Seminar Nasional Peternakan dan Peteriner 2000
PENGKAJIAN TEKNOLOGI PEMANFAATAN AMPAS TAHU SEBAGAI PAKAN AYAM BURRS DI KABUPATEN NABIRE HARRY T. UHt, BATSEBA T. WiRO, SisKA TUWOH,
dan UsmAN H.S .
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat Irian Jaya Alan Trans Irian km 33, Kotak Pos 303 Abepura Jayapura ABSTRAK
Pengkajian teknologi pemanfaatan ampas tahu sebagai pakan ayam buras telah dilaksanakan di kabupaten Nabire pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember 1999 . Tujuan pengkajian adalah untuk meningkatkan produktivitas ayam buras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan R3 (ransum komersil BR1-s) memberikan respon pertambahan bobot badan (I336,0 gram/ekor/10 mg), konsumsi ransum (4181,33 gmm/ekor/10 mg), konversi ransum (3,I4) dan tingkat mortalitas (0,0%) lebih baik dari perlakuan lainnya. Demikian juga dari hasil perhitungan Income Over Feed & Chick Cost (Rp 43 .460/ekor) lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun perlakuan Rl dan R2 (penggunaan ampas tahu 5 dnn 10%) masih lebih baik dibandingkan dengan pola petani (kontrol) dan terdapat adanya perbedaan yang nyata (P< 0,05). Kats kunch Ayam Bums, ampas tahu, ransum PENDAHULUAN Latar belakang Pembangunan sub sektor peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian bagaikan sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan karena saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya . Terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan ambruknya perekonomian Nasional, salah satu penyebabnya adalah karena pembangunan pertanian hanya dijadikan sebagai pendukung dalam memajukan pembangunan pada sektor perindustrian, bukan lagi merupakan prioritas atau tulang punggung pembangunan perekonomian Nasional dalam memajukan pembangunan di Indonesia. Krisis moneter yang berkepanjangan yang ditandai belum pulihnya perekonomian, telah mempengaruhi pembangunan di berbagai sektor termasuk kegiatan sub sektor peternakan yaitu hancurnya perusahaan petrernakan berskala ekonomi besar, usaha ternak ayam potong (broiler) dan petelur (layer) sebagai akibat melonjatnya harga pakan. Namun yang harus diperhatikan di saat krisis ini adalah justru ayam buras yang umumnya dipelihara oleh petani/masyarakat pedesaan tetap bertahan dan bahkan tidak tergoyahkan oleh krisis ekonomi yang terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayam buras memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan petani-peternak melalui berbagai kegiatan perekonomian yang ada, seperti Kredit Usaha Tani (KUT) dan prograrn Jaringan Pengaman Sosial (JPS) yang sedang digulirkan oleh pemerintah sekarang ini. Propinsi Irian Jaya dengan luas wilayah 414.800 km2 dan jumlah penduduk 1 .892 .299 jiwa mempunyai potensi dan peluang yang sangat besar dalam pengembangan usaha peternakan, khususnya ayam buras. Sampai pada akhir tahun 1997 populasi ayam buras mencapai 1 .394 .733 ekor, dengan produksi daging sebesar 891,36 ton dan produksi telur sebesar 707,97 ton. Sedangkan 289
Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner 2000
konsumsi masyarakat akan hasil temak berupa daging didaerah ini sebesar 39.171 ton, konsumsi telur sebesar 13 .154,29 ton (DINAS PETERNAKAN DATI I IRIAN JAYA, 1997). Tingginya konSUMSi bila dibandingkan produksi temak yang ada, maka diperlukan penanganan yang serius untuk memacu peningkatan produksi ayam buras . Kondisi aktual di lapangan memperlihatkan bahwa umumnya petani petemak melakukan sistem pemeliharaan secara tradisional. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas ayarn buras dan tingginya tingkat mortalitas . Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya produktivitas ayam buras karena pemberian pakan yang belum memenuhi kandungan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan, perkandangan yang tidak tersedia dan sistem pengelolaan serta terbatasnya permodalan yang dimiliki oleh petani (USMAN, 1999). Berkaitan dengan hal itu diperlukan solusi yang tepat untuk mengatasi salah satu hambatan terhadap rendahnya produktivitas ayam buras di pedesaan, diantaranya dengan memanfaatkan bahan baku pakan yang tersedia dan mudah didapat disekitar lokasi pengkajian, seperti dedak, jagung kedelai, ikan dan ampas tahu. Demikian pula yang bersumber dari daun-daunan seperti daun Glirisidia, lamtoro dan ubi kayu (singkong). Bahan baku tersebut dapat dijadikan sebagai sumber protein dan karbohidrat untuk meningkatkan produktivitas ayam buras, seperti yang dilakukan dalam penelitian ini . MATERI DAN METODE Dalam penelitian ini ayam buras digunakan sebanyak 90 ekor dengan umur kurang lebih 6-8 minggu. Petani yang terpilih sebagai petani kooperator sebanyak 6 orang (KK) dan setiap kooperator masing-masing mendapatkan 15 ekor ayam buras . Dari 6 (enam) kooperator dibagi lagi menjadi 4 perlakuan dengan komposisi pakan yang berbeda . Masing-masing perlakuah dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Adapun perlakuan yang digunakan yaitu RO (kontroUpola petani) sebanyak 3 orang dan tidak diintroduksi kandang (ekstensif), sedangkan R1 (penggunaan ampas tahu 5%), R2 (penggunaan ampas tahu 10%) dan R3 (pakan komersil BRI-S) masing-masing diintroduksi kandang (intensif) . Setiap kelompok perlakuan mendapatkan susunan komposisi pakan yang berbeda, seperti diumikan pada Tabel 1 . Tabel 1. Susunan dan komposisi ransum yang digunakan selama pengkajian Bahan pakan Jagung Dedak Tepung Ikan Bungkil Kedelai Ampas tahu CaC03 (kapur) Protein Serat Kasar Lemak Energi Ca P
Abu 290
RO KontroUpola petani
RI 39% 300/6
5% 20%
Perlakuan R2 39%
30%
5%
5%
15% 10%
5,41 7,97 2.999 0,53 0,72 4,68
17,45 6,41 7,40 2 .943 0,56 0,73 4,67
1% 18,11
R3 Ransum komersil (BRI-S)
1%
21,00 4,0 2,5 Td 0,9 0,8 6,5
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
Untuk mengetahui respon pertumbuhan terhadap perlakuan ransum yang diberikan selama pengkajian, dilakukan penimbangan berat badan ayam setiap 2 minggu sekali, Parameter yang diamati yaitu : pertambahan berat badan, konsumsi ransum, nilai konversi ransum, persentase tingkat mortalitas dan aspek ekonomi. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisa secara statistik dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) (STEEL dan ToRRIE, 1993) . Sedangkan perbedaan antara perlakuan diuji dengan menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) . HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengkajian ayam buras terhadap beberapa parameter yang diamati disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, dan tingkat mortalitas selama 10 minggu pengkajian Parameter
RO
R1
Perlakuan
R2
4680,67b 4548,67c Td Konsumsi ransum (g/e) 496,13 992,83 b 1037,50 b Pertambahan bobot badan (g/e) 4,70 4,41 Td Konversi ransum 13,33 6,67 40,0 Tingkat mortalitas (%) menunjukkan beda nyata (P<0,05) berbeda pada baris yang sama Keterangan : Hurufyang PRO : Kontrol (pola petani) PR I : Penggunaan ampas tahu 5 PR2 : Penggunaan ampas tahu 10 PR3 : Pakan Komersil BR I-S) Td : Tidak diamati
R3 4181,33a 1336,0 a 3,14 0,0
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa konsumsi ransum yang terendah diperoleh pada perlakuan R3 (pakan komersil BRI-S) dengan rata-rata konsumsi ransum sebesar 4181,33 gram/ekor/10 minggu dan berturut-turut diikuti oleh perlakuan R2 (ampas tahu 10%) sebesar 4548,67 gram/ekor/10 minggu serta R1 (ampas tahu 5%) sebesar 4680,67 gram/ekor/10 minggu.
Konsumsi ransum dengan penggunaan pakan komersil BRI-S sebagai pembanding memperlihatkan hasil yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Akan tetapi dari hasil analisis sidik ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05). Pertambahan bobot badan sangat ditentukan oleh jenis pakan yang diberikan, terutama kualitas dan kuantitasnya . Beberapa peneliti menguraikan bahwa pertumbuhan merupakan hasil interaksi antara bibit, ransum dan tatalaksana yang baik untuk menjamin suksesnya setiap usaha petemakan (MC ARDLE 1972, SCOTT et al., 1976; SIREGAR et aL,1980). Dari empat jenis pakan yang digunakan, diperoleh hasil bahwa perlakuan R3 (pakan komersil BRI-S) memberikan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi 1336,0 gram/ekor 10 minggu) dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu R2 (ampas tahu 10%) (1037,5 gram/ekor/10 minggu), RI (ampas tahu 5%) (992,83 gram/ekor/10 minggu) dan RO (kontrol) (496,13 gram/ekor/10 minggu) .
29 1
Seminar Nasional Peiernakan dan Veteriner 2000
Hasil analisis statistik menunjukkan pertambahan bobot badan ayarn dari keempat jenis perlakuan pakan berbeda nyata (P<0,05) . Uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa perlakuan R3 nyata (P<0,05) lebih tinggi dari ketiga perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan RI (ampas tahu 5%) tidak berbeda dengan perlakuan R2 (ampas tahu 10%). Perbedaan pertambahan bobot badan ayam buras yang diamati kemungkinan besar sangat dipengaruhi adanya perbedaan terhadap kandungan kadar gizi pakan yang digunakan seperti terlihat pada Tabel 1 . Sedangkan SINURAT (1991) menyarankan bahwa kandungan gizi pakan untuk ayam buras umur 0-12 minggu adalah EM 2.600 kkal/kg, Protein Kasar 15-17%, Kalsium 0,9%, Fosfor 0,45%, Methionin 0,37% dan Lisin 0,87% . Berdasarkan uraian tersebut, perlakuan ransum yang digunakan mengenai kandungan protein pakan tidak berbeda jauh, namun terjadi perbedaan pada tingkat energi metabolisme (kkal/kg). Seperti disarankan oleh SINURAT, (1991) khususnya perlakuan ransum RI (ampas tahu 5%) dan R2 (ampas tahu 10%) yang dicampur dengan memanfaatkan bahan baku pakan yang tersedia di lokasi pengkaj ian . Perlakuan R3 (ransum komersil) dengan kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, ternyata memiliki pertambahan bobot badan yang jauh lebih baik. Hal ini terdapat perbedaan dari hasil penelitian SUKARDI (1988) bahwa kebutuhan protein pada ayam buras sedang bertumbuh adalah 17% . Karena dengan pemberian ransum pada kadar protein yang lebih tinggi tidak menyebabkan peningkatan pertumbuhan yang berarti . Sedangkan pemberian ransum dengan kadar protein yang lebih rendah menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat clan efisiensi penggunaan pakan yang lebih jelek. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan seperti yang dikemukakan oleh CRESWELL clan GuNAwAN (1982) serta SINURAT et al. (1990) bahwa ayam buras yang diberi ransum ayam ras petelur maupun ransum broiler memang mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan yang dipelihara secara tradisional . Akan tetapi pertumbuhan yang dicapai masih jauh dtbawah pertumbuhan ayam broiler, karena keterbatasan kemampuan genetik. Demikian juga kandungan serat kasar (SK) perlakuan RI (ampas tahu 5%) dan R2 (ampas tahu 10%) yang dibuat dengan menggunakan bahan baku pakan lokal, yang lebih tinggi, sehingga mengakibatkan pertumbuhan ayam menjadi terhambat karena alat pencernaan ayam tidak sanggup mencerna serat kasar dengan baik (RoBINsoN, 1961 ; LUBIS, 1963; WAHYU, 1978 a). Sedangkan perlakuan R1 (ampas tahu 5%) clan perlakuan R2 (ampas tahu 10%) tidak ditemukan adanya pertumbuhan bobot badan yang berbeda nyata (P>0,05) karena kemungkinan besar dapat disebabkan oleh kandungan kadar gizi pakan terhadap formula ransun yang digunakan tidak berbeda jauh (hampir sama). Urain tersebut di atas menunjukkan bahwa penggunaan ampas tahu 5 dan 10% mencerminkan kurangnya keseimbangan zat gizi dalam pakan (ransum) dibandingkan dengan kandungan zat gizi yang terdapat dalam pakan komersil BR1-S yang digunakan sebagai pembanding. Dari hasil pengamatan terhadap keempat perlakuan yang diuji, diperoleh bahwa perlakuan R3 (ransum komersil BR1-S) memberikan nilai konversi pakan yang nyata (P<0,05) jauh lebih baik (3,14 gram/ekor/10 minggo) dibandingkan dengan perlakuan RI (4,70 gram/ekor/10 minggo) dan R2 (4,41 gram/ekor/10 minggo) . Demikian pula perlakuan R2 nyata lebih baik dari perlakuan RI. Hasil penelitian RESNAWATI et al. (1990c) menunjukkan bahwa pemberian energi yang lebih tinggi (hingga 2900 kkal/kg) tidak menyebabkan pertumbuhan, nilai konversi ransum atau prosentase karkas yang lebih baik. Akan tetapi dengan energi pakan yang lebih rendah, maka pertumbuhan, nilai 292
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1000
konversi ransum dan prosentase karkas yang dihasilkan lebih rendah. Begitu juga dengan pemberian ransum dalam kandungan protein yang lebih tinggi tidak menyebabkan perbaikan nilai konversi ransum yang berarti (SUKARDI, 1988). Hasil penelitian yang diperoleh mengenai nilai konversi ransum, tidak diperlihatkan adanya perbedaan yang jauh seperti yang dilaporkan oleh RESNAWATI et al. (1990). Akan tetapi terjadi perbedaan seperti yang dilaporkan oleh SUKARDI (1988), karena dari hasil pengamatan justru R3 (ransum komersil) dengan kandungan protein tinggi yang memiliki nilai konversi yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingkat mortalitas Persentase tingkat mortalitas yang paling tinggi dari hasil penelitian diperoleh pada perlakuan RO (kontrol/pola petani) yaitu sebesar 40,0 %, kemudian diikuti oleh perlakuan R1 sebesar 13,33%, R2 sebesar 6,67% dan R3 (ransum komersil BR1-S) sebessr 0,0%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabe13 . Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat mortalitas yang paling tinggi terhadap ayam buras yang diamati terjadi pada minggu kedua (1 ekor), ketiga (3 ekor) keempat (2 ekor) dan ke lima (2 ekor). Tingginya prosentase tingkat mortalitas yang terjadi pada perlakuan RO (kontrol) adalah merupakan akibat dari sistem pemeliharaan yang dilakukan, dimana ternak dilepas bebas berkeliaran untuk mencari pakan sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak begitu mendapat perhatian dari pemiliknya sehingga dengan mudah dapat dimakan oleh binatang pemangsa (predator) seperti ular, anjing, tikus dan biawak (soa-soa). Sedangkan terhadap perlakuan RI (penggunaan ampas tahu 5%) dan R2 (penggunaan ampas tahu 10%) terjadinya tingkat mortalitas ada yang disebabkan karena stress dan kanibal saat dikandangkan. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya nafsu makan dan terjadinya luka-luka yang akhirnya dapat menimbulkan kematian pada syam. Demikian juga terjadinya kematian terhadap ayam yang dikandangkan karena dimakan oleh tikus tanah pada malam hari. Ayam yang mati akibat dimakan tikus pada umumnya memperlihatkan luka disekitar dubur . Dari 9 (sembilan) ekor ayam yang mati diantaranya 66,67% disebabkan oleh binatang pemangsa dan 11,11% disebabkan oleh akibat kanibal serta 22,22% yang disebabkan oleh terjadinya stress baik pada saat pengangkutan bibit maupun pada saat dikandangkan . Analisa ekonomi dalam usaha peternakan unggas sangat diperlukan, terutama untuk mengetahui besarnya input dan output yang dihasilkan sampai masa afkir. Sedangkan dalam kegiatan penelitian, analisa ekonomi dilakukan untuk mengetahui besarnya input dan output terhadap perlakuan yang diamati . Beberapa peneliti, mengemukakan biaya ransum, merupakan ongkos produksi yang terbesar didalam usaha peternakan, sedangkan biaya produksi lainnya diasumsikan tidak terdapat perbedaan pada setiap perlakuan (WARDLE, 1972; SIREGAR et al., 1980) . Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka Income Over Feed & Chick Cost (lOFCC) dalam setiap kegiatan penelitian sangat penting untuk ditampilkan seperti diuraiukan pads Tabel 3 Hasil perhitungan IOFCC menunjukkan, bahwa yang terbaik diperoleh dari perlakuan yang diberikan terdapat pada perlakuan R3 (ransum komersil BRI-S) yaitu sebesar Rp. 43 .460/ekor , kemudian diikuti oleh perlakuan R2 (ampas tahu 5%) sebesar Rp.35 .995,75/ekor, dan perlakuan R1 (ampas tahu 10%) sebesar Rp. 35.793,2 /ekor dan terendah adalah RO (kontrol) sebesar Rp. 22.000/eko r.
Seminar Nasional Peternakan dan
Peteriner1000
Tabel 3. Perhitungan income over feed & chick cost terhadap setiap perlakuan yang digunakan selama 10 minggu pengkajian Uraian Bobot akhir (kg/ekor) Harp jual (Rp/kg) Penerimaan (Rp/ekor) Konsumsi ransum (kg/ekor) Biaya ransum (Rp/kg) Harp bibit (Rp/ekor) Total bisya produksi (Rp/ek) lOFCC (Rp/ekor)
Perlakuan RO 0,80 40 .000 32 .000 Td Td 10.000 10.000 22.000 d
Rl 1,38 40.000 55 .000 4,68 2.010 10.000 19.406,8 35 .793 .2 C
R2 1,37 40 .000 54 .800 4,55 1935 10.000 18 .804,25 35 .995,75 b
R3 1,65 40 .000 66 .000 4,18 3000 10.000 22.540 43.460 a
Tingginya perolehan nilai Income Over Feed & Chick Cost yang terdapat pada perlakuan R3 (ransum komersil) dibandingkan dengan perlakuan lainnya, banyak disebabkan oleh adanya perbedaan bobot badan ayam buras. Karena semakin tinggi bobot badan ayam akan memberikan nilai jual yang semakin besar. Sedangkan nilai Income Over Feed & Chick Cost terhadap perlakuan R1 dan R2 tidak terdapat perolehan keuntungan/ekor yang berbeda jauh, namun perolehan keuntungan/ekor terhadap perlakuan PRO (kontroUpola petani) masih jauh lebih baik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Konsumsi ransum yang lebih rendah diperoleh pada perlakuan ransum ransum komersil BRl-S dan tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata terhadap perlakuan lainnya.
2.
Pertambahan bobot badan perlakuan ransum komersil BRl-S jauh lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan antara perlakuan penggunaan ampas tahu 5% dengan penggunaan ampas tahu 10% tidak terdapat perbedaan yang nyata, akan tetapi lebih baik dari perlakuan kontrol/pola petani .
3.
Konversi ransum perlakuan ransum komersil jauh lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Demikian juga penggunaan ampas tahu 5% lebih baik dari penggunaan ampas tahu 10%.
Saran Penggunaan ampas tahu sebagai pakan tambahan dalam formula ransum sampai 10% dapat memberikan pertumbuhan yang baik dan tidak mengakibatkan adanya hambatan yang berarti terhadap pertumbuhan ayam buras. DAFTAR PUSTAKA BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLAGi.
294
1984 . Pemanfaatan Limbah Biologis. Jakarta.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000 CREswELL, D.C . dan B. GUNAWAN 1982 . Ayam-ayam lokal di Indonesia. Sifat-sifat produksi pada lingkungan yang baik . Laporan No . 2. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Indonesia. DARMINTO. 1993 . Penanggulangan Newcastle Disease pada Ayam Buras, Vaksinasi dan Permasalahannya. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Petemakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak Ciawi LuBIs, D.A ., 1963 .1/mu Makanan Ternak. P.T . Pembangunan, Jakarta. MC . ARDLE, A.A. 1972. Poultry Husbandry (5th ed). Crosby. Lockwood dan Robertson Ltd. Sidney . RESNAWATI, H., A. Gozali, A.P . SrNURAT, T. ANTAWIJAYA, dan D. ZAINUDDIN. 1990 b. Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 1987/1988. Komoditi Unggas . Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor. RisNAwATt, H., A.P. SrNuRAT, WINARSO, P. SETIAm, ROSALI, A. GOzAU, dan D. ARITONANG. 1990 c. Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 1987/1988. Komoditi Unggas . Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor. ROBINSON, L. 1961 . Modern Poultry Husbandry (5th ed). Crosby. Lockwood dan Robertson Ltd. London . SrNURAT, A.P., BROTO W., SANTOSO, ELISABETH J., SUMANTO, SOFYAN I., RATNADI, dan N. RUSMANA. 1990. Peningkatan Produktivitas Ayam Buras melalui Pendekatan Sistem Usahatani pada Peternak Kecil di Kabupaten Bogor. Hasil Penelitian Balai Penelitian Ternak, Ciawi. (Belum dipublikasi). SINURAT, A.P. 1991 . Penyusunan Ransum Ayam Buras. Wartazoa. 2(1-2) : SIREGAR, A.P ., M. SABRANI, dan PRAMu S. 1980 . Teknik Beternak Ayarn Pedaging di Indonesia. Margie Group, Jakarta. M.C . NESHEIM, dan R.J . YOUNG. 1976 . Nutritio n of the Chicken (2nd ed). M.L. Scott dan Associates, Ithaca, New York.
SCOTT, M.L.,
STEEL, R.G .D . dan 1. H. ToRRIE. 1993 . Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik . Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. SUKARDI, 1988 . Pengembangan Ayam Buras di Pedesaan . Pros. Seminar Pengembangan Peternakan di Pedesaan . pp 150-163. USMAN, H.S . 1999 . Pengkajian Pemanfaatan Pakan Ternak Potensial Di Irian Jaya. Laporan Hasil Pengkajian LPTP Koya Barat, Jayapura. WAHYu, J. 1978 a. Cara Pemberian dan Penyusunan Ransum Unggas . Cetakan Keempat. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. WAHYu, J. dan D. SUGANDI. 1979 . Penuntun Praktis Beternak Ayam . Cetakan Ketiga . Fakultas Peternakan IPB. Bogor.