PENGUJIAN DAN EVALUASI KONTAMINASI LOGAM BERAT PADA DAGING DAN ORGAN TUBUH SAPI YANG DIPELIHARA PADA LAHAN PASCA TAMBANG PT. INCO SOROWAKO (Testing and Evalution of Heavy Metal Contamination in Meat and Organ of Bali Cattle Grazing in Mine Regevegetation Area PT. Vale Sorowako, Tbk) Syamsuddin Hasan1, Asmuddin Natsir1, Ambo Ako1, Fransiska Rungkat-Zakaria2 1Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin Ilmu dan Teknologi Pangan IPB
2Departemen
ABSTRAK Penelitian melalui budidaya sapi potong dengan menggunakan rumput dan legume pada lahan pasca tambang PT. Vale Sorowako, Tbk telah dilakukan. Hasil penelitian (Tahun I) menunjukkan bahwa rumput dan legume yang tumbuh pada lahan pasca tambang mengandung logam-logam berat yang berpotensi mencemari daging dan organ tubuh sapi dan apabila dikonsumsi oleh manusia maka dapat terjadi penimbunan logam berat pada tubuh manusia yang sudah tentu berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu (Tahun II), telah dilakukan evaluasi tingkat kontaminasi logam berat pada ternak sapi yang mengkonsumsi rumput dan legum dari lahan pasca tambang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mengevalusi tingkat kontaminasi logam berat pada daging dan organ tubuh sapi yang sering dikonsumsi oleh manusia serta menganalisis resiko dari sapi yang dipelihara dengan mengkonsumsi rumput dan legume yang tumbuh di lahan pasca tambang. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu observasi, pemotongan ternak, analisa logam pada daging dan organ. Parameter yang teramati adalah daging punggung, daging paha, jantung, hati, paru-paru, limpa, ginjal, tulang, darah, rumput (sebagai sumber hijauan pakan) dan air (sebagai minuman ternak). Adapun jenis logam yang diukur adalah besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), kromium (Cr), cadmium (Cd) dan nikel (Ni). Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan sejumlah logam yang berpotensi beracun (Cd, Cr dan Ni) di beberapa organ dari yang sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang namun seluruhnya belum melebihi ambang batas yang diizinkan. Kata Kunci : Logam Berat, Sapi Potong, Pasca Tambang PENDAHULUAN Kontaminasi logam berat pada pangan, saat ini telah menjadi suatu masalah yang sangat memprihatinkan. Kemajuan peradaban, teknologi, industri dan pergeseran pola hidup semakin memperbesar peluang bermigrasinya logam berat dalam pangan. Salah satu sumber logam berat yang dapat mengkontaminasi pangan dapat berasal dari residu logam berat dari industry pertambangan. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 18 tahun 2008 tentang reklamasi dan penutupan lahan bekas pertambangan mengharuskan setiap lahan pasca tambang untuk dipulihkan kondisi tanahnya agar dapat kembali dimanfaatkan sebagai media tumbuh tanaman. Salah satu upaya pemulihan lahan bekas tambang adalah revegetasi dengan menanam pohon maupun rumput dan legum. 165
Revegetasi lahan tambang yang ditanami dengan hijauan (rumput dan legum) memberikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkannya menjadi sumber hijauan pakan ternak. Namun, dilain pihak kekhawatiran yang muncul atas upaya pengalihfungsian lahan revegetasi pasca tambang menjadi lahan pasture (ladang pengembalaan) adalah kemungkinan terjadinya akumulasi logam-logam berat pada tanah, rumput, sumber air yang dapat berdampak akumulasi logam berat pada daging dan organ hewan yang diternakkan. Taggart et al (2011) menemukan kadar Pb yang berlebihan pada daging domba dan babi hutan yang hidup diareal pertambangan. Salah satu aspek jalur masuknya xenobiotik (senyawa asing) yang dapat menciderai kesehatan manusia adalah asupan substansi toksik yang bersumber dari makanan yang dikonsumsi. Daging dan produk daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki banyak penikmat, namun di dalamnya mungkin membawa sejumlah substansi toksik. Walaupun jumlahnya cukup kecil di dalam daging, namun pada bagian tertentu pada tubuh ternak yang juga sering dikonsumsi misalnya pada organ hati dan ginjal, sering menunjukkan konsentrasi substansi toksik yang cukup tinggi (Khalafalla et al, 2011). Permasalahan keamanan pangan ini seringkali disepelekan oleh masyarakat karena tidak semua kasus pencemaran keamanan pangan memberikan respon negatif bagi tubuh yang dapat langsung diamati satu atau dua hari setelah mengkonsumsinya. Bahan kimia tambahan maupun bahan kimia asing misalnya logam berat yang terkonsumsi tidak menunjukkan respon buruk bagi kesehatan yang dapat teramati pada selang waktu satu atau dua hari setelah konsumsi, namun gangguan kesehatan yang diakibatkan akan tampak dalam jangka waktu yang cukup panjang setelah mengkonsumsinya. Logam berat merupakan senyawa asing dapat masuk melalui makanan kemudian terakumulasi di dalam tubuh dalam kurun waktu tertentu dan menimbulkan gangguan kesehatan. Pembudidayaan ternak khususnya ternak sapi potong di wilayah pertambangan dengan memberikan hijauan pakan yang berasal dari rumput di lahan revegertasi pasca tambang berpotensi untuk mencemari daging dan organ tubuh sapi lainnya yang apabila hasil ternak tersebut dikonsumsi oleh manusia maka akan menimbulkan penimbunan logam berat pada tubuh manusia. Oleh karena perlu dilakukan evaluasi tingkat kontaminasi logam berat pada ternak sapi yang dipelihara di areal pertambangan serta mengkonsumsi hijauan pakan dari lahan pasca tambang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mengevalusi tingkat kontaminasi logam berat pada daging dan organ tubuh ternak yang sering dikonsumsi oleh manusia serta menganalisis resiko dari sapi yang dipelihara serta mengkonsumsi hijauan pakan yang tumbuh di lahan pasca tambang. Urgensi penelitian ini adalah memberikan rekomendasi dan jaminan mengenai kelayakan dan keamanan daging dari sapi yang diperoleh di lokasi pasca tambang untuk dikonsumsi oleh manusia, dengan tidak memberikan efek yang buruk pada kesehatan manusia. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap. Tahap pertama: Observasi, dilaksanakan pada bulan Oktober 2013. Tahap kedua : Pemotongan ternak, dilaksanakan pada bulan Januari 2014 dan Tahap ketiga : Analisa logam pada daging dan organ, dilaksanakan pada bulan februari-maret 2014. Tahap pertama dan kedua
166
dilaksanakan di lahan pasca tambang PT.VALE Tbk Sorowako Kab.Luwu Timur dan tahap ketiga dilaksanakan di Lab.Kimia Balai Besar Kesehatan Makassar. Parameter yang teramati adalah daging punggung, daging paha, jantung, hati, paru-paru, limpa, ginjal, tulang, darah, rumput (sebagai sumber hijauan pakan) dan air (sebagai minuman ternak). Adapun jenis logam yang diukur adalah besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), kromium (Cr), cadmium (Cd) dan nikel (Ni). Metode analisis logam yang dilakukan mengacu pada SNI 06-6989.18-2004. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari serangkaian penelitian dan analisis yang telah dilakukan maka diperoleh hasil bahwa : Tabel 1. Konsentrasi tembaga pada daging dan berbagai organ (ppm) dari sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang dan di luar lahan pasca tambang. Sapi dari luar areal lahan pasca Standar* tambang 10 Daging Punggung 0.04 ± 0.07 Tt Daging Paha 0.01 ± 0.02 0.18 ± 0.06 Jantung 1.35 ± 0.20 1.07 ± 0.11 Hati 1.92 ± 1.26 0.71 ± 0.07 Paru-paru 0.41 ± 0.04 0.53 ± 0.07 Limpa 0.26 ± 0.03 0.21 ± 0.03 Ginjal 2.37 ± 0.18 1.80 ± 0.22 Tulang 0.07 ± 0.05 0.07 ± 0.01 Darah 0.18 ± 0.08 0.15 ± 0.03 * Chinese Standart GB 15999-94 dan GB13106-1999). Tt : Tidak terdeteksi Hasil analisa konsentrasi tembaga baik sapi yang dari lahan pasca tambang maupun sapi yang berasal dari luar lahan pasca tambang di daging dan di seluruh organ yang biasa dikonsumsi tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan Chinese standar. Tembaga sebagai tembaga sulfat telah dievaluasi oleh JECFA pada tahun 1966, 1970, dan 1982. Maksimum asupan harian yang diizinkan (Provosional maximum tolerable daily intake/PMDTI) adalah 0,05-0,5 mg / kg berat badan. Tembaga merupakan unsur mineral yang dikelompokkan ke dalam elemen mikro esensial. Walaupun dibutuhkan dalam jumlah sedikit di dalam tubuh, namun bila kelebihan akan dapat mengganggu kesehatan, sehingga mengakibatkan keracunan, tetapi bila kekurangan tembaga dalam darah dapat menyebabkan anemia yang merupakan gejala umum. Logam baik logam ringan maupun berat yang esensial sangat berguna dalam tubuh hewan. Tembaga merupakan komponen dari enzim dalam metabolisme besi dan kekurangan unsur ini menyebabkan anemia (McDowell, 2003). Hampir semua mineral esensial baik makro maupun mikro berfungsi sebagai katalisator dalam sel. Beberapa mineral berikatan dengan protein, sedangkan lainnya sebagai ikatan pembentukan komponen siklik antara molekul organik dan ion logam Selain ikut serta dalam sintesa hemoglobin, tembaga juga merupakan bagian dari enzim-enzim di dalam sel, seperti sebagai kofaktor enzim tirosinase di dalam kulit. Di Lokasi
Sapi dari lahan pasca tambang
167
dalam hati, hamper semua tembaga berikatan dengan enzim, terutama enzim seruloplasmin yang berfungsi sebagai feroksidase dan transportasi di dalam darah (Sharma et al., 2003; Arifin, 2007). Hasil analisa konsentrasi besi dalam daging dan organnya ditemukan dalam jumlah yang cukup besar. Pada umumnya besi adalah mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dan kejadian penyakit yang disebabkan oleh kelebihan besi jarang terjadi. Yang sering terjadi di Indonesia adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yaitu anemia. Konsentrasi besi tertinggi terdapat pada darah. Hal ini terjadi karena besi terikat di dalam hemoglobin darah. Namun tingginya besi dalam darah tidak begitu mengkhawatirkan mengingat masyarakat Indonesia tidak mengkonsumsi darah. Belum ditemukan acuan mengenai standar maksimum besi dalam makanan. Tabel 2. Konsentrasi besi (Fe) pada daging dan berbagai organ (ppm) dari sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang dan di luar lahan pasca tambang.
Lokasi
Sapi dari lahan pasca tambang
Daging Punggung Daging Paha Jantung Hati Paru-paru Limpa Ginjal Tulang Darah
10.10 ± 3.49 12.07 ± 3.13 32.89 ± 2.12 57.95 ± 14.37 50.65 ± 9.90 81.22 ± 2.74 47.36 ± 3.01 3.26 ± 1.22 91.95 ± 10.65
Sapi dari luar areal lahan pasca tambang 28.10 ± 4.58 26.52 ± 3.53 25.24 ± 1.92 33.91 ± 2.02 41.68 ± 1.28 62.43 ± 2.11 24.44 ± 1.16 3.79 ± 0.26 35.24 ± 1.34
Standar -
Zat besi adalah komponen hemoglobin di dalam sel darah merah (eritrosit) yang tersedia untuk mentransportasikan oksigen ke seluruh tubuh dan dalam bentuk mioglobin untuk penyimpanan dan penggunaan oksigen di otot. Oksigen dikeluarkan di jaringan dalam bentuk hemoglobin digunakan untuk metabolime oksidatif. Hemoglobin mengikat karbondioksida dalam jaringan dan membawanya ke paru-paru dimana dia dihirup. Perlindungan ini dari paparan tergantung pada protein yang secara khusus terlibat dalam serapan dari diet dan mentransfer ke dalam sirkulasi sistemik, transportasi di seluruh tubuh dan penyimpanan pada jaringan, serta pengiriman ke situs fungsional (Geissler dan Singh, 2011). Besi terjadi sebagai konstituen alami dari semua makanan yang berasal dari tumbuahan dan hewan. Zat besi ditemukan dalam jumlah yang kecil pada buahbuahan, sayuran dan lemak. Ditemukan dalam jumlah sedang pada daging merah, ayam dan telur. Sementara pada jaringan organ, ikan, sayuran hijau dan tomat mengandung zat besi dalam jumlah tinggi. Asupan harian rata-rata besi telah diperkirakan 17 mg / hari untuk pria dan 9-12 mg / hari untuk wanita. Medicine Institut di Amerika pada Tahun 2001 mengusulkan tingkat toleransi asupan zat besi per hari adalah 45 mg berdasarkan gejala gastrointestinal dan efek akut yang paling jelas. Hal ini mewakili lebih dari lima kali lipat kecukupan gizi yang dianjurkan untuk laki (8 mg/hari) dan sekitar 3 kali lipat untuk wanita yang belum menopous (18 mg/hari) (IOM, 2001).
168
Besi telah dievaluasi oleh JECFA pada tahun 1983. Asupan maksimum asupan harian iron yang diizinkan (Provosional maximum tolerable daily intake/PMDTI) adalah 0.8 mg/Kg berat badan., PMDTI ini ditetapakan untuk mencegah terjadinya penimbunan besi dalam tubuh secara berlebihan. Dosis mematikan besi rata-rata adalah 200-250 mg / kg berat badan, tetapi kematian telah terjadi setelah mengkonsumsi dosis serendah 40 mg / kg berat badan. Otopsi telah menunjukkan nekrosis hemoragik dan pengelupasan daerah mukosa di perut dengan ekstensi ke submukosa. Kronis hasil kelebihan zat besi terutama dari kelainan genetik (hemokromatosis) ditandai dengan penyerapan zat besi meningkat dan penyakit yang memerlukan transfusi sering. Dewasa sering mengambil suplemen zat besi untuk waktu yang lama tanpa efek merusak, dan asupan 0,4-1 mg / kg berat badan per hari tidak mungkin menyebabkan efek samping pada orang sehat (WHO, 1996). Dari hasil analisa konsetrasi seng dalam daging dan organ lainnya untuk sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang maupun sapi yang dipelihara di luar lahan pasca tambang belum melebihi ambang batas yang ditetapkan (<100 mg/Kg) (Chinese Standard,1999). Seng merupakan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Secara kimia seng mempunyai keunikan karena berperan sebagai regulator, katalitik dan struktural yang penting pada berbagai sistem biologi dimana seng berperan pada lebih dari 300 enzim yang terdapat pada bermacam-macam spesies. Seng berperan dalam metabolism karbohidrat, lipid dan protein serta sintesis dan degradasi asam nukleat melalui peranannya pada enzim karbonik anhidrase (metabolism CO2 dan HCO3), thimidin kinase/DNA dan RNA polymerase (sintesis asam nukleat dan protein). Seng juga berperan dalam stabilisasi struktur protein, asam nukleat, serta integritas organella subseluler seperti proses transport, fungsi imun dan ekspresi informasi genetik serta perlindungan terhadap kerusakan akibat radikal bebas. Seng penting untuk berbagai fungsi sensori dan kekebalan, antioksidan serta stabilitas membran (Anderson, 2004). Walaupun seng sangat dibutuhkan oleh tubuh namun konsumsi seng yang berlebihan juga dapat bersifat toksik. Maksimum asupan harian iron yang diizinkan (Provosional maximum tolerable daily intake/PMDTI) adalah 0.3-1 mg/Kg berat badan. Seng adalah elemen penting, seng dibutuhkan sepanjang hidup dan efek kesehatan yang berhubungan dengan defisiensi seng sangat banyak. Seng terjadi sebagai konstituen alami di semua jaringan tumbuhan dan hewan dan fungsi sebagai bagian integral dari beberapa sistem enzim. Kandungan seng terdapat dalam jumlah yang tinggi pada tiram dan terdapat dalam jumlah kecil pada makanan laut lainnya, daging, kacang-kacagan dan sereal utuh. Gula, jeruk dan sayuran yang tidak berupa dedaunan miskin seng. Interaksi dengan faktor diet lainnya mempengaruhi penyerapan seng. Asupan harian rata-rata seng telah diperkirakan maksimal 20 mg / hari untuk orang dewasa (CAC, 2011). Tabel 3. Konsentrasi seng (Zn) pada daging dan berbagai organ (ppm) dari sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang dan di luar lahan pasca tambang.
Lokasi
Sapi dari lahan pasca tambang
Daging Punggung Daging Paha
9.18 ± 3.27 9.72 ± 4.22
Sapi dari luar areal lahan pasca tambang 11.19 ± 2.48 32.35 ± 2.03
Standar 100
169
Jantung 5.64 ± 0.47 4.43 ± 0.51 Hati 8.79 ± 0.66 8.02 ± 0.57 Paru-paru 5.96 ± 0.68 5.42 ± 0.30 Limpa 7.24 ± 0.50 7.71 ± 0.40 Ginjal 6.90 ± 0.28 5.89 ± 0.63 Tulang 26.61 ± 6.73 27.25 ± 0.80 Darah 0.08 ± 0.13 0.71 ± 0.05 * Chinese Standart GB 15999-94 dan GB13106-1999). Tabel 4. Konsentrasi kromium (Cr) pada daging dan berbagai organ (ppm) dari sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang dan di luar lahan pasca tambang.
Lokasi Daging Punggung Daging Paha Jantung Hati Paru-paru Limpa Ginjal Tulang Darah *CNRCFNB, 1989. Tt : Tidak terdeteksi
Sapi dari lahan pasca tambang Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt 0.12 ± 0.17 Tt
Sapi dari luar areal lahan pasca tambang Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt Tt
Standar 0.02-0.52
Hasil analisa menunjukkan tidak terdeteksi adanya kromium pada daging maupun organ dari sapi yang dipelihara di luar lahan pasca tambang. Sementara sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang, terdapat kromium pada tulangnya sebesar 0.12 ppm. Konsentrasi kromium ini melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh FAO guideline yaitu 0.0002 ppm dan WHO yaitu 0.02-0.52 sesuai laporan CNRCFNB (1989). Peran utama Cr secara fisiologis adalah meningkatkan potensi aktivitas hormon insulin, yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan pengambilan glukosa dan asam amino di dalam sel, sehingga potensi aktivitas insulin sangat diperlukan sebagai faktor toleransi glukosa (Glucose Tolerance Factor atau GTF). Kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifiknya pada organ target. Struktur GTF mengandung kromium sebagai komponen aktifnya, sehingga tanpa adanya kromium pada intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin. Oleh karena itu, kromium merupakan komponen aktif pada GTF dan dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein, sehingga keberadaan Cr dalam ransum perlu diperhatikan (Suryadi et al., 2011). Saat insulin mengikat reseptor spesifiknya, pengambilan glukosa seluler dan asam amino dipermudah karena fungsi GTF adalah meningkatkan efektivitas potensi insulin. Pada ternak yang kekurangan kromium, penambahan kromium dapat meningkatkan penggunaan glukosa oleh insulin untuk pembentuk organ seperti otot dan jaringan adipose (Mc Namara dan Avaldez, 2005).
170
Dari hasil analisa laboratorium, terlihat bahwa pada daging dan beberapa organ sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang yaitu jantung dan hati tidak terdeteksi adanya kadmium. Pada beberapa organ lainnya yaitu paru-paru, limpa, ginjal, tulang dan darah terdeteksi sejumlah kadmium, namun konsentasi kadmium yang dimiliki belum melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh SNI, 2009. Pada daging dan organ yang diperoleh dari luar lahan pasca tambang terdeteksi kadar kadmium yang melebihi ambang batas pada organ limpa dan tulang. Kadar kadmium yang melebihi ambang batas pada organ, maka perlu diantisipasi untuk mengkonsumsinya. Toksisitas cadmium adalah mematikan pada dosis konsumsi 225 mg/Kg (LD50) dan asupan mingguan yang ditoleransi yaitu 0.007 mg/Kg berat badan (Provisional Tolerable Weekly Intake/PTWI) (SNI,2009). JECFA ( 2010 ) kembali mengevaluasi kadmium karena telah terjadi sejumlah studi epidemiologi baru yang telah melaporkan biomarker kadmium terikat dalam urin akibat paparan lingkungan . Tingkat β2 - mikroglobulin kemih terpilih sebagai biomarker yang paling cocok untuk melihat toksisitas kadmium karena secara luas diakui sebagai penanda untuk patologi ginjal dan akibatnya memiliki jumlah terbesar dari data yang tersedia . Karena waktu paruh kadmium yang panjang dalam ginjal manusia yakni 15 tahun, maka disimpulkan bahwa penentuan konsentrasi kritis kadmium dalam urin adalah yang paling dapat diandalkan menggunakan data dari individu-individu dari 50 tahun dan lebih tua . Menggunakan hubungan dosis – respon β2-mikroglobulin ekskresi dalam urin untuk ekskresi kadmium dalam urin untuk kelompok populasi ini , diperkirakan konsentrasi kritis keratin kadmium adalah 5.24 ppm. Mengingat waktu paruh yang panjang dari kadmium, komite menetapkan untuk mencabut standar PTWI 0.007 mg/Kg/minggu menjadi PTMI (Provesional Tolerable Monthly Intake) 0.025 mg/Kg/bulan. Tabel 5. Konsentrasi kadmium (Cd) pada daging dan berbagai organ (ppm) dari sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang dan di luar lahan pasca tambang.
Lokasi Daging Punggung Daging Paha Jantung Hati Paru-paru Limpa Ginjal Tulang Darah *SNI 7387, 2009. Tt : Tidak terdeteksi
Sapi dari lahan pasca tambang Tt Tt Tt Tt 0.04 ± 0.08 0.03 ± 0.03 0.04 ± 0.04 0.02 ± 0.04 0.20 ± 0.29
Sapi dari luar areal lahan pasca tambang Tt Tt 0.03 ± 0.03 0.02 ± 0.02 0.03 ± 0.02 0.00 0.86 ± 0.16 0.51 ± 0.05 Tt
Standar* 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Data dari hewan percobaan dan manusia menunjukkan bahwa penyerapan paru lebih tinggi dari penyerapan gastrointestinal . Penyerapan gastrointestinal kadmium dipengaruhi oleh jenis diet dan status gizi . Kadmium diserap dari paru-paru atau saluran pencernaan terutama terakumulasi dalam hati dan ginjal . Meskipun kadmium terakumulasi dalam plasenta , transfer ke janin rendah . Ekskresi biasanya lambat , dan 171
biologi setengah waktu sangat panjang ( puluhan tahun ) . Pengikatan kadmium intraseluler untuk metallothionein dalam jaringan melindungi terhadap toksisitas kadmium . Ekskresi terjadi terutama melalui urin. Dari hasil analisis nikel hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil pada organ paru-paru dan ginjal dari sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang dan ditemukan di paru-paru sapi yang dipelihara dari luar lahan pasca tambang. Belum ditemukan standar maksimum asupan nikel dari makanan. Namun ATSDR (2005) menetapkan maksimum nikel yang masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan yaitu 0.0002 mg/m3 untuk jangka paparan 15-364 hari dan 0.00009 mg/m3 untuk jangka paparan lebih dari 365 hari. Nikel dilepaskan ke atmosfer oleh industri yang membuat atau menggunakan nikel, paduan nikel, atau senyawa nikel. Hal ini juga dilepaskan ke atmosfer oleh pembangkit listrik pembakaran batu bara, dan insinerator sampah. Di udara, itu menempel pada partikel kecil debu yang mengendap di tanah atau dibawa keluar dari udara di hujan atau salju, hal ini biasanya memakan waktu beberapa hari. Nikel dikeluarkan pada air limbah industri berakhir di tanah atau sedimen, ia sangat melekat pada partikel yang mengandung besi atau mangan. Nikel tampaknya tidak menumpuk di ikan atau hewan lain yang digunakan sebagai makanan (ATSDR, 2005). Tabel 6. Konsentrasi nikel (Ni) pada daging dan berbagai organ (ppm) dari sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang dan di luar lahan pasca tambang.
Lokasi Daging Punggung Daging Paha Jantung Hati Paru-paru Limpa Ginjal Tulang Darah Tt : Tidak terdeteksi.
Sapi dari lahan pasca tambang Tt Tt Tt Tt 0.28 ± 0.48 Tt 0.08 ± 0.16 Tt Tt
Sapi dari luar areal lahan pasca tambang Tt Tt Tt Tt 0.15 ± 0.04 Tt Tt Tt Tt
Standar -
Banyak efek berbahaya dari nikel disebabkan oleh gangguan dengan metabolisme logam penting, seperti Fe (II), Mn (II), Ca (II), Zn (II), Cu (II) atau Mg (II), yang dapat menekan atau memodifikasi efek toksik dan karsinogenik nikel. Fungsi beracun nikel utamanya disebabkan oleh kemampuannya untuk menggantikan ion logam lainnya di enzim dan protein atau untuk mengikat senyawa seluler yang mengandung O-, S-, dan N-atom, seperti enzim dan asam nukleat, yang kemudian terhambat. Nikel terbukti memiliki imunotoksik dengan mengubah aktivitas semua jenis tertentu yang terlibat dalam respon kekebalan, mengakibatkan asma (Coogan et al, 1989). Kerusakan pada paru-paru dan saluran pernapasan telah diobservasi pada tikus dan mencit menghirup kandungan nikel. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung nikel dalam jumlah besar dapat menyebabkan penyakit paru-paru
172
pada anjing dan tikus. Kanker paru-paru dan sinus hidung dapat terjadi pada para pekerja yang menghirup debu yang mengandung senyawa nikel dengan level dan waktu paparan yang tinggi saat bekerja di kilang nikel atau pabrik pengolahan nikel. Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (Departement of Health and Human Services/DHHS) telah menetapkan bahwa logam nikel wajar dapat diantisipasi menjadi karsinogen dan senyawa nikel diketahui karsinogen manusia. Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (International Agency for Research on Cancer/IARC) telah menetapkan bahwa beberapa senyawa nikel bersifat karsinogenik bagi manusia dan kemungkinan logam nikel karsinogenik bagi manusia. EPA (Enviromental Protection Agency) telah menetapkan bahwa debu kilang nikel dan nikel subsulfide sebagai karsinogen pada manusia (ATSDR, 2005). KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian yang dilakukan tidak ditemukan adanya logam yang berpotensi beracun di daging sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang. Ditemukan sejumlah logam yang berpotensi beracun di beberapa organ dari yang sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang namun seluruhnya belum melebihi ambang batas yang diizinkan. Penimbunan logam sering tersimpan di organ tubuh ternak (hati, jantung, paru-paru, limpa dan ginjal). Oleh karena itu konsumsi protein hewani sebaiknya berasal dari dagingnya saja dan mengurangi konsumsi organnya. Walaupun ditemukan dalam konsentrasi yang tidak melebihi ambang batas, namun jumlah dan frekuensi konsumsi menentukan kemungkinan terakumulasinya di dalam tubuh.
DAFTAR PUSTAKA Arifin M, Subagio BE, Riyanto E, Purbowati E, Purnomoadi A dan Dwiloka B. 2005. Residu Logam Berat pada Sapi Potong yang dipelihara di TPA Jatibarang, Kota Semarang Pasca Proses Eliminasi selama 90 Hari. [Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner]. Anderson JB. Minerals. In : KL Escott-Stump S, editors Krause’s Food, Nutritional and Diet Therapy, 11th ed. Philadelphia : Sunders; 2004:134-54. Agency for Toxic Substances and Disease Registry. 2005. Toxicological Profile for Nickel (Update). Atlanta, GA:U.S. Department of Public Health and Human Services, Public Health Service. Codex Alimentarius Commission. 2011. Joint FAO/WHO Food Standards Programme Codex Committee On Contaminants In Foods-5th Session. The Hague, The Netherlands, 21-25 Maret 2011. CF/5 INF/1 Coogan TP, Latta DM, Snow ET, Costa M. 1989. Toxicity and carcinogenicity of nickel compounds. Crit. Rev. Toxicol. 19 (4), 341. Geissler C and Singh M. 2011. Iron, Meat and Health. Journal Nutrients 3:283-316. ISSN 20726643. DOI : 10.3390/nu3030283.
173
IOM (US Institute of Medicine), 2001. Iron. In: Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. National Academies Press, Washington, DC, USA, 290–393. McDowell, L.R., Minerals in Animal and Human Nutrition. 2nd ed, 2003, Amsterdam, The Netherlands: Elsevier Science. 660 p. National Research Council, Food and Nutrition Board. 1989. Recommended Dietary Allowances, 10th Edition. National Academy Press. Washington, DC. 24, pp.172-177. Sharma MC, Raju S, Joshi C, Kaur H and Varshney VP. 2003. Studies on serum micro-mineral, hormone and vitamin profile and its effect on production and therapeutic management of buffaloes in Haryana State of India. Asian Aust. J. Anim. Sci. 16(4): 519 – 528. Standar Nasional Indonesia. 2004. Air dan air limbah - Bagian 18: Cara uji nikel (Ni) dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-nyala. SNI 06-6989.18-2004. ICS 13.060.50. Standar Nasional Indonesia. 2009. Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. SNI 7387:2009. ICS 67.220.20. World Health Organization. 1996. Iron in Drinking-water : Guidelines for drinking-water quality, 2nd ed. Vol. 2. Health criteria and other supporting information. WHO/SDE/WSH/03.04/08.
174