Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENGOBATAN MYIASIS DENGAN SEDIAAN KRIM MINYAK ATSIRI DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L) PADA DOMBA YANG DIINFESTASI DENGAN LARVA Chrysomyia bezziana (Myiasis Treatment Using Essential Oil Cream of Green Piper betle on Sheep Infestated with Chrysomyia bezziana Larvae) APRIL H. WARDHANA1, S. MUHARSINI1, S. SANTOSA2, L.S.R. ARAMBEWELA3 dan S.P.W. KUMARASINGHE4,5 1
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30, Bogor 16114 2 Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta 3 Industrial Technology Institute, Colombo, Sri Lanka 4 Teaching Hospital Colombo North Teaching Hospital, Ragama, Sri Lanka 5 Consultant Dermatologist, Royal Perth Hospital, Australia
ABSTRACT Researches on usage of Piper betle L as herbal medicine have been done for years. In vitro assessment revealed that the essential oil of Piper betle L leaf was effective to kill Chrysomya bezziana larvae which is known as primary agent of myiasis in livestock, wild and pet animals including human in Indonesia. The aim of this study is to examine efficacy of the essential oil of Piper betle L leaf and haematological value in sheep infested by C. bezziana larvae. Four incision wounds were made on sheep’s back (two in the left side and two in right side) and then 25 larvae were introduced to each wound. Four treatments tested were: sheep without any treatment (negative control/KN), sheep treated with 2% asuntol (positive control/KP), 2% and 4% essential oil cream of Piper betle L leaf for MA 2% and MA 4%, respectively. The clinical symptomps, weight and number of the larvae collected from myiasis wounds including number of eosinophil and neutrophil were observed. The result demonstrated that all of the sheep suffered from inflammation reaction marked by increased body temperature and number of eosinophil and neutrophil counts. There was no significant difference between sheep treated neither with MA 2% nor with MA 4% on observed variables. Myiasis treatment using the essential oil cream of Piper betle L leaf was significantly able to reduce the growth of C. bezziana larvae due to contact and digestive effect of the active compounds contained in the essential oil of Piper betle L leaf. Key Words: Piper betle L, Essential Oil, Chrysomya bezziana, Myiasis ABSTRAK Penelitian tentang penggunaan daun sirih untuk pengobatan telah lama dilakukan. Uji in vitro membuktikan bahwa minyak atsiri daun sirih hijau efektif untuk membunuh larva C. bezziana yang dikenal sebagai agen primer penyebab myiasis pada ternak, hewan liar dan hewan kesayangan serta manusia di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dari minyak atsiri daun sirih serta pengaruhnya terhadap gambaran darah domba yang diinfestasi dengan larva C. bezziana. Empat luka insisi dibuat di bagian punggung domba (dua di sebelah kanan dan dua di sebelah kiri) dan setiap luka diinfestasi 25 larva. Empat perlakuan yang diuji adalah domba tanpa pengobatan (kontrol negatif/KN), domba yang diobati dengan asuntol 2% (kontrol positif/KP), dengan krim minyak atsiri 2% (MA 2%), dan dengan krim minyak atsiri 4% (MA 4%). Variabel yang diamati adalah perubahan gejala klinis, jumlah dan berat larva serta pupa yang dikoleksi dari luka myiasis termasuk persentase jumlah eosinofil dan neutrofil. Hasil pengamatan gejala klinis menunjukkan bahwa domba yang menderita myiasis mengalami peningkatan suhu tubuh akibat reaksi radang yang ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil. Domba MA 2% dan MA 4% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada masing-masing variabel yang diamati. Pengobatan myiasis dengan minyak atsiri daun sirih mampu menghambat pertumbuhan larva secara nyata akibat dari efek cerna dan efek kontak bahan aktif yang terkandung di dalam minyak tersebut. Key Words: Sirih, Minyak Atsiri, Chrysomya bezziana, Myiasis
586
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENDAHULUAN Minyak atsiri atau dalam bahasa asing disebut dengan essential oils, etherial oils, atau volatile oils adalah salah satu hasil ekstrak alami tumbuhan yang berasal dari daun, bunga, kayu, biji-bijian dan putik bunga. Dewan Atsiri Indonesia melaporkan bahwa sebanyak 150 jenis minyak atsiri telah diperdagangkan di pasar internasional dan 46 jenis di antaranya berpotensi untuk diproduksi di Indonesia (GUNAWAN, 2009). Berdasarkan data statistik perdagangan luar negeri Indonesia, setidaknya ada 15 jenis minyak astiri telah menjadi komoditi ekspor bahkan di era tahun 60-an, Indonesia tercatat sebagai penghasil minyak atsiri yang besar (BPS, 2006; RIZAL dan DJAZULI, 2006). Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai penghasil minyak atsiri adalah sirih (Piper betle L). Penggunaan tanaman sirih (Piper betle L) sebagai obat telah dikenal sejak tahun 600 SM sehingga banyak ditanam oleh masyarakat, termasuk di Indonesia. Kandungan bahan aktif ini dilaporkan mempunyai khasiat sebagai antibakteri, bersifat styptic (menghentikan pendarahan), vulnerary (menyembuhkan luka kulit) dan antiradikal bebas (MOELJATNO, 2003, PARWATA et al., 2009). Selain sifat-sifat tersebut, minyak atsiri dari daun sirih juga berpotensi sebagai insektisida dan fungisida (SOLSOLOY et al., 2001; ARAMBEWELA dan DISSANAYAKE, 2001; ISMAIL dan AHMAD, 2003). Ekstrak air, etanol dan metanol daun sirih dilaporkan mampu membunuh jentik serta menghambat pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti (RACHMAWATI, 2004; FAHMI, 2006). Disamping itu, beberapa data penelitian juga menyebutkan bahwa minyak atsiri daun sirih efektif untuk membunuh hama kapas seperti Aphis gossypii dan Amrasca biguttula serta menggagalkan penetasan telur Helicoverpa armigera dan Pectinophora gossypiella (SOLSOLOY et al., 2001; CRUZ, 2003). Sifat minyak atsiri daun sirih sebagai insektisida nabati sekaligus berperan dalam penyembuhan luka dan anti bakteri mendorong pemikiran untuk dikembangkan sebagai obat penyakit myiasis, yaitu infestasi larva lalat (Diptera) pada jaringan hidup hewan dan manusia. Di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh lalat primer Chrysomyia bezziana
(Diptera: Calliphoridae) (WARDHANA, 2006) sedangkan di negara-negara lain beberapa kasus myiasis disebabkan oleh multi agen seperti C. megacephala, C. albiceps, Lucilia sericata, Lucilia cuprina, Wohlfahrtia magnifica, Cochliomyia hominivorax (STARIC et al., 2002; CASTRO dan GARCIA, 2009; HALL et al., 2009a, 2009b; MCDONAGH et al., 2009). Pengobatan myiasis masih memberikan hasil yang bervariasi sehingga upaya untuk mendapatkan formula yang tepat, murah dan ramah lingkungan masih terus dilakukan (WARDHANA, 2006). Potensi minyak atsiri daun sirih sebagai obat myiasis telah dilakukan secara in vitro dan terbukti efektif. KUMARASINGHE et al. (2000) telah menguji khasiat minyak atsiri daun sirih asal Sri Lanka yang ditantang dengan larva C. megacephala. Uji in vitro pada larva C. bezziana dilakukan oleh WARDHANA et al. (2011, in press) dengan cara membandingkan minyak atsiri daun sirih asal Sri Lanka dan Bogor. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kedua minyak atsiri tersebut efektif untuk membunuh larva instar I dan II (L1 dan L2). Hal ini mendorong penelitian lanjutan ke arah uji in vivo dengan cara membuat sediaan minyak atsiri daun sirih yang diaplikasikan secara topikal. Sifat minyak atsiri yang mudah menguap dan target pengobatan merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan bentuk sediaan obat. Krim adalah salah satu bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi yang mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar (MARLINA, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sediaan krim memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai pembawa substansi obat, bahan pelumas kulit dan mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair. Disamping itu, penyebaran bahan aktif yang dibawa oleh krim lebih merata dibandingkan dengan salep (MARLINA, 2010). Berdasarkan hasil uji in vitro pada larva C. bezziana diketahui bahwa minyak atsiri daun sirih asal Bogor mempunyai daya bunuh yang lebih cepat dibandingkan dengan minyak atsiri asal Sri Lanka (WARDHANA et al., 2011 in press). Namun demikian, pada uji in vivo ini digunakan minyak atsiri asal Sri Lanka dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas krim minyak atsiri daun sirih dan pengaruhnya pada
587
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
gambaran darah domba yang diinfestasi larva C. bezziana sebelum uji in vivo pada minyak atsiri asal Bogor dilakukan dalam berbagai bentuk sediaan lainnya.
Larva C. bezziana yang digunakan pada penelitian ini adalah koloni laboratorium di Departemen Parasitologi, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Koloni larva dipelihara menggunakan media artifisial menurut metode SUKARSIH et al. (2000a).
70 – 75C). Fase air (metil paraben (C8H8O3) dan propil paraben (C10H12O3)), masingmasing dilarutkan dengan air panas, selanjutnya keduanya dicampur. Propilen glikol (C3H8O2) ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam campuran tersebut, kemudian diaduk sampai larut. Na metabisulfit dilarutkan dalam air hangat (LACHMAN et al., 1994). Fase air dimasukkan ke dalam fase minyak sedikitsedikit sambil diaduk-aduk (dalam mortir) sampai terbentuk basis krim. Krim dipindahkan untuk dikocok dengan menggunakan mixer. Minyak atsiri daun sirih dengan volume tertentu dimasukkan ke dalam basis sedikitsedikit, dikocok sampai krim homogen (LACHMAN et al., 1994).
Sampel daun sirih hijau dan pembuatan minyak atsiri
Infestasi larva instar 1 (L1) C. bezziana pada domba
Daun sirih hijau segar berasal dari Sri Lanka yang dikoleksi dari Kalutara SelatanColombo, dengan kategori tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Daun-daun tersebut dicuci dan diangin-anginkan di tempat terbuka dan terlindung dari cahaya matahari hingga kering selama tujuh hari. Daun yang telah kering berwarna hijau kecoklatan dan mudah rapuh (KUMARASINGHE et al., 2002). Pembuatan minyak atsiri daun sirih dilakukan dengan metode destilasi uap di Industrial Technology Institute – Colombo. Daun sirih hijau yang telah kering didestilasi dengan uap selama 5 jam menggunakan destilator (Clevenger arm) pada tekanan 1 – 1,5 atm. Uap yang keluar dikumpulkan dan dibiarkan mengembun. Destilat yang diperoleh dipisahkan dari air menggunakan corong pisah, selanjutnya didiamkan hingga terpisah. Minyak atsiri yang diperoleh berwarna kuning kecoklatan dan disimpan di dalam botol berwarna gelap pada suhu 4C untuk proses lebih lanjut (KUMARASINGHE et al., 2002).
Sebanyak empat ekor domba jantan, berumur 1,5 – 2 tahun digunakan pada penelitian ini. Domba dipelihara di dalam kandang panggung dan diadaptasikan selama dua minggu sebelum perlakuan. Agar data yang diperoleh dapat dianalisis secara statistik, sebanyak empat luka insisi dibuat pada masing-masing domba. Sebelum diinfestasi, domba dicukur terlebih dahulu di daerah sepanjang garis punggung bagian kiri dan kanan tulang belakang sampai bersih. Satu hari sebelum infestasi larva, empat buah lingkaran logam almunium (ring) yang berdiameter luar empat cm dan diameter dalam 2,5 cm ditempelkan di daerah yang telah dicukur dengan menggunakan lem (Aibon) (Gambar 1A). Setiap domba dipasangi empat buah ring yang terbagi menjadi dua ring di sebelah kiri dan dua ring di sebelah kanan garis punggung (EISEMANN et al., 1989; SUKARSIH et al., 2000b). Luka artifisial dibuat di sebelah dalam ring dengan cara melakukan sayatan silang (2 × 2 cm) menggunakan skalpel steril no. 22. Sebanyak 25 ekor L1 yang baru menetas diinfestasikan pada masing-masing luka dan ditutup dengan spons basah. Tiap-tiap ring ditutup dengan kasa nilon pada bagian atasnya dan difiksasi (tutup) dengan lingkaran logam atau karet gelang. Luka yang telah terinfestasi dan ditutup dengan kassa, ditutup kembali
MATERI DAN METODE Larva C. bezziana
Pembuatan krim Fase minyak (asam stearat (C18H36O2), setil alkohol (C16H34O), span 60 (C24H46O6), isopropil palmitat (C13H38O2)) dilebur dalam cawan penguap di atas penangas air sampai cair (suhu dijaga antara 70 – 75°C). Tween 60 dilarutkan dalam air panas (suhu dijaga antara
588
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
menggunakan kotak bergabus untuk menjaga kelembaban dan menghindari datangnya lalat sekunder (Gambar 1 B). Kotak-kotak tersebut dilekatkan pada punggung domba dengan selotip (EISEMANN et al., 1989; SUKARSIH et al., 2000b). Uji in vivo Uji in vivo ini dibagi menjadi 4 perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari empat ulangan luka insisi dan masing-masing ulangan diinfestasi dengan 25 larva L1. Sebanyak empat sediaan krim yang digunakan pada penelitian ini, yaitu: KN : Krim kontrol negatif (basis krim) MA 2% : Krim minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 2% MA 4% : Krim minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 4% KP : Krim kontrol positif (krim asuntol 2%) Pengobatan domba myiasis dengan krim dilakukan pada hari ketiga dan keempat pascainfestasi. Pengobatan dilakukan dengan cara membuka kotak bergabus dan memberikan krim pada luka myasis yang telah meradang. Sebelum diobati, domba diukur suhu tubuhnya. Larva dikoleksi pada hari kelima untuk dihitung jumlah dan bobot larvanya. Setelah ditimbang bobotnya, larva yang hidup ditempatkan ke vermicullite (butiran berdiameter < 2 mm) agar membentuk pupa dan diinkubasi pada suhu 36°C. Tiga hari kemudian, pupa dipisahkan dari vermicullite dengan cara diayak, selanjutnya dihitung jumlah dan ditimbang bobotnya. Sediaan ulas darah Pemeriksaan ulas darah dilakukan selama 11 hari, mulai sebelum infestasi larva C. bezziana, domba mengalami myiasis hingga pada proses penyembuhan. Darah domba diambil dari bagian telinga menggunakan spuit sebelum pengobatan dilakukan. Ulas darah di buat dengan cara meneteskan darah pada kaca objek kira-kira dua cm dari ujung. Ujung kaca objek lainnya (penggeser) diletakkan di atas darah dengan sudut 45 derajat sehingga darah menyebar pada sisi kaca penggeser tersebut.
Setelah darah menyebar maka dengan segera kaca penggeser digeserkan sehingga membentuk ulasan darah pada kaca objek. Ulasan tersebut dikeringkan di udara. Sediaan ulas darah yang telah dibentuk, ditetesi dengan metil alkohol sampai sediaan terlapisi seluruhnya dan diinkubasi selama lima menit. Setelah itu, kaca ulas diwarnai dengan Giemsa dan diinkubasi selama dua puluh menit. Kaca ulas yang telah terwarnai, dicuci dengan air suling dan dibiarkan mengering pada suhu ruangan (GANDASOEBRATA, 1995). Parameter pengamatan Selama infestasi larva C. bezziana, dilakukan pengamatan gejala klinis pada domba yang menderita myiasis termasuk mengukur suhu tubuhnya, yaitu pada keadaan normal, 3, 4 dan 5 hari pascainfestasi. Parameter yang diamati pascapengobatan dengan krim minyak atsiri daun sirih hijau adalah jumlah dan bobot larva yang dikoleksi dari luka myiasis serta jumlah dan bobot pupa pascainkubasi di dalam vermicullite selama lima hari pada suhu 36°C. Adapun parameter yang diamati dalam pemeriksaan ulas darah adalah jumlah eosinofil dan neutrofil yang dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Rancangan penelitian dan analisis data Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan program STAT versi 2.6. Apabila terdapat perbedaan hasil di antara perlakuan yang diberikan, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan gejala klinis Semua domba yang diinfestasi dengan larva C. bezziana menunjukkan manifestasi klinik antara lain, pembengkakan pada lokasi luka, reaksi radang dan suhu tubuh meningkat serta terjadi gerakan tremor pada punggungnya.
589
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Gerakan tersebut diduga akibat respon domba terhadap aktivitas larva yang terdapat di dalam jaringan punggung (Gambar 1C). Suhu tubuh domba menunjukkan kondisi normal berkisar antara 38,5 – 39,5°C sebelum diinfestasi larva C. bezziana, selanjutnya semakin hari suhu tubuh semakin meningkat. Peningkatan suhu tubuh akibat infestasi larva C. bezziana berkisar antara 39,8 – 41,0°C (Tabel 1). Pengamatan peningkatan suhu tubuh dimulai pada hari ke-3 dan ke-4, yaitu pada saat domba diobati dan pada hari ke-5, ketika larva dikoleksi dari luka myasis. Suhu tubuh pada domba kontrol negatif (KN) menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi, yaitu 2,1°C. Domba yang diobati dengan krim minyak atsiri Sri Lanka 4% menunjukkan peningkatan 1,2°C sampai hari ke-4 dan meningkat 0,6°C pada hari ke-5 (Tabel 1). Kondisi yang berbeda terlihat pada domba yang diobati dengan asuntol 2% (KP), yaitu hanya terjadi peningkatan suhu sekitar 0,5°C sampai hari ke-4 dan turun 0,2°C pada hari ke5 (Tabel 1). Keadaan ini sesuai dengan kondisi fisik domba yang sudah mulai normal karena semua larva yang diinfestasikan telah mati pada hari ke-1 pascapemberian asuntol 2%. Berbeda dengan uji in vitro yang hanya menggunakan 1% asuntol (WARDHANA et al., 2011 in press), pada uji in vivo ini konsentrasi asuntol ditingkatkan menjadi 2% dengan pertimbangan bahwa preparat yang digunakan di lapangan adalah salep asuntol 2%. Hasil uji in vitro menunjukkan bahwa konsentrasi 1% kurang cepat memperlihat efek larvasidanya (WARDHANA et al., 2011 in press) sehingga
untuk memperoleh perbedaan yang nyata, konsentrasi ditingkatkan menjadi 2%. Pengaruh pemberian krim minyak atsiri daun sirih hijau pada larva C. bezziana Pengaruh pengobatan dengan krim minyak atsiri daun sirih hijau dapat ditinjau dari bobot larva yang dikoleksi pada hari ke-5 pascainfestasi, yaitu ketika larva C. bezziana menjadi larva instar III (L3). Pada kondisi normal, larva yang menginfestasi tubuh ternak secara alami akan ke luar dari luka myiasis pada hari ke-6 dan ke-7 dan jatuh ke tanah untuk membentuk pupa (SPRADBERY, 1991). Parameter lain yang diamati adalah bobot pupa pascapengobatan karena mampu mengindikasikan adanya pengaruh pemberian obat pada domba yang menderita myasis. Jumlah larva yang berhasil dikoleksi dari tubuh domba tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0.05) antara domba yang diobati (MA 2% dan MA 4%) dengan domba kontrol negatif (KN dan KP) (Tabel 2). Hasil ini membuktikan bahwa pemberian krim asuntol 2% juga tidak mampu membunuh larva secara langsung di dalam luka myiasis. Larva diduga berada di dalam jaringan sehingga terhindar dari kontak langsung dengan obat sehingga tidak menimbulkan kematian (Tabel 2). Kendati demikian, kondisi larva yang menginfestasi masing-masing domba memperlihatkan perbedaan. Larva pada domba yang diobati terlihat lemah dan cenderung berada di luar luka myiasis terutama larva dari domba KP. Sebaliknya, larva pada domba KN
Tabel 1. Peningkatan suhu tubuh domba pascainfestasi larva C. bezziana Perlakuan
Suhu (°C) Normal
3 hari
4 hari
5 hari
KN
38,9
41,0
41,0
41,0
MA 2%
38,7
40,5
41,0
40,5
MA 4%
39,0
40,2
40,2
40,8
KP
39,5
40,0
40,0
39,8
KN MA 2% MA 4% KP
590
: Kontrol negatif (basis krim) : Minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 2% : Minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 4% : Kontrol positif (krim asuntol 2%)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tabel 2. Bobot larva dan pupa serta jumlahnya yang dikoleksi dari domba penderita myasis pascapengobatan Perlakuan KN MA 2% MA 4% KP
Bobot larva (mg) 65,14 2,12
a
39,30 4,07
b
40,87 4,67
b
19,82 0,92
c
Jumlah larva
Bobot pupa (mg)
Jumlah pupa
a
12,50 3,48
23,99 1,04
b
14,50 2,73
16,75 2,36
25,53 3,14
b
11,75 2,89
16,50 1,19
Mati
18,00 2,34
38,14 2,60
21,25 2,02
Mati
KN : Kontrol negatif (basis krim) MA 2% : Minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 2% MA 4% : Minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 4% KP : Kontrol positif (krim asuntol 2%) Superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
A
B
C
D
Gambar 1. (A) Domba yang telah dicukur pada bagian punggung dan diberi 2 ring di bagian kanan dan kiri; (B) Domba yang telah diinfestasi dengan larva C. bezziana – punggung ditutup dengan kotak plastik dan sponge basah untuk menjaga kelembaban; (C) Larva C. bezziana yang berkembang di dalam luka myiasis; (D) Perbedaan bobot pupa pasca dikoleksi dari luka myiasis domba.
cenderung berada di dalam jaringan dan membentuk terowongan. Hasil penimbangan bobot larva dan pupa menunjukkan perbedaan yang nyata antara domba kontrol negatif (KN) dengan domba yang diobati (P < 0,05) (Tabel 2). Pengobatan dengan krim minyak atsiri daun sirih hijau 2%
(MA 2%) dan 4% (MA 4%) tidak menghasilkan bobot larva yang berbeda nyata (P > 0,05) meskipun keduanya menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) jika dibandingkan dengan domba kontrol positif dan negatif (KP and KN) (Gambar 1D).
591
M A 4%
M A 2%
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
WARDHANA dan MUHARSINI (2004) melaporkan bahwa bobot normal larva instar III (L3) C. bezziana yang dipelihara dalam kondisi laboratorium rata-rata 48,57 0,004 mg. Berdasarkan hasil uji in vivo, bobot L3 pada domba KN, MA 2% dan MA 4% termasuk dalam kategori normal, yaitu berkisar antara 39,30 – 65,14 mg sedangkan domba KP menunjukkan bobot larva di bawah normal (19,82 ± 0,92 mg) (Tabel 2). Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian krim minyak atsiri daun sirih hijau pada konsentrasi 2 – 4% mampu menghambat pertumbuhan larva C. bezziana yang menginfestasi tubuh domba. Pertumbuhan larva pada domba KN mencapai bobot hingga 65,14 ± 2,12 mg. Hasil ini mengindikasikan bahwa krim sebagai bahan pembawa zat aktif obat tidak bersifat toksik terhadap larva dan domba. Selama infestasi, larva C. bezziana mendapatkan asupan nutrisi yang melimpah dari tubuh domba sehingga pertumbuhannya dapat optimum. Kondisi ini berbeda dengan larva yang dipelihara di laboratorium. Meskipun mendapat asupan nutrisi yang cukup dari media pertumbuhan, tetapi bobot larva yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan bobot larva yang dikoleksi dari domba KN, yaitu 48,75 : 65,14. Larva instar III (L3) yang dikoleksi dari luka myasis domba selanjutnya dipelihara di dalam vermicullite dan diinkubasi pada suhu 36°C sampai membentuk pupa. Jumlah pupa dari domba yang diobati (MA 2% dan MA 4%) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan domba kontrol negatif (KN) (P > 0,05). Seluruh larva dari domba KP gagal membentuk pupa karena larva mengalami pada masa inkubasi. Tabel 2 menunjukkan bahwa bobot pupa pada domba KN (38,14 ± 2,60 mg) berbeda nyata dibandingkan dengan domba MA 2% dan MA 4%, masing-masing 23,99 ± 1,04 mg dan 25,53 ± 3,14 mg (P < 0,05). Bobot pupa yang dikoleksi dari domba KN tergolong pada kategori bobot pupa normal. Domba MA 2% dan MA 4% tidak menunjukkan bobot pupa yang berbeda nyata (P > 0,05) dan berada di bawah bobot normal. Menurut WARDHANA dan MUHARSINI (2004), rata-rata bobot pupa normal dan mempunyai daya tetas yang tinggi adalah 36,01 ± 0,004 mg. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian krim minyak atsiri daun sirih hijau 2 – 4% mampu
592
menghambat siklus hidup lalat C. bezziana. Pupa yang memiliki bobot di bawah normal dapat dipastikan tidak dapat menetas menjadi imago (lalat). Gambaran darah domba yang diinfestasi larva C. bezziana Eosinofil Peningkatan jumlah eosinofil (hipereosinofilia) di pembuluh perifer sering dikaitkan dengan adanya infestasi parasit di dalam tubuh inang. Peningkatan eosinofil diamati setiap hari selama infestasi larva di dalam tubuh domba dan setiap dua hari sekali pascakoleksi larva dari luka myasis. Hasil pengamatan menunjukkan pola grafik fluktuasi jumlah eosinofil yang relatif sama pada semua domba, meskipun mencapai titik puncak pada hari yang berbeda-beda. Hipereosinofilia terjadi pada domba KN, MA 2% dan MA 4%, sedangkan jumlah eosinofil domba KP masih normal (Gambar 2). Hipereosinofilia pada domba KN dan MA 4% terjadi pada hari ke-7 sedangkan domba MA 2% terjadi pada hari ke-5 pascainfestasi larva, dengan jumlah eosinofil mencapai 14%. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat HUMPHERY et al. (1980), yaitu peningkatan eosinofil terlihat pada hari ke-6 pascainfestasi. Antigen larva C. bezziana diduga memicu mobilisasi cadangan eosinofil dalam tubuh dan melepaskannya ke sirkulasi darah dalam jumlah yang cukup besar. Keadaan yang berbeda terjadi pada domba KP, yaitu jumlah eosinofil masih normal meskipun menunjukkan kenaikan sampai hari ke-9. Hal ini dikonfirmasi dengan derajat reaksi radang pada domba KP yang tidak begitu parah jika dibandingkan dengan domba-domba yang lain (Gambar 2). Neutrofil Jumlah neutrofil diduga dapat mengindikasikan adanya infeksi bakteri di dalam tubuh inang. Umumnya infestasi larva C. bezziana pada jaringan tubuh inang diikuti oleh infeksi sekunder, misalnya bakteri. URECH et al. (2008) berhasil mengisolasi bakteri famili Bacillus, Citrobacter, Pseudomonas, Proteus dan Edwardsiella dari luka myiasis yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Diobati Larva dikoleksi
16
Jumlah eosinofil (%)
Jumlah eosinopil (%)
18
14 12 10 8 6 4 2 0 0
1
2
3
4
5
7
9
11
Hari KN
MA 2%
Hari
MA 4%
KP
Garis putus-putus menunjukkan jumlah eosinofil normal domba: 1-10% (STARIC et al. 2002) KN : Kontrol negatif (basis krim) MA 2% : Krim minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 2% MA 4% : Krim minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 4% KP : Kontrol positif (Krim asuntol 2%) Gambar 2. Jumlah eosinofil domba myasis pasca infestasi larva C. bezziana berdasarkan pengamatan hari ke-n
diinfestasi oleh C. bezziana. Hasil metabolisme bakteri di dalam luka myiasis mampu menarik lalat betina gravid untuk datang ke tempat luka untuk meletakkan telur di pinggir luka (oviposition). Peningkatan jumlah neutrofil diamati setiap hari selama infestasi larva C. bezziana di dalam tubuh domba dan setiap dua hari pasca koleksi larva myasis (Gambar 3). Hasil pengamatan jumlah netrofil menggambarkan pola grafik yang relatif sama kecuali pada domba KP. Peningkatan jumlah netrofil terjadi pasca infestasi larva C. bezziana selanjutnya turun jumlahnya pascakoleksi larva pada domba KN, MA 2% dan MA 4% (Gambar 3). Hasil pengamatan terhadap jumlah neutrofil menunjukkan peningkatan pada satu hari pasca infestasi larva C. bezziana. Semakin hari jumlah neutrofil semakin meningkat selama larva C. bezziana berada di dalam luka myasis kecuali domba KP. Hasil ini sesuai dengan penelitian HUMPHERY et al. (1980) yang menyebutkan bahwa infiltrasi neutrofil terjadi pada satu hari pascainfestasi larva C. bezziana. Berbeda dengan domba yang lainnya, jumlah neutrofil pada domba KP cenderung
normal. Peningkatan netrofil diduga karena adanya faktor kemotaktik yang berhubungan dengan perkembangan luka myasis dan adanya infeksi sekunder (HUMPHERY et al., 1980). Dugaan tersebut dikuatkan dengan kondisi luka myasis yang semakin hari semakin parah, membengkak, meradang dan mengeluarkan cairan yang berbau khas (anyir). Gambar 3 menunjukkan bahwa pengobatan pada hari ke-2 dan ke-3 pascainfestasi larva menggunakan MA 2% dan MA 4% tidak mampu menekan jumlah neutrofil di dalam pembuluh perifer domba. Penurunan jumlah neutrofil terjadi satu hari pascakoleksi larva dari luka myasis, selanjutnya terjadi peningkatan kembali secara perlahan. Hasil tersebut berbeda dengan domba KP, yaitu sedikit peningkatan jumlah neutrofil terjadi satu hari pascainfestasi larva, kemudian mengalami penurunan menjadi normal pada saat perlakuan dengan pemberian krim asuntol 2%. Kondisi ini sesuai dengan keadaan luka myasis yang tidak terlalu parah pascapengobatan dengan krim asuntol 2%.
593
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Jumlah Netropil (%)
80 70 60 50 40 30
Diobati
20
Larva dikoleksi
10 0 0
1 KN
2
3 MA 2%
4 Hari
5 MA 4%
7
9
11
KP
Garis putus-putus menunjukkan jumlah neutrofil normal domba: 27-50% (STARIC et al. 2002) KN : Kontrol negatif (basis krim) MA 2% : Krim minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 2% MA 4% : Krim minyak atsiri daun sirih Sri Lanka 4% KP : Kontrol positif (Krim asuntol 2%) Gambar 3. Jumlah neutrofil domba myasis pasca infestasi larva C. bezziana berdasarkan pengamatan hari ke-n
Mekanisme bahan aktif minyak atsiri daun sirih Minyak atsiri daun sirih hijau telah ditapis oleh ARAMBEWELA et al. (2001) melalui analisis kromatografi gas cair dan mendapatkan beberapa senyawa antara lain: safrol, eugenol, allilpirokatekol diasetat, klavibitol asetat, beta phillandren, 4 terpineol, terpineol, metil kavikol, anetol, 1,8 sineol, linalool alpa pinene, metil eugenol dan senyawa lain yang tidak teridentifikasi. Kendati telah terbukti sebagai larvasidal secara in vitro dan in vivo pada C. bezziana, namun mekanismenya belum diketahui secara pasti. KUMARASINGHE et al. (2000) menduga senyawa alpha pinene yang berperan sebagai larvasidal. Alpha pinene merupakan senyawa terpentin utama di dalam tumbuhan. Mineral terpentin sintetik dilaporkan mampu membunuh larva Chrysomya megachepala dalam waktu 2 – 3 jam dan juga digunakan untuk pengobatan myiasis manusia di rumah sakit Sri Lanka (KUMARASINGHE et al., 2000). Disamping itu, campuran minyak terpentin dengan kloroform (4 : 1) umumnya digunakan untuk pengobatan
594
myiasis yang diinfestasi C. bezziana pada manusia di Indonesia (MANGUNKUSUMO dan UTAMA, 1999). Setidaknya ada dua hipotesa mekanisme minyak atsiri daun sirih hijau dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan larva C. bezziana di dalam luka myiasis domba. Hipotesa mekanisme pertama adalah bahan toksik aktif bersifat efek cerna. pencernaan larva. PRIJONO (1988) menyatakan bahwa penyerapan insektisida yang mempunyai efek cerna sebagian besar berlangsung dalam mesenteron (saluran pencernaan bagian tengah). Dinding mesenteron tersusun dari selsel epitelium yang terdiri dari dua lapis, yaitu senyawa lipida dan protein yang tersebar pada bagian-bagian tertentu dari lapisan lipida tersebut. Seluruh sel-sel ini bersifat lipofilik sehingga memudahkan minyak atsiri berdifusi ke dalam sel tersebut. Adanya bahan aktif minyak atsiri daun sirih hijau yang termakan oleh larva akan mempengaruhi metabolisme sel-sel epitelium di dalam saluran pencernaan. Hipotesa ini didukung oleh hasil penelitian in vitro yang menunjukkan perubahan warna
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
saluran pencernaan larva yang berwarna coklat kehitaman (WARDHANA et al., 2011, in press). Hipotesa yang kedua adalah bahan aktif minyak atsiri daun sirih bersifat efek kontak. Pengobatan secara topikal pada luka myiasis memungkinkan bahan aktif minyak atsiri daun sirih bercampur dengan cairan luka. Ketika menginfestasi jaringan, posisi spirakel posterior yang berada di segmen terakhir umumnya terpapar keluar dan terendam oleh cairan luka. Kondisi ini memungkinkan larva C. bezziana kontak dengan bahan aktif minyak atsiri. Menurut PRIJONO (1994), penyerapan insektisida yang berefek racun kontak sebagian besar terjadi pada kutikula. Senyawa aktif akan berpenetrasi ke dalam tubuh larva melalui bagian yang dilapisi oleh kutikula yang tipis, seperti selaput antar ruas, selaput persendian pada pangkal embelan dan kemoreseptor pada tarsus. Lapisan kutikula bersifat lipofilik sehingga minyak atsiri mampu berdifusi dari lapisan kutikula terluar melalui lapisan yang lebih dalam menuju hemolimfe, mengikuti aliran hemolimfe dan disebarkan ke seluruh bagian tubuh larva C. bezziana. Akibatnya larva mengalami kematian atau gangguan pertumbuhan yang berujung pada gagalnya pembentukan pupa atau ukuran pupa menjadi kecil sehingga tidak bisa menetas menjadi lalat dewasa (imago). Berdasarkan hasil uji in vivo telah terbukti bahwa minyak atsiri daun sirih hijau yang dikoleksi dari Sri Lanka berpotensi sebagai sediaan alternatif untuk pengobatan myiasis pada ternak. Meskipun hewan coba yang digunakan masih terbatas, namun setidaknya efek pengobatan myiasis menggunakan krim minyak atsiri daun sirih telah dapat dilihat dan metode yang digunakan pada penelitian ini dapat dijadikan model untuk penelitianpenelitian in vivo selanjutnya. WARDHANA et al. (2011 In Press) membandingkan khasiat minyak atsiri daun sirih yang di koleksi dari Bogor dan Sri Lanka terhadap larva C. bezziana secara in vitro. Hasil penelitian membuktikan bahwa minyak atsiri daun sirih Bogor lebih cepat membunuh larva C. bezziana dibandingkan dengan daun sirih Sri Lanka. Potensi daun sirih Bogor sebagai insektisida nabati perlu diformulasikan ke dalam berbagai bentuk sediaan dan dilanjutkan uji in vivo. Dengan mengadopsi metode yang digunakan pada penelitian ini
diharapkan uji in vivo minyak atsiri daun sirih Bogor untuk pengobatan myiasis pada ternak dapat dilakukan dengan mudah. KESIMPULAN Pemberian krim minyak atsiri daun sirih hijau dari Sri Lanka pada domba yang diinfestasi larva C. bezziana (in vivo) menghasilkan bobot larva dan pupa di bawah normal sehingga tidak mampu menetas menjadi imago. Domba yang diinfestasi larva C. bezziana mengalami peningkatan jumlah eosinofil (hipereosinofilia) dan neutrofil. Pemberian krim minyak atsiri daun sirih Sri Lanka tidak mampu menurunkan jumlah eosinofil dan neutrofil pada domba yang menderita myasis. Perlu dilakukan evaluasi terhadap berbagai macam sediaan dengan bahan pembawa yang berbeda sehingga diperoleh sediaan yang tepat untuk pengobatan myasis baik pada manusia maupun ternak/hewan peliharaan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Eko Setyo P. dan Bapak Suharyanta atas bantuan teknis yang diberikan selama penelitian berlangsung. DAFTAR PUSTAKA ARAMBEWELA, L.S.R., D.S.C.T.R DISSANAYAKE and I. WEERASINGHE. 2001. Mosquitocidal and larvacidal activities of Piper betle essential oil. In: Proc. of the 57th Annual Sessions, Sri Lanka Association for the Advancement of Science, eds. Sri Lanka Association for the Advancement of Science (SLAAS). Colombo 26 November – 1 December 2001: 249. ARAMBEWELA, L.S.R. and D.S.C.T.R. DISSANAYAKE. 2001. Insecticides activities of Piper betle essential oil. In: Proc. of the 57th Annual Sessions, Sri Lanka Association for the Advancement of Science, eds. Sri Lanka Association for the Advancement of Science (SLAAS). Colombo 26 November – 1 December 2001: 250. BPS. 2006. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Impor. Volume 1. Biro Pusat Statistik. Jakarta. hlm. 804.
595
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
CASTRO, C.P. and M.D. GARCIA. 2009. First Record of Chrysomya megacephala (FABRICIUS, 1974) (Diptera, Calliphoridae) from Portugal. Graellsia, 65(1): 75 – 77.
KUMARASINGHE, S.P.W., N.D. KARUNAWEERA and R.L. IHALAMULLA. 2000. A study of cutaneous myiasis in Sri Lanka. Int. J. Dermatol. 39: 689 – 694.
CRUZ, R.T.D.L. 2003. Betle oil: Effective against cotton pests. Archives. July – Sept. 2003. (5) 3. http://www.bar.gov.ph/bardigest/2003/julsept0 3-beteloil.asp.
KUMARASINGHE, S.P.W., N.D. KARUNAWEERA, R.L. IHALAMULLA., L.S.R. ARAMBEWELA and D.S. C.T.R. DISSANAYAKE. 2002. Larvacidal effects of mineral teurpentine, low aromatic white spirits, aqueous extracts of Cassia alata, and aqueous extracts, ethanolic extracts and essential oil of betel leaf (Piper betle) on Chrysomya megachepala. Int. J. Dermatol. 41: 877 – 880.
EISEMANN, C.H., L. JOHNSTON and J.D. KERR. 1989. New technique for measuring the growth and survival of larvae of Lucilia cuprina, the sheep blow fly. Aust. Vet. J. 66(6): 187 – 189. FAHMI, M. 2006. Perbandingan Efektivitas Abate Dengan Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle) Dalam Menghambat Pertumbuhan Larva Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. GANDASOEBRATA, R. 1995. Penuntun Laboratorium Klinik. Cetakan kedelapan. PT Dian Rakyat. Jakarta. hlm. 23 – 30. GUNAWAN, W. 2009. Kualitas dan nilai minyak atsiri, implikasi pada pengembangan turunannya. Seminar Nasional: Kimia Bervisi SETS (Science, Environment, Technology, Society) Kontribusi Bagi Kemajuan Pendidikan dan Industri. Himpunan Kimia Indonesia. Jawa Tengah. Semarang. 21 Maret 2009. HALL, M.J.R., A.H. WARDHANA, G. SHAHHOSSEINI, Z.J.O. ADAMS and P.D. READY. 2009a. Genetic diversity of populations of Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana, causing traumatic myiasis of livestock in the Gulf region and implications for control by sterile insect technique. Med. and Vet. Entomol. 23 (Suppl. 1): 51 – 58. HALL, M.J., J.M. TESTA, L. SMITH, Z.J. ADAMS, K. KHALLAAYOUNE, S. SOTIRAKI, A. STEFANAKIS, R. FARKAS and P.D. READY. 2009b. Molecular genetic analysis of populations of Wohlfahrt’s wound myiasis fly, Wohlfahrtia magnifica, in outbreak populations from Greece and Morocco. Med. and Vet. Entomol. 23 (Suppl. 1): 72 – 79. HUMPHREY, J.D., J.P. SPRADBERY and R.S. TOZER. 1980 Chrysomya Bezziana, Pathology of Old World Screw-Worm Fly Infestations in Cattle. Experimental Pathology 49: 381 – 397. ISMAIL G, and AHMAD F. B. 2003. Medicinal plants used by Kazadandusan communities around Crocker range. ARBEC. January – March 2003. 1 – 10 http://www.arbec.com.my/pdf/art 1janmar03.pdf.
596
LACHMAN, L., H.A. LIEBERMAN dan J.L. KANIG. 1994. Teori dan Pratikum: Farmasi Industri. Edisi 3. Jilid 2. Diterjemahkan oleh SUYATMI S. UI-press, Jakarta. 1118. MANGUNKUSUMO, E. dan R. UTAMA, 1999. Miasis hidung. Majalah Kedokteran Indonesia 49(2): 77 – 80. MARLINA, W. 2010. Formulasi Krim Minyak Atsiri Rimpang Temu Glenyeh (Curcuma soloensis Val) dengan Basis AM dan MA: Sifat Fisik dan Aktivitas Antijamur Candida albicans secara in vitro. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah, Surakarta. MCDONAGH, L., R. GARCIA and J.R. STEVENS. 2009. Phylogenetic analysis of New World screwworm fly, Cochliomyia hominivorax, suggests genetic isolation of some Caribbean island populations following colonization from South America. Med. and Vet. Entomol. 23 (Suppl.1): 14 – 22. MOELJATNO, R. 2003. Khasiat dan Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab dari Masa ke Masa, Agromedia Pustaka, Jakarta. PARWATA, I.M.O.A., W.S. RITA dan R. YOGA. 2009. Isolasi dan uji antiradikal bebas minyak atsiri pada daun sirih (Piper betle L) secara spektroskopi ultra violet-tampak. J. Kimia 3(1): 7 – 13. PRIJONO, D. 1988. Pengujian Insektisida. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. PRIJONO, D. 1994. Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. RACHMAWATI. 2004. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) Terhadap Kemampuan Hidup dan Perkembangan Pradewasa Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
RIZAL, M. dan M. DJAZULI. 2006. Strategi pengembangan minyak atsiri Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 28(5): 13 – 14. SOLSOLOY, A.D., N.D. DOMINGO, N.D. CACAYORIN and M.C. DAMO. 2001. Insecticide and fungicide effect of betel, Piper betle L. volatile oil on selected cotton pests. Philipp. J. Sci. 130(1): 9 – 19. SPRADBERY, J.P. 1991. A Manual for the Diagnosis of Screwworm Fly. CSIRO, Division of Entomology. Canberra, Australia. STARIC, J., T. ZANDIK, A. VIDRIH and A. VEGLEZRATAJ. 2002. Cutaneous myiasis in two sheep. Slovenia Vet. Research 39(4): 243 – 250. SUKARSIH., S. PARTOUTOMO, R. TOZER, E. SATRIA and G. WIJFFELS. 2000a. Establishment and maintanance of a colony of the old world screwworm fly Chrysomya bezziana at Balitvet in Bogor, West Java, Indonesia. JITV 5(3): 144 – 48. SUKARSIH., S. PARTOUTOMO, G. WEIJFFELS and P. WILLADSEN. 2000b. Vaccination trials in sheep againts Chrysomya bezziana larvae using the recombinant peritrophin antigens Cb 15, Cb 42 and C 48. JITV 5(3): 192 – 196.
URECH, R., P.E. GREEN, S. MUHARSINI, R. MARYAM, G. BROWN, J.P. SPRADBERY and R. TOZER. 2008. Improvement to Screwworm Fly Traps and Selection of Optimal Detection Systems. Final Report. Department of Primary Industries and Fisheries, Queensland. Meat & Livestock Australia Limited, Locked Bag 991, North Sydney. WARDHANA, A.H. dan S. MUHARSINI. 2004. Studi pupa lalat penyebab myiasis di Indonesia, Chrysomya bezziana. Pros. Seminar Nastional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan. hlm. 702 – 709. WARDHANA, A.H. 2006. Chrysomya bezziana, the cause of myiasis on animal and human, problems and control. Wartazoa 16(3): 146 – 159. WARDHANA, A.H., S. MUHARSINI, S. SANTOSA, L.S.R. ARAMBEWELA dan KUMARASINGHE, P. 2011. Studi in vitro efek larvasidal minyak atsiri daun sirih (Piper betle L) Sri Lanka dan Bogor terhadap larva Chrysomya bezziana. JITV. In press.
597