Pengkajian dan Monitoring Pelaksanaan Penyehatan Perbankan Staf Ahli Menneg PPN Bidang Ekonomi Perusahaan Abstrak Kajian ini bertujuan memberi masukan untuk menyempurnakan kebijaksanaan penyehatan perbankan nasional, melalui, pertama, menelaah kinerja bank-bank rekap dalam melaksanakan kebijakan, termasuk kinerja bank yang berhubungan dengan fungsi intermediasi keuangan. Kedua, mengevaluasi berbagai kebijakan, regulasi, dan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penyehatan perbankan. Ketiga, mengevaluasi kebijakan makro ekonomi yang terkait dengan pertumbuhan sektor riil. Dari penelahaan tersebut dapat disimpulkan: (1) kebijakan rekapitalisasi telah membantu bank sehingga dapat beroperasi secara normal; (2) fungsi intermediasi perbankan telah meningkat; (3) rendahnya penyerapan kredit diduga menjadi penyebab perbankan masih memfokuskan diri pada manajemen portofolio non kredit; (4) peningkatan kredit yang kini berlangsung perlu dilakukan secara berhati-hati; (5) terdapa perkembangan di sisi sektor riil berupa laju pertumbuhan investasi secara makro jauh lebih rendah dibandingkan pra krisis dan utilisasi kapasitas yang terpasang juga rendah. Menghadapi kenyataan seperti yang dijelaskan di atas, rekomendasi dari kajian ini adalah perlu pembenahan sektor riil secara menyeluruh. Langkah ini dimulai dengan pelaksanaan sungguh-sungguh Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan sesudah berakhirnya Program Kerjasama dengan IMF. Kemudian diperlukan perbaikan manajemen kredit di sisi perbankan, sehingga kredit yang sudah disetujui dapat benar-benar disalurkan tanpa meningkatkan Non Performing Loan (NPL) dan dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang terjaga pada batas aman. 1. LATAR BELAKANG Restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan serta perusahaan sudah berjalan lima tahun, tetapi fungsi perbankan sebagai intermediasi keuangan dirasakan belum juga berjalan normal. Timbullah pertanyaan, apakah kebijakan perbankan yang dilaksanakan sudah memadai, atau perlu penyesuaian, sehingga kebijakan di sektor tersebut, secara khusus mampu mendukung terciptanya sektor perbankan yang sehat, dan secara umum dapat mewujudkan good corporate governance. Untuk mengembalikan perbankan ke koridor yang benar, yaitu lembaga intermediasi keuangan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bersifat nasional. Beberapa kebijakan khusus diterbitkan untuk menyelamatkan perbankan, seperti penerbitan obligasi pemerintah untuk program rekapitalisasi (rekap), program penjaminan dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), serta pemberian kredit program. Berkaitan dengan kebijaksanaan penerbitan obligasi rekap, sikap pemerintah hingga saat ini masih konsisten, yaitu melanjutkan rencana pengamanan perbankan nasional dan menjaga kepercayaan pasar terhadap pemerintah sebagai penerbit obligasi. Pada satu sisi, kebijakan perbankan telah memberi kebebasan kepada pelaku perbankan untuk melaksanakan usahanya. Pada sisi lain, perlu dilakukan regulasi dan supervisi yang ketat dalam rangka melindungi bank. Kajian ini bermaksud menilai sejauhmana efektifitas kebijakan pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, karena biaya pelaksanaan kebijakan tersebut relatif cukup besar dibanding Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada saat itu. 1
Kebijakan penyehatan perbankan memerlukan biaya cukup besar, sehingga hilanglah kesempatan --atau setidak-tidaknya tertunda-- rencana pembiayaan program-program pembangunan lain yang merupakan prioritas. Sebagai contoh, alokasi dana yang seharusnya untuk pembangunan sarana publik, digunakan untuk membayar beban obligasi rekapitalisasi. Tetapi tujuan penyuntikan dana tersebut belum sesuai dengan yang diharapkan, yaitu perbankan dapat mendorong tumbuhnya sektor riil melalui fungsinya sebagai intermediasi keuangan. Proses pemulihan intermediasi perbankan yang belum berjalan normal ditandai oleh masih rendahnya pertumbuhan kredit. Hal ini disebabkan oleh: (1) terbatasnya debitur potensial, sehingga sebagian penyaluran kredit baru hanya diberikan dalam bentuk kredit menengah dan kecil untuk tujuan konsumsi; (2) perbankan menilai resiko usaha masih tinggi dan komitmen kredit belum disalurkan secara optimal, lantaran belum didukung iklim usaha yang kondusif; (3) beberapa bank rekapitalisasi yang masih mengalami masalah likuiditas menghadapi kesulitan menjual obligasi rekap, sebab pasar sekunder obligasi pemerintah belum berkembang; (4) beberapa bank masih menghadapi kesulitan memenuhi ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) . Turunnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sejak awal tahun 2002 belum diikuti perubahan manajemen perbankan di sektor kredit portfolio, karena perbankan sedang menghadapi komplikasi manajemen portfolio asetnya. Komplikasi tersebut adalah jika bank meningkatkan kredit portfolio yang diharapan menjadi faktor utama yang merangsang pertumbuhan sektor riil, maka mereka dihadapkan pada beberapa kendala, seperti turunnya CAR, resiko kredit bermasalah, sulitnya mencari nasabah yang baik, serta relatif tingginya suku bunga pinjaman. Permasalahan tersebut membawa konsekuensi bahwa perbankan lebih memfokuskan diri kepada perolehan bunga dari obligasi rekapitalisasi dan SBI. 2. TUJUAN Kajian ini bertujuan memberi masukan untuk menyempurnakan kebijaksanaan penyehatan perbankan nasional, melalui pertama, menelaah kinerja bank-bank rekap dalam melaksanakan kebijakan, termasuk kinerja bank yang berhubungan dengan fungsi intermediasi keuangan. Kedua, mengevaluasi berbagai kebijakan, regulasi, dan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penyehatan perbankan. Ketiga, mengevaluasi kebijakan makro ekonomi yang terkait dengan pertumbuhan sektor riil. Keluaran hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk Menteri Negara Penyehatan Perbankan Nasional/Kepala Bappenas, dalam upaya menyempurnakan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bidang ekonomi pada umumnya dan bidang ekonomi perusahaan pada khususnya. Tujuan khusus studi ini meliputi: (1) penelaahan kondisi fungsi intermediasi keuangan perbankan nasional, setelah hampir lima tahun kebijakan penyehatan perbankan nasional dilakukan; (2) penelaahan atas faktor-faktor penghambat fungsi intermediasi keuangan perbankan, yang meliputi kinerja perbankan penerima obligasi rekap, kondisi sektor riil, dan peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan fungsi intermediasi keuangan perbankan. Penelaahan kinerja perbankan yang menerima obligasi rekap meliputi 10 bank besar penerima obligasi rekapitalisasi pemerintah. Kondisi fungsi intermediasi keuangan dianalisis menggunakan data-data sekunder, baik dari Bank Indonesia, maupun dari masing-masing bank yang dikaji. Lingkup analisis meliputi analisis penghimpunan dana (dana dari pihak ketiga), analisis penyaluran dana meliputi analisis portofolio kredit dan non-kredit, dan analisis kinerja perbankan meliputi analisis profitabilitas, likuiditas dan solvabilitas. 2
3. METODOLOGI 3.1 KERANGKA ANALISIS Secara teoritis, fungsi intermediasi keuangan perbankan tidak lepas dari kinerja perbankan pada sisi manajemen portfolio kredit dan non-kredit, perkembangan sektor riil, serta peraturan dan regulasi perbankan. Analisa manajemen perbankan meliputi: analisa penghimpunan dana; analisa penyaluran dana, termasuk analisa portfolio kredit dan nonkredit; dan analisa kinerja bank, termasuk analisa aktiva produktif, analisa rentabilitas, dan likuiditas. Akibat krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan, terjadi kerusakan fundamental pada struktur sektor riil, khususnya sektor industri atau manufaktur. Pemulihan sektor riil tidak hanya dipengaruhi oleh menurunnya suku bunga pinjaman dan perbaikan indikator ekonomi makro lainnya, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor lain, seperti kepastian hukum, kestabilan politik dan keamanan, serta keseimbangan lingkungan sosial. Faktorfaktor tersebut dapat mempengaruhi percepatan pemulihan (recovery) sektor riil. Peraturan perbankan yang terlalu ketat dan super hati-hati, juga turut menyebabkan terbatasnya ruang gerak manajemen perbankan nasional untuk melakukan inovasi usaha, sehingga tidak dapat melakukan ekspansi kredit. Disamping itu perbankan memerlukan waktu penyesuaian (adjustment) terhadap peraturan baru. Dengan demikian manajemen perbankan harus dilaksanakan sangat hati-hati dan mengorbankan salah satu fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. 3.2 DATA Berdasarkan pengumpulan data diketahui bahwa, 1. Secara keseluruhan, sebagian besar bank, khususnya yang menerima obligasi rekap, masih memfokuskan kepada manajemen portfolio non-kredit. Sedangkan manajemen portfolio kredit masih sangat terbatas. Meski demikian, kinerja bank secara umum menunjukkan perbaikan. Perbaikan kinerja dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Indikator Kinerja Perbankan Indikator Kinerja (Rp triliun) Indikator Aset Dana Pihak Ketiga CAR (%) Modal Laba/Rugi Sebelum Pajak Net Interest Income NPL gross (%) NPL net (%) Kredit LDR (%)
1998 1999 895.7 1,006.7 625.3 617.6 -15.7 -8.1 -129.8 -41.2 -178.6 -61.2 48.6 34.7 545.5 72.4
-75.4 -38.6 32.8 7.3 277.3 26.2
Tahun 2000 2001 2002 2003*) 1,030.5 1,099.7 1,112.2 1,142.2 699.1 797.4 835.8 875.4 12.5 20.5 22.5 20.7 53.5 62.3 93 105.9 10.5 22.8 18.8 5.8 320.4 33.2
13.1 37.8 12.1 3.6 358.6 33
21.9 42.9 8.3 2.9 410.3 38.2
*) Data sampai dengan bulan November 2003. Sumber: Data sekunder, Laporan Tahunan 2003 Bank Indonesia
3
23.7 46.3 8.1 1.8 475.7 43.7
2. Sungguhpun kondisi makro ekonomi telah lebih baik, pertumbuhan sektor riil berjalan tersendat-sendat, karena kapasitas industri belum terpakai masih sangat besar. Di samping itu, saat ini daya saing industri Indonesia menunjukkan penurunan, lantaran masih besarnya biaya produksi terutama biaya modal (cost of money). Besarnya biaya produksi ini merupakan rentetan akibat penerapan kebijakan uang ketat dan buruknya kondisi sosial politik serta hankam yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Indikator Makroekonomi Tabel 2.
(Persen)
Tahun
Uraian
1997
1998
1999
2000
4.70 11.10
2001
2002
2003
-13.20 77.60
0.80 2.01
4.90 9.35
3.40 12.55
3.70 10.03
4.80 5.06
PDB Riil (a.d tahun dasar 1993) - Laju Inflasi Moneter: - Uang Primer - M2 - M1 Suku Bunga: - SBI (1 bulan) - PUAB (o/n) - Deposito (1 bulan) - KMK - Kredit Investasi
34.30 23.20 22.20
63.00 62.40 29.20
35.50 11.90 23.20
22.28 15.60 30.13
15.37 12.99 9.59
5.98 4.72 7.99
14.25 8.12 16.60
16.25 27.80 23.01 21.98 17.34
38.40 33.40 41.40 34.70 26.20
12.50 12.10 12.20 20.70 17.80
14.53 14.22 11.96 17.65 16.86
17.62 15.90 16.07 19.19 17.90
12.93 12.42 12.81 18.25 17.82
8.31 8.18 6.62 15.07 15.68
Nilai Tukar (Rp/USD)
4,650
8,025
7,809
8,534
10,256
9,316
8,572
Sumber: Data Sekunder, Laporan Tahunan 2003 Bank Indonesia, dan BPS
Tabel 3. Utilisasi Kapasitas Industri UTILISASI KAPASITAS TERPASANG INDUSTRI MANUFAKTUR Cabang Industri
(Persen)
1998
1999
Tahun 2000
2001
2002
1. Industri Kimia Hulu 2. Industri Kimia Hilir 3. I K Hasil Pertanian & Perkebunan 4. Industri Agro 5. Industri Hasil Hutan dan Selulosa 6. Logam Mesin dan Maritim 7. Alat Angkut Darat dan Dirgantara 8. Teknologi Informasi dan El Tekstil kt ikdan Produk Tekstil 9. 10. Industri Aneka
65.40 54.90 67.80 44.20 58.50 45.10 35.00 56.00 66.00 57.00
66.00 64.30 68.00 46.40 60.10 42.60 33.00 51.00 84.00 46.00
75.90 70.40 69.60 53.40 67.40 46.30 33.50 65.00 81.00 54.30
80.80 72.20 71.80 53.40 57.80 50.50 39.80 60.80 80.70 55.40
77.30 75.40 75.40 59.90 67.30 50.60 42.20 65.00 65.00 55.20
Utilisasi rata-rata
54.99
56.14
61.68
62.32
63.33
Sumber: Departemen Perindustrian 4
3. Hambatan fungsi intermediasi keuangan perbankan yang terkait dengan peraturan/regulasi di sektor perbankan, sebenarnya bukan pada peraturan itu sendiri, melainkan pada belum siapnya industri perbankan dalam rangka menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan baru yang lebih ketat. 4. HASIL KAJIAN 4.1 KINERJA PERBANKAN SECARA UMUM Secara umum kondisi perbankan tahun 1998 ditandai dengan memburuknya indikator-indikator seperti: (1) permodalan yang negatif dalam jumlah yang besar (negatif CAR yang tinggi); (2) tingginya NPL baik netto maupun gross;(3) perbankan nasional dalam keadaan merugi. Tahun 1999 pemerintah memutuskan untuk melakukan program rekapitalisasi perbankan, dengan bertujuan agar bank-bank memiliki kecukupan modal untuk beroperasi sebagai bank yang sehat. Hasil program tersebut, umumnya mulai terlihat pada tahun 2003 dengan indikator: (1) membaiknya struktur permodalan perbankan; (2) membaiknya CAR (menjadi positif) dan melewati batas minimal 8%, (3) membaiknya NPL, baik gross maupun net; (4) perbankan nasional mulai membukukan laba. Masih dalam rangka meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, tingkat suku bunga telah diarahkan menurun dengan tetap memperhatikan laju inflasi. Namun demikian, penurunan tingkat suku bunga kredit sampai akhir tahun 2002 tercatat relatif lambat dibandingkan tingkat suku bunga SBI. Namun pada tahun 2003 respon penurunan tingkat suku bunga kredit dapat lebih cepat. Bahkan tingkat suku bunga per Desember 2003 telah berada di bawah level pada tahun 1996. Hal ini menunjukkan, sebenarnya pada tahun 2003 penurunan suku bunga sudah dapat lebih direspon oleh penurunan tingkat suku bunga kredit. Perkembangan tingkat suku bunga dan inflasi sapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Tingkat Suku Bunga dan Inflasi 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Des
Des
Des
Des
Des
Des
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Depos 1 bln
16.9
23.0
51.7
12.2
12.0
16.1
12.8
12.6
12.4
11.9
11.4
11.0
10.3
9.0
8.2
7.7
7.5
7.0
6.6
Depos 3 bln
17.3
20.3
40.0
13.0
13.2
17.2
13.6
13.5
13.2
12.9
12.5
12.0
11.6
10.7
9.6
8.6
8.0
7.6
7.1
SBI 1 Bln
13.4
16.3
45.4
12.5
14.5
17.6
12.9
12.7
12.2
11.4
11.1
10.4
9.5
9.1
8.9
8.7
8.5
8.5
8.3
SBI 3 Bln
13.7
20.0
38.4
12.8
14.3
17.6
13.1
12.9
12.7
12.0
11.3
10.9
10.2
9.2
9.1
8.8
8.4
8.4
8.3
KMK
19.2
22.0
32.3
20.7
17.7
19.2
18.3
18.3
18.3
18.1
17.9
17.8
17.4
16.9
16.4
16.1
15.8
15.5
15.1
KI
16.4
17.3
23.2
17.8
16.9
17.9
17.8
17.8
17.9
17.9
17.7
17.6
17.4
17.0
16.7
16.5
16.3
15.9
15.7
Inflasi (YoY)
6.5
10.3
77.5
2.0
9.3
12.6
10.0
8.7
7.3
7.1
7.5
6.9
6.6
5.8
6.4
6.2
6.2
5.3
5.1
Uraian
2003 Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
4.2 PENGHIMPUNAN DANA Penghimpunan dana pada bank umum, mengalami peningkatan pada tahun 2003, kendati tidak secepat pada masa sebelum 1998. Faktor penyebabnya antara lain banyaknya alternatif investasi yang ditawarkan kepada masyarakat. Hal ini menunjukan kecenderungan bahwa di masa mendatang sektor perbankan, sebagai tempat dana masyarakat disimpan, akan 5
menghadapi banyak pesaing. Faktor yang menyebabkan turunnya penghimpunan dana masyarakat antara lain adalah persaingan dengan sektor keuangan yang lain dalam memberikan return yang cukup tinggi, misalnya reksadana, jual beli saham dan sebagainya. Dalam segi pembiayaan, perkembangan obligasi korporasi sebagai alternatif pembiayaan juga menunjukan kecenderungan meningkat. Dari sisi permintaan, pendapatan investasi di pasar obligasi, terutama obligasi korporasi, memang terlihat menguntungkan,. Berdasarkan sektornya, sektor yang paling banyak menerbitkan obligasi adalah sektor perbankan. Fenomena ini terjadi karena melihat trend penghimpunan yang terus menurun, sementara sektor perbankan masih memerlukan dana. Bila dilihat dari sisi penawaran, walaupun tingkat suku bunga perbankan sudah mulai turun, namun banyak sektor riil yang masih menerbitkan obligasi guna memperoleh tambahan modal. Tabel 5 Perkembangan Penghimpunan Dana Bank Umum (Rp. Triliun) Uraian
1996
1997
1998
Growth (%)
Nilai
1999
Growth (%)
Growth (%)
2001
2003
Growth (%)
Nilai
12.5
643.5
16.05
689.0
7.2
755.6
9.7
165.8
24.9
165.6
-0.12
156.0
-5.8
146.7
-6.0
720.3
15.1
809.1
12.33
845.0
4.4
902.3
6.8
Nilai
Nilai
Rupiah
225.5
246.9
9.5
430.4
74.3
492.9
14.5
554.5
Valas
56.2
110.8
97.2
143.1
29.2
132.7
-7.3
60.3
625.6
9.1
Growth (%)
2002
Nilai
Nilai
Total 281.7 357.7 27.0 573.5 Sumber: Data Sekunder, SEKI, Bank Indonesia
Nilai
2000
Growth (%)
Nilai
Growth (%)
4.3 PENYALURAN KREDIT Secara umum pertumbuhan kredit perbankan mengalami perubahan komposisi. Sejak tahun 2001 pertumbuhan kredit konsumsi naik lebih cepat dibandingkan angka pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja. Namun mulai tahun 2002, angka pertumbuhan kredit modal kerja naik secara signifikan, meski angka pertumbuhan tahunannya masih dibawah angka pertumbuhan kredit konsumsi. Jika dikaitkan dengan indikator Loan to Deposit Ratio (LDR), memang belum bisa diharapkan bahwa LDR akan tinggi seperti sebelum krisis (sekitar 80 persen). Sebab pada beberapa bank, komponen obligasi rekap masih cukup besar. Namun sampai akhir tahun 2003, komposisi obligasi rekap terus berkurang dan komposisi kredit makin meningkat. Pada sektor perbankan masih terdapat kendala dalam menjalankan fungsi intermediasi. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah: (1) masih tingginya proporsi obligasi pemerintah di dalam komposisi aktiva produktif perbankan; (2) bank cenderung menerbitkan instrumen reksadana daripada menjalankan fungsi intermediasi; (3) dalam rangka penyaluran kredit, bank sukar menilai lantaran terbentur pada pengelompokan prospek usaha berdasarkan komoditas. Penilaian tersebut cenderung menyamakan nilai prospek usaha dan berdampak pada penyisihan aktiva produktif yang lebih besar; (4) masih tingginya persepsi resiko perbankan terhadap penyaluran kredit yang bersifat jangka panjang. Adapun kendala dari sisi penyerapan kredit pada sektor riil, adalah: (1) belum jelasnya kepastian hukum, yang antara lain belum disahkannya revisi Undang-undang Penanaman Modal; (2) masih tingginya biaya transaksi perusahaan karena adanya pungutan liar; (3) masih belum terselesaikannya masalah ketenagakerjaan, setelah diundangundangkannya UU No 13 tahun 2002; (4) belum tuntasnya restrukturisasi utang perusahaan. Perkembangan kredit bank umum dapat dilihat pada tabel 6. 6
Tabel 6 Perkembangan Kredit Bank Umum Perkembangan Kredit Bank Umum Menurut Penggunaan (Rp. Triliun) Tahun Jenis Kredit 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Kredit Konsumsi 30.2 36.6 31.8 24.1 40.1 58.4 79.8 112.1 Pertumbuhan 21.2 -13.1 -24.2 66.4 45.6 36.6 40.4 Kredit Investasi 70.4 100.7 141.5 57.7 65.3 73.5 82.9 94.3 Pertumbuhan 43.0 40.5 -59.2 13.2 12.6 12.8 13.8 Kredit Modal Kerja 192 240.8 314 143.4 164 175.7 202.7 231.6 Pertumbuhan 25.2 30.5 -54.4 14.1 7.4 15.4 14.3 Total 293 378.1 488 225.2 269 307.6 365.4 438.0 Pertumbuhan 29.1 28.9 -53.8 19.4 14.3 18.8 19.9 Sumber: data sekunder, SEKI, Bank Indonesia
Perkembangan Kredit Bank Umum Menurut Pengguna 4.4 ANALISIS SEPULUH BANK REKAPITALISASI Berdasarkan analisis perkembangan internal 10 bank dari tahun 2000 sampai tahun 2003 (posisi September 2003) didapat gambaran pokok sebagai berikut: 1. Kinerja bank secara umum menunjukkan perbaikan. Tingkat profitabilitas yang ditinjau dari ROA (Return on Assets) dan ROE (Return on Equity) menunjukkan peningkatan di sebagian besar bank. BNI 46 dan BTN mencatat peningkatan ROA, masing-masing dari 0,27 dan –5,91 menjadi 1,25 dan 0,83. Sedangkan ROE kedua bank tersebut tercatat cukup tinggi dan meningkat, masing-masing dari 25,84% dan –370 % menjadi 30,48% dan 18,89 %. Sedangkan beberapa bank, seperti BII dan Bank Permata masih dalam proses konsolidasi, sehingga belum menunjukkan profitabilitas seperti yang diharapkan. Kinerja 10 bank tersebut telah menjadi driver utama dalam membentuk ROA perbankan nasional. 2. Peningkatan profitabilitas tersebut searah dengan membaiknya indikator efisiensi perbankan, yang tercermin dari menurunnya BOPO (Biaya Operasi per Pendapatan Operasi). BNI 46 dan BTN misalnya, masing-masing membaik dari 98,43 % dan 141.15 % menjadi 89,71 % dan 94,13 %. Nilai BOPO sudah cukup rendah dicatat Bank Danamon, yaitu sekitar 45%. Dibanding rata-rata BOPO seluruh bank umum di Indonesia, ketiga bank tersebut menunjukkan prestasi sangat baik. Namun demikian, masih perlu dikaji lebih lanjut penyebab perbaikan tersebut. Soalnya perbaikan itu diperkirakan tidak semata-mata didorong oleh efisiensi operasional perbankan, tetapi lebih disebabkan oleh penurunan tingkat suku bunga simpanan yang lebih cepat dibanding penurunan tingkat suku bunga kredit. Hal ini antara lain diindikasikan dengan peningkatan NIM. BNI 46 dan BTN masing-masing meningkat dari 0,58 % dan –2,16 % menjadi 4,16 % dan 2,99 %. 7
3. Meskipun sebagian besar keuntungan tersebut dihasilkan dari kepemilikan obligasi rekap, peranan obligasi tersebut cenderung menurun, sementara peranan kredit cenderung meningkat. Namun demikian, perbankan terlihat masih cenderung hati-hati dalam menyalurkan kredit, dengan menempatkan likuiditas pada surat berharga seperti SBI. Sebagai contoh, BNI 46 mencatat penurunan peranan obligasi rekap dalam komposisi aset dari 54,48 % pada tahun 2000 menjadi 32,64 % pada tahun 2003, dengan peranan kredit yang meningkat dari 23,39 % menjadi 31,95 %. Tetapi sebagian penurunan obligasi rekap tersebut dialihkan ke dalam penempatan surat berharga yang meningkat dari 4,31% menjadi 9,54%. Kecenderungan ini juga terlihat di beberapa bank lain seperti BCA, BRI dan Bank Mandiri. Beberapa bank lainnya lagi seperti Bank Danamon, meskipun menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu secara hati-hati melakukan ekspansi kredit dan meningkatkan penempatan pada surat berharga, memiliki perbedaan dalam rincian pengelolaan aktiva produktifnya. Peranan kredit yang meningkat di dalam aktiva produktif tersebut didorong oleh ekspansi kredit. Secara umum, seluruh bank melakukan ekspansi kredit, kecuali bank yang masih dalam proses konsolidasi seperti Bank Permata. 4. Walaupun menunjukkan ekspansi kredit, bank masih sangat hati-hati menyalurkan kredit. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya undisburse loan secara nasional. Jika ditinjau penyebabnya, secara umum dapat dikelompokkan ke dalam kondisi internal sektor keuangan dan kondisi eksternal, yaitu sektor riil. Dari sisi internal sektor keuangan, menurunnya tingkat suku bunga deposito dan berkembangnya berbagai alternatif pembiayaan (reksadana, obligasi korporasi) menyebabkan terhambatnya penghimpunan dana di sektor perbankan, bahkan beberapa bank mencatat pertumbuhan DPK yang negatif. Di sisi sektor riil, pertumbuhan industri/manufaktur yang terus melambat dari 7,0% pada tahun 2000 menjadi 4,2% (2002) akibat terus menurunnya investasi dari 16,7% tahun 2000 menjadi –0,2% pada tahun 2002, menunjukkan sulitnya sinergi antara sektor perbankan dan riil. Prospek sektor riil yang belum membaik, khususnya pada sektor industri/manufaktur yang selama ini menjadi tumpuan sebagian penyaluran kredit perbankan, menyebabkan penyaluran kredit lebih terbatas. 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 KESIMPULAN 1. Kebijakan Rekap telah membantu bank sehingga dapat beroperasi secara normal dengan mengembalikan posisi neraca bank dan mengatasi cash flow dalam operasional perbankan. Dengan demikian bank menjadi feasible mengelola ekuitasnya (mencari dana sendiri) yang berbentuk obligasi subordinasi dan saham serta dapat meningkatkan ROE dan ROA. 2. Fungsi intermediasi perbankan telah meningkat, seperti ditunjukkan dengan meningkatnya kredit baru dan laju pertumbuhan kredit yang mendekati masa sebelum krisis. Tetapi fungsi intermediasi tersebut masih belum optimal, seperti tercermin pada penyerapan kredit (disbursement) yang jauh lebih rendah dan persetujuan kredit (approval). Di samping itu, peningkatan kredit investasi sangat lambat dibanding dengan peningkatan kredit konsumsi dan modal kerja yang cukup signifikan.
8
3. Rendahnya penyerapan kredit diduga menjadi penyebab perbankan masih memfokuskan diri pada manajemen portofolio non kredit. Tinjauan terhadap 10 bank menunjukkan menurunnya porsi obligasi pemerintah (sementara jumlah obligasi yang dimiliki oleh non perbankan/sub registry) meningkat, yang mencerminkan keinginan bank untuk menambah likuiditas. Namun, karena dana tidak terserap, maka dialihkan dalam bentuk surat berharga (termasuk SBI). 4. Di sisi lain, peningkatan kredit tersebut perlu dilakukan secara berhati-hati mengingat dua hal. Pertama, kecenderungan baru pada tahun 2003 yaitu menurunnya CAR dan meningkatnya NPL (merupakan kebalikan dari kecenderungan setelah restrukturisasi perbankan periode 1998-2002). Kedua, kebutuhan untuk memenuhi CAR yang baru, yaitu harus memperhitungkan resiko pasar sehingga berpotensi untuk menurunkan CAR. 5. Sementara di sisi sektor riil tercatat perkembangan, yakni laju pertumbuhan investasi secara makro jauh lebih rendah dibandingkan pra krisis; dan utilisasi kapasitas yang terpasang juga rendah. 6. Masih buruknya iklim investasi tercermin dari tingginya biaya perusahaan di luar biaya personil, depresiasi dan material. Kondisi ini mencerminkan tingginya biaya transaksi (ekonomi biaya tinggi), termasuk banyaknya pungutan. 7. Kondisi sektor riil yang memburuk telah menyebabkan rendahnya tingkat return (pengembalian) untuk pengembangan sebagian besar industri. Alasannya adalah sebagian besar jenis industri hanya mendapat margin keuntungan kecil, namun membutuhkan modal yang besar. Dengan tingkat suku bunga untuk kredit modal kerja sebesar 14% – 18%, kondisi sektor manufaktur belum bisa diharapkan bangkit dengan segera. 8. Terhambatnya fungsi intermediasi keuangan perbankan tampak bukan disebabkan kelemahan peraturan itu sendiri, tetapi cenderung karena belum siapnya industri perbankan menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan baru yang lebih ketat. Peraturan tersebut secara obyektif dapat dinilai sebagai sesuatu yang masih wajar dan sesuai dengan standar internasional dalam menjalankan bisnis perbankan yang sehat. Namun, diperlukan waktu bagi perbankan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian (adjustment). Di samping itu, peraturan yang semakin ketat mempunyai implikasi terhadap meningkatnya biaya operasional bank, karena diperlukan adanya upaya (effort) yang lebih untuk menaati peraturan. 5.2 REKOMENDASI 1. Berdasarkan kesimpulan seperti diuraikan di atas, masalah utama intermediasi perbankan terletak pada belum siapnya sektor riil. Oleh karena itu, langkah pokok yang perlu diambil di antaranya adalah pembenahan sektor riil secara menyeluruh. Langkah ini dimulai dengan pelaksanaan sungguh-sungguh Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan sesudah berakhirnya Program Kerjasama dengan IMF, terutama upaya-upaya pemerintah membenahi sektor riil secara menyeluruh, termasuk pembenahan kelembagaannya. 2. Diperlukan perbaikan manajemen kredit di sisi perbankan, sehingga kredit yang sudah disetujui dapat benar-benar disalurkan tanpa meningkatkan NPL dan dengan CAR yang 9
terjaga dalam batas aman. Oleh sebab itu perlu kebijakan dari Bank Indonesia atau pemerintah untuk memperkuat kemampuan perbankan dalam melakukan analisa kredit dan menerapkan prinsip-prinsip manajemen resiko secara proporsional. Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah atau otoritas moneter (Bank Indonesia) adalah melakukan credit rating untuk mengetahui tingkat resiko sektor-sektor usaha.
10