J. Agroland 18 (1) : 29 - 35, April 2011
ISSN : 0854 – 641X
PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT DARAH PADA PISANG DENGAN PSEUDOMONAD FLUORESEN DAN Bacillus spp. Biological Control of Banana Blood Disease Using Pseudomonad Fluorescent and Bacillus spp. Nur Edy1) 1)
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Jl. Soekarno – Hatta Km 9 Palu 94118, Sulawesi Tengah Telp/Fax : 0451 – 429738
ABSTRACT Four antagonist bacterial strains, Pseudomonad fluorescent strain UTD1 (Pf-UTD1), Pseudomonad fluorescent strain UTD2 (Pf-UTD2), Bacillusspp. strain UTD1 (Ba-UTD2), and Bacillusspp. strain UTD1 (Ba-UTD1) which had been found to have biocontrol activity in vitro assays against blood disease bacteria, the causal agent of wilt banana, were tested for their compatibility in vitro and its antagonism in screen house using banana budless Kepok as test plant. The compatibility test showed that Pseudomonad fluorescent strain UTD1 was only compatible with Pseudomonad fluorescent strain UTD2, Pseudomonad fluorescent strain UTD2 compatible with all antagonist (PfUTD1, Ba-UTD1, dan Ba-UTD2), Bacillus spp. strain UTD1 only compatible with Bacillus spp. strain UTD2, and Bacillus spp. strain UTD2 compatible with all antagonist (Pf-UTD1, Pf-UTD2 and Ba-UTD1). Inoculation with blood disease bacteria caused significant wilting, and reduced plant growth. Single Inoculation using either Pseudomonad fluorescent UTD1 or Bacillus spp. UTD2 causing greater results with no wilting. Combination between Pseudomonad fluorescent UTD2 and Bacillus spp. UTD2 also showed no wilting. Generally, all treatments were considered good because they could reduce disease intensity less than 25%, except for Pseudomonad fluorescent UTD2 and Bacillus spp. UTD treatments which caused wilting up to 38.89%. The results suggested that both single and combination treatments of Pseudomonad fluorescent UTD2 and Bacillus spp. UTD2 can be used to control blood disease bacteria in wider scale. Key words: Bacillus spp., biological control, blood disease bacteria, pseudomonad fluorescent.
PENDAHULUAN Sejak awal ditemukannya penyakit darah pada pisang atau layu bakteri pada tahun 1920an oleh Gauman di Pulau Selayar, penyakit ini telah menyebar luas di Indonesia. Literatur tentang penyakit ini tidak banyak ditemukan. Patogen penyebabnya pun hingga kini juga belum teridentifikasi dengan baik sehingga belum memiliki nama valid. Secara internasional, patogen penyebab penyakit darah dikenal dengan nama umum blood disease bacterium (BDB). Di Indonesia, awalnya dikenal dengan nama Pseudomonas celebencis, lalu berubah menjadi Pseudomonas solanacearum,
kemudian berganti menjadi Ralstonia solanacearum setelah ditetapkan bahwa bakteri ini masuk dalam genera Ralstonia. Penemuan terakhir berdasarkan kajian filotipe, BDB ternyata tidak masuk dalam spesies soanacearum karena tidak menginfeksi tanaman solanaceae. BDB termasuk dalam filotipe IV sedangkan Ralstonia solanacearum masuk dalam filotype II (Fegan, 2005). BDB sangat destruktif, dalam waktu singkat dapat menyebabkan hamparan pertanaman pisang layu hingga 90 % seperti yang dilaporkan diberbagai provinsi di Indonesia dari awal ditemukannya hingga dekade ini (Buddenhagen dan Kelman, 1964; 29
Rao, 1976; Hermanto dkk., 2001; Roesmiyanto dan Hutagalung, 1989; Subianto, 1989; Eden Green, 1994; Hermanto dkk., 1998; Sudana dkk., 2000).Nur Edy dkk. (2009) menemukan penyakit darah pada pisang terdapat pada berbagai ketinggian wilayah di Lembah Palu dengan rata-rata intensitas serangan di atas 50 %. Pengendalian hayati adalah salah satu alternatif model pengelolaan organisme pengganggu tanaman yang ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan mikroba-mikroba antagonis, dapat diminimalisasi dampak kerusakannya pada tanaman-tanaman budidaya. Beberapa kelompok bakteri antagonis dari pseudomonad fluoresen (Haas dan Défago, 2005) dan Bacillus spp. (Saddler, 2005). Pengendalian hayati telah banyak diteliti secara intensif dalam mengendalikan penyakit layu pada tanaman. Kemampuan mikroba antagonis dalam mengkolonisasi dan menginduksi pembentukan ketahanan di perakaran tanaman menjadi kajian menarik para peneliti karena beberapa hasil yang sukses di terapkan tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara-negara lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kemampuan antagonis bakteri Pseudomonas kelompok fluorescens (pseuodomonad fluoresen) dan bacillus spp. Dalam mengendalikan penyakit darah pada pisang kepok tanpa jantung hasil kultur jaringan di rumah kasa. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Rumah Kasa Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Tadulako pada bulan Januari-Juni 2010 dengan tahapan pelaksanaan penelitian sebagai berikut. Perbanyakan Mikroorganisme Antagonis. Isolasi dan perbanyakan Pseuodomonad fluoresen dilakukan pada Media King’s B danBacillusspp. Pada media Tryptic Soy Agar (TSA) NA ditempuh menurut metode Arwiyanto (1998); Stolp dan Gadkari(1983). Mikroba antagonis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pseudomonad fluoresen strain UTD1 dan UTD2 (Pf-UTD1 dan 30
Pf-UDT2), Bacillus spp. strain UTD1 dan UTD2 (Ba-UTD1 dan Ba-UTD2) yang diisolasi dari pertanaman pisang sehat di Lembah Palu. Pengujian Kompatibilitas Antagonis. Pengujian kompatibilitas antar bakteri antagonis dimaksudkan untuk mengetahui antagonisme antar isolat yang dilaksanakan menurut metode Arwiyanto (1997); Arwiyanto dan Hartana(1999), yaitu: Bakteri
PfUTD1 -
PfUTD2 √
BaUTD1 √
BaUTD2 √
PfUTD1 Pf√ √ √ UTD2 Ba√ √ √ UTD1 Ba√ √ √ UTD2 Keterangan: - : tidak diseleksi antar antagonis yang sama √ : Seleksi antar antagonis yang berbeda
uji kompatibilitas dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut. Masing-masing antagonis ditumbuhkan pada medium CPG dan diinkubasikan selama 2 hari untuk perbanyakan. Antagonis tersebut ditumbuhkan lagi pada medium CPG sebanyak 4 strain per cawan petri lalu diinkubasi selama 2 hari, dibalik dan pada tutupnya dituangi dengan kloroform sebanyak 0,5 ml, dibiarkan selama 2 jam agar kloroformnya menguap, kemudian cawan petri dibalik kembali seperti posisi semula. Pada permukaan medium tersebut kemudian dituangi dengan antagonis lain yang diuji kompatibilitasnya sebanyak 0,2 ml dalam 4 ml 0,6% agar air pada suhu 45oC. Biakan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27oC, kemudian diamati tiap hari ada atau tidak adanya hambatan. Antagonis yang kompatibel ditunjukkan dengan tidak adanya zona hambatan dan antagonis yang tidak kompatibel ditunjukkan dengan adanya zona hambatan. Penekanan Bakteri Penyebab Penyakit Darah Oleh Bakteri Antagonis. Bakteri antagonis disuspensi pada air steril secara terpisah dengan perbandingan volume (1:1) 30
dengan kerapatan populasi 109 cfu/ml. Inokulasi dilakukan dengan merendam bibit pisang kapok tanpa jantung hasil perbanyakan kultur jaringan berumur satu bulan setelah aklimatisasi pada suspensi Pseudomonad fluoresen dan Bacillus spp. lalu ditanam pada polybag dan dibiarkan selama satu minggu. Inokulasi patogen dilakukan dengan menyiramkan suspensi BDB pada kerapatan populasi 109 cfu/ml ke tanah yang akan ditanami bibit pisang. Parameter yang diamati adalah masa inkubasi dan intensitas penyakit. Kriteria skor kelayuan karena infeksi BDB setelah perlakuan antagonis pada pisang kepok tanpa jantung ditentukan berdasarkan kriteria Epp (1987) yang dimodifikasi dimana skor 0: tanaman sehat dan tidak ada gejala layu; skor 1: sehelai daun pada bagian atas menguning; skor 2: lebih dari 1 daun menguning dan pisang mulai menunjukkan gejala layu; skor 3: semua bagian tanaman menunjukkan nekrosis; skor 4: tanaman uji mati. Gejala nekrosis didasarkan pada perubahan warna jaringan hijau menjadi menguning dan coklat atau menghitam. Skor untuk gejala nekrotik didasarkan pada ketentuan bahwa skor 0: 0-5%; skor 2: 535%; skor 3: 35-50%; skor 4: 50-75%; skor 5: >75% (Mak et al. 2004). Intensitas penyakit dihitung dengan persamaan: DI=[(nixsi)/(NxS)]x100% Keterangan: Intensitas penyakit, ni: jumlah tanaman skor tertentu, si: Nilai dari setiap skor tanaman,N: jumlah tanaman yang diamati, dan S: skor tertinggi (Cachinero et al. 2002). Pengelompokkan nilai intensitas penyakit didasarkan pada kriteria dimana: Tidak ada serangan sama dengan 0%; ringan: jika 0 > DI > 5%; sedang jika: 5% > DI > 10%; moderat jika: 10% > DI > 25%; berat jika 25 > DI > 50%; dan sangat berat jika DI > 50%. HASIL DAN PEMBAHASAN Kompatibilitas Antagonis. Uji kompatibilitas dilaksanakan untuk melihat kesesuaian antara dua atau lebih mikroba yang akan dipadukan sebagai agensia pengendali
secara bersamaan dalam pengendalian patogen. Antagonis yang kompatibel ditunjukkan dengan tidak adanya zona hambatan dan antagonis yang tidak kompatibel ditunjukkan dengan adanya zona hambatan. Hasil uji pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Pseudomonad fluoresen strain UTD1 hanya kompatibel dengan Pf UTD2, Pseudomonad fluoresen strain UTD2 kompatibel dengan semua antagonis (PfUTD1, Ba-UTD1, dan Ba-UTD2), Bacillus spp. strain UTD1 hanya kompatibel dengan Bacillus spp. Strain UTD2, dan Bacillus spp. Strain UTD2 kompatibel dengan semua antagonis (Pf-UTD1, Pf-UTD2 dan Ba-UTD1). Perlakuan kombinasi yang kurang baik terjadi pada perlakuan Pseudomonad fluoresen strain UTD1 dengan Bacillus spp. strain UTD1 dan strain UTD2, juga pada perlakuan antagonis Bacillus spp. strain UTD1 dengan Pseudomonad fluoresen strain UTD1 dan strain dengan indikator terbentuknya zona hambat. Tabel
1.Zona Hambatan oleh Mikroba Antagonis pada Uji Kompatibilitas.
Perlakuan
PfUTD1
Pf-UTD1 Pf-UTD2 Ba-UTD1 Ba-UTD2
0 7 0
Zona hambatan (mm) PfBaBaUTD2 UTD1 UTD 2 0 11 8 0 0 9 0 0 0 -
Kompatibilitas pada uji in vitro merujuk pada kesesuaian dua mikroba antagonis dalam pemanfaatan nutrisi dan ruang yang sama. Adanya zona hambat pada uji Bacillus spp dan Pseudomonad fluoresen dengan kisaran 7-11 mm diduga terjadi karena reaksi metabolit ekstra seluler yang dihasilkan oleh salah satu atau kedua antagonis tersebut yang dapat bersifat menghambat pertumbuhan satu sama lain. Mekanisme penghambatan sesama antagonis ini dapat dijelaskan pada proses feed- back inhibition pada kultur cair berlanjut (continuous culture) (Madigan et al., 1979) dimana senyawa toksik yang dihasilkan secara berlebihan oleh bakteri antagonis pada media buatan dapat menghambat 31
pertumbuhannya sendiri. Meski secara in vitro peristiwa ketidaksesuaian antara bakteri antagonis berbeda dapat terjadi, kondisi tersebut tidak terjadi pada aplikasi lapang karena antagonisme terhadap patogen ditentukan oleh banyak faktor seperti produksi antibiotik dan toksin, induksi ketahanan tanaman, dan kompetisi. Pengaruh Antagonisme dan Perkembangan Penyakit Darah. Berdasarkan pengamatan harian setelah inokulasi sampai terbentuknya gejala awal, terdapat perbedaan masa inkubasi pada setiap perlakuan. Masa inkubasi dipengaruhi oleh total kemampuan virulensi yang dimiliki patogen, tingkat kerentananan tanaman dan daya dukung lingkungan. Masa inkubasi merupakan periode waktu sejak saat inokulasi sampai timbulnya gejala awal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa BDB dengan padat populasi sel 109cfu/ml dapat menimbulkan gejala pada hari kedua belas, sedangkan yang diberi perlakuan bakteri antagonis gejala layu nampak bervariasi dengan intensitas serangan yang berbeda pula (Tabel 2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan antagonis mampu menekan serangan BDB. Ini menunjukkan signifikansi bakteri antagonis dalam melindungi
tanaman pada skala uji rumah kasa. Dari penelitian ini diperoleh perlakuan antagonis tunggal terbaik yakni Pseudomonad fluoresen strain UTD1 dan strain UTD2 yang tidak menunjukkan layu hingga akhir masa pengamatan. Bacillus spp. pada perlakuan tunggal juga menunjukkan hasil yang baik (berpengaruh signifikan dibanding perlakuan lainnya) dengan intensitas kelayuan yang rendah yakni 8,33 % untuk strain UTD1 dan 16,33% untuk strain UTD2. Perlakuan kombinasi antagonis antara Pseudomonad fluoresen dan Bacillus spp. menunjukkan bahwa perlakuan Pseudomonad fluoresen strain UTD2 dan Bacillus spp. Strain UTD2 merupakan perlakuan terbaik dengan tidak terbentuknya gejala layu pada tanaman uji. Perlakuan terbaik lainnya adalah Pseudomonad fluoresen strain UTD1 dan Bacillus spp. Strain UTD2 dengan intensitas penyakit yang ringan, yakni 5,55 % disusul perlakuan Pseudomonad fluoresen strain UTD2 dan Bacillus spp. Strain UTD1 dengan rata-rata intensitas penyakit yang moderat, yakni sebesar 25 %. Secara umum semua perlakuan dinilai baik karena dapat mereduksi layu hingga rata-rata dibawah 25 %, kecuali perlakuan PF-UTD1 + BA-UTD1 dengan intensitas penyakit berat, yakni 38,89%.
Tabel 2. Rata-rata Masa Inkubasi (MI) dan Intensitas Penyakit (IP) Layu Bakteri pada Minggu Kelima Perlakuan
MI (Hari)
IP (%)
12
100
(89,19)a
PF-UTD1
-
0,00
(0,91)a
PF-UTD2
-
0,00
(0,91)a
BA-UTD1
19
8,33
(16,78)a
BA-UTD2
20
16,66
(22,94)a
PF-UTD1 + BA-UTD1
20
38,89
(38,56)b
PF-UTD1 + BA-UTD2
21
5,55
(11,49)bc
PF-UTD2 + BA-UTD1
21
25,00
(29,10)c
PF-UTD2 + BA-UTD2
-
0,00
(0,91)d
Kontrol
Ket. :
- Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 % - Angka dalam kurung hasil transformasi dari Arc Sin
32
x 1 32
Potensi agensia hayati seperti Pseudomonad fluoresen dan Bacillus spp. telah teruji dalam banyak aplikasi untuk mengendalikan patogen tanaman terutama yang tertular atau penyeberannya melalui tanah. Pengetahuan tentang mekanisme antagonisme dapat digunakan untuk meningkatkan upaya pengendalian hayati dimana antagonis dapat berperan lebih dari satu sifat antagonis yang dimilikinya (Spurr,1981). Pemanfaatan kemampuan antagonis akan meningkatkan keberhasilan dalam pengendali hayati penyakit tanaman. Lima mekanisme dasar yang didalilkan oleh Blakeman dan Brodie (1977) meliputi parasitismelangsung, produksi antibiotik ekstraseluler atau zat lainnya, persaingan pada inang dan menstimulasi induksi ketahanan telah teruji baik dalam penekanan patogen tular tanah. Luz (2000) meneliti B. megatherium (Embr.9790) dan B. subtilis (Embr.9786) yang hasilnya secara signifikan dapat menekan insidensi dan tingkat keparahan penyakit hingga 50% dan 67% secara bertutur-turut. Demikian halnya dengan Pseudomonad fluoresen. Bakteri ini memiliki kemampuan memproduksi pigmen yang dapat dilepas ke lingkungan sekitarnya. Pigmen tersebut bersifat antibiotik, yakni pyoverdin (Pyd) atau pseudobactin (Haas dan Défago, 2005). Kontribusi antibiotik yang dihasilkan oleh Pseudomonad fluoresen dalam pengendalian hayati penyakit tanaman telah banyak dilaporkan. Antara lain kemampuannya untuk melepaskan senyawa volatil hasil metabolit sekunder sebagai senjata kimia
(Scher dan Baker, 1980; Thomashow dan Weller,1988; Cook dan Rovira, 1976; Ligon, 2000;Ahl dkk., 1986; Chin, 1998; Howell dan Stipanovic, 1979; Fenton, dkk., 1992; Vincent, 1991). Senyawa-senyawa antibiotik tersebut terdeteksi di sekitar rizosfer dengan jumlah yang kecil tapi signifikan dalam menekan patogen, diantaranya phenazine-1-carboxylate, Phl, pyrrolnitrin, pyoluteorin dan lipopeptide viscosinamide (Thomashowdkk., 1997; Haas dan Keel, 2003). Pada prinsipnya, agensia hayati memiliki prospek besar dalam membantu petani mengelola organisme pengganggu tanaman demi meningkatkan pendapatan mereka. Tentunya, dalam implementasi agen hayati selalu mempertimbangkan aspek lain untuk komprehensifnya upaya pengendalian terpadu. KESIMPULAN Kesimpulan hasil penelitian ini adalah begai berikut. 1. Uji kompatibilitas in vitro menunjukkan bahwa diantara strain-strain Pseudomonad fluoresen dan Bacillus spp. Terdapat kesesuaian satu sama lain jika diaplikasikan bersamaan meskipun beberapa lainnya menunjukkan aktivitas saling menghambat. 2. Kombinasi Pseudomonad fluoresen strain UTD 2 dan Bacillus spp. Strain UTD2 serta aplikasi tunggal kedua strain Pseudomonad fluoresen merupakan perlakuan terbaik dalam mengendalikan bakteri penyebab penyakit darah pada pisang.
DAFTAR PUSTAKA Ahl, P., Voisard, C. and Défago, G., 1986. Iron Bound- Siderophores, Cyanic Acid, And Antibiotics Involved In Suppression of Thielaviopsis basicola by a Pseudomonas Fluorescens strain. J. Phytopathol. 116, 121–134. Arwiyanto, T. 1997. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Bakteri Tembakau:1. Isolasi Bakteri Antagonis. J. Perlindungan Tanaman Indonesia 3(1): 54-60. Arwiyanto, T. dan I. Hartana. 1999. Pengendalian Hayati Penyakit Layu bakteri tembakau; Percobaan di Rumah Kaca. J. Perlindungan Tanaman Indonesia5(1): 50-59.
33
Blakeman, J.P. and Brodie, I.D.S., 1977. Competition for Nutrients Between Epiphytic Microorganisms and Germination Of Spores Of Plant Pathogens On Beetroot Leaves. Physiological Plant Pathology 10: 29 - 42. Buddenhagen and A. Kelman, 1964. Biological and physiological aspect of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Annu. Rev. Phytopath. 2: 203-230. Chin-A-Woeng, T. F. C., 1998. Biocontrol by phenazine-1- carboxamide-producing Pseudomonas chlororaphis PCL1391 of tomato root rot caused by Fusarium oxysporum f. sp. radicis-lycopersici. Mol. Plant Microbe Interact.11, 1069–1077. Cook, R. J. and Rovira, A. D., 1976. The role of bacteria in the biological control of Gaeumannomyces graminis by suppressive soils. Soil Biol. Biochem.8, 269–273. Eden-Green, S. J., 1994. Diversity of Pseudomonas solanacearum and refeated bacteria in South Asia: New direction of Moko disease. In Hayward, A.C. and G.L. Hartman (eds). Bacterial disease and It’s causative agent Pseudomonas solanacearum. Cab. Intern. Wellington. 25-34p. Edy, N., J. Panggeso, Baharuddin, 2008. Karakterisasi Morfologi, Patogenisitas, dan Biokimia Bakteri Penyebab Penyakit Darah di Lembah Palu. J. Agrisains 9(2):47-50. Epp D., 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. In: Persley GJ, De Langhe EA (eds). Banana and Plantain Breeding Strategies. Canberra: ACIAR Publ. p 140-150. Fegan, M. and P. Prior. 2005. How complex is the Raistonia solanacearum species complex. In: Bacterial wilt disease and the Raistonia solanacearum species complex. American Phytopathological Society Press, Minnesota. 449-461 p. Fenton, A. M., Stephens, P. M., Crowley, J., O’Callaghan, M. and O’Gara, F., 1992. Exploitation of gene(s) involved in 2,4-diacetylphloroglucinol biosynthesis to confer a new biocontrol capability to a Pseudomonas strain. Appl. Environ. Microbiol. 58, 3873–3878. G.S. Sadlar, 2005. Management of Bacterial Wilt Disease in Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. APS Press, St. Paul-Minnesota. p 121-132. Haas D. and G. Défago, 2005. Biological Control of Soil-Borne Pathogens By Fluorescent Pseudomonads. Nature Reviews Microbiology . published online 10 March 2005; doi:10.1038/nrmicro1129. Haas, D. and Keel, C., 2003. Regulation of antibiotic production in root-colonizing Pseudomonas spp. and relevance for biological control of plant disease. Annu. Rev. Phytopathol. 41, 117–153. Hermanto, C., Harlion, Subhana, Mujiman, dan K. Mukminin. 2001. Identifikasi komponen penduga perkembangan penyakit layu bakteri pisang. J. Hortikultura. 11:254-259. Hermanto, C., T. Setyawati dan P. J. Santoso. 1998. Konflrmasi daerah endemik baru penyakit layu bakteri pisang di Sumatera Barat. Disampaikan pada Seminar Sehari PFI Komca Sumbar, Riau dan Jambi, Padang, 4 November 1998. Howell, C. R. and Stipanovic, R. D., 1979. Control of Rhizoctonia solani on cotton seedlings with Pseudomonas fluorescens and with an antibiotic produced by the bacterium. Phytopathology69, 480–482. Howell, C. R. and Stipanovic, R. D., 1980. Suppression of Pythium ultimum-induced damping-off of cotton seedlings by Pseudomonas fluorescens and its antibiotic, pyoluteorin. Phytopathology70, 712–715. Ligon, J. M., 2000. Natural products with antifungal activity from Pseudomonas biocontrol bacteria. Pest Manag. Sci. 56, 688–695.
Madigan, M.T., J.M. Martinko, and J. Parker.1997. Biology ofMicroorganisms. Prentice Hall International, Inc.
34
34
Mak C., Mohamed A.A., Liew K.W., Ho Y.W., 2004. Early screening technique for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plants. In: Jain SM, Swennen R (eds). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Publ, Inc. p 11-20. Nourozian J., Etebarian H.R., and Khodakaramian G., 2006. Biological control of Fusarium graminearum on wheat by antagonistic bacteria. Songklanakarin, J. Sci. Technol., 2006, 28(Suppl. 1) : 29-38. Nur Edy, J. Panggeso, T. Kuswinanti, Baharuddin, 2009. Banana Blood Disease on Valley of Palu: Distribution and Its Characteristics. Proceeding of International Seminar and Congress of National Congress of Indonesian Phytopathological Society. Bio-Security, Food Security and Plant Diseases: The Role of Phytopathology in the Eras of Global Warming and Free Trade. Makassar, 4-7 August 2009. Rao, M. V. B., 1976. Bacterial wilt of tomato and eggplant in India. In:Proc. 1st international planning conference and workshop on ecology and control of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum, New Delhi, India. 92-94p. Roesmiyanto dan L. Hutagalung. 1989. Penyakit darah (P. celebencis) pada tanaman pisang di Jeneponto Sulawesi Selatan. Hortikultura. 27:39-41. Scher, F. M. and Baker, R., 1980. Mechanism of biological control in a Fusarium-suppressive soil. Phytopathology 70, 412–417. Spurr, H.W. J.R., 1981. Formulation of bacterial antagonists alters efficacy for foliar disease control. Phytopathology 71: 905. Stolp, H. & D. Gadgari. 1983. Nonpathogenic Members of Genus Pseudomonas. P. 719-741 in The Prokaryotes A Handbook on Habitat edited by Star, M.P., H.G. Truper, A. Balows, and H.G. Schlegel. Springer-Verlag New York. Subianto. 1989. Country paper report on banana and plantain — Indonesia. 49-69. In: Banana and plantain R & D in Asia and the Pacific. Proceeding of a Regional Consultation on Banana and Plantain R & D Networking Manila and Davao. Sudana I. M., O. N. Suprapta, N. Arya, dan W. Sukayana. 1999. Usaha pengendalian penyakit layu pada tanaman pisang di Bali. Prosiding Kong. Nas. XV dan Seminar llmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Purwokerto, 16-18 September 1999. 404-410p. Thomashow, L. S. and Weller, D. M., 1988. Role of a phenazine antibiotic from Pseudomonas fluorescens in biological control of Gaeumannomyces graminis var. tritici. J. Bacteriol. 170, 3499–3508. Thomashow, L. S., Bonsall, R. F. & Weller, D. M., 1997. Manual of Environmental Microbiology(eds Hurst, C. J., Knudsen, G. R., McInervey, M. J., Stetzenbach, L. D. & Walter, M. V.). ASM Press, Washington DC. p493–499. Vincent, M. N., 1991. Genetic analysis of the antifungal activity of a soilborne Pseudomonas aureofaciens strain. Appl. Environ. Microbiol. 57, 2928–2934.
35