PENGHAYATAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN BAGI KEUTUHAN KELUARGA KATOLIK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh : Maria Regina Mayabubun NIM : 031124021
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
ii
iii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada: -
Bapak Fransiskus Mayabubun dan Ibu Dionisia Warawarin (ayah dan ibuku) yang telah memelihara, membimbing dan membesarkanku. Dari mereka aku belajar tentang arti pentingnya kesetiaan.
-
Dion Remetwa, kekasih jiwaku yang setia mencintaiku.
-
Seluruh keluargaku tercinta.
iv
MOTTO
“Kesetiaan itu mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Belajarlah untuk berlaku setia kepada apa yang kamu yakini sebagai yang benar dan hiduplah sesuai dengannya” (Dimas Che)
v
vi
vii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah PENGHAYATAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN BAGI KEUTUHAN KELUARGA KATOLIK. Judul ini dipilih berdasarkan pada kenyataan bahwa penghayatan terhadap nilai kesetiaan mengalami penurunan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada begitu banyak hal yang menyebabkan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan tersebut. Sebut saja misalnya, menurunnya penghormatan terhadap martabat manusia, maraknya kasus perceraian, pengaruh faktor kepribadian, internal keluarga, sosial, ekonomi, factor beda iman dan budaya. Fakta ini hadir juga dalam kehidupan keluarga-keluarga Katolik. Oleh karena itu, persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana keluarga-keluarga Katolik, secara khusus suami istri Katolik, menghidupi nilai kesetiaan dalam perkawinannya. Untuk mengkaji persoalan tersebut, maka sebuah studi kepustakaan menyangkut hal tersebut diperlukan. Studi ini penting untuk menganalisis persoalan yang ada dan menemukan pemikiran-pemikiran refleksif (biblis-telogis) yang dapat digunakan sebagai sumbangan bagi usaha melestarikan nilai kesetiaan dalam perkawinan. Di tengah berbagai persoalan yang mengancam suami istri dalam menghayati nilai kesetiaan, masih ada setitik harapan. Dengan memohon rahmat kesetiaan dari Allah, suami istri bergerak maju untuk mempertahankan perkawinannya. Selain itu, adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengusahakan kondisi yang positif bagi suami istri dalam usaha untuk menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinannya.
viii
ABSTRACT
The title of this thesis is THE EXPERIENCING TO THE VALUE OF FIDELITY IN MARRIAGE FOR THE UNION OF CATHOLIC FAMILY. This title was chosen based on the fact that the experiencing to the value of fidelity has decreased. The fact indicates that there are so many things that cause the decrease of experience to the value of fidelity. For instance, the respect of human nature is decreased, a glow of divorce case, the impact of individuality, interrelationship family, social, economic, faith and the cultural factors. The facts also exist in the Catholic families. Therefore, the main problem in this thesis is how the Catholic families, typically husband and wife who are Catholic, experience the value of fidelity in their marriage. To solve this problem, a library study is needed. This study is important to analyze the currently problem and find out the reflective thoughts (theological-biblical) that can be used as input to preserve the value of fidelity in the marriage. Through the various problems that threaten husband and wife in experiencing the value of fidelity, there’s still an expectation. By asking for the grace of fidelity from the almighty God, husband and wife move forward to defend their marriage. On the other hand, we all have our responsibility to carry on the positive condition for the husband and wife to experience the value of fidelity in their marriage.
ix
KATA PENGANTAR
Allah adalah setia dan Ia tak pernah dapat menyangkal kesetiaan-Nya. Dalam kelemahan dan kekuranganku, makin kusadari kehadiran Allah yang setia itu. Ia tak pernah meninggalkanku. Ia selalu setia menuntunku, dan karena kesetiaan-Nya itu penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ini. Menyadari kesetiaan Allah itu, maka bersama Bunda Maria penulis mau berseru: “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku” (Luk. 1: 46-47). Dalam rangka penulisan skripsi ini, banyak pihak dengan setia telah membantu penulia. Mereka semua telah memberikan kondisi-kondisi yang positif kepada penulis. Karena itu, pantaslah penulis berterima kasih kepada mereka semua. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Romo Dr. Robertus Rubiyatmoko, PR., yang dengan penuh kesabaran mendampingi, membimbing dan mengarahkan penulis dalam seluruh proses penulisan skripsi ini. 2. Romo Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ., Kepala Program Studi IPPAK Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan ruang dan waktu bagi penulis untuk berproses selama menempuh studi di tempat ini. 3. Bapak Drs. L. Bambang Hendarto, Y., M.Hum., sebagai dosen pembimbing akademik yang dengan setia mendampingi penulis selama studi. 4. Seluruh Staf IPPAK, baik dosen maupun karyawan, yang dengan caranya masing-masing telah membantu penulis.
x
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………..
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………...
iv
MOTTO …………………………………………………………………………
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………………………………..
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS …………………………………………………
vii
ABSTRAK ……………………………………………………………………...
viii
ABSTRACT …………………………………………………………………….
ix
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….
x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
xii
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………….
xvi
BAB I.
PENDAHULUAN ………………………………………………...
1
A.
Latar Belakang Masalah …………………………………………..
1
B.
Rumusan Permasalahan …………………………………………..
4
C.
Tujuan Penulisan ………………………………………………….
5
D.
Metode Penulisan …………………………………………………
5
E.
Sistematika Penulisan ……………………………………………..
6
BAB II.
PROBLEMATIKA KESETIAAN DALAM PERKAWINAN …..
8
A.
Berbagai Problem Aktual Kesetiaan Dalam Perkawinan ………...
8
1. Menurunnya Penghargaan Terhadap Martabat Manusia ……..
8
2. Menurunnya Penghayatan Terhadap Nilai Perkawinan ………
14
a. Fenomena Perceraian …………………………………….
15
b. Hidup Bersama de facto Sebagai Sebuah Alternatif ……..
17
xii
B.
C.
Beberapa Faktor Hidup Yang Berpengaruh Pada Keutuhan Perkawinan ………………………………………………………..
18
1. Faktor Kepribadian …………………………………………...
18
2. Faktor Internal Keluarga ……………………………………...
20
3. Faktor Sosial (relasi dengan orang lain) ……………………..
22
4. Faktor Ekonomi ………………………………………………
24
5. Faktor Iman/ Agama ………………………………………….
25
6. Faktor Budaya ………………………………………………...
27
Kesimpulan ……………………………………………………….
29
BAB III. AJARAN
A.
B.
C.
D.
GEREJA
TENTANG
KESETIAAN
DALAM
PERKAWINAN …………………………………………………..
31
Perkawinan Kristiani ……………………………………………...
31
1. Hakikat Perkawinan Kristiani ………………………………..
31
2. Tujuan Perkawinan Kristiani ………………………………...
34
3. Sifat-sifat Hakiki Perkawinan Kristiani ………………………
37
a. Unitas ……………………………………………………..
37
b. Indissolubilitas ……………………………………………
38
c. Sakramental ………………………………………………
39
Kesetiaan Sebagai Konsekuensi Logis dari Hakikat Perkawinan Kristiani …………………………………………………………...
41
Landasan Biblis tentang Kesetiaan Suami Istri …………………...
43
1. Yahwe yang setia kepada bangsa Israel ………………………
43
2. Kristus yang setia kepada Gereja-Nya ………………..............
46
Kesetiaan Perkawinan dalam Magisterium ………………………
48
1. Kesetiaan Perkawinan Menurut Bapa-bapa Gereja …………..
48
a. Ignatius, Uskup Antiokhia di Siria (+ thn. 110) ………….
49
b. Tertullianus (+ thn. 220) ………………………………….
51
c. Klemens dari Alexandria (+ thn. 214) ……………………
53
xiii
d. Ambrosius dari Milano (+ thn. 397) ……………………...
54
e. Augustinus dari Hippo (+ thn. 430) ………………………
55
2. Kesetiaan Perkawinan Menurut Konsili Vatikan II …………..
57
3. Kesetiaan Perkawinan Menurut Dokumen Pasca Konsili Vantikan II ................................................................................
59
a. Paus Paulus VI (+ thn. 1979): Eratnya relasi kesetiaan dan cinta (Ensiklik Humanae Vitae) .........................................
59
b. Paus Yohanes Paulus II (+ thn. 2005): Sebuah kebersamaan
dalam
hidup
(Ensiklik
Familiaris
Consortio) ………………………………………………... E.
F.
Beberapa Nilai Dasar Sebagai Penggerak Kesetiaan Dalam Perkawinan ………………………………………………………..
62
1. Membina keadilan dan cinta dalam keluarga …………………
62
2. Bijaksana dalam keputusan dan tindakan …………………….
63
3. Kesabaran sebagai buah iman ………………………………...
64
4. Kesetiaan seumur hidup ………………………………………
65
Kesimpulan ………………………………………………………..
66
BAB IV. USAHA
A.
B.
60
MEMPERTAHANKAN
DAN
MELESTARIKAN
NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN ...........................
67
Profil Keluarga Kristiani dalam Magisterium …………………...
67
1. Membentuk Komunitas Pribadi ……………………………...
67
2. Mengabdi Kehidupan …………………………………………
70
3. Ikut Serta Dalam Hidup dan Perutusan Gereja ……………….
73
Gambaran Pasangan Suami-Istri yang Setia ……………………...
75
1. Peranan Suami-Istri Dalam Hubungannya Dengan Janji Perkawinan Yang Dibina Selama Mereka Hidup ……………
75
2. Keharmonisan Suami-Istri Sebagai Tindakan Kongkrit Dalam Masyarakat ……………………………………………………
xiv
77
C.
Cara Menyelesaikan Konflik dalam Keluarga …….........................
80
1. Membina Persatuan Suami Istri Dengan Membangun Penghargaan Terhadap Masing-masing Pribadi ……………...
82
a. Saling menerima sebagai seorang pribadi ………………..
82
b. Membina persatuan suami istri …………………………..
83
2. Usaha Untuk Membangun Penghayatan Yang Integral Terhadap Martabat Perkawinan ………………………………
85
a. Menghadapi masalah secara bersama .................................
86
b. Perceraian bukanlah solusi akhir dari sebuah persoalan ....
86
c. Membangun komunikasi yang terbuka dan jujur dalam keluarga ..............................................................................
88
d. Belajar untuk mendengarkan ..............................................
89
3. Usaha Mengatasi Konflik Suami Istri Yang Bersumber Pada Beberapa Bidang Hidup ………………………………………
89
a. Membangun relasi yang sehat, baik relasi “ke dalam” maupun relasi “ke luar” ………………………………….. b. Mengelola
konflik
yang
bersumber
pada
90
faktor
ekonomi …………………………………………………..
94
c. Membangun iman keluarga ................................................
95
d. Mengelola konflik yang kemungkinan ditimbulkan oleh
99
faktor budaya …………………………………………….. D.
Belajar dari Keluarga Kudus Nazareth ……………………………
99
E.
Kesimpulan ………………………………………………………..
103
BAB V.
PENUTUP ………………………………………………………...
104
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..
109
xv
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab versi LAI 1974 (Diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, cetakan kedelapan tahun 2001. Seluruh terjemahan dalam Alkitab ini diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia).
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja AA:
Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 7 Desember 1965.
EV:
Evangelium Vitae, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Nilai dan Martabat Manusia, 25 Maret 1995.
EN:
Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik tentang Evangelisasi dalam Dunia Modern, 1975.
FC:
Familiaris Consortio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus tentang Keluarga Sebagai Senasib dan Sepenanggungan, diterbitkan tanggal 22 November 1981.
GS:
Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.
HV:
Humanae Vitae, Ensiklik Paus Paulus VI tentang Hidup Manusia, diterbitkan pada tanggal 25 Juli 1968.
xvi
KGK: Katekismus Gereja Katolik, Paus Yohanes Paulus II, diterbitkan lewat Konstitusi Apostolik Fidei Depositum, 11 Oktober 1992. KHK: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983. LG:
Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja tanggal 21 November 1964.
RC:
Redemptoris Custos, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II, dipromulgasikan pada tanggal 15 Agustus 1989.
C. Singkatan Lain Bdk. : Bandingkan Kan. : Kanon KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia KWI: Konferensi Waligereja Indonesia LK3I: Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia Lih. : Lihat Thn. : Tahun Vol. : Volume
xvii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Charles Dickens suatu saat menulis bahwa Revolusi Prancis merupakan sekaligus masa terbaik dan masa terburuk (Martos, 1997: 32). Hal serupa dapat dikatakan tentang perkawinan masa kini. Di satu sisi, perkawinan tetap merupakan masa-masa terbaik dengan semua perubahannya yang menghantar orang untuk lebih mengenal dengan baik hubungan-hubungan manusiawi, seksualitas, dan komunikasi yang memenuhi dan memperkaya hakikat perkawinan. Di sini, perubahan dalam beberapa dimensi hidup seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya turut memberikan kontribusi yang positif dalam hidup perkawinan. Misalnya, tumbuh usaha-usaha di bidang ekonomi untuk membantu kesejahteraan keluarga-keluarga tak mampu. Namun di sisi lain, perubahan dalam beberapa bidang hidup itu sekaligus merupakan hal terburuk dalam perkawinan karena menghantar orang pada sikap lebih mudah menyerah dan memutuskan untuk bercerai apabila mereka tidak menemukan jalan keluar yang mereka harapkan (Martos, 1997: 32). Situasi itu justru memberi ruang bagi meningkatnya perselingkuhan, pertengkaran, dan perselisihan yang berujung pada meningkatnya perceraian. Fakta
perceraian
di
masyarakat
kita
dewasa
ini
memang
amat
memprihatinkan. Angka gugatan cerai cukup mencolok. Data jumlah perceraian yang
2
terjadi di Pengadilan Agama Yogyakarta pada tahun 2003 yang lalu, misalnya, mencapai 568 kasus perceraian. Pada tahun 2008, data di Pengadilan Agama Wates, Yogyakarta, menunjukkan angka perceraian mencapai 234 kasus. Kebanyakan gugatan justru dialami oleh pasangan suami istri yang telah mapan ekonomi. Penyebab lain gugatan cerai adalah perkawinan usia muda, tekanan sosial, perselingkuhan, dan persoalan prinsip hidup yang berbeda (“Faktor-faktor yang mempengaruhi
perselingkuhan
dalan
keluarga,”
dalam http://www.skripsi-
tesis.com/07/02/). Dalam lingkup publik, ruang privasi suami istri yang sesungguhnya menjadi milik pribadi mereka justru dipertontonkan di hadapan umum. Ironisnya, hal itu malahan dipandang sebagai sesuatu yang baik. Bertebarannya aneka tayangan tentang trend perceraian, pertengkaran, dan perselingkuhan di kalangan para selebritis melalui media televisi, majalah, dan koran menunjukkan bahwa lembaga perkawinan mengalami kemerosotan nilai. Fakta ini sungguh memprihatinkan. Dewasa ini muncul anggapan bahwa hidup dalam perkawinan dengan satu pasang selama hidup itu terlalu sukar untuk dilaksanakan, atau bahkan mustahil. Karena itu, perceraian menjadi semacam solusi alternatif apabila masa sukar dalam hidup bersama itu muncul. Menurut L. C. Wrenn, seorang hakim di Rota Romana (pengadilan tingkat kepausan di Roma), kebanyakan orang yang menikah dalam negara-negara modern yang hampir semuanya mengakui kemungkinan perceraian sipil, akan menikah dengan maksud bercerai apabila perkawinannya tidak bahagia (Wrenn, 1972: 87).
3
Fenomena perceraian hanyalah salah satu dari sekian masalah yang mengancam penghayatan nilai perkawinan (dekadensi nilai perkawinan). Situasi itu tentu saja menyebabkan krisis yang mendalam. Lembaga keluarga menghadapi banyak kesulitan. Keluarga-keluarga di zaman ini menghadapi tantangan yang lebih besar, yakni terjadinya kemerosotan nilai-nilai kehidupan keluarga, makin menipisnya suasana religius dalam keluarga, seringnya terjadi perselingkuhan, perceraian, dan masih banyak lagi hal-hal yang mengancam keutuhan dan kesatuan dalam keluarga. Keluarga-keluarga kristiani tidak dapat terlepas dari persoalan ini. Keluargakeluarga kristiani tengah menghadapi sebuah fenomena universal, yaitu merosotnya nilai kesetiaan dalam perkawinan. Kesetiaan adalah hal terpenting dalam relasi suami dan istri. Kesetiaan adalah suatu keputusan untuk tetap pada komitmen atau tanggung jawab dalam membangun relasi yang tetap. Dalam keluarga-keluarga kristiani, kesetiaan menjadi tolok ukur keutuhan sebuah perkawinan. Dewasa ini nilai kesetiaan itu mengalami kemerosotan yang amat memprihatinkan. Krisis nilai ini bagaikan virus yang begitu cepat menyebar dan menggerogoti kehidupan keluargakeluarga kristiani. Kesulitan di bidang kesetiaan lebih berat lagi diuji apabila pada saat-saat mengecewakan, masing-masing dari pasangan lari dari kenyataan atau bahkan lari mencari orang lain. Banyak pasangan “kandas” di tengah jalan karena ketidakmampuan mereka keluar dari masa krisis itu. Mereka tidak mampu mengatasi
4
kekecewaan dan kejengkelan atau tak mampu memaafkan kesalahan pasangan sehingga akhirnya mereka memilih untuk berpisah. Fenomena kemerosotan nilai itu menunjukkan bahwa nilai KESETIAAN belum dihayati secara utuh dalam kehidupan keluarga-keluarga kristiani yang terancam keutuhannya. Kesadaran dan penghayatan akan nilai kesetiaan adalah mutlak perlu sebagai syarat demi keutuhan sebuah ikatan perkawinan, demi keutuhan sebuah keluarga. Memang kesetiaan suami istri bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan dan dihidupi, namun kesetiaan itu tetap merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan. Pembahasan tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani adalah perlu dan penting. Mengingat begitu pentingnya nilai kesetiaan dalam perkawinan, maka penulis memutuskan untuk mengangkat tema itu sebagai tema utama dalam seluruh pembahasan skripsi ini. Artinya, dalam karya tulis ini, penulis akan memfokuskan diri untuk membahas tema kesetiaan dalam perkawinan kristiani.
B. Rumusan Permasalahan Munculnya beberapa problem aktual seputar kesetiaan dalam perkawinan. Problem-problem itu antara lain menurunnya penghargaan terhadap martabat manusia dan menurunnya penghayatan terhadap nilai perkawinan itu sendiri. Selain itu, perubahan dan perkembangan di bidang relasi internal keluarga, sosial, ekonomi, beda iman / agama, dan budaya juga menjadi faktor yang mempengaruhi merosotnya nilai kesetiaan dalam perkawinan. Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa
5
pemahaman umat tentang nilai-nilai perkawinan Kristiani masih kurang atau dangkal. Dalam usaha untuk mencari solusi atas problem-problem di atas, penulis berhadapan dengan beberapa persoalan dasar, yaitu: 1.
Apa pandangan Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan?
2.
Bagaimana usaha yang dilakukan dalam mempertahankan nilai kesetiaan dalam keluarga?
C. Tujuan Penulisan Skripsi ini ditulis untuk memberikan masukan kepada para pendamping keluarga-keluarga Katolik agar dapat membantu keluarga-keluarga itu untuk: 1.
Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran-ajaran Gereja mengenai pentingnya kesetiaan dalam perkawinan.
2.
Melakukan usaha-usaha untuk mempertahankan dan melestarikan nilai kesetiaan dalam kehidupan keluarga mereka.
D. Metode Penulisan Penulisan skripsi ini didasarkan pada kerangka metodis utama tinjauan kepustakaan, dengan pendekatan problem solving (pemecahan masalah). Karena itu, penulis juga menggunakan bantuan beberapa metode dalam penguraian dan penjelasan. Metode deskriptif terutama digunakan pada uraian mengenai problematika seputar kesetiaan dalam perkawinan. Di sini, penulis mendeskripsikan
6
beberapa
problem
yang
penulis
temukan
dalam
berbagai
kepustakaan
(literatur).Sementara itu, metode analisa lebih dominan penggunaannya pada bagian ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan, dan usaha-usaha yang dibuat untuk membantu keluarga-keluarga kristiani menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinan.
E. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penulisan yang mendasari penulis skripsi ini, serta metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan skripsi ini dan sistimatika yang susun. Bab II : Problematika seputar kesetiaan dalam perkawinan Bab ini berisi permasalahan-permasalahan konkret yang mendasari penulisan masalah ini. Bab III : Ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan Bab ini berisi tentang pengertian dan hakikat perkawinan kristiani, ajaran Gereja katolik tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan dan beberapa nilai dasar yang menjadi penggerak nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani. Bab IV: Usaha Mempertahankan dan Melestarikan Nilai Kesetiaan Dalam Perkawinan.
7
Dalam bab ini penulis memberikan suatu upaya pastoral untuk membantu keluarga-keluarga kristiani dalam mempertahankan dan melestarikan nilai kesetiaaan suatu perkawinan. Bab V :
Penutup Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan berdasarkan seluruh pembahasan tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani, serta beberapa saran praktis untuk menghayati nilai kesetiaan tersebut.
8
BAB II PROBLEMATIKA KESETIAAN DALAM PERKAWINAN
Perkawinan kristiani dewasa ini berada dalam konteks budaya yang sangat berbeda daripada satu generasi yang lalu. Sejumlah perkembangan mengubah pola dalam mana perkawinan dipilih dan dihayati (Cooke, 1991: 17). Bab ini menggali beberapa problem yang timbul akibat pengaruh perkembangan tersebut dan yang berdampak pada kesetiaan suami istri dalam perkawinan.
A. Berbagai Problem Aktual Kesetiaan Dalam Perkawinan Dalam bagian ini akan penulis uraikan tentang beberapa problem aktual yang berhubungan dengan kesetiaan dalam perkawinan. Masalah-masalah ini diangkat untuk menunjukkan pengaruhnya terhadap penghayatan nilai kesetiaan dalam kehidupan suami istri itu sendiri. Disebut masalah aktual karena masalah tersebut selalu ada dalam lingkup kehidupan suami istri.
1. Menurunnya Penghargaan Terhadap Martabat Manusia Titik tolak dan landasan untuk berbicara tentang perkawinan kristiani terutama adalah dengan melihat suami istri sebagai manusia. Suami istri adalah person-person yang memiliki otonomi, kebebasan dan tanggung jawab. Masingmasing pribadi, baik suami maupun istri, harus dihormati dan dihargai dalam kodratnya sebagai manusia. Sikap saling menghormati dan menghargai antar suami
9
dan istri akan berdampak positif dalam kehidupan rumah tangga mereka. Sebaliknya, jika tidak ada sikap saling menghargai dan menghormati masing-masing pasangan sebagai seorang person, maka ketidakharmonisan dalam rumah tangga dapat tercipta. Situasi seperti ini tentu mengancam keutuhan suami istri tersebut. Pembicaraan tentang suami istri sebagai person yang memiliki otonomi dan kebebasan ini menghantar kita untuk bertanya lebih jauh, siapa sebenarnya manusia itu? Pertanyaan itu sudah berabad-abad lamanya dipikirkan orang. Bermacammacam aliran filsafat, ideologi, dan pandangan hidup mencoba memberikan suatu jawaban yang pasti. Akan tetapi, jawaban yang paling mendasar kita temukan di dalam Kitab Suci (Kej 1:27): Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Allah, yang secitra dengan-Nya (Gilarso, 2003: 34). Manusia adalah “yang di dunia merupakan satu-satunya makhluk, yang Allah kehendaki demi dirinya sendiri” (GS 24). Hanya dia yang “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (GS 12). Karena manusia diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi. Ia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang (KGK 357). Ia adalah person yang memiliki akal budi dan kehendak. Dengan akal budinya manusia dapat memeluk segala apa yang ada dan dengan kehendaknya yang bebas ia sendiri dapat mewujudkan hidupnya (Gilarso, 2003: 34). Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain (KGK 357). Manusia adalah seorang pribadi yang memiliki martabat luhur. Martabat berarti pangkat kita sebagai manusia. Manusia memiliki nilainya di dalam dirinya
10
sendiri. Ia memiliki nilai yang tidak tergantikan. Nilainya sebagai seorang pribadi yang diciptakan secitra dengan Allah sendiri. Paus Yohanes Paulus II, dalam ensiklik Evangelium Vitae yang dipromulgasikan pada tanggal 25 Maret 1995, menegaskan bahwa manusia di dalam hidupnya memiliki “nilai kudus dari sejak awal (kelahiran) sampai akhirnya (mati)” (EV 2). “Nilai kudus” itu dimiliki sama oleh semua orang. Perlu juga disadari bahwa manusia ciptaan Allah itu tidaklah seorang diri. Sejak permulaan Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan. Penciptaan itu telah menunjuk dimensi sosialitas manusia (Groenen, 1993: 54). Manusia adalah makhluk sosial yang hanya dapat hidup dan mengembangkan diri di dalam kebersamaan dengan manusia yang lain. Manusia saling bergantung satu sama lain sejak permulaan hidupnya hingga akhir. Dengan kata lain, manusia adalah pribadi hidup bermasyarakat dan itulah yang merupakan dasar bagi segala hubungan yang dalam masyarakat itu (Gilarso, 2003: 34-35). Pertanyaan selanjutnya adalah manakah tuntutan-tuntutan pokok yang harus dilakukan oleh manusia dalam hidupnya supaya benar-benar menjadi manusiawi? Pertanyaan ini mendapat aneka jawaban dari zaman ke zaman sesuai dengan lingkungan kebudayaan. Konsili Vatikan II, dalam Gaudium et Spes, menegaskan alasan mengapa manusia terus berusaha memberi jawaban atas pertanyaan tersebut. Konsili berkata, “Injil telah dan masih terus membangkitkan dalam hati manusia tuntutan tak terkendali akan martabatnya” (GS 26). Kesadaran akan tuntutan martabat ini merupakan karya Roh, yang menjiwai, menyucikan, dan meneguhkan
11
keinginan-keinginan luhur manusia supaya membuat hidupnya menjadi lebih berperikemanusiaan (KWI, 1996: 16). Setiap orang hanya dapat hidup sebagai pribadi yang terhormat dan mandiri, kalau ia menghayati otonominya dan dengan penuh tanggung jawab membangun serta memelihara kehidupan yang manusiawi. Karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, maka kita pun harus menghormati setiap manusia (Gilarso, 2003: 35). Sikap hormat terhadap martabat pribadi setiap orang tersebut juga dipandang sebagai nilai utama dalam tradisi Kristen (KWI, 1996: 16. 17). Dewasa ini kesadaran akan martabat luhur manusia bertumbuh subur dalam diri setiap orang. Karena itu, secara individu maupun bersama, manusia berlombalomba memberi makna bagi hidupnya. Ada berbagai usaha positif manusia yang mengarah pada pengakuan dan penerimaan dirinya sebagai pribadi yang memiliki akal budi, kehendak, kebebasan, dan tanggung jawab. Sejalan dengan kesadaran dan usaha positif manusia itu, muncul juga berbagai usaha dan dampak negatif yang justru melecehkan martabat luhur manusia. Manusia dengan kemampuan akal budinya dan kebebasannya membuat perubahanperubahan dalam hidupnya. Namun, dan banyak kali terjadi, perubahan itu justru membawa manusia jatuh ke titik terendah dengan tanpa pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensinya, terhadap martabatnya sebagai manusia. Perubahan
dan
perkembangan
yang
berdampak
pada
menurunnya
penghargaan terhadap martabat luhur manusia dapat dilihat dalam beberapa kasus,
12
seperti peperangan, penindasan, pembunuhan, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya. Dalam lingkup perubahan dan perkembangan seperti itu, manusia tidak lagi dipandang sebagai subjek, yaitu pribadi yang pada dirinya memiliki nilai luhur, melainkan sebagai objek semata. Dengan kata lain, manusia yang adalah ciptaan Allah itu hanya digunakan sebagai sarana belaka demi tujuan tertentu (Rausch, 2001: 258). Di sini dehumanisasi tak terhindarkan. Keluarga, yang terdiri dari pribadi-pribadi yang memiliki kehendak dan kebebasan, juga turut mengalami dampak negatif dari perkembangan dan perubahan itu. Konsili Vatikan II menyadari sepenuhnya dampak perubahan dan perkembangan itu dengan menyatakan, Adapun dalam kehidupan keluarga muncullah berbagai ketidakserasian, baik karena kondisi-kondisi kependudukan, ekonomi dan sosial, yang serba mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan yang timbul antara angkatanangkatan yang beruntun, ataupun juga karena hubungan-hubungan sosial yang baru antara pria dan wanita (GS 8). Dapat juga disebutkan di sini beberapa fenomena menurunnya penghormatan terhadap martabat manusia dalam lingkup keluarga. Dewasa ini sering terdengar adanya usaha untuk menggugurkan kandungan (aborsi), kloning anak, perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, dan sebagainya. Dalam konteks fenomena tersebut, manusia tidak lagi dilihat sebagai pribadi yang bermartabat luhur, melainkan hanya sebagai objek atau sarana. Congregation for the Doctrine of the Faith dalam Instruction on Respect for Human Life in Its Origin and on the Dignity of Procreation (1987: 18) menegaskan bahwa “tindakantindakan yang demikian merendahkan derajat manusia ke sekedar material biologis
13
(biological material) yang dapat dibuang”. Aborsi dan kloning, misalnya, dengan mudah membuat kita kehilangan pandangan akan martabat manusia dan kesakralan tindakan kasih suami istri dalam perkawinan. Fakta lain adalah maraknya pelacuran dan perdagangan anak. Dua fakta yang disebutkan terakhir ini telah mengeksploitasi tubuh manusia sebagai sebuah komoditi yang memiliki nilai komersial. Eksploitasi tubuh manusia karena pelacuran tersebut tentu mereduksi martabat luhur manusia ke sekedar materi belaka (Gunawan & Suyono, 2003: 3-4). Dalam konteks perkawinan kita dapat menemukan maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Uraian-uraian di atas hendak menunjukkan bahwa martabat manusia itu amat luhur. Kesadaran akan martabat luhur manusia ini terus membangkitkan daya upaya manusia untuk menerima pengakuan dan penerimaan atasnya. Tetapi di sisi lain, perlu juga disadari bahwa bahaya dehumanisasi dapat saja terjadi sebagai akibat dari usaha manusia itu sendiri. Usaha yang dimaksudkan itu tak lain adalah usaha untuk menggugurkan kandungan (aborsi), kloning anak, perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, dan sebagainya. Kurangnya penghargaan terhadap martabat manusia akan berdampak pada kehidupan sel terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Suami, istri dan anak-anak tidak lagi saling menghargai sebagai seorang pribadi. Yang terjadi justru adalah pengobjekan salah satu pihak. Suami menjadikan istri dan anak-anak hanya sekadar sebagai objek belaka. Dapat juga terjadi sebaliknya, seorang istri menjadikan suami dan anak-anak sebagai objek. Di sini tidak ada lagi sikap saling menghargai satu
14
sama lain, terlebih penghargaan terhadap martabat masing-masing person dalam keluarga itu. Dalam situasi seperti itu, keluarga amat rentan terhadap masalah.
2. Menurunnya Penghayatan Terhadap Nilai Perkawinan Seiring dengan perkembangan zaman lembaga perkawinan pun mengalami berbagai tantangan. Tantangan yang paling nyata adalah menurunnya penghayatan terhadap nilai luhur perkawinan itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terjadi kemerosotan dalam penghayatan nilai perkawinan. Fakta kemerosotan ini dipertegas oleh ajaran iman Gereja yang dinyatakan dalam Konstitusi Pastoral Gereja, Gaudium et Spes, Martabat lembaga perkawinan (keluarga) itu sama-sama berhenti semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cidera lainnya. Selain itu cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosiopsikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tak ringan terhadap keluarga. Akhirnya di wilayah-wilayah tertentu dunia ini dengan cukup prihatin munculnya masalah persoalan akibat pertambahan penduduk. Itu semua menggelisahkan suara hati (GS 47). Keluarga-keluarga kristiani juga tak luput dari persoalan ini. Ada banyak keluarga kristiani yang mengalami persoalan dalam menghayati nilai-nilai dasar perkawinan Katolik. Tantangan dan keprihatinan tersebut berkaitan dengan penghayatan terhadap nilai unitas perkawinan dan kesetiaan secara utuh terhadap pasangan hidup. Tentu ada banyak hal yang bisa disebutkan sebagai indikator menurunnya atau merosotnya penghayatan terhadap nilai perkawinan (GS 47). Namun dalam
15
bagian ini, penulis hanya mengangkat dua hal sebagai indikator kemerosotan tersebut, yaitu fenomena perceraian dan model hidup bersama de facto. Dua hal ini diangkat bukan karena faktor urutan kepentingannya, melainkan lebih sekadar mau menunjuk bahwa hal-hal tersebut turut menjadi penyebab menurunnya penghayatan terhadap nilai perkawinan.
a. Fenomena Perceraian Setiap pasangan suami istri tentunya tidak menghendaki perkawinannya “kandas” di tengah perjalanan. Yang ada dalam pikiran mereka saat mulai menikah adalah bayangan tentang suatu hidup berumah tangga yang penuh kebahagiaan (LK3I KWI, 1994: 15). Namun kenyataan dalam kehidupan bersama membuktikan bahwa ada sekian banyak pasangan suami istri yang tidak dapat merengkuh kebahagiaan itu dan justru memilih untuk mengakhiri perkawinan mereka dengan jalan perceraian. Perceraian memang merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk disimak. Di tengah kehidupan masyarakat kita fakta perceraian dipertontonkan sebagai sesuatu yang lumrah. Berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, terus mempublikasikan kasus-kasus perceraian yang terjadi. Misalnya, ada kasus di mana pasangan suami istri yang baru sehari mengikrarkan janji perkawinannya dengan terbuka telah mengumumkan perceraian keesokan harinya di depan publik. Fakta perceraian itu juga terjadi dalam kehidupan keluarga-keluarga Katolik. Kenyataan itu ditunjuk dalam Katekismus Gereja Katolik: “Dalam banyak negara,
16
dewasa ini terdapat banyak orang Katolik yang meminta perceraian menurut hukum sipil dan mengadakan perkawinan baru secara sipil” (KGK 1650). Perceraian tidak terjadi dengan sendirinya. Tentu ada sesuatu yang menjadi penyebab dibalik peristiwa perceraian itu (Anonim, 1982: 9). Penyebab perceraian terdiri dari banyak segi. Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini sampai pada titik kritis, maka peristiwa perceraian itu berada di ambang pintu (Dagun, 2002: 114). Penyebab lain terjadinya perceraian adalah dinamika kehidupan modern. Makin kompleksnya tuntutan hidup dalam dunia dewasa ini menyebabkan suami istri itu hidup terpisah. Karena tuntutan tugas salah satu dari pasangan, entah suami atau istri, harus berpisah dengan pasangannya dalam jangka waktu tertentu. Dalam situasi seperti itu masing-masing dapat merasa kesepian dan seperti seakan-akan tidak diperhatikan oleh pasangannya. Dalam keadaan seperti itu bisa saja istri atau suami tergoda untuk memutuskan sesuatu sebagai jalan pintas, demi kebutuhan jasmaniahnya (Salawaney, 1998: 73). Perceraian juga bisa terjadi karena kurangnya kesempatan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, ketidakdewasaan dalam sikap dan ucapan, sering timbulnya pertentangan, serta bersifat selalu mementingkan diri sendiri dan tidak menghargai pasangannya (Salawaney, 1998: 73). Dapat juga disebutkan faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya perceraian, yaitu faktor ekonomi, relasi dengan orang lain, perkawinan yang tidak dilandasi rasa cinta, kemandulan, beda agama, dan kurangnya keterbukaan suami istri (Anonim, 1982: 9).
17
Adanya fenomena perceraian dalam kehidupan bersama menunjukkan bahwa penghayatan terhadap nilai perkawinan mengalami kemunduran yang sangat besar. Orang tidak lagi menghargai keluhuran martabat perkawinan. Perkawinan dianggap seakan-akan sebagai sebuah mainan belaka.
b. Hidup Bersama de facto Sebagai Sebuah Alternatif Yang dimaksudkan dengan hidup bersama de facto adalah hidup bersama pria dan wanita sebagaimana layaknya suami istri namun tanpa pengakuan publik oleh lembaga sosial dan keagamaan apapun (FC 81). Pria dan wanita memilih untuk memulai hidup bersama secara diam-diam dan membiarkan keadaan itu berlangsung untuk waktu yang tidak terbatas. Dalam konteks masyarakat Indonesia, kita mengenal istilah yang menunjuk pada bentuk hidup seperti itu, yaitu “kumpul kebo”. Istilah tersebut menunjuk pada fakta hidup bersama pria dan wanita sebagaimana layaknya suami istri. Sama seperti kerbau yang berkumpul dan melakukan kawin-mawin tanpa upacara tertentu, demikian juga pria dan wanita yang de facto memilih hidup bersama sebagaimana layaknya suami istri, tanpa upacara dan pengakuan public (Catur Raharso, 2006: 31). Ada rupa-rupa alasan yang dapat dikemukakan sebagai penyebab terjadinya hidup bersama de facto itu. Sebut saja misalnya alasan keadaan terpaksa karena kesulitan di bidang ekonomi, budaya atau keagamaan. Biasanya pria dan wanita yang hidup bersama model ini memberi alasan bahwa jika mereka menikah dengan cara biasa, mereka akan mengalami kerugian (karena mas kawin yang terlalu mahal), atau
18
akan mengalami diskriminasi (karena pindah agama), atau akan ditolak sebagai anggota suku dan agamanya. Yang lain lagi memilih cara hidup itu karena mereka menolak semua bentuk campur tangan masyarakat dan agama dalam hal kehidupan pribadi mereka. Mereka melawan tatanan sosial dan politik serta agama yang mencampuri urusan pribadi mereka. Sebagian lagi memutuskan untuk hidup bersama de facto karena mereka mengalami situasi yang tidak adil yang menghalangi mereka untuk menikah secara normal (FC 81). Apapun alasan yang diberikan, hidup bersama pria dan wanita seperti itu justru mendiskreditkan nilai perkawinan. Persatuan bersama de facto itu menghilangkan makna religius dari perkawinan (Catur Raharso, 2006: 31). Konsekuensi sosial yang ditimbulkannya juga tidak kecil: hancurnya konsep keluarga, melemahnya rasa kesetiaan dan komitmen pada hal-hal yang serius dalam masyarakat pada umumnya (FC 81).
B. Beberapa Faktor Hidup Yang Berdampak Pada Keutuhan Perkawinan 1. Faktor Kepribadian Hakikat perkawinan adalah persatuan antar dua pribadi pria dan wanita yang saling memberi diri atas dasar cinta (Gilarso, 1996: 9). Yang terjadi dalam perkawinan adalah persatuan dua insan (pria dan wanita) yang memiliki sikap dan karakter yang berbeda. Mereka adalah dua pribadi yang berbeda dalam sikap dan karakternya.
19
Dalam perkawinan, dua pribadi yang berbeda sikap dan karakternya ini bergerak menjadi satu. Injil Matius memberi gambaran mengenai proses dua menjadi satu ini: “Mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:6; Kej 2:24). Namun proses menjadi satu itu dapat terjadi apabila suami istri itu sendiri adalah pribadi yang sudah matang dan siap untuk melupakan diri dan mencintai yang lain. Perkawinan dua pribadi yang belum matang hanyalah merupakan tempat pelarian dan persembunyian. Tentang hal ini Anne Homes (1992: 156) menulis, Jika perkawinan menjadi tempat persembunyian bagi pasangan individuindividu yang lemah yang bersama-sama melarikan diri dari partisipasi aktif, maka perkawinan merugikan pasangan itu maupun masyarakat. Perkawinan persembunyian dari dua individu yang belum matang tidak akan langgeng. Perkawinan “saling membelakangi” dari dua orang yang disatukan oleh kesamaan paranoia dan pertahanan diri terhadap lingkungan sekitar merupakan perkawinan yang tidak kreatif. Proses dua menjadi satu itu memang sebuah proses yang ideal, namun tetap kita sadari bahwa yang ‘satu’ itu tetap terdiri dari dua pribadi yang memiliki keunikannya masing-masing. Karena itu, proses dua menjadi satu perlu diimbangi dengan proses menjadi dua. Kesatuan tidak mungkin merupakan peleburan, melainkan suatu komunikasi dan partisipasi. Suami istri yang bersatu tidak mungkin meleburkan dua pribadi menjadi satu sehingga masing-masing kehilangan identitasnya, melainkan tetap dua pribadi yang mempertahankan identitasnya (Sujoko, 2002: 101-102). Jika kesadaran ini tidak segera dibangun, niscaya setiap pasangan tidak akan mampu menerima keunikan pasangannya. Dan jika ketidakmampuan memahami keunikan pasangan ini terus berlangsung, maka berbagai persoalan dapat muncul
20
dalam kehidupan pasangan suami istri tersebut. Untuk itu suami istri benar-benar harus mempersiapkan diri, saling percaya, dan rela mempertanggungjawabkan kekurangan masing-masing untuk saling melengkapi karena saling mencintai.
2. Faktor Internal Keluarga Faktor internal keluarga yang dimaksudkan di sini adalah lebih menyangkut relasi personal yang dibangun dalam kehidupan keluarga itu; relasi yang dibangun antara suami, istri dan anak-anak. Dengan kata lain, bagian ini hendak menyoroti hubungan atau relasi “ke dalam” yang dibangun di dalam keluarga. Usaha untuk membangun relasi “ke dalam” yang kokoh akan sangat membantu suami istri dalam menjalani hidup perkawinannya. Pada awal perkawinan, biasanya semuanya masih terasa mudah dan berjalan dengan sewajarnya. Suami dan istri masih mau saling mendahului dalam usaha membahagiakan pasangannya dan dengan ikhlas mau berkorban untuk dia. Dalam suasana seperti itu, proses penyesuaian diri antara suami dan istri dapat berjalan dengan lancar dan berhasil. Relasi suami istri yang dibangun masih dekat, intim dan hangat. Namun keadaan seperti itu biasanya tidak berlangsung lama. Selang beberapa waktu kemudian sifat-sifat dan watak yang sebenarnya mulai tampak dan suasana mulai berubah (Gilarso, 1996: 41-42). Ada sekian banyak alasan yang dapat dikemukakan sebagai latar belakang terjadinya perubahan tersebut. Sebut saja misalnya soal usaha penyesuaian diri suami istri satu sama lain. Tantangan pertama yang dihadapi suami istri adalah masalah
21
penyesuaian diri. Ada sejuta hal yang tampaknya kecil tapi perlu disesuaikan, mulai dari selera makan sampai pada perbedaan-perbedaan yang lebih mendasar (Gilarso, 1996: 42). Jika usaha penyesuaian ini mandeg di tengah jalan, niscaya akan berdampak pada relasi suami istri. Alasan lain yang dapat disebutkan sebagai faktor penyebab terjadinya perubahan itu antara lain masalah kehadiran anak yang menyita perhatian dan kesibukan dalam bekerja dan mengejar karir (Salawaney, 1998: 167168). Faktor-faktor ini mengkondisikan suami istri untuk masing-masing hidup dalam dunianya sendiri. Tanpa disadari, relasi mereka yang dahulu dibina dengan baik mulai renggang dan bahkan bisa menjadi ancaman bagi keutuhan perkawinan mereka. Kalau dianalisis dengan lebih saksama lagi, ternyata faktor utama yang menyebabkan renggangnya relasi suami istri adalah karena kurangnya komunikasi antara suami dan istri (Gilarso, 1996: 43). Kurangnya perhatian terhadap pasangan karena kesibukan dalam bekerja misalnya, menjadi sebuah persoalan besar justru karena tidak dibarengi dengan komunikasi yang baik. Entah suami atau istri tidak mengkomunikasikan apa yang dilakukannya, sehingga apa yang dilakukannya itu bisa menimbulkan interpretasi keliru dari pasangannya. Situasi hidup suami istri tanpa komunikasi yang baik ini dapat menimbulkan perasaan jengkel, kecewa, frustrasi dan dapat menyulut kemarahan satu sama lain. Lebih jauh, situasi seperti itu bisa menimbulkan perasaan curiga dan hilangnya kepercayaan terhadap salah satu pasangan. Tanpa komunikasi yang dilandasi dengan penerimaan diri satu sama lain
22
niscaya akan muncul dampak negatif bagi relasi suami istri itu dan tentu mengancam keutuhan perkawinan mereka (Ellis & Crawford, 2004:30).
3. Faktor Sosial Keluarga adalah bagian dari masyarakat. Keluarga merupakan sel pertama dan utama dari masyarakat (the family is the first and vital cell of society) (Rausch, 2001: 258; Salawaney, 1998: 16-17). Dari keluargalah masyarakat menerima pelayanan yang perlu bagi kelangsungan hidupnya. Misalnya, dari keluarga lahir generasi baru yang akan menjadi anggota masyarakat. Dari keluarga, generasi baru manusia mendapatkan dan mengalami proses sosialisasi, yaitu proses di mana anakanak memperoleh pengalaman dasar untuk hidup dengan sesama (LK3I KWI, 1994: 15). Dalam lingkup tinjauan sosiologi keluarga, realitas paling konkret dalam masyarakat ialah keluarga. Masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga konkret, yaitu ayah-ibu dan anak-anak. Masyarakat luas tak lain adalah kumpulan dari keluargakeluarga. Tanpa adanya keluarga-keluarga, tidak mungkin ada masyarakat. Dalam konteks ini peranan keluarga dalam masyarakat adalah vital dan mutlak. Karena kenyataan dalam masyarakat itu pada akhirnya adalah keluarga-keluarga itu sendiri. Kalau dalam setiap keluarga manusia bisa berkembang dengan baik, maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi baik (Sujoko, 2002: 43). Masyarakat adalah kumpulan keluarga-keluarga. Dalam artian itu, masingmasing keluarga memiliki kemungkinan atau peluang yang sama untuk berinteraksi
23
dengan keluarga lainnya. Interaksi tersebut memberi ruang bagi pengakuan dan penerimaan antar individu-individu dalam tiap keluarga. Kebutuhan akan penerimaan dan pengakuan diri ini berkaitan dengan hakikat manusia yang harus hidup bersama; perkawinan merupakan perwujudan pertama dari pemenuhan kebutuhan sosial tersebut (Gilarso, 1996: 10). Kebutuhan akan pengakuan dan penerimaan ini berdimensi ganda. Di satu sisi, sebagai bagian dari anggota masyarakat, suami-istri dan anak-anak membutuhkan pengakuan dan penerimaan secara publik (Gilarso, 1996: 10). Dalam usaha untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan itulah sering timbul persoalanpersoalan baru yang mengancam keutuhan janji setia suami istri dan dapat merusak ikatan dalam keluarga. Misalnya: kehadiran orang ketiga, sikap cemburu yang berlebihan terhadap salah satu pasangan, rasa minder untuk bergaul dengan orang lain, dan seterusnya. Semuanya menjadi ancaman bagi keutuhan perkawinan. Di sisi lain, ada bahaya yang timbul apabila muncul intervensi yang berlebihan dari anggota masyarakat yang lain. Pengaruh dari orang lain tak terhindarkan sebagai konsekuensi langsung dari proses interaksi yang terjadi. Pengaruh itu bisa bersifat positif dan negatif. Sikap kontrol dari masyarakat umum memang dibutuhkan juga dalam kehidupan internal keluarga (Gilarso, 1996: 10). Misalnya, masyarakat mengontrol keluarga untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Tetapi fungsi kontrol itu hanya berlaku pada hal-hal yang bersifat eksternal dari keluarga; soal relasi keluar dari keluarga itu. Jika fungsi kontrol itu berlebihan dan menyentuh hal-hal esensial dalam keluarga, maka hanya pertengkaran
24
dan perselisihan dalam keluarga antara suami, istri, dan anak-anak (jika ada) tak terelakkan lagi. Dampak terburuk adalah hancurnya bangunan perkawinan keluarga tersebut.
4. Faktor Ekonomi Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan dasar manusia yang sangat penting. Manusia membutuhkan pangan, sandang dan papan, kesehatan, pendidikan serta fasilitas-fasilitas lain yang perlu untuk hidup dan berkembang. Hidup berkeluarga memiliki dimensi ekonomis. Para anggota keluarga membutuhkan kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun untuk menghasilkan pendapatan guna mencukupi kebutuhan hidup. Untuk itu diperlukan pekerjaan atau kegiatan ekonomi lainnya yang menjadi sumber penghasilan (Sujoko, 2002: 88). Dimensi hidup dalam bidang ekonomi ini sering terabaikan dan kurang diperhatikan secara serius oleh pasangan-pasangan yang hendak menikah. Padahal bidang ini rentan terhadap persoalan dan bisa menjadi ancaman terhadap keutuhan perkawinan. Kalau ekonomi rumah tangga morat-marit, kebahagiaan rumah tangga sungguh-sungguh dapat terancam (Gilarso, 1996: 135). Salah satu contoh pentingnya bidang ini adalah soal pengaturan keuangan. Faktor uang yang kurang atau yang berkecukupan, keduanya tidak mustahil dapat menimbulkan bahaya, bahkan bisa mendatangkan bencana bila tidak bijaksana dalam pengaturan dan penggunaannya (Salawaney, 1998: 72). Di satu sisi, masalah keuangan yang kurang dan kebutuhan hidup yang terus meningkat dapat saja menjadi
25
faktor yang menyebabkan retaknya rumah tangga. Berhadapan dengan situasi yang sulit (kekurangan uang dan kebutuhan hidup yang terus bertambah), suami istri mengalami frustrasi dan stress (tertekan). Suami istri yang tak mampu keluar dari situasi sulit itu dapat saja memutuskan untuk bercerai. Sering karena masalah uang, suami istri bisa sampai pada perceraian, yang sebelumnya tidak diduga (Salawaney, 1998: 73). Di sisi lain, keluarga yang berkecukupan dalam hal keuangan dapat saja diperhadapkan pada bahaya konsumerisme. Karena berkelimpahan uang, muncul nafsu yang tidak terkontrol entah dalam diri suami atau istri untuk mempunyai barang-barang yang bukan kebutuhan dasar. Barang-barang itu dibeli karena keinginan untuk memiliki sesuatu demi gengsi, bercitra rasa modern dan kelihatan hebat (Hardiwiratno, 2008: 80). Dalam kasus ini entah suami atau istri hanya berusaha untuk mengejar kesenangan dan pemuasan keinginannya. Mereka membelanjakan uangnya untuk memenuhi keinginannya dan bukan memenuhi kebutuhannya (Salawaney, 1998: 78). Masalah muncul tatkala dimensi kesenangan dan kepuasan ini tidak terpenuhi. Banyak juga keluarga yang kemudian retak dan memilih untuk bercerai karena masalah tersebut (Salawaney, 1998: 72).
5. Faktor Beda Iman / Agama Fenomena banyak agama dengan iman kepercayaan yang berbeda-beda adalah fenomena yang umum dalam masyarakat kita. Dalam konteks masyarakat yang majemuk itu, kita hidup dan berinteraksi satu dengan yang lain. Oleh karena interaksi
26
tersebut, maka perkawinan campur (matrimonia mixta) tak dapat dihindari. Yang dimaksudkan dengan perkawinan campur adalah perkawinan antara pihak Katolik dengan pihak non-Katolik baik yang dibaptis maupun tidak dibaptis (Go & Suharto, 1987: 55-56). Perkawinan campur (matrimonia mixta) terdiri atas perkawinan campur beda agama (disparitas cultus) dan perkawinan campur beda gereja (mixta religio) (Go & Suharto, 1987: 143). Dalam konteks perkawinan campur ini masalah kebebasan masing-masing pribadi untuk menentukan pasangan hidupnya ditempatkan pada posisi terdepan. Namun, penentuan pasangan hidup dengan latar belakang agama dan iman yang berbeda atas dasar kebebasan itupun dapat melahirkan sejumlah persoalan yang tak dapat dihindari. Beberapa persoalan yang dapat dikemukakan antara lain: penolakan dari pihak keluarga besar (orang tua dan sanak keluarga), terhambatnya hubungan suami istri, dan kesulitan suami istri dalam mendidik iman anaknya. Bahtera keluarga juga dapat ”kandas” hanya karena masing-masing pasangan tetap mempertahankan keyakinan masing-masing. Kenyataan menunjukkan bahwa perbedaan agama dan perbedaan Gereja adalah faktor yang secara mendalam mempengaruhi keberlangsungan hidup perkawinan
pasangan
tertentu.
Mereka
ini
hidup
dalam
situasi
khusus.
Kekhususannya terletak dalam hal adanya perbedaan antara suami istri di bidang yang sangat pribadi, yaitu soal kepercayaan atau iman (Sujoko, 2002: 129). Kenyataan bahwa mereka memutuskan untuk kawin campur adalah fenomena menarik yang pantas diperhatikan. Hal itu sekurang-kurangnya menunjuk pada dua
27
hal. Pertama, pasangan kawin campur adalah orang-orang yang tidak mau meninggalkan agamanya masing-masing. Mereka diandaikan sebagai orang-orang yang serius menjalankan keyakinan agamanya. Kedua, pasangan itu adalah orangorang yang tidak mau mencampuradukkan antara perkawinan dan agama. Perkawinan adalah keputusan untuk mengikat diri dengan seseorang karena cinta; sedangkan agama adalah relasi khusus seseorang dengan Tuhannya (Sujoko, 2002: 130). Tidak mudah bagi orang yang serius dengan imannya untuk berpindah ke agama lain. Dua alasan yang disebutkan di atas memberi indikasi bahwa pasangan yang memilih untuk kawin campur berada dalam situasi khusus. Dalam kenyataannya, perkawinan campur yang dapat rukun dan bahagia boleh dikatakan jarang. Dalam konteks kawin campur itu, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan pasangan untuk menyikapi kenyataan keputusan mereka untuk hidup dalam perkawinan campur. Tanpa sikap kedewasaan dan kematangan diri ini pasangan suami istri kawin campur berada dalam bahaya yang mengancam keutuhan perkawinan mereka.
6. Faktor Budaya Kebudayaan adalah ekspresi diri, keberadaan dan kepribadian manusia. Manusia mengalami dirinya melalui kebudayaannya. Ia mengungkapkan dirinya melalui kebudayaannya. Budaya memuat emosi-emosi kolektif yang memberikan tempat bagi pengalaman-pengalaman suka dan duka bersama. Manusia disatukan dengan sesamanya dalam kerangka budayanya (Sujoko, 2002: 144).
28
Faktor budaya turut memainkan peranan dalam upaya membangun keutuhan sebuah keluarga. Budaya itu terkait dengan kebiasaan (habits), pola pikir (mindset), pola rasa, dan pola tindak masyarakat tertentu. Orang yang berada dalam lingkup budaya yang sama tentu akan mudah untuk saling memahami karakter, pola pikir, pola rasa, dan pola tindak masing-masing. Hal itu mudah dipahami karena mereka telah menjadi bagian dari budayanya dan terikat dengannya (KWI, 1996: 4). Kesulitan muncul tatkala person dari dua budaya berbeda bertemu dalam ruang dan waktu yang bersamaan. Mereka tentu membutuhkan waktu untuk belajar saling memahami budaya masing-masing. Jika proses belajar dan interaksi itu berjalan baik, maka di sana akan ada sikap saling menerima. Tetapi jika proses belajar dan interaksi itu berjalan mandeg, maka dapat saja timbul konflik antar budaya. Dalam kaitan dengan hidup keluarga, kita bisa menemukan sekian banyak keluarga “lintas budaya”. Dengan keluarga “lintas budaya” dimaksudkan keluarga yang terbentuk dengan latar belakang budaya pasangan yang berbeda-beda. Misalnya, seorang laki-laki dari suku Kei dengan budaya Kei menikah dengan seorang perempuan dengan latar belakang budaya Jawa. Di sini terjadi interaksi antar dua budaya, yaitu Kei dengan budayanya yang keras (bukan kasar) (Ohoitimur, 1996: 28) dan Jawa dengan budayanya yang halus. Jika suami istri ini tidak saling memahami sikap dan karakter pasangannya yang berbeda budaya dengannya, maka niscaya perkawinan atau rumah tangga pasangan tersebut tidak akan berjalan langgeng.
29
Faktor budaya juga dapat saja dipakai sebagai sebuah alasan untuk melegitimasi tindakan tertentu yang sebetulnya tidak dibenarkan oleh budaya itu, tetapi dijadikan sebuah kemungkinan oleh si pelaku. Misalnya, seorang suami dari suku Kei mungkin membenarkan tindakannya untuk memukul istrinya dengan alasan budayanya memberi ruang untuk melakukan tindakan tersebut. Padahal, dalam konteks budaya Kei, wanita justru sangat dihormati. Tindakan kekerasan terhadap wanita dilarang oleh hukum adat setempat (Ohoitimur, 1996: 12-19). Tindakan kekerasan atas nama budaya justru makin memberi ruang bagi renggangnya hubungan suami istri. Fakta lain adalah keluarga-keluarga yang mengalami perpindahan lintas budaya. Mereka yang berpindah ke daerah lain atau menjadi pengungsi di lingkungan masyarakat lain. Keluarga-keluarga seperti itu akan merasa tercabut dari akar budayanya dan mengalami keterasingan yang berat (Sujoko, 2002: 144). Ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan budaya yang baru dapat mempengaruhi secara negatif kehidupan internal keluarga tersebut.
C. Kesimpulan Kita selalu berharap agar pasangan suami istri berada dalam situasi normal. Dalam arti bahwa mereka hidup dan berada dalam pernikahan yang sah, rukun, harmonis, penuh kasih dan terpenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Di sana ada sikap saling menghargai antar suami istri sebagai manusia yang bermartabat. Tetapi kita tidak dapat menyangkal bahwa ada sekian banyak pasangan suami istri yang
30
juga hidup dalam keadaan tidak normal. Mereka diperhadapkan pada begitu banyak persoalan yang menghadang dari luar atau yang mereka ciptakan sendiri. Dalam kondisi seperti itu mereka berjuang untuk mempertahankan mahligai perkawinannya. Ada yang berhasil keluar dari situasi seperti itu, tetapi tidak sedikit juga yang tidak mampu mempertahankan perkawinannya dan memilih untuk berpisah. Pilihan terakhir ini tentu memprihatinkan karena terkait erat dengan komitmen awal suami istri untuk hidup setia seumur hidup dalam perkawinan. Berhadapan dengan berbagai problem yang muncul dan menghadang kehidupan mereka, ada sebagian suami istri yang lebih memilih untuk memutuskan ikatan perkawinannya. Mereka tidak lagi setia terhadap janji perkawinannya. Padahal, kita tahu bahwa kesetiaan merupakan dasar dan landasan konsekuensi dari janji pernikahan, untuk berbagi kasih dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Kesetiaan memberikan jaminan lestarinya kerukunan, ketentraman, kedamaian dan cinta kasih di antara suami istri (LK3I KWI, 1994: 21). Dalam bab selanjutnya kita akan melihat begitu pentingnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani. Dasar kesetiaan dalam perkawinan kristiani itu kita temukan dalam ajaran Gereja sendiri.
31
BAB III AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM PERKAWINAN
A. Perkawinan Kristiani 1. Hakikat Perkawinan Kristiani Hidup berkeluarga adalah sebuah realitas manusiawi. Melalui perkawinan seorang pria dan wanita membentuk hidup berkeluarga. Realitas manusiawi yang disebut perkawinan itu direalisasikan dalam bentuk yang beragam. Mengingat beragamnya wujud perkawinan itu, maka C. Groenen mengusulkan suatu definisi yang sangat umum tentang perkawinan sebagai berikut: Perkawinan adalah hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita (entah seorang atau beberapa orang) justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang oleh masyarakat yang bersangkutan (kurang lebih luas) sedikit banyak diatur, diakui dan dilegalisasikan (Groenen, 1993: 19). Definisi perkawinan di atas sangat umum dan dimaksudkan untuk memberi tempat bagi berbagai macam kemungkinan bentuk hidup berkeluarga dalam berbagai budaya. Pertanyaan bagi kita adalah apa sesungguhnya perkawinan kristiani itu? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab karena pertanyaan tersebut mengarah pada upaya untuk merumuskan hakikat perkawinan kristiani itu sendiri. Menurut Bernard Cooke, dalam bentuk-bentuk lahiriah dan penampilan sosialnya, perkawinan orang-orang Kristen tidak terlalu mencolok berbeda dengan perkawinan-perkawinan lain dalam masyarakat. Orang kristen kawin menurut polapola budaya di mana mereka hidup. Hanya saja yang membedakan adalah
32
pemahaman orang kristen tentang apa artinya dihubungkan satu sama lain “di dalam Tuhan” (Cooke, 1991: 43). Oleh karena kita hendak menemukan apa sesungguhnya hakikat perkawinan kristiani itu, maka langkah yang tepat adalah berusaha memahami ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja pasca Konsili Vatikan II tentang perkawinan kristiani. Landasan persekutuan hidup suami istri kita jumpai pertama dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam Kej 2:24 disebutkan bahwa wanita diciptakan karena pria, namun pria harus meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Königsmann, 1989: 20). Segi persekutuan ini ditekankan kembali dalam Perjanjian Baru, terutama dalam Mat 19:1-12 dan Mrk 10:1-12. Dalam Mat 19:1-12 Yesus menegaskan bahwa dalam rencana Allah yang asli, penciptaan perkawinan bersifat tidak terceraikan dan tidak ada instansi manusiawi manapun yang dapat mengakhiri persatuan demikian (Bergant & Karris, 2002: 62). Dalam Mrk 10:1-12 inti pesan Yesus adalah tuntutan kepada suami istri untuk hidup dalam kesetiaan serta persatuan selamanya sampai mati (Bergant & Karris, 2002: 100). Dari Mat 19:1-12 dan Mrk 10:1-12, kita dapat menyimpulkan pandangan Yesus mengenai hakikat perkawinan sebagai berikut: perkawinan ialah kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang dipersatukan oleh Allah sendiri, sedemikian erat sehingga keduanya bukan lagi dua melainkan satu (Hadiwardoyo, 1988: 22). Persekutuan hidup pria dan wanita di dalam perkawinan itu kemudian direfleksikan lebih lanjut dalam ajaran Gereja. Pra Konsili Vatikan II, Gereja masih
33
memandang dimensi persekutuan hidup pria dan wanita dalam perkawinan itu lebih sebagai sebuah kontrak. Pandangan ini dapat ditemukan dalam KHK 1917, kanon 1012 (Rubiyatmoko, 2001: 3). Dengan kontrak dimaksudkan persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan atau menghindarkan sesuatu. Perkawinan merupakan sebuah kontrak karena didirikan dengan adanya persetujuan bilateral antara seorang pria dan seorang wanita (Rubiyatmoko, 2001: 3). Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang perkawinan kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra (Dwi Joko, http://yesaya.indocell.net/id814.htm).
Meskipun
Konsili
Vatikan
II
tidak
menggunakan istilah kontrak, tapi tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kontrak, karena di dalam perjanjian perkawinan itu terdapat unsur-unsur kontraknya, yaitu forma (kesepakatan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita), objek (kebersamaan seluruh hidup), dan akibat (hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seluruh hidup). Dalam kanon 1055 kedua istilah tersebut justru digunakan untuk menunjuk kedua unsur pokok dari perkawinan, yaitu sebagai foedus dan sekaligus contractus (Rubiyatmoko, 2001: 4). Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Konsili menekankan bahwa perkawinan bersifat personal. Dimensi personal dari perkawinan itu terletak pada kenyataan bahwa perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang
34
wanita untuk hidup bersama atas dasar persetujuan pribadi. Karena itu Konsili menegaskan tentang perkawinan sebagai, Persekutuan hidup suami istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi (GS 48). Elemen paling esensial yang membentuk perkawinan kristiani adalah cinta suami istri (Groenen, 1993: 321-325). Karena dasarnya adalah cinta suami istri, maka hakikat perkawinan kristiani adalah persekutuan antara dua pribadi, pria dan wanita, untuk saling menerima dan saling mencintai seumur hidup, dengan kewajiban-kewajiban dan hak-haknya yang khas (Gilarso, 2003: 89; Martos, 1997: 10; Mirsel, 2001: 102). Dengan kata lain, perkawinan menunjuk relasi suami istri, yaitu persekutuan hidup dan cinta yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik. Persekutuan hidup itu berlangsung seumur hidup, sampai maut memisahkan.
2. Tujuan Perkawinan Kristiani Suami istri tidak hanya sekadar membentuk sebuah persekutuan hidup dalam ikatan perkawinan. Dalam kanon 1055 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta keterbukaan pada kelahiran (bonum prolis) dan pendidikan anak (Königsmann, 1989: 26; Rubiyatmoko, 2001: 4). Di samping itu, perkawinan juga diarahkan untuk
35
mengembangkan kehidupan iman (bonum religionis), dan untuk mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat (bonum societatis) (Sujoko, 2002: 49). Secara singkat tujuan perkawinan kristiani dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Demi kebahagiaan / kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) Perkawinan bertujuan untuk kebahagiaan suami istri. Kebahagiaan suami istri tersebut didasarkan pada cinta kasih antar pribadi (Gilarso, 1996: 11). Cinta kasih itu bercorak personal. Cinta kasih suami istri itu, karena coraknya yang personal, dan atas gairah kehendak dari pribadi menuju kepada pribadi, mencakup kesejahteraan seluruh pribadi (Sujoko, 2002: 48). Cinta yang demikian mampu juga memperkaya ungkapan-ungkapan jiwa maupun raga dengan keluhuran yang khas dan mulia sebagai tanda keakraban suami istri.
b. Keterbukaan pada kelahiran anak (bonum prolis) Tujuan ini secara spontan disadari oleh setiap pasangan yang mau menikah. Pada umumnya mereka menikah dengan tujuan untuk memperoleh keturunan (anak). Tujuan ini dianggap sebagai tujuan hakiki dari perkawinan. Perkawinan pada hakikatnya tertuju kepada adanya kelahiran baru dan pendidikannya (Sujoko, 2002: 48). Tujuan untuk memperoleh keturunan ini seringkali bukanlah hal yang mudah. Tidak jarang dibutuhkan keberanian pasangan untuk berkorban dengan cara menerima tugas dari Tuhan untuk menjadi sarana penciptaan
36
kehidupan baru. Dengan cara itu suami istri menjadi mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta (Sujoko, 2002: 48).
c. Untuk mengembangkan kehidupan iman (bonum religionis) Orang yang menikah biasanya mulai lebih sungguh-sungguh dalam hidupnya. Dalam perkawinan, suami istri disadarkan bahwa hidup berkeluarga juga bertujuan untuk saling membantu dalam hal iman. Kalau waktu sebelum menikah suami istri mungkin kurang memperhatikan hidup iman, kini mereka wajib untuk saling mengingatkan supaya lebih sungguh-sungguh menghayati iman. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk mendidik anak-anak, terutama di bidang penghayatan iman (Sujoko, 2002: 49).
d. Untuk ambil bagian dalam kehidupan masyarakat (bonum societatis) Perkawinan menghasilkan status baru dalam masyarakat. Status baru tersebut memberikan hak-hak dan kewajiban yang tidak dimiliki oleh orang yang belum menikah. Misalnya hak untuk mengikuti pertemuan atau perkumpulan yang hanya diperuntukkan bagi keluarga-keluarga (Sujoko, 2002: 49). Pada kenyataannya orang-orang yang bekerja di segala bidang kehidupan masyarakat adalah para anggota keluarga. Mereka pergi dari rumah ke tempat kerja dan pulang ke rumah ke dalam keluarga. Mengingat
37
kenyataan ini, maka suasana keluarga adalah sangat penting bagi mutu pelayanan kerja. Kalau situasi rumah tangga tidak baik, maka pekerjaan orang tidak bisa dilakukan dengan baik (Sujoko, 2002: 49). Peran sosial keluarga ini membuka mata bagi suami istri untuk menyadari kaitan erat antara suasana rumah tangga mereka dan mutu pelayanan masyarakat. Menciptakan rumah tangga yang baik menjadi syarat untuk melayani masyarakat dengan baik. Dan masyarakat yang baik akan menguntungkan bagi keluarga-keluarga itu juga (Sujoko, 2002: 50). Di sini terjadi relasi timbal-balik yang saling mempengaruhi.
3. Sifat-sifat Hakiki Perkawinan Kristiani Perkawinan kristiani pada hakikatnya bersifat unitas, indissolubilitas, dan sakramental. Kan. 1056 menyatakan, “sifat-sifat hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan) yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen”. a. Unitas Menjadi suami dan istri berarti suatu perubahan total dalam kehidupan seseorang. Dalam Kej 2:24 dikatakan: “Seorang laki-laki meninggalkan ayahibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Mat 19:5; Mrk 10:7-8). Hidup yang demikian itu tidak berarti hidup dua orang bersama, tetapi hidup menjadi satu orang (satu daging); hidup seorang pria dan seorang wanita dalam sebuah ke-satu-an relasi sebagai suami istri
38
(Catur Raharso, 2006: 85). Inilah dimensi kesatuan (unitas) dalam ikatan perkawinan kristiani atau monogami (KWI, 1996: 435-436). Kesatuan (unitas) dalam perkawinan menunjuk suatu kebaruan dalam hidup suami istri; mereka telah menjadi satu manusia baru. Suami hidup dalam istrinya, dan istri dalam suaminya. Kesatuan mereka bukan hanya kesatuan badan, melainkan kesatuan seluruh hidup, jiwa dan raga (KWI, 1996: 436). Kesatuan itu merupakan kesatuan yang eksklusif. Disebut eksklusif karena kesatuan itu menunjuk pada kesatuan cinta suami dan istri yang tak terbagi kepada orang lain (Catur Raharso, 2006: 86; Gilarso, 1996: 12). Pada titik ini mereka lebih leluasa untuk saling mencintai satu sama lain sebagai seorang pribadi.
b. Indissolubilitas Cinta suami istri menuntut kesetiaan sejati dari keduanya (Gilarso, 1996: 12). Ini merupakan konsekuensi dari pemberian diri yang dilakukan oleh suami istri. Cinta menuntut kepastian, dan kepastian berarti memberikan jaminan bahwa cinta itu tidak hanya berlaku sementara atau hanya bersifat percobaan belaka (KGK 1646). Maka Kristus menegaskan, “Apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia” (Mrk 10:9). Di sinilah terletak dasar ajaran Gereja, bahwa sifat tak dapat diputuskannya perkawinan (indissolubilitas) mempunyai dasar dan kekuatannya dalam
39
Kristus. Yesus Kristus sendiri menghendaki ikatan perkawinan yang bersifat tak terputuskan itu (Mat 19:6; Mrk 10:9). Dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa hidup dalam perkawinan dengan satu orang selama hidup itu terlalu sukar dilaksanakan, atau bahkan mustahil. Maka, amat penting untuk mewartakan kabar gembira, bahwa Allah mencintai manusia dengan cinta yang definitif dan tak terbatalkan. Suami istri justru mengambil bagian dalam cinta ini. Dengan pengungkapan cinta mereka yang definitif dan tak terbatalkan, suami istri menjadi saksi-saksi cinta Allah kepada manusia (KGK 1648).
c. Sakramental Sifat sakramental perkawinan dapat kita tinjau dari dua dimensi, yaitu dimensi yuridis dan teologis. Dasar yuridis sifat sakramental pekawinan kita temukan dalam kanon 1055. Dalam kanon tersebut disebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen (§1), sehingga sifat perkawinan di antara orang-orang yang dibaptis adalah sakramen (§2) (Rubiyatmoko, 2001: 4-5; Königsmann, 1989: 25). Secara konkret, perkawinan menjadi sakramental kalau pasangan suami istri sanggup menerima sakramen atau kalau mereka telah dipermandikan. Akibatnya, perkawinan antara dua orang yang belum dipermandikan belum sakramen. Bagi pasangan yang telah dibaptis, ketika mereka saling memberikan konsensus atau perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi
40
sah sekaligus sakramen. Sebaliknya, apabila salah seorang dari pasangan tidak dibaptis, perkawinan itu pun bukan perkawinan sakramental (Königsmann, 1989: 26). Bagaimana dengan perkawinan campur beda Gereja? Apakah perkawinan tersebut juga disebut sakramental? Sekali lagi perlu ditekankan bahwa perkawinan antara dua orang Kristen yang dibaptis sah (Kan 849) adalah sakramen. Gereja Katolik juga mengakui baptisan dalam Gereja Kristen yang lain. Karena itu, perkawinan antara seorang Katolik dengan orang Kristen yang dibaptis dalam Gereja lain adalah juga bersifat sakramental (Königsmann, 1989: 54). Secara teologis, dengan sifat sakramental perkawinan dimaksudkan bahwa perkawinan bukanlah institusi sosial-manusiawi semata, melainkan institusi religius yang memiliki dimensi supranatural atau ilahi. Sifat sakramental tersebut terletak pada penghayatan iman dan kerangka teologis tertentu. Mengatakan bahwa perkawinan Katolik adalah sakramen sama dengan mengatakan bahwa orang-orang Katolik menikah dalam suatu penghayatan iman tertentu yang khas. Penghayatan iman itu bertumpu pada kasih Allah. Allah sendiri mengangkat peristiwa perkawinan sebagai sakramen, tanda atau lambang kehadiran-Nya (Rausch, 2001: 173), yang terungkap secara definitif dalam relasi kasih Kristus dengan Gereja-Nya (Ef 5:22-32). Sebagai tanda kehadiran Allah, perkawinan kristiani tidak dapat terceraikan oleh siapa pun kecuali oleh
41
kematian, sehingga cinta kasih suami istri itu menjadi lestari dan abadi atas dasar saling mencintai dan saling setia (Sukasworo, 2000: 7).
B. Kesetiaan Sebagai Konsekuensi Logis dari Hakikat Perkawinan Kristiani Kita telah melihat bersama beberapa sifat hakiki perkawinan kristiani. Sifat unitas perkawinan kristiani berarti perkawinan hanya mungkin antara seorang pria dan seorang wanita (Königsmann, 1989: 27; Rubiyatmoko, 2001: 5). Sifat unitas perkawinan kristiani menghendaki suami istri untuk hidup hanya dengan satu pasangannya saja. Suami istri harus menghayati perkawinan sedemikian rupa, sehingga perkawinan berkembang baik dan tidak dirusakkan (Königsmann, 1989: 27). Dimensi kesatuan itu diperkuat lagi melalui ketakterceraian dan kesetiaan penuh dari suami istri (Catur Raharso, 2006: 91). Sifat indissolubilitas perkawinan berarti perkawinan itu bersifat tetap dan tak bisa diputuskan oleh kuasa manapun atau oleh instansi manusiawi manapun, kecuali oleh kematian (Rubiyatmoko, 2001: 6). Dengan kata lain, ikatan perkawinan yang indissolubel itu berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini (Dwi Joko, http://yesaya.indocell.net/id814.htm).
Ikatan
perkawinan
yang
indissolubel
menghendaki suami istri untuk hidup setia seumur hidup mereka. Sifat unitas dan indissolubilitas perkawinan itu memperoleh kekuatan khusus atas dasar sakramen. Dengan itu perkawinan juga bersifat sakramental. Perkawinan yang bersifat sakramental itu membuat suami istri menjadi tanda nyata dan
42
pengejawantah cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Sakramentalitas perkawinan menghendaki suami istri untuk hidup saling setia seumur hidup, seperti Kristus yang setia kepada Gereja-Nya. Dasar dari sifat-sifat hakiki perkawinan kristiani di atas dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cinta kasih total tanpa syarat dan secara eksklusif (Dwi Joko,
http://yesaya.indocell.net/id814.htm). Karena itu, dari
kodratnya cinta perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat oleh suami istri. Itu merupakan akibat dari penyerahan diri dalamnya suami istri saling memberi diri (KGK 1646). Dengan kata lain, dimensi kesetiaan merupakan konsekuensi logis dari sifat unitas (kesatuan atau monogam), indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan), dan sifat sakramental perkawinan kristiani. Dasar terdalam dari kesetiaan seumur hidup ini terletak pada kesetiaan Allah sendiri pada perjanjian-Nya, khususnya seperti nampak dalam kesetiaan Kristus yang tak pernah pudar terhadap Gereja. Kesetiaan Kristus inilah yang diungkapkan melalui kesatuan hidup suami istri yang diikat dalam sakramen perkawinan. Dengan kata lain, lewat sakramen perkawinan kesetiaan yang tak terceraikan antara suami istri mendapat makna yang baru dan lebih mendalam (Widharsana, 1990: 9; KGK 1639-1640).
43
C. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Suami Istri 1. Yahwe yang setia kepada bangsa Israel Kasih setia Allah kepada umat pilihan-Nya selalu menjadi titik pangkal refleksi iman bangsa Israel. Berbagai peristiwa yang dialami oleh bangsa Israel, terutama peristiwa keluaran dari perbudakan dan penindasan di Mesir selalu menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Walaupun berulangkali Israel jatuh dalam dosa, namun Allah tetap setia dan karena kesetiaan-Nya Israel diselamatkan. Melalui para nabi dan para bijak, bangsa Israel yang berlaku tidak setia kepada Allahnya ditegur dan dikritik. Para nabi dan para bijak tak henti-hentinya menanamkan kesadaran kepada umat akan kasih setia Allah yang menyelamatkan itu. Para nabi dan para bijak berulangkali menggambarkan hubungan kasih setia Allah dan Israel dengan menggunakan gambaran hubungan kasih setia suami istri Yehezkiel misalnya tampil dengan menceritakan permulaan Israel dalam sebuah alegori mengenai Yerusalem sebagai istri yang tidak setia kepada Allah (Yeh 16:163). Teks Yeh 16:1-63 yang merupakan bab terpanjang dari kitab ini dipilih karena merefleksikan secara mendalam hubungan Allah dan Israel yang dapat diaplikasikan ke dalam bentuk hubungan suami istri pada situasi masa kini (Bergant & Karris, 2002: 599). Dalam Yeh 16:1-63 Allah digambarkan sebagai suami dan Israel (Yerusalem) adalah istri-Nya. Yehezkiel melukiskan Israel (Yerusalem) sebagai anak yatim yang ditelantarkan oleh orang tua dan sanak saudaranya. Allah menemukan Yerusalem
44
yang terlantar itu dan memeliharanya. Seluruh kebutuhannya dipenuhi. Kemudian Allah pergi. Ketika Yerusalem tumbuh menjadi dewasa, Allah kembali lagi dan menikahi kota itu, membanjirinya dengan hadiah dan mengambilnya sebagai istri (Bergant & Karris, 2002: 599). Yerusalem termashur di antara bangsa-bangsa karena kecantikannya yang luar biasa. Wibawanya bagaikan seorang putri raja. Namun kecantikan dan kemashurannya justru telah menyesatkan kota itu. Yerusalem bersundal dengan orang-orang yang lewat (ayat 15). Ia merenggangkan pahanya bagi siapa saja, termasuk orang Mesir (ayat 26), Asyur (ayat 27-28), dan Babel (ayat 29). Ia merayu dan membayar para pencinta untuk datang kepadanya (ayat 30-34). Demikianlah Yerusalem melacurkan dirinya dan berlaku tidak setia kepada Allah, Suaminya (Bergant & Karris, 2002: 599). Walaupun Israel (sang istri) berlaku tidak setia dengan melacurkan dirinya, namun Allah (Suami Israel) tetap setia kepada Israel (Widharsana, 1990: 3). Allah mengadakan kembali perjanjian-Nya dengan Yerusalem (Yeh 16:62-63). Dengan kemurahan yang melimpah, Allah memaafkan Yerusalem (Bergant & Karris, 2002: 600). Demikian Allah tetap berlaku setia kepada Yerusalem dan tetap mencintainya dengan cinta yang penuh. Gambaran seperti tersebut di atas juga secara eksplisit dapat kita temukan dalam Kitab Nabi Hosea, yang mempunyai bukti asli tentang realitas tersebut di dalam keluarganya sendiri (Hos 1:2-9; 3:1-5). Istri Hosea, Gomer, meninggalkannya dan melakukan perzinahan. Hosea diperintahkan oleh Yahwe untuk membujuknya
45
dan membawa kembali. Hal tersebut dilakukan oleh Hosea. Ia memaafkan Gomer dan membangun kembali ikatan perkawinannya yang telah hancur (Eminyan, 2001: 69). Realitas perkawinan seperti yang dialami Hosea menjadi simbol relasi kasih setia Allah kepada umat-Nya. Kasih setia Allah ini sekali lagi menjadi titik pangkal refleksi iman tentang kesetiaan suami istri, tentang penghayatan kesetiaan hidup dalam perkawinan. Kesetiaan Allah kepada Israel adalah landasan kesetiaan suami istri. Karena Allah setia mengasihi umat-Nya, maka komitmen untuk membangun kesetiaan dalam perkawinan antara suami istri merupakan dasar perjanjian cinta mereka dan sekaligus menjadi lambang betapa eratnya hubungan persatuan Allah dengan umat-Nya. Dengan saling setia dan saling mencintai, suami istri telah mewujudkan hakikat kodrati cinta Allah dalam kehidupan mereka (Widharsana, 1990: 1). Karena Allah setia mengasihi umat-Nya, maka komitmen untuk membangun kesetiaan dalam perkawinan antara suami istri merupakan dasar perjanjian cinta mereka dan sekaligus menjadi lambang betapa eratnya hubungan persatuan Allah dengan umat-Nya (Hos 2:21; Yer 3:6-13; Yes 54). Kemurnian dan kesetiaan hubungan itu tidak dapat dinodai oleh motivasi saling melacurkan diri di bawah perkawinan (Yeh 16:25). Oleh karena itu, suami istri harus taat pada panggilan mereka untuk mewujudkan kasih Allah itu dengan tetap saling mengasihi dan mempertahankan kesetiaan mereka (Hos 3).
46
Dengan landasan kasih setia Allah, suami-isteri dipanggil untuk saling membahagiakan, kemudian bersama-sama berusaha membagikan kebahagiaan untuk seluruh keluarga dan seluruh masyarakat. Dengan demikian, keduanya sungguhsungguh menjadi gambaran dari Allah, yang sempurna.
2. Kristus yang setia kepada Gereja-Nya Selama Perjanjian Lama Allah mencintai umat Israel sebagai kekasih-Nya, Putri Sion yang disayangi-Nya, dipelihara-Nya. Lambang cinta kasih Allah dan umat-Nya diteruskan dalam relasi Yesus, Mempelai Pria dengan Gereja-Nya sebagai mempelai perempuan (LK3I KWI, 1994: 11). Bagaikan pokok anggur dengan ranting-rantingnya, demikian juga relasi kasih setia Kristus dengan umat-Nya tak terpisahkan (Yoh 15:1-8). Relasi kasih setia antara Kristus dengan Gereja-Nya direfleksikan dengan sangat mendalam oleh St. Paulus dalam Efesus 5:22-32. Bagi Paulus, relasi kasih Kristus dengan Gereja-Nya merupakan dasar bagi relasi suami istri dalam hidup perkawinannya. St. Paulus menerangkan misteri perkawinan itu sebagai lambang cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Relasi kasih setia suami istri harus mengacu pada gambaran kasih setia Kristus kepada Gereja-Nya. Karena itu, ada dua pola yang selalu digunakan Paulus untuk menggambarkan pola relasi tersebut. Pola pertama digunakan untuk menunjuk apa yang seharusnya dibuat oleh seorang istri: “sebagaimana jemaat …, demikian jugalah istri …”. Pola kedua digunakan untuk menunjuk tugas dan peranan seorang suami: “seperti Kristus …, demikian pula suami …” (Bergant & Karris, 2002: 349).
47
Seperti Kristus adalah kepala Gereja, demikian pula suami adalah kepala dari istrinya, dan seperti tubuhnya, Gereja adalah taat kepada Kristus, demikian juga seorang istri harus taat sepenuhnya kepada suaminya. Seperti Kristus mengasihi Gereja dan memberikan diri-Nya sepenuhnya kepadanya, demikian pula seorang suami harus mengasihi istrinya sepenuhnya seperti ia mengasihi dirinya sendiri (Ef 5:33; Mat 22:39; Mrk 12:31; Luk 10:27). Selanjutnya Paulus juga menambahkan dukungan dari Kitab Suci dengan mengutip Kej 2:24 untuk menunjukkan persatuan suami istri dalam satu tubuh Kristus yang adalah Gereja (Mat 19:25; Mrk 10:7). Maka, setiap suami didorong untuk mengasihi istrinya dan istri dinasehati untuk menghormati suaminya (Bergant & Karris, 2002: 349). Realitas perkawinan seperti digambarkan oleh St. Paulus dalam Efesus 5:2232 menerangkan kekayaan relasi pria dan wanita dalam perkawinan sebagai simbol relasi Kristus dengan Gereja-Nya (Rausch, 2001: 173). Kristus mengasihi GerejaNya. Gereja sebagai umat Allah, termasuk di dalamnya suami istri sebagai bagian dari umat Allah. Relasi cinta kasih suami istri dilihat sebagai relasi cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya, yang tidak lain adalah suami istri itu sendiri (Martos, 1997: 25; Groenen, 1993: 387; KWI, 1996: 437; Mirsel, 2001: 100-101). Paulus menyebut cinta kasih antara Gereja dan Yesus Kristus sebagai suatu misteri yang dalam dan mulia (Ef 5:32). Suatu ikatan cinta kasih yang sempurna dan kekal, yang tak pernah akan dapat diputuskan. Kasih Kristus itu adalah suatu Perjanjian Baru dan kekal, yang dimeteraikan dengan darah-Nya sendiri. Kristus mengorbankan diri-Nya untuk pengudusan umat-Nya, kekasih-Nya (LK3I KWI,
48
1994: 11-12). Maka, seperti Kristus dan Gereja tak bisa diceraikan lagi, begitu juga janji perkawinan antara pria dan wanita murid Kristus tak bisa diceraikan lagi (LK3I KWI, 1994: 12). Perkawinan di antara pria dan wanita yang dibaptis memiliki dasar di dalam Kristus. Atas dasar itu, cinta suami istri yang dipersatukan dalam ikatan perkawinan adalah tanda yang hidup (a living sign), tanda yang efektif (the effective sign), simbol yang penuh (fulfilled symbol), dan epifani yang nyata (the real epiphany) dari cinta Allah yang tampak dalam Kristus, Mempelai Gereja (Kasper, 1980: 35). Cinta suami istri adalah tanda nyata hubungan yang mendalam antara Kristus dan Gereja (Mirsel, 2001: 103). Cinta suami istri adalah sebuah relasi cinta yang meluap dari kesatuan Kristus dengan Gereja (Kasper, 1980: 37).
D. Kesetiaan Perkawinan Dalam Magisterium 1. Kesetiaan Perkawinan Menurut Bapa-bapa Gereja Bapa Gereja adalah sebutan bagi para teolog dan pujangga yang berpengaruh dan hidup di era awal Gereja Kristen. Ajaran mereka mendasari pengajaran Gereja tentang perkawinan. Bapa-bapa Gereja memandang hidup berkeluarga sebagai gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga perkawinan bersifat seumur hidup, monogam, dan tak terceraikan. Mereka juga memandang perkawinan sebagai suatu bentuk pelayanan yang bercorak ekklesial. Mereka menekankan kesamaan panggilan dan tugas pelayanan hidup perkawinan dengan bentuk hidup lainnya dalam Gereja (Sujoko, 2002: 144).
49
Dalam bagian ini saya mengangkat pemikiran dari beberapa Bapa Gereja tentang perkawinan, antara lain Ignatius dari Antiokhia, Tertulianus, Klemens dari Alexandria, St. Ambrosius dari Milan, dan St. Augustinus dari Hippo. Saya menguraikan secara garis besar beberapa pokok pemikiran mereka.
a. Ignatius, Uskup Antiokhia di Siria (+ thn. 110) Ignatius adalah uskup Antiokhia di Siria (thn. 35-110). Ia wafat sebagai martir di kota Roma pada pemerintahan Kaisar Trayanus (thn. 98-117 M). Suratsuratnya yang ditulis sekitar tahun 110 M merupakan dokumen tertua yang berbicara tentang perkawinan orang Kristen. Dalam suratnya kepada Polycarpus, uskup Smirna, Ignatius menulis, Katakanlah kepada para saudari (perempuan Kristen), agar mencintai Tuhan dan mencukupi dirinya dengan teman hidup secara badaniah dan rohaniah. Demikianpun hendaklah menyuruh para saudaraku, agar mengasihi teman hidupnya (istri) seperti Tuhan (mengasihi) jemaah (bdk. Ef 5:15,29). […] Patutlah laki-laki yang kawin dan perempuan yang kawin mengikat persatuannya dengan persetujuan uskup, agar perkawinan nyata sesuai dengan Tuhan dan tidak sesuai dengan hawa nafsu. Semuanya mesti demi penghormatan Allah (A Polic. 5, 7. Terkutip dalam: Groenen, 1993: 159160). Dalam kutipan suratnya di atas, secara tersirat, Ignatius mengajarkan tentang kesetiaan antara suami istri; bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya (Willis, 1966: 438). Di sini Ignatius menerapkan ajaran Paulus dalam Ef 5 tentang hubungan Kristus dan Gereja-Nya sebagai model hubungan suami istri. Kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya merupakan model kesetiaan yang ideal bagi suami istri. Dengan landasan hubungan Kristus-Gereja itu,
50
maka hidup dalam perkawinan diangkat dan diintegrasikan ke dalam tata penyelamatan Kristen (Groenen, 1993: 160. 161). Bagi Ignatius, perkawinan yang dibangun atas dasar hubungan Kristus-Gereja itu harus dikukuhkan atau diteguhkan secara gerejani (Hadiwardoyo 1988: 29). Hal itu dimaksudkan agar pria dan wanita yang sepakat untuk membangun hidup bersama tidak sekadar mendasarkan keputusan untuk hidup bersama itu atas dasar hawa nafsu belaka. Semuanya harus sesuai dengan kehendak Tuhan dan demi penghormatan diri-Nya. Ignatius hidup dalam masyarakat zamannya yang memiliki kebiasaankebiasaan tidak terpuji. Kenyataan zamannya yang bercorak Hellenis menunjukkan adanya kebiasaan seorang istri menceraikan suaminya dan kawin lagi dengan lakilaki lain. Karena itu, Ignatius mengajarkan bahwa suami istri harus mencukupi dirinya hanya dengan pasangannya saja dan mereka harus mengasihi satu sama lain, seperti Kristus mengasihi mereka. Dengan ini sebenarnya Ignatius menolak suami istri yang bercerai dan kawin lagi (Groenen, 1993: 160). Dengan menolak perceraian, Ignatius memberi tekanan yang lebih pada dimensi kesetiaan suami istri dalam perkawinan. Lebih lanjut, Ignatius mengajarkan bahwa hubungan suami istri harus menyentuh secara badaniah dan rohaniah, lahir-batin. Ignatius tidak hanya memberi tekanan pada aspek lahiriah dari hubungan suami istri seperti hubungan seksual, tetapi juga aspek personal-rohaniah (Groenen, 1993: 160). Pemenuhan kebutuhan
51
lahiriah dan batiniah ini memungkinkan perkawinan tetap teguh dan memberi kondisi yang positif bagi suami istri untuk saling setia.
b. Tertullianus (+ thn. 220) Kehidupan Quintus Septimus Florens Tertullianus dapat diketahui melalui dokumen-dokumen yang ditulis oleh orang-orang yang hidup satu abad sesudah Tertullianus dan dari referensi-referensi yang kabur dalam tulisannya sendiri (Britannica 11, 2002: 652). Atas dasar itu, sebuah garis besar hidupnya direkonstruksi, tetapi informasi yang lebih mendetail tentang dirinya masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Tertullianus dilahirkan di Kartago (sekarang Tunisia), Afrika Utara, sekitar tahun 160 M. Tertullianus meninggal di usia lanjut, beberapa tahun setelah tahun 220 AD. Selama kurang lebih dua puluh sampai dua puluh lima tahun hidupnya diabdikan untuk menulis, sehingga berbuahkan berbagai karya yang bermutu. Di sepanjang hidupnya ia menulis secara luas mengenai iman Kristen (Britannica 11, 2002: 653).
Salah satu dimensi hidup kristiani yang menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan-tulisan Tertullianus adalah mengenai perkawinan. Bagi Tertullianus, perkawinan adalah sebuah bentuk hidup yang pantas untuk dipuji. Karena itu, dalam Ad uxorem (to his wife), II,9, Tertullianus memuji hubungan suami istri setinggi langit dan mengakhiri pujiannya dengan berkata: “Bila mendengar dan melihat hal semacam itu (keselarasan suami istri) Kristus bersukacita, mengutus damai sejahtera-
52
Nya; di mana ada dua, di sana Dia; di mana Dia, di sana si jahat tidak ada” (Groenen, 1993: 161-162). Tertullianus mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi (Willis, 1966: 438). Dalam Ad uxorem, II,9, Tertullianus menulis, Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dan dimeteraikan oleh berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa? […] Betapa mengagumkan pasangan itu; dua orang beriman, dengan satu harapan, satu keinginan, satu cara hidup, satu pengabdian! [Mereka yang adalah] anak-anak dari satu Bapa, abdi dari satu Tuhan! Tidak ada pemisahan antara mereka dalam jiwa maupun dalam raga, tetapi sungguh dua dalam satu daging. Bila dagingnya itu satu, satu pulalah roh mereka” (Terkutip dalam: KGK 1642; Lih. Le Saint, 1951: 35). Tertullianus memandang perkawinan secara positif dan bergembira bersama mereka yang memilih cara hidup itu. Bagi Tertullianus, perkawinan antara dua orang beriman itu sungguh mengagumkan. Karena dengan memilih hidup bersatu sebagai suami istri dalam perkawinan, mereka menjadi satu dalam harapan, keinginan, cara hidup, dan pengabdian. Dengan persatuan ini, mereka tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah. Di sini, Tertullianus sejalan dengan Ignatius dari Antiokhia yang menolak perceraian dan menghendaki suami istri hidup dalam kesetiaan satu sama lain (Le Saint, 1951: 3134).
53
c. Klemens dari Alexandria (+ thn. 214) Klemens dari Alexandria (150-216) dipandang sebagai teolog Kristen yang pertama. Ia memberi pandangan yang positif tentang perkawinan. Dalam Stromatheis IV,20, Klemens menulis, Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan firman Allah (1Tim. 4:3-5) memang disucikan, jika persetujuan perkawinan itu menaklukan diri kepada Allah dan diikat dengan hati yang jujur, dengan iman (=kesetiaan) penuh, pada mereka yang membersihkan diri dari dosa dan membasuh badannya dengan air yang tahir serta sehati dalam pengharapan yang sama (Terkutip dalam: Groenen, 1993: 163). Klemens dengan jelas memaksudkan bahwa perkawinan yang sesuai dengan ketetapan ilahi diangkat, disucikan, dan diikutsertakan dalam tata penyelamatan baru. Perkawinan itu dikuduskan oleh baptisan yang diterima dan dengan demikian bersama orangnya, perkawinannya berkenan dihadapan Allah dan dimasukkan ke dalam tata penyelamatan baru (Groenen, 1993: 183; The Stromata, or Miscellanies, IV,3). Bagi Klemens, tujuan perkawinan adalah untuk menurunkan anak-anak secara sah. Karena itu, setiap hubungan seksual di luar perkawinan bukan demi keturunan merupakan perkosaan terhadap kodrat. Walaupun begitu, ia juga menegaskan bahwa perkawinan bukanlah hanya untuk hubungan seksual, melainkan juga untuk membentuk kebersamaan hidup yang akan memungkinkan suami istri untuk saling mengembangkan kepribadian (Hadiwardoyo, 1988: 30). Masyarakat pada zamannya adalah masyarakat yang menghalalkan poligami. Klemens hidup dalam situasi zaman seperti itu. Karena itu, dengan sikap tegas
54
Klemens melarang orang Kristen untuk melakukan poligami. Klemens menegaskan bahwa Gereja hanya mengakui sah perkawinan yang pertama saja (Hadiwardoyo, 1988: 31). Dengan penegasan semacam itu, Klemens menutup ruang bagi adanya praktek poligami. Klemens memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci karena sesuai dengan firman Allah. Karena itu, setiap hal yang menodai kesucian perkawinan itu (seperti poligami) ditolak. Suami istri harus hidup dengan satu pasangan saja seumur hidup, sehingga menjadi jelas bahwa mereka sungguh-sungguh diikat dengan hati yang jujur, dengan kesetiaan penuh, dan karena itu mereka menjadi satu dalam pengharapan.
d. Ambrosius dari Milano (+ thn. 397) Ambrosius adalah uskup di Milano. Ambrosius wafat pada tahun 397 M. Di kawasan barat Ambrosius mengingatkan kepada suami istri bahwa mereka mesti hidup setia dengan pasangannya. Dalam De Abrahamo, I,VII Ambrosius memberi landasan bagi kesetiaan suami istri itu sebagai berikut: Kami mengatakan bahwa Allah seolah-olah ketua dan penjaga perkawinan. Dan Ia tidak membiarkan ranjang perkawinan orang lain dicemarkan (bdk. Ibr. 13:4). Kami mengetahui bahwa orang yang berbuat demikian berdosa terhadap Allah, yang hukum-Nya ia langgar dan kasih-karunia-Nya ia rusakkan. Maka oleh karena berdosa melawan Allah, ia kehilangan penyertaan dalam sakramen surgawi (Terkutip dalam: Groenen, 1993: 164). Menurut Ambrosius, suami istri yang tidak setia akan kehilangan penyertaan dalam sakramen surgawi (sacramenti caelestis consortium). Agaknya ia berpikir
55
kepada “sakramen” perkawinan Kristus dengan Gereja (Ef. 5:32). Maka menurutnya, suami istri yang setia menjadi peserta dalam “sakramen surgawi”, yang boleh dikatakan “hadir” dalam hidup mereka sebagai suami istri. Dengan kata lain, ikatan mantap suami istri mencerminkan di dunia ini ikatan surgawi antara Kristus dan Gereja-Nya. Semuanya itu berarti bahwa perkawinan Kristen membuat suami istri secara khusus menjadi peserta dalam tata penyelamatan, yang diciptakan Yesus Kristus (Groenen, 1993: 184). Kembali nyata bahwa seluruh perkawinan diintegrasikan ke dalam tata penyelamatan baru (Groenen, 1993: 164). Perkawinan adalah sesuatu yang luhur. Allah sendiri menjadi ketua dan sekaligus penjaga perkawinan itu. Dengan kasih setia-Nya, Allah menjaga dan mengawal suami istri dalam perkawinannya. Karena itu, setiap tindakan suami istri yang hanya mencemarkan “ranjang perkawinannya” adalah tindakan yang merusak kasih karunia Allah. Suami istri berdosa terhadap Allah yang dengan setia menjaga perkawinan mereka. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa, bagi Ambrosius, ketidaksetiaan suami istri adalah bentuk pelanggaran terhadap kasih setia Allah. Sebaliknya dengan hidup setia, suami istri mengamalkan kasih setia Allah di dalam hidup mereka.
e. Augustinus dari Hippo (+ thn. 430) Dari dunia Latin, Augustinus adalah tokoh Patristik yang paling masyur (Sujoko, 2002: 115). Pemikirannya mengenai perkawinan dipandang sebagai sebuah sintesa dari pemikiran Bapa-bapa Gereja sebelumnya. Buah pemikirannya tentang
56
perkawinan itu kemudian selama berabad-abad mendominasi pemikiran serta kebiasaan Kristen (Cooke, 1991: 54). Melawan pandangan Manikheisme (=ajaran Mani, lahir di Persia tahun 215, yang mengajarkan bahwa perkawinan dan melahirkan itu salah; bahwa hubungan seksual dengan siapa saja itu baik) yang merendahkan martabat perkawinan dan pandangan Yovinianus yang lebih mengagungkan
perkawinan,
Augustinus
menegaskan
ajarannya
mengenai
perkawinan dalam banyak kesempatan (Hadiwardoyo, 1988: 33; Groenen, 1993: 25, 90; O’Collins & Farrugia, 1996: 188). Bagi Augustinus, perkawinan mempunyai martabat yang suci, karena didirikan dan diberkati oleh Allah dan direstui oleh Yesus Kristus. Perkawinan merupakan jalan kesempatan, sebab melalui komunitas yang suci itu suami istri masuk ke dalam Masyarakat Allah (Civitas Dei), yakni kelompok orang-orang terpilih yang akan dihantar pada keselamatan abadi (Hadiwardoyo, 1988: 33). Augustinus melihat sesuatu yang lebih bermakna pada hubungan Kristus dan Gereja. Paulus menyebutnya sebagai suatu “perlambangan suci”, yang kemudian diterjemahkan sebagai sacramentum dalam bahasa Latin. Augustinus memberi alasan bahwa sejak hubungan Kristus dan Gereja menjadi suatu lambang hubungan suami istri, kekuatan hubungan pertama harus ada dan sama teguhnya dengan hubungan kedua. Dengan kata lain, bilamana orang Kristen melangsungkan perkawinan, mereka telah disatukan dalam ikatan sakramental yang tak pernah dapat diceraikan. Sakramentalitas perkawinan kristiani itu berarti perkawinan merupakan sebuah tanda eskatologis, sebuah tanda kesatuan final antara Tuhan dan manusia yang diwujudkan
dalam
57
kesatuan
Kristus
dengan
Gereja-Nya
(Hunter,
http://www.jknirp.com/aug3.htm). Dengan alasan sedemikian, Augustinus mencoba untuk mengemukakan suatu pendapat teologis bagi keteguhan ikatan perkawinan (Martos, 1997: 16). Dalam bukunya De bono coniugali, Augustinus menyatakan bahwa perkawinan memiliki tiga makna yang luhur, yakni: makna keturunan atau prokreasi (bonum prolis), makna kesetiaan (fides), dan ikatan sakramen (sacramentum) (Willis, 1966: 438; Hadiwardoyo, 1988: 33). Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya dan tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah. Karena itu, suami istri dituntut untuk dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian hati tetap menjaga sakramentalitas perkawinannya (Willis, 1966: 438). Dengan kata lain, bagi Augustinus, karena sifat sakramental perkawinan itu, maka suami istri harus setia satu sama lain (Groenen, 1993: 188).
2. Kesetiaan Perkawinan Menurut Konsili Vatikan II Untuk waktu yang lama umat Katolik hidup di bawah bayang-bayang paham abad pertengahan tentang perkawinan sebagai kontrak. Konsili Vatikan II (19621965) dengan mengemukakan pemahaman modern tentang perkawinan telah menghantar kembali umat kepada pemahaman tentang perkawinan berdasarkan Kitab Suci, yaitu sebagai persekutuan (Hadiwardoyo, 1988: 112-113). Konsili mengartikan perkawinan sebagai “suatu persekutuan hidup dan kesatuan cinta” (GS 48). Dalam artian itu, Konsili menekankan pemberian atau penyerahan diri
58
seutuhnya (total self donation, total giving of self). Karena itu, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (Dwi Joko, http://yesaya.indocell.net/id814.htm). Cinta kasih suami istri menerima pengakuan sebagai unsur yang tidak dapat tidak harus ada dalam hidup perkawinan yang otentik. Bahkan cinta suami istri (amor coniugalis) itu dipandang sebagai fundamen perkawinan. Cinta kasih itu adalah sesuatu yang sangat manusiawi karena berasal dari seorang pribadi kepada pribadi yang lain melalui dorongan kehendak. Kesejahteraan seluruh pribadi tercakup di dalam pengungkapan cinta kasih itu (GS 49). Di sini martabat perkawinan menempati posisi yang utama dalam pemahaman Konsili (Cooke, 1991: 13-14). Konsili menyadari sepenuhnya bahwa dewasa ini martabat luhur perkawinan itu dikaburkan oleh poligami, perceraian, cinta bebas, dan penyelewengan lainnya. Cinta pernikahan diperkosa oleh cinta diri, hedonisme, dan praktek kontrasepsi (GS 47). Di samping itu, pengguguran (aborsi) dan pembunuhan anak melecehkan martabat manusia (GS 51) dan berdampak pada menurunnya nilai perkawinan. Terhadap berbagai “cacat-cedera” yang merusak martabat perkawinan itu, Konsili meneguhkan kembali pandangan Kristen mengenai keluhuran dan kesucian perkawinan. Umat Kristen dihimbau untuk memperbarui semangat Kristen dalam bidang perkawinan dan hidup berkeluarga (GS 52) (lih. Hadiwardoyo, 1988: 111114).
59
3. Kesetiaan Perkawinan Menurut Dokumen Pasca Konsili Vatikan II a. Paus Paulus VI (+ thn. 1979): Eratnya relasi kesetiaan dan cinta (Ensiklik Humanae Vitae) Paus Paulus VI terpilih untuk menggantikan Paus Yohanes XXIII yang wafat pada tahun 1962. Ia tetap meneruskan Konsili Vatikan II yang telah dimulai oleh pendahulunya, dan berusaha untuk melaksanakan amanat Konsili itu. Sesudah Konsili, Paulus VI menghadapi sebuah kenyataan baru dalam perjalanan Gereja yang dipimpinnya; sebuah kenyataan bahwa ada sebagian warga Gereja yang dengan cepat membaharui diri, sedang sebagian lainnya amat lamban dalam menerapkan ajaran Konsili (Hadiwardoyo, 1988: 115). Sejak Konsili Vatikan II, salah satu masalah utama yang berkaitan dengan perkawinan adalah soal moralitas alat-alat dan cara-cara pencegahan kehamilan. Paulus VI meneruskan usaha Yohanes XXIII untuk menangani masalah pelik ini. Menanggapi harapan begitu banyak orang Katolik yang menantikan pedoman yang tegas dari Gereja mengenai masalah tersebut, Paus Paulus VI menerbitkan ensikliknya yang berjudul Humanae Vitae pada tanggal 25 Juli 1968 (Hadiwardoyo, 1988: 115-116). Dalam Humanae Vitae, Paulus VI menekankan pentingnya unsur cinta suami istri dalam perkawinan. Ia memberikan gambaran yang jelas mengenai ciri-ciri pokok cinta suami istri, yakni manusiawi, penuh, setia serta ekslusif, dan subur (HV 9). Atas cara itu, dan menjawab persoalan riil yang ada saat itu, Paulus VI menegaskan bahwa keterarahan kepada kelahiran dilihat sebagai salah satu ciri dari
60
cinta suami istri sendiri. Di sini ia menekankan tentang persatuan suami istri yang terarah kepada kelahiran anak (HV 11). Nilai kesatuan cinta suami istri tak terpisahkan dari nilai kelahiran anak. Anak lahir dari kesatuan cinta itu (Sujoko, 2002: 15). Di samping itu, ciri monogam dan tak terceraikan pun dilihat sebagai ciri dari cinta sejati. Dan akhirnya, cinta tersebut diakui sebagai sesuatu yang manusiawi, yakni sesuatu yang “sensibilis” dan “spiritualis” sekaligus. Karena itu, cinta suami istri harus merupakan kekuatan untuk menyatukan keduanya secara rohani-jasmani (Hadiwardoyo, 1988: 116-117).
b. Paus Yohanes Paulus II (+ thn. 2005): Sebuah kebersamaan dalam hidup (Ensiklik Familiaris Consortio) Paus Yohanes Paulus II terpilih untuk menggantikan Paus Yohanes Paulus I (+ thn. 1978), yang hanya memimpin Gereja selama sebulan setelah wafatnya Paus Paulus VI, pada tahun 1978 (Hadiwardoyo, 1988: 122). Sebelum terpilih menjadi Paus, Yohanes Paulus II sudah menerbitkan sebuah buku mengenai teologi dan filsafat perkawinan, yang berjudul “Cinta dan Tanggung jawab”. Surat apostoliknya mengenai perkawinan yang berjudul Familiaris Consortio diterbitkan pada tanggal 22 November 1981. Di dalamnya ia menegaskan kembali teologi perkawinan Katolik, dan juga disiplin Gereja sebelumnya (Hadiwardoyo, 1988: 123-124). Menurut Yohanes Paulus II, suami istri dipanggil ke dalam persekutuan hidup yang penuh dan menyeluruh berkat perkawinannya dalam arti kodrati dan bahkan
61
lebih lagi, berkat perkawinannya yang ditingkatkan menjadi sakramen. Dalam persekutuan hidup itu, suami istri saling memberi diri atas dasar cinta kasih satu sama lain (Yohanes Paulus II, 1994: 9). Tugas utamanya adalah menghidupi realitas kebersamaan itu dengan penuh cinta dan dengan seluruh keberadaannya turut serta membangun komunitas pribadi-pribadi yang saling mencinta (FC 17-18). Yohanes Paulus II menegaskan bahwa manusia diciptakan karena cinta dan diutus untuk mencinta. Mereka yang menikah, dalam kebersamaan seluruh hidupnya, harus saling mencintai secara penuh, baik secara jasmaniah maupun batiniah (FC 11). Cinta suami istri merupakan ungkapan dan perwujudan cinta antara Allah dan umat-Nya, perjanjian kasih yang setia. Maka ketidaksetiaan suami istri tidak cocok dengan hakikatnya sebagai simbol kesetiaan cinta Allah (FC 12) (Hadiwardoyo, 1988: 125). Dalam ensiklik Familiaris Consortio, Yohanes Paulus II juga menerangkan dengan baik tentang Yesus Kristus, Mempelai Gereja dan Sakramen Perkawinan. Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa persatuan antara Allah dan umat-Nya dipenuhi secara lengkap dalam Yesus Kristus. Sebab Yesus Kristus adalah Mempelai Pria yang mengasihi Gereja-Nya dengan cinta dan kesetiaan yang tiada taranya. Cinta kasih Kristus itu dicurahkan sampai wafat di kayu salib (FC 13). Karena itu, dalam kebersamaan seluruh hidupnya, suami istri dipanggil untuk hidup dalam cinta kasih Kristus, taat dan setia kepada pasangan seumur hidup seperti Kristus yang setia kepada Gereja-Nya. Atas cara itu, suami istri menjadi kenangan hidup akan cinta
62
Kristus kepada Gereja-Nya yang begitu besar, sampai Ia rela mati di kayu salib (Cooke, 1991: 77-80).
E. Beberapa Nilai Dasar Sebagai Penggerak Kesetiaan Dalam Perkawinan 1. Membina keadilan dan cinta dalam keluarga Apa sesungguhnya yang menjadi intisari dari cinta itu? Intisari cinta bukan suatu perasaan belaka, suatu simpati atau rasa senang pada orang yang dicintai, melainkan suatu pengakuan dari dia yang dicintai (Sujoko, 2002: 11). Orang yang sungguh-sungguh mencintai pasangannya akan berkata kepada kekasihnya: “Saya senang dan berterima kasih bahwa kau ada, bahwa kau hidup”. Di sini terungkap pengakuan akan eksistensi orang lain (yang dicintai). Cinta kasih sejati pada dasarnya senang karena orang itu ada. Orang itu dicintai seperti adanya. Eksistensi dari kekasih disambut dengan gembira dan diakui (Komisi Kateketik Keuskupan Manado, 2003: 6-7). Dalam lingkup perkawinan, cinta kasih suami istri (amor coniugalis) adalah poros kehidupan keluarga (Gilarso, 2003: 89). Hakekat cinta sejati suami istri adalah pengakuan akan eksistensi masing-masing, baik suami maupun istri. Suami istri yang saling mencintai akan menerima pasangannya seperti adanya, dengan kelemahan dan kekurangannya. Maka, suami istri yang baik dan yang saling mencintai tidak akan menuntut pasangannya hanya untuk dirinya sendiri saja, melainkan untuk membantu dan mendampingi pasangannya (Gilarso, 2003: 97).
63
Cinta kasih yang kuat mengandung di dalamnya rasa keadilan. Kedua nilai ini saling bertalian. Orang tidak bisa mengatakan bahwa ia memiliki rasa keadilan tanpa cinta, atau sebaliknya, memiliki cinta tanpa keadilan. Adil (Yunani: dikaios) berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak berpihak. Adil juga berarti berpegang pada kebenaran, tidak berlaku sewenang-wenang, dan bertindak sesuai dengan hukum (lih. “adil”, dalam KBBI, edisi 3, thn. 2007; Léon-Dufour, 1990: 99). Suami istri yang saling mencintai berlaku adil bila masing-masing tidak menuntut sesuatu yang melebihi batas kemampuan pasangannya, berlaku benar baginya, dan tidak melakukan hal-hal yang semena-mena terhadap pasangannya. Lebih dari semua itu, suami istri yang saling mencintai berlaku adil bila mereka saling mengakui dan saling menerima keber-ada-an masing-masing. Kedua nilai ini, cinta dan keadilan, menjadi penggerak dasar nilai kesetiaan dalam hidup perkawinan. Suami istri berlaku setia satu sama lain atas dasar persatuan cinta kasih mereka dan rasa keadilan satu terhadap yang lain. Karena itu, cinta sejati dan sikap adil suami istri itu perlu dipelihara dan dikembangkan menuju ke persatuan yang makin lama makin kuat dan erat (Gilarso, 2003: 89).
2. Bijaksana dalam keputusan dan tindakan Suami istri yang membangun kebersamaan hidup dalam ikatan perkawinan dipanggil menjadi orang yang bijaksana. Kebijaksanaan hidup suami istri itu dibangun atas dasar pengalaman hidup, di mana ditemukan kebijaksanaan Allah sendiri (Sir 1:1) (Darminta, 2006: 16-17). Asal usul kebijaksanaan ialah pemberian
64
ilahi yang disebut juga ‘takut akan Allah’ (Léon-Dufour, 1990: 177). Allah itu Mahabijaksana. Suami istri kristiani justru dipanggil untuk mengambil bagian dalam kebijaksanaan Allah itu. Dalam realitas hidup perkawinan, sikap bijaksana suami istri terungkap dalam setiap keputusan dan tindakan mereka. Kesulitan dan tantangan yang paling umum dihadapi oleh setiap pasangan suami istri dalam perkawinan adalah bagaimana menyeimbangkan prioritas dalam setiap putusan dan tindakan (Hahn, 2007: 59). Keputusan dan tindakan yang gegabah bisa berdampak pada sikap ketidakpercayaan dari pihak lain. Dan hal itu justru menjadi ancaman dalam sebuah perkawinan. Oleh karena itu, sikap bijaksana dalam keputusan dan tindakan turut menjadi faktor yang menentukan dalam kehidupan keluarga.
3. Kesabaran sebagai buah iman Kata “sabar” berarti tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati); tabah, tenang, tidak tergesa-gesa (lih. entri “sabar”, dalam KBBI, edisi 3, thn. 2007). Kata “sabar” juga memiliki makna secara teologis. Kesabaran adalah ciri khas dari Allah yang tidak melupakan orang-orang pilihannya yang menderita dan yang tahu menunda waktu agar pendosa bertobat. Dalam diri Kristus, kesabaran Allah itu menjadi nyata. Kristus dengan sabar menanggung dosadosa manusia dan menyelamatkan manusia melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Pada gilirannya, oleh kuasa Roh, manusia harus bersikap sabar terhadap sesamanya,
65
harus berlapang hati dalam kasih; sabar menghadapi cobaan dalam hidupnya (LéonDufour, 1990: 479-480). Rasul Paulus merumuskan “kesabaran” itu sebagai esensi dari cinta kasih. Ia menegaskan, “kasih itu sabar; […] Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4.7). Dalam lingkup perkawinan, kesabaran merupakan esensi dari pengungkapan cinta suami istri. Suami istri yang saling mencintai harus bersikap sabar terhadap pasangannya dalam segala situasi. Kesabaran juga merupakan konsekuensi langsung dari kesepakatan bebas suami istri yang diikrarkan dalam janji perkawinan. Dalam janji perkawinan disebutkan: “Saya, … (nama), mengambil engkau, … (nama), menjadi istriku/suamiku. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam sakit dan sehat”. Apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus bahwa kasih itu “…, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:7) terungkap dalam janji setia suami istri untuk selalu bersama “dalam untung dan malang, sakit dan sehat”.
4. Kesetiaan seumur hidup Di dunia ini tidak ada kesetiaan yang sempurna seperti kesetiaan Kristus. Dalam seluruh hidup-Nya, Kristus selalu setia pada panggilan dan perutusan-Nya yaitu menyelamatkan umat manusia. Kesetiaan-Nya terbukti pada kesediaan-Nya untuk menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan dunia.
66
Kesatuan suami istri sebenarnya harus diarahkan menjadi seperti kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya. Dia tetap setia, meskipun manusia tidak setia kepadaNya (2Tim 2:13). Kesetiaan seperti itu memungkinkan suami istri untuk saling menyerahkan diri secara total sampai mati, seperti Kristus telah menyerahkan diriNya sampai mati, bagi Gereja-Nya (Fil 2:8).
F. Kesimpulan Di atas kami telah memaparkan ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan. Gereja berkewajiban untuk mengajarkan kepada anggota-anggotanya betapa luhurnya perkawinan dan betapa indahnya hidup dalam kesetiaan sebagai pasangan suami istri. Dengan mengajarkan tentang kesetiaan dalam perkawinan tidak berarti bahwa Gereja mengendalikan atau mengatur perkawinan (Burtchaell, 1990: 23). Memang sering muncul kesan bahwa Gereja mengatur perkawinan anggotaanggotanya. Padahal Gereja hanya menghendaki anggota-anggotanya menghayati luhurnya martabat hidup perkawinan itu. Pilihan sikap ada di tangan suami istri, apakah mereka mau hidup dalam kesetiaan sebagai pasangan suami istri dalam ikatan perkawinan yang sakramental atau sebaliknya, mengakhiri peziarahan sebagai suami istri.
67
BAB IV USAHA MEMPERTAHANKAN DAN MELESTARIKAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN
Sejalan dengan harapan Gereja sebagaimana terungkap dalam bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis coba menampilkan profil keluarga kristiani yang ideal dan gambaran suami istri yang setia. Keluarga kristiani yang ideal tak terlepas dari berbagai problem hidup. Maka, pada bagian akhir dari bab ini penulis menawarkan beberapa usaha kepada pasangan suami istri untuk mempertahankan dan melestarikan nilai kesetiaan dalam perkawinan, terutama dalam situasi konflik.
A. Profil Keluarga Kristiani dalam Magisterium Pengembangan hidup keluarga menuntut adanya kejelasan model keluarga yang ideal. Dalam bagian ini akan disajikan profil keluarga kristiani yang ideal sebagai gambaran bagi suami istri. Dengan belajar dari profil keluarga kristiani yang ditawarkan suami istri diharapkan dapat menata kehidupan keluarganya.
1. Membentuk Komunitas Pribadi Gereja Katolik secara konsisten menegaskan bahwa seorang manusia wajib dihormati sebagai pribadi sejak dari saat awal pembuahan, yakni saat paling awal dari keberadaannya (KGK, 2378). Setiap pribadi diciptakan seturut gambar dan citra
68
Allah, dan sebab itu memiliki martabat hakiki yang melampaui segala makhluk ciptaan lainnya (GS 12; Eminyan, 2001: 85). Proses penciptaan pribadi-pribadi itu terjadi dalam dan melalui keluarga (LG 11). Karena itu dapat dikatakan bahwa tugas pertama dan utama dari keluarga adalah membentuk komunitas pribadi-pribadi (FC 18-27). Keluarga adalah persekutuan antar pribadi yang saling memberi, saling mencintai, saling melengkapi, dan berpengharapan dalam kasih yang tak terbatas (GS 48). Keluarga terdiri dari beberapa pribadi yang mempunyai relasi timbal-balik secara intensif. Relasi itu meliputi relasi suami, istri, dan anak-anak. Relasi itu terjadi dalam kaitan hubungan darah (keluarga inti), yang didasarkan pada cinta kasih sebagai satu kesatuan hidup (LK3I KWI, 1994: 20). Relasi yang terjadi antara orangtua dan anak-anaknya bukan hanya bersifat manusiawi (hubungan darah) melainkan juga bersifat rohani, yaitu relasi kasih itu sendiri. Sebagai komunitas pribadi keluarga perlu secara terus menerus membangun komunitas yang lebih otentik dengan dasar cinta (Hello, 2004: 13). Tanpa cinta keluarga tidak dapat tumbuh, berkembang, dan menyempurnakan diri sebagai suatu komunitas pribadi yang hidup (LK3I KWI, 1994: 20). Cinta adalah dasar dan bangunan bagi relasi keluarga. Cinta antar anggota keluarga memberikan kekuatan dan hidup yang mendalam bagi keluarga itu (GS 49). Dengan dasar cinta yang begitu mendalam di antara mereka, maka setiap anggota keluarga memiliki tanggung jawab untuk membangun keluarga sebagai komunitas pribadi-pibadi (FC 18). Tanggung jawab itu dibangun atas kesadaran bahwa kita membutuhkan hidup orang lain agar
69
kita juga hidup (Burtchaell, 1990:23). Setiap anggota keluarga saling membutuhkan untuk hidup, bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi manusia yang otentik. Keluarga yang membangun hidupnya atas dasar cinta merupakan tempat setiap anggota keluarga dihormati dan dihargai sebagai pribadi yang bermartabat dan bernilai luhur, pribadi yang secitra dengan Allah. Atas dasar cinta seorang pria dan seorang wanita membangun komitmen untuk hidup bersama sebagai suami istri (FC 19). Mereka saling menerima pasangannya sebagai seorang pribadi (Eminyan, 2001: 90). Mereka disatukan secara personal dan intim. Di dalam keluarga, seorang suami dipanggil untuk memberikan perhatian yang mendalam kepada martabat istrinya dan membangun hubungan pribadi yang khusus dengannya. Cinta kepada istri dan anak-anak merupakan cara yang alami bagi seorang suami untuk memahami perannya di dalam keluarganya (FC 25). Melalui kehidupan kristiani yang dewasa seorang suami dapat memperkenalkan anak-anak kepada Kristus dan Gereja (Gilarso, 1996: 37). Seorang istri dalam keluarga juga dipanggil untuk menghormati suami dan melayani suaminya secara personal (Gilarso, 1996: 38). Ia dipanggil untuk memelihara, menjaga dan membesarkan anak-anak sebagai seorang pribadi manusia sejak dalam kandungannya sampai mereka bisa mandiri. Begitu pun seorang anak dipanggil untuk menghargai dan menghormati ayah dan ibunya (LK3I KWI, 1994: 16). Dalam kapasitasnya sebagai persekutuan antar pribadi, keluarga perlu memberi
perhatian
istimewa
kepada
anak-anak
dengan
mengembangkan
penghargaan yang mendalam terhadap pribadi mereka (FC 26). Kepedulian terhadap
70
anak-anak berlangsung sebelum anak dilahirkan sampai dengan anak dewasa. Karena itu pendidikan nilai-nilai kristiani dan nilai-nilai hakiki manusiawi sejak dini adalah mutlak perlu agar anak dapat berkembang menjadi manusia kristiani yang sempurna (Salawaney, 1998: 101). Suami istri perlu mendampingi perkembangan anakanaknya dalam menapaki tahap-tahap perkembangannya itu (GS 52). Dengan memperhatikan proses perkembangan anak, suami istri sebetulnya belajar untuk menjadi ayah dan ibu yang baik dan bertanggungjawab bagi anaknya. Hal ini bisa menjadi faktor penyebab percepatan perkembangan anak itu menjadi pribadi manusia yang dewasa (LK3I KWI, 1994: 16).
2. Mengabdi Kehidupan Allah menciptakan seorang pria dan seorang wanita menurut gambar dan rupa-Nya dan memanggilnya untuk berpartisipasi dalam kasih-Nya (GS 50). Panggilan Allah itu adalah panggilan untuk bekerja sama dengan Allah secara bebas dan bertanggung jawab dalam meneruskan kehidupan (Kej 1:28). Oleh karena itu, adalah tugas pokok keluarga untuk mengabdi kepada kehidupan (FC 28-41). Tugas keluarga adalah meneruskan citra Allah dengan menurunkan anak. Pria dan wanita yang bersatu di dalam perkawinan mengemban tugas mulia itu (GS 50). Perkawinan mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerja sama dengan
71
Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah (Gilarso, 1996: 37). Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah. Persatuan cinta suami istri dalam suatu penyerahan diri yang total dan mesra, dari kodratnya terarah kepada kelahiran anak (Kan 1055 § 1; Juga Go, 2003: 11-12). Kesuburan cinta itu akan menghasilkan kehidupan baru. Kebenaran ini diungkapkan dengan indah oleh Paul Klein (1983: 38) sebagai berikut: Cinta sejati antara suami istri menghendaki persatuan. Persatuan hanya bisa terwujud apabila suami mencintai istri secara mesra. Ia memberikan benih kehidupan kepada istrinya dalam suatu penyerahan diri total, sambil istrinya membiarkan cinta mengalir dan meresap ke dalam tubuh dan pribadinya. Dalam perpaduan cinta yang paling intim ini, suami istri mengalami saat-saat kreativitas yang paling luhur. Mereka mengadakan kehidupan baru yakni anak mereka sendiri. Mereka saling menjadikan bapak dan ibu serta mengamalkan panggilan kebapaan dan keibuan sesuai undangan Sang Pencipta. Gereja mengajarkan bahwa perkawinan Katolik adalah perkawinan yang terbuka pada kelahiran, buah-buah cinta kasih suami dan istri, yakni anak-anak (FC 29; GS 50; AA 11; Eminyan, 2001: 122-123). Hal ini penting karena jika kita cerna baik-baik perkawinan selain menjadikan pria dan wanita sebagai suami istri, mereka juga akan mendapatkan “gelar” yang lain yakni menjadi ibu dan ayah, mama dan papa. Di situlah, yakni dengan menjadi ibu dan ayah, mereka menjadi wanita dan pria yang sejati (Salawaney, 1998: 92; Burtchaell, 1990: 102). Melalui perkawinan suami istri membuka diri bagi kelahiran baru. Keterbukaan itu menunjukkan ungkapan nyata kesuburan cinta suami istri (FC 29).
72
Kesuburan cinta suami istri itu tidak hanya terbatas pada menurunkan anak saja melainkan membantu agar anak itu dapat berkembang sebagai pribadi yang otentik, yaitu pribadi yang sungguh-sungguh matang secara manusiawi dan rohani (Eminyan, 2001: 122-123). Tugas ini merupakan tugas suami istri sebagai orang tua. Tugasnya adalah menciptakan keluarga yang dijiwai oleh cinta dan hormat kepada Tuhan dan sesama, sehingga anak dapat hidup dan berkembang dalam lingkungan baik secara pribadi maupun sosial (AA 11; GS 52; LG 11). Anak yang dilahirkan dalam dan dengan cinta harus dididik dengan dan dalam cinta pula. Cinta membangkitkan rasa tanggung jawab. Karena cinta keluarga bertanggung jawab untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka nilai-nilai esensial dalam hidup (FC 37). Anak-anak juga dididik dan diwarisi dengan nilai-nilai kristiani agar dapat bertumbuh menjadi manusia kristiani yang benar (Salawaney, 1998: 95). Keberadaan anak-anak sering menjadi tali pengikat yang kuat bagi hubungan suami istri. Anak-anak itu mengingatkan orang tua akan tanggung jawab mereka untuk mengusahakan kerukunan dalam rumah tangga (GS 48; KGK 1646). Pada masa-masa yang sulit dan berat, anak-anak menjadi sumber kekuatan bagi orang tua untuk mempertahankan bahtera rumah tangga. Keberadaan anak-anak itu mendidik orang tua untuk mengembangkan cinta sejati yang tidak egois, melainkan berani berkorban demi kebahagiaan orang lain, yaitu anak-anak mereka sendiri.
73
3. Ikut Serta dalam Hidup dan Perutusan Gereja Salah satu tujuan perkawinan ialah demi perkembangan kehidupan rohani. Perkembangan hidup rohani keluarga antara lain diwujudkan dalam tugas dasar ambil bagian dalam misi Gereja. Untuk memahami peranan keluarga dalam hidup dan perutusan Gereja, maka akan dibahas aspek-aspek yang menghubungkan Gereja dan kehidupan keluarga. Keluarga bisa disebut sebagai Gereja kecil, Gereja mini atau Gereja keluarga (Ecclesia domestica). Dalam Ensiklik Familiaris Consortio diterangkan bahwa Gereja domestik adalah keluarga yang menjadi ”lambang hidup” atau ”kehadiran konkret” dari Misteri Gereja (FC 49). Gereja domestik itu bermula dari sakramen perkawinan (LG 11). Berdasarkan kekuatan sakramen perkawinan, suami istri saling membantu untuk menjadi suci melalui hidup keluarga dan pendidikan anak-anak. Di dalam Gereja domestik itu hendaknya orang tua menjadi teladan bagi anak-anak mereka dalam: perkataan dan pewartaan iman; dalam kesetiaan memelihara panggilan hidup berkeluarga; dan secara istimewa panggilan hidup rohani (Hello, 2004: 63). Gereja domestik itu bermula dari Allah yang telah menetapkan keluarga sebagai asal mula dan dasar dari masyarakat manusia. Maka kehadiran suami istri memiliki makna yang istimewa bagi Gereja maupun masyarakat. Makna itu adalah menjadi saksi iman satu dengan yang lain (AA 11; Hello, 2004: 63). Keluarga sebagai Gereja domestik melaksanakan tugas perutusan dari Allah. Melalui cinta kasih timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah. Rumah
74
yang dijadikan seperti Gereja itulah Gereja domestik. Rumah tangga menjadi tempat di mana Gereja sebagai misteri keselamatan dihadirkan dalam kehidupan manusia konkret. Rumah tangga menjadi lahan subur berkembangnya nilai-nilai injili (LK3I KWI, 1994: 16). Persekutuan cinta kasih dalam keluarga, yang terdiri dari orangtua dan anakanak yang dibaptis secara Katolik, menjadi pewujudan ideal Ecclesia domestica. Persekutuan itu dibentuk atas dasar cinta kasih dari suami kepada istri dan dari suami istri kepada anak-anaknya (lih. 1 Kor 13:4-7). Begitu juga sebaliknya, anak-anak kepada kedua orangtuanya dan antar saudara dalam satu keluarga (LK3I KWI, 1994: 20). Keluarga kristiani sebagai persekutuan yang hidup ikut serta dalam melaksanakan misi Gereja sebagai saksi Kristus (lih. FC 39). Oleh karena itu, keluarga menjadi Gereja mini tampak dalam dinamika hidup melalui doa bersama, ekaristi dan sakramen, peran orangtua sebagai pewarta injil bagi anak-anaknya, dan orangtua sebagai saksi iman (lih. GS 2). Keluarga kristiani juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban sosialnya terhadap masyarakat dalam keseimbangan antara hak dan kewajiban. Melalui kesaksian hidup keluarga, karya keselamatan Yesus Kristus semakin menjadi nyata bagi lingkungan masyarakat sekitarnya. Melalui kerukunan, kesetiaan, kedamaian dan terutama tindakan cinta kasih, keluarga-keluarga dapat sungguh menjadi garam dan terang dalam masyarakat (LK3I KWI, 1994: 22). Dengan demikian keluarga
75
sebagai gereja mini akan menjadi nyata dalam paguyuban, artinya buah-buah cinta kasih akan dirasakan pula oleh keluarga-keluarga lain (EN 71).
B. Gambaran Pasangan Suami Istri Yang Setia Gereja Katolik mengajarkan bahwa hidup berkeluarga adalah suatu panggilan yang berasal dari Tuhan. Sebagai bentuk panggilan hidup, hidup berkeluarga menuntut tanggung jawab dan kesetiaan penuh. Wujud konkret tanggung jawab dan kesetiaan itu tergambar dalam komitmen pasangan suami istri untuk setia terhadap janji perkawinannya seumur hidup dan berusaha untuk hidup harmonis sebagai wujud kesaksian hidup bagi keluarga-keluarga yang lain.
1. Peranan Suami-Istri dalam Hubungannya dengan Janji Perkawinan Yang Dibina Selama Mereka Hidup Perkawinan merupakan perjanjian bebas antara seorang pria dan seorang wanita yang bertujuan membangun kebersamaan seluruh hidup (Gilarso, 1996: 9). Oleh karena itu, janji perkawinan harus ditampakkan dalam penghayatan hidup sehari-hari. Suami istri seharusnya memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk tetap berpegang teguh pada janji perkawinan sedemikian rupa dari hari ke hari. Kesetiaan pada janji perkawinan merupakan syarat mutlak bagi keharmonisan hidup berkeluarga. Tidaklah sulit untuk mengucapkan janji, yang sulit adalah mempertahankannya. Kesetiaan terhadap janji perkawinan dapat dipertahankan melalui dua cara. Pertama, dengan cara menghindari hal-hal yang dapat melanggar
76
kesetiaan perkawinan. Misalnya dengan menjaga penglihatan, pikiran dan hati supaya tidak tergoda untuk menyeleweng. Menjaga diri di dalam pergaulan sehingga tidak memasukkan diri dalam relasi-relasi yang bisa mengarah pada penyelewengan. Lingkungan kerja di kantor atau relasi bisnis bisa merupakan kondisi yang mempengaruhi orang untuk menjalin relasi-relasi khusus di luar perkawinannya. Cara kedua untuk mempertahankan kesetiaan terhadap janji perkawinan adalah dengan meningkatkan kualitas relasi pasangan suami istri. Pasangan harus merasa didukung untuk mengembangkan dirinya. Pria dan wanita yang menikah bukan hanya ingin hidup berkeluarga untuk punya pasangan dan anak-anak, melainkan juga mengharapkan agar dirinya berkembang. Perkembangan bisa menyangkut
kepribadiannya
dan
bisa
pula
mengenai
ketrampilan
dan
kemampuannya. Memberi kesempatan kepada pasangan untuk mengembangkan bakatnya dan kepribadiannya bisa bermanfaat untuk relasi suami istri itu sendiri. Persatuan suami istri menuntut kesetiaan (LK3I KWI, 1994: 21). Kesetiaan itu tidak hanya menyangkut bidang seksual, melainkan juga bidang-bidang yang lain. Kesetiaan menyangkut tanggung jawab suami istri di bidang jasmani maupun rohani. Mereka diharapkan bersikap terbuka dalam keuangan, bijaksana dalam mendidik anak, penuh perhatian terhadap masalah penghayatan iman, peka akan kebutuhan dasariah
pasangan.
Masing-masing
diharapkan
sadar
bahwa
pasangannya
mempunyai berbagai kebutuhan, seperti: kebutuhan untuk dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk dihargai dan menghargai, kebutuhan untuk berpartisipasi dalam kehidupan rumah tangga, kebutuhan untuk diterima dan menerima.
77
Kesetiaan seperti itu memungkinkan suami istri untuk saling menyerahkan diri secara total sampai mati, seperti Kristus telah menyerahkan diriNya sampai mati, bagi GerejaNya (Fil. 2:8). Di sinilah suami istri mendapatkan kepastian iman, bahwa mereka diberi rahmat dan kekuatan untuk mengatasi segala rintangan yang mereka jumpai dalam hidup setiap hari. Dengan demikian suami istri terdorong untuk tetap setia dalam hidup perkawinannya (FC 19).
2. Keharmonisan Suami-Istri Sebagai Tindakan Konkret Dalam Masyarakat Keluarga adalah suatu realitas yang ada dalam setiap bangsa dan kebudayaan manusia. Keluarga merupakan sel terkecil dalam masyarakat, yang membentuk masyarakat itu. Keluarga adalah bagian dari masyarakat. Keluarga kristiani serentak adalah unsur terkecil dari Gereja dan sel terkecil dari masyarakat (LK3I KWI, 1994: 15). Sebagai anggota masyarakat keluarga kristiani mempunyai peranan dalam masalah-masalah yang berguna untuk kepentingan masyarakat luas. Maka kehidupan keluarga yang baik menjadi cerminan dan jaminan bagi kehidupan sebuah masyarakat yang baik pula (Gilarso, 1996: 15). Dalam mewujudkan iman di tengah masyarakat, hidup perkawinan dan hubungan harmonis antara suami istri merupakan suatu kesatuan yang erat. Dari perspektif sosial, perkawinan yang sehat merupakan unsur yang konstruktif bagi masyarakat yang sehat pula (Gilarso, 1996: 15). Konstribusi positif ini pada gilirannya
memungkinkan
melindungi perkawinan.
masyarakat
untuk
mengakui,
menghormati
dan
78
Keharmonisan hidup suami istri dapat membentuk kesatuan yang erat antara suami istri; sebuah kesatuan yang tak terceraikan. Cinta kasih suami istri secara nyata merupakan suatu tindakan konkret dalam masyarakat. Kehidupan keluarga yang baik, yang dibangun atas dasar cinta kasih itu, menjadi model untuk membantu keluarga-keluarga lain dalam memperbaiki keharmonisan hubungan mereka. Kehamonisan hidup suami istri pertama-tama merupakan tanggung jawab suami istri itu sendiri. Mereka harus mengusahakan kehidupan yang harmonis dengan selalu mau bertanya kepada diri sendiri: apa yang dapat saya lakukan demi kebahagiaan keluargaku dan sesama? Dengan sikap hidup seperti itu, suami istri telah berusaha untuk memancarkan kebahagiaan ke dalam kehidupan masyarakat. Sikap lain yang dapat ditunjukan dalam kerangka membangun keharmonisan suami istri adalah sikap pengorbanan. Cinta yang ingin membahagiakan orang lain sering menuntut pengorbanan. Walau terasa berat, namun melalui pengorbanan itulah dapat tercipta keharmonisan antara suami istri (LK3I KWI, 1994: 15). Dalam kehidupan berkeluarga, kebersamaan hidup suami istri merupakan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal. Kebersamaan hidup suami istri itu merupakan sebuah kebersamaan yang dilandasi tekad untuk menerima pasangan seperti adanya. Karena suami istri adalah dua pribadi yang berbeda satu dengan yang lain, maka sikap yang perlu diperhatikan oleh suami istri itu adalah kerelaan dan kemampuan untuk saling menyesuaikan diri. Supaya dapat saling menerima, perlu mereka berdua saling mengenal dan saling menerima kepribadian masing-masing. Harus ada kemauan untuk berupaya bersama-sama (Salawaney, 1998:168).
79
Keduanya harus menjadi satu, hidup bersama, bekerja sama, saling menghormati dan saling berbagi dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, dalam untung dan malang. Cara hidup yang demikian akan menumbuhkan sikap saling percaya, bahkan kemauan untuk saling mempercayakan diri secara total satu sama lain. Dari uraian di atas telah tergambar bahwa keharmonisan suami istri, dimaksudkan untuk saling menjaga dan mempertahankan kesetiaan, merupakan suatu bentuk cinta kasih yang nyata bagi suami istri itu sendiri dan bagi sesama dalam masyarakat. Perlu digarisbawahi bahwa sakramen perkawinan tidak dengan sendirinya
membawa
kebahagiaan,
keharmonisan,
dan
kesuksesan
dalam
perkawinan. Dinamika hidup yang diwarnai suka-duka, sehat-sakit, pahit-manis, harap-cemas, dan sebagainya, merupakan dinamika yang biasa dalam setiap perkawinan. Oleh karena itu, untuk sampai pada keharmonisan dan kesetiaan dalam keluarga, maka suami istri membutuhkan suatu perjuangan yang tidak ringan (LK3I KWI, 1994: 15). Kemauan yang baik adalah kata kunci bagi suami istri dalam usaha untuk membangun keharmonisan hidup. Dengan hidup harmonis dan mau berjuang mempertahankan kondisi hidup harmonis itu, suami istri telah memberi kesaksian yang nyata bagi masyarakat dan ikut membangun kehidupan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.
80
C. Cara Menyelesaikan Konfik dalam Keluarga Di atas telah digambarkan tentang profil keluarga kristiani yang ideal dengan membentuk komunitas pribadi yang mengabdi pada kehidupan dan ikut serta dalam hidup dan perutusan Gereja. Komunitas yang demikian juga terikat pada janji setia perkawinan dan mengusahakan kehidupan yang harmonis sebagai sebuah kesaksian yang hidup bagi masyarakat umum. Tentu semua itu adalah ideal dari sebuah perkawinan kristiani. Tapi apa yang ideal sering bertolak belakang dengan praksis hidup. Keberlangsungan perkawinan tentu tak lepas dari berbagai persoalan. Dan persoalan yang langsung dapat ditunjuk adalah realitas konflik dalam keluarga, konflik dalam kehidupan suami istri setiap hari. Konflik tidak mungkin dihindari dalam setiap perkawinan (Gilarso, 1996: 54). Orang tidak usah mengharapkan bahwa kebahagiaan perkawinan adalah kerukunan tanpa konflik. Kadang-kadang bahkan konflik diperlukan sebagai variasi hidup rumah tangga. Hal itu dikatakan karena memang konflik tidak pernah bisa dihindari sama sekali dalam hidup berkeluarga. Sehingga yang menjadi persoalan sesungguhnya bukanlah adanya konflik, melainkan bagaimana mengatasi konflik (Gilarso, 1996: 54). Konflik akan selalu terjadi karena yang menjadi sumbernya adalah kenyataan bahwa pasangan suami istri hidup bersama. Kalau seseorang hidup sendirian di tengah hutan, pasti tidak akan mengalami konflik. Kebersamaan hidup dua pribadi suami istri itulah yang memungkinkan adanya salah paham, perbedaan pendapat, cemburu, minta perhatian, berbeda keinginan dan selera, yang ujungujungnya menghasilkan pertengkaran.
81
Ada bermacam-macam konflik sesuai dengan jenis masalah dan efeknya bagi relasi mereka. Konflik bisa terjadi menyangkut cara mendidik anak, soal anggaran keluarga, soal hubungan dengan keluarga asal sampai soal-soal pribadi menyangkut kesetiaan suami istri. Dalam bab kedua tulisan ini telah diangkat beberapa faktor yang dapat menjadi sumber konflik suami istri. Faktor-faktor itu antara lain, menurunnya penghargaan terhadap martabat manusia dan menurunnya penghayatan terhadap martabat perkawinan yang disebabkan oleh adanya fakta perceraian dan pilihan hidup bersama de facto sebagai sebuah alternatif hidup bersama. Faktor lainnya yang menjadi sumber konflik adalah faktor ekonomi, faktor sosial, relasi internal dalam keluarga, faktor budaya, faktor iman / agama, dan faktor kepribadian (Yuwana & Maramis, 2003: 58-59). Konflik yang ditimbulkan sebagai akibat dari faktor-faktor tersebut tentu berpotensi untuk mengarah kepada situasi disintegrasi dalam hubungan suami istri, kehancuran dalam rumah tangga. Oleh karena itu, langkah yan terpenting adalah – sekali lagi– memikirkan tentang apa yang harus dibuat oleh pasangan suami istri untuk mengatasi konflik yang mereka alami. Solusi terhadap konflik suami istri itu bergantung pada sejauh mana faktor-faktor di atas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan suami istri dalam realitas hidup setiap hari.
82
1. Membina Persatuan Suami Istri Dengan Membangun Penghargaan Terhadap Masing-masing Pribadi Konflik suami istri dapat terjadi karena kurangnya penghargaan terhadap martabat salah satu pasangan, sebagai seorang pribadi manusia. Bisa saja salah satu pasangan merasa kurang dihargai, kurang diberi ruang untuk bertumbuh dan berkembang sebagai seorang pribadi. Berbagai kekurangan tersebut dapat berpotensi ke arah konflik. Untuk itu, beberapa hal berikut dapat ditempuh: a. Saling menerima sebagai seorang pribadi Tiap pribadi manusia adalah unik dan satu-satunya, tidak pernah terulang, tidak pernah bisa digantikan dan punya nilainya sendiri yang tak terukur. Dan pribadi manusia itu adalah misteri yang memiliki aspek-aspek yang perlu dihormati. Keluarga adalah komunitas antar pribadi. Itu berarti bahwa keluarga terdiri atas relasi antar pribadi-pribadi yang adalah subyek dan punya nilai yang tak tergantikan. Karena itu keluarga perlu mengetahui dan menghargai bahwa tiap pribadi di dalam rumah tangganya (suami, istri, anakanak) adalah pribadi yang harus dihormati dan dihargai. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga perlu memperhatikan hal berikut: -
Pertama-tama pria dan wanita yang mau membentuk keluarga perlu saling menerima pasangannya apa adanya. Dengan menerima pasangan apa adanya mereka saling menerima dan mengakui eksistensinya masingmasing sebagai seorang pribadi. Dalam perkawinan, dengan saling mengenal, dua pribadi itu disatukan menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
83
Karena itu, sikap menerima pasangan apa adanya akan memungkinkan proses penyatuan dua pribadi itu dapat berlangsung dengan baik. -
Perlu ada penghargaan bahwa suami atau istri atau anak-anak adalah subyek. Tidak boleh memaksakan kehendak. Tidak menganggap anak sebagai milik, seperti memiliki barang.
-
Perlu ada kekaguman bahwa tiap pribadi itu nilainya tak tergantikan. Tidak boleh membanding-bandingkan anak. Tidak boleh menuntut melebihi kemampuan suami atau istri. Sikap seperti itu menunjukkan bahwa sebetulnya suami atau isteri tak menghargai potensi yang dimiliki anak atau potensi dari salah satu pasangannya. Cara itu juga menunjukan sikap tidak menerima seseorang apa adanya.
-
Keluarga perlu menyadari bahwa suami, istri, anak-anak juga mempunyai sifat keterarahan sosial. Anak-anak butuh teman, suami perlu berkumpul dengan kelompoknya, begitu pula istri.
b. Membina persatuan suami istri Sikap saling menerima dan menghargai masing-masing pribadi dalam keluarga, terutama antara suami dan istri yang menikah, memungkinkan adanya persatuan yang lebih erat antara mereka. Esensi dari persatuan suami istri itu adalah adanya kebersamaan dan keakraban di antara mereka. Dengan membangun persatuan yang intim, suami istri semakin memberi ruang yang
84
lebar bagi diri mereka masing-masing untuk menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinan mereka. Pasangan yang menikah mengharapkan adanya keintiman relasi tetapi juga otonomi masing-masing. Dari satu pihak ada gerakan entering, tapi dari lain pihak ada pula distancing (Sujoko, 2002: 98). Kesatuan antara suami istri tidak boleh membelenggu, namun dari lain pihak tidak boleh terlalu bebas. Suami istri perlu membangun keseimbangan antara keintiman dan kebebasan. Keintiman tanpa kebebasan membuat pasangan merasa terikat dan dibatasi ruang geraknya. Ia merasa dikekang dan diatur dalam segala hal. Cinta yang terlalu posesif (rasa memiliki secara berlebihan) akan membuat pasangan menurut secara terpaksa. Sebaliknya, kebebasan tanpa keintiman membuat pasangan berada dalam bahaya penyelewengan. Sikap arif dan bijaksana dari suami istri diperlukan untuk menyeimbangkan keduanya (Yuwana & Maramis, 2003: 35-39). Orang yang menikah juga mengharapkan bahwa kepribadiannya dapat berkembang melalui pernikahan itu. Semakin mereka bersatu, pada saat yang sama mereka semakin menjadi dirinya sendiri yang otentik dan bahagia. Itulah dambaan setiap pasangan suami istri dalam hidup berkeluarga.
85
2. Usaha Untuk Membangun Penghayatan Yang Integral Terhadap Martabat Perkawinan Bukanlah hal istimewa bila ada pasangan suami istri mengalami konflik, mulai dengan bertengkar mengenai hal-hal kecil sampai bersitegang maupun bercerai. Pasangan yang pada waktu pacaran dan pada awal pernikahan tampak rukun, seakan-akan tak terpisahkan, beberapa tahun kemudian ternyata tidak saling mencintai lagi. Kesatuan mereka retak setelah menghadapi persoalan-persoalan hidup berkeluarga yang semakin kompleks. Penyebab keretakan hubungan suami istri itu, tentu saja, beraneka ragam. Salah satu penyebabnya ialah karena mereka tidak lagi menyadari hakikat dan tujuan perkawinan. Mereka tidak lagi menghayati betapa luhurnya martabat perkawinannya. Mereka melupakan janji perkawinan yang mereka ucapkan sewaktu melangsungkan perkawinan di Gereja. Mereka mengira bahwa setelah kursus perkawinan selesai, setelah perkawinan mereka diberkati, semuanya menjadi beres dengan sendirinya. Dalam situasi seperti itu suami istri butuh pendampingan. Usaha untuk membangun penghayatan yang integral bagi pasangan suami istri adalah mutlak perlu. Hal ini dimaksudkan agar pasangan suami istri makin menyadari betapa luhurnya martabat perkawinannya dan semakin berpegang teguh pada komitmen untuk setia dalam hidup perkawinannya. Untuk itu beberapa hal praktis berikut perlu diperhatikan:
86
a. Menghadapi masalah secara bersama Suami istri perlu belajar untuk menghadapi suatu persoalan secara bersamasama dan bukannya lari dari persoalan itu (Gilarso, 1996: 55). Hidup berkeluarga menuntut tanggung jawab dan kesetiaan penuh. Karena itu, seberat apapun persoalan itu, bila suami istri dengan penuh tanggung jawab dan kesetiaan penuh menghadapinya secara bersama, maka persoalan itu justru menjadi lebih ringan. Suami istri belajar membangun kesadaran bahwa seluruh persoalan hidup yang mereka hadapi tidak seluruhnya jelek. Pengalaman berat itu bisa merupakan saat-saat pemurnian cinta di antara mereka. Masa yang berat itu lebih merupakan blessing in disguise (rahmat tersembunyi) yang membuat pasangan lebih realistis dalam membangun rumah tangga (Sujoko, 2002: 105). Keberanian mereka untuk menghadapi persoalan hidup secara bersama membawa rahmat bagi suami istri dalam usaha mempertahankan dan melestarikan kesetiaan mereka.
b. Perceraian bukanlah solusi akhir dari sebuah persoalan Perceraian merupakan bagian dari perpisahan suami istri, baik secara lahiriah (tidak lagi hidup bersama) maupun secara batiniah (menyangkut relasi cinta di antara keduanya). Dengan perceraian suami istri mengakhiri hubungan mereka yang dulu dibangun atas dasar persetujuan bersama. Perceraian
87
biasanya dipilih sebagai jalan untuk mengakhiri berbagai persoalan hidup yang melilit relasi suami istri dalam keluarga. Suami istri yang terpisah karena perceraian dapat saja mengemukakan sejuta alasan mengapa mereka memilih untuk bercerai. Namun, suami istri perlu membangun kesadaran bersama bahwa perceraian atau apapun bentuk cara hidup yang memisahkan suami istri bukanlah menjadi solusi akhir atas persoalan hidup di dalam keluarga. Keputusan untuk bercerai justru melahirkan berbagai persoalan baru. Salah satu persoalan baru yang dapat ditunjuk adalah masalah anak dalam keluarga yang bercerai tersebut. Perceraian hanya mendatangkan dampak yang buruk bagi anak-anak. Anak akan lebih menderita dan akan menimbulkan trauma. Anak–anak akan sulit menyesuaikan diri dengan situasi baru (Dagun, 2002: 114-121). Perceraian pasangan suami istri seringkali berakhir menyakitkan bagi pihakpihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Peristiwa ini menimbulkan anak–anak tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orangtuanya. Perceraian juga tidak akan menuntun ke arah kebahagiaan pribadi, tetapi justru menimbulkan stres dan trauma bagi masing-masing pihak, entah suami atau istri atau anak-anak (Chapman, 2004: 37). Pasangan suami istri harus mampu mengatasi konflik dalam rumah tangganya yang berpotensi pada perceraian. Kemampuan mengatasi konflik ini menunjuk kualitas perkawinan pasangan suami istri tersebut. Karena kualitas
88
perkawinan seseorang diukur manakala mereka mampu menghadapi persoalan hidup secara bersama dan berhasil melewati masa kritis yang ditimbulkan dari persoalan tersebut.
c. Membangun komunikasi yang terbuka dan jujur dalam keluarga Kesetiaan itu dapat terwujud jika ada usaha penerimaan diri apa adanya. Sikap ini dapat dibangun dengan menciptakan komunikasi yang terbuka antar suami istri. Komunikasi yang dilandasi dengan penerimaan diri satu sama lain (Ellis & Crawford, 2004:30). Dalam komunikasi yang terbuka dan jujur, suami istri dapat saling mengungkapkan perasaannya yang terdalam tanpa rasa takut karena dilandasi oleh rasa saling menerima dan saling mencintai. Bila komunikasi lancar, jujur, terbuka maka persoalan-persoalan dan problem hidup dalam keluarga dapat
diselesaikan secara kekeluargaan. Sebaliknya bila komunikasi
terhambat, maka akan banyak persoalan keluarga yang sulit dipecahkan bersama. Komunikasi yang tidak lancar dapat menjadi ancaman konkret bagi keutuhan hidup berkeluarga, sedangkan komunikasi yang baik, terbuka, dan jujur, menjadikan keluarga hidup penuh harmoni dan dapat menghindari berbagai kecurigaan dan kecemburuan yang berlebihan (Terruwe, 1976: 43). Dengan komunikasi yang terbuka dan jujur keluarga dapat menjadi komunitas pengampun. Melalui pengampunan ini luka-luka yang mungkin timbul akibat konflik dapat disembuhkan. Tanpa mau saling mengampuni,
89
sulit sekali menjaga dan mempertahankan keutuhan rumah tangga. Pengampunan merupakan salah satu mutiara yang harus diwujudkan di dalam perkawinan (LK3I KWI, 1994: 26).
d. Belajar untuk mendengarkan Banyak orang dewasa ini lebih suka untuk didengarkan dari pada bersedia untuk mendengarkan orang lain. Tuntutan berlebihan bahwa Anda harus didengarkan dan disetujui sebenarnya jauh dari membantu (Ellis & Crawford, 2004: 11). Sikap demikian justru menumbuhkan egoisme diri. Dalam konteks hidup berkeluarga yang memiliki sejumlah aktivitas, suami istri kurang memiliki kepekaan untuk saling mendengarkan. Akibatnya hubungan mereka terasa hambar dan perkawinan terasa kering. Karena itu, suami istri harus belajar untuk saling mendengarkan. Dengan sikap mendengarkan, sebetulnya suami istri membangun penghargaan seorang terhadap yang lain. Pasangan akan merasa diterima dan dihargai. Hal ini tentu membawa pengaruh positif terhadap penghayatan hidup perkawinan mereka (Hello, 2004: 79-80).
3. Usaha Mengatasi Konflik Yang Bersumber Pada Beberapa Bidang Hidup Kalau pria dan wanita telah menikah secara sah, maka terbentuklah hidup berkeluarga. Hidup berkeluarga itu adalah realitas yang kaya dan kompleks. Kita bisa melihat bahwa realitas hidup berkeluarga adalah realitas yang multi dimensional
90
(sosial, ekonomi, agama / iman, budaya). Hidup berkeluarga mempunyai banyak segi dan kita perlu memperhitungkan setiap segi itu. Sisi-sisi hidup berkeluarga itu tentu saja tetap berpotensi mendatangkan konflik dalam hidup suami istri. Karena itu, suami istri perlu memperhitungkan hal itu agar tidak terjebak dalam lingkaran potensi konflik yang bisa ditimbulkannya. Berikut ini beberapa hal yang dapat dibuat oleh suami istri: a. Membangun relasi yang sehat, baik relasi “ke dalam” maupun relasi “ke luar” Manusia secara hakiki terarah kepada orang lain. Manusia adalah makluk sosial. Manusia tidak bisa mengembangkan potensinya sebagai manusia tanpa relasi dengan orang lain. Manusia selalu membutuhkan orang lain. Demikian halnya dalam konteks kehidupan keluarga. Seorang suami tentu tidak bisa hidup sendiri. Ia membutuhkan seorang istri, begitu pula sebaliknya. Mereka saling melengkapi. Pada kenyataannya seorang suami berkembang menjadi dirinya sendiri dalam pengaruh-pengaruh yang telah diberikan oleh istrinya, dan demikian pula sebaliknya. Kita bisa membayangkan bahwa Dimas yang memiliki istri Regina berkembang atas cara tertentu yang tidak mungkin sama seandainya dulu Dimas menikah dengan Maria (Sujoko, 2002: 97). Contoh tersebut menyadarkan kita betapa interaksi anggota keluarga, terutama antara suami, istri, dan anak-anak, berlangsung secara mendalam. Karena itu, membangun relasi “ke dalam” yang sehat menjadi tanggung jawab suami istri.
91
Usaha untuk membangun relasi “ke dalam” yang sehat dapat dilakukan oleh suami istri dengan cara-cara praktis. Beberapa hal berikut dapat menjadi kontribusi bagi suami istri untuk membangun relasi “ke dalam” yang sehat: -
Menyapa pasangan setiap hari dengan sebutan atau panggilan yang khas. Misalnya: Papi, Mami, Dady, Mom, Ayah, Bunda, Sayang, atau nama inisial kesayangan selama masa pacaran.
-
Bertutur kata yang sopan dan santun dengan pasangan. Banyak kesusahan dan penderitaan serta ketidakbahagiaan dapat diatasi, jika pria dan wanita yang telah menjadi suami istri, akan terus menumbuhkan penghargaan dan perhatian serta kata-kata hormat dengan penuh kesopanan (Salawaney, 1998: 89, 208-209).
-
Hindari sikap mengkritik pasangan di depan umum karena hanya akan membuat pasangan merasa martabatnya seorang pribadi dilecehkan (Salawaney, 1998: 124).
-
Memberi waktu untuk bercanda dan berbagi cerita dengan pasangan. Seringkali kesibukan dalam pekerjaan menyebabkan suami istri tidak memiliki waktu yang cukup untuk berdua. Karena itu memberi waktu untuk mengalami kebersamaan dengan anggota keluarga sendiri adalah perlu demi keberlangsungan keluarga itu sendiri. Jika pasangan suami istri telah memiliki anak, maka perhatian ekstra untuk anak juga harus diberikan. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat bertumbuh dengan
92
normal karena sejak dini ia mengalami kasih sayang orang tuanya (Salawaney, 1998: 104). -
Belajar memohon “maaf” setiap hari jika salah satu pasangan merasa membuat kesalahan. Suami istri tidak perlu sungkan untuk memberi dan meminta maaf. Karena ada pepatah bijak yang mengatakan: “Memaafkan adalah memberi sedikit ruang pada rasa benci”. Dalam bahasa kristiani, suami istri saling memberi pengampunan. Tanpa semangat pengampunan, pasangan suami istri tidak akan sanggup keluar dari problem hidup yang mengganggu relasi mereka (LK3I KWI, 1994: 26).
-
Belajar memberi pujian yang tulus kepada pasangan. Pujian yang tulus dapat membangkitkan daya hidup dan mempererat relasi. Suami atau istri akan merasa dihormati dan dihargai karena apa yang dibuatnya mendatangkan pujian dari pasangannya.
Selain relasi “ke dalam”, suami istri juga perlu membangun relasi “ke luar” yang sehat. Relasi “ke luar” didasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Suami istri adalah makhluk sosial; makhluk yang membutuhkan teman (Salawaney, 1998: 122). Sosialitas pribadi manusia menghubungkan pasangan suami istri itu dengan keluarga besar, pekerjaan, tetangga, teman-teman, lingkungan Gereja dan lingkungan masyarakat. Relasi sosial dengan lingkungan di luar keluarga itu merupakan dukungan pula bagi kokohnya kehidupan keluarga yang pada akhirnya juga bermanfaat bagi perkembangan pribadi suami istri itu sendiri.
93
Hanya saja suami istri perlu menjaga agar relasi “ke luar” adalah benar-benar relasi yang sehat. Hal ini dimaksudkan agar relasi itu kemudian tidak menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap relasi suami istri itu sendiri. Berikut beberapa cara dan pertimbangan praktis bagi suami istri untuk menjaga agar relasi “ke luar” itu tetap sehat: -
Hal pertama yang perlu diperhatikan dalam membangun relasi “ke luar” adalah membangun kepercayaan antara pasangan suami istri. Dengan modal saling percaya, suami istri dapat membangun relasi dengan orang lain di luar “rumahnya”. Baik suami maupun istri harus berkomitmen untuk menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pasangannya (Terruwe, 1976: 45; Yuwana & Maramis, 2003: 39-42).
-
Berlaku sopan dan santun dalam pergaulan dengan orang lain. Tata krama pergaulan harus dijaga.
-
Selalu menyadari diri bahwa saya telah memiliki pasangan hidup. Kesadaran ini akan membantu suami istri untuk selalu menjaga jarak dalam berelasi dengan orang lain.
-
Menghindari kesan kepada orang lain bahwa anda memberi ruang bagi relasi yang menyimpang. Cara berpakaian yang tidak layak atau senda gurau yang berlebihan pada ruang dan waktu yang tidak tepat bisa berpotensi pada relasi yang menyimpang.
94
b. Mengelola konflik yang bersumber pada faktor ekonomi Hidup berkeluarga memiliki dimensi ekonomis. Para anggota keluarga membutuhkan kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun untuk menghasilkan pendapatan guna mencukupi kebutuhan hidup. Karena itu, suami istri perlu memperhatikan bidang ekonomi keluarga ini. Keluarga sebagai realitas ekonomis sering kurang diperhatikan. Dalam kenyataan hidup berkeluarga, kecukupan di bidang ekonomi akan sangat mempengaruhi relasi suami istri. Relasi cinta yang bertanggung jawab diwujudkan pula dalam kesatuan ekonomis. Kesatuan ekonomis itu menyangkut kesatuan harta benda dan keuangan. Dengan menjalani persatuan hidup sebagai suami istri berarti apa yang menjadi harta kekayaan pribadi kini menjadi milik bersama sebagai pasangan suami istri. Pengaturan kepemilikan harta benda yang tidak baik dapat menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Dalam hal keuangan, amat pentinglah suami istri belajar membuat pengaturan keuangan keluarga. Masalah pengaturan keuangan ini perlu diperhatikan secara serius oleh pasangan suami istri karena masalah ini rentan terhadap konflik (Sujoko, 2002: 88-89). Beberapa hal dapat dibuat: -
Membahas secara bersama pengaturan keuangan keluarga. Di sini faktor keterbukaan dan kejujuran amat diperlukan. Suami istri secara terbuka mengungkapkan sumber pendapatan dan tidak menyembunyikan apapun seorang dari yang lain. Hal ini dibuat dengan maksud menghindarkan
95
suami istri dari sikap saling mencurigai yang bisa membahayakan rumah tangga mereka (Salawaney, 1998: 114-116). -
Biasanya yang menjadi bendahara dalam keluarga adalah istri. Maka istri harus
memperhatikan
mengkonsultasikannya
anggaran
dengan
suami.
belanja Belanja
keluarga keluarga
dan adalah
perencanaan dari semua pemasukan dan pengeluaran yang disusun sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi rumah tangga bisa diatur dengan bijaksana. Pada umumnya anggaran belanja keluarga meliputi 4 (empat) bagian berikut: 1) Mencatat pendapatan keluarga; 2) Membuat daftar pengeluaran tiap bulan; 3) Membuat pos-pos pengeluaran; 4) Mengisi pos-pos pengeluaran (Heuken, 1991: 125-140).
c. Membangun iman keluarga Hidup berkeluarga juga memiliki dimensi religius. Bagi pasangan yang beragama Katolik pemilihan jodoh dan persiapan perkawinan sudah diwarnai oleh dimensi iman itu. Misalnya dalam hati berdoa kepada Tuhan semoga diberikan jodoh yang seiman. Kalau jodohnya tidak seiman, ia akan berusaha untuk menariknya ke dalam imannya, atau sekurang-kurangnya ia akan bertahan dalam imannya sendiri tanpa mau memaksa pasangannya untuk mengikutinya. Kalau begitu alternatif kawin campur (beda agama atau beda gereja) yang dipilih (Kan 1086 dan Kan 1125). Yang dimaksudkan dengan perkawinan campur adalah perkawinan antara pihak Katolik dengan pihak
96
non-Katolik baik yang dibaptis maupun tidak dibaptis (Go & Suharto, 1987: 55-56; Go, 2003: 126-128). Ternyata dimensi iman selalu hadir pada umat beriman dalam merencanakan dan melangsungkan perkawinannya. Terkadang dimensi iman juga memicu konflik dalam rumah tangga. Pasangan suami istri yang memilih alternatif kawin campur, misalnya, selalu berada dalam potensi konflik iman. Di satu sisi, pasangan yang beragama Katolik menghendaki partner hidupnya untuk mengikutinya. Di sisi lain, sang partner juga tetap teguh pada imannya. Masalah lebih krusial lagi kalau mereka sudah memiliki anak-anak. Masingmasing akan berjuang agar anak-anak mengikuti iman salah satu dari mereka. Situasi seperti itu tentu tidak kondusif bagi kelangsungan hubungan suami istri tersebut. Bagi pasangan yang beragama Katolik, ia terikat dengan kewajiban untuk memelihara imannya dan sekaligus memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-anak dalam iman Katolik (Kan. 1125; Go & Suharto, 1987: 62-63; Königsmann, 1989: 56). Usaha untuk membangun kehidupan keluarga yang rukun dan bahagia dalam kehidupan pasangan kawin campur bukanlah hal yang mudah. Pasangan kawin campur yang bisa bahagia rupanya membutuhkan kematangan psikologis, intelektual dan kedalaman iman sehingga meskipun berbeda iman mereka dapat rukun dan bahagia (Sujoko, 2002: 130). Bagi pasangan kawin campur, tiga hal ini perlu diperhatikan:
97
-
Adanya pembinaan terus menerus agar pihak Katolik tetap setia dan menjalankan kewajiban imannya dalam kehidupan menggereja.
-
Pihak Katolik harus belajar menjadi pewarta dalam keluarganya. Ia memberi kesaksian iman melalui corak hidupnya.
-
Menjaga agar suami atau istri tidak merasa terancam imannya (soal kebebasan untuk memeluk agama tertentu).
Pasangan kawin campur tentu berbeda dengan pasangan yang seiman. Walau demikian, konflik dalam rumah tangga juga tak lepas dari kehidupan pasangan yang seiman. Dari hari ke hari mereka akan menemukan berbagai persoalan hidup yang menantang kesetiaannya terhadap janji perkawinan. Dengan mengembangkan dimensi iman dalam keluarga, niscaya mereka terbantu untuk mengatasi berbagai persoalan hidup yang mereka jumpai. Salah satu cara mengembangkan iman keluarga adalah dengan doa dan penerimaan sakramen-sakramen (Hello, 2004: 27). Kesetiaan antar suami istri harus selalu dirayakan melalui doa dan penerimaan aneka sakramen (khususnya sakramen Ekaristi), karena doa dan aneka sakramen tersebut memberi bantuan dan kekuatan untuk hidup dalam intimitas dan kesetiaan. Doa keluarga adalah tanda kesatuan yang sangat penting. Melalui doa bersama dalam keluarga, setiap anggota keluarga saling meneguhkan dan saling membangun. Doa bersama menunjukkan kerukunan, kesatuan, dan persaudaraan (LK3I KWI, 1994: 23).
98
Dalam kaitan dengan doa keluarga itu, maka beberapa hal berikut perlu ditegaskan: -
Suami istri menyediakan perlengkapan (tempat lilin, salib, patung, Kitab Suci, rosario, buku-buku doa, buku nyanyian, bahkan buku-buku rohani dan renungan).
-
Doa harian keluarga. Misalnya: doa bersama pada waktu makan atau doa malam sebelum masing-masing tidur. Kalau terlalu membosankan, bisa diatur beberapa hari saja dalam seminggu semua anggota keluarga makan bersama dan doa bersama (Hello, 2004: 43).
-
Doa pada masa-masa khusus gerejani. Misalnya: doa rosario pada bulan Mei dan Oktober.
-
Doa pada kesempatan-kesempatan khusus keluarga. Misalnya: hari ulang tahun, ulang tahun perkawinan, saat kenaikan kelas, saat lulus ujian, dan pada kesempatan lainnya (Hello, 2004: 44).
Karena kehidupan keluarga itu juga lemah dan rapuh, sering terjadi perselisihan atau ketegangan dalam hidup bersama, maka persekutuan cinta ini membutuhkan penyesuaian diri terus-menerus, harus dihayati dengan setia dan terus menerus. Oleh karena itu, bila gagal atau “jatuh”, perlu segera bangkit atau bangun kembali dengan saling memaafkan dan meminta maaf. Suatu perkawinan hanya dapat bertahan lama jika ada kemauan dan kemampuan untuk memaafkan dan dimaafkan (LK3I KWI, 1994: 26).
99
Kesetiaan perlu dihayati terutama dalam saat-saat duka atau susah atau krisis dengan pengampunan agar semakin teguh dalam cinta.
d. Mengelola konflik yang kemungkinan ditimbulkan oleh faktor budaya Faktor budaya bisa menimbulkan konflik dalam relasi suami istri. Latar belakang budaya dapat saja digunakan oleh suami istri untuk melegitimasi tindakan mereka masing-masing, sekalipun tindakan itu berdampak pada hubungan suami istri tersebut. Secara singkat dapat dikatakan bahwa lingkungan budaya di mana suami istri hidup juga sangat mempengaruhi perkembangan dan penghayatan hidup mereka. Karena itu, sikap kritis dan terbuka terhadap budaya masing-masing pasangan sangat dibutuhkan. Dengan cara itu, suami istri akan lebih saling memahami pola pikir, pola rasa, dan pola tindak masing-masing.
D. Belajar dari Keluarga Kudus Nazareth Di atas telah penulis uraikan tentang usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh pasangan suami istri Katolik agar dapat mempertahankan dan melestarikan nilai kesetiaan dalam perkawinannya. Sambil mengupayakan beberapa hal yang telah disebutkan itu demi menjaga keutuhan perkawinan dan keluarganya, pasangan suami istri Katolik dapat menimba ispirasi dan belajar dari kehidupan Keluarga Kudus Nazareth: Yesus, Maria dan Yosef.
100
Menurut Maurice Eminyan (2001: 269), keluarga-keluarga Katolik sungguh beruntung dapat memandang Keluarga Kudus Nazareth sebagai modelnya. Dalam Keluarga Kudus Nazareth itu terdapat model, pola, teladan yang sempurna dari perkawinan dan hidup berkeluarga. Keluarga-keluarga Katolik dapat merenungkan dan belajar dari beberapa segi keteladanan Keluarga Kudus Nazareth. Para suami atau bapak keluarga dapat belajar tentang teladan ketaatan yang ditunjukkan oleh Yosef. Injil memberi kesaksian bahwa Yosef “berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan kepadanya dan mengambil Maria sebagai istrinya” (Mat 1:24). Tidak ada sepatah katapun dari Yosef yang dicatat dalam Injil. Sebaliknya, Injil hanya mencatat bahwa ia melakukan segala yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Ketaatannya pada perintah Allah nampak dalam tindakannya mengambil Maria sebagai istrinya. Yohanes Paulus II, dalam Anjuran Apostolik Redemptoris Custos, menegaskan bahwa apa yang dilakukan Yosef itu merupakan “ketaatan iman” yang paling nyata (Rom 1:5; 16:26; 2Kor 10:5-6) (RC 7). Injil juga memberi penilaian bahwa Yosef adalah “seorang yang tulus hati” (Mat 1:19). Ketulusannya terpancar tatkala di tengah keraguannya, ia dikuatkan oleh malaikat Tuhan untuk mengambil Maria sebagai istrinya (Mat 1:20-24). Ketulusannya terpancar dalam menjalankan perannya sebagai kepala keluarga: melindungi, memelihara, dan menafkahi Keluarga Kudus itu. Para suami atau kepala keluarga-keluarga Katolik dapat belajar tentang teladan “ketulusan hati” Yosef itu dalam keluarga mereka.
101
Para istri dapat belajar dari Maria mengenai teladan sempurna dari kasih keibuan terhadap anak. Maria adalah teladan sempurna bagi para istri. Seperti para suami belajar dari Yosef tentang ketaatan, demikian pun para istri belajar ketaatan dari figur Maria. Dengan fiatnya, Maria telah menjawab “Ya” terhadap kehendak Allah. Dengan mengatakan “jadilah padaku menurut kehendak-Mu” (Luk 1:38), Maria taat melaksanakan kehendak Allah atas dirinya. Sikap ketaatan itu terus ditunjukkan oleh Maria dalam seluruh hidupnya. Dengan bercermin pada sikap ketaatan Maria, para istri dapat belajar taat kepada pasangannya dalam segala situasi. Maria adalah sosok istri dan ibu yang “menyimpan segala perkara itu dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19). Atas cara itu, Maria belajar menemukan rencana Allah dalam setiap pengalaman hidup yang dijumpainya. Para istri dapat belajar dari teladan hidup Maria ini. Para istri belajar menanggapi setiap persoalan dalam hidup bukan dengan luapan emosi, tetapi dengan “menyimpan dalam hati, merenungkannya, dan menemukan makna” di balik setiap persoalan itu. Seorang anak bisa belajar dari Yesus mengenai teladan sempurna dari kepatuhan dan hormat terhadap orang tua. Dari sisi kemanusiaan-Nya, Yesus telah menunjukkan teladan ketaatan atau kepatuhan pada rencana Allah dengan membiarkan diri-Nya hidup, bertumbuh dan berkembang dalam asuhan Maria dan Yosef (Luk 2:39-40). Demikian nampak jelas bahwa suami istri dapat belajar banyak dari Keluarga Kudus Nazareth. Sebab Keluarga tersebut merupakan model utama dan teladan semua keluarga kristiani (FC 86). Yohanes Paulus II menegaskan bahwa, “Dalam
102
Keluarga Kudus segala kebajikan perkawinan dinyatakan: keturunan, kesetiaan, sakramen; keturunannya adalah Tuhan Yesus sendiri; kesetiaan, sebab tanpa perzinahan; sakramen, sebab tak terceraikan” (RC 7). Keluarga Kudus memberi keteladanan dalam hal ketaatan iman, kesetiaan, kebersamaan seluruh hidup baik dalam suka maupun duka, cinta kasih yang tulus, dan pengorbanan yang tanpa pamrih. Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Custos menulis sebagai berikut, Betapa banyak keluarga pada masa sekarang dapat belajar darinya! “Hakekat dan peranan keluarga pada intinya dikonkretkan oleh cinta kasih. Oleh karena itu keluarga mengemban misi untuk menjaga, mengungkapkan serta menyalurkan cinta kasih. Dan cinta kasih itu merupakan pantulan hidup serta partisipasi nyata dalam cinta kasih Allah terhadap umat manusia, begitu pula cinta kasih Kristus Tuhan terhadap Gereja Mempelai-Nya.” Dengan demikian, pada Keluarga Kudus, “Gereja Keluarga” (Ecclesia domestica) mula-mula,” setiap keluarga Kristiani patut bercermin. “Karena rencana Allah yang penuh misteri, dalam Keluarga itulah Putra Allah melewatkan tahun demi tahun selama hidup-Nya yang tersembunyi. Oleh karena itu, Keluarga Kudus menjadi pola-teladan bagi semua keluarga Kristen” (RC 7). Dalam usaha untuk menghayati dan melestarikan nilai kesetiaan dalam perkawinan dan keluarganya, keluarga-keluarga kristiani dapat mencontohi keteladan Keluarga Kudus Nazareth. Juga keluarga-keluarga kristiani dapat memohonkan perlindungan dan bantuan Keluarga Kudus Nazareth. Keluarga itu tidak akan gagal membantu keluarga-keluarga kristiani agar setia pada kewajiban mereka setiap hari, menanggung keprihatinan dan kesusahan hidup, bersikap terbuka dan murah hati, dan dengan gembira memenuhi rencana Allah mengenai mereka (FC 86).
103
E. Kesimpulan Dinamika hidup pasangan suami istri dewasa ini terus diuji. Kehidupan yang terbentang luas di hadapan mereka bagaikan sebuah medan pemurnian terhadap komitmen mereka untuk hidup setia dalam perkawinan sampai maut memisahkan mereka. Berbagai persoalan hidup yang mereka jumpai, terutama realitas konflik dalam keluarga mereka, lebih dilihat sebagai sebuah ujian bagi keutuhan cinta mereka. Ibarat emas yang dimurnikan dalam tanur api, demikian halnya komitmen suami istri untuk menghayati kesetiaan dalam perkawinannya diuji dan dimurnikan dalam kompleksitas persoalan hidup yang mereka hadapi. Kita selalu mengharapkan dan mendoakan agar suami istri berada dalam situasi normal. Artinya, mereka berada dalam perkawinan yang sah, rukun, harmonis, penuh kasih dan tercukupi kebutuhan hidup secara layak, sehingga memiliki harga diri sebagai manusia yang bermartabat. Karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberi kondisi yang kondusif bagi pasangan suami istri untuk makin menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinannya.
104
BAB V PENUTUP
Dewasa ini pasangan-pasangan suami istri mengalami kesulitan untuk menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinannya. Keluarga-keluarga Katolik, sebagai bagian dari anggota masyarakat pada umumnya, juga menghadapi situasi yang serupa. Skripsi ini ditulis dengan tujuan untuk memberikan minimal sumbangan pemikiran bagi suami istri Katolik dalam usaha mereka untuk membangun keutuhan ikatan perkawinannya. Di atas telah kami tegaskan mengenai kesulitan suami istri dalam menghayati nilai kesetiaan perkawinan. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab menurunnya
penghayatan
nilai
kesetiaan
tersebut.
Pertama,
menurunnya
penghargaan terhadap martabat manusia. Nilai luhur martabat manusia direduksi ke hanya sekadar material belaka. Menurunnya penghargaan terhadap martabat seseorang dalam konteks perkawinan tentu berdampak pada perkawinan itu sendiri. Suami istri yang mengikat diri dalam perkawinan tidak lagi menghormati martabat pasangannya sebagai seorang pribadi. Kondisi seperti itu tentu membawa perjalanan perkawinan suami istri ke ambang disintegrasi. Kedua, menurunnya penghayatan terhadap martabat luhur perkawinan. Dewasa ini pemahaman orang tentang luhurnya nilai perkawinan sangat kabur, rancu, dan barangkali juga keliru. Pemahaman yang kabur dan keliru itu membawa dampak pada menurunnya tingkat penghayatannya terhadap martabat perkawinan itu
105
sendiri. Menurunnya penghayatan tersebut nampak dalam misalnya praktek kawincerai dan percobaan hidup bersama de facto. Praktek hidup seperti itu dipertontonkan sedemikian rupa sehingga mengaburkan gambaran dan pemahaman orang mengenai perkawinan yang benar dan sejati. Ketiga, faktor-faktor lain seperti faktor internal keluarga (menyangkut relasi personal antara suami, istri, dan anak-anak), faktor sosial, faktor ekonomi, faktor budaya, faktor beda iman/agama, dan faktor kepribadian juga turut membawa dampak terhadap keutuhan sebuah perkawinan. Faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan krisis yang mendalam dalam kehidupan suami istri. Kenyataan ini tak dapat kita hindari, bahwa pasangan-pasangan suami istri saat ini tengah menghadapi badai krisis yang mengancam kesetiaan mereka. Di tengah situasi seperti itu, kita berusaha untuk mencari titik pijak dan sumber inspirasi yang dapat membantu suami istri untuk menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinan mereka. Titik pijak dan sumber inspirasi itu kita temukan dalam ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan. Pada dasarnya Gereja melihat perkawinan sebagai sebuah panggilan Tuhan. Seorang pria dan seorang wanita dipanggil untuk bersatu menjadi satu daging dalam perkawinan. Karena itu, bagi Gereja, hakikat dari sebuah perkawinan kristiani adalah persekutuan hidup dua pribadi, pria dan wanita, yang saling menerima dan saling mencintai seumur hidup. Perkawinan kristiani yang demikian menampakkan sifatnya yang khas, yaitu unitas (kesatuan, monogam), indissolubilitas (tak terputuskan), dan sakramental. Dalam ikatan perkawinan yang demikian, suami istri saling
106
menyerahkan dan menerima diri dalam cinta kasih tanpa syarat. Karena itu, dari kodratnya suami istri dituntut untuk hidup dalam kesetiaan penuh, tanpa syarat. Penegasan terakhir ini hendak menggarisbawahi ajaran Gereja tentang luhurnya perkawinan dan indahnya hidup dalam kesetiaan penuh sebagai suami istri. Gereja menghendaki dan selalu berharap agar anggota-anggotanya, yaitu keluarga-keluarga kristiani, menghayati martabat luhur perkawinan. Dengan belajar menemukan titik pijak dan sumber inspirasi dari ajaran Gereja, suami istri belajar untuk menghadapi realitas hidup perkawinan secara realistis. Menghidupi dan menghayati kesetiaan dalam perkawinan memang tidak mudah. Suami istri mengalami berbagai tantangan dan godaan. Ada berbagai persoalan hidup yang telah menanti untuk menghadang perjalanan suami istri dalam usahanya untuk menghayati nilai kesetiaan itu. Kadang kala persoalan itu terasa begitu berat, sehingga ada pasangan suami istri yang pada akhirnya menyerah dan memutuskan untuk mengakhiri perjalanan bahtera rumah tangganya. Tak dapat disangkal bahwa ada juga pasangan suami istri yang akhirnya keluar sebagai pemenang karena berhasil mengatasi persoalan-persoalan hidup yang mereka jumpai. Sikap kritis dan realistis dalam menghadapi krisis dalam perkawinan amat diperlukan oleh suami istri. Dengan sikap kritis dan realistis, suami istri dapat memandang berbagai persoalan hidup yang ada sebagai bagian dari hidup perkawinan. Karena itu suami istri perlu menghadapi berbagai persoalan dalam hidup perkawinan mereka. Suami istri yang sukses bukan suami istri yang tanpa kesulitan dan konflik. Dalam hidup perkawinan, tidak ada yang namanya bebas dari masalah.
107
Suami istri harus menghadapi dan mencari solusi untuk semua permasalahan yang dihadapi. Di tengah badai krisis yang mengancam penghayatan nilai kesetiaan dalam perkawinan, masih terbersit harapan bahwa keluarga-keluarga kristiani akan tetap bertahan dan terus berusaha untuk mempertahankan nilai kesetiaan dalam perkawinannya. Memang mengucapkan janji setia itu mudah, tetapi menjalankannya susah. Karena mempertahankan kesetiaan itu sulit, maka suami istri perlu selalu memohon rahmat kesetiaan kepada Allah. Dengan bersandar pada penyelenggaraan kasih Allah, suami istri dapat mengatasi krisis dalam perkawinan mereka dan tetap hidup dalam kesetiaan penuh terhadap pasangannya. Di samping itu, adalah tanggung jawab kita bersama untuk menciptakan kondisi yang positif bagi suami istri untuk makin menghayati luhurnya martabat perkawinan dan tetap berlaku setia terhadap pasangannya masing-masing. Dari pihak Gereja, tindakan-tindakan preventif dapat dilakukan untuk menyelamatkan suami istri dari krisis yang mereka alami. Misalnya, pendampingan yang kontinyu terhadap pasangan suami istri yang usia perkawinannya di bawah lima tahun (pasutri balita) karena dalam usia ini suami istri amat rentan terhadap berbagai persoalan hidup, rekoleksi/retret bagi pasangan suami istri, membentuk kelompok-kelompok sharing keluarga, dan berbagai kegiatan lainnya yang bermanfaat bagi suami istri. Dari pihak masyarakat, kontrol sosial yang wajar juga dibutuhkan untuk membantu suami istri dalam menghayati hidup perkawinannya.
108
Pada akhirnya, pilihan untuk tetap hidup dalam komitmen saling setia seumur hidup itu berada dalam tangan suami istri. Merekalah yang menentukan “ya” atau “tidak” terhadap komitmen awal yang mereka bangun ketika mereka memutuskan untuk memasuki ambang perkawinan. Sambil memohonkan bantuan Keluarga Kudus Nazareth, kita hanya berharap, semoga makin banyak pasangan suami istri terselamatkan, semakin banyak pasangan suami istri yang menyadari keadaannya dan kembali menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinannya. Semoga semakin banyak pasangan suami istri kristiani berani menjalani jalan salib kesetiaan dan ikatan tak terputuskannya perkawinan. Dengan demikian, makin banyak pasangan suami istri kristiani terbantu untuk menyadari bahwa perkawinannya mengandung harta dan mutiara berharga bagi mereka berdua, bagi kesejahteraan anak, bagi kebaikan Gereja dan seluruh bangsa manusia.
109
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Problem Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius, 1982. Bergant, Dianne & Karris, Robert J. Editor. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Diterjemahkan oleh A. S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 2002. ______________. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Diterjemahkan oleh A. S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Burtchaell, James T. Dalam Untung dan Malang: Ikatan Janji Perjanjian. Yogyakarta: Kanisius, 1990. Catur Raharso, Alf. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma, 2006. Congregation for the Doctrine of the Faith. Instruction on Respect for Human Life in Its Origin and on the Dignity of Procreation. Vatican City, 1987. Cooke, Bernard. Perkawinan Kristen, Alternatif Untuk Ibadat Masa Mendatang 5. Yogyakarta: Kanisius, 1991. Darminta, J. Peziarahan Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Dokpen KWI. Dokumen Konsili Vatikan II. Terjemahan R. Hardawiryana. Jakarta: Obor, 1993. Dwi Joko, Antonius. “Paham Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik 1983.” Dalam http://yesaya.indocell.net/id814.htm. accesed on April 10, 2009. Ellis, Albert & Ted, Crawford. Making Intimate Connections: 7 Pedoman Menjalin Hubungan dan Membangun Komunikasi Yang Baik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004. Eminyan, Maurice. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2001. “Faktor-faktor yang mempengaruhi perselingkuhan dalan keluarga,” dalam http://www.skripsi-tesis.com/07/02/. accesed on February 26, 2009. Gilarso, T. Kamulah Garam Dunia: Tugas Umat Allah Dalam Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
110
_________. Editor. Membangun Keluarga Kristiani. Pembinaan Persiapan Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 1996. Go, Piet. Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Teks dan Komentar. Malang: Dioma, 2003. Go, Piet & Suharto. Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja dan Hukum. Malang: Dioma, 1987. Groenen, C. Perkawinan Sakramental. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Gunawan, F. X. Rudy & Seno Joko Suyono. Wild Reality: Refleksi Kelamin & Sejarah Pornografi. Jakarta: Indonesia Tera & Gagas Media, 2003. Hahn, Kimberly Kirk. Cinta yang Memberi Hidup, Menemukan Rancangan Indah Allah bagi Perkawinan Anda. Malang: Dioma, 2007. Hardiwiratno, J. Gonjang-ganjing Keluarga Katolik 2. Jakarta: Obor, Oktober 2008. Hello, Yosef Marianus. Menjadi Keluarga Beriman: Sebuah Cita-cita dan Pergumulan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2004. Heuken, A. Persiapan Perkawinan. Cetakan kelima. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1991. Hommes, Anne. Perubahan Peranan Pria Dan Wanita Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Dalam Gereja Dan
Hunter, David G. “Sex, Sin and Salvation: What Augustine Really Said.” Dalam http://www.jknirp.com/aug3.htm. accesed on February 26, 2009. John Paul II. Familiaris Consortio. The Role of the Christian Family in the Modern World. Broughton: St. Paul Publications, 1982. Kasper, Walter. Theology of Christian Marriage. London: Burns & Oates Ltd., 1980. Katekismus Gereja Katolik. Ende: Arnoldus, 1995. Klein, Paul. Pedoman Awal Keluarga Kristen. Maumere, Flores, 1983. Komisi Kateketik Keuskupan Manado. Membangun Keluarga Kristen Atas Dasar Cinta Sejati. Lotta, Februari 2003.
111
Königsmann, Josef. Pedoman Hukum Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah, 1989. Kusumawanta, Dominikus Gusti Bagus. Analisis Yuridis “Bonum Coniugum” dalam Perkawinan Kanonik, Relevansi untuk Pelayanan Pastoral bagi Keluarga Katolik di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007. KWI. Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius, 1996. _____. Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici). Diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Bogor: Percetakan Grafika Mardi Yuana, Juni 2006. Léon-Dufour, Xavier. Ensiklopedi Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1990. Le Saint, P. Ancient Christian Writers; The Works of the Father in Translated. London: Longmans, Green and Co., 1951.
LK3I KWI. “Upacara Misa Pembaharuan Janji Perkawinan”. Dalam Buletin Keluarga VI/1 (Juli – Agustus 1994). Martos, Joseph. Perkawinan, Seri Sakramen-sakramen Gereja. Jakarta: Obor, 1997. Mirsel, Robert. Pasanganku Seorang Katolik: Sebuah Inspirasi bagi Pasangan Kawin Campur Katolik-Non Katolik. Maumere: LPBAJ, 2001. O’Collins, Gerald & Farrugia, Edward G. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996. Ohoitimur, Yong. Hukum Adat dan Sikap Hidup Orang Kei. Seri Mitra No. 1. Skolastikat MSC Pineleng: Kelompok Studi Communicanda, 1996. Purwa Hadiwardoyo, Al. Perkawinan Dalam Tradisi Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1988. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Rausch, Thomas P. Katolisisme, Teologi bagi Kaum Awam. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Rubiyatmoko, Robertus. Proyek Keluarga. Hukum Perkawinan Kanonik. Kentungan: Percetakan Waton Guna FTW, Oktober 2001.
112
Salawaney, Tonci R. Apakah Rumah Tangga Anda Bahagia?. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1998. Sujoko, Albertus. Moral Keluarga. Pineleng: STF-SP, 2002. Sukasworo, Ignatius. Seni Berkomunikasi Dalam Membangun Keluarga Kristiani. Jakarta: Obor, 2000. “Tertullian.” Dalam Britannica. Volume 11. London: Encyclopedia Britannica Inc., 2002. Terruwe, A. A. A. Pertumbuhan Emosi di dalam Perkawinan. Ende: Nusa Indah, 1976. “The Stromata, or Miscellanies.” Dalam http://www.earlychristianwriting.com/text/ clement-stromata-book4.html. accesed on February 26, 2009. Widharsana, P. D. Menghayati Sakramen Perkawinan. Malang: Dioma, 1990 Willis, John. The Teaching of the Church Fathers. San Francisco: Ignatius Press, 1966. Wrenn, L. C. Annulments. Hartford, 1972 Yohanes Paulus II. Kedamaian dan Keluarga. Diterjemahkan oleh Konrad Udjan. Jakarta: Dokpen KWI, April 1994. Yuwana, T. A. & Maramis, W. F. Dinamika Perkawinan Masa Kini. Malang: Dioma, 2003.