Penggunaan Bentuk Bahasa Penolakan Dalam Masyarakat (Sebuah Pengamatan pada Masyarakat Kota Medan) Immanuel Prasetya Gintings Program Studi Sastra Inggris, Universitas Negeri Medan
Pendahuluan Tulisan ini berdasarkan suatu hasil pengamatan tentang bentuk bahasa penolakan dalarn interaksi sosial lisan. Pengamatan itu bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan terinci tentang suatu aspek komunikasi lisan yang merupakan bagian yang sangat kecil di dalam suatu interaksi sosial, namun melibatkan berbagai macam faktor sosial di samping faktor kebahasaan. Kerangka teori dan prinsip-prinsip yang cocok untuk pengamatan semacam itu tercakup di dalam suatu cabang linguistik yang disebut sosiolinguistik. Cabang ilmu bahasa ini menelaah berbagai macam aspek bahasa dalam penggunaannya di dalam masyarakat yang diwujudkan sebagai bentuk verbal tertentu dalam berbagai interaksi sosial. Sosiolinguistik melibatkan berbagai macam faktor yang terdapat di dakm masyarakat, termasuk latar belakang budaya, keluarga, dan pendidikan seseorang, serta faktor lainnya seperti umur, jenis kelamin, situasi, setting dan lain sebagainya. Dell Hymes (1974) mengatakan bahwa bila unsur sosial diintegrasikan ke dalam penelaahan linguistik, maka sosiolinguistik menjadi identik dengan linguistik. Menurut pakar antropologi ini penelaahan bahasa tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemakainya berikut segudang norma dan nilai-nilai yang dimiliki serta dianut oleh para warga masyarakat tersebut. Dalam
kehidupan
sehari-hari
pengguna
bahasa
pada
umumnya
lebih
mengutamakan keberhasilan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa dari pada mementingkan kegramatikalan ujaran-ujaran mereka. Memang tatabahasa pada umumnya diajarkan secara formal di sekolah, sedang masyarakat umum yang
jumlahnya jauh lebih besar belajar berbahasa lewat ujaran-ujaran yang komunikatif yang
disampaikan
terus-menerus
oleh
ibu
dan
keluarga
mereka,
dengan
memperhatikan situasi dan kondisi interaksi yang sedang berlangsung. Sebagai contoh berikut ini dipaparkan tiga buah ujaran yang maknanya lebih banyak dipengaruhi oleh jauh dan dekatnya hubungan antara partisipan di dalam pergaulan mereka. Kebiasaan mengemukakan pendapat sesuai dengan tata-cara pergaulan dalam bermasyarakat, norma dan nilai-nilai yang dianut dalam budaya, pergaulan, pengetahuan tentang sesuatu yang sama-sama dimaklumi oleh para partisipan dipertimbangkan semua untuk menghasilkan ujaran-ujaran yang tepat. Dan bukannya diatur oleh makna harfiah setiap kata yang dipergunakan dan lain sebagainya. (1) Aduh, ada pula kerjaanku sekarang. (2) Siapa yang teriak-teriak di sebelah itu? (3) Mau mamak cubit lagi?
Ujaran (1) yang berupa kalimat berita di dalam konteks yang terekam merupakan penolakan atas ajakan seorang teman akrab untuk pergi ke suatu tempat untuk bersantai. Ujaran (2) yang berupa kalimat bertanya dimaksudkan oleh seorang suami kepada isterinya agar menghentikan kegaduhan di kamar sebelah agar tidak mengganggu suami yang sedang bekerja keras membuat suatu laporan. Sedang kalimat bertanya pada (3) merupakan ancaman yang diucapkan oleh seorang ibu kepada anaknya yang masih kecil agar dia tidak nakal. Sesuai dengan contoh tersebut di atas, penolakan yang merupakan reaksi negatif terhadap suatu ajakan, permintaan atau tawaran, memiliki bentuk bahasa tertentu sesuai
dengan
berbagai faktor
memperhatikan
kerangka
sosiolinguistik.
Selanjutnya
teori
sosial dan
karena
yang
berpengaruh.
prinsip-prinsip
penggunaan
yang
Bila
diteliti
tercakup
perlu
di
dalam
bahasa semacam itu
sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kelompok masyarakat tertentu, kebiasaan dan cara hidup mereka serta berbagai norma dan nilai yang dianut dan dipatuhi, pengamatan ini dibatasi oleh penggunaan bentuk penolakan yang terjadi di daerah Sumatera Utara. Terutama disekitar kota Medan.
Temuan dan Pembahasan Secara implisit falsafah hidup, norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan yang dipergunakan sebagai pedoman hidup warga masyarakat Sumatera Utara yang kemudian direfleksikan ke dalam bahasa dicantumkan pula di dalam soal-soal maupun pilihan jawaban di dalam kuisioner. Disamping itu hal-hal tersebut juga terungkap di dalam interaksi sosial ketika pengamat bertindak sebagai pengamat dan partisipan (Lihat pula Kartomihardjo. 1981). Hal-hal itu termasuk konsep 'Lain ladang, lain ilalang. Lain lubuk, lain ikannya', suatu konsep yang mengajarkan agar orang bertingkah-laku, bertutur-kata dan berbusana dengan penuh kesopanan sesuai dengan tempat, lingkungan, status sosial yang ada pada waktu suatu interaksi sosial berlangsung. Konsep yang dinyatakan dalam satu peribahasa yang terdiri atas dua frasa ini ternyata dapat menampung 5 sampai 6 faktor yang berpengaruh dalam suatu interaksi yang dikemukakan oleh Dell Hymes. Penyesuaian diri terhadap terhadap lingkungan juga terungkap dalam bahasa penolakan. Warga masyarakat Sumatera Utara yang datang dari luar Sumatera dan tinggal di Sumatera Utara 6 bulan atau lebih, ternyata ada juga yang menghindari untuk menggunakan kata tidak. Dalam pengamatan pendahuluan yang kemudian dicek dengan menggunakan kuisioner terdapat 7 macam bentuk bahasa penolakan sebagai berikut : 1) Penolakan dengan menggunakan kata tidak atau padanannya, nggak, ndak dan jangan. 2) Penolakan dengan menggunakan alasan. 3) Penolakan dengan menggunakan syarat atau kondisi, misalnya lain kali saja kalau saya punya waktu. 4) Penolakan dengan menggunakan usul, komentar atau pilihan. Penolakan ini bersifat konstruktif karena memberikan alternatif bagi pengajak. 5) Penolakan dengan menggunakan ucapan terima kasih. Cara ini agak membingungkan bila tidak diikuti komentar, alasan atau lainnya. 6) Penolakan dengan menggunakan komentar.
7) Penolakan dengan menggunakan isyarat non verbal termasuk gelengan kepala, diam, dan dengan menggunakan isyarat tangan. Meskipun para responden telah memilih sekitar 17 faktor non-kebahasaan yang berpengaruh di dalam menentukan pilihan jawaban, namun setiap soal cukup menggunakan beberapa faktor yang berpengaruh saja. Masyarakat Sumatera Utara seperti masyarakat di banyak negara lain sangat memperhatikan status sosial untuk menentukan variasi bahasa dan tingkah laku seseorang dalam suatu interaksi. Status sosial itu ditentukan oleh kedudukan dan pangkat, jasa, ketenaran dan juga kekayaan. Senioritas dalam umur merupakan faktor berpengaruh kedua, sedang faktor-faktor lainnya tidak beraturan urutannya. Setelah diseleksi dan dikaji satu persatu berbagai faktor yang berpengaruh dalam jawaban responden untuk memilih kata tidak, atau memilih jawaban yang terselubung dengan menggunakan alasan dan sebagainya dapat diperikan sebagai berikut : Penggunaan kata tidak dipengaruhi oleh: 1) jenis kelamin, 2) tingkah laku, 3) usia, 4) penampilan, 5) keakraban, 6) faktor khusus yang dalam hal ini ditujukan kepada orang yang dicurigai sebagai penipu. Penggunaan alasan dipengaruhi oleh: 1) jenis kelamin, 2) daerah asal responden, 3) emosi, 4) umur, 5) status sosial, 6) keakraban. Penggunaan syarat dipengaruhi oleh: 1) keintiman, 2) umur, 3) status sosial, dan 4) jarak keterkaitan dalam pergaulan. Penggunaan usul dipengaruhi oleh: 1) status sosial, 2) umur, 3) penampilan, 4) jenis kelamin, 5) penonjolan status sosial. Penggunaan terima kasih dipengaruhi oleh: 1) status sosial, 2) jarak keterkaitan antar partisipan dalam pergaulan, 3) usia, dan 4) keintiman. Penggunaan isyarat non-verbal dipengaruhi oleh: 1) kelompok etnis, 2) jenis kelamin, 3) keadaan batin.
Kesimpulan Sesuai dengan data pengamatan pendahuluan berbagai ujud penolakan itu dapat digolongkan, sebagai berikut :
1. Menggunakan kata tidak atau padanannya, dengan atau tanpa didahului dengan permintaan maaf seperti berikut ini : 1) Tidak bisa kalau bertiga. 2) Tidak membawa uang. 3) Aku tidak kenal orang ini. 4) Nggak kenal. 5) Tidak ada. 6) Tidak. 7) Nggak bawa uang. 8) Jangan sekarang, saya masih banyak urusan. 9) Nggak ah, bisa bikin ribut nanti. 10) Maaf, saya tidak bisa karena ada tugas yang harus saya selesaikan hari ini. 11) Maaf, tidak ada. 12) Sepertinya kok nggak ada (lihat dompet). Nggak punya. 13) Jangan, nanti bikin repot. 14) Nggak ah, saya ikut teman saya. Perlu dicatat bahwa bentuk bahasa penolakan serupa ini sering diikuti oleh alasan agar penolakan yang disampaikan tidak kedengaran terlalu keras, tegas atau kasar, seperti contoh 8), 9), 10), 13) dan 14). Penolakan itu akan kedengaran lebih halus lagi dan lebih sopan bila didahului permintaan maaf seperti pada 10) dan 11). Pada 12) iringan maaf, keraguan dan usaha melihat isi dompet memberi kesan kesungguhan dan oleh karenanya bisa dianggap paling sopan bila dibandingkan dengan penolakan yang Iain. 2. Memberikan alasan penolakan seperti dalam contoh berikut, dengan atau tanpa didahului permintaan maaf : 1) Maaf, saya mau pergi. 2) Maaf, saya belum banyak kenal orang disini. 3) Maaf, saya orang baru disini. 4) Maaf, nanti siang saya diundang rapat Pak Johan. 5) Malu ah, kayak bos pake diantar segala. 6) Saya masih harus ikut rapat dengan Pak Johan.
7) Saya sudah berjanji akan mengajak orang rumah untuk makan di luar nanti malam. 8) Saya ikut rombongan Pak Johan. 9) Lho ini sudah diantarkan oleh tukang becak langganan saya. 10) Malu ah, aku kayak ini kok. 11) Sudah diurus adik saya. 12) Bapak dekan mau ke sana juga katanya. 13) Masih diproses di sini kok. 14) Wah saya juga ada rapat penting di kantor malam ini. 15) Saya nggak terima undangan itu. 16) Sudah langganan. 17) Masih, Pak. 18) Hari ini nggak belanja, mau ke luar kota. 19) Sudah belanja banyak kemarin. 20) Saya takut beli barang begituan. 21) Sudah punya. 22) Saya mau rapat. 23) Saya sudah menyumbang tiap bulan. Bentuk penolakan dengan mengemukakan alasan yang berbagai macam itu kedengarannya lebih halus dan lebih sopan dari pada penolakan tegas. Penjawab menunjukkan adanya kepedulian atau concern terhadap pengajak walaupun sedikit. Nampaknya sopan-santun banyak dipergunakan oleh masyarakat Sumatera Utara baik kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi maupun yang lebih rendah dari pada penjawab. Jawaban 16) misalnya, ditujukan kepada anak kecil penjual koran, jawaban 14) ditujukan kepada tetangga, jawaban 10) ditujukan kepada bekas pacar, jawaban 5) ditujukan kepada rekan yang lebih senior, jawaban 11) ditujukan kepada orang yang pernah dibenci, sedang jawaban 20) ditujukan kepada tukang copet atau penipu. Contoh tentang pelaksanaan penghormatan dan sikap sopan terhadap orang lain yang terdapat di kalangan masyarakat Sumatera Utara itu membuktikan bahwa masyarakat tidak sekasar apa yang disebut oleh orang diluar Sumatera
Utara, yang menganggap bahwa Sumatera Utara didominasi oleh orang dari suku Batak Toba yang lebih kasar dan berterus terang dalam mengungkapkan semua hal. Dalam hasil pengamatan, ditemukan juga banyak responden yang berlatar belakang suku Batak Toba dengan bahasa penolakan yang halus seperti layaknya suku Medan (yang dianggap berbahasa paling halus dan sopan) demikian juga sebaliknya, ada juga reponden yang berasal dari suku Medan malah dengan kasar (disertai dengan kata-kata kasar dan makian) untuk mengungkapkan bahasa penolakannya.
Untuk memahami bahwa menolak dengan mengemukakan alasan lebih halus dan lebih sopan dari pada menolak dengan tegas bisa dibandingkan jawaban dengan alasan nomor 3). 3) Maaf saya orang baru disini. dengan jawaban tegas nomor 4) 4) Nggak kenal.
Kedua jawaban tersebut ditujukan kepada orang yang tidak dikenal, berpakaian kumal tetapi bersikap sopan. Walaupun kedua jawaban itu sama-sama mengandung makna 'tidak tahu', namun jawaban 3) menunjukkan adanya kepedulian atau simpati, sedang jawaban 4) kedengarannya acuh, tidak peduli. Bila kita yang menerima jawaban pastilah kita lebih senang mendengar jawaban 3). 3. Penggunaan syarat atau kondisi sebagai pengganti penolakan seperti contohcontoh berikut. 1) Kalau naik mobilmu aku mau, sebab Keretanya bisa ku titipkan di rumah. 2) Nggak nyari dek, Dek? Nanti aja kalau mau kawin (lalu tertawa). 3) Lain kali aja kalau saya tinggal lama di sini. 4) Kalau saya dibantu biar cepat siap, nanti sore kita nonton pameran itu. 5) Kalau persediaan habis saya mau belanja lagi. 6) Sukarame Pos ada? 7) Kalau ada saya mau menyumbang.
8) Saya mau rapat, kalau 2 jam lagi ibu kemari nanti saya uruskan. 9) Maaf, kalau besok malam saya bisa. 10) Lain kali saja, itu adik saya sudah menyusul. 11) Kalau tidak ada halangan. 12) Wah saya masih repot, lain kali saja ya. 13) Jangan sekarang, kapan-kapan saja ya. 14) Kalau tugas saya sudah selesai kita berangkat. 15) Kalau untuk satu orang masih bisa. Penolakan bersyarat ini masih memberi peluang pengajak untuk memenuhi persyaratan. Bila persyaratan itu terpenuhi penjawab akan memenuhi pula ajakan, tawaran atau permintaan itu. Oleh pihak penjawab penolakan bersyarat ini bisa dipergunakan untuk menguji keseriusan pengajak. Sebab bila pengajak memang bersungguh-sungguh pastilah dia rela memenuhi persyaratan yang diajukan asalkan persyaratan itu wajar-wajar saja. Persyaratan 1) misalnya, tidak sukar dipenuhi dan beralasan cukup baik. Sebab di sore hari pulang dari mana saja sering sekali ada razia polisi. Dan hal itu tidak jadi masalah bila naik mobil, karena biasanya mobil pribadi sangat jarang distop polisi. Demikian juga jawaban 4) dan 9) persyaratannya tidak sukar dipenuhi. Sebaliknya pihak pengajak dapat pula mengetahui kesungguhan penjawab berdasarkan persyaratan yang diajukan. Bila persyaratan itu suatu klise atau sesuatu hal yang mustahil dilaksanakan maka kesediaan penjawab untuk memenuhi ajakan atau tawaran tidak serius. Dengan kata lain persyaratan yang muskil identik dengan penolakan benar-benar. Jawaban 11) dan 13) merupakan klise yang biasanya dimaksudkan sebagai penolakan. Sebab suatu hal sekecil apapun bisa dibuat menjadi halangan untuk tidak memenuhi ajakan pada 11), sedang 'kapan-kapan saja', pada 13) sangat relatif yang sangat sulit ditentukan waktunya. Jawaban 6 dianggap sebagai gurauan sebab yang kini beredar adalah surat kabar Sumut Pos dan Medan Pos. Oleh karena itu penjual koran tak mungkin menjajakan Sukarame Post. 4. Penggunaan usul atau pilihan lain agar penjawab bebas dari tugas memenuhi ajakan, tawaran atau permintaan pembicara. Dibawah ini disajikan beberapa contoh:
1) Satu di sini dua lagi di rumah sebelah, gimana? 2) Kalau mau sama-sama di sini, itu Pak Tarigan barangkali masih bisa menerima. 3) Cok, Tolong bantu dulu ibu ini. 4) Wah, maaf Bu ya, nanti biar dibantu kawan saya. 5) Tanya sama bapak yang duduk di sana itu. 6) Lho kok aku yang kau tanya. Tanya aja anggota satpam di sana. 7) Coba ke bagian administrasi di sana. 8) Di pojok gang itu ada warung. Coba tanyakan di sana. 9) Wah bagaimana ya. Itu rumah pegadaian. Barangkali mereka bisa menukar. 10) Prei, Pak. 11) Saya permisi, Mas. hasil rapatnya nanti saya tanya Mas saja. 12) Saya wakilkan adik saya nanti. 13) Biar saja, teman-teman juga masih banyak yang belum naik pangkat. 14) Saya mau pake yang lama saja. 15) Silakan pulang dulu. Saya masih banyak tugas yang belum saya selesaikan. Penggunaan usul atau alternatif ini merupakan penolakan halus yang konstruktif. Pembicara dalam hal ini merasa diperhatikan, tidak sekedar ditolak tetapi diberi kemungkinan lain untuk membantu memecahkan persoalannya. Dalam contoh di atas jawaban 1) sampai dengan 9) memenuhi deskripsi tersebut. Demikian juga 11) dan 12). Sedang jawaban 10) penjawab memberitahukan kepada penjaja makanan bahwa dirinya tidak belanja hari itu. Implikasinya tentunya agar penjaja tidak mengeluarkan barang dagangannya dan terus pergi ke langganan yang lain. Jawaban 13) mengusulkan agar pengajak tidak usah memperhatikan penjawab sambil memberikan alasan. Jawaban 14) memberitahukan pilihannya kepada pengajak,
oleh
karena
itu
diimplikasikan
bahwa
pengajak
tidak
perlu
memperhatikannya lagi. 5. Penggunaan ucapan terima kasih sebagai penolakan. Biasanya diikuti dengan komentar atau alasan. Penjawab berterimakasih karena diperhatikan, ditawari suatu jasa dan lain sebagainya sambil memberitahukan bahwa dirinya telah dapat mengatasi masalahnya sendiri. Dalam data terdapat contoh sebagai berikut :
1. Terima kasih. Kijang Pak Johan kebetulan kurang satu penumpangnya. Saya diajaknya bareng. 2. Terima kasih. Biasanya langsung saya jual di sana. 3. Terima kasih. (Penjawab lalu menghilang tidak memenuhi ajakan). 4. Terima kasih. Sebentar lagi juga terang. 5. Terima kasih. Sebentar lagi ada yang menjemput. 6. Terima kasih. Mau rapat ini. Dalam hal ini pengajak biasanya merasa lega walaupun ditolak ajakannya atau jasanya, karena penolakannya sangat sopan dan dia pun tahu bahwa yang ditawari jasa memang tidak memerlukan bantuannya.
6. Penggunaan komentar sebagai penolakan. Komentar itu biasanya berhubungan dengan ajakan, tawaran atau permintaan. Dalam hal ini nampaknya penjawab meragukan tentang kebenaran sesuatu yang diutarakan oleh pembicara. Contoh jawaban itu sebagai berikut : 1) Kok tumben. Lagi berantam sama isterimu ya. 2) Mau naik kereta? Kasihan keretanya ah. 3) Nanti ada yang marah? 4) Nggak takut kisah lama terulang lagi? 5) Harus sekarang? Siapa lagi yang bisa mengantar selain aku ya? 6) Sudah tahu repot gini. Kamu ini bagaimana si? 7) Saya tadi juga perlu uang kecil. 8) Pak siapa? Wah nggak kenal, maaf ya. 9) Bapak siapa? 10) Maaf, sumbangan apa pun harus melewati kantor pusat. 11) Wah, tinggal satu tempat. Jawaban 1) ditujukan kepada teman akrab yang tidak pernah mengajak menonton keramaian. Oleh karena itu ajakannya diragukan, sambil menanyakan alasan ajakan itu. Penolakan ini harus dianggap sebagai gurauan. Bila pengajak serius dan mengajak terus mungkin sekali penjawab akan memenuhi ajakan tersebut. Jawaban 2) meragukan kekuatan kereta (sepeda motor) yang akan dipergunakan
dibonceng bertiga. Jawaban semacam ini dianggap sebagai penolakan serius. Jawaban 3) dan 4) bersifat menggoda atau mengganggu yang ditujukan kepada bekas pacar. Bila mereka telah menikah dengan orang lain, mungkin saja ajakan itu akan dipenuhi terutama bila pengajak mengulang ajakannya dengan sungguhsungguh. Tetapi bila keduanya atau salah satu masih tetap sendirian, jawaban itu boleh dianggap sebagai peringatan untuk tidak berbuat yang bukan-bukan. Jawaban 5) dan 6) mengimplikasikan bahwa ajakan yang disampaikan tidak tepat waktunya. Oleh karena itu 5) lalu disusul dengan usulan atau pilihan yang lain, sedang 6) dilanjutkan dengan sedikit rasa kekesalan yang mungkin sekali ditujukan kepada isteri, pacar atau teman yang sangat akrab, sebab selain kepada mereka ujaran serupa itu bisa dianggap ungkapan kemarahan. Jawaban 7) memberitahu penanya bahwa penjawab juga memerlukan uang kecil tetapi tidak ada. Oleh karena itu jawaban serupa itu biasanya dianggap sebagai penolakan yang tidak bisa ditawar. Jawaban 8) mengecek nama yang kurang jelas diucapkannya, kemudian menolak dengan tegas. Jawaban 9) bernada tidak percaya. Bila status penanya tidak jelas mungkin sekali penjawab akan menolak ajakan atau permintaan yang diajukan kepadanya. Jawaban 10) memperingatkan pembicara bahwa permintaan sumbangan tidak boleh seenaknya, ada peraturannya tersendiri. Jawaban 11) memberitahu penanya bahwa yang tersedia tidak sesuai dengan yang diminta. Oleh karena itu bagi penanya bisa dianggap penolakan sementara. Bila ketiga mahasiswa itu ingin tinggal bersama-sama jawaban itu bisa dianggap penolakan tetapi bila salah seorang diantara mereka mau tinggal disitu penjawab bisa menerimanya. 7. Penggunaan isyarat atau penolakan non-verbal. Untuk mengecek apakah penolakan non-verbal dikenal atau bahkan populer dikalangan kau terpelajar, beberapa jawaban non-verbal diikutsertakan sebagai bagian jawaban pilihan ganda di dalam kuisioner. Penolakan non-verbal itu termasuk : 1) Menggelengkan kepala. 2) Membuat isyarat menolak dengan tangan. 3) Diam saja.
Di antara 3 macam penolakan dengan isyarat tersebut jawaban 3) atau diam paling banyak dipilih subjek. Respon ini ditujukan kepada anak kecil penjual koran. Keseringannya terjadi 21 kali. Berarti subjek yang memilih cara ini meliputi 17,5%. Walaupun hanya sebagian kecil subjek yang memilih cara ini, namun karena merupakan respon yang paling sering dipergunakan dibandingkan dengan dua cara yang lain, maka keseringan ini perlu mendapatkan perhatian. Bila kita lihat di bagian kota Medan seperti Simpang Aksara, Simpang Petisah, Sambu, Padang Bulan dan lain-lainnya, anak-anak penjaja koran dengan sampel yang lebih banyak. Para penjaja koran ini banyak sekali jumlahnya. Mereka beroperasi di tengah kota di tempat-tempat umum yang banyak dikunjungi orang, di terminal, di setasiun kereta api dan juga di perempatan jalan ramai yang memiliki lampu isyarat lalu lintas merah, hijau dan kuning. Mereka biasanya menyerbu kendaraan bermotor yang berhenti pada perempatan tersebut. Tak mengherankan bila bagi sementara orang menganggap bahwa kehadiran mereka di mana-mana itu sangat mengganggu mereka, sehingga mereka merasa bosan menjawab atau membuat suatu reaksi apapun. Oleh karena itu mereka, memilih respon diam dari pada membuat respon yang lain yang terlalu sering harus dibuat oleh mereka dan yang mungkin bisa menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan dari para penjual koran. Sebaliknya membuat isyarat menolak dengan tangan dianggap terlalu kasar atau kurang sopan sehingga dari 120 subjek hanya 3 orang saja yang memilih jawaban ini. Di dalam kuisioner respon ini ditujukan kepada seorang penjual jamu dan makanan yang biasa berjualan ke rumah subjek. Karena antara penjual dan subjek sering bertemu maka terjadilah interaksi pribadi walaupun sangat superfisial disamping interaksi transaksi (Brown dan Yule, 1983). Perlu ditambahkan bahwa orang Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat di kota Medan sangat cepat menjalin interaksi pribadi. Sebagai contoh, para mahasiswa yang mengambil satu matakuliah yang sama sebanyak 3 sistem kredit semester yang bertatap muka dengan dosen sebanyak 3 jam seminggu akan sudah menjadi teman setelah mereka berkuliah selama sebulan, bahkan beberapa di antara mereka sudah ada yang menjadi teman akrab, serta di antara mereka
tidak ada lagi yang merasa sebagai kenalan atau mahasiswa yang hanya kebetulan sama-sama mengambil satu matakuliah yang sama.
Daftar Pustaka Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics: An ethnographic approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Kartomihardjo, Soeseno. 1981. Ethnography of communicative codes in East Java. Pasific Linguistics, the Australian Nasional University. Labov, W. and D. Fanshel. 1977. Therapeutic Discourse: Psychotherapy as Conversation. Orlando: Academic Press. Malinowski, B. 1923. Phatic communication. The Meaning of Meaning. London: Routledge and Kegan Paul. Sacks, H., E. Schegloff and G. Jefferson. 1974. A simplest systematics for the organization of turn taking for conversation. Language. 50:696-735. Sapir, E. 1927. Speech as a personality trait. American Journal of Sociology,32:892905. Smitherman, G. Talkin and Testify in. 1986. Detroit. Wayne state University Press. Stubbs, M. 1983. discourse Analysis: The sociolinguistic analysis of natural language. Chicago: The University of Chicago Press. Wolff, J.U. and D. Oetomo. 1984. Formal Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.