengan kondisi di Taman Bogo, sehingga menunjukkan penampilan dengan hasil yang tinggi.
Jumlah gabah
isi/malai juga menjadi modal dasar mendapatkan hasil yang tinggi. Pada kondisi tidak dipupuk P tidak ada satu galur BC2F3 yang menunjukkan peningkatan jumlah bulir bijinya.
Pada kondisi dipupuk P, walaupun rata-ratanya
menunjukkan penurunan dibandingkan tetua Situ Bagendit, namun ada beberapa
gram
galur yang memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan tetuanya.
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Minus P
Plus P
Gambar 31. Histogram bobot kering tajuk dan bobot gabah isi/tanaman persilangan Situ Bagendit pada pengujian lapang di KP TamanBogo, Lampung. = bobot kering tajuk = bobot gabah isi/tanaman Gabah hampa ternyata terjadi juga dalam kondisi optimal di lapangan. Mungkin gabah hampa ini terjadi berkaitan dengan ketersediaan air pada fase
132
generatif. Walaupun secara umum kondisi tanaman bagus, namun karena ketersediaan air yang kurang menyebabkan gabah hampa bisa terbentuk (Selote dan Chopra 2004). Faktor cekaman Al di Taman Bogo juga bisa mempengaruhi kehampaan, karena keracunan Al dapat mempengaruhi pertumbuhan akar dan tajuk, dan menghambat translokasi air makanan dari air ke tajuk (Kochian et al. 2004). Jumlah gabah total bisa menunjukkan potensi genetik dari genotipe yang diuji. Pada Tabel 39 terlihat jumlah gabah total/malai tidak menunjukkan perbedaan antara yang diberi pupuk P dengan yang tidak diberi pupuk P, bahkan galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit ini cenderung lebih kecil dibandingkan tetuanya. Kondisi ini sebetulnya tidak diharapkan terjadi. Mungkin ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Bobot gabah isi/tanaman menunjukkan adanya penurunan dibandingkan tetua Situ Bagendit (Gambar 31). Walaupun pada peubah bobot gabah isi/malai terdapat banyak galur yang lebih tinggi dibanding tetuanya ternyata apabila dilihat bobot gabah isinya per tanaman terjadi penurunan, mungkin jumlah anakan yang dihasilkan pada galur-galur yang bagus tersebut lebih sedikit jumlahnya. Pada kondisi dipupuk P semua galur-galur BC2F3 bobot gabah isi/tanaman justru menurun dibandingkan tetua Situ Bagendit. Apabila jumlah gabah isi ini dibandingkan dengan jumlah gabah total (seed rate), semua galur BC2F3 memiliki nilai seed rate di atas 0,7 baik pada kondisi tidak dipupuk P ataupun dipupuk P, hanya beberapa galur yang memiliki nilai di atas 0,8, demikian juga untuk tetuanya (kecuali Nipponbare dan NILC443) (data lengkap tidak ditampilkan). Berarti semua galur-galur BC2F3 kondisi genetiknya sudah mulai stabil, hampir sama dengan tetua Situ Bagendit. Hasil ini jauh lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian yang menggunakan tanah Kentrong, dimana seluruh BC2F3 yang diuji menunjukkan nilai yang kecil, berkisar 0,39 – 0,64. Kondisi lingkungan yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan hasil ini. Berat 100 butir isi menunjukkan penurunan pada galur-galur BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 (data tidak ditampilkan). Hal ini menunjukkan biji BC2F3 yang dihasilkan dalam jumlah yang sama banyak memiliki berat yang
133
lebih kecil dibandingkan tetuanya.
Berat 100 butir ini biasanya akan
mempengaruhi berat gabah isi per tanaman. Tabel 40. Nilai korelasi antar peubah pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL dan tetua Situ Bagendit di Taman Bogo, Lampung P
TT
JAP
WB
BGITAN -0,002ns -0,23* 0,11ns -0,14ns 1,00
BKTj
JGI
JGH
GBH TT 1,0 -0,002ns -0,13ns -0,3** 0,25* -0,05ns 0,05ns 0,004ns ** ns ns ns ns 1,0 -0,59 0,11 0,02 0,09 -0,11 -0,02ns ns ns ns ns 0,04 -0,10 0,16 0,01ns 1,00 0,06 ns ns ns 1,00 0,02 -0,12 0,10 -0,07ns ns ** ns 0,33 -0,005 0,258* 0,06 ns ns 1,00 -0,17 0,12 -0,08ns ns 0,86** 1,00 0,16 1,00 0,63** 1,00 Ket. : *= beda nyata pada taraf 5%, ** = beda nyata pada taraf 1%, ns= tidak beda nyata
P TT JAP WB BGITAN BIOMAS JGI JGH GBHTT
Keterangan peubah dapat dilihat pada Tabel 37 Hasil ini jauh berbeda dengan yang dihasilkan oleh Wissuwa dan Ae (2001a), dimana untuk gabah isi/tanaman pada tanah Andosol dengan kondisi minus P dan plus P masing-masing : Kasalath (1,9 dan 13,7 gram/tanaman), NIL-C443 (2,3 dan 12,0 gram/tanaman), dan Nipponbare (0,7 dan 8,4 gram/tanaman). Pada kondisi tanah Taman Bogo ini terlihat Kasalath masih lebih tinggi pada kedua kondisi yang berbeda. Hasil yang sangat berbeda didapatkan pada NIL-C443 dan Nipponbare.
Percobaan Wissuwa memberikan hasil bobot gabah isi/tanaman
yang jauh lebih tinggi pada dua genotipe tersebut. Di samping kondisi tanah yang berbeda, perbedaan iklim antara tropis dan subtropis sangat membedakan hasil yang didapatkan. Hasil percobaan yang cenderung tidak konsisten antara yang dipupuk P dan yang tidak dipupuk P sangat menyulitkan dalam seleksi tanaman. Oleh karena itulah dalam kegiatan di KP Taman Bogo ini tidak dilakukan seleksi berdasarkan rata-rata tanaman yang diambil sebagai contoh, tapi seleksi dilakukan secara individual pada tanaman pada setiap persilangan, walaupun pada generasi BC2F3 ini kondisi genom sudah hampir seragam (terutama untuk persilangan dengan NIL-C443). Dari 20 famili BC2F3 tiap persilangan dipilih tanaman yang dilihat memiliki figur yang bagus, jumlah anakan yang banyak, dan bulir padi yang bernas. Seleksi berdasarkan pengamatan visual ini diharapkan akan bisa
134
memilih tanaman yang bagus.
Walaupun begitu seleksi ini juga banyak
mengalami kendala, karena tanaman yang ditanam jumlahnya mencapai puluhan ribu maka proses seleksi menjadi tidak begitu efektif. Tanaman yang terpilih kemudian ditanam lagi untuk diseleksi lebih lanjut.
Persilangan Batur x Kasalath, NIL-C443 Karakter agronomis Analisis sidik ragam (Tabel 41) menunjukkan banyak peubah yang tidak beda nyata pada perlakuan P, G, dan interaksi P dan G. Banyak peubah yang sama kondisi baik di lahan yang diberi pupuk P dan tidak dipupuk P, atau dengan kata lain kedua lahan percobaan tersebut kondisinya relatif sama. Seperti pada peubah tinggi tanaman, dosis P menyebabkan perbedaan tinggi tanaman pada persilangan Batur x Kasalath, tapi tidak pada persilangan Batur x NIL-C443. Antar genotipe dalam satu persilangan ternyata tidak berbeda nyata menunjukkan pada telah terjadi homogenitas tanaman yang tinggi pada generasi BC2F3. Tabel 41. Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Batur di KP Taman Bogo, Lampung Sbr TT JAP WB BKTj JGI JGH GBH BGI TOT TAN BC2F3 Batur x Kasalath dan Batur 0,01ns 34** 1,5ns 0,8ns 5,8* 2,4ns 1,8ns P 12** ns ** ** ns ns ns ns 3,7 3,7 1,9 1,8 2,0 2,4 2,0ns G 1,7 * ns ns ns ** ns ** 0,7 0,3 0,5 12 1,2 8,3 13,4** Ul 5,4 0,9ns 1,1ns 0,8ns 0,6ns 0,3ns 0,4ns 2,01ns P*G 0,4ns BC2F3 Batur x NIL-C443 dan Batur 19** 23** 0,8ns 0,7ns 1,3ns 0,0ns 0,04ns P 0,4ns ns ns ns ** ns ns ns G 0,5 0,7 0,7 5,8 0,7 0,7 2,6 1,7ns 6,2** 0,2ns 0,1ns 17** 0,7ns 16** 1,5ns Ul 1,8ns ns ns ns ns * ns ns 0,7 0,6 0,7 2,7 0,4 0,0 0,3ns P*G 0,2 Gabungan BC2F3 Batur x Kasalath, NIL-C443 dan Batur P 3ns 6,6* 51** 1,5ns 4,1* 5,1* 2,0ns 0,5ns G 1,2ns 1,6ns 3,6** 1,8ns 3,2** 1,2ns 3,3** 3,7** * ns ns ns ** ns ** 2,7 0,7 1,7 22,4 1,4 16 2,8ns Ul 3,2 ns ns ns ns ns ns ns 1,19 0,9 0,9 0,8 0,5 0,2 0,7ns P*G 0,7 Ket : Kasalath dan NIL-C443 tidak dimasukkan dalam perhitungan * = beda nyata pada taraf 5 %, ** = beda nyata pada taraf 1%, ns = tidak beda nyata
135
Waktu berbunga juga masih terdapat perbedaan pada lahan yang dipupuk P ataupun tidak pada kedua persilangan, artinya dosis pupuk P sangat mempengaruhi waktu pembungaan (dosis yang rendah lebih lambat). Pelambatan waktu berbunga ini tentu saja akan mempengaruhi komponen hasil lainnya. Namun, berdasarkan analisis statistik pada komponen hasil yang dipengaruhi oleh dosis pupuk P adalah jumlah gabah hampa pada persilangan Batur x Kasalath. Analisis statistik yang melihat gabungan kedua populasi menunjukkan tinggi tanaman sudah tidak ada beda nyata lagi pada seluruh galur BC2F3 baik dari turunan Batur x Kasalath, ataupun Batur x NIL-C443, namun untuk peubah lainnya masih ada yang menunjukkan perbedaan antar dosis pupuk dan antar genotipe. Apabila dilihat interaksi P dan G semua peubah yang diamati tidak ada yang berbeda nyata, artinya setiap genotipe yang diamati tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan genotipe lainnya, baik pada kondisi dipupuk P ataupun tidak dipupuk P.
Tinggi tanaman
140
Minus P
Plus P
120
cm
100 80 60 40 20 0
Gambar 32. Histogram tinggi tanaman BC2F3 persilangan Batur pada pengujian lapang di KP Taman Bogo, Lampung. B_P(K) = rata-rata BC2F3 Batur x Kasalath B_P(N) = rata-rata BC2F3 Batur x NIL-C443 Pengurangan dosis P biasanya menyebabkan terjadinya penghambatan pertumbuhan vegetatif sehingga tinggi tanaman menjadi berkurang. Oleh karena
136
itu pengurangan tinggi tanaman tidak terlalu besar (Gambar 32). Seperti pada Batur pengurangan tinggi tanaman mencapai 5,03 cm (4,49%), persilangan Batur x Kasalath berkurang 11,33 cm (9,6 %), persilangan Batur x NIL-C443 malah bertambah dengan pengurangan dosis P.
Penambahan tinggi tanaman pada
persilangan ini mencapai 1,4 cm (1,19 %). Gejala pengurangan tinggi tanaman ini adalah gejala umum pada lahan-lahan yang kekurangan P. Pengurangan dosis P menyebabkan berkurangnya bahan baku untuk melakukan metabolisme seharihari sehingga bahan jadi yang dihasilkan juga berkurang, akibatnya terjadi penekanan pertumbuhan tanaman, termasuk tinggi tanaman.
Jumlah anakan produktif Tabel 42. Rata-rata peubah jumlah anakan produktif pada persilangan Batur di KP Taman Bogo, Lampung Genotipe Jumlah Anakan Produktif Minus P Plus P Relatif Kriteria (%) Sgt Toleran Kasalath 15,73 17,87 88,03 Sgt Toleran NIL-C443 12,13 13,40 90,52 Toleran Nipponbare 12,87 16,33 78,81 Sgt Toleran Batur 9,1 10,5 86,67 BC2F3 Btr x Kas-1 BC2F3 Btr x Kas-2 BC2F3 Btr x Kas-3 BC2F3 Btr x Kas-4 BC2F3 Btr x Kas-5* BC2F3 Btr x Kas-6 Rata-rata BC2F3
14,40** 10,33 9,87 9,93 9,47 11,07 10,85***
12,00 9,27 11,20 10,80 9,87 12,67 10,97
120 111,44 88,13 91,94 95,95 87,37 98,91
Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran
BC2F3 Btr x NIL-1 BC2F3 Btr x NIL-2 BC2F3 Btr x NIL-3 BC2F3 Btr x NIL-4 BC2F3 Btr x NIL-5 BC2F3 Btr x NIL-6* Rata-rata BC2F3
8,80 9,40 9,60 9,0 7,67 9,73 9,03
12,33 11,53 9,33 12,27 11,00 12,07 11,42
71,37 81,53 102,89 73,35 69,73 80,61 79,07
Toleran Sgt Toleran Sgt Toleran Toleran Toleran Sgt Toleran Toleran
Ket. : *= individu terbaik berdasarkan analisis molekuler **
***
= berbeda nyata dengan tetua Batur menurut uji Dunnet 5% = berbeda nyata dengan tetua Batur menurut uji t-Student 5% Jumlah anakan produktif (Tabel 42) menunjukkan hampir semua genotipe
yang diuji memiliki nilai relatif lebih besar dari 80%, dan hanya beberapa galur
137
yang memiliki nilai di atas 70%, sehingga semua genotipe yang diuji termasuk kategori toleran dan sangat toleran. Kasalath sebagai sumber Pup1 juga menunjukkan penampilan yang bagus dimana, baik pada kondisi dipupuk ataupun tidak dipupuk P memiliki jumlah anakan produktif terbanyak dibandingkan genotipe lainnya.
NIL-C443 dan Nipponbare walaupun mengalami tekanan
lingkungan akibat perbedaan tempat hidup juga menunjukkan jumlah anakan produktif yang tinggi pula. Apabila dilihat galur-galur BC2F3 yang diuji ternyata secara umum terjadi peningkatan jumlah anakan produktifnya baik pada kondisi tidak dipupuk P ataupun dipupuk P. Berdasarkan hal ini terlihat persilangan Batur x Kasalath relatif lebih baik kondisinya dibandingkan dengan persilangan Batur x NIL-C443. Mungkin hal ini berkaitan dengan komposisi genom yang berasal dari tetua donor yang masih tertinggal, pada persilangan Batur x Kasalath tidak begitu masalah karena Kasalath dan Batur adalah sama-sama indica yang biasa ditanam di daerah tropis, sehingga tambahan segmen dari Kasalath tidak mengganggu penampilan dari turunannya. Berbeda dengan segmen yang berasal dari NIL-C443 yang mengandung segmen Nipponbare sehingga saat ditanam pada daerah tropis terlihat terjadi tekanan pertumbuhan.
Walaupun segmen-segmen Nipponbare
telah berkurang berdasarkan analisis molekuler, namun masih ada beberapa potong segmen Nipponbare yang susah untuk dibuang. Segmen-segmen kecil inilah yang barangkali mengganggu dari pertumbuhan persilangan Batur x NILC443.
Waktu berbunga Apabila dilihat waktu berbunganya fenomena waktu berbunga yang lebih lambat juga terjadi pada pengujian di lapangan ini. Terjadi pelambatan beberapa hari akibat perbedaan dosis pupuk P. Pada Batur sendiri terjadi pengurangan waktu berbunga sebanyak 5,18 hari, persilangan Batur x Kasalath melambat 4,56 hari, dan persilangan Batur x NIL-C443 melambat sebanyak
3,61 hari.
Pelambatan ini juga terjadi pada persilangan Situ Bagendit dan pada pengujian di rumah kaca yang menggunakan tanah dari Kentron. Mungkin pengurangan unsur
138
P yang diserap tanaman telah mengganggu metabolisme tanaman dalam melakukan pembentukan bunga.
Bobot kering tajuk Bobot kering tajuk sebagai peubah penting penelitian pupuk P menunjukkan rata-rata BC2F3 baik pada persilangan Batur x Kasalath, dan Batur x NIL-C443 terjadi peningkatan bobot kering tajuk yang cukup besar, baik pada kondisi dipupuk ataupun tidak dipupuk P. Ini menunjukkan peranan Pup1 cukup besar mempengaruhi bobot kering tajuk tanaman. Gejala ini sebenarnya terjadi pada persilangan Situ Bagendit namun peningkatan bobot kering tajuk sangat terlihat jelas pada persilangan Batur. Pada kondisi kurang P semua galur BC2F2 Batur x Kasalath memiliki bobot kering tajuk lebih besar dibandingkan tetua Batur.
Peningkatan bobot kering tajuk ini 23,38 gram (74,82 %), pada
persilangan Batur x NIL-C443 semua galur juga menunjukkan peningkatan dibandingkan tetuanya, yakni peningkatan rata-ratanya sebesar 20,43 gram (50,03 %). Pada kondisi dipupuk P terjadi juga peningkatan bobot kering tajuk dari seluruh galur BC2F3 yang diuji. Pada persilangan Batur x Kasalath, peningkatan rata-ratanya adalah sebesar 7,82 gram (19,15 %), dan pada persilangan Batur x NIL-C443 terjadi peningkatan bobot kering tajuk sebesar 11,34 gram (36,29 %) (Gambar 33). Peningkatan bobot kering tajuk ini menunjukkan Pup1 mampu meningkatkan respon penyerapan unsur P pada tanah dan terekspresi positif pada bobot kering tajuk. Peningkatan bobot kering tajuk ini belum tentu akan berlanjut dengan peningkatan komponen hasil.
Kadang-kadang walaupun terjadi
peningkatan vegetatif, namun bisa jadi terjadi penurunan hasil karena tidak semua unsur P yang disimpan tanaman digunakan untuk membentuk bulir-bulir padi. Tentu saja kondisi ini tidak diharapkan dalam penelitian ini. Komponen hasil Jumlah gabah isi, hampa, dan total adalah per malai menunjukkan potensi hasil dari genotipe yang diuji. Jumlah gabah isi/malai (Tabel 43) menunjukkan
139
penurunan pada kondisi tidak dipupuk P pada galur-galur BC2F3 persilangan Batur x Kasalath dan Batur x NIL-C443. Pada kondisi cukup P (dipupuk P) secara umum terjadi penurunan jumlah gabah isi/malai, namun ada beberapa galur BC2F3 yang menunjukkan peningkatan jumlah gabah isi/malai. Berdasarkan nilai relatifnya semua genotipe yang diuji memiliki nilai di atas 90%, menunjukkan tidak ada perbedaan antara yang dipupuk dengan yang tidak dipupuk untuk peubah jumlah gabah isi/malai ini. Tabel 43. Rata-rata peubah jumlah gabah isi/malai pada persilangan Batur di KP Taman Bogo, Lampung Genotipe Jml Gbh Isi/Malai Juml Gbh Juml Gbh Total/Malai (butir) Hampa/Malai (butir) (butir) Min Plus Rltf Min Plus Rltf Min Plus Rltf P P (%) P P (%) P P (%) Kasalath (K) 121 108 111 28 26 105 148 135 110 NIL-C443 (N) 14 18 76 47 49 96 60 61 99 Nipponbare 12 14 85 36 43 84 48 57 84 42 91 172 161 107 Batur (B) 135 120 113 38 30 35 87 144 155 93 Rata-rata BxK 113 120 95 Rata-rata BxN 128 135 95 35 37 93 163 172 95 Ket. : Rltf = Relatif Peubah jumlah gabah hampa/malai menunjukkan terjadi penurunan nilai jumlah gabah hampa pada galur-galur BC2F3nya dibandingkan dengan tetuanya berarti terjadi peningkatan kualitas dalam jumlah benih hampa.
Hal ini
menunjukkan banyak benih yang terisi pada BC2F3nya dibandingkan dengan tetuanya. Peubah jumlah gabah total/malai menunjukkan potensi genetik dari masing-masing genotipe yang diuji. Berdasarkan Tabel 43 terlihat pada kondisi kurang P secara umum terjadi penurunan jumlah gabah total/malainya dibandingkan tetua Batur, yang jumlah galurnya melebihi tetuanya. Pada kondisi dipupuk P secara umum terjadi penurunan jumlah benih/malai pada persilangan Batur x Kasalath, namun meningkat pada persilangan Batur x NIL-C443. Pada persilangan Batur x Kasalath meningkat dibanding tetua Batur. Pada persilangan Batur x NIL-C443 semua galur BC2F3 yang diuji menunjukkan peningkatan jumlah gabah/malainya dibandingkan tetua Batur.
Hal ini menunjukkan
sebetulnya galur-galur BC2F3 memiliki potensi hasil yang tinggi, dibandingkan
140
tetuanya namun kadang-kadang pengaruh lingkungan memberikan efek negatif pada hasil akhir. Bobot gabah isi/tanaman merupakan komponen yang sangat penting dalam seleksi tanaman. Apabila ada peningkatan komponen hasil tersebut pada turunan hasil persilangan menunjukkan keberhasilan kegiatan persilangan yang sudah dilakukan. Peningkatan bobot gabah isi/tanaman ini tidak terjadi pada persilangan Situ Bagendit. Berarti untuk kondisi tanah yang subur seperti di Taman Bogo ini persilangan dengan Batur (terutama dengan Kasalath) lebih bagus dibandingkan dengan Situ Bagendit. Minus P
Plus P *
60
cm
50 40 30 20 10 0
Gambar 33. Histogram bobot kering tajuk dan bobot gabah isi/tanaman persilangan Batur pada pengujian lapang di KP TamanBogo, Lampung. = bobot kering tajuk = bobot gabah isi/tanaman Perbandingan jumlah gabah isi dengan jumlah gabah total menunjukkan nilainya menunjukkan semua BC2F3 persilangan Batur yang diuji memiliki nilai lebih dari 0,8 (hanya sebagian kecil yang di bawah 0,8) (data tidak ditampilkan). NIL-C443 dan Nipponbare memiliki nilai seed rate yang sangat kecil, menunjukkan NIL-C443 dan Nipponbare komposisi benih yang dihasilkan lebih banyak yang hampa dibandingkan dengan yang isi. Berat 100 butir isi menunjukkan penurunan pada persilangan Batur x Kasalath dan meningkat persilangan Batur x NIL-C443 (data tidak ditampilkan). Mungkin hal ini berkaitan dengan kondisi benih Kasalath atau NIL-C443 itu
141
sendiri. Kasalath memiliki benih yang panjang, berbulu, dan relatif lebih kecil dibandingkan benih Batur, sedangkan NIL-C443 memiliki bentuk benih yang bulat dan besar, sehingga persilangan dengan Batur menyebabkan terjadinya rekombinasi untuk sifat bentuk bulir ini, yang berpengaruh pada peubah berat 100 bulir isi. Secara umum pada kondisi tidak dipupuk P terjadi pengurangan berat 100 butir isi dibandingkan pada kondisi dipupuk P. Pasokan P yang lebih kecil pada lahan yang tidak dipupuk menyebabkan perkembangan bulir padi menjadi tidak optimal sehingga menurunkan berat 100 bulir isinya. Tabel 44. Nilai korelasi antar peubah pada persilangan Batur x Kasalath, NIL dan tetua Batur di Taman Bogo, Lampung P
TT
JAP
WB
BGI TAN 0,05ns -0,03ns -0,03ns 0,2ns 1,0
BKTj
JGI
JGH
GBH TOT 1,0 0,2ns 0,3** -0,6** -0,04ns 0,1ns 0,3* 0,1ns 1,0 -0,3** -0,3** -0,07ns 0,36** 0,03ns 0,4** ns ns ns 1,0 -0,2 0,04 -0,01 0,2ns -0,02ns ns ns * 0,14 -0,17 -0,2 -0,2ns 1,0 ns ns ns 0,19 -0,19 -0,2 -0,3* ns ns -0,1 -0,1ns 1,0 -0,07 * 1,0 0,3 0,8** 1,0 0,5** 1,0 Ket : *= berbeda nyata pada taraf 5 %, **= berbeda nyata pada taraf 1%, ns = tidak berbeda nyata
P TT JAP WB BGITAN BKTj JGI JGH GBHTOT
Keterangan peubah dapat dilihat dalam Tabel 37
Simpulan 1. Pengaruh dosis P memberikan hasil berbeda pada banyak karakter agronomi lebih banyak terjadi pada persilangan Situ Bagendit dibandingkan dengan Batur. 2. Pengaruh Pup1 pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 terlihat dengan peningkatan bobot kering tajuk, namun tidak terlihat pada bobot gabah isi/tanaman. 3. Pengaruh Pup1 pada persilangan Batur x Kasalath, NIL-C443 terlihat dari peningkatan bobot kering tajuk, yang diikuti dengan peningkatan bobot gabah isi/tanaman, khususnya pada pada Batur x Kasalath.
Daftar Pustaka
142
Balittanah. 2005. Petunjuk Teknis : Analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. 136 hal. Dobermann A, Fairhurst T. 2000. Rice : Nutrient disorders and nutrient management. IRRI. Philippines. 191p Hu B, Wu P, Liao CY, Zhang WP, Ni JJ. 2001. QTLs and epistasis underlying activity of acid phosphatase under phosphorus sufficient and deficient condition in rice (Oryza sativa L.). Plant Soil 230 : 99-105 Ismail AM, Heuer S, Thomson MJ, Wissuwa M. 2007. Genetic and genomic approaches to develop rice germplasm for problem soils. Plant Mol Biol DOI 10.1007/s11103-007-9215-2 Kochian LV, Hoekenga OA, Pineros MA. 2004. How do crop plants tolerate acid soils? Mechanisms of Al tolerance and phosphorous efficiency. Ann Rev Plant Biol 55: 459-93 Ming F, Zheng X, Mi G, Zhu L, Zhang F. 2001. Detection and verification of quantitative trait loci affecting tolerance to low phosphorus in rice. J Plant Nut 24 (9) : 1399-1408 Mulyani A, Hikmatullah, Subagyo H. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan kering di Indonesia. Dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam (Bandar Lampung, 29-30 September 2003) : 1-27 Ni JJ, Wu P, Senadhira D, Huang N. 1998. Mapping QTLs for phosphorus deficiency tolerance in rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet 97 : 13611369 Pietraszewska TM. 2001. Effect of aluminum on plant growth and metabolism (review). Acta Bioch. Polonica. 48(3) : 673-686 Prasetyo BH, Suriadikarta DA. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. J Litbang Pertanian 25 (2) : 40-46 Selote DS, Chopra RK. 2004. Drought-nduced spikelet sterility is associated with an inefficient antioxidant defence in rice panicles. Phys Plant 121: 462-471 Shimizu A, Yanagihara S, Kawasaki S, Ikehashi H. 2004. Phosphorus deficiencyinduced root elongation and its QTL in rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet 109 : 1361-1368
143
Syarif AA. 2005. Adaptasi dan ketenggangan genotipe padi terhadap defisiensi P di tanah sawah. Disertasi. IPB.131 hal. Untung K, Lanya H, Rusyadi Y. 1991. Permasalahan lapangan tentang padi di daerah tropika. (Judul asli : Field Problem. Ditulis oleh K.E. Mueller). Lembaga Penelitian Padi Internasional. 173 hal. Widowati LR, Kencanasari A, Widiati S, Maryam, Rochayati S. 2004. Evaluasi sifat kimia tanah sebagai factor pembatas pertumbuhan padi sawah pada tanah sawah masam. Dalam Prosiding symposium nasional pendayagunaan tanah masam: Bandar Lampung, 29-30 September 2003 (Buku II). 368 hal Wissuwa M, Ae N. 2001. Genotypic variation for tolerance to phosphorus deficiency in rice and the potential for its exploitation in rice improvement. Plant Breed 120 : 43-48 Wissuwa M, Wegner J, Ae N, Yano M. 2002. Substitution mapping of Pup1: a major QTL increasing phosphorus uptake of rice from phosphorus-deficient soil. Theor Appl Genet 105: 890-897