BAB VI
PENGRAJIN LILIN MENERANGI DUNIA
Mencintai Produksi Dalam Negeri
205
206
Mencintai Produksi Dalam Negeri
BALI AYU MENGENTASKAN KEMISKINAN
Pemenang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa lima tahun yang akan datang telah diumumkan secara resmi oleh KPU. Pengumuman itu menyebutkan bahwa Susilo BambangYudhoyono (SBY) dan Mohammad Jusuf Kalla (JK), mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin bangsa ini mengarungi samodera globalisasi dan tantangan pembangunan nasional menuju masyarakat adil, makmur, demokratis dan berbudaya. Pengalaman adalah guru utama.
N
amun, biarpun SBY dan JK belum berpengalaman menjadi Presiden dan Wakil Presiden, keduanya untuk waktu yang cukup telah dekat dengan lingkaran kepresidenan karena pernah menjadi Menteri dan bahkan Menko. Kiprah keduanya, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan, sangat ditunggu rakyat banyak. Dalam bayangan dan harapan rakyat, SBY adalah tokoh yang peduli dan sanggup bekerja keras. Seperti juga SBY, seorang Komang Yati yang berasal dari Gianyar, Bali juga rajin belajar dan sanggup bekerja keras. SBY yang selama menjabat Menteri atau Menteri Koordinator terus belajar dan akhirnya meraih gelar Doktor, tentunya menjadi tauladan bagi banyak anak muda. Komang Yati, seperti
Mencintai Produksi Dalam Negeri
207
juga SBY, adalah anak desa. Sejak bekerja di perusahaan asing, Komang selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang terbuka untuk belajar. Dengan tambahan pengetahuan selama belajar Komang Yati berhasil menguasai banyak hal yang semula asing baginya. Kemampuan ini menambah rasa percaya diri untuk merancang masa depan yang lebih cerah. Akhirnya, Komang yakin dan mampu membangun usaha secara mandiri. Usahanya berhasil. Dengan keberhasilan itu Komang menolong banyak temantemannya yang berasal dari keluarga kurang mampu di kampungnya. Menurut laporan Drs. Oos M. Anwas, MSi, dari Yayasan Damandiri, yang secara khusus menelusuri pengalaman Komang Yati untuk penyajian dalam sinetron “Bukan Hanya Mimpi” yang ditayangkan TPI, Komang Yati termasuk anak yang kurang beruntung. Sejak usia satu tahun, Komang Yati sudah yatim piatu. Ia dibesarkan oleh kakaknya. Karena keadaan ekonomi keluarga yang mengasuhnya kurang menguntungkan, sejak usia SD Komang Yati sudah belajar usaha membuat tenun songket, untuk membiayai sekolah dan uang jajannya. Dapat dikatakan biaya sekolah SD sampai mencapai tingkat SMA dikumpulkannya sendiri. Setelah lulus SMA Komang Yati bekerja sebagai baby sitter pada seorang asing di bungalow Sanur selama 1,5 tahun. Ia mengasuh anak usia 3 bulan dan 1,5 tahun. Orang tua anak itu sudah fasih bahasa Indonesia, sehingga dalam mengasuh anak-anak bisa menggunakan bahasa campuran. Hal ini menjadikan Komang Yati belajar bahasa Inggris. Namun demikian, pekerjaan ini kurang disukainya. Komang Yati merasa kurang bisa menina bobokan anak yang budayanya berbeda. Tidak lama bekerja sebagai baby sitter, selanjutnya pindah bekerja pada artshop di Kute. Pekerjaan sebagai pelayan artshop ini juga
208
Mencintai Produksi Dalam Negeri
membosankan. Namun, biarpun Komang Yati tidak lama bekerja pada Artshop ini, tetapi ia mempunyai kenangan manis. Komang Yati berkenalan dengan seorang pemuda yang bernama Wayan Mustika, yang berasal dari kampung yang sama. Wayan Mustika bekerja di hotel. Ia mempunyai motor. Ketika pulang kampung, Komang Yati sering ikut numpang. Dari sinilah mereka makin akrab. Ketika berpacaran keduanya hidup pas-pasan, maklum baru bekerja. Tetapi mereka saling membantu termasuk apabila ada kesulitan uang. Namun perbedaan profesi dan tempat kerja seringkali menjadikan keduanya terlibat konflik. Komang Yati terkesan lebih santai, sedangkan Wayan harus patuh pada disiplin kerja. Pada tahun 1994, dari salah seorang temannya di Kute, Komang Yati
Mencintai Produksi Dalam Negeri
209
mendapat informasi adanya lowongan pekerjaan di perusahaan handycraft milik asing (Italia). Perusahaan ini sedang membutuhkan tenaga kerja karena pesanan yang melimpah. Walaupun belum bisa membuat produk handykraft, Komang Yati diterima sebagai pegawai kontrak. Di sini Komang Yati belajar pada teman-temannya sambil bekerja. Ketekunan dan kerajinan Komang Yati menjadikannya cepat bisa. Ia juga mulai dipercaya oleh majikannya. Kesulitan awal berhubungan dengan majikan adalah komunikasi. Di sini mereka menggunakan bahasa Inggris campur bahasa Indonesia. Untung saja orang asing ini berasal dari Italia. Ia juga tidak begitu lancar berbahasa Inggris. Oleh karena itu seringkali komunikasi menggunakan bahasa isyarat. “Yang penting sama-sama mengerti”, cerita Komang Yati sambil tersenyum mengenang masa lalunya. Dari hasil bekerja pada perusahaan asing ini Komang Yati bisa membeli sepeda ontel yang digunakananya sehari-hari melaju dari rumah kontrakan ke tempat kerja yang jaraknya sekitar 4 km. Karena kerajinan dan ketekunannya Komang Yati mendapat kepercayaan yang makin tinggi. Karena kepercayaan itu majikan sering membawa Komang Yati ke luar kota untuk mencari bahan baku, membantu pemasaran, dan juga mengembangkan ide untuk menciptakan model-model baru. Bahkan setelah dua tahun bekerja, Komang Yati dipercaya sebagai karyawan bagian luar dengan tugas mencari bahan baku, melakukan pemasaran, mengurus pengiriman, berhubungan dengan bank, dan juga membantu menciptakan kreasi model baru. Tugas ini memberikan kesempatan mengumpulkan pengalaman berharga tentang usaha. Komang Yati mulai mengenal istilah pengusaha, relasi, dan pihakpihak terkait lainnya. Berkat kerajinan dan keuletannya Komang Yati bisa membeli sepeda motor, yang memudahkan mobilitasnya untuk menghubungi relasi perusahaan majikannya.
210
Mencintai Produksi Dalam Negeri
Ketrampilan yang dimiliki Komang Yati dan relasi yang dikembangkannya mendorong motivasi pada dirinya untuk makin percaya diri. Berbekal pengalaman dan rasa percaya diri yang makin tebal, Komang Yati memutuskan membuka usaha secara mandiri. Untuk modal awalnya diambil dari hasil upah bekerja yang ditabung. Usaha membuka usaha mandiri itu dimulai sejak Komang Yati masih bekerja pada perusahaan majikannya. Karena kebetulan ditempatkan pada bagian pemasaran, secara leluasa Komang Yati bisa mengatur waktu. Sehingga di sela-sela kesibukan sebagai karyawati Komang Yati mulai mencoba membuat usaha sendiri di Kute. Komang Yati membuat beberapa barang handycraft di rumah kontrakannya. Awalnya ia membuat lilin menggunakan kotak-kotak. Hasilnya dititipkan ke beberapa artshop milik temannya. Produksinya laku dijual, walaupun harganya masih rendah. Setelah 5 bulan, usaha Komang Yati makin berkembang. Karena banyak temannya, permintaan atas produknya terus meningkat. Ia makin kewalahan tidak bisa lagi menyelesaikan pesanan itu sebagai kerja sambilan. Akhirnya ia membina sekitar 10 orang pekerja di kampung halamannya, desa Kerama Gianyar, untuk membuat handycraft. Setiap hari Komang Yati pulang pergi (Kute – Gianyar) dengan mengendarai sepeda motor. Untuk menjajakan produknya Komang Yati membuka artshop di Ubud dengan mengontrak sebuah kios. Untuk itu Komang Yati menjual sepeda motornya untuk modal. Untuk menungguinya dipercayakan kepada seorang pekerja dari desa yang sama. Kegiatan itu ternyata mendapat sambutan pasar yang menggembirakan. Komang Yati melakukan tugas rangkap, bekerja pada pengusaha Italia dan bekerja untuk usahanya sendiri. Rasa capai makin tidak tertahankan. Akhirnya Komang Yati, setelah bekerja selama 4 tahun pada pengusaha asing, dua tahun di bagian produksi, dan dua tahun di bagian
Mencintai Produksi Dalam Negeri
211
pemasaran, memutuskan berhenti bekerja pada pengusaha Italia itu. Dengan tekad bulat Komang Yati memutuskan akan bekerja keras mengurus usahanya sendiri dengan sebaik-baiknya. Setelah bekerja dalam usaha sendiri Komang Yati makin konsentrasi mengelola usahanya. Ia sering berjaga di artshop-nya. Di sini Komang Yati berkenalan dengan beberapa tamu asing yang selanjutnya menjadi langganan. Para turis sering menyebutnya sebagai Bali Ayu, karena Komang Yati yang masih gadis hitam manis itu dianggap sebagai tipe wanita Bali yang cantik dan menarik. Sejak itu usahanya diberi label “Bali Ayu”. Dari pengalaman menunggu kios, Komang Yati tahu betul turis yang berminat membeli dan berbisnis atau hanya sekedar melihat-lihat. Turis yang datang ke Bali tidak hanya tamasya tetapi banyak pula yang mencari peluang usaha. Biasanya turis bisnis, ketika melihat barang lebih teliti, pertanyaan rinci, dan berusaha mencari informasi produk serupa dari perusahaan lain. Untuk memperoleh harga rendah, ada di antara mereka yang nakal, purapura membawa nota harga rendah dari produk lain, padahal setelah dicek bohong. Turis semacam ini umumnya berasal dari Itali. Penjualan pesanan besar biasanya dilayani melalui artshop. Tetapi ada kalanya turis bisnis itu ingin melihat langsung ke tempat produksi. Mereka ingin melihat langsung proses prosuksinya. Setelah melihat proses produksi biasanya mereka lebih percaya, dan memberikan pesanan yang lebih meyakinkan. Jika banyak pesanan, dan produksi sendiri tidak mencukupi, Komang Yati harus mencari barang dari produsen lain, yang jaraknya bisa memakan waktu perjalanan sampai jauh malam. Ketika berusaha melayani pesanan besar itu Komang Yati terpaksa
212
Mencintai Produksi Dalam Negeri
bekerja keras mencari produk dari tempat lain. Kesibukan dan kerisauan itu membuat Komang Yati kurang waspada dan suatu ketika mendapat kecelakaan. Namun ada hikmahnya, karena selama sakit, kekasihnya, Wayan Mustika, menjadi lebih akrab dan membantu mengawasi usahanya. Akhirnya Wayan Mustika keluar dari pekerjaanya sebagai pelayan hotel dan menikah dengan Komang Yati. Wayan membantu penuh usaha Komang Yati hingga kini. Salah satu kendala dalam mengembangkan usaha adalah keterbatasan modal. Kebetulan pada tahun 2002 Bank BPD Bali cabang Gianyar, bekerjasama dengan Yayasan Damandiri, mengembangkan program untuk membantu pengusaha mikro dan kecil dengan sistem jemput bola untuk menyalurkan bantuan berupa Kredit Pundi. Bank BPD Bali mencari pengusaha mikro dan kecil yang yang mempekerjakan banyak orang dari kalangan keluarga kurang mampu. Secara kebetulan usaha Komang Yati termasuk sasaran yang tepat. Oleh karena itu Bank BPD Bali menawarkan kredit Pundi kepada Komang Yati. Gayung bersambut, Komang Yati yang membutuhkan modal untuk memperluas usahanya segera mendapat dukungan dari Bank BPD Bali. Setelah persyaratan dipenuhi, Komang Yati memperoleh kredit Pundi sebesar Rp 25 juta. Cicilan lancar dan setahun kemudian lunas. Kepercayaan Bank BPD Cabang Gianyar bertambah. Pada tahun 2003 Komang Yati mendapat kredit Pundi yang lebih besar sebanyak Rp 50 juta. Dengan modal itu Komang Yati bisa membantu mempekerjakan tidak kurang dari 30 orang anak muda dari keluarga kurang mampu. Setiap karyawannya mendapat jaminan makan yang cukup dan upah sekitar Rp 6.000,- sampai Rp.10.000,- setiap harinya. Sebagian besar tenaga kerjanya
Mencintai Produksi Dalam Negeri
213
berasal dari kampung asalnya yang berjarak sekitar 3 km, sehingga Komang Yati dan suaminya memberikan kepada mereka fasilitas antar jemput yang memadai. Dengan produksi berupa lilin, sabun, dupa, dan lainnya itu, Komang Yati sekarang mempunyai aset tidak kurang dari Rp 250 juta dan mengembangkan omzet sekitar Rp. 30 sampai Rp. 40 juta setiap bulan dengan keuntungan berkisar antara 20 sampai 25 persen. Kebahagiaan yang dinikmatinya adalah karena ketekunan belajar dan kerja keras, dan syukur sekarang telah melebar dalam amal untuk kawan-kawan sekampungnya yang relatif kurang mampu.
D
214
Mencintai Produksi Dalam Negeri
PENGRAJIN MONTE SEBAGAI PENYANGGA KELUARGA
Keluarga Indonesia dengan penuh bangga memperingati Hari Keluarga Nasional tahun 2004 lalu. Peringatan Hari Keluarga Nasional yang dilakukan setiap tahun itu diadakan secara serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 29 Juni. Untuk menyongsong peringatan yang sangat berarti itu, ada baiknya kita berkeliling ke desa-desa melihat kegiatan keluarga pedesaan yang bekerja keras membangun keluarga sejahtera melalui upaya pembangunan ekonomi keluarga yang produktif. Salah satu contoh keluarga pedesaan yang berhasil, dan barangkali akan menikmati Hari Keluarga Nasional akhir bulan ini, adalah keluarga yang diceriterakan oleh Staf Yayasan Damandiri, Drs. Oos M. Anwas, MSi., sebagai hasil kunjungannya di dusun Krajan, desa Alian, Kabupaten Banyuwangi.
D
esa Alian dikenal sebagai desa penghasil kerajinan monte dan bordir. Pemasaran produk-produk yang dihasilkannya umumnya ke daerah Bali untuk konsumsi para turis. Kerajinan monte dan bordir itu umumnya dilakukan oleh ibu-ibu dan anak-anak sebagai pekerjaan sambilan. Sementara itu para suami, di daerah Rogojambi yang relatif subur
Mencintai Produksi Dalam Negeri
215
dan luas itu, sebagian besar bekerja sebagai petani. Tetapi dengan hanya mengandalkan bertani saja tidak cukup, sehingga peran kaum ibu sebagai pengrajin monte dan bordir telah mampu mendongkrak ekonomi keluarga di pedesaan itu. Hari Keluarga Nasional yang akhir bulan ini akan diperingati secara nasional merupakan arena promosi untuk mengingatkan semua pihak agar dalam berbagai upaya pembangunan selalu menempatkan keluarga sebagai titik sentralnya. Sebuah keluarga selalu dimulai dari seorang perjaka dan seorang gadis yang bersepakat menyusun suatu lembaga yang penuh cinta, sejuk dan sejahtera di masyarakat. Sebagai suatu contoh terlukislah sebuah kisah menarik tentang Ibu Aniah. Dia sengaja kita angkat untuk menyambut Hari Keluarga Nasional 2004 karena pengalaman hidupnya yang unik. Ibu Aniah adalah seorang
216
Mencintai Produksi Dalam Negeri
ibu yang dilahirkan di desa Alian. Dengan suaminya, yang bernama Sunar, Aniah dipertemukan secara kebetulan seperti kisah lakon ketoprak. Kala itu Aniah masih remaja usia 17 tahun, ketika menonton video di rumah seorang tetangga yang mempunya hajat, tanpa diketahuinya, seorang pemuda, tidak lain adalah Sunar, terus memperhatikannya dengan rasa kagum dan ingin tahu. Nampaknya Sunar jatuh hati sehingga matanya tidak bisa lepas terus memandangnya. Sewaktu Aniah pulang, Sunar membuntutinya dari belakang. Aniah sadar bahwa dirinya dibuntuti seorang lelaki, tapi ia tidak peduli dan langsung masuk ke rumah. Sesampai di rumah Aniah menyesal karena lelaki itu tidak masuk kerumahnya, padahal sebenarnya ia penasaran dan berharap. Ia tidak putus asa, ia berdoa dan berharap bahwa pemuda itu pada suatu hari bisa bertemu kembali untuk menjalin perkenalan dan barangkali persahabatan yang lebih langgeng. Doa dan harapannya rupanya dikabulkan Tuhan Yang Maha Esa. Selang beberapa hari dari buntut membututi itu sang pemuda Sunar datang bersama saudaranya yang kebetulan sekampung dengan dirinya. Sunar dengan rasa percaya diri yang tinggi mengutarakan niat baiknya kepada orang tua Aniah. Sejak itu tiap malam minggu Sunar sering bertandang ke rumah Aniah. Setelah tiga bulan secara rutin mengembangkan pengertian melalui kunjungan pacaran ala pedesaan, kedua muda mudi itu menikah. Setelah menikah kedua pasangan muda itu untuk 3 bulan tinggal bersama orang tua Aniah. Baru pada bulan keempat mereka pindah bergabung ke rumah orang tua Sunar. Selama ikut di rumah orang tua, Sunar yang aslinya petani, tetap bekerja sebagai petani. Aniah bekerja sebagai buruh bordir pakaian. Selama enam tahun mereka tinggal bersama mertua. Selanjutnya mereka bisa membeli sebidang tanah kemudian membangun rumah semi permanen. Sejak itu mereka pindah ke rumah baru.
Mencintai Produksi Dalam Negeri
217
Di rumah baru ini Aniah dan suaminya merasakan ekonomi keluarga sulit meningkat. Dengan mengandalkan usaha tani, dan buruh bordir, keluarga muda ini mengalami kesulitan menegakkan rumah tangga. Penghasilan Aniah sebagai buruh bordir tidak bisa diandalkan. Pekerjaan Sunar sebagai petani sama saja. Akhirnya tahun 1989 Aniah yang hanya lulus SD dan Sunar yang hanya sampai kelas IV SD, sepakat pergi ke Bali untuk mencari peluang usaha yang lebih baik. Pada suatu hari di sekitar daerah Tabanan, Bali, mereka berjalan sambil melihat-lihat toko kerajinan. Ketika melewati salah satu toko ada yang memanggil nama mereka dan ternyata yang memanggil itu adalah Ibu Kartini, seseorang yang sama-sama berasal dari satu kampung dan sudah lama bekerja dan tinggal di Bali. Mereka diajak mampir dan ditawari pekerjaan membuat monte. Peluang ini tidak disia-siakan, mereka pulang sambil membawa gambar dan buku panduannya. Padahal waktu itu baik Aniah maupun Sunar belum pernah membuat kerajinan monte tersebut. Sampai di kampung informasi ini disampaikan kepada ibu-ibu tetangganya. Sama halnya dengan Ibu Aniah, ibu-ibu di sekitar rumahnya juga belum pernah membuat kerajinan monte. Kemudian mereka mempelajari gambar dan buku panduan itu. Akhirnya mereka sepakat untuk mencobanya. Langkah pertama Ibu Aniah membeli bahan baku dari Genteng. Kemudian Ibu Aniah bersama tetangganya kembali berkumpul dan mencoba membuatnya. Hasilnya ternyata bagus, hanya perlu mencoba dua atau tiga kali ibu-ibu ini bisa membuatnya sesuai pesanan. Pesanan pertama gambar cumi-cumi kecil 1000 buah, cumi-cumi besar 1000 buah dan cumi-cumi batang 1000 buah. Hasil kerja itu langsung dikirim ke Bali dan ternyata memuaskan. Atas prestasi itu Ibu Aniah mendapatkan pesanan baru berikutnya.
218
Mencintai Produksi Dalam Negeri
Bahan baku untuk pesanan berikutnya mereka peroleh dari Pasuruan. Biasanya suaminya yang membantu dalam mencari bahan bakunya yang terdiri dari monte, kawat, jarum, dan lainnya. Jika yang diperlukan hanya sedikit, mereka membelinya dari kota Genteng. Tetapi kalau kebutuhannya banyak, mereka membelinya dari sumber yang harganya lebih murah. Kemampuan yang bertambah baik dan disiplin pengiriman yang teratur membuat temannya di Bali melanjutkan pesanan dengan lebih teratur. Pesanan berikutnya juga berkembang dengan bentuk yang makin bervariasi, misalnya bentuk anting-anting, topi, kalung, gelang, tatakan, tas, sepatu, dan lain-lain. Setiap mendapat pesanan yang baru, Ibu Aniah langsung memanggil tetangga-tetangganya. Mereka kemudian diberikan petunjuk sesuai pesanan yang ada dalam gambar. Untuk model-model pesanan baru, biasanya mereka belajar bersama di halaman rumah Ibu Aniah. Biarpun pesanan bervariasi, tetapi kawan-kawan sekerja Ibu Aniah sesungguhnya lebih menyukai pesanan untuk jenis tatakan gelas. Jenis ini lebih mudah membuatnya dan harganya lebih mahal. Model-model lain yang lebih rumit, seperti anting-anting, cumi dan lainnya lebih sulit mengerjakannya dan harganya lebih rendah. Karena kelangkaan modal, Ibu Aniah hanya mengandalkan pesanan. Ketika pesanan datang, bisanya suaminya memanggil dan para pengrajin berdatangan. Ibu Aniah cukup sibuk membagikan pekerjaan. Uniknya membagikan pesanan itu kadang dicatat, kadang tidak. Monte ditimbang disesuaikan dengan takaran yang sudah lazim dalam membuat sesuatu model. Pada saat membagikan pesanan, 50 persen dari upah dibayar dimuka. Kalau pesanan banyak, kesulitan modal bagi Ibu Aniah bertambah besar juga. Kesulitan modal itu dimasa lampau dipenuhinya dengan meminjam
Mencintai Produksi Dalam Negeri
219
uang pada tabungan kampung dengan bunga 10 persen setiap bulan. Pinjaman ini tentu saja memberatkan. Untung saja mulai mulai tahun 1997 ia berkenalan dengan salah seorang pegawai BPR Nusamba Genteng. Perkenalan itu menghasilkan kesepakatan bahwa BPR Nusamba di Genteng akan membantu Ibu Aniah dengan modal pinjaman. Pinjaman pertama Ibu Aniah kepada Bank BPR ini adalah sebesar Rp 600 ribu. Bantuan pinjaman ini digunakan untuk membeli bahan monte dan uang muka pengrajin. Setahun cicilannya lancar dan lunas. Sejak itu ia sudah langganan setiap tahun meminjam ke BPR Nusamba; tahun 1998 sebesar Rp 750 ribu, tahun 1999 sebesar Rp 2,5 juta. Mulai tahun 2000, tatkala Bank BPR Nusamba mulai bekerja sama dengan Yayasan Damandiri, Ibu Aniah mendapat kesempatan pinjaman kredit Pundi dengan jumlah lebih besar sebanyak Rp 4 juta. Usahanya bertambah maju, tetangga yang dibantu juga bertambah banyak. Karena alasan itu Yayasan Damandiri mendukung Bank BPR Nusamba memberikan pinjaman di tahun 2001 naik hampir duakali lipat, yaitu sebesar Rp 7 juta, tahun 2002 sebesar Rp 10 juta, dan tahun 2003 sudah meningkat menjadi sebesar Rp 17,5 juta. Berdasar pemantauan BPR Nusamba Genteng, Ibu Aniah cukup disiplin dalam mengangsur kreditnya. Bahkan ia juga tiap minggu menabung. Begitu pula kreditnya walaupun atas nama perorangan (anggunan sertifikat sawah) tetapi dinikmati oleh banyak ibu-ibu yang mengerjakan kerajinan monte. Dana pinjaman tersebut hampir semuanya digunakan untuk membeli monte dan uang muka pengrajin yang menguntungkan orang banyak. Ibu Aniah merasa bahwa pinjaman itu merupakan amanah. Ia harus menjaga sebaik-baiknya. Karena itu menyicil angsuran sangat diutamakan. Dengan kucuran pinjaman yang teratur sesuai kebutuhan usaha
220
Mencintai Produksi Dalam Negeri
pesanan yang makin meningkat bisa dilayani sesuai kesepakatan. Ketika pesanan banyak, Ibu Aniah bisa membagi pekerjaan kepada lebih dari 100 orang yang tersebar tidak hanya di desa Alian tetapi ke tetangga desa lainnya. Malahan kini anak-anak mereka sudah diajarkan membuat kerajinan monte. Namun jika pesanannya sedikit hanya dikerjakan oleh ibu-ibu di sekitar rumah Aniah. Pendapatan disesuaikan dengan jenis model dan harga, berkisar antara Rp. 5.000,- sampai sekitar Rp. 50.000,- setiap hari. Manajemen yang diterapkan Ibu Aniah cukup sederhana. Apabia ada pengrajin tidak tepat waktu, pekerjaannya diambil alih dan dibagikan kepada pengrajin lain yang bisa bekerja dengan cepat. Apabila ada pengrajin yang nakal, jumlah bahan baku tidak sesuai dengan hasil produksi, dengan penuh kesabaran Ibu Aniah meminta kesadaran yang bersangkutan untuk bekerja sama demi kebersamaan yang lebih langgeng. Perjuangan ibu-ibu dalam usaha pengrajin monte ini hasilnya sudah bisa dirasakan. Dengan kerja keras itu keluarga Ibu Aniah bertambah sejahtera. Keluarga pengrajin lain juga bertambah baik. Semula, di desa itu hampir setiap keluarga bergantung pada pengasilan suami masing-masing. Kini, hampir setiap isteri bisa membantu keluarganya. Para ibu sederhana, dari keluarga pedesaan, mulai menikmati peran yang sangat tinggi dalam setiap keluarganya. Bahkan dari hasil kerja keras membuat kerajinan itu sudah ada yang bisa membeli sepeda motor, kulkas, TV, perbaikan rumah, bahkan membeli sawah. Anak-anak mereka umumnya disekolahkan dengan baik. Keuntungan lain juga sangat menarik. Dengan usaha bersama ini kerukunan sesama keluarga makin akrab. Seminggu sekali mereka menghimpun tabungan yang dikoordinir langsung oleh Ibu Aniah untuk
Mencintai Produksi Dalam Negeri
221
disimpan pada Bank BPR Nusamba. Tabungan itu biasanya dipergunakan untuk keperluan penting seperti menyekolahkan anak-anak dan mempersiapkan peringatan Hari Raya Idul Fitri.
D
222
Mencintai Produksi Dalam Negeri
LILIN GIANYAR MENERANGI
DUNIA
Di tengah-tengah maraknya kampanye Pemilu yang dimulai tanggal 11 Maret 2004 lalu, ada baiknya kita simak pengalaman Ibu Komang Yati dari Desa Abianbase di Gianyar, Bali. Bulan lalu, bersama Bapak I.B. Mayun Warsana, dari BPD Bali, Drs. M. Soedarmadi dan Mulyono Daniprawiro, MBA. dari Yayasan Damandiri, kami berkunjung ke rumahnya. Ibu Komang Yati yang polos, cantik dan ceria menyambut kami dengan penuh harapan. Ibu muda Yati adalah sebuah sosok yang bisa dianggap sebagai contoh rakyat kecil yang menjadi sasaran pembangunan politik yang sedang marak. Yati berharap kampanye Pemilu 2004 berlangsung aman dan damai. Kampanye Pemilu justru mengundang turis untuk berdatangan kembali, memborong produk lilin yang dibuatnya agar lilin-lilin Gianyar bisa menerangi dunia membawa kesejukan dan kedamaian.
K
omang dilahirkan sebagai seorang anak lugu dari keluarga petani biasa di desanya. Sejak kecil, seperti gadis Bali lainnya, Komang Yati selalu rajin mengikuti kegiatan apa saja di kampungnya. Dia belajar di sekolah, menari, mengerjakan apa saja yang layak dikerjakan
Mencintai Produksi Dalam Negeri
223
gadis sebaya di kampungnya. Sebagai gadis yang taat kepada orang tua dan agamanya, Komang Yati rajin menyiapkan sesaji untuk sembahyang bagi keluarga, maupun membantu tetangga menyiapkan upacara serupa. Pendeknya, Komang Yati termasuk gadis yang rajin dan bisa bergaul luwes. Desa Abianbase di Gianyar adalah sebuah desa yang indah dengan pemandangan alam yang sangat menarik. Masyarakatnya rajin mengerjakan sawah dan ladangnya. Seperti masyarakat Bali lainnya, masyarakat Gianyar juga mempunyai usaha yang sangat bervariasi. Mulai dari ukiran, lukisan sampai membuat kain tenun yang sangat menarik. Bagi masyarakat Gianyar tidak banyak pilihan. Kalau malas akan tetap miskin sepanjang hayat. Tidak bisa menganggur dan menunggu. Segala sesuatu harus dijemput untuk mendatangkan kesejahteraan bagi setiap keluarga. Falsafah dan kegiatan itu pada tahun 1999 mengangkat masyarakat Gianyar pada ranking Human Development Index yang cukup tinggi dibandingkan dengan masyarakat
224
Mencintai Produksi Dalam Negeri
Bali lainnya. Dari sembilan Kabupaten-Kota yang ada di Bali, Gianyar berada di tengah-tengah pada urutan kelima dalam jajaran yang cukup terhormat. Pada jajaran nasional, Gianyar menempati urutan yang ke 141 dibandingkan dengan lebih dari 340 kabupaten kota yang ada di seluruh Indonesia. Salah satu yang berhasil mengangkat tingginya HDI untuk Gianyar adalah karena penduduk mempunyai usia harapan hidup (expectation of life) yang tinggi, yaitu rata-rata mendekati usia 72 tahun. Alasannya cukup jelas, yaitu keberhasilan program KB yang membanggakan. Disamping itu penduduk Gianyar mempunyai tingkat melek huruf hampir 80 persen dan penduduknya mengikuti sekolah rata-rata lebih dari enam tahun. Disisi lain tingkat pendapatan masyarakatnya masih relatif rendah dibandingkan dengan penduduk di kabupaten atau kota lainnya. Keadaan ini antara lain karena tingkat melek huruf dan lamanya kaum perempuan bersekolah relatif jauh tertinggal dibandingkan kaum laki-lakinya. Akibatnya partisipasi dan sumbangan kaum perempuan pada pendapatan keluarganya relatif kalah dibandingkan dengan sumbangan perempuan untuk keluarganya dari kabupaten dan kota lainnya di Bali. Keadaan ini menyebabkan nilai Gender Human Development Index atau HDI untuk kaum perempuan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan Gender HDI untuk perempuan dari kabupaten dan kota lainnya di Bali. Kalau saja tingkat pendidikan dan lamanya sekolah kaum perempuan di Gianyar, atau partisipasi kaum perempuan di Gianyar lebih bisa dipacu, niscaya nilai HDI penduduk dan masyarakat Gianyar dengan mudah dapat ditingkatkan. Menghadapi masalah yang menarik ini pemerintah dan masyarakat
Mencintai Produksi Dalam Negeri
225
Gianyar telah lama bekerja keras meningkatkan partisipasi kaum perempuan di Banjar maupun di lingkungan yang makin luas. Masyarakat perempuan di Gianyar makin berani mengambil prakarsa untuk bekerja di rumah, dalam industri rumah tangga, atau bekerja pada keluarga lain atau bekerja pada perusahaan lain di luar rumah masing-masing. Gadis yang lugu dan cerdas Komang Yati tidak terkecuali. Seperti layaknya gadis lain di kampungnya, di Banjar Tedung, Desa Abianbase, Gianyar, Bali, juga tidak kalah gesit. Sejak muda Komang Yati selalu rajin mengikuti arus yang diambil teman-temannya. Dia bekerja di lingkungan yang mudah seperti menjadi penjual dagangan untuk turis atau menjajakan barang produksi tetangganya ke saluran-saluran yang biasa mendatangkan untung. Dalam istilah sekarang Komang Yati bisa disebut sebagai seorang sales girl yang dinamik dengan dagangan sesuai permintaan pasar. Kemampuannya membaca peluang pasar menyebabkan dia disukai oleh rekan kerjanya atau oleh mereka yang menitipkan barang dagangan kepadanya. Kegiatan sebagai penjual keliling tidak berlangsung lama. Akhirnya gadis muda Komang Yati yang lugu tetapi gesit itu memperoleh tawaran bekerja ditempat yang lebih mantap, yaitu di salah satu Artshop di Kuta. Melihat tawaran itu dia terpaksa menerimanya biarpun pendapatannya mungkin saja menurun. Tetapi dengan penghasilan tetap itu dia bisa membantu orang tuanya mengurus adik-adik dan anggota keluarga lainnya. Bagi gadis muda ini bekerja di luar rumah relatif masih langka. Tetapi sekarang sudah menjadi kejadian biasa, seorang anak perempuan bekerja pada majikan atau perusahaan yang menjual barang-barang sovenir langsung kepada turis atau kepada konsumen yang ditahun 1980-an sampai tahun 1990-an marak memadati Bali sebagai turis yang sekaligus merangkap
226
Mencintai Produksi Dalam Negeri
pedagang yang mencari supplier murah dan sanggup mengikuti desain modern. Biarpun bukan tergolong “bos”, ditempat kerjanya ini Komang Yati termasuk karyawan yang dipercaya. Setiap hari dia mendapat tugas membantu majikannya bergelut dengan desain baru untuk produksi lilin untuk berbagai macam keperluan. Darah seni yang mengalir pada dirinya memberi kesempatan kepada Komang mengekpresikannya dalam ciptaan yang mengagumkan para pemesannya. Pimpinan perusahaan dimana dia bekerja menghargai karyanya yang menyenangkan pemesannya. Perusahaan dan pemiliknya memberi Yati kesempatan yang luas untuk mencipta dan menjajakan ciptaan itu kepada para pembeli baru atau memberi tahu pembeli lama akan adanya ciptaan baru agar mereka menjadi pelanggan yang tetap. Bekerja di Arshop ini membawa berkah dan pengalaman yang sangat berharga. Setiap hari Komang Yati bisa mempelajari sikap dan tingkah laku konsumen asing yang berbelanja. Dia bisa mengetahui kesenangan dan pilihan yang diambil oleh konsumen dari Perancis. Konsumen itu lain dibandingkan dengan konsumen dari Itali. Begitu juga konsumen dari Negeri Kincir Angin, Belanda, mempunyai sikap dan pilihan yang berbeda. Setiap konsumen mempunyai ciri dan cara belanja serta pilihan masing-masing. Dengan pengalaman yang sangat menarik itu Komang Yati tumbuh menjadi gadis dengan percaya diri yang tinggi. Namun, sebagai seorang gadis akhirnya dia harus menyerah dan menikah. Segera setelah menikah kesibukannya bertambah. Selain membantu mengurusi orang tuanya, dia harus pula mengurus keluarganya sendiri, menyiapkan kebutuhan suami dan urusan keluarga baru yang segalanya harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang.
Mencintai Produksi Dalam Negeri
227
Kesibukan mengurus keluarga baru itu bertambah tatkala Komang Yati mempunyai anak. Kesibukan sebagai ibu baru menyita waktu dan memaksanya untuk lebih banyak tinggal di rumah karena orang tuanya tidak banyak bisa membantu. Karena itu selama merenung dan membayangkan urusan yang makin rumit, Ibu Komang Yati muda mulai menggagas usaha yang dapat dilakukannya di rumah. Teman-teman sebaya yang tidak bisa bekerja mulai membujuk Komang Yati yang dianggap lebih mampu dan mempunyai “pengalaman internasional”. Mereka mengajak Komang untuk membuka usaha sendiri di rumah. Teman-temannya minta agar dilatih membuat barang-barang sovenir bernilai seni dan sentuhan budaya Bali yang artistik, berkualitas, diperkirakan banyak pembeli, beragam dan laku jual. Dorongan teman-temannya itu sebenarnya ingin dituruti karena sebagai seorang ibu, lebih-lebih dengan anaknya yang kecil dan perlunya memberi perhatian yang tinggi pada pertumbuhan anaknya. Dia berfikir bahwa dengan bekerja di rumah, diapun akan mempunyai kesempatan yang lebih longgar untuk membantu orang tua dan memelihara anaknya secara pribadi. Namun Komang tidak mampu mencari modal. Secara kebetulan Bank BPD Bali cabang Gianyar mempunyai program PUNDI sebagai bagian dari kerjasama dengan Yayasan Damandiri. Program ini sangat tepat karena intinya membantu para ibu, terutama dari keluarga kurang mampu, untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif. Dengan pinjaman awal yang tidak seberapa, Ibu Komang Yati dan kawan-kawannya mulai membuka usaha pembuatan lilin. Pengalaman tentang apa yang dibeli para turis di Kuta, kemampuan seni dan kreatifitas lainnya, memungkinan Ibu Komang dan kawan-kawannya menciptakan lilin
228
Mencintai Produksi Dalam Negeri
untuk segala keperluan. Kreasi-kreasi baru diciptakannya sesuai dengan permintaan pemesan atau diciptakan untuk kemudian ditawarkan kepada para tamu yang datang. Dari hasil rekayasa itu muncullah lilin dengan dasar tabung yang belum pernah ada sebelumnya. Muncul pula hiasan lilin yang dapat mengambang di kolam dan membuat kolam bersinar indah di malam hari. Muncul pula lilin yang dililit dengan kayu wangi yang ikut terbakar secara bertahap dengan makin tingginya nyala lilin. Menimbulkan bau harum dan sinar lilin yang meredup digelar dengan api kayu-kayu kecil yang ikut terbakar. Indah sekali. Muncul pula lilin dengan hiasan bunga yang indah seakan bukan nampak lagi seperti lilin. Aneka karya seni yang tidak pernah muncul sebelumnya berhasil diciptakannya dengan bantuan teman-teman dan seniman lain yang ada di Gianyar. Sungguh menakjubkan, dengan modal sedikit dari pinjaman PUNDI BPD Bali Cabang Gianyar yang bekerja sama dengan Yayasan Damandiri, tamunya turis asing tidak berhenti berkunjung ke rumahnya. Lilin yang sedianya dijual secara eceran, sekarang tidak jarang dikirim dalam kemasan besar-besaran sebagai komoditas ekspor ke Itali, Perancis dan Negeri Belanda. Lilin-lilin itu berhasil menerangi dunia. Lilin Gianyar bersinar terang dalam nuansa seni menerangi dunia dan mengiringi mereka memanjatkan doa untuk perdamaian dunia. Rakyat kecil seperti Komanglah yang pantas dan harus menjadi tujuan perjuangan partai-partai politik yang sedang berkampanye. Semoga.
D
Mencintai Produksi Dalam Negeri
229
MENDONGKRAK PRODUKSI KAIN TROSO
Menjelang Hari Ibu tanggal 22 Desember 2004 lalu, sekaligus untuk merangsang upaya menyelesaikan kemelut ekonomi yang terpuruk, kita mengangkat pengalaman sepasang suami isteri yang dengan kasih sayang dan tekun membangun usaha ekonomi keluarga yang berhasil.
U
saha yang dikerjakannya sekaligus mencuatkan kebanggaan daerahnya dalam mengisi khasanah budaya nasional. Karena itu kita pantas bangga dan barangkali harus menjadikan pengalaman tersebut sebagai salah satu langkah untuk menumbuhkan gerakan mencintai produk dalam negeri secara besar-besaran. Biarpun sumbangan yang diberikan suami isteri tersebut kecil, kita percaya bahwa suatu gerakan nasional tidak harus mulai dengan besar-besaran, atau sesuatu yang langsung berdampak nasional. Satu langkah kecil yang mantab dan diikuti partisipasi yang luas bisa menjadi awal yang membesarkan hati. Mencintai produk dalam negeri yang jumlahnya mungkin hanya sedikit, tetapi ditekuni dengan komitmen dan cinta kasih, bisa saja membengkak menjadi suatu kebanggaan yang membesar. Apalagi kalau produk yang dicintai itu merupakan ciri khusus dari suatu wilayah, kumpulan penghargaan terhadap keanekaragaman
230
Mencintai Produksi Dalam Negeri
produk budaya daerah, apabila dipupuk dengan baik, akan menumbuhkan keindahan budaya nasional yang beranekaragam dan menarik. Seperti dilaporkan oleh Drs. Oos M. Anwas, MSi, dari Yayasan Damandiri yang ditugasi untuk mengumpulkan bahan-bahan yang bisa menjadi kebanggaan bangsa, dari Jawa Tengah dicatat bahwa para produsen kain Troso barangkali patut diangkat kepermukaan. Kain Troso adalah suatu jenis kain tradisional khas masyarakat Troso di Jepara, Jawa Tengah. Sejak bertahun-tahun jenis kain tersebut diproduksi secara tradisional dengan ditenun menggunakan alat yang sangat sederhana. Kain Troso muncul dengan motif yang bervariasi dan mudah dikenal karena sifatnya yang khas. Sejak lama kain ini banyak digemari di kalangan menengah ke atas. Di kampung Troso hampir semua ibu-ibu terampil menenun kain Troso. Pekerjaan menenun merupakan pekerjaan sampingan, umumnya
Mencintai Produksi Dalam Negeri
231
oleh ibu-ibu rumah tangga. Hasil tenunan dijual kepada pengumpul untuk dijadikan pakaian jadi. Diantara ibu-ibu yang menggeluti tenun kain Troso, kita angkat pasangan Sumiati yang asli orang Troso dan Kardi asal Pecangaan, yang sekaligus bertindak pula selaku salah satu pengumpul kain Troso. Disamping mempekerjakan para penenun, pasangan Sumiati mengumpulkan kain langsung dari para penenun. Untuk menarik pembelinya, pasangan ini membuat pakaian dan aksesories lain dari bahan yang dikumpulkannya, kemudian dipasarkan ke berbagai daerah. Sumiati merasa beruntung mempunyai suami pak Kardi. Sejak kecil, si anak muda Kardi diajarkan oleh keluarganya untuk berdagang. Di usia sekitar 10 tahun, waktu masih kelas IV SD, anak muda Kardi sudah berjualan es lilin keliling kampung. Kegiatan itu dijalaninya karena latar belakang ekonomi orang tua yang kurang menguntungkan, sehingga ia harus siap mandiri sejak kecil. Bahkan ketika sekolah SMA ia berjualan es batu milik saudaranya. Setelah lulus SMA ia ikut kakaknya merantau ke Serpong, Tangerang. Di Tangerang ia berusaha mencari dan melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan swasta, tetapi tidak diterima. Akibatnya Kardi hanya bekerja seadanya sesuai dengan kesempatan yang tersedia. Suatu ketika ia main ke saudaranya di Tanjung Priok. Di sini ia bertemu dengan pengusaha asal Jepara yang sudah berhasil berjualan kain Troso. Kardi ditawari memasarkan kain Troso. Karena kain Troso mahal, Kardi hanya membawa beberapa lembar kain sebagai contoh. Kardi dibekali kiat bahwa untuk memasarkan kain Troso tidak perlu malu, kain ini sangat khas dan tradisional. Dengan keyakinan yang tinggi ia memasarkan kain Troso ke supermarket melalui bagian pemasaran. Alhamdulillah diterima. Sejak itu Kardi memasarkan kain Troso ke beberapa supermarket.
232
Mencintai Produksi Dalam Negeri
Seperti biasa, sebagai penyalur baru, pertama kali menjual ke supermarket, ia dibayar dengan sistem giro. Melihat hasil itu bosnya ngomel khawatir gironya kosong. Untung nasibnya masih baik, giro itu bisa cair dalam waktu dua minggu. Sejak itu ia lebih hati-hati. Pernah juga ia membawa kain Troso menggunakan karung. Ada pembeli yang tertarik, tetapi karena melihat citra penampilan yang kurang menarik, dibungkus dalam karung, pembeli merasa malu dan membeli dagangannya dengan cara sembunyi. Selama menjadi petugas pemasaran itu, supply kain Troso diperolehnya dari pengusaha asal Jepara yang tinggal di Tanjung Priok. Kegiatan tersebut berlangsung sekitar satu tahun. Dengan pekerjaan itu, di tahun 1991 pemuda Kardi bisa menyatakan bahwa dirinya tergolong warga yang makmur. Ketika ia pulang kampung, baru sadar dan diketahuinya bahwa Kain Troso dihasilkan oleh tetangganya. Ternyata banyak tetangganya yang membuat kain Troso. Harga di pengrajin jauh lebih murah dibandingkan dengan harga yang diberikan oleh agen yang ia bantu pemasarannya di Jakarta. Sumiati lahir di Troso, sedangkan Kardi lahir di Pecangaan. Sejak kecil mereka sudah saling kenal karena tempat tinggal mereka bertetangga sekampung. Namun mulai saling menaksir setelah Sumiati sekolah di SMEA kelas II. Waktu itu Kardi sudah lulus SMA. Ia hendak pergi merantau ke Jakarta, namun di antara keduanya ada saling janji untuk tetap setia sebagai pacar. Setelah di Jakarta komunikasi melalui surat berjalan terus. Selama satu tahun Kardi tidak pulang kampung. Kardi pulang kampung setelah merasa sudah mempunyai cukup uang untuk melamar dan berencana menikah. Akhirnya mereka menikah pada tahun 1991. Seperti umumnya keluarga muda di desa, awal menikah, kedua
Mencintai Produksi Dalam Negeri
233
pasangan tinggal di rumah orang tua Kardi. Mereka sepakat untuk mulai usaha memasarkan kain Troso langsung dari pengrajin di daerahnya. Sumiati yang asli lahir dari kampung Troso sudah sangat mengenal seluk beluk kain Troso. Ia juga pandai menenun. Sementara Kardi mempunyai pengalaman dalam hal pemasaran, terutama di Jakarta. Dengan keahlian bersama tersebut mereka membangun usaha. Kain Troso dari pengrajin dibuat menjadi pakaian jadi, seperti kemeja, baju safari, dan semacamnya. Pengalaman suaminya di Jakarta menjadi modal dalam menentukan model dan motif pakaian. Sejak itu mereka mempekerjakan beberapa penjahit, awalnya dua orang. Mereka berbagi tugas. Sumiati yang mengenal seluk beluk pembuatan kain Troso mengumpulkan kain dari pengrajin. Ia juga ditugasi mengelola beberapa penjahit di rumahnya. Sedangkan Kardi bertugas memasarkan dan mencari order di Jakarta. Pesanan dari pasaran makin meningkat. Begitu pula model dan motif sesuai keinginan konsumen makin variatif. Untuk menjaga kualitas dan kepuasan pelanggan Sumiati sangat hari-hati mengawasi para pekerja. Pekerjaan harus benar-benar sesuai pesanan. Ada sekitar 14 penjahit. Kiat mengelola karyawan, Sumiati memperlakukan karyawannya seperti saudara sendiri. Lebih-lebih penjahit umumnya senior, seusia bapaknya. Pernah terjadi hasil jahitan kurang bagus, jika memungkinkan dibongkar atau dikembalikan kepada penjahit. Tapi jika tidak bisa masuk barang BS. Pemilihan bahan baku (kain) dari penenun harus apik. Sumiati mendatangi langsung ke beberapa pengrajin, memilih bahan sesuai pesanan. Di desa Troso ada sekitar 500 pengrajin. Pengrajin tersebut umumnya perempuan, para ibu atau remaja putri. Biasanya mereka menenun di depan
234
Mencintai Produksi Dalam Negeri
rumahnya menggunakan alat tenun tradisional. Ada pula diantara mereka yang menenun sambil mengurus anak atau sambil mengurus masakan untuk keluarganya. Penjualan usaha produksi kain Troso di Jakarta makin berkembang. Beberapa supermarket dan toko-toko sudah menjadi langganannya. Hasilnya, mereka bisa membangun rumah permanen dan membeli mobil. Tahun 1997 terjadi kerusuhan dan pembakaran supermarket di Jakarta. Beberapa counter dan langganan mereka juga ikut menjadi korban. Sejak itu pesanan kain Troso praktis terhenti. Sumiati dan Kardi sangat terpukul. Pesanan tidak ada. Para penjahit yang berjumlah 14 orang terpaksa pulang kampung. Hanya tersisa 2 orang yang bertahan masih bekerja di rumahnya. Begitu pula pengrajin kain Troso lain ikut merasakan. Kain yang mereka tenun tiap hari tidak laku, menumpuk di rumahnya. Kondisi ini membuat Sumiati dan Kardi harus berpikir keras, mencari terobosan baru, terutama dalam hal pemasaran. Simpanan uang dan pengalaman dijadikan modal utama. Akhirnya mereka menyewa kios di kota Kudus. Secara bertahap kios tersebut mulai ramai diminati pembeli. Motif dan model kemeja, baju safari, dan jenis pakaian yang biasa dipasarkan di Jakarta makin diminati pembeli. Ramainya kios di Kudus memutar kembali roda perekonomian di sekitar tempat tinggalnya. Para penjahit mulai bekerja. Begitu pula ibu-ibu pengrajin kain Troso bersemangat menenun karena produknya laku kembali. Sumiati dan Kardi bersyukur karena usahanya bisa bangkit kembali, biarpun melalui pasar sederhana di kabupaten yang kecil. Walaupun
Mencintai Produksi Dalam Negeri
235
diakuinya, pemasaran di Jakarta sebelum krisis relatif lebih menguntungkan. Kini kios sewaan sudah menjadi miliknya. Yang bertugas menjaga bergiliran; Sumiati, Kardi, atau ibunya. Perluasan pemasaran tidak hanya mengandalkan kiosnya. Pemasaran berkembang ke beberapa toko di sekitar Kudus, Pati, Jepara, hingga Semarang. Sementara kain Troso yang masih belum berbentuk, masih berupa bahan, dipasarkan di beberapa pasar di kota tersebut. Penjualan rata-rata Rp 15 juta per bulan dengan keuntungan sekitar 30-40 persen. Harga kain Troso berupa kemeja atau safari, bervariasi, bergantung jenis bahan dan motif, berkisar antara Rp 35 sampai Rp. 350 ribu. Untuk bangkit dari krisis, sangat perlu bantuan modal. Beruntung temannya di Troso menyarankan untuk mengajukan kredit Pundi ke BPR Nusamba Pecangaan. Kredit Pundi merupakan kerjasama Yayasan Damandiri dengan BPR Nusamba. Tahun 2000 mereka mengajukan kredit dengan jaminan BPKB mobil. Setelah semua persyaratan dipenuhi, kredit disetujui sebesar Rp 10 juta. Karena angsurannya lancar, selanjutnya setiap tahun mendapat kredit dengan jumlah makin meningkat; tahun 2001 sebesar Rp 20 juta, tahun 2002 sebesar Rp 30 juta, dan tahun 2003 sebesar Rp. 50 juta. Bantuan kredit ini digunakan untuk tambahan modal, terutama membeli bahan baku bagi pengrajin kain Troso yang jumlahnya banyak. Mereka berterima kasih kepada BPR Nusamba dan Yayasan Damandiri yang telah memberikan bantuan kredit. Tanpa bantuan kredit, sulit bagi mereka untuk bangkit dari krisis yang menimpanya. Bahkan kini Sumiati dan suaminya sedang membangun show room di Troso. Tempat ini rencananya akan dijadikan sentra kerajinan Troso. Dari pusat ini kedua pengrajin akan
236
Mencintai Produksi Dalam Negeri
menyemarakkan kebanggaan menggunakan produk dalam negeri sebagai kebanggaan nasional, yang ternyata telah dapat menolong rakyat banyak bertahan dari gelombang krisis ekonomi yang dahsyat. Sumiati dan Kardi yakin kalau masyarakat Indonesia mencintai produk dalam negeri, yang tidak kalah menarik dibandingkan produk asing, pasti rakyat di desa-desa dapat membangun industri sampingan sambil mengolah sawah yang umumnya hanya bisa diolah secara musiman. Keanekaragaman produksi pedesaan ini menopang kehidupan yang luar biasa bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di desa.
D
Mencintai Produksi Dalam Negeri
237
GORDYN KEDIRI MEMBAWA BERKAH
Dalam rangka menyongsong Ulang Tahun yang ke 84 dari Ketua Yayasan Damandiri, Bapak HM Soeharto, kita mengirimkan seorang petugas, Drs. Oos M. Anwas, M.Si., dari Yayasan Damandiri untuk mengumpulkan kegiatan Yayasan Damandiri yang selama ini beliau pimpin. Yayasan Damandiri, seperti kita ketahui, selama ini bekerja keras membantu pemberdayaan masyarakat dan keluarga kurang mampu.
D
alam tugas tersebut, Oos mengamati seorang pemuda desa bernama Suyanto, sesosok pemuda desa yang tidak saja lahir, tetapi juga dibesarkan di sebuah desa Belawe, di Kediri. Seperti umumnya anak keluarga pedesaan, Suyanto berasal dan dibesarkan oleh keluarga petani biasa. Banyak keluarga petani yang maju, karena orang tuanya menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak yang makin maju dalam pendidikan, keluarga petani biasanya mengirimkan anaknya ke pendidikan yang lebih tinggi ke kota, karena di desanya tidak ada pendidikan lanjutan. Dalam hal Suyanto keadaannya lain. Sejak kecil ia hidup di desa, besar di desa, dan nampaknya tidak mendapat kesempatan pendidikan atau tergoda menjadi migran ke kota. Suyanto tidak beruntung dan tetap berjuang bersama
238
Mencintai Produksi Dalam Negeri
keluarganya di desa. Namun demikian, menurut laporan, sebagai pemuda desa yang lugu, Suyanto mempunyai rasa percaya diri tinggi. Dengan berani ia menikah dengan gadis desa yang dianggapnya paling cantik bernama Sulastri. Gadis ini bukan dari desanya, tetapi berasal dari desa tetangga yang tidak jauh dari desanya. Karena desa yang tidak berjauhan, pada suatu ketika keduanya bertemu berpapasan di jalan ketika Sulastri pulang belanja. Sulastri yang berparas cantik itu menggoda hati Suyanto. Bak layaknya seorang petugas intel, Suyanto dengan keberanian yang tinggi mengikuti Sulastri dari belakang. Ia ingin berkenalan dan sekaligus mengetahui rumahnya. Sore harinya, bak seorang satria yang bernyali tinggi, Suyanto dengan tekad bulat mengajak temannya datang ke rumah Sulastri untuk berkenalan. Sejak mereka berkenalan, langsung saling jatuh hati. Dalam waktu super kilat, tiga bulan setelah itu mereka menikah, yaitu pada tahun 1994, Sulastri berusia 23 tahun dan Suyanto sudah menginjak usia 25 tahun, suatu usia yang dianjurkan untuk mulai membina keluarga yang sejahtera. Selama dua tahun sejak menikah keduanya tinggal bersama orang tua Suyanto. Seperti pemuda desa lainnya Suyanto berdagang kojang dan kelambu. Karena itu, sejak pindah ke desa Belawe, Sulastri tertarik untuk belajar membuat kojang dan kelambu seperti yang dikerjakan ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya. Ia dituntut harus bisa mendukung usaha suaminya. Ketika suaminya berdagang, ia manfaatkan untuk belajar kepada tetangganya. Karena ketekunannya, secara bertahap Sulastri makin mahir dan makin terampil. Dengan ketrampilan yang dimilikinya itu segera Sulastri bekerja sebagai ibu-ibu lainnya membuat gordyn dan kelambu untuk dijual oleh suaminya. Ia juga mulai bisa membuat gambar motif pinggiran Kojong.
Mencintai Produksi Dalam Negeri
239
Belawe adalah sebuah desa yang terletak sekitar 30 km dari kota Kediri ke arah Surabaya. Mata pencaharian penduduk umumnya bertani padi. Namun desa Belawe berbeda dengan desa lainnya karena banyak warganya yang mahir dan terkenal sebagai penghasil kerajinan kelambu dan gordyn. Hampir setiap penduduk bisa membuatnya, bahkan mereka umumnya mempunyai mesin jahit. Keterampilan membuat kerajinan ini diwariskan secara turun temurun. Pekerjaan itu biasanya merupakan sambilan kaum ibu, dikerjakan sambil mengasuh anak atau urusan dapur. Sementara kaum lelaki biasanya lebih banyak menjadi petani. Namun banyak diantara kaum lelaki menjadi penjual kerajinan ini. Di desa Belawe ada beberapa pengusaha yang maju pesat seperti pasangan Suyanto dan Sulastri. Mereka telah lama berdagang dengan cara mengumpulkan barang dengan modal yang besar. Seperti halnya pasangan ini, mereka membeli bahan (kain), memotong, dan mengobras gordyn dan kelambu. Sedangkan yang menjahit pinggir, melipat/rempel, dan membentuk adalah warga sekitar terutama ibu-ibu. Uniknya yang menjadi bos/juragan ini umumnya tidak lulus SD atau paling tinggi tamatan SMP. Sebaliknya yang sekolah tinggi-tinggi tidak berhasil. Sulastri beruntung mempunyai suami yang ulet dan senang berdagang. Dari suaminya itulah ia banyak belajar terutama dalam mengelola usaha. Suyanto sejak kecil sudah ditempa hidup keras dan mandiri. Pemuda yang tidak lancar berbahasa Indonesia ini hanya sampai kelas 5 SD. Ketika itu ia tidak naik kelas, memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Sehariharinya bekerja membantu orang tua mencari rumput untuk ternak sapi. Setelah beberapa lama ia mulai tertarik dengan kakak kandungnya yang mempunyai usaha membuat Kojong (kelambu penutup bayi) dan
240
Mencintai Produksi Dalam Negeri
Kelambu nyamuk untuk tempat tidur. Kegiatan itu biasanya dilakukan setelah mencari rumput. Upahnya sebesar Rp 5.000 per hari. Upah ini sebagian besar ia simpan untuk modal. Yang unik tempat menyimpan uangnya di tiang kandang sapi yang terbuat dari bambu. Setiap hari ia memasukan uang recehan ke lubang bambu itu. Keuletan Suyanto membuat kakaknya mengajaknya untuk ikut berjualan keliling kampung, menjajakan kelambu ke pasar-pasar. Biasanya barang dibawa dengan menggunakan sepeda, kadang-kadang jalan kaki. Kegiatan itu ia tekuni dari siang hingga sore bahkan malam hari. Dari usaha berdagang ini ia mendapatkan upah tambahan sebesar Rp. 5.000,- per hari. Seperti biasanya uang ini ia simpan dalam celengan di kandang sapi orang tuanya. Bekerja ikut dengan kakaknya ini berlangsung sekitar 5 tahun. Menjelang usia 20 tahun, Suyanto mencoba usaha mandiri. Pengalaman dan keterampilan yang dimiliki menjadi kepercayaan dirinya
Mencintai Produksi Dalam Negeri
241
yang tinggi. Modal awal diperoleh dari celengan dan tambahan orang tuanya, semuanya berjumlah Rp 1 juta. Modal ini dibelikan 10 roll kain bahan kelambu dan kawat kojong sebagai modal awal. Selanjutnya kain dipotongpotong sesuai ukuran, kemudian diberikan kepada beberapa tetangganya untuk dijahit menjadi Kojong dan Kelambu. Setelah selesai kemudian diserahkan kembali kepadanya. Suyanto memasarkan produk itu ke pasarpasar sekitar Tulungagung dan Trenggalek. Setelah menikah usaha Suyanto makin berkembang. Hal ini tidak lepas dari peran sang istri. Istrinya yang sudah mulai pintar menjahit, mendukung usaha suaminya. Di rumah ia dengan tekun menjahit Kojong dan Kelambu. Sulastri juga membuat gambar motif pada pinggiran Kojong. Hasilnya dibawa suaminya bersama produk dari tetangganya. Setelah dikaruniai anak, pekerjaan ini terus ditekuninya. Tahun 1996 usahanya makin berkembang, produk andalannya adalah gordyn. Antara Suyanto dan Sulastri berbagi tugas. Suyanto lebih terfokus pada mencari bahan baku dan pemasaran. Sedangkan Sulastri bertugas mengelola produksi termasuk mengatur distribusi pekerjaaan kepada para ibu disekitarnya. Sulastri harus mengelola para pekerjanya. Seiring kemajuan usaha, tenaga kerja yang semula dikerjakan satu dua orang kini kian bertambah. Di rumahnya ada 8 orang yang bertugas memotong, mengobras, dan pengepakan. Sedangkan yang menjahit pinggir dan rempel dilakukan oleh ibu-ibu tetangganya, kini jumlahnya ada sekitar 24 orang. Para ibu tersebut mengambil kain darinya, kemudian dikerjakan di rumah masing-masing. Upah mereka bergantung bahan dan jenis produk yang dikerjakannya. Untuk kelambu dihargai Rp 300,- Kelambu motif kembang Rp 500,- dan gordyn
242
Mencintai Produksi Dalam Negeri
Rp 600,- per meter. Rata-rata penghasilan satu orang sekitar Rp 60.000,sampai sekitar Rp. 70.000,- setiap minggunya. Mengelola para pekerja ini tidak mudah, apalagi mereka adalah tetangga dekat atau juga kerabat. Kadang-kadang ada diantara mereka yang nakal. Mereka mengambil bahan cukup banyak (5 rol), tetapi hasil yang disetor tidak sesuai. Sulastri dan Suyanto tidak berani menegur. Bahkan ada juga yang menjual kain lebihnya itu padanya. Ia berdalih bahwa asalnya dari bos lain. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, orang seperti itu didak diberi lagi kepercayaan. Kemajuan usaha merangsang keluarga ini membuat rumah yang megah. Namun karena kurang cermat, modal yang dimiliknya terpakai tanpa sengaja. Untung Suyanto sudah lama menekuni usahanya, mereka memperoleh pinjaman berupa bahan baku (kain) dari koperasi dan pedagang besar. Biasanya mereka mendapat keringanan pembayaran, yaitu dibayar setelah produknya laku terjual. Namun pinjaman itu bunganya cukup tinggi. Karena tidak banyak pilihan, mereka terpaksa menerima pinjaman itu. Untuk mengurangi beban pinjaman dan membeli bahan baku yang lebih besar mereka sangat perlu tambahan modal. Untung mereka mendapatkan informasi dari temannya bahwa Bank Jatim menyediakan Kredit Pundi Kencana dengan bunga yang relatif rendah. Kredit Pundi Kencana adalah kerjasama dengan Yayasan Damandiri untuk mensejahterakan masyarakat terutama pengusaha kecil atau pengusaha menengah yang mulai berhasil, terutama yang melibatkan banyak tenaga kerja dari keluarga miskin. Setelah persyaratan terpenuhi, mereka mendapatkan kredit sebesar
Mencintai Produksi Dalam Negeri
243
Rp 25 juta. Setelah kredit lunas, mereka mendapatkan kredit baru yang jumlahnya sama. Bantuan modal ini sangat berarti untuk membangun usaha yang sempat goyah. Sejak itu roda usahanya berputar kembali. Tetangganya sibuk kembali seperti sedia kala. Awalnya produk mereka diberi merek Kelambu dan Gordyn “Waliyan”. Produknya ini mengalami kemajuan pesat, mengalahkan merek lain di pasaran kota Surabaya, Malang, Tulungagung, Kediri, Trenggalek dan Solo. Kemajuan ini tentu saja membuat iri pesaingnya. Salah satu pesaingnya di Surabaya yang mempunyai merek “Valiyan” memperkarakan merek usaha Suyanto. Pengusaha keturunan Tionghoa ini mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dalih memalsukan merek dagangnya yang hampir sama. Sebagai pengusaha yang tidak lulus SD dan kurang mengerti tentang hukum, terpaksa ia membayar pengacara dan juga oknum pengadilan untuk membantu proses peradilan. Hasil sidang dimenangkan Suyanto, karena memang tidak terbukti ada unsur kesengajaan untuk meniru merek Valiyan. Walaupun menang, Suyanto dan istrinya mengeluarkan uang untuk membayar pengacara dan pengadilan lebih dari Rp 5 juta. Biarpun menang, merek dagangnya diganti. Untuk produk gordyn diberi merek “Garuda Jaya”. Sedangkan produk kelambu diberi merek “Kupu Jaya” dan “Bunga Kantil” dengan kode tulisan SB. Kode SB ini menjadi salah satu nilai jual kelambu bermutu bagus, karena banyak merek di pasaran yang hampir sama gambarnya (kupu dan bunga) tapi tidak menggunakan kode SB. Keuletan Suyanto itu patut dicatat dengan tinta emas. Biarpun
244
Mencintai Produksi Dalam Negeri
penduduk desa, berpendidikan rendah, tetapi dengan ulet tetap bisa bekerja dengan baik. Suyanto termasuk pemuda yang tidak tergoda untuk mengadakan migrasi ke kota meninggalkan desanya sehingga dengan usahanya bisa menolong pemuda lain untuk bekerja dan membangun keluarga yang sejahtera. Dalam menyongsong Hari Keluarga Nasional tahun 2005 kita patut memberi hormat kepada keluarga seperti ini. Tabah dan tekun membangun diri dan keluarga bahagia dan sejahtera di desanya.
D
Mencintai Produksi Dalam Negeri
245
KELAMBU KEDIRI MENGUSIR NYAMUK
Masyarakat Indonesia, mulai dari Jakarta, kota-kota besar sampai ke daerah pedesaan di Sumatra dan lainnya, ribut dan panik gara-gara serangan nyamuk yang membawa virus demam berdarah. Karena rakyat kurang mendapat pengarahan yang intensif atau kurang sadar akan kemampuan nyamuk menularkan virus yang berbahaya itu, sempat terjadi korban meninggal dunia terdiri dari anak-nak, dewasa dan orang tua dengan sia-sia.
A
da sepasang keluarga muda, Sulastri dan Suyanto, serta banyak teman-teman dan tetangganya dari kampung Belawe di Kediri, selama bertahun-tahun membantu tetangga dan masyarakat luas di daerahnya mengusir nyamuk. Untuk itu mereka menawarkan perlindungan bebas nyamuk dengan kelambu anti nyamuk. Biarpun usaha ini gagasan awalnya bukan karena serangan demam berdarah, tetapi memberi kenikmatan istirahat anti nyamuk bagi penduduk setelah seharian kerja keras. Ada baiknya kegiatan itu kita angkat kepermukaan untuk menghargai usahanya. Dengan usahanya itu barangkali telah banyak penduduk diselamatkan dari kematian sia-sia.
246
Mencintai Produksi Dalam Negeri
Berdasarkan penelitian Drs. Oos Anwas dari Yayasan Damandiri, Sulasti dan Suyanto adalah penduduk desa Belawe, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Desa Belawe adalah suatu desa yang terletak kira-kira 30 km dari kota Kediri yang terkenal dengan pabrik rokoknya yang sangat besar. Mata pencaharian penduduk umumnya bertani. Namun desa Belawe sudah lama terkenal sebagai penghasil kerajinan kelambu dan gordyn. Hampir setiap penduduk bisa membuatnya, bahkan mereka umumnya mempunyai mesin jahit. Keterampilan membuat kerajinan ini diwariskan secara turun temurun. Biasanya kaum perempuan lebih menekuni usaha ini. Pekerjaan ini merupakan sambilan kaum ibu, dikerjakan sambil mengasuh anak atau mengurus urusan dapur pada umumnya. Kaum lelaki biasanya lebih banyak menjadi petani. Di desa Belawe ada beberapa pengusaha serupa yang maju pesat seperti pasangan Sulastri. Mereka berhasil berdagang dan mempunyai modal
Mencintai Produksi Dalam Negeri
247
cukup besar. Seperti halnya pasangan Sulastri, mereka membeli bahan (kain), memotong, dan mengobras gordyn dan kelambu. Sedangkan yang menjahit pinggir, melipat, merempel, dan membentuk adalah warga sekitar, terutama ibu-ibu. Uniknya, yang menjadi juragan umumnya mempunyai tingkat pendidikan tidak lulus SD, atau paling tinggi tamatan SMP. Sebaliknya yang sekolah tinggi tidak berhasil. Suyanto lahir dan dibesarkan di desa Belawe, sedangkan Sulastri berasal dari tetangga desa ini. Awal bertemu, ketika itu Sulastri pulang belanja, di jalan berpapasan dengan Suyanto. Sulastri yang berparas cantik itu menggoda hati Suyanto. Karena itu dengan memberanikan diri Suyanto mengikuti dari belakang. Ia ingin kenalan sekaligus tahu rumahnya. Sore harinya Suyanto nekat mengajak temannya datang ke rumah Sulastri untuk berkenalan. Sejak itu mereka berkenalan, saling jatuh hati. Tiga bulan kemudian menikah (1994), Sulastri usia 23 tahun dan Suyanto 25 tahun. Awal menikah mereka tinggal bersama orang tua Suyanto selama dua tahun. Pekerjaan Suyanto berdagang kojang dan kelambu. Karena itu hampir tiap hari Suyanto mendatangi pasar dan kios di sekitar Kediri, bahkan hingga ke kota Malang dan Surabaya. Barang dagangan yang ditawarkannya diperoleh dari pengrajin di desa Belawe. Sejak pindah ikut suami di desa Belawe, Sulastri ikut belajar membuat kojang dan kelambu seperti yang dikerjakan ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya. Apalagi suaminya berprofesi sebagai pedagang hasil produk kerajinan itu. Ia dituntut harus bisa mendukung usaha suaminya. Ketika suaminya berdagang, ia manfaatkan waktu untuk belajar kepada tetangganya. Secara bertahap keterampilan ini diperoleh hingga terampil. Selanjutnya ia membuat gordin dan kelambu untuk dijual oleh suaminya. Ia juga bisa
248
Mencintai Produksi Dalam Negeri
membuat gambar motif untuk hiasan pinggir Kojang. Sulastri beruntung mempunyai suami yang ulet dan senang berdagang. Dari suaminya itulah ia banyak belajar terutama dalam mengelola usaha. Suyanto sejak kecil sudah ditempa hidup keras dan mandiri. Pemuda yang tidak lancar berbahasa Indonesia itu hanya sekolah sampai kelas 5 SD. Ketika itu ia tidak naik kelas, memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Sehariharinya bekerja membantu orang tua mencari rumput untuk ternak sapi. Setelah beberapa lama ia mulai tertarik dengan kakak kandungnya yang mempunyai usaha membuat Kojang (kelambu penutup bayi) dan Kelambu nyamuk untuk tempat tidur. Pekerjaan ini biasanya dilakukan setelah mencari rumput. Upahnya sebesar Rp 5.000 per hari. Upah ini sebagian besar ia simpan untuk modal. Yang unik, tempat menyimpan uangnya di tiang kandang sapi yang terbuat dari bambu. Setiap hari ia memasukan uang recehan ke lubang bambu itu. Perkembangan selanjutnya Suyanto tertarik untuk ikut kakaknya berjualan keliling kampung, menjajakan kelambu ke pasar-pasar. Biasanya barang dibawa menggunakan sepeda, kadang-kadang jalan kaki. Pekerjaan ini ia tekuni dari siang hingga sore bahkan malam hari. Dari usaha berdagang ini ia memperoleh upah tambahan setiap hari sebesar Rp. 5.000. Seperti biasanya uang ini ia simpan dalam celengan di kandang sapi orang tuanya. Bekerja ikut dengan kakaknya ini berlangsung sekitar 5 tahun. Menjelang usia 20 tahun, Suyanto mencoba usaha mandiri. Pengalaman dan keterampilan yang dimiliki menjadi kepercayaan dirinya. Modal awal diperoleh dari celengan dan tambahan orang tuanya, semuanya berjumlah Rp 1 juta. Modal ini dibelikan 10 roll kain bahan kelambu dan
Mencintai Produksi Dalam Negeri
249
kawat kojang sebagai modal awal. Selanjutnya kain dipotong-potong sesuai ukuran, kemudian diberikan kepada beberapa tetangganya untuk dijahit menjadi Kojang dan Kelambu. Setelah jadi diserahkan kembali kepadanya. Suyanto memasarkan ke pasar-pasar sekitar Tulungagung dan Trenggalek. Setelah menikah usaha Suyanto makin berkembang. Hal ini tidak lepas dari peran istrinya Sulastri. Istrinya yang sudah mulai pintar menjahit, mendukung usaha suaminya. Di rumah ia dengan tekun menjahit Kojang dan Kelambu. Sulastri juga mengerjakan pembuatan gambar motif pada pinggiran Kojang. Hasilnya dibawa suaminya bersama produk dari tetangganya. Setelah dikaruniai anak, pekerjan ini juga terus ditekuninya. Tahun 1996 usahanya makin berkembang, produk andalannya adalah tetap kelambu dan gordyn. Antara Suyanto dan Sulastri berbagi tugas. Suyanto lebih terfokus pada mencari bahan baku dan pemasaran. Sedangkan Sulastri bertugas mengelola produksi termasuk mengatur distribusi pekerjaaan kepada para ibu di sekitarnya. Sulastri harus mengelola para pekerjanya. Seiring kemajuan usaha, tenaga kerja yang semula hanya satu dua orang kini kian bertambah banyak. Di rumahnya ada 8 orang yang bertugas memotong, mengobras, dan pengepakan. Sedangkan yang menjahit pinggir dan rempel dilakukan oleh ibu-ibu tetangganya, kini jumlahnya ada sekitar 24 orang. Para ibu tersebut mengambil kain darinya, kemudian dikerjakan di rumah masing-masing. Mereka semuanya mempunyai mesin jahit bahkan tidak sedikit yang memiliki lebih dari satu. Upah mereka bergantung bahan dan jenis produk yang dikerjakannya. Untuk kelambu dihargai Rp 300,-. Kelambu motif kembang Rp 500,- dan gordyn Rp 600,- per meter. Rata-
250
Mencintai Produksi Dalam Negeri
rata penghasilan satu orang sekitar Rp 60 s.d. 70 ribu per minggu. Mengelola para pekerja ini tidak mudah, apalagi mereka adalah tetangga dekat dan juga kerabat. Kadang-kadang ada diantara mereka yang nakal. Ia mengambil bahan cukup banyak (5 rol), tetapi hasil yang distor tidak sesuai dengan target. Sulastri dan juga Suyanto tidak berani menegurnya. Bahkan kain lebihnya itu dijual lagi padanya. Ia berdalih bahwa bahan itu diperolah dari bos lain. Kejadian ini sudah tigakali terjadi. Sulastri dan Suyanto yakin bahwa bahan gordin tersebut darinya. Karena merugikan, akhirnya orang tersebut tidak lagi diberikan pekerjaan. Perkembangan usahanya menjadikan perlunya tambahan modal. Lebih-lebih setelah membangun rumah, modalnya habis, maklum tersedot membangun rumah yang cukup megah. Untuk membeli bahan baku saja kesulitan. Mereka sangat perlu tambahan modal. Namun mereka kapok meminjam ke bank karena bunganya cukup tinggi. Untung mereka mendapatkan informasi dari temannya bahwa di Bank Jatim ada Kredit Pundi Kencana yang merupakan kerjasama dengan yayasan Damandiri. Kredit Pundi Kencana ini memang bunganya sesuai dengan keadaan pasar, karena dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama pengusaha kecil atau menengah yang mulai berhasil. Lebih-lebih lagi usaha Suyanto dan Sulastri itu melibatkan banyak tenaga kerja dari keluarga kurang mampu. Kredit ini merupakan bukti nyata Yayasan Damandiri yang bekerjasama dengan Bank Jatim dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Di desa Belawe persaingan usaha ini cukup ketat. Namun diantara mereka sudah ada etika. Mereka menghormati para pelangganya masing-
Mencintai Produksi Dalam Negeri
251
masing. Toko/kios yang sudah menjadi langganan orang lain tidak boleh dipasok. Begitu pula pedagang kecil-kecil hanya terfokus menjual di sekitar daerah Kediri. Sementara pedagang besar seperti Suyanto menjual ke daerah yang lebih jauh, seperti; Surabaya, Malang, Tulungagung, Blitar, bahkan ke luar daerah Jawa Timur. Tugas pemasaran merupakan tugas Suyanto. Awalnya digendong atau menggunakan sepeda, kini menggunakan mobil box miliknya. Biasanya pemasaran dikirim ke pasar dan toko-toko. Usaha tekun dengan dukungan luas masyarakat sekitarnya, dengan pemasaran yang luas, telah berhasil membantu kelambu Kediri mengusir nyamuk dan membuat pemiliknya tidur nyenyak untuk siap membangun bangsa di pagi hari berikutnya.
D D D
252
Mencintai Produksi Dalam Negeri
BAB VII
MENGANTAR JURAGAN USAHA MANDIRI
Mencintai Produksi Dalam Negeri
253