i
PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN UJI KLINIS MINUMAN INSTAN TEMULAWAK TERHADAP LIMFOSIT T, B, DAN SEL NK PADA OBESITAS
MUHAMMAD ARIES
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Muhammad Aries NIM. I151090011
iii
ABSTRACT MUHAMMAD ARIES. Health Benefit Knowledge of Curcuma and Clinical Trial of Curcuma Instant Drink on T, B Lymphocytes, and NK cells in Obese Adult. Under direction of HARDINSYAH and MIRA DEWI. The objectives of the following study were to analyze the health benefit knowledge of curcuma on adult and clinical efficacy of curcuma instant drink to increasing lymphocytes count. Design for knowledge survey was cross sectional study and involving 79 subjects (40 male and 39 female) while the design for clinical trial was pre and post test design and involving 21 subjects. Result of this study showed that the health benefits of curcuma most widely known by subjects were to increase appetite (93.4%) and to maintain stamina (92.1%). Female subjects have higher knowledge (58.0 ± 25.8) than male subjects (57.0 ± 28.3) altough there isn’t significance difference (p > 0.05) and the knowledge of curcuma health benefit inversely with the level of education (p < 0.05). The study showed that there was significant increase (p = 0.034 and p = 0.045) in T cell population (CD3+, CD4+) and significant decreasing (p = 0.000 and p = 0.001) in B cell (CD 19+) and CD8+ after intervention of 13.24 g curcuma instant drink per day. It was concluded that curcuma has potential beneficial effect in enhancing cellular immunity but decreasing in humoral immunity in obese human subjects. Key words: Curcuma xanthorrhiza Roxb., health benefit knowledge, instant drink, lymphocyte population.
iv
RINGKASAN MUHAMMAD ARIES. Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan sel NK pada Obesitas. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan MIRA DEWI. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui tingkat pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan, 2) mengembangkan produk minuman instan temulawak, dan 3) menganalisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes. Kegiatan pengembangan minuman instan dan uji klinis minuman instan terhadap fungsi imun merupakan bagian dari kegiatan penelitian hibah KKP3T dengan No. kontrak 1004/LB.620/I.1/4/2010 yang berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes. Survai pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak dilakukan dengan desain cross sectional study sedangkan uji klinis dilakukan dengan desain pre dan post test selama 14 hari. Kegiatan penelitian survei pengetahuan manfaat kesehatan temulawak serta pengembangan minuman instan temulawak dilaksanakan di Kampus IPB Darmaga sedangkan analisis jumlah dan jenis limfosit dilakukan di Lab. Makmal Imunoendokrinologi FKUI Jakarta. Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 sampai Juni 2011. Data survei pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Data tersebut meliputi karakteristik sosial ekonomi, pengalaman mengonsumsi temulawak (baik sebagai pangan maupun obat) dan tujuannya, pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak serta sumber informasinya. Data terkait pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak yang dikumpulkan diantaranya adalah manfaat temulawak untuk sakit perut, sakit hati, demam, sembelit/memperlancar buang air besar, perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal, obat sakit maag, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, peradangan dalam perut atau kulit, dan peningkatan ketahanan tubuh. Sebelum disebarkan kepada contoh, dilakukan pengujian terhadap reliabilitas alat ukur pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak. Analisis statistik yang digunakan uji validitas dan reabilitas serta analisis deskriptif. Uji validitas dan reabilitas dilakukan untuk menentukan reliabilitas kuesioner serta menentukan validitas setiap pertanyaan dalam kuesioner. Analisis deskriptif dilakukan dengan menghitung frekuensi contoh berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, besar keluarga, pengalaman mengonsumsi temulawak, pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak, dan sumber informasi tentang temulawak. Rancangan percobaan yang digunakan untuk formulasi minuman instan temulawak adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas satu faktor perlakuan yaitu jumlah pemanis buatan (sukralosa) yang ditambahkan dengan
v
empat taraf masing-masing 10%, 15%, 20%, dan 25%. Data organoleptik dianalisis dengan ANOVA. Data uji klinis terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data karakteristik individu, dan data jumlah serta persentase sel NK. Data karakteristik individu meliputi data umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan (untuk menentukan nilai IMT), lingkar pinggang, dan lingkar panggul (unutk menentukan nilai Rasio Lingkar Pinggang Panggul/RLPP). Data status gizi untuk menentukan bahwa subjek termasuk kategori obes ditentukan berdasarkan nilai IMT dan RLPP. Riwayat dan status kesehatan meliputi hasil pemeriksaan fisik dan anamnesa dokter medik. Data penilaian fungsi imun (sel NK) merupakan data primer yang diperoleh dari hasil analisa darah yang dilakukan dengan metode flow cytometri sedangkan total limfosit, sel B, dan sel T merupakan data sekunder yang berasal dari penelitian Dewi, Dwiriani, dan Januwati (2011). Pengaruh intervensi dianalisis berdasarkan perbedaan (selisih) nilai fungsi imun yang diamati sebelum dan setelah dua minggu intervensi. Uji normalitas dengan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov dilakukan terlebih dahulu terhadap variabel yang diamati. Nilai populasi limfosit sebelum dan sesudah intervensi akan dibandingkan dan untuk melihat apakah intervensi yang diberikan berpengaruh nyata terhadap populasi limfosit maka dilakukan uji T berpasangan. Tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0.05) antara tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan pada subjek perempuan maupun laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikannya, diketahui bahwa tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan antara subjek yang berpendidikan tinggi dan rendah berbeda nyata (p < 0.05) serta berbanding terbalik. Hal ini diduga karena penggunaan temulawak untuk kesehatan yang lebih banyak didasarkan pada kepercayaan dan informasi yang diperoleh secara turun temurun sehingga pengetahuan mengenai manfaat kesehatannya akan lebih banyak diketahui oleh kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin, yaitu kelompok masyarakt berpendidikan rendah. Proses pembuatan minuman instan temulawak terbagi menjadi dua yaitu proses pembuatan ekstrak kering temulawak menggunakan spray dryer dan pembuatan minuman instan temulawak dengan metode dry mixing atau pencampuran kering. Komposisi minuman serbuk temulawak instan untuk setiap sachet/kemasan per kali minum terdiri atas tepung ekstrak kering temulawak (0.4 g), maltodekstrin (2 g), garam (0.2 g), asam sitrat (0.6 g), gula tepung (10 g), dan sukralosa (0.043 g) sehingga total berat minuman instan temulawak per sachet adalah 13.24 g atau setara dengan 7.56 mg xanthorrhizol dan 2.8 mg curcumin. Intervensi 400 mg ekstrak temulawak yang dibuat dalam bentuk minuman instan temulawak selama 14 hari memberi peningkatan yang signifikan (p < 0.05) terhadap persentase sel T/CD3 dan sel CD4 sebagai bagian dari sistem imun spesifik yang bekerja di tingkat seluler. Peningkatan persentase sel T dan sel CD4 diduga karena pengaruh dari kurkumin dan xanthorrhizol yang terkandung dalam minuman instan temulawak yang menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB sehingga proliferasi dan diferensiasi sel-sel sistem imun meningkat. Selain itu hasil uji klinis menunjukkan ada penurunan jumlah dan persentase sel CD8+, sel B/CD19+, dan sel NK/CD16+56+. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah subset sel tersebut yang sejak awal (sebelum intervensi) sudah tinggi serta kebiasaan konsumsi pangan dan aktivitas yang menunjang sistem imun yang tidak sepenuhnya terkontrol, khususnya sebelum kegiatan intervensi dilaksanakan.
vi
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin dari IPB
vii
PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN UJI KLINIS MINUMAN INSTAN TEMULAWAK TERHADAP LIMFOSIT T, B, DAN SEL NK PADA OBESITAS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Oleh: MUHAMMAD ARIES I 151090011
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
ix
Judul Penelitian
: Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas
Nama
: Muhammad Aries
NIM
: I151090011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Ketua
dr. Mira Dewi, S.Ked, MSi Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD.
Dr. Ir. Dahrulsyah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 31 Januari 2012
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) serta Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dari lubuk hati yang paling dalam penulis mennyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan dr. Mira Dewi, S.Ked, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan serta senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk tetap istiqomah dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen penguji luar komisi atas beragam saran konstruktif dan perbaikan yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS (Dekan FEMA Periode Tahun 2005-2009) dan Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS (Ketua Departemen Gizi Masyarakat Periode Tahun 2005-2009), dan Dr. Ir. Drajat Martianto, MS (Pembimbing S1) yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Gizi Masyarakat di IPB. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Koordinator Program Pascasarjana Gizi Masyarakat, para dosen dan seluruh staf yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama menempuh pendidikan sehingga semua dapat terlaksana dengan baik. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Cesilia M Dwiriani, MSc, dr. Mira Dewi, S.Ked, Msi, dan Ir. M. Januwati, MS selaku tim peneliti Hibah KKP3T berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes yang telah mengijinkan penulis
xi
dalam menggunakan sebagian data penelitian tersebut untuk digunakan dalam penelitian ini. Pada penelitian tersebut, penulis terlibat sebagai asisten peneliti yang berperan dalam proses pembuatan produk sampai dengan analisis data. Berikutnya penulis menyampaikan teriam kasih kepada Bapak/Ibu pegawai IPB yang telah bersedia terlibat selama kegiatan pengambilan data penelitian, baik yang berupa survei maupun uji klinis dalam penelitian ini dan juga kepada Bapak Mashudi serta segenap laboran di Laboratorium Analisis Makanan Departemen Gizi Masyarakat, Laboratorium Pilot Plan, FATETA IPB, dan Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik yang/Balitro KEMENTAN telah memfasilitasi kegiatan penelitian khususnya selama pengembangan produk minuman instan temulawak. Tidak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada temanteman seangkatan pada Program Magister Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana - IPB angkatan 2009 atas semangat kebersamaan, persahabatan, dan dukungannya selama menempuh pendidikan di Program Magister Gizi Masyarakat, SPS – IPB dan juga teman-teman Program Magister Gizi Masyarakat, SPS – IPB serta Program Doktor Gizi Manusia, SPS - IPB angkatan 2010 dan 2011 atas semangat kebersamaan, persahabatan, dan dukungannya terutama pada pelaksanaan kolokium, seminar hasil hingga sidang. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan secara tulus dan mendalam khususnya kepada istri tercinta Reisi Nurdiani serta kedua orang tua yang selalu saya hormati dan banggakan Bapak Iing Sulaeman dan Ibu Juwaeriyah, serta adik tersayang Tuti Amaliah atas segala dukungan doa dan kasih sayang yang telah tercurahkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2012 Muhammad Aries
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Cirebon tanggal 18 Desember 1984 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Iing Sulaeman dan Ibu Juwaeriyah. Masa pendidikan dasar hingga menengah atas dilalui di kota Cirebon. Pendidikan dasar diperoleh pada SDN Kanggraksan III periode 1990 - 1996 dan dilanjutkan di SMPN 6 Cirebon periode 1996 - 1999. Penulis menamatkan pendidikan menengah atasnya pada tahun 2002 dari SMUN 2 Cirebon. Kemudian di tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian - Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2006 dengan judul skripsi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk pada Balita di Berbagai Propinsi di Indonesia beserta Biaya Penanggulangannya melalui Program Pemberian Makanan Tambahan. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studinya di Program Magister (S2) Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB. Setelah lulus S1, penulis bekerja di Departemen Gizi Masyarakat, FEMAIPB sebagai asisten dosen. Selain itu penulis juga bekerja sebagai Anggota Redaksi Pelaksana Jurnal Gizi dan Pangan yang diterbitkan oleh Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB bekerjasama dengan PERGIZI PANGAN Indonesia. Penulis juga pernah terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian sebagai asisten lapang maupun asisten peneliti. Berbagai kegiatan penelitian tersebut antara lain Feeding Program for Student, penelitian mengenai Persepsi Masyarakat terhadap Produk Rekayasa Genetika (PRG) dan Implikasinya terhadap Kebijakan Ketahanan Pangan, Studi Hidrasi di Wilayah Ekologi yang Berbeda di Indonesia, dan yang terbaru adalah Studi Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..............................................................................................
i
DAFTAR TABEL .......................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
v
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................
1
Tujuan ...............................................................................................
3
Hipotesis ...........................................................................................
4
Kegunaan Penelitian ..........................................................................
4
Lingkup dan Tahapan Kegiatan ........................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) ....................................
5
Kandungan gizi dan manfaat kesehatan temulawak ..................
6
Kadar kurkumin .........................................................................
7
Kadar xanthorrhizol ...................................................................
8
Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan Tradisional .................
9
Pengetahuan ......................................................................................
11
Pengetahuan dan preferensi terhadap temulawak ......................
12
Minuman Serbuk Temulawak/Temulawak Instan ............................
13
Proses pembuatan minuman serbuk temulawak ........................
14
Status gizi dan imunitas ....................................................................
16
Sel T (CD3) serta subset CD4/Th, CD8/Tc, dan Tr ...................
18
+
Sel B (CD19 ) ............................................................................ +
+
21
Sel NK (CD16 56 ) ...................................................................
22
Fungsi imun dan obesitas ............................................................
23
KERANGKA PEMIKIRAN ................ .....................................................
26
METODE ................ ...................................................................................
28
Cakupan Kegiatan .............................................................................
28
Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak ........................................................................................
29
Pengembangan Minuman Instan Temulawak ...................................
31
ii
Uji Klinis Pemberian Minuman Instan Temulawak ..........................
35
Definisi Operasional ..........................................................................
39
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
41
Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak ........................................................................................
41
Karakteristik subjek survei pengetahuan ...................................
41
Pengalaman mengonsumsi temulawak ......................................
42
Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak ......................
47
Pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan kepercayaan ................................................................................
48
Pengembangan Minuman Serbuk Instan Temulawak ......................
52
Pengembangan ekstrak temulawak dan analisis mutu ...............
52
Formulasi minuman serbuk temulawak .....................................
54
Uji organoleptik panelis umum ..................................................
56
Uji organoleptik panelis terbatas ...............................................
63
Uji Klinis Minuman Instan Temulawak ...........................................
64
Pelaksanaan uji klinis .................................................................
64
Karakteristik subjek uji klinis ....................................................
66
Jumlah total sel limfosit sebelum dan setelah intervensi ...........
67
Jumlah dan persentase sel T serta subsetnya sebelum dan setelah intervensi .......................................................................
69
Jumlah dan persentase sel B sebelum dan setelah intervensi ....
76
Jumlah dan persentase sel NK sebelum dan setelah intervensi ..
79
Generalisasi Penelitian ......................................................................
83
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
85
Kesimpulan .......................................................................................
85
Saran .................................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
87
LAMPIRAN ...............................................................................................
95
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Syarat mutu minuman serbuk tradisional...........................................
2.
Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes
14
dibandingkan dengan subjek non obes ..............................................
25
3.
Jenis dan cara pengumpulan data ......................................................
28
4.
Karakteristik subjek survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak .........................................................................................
42
5.
Sebaran subjek berdasarkan pengalaman mengonsumsi temulawak .
44
6.
Sebaran subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin ............
45
7.
Sebaran subjek berdasarkan harapan terhadap pengembangan produk baru berbahan baku temulawak ............................................
8.
Subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan dan sumber informasinya .................................................
9.
50
Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan tingkat pendidikan .........................................................
12.
50
Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan jenis kelamin ..................................................................
11.
47
Sebaran subjek yang mampu menjawab benar beberapa aspek manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan ...
10.
46
51
Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan rutinitas mengonsumsi temulawak ................................
52
13.
Karakteristik simplisia dan ekstrak kering temulawak .....................
54
14.
Komposisi formula minuman instan temulawak ...............................
56
15.
Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman serbuk temulawak ..........................................................................................
66
16.
Sebaran subjek uji klinis berdasarkan kelompok umur .....................
66
17.
Sebaran subjek uji klinis berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) .....................................
67
Jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi ........
68
19. Jumlah dan persentase sel T subjek sebelum dan setelah intervensi .
71
20.
Jumlah dan persentase sel CD4 subjek sebelum dan setelah intervensi
73
21.
Jumlah dan persentase sel CD8 subjek sebelum dan setelah intervensi
75
18.
22. Jumlah dan persentase sel B subjek sebelum dan setelah intervensi .
78
23.
81
Jumlah dan persentase sel NK subjek sebelum dan setelah intervensi
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b)..........................
5
2.
Rumus bangun kurkumin ....................................................................
7
3.
Rumus bangun xanthorrhizol ..............................................................
8
4. Skema sistem imun adaptif dan non adaptif .......................................
17
5.
Kerangka pemikiran ............................................................................
27
6. Kerangka pengambilan subjek ............................................................
26
7.
Diagram alir pembuatan serbuk temulawak ........................................
32
8. Bagan pelaksanaan uji klinis ...............................................................
37
9.
Persen penerimaan terhadap warna produk hasil organoleptik dengan panelis umum ......................................................................................
57
10. Persen penerimaan terhadap aroma produk hasil organoleptik dengan panelis umum ......................................................................................
58
11. Persen penerimaan terhadap rasa produk hasil organoleptik dengan panelis umum ......................................................................................
59
12. Persen penerimaan terhadap kekentalan produk hasil organoleptik Panelis umum ......................................................................................
61
13. Persen penerimaan terhadap penampilan keseluruhan produk hasil organoleptik dengan panelis umum ....................................................
61
14. Penilaian mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, kekentalan, dan rasa minuman serbuk temulawak .................................................
62
15. Persen penerimaan produk hasil organoleptik dengan panelis terbatas ................................................................................................
63
16. Minuman instan temulawak dengan formula terpilih .........................
63
17. Sebaran jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah ............
68
18. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel T (b) sebelum dan setelah intervensi .............................................................................................
70
19. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD4 (b) sebelum dan setelah intervensi .............................................................................................
72
20. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD8 (b) sebelum dan setelah intervensi .............................................................................................
74
21. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel B (b) sebelum dan setelah intervensi .............................................................................................
77
22. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel NK (b) sebelum dan setelah intervensi .............................................................................................
80
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Kuesioner pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak .........
96
2.
Formulir uji organoleptik produk minuman serbuk temulawak .........
97
3.
Contoh lembar hasil analisis limfosit ..................................................
99
4.
Berbagai hasil pengolahan data dengan perangkat lunak SPSS 13.00 for windows .........................................................................................
102
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Di Indonesia, penggunaan utama tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) selain sebagai bumbu masak juga sebagai bahan pengobatan tradisional. Berbagai manfaat kesehatan temulawak yang telah dikenal dalam pengobatan tradisional diantaranya untuk
mengobati
sakit
perut,
sakit
hati/penyakit kuning, obat malaria, penyakit ginjal (Sumiaty 1997), obat habis bersalin (Sumiaty 1997; Kuntorini 2005), penyakit kulit, dan peradangan dalam perut atau kulit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Berbagai khasiat obat temulawak ini bahkan telah dikenal sampai ke Eropa, terutama di Jerman dan Belanda (Herman 1985) dan dalam pengobatan modern bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985). Penggunaan temulawak untuk tujuan pengobatan dan untuk menjaga kesehatan menyebabkan makin banyaknya produk berbahan temulawak yang telah beredar di pasaran meskipun klaim manfaat kesehatan masih banyak yang belum didukung data klinis, terutama yang terkait dengan sistem imun. Lebih jauh lagi, formulasi yang tepat terkait dosis dan mutu bahan aktif pada produk juga belum terstandar. Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diketahui bahwa penyakit infeksi utama yang perlu mendapat perhatian tinggi di Indonesia adalah HIV/AIDS, malaria, dan TBC. Hasil RISKESDAS 2010 menunjukkan bahwa prevalensi Malaria 10.6%. Sementara itu diketahui pula bahwa prevalensi TBC di Indonesia pada tahun 2001 mencapai 26.4% (Cermin Dunia Kedokteran 2005) dan prevalensi HIV (hasil survei di 8 kota pada populasi kunci) pada laki-laki dewasa mencapai 0.75%. Angka ini tentunya akan lebih besar jika digabungkan dengan prevalensi pada populasi kunci lainnya (Depkes 2007 dalam Komisi Penanggulangan AIDS 2009). Penelitian Bercault et al. (2004) menunjukkan bahwa kasus infeksi akan berakibat fatal jika terjadi pada individu obesitas yang dirawat di unit perawatan kritis karena merupakan faktor resiko independen terjadinya mortalitas. Hasil penelitian tersebut perlu mendapat perhatian lebih karena prevalensi obesitas di Indonesia cenderung makin meningkat. Hasil Riset
2
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010 menunjukkan prevalensi overweight dan obesitas pada orang dewasa mengalami peningkatan yaitu dari 19.1% menjadi 21.7%. Obesitas pada orang dewasa di Indonesia mencapai 10.3% dengan rincian 13.9% pada laki-laki dan 23.8% pada perempuan (Balitbangkes 2008) sementara pada Riskesdas berikutnya diketahui bahwa prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu mencapai 11.7% dengan rincian 16.3% pada laki-laki dan pada perempuan menjadi 26.9%. Peningkatan prevalensi obesitas di Indonesia merupakan hal yang mengkhawatirkan karena berbagai hasil kajian menyatakan bahwa obesitas memiliki kaitan positif dengan kekerapan terhadap berbagai penyakit infeksi (Chung et al. 2007). Selain itu, keberadaan jaringan adiposit yang berlebih pada orang yang mengalami obesitas memiliki keterkaitan yang erat dengan terganggunya fungsi imun (Tanaka et al. 1993; Marti et al. 2001; Boynton et al. 2007). Walaupun sampai saat ini masih belum ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko untuk infeksi flu pandemik, namun penanganan medis pada kasus dengan obesitas harus lebih mewaspadai terjadinya komplikasi berat dan mortalitas, karena pada kasus fatal sampai yang menyebabkan kematian, ada proporsi obesitas yang cukup besar (WHO 2010). Hasil penelitian Huang et al. (1991) pada subjek mencit menunjukkan bahwa temulawak memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antiinflamasi, antikanker, penyembuh luka, dan menurunkan kadar kolesterol serum. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan hewan coba telah memberikan hasil yang lebih spesifik bahwa xanthorrhizol (salah satu bahan aktif dalam temulawak) memberikan manfaat dalam penekanan peradangan (Lee, Hong, Huh, Kim, Oh, Min et al. 2002; Kim Kim, Kim, Shim, dan Hwang. 2007). Hasil penelitian Lee et al. (2002) pada sel makrofag mencit (RAW 264.7) menunjukkan bahwa xanthorrhizol dari temulawak mampu menekan aktivitas cyclooxygenase (COX2) yang merupakan mediator penting dalam proses peradangan. Penelitian Kim et al. (2007) pada kultur sel RAW 264.7 juga menunjukkan bahwa ekstrak temulawak dapat menginduksi aktivitas sistem imun pada makrofag yang diperantarai secara spesifik oleh aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-kB), diduga xanthorrhizol juga berperan dalam mekanisme ini. Pada penelitian yang dilakukan
3
di Indonesia diketahui bahwa pemberian temulawak dapat meningkatkan respon imun pada ayam yang diberi vaksin flu burung (Kosim et al. 2007). Penelitian Damayanti (2008) dengan subjek mencit menunjukkan bahwa temulawak juga dapat digunakan meningkatkan daya tahan dan stamina tubuh. Walaupun secara empiris penggunaan tanaman obat termasuk temulawak terbukti bermanfaat bagi kesehatan, bukti-bukti ilmiah dan uji klinik tetap diperlukan sebelum dapat direkomendasikan sebagai obat. Terlebih pada manusia, data klinis mengenai efektivitas temulawak terhadap perbaikan sistem imun masih sangat terbatas. Selain itu peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai manfaat kesehatan dari bahan lokal, khususnya temulawak juga masih dipandang perlu sehingga pengembangan temulawak sebagai pangan fungsional maupun obat bisa semakin bervariasi. Saat ini produk pangan fungsional temulawak masih berupa berupa permen dan minuman ringan (Kurniawan 2002). Dengan memperhatikan berbagai fakta dan masalah di atas, maka kajian mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat pada temulawak yang dilanjutkan dengan pengembangan formula minuman instan temulawak serta uji klinisnya yang terkait dengan sistem imun menjadi penting. Uji klinis yang dilakukan adalah yang spesifik pada fungsi sistem imun dengan pengukuran populasi limfosit total, limfosit T (CD3), subset limfosit T (CD4 dan CD8), limfosit B (CD19), dan sel Natural Killer/NK. Adanya kajian tentang pengetahuan terhadap temulawak serta bukti ilmiah mengenai manfaat temulawak secara klinis akan memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan nilai temulawak sebagai pangan fungsional dan menjadi landasan penting dalam pengembangannya sebagai obat untuk penyakit yang terkait dengan penurunan fungsi imun. Tujuan Secara
umum,
tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
menganalisis
pengetahuan orang dewasa terhadap manfaat kesehatan minuman temulawak serta melakukan uji klinis mengenai efektivitas minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun. Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui tingkat pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak.
4
2. Mengembangkan produk minuman instan temulawak. 3. Menganalisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H0
: Pemberian minuman instan temulawak pada orang dewasa obes tidak akan meningkatkan populasi limfosit total.
H1
: Pemberian minuman instan temulawak pada orang dewasa obes akan meningkatkan populasi limfosit total. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran
mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap minuman temulawak. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat memberikan bukti ilmiah mengenai manfaat minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol terhadap fungsi sistem imun (peningkatan populasi limfosit) bagi orang dewasa obes sehingga akan semakin meningkatkan nilai temulawak baik sebagai pangan fungsional maupun sebagai obat, terutama yang berkaitan dengan peningkatan fungsi imun. Lingkup dan Tahapan Kegiatan Tahapan kegiatan selama proses penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penyiapan bahan baku, uji kandungan bahan aktif dalam ekstrak temulawak dan formulasi minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol. 2. Pengambilan data pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak pada orang dewasa. 3. Uji klinis efikasi ekstrak temulawak terhadap populasi lilmfosit pada orang dewasa obes.
5
TINJAUAN PUSTAKA Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan banyak tersebar di Pulau Jawa, Madura, Maluku, dan Kalimantan. Pada mulanya tanaman temulawak banyak tumbuh liar di hutan-hutan jati, di tanah kering, tegalan, maupun padang alang-alang, tetapi karena penggunaannya yang semakin meluas maka tanaman ini juga banyak dibudidayakan di kebun maupun pekarangan rumah yang dikenal dengan sebutan apotik hidup (Herman 1985; Hargono 1985). Bentuk tanaman dan rimpang temulawak dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Sumber: balittro.litbang.deptan.go.id
(a)
(b)
Gambar 1 Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b) Klasifikasi tanaman temulawak adalah sebagai berikut Kingdom
: Plantae
Ordo
: Zingiberales
Divisi
: Spermatophyta
Famili
: Zingiberaceae
Sub Divisi
: Angiospermae
Genus
: Curcuma
Kelas
: Monocotyledonae
Species
: Curcuma xanthorrhiza Roxb
6
Bagian tanaman temulawak yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian umbi batang. Umbi batang ini dinamakan juga rimpang atau umbi akar. Bagian pinggir penampangnya berwarna kuning muda, sedangkan bagian tengahnya berwarna kuning tua, memiliki aroma tajam dan rasa yang pahit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Bagian rimpang ini biasanya dipanen setelah berumur 8 – 12 bulan (Herman 1985). Kandungan Gizi dan Manfaat Kesehatan Temulawak Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%. Selain itu rimpang temulawak juga mengandung minyak atsiri (volatil oil), lemak (fixed oil), zat warna/pigmen, protein, resin, selulosa, pentosan, pati, mineral, zat-zat penyebab rasa pahit dan sebagainya. Kandungan berbagai komponen tersebut sangat tergantung pada umur rimpang pada saat dipanen dan jika dibandingkan dengan jenis curcuma yang lain maka temulawak memiliki kandungan minyak atsiri yang tinggi (Herman 1985). Kataren (1988) dalam Sumiaty (1997) menyebutkan bahwa komposisi rimpang kering temulawak (dengan kadar air 10%) terdiri atas pati (58.24%), lemak (12.10%), kurkumin (1.55%), serat kasar (4.20%), abu (4.90%), protein (2.90%), mineral (4.29%), dan minyak atsiri (4.90%). Bagi sebagian rakyat Indonesia, selain sebagai bumbu masak rimpang temulawak juga telah lama dikenal sebagai obat tradisional yang diantaranya bermanfaat untuk mengobati sakit perut, sakit hati, demam, sembelit (Dharma 1985 dalam Sumiaty 1997), perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin (Iftichori 1975 dalam Sumiaty 1997), obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal (Maradjo dan Widodo 1991), dan obat sakit maag (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Dalam pengobatan modern, bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985). Dalam dunia fitoterapi, temulawak dikelompokkan sebagai adaptogen, yaitu bahan tidak berbahaya, yang dapat mendorong peningkatan resistensi melawan racun atau yang dapat mempengaruhi secara fisik, kimia, dan biologi.
7
Secara umum dapat dikatakan bahwa temulawak mempunyai efek menormalkan fungsi jaringan yang terganggu. Temulawak selain dimanfaatkan sebagai obat juga dapat dijadikan produk minuman fungsional (memiliki manfaat kesehatan). Sebagai minuman temulawak dapat dibuat menjadi sirup, minuman berkarbonat, minuman nonkarbonat atau bahkan minuman instan. Secara singkat minuman instan temulawak dibuat dari tepung temulawak (hasil pengeringan minyak atsiri dengan spray dryer), yang ditambah dengan gula tepung, garam, bahan pengisi (maltodekstrin), dan asam sitrat. Minuman instan ini jika dilarutkan dalam satu gelas air akan menjadi minuman temulawak yang berwarna kuning jernih dengan cita rasa asam manis dan sedikit agak pahit. Minuman ini serupa dengan minuman sari temulawak yang ada di negara-negara Eropa (Soeseno 1986 dalam Sumiaty 1997). Kadar Kurkumin Menurut Sinambela (1985) dalam Karyadi (1993), komposisi rimpang temulawak dapat dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu fraksi zat warna dan minyak atsiri. Warna kekuningan dari temulawak disebabkan oleh adanya kurkumin (C25H32O6) yang memiliki rumus bangun seperti pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2 Rumus bangun kurkumin Kurkuminoid merupakan zat pigmen yang menyebabkan temulawak memiliki warna kuning. Selain pemberi warna, kurkuminoid juga merupakan salah satu komponen temulawak yang memberikan khasiat farmakologis seperti zat antiinflamasi dan memiliki aktivitas hipokolesterolemik. Sidik et al. (1995) menjelaskan bahwa kurkuminoid dalam temulawak terdiri atas kurkumin dan desmetoksikurkumin. Jumlah kurkumin dalam kurkuminoid temulawak ada lebih banyak dibandingkan dengan jumlah desmetoksikurkumin dengan perbandingan
8
kurkumin mencapai 71% dan desmetoksikurkumin 29%. Kurkuminoid bersifat larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida serta tidak dapat larut dalam air dan dietil eter sehingga ekstraksi oleoresin temulawak menggunakan pelarut etanol (Yulianti 2010). Kadar xanthorrhizol Identifikasi komponen minyak atsiri yang terdapat dalam oleoresin temulawak dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas. Menurut Gritter et al. (1991) dalam Yulianti (2010), kromatografi gas merupakan metode yang cepat dan tepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Komponen campuran dapat diketahui dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Menurut Kim (2007) salah satu komponen minyak atsiri temulawak yang berperan penting dalam memberikan efek farmakologis adalah xanthorrhizol (C15H22O) yang memiliki rumus bangun seperti pada Gambar 3. Hal ini selaras dengan pernyataan Taryono et al. (1987) yang menyatakan bahwa gabungan senyawa kurkumin dan xanthorrhizol diduga sebagai penyebab berkhasiatnya temulawak. Senyawa ini menurut Maiwald dan Schawantes (1992) dalam Sidik et al. (1995) digolongkan sebagai senyawa sesquiterpen. Komponen lain dalam minyak temulawak yang juga termasuk sesquiterpen adalah α-kurkumin, βkurkumin, 1-sikloisopren-mirsen, zingiberen, turunan bisabolen, epoksidbisakuron, bisakuron A, bisakuron B, dan bisakuron C.
Gambar 3 Rumus bangun xanthorrhizol Kadar xanthorrhizol dalam bahan volatil pada oleoresin temulawak ditunjukkan dengan persentase luas area senyawa xanthorrhizol komparatif terhadap persentase luas area senyawa lainnya yang mudah menguap dalam oleoresin temulawak. Berdasarkan kromatogram hasil analisis gas kromatografi dapat diketahui bahwa persentase luas area xanthorrhizol komparatif terhadap
9
bahan yang mudah menguap dalam oleoresin temulawak berkisar antara 1.26 – 42.82%. Persentase luas area xanthorrhizol tertinggi ada pada oleoresin dengan suhu ekstraksi 30oC dan perbandingan antara bahan dengan pelarut 1 : 6 (Yulianti 2010). Hasil penelitian Yulianti (2010) menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekstraksi mengakibatkan penurunan persentase luas area xanthorrhizol. Hal ini selaras dengan hasil analisis keragaman terhadap persentase luas area xanthorrhizol yang memberikan informasi bahwa faktor suhu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap persentase luas area xanthorrhizol, sedangkan perbandingan baku – pelarut tidak memiliki pengaruh nyata pada persentase luas area xanthorrhizol. Xanthorrhizol yang merupakan salah satu komponen minyak atsiri temulawak memiliki sifat sensitif terhadap panas dan cahaya. Peningkatan suhu proses untuk memperoleh minyak atsiri akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen minyak atsiri tersebut sehingga peningkatan suhu ekstraksi oleoresin juga akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen xanthorrhizol. Selain itu penyimpanan minyak atsiri yang mengandung xanthorrhizol juga harus menggunakan wadah yang kedap cahaya untuk meminimalkan kerusakan xanthorrhizol yang ada di dalamnya. Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan Tradisional Di antara sekian banyak tumbuhan yang terdapat di Indonesia, temulawak merupakan tumbuhan yang banyak digunakan untuk obat atau bahan obat, hingga dapat dikatakan temulawak merupakan primadona tumbuhan obat Indonesia. Temulawak merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Temulawak dalam obat tradisional Indonesia digunakan sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu komponen dari suatu ramuan. Dalam konteks penggunaan tradisional, temulawak digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit tertentu, atau juga digunakan sebagai penguat daya tahan tubuh. Di Aceh, temulawak dikenal dengan nama kunyit ketumbu, rimpangnya digunakan dalam ramuan untuk penambah darah, atau untuk mengatasi malaria. Masyarakat etnis Sakai di Bengkalis, Riau, menggunakan rimpang temulawak
10
untuk penambah nafsu makan, sedangkan masyarakat Sunda menggunakan rimpang temulawak untuk mengobati sakit kuning dan mengatasi gangguan perut kembung. Selain oleh masyarakat Sunda, rimpang temulawak juga digunakan dalam ramuan sebagai obat penyakit kuning oleh masyarakat etnis Jawa, yang juga menggunakan rimpang temulawak tunggal sebagai obat mencret. Masyarakat etnis Bali menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi gangguan lambung perih dan kembung, sedangkan masyarakat etnis Madura menggunakan rimpang temulawak sebagai obat keputihan. Komunitas penggemar jamu gendong menggunakan rebusan rimpang temulawak sebagai penguat daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Moelyono 2007). Temulawak selain sering dimanfaatkan untuk jamu dan obat juga bermanfaat sebagai sumber karbohidrat dengan cara mengambil patinya, pati ini kemudian diolah untuk dibuat menjadi bubur makanan bayi atau untuk orangorang yang sedang mengalami gangguan pencernaan. Karena kandungan temulawak juga mengandung senyawa yang beracun, bisa dimanfaatkan untu mengusir nyamuk (Anonim 2011). Sebagai primadona obat herbal Indonesia, penggunaan temulawak mengalami perkembangan dalam penggunaannya, dimulai dari sediaan obat tradisional, melalui sediaan obat herbal terstandar, akhirnya menjadi sediaan fitofarmaka. Perkembangan penggunaan juga diikuti oleh perkembangan bentuk sediaan, dari bentuk sediaan tradisional seperti jamu rebusan, jamu seduh, atau bentuk lain menjadi sediaan berbentuk kapsul, kaplet, hingga bentuk sediaan sirup atau suspensi. Pengembangan bentuk dan penggunaan ini merupakan tuntutan pengguna yang menginginkan kepastian keamanan dan khasiat, serta bentuk yang menarik, praktis, dan stabil. Persyaratan jaminan kualitas dari sediaan fitofarmaka yang mengandung ekstrak temulawak dapat dipenuhi karena kandungan kimia aktif yang terkandung dalam ekstrak temulawak telah dikenal baik, yaitu kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bidesmetoksikurkumin, serta kandungan minyak atsiri dengan komponen xanthorhizol sebagai senyawa penandanya (Moelyono 2007).
11
Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu yang didapatkan oleh individu baik melalui proses belajar, pengalaman, atau media elektronik yang kemudian disimpan dalam diri individu. Aziz (1995) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan segala informasi dan kebijaksanaan dari dunia sekitar yang disertai dengan pemahaman pada informasi yang diterima pada suatu objek, karena tanpa adanya unsur pemahaman, maka seseorang belum dapat dikatakan berpengetahuan. Pengetahuan atau knowledge adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengungkapkan atau mengingat kembali pengalaman, konsep, berbagai prinsip materi, dan kejadian pada hal-hal yang umum maupun khusus. Pendapat lain mengatakan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui seseorang dari hasil belajar atau pengalaman tertentu. Pengetahuan merupakan hasil belajar sebagai aktifitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, serta diperoleh melalui pengalaman. Menurut Notoatmojo (1995) dalam Artanti (2009), pengetahuan adalah hasil dari proses belajar dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Para ahli psikologi kognitif membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) dan pengetahuan prosedur (procedural knowledge). Pengetahuan deklaratif adalah fakta atau subjektif yang diketahui seseorang, sedangkan pengetahuan prosedur adalah pengetauan mengenai bagaimana fakta-fakta tersebut digunakan (Sumarwan 2003). Secara sederhana pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam berbagai pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala/peristiwa baik yang bersifat alamiah, sosial, maupun perorangan (Gie 1991). Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Dengan pengetahuan manusia mempunyai wawasan dan gambaran dari berbagai objek yang ditelitinya. Untuk bisa mendapatkan pengetahuan, manusia perlu mengetahui sesuatu hal tentang apa yang ingin diketahui dari hasil pengamatan secara berulang-ulang sampai mendapatkan kesimpulan.
12
Sumarwan (2003) mengungkapkan, bahwa pengetahuan yang baik mengenai suatu produk dapat mendorong konsumen untuk menyukai produk tersebut. Dengan demikian, sikap positif terhadap suatu produk dapat mencerminkan pengetahuan konsumen mengenai produk tersebut. Pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengerti suatu pesan, membantu mengganti logika yang salah, dan menghindarkannya dari berbagai persepsi yang tidak tepat. Dalam teori perilaku konsumen, pengetahuan dan persepsi seseorang merupakan dua hal yang penting diperhatikan bahkan dijadikan sasaran perubahan untuk tujuan pemasaran, demikian pula dalam psikologi untuk tujuan terapi (Belch & Belch 1995 dalam Artanti 2009). Pengetahuan dan preferensi terhadap temulawak Temulawak dikenal luas oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dengan penggunaan utama sebagai bumbu masak dan bahan pengobatan tradisional. Hasil penelitian Kuntorini (2005) menyebutkan bahwa di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, temulawak merupakan tanaman obat tradisional yang penting dengan kegunaan untuk mengobati penyakit dalam dan menetralkan darah. Sumber pengetahuan masyarakat di wilayah penelitian inipun sebagian besar diperoleh dari turun-temurun. Berbagai manfaat kesehatan temulawak lainnya yang telah dikenal dalam pengobatan tradisional masyarakat Indonesia diantaranya untuk mengobati sakit perut, sakit hati, demam, sembelit, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal (Sumiaty 1997), menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin (Sumiaty 1997; Kuntorini 2005), obat sakit maag, melancarkan saluran pencernaan, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, dan peradangan dalam perut atau kulit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Berbagai khasiat obat temulawak ini bahkan telah dikenal sampai ke Eropa, terutama di Jerman dan Belanda (Herman 1985) dan dalam pengobatan modern bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985). Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) menyatakan bahwa proses keputusan pemilihan suatu produk melalui kegiatan pembelian dimulai dengan
13
pengenalan kebutuhan yang didefinisikan sebagai suatu persepsi atas perbedaan antara keadaan yang diinginkan dengan situasi aktual yang memadai untuk menggugah dan mengaktifkan proses kebutuhan. Berdasarkan hasil penelitian Kurniawan (2002) diketahui bahwa preferensi konsumen dalam membeli dan mengonsumsi produk minuman temulawak diantaranya dipengaruhi oleh pengetahuan tentang manfaat temulawak, meskipun yang menjadi pertimbangan utama adalah harga. Penerimaan atau preferensi konsumen dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat sensori pada makanan seperti rasa, aroma, tekstur dan penampakan. Hal yang sama juga berlaku terhadap minuman instan temulawak. Sifat-sifat sensori pada makanan akan diproses dalam otak dengan dilatarbelakangi oleh faktor kultur/etnis, psikososial, pembelajaran dan daya ingat, ketahanan tubuh dan lainlain (Cardello 1994 dalam Hendarini 2011). Perbedaaan psikologi diantara individu seperti kepribadian juga berpengaruh terhadap preferensi makanan, contohnya adalah mood dan slepness (Shepherd & Spark 1994 dalam Hendarini 2011). Minuman Serbuk Temulawak/Temulawak Instan Temulawak instan merupakan sari temulawak yang mengandung komponen temulawak-temulawak baik yang menguap (minyak atsiri) maupun komponen yang tidak menguap (resin, pigmen, dan lainnya) dengan ditambah bahan pengisi seperti dekstrin dan gum arab (Suryati 1985).
Minuman serbuk temulawak termasuk dalam kelompok minuman serbuk
tradisional
dan
dalam SNI
01-4320-1996
minuman
serbuk
tradisional
didefinisikan sebagai produk bahan minuman berbentuk serbuk atau granula yang dibuat dari campuran gula dan rempah-rempah dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Pada SNI tersebut dinyatakan bahwa sakarin dan siklamat merupakan pemanis buatan yang penggunaannya tidak diperbolehkan tetapi berdasarkan SNI 01-6993-2004 tentang bahan tambahan pangan pemanis buatan dalam produk pangan dinyatakan bahwa siklamat dan sakarin diperbolehkan penggunaannya dalam jumlah terbatas. Jumlah maksimum untuk sakarin dan siklamat yang diperbolehkan dalam
14
minuman non-karbonasi berdasarkan SNI 01-6993-2004 berturut-turut adalah sebanyak 500 mg/kg berat bahan dan 1000 mg/kg berat bahan. Berdasarkan berbagai keterangan dalam SNI tersebut, maka syarat mutu minuman serbuk tradisional adalah sebagai berikut: Tabel 1 Syarat mutu minuman serbuk tradisional No. 1. 1.1. 1.2. 1.3. 2. 3. 4. 5. 5.1. 5.2. 6. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. 7. 8. 8.1. 8.2.
Kriteria Uji Keadaan Warna Bau Rasa Air, b/b Abu, b/b Jumlah gula (dihitung sebagai sakarosa) b/b Bahan tambahan makanan Pemanis buatan - Sakarin - Siklamat Pewarna tambahan Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total Coliform
Satuan
Persyaratan
Sumber
% % %
Normal Normal, khas rempah-rempah Normal, khas rempah-rempah Maks 3.0 Maks 1.5 Maks 85.0
SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996
mg/kg mg/kg -
Maks. 500 Maks. 1000 Sesuai SNI 01-0222-1995
SNI 01-6993-2004 SNI 01-6993-2004 SNI 01-0222-1995
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 0.2 Maks 2.0 Maks 50 Maks 40.0 Maks 0.1
SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996
-
Koloni/gr 3 x 103 APM/gr < 3
SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996
Proses pembuatan minuman serbuk temulawak Tahapan yang harus diperhatikan dalam pembuatan temulawak instan adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi, proses pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian sebagai tahap penyelesaian (Sabel & Warren 1973 dalam Suwiah 1991) Perlakuan pendahuluan untuk rimpang temulawak adalah dengan cara pengecilan ukuran bahan dan pengeringan. Proses pengeringan akan mempercepat proses ekstraksi dan memperbaiki mutu minyak, akan tetapi selama pengeringan kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena proses penguapan dan oksidasi (Ketaren 1985). Ada dua cara ekstraksi untuk mengekstrak sari temulawak, yaitu ekstraksi dengan cara soxhlet dan cara perkolasi dengan atau tanpa pemanasan. Cara perkolasi pada prinsipnya adalah menambahkan pelarut pada bahan yang akan
15
diekstrak dengan perbandingan tertentu kemudian diaduk dengan magnetic stirer atau mixer (Sabel & Warren 1973 dalam Suwiah 1991). Beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk proses ektraksi oleoresin adalah aseton, metanol, haksana, etil alkohol, isopropil alkohol, dan etilen diklorida. Hasil penelitian Ria (1989) menunjukkan bahwa pelarut organik yang mempunyai gugus hidroksil dan karbonil, yaitu etanol dan aseton ternyata mampu melarutkan oleoresin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pelarut hidrokarbon (heksana). Penyaringan sebagai proses pemisahan benda padat dengan larutan atau gas melalui media yang berlubang, yang akan menahan benda padat tapi mengalirkan cairan. Faktor yang mempengaruhi tingkat penyaringan adalah luas dari medium filter, tekanan dari “cake filter” dan filter, kekentalan filtrat dan perbedaan tekanan antar filter. Pemilihan media penyaring tergantung dari tujuan penyaringan dan jumlah yang akan disaring. Sifat-sifat dari medium penyaring yang baik, yaitu kecilnya tahanan terhadap aliran cairan filtrat, kemampuannya untuk menjembatani zat padat pada lubang-lubangnya setelah mulai dimasukkan, tidak boleh ada reaksi kimia dengan campuran yang akan disaring, cukup kuat untuk menahan tekanan penyaringan dan mekanis, harus mempunyai daya serap kecil terhadap bahan yang larut dan permukaan filter harus halus untuk memudahkan membuang ampas (Suwiah 1991). Pengering semprot (spray dryer) digunakan untuk mengeringkan bahan yang berbentuk larutan dengan viskositas tinggi. Larutan tersebut dilewatkan melalui lubang kecil (nozzle) dan disemprotkan ke dalam ruang pengering. Penyemprotan bahan juga dapat dilakukan melalui cairan yang berputar dengan kecepatan tinggi dimana zat cair akan menguap dengan cepat karena permukaannya terpapar langsung dengan udara kering bersuhu tinggi. Dalam ruang pengering ini dialirkan udara panas yang arah alirannya dapat dikondisikan agar searah maupun berlawanan dengan arah jatuhnya bahan. Pemindahan panas berlangsung cepat karena luasnya permukaan bahan sehingga larutan langsung kering dalam waktu antara 1 sampai 10 detik. Tekanan semprot yang umum digunakan berkisar antara 125 – 350 kg/cm2. Ukuran garis tengah tepung yang
16
dihasilkan dari proses ini berkisar antara 10 – 200 mikron. Kadar air bahan hasil pengeringan antara 3 – 5% (Taib et al. 1988). Keuntungan menggunakan spray dryer dan bahan pengisi untuk kapsulasi flavor adalah bahan tidak volatil karena zat flavor diselubungi oleh suatu lapisan yang tidak bisa ditembus sehingga terlindung dari kehilangan karena penguapan dan perubahan oksidatif; bahan yang dihasilkan kering; tidak higroskopis; tidak menggumpal; bahan siap digabungkan ke dalam campuran makanan untuk membentuk dispersi flavor yang homogen; kekuatan flavor dan kualitasnya terjamin selama masa penyimpanan; saat bahan dicampur dengan air maka kapsul akan pecah dan mengeluarkan flavor (mudah larut dalam air dingin); ukuran partikel yang dihasilkan antara 10 – 200 mikron dengan mayoritas berbentuk bola yang berdiameter 50 mikron serta aktivitas air (aw) di bawah 0.2 – 0.3 (Heath & Pharm 1978 dalam Suwiah 1991). Proses lanjutan setelah terbentuk tepung ekstrak temulawak adalah pencampuran tepung ekstrak tersebut dengan menggunakan berbagai bahan pengisi dan perasa yang terdiri atas maltodekstrin, gula tepung, garam, sukralosa, dan asam sitrat. Penambahan gula tepung sebagai pemberi rasa manis akan memberikan sumbangan energi, oleh karena itu perlu ditambahkan pemanis buatan (sukralosa) sehingga minuman instan temulawak yang dihasilkan akan tetap memiliki rasa yang dapat diterima tetapi juga dapat diklaim rendah energi. Berdasarkan SNI 01-6993-2004 dan Komisi Regulasi Uni Eropa/Commission Regulation EU (2006) diketahui bahwa suatu produk dapat diklaim sebagai produk rendah energi jika total energinya maksimal hanya 40 kkal per takaran saji. Status Gizi dan Imunitas
Sistem kekebalan tubuh berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi
berbagai agen (bakteri, virus, jamur, dan parasit) yang ada di lingkungan. Mekanisme pertahanan pada sistem ini meliputi pemusnahan mikroorganisme yang berhasil memasuki tubuh, sedangkan mekanisme homeostatisnya meliputi pemusnahan berbagai sel yang rusak. Mekanisme pengawasan berfungsi mendeteksi dan menghancurkan sel yang termutasi, atau menunjukkan tanda-
17
tanda yang tidak normal karena terinfeksi oleh virus atau mikroorganisme lain (Zakaria 1996 dalam Rusilanti 2006). Sistem pertahanan tubuh terdiri dari berbagai mekanisme yang secara garis besar dapat dibagi dua yaitu kekebalan adaptif (adaptive immunity) dan kekebalan non adaptive (innate immunity) (Harlow dan Lane 1999 dalam Rusilanti 2006; Baratawidjaja dan Rengganis 2009). Kekebalan non adaptif diperantarai oleh sel yang merespon terhadap molekul asing secara tidak spesifik dan termasuk di dalamnya sistem fagositosis oleh makrofag, sekresi lisozime, dan sel lisis oleh sel NK (natural killer). Kekebalan non spesifik tidak berkembang atau bertambah kuat dengan meningkatnya paparan terhadap molekul asing secara berulang kali. Kekebalan adaptif/spesifik ditujukan untuk melawan molekul asing yang spesifik dan akan bertambah kuat dengan terjadinya paparan yang berulang kali. Kekebalan spesifik/adaptif diperantarai oleh sel-sel limfosit yang dapat mensintesis reseptor permukaan sel atau mensekresikan protein yang dapat berikatan secara spesifik dengan molekul asing. Protein yang disekresikan ini dikenal dengan nama antibodi. Molekul asing yang dapat berikatan dengan antibodi disebut antigen. Gambar 4 berikut memberi penjelasan secara skematik sistem imun non spesifik (innate) dan spesifik (adaptif/acquired). Sel NK
Innate Polimorf
Adaptif
Komplemen Antibodi
Sitokin Sel B
Makrofag Sel T
Imunitas humoral
Imunitas seluler
Infeksi ekstraseluler
Infeksi intraseluler
Gambar 4 Skema sistem imun adaptif dan non adaptif Sumber: Roitt & Delves (2001)
Dalam sistem kekebalan spesifik, mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi
18
sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel imun yang sudah tersensitasi tersebut terpajan/terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat untuk kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik secara umum bekerjasama antara antibodi-komplemenfagosit dan antara sel T-makrofag (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Infeksi mikroorganisme dapat menyebabkan reaksi inflamasi pada tubuh. Dalam rangka menghancurkan benda asing atau mikroorganisme, tubuh akan mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat mikroorganisme yang masuk tersebut. Ada tiga pertahanan yang dilakukan oleh tubuh, yaitu: 1.
Penghalang pada permukaan seperti enzim dan mucus yang secara langsung bertindak sebagai antimikroba atau menghambat penempelan mikroba.
2.
Mikroba yang berhasil menembus lapisan ektoderm, maka yang akan menghadapi pertama kali adalah respon imun natural (innate immunity) yang meliputi sel-sel fagosit (neutrofil, monosit, dan maktofag) yang melepaskan media inflamasi (basofil, sel mast, dan eosinofil) dan sel natural killer (NK). Komponen molekuler yang terlibat dalam respon imun natural antara lain komplemen, protein fase akut, dan sitokin (protein yang berperan dalam inflamasi dan sebagai mediator utama komunikasi antar sel sistem imun).
3.
Pertahanan yang ketiga adalah respon imun dapatan (acquired immunity) yang meliputi proliferasi sel B dan T peka-antigen. Sel B mengeluarkan imunoglobulin dan sel T membantu sel B membuat antibodi dan juga membasmi patogen intraseluler dengan mengaktifkan makrofag. Respon imun natural dan dapatan bekerja bersama-sama untuk membunuh patogen (Roitt & Delves 2001).
Sel T (CD3) serta subset CD4/Th, CD8/Tc, dan Tr Limfosit terdiri atas sel T (Th, Tc, dan Tr), sel B, dan sel NK. Sel T berasal dari progenitor sel asal sumsum tulang yang bermigrasi ke timus dan berdirensiasi. Sel T atau disebut juga timosit yang belum matang dipersiapkan di dalam timus untuk memperoleh reseptor. Sel T ini memiliki antigen permukaan CD3 dan hanya dapat menjadi matang jika reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen) yang diikat oleh MHC (Mono
19
Histocompatability Complex) dan dipresentasikan APC (Antigen Presenting Cell) (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel timosit/CD3 untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal, Balasubramaniam, Quek, Gill, dan Nasuruddin (1995) adalah 2092 ± 905 sel/µL. Sel T yang berkembang penuh melewati dinding venul poskapilar, mencapai sirkulasi sistemik serta menempati organ limfoid perifer dan beberapa diantaranya disirkulasikan ulang. Sel T akan berdiferensiasi jika terpajan dengan antigen spesifik yang dipresentasikan APC dalam organ limfoid sekunder seperti limpa, kelenjar limfoid, dan MALT (Mucosal Associated Lymphoid Tissue). Kemampuan sel T matang untuk mengenal benda asing dimungkinkan oleh ekspresi molekul unik pada membrannya yang disebut TCR (T cell receptor) yang memiliki sifat diversitas, spesifisitas, memori, dan berperan dalam imunitas spesifik (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Peran sel T adalah pada inflamasi, aktivasi fagositosis makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi, serta pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi virus. Sel T terdiri atas beberapa subset yaitu sel T naif, Th/CD4, Tc/CD8, Tr/Treg/Th3, dan sel NKT. Sel T naif yang terpajan dengan kompleks antigen MHC dan dipresentasikan APC atau rangsangan sitokin spesifik akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4 dan CD8 dengan fungsi efektor yang berlainan (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel T naif adalah sel limfosit matang yang meninggalkan timus dan belum berdiferensiasi, belum terpajan antigen, dan memiliki molekul permukaan CD45RA. Dari timus sel T naif dibawa darah ke organ limfoid perifer. Sel T naïf yang terpajan antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang selanjutnya akan berkembang lagi menjadi sel efektor Th1 dan Th2 yang dapat dibedakan berdasarkan jenis sitokin yang diproduksinya. Sel Th0 memproduksi sitokin IL-2, IFN, dan IL-4 (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel Th atau sel CD4 disebut juga sel T inducer karena merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II ke sel CD4 yang selanjutnya akan diaktifkan dan mengekspresikan IL-2R serta memproduksi IL-2 yang autokrin. Sel CD4 yang berproliferasi dan berdiferensiasi
20
berkembang menjadi subset Th1 dan Th2 yang akan mensintesis sitokin serta mengaktifkan fungsi sel imun lain seperti CD8, sel B, makrofag, dan sel NK (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel CD4 untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal et al. (1995) adalah 1052 ± 526 sel/µL Sel CD8 naif yang keluar dari timus disebut juga sel T sitotoksik/Tc dan rata-rata untuk orang melayu normal adalah 965 ± 470 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Sel CD8 mengenal kompleks antigen MHC-I yang dipresentasikan APC. Molekul MHC-I ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi utama sel CD8 adalah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin kompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Pada kondisi tertentu, sel CD8 juga dapat menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel CD8 menimbulkan sitolisis/penghancuran sel sasaran melalui mekanisme perforin/granzim, FasL/Fas (apoptosis/penghancuran diri), TNF-α serta memacu produksi sitokin Th1 dan Th2 (Roitt & Delves 2001; Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Proses penghancuran sel sasaran melalui mekanisme perforin/granzim dimulai dari sel CD8 yang aktif dan mengekspresikan molekul yang disebut perforin yang menyerupai MAC (Macrophage Activating Cytokine) dari komplemen. Perforin membuat lubang-lubnag dipermukaan sel T. Enzim yang disebut granzim lalu dimasukkan ke sel sasaran dan selanjutnya mengaktifkan kaspase, yaitu protein intraseluler dengan sistein di lokasi aktifnya yang berikatan dengan substrat di C terminal dari residu asam aspartik serta merupakan komponen kaskade enzim yang menimbulkan kematian apoptosis sel. Sedangkan penghancuran
melalui
mekanisme
FasL
diawali
dari
sel
CD8
yang
mengekspresikan molekul yang disebut FasL. Molekul ini akan mengikat Fas di permukaan sel sasaran dan Fas memiliki domen mati sitoplasma yang juga akan mengaktifkan kaspase (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Subset sel T berikutnya adalah sel Tr atau T regulator/Ts/Th3 yang diduga berperan dalam toleransi oral dan regulator imunitas mukosa, imuno-regulasi dengan menekan sejumlah respon imun seperti respon terhadap sel-antigen, alloantigen, antigen tumor, dan pathogen. Sel Tr yang dibentuk dari timosit di timus mengekspresikan dan melepas TGF-β dan IL-10 yang diduga merupakan
21
petanda supresif. IL-10 menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag sedangkan TGF-β akan menekan proliferasi sel T dan aktivasi makrofag (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel B (CD19+) Sel B atau limfosit B memiliki antigen permukaan CD19 dan memiliki peranan utama dalam sistem imun spesifik humoral. Jumlah sel B berkisar antara 5 – 25% dari limfosit dalam darah dan pertama kali diproduksi selama fase embrionik dan berlangsung terus selama hidup. Sebelum janin dilahirkan, yolk sac, hati, dan sumsum tulang janin merupakan tempat pematangan utama sel B dan setelah janin dilahirkan pematangan sel B terjadi di sumsum tulang. Pematangan sel B terjadi dalam beberapa tahap dan berhubungan dengan berbagai Ig yang diproduksi (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel B untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal et al. (1995) adalah 414 ± 283 sel/µL. Pematangan limfosit terjadi melalui proses yang disebut seleksi (positif dan negatif) dan untuk sel B proses seleksi pematangan primer terjadi dalam organ limfoid primer sumsum tulang. Sel B akan berproliferasi atas pengaruh sitokin IL-12 yang meningkatkan jumlah sel imatur. Perkembangan sel B mulai dari sel precursor limfoid yang berdiferensiasi menjadi sel progenitor B (pro-sel B) yang mengekspresikan transmembran tirosin-fosfatase (CD45R). Proliferasi dan diferensiasi pro-B menjadi prekursor B memerlukan lingkungan mikro dari stroma sel sumsum tulang. Jadi jika sel pro-B dibiakkan secara in vivo, tidak akan tumbuh menjadi sel yang matang kecuali ada sel sumsum tulang yang melepas sitokin IL-17 untuk membantu perkembangan sel tersebut (Roitt & Delves 2001; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Pematangan progenitor sel B disertai modifikasi gen yang berperan dalam diversitas produk akhir dan penentuan spesifisitas sel B. Pematangan dalam sumsum tulang tidak memerlukan antigen, tapi aktivasi dan diferensiasi sel B matang di kelenjar getah bening (KGB) perifer memerlukan antigen. Proses aktivasi sel B diawali dengan pengenalan antigen spesifik oleh reseptor permukaan. Antigen dan perangsang lain termasuk Th akan merangsang proliferasi dan diferensiasi klon sel B spesifik. Dalam perkembangannya sel B
22
mula-mula memproduksi IgM atau isotope Ig lain (missal IgG), menjadi matang, atau menetap sebagai sel memori (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel NK (CD16+56+) Sel NK merupakan salah satu kelompok limfosit yang memiliki antigen permukaan CD 56 dan 16 (CD16+56+) (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel NK akan merespon antigen atau mikroba intraseluler dengan membunuh sel-sel yang terinfeksi dan memproduksi IFN-γ, yaitu sitokin yang akan mengaktivasi makrofag dan berfungsi dalam imunitas non spesifik terhadap virus dan sel tumor (Abbas & Lichtman 2004). Jumlah sel NK sekitar 5 – 15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dhaliwal et al (1995), rata-rata sel NK pada orang melayu normal adalah 649 ± 349 sel/µL. Sel NK berkembang dari sel sel asal progenitor yang sama dengan sel B dan sel T tetapi tidak memiliki petanda sel B, sel T, atau immunoglobulin permukaan. Sel NK juga bermigrasi ke organ limfoid perifer seperti limpa dan kelenjar getah bening meskipun hanya merupakan sebagian kecil dari sel T (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel NK mengenal dan membunuh sel terinfeksi atau sel yang menunjukkan transformasi ganas, tetapi tidak membunuh sel sendiri yang normal karena dapat membedakan sel sendiri dari sel yang potensial berbahaya. Hal tersebut dimungkinkan karena reseptornya yang berupa reseptor inhibitori dan reseptor aktivasi. Sel NK mengenal MHC-I yang diekspresikan semua sel sehat dan tidak oleh sel yang terinfeksi virus atau kanker. Reseptor yang diaktifkan dapat mengenal struktur yang ada pada sel sasaran yang rentan terhadap sel NK dan sel normal. Pengaruh reseptor inhibitori akan dominan dan mengikat MHC-I yang normal diekspresikan pada sel sehat (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Kemampuan sel NK untuk membunuh berbagai sasaran (termasuk sel tumor) sangat ditentukan oleh reseptor aktivasi. Ikatan ligan dengan reseptor tersebut memacu produksi sitokin yang meningkatkan migrasinya ke tempat infeksi dan membunuh sel sasaran yang mengekspresikan ligannya. Pada umumnya tumor mengekspresikan antigen yang dapat dikenal sel sistem imun,
23
tetapi mungkin tidak dikenal oleh sel CTL/CD8. Sel tumor dapat berkembang dan menjadi varian tumor yang secara genetik tidak stabil, dengan ekspresi MHC yang kurang pada permukaan sel, sehingga sel CD8 tidak mampu mengenalinya. Beberapa jenis virus juga dapat mengurangkan ekspresi molekul MHC-I pada sel terinfeksi sehingga mempersulit sel CD8 dalam mengenali dan membunuh sel tersebut. Hal inilah yang menjadi kelebihan sel NK karena dapat membunuh sel pejamu yang mengekspresikan molekul MHC-I abnormal. Dalam hal ini, sel NK dengan reseptor aktivasinya yang mengenali molekul MHC-I abnormal pada sel sasaran dapat membunuh sel tumor serta memusnahkan sel terinfeksi virus intraselular, sehingga dapat menyingkirkan sumber infeksi. Mekanisme kerja sel NK dalam imunitas spesifik terjadi melalui produksi IFN-γ dan TNF-α yang merupakan dua sitokin proinflamasi poten dan dapat merangsang pematangan sel dendritik yang merupakan sel koordinator imunitas nonspesifik dan spesifik. IFNγ merupakan mediator poten aktivasi makrofag dan penting pada regulasi perkembangan Th yang merupakan bagian dari imunitas spesifik (Roitt & Delves 2001; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Fungsi imun dan obesitas Sistem imun sangat dipengaruhi oleh gizi karena tanpa gizi yang memadai, maka sistem imun akan kekurangan komponen yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon imun yang efektif. Kekurangan gizi pada manusia biasanya merupakan kasus kurang gizi komplek (bukan hanya satu zat gizi). Hasil penelitian (dengan hewan coba dan pengamatan pada pasien kurang gizi tunggal) telah menunjukkan peran penting dari vitamin A, beta karoten, asam folat, vitamin B2, B6, B12, vitamin C, vitamin E, besi, seng, dan selenium dalam pemeliharaan sistem imun (Chandra 2002; Grimble 1997 dalam Marcos, Nova, & Montero 2003). Perbaikan gizi akan dapat meningkatkan kembali fungsi imun dan resistensi tubuh terhadap infeksi. Meskipun demikian, kelebihan gizi juga akan berdampak negative/merusak fungsi kekebalan tubuh (Calder dan Kew 2002) Lemak sebagai salah satu komponen yang sangat penting dalam diet juga merupakan zat yang sangat berperan dalam memodulasi sistem imun. Komposisi asam lemak dalam limfosit dan sel-sel imun akan dibentuk sesuai dengan
24
komposisi asam lemak yang ada dalam diet. Oleh karena itu, pengaturan lemak dalam diet menjadi penting terutama jika diet tersebut digunakan dalam tata laksana diet penyakit yang terkait dengan proses peradangan maupun penyakit autoimun (De Pablo & Alvarez de Cienfuegos 2000 dalam Marcos, Nova, & Montero 2003). Sampai saat ini, informasi mengenai mekanisme yang menyebabkan terjadinya peningkatan risiko infeksi dan rendahnya respon antibodi pada orangorang obes masih belum diketahui, tetapi kemungkinan yang terbesar adalah karena adanya kaitan antara proses metabolisme dalam tubuh yang buruk yang akhirnya menghasilkan respon imun yang buruk pula (Lamas et al. 2002 dalam Marcos, Nova & Montero 2003). Hal ini didukung dengan banyaknya bukti ilmiah yang menunjukkan adanya hubungan antara metabolism jaringan adipose dengan fungsi sel yang mampu mengembangkan respon kekebalan tubuh (imunokompeten). Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, diketahui bahwa pada subjek hewan coba obes ada hubungan antara keberadaan leptin dan TNF-α dalam jaringan adiposa dengan penurunan seluruh subset limfosit T dan populasi sel B (Kimura et al. 1998 dalam Marcos, Nova & Montero 2003). Selain itu, tingkat responsifitas limfosit hewan coba obes pada berbagai mitogen lebih rendah jika dibandingkan pada subjek yang tidak obes (Tanaka et al. 1998 dalam Marcos, Nova & Montero 2003). Penelitian lebih lanjut pada subjek manusia dewasa menunjukkan hasil serupa bahwa kapasitas limfosit untuk berproliferasi lebih rendah untuk merespon aktivasi mitogen. Obesitas pada subjek dewasa obes berhubungan dengan peningkatan jumlah leukosit dan subset limfosit (kecuali untuk sel NK dan sitotoksik/sel T supresor), mitogen sel B dan T yang lebih rendah, yang disertai dengan fagositosis granulosit dan monosit lebih tinggi tetapi dengan sel-sel NK yang tetap berfungsi normal (Marti, Marcos, & Martinez 2001). Meskipun demikian, pada penelitian lain didapatkan hasil yang berbeda dan bahkan berlawanan, terutama dalam jumlah leukosit dan subset limfosit. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena heterogenitas dan jumlah subjek yang dilibatkan dalam penelitian. Selain itu, pada penelitian dengan subjek obes yang telah mengalami penurunan berat badan atau kekurangan gizi (pada periode
25
sebelumnya) juga menghasilkan kesimpulan yang berbeda (Marcos, Nova, & Montero 2003). Beberapa hasil penelitian yang membandingkan respon imun pada subjek obes dan non obes disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes dibandingkan dengan subjek non obes Subjek
Hasil Penelitian
Sumber
Individu obes
Total limfosit (sel-sel helper (CD4+) dan Nieman et al. (1999) sel T sitotoksik (CD8+), kadar IL-6 dan Visser et al. (1999) IL-1 α, dan kadar serum protein C-reaktif) Raymond et al. (1999) lebih tinggi dibandingkan subjek non obes.
Individu obes
Respon limfosit yang lebih rendah terhadap mitogen dibandingkan subjek non obes, terkait dengan kadar TNF-α yang lebih tinggi.
Nieman et al. (1999) Tanaka et al. (1993)
Individu obes dengan pembatasan asupan energi
Respon proliferasi yang lebih rendah terhadap berbagai mitogen dibandingkan subjek non obes.
Nieman et al. (1996)
Individu obes setelah Peningkatan respon sel T dan peningkatan Tanaka et al. (1993 dan mengalami penurunan berat respon proliferasi terhadap berbagai 2001) badan mitogen dibandingkan subjek non obes. Individu obes setelah berpuasa
Jumlah PHA (phytohaemaglutinin) lebih Wing et al. (1983) rendah dan aktifitas sel NK serta IgM (penunjuk terjadinya infeksi primer) lebih tinggi dibandingkan pada subjek non obes.
Individu obes dengan program fat burn
Bakterinemia, demam, durasi antibiotherapy, dan lama rawat inap di rumah sakit yang lebih tinggi dibandingkan pada subjek non obes.
Sumber: Lamas, Marti, & Martinez (2002)
Gottschlich et al. (1993)
26
KERANGKA PEMIKIRAN
RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa penyakit infeksi utama yang
perlu mendapat perhatian tinggi di Indonesia adalah HIV/AIDS, malaria, dan TBC karena dapat memberikan risiko yang fatal dan prevalensi kejadian ketiga penyakit infeksi ini masih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus infeksi akan berakibat fatal jika terjadi pada individu yang mengalami obesitas. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih karena permasalahan obesitas di Indonesia saat ini juga semakin meningkat. Penelitian lain menunjukkan bahwa kejadian obesitas terbukti membawa dampak negatif yang diantaranya adalah penurunan fungsi imun sehingga penderita obesitas jadi semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Upaya yang dapat ditempuh untuk perbaikan sistem imun diantaranya dengan pemanfaatan bahan lokal yaitu temulawak. Secara tradisional temulawak banyak digunakan untuk tujuan pengobatan atau sebagai minuman untuk menjaga kesehatan sehingga sampai saat ini berbagai produk berbahan dasar temulawak telah banyak beredar di pasaran, meskipun klaim manfaat kesehatan masih banyak yang belum didukung data klinis, terutama yang terkait dengan sistem imun. Lebih jauh lagi, formulasi yang tepat terkait dosis dan mutu bahan aktif pada produk juga belum terjamin. Kandungan bahan aktif (xanthorrhizol) pada temulawak telah diketahui memberikan manfaat dalam penekanan peradangan yang menjadi salah satu penanda peningkatan sistem imun. Hasil penelitian Lee et al. (2002) pada sel makrofag mencit (RAW 264.7) menunjukkan bahwa xanthorrhizol dari temulawak mampu menghambat aktivitas cyclooxygenase (COX-2) yang merupakan mediator penting dalam proses peradangan. Penelitian Kim, Kim, Shim, dan Hwang (2007) pada kultur sel RAW 264.7 juga menunjukkan bahwa ekstrak temulawak dapat menginduksi aktivitas sistem imun pada makrofag yang diperantarai secara spesifik oleh aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-kB), sedangkan penelitian Kosim et al (2007) melaporkan pemberian temulawak dapat meningkatkan respon imun pada ayam yang diberi vaksin flu burung.
27
Pemanfaatan temulawak, khususnya untuk kesehatan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat mengenai temulawak. Pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak akan memberikan persepsi yang baik pula mengenai temulawak sehingga penerimaan masyarakat terhadap produk pangan fungsional berbasis temulawak akan semakin baik jika pengetahuan dan persepsi terhadap temulawak juga baik. Jadi dapat dikatakan bahwa persepsi berpengaruh secara langsung terhadap penerimaan. Lebih lanjut, hal ini tentunya akan sangat menentukan apakah produk minuman serbuk temulawak yang diberikan akan berpengaruh terhadap fungsi sistem imun atau tidak.
Tingkat pendidikan Pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak
Subjek Akses informasi Obesitas
Persepsi tentang manfaat kesehatan temulawak
Penurunan fungsi imun Perbaikan fungsi imun [↑ jumlah dan % limfosit serta subsetnya: Sel T (CD3+, CD4+, CD8+), Sel B (CD19+), dan Sel NK (CD16+56+)]
Pemberian minuman temulawak
Penerimaan dan pemanfaatan temulawak untuk kesehatan
Keterangan = Peubah yang diteliti
= Hubungan yang diteliti
= Peubah yang tidak diteliti
= Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 5 Kerangka pemikiran
28
METODE Cakupan Kegiatan Cakupan kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak pada orang dewasa. 2. Pengembangan minuman instan temulawak 3. Uji klinis pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi imun yang diukur dari populasi limfosit total (sel B, sel T, dan sel NK). Kegiatan pengembangan minuman instan dan uji klinis minuman instan terhadap fungsi imun merupakan bagian dari kegiatan penelitian hibah KKP3T dengan No. kontrak 1004/LB.620/I.1/4/2010 yang berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes. Berbagai data serta cara pengumpulan yang dilakukan dalam seluruh kegiatan penelitain ini adalah sebagai berikut: Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data Tujuan Analisis pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak.
Data Pengalaman mengonsumsi temulawak Pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak
Cara Pengumpulan Jenis Data/Sumber Wawancara Data primer dengan kuesioner Wawancara Data primer dengan kuesioner
Pengembangan produk minuman instan temulawak
Daya terima organoleptik
Analisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes.
Sel T dan subsetnya (CD3+, CD4+, dan CD8+) Sel B (CD19+)
Flow cytometri
Sel NK (CD16+56+)
Flow cytometri
Uji organoleptik Flow cytometri
Data primer Dwiriani, Dewi, dan Januwati (2010) Dwiriani, Dewi, dan Januwati (2010) Data primer
29
Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak Desain, tempat dan waktu Penelitian ini merupakan penelitian lapang dengan desain cross sectional study yang akan dilaksanakan pada April – Juni 2011. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Lokasi penelitian tersebut dipilih dengan pertimbangan: (1) keberadaan subjek yang akan mewakili populasi sasaran, dan (2) kemudahan akses. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Berdasarkan pengelompokkan penduduk dalam RISKESDAS diketahui bahwa penduduk yang dikategorikan sebagai penduduk dewasa jika berumur lebih dari 18 tahun. Lokasi untuk survei ditentukan secara purposive yaitu di Kampus IPB Darmaga. Mempertimbangkan bahwa pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan maka subjek dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok subjek dengan tingkat pendidikan tinggi dan subjek dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, dari setiap kelompok, subjek terbagi lagi berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu kelompok laki-laki dan perempuan sehingga kerangka penarikan subjeknya adalah sebagai berikut: Pegawai IPB
Tingkat pendidikan tinggi
Laki-laki (18)
Perempuan (18)
Tingkat pendidikan rendah
Laki-laki (18)
Perempuan (18)
Gambar 6 Kerangka pengambilan subjek Jumlah subjek minimum dihitung berdasarkan rumus perhitungan jumlah sampel minimum penelitian cross sectional study dengan mempertimbangkan power sebesar 90% seperti berikut: n ≥ zα2 x p (1 – p)/d2 n = jumlah contoh/subjek minimum zα2 = 1.96
p = 0.9 atau 90% d = perkiraan ketepatan penelitian (0.1)
30
Berdasarkan rumus perhitungan tersebut, jumlah subjek minimum untuk tiap kelompok (tingkat pendidikan dan jenis kelamin) penelitian adalah 18. Jumlah total subjek untuk survei pengetahuan menjadi: 18 x 2 (kelompok status pekerjaan) x 2 (kelompok jenis kelamin) = 72 subjek. Jumlah tersebut dibulatkan menjadi 80 untuk meningkatkan ketepatan penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengambilan contoh yaitu dengan random sampling. Contoh dipilih secara acak pada lokasi yang telah ditentukan secara purposive. Kriteria inklusi untuk subjek adalah: berusia dewasa (> 18 tahun) dan berstatus sebagai pegawai IPB (PNS maupun honorer), sedangkan kriteria ekslusi subjek adalah: pegawai pendidik pakar pangan, gizi, dan kesehatan. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam survei ini dilakukan melalui wawancara dan pengisian langsung dengan subjek. Data tersebut meliputi karakteristik sosial ekonomi, pengalaman mengonsumsi temulawak (baik sebagai pangan maupun obat) dan tujuannya, pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak serta sumber informasinya. Data
terkait
pengetahuan
mengenai
berbagai
manfaat
kesehatan
temulawak yang dikumpulkan diantaranya adalah manfaat temulawak untuk sakit perut, sakit hati, demam, sembelit/memperlancar buang air besar, perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal, obat sakit maag, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, peradangan dalam perut atau kulit, dan peningkatan ketahanan tubuh. Sebelum disebarkan kepada contoh, dilakukan pengujian terhadap reliabilitas alat ukur pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan perangkat lunak Microsoft Excel dan SPSS 13.00 for Windows. Analisis dilakukan secara deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan dengan menghitung frekuensi contoh berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, besar keluarga, pengalaman mengonsumsi temulawak, pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak, dan sumber informasi tentang temulawak.
31
Kuesioner untuk pengukuran tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak diuji validitas dan reliabilitasnya dengan tes reliabilitas. Nilai Cronbach’s Alpha dari tes ini akan menentukan reliabilitas kuesioner yang digunakan sedangkan nilai korelasi pada uji ini akan menentukan validitas setiap pertanyaan dalam kuesioner. Tingkat pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak dikategorikan dengan menetapkan cut off point dari skor yang mengadopsi penentuan cut off point pengetahuan gizi (Khomsan, 2000). Kategorinya adalah baik jika skor > 80, sedang jika skor antara 60 – 80, dan kurang jika skor < 60. Pengembangan Minuman Instan Temulawak Pengembangan ekstrak temulawak dilakukan melalui tahapan: Penyiapan bahan baku, identifikasi dan analisis mutu bahan aktif, serta formulasi minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol. Standardisasi bahan baku dilakukan dengan mengambil satu dari tiga varietas temulawak unggul yang telah diteliti Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro). Penelitian skala laboratorium untuk pengembangan produk minuman instan temulawak dilakukan di Lab. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Lab. Analisis Makanan dan Instrumentasi, Dept. GM, dan Lab. Pilot Plan, FATETA IPB. Pembuatan ekstrak kering temulawak a. Bahan dan Metode Bahan
kimia yang digunakan yaitu, metanol HPLC, etanol teknis,
aquades, maltodextrin, dan bahan kimia lainnya untuk analisis mutu. Sedangkan peralatan yang digunakan seperti, ekstraktor, blower, spray dryer, freeze dryer, rotavapor, alat penyuling serta peralatan lainnya untuk analisis mutu ekstrak. b. Rancangan Kerja Rimpang temulawak dicuci bersih kemudian dirajang dengan ukuran ketebalan 7 – 8 mm, lalu diblender sehingga dihasilkan bubur temulawak. Selanjutnya ke dalam bubur ditambahkan pelarut etanol 96% (1:5) kemudian diekstrak dengan ekstraktor selama empat jam. Selanjutnya bahan disaring menggunakan kertas saring dan dihasilkan sari/filtrat yang selanjutnya diuapkan menggunakan alat rotavapor sehingga dihasilkan ekstrak kental. Ekstrak yang
32
dihasilkan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer sehingga dihasilkan ekstrak temulawak kering. Untuk mempercepat proses pengeringan serta memperbaiki terkstur ekstrak sebelum proses pengeringan, ekstrak diencerkan dan ditambahkan bahan pengisi berupa maltodekstrin lalu diaduk hingga merata. Setelah kering dilakukan analisis mutu terhadap ekstrak yang dihasilkan. c. Rancangan pengamatan Pengamatan mutu dari ekstrak kering temulawak dilakukan meliputi parameter tekstur, kadar air, warna, kadar bahan aktif (marker) kurkumin dan xanthorhizol. Teknik pengembangan minuman instan temulawak a. Rancangan kerja Formulasi produk berupa serbuk dari ekstrak kering, yang ditambahkan dengan pemanis (gula tepung dan sukralosa), garam, asam sitrat, dan bahan pengisi (maltodekstrin).
`
Rimpang segar temulawak ↓ Pencucian ↓ Pengupasan ↓ Perajangan (tebal 7 – 8 mm) ↓ Penghancuran/blender ↓ Analisis mutu Bubur temulawak + aquades dan bahan segar etanol 96% (1:5) ↓ Ekstraksi (4 jam) ↓ Proses ekstraksi Pemerasan dilakukan 3 kali ↓ Ampas Penyaringan dan etanol ↓ Filtrat/Sari ↓ (Penguapan pelarut 70oC, 0.75 atm) Pengendapan pati ↓ Pengeringan (spray dryer) Bahan Pengisi ↓ (maltodekstrin, 35%) Penghalusan ↓ Serbuk Temulawak ↓ Analisis mutu serbuk temulawak
Gambar 7 Diagram alir pembuatan serbuk temulawak (Sumber: Ria 1989)
33
Berdasarkan diagram alir pada Gambar 7, proses pencampuran ekstrak kering temulawak dengan berbagai bahan pengisi dilakukan dengan cara pencampuran kering (dry mixing). Ekstrak kering temulawak yang diberikan untuk dosis satu kali pemberian sebanyak 400 mg (mengandung 2.80 mg kurkumin dan 7.56 mg xanthorrhizol). Berat minuman instan temulawak yang diberikan diketahui dari berat ekstrak kering temulawak (400 mg) ditambah dengan berat pemanis (gula tepung dan sukralosa), garam, asam sitrat, dan bahan pengisi (maltodekstrin). Beberapa pertimbangan yang mendasari penggunaan berbagai bahan pengisi dan perasa dalam pembuatan minuman instan temulawak adalah berat tepung ekstrak temulawak (400 mg) yang terlalu kecil sehingga mempersulit pengemasan, rasa asli dari tepung ekstrak temulawak yang pahit sehingga kemungkinan akan sulit disukai, kemudahan untuk larut (tanpa ada endapan) terutama di air bersuhu rendah/dingin yang juga merupakan kriteria agar dapat disebut minuman instan, dan upaya agar minuman ini tetap dapat disebut minuman rendah energi. Gula, garam, dan asam sitrat yang ditambahkan dalam pembuatan minuman instan temulawak ditujukan untuk memperbaiki cita rasa minuman instan temulawak yang dihasilkan. Besarnya jumlah gula, garam, dan asam sitrat yang digunakan didasarkan pada SNI 01-4320-1996 tentang minuman serbuk tradisional. Dalam SNI tersebut dinyatakan bahwa rasa dari minuman serbuk tradisional adalah tetap normal, khas rempah-rempah dan tidak disebutkan mengenai batas maksimal jumlah garam dan asam sitrat yang boleh ditambahkan. Jadi selama garam dan asam sitrat yang ditambahkan tidak menghilangkan cita rasa asli dari temulawak maka masih diperkenankan. Pemanis yang digunakan sebagian merupakan gula tepung (sebanyak 10 gram) dan sebagian lagi diganti dengan sukralosa. Penggunaan gula tepung bertujuan agar rasa manis dari minuman ini tetap normal sedangkan sukralosa digunakan agar minuman instan temulawak ini tetap dapat disebut sebagai minuman rendah energy karena hanya mengandung energy sebesar 36.4 kkal per sajian. Commission Regulation EU (2006) menyatakan bahwa produk pangan
34
dapat dikatakan rendah energi jika total energinya maksimal hanya 40 kkal per takaran saji. Perbandingan antara jumlah Tepung ekstrak temulawak yang diperoleh dari proses spray dryer sudah mudah larut dalam air, termasuk yang bersuhu rendah. Penambahan maltodekstrin ditujukan untuk mempertahankan kemampuan ini. Jumlah maltodekstrin (sebagai bahan pengisi) yang ditambahkan didasarkan pada kelaziman berat berbagai produk minuman instan yang sudah ada di pasaran, yang beratnya berkisar antara 8 sampai 25 gram. Rancangan percobaan yang digunakan untuk formulasi minuman instan temulawak adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas satu faktor perlakuan yaitu jumlah pemanis buatan (sukralosa) yang ditambahkan dengan empat taraf masing-masing 10%, 15%, 20%, dan 25%. Model linier untuk RAL dengan satu faktor adalah sebagai berikut: Yij = μ + αi + εij Keterangan : Yi = peubah respon akibat perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j μ = nilai rata-rata umum αi = pengaruh penambahan sukralosa pada taraf ke-i εij = galat unit percobaan akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = banyak taraf penambahan sukralosa (i = 10%, 15%, 20%, dan 25%) j = banyak ulangan
b. Uji organoleptik Uji organoleptik dilakukan dalam dua tahap, yaitu uji organoleptik dengan panelis umum dan uji organoleptik dengan panelis terbatas. Uji tersebut dilakukan untuk menentukan besarnya daya terima produk minuman instan temulawak yang dihasilkan. Uji organoleptik dengan panelis umum terdiri atas uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik. Panelis yang dilibatkan dalam pengujian ini berjumlah 32 yang seluruhnya merupakan mahasiswa (laki-laki dan perempuan dengan umur antara 18 – 19 tahun). Uji kesukaan dilakukan untuk mengetahui bagaimana penerimaan panelis terhadap produk yang diujikan dari segi warna, aroma, rasa, kekentalan, dan penerimaan keseluruhan. Selain itu dilakukan juga uji mutu hedonik untuk seluruh parameter produk minuman instan temulawak.
35
Penilaian yang diberikan, baik untuk uji hedonik maupun mutu hedonik mulai dari 1 sampai 9. Pada uji hedonik nilai 1 menyatakan amat sangat tidak suka dan 9 menunjukkan amat sangat suka, sedangkan pada uji mutu hedonik meskipun menggunakan penilaian yang sama (1 – 9) tetapi makna penilaian disesuaikan dengan parameter yang dinilai. Misal untuk warna, nilai 1 menunjukkan amat sangat gelap sedangkan nilai 9 menunjukkan amat sangat terang. Penilaian keseluruhan dalam uji organoleptik yang dilakukan merupakan penilaian komposit/gabungan dari parameter warna, aroma, rasa, dan kekentalan produk yang dibobot. Rasa merupakan aspek produk yang menjadi faktor perlakuan sehingga bobot terhadap penilaian rasa menjadi lebih tinggi dibandingkan aspek yang lain sehingga bobot untuk rasa adalah 40% sedangkan yang lain (warna, aroma, dan kekentalan) masing-masing 20%. Seluruh data uji kesukaan dengan panelis umum diolah dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan pada software SPSS 13 for windows. Uji organoleptik panelis terbatas dilakukan oleh 7 orang panelis. Uji ini dilakukan untuk memperkuat hasil uji organoleptik dengan panelis umum dan pengujian yang dilakukan hanya uji kesukaan (hedonik) untuk parameter rasa dari produk minuman instan temulawak yang dibuat dengan 4 (empat) formula. Uji ini dilakukan untuk mengetahui penerimaan panelis karena perbedaan kadar pemanis (sukralose) akan sangat berpengaruh terhadap rasa. Penilaian yang diberikan berkisar mulai dari 1 (amat sangat tidak suka) sampai 9 (amat sangat suka) dan nilai tengah (5) dikategorikan sebagai biasa. Produk dinyatakan diterima oleh panelis jika nilai yang diberikan minimal 5. Uji Klinis Pemberian Minuman Instan Temulawak Desain dan tempat penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapang dengan desain desain kuasi eksperimental dengan pre dan post test. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di Kampus IPB Darmaga, Bogor dengan pertimbangan: (1) Keberadaan subjek yang akan mewakili populasi sasaran, dan (2) Kemudahan akses. Analisis jumlah dan jenis limfosit subjek dilakukan di Laboratorium Makmal Imunoendokrinologi FKUI Jakarta.
36
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi subjek adalah orang dewasa (usia > 18 tahun), laki-laki dan perempuan, dengan indeks massa tubuh (IMT) > 27. Subjek dipilih dari pegawai IPB dengan kriteria eksklusi sebagai berikut : (1). Menderita penyakit yang berkaitan dengan penurunan fungsi imun (hepatitis, diabetes melitus, penyakit autoimun, dan lainnya) (2). Mengonsumsi alkohol dan obat-obatan (3). Perempuan yang sedang hamil atau sudah memasuki menopouse (4). Tidak bersedia terlibat dalam penelitian Setelah mendapat ijin dari pihak instansi tempat penelitian dilakukan, orang dewasa dengan penampilan obes akan ditimbang berat dan tinggi badannya untuk kemudian dihitung nilai IMT-nya. Selain itu, untuk memastikan bahwa subjek memang mengalami obesitas maka dilakukan pula pengukuran lingkar pinggang dan panggul sehingga dapat diketahui status obesitas sentralnya melalui nilai rasio lingkar pinggang panggul/RLPP. Contoh kemudian dipilih secara acak dari populasi yang memenuhi persyaratan inklusi setelah melalui pemeriksaan klinis yaitu pengukuran tekanan darah, gula darah dan anamnesis riwayat penyakit oleh dokter medis. Jumlah subjek yang diperlukan untuk mendeteksi perbedaan kadar subset limfosit sebesar 10%, dengan standar deviasi masing-masing 9.0% (Dhaliwal et al 1995), α = 0.05 dan power 90% adalah 17 orang yang kemudian digenapkan menjadi 20 orang. Rumus untuk menghitung jumlah contoh adalah : n ≥ 2 x SD2 x (Zα + Zβ)2 /δ2 n = jumlah sampel untuk setiap kelompok perlakuan SD = standar deviasi subset limfosit (9.0) Zα = selang kepercayaan 90% (1.96)
Zβ = power 90% (1.28) δ = perbedaan subset limfosit (10)
Dengan mempertimbangkan akan adanya loss to follow up 20%, maka jumlah contoh yang diperlukan adalah 24 orang dengan proporsi pria dan wanita yang relatif sama. Pemberian intervensi Minuman instan temulawak yang dikembangkan pada penelitian laboratorium akan diberikan pada subjek untuk diminum setiap hari selama dua
37
minggu (14 hari). Pertimbangan lama waktu uji klinis selama dua minggu dan dosis 400 mg/hari ekstrak temulawak didasarkan pada dosis dan lama waktu yang memberikan efek penurunan inflamasi (Kertia et al. 2005). Berat minuman instan temulawak yang diberikan untuk setiap subjek per hari ditentukan berdasarkan hasil
pengembangan
produk
minuman
instan
temulawak.
Hasil
dari
pengembangan produk minuman instan temulawak tersebut diketahui bahwa berat minuman instan temulawak per kemasan untuk diminum per hari adalah sebesar 13.24 gram. Setiap subjek akan mengonsumsi serbuk temulawak ini yang sebelumnya dilarutkan terlebih dulu dalam 200 ml air. Air yang digunakan diupayakan air dingin untuk menghindari kerusakan bahan aktif. Bagan pelaksanaan uji klinis adalah sebagai berikut: 2 hari
Persiapan uji klinis
Pre uji klinis
Scanning calon subjek dengan pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan status gizi (IMT dan RLPP) Penjelasan pada subjek dan pengisian informed consent
Pengambilan sampel darah (5 ml) untuk analisis jumlah dan % limfosit serta subsetnya
Pasca uji klinis
Pemberian minuman instan temulawak selama 2 minggu/14 hari
Pengambilan sampel darah (5 ml) untuk analisis jumlah dan % limfosit serta subsetnya
Gambar 8 Bagan pelaksanaan uji klinis Subjek akan mengonsumsi minuman instan ekstrak temulawak yang dibagikan setiap hari oleh peneliti. Minuman ini diupayakan untuk langsung diminum di depan peneliti saat baru dibagikan. Selain itu, form kepatuhan (compliance) akan disediakan bagi setiap subjek. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepatuhan subjek dalam mengonsumsi minuman instan ekstrak temulawak, terutama ditujukan bagi subjek yang kemungkinan tidak dapat ditemui saat pembagian minuman instan temulawak. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data karakteristik individu, dan sel NK (hasil analisis darah).
38
Data karakteristik individu meliputi data umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan (untuk menentukan nilai IMT), lingkar pinggang, dan lingkar panggul (unutk menentukan nilai RLPP). Data status gizi untuk menentukan bahwa subjek termasuk kategori obes ditentukan berdasarkan nilai IMT dan rasio lingkar pinggang panggul. Riwayat dan status kesehatan meliputi hasil pemeriksaan fisik dan anamnesa dokter medik. Data penilaian fungsi imun (sel NK) merupakan data primer yang diperoleh dari hasil analisis darah yang dilakukan dengan metode flow cytometri sedangkan data sel B dan sel T merupakan data sekunder yang dikumpulkan dengan metode yang sama dan berasal dari penelitian Dwiriani, Dewi, dan Januwati (2011). Seluruh data tersebut digunakan untuk penilaian fungsi imun (baik humoral maupun seluler) (Abbas & Lichtman 2004). Metode flow cytometri merupakan metode yang biasa digunakan untuk menghitung dan menganalisis partikel mikroskopis (sel) yang tersuspensi dalam aliran fluida (Sayed, EL-Attar, & Hussein 2009). Pada metode ini suspensi sel diinkubasikan dengan antibodi berlabel flouresen atau lainnya, selanjutnya dihitung jumlah yang diikat setiap sel dalam populasi dengan jalan melewatkan sel-sel satu persatu melalui flourimeter dengan bantuan sinar laser (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Pengambilan data sosial ekonomi demografi, status gizi dan anamnesa riwayat kesehatan (sebagai screening subjek) dilakukan sebelum kegiatan intervensi berlangsung (baseline). Sedangkan data analisa darah dikumpulkan dua kali, yaitu sebelum kegiatan intervensi (baseline) dan setelah dua minggu intervensi (endline). Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data yang akan dilakukan mencakup perancangan struktur file yang berisi variabel dan record. Data dalam file excel kemudian akan diimpor ke perangkat lunak SPSS sehingga menjadi SPSS file. Uji statistik akan dilakukan untuk mengetahui perbedaan keragaman data seluruh peubah antar kelompok saat baseline dan endline.
Pengaruh intervensi dianalisis berdasarkan perbedaan (selisih) nilai fungsi
imun yang diamati sebelum dan setelah dua minggu intervensi. Uji normalitas dengan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov dilakukan terlebih dahulu terhadap
39
variabel yang diamati. Nilai populasi limfosit sebelum dan sesudah intervensi akan dibandingkan dan untuk melihat apakah intervensi yang diberikan berpengaruh nyata terhadap populasi limfosit maka dilakukan uji T berpasangan. Definisi Operasional Obesitas adalah kategori status gizi bagi subjek yang ditentukan berdasarkan ukuran Indeks Massa Tubuh/IMT (kg/m2) yang lebih dari atau sama dengan 27. Dewasa adalah tahapan kehidupan yang dimulai dari usia 18 tahun sampai dengan usia 60 tahun. Subjek survei pengetahuan adalah orang yang berusia > 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, mampu berkomunikasi dengan baik, serta bersedia untuk terlibat dalam penelitian. Subjek uji klinis adalah orang yang berusia > 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, mampu berkomunikasi dengan baik, serta bersedia untuk terlibat dalam penelitian (termasuk untuk kegiatan yang bersifat invasif). Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh contoh. Tingkat pendidikan dikategorikan rendah jika jenjang pendidikan formal terakhir yang ditamatkan hanya sampai pendidikan dasar (9 tahun) atau di bawahnya dan dikategorikan tinggi jika jenjang pendidikan formal lebih dari jenjang pendidikan dasar (9 tahun). Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan contoh yang dihasilkan per bulan dari pekerjaan utama, pekerjaan tambahan, atau pemberian dari orang lain yang dinilai dalam rupiah. Sumber informasi adalah berbagai media yang digunakan subjek untuk memperoleh informasi mengenai minuman temulawak seperti teman, keluarga, televisi, radio, Koran, majalah, dan sebagainya. Tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak adalah skor yang diperoleh contoh dari 11 pertanyaan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang diajukan dalam kuesioner.
40
Uji organoleptik adalah uji untuk menentukan tingkat penerimaan produk minuman instan temulawak berdasarkan tanggapan pribadi panelis yang terbagi menjadi uji hedonik/kesukaan dan uji mutu hedonik. Uji hedonik adalah uji untuk menentukan tingkat kesukaan produk minuman instan temulawak dari segi warna, aroma, rasa, kekentalan, dan penampilan minuman instaan temulawak secara keseluruhan berdasarkan tanggapan pribadi panelis yang penilaiannya berkisar antara 1 (amat sangat tidak suka) sampai 9 (amat sangat suka). Uji mutu hedonik adalah uji untuk menentukan tingkat karakteristik produk minuman instan temulawak (warna, aroma, rasa, dan kekentalan) yang paling disukai atau mendapat penerimaan terbesar berdasarkan tanggapan pribadi panelis. Penilaian berkisar antara 1 – 9 dengan skala penilaian yang disesuaikan dengan aspek produk yang dinilai, misal untuk warna, 1 (amat sangat gelap) sampai 9 (amat sangat terang). Kepatuhan/compliance adalah ukuran kemauan subjek untuk mengonsumsi minuman instan temulawak selama masa intervensi (14 hari) sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat antara peneliti dan subjek. Serbuk ekstrak temulawak adalah serbuk hasil ekstrak temulawak yang digunakan untuk penelitian dengan kandungan bahan aktif kurkumin sebesar 0.70% b/b dan xanthorrhizol sebesar 1.89% b/b. Banyaknya serbuk temulawak yang diberikan pada subjek per hari sebesar 400 mg. Minuman instan temulawak adalah minuman instan dengan berat 13.24 gram yang dikembangkan dari serbuk ekstrak temulawak sebesar 400 mg ditambah dengan pemanis (gula tepung dan sukralosa), garam, asam sitrat, dan bahan pengisi (maltodekstrin). Fungsi imun tubuh adalah penilaian terhadap imun tubuh yang diukur dari jumlah dan persentase populasi limfosit total, limfosit T/sel T serta subsetnya (CD4 dan CD8), limfosit B/sel B, dan sel NK) dengan metode flow cytometri.
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak Karakteristik subjek survei pengetahuan Pemilihan subjek yang terlibat dalam kegiatan survei pengetahuan tentang manfaat
kesehatan
temulawak
dilakukan
dengan
pertimbangan
bahwa
pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sehingga subjek dikelompokkan menjadi subjek dengan tingkat pendidikan tinggi dan subjek dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, dari setiap kelompok tingkat pendidikan, subjek terbagi lagi berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu subjek lakilaki dan perempuan sehingga berdasarkan kelompok tingkat pendidikan dan jenis kelamin, jumlah dan persentase subjek jadi berimbang. Jumlah subjek yang terpilih sebanyak 79 orang. Jumlah ini sudah lebih dari jumlah minimum subjek yaitu sebanyak 72 orang yang terbagi menjadi 18 orang untuk setiap jenis kelamin dan kelompok tingkat pendidikan. Berdasarkan jenis kelaminnya, terdapat 40 subjek laki-laki dan 39 subjek perempuan sedangkan berdasarkan kelompok tingkat pendidikannya terdapat 40 subjek yang tergolong memiliki tingkat pendidikan tinggi dan 39 subjek memiliki tingkat pendidikan rendah. Seluruh subjek yang terlibat dalam penelitian ini termasuk dalam kategori dewasa dengan rata-rata umurnya 37.7 ± 10.8 tahun. Rata-rata umur subjek lakilaki adalah 36.6 ± 9.6 tahun sedangkan subjek perempuan rata-rata berumur 38.9 ± 12.0 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikannya, sebanyak 26.6% subjek memiliki pendidikan sampai perguruan tinggi, 24.1% berpendidikan SMU, 30.4% berpendidikan SLTP, dan 19.0% berpendidikan SD. Secara keseluruhan, sebagian besar subjek (74.7%) memiliki jumlah anggota rumahtangga antara 3 – 5 orang sedangkan yang memiliki jumlah anggota rumahtangga kurang dari atau sama dengan 2 orang hanya 4 subjek (5.1%). Subjek yang memiliki anggota rumahtangga kurang dari atau sama dengan 2 orang kemungkinan merupakan subjek yang belum menikah dan pendatang sehingga hanya tinggal sendiri. Proporsi ini tidak berubah jika subjek dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, yaitu subjek terbanyak memiliki jumlah anggota rumahtangga 3 – 5 orang, berikutnya subjek yang memiliki
42
jumlah anggota rumahtangga lebih dari 5 orang dan yang paling sedikit adalah subjek dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 2 orang. Sebagian besar subjek (46.8%) memiliki besar pendapatan antara 0.5 – 1 juta. Jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelaminnya, maka pada subjek lakilaki (65.0%) sebagian besar memiliki pendapatan 0.5 – 1 juta sedangkan pada kelompok subjek perempuan sebagian besar (38.5%) memiliki pendapatan kurang dari 0.5 juta. Pendapatan yang diukur dalam penelitian ini merupakan pendapatan yang diterima dari pekerjaan utama saja sehingga kemungkinan besar pendapatan subjek yang sesungguhnya lebih dari ini. Data lengkap mengenai berbagai karakteristik subjek disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Karakteristik subjek survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak Karakteristik subjek Kelompok Umur 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun Total Rata-rata ± SD Tingkat Pendidikan SD SLTP SMU Perguruan Tinggi Total Anggota Rumahtangga ≤ 2 orang 3 – 5 orang >5 orang Total Rata-rata ± SD Pendapatan per bulan < 0.5 juta 0.5 – 1 juta 1 – 2 juta >2 juta Total
n
Laki-laki %
Perempuan n %
n
Total %
11 24 5 40 36.6 ±
27.5 60.0 12.5 100 9.6
9 23.1 21 53.8 9 23.1 39 100 38.9 ± 12.0
20 25.3 45 57.0 14 17.7 79 100 37.7 ± 10.8
0 20 11 9 40
0.0 50.0 27.5 22.5 100
15 4 8 12 39
15 24 19 21 79
19.0 30.4 24.1 26.6 100
38.5 10.3 20.5 30.8 100
3 7.5 31 77.5 6 15.0 40 100 4.5 ± 1.7
1 2.6 28 71.8 10 25.6 39 100 4.8 ± 1.9
4 59 16 79 4.6 ±
5.1 74.7 20.3 100 1.8
5 26 2 7 40
15 11 5 8 39
20 37 7 15 79
25.3 46.8 8.9 19.0 100
12.5 65.0 5.0 17.5 100
38.5 28.2 12.8 20.5 100
Pengalaman mengonsumsi temulawak Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara keseluruhan, persentase subjek yang pernah mengonsumsi temulawak lebih besar (74.7%) dibandingkan dengan yang tidak pernah (25.3%). Penggunaan temulawak lebih
43
banyak diantara subjek perempuan (87.2%) dibandingkan pada subjek laki-laki yang hanya 62.5% saja. Hal ini konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengonsumsi jamu atau obat tradisional lebih banyak dibandingkan laki-laki (Gitawati & Handayani 2008; Balitbangkes 2010; Kennedy 2005; Tanaka et al. 2008). Pengalaman subjek terkait dengan konsumsi temulawak yang berikutnya dikaji dalam survei adalah mengenai rutinitas konsumsinya. Bagi subjek yang menyatakan pernah mengonsumsi temulawak maka informasi yang dikaji diperdalam dengam menanyakan mengenai rutinitas konsumsinya, bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi, tempat memperoleh temulawak, tingkat kesulitan mendapat temulawak, serta tujuan mengonsumsinya sedangkan bagi subjek yang menyatakan mengonsumsi temulawak secara rutin maka informasi yang diperdalam adalah informasi tentang frekuensi konsumsi, manfaat yang dirasakan, bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi, tujuan mengonsumsi, serta bentuk produk baru temulawak yang diharapkan jika diproduksi. Dari 59 subjek yang menyatakan pernah mengonsumsi temulawak, hanya 16 subjek (10 laki-laki dan 6 perempuan) saja yang menyatakan mengonsumsi temulawak secara rutin. Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi oleh sebagian besar subjek (55.9%) adalah bentuk minuman, baik berupa minuman kemasan maupun hasil merebus sendiri. Tempat terbanyak bagi subjek untuk memperoleh temulawak adalah pasar tradisional (50.8%) dan penjaja/tukang jamu keliling (25.4%). Hampir seluruh subjek menyatakan bahwa temulawak ini tidak sulit untuk diperoleh, jadi di pasar tradisional ataupun warung, temulawak selalu tersedia baik yang sudah dalam bentuk minuman maupun rimpang yang nantinya akan diolah sendiri untuk dijadikan minuman. Selain itu, subjek juga menyatakan bahwa hampir setiap penjaja jamu keliling menyediakan jamu temulawak. Tujuan sebagian besar subjek (72.9%) mengonsumsi temulawak adalah untuk menjaga kesehatan. Subjek yang menggunakan temulawak untuk tujuan pengobatan hanya sebesar 15.2% dan sisanya (11.9%) mengonsumsi temulawak dengan tujuan untuk meningkatkan nafsu makan serta ada pula yang menyatakan hanya sekedar ingin mencoba. Hasil ini cukup sejalan dengan penelitian Kennedy (2005) yang menyebutkan bahwa tujuan penggunaan jamu dan obat tradisional
44
yang terbesar adalah untuk menjaga kesehatan. Data lengkap mengenai pengalaman subjek dalam mengonsumsi temulawak disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan pengalaman mengonsumsi temulawak Peubah
Laki-laki %
Perempuan n %
Total
% Pernah mengonsumsi temulawak Ya, pernah 25 62.5 34 87.2 59 74.7 Tidak pernah 15 37.5 5 12.8 20 25.3 Total 40 100 39 100 79 100 Rutinitas mengonsumsi temulawak Ya, rutin 10 40.0 6 17.6 16 27.1 15 Tidak rutin 60.0 28 82.4 43 72.9 25 Total1 100 34 100 59 100 Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi Minuman 14 56.0 19 55.9 33 55.9 Bagian dari bumbu masak 1 4.0 0 0 1 1.7 Jamu 10 40.0 10 29.4 20 33.9 Obat/kapsul 0 0 1 2.9 1 1.7 0 Lainnya2 0 4 11.8 4 6.8 Total1 25 100 34 100 59 100 Tempat memperoleh temulawak Tanaman sendiri 0 0 2 5.9 2 3.4 Pasar tradisional/warung 17 68.0 13 38.2 30 50.8 Supermarket 2 8.0 2 5.9 4 6.8 Toko obat 2 8.0 0 0 2 3.4 Penjaja 4 16.0 11 32.4 15 25.4 0 Lainnya3 0 6 17.6 6 10.2 Total1 25 100 34 100 59 100 Tingkat kesulitan memperoleh temulawak Ya, sulit 6 24.0 3 8.8 9 15.3 19 Tidak sulit 76.0 31 91.2 50 84.7 25 Total1 100 34 100 59 100 Tujuan mengonsumsi temulawak Menjaga kesehatan 20 80.0 23 67.6 43 72.9 Upaya pengobatan 4 16.0 5 14.7 9 15.2 1 Lainnya4 4.0 6 17.6 7 11.9 Total1 25 100 34 100 59 100 Keterangan: 1 Dari 59 subjek yang menyatakan pernah mengonsumsi temulawak. 2 Bentuk temulawak lainnya yang biasa dikonsumsi adalah perpaduan dari berbagai bentuk sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek. 3 Tempat lainnya yang dinyatakan oleh subjek untuk mendapatkan temulawak adalah tanaman di sekitar rumah (milik tetangga) dan perpaduan dari berbagai sumber sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek. 4 Tujuan lainnya yang dinyatakan oleh subjek untuk adalah hanya sekedar ingin mencoba, ingin meningkatkan nafsu makan, dan perpaduan dari berbagai tujuan sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek.
n
n
45
Pada subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin diketahui bahwa frekuensi konsumsi yang paling banyak adalah antara 4 – 8 kali per bulan serta manfaat terbanyak yang dirasakan dari konsumsi temulawak secara rutin adalah tubuh terasa lebih segar. Tujuan sebagian besar subjek yang rutin mengonsumsi temulawak adalah untuk menjaga kesehatan dengan bentuk terbanyak yang biasa dikonsumsi adalah minuman. Bentuk produk baru dari temulawak yang diharapkan oleh sebagian besar kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin adalah minuman instan. Tabel 6 Sebaran subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin Peubah
n
Laki-laki %
Perempuan n %
Total n
% Frekuensi mengonsumsi temulawak (per bulan) < 4 kali 5 50.0 0 0 5 31.2 4 – 8 kali 3 30.0 6 100 9 56.3 > 8 kali 2 20.0 0 0 2 12.5 Total 10 100 6 100 16 100 Manfaat yang dirasakan Tubuh terasa lebih segar 5 50.0 1 16.7 6 37.5 Nafsu makan meningkat 2 20.0 2 33.3 4 25.0 Jarang sakit 2 20.0 1 16.7 3 18.8 1 Lainnya* 10.0 2 33.3 3 18.8 Total 10 100 6 100 16 100 Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi Minuman 7 70.0 5 83.3 12 75.0 Jamu 3 30.0 1 16.7 4 25.0 Total 10 100 6 100 16 100 Tujuan mengonsumsi temulawak Menjaga kesehatan 7 70.0 5 83.3 12 75.0 Upaya pengobatan 2 20.0 1 16.7 3 18.8 kesehatan dan pengobatan 1 10.0 0 0 1 6.2 Total 10 100 6 100 16 100 Bentuk produk baru temulawak yang diinginkan Minuman instan 7 70.0 3 50.0 10 62.5 Permen/camilan 1 10.0 1 16.7 2 12.5 Jamu 1 10.0 2 33.3 3 18.8 Obat/kapsul 1 10.0 0 0 1 6.2 Total 10 100 6 100 16 100 Keterangan: * Manfaat lainnya yang dirasakan subjek yaitu tubuh lebih segar, jarang sakit dan sakit maagnya sembuh (pada subjek laki-laki) dan tubuh segar serta tidak cepat lesu (subjek perempuan).
Informasi yang terkait dengan harapan subjek terhadap pengembangan temulawak sebagai pangan fungsional yang ditelusuri dalam penelitian adalah
46
mengenai bentuk produk pangan baru berbahan baku temulawak, kesediaan subjek untuk mengonsumsi produk baru berbahan baku temulawak, dan alasan subjek menerima produk baru tersebut. Data ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan harapan terhadap pengembangan produk baru berbahan baku temulawak Peubah
n
Laki-laki %
Perempuan n %
n
Total
% Bentuk produk baru temulawak yang diinginkan Minuman instan 15 37.5 18 46.2 33 41.8 Permen/camilan 12 30.0 11 28.2 23 29.1 Jamu 8 20.0 10 25.6 18 22.8 Obat/kapsul 5 12.5 0 0 5 6.3 Total 40 100 39 100 79 100 Kesediaan mengonsumsi produk baru dari temulawak Bersedia 38 95.0 35 89.7 73 92.4 Tidak bersedia 2 5.0 4 10.3 6 7.6 Total 40 100 39 100 79 100 Alasan untuk menerima produk baru temulawak Rasa khas temulawak 3 7.9 2 5.7 5 6.8 35 92.1 33 94.3 68 93.2 Manfaat kesehatan 38 100 35 100 74 100 Total* Keterangan: * Dari 73 subjek yang menyatakan bersedia untuk mengonsumsi produk baru dari temulawak
Sebagian besar subjek (41.8%) menginginkan bentuk produk baru yang dikembangkan dari temulawak adalah berbentuk minuman instan. Bentuk lain yang juga cukup banyak diinginkan oleh subjek adalah berbentuk cemilan atau permen. Sebanyak 92.4% subjek menyatakan bersedia untuk mengonsumsi produk baru tersebut dengan alasan yang terbanyak adalah karena manfaat kesehatan yang terkandung di dalamnya. Adanya harapan dan kesediaan subjek untuk mengonsumsi produk baru berbahan temulawak bisa jadi menunjukkan adanya peningkatan sikap positif terhadap temulawak. Peningkatan sikap positif terhadap temulawak juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain seperti adanya ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan konvensional, peningkatan biaya pelayanan kesehatan konvensional, adanya efek plasebo karena berbagai testimoni/pernyataan positif dari pengguna yang lain (Kennedy 2005), anjuran dari praktisi kesehatan konvensional, serta karena adanya rasa ketertarikan untuk mencoba (Tanaka et al. 2008).
47
Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa hampir seluruh subjek (96.2%) mengetahui bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan. Jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, maka diketahui bahwa seluruh subjek perempuan (100%) dan 92.5% subjek laki-laki menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan. Jadi hanya ada 3 subjek yang menyatakan tidak tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan dan semuanya adalah subjek laki-laki. Adanya pengetahuan mengenai manfaat kesehatan pada temulawak kemungkinan diantaranya adalah karena pengalaman mengonsumsi. Hasil penelitian lain yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa perempuan yang mengonsumsi tanaman obat (dalam bentuk jamu) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki (Gitawati & Handayani 2008; Balitbangkes 2010; Kennedy 2005; Tanaka, Gryzlak, Zimmerman, Nisly, & Wallace 2008) dan temulawak merupakan tanaman obat terbanyak ketiga yang digunakan (39.6%) setelah jahe dan kencur (Balitbangkes 2010). Oleh karena itu tidak mengherankan jika perempuan lebih banyak yang mengetahui bahwa temulawak bermanfaat bagi kesehatan dibandingkan laki-laki. Data lengkap yang menyatakan bahwa subjek mengetahui temulawak memiliki manfaat kesehatan serta sumber informasinya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan dan sumber informasinya Peubah
Laki-laki %
Perempuan n %
n
Total
% Tahu bahwa temulawak bermanfaat untuk kesehatan Ya, tahu 37 92.5 39 100.0 76 96.2 Tidak tahu 3 7.5 0 0 3 3.8 Total 40 100 39 100 79 100 Sumber informasi tentang manfaat kesehatan temulawak* Koran/majalah (media cetak) 8 21.6 4 10.2 12 15.8 Radio 2 5.4 0 0 2 2.6 Televisi 3 8.1 5 12.8 8 10.5 Keluarga/teman 18 48.6 24 61.5 42 55.3 Lainnya** 6 16.2 6 15.4 12 15.8 Total 37 100 39 100 76 100 Keterangan: * Berasal dari 76 subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak bermanfaat untuk kesehatan. ** Sumber informasi lainnya yang dinyatakan oleh subjek yaitu dokter, internet, penjual jamu, bungkus/kemasan jamu, seminar, jurnal ilmiah, serta gabungan dari berbagai sumber yang telah disebutkan oleh subjek lainnya.
n
48
Sumber informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak yang terbanyak (55.3%) bagi seluruh subjek adalah dari keluarga/teman. Sumber informasi berikutnya setelah keluarga/teman adalah dari media cetak dan sumber informasi lainnya (masing-masing sebesar 15.8%), berikutnya televisi (10.5%) dan yang paling sedikit dari radio (2.6%). Informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak dari radio memiliki persentase paling rendah kemungkinan karena saat ini masyarakat lebih banyak menonton televisi dibandingkan dengan mendengarkan radio. Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak berikutnya yang cukup besar adalah media cetak dan media lainnya karena media cetak ini mencakup majalah, koran, tabloid, maupun buku sedangkan media lainnya mencakup internet, bungkus/kemasan jamu, jurnal ilmiah, seminar, informasi dari dokter, serta gabungan dari berbagai media tersebut. Kedua kategori ini memiliki persentase yang lebih besar daripada radio dan televisi sebenarnya karena banyaknya jenis sumber informasi yang tercakup dalam kedua kelompok media tersebut. Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak yang lebih banyak dari keluarga/teman sesuai dengan penggunaannya selama ini dalam pengobatan tradisional. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kuntorini (2005), Karo-Karo (2009), dan Hendarini (2011) yang menunjukkan bahwa informasi mengenai tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional paling banyak bersumber dari keluarga/orang tua. Pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan kepercayaan Survei tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri atas 16 pertanyaan tentang aspek manfaat kesehatan temulawak. Survei ini dilakukan hanya kepada 76 subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan. Kuesioner untuk menilai pengetahuan manfaat kesehatan temulawak sebelumnya diuji validitas serta relibilitas dan berdasarkan hasil pengujian tersebut diperoleh nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.799. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai r tabel (0.497) pada taraf 5% sehingga kuesioner tersebut dinyatakan reliable. Hasil uji validitas menunjukkan ada lima pertanyaan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang tidak valid (nilai korelasi lebih rendah dari pada nilai r tabel
49
korelasi product moment). Lima pertanyaan pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang dinyatakan tidak valid adalah pertanyaan mengenai manfaat temulawak untuk memperlancar buang air besar, manfaat temulawak untuk menurunkan demam, manfaat temulawak dalam mengobati malaria, perbandingan manfaat kesehatan temulawak dan ginseng, serta manfaat temulawak yang tidak menyebabkan kegemukan karena nafsu makan menjadi tinggi. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa aspek manfaat kesehatan temulawak yang paling banyak dijawab dengan benar oleh subjek adalah mengenai manfaat temulawak untuk meningkatkan nafsu makan (93.4%) dan manfaat temulawak untuk ketahanan tubuh (92.1%), sedangkan yang paling sedikit dijawab benar adalah manfaat temulawak untuk mengobati penyakit ginjal (32.9%) dan mengobati gatal-gatal atau eksim (32.9%). Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika subjek dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Aspek manfaat kesehatan temulawak yang lebih banyak diketahui oleh subjek perempuan adalah tentang manfaat temulawak dalam mengembalikan kekejangan otot setelah melahirkan. Sebanyak 74.4% subjek perempuan dapat menjawab dengan benar pertanyaan ini sedangkan pada subjek laki-laki hanya 56.8% saja yang menjawab dengan benar. Hal ini kemungkinan karena perempuan yang akan atau pernah memanfaatkan temulawak untuk digunakan setelah persalinan sehingga perempuan lebih banyak yang tahu dibandingkan laki-laki bahwa temulawak juga dapat mengembalikan kekejangan otot setelah persalinan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Kuntorini (2005) yang menunjukkan bahwa temulawak dimanfaatkan setelah persalinan oleh 30% masyarakat jawa dan 31.3% masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) meskipun tujuannya adalah untuk membersihkan darah nifas, melancarkan peredaran darah, dan melancarkan haid. Manfaat temulawak dalam meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan ketahanan tubuh merupakan manfaat kesehatan yang cukup dikenal masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Kuntorini (2005) yang menunjukkan bahwa pada masyarakat Jawa dan Banjar (Kalimantan Selatan), pemanfaatan temulawak yang cukup besar diantaranya adalah untuk peningkatan nafsu makan dan menjaga kondisi/ketahanan tubuh. Selain itu, keberadaan produk-produk suplemen untuk perbaikan nafsu makan berbahan temulawak yang disertai dengan
50
gencarnya
promosi
produk
tersebut
juga
turut
memberi
andil
dalam
mempopulerkan manfaat temulawak sebagai peningkat nafsu makan dan menjaga kondisi kesehatan tubuh. Data sebaran subjek yang mampu menjawab dengan benar beberapa aspek manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran subjek yang mampu menjawab benar beberapa aspek manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan Manfaat kesehatan temulawak Meningkatkan nafsu makan Meningkatkan ketahanan tubuh Mempercepat proses penyembuhan luka Mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin/melahirkan Mengobati sakit maag Mengobati penyakit ginjal Mengobati sakit kencing Mengobati gatal-gatal atau eksim Mengobati peradangan dalam perut maupun kulit Mengobati sakit perut Mengobati sakit hati/penyakit kuning
Laki-laki n % 34 91.9 34 91.9 17 45.9
Perempuan n % 37 94.9 36 92.3 11 28.2
Total n % 71 93.4 70 92.1 28 36.8
21
56.8
29
74.4
50
65.8
19 12 19 10 23 23 20
51.4 32.4 51.4 27.0 62.2 62.2 54.1
23 13 14 15 20 27 24
59.0 33.3 35.9 38.5 51.3 69.2 61.5
42 25 33 25 43 50 44
55.3 32.9 43.4 32.9 56.6 65.8 57.9
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa subjek perempuan memiliki rata-rata skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang lebih tinggi (58.0 ± 25.8) dibandingkan dengan subjek laki-laki (57.0 ± 28.3) meskipun skor tersebut masih dalam kategori kurang dari 60. Meskipun demikian, hasil uji T saling bebas menunjukkan bahwa rata-rata skor tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.867) dan uji chi-square dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak (p > 0.05). Data lengkap mengenai tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan jenis kelamin Tingkat pengetahuan Kurang (skor < 60) Sedang (skor 60 – 80) Baik (skor > 80) Total Rata-rata ± SD Uji chi-square
Laki-laki n % 21 56.8 8 21.6 8 21.6 37 100 57.0 ± 28.3
Perempuan n % 22 56.4 6 15.4 11 28.2 39 100 58.0 ± 25.8 p = 0.694
Total n % 43 56.6 14 18.4 19 25.0 76 100 57.5 ± 26.9
Uji beda p = 0.867
51
Berdasarkan tingkat pendidikannya diketahui bahwa subjek yang berasal dari kelompok tingkat pendidikan tinggi memiliki rata-rata skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang lebih rendah (49.1 ± 26.3) dibandingkan dengan subjek yang berasal dari kelompok pendidikan rendah (66.9 ± 24.5). Ratarata skor pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak pada subjek kelompok pendidikan rendah sudah termasuk pada kategori sedang. Jika dicermati lebih rinci juga diketahui bahwa pada kelompok subjek pendidikan rendah, persentase subjek yang memiliki skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak baik (> 80) lebih besar dibandingkan dengan dengan subjek kelompok pendidikan tinggi sementara persentase subjek dengan skor pengetahuan kurang (< 60) lebih kecil dibandingkan pada subjek kelompok pendidikan tinggi. Hasil uji chi-square dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak (p < 0.05) dan hasil uji T saling bebas menunjukkan bahwa skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak pada subjek berpendidikan tinggi dan subjek berpendidikan rendah berbeda nyata (p = 0.003). Data lengkap mengenai tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan tingkat pendidikan Rendah n % Kurang (skor < 60) 15 41.7 Sedang (skor 60 – 80) 7 19.4 Baik (skor > 80) 14 38.9 Total 36 100 Rata-rata ± SD 66.9 ± 24.5 Uji chi-square p = 0.018* Keterangan: *Berhubungan nyata pada α = 0.05 **Berbeda nyata pada α = 0.05 Tingkat pengetahuan
Tinggi n % 28 70.0 7 17.5 5 12.5 40 100 49.1 ± 26.3
Total n % 43 56.6 14 18.4 19 25.0 76 100 57.5 ± 26.9
Uji beda p = 0.003**
Data RISKESDAS 2010 menunjukkan bahwa konsumen jamu dan obatobatan tradisional lebih banyak pada kelompok pendidikan rendah (60%) daripada kelompok pendidikan tinggi. Data tersebut mendukung hasil penelitian ini karena informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak yang kemungkinan diperoleh dari pengalaman mengonsumsi dan lebih banyak didapat secara turun temurun melalui keluarga tentu akan lebih banyak dimiliki oleh orang dewasa dengan
52
kemampuan sosial ekonomi menengah ke bawah dan tingkat pendidikan rendah sementara kelompok orang dewasa dengan kemampuan sosial ekonomi menengah ke atas dan tingkat pendidikannya tinggi akan mengakses pelayanan kesehatan konvensional (dokter, klinik, dan rumah sakit). Hasil ini bertolak belakang jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kennedy (2005) maupun Tanaka et al. (2008) di US yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara status sosial ekonomi dengan penggunaan jamu atau obat tradisional. Hal ini kemungkinan karena di negara maju pemahaman masyarakat terhadap jamu dan obat tradisional sudah lebih baik sehingga penerimaan masyarakat (khususnya dari kelompok pendidikan tinggi) jadi lebih positif. Kemungkinan mengenai penyebaran pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan terjadi secara turun temurun melalui keluarga serta melalui pengalaman diperkuat dengan lebih besarnya persentase subjek yang memiliki tingkat pengetahuan baik (skor > 80) pada kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin dibandingkan dengan subjek yang tidak mengonsumsi temulawak secara rutin. Selain itu ratarata skor pengetahuan subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin juga lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak mengonsumsi secara rutin meskipun tidak berbeda nyata (Tabel 12). Tabel 12 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan rutinitas mengonsumsi temulawak Tingkat pengetahuan Kurang (skor < 60) Sedang (skor 60 – 80) Baik (skor > 80) Total Rata-rata ± SD
Rutin n % 9 56.3 1 6.2 6 37.5 16 100 62.5 ± 23.9
Tidak Rutin n % 24 55.8 10 23.3 9 20.9 43 100 56.6 ± 27.7
Total n % 33 55.9 11 18.6 15 25.4 59 100 58.2 ± 26.6
Uji beda p = 0.459
Pengembangan Minuman Instan Temulawak Pengembangan ekstrak temulawak dan analisis mutu Temulawak yang digunakan untuk pembuatan minuman temulawak berasal dari Kebun Percobaan Balittro, di Cicurug yang dipanen saat umur 10 bulan. Rimpang temulawak tersebut diproduksi dengan menerapkan SOP/Standart Operational Practices budidaya temulawak (Rahardjo & Rostiana 2009),
53
sehingga bahan yang digunakan juga memenuhi kriteria standar Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Collection Pratices (GACP) sesuai ketentuan WHO (2003). Proses yang dilakukan setelah rimpang temulawak diperoleh adalah pembuatan simplisia temulawak. Rimpang temulawak dicuci bersih dan dirajang dengan ketebalan antara 7 – 8 mm kemudian dikeringkan. Rimpang yang telah kering/simplisia diblender sehingga dihasilkan bubur temulawak. Selanjutnya ke dalam bubur ditambahkan pelarut etanol 96% (1:5) kemudian diekstrak dengan ekstraktor selama 4 jam. Selanjutnya bahan disaring menggunakan kertas saring dan dihasilkan sari/filtrat yang selanjutnya diuapkan menggunakan alat rotavapor sehingga dihasilkan ekstrak kental rimpang temulawak. Jumlah simplisia yang digunakan dalam proses tersebut adalah sebanyak 12.25 kg sedangkan ekstrak kental yang dihasilkan adalah sebanyak 2600 ml. Pembuatan ekstrak kering temulawak dilakukan dengan menggunakan spray dryer. Pada tahap ini, ekstrak kental diencerkan terlebih dulu dan ditambahkan bahan pengisi (maltodekstrin). Pengenceran dan penambahan maltodekstrin dilakukan terkait dengan kemampuan alat spray dryer yang digunakan dan juga untuk memperbaiki terkstur ekstrak sebelum proses pengeringan. Pengenceran ekstrak kental dilakukan dengan perbandingan 1:9 sedangkan maltodekstrin yang ditambahkan sebanyak 35% dari bahan encer. Besarnya pengenceran dan maltodekstrin yang ditambahkan diketahui melalui proses trial and error yang telah dilakukan sebelumnya. Perbandingan air dan maltodekstrin sebanyak ini menghasilkan ekstrak kering terbaik yang ditandai dengan bentuk ekstrak kering yang halus dan tidak melekatnya hasil ekstrak di dinding alat spray dryer. Total ekstrak kering temulawak yang dihasilkan dari proses ini adalah sebanyak 499.39 gram. Proses pengenceran dilakukan secara bertahap (sebanyak lima kali) karena terkait dengan kemampuan stirrer/pengaduk serta wadah untuk pencampuran yang tersedia. Jadi setiap pengenceran terdiri atas 520 ml ekstrak kental temulawak dan 4300 ml air (total volume cairan 5000 ml). Diasumsikan berat jenis campuran tersebut adalah 1 sehingga berat maltodekstrin yang digunakan adalah:
54
Berat maltodekstrin (5 kali pengenceran) =
Berdasarkan berbagai proses pengolahan yang dilakukan maka besarnya rendemen dari ekstrak kering temulawak dapat diketahui dengan menggunakan formula berikut : Rendemen (%) = =
= 2.38%
Pengamatan mutu pada simplisia dan ekstrak kering dilakukan untuk memastikan bahwa bahan yang digunakan sesuai dengan standar serta memastikan kandungan xanthorrhizol dalam ekstrak temulawak yang akan diuji klinis. Uji laboratorium pengamatan mutu pada simplisia dan ekstrak kering dilakukan oleh laboratorium Balittro, Kementerian Pertanian RI. Berdasarkan uji mutu simplisia dan ekstrak kering yang telah dilakukan diketahui bahwa karakter simplisia yang digunakan telah memenuhi persyaratan standar mutu simplisia (Materia Medika Indonesia/MMI 1979). Data karakteristik hasil uji mutu simplisia dan ekstrak kering temulawak disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Karakteristik simplisia dan ekstrak kering temulawak Karakteristik Kadar air Kadar abu Kadar abu tak larut asam Kadar sari dalam air Kadar sari dalam alkohol Kadar kurkumin Kadar xanthorrhizol
HasilPengujian (%) Simplisia Ekstrak kering 5.99 4.0 4.59 0.43
Destilasi SNI 01-3709-1995
Standar Simplisia* < 12 3–7
SNI 01-3709-1995
1.54
Metode pengujian
1.54
0
17.21
78.35
Gravimetri
17.21
14.07
35.19
Gravimetri
14.07
1.45 1.02
0.70 1.89
Spektrophotometri HPLC
0.02 - 2 -
Keterangan : Laboratorium Balittro (2010) dan Standar * (MMI 1979)
Formulasi minuman instan temulawak Jumlah ekstrak kering temulawak yang harus diberikan dalam intervensi ditentukan berdasarkan jumlah xanthorrhizol yang harus diberikan. Hal ini
55
didasari dari penelitian Chung et al. (2007) bahwa pada orang yang obes terjadi peradangan kronis yang perlu ditekan karena meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi dan hasil penelitian Lee et al. (2002) serta Kim et al. (2007) yang menunjukkan bahwa xanthorrhizol yang terkandung dalam temulawak mampu memberikan efek penurunan peradangan serta menginduksi aktivitas sistem imun. Besarnya dosis xanthorrhizol yang dapat memberikan efek penekanan peradangan didasarkan pada hasil penelitian Kertia et al. (2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah minyak atsiri dalam temulawak yang dapat memberikan efek penurunan inflamasi adalah sebesar 25 mg dengan kandungan xanthorrhizol dalam minyak atsiri tersebut sebesar 27.64 ± 0.85%. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Yulianti (2010) menunjukkan bahwa kandungan xanthorrizol dalam minyak atsiri berkisar antara 1.26 – 42.82%. Hasil penelitian Kertia et al. (2005) dan Yulianti (2010) digunakan sebagai pendekatan dalam menentukan kandungan xanthorrhizol dalam minyak atsiri temulawak, sehingga kandungan xantorrhizol dalam minyak atsiri menjadi:
Besarnya kandungan xanthorrhizol dalam kapsul penelitian Kertia et al. (2005) berdasarkan pendekatan hasil penelitian Kertia et al. (2005) dan Yulianti (2010) adalah:
Berdasarkan hasil uji mutu dan karakteristik yang telah dilakukan diketahui bahwa kadar xanthorrhizol dalam ekstrak kering temulawak adalah 1.89% (gram/100 gram). Jadi jumlah ekstrak kering temulawak agar mengandung 8.81 mg xanthorrhizol adalah sebesar:
Jumlah ini dikurangi menjadi 0.40 gram atau 400 mg untuk memperkuat hipotesis bahwa meskipun diberikan dengan jumlah yang lebih rendah, xanthorrhizol dalam minuman serbuk temulawak ini tetap mampu memberikan efek penurunan inflamasi.
56
Berat ekstrak kering temulawak sebesar 0.4 gram/400 mg masih terlalu kecil sehingga akan mempersulit pembagian dalam sachet dan juga proses pengemasan. Jika melihat berbagai produk minuman instan yang sudah ada di pasaran, maka beratnya berkisar antara 8 sampai 25 gram. Oleh karena itu untuk minuman instan temulawak perlu ditambah dengan bahan pengisi yang terdiri atas maltodekstrin dan perasa (pemanis, garam, dan asam sitrat). Berat bahan pengisi untuk maltodekstrin, garam, dan asam sitrat yang ditambahkan berturut-turut adalah 2 gram, 0.1% (per volume larutan), dan 0.3% (per volume larutan). Pemanis yang ditambahkan terdiri atas gula tepung dan sukralosa. Jumlah gula tepung dibatasi hanya 10 gram per sachet agar produk minuman instan ini tetap dapat dikatakan rendah kalori (10 g gula tepung = 36.4 kkal). Suatu produk pangan dapat dikatakan sebagai produk rendah kalori jika total energinya maksimal hanya 40 kkal per takaran saji (Commission Regulation EU 2006). Sukralosa yang ditambahkan dibuat menjadi empat taraf, yaitu 10%, 15%, 20%, dan 25%. Berdasarkan komposisi tersebut maka formula minuman instan temulawak yang akan diuji organoleptik menjadi empat formula dengan rincian seperti yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Komposisi formula minuman instan temulawak Komposisi Tepung temulawak (g) Maltodekstrin (g) Garam (0.10%; g) Asam sitrat (0.30%; g) Pemanis : Gula (5%; g) Sukralosa (pemanis 20%; g) Berat (per kemasan; g)
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
0.4 2 0.2 0.6
0.4 2 0.2 0.6
0.4 2 0.2 0.6
0.4 2 0.2 0.6
10 0.014 13.214
10 0.028 13.228
10 0.043 13.243
10 0.057 13.257
Keterangan: Nilai % adalah persentase terhadap berat total minuman setelah ditambahkan air dalam anjuran (200 gram)
Uji organoleptik panelis umum Uji organoleptik merupakan tanggapan pribadi tentang kesukaan atau ketidaksukaan pada suatu produk yang diujikan yang disertai dengan tingkatannya (nilai) (Hardinsyah et al. 2009). Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian
57
ini adalah uji tingkat kesukaan atau uji hedonik dan uji mutu hedonik produk minuman instan temulawak yang dibuat dengan empat formula yang berbeda. Uji organoleptik dengan panelis umum dilakukan pada parameter warna, aroma, rasa, kekentalan, dan penampilan keseluruhan produk. Jumlah panelis yang dilibatkan dalam uji ini sebanyak 32 orang yang terdiri atas 14 panelis lakilaki dan 18 panelis perempuan. Kriteria uji hedonik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala 1 - 9, yaitu 1 (amat sangat tidak suka), 2 (sangat tidak suka), 3 (tidak suka), 4 (agak tidak suka), 5 (biasa), 6 (agak suka), 7 (suka), 8 (sangat suka), dan 9 (amat sangat suka). Selanjutnya untuk mengetahui besarnya persen penerimaan skala tersebut dipersempit lagi hanya menjadi dua kategori yaitu menerima dan tidak menerima. Tidak menerima jika nilainya 1 (amat sangat tidak suka) sampai 4 (agak tidak suka) dan dikategorikan menerima jika nilainya 5 (biasa) sampai 9 (amat sangat suka). a. Warna Produk minuman instan temulawak sebenarnya berbentuk serbuk dalam kemasan sachet yang jika akan dikonsumsi dilarutkan terlebih dulu dalam 200 ml air. Pada saat uji organoleptik dilakukan, produk yang disajikan kepada panelis sudah berbentuk minuman yang berwarna kuning. Warna kuning pada minuman instan temulawak disebabkan karena kandungan pigmen warna kurkuminoid (Istafid 2006; Sembiring, Ma’mun, & Ginting 2006), yang merupakan unsur non zat gizi yang berwarna kuning dan bersifat aromatik, sehingga dalam bidang pangan dapat digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman.
Gambar 9 Persen penerimaan terhadap warna produk hasil organoleptik dengan panelis umum
58
Warna merupakan salah satu parameter organoleptik utama yang dapat menentukan mutu suatu produk pangan. Berdasarkan uji hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa yang paling diterima oleh panelis adalah warna produk yang dibuat dengan Formula 2. Warna produk ini diterima oleh 81.3% panelis. Hasil uji hedonik terhadap warna minuman instan temulawak disajikan pada gambar 9. Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter warna diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut berbeda nyata (p = 0.01), dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari keempat produk minuman tersebut penerimaan panelis untuk Formula 1 dan 2 berbeda nyata dengan penerimaan terhadap Formula 3 dan 4. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. b. Aroma Aroma merupakan salah satu kriteria yang penting bagi konsumen dalam memilih produk pangan yang disukai. Jika aroma suatu bahan pangan/makanan semakin enak maka konsumen juga akan semakin menyukai produk pangan tersebut (Winarno 2002; Hardinsyah et al. 2009). Berdasarkan alasan tersebut maka uji hedonik untuk parameter aroma minuman instan temulawak dilakukan. Produk minuman instan temulawak memiliki aroma segar serta menyengat/tajam yang khas yang disebabkan karena kandungan kurkuminoid (Istafid 2006; Sembiring, Ma’mun, & Ginting 2006). Berdasarkan uji hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa yang memiliki persen penerimaan paling besar adalah produk dengan Formula 2 dan Formula 4, yaitu sama-sama diterima oleh 59.4% panelis. Hasil uji hedonik terhadap aroma minuman instan temulawak disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Persen penerimaan terhadap aroma produk hasil organoleptik dengan panelis umum
59
Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter aroma diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.779) dan karena tidak berbeda nyata maka uji lanjut Duncan tidak dilakukan. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. c. Rasa Rasa adalah parameter selain aroma yang akan sangat menentukan penerimaan suatu produk pangan pada konsumen (Hardinsyah et al. 2009). Meskipun suatu produk memiliki aroma yang menarik tetapi apabila rasanya tidak disukai maka akan membuat produk tersebut sulit diterima (Suharyono 2007). Oleh karena itu, penilaian terhadap rasa suatu produk pangan menjadi sangat penting karena tidak jarang rasa yang akan menentukan penerimaan akhir konsumen terhadap produk pangan tersebut. Hasil uji hedonik terhadap rasa minuman instan temulawak menunjukkan bahwa yang memiliki persen penerimaan terbesar adalah produk yang dibuat dengan Formula 4 (diterima oleh 81.3% panelis) sedangkan yang memiliki persen penerimaan terendah adalah produk dengan Formula 1 (diterima oleh 25% panelis). Data lebih lengkap mengenai persen penerimaan terhadap rasa minuman instan temulawak disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Persen penerimaan terhadap rasa produk hasil organoleptik dengan panelis umum
60
Berdasarkan uji kesukaan diketahui bahwa sebagian besar panelis lebih menyukai produk dengan rasa yang cenderung manis dari pada rasa tajam/pahit. Rasa pahit pada produk minuman instan temulawak ini juga disebabkan karena kurkuminoid dan kadar kurkuminoid yang masih layak atau dapat ditoleransi yaitu antara 0.0737% sampai 0.0746% (Istafid 2006). Uji ANOVA untuk parameter rasa diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut berbeda nyata (p = 0.000) dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari keempat produk minuman tersebut penerimaan panelis untuk Formula 1 dan 4 berbeda nyata sedangkan antara Formula 3 dan 4 tidak berbeda nyata. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil ini memperkuat uji organoleptik dengan panelis terbatas yang telah dilakukan sebelumnya bahwa yang memiliki kemungkinan terbesar untuk diterima dan dikonsumsi adalah produk dengan Formula 3 dan 4. Perbedaan hasil antara uji organoleptik dengan panelis terbatas dan umum kemungkinan karena perbedaan kelompok umur dan kebiasaan yang akan mempengaruhi preferensi rasa produk pangan. Rasa produk dengan Formula 4 cenderung lebih manis dibandingkan produk Formula 3 karena kadar pemanis yang lebih besar. d. Kekentalan Produk minuman instan diharapkan memiliki tingkat kekentalan yang lebih rendah dari pada produk sirup karena perbedaan kepekatan zat terlarut di dalamnya. Hal ini melatarbelakangi perlunya pengujian organoleptik untuk parameter kekentalan minuman instan. Berdasarkan uji hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa yang memiliki persen penerimaan paling besar adalah produk dengan Formula 1 yaitu diterima oleh 78.1% panelis. Hasil uji hedonik terhadap kekentalan minuman instan temulawak disajikan pada gambar 12. Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter kekentalan diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.123) dan karena tidak berbeda nyata maka uji lanjut Duncan tidak dilakukan. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
61
Gambar 12 Persen penerimaan terhadap kekentalan produk hasil organoleptik dengan panelis umum e. Keseluruhan Penilaian keseluruhan merupakan penilaian gabungan atau hasil akumulasi yang diberikan oleh panelis terhadap suatu produk pangan berdasarkan berbagai penilaian mutu hedonik sebelumnya. Jadi jika pada penilaian mutu hedonik sebelumnya (warna, aroma, rasa, dan kekentalan) panelis menyatakan suka maka daya terimanya juga akan baik. Data hasil uji hedonik untuk penilaian keseluruhan minuman instan temulawak dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Persen penerimaan terhadap penampilan keseluruhan produk hasil organoleptik dengan panelis umum Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa yang memiliki persen penerimaan tertinggi adalah produk dengan Formula 4. Poduk ini diterima oleh 62.5% panelis. Uji ANOVA untuk penilaian keseluruhan menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.212) Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
62
Berdasarkan uji organoleptik ini diketahui bahwa meskipun produk dengan Formula 4 memiliki persen penerimaan tertinggi tetapi sebenarnya tidak berbeda nyata dengan formula yang lain, sehingga untuk keperluan intervensi perlu dilakukan uji organoleptik dengan panelis terbatas yang memiliki karakteristik mendekati karakteristik sasaran intervensi (kelompok dewasa). Formula produk yang akan digunakan dalam intervensi ditentukan berdasarkan pertimbangan hasil uji organoleptik dengan panelis terbatas dan panelis umum. f. Uji mutu hedonik Uji mutu hedonik dilakukan pada minuman instan temulawak dengan formula yang paling disukai, yaitu pada formula 3 dan 4. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa penilaian mutu untuk formula 3 dan 4 ini hampir sama. Secara sederhana dapat dilihat dari Gambar 14 yang menunjukkan grafik radar formula 3 dan 4 yang saling berhimpitan. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa warna yang disukai dari minuman instan temulawak yaitu kuning terang khas temulawak. Aroma yang disukai adalah aroma khas temulawak yang tidak terlalu tajam, kepekatan cairan yang disukai adalah yang cenderung encer, sedangkan rasa yang disukai adalah yang tidak terlalu manis. Kuning terang khas temulawak
Tidak terlalu manis
Aroma khas temulawak yang tidak terlalu tajam
Cenderung encer/cair
Gambar 14 Penilaian mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, kekentalan, dan rasa minuman instan temulawak
63
Berdasarkan hasil uji organoleptik panelis terbatas dan panelis umum maka formula minuman instan temulawak yang terpilih untuk digunakan dalam uji klinis adalah formula 3 dengan berat yang berat tiap sachetnya adalah sebesar 13.24 gram. Uji organoleptik panelis terbatas Uji organoleptik dengan panelis terbatas dilakukan hanya pada parameter rasa produk. Uji ini dilakukan untuk memperkuat/mengonfirmasi hasil uji organoleptik yang dilakukan dengan panelis umum. Jumlah panelis yang dilibatkan dalam uji ini hanya 7 (tujuh) orang yang seluruhnya merupakan anggota tim peneliti beserta asisten. Berdasarkan hasil organoleptik yang telah dilakukan diketahui bahwa produk yang paling banyak diterima adalah produk dengan formula 3 (pemanis 20%). Produk yang memiliki persen penerimaan tertinggi adalah produk dengan Formula 3, dengan persen penerimaan sebesar 85.7%. Hasil analisis secara deskriptif berdasarkan uji yang telah dilakukan disajikan pada Gambar 15 berikut.
Gambar 15 Persen penerimaan produk hasil organoleptik dengan panelis terbatas
Gambar 16 Minuman instan temulawak dengan formula terpilih
64
Besarnya persen penerimaan dari uji organoleptik yang telah dilakukan menjadi dasar untuk menentukan formula produk minuman instan temulawak yang digunakan dalam uji klinis. Berdasarkan hasil tersebut maka ditentukan bahwa formula 3 (pemanis 20%) merupakan formula minuman instan temulawak yang digunakan dalam uji klinis dengan foto produk disajikan pada Gambar 16. Uji Klinis Minuman Instan Temulawak Pelaksanaan uji klinis Ada beberapa faktor yang terkait dengan keberhasilan penelitian yang menggunakan desain kuasi eksperimental (pre dan post test desain) atau dalam hal ini uji klinis minuman instan temulawak untuk peningkatan limfosit tubuh. Pada desain penelitian sudah dipertimbangkan berbagai hal, termasuk dalam pemilihan subjek, metode pengukuran untuk minimalisasi bias, formulasi minuman instan temulawak, sampai dengan upaya penjaminan kepatuhan subjek, meskipun hasilnya terkadang tidak selalu seperti yang diformulasikan pada hipotesis. Menurut Yu dan Ohlund (2010) kesesuaian hipotesis dengan hasil penelitian dengan desain kuasi eksperimental (pre dan post test desain) diantaranya dipengaruhi oleh: 1) jangka waktu intervensi, 2) metode pengukuran yang digunakan, 3) tingkat kepatuhan atau compliance, dan 4) keberadaan peubah pengganggu atau confounding factor yang tidak terkontrol karena tidak adanya pengacakan dan kelompok kontrol. Minuman instan temulawak yang telah dikembangkan diberikan pada subjek untuk diminum setiap hari selama dua minggu/14 hari berturut-turut. Pertimbangan lama waktu intervensi selama dua minggu dan dosis 400 mg/hari ekstrak temulawak didasarkan pada dosis dan lama waktu yang memberikan efek penurunan inflamasi (Kertia et al. 2005). Berat minuman instan temulawak yang diberikan untuk setiap subjek per hari adalah 13.24 gram. Setiap subjek akan mengonsumsi serbuk temulawak ini yang sebelumnya dilarutkan terlebih dulu dalam 200 ml air dingin untuk menghindari kerusakan bahan aktif (xanthorrhizol). Yulianti (2010) menyatakan bahwa xanthorrhizol memiliki sifat sensistif terhadap panas dan peningkatan suhu akan mengakibatkan terjadinya kerusakan terhadap xanthorrhizol.
65
Jumlah subjek yang ditentukan dalam desain di awal penelitian dengan mempertimbangkan adanya subjek yang drop out (tambahan 20%) adalah sebanyak 24 orang. Jumlah subjek yang terkumpul saat kegiatan penjelasan awal dan intervensi hari pertama hanya sebanyak 21 orang dan jumlah ini bertahan sampai kegiatan uji klinis berakhir sehingga total subjek untuk uji klinis menjadi 21 orang yang terdiri atas tujuh subjek laki-laki dan 14 subjek perempuan. Jumlah ini (21 subjek) masih lebih besar dari jumlah subjek minimum yang ditetapkan dalam desain (20 subjek). Subjek mengonsumsi minuman instan temulawak yang dibagikan setiap pagi hari di tempat kerja subjek (gedung Rektorat IPB). Saat pembagian minuman instan yang dilakukan pagi hari, ada subjek yang tidak dapat ditemui langsung karena sedang tidak ada di tempat/masih dalam perjalanan. Minuman instan temulawak bagi subjek tersebut dititipkan kepada subjek lain yang ruang/tempat kerjanya berdekatan untuk memudahkan dan memastikan diterima serta diminum oleh subjek. Penjaminan kepatuhan subjek dilakukan dengan mengupayakan agar minuman instan temulawak langsung diminum di depan peneliti saat baru dibagikan. Selain itu disediakan pula form kepatuhan (compliance) yang dibagikan kepada seluruh subjek. Harun, Putra, Chair, dan Sastroasmoro (2008) menyebutkan bahwa kepatuhan subjek diantaranya dipengaruhi oleh lamanya intervensi, sifat bahan yang diintervensikan (rasa, jumlah, efek samping), biaya, penjelasan sebelum intervensi, sikap dan cara pendekatan terhadap subjek lokasi, dan karakteristik subjek. Ketidakpatuhan subjek dalam uji klinis minuman instan temulawak ini dapat diminimalkan dengan pemberian pengertian mengenai tujuan dan cara penelitian, penjelasan dosis dan cara konsumsi minuman instan temulawak, serta pengawasan khususnya saat intervensi dilaksanakan. Hasil pengamatan selama kegiatan intervensi menunjukkan bahwa seluruh subjek (100%) patuh mengonsumsi minuman instan temulawak dan sebagian besar (81.0%) meminumnya pagi hari saat baru dibagikan. Seluruh subjek mengonsumsi minuman instan temulawak dalam waktu yang teratur. Tingkat kepatuhan subjek tinggi dalam uji klinis ini tinggi sehingga dampak minuman instan temulawak terhadap uji klinis tidak dipengaruhi oleh rendahnya tingkat
66
kepatuhan. Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman instan temulawak disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman serbuk temulawak Laki-laki n % 6 85.1 0 0 1 14.3 7 100
Waktu Pagi Siang Sore Total
Perempuan n % 11 78.6 3 21.4 0 0 14 100
Total n 17 3 1 21
% 81.0 14.3 4.7 100
Briawan (2008) menyatakan bahwa kepatuhan merupakan faktor penting dalam kegiatan penelitian intervensi dan metode penjaminan kepatuhan dengan pengawasan langsung serta pencatatan laporan (self reported) sudah cukup banyak digunakan oleh peneliti lain. Karakteristik subjek uji klinis Subjek yang terlibat dalam kegiatan uji klinis minuman instan temulawak untuk peningkatan limfosit tubuh dipilih berdasarkan kriteria inklusi berusia dewasa dan memiliki status gizi obes. Jumlah subjek yang terlibat sampai kegiatan uji klinis selesai adalah sebanyak 21 orang yang terdiri atas tujuh subjek laki-laki dan 14 subjek perempuan. Berdasarkan rata-rata umurnya, antara subjek laki-laki dan perempuan tidak berbeda nyata dan secara keseluruhan rata-rata umur subjek adalah 44.1 ± 6.4 tahun dengan subjek yang paling muda berumur 29 tahun sedangkan yang paling tua berumur 54 tahun. Data sebaran subjek berdasarkan kelompok umurnya disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran subjek uji klinis berdasarkan kelompok umur Kelompok umur 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun Total Rata-rata ± SD
Laki-laki n % 0 0 100 7 0 0 100 7 43.6 ± 2.1
Perempuan n % 7.1 1 57.1 8 35.7 5 100 14 44.4 ± 7.9
Total n % 4.8 1 71.4 15 23.8 5 100 21 44.1 ± 6.5
Uji beda p = 0.732
Penentuan status gizi subjek uji klinis dilakukan dengan menggunakan IMT. Selain itu dilakukan pula pengukuran lingkar pinggang dan panggul sehingga bisa diketahui status obesitas sentral (berisiko mengalami penyakit
67
degeneratif) pada subjek yang terlibat dalam uji klinis. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa subjek yang terlibat memang benar-benar mengalami kelebihan berat badan serta memiliki akumulasi lemak yang tinggi di bagian rongga abdomen sebagai penyebab berbagai komplikasi dan gangguan metabolisme dalam tubuh (Septina, Purba, & Hartriyanti 2010). Berdasarkan nilai IMT, diketahui bahwa seluruh subjek sudah terkategori obes (IMT > 27.0) dengan IMT subjek yang paling rendah sebesar 27.7. Rata-rata IMT untuk seluruh subjek adalah 31.1 ± 2.3 sedangkan jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, maka rata-rata IMT pada subjek laki-laki sebesar 30.5 ± 2.3 dan pada subjek perempuan sebesar 31.5 ± 2.3. Seluruh subjek juga sudah terkategori mengalami obesitas sentral dengan risiko penyakit degeneratif tinggi dengan rata-rata RLPP sebesar 0.9 ± 0.1. Data lengkap mengenai sebaran subjek berdasarkan IMT dan RLPP disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran subjek uji klinis berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) Kategori status gizi subjek
Laki-laki n %
Perempuan n %
Total n
%
2
Indeks Massa Tubuh/IMT (kg/m ) 27 – 29.9 3 42.9 5 35.8 8 38.1 ≥ 30 4 57.1 9 64.2 13 61.9 Total 7 100 14 100 21 100 Rata-rata ± SD 30.5 ± 2.3 31.5 ± 2.3 31.1 ± 2.3 Rasio lingkar pinggang panggul/RLPP* Risiko sedang 2 28.6 0 0 2 9.5 Risiko tinggi 5 71.4 14 100 19 90.5 Total 7 100 14 100 21 100 Rata-rata ± SD 1.0 ± 0.1 0.9 ± 0.0 0.9 ± 0.1 Keterangan: * Laki-laki, risiko sedang jika RLPP ≤ 0.90; risiko tinggi jika RLPP > 0.90 sedangkan perempuan, risiko sedang jika RLPP ≤ 0.80; risiko tinggi jika RLPP > 0.80 (Sumber: Septina, Purba, Hartriyanti 2010)
Jumlah total sel limfosit sebelum dan setelah intervensi Total sel limfosit merupakan gabungan dari jumlah sel T, sel B, dan sel NK. Pada tubuh manusia limfosit diproduksi di sumsum tulang, kelenjar timus, limpa, kelenjar getah bening (tersebar sepanjang pembuluh darah), dan amandel (Vander, Sherman, & Luciano 1998). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah limfosit baik sebelum intervensi maupun setelah
68
intervensi tersebar normal (p > 0.05), meskipun jika dilihat sekilas pada grafik box-plot (Gambar 17) seolah data cenderung menyebar ke atas/skew positif, terutama pada saat sebelum intervensi. Pada grafik box-plot dapat diketahui bahwa tidak ada subjek yang memiliki jumlah limfosit ekstrim (sangat kecil maupun sangat besar) baik sebelum dilakukan intervensi maupun setelah intervensi. 4500 4500
4254
4161
4000 4000
3511
3500 3500
Limfosit Total
Sel/µL
3119
3000 3000
2813
2797 2500 2500
2306
2166
2000 2000
1734
1677 1500 1500
Sebelum 1intervensi
fase
2 Setelah intervensi
Gambar 17 Sebaran jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah total sel limfosit sebelum intervensi adalah sebesar 2773.4 ± 660.8 sel/µL dengan selang antara 1677 – 4161 sel/µL. Setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari, ada peningkatan rata-rata jumlah total sel limfosit sebesar 100.3 sel/µL atau ada peningkatan sebesar 3.6%, sehingga rata-rata total sel limfosit menjadi 2874.2 ± 755.4 sel/µL dengan selang antara 1734 – 4254 sel/µL. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5% menunjukkan bahwa peningkatan total sel limfosit setelah intervensi tidak signifikan (p = 0.370). Data lengkap mengenai jumlah rata-rata dan selisih/Δ total sel limfosit antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Sebelum intervensi (sel/µL) Setelah intervensi (sel/µL) Selisih/Δ (sel/µL) % Selisih (%Δ)
Rata-rata 2773.9 2874.2 100.3
± SD ± 660.8 ± 755.4 ± 101.2 3.6
Uji beda p = 0.370
69
Baratawidjaja dan Rengganis (2009) menyatakan bahwa pembentukan sel limfosit (sebagai bagian dari sel darah putih) pada manusia telah dimulai sejak janin dalam yolk sac berusia beberapa minggu. Pada tahap awal tersebut, sel induk hematopoietik kemudian berdiferensiasi menjadi sel eritroid primitif yang mengandung hemoglobin yolk sac. Sel induk hematopoietik bermigrasi dari yolk sac ke hati janin dan selanjutnya mengkolonisasi limpa. Proses hematopoiesis yang terjadi pada kedua organ tersebut berlangsung saat janin berusia tiga sampai dengan tujuh bulan. Setelah itu, proses diferensiasi sel hematopoietik akan dilakukan dalam sumsum tulang dan berlangsung terus menerus (sel matang diproduksi dengan kecepatan yang sama dengan kematiannya). Peningkatan jumlah limfosit setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 belas hari yang tidak signifikan kemungkinan terjadi karena apoptosis atau kematian sel yang terprogram sebagai bagian dari proses hematopiesis. Proses apoptosis memiliki peran penting dalam mempertahankan jumlah progenitor hematopoietik yang benar untuk eritrosit serta berbagai jenis leukosit dan setiap sel memiliki masa hidup yang berbeda. Sebagai gambaran, berbagai limfosit memiliki masa hidup antara satu hari (neutrofil) dan ada yang sampai 20 – 30 tahun untuk beberapa sel T (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Penelitian
Nieman,
Henson,
Nehlsen-Cannarella,
Ekkens,
Utter,
Butterworth, dan Fagoaga (1999) serta Womack, Tien, Feldman, Shin, Fennie, Anastos et al. (2007) menunjukkan bahwa peningkatan berat badan berhubungan dengan peningkatan jumlah limfosit, CD4, CD8, dan jumlah leukosit. Pada penelitian Nieman et al. (1999) diketahui bahwa rata-rata orang obes memiliki jumlah limfosit 2110 sel/µL sedangkan hasil penelitian Womack et al. (2007) menunjukkan bahwa median total limfosit orang obes adalah 2064 sel/µL. Ratarata (2773.9 sel/µL) maupuan median (2797 sel/µL) total limfosit subjek sebelum intervensi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Womack et al. (2007). Jumlah total limfosit sebelum intervensi sudah terkategori tinggi juga kemungkinan menjadi penyebab tidak signifikannya peningkatan jumlah total limfosit setelah intervensi. Jumlah dan persentase sel T serta subsetnya sebelum dan setelah intervensi Sel T atau timosit (CD3) merupakan bagian dari limfosit yang berkembang di kelenjar timus. Sel T yang masih belum matang dipersiapkan di dalam timus
70
untuk memperoleh reseptor dan sel T hanya dapat menjadi matang jika reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen) karena akan mengalami apoptosis. Diferensiasi sel T berhubungan dengan petanda permukaannya dan hasil diferensiasi ini akan menghasilkan sel T helper (Sel Th/sel CD4) dan sel T sitotoksis (Sel Tc/sel CD8) (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel T sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 18) menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah dan persentase sel T setelah intervensi minuman instan temulawak. Gambar 18a menunjukkan bahwa jumlah sel T baik sebelum maupun setelah intervensi cenderung menyebar ke atas/skew positif sedangkan pada Gambar 18b, persentase sel T sebelum dan sesudah intervensi cenderung menyebar ke bawah/skew negatif. Perbedaan ini terjadi karena nilai persentase sel T merupakan nilai perbandingan antara jumlah sel T dengan jumlah total limfosit sehingga untuk sel T dapat dinotasikan juga dengan CD3+/CD45+. Hal yang sama juga berlaku untuk sel lain yang merupakan bagian dari limfosit. Perbedaan sebaran antara data jumlah dan persentase sel T memiliki makna yang sama jika dikaitkan dengan intervensi minuman instan temulawak yang diberikan. Intervensi minuman instan temulawak meningkatkan jumlah dan persentase sel T. Berdasarkan grafik box-plot juga dapat diketahui bahwa intervensi minuman instan temulawak tidak menyebabkan peningkatan jumlah dan persentase sel T yang ekstrim. 80 80
3020
3000 3000
73.0 70 70
68.0 65.0
2282
2150
2000 2000
1698 1500 1500
1000 1000
1405
1585 1435
1048
959
1
Sebelum intervensi
2
fase
Setelah intervensi
(a)
% Sel T (%)
Sel T (abs)
2500 2500
Sel/µL
79.0
78.0
3113
64.0
60 60
57.0
55.0
50 50
44.0
42.0
40 40 1
Sebelum intervensi
2
fase
Setelah intervensi
(b)
Gambar 18 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel T (b) sebelum dan setelah intervensi
71
Rata-rata jumlah sel T sebelum intervensi adalah sebesar 1746.2 ± 569.9 sel/µL dengan selang antara 1048 – 3020 sel/µL. Rata-rata jumlah sel T sebelum intervensi pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel T subjek obes penelitian Nieman et al. (1999) yang nilainya adalah 1560 ± 430.0 sel/µL namun lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai referensi (rata-rata sel T subjek normal) yang besarnya 2092 ± 905 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari, terjadi peningkatan rata-rata jumlah sel T sebesar 112.9 sel/µL atau ada peningkatan sebesar 6.5%, sehingga rata-rata sel T menjadi 1859.1 ± 682.3 sel/µL dengan selang antara 959 – 3113 sel/µL. Jika dilihat persentasenya maka pemberian minuman instan temulawak meningkatkan persentase sel T sebesar 1.4%. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5% pada jumlah sel T menunjukkan bahwa peningkatan sel T setelah intervensi sebesar 112.9 sel/µL merupakan peningkatan yang tidak signifikan (p = 0.162) sedangkan jika dilihat berdasarkan nilai persentasenya maka pemberian minuman instan temulawak memberikan peningkatan yang signifikan (p = 0.034). Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel T antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Jumlah dan persentase sel T subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel T (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel T (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Rata-rata 1746.2 1859.1 112.9 62.5 63.9 1.4
±
SD
± 569.9 ± 682.3 ± 119.3 6.5 ± 9.9 ± 11.1 ± 2.8 2.2
Uji beda p = 0.162
p = 0.034
a. Sel CD4 Sel CD4 atau disebut juga sel Th atau sel T inducer merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Sel CD4 yang berproliferasi dan berdiferensiasi akan berkembang menjadi sel Th1 dan sel
72
Th2 yang akan mensintesis sitokin (protein yang berperan dalam inflamasi dan sebagai mediator utama komunikasi antar sel sistem imun) dan juga mengaktifkan fungsi sel imun lain seperti sel CD8, sel B, makrofag (sel sistem imun yang hidup dalam jaringan), dan sel NK (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel CD4 sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 19) menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari mampu meningkatkan jumlah dan persentase sel CD4. Gambar 19 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase sel CD4 mengalami peningkatan setelah intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari. Grafik box-plot jumlah sel CD4 cenderung menyebar ke atas/skew positif sedangkan jika dilihat pada persentasenya, maka ada pergeseran dari yang semula menyebar ke bawah menjadi menyebar ke atas/skew positif. Berdasarkan data pada grafik box-plot juga dapat diketahui bahwa tidak ada peningkatan jumlah dan persentase sel CD4 yang ekstrim dari intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari.
2000 2000
60 60
1963
56.0 50 50
1551
CD4+ (abs)
1339
Sel/µL
1178
1000 1000
986
982
763
798
593
489
500 500
1 Sebelum intervensi
fase
(a)
2 Setelah intervensi
% CD4+ (%)
1500 1500
50.0 46.0
44.0
40 40
37.0 34.0 30 30
20 20
31.0
29.0
24.0
22.0 1 Sebelum intervensi
2 Setelah intervensi
fase
(b)
Gambar 19 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD4 (b) sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah sel CD4 sebelum intervensi adalah sebesar 990.0 ± 285.7 sel/µL dengan selang antara 593 – 1551 sel/µL. Rata-rata maupun median jumlah sel CD4 sebelum intervensi pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata dan median jumlah sel CD4 subjek obes penelitian Nieman et al.
73
(1999) dan Womack et al. (2007) yang nilainya berturut-turut adalah 1060.0 ± 320.0 sel/µL dan 995.0 sel/µL. Rata-rata jumlah dan persentase sel CD4 ini juga lebih rendah dibandingkan dengan nilai referensi (rata-rata sel CD4 subjek normal) yang besarnya berturut-turut 1052 ± 526 sel/µL dan 33.2 ± 8.5% (Dhaliwal et al. 1995). Setelah intervensi minuman serbuk instan temulawak selama 14 hari, rata-rata jumlah dan persentase sel CD4 meningkat dan bahkan jadi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensi. Peningkatan yang terjadi adalah sebesar 88.9 sel/µL atau meningkat sebesar 9.0%. Jika berdasarkan persentasenya (CD3+CD4+/CD45+) maka diketahui bahwa pemberian minuman instan temulawak meningkatkan persentase sel CD4 sebesar 1.5%. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5% menunjukkan bahwa peningkatan persentase sel CD4 setelah intervensi sebesar 1.5% merupakan peningkatan yang signifikan (p = 0.045). Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel CD4 antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Jumlah dan persentase sel CD4 subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel CD4 (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel CD4 (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Rata-rata
±
SD
Uji beda
990.0 1078.8 88.9
± ± ± 9.0
285.7 399.9 96.1
p = 0.092
36.1 37.6 1.5
± ± ± 4.1
8.4 9.5 1.6
p = 0.045
b. Sel CD8 Sel CD8 merupakan salah satu subset sel T yang memiliki fungsi utama untuk menyingkirkan sel terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin kompatibel (protein penting yang akan membentuk rangkaian DNA) yang menimbulkan penolakan pada transplantasi, menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraselular, serta memacu produksi sitokin pada Th1 dan Th2 (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel CD8 sebelum maupun setelah
74
intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 20) menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8. Berdasarkan data pada Gambar 20a diketahui jumlah sel CD8 sebelum intervensi cenderung menyebar ke bawah/skew negatif dengan ada satu nilai ekstrim (1551 sel/µL) sedangkan setelah intervensi, data jumlah sel cenderung menyebar ke atas/skew positif dengan nilai median yang sama (605 sel/µL). Penilaian dengan menggunakan persentase sel CD8 (CD3+CD8+/CD45+) juga menunjukkan hal yang sama, hanya tanpa nilai ekstrim bahkan dengan selang minimum – maksimum yang juga menurun, semula 10 – 37% menjadi 9 – 34%. Jumlah dan persentase sel CD8 yang semakin menurun pada subjek obes diduga berkaitan dengan tingginya kerusakan oksidatif pada orang obes karena keberadaan jaringan adiposit yang berlebih (Nieman et al. 1999), peradangan kronis yang menyebabkan sistem imun tidak berfungsi normal, dan adanya resistensi insulin pada orang obesitas sehingga akhirnya menghambat pematangan sel CD8 (Strandberg 2009). Jumlah sel CD8 yang sangat tinggi bisa terjadi pada subjek yang mengalamai obesitas tingkat parah/morbid obese atau jika berdasarkan IMT maka nilainya lebih dari 30 kg/m2 (Womack et al. 2007). Setelah ditelusuri maka diketahui bahwa nilai ekstrim untuk jumlah sel CD8 sebelum intervensi (1551 sel/µL) berasal dari subjek yang memiliki nilai IMT 32.05 kg/m2 dan kategori status gizi menurut RLPP tergolong sangat berisiko. 1551 10
40 40
37.0
1400 1400 1200 1200
CD8+ (abs)
1000 1000
Sel/µL 800 800
600 600
400 400
200 200
34.0
1347 30 30
947
%
832
815
605 463
605 415
247 1 Sebelum intervensi
CD8+ (%)
1600 1600
20 20
28.0 25.0 22.0 19.0
22.0 16.0
10 10
10.0
9.0
235 2 Setelah intervensi
fase
(a)
1 Sebelum intervensi
Setelah intervensi 2
fase
(b)
Gambar 20 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD8 (b) sebelum dan setelah intervensi
75
Rata-rata jumlah sel CD8 sebelum intervensi adalah sebesar 659.5 ± 303.2 sel/µL dengan selang antara 247 – 947 sel/µL. Rata-rata maupun median jumlah sel CD8 sebelum intervensi pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata dan median jumlah sel CD8 subjek obes penelitian Nieman et al. (1999) dan Womack et al. (2007) yang nilainya berturut-turut adalah 510.0 ± 220.0 sel/µL dan 487.5 sel/µL. Meskipun demikian, hasil ini konsisten dengan penelitian Nieman et al (1999) yang menyatakan bahwa jumlah CD8 pada orang obes lebih sedikit dibandingkan dengan orang normal yang nilainya rata-rata 965 ± 470 sel/µL atau 30.2 ± 7.8% (Dhaliwal et al. 1995). Intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8 dan. Ada penurunan jumlah sel CD8 setelah intervensi sebesar 43.9 sel/µL atau menurun sebesar 6.7%. Jika berdasarkan persentasenya (CD3+CD8+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah pemberian minuman instan temulawak selama 14 hari ada penurunan persentase sel CD8 sebesar 2.2% dan penurunan ini signifikan (p = 0.001) pada nilai α = 5%. Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel CD8 antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Jumlah dan persentase sel CD8 subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel CD8 (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel CD8 (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Rata-rata 659.5 615.6 -43.9 23.1 20.9 -2.2
±
SD
± 303.2 ± 279.4 ± 44.1 -6.7 ± 7.1 ± 6.1 ± 2.2 -9.7
Uji beda p = 0.110
p = 0.001
Peningkatan jumlah serta persentase sel T serta sel CD4 setelah intervensi minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif kurkumin dan xanthorrhizol selama 14 hari (Gambar 19 dan Tabel 20) diduga terjadi melalui mekanisme yang diperantarai oleh nuclear factor-kappa B (NF-kB). Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Kim, Kim, Shim, dan Hwang (2007) menunjukkan bahwa bahan aktif dalam temulawak (kurkumin dan xanthorrhizol)
76
mampu menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB. Baratawidjaja dan Rengganis (2009) menyebutkan bahwa NF-kB merupakan protein yang penting dalam proses transkripsi banyak gen baik yang diperlukan untuk respon imun bawaan/innate maupun respon imun adaptif/spesifik. Jadi NF-kB akan dapat bergerak aktif dan mencapai nucleus/inti sel lalu segera mengaktifkan proses transkripsi beberapa gen tertentu yang diperlukan untuk respon imun (Abbas & Lichtman 2004). Selain itu, NF-kB juga berperan dalam memicu peradangan akut yang merupakan respon khas imunitas nonspesifik dengan tujuan untuk eradikasi bahan atau mikroorganisme pada tahap awal (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Hasil intervensi yang tidak mampu meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8 diduga karena adanya variasi yang tinggi pada jumlah dan persentase sel CD8 subjek. Jadi ada beberapa subjek yang sejak awal sudah memiliki jumlah dan persentase sel CD8 yang tinggi. Kondisi ini kemungkinan dipicu karena keberadaan leptin yang tinggi pada orang obes (Oliveros & Villamor 2008). Leptin merupakan protein berbentuk heliks yang disekresi jaringan lemak dan bekerja terhadap reseptor permukaan nukleus ventromedial hipotalamus untuk mengendalikan nafsu makan dan meningkatkan penggunaan energi jika penimbunan lemak meningkat (Lamas, Marty, & Martinez 2002; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Leptin juga berfungsi sebagai aktivator sistem imun meskipun mekanismenya masih belum jelas (Lamas, Marty, & Martinez 2002). Fungsi leptin sebagai aktivator sistem imun diantaranya adalah dengan memicu aktivasi sel T serta mengendalikan diferensiasi sel T melalui respon sel Th1 sehingga akhirnya mempengaruhi keseimbangan komposisi sel T (Matarese 2000; Gomez, Lago, Gomez-Reino, Dieguez, & Gualillo 2009) Jumlah dan persentase sel B sebelum dan setelah intervensi Sel B merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar (50%) mengalami pematangan di sumsum tulang, lalu sepertiga bagian berasal dari kelenjar getah bening, dan kurang dari 1% berasal dari timus. Banyaknya sel B berkisar antara 5 – 25% dari limfosit (Baratawidjaja & Rengganis 2009; Strandberg 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel B sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 21) menunjukkan bahwa
77
intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah maupun persentase sel B. Berdasarkan data pada Gambar 21a diketahui jumlah sel B sebelum intervensi cenderung menyebar ke atas/skew positif dengan nilai median 367 sel/µL sedangkan setelah intervensi, data jumlah sel cenderung menyebar ke bawah/skew negatif dengan nilai median lebih rendah (308 sel/µL) serta ada beberapa nilai outlier dan ekstrim. Penilaian dengan menggunakan persentase sel B (CD19+/CD45+) juga menunjukkan hal yang sama, nilai median yang semula 14% turun menjadi 11%. Penelitian Nieman et al. (1999) menunjukkan bahwa pada subjek obes, terjadi penurunan fungsi sel B. Penurunan fungsi sel B diduga diduga berkaitan dengan penurunan kapasitas limfosit untuk berproliferasi (diantaranya sel B) karena aktivasi mitogen yang terhambat (Kimura, Tanaka, Isoda, Sekigawa, Yamakawa, & Sekihara 1998) yang juga mengakibatkan jumlah sel B dalam tubuh orang obes menjadi rendah. Selain itu, adanya jaringan adiposit berlebih pada orang obes yang menyebabkan peradangan kronis juga diduga menyebabkan sistem imun (termasuk dalam proliferasi dan diferensiasi sel B) menjadi tidak normal (Strandberg 2009). 700 700
20 20
20.0
18 18
18.0
659 600 600
530 23 33
31
461
Sel B (abs)
Sel/µL 400 400
457 27
367
300 300
200 200
301
338 308 279
171
190 26 149
100 100
% Sel B (%)
500 500
23 17.0
16.0 27
16 16
14 14
14.0
12 12
12.0
12.0 11.0 10.0
10 10
88
8.0 7.0
66 1 Sebelum intervensi
fase
2 Setelah intervensi
(a)
1 Sebelum intervensi
fase
2 Setelah intervensi
(b)
Gambar 21 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel B (b) sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah sel B sebelum intervensi adalah sebesar 388.1 ± 121.3 sel/µL dengan selang antara 171 – 659 sel/µL sedangkan setelah intervensi rataratanya menjadi 328.4 ± 97.5 sel/µL dengan selang antara 190 – 338 sel/µL. Rata-
78
rata jumlah sel B sebelum dan setelah intervensi pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel B subjek obes penelitian Nieman et al. (1999) yang besarnya adalah 250.0 ± 110.0 sel/µL. Meskipun demikian, rata-rata jumlah sel B sebelum dan setelah intervensi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai referensinya yang nilainya adalah 414 ± 283 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Jika dilihat berdasarkan persentasenya (CD19+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah intervensi persentase sel B juga masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai referensinya. Hasil uji beda T berpasangan pada nilai α = 5% menunjukkan bahwa jumlah dan persentase sel B setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari menurun signifikan (p < 0.05). Terjadi penurunan rata-rata jumlah sel B sebesar 59.8 sel/µL atau sebesar 15.4% setelah intervensi sedangkan jika dilihat menggunakan nilai persentasenya (CD19+/CD45+) maka ada penurunan persentase sel B sebesar 2.6%. Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel B antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Jumlah dan persentase sel B subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel B (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel B (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Intervensi
Rata-rata 388.1 328.4 -59.8 14.2 11.6 -2.6
±
SD
± 121.3 ± 97.5 ± 58.7 -15.4 ± 3.5 ± 2.7 ± 2.6 -18.4
Uji beda p = 0.001
p = 0.000
minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif
kurkumin dan xanthorrhizol selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan persentase sel B. Jika ditinjau dari desain penelitian, maka yang mungkin menjadi penyebab ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan hipotesis adalah karena tidak adanya pengacakan sehingga keberadaan peubah pengganggu/confounder jadi tidak terkontrol (Yu & Ohlund 2010). Permasalahan utama dalam memahami hubungan sebab akibat antara obesitas dengan sistem imun adalah sangat
79
beragamnya karakteristik yang ada pada penderita obesitas serta sangat beragamnya faktor yang berpengaruh pada sistem imun. Berbagai faktor yang dimaksud adalah umur, jenis kelamin, genetik, pola konsumsi pangan (termasuk alkohol dan rokok), aktivitas fisik, stres, status hormonal, paparan patogen dan riwayat vaksinasi, serta lingkungan sosial (Lamas, Marty, & Martinez 2002; Calder & Kew 2002; Ekelund, Neovius, Linné, Brage, Wareham, & Rössner 2005). Berbagai faktor tersebut tentu menjadi sumber peubah pengganggu meskipun beberapa sumber peubah pengganggu sudah diupayakan dikontrol pada saat penentuan subjek. Sumber peubah pengganggu yang dimaksud diantaranya adalah kondisi hiperlipidemia dan dislipidemia, pengaruh hormon, dan asupan bahan/zat aktif yang akan berpengaruh terhadap sistem imun. Sumber peubah pengganggu yang lain tidak dikontrol sehingga hal tersebut diduga menjadi penyebab hasil penelitian tidak sesuai dengan hipotesis serta adanya beberapa nilai outlier dan ekstrim setelah intervensi. Jumlah dan persentase sel NK sebelum dan setelah intervensi Sel Natural Killer (NK) merupakan bagian dari sel limfosit yang jumlahnya sekitar 5 – 15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Sel NK berkembang dari sel asal progenitor yang sama dengan sel B dan sel T. Sel NK berbeda dengan sel T dan sel B yang butuh fase pematangan dan diferensiasi sebelum aktif. Sel NK akan langsung aktif begitu bertemu dengan antigen target, sel NK juga tidak butuh Major Histocompatability Complex (MHC-I dan MHC-II) untuk mengenali antigen. Sel NK bekerjasama dengan imunitas adaptif dengan mensekresi sitokin yang akan meregulasi sel T (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel NK sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada boxplot (Gambar 22) menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah maupun persentase sel NK. Berdasarkan data pada Gambar 22 diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel NK sebelum maupun setelah intervensi cenderung menyebar ke atas/skew positif. Sebelum intervensi, nilai median jumlah sel NK adalah 683
80
sel/µL sedangkan setelah intervensi median jumlah sel NK menjadi 616 sel/µL, data jumlah sel cenderung menyebar ke atas/skew positif serta ada nilai outlier atau ekstrim. Penilaian dengan menggunakan persentase sel NK (CD16+56+/ CD45+) juga menunjukkan hal yang sama, nilai median yang semula 23% turun menjadi 20%. Subjek obes memiliki jumlah sel NK yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek normal (Nieman et al. 1996 dalam Lamas, Marty, & Martinez 2002; O’Shea, Cawood, O’Farrelly, Lynch 2010). Jumlah sel NK yang tidak normal pada subjek obes kemungkinan berkaitan dengan penurunan kapasitas limfosit untuk berproliferasi (diantaranya sel B) karena aktivasi mitogen yang terhambat (Kimura, Tanaka, Isoda, Sekigawa, Yamakawa, & Sekihara 1998) yang juga mengakibatkan jumlah sel NK dalam tubuh orang obes cenderung menjadi rendah. Selain itu, adanya jaringan adiposit berlebih pada orang obes yang menyebabkan peradangan kronis juga diduga menyebabkan sistem imun (termasuk dalam proliferasi sel NK) menjadi tidak normal (Strandberg 2009).
1500 1500
50 50
1462
1337
46.0
28 1250 1250
40.0
40 40
1082 %
910
750 750
787 683
616
500 500
250 250
Sel NK (%)
Sel NK (abs)
1000 1000
Sel/µL
23.0 20 20
326
1 Sebelum intervensi
(a)
fase
2 Setelah intervensi
20.0 17.0
18.0
473
392 304
32.0
31.0
30 30
13.0
10.0
10 10
Sebelum intervensi 1
Setelah intervensi 2
fase
(b)
Gambar 22 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel NK (b) sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah sel NK sebelum intervensi adalah sebesar 714.9 ± 346.6 sel/µL dengan selang antara 304 – 1462 sel/µL sedangkan setelah intervensi rataratanya menjadi 663.9 ± 274.7 sel/µL dengan selang antara 326 – 1082 sel/µL. Rata-rata jumlah sel NK sebelum dan setelah intervensi pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel NK subjek obes
81
penelitian Nieman et al. (1999) yang besarnya adalah 260.0 ± 110.0 sel/µL. Ratarata jumlah sel NK sebelum dan setelah intervensi hasil penelitian ini juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensinya yang besarnya adalah 649 ± 349 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Jika dilihat berdasarkan persentasenya (CD16+56+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah intervensi persentase sel NK juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensinya (23.6% vs 21.2%). Jumlah dan persentase sel NK mengalami penurunan setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari. Penurunan rata-rata jumlah sel NK sebesar 51.0 sel/µL atau sebesar 7.1% setelah intervensi sedangkan jika dilihat menggunakan nilai persentasenya (CD16+56+/CD45+) maka ada penurunan persentase sel NK sebesar 2.3%. Hasil uji beda T berpasangan pada nilai α = 5% menunjukkan bahwa penurunan jumlah dan persentase sel NK setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari tidak signifikan (p > 0.05). Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel B antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Jumlah dan persentase sel NK subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel NK (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel NK (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Rata-rata
±
SD
714.9 663.9 -51.0
± 346.6 ± 274.7 ± 45.7 -7.1
25.9 23.6 -2.3
± 11.3 ± 9.1 ± 2.1 -8.8
Uji beda p = 0.341
p = 0.095
Hasil yang diharapkan dari intervensi minuman instan temulawak adalah terjadinya peningkatan populasi limfosit (diantaranya sel NK) yang diukur dari jumlah dan persentase selnya. Kurkumin dan xanthorrhizol sebagai bahan aktif yang terkandung dalam minuman instan temulawak diharapkan akan dapat menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB sehingga proliferasi dan diferensiasi sel-sel sistem imun bisa meningkat. Intervensi minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif kurkumin dan xanthorrhizol selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan
82
persentase sel NK. Jika ditinjau dari desain penelitian, maka penyebab ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan hipotesis yang paling mungkin adalah karena tidak adanya pengacakan sehingga keberadaan peubah pengganggu/ confounder jadi tidak terkontrol, sama seperti pada sel B (Yu & Ohlund 2010), serta jumlah sel NK sebelum intervensi yang sudah tinggi. Berbagai faktor sumber peubah pengganggu yang dimaksud adalah umur, jenis kelamin, genetik, pola konsumsi pangan (termasuk alkohol dan rokok), aktivitas fisik, stres, status hormonal, paparan patogen dan riwayat vaksinasi, serta lingkungan sosial (Lamas, Marty, & Martinez 2002; Calder & Kew 2002; Ekelund et al. 2005). Keberadaan nilai outlier jumlah sel NK setelah intervensi juga menunjukkan bahwa ada peubah pengganggu yang tidak terkontrol. Jumlah dan persentase sel imun (khususnya sel NK) sebelum intervensi yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh konsumsi pangan penunjang sistem imun yang tinggi serta adanya kebiasaan aktivitas fisik yang baik dari subjek dalam penelitian ini. Zat gizi dan non gizi dalam pangan yang telah terbukti menunjang sistem imun diantaranya adalah beta glucan (polisakarida); arginin dan glutamin (bagian dari protein); asam lemak omega 6/asam linoleat; vitamin A, C, D, E, B6, B12, asam folat; seng/Zn, zat besi/Fe, tembaga/Cu, dan selenium/Se; likopen, bahan aktif dalam tomat; serta Lactobacillus acidophilus (probiotik dalam yoghurt) (Calder & Kew 2002; Chandra 2002; Fatmah 2006). Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam pengujian bahan aktif tertentu kaitannya untuk perbaikan/peningkatan fungsi imun tubuh, khususnya pada subjek obes adalah jenis pengukuran atau penilaian fungsi imun yang digunakan.
Baratawidjaja
dan
Rengganis
(2009)
menyebutkan
bahwa
pemeriksaan limfosit untuk penilaian fungsi imun dalam tubuh secara umum terbagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan kuantitas dan fenotip dan yang kedua adalah pemeriksaan fungsi. Hasil pemeriksaan kuantitas dan fenotip adalah jumlah dan persentase populasi limfosit beserta subsetnya, seperti yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pada subjek obes meskipun beberapa subset limfosit memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek normal, tetapi umumnya kemampuan atau sifat fungsionalnya lebih rendah (Nieman et al. 1999; Lamas, Marty, & Martinez 2002;
83
Marcos, Nova, & Montero 2003). Oleh karena itu pemeriksaan fungsi seperti uji transformasi limfosit, uji proliferasi, dan uji sitotoksisitas, juga sangat penting dilakukan agar dapat memberikan penilaian terhadap sistem imun tubuh yang lebih lengkap. Generalisasi Penelitian Generalisasi suatu penelitian adalah seberapa jauh hasil penelitian tersebut dapat diterapkan pada populasi lainnya (Hennekens & Buring 1997) dan agar dapat dilakukan generalisasi, maka harus dipastikan bahwa penelitian memiliki validitas internal yang baik, yaitu bebas dari kesalahan acak, bias, dan berbagai faktor perancu/peubah pengganggu (Sastroasmoro 2008). Terkait dengan hal tersebut berbagai upaya telah dilakukan untuk menjamin validitas ini. Survei pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan dilakukan dengan desain cross sectional dan berdasarkan telaah literatur telah diketahui bahwa pengetahuan akan dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sehingga subjek dikelompokkan menjadi subjek dengan tingkat pendidikan tinggi dan subjek dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, dari setiap kelompok tingkat pendidikan, subjek terbagi lagi berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu subjek laki-laki dan perempuan sehingga berdasarkan kelompok tingkat pendidikan dan jenis kelamin, jumlah dan persentase subjek jadi berimbang. Hal tersebut akan berlaku sama jika wilayah penelitian dipindah ke wilayah lain. Selain itu alat ukur pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini juga telah memenuhi uji validitas dan reabilitas sehingga menjamin validitas data yang dikumpulkan. Pada uji klinis, selain desain (kuasi eksperimental) yang dipilih karena adanya keterbatasan sumberdaya maka berbagai faktor lain mulai dari pemilihan subjek, pengembangan minuman instan temulawak untuk intervensi, penjaminan compliance, dan pemilihan metode analisis biomarker telah diupayakan sebaik mungkin agar hasil penelitian ini valid. Subjek yang dipilih telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta jumlah subjek telah melebihi jumlah minimum subjek untuk desain penelitian ini. Minuman instan temulawak yang diintervensikan memiliki kandungan energi rendah yaitu hanya 36.4 kkal atau sekitar 2% dari kecukupan energi per hari (jika
84
menggunakan AKG sebesar 2000 kkal) sehingga kemungkinan adanya penyimpangan hasil karena konsumsi gula yang tinggi dan menyebabkan kenaikan IMT sudah sangat diminimalkan. Hal tersebut diperkuat dengan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada subjek overweight dan obes bisa terjadi peningkatan berat badan dan IMT (yang akan berpengaruh terhadap fungsi imun) jika subjek mengonsumsi minuman/snack tinggi energi paling tidak selama empat minggu berturut-turut. Penelitian dengan desain eksperimental yang menunjukkan hal ini antara lain penelitian yang dilakukan Tordoff dan Alleva (1990), DiMeglio dan Mattes (2000), serta Raben et al. (2002). Jangka waktu yang menunjukkan bahwa konsumsi minuman/snack tinggi energi akan meningkatkan IMT orang obes atau overweight bervariasi mulai dari empat minggu (DiMeglio & Mattes 2000) sampai dengan sepuluh minggu (Raben et al. 2002). Beberapa penelitian lain, yang dilakukan dengan desain cohort prospective malah menunjukkan bahwa konsumsi minuman tinggi energi tidak signifikan meningkatkan IMT (French et al. 1994; Kvaavik, Andersen & Klepp 2005). Khasiat temulawak dalam meningkatkan nafsu makan belum terbukti untuk orang overweight dan obes. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Rahmat dan Setianingrum (1999) memang menunjukkan bahwa temulawak mampu meningkatkan nafsu makan secara signifikan tetapi pada subjek yang mengalami anoreksia. Oleh karena itu, penyimpangan hasil uji klinis karena asupan gula dari minuman instan temulawak maupun dari konsumsi pangan yang meningkat pada subjek telah diminimalkan. Upaya lain dalam meningkatkan validitas hasil penelitian (uji klinis) ini adalah dengan penjaminan kepatuhan subjek yang terbukti tinggi dan metode pengukuran biomarker limfosit dan subsetnya. Seluruh subjek patuh dan 81% diantaranya langsung mengonsumsi pada saat dibagikan. Jika ditinjau dari metode pengukuran biomarker, maka metode flow cytometry merupakan metode yang sudah baku dalam pengukuran limfosit dan subsetnya serta metode ini sudah semakin maju karena dalam perkembangan terakhir, pengukuran flow cytometry selain mengukur jumlah dan ukuran sel, juga dapat mendeteksi petanda dinding sel, granula intraseluler, struktur intra sitoplasmik, dan inti sel (Barus 2011).
85
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan pada perempuan tidak berbeda nyata (p > 0.05) dengan laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikannya, diketahui bahwa tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan antara subjek yang berpendidikan tinggi dan rendah berbeda nyata (p < 0.05) serta berbanding terbalik. Jadi penyebaran informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak lebih banyak diperoleh dari pengalaman serta penyebaran informasi di masyarakat sebagian besar dilakukan secara turun temurun melalui keluarga atau kerabat. Kondisi tersebut juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini yaitu bahwa subjek yang mengonsumi temulawak secara rutin memiliki rata-rata skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak mengonsumsi temulawak secara rutin. Proses pembuatan minuman instan temulawak terbagi menjadi dua yaitu proses pembuatan ekstrak kering temulawak menggunakan spray dryer dan pembuatan minuman instan temulawak dengan metode dry mixing atau pencampuran kering. Berdasarkan uji hedonik dan mutu hedonik yang telah dilakukan selama pengembangan produk maka dihasilkan bahwa produk minuman instan temulawak yang disukai adalah yang mengandung pemanis 20% sehingga
komposisi
minuman
serbuk
temulawak
instan
untuk
setiap
sachet/kemasan per kali minum yang terpilih terdiri atas tepung ekstrak kering temulawak (0.4 g), maltodekstrin (2 g), garam (0.2 g), asam sitrat (0.6 g), gula tepung (10 g), dan sukralosa (0.043 g) sehingga total berat minuman instan temulawak per sachet adalah 13.24 g. Intervensi 400 mg ekstrak temulawak yang dibuat dalam bentuk minuman instan temulawak selama 14 hari memberi peningkatan yang signifikan terhadap persentase sel T/CD3+ dan sel CD4+ sebagai bagian dari sistem imun spesifik yang bekerja di tingkat seluler. Peningkatan persentase sel T dan sel CD4+ diduga karena pengaruh dari kurkumin dan xanthorrhizol yang terkandung dalam minuman instan temulawak yang menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB sehingga proliferasi dan diferensiasi sel-sel sistem imun meningkat.
86
Hasil uji klinis menunjukkan bahwa intervensi 400 mg ekstrak temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8+, sel B/CD19+, dan sel NK/CD16+56+. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah subset sel tersebut yang sejak awal (sebelum intervensi) sudah tinggi serta kebiasaan konsumsi pangan dan aktivitas yang menunjang sistem imun yang tidak sepenuhnya terkontrol, khususnya sebelum kegiatan intervensi dilaksanakan. Saran Penerimaan masyarakat yang berasal dari kelompok pendidikan tinggi terhadap bahan obat tradisional (khususnya temulawak) masih belum sebaik kelompok masyarakat pendidikan rendah sehingga diperlukan sosialisasi yang lebih baik yang disertai dengan berbagai uji klinis mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak. Melalui penerimaan masyarakat, terutama kelompok pendidikan tinggi yang lebih positif/baik terhadap temulawak diharapkan pengembangan temulawak, baik sebagai pangan fungsional maupun sebagai bahan obat akan lebih baik. Penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan temulawak untuk perbaikan sistem imun tubuh perlu dikembangkan lagi dengan desain yang lebih baik (Randomized Control Trial/RCT), baik dengan kelompok subjek yang sama (overweight dan obes) maupun dengan kelompok subjek yang lain (misal memiliki status gizi normal) untuk meminimalkan berbagai peubah pengganggu yang akan mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu penilaian fungsi imun yang dilakukan dalam kajian lanjutan juga diharapkan tidak hanya pemeriksaan kuantitas, tapi juga mencakup pemeriksaan fungsi seperti uji transformasi limfosit, uji proliferasi, dan uji sitotoksisitas, sehingga penilaian terhadap sistem imun tubuh menjadi lebih tepat.
87
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2011. Khasiat temulawak, kandungan tanaman temulawak bermanfaat untuk kesehatan dan pengobatan tradisional. [terhubung berkala] http://indonesia-liek.blogspot.com/2011/07/khasiat-temulawak-kandungan -tanaman.html [ 26 Juli 2011]. Abbas AK & Lichtman AH. 2004. Basic Immunology: Functions and dissorders of the immune system. Second edition. Philadelphia: Saunders, an imprint of Elsevier, Artanti GD. 2009. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan (acceptance) petani terhadap Produk Rekayasa Genetika. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aziz N. 1995. Hubungan karakteristik petani dan aktivitas komunikasi dengan tingkat pengetahuan mereka tentang dampak perladangan dan pola pertanian menetap di Kecamatan Jarai Kabupaten Lahat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. . 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Baratawidjaja KG dan Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke-8. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Barus M. 2011. Human immunodefeciency. [terhubung berkala] http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/30152/4/Chapter%20II.pdf [2 Februari 2012]. Bercault N, Boulain T, Kuteifan K, Wolf M, Runge I, & Fleury JC. 2004. Obesity-related excess mortality rate in an adult intensive care unit: a riskadjusted matched cohort study. Crit Care Med, 32:998-1003. Boynton A, Neuhouser ML, Wener MH, Wood B, Sorensen B, Chen-Levy Z, Kirk EA, Yasui Y, LaCroix K, McTiernan A, & Ulrich CM. 2007. Associations between healthy eating patterns and immune function or inflammation in overweight or obese postmenopausal women. Am J Clin Nutr, 86:1445–55. [terhubung berkala] http://www.ajcn.org. [7 Agustus 2011]
88
Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bahan Tambahan Makanan. SNI 010222-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. . 2004. 1996. Minuman Serbuk Tradisional. SNI 01-4320-1996. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. . 2004. Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. SNI 01-6993-2004. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Calder PC & Kew S. 2002. The immune system: a target for functional food? British Journal of Nutrition, 88, S165-S176. Cermin Dunia Kedokteran. 2009. Kesehatan masyarakat dan lingkungan. Status lingkungan hidup Indonesia 2005. 10: 268-71. [terhubung berkala] http://www.menlh.go.id/slhi/22-%20Bab%2010_268_271.pdf [3 Februari 2011] Chandra RK. 2002. Nutrition and the immune system form birth to old age. European Journal of Clinical Nutrition, 56, Suppl 3, S73 – S76. Chung WY, Park JH, Kim MJ, Kim HO, Hwang JK, Lee SK, & Park KK. 2007. Xanthorrhizol inhibits 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate-induced acute inflammation and two-stage mouse skin carcinogenesis by blocking the expression of ornithine decarboxylase, cyclooxygenase-2 and inducible nitric oxide synthase through mitogen-activated protein kinases and/or the nuclear factor-kB. Carcinogenesis, 28(6):1224–1231 Commission Regulation EU. 2006. Regulation (EC) No 1924/2006 of The European Parliament and of the Council, on nutrition and health claims made on foods. OJ L 404, 30.12.2006, p. 9 Damayanti R. 2008. Uji efek sediaan serbuk instan rimpang temulawak (curcuma xanthorrhiza roxb) sebagai tonikum terhadap mencit jantan galur Swiss Webster. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Darwis SN, Madjo Indo ABD, & Hasiyah S. 1992. Tanaman Obat Famili Zingiberaceae. Seri Pengembangan No. 17 Tahun 1992. Dhaliwal JS, Balasubramaniam T, Quek CK, Gill HK, & Nasuruddin BA. 1995. Reference range for lymphocyte subsets in a defined Malaysian population. Singapore Med J, 36:288-291.
89
DiMeglio DP, Mattes RD. 2000. Liquid versus solid carbohydrate: effects on food intake and body weight. Int J Obes Relat Metab Disord, 24:794–800. Dwiriani CM, Dewi M, & Januwati M. 2010. Efikasi ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan aktif xanthorrhizol (0.05%) untuk meningkatkan populasi limfosit t (>10%) pada orang dewasa obes. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ekelund U, Neovius M, Linné Y, Brage S, Wareham NJ,& Rössner S. 2005. Associations between physical activity and fat mass in adolescents: the Stockholm Weight Development Study. Am J Clin Nutr, 81:355– 60. Engel JF, RD Blackwell, dan PW Miniard. 1995. Perilaku Konsumen Jilid 2 (2nd ed.). (FX Budiyanto, penerjemah). Jakarta: Binarupa Aksara. Fatmah. 2006. Respon imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut. MAKARA, Kesehatan, 10(1): 47-53. French SA, Jeffery RW, Forster JL, McGovern PG, Kelder SH, & Baxter JE. 1994. Predictors of weight change over two years among a population of working adults: the Healthy Worker Project. Int J Obes Relat Metab Disord, 18:145–54. Gie L. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Gitawati R & Handayani RS. 2008. Profil konsumen obat tradisional terhadap ketanggapan akan adanya efek samping obat tradisional. Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan, 11(3): 283 - 288. [terhubung berkala] http://apotekputer.com/ma/index.php?option=com_content&task=view&id =139&Itemid=63 [16 Oktober 2011] Gomez R, Lago F, Gomez-Reino J, Dieguez C, & Gualillo O. 2009. Adipokines in the skeleton: influence on cartilage function and joint degenerative diseases. Journal of Molecular Endocrinology. 43, 11–18 Hardinsyah, Briawan D, Rimbawan, Sulaeman A, & Aries M. 2009. Uji Preferensi, Nilai Antioksidan, dan Indeks Glikemik serta Pengaruh Stamina dari Konsumsi Sari dan Buah Kurma. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Hargono D. 1985. Prospek Pemanfaatan Temulawak. Dalam Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Harun SR, Putra ST, Chair I, & Sastroasmoro S. 2008. Uji Klinis. Dalam Dasardasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-3 (Sastroasmoro S dan Ismael S, Eds). Jakarta: CV Sagung Seto.
90
Hendarini AT. 2011. Persepsi masyarakat terhadap manfaat kesehatan dan pengembangan produk minuman fungsional dari ekstrak daun hantap (Sterculia oblongata R.Brown) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hennekens CH & Buring JE. 1997. Epidemiology in Medicine. Boston, USA: Little Brown and Company. Herman AS. 1985. Berbagai Macam Penggunaan Temulawak dalam Makanan dan Minuman. Dalam Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Huang MT, Lysz T, Ferraro T, Abidi TF, Laskin JD, & Conney AH. 1991. Inhibitory effects of kurkumin on in vitro lipoxygenase and cyclooxygenase activities in mouse epidermis. Cancer Research, 51(3): p. 813-9. Istafid W. 2006. Visibility studi minuman instan ekstrak temulawak dan ekstrak mengkudu sebagai minuman kesehatan. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang. Karo-Karo U. 2009. Pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA) untuk pengobatan sendiri dan pengembangan usaha di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan. [Tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Kennedy J. 2005. Herb and supplement use in the US adult population. J.Clinthera, 27(11): 1847-58. [terhubung berkala] http://linkinghub.elsevier.com [20 Oktober 2011] Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Balai Pustaka. Kertia N, Sudarsono, Imono AD, Mufrod, Catur E, Rahardjo P, & Asdie AH. 2005. Pengaruh pemberian kombinasi minyak atsiri temulawak dan ekstrak kunyit dibandingkan dengan piroksikam terhadap angka leukosit cairan sendi penderita dengan osteoartritis lutut. Majalah Farmasi Indonesia, 16(3):155 - 161. [terhubung berkala] http://mfi.farmasi.ugm. ac.id/files/news/5._16-3-2005-sudarsono.pdf [4 Maret 2011] Khomsan A. 2000. Metode Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kim AJ, Kim YO, Shim JS, & Hwang JK. 2007. Immunostimulating Activity of Crude Polysaccharide Extract Isolated from Curcuma xanthorrhixa Roxb. Biosci. Biotechnol. Biochem, 71 (6), 1428-1438
91
Kimura M, Tanaka S, Isoda F, Sekigawa K, Yamakawa T & Sekihara H. 1998. T lymphopenia in obese diabetic (db/db) mice is nonselective and thymus independent. Life Sci. 62, 1243 – 1250. Komisi Penaggulangan AIDS. 2009. Situasi HIV dan AIDS di Indonesia. [terhubung berkala] http://www.icaap9.org/uploads/200907281232220. OUTLINE-Analisis%20Situasi%20HIV%20dan%20AIDS%20di%20Indo nesia.pdf. [4 Maret 2011] Kosim L, Priosoeryanto BP, & Purwakusumah ED. 2007. Potensi Temulawak Testandar Untuk Menanggulangi Flu Burung. Laporan penelitian. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB. Kuntorini EM. 2005. Botani ekonomi suku zingiberaceae sebagai obat tradisional oleh masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. BIOSCIENTIAE, Volume 2, Nomor 1, Januari 2005 [terhubung berkala] http://bioscientiae.tripod.com. [27 April 2011] Kurniawan DA. 2002. Analisis perilaku dan preferensi konsumen minuman ringan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) (Studi kasus di PD Nanjung, Bogor) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kvaavik E, Andersen LF, & Klepp KI. 2005. The stability of soft drinks intake from adolescence to adult age and the association between long-term consumption of soft drinks and lifestyle factors and body weight. Public Health Nutr, 8:149 –57. Lamas O, Marti A, & Martinez JA. 2002. Obessity and immunocompetence. European Journal of Clinical Nutrition, 56, Suppl 3, S42–S45. Lee SK, Hong CH, Huh SK, Kim SS, Oh OJ, Min HY, Park KK, Chung WY, & Hwang JK. 2002. Suppressive effect of natural sesquiterpenoids on inducible cyclooxygenase (COX-2) and nitric oxide synthase (iNOS) activity in mouse macrophage cells. J Environ Pathol Toxicol Oncol. 21(2):141-8. [terhubung berkala] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12086400 [27 April 2011]. Materia Medika Indonesia/MMI. 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Marcos A, Nova E & Montero A. 2003. Changes in the immune system are conditioned by nutrition. European Journal of Clinical Nutrition, 57, Suppl 1, S66–S69. Martí A, Marcos A, & Martínez JA. 2001. Obesity and immune function relationships. obesity reviews, 2, 131–140
92
Matarese G. 2000. Leptin and the immune system: how nutritiomal status influences the immune response. European Cytokine Network, 11(1): 7– 14. Moelyono. 2007. Temulawak, ikon obat herbal Indonesia? [terhubung berkala] http://blogs.unpad.ac.id/moelyono/2007/09/21/temulawak-ikon-obatherbal -indonesia/. [26 Juli 2011]. Nieman DC, Henson DA, Nehlsen-Cannarella SL, Ekkens M, Utter AC, Butterworth DE & Fagoaga OR. 1999. Influence of obesity on immune function. J. Am. Diet. Assoc. 99, 294 – 299. Oliveros H & Villamor E. 2008. Obesity and mortality in critically ill adults: A systematic review and meta-analysis. Obesity. 16(3), 515 – 521. O’Shea D, Cawood TJ, O’Farrelly C, Lynch L. 2010. Natural killer cells in obesity: Impaired function and increased susceptibility to the effects of cigarette smoke. PLoS ONE. 5(1): e8660. Raben A, Vasilaras TH, Moller AC, Astrup A. 2002. Sucrose compared with artificial sweeteners: different effects on ad libitum food intake and body weight after 10 wk of supplementation in overweight subjects. Am J Clin Nutr, 76:721–9. Rahardjo M & Rostiana O. 2003. SOP budidaya jahe, kencur, kunyit dan temulawak. Circular Balittro, No.16. 43h. Rahmat ES dan Setianingrum. 1999. Pengaruh Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) untuk Meningkatkan Nafsu Makan pada Penderita Anoreksia Primer [terhubung berkala] http://www.risbinkes.litbang.depkes.go.id/Buku%20laporan%20penelitian%201997-2006/21pengaruh_ekstrak_temu_lawak.htm. [26 Desember 2011]. Ria EB. 1989. Pengaruh jumlah pelarut, lama ekstraksi, dan ukuran bahan terhadap rendemen dan mutu oleoresin temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Roitt IM & Delves PJ. 2001. Essential Immunology Tenth Edition. Massachusets, USA: Blackwell Publishing Inc. Rusilanti. 2006. Aspek psiko social, aktivitas fisik, konsumsi makanan, status gizi, dan pengaruh susu probiotik (Enterococcus faecium IS-27526) (MEDP) terhadap respon imun IgA lansia [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
93
Sastroasmoro S. 2008. Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-3 (Sastroasmoro S dan Ismael S, Eds). Jakarta: CV Sagung Seto. Sayed DM, EL-Attar MM, & Hussein AARM. 2009. Evaluation of flow cytometric immunophenotyping and DNA analysis for detection of malignant cells in serosal cavity fluids. Cytopathol, 37 (7) : 498-504. Sembiring BB, Ma’mun, Ginting EI. 2006. Pengaruh kehalusan bahan dan lama ekstraksi terhadap mutu ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bul. Littro. 17(2), 53–58. Septina T, Purba M, & Hartriyanti Y. 2010. Studi validasi indeks massa tubuh dan rasio lingkar pinggang panggul terhadap profil lipid pada pasien rawat jalan di Poli Jantung RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 7(1), 34–40. Sidik, Mulayono MW, & Muhatdi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam. Strandberg L. 2009. Interactions between nutrition, obesity, and the immune system [Doctoral thesis]. Gothenburg, Sweden: Section of Endocrinology, Department of Physiology, institute of Neuroscience and Physiology, The Sahlgrenska Academy at the University of Gothenburg. Suharyono AS. 2007. Efek Sinar Ultraviolet terhadap Kandungan Total Mikroba dan Vitamin C Sari Buah Jeruk Nipis. Lampung: Jurusan Teknologi Pasca Panen, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. [terhubung berkala] uppmpolinela.files.wordpress.com/.../efek-sinar-ultraviolet-terhadap-kandungan-total-mikroba-dan-vita min-c-sari-buah-jeruk-nipis.doc [13 Agustus 2010] Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sumiaty. 1997. Minuman berkhasiat dari temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suryati HA. 1985. Berbagai macam penggunaan temulawak dalam makanan dan minuman. Dalam Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Suwiah A. 1991. Pengaruh perlakuan bahan dan jenis pelarut yang digunakan pada pembuatan temulawak instan (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap rendemen dan mutunya [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
94
Taib G, Said G, & Wiraatmadja S. 1987. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa. Tanaka MJ, Gryzlak BM, Zimmerman MB, NL Nisly & RB Wallace. 2008. Patterns of natural herb use by Asian and Pacific Islanders. Ethnicity & Health, 13(2): 93-108 Taryono ME, Rachmat S, dan Sardina A. 1987. Plasma nutfah Tanaman Temutemuan dalam Pengembangan Penelitian Plasma Nutfah Tanaman Rempah dan Obat. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Kementerian Pertanian RI. Tordoff MG & Alleva AM. 1990. Effect of drinking soda sweetened with aspartame or high-fructose corn syrup on food intake and body weight. Am J Clin Nutr, 51:963–9. Vander A, Sherman J, & Luciano D. 1998. Human Physiology: The Mechanism of Body Function, 7th Edition. Boston, Massachusetts: McGraw-Hill Companies Inc. [WHO] World Health Organization. 2003. WHO guidelines on good agricultural and collection practices (GACP) for medicinal plants. Geneva: WHO. . 2010. Clinical features of severe cases of pandemic influenza Pandemic (H1N1) 2009 briefing note 13 [terhubung berkala] http://www.who.int/csr /disease/swineflu/notes/h1n1_clinical_features_20091016/en/index.html [1 Agustus 2011] Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka. Womack J, Tien PC, Feldman J, Shin JH, Fennie K, Anastos K, Cohen MH, Bacon MC, & Minkoff H. 2007. Obesity and immune cell counts in women. Metabolism, 56(7): 998–1004. Yu Ch dan Ohlund B. 2010. Threats to validity of research design. [terhubung berkala] http://www.creative-wisdom.com/teaching/WBI/threat.shtml [1 November 2011] Yulianti NP. 2010. Pengaruh nisbah bahan baku-pelarut dan suhu ekstraksi terhadap kandungan xanthorrhizol dalam oleoresin temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
95
LAMPIRAN
96
Lampiran 1. Kuesioner “PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK”
Data yang dikumpulkan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian atas nama Muhammad Aries (NRP: I 151090011) pada Mayor Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, IPB. Isi atau lingkari jawaban yang sesuai I. IDENTITAS
1. Nama Lengkap : 2. Jenis kelamin : (1) Laki-laki (2) Perempuan 3. Usia : ...................................(Tahun) 4. Pekerjaan : (1) Tenaga pendidik (2) Tenaga kependidikan 5. Pendidikan terakhir (termasuk yang tidak tamat pada masing-masing kategori) (1) Tidak Sekolah (2) SD (3) SLTP (4) SLTA (5) Perguruan Tinggi 6. Jumlah anggota keluarga: ...................................(orang) 7. Besar pendapatan per bulan (Rp): (1) <0,5 juta (2) 0,5 - 1 juta (3) 1 – 2 juta (4) > 2 juta 8. Alamat tempat tinggal : ...................................................... No Telp/Hp :.................................... II. PENGALAMAN MENGONSUMSI TEMULAWAK
1. Apakah Bapak/Ibu dan keluarga pernah mengonsumsi temulawak? (1) Ya (2) Tidak 2. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1 Apakah temulawak tersebut rutin dikonsumsi Bapak/Ibu dan keluarga? (1) Ya,...........kali per hari/minggu/bulan (2) Tidak 3. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 2 manfaat apakah yang dirasakan oleh Bapak/Ibu? (1) Tubuh terasa lebih segar (2) Nafsu makan meningkat (3) Jarang sakit (4) Tubuh jadi lebih gemuk (5) Tidak merasakan manfaat apapun (6) Lainnya,....................... 4. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1, dalam bentuk apakah temulawak tersebut dikonsumsi (1) Minuman/jus (2) Bagian dari bumbu masak (3) Jamu (4) Obat/kapsul 5. Lainnya,: ………… 5. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1, dari manakah Bapak/Ibu memperoleh Temulawak tersebut? (1) Tanaman sendiri (2) Pasar tradisonal/warung (3) Supermarket (4) Toko obat (5) Penjaja (6) Lainnya, sebutkan : ............ 6. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1, apakah Bapak/Ibu menemui kesulitan dalam mendapatkan temulawak? (1) Ya (2) Tidak 7. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1, apa tujuan Bapak/Ibu & keluarga mengonsumsi/menggunakan temulawak? (1) Membuat makanan/masakan lebih enak (2) Menjaga kesehatan (3) Upaya pengobatan (4) Lainnya,................................ 8. Jika ada produk baru yang terbuat dari temulawak, bentuk produk apakah yang diharapkan oleh Bapak/Ibu? (1) Minuman instan (2) Permen/camilan (3) Jamu (4) Obat/kapsul (5) Lainnya,................. 9. Jika ada produk baru yang terbuat dari temulawak, apakah Bapak/Ibu mau mengonsumsinya? (1) Ya (2) Tidak 10. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 8, alasan apa yang membuat Bapak/Ibu mau mengonsumsi produk tersebut? (1) Rasa temulawak yang khas (2) Manfaat kesehatannya (3) Lainnya,.................... III. PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK
1. Apakah Bapak/Ibu tahu bahwa temulawak bermanfaat bagi kesehatan? (1) Ya (2) Tidak 2. Dari manakah Bapak/Ibu tahu tentang manfaat kesehatan temulawak tersebut? (1) Koran/majalah (Media Cetak) (2) Radio (3) Televisi (4) Keluarga/teman (5) Seminar (6) Jurnal ilmiah (7) Lainnya,...................................... Untuk pertanyaan No. 3 – 18 cukup pilih jawaban “Ya” atau “Tidak” 3. Temulawak bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan. 4. Temulawak bermanfaat untuk memperlancar buang air besar. 5. Temulawak bermanfaat untuk menurunkan demam. 6. Temulawak bermanfaat untuk meningkatkan ketahanan tubuh. 7. Temulawak bermanfaat untuk mempercepat proses penyembuhan luka. 8. Temulawak bermanfaat untuk mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin/melahirkan. 9. Temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit maag. 10.Temulawak bermanfaat untuk mengobati penyakit ginjal. 11.Temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit kencing. 12.Temulawak bermanfaat untuk mengobati gatal-gatal atau eksim. 13.Temulawak bermanfaat untuk mengobati peradangan dalam perut maupun kulit. 14.Temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit perut. 15.Temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit hati/penyakit kuning. 16.Temulawak bermanfaat untuk mengobati malaria. 17.Temulawak memiliki manfaat kesehatan yang jauh lebih besar daripada ginseng. 18.Temulawak memiliki efek samping negatif yaitu meyebabkan kegemukan karena nafsu makan sangat tinggi.
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
/ / / / / / / / / / / / / / / /
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
97
Lampiran 2. Formulir Uji Organoleptik Produk Minuman Serbuk Temulawak Nama Panelis : Jenis Kelamin : L / P
Tanggal Pengujian Nama Produk
: : Minuman serbuk temulawak
Dihadapan Saudara/i disajikan sampel produk Minuman serbuk temulawak. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 1-9 dibawah ini yang tepat menggambarkan persepsi Saudara/i 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian Hedonik Warna
1
2
3
4
Amat Sangat Tidak Suka
5
6
7
8
Biasa
9 Amat Sangat Suka
Aroma 1
2
3
4
Amat Sangat Tidak Suka
5
6
7
8
Biasa
9 Amat Sangat Suka
Rasa 1
2
3
4
Amat Sangat Tidak Suka
5
6
7
8
Biasa
9 Amat Sangat Suka
Kekentalan
1
2
3
4
Amat Sangat Tidak Suka
5
6
7
8
Biasa
9 Amat Sangat Suka
Keseluruhan
1
2
Amat Sangat Tidak Suka
3
4
5
Biasa
6
7
8
9 Amat Sangat Suka
Komentar .............................................................................................................................................................. .............................................................................................................................................................. ..............................................................................................................................................................
TERIMAKASIH
98
Formulir Uji Organoleptik Produk Minuman Serbuk Temulawak Nama Panelis : Jenis Kelamin : L / P
Tanggal Pengujian Nama Produk
: : Minuman serbuk temulawak
Dihadapan Saudara/i disajikan sampel produk Minuman serbuk temulawak. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 1-9 dibawah ini yang tepat menggambarkan persepsi Saudara/i 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian Mutu Hedonik Warna
1
2
3
4
Amat Sangat Gelap
5
6
7
8
Biasa
9 Amat Sangat Terang
Aroma 1
2
3
4
Amat Sangat Tidak Segar
5
6
7
8
Biasa
9 Amat Sangat Segar
Rasa 1
2
3
4
Amat Sangat Pahit
5
6
7
8
Biasa
9 Amat Sangat Manis
Kekentalan
1
2
3
4
Amat Sangat Encer
5
6
7
8
Biasa
9 Amat Sangat Kental
Keseluruhan
1
2
Amat Sangat Tidak Enak
3
4
5
Biasa
6
7
8
9 Amat Sangat Enak
Komentar .............................................................................................................................................................. .............................................................................................................................................................. ..............................................................................................................................................................
TERIMAKASIH
99
Lampiran 3. Contoh lembar hasil analisis limfosit Lembar 1.
100
Lembar 2.
101
Lembar 3.
102
Lampiran 4. Berbagai hasil pengolahan data dengan perangkat lunak SPSS 13.00 for Windows Hasil uji validitas dan reabilitas kuesioner survei pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan Case Processing Summary Cases
Valid
N 79
% 100.0
Excluded(a)
0
.0
Total
79 100.0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.799
16
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted 7.20
Scale Variance if Item Deleted 12.548
Corrected ItemTotal Correlation .472
Cronbach's Alpha if Item Deleted .787
BAB
7.47
12.355
.313
.795
DEMAM
7.63
12.517
.250
.800
TAHAN
7.22
12.504
.464
.786
LUKA
7.75
11.909
.456
.784
SALIN
7.47
11.534
.573
.775
MAAG
7.57
11.453
.574
.774
GINJL
7.78
11.812
.505
.780
KENC
7.68
11.886
.445
.785
EKSIM
7.78
11.658
.557
.776
RADNG
7.56
11.455
.575
.774
PERT
7.47
11.739
.506
.780
HATI
7.54
11.815
.463
.783
MLR
7.85
12.515
.307
.794
GINS
7.90
13.554
-.020
.813
GEMK
7.65
13.360
.012
.817
NMKAN
Scale Statistics Mean 8.10
Variance 13.656
Std. Deviation 3.695
N of Items 16
103
Hasil uji chi-square antara karakteristik subjek (jenis kelamin dan tingkat pendidikan) dengan skor pengetetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan Jenis kelamin dan skor pengetahuan Case Processing Summary Cases Valid N KATSKOR * JK
Missing Percent 100.0%
76
N
Total
Percent .0%
0
N 76
Percent 100.0%
KATSKOR * JK Crosstabulation JK 1 KATSKOR
< 60 > 80 60 - 80
Total
Count % within JK Count % within JK Count % within JK Count % within JK
2
21 56.8% 8 21.6% 8 21.6% 37 100.0%
22 56.4% 11 28.2% 6 15.4% 39 100.0%
Total 43 56.6% 19 25.0% 14 18.4% 76 100.0%
Chi-Square Tests Value .731a .733 76
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
df 2 2
Asymp. Sig. (2-sided) .694 .693
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.82.
Tingkat pendidikan dan skor pengetahuan Case Processing Summary
Valid N KATSKOR * KELPDDK
76
Percent 100.0%
Cases Missing N Percent 0 .0%
Total N 76
Percent 100.0%
104
KATSKOR * KELPDDK Crosstabulation KELPDDK 1 KATSKOR
< 60 > 80 60 - 80
Total
Count % within KELPDDK Count % within KELPDDK Count % within KELPDDK Count % within KELPDDK
2
28 70.0% 5 12.5% 7 17.5% 40 100.0%
Total
15 41.7% 14 38.9% 7 19.4% 36 100.0%
43 56.6% 19 25.0% 14 18.4% 76 100.0%
Chi-Square Tests Value 8.005a 8.221 76
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
df 2 2
Asymp. Sig. (2-sided) .018 .016
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.63.
Hasil uji beda skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan Antar kelompok jenis kelamin Group Statistics
SKOR
JK 1 2
N 37 39
Mean 57.002 58.042
Std. Deviation 28.3174 25.7650
Std. Error Mean 4.6554 4.1257
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F SKOR Equal variances assumed Equal variances not assumed
.533
Sig. .468
t-test for Equality of Means
t
Mean Std. Error Sig. (2-tailed) Difference Difference
df
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-.168
74
.867
-1.0395
6.2048 -13.4029
11.3239
-.167
72.429
.868
-1.0395
6.2204 -13.4384
11.3594
105
Antar kelompok tingkat pendidikan Group Statistics
SKOR
KELPDDK 1 2
N 40 36
Mean 49.091 66.919
Std. Deviation 26.3480 24.5048
Std. Error Mean 4.1660 4.0841
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F SKOR Equal variances assumed Equal variances not assumed
.013
t-test for Equality of Means
Sig.
t
.909
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Mean Std. Error Sig. (2-tailed) Difference Difference
df
-3.044
74
.003
-17.8283
5.8566
-29.4978
-6.1588
-3.056
73.913
.003
-17.8283
5.8340
-29.4530
-6.2036
Antar kelompok dengan kebiasaan/rutinitas mengonsumsi temulawak Group Statistics
SKOR
RUTIN1 1 2
N 16 43
Mean 62,500 56,660
Std. Deviation 23,9087 27,6907
Std. Error Mean 5,9772 4,2228
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F SKOR Equal variances assumed Equal variances not assumed
,190
Sig. ,665
t-test for Equality of Means
t
Mean Sig. (2-tailed) Difference
df
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
,746
57
,459
5,8404
7,8327
-9,8443
21,5251
,798
30,956
,431
5,8404
7,3184
-9,0864
20,7671
106
Hasil uji ANOVA minuman instan temulawak Descriptives
N warna
aroma
rasa
kekentalan
keseluruhan
bobot keseluruhan
1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total
32 32 32 32 128 32 32 32 32 128 32 32 32 32 128 32 32 32 32 128 32 32 32 32 128 32 32 32 32 128
Mean 6,131 5,984 5,116 4,994 5,556 4,475 4,663 4,413 4,894 4,611 3,838 4,572 5,181 5,953 4,886 5,891 5,247 4,850 5,213 5,300 4,494 4,875 5,247 5,803 5,105 4,8344 5,0075 4,9481 5,4013 5,0478
Std. Deviation 1,8177 1,4019 1,6294 1,7827 1,7228 1,9877 2,2737 1,8990 1,9341 2,0137 1,9727 1,8796 1,5849 1,3942 1,8737 1,9106 1,4274 1,8437 1,7641 1,7662 1,8828 1,6662 1,5764 1,7314 1,7654 1,32749 1,03109 1,08108 1,05465 1,13680
Std. Error ,3213 ,2478 ,2880 ,3151 ,1523 ,3514 ,4019 ,3357 ,3419 ,1780 ,3487 ,3323 ,2802 ,2465 ,1656 ,3378 ,2523 ,3259 ,3119 ,1561 ,3328 ,2945 ,2787 ,3061 ,1560 ,23467 ,18227 ,19111 ,18644 ,10048
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 5,476 6,787 5,479 6,490 4,528 5,703 4,351 5,636 5,255 5,858 3,758 5,192 3,843 5,482 3,728 5,097 4,196 5,591 4,259 4,963 3,126 4,549 3,894 5,250 4,610 5,753 5,450 6,456 4,558 5,214 5,202 6,579 4,732 5,761 4,185 5,515 4,576 5,849 4,991 5,609 3,815 5,173 4,274 5,476 4,679 5,815 5,179 6,427 4,796 5,413 4,3558 5,3130 4,6358 5,3792 4,5584 5,3379 5,0210 5,7815 4,8490 5,2466
Minimum 2,5 3,4 2,0 2,5 2,0 ,0 ,0 ,0 ,0 ,0 1,4 ,0 1,7 3,0 ,0 2,2 2,4 1,0 2,0 1,0 ,0 ,0 ,0 ,0 ,0 2,24 3,20 3,00 3,46 2,24
ANOVA
warna
aroma
rasa
kekentalan
keseluruhan
bobot keseluruhan
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 32,783 344,172 376,955 4,496 510,489 514,985 77,567 368,288 445,855 17,978 378,182 396,160 29,889 365,928 395,817 5,825 158,298 164,123
df 3 124 127 3 124 127 3 124 127 3 124 127 3 124 127 3 124 127
Mean Square 10,928 2,776
F 3,937
Sig. ,010
1,499 4,117
,364
,779
25,856 2,970
8,705
,000
5,993 3,050
1,965
,123
9,963 2,951
3,376
,021
1,942 1,277
1,521
,212
Maximum 9,0 9,0 8,0 8,0 9,0 9,0 9,0 9,0 8,5 9,0 8,2 8,0 9,0 8,5 9,0 9,0 8,0 9,0 9,0 9,0 7,5 7,0 7,5 8,0 8,0 7,10 7,00 7,40 7,30 7,40
107
Uji lanjut Duncan aroma
warna a
Duncan
a
Duncan perlak1 4 3 2 1 Sig.
N 32 32 32 32
Subset for alpha = .05 1 2 4,994 5,116 5,984 6,131 ,770 ,725
Means for groups in homogeneous subsets are displa a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.
perlak1 3 1 2 4 Sig.
N 32 32 32 32
Means for groups in homogeneous subsets are displaye a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.
rasa a
Duncan
perlak1 1 2 3 4 Sig.
Subset for alpha = .05 1 2 3 3,838 4,572 4,572 5,181 5,181 5,953 ,091 ,160 ,076
N 32 32 32 32
Means for groups in homogeneous subsets are disp a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.
keseluruhan a
perlak1 3 4 2 1 Sig.
N 32 32 32 32
Subset for alpha = .05 1 2 4,494 4,875 5,247 5,247 5,803 ,100 ,198
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.
N 32 32 32 32
Subset for alpha = .05 1 2 4,850 5,213 5,213 5,247 5,247 5,891 ,396 ,146
Means for groups in homogeneous subsets are disp a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.
bobot keseluruhan Duncan
Duncan
kekentalan a
Duncan
perlak1 1 2 3 4 Sig.
Subset for alpha = .05 1 4,413 4,475 4,663 4,894 ,395
perlak1 1 3 2 4 Sig.
a
N 32 32 32 32
Subset for alpha = .05 1 4,8344 4,9481 5,0075 5,4013 ,068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.
108
Hasil uji normalitas (one sample Kolmogorov-Smirnov) untuk seluruh variabel yang diamati dalam uji klinis Descriptive Statistics N sel T%_1 sel T#_1 cd4+%_1 cd4+#_1 limfosit#_1 cd8+%_1 cd8+#_1 sel B%_1 sel B#_1 sel_nk%_1 sel_nk#_1 sel T%_2 sel T#_2 cd4+%_2 cd4+#_2 limfosit#_2 cd8+%_2 cd8+#_2 sel B%_2 sel B#_2 sel_nk%_2 sel_nk#_2
21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21
Mean 62.48 1746.24 36.10 989.95 2773.86 23.14 659.48 14.24 388.14 25.90 714.90 63.86 1859.14 37.57 1078.81 2874.19 20.90 615.62 11.62 328.38 23.62 663.86
Std. Deviation 9.923 569.879 8.390 285.654 660.793 7.143 303.164 3.534 121.294 11.296 346.635 11.051 682.256 9.516 399.878 755.405 6.139 279.377 2.655 97.523 9.129 274.692
Minimum 44 1048 22 593 1677 10 247 8 171 10 304 42 959 24 489 1734 9 235 7 149 13 326
Maximum 78 3020 50 1551 4161 37 1528 20 659 46 1462 79 3113 56 1963 4254 34 1347 17 530 40 1337
One sample kolmogorov-smirnov test sel T%_1 N
21
Normal Parameters(a,b)
Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute
62.48 9.923 .132
sel T#_1
cd4+ %_1
21 1746.2 4 569.87 9
8.390
285.654
.110
.170
.140
cd8+ %_1
cd8+#_ 1
sel B%_1
sel B#_1
sel_ nk%_1
21
21
21
14.24
21 388.1 4 121.2 94
21
659.48
25.90
714.90
11.296
346.63 5
.138
.145
cd4+#_1
limf#_1
21
21 989.95
21 2773.8 6 660.79 3
21
36.10
23.14 7.143
303.164
3.534
.084
.127
.118
.146
.120
sel_ nk#_1
Positive
.114
.109
.170
.140
.074
.127
.118
.146
.120
.138
.145
Negative
-.132
-.110
-.128
-.104
-.084
-.090
-.107
-.142
-.080
-.113
-.118
Kolmogorov-Smirnov Z
.607
.505
.779
.644
.383
.582
.541
.669
.548
.634
.662
Asymp. Sig. (2-tailed)
.855
.961
.578
.802
.999
.887
.932
.763
.925
.816
.773
cd4+ %_2
cd4+#_ 2
limf#_2
cd8+ %_2
cd8+#_ 2
sel B%_2
sel B#_2
sel_ nk%_2
sel_ nk#_2
21 37.5 7 9.51 6
21
21
21
21
21
21
21
1078.81
2874.19
20.90
615.62
11.62
328.38
23.62
399.878
755.405
6.139
279.377
2.655
97.523
9.129
21 663.8 6 274.6 92
.102
.119
.111
.125
.111
.205
.223
.226
sel T%_2 N Normal Parameters(a,b)
Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute
sel T#_2
21
21
63.86
1859.14
11.051
682.256
.129
.180
.175
Positive
.085
.180
.102
.119
.111
.074
.111
.205
.223
.226
.175
Negative
-.129
-.135
-.098
-.073
-.086
-.125
-.087
-.122
-.097
-.133
-.109
Kolmogorov-Smirnov Z
.593
.824
.467
.547
.511
.574
.510
.939
1.020
1.034
.803
Asymp. Sig. (2-tailed)
.874
.505
.981
.925
.957
.897
.957
.341
.249
.236
.540
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
109
Hasil uji beda untuk seluruh variabel yang diamati dalam uji klinis Descriptive Statistics N Umur imt sel T%_1 sel T#_1 cd4+%_1 cd4+#_1 limfosit#_1 cd8+%_1 cd8+#_1 sel B%_1 sel B#_1 sel_nk%_1 sel_nk#_1 sel T%_2 sel T#_2 cd4+%_2 cd4+#_2 limfosit#_2 cd8+%_2 cd8+#_2 sel B%_2 sel B#_2 sel_nk%_2 sel_nk#_2 Valid N (listwise)
21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21
Minimum 29 27.57 44 1056 22 613 1677 10 247 8 171 10 304 42 959 24 489 1734 9 235 7 149 13 326
Maximum 54 35.65 78 3020 50 1592 4161 37 1528 20 663 46 1462 79 3113 56 1963 4254 34 1347 17 530 40 1337
Mean 44.10 31.1481 63.62 1823.71 37.29 1037.52 2847.67 23.43 685.14 14.57 408.76 25.00 712.67 63.86 1859.14 37.57 1078.81 2874.19 20.90 615.62 11.62 328.38 23.62 663.86
Std. Deviation 6.457 2.28028 9.421 580.700 7.773 299.110 683.937 7.173 309.428 3.443 129.586 10.507 344.890 11.051 682.256 9.516 399.878 755.405 6.139 279.377 2.655 97.523 9.129 274.692
Paired Samples Statistics
Pair 1 Pair 2 Pair 3 Pair 4 Pair 5 Pair 6 Pair 7 Pair 8 Pair 9 Pair 10 Pair 11
sel T%_1 sel T%_2 sel T#_1 sel T#_2 cd4+%_1 cd4+%_2 cd4+#_1 cd4+#_2 limfosit#_1 limfosit#_2 cd8+%_1 cd8+%_2 cd8+#_1 cd8+#_2 sel B%_1 sel B%_2 sel B#_1 sel B#_2 sel_nk%_1 sel_nk%_2 sel_nk#_1 sel_nk#_2
21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21
Std. Deviation 9.421 11.051 580.700 682.256 7.773 9.516 299.110 399.878 683.937 755.405 7.173 6.139 309.428 279.377 3.443 2.655 129.586 97.523
Std. Error Mean 2.056 2.412 126.719 148.881 1.696 2.077 65.271 87.261 149.247 164.843 1.565 1.340 67.523 60.965 .751 .579 28.278 21.281
25.00
21
10.507
2.293
23.62
21
9.129
1.992
712.67
21
344.890
75.261
663.86
21
274.692
59.943
Mean 63.62 63.86 1823.71 1859.14 37.29 37.57 1037.52 1078.81 2847.67 2874.19 23.43 20.90 685.14 615.62 14.57 11.62 408.76 328.38
N
110 Paired Samples Correlations N 21
Correlation .851
Sig. .000
21
.652
.001
21
.801
.000
cd4+#_1 & cd4+#_2
21
.542
.011
Pair 5
limfosit#_1 & limfosit#_2
21
.594
.005
Pair 6
cd8+%_1 & cd8+%_2
21
.946
.000
Pair 7
cd8+#_1 & cd8+#_2
21
.850
.000
Pair 8
sel B%_1 & sel B%_2
21
.845
.000
Pair 9
sel B#_1 & sel B#_2
21
.535
.012
Pair 10
sel_nk%_1 & sel_nk%_2
21
.752
.000
Pair 11
sel_nk#_1 & sel_nk#_2
21
.725
.000
Pair 1
sel T%_1 & sel T%_2
Pair 2
sel T#_1 & sel T#_2
Pair 3
cd4+%_1 & cd4+%_2
Pair 4
Paired Samples Test
Pair 1 Pair 2 Pair 3 Pair 4 Pair 5 Pair 6 Pair 7 Pair 8 Pair 9 Pair 10 Pair 11
Mean sel T%_1 - sel T%_2 -.238 sel T#_1 - sel T#_2 -35.429 cd4+%_1 - cd4+%_2 -.286 cd4+#_1 - cd4+#_2 -41.286 limfosit#_1 - limfosit#_ -26.524 cd8+%_1 - cd8+%_2 2.524 cd8+#_1 - cd8+#_2 69.524 sel B%_1 - sel B%_2 2.952 sel B#_1 - sel B#_2 80.381 sel_nk%_1 - sel_nk% 1.381 sel_nk#_1 - sel_nk#_ 48.810
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Std. Deviation Mean Lower Upper 5.804 1.267 -2.880 2.404 534.775 116.697 -278.855 207.998 5.693 1.242 -2.877 2.306 346.035 75.511 -198.799 116.228 651.687 142.210 -323.168 270.121 2.421 .528 1.422 3.626 163.846 35.754 -5.058 144.106 1.857 .405 2.107 3.798 113.003 24.659 28.943 131.819 7.039 1.536 -1.823 4.585 238.706 52.090 -59.848 157.467
t -.188 -.304 -.230 -.547 -.187 4.777 1.944 7.287 3.260 .899 .937
df 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Sig. (2-tailed) .853 .765 .820 .591 .854 .000 .066 .000 .004 .379 .360