The New England Journal of Medicine. Februari, 2015
Pengobatan Massal Dengan Dosis Tunggal Azitromisin Untuk Frambusia Oriol Mitjà, M.D., Ph.D., Wendy Houinei, H.E.O., Penias Moses, H.E.O., August Kapa, B.Sc., Raymond Paru, B.Sc., Russell Hays, M.D., Sheila Lukehart, Ph.D., Charmie Godornes, B.Sc., Sibauk Vivaldo Bieb, M.D., Tim Grice, Ph.D., Peter Siba, Ph.D., David Mabey, M.D., Ph.D., Sergi Sanz, M.Sc., Pedro L. Alonso, M.D., Ph.D., Kingsley Asiedu, M.D., M.P.H., and Quique Bassat, M.D., Ph.D.
Abstrak Latar Belakang: Pengobatan massal dengan azitromisin adalah komponen utama dari strategi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memberantas frambusia. Data empiris tentang efektivitas dari strategi ini dibutuhkan sebagai prasyarat untuk implementasi di seluruh dunia. Metode: Sesudah pengobatan massal mengunakan azithromycin pada pulau Papua Nugini yang dimana frambusia masih menjadi endemic, dilakukan survey klinis yang berulang pada frambusia yang aktif, survey serologik untuk frambusia laten, dan analisis molekuler untuk menentukan penyebab ulserasi pada kulit dan mengidentifikasi mutasi yang resisten terhadap macrolide. Indikator primer utama yaitu adalah prevalensi dari infeksi frambusia yang masih aktif menggunakan serologis dan prevalensi dari frambusia laten dengan titer tinggi seroreaktifitas dalam subkelompok anak usia 1 sampai 15 tahun. Hasil: Pada awal, 13.302 dari 16.092 penduduk (82,7%) menerima satu dosis oral azitromisin. Prevalensi dari frambusia aktif menular berkurang dari 2,4% sebelum massa pengobatan menjadi 0,3% pada 12 bulan (perbedaan, 2.1 poin persentase; P <0,001). prevalensi titer tinggi frambusia laten pada anak-anak berkurang dari 18,3% menjadi 6,5% (perbedaan, 11,8 persen; P <0,001) dengan hampir tidak ada seroreaktifitas dengan titer tinggi pada anak-anak 1 sampai 5 tahun. Efek samping diidentifikasi dalam waktu 1 minggu setelah pemberian obat terjadi pada sekitar 17% dari peserta, termasuk mual, diare, dan muntah, dan ringan pada tingkat keparahannya. Tidak ditemukan munculnya Treponema pallidum subspesies pertenue yang resistensi terhadap makrolid. Kesimpulan: Prevalensi infeksi frambusia aktif dan laten menurun dengan cepat dan secara substansial 12 bulan setelah cakupan luas pengobatan massal dengan azitromisin, dengan pengurangan mungkin dapat dilakukan kegiatan selanjutnya untuk mengidentifikasi dan mengobati kasus frambusia terbaru. Hasil yang di berikan mendukung strategi WHO untuk pemberantasan frambusia. (Didanai oleh Newcrest Pertambangan dan International SOS; Yesa13 nomor ClinicalTrials.gov, NCT01955252.)
Frambusia, penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum sub spesies pertenue, sangat berdampak terutama anak-anak pada masyarakat pedesaan yang miskin di negara-negara tropis. Penyakit ini ditularkan melalui kontak kulit langsung, kontak non-seksual dan menyebabkan penyakit berulang kronis yang di tandai dengan lesi primer dan sekunder yang dapat menular dan dari lesi tersier pada tulang yang tidak menular. Kasus ini telah dilaporkan pada 12 negara di Africa, asia, dan bagian barat dari pasifik, dan 42 juta orang di perkirakan beresiko terinfeksi frambusia. Kampanye mayor di tahun 1950 dan 1960 untuk memberantas frambusia dengan pengobatan jangka panjang pada komunitas komunitas, penisilin secara injeksi menurunkan angka kasus dari penyakit ini terjadi penurunan 95% mendunia; namun, frambusia masih belum dapat di berantas. Penemuan terbaru menyatakan bahwa azithromycin dosis tunggal secara oral sama efektifitasnya seperti penisilin injeksi G benzathine. Penemuan terbaru ini sangat menarik perhatian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk membuat peraturan penatalaksanaan frambusia menggunakan azithromycin pada tahun 2012 (the Morges strategy). Rekomendasi yang di berikan adalah pengobatan massal pada seluruh populasi (biasanya di sebut pengobatan total pada komunitas) dengan menggunakan dosis tunggal azithromycin peroral, diikuti dengan survey yang dilakukan tiap 6 bulan pada daerah yang di lakukan pengobatan untuk mendeteksi dan menangani orang dengan frambusia yang aktif beserta orang orang yang berkontak dengan orang tersebut. Strategi morges punya beberapa keuntungan pada kampanye sebelumnya, termasuk pemberian obat secara oral atau parenteral dan pengobatan massal terlepas dari prevalensi frambusia di komunitas ataupun pengobatan selektif untuk kasus aktif, tanpa pengobatan untuk kasus laten, yang dimana dapat berkembang hingga menjadi lesi frambusia yang infeksius. Pada kampanye sebelumnya, karena kelalaian untuk mengabaikan infeksi laten yang mengakibatkan munculnya kembali kasus dengan cepat. Resiko ini dapat sangat diturunkan melalui rekomendasi pengobatan massal terbaru ini. Data empiris pada efektifitas dari strategi morges untuk menghentikan transmisi frambusia pada daerah yang terinfeksi dibutuhkan untuk menjadi penanda agar di implementasi ke seluruh dunia. Data yang di butuhkan untuk membuktikan efek yang ditimbulkan dari frambusia yang masih aktif dibutuhkan tinjauan agar melihat perkembangan penyakit ini. Pemantauan yang dilakukan adalah survey klinal, survey secara serologi, dan penyebab dari ulserasi pada kulit untuk mengukur efek dari pemberian massal azithromycin pada komunitas yang memiliki masalah frambusia. Metode Dan Pasien Semenjak April 2013 sampai Mei 2014, kita melakukan penelitian longitudinal pada semua desa pada pulau Lihir, Papua Nugini. Pulau Lihir memiliki 28 desa dengan tiap desa memiliki 400-600 penduduk, dan perkiraan penduduk pada 2013 adalah 16,092 menurut sensus penduduk yang terbaru. Semua desa telah di laporkan memiliki prevalensi tinggi frambusia yang aktif (range, 0.5 sampai 3,8%), dan pengobatan azithromycin secara massal belum pernah dilakukan sebelumnya. Peninggian dari jumlah kasus frambusia meningkat saat musim hujan (januari hingga juni)
Implementasi dari strategi eliminasi Morges pada desa di mulai setelah dilakukan survey assessment dan menurut standard dari WHO. Dalam tahap pengobatan awal, semua orang yang berumur lebih 2 bulan di berikan azithromycin (Medopharm) secara oral dosis tunggal 30 mg per kilogram berat badan, hingga maksimum dosis 2 g. wanita hamil dan orang yang memiliki allergy pada macrolide di berikan penicillin G benzathine dengan dosis 50,000 u per kilogram berat badan, secara intramuscular. WHO menyediakan sediaan generic dari azithromycin yang di beli secara lengkap dari Medopharm. Program pengobatan awal diikuti tiap 6 bulan dengan pengobatan target, yang dimana dilakukan survey secara pemeriksaan klinis dari populasi tersebut. Diantara survey tersebut, pasien dengan frambusia aktif yang dating berobat pada fasilitas pengobatan, diobati beserta orang orang yg dekat dengan mereka. Pengobatan disediakan tanpa biyaya pada partisipan. Pemantauan pasif pada beberapa kejadian di lakukan selama penelitian yang berlangsung pada Lihir Medical Center dan semua fasilitas kesehatan yang ada pada daerah itu. Pelatihan untuk staf medis di lakukan sebelum penelitian pengobatan dilakukan, dengan arahan yang khusus untuk melaporkan adanya kejadian alergi ataupun kejadian lainnya yang berhubungan dengan pengobatan, menggunakan laporan kasus standard dari tiap kejaian. Kita juga melakukan survey pada perumahan 1 minggu setelah distribusi dari obat antibiotic dilakukan untuk monitor adanya potensial kejadian yang tidak diinginkan pada 60 rumah secara acak pada tiap 28 desa. Semua partisipan, atau orang tua ataupun wali di berikan inform consent terlebih dahulu, dan kita memberikan inform consent secara tertulis yang di duga frambusia sebelum dilakukan survey klinis dan penelitian. Kita juga melakukan persetujuaan secara verbal terhadap anak-anak. Protokol dari penelitian di setujui oleh komite penelitian medis dari departemen kesehaan Papua Nugini (No persetujuan, 12.36). detail penuh dari penelitian ini di lampirkan pada protocol. Sponsor dari penelitian ini tidak ada peran dalam membuat, mengkoleksi, menganalisis, mengiterpretasi, ataupun menulis naskah dari penelitian. Penulis pertama mempunya akses penuh pada seluruh data penelitian dan mempunyai pilihan tanggungjawab terakhir untuk mengirimkan naskah penelitian untuk di publikasikan. Prosedur Indikator primer adalah prevalensi dari tes serologis yang positif terhadap frambusia pada seluruh populasi dan prevalensi dari frambusia laten dengan seroreaktifitas titer yang tinggi pada sub grup anak anak yang berumur 1 hingga 15 tahun, dan pada 6 dan 12 bulan. Indicator sekunder termasuk proporsi ulserasi yang di sebabkan oleh T.pallidum subspecies pertenue, yang di periksa menggunakan Polymerase-Chain-Reaction (PRC), dan proporsi dari sampel frambusia yang mengalami mutasi yang berhubungan dengan resistensi macrolide pada suatu waktu. Survey klinis pada lesi frambusia yang aktif di lakukan pada semua populasi dari penduduk. Frambusia aktif biasanya penyakit yang terlihat; menguntungkan bagi pemeriksa untuk mendapatkan hasil pemeriksaan. Kita melakukan pemeriksaan skrining pada seluruh masyarakat desa, menggunakan WHO yaws-pictorial guide. Diagnose klinis pada lesi aktif yang infeksius di dasari oleh ulserasi ataupun papilloma kronis (simptomatik hinhha >2 minggu) yang soliter ataupun yang multiple. Konfirmasi serologis terhadap infeksi treponema dengan menggunakan T.pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) dan tes RPR dilakukan langsung pada orang dengan lesi yang aktif.
Pada survey lanjutan pada 6 dan 12 bulan, orang dengan kasus baru dari frambusia aktif di klasifikasi absen dari pengobatan dan survey; pengunjung yang tidak diobati, pekerja yang pulang kampung, ataupun imigran dengan lesi aktif; ataupun masyarakat yang sebelumnya telah di obati. Pada orang yg sebelumnya sudah di terapi, kita melakukan pengecekan lebih dalam untuk mengetahui sumber penyebab dari infeksi yang telah kembali terjadi. Serologis skrining untuk mendeteksi frambusia dilakukan pada subgroup dari anak berumur 1 hingga 15 tahun yang tidak memiliki gejala pada 6 desa yang dipilih secara acak (diacak dan dipilih berdasarkan computer-generated). Karena sampel yang acak selalu baru tiap survey, ada desa yang dapat dipilih berulang ulang. Umur sebagai kriteri inklusi pada survey serologic di gunakan untuk mengurangi angka penemuan reaktifitas serologis yang berhubungan pada venereal sifilis. Sampel darah vena di ambil dari anak anak untuk dilakukan TPHA dan kualitatif dan kuantitatif tes RPR. Semua anak yang asimptomatis namun engan TPHA reaktif dan titer RPR 1:2 dik lasifikasikan sebagai frambusia laten; semua dengan titer RPR tinggi (≥1:16) di klasifikasikan sebagai titer tinggi frambusia laten.anak anak dengan titer tinggi frambusia laten lebih sering akan muncul lesi aktif daripada anak dengan titer rendah. Kita menggolongkan anak dengan asimptomatis berdasarkan umur (1 hingga 5 tahun dan 6 hingga 15 tahun). Seroreaktifitas pada anak kecil (1 hingga 5 tahun) bisa menandakan infeksi yang baru saja terjadi, karena anak anak kecil ini adalah pendatang baru pada kategori orang yang rentan. Kriteria WHO untuk menjamin terhambatnya transmisi dari penyakit ini termasuk tidak ada anak kecil dengan RPR yang seroreaktif dan tidak ada kasus frambusia yang aktif selama 3 tahun berturut-turut. Semua tes serologi untuk sifiilis dilakukan di laboratorium pusat kesehatan Lihir, dengan pengetesan menggunakan quality control (contohnya , 5% dari sampel yang positif dan negative) yang dilakukan di Sullivan Nicolaides Pathology yang bertemoat di Queensland, Australia. Petugas lab tidak mengetahui tentang cakupan antibiotic yang di berikan dan reaksi klinisnya, tugas yang berikan hanya untuk melihat poitif atau tidaknya tes sifilis tersebut. Pemantauan PCR di lakukan menggunakan swab yang diambil saat survey klinis dari tiap partisipan dengan papilomatosus atau lesi ulserasi. Metode PCR telah di paparkan sebelumnya. Setelah dilakukan survey, kita mengirimkan secara acak 90 spesimen hasil ke laboratorium di University of Washington, Seattle, untuk dilakukan tes molekuler dengan menggunakan PCR untuk mendeteksi DNA T. pallidum spesifik untuk subspecies pertenue (meyakini infeksi frambusia), untuk mencari adanya bukti mutasi yang menyebabkan resistensi terhadap azithromycin dan DNA Haemophilus ducreyi , yang juga ada bersama frambusia yang menyebabkan ulserasi pada kulit.
Analisis Statistik Kita memasukan data dua kali kedalam Access software, version 14.0(Microsoft), dengan disparensi di cek terhadap format aslinya. Menggunakan Stata software, versi 13.1 (StataCorp), kita megkalkulasi prevalensi dari frambusia yang aktif, mencakup semua orang pada populasi yang di teliti pada 3 poin waktu. Kita memperkirakan prevalensi dari stadium frambusia laten pada subgroup anak-anak pada desa yang dipilih secara acak. Kita mengkalkulasi bahwa dari 875 sampel anak, akan di peroleh data terhadap 80% kekuatan untuk memperkirakan prevalensi
frambusia laten dengan titer tinggi dengan ketepatan 1,5%, pada 5% dua sisi level yang signifakan. Kita berasumsi bahwa prevalensi dari frambusia laten dengan titer tinggi pada 12 bulan akan menjadi 5%. Kita memperkirakan bahwa besarnya sampel ini akan memberikan100% kekuatan untuk mendeteksi prevalensi perbedaan presentase ssebesar 11.8 poin diantara baseline dan follow up 12 bulan. Kita memperkirakan rasio prevalensi dari perbandingan frambusia aktif dan laten pada 3 poin waktu menggunakan log-binomial regression model. Kita mengevaluasi penurunan pada prevalensi infeksi yang terdeteksi menggunakan PCR demi waktu menggunakan multinomial logistic-regression model. Nilai AP kurang dari 0.05 di perhitungkan sebagai statistical signifikan. Semua nilai P adalah 2 sisi. Hasil Studi Pada Ppopulasi Pada mulanya, kita memeriksa 13,490 dari 16,092 penduduk (83.8%). Dari 13,490 partisipan yang di periksa, 13,302 menerima azithromycin, 177 menerima penicillin G benzathine, dan 11 tidak bersedia diobati. Pengobatan dengan obat secara oral di perhatikan secara langsung. Secara keseluruhan rata-rata pengobatan dalam program pengobatan massal ini telah mencapai 83.8%, dan semua desa yang di teliti telah memiliki rata-rata cakupan yang lebih dari 70%. Tidak ada kejadian yang parah karena penelitian program ini. Pengawasan aktif pada 316 partisipan dari 60 rumah tangga ditemukan 54 partisipan (17.1%) dilaporkan memiliki efek samping (ringan), termasuk 30(9.5%) dengan rasa mual atau sakit perut, 25 (7.9%) dengan diare, dan 15 (4.7%) dengan muntah muntah. Rata rata cangkupan skrining untuk kasus aktif saat program pengobatan di 28 desa adalah 81.8% dalam 6 bulan dan 82.2% dalam 12 bulan.alasan paling sering saat absen saat di lakukan pengobatan dan follow up adalah karena perjalanan dan kerja. Perubahan Pada Prevalensi Frambusia Aktif Prevalensi dari infeksi frambusia yang aktif menurun dari 2.4% pada mulanya ke 0.3% pada 6 bulan pertama dan tetap pada 0.3% pada 12 bulan (perbedaan presentase dari mulanya, 2.1% ; yang adalah 95% interval pasti [CI], 1.9 ke 2.4; p<0.001) (Tabel 1)
Tabel 1. Prevalensi Klinis Frambusia Aktif Poin Waktu
Pasien Yang Diperiksa
Frambusia Aktif Serologi Aktif Rasio Pasien (%) Prevalensi (95% CI)
Lesi Yang Dicurigai Dengan Serologi Yang Negatif Pasien (%)
Rasio Prevalensi (95% CI)
Sebelum Terpi
13,490
323 (2.4)
1.00
367 (2.7)
1.00
6 Bulan
13,166
44 (0.3)
0.14 (0.100.19)
77 (0.6)
0.22 (0.17-0.27)
12 Bulan
13,204
34 (0.3)
0.11 (0.08-0.15)
82 (0.6)
0.23 (0.18-0.29)
Pada semua survey, beban komunitas karena frambusia terkait dengan ulserasi sangat di tanggung oleh anak 15 tahun dan kebawah (Gambar 1) Gambar 1. Prevalensi Penyakit Aktif Berdasarkan waktu Pada Grup Umur 140 120 100 80
Banyak Pasien Infeksi Frambusia
60 40
Sebelum Terapi 6 Bulan Terapi 12 Bulan terapi
20 0
Grup Berdasarkan Umur
Persamaannya, ada penurunan pada proporsi partisipan dengan lesi klinis yang mencurigakan dan penemuan serologis yang negative, dengan penurunan yang signifikan dari 2.7% dari awal sebelum terapi menjadi 0.6% pada 12 bulan. Karena H. ducreyi juga merupakan patoken mayor pada lesi ulserasi kulit pada pulau Lihir. Pengobatan massal juga berkemungkinan menurunkan beban dari lesi ulserasi yang di karenakan ileh H. ducreyi. Kebanyakan kasis frambusia aktif di identifikasi saat survey berulang dilakukan pada penduduk local yang telah absen dari survey pengobatan awal: 33 dari 44 kasus (75.0%) pada 6 bulan, dan 21 dari 34 (61.8%) pada saat 12 bulan. Beberapa lesi dari frambusia juga terjadi pada pengunjung atau imigran yang tidak di obati: 2 kasus (4.5%) saat 6 bulan dan 4 (11.8%) saat 12 bulan. Total 9 kasus ulserasi (20.5%) saat 6 bulan dan 9 (26.5%) saat 12 bulan terjadi pada orang yang sebelumnya sudah diobati jangka panjang pada penduduk pulau Lihir. Dari 18 kasus, 11 dapat dilacak langsung ke kontak penyebab yang adalah pengunjung yang infeksi atau penduduk local yang tidak di obati, tapi tidak ada sumber dari infeksi berulang yang ditemukan pada 7 kasus sisanya, mungkin dikarenakan pengobatan yang tidak adekuat dalam mengobati infeksi laten yang berkembang menjadi aktif. Perubahan Pada Prevalensi Frambusia Laten Tabel 2 menunjukan survey secara cross sectional untuk frambusia laten pada anak yang asimptomatis dari desa yang dipilih secara acak. Pada awal, kita mendapatkan sampel darah dari 991 anak; 874 anak yang di tes pada 6 bulan dan 910 di tes pada 12 bulan. Rata-rata umur anak
adalah 10.4 tahun pada saat awal, 10.4 saat 6 bulan, dan 10.03 saat 12 bulan survey. Tidak ada perbedaan signifikan yang terlihat pada rasio anak perempuan dan laki-laki pada ke 3 poin waktu. Prevalensi dari frambusia laten dengan titer tinggi menurun dari 18.3% pada awal menjadi 6.5% saat 12 bulan (presentasi perbedaan, 11.8 poin) (Tabel 2), dengan penurunan titer mayor dari 6 sampai 12 bulan. Hasil ini menunjukan bahwa penurunan titer membutuhkan waktu yang lama setelah pengobatan. Kami juga mencatat penurunan yang signifikan pada semua prevalensi dari semua hasil serologi yang positif, dari 32.8% saat awal menjadi 16.4% saat 12 bulan. Tabel 2. Prevalensi Klinis Frambusia Laten Poin Waktu
Anak Yang Diperiksa
Semua Kasus Frambusia Laten* Rasio Pasien Anak Prevalensi (%) (95% CI)
Sebelum Terpi
991
325 (32.8)
6 Bulan
874
261 (29.9)
12 Bulan
910
149 (16.4)
1.00 0.91 (0.801.04) 0.50 (0.420.59)
Frambusia Laten Titer Tinggi† Pasien (%)
Rasio Prevalensi (95% CI)
181 (18.3)
1.00
123 (14.1)
0.77 (0.62-0.95)
59 (6.5)
0.36 (0.27-0.47)
* Analisis termasuk semua anak dengan serologi positif dengan Treponema pallidum hemagglutination assay (TPHA) dan Rapid Plasma Reagin (RPR) dengan titer minimal 1:2 † Analisis termasuk semua anak dengan serologi positif dengan TPHA dan RPR aktif dengan titer minimal 1:16
Pada analisis subgroup, prevalensi dari serologis positif titer tinggi pada grup anak berumur 1 hingga 5 tahun terjadi penurunan yang signifikan, dari 13.7 saat sebelum terapi menjadi 0.9 pada 12 bulan (perbedaan presentase, 12.8 poin). Perubahan prevanelsi pada grup anak berumur 6 sampau 15 tahun juga terjadi penurunan yang signifikan (Tabel 3).
Tabel 3. Analisis Subgrup Dari Prevalensi Frambusia Laten Poin waktu
Anak 1-5 Tahun Semua Kasus Frambusia Laten* Banya k Anak
Anak 6-15 Tahun
Frambusia Laten Titer Tinggi†
Pasie n Anak (%)
Rasio Prevalens i (95% CI)
Pasie n Anak (%)
Rasio Prevalens i (95% CI)
1.00
16 (13.6)
1.00
Sebelu m Terapi
117
26 (22.2)
6 Bulan
77
10 (13.0)
12 Bulan
114
0.58 (0.300.57 (0.236 (7.8) 1.14) 1.39) 0.24 (0.100.06 (0.016 (5.3) 1 (0.9) 0.55) 0.48)
Banya k Anak
874 797 796
Semua Kasus Frambusia Laten*
Frambusia Laten Titer Tinggi†
Pasie n Anak (%)
Rasio Prevalens i (95% CI)
Pasie n Anak (%)
Rasio Prevalensi (95% CI)
299 (34.2)
1.00
165 (18.9)
1.00
251 (31.5) 143 (18.0)
0.92 (0.801.06) 0.53 (0.440.63)
117 (14.7) 58 (7.3)
0.78 (0.630.97) 0.39 (0.290.51)
* Analisis termasuk semua anak dengan serologi positif dengan Treponema pallidum hemagglutination assay (TPHA) dan Rapid Plasma Reagin (RPR) dengan titer minimal 1:2 † Analisis termasuk semua anak dengan serologi positif dengan TPHA dan RPR aktif dengan titer minimal 1:16
Proporsi Ulkus PCR Positif Karena Frambusia Analisis PCR terhadap swab lesi untuk mendeteksi DNA T. pallidum subspecies pertenue dan H. ducreyi tersedia bagi 90 partisipan pada tahap sebelum terapi, 84 pada 6 bulan dan 114 pada 12 bulan. Penyebab yang dikarenakan bakteri di identifikasi pada 73 paritisipan (81.1%) pada tahap awal, 73 (86.9%) pada 6 bulan, dan 72 (63.2%) pada 12 bulan. Secara total, 70 dari 288 orang (24.3%) yang dilakukan tes pada ketiga waktu tidak memiliki hasil yg positif pada tes molekuler. Pada tahap awal, T. pallidum subspesies pertenue telah di identifikasi pada 19 dari 90 partisipan (21.1%) H. ducreyi sendiri pada 42 (46.7%), dan infeksi dengan kedua organisme pada 12 (13.3%), seperti yang sudah dilaporkan sebelumnya. Meskupun prevalensi dari lesi aktif yang dikarenakan berbagai penyebab dapat diturunkan 6 bulan setelah pengobatan, proporsi pasien dengan lesi karena frambusia tidak juga mengalami penurunan yang signifikan, seperti yang di bandingkan dengan awal sebelum terapi, proporsi pasien dengan infeksi ganda meningkat (Tabel 4). Namun, pada 12 bulan, teradapat penurunan yang signifikan pada proporsi ulkus yang terdapat entah T. pallidum subspesies pertenue sendiri atau koinfeksi , dimana terdapat proporsi ulkus dengan hanya terdapat H. ducreyi tetap pada angka yang sama seperti sebelum pengobatan.
Semua 91 spesimen yang sudah di konfirmasi untuk frambusia pada ketiga waktu survey di pastikan adalah T. pallidum subspesies pertenue. Semua sampel T. pallidum di ambil sebelum dan sesudah pengobatan massal dengan penemuan kuman tersebut tetap peka terhadap azithromycin. Tabel 4. Hasil Polymerase-Chain Reaction Assay Dari Swab Lesi Treponema Jumlah pallidum Infeksi Haemophilus Poin Waktu Tes Negatif Pasien Subspesies Ganda ducreyi pertenue Sebelum 90 19 (21.1) 12 (13.3) 42 (46.7) 17 (18.9) Terapi 6 Bulan 84 14 (16.7) 27 (32.1) 32 (38.1) 11 (13.1) 12 Bulan 114 12 (10.5) 7 (6.1) 53 (46.5) 42 (36.8) Pembahasan Penelitian kami menunjukan bahwa 1 ronde pengobatan massal dengan azithromycin sanagat berpotensial untuk menurunkan angka transmisi dan endemic frambusia dari desa Papua Nugini yang sebelumnya mempunyai angka infeksi yang tinggi. Implementasi dari strategi WHO menurunkan manifestasi klinis (Ulkus dan Papiloma) sebanyak 90%, yang menurunkan kemungkinan transmisi atau infeksi pada orang yang rentan. Hypothesis ini di dukung dengan seroreaktif titer tinggi yang hampir tidak ada pada anak berumur 1 sampai 5 tahun dan dengan menurunkan proporsi ulserasi kulit yang disebabkan oleh frambusia. Intervensi ini juga menurunkan proporsi dari orang dengan serologis positif, yang mungkin beresiko untuk aktifasi kembali, dan tidak ada bukti dari resisten terhadap azithromycin terhadap pengobatan massal ini. Hasi-hasil ini mendukung strategi Morges sebagai pilihan untuk mengeiliminasi frambusia. Namun, penemuan kami menganjurkan agar 80% dari cakupan populasi pada pengobatan massal ini tidak mencukupi untuk menghilangkan transmisi lokal, dan bahwa pentingnya rekomendasi dari WHO bahwa hampir 100% cakupan saat pengobatan massal awal dan implementasi dari survey berulang untuk mendeteksi dan mengobati kasus residual. Angka dan frekuensi dari survey berulang yang di butuhkan untuk mengeliminasi tidak di ketahui. Pemantauan sangat dibutuhkan hingga tidak ada lagi kasus frambusia aktif yang dilaporkan dan tes serologis pada anak berumur 1 hingga 5 tahun di buktikan negative. Penelitian kamu punya beberapa keterbatasan. Pertama, tidak ada grup control yang tidak di obati. Meskipun desain trial acak bisa menjadi bukti yang kuat dari efek, kami hanya dapat berasumsi bahwa penurunan transmisi dan endemitas dari frambusia di karenakan pengobatan massal dengan agen antibiotik. Kedua. Efek dari hujan pada prevalensi frambusia aktif telah terdokumentasi, dan hal ini mungkin dapat mengubah hasil penemuan kami. Namun, kedua survey sebelum pengobatan dan setelah 12 bulan di lakukan saat musim hujan, dan terdapat penurunan pada kasus frambusia aktif diantara kedua survey. Yang terakhir, eliminasi dari penyakit ini biasanya lebih gampang di raih daripada comunitas yang berdekatan, yang yang menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan generalisasi dari temuan kami. Catatan menunjukan bahwa lebih dari 1000 pengunjung perbulan diantara daratan dan pulau Lihir,
namun resiko karena transmisi local dari kasus import sangat rendah karena staff di fasilitas kesehatan pedesaan telah di latih untuk mengenali lesi frambusia.
Singkatnya, kami mengamati pengurangan kuantitatif dari prevalensi frambusia yang sangat mungkin disebabkan oleh pengobatan massal menggunakal azithromycin. Selain itu, resistensi macrolide T. pallidum subspesies pertenue di monitor, dan tdak ada kemunculan dari mutasi yang menyebabkan resisten; namun, pemantauan yang ketat diperlukan untuk timbulnya mutasi resistensi dan efek dari kuman resistensi macrolide pada flora normal. Penemuan kami memberikan buktu efektivitas dari strategi WHO terhadap frambusia. Jika efektifitas strategi ini sama seperti komunitas lainnya, jika tingkat tinggi kesadaran di antara petugas kesehatan dan penduduk dipertahankan, dan jika komitmen politik dan keuangan disediakan, kontrol dan potensi pemberantasan frambusia mungkin dapat dicapai.