226
PENGOLAHAN ROTI BERBAHAN SAGU Oleh: Djukrana Wahab1)
ABSTRACT Sago starch has been long used as a staple food for making traditional foods such as Sinonggi and kapurung. especially for people living in the eastern part of Indonesia, including Souteast Sulawesi. The purpose of the present study was to production of bread made from wheat flour substituted with sago starch. The research was done by using Descritive Design and organoleptic assessment. Parameters observed were contents of color, tecture, aroma and the appearance of fungi miselim. The results showed that substitution of sago starch affected the color, tecture contents and aroma as well as wheat flour. Unpleasant aroma occurred on the third day with the appearance of mold mycelium. Keywords: Sago, starch, bread, wheat four
PENDAHULUAN Sagu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang dapat dipergunakan sebagai sumber karbohidrat potensial di Indonesia terutama di wilayah Bagian Timur Indonesia, termasuk Sulawesi Tenggara. Sagu di daerah diolah sebagai bahan makanan tradisional seperti sinonggi, kapurung serta berbagai penganan makanan lainnya. Sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, sementara sagu telah dibudidayakan oleh masyarakat kepulauan Maluku, Papua dan sebahagian Sulawesi Tenggara. Pertanaman sagu masih berupa hutan sagu dan masih tumbuh secara liar. Petani sagu umumnya belum melakukan pembudidayaan sagu seperti pada pembudidayaan tanaman yang lain, sehingga setelah panen belum ada upaya untuk melakukan penanaman kembali. Potensi sagu di Sulawesi Tenggara dapat dilihat dari profile luas area pertanaman sagu mencapai 5.446 ha, produksi 4.923, produktivitas 1.597 kg/ha dengan jumlah kepala keluarga yang mengusahakan sagu 10.128 KK (Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Produksi sagu tersebut masih dijual dalam bentuk hasil ekstraksi kasar atau produk tepung sagu yang masih perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sementara itu jika dilakukan 1
pengolahan lebih lanjut dengan menghasilkan tepung sagu yang siap pakai diharapkan dapat mengurangi impor gandum. Menurut catatan impor gandum yang mencapai 3.576.670 ton, senilai 503,31 juta dolar AS (Aini, 2004). Gandum merupakan bahan dasar untuk membuat tepung terigu yang banyak digunakan sebagai bahan utama membuat roti. Oleh karena itu diversifikasi pangan merupakan bentuk mengurangi impor gandum sebagai bahan utama tepung terigu dan meningkatkan ketahanan pangan. Upaya menekan impor beras dan tepung terigu melalui program peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri dan diversifikasi pangan pada dasarnya adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional yang sekaligus meningkatkan kesempatan ekonomi bangsa Indonesia (Kasno et al., 2006). Pengembangan tepung sagu menjadi bahan pensubtitusi dalam pembuatan roti berbahan sagu menjadi langkah-langka penting dan nyata dalam melakukan diversifikasi pangan dan mengurangi impor gandum. Hal ini disebabkan roti telah menjadi bahan makanan yang popular di masyarakat. Perkembangan industri rumah tangga yang memproduksi roti telah mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir ini, khususnya di Kota Kendari. Jika di dalam pembuatan roti, semuanya
AGRIPLUS, VolumePangan 23 Nomor : 03Pertanian September 2013, Halu ISSN 0854-0128 )Staf Pengajar Jurusan Ilmu dan Teknologi Fakultas Universitas Oleo, Kendari
226
227
menggunakan tepung terigu yang berasal dari gandum dapat dibayangkan kebutuhan akan gandum semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tepung sagu (pati sagu) dapat digunakan sebagai bahan substitusi maupun sebagai bahan utama produk pangan bergantung dari jenis produk yang akan dihasilkan. Pati sagu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan gizi lainnya yang dihasilkan berjumlah kecil. Namun perlu dicatat bahwa produk makanan yang dihasilkan dari pati sagu perlu ditambahkan dengan bahan yang memiliki kandungan gizi yang lebih baik dari pati sagu seperti Modified Cassava Flour (MOCAF) (Pato et al., 2012). Oleh karena itu tujuan percobaan ini adalah melakukan pengolahan roti dengan subtitusi tepung sagu.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, FP-UHO pada bulan Maret 2012. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah mixer merck Philips, oven, timbangan, baskom dan wadah plastik dan aluminium lainnya. Bahan yang digunakan adalah tepung sagu 30%, tepung terigu 70%, mentega 10%, gula 10%, ragi 3%, telur 10%, air 60%, sedangkan garam dan pelembut sesuai kebutuhan. Prosedur Percobaan Persiapan alat dan bahan Alat dan bahan disiapkan terlebih dahulu pada tempat yang memudahkan untuk dijangkau selama proses kerja berlangsung. Pencampuran dan pengadukan bahan Seluruh bahan kering dicampur merata, kemudian ditambahkan mentega dan telur, bila campuran telah merata, ditambahkan air sedikit demi sedikit sambil
diaduk hingga terbentuk adonan yang kalis. Tanda telah kalis yaitu adonan halus dan tidak lengket serta dapat dibentuk bulat seperti bola. Bila tidak ada mixer, pencampuran bahan dilakukan dengan menekan-nekan dan membanting-banting di atas meja sampai kalis. Adonan didiamkan Adonan yang telah kalis dibentuk bulat dan didiamkan selama 20 menit. Bila suhu ruangan panas, adonan ditutup kain basah supaya tidak kering. Tujuan tahap ini adalah untuk memperbaiki susunan fisik gluten yang rusak selama pengadukan dan mempermudah penanganan adonan selanjutnya. Pembagian adonan Adonan yang sudah diistirahatkan di bagi-bagi atau ditimbang sesuai ukuran akhir roti yang diinginkan. Fermentasi Setelah adonan dibagi-bagi sesuai ukuran, adonan difermentasi selama 20 menit. Cara ini membuat adonan akan menjadi semakin halus dan mudah dibentuk Pembentukan Roti Roti dibentuk sesuai dengan bentuk dan ukuran yang diinginkan serta ditempatkan dalam wadah-wadah yang disiapkan untuk proses pemanggangan. Fermentasi akhir Fermentasi pada tahap ini berlangsung selama 1 jam. Fermentasi akhir sebaiknya dilakukan pada suhu yang lebih hangat (± 35 ᴼC). Hal ini dilakukan dalam ruang kecil dan tertutup. Selama fermentasi adonan tidak boleh goyang atau bergerak agar mengembang yang menyebabkan mutu produk akhir menjadi baik. Pada tahap ini akan terjadi pembentukan gas CO2 yang mengakibatkan roti mengembang. Pemanggangan Adonan yang telah mengembang selanjutnya dibakar/dipanggang dalam oven pada suhu sekitar 200 ᴼC selama satu jam.
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128
228
Sebelum dipanggang sebaiknya adonan dilapisi dengan kuning telur agar roti mengkilap setelah dipanggang. Variabel Pengamatan Pengamatan yang dilakukan dengan tes organoleptik mengacu pada Kartika, et al. (1998) meliputi penilaian keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1 dan pengamatan keberadaan koloni kapang, aroma dan bau apek pada roti manis yang dilakukan oleh 15 orang panelis. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Tabel 1. Kriteria penilaian sensoris terhadap roti manis berbahan tepung sagu Skor Penilaian Keseluruhan 1 Sangat tidak suka 2 Tidak suka 3 Netral 4 Suka 5 Sangat Suka
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil percobaan menunjukkan bahwa tepung sagu dapat digunakan sebagai bahan pensubtitusi dalam pembuatan roti dengan komposisi 30% tepung sagu, 10% mentega, 10% gula, 3% ragi, 1,5% garam, 8% susu, dan telur 10% menghasilkan roti sagu yang berwarna kuning kecoklatan. Warna ini mencerminkan bahwa dari segi pewarnaan sudah baik dan menarik untuk dikonsumsi dibandingkan dengan warna yang lebih mudah atau lebih gelap. Tekstur yang dihasilkan cukup lembut dan tidak kalah dengan roti yang dibuat dari 100% tepung terigu asal gandum namun sedikit agak keras ketika telah disimpan (Gambar 1).
Gambar 1. Roti sagu substitusi dari tepung sagu dengan penampakan warna kecoklatan Diduga tekstur roti sagu yang agak keras disebabkan oleh jumlah air 60% yang digunakan pada saat membuat adonan mungkin belum mencukupi kebutuhan air dalam bahan menjadi salah satu penyebab tekstur roti sedikit keras. Masih dibutuhkan percobaan lanjut untuk mendapatkan konsentrasi air yang tepat. Selain daripada itu, tepung terigu mempunyai Nilai Penyerapan Air (NPA) lebih rendah dari tepung ubikayu (Yulmar et al., 1997). Hal ini disebabkan tepung terigu mempunyai kandungan karbohidrat lebih rendah dari pati sagu dan Mocaf. Pada saat pemanggangan, air yang terdapat dalam gluten akan berpindah ke pati yang dalam proses pemanggangan mengalami gelatinisasi. Proses tersebut menyebabkan adonan roti yang dipanggang memiliki struktur yang kokoh (Amendola,et.al, 1992) dalam (Pato et al., 2012). Gelatinisasi adalah suatu proses pemecahan bentuk kristalin granula pati, sehingga setiap lapisan permukaan molekulnya dapat menyerap air atau larut dan bereaksi dengan bahan lain, dan kondisinya tidak dapat kembali seperti semula. Beberapa manfaat gelatinisasi pada pati yaitu mampu meningkatkan penyerapan sejumlah air, dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis amylase untuk memecah ikatan pati menjadi bentuk lebih sederhana yang mudah larut, dan meningkatkan konversi dan kecernaan pakan (Smith, 1982). Untuk itu, disarankan menggunakan pelembut yang dapat lebih memperhalus lagi tekstur roti sagu meskipun telah lama disimpan. Namun demikian masih dibutuhkan
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128
229
percobaan yang lebih lengkap untuk menghasilkan tekstur yang setara dengan
roti tepung asal gandum.
Tabel 2. Hasil penilaian terhadap keberadaan miselium kapang pada permukaan roti dan bau apek pada roti berbahan sagu Variabel Ada tidaknya variabel berikut pada hari kePengamatan 1 2 3 Miselium Kapang 0 0 1 Aroma Tidak Sedap 0 0 1 Ketengikan 0 0 1 Keterangan : 0 = tidak ada; 1 = ada Berdasarkan hasil uji organoleptik dari 15 panelis memberikan penilaian bahwa rasa dan aroma roti yang dihasilkan disukai dan memiliki keunikan tersendiri yang tidak ditemukan pada roti yang terbuat dari tepung terigu asal gandum. Keunikan tersebut karena adanya aroma sagu. Aroma merupakan sensasi bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia senyawa volatil yang tercium oleh saraf-saraf indera penciuman ketika bahan pangan tersebut masuk ke dalam mulut (Saloko et al., 1997). Sensasi bau tersebut yang mempengaruhi tingkat penerimaan panelis terhadap produk roti sagu. Daya simpan roti sagu yang dihasilkan selama tiga hari. Pada hari ketiga sudah ditemukan adanya kapang roti sehingga aroma tidak sedap menjadi apek (Tabel 2). Oleh karena itu roti tersebut harus segera dikonsumsi paling lambat dua hari setelah dibuat. Penting untuk dicatat bahwa roti sagu tersebut tidak menggunakan bahan pengawet. Munculnya kapang pada hari ketiga setelah pemanggangan menunjukkan bahwa proses pengolahan yang telah dilakukan telah cukup baik atau telah berhasil mengurangi kontaminasi kapang selama proses pembuatannya. Hasil ini sama yang telah dilaporkan oleh Mudjajanto (2005) bahwa roti manis termasuk makanan yang mudah busuk dengan masa simpan 3-4 hari setelah keluar dari pemanggangan. Namun hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Pato et al. (2012) bahwa koloni kapang roti yang diberi Mocaf nampak pada hari ke enam setelah penyimpanan. Perbedaan hasil tersebut
disebabkan oleh adanya perlakuan Mocaf yang diberikan. Hasil percobaan masih memerlukan kajian lanjutan sehingga dapat dihasilkan roti yang memenuhi standar yang telah ditentukan. Pato et al. (2012) menyatakan bahwa dengan menggunakan formulasi perlakuan TSM (Tepung terigu 70%, pati sagu 15% dan Mocaf 15%) merupakan perlakuan subtitusi terbaik yang menghasilkan roti manis mendekati mutu yang dibuat dari tepung terigu 100% dan sesuai standar mutu roti (SNI 01-38401995). Hasil memberikan informasi yang sangat baik bahwa potensi pengembangan tepung asal sagu dapat digunakan untuk mengurangi peran tepung terigu dimasa datang. Percobaan berhasil membuktikan bahwa penggunaan tepung sagu sebagai bahan subtitusi tepung terigu dapat menghasilkan roti berbahan sagu yang memiliki warna, aroma, tekstur yang cukup disukai dan dapat disimpan selama dua hari tanpa bahan pengawet.
KESIMPULAN Tepung sagu dapat digunakan sebagai bahan subtitusi tepung terigu dalam pembuatan roti dengan warna kecoklatan, aroma yang baik dengan tekstur halus dengan sedikit kasar, dan aroma tidak sedap terjadi pada hari ketiga bersamaan dengan munculnya miselium kapang.
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128
230
DAFTAR PUSTAKA Aini, N. 2004. Pengolahan Tepung Ubi Jalar dan Produk-produknya Untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. http:/tumoutou.net/pps702_9145.pdf Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Statistik Perkebunan tahun 2009. Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 2000. Pedoaman Uji Indrawi Bahan Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta. Kasno, Astanto., dkk. 2006. Pengembangan Pangan Berbasis Kacang-Kacangan Dan Umbi-Umbian Guna Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian. http://
[email protected]. Diakses tanggal 11 Maret 2012. Mudjajanto, E. S. 2005. Keamanan Makanan Jajanan Tradisional Penebar Swadaya Jakarta.
Pato, U., F. Restuhadi, A. Ali R. Ulfah dan Mukmin. 2012. Evaluasi Mutu dan Daya Simpan Roti Manis yang Dibuat Melalui Substitusi Tepung Terigu Dengan Pati Sagu dan Mocaf . Agricultural Science and Technology Journal. 11 (1): 1-12 Saloko, S. I.W.S. Yasa dan B.R. Handayani. 1997. Pemanfaatan produk bijibijian potensial untuk pembuatan biskuit protein tinggi pada wilayah pertumbuhan di Kabupaten Lombok Barat. Prosiding Seminar Teknologi Pangan :308-325 Smith, P.S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. In : Lineback, D.R. dan Paschall, G.E. 1982. Food Carbohydrates. (eds) avi Publishing Company. Inc. Westport. Connecticut Yulmar, J., E.A. Azman dan K. Iswari. 1997. Penggunaan tepung komposit (terigu, ubi kayu dan jagung) dalam pembuatan mie. Prosiding Seminar Teknologi Pangan: 428-437.
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128