PENGGANTIAN KEBIJAKSANAAN MANAGE FLOAT MENJADI CLEAN FLOAT DALAM MANAJEMEN VALUTA ASING DI INDONESIA H. Soebari Martoatmodjo*)
1. SEJARAH SISTEM KURS VALUTA ASING DI INDONESIA Sejarah Republik Indonesia telah cukup tua dilihat dari sisi umur negara ini. Dalam kurun waktu 52 tahun merdeka, pemerintah Indonesia beberapa kali menggunakan sistem kurs valuta asing yang berbeda-beda. Hampir seluruh sistem kurs valuta asing dicoba diberlakukan di Indo-nesia, kecuali Gold Exchange Standard. Oleh karena sistem yang disebut terakhir ini telah dihapuskan segera setelah dunia dilanda depresi ekonomi pada tahun 1930. Dalam catatan sejarah perekonomian kita, dapat ditelusuri bahwa sejak tahun 1950 yang secara defacto Indonesia benar-benar menguasai sebagian besar wilayah Indone-sia kecuali Irian Barat. Indonesia telah me-nerapkan Sistem Exchange Control (Sistem Pengawasan Devisa). Sistem ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia, saat itu dengan dua acuan dasar dalam pengelolaan valuta asing. 1). Karena jumlah devisa yang didapatkan dari ekspor jauh lebih kecil dari impor yang akan dilakukan, maka untuk menjaga agar nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing tidak terus-menerus turun (depresiasi),pemerintah men-jalankan kebijaksanaan yaitu menetapkan kurs Rupiah terhadap valuta asing dengan tidak memperhatikan mekanis-me pasar. Artinya secara sepihak pemerintah menetapkan kurs terse-but. Ada 2 ( dua ) cara yang ditempuh : a. Menetapkan satu jenis kurs untuk semua tujuan impor. b. Menetapkan lebih dari satu jenis kurs untuk tujuan impor yang berbeda.
*)
Drs.H.Soebari Martoatmodjo,MM adalah Lektor Kepala pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
130
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-140
2). Dengan cara tersebut diatas kelihatannya masih belum dapat mengatasi keadaan, maka sebagai langkah berikutnya kebijaksanaan tersebut di atas dilengkapi dengan suatu cara yang disebut sistem Alokasi Devisa. Sistem ini antara lain terdiri dari Exchange Quota , Waiting List dan sebagainya. (Soediyono, 1992 : 40). 3). Disisi lain pemerintah melancarkan export drive dengan memberikan bonus sehingga terdapat devisa bonus ekspor dan sebagainya. Sasaran dari kebijakan ini tidak lain adalah mendorong jumlah suply valuta asing di pasar, agar kurs Rupiah terhadap mata uang asing dapat dikendalikan. Sistem ini berlaku sampai dengan tahun 1967, dimana pemerintah orde baru melepaskan sistem ini dan karena Indonesia adalah anggota IMF, maka sejak ta-hun tersebut diatas Indonesia menggunakan sistem kurs rambatan atau Pegged Exchange Rate System dengan patokan ter-tentu yang dipatok oleh IMF. Pada dasar-nya sistem ini menggunakan 2 ( dua ) cara : a. Non adjustable pegged exchange rate system. b. Adjustable pegged exchange rate system, sistem yang terakhir ini dipakai oleh anggota IMF. Saat itu karena per-kembangan perdagangan internasional yang sangat pesat. Sistem ini dianggap tidak memadai lagi dan sejak tahun 1976 IMF mempersilahkan semua negara anggotanya menggunakan sistem kurs mengambang ( Floating Exchange Rate System ) ( Nopirin ; 1993 : 21 ).
2. FLOATING EXCHANGE RATE SYSTEM Pada dasarnya sistem ini adalah sistem kurs yang menyerahkan sepenuhnya tinggi rendahnya kurs (Exchange Rate) kepada me-kanisme pasar yaitu berlakunya hukum permin-taan dan penawaran dipasar valuta asing. Secara kategories sistem ini dibedakan menjadi dua jenis ( Jeff Madwra, 1993) 1. Dirty Float ( Manage Floating ) 2. Clean Float Perbedaan dari kedua kategori sub sis-tem tersebut diatas terletak pada adanya intervensi pemerintah dipasar valuta asing. Melalui sisi penawaran atau permintaan. Apabila ada intervensi pemerintah maka sistem itu disebut sebagai Dirty Float, sedangkan yang murni yang berarti pemerintah tidak mengintervensi pasar disebut dengan Clean Float ( Soedjono , 1992). Sejak tahun 1976 Indonesia memilih sistem dirty float (manage float) dengan tujuan dapat mengendalikan kurs Rupiah ter-hadap mata uang asing. Jika terjadi kenaikan kurs yang berarti terjadi depresiasi Ru-piah terhadap mata uang asing melebihi batas yang
140
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-140
dikehendaki, maka pemerintah melalui Bank Indonesia melakukan intervensi pasar dengan cara menjual valuta asing yang dikuasainya. (dari cadangan valas). Intervensi dari sisi penawaran ini diharapkan dapat menekan depresiasi rupiah dan diharapkan kurs akan mem-baik kembali (turun seperti yang dikehendaki), sebaliknya jika mata uang nasional mengalami apresiasi diluar batas keuangan yang disyaratkan, pemerintah akan mengintervensi pasar dengan jalan ikut membeli valuta asing di pasar. Intervensi di sisi permintaan ini diharapkan akan membendung apresiasi yang terus–menerus.
3. KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM MANAJEMENVALUTA ASING PADA ERA GONCANGAN MONETER 1997. Dari uraian tersebuit di atas terlihat bahwa terdapat suatu jarak ( destansi ) ter-tentu tentang tinggi rendahnya kurs Ru-piah terhadap mata uang asing yang ditoleransi oleh pemerintah. Data–data toleransi tersebut disebut dengan interven-tion band. Pada awal terjadinya krisis moneter ini kurs berkembangnya sangat cepat yaitu mulai dari Rp. 2.450,- /US$ , dalam waktu seminggu/awal bulan Oktober naik menjadi Rp. 2.630,- / US$. Keadaan ini semula diatasi oleh Bank Indonesia dengan cara mengintervensi pasar melalui sisi penawaran dengan cara Bank Indonesia menjual cadangan US$ nya kepasar. Dalam beberapa jam kemudian kebijaksanaan ini efektif menekan depresiasi Rupiah. Tetapi da-lam hitungan hari saja (1 s/d 2 hari) kurs Rupiah terhadap US$ lemah kembali se-hingga Rupiah tertekan terus–menerus. Kelihatannya terjadi pergeseran kurva Demand Valas yang terus menerus. Sehingga terjadi panic buying karena masyarakat kawatir tidak akan menda-patkan US$ untuk membiayai transak-sinya serta kebutuhan– kebutuhan lain-nya yang harus dibayar dengan US$. Sistem Clean Float di mana pasar di-biarkan mencari keseimbangan sendiri melakukan interaksi suplly dan demand. Akhirnya pemerintah melepaskan intervention band tersebut yang berarti Indo-nesia membiarkan depresiasi Rupiah yang terus–menerus ini masih dipicu dengan paling tidak 2 ( dua ) hal. 1. Peristiwa eksternal yaitu ambruknya nilai Won Korea Selatan yang secara langsung pasti berpengaruh terhadap mata uang negara–negara lain. Dampaknya terhadap Indonesia bisa dilihat pada tabel 1 dibawah ini :
132
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-140
Tabel 1 Daftar Kurs Beli / Jual Rupiah Terhadap US$ Desember 1997
Tanggal
Beli
Jual
02/12/97 03/12/97 04/12/97 08/12/97 09/12/97 10/12/97 11/12/97 12/12/97 15/12/97 16/12/97 17/12/97 19/12/97 22/12/97
3815 3960 3945 4140 4560 4400 4510 5150 5700 5400 5450 4900 5000
3835 3970 3965 4160 4590 4450 4540 5250 6000 5600 5650 5150 5300
Point ( - / + ) - 100 - 145 + 15 - 170 - 420 + 160 - 110 - 460 - 550 + 300 - 50 + 400 - 150
Kurs Aulure $ 1 = Rp. 6.666,Sumber : Harian Pagi Surya, 18 Desember 1997 Disamping itu merosotnya Rupiah amat dipengaruhi oleh faktor – faktor non ekonomi yaitu berita istirahatnya Presiden Soeharto 10 hari. Miranda S. Gultom yang baru dilantik menjadi salah satu direktur Bank Indone-sia, berkomentar bahwa dalam keadaan ini Bank Indonesia tidak dapat berbuat banyak, karena penyebab depresiasi ini diluar kendali Bank Indonesia. Lalu timbul pertanyaan, apakah dengan demikian ilmu ekonomi sudah atau kurang mampu lagi digunakan sebagai instrument untuk mengatasi masalah ini ?. Keadaan tersebut mempersulit semua pihak, sebagaimana diketahui ada beberapa golongan orang atau lembaga selalu mem-butuhkan valuta asing antara lain : 1. Investasi untuk membayar hutang luar negeri dan bunganya. 2. Pemerintah untuk membayar hutang luar negeri ditambah bunganya dan untuk membiayai perwakilan – perwakilan diluar negeri dan study diluar negeri. 3. Rumah tangga untuk membiayai fo-reign travel atau membiayai study luar negeri bagi para sanak saudaranya.
Manajemen Valuta Asing Di Indonesia (Soebari Martoatmodjo)
133
4. Perusahaan–perusahaan yang harus membayar transaksinya dengan valas, misalnya perusahaan–perusahaan yang bergerak dibidang travel internasional dan sebagainya. 5. Importir yang selalu butuh valas. Dari sisi pemerintah c/q Bea dan Cukai juga terjadi kesulitan untuk menetapkan berapa sebenarnya kurs yang layak pada saat itu. Keadaan ini diatasi dengan penetapan kurs mingguan oleh Departemen Keuangan. Dibawah ini disajikan kurs, Bea Masuk, PPN barang dan jasa, PPn BM, Pajak Ekspor dan Pajak Penghasilan sebagai berikut : Tabel 2 Kurs Bea Masuk, PPN Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah, Pajak Ekspor dan Pajak Penghasilan. US $ 1 A$ A Sch Fr ( B ) Can $ Kr . D DM Fr ( P ) HK $ RM F NZ $ Cr ( N ) B Sin $ Cr ( S ) Fr ( Sui ) Kyat ( Burma ) R ( India ) D ( Kuwait ) R ( Pole ) Peso ( Philipina ) Esc ( P ) SR Pst 100 R(S) B B$ a 100
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Rp. 5.381,Rp. 3.514,22 Rp. 431,16 Rp. 146,28 Rp. 3.778,05 Rp. 794,91 Rp. 3.030,76 Rp. 903,37 Rp. 694,37 Rp. 1.406,46 Rp. 2.683,99 Rp. 3.127,11 Rp. 737,88 Rp. 8.881,99 Rp. 3.200,36 Rp. 693,23 Rp. 3.748,78 Rp. 896,89 Rp. 136,16 Rp. 1.765,10 Rp. 1.229,27 Rp. 139,65 Rp. 29,60 Rp. 1.434,55 Rp. 3.585,Rp. 87,64 Rp. 117,90 Rp. 3.294,40 Rp. 308,55
134
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-140
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan nilai tukar Rp / US$ dapat dilihat pada grafik 1. Dari grafik tersebut terlihat jelas bahwa sejak tahun 1978 s/d 1986 Sistem Manage Float atau Dirty Float menjamin habilitas nilai rupiah terhadap US$. Demikian pula pada kurun waktu 1987 s/d 1992, dan 1992 s/d akhir 1996. Pada awal 1997 terjadi gon-cangan yang amat dahsyat dimana kurs Ru-piah terhadap US$ beranjak dari Rp. 2.600 per $ 1 melambung menjadi Rp. 10.000/ $ 1 dan malahan pada awal 1998 mencapai Rp. 18.000 / $ 1.
Grafik 1 Perkembangan Nilai Tukar Rp/USD 1978:1 – 1998:8
Sumber : Bulletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1998
Keadaan ini menyebabkan ekonomi Indonesia porak poranda. Hampir dapat diartikan bahwa pada posisi tersebut ekonomi Indonesia nyaris Stagnan. Kecuali untuk beberapa jenis industri yang menghasilkan produk yang relatif tidak menggunakan komponen impor dan produknya merupakan produk ekspor. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana fluktuasi kurs Rp / US$ selama Januari s/d September 1998 berikut dijelaskan grafik 2 mengenai hal tersebut di atas . Panic buying sebagaimana diutarakan pada uraian tulisan ini terdahulu ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan fluktuasi kurs Rupiah terha-dap US$ seperti terlihat pada grafik 2. Secara rinci dapat diutarakan sbb.: 1. Pada awal Januari 1998 terjadi lonjakan kurs yang sangat tajam sehingga Rupiah tertekan dari Rp. 5.500 / US$ 1 menjadi Rp. 9.800 / US$ 1. Hal ini ternyata
140 140
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-
disebabkan oleh reaksi negatif pasar terhadap RAPBN 98 / 99 yang dinilai ekspansif dan kritik IMF terhadap reformasi yang lambat. 2. Pada 12 Januari 1998 IMF menyatakan tetap Commit untuk membantu Repu-blik Indonesia menyebabkan kurs Ru-piah terhadap US$ turun menjadi se-kitar Rp. 8.000 / US$ 1. Namun sebentar kemudian Rupiah terdepresiasi kembali hingga mencapai Rp. 13.000/ US$. Grafik 2 Perkembangan Kurs Rp/USD Jan.1998 s.d September 1998
Sumber : Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1998
3. Langkah pemerintah menjamin deposan dan kreditur pada 27 Januari 1998 kenaikan suku bunga SBI pada tanggal 27 Januari 1998 menyebabkan Rupiah mengalami apresiasi yang cukup tajam yaitu menjadi Rp. 8.500 / US$ 1. 4. Isu penerapan CBS pada Minggu I s/d Minggu II Februari 1998 membuat nilai Rupiah kembali terdongkrak mejadi Rp. 7.500 / US$ 1 5. Pada pertengahan Februari 1998 IMF menyatakan tidak setuju dengan pene-rapan CBS. Akibatnya Rupiah tertekan kembali dan terdepresiasi lagi menjadi Rp. 9.500 / US$ 1 6. Kenaikan suku bunga SBI pada 23 Maret 1998 menyebabkan Rupiah kembali mengalami apresiasi meskipun kurs bertahan pada Rp. 9.000 / US$ 1 7. Penanda tangan suplementary LOI dengan IMF pada 8 April 1998 menyebabkan Rupiah menguat menjadi Rp. 7.500 / US$ 1 8. Kerusuhan pada bulan Mei 1998 menekan Rupiah pada tingkat yang terlemah yaitu Rp.7.000 / US$ 1
136
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-140
9. Pada tanggal 24 Juni 1998 IMF menanda tangani LOI II dengan pemerintah Indonesia. Keadaan ini dibarengi dengan naiknya suku bunga menjadi 70 % dan kebijakan moneter yang relatif ketat dan intervensi valas menyebabkan Rupiah terdongkrak kembali menjadi sekitar Rp. 11.000 / US$ 1. Keadaan ini berlanjut sampai awal 1999 dimana Rupiah sempat menguat sampai dengan Rp. 7.000 / US$ 1
4. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI INDONESIA DALAM ERA CLEAN FLOAT (FREE FLOATING RATE) Miranda S. Gultom dan Doddy Zulverdi (1998) menyatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam era nilai tukar mengambang penuh sbb : Hilangnya kepercayaan dalam dan luar negeri terhadap sistem perbankan dan prospek ekonomi dalam negeri telah mendorong derasnya arus modal ke luar. Dalam kondisi ini, built-in automatic adjustment yang seharus-nya bekerja melalui pengaruh kenaik-an suku bunga domestik terhadap arus balik modal asing sehingga nilai tukar kembali stabil ternyata tidak bekerja efektif karena tidak adanya faktor ke-percayaan tersebut. Faktor rendahnya kepercayaan telah membuat harga dari instrumen–instrumen keuangan yang lazim digunakan untuk melindungi nilai ekonomi dari pengaruh fluktuasi nilai tukar (hedging) meningkat sedemikian tingginya sehingga secara ekonomis menjadi tidak layak untuk digunakan. Kegiatan ekspor yang seharusnya me-ningkat tajam akibat depresiasi nilai tukar riil yang sangat tajam ( hampir 300 % hingga bulan Agustus 1998 ), ternyata menunjukkan kinerja yang tidak sesuai dengan harapan. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar riil telah menurun-kan impor secara drastis sehingga semakin memperburuk kinerja sektor produksi dan mengurangi pasokan barang di dalam negeri sehingga semakin menambah tekanan inflasi. Jumlah hutang luar negeri yang sangat besar semakin menambah tekanan permintaan terhadap valuta asing.
140 140
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-
INDONESIA’S BALANCE OF PAYMENT in million of US$ Items NON OIL / GAS ( net ) Exports, fob Imports, fob Services, net
1996 / 1997 Q1 Q2 Q3 Q4 -3724 -3068 -2430 -3384 9771 9965 10073 9458 -10795 -10410 -9822 -10099 -2700 -2623 -2681 -2743
OIL ( net ) Exports, fob Imports, fob Services, net
489 1687 -756 -442
286 368 116 1709 2147 1970 -995 -1313 -1359 -428 -466 -495
82 1650 -1019 -549
GAS ( net ) Exports, fob Imports, fob Services, net
647 1070 -67 -356
656 1009 966 1142 1512 1534 -68 -68 -67 -418 -435 -501
450 336 1107 1055 -68 -68 -589 -651
CURRENT ACCOUNT Exports, fob Imports, fob Services, net
-2588 12528 -11618 -3498
-2126 -1053 -2302 12816 13732 12962 -11473 -11203 -11525 -3469 -3582 -3739
1997 / 1998 Q1 Q2 Q3 Q4 -1634 -1779 -599 795 11980 11782 11356 10806 -10168 -11157 -10023 -7271 -3446 -2404 -1932 -2740 48 -86 -113 1527 1624 1053 -963 -1164 -668 -516 -546 -498 483 318 1254 968 -68 -67 -703 -583
-1102 -1395 -202 1000 14737 14364 14234 12827 -11255 -12188 -11255 -8006 -4584 -3571 -3181 -3821
OFFICIAL CAPITAL PRIVATE CAPITAL ( net )
-434 2427
7 56 -449 2832 3812 4417
362 -191 3158 870 1864 1981 -8600 -7072
CAPITAL ACCOUNT
1993
2839
3868 3968
2226
1790
TOTAL
-595
713
2815 1666
1124
395 -5644 -5202
ERROR & OMISSIONS
1103
-781
-105
-918
1119
-1691 -496 374
MONETARY MOVEMENTS
-508
68
-2710 -748
-2243
1296 6140 4828
MEMORANDUM ITEMS Official Reserves Gross Foreign Assets Outstanding
16483 ---
16415 19125 19873 -------
-5442 -6202
--------28854 27559 21418 16590
Sumber : Bank Indonesia
Pada awalnya, anjloknya nilai tukar Rupiah lebih banyak berdampak negatif terhadap kinerja keuangan perusahaan–perusahaan yang memiliki beban hutang, khususnya hutang luar negeri, yang besar. Namun, seiring dengan kontraksi permintaan domestik yang sangat tajam, kinerja perusahaan–perusahaan lain juga ikut memburuk. Cukup cepatnya proses pass–through perubahan nilai tukar terhadap harga–harga di dalam negeri telah memicu lonjakan laju inflasi di dalam negeri. Hasil penelitian Bank Indonesia (1998) menunjukkan bahwa suatu tekanan depresiasi nilai tukar akan segera meningkatkan laju inflasi dalam periode 1–2 bulan sejak terjadinya tekanan
138
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-140
tersebut pengaruhnya baru akan benar–benar hilang setelah 9 – 10 bulan sejak awal terjadinya tekanan depresiasi.
5. KESIMPULAN 1. Pelepasan Intervention Band dari Bank Indonesia dalam pasar valuta asing berarti pemerintah melepaskan sistem kurs mengambang terkendali (dirty float) dan menggu-nakan sistem mengambang sepenuhnya (clean float). Meskipun kadang– kadang peme-rintah melalui Bank Indonesia masih mengintervensi pasar. 2. Gejolak moneter masih terjadi karena tidak saja disebabkan oleh penyesuaian kurva demand, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor–faktor eksternal dan faktor non ekonomi. 3. Perlu dicarikan solusi alternatif yang mungkin dapat menekan depresiasi Rupiah yang terus–menerus.
Lampiran 1 Kurva Permintaan dan Penawaran Valuta Asing Rupiah Intervensi BI S S1 2.700 2.600 2.550
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
2.450
----------------------D2 D1 D 0
$
140
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-140
6. DAFTAR PUSTAKA 1. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan , Vol 1 , Nomor 2 September 1998. 2. Jawa Pos , 22 Desember 1997. 3. Kendlebeger & Lendert , 1994 , International Economics , Mc Grav Hill , New York. 4. Nopirin , 1987 Ekonomi Internasional , Pengantar Lalu Lintas Pembayaran Internasional , BPFE UGM YOGYAKARTA. 5. Surya , 18 Desember 1997.
140
Ekuitas Vol.3 No.3 September 1999 : 130-140