PENGENALAN NILAI ETIKA DAN KETUHANAN BAGI ANAK USIA DINI DALAM GEGURITAN PATI JLAMIT Oleh:
Ni Putu Witarsih Abstrak
Geguritan merupakan jenis karya sastra yang cukup mendapat perhatian dan sambutan dari masyarakat Bali. Cara penyampaian geguritan termasuk unik, karena disampaikan dengan cara dinyanyikan, biasanya dilakukan oleh dua orang, satu menyanyi sedangkan satunya lagi sebagai pengarti (pengapresiasi). Seni geguritan ini biasanya dipentaskan pada saat mengiringi upacara agama terutama panca yadnya dalam kegiatan pesantian atau mabebasan. Biasanya pada saat upacara, geguritan yang sudah berupa kaset sering diperdengarkan kisah-kisah dari geguritan yang mengandung berbagai macam nilai. Geguritan Pati Jlamit merupakan karya besar (master piece) dari Ida Bagus Ketut Sudiasa yang setelah didiksa bergelar Ida Pedanda Ketut Sidemen.. Naskah geguritan ini sangat penting untuk diteliti mengingat geguritan ini sarat dengan nilai keagamaan, sehingga sangat perlu diteliti, dihayati dan diamalkan serta disebar luaskan di kalangan masyarakat agar dapat meningkatkan rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Kata Kunci: Nilai Etika, Anak Usia Dini, Geguritan Pati Jlamit I.
110
Pendahuluan
Geguritan Pati Jlamit tersimpan di Geriya Taman di tempat dimana geguritan ini diciptakan oleh Ida Bagus Sudiana. Keberadaan hasil ciptaan beliau tidak dipublikasikan, sehingga naskahnya hanya ada satu. Bentuk naskah dari geguritan Pati Jlamit ini sangat unik karena masih memakai bentuk klasik ditulis pada kertas dengan memakai dua huruf yakni huruf Bali dan huruf Latin. Di atasnya huruf Bali dan kemudian di bawahnya kembali ditulis memakai huruf Latin. Menurut pengarangnya bentuk naskah dari Geguritan Pati Jlamit dibuat seperti itu supaya dapat dibaca oleh pembaca yang bisa membaca salah satu yakni huruf Bali atau huruf Latin. Keistimewaan dari Geguritan Pati Jlamit, yang menarik untuk diteliti adalah pada isi/intisarinya berupa teks tutur yakni nasehat atau petuah yang disampaikan dengan wanti-wanti oleh guru rupaka (orang tua) dalam hal ini diperankan oleh I Bregah kepada anaknya I Jujut perihal Ketuhanan, adat istiadat dan sosial religius. Pati Jlamit secara etimologi dalam Kamus Bahasa Bali mempunyai arti sama dengan pati kacuh, ngawag-awag. Contoh: omongne pati jlamit, artinya bicaranya tidak karuan (Simpen, 1985:98).
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
II.
Pembahasan
Filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian integral dari agama di India. Filsafat merupakan pencarian rasional ke dalam sifat kebenaran atau realitas, yang memberikan pemecahan yang jelas guna memajukan permasalahan-permasalahan yang halus dari kehidupan. Ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan dari penderitaan dan kematian serta memperoleh kekekalan dan kebahagiaan hidup (Svami Sivananda,1997:165). Filsafat bisa membantu umat manusia untuk mengetahui atau menjawab permasalahan yang muncul dalam benak manusia. Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi adalah tunggal adanya. Hal ini terdapat dalam Upanisad yang menyebutkan: ekam eva adwitiyam Brahman Terjemahan: Hanya satulah Brahman (Ida Sang Hyang Widhi) itu tidak ada duanya. Dalam geguritan Pati Jlamit kita akan dapat temukan nama-nama Tuhan sesuai dengan Keesaan dan manifestasi Beliau, seperti yang terdapat dalam bait berikut ini. Hal ini efektif dikenalkan pada anak usia dini: ratu Sang Hyang Tri Purusha/miwah Sang Hyang saraswati/ Kalih Sang Hyang Kawiswara/ngurupang jagate sami/Sang HyangTiga Mraga luih/ngardi ngurip laut muput/utpti stiti praline/ngebek ring jagate sami/yan ring tutur/ I ratu Hyang Tri Purusa (GPJ.1:1). Terjemahan: Ratu Sang Hyang tri Purusa / juga Sang Hyang Saraswati / beserta Hyang Kawiswara / menghidupkan dunia semua / Sang Hyang Tiga berbentuk kepintaran / menciptakan menghidupkan dan menghancurkan / Utpti, stiti Pralina / Engkau berwujud Hyang Tri Purusa. Di dalam Vrhaspati tattwa, Ida Sang Hyang Widhi itu dilukiskan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu Sang Hyang Parama Siwa dalam wujud Beliau yang non aktif, tidak bisa dilihat dan diraba dengan panca indra, beliau sebagai sada Siwa dalam wujud beliau yang setengah aktif, beliau sebagai raja dan gurunya dewa-dewa, beliau sebagai penguasa alam bawah (bhur loka). Beliau aktif langsung mengatur dunia ini. Sang Hyang Saraswati menurut perspektif Geguritan Pati Jlamit merupakan dewa ilmu pengetahuan, sedangkan Hyang Kawiswara adalah Tuhannya para pengarang, kemudian disinggung disana tentang Sang Hyang Tiga (Brahma, Wisnu dan Siwa) dimana beliau merupakan pencipta alam semesta ini kemudian memelihara dan meleburnya guna tetap terjaganya keseimbangan alam semesta ini. Adapun bagian dari Geguritan Pati Jlamit yang menguraikan tentang adanya kehidupan di dunia ini, disebabkan oleh kemahakuasaan Tuhan, dilukiskan dalam bait berikut ini. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
111
112
cening ingetang setata / subakti tekening Widhi /setata patut laksanang/mahaturan sebit sari / wireh Ida ngaweacanin / krana bapa cening idup /digumine ajak makejang / Sang Hyang Widhi ngemretanin /sangkan patut / Ida baktinin setata”(GPJ.I:28). Terjemahan: Anakku ingatlah selalu / bakti pada Tuhan / selalu laksanakan / menghaturkan sesajen/karena beliau juga menyebabkan / karena kamu dan bapak hidup / di dunia semua / Tuhan yang menghidupkan / patutlah kamu / bakti selalu. Dari kutipan di atas jelaslah digambarkan bahwa I Bregah selaku orang tua mengingatkan anaknya I Jujut agar senantiasa ingat dan bakti kepada Tuhan. Salah satunya dengan mempersembahkan sesajen, karena adanya dunia ini dan segala isinya disebabkan oleh kemahakuasaan Tuhan. Dalam geguritan Pati Jlamit ini juga dibahas tentang keesaan Tuhan beserta sifatNya yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra namun bisa dirasakan oleh jiwa, seperti yang dilukiskan dalam bait ini. bhatara maraga tunggal/kawabas ngebekin gumi/mraga ada tuara ada/di keneh hening malinggih/dija cening mangabakti/Ida suba ada ditu/di keneh ceninge percaya/ditu Bhatara malinggih/tusing tepuk/buka angine umpama” (GPJ. I:43). yan rawosang tusing ada/ada jatinnyane cening/warnan Ida tusing tawang/tuara bakat ban ngusudin/keto pragan Sang HyangWidhi/ento makrana ada liu/tongosne ngastiti Ida/pada mandel niri-niri/onya patut/pada nyembah Sang Hyang Tungga”(GPJ.I:44) yadin dija cening nyembah /sinah ngincep Sang Hyang Widhi/tusing ada buin lenan /Sang Hyang Tunggal Sang Hyang Widhi / krana yan cening mabakti / besikang kenehe malu / incep Ida Sang kasembah /ento nyandang paurukin/pangda ngapung / kewala nyakupang lima”(GPJ.I:45) Terjemahan: Tuhan dikatakan satu/memenuhi dunia/bersifat ada tidak ada/dihati yang hening bertempat/dimana kamu sembahyang/beliau sudah ada disana/dipikiran kamu percaya/disana Tuhan bertempat/tidak terlihat/bagaikan angin perumpamaannya. Kalau bilang tidak ada /ada sebenarnya anakku/wujud beliau kita tidak tahu/tak mampu disentuh/begitulah wujud Tuhan/itu menyebabkan ada banyak/tempat memuja beliau/sesuai kepercayaan masing-masing/semua benar/sama-sama menyembah Tuhan yang tunggal. Walaupun dimana anakku memuja/pasti memuja Tuhan/tidak ada lagi yang lain/kepada Sang Hyang Tunggal/ karenanya kalau anakku sembahyang/satukan pikiran SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
dulu/pusatkan pikiran pada yang disembah/itu patut dipelajari/supaya tidak ngambang/sekedar mencakupkan tangan. Tuhan adalah esa dan memenuhi dunia ini. Dalam ajaran agama Hindu, empat kemahakuasaan Tuhan disebut Cadu Sakti yakni Wibhu Sakti (maha ada), Prabhu Sakti (maha kuasa), Kriya sakti (maha karya) dan Jnana Sakti (maha tahu). Beliau juga berada dalam hati yang hening. Sedangkan delapan keistimewaan, keagungan dan kewibawaan Tuhan sebagai sadha Siwa disebut Asta Iswarya. Kepribadian Beliau juga dilukiskan dalam bait berikut ini. buin bapa ngalanturan/DewaBrahma Hyang Widhi/yaneng suba mabesikan/bayu sabdha idep cening/ditu ida kaparabin/teken anake manyungsung/kaparabin Sang Hyang Tunggal/manggeh panyungsung gumu/buin liu/parab Bhatara yan satuang(GPJ. I:71). ida maraga Sang Hyang Titah/Sang Hyang Widhi Ida masih/Ida Sang Hyang Tri Samaya/Sang Hyang licin ida masih/Ida Sang Hyang Taya Jati/paragon idane liu/Brahma Wisnu Maheswara/paragon idane buin/cening jujut/gumine paragon Ida”(GPJ. I:72). Terjemahan: Lagi bapak melanjutkan/Dewa Bhatara Hyang Widhi/ kalau sudah menyatu/bayu,sabda dan idep, anakku/di sana beliau dinamai/oleh orang yang menyembah/disebut Sang Hyang Tunggal/sebagai pemujaan dunia/lagi banyak/nama Tuhan kalau diceritakan. Beliau berwujud Sang Hyang Titah /Sang Hyang Widhi beliau juga/beliau Sang Hyang tri Semaya /Sang Hyang Licin juga Beliau/Beliau Sang Hyang Taya Jati / wujud beliau banyak/ Brahma Wisnu Maheswara / wujud beliau lagi/anakku Jujut/dunia ini wujud beliau. Terjemahan di atas menggambarkan bahwa Tuhan memiliki banyak nama dan diwujudkan oleh manusia dengan berbagai bentuk kebesaran. Konsep dasar kepercayaan agama Hindu adalah monotheisme. Sebagaimana diketahui dewa-dewa yang jumlahnya banyak sebenarnya berasal dari kata dev yang artinya sinar(nuri). Karena Ida Sang Hyang Widhi itu dibandingkan seperti matahari dengan sinar-sinarnya. Beberapa banyaknya sinar matahari? Begitu pulalah banyaknya dewa-dewa. Kalau matahari tidak ada, secara otomatis sinar-sinar itupun tidak ada. Kita bisa menyebutkan bahwa matahari itu panas, tetapi sebenarnya matahari belum pernah menyentuh tubuh kita. Yang langsung menyentuh dan menyebabkan panas adalah sinarnya. Ida Sang Hyang Widhi, beliau tidak langsung menganugrahi sesuatu kepada kita (manusia) tetapi beliau memakai perantara-perantara yang disebut dewa (putra,2005:2). Umat Hindu yakin akan adanya atman atau roh yang memberikan hidup kepada semua makhluk ciptaan Tuhan, termasuk pada diri SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
113
114
manusia. Mereka yakin bahwa ketika manusia meninggal, roh itu keluar meninggalkan raganya. Badan jasmaninya yang terdiri dari unsur panca maha bhuta akan kembali ke asalnya, sementara itu roh tetap hidup. Ketika roh ada dalam tubuh manusia dan mengadakan kontak hubungan dengan dunia, dia disebut jiwa(Pidarta,2005:5). Dalam geguritan Pati Jlamit keberadaan atman yang menghidupkan makhluk hidup dapat dilihat pada bait berikut: jalan saratang itungang/apang tepuk/tongose bakal makelid/saratang cening mauruk/tusing ada buin lenan/idup jani/Sang Hyang Atma tuah ngepu/makanti tekening awak/keto sujatine cening”(GPJ. II:18). yaning jele ban matingkah/tusing buwung/ Sang Hyang Atma nandang sakit/yan solah cening luung/Sang Hyang Atma ledang pesan/patut jani/mungpung awake nu hidup/huripe anggon jalaran/ngalih bekel hidup mati”(GPJ. II:18). Terjemahan: Mari usahakan memperhitungkan / supaya terlihat/tempat untuk menghindari / usahakan belajar anakku / tidak ada lagi yang lain / hidup sekarang / Sang Hyang Atma yang memelihara/bersahabat dengan tubuh/seperti itu sebenarnya anakku. Kalau buruk tingkah laku kita/pastilah/Sang Hyang Atma menderita sakit/ kalau perbuatanmu baik/Sang Hyang Atma sangat berbahagia/sekarang pastikan/selagi diri masih hidup/hidup pakai sarana/mencari bekal hidup dan mati. Percikan terkecil dari Tuhan yang ada dalam diri kita yang memberi kehidupan adalah atma, seperti yang Dijelaskan dalam pupuh pangkur bait 17 di atas yakni keberadaan atma sebagai sahabat dan pemelihara tubuh (badan kasar). Dalam pupuh pengkur bait 18 di atas, kemudian dijelaskan mengenai ajakan untuk mengusahakan perbuatan yang baik, mumpung masih hidup. Keberadaan atman dalam geguritan Pati Jlamit juga tampak pada kutipan berikut. tusing ban ngaben myast/cening Jujut/atmane neraka mirib/yan mabiya mirib luwung/atman e bakal nyuarga/yan kenehin/tusing keto cening Jujut/yan solahe saja melah/swarga bakat yaning mati”.(GPJ.II:22). Terjemahan: Tidak dikarenakan ngaben tingkat rendah/ anakku Jujut/ atma akan dapat neraka/kalau ngaben besar pasti baik/atma mendapat sorga/kalau besar dipikir/tidak seperti itu anakku Jujut/kalau kita selalu berbuat baik/sorga yang didapat apabila meninggal. Dari uraian di atas dapat ditangkap maksud pengerang yang menjabarkan tentang keberadaan atman yang dipengaruhi oleh baik buruk perbuatan manusia. Jika manusia menanam kebaikan maka atman yang memberikan kehidupan akan mendapat kebahagiaan yang kekal. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Dalam geguritan Pati Jlamit uraian tentang karmaphala dapat dilihat pada kutipan berikut ini. tusing ada buin lenan/bakal tepuk/yaning idup yadin mati/jele melahe manugtug/nto mawaksuarga neraka/tusing palas/bareng ajak mati idup/karma pala ngaliang mamban/yan kalaning ceningmati”(GPJ.II:20). laksanane bakal nandan/nto tuut/ngaliang tongos yaning mati/tusing dadi baan ngalingkung/pang da kena karmaphala/tuara dadi/ulian bebantene liu/atmane apang nyawarga/aluh yaning keto cening”(GPJ.II:22) tusing ban ngaben myast/cening Jujut/atmane neraka mirib/yan mabiya mirib luwung/atman e bakal nyuarga/yan kenehin/tusing keto cening Jujut/yan solahe saja melah/swarga bakat yaning mati”.(GPJ.II:22). diapin swasta ya ngabenang/tusing buung/atmane nyuwarga cening/yaning laksanane ngacuh/diapin biane ngabenang/jele pasti/tusing buung neraka katepuk/keto cening kebawosang/solahe melahang cening”GPJ. II : 23). I Jujut masaut nimbal/inggih bapa/uning titiang sampun mangkin/sakadi bawose wau/yan sampun solahe melah/yaning mati/swargane pacang kapangguh/yadin tan wenten abenan/atmane mamanggih becik”(GPJ.II:24) kenehe mesuang laksana/keto bagus/saratang malajah jani/perban awake nu idup/ yan mati bakal kadidian/ tusing ada/nyama braya dadi nutug/saja winin I laksana/satata bareng nututin”(GPJ. II:33). karma palane mamandan/ngateh ditu/ngaliang tongos keto cening/nyama braya dadi nutug/ngatehang teked di sema/omya buin/malipetan sedis bekus/mmangenang awake ilang/tuah amonto ya nresnin”(GPJ. II:34) sang Hyang Widhi suba ngaksi/solah bapane makejang/tusing dadi baan ngengkebang/lemah peteng Ida ngaksi/ jele melahe masurat/ di kadituan bakal mamuktiang”(GPJ. IV:15). Terjemahan: Tidak ada lagi yang lain/akan ditemukan/kalau hidup ataupun mati/baik dan buruk selalu mengikuti/itu berwujud surga dan neraka/tidak bisa dipisahkan/mengikuti baik mati maupun hidup/karma phala mencairkan jalan/kalau engkau mati. Perbuatan yang akan menuntun / itu yang diikuti / mencarikan tempat kalau meninggal / tidak bisa untuk menghindari / supaya tidak kena karma phala / tidak bisa / akibat sesajen yang banyak / atman akan mendapat sorga / gampang kalau begitu anakku Tidak dikarenakan ngaben tingkat rendah / anakku Jujut/ atma akan dapat neraka / kalau ngaben besar pasti baik / atma mendapat sorga / kalau besar dipikir / tidak seperti itu
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
115
116
anakku Jujut / kalau kita selalu berbuat baik / sorga yang didapat apabila meninggal. Walaupun ngaben nyuwasta / tidak bakal / atma mendapat mendapat surga anakku/kalau perbuatannya buruk/ walaupun biaya ngaben besar / pasti tidak baik / tidak urung akan menemukan neraka / begitulah disebutkan anakku / berbuat baiklah anakku I Jujut balik menjawab / ya bapak / sekarang saya sudah mengetahui / seperti pembicaraan tadi / kalau perbuatannya sudah baik / kalau meninggal dunia / surga akan di dapat / walaupun tanpa di-aben / atma akan menemukan kebaikan pikiranlah yang tanpa di aben / atma akan menemukan kebaikan pikiranlah yang menyebabkan perbuatan / begitu anakku / giatlah belajar sekarang / selagi kamu masih hidup / kalau meninggal akan sendirian / tidak ada / sanak saudara yang mengikuti / kecuali perbuatan / senantiasa mengikuti / karmaphala menuntun / mengantar di sana / mencarikan tempat begitu anakku / sanak saudara boleh mengikuti / mengantarkan sampai kuburan / semua lagi/ kembali bersedih/ menyesali kita hilang/ hanya begitu dia menyayangi sang Hyang Widhi sudah menyaksikan/ perbuatan bapak semua/ tidak bisa untuk ditutupi/ siang,malam beliau melihat/ baik buruk tertulis/ di alam sana akan terlihat/ sendirian akan membuktikan Dari beberapa kutipan pupuh di atas yang menguraikan tentang karmaphala dapat tepatnya yakni dalam pangkur bait 20 dan 21 di atas yang menyatakan bahwa yang mengikuti kita setelah meninggal adalah baik buruknya perbuatan kita selama masih hidup. Di dalam Lontar Arjuna Wiwaha disebutkan: ikang wibhawa tan wawekan mati Hananya sekarang umeher hurip Pejah pwa kita dusta mantunika Gunanta ginogenta ya nutaken Terjemahan: Segala harta benda dan kebesaran di dunia ini tidak akan dibawa mati. Adanya dia hanya sebentar menunggu selama kita masih hidup. Jika kita meninggal dia akan kembali berbohong (tidak setia), tri guna atau sifat-sifat watak kitalah yang akan selalu mengikuti. Jadi maksud dari kutipan di atas adalah watak yang melahirkan karma baik (Subha Karma) dan karma jelek (Asubha Karma), kemudian segala sesuatu benda duniawi yang kita miliki di dunia ini tidak akan dibawa ketika kita meninggal dunia, kekayaan seperti rumah, dan istri cantik akan menunggu kita selama masih hidup yang akan mengikuti adalah baik-buruk perbuatan selama kita masih hidup. Dalam pangkur bait 21 dan bait 22 juga menjelaskan bahwa tidak bisa dengan upacara besar, sesajen yang banyak atman akan mendapatkan sorga dan tidak pula dengan
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
upacara kecil (dalam ngaben nyuwasta)atman akan mendapatkan neraka. Dalam kutipan pupuh semarandana bait 15 di atas Dijelaskan bahwa Tuhan itu maha tahu dan menyaksikan segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia. I Bregah memberi nasehat kepada anaknya I Jujut bahwa Tuhan adalah saksi abadi yang menyaksikan baik buruk perbuatan di dunia ini. Dari keseluruhan bait pupuh yang menguraikan tentang karmaphala, dapat ditangkap bahwa I Bregah memberi ajakan kepada I Jujut untuk senantiasa berbuat baik karena I Bregah telah menyadari akan Karmaphala yang merupakan hukum Tuhan. Aspek etika yang tercantum dalam geguritan Pati Jlamit menyangkut tentang etika baik yang hendaknya dilaksanakan dan etika buruk yang harus dihindari yang digambarkan oleh pengarang dalam nasihat yang diberikan oleh I Bregah kepada anaknya I Jujut yang tidak bisa dilepaskan dari keyakinan akan kekuasaan Tuhan. I Bregah menasehati anaknya bagaimana seharusnya bertingkah laku di masyarakat agar sesuai menurut pandangan masyarakat. Adapun kutipan yang mengandung nilai etika yakni nasihat yang mengandung nilai tata susila yang diberikan oleh I Bregah didahului oleh pertanyaan I Jujut mengenai cara bertingkah laku di masyarakat yang terdapat dalam kutipan berikut ini: I Jujut malih nakenang/inggih bapa/ sapunapi antuk mangkin/ring jagate mangda patut/rikala nyolahang sikian/mangda keni/sana kabawosan patut/punika bapa nikayang/mangda sida titiang unung”(GPJ. II:1). Terjemahan: I Jujut kembali bertanya/bapak/ bagaimana mestinya sekarang/di dunia ini supaya benar/manakala bertingkah laku/ supaya kena/yang disebut benar/begitu bapa beri tahu/supaya bisa saya tahu Pertanyaan I Jujut dalam kutipan di atas, dijawab oleh I Bregah dalam beberapa kutipan pupuh berikut: bapenne mesaut nimbal/cening Jujut/mula sengkepan ngitungin/ngetekin iwang lan patut/tegar kene ban ngitungang/apang tawang/beneh pelihe nto bagis/yaning cening melaksana/tuara nolih kasamping(GPJ. II :2). Melaksana patut tragin/da suud/ngalih ane kaucap becik/melahe ban ulian patut/pramhe di pajuman/masih cening/saihang di samping laku/di pisaga buin tempayang/alihang di tutur masih(GPJ. II:5). Intipang di karma dresta/kretagama/adhi gamane nto buin/yan ditu suba kapatut/mara nyandang laksanayang/ keto cening/da majalan ulah tulus/ plihe apang bedikan/keto abete ngitungin”(GPJ. II:26). Terjemahan: Bapaknya menjawab/anakku Jujut/memang sulit untuk menentukan/salah dan benar/sekarang seperti ini SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
117
118
hendaknya/supaya tahu/benar dan salah itu anakku/kalau kamu berbuat/jangan tidak melihat kesamping. Berbuat hendaknya mawas/jangan berhenti/mencari yang disebut benar/benar menurut semua/kesamaan di perumahan/juga anakku/bandingkan juga di samping/di tetangga lagi cocokkan/cari di sastra juga. Lihat di karma dresta/kretha gama/adhi gama itu juga/kalau disana sudah patut/baru bias dilaksanakan/begitu anakku/jangan berjalan tergesa-gesa/salahnya supaya lebih sedikit/begitu supaya diperhitungkan. Jadi beberapa kutipan di atas menjelaskan bahwasanya dalam bertingkah laku, hendaknya manusia bercermin dari berbagai segi yakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat, cocokkan dengan desa, kala, dan patra serta sastra yang ada. Hal ini sangat relevan dengan isi Manawa Dharma Sastra Bab II.6 yang menyebutkan sebagai berikut: idanim dharma pramanamyaha Vedo‟ khilo dharma mulam Smrtisile ca tadvidam Acanascaiva sadhunam Atmanastustir eva ca. Terjemahan: Seluruh pustaka suci veda merupakan sumber pertama dari dharma. Kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci veda juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi. Adapun dasar yang dipakai acuan oleh I Bregah, mengapa dalam hidup ini. Bertingkah laku sesuai etika yang sesuai dengan pandangan masyarakat dan sastra adalah karena dalam hidup ini dikenal rwa bhineda yakni dua hal yang berseberangan yang keberadaannya selalu konstan, seperti dapat dilihat dalam kutipan berikut. Tuah sengka ban ngitungang/iwang patut/jele melahe nto cening/yan pasajannyane Jujut/liu ajak tusing nawang/beneh pelih/wireh kahanane itu/beten langit duur tanah/demen liu keh ngedegin”(GPJ. II:23) buka tuake upamiang/tusing lung/yan anake tusing bani/ane demen ngorang lung/nto sangkan keweh pesan/bana pangsing/ngorang iwang lan patut/jani kene ban nayanang/pang dadi bedikan pelih”(GPJ. II:4). tusing cening bakal maan/yaning ngalih/digumine tedas bersih/tusing ada melah nerus/onya pada misi cacad/ane ada/ digumine cening Jujut/salingke amun manusia/Sang Hyang Surya cacad masih”(GPJ. II:7). panes idane mangarab/ lintang kebus/ rikala ngalangin gumi/ nake nyemuh ngorahang luwung/ nake opek sanget nyacad/keto cening/yan pinehin ncen patut/kenehe momo ngawanang/to ngranang dadi paling”(GPJ. II:8). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
patuh teken suka duka/saling tutug/digumine sai cening/manut waneng bakal tepuk/tusing dadi ban ngalobang/apang tusing/kene sebet sakit sungut/sarwa idupe makejang/nandang suka duka sai”(GPJ. II:12) Terjemahan: Memang sulit untuk memastikan/benar salah/baik-buruk itu anakku/sebab sebenarnya anakku/semua tidak tahu/benar salah/karena keberadaannya banya/di bawah langit di atas tanah/senang banyak, banyak yang benci Kalau diumpamakan seperti tuak/tidak bagus/kalau orang yang tidak berani/yang senang mengatakan enak/itu karenanya sulit sekali/supaya tidak/mengatakan salah dan benar/sekarang begini caranya/supaya lebih sedikit salah Tidak anakku akan dapat/kalau mencari/didunia ini bersih semua/tidak ada bagus seluruhnya/semua berisi cacad/yang ada/di dunia ini anakku jujut/ apalagi manusia/matahari cacad juga Panas beliau menyentak/ sangat panas/ tatkala menyinari bumi/yang menjemur mengatakan bagus/yang panas sangat menjelekkan/begitu anakku/kalau dipikir mana yang benar/pikiran terlalu membandingkan yang menyebabkan/ itu menyebabkan jadi bingung Sama seperti suka dan duka/saling mengikuti/di dunia ini setiap hari anakku/ akan ditemukan/tidak bias dengan sifat loba/supaya tidak/kena kesedihan/semua makhluk yang hidup/menahan suka duka setiap hari III. Penutup Dalam kutipan di atas dijelaskan mengenai segala sesuatu bersifat relative. Ada 2 hal yang selalu berseberangan dan selalu konstan di dunia ini yakni benar dan salah, baik dan buruk, siang dan malam. Semua ciptaan Tuhan mempunyai sifat seperti itu karena tiada manusia yang sempurna di dunia ini, matahari pun ada cacatnya. Pada geguritan Pati Jlamit juga dibahas tentang etika memberi yakni menjabarkan tentang pemberian yang pantas diberikan kepada orang lain, seperti yang dilukiskan dalam bait berikut: yan cening saget makidiang/apang manut/teken ane bang ngidih/demeneapang ya patuh/dasarin keneh lascarya/tusing buin/inget teken barang ento/to maadan dana punia/tusing nyandang sambat buin”(GPJ. II:38). patut sikutang diawak/cening jujut/tusing demen mangiwasin/ da makidiang ane keto/digumine jak makejang/pada ngalih/ane madan melah luwung/digumine jak makejang/pada ngalih ane madan melah luwung/yan awake tusing ngangguang/yan pakidiang tan paaji”(GPJ. II:39). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
119
120
Terjemahan: Kalau seandainya kamu memberi/supaya cocok/dengan yang akan diberi/kesenangannya supaya sama/ didasari dengan hati ikhlas/tidak lagi/ingat dengan barang itu/itu dinamakan dana punia/tidak perlu dikatakan lagi. Patut disesuaikan dengan diri sendiri/anakku Jujut/tidak suka melihatnya/ jangan memberikan yang seperti itu/di dunia ini semua/sama-sama mencari/yang dinamakan bagus/kalau kita tidak suka/kalau diberikan jadinya tanpa nilai. Kutipan di atas berupa nasehat I Bregah kepada I Jujut mengenai ajaran Tattwam asi. Apa yang dilakukan kepada orang lain, patut diukur terlebih dahulu dalam diri. Apa yang baik untuk diri itulah hendaknya dilakukan untuk orang lain, apa yang jelek bagi diri sendiri janganlah hal itu dilakukan kepada orang lain. Selanjutnya tata cara/etika dalam memohon air suci yang berkaitan dengan proses upacara yadnya juga dibahas dalam geguritan Pati Jlamit tepatnya pada bait berikut: yaning cening nunas asuan/tirtha panglukatan buin/wadahnyane to melahang/lumur botol payuk dadi/bungbung anggon luwung masih/da cening ulah aluh/ulah enggal apang maan/cening ngalih kantong plastic/anggan ngaput/di ngabene buin matadtad”(GPJ. I:14) Terjemahan: Kalau kamu mohon air suci/air suci panglukatan/tempatnya itu supaya benar/gelas, botol, wajan boleh/bungbung pakai bagus juga/jangan kamu gampang-gampangan/supaya cepat dapat/kamu mencari kantong plastik/pakai membungkus/waktu membawa lagi dijinjing Etika atau tata cara dalam makan juga dibahas dalam geguritan Pati Jlamit khususnya pada beberapa bagian pupuh dandang yang diawali oleh pertanyaan I Juju kepada I Bregah dalam kutipan berikut: bapa wenten malih mangkin/nikin titiang/ dening katah pisan/bawose titiang tan uning/wenten kasar wenten alus/sapunapi maka jati/rikala majeng ajengan/sane cen iwang lan patut/ yan nyongkok negak masila/yan majalan/sane cen punika bapa nikayang”(GPJ. V:14). Terjemahannya: Bapak ada lagi sekarang/beritahu saya/karena banyak sekali/bahasa yang tidak saya ketahui/ada yang kasar ada yang halus/bagaimana sebenarnya/saat makan/yang mana salah dan benar/kalau jongkok duduk bersila/kalau berjalan/yang mana itu/itulah bapak beritahu Sedangkan jawaban I bregah terhadap pertanyaan I Jujut mengenai etika/tata cara makan dapat dilihat dalam beberapa kutipan pupuh berikut.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Kene cening ada indik/manyinahang/yan cening madaar/amretane pang mesari/negak mesila apang lung/marep kaja kangin dadi/ ditu masasapan/ingetang nto cening jujut/ ong Maha Mretha sapala/Nama Swaha/keto ucapane cening/incep Bathara di awak”( GPJ. V:15) apa luir daar cening/ada ngsap/ngastiti bathara/uningang awake cening/nunas druwen Ida Jujut/apang da kabawos maling/makejang druwen Bathara/ane daar inum Jujut/ane jekjek ane alap/ to makejang/druwen Ida Sang Hyang Widhi/keto cening apang tawang”(GPJ. V:16) suud kaketo mara dadi/cening madaar/patute to laksanang/rikala madaar sai/yaning buka keto/awake bawos maling/wireh tusing buka keto/awake bawos maling/wireh tusing nguningayang/teken Sang Hyang Widhi malu/Ida maduwe makejang/ane ada/tumbuh digumine cening/jalan nunas jak makejang”(GPJ. V:17) yaning cening naar nasi/diapin lenan/da sambil majalan/jele pesan kaadanin/to madan nyeret, Jujut/de cening ngelakonin/yaning nyongkok madaar/ngaloglog adane ento/yan majujuk madaran/jele pesan/ nglaler adane to cening/yan marep kauh mamantet”(GPJ. II:18). Yaning marep kelod cening/madaaran/jele kabawos/nidik adane to cening/yan madaar nyemak baanbungut/mlokpok adane to cening/yan medem sambil madaar/ngamah adannyane nto/jele pesan to makejang/Sang Hyang Mretha/tusing nyrira daar cening/amrethane dadiwesia” (GPJ. V:19). keto kaucap di indik/cening ingetang/da ulah enggal/basange kwala misi/tusing ngitung apa, Jujut/tusing ngugu kakecap indik/patut sastrane tuutang/anggon ngupakara hidup/jelene apang bedik/bakat gisiang/yan sadia buin numadi/dini pikolihe bakat”(GPJ. V:20). suba suud madaar jani/buin ingetang/da masehin lima/dipiringe lad anggon cening/yan suba suud madaar/limane sasadang malu/di tlapakan batise dadua/nto melah/lawutang mabaseh jani/to pangancingan mertha”GPJ. V:21). Terjemahan: Begini anakku, ada ketentuan/menyatakan/kalau kamu makan/amerthanya supaya berguna/duduk bersila supaya baik/menghadap timur laut boleh/di sana lalu berdoa/ingat itu anakku Jujut/Ong maha mretha sapala/nama swaha/begitu mantranya/ingat Bhatara dalam diri Apapun yang kamu makan/jangan lupa/berdoa pada Tuhan/ingatkan dirimu anakku/minta milik beliau, Jujut/supaya tidak disebut pencuri/semua milik Tuhan/yang kamu makan dan minum/yang diinjak, yang dipetik/itu semua/milik Tuhan/begitu anakku supaya tahu
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
121
Setelah begitu baru bisa/kamu makan/wajib itu dilaksanakan/saat makan setiap hari/kalau tidak seperti itu/kamu disebut pencuri/sebab tidak memohon ijin/kepada Tuhan terlebih dahulu/beliau punya semua/yang ada/tumbuh di bumi ini anakku/mari memohon untuk kita semua Kalau kamu makan nasi/dan yang lain/jangan sambil berjalan/sangat jelek itu dinamakan/itu dinamakan nyeret, Jujut/jangan dilakukan/kalau makan sambil jongkok/ngaloglog namanya itu/kalau berdiri makan/kalau menghadap ke barat memantet Kalau menghadap ke Selatan anakku/makan jelek dinamakan/nidik dinamakan itu anakku/kalau makan mengambil dengan mulut/mlokpok namanya itu anakku/kalau tidur sambil makan/ngamah namanya itu/jelek sekali itu semua/Sang Hyang Mretha/tidak menyatu dengan tubuh/amerta menjadi racun Begitu disebut/anakku ingat/jangan tergesa-gesa/perut sekedar berisi/tidak memperhatikan apa/tidak percaya dengan isi sastra/patut sastranya ditiru pakai memelihara hidup/jeleknya supaya lebih sedikit ditemukan/kalau lagi reinkarnasi/disana hasilnya ditemukan Selesai makan sekarang/lagi ingat/jangan membasuh tangan/mengusir amerta namanya anakku/kalau sudah selesai makan/tangannya usapkan dulu/pada kedua telapak kaki/itu bagus/lanjut cuci tangan sekarang/itu penuntun merta Kutipan di atas menjelaskan bahwa tata cara yang benar pada saat makan adalah duduk bersila mengarah ke Utara atau ke Timur. Sebelum makan hendaknya mengucapkan mantra atau doa sebagai ucapan terima kasih karena telah menikmati ciptaan Tuhan sebagai pusat alam semesta. Daftar Pustaka
122
Arnawa, I Putu. 2001, Skripsi: “Peranan Wayang Gedog Dalam Pelaksanaan Macaru Balik Sumpah di Desa Batu Bulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar”, Denpasar: STAH Arwati, Ni Made Sri. 2005. Manusa Yadnya (Upacara Bayi Lahir Sampai Ngotonin). Denpasar. Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama Propinsi Bali. Bagus, Lorenz. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bali Post. Minggu 2 April 2006 hal. 11. UNESCO Beri Penghargaan Kepada Wayang. Bandem, I Made & I Wayan Dibya. 1984. Kesenian Bali. Denpasar: STSI Denpasar Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016