Penggunaan Jaringan Pengawasan
Daftar Isi Halaman Daftar Isi ................................................................................................................................................... 2 1.
Pendahuluan...................................................................................................................................... 3 1.1.
2.
3.
Perlunya Pengawasan Terhadap Penyakit Bawaan Makanan .................................................... 3
Sejarah dan Perkembangan Jaringan Pengawasan ............................................................................ 5 2.1.
Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya Jaringan Pengawasan ............................................. 5
2.2.
Dasar Ilmiah dan Implikasi ....................................................................................................... 7
2.3.
Regulasi, Industri, dan Implikasi Internasional ....................................................................... 10
2.4.
Perkembangan dan Implikasi Masa Depan ............................................................................. 11
2.5.
Penyakit Bawaan Makanan Yang Kerap Terjangkit di Negara Berkembang .......................... 14
2.6.
Perkembangan Pengawasan Penyakit Bawaan Makanan di Beberapa Negara Berkembang ... 21
Jaringan Pengawasan ...................................................................................................................... 30 3.1.
Sistematika Jaringan Pengawasan ........................................................................................... 30
3.2.
Tipe Jaringan Pengawasan ...................................................................................................... 31
Daftar Pustaka ........................................................................................................................................ 33 Lampiran ................................................................................................................................................ 38
2
1. Pendahuluan 1.1.
Perlunya Pengawasan Terhadap Penyakit Bawaan Makanan
Penyakit bawaan makanan dapat menginfeksi individu bukanlah karena makanan tersebut membawa penyakit secara langsung. Akan tetapi penyakit bawaan makanan merupakan makanan yang terlah terkontaminasi oleh mikroorganisme yang pathogen (seperti virus, bakteri, parasit, ataupun prion) atau benda-benda kecil (seperti pecahan kaca, logam, dan benda kecil lainnya yang berkemungkinan terbawa saat proses produksi makanan). Sumber kontaminasi yang merupakan sumber yang paling signifikan terjadi dan sulit untuk terdeteksi adalah sumber kontaminasi mikroorganisme pathogen. Hal ini dikarenakan materi kontaminasi tersebut berukuran mikroskopis dan metode pengkontaminasiannya sangat banyak (seperti pada saat proses produksi, pada saat proses penyimpanan, pada saat proses pendistribusian, dan bahkan pada saat dikonsumsi). Kontaminasi pada makanan tersebut akan menyebabkan infeksi pada individu yang mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi tersebut. Penyakit bawaan makanan semakin perlu diawasi pada saat ini dikarenakan terjadi perubahan besar dalam pola hidup. Perubahan tersebut adalah peningkatan konsumsi makanan mentah atau makanan kurang matang, konsumsi makanan di luar rumah yang belum jelas kebersihannya, globalisasi dari suplai bahan makanan, dan produksi serta distribusi masal makanan siap saji [1]. Perubahan pola hidup tersebut dapat meningkatkan tersebar luasnya wabah penyakit bawaan makanan. Untuk memonitor dampak penyebaran wabah tersebut diperlukan sistem yang dapat memberikan informasi mengenai wabah tersebut. Jaringan pengawasan penyakit bawaan makanan merupakan bagian penting dalam performansi sistem keamanan pangan yang dapat memonitor wabah penyakit bawaan makanan tersebut [2]. Pembentukan dan pengembangan jaringan pengawasan dalam negara dan antar negara (seperti National Molecular Sub-typing Network for Foodborne Pathogens (PulseNet)) akan menjadi satusatunya jalan yang efektif untuk mengidentifikasi dan mengkontrol hal tersebut [3]. Pengawasan terhadap penyakit ini dapat mengidentifikasi bahaya yang sebelumnya tidak diketahui dan menyediakan umpan balik dalam pengefektifan langkah-langkah pengendalian yang sudah ada. Contoh dari hasil identifikasi jaringan pengawasan penyakit bawaan makanan yaitu investigasi terhadap kasus infeksi Salmonella stanley pada tahun 1995 yang membawa
3
kepada penemuan identifikasi terhadap inang Salmonella yaitu kecambah alfalfa [4]. Selain itu, investigasi terhadap kasus infeksi Salmonella enteritidis yang berhubungan dengan es krim komersial berhasil mengungkapkan kesalahan pada Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) perusahan dalam mengontrol bahaya dalam proses transportasi bahan baku [5]. Secara umum tujuan dari jaringan pengawasan penyakit bawaan makanan terbagi menjadi dua yaitu: 1. Mendeteksi, mengontrol, dan mecegah pewabahan dari penyakit bawaan makanan. 2. Menginformasikan isu yang berkepanjangan. Hal ini meliputi: a. Mengidentifikasi prioritas dan mengembangkan kebijakan untuk pengendalian dan pencegahan dari penyakit bawaan makanan b. Mengestimasi dampak dari penyakit bawaan makanan dan memonitor tren (pola penyebaran penyakit bawaan makanan) yang terjadi c. Mengevaluasi strategi pencegahan dan pengendalian penyakit bawaan makanan
4
2. Sejarah dan Perkembangan Jaringan Pengawasan 2.1.
Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya Jaringan Pengawasan
Di Amerika Serikat, pengawasan untuk penyakit bawaan makanan dilakukan dibawah yuridksi dari departemen kesehatan lokal atau pusat. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan pengawasan nasional untuk penyakit seperti infeksi E.Coli 0157:H7, salmonellosis, dan shigellosis yang dapat dilaporkan secara nasional dalam kolaborasi dengan Dewan Epidomiologist Negara dan Teritorial [6]. Laporan dari setiap kasus pewabahan dimasukkan ke CDC melalui National Electronic Telecommunications System for Surveillance (NETSS) dan setiap tahun dirangkum dalam MMWR Summary of Notifable Diseases, Amerika Serikat [7]. Public Health Laboratory Information System (PHLIS) yang terpisah-pisah didirikan di setiap daerah untuk melaporkan informasi isolat secara elektronik dari Labortorium Kesehatan Masyarakat Pusat ke CDC [8]. PHLIS ini menjadi dasar pembuatan sistem pengawasan Salmonella dan Shigella nasional. Pewabahan dari penyakit bawaan makanan dilaporkan oleh departemen kesehatan pusat dan lokal ke sistem pengawasan pewabahan penyakit bawaan CDC. Rangkuman pengawasan untuk 5 tahun terbaru yang mencakup pewabahan yang dilaporkan dari tahun 1993 sampai 1997 dibuat berdasarkan laporan pewabahan penyakit bawaan makanan pada tahun tersebut [9]. Sebagai bagian respon CDC terhadap infeksi yang baru mewabah dan kaitannya dengan President Clinton’s National Food Safety Initiative, CDC mengembangkan beberapa pendekatan baru untuk meningkatkan pengawasan penyakit bawaan makanan. Hal ini termasuk pengembangan Salmonella Outbreak Detection Algorithm (SODA) untuk dijalankan dalam PHLIS [10], Active Surveillance System for Foodborne Diseases (FoodNet) [11], dan National Molecular Sub-typing Network for Foodborne Pathogens (PulseNet) yang menggunakan protokol pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) terstandar untuk subtipe pathogen bawaan makanan dan laporan pola PFGE melalui database elektronik di CDC [3]. Jaringan pengawasan ini dikembangkan untuk meningkatkan kesamaan dalam mendeteksi wabah dan untuk meningkatkan ketepatan waktu deteksinya. Perbedaan beberapa jaringan pengawasan penyakit bawaan makanan di Amerika Serikat disajikan pada Tabel 2.
5
Tabel 1. Sifat Jaringan Pengawasan Nasional Utama Penyakit Bawaan Makanan di AS Karakteristik
FoodNet
PHLIS/SODA
PulseNet
Tujuan
Mengukur dan
Memonitor tren,
Memonitor tren,
memonitor penyakit
Mendeteksi wabah
Mendeteksi wabah
Seluruh negara
6 area laboratorium
bawaan makanan Ruang Lingkup
Sembilan lokasi
Geografi
penjagaan mencakup
subtyping; 42
11% dari populasi
laboratorium
Amerika Serikat
kesehatan masyarakat yang ikut berpartisipasi lainnya
Metode
Pengawasan berbasis
Pengajuan elektronik
Subtyping molekular
laboratorium aktif
dari informasi pada
dengan PFGE, pola
dengan survey yang
isolat. Deteksi wabah
transmisi elektrik
terkait dari
serotipe spesifik
PFGE, Pendeteksian
laboratorium, dokter,
pola kelompok PFGE
dan penduduk Kemampuan untuk
Terbatas untuk wabah
Terbatas dengan
Terbatas dengan
mendeteksi
yang terjadi dalam
sensitifitas dan
partisipasi yang tidak
penyebaran wabah
daerah pengawasan
spesifikitas dari
penuh, sumber daya
pengawasan serotipe
epidemilogi tidak
spesifik
memadai
Potensi untuk
Biaya dan tingkat
Telah mencapai
Dapat diperluas
pengembangan ke
kegiatan membatasi
potensial penuh
hingga seluruh negara
depan
untuk aplikasi pada
untuk membentuk
lokasi pengawasan
dasar sistem pengawasan penyakit bawaan makanan terintegrasi 6
2.2.
Dasar Ilmiah dan Implikasi
PHLIS merupakan perwakilan perpanjangan pertama dari perubahan informasi berbasis komputer pribadi (PC) dalam pengawasan kesehatan masyarakat [8]. PHLIS memungkinkan laboratorium kesehatan masyarakat pusat untuk mengirimkan data elektronik ke CDC. Selain itu, PHLIS juga menyediakan format umum untuk penyimpanan data dan analisis, baik di CDC maupun di pemerintah pusat. Data yang dilaporkan melalui PHLIS mewakili hasil laporan dari pelaporan pasif isolat oleh laboratorium klinis. Meskipun kelengkapan dari laporan pasif dapat berbeda dengan pernyataan, untuk setiap pernyataan yang cenderung diberikan konsisten dari tahun ke tahun. Kekonsistenan dalam laporan dari waktu ke waktu memungkinkan PHLIS digunakan untuk melacak tren dalam laporan serotipe Salmonella. Untuk mengambil keuntungan dari karakteristik data dalam PHLIS, CDC memodifikasi metode kontrol kualitas yang digunakan dalam manufaktur, untuk membangun suatu algoritma untuk mendeteksi kelompok tidak biasa dari suatu kasus [10]. SODA digunakan di CDC pada tahun 1995 dan kemudian menyusul di beberapa departemen kesehatan negara. Algoritma ini secara otomatis membandingkan laporan terbaru kasus Salmonellla dengan rangkuman laporan 5 tahun jumlah rata-rata kasus yang memiliki serotip dan minggu laporan yang sama. Jika peningkatan signifikan secara statistik terdeteksi, maka dilakukan pengiriman pemberitahuan ke pusat dengan jumlah kasus yang ditingkatkan. Pada Mei 1995, SODA menegaskan bahwa wabah Salmonella stanley terjadi pada beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Wabah telah diakui dan sedang diselidiki oleh Departemen Kesehatan Masyarakat Michigan sebelum SODA memberikan pemberitahuan, tetapi pengetahuan tentang sifat alamiah penyebaran wabah telah memfasilitasi penyelidikan epidemiologi dan membawa ke hasil identifikasi bahwa sumber dari wabah adalah kecambah alfalfa [4]. SODA memainkan peran yang sama dalam menentukan dimensi geografis wabah infeksi Salmonella agona yang terhubung dengan sereal gandum panggang [11]. Karena SODA membandingkan rata-rata 5 tahun kasus terbaru, SODA tampaknya menjadi yang paling efektif dalam mendeteksi kelompok kasus serotipe yang tidak biasa. Seperti dalam aplikasi lain dari pengawasan serotipe spesifik, SODA dipercaya sangat sensitif atau spesifik untuk mendeteksi wabah yang disebabkan oleh serotipe umum seperti Salmonella typhiniurium.
7
Sistem pengawasan berdasarkan model yang mirip dengan PHLIS dan SODA telah dikembangkan di Australia dan Eropa. Enter-net adalah sistem pengawasan Uni Eropa (UE) untuk Salmonella dan shiga (toksin yang diproduksi E. coli). Sebuah algoritma deteksi kelompok otomatis diterapkan untuk kasus Salmonella yang dilaporkan ke Pusat Pengawasan Penyakit Menular Uni Eropa dari negara-negara anggota, berdasarkan perbandingan dengan data retrospektif dari rentang waktu yang sama dari tahun sebelumnya [12]. Di Australia, Salmonella Potential Outbreak Targeting System (SPOT) telah dikembangkan untuk menyatakan Skema Pengawasan Patogen Enterik Nasional dalam kasus kelompok serotipe dan fagetipe yang tidak biasa [13]. Seperti SODA, kasus dibandingkan dengan garis dasar 5 tahun untuk waktu tahunan dan lokasi geografis. Namun, SPOT dan SODA berbeda dalam bagaimana garis dasar dihitung dan dalam algoritma statistik untuk mendeteksi perbedaan dari garis dasar. Dimasukkannya data fagetipe dalam identifikasi wabah meningkatkan spesifisitas identifikasi kelompok oleh SPOT. Kemampuan untuk membedakan subtipe tertentu antara organisme yang relatif umum, seperti E. coli 0157:H17 atau Salmonella typhinitirium, adalah kekuatan utama dari PulseNet, jaringan subtyping molekular nasional CDC. PulseNet mengambil keuntungan dari digabungkannya perubahan dalam biologi molekuler dan teknologi informasi. PFGE dilakukan dengan memotong DNA bakteri menjadi beberapa potongan dan membandingkan seberapa jauh potongan yang berbeda bergerak melintasi gel. Potongan yang lebih kecil bergerak lebih jauh dari potongan yang lebih besar. Pola yang dihasilkan menyerupai bar code. Dalam kondisi standar, pola PFGE dapat direproduksi dengan sanagat tinggi. PFGE dipilih untuk digunakan dalam PulseNet karena PFGE tersedia di banyak laboratorium kesehatan masyarakat, relatif sederhana, menyediakan perbedaan yang stabil dan berguna secara epidemiologis antar strain dalam pengaturan wabah, dan output dapat didigitalkan sehingga dapat dikirim secara elektronik antara laboratorium yang berpartisipasi. Dengan demikian pola PFGE dari kelompok di beberapa negara bagian dapat dengan cepat dibandingkan untuk menentukan apakah masingmasing negara bagian menjadi bagian dari penyebaran wabah yang lebih besar. Karakteristik ini membuat PulseNet sebagai program yang lebih disukai untuk membangun sebuah sistem pengawasan nasional yang sesungguhnya untuk semua agen penyakit bawaan makanan yang dikenal.
8
Seperti pengawasan serotipe spesifik untuk Salmonella, PulseNet dirancang untuk mendeteksi kelompok kasus yang tidak biasa yang dapat mewakili wabah. Namun, karena PulseNet mengidentifikasi kelompok dengan pola PFGE yang khas, ada besar kemungkinan bahwa kasus-kasus di dalam kelompok memiliki sumber yang sama. Pemanfaatan menggabungkan subtyping PFGE ke pengawasan rutin untuk E. coli 0157:H7 [14] dan Salmonella typhimurium [19] telah didemonstrasikan di Minesota. Untuk kedua patogen, subtyping rutin oleh PFGE menghasilkan peningkatan deteksi wabah dengan mengesampingkan kelompok palsu yang terdiri dari subtipe PFGE yang tidak terkait. PulseNet telah memainkan peran utama dalam penyelidikan wabah baru-baru ini pada E. coli 0157:H7 pada bahan dasar roti hamburger [16], Salmonella muenchen pada jus jeruk yang tidak dipasteurisasi [17], Shigella sonnei pada parsley impor [18], dan Listeria monocytogenes pada hot dog dan daging luncheon [19]. Walaupun kondisi PFGE standar tidak tersedia untuk semua penyelidikan ini, komunikasi elektronik tentang wabah dan kemampuan untuk mengirimkan pola PFGE ke peneliti lain sangat memfasilitasi penyelidikan epidemiologi dalam mengidentifikasi sumber dari setiap wabah. Faktor pembatas utama untuk kegunaan PulseNet adalah bahwa tidak semua laboratorium kesehatan masyarakat dapat terhubung, tidak semua laboratorium klinis mengirimkan isolat secara rutin ke laboratorium kesehatan masyarakat, dan banyak negara bagian yang tidak memiliki sumber daya epidemiologi yang cukup untuk menyelidiki kasus-kasus individu atau kelompok. Dalam perbedaannya untuk kemampuan penyebarannya pada PulseNet, FoodNet, Sistem Pengawasan Aktif untuk Penyakit Bawaan Makanan, didirikan sebagai pengawas lokasi sistem pengawasan untuk melakukan pengawasan aktif berdasarkan populasi kasus bakteri infeksi bawaan makanan, awalnya, di antara 13,2 juta penduduk Minnesota, Oregon, dan negara bagian terpilih di California, Connecticut, dan Georgia. Penambahan lokasi di New York, Maryland, Tennessee, dan Colorado akan membawa penduduk di bawah pengawasan untuk 29 juta orang pada tahun 2001 [20]. Tujuan utama dari FoodNet adalah untuk mengukur beban penyakit diare di Amerika Serikat, untuk mengembangkan sarana perespon cepat terhadap penyakit bawaan makanan yang muncul, dan untuk mengevaluasi efektivitas strategi pencegahan. Perkiraan baru-baru ini bahwa 76 juta penyakit bawaan makanan terjadi setiap tahun di Amerika Serikat
9
dengan sebagian besar berdasarkan pada hasil pengawasan aktif dan survei populasi yang dilakukan oleh FoodNet [21].
2.3.
Regulasi, Industri, dan Implikasi Internasional
Kemudahan orang, produk, dan makanan bergerak melintasi perbatasan internasional membuat pengawasan itu penting karena sistem pengawasan penyakit bawaan makanan nasional sensitif terhadap kejadian penyebaran wabah secara luas. Peraturan Keamanan Pangan yang dikenakan pada produsen makanan di satu negara akan memiliki efek yang sedikit dalam mencegah penyakit dari makanan yang diimpor dari negara lain yang mungkin tidak mengikuti standar yang sama. Wabah shigellosis yang terkait dengan impor parsley dari Meksiko adalah contohnya [18]. Meskipun sebagian besar produk terkait wabah di Amerika Serikat berkaitan dengan produk dalam negeri, mendokumentasikan wabah terkait dengan produk impor merupakan langkah penting dalam usaha untuk menjamin keselamatan buah-buahan dan sayura-sayuran segar. Selain itu, makanan yang terkontaminasi mungkin memiliki distribusi internasionalnya, dan pengakuan terjadinya suatu wabah di suatu negara dapat memfasilitasi pendeteksian wabah di negara-negara lainnya juga. Untuk alasan ini, pengawasan untuk penyakit bawaan makanan harus distandardisasi sebanyak mungkin. Sistem pengawasan nasional Salmonella di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia berfungsi dengan arahan yang sama. Hal ini telah membantu mengkoordinasikan penyelidikan Salmonella yang terkait dengan kecambah alfalfa dan makanan yang didistribusikan secara internasional lainnya [4]. Potensi untuk pengawasan internasional pada Salmonella dan patogen enterik lainnya akan lebih besar apabila sistem pengawasan nasional bergerak melebihi model PHLlS/SODA pada saat ini dan berkembang bersamaan dengan PulseNet. Dari
sudut
pandang
regulasi,
peningkatan
kecepatan
pertukaran
informasi
dan peningkatan sensitivitas dan spesifisitas yang melekat dalam PulseNet akan membawa identifikasi wabah dan pelaksanaan tindakan pengendalian yang tepat waktu. Dalam kasus infeksi wabah E. coli 0157:H7 terkait dengan daging sapi Hudson, ketersediaan PulseNet memungkinkan penilaian yang sangat cepat dari besarnya potensi wabah dan membantu untuk 10
memandu keputusan USDA tentang recall dan intervensi pabrik [16]. Di pusat, penilaian secara cepat terhadap pengaitan kasus dengan wabah dapat memungkinkan tanggapan yang tepat untuk wabah dan mendahului terjadinya banyak kecemasan di masyarakat. Demikian pula, kemampuan PulseNet untuk menghubungkan kasus infeksi Listeria yang terpisah ke dalam sumber yang sama membuat USDA kembali fokus pada masalah penyakit bawaan makanan yang penting [19]. PulseNet juga memberikan kesempatan unik untuk membandingkan patogen dari infeksi manusia dengan isolat hewan dan lingkungan yang diperoleh selama survei peraturan, investigasi wabah, dan studi khusus. Laboratorium di USDA dan FDA terhubung dengan PulseNet melalui CDC. Namun, sangat sedikit informasi terbaru dari USDA dan FDA yang dapat diperoleh untuk PulseNet. Hasil pengujian mikrobiologi pada makanan dan sampling lingkungan oleh industri tidak dapat diperoleh untuk PulseNet. Demikian pula data PulseNet tidak dapat diakses secara langsung oleh industri. Pola PFGE individu dapat diakses secara kasus per kasus melalui kebebasan meminta informasi ke CDC. FoodNet telah memainkan peran penting dalam menetapkan perkiraan baru tentang bagaimana penyakit bawaan makanan benar-benar terjadi di Amerika Serikat. Hal tersebut telah menjadi data dasar tentang insiden utama bakteri patogen bawaan makanan. Melalui studi kontrol kasus dan survei populasi, FoodNet telah menetapkan faktor risiko untuk beberapa patogen yang sama dan membantu memperkirakan proporsi yang disebabkan berbagai makanan, terutama yang diatur oleh USDA. Kegiatan ini menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi efektivitas dari perubahan peraturan dan pengenalan dari langkah-langkah pengendalian baru.
2.4.
Perkembangan dan Implikasi Masa Depan
Saat ini di Amerika Serikat, tiga inovasi besar telah dibuat dalam pengawasan untuk penyakit bawaan makanan: PHLIS/SODA, PulseNet, dan FoodNet. Alih-alih menjadi sistem pengawasan penyakit bawaan makanan yang benar, FoodNet beroperasi sebagai kumpulan studi khusus untuk menilai besarnya penyakit bawaan makanan dan untuk memantau tren kejadian pada penyakit bawaan makanan untuk populasi yang didefinisikan. PHLIS/SODA dan 11
PulseNet keduanya memberikan lingkup nasional untuk kegiatan pengawasan dan menyediakan beberapa kemampuan untuk mendeteksi penyebaran wabah secara luas. PHLlS memiliki kelebihan sebagai sistem pengawasan "dewasa " yang sepenuhnya diterapkan di semua negara. Ketersediaan perluasan data sejarah membuat PHLIS menjadi arsip berharga untuk memantau tren jangka panjang dalam pelaporan penyakit. Namun, ketergantungan pada pengawasan serotipe yang spesifik membatasi sensitivitas dan spesifisitas SODA untuk serotipe yang relatif umum. PulseNet menyediakan sistem komunikasi elektronik interaktif dan karakterisasi subtipe yang sangat spesifik akan menjadi sebab mengapa hal tersebut menjadi model yang kuat untuk pengembangan di masa mendatang. Pemilihan PFGE sebagai standar subtyping molekuler untuk PulseNet didasarkan pada kenyamanan dan keadaan ilmu kita pada saat PulseNet dikembangkan. Banyak metode subtyping saat ini tersedia dan sedang dikembangkan. Pada titik tertentu, standar baru akan diadopsi untuk menggantikan PFGE. Kerangka kerja dari PulseNet akan berfungsi terlepas dari sistem subtyping yang digunakan. Saat ini, pendamping PulseNet sedang ditetapkan di CDC untuk memberikan pengawasan nasional untuk Calicivirus. Calicinet akan mendasarkan skema pengawasan pada urutan produk gen polymerase chain reaction (PCR). Pelacakan organisme dengan urutan gen tertentu dapat mewakili inovasi besar berikutnya dalam pengawasan penyakit bawaan makanan, tetapi tantangan akan terletak dalam menentukan berapa banyak variabilitas yang dapat ada dalam kelompok organisme yang semuanya berasal dari sumber yang sama. Untuk menjadikan PulseNet sepenuhnya beroperasi, akan membutuhkan partisipasi semua laboratorium kesehatan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui penyampaian isolat ke laboratorium kesehatan masyarakat daerah. Hal ini akan membutuhkan subtyping rutin isolat yang diterima. Hal ini juga akan membutuhkan investasi dalam sumber daya epidemiologi untuk melakukan investigasi kasus dan kelompok ketika sedang melakukan identifikasi. Untuk lebih meningkatkan pengawasan penyakit bawaan makanan di Amerika Serikat, program pengawasan terpadu harus dibangun di sekitar perluasan PulseNet. Model ini dapat segera dikembangkan di negara-negara lain dan dihubungkan secara elektronik untuk membentuk sistem pengawasan penyakit bawaan makanan yang benar-benar internasional.
12
Perkembangan baru-baru ini terdapat beberapa tambahan mengenai jaringan pengawasan terhadap penyakit bawaan makanan yaitu: 1. National Antimicrobial Resistance Monitoring System-enteric bacteria (NARMS) NARMS merupakan kolaborasi antara departemen kesehatan lokal dan pusat, CDC, FDA, dan USDA. NARMS memonitor daya tahan antimikrobial dalam bakteri enterik terisolasi dalam manusia, daging retail, dan daging hewan. Tugas utama dari CDC adalah untuk melacak dan melaporkan daya tahan antibiotik dalam bakteri enterik terisolasi dari manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella Campylobacter, E. Coli 0157, Shigella, atau Vibrio selain Vibrio Cholerae. 2. National Electronic Norovirus Outbreak Network (CalciNet) CalciNet, menghubungkan dengan cepat kelompok norovirus pada wabah dengan sumber makanan yang umum, sebagai pengidentifikasian strain norovirus yang muncul. Jaringan ini memperkenankan lembaga kesehatan masyarakat untuk menentukan sampel mana yang merupakan bagian dari pewabahan yang sama. CalciNet dioperasikan pada Maret 2009 dan saat ini telah memiliki 25 partisipasi di negara yang telah dijamin, melaporkan norovirus yang tersebar baik melalui makanan atau antar manusia. Norovirus ini merupakan penyebab sebagian besar penyakit bawaan di Amerika Serikat. 3. National Surveillance for Enteric Disease National Surveillance for Enteric Disease menyediakan gambaran nasional terhadap infeksi yang terjadi dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. 4. Foodborne Disease Outbreak Surveillance System (FDOSS) FDOS menangkap data pewabahan pada medium, makanan, dan pengaturan yang bertanggung jawab terhadap penyakit 5. Environmental Health Specialists Network (EHS-Net) EHS-Net menghubungkan spesialis kesehatan lingkukan ke epidemilogis dan laboran untuk mengidentifikasi dan mencegah pengaruh lingkungan terhadap penyakit dan pewabahan 6.National Notifiable Diseases Surveillance System (NNDSS) NNDSS melacak penyakit infeksi di seluruh bagian Amerika Serikat yang harus dilaporkan
13
2.5.
Penyakit Bawaan Makanan Yang Kerap Terjangkit di Negara Berkembang
Negara berkembang diserang oleh beragam jenis penyakit bawaan makanan. Penyakit kolera, kampilobakteriosis, gastroenteritis E. coli, salmonelosis, shigelosis, demam tifoid dan paratifoid, bruselosis, amoebiasis, dan poliomielitis merupakan beberapa contoh penyakit bawaan makanan yang terjangkit pada penduduk di negara berkembang [22]. Dengan sistem pelaporan yang buruk atau tidak ada sama sekali pada kebanyakan negara berkembang, data statistik yang bisa diandalkan tentang penyakit ini tidak tersedia sehingga besaran insidensinya tidak dapat diperkirakan. Akan tetapi, beratnya situasi ini dapat dipahami dengan melihat angka prevalensi penyakit diare yang tinggi di kalangan bayi dan anak-anak. Setiap tahun, terdapat sekitar 1.500 juta kejadian diare pada balita, dan sebagai akibat langsungnya lebih dari 3 juta anak meninggal. Secara tidak langsung, jutaan anak lain meninggal akibat efek gabungan yang ditimbulkan oleh diare dan malnutrisi [23]. Sebelumnya ada dugaan bahwa persediaan air yang terkontaminasi merupakan sumber utama patogen yang menyebabkan diare, tetapi saat ini diketahui bahwa makanan memainkan peranan yang sama pentingnya. Menurut perkiraan, sekitar 70% kasus penyakit diare terjadi karena makanan yang terkontaminasi [24]. Patogen yang sudah dikenal sebagai penyebab penyakit diare meliputi bakteri seperti E. coli patogenik, Shigella spp., Salmonella spp., Vibrio cholerae OI serta Campylobacter jejuni; protozoa seperti Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium spp.; dan juga berbagai virus enterik seperti rotavirus [25]. Infeksi karena strain patogenik E. coli mungkin merupakan penyebab terumum penyakit diare di negara berkembang. Mikroorganisme ini menyebabkan sampai 25% kasus penyakit diare pada bayi dan anak-anak, dan secara khusus dikaitkan dengan pemberian makanan tambahan [24]. Selain itu, terdapat beberapa mikroorganisme patogen yang juga ditemukan sebagai penyebab diare yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Mikroorganisme Patogen Penyebab Diare Akut di Negara Berkembang Patogen
Persentase (%)
Rotavirus
15-25
Escherchia coli
14
-
enterotoksigenik
10-20
-
enteropatogenik
1-5
Shigella spp.
5-15
Campylobacter jejuni
10-15
Vibrio cholerae 01
5-10
Salmonella (non-typhi)
1-5
Cryptosporidium spp.
5-15
Penyakit kolera merupakan masalah serius di negara berkembang karena akibat yang ditimbulkannya berdampak pada bidang kesehatan dan sosioekonomi. Pada tahun 1991, penyakit kolera menyebar ke Amerika Latin dan sekitar 595.000 penduduk terjangkit infeksi ini yang mengakibatkan kematian pada 19.295 orang [26]. Pada tahun 1997, 65 negara, terutama di benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin, terserang kejadian luar biasa penyakit kolera dengan jumlah kasus yang dilaporkan secara resmi adalah 147.000 kasus dan 6.274 orang di antaranya meninggal dunia. Seperti halnya penyakit diare lain, dahulu air diyakini sebagai media penularan kolera. Namun, semakin banyak hasil penelitian epidemiologi yang menunjukkan bahwa makanan merupakan jalur penularan penyakit yang tak kalah pentingnya [27]. Di Amerika Latin, makanan laut yang mentah atau setengah matang dan minuman yang mengandung es batu merupakan media penting penularan penyakit tersebut. Seperti halnya di kawasan dunia lain, penjaja makanan kaki lima di Amerika Latin memainkan peranan yang penting dalam menularkan penyakit kolera melalui makanan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa makanan memegang peranan yang bahkan lebih besar daripada air dalam menyebabkan infeksi tersebut; banyak jenis makanan yang mendukung pertumbuhan Vibrio cholerae sampai ke tingkat yang dapat menimbulkan penyakit dan juga melindungi mikroorganisme tersebut terhadap keasaman lambung [28]. Dosis minimum Vibrio cholerae untuk menimbulkan infeksi cukup tinggi (106—108) dan jumlah ini dapat dengan mudah tercapai pada makanan yang mengalami perlakuan suhu-waktu (time-temperature abuse). Kebasaan (alkalinitas) beberapa jenis makanan dapat menetralkan keasaman (asiditas) lambung sehingga memperbesar kemungkinan Vibrio cholerae untuk bertahan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa air tetap merupakan sumber yang penting dalam kontaminasi makanan. Kamp pengungsi kerap kali
15
menjadi sumber kejadian luar biasa penyakit kolera dan epidemi penyakit diare lain. Selama tahun 1992, pada kamp Lisungwi yang menampung 60.000 orang pengungsi dari Mozambik tercatat 772 kasus penyakit kram perut dan diare berdarah. Faktor utama yang turut menyebabkan timbulnya penyakit ini adalah konsumsi makanan matang yang dibeli di pasar [29]. Laporan tercatat mengenai jenis lain penyakit bawaan makanan pada kamp pengungsi tidak sering ditemukan, tetapi keadaan ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa perhatian terhadap masalah penyakit selalu dibayangi oleh epidemi penyakit diare seperti kolera dan shigelosis, dan oleh masalah kesehatan serta logistik yang lain. Kejadian luar biasa kasus keracunan massal pernah dilaporkan terjadi di dalam sebuah kamp pengungsi anak di Goma, Republik Demokratik Kongo (dahulu disebut Zaire) pada tahun 1994 [30].
Jenis patogen lain yang sering dijumpai di negara berkembang dan negara industri adalah Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Clostridium perfringens. Patogen ini menyebabkan penyakit yang sering disertai dengan gejala diare. Insidensi kasus infeksi/intoksikasi yang disebabkan oleh patogen ini di seluruh dunia mungkin sangat tinggi; akan tetapi, karena sering kali sembuh dengan sendirinya, penyakit tersebut kurang mendapat perhatian dalam layanan kesehatan masyarakat. Penyakit tersebut pada dasarnya berkaitan dengan perlakuan suhu-waktu pada makanan selama penyiapan dan penyimpanannya. Pada beberapa negara Amerika Latin (seperti Brazil, Kuba dan Venezuela), peristiwa intoksikasi akibat Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama kejadian luar biasa penyakit bawaan makanan pada tahun 1980-an [31].
Intoksikasi karena Clostridium botulinum, walaupun agak jarang terjadi dapat menimbulkan akibat yang serius dan terkadang mematikan. Botulinum merupakan salah satu racun (toksin) paling kuat yang pernah dikenal. Meskipun makanan buatan pabrik juga terlibat dalam kejadian luar biasa botulisme, sebagian besar kasus terjadi akibat kesalahan dalam pengawetan atau pengolahan makanan di rumah. Di Cina dari tahun 1958 sampai 1989 terdapat 745 kejadian luar biasa botulisme yang dilaporkan yang mencakup 2.861 kasus dan menyebabkan 421 kematian. Lebih dari 62% kasus tersebut disebabkan oleh produk fermentasi kacang-kacangan yang dibuat sendiri di rumah dan disimpan dalam guci tanah liat serta wadah lain [32]. Perlu diperhatikan bahwa botulisme tidak terjadi di negara berkembang saja dan bahwa penyakit ini 16
juga terjadi di seluruh dunia. Makanan yang sering terlibat dalam kasus botulisme di Amerika Serikat (kecuali Alaska) dan Eropa bagian selatan adalah sayuran yang diawetkan sendiri di rumah. Di kalangan penduduk asli Alaska dimana insidensi botulisme menunjukkan angka yang cukup tinggi, jenis makanan yang terutama terlibat dalam peristiwa ini adalah daging ikan dan mamalia laut yang difermentasikan atau dibusukkan. Di Prancis, Jerman, Italia, dan Polandia makanan utama yang terlibat dalam kejadian botulisme adalah daging seperti ham olahan rumah [33].
Infeksi akibat parasit merupakan kejadian yang menimbulkan keprihatinan yang sangat besar, baik dalam hal besaran maupun konsekuensinya terhadap kesehatan. Amoebiasis yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica merupakan kondisi yang menyebabkan kurang lebih 100.000 kematian pertahun, dimana dalam hal parasit protozoa, angka kematian akibat penyakit itu menempati peringkat kedua setelah angka kematian akibat penyakit malaria [34]. Contoh lainnya adalah infeksi cacing yang disebabkan oleh cacing Trichinella spiralis, Taenia saginata, dan Taenia solium yang didapat akibat konsumsi daging mentah atau daging setengah matang. Parasit ini menimbulkan satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di negara yang penduduknya memiliki kebiasaan mengonsumsi daging mentah atau daging yang tidak dimasak sampai matang, dan di negara yang pemotongan hewannya tidak dilakukan dengan pengawasan yang ketat. Kejadian luar biasa trichinellosis pernah dilaporkan dari Eropa, Amerika Latin dan Asia Tenggara dan peristiwa ini berkaitan dengan konsumsi daging babi atau hewan buruan mentah atau daging fermentasi (salami) yang setengah matang. Kejadian luar biasa trichinellosis yang berkaitan dengan konsumsi daging babi hutan pernah dilaporkan terjadi di Etiopia dimana 20 sampai 30 orang yang mengonsumsi daging tersebut terjangkit oleh infeksi cacing ini [35]. Trichinella spiralis dapat bertahan selama berbulan-bulan dalam produk yang diproses tanpa pemasakan. Askariasis, yang ditularkan melalui sayuran dan media lain yang terkontaminasi, merupakan salah satu infeksi parasit yang paling sering dijumpai dan diperkirakan menjangkiti lebih dari 1 milyar penduduk dunia [36].
Trematoda seperti Clonorchis spp., Fasciola spp., Opisthorchis spp., dan Paragonimus spp. menjangkiti sekitar 40 juta orang penduduk, terutama yang tinggal di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Lebih dari 10% populasi dunia berisiko terkena infeksi parasit ini yang ditularkan 17
melalui konsumsi ikan, kerang dan tanaman air yang mentah atau yang tidak diolah dengan baik [37].
Di antara berbagai jenis infeksi virus, hepatitis A dan infeksi rotavirus merupakan penyakit infeksi yang penting di seluruh dunia. Setiap tahunnya terdapat 10—50 orang per-100.000 penduduk yang terkena hepatitis A [38]. Penjamah makanan (food handler) merupakan sumber utama kontaminasi pada makanan dan terdapat banyak kasus hepatitis A yang ternyata berkaitan dengan restoran. Virus hepatitis A (HAV) dapat bertahan hidup selama beberapa hari atau lebih dalam makanan yang terkontaminasi. Virus di dalam air tawar atau air asin dapat pula terkonsentrasi dalam moluska (kerang-kerangan) sehingga hewan air ini juga merupakan sumber infeksi hepatitis A yang penting bagi manusia [37]. Pada tahun 1988 terjadi epidemi besar hepatitis A di Cina yang menyerang 300.000 orang penduduk dan menyebabkan kematian 9 orang. Setelah ditelusuri, kejadian luar biasa ini ternyata berasal dari konsumsi remis besar yang terkontaminasi [39]. Di beberapa negara industri, kerang terutama tiram mentah turut terlibat dalam kejadian luar biasa penyakit hepatitis A. Hepatitis E yang ditularkan melalui jalur fekal-oral banyak dijumpai di benua Afrika, Asia dan Amerika Latin. Meskipun hanya ada beberapa kejadian luar biasa penyakit bawaan makanan yang tercatat, penyakit yang ditularkan melalui air biasa terjadi di negara berkembang [40].
Kejadian luar biasa penyakit bawaan makanan yang disebabkan oleh small round-structured viruses (SRSV) mungkin sering dijumpai di seluruh dunia walaupun data statistik yang ada hanya berasal dari beberapa negara industri. Di Inggris, kasus SRSV mencapai 6% dari semua kasus kejadian luar biasa penyakit bawaan makanan [41]. Kerang dua cangkang seperti tiram dan remis merupakan sarana makanan yang utama. Jenis makanan lain juga dapat terkontaminasi dengan SRSV selama proses penyiapannya. Data dari Inggris memperlihatkan bahwa 20—25% dari semua kasus kejadian luar biasa penyakit SRSV-positif berkaitan dengan makanan dan bahwa makanan yang terlibat dalam peristiwa ini disiapkan oleh seorang penjamah makanan yang menderita sakit dengan gejala yang khas sebelum terjadinya kejadian luar biasa penyakit atau, menurut hasil laboratorium, menderita infeksi SRSV. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa jalur penularan bukan hanya kontaminasi tinja tetapi juga muntahan [42]. Muntahan diperkirakan dapat melepaskan lebih dari 20 juta partikel virus. 18
Selain kontaminasi yang nyata, muntahan dapat menimbulkan aerosol yang selanjutnya dapat mencemari permukaan makanan dan permukaan kerja [42].
Di antara bahaya (hazard) lain penyakit bawaan makanan, ada racun atau toksin yang terjadi secara alami, dan biotoksin tumbuhan atau laut, yang menyebabkan peristiwa intoksikasi (keracunan) berat pada negara berkembang maupun negara industri. Ciguatera merupakan salah satu jenis keracunan ikan yang paling sering dijumpai. Peristiwa ini berkaitan dengan konsumsi ikan tropis dan subtropis tertentu utamanya ikan karang predator yang memangsa ikan karang lain. Diperkirakan terdapat 50.000 kasus keracunan ini di seluruh dunia setiap tahunnya [43]. Selama dua dekade terakhir, terdapat beberapa ribu kasus ciguatera yang dilaporkan dari kawasan tropis dan subtropis seperti kepulauan Karibia dan Pasifik. Beberapa penelitian yang dilakukan di Virgin Islands menghasilkan estimasi insidensi tahunan sebesar 7,3—30 kasus intoksikasi per-1000 orang [44]. Selain ikan karang, ikan hiu juga turut terlibat dalam beberapa peristiwa intoksikasi yang menyerupai ciguatera. Pada tahun 1993, sekitar 200 penduduk Madagaskar mengalami keracunan setelah mengonsumsi daging ikan hiu dengan angka fatalitas keseluruhannya mencapai 30% [45].
Berbagai tipe keracunan kerang juga dilaporkan dari seluruh penjuru dunia. Toksin yang menyebabkan keracunan kerang dihasilkan oleh berbagai spesies dinoflagelata yang dalam kondisi cahaya, suhu, salinitas dan pasokan nutrien tertentu dapat memperbanyak diri dan membentuk koloni yang padat. Sampai tahun 1970, laporan tentang keracunan akibat konsumsi kerang terutama berasal dari Eropa dan Amerika Utara. Selama beberapa dekade belakangan ini, kawasan yang terjangkit oleh koloni toksik ini semakin meluas dan kasus keracunan muncul pada kawasan dunia yang sebelumnya tidak pernah mengalaminya [46]. Pada tahun 1980 terjadi kejadian luar biasa pertama keracunan kerang yang menimbulkan kelumpuhan (paralytic shellfish poisoning, PSP) di Argentina dan peristiwa ini terjadi karena berkembangnya koloni Alexandrium tamarensis. Daerah keracunan kini sudah meluas dan mencakup hampir seluruh ekosistem pantai Argentina. Masalah serupa juga dilaporkan dari Cili, dimana dalam periode tiga bulan yaitu dari bulan Oktober sampai Desember 1992 telah terjadi peristiwa PSP yang menyerang 295 orang dan menyebabkan 18 kasus kematian pada penduduk yang tinggal di
19
Magellan. Dari hasil observasi, didapat angka fatalitas sebesar 2—14% di kawasan yang penduduknya sebelumnya tidak pernah menderita penyakit ini [46].
Mikotoksin merupakan keprihatinan utama di negara berkembang karena dapat menimbulkan akibat serius yang akut maupun kronis bagi kesehatan manusia. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling dikenal dan paling penting dari sudut pandang kesehatan masyarakat. Kejadian luar biasa fatal aflatoksikosis akibat penanganan bahan pangan pascapanen yang tidak memadai telah dilaporkan oleh beberapa negara beriklim panas dan lembab seperti India dan Malaysia [47]. Di samping intoksikasi akut, mikotoksin dapat memberikan efek karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Sejumlah penelitian epidemiologi memperlihatkan korelasi yang kuat antara insidensi kanker hati yang tinggi pada beberapa negara di Afrika serta Asia Tenggara (12—13 kasus per-100.000 penduduk pertahun) dan pajanan terhadap aflatoksin. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa aflatoksin dan hepatitis B merupakan kokarsinogen dan probabilitas kejadian kanker hati menjadi lebih tinggi di wilayah yang aflatoksin dan hepatitis B-nya prevalen [48]. Aflatoksin paling banyak ditemukan dalam bijibijian penghasil minyak (mis., kacang tanah), sereal, tree nuts, dan beberapa buah seperti buah ara. Ochratoxin A, patulin dan fumanisin merupakan tiga jenis mikotoksin yang menjadi sorotan. Selain kondisi lingkungan, jenis makanan dan penanganan pascapanennya memainkan peranan yang penting dalam pertumbuhan kapang dan pelepasan mikotoksin [49].
Intoksikasi akibat toksin lain yang terdapat dalam alam, konsumsi pestisida yang tidak disengaja, dan adulterasi makanan merupakan kejadian yang juga sering dijumpai di negara berkembang. Kejadian luar biasa besar akibat alkaloid pirolizidin terjadi di Tajikistan pada tahun 1992 ketika sedikitnya 3.906 orang mengalami keracunan yang menyebabkan penyumbatan pembuluh vena dan cedera hati yang berat. Lebih dari 2.580 kasus berusia di bawah 15 tahun dan 52 orang di antaranya meninggal dunia. Kejadian luar biasa intoksikasi tersebut terjadi akibat konsumsi roti yang dibuat dari tepung gandum yang dicampur dengan biji tanaman Heliotropium ellipticium dan Trichodesma [50]. Intoksikasi pestisida kadangkadang juga dapat terjadi akibat kekeliruan penggunaan, pengemasan yang tidak aman, kesalahan pelabelan, atau kebocoran pada saat penyimpanan atau transportasi bahan pestisida. Di daerah pedesaan, tidak jarang terjadi intoksikasi aksidental pestisida akibat penambahan 20
insektisida yang dikira garam, gula atau tepung ke dalam makanan. Di Thailand antara tahun 1981 dan 1987, kasus intoksikasi insektisida mencapai 27,4—58,4% dari kejadian luar biasa intoksikasi yang ada [51]. Konsumsi biji-bijian yang disemprot dengan fungisida dan sebenarnya ditujukan untuk ditanam, atau konsumsi ikan terkontaminasi yang ditangkap di sawah, juga menjadi sumber utama intoksikasi. Salah satu kejadian luar biasa metil merkuri yang menjadi malapetaka paling hebat yang pernah tercatat, terjadi di Irak dalam musim dingin tahun 1971—1972. Lebih dari 6.000 orang penduduk dirawat di rumah sakit dan lebih banyak lagi yang mengalami gejala ringan keracunan. Penyebab ledakan kejadian luar biasa ini adalah konsumsi gandum yang disemprot fungisida metil merkuri [52]. Peristiwa intoksikasi massal lain yang serupa terjadi di daerah Turki tenggara akibat konsumsi roti yang dibuat dari gandum yang disemprot fungisida dan intoksikasi ini menyerang 3.000—4.000 orang penduduk dengan angka fatalitas 10% [53].
2.6.
Perkembangan Pengawasan Penyakit Bawaan Makanan di Beberapa Negara Berkembang
Pengawasan penyakit bawaan makanan membantu dalam penilaian dampak penyakit bawaan makanan, identifikasi prioritas kesehatan masyarakat, pengaturan kebijakan, mengevaluasi kinerja program dan pencegahan, mendeteksi dan mengkontol wabah dan dalam proses merangsang penelitian. Hal ini juga dapat mengidentifikasi munculnya isu keamanan pangan.
Semua negara memiliki sistem kesehatan masyarakat yang berbeda, sehingga menimbulkan variasi yang luas dalam sistem pengawasan, dengan masing-masing memiliki fokus yang berbeda dalam bidang penyakit bawaan makanan. Pada tahun 2002, WHO merundingkan metode untuk pengawasan penyakit bawaan makanan pada lokasi yang terpilih telah ditinjau dan dikelompokkan ke dalam 4 kategori sesuai dengan kapasitas mereka untuk menghasilkan informasi. Keempat kategori tersebut adalah sebagai berikut: Kategori 1 Tidak ada pengawasan resmi Deskripsi sistem Situasi ini biasanya ada di negara-negara dengan ketidakstabilan politik, sejarah perang, atau
21
kemiskinan. Sistem kesehatan masyarakat adalah prioritas yang sangat rendah atau tidak ada. Beberapa unsur pengawasan dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga luar. Elemen data Tidak ada. Informasi yang diharapkan Wabah yang besar atau wabah yang tidak biasa dapat dideteksi dan diselidiki oleh agen dari luar (misalnya, organisasi non-pemerintah).
Kategori 2 Pengawasan Sindromik Deskripsi sistem Pengawasan sindromik adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi data sindromik (misalnya diare atau keracunan makanan) dari lokasi yang telah dipilih. Sistem pengawasan harus menggunakan definisi kasus standar untuk mengklasifikasikan sindrom. Data harus dilaporkan secara rutin, dikumpulkan di tingkat pusat, dan segera disebarluaskan kepada komunitas kesehatan masyarakat. Sistem ini dapat berfungsi dengan atau tanpa kapasitas laboratorium (departemen kesehatan atau rumah sakit) tetapi disana tidak ada sistem pengawasan berbasis laboratorium formal. Elemen data Menghitung kasus (misalnya, lihat WHO pedoman kolera). Informasi yang diharapkan Tren dari waktu ke waktu , variasi musiman. Definisi ketika berisiko dan populasi berisiko tinggi. Pengakuan titik sumber wabah di tingkat lokal. Pengakuan wabah besar atau wabah yang tidak biasa di tingkat nasional.
Kategori 3 Pengawasan Berbasis Laboratorium Deskripsi sistem Pengawasan berbasis laboratorium adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi data laboratorium dari lokasi yang telah dipilih. Sistem pengawasan harus menggunakan definisi kasus standar untuk mengklasifikasi penyakit. Laboratorium harus menggunakan metode standar untuk identifikasi patogen dengan jaminan kualitas sistem yang diakui secara 22
internasional. Data harus dilaporkan secara rutin, dikumpulkan di tingkat pusat dan segera disebarluaskan kepada komunitas kesehatan masyarakat. Pengawasan berbasis laboratorium menyediakan data berkualitas tinggi yang melebihi pengawasan sindromik, negara harus berusaha untuk mengembangkan jenis sistem pengendalian ini. . Elemen data Identifikasi etiologi Menghitung kasus etiologi agen tertentu Karakterisasi Patogen ( misalnya, serotipe, antibiogram, dll) Informasi yang diharapkan Tren etiologi agen tertentu dari waktu ke waktu , variasi musiman. Definisi ketika berisiko dan populasi berisiko tinggi. Pengakuan titik sumber wabah di tingkat lokal dan penyebaran di tingkat nasional.
Kategori 4 Pengawasan Rantai Makanan Terpadu Deskripsi sistem Pengawasan rantai makanan terpadu (IFCS) adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi data dari binatang, makanan, dan hewan. Sistem pengawasan harus menggunakan definisi kasus standar untuk mengklasifikasi penyakit. Data harus dilaporkan secara rutin, dikumpulkan di tingkat pusat dan segera disebarluaskan kepada komunitas kesehatan masyarakat. IFCS memungkinkan atribusi dari dampak penyakit kategori makanan tertentu melalui penggunaan informasi rinci dari pemantauan makanan dan hewan. Elemen data Identifikasi etiologi Menghitung kasus etiologi agen tertentu dalam populasi Prevalensi etiologi agen tertentu pada hewan dan makanan Menghitung tingkat komunitas kasus Informasi yang diharapkan Tren etiologi agen tertentu dari waktu ke waktu , variasi musiman. Laju insiden dapat dipercaya Definisi ketika berisiko dan populasi berisiko tinggi. Pengakuan titik sumber wabah di tingkat lokal dan penyebaran di tingkat nasional. 23
Kemampuan untuk menggunakan data makanan dan / atau hewan untuk menghasilkan hipotesis untuk wabah penyakit manusia Perkiraan komprehensif dampak penyakit bawaan makanan Kemampuan untuk menilai efektivitas intervensi kebijakan keamanan pangan Kemampuan untuk memberikan atribut dampak penyakit bawaan makanan berdasarkan kategori makanan Kemampuan untuk mendeteksi dan mengendalikan bahaya dalam makanan Kemampuan untuk mengenali patogen yang muncul pada hewan
Hal tersebut bervariasi dari yang tidak ada pengawasan formal sampai ke sistem pengawasan rantai makanan terpadu. Suatu negara mungkin hanya termasuk satu kategori tetapi memiliki elemen pengawasan lebih dari satu kategori. Pengawasan penyakit bawaan makanan dapat juga menjadi bagian dari sistem pelaporan penyakit yang diketahui secara nasional. Namun karena tidak ada metode pengawasan yang terbaik, WHO merundingkan pertemuan untuk merekomendasikan 5 langkah yang harus diambil untuk memperkuat sistem pengawasan penyakit bawaan makanan. Berikut langkah-langkah tersebut: 1. WHO harus mendorong pengembangan invetarisasi studi yang ada dalam dampak penyakit bawaan makanan dan hasil perbandingan anggota; 2. WHO harus mendorong negara-negara anggota untuk melakukan studi dalam menentukan dampak penyakit bawaan makanan dan menyediakan dukungan teknis kepada negaranegara tersebut; 3. WHO harus memilih negara untuk menggunakan kriteria yang diidentifikasi dalam laporan ini dan mengidentifikasi sumber daya untuk mendukung studi mengenai dampak penyakit 4. WHO harus mencari sumber daya untuk meningkatkan pengawasan berbasis laboratorium dan mendeteksi wabah dan merespon penyakit bawaan makanan 5. Negara-negara anggota harus berusaha untuk meningkatkan sistem pengendalian penyakit bawaan makanan yang ada
Di Malaysia pemberitahuan peraturan yang sekarang pada prioritas tertentu penyakit bawaan makanan telah berguna untuk pengawasan, tetapi tidak memadai dalam hal penyakit bawaan makanan yang baru muncul. Data pengawasan saat ini dikumpulkan utamanya dari pengawasan 24
berbasis dokter dan investigasi wabah karena tidak ada syarat wajib untuk pemberitahuan dari laboratorium. Melalui sistem ini, pemberitahuan diterima dari fasilitas kesehatan pemerintah yang terdiri dari pusat-pusat kesehatan, departemen rawat jalan, rumah sakit umum, rumah sakit swasta, dan dokter umum. Penyakit bawaan makanan yang termasuk dalam daftar adalah kolera, tipus dan demam paratifoid, hepatitis A virus, keracunan makanan dan disentri.
Suatu pendekatan sistematis untuk deteksi dini agen etiologi yang tidak diketahui dan pemberitahuan sangat diperlukan. Departemen Kesehatan, Malaysia telah menghasilkan petunjuk dalam pendekatan sindrom ke pemberitahuan penyakit menular dan investigasi laboratorium yang melengkapi pemberitahuan penyakit tertentu tersebut dan berguna untuk respon cepat terhadap penyakit yang baru muncul dan muncul kembali. Berikut pemberitahuan yang didasarkan pada sindrom, bukan pada penyakit tertentu, dan yang berkaitan dengan penyakit bawaan makanan adalah "Pengawasan Nasional Gastroenteritis Akut". Kementerian Kesehatan juga melakukan pengawasan berbasis laboratorium terhadap penyakit menular tertentu dan termasuk penyakit bawaan makanan akibat Salmonella spp., Shigella spp., Salmonella typhi dan Vibrio spp..
Fasilitas Pulse Field Gel Electrophoresis (PFGE), fingerprinting DNA, dan dokumentasi gel di Malaysia sudah tersedia di kesehatan masyarakat dan universitas laboratorium penelitian. Namun, masih terdapat beberapa masalah dan tantangan yang berkaitan dengan PFGE yaitu standarisasi protokol, reagen, bahan kimia, kondisi elektroforesis, biaya dan kurangnya personil yang cukup. Realisasi dari PulseNet Malaysia nasional akan membutuhkan pelatihan personil dalam penggunaan protokol standar sehingga sidik jari DNA dapat dibandingkan antara laboratorium dan antar negara untuk identifikasi cepat dari kelompok-kelompok patogen bawaan makanan dalam kasus wabah penyakit. PulseNet bukan hanya tentang PFGE, melainkan jaringan komunikasi untuk personil dari laboratorium, pengawasan, dan unit epidemiologi untuk dapat cepat mengenali wabah penyakit bawaan makanan.
Penanganan makanan yang tidak tepat dan tidak higienis oleh penangan makanan dapat memberikan kontribusi untuk menjadikan makanan beracun. Departemen Kesehatan, Malaysia telah memfasilitasi program pelatihan dasar tentang kebersihan makanan dan sanitasi penangan 25
makanan yang baik. Kode Praktek untuk Makanan Higienis dan Anggaran Otoritas lokal sekarang memberikan persyaratan higienis umum dan khusus untuk tempat makanan. Peraturan Makanan Higienis yang diusulkan, yang dalam proses pengukuhan, mensyaratkan bahwa semua penangan makanan dilatih oleh lembaga terakreditasi oleh Departemen Kesehatan. Departemen Kesehatan juga mempromosikan penggunaan sistem jaminan keamanan pangan seperti HACCP, GMP, dan GHP dalam industri makanan. Pelaksanaan langkah-langkah keamanan pangan, misalnya untuk analisis bahaya dan sistem titik kontrol kritis (HACCP), dari peternakan ke meja, bersama dengan sertifikasi outlet pelayanan makanan / pertanian menggunakan standar nasional untuk keamanan pangan dan pengenalan pelatihan karyawan kontinu untuk persiapan makanan yang aman yang dapat mengurangi kontaminasi makanan.
Di Malaysia, Departemen Veterinary Services (DVS) melakukan program pengawasan nasional untuk patogen bawaan makanan terkait dengan produk ternak, yaitu Salmonella, E.coli O157, Campylobacter, Yersinia dan Vancomycin-resistant Enterococci (VRE). DivisiEpidemilogi dan Kedokteran Hewan, DVS telah merumuskan beberapa pengawasan penyakit, pengendalian, pemantauan, dan pemberantasan program/protokol ternak/penyakit zoonosis seperti Salmonella, Avian Influenza, VRE, Brucella, Tuberkulosis, Penyakit Johne, Nipah Virus dan Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE).
Selain pengendalian penyakit, pemberantasan penyakit dan program/protokol zona bebas, Skema Akreditasi Pertanian dan Peternakan juga telah dilaksanakan. Kriteria skema tersebut mencakup protokol infrastruktur, protokol biosecurity, Program Kesehatan Flock/Herd, Pelatihan Perawatan Hewan Ternak yang Baik, kontrol dalam penggunaan obat, labeling dan sistem melacak kembali dan sistem mutu. Pelaksanaan skema tersebut akan menjamin pasokan makanan yang aman.
Sumber data pengawasan untuk penyakit bawaan makanan meliputi pemberitahuan penyakit, laporan laboratorium, indeks lingkungan (inspeksi sumber pembentukan makanan, pertanian, hewan, dan makanan analisis), laporan investigasi wabah, studi penelitian, laporan morbiditas, investigasi kasus, laporan penjaga, survei, sensus, dan laporan media. Sejumlah besar informasi tentang agen penyebab, karakteristik penyakit, dan medium transmisi dikumpulkan oleh 26
beberapa lembaga yang dapat digunakan untuk mengurangi kejadian penyakit bawaan makanan.
Malaysia mengadakan lokakarya mengenai hal ini dari 7-9 Juli 2003, dengan pembahasan yang berpusat pada pembentukan jaringan laboratorium regional. Strategi berikut disepakati pada acara tersebut : -
Tentukan prasarana laboratorium yang ada, keahlian teknis, dan kemampuan pengujian masing-masing negara anggota.
-
Membentuk mekanisme untuk mencapai pengumpulan informasi, pemeriksaan, diseminasi dan pembaharuan teratur
-
Membentuk titik kontak laboratorium di masing-masing negara
-
Membangun hubungan dengan lembaga-lembaga internasional
Di Filipina, sebuah proyek untuk meningkatkan pengawasan berbasis laboratorium untuk patogen bawaan makanan telah dimulai dalam hubungannya dengan program pengawasan yang ada. Sistem yang independen satu sama lain dan, seperti yang sekarang, data tidak terintegrasi secara sistematis. Proyek ini bertujuan untuk mengintegrasikan sistem ini untuk membuat sistem pengawasan penyakit bawaan makanan yang akan mencakup data resistensi antimikroba. Mikrobiologis baru-baru ini menerima pelatihan dalam melakukan serotipe Salmonella dan anti-sera dan meneruskan semua isolat ke Research Institute of Tropical Medicine. .
Vietnam saat ini sedang melakukan studi untuk meningkatkan kapasitas untuk melakukan pengawasan terhadap penyakit bawaan makanan dan menentukan dampak penyakit bawaan makanan. Badan pelaksana adalah Departemen Kesehatan Vietnam dengan pengawasan dari CDC dan bimbingan dari Kantor Regional Pasifik Barat WHO. Proyek ini terdiri dari empat studi :
1. Pengawasan aktif - dilakukan di empat rumah sakit penjaga untuk menentukan pengawasan terhadap penyakit diare, termasuk mengkonfirmasi budaya infeksi;
27
2. Studi kasus-kontrol - untuk menentukan faktor risiko untuk memperoleh penyakit diare dengan mewawancarai kasus budaya yang telah dikonfirmasi dan untuk setiap kasus, dua kontrol cocok dengan usia dan jenis kelamin; 3. Survei Laboratorium - survei tempat dari 126 laboratorium klinis untuk menentukan kapasitas laboratorium; dan 4. Survei Populasi - survei wawancara dari 3.000 orang untuk menentukan prevalensi penyakit diare empat minggu sebelum wawancara.
Fiji, bekerja sama dengan Departemen Kesehatan Fiji, Fiji School of Medicine, Kantor Wilayah Pasifik Barat dari WHO, dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, baru-baru ini mengembangkan kolaborasi pengawasan non-Typhi Salmonella dan program dukungan laboratorium nasional. Hal ini dirancang untuk memberikan informasi teknis dan prosedural untuk semua tenaga kesehatan masyarakat yang relevan mengenai pengawasan pasien yang memiliki non-Typhi Salmonella dan termasuk prosedur khusus yang perlu dilakukan untuk menentukan sumber infeksi dan faktor risiko yang terkait.
Di tingkat ASEAN , sesuai dengan Rapat Pemimpin ASEAN pada SARS yang diselenggarakan pada tanggal 29 April 2003 dan ASEAN +3 Pertemuan Menteri Kesehatan pada SARS yang diselenggarakan 10-11 Juni 2003, upaya sedang dilakukan untuk memperkuat kolaborasi dan jaringan dalam pengawasan penyakit menular di wilayah ini. Tiga proyek kesehatan diidentifikasi untuk memperkuat kerjasama regional. Thailand dinominasikan untuk mengkoordinasikan penguatan pengawasan penyakit, Indonesia untuk memperkuat pengawasan penyakit Net ASEAN dan Malaysia untuk mengkoordinasikan penguatan kapasitas laboratorium dan jaminan kualitas untuk pengawasan penyakit menular di antara negara-negara ASEAN+3.
Dalam era teknologi informasi dan komunikasi (ICT), pertukaran informasi lebih mudah dan lebih cepat. Pemanfaatan ICT akan meningkatkan sistem pengawasan untuk menjadi lebih efisien dan efektif. Networking, jaringan jaringan, pelaporan on-line, dan diskusi elektronik adalah cara bagi berbagai instansi untuk memanfaatkan teknologi ini untuk kepentingan pengawasan penyakit bawaan makanan di berbagai tingkatan. 28
Pada tahun 2004, didirikan International Food Safety Authorities Network (INFOSAN) dalam rangka berbagi informasi mengenai informasi keamanan pangan serta aktivitas respon terhadap keamanan pangan. INFOSAN merupakan hasil dari kerja sama WHO dan FAO yang bertujuan untuk: 1. Mendorong percepatan pertukaran informasi terkait dengan keamanan pangan 2. Menukar informasi pada isu global yang berkaitan dengan keamanan pangan 3. Mendorong kerjasama dan kolaborasi antar negara 4. Menolong negara untuk menguatkan kapasitas mereka dalam mengelola resiko keamanan pangan Tambahan untuk menguatkan INFOSAN dan membantu negara dalam mendeteksi, menilai serta mengelola kejadian yang terkait dengan keamanan pangan, dan membantu dalam pembuatan kapasitas dasar jaringan pengawasan tercantum pada Annex 1 dari the International Health Regulations (2005). Selain itu dalam the International Health Regulations (2005) terdapat penilaian kejadian yang dideteksi jaringan pengawasan tercantum pada Annex 2.
Pengawasan penyakit bawaan makanan yang efektif dan efisien akan membantu untuk memastikan kualitas dan keamanan makanan yang dikonsumsi. Hal tersebut harus melalui pendekatan global dalam rangka meningkatkan deteksi dan respon dari penyakit bawaan makanan dan bertindak sebagai sistem peringatan dini untuk setiap wabah atau krisis yang mungkin terjadi di tingkat manapun (nasional, regional maupun internasional). Oleh karena itu sistem harus lengkap dan terintegrasi dengan data pemantauan makanan sepanjang rantai umpan seluruh makanan. Hal ini akan menghasilkan pengawasan yang kuat dan memungkinkan pengaturan prioritas yang tepat dan intervensi kesehatan masyarakat. Saat ini, beberapa instansi dan pemangku kepentingan dari berbagai disiplin ilmu di berbagai tingkatan terlibat dalam pengawasan penyakit bawaan makanan, yaitu Departemen Kesehatan, Dinas Peternakan, Pertanian dan Perikanan, industri makanan, Universitas, laboratorium. Sementara sebagian besar lembaga bekerja secara independen satu sama lain, harus ada upaya untuk berkolaborasi dan mengkoordinasikan kegiatan terkait lembaga ini sehingga sistem pengawasan terpadu dapat muncul.
29
3. Jaringan Pengawasan 3.1.
Sistematika Jaringan Pengawasan
Pengawasan merupakan bagian dari kelanjutan pemonitoran pada bahan pangan dan penyakit bawaan bahan pangan yaitu bagian dari interpretasi hasil pemonitoran. Jaringan pengawasn yang efektif membutuhkan data epidemik (data mengenai penyakit yang berhubungan dengan bahan pangan) yang relevan. Data epidemik ini dianalisis secara berkala berdasarkan perkembangan dari epidemik yang bersangkutan. Hasil interpretasi dan penjabaran cepat dari data ini merupakan dasar dari pengambilan tindakan jika terjadi penyebaran wabah. Tujuan dari pengawasan terhadap penyakit bawaan makanan yaitu: 1. Menentukan dampak terhadap kesehatan dari penyakit bawaan makanan dan memonitor trennya 2. Mengidentifikasi pewabahan tahap awal dari penyakit bawaan makanan untuk melakukan tindakan penanggulangan 3. Menentukan sampai seberapa jauh makanan dapat menjadi jalur transmisi dari penyakit tertentu dan mengidentifikasi makanan yang beresiko tinggi rentan penyakit dan proses produksi serta penanganan yang tidak baik 4. Menentukan faktor resiko dan sifat dari penyakit dalam kerentanannya di populasi 5. Menilai keefektifan dari porgram untuk meningkatkan keamanan pangan 6. Menyediakan informasi untuk dapat memformulasikan kebijakan kesehatan mengenai penyakit bawaan makanan (strategi pencegahan) Sistematika dari jaringan pengawasan untuk mencegah pewabahan meluas dari penyakit bawaan makanan memiliki tahapan sebagai berikut: 1. Pelaporan oleh praktisi kesehatan mengenai kejadian epidemik yang terjadi akibat penyakit bawaan makanan 2. Laboratorium klinis mengidentifikasi data epidemik yang terjadi dan membandingkan dengan laboratorium klinis lain apakah terjadi kejadian yang sama untuk mengukur seberapa besar pewabahan telah terjadi dan sumber dari penyebaran penyakit tersebut
30
3. Laboratorium
klinis bersangkutan dengan pewabahan melakukan pelaporan ke
laboratorium kesehatan masyarakat pusat untuk dipetakan data kejadian epidemik yang terjadi dan diidentifikasi berdasarkan kejadian yang serupa 4. Hasil identifikasi ini menjadi rujukan dari badan koordinasi pengawasan penyakit bawaan makanan untuk melakukan tindakan. Tindakan yang dilakukan dapat berupa recall (penarikan kembali produk penyebab pewabahan) dan intervensi (campur tangan pihak produsen untuk menanggulangi kejadian yang terjadi serta mengevaluasi kesalahan yang terjadi dalam keamanan pangan produsen)
3.2.
Tipe Jaringan Pengawasan
Berbagai tipe jaringan pengawasan biasanya digunakan dalam penanganan penyakit bawaan makanan. Tipe-tipe jaringan pengawasan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Notifiable Disease Surveillance Metode ini bekerja berdasarkan sistematika yang diawali dengan pasien yang berobat ke praktisi kesehatan. Praktisi kesehatan mengirimkan spesimen dari penyakit yang dimiliki pasien ke laboratorium klinis untuk dilakukan beberapa tes. Laboratorium klinis mengidentifikasi
media
penyebab
terjadinya
penyakit
sehingga
pasien
dapat
ditangani/diobati. Selanjutnya, laboratorium klinis memberitahukan mengenai penyakit yang terjadi kepada laboratorium kesehatan masyarakat pusat. Dalam laboratorium kesehatan
kejadian
yang
terjadi
dibandingkan
dengan
kejadian
yang
serupa.
Menggabungkan informasi dari laporan yang terpisah tersebut memungkinkan investgator dari badan koordinasi pengawasan penyakit bawaan makanan untuk mengidentifikasi tren dan mendeteksi wabah. 2. Behavioral Risk Factor Surveillance System Metode ini merupakan sistem survei kesehatan yang mengumpulkan informasi mengenai sifat resiko kesehatan, tindakan pencegahan kesehatan, dan akses pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan cedera dan penyakit kronis. Metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sifat, seperti metode penanganan makanan atau tren, yang dapat menyediakan informasi terhadap usaha untuk pencegahan penyakit bawaan makanan. 3. Hazard Surveillance
31
Metode ini berhubungan dengan penanganan faktor yang berkontribusi terhadap pewabahan penyakit bawaan makanan (faktor yang menyebabkan kontaminasi dari makanan dengan mikroorganisme atau racun yang membuat mikroorganisme atau racun tersebut dapat tahan dan tumbuh dalam makanan) untuk mengembangkan kontrol dan ukuran campur tangan dalam pembentukan layanan makanan (food service). Metode ini bekerja berdasarkan inspeksi HACCP (Hazard Analysisi Critical Control Point). 4. Foodborne Diseases Active Surveillance Metode ini merupakan penggunaan badan jaringan pengawasan untuk meningkatkan jaringan pengawasan penyakit bawaan makanan (seperti FoodNet). Tujuan dari penggunaan metode ini adalah sebagai berikut: a. Menentukan dampak dari penyakit bawaan makanan b. Memonitor tren dalam dampak dari penyakit bawaan makanan tertentu dari waktu ke waktu c. Mencirikan dampak dari penyakit bawaan makanan pada makanan dan pengaturan tertentu d. Mengembangkan dan menilai tindakan untuk mengurangi dampak penyakit bawaan makanan
32
Daftar Pustaka
1. Hedberg, C.W.; MacDonald, K.L.; dan Osterholm, M.T., 1994. “Changing epidemiology of food-borne disease: A Minnesota perspective”, Clin. Inject. Dis, 18, 671-682. 2. Hedberg, C.W. dan Hirschhorn, N., 1996. “Annotation: Why foodborne disease surveillance is critical to the safety of our food supply”, Am. J. Puhl. Hlth, 86, 1076. 3. Swaminathan, B.; Barrett, T.J.; Hunter, S.B.; Tauxe, R.V.; dan the CDC PulseNet Task Force, 2001. “PulseNet: The molecular subtyping network for foodborne bacterial disease surveillance, United States”, Emerg. Znfecf. Dis, 7, 382-389. 4. Mahon, R.E.; Ponka, A.; Hall, W.N.; Komatsu, K.; Dietrich, S.E.; Siitonen, A.; Cage, G.; Hayes, P.S.; Lambert-Fair, MA.; Bean, N.H.; Griffin, P.M.; dan Slutsker, L., 1997. “An international outbreak of Solmonrlla infections caused by alfalfa sprouts grown from contaminated seed”, J. Infect. Dis, 175, 876-882. 5. Hennessy, T.W.; Hedberg, C.W.; Slutsker, L.; White, K.E.; Besser-Wiek, J.M.; Moen, M.E.; Feldman, J.; Coleman, W.W.; Edmonson, L.M.; MacDonald, K.L.; Osterholm, M.T.; dan the investigation team, 1996. “A national outbreak of Sulnzonellri enteritidis infections from ice cream”. N. Eiigl. J. Med, 334: 128, 1-1286. 6. Roush, S.; Birkhead, G.; Koo, D.; Cobb, A.; dan Fleming, D., 1999. “Mandatory reporting of diseases and conditions by health care professionals and laboratories”, JAMA 282, 164170. 7. Centers for Disease Control and Prcvention, 1999d. “Summary of notifiable diseases, United States, 1998”. MMWR Morb. Mortol. Wkly. Rep. 47(53), 1- 93. 8. Bean, N.H.; Martin, S.M.; dan Bradford, H., 1992. “PHLIS: an electronic system for reporting public health data from remote sites”. Am. J. Public. Health, 82, 1273-1276. 9. Olsen, S.J.; MacKinnon, L.C.; Goulding, J.S.; Bean, N.H.; dan Slutsker, L., 2000. “Surveillance for foodborne disease outbreaks--United States, 1993-1997”. MMWR Morh. Mortal. Wkly, Rep. 49(SS0 I), 1-51. 10. Hutwagner, L.C.; Maloney, E.K.; Bean, N.H.; Slutsker, L.; dan Martin, S.M., 1997. “Using laboratory-based surveillance data for prevention: An algorithm for detecting Salmonella outbreaks”, Einrrg. Inject. Dis. 3, 395-400.
33
11. Centers for Disease Control and Prevention, 1998a. “Multistate outbreak of Salmonella serotype Agona infections linked to toasted oats cereal-United States, April-May, 1998”. MMWR Morb. Mortal. Wkly. Rep. 47, 462-464. 12. Pebody, R.G.; Furtado, C.; Rojas, A.; McCarthy, N.; Nylen, G.; Ruutu, P.; Leino, T.; Chalmers, R.; deJong, B.; Donnelly, M.; Fisher, I.; Gilham, C.; Graverson, L.; Cheasty, T.; Wilshaw, G.; Navarro, M.; Slamon, R.; Leinikki, P.; Wall, P.; dan Bartlett, C., 1999. “An international outbreak of vero cytotoxin-producing Escliericlziu roli 0157:H7 infection amongst tourists: A challenge for the Europcan infectious disease surveillance network”. Epidemiol. Inject, 123, 217-223. 13. Stern, L., dan Lightfoot, D. 1999. “Automated outbreak detection: A quantitative retrospective analysis”, Epidemiol. Infect, 122, 103-1 10. 14. Bender, J.B.; Hedberg, C.W.; Besser, J.M.; Boxrud, D.J.; MacDonald, K.L.; dan Osterholm, M.T., 1997. “Surveillance for Escherichiu coli 0157:H7 infections in Minnesota by molecular subtyping”. N. Engl. J. Med, 337, 388-394. 15. Bender, J.B.; Hedberg, C.W.; Besser, J.M.; Boxrud, D.J.; Wicklund, J.H.; dan Osterholm, M.T., 1998. “Surveillance for Salmonella typhorium infections in Minnesota by molecular subtype (Abstract)”. International Conference on Emerging Infectious Diseases, Atlanta 16. Centers for Disease Control and Prevention, 1997. “Escherichiu coli 0157:H7 infections associated with eating a nationally distributed commercial brand of frozen ground beef patties and burgers-Colorado”, MMWR Morh. Mortal. Wkly. Rep.46, 777-778. 17. Centers for Disease Control and Prevention, 1999c. “Outbreaks of Solinoiiella serotype Muenchen infections associated with unpasteurized orange juice-United States and Canada, June 1999”. MMWR Morh. Mortal. Wlcl, Rep. 48, 582-585. 18. Centers for Disease Control and Prevention, 1999b. “Outbreaks of Shigrlla sonviei infection associated with eating fresh parsley-United States and Canada, July-August 1998”. MMWR Morh. Mortul. Wkly, Rep. 48, 285- 289. 19. Centers for Disease Control and Prevention, 1999a. “Update: Multistate outbreak of listeriosis-United States, 1998-1999”, MMWR Morh. Mortal. Wkly, Rep. 47, 1117- 1118. 20. Centers for Disease Control and Prevention, 2000. “Preliminary FoodNet data on the incidence of foodborne illnesses-selected sites, United States, 1999”. MM WR Morh. Mortal. Wk1y. Rep. 49, 201-205. 34
21. Mead, P.S.; Slutsker, L.; Dietz, V.; McCaig, L.F.; Bresee, J.S.; Shapiro, C.; Griffin, P.M.; dan Tauxe, R.V., 1999. “Food-related illness and death in the United States”, Enierg. In ftc1.Di.r, 5, 607-625. 22. World Health Organization, 1992. “Health consequences of biological contamination and chemicals in food", Report of the Panel on Food and Agriculture. 23. World Health Organization, 1994. “Ninth programme report 1992—1993: Programme for control of diarrhoea diseases”. 24. Y., Motarjemi et al., 1993. “Contaminated weaning food: a major risk factor for diarrhoea and associated malnutrition”. Bulletin of the World Health Organization,71(1), 79—92. 25. World Health Organization, 1992. “Readings on diarrhoea. A student manual”. 26. WHO, 1994. “Cholera in 1993”, Weekly epidemiological record, 69(28), 205—212. 27. F., Quevedo, 1993. “Foods and cholera”, Cholera on the American continents. Washington, DC: International Life Science Institute (ILSI) Press. 28. M., Levine M. et al., 1974. “Volunteer studies in development of vaccines against cholera and Escherichia coli”, Acute enteric infections in children—new prospects for treatment and prevention, 443—459. Amsterdam: Elsevier/ North Holland Biochemical Press. 29. C., Paquet et al., 1993. “Aetiology of haemorrhagic colitis epidemic in Africa”, Lancet, 342, 175. 30. M., Milleliri J. et al., 1995. “Toxi-infection alimentaire collective dans une structure d’acceuil pour enfants réfugiés non accompagnées de la ville de Goma, Zaire, septembre 1994 [Collective foodborne infection in a reception centre for unaccompanied refugee children in Goma, Zaire, September 1994.]”, Cahier santé, 5, 253—257. 31. Bergdoll, MS et al., 1992. “Staphylococcal food poisoning in Brazil”, Proceedingsof the 3rd World Congress on Foodborne Infections and Intoxications, Berlin, 16—19 June 1992. Berlin, Institute of Veterinary Medicine, 320—323. 32. Y., Gao Q. et al., 1990. “A review of botulism in China”, Biomedical and environmental sciences, 3, 326—336. 33. W., Hauschild A.H., 1993. “Epidemiology of foodborne botulism”, Chlostridium botulinum: ecology and control in foods, 68—104. New York: Marcel Dekker Inc. 34. WHO, 1997. ”Amoebiasis”, Weekly epidemiological record, 72(14), 97—100.
35
35. H., Kefenie dan G., Bero, 1992. “Trichinellosis from wild boar meat in Gojjam, north west Ethiopia”. Tropical and geographical medicine, 44(3), 278—280. 36. S., Warren K. et al., 1989. “Helminth infections”, Evolving health sector priorities in the developing countries. Washington, DC: The World Bank. 37. World Health Organization, 1995. “Public Health control of hepatitis A: memorandum from a WHO meeting”, Bulletin of the World Health Organization, 73(1), 15—20. 38. World Health Organization, 1993. “Prevention of foodborne hepatitis”. A Weekly epidemiological record, 68(5), 25—26. 39. Y., Wang J. et al., 1990. “Risk factor analysis of an epidemic of hepatitis A in a factory in Shanghai”, International journal of epidemiology, 19(2), 435—438. 40. O., Cliver D., 1977. “Virus transmission via food”, World health statistic quarterly, 50 (1/2), 90-101. 41. T., Djuretic ; et al., 1996. “General outbreaks of infectious intestinal diseases in England and Wales, 1992 to 1994”, Communicable disease report, 6, R57—63. 42. A., Reid J. et al., 1988. “Role of infected food handler in hotel outbreak of Norwalk virusgastroenteritis: implications for control”, Lancet, ii, 321—323. 43. Ciguatera, Bagnis R., 1993. “Algal toxins in seafood and drinking water”. London: Academic Press, 105—115. 44. WHO, 1984. “Aquatic (marine and freshwater) biotoxins”. Environmental health criteria, No.37. 45. Boisier P et al.,1995. “Fatal mass poisoning in Madagascar following ingestion of ashark: clinical and epidemiological aspect and isolation of toxins”, Toxicon, 33(10), 1359—1364. 46. Y., Kao C., 1993. “Paralytic shellfish poisoning”, Algal toxins in seafood and drinking water, 75-86. San Diego: CA, Academic Press. 47. R., Khrisnamachri K.A.V. et al., 1975. “Hepatitis due to aflatoxicosis. An outbreak in western India”, Lancet, 10, 1061—1063. 48. I., Pitt J.; D. dan Hocking A., 1989. “Mycotoxigenic fungi”, Foodborne microorganism of public health significance, 347-363. Pymble (New South Wales): Australian Institute of Food Science and Technology Ltd. 49. World Health Organization, 1979. “Mycotoxins”, Environmental health criteria, No. 11.
36
50. P., Chauvin; C., Dillon J,; dan A.,Moren. 1994. “Epidémie d’intoxication alimentaire à l’héliotrope, Tadjikistan. [Epidemic of heliotrope infection, Tajikistan.]”, Cahier santé, 4, 263—2 51. W., Swaddiwuthipong et al., 1986. “Surveillance of food poisoning outbreaks in Thailand, 1981—1986”, Southeast Asian journal of tropical medicine and public health, 19, 327—331. 52. L.,Amin-Zaki; S.,Elhassani; A., Majeed M.; W., Clarkson T.; A., Doherty R.; R., Greenwood M.; T., Giovanoli-Jakubczak, 1976. “Perinatal methylmercury poisoning in Iraq”, American journal of diseases in children, 130, 1070-1076. 53. A., Peters H. et al., 1982. “Epidemiology of hexachlorobenzene-induced porphyria in Turkey”, Archives of neurology, 39, 744—749.
37
Lampiran
38
39
40