ISBN 978-602-98902-1-1
Pengembangan zero waste processing dari modified cassava flour (MOCAF) guna meningkatkan spinoff klaster kepada masyarakat sekitar [Development of zero waste processing of modified cassava flour (MOCAF) to increase the spinoff of the clusters to community] Achmad Subagio, Wiwik Siti Windrati dan Didik Hermanuadi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP UNEJ
ABSTRACT MOCAF (Modified Cassava Flour) is a local product that is made from raw cassava developed by the researchers. This flour has been produced by the Koperasi Gemah Ripah Loh Jinawi using clusters system creating more than 60 chip producers. The presence of this cluster has a positive impact on regional economic conditions, particularly the availability of jobs. However, some environmental and social problems will likely arise from the presence of these clusters, namely liquid and solid waste. Liquid waste storage and impregnation made just closed, so it feared would happen a serious problem when a large volume. Meanwhile, solid waste is thrown away. The study is structured as a series of experiments related to realizing long-term goal, namely to develop zero waste processing for chips makers, which include: (1) Technology of Nata de Cassava from the wastewater, (2) Technology of fodder from the cassava peel, (3) Technology of Bio-gas from the wastewater, (4) Technology of organic fertilizer from the wastewater, (5) Technology of production of organic acids from the wastewaster, and (6) Technology of water soluble fractions of liquid waste.This paper presents some results of those studies. Implementation of this technology is expected to: (1) enlarge MOCAF-based spinoff of industrial clusters involving larger groups of people, (2) reduce the environmental and social risks of industrial MOCAF, by utilizing the waste in which the community involves, and (3) provide added value to the byproducts of MOCAF, so it will lower the production costs of flour MOCAF which may enhance its competitiveness. Key words : Cassava, MOCAF, and zero waste processing
PENDAHULUAN Kebutuhan pangan yang berkembang dengan cepat memaksa pemerintah bersama-sama petani, industri pangan dan perguruan tinggi perlu merancang strategi untuk mencapai swasembada pangan sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri dengan berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan lokal (diversifikasi) (Suryana, 2011). Salah satunya, bahan pangan sumber karbohidrat yang berbasis bahan lokal (indegenous resources), yaitu ubi kayu yang menduduki peranan penting dalam struktur pangan masyarakat Indonesia, karena tanaman ini merupakan sumber karbohidrat yang penting setelah padi, jagung dan sagu (Damardjati et al., 2002). Dengan alasan tersebut, pengusul dan tim-nya berkonsentrasi pada pengolahan ubi kayu, yang kemudian berhasil mengembangkan produk original yang diberi nama Modified Cassava Flour (MOCAF). Tepung ini adalah produk turunan dari tepung ubi kayu yang dimodifikasi secara fermentasi, sehingga dapat digunakan sebagai food ingredient dengan skala sangat luas. Tepung MOCAF telah diproduksi oleh beberapa fabrikan kecil, dengan jumlah produksi nasional diperkirakan mencapai 5.000 ton/tahun. Salah satu produsen dari MOCAF adalah PT. Bangkit Cassava Mandiri (PT. BCM) yang dimiliki oleh Koperasi Gemah Ripah Loh Jinawi dan TPS Agro. Proses produksi menggunakan sistem klaster, dimana pembuatan chips kering diserahkan pada kelompok produsen chips. Kapasitas produksi MOCAF dari PT. BCM ini mencapai 200 ton/bulan, dan saat ini direncanakan untuk meningkatkan kapasitas pabrik menjadi 1000 ton/bulan.
Kehadiran industri MOCAF dengan sistem klaster telah menyebabkan timbulnya lebih dari 60 buah produsen chips kering di Trenggalek. Kehadiran klaster ini telah berdampak positif terhadap kondisi ekonomi daerah tersebut, terutama tersedianya lapangan pekerjaan. Namun demikian, beberapa masalah kemungkinan muncul dari kehadiran klaster tersebut, yaitu limbah cair dan padat hasil industri MOCAF. Walaupun jumlah limbah cair sangat rendah jika dibandingkan dengan industri tapioka (kurang lebih 1/6-nya), kehadirannya dapat menjadi permasalah lingkungan dan sosial yang pelik jika tidak ditangani dengan baik. Sampai saat ini, limbah tersebut hanya dibuatkan penampungan dan peresapan tertutup, yang jika dengan kapasitas 1 ton MOCAF per hari masalah tersebut dapat diatasi. Jika volume produksi dari klaster diperbesar dikawatirkan akan terjadi masalah yang cukup serius. Sementara, limbah padat saat ini sudah banyak yang memanfaatkan sebagai pakan ternak, namun tak jarang banyak klaster yang membuangnya begitu saja. Untuk itu perlu dipikirkan jalan terbaik untuk memanfaatkan limbah tersebut. Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut adalah dengan pendekatan zero waste processing, dimana untuk industri MOCAF di tingkat klaster perlu dilakukan secara terintegrasi.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 1
ISBN 978-602-98902-1-1
METODOLOGI Penelitian ini merupakan sebuah paduan dari rangkaian penelitian-penelitian yang saling terkait untuk mewujudkan tujuan jangka panjang, yaitu mengembangkan zero waste processing dari klaster pembuat chips MOCAF, sehingga meningkatkan spinoff keberaadaannya di masyarakat. Seluruh rangkaian penelitian dapat dilihat pada Gambar 1, yang secara garis besar akan meliputi: 1. Teknologi Nata de Cassava dari limbah cair MOCAF 2. Teknologi Pakan ternak dari kulit ubi kayu dan bahan baku lokal lainnya 3. Teknologi Bio-gas dari limbah cair MOCAF dan tinja sapi 4. Teknologi pupuk organik dari limbah cair MOCAF dan tinja sapi 5. Teknologi produksi asam organik dari limbah cair MOCAF 6. Teknologi water soluble fractions dari limbah cair Gambar 2. Model zero waste processing pada klaster pembuat chips kering MOCAF
Gambar 1. Fishbone diagram dari penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Zero Waste Processing Kehadiran industri MOCAF dengan sistem klaster telah menyebabkan timbulnya lebih dari 60 buah produsen chips kering di Trenggalek. Walaupun jumlah limbah cair sangat rendah jika dibandingkan dengan industri tapioka (kurang lebih 1/6-nya), kehadirannya dapat menjadi permasalah lingkungan dan sosial yang pelik jika tidak ditangani dengan baik. Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut adalah dengan pendekatan zero waste processing, dimana untuk industri MOCAF di tingkat klaster perlu dilakukan dibuatkan proses terintegrasi antara budidaya singkong, industri chips kering MOCAF, pembuatan pakan ternak, peternakan, pembutan biogas, dan pupuk organik. Selanjutnya limbah cair dari MOCAF juga mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi berbagai produk, misalnya water soluble fraction (WSF), nata de cassava dan asam organik seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Teknologi pakan Teknologi pakan ternak dari kulit singkong telah dikembangkan teknologinya dengan menggunakan fermentasi bakteri asam laktat (BAL) untuk menghilangkan HCN, menyediakan gula sebagai bahan makanan mikrobia selanjutnya, dan menghilangkan citarasa kulit singkong yang “langu”. Selanjutnya digunakan jamur tempe untuk meningkatkan kadar protein dari kulit ubi kayu. Saat ini sedang dilakukan percobaan tentang pengaruh dari fermentasi tersebut terhadap karakteristik pakan kulit ubi kayu, dengan prosedur kerja seperti berikut: 1. Kulit singkong hasil pengupasan, dicuci bersih hingga tidak ada tanah yang menempel. 2. Sebelumnya siapkan terlebih dahulu starter BAL yang dipakai untuk memfermentasikan kulit. Starter dibuat dari 1 sendok kultur media ditambah 1 sendok enzim ditambah lagi 2 sendok tepung singkong kemudian dicampur dan dimasukkan kedalam air sebanyak 1 liter. Setelah itu diinkubasi selama 24 jam. 3. Starter yang sudah jadi, dicampurkan dengan kulit singkong yang telah dibersihkan kemudian ditambahkan air sampai kulit singkong tadi terendam semua. Setelah itu diinkubasi selama 48 jam. 4. Setelah 48 jam masa inkubasi, air rendaman dibuang kemudian kulit singkong dicampur dengan starter tempe, yang sebelumnya disiapkan dulu starternya yaitu terdiri dari 1 sendok ragi tempe dan 5 sendok dedak kemudian dicampur. 5. Starter tempe yang sudah siap, dicampurkan dengan kulit singkong yang telah diinkubasi selama 48 jam dalam BAL, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik dengan lubang angin kecil-kecil untuk selanjutnya diinkubasi selama 2 hari, 4 hari dan 8 hari. 6. Setelah masa inkubasi selesai dengan masing-masing waktu tersebut, kemudian dikeringkan dengan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 2
ISBN 978-602-98902-1-1
menggunakan sinar matahari sampai benar-benar kering. Pakan ternak sudah jadi Tabel 1.
Komposisi kimia pakan ternak kulit singkong setelah diinkubasi dengan BAL 48 jam dan jamur tempe 4 hari Komponen Kadar (%, wb) Air 11 - 14 Abu 0.3 – 0.5 Protein 5-6 Lipid 8 - 11 Karbohidrat 72 - 77 HCN (ppm) Tidak terdeteksi
b. Pembuatan Pupuk Cair Organik Setelah didapatkan limbah cair MOCAF, sebagai sampel dalam penelitian kali ini digunakan 80 liter untuk difermentasi ulang. Limbah MOCAF di tambahkan limbah ikan kembung yang sebelumnya sudah dicacah, dengan 3 variasi jumlah ikan yaitu 1kg. 2kg, dan 3kg. Kemudian ditambah 1 liter biakan EM4 sebagai bakteri pengkompos. Setelah bahan terkumpul dimasukan dalam rotary fermentor, sehingga aerasi pupuk tetap terjaga. Lama fermentasi bervariasi, mulai hari ke-1, ke-6, ke11, ke-16. Lalu dianalisa kandungan unsur haranya.
Gambar 3. Photo pakan ternak dari kulit ubi kayu dengan berbagai perlakuan Hasil percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 3, di mana dengan perlakuan inkubasi BAL 48 jam dan jamur tempe 4 hari, pakan ternak yang dihasilkan mempunyai kadar protein yang cukup tinggi, yaitu 5-6% (Tabel 1). Kandungan ini 2 (dua) kali lebih besar dari kandungan protein pada kulit ubi yang sebesar 3%. Teknologi Pupuk Organik Teknologi pupuk yang telah disiapkan untuk pembuatan pupuk organik dari limbah cair MOCAF dan limbah cair dan padat ternak secara garis besar proses pengolahan itu dapat digambarkan sebagai berikut : a. Pembuatan rotary fermentor Fermentasi pupuk cair dilakukan tidak ditimbun dan dibiarkan begitu saja dalam bak penampungan akan tetapi diputar dan diberi aerasi untuk mensuplai oksigen dalam pupuk agar bakteri yang ada didalamnya dapat berkembang dengan optimal (Gambar 4). b. Pembuatan Biang EM4 Sebanyak 10 ml EM4 (Effective Microorganism) dimasukan dalam botol kemudian ditambahkan gula halus 4 sdm dan susu skim 1 sdm, kemudian dilarutkan dalam 1 lt air dan diinkubasi selama 24 jam.
Gambar 4. Rancangan fermentor untuk produksi pupuk cair dari limbahOCAF
Gambar 5. Visual pupuk cair dari limbah MOCAF dengan menggunakan ikan sebagai sumber nitrogen.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 3
ISBN 978-602-98902-1-1
KESIMPULAN Limbah cair dan padat dari pengolahan MOCAF dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk yang bermutu, sehingga dapat mereduksi dampak industri tersebut terhadap lingkungan maupun sosial. Teknologi Zero Waste processing yang dikembangkan diharapkan dapat: (1) memperbesar spinoff dari industri MOCAF berbasis klaster dengan melibatkan kelompok masyarakat yang lebih besar. (2) Mengurangi risiko lingkungan dan sosial dari industri MOCAF, dengan jalan memanfaatkan limbah-limbahnya dan melibatkan kelompok masyarakat sekitarnya pada proses industri ini, dan (3) Memberikan nilai tambah bagi hasil samping MOCAF, sehingga akan menurunkan ongkos produksi dari tepung MOCAF yang berarti meningkatkan daya saingnya terhadap tepung-tepung lainnya, terutama terigu.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Dirjen Dikti yang membiayai penelitian ini melalui Program Hibah Penelitian Kompetensi tahun 2010-2012.
DAFTAR PUSTAKA Damardjati, D. S., Widowati, S., Bottema, T., Henry, G. 2002. Cassava flour processing and marketing in Indonesia. In Dufour, D., O’Brien, G. M., Best R. (Eds). Cassava Flour and Starch: Progress in Research and Development, International Centre for Tropical Agriculture (CIAT), Columbia. Suryana, A. 2011. Kebijakan non produksi untuk antisipasi fluktuasi pasokan dan harga pangan global mendukung ketahanan pangan nasional, Lokakarya: Antisipasi Dampak Perubahan Iklim dan Krisis Pangan dalam Upaya Memantapkan Ketahanan Pangan, 4 April 2011, Jakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 4
ISBN 978-602-98902-1-1
Reduksi Oksalat pada Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dan Aplikasi Pati Walur pada Cookies dan Mie Eko Hari Purnomo1,2, Rani Anggraeni1, Purwiyatno Hariyadi1,2, Feri Kusnandar1,2, dan Risfaheri3 1) 2) 3)
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian, Bogor
ABSTRACT Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvestris) is a tuber containing high oxalic content (3.6059 g/100 g) causing itchiness and irritation when consumed. The objective of this research was to study the reduction of total oxalic content of walur, to characterize physicochemical properties of walur, and apply the walur starch in cookies and noodle. The moisture, ash, fat, protein, and carbohydrate content of walur in dry basis were 74.46%, 4.89%, 14.41%, 6.42%, and 74.28%, respectively. Granule of walur starch was oval-shaped and polygonal with size of around 10-22 μm. RVA analysis showed that walur starch had A type gelatinization pattern. Oxalic content of walur starch was reduced by soaking in HCl 0.2 N solution for 30 minutes, 1% sodium bicarbonate solution for 5 minutes and washing. This treatment reduced the oxalic content up to 98.9%. Walur starch could substitute wheat flour up to 25% in cookies and up to 60 % in noodle. Keywords: Amorphophallus campanulatus var. sylvestris, oxalate reduction, starch.
PENDAHULUAN1 Tepung penyalut (batter) banyak digunakan pada produk gorengan, antara lain pisang goreng, tempe goreng, dan ayam goreng. Selama ini tepung penyalut umumnya dibuat dari bahan utama terigu. Menurut data Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo), pada tahun 2003 penggunaan terigu untuk bahan baku produk gorengan adalah sebesar 5% dari konsumsi terigu nasional (Hardinsyah dan Amalia, 2007). Konsumsi terigu nasional berkisar antara 3,5 juta ton hingga 4 juta ton per tahun (Anonima, 2009) atau setara dengan impor gandum sebesar 5 juta ton per tahun. Total impor ini terus meningkat setiap tahunnya rata-rata 4-6 persen (Anonimb, 2009). Banyak jenis bahan pangan sumber karbohidrat lokal yang dapat dimanfaatkan untuk menggantikan terigu, salah satunya adalah jagung. Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 17,6 juta ton (BPS, 2009). Produksi jagung tersebut dihasilkan dari areal panen seluas 4,16 juta hektar. Penggantian terigu pada produk gorengan dengan tepung jagung diharapkan dapat mengurangi penggunaan terigu dan meningkatkan pemanfaatan komoditas lokal. Namun berdasarkan hasil trial and error, penggunaan 100% tepung jagung sebagai penyalut produk gorengan menghasilkan tekstur yang keras setelah produk mengalami pendinginan. Hal inilah yang mendasari dilakukannya formulasi pembuatan tepung penyalut dari tepung jagung yang memiliki tekstur yang renyah dan tidak keras setelah mengalami pendinginan. Sebagai produk baru, tepung penyalut berbasis tepung jagung perlu diketahui umur simpannya. Produk tepung cenderung menyerap uap air dari udara dan mengalami kerusakan akibat peningkatan kadar air. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formula yang tepat untuk membuat tepung penyalut dari tepung jagung dan menentukan umur simpannya dengan menggunakan pendekatan kadar air kritis.
METODOLOGI Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung varietas BPPT-IPB 1, tapioka, tepung beras, tepung ketan, soda kue, lada bubuk, bawang merah bubuk, bawang putih bubuk, ketumbar bubuk, garam, dan minyak goreng. Bahan kimia yang diperlukan untuk analisis antara lain heksana, HCl 1 N, NaOH 1 N, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3 pekat, H3BO3, HCl 0,02 N, dan bahan kimia lainnya. Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ayakan 120 mesh, penggorengan, termometer, polisher (pengupas kulit ari), disc mill dan Brabender amylograph. Alat yang dibutuhkan untuk analisis adalah alat ekstraksi Soxhlet, aw-meter, neraca analitik, labu Kjeldahl 100 ml dan alat-alat gelas lain. Persiapan bahan Pada tahap persiapan bahan dilakukan pembuatan tepung jagung 120 mesh. Tepung jagung dianalisa proksimat (AOAC, 1995), kadar pati (Sudarmadji et al., 1997), kadar amilosa, kadar amilopektin dan serat kasar (Apriyantono et al., 1989). Formulasi tepung penyalut Formula tepung penyalut dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tepung penyalut ditambah bumbu-bumbu berupa bawang putih bubuk 3%, bawang merah bubuk 0,5%, merica bubuk 1%, ketumbar bubuk 1%, garam 4%, MSG 1% dan soda kue 0,2%.
*Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 5
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 1 Formula tepung penyalut per 100 gram tepung Tepung Tepung Tepung Formula Tapioka (g) jagung (g) beras (g) ketan (g) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
70 70 70 60 60 60 50 50 50 40 40 40
12,5 10 7,5 17,5 15 12,5 22,5 20 17,5 27,5 25 22,5
12,5 10 7,5 17,5 15 12,5 22,5 20 17,5 27,5 25 22,5
5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
Air (ml) 185 190 195 170 175 180 155 160 165 140 145 150
Tepung penyalut kemudian diaplikasikan pada tempe goreng. Tempe goreng diuji secara organoleptik untuk mendapatkan formula tepung penyalut terbaik. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating hedonik terhadap parameter kerenyahan, penampakan dan overall. Skor hedonik yang digunakan adalah 1 (sangat tidak suka) sampai 5 (sangat suka). Uji ini dilakukan menggunakan 25 orang panelis. Berdasarkan hasil uji organoleptik, dipilih satu formula tepung penyalut terbaik untuk ditentukan umur simpannya.
Penentuan umur simpan Penentuan kadar air kritis (Spiess dan Wolf, 1987) Sampel tepung penyalut terpilih ditimbang sebanyak ± 3 gram dalam cawan aluminium. Sampel disimpan di dalam chamber yang berisi larutan K2SO4 jenuh (RH 97,1%) pada suhu 30oC, kemudian dilakukan uji rating hedonik terhadap penggumpalan atau daya mawur dari sampel tersebut setiap 6 jam selama 24 jam. Uji rating hedonik pada penentuan kadar air kritis ini menggunakan tujuh skala dari sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (7). Tepung dikatakan telah mencapai kadar air kritisnya apabila rata-rata penilaian panelis mencapai angka 3 (agak tidak suka). Penentuan kadar air kesetimbangan dan kurva isoterm sorpsi air Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan aluminium kemudian disimpan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh (Tabel 2), kemudian diletakkan dalam inkubator dengan suhu 30oC. Selama penyimpanan dilakukan penimbangan berat sampel setiap hari sampai tercapai berat konstan atau setimbang yang ditandai dengan selisih antara 3 penimbangan berturut-turut ≤ 2mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan ≤ 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Lievonen dan Ross, 2002 diacu dalam Adawiyah, 2006). Sampel yang telah mencapai berat konstan diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (AOAC, 1995) dan dinyatakan dalam basis kering. Kurva isoterm sorpsi air dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan sebagai
ordinat terhadap aktivitas air (aw) sebagai basis pada suhu yang konstan. Tabel 2 Jenis dan RH larutan garam jenuh yang digunakan Jenis garam RH larutan garam jenuh (%) LiCl 11,3 MgCl2 32,4 K2CO3 43,2 NaBr 56,0 NaCl 75,1 KCl 83,6 BaCl2 89,7 K2SO4 97,1 Sumber : Spiess and Wolf (1987)
Penentuan model isoterm sorpsi air dan uji ketepatan model (Isse et al., 1983) Kurva isoterm sorpsi air yang dihasilkan dibuat dalam bentuk model Hasley, Chen-Clayton, Henderson, Oswin dan Caurie. Uji ketepatan model atau MRD (Mean Relative Determination) dilakukan untuk menguji ketepatan persamaan isoterm sorpsi air. Rumus MRD adalah sebagai berikut :
dimana : mi = kadar air hasil percobaan mpi = kadar air hasil perhitungan n = jumlah data
Jika nilai MRD<5 maka model isoterm sorpsi air itu dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Jika 5<MRD<10, maka model tersebut agak tepat dan jika MRD>10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan isoterm sorpsi air yang sebenarnya. Penentuan kemiringan (slope) kurva Penentuan kemiringan kurva (slope) atau nilai b dilakukan dengan membuat regresi linear dari titik kadar air awal sampai titik kadar air kritis pada kurva model isoterm sorpsi air yang terpilih. Pendugaan umur simpan Umur simpan produk dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza (1982): ( Me − Mo) ( Me − Mc) k A Po x Ws b
ln t=
dimana : t = umur simpan (hari) Me = kadar air kesetimbangan produk (%bk) Mi = kadar air awal produk (%bk) Mc = kadar air kritis produk (%bk) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2) Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) b = kemiringan (slope) kurva isoterm sorpsi air Po = tekanan uap jenuh (mmHg)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 6
ISBN 978-602-98902-1-1
Karakteristik tepung jagung
Tepung jagung yang digunakan memiliki kadar air 7,45 %bb, kadar abu 0,13% dan kadar serat kasar 0,88%. Nilai-nilai tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 013727-1995 (BSN, 1995) tentang tepung jagung yaitu kadar air maksimum 10 %bb, kadar abu maksimum 1,5%, dan kadar serat kasar maksimum 1,5%. Tepung jagung yang digunakan mempunyai kadar lemak 2,38% dan kadar protein 6,67%. Kadar lemak yang rendah ini disebabkan karena adanya pemisahan lembaga pada proses pembuatan tepung jagung. Komposisi pati merupakan faktor penting yang menentukan tekstur dan karakteristik tepung penyalut. Tepung jagung yang digunakan mengandung pati 59,39%. Pati tersusun dari dua fraksi utama yaitu amilosa dan amilopektin (Abera dan Rakshit, 2003). Kadar amilosa dan amilopektin tepung jagung yang digunakan masing-masing 27,90% dan 31,49%. Pati yang memiliki kadar amilosa tinggi mudah mengalami retrogradasi (Eliasson, 2006).
Formulasi tepung penyalut
Formulasi tepung penyalut menggunakan bahan utama tepung jagung dengan ditambah tepung beras, tapioka, dan tepung ketan. Tepung beras merupakan jenis tepung yang banyak digunakan sebagai tepung penyalut karena kadar amilosa dari tepung beras dapat meningkatkan kerenyahan produk. Namun tekstur yang dibentuk menjadi sangat tegar dan pengembangannya kurang (Ediati et al., 2006). Selain itu produk gorengan yang dihasilkan juga masih menjadi keras setelah didinginkan. Penambahan tapioka bertujuan untuk menghasilkan produk yang mengembang. Tapioka biasa digunakan dalam pembuatan kerupuk yang memiliki pengembangan dan kerenyahan yang baik. Selain itu, menurut Rahman (2007), nilai setback viscosity tapioka tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan nilai setback viscosity tepung jagung. Dengan demikian penambahan tapioka pada formula tepung penyalut diharapkan mampu mengurangi kekerasan produk setelah didinginkan. Produk gorengan yang menggunakan tepung penyalut dari campuran tepung jagung, tepung beras dan tapioka memiliki tekstur keras setelah mengalami pendinginan lebih dari 30 menit. Pendinginan ini menyebabkan terjadinya retrogradasi dimana amilosa saling berikatan kembali dan membentuk tekstur yang keras (Eliasson dan Gudmundsson, 2006). Charles et al. (2005) melaporkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa, setback viscosity juga semakin tinggi. Semakin tinggi nilai setback viscosity, proses retrogradasi semakin kuat (Bussie et al., 2007). Sebaliknya, semakin rendah kadar amilosa, setback viscosity juga semakin rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa penambahan tepung ketan pada campuran tepung mampu menurunkan setback viscosity dari tepung jagung (570 BU). Penambahan tapioka yang memiliki nilai setback viscosity yang lebih rendah ternyata belum mampu menurunkan nilai setback viscosity dari tepung penyalut yang dihasilkan. Oleh karena itu dalam formulasi ditambahkan tepung ketan.
Penambahan tepung ketan ke dalam formulasi tepung penyalut bertujuan untuk menambah proporsi amilopektin pada tepung penyalut. Tepung ketan memiliki kadar amilopektin yang tinggi. Menurut Elliason (2006), tepung dengan kadar amilopektin tinggi memiliki kecenderungan retrogradasi dan sineresis yang rendah. Penambahan proporsi amilopektin ke dalam tepung penyalut dapat mengurangi setback viscosity atau mengurangi kekerasan produk gorengan yang dihasilkan. Penambahan tepung ketan pada tepung penyalut menurunkan setback viscosity dari 570 BU menjadi 315 BU. Menurut Reputra (2009), semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin maka semakin tinggi tingkat kerenyahan produk gorengan. Struktur amilopektin yang bercabang dapat menghalangi terjadinya amilosa berikatan kembali, sehingga dapat mengurangi kekerasan produk gorengan. Selain itu, pati berkadar amilopektin tinggi bersifat lebih mengembang karena strukturnya yang bercabang, sedangkan amilosa memiliki struktur rantai lurus yang saling berikatan sehingga sulit mengembang (Eliasson dan Gudmundsson, 2006). Skor hedonik untuk atribut penampakan tepung penyalut yang diaplikasikan pada tempe goreng adalah 3,48 – 3,92 (Gambar 1). Hasil uji varian (ANOVA) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter penampakan pada semua formula tidak berbeda nyata (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan formulasi tidak menghasilkan perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan dari produk gorengan yang dihasilkan. 3,92a
4
3,52a
3,68a
3,8
Skor
HASIL DAN PEMBAHASAN
3,6 3,48a
3,52a
3,76a
a 3,84a 3,84
3,84a 3,68a
3,64a
3,80a
3,4 3,2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Formula
Gambar 1. Hasil uji rating hedonik terhadap atribut penampakan tepung penyalut. *) Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata
Skor hedonik untuk atribut kerenyahan Formula 1 hingga 5 adalah 3,2-3,32, sedangkan Formula 6 hingga 12 memiliki skor hedonik 3,64 – 4,12 (Gambar 2). Hasil ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) di antara formula. Hasil uji lanjut Duncan menyatakan bahwa Formula 6 hingga 12 tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% dan lebih disukai dibandingkan formula lainnya. Hasil uji organoleptik ini menunjukkan bahwa Formula 1 sampai 3 yang menggunakan tepung jagung 70% kurang disukai kerenyahannya oleh panelis. Saat proporsi tepung jagung dikurangi menjadi 60%, tingkat kesukaan panelis meningkat pada sampel yang ditambahkan 15% tepung ketan (Formula 6). Saat proporsi tepung jagung dikurangi menjadi 50%,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 7
ISBN 978-602-98902-1-1
6
Skor
4 3,32ab 3,30a
3,34a
3,34a 3,20a
3,96a 3,80abc
4,00a
3,72abc 3,64abc
c 3,88bc 4,12
2 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Formula
Gambar 2. Hasil uji rating hedonik terhadap atribut kerenyahan tepung penyalut. *) Perbedaan huruf menyatakan nilai yang berbeda nyata
Berdasarkan hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin sedikit proporsi tepung jagung, kerenyahan dari sampel semakin dapat diterima. Saat proporsi tepung jagung mencapai 60%, harus ditambahkan tepung ketan sebanyak 15% agar kerenyahannya dapat diterima oleh panelis. Namun apabila tepung jagung yang digunakan 50% atau kurang, maka tepung ketan yang ditambahkan cukup 5% saja untuk dapat diterima kerenyahannya oleh panelis. Hasil uji rating hedonik terhadap atribut overall tepung penyalut juga menunjukkan hal yang sama seperti pada parameter kerenyahan (Gambar 3). Hasil uji rating hedonik menunjukkan bahwa Formula 6 hingga 12 memiliki nilai kesukaan berkisar antara 3,76 – 4,20. Formula 1 sampai 5 memiliki nilai kesukaan berkisar 3,12-3,48. Hasil ANOVA terhadap atribut overall menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) di antara formula. Hasil uji lanjut Duncan menyatakan bahwa nilai kesukaan Formula 6 hingga 12 tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% dan lebih disukai dibandingkan formula lainnya. 6 3,36abc
Skor
4
3,12a
3,48abcd
3,28ab
e 3,92de 4,20 3,96de 4,08e 3,84cde 3,80bcde 3,76bcde
3,48abcd
2 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Formula
Gambar 3. Hasil uji rating hedonik terhadap atribut keseluruhan (overall) tepung penyalut. *) Perbedaan huruf menyatakan nilai yang berbeda nyata
Berdasarkan hasil uji hedonik dan dengan pertimbangan penggunaan tepung jagung yang lebih banyak, dipilih Formula 6 (60% tepung jagung) sebagai formula terbaik. Formula terpilih memiliki komposisi kimia sebagai berikut : kadar air 8,39%, kadar abu 1,17%, kadar lemak 0,68%, kadar protein 5,69%, kadar karbohidrat 84,07%, kadar pati 61,47 %, kadar amilosa 21,45%, kadar amilopektin 40,02%, dan kadar serat kasar 0,27%.
Umur simpan Kadar air kritis Hasil uji rating hedonik terhadap sampel tepung penyalut yang disimpan selama 0, 6, 12, 18, dan 24 jam menunjukkan bahwa tepung penyalut terpilih mencapai kadar air kritis setelah disimpan selama 12 jam dengan skor hedonik 3,68. Hal ini berarti menurut panelis, setelah disimpan selama 12 jam, daya mawur dari tepung penyalut sudah berkurang dan sudah tidak dapat diterima. Kadar air kritis dari tepung penyalut terpilih sebesar 0,16 g H2O/g padatan. Kurva isoterm sorpsi air Hasil pengukuran kadar air kesetimbangan tepung penyalut pada masing-masing RH digunakan untuk membuat kurva isoterm sorpsi air. Kurva isoterm sorpsi air dibuat dengan memplotkan nilai aw dengan kadar air kesetimbangan. Bentuk kurva isoterm sorpsi air dari tepung penyalut terpilih dapat dilihat pada Gambar 4. 0,25 Kadar air kesetimbangan (g H20/g solid)
penambahan tepung ketan sebesar 5% (Formula 7) sudah dapat membuat sampel lebih disukai oleh panelis.
0,20 0,15 0,10 0,05 0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
aw
Gambar 4. Kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih
Model isoterm sorpsi air Pada penelitian ini dipilih lima model persamaan matematis yaitu model Hasley, Chen-Clayton, Henderson, Caurie dan Oswin. Kelima model persamaan ini dipilih karena berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mampu menggambarkan kurva isoterm sorpsi air pada jangkauan nilai aktivitas air yang luas (Isse et al., 1983). Selain itu, model-model persamaan ini mempunyai parameter kurang atau sama dengan tiga sehingga sesuai dengan pernyataan Labuza (1968) bahwa jika tujuan penggunaan kurva isoterm sorpsi air tersebut untuk mendapatkan ketepatan kurva yang tinggi maka lebih baik menggunakan model-model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya. Selanjutnya model-model persamaan matematis yang digunakan dimodifikasi bentuknya dari persamaan non linear menjadi persamaan linear sehingga dapat ditentukan nilai-nilai tetapannya dengan menggunakan metode kuadrat terkecil untuk mempermudah perhitungan. Persamaan linear model kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Persamaan model kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih Model Persamaan bentuk linear (y=a+bx) Hasley log (ln(1/aw)) = -1,33 – 1,12 log Me Chen-Clayton ln(ln(1/aw)) = 0,67 - 10,07 Me Henderson log(ln(1/(1-aw))) = 1,05 + 1,21 log Me Caurie ln Me = -3,73 + 2,74 aw Oswin ln Me = -2,36 + 0,59 ln (aw/(1-aw))
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 8
Kadar air kesetimbangan tepung penyalut terpilih dihitung dengan menggunakan persamaan model-model kurva isoterm sorpsi air tersebut. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan digunakan untuk membuat kurva isoterm sorpsi air dari masingmasing model persamaan dan dibandingkan dengan kurva isoterm sorpsi air hasil percobaan (Gambar 5 – 9). Kadar air kestimbangan (g H20/g solid)
0,30
0,10 0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
Oswin
0,10
0,60
0,80
Percobaan
Gambar 9 Kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih model Oswin
0,00 0,00
0,20
aw
0,40
0,60
0,80
Percobaan
0,25 Kadar air kestimbangan (g H20/g solid)
0,20 0,15
aw
Gambar 5. Kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih model Hasley. 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00
0,20
0,60
0,40 aw
Chen-Clayton
0,80
Percobaan
Gambar 6. Kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih model Chen-Clayton.
Kadar air kestimbangan (g H20/g solid)
0,25
0,20
Hasley
0,30 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
aw Henderson
Percobaan
Gambar 7. Kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih model Henderson 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
aw Caurie
Ketepatan model Uji ketepatan model dilakukan dengan menghitung nilai Mean Relatif Determination (MRD). Nilai MRD kurang dari 5 (MRD<5) berarti kurva tersebut dapat menggambarkan fenomena isoterm sorpsi air dengan tepat. Hasil perhitungan nilai MRD model persamaan dapat dilihat pada Tabel 4. Model persamaan kurva yang dipilih adalah model Hasley karena memiliki nilai MRD kurang dari 5 (4,77). Model tersebut dapat menggambarkan fenomena isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih secara tepat. Tabel 4. Hasil perhitungan nilai MRD model persamaan kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih Model Nilai MRD Hasley 4,77 Chen-Clayton 26,09 Henderson 15,01 Caurie 7,59 Oswin 9,97
Nilai kemiringan (slope) kurva Nilai kemiringan (slope) kurva isoterm sorpsi air (b) ditentukan pada daerah linear. Menurut Labuza (1982), daerah linear untuk menentukan nilai kemiringan kurva isoterm sorpsi air diambil antara daerah kadar air awal dan kadar air kritis. Nilai kemiringan kurva isoterm sorpsi air dalam penelitian ini ditentukan dengan membuat garis lurus dari aw 0,46 ke aw 0,75 (Gambar 10). Kisaran nilai aw ini merupakan daerah yang melalui kadar air awal dan kadar air kritis dari tepung penyalut. Hasil regresi linear kurva isoterm sorpsi air tersebut menghasilkan persamaan garis: y = 0,41x - 0,11 (R2 = 0,98). Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai b (slope) kurva sebesar 0,41. Kadar air kestimbangan (g H20/g solid)
Kadar air kestimbangan (g H20/g solid)
Kadar air kestimbangan (g H20/g solid)
ISBN 978-602-98902-1-1
0,25
y = 0,41x-0,11 R2= 0,98
0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00
Percobaan
0,20
0,40
0,60
0,80
aw
Gambar 8. Kurva isoterm sorpsi air tepung penyalut terpilih model Caurie
Gambar 10. Penentuan nilai kemiringan (slope) kurva isoterm sorpsi air
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 9
ISBN 978-602-98902-1-1
Perhitungan umur simpan Berdasarkan uji ketepatan model (nilai MRD), maka persamaan model Hasley digunakan untuk menentukan umur simpan tepung penyalut terpilih. RH penyimpanan yang digunakan dalam perhitungan umur simpan ini adalah 85% (suhu ruang 30oC). Tepung penyalut terpilih memiliki kadar air kritis (Mc) sebesar 0,16 g H2O/g padatan, kadar air awal (Mi) sebesar 0,09 g H2O/g padatan, kadar air kesetimbangan produk (Me) pada RH penyimpanan 85% sebesar 0,33 g H2O/g padatan. Bobot kering produk per kemasan sebesar 81,76 gram. Bobot ini merupakan bobot tepung penyalut yang telah dikoreksi dengan kadar air awal. Kemasan polipropilena yang digunakan mempunyai ukuran 9,5x12,5x2 cm2 dan memiliki permeabilitas sebesar 0,07 g/m2/hari/mmHg. Besarnya kemasan dan banyaknya sampel dalam kemasan mengacu pada tepung penyalut komersial yang telah ada di pasaran. Tekanan uap air jenuh pada kondisi ruang penyimpanan (30oC) sebesar 31,82 mmHg (Labuza, 1982). Data penentuan umur simpan tepung penyalut dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan dari tepung penyalut tersebut adalah 7 bulan. Tabel 5. Data penentuan umur simpan tepung penyalut terpilih menggunakan kemasan polipropilen pada RH 85% Parameter Satuan Nilai Kadar air awal (Mi) g H2O/g padatan 0,09 Kadar air kritis (Mc) g H2O/g padatan 0,16 Slope kemiringan kurva (b) 0,41 Permeabilitas kemasan PP (k/x) g/m2hr.mmHg 0,07 Kadar air produk pada RH g H2O/g padatan 0,33 penyimpanan (Me) Berat kering produk (Ws) g 81,76 Tekanan uap air jenuh (Po) mmHg 31,82 0,02 Luas kemasan (A) m2 Umur simpan hari 209 bulan 7
KESIMPULAN Tepung penyalut terbaik diperoleh dari formula 60% tepung jagung, 12,5% tepung beras, 12,5% tapioka dan 15% tepung ketan. Penambahan tepung ketan dalam formula tepung penyalut mampu mengubah proporsi amilosa dan amilopektin pada tepung penyalut tersebut. Hal inilah yang menyebabkan penurunan kecenderungan terjadinya retrogradasi pada produk gorengan yang dihasilkan sehingga tidak terlalu keras ketika produk didinginkan. Kadar air kritis dari tepung penyalut terpilih sebesar 0,16 g H2O/g padatan. Fenomena sorpsi isotermi tepung penyalut dapat digambarkan secara tepat menggunakan model Hasley. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa umur simpan tepung penyalut dalam kemasan polipropilena pada RH 85% adalah 7 bulan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
DAFTAR PUSTAKA Abera S, Rakshit SK. 2003. Comparison of physicochemical and functional properties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips. Starch/Starke 55: 287-296. Adawiyah DR. 2006. Hubungan sorpsi air, suhu transisi gelas, dan mobilitas air serta pengaruhnya terhadap stabilitas produk pada model pangan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anonima. 2009. Meretas jalan mengurangi ketergantungan akan gandum impor. [Berita daerah.com]. http://beritadaerah.com/ news.php?pg=artikel_national&id=8786&sub=column&page =17. [ 18 Januari 2010]. b — . 2009. Terapkan antidumping tepung impor. [Suara Pembaruan]. http://epaper.suarapembaruan.com/default.aspx?iid=23479 &startpage=page0000016.[ 18 Januari 2010]. [AOAC] The Association Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC: AOAC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budijanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Tabel Luas PanenProduktivitas- Produksi Tanaman Jagung Seluruh Provinsi. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?.eng=0 [15 Agustus 2010] [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI No. 01-37271995. Syarat Mutu Tepung Jagung. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Bussie MD, Dixon AGO, Adebowale AA. 2007. Targeting different end uses of cassava: genotypic variations for cyanogenic potentials and pasting properties. J Food Sci and Technol 42(8): 969-976. Charles AL, Ko WC, Chang YH, Sriroth K, Huang TC. 2005. Influence of amylopectin structure and amylose content on gelling properties of five cultivars of cassava starches. J Agric Food Chem 53(7): 2717-2725. Ediati R, Rahardjo B, Hastuti P. 2006. Pengaruh kadar amilosa terhadap pengembangan dan kerenyahan tepung penyalut selama penggorengan. Agrosains 19(4): 395-413. Eliasson AC. 2006. Starch in Food Structure, Function and Applications. Washington DC: CRC Press. Eliasson AC, Gudmundsson M. 2006. Starch: physicochemical and functional aspects. Di dalam: Eliasson AC. Carbohydrates in Food 2nd Edition. Boca raton, London, New York: CRC Press, Inc. hlm 393. Hardinsyah, Amalia L. 2007. Perkembangan konsumsi terigu dan pangan olahannya di Indonesia 1993-2005. J Gizi dan Pangan 2 (1): 8-15.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 10
ISBN 978-602-98902-1-1
Isse MG, Schuchmann H, Schubert H. 1983. Divided sorption isotherm concept an alternative way to describe sorption isotherm data. J Food Process Eng 16(2): 147-157. Labuza TP. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Westport, Connecticut: Food and Nutrition Press, Inc. Lievonen SM., Ross YH. 2002. Water sorption of food models for studies of glass transition and reaction kinetics. J Food Sci 65(5): 1758-1766. Rahman AD. 2007. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik tepung tapioka dan MOCAL (Modified Cassava Flour) sebagai penyalut kacang pada produk kacang salut [skripsi]. Bogor: Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Reputra J. 2009. Karakterisasi tapioka dan penentuan formulasi premix sebagai bahan penyalut untuk produk fried snack [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Spiess WEL, Wolf W. 1987. Critical evaluation of methods to determine moisture sorption isotherm. Di dalam: Rockland RB. Water Activity : Theory and Application to Food. New York: Marcel Dekker Inc. Sudarmadji S, Bambang H, Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Keempat. Yogyakarta: Alberti.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 11
ISBN 978-602-98902-1-1
Optimasi Peningkatan Kadar Glukomanan Dan Penurunan Kalsium Oksalat Pada Proses Penepungan Dari Chip Porang (Amorphophallus oncophyllus) Dengan Metode Mekanis (Optimization Study of Increased Content of Glucomannan and Diminution Content of Calcium Oxalate in Porang Chip (Amorphophallus oncophyllus) During Mechanical Grinding Process) Anni Faridah1* Simon Bambang Widjanarko**, Aji Sutrisno** *Fakultas
Teknik Univeritas Negeri Padang ** Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
ABSTRACT Porang Tuber (Amorphophallus oncophyllus) has high Glucomanan content which is very useful in food and non food industry as well as in medical industry. The only main problem in development of porang flour is that due to limitation of glucomanan and its Calcium Oxalate content that stipulates irritation (itchiness) and health disorder. Optimization study of diminution (reduction) content of Calcium Oxalate during mechanica grinding process using stamp mill and cyclon fractionation was performed by applying Response Surface Model (RSM), central composite model Three variables i.e. weight of porang chip, grinding time and grinding speed were studied in order to study the Calcium Oxalate content as a response. Response model obtained was quadratic which was acquired at 1.29 kg porang optimum weight; grinding time 15,24’,36’’; and grinding speed at 18,18 rpm. Optimum glucomannan and calcium oxalate content have been predicted respectively at 68,0092% and 0,1942 % which was 67,5% and 0,25% in actual. Kay words : glucomannan, calcium oxalate, optimization, porang flour
Koresponsensi penulis : 081363846057 E_mail :
[email protected]
1
PENDAHULUAN Umbi porang (Amorphophallus oncophyllus) termasuk tanaman umbi famili Araceae yang mengandung glukomanan cukup tinggi berkisar 15 - 64% bk (Arifin, 2001). Tingginya kandungan glukomannan dalam umbi porang membuat tanaman ini banyak dicari terutama industri pangan, non pangan dan kesehatan (Kohyama, Lida, dan Nishinari, 1993). Glukomanan merupakan makanan dengan kandungan serat larut yang tinggi dan rendah kalori serta sifat hidrokoloidnya yang khas menjadikan glukomanan berfungsi sebagai bahan tambahan pangan. Pemanfaatan umbi porang menjadi tepung merupakan salah satu pilihan untuk memudahkan penyimpanan serta pengolahannya lebih lanjut. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan tepung porang sebagai bahan pangan di Indonesia adalah masih rendahnya kadar glukomanan pada tepung porang dan tingginya kalsium oksalat yang menyebabkan rasa gatal dan iritasi saat dikonsumsi. Konsumsi makanan yang mengandung kalsium oksalat dapat menyebabkan kristalisasi dalam ginjal dan gangguan-ganguan kesehatan lainnya. Peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kalsium oksalat dari tepung porang dilakukan secara mekanis karena sifat dari glukomanan yang mudah menyerap air dan menjel. Penepungan chip porang telah dilakukan menggunakan blender, hammer mill dan stamp mill (Eri, 2007; Gossy, 2009). Penepungan dengan stamp mill lebih banyak meningkatkan kadar glukomanan dari tepung porang dibanding dengan alat yang lainnya.
Penelitian ini menggunakan metode penepungan dengan stamp mill yang berprinsip penumbukan. Keunggulan penggunaan stamp mill adalah pada bagian kepala penumbuknya terdapat lempengan mika yang dipasang melingkar, saat terjadi proses penumbukan, lempeng mika ini menghembuskan serbuk-serbuk komponen komponen penyusun lain yang ringan sehingga dapat membantu mengurangi keberadaan pengotor (kalsium oksalat, pati, protein, lemak) dalam tepung porang. Chip porang ditepungkan menggunakan stamp mill dengan prinsip kerjanya adalah penumbukan atau menekan, kemudian fraksinasi menggunakan metode hembusan untuk menghasilkan glukomanan yang lebih murni (Thomas,1997). Metode hembusan menggunakan aliran udara yang bergerak untuk memisahkan pengotor dari tepung berdasarkan perbedaan massa, densitas dan ukuran partikel. Menurut Murtinah (1977) dalam Syaefullah (1990) bahwa glukomanan merupakan polisakarida yang mempunyai bobot jenis serta ukuran partikel terbesar dan bertekstur lebih keras bila dibandingkan dengan partikel-pertikel komponen tepung porang lainnya. Peningkatan kadar glukomannan dan penurunan kadar kalsium oksalat dan komponen pengotor lainnya (pati, protein, abu, lemak) merupakan tujuan dari penelitian ini saat penepungan menggunakan stamp mill kemudian fraksinasi hembusan siklon dengan metode permukaan respon.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 12
ISBN 978-602-98902-1-1
METODOLOGI
Model umum rancangan yang digunakan adalah : k
Bahan dan alat Bahan baku adalah umbi porang dengan diameter 8 – 19 cm, panjang 5 – 10 cm, berat 500 – 2500 gr, warna daging kuning dari perhutani desa Sugihwaras kecamatan Ngluyu kabupaten Nganjuk. Bahan kimia dengan kemurnian pro analisa (p.a.) antara lain: seperti NaOH, asam format, HCl pekat (37%), H2SO4 pekat (95%), CaCl2, indikator metil red, indikator phenolphetaline (pp), NH4OH, tablet kjedahl,dan asam dinitrosalisilat (DNS). Bahan kimia dengan kemurnian teknis antara lain aquades dan kertas saring. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung porang dari umbi porang adalah slaicer/pisau, timbangan, stamp mill, hembusan siklon, ayakan 30 mesh, pengering kabinet. Stamp mill yang digunakan dilengkapi dengan sebuah inverter untuk mengontrol kecepatan putaran motor dimana jika kecepatan 16, 18 dan 20 pada inventer maka kecepatan penumbukan berturut-turut 70, 78 dan 86 tumbukan permenit. Peralatan untuk analisa adalah timbangan analitik Denver instrumen M310, oven WTB binder, desikator Buchi K-314, water bath Soxhlet Memmert, stirer, colour reader minolta CR-100, spektrofotometer (Labomed Inc.), muffle Ney M-525 Series II, mikroskop polarisasi merk Nikon seri BH2, sentrifuge EBA 8, cawan pengabuan, viskosimeter, dan Scanning Electron Microscopy (JSM T-100, JEOL, Jepang). Rancangan Optimasi peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kadar kalsium oksalat pada proses penepungan untuk memproduksi tepung porang secara mekanis menggunakan stamp mill dan fraksinasi hembusan siklon dengan metode permukaan respon dengan rancangan yang digunakan adalah rancangan komposit pusat. Tiga variabel yang dikaji pada penelitian ini adalah berat chip, waktu/lama penumbukan, dan kecepatan stamp mill. Titik tengah perancangan penelitian diambil dari berat chip, dan waktu/lama penumbukan kecepatan penepungan terbaik dari penelitian (Yoman, 2010) dengan kata lain percobaan dakian tercuram tidak perlu lagi dilakukan. Kode -1, 0 dan 1 merupakan simbol yang menunjukkan nilai dari masing- masing variabel. Kode -1 menunjukkan nilai terendah (minimum), kode 0 menunjukkan nilai tengah (optimum) dan kode 1 menunjukkan nilai tertinggi (maksimum). Pada percobaan ini x1 merupakan variabel berat chip dengan kode -1 (1 kg), 0 (1,5 kg) dan 1 (2 kg), kode x2 merupakan variabel waktu penumbukan dengan kode -1 (12 jam), 0 (15 jam) dan 1 (18 jam), x3 merupakan variabel kecepatan penumbukan dengan kode -1 (16), 0 (18) dan 1 (20). Respon yang diamati yaitu kadar glukomanan (Y1) dan kadar kalsium oksalat (Y2) Seluruh perlakuan terdiri dari 20 proses penumbukan dimana setiap kondisi proses mengikuti rancangan percobaan rancangan komposit pusat (Tabel 1). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan software Design expert versi 7,0.
k −1,k
k
Y = β 0Y+ =∑Respon β i X i + pengamatan, ε= ∑ β ii X i2 + ∑ j X i X j + βi Dimana β0 =β i,Intersep,
i =1 1 i =1, j= 2 Koefisien linier, i =βii = Koefisien kuadratik, βij = Koefisien interaksi perlakuan, Xi = Kode perlakuan untuk faktor ke-i, Xj = Kode perlakuan untuk faktor ke-j, k = Jumlah faktor yang dicobakan.
Tabel 1: Rancangan komposit pusat ordo kedua dengan tiga faktor No
Berat/X1 (kg)
Waktu/X2 (jam) +1,682 15,00 0 0 9.,5 -1,682 0 15,00 0 0 15,00 0 +1 18,00 +1 +1 12,00 -1 0 15,00 0 0 15,00 0 -1,682 15,00 0 -1 12,00 -1 0 15,00 0 0 15,00 0 -1 12,00 -1 -1 18,00 +1 +1 18,00 +1 +1 12,00 -1 0 15,00 0 0 20,05 +1,682 0 15,00 0 -1 18,00 +1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
2,34 1,50 1,50 1,50 2,00 2,00 1,50 1,50 0,66 1,00 1,50 1,50 1,00 1,00 2,00 2,00 1,50 1,50 1,50 1,00
Kec/X3 18,00 18,00 14,64 18,00 20,00 16,00 18,00 18,00 18,00 20,00 18,00 18,00 16,00 16,00 16,00 20,00 18,00 18,00 21,36 16,00
0 0 -1,682 0 +1 -1 0 0 0 +1 0 0 -1 -1 -1 +1 0 0 +1,682 0
ResponY ResponY2 1
Penyortiran umbi porang untuk memisahkan yang baik dan yang busuk, kemudian pengirisan setebal (0,5 – 1 cm) yang dilanjutkan dengan pengering menggunakan panas matahari (2 – 3 hari) dan ini disebut chip porang. Penumbukan chip porang dengan berat, waktu dan kecepatan seperti Tabel 1 untuk mengetahui optimasi proses peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kalsium oksalat pada tepung porang selama penepungan secara mekanis. Melakukan fraksinasi tepung porang dengan memasukkannya kedalam hembusan pemisah (hembusan siklon) sehingga diperoleh dua fraksi yaitu fraksi ringan dan fraksi berat. Pengkajian komponen tepung porang fraksi berat hasil optimasi yaitu dengan menganalisa kadar protein, pati, kadar air, viskositas, kadar abu, melihat granula glukomanan dan pengotornya melalui mikroskop dan SEM saat optimal. Analisis 1. Analisa rendemen (Sudarmadji, 1984) 2. Analisa kadar glukomanan (Professional Standart of People Republic of China, Peiying et al., 2002) 3. Derajat warna putih (Koswara, 2009) 4. Viskositas (modifikasi Professional Standart of People Republic of China, Peiying et al., 2002) 5. Kadar oksalat metode volumetri (Ukpabi dan Ejidoh, 1989) 6. Kadar air, kadar abu, lemak dan kadar protein metode Apriyantono, et al. (1989) 7. Analisa Kadar Pati (Zapata er al., 2004),
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 13
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 2: Respon kadar glukomanan dan kadar kalsium oksalat dari rancangan komposit pusat ordo kedua dengan tiga faktor No
Berat (kg)
Waktu (jam)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
2,34 1,50 1,50 1,50 2,00 2,00 1,50 1,50 0,66 1,00 1,50 1,50 1,00 1,00 2,00 2,00 1,50 1,50 1,50 1,00
15,00 9.,5 15,00 15,00 18,00 12,00 15,00 15,00 15,00 12,00 15,00 15,00 12,00 18,00 18,00 12,00 15,00 20,05 15,00 18,00
Kec. 18,00 18,00 14,64 18,00 20,00 16,00 18,00 18,00 18,00 20,00 18,00 18,00 16,00 16,00 16,00 20,00 18,00 18,00 21,36 16,00
Glukomanan (%) 40,78 56,49 60,62 65,6 55,15 49,56 67,22 67,71 52,55 61,16 67,22 66,12 58,53 64,15 52,46 51,24 66,71 64,24 64,76 64,15
Ca-Ox (%) 5,17 2,07 2,07 0,53 2,03 3,61 0,51 0,3 0,51 0,51 0,53 0,92 3,67 1,21 3,67 4,67 0,51 1,44 1,74 0,3
Pemilihan model yang sesuai Metode permukaan respon digunakan untuk menentukan model yang sesuai untuk memprediksi respon. Menurut Montgomery, (2001), analisis model digunakan untuk menentukan model yang sesuai dalam metode permukaan respon. Model yang diperoleh dapat digunakan untuk memprediksi respon (kadar glukomanan dan kadar kalsium oksalat) untuk berat chip, lama penumbukan dan kecepatan penumbukan tertentu. Model yang dievaluasi mencakup linear, 2FI (interaksi), kuadratik, atau kubik. Proses pemilihan model dilakukan berdasarkan: uraian jumlah kuadrat (JK) dari urutan model (sequential model sum of square), uji simpangan model (lack of fit test), dan ringkasan model secara statistik (model summary statistics). Pemilihan model berdasarkan sequential model sum of square untuk kedua respon menunjukkan bahwa model yang signifikan dan disarankan adalah kuadratik. Linier dan kubik tidak signifikan karena P>0,05 sedangkan 2FI (interaksi) tidak disarankan. Model ordo yang dianjurkan (suggested) berdasarkan sequential model sum of square ini adalah kuadratik sehingga model tersebut yang terpilih. Berdasarkan lack of fit tests, model yang dianjurkan adalah kuadratik. Proses pemilihan model berikutnya berdasarkan ringkasan model secara statistik (model summary statistics) menunjukkan bahwa model yang memenuhi kriteria adalah model kuadratik. Berdasarkan tiga proses pemilihan model tersebut model yang sesuai untuk peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kadar kalsium oksalat pada proses penepungan adalah model
Permukaan respon dan titik optimum Persamaan kuadratik dapat digunakan untuk memprediksi respon dari berbagai taraf, berat chip porang, lama dan kecepatan. Persamaan kuadratik yang diperoleh untuk peningkatan kadar glukomanan adalah: Y = 66,72 - 4,48X1 + 2,22 X2 + 1,16X3 - 0,46 X1X2 – 0,013X1X3 + 0,027X2X3 – 6,83X12 - 1,98X22 – 1,16X32 dan untuk penurunan kadar kalsium oksalat adalah Y = 0,55 + 1,38X1 – 0,17 X2 - 0.089X3 - 0,49 X1X2 – 0,062X1X3 – 0,4X2X3 + 0,78X12 + 0,39X22 + 0,45X32 dengan X1 = berat chip, X2 = lama penepungan, dan X3 = kecepatan. Berhubung pada penelitian ini ada 3 faktor yang dikaji, maka terdapat tiga grafik respon yang menggambarkan hubungan antara berat chip porang, lama penumbukan, dan kecepatan penumbukan. Gambar 1 menunjukkan hubungan antara berat chip porang dan waktu penumbukan. Dari Gambar 1 diketahui bahwa pengaruh berat chip porang dan waktu penumbukan bersifat kuadratik terhadap respon peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kadar kalsium oksalat Design-Expert® Software Glukomanan 67.71
Design-Expert® Software
40.78
Actual Factor C: Kecepatan = 18.00
Oksalat 5.17
69
X1 = A: Berat X2 = B: Waktu
0.3 61.75
4.1
X1 = A: Berat X2 = B: Waktu
54.5
3.075
Actual Factor C: Kecepatan = 19.23
Oksalat
Optimasi dilakukan dengan menggunakan Rancangan Komposit Pusat pada Metodologi Permukaan Respon. Faktor yang dikaji adalah berat chip porang, lama dan kecepatan penumbukan, Tabel 2 menunjukkan respon yang dihasilkan.
kuadratik. Hasil analisis ragam dari permukaan respon kuadratik menunjukkan model kuadratik mempunyai pengaruh yang nyata terhadap respon. Berdasarkan ringkasan statistik, model kuadratik mempunyai standar deviasi terkecil dibandingkan model lain dengan nilai Adj.R2 sebesar 0,9673 untuk peningkatan kadar glukomanan dan 0,9574 untuk penurunan kadar kalsium oksalat. Hal ini berarti variabel berat chip porang, lama dan kecepatan penumbukan berpengaruh terhadap keragaman respon sebesar 96,73% dan 95,74% sedangkan sisanya sebesar 3,27% dan 4,26% dipengaruhi faktor lain yang tidak dijadikan variabel yang diteliti. Berat chip dan lama penumbukan sangat mempengaruhi peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kadar kalsium oksalat pada proses penepungan (Gossy (2009); Yoman (2010)).
Glukomanan
HASIL DAN PEMBAHASAN
47.25
40
2.05
1.025
0
18.00
2.00 16.50
1.75 15.00
B: Waktu
18.00
1.50 13.50
1.25 12.00
1.00
A: Berat
2.00 16.50
1.75 15.00
B: Waktu
A
1.50 13.50
1.25 12.00
A: Berat
1.00
B
Gambar 1: Grafik respon hubungan antara berat chip porang dan waktu penumbukan chip porang optimasi peningkatan kadar glukomanan (A) dan penurunan kadar kalsium oksalat (B) pada proses penepungan.
Gambar 2 menunjukkan hubungan antara berat chip porang dan kecepatan penumbukan. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pengaruh berat chip porang dan kecepatan penumbukan bersifat kuadratik terhadap kedua respon. Sedangkan Gambar 3 menunjukkan pengaruh waktu dan kecepatan penumbukan terhadap kadar glukomanan dalam
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 14
ISBN 978-602-98902-1-1
tepung porang yang dihasilkan. Pengaruh kedua variabel tersebut terhadap respon bersifat kuadratik.
Design-Expert® Software
Design-Expert® Software
Glukomanan 67.71
Oksalat 5.17
40.78 68
0.3
61
X1 = A: Berat X2 = C: Kecepatan
54
Actual Factor B: Waktu = 17.08
3.4
2.6
Oksalat
Actual Factor B: Waktu = 15.00
Glukomanan
X1 = A: Berat X2 = C: Kecepatan
47
1.8
1
40
0.2 20.00
2.00 19.00
1.75 18.00
C: Kecepatan
20.00
1.50 17.00
2.00 19.00
1.25
A: Berat
16.00 1.00
1.75 18.00
C: Kecepatan
1.50 17.00
1.25 16.00
A
A: Berat
1.00
B
Gambar 2: Grafik respon hubungan antara berat chip porang dan kecepatan penumbukan chip porang optimasi peningkatan kadar glukomanan (A) dan penurunan kadar kalsium oksalat (B) pada proses penepungan Design-Expert® Software Design-Expert® Software
Glukomanan 67.71
Oksalat 5.17
40.78
65
X1 = B: Waktu X2 = C: Kecepatan
62
Actual Factor A: Berat = 1.31
1.5
1.15
Oksalat
Glukomanan
Actual Factor A: Berat = 1.50
0.3
68
X1 = B: Waktu X2 = C: Kecepatan
59
0.8
0.45
56 0.1
20.00
18.00 19.00
16.50 18.00
C: Kecepatan
15.00 17.00
13.50 16.00
12.00
B: Waktu
20.00
18.00 19.00
16.50 18.00
C: Kecepatan
15.00 17.00
13.50 16.00
A
B: Waktu
12.00
B
Gambar 3: Grafik respon hubungan antara waktu dan kecepatan penumbukan chip porang optimasi peningkatan kadar glukomanan (A) dan penurunan kadar kalsium oksalat (B) pada proses penepungan
Pengaruh variabel berat chip porang, lama penumbukan dan kecepatan penumbukan terhadap respon dapat dilihat dengan mengikuti garis horizontal (Gambar 1, 2 dan 3). Respon akan terus meningkat dengan meningkatnya berat chip porang, meningkatnya waktu dan kecepatan penumbukan sampai diperoleh respon tertinggi pada peningkatan kadar glukomanan, sebaliknya pada penurunan kadar kalsium oksalat. Respon kadar kalsium oksalat akan terus menurun dengan menurunnya berat chip porang, meningkatnya waktu dan kecepatan penumbukan sampai diperoleh respon terendah. Jika berat chip porang, waktu dan kecepatan penumbukan terus ditingkatkan, respon kadar glukomanan mengalami penurunan dan sebaliknya untuk respon kadar kalsium oksalat. Hal ini kemungkin berhubungan dengan kekuatan dari stamp mill dan kontak antara tepung dengan permukaan penumbuk stamp mill kurang merata atau jumlah chip yang ditumbuk telah mencapai optimum. Gossy (2009) juga berpendapat bahwa penumbukan 250 gr chip porang dengan waktu 225 menit dan 270 menit tidak mengalami peningkatan glukomanan. Berat chip sangat mempengaruhi peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kadar kalsium oksalat pada proses penepungan (Yoman, 2010). Umumnya makin sedikit berat chip yang ditumbuk maka makin tinggi kadar glukomanan dan makin rendah kadar kalsium oksalat pada tepung dengan waktu dan kecepatan yang sama. Makin sedikit chip yang
ditumbuk kemungkinan kontak antara permukaan stamp mill dengan permukaan tepung yang ditumbuk lebih sering dan merata mengenai permukaan granula glukomanan sehingga pengotor (kalsium oksalat, protein, pati, abu, dan lemak) yang pecah dan lepas dari kantung glukomanan akan terhembus keluar pada saat penumbukan karena adanya ”penghembus” yang menempel pada kepala penumbuk, dan juga bisa terhembus keluar saat dilakukan metode hembusan menggunakan hembusan siklon. Tepung porang akan terus mengalami tekanan dari stamp mill selama proses penumbukan. Semakin lama penumbukan, tepung akan semakin halus dan komponen yang terbuang saat penumbukan juga akan semakin banyak. Pada saat penumbukan juga terjadi gaya mekanis yang terus menerus menumbuk chip porang, sehingga terjadi gesekan antara granula glukomanan dengan lumpang, penumbuk, maupun antar granula glukomanan itu sendiri. Akibat hal tersebut, komponen non-glukomannan yang berada di permukaan matriks glukomanan mulai terlepas dan terpisah. Jika penumbukan terus dilakukan kemungkinan granula glukomanan akan semakin halus dan juga bisa terhembus keluar saat penumbukan atau pemisahan. Menurut Wanasundara dan Shahidi (1999) analisis kanonik terhadap model polinomial kuadratik digunakan untuk menentukan bentuk dan kurva permukaan respon, serta letak titik stasioner atau titik optimum. Analisis kanonik merupakan pendekatan matematik yang digunakan untuk menentukan letak titik stasioner dari permukaan respon dan untuk mengetahui apakah respon bersifat minimum atau maksimum, (Mason et al. (1989) dalam Wanasundara dan Shahidi, (1999)) Nilai sebenarnya untuk titik stasioner yang diperoleh dari hasil analisis kanonik pada proses penepungan ini adalah berat chip porang 1,29 kg, lama penumbukan 15 jam 24 menit 36 detik (15,46 jam), dan kecepatan penumbukan 19,12. Respon kadar glukomanan dan kalsium oksalat (%) pada kondisi optimum ini diprediksi berturut-turut sebesar 68,0092% dan 0,1942%. Kondisi ini merupakan kondisi terbaik untuk mendapatkan kadar glukomanan tertinggi dan kadar kalsium oksalat terendah dalam tepung porang dari hasil penepungan chip porang metode mekanis. Thomas (1997) menerangkan bahwa proses pembuatan tepung porang, ditepungkan dan dipisahkan dengan metode hembusan. Butiran tepung porang yang lebih berat (yang mengandung glukomannan) terpisahkan dari tepung kering, sehingga konsentrasi glukomannan meningkat (Syaefullah, 1990). Partikel yang memiliki densitas dan ukuran lebih besar akan turun/masuk kepenampungan berdasarkan gravitasi, sedangkan pertikel yang lebih kecil dan ringan akan bergerak seiring dengan hembusan angin, meninggalkan pusat ruangan pemisah (Barbosa et al., 2005). Karakteristik tepung porang kondisi optimum peningkatan kadar glukomanan Tabel 3 memperlihatkan bahwa proses mekanis penepungan chip porang dapat meningkatkan kadar glukomanan dan penurunan kadar kalsium oksalat pada tepung porang.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 15
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 3: Karakteristik kimia dan fisik chip porang dan tepung porang hasil optimasi penurunan kadar kalsium oksalat dengan metode mekanis Parameter
Komposisi dalam chip porang
pati
Komposisi dalam tepung porang optimum
16,21
2,65
protein
4,5
2,4
lemak
3,14
1,5
abu
7,72
2,3
air
9,48
10,11
Kalsium oksalat (%)
6,11
0,22
Glukomanan (%)
37,54
67,5
Viskositas
2900
6300
Drajat putih
-
47,59
Peningkatan kadar glukomanan dari 37,54% menjadi 67,5% sangat signifikan, hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 4 pengamatan dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x dan Gambar 5 pengamatan menggunakan SEM. Pengamatan pada tepung porang hasil optimasi peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kalsium oksalat menunjukkan bahwa non glukomanan yang terdapat pada permukaan granula glukomanan sudah jauh berkurang dibandingkan dari pada tepung porang penepungan dengan berat chip porang 2 kg, waktu penepungan 12 jam dan kecepatan 16 (Gambar 4). Hal ini tampak pada banyaknya area berwarna hitam di bagian luar granula glukomanan, ini menunjukkan sinkronisasi dari data pengamatan secara visual dengan data yang diperoleh secara kuantitatif melalui analisis kimiawi.
Tepung porang 2 kg 12 jam dan kecepatan 16
Tepung hasil optimasi (1,29 kg, 15,24’36’’, kec 19,12)
Gambar 4 : Granula glukomanan menggunakan cahaya perbesaran 100x
Kadar glukomanan tepung porang hasil optimasi menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan chip porang dari 37,54% menjadi 67,63%. Peningkatan ini diimbangi dengan semakin menurunnya komponen-komponen non glukomanan lainnya, seperti kadar oksalat, kadar protein, kadar lemak, kadar abu dan kadar pati (Tabel 2). Sesuai dengan teori Takigami (2000) bahwa proses penepungan masih membutuhkan pemurnian tepung porang dengan pencucian etanol untuk mengurangi komponen-komponen pengotor yang berada di permukaan granula glukomanan. Gambar 5 menunjukkan perbedaan granula glukomanan yang belum mengalami pencucian dan sudah dicuci. Viskositas tepung porang (6300 c.Ps) lebih tinggi daripada tepung chip porang (2900 c.Ps). Tinggi rendahnya viskositas tepung porang erat kaitannya dengan kadar glukomanan yang terkandung di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses penepungan mampu meningkatkan kadar glukomanan sehingga viskositasnya meningkat.
A
C
B
Komponen pengotor
Permukaan granula glukomanan yang bersih
D
(A) (C) hasil optimasi penepungan dan (B) (D) hasil ektraksi tepung optimasi
mikroskop
Kalsium oksalat merupakan salah satu senyawa yang tidak diharapkan pada tepung porang. Efek kronis konsumsi bahan pangan yang mengandung oksalat adalah terjadinya endapan kristal kalsium oksalat dalam ginjal dan membentuk batu ginjal. Dosis yang mampu menyebabkan pengaruh yang fatal adalah antara 10-15 gram (Noor, 1992), sementara Noonan dan Savage (1999) menyebutkan bahwa asupan harian oksalat maksimum sebesar 70 – 150 mg/hari.
Gambar 5: Granula glukomanan menggunakan SEM (A) (B) perbesaran 500x dan (C) (D) perbesaran 2000x
Perbesaran dilanjutkan sampai 2000 kali dengan luas bidang pengamatan 50 µm. Gambar 5 (C) dan (D) menunjukkan bahwa proses mekanis belum mampu membersihkan komponen-komponen pengotor yang menyelimuti permukaan granula glukomanan atau masih banyak mengandung pengotor, bahkan tampak kristal kalsium oksalat berbentuk jarum yang masih menempel.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 16
ISBN 978-602-98902-1-1
KESIMPULAN Optimasi peningkatan kadar glukomanan dan penurunan kalsium oksalat pada proses penepungan untuk memproduksi tepung porang dari chip porang dengan metode mekanis menunjukkan bahwa berat chip porang, lama dan kecepatan penumbukan berpengaruh terhadap respon. Respon yang diperoleh bersifat kuadratik baik kadar peningkatan kadar glukomanan maupun penurunan kalsium oksalat dengan persamaan polinomial yang diperoleh berturut-turut adalah adalah: Y = 66,72 - 4,48X1 + 2,22 X2 + 1,16X3 - 0,46 X1X2 – 0,013X1X3 + 0,027X2X3 – 6,83X12 - 1,98X22 – 1,16X32 dan Y = 0,55 + 1,38X1 – 0,17 X2 - 0,089X3 - 0,49 X1X2 – 0,062X1X3 – 0,4X2X3 + 0,78X12 + 0,39X22 + 0,45X32 dengan X1 = berat chip, X2 = lama penepungan, dan X3 = kecepatan. Pada kondisi optimum respon kadar glukomanan dan kalsium oksalat diprediksi sebesar 68,0092% dan 0,1942%. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa chip porang dalam bentuk tepung porang yang ditumbuk dengan metode mekanis mempunyai kadar glukomanan yang diperoleh 67,5% dan kalsium oksalat 0,25%
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Dirjen Dikti yang membiayai penelitian ini melalui Program Hibah Pasca Universitas Brawijaya
DAFTAR PUSTAKA Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budijanto S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor Arifin, M.A. 2001. Pengeringan Kripik Umbi Iles-iles Secara Mekanik untuk Meningkatkan Mutu Keripik Iles-iles. Tesis. Teknologi Pasca Panen. PPS. IPB. Bogor. Barbosa, G.V.; O.R. Enrique; P. Julianto, and H. Yan. 2005. Food Powder, Kluwer Academic Plenum Publisher. New York. Bradbury, O.H. and Holloway. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops: Significance for Nutrition and Agriculture In The Pacific, Chemistry Department Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra. Eri, P.A. 2007. Kaji Tindak Pembuatan Tepung Porang dengan Hummer Mill dengan Metode Hembusan dan Proses Pemanasan untuk Menghilangkan Rasa Gatal. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang Gossy, A. 2009. Uji Kerja Perancangan Mesin Stamp Mill Penumbuk 3 Lesung untuk Chip Porang. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang Kohyama, K.; H. Lida, and K. Nishinari. 1993. A mixed system composed of different molecular weights konjac glucomannan and kappa carrageenan: large deformation
and dynamic viscoelastic study, Food Hydrocolloids. 7 (3): 213-226 Koswara, S. 2009. Iles-iles dan Hasil Olahannya. EbookPangan.com Montgomery, D.C. 2001. Design and Analysis of Experiments. 5th edition. John Wiley & Sons, Singapore. Noonan, S. C. and G.P. Savage. 1999. Oxalate content of foods and its effect on humans. Asia Pasific J Clin Nutr (1999) 8 (1): 64-74. Noor, Z., 1992, Senyawa Anti Gizi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, UGM, Yogyakarta. Professional Standard of the People Republic of China. 2002. Konjac flour. Promulgated by the Ministry of the People’s Republic of China. Beijing. Sudarmadji, S.B; Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Hasil Pertanian, Edisi Keempat. Liberti. Jogjakarta Syaefullah, M. 1990, Studi Karakteristik Glukomanan dari Sumber Indegeneous Amorphophallus onchopillus dengan Variasi Proses Pengeringan dan Dosis Perendaman. Tesis. Pascasarjana. Universitas Brawijaya. Malang Takigami, S. 2000. Handbook of Hydrocolloids; Konjac Mannan, CRC Press. Washington DC Thomas, W.R. 1997. Konjac Gum. Dalam Alan Imeson. 1999. Thickening and Gelling Agents for Food, 2nd ed., pp. 16779, Blackie Academic and Professional, London. Ukpabi, U.J. and Ejidoh, J.I. (1989). Effect of deep oil frying on the oxalate content and the degree of itching of cocoyams (Xanthosoma and Colocasia spp). Technical Paper presented at the 5th Annual Conference of The Agricultural Society of Nigeria, Federal University of Technology, Owerri, Nigeria, 3-6 Sept Wanasundara, U.N. and F. Shahidi. 1999. Concentration of omega-3 polyunsaturated fatty acids of seal bubbler oil by urea complexation: optimization of reactions conditions. Food Chemistry 65: 41-49. Yoman, O.S.D. 2010. Optimasi Proses Penepungan dengan Metode Stamp Mill dan Pemurnian Tepung Porang dengan Metode Ekstraksi Etanol Bertingkat untuk Pengembangan Industri Tepung Porang Amorphophallus onchophyllus. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang Zapata, C., E. Deleens, S. Chaillou, C. Magne. 2004. Partitioning and mobilization of starch and n reserve in grapevine (Vitis vinifera L.). Journal of Plant Physiology 161 (2004) 1031-1040.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 17
ISBN 978-602-98902-1-1
Optimasi Peningkatan Kadar Glukomanan Dan Penurunan Kalsium Oksalat Pengaruh Persentase Penambahan Tapioka Pada Nasi-Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Kultivar Lokal Bandung Dan Kultivar UNPAD 1.1 Terhadap Karakteristik Keripik Sorgum (The Effect of Tapioca Starch Percentage on Sorghum-Rice (Sorghum bicolor (L.) Moench cv Local Bandung and Unpad 1.1) Chip Characteristics) Carmencita Tjahjadi, Een Sukarminah, Marsetio, Risma Khoerun Nisa Jurusan Teknologi Industri Pangan, FTIP Unpad
ABSTRACT Sheeting and cutting out sorghum-rice chips is difficult due to lack of binding properties of sorghum rice. The purpose of this research was to find the best percentage of tapioca needed to obtain sorghum-rice chips with good physical, chemical and organoleptic properties from local Bandung and Unpad 1.1 cultivars. A Randomized Block Design in factorial pattern consisting of two factors, respectively rice of sorghum cultivar (local Bandung and Unpad 1.1 cultivars) and tapioca percentage (2,5%, 5% and 7,5%) in 4 replications was employed. The results showed that the sorghum-rice of the Unpad 1.1 cultivar with 7.5% tapioca produced sorghum chips with the best characteristics, respectively yield of standard size chips, non-standard size chips and total chips were 29.85%, 1.01%, 30.86%, dark greenish yellow in colour with some light yellow spots and many brownish black spots (L* 53.47, a* -14.21, b* 19.43) and a moisture, protein, fat, ash, crude fiber, carbohydrate content of respectively 12.64% (d.b.), 0.83% (d.b.), 4.6% (d.b.), 4.03% (d.b.), 0.40% (d.b.), 78.44% (d.b.). Fried sorghum chips were light greenish yellow with some yellow spots (L* 95.36, a* -5.70, b* 22.83) and expansion volume, hardness, preference scores for colour, flavor, crunchiness, surface texture, as well as overall characteristics of respectively 559.96%, 78.78 mm/10 seconds, 3.7 (nearly like), 3.9 (nearly like), 4.2 (slightly liked), of 3.6 (nearly like), 3.9 (nearly like) and moisture, protein, fat, ash, crude fiber, carbohydrate content of 5.00% (d.b.), 0.72% (d.b.), 21.79% (d.b.), 3.35% (d.b.), 0.40% (d.b.) and 69.14% (d.b.).
Keywords: sorghum chips, sorghum-rice, tapioca, sorghum cultivars
PENDAHULUAN Keripik camilan favorit masyarakat Indonesia adalah makanan ringan hasil penggorengan berupa irisan tipis dari umbi-umbian atau buah-buahan yang mengandung pati tinggi (Wikipediaa, 2010). Keripik umumnya dibuat dari satu macam bahan baku, sehingga kekurangan zat gizi karena hanya menyediakan kalori saja, citarasa yang terbatas, serta bentuk dan ukuran yang tidak seragam. Upaya untuk memperbaikinya, dapat dengan membuat keripik “simulasi” (Damayanthi dan Listyorini, 2006), yaitu keripik yang dibuat dengan pengadonan berbagai bahan baku dengan kandungan gizi beragam, zat citarasa, pencetakan sesuai bentuk dan ukuran yang diinginkan serta penggorengan. Beras-sorgum berpotensi sebagai salah satu bahan baku utama keripik “simulasi” karena kandungan patinya yang tinggi (56% - 73%). Beras-sorgum ditanak dengan pressure cooker, karena penanakan tradisional tidak dapat melunakan embryonic disc, sehingga tidak perlu pemisahan dengan penyaringan seperti pada pembuatan opak (Dwijayanti, 2009). Selain itu, pemasakan dengan pressure cooker tiga kali lebih cepat daripada panci biasa, sehingga lebih ekonomis. Dengan demikian, kandungan gizi khususnya vitamin dan mineral dapat dipertahankan lebih baik (Wikipediab, 2010). Nasi-sorgum kurang memiliki daya ikat karena kadar amilopektinnya rendah (70% - 80%), sehingga adonan keripik rapuh dan tidak kompak yang mempersulit pencetakan, sehingga harus ditambahkan bahan pengikat. Untuk keripik,
salah satu bahan pengikat terbaik adalah tapioka (amilopektin 86%). Kultivar lokal Bandung yang dibudidayakan di daerah Bandung Selatan termasuk red sorghum yang mengandung tanin tinggi, sehingga lebih tahan hama, tetapi menimbulkan sepat pada produk olahannya. Hal ini dapat diatasi dengan proses penyosohan yang benar. Kultivar Unpad 1.1 dikembangkan oleh Bagian Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran termasuk jenis white sorghum (sedikit mengandung tanin) yang berpotensi sebagai pangan alternatif, tetapi rentan terkena hama. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan persentase penambahan tapioka yang paling tepat pada nasi dari jenis sorgum kultivar lokal Bandung dan kultivar Unpad 1.1 untuk menghasilkan keripik sorgum kering dan goreng dengan karakteristik fisik, kimia dan organoleptik yang baik.
METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan baku: biji sorgum kultivar lokal Bandung dan kultivar Unpad 1.1, tapioka, garam, bubuk bawang putih, MSG, air, minyak goreng dan akuades, HgO, K2SO4, H2SO4, NaOH 30%, Na2S2O3, H3BO3 0,1N, indikator campuran metil merah dan brom kresol hijau 3%, lakmus, HCl 0,02N, heksan, H2SO4 0,255N, NaOH 0,313N, K2SO4 10% dan alkohol 95%. Alat-alat: pressure cooker merk Airlux, cabinet dryer merk Carbolite tipe 4EKF63A-2, mesin penyosoh modifikasi Jurusan TMIP, FTIP, Universitas Padjadjaran, kompor gas, roller, sendok, wajan,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 18
ISBN 978-602-98902-1-1
baskom, spatula, plastik HDPE, kompor, dandang, stop watch, timbangan analitik, gelas ukur, cawan, desikator, soxhlet, kertas saring, timbangan analitik, pasir kuarsa, biji sawi, termometer, Kotak CIE-LAB yang menggunakan Lampu D65 (Color Temperature 6500oK), komputer dan kamera digital 12 megapixel.
Nasi-sorgum panas Tapioka, bubuk bawang putih, garam, MSG (sesuai perlakuan)
Penimbangan
Metode Penelitian dan Rancangan Percobaan Metode eksperimen dengan RAK pola faktorial, ulangan 4 kali. Faktor A: Nasi dari Jenis Sorgum, taraf: a1 = Kultivar lokal Bandung
Penimbangan
Pencampuran dan pengulenan sampai adonan rata
Adonan
Pembuatan lembaran tipis (1 mm) dan pencetakan bentuk lingkaran pipih (diameter 5 cm)
a2 = Kultivar Unpad 1.1
Penyiapan dandang
Faktor B: Penambahan Tapioka, taraf: b1 = 2,5% (b/b) dari nasi-sorgum b2 = 5% (b/b) dari nasi-sorgum b3 = 7,5% (b/b) dari nasi-sorgum
Pengukusan sampai transparan (5 menit)
Keripik sorgum basah
Pendinginan sampai mencapai suhu ruang
Pembuatan Keripik Sorgum Penanakan nasi-sorgum dan pembuatan keripik sorgum disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Prosedur penggorengan dan pengemasan keripik sorgum disajikan pada Gambar 3.
Pengeringan dalam cabinet dryer pada suhu 60oC sampai keripik bisa dipatahkan (8 jam)
Keripik sorgum kering
Gambar 2. Diagram Proses Pembuatan Keripik Sorgum Beras-sorgum
Penimbangan Keripik Sorgum Kering Air
Pencucian hingga air cucian tidak keruh
Air cucian
Minyak Kelapa Deep Fat Frying sampai keripik mengembang sempurna
Penirisan hingga tidak ada lagi air yang menetes Penambahan Air Beras-sorgum:Air 1:3 (b/v) Beras:Air 1:3 ( (1500 ml)
Sisa air cucian
Penanakan dalam pressure cooker sampai masak (8 menit, 120°C, 2 bar)
Penirisan sampai minyak tidak menetes
Keripik Sorgum Goreng
Pengemasan (kantung plastik PP) Nasi-sorgum panas
Gambar 1. Diagram Proses Penanakan Nasi-Sorgum
Keripik Sorgum Goreng dalam Kemasan
Gambar 3. Diagram Proses Penggorengan dan Pengemasan Keripik Sorgum
Kriteria Pengamatan 1. Nasi-sorgum Deskripsi: warna, aroma, kenampakan keseluruhan, kelunakan, kelengketan dan kepulenan serta absorpsi air nasi-sorgum (Hubeis, 1985). 2. Adonan Keripik Sorgum Deskripsi: warna, kelengketan, tekstur permukaan dan kemudahan cetak. 3. Keripik Sorgum Kering Deskripsi: warna, aroma dan kenampakan keseluruhan, rendemen keripik kering: produk ukuran standar, produk ukuran tidak standar dan produk total (Apriyantono dkk.,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 19
ISBN 978-602-98902-1-1
4.
5.
1989), warna dengan metode CIE-Lab (Yam dan Papadakis, 2004) dan kadar air (AOAC 14.004) Keripik Sorgum Goreng Deskripsi: warna, aroma, cita-rasa, kerenyahan dan kenampakan keseluruhan, warna dengan metode CIE-Lab (Yam dan Papadakis, 2004), volume pengembangan dengan metode Rapeseed Displacement (v/v) (AACC. 1005 dikutip USDA, 2004), kekerasan dengan penetrometer (Muchtadi dan Sugiyono, 1992), dan skor kesukaan indrawi terhadap warna, cita-rasa, kerenyahan, tekstur permukaan dan kesukaan keseluruhan (Soekarto, 1985) Karakteristik kimia keripik sorgum kering dan keripik sorgum goreng dari perlakuan terbaik: Kadar air (AOAC 14.004), kadar protein (AOAC 14.063), kadar lemak (AOAC 14.018), kadar serat kasar (AOAC 14.060), kadar abu (AOAC 14.006), kadar karbohidrat metode by difference (Nielsen, 1998)
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi dan Absorpsi Air Nasi-Sorgum Kultivar Lokal Bandung dan Kultivar Unpad 1.1 A. Deskripsi Warna Nasi-sorgum kultivar lokal Bandung berwarna kuning kemerahan karena termasuk jenis red sorghum, sedangkan kultivar Unpad 1.1 berwarna kuning kehijauan termasuk jenis white sorghum. Perbedaan ini disebabkan karena pigmen yang terdapat pada perikarp dan testa kedua jenis sorgum berbeda. Menurut Rooney dan Miller (1982) dikutip Budiarti (2010), pigmen pada perikarp sorgum putih adalah senyawa-senyawa karotenoida yang berwarna putih kekuningan dan tahan terhadap panas sedangkan pada sorgum merah kultivar lokal Bandung mengandung pigmen tanin dan antosianin yang larut dalam air, maka pada penanakan nasi-sorgum terjadi pelarutan pigmen pada testa yang masih menempel sehingga tampak kemerahan serta karena adanya komponen flavonoida dan tanin yang mungkin menutupi pigmen lainnya (Hahn dan Rooney, 1886 dikutip Waniska, 2000). Aroma Aroma nasi dari kedua jenis sorgum ini adalah khas sorgum matang atau menurut Budiarti (2010) mirip dengan aroma jagung rebus. Menurut Juliano (1994) dikutip Haryadi (2006) beberapa beras aromatik dari Asia mengandung 2-asetil2-prolin yang memberi ciri khas aroma seperti popcorn. Kandungannya berkisar 0,04 µg/kg – 0,09 µg/kg pada beras sosoh aromatik dan 0,1 µg/kg – 0,2 µg/kg pada beras aromatik pecah kulit. Tabel 1. Deskripsi karakteristik indrawi nasi-sorgum kultivar lokal Bandung dan kultivar Unpad 1.1 Pengamatan Warna
Aroma Kelunakan Kelengketan Kepulenan
Kultivar Lokal Bandung Kuning kemerahan (+) cerah L*= 81,72 a*= 4,37 b*= 24,82 Khas sorgum matang Lunak (••), lebih keras dari nasi biasa Lengket (∗∗) Agak pera (#)
Jenis Sorgum
Kultivar Unpad 1.1 Kuning kehijauan (+++) sangat cerah L*= 90,55 a*= -12,10 b*= 19,28 Khas sorgum matang Agak lunak (•), lebih keras dari nasisorgum kultivar lokal Bandung Agak lengket (∗) Pera (##)
Kenampakan keseluruhan
Ukuran butiran lebih besar dari beras-sorgum; hilum (hitam kecoklatan) masih terlihat pada sebagian kecil nasi-sorgum; masih terlihat testa yang belum terkelupas (merah kecoklatan) pada sebagian besar nasisorgum
Ukuran butiran lebih besar dari berassorgum (pengembangannya lebih kecil dari nasi-sorgum kultivar lokal Bandung); hilum masih terlihat (hitam kecoklatan) pada sebagian besar nasisorgum; masih terlihat testa yang belum terkelupas (kuning muda) pada sebagian kecil nasi-sorgum
Foto (diambil ketika masih panas)
Keterangan: Tanda (+,•,∗,#) semakin banyak, menunjukan intensitas yang semakin meningkat
Kelunakan, Kelengketan, Kepulenan dan Kenampakan Keseluruhan Nasi-sorgum kultivar lokal Bandung lebih lunak, lebih lengket dan ukuran butirannya lebih besar dibandingkan dengan kultivar Unpad 1.1. Nasi-sorgum cenderung bersifat pera, nasisorgum kultivar Unpad 1.1 lebih pera dibandingkan dengan kultivar lokal Bandung. Menurut Juliano, dkk. (1965) dikutip Susanti (1997) kekerasan, kelengketan nasi dipengaruhi oleh kadar amilosa dan serat kasar. Semakin tinggi kadar amilosa dan serat kasar, nasi yang dihasilkan cenderung lebih keras. Kadar amilosa beras-sorgum kultivar Unpad 1.1 (23,29%) lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar lokal Bandung (22,64%), akibatnya nasi-sorgum yang dihasilkan pun lebih pera, lebih keras dan kurang lengket. Serat kasar beras nyata menurunkan tingkat kelengketan, karena tidak dapat mengikat air, maka dapat menghambat granula-granula pati saling menempel dan berlekatan satu sama lain (Ratni, 1996 dikutip Utomo, 1999). Menurut Yuliandi (2009), kadar serat kasar beras-sorgum kultivar Unpad 1.1 (1,85%) yang lebih tinggi dibandingkan kultivar lokal Bandung (0,86%) menyebabkan kultivar lokal Bandung lebih lengket. B.
Absorpsi Air Nasi-Sorgum Kultivar Lokal Bandung dan Kultivar Unpad 1.1 Absorpsi air nasi-sorgum kultivar Unpad 1.1 lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar lokal Bandung. Hal ini dipengaruhi oleh efisiensi penyosohan (EP) dan kadar amilosa. Pengaruh EP terhadap absorpsi air berbeda pada nasi-sorgum kultivar lokal Bandung dan kultivar Unpad 1.1. Pada nasi-sorgum kultivar lokal Bandung, semakin tinggi EP maka absorpsi air semakin menurun, sedangkan pada kultivar Unpad 1.1, semakin tinggi EP, absorpsi air semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena perbedaan ukuran biji, bentuk biji, luas permukaan per satuan berat, persentase EP dan komposisi kimia beras-sorgum kedua jenis sorgum tersebut (Budiarti, 2010). Tabel 2. Absorpsi air nasi-sorgum kultivar lokal Bandung dan kultivar Unpad 1.1 Nasi dari jenis sorgum Kultivar lokal Bandung Kultivar Unpad 1.1
Absorpsi Air (%) 235,62 273,02
Menurut Haryadi (2006) pada beras dari padi, kultivarkultivar beras yang berbentuk panjang dan kadar amilosa tinggi menunjukkan bahwa absorpsi airnya lebih besar daripada kultivar-kultivar yang lebih pendek dengan bentuk lebih bulat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 20
ISBN 978-602-98902-1-1
dan kadar amilosa yang lebih rendah. Absorpsi air kultivar Unpad 1.1 lebih tinggi dibandingkan kultivar lokal Bandung karena kadar amilosanya yang lebih tinggi. Deskripsi Karakteristik Indrawi Adonan Keripik Sorgum Warna Adonan keripik sorgum kultivar lokal Bandung berwarna kuning kemerahan cerah, dengan sedikit bercak merah kecoklatan dan bintik kecil putih kekuningan sedangkan pada kultivar Unpad 1.1 berwarna kuning kehijauan cerah, dengan sedikit bercak kuning muda dan bintik coklat kehitaman pada setiap perlakuan penambahan tapioka (Tabel 3). Perbedaan warna disebabkan karena perbedaan jenis sorgum yang digunakan. Bercak-bercak ini merupakan testa yang masih menempel pada beras-sorgum umumnya sekitar hilum yang berhubungan dengan EP. Semakin tinggi nilai EP semakin banyak perikarp dan testa yang masih melekat pada berassorgum (Yuliandi, 2009). Bintik kecil putih kekuningan yang tampak pada adonan keripik sorgum kultivar lokal Bandung diduga adalah embryonic disc dan bintik kecil coklat kehitaman yang tampak pada kultivar Unpad 1.1 diduga hilum. Kelengketan, Tekstur Permukaan, Kemudahan Cetak Adonan keripik sorgum kultivar Unpad 1.1 lebih sulit dicetak dibandingkan kultivar lokal Bandung karena EP kultivar Unpad 1.1 (24,25%) lebih besar daripada kultivar lokal Bandung (20%) yang menunjukkan bahwa sisa perikarp dan testa pada beras-sorgum kultivar Unpad 1.1 lebih banyak. Menurut Rooney dan Sullins (1977), perikarp dan testa terdiri dari serat kasar yang tidak dapat menyerap air dan dapat menghambat imbibisi air ke dalam biji. Serat kasar menghalangi butir yang satu dengan butir lainnya. Akibatnya adonan tidak menyatu dengan kuat sehingga mempersulit pencetakan. Kelengketan dan kemudahan cetak adonan keripik sorgum meningkat, sedangkan kekasaran tekstur permukaannya menurun seiring dengan meningkatnya persentase penambahan tapioka. Sifat lengket dipengaruhi oleh gelatinisasi parsial pati karena pencampuran adonan dilakukan saat nasi-sorgum masih panas. Semakin tinggi kadar amilopektin, semakin lengket adonannya, karena
a2b1 (nasi-sorgum L*= 76,17 kultivar a*= -14,77 Unpad 1.1, b*= 21,49 tapioka 2,5%)
Kuning kehijauan (+++) cerah, terdapat sedikit bercak kuning muda (testa yang belum terkelupas) dan bintik coklat kehitaman (hilum)
Agak Lengket
Sangat sulit dicetak (∗), Kasar (###) karena lempeng adonan sangat pecah-pecah
a2b2 (nasi-sorgum L*= 77,55 kultivar a*= -14,50 Unpad 1.1, b*= 20,45 tapioka 5%)
Kuning kehijauan (+++) cerah, terdapat sedikit bercak kuning muda (testa yang belum terkelupas) dan bintik coklat kehitaman (hilum)
Lengket
Kasar (##)
Sulit dicetak (∗∗), karena lempeng adonan pecah-pecah
a2b3 (nasi-sorgum L*= 80,41 kultivar a*= -13,96 Unpad 1.1, b*= 17,41 tapioka 7,5%)
Kuning kehijauan (+++) cerah, terdapat sedikit bercak kuning muda (testa yang belum terkelupas) dan bintik coklat kehitaman (hilum)
Kasar (#)
Lebih mudah dicetak (∗∗∗) dibandingkan dengan perlakuan a2b2, karena lempeng adonan tidak terlalu pecahpecah
1.
Tabel 3. Deskripsi karakteristik indrawi adonan keripik sorgum Perlakuan
Warna CIELab
a1b1 (nasi-sorgum L*= 71,56 kultivar lokal a*= 3,40 Bandung, b*= 21,71 tapioka 2,5%)
a1b2 (nasi-sorgum L*= 71,92 kultivar lokal a*= 2,55 Bandung, b*= 20,62 tapioka 5%)
a1b3 (nasi-sorgum L*= 72,55 kultivar lokal a*= 2,39 Bandung, b*= 17,88 tapioka 7,5%)
Warna Kuning kemerahan (+) cerah, terdapat sedikit bercak merah kecoklatan (testa yang belum terkelupas) dan bintik kecil putih kekuningan (embryonic disc) Kuning kemerahan (+) cerah, terdapat sedikit bercak merah kecoklatan (testa yang belum terkelupas) dan bintik kecil putih kekuningan (embryonic disc) Kuning kemerahan (+) cerah, terdapat sedikit bercak merah kecoklatan (testa yang belum terkelupas) dan bintik kecil putih kekuningan (embryonic disc)
Deskripsi Indrawi Tekstur Kelengketan Permukaan
Agak Lengket
Lengket
Sangat lengket
Kemudahan Cetak
Sulit dicetak (∗∗), karena Kasar (###) lempeng adonan pecah-pecah
Lebih mudah dicetak (∗∗∗) dibandingkan dengan Kasar (##) perlakuan a1b1, karena lempeng adonan tidak terlalu pecahpecah
Kasar (#)
Mudah dicetak (∗∗∗∗)
Foto
Sangat lengket
Keterangan: Tanda (+, #,∗) semakin banyak, menunjukan intensitas yang semakin meningkat Nilai L* (0-60: gelap, 61-80: cerah, 81-100: sangat cerah)
amilopektin memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga ketika dipanaskan membentuk pasta yang lengket (Zobel dan Stephen, 2006 dalam Stephen dkk., 2006). Tapioka memiliki kadar amilopektin 86% (Kearsley dan Dziedzic, 1995), sedangkan kadar amilopektin sorgum 70% - 80% (Deatherage, McMasters dan Rist, 1955 dikutip FAO, 1995). Beras-sorgum pada dasarnya memiliki daya ikat air rendah, sehingga juga tidak dapat menahan air (Taylor, Schober dan Bean, 2006), dengan akibat adonan sorgum mudah mengering dan agak kasar serta sulit dicetak. Dengan penambahan tapioka, adonan berikatan satu sama lain, sehingga pencetakan berlangsung dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Widowati (1987), bahwa tapioka membentuk struktur adonan yang kuat sehingga mempermudah pencetakan. 2.
Deskripsi Karakteristik Indrawi Keripik Sorgum Kering Warna Keripik sorgum kering kultivar lokal Bandung berwarna kuning kemerahan gelap, sedangkan keripik sorgum kering kultivar Unpad 1.1 berwarna kuning kehijauan gelap (Tabel 4). Tabel 4. Deskripsi karakteristik indrawi keripik sorgum kering
Perlakuan
Warna CIELab
a1b1 (nasi-sorgum kultivar lokal Bandung, tapioka 2,5%)
Deskripsi Indrawi
Warna
Aroma
Kenampakan Keseluruhan
L*= 49,36 a*= 7,84 b*= 23,89
Kuning kemerahan (++) gelap, terdapat banyak bercak merah kecoklatan (testa yang belum terkelupas) dan bintik putih kekuningan (embryonic disc)
-
Butiran-butiran nasi-sorgum masih terlihat banyak
a1b2 (nasi-sorgum kultivar lokal Bandung, tapioka 5%)
L*= 51,61 a*= 7,68 b*= 22,13
Kuning kemerahan (++) gelap, terdapat banyak bercak merah kecoklatan (testa yang belum terkelupas) dan bintik putih kekuningan (embryonic disc)
-
Butiran-butiran nasi-sorgum yang terlihat cukup banyak
a1b3 (nasi-sorgum kultivar lokal Bandung, tapioka 7,5%)
L*= 52,01 a*= 6,56 b*= 20,21
Kuning kemerahan (++) gelap, terdapat banyak bercak merah kecoklatan (testa yang belum terkelupas) dan bintik putih kekuningan (embryonic disc)
-
Butiran-butiran nasi-sorgum yang terlihat sedikit
a2b1 (nasi-sorgum kultivar Unpad 1.1, tapioka 2,5%)
L*= 56,50 a*= -14,35 b*= 21,92
Kuning kehijauan (+++) gelap, terdapat sedikit bercak kuning muda (testa yang belum terkelupas) dan banyak bintik coklat kehitaman (hilum)
-
Butiran-butiran nasi-sorgum masih terlihat banyak
Foto
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 21
ISBN 978-602-98902-1-1
a2b2 (nasi-sorgum kultivar Unpad 1.1, tapioka 5%)
L*= 57,16 a*= -14,54 b*= 21,08
Kuning kehijauan (+++) gelap, terdapat sedikit bercak kuning muda (testa yang belum terkelupas) dan banyak bintik coklat kehitaman (hilum)
-
Butiran-butiran nasi-sorgum yang terlihat cukup banyak
a2b3 (nasi-sorgum kultivar Unpad 1.1, tapioka 7,5%)
L*= 57,45 a*= -14,06 b*= 20,16
Kuning kehijauan (+++) gelap, terdapat sedikit bercak kuning muda (testa yang belum terkelupas) dan banyak bintik coklat kehitaman (hilum)
-
Butiran-butiran nasi-sorgum yang terlihat sedikit
Bandung, perikarp dan testanya mengandung pigmen tanin dan antosianin yang berwarna merah kecoklatan. Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987), pigmen pada kulit luar sorgum ini dapat berdifusi ke dalam endosperm yang mengakibatkan produk lebih gelap.
Keterangan: Tanda (+) semakin banyak, menunjukan intensitas yang semakin meningkat Nilai L* (0-60: gelap, 61-80: cerah, 81-100: sangat cerah)
Warna keripik sorgum kering ini sama dengan warna adonannya, hanya kecerahan keripik sorgum kering menurun dastis (25% - 31%) sehingga tampak lebih gelap karena terjadinya reaksi Maillard antara gugus karbonil gula pereduksi dengan gugus amina primer. Reaksi ini dipicu oleh panas pada saat pengeringan keripik sorgum. Aroma Pada keripik sorgum kering tidak ada aroma yang tercium. Aroma sorgum dan bawang putih yang terdapat pada adonan keripik sorgum sudah hilang, mungkin karena selama proses pengeringan terjadi kehilangan aroma karena zat-zat aroma bersifat volatil (Tjahjadi dan Marta, 2008). Kenampakan Keseluruhan Nasi dari kedua jenis sorgum tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kenampakan keseluruhan keripik sorgum kering, sedangkan penambahan tapioka pada nasi dari kedua jenis sorgum memperlihatkan butiran-butiran nasisorgum yang semakin sedikit seiring dengan meningkatnya persentase penambahan tapioka yang diduga disebabkan karena proporsi nasi-sorgum dalam bahan yang semakin kecil dengan semakin tingginya persentase penambahan tapioka. 3.
Rendemen Keripik Sorgum Kering Hasil uji efek mandiri menunjukkan bahwa Nasi dari Jenis Sorgum dan Persentase Penambahan Tapioka tidak memberikan pengaruh perbedaan yang nyata terhadap rendemen produk ukuran standar, tidak standar dan hasil total keripik sorgum kering (Tabel 5) karena apabila bahan dikeringkan pada kondisi pengeringan yang sama (suhu, RH, laju aliran udara dan waktu) maka besar kehilangan air juga akan sama (Brooker, Bakker-Arkema dan Hall, 1974). Tabel 5. Pengaruh nasi dari jenis sorgum dan persentase penambahan tapioka terhadap rendemen (%) keripik sorgum kering Perlakuan Nasi dari jenis sorgum a1 (kultivar lokal Bandung) a2 (kultivar Unpad 1.1) Persentase penambahan tapioka b1 (2,5% (b/b) dari nasi-sorgum) b2 (5% (b/b) dari nasi-sorgum) b3 (7,5% (b/b) dari nasi-sorgum)
Keterangan: *
5.
Rendemen Rata-rata (%)* Produk Ukuran Produk Ukuran Tidak Produk Total Standar** Standar*** 30,74 a 30,51 a
0,29 a 0,51 a
31,03 a 31,02 a
30,13 a 31,08 a 30,66 a
0,31 a 0,25 a 0,65 a
30,44 a 31,33 a 31,31 a
Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf signifikan 5 %. ** Produk ukuran standar berdiameter 3,5 cm – 4 cm *** Produk ukuran tidak standar berdiameter < 3,5 cm
Warna CIA (L*, a* dan b*) Keripik Sorgum Kering Keripik sorgum kering kultivar Unpad 1.1 nyata lebih cerah dibandingkan dengan kultivar lokal Bandung karena menurut Rooney dan Miller (1982) dikutip Budiarti (2010), pigmen pada perikarp sorgum putih adalah senyawa-senyawa karotenoida yang berwarna putih kekuningan, sedangkan kultivar lokal
Tabel 6. Pengaruh nasi dari jenis sorgum dan persentase penambahan tapioka terhadap nilai L* keripik sorgum kering Perlakuan Nasi dari jenis sorgum a1 (kultivar lokal Bandung) a2 (kultivar Unpad 1.1) Persentase penambahan tapioka b1 (2,5% (b/b) dari nasi-sorgum) b2 (5% (b/b) dari nasi-sorgum) b3 (7,5% (b/b) dari nasi-sorgum)
Nilai L* Rata-rata
Hasil Uji
49,64 56,40
b a
52,37 53,22 53,47
a a a
Keripik sorgum kering kultivar lokal Bandung memiliki nilai a* positif (merah) karena mengandung pigmen antosianin yang berwarna merah, sedangkan keripik sorgum kering kultivar Unpad 1.1 memiliki nilai a* negatif (hijau). Pada keripik sorgum kering kultivar lokal Bandung, penambahan tapioka 5% menurunkan intensitas merah secara signifikan selebihnya tidak, karena tapioka berwarna putih yang menyebabkan pengenceran warna keripik sorgum kering sehingga intesitas merahnya berkurang. Tabel 7. Interaksi antara nasi dari jenis sorgum dengan persentase penambahan tapioka terhadap nilai a* keripik sorgum kering Nasi dari Jenis Sorgum Kultivar Lokal Bandung (a1) Kultivar Unpad 1.1 (a)
Persentase Penambahan Tapioka 2,5% (b1) 8,71 a A -14,51 b A
5% (b2) 7,56 a B -14,57 b
7,5% (b3) 7,04 a B -14,21 b
A
A
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama pada setiap kolom dan huruf besar yang sama pada setiap baris tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan.
Hasil uji efek mandiri menunjukkan bahwa Nasi dari Jenis Sorgum tidak memberikan pengaruh perbedaan yang nyata terhadap intensitas kuning keripik sorgum kering, yang mungkin berkaitan dengan kandungan karoten kedua jenis sorgum yang tidak berbeda nyata. Penambahan Tapioka memberikan pengaruh perbedaan nyata terhadap warna kromatik birukuning keripik sorgum kering (Tabel 8). Intensitas kuning pada kedua jenis keripik sorgum kering menurun seiring meningkatnya persentase penambahan tapioka, karena tapioka berwarna putih (setelah tergelatinisasi menjadi tidak berwarna) menyebabkan pengenceran warna sehingga intesitas kuningnya berkurang. Tabel 8. Pengaruh nasi dari jenis sorgum dan persentase penambahan tapioka terhadap nilai b* keripik sorgum kering Nilai b* RataPerlakuan Hasil Uji rata Nasi dari jenis sorgum a1 (kultivar lokal Bandung) 21,01 a a2 (kultivar Unpad 1.1) 21,39 a Persentase penambahan tapioka b1 (2,5% (b/b) dari nasi-sorgum) 22,88 c b2 (5% (b/b) dari nasi-sorgum) 21,29 b b3 (7,5% (b/b) dari nasi-sorgum) 19,43 a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf signifikan 5 %.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 22
ISBN 978-602-98902-1-1
6.
Kadar Air Keripik Sorgum Kering Kadar air keripik sorgum kering kultivar lokal Bandung dengan kultivar Unpad 1.1 tidak berbeda nyata, karena kadar air beras-sorgum sama. Kadar air keripik sorgum kering setiap perlakuan persentase penambahan tapioka tidak saling berbeda nyata, karena kondisi pengeringan pada semua perlakuan sama, sehingga jumlah air yang teruapkan pun cenderung sama. Tabel 9. Pengaruh nasi dari jenis sorgum dan persentase penambahan tapioka terhadap kadar air keripik sorgum kering Kadar Air Perlakuan Hasil Uji Rata-rata (%) Nasi dari jenis sorgum a1 (kultivar lokal Bandung) 10,51 a a2 (kultivar Unpad 1.1) 10,09 a Persentase penambahan tapioka b1 (2,5% (b/b) dari nasi-sorgum) 10,23 a b2 (5% (b/b) dari nasi-sorgum) 10,91 a b3 (7,5% (b/b) dari nasi-sorgum) 9,77 a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf signifikan 5 %.
7.
Deskripsi Karakteristik Indrawi Keripik Sorgum Goreng Warna Keripik sorgum goreng pada setiap perlakuan berwarna kuning kehijauan cerah. Keripik sorgum goreng jauh lebih cerah dibandingkan dengan keripik sorgum kering karena keripik sorgum goreng mengembang 4 sampai 5 kali lebih besar. Akibatnya pigmen yang terkandung pada kedua jenis keripik sorgum kering memudar, sehingga konsentrasi pigmen per satuan luas semakin berkurang, sehingga kecerahannya meningkat melebihi keripik sorgum kering. Keripik sorgum goreng kultivar lokal Bandung berubah menjadi negatif (kehijauan), karena menurut Winarno (1992), pigmen antosianin peka terhadap panas. Kemungkinan pigmen yang menyebabkan warna kemerahan ini rusak ketika penggorengan. Aroma Aroma keripik sorgum goreng pada setiap perlakuan sama, yaitu aroma khas minyak kelapa. Menurut Syah (2005), karakteristik aroma minyak kelapa yang khas disebabkan adanya sejumlah kecil (<150 ppm) δ- dan γ-laktona. Citarasa Keripik sorgum goreng memiliki citarasa gabungan antara sorgum dengan minyak kelapa. Citarasa khas sorgum pada keripik sorgum goreng kultivar Unpad 1.1 lebih kuat daripada kultivar lokal Bandung, karena keripik sorgum goreng kultivar Unpad 1.1 lebih keras dan pengembangannya lebih kecil daripada kultivar lokal Bandung (Tabel 13 dan 14), maka citarasa khas sorgum pada kultivar Unpad 1.1 lebih terasa. Citarasa kedua keripik sorgum ini semakin kuat seiring dengan semakin kecilnya persentase tapioka yang ditambahkan, karena proporsi sorgum dalam bahan yang semakin tinggi dengan semakin kecilnya penambahan tapioka, akibatnya citarasa khas sorgum terasa kuat.
Tabel 10. Deskripsi karakteristik indrawi keripik sorgum goreng Perlakuan
Warna CIELab
Deskripsi Indrawi
Warna
a1b1 Kuning kehijauan (nasi(++) sangat cerah, sorgum L*= 94,51 a*= terdapat banyak kultivar -3,91 bercak coklat lokal b*= 23,34 kemerahan (testa Bandung, yang belum tapioka terkelupas) 2,5%) a1b2 Kuning kehijauan (nasi(++) sangat cerah, sorgum L*= 91,41 a*= terdapat banyak kultivar -3,97 bercak coklat lokal b*= 29,06 kemerahan (testa Bandung, yang belum tapioka terkelupas) 5%) a1b3 Kuning kehijauan (nasi(++) sangat cerah, sorgum L*= 88,16 terdapat banyak kultivar a*= -4,30 bercak coklat lokal b*= 33,05 kemerahan (testa Bandung, yang belum tapioka terkelupas) 7,5%) a2b1 Kuning kehijauan (nasi(+++) sangat cerah, sorgum L*= 97,37 terdapat sedikit kultivar a*= -4,75 bercak kuning (testa Unpad 1.1, b*= 20,55 yang belum tapioka terkelupas) 2,5%) a2b2 Kuning kehijauan (nasi(+++) sangat cerah, sorgum L*= 97,19 terdapat sedikit kultivar a*= -5,08 bercak kuning (testa Unpad 1.1, b*= 22,80 yang belum tapioka terkelupas) 5%) a2b3 Kuning kehijauan (nasi(+++) sangat cerah, sorgum L*= 95,99 terdapat sedikit kultivar a*= -5,46 bercak kuning (testa Unpad 1.1, b*= 25,36 yang belum tapioka terkelupas) 7,5%)
Aroma
Minyak kelapa
Cita-rasa
Gabungan dari sorgum ## (cenderung (∗∗∗) dan agak keras) minyak kelapa
Gabungan dari sorgum Minyak (∗∗) dan kelapa minyak kelapa
Minyak kelapa
Minyak kelapa
Kerenyahan
### (renyah)
Gabungan dari sorgum #### (∗) dan (sangat renyah) minyak kelapa
Gabungan dari sorgum # (∗∗∗∗∗) dan (cenderung keras) minyak kelapa
Gabungan dari sorgum Minyak ## (cenderung (∗∗∗∗) dan kelapa agak keras) minyak kelapa
Minyak kelapa
Gabungan dari sorgum (∗∗∗) dan minyak kelapa
### (renyah)
Kenampakan Keseluruhan
Foto
Pada bagian permukaan, terlihat bulatanbulatan kecil dengan jumlah yang banyak Pada bagian permukaan, terlihat bulatanbulatan kecil dengan jumlah yang agak banyak Pada bagian permukaan, terlihat bulatanbulatan kecil dengan jumlah yang sedikit Pada bagian permukaan, terlihat bulatanbulatan kecil dengan jumlah yang banyak Pada bagian permukaan, terlihat bulatanbulatan kecil dengan jumlah yang agak banyak Pada bagian permukaan, terlihat bulatanbulatan kecil dengan jumlah yang sedikit
Keterangan: Tanda (+,∗,#) semakin banyak, menunjukan intensitas yang semakin meningkat. Nilai L* (0-60: gelap, 61-80: cerah, 81-100: sangat cerah)
Kerenyahan Keripik sorgum goreng kultivar lokal Bandung lebih renyah dibandingkan kultivar Unpad 1.1 serta kerenyahan keripik goreng meningkat seiring dengan peningkatan persentase penambahan tapioka. Amilopektin yang tinggi akan menghasilkan snack yang lebih mengembang, porus dan krispi (Lusas dan Rooney, 2001). Menurut Budiarti (2010), kadar amilopektin sorgum kultivar lokal Bandung (77,46%) lebih tinggi dibandingkan kultivar Unpad 1.1 (76,71%). Semakin tinggi persentase penambahan tapioka, maka semakin tinggi kandungan amilopektin pada bahan. Dengan perlakuan penambahan tapioka, meningkatkan kandungan amilopektin produk. Kenampakan Keseluruhan Kenampakan keseluruhan keripik sorgum goreng pada kedua nasi dari jenis sorgum memperlihatkan bulatan-bulatan kecil yang intensitasnya menurun seiring peningkatan jumlah penambahan tapioka. Bulatan-bulatan kecil ini merupakan butiran-butiran nasi-sorgum yang masih terlihat pada keripik sorgum kering dan mengalami pengembangan saat penggorengan. 8.
Warna CIA (L*, a*, dan b*) Keripik Sorgum Goreng Keripik sorgum goreng kultivar Unpad 1.1 nyata lebih cerah dibandingkan dengan kultivar lokal Bandung. Pada kultivar lokal Bandung, keripik sorgum goreng dengan taraf penambahan tapioka 2,5%, 5% dan 7,5% saling berbeda nyata, sedangkan pada kultivar Unpad 1.1, kecerahan menurun secara nyata pada penambahan tapioka 7,5%. Keripik sorgum terdiri
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 23
ISBN 978-602-98902-1-1
dari butiran-butiran nasi yang direkatkan satu sama lain oleh adonan yang berupa pasta. Pada penggorengan, bagian pasta ini diduga memuai lebih besar daripada butiran nasi. Pemuaian menyebabkan bagian-bagian tersebut menipis dengan akibat diduga menjadi lebih coklat karena pencoklatan non-enzimatis. Tabel 11. Interaksi antara nasi dari jenis sorgum dengan persentase penambahan tapioka terhadap nilai l* keripik sorgum goreng Nasi dari Jenis Sorgum Kultivar Lokal Bandung (a1) Kultivar Unpad 1.1 (a2)
Persentase Penambahan Tapioka 2,5% (b1)
5% (b2)
7,5% (b3)
94,58 b C 97,49 a
92,36 b B 97,16 a
87,92 b A 95,36 a
A
A
B
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama pada setiap kolom dan huruf besar yang sama pada setiap baris tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan.
Intensitas hijau keripik sorgum goreng kultivar Unpad 1.1 lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar lokal Bandung karena keripik sorgum keringnya pun lebih kehijauan (Tabel 7). Pada kultivar lokal Bandung berubah dari kemerahan (a* positif) menjadi kehijauan (a* negatif) yang diduga berkaitan dengan rusaknya pigmen antosianin akibat suhu penggorengan yang tinggi (200oC). Intensitas hijau keripik sorgum goreng pada ketiga persentase penambahan tapioka tidak saling berbeda nyata, baik pada kultivar Lokal Bandung maupun kultivar Unpad 1.1, karena menurut Sukarminah (1999) tapioka tidak memiliki pigmen. Tabel 12. Pengaruh nasi dari jenis sorgum dan persentase penambahan tapioka terhadap nilai a* dan b* keripik sorgum goreng Perlakuan Nasi dari jenis sorgum a1 (kultivar lokal Bandung) a2 (kultivar Unpad 1.1) Persentase penambahan tapioka b1 (2,5% (b/b) dari nasi-sorgum) b2 (5% (b/b) dari nasi-sorgum) b3 (7,5% (b/b) dari nasi-sorgum)
a*
Nilai Rata-rata
b*
-4,32 a -5,24 b
27,00 a 23,56 b
-4,63 a -4,82 a -4,89 a
26,23 a 24,68 a 24,90 a
Perlakuan Nasi dari jenis sorgum a1 (kultivar Lokal Bandung) a2 (kultivar Unpad 1.1) Persentase penambahan tapioka b1 (2,5% (b/b) dari nasi-sorgum) b2 (5% (b/b) dari nasi-sorgum) b3 (7,5% (b/b) dari nasi-sorgum)
Intensitas kuning keripik sorgum kultivar lokal Bandung nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Unpad 1.1. yang diduga berasal dari pengaruh reaksi Maillard saat penggorengan. Terbentuknya pigmen melanoidin yang berwarna coklat diduga dapat meningkatkan intensitas kuning pada produk. Volume Pengembangan Keripik Sorgum Goreng Volume pengembangan keripik sorgum goreng kultivar lokal Bandung lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Unpad 1.1, karena perbedaan komposisi dari kedua jenis beras sorgum yang digunakan, khususnya kandungan amilopektinnya. Menurut Budiarti (2010), beras-sorgum kultivar lokal Bandung memiliki kadar amilopektin lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Unpad 1.1.
Volume Pengembangan Rata-rata (%)
Hasil Uji
524,59 464,88
a b
427,98 496,28 559,96
c b a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf signifikan 5 %.
Semakin tinggi persentase penambahan tapioka maka semakin tinggi juga volume pengembangan keripik goreng (Tabel 13). Penambahan tapioka meningkatkan kadar amilopektin bahan. Menurut Rahmanto (1994), amilopektin mampu mengikat air lebih banyak, yang pada saat penggorengan air menguap dan tekanan uap air meningkat, sehingga meninggalkan banyak rongga-rongga udara dalam bahan dan akibatnya produk mengembang. 10. Kekerasan Keripik Sorgum Goreng Kekerasan keripik sorgum goreng kultivar lokal Bandung tidak berbeda nyata dengan kultivar Unpad 1.1. Kekerasan keripik sorgum goreng disebabkan karena adanya butiranbutiran nasi-sorgum yang lebih tebal dibandingkan dengan bagian pasta. Ketebalan butiran pada kedua jenis sorgum ini sama sehingga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kekerasan keripik sorgum goreng. Tabel 14. Pengaruh nasi dari jenis sorgum dan persentase penambahan tapioka terhadap kekerasan keripik sorgum goreng Perlakuan
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf signifikan 5 %.
9.
Tabel 13. Pengaruh nasi dari jenis sorgum dan persentase penambahan tapioka terhadap volume pengembangan keripik sorgum goreng
Nasi dari jenis sorgum a1 (kultivar lokal Bandung) a2 (kultivar Unpad 1.1) Persentase penambahan tapioka b1 (2,5% (b/b) dari nasi-sorgum) b2 (5% (b/b) dari nasi-sorgum) b3 (7,5% (b/b) dari nasi-sorgum)
Kekerasan Rata-rata (mm/10 detik)
Hasil Uji
66,78 62,70
a a
48,45 67,00 78,78
b a a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf signifikan 5 %.
Penambahan tapioka 2,5% menghasilkan kekerasan keripik sorgum goreng paling tinggi, sedangkan penambahan tapioka 5% dan 7,5% menghasilkan kekerasan yang tidak saling berbeda nyata yang kurang keras dibandingkan dengan 2,5%. Menurut Rahmanto (1994), amilopektin mampu mengikat air dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga pada saat penggorengan, air dalam keripik menguap dan bertambah tekanannya meninggalkan ruang-ruang kosong dalam bahan. Akibatnya menghasilkan keripik dengan kekerasan lebih rendah. Dengan meningkatnya tapioka maka kadar amilopektin juga meningkat, tetapi antara tapioka 5% dan 7,5% perbedaannya tidak nyata. Selain itu, pada taraf 2,5%, kepadatan butiran nasi per satuan keripik lebih besar, sedangkan ketebalannya lebih besar dari bagian keripik yang terdiri dari pasta. Hal ini mungkin menjadi penyebab taraf 2,5% lebih keras.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 24
ISBN 978-602-98902-1-1
11. Skor Kesukaan Indrawi Keripik Sorgum Goreng Tingkat kesukaan panel terhadap warna dan tekstur permukaan keripik sorgum kultivar Unpad 1.1 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar lokal Bandung dengan kisaran biasa, karena keripik sorgum goreng kultivar Unpad 1.1 tampak lebih cerah dan tekstur permukaannya lebih halus. Tingkat kesukaan panel terhadap cita-rasa, kerenyahan dan kesukaan keseluruhan keripik sorgum goreng kultivar lokal Bandung nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Unpad 1.1 dengan kisaran biasa sampai agak suka. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan nasi-sorgum yang digunakan. Kadar amilopektin dan ukuran beras-sorgum kultivar lokal Bandung yang lebih besar membuat nasi-sorgumnya mengembang lebih besar, sehingga meningkatkan kesukaan panelis terhadap kerenyahan keripik. Kesukaan terhadap citarasa pun semakin meningkat karena pengaruh dari berkurangnya cita-rasa berpati seiring dengan pengembangan keripik, sehingga yang terasa adalah cita-rasa minyak kelapa. Kesukaan keseluruhan merupakan gabungan sifat organoleptik dari semua parameter yang diujikan. Pada Tabel 15 terlihat bahwa keripik sorgum goreng kultivar lokal Bandung secara keseluruhan lebih disukai. Dengan demikian, pada produk ini panelis lebih memperhatikan citarasa dan kerenyahannya dibandingkan warna dan tekstur permukaan, karena jika dilihat secara kasat mata kedua keripik sorgum ini memiliki warna yang hampir sama. Tingkat kesukaan panel terhadap warna, cita-rasa, kerenyahan dan tekstur permukaan keripik sorgum goreng pada setiap perlakuan penambahan tapioka tidak saling berbeda nyata dengan kisaran biasa sampai agak suka. Hal ini disebabkan karena penambahan tapioka yang terlalu kecil sehingga perbedaannya tidak terlihat sehingga panelis kurang mampu menilai karakteristik produk dengan tepat, kemungkinan jika kisarannya lebih besar lagi, perbedaannya akan terlihat. Penambahan tapioka 7,5% mampu meningkatkan nilai kesukaan panel terhadap kesukan keseluruhan. Tabel 15. Pengaruh nasi dari jenis sorgum dan persentase penambahan tapioka terhadap skor kesukaan indrawi keripik sorgum goreng Nilai Rata-rata
Perlakuan Nasi dari jenis sorgum a1 (kultivar lokal Bandung) a2 (kultivar Unpad 1.1) Persentase penambahan tapioka b1 (2,5% (b/b) dari nasi-sorgum) b2 (5% (b/b) dari nasi-sorgum) b3 (7,5% (b/b) dari nasi-sorgum)
Kesukaan Warna
Kesukaan Cita-rasa
Kesukaan Kerenyahan
Kesukaan Tekstur Permukaan
3,3 b 3,8 a
3,9 a 3,4 b
4,3 a 3,3 b
3,4 b 3,8 a
3,8 a 3,4 b
3,3 a 3,6 a 3,7 a
3,5 a 3,6 a 3,9 a
3,6 a 3,5 a 4,2 a
3,4 a 3,8 a 3,6 a
3,4 b 3,5 ab 3,9 a
Kesukaan Keseluruhan
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf signifikan 5 %.
12. Karakteristik Kimia Keripik Sorgum Kering dan Keripik Sorgum Goreng Perlakuan Terbaik Penggorengan menyebabkan penurunan kadar air dan karbohidrat, serta meningkatkan kadar lemak keripik sorgum. Kadar protein dan abu pun mengalami penurunan hanya pengaruhnya kecil, sedangkan kadar serat kasarnya tidak berbeda nyata.
Tabel 16. Karakteristik kimia keripik sorgum kering dan goreng kultivar Unpad 1.1 dengan penambahan tapioka 7,5% Komposisi Kadar Air Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Abu Kadar Serat Kasar Kadar Karbohidrat
Rata-rata (% b.k.) Keripik Sorgum Kering Keripik Sorgum Goreng 12,64 5,00 0,83 0,72 4,06 21,79 4,03 3,35 0,40 0,40 78,44 69,14
Pada saat penggorengan, keripik sorgum kering mengalami pemanasan sehingga air yang terikat pada jaringan menguap, air yang hilang diisi oleh minyak (Sukarminah, 1999). Dengan demikian, kadar air keripik sorgum goreng menurun, sedangkan kadar lemaknya meningkat. Selain itu, panas yang terjadi saat penggorengan juga menyebabkan berkurangnya zat-zat lain seperti protein, karbohidrat dan abu. Komposisi kimia tertinggi pada kedua sampel ini adalah karbohidrat karena sorgum dan tapioka merupakan bahanbahan sumber karbohidrat. 13. Penentuan Perlakuan Terbaik Nasi dari jenis sorgum memberikan pengaruh perbedaan yang nyata pada nilai L* keripik sorgum kering serta nilai a*, b*, volume pengembangan, kesukaan warna, cita-rasa, kerenyahan, tekstur permukaan dan karakteristik keseluruhan keripik sorgum goreng. Persentase penambahan tapioka memberikan pengaruh perbedaan yang nyata pada nilai b* keripik sorgum kering, serta nilai a*, volume pengembangan, kekerasan dan kesukaan keseluruhan keripik sorgum goreng. Terdapat interaksi antara nasi dari jenis sorgum dengan persentase penambahan tapioka terhadap nilai a* keripik sorgum kering dan nilai L* keripik sorgum goreng. Berdasarkan perhitungan statistik, nasi-sorgum kultivar Unpad 1.1 (a2) dengan penambahan tapioka 7,5% (b3) merupakan perlakuan terbaik. KESIMPULAN • •
Penelitian ini menunjukkan bahwa: Keripik sorgum kering dan goreng terbaik diperoleh dari nasi-sorgum kultivar Unpad 1.1 dengan penambahan tapioka 7,5%. Rendemen keripik sorgum kering berukuran standar adalah 29,85%, yang berukuran tidak standar 1,01% dan total 30,86%. Keripik sorgum kering memiliki warna kuning kehijauan gelap, terdapat sedikit bercak kuning muda dan banyak bintik kecil coklat kehitaman (L* 53,47, a* -14,21, b* 19,43), kadar air 12,64% (b.k.), kadar protein 0,83% (b.k.), kadar lemak 4,06% (b.k.), kadar abu 4,03% (b.k.), kadar serat kasar 0,40% (b.k.) dan kadar karbohidrat 78,44% (b.k.). Keripik sorgum goreng memiliki warna kuning kehijauan sangat cerah terdapat sedikit bercak kuning (L* 95,36, a* -5,70, b* 22,83), volume pengembangan 559,96%, kekerasan 78,78 mm/10 detik, nilai kesukaan terhadap warna 3,7 (mendekati suka), citarasa 3,9 (mendekati suka), kerenyahan 4,2 (suka), tekstur permukaan 3,6 (mendekati suka) dan karakteristik keseluruhan 3,9 (mendekati suka), kadar air 5,00% (b.k.),
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 25
ISBN 978-602-98902-1-1
kadar protein 0,72% (b.k.), kadar lemak 21,79% (b.k.), kadar abu 3,35% (b.k.), kadar serat kasar 0,40% (b.k.) dan kadar karbohidrat 69,14% (b.k.).
UCAPAN TERIMA KASIH
Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Instistut Pertanian Bogor, Bogor. Mudjisihono R, Suprapto H. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada proyek ANDALAN UNPAD berjudul “Peningkatan Ketahanan Pangan Melalui Pemanfaatan Biji Sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) Menjadi Beras, Tepung, Tepung Komposit dan Pati dalam Pengolahan Aneka Makanan” tahun 2010 atas bantuan dana untuk penelitian ini.
Nielsen SS. 1998. Food Analysis. Kluwer Academic / Plenum Publishers, New York.
DAFTAR PUSTAKA
Rooney LW, Sullins RD. 1977. The Structure of Sorghum and Its Relation to Processing and Nutritional Value. Proceeding of a Symposium on Sorghum and Millets for Human Food. Tropical Product Institute, London.
AOAC. 1975. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemistry. AOAC, Inc., Washington,Washington DC. Apriyantono A, Fardiaz D, Sari NLP, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Brooker DB, Bakker-Arkema FWl, Hall CW. 1974. Drying Cereal Grains. Avi Publishing, Westport. Budiarti I. 2010. Pengaruh Efisiensi Penyosohan Beras-Sorgum dengan Metode Abrasif terhadap Lama Pengaronan dan Pengukusan serta Karakteristik Aron dan Nasi-Sorgum Genotip 1.1 dan Kultivar Lokal Bandung. Skripsi. FTIP, Unpad, Jatinangor. Damayanthi E, Listyorini DI. 2006. Pemanfaatan Tepung Bekatul Rendah Lemak Pada Pembuatan Keripik Simulasi. J. Gizi dan Pangan 1 (2) : 34-44. Dwijayanti K. 2009. Karakteristik Opak dari Campuran BerasSorgum Putih Genotipe 1.1 (Sorghum bicolor (L.) Moench) dari Berbagai Lama Penyosohan Abrasif dan Beras Ketan Putih (Oryza sativa glutinosa). Skripsi. FTIP, Unpad, Jatinangor. FAO. 1995. Sorghum and Millet in Human Nutrition. Available at: http://www.fao.org (diakses 7 Juli 2010). Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hubeis M. 1985. Pengembangan Metode Uji Kepulenan Nasi. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Rahmanto F. 1994. Teknologi Pembuatan Keripik Simulasi dari Talas Bogor (Colocasia esculenta (L) SHOTT). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Sukarminah E. 1999. Pembuatan Kerupuk Biji Nangka. Modul Kuliah Teknologi Pengolahan Pangan. Unpad, Bandung. Susanti W. 1997. Hubungan Penyerapan Air dan Volume Pengembangan Beras Terhadap Sifat Kepulenan Nasi Selama Penanakan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Syah ANA. 2005. Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Penerbit Agro Media Pustaka, Depok. Taylor JRN, Schober TJ, Bean SR. 2006. Novel Food and NonFood Uses for Sorghum and Millets. J. Cereal Science 44 : 252-271. Tjahjadi C, Martha H. 2008. Pengantar Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. USDA. 2004. Commercial Item Description. Available at: http://www.ams.usda.gov/fqa/aa20126e.pdf (diakses 12 Oktober 2006). Utomo B. 1999. Perbandingan Mutu Tanak Beras dan Ketan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.Wahyono, R. dan Marzuki. 1998. Pembuatan Aneka Kerupuk. Penerbit PT. Trubus Agrisarana, Surabaya.
Kearsley MW, Dziedzic SZ. 1995. Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their Derivatives. Blackie Academic and Proffesional, Glasgow.
Waniska RD. 2000. Structure, Phenolic Compounds, and Antifungal Proteins of Sorghum Caryopses. Proceedings of an International Consultation, ICRISAT, Patancheru, Andhra Pradesh, India.
Lusas RW, Rooney LW. 2001. Snack Foods Processing. CRC Press, London.
Widowati H. 1987. Pembuatan Kerupuk Kimpul (Xantosoma sagitifolum L. Scott). Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 26
ISBN 978-602-98902-1-1
Wikipediaa. 2010. Keripik. Available at: http://id.wikipedia.org/wiki/Keripik. (diakses 07 Desember 2010). Wikipediab. 2010. Krupuk. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Krupuk. (diakses 23 Januari 2011). Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yam KL, Papadakis SE. 2004. A Simple Digital Imaging Method for Measuring and Analyzing Color of Food Surfaces. J. Food Engineering 61: 137–142. Yuliandi T. 2009. Pengaruh Lama Penyosohan Abrasif dengan Lab. Mill SATAKE Terhadap Beberapa Karakteristik Fisik dan Kimia Beras-sorgum Genotipe 1.1, B100 dan Kultivar Lokal Bandung. Skripsi. FTIP, Unpad, Jatinangor. Zobel HF, Stephen AM. 2006. Starch: Structure, Analysis, and Application. Dalam Stephen, A. M., G. O. Phillips dan P. A. Williams: Food Polysaccharides and Their Applications. CRC Press, Boca Raton.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 27
ISBN 978-602-98902-1-1
Penambahan Ekstrak Protein Belut Sawah Pada Pembuatan Edible Film Pati Ganyong Termodifikasi Budi Santoso, Filli Pratama, Basuni Hamzah, Rindit Pambayun Program Doktor Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Sriwjaya, Jl. Padang Selasa No.524, Bukit Besar Palembang 30139. Telp: (0711) 354222, Fax (0711) 317202, Email:
[email protected]
ABSTRAK This study aimed to study the effect of adding eel’s protein extract toward the characteristics of edible film modified Canna’s starch. The research method used consisted of two stages. The first stage; the processing of modified Canna’s starch (cross linking) by using the compound POCl3 0.08%. The second stage; the addition of eel’s protein extract at the concentrations of 2%(v/v), 4%(v/v), and 6%(v/v) in the formulation of edible films modified Canna’s starch. Parameters observed are percent elongation (elongation), compressive strength (puncture strength), water vapor transmission rate (water vapor transmission rate) and the microstructure. The integrated edible film of modified starch and eel’s protein extract 6% (v/v) resulted in better characteristics of edible film compared to eel’s protein extract 2% (v/v) and 4% (v/v), with percentage of elongation 43.33% - 63.33%, puncture strength 51.09 Newton – 68.87 Newton, and water vapor transmission rate 18.00 g.m-2.day-1 – 22.95 g.m2.day-1. SEM test showed that the edible film modified Canna’s starch were more pores than edible film unmodified Canna’s starch. Key Word: edible film, Canna’s starch, eel’s extract protein, modified, POCl3
PENDAHULUAN Penggunaan pati termodifikasi (modified starch) sangat penting untuk membentuk matrik edible film, karena senyawa POCl3 membentuk ikatan silang antara rantai amilosa satu dengan yang lain melalui jembatan fosfat. Jembatan fosfat ini dapat membentuk suatu jala tiga dimensi yang berkesinambungan dan jala ini dapat memperangkap air melalui gugus OH reaktif yang tidak berikatan dengan POCl3. Ikatan silang rantai-rantai polimer pati terjadi pada gugus-gugus yang banyak mengandung OH reaktif terutama pada gugus OH nomor 2,3 dan 6 (Shi et al., 2000 ; Reddy et al., 2000). Jumlah gugus OH reaktif dipengaruhi oleh derajat cross-linking dan konsentrasi pati. Ukuran granula dan perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin pati juga dapat mempengaruhi jumlah gugus OH reaktif. Sifat pati-pati ini dapat berpengaruh terhadap karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Santoso (2011) menambahkan bahwa pati ganyong miliki ukuran granula, rasio amilosa dan amilopektin dapat menghasilkan pati ganyong termodifikasi yang sesuai sebagai bahan edible film. Pati yang termodifikasi melalui ikatan silang dapat membentuk matrik edible film yang kuat dan kaku. Sifat kaku ini dapat dikurangi dengan penambahan senyawa lain seperti gliserol. Chuenkamol et al. (2007) menambahkan bahwa pati termodifikasi memiliki struktur molekul lebih terbuka, lebih kuat, dan retrogradasi rendah. Sifat struktur pati ini memerlukan bahan pengisi yang sekaligus berfungsi sebagai surfaktan antara lain CMC dan lesitin untuk membentuk edible film yang baik. Surfaktan berfungsi sebagai jembatan antara komponen hidrofilik dan hidrofobik untuk membentuk edible film yang homogen. Komponen hidropobik seperti lilin lebah (beeswax) sangat diperlukan untuk memperbaiki laju transmisi uap air edible film. Lilin lebah disamping mempunyai efek positif tetapi juga efek negatif, yaitu dapat menurunkan persen pemanjangan edible film. Untuk mengatasi masalah tersebut penambahan
ekstrak protein belut sawah diperlukan. Menurut Artharn et al. (2008); Hamaguchi et al. (2007); dan Nayak et al. (2008) edible film berbasis protein ikan yaitu protein miofibriler maupun sarkoplasma pada umumnya mempunyai sifat mekanik yang lebih baik terutama sifat fleksibilitas. Nakai dan Modler (1999) menambahkan jenis protein miofibriler dan sarkoplasmik banyak terdapat dalam belut sawah. Jenis asam amino, dan pH titik isoelektrik juga sangat mempengaruhi matrik edible film (Prodpran et al., 2007; Pascholick et al., 2003; dan Iwata et al., 2000). Were et al. (1999) menjelaskan bahwa asam amino yang mengandung sulfur sangat berperan dalam pembentuk edible film melalui ikatan disulfida. Poeloengasih dan Marseno (2003) menambahkan bahwa selain ikatan disulfida, ikatan hidrogen, dan interaksi hidrofobik juga menentukan sifat film terutama pada asam amino yang bersifat hidrofobik, seperti alanin, valin, leusin, triptofan, dan fenilalanin.
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di beberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Kimia Hasil Pertanian di Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya, Laboratorium Kimia Dasar Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Laboratorium SEM Departemen Fisika Fakultas MIPA Universitas Indonesia Jakarta, dan Laboratorium Balai Besar Kimia dan Kemasan di Pasar Rebo Jakarta. Waktu penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai April 2011. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah pati ganyong (berwarna putih) yang diperoleh dari Kota Pagaralam, belut sawah dari Pasar Perumnas Palembang. Belut sawah dibuat surimi untuk memperoleh ekstrak protein. Bahan kimia yang digunakan untuk persiapan penelitian antara lain alkohol 80%,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 28
ISBN 978-602-98902-1-1
air destilasi, eter, alkohol 10%, HCl 25%, NaOH 45%, larutan Fehling, etanol 70%, metilen biru 0,2%, larutan iod, asam asetat, gliserol, dan trisodium sitrat dengan kualitas teknis. Bahan-bahan kimia untuk pembuatan pati termodifikasi dan edible film antara lain natrium sulfat, POCl3 diperoleh dari CV Alfa Prima Yogjakarta, gliserol, CMC, beeswax, indikator pp, HCl, dan amonium molibdat. Alat-alat yang digunakan hot plate, magnetic stirrer, vortex, oven, desikator, Fourier Transform Infrated (FTIR) spectroscopy (Perkin Elmer model Spectrum GX), Scanning Electron Microscopy (SEM) (JEOL) berada di Laboratorium SEM Departemen Fisika Fakultas MIPA Universitas Indonesia Depok. aw meter Shibaura WA-360, Haze meter seri NDH-200 buatan Nipon Denshoku Kogyo Co Ltd, micrometer (Roch) (A281500504, Sisaku SHO Ltd, Japan), Testing Machine MPY (Type: PA-104-30, Ltd Tokyo, Japan), gas transmission rate tester speedivac 2, dan water vapor transmission rate tester Bergerlahr. Pelaksanaan Penelitian Pembuatan Pati Termodifikasi dari Pati Ganyong dengan Menggunakan POCl3 Metode Ikatan Silang (Cross-Linking) (Metode Wattanachant et al., 2003 yang dimodifikasi) Cara kerja pembuatan pati termodifikasi metode ikatan silang (cross-linking) dengan menggunakan pereaksi multifungsional POCl3 adalah : a. Penyiapan natrium sulfat (Na2SO4) sebanyak 30g (15% berat kering dari pati) lalu dilakukan penambahan 300 mL air destilasi sambil diaduk dengan pengaduk magnetic stirrer skala 3; b. Penambahan pati sebanyak 200g sambil tetap diaduk; c. Penambahan NaOH 5% sambil diaduk dengan magnetik stirrer skala 8 untuk mencegah pati tergelatinisasi dan mengatur pH larutan mencapai 10,5 dan diaduk 30 menit pada suhu ruang; d. Larutan diinkubasi dengan inkubator shaker pada suhu 40+2ºC (200rpm, 24jam); e. Penambahan POCl3 sesuai perlakuan, yaitu sebanyak 0,04%; 0,08%; dan 0,12% (b/b) ditambahkan sambil diaduk dengan skala 8 menggunakan pengaduk magnetic stirrer selama 30 menit kemudian diinkubasi pada suhu 40+2ºC (200rpm, 2jam), pH larutan diatur 5,5 dengan 10% larutan HCl yang bertujuan untuk menghentikan reaksi; dan f. Penyaringan pati dengan menggunakan kertas Whatman no 4 sambil dicuci dengan air destilasi selama 5 menit. Pengeringan pati dilakukan pada suhu 45ºC selama 6 jam sehingga didapatkan pati dengan kadar air 10-12%. Proses Pengolahan Belut Sawah Menjadi Ektrak Protein Cara kerja pembuatan ekstrak protein dari belut sawah dan preparasinya untuk penambahan ke dalam edible film adalah (metode Heruwati dan Jav, 1995 yang dimodifikasi) : a. Penyiangan belut dengan membuang kepala dan isi perutnya lalu dilakukan pencucian dengan air bersih;
Pemotongan untuk memisahkan bagian daging dengan tulang dan kulit (fillet), lalu dilakukan pelumatan daging belut; c. Pencucian daging lumat dengan air dingin pada suhu berkisar 1 – 5 0C dengan volume air 5 kali volume daging lumat selama 10 menit; d. Pengadukan daging lumat dalam air dingin sampai homogen, pengadukan dihentikan untuk mengendapkan daging lumat sedangkan kotoran dan lemak mengapung di permukaan air, kotoran yang mengapung dibuang; e. Pemisahan air dari daging lumat yang sudah tercuci dengan alat press; f. Pencucian kembali daging lumat dalam air dingin dan penambahan garam sebanyak 0,3% (w/v) pada pencucian ketiga, kemudian dilakukan pengepresan kembali hingga air yang dihilangkan sebanyak mungkin; g. Penambahan sorbitol sebanyak 2 % (w/v) dan diaduk sampai hingga homogen; h. Pembekuan daging lumat disimpan dalam freezer dengan suhu berkisar -150C selama 1 minggu; i. Daging lumat beku dicairkan (thawing) terlebih dahulu selama 30 menit, kemudian ditimbang sebanyak 2 % (w/v), 4 % (w/v) dan 6 % (w/v) dari total keseluruhan aquadest yang digunakan; j. Penambahan aquadest sebanyak 100 ml dan NaOH 1 M hingga pH 11 kemudian dilakukan pengadukan dan pemanasan pada suhu 55 0C, selama 30 menit; k. Pemanasan suspensi dan penyaringan hingga diperoleh ekstrak protein; l. Pemanasan kembali pada suhu 60 0C; dan m. Larutan siap digunakan sebagai bahan baku edible film. b.
Pembuatan Edible Film Pati Ganyong dengan Penambahan Ekstrak Protein Belut Sawah Cara kerja pembuatan edible film pati ganyong sebelum dan setelah dimodifikasi dengan penambahan ekstrak protein belut sawah adalah : a. Penyiapan pati ganyong sebelum dan setelah dimodifikasi dengan konsentrasi senyawa POCl3 0,08% sebanyak 4% (b/v); b. Penambahan aquadest lalu dilakukan pengadukan dan penyaringan; c. Pemanasan suspensi pati dengan suhu gelatinisasi 65oC menggunakan hot plate sambil diaduk dengan magnetic stirrer; d. Penambahan gliserol 3% (v/v) ke dalam suspensi pati yang telah terjadi gelatinisasi secara sempurna secara perlahan dan dilakukan pemanasan selama kurang lebih 10 menit; e. Penambahan ekstrak protein belut sesuai perlakuan, yaitu dengan konsentrasi 2%, 4%, dan 6% v/v; f. Penambahan surfaktan CMC sesuai perlakuan yaitu konsentrasi 2% (b/v); g. Pengadukan suspensi sampai homogen dan penambahan lilin lebah 1% (b/v); h. Penghilangan gas terlarut (degassing) dengan pompa vakum selama 1 jam; i. Penuangan suspensi sebanyak 40 mL ke dalam cawan petri dengan diameter 15 cm untuk dicetak dan selanjutnya
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 29
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 1. Hasil Uji Duncan pengaruh jenis pati dan ekstrak protein belut sawah terhadap persen pemanjangan, kuat tekan, dan laju transmisi uap air edible film pati ganyong. Perlakuan P1 P2 S1 S2 S3
Karakteristik Edible Film Persen Kuat Tekan Laju Transmisi Pemanjangan (Newton) Uap Air (g.m2.hari-1) (%) 48,00a 56,16a ns 57,33b 59,16b ns 47,60a 51,69a 22,60a 51,67b 58,17b 21,68b 58,84b 63,87c 18,85c
50 40
54.00 63.33
60
46.67 56.67
70
43.33 52.00
Penambahan ekstrak protein belut sawah ditujukan untuk memperbaiki persen pemanjangan edible film pati ganyong. Molekul protein belut sawah di dalam matrik edible film berikatan dengan komponen hidrofilik yaitu pati, gliserol, dan CMC. Analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis pati dan ekstrak protein belut sawah berpengaruh nyata sedangkan perlakuan interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap nilai persen pemanjangan edible film (α=0,05). Hasil uji Duncan (Tabel 1) menunjukkan bahwa nilai persen pemanjangan edible film pati ganyong setelah dimodifikasi berbeda nyata dengan edible film pati ganyong sebelum dimodifikasi. Perlakuan ekstrak protein belut sawah 2% berbeda nyata dengan 4% dan 6%, tetapi ekstrak protein belut sawah dengan konsentrasi 4% berbeda tidak nyata dengan 6% untuk persen pemanjangan edible film. Nilai persen pemanjangan edible film pati ganyong setelah dimodifikasi (57,33%) lebih tinggi dibanding edible film pati ganyong sebelum dimodifikasi (48,00%). Hal ini disebabkan pati ganyong setelah dimodifikasi memiliki struktur molekul pati yang lebih terbuka dan sifat retrogradasinya rendah. Sifat struktur pati ini membuat molekul protein belut sawah lebih mudah masuk dalam matrik edible film dan berikatan dengan komponen hidrofilik yang ada dalam matrik tersebut seperti molekul pati, gliserol, dan CMC. Sifat retrogradasi pati ganyong setelah dimodifikasi rendah menyebabkan posisi molekul protein belut sawah terperangkap dan stabil di dalam matrik edible film.
36.67 37.33
HASIL DAN PEMBAHASAN
sama dengan ikan, yaitu protein miofibriler dan sarkoplasmik sebesar 65 hingga 75% dan 20 hingga 30%, berturut-turut. Fennema (1988) dan Weng et al. (2007) menyatakan bahwa molekul protein miofibriler berbentuk serabut dan memanjang serta bersifat elastis sedangkan sarkoplasmik berbentuk globuler. Molekul protein miofibriler berpengaruh terhadap peningkatan elastisitas edible film dan molekul protein sarkoplasmik menurunkan interaksi antar polimer penyusun matrik edible film, sehingga daya kohesif matrik edible film turun dan menyebabkan edible film menjadi lebih fleksibel. Menurut Artharn et al. (2008); Hamaguchi et al. (2007); Nayak et al. (2008) edible film berbasis protein ikan yaitu protein miofibriler maupun sarkoplasma pada umumnya mempunyai sifat mekanik yang lebih baik terutama sifat fleksibilitas, namun rendah dalam penghambatan laju transmisi uap air. Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin banyak ekstrak protein belut sawah yang digunakan maka nilai persen pemanjangan edible film semakin meningkat. Hal ini dapat dijelaskan semakin banyak ekstrak protein belut sawah berarti semakin banyak pula molekul protein miofibriler dan sarkoplasmik yang terperangkap di dalam matrik edible film. Nilai rata-rata persen pemanjangan edible film pati ganyong setelah penambahan ekstrak protein belut sawah lebih tinggi dibandingkan sebelum penambahan ekstrak protein belut sawah. Namun, nilai persen permanjangan edible film ini belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh JIS 1975, yaitu minimal 70%. Nilai rata-rata persen pemanjangan dengan penambahan ekstrak protein belut sawah seperti pada Gambar 1.
Persen Pemanjangan (%)
j.
dikeringkan dengan menggunakan oven pengering suhu 700C selama 12 jam; dan Pendinginan pada suhu ruang, edible film diangkat dari cetakan dan dibungkus dengan plastik kemudian dimasukan dalam desikator selama 24 jam, dan edible film siap untuk dianalisa.
30
P1
20
p2
10 0 C2
S1
S2
S3
Perlakuan
Keterangan: P1 = pati ganyong sebelum modifikasi P2 = pati ganyong setelah modifikasi C2 = CMC 2% (b/v)
S1 = Ekstrak Protein 2% (v/v) S2 = Ekstrak Protein 4% (v/v) S3 = Ekstrak Protein 6%(v/v)
Gambar 1. Nilai rata-rata persen pemanjangan edible film pati ganyong sebelum dan setelah penambahan ekstrak protein belut sawah
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada uji Duncan taraf 5% Menurut Sarwono (2002); Nakai dan Modler (1999) ekstrak protein belut sawah mengandung jenis protein yang
Analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis pati dan ekstrak protein belut sawah berpengaruh nyata sedangkan perlakuan interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap nilai kuat tekan edible film (α=0,05). Nilai kuat tekan edible film pati ganyong setelah dimodifikasi berbeda nyata terhadap edible film pati ganyong sebelum dimodifikasi.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 30
120.00
51.09 52.29
80.00 60.00
58.53 57.80
100.00
58.87 68.87
140.00
Kuat Tekan (N)
Penggunaan ekstrak protein belut sawah dengan konsentrasi 2%, 4% dan 6% berbeda nyata terhadap nilai kuat tekan edible film yang dihasilkan (Tabel 1). Nilai kuat tekan edible film pati ganyong setelah dimodifikasi lebih tinggi dibanding pati ganyong sebelum dimodifikasi. Hal ini disebabkan struktur molekul pati ganyong setelah modifikasi lebih kuat dibanding sebelum dimodifikasi. Pati ganyong setelah dimodifikasi dengan menggunakan senyawa POCl3 melalui ikatan silang menyebabkan terjadinya substitusi gugus OH molekul pati oleh gugus fosfat dari senyawa POCl3. Substitusi ini meningkatkan kekuatan struktur molekul pati. Semakin kuat struktur molekul pati maka matrik edible film akan semakin kuat. Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak protein belut sawah yang digunakan kuat tekan edible film semakin meningkat. Hal ini disebabkan ekstrak protein belut sawah mengandung jenis protein miofibriler. Jenis protein ini merupakan protein yang tersusun oleh rantai molekul berbentuk serabut dan panjang sejajar dengan rantai utama. Semakin banyak protein miofibriler maka terjadi penumpukan dan matrik edible film semakin padat. Semakin padat suatu matrik edible film daya tahan terhadap gaya tekan semakin bertambah. Hasil penelitian ini sependapat dengan yang dilaporkan oleh Sobral et al. (2005) bahwa penggunaan protein miofibriler sebanyak 2g dalam 100g larutan film lebih besar kuat tekannya dibanding protein miofibriler 1g. Artharn et al. (2008) menambahkan bahwa formulasi edible film dengan perbandingan protein miofibriler dan protein sarkoplasmik 10 : 0 menghasilkan nilai kuat tekan edible film paling tinggi. Nilai kuat tekan edible film pati ganyong setelah penambahan ekstrak protein belut sawah lebih rendah dibanding sebelum penambahan ekstrak protein belut sawah (Gambar 2). Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, protein merupakan molekul yang bersifat hidrofilik dan molekul ini masuk atau menyusup di antara komponen penyusun matrik edible film, sehingga daya kohesif matrik edible film menurun. Kedua, protein sarkoplasma merupakan protein yang berbentuk globuler. Protein ini terdispersi di antara matrik edible film yang mengakibatkan penurunan interaksi antar polimer pembentuk matrik film sehingga kekompakan menjadi berkurang dan hal ini menurunkan daya tahan edible film terhadap tekanan. Ferreira et al. (2009) menjelaskan bahwa penurunan kuat tekan dan peningkatan persen pemanjangan edible film komposit kemungkinan disebabkan oleh rendahnya daya kohesif struktur film dibanding dengan polimer aslinya. Artharn et al. (2008) melaporkan bahwa kuat tekan edible film berbasis protein semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi protein sarkoplasma. Oh et al. (2004) menambahkan bahwa zein protein dapat menurunkan kuat tekan edible film whey protein dari 35% menjadi 45%.
114.00 126.60
ISBN 978-602-98902-1-1
P1 p2
40.00 20.00 0.00 C2
S1
S2
S3
Perlakuan
Gambar 2.
Nilai rata-rata kuat tekan edible film sebelum dan setelah penambahan ekstrak protein belut sawah
Analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak protein belut sawah berpengaruh nyata sedangkan perlakuan jenis pati dan interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap nilai laju transmisi uap air edible film (α=0,05). Hasil uji Duncan (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak protein belut sawah 2%, 4%, dan 6%, berbeda nyata terhadap laju transmisi uap air edible film. Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi protein yang digunakan maka nilai laju transmisi uap air semakin menurun. Hal ini disebabkan ekstrak protein belut sawah memiliki protein jenis miofibriler dan sarkoplasmik. Menurut Fennema (1988), susunan molekul protein miofibriler terdiri atas rantai molekul yang berbentuk serabut dan sejajar dengan rantai utama serta tidak membentuk kristal. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak protein belut sawah maka jenis protein miofibriler semakin banyak sehingga susunan matrik film akan semakin padat dan rapat. Hal ini dapat menyulitkan uap air untuk menembus matrik edible film tersebut. Weng et al. (2007) menambahkan bahwa protein sarkoplasmik adalah susunan molekul protein globuler dan bersifat hidropobik serta memiliki gugus SH yang tersembunyi dalam struktur molekulnya. Sifat hidropobik protein sarkoplasmik sangat berpengaruh terhadap penurunan laju transmisi uap air. Menurut Hamaguchi et al. (2007) dalam formulasi struktur matrik film protein miofibriler dan sarkoplasmik terdapat interaksi hidropobik. Artharn et al. (2008) menjelaskan bahwa laju transmisi uap air edible film meningkat secara signifikan (α=0,05) sampai konsentrasi protein sarkoplasmik 20% (b/b) dan apabila ditingkatkan sampai 30% (b/b) laju transmisi uap air akan turun secara signifikan. Shiku et al. (2003) menambahkan bahwa laju transmisi uap air edible film protein miofibriler sedikit lebih rendah dibanding edible film jenis protein lainnya.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 31
ISBN 978-602-98902-1-1
10.00
10.87
15.00
P1
6.37
Laju Transmisi Uap Air (g/m2.hari)
20.00
1.
19.70 18.00
25.00
20.72 22.64
22.24 22.95
KESIMPULAN
P2
2.
5.00 0.00 C2
S1
S2
S3
Perlakuan
Gambar 3. Nilai rata-rata laju transmisi uap air edible film pati ganyong sebelum dan setelah penambahan ekstrak protein
Gambar 3 menunjukkan bahwa laju transmisi uap air edible film pati ganyong setelah penambahan ekstrak protein belut sawah lebih tinggi dibanding sebelum penambahan ekstrak protein belut sawah. Hal ini disebabkan molekul protein merupakan komponen pembentuk matrik edible fim yang bersifat hidrofilik. Penambahan protein berarti terjadi penambahan komponen hidrofilik dalam matrik edible film. Dengan demikian, semakin bertambah komponen hidrofilik maka uap air akan semakin mudah untuk menembus edible film tersebut. Yoshida et al. (2002) menerangkan bahwa sifat hidrofilik alami protein dalam formulasi edible film mempermudah terjadinya interaksi dengan air, sehingga daya tahan edible film terhadap uap air akan berkurang. Nayak et al. (2008); Ayranci et al. (1995); Kroctha et al. (1994) menjelaskan bahwa edible film berbasis protein sangat efektif sebagai barrier gas oksigen dan aroma, namun edible film ini menunjukkan nilai laju transmisi uap air relatif tinggi. Hasil uji scanning electron microscopy (SEM) menunjukkan bahwa struktur mikro edible film pati ganyong sebelum dan setelah dimodifikasi dengan penambahan ekstrak protein belut sawah pada konsentrasi 6% (v/v) sama-sama mempunyai pori-pori. Pori-pori yang terdapat pada matrik edible film sangat berpengaruh terhadap laju transmisi uap air, semakin banyak pori-pori semakin mudah uap air menembus edible film tersebut. Hasil ini sesuai dengan hasil pengukuran laju transmisi uap air edible film pati sebelum dan setelah dimodifikasi dengan penambahan ekstrak protein belut sawah pada konsentrasi 6% sebesar 19,70 g.m-2.hari-1 dan 18,00 g.m2.hari-1, berturut-turut. Karakteristik edible film pati ganyong dengan formulasi CMC 2% yang ditambahkan ekstrak protein belut sawah menghasilkan persen pemanjangan 43,33% hingga 63,33%, kuat tekan 51,09 Newton hingga 68,87 Newton, dan laju transmisi uap air 18,00 g.m-2.hari-1 hingga 22,95 g.m-2.hari1. Karakteristik edible film ini memiliki nilai kuat tekan telah memenuhi standar JIS 1975, yaitu minimal 50 Newton sedangkan laju transmisi uap air dan persen pemanjangan belum memenuhi standar JIS 1975 yaitu masing-masing maksimal 10 g.m-2.hari-1 dan minimal 70%.
Edible film pati ganyong termodifikasi dengan senyawa POCl3 0,08% yang diintegrasikan dengan ekstrak protein belut sawah 6% menghasilkan karakteristik terbaik dengan persen pemanjangan 43,33% hingga 63,33%, kuat tekan 51,09 hingga 68,87 Newton, dan laju transmisi uap air 18,00 g.m-2.hari-1 hingga 22,95 g.m2.hari-1. Struktur mikro edible film pati ganyong dengan SEM menunjukkan bahwa edible film pati ganyong termodifikasi yang diintegrasikan dengan ekstrak protein belut sawah menghasilkan struktur yang kurang rapat dan tidak teratur.
DAFTAR PUSTAKA Artharn, A., Benjakul, S., and Prodpran. 2008. The effect of myofibrillar/sarcoplasmic protein ratio on the properties of round scad muscle protein based film. Eur. Food Res. Technol. 227: 215-222. Ayranci, E., and Cetin, E. 1995. The effect of protein isolate of Pistacia terebinthus L. on moisture transfer properties of cellulose-based edible films. Lebensm.-Wiss. u.Technol. 28: 241-244. Chuenkamol, B., Puttanlek, C., Rungsardthong, V., and Uttapap, D. 2007. Characterization of low-substitute hydroxypropylated canna starch. Food Hydrocolloid. 21: 1123-1132. Fennema, O.R. 1988. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. Ferreira, C.O., Nunes, C.A., Delgadillo, I., and Silva, L. 2009. Characterization of chitosan-whey protein films at acid pH. Food Research International. 42: 807-813. Hamaguchi, P.Y., Weng, W.Y., Kobayashi, T., Runglertkreingkrai, J., and Tanaka, M. 2007. Effect of fish meat quality on the properties of biodegradable protein films. Food Sci Technol. 13(3): 200-204. Heruwati, E. S dan Jav, T. 1995. Pengaruh Jenis Ikan dan Zat Penambah Terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Perikanan Indonesia. 1(1): 16. Iwata, K., Ishizaki, S., Handa, A., and Tanaka, M., 2000. Preparation and characterization of edible films from fish water-soluble proteins. Fishery Sci. 66: 372–378. Krochta, J.M. Baldwin, E.A. and Nisperos-Carriedo, M.O. 1994. Edible Coatings and Film to Improve Food Quality. Technomic. Publi. Co. Inc. USA. Nayak, P., Sasmal, A., Nanda, P.K., Nayak, P.L., Kim, J., and Chang, Y.W. 2008. Preparation and characterization of edible film based on soy protein isolate-fatty acid blends. Polym. Plastics Technol and Eng. 47: 466-472.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 32
ISBN 978-602-98902-1-1
Nakai, S and Modler H. W. 1999. Food Protein Processing Application. Willey, VHC. London. Oh, H.J., Wang, B., Field, P.D., and Aglan, H.A. 2004. Characteristics of edible films made from dairy proteins and zein hydrolysate cross-linked with transglutaminase. International J. Food Sci and Technol. 39: 287–294 Prodpran, T., Benjakul, S., and Arthan, A., 2007. Properties and microstructure of protein based film from round scad (Decapterus maruadsi) muscle as affected by palm oil and chitosan incorporation. International J. Bio Macromolecules. 41: 605–614. Pascholick, T.M., Garcia, F.T., Sobral, P.J.A., and Habitante, A.M.Q.B., 2003. Characterization of some functional properties of edible films based on muscle proteins of Nile Tilapia. Food Hydrocolloids. 17: 419–427. Poeloengasih, C.D. dan Marseno, D.W. 2003. Karakterisasi Edible Film Komposit Protein Biji Kecipir dan Tapioka. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 14(3): 224-227. Reddy, I and Seib, P.A. 2000. Modified waxy wheat starch compared to modified waxy corn starch. J. Cereal Sci. 31: 25-39. Sarwono, B. 2002. Budidaya Belut dan Sidat. Penebar Swadaya. Jakarta Shi, X and BeMiller, J.N. 2000. Effect of sulfate and citrate salts on derivatization of amylase and amylopectin during hydroxypropylation of corn starch. Carbohyd Polym. 43: 333-336. Shiku Y., Hamaguchi, P.Y., and Tanaka, M. 2003. Effect of pH on the preparation of edible film based on fish myofibrillar proteins. Fisheries Sci. 69: 1026-1032. Sobral, P.J.A., Santos, J.S., and Garcia, F.T. 2005. Effect of protein and plasticizer concentrations in film forming solution on physical properties of edible film based on muscle proteins of a thai tilapia. J. Food Eng. 70: 93100. Wattanachant S, Muhammad K, Hashim DM, and Rahman RA. 2003. Effect of cross-linking reagents and hydroxypropylation levels on dual modified tapioca starch properties. J Food Chem. 80:463-471. Weng, W.Y., Hamaguchi, P.Y., Osako, K., and Tanaka, M. 2007. Properties of edible surimi film as affected by heat treatment of film-froming solution. Food Sci Technol. 13(4): 391-398. Were, L., Hettiarachcy, N.S. and Coleman, M., 1999. Properties of Cysteine-Added Soy Protein-Wheat Gluten Film. J. Food Sci, 64(3): 514-518). Yoshida, C.M.P., Antunes, A.C.B., and Antunes, A.J. 2002. Moisture adsorption by milk whey protein films. International J. Food Sci. and Technol. 37: 329-332.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 33
ISBN 978-602-98902-1-1
Kajian Pengembangan Mie Sagu Dengan Metoda Ekstruder (Sago noodle development by extruder) Bambang Hariyanto*, Dian Anggraeni dan Purwa Tri Cahyana Pusat Teknologi Agroindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
ABSTRACT Noodle is popular food in Indonesia beside rice as staple food. Generally noodle made from wheat flour and its must be imported. The purpose of this study is the use of sago starch as raw material for noodles in order to reduce the use of wheat flour The process of producing sago noodle can used extruder machinery with multilevel method. Noodle products are tested by panelists to indicate that the panelists consider the product can become substitute for wheat flour noodles. Each 1 kg of sago starch will become 5 packs of sago noodles. In the economic calculations, every kg of sago is obtained 5-6 times increase in added value. To that end, sago noodles need to be socialized because it uses local materials that can support food security. Therefore, raw material supply arrangements should be set so that industry can take sago noodles. When this condition is going well then the food security and economic security can be realized Key words : Noodle, Sago, Extruder
PENDAHULUAN Sagu (Metroxylon sp) diyakini berasal dari Maluku Hingga saat ini belum diperoleh data yang pasti yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia Bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di Maluku dan Irian Jaya. Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan sagu yang paling maju saat ini di Indonesia terdapat di Selat Panjang Propinsi Riau. Sedangkan di negara lain yang pengelolaan sagunya maju adalah di Malaysia. Selama ini di Indonesia sagu masih dikelola secara tradisional dan kurang efisien, sehingga harga bahan baku pati sagu relative mahal per satuan berat. Selain itu penyajian pati sagu masih terbatas pada pangan tradisional seperti pepeda, bagea, kue bangkit, buburne dan sebagainya (Haryanto, dan Pangloli). Upaya untuk memasyarakatkan sagu perlu dilakukan mulai dari hulu sampai hilir dalam keadaan ketersediaan bahan baku dan penyajian yang bervariasi sehingga makin banyak pilihan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Di Maluku banyak memiliki potensi sagu dan telah dikenalkan aneka bentuk makanan berbahan baku sagu. Guna mendukung ketersediaan dan memperbanyak pilihan makanan sagu maka salah satunya sagu dibuat dalam bentuk mie. Selama ini pembuatan mie berasal dari terigu yang bahan bakunya diimpor. Tahun 2008 impor terigu Indonesia mencapai 5,159,338 ton dengan nilai $2,371,699 000 setara dengan Rp 22.5 triliun (BPS, 2010). Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyebutkan bahwa dalam pembuatan mie, pati sagu hanya sebagai bahan subsitusi dengan terigu. Royaningsih dan Pangloli (1988) melaporkan bahwa pembuatan mie berbahan baku terigu dapat disubsitusi dengan pati sagu maksimal 20% dan tidak merubah daya terima konsumen. Namun perkembangannya penelitian yang dilakukan oleh peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2010) pembuatan mie seratus persen sagu telah berhasil dibuat dengan
menggunakan peralatan ekstruder secara bertingkat dan perlakuan pendahuluan pragelatinasi pati sagu sebelum masuk ke ekstruder. Hasil mie yang diperoleh memenuhi standar dan menyerupai mie telor yang berasal dari bahan baku terigu. Secara umum penerimaan masyarakat sebagai konsumen hampir semua menyatakan menerima dan rasanya enak dan dapat diterima. Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Purwani dkk, (2006) membuat mie sagu dengan membuat adonan terlebih dahulu menggunakan adonan dan selanjutnya dicetak. Selain itu secara praktis sebuah pesantren di daerah Bogor membuat mie berbahan baku pati aren dan dan metoda yang digunakan menyerupai yang dikembangkan Purwani dkk dan disebut mie gleser. Namun mie gleser yang dihasilkan bila diolah cenderung mudah putus. Tujuan kegiatan kajian ini adalah membuat mie sagu ini dimaksudkan sebagai upaya mempebanyak pilihan produk berbahan sagu yang dilakukan di Ambon Propinsi Maluku. Disamping itu dalam kajian pembuatan mie sagu ini melibatkan Badan Ketahanan Pangan Propinsi Maluku di Ambon serta calon pelaku untuk mengusahakan pembuatan mie untuk di usahakan sebagai usaha bisnis.
METODOLOGI Bahan dan metoda Bahan baku yang digunakan adalah pati sagu dan peralatan ekstruder. Pati sagu diperoleh dari proses ekstraksi dari pohon sagu atau rumbia. Sedangkan alat ekstruder adalah alat untuk membuat mie setelah adonan dimasukkan dalam alat tersebut. Prinsip kerja ekstruder sendiri adalah membuat adonan dengan penekanan melalui ulir dan dilewatkan pada cetakan. Alat ekstruder tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. Pada kegiatan ini transfer ketrampilan dilakukan kepada peserta kelompok yang terdiri dari 20 orang peserta. Setiap kelompok harus mencoba untuk membuat adonan dan mempraktekkan pembuatan mie sagu tersebut.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 34
ISBN 978-602-98902-1-1
Selanjutnya mie yang dihasilkan diujika kepada peserta dengan menambahkan bumbu mie instan yang beredar di pasaran. Peserta di minta untuk melakukan uji organoleptik dengan atribut mie sagu warna, aroma dan rasa. Penilaian diberika dalam bentuk skala 1-5. Tidak suka diberi nilai 1, agak suka nilainya 2, cukup suka diberi nilai 3, suka diberi nilai 4 dan sangat suka diberi nilai 5. Selanjutnya nilai tersebut dihitung dan hal yang sama dilakukan untuk mie yang terbuat dari terigu sebagai pembanding. HASIL DAN PEMBAHASAN Produk yang dihasilkan Bentuk contoh produk mie sagu selanjutnya dikemas dengan plastik dan hasilnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 1. Alat ekstruder untuk membuat mie sagu Metoda pembuatan Mie Sagu Pada pembuatan mie sagu ini dilakukan proses pendahuluan untuk melakukan gelatinasi pada tahap awal sehingga terbentuk adonan dan selanjutnya dicetak dalam ekstruder. Setelah adonan masuk maka oleh ulir adonan aka menekan dan masuk dalam cetakan dan akan keluar bentuk seperti tali. Selanjutnya tali mie ini dipotong untuk dibentuk menjadi mie. Guna mendapatkan mie kering maka hasil cetakan mie tersebut di kering anginkan beberapa waktu lamanya. Adapun tahapan proses pembuatan mie sagu dengan metoda ekstruder ini disajikan pada Gambar 2. Mula-mula pati sagu dibersihkan dengan cara mencuci agar warnanya putih. Setelah itu pati sagu diupayakan mencapai kadar air 30 % (basis basah). Untuk mendapatkan rasa maka ditambahkan garam sekitar 2 %. Kemudian bahan-bahan dicampirkan dan dilakukan pra gelatinasi pati. Setelah itu dilakukan pencetakan dengan esktruder dan akan terbentuk mie sagu. Pati Sagu 100% Air 30% Garam 2%
Pencampuran Bahan Pragelatinisasi Pati Pencampuran Adonan Ekstruder Pengeringan Pengemasan
Mie Sagu Kering dalam Gambar 2. Diagram alir pembuatan mie sagu
Gambar 3. Contoh mie sagu yang sudah dikemas dan diproduksi di Ambon Hasil uji organleptik mie sgu dan mie terigu dengan atribut warna, aroma dan rasa tidak berbeda nyata. Bahkan rasa mie sagu skore nilainya lebih tinggi dibanding mie terigu karena teksturnya lebih kenyal. Warna mie terigu lebih tinggi meski secara keseluruhan skore nilai tidak berbeda nyata. Hasil uji coba penerimaan panelis disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji organoleptik mie sagu disbanding mie terigu terhadap panelis dan factor lainnya. No 1 2 3 4
Parameter Warna Aroma Rasa Asal bahan baku
5
Sisi Ketahanan pangan Sisi Lingkungan Devisa Perekonomian nasional
6 7 8
Mie sagu 3,5a 3,2b 3,9c Dalam negeri Mendu kung Mendukung Menghemat Mendukung
Mie terigu 3,7a 3,3b 3,7c impor Tidak mendukung Tidak terkait Menhamburkan Menguras
Nilai ekonomi mie sagu Harga setiap barang sangat tergantung dari bahan baku, proses produksi dan pemasarannya. Demikian juga
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 35
ISBN 978-602-98902-1-1
harga mie sagu sangat dipengaruhi oleh bahan baku dan pemasarannya. Sedangkan biaya proses produksi relative tetap. Sebagai gambaran dijelasakan sebagai berikut : Setiap 1 kg bahan baku sagu maka akan diperoleh 1,2 kg mie sagu dengan kadar air 30 %. Setiap bungkus mie sagu terdapat 3 lapisan mie sagu. Setiap kg bahan sagu dapat menghasilkan lapisan sebanyak 15 buah. Dengan demikian setiap kg bahan baku akan diperoleh 5 bungkus mie sagu. Harga mie sagu pada tahun 2010 sebesar Rp 3000. Berarti pendapatan Rp 15.000. Harga 1 kg bahan baku sagu Rp 2000, biaya proses dan tenaga kerja Rp 1000, biaya kemasan Rp 200, biaya pemasaran per bungkus Rp 800. Berarti untuk biaya 1 kg mie sagu adalah Rp 3000. Margin mie sagu setiap kg adalah Rp 15000-Rp 3000 = Rp 12000. Dengan demikian bahan baku sagu yang dibuat mie akan diperoleh margin 5-6 kali lipat harga bahan baku. Adanya peningkatan margin ini merupakan salah satu inovasi proses maupun peralatan pembuatan mie. Oleh sebab itu tinggal bagaimana memasyarakatkan penggunaan mie sagu ini secara masal. Bila dibanding dengan mie telor di pasaran mungkin harganya mencapai Rp 5000. Dengan demikian harga mie sagu ini sangat kompetitif dan menggunakan bahan baku local. Keunggulan mie sagu Keunggulan mie sagu terletak pada asal bahan baku local yang berasal dari Indonesia. Selanjutnya berdasarkan penelitian mutakhir disebutkan bahwa pada pati sagu mengandung indeks glikemic kecil sehingga dapat mengurangi timbulnya diabetes. Seperti dilaporkan oleh Ega (2009) menyebutkan bahwa masyarakat yang mengkonsumsi sagu jarang terkena penyakit diabetes. Sebagai contoh penderita diabetes masyarakat Maluku yang usia lanjut relative kecil yang menderita diabetes. Selain itu Ega juga menambahkan bagi mereka yang mengkonsumsi sagu maka dalam pencernaannya menjadi bagus karena dapat dicerna oleh bakteri usus. Oleh sebab itu mie sagu sangat bermanfaat untuk konsumsi yang menyehatkan. Penelitian yang dilakukan oleh Sialana (2007) menyebutkan bahwa mengkonsumsi sagu secara teratur dapat menyehatkan dan tidak menyebabkan perut buncit. Oleh sebab itu penelitian sagu sebagai pangan fungsional menjadi sangat penting. Bila hipotesa mengkonsumsi sagu dapat menyehatkan maka anugerah besar bagi bangsa Indonesia yang oleh alam telah disediakan makanan dalam bentuk sagu yang selain dapat mengenyangkan sekaligus juga menyehatkan. Strategi sosialisasi mie sagu Terbentuknya mie sagu ini sebetulnya menjawab Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang waktu kampanye pemilihan presiden diserang oleh Jusuf Kalla kenapa menggunakan lagu indome yang bahan bakunya impor. Waktu itu Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjawab jangan salah mie yang ada di Indonesia dapat dibuat dari tepung lokal apakah ubi kayu tepung jagung dan termasuk sagu. Padahal waktu itu pembuatan mie yang menggunakan sagu belum banyak dikembangkan, fungsi sagu masih sebagai subsitusi. Dengan adanya inovasi ini memiliki nilai strategis untuk
mengimbangi produk mie yang terbuat dari terigu. Selama ini produksi mie di Indonesia dikuasai oleh suatu industry raksasa pangan yang sudah begitu besar dan tentu saja inovasi ini tidak dapat melawan industry yang sudah mapan. Sebagai gambaran industry mie di Indonesia basisnya terigu yang bahan bakunya diimpor yang setiap tahun mencapai 5 juta ton. Tanpa disadari bangsa Indonesia sudah terjebak pada makanan yang disebut mie instan. Oleh sebab itu produksi mie instan di Indonesia mencapai 24 milyar bungkus pada tahun 2009. Disamping itu bila terjadi bencana alam, mie instan menjadi salah satu pangan siap saji untuk keadaan darurat. Oleh sebab itu bila suatu saat harga terigu internasional meningkat dapat dipastikan ketergantungan industry mie Indonesia akan terganggu pasokan terigunya. Oleh sebab itu agar ketergantungan akan bahan baku impor dapat dikurangi pembuatan mie menggunakan bahan baku local seperti sagu menjadi sangat penting. Untuk lebih mengenalkan mie sagu ini maka perlu dilakukan sosialisasi lebih luas agar mie sagu ini dapat lebih memasyarakat. Untuk tingkat rasa secara uji organoleptik secara umum mie sagu dapat diterima. Bahkan mie yang terbuat dari sagu lebih kenyal menurut pengakuan penjual mie goreng di warung-warung daerah Ambon. Oleh sebab itu dengan adanya inovasi mie sagu ini dimuali dari Ambon sebagai penghasil sagu maka perlu dikenalkan lebih banyak ke masyarakat. Memang perlu waktu untuk mengenalkan suatu produk tetapi harus dimulai dari sekarang. Indomie yang ada sekarang dimulai sejak tahun 1970 an dan setelah 30-40 tahun mie instan baru popular. Ditnjau dari ketahanan pangan hadirnya mie sagu ini menjadi salah satu pilihan untuk mengkonsumsi makanan yang non beras dan non terigu. Oleh sebab itu strategi sosialisasi mie sagu dimulai dari daerah penghasil sagu seperti Maluku, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Riau, Kalimantan Barat dan di Pulau Jawa. Pertanyaannya siapa yang akan mempelopori memasyarakatkan mie sagu ini. Salah satunya adalah dengan strategi pembagian beras miskin yang menyita dana besar untuk daerah tertentu yang memiliki sagu mulai dikenalkan produk mie sagu. Bila hal ini dimulai dan dapat dibeli oleh siapa saja dengan harga terjangkau, apalagi terdapat dimana-mana dan ternyata terbukti menyehatkan maka mie sagu akan dikenal lebih luas lagi. Dengan adanya mie sagu ini paling tidak ketahanan pangan kita mulai program diversivikasi sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No 22 tahun 2009 yang mengamanatkan tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya local. Dengan berbasis bahan baku local ini paling tidak ketahanan pangan kita menjadi lebih kokoh terhadap gangguan pasokan baik akibat bencana alam dalam bentuk gagal panen, akibat peperangan dan sebagainya. Penghematan devisa Negara Bila penggunaan bahan baku local sagu dapat mensubsitusi terigu dalam pembuatan mie ini secara perlahanlahan dapat menghambat laju konsumsi terigu yang saat ini mencapai 2,2 kg/kapita. Padahal terigu ini harus diimpor yang setiap tahunnya terus meningkat dengan pertambahan penduduk. Bila diasumsikan bahwa mie sagu ini akan dikenal masyarakat dan secara industry dapat berkembang dalam 5
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 36
ISBN 978-602-98902-1-1
tahun maka dapat diperkirakan akan terjadi penghematan devisa. Bila saat ini devisa kita lari keluar untuk membelajakan terigu sebesar Rp 22 triliun, dan kita dapat menargetkan mie sagu dapat mensubsitusi penggunaan terigu 5 % selama 5 tahun maka devisa Negara sebesar 1,1 Rp triliun dapat dihemat. Bila penggunaan sagu terus meningkat maka penghematan devisa tiap tahun dapat dilakukan.
Penembangan Agribisnis Di Wilayah Lahan Basah. Unri Riau-Pemda Tk I Riau dan BPPT. Pekabaru. Riau
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dan Saran Telah dapat ditunjukkan dengan metoda esktruder dapat dibuat mie berbahan baku sagu seratus persen. Daya terima mie sagu kepada panelis menunjukkan tidak berbeda secara nyata dengan mie terigu terutama untuk daerah Ambon. Pembuatan mie dengan metoda ekstruder ini semakin memberi alternatif jenis produk olahan sagu. Selain itu bila mie sagu ini dikenalkan di sentra-sentra penghasil sagu maka mie sagu akan semakin dikenal oleh masyarakat dan dapat menekan penggunaan terigu yang selama ini selalu diimpor. Secara teknis pembuatan mie dari seratus persen sagu dapat dilakukan dan secara perhitungan usaha ekonomi cukup memberi harapan tinggal perlu disosialisasikan di daerah penghasil sagu Sebagai saran maka mie sagu ini perlu digalakan secara luas agar penggunaan sagu lebih dikenal ke masyarakat. Bila mie sagu ini dapat disosialisasikan dengan baik maka upaya diversifikasi pangan dapat menjadi harapan untuk tidak selalu tergantung pada bahan baku impor. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2010. Volume impor dan nilai terigu. Badan Statistik Nasional. Jakarta Haryanto dan Pangloli. 1992. Potensi dan Pengolahan Sagu. Kanisius. Yogyakarta Purwani E. Y, Widangnirum, Hadi S, Evi S, Ridwan T. 2006. Pedoman Teknis Teknologi Pengolahan Mie Sagu. Penyunting Abubakar dan Agus Supriatna. Balai Besar Peneitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Royaningsih S dan Pangloli .1988. Pembuatan mie Basah dari Campuran Terigu dan Pati Sagu. Prosiding Seminar Penelitian Pasca Panen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Samad, Y. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Mie Berbahan Baku Sagu Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Di Propinsi Maluku. Laporan Kegiatan Insentif Ristek. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Sialana.A.S.,2007. Teknologi Sederhana Produksi Tepung Sagu Kering dan Preferensi Kosumen Terhadap Produk Sagu. Sebuah Kajian. Makalah Seminar Nasional Sagu di Ambon 29-30 Oktober 2007. BPTP. Maluku. Ambon Sitaniapesy (1996). Sagu :Suatu Tinjauan Ekologi. Prosiding Nasional Sagu III. Potensi Sagu Dalam Usaha
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 37
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengaruh Penggunaan Telur Dan Gum Xanthan Terhadap Beberapa Karakteristik Mie Basah Sorgum Berbahan Baku Tepung Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench) Kultivar Lokal Bandung “The Effect Of The Usages Egss And Xanthan Gum to Some Characteristics of Sorghum Wet Noodles Which is Made From Local Bandung Cultivar Sorghum Flour (Sorghum bicolor (L.) Moench)” Efri Mardawati, Robi Andoyo,dan Oksania Panggabean Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung
ABSTRACT Sorgum is an important food and one of the carbohydrate sources. Sorgum flour can be substitute the wheat or rice flour, therefore it can enhance the food security. The production of noodle based on sorghum flour could increase its added value and also improve food diversity. The purpose of this research is to determine the amount of eggs and xanthan gum that can produce noodle made from sorgum flour (Local Bandung cultivar) with good characteristics. Research method used was Randomized Block Design consist 2 factors and replicated four times. The first factor was the concentration of the eggs namely 82% and 88% (w/w) and the second factor was the concentration of xanthan gum namely 1,5%, 2%, and 2,5% (w/w). The results show that there was a significant interaction between the concentration of eggs and xanthan gum to cooking yield, stickiness and scoring test on elasticity of the sorgum noodle. The treatment of 88% eggs and 2,5% xanthan gum results a sorgum noodle with the best characteristic based on score of brightness (L*) of 64,46, a* of 0,49, b* of 9,05, cooking yield of 8,60 g H2O absorbed/g noodle, cooking loss of 3,41%, dough developing test of 20,82%, hardness of 2446,04 gF, stickiness of 38,20 gF, colour visualization of 5,5 (light chocolate), taste of 5,3 (delicious), aroma of 5,5 (specified noodle aroma), elasticity of 5,7 (very elastic) and water ratio of uncooked noodle 37,01%. Keywords: sorghum flour, sorghum wet noodle, eggs, xanthan gum Key words : Noodle, Sago, Extruder
PENDAHULUAN Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Mie basah yang baik menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992) ialah mie basah yang tidak mengandung bahan pengawet yang tidak diijinkan dan mengandung kadar air 52%. Tepung terigu adalah tepung yang paling banyak digunakan sebagai bahan pembuatan mie.Tingginya penggunaan tepung ini disebabkan adanya fraksi protein gliadin dan glutenin pada protein gandum. Penggunaan air dan agitasi secara mekanis mengakibatkan fraksi protein tersebut akan membentuk suatu bahan yang liat dan elastis (lentur) yang disebut gluten (Herudiyanto dan Fitri, 2009). Gluten dapat memberi karakteristik kekenyalan yang baik pada mie.Mie yang dibuat dari tepung nonterigu kurang memiliki kekenyalan akibat tidak adanya gluten.Akhirnya, penggunaan terigu makin meluas seiring dengan pertumbuhan industri pangan yang meningkat di Indonesia. Beberapa kasus menyatakan bahwa penggunaan terigu tidak aman dikonsumsi bagi penderita penyakit celiac disease (penyakit intoleransi terhadap gluten).Penderita penyakit ini tidak dapat mengonsumsi serealia yang mengandung gluten seperti gandum, barley, dan rye. Tidak ada pengobatan untuk orang yang menderita celiac disease. Salah satu cara bagi penderita celiac disease untuk mencegah rasa sakit adalah melakukan diet bebas gluten atau tidak mengonsumsi gluten.
Yayasan celiac disease di Amerika merekomendasikan sorgum sebagai bahan baku produk pangan bebas gluten (U.S Grain Council, 2004). Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) adalah tanaman serealia sumber pati. Menurut Beti, dkk.(1990), Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (1996) dan Direktorat Jenderal Perkebunan (1996), sorgum merupakan komoditas sumber karbohidrat yang cukup potensial karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 73g/100g bahan. Sorgum mulai dibudidayakan di Indonesia sejak tahun 1925, namun belum dikembangkan secara luas.Beberapa jenis sorgum lokal telah lama ditanam oleh petani Indonesia seperti Malang 26, Birdproof, Ketengu, Pretoria, Darsa, Cempaka (Mudjisihono dan Suprapto, 1987), dan kultivar Lokal Bandung.Sorgum kultivar Lokal Bandung merupakan jenis sorgum yang telah banyak dibudidayakan di daerah Bandung Selatan.Sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki karakteristik kulit biji berwarna merah serta kandungan tanin yang tinggi. Pengolahan sorgum menjadi tepung memiliki keunggulan antara lain tepung sorgum dapat dijadikan sebagai bahan pensubtitusi atau bahkan bahan baku pengganti tepung terigu maupun tepung beras, sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan dalam negeri. Ahza (1998) menyatakan bahwa biji sorgum dapat diolah menjadi tepung sorgum dan bermanfaat sebagai bahan pensubstitusi tepung terigu. Pengolahan tepung sorgum menjadi produk mie basah sorgum
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 38
ISBN 978-602-98902-1-1
akan meningkatkan nilai guna tanaman sorgum dan juga meningkatkan penganekaragaman makanan yang sehat dan aman bagi penderita celiac disease. Ciri utama mie biasanya adalah mie yang elastis dan kenyal.Pada mie basah terigu, air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat, melarutkan bahan, membentuk adonan yang homogen dan membentuk sifat kenyal dari gluten (Antarlina, 2009). Air tidak dapat membentuk adonan mie basah yang kalis dan kenyal tanpa adanya gluten dari bahan baku (tepung sorgum). Tepung sorgum tidak mempunyai gluten sehingga air dapat diganti dengan cairan lain yang dapat membentuk adonan yang kalis dan kenyal walaupun tanpa adanya kandungan gluten pada tepung sorgum. Cairan lain tersebut harus dapat berfungsi sebagai pengikat untuk membentuk adonan yang homogen dan kenyal. Salah satu bahan pengikat yang digunakan dalam pembuatan mie basah adalah telur.Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner sebagai pengental, perekat atau pengikat (Tarwotjo, 1998). Penggunaan telur pada pengolahan mie basah akan meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah terputus-putus. Penentuan banyaknya penggunaan telur perlu dilakukan untuk mendapatkan adonan mie yang homogen dan kenyal sehingga dihasilkan mie basah sorgum dengan karakteristik inderawi yang terbaik. Peran gluten dalam tepung sorgum sangat memengaruhi mutu mie basah sorgum. Salah satu upaya untuk mensubstitusi gluten adalah dengan penggunaan gum xanthan untuk membentuk struktur mie (Liu, 2009). Gum xanthan adalah polisakarida dengan bobot molekul tinggi hasil fermentasi karbohidrat oleh xanthomonas campestris yang dimurnikan, dikeringkan dan digiling untuk pemanfaatannya lebih lanjut (Pettitt dalam Glicksman, 1980). Gum xanthan berfungsi untuk menggantikan sifat elastis gluten yang tidak terdapat pada sorgum, sehingga mie bebas gluten dapat terbentuk dengan karakteristik hampir sama dengan mie yang mengandung gluten, khususnya bila dilihat dari segi kekenyalannya. Keuntungan pemakaian gum xanthan adalah penggunaan konsentrasinya sangat rendah pada suatu produk bila dibandingkan dengan bahan pengikat lainnya pada produk yang sama. Hal ini disebabkan viskositasnya tinggi pada konsentrasi rendah (Fardiaz, 1989). Peningkatan konsentrasi gum xanthan akan meningkatkan kekentalan tepung sorgum tersebut. Menurut Lineback dan Inglett (1982), gum xanthan dapat meningkatkan tekanan shear rate pada granula pati, sehingga granula akan pecah. Hal ini menyebabkan keluarnya material dari dalam granula tersebut dan larut ke dalam medium, sehingga kekentalan meningkat. Salah satu karakteristik akhir mie basah yang paling penting adalah tekstur yang dihasilkan. Karakteristik akhir mie basah sorgum akan memiliki tekstur kenyal dengan penggunaan gum xanthan. Tingkat kekenyalan mie basah sorgum sebanding dengan jumlah gum xanthan yang ditambahkan. Penggunaan gum xanthan yang terlalu tinggi akan menghasilkan produk yang keras. Oleh karena itu, perlu diketahui banyaknya penggunaan gum xanthan untuk
menghasilkan mie basah sorgum yang memiliki karakteristik fisik, kimia dan inderawi yang baik. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan telur dan gum xanthan terhadap beberapa karakteristik mie basah sorgum berbahan baku tepung sorgum kultivar Lokal Bandung.
METODOLOGI Bahan dan Alat Percobaan Bahan dalam penelitian ini meliputi biji Sorghum bicolor (L.) Moench ZH -30, kultivar Lokal Bandung dari daerah Bandung Selatan, telur ayam broiler yang diperoleh dari supermarket Griya Yogya Jatinangor dengan berat rata-rata 52 g/butir, garam, gum xanthan yang diperoleh dari toko bahan kimia Quadrant Bandung, pati sorgum kultivar Lokal Bandung, dan minyak goreng. Bahan-bahan untuk analisis kimia meliputi :asam sulfat (H2SO4) pekat0,255 N, larutan K2SO4 10%, HgO p.a, aquades, NaOH 0,313 N, kertas lakmus merah, H3BO3 3%, HCl 0,02 N. Alat-alat yang digunakan untuk proses penggilingan beras sorgum adalah alat penyosoh, tray, hammer mil tipe FFC-23, Ayakan Tyler 20, 40, 60,80, 100, dan 120 mesh, kabinet dryer, kuas, lap katun, ayakan 10 mesh, tampah, sealer, stopwatch, ember, dan saringan. Alat-alat yang digunakan untuk proses pembuatan mie basah sorgum adalah neraca analitis, gelas ukur, pisau, panci, baskom/wadah plastik, nampan, saringan, kompor, alat pencetak dan pemotong mie (pasta maker), sendok pengaduk, thermometer, jangka sorong, penggaris. Alat-alat untuk analisis terdiri dari pipet ukur, pipet tetes,TA-XT2 Texture Analyzer, kromameter, labu erlenmeyer, oven, penyaring pompa vakum, labu Kjedahl 30 ml, kondensor, kertas saring, desikator, alat destilasi, tanur, timbangan. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan (experimental method).Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor. Perlakuan yang dicobakan adalah banyaknya jumlah telur dan gum xanthan yang ditambahkan pada bahan mie basah sorgum dari 100 g tepung sorgum, dengan perincian sebagai berikut : 1. Faktor penggunaan telur (A) yang terdiri atas 2 taraf, yaitu : a1 : penggunaan telur 82% (b/b) a2 : penggunaan telur 88% (b/b) 2.
Faktor penggunaan gum xanthan (B) yang terdiri atas 3 taraf, yaitu : b1 : penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) b2 : penggunaan gum xanthan 2% (b/b) b3 : penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) Semua perlakuan di atas di ulang sebanyak empat kali pelaksanaan Percobaan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 39
ISBN 978-602-98902-1-1
Percobaan Pendahuluan Percobaan pendahuluan ditujukan untuk menetapkan perlakuan-perlakuan yang akan digunakan sebagai acuan pada percobaan utama. Percobaan pendahuluan yang dilakukan dalam pembuatan mie basah sorgum terdiri dari lima tahap : 1. Penentuan fraksi tepung sorgum yang digunakan pada mie basah sorgum 2. Penentuan jenis pati yang digunakan pada mie basah sorgum 3. Penentuan jenis bahan pengikat yang digunakan pada mie basah sorgum 4. Penentuan jumlah penambahan telur yang digunakan pada mie basah sorgum 5. Penentuan jumlah penambahan gum xanthan Percobaan Utama Berdasarkan hasil pengamatan percobaan pendahuluan, maka pada percobaan utama akan dilakukan penambahan telur dan gum xanthan ke dalam adonan mie basah sorgum dengan jumlah telur yang digunakan sebanyak 82% dan 88% dan penambahan gum xanthan sebanyak 1,5%, 2% dan 2,5% dari 100 gram tepung sorgum yang dipakai. Cara pembuatan mie basah yang dilakukan dan formulasi yang digunakan, mengacu pada Liu (2009) yang telah dimodifikasi.Formulasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Formulasi Mie Basah Sorgum dengan Penggunaan Telur dan Gum Xanthan Pada Penelitian Utama Bahan Tepung sorgum Garam Pati sorgum Gum xanthan Telur Minyak
a1b1
a1b2
Perlakuan a1b3 a2b1
100g
100g
100g
100g
100g
100g
1,5g 7g 1,5g 82g 2,5g
1,5g 7g 2g 82g 2,5g
1,5g 7g 2,5g 82g 2,5g
1,5g 7g 1,5g 88g 2,5g
1,5g 7g 2g 88g 2,5g
1,5g 7g 2,5g 88g 2,5g
a2b2
a1b3
Diagram proses pembuatan mie basah sorgum dapat dilihat pada Gambar 10.
Garam 1,5g, Pati sorgum 7g Gum xanthan (1,5g, 2g, 2,5g) Telur utuh kocok (82g dan 88g) Minyak 2,5g Sesuai formulasi
Tepung Sorgum 100g
Pencampuran adonan
Pengulenan Adonan t = 1 menit Pembentukan lembaran Tebal = 1,5 - 2 mm Pemotongan lembaran (p= 25-30 cm, l= 5-10 cm) Pencetakan mie (tebal = 1,5 - 2 mm)
MIE MENTAH
Minyak Goreng ± 20 ml
Perebusan (volume air 2 L) t = 2 menit, T= 100°C Penirisan dan Pendinginan t= 5 menit
Air Sisa Perebusan
MIE BASAH SORGUM
Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Inderawi
Gambar 1. Diagram Proses Pembuatan Mie Basah Sorgum dengan Penggunaan Telur dan Gum Xanthan Pada Penelitian ini
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 40
ISBN 978-602-98902-1-1
2.4.
Kriteria Pengamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8.
a2b1
Deskripsi inderawi warna dan tekstur adonan. Warna mie basah dengan alat kromameter (Man, 1997). Pengujian cooking yields (AACC, 2000) Pengujian cooking loss (AACC, 2000) Uji pengembangan mie basah (Singarimbun, 2008) Pengujian kekerasan (hardness) dan kelekatan (stickiness)mie basah sorgum menggunakan TA-XT2 Texture Analyzer Metode Compression (Stable Micro System, 2000). Pengujian Skoring terhadap warna, rasa, aroma dan kekenyalan dari mie basah dengan uji hedonik (Soekarto, 1985). Pengamatan utama yang dilakukan terhadap mie mentah sorgum meliputi : Sifat Kimia : Kadar air, metode Oven (AOAC. No. 14.004)
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.Karakteristik Adonan Pengamatan penunjang yang dilakukan adalah deskripsi inderawi warna dan tekstur adonan mie basah sorgum.Deskripsi inderawi warna dan tekstur adonan mie basah sorgum dapat dilihat pada Tabel 2. Deskripsi inderawi warna adonan mie basah sorgum tidak menunjukkan adanya perbedaan warna yang signifikan pada masing-masing perlakuan.Warna dari adonan mie basah sorgum adalah coklat muda agak kemerahan.Warna coklat muda pada adonan mie basah sorgum disebabkan oleh warna yang berasal dari bahan baku tepung sorgum. Seperti halnya tepung terigu, tepung sorgum memiliki dua jenis pigmen yaitu karotenoid yang terdapat pada endosperm dan fenolik lima kali lebih banyak daripada gandum sedangkan karotenoid setengah lebih sedikit. Kandungan fenolik yang berupa tanin menyebabkan adanya pigmen merah pada testa dan perikarp biji sorgum. Tabel 2. Deskripsi Inderawi Adonan Mie Basah Sorgum Perlakuan a1b1
Gambar
Deskripsi Inderawi Warna Tekstur * Cokelat muda agak kemerahan
Kenyal +
Cokelat muda agak kemerahan
Kenyal ++
a2b2 Cokelat muda agak kemerahan
Kenyal +++
a2b3 Cokelat muda agak kemerahan
Kenyal ++++
Keterangan : * Semakin banyak tanda (+) kekenyalan meningkat Deskripsi inderawi tekstur adonan mie basah sorgum menghasilkan perbedaan pada masing-masing perlakuan.Tingkat kekenyalan adonan mie basah sorgum diukur dengan memberikan energi berupa tarikan oleh tangan. Kekenyalan adonan mie basah sorgum meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan telur dan gum xanthan. Tingkat kekenyalan adonan tertinggi adalah perlakuan dengan penggunaan telur 88% (b/b) dan penggunaan gum xantan 2,5% (b/b) sedangkan kekenyalan adonan yang terendah adalah perlakuan dengan penggunaan telur 82% (b/b) dan penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b). Menurut Rocks (1971), gum xanthan memiliki viskositas yang cukup tinggi pada konsentrasi 1,0% dibandingkan dengan emulsifier atau stabilizer lainnya pada konsentrasi yang sama. Gum xanthan akan menggantikan sifat gluten untuk memberikan sifat elastis dan kenyal pada mie basah sorgum, sehingga semakin tinggi tingkat penambahan gum xanthan maka tingkat kekenyalan mie basah sorgum juga akan semakin meningkat. Sedangkan telur sering digunakan sebagai bahan pengikat pada pembuatan mie karena sifat adhesivitasnya, sehingga dapat mengikat bahan lain dan menciptakan adonan yang lebih kenyal sehingga menghasilkan tekstur mie yang kompak dan tidak mudah terputus-putus. Gum xanthan dan telur memiliki fungsi yang sama pada pembuatan mie basah sorgum yaitu sebagai bahan pengikat. Semakin banyak bahan pengikat yang digunakan pada adonan makan adonan mie basah sorgum yang dihasilkan akan semakin kenyal. Adonan yang kenyal dinyatakan jika tidak ada lagi bahan yang menempel di tangan saat pengulenan adoanan dilakukan, adonan tidak ada yang lengket pada tangan maupun wadah tempat pengulenan. Suatu adonan dikatakan lebih kenyal dibandingkan adonan lain jika adonan yang terbentuk lebih liat dan cenderung lebih keras dibandingkan adonan lainnya serta waktu yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang tidak lengket dan kenyal lebih cepat.
a1b2 Cokelat muda agak kemerahan
Kenyal ++
a1b3 Cokelat muda agak kemerahan
Kenyal +++
2. Warna (L*, a*, dan b*) Mie Basah Sorgum Hasil analisis statistik nilai L* mie basah sorgum menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara penggunaan telur dengan penggunaan gum xanthan, sehingga pengujian dilanjutkan dengan menggunakan uji mandiri. Hasil uji mandiri
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 41
ISBN 978-602-98902-1-1
nilai kecerahan (L*) mie basah sorgum dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Uji Mandiri Warna (L*, a*, dan b*) Mie Basah Sorgum Pada Berbagai Penggunaan Telur dan Gum Xanthan Perlakuan Nilai L* Nilai a* Nilai b* Penggunaan Telur (A) a1 (82% b/b) 63,31 b 0,54 b 7,68 b a2 (88% b/b) 63,59 a 0,60 a 8,59 a Penggunaan Gum Xanthan (B) b1 (1,5% b/b) 62,52 c 0,78 a 7,74 c b2 (2% b/b) 63,46 b 0,49 b 8,11 b b3 (2,5% b/b) 64,38 a 0,45 c 8,56 a Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf signifikan 5 % Menurut Soekarto (1985) nilai L dipengaruhi oleh banyaknya cahaya yang dipantulkan dan tertangkap oleh kromameter, sehingga semakin banyak cahaya yang dipantulkan dan tertangkap oleh kromameter maka nilai L semakin tinggi (cerah). Penurunan nilai L disebabkan terjadinya perubahan cahaya yang dipantulkan kembali karena adanya pengaruh perlakuan terhadap sifat permukaan bahan. Nilai kecerahan (L*) mie basah sorgum saling berbeda nyata antara ke-2 penggunaan telur.Pada penambahan telur 82 % dan 88% (b/b) menghasilkan mie basah sorgum dengan tingkat kecerahan yang berbeda. Perlakuan penggunaan telur 88% (b/b) menghasilkan kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan penggunaan telur 82% (b/b). Penggunaan telur yang tinggi mengakibatkan kadar air mie basah sorgum juga akan semakin tinggi. Tingkat kecerahan mie basah sorgum berkorelasi positif dengan kandungan air bahan. Semakin banyak air yang terkandung dalam bahan maka cahaya yang dipantulkan dan ditangkap oleh kromameter akan semakin tinggi, sehingga akan meningkatkan kecerahan mie basah sorgum. Pada perlakuan dengan penggunaan gum xanthan, hasil yang diperoleh memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara ketiga perlakuannya. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) memberikan nilai kecerahan yang berbeda nyata dengan penggunaan gum xanthan 2% (b/b) dan 2,5% (b/b). Perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) memberikan nilai kecerahan yang paling tinggi, dan penggunaan gum xanthan 1,5% memberikan nilai kecerahan terendah. Hal ini menunjukkan semakin tinggi penggunaan gum xanthan maka tingkat kecerahan mie basah sorgum juga akan semakin tinggi. Menurut Fardiaz (1989), gum xanthan mempunyai kemampuan daya serap yang tinggi sehingga penggunaan gum xanthan yang tinggi akan membentuk struktur mie yang lebih kompak dan molekul-molekul air terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh gum xanthan. Daya serap air yang tinggi menyebabkan tingkat kecerahan mie basah sorgum semakin tinggi. Hal ini diakibatkan karena semakin banyak air yang terkandung dalam bahan maka cahaya yang dipantulkan dan ditangkap oleh kromameter akan semakin tinggi. Berikut penampakan keseluruhan mie basah sorgum dalam penelitian ini.
a1b1a1b2
a1b3
a2b1a2b2 a2b3
Gambar 2. Perbedaan Warna Mie Basah Sorgum (Dokumentasi Pribadi, 2010) Menurut Liu (2009), warna kecerahan produk akhir sangat dipengaruhi oleh warna bahan baku yang digunakan, yaitu warna tepung sorgum kultivar Lokal Bandung. Hasil pengukuran kecerahan wana tepung sorgum kultivar Lokal Bandung rata-rata adalah90,30. Selain dipengaruhi oleh warna bahan baku, kecerahan warna produk akhir mie basah dipengaruhi oleh kandungan protein. Miskelly dan Moss (1985) menyatakan bahwa protein tepung berkorelasi negatif dengan kecerahan mie. Kandungan protein yang tinggi berbanding lurus dengan meningkatnya warna keabuan. Menurut Jun, dkk. (1998) bahwa warna mie lebih dipengaruhi oleh kandungan protein dibandingkan dengan kandungan abu. Nilai a* (Warna Kromatik Merah ke Hijau) Nilai a* menunjukkan warna kromatik antara merah ke hijau. Nilai a* positif sampai dengan +100 menunjukkan intensitas warna merah dan nilai a* yang berada pada rentang 0 sampai -80 menunjukkan intensitas warna hijau. Berdasarkan analisis statistik, perlakuan penggunaan telur dan penggunaan gum xanthan terhadap nilai kromatik merah ke hijau (a*) mie basah sorgum tidak terdapat adanya interaksi. Pada Tabel 3 diketahui bahwa nilai warna merah (a*) mie basah sorgum saling berbeda nyata antara penggunaan telur 82% dan 88% (b/b).Warna merah (a*) pada penggunaan telur 88% lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan telur 82% (b/b).Hal ini dikarenakan telur memiliki kandungan karotenoid. Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange, atau merah orange, mempunyai sifat larut dalam lemak atau pelarut organik, tetapi tidak larut dalam air (Ali, 2009). Adanya penggunaan telur yang semakin tinggi mengakibatkan pigmen karotenoid yang berwarna merah orange lebih banyak sehingga menghasilkan nilai a* yang lebih tinggi pada penggunaan telur 88% (b/b). Selain adanya kandungan karotenoid pada kuning telur, warna merah (a*) mie basah sorgum juga dihasilkan oleh tepung sorgum kultivar Lokal Bandung yang cenderung merah akibat adanya tanin. Kadar tanin tepung sorgum berkisar 0,07 (%b.k) dan sebagian besar terdapat dalam lapisan testa (Setiadi, 2009). Walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, tanin dalam sorgum menyebabkan tepung sorgum berwarna putih gading agak kemerahan (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Hasil pengujian pada faktor penggunaan gum xanthan (Tabel 16) menunjukkan bahwa warna merah (a*) mie basah sorgum saling berbeda nyata. Penggunaan gum xanthan 1,5% menghasilkan warna yang lebih merah dibandingkan mie basah sorgum yang menggunakan gum xanthan 2% dan 2,5%.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 42
ISBN 978-602-98902-1-1
Semakin tinggi jumlah penggunaan gum xanthan, nilai a* semakin rendah atau derajat kemerahan mie basah sorgum semakin rendah. Penggunaan gum xanthan yang semakin tinggi mengakibatkan daya serap air yang akan semakin tinggi juga. Daya serap air yang tinggi dapat melarutkan warna merah mie sehingga nilai a* semakin rendah. Nilai b* (Warna Kromatik Kuning ke Biru) Nilai kromatik kuning ke biru (b*) positif sampai +70 menyatakan intensitas warna kekuningan.Nilai b* negatif dari 0 sampai dengan -70 menyatakan intensitas warna biru. Hasil analisis statistic, penggunaan telur dan penggunaan gum xanthan terhadap nilai kromatik kuning ke biru (b*) mie basah sorgum menunjukkan tidak terdapat adanya interaksi. Pada Tabel 3 dapat dilihat pengaruh penggunaan telur dan penggunaan gum xanthan pada nilai kromatik kuning ke biru mie basah sorgum. Semakin tinggi penggunaan telur maka peningkatan nilai warna kromatik kuning ke biru mie basah sorgum akan lebih nyata. Perlakuan penggunaan telur 88% (b/b) memiliki nilai kromatik kuning ke biru yang nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan penggunaan telur 82% (b/b). Hal ini disebabkan karena kandungan pigmen karotenoid yang terdapat pada telur memberikan pengaruh intensitas warna kuning yang lebih tinggi daripada perlakuan dengan penggunaan telur yang lebih sedikit. Salah satu fungsi telur adalah untuk memperbaiki warna dari mie basah sorgum. Warna kuning yang terdapat pada mie basah sorgum didapatkan dari kuningtelur yang mengandung pigmen xantofil, luten, beta karoten dankriptoxantin (Nugraheni, 2005). Perlakuan penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) memiliki nilai kromatik kuning ke biru yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan penggunaan gum xanthan 2% (b/b) dan 2,5% (b/b). Semakin tinggi penggunaan gum xanthan, nilai kromatik kuning ke biru (b*) semakin meningkat atau derajat kekuningan warna mie basah sorgum akan semakin meningkat. Semakin tinggi penggunaan gum xanthan maka daya serap air akan semakin tinggi sehingga air terikat dalam bahan dan membentuk adonan yang homogen. Daya serap air yang tinggi mengakibatkan warna kuning yang berasal dari penggunaan telur atau dari bahan baku akan tercampur merata sehingga warna kuning mie basah sorgum akan lebih menonjol. Warna kuning (nilai b*) mie basah sorgum juga berasal dari bahan bakunya.Biji sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki kandungan karoten yang tinggi sehingga memiliki intensitas warna kuning tinggi yang ditandai dengan tingginya nilai b*.Menurut Rooney dan Miller (1982), biji sorgum memiliki endosperma berwarna kuning karena mengandung pigmen karoten pada corneous endosperm.Diketahui bahwa sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki lapisan corneous endosperm yang lebih tebal dibandingkan dengan jenis sorgum lainnya, sehingga kandungan karoten penyebab warna kuning lebih tinggi (Yuliandi, 2009). Nilai b* tepung sorgum kultivar Lokal Bandung adalah 4,46. Nilai b* tepung sorgum kultivar Lokal Bandung diketahui lebih tinggi dibandingkan tepung sorgum jenis lainnya misalnya seperti tepung sorgum genotipe 1.1.yang nilai b*nya 4,19. Hal
ini menunjukkan intensitas warna kuning dari tepung sorgum kultivar Lokal Bandung lebih tinggi dibandingkan dengan tepung sorgum genotipe 1.1.Nilai b* (warna kuning) tepung sorgum kultivar Lokal Bandung yang lebih tinggi mengakibatkan warna mie basah sorgum kultivar Lokal Bandung juga lebih berwarna kuning bila dibandingkan dengan mie basah sorgum yang berasal dari sorgum genotipe 1.1. Warna kuning mie basah sorgum juga akan semakin meningkat dengan adanya penggunaan telur. 3. Cooking Yield Mie Basah Sorgum Cooking yield merupakan salah satu parameter penerimaan kualitas pemasakan dimana daya serap terhadap air dinyatakan dalam gH2O terserap/g mie. Hasil analisis statistik cooking yields mie basah sorgum menunjukkan adanya interaksi antara penggunaan telur dengan penggunaan gum xanthan, sehingga pengujian dilakukan dengan melihat pengaruh sederhana dari masingmasing faktor. Pengaruh interaksi antara penggunaan telur dengan penggunaan gum xanthan terhadap cooking yields mie basah sorgum dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Interaksi antara Penggunaan Telur dengan Penggunaan Gum Xanthan Terhadap Nilai Cooking Yield Mie BasahSorgum Penggunaan Penggunaan Gum Xanthan (B) Telur (A) 1,5 % (b1) 2% (b2) 2,5% (b3) 9,11 a 9,55 a 10,09 b 82% (a1) B AB A 8,60 a 9,77 a 11,64 a 88% (a2) C B A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama pada setiap kolom dan huruf besar yang sama pada setiap baris tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan Pada Tabel 4 terlihat bahwa penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) cooking yields mie basah sorgum antara perlakuan penggunaan telur 82% (b/b) dengan perlakuan penggunaan telur 88% (b/b) tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan daya serap air pada perlakuan gum xanthan 1,5% (b/b) dengan penggunaan telur yang berbeda yaitu 82% (b/b) dan 88% (b/b) menghasilkan daya serap air yang sama. Telur berfungsi sebagai pengikat yang dapat menyerap air membentuk adonan yang homogen dan kenyal.Ternyata perbedaan penggunaan telur tidak memberikan perbedaan daya serap air yang signifikan. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2% (b/b) terlihat bahwa nilai cooking yields mie basah sorgum antara perlakuan penggunaan telur 82% (b/b) dengan perlakuan penggunaan telur 88% (b/b) tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan jumlah air yang terserap oleh bahan sama sehingga nilai cooking yields yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) terlihat bahwa nilai cooking yields mie basah sorgum antara perlakuan penggunaan telur 82% dengan perlakuan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 43
ISBN 978-602-98902-1-1
penggunaan telur 88% (b/b) terdapat adanya perbedaan. Penggunaan gum xanthan 2,5% pada penggunaan telur 88% menghasilkan cooking yield yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan telur 82% pada konsentrasi yang sama. Hal ini dikarenakan kesamaan fungsi telur dan gum xanthan yang dapat mempercepat hidrasi air. Semakin banyak penggunaan telur dan gum xanthan maka cooking yield mie basah sorgum juga akan semakin tinggi. Penggunaan telur 82% dan 88% menunjukkan adanya interaksi dengan penggunaan gum xanthan terhadap cooking yield mie basah sorgum. Pada penggunaan telur 82% (b/b) diketahui bahwa nilai cooking yields mie basah sorgum pada perlakuan penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) tidak berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan gum xanthan 2% tetapi berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b). Penggunaan gum xanthan 2,5 % menghasilkan cooking yield yang tertinggi diikuti dengan penggunaan gum xanthan 2% dan cooking yield terendah adalah penggunaan gum xanthan 1,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pada penggunaan telur 82% (b/b), dengan menggunakan gum xanthan 1,5% menunjukkan daya serap air yang rendah bila dibandingkan dengan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) dan daya serap airnya hampir sama dengan penggunaan gum xanthan 2% (b/b). Pada penggunaan telur (88%) terlihat bahwa nilai cooking yields mie basah sorgum pada perlakuan penggunaan gum xanthan 1,5%, 2%, dan 2,5% (b/b) saling berbeda nyata. Penggunaan gum xanthan 2,5 % menghasilkan cooking yield yang tertinggi diikuti dengan penggunaan gum xanthan 2% dan yang terendah adalah penggunaan gum xanthan 1,5%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan daya serap air pada setiap perlakuan penggunaan gum xanthan pada penggunaan telur 88% (b/b). Semakin banyak penambahan gum xanthan maka daya hidrasi air tepung juga akan semakin tinggi. Kemampuan gum xanthan dalam meningkatkan daya serap air sebanding dengan meningkatnya cooking yield mie basah sorgum. Adanya grup gugus hidroksil pada gum xanthan menyebabkan gum xanthan bersifat hidrofilik, sehingga meningkatkan daya serap air tepung campuran. Salah satu fungsi telur adalah dapat meningkatkan daya serap air. Semakin banyak penggunaan telur maka daya serap air akan semakin tinggi, sehingga cooking yields yang diperoleh juga akan semakin tinggi. Sama halnya dengan penggunaan gum xanthan 2,5% menunjukkan pada penggunaan telur 88% menghasilkan cooking yield yang berbeda dengan penggunaan telur 82%. Kuning telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur terdapat lesitin, selain sebagai pengemulsi lesitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung dan untuk mengembangkan adonan (Astawan, 2001). Adanya penambahan konsentrasi telur yang semakin tinggi maka daya hidrasi air pada tepung juga akan semakin tinggi yang menghasilkan cooking yields yang lebih tinggi. Nilai cooking yield mie basah sorgum semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penggunaan gum xanthan dan penggunaan telur. Semakin banyak penggunaan gum xanthan, maka penyerapan air akan semakin meningkat
dikarenakan gum xanthan menghasilkan senyawa hidrokoloid. Menurut Charles, dkk. (2007) peningkatan jumlah hidrokoloid atau polisakarida akan meningkatkan cooking yield. Hal ini dikarenakan hidrokoloid/polisakarida memiliki gugus hidroksil yang bersifat hidrofilik sehingga mampu meningkatkan daya serap air produk. Nilai cooking yield mie basah sorgum kultivar Lokal Bandung berkisar antara 9,11 – 11,64 gH2O terserap/g mie. Salah satu faktor yang memengaruhi cooking yield mie basah sorgum adalah kandungan pati yang terdapat pada tepung sorgum dan pati sorgum yang ditambahkan ke dalam adonan.Pati sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki kandungan amilosa 22,64% b.b. dan amilopektin 77,36% b.b. Amilosa adalah fraksi terlarut sedangkan amilopektin adalah fraksi tidak larut (Winarno, 1997). Amilosa memiliki kemampuan menyerap air yang sangat besar karena mengandung gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar. Semakin tinggi kandungan amilosa maka cooking yield mie basah sorgum akan semakin meningkat. Gelatinisasi yang terjadi pada pati akan meningkatkan nilai cooking yields, karena menurut Winarno (1991),setelah pembengkakan granula pati, maka selanjutnya air akan masuk kedalam mie yang mengakibatkan terjadinya pengembangan volume. Semakin banyak air yang masuk ke dalam ruang antar sel maka nilai cooking yields yang dinyatakan sebagai daya serap terhadap air akan semakin tinggi pula. Sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki kandungan amilosa yang lebih rendah dibandingkan jenis sorgum lainnya seperti halnya sorgum genotipe 1.1 yang memiliki kandungan amilosa sebesar 23,29% b.b. Hal ini menunjukkan mie basah sorgum yang berbahan baku sorgum genotipe 1.1. akan memiliki nilai cooking yield yang lebih tinggi dibandingkan mie basah sorgum yang berasal dari sorgum kultivar Lokal Bandung. Nilai cooking yield yang tinggi akan menyebabkan mie basah sorgum yang dihasilkan akan lembek dan mudah hancur karena terlalu banyak menyerap air. 4.Cooking Loss Mie Basah Sorgum Cooking loss (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) dinyatakan sebagai jumlah padatan mie yang terlarut dalam air perebusan selama proses pemasakan. Pengukuran ini menunjukkan kebiasaan mie untuk mempertahankan keutuhan strukturalnya selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai cooking loss menunjukkan kualitas mie lebih rendah. Hasil analisis statistik cooking loss mie basah sorgum, menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara penggunaan telur dengan penggunaan gum xanthan, sehingga pengujian dilakukan dengan menggunakan uji mandiri. Hasil uji mandiri cooking loss mie basah sorgum dapat dilihat pada Tabel 5.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 44
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 5. Uji Mandiri Cooking Loss Mie Basah Sorgum Pada Berbagai Penggunaan Telur dan Gum Xanthan Perlakuan
Cooking Loss (%)
Penggunaan Telur (A) a1 (82% b/b) a2 (88% b/b) Penggunaan Gum Xanthan (B) b1 (1,5% b/b) b2 (2% b/b) b3 (2,5% b/b)
4,61 a 3,64 b 4,37 a 4,14 b 3,88 c
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf signifikan 5 % Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pembuatan mie basah sorgum dengan penggunaan telur 82% (b/b) memberikan pengaruh yang nyata terhadap cooking loss mie basah sorgum pada penggunaan telur 88% (b/b). Penggunaan telur 82% (b/b) menghasilkan cooking loss yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan penggunaan telur 88% (b/b).Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan penggunaan telur yang berfungsi sebagai bahan pengikat pada setiap perlakuannya, sehingga kehilangan selama pemasakan berbeda-beda.Telur berfungsi sebagai bahan pengikat, sehingga bahan padatan saling terikat dan pada saat pemasakan kehilangan padatan semakin kecil. Pada penggunaan gum xanthan dapat dilihat bahwa ke-3 perlakuan penggunaan gum xanthan memberikan perbedaan yang nyata. Nilai rata-rata cooking loss tertinggi adalah 4,37% pada perlakuan penggunaan gum xanthan 1,5% dan nilai rata-rata cooking loss terendah adalah 3,88% pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5%. Nilai cooking loss yang kecil merupakan keuntungan karakteristik bagi kualitas mie.Semakin kecil nilai cooking loss maka semakin baik mie basah yang dihasilkan.Menurut Chang dan Wu (2008), cooking loss terutama dipengaruhi oleh pelarutan dan pemisahan patipati yang tergelatinisasi dari permukaan mie selama pemasakan. Penambahan gum xanthan yang semakin banyak mampu meningkatkan pencegahan pemisahan pati sehingga didapatkan nilai cooking loss yang kecil. Pada pembuatan mie, penambahan gum xanthan selain sebagai pengembang juga dapat memperbaiki ketahanan terhadap air karena gum xanthan mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk gum xanthan (Fardiaz, 1989), dengan demikian bahanbahan padatan juga akan saling terikat dan pada saat pemasakan kehilangan padatan semakin kecil. Menurut Chansri, dkk. (2005) dikutip Ariesandi (2009), besarnya cooking loss tergantung pada gelatinisasi dan kekuatan struktur matriks gel pada mie yang dihasilkan.Pada penambahan telur 88%, struktur mie yang dihasilkan lebih kuat karena nilai cooking loss rata-ratanya lebih kecil dibandingkan dengan penambahan 82% telur.Hal ini diakibatkan komponenkomponen bahan padatan yang terlepas dari mie lebih sedikit karena telur mampu memberikan struktur mie yang lebih kuat dan kompak. Nilai cooking loss yang paling rendah diberikan
pada perlakuan dengan penggunaan telur 88% (b/b) dan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b). Menurut Kurniawati (2006) cooking loss yang tinggi disebabkan karena kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi. Semakin tinggi kemampuan mengikat pati maka untaian mie akan lebih kompak dan tidak mudah larut karenapengaruh pemanasan sehingga nilai cooking loss pada mie akan lebih rendah. Cooking loss berbanding lurus dengan kelarutan pati dalam sistem larutan selama proses pemanasan. Kelarutan menunjukkan karakteristik sifat kelarutan pati setelah dilakukan pemanasan. Pada proses gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati akan masuk ke daerah amorphous yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses masuknya air dalam granula pati ini menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga diameter granula pati bertambah besar. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan. Molekul pati yang larut dalam air panas (amilosa) akan ikut keluar bersama air tersebut sehingga terjadi leaching amilosa (Chen dkk., 2003). Sehingga semakin tinggi kandungan amilosa bahan baku produk maka cooking loss produk juga akan semakin meningkat. 5.Uji Pengembangan Mie Basah Sorgum Uji pengembangan mie basah dinyatakan sebagai persentase pengembangan volume mie basah sorgum yang diakibatkan oleh jumlah air yang terserap oleh mie mentah selama proses pemasakan. Tabel 6.
Perlakuan
Uji Mandiri Daya Pengembangan Mie Basah Sorgum Pada Berbagai Penggunaan Telur dan Gum Xanthan Uji Pengembangan (%)
Penggunaan Telur (A) a1 (82% b/b) a2 (88% b/b) Penggunaan Gum Xanthan (B) b1 (1,5% b/b) b2 (2% b/b) b3 (2,5% b/b)
20,98 a 20,73 a 21,02 a 20,73 a 20,82 a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf signifikan 5 % Pada perlakuan penggunaan telur dapat dilihat bahwa penggunaan telur 82% (b/b) menghasilkan daya pengembangan yang tidak berbeda nyata dengan daya pengembangan yang menggunakan telur 88% (b/b).Hal ini dikarenakan penambahan telur yang berfungsi sebagai bahan pengikat tidak memberikan daya pengembangan yang signifikan pada mie basah sorgum. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 45
ISBN 978-602-98902-1-1
perlakuan penggunaan gum xanthan. Gum xanthan mampu meningkatkan penyerapan air pada pati yang dapat menyebabkan granula pati membengkak sehingga diameter granula pati bertambah besar. Tetapi ternyata pembengkakan granula pati tidak memberikan efek yang dapat dilihat secara nyata terhadap pengembangan volume mie basah yang dihasilkan pada setiap perlakuan penggunaan gum xanthan. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa pada perlakuan penggunaan telur dan penggunaan gum xanthan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan pati dari masing-masing perlakuan memiliki jumlah yang sama sehingga daya mengembang dari setiap perlakuan juga tidak memiliki perbedaan yang nyata. Daya pengembangan mie basah sorgum disebabkan oleh adanya kandungan pati pada tepung sorgum dan adanya penambahan pati sorgum ke dalam formulasi mie basah sorgum. Hal ini sesuai dengan Winarno (2002), yang menyatakan bahwa peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 550C dan 650C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan ini disebut gelatinisasi.Menurut Hoover dan Hadziyev (1981) dalam Ratnayake, dkk.(2002) ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih, struktur kristalinnya menjadi “terganggu” sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen dan molekul hidrogen keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan pembengkakan granula pati. Pada proses gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati akan masuk ke daerah amorphous yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses masuknya air dalam granula pati ini menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga diameter granula pati bertambah besar. Amilopektin memiliki sifat mudah mengembang dan membentuk koloid dalam air sedangkan amilosa sulit membentuk gel dalam air. Kandungan amilopektin sorgum kultivar Lokal Bandung yang tinggi yaitu berkisar 77,36% b.b mengakibatkan proses gelatinisasi pati akan lebih cepat dengan suhu gelatinisasi yang lebih rendah dan viskositas puncak yang tinggi sehingga mengakibatkan pengembangan ukuran granula pati yang lebih cepat. 6. Hardness (Kekerasan) Mie Basah Sorgum Hardness (kekerasan) merupakan sifat dari suatu bahan yang dapat bertahan melawan deformasi karena bobotnya sendiri (Man, 1997). Nilai hardness berhubungan dengan keempukan suatu produk, semakin tinggi nilainya maka produk tersebut semakin keras.Menurut Indriani (2005) kekerasan menunjukkan daya tahan mie terhadap gigitan pertama dan secara sensori didefinisikan sebagai tenaga yang dibutuhkan untuk menembus gelatinisasi dengan gigi.
Tabel 7.Uji Mandiri Kekerasan (Hardness) Mie Basah Sorgum Pada Berbagai Penggunaan Telur dan Gum Xanthan Perlakuan Penggunaan Telur (A) a1 (82% b/b) a2 (88% b/b) Penggunaan Gum Xanthan (B) b1 (1,5% b/b) b2 (2% b/b) b3 (2,5% b/b)
Hardness (gF) 2368,21 a 2349,91 a 2366,44 a 2330,10 a 2380,65 a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf signifikan 5 % Pada perlakuan penggunaan telur diketahui bahwa pada penggunaan telur 82% (b/b) dan penggunaan telur 88% (b/b) tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan masing-masing perlakuan memiliki kemampuan daya serap air yang hampir sama sehingga tingkat hardness masing-masing perlakuan tidak berbeda. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan diketahui bahwa penggunaan gum xanthan 1,5%, 2%, dan 3% (b/b) memberikan tingkat hardness mie basah sorgum yang tidak berbeda nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan setiap perlakuan penggunaan gum xanthan memiliki kemampuan daya serap air yang sama sehingga tingkat hardness yang dihasilkan pada setiap perlakuannya tidak berbeda nyata. Semakin banyak air yang diserap maka jaringan dalam adonan semakin banyak mengandung air dan hal tersebut mengakibatkan kekerasan mie basah sorgumakan berkurang. Bahan pengikat yang digunakan dapat meningkatkan tekstur hardness mie basah sorgum. Gum xanthan sebagai bahan pengikat dalam adonan meningkatkankerapatan molekul pati, sehingga gaya yang dibutuhkan probe untuk menekanmie basah sorgum lebih besar. Tekstur hardness (kekerasan) juga dipengaruhi oleh kandungan pati bahan baku dari produk tersebut. Kandungan amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket.Menurut Kusnandar (1998)dikutip Indriani (2005), bahwa peningkatan kandungan amilosa dapat meningkatkan kekerasan mie, sebaliknya makin tinggi kadar amilopektin maka makin lengket mie yang dihasilkan. Selainitu ada parameter lain yang mempengaruhi kekerasan mie sepertiketebalan mie. Tekstur juga digunakan sebagai indikator mutu mie basahmatang.Tekstur mie yang lembut dan agak halus dihasilkan bilatepung yang digunakan mengandung protein (gluten) yang tinggi.Semakin tinggi protein (gluten) adonan, maka daya serap air makin besar danhardness makin menurun. Daya serap air adonan memengaruhihardness mie. Menurut Baik, dkk.(1995) dikutip Ariesandi (2009), pada tingkat penambahan air yang sama, tetapi pada tepungdengan kandungan protein yang tinggi daya serap airnya akan semakin besar. Menurut Hulse, dkk. (1980), kandungan protein sorgum utuh pada umumnya sebesar 9,44%, tetapi protein yang terkandung dalam sorgum bukanlah gliadin dan glutenin yang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 46
ISBN 978-602-98902-1-1
dapat membentuk gluten. Sehingga daya serap air tepung sorgum rendah.Hal ini mengakibatkan tesktur mie basah sorgum lebih keras dibandingkan mie basah sorgum terigu yang mengandung protein (gluten) yang tinggi.Selain kandungan dan komposisi protein gluten yang kurang sesuai, komposisipolimer sorgum mengandung sekitar 78% amilosa dan 22% amilopektin.Hal inimenyebabkan kualitas mie basah sorgum memiliki adonan dengan sifat agak rapuh. 7.Stickiness Mie Basah Sorgum Stickiness menunjukkan kecenderungan suatubahan untuk menempel pada bahan lain. Nilai stickiness ini negatifkarena pada grafik berada dibawah absis. Semakin besar nilainya makasemakin besar nilai stickiness-nya. Tabel 8.
Interaksi antara Penggunaan Telur dengan Penggunaan Gum Xanthan Terhadap Nilai Stickiness Mie BasahSorgum Penggunaan Gum Xanthan Penggunaan Telur 1,5 % (b1) 2% (b2) 2,5% (b3) 41,62 b 54,98 a 51,01 a 82% (a1) A A A 88% (a2)
59,66 a A
48,17 a B
38,20 b B
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama pada setiap kolom dan huruf besar yang sama pada setiap baris tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan Tabel 8 menunjukkan bahwa pada penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) terdapat perbedaan stickiness mie basah sorgum antara perlakuan penggunaan telur 82% (b/b) dengan perlakuan penggunaan telur 88% (b/b). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan daya serap air antara perlakuan yang mengakibatkan tingkat stickiness yang berbeda.Semakin tinggi daya serap air mengakibatkan pembengkakan granula pati yang semakin besar. Pembengkakan granula pati yang terlalu besar dapat mengakibatkan tekstur mie basah sorgum yang dihasilkan akan semakin lembek dan meningkatkan nilai stickinessmie basah sorgum. Pada Tabel 8 tersebut terlihat bahwa pada penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) terdapat perbedaan stickiness mie basah sorgum antara perlakuan penggunaan telur 82% (b/b) dengan perlakuan penggunaan telur 88% (b/b). Perlakuan penggunaan telur 88% (b/b) menghasilkan tekstur stickiness yang lebih besar dibandingkan perlakuan penggunaan telur 82% (b/b). Nilai stickiness yang lebih tinggi pada perlakuan penggunaan telur 88% (b/b) disebabkan oleh penggunaan cairan yang lebih banyak pada adonan dibandingkan dengan perlakuan penggunaan telur 82% (b/b) sehingga mengakibatkan adonan dengan tingkat stickiness yang lebih tinggi. Penggunaan gum xanthan yang sedikit tidak mampu menyerap dan mengikat air yang terlalu banyak sehingga terjadi kelebihan penggunaan cairan pada perlakuan penggunaan telur 88% (b/b).
Pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2% (b/b) dapat dilihat bahwa antara penggunaan telur 82% (b/b) dengan penggunaan telur 88% (b/b) tidak memberikan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan tingkat daya serap air pada masingmasing perlakuan hampir sama sehingga memberikan tingkat stickiness yang hampir sama juga. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) terlihat bahwa antara penggunaan telur 82% (b/b) dengan penggunaan telur 88% (b/b) memberikan perbedaan yang nyata. Tingkat stickiness mie basah sorgum dengan perlakuan penggunaan telur 82% (b/b) menghasilkan stickiness yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan penggunaan telur 88% (b/b). Penggunaan telur 82% dan 88% (b/b) menunjukkan adanya interaksi dengan penambahan gum xanthan terhadap stickiness mie basah sorgum. Hal ini disebabkan adanya perbedaan intensitas cairan dan perbedaan daya serap air pada masing-masing perlakuan. Pada penggunaan telur 82% (b/b) diketahui bahwa penggunaan gum xanthan 1,5%, 2%, dan 2,5% memberikan nilai stickiness mie basah sorgum yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan pada tingkat perlakuan penggunaan telur 82% (b/b), pengaruh daya serap dan daya ikat adonan dengan jumlah penggunaan gum xanthan yang berbeda menghasilkan tekstur stickiness yang sama pada setiap perlakuannya. Pada penggunaan telur 88% (b/b) diketahui bahwa penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) menghasilkan nilai stickiness yang berbeda dengan penggunaan gum xanthan 2% dan 2,5% (b/b). Perlakuan penggunaan gum xanthan 1,5% menghasilkan nilai stickiness mie basah sorgum yang tertinggi dan perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% menghasilkan nilai stickiness mie basah sorgum yang terendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada penggunaan telur 88% menunjukkan perbedaan daya serap air yang mengakibatkan tekstur stickiness yang berbeda tergantung dari penggunaan gum xanthan. Keberadaan gum xanthan berperan dalam mengurangi tekstur stickiness mie basah sorgum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fadlillah (2005) bahwa gum xanthan dapat mengurangi tesktur stickiness. Gum xanthan berfungsi sebagai pengikat antara bahan-bahan untuk membentuk adonan yang homogen dan kenyal. Gum xanthan memiliki daya serap air yang tinggi dan air yang terserap terikat dalam jaringan molekul bahan sehingga dapat menghasilkan tekstur mie basah sorgum yang kenyal. Pada penggunaan telur 88% (b/b) dengan menggunakan gum xanthan 1,5% (b/b) menghasilkan nilai stickiness yang tertinggi karena adonan tidak memiliki kemampuan menyerap dan mengikat cairan yang tinggi sehingga terjadi kelebihan cairan pada adonan dan mengakibatkan adonan lembek dan tidak kenyal. Sedangkan pada penggunaan telur 88% (b/b) dan menggunakan gum xanthan 2,5% (b/b) menghasilkan nilai stickiness yang terendah. Hal ini dikarenakan gum xanthan mampu menyerap air dan mengikat air dalam jaringan molekul bahan lebih tinggi sehingga tidak terjadi kelebihan cairan yang mengakibatkan tekstur stickiness. Air terikat dalam jaringan molekul pati dan akan digunakan untuk proses gelatinisasi.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 47
ISBN 978-602-98902-1-1
Nilai stickiness mie basah sorgum juga dipengaruhi oleh kandungan pati bahan baku tepung sorgum kultivar Lokal Bandung. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket.Pasta amilopektin secara signifikan lebih lengket daripada pasta yang mengandung amilosa. Pati sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki kandungan amilopektin sekitar 77,36%. Nilai kadar amilopektin pati sorgum kultivar Lokal Bandung yang tinggi tersebut mengakibatkan nilai stickiness mie basah sorgum relatif tinggi. Nilai stickiness yang relatif tinggi tersebut dapat berkurang karena adanya penambahan gum xanthan dan telur yang dapat mengikat bahan-bahan sehingga menghasilkan mie basah sorgum yang kenyal dan berkurang kelengketannya. Pati sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki kadar amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar amilopektin pati sorgum lainnya seperti misalnya pati sorgum genotipe 1.1. yang memiliki kadar amilopektin 76,71. Tingginya kadar amilopektin dari mie basah sorgum Kultivar Lokal Bandung kemungkinan dapat menyebabkan nilai stickiness yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan mie basah sorgum yang berbahan baku sorgum genotipe 1.1. 8. Sifat Organoleptik Tabel 9.
Uji Mandiri Warna, Rasa, dan Aroma Mie Basah Sorgum Pada Berbagai Penggunaan Telur dan Gum Xanthan Perlakuan Warna Rasa Aroma Penggunaan Telur (A) a1 (82% b/b) 2,9 a 3,3 a 2,3 b a2 (88% b/b) 4,4 a 3,7 a 5,0 a Penggunaan Gum Xanthan (B) b1 (1,5% b/b) 2,5 a 2,2 b 2,9 b b2 (2% b/b) 3,1 a 3,0 b 3,6 b b3 (2,5% b/b) 5,4 a 5,3 a 4,5 a Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf signifikan 5 %
Tingkat Skoring Warna Mie Basah Sorgum Warna penting bagi banyak makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang manufaktur.Bersama-sama dengan bau, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam keterterimaan makanan. Warna merupakan nama umum untuk semua penginderaan yang berasal dari aktivitas retina mata (Man, 1997). Pada perlakuan penggunaan telur diketahui bahwa penggunaan telur 82% (b/b) dengan penggunaan telur 88% (b/b) tidak terdapat perbedaan yang nyata.Hal ini menyatakan bahwa perbandingan jumlah telur yang digunakan pada masingmasing perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan warna mie basah sorgum yang dapat dilihat oleh indera penglihatan panelis. Telur memiliki kandungan karotenoid sehingga mengakibatkan warna mie basah sorgum memiliki yang pigmen berwarna kuning. Semakin banyak penggunaan telur maka
akan semakin tinggi kandungan pigmen kuning yang berasal dari karotenoid yang terdapat pada adonan. Meskipun ada perbedaan jumlah pigmen kuning yang terdapat pada masingmasing perlakuan, tetapi hasil yang didapatkan tidak memberikan perbedaan warna yang sangat nyata dapat dilihat oleh indera penglihatan panelis pada masing-masing perlakuannya. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan warna mie basah sorgum antara ketiga perlakuan penggunaan gum xanthan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan gum xanthan tidak memberikan perbedaan warna yang nyata pada mie basah sorgum. Menurut Soekarto (1985) warna paling cepat dan mudah memberikan kesan bagi panelis, namun paling sulit dalam pendeskripsian dan pengukurannya. Nilai rata-rata uji skoring warna mie basah sorgum berkisar antara 2,5 – 5,4. Kisaran nilai ini menunjukkan bahwa pada umumnya panelis memberi respon antara warna coklat tua sampai coklat muda. Warna coklat pada mie sorgum disebabkan karena dua faktor yaitu warna asal bahan baku dan sebagai hasil aktivitas enzim-enzim oksidase selama proses pengolahan. Tepung sorgum seperti halnya tepung terigu memiliki dua jenis pigmen yaitu karotenoid yang terdapat pada endosperm dan fenolik lima kali lebih banyak daripada gandum dan karotenoid setengah lebih sedikit. Selama proses perebusan mie basah sorgum, warna kuning semakin menghilang akibat dari proses oksidasi pigmen karotenoid oleh enzim lipoksigenase. Sebaliknya intensitas warna coklat akan meningkat sebagai akibat aktivitas enzim peroksidase. Pembentukan warna coklat pada mie basah sorgum dimulai pada tahap pencampuran tepung sorgum dengan telur.Penambahan cairan menyebabkan larutnya sebagian pigmen dan dengan adanya tahap pencampuran menyebabkan warna coklat merata keseluruh bagian adonan.Selain karena akibat adanya aktivitas enzim peroksidase yang mengoksidasi pigmen fenolik, diduga pada tahap ini juga terjadi reaksi pencoklatan nonenzimatis yang menyebabkan intensitas warna coklat meningkat. Tingkat Skoring Rasa Mie Basah Sorgum Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain. Intensitas rasa asam tergantung pada ion H+ yang dihasilkan dari hidrolisis asam, suhu memengaruhi kemampuan kuncup cecapan untuk menangkap rangsangan rasa dimana sensitivitas rasa berkurang bila suhu tubuh dibawah 200C atau di atas 300C, batas konsentrasi terendah (threshold) rasa setiap orang berbeda-beda, komponen rasa lain akan berinteraksi dengan komponen rasa primer akibatnya mungkin terjadi peningkatan atau penurunan intensitas rasa (Winarno, 1997). Pada perlakuan penggunaan telur diketahui bahwa rasa mie basah sorgum yang menggunakan telur 82% (b/b) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan penggunaan telur 88% (b/b).Hal ini menunjukkan perbandingan jumlah telur yang digunakan pada masing-masing perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan terhadap rasa mie basah sorgum. Rasa mie basah sorgum dengan penambahan telur tidak berbeda nyata, hal ini disebabkan telur dapat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 48
ISBN 978-602-98902-1-1
meningkatkan citarasa dari suatu makanan sehingga nilai terhadap rasa mendapat respon yang sama dari panelis. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan diketahui bahwa rasa mie basah sorgum yang menggunakan gum xanthan 1,5% (b/b) tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang menggunakan gum xanthan 2% (b/b) tetapi berbeda nyata dengan rasa mie basah sorgum pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5%. Perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% memberikan rasa tertinggi yang di respon oleh panelis. Rasa suatu makanan merupakan faktor yang turut menentukan daya terima konsumen. Rasa dipengaruhi oleh faktor senyawa kimia yang terdapat pada produk (Winarno, 1993). Pada hasil pengamatan yang tertera pada tabel, diketahui bahwa dengan penambahan gum xanthan semakin banyak akan meningkatkan rasa mie sorgum. Rasa mie sangat dipengaruhi oleh kekenyalan. Oleh karena itu mie basah sorgum yang lebih kenyal akan diberi nilai yang lebih tinggi oleh panelis. Penambahan gum xanthan 2,5% memberikan hasil uji yang berbeda nyata, dimana konsentrasi tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan penambahan 1,5% dan 2%. Sedangkan penambahan gum xanthan 1,5% dan 2% tidak berbeda nyata karena tingkat kekenyalan mie sorgum relatif sama sehingga panelis memberikan respon yang sama terhadap dua perlakuan tersebut. Menurut Soekarto (1985), rasa merupakan salah satu kriteria untuk pengukuran pengawasan mutu. Mutu bahan pangan dikatakan baik jika rasa bahan pangan tersebut dapat diterima oleh konsumen. Nilai yang diberikan oleh panelis terhadap uji skoring rasa adalah diatas rata-rata kecuali mie sorgum dengan penambahan 1,5% gum xanthan. Rasa mie sorgum yang lebih kenyal mendapat respon yang lebih tinggi dari panelis, karena tersebut menyebabkan mie yang ditambahkan gum xanthan 1,5% diberikan respon rendah oleh panelis. Respon panelis terhadap mie basah sorgum yang tertinggi adalah 5.3 yang menunjukkan rasa mie basah sorgum enak menurut penilaian panelis. Nilai rata-rata uji skoring rasa mie basah sorgum berkisar antara 2,2 – 5,3. kisaran nilai ini menunjukkan bahwa pada umumnya panelis memberi respon rasa mie basah sorgum antara tidak enak sampai enak. Tingkat Skoring Aroma Mie Basah Sorgum Aroma makanan sangat berpengaruh terhadap penerimaan suatu makanan.Aroma baru dapat dikenali bila berbentuk uap dan molekul-molekul komponen bau tersebut harus sempat menyentuh silia sel olfaktori dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori (Winarno, 1997). Pada perlakuan penggunaan telur dapat dilihat pada Tabel 9 bahwa penggunaan telur 82% (b/b) memberikan respon yang berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan gum xanthan 88 (b/b). Hal ini menunjukkan semakin banyak telur yang ditambahkan maka aroma yang ditimbulkan mie basah sorgum semakin tajam sehingga mendapat respon yang berbeda. Adanya perbedaan respon panelis terhadap kedua perlakuan tersebut terjadi akibat pemecahan asam-asam amino pada telur saat proses pemanasan. Kandungan telur yang lebih tinggi dalam suatu adonan akan menghasilkan asam-asam
amino dan asam lemak yang makin tinggi sehingga aroma yang dihasilkan semakin tajam. Aroma yang tajam diberikan nilai yang lebih tinggi oleh panelis.Hal ini menunjukkan bahwa pemecahan asam-asam amino pada kedua konsentrasi telur tersebut memberikan aroma mie basah sorgum yang dapat dibedakan. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan dapat diketahui bahwa penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) mendapat respon aroma yang sama dari panelis dengan penggunaan gum xantan 2% (b/b), tetapi berbeda nyata dengan penggunaan gum xanthan 2,5%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penggunaan gum xanthan maka aroma khas mie basah semakin dapat direspon oleh panelis. Pada penambahan gum xanthan 2,5% panelis memberi nilai rata-rata terhadap aroma yang tinggi yaitu 4,5 yang menunjukkan bahwa mie basah sorgum memiliki aroma khas mie basah yang tercium kuat, sedangkan pada penambahan gum xanthan 1,5% panelis memberi rata-rata respon yang rendah yaitu 2,9 yang menunjukkan aroma sorgum tercium agak kuat. Nilai rata-rata aroma tertinggi yang diberikan respon oleh panelis adalah perlakuan dengan penggunaan telur 88% (b/b) yaitu 5,0 yang menunjukkan aroma khas mie basah tercium kuat. Menurut Soekarto (1985), aroma merupakan respon indera pembau yang terdapat dalam sepasang rongga hidung. Aroma mie basah sorgum diharapkan menyerupai aroma mie basah yang khas dan tidak ada aroma yang mengganggu lainnya. Nilai rata-rata uji organoleptik skoring terhadap aroma mie basah sorgum, berkisar 2,3 – 5,0. Kisaran nilai ini menunjukkan bahwa pada umumnya panelis memberi respon antara aroma sorgum cukup kuat sampai aroma khas mie kuat. Tingkat Skoring Kekenyalan Mie Basah Sorgum Menurut Szczesniak dikutip Man (1997), kekenyalan termasuk ke dalam tekstur dan merupakan golongan dari ciri mekanis. Tabel 10. Interaksi antara Penggunaan Telur dengan Penggunaan Gum Xanthan Terhadap Kekenyalan Mie BasahSorgum Penggunaan Gum Xanthan (B) Penggunaan Telur (A) 1,5 % (b1) 2% (b2) 2,5% (b3) 1,5 b 1,8 b 4,7 b 82% (a1) B B A 88% (a2)
3,1 a C
4,2 a B
5,7 a A
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama pada setiap kolom dan huruf besar yang sama pada setiap baris tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan Kekenyalan merupakan sifat organoleptik yang penting untuk karakteristik inderawi, mie yang kenyal umumnya lebih disukai.Kekenyalan termasuk dalam tekstur makanan. Tekstur makanan dapat dibedakan menjadi lima yaitu kekerasan, kekohesifan, viskositas, kekenyalan dan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 49
ISBN 978-602-98902-1-1
keadhesifan (Man, 1997). Kekenyalan juga digunakan untuk mendapatkan karakteristik yang memenuhi selera organoleptik bagi konsumen. Pada Tabel 10 terlihat bahwa pada penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) terdapat perbedaan kekenyalan mie basah sorgum antara perlakuan penggunaan telur 82% (b/b) dengan perlakuan penggunaan telur 88% (b/b). Penggunaan telur 88% (b/b) memberikan nilai rata-rata kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan telur 82% (b/b).Hal ini menunjukkan bahwa telur sebagai bahan pengikat dapat meningkatkan kekenyalan mie basah sorgum. Pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2% (b/b) terlihat bahwa adanya perbedaan yang nyata terhadap kekenyalan mie basah sorgum pada penggunaan telur 82% dengan penggunaan telur 88% (b/b). Penggunaan telur 88% (b/b) memberikan respon yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan telur 82% (b/b). Pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) terlihat bahwa adanya perbedaan yang nyata terhadap nilai rata-rata kekenyalan mie basah sorgum terhadap perlakuan penggunaan gum telur 82% dengan penggunaan telur 88% (b/b). Penggunaan telur 88% (b/b) memberikan nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan telur 82% (b/b). Telur berfungsi sebagai bahan pengikat pada pembuatan mie basah sorgum. Telur sering digunakan sebagai bahan pengikat pada mie karena sifat adhesivitasnya sehingga dapat mengikat bahan lain dan menciptakan adonan yang lebih kenyal dan menghasilkan tekstur mie yang kompak dan tidak mudah terputus-putus. Telur dapat terkoagulasi oleh panas. Peristiwa tersebut mengakibatkan bahan-bahan yang bersamaan dengan telur pada proses pembuatan mie juga akan terikat sehingga adonan mie akan lebih kompak (Tull, 1987). Pada perlakuan penggunaan telur 82% dan 88% (b/b) memberikan perbedaan yang nyata terhadap kekenyalan mie basah sorgum pada penggunaan gum xanthan 1,5%, 2%, dan 2,5% (b/b). Pada perlakuan penggunaan telur 82% (b/b) dapat dilihat bahwa panelis memberikan respon kekenyalan mie basah sorgum yang sama terhadap mie basah sorgum antara penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) dengan penggunaan gum xanthan 2%, tetapi panelis memberikan respon yang berbeda terhadap mie basah sorgum yang menggunakan gum xanthan 2,5% (b/b). Hal ini menunjukkan bahwa pada penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) panelis memberikan respon kekenyalan yang lebih tinggi dan berbeda respon kekenyalannya dengan kedua perlakuan penggunaan gum xanthan yang lain. Pada perlakuan penggunaan telur 88% (b/b), panelis memberikan nilai rata-rata kekenyalan mie basah sorgum yang berbeda antara penggunaan gum xanthan 1,5%, 2% dan 2,5% (b/b). Penggunaan gum xanthan 2,5% mendapatkan respon kekenyalan yang paling tinggi, sedangkan penggunaan gum xanthan 1,5% mendapat respon kekenyalan yang rendah. Semakin tinggi penambahan konsentrasi gum xanthan maka tingkat kekenyalan mie basah sorgum juga akan semakin meningkat. Penambahan gum xanthan 2,5% pada mie basah sorgum menunjukkan tingkat kekenyalan mie basah sorgum paling tinggi dibandingkan penambahan gum xanthan 1,5% dan 2%.
Gum xanthan memiliki viskositas yang cukup tinggi pada konsentrasi 1,0% dibandingkan dengan emulsifier atau stabilizer lainnya pada konsentrasi yang sama. Larutan xanthan 1,0% memberikan viskositas sekitar 800 – 1000 cP (Rocks, 1971). Gum xanthan akan menggantikan sifat gluten untuk memberikan sifat elastis dan kenyal pada mie basah sorgum, sehingga semakin tinggi tingkat penambahan gum xanthan maka tingkat kekenyalan mie basah sorgum juga akan semakin meningkat, tetapi penambahan gum xanthan yang berlebihan akan memberikan tekstur mie basah sorgum yang keras. Penambahan gum xanthan yang semakin banyak akan mengakibatkan mie basah sorgum semakin keras. Hal ini sesuai dengan data pengujian kekerasan (hardness) menggunakan alat Texture Analyzer. Perlakuan dengan penggunaan gum xanthan 2,5% menunjukkan tingkat kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Mie basah sorgum yang baik adalah mie basah dengan tekstur yang kenyal.Tekstur kenyal berbanding terbalik dengan nilai stickiness. Semakin kenyal mie basah sorgum maka nilai stickiness-nya akan semakin rendah. Berdasarkan hasil pengujian stickiness menunjukkan bahwa perlakuan dengan penggunaan telur 25% (b/b) dan penggunaan gum xanthan 88% (b/b) menunjukkan nilai stickiness yang paling rendah yaitu 38,20 gF. Hal ini menunjukkan perlakuan ini memiliki nilai kekenyalan yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan dengan penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) dan penggunaan telur 88% (b/b) merupakan perlakuan dengan nilai stickiness tertinggi yaitu 59,66 gF. Hal ini menunjukkan perlakuan ini memiliki tingkat kekenyalan terendah.Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa bahan pengikat sangat penting dalam meningkatkan kekenyalan mie basah sorgum.Bahan pengikat memiliki daya serap air yang tinggi untuk membentuk adonan yang homogen dan kalis. Adonan yang kurang bahan pengikat mengakibatkan daya serap air yang sangat terbatas dan mengakibatkan kelebihan penggunaan cairan berada pada permukaan adonan yang akan menghasilkan mie yang lembek dan mudah hancur. Perlakuan dengan penggunaan telur 88% (b/b) dan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) memberikan nilai rata-rata respon panelis yang tertinggi yaitu 5,7, menunjukkan mie basah sorgum perlakuan ini adalah mie basah sorgum yang paling kenyal dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai rata-rata uji organoleptik skoring terhadap kekenyalan mie basah sorgum, berkisar 1,5 – 5,7. Kisaran nilai ini menunjukkan bahwa pada umumnya panelis memberi respon antara mie basah sorgum bertekstur kurang kenyal sampai sangat kenyal. Kekenyalan mie basah sorgum kultivar Lokal Bandung juga dipengaruhi oleh kandungan pati bahan bakunya.Kadar amilosa yang tinggi dapat mengakibatkan tesktur yang keras pada mie basah sorgum. Tesktur keras berbanding terbalik dengan tekstur kenyal, sehingga kadar amilosa yang tinggi dapat menurunkan tingkat kekenyalan mie basah sorgum. Pati sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki kandungan amilosa yang lebih rendah dibandingkan kandungan amilosa pati sorgum lainnya seperti misalnya pati sorgum genotipe 1.1. Hal ini menunjukkan bahwa mie basah sorgum yang berbahan baku kultivar Lokal Bandung akan memiliki
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 50
ISBN 978-602-98902-1-1
tingkat kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan mie basah sorgum yang berasal dari pati dengan amilosa yang tinggi seperti sorgum genotipe 1.1. 9. Kadar Air Mie Mentah Sorgum Hasil Uji mandiri kadar air mie mentah sorgum dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Uji Mandiri Kadar Air Mie Mentah Sorgum Pada Berbagai Penggunaan Telur dan Gum Xanthan Perlakuan Penggunaan Telur (A) a1 (82% b/b) a2 (88% b/b) Penggunaan Gum Xanthan (B) b1 (1,5% b/b) b2 (2% b/b) b3 (2,5% b/b)
Kadar Air (%) 34,80 b 36,00 a 34,23 c 35,56 b 36,40 a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf signifikan 5 % Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi penggunaan telur mengakibatkan kadar air mie mentah sorgum semakin meningkat. Penggunaan telur 88% (b/b) memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan telur 82% (b/b). Tingginya kadar air tersebut disebabkan karena jumlah cairan yang berlebihan pada adonan mengakibatkan tepung menyerap air lebih banyak. Perlakuan penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan gum xanthan 2% dan perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b). Kadar air yang tertinggi terdapat pada perlakuan dengan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) sebesar 36,40% dan yang terendah terdapat pada perlakuan dengan penggunaan gum xanthan 1,5% (b/b) sebesar 34,23%. Hal ini disebabkan karena gum xanthan yang ditambahkan pada perlakuan penggunaan gum xanthan 2,5% (b/b) lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Semakin besar penambahan gum xanthan, maka semakin besar pula kadar air mie mentah yang dihasilkan. Pada pembuatan mie, penambahan gum xanthan berfungsi sebagai pengikat. Gum xanthan dapat memperbaiki ketahanan air terhadap air karena gum xanthan mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh gum xanthan (Fardiaz, 1989), dengan demikian semakin meningkatnya konsentrasi gum xanthan yang ditambahkan maka kadar air akan semakin meningkat. Gum xanthan selain berfungsi sebagai pengikat juga berperan sebagai penstabil (emulsifier) dimana emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan bahan yang tidak saling melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Gugus hidrofilik mampu berikatan dengan air atau bahan lain yang bersifat polar, sedangkan gugus lipofilik mampu berikatan dengan minyak atau bahan lain yang bersifat non polar (Suryani dkk., 2002).
Kadar air pada produk berasal dari air yang terkandung dalam bahan dan air yang terserap selama proses pembuatan (Man, 1997). Pada proses pencampuran bahan dilakukan pengulenan adonan agar adonan menjadi kalis sehingga dibutuhkan penambahan air. Pada proses pengadonan setiap perlakuan membutuhkan air dengan jumlah yang berbeda agar adonan menjadi kalis. Meskipun kebutuhan air pada proses pembentukan adonan pada setiap perlakuan berbeda tetapi tujuannya sama yaitu agar adonan yang terbentuk kalis. Air yang diserap oleh tepung sorgum digunakan untuk pembentukan atau pengompakan adonan. Air terikat secara fisik artinya pada saat dikeringkan (analisis kadar air) komponen air yang terikat secara fisik akan teruapkan kembali. Kadar air mie mentah sorgum berhubungan dengan kandungan pati bahan baku tepung sorgum dan pati sorgum yang sengaja ditambahkan pada adonan. Mie basah sorgum kultivar Lokal Bandung memiliki kadar amilosa pati berkisar 22,64% b.b dan kadar amilopektin berkisar 77,36% b.b. Amilosa memiliki kemampuan menyerap air yang sangat besar karena mengandung gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar. Amilosa bersifat larut dalam air sedangkan amilopektin tidak larut dalam air. Oleh karena itu semakin tinggi kadar amilosa pati maka daya serap air juga akan semakin meningkat. Daya serap air yang meningkat berhubungan dengan meningkatnya kadar air produk. Kadar air mie mentah sorgum yang dihasilkan pada penelitian berkisar antara 34.23% sampai 36.40%. Menurut Winarno (2002) mie dengan kadar air 35% merupakan mie mentah/segar, yaitu produk langsung dari proses pemotongan lembaran adonan, sedangkan mie basah merupakan mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih lebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 52%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air mie mentah sorgum sudah sesuai dengan standar mutu mie mentah pada umumnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan penggunaan telur dan penggunaan gum xanthan terhadap cooking yield, stickiness dan uji organoleptik skoring kekenyalan mie basah sorgum, tetapi tidak terdapat interaksi terhadap nilai kadar air, hardness, cooking loss, uji pengembangan, warna kromameter (L*, a*, b*) dan uji organoleptik skoring rasa, aroma, dan warna. Komposisi bahan baku yang hampir sama pada semua perlakuan mengakibatkan hasil pengujian terhadap parameter yang diukur pada setiap perlakuan juga relatif sama. Hal ini juga kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jenis bahan baku yang digunakan antara percobaan pendahuluan dengan percobaan utama. Perbedaan jenis bahan baku dapat menghasilkan karakteristik mie basah sorgum yang berbeda, sehingga parameter yang diukur kurang signifikan. Perlakuan penggunaan telur 88% dan penggunaan gum xantan 2,5% menghasilkan mie basah sorgum dengan karakteristik yang terbaik dengan nilai kecerahan (L*) 64,46,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 51
ISBN 978-602-98902-1-1
nilai warna kromatik merah ke hijau (a*) 0,49, nilai warna kromatik kuning ke biru (b*) 9,05, cooking yield 8,60 g H2O diserap / g mie, cooking loss 3,41%, uji pengembangan 20,82%, hardness 2446,04 gF, stickiness 38,20 gF, organoleptik warna 5,5 (coklat muda), organoleptik rasa 5,3 (enak), organoleptik aroma 5,5 (aroma khas mie kuat), organoleptik kekenyalan 5,7 (sangat kenyal), dan kadar air mie mentah 37,01%.
Boren, B. dan R. D. Waniska. 1992. Sorghum Seed Color As an Indicator of Tannin Content. J. Appl. Poultry Res. 1:117121
Saran
Chang H.C. dan Wu L. C. 2008.Texture and Quality Properties of Chinese Fresh Egg Noodles Formulated with Green Seaweed (Monostroma nitidum) Powder. Journal of Food Science 73:398-403
Warna menjadi masalah penting dalam penggunaan tepung sorgum sebagai bahan baku karena kandungan fenolik yang tinggi akan memengaruhi warna mie basah sorgum menjadi kecoklatan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memperbaiki warna mie basah sorgum agar dapat lebih menyerupai mie basah terigu yang pada umumnya berwarna putih kekuningan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan sayuran seperti wortel dan bayam sehingga warna mie basah sorgum lebih cerah atau melakukan proses bleaching pada tepung sorgum sehingga warna tepung yang dihasilkan putih gading menyerupai terigu. DAFTAR PUSTAKA AACC. 2000. Official Methods of Analysis of The American of Cereal Chemist. American Association of Cereal Chemist. Minnesota, USA. Ali,
2009. Pigmen Karotenoid. Available at: http://www.nakedfisher.blogspot.com. (diakses tanggal 25 Desember 2010)
AOAC. 1975. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. AOAC, Inc., Washington, Washington D.C. Ariesandi, S. 2009. Pengaruh Penambahan Bubur Rumput Laut (Eucheuma Cottoni) Terhadap Beberapa Karakteristik Mie Basah.Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Astawan, I.M. 2001.Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Awika, Joseph M, Elly L. Suhendro, and Lloyd W. Rooney. 2002. Milling Value of Sorghums Compared by Adjusting Yields to a Constant Product Color. Cereal Chem.79:(2):249-251 Balai Informasi Pertanian Provinsi Irian Jaya. 1990. Teknologi Budidaya Sorgum. Available at: www.pustakadeptan.go.id (diakses tanggal 7 Juni 2010)
Charles A.L., Huanh T.C, Lai P.Y, Chen C.C, Lee P.P, Chang Y.H. 2007. Study of Wheat Flour-Cassava Starch Composite Mix and Function of Cassava Mucilage in Chinese Noodles. Food Hydrocolloid 21:368-78
Chen Z, H.A Schols and A.G.J. Voragen, 2003. Starch Granule Size Strongly Determines Starch Noodle Processing and Noodle Quality. Journal of Food Science (68); 1584-1589 Ciacci, C. et al. 2007. Celiac disease: In Vitro and In Vivo Safety and Palatability of Wheat-Free Sorghum Food Products. Clin.Nutr. 26, 799-805. U.S. Grains Council. Codex Alimentarius. 1995. Codex Standar For Sorgum Flour. Available at :www.codexalimentarius.net (diakses 5 September 2010). Collado LS, LB Mabesa, CG Oates and Corke H. 2001. Bihontypes Noodles from Heat Moisture Treated Sweetpotato Starch. J Food Sci. 66(4): 604-609 Departemen Kesehatan RI. 1979. Komposisi Zat Gizi Telur. Direktorat Gizi. Bhratara, Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi. Bhratara, Jakarta. Departemen Pertanian. 2000. Profil Pangan Lokal Sumber Karbohidrat. Kerjasama Faperta IPB dan Biro Perencanaan Departemen Pertanian. Desrosier, 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemeh M. Muljahardjo. UI-Press, Jakarta. Dewan Standarisasi Nasional. 1992. Mie Basah. SNI 01-29871992. Revisi dari SII.2046-85. Jakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1996. Prospek sorgum sebagai bahan pangan dan industri pangan. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4- 1996: 2−5.
Beta, T., L. W. Rooney dan J. R. N. Taylor. 2001. Effect of Chemical Conditioning on TheMilling of High-Tannin Sorghum. J. Science Food and Agriculture 80: 2216-2222
Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Sorgum manis komoditi harapan di propinsi kawasan timur Indonesia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian No.4-1996: 6−12.
Beti, Y.A., A. Ispandi, dan Sudaryono. 1990. Sorgum. Monografi No. 5. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang. 25 hlm.
Doggett, H. 1988. Sorghum. Tropical Agriculture Series. Longman Scientific and Technical, Singapore. Earle, R.L. 1983. Unit Operation in Food Processing. Pergamon Press, New York, NJ.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 52
ISBN 978-602-98902-1-1
FAO. 1995. Sorghum and Millet in Human Nutrition. Available at: http://www.fao .org.(diakses 12 Agustus 2010). Fadlillah, H. N. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan Skala.Skripsi.Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Labolatorium Kimia dan Biokimia Pangan PAU Pangan dan Gizi IPB,Bogor. Fellows, P. J. 1992.Food Processing Technology, Principles and Practice. Ellis Horwood, London. Galindo, E. 1994. Xanthan Gum World Market Report (Telefax letters). Institute de Biotechnology, Universided Nacional Autonomo De Mexico. Mexico. Gaspersz, V. 1995.Metode Perancangan Percobaan.CV. Armico, Bandung. Golob, P., G. Farrel dan J. E. Orchard. 2002. Crop PostHarvest: Science and Technology Volume 1: Principles and Practise. Blackwell science, Ltd., Osney Mead, Oxford, UK. Haaland, R. L. 1980. Food and Feed Grain Crops. Dalam C. S. Hoveland (ed).Crop Quality, Storage, and Utilization. The American Society of Agronomy, Inc., dan The Crop Science Society of America.Madison, Wiscounsin, USA. Hahn, D. H., L. W. Rooney, dan C. F. Earp. 1984. Tannins and Phenols of Sorghum. Cereal Food World 29: 776-779. Haryoto, 1996. Pengawetan Telur Segar. Kanisius, Yogyakarta. Herudiyanto, M dan Fitri F. 2009.Teori dan Praktek Teknologi Pengolahan Roti dan Kue. Widya Padjadjaran, Bandung. Hubeis, M. 1985. Pengembangan Metode Uji Kepulenan Nasi. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hulse, J.S., E.M. Laing dan O.E. Pearson. 1980. Sorghum and The Millet : Their Composition and Nutritive Value. Academic Press, New York, NY. Hoseney RC. 1998. Principles of Cereal Science and Technology. 2nd Ed. St. Paul: American Association of Cereal Chemists, Inc. p 197-211. Indriani, S. 2005. Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mie Instan Dari Campuran Tepung Sorgum (Sorgum bicolor L.), Pati Jagung, dan Gluten Terigu. Skripsi S1 Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Ingglet, G.E. 1970. Corn Culture, Manufacture and Processing Product.The AVI Publishing, CO Inc. Connecticut. Jun, W.J., Seib, P.A., and Chung, O.K. 1998. Characteristics of Noodle Fours From Japan. Cereal Chem. 75:820-825 Jungbunzlauer. 2002. Xanthan Gum. Switzerland.
Judoamidjojo, R.M, E.G. Said dan L. Hartono. 1989. Biokonversi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kebakile, M.M. 2008. Sorghum Dry Milling Processes and Their Influence on Meal and Porridge Quality.Department Of Food Science, University of Pretoria, Pretoria, Rep. of South Africa. Kennedy J.F, dan I.J. Bradshaw. 1984. Production, Properties and Applications of Xanthan. Prog.Ind. Microbial.19:319. Koswara, S., P. Hariyadi, E.H. Purnomo. 2001. Mie Basah. Tekno Pangan dan Agroindustri. Volume I : 6-8, Bogor. Kurniawati, R.D. 2006. Penentuan Desain roses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi.Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian.Institut Pertanian Bogor. Lineback, D.R. dan G.E. Inglett. 1982. Food Carbohydrates. Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Lee, W.J., Pedersen, J.F., Shelton, D.R. 2002.Relationship of Sorghum kernel size to physiochemical, milling, pasting, and cooking properties. Food Research International 35: 643-649. Liu, L. 2009. Evaluation of Four Sorghum Hybrids in a GlutenFree Noodle System.Thesis.Food Science College of Agricultural Kansas State University, Manhattan-Kansas. Man, J.M.de. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung. Mardawati, E. 2009. Peningkatan Ketahanan Pangan Melalui Pemanfaatan Biji Sorgum Menjadi Beras, Tepung, Tepung Komposit, dan Pati dalam Pengolahan Aneka Makanan. Laporan Penelitian Andalan Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung. Miskelly, D.M. 1984.Flour Components Affecting Paste and Noodle Color. J. Sci. Foodagric. 35:463-471 Miskelly, D.M., and Moss, H.J. 1985.Flour Quality Requirements for Chinese Noodlemanufacture. J. Cereal Sci. 3:379-387 Mohapatra, D. dan S. Bal. 2006.Effect of Degree of Milling on Specific Energy Consumption, Optical Measurement and Cooking Quality of Rice. Deapartment of Process and Chemical Engineering, University College Cork, Cork City, Ireland Muchtadi, D. dan P.S. Soeryo.1991. Pemanfaatan Tepung Singkong Sebagai Bahan Pensubstitusi Terigu Dalam Pembuatan Mie Yang Difortifikasi Dengan Pembuatan Tepung Tempe. Laporan Penelitian. IPB. Bogor. Mudjisihono, R. dan H. Suprapto. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Penebar Swadaya, Jakarta. Mudjisihono, R.., S. J. Munarso dan E. G. Sa'id. 1993. Penggunaan Tepung Sorgum Sebagai Substituen Tepung
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 53
ISBN 978-602-98902-1-1
Terigu Dalam Pembuatan Gelek. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 3. (2) : 53-54. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mugiarti.2000. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai Terhadap Sifat Fisikokimia dan Daya Terima Mie Basah (Boiled Noodle). Skripsi S1 Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Munarso, S. J. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya Dalam Pembuatan Mi Beras Instan.Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. 146pp. Munarso, S. J. dan Jumali.2000. Substitusi Tepung Sorgum dan Penambahan Emulsifier dalam Pembuatan Mie Instan.Prosiding Seminar Nasional PATPI.Yogyakarta. Nugrahaeni, M. D. 2005. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks.Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Oh, dkk. 1985. Noodles. Influence of Flourprotein, Extraction Rate, Particle Size and Starch Damage On The Quality Characteristics of Dry Noodles. Cereal Chem. 62 (6):441446 Pangloli, P. 2002. Teknologi Pembuatan Mie Skala Industri Rumah Tangga. Direktorat Teknologi Agroindustri-BPPT. Jakarta. Available http://www.iptek.net.id/ind/ (diakses 21 Juni 2010). Pettitt, P.J. 1982. Xanthan Gum Di dalam M. Glicksmann (ed) Food Hydrocolloids, vol I. CRC. Press Inc. Boca Roten. Florida. Phillips, G.O. and P.A. Williams. 2000. Handbook of Hydrocolloids. Woodhead Publishing Limited, Cambridge England. Plessis, J. du. 2008. Sorghum Production.Department of Agriculture Republic of South Africa. Available at: http://www.nda.agric.za (diakses tanggal 8 Agustus 2010). Procter, P., R.F. Ilson, J. Ayto, J. Coakley, G. Walsh. 1978. Longman Dictionary of Contemporary English. Longman Group Limied, London. Purwani, E.Y., Y. Setiawaty, H. Setianto, N. Richana, Sunarmani, S. J. Munarso, D. Amiarsi dan Misgiyarta. 2003. Pengembangan Teknologi Pangan Tradisional Prospektif Sebagai Alternatif Pangan Pokok. Laporan Akhir Tahun. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Jakarta. Purwanti, T. 2007. Pengaruh Konsentrasi Larutan NaOH Dan Lama Perendaman Pada Proses Penyosohan Alkalis (Alkali Debranning) TerhadapEfisiensi Penyosohan Dan Beberapa Karakteristik Biji Sorgum Sosoh (Sorghum bicolor (L.) Moench) Galur B100. Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Ratnayake, W.S, R. Hoover dan Tom W., 2002. Pea Starch: Composistion, Structure and Properties – Review. Starch/Starke 54; 217 – 234 Rismunandar. 1986. Sorgum Tanaman Serbaguna. Sinar Baru. Bandung. Rocks, J. K. 1971.Xanthan Gums.Food Technology. 25:23-26 Rooney, L. W. dan F. R. Miller. 1982. Variation in the Structure and Kernel Characteristics of Sorghum. Proceeding of a Symposium on Sorghum and Millets for Human Food. Tropical Product Institute, London. Rooney, L. W. dan D. S. Murty. 1982. Evaluation of Sorghum Food Quality. Dalam International Symposium on Sorghum Grain Quality : Milling and Processing. International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics (ICRISAT), Patancheru, Andhra Pradesh, India. Rooney, L. W. dan R. D. Sullins. 1969. A Laboratory Method for Milling Small Sample of Sorghum Grain. Cereal Chem. 46: 486-490. Rooney, L.W. dan R.D. Sullins. 1977. The Structure of Sorghum and Its Relation to Processing and Nutritional Value. Proceeding of a Symposium on Sorghum and Millets for Human Food. Tropical Products Institute, London. Rukmana, S. dan W.Yuniarsih.2001. Tanaman Sorgum Peluang sebagai Masa Depan. Available at : http://www/batan.go.id/ (diakses 20 Agustus 2010). Schoof, M. 2005. Recipes. Available at :http://www.twinvalleymills.com/ (diakses 20 Agustus 2010). Setiadi, I. 2009. Pengaruh Pembasahan Biji Sorgum Genotif 1.1., Genotif B100 dan Kultivar Lokal Bandung Sebelum Proses Penyosohan Secara Tradisional Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Beras-Sorgum yang Dihasilkan.Skripsi. Unpad, Bandung. Setianingrum, A.W. dan Marsono, 1999.Pengkayaan Vitamin A dan Vitamin E dalam Pembuatan Mie Instan Menggunakan Minyak Sawit Merah. Kumpulan Penelitian Teknik Bogasari 1998-2001, Jakarta Sinaga, K. 2004. Hidrólisis Pati Umbi – Umbian Indonesia Dengan β-Amilase dan Pullulanase. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Singarimbun, A. 2008.Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu Dengan Tepung Jagung dan Konsentrasi Kalium Sorbat Terhadap Mutu Mie Basah.Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan. Sirappa, M.P. 2003.Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia sebagai Komoditas Alternatif Untuk Pangan, Pakan dan Industri. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan.Makassar.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 54
ISBN 978-602-98902-1-1
Soedjana. 2010. Telur Sumber Makanan Bergizi. http://www.deptan.go.id/ (diakses 21 Agustus 2010).
Winarno, F.G. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Seminar Sehari Serba Mie, IPB. Bogor.
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Somaatmadja, D. 1985. Tepung Sorgum (Shorgum Vulgare) Sebagai Pengganti Tepung Terigu Dalam Pembuatan Mie dan Roti Tawar.Prosiding. Seminar Teknologi Pangan VI, BPIHP, Bogor. Stable Micro System. 2000. Introduction to Texture Analysis. Stable Micro System, England. Suarni & M. Zakir. 2000. Studi sifat fisikokimia tepung sorgum sebagai bahan substitusi terigu. Jurnal Penelitian Pertanian 20(2): 58-62 Suarni. 2004. Pemanfaatan Tepung Sorghum Untuk Produk Olahan. Available at : http://www.pusataka-deptan.go.id/ ( diakses 8 Juni 2010). Suismono 1995.Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubi Jalar dan Manfaatnya Untuk Produk Ekstrusi Mie Basah.Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Suryani, A., I. Sailah dan E. Hambali, 2002. Teknologi Emulsi. IPB, Bogor.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 2002.Ilmu Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 2008.Pangan dan Autisme.http://www.lspr.edu/ (diakses tanggal 7 Agustus 2010) Yam, K.L. dan S.E. Papadakis. 2004. A Simple Digital Imaging Method For Measuring and Analyzing Color of Food Surfaces. J. Food Engineering 61 :137-142. Yoga, Tjandra. 2010. Telur Sumber Makanan Bergizi. http://www.deptan.go.id/. (diakses tanggal 7 Desember 2010) Yuliandi, T. 2009. Pengaruh Lama Penyosohan Abrasif dengan Lab. Mill SATAKE Terhadap Beberapa Karakteristik Fisik dan Kimia Beras-Sorgum Genotipe 1.1, B100 dan Kultivar Lokal Bandung.Skripsi. Unpad, Bandung.
Tarwotjo, C.C., 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Grasindo Gramedia Widiasarana, Jakarta. Tull, 1987.Food and Nutrition. Oxford University Press, Cambridge. Ubaidillah, M., 1997.Analisis Kadar Air Pada Bahan Tambahan Mie.Karya Ilmiah, F-MIPA, USU, Medan. U.S Grains Council. 2004. Sorghum Handbook. Available at :http://www.grain.org/ (diakses 12 Juli 2010) Vogel S. and Graham M. 1978.Sorghum and Millet: Food Production and Use. Report of a workshop held in Nairobi, Kenya, 4-7 July 1978. Wall JS, Blessin CW. 1969.Composition and structure of sorghum grains. Cereal Science Today 14(8):264-269. Waniska, R. D. 2000. Structure, Phenolic Compounds, and Antifungal Proteins of Sorghum Caryopses.Proceedings of an International Consultation, ICRISAT, Patancheru, Andhra Pradesh, India. Whistler, R.L., BeMiller, J.N. 1997. Carbohydrate Chemistry for food scientists. American Association of cereal Chemists. St. Paul Minnesota. Widihartanto, A. 2009.Pengaruh Lama Penyosohan Abrasif Skala Laboratorium Biji Sorgum Kultivar Lokal Bandung Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Beras-Sorgum Yang Dihasilkan.Skripsi. Unpad, Bandung. Widyaningsih, T.B. dan E.S. Murtini.2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 55
ISBN 978-602-98902-1-1
Teknologi Produksi Nasi Instan Dengan Waktu Rehidrasi Singkat [Production Technology of Instant Rice With Short Time Rehydration] Sri Widowati1, Prima Luna1, Heti Herawati1, Aditya Bayu Prianto2 1Balai
Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor Universitas Nusa Bangsa, Bogor
2 Alumnus
ABSTRACT Rice is the staple food that consumed for more than 90 percent of population. Culture of rice consumption in Indonesia is very strong, and has not been replaced with other commodities. Preparation of the rice grains are considered still requie a relatively longer time. The research objective were to find instant rice production technology with a short rehydration time (4 minutes), and charaterization of physical, chemical and functional properties. Development of instant rice methods using Ciherang variety, and experimental design was completely randomized design with two treatments, i.e.: kind of steeping salt solution (5% Na-Citrate and 0.1% Na2HPO4) and methods for rice cooking (boiled-steamed and rice cooker). Results showed that the best method was steeping with 5% Na-Citrate for 2h, washig then cooking with rice cooker. Ratio of rice:water = 1:2. This method then applied in three different of rice varieties, i.e. Memberamo, Ciherang and Batang Piaman representative levels of low, medium, and high amylose rice catagories. Results showed that the amount of water need to boil rice for Memberamo, Ciherang and Batang Piaman varieties were 1:2.25; 1:2; and 1:3, with rehydration time were 4.5; 4.0, and 3.5 minutes, respectively. Rice instant processing affected the chemical and fungcional properties, particularly elevated of amylose content, as well as decreased in the in vitro starch digestibility and glycemic index (GI). The GI rice of Ciherang was 54, while the GI of instant rice was 45. Both rice (non instant and instant) of Ciherang variety were classified as low GI (<55). Key words: rice, instant rice, rehidration time, chemical and funcional properties.
PENDAHULUAN Dalam era industrialisasi, manusia dituntut untuk bergerak cepat, termasuk dalam menyiapkan makanan seharihari. Oleh sebab itu, bahan pangan yang cepat saji menjadi sangat bermanfaat dan menjadi pilihan masyarakat modern saat ini. Contoh sederhana adalah mi instan, yang mulai disukai masyarakat, meskipun produk ini bukan makanan pokok indigenus Indonesia. Namun, keunggulan dalam penyajian yang singkat, mudah dan praktis serta harga terjangkau, maka produk ini dapat diterima dan cepat disukai konsumen. Budaya makan nasi di Indonesia sangat kuat, bahkan sebagian masyarakat belum merasa makan bila tidak mengonsumsi nasi. Oleh karena itu tersedianya produk nasi instan diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan makanan cepat saji, sehingga dapat membantu masyarakat perkotaan yang mempunyai keterbatasan waktu dalam menyiapkan makanan. Selain itu produk nasi instan dapat berfungsi sebagai pangan darurat dan bermanfaat untuk logistik di daerah bencana. Produk instan merupakan jenis produk pangan yang mudah untuk disajikan dalam waktu yang relatif singkat. Pangan instan merupakan produk makanan yang mengalami proses pengeringan, sehingga mudah mengabsorpsi air dan disajikan hanya dengan menambahkan air panas atau air dingin sehingga tidak terlalu menyita banyak waktu (Hartomo dan Widiatmoko, 1993). Instanisasi merupakan suatu istilah yang mencakup berbagai perlakuan, baik kimia ataupun fisika yang akan memperbaiki karakteristik hidrasi dari suatu produk. Karakteristik hidrasi pada produk yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat membentuk produk pangan instan, adalah: a) sifat hidrofilik, yaitu sifat yang mudah mengikat air, b) tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeabel sebelum
digunakan sehingga dapat menghambat laju pemanasan, c) hidrasi produk tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap (Hartomo dan Widiatmoko 1993). Keunggulan nasi instan antara lain produk siap dikonsumsi hanya dengan menyeduh dalam air panas selama ± 5 menit, produk mempunyai karakteristik flavor, rasa dan tekstur nasi pada umumnya. Nasi instan ini harus stabil dalam penyimpanan selama 6-12 bulan pada suhu ruang. Produk nasi instan harus dikemas sebaik-baiknya dalam kemasan khusus untuk menghindari perubahan kadar air selama penyimpanan, salah satunya adalah dengan cara pengalengan (canned rice) (Luh 1991). Namun saat ini telah tersedia dalam kemasan fleksibel seperti aluminium foil atau plastik tertentu. Pada era modern ini hampir seluruh pangan yang dikonsumsi telah melalui suatu proses pengolahan. Tujuan pengolahan pangan, antara lain: supaya pangan lebih awet, daya cerna meningkat, tekstur dan citarasanya lebih baik, mempersiapkan pangan agar cepat disajikan, membunuh mikroorganisme, untuk menghilangkan racun dan faktor antigizi serta memisahkan bagian yang tidak dapat dimakan. Meskipun secara global pengolahan pangan dapat menurunkan kandungan bahan gizi, hal ini tetap dibutuhkan agar pangan aman dikonsumsi dan tersedia sepanjang tahun.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan penelitian yang digunakan untuk proses pembuatan nasi instan adalah tiga beras varietas, yaitu Ciherang, Batang Piaman, dan Memberamo. Bahan tambahan lainnya untuk
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 56
ISBN 978-602-98902-1-1
produksi nasi instan antara lain Na-Sitrat, Na2HPO4, bahanbahan kimia untuk analisis komposisi kimia dan sifat fungsional antara lain Na2CO3 Jenuh, NaOH, enzim pankreatin, amiloglukosidase, pepsin, selenium, asam sulfat dan amilosa standard. Alat-alat yang digunakan antara lain alat-alat untuk memasak nasi, oven, waterbath, alat-alat untuk analisis proksimat, kadar serat larut dan tak larut, daya cerna pati, dan kadar amilosa. Proses Pembuatan Nasi Instan Pada tahap ini dilakukan pengembangan dan modifikasi proses dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Dalam pembuatan nasi instan, pertama-tama beras giling direndam di dalam larutan garam perendam, yaitu Na-Sitrat 1 %, dan dalam Na2HPO4 0,2% dengan rasio beras dengan perendam adalah 1:2 (Widowati, et al., 2008). Perendaman dilakukan selama 2 jam dengan suhu 300C. Proses berikutnya yaitu pencucian, kemudian dilakukan proses penanakan hingga menjadi nasi. Beras
Beras direndam dalam larutan Na-Sitrat 5% Selama 2 jam Perbandingan Beras : Air rendaman = 1:2
Pencucian
Pemasakan dengan ricecooker Dengan perbandingan beras : air = 1:2.5 (pada varietas ciherang)
enzimatik, sebagai berikut: sampel kering homogen diekstraksi lemaknya dengan petrolium benzene pada suhu kamar selama 15 menit, jika kadar lemak sampel melebihi 6-8%. Penghilangan lemak sampel bertujuan untuk memaksimumkan degradasi pati. Satu gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kedalamnya ditambahkan 25 ml bufer Natrium Fosfat, dan dibuat menjadi suspensi. Penambahan bufer dimaksudkan untuk menstabilkan enzim termamyl. Ditambahkan 100 µL termamyl, ditutup dan diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit, sambil sesekali diaduk. Tujuan penambahan termamyl dan pemanasan ialah untuk memecahkan pati dengan menggelatinisasikan terlebih dahulu. Diangkat dan didinginkan. Ditambah 20 ml air destilata dan pH-nya diatur menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 4 M, Selajutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Pengaturan pH hingga 1,5 dimaksudkan untuk mengkondisikan agar aktivitas enzim pepsin maksimum. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40oC dan diagitasi selama 60 menit. Ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6,8 dengan NaOH. Pengaturan menjadi pH 6,8 ditujukan untuk memaksimumkan aktivitas enzim pankreatin. Kemudian ditambah 100 ml enzim pankreatin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 40oC selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH diatur dengan HCl menjadi 4,5, disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering (berat tepat diketahui) dan dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu (Serat pangan tidak terlarut = IDF) Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC, sampai berat tetap (sekitar 12 jam), dan ditimbang setelah didinginkan di dalam desikator (D1). Selanjutnya diabukan dalam tanur 500oC selama paling sedikit 5 jam, lalu ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1).
NASI
Dibiarkan hingga suhu nasi cukup dingin Dibekukan pada suhu -4oC selama 24 jam Thawing diatas penangas pada suhu 50-600C Selama 1-2 jam
Filtrat (Serat pangan larut = SDF): Volume filtrat diatur dengan air sampai 100 ml, lalu ditambah 400 ml etanol 95% hangat (60oC), diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0,5 celite kering dan dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, dan 2 x 10 ml aseton.
Dikeringkan di oven pada suhu 900C Selama 4 jam
Nasi Instan Siap rehidrasi 4 menit
Gambar 1. Proses pembuatan nasi instan (widowati et al, 2008 dimodifikasi dengan Kyritsi et al., 2011)
Proses penanakan dilakukan dengan dua cara, yaitu rice cooker dan dengan cara konvensional pengaronan dilanjutkan pengukusan. Perbandingan beras dengan air pada proses penanakan adalah 1 : 2. Kadar air nasi instan kering berkisar antara 10-13% (Gambar 1). Analisis proksimat Kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein sampel beras dan nasi instan dianalisis menggunakan metode AOAC (2006) dan kadar karbohidrat dengan metode by difference. Serat Pangan (Asp et al., 1983) Penentuan serat makanan larut, serat makanan tidak larut dan serat makanan total dilakukan menggunakan metoda
Setelah dingin, campuran sentrifus 822 x G selama 10 menit. Absorbansi supernatan diukur pada 532 nm. Sebagai larutan standar digunakan TEP (tetra etoksi propana). Analisis Amilosa (Apriyantono et al.,1989) Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml etanol 95% dan NaOH 1N, lalu dipanaskan pada suhu 1000C selama 10 menit hingga terbentuk gel. Pindahkan seluruh gel kedalam labu ukur 100ml, kocok dan himpitkan hingga tanda tera dengan aqua dest, pipet 5ml larutan damn masukan dalam labu ukur 100ml, tambajkan 1ml asam asetat 1N dan 2ml larutan Iod (0,2gram Iod dan 2gram KI dalam 100ml). Ukur intensitas cahaya dengan menggunakan spektrophotometer pada panjang gelombang 625nm. Pembuatan deret standar dengan cara menimbang 40mg amilosa murni dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml etanol 95% dan NaOH 1N, lalu dipanaskan pada suhu 1000C selama 10 menit hingga terbentuk gel. Pindahkan seluruh gel kedalam
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 57
ISBN 978-602-98902-1-1
labu ukur 100ml, kocok dan himpitkan hingga tanda tera dengan aqua dest, pipet 5ml larutan damn masukan dalam labu ukur 100ml, tambajkan 1ml asam asetat 1N dan 2ml larutan Iod (0,2gram Iod dan 2gram KI dalam 100ml). Ukur intensitas cahaya dengan menggunakan spektrophotometer pada panjang gelombang 625nm. Uji Organoleptik (Meilgaard et al,.1999) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Skala hedonik yang digunakan mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik = 1) sampai dengan skala sangat suka (skala numerik = 5). Setiap panelis diberikan formulir kuesioner uji hedonik untuk melakukan penilaian terhadap produk yang dihasilkan. Atribut mutu yang diuji meliputi warna, rasa, aroma, tekstur dan penerimaan secara umum untuk rasbi matang serta warna, tekstur maupun penampakan secara umum untuk rasbi mentah. Penentuan Indeks Glikemik (Miller et al. 1996) Setiap porsi nasi yang akan ditentukan IG nya (mengandung 50g karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama semalam (sekitar pk 20.00 sampai pk 08.00 besoknya). Relawan yang digunakan ialah individu normal, tidak diabetes, sebanyak 10 orang. Selama dua jam pasca konsumsi pangan uji, sampel darah sebanyak 50µL (finger-prick cappillary blood samples method) diambil setiap 30 menit untuk diukur kadar glukosanya (pengukuran kadar glukosa menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke120). Selang 3 hari, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa murni (sebagai pangan acuan) kepada relawan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi efek keragaman glukosa darah dari hari ke hari. Kadar glukosa darah (pada waktu setiap pengambilan sampel) di plot pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu ( X ) dan sumbu kadar glukosa darah (Y). Indeks Glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah dibawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan dikalikan 100. Analisis data Analysis of variance. Analysis of variance (Anova) dilakukan dengan menggunakan program SAS versi 9 untuk menganalisis perbedaan pada parameter fisiko kimia dan gizi. Tingkat signifiksinya dinyatakan dalam α = 5%. Analysis non-parametric Kruskal-Wallis dilakukan dengan meggunakan program minitab 1.4 untuk menganalisis tak berbeda nyata pada uji organoleptik (p>5%).
penggunaan 2 jenis bahan perendam, yaitu Na-Sitrat dan NaPhospat dengan 3 taraf konsentrasi. Na-Phospat yang digunakan dengan konsentrasi 1; , 1.5, dan 2%, sedangkan konsentrasi Na-Sitrat yang digunakan adalah 1; 3; dan 5%,. Perlakuan kedua adalah cara pemasakan, yaitu aron-kukus dan rice cooker. Semua perlakuan ini dilakukan dengan 2 ulangan. Hasil percobaan perlakuan nasi instan terhadap rendemen dan waktu rehidrasi dapat dilihat pada Tabel 1. Data pengaruh perlakuan terhadap rendemen dan waktu rehidrasi pada Tabel 2. Tabel 1. Anova pada Perlakuan Nasi Instan Non Fortifikan. Peubah F Hitung pr > f Rendemen 1.09 0.4410 Waktu Rehidrasi
63.67
<.0001**
Keterangan : * berbeda nyata pada taraf 5%, ** berbeda nyata pada taraf 1% Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa pada peubah rendemen tidak berbeda nyata (pr>f = 0.4410), angka tersebut menunjukan bahwa semua perlakuan nasi instan pada hasil rendemen tidak berbeda nyata hasilnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan dari proses pengolahan nasi instan tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil rendemen. Pada peubah waktu rehidrasi berbeda nyata pada taraf 1% (pr>f = <0.0001). angka tersebut menunjukan bahwa semua perlakuan nasi instan terhadap waktu rehidrasi berbeda nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan dari proses pengolahan nasi instan sangat berpengaruh terhadap waktu rehidrasi. Berdasarkan uji Duncan dapat dijelaskan bahwa terdapat beda nyata pada peubah waktu rehidrasi yang disebabkan penggunaan bahan perendam dan metode pemasakan. Pada peubah waktu rehidrasi di cari angka nilai tengah yang paling kecil, semakin kecil nilai tengah menunjukan bahwa waktu rehidrasi yang paling singkat (pada perlakuan N12 dengan nilai tengah 240e) yaitu pada waktu rehidrasi 4 menit. Dari hasil uji Duncan yang didapatkan yaitu pada perlakuan N12 dan peubah waktu rehidrasi (240e) 4 menit, yaitu pada nasi instan beras varietas Ciherang dengan rendaman Na- Sitrat 5% pemasakan rice cooker.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Nasi Instan Pengembangan proses pembuatan nasi instan ini digunakan beras varietas Ciherang (mewakili beras pulen sedang). Proses pembuatan nasi instan dilakukan dengan beberapa perlakuan. Perlakuan pertama adalah pada
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 58
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 2. Hasil Analisis Statistik Nasi Instan dengan parameter rendemen dan waktu rehidrasi.
Nilai Tengah Rendemen Waktu Rehidrasi % Detik N1 83.50ab 585.00a N2 84.50ab 495.00bc N3 84.50ab 504.00bc N4 72.50b 615.00a N5 80.00ab 525.00b ab N6 80.50 465.00c N7 83.50ab 465.00c N8 86.00ab 465.00c N9 87.50a 345.00d N10 77.50ab 285.00e ab N11 78.50 285.00e N12 80.00ab 240.00e Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan 5%. N1: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Phospat 1% pemasakan aron-kukus N2: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Phospat 1,5% pemasakan aron-kukus N3: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Phospat 2% pemasakan aron-kukus N4: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Phospat 1% pemasakan rice cooker N5: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Phospat 1,5% pemasakan rice cooker N6: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Phospat 2% pemasakan rice cooker N7: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Sitrat 1% pemasakan aron-kukus N8: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Sitrat 3% pemasakan aron-kukus N9: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Sitrat 5% pemasakan aron-kukus N10: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Sitrat 1% pemasakan rice cooker N11: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Sitrat 3% pemasakan rice cooker N12: Nasi instan beras Ciherang dengan rendaman Na-Sitrat 5% pemasakan rice cooker Perlakuan
Berdasarkan perlakuan tersebut dapat dijelaskan bahwa bahan perendam Na-Sitrat lebih baik digunakan dari pada NaPhospat karena pada penggunaan bahan perendam Na-Sitrat waktu rehidrasi nasi instan yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan Na-Phospat. Pada penambahan bahan perendam Na-Phospat dengan konsentrasi tersebut nasi instan yang dihasilkan memiliki sedikit rasa pahit, sedangkan pada penambahan bahan Na-Sitrat dengan konsentrasi tersebut tidak menimbulkan rasa pahit. Konsentrasi bahan perendam Na-sitrat juga berpengaruh terhadap waktu rehidrasi, semakin tinggi konsentrasi bahan perendam semakin kecil pula waktu rehidrasinya. Perendaman beras dalam larutan sodium sitrat dapat mengganggu dan menguraikan struktur protein sehingga butiran beras menjadi porous (Hubeis 1984), dengan demikian semakin porous butiran beras semakin cepat proses penyerapan air pada saat rehidrasi. Tabel 2, menunjukkan bahwa proses pembuatan nasi instan terpilih, yaitu perlakuan N12 menggunaakan bahan perendam
5% Na-Sitrat dan proses pemasakan terbaik yaitu rice cooker. Selanjutnya proses pembuatan nasi instan tersebut diaplikasikan pada tiga varietas beras, yaitu Batang Piaman, Ciherang, dan Memberamo, kemudian dianalisis komposisi kimia dan sifat fungsionalnya. B. Komposisi Kimia Nasi Instan Analisis proksimat merupakan analisis dasar dari suatu bahan pangan yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Proses instanisasi menyebabkan perubahan komposisi kimia pada nasi. 1. Kadar Air Kadar air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi umur simpan. Gambar 2 menunjukkan pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap kadar air.
(a)
(b) Gambar 2. Grafik pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap Kadar Air saat a) kering; b) setelah rehidrasi Gambar 2 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar air dari bahan baku, yaitu beras varietas Batang Piaman, Ciherang, dan Memberamo berturut-turut 12,66; 13,06; dan 13,56%(bb) menjadi nasi kering yang memiliki kadar air berturut-turut 2,4; 2,1; 2,15% (bb) (Tabel 3). Kemudian setelah menjadi produk nasi instan mengalami peningkatan berturut-turut 4,42; 3.98; dan 5,49% (bb). Hal ini disebabkan oleh proses instanisasi yang dilakukan selama proses pengolahan nasi instan. Nasi yang dimasak seperti biasa kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan nasi instan setelah rehidrasi. Data pada Gambar 2b menunjukkan bahwa kadar air varietas nasi instan Batang Piaman setelah rehidrasi memiliki kadar air terendah. Diduga ini dikarenakan waktu rehidrasi nasi instan Batang Piaman tersebut paling rendah (3,5 menit) sehingga air yang terserap lebih sedikit. 2. Kadar Abu
Abu adalah bahan anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan kandungan mineral suatu bahan, baik yang organik maupun anorganik. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain menentukan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 59
ISBN 978-602-98902-1-1
baik tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan penentuan parameter nilai gizi pada bahan makanan.
(b) Gambar 4. Grafik pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap kadar lemak saat a) kering; b) setelah rehidrasi .
(a)
(b) Gambar 3. Grafik pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap kadar abu saat a) kering; b) setelah rehidrasi Gambar 3 menunjukkan bahwa varietas Batang Piaman memiliki kadar abu paling kecil dan beras varietas Memberamo memiliki kadar abu paling tinggi dalam bentuk nasi dan nasi instan kering. Sedangkan dalam bentuk nasi yang dimasak biasa dan dibandingkan dengan nasi instan setelah direhidrasi, maka kadar abu mengalami penurunan dimana Batang Piaman tetap memiliki kadar abu paling kecil, dibandingkan dengan Ciherang dan Memberamo. 3. Kadar Lemak Kadar lemak merupakan salah satu faktor dari penentuan nilai kalori makanan dengan jumlah faktor pengali 9 pada faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi makanan tersebut. Gambar 4 menunjukkan pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap kadar lemak, terjadi penurunan kadar lemak dari bahan baku beras menjadi produk nasi instan. Hal ini kemungkinan terjadi hidrolisis lemak selama proses pengolahan menyebabkan lemak terurai atau larut sehingga kadar lemak turun
(a)
4. Kadar Protein Nasi, sebagai pangan pokok yang diolah dari beras adalah sumber karbohidrat. Namun bagi masyarakat Indonesia, nasi juga merupakan sumber protein. Hal ini karena dalam menu masyarakat secara umum, nasi jumlahnya paling dominan dibandingkan dengan lauk pauk, sayur dan buah.
(a)
(b) Gambar 5. Grafik pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap kadar protein saat a) kering; b) setelah rehidrasi Gambar 5 menunjukkan pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap kadar protein. Kadar protein sedikit meningkat dari bahan baku beras menjadi produk nasi instan. Perendaman beras dalam larutan sodium sitrat dapat mengganggu dan menguraikan struktur protein sehingga butiran beras menjadi porous (Hubeis 1984). Kemungkinan terjadi penguraian struktur protein atau terjadinya denaturasi protein yaitu pecahnya ikatan hydrogen dan ikatan non polar dalam molekul protein, sehingga terjadi perubahan pada struktur primer, sekunder, tersier, dan kuarter yang mengakibatkan perubahan sifat fisik dan faal suatu protein yang menyebabkan kenaikan nilai kadar protein setelah menjadi nasi instan. 5. Kadar Karbohidrat dan Nilai Kalori
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 60
ISBN 978-602-98902-1-1
Komponen utama di dalam beras adalah karbohidrat yaitu lebih dari 77 %, dan sebagian besar karbohidrat beras adalah pati. Kandungan karbohidrat di dalam beras giling, nasi kering dan nasi instan kering berkisar antara 77 sampai dengan 87 % (Tabel 3). Jenis varietas dan cara pengolahan berpengaruh terhadap kadar karbohidrat (Gambar 6). Kadar dan sifat karbohidrat dalam bahan pangan sangat berpengaruh terhadap nilai indeks glikemiknya. Sedangkan nilai kalori dihitung berdasarkan kadar karbohidrat, protein dan lemak. Tabel 3 menunjukkan pengolahan dapat meningkatkan nilai kalori pangan. Nilai kalori pada beras giling berkisar antara 345-350 Kkal/100g, dengan varietas yang sama setelah diolah menjadi nasi dan dikeringkan nilai kalori menjadi 389-391 Kkal/100g, dan setelah diolah menjadi nasi instan dan dikeringkan adalah 381-376 Kkal/100g Konsep lama dalam manajemen diet penderita diabetes menganjurkan agar diabetesi membatasi konsumsi beras, dan beralih untuk mengonsumsi umbi-umbian. Hal ini karena ada anggapan bahwa beras merupakan pangan sumber karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik tinggi, yaitu pangan yang bila dikonsumsi akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat dan tinggi. Padahal respon glikemik beras sangat bervariasi, dipengaruhi oleh cara pengolahan, jenis varietas dan komposisi kimia (Foster-Powell et al. 2002; Rimbawan dan Siagian 2004). Selain pati, komponen karbohidrat lain yang dapat mempengaruhi respon glikemik adalah gula, serat pangan dan pati resisten (Widowati et al. 2006).
Tabel 3. Komposisi Kimia Pada Beras, Nasi kering dan Nasi Instan Kering Nilai Tengah
Perlakuan
Air %
Abu %
Lemak %
Protein %
BP CH MB NBP kering NCH kering NMB kering NI BP NI CH NI MB
12,66a 13,06a 13,56a 4,42b 3,98b 5,39b 2,40c 2,10c 2,16c
0,42 a 0,55 a 0,58 a 0,56 a 0,54 a 0,42 a 0,41 a 0,58 a 0,80 a
0,60 a 0,45 a 0,43 a 0,30 a 0,20 a 0,28 a 0,19 a 0,22 a 0,20 a
8,64bc 8,37bcd 7,04e 9,42ab 9,95a 7,74cde 9,29ab 8,93abc 7,34de
Karbo hidrat % 77,70c 77,59c 78,40c 87,32ab 87,23ab 89,42a 85,71b 86,31b 86,28b
Kalori Kkal/ 100g 350,68d 347,83de 345,61e 389,64a 390,45a 391,08a 381,63b 382,90b 376,26c
Ket.: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan 5%. BP: Batang Piaman; CH: Ciherang; MB: Memberamo; NBP: nasi Batang Piaman; NCH: nasi Ciherang; NMB: Nasi Memberamo; NI BP: Nasi instan Batang Piaman; NI CH: Nasi instan Ciherang; NI MB: Nasi instan Memberamo
C. Sifat Fungsional 1. Kadar Amilosa Amilosa merupakan parameter utama yang menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi. Beras yang mengandung amilosa tinggi bila ditanak akan menghasilkan nasi pera dan tekstur keras setelah dingin, sebaliknya kandungan amilosa pada beras yang rendah akan menghasilkan nasi pulen dan teksturnya lunak (Yusof et al. 2005). Oleh karena itu, amilosa merupakan salah satu komponen mutu yang dianalisis dalam pelepasan varietas padi (BALITPA 2004).
2. 3.
(a)
(a)
(b) Gambar 6. Grafik pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap kadar karbohidrat saat a) kering; b) setelah rehidrasi
(b) Gambar 8. Grafik pengaruh varietas beras dan pengolahan terhadap kadar amilosa saat a) kering; b) setelah rehidrasi Berdasarkan kadar amilosanya, beras diklasifikasikan sebagi ketan atau beras beramilosa sangat rendah (<10%), beras beramilosa rendah (10-20%), beras beramilosa sedang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 61
ISBN 978-602-98902-1-1
(20-24%), beras beramilosa tinggi (>25%) (Allidawati dan Bambang dalam Alidawati dan Gusminar 2003) Hasil analisis kadar amilosa (Gambar 8a) menunjukkan kesesuaian dengan kriteria diatas, yaitu varietas Batang Piaman termasuk beras beramilosa tinggi (>24%), beras Ciherang beramilosa sedang (20-24%), dan beras Memberamo adalah beras beramilosa rendah (<20%). Gambar 8b menunjukkan terjadi peningkatan kadar amilosa setelah diproses menjadi nasi instan. Hal ini kemungkinan terjadi penguraian struktur amilopektin pada beras oleh H+ dari Na-Sitrat sehingga ikatan cabang pada amilopektin terurai menjadi lebih sederhana atau berubah menjadi struktur amilosa, sehingga menyebabkan peningkatan kadar amilosa.
tubuh dan diubah menjadi energi semakin sedikit. Fungsi tersebut sangat dibutuhkan bagi penderita diabetes. Sedangkan fungsi utama dari serat pangan yang tidak larut adalah mencegah timbulnya berbagai penyakit, terutama yang berhubungan dengan saluran pencernaan, antara lain wasir, divertikulosis dan kanker usus besar. (Eckel 2003; Astawan dan Wresdiyati 2004). Kadar serat pangan larut dan tidak larut secara keseluruhan pada nasi mengalami sedikit penurunan nilai dari bentuk berasnya. Namun setelah menjadi nasi instan kadar serat larut dan tak larut cenderung mengalami peningkatan pada varietas Batang Piaman sebesar 9,5% dan Ciherang sebesar 0,6%, sedangkan varietas Memberamo mengalami sedikit penurunan sebesar 0,7%. Hal ini dikarenakan proses instanisasi beras.
2. Daya Cerna Pati In Vitro Karbohidrat atau pati akan diserap oleh tubuh setelah mengalami perubahan terlebih dahulu menjadi komponenkomponen penyusunnya yaitu glukosa. Enzim yang berperan hidrolisis karbohidrat tersebut adalah α-amilase, yang dihasilkan oleh kelenjar saliva dan pankreas. Secara umum, amilosa lebih mudah dicerna dibandingkan dengan amilopektin. Namun, daya cerna pati tidak berhubungan linier terhadap daya cerna pati karena proses pencernaan dipengaruhi oleh berbagai komponen lainnya. Beras Ciherang memiliki daya cerna pati (74,15%) paling tinggi dibandingkan dengan varietas Batang Piaman (70,60%) dan Memberamo (67,66%). Proses pengolahan menjadi nasi kemudian dikeringkan dan nasi instan pada ketiga varietas beras yang diuji secara konsisten mengalami penurunan kadar amilosa. Daya cerna nasi instan dari varietas Batang Piaman, Ciherang dan Memberamo berturut-turut adalah 63,17; 71,97; dan 65,99% (Tabel 4).
Tabel 4. Sifat Fungsional Beras, Nasi, dan Nasi Instan Kering
3. Serat Pangan Serat pangan memegang peranan penting dalam memelihara kesehatan individu. Oleh karena itu, serat pangan merupakan salah satu komponen pangan fungsional yang dewasa ini mendapat perhatian masyarakat luas. Serat pangan berbentuk karbohidrat kompleks yang banyak terdapat di dalam dinding sel tumbuhan. Komponen ini tidak dapat dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan manusia tetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan, pencegahan berbagai penyakit dan sebagai komponen penting dalam terapi gizi. Serat pangan meliputi polisakarida yang tidak dapat dicerna, seperti selulosa, pektin, hemiselulosa, oligosakarida, gum dan waxes (Sardesai 2003; Astawan dan Wresdiyati 2004). Serat pangan mempengaruhi asimilasi glukosa dan mereduksi kolesterol darah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa serat tanaman tertentu menghambat penyerapan karbohidrat dan menghasilkan postprandial glikemik yang rendah. Serat pangan terdiri atasi serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air. Fungsi utama serat pangan yang larut adalah memperlambat kecepatan pencernaan di dalam usus, memberikan rasa kenyang yang lebih lama, serta memperlambat kemunculan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentranfer glukosa kedalam sel-sel
Perlakuan
BP CH MB NBP kering NCH kering NMB kering NI BP NI CH NI MB
Amilosa (%) 24,53c 21,81d 19,59e 27,00ab 26,10b 21,89d
Nilai tengah Serat Tak Serat Larut (%) Larut (%) 5,82d 2,16d c 6,10 2,29c f 5,12 2,09d c 5,99 2,13d 6,30b 2,42bc 5,55e
2,15d
Daya Cerna Pati(%)
70,60c 74,15a 67,66d 69,94c 72,98ab 66,04e
27,18a 6,56a 2,56a 63,17f 22,18d 6,34b 2,42b 71,97b 21,59d 5,51e 2,19cd 65,99e Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan 5%. BP: Batang Piaman; CH: Ciherang; MB: Memberamo; NBP: nasi Batang Piaman; NCH: nasi Ciherang; NMB: Nasi Memberamo; NI BP: Nasi instan Batang Piaman; NI CH: Nasi instan Ciherang; NI MB: Nasi instan Memberamo
Kadar serat pangan tidak larut pada beras maupun nasi keseluruhan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar serat pangan larut (Tabel 4). Data ini memperkuat hasil-hasil penelitian terdahulu, bahwa secara umum komposisi serat pangan yang tidak larut lebih dominan dibandingkan keberadaan serat pangan yang larut air (Astawan dan Wresdiyati 2004). 4. Indeks Glikemik Indeks glikemik merupakan sifat bahan yang unik. Nilainya tidak dapat diprediksi dari komposisi kimia bahan saja. Hal ini antara lain karena berhubungan erat dengan respon fisiologis individu. Namun, masing-masing komponen bahan pangan memberikan kontribusi dan saling berpengaruh sinergis antar sifat bahan hingga menghasilkan respon glikemik (Rimbawan dan Siagian 2004). Berdasarkan IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pangan dengan IG rendah (<55), sedang (55-70) dan tinggi (>70). Willett et al. 2002). IG bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis bahan, cara pengolahan dan karakteristik (komposisi dan sifat biokimiawi) bahan. Bahan pangan jenis yang sama bila diolah dengan cara berbeda, dapat memiliki IG yang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 62
ISBN 978-602-98902-1-1
berbeda. Hasil penelitian Astawan dan Widowati (2011) menunjukkan bahwa IG ubijalar klon BB 00105.10 yang direbus = 62, digoreng = 47 dan dipanggang = 80. Penurunan IG beras juga dapat dilakukan dengan proses pra-tanak. Widowati et al. (2009) melaporkan bahwa dengan proses pratanak, IG beras dapat menurun sekitar 26-39%. Hal ini karena pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Dampak dari perubahan tersebut antara lain ialah perubahan daya serap zat gizi.
DAFTAR PUSTAKA Alidawati, Gusminar. 2003. Teknik Analisis Kadar Amilosa Dalam Beras. Buletin Teknik Pertanian Vol. 8 Nomor 2. Pustaka Litbang Departemen Pertanian. AOAC [Association of Official Analytical Chemist]. 2006. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC: AOAC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budijanto S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Asp N.G., C.G. Johanson, H. Halmer and Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J Agric Food Chem 31: 476-482.
Gambar 9. Indeks Glikemik beras, nasi, dan nasi instan varietas Ciherang Nasi instan yang digunakan untuk penentuan IG adalah nasi instan terpilih yaitu nasi instan varietas Ciherang, yang diproses dengan perendaman di dalam Na-Sitrat 5% dan dilanjutkan pemasakan di dalam rice cooker. Nilai IG nasi dari varietas Ciherang yang dimasak normal adalah 54, sesuai hasil penelitian sebelumnya (Widowati et al, 2008), sedangkan nasi instan yang telah direhidrasi turun hingga 45 (Gambar 9). Kedua sampel uji tersebut termasuk dalam kategori IG rendah (IG<55). KESIMPULAN Metode pengolahan nasi instan terbaik diperoleh pada perlakuan N12, yaitu perendaman beras Ciherang di dalam NaSitrat 5% selama 2 jam, kemudian dicuci untuk menghilangkan residu sitrat, lalu dimasak di dalam rice cooker. Waktu rehidrasi adalah 4 menit, rendemen 80%. Proses instanisasi berdampak adanya perubahan mutu kimia dan fungsional, terutama peningkatan kadar amilosa,serta penurunan daya cerna pati in vitro dan nilai IG. Nasi dari beras Ciherang mempunyai IG 54, sedangkan nasi hasil rehidrasi dari nasi instan menunjukan nilai IG = 45. Baik nasi biasa (non instan) dan nasi instan varietas Ciherang termasuk dalam kategori IG rendah (IG<55).
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang membiayai penelitian ini melalui DIPA Pascapanen tahun 2011.
Astawan M, Wresdiyati T. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Astawan, M. dan S. Widowati. 2011. Evaluation of Nutrition and Glycemic Index of Sweet Potatoes and Its Appropriate Processing to Hypoglycemic Foods. Indonesian Journal of Agricultural Science. Vol 12(1):40-46. [BALITPA] Balai Penelitian Padi. 2004b. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Badan Litbang Pertanian. Eckel RH. 2003. A new look at dietary protein in diabetes. Am J Clin Nutr 78:671-2. Foster-Powell KF, Holt SHA, Miller JCB. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values: 2002. Am J Clin Nutr 76: 5-56. Hubeis, M. 1985. Pengembangan Metode Uji Kepulenan Nasi. Tesis. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Igoe, R. S and Y. H. Hui. 1996. Dictionary of Food Ingredients. Third ed. Chapman and Hall. New York. Indrasari, S.D., E.Y. Purwani, S. Widowati, dan D.S. Damardjati. 2008. Peningkatan Nilai Tambah Beras Melalui Mutu Fisik, Cita Rasa dan Gizi. Dalam Daradjat,A.A, A. Setyono, A.K. Makarim dan A. Hasanuddin (Eds) Padi: Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. BB Litbang Padi. Badan Litbang Pertanian. Kyritsi, A., Tzia, C, dan Karathanos. 2011. Vitamin fortified rice grain using spraying and soaking methods. LWT-Food Science& Tech 44: 312-320. Lotfi, M., M.G.V. Mannar, R.J.H.M. Merx, and P.N. Van den Heuvel, 1996. Micronutrient Fortification of Foods. Wageningen: International Agricultural Centre.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 63
ISBN 978-602-98902-1-1
Luh, B. S. 1991. Quick Cooking Rice Di dalam : Luh, B. S. (ed). Rice : Utilibahanion Vol. 2, hal : 120 – 146. Van Nostrand Reinhold. New York. Luh, B. S., R. L. Roberts, and C. F. Li. 1980. Quick Cooking Rice. Di dalam Luh, B. S. (ed). Rice Production and Utilibahanion. AVI Publ. Comp. Inc. Westport. Connecticut. Meilgaard, M., G.C. Civille and B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Press. Miller, J.B., K. Foster-Powel and S.Colagiuri. 1996. The GI Factor:The GI Solution. Hodder and Stougton. Hodder Headline `Australia Pty Limitted. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Sardesai VM. 2003. Introduction to Clinical Nutrition. New York.: Marcel Dekker Inc., 339-354. Widowati, S., M. Astawan, D. Muchtadi dan T. Wresdiyati. 2006. Hypoglycemic activity of some Indonesian Rice Varieties and Their Physicochemical Properties. Indonesian Journal of Agricultural Science. 7(2):57-66. Widowati, S. 2007. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widowati, S., M.Astawan, D.Muchtadi dan T. Wresdiyati. 2008. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau dalam Pengembangan Beras Instan Fungsional. Dalam Makarim, A.K., B. Suprihatno, Z. Zaini, A.Widjono, I.N. Widiarta, Hermanto dan H. Kasim (eds) Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Tanaman Pangan V, Buku 2. Puslibangtan, Bogor. Hal 517-531. Widowati, S., B.A.S. Santosa, M.Astawan dan Akhyar. 2009. Penurunan Indeks Glikemik berbagai Varietas Beras melalui Proses Pratanak. J. Penelitian Pascapanen Pertanian. Vol 6(1):1-9 Willett W, Manson J, Liu S. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk of type 2 diabetes. Am J Clin Nutr 76(1):274S-280S. Yusof BNM, Talib RA, Karim NA. 2005. Glycemic index of eight types of commercial rice. Mal J Nutr 11(2): 151-163.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 64
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengembangan Proses Pembuatan Bumbu Pangan Tradisional Instant Berbasis Asap Cair dan Tepung Asap (Traditional Smoke Flavors Engineering at Ready to Eat Curry and Chicken Opor Seasonings with Liquid Smoke as Source of Flavor) Purnama Darmadji1), Mutiara Anindita2), dan Sri Suparyati2)
ABSTRACT This research was initiated to determine the right formula pasta and powder curry and chicken opor seasonings. Then, determine the lowest concentration of liquid smoke as a threshold and maximum concentration of liquid smoke on each type of seasoning. Furthermore, the research results were used to determine five different concentrations on sensory testing. Based on the assessment panel's favorite, the optimum concentration can be obtained so as to produce the traditional smoke flavor. Threshold of liquid smoke to give flavor in curry pasta is 0.025% (v/v) while in the powder 0.04% (w/v) and for chicken opor pasta is 0.015% (v/v) while in powder 0.01% (w/v). The maximum concentration in the pasta curry and chicken opor seasoning are 0.4% and 0.8% (v/v) while the powder is 1.0% and 1,25% (w/v). The result of ANOVA test shows that pasta curry and chicken opor seasoning at concentration 0.15% and 0.25% (v/v) and powder seasoning at concentration 0.12%and 0.20% (w/v) is the optimum concentration of traditional smoke flavors. Keyword : Seasonings, Liquid Smoke, Traditional flavor, engineering
PENDAHULUAN Seiring perkembangan zaman yang semakin modern, masyarakat menuntut adanya kepraktisan. Saat ini, cara pengolahan makanan secara tradisional dengan kayu sebagai bahan bakar sudah ditinggalkan dan tergantikan dengan penggunaan kompor gas. Padahal, pembakaran kayu dalam pengolahan makanan secara tradisional mampu menghasilkan makanan yang bercitarasa khas. Jika proses pemasakan berlangsung lama, flavor asap yang meresap ke dalam makanan tersebut semakin banyak. Flavor asap yang spesifik ini cukup disukai oleh konsumen. Pemasakan dengan memanfaatkan kayu, sabut kelapa dan tempurung kelapa sebagai bahan bakar mempunyai beberapa kelebihan, yaitu makanan yang dihasilkan tahan lama, memiliki rasa yang lebih enak dan nikmat serta memiliki citarasa yang tinggi dan khas (Yefrida dkk, 2008). Makanan tersebut seperti opor ayam, gulai, brongkos, kare, dendeng dan rendang. Berdasarkan penelitian, citarasa khas yang terdapat dalam makanan tersebut berasal dari senyawa organik (asam, karbonil, dan fenol) yang terdapat dalam asap hasil pembakaran. Akan tetapi, senyawa organik yang lebih berperan terhadap pembentukan flavor asap yaitu fenol (Girard, 1992). Kelemahan dari pemasakan tradisional antara lain kualitas produk yang kurang konsisten karena waktu dan suhu yang optimal tidak dapat dipertahankan sama, dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, dan memungkinkannya bahaya kebakaran, serta adanya kemungkinan terbentuk senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (benzo(a)piren) yang bersifat karsinogenik (Gorbatov (1971) dan Maga (1987)). Senyawa ini dapat terbentuk dan dapat dengan mudah menempel atau terserap pada permukaan makanan selama pengasapan tradisional (Tigner dan Daun, 1970 b; dalam Daun, 1979).
Di sisi lain, pengolahan makanan dengan kompor gas yang lebih praktis dan bersih tidak dapat menghasilkan masakan bercitarasa khas. Flavor yang dihasilkan dalam pengolahan makanan menggunakan kompor gas kurang tajam. Oleh karena itu, citarasa khas makanan yang diolah dengan cara tradisional perlu dimunculkan kembali. Solusi dari permasalahan di atas yaitu dengan rekayasa citarasa tradisional melalui penambahan flavor asap. Rekayasa citarasa tradisional dapat dilakukan dengan menggunakan asap cair maupun tepung asap cair sebagai sumber flavor. Namun, proporsi asap cair dan tepung asap cair yang berlebihan dapat menimbulkan sensasi rasa pahit di pangkal lidah. Sebaliknya, proporsi penambahan yang terlalu sedikit belum menghasilkan flavor asap. Oleh karena itu, rekayasa penambahan asap cair dan tepung asap cair diperlukan untuk memperoleh citarasa khas sehingga dapat disukai konsumen. Rekayasa tersebut dapat dilakukan dengan menentukan proporsi terendah dan proporsi maksimumnya. Kemudian, proporsi optimum penambahan asap cair maupun tepung asap cair ditentukan melalui uji sensoris dengan variasi proporsi diantara proporsi terendah dan proporsi maksimum.
METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan bumbu gulai dan opor ayam pasta siap saji adalah rempahrempah, santan, dan minyak goreng. Sedangkan pada bumbu bubuk digunakan rempah-rempah yang telah dikeringkan. Untuk pembuatan asap cair digunakan tempurung kelapa, dan pembuatan asap cair digunakan maltodekstrin sebagai filler. Untuk analisis kimia, digunakan bahan-bahan untuk analisis total fenol, total asam, dan analisis proksimat. Sebagai
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 65
ISBN 978-602-98902-1-1
prototype kemasan digunakan alumunium foil dan plastik PE untuk bahan pengemas. Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah alat untuk produksi asap cair yaitu alat pirolisis yang terdiri dari tabung reaktor pirolisis yang dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan waktu, pipa pengalir asap serta tabung pendingin untuk kondensasi asap cair, dan alat redestilasi asap cair yang terdiri dari kompor listrik, thermostat, pengangas oil, termometer pipa destilat, pipa pendingin untuk kondensat, dan juga alat untuk pembuatan bumbu pasta dan bubuk.
Pengujian kesukaan dan pembedaan pada produk bumbu siap saji secara sensoris dilakukan dalam dua batch dan dievaluasi oleh 20 orang panelis pada masing-masing batch. Variasi konsentrasi yang digunakan dalam pengujian organoleptik merupakan hasil yang didapatkan dari orientasi pada penelitian pendahuluan. Uji ini menggunakan metode scoring dimana panelis diminta untuk menilai setiap parameter yang disediakan dalam bentuk angka/ skor. Skor yang disediakan untuk uji kesukaan dan uji pembedaan berada dalam rentang 1-5.
Cara Penelitian Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi penentuan formula bumbu gulai dan opor ayam baik pasta maupun bubuk siap saji, pembuatan dan pemurnian asap cair, pembuatan tepung asap cair, dan penentuan threshold (ambang batas) serta proporsi maksimum pada bumbu.
Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan pada produk ini adalah: a) Analisis kadar air metode thermogravimetri (Anonim, 1990), b) Analisis kadar protein metode mikrokjeldahl (Anonim, 1990), c) Analisis kadar lemak metode soxhlet (Anonim, 1990), d) Analisis gula total dan gula reduksi metode NelsonSomogyi (Anonim, 1990), e) Analisis kadar fenol metode Senter et al., 1989; modifikasi dengan metode Plumer, 1971, f) Analisis total asam metode titrasi (Anonim, 1990).
Penentuan Formula Bumbu Formula bumbu pasta siap saji didapatkan dengan cara melakukan penimbangan masing-masing rempah segar sesuai dengan orientasi yang dilakukan, kemudian dihaluskan dan dilakukan penumisan. Formula bumbu bubuk siap saji didapatkan dengan cara mengeringkan masing-masing jenis rempah segar yang digunakan, kemudian dihaluskan dan diayak, lalu ditimbang sesuai orientasi masing-masing. Pembuatan dan Pemurnian Asap Cair Asap cair dibuat dari 3 kg tempurung kelapa melalui proses pirolisis pada suhu 4000C selama 2,5 jam. . Setelah melewati tahap pirolisis, kondensat asap cair kemudian dilakukan redestilasi pada suhu 1050C. Asap cair hasil redestilasi ini kemudian ditempatkan pada botol gelap dan disimpan dalam coolroom. Pembuatan Tepung Asap Cair Tepung asap cair dibuat dengan mencampurkan asap cair dan maltodekstrin dengan perbandingan 1:1 dan kemudian dikeringkan dalam cabinet dryer bersuhu 500C. Maltodekstrin digunakan sebagai filler. Asap cair yang telah dicampur dengan maltodekstrin kemudian diaduk hingga tercampur merata dan dituang pada loyang lalu dikeringkan dengan menggunakan cabinet dryer. Setelah kering, gumpalan yang terbentuk kemudian digerus dengan cawan porselen hingga menjadi tepung. Penentuan Threshold dan Konsentrasi Maksimum Pengujian threshold ini bertujuan untuk mencari konsentrasi terendah dari asap cair pada kuah yang sudah mulai dapat dirasakan oleh panelis. Selain itu juga dilakukan pengujian untuk menentukan konsentrasi tertinggi dari asap cair yang dapat membuat panelis merasa muak dan tidak ingin merasakan kuah tersebut. Penelitian Utama Analisis Sensoris
Pembuatan Prototype Kemasan Bumbu gulai dan opor baik pasta maupun bubuk siap saji yang sudah dilakukan analisis kimia kemudian dikemas dengan menggunakan plastik Polyethilen sebagai kemasan primer dan alumunium foil sebagai kemasan sekunder. Selanjutnya kemasan tersebut diberi label identitas produk. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Sempurna dengan faktor berpengaruh adalah variasi konsentrasi penambahan asap cair dan tepung asap cair serta faktor tanggap yang akan diukur adalah sifat organoleptik kuah gulai dan opor ayam yang dihasilkan, yang meliputi rasa asap, aroma/ bau asap, dan kesukaan secara keseluruhan. Selanjutnya data yang diperoleh diuji statistik menggunakan Analisis Varian (ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan penilaian antar panelis dan dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) bila ada perbedaan nyata. Analisis statistik menggunakan program SPSS 16. Hasil dari pengujian sensoris tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisis kimia.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penentuan Formula Bumbu a. Bumbu Gulai Penentuan formula pada bumbu gulai pasta siap saji ini dilakukan dalam dua kali orientasi hingga akhirnya diperoleh formula bumbu yang tepat untuk dapat menghasilkan kuah gulai dengan rasa yang optimal. Formula bumbu ini berdasarkan resep dari Ernawati, 1996. Dari resep tersebut didapatkan berat dari
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 66
ISBN 978-602-98902-1-1
masing-masing jenis bumbu dan dibuat menjadi bumbu pasta, hanya dilakukan penambahan cabe dan kunyit karena dari resep yang diperoleh warna dari kuah belum kuning kemerahan. Tabel 1. Penentuan Formula Bumbu Gulai Pasta Siap Saji Jenis Bumbu Resep Berat (gram) bawang merah 6 butir 23,75 bawang putih 2 siung 13,89 kemiri 3 butir 10,88 jahe 1 cm 1,70 kunyit 1 cm 6,28 ketumbar 1 sdm 2,59 jinten 1/4 sdt 0,78 klabet 1/4 sdt 1,08 pala 1/4 sdt 0,70 adas 1/4 sdt 0,76 asam jawa 1 sdt 7,68 garam 1 sdt 7,67 cabe 3 buah 21,72 kapulaga 4 buah 0,43 lengkuas 1 cm 3,60 daun serai 1 batang 9,07 daun salam 1 lembar 1,95 daun jeruk purut 2 lembar 1,22 Total 115,75 Pada penentuan formulasi bumbu gulai bubuk siap saji ini dilakukan dengan tiga kali orientasi hingga akhirnya diperoleh formulasi bumbu yang tepat untuk dapat menghasilkan kuah gulai dengan rasa yang optimal. Dari masing-masing formula tersebut kemudian dimasak dengan kuah santan sebanyak 1000 ml dan diujikan kepada panelis terbatas. Tabel 2. Penentuan Formula Bumbu Gulai Bubuk Siap Saji I II III Jenis Bumbu (gram) (gram) (gram) bawang merah 2,61 5,22 5,23 bawang putih 4,18 8,36 8,36 kemiri 10,04 20,08 20,08 jahe 0,45 0,90 0,90 kunyit 0,87 1,74 1,74 ketumbar 0,78 1,56 1,56 jinten 0,25 0,50 0,50 klabet 0,33 0,66 0,68 pala 0,21 0,42 0,42 adas 0,23 0,46 0,48 asam jawa 1,10 2,20 3,30 garam 4,27 8,54 8,54 cabe 0,13 0,26 0,28 kapulaga 0,53 1,06 1,06 lengkuas 1,41 2,82 2,82 daun serai 0,69 1,38 1,38 daun salam 0,55 1,10 1,10 daun jeruk purut 28,63 57,26 58,43 Total 2,61 5,22 5,23
Dari hasil evaluasi tersebut maka dipilih bumbu gulai bubuk siap saji pada orientasi ke III yang dapat menghasilkan kuah gulai dengan rasa yang pas. b. Bumbu Opor Ayam Formulasi yang tepat pada proses pembuatan bumbu opor ayam flavor asap berfungsi untuk menghasilkan citarasa yang paling disukai. Penimbangan penting dalam formulasi yakni untuk mengetahui jenis dan jumlah bumbu opor yang diperlukan. Penentuan formula melalui beberapa tahap orientasi. Tabel 3. Penentuan Formula Bumbu Opor Pasta Siap Saji Jenis Bumbu Orientasi (gram) Bawang merah Bawang putih Kemiri Jahe Kunyit Merica Ketumbar Jinten Lengkuas Daun sereh Daun salam Daun jeruk purut Gula merah Garam
I 57.77 16.59 16.50
II 57.77 16.59 16.50
0.91 0.87 0.37 5.60 1 btg 2 lbr
0.91 0.87 0.37 5.60 8.16 2.01
17.72 12.63
20 11
III 57.77 16.59 16.50 1.84 2.77 0.91 0.87 0.37 5.60 8.16 2.01 1.31 20 11
IV 58 16.59 16.50 8 5 1 0.87 0.4 5.60 11 2.01 1.50 26 16
Proses penentuan formula yang tepat di atas melalui pengujian sensoris secara terbatas untuk menentukan citarasa bumbu opor pasta siap saji yang paling disukai oleh panelis. Pada penentuan formula bumbu opor pasta, awalnya orientasi menggunakan resep yang diperoleh dari internet. Agar formula bercitarasa sama pada setiap pengujian maka dilakukan penimbangan jumlah masing-masing bumbu. Kemudian, pada orientasi I rasa manis dan asin dalam satu liter kuah opor kurang sesuai. Selanjutnya, pada orientasi II ditambahkan garam dan gula jawa yang lebih banyak serta bumbu daun. Muncul ide untuk merekayasa penambahan bumbu daun dengan mengambil ekstraknya. Caranya yakni dengan menghaluskan bumbu-bumbu daun kemudian ditambah air sebanyak 50 ml. Lalu, ekstrak bumbu daun tersebut diperas dan disaring. Hasil pengekstrakan tersebut ditambahkan pada saat pemblenderan bersama dengan bumbu-bumbu yang lainnya. Pada orientasi III ditambah jahe, kunyit dan daun jeruk purut. Berdasarkan hasil uji sensoris terbatas dapat diketahui bahwa citarasa dan aroma bumbu opor pasta belum sesuai sehingga perlu orientasi lagi. Pada orientasi IV dilakukan penambahan beberapa bumbu seperti jahe, kunyit, merica, daun sereh, gula jawa dan garam. Selanjutnya, uji sensoris terbatas dilakukan dan diperoleh bumbu opor pasta dengan citarasa dan aroma yang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 67
ISBN 978-602-98902-1-1
sudah sesuai. Adapun perbandingan antara bumbu dengan kuah yaitu 1:8 (b/v). Tabel 4. Penentuan Formula Bumbu Opor Ayam Bubuk Jenis Bumbu Resep I II (gram) (gram) (gram) 2.4 Bawang merah 5.22 10.42 Bawang putih Kemiri Jahe Kunyit Ketumbar Jinten Garam Gula merah Lengkuas Daun sereh Daun salam Daun jeruk purut Merica
2.4
3 butir 2.4 0.8 10 5 1.6 1 batang 2 lembar -
4.13
8.26
15.31
15.31
1.35
1.35
0.62
1.24
0.87
1.74
0.4
0.80
16
16
26
26
1.22
2.44
1.95
1.95
0.80
0.80
0.69
1.39
1.00 2.00 Citarasa opor ayam dengan formulasi bumbu I tersebut kurang gurih, hanya berasa manis dan agak asin. Orientasi II dilakukan dengan jumlah beberapa bumbu bubuk diperbanyak dua kali lipat seperti bawang merah, bawang putih, merica, daun jeruk purut, kunyit, ketumbar, jinten dan lengkuas. Perbandingan jumlah bumbu bubuk dengan kuah yakni 1:10(b/v). Berdasarkan evaluasi hasil uji sensoris diperoleh citarasa dan aroma yang sudah sesuai. Asap Cair dan Tepung Asap Cair Tempurung kelapa sejumlah 3 kg yang dipirolisis menghasilkan asap cair kasar sebanyak 1400 ml kemudian diredistilasi menghasilkan 600 ml redestilat asap cair. Sedangkan pembuatan tepung asap cair pada penelitian ini dengan menggunakan asap cair sebanyak 300 ml yang dicampur dengan maltodekstrin sebanyak 300 gram. Hasil dari pengeringan asap cair adalah tepung asap sebanyak 264,8 gram sehingga rendemen yang diperoleh dari hasil pengkristalan tersebut sebanyak ±44,13%. Hasil tersebut hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Handayani (2004) yang menyebutkan bahwa rendemen yang dihasilkan dari pengkristalan asap cair dengan maltodekstrin sebanyak 50%. Komposisi Asap Cair dan Tepung Asap Cair Tabel 5. Komposisi kimia dan sifat fisik asap cair dan tepung asap cair Komposisi Prosentase (%) kimia Asap cair Tepung asap cair Fenol 2,53 2,24 Total asam 20,74 10,46 Kadar air 6,72 Sifat fisik( bau) Spesifik asap Spesifik asap
Tabel di atas menunjukkan bahwa dalam fraksi asap cair hasil redestilasi dan dalam tepung asap cair, asam mempunyai prosentase lebih besar dibandingkan dengan fenol. Prosentase senyawa-senyawa tersebut dalam asap cair berbeda-beda jumlahnya tergantung pada jenis kayu atau bahan dasar asap cair, komponen serat bahan dasar asap cair, dan suhu pirolisis. Sedangkan menurut Pszczola (1995), perbedaan komposisi kimia asap cair tersebut berdasarkan spesies tanaman, umur, dan kondisi pertumbuhan tanaman tersebut. Kadar asam tepung asap cair dalam penelitian ini adalah sebesar 10,46% dan pada asap cair sebesar 20,74%. Menurut Tranggono et.al., (1989) kadar asam beberapa jenis kayu yang dibuat pada suhu pirolisis 350-4000C adalah berkisar antara 4,27-11,39%. Kadar fenol rata-rata dalam tepung asap cair yang diperoleh dari hasil analisis sebesar 2,24% sedangkan pada asap cair sebesar 2,53%. Tranggono et.al., (2002) melaporkan bahwa kadar fenol dalam asap cair berkisar antara 2,10-5,13%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar fenol dalam tepung asap dan asap cair pada penelitian ini mempunyai kadar yang sangat rendah. Fenomena ini dapat terjadi dimungkinkan karena meskipun tempurung kelapa merupakan kayu keras yang memiliki kadar lignin lebih tinggi dibanding komponen yang lain, namun suhu pirolisis akan mempengaruhi banyaknya senyawa hasil dekomposisi lignin, yakni fenol, yang akan terikut dalam asap cair. Lignin akan terdekomposisi menjadi fenol pada suhu 350-4500C, sementara suhu pirolisis pada penelitian ini adalah 4000C. Selain itu suhu redestilasi, yakni 1050C, adalah suhu di bawah titik didih fenol, senyawa fenol yang terurai selama destilasi belum maksimal, sehingga belum banyak fenol yang ikut dalam redestilat. Kandungan air dalam penelitian ini dilakukan untuk tepung asap cair dengan menggunakan metode thermogravimetri. Dari tabel terlihat bahwa kadar air tepung asap rata-rata dalam penelitian ini adalah 6,72% (wb). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air dalam tepung asap tergolong rendah, sehingga dengan kadar air tersebut tepung asap diharapkan masih dapat mempertahankan tekstur powderednya, karena tepung asap bersifat higroskopis maka dengan adanya kenaikan kadar air akan dapat terbentuk tekstur kempal, sehingga penyimpanan tepung asap sebaiknya pada suhu dingin. Penentuan Nilai Threshold Uji threshold digunakan untuk menentukan nilai ambang batas terendah flavor asap mulai dapat dirasakan oleh panelis. Sedangkan uji maksimum berfungsi untuk mengetahui proporsi asap cair dan tepung asap cair maksimal yang masih dapat diterima oleh panelis. Menurut Draudt (1963), nilai ambang fenol dari kondensat asap adalah 0,147 ppm untuk rangsangan rasa dan 0,023 ppm untuk rangsangan bau. Nilai ambang fenol dari pustaka tersebut digunakan sebagai dasar penentuan proporsi penambahan asap cair dan tepung asap cair dalam uji threshold. a. Bumbu Pasta Lima macam variasi konsentrasi asap cair dan ditambahkan pada bumbu gulai dan opor ayam pasta siap saji.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 68
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 6. Scoring Threshold Panelis terhadap Bumbu Gulai dan Opor Ayam Pasta Gulai Opor Ayam Konsentrasi Bau Rasa Bau Rasa Asap Cair (v/v) Asap Asap Asap Asap 0% 2,00a 2,83ab 2.67ab 2.67a ab ab a 0,015% 2,67 3,33 2.00 2.33a a a a 0,025% 2,33 2,50 2.33 2.67a ab ab a 0,035% 3,00 3,17 3.83 3.83a b b ab 0,045% 3,67 4,17 3.33 3.83a Catatan : tanda superscript dengan huruf yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 5%) Keterangan : (1) Tidak ada bau/ rasa asap (2) Bau/ rasa asap sangat lemah (3) Bau/ rasa asap lemah (4) Bau/ rasa asap kuat (5) Bau/rasa asap sangat kuat Threshold Bumbu Gulai Pasta Dari hasil pengujian, menunjukkan bahwa kuah gulai yang ditambah asap cair pada konsentrasi 0.025% (v/v) sudah dapat dirasakan rasa dan aroma asapnya oleh panelis. Threshold Bumbu Opor Ayam Pasta Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa nilai ambang batas terendah (threshold) rasa dan aroma asap dapat dirasakan pada proporsi 0.015%(v/v).
Selanjutnya, selain nilai threshold juga dicari nilai konsentrasi maksimum untuk penambahan asap cair pada bumbu pasta siap saji ini. Awalnya dicoba 2 macam variasi, yakni konsentrasi 0.5% dan 1.0% (v/v). Untuk konsentrasi 0.5%, bau dan rasa asap dari kuah gulai sudah pekat dan terasa lebih pekat lagi untuk konsentrasi 1%, sehingga pada konsentrasi ini kuah terasa lebih pahit dan panelis merasa muak dan tidak ingin memakannya. Untuk itu konsentrasi yang dipilih adalah 0.5% dan dua konsentrasi dibawahnya, yakni 0.4% dan 0.3% untuk diujikan kepada panelis dan didapatkan konsentrasi maksimum dari asap cair untuk dapat menghasilkan kuah gulai yang rasa dan aroma asapnya tidak disukai oleh panelis adalah 0.4% (v/v). Tabel 7. Scoring Ketidaksukaan Panelis terhadap Bumbu Gulai Pasta Atribut Konsentrasi Asap Cair (v/v) Bau asap Rasa asap 0,3% 1,00a 1,33a 0,4% 2,33b 3,00b 0,5% 2,67b 3,00b Catatan : tanda superscript dengan huruf yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 5%) Keterangan : (1) Suka (2) Agak suka
(3) Tidak Suka Tabel 8. Scoring Ketidaksukaan Panelis terhadap Bumbu Opor Ayam Pasta Proporsi Asap Cair
Rasa Asap
Aroma Asap
0.5%
1.67a
1.67a
0.8%
3.33a
3.33a
0.9%
1.67a
2.67ab
1% 2.67a 2.67ab Catatan : Tanda superscript dengan huruf yang tidak sama dalam satu kolom, menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 5%). Keterangan: 1 = Suka 2 = agak tidak suka 3 = Tidak suka 4 = Sangat tidak suka Pada tabel di atas diketahui bahwa hasil uji maksimum rasa asap bumbu opor pasta terdapat pada proporsi 0.8% (v/v). Pada proporsi 0.8% (v/v) panelis dapat merasakan rasa asap, namun citarasa yang muncul bukan sensasi asap yang diharapkan. Sensasi yang muncul adalah rasa jenuh di pangkal lidah, cenderung berasa pahit sehingga perlakuan ini tidak diterima oleh panelis.Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa proporsi optimum rasa asap mulai tidak disukai panelis pada proporsi 0.8% (v/v). Aroma yang tidak disukai oleh panelis adalah aroma asap dengan proporsi asap cair 0.8%(v/v). Hasil penilaian panelis ini disebabkan oleh proporsi asap cair yang digunakan cukup tinggi sehingga aroma asap sangat kuat. a. Bumbu Bubuk Lima macam variasi konsentrasi tepung asap cair ditambahkan pada bumbu gulai dan opor ayam bubuk siap saji. Tabel 9. Scoring Threshold Panelis terhadap Bumbu Gulai & Opor Ayam Bubuk Opor Ayam Konsentrasi Gulai Tepung Asap Bau Rasa Bau Rasa Cair (b/v) Asap Asap Asap Asap 0% 1,67a 2,50a 2.83ab 2.50ab 0,01% 2,83ab 2,83a 1.67a 1.67a ab a a 0,02% 2,67 2,67 1.67 1.83ab ab a b 0,03% 3,33 2,83 3.33 2.83b ab a ab 0,04% 2,67 2,17 2.50 2.50ab Catatan : tanda superscript dengan huruf yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 5%) Keterangan : (1) Tidak ada bau/ rasa asap (2) Bau/ rasa asap sangat lemah (3) Bau/ rasa asap lemah (4) Bau/ rasa asap kuat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 69
ISBN 978-602-98902-1-1
(5) Bau/rasa asap sangat kuat Threshold Bumbu Gulai Bubuk Dari hasil pengujian, menunjukkan bahwa kuah gulai yang ditambah tepung asap cair pada konsentrasi 0.03% (b/v) sudah dapat dirasakan aroma asapnya oleh panelis, sedangkan untuk rasa asap dapat mulai dirasakan pada konsentrasi tepung asap 0.04% (b/v). Threshold Bumbu Opor Ayam Bubuk Dari hasil uji pembedaan di atas, rasa bumbu opor ayam bubuk mulai dapat terasa bercitarasa asap pada proporsi 0.01% yang bernilai 1.67a. Rasa asap yang dihasilkan pada konsentrasi tersebut cenderung sangat lemah. Namun, rasa asap sudah mulai dapat terasa. Diketahui bahwa ambang batas terendah aroma asap mulai dapat dirasakan pada proporsi 0.01% (b/v) dengan nilai 1.67a lalu seterusnya menunjukkan nilai yang meningkat. Aroma asap yang dihasilkan pada proporsi 0.01% (b/v) yakni cenderung sangat lemah. Walaupun pada proporsi 0.02% menunjukkan nilai yang sama dan tidak berbeda nyata tetapi threshold ditentukan pada proporsi 0.01% (b/v) karena lebih efisien. Sedangkan pada kontrol atau tanpa penambahan asap cair juga diperoleh aroma asap. Hal tersebut merupakan penyimpangan yang juga disebabkan kurangnya penetralan saat pengujian sampel yang lain sehingga sisa-sisa flavor asap masih terasa di lidah. Oleh karena itu, pengujian menjadi terganggu dan hasilnya kurang akurat.
Tabel 11. Scoring Ketidaksukaan Panelis terhadap Bumbu Opor Ayam Bubuk Konsentrasi Tepung Asap Cair (b/v)
Atribut
Rasa Asap 0.5% 1.75a 2.00a 1% 3.25a 2.75a 1.25% 4.00a 4.25a Pada bumbu opor ayam bubuk menunjukkan bahwa hasil uji maksimum rasa asap untuk proporsi 1.25 % (b/v). Pada proporsi 1.25% (b/v) menunjukkan nilai yang tertinggi yaitu 4.00a yang berarti tidak disukai panelis. Pada proporsi 1 % (b/v) beberapa panelis kurang menyukai sensasi rasa asap yang muncul namun sebagian panelis masih dapat menerimanya. Oleh karena itu, batas proporsi maksimum dapat dinaikkan hingga proporsi 1.25% (b/v). Sedangkan bumbu opor ayam bubuk menunjukkan ketidaksukaan panelis pada aroma asap untuk proporsi 1.25 % (b/v). Pada proporsi 1.25% (b/v) menunjukkan nilai yang tertinggi yaitu 4.25a yang berarti tidak disukai panelis. Pada proporsi ini beberapa panelis kurang menyukai sensasi rasa asap yang muncul karena aroma asap yang dihasilkan sangat kuat. Oleh karena itu, batas proporsi maksimum pada bumbu opor ayam bubuk yakni proporsi 1.25% (b/v). Bau Asap
Uji Sensoris Selanjutnya untuk mencari nilai konsentrasi Bumbu Gulai maksimumnya dicoba 2 macam variasi, yakni konsentrasi 0.5% Tabel 12. Scoring Kesukaan Panelis terhadap Gulai Bercitarasa dan 1.0% (b/v). Untuk konsentrasi 0.5%, bau dan rasa asap dari Asap Tradisional kuah gulai masih dapat diterima oleh panelis sedangkan pada Aroma Rasa konsentrasi 1% panelis sudah merasakan muak dan tidak ingin Asap Asap Keseluruhan Sampel memakannya. Untuk itu konsentrasi yang dipilih adalah 0.1% Pasta dan dua konsentrasi dibawahnya, yakni 0.9% dan 0.8% untuk 0,10% 3,60b 3,28ab 3,30ab diujikan kepada panelis dan didapatkan konsentrasi maksimum b b 0,15% 3,53 3,40 3,40b dari asap cair untuk dapat menghasilkan kuah gulai yang rasa asapnya tidak disukai panelis adalah 1.0% (b/v) dan untuk bau 0,20% 3,03a 2,95ab 3,05ab asap pada konsentrasi 0.9% (b/v). a ab 0,25% 3,00 3,08 3,00ab 0,30% 2,73a 2,83a 2,90a Tabel 10. Scoring Ketidaksukaan Panelis terhadap Bumbu Gulai Bubuk Bubuk 0,12% 3,38c 3,08c 3,08b Atribut Konsentrasi Tepung 0,32% 3,30c 2,95bc 3,13b Asap Cair (b/v) b abc Rasa 0,52% 2,73 2,65 2,83ab Bau Asap Asap 0,72% 2,25a 2,50ab 2,45a 0,8% 1,75a 2,00a ab a 0,92% 2,43 2,30 2,475a 0,9% 2,00a 1,75a Catatan : tanda superscript dengan huruf yang tidak sama pada 1,0% 2,00a 2,75a kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = Catatan : tanda superscript dengan huruf yang tidak sama pada 5%) kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = Keterangan : 5%) Uji Kesukaan : Keterangan : (1) Sangat Tidak Suka (4) Suka (1) Suka (2) Tidak Suka (5) Sangat Suka (2) Agak suka (3) Netral (3) Tidak Suka
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 70
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 13. Scoring Uji Pembedaan Gulai Bercitarasa Asap Tradisional Sampel Aroma Asap Rasa Asap Pasta 0,10% 2,33a 2,13a 0,15% 2,18a 2,35a b 0,20% 3,20 2,98b c 0,25% 3,73 3,93c c 0,30% 4,00 3,93c Bubuk 0,12% 2,25a 2,18a 0,32% 2,75b 2,80b c 0,52% 3,38 3,38c d 0,72% 3,90 3,88cd d 0,92% 4,33 4,13d Catatan : tanda superscript dengan huruf yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 5%) Keterangan : Uji Pembedaan : (1) Aroma dan rasa asap sangat lemah (2) Aroma dan rasa asap lemah (3) Aroma dan rasa asap agak kuat (4) Aroma dan rasa asap kuat (5) Aroma dan rasa asap sangat kuat Aroma/ Bau Asap Dari tabel rata-rata kedua batch tersebut dapat diketahui bahwa nilai tertinggi kesukaan panelis terhadap aroma asap dari bumbu pasta siap saji yaitu pada kuah gulai yang ditambah dengan asap cair pada konsentrasi 0.10% (v/v), sehingga dari kelima sampel kuah gulai tersebut aroma asap yang paling disukai panelis yaitu aroma asap dengan konsentrasi 0.10% (v/v). Akan tetapi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kuah gulai yang ditambahkan asap cair pada konsentrasi 0.10% dan 0.15% (v/v) tidak berbeda sencara nyata. Perbedaan nyata terlihat antara kuah gulai konsentrasi asap cair 0.10%, dan 0.15% (v/v) dengan konsentrasi kuah gulai pada konsentrasi asap cair 0.20%, 0.25%, dan 0.30% (v/v). Dari hasil uji kesukaan tersebut menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai kuah gulai dengan konsentrasi asap cair yang rendah yaitu konsentrasi dibawah 0.20% (v/v). Semakin tinggi konsentrasi asap cairnya maka tingkat kesukaan panelis semakin menurun, hal ini terbukti panelis memberikan nilai yang semakin rendah. Hal ini juga didukung oleh hasil scoring dari uji pembedaan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair yang ditambahkan, aroma/ bau asap yang ditimbulkan semakin kuat. Bau asap yang ditimbulkan dari penambahan asap cair 0,10% (v/v) tidak berbeda secara nyata dengan konsentrasi 0,15% (v/v) namun berbeda secara nyata dengan tiga konsentrasi di atasnya. Semakin kuat bau asap yang terdeteksi oleh panelis, tingkat kesukaan dari panelis semakin menurun. Untuk bumbu bubuk siap saji, nilai tertinggi kesukaan panelis terhadap aroma asap yaitu pada kuah gulai yang
ditambah dengan tepung asap cair pada konsentrasi 0.12% (b/v), sehingga dari kelima sampel kuah gulai tersebut aroma asap yang paling disukai panelis yaitu aroma asap dengan konsentrasi 0.12% (b/v). Akan tetapi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kuah gulai yang ditambahkan tepung asap cair pada konsentrasi 0.12% ini tidak berbeda secara nyata dengan konsentrasi 0.32%, namun berbeda secara nyata dengan konsentrasi 0.52%, 0.72%, dan 0.92% (b/v). Dari hasil uji kesukaan tersebut menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai kuah gulai dengan konsentrasi tepung asap cair yang rendah yaitu konsentrasi dibawah 0.32% (b/v). Semakin tinggi konsentrasi tepung asap cairnya maka tingkat kesukaan panelis semakin menurun, hal ini terbukti panelis memberikan nilai yang semakin rendah. Hal ini karena aroma asap yang dihasilkan akan semakin kuat dan tajam. Dengan demikian dapat diketahui bahwa panelis lebih menyukai aroma asap yang rendah. Hal ini juga didukung oleh hasil scoring dari uji pembedaan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair yang ditambahkan, aroma/ bau asap yang ditimbulkan semakin kuat. Bau asap yang ditimbulkan dari penambahan asap cair 0,12% (b/v) berbeda secara nyata dengan konsentrasi lainnya. Semakin kuat bau asap yang terdeteksi oleh panelis, tingkat kesukaan dari panelis semakin menurun. Rasa Asap Dari tabel dapat diketahui bahwa nilai tertinggi kesukaan panelis terhadap rasa asap dari bumbu pasta siap saji yaitu pada kuah gulai yang ditambah dengan asap cair pada konsentrasi 0.15% (v/v), sehingga dari kelima sampel kuah gulai tersebut rasa asap yang paling disukai panelis yaitu rasa asap dengan konsentrasi 0.15% (v/v). Akan tetapi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa asap kuah gulai pada konsentrasi ini tidak berbeda secara nyata dengan keempat konsentrasi yang lain. Dari hasil uji kesukaan tersebut menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai kuah gulai dengan konsentrasi asap cair yang rendah yaitu konsentrasi dibawah 0.25% (v/v). Semakin tinggi konsentrasi asap cairnya maka tingkat kesukaan panelis semakin menurun, hal ini terbukti panelis memberikan nilai yang semakin rendah. Hal ini juga didukung oleh hasil scoring dari uji pembedaan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair yang ditambahkan, aroma/ bau asap yang ditimbulkan semakin kuat. Bau asap yang ditimbulkan dari penambahan asap cair 0,10% (v/v) tidak berbeda secara nyata dengan konsentrasi 0,15% (v/v) namun berbeda secara nyata dengan tiga konsentrasi di atasnya. Semakin kuat bau asap yang terdeteksi oleh panelis, tingkat kesukaan dari panelis semakin menurun. Untuk bumbu bubuk siap saji, nilai tertinggi kesukaan panelis terhadap rasa asap yaitu pada kuah gulai yang ditambah dengan tepung asap cair pada konsentrasi 0.12% (b/v), sehingga dari kelima sampel kuah gulai tersebut rasa asap yang paling disukai panelis yaitu aroma asap dengan konsentrasi 0.12% (b/v). Akan tetapi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa asap kuah gulai pada konsentrasi ini tidak berbeda secara nyata dengan konsentrasi 0.32% (b/v), dan berbeda secara nyata dengan ketiga konsentrasi yang lain. Dari hasil uji kesukaan tersebut menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai kuah gulai dengan konsentrasi tepung asap cair yang rendah yaitu konsentrasi dibawah 0.32% (b/v).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 71
ISBN 978-602-98902-1-1
Semakin tinggi konsentrasi tepung asap cairnya maka tingkat kesukaan panelis semakin menurun, hal ini terbukti panelis memberikan nilai yang semakin rendah karena rasa asap yang dihasilkan akan semakin kuat dan tajam, sehingga menimbulkan aftertaste pahit. Dengan demikian dapat diketahui bahwa panelis lebih menyukai rasa asap yang rendah. Hal ini juga didukung oleh hasil scoring dari uji pembedaan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair yang ditambahkan, aroma/ bau asap yang ditimbulkan semakin kuat. Bau asap yang ditimbulkan dari penambahan asap cair 0,12% (b/v) berbeda secara nyata dengan konsentrasi lainnya. Semakin kuat bau asap yang terdeteksi oleh panelis, tingkat kesukaan dari panelis semakin menurun. Kesukaan Keseluruhan Dari tabel dapat diketahui bahwa nilai tertinggi kesukaan panelis secara keseluruhan dari bumbu pasta siap saji yaitu pada kuah gulai yang ditambah dengan asap cair pada konsentrasi 0.15% (v/v), sehingga dari kelima sampel kuah gulai tersebut panelis paling menyukai kuah gulai bercitarasa asap secara keseluruhan pada konsentrasi 0.15% (v/v). Akan tetapi tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan terhadap kuah gulai pada konsentrasi ini tidak berbeda secara nyata dengan keempat konsentrasi yang lain. Dari hasil uji kesukaan tersebut menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai kuah gulai dengan konsentrasi asap cair yang rendah yaitu konsentrasi dibawah 0.25% (v/v). Semakin tinggi konsentrasi asap cairnya maka tingkat kesukaan panelis semakin menurun, hal ini terbukti panelis memberikan nilai yang semakin rendah. Untuk bumbu bubuk siap saji, nilai tertinggi kesukaan panelis secara keseluruhan yaitu pada kuah gulai yang ditambah dengan tepung asap cair pada konsentrasi 0.32% (b/v), sehingga dari kelima sampel kuah gulai tersebut panelis paling menyukai kuah gulai bercitarasa asap secara keseluruhan pada konsentrasi 0.32% (b/v). Akan tetapi tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan asap kuah gulai pada konsentrasi ini tidak berbeda secara nyata dengan keempat konsentrasi yang lain.
Bumbu Opor Ayam Tabel 14. Scoring Kesukaan Panelis terhadap Bumbu Opor Ayam Bercitarasa Asap Tradisional Pasta
Sampel
Rasa Asap
Aroma Asap 3.72d
0.1%
3.32c
0.25%
3.35c
0.4%
2.77b
2.90b
0.55%
3.10bc
3.12bc
0.7%
2.05
0.2%
3.80b
3.67c
0.4%
bc
3.62
3.35bc
0.6%
3.52b
3.37bc
0.8%
2.90a
3.07b
1%
2.55
2.57a
a
3.45cd
2.20a
Bubuk
a
Catatan : Tanda superscript dengan huruf yang tidak sama dalam satu kolom, menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 5%). Keterangan : (1) Sangat Tidak Suka (4) Suka (2) Tidak Suka (5) Sangat Suka (3) Netral Tabel 15. Scoring Uji Pembedaan Opor Ayam Bercitarasa Asap Tradisional Sampel Aroma Asap Rasa Asap Pasta 0.1% 1.75a 1.75a b 0.25% 3.22 2.92b c 0.4% 3.92 3.95c 0.55% 3.70bc 3.95c 0.7% 4.55d 4.55d Bubuk 0.2% 2.15a 2.02a a 0.4% 2.67 2.70b b 0.6% 3.32 3.52c 0.8% 4.05c 3.97cd 1% 4.42c 4.32d Catatan : tanda superscript dengan huruf yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (α = 5%) Keterangan : Uji Pembedaan : (1) Aroma dan rasa asap sangat lemah (2) Aroma dan rasa asap lemah (3) Aroma dan rasa asap agak kuat (4) Aroma dan rasa asap kuat (5) Aroma dan rasa asap sangat kuat Rasa Asap Rasa yang paling disukai panelis adalah variasi bumbu opor ayam pasta citarasa asap dengan proporsi asap cair 0.25% (v/v). Tidak ada beda nyata dengan proporsi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 72
ISBN 978-602-98902-1-1
0.1%(v/v) tetapi untuk efektivitas maka digunakan proporsi 0.25%(v/v) sebagai proporsi optimum. Pemilihan proporsi yang lebih tinggi supaya memiliki antioksidan dan antimikrobia yang lebih tinggi pula. Senyawa dalam asap cair yang berperan sebagai antimikrobia yaitu fenol. Proporsi 0.25%(v/v) memiliki keawetan yang lebih tinggi dan dapat menanggulangi kehilangan flavor asap pada bumbu opor ayam jika penyimpanan berlangsung lama. Mekanisme senyawa fenol dalam membunuh mikrobia adalah reaksi antara asam fenoleat dengan protein (dalam hal ini mikroba). Pada kondisi enzimatis dengan adanya enzim fenolase yang bekerja secara alami pada pH netral, asam fenoleat dioksidasi menjadi kuinon yang dapat bereaksi dengan lisin dari protein yang menyebabkan protein tersebut tidak dapat digunakan secara biologis (Hurrell, 1984). Menurut Wastono (2006), asap cair (liquid smoke) dapat digunakan sebagai pengawet karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil yang memiliki kemampuan mengawetkan bahan makanan seperti daging, ikan, mie, bumbu pangan dan bakso. Proporsi yang lebih tinggi memiliki kandungan asap cair yang lebih tinggi pula. Asap cair mengandung komponenkomponen yang bersifat bakteristatis dan bakterisidal yang dapat berperan sebagai bahan pengawet. Hal ini dapat terjadi jika asap mengendap pada permukaan atau meresap ke dalam bahan yang diasap (Winarno, 1981). Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, dan peranannya semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut ada bersama-sama (Darmadji, 1996). Selain fenol, senyawa aldehid, aseton dan keton juga memiliki daya bakteriostatik dan bakteriosidal pada produk asap. Girrard (1992) menyatakan bahwa asap dalam bentuk cair berpengaruh terhadap keseluruhan jumlah asap dalam kondensat asap, yaitu mencapai 40% dengan 35 jenis asam. Kandungan asam yang mudah menguap dalam asap akan menurunkan pH, sehingga memperlambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1985). Terdapat beda nyata dengan proporsi 0.4%, 0.55% dan 0.7%(v/v). Bumbu opor ayam dengan proporsi asap cair 0.4% menunjukkan penilaian cenderung netral sedangkan pada proporsi 0.55% mendekati netral hingga disukai panelis sehingga masih dapat diterima oleh panelis. Lalu, pada proporsi 0.70%(v/v) menunjukkan penilaian yang tidak disukai panelis. Oleh karena itu disimpulkan rasa asap optimum pada variasi proporsi 0.25%(v/v). Dari hasil scoring rasa yang paling tinggi didapatkan nilai 3.35c yang berarti panelis suka terhadap sampel bumbu opor ayam bercitarasa asap dengan proporsi asap cair 0.25%(v/v). Untuk bumbu bubuk siap saji, nilai tertinggi kesukaan panelis terhadap aroma asap yaitu bumbu opor ayam bubuk dengan proporsi asap cair 0.2% (b/v) mempunyai rasa asap dengan skor tertinggi yaitu 3.80b yang berarti panelis menyukainya. Diketahui bahwa panelis cenderung menyukai bumbu opor bubuk flavor asap dengan range proporsi 0.2% 0.6% (b/v) dengan kesukaan panelis terhadap produk bumbu opor ayam bubuk tidak berbeda nyata. Sedangkan proporsi 0.8% dan 1%, kesukaan panelis berbeda nyata yakni kurang
disukai. Proporsi 0.2%(b/v) dipilih sebagai proporsi optimum karena lebih efisien dan ekonomis. Korelasi antara hasil uji kesukaan dan hasil uji pembedaan terhadap rasa asap menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai rasa asap dengan intensitas yang rendah. Dari hasil uji pembedaan di atas, dapat diketahui proporsi penambahan asap cair mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa asap. Semakin besar proporsi penambahan asap cair maupun tepung asap cair maka rasa asap yang dihasilkan semakin kuat pula. Pada tabel terlihat bahwa bumbu opor ayam pasta berflavor asap dengan proporsi penambahan asap cair 0.25% dan untuk bubuk proporsi 0.2% merupakan produk yang lebih disukai namun dengan intensitas flavor asap rendah. Aroma Asap Variasi bumbu opor ayam pasta yang menunjukkan nilai tertinggi bau dan aroma asap adalah proporsi asap cair 0.1% dengan nilai 3.72d. Namun, nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan variasi proporsi 0.25% (v/v) yang nilainya 3.45cd. Dengan pertimbangan sifat antioksidan dan keawetan produk seperti pada rasa asap maka dipilihlah variasi proporsi 0.25% (v/v) sebagai proporsi optimum. Pada scoring kesukaan panelis terhadap bumbu opor ayam bubuk terlihat skor tertinggi untuk proporsi 0.2% (b/v) dengan nilai 3.67c yang menunjukkan netral agak menyukai. Pada proporsi 0.4% (b/v) bernilai 3.35bc dan dan 0.6%(b/v) bernilai 3.37bc. Hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan proporsi 0.2%(b/v). Sedangkan pada proporsi 0.8% (b/v) bernilai 3.07c yang tidak berbeda nyata dengan proporsi 0.4% dan 0.6% (b/v). Lalu, proporsi 1%(b/v) cenderung netral tidak disukai dengan skor 2.57a. Berdasarkan korelasi hasil uji kesukaan dan pembedaan maka terlihat bahwa panelis lebih menyukai aroma asap dengan intensitas yang rendah yaitu 0.25% pada bumbu pasta dan 0.2% untuk bumbu bubuk. Sedangkan aroma asap yang kuat kurang disukai panelis. Keseluruhan Secara keseluruhan, panelis menunjukkan penilaian tertinggi yakni 3.60c pada sampel bumbu opor ayam pasta bercitarasa asap dengan variasi asap cair 0.1% (v/v) dengan scoring netral agak menyukai. Tidak ada beda nyata dengan proporsi 0.25% (v/v) yang bernilai 3.42bc dengan skor netral agak menyukai. Dengan pertimbangan penambahan asap cair lebih tinggi menghasilkan antioksidan yang tinggi pula maka dipilihlah proporsi 0.25%(v/v) sebagai proporsi optimum. Untuk proporsi 0.4% dan 0.55%(v/v) bernilai 3.02b yang berarti aromanya masih diterima panelis. Sedangkan pada proporsi 0.7% (v/v), panelis memberi skor 2.30a yang berarti aroma dan rasa asap yang kuat kurang disukai. Panelis menunjukkan penilaian tertinggi yakni 3.80b pada sampel bumbu opor ayam bubuk bercitarasa asap dengan variasi asap cair 0.2% (b/v) dengan scoring cenderung suka. Tidak ada beda nyata dengan proporsi 0.40% yang bernilai 3.70b dan 0.60% (b/v) yang bernilai 3.62b dengan skor netral agak menyukai. Sedangkan pada proporsi 0.8% yang bernilai 2.92a dan 1% (b/v) yang bernilai 2.65a menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu kurang disukai panelis. Dengan pertimbangan keekonomisan penambahan asap cair maka dipilihlah proporsi 0.2% (b/v) sebagai proporsi optimum. Pembuatan bumbu opor
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 73
ISBN 978-602-98902-1-1
ayam bubuk menggunakan pengeringan sehingga biaya operasinya lebih tinggi. Komposisi Kimia Penentuan Kadar Fenol dan Total Asam Penentuan kadar fenol dan total asam untuk mengetahui komponen flavor asap cair berupa komponen fenolitik dan senyawa-senyawa asam yang terserap ke dalam produk dan pengaruhnya terhadap kesukaan panelis. Bumbu Gulai Tabel 16. Hasil Analisis Fenol dan Total Asam Bumbu Gulai Prosentase (%) Sampel Konsentrasi Kadar Total Fenol Asam 0% (v/v) 1,65 2,63 bumbu pasta 0,15% (v/v) 2,69 3,09 0,30% (v/v) 3,13 4,77 0% (b/v) 3,40 1,44 bumbu bubuk 0,12% (b/v) 4,20 2,04 0,92% (b/v) 5,24 3,29 Kadar fenol pada bumbu pasta tanpa penambahan asap cair sebesar 1,65%. Sedangkan kadar fenol pada bumbu pasta dengan konsentrasi asap cair 0,15% (v/v) dan 0,30% (v/v) masing-masing sebesar 2,69% dan 3,13%, lebih besar dibandingkan kadar fenol pada asap cair itu sendiri, yakni sebesar 2,53%, seperti terlihat pada tabel 10.1. Begitu pula dengan kadar fenol pada bumbu bubuk, bumbu bubuk tanpa penambahan tepung asap cair sebesar 3,40%. Sedangkan kadar fenol pada bumbu bubuk dengan konsentrasi tepung asap cair 0,12% (b/v) dan 0,92% (b/v) berturut-turut sebesar 4,20% dan 5,24%, lebih besar dibandingkan kadar fenol pada tepung asap cair itu sendiri, yakni sebesar 2,24%. Hal ini menunjukkan bahwa pada bumbu pasta dan bubuk itu sendiri telah mengandung senyawa-senyawa fenolik. Dari tabel hasil juga diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi penggunaan asap cair pada bumbu pasta siap saji maupun penggunaan tepung asap cair pada bumbu bubuk siap saji, maka kandungan fenol dan total asamnya akan semakin meningkat pula. Kandungan fenol dan total asam ini berpengaruh pada citarasa bumbu yang dihasilkan, dimana Girard (1992) menyebutkan bahwa senyawa fenol disebut sebagai konstituen mayor yang berperan dalam pembentukan flavor pada produk asapan dan menurut Darmadji (1996) asam mempunyai peranan penting dalam penilaian organoleptik pada produk asapan secara keseluruhan. Semakin banyak fenol dan total asam yang terkandung pada bahan maka citarasa asapnya akan semakin terasa. Bila dihubungkan dengan hasil analisis sensoris, semakin besar konsentrasi penggunaan asap cair maupun tepung asap cair nilai kesukaan dari panelis semakin menurun. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kandungan fenol dan total asam yang terkandung dalam bahan, nilai kesukaan panelis semakin menurun karena citarasa asapnya sangat terasa dan dapat memberikan aftertaste pahit.
Bumbu Opor Ayam Tabel 17. Hasil Analisis Fenol dan Total Asam Bumbu Gulai Prosentase (%) Konsentrasi Sampel Kadar Total (%) Fenol Asam 0 2.56 1.62 bumbu pasta (v/v) 0.25 2.63 2.00 0.70 3.14 2.78 0 1.86 1.99 bumbu bubuk 0.20 1.91 2.19 (b/v) 1 2.77 2.59 Dari Tabel 17. diketahui bahwa terjadi kenaikan kadar fenol dari kontrol bumbu pasta dan bubuk tanpa asap menjadi bumbu pasta dan bubuk citarasa asap. Kenaikan kadar fenol ini akibat dari penggunaan asap cair 0.25%(v/v) pada pasta dan penambahan tepung asap 0.2%(b/v) pada bumbu bubuk. Hal ini membuktikan bahwa proses rekayasa penambahan flavor asap mampu menaikkan kadar fenol pada produk namun masih dapat diterima oleh konsumen. Senyawa fenolat ini sangat penting dalam menentukan mutu asap cair dan bahan yang diperlakukan dengan asap cair. Hal ini karena fenol berperan dalam menyumbangkan aroma yang spesifik pada produk asapan (Dugan,1976). Berdasarkan tabel 4.13 terlihat bahwa semakin banyak penambahan asap cair dan tepung asap cair menyebabkan kadar fenol semakin tinggi. Kenaikan kadar fenol ini berkontribuasi terhadap penurunan kesukaan panelis terhadap produk bumbu opor baik dalam bentuk bubuk maupun pasta. Asam–asam yang berasal dari asap cair dan tepung asap cair terikut dalam produk bumbu opor. Hal tersebut yang menyebabkan kesukaan panelis menjadi berkurang. Secara keseluruhan terlihat bahwa semakin banyak kandungan total asam pada produk bumbu opor maka terjadi penurunan kesukaan panelis. Analisis Proksimat Tabel 18. Hasil Analisis Proksimat Bumbu Gulai Siap Saji Kadar Kadar Sampel Komponen (%wb) (%db) 58,12 129,01 Kadar Air Bumbu Pasta 0,15%
Bumbu Bubuk 0,12%
Lemak
12,06
28,78
Protein
5,65
13,49
Gula Total
6,36
15,19
Gula Reduksi
2,33
5,57
Kadar Air
8,75
9,61
Lemak
9,73
10,64
Protein
25,17
27,58
7,91
8,67
4,94
5,42
Gula Total Gula Reduksi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 74
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 19. Hasil Analisis Proksimat Bumbu Opor Ayam Siap Saji Kadar Kadar Sampel Komponen (%wb) (%db) 37.11 59.00 Kadar Air 10.59 16.84 Lemak Bumbu 5.71 9.08 Pasta Protein 0,25% 9.77 15.54 Gula Total Gula Reduksi Kadar Air Bumbu Bubuk 0,20%
Lemak Protein Gula Total Gula Reduksi
2.61
4.15
7.80
8.46
5.20
5.63
12.98
14.08
19.57
21.23
2.65
2.87
Kadar Air Dari tabel diatas diketahui bahwa kadar air yang terkandung dalam bumbu gulai pasta adalah sebesar 58,12% (wb) atau 129,01% (db) dan pada bumbu gulai bubuk sebesar 8,75% (wb) atau 9,61% (db). Sedangkan pada bumbu opor ayam pasta sebesar 37.11% (wb) atau 59% (db) dan bubuk sebesar 7.8% (wb) atau 8.46% (db). Menurut Hambali (2009) kadar air pada bumbu kering adalah kurang dari 8%. Pada bumbu gulai pasta, proses penggorengan saat pengolahan dapat menyebabkan penurunan kadar air dan pada bumbu bubuk, penurunan kadar air terjadi saat proses pengeringan masing-masing jenis bumbu. Pengeringan merupakan proses penghilangan sejumlah air dari suatu bahan yang dikeringkan. Penghilangan ini meliputi dua tahap, yaitu perpindahan bahan ke permukaan dan tahap penguapan air tersebut dari permukaan ke udara bebas (Van Arsdel, 1963). Kadar air yang rendah ini dapat memperpanjang masa simpan karena air dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatik bahan oleh adanya aktivitas serangga perusak. Kadar Lemak Diketahui dari hasil perhitungan bahwa kandungan lemak pada bumbu gulai pasta cukup tinggi yakni 12,06% (wb) atau 28,78% (db). Tingginya kandungan lemak yang terdapat dalam bumbu gulai pasta ini sangat dipengaruhi oleh adanya proses absorbsi minyak selama penumisan. Lemak yang terkandung dalam bahan, misalkan rimpang jahe hanya sebesar 1,0%, cabe merah segar 0,3%, bawang merah 0,3%, bawang putih 0,2%, asam jawa 0,6% (Anonim1, 1981) dan rimpang kunyit 2,7% (Thomas, 1995) sehingga tingginya kandungan lemak dalam bumbu gulai pasta disebabkan karena adanya penyerapan minyak selama penumisan. Selama proses penumisan maupun penggorengan terjadi perpindahan minyak goreng dari sistem penggorengan ke produk yang digoreng dan menjadi komponen dari produk tersebut (Heid dan Joslyn, 1967). Sedangkan hasil perhitungan kandungan lemak pada bumbu gulai bubuk yakni 9,73% (wb) atau 10,64% (db). Adanya lemak pada bubuk cenderung bisa menjadi penghalang
terhadap proses absorbsi air dan akan mengurangi kecenderungan granula untuk membesar. Bila kadar lemak pada bubuk tinggi dapat mempengaruhi kualitas bahan selama proses penyimpanan karena kadar lemak yang tinggi dalam bahan menyebabkan bahan akan lebih mudah rusak dan tengik. Kadar lemak bumbu opor ayam pasta sebesar 10.59%(wb) atau 16.84%(db). Kadar lemak yang tinggi pada bumbu pasta karena bahan yang digunakan berupa bahan segar yang masih memiliki komponen lemak yang utuh. Kadar lemak cukup tinggi juga karena selama proses penumisan atau penggorengan dengan sedikit minyak terjadi perpindahan minyak goreng dari sistem penggorengan ke produk yang digoreng dan menjadi komponen dari produk tersebut (Heid dan Joslyn,1967). Sedangkan hasil perhitungan kandungan lemak pada bumbu gulai bubuk yakni 5.20%(wb) atau 5.63%(db). Adanya lemak pada bubuk cenderung bisa menjadi penghalang terhadap proses absorbsi air dan akan mengurangi kecenderungan granula untuk membesar (Dekie, 1988). Kadar Protein Kandungan protein yang terdapat dalam bumbu gulai pasta adalah 5,65% (wb) atau 13,49% (db). Sedangkan pada bumbu opor ayam pasta kadar proteinnya sebesar 5.71%(wb) dan pada bubuk sebanyak 12.98%(wb). Kandungan protein dalam produk ini merupakan hasil kontribusi dari rimpang jahe dengan kandungan protein sebesar 2,0%, cabe merah segar 1,0%, bawang merah 1,5%, bawang putih 4,5%, asam jawa 2,8% (Anonim2, 1972), dan kunyit 2% (Thomas, 1995) yang terdapat dalam produk. Sedangkan pada bumbu gulai bubuk kandungan proteinnya sekitar 25,17% (wb) atau 27,58% (db). Adanya perlakuan pemanasan, seperti penumisan dan pengeringan, selama pengolahan menjadikan kualitas protein pada produk menurun. Pemanasan mengakibatkan penurunan total asam amino terutama lisin, triptofan, sistein, dan histidin. Asam amino esensial adalah asam amino yang labil terhadap pemanasan. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka total asam amino akan semakin turun. (Badenhop and Hackler, 1971). Proses pemanasan yang dilakukan selama pembuatan bumbu pasta siap saji adalah penumisan, sedangkan pada pembuatan bumbu bubuk siap saji adalah pengeringan dengan cabinet dryer. Suhu penumisan ini lebih tinggi daripada suhu pengeringan dengan cabinet dryer, sehingga penurunan total asam amino semakin besar pula. Besar kecilnya kandungan protein di dalam bubuk akan banyak berpengaruh terhadap sifat fungsional bubuk, khususnya penyerapan air. Menurut Kinsella (1976), kandungan protein yang tinggi akan meningkatkan kemampuan bahan menyerap air karena pada umumnya protein memiliki gugus hidrofil yang mampu mengikat air. Sehingga bumbu bubuk ini lebih mudah mengempal bila disimpan pada kondisi yang tidak baik. Kadar Gula Total dan Gula Reduksi Kandungan gula total yang terdapat dalam bumbu gulai pasta adalah 6,36% (wb) atau 15,19% (wb) dan kandungan gula reduksi 2,33% (wb) atau 5,57% (db). Sedangkan pada bumbu gulai bubuk kandungan gula totalnya sekitar 7,91% (wb) atau 8,67% (db) dan kandungan gula reduksi 4,94% (wb) atau 5,42% (db).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 75
ISBN 978-602-98902-1-1
Sedangkan kandungan gula total yang terdapat dalam bumbu opor ayam pasta adalah 9.77% (wb) atau 15.54% (wb) dan kandungan gula reduksi 2.61% (wb) atau 4.15% (db). Pada bumbu opor ayam bubuk kandungan gula totalnya sekitar 19.57% (wb) atau 21.23% (db). Dan kandungan gula reduksinya 2.65% (wb) atau 2.87%(db). Dari hasil tersebut diketahui bahwa baik pada bumbu pasta siap saji maupun bumbu bubuk siap saji lebih banyak mengandung gula non reduksi bila dibandingkan dengan gula reduksi. Prototype Kemasan Pengemasan adalah usaha untuk menjamin keamanan produk selama penyimpanan dan distribusi, meningkatkan penampilan sehingga lebih menarik, meningkatkan penerimaan bahan pangan oleh konsumen seperti aroma, tekstur, dan citarasa serta memelihara nilai gizi selama distribusi dan transportasi (Ketaren, 1986). Penggunaan alumunium foil sebagai bahan pengemas dikarenakan alumunium foil merupakan bahan pengemas yang kedap udara dan kedap cahaya sehingga dengan pengemas tersebut diharapkan bumbu bubuk tidak mudah mengempal dan bumbu pasta tidak mengalami oksidasi. Fungsi yang lain adalah untuk melindungi salah satu komponen yang ada pada bumbu yaitu komponen fenol yang berpengaruh terhadap flavor. Fenol merupakan komponen penting yang dapat memberikan flavor asap pada bumbu dan fenol ini peka terhadap cahaya dan suhu, dengan adanya pengemas alumunium foil ini maka fenol yang ada dalam bumbu dapat terlindungi. Prototype kemasan bagi bumbu gulai bubuk dan pasta siap saji ini berukuran 13 cm x 12 cm (panjang x lebar) dengan bagian depan berisi merk, netto, dan label halal sedangkan bagian belakang berisi daftar komposisi, saran penyajian, informasi kandungan gizi, kode produksi, barcode, serta nama dan alamat perusahaan yang memproduksi bumbu. Desain kemasan dapat dilihat pada lampiran. Kesimpulan 1. Formulasi bumbu gulai tepat didapatkan pada orientasi ke I pada bumbu pasta siap saji dan pada orientasi ke III pada bumbu bubuk siap saji. Sedangkan pada bumbu opor ayam pasta diperoleh pada orientasi IV dan bubuk pada orientasi II. 2. Threshold aroma dan rasa asap cair yang diperoleh pada bumbu pasta dan bubuk gulai siap saji berturut-turut adalah 0.025%(v/v) dan 0.04%(b/v). Sedangkan threshold bumbu opor ayam pasta pada proporsi 0.015%(v/v) lalu bumbu opor ayam bubuk dengan proporsi 0.01%(b/v). Proporsi maksimum bumbu gulai pasta pada 0.4%(v/v), dan untuk bubuk 1.0%(b/v). Sedangkan proporsi maksimal yang kurang disukai panelis pada bumbu opor ayam pasta yakni 0.8%(v/v) lalu untuk bumbu opor ayam bubuk dengan proporsi 1.25%(b/v). 3. Rekayasa penambahan asap cair optimum pada konsentrasi 0.15%(v/v) pada bumbu gulai siap saji dan 0.25%(v/v) untuk bumbu opor ayam sedangkan penambahan tepung asap cair pada bumbu bubuk gulai
siap saji pada konsentrasi 0.12%(b/v) dan 0.2%(b/v) untuk bumbu opor ayam siap saji. Saran 1. Belum diketahuinya pengaruh waktu pemasakan terhadap penambahan asap cair dan tepung asap cair pada bumbu gulai bubuk dan pasta siap saji, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. 2. Rekayasa penambahan asap cair dan tepung asap cair pada bumbu gulai pasta dan bubuk siap saji menghasilkan bumbu dengan kadar air yg berbeda, sehingga umur simpannya pun berbeda, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui umur simpan produk. DAFTAR PUSTAKA Anonim1. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi Depkes RI. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Anonim2. 1990. Association of Official Analytical Chemistry Official Method of Analysis. 18th editor. Benjamin Franklin. Washington D.C. Badenhop, A.F. dan L.R Heckler. 1971. Protein Quality of Dry Roasted Soybeans : Amino Acid Composition and Protein Efficiency Ratio. Journal of Food Science 36 : 1-4. Darmadji, P. 1996. Antibakteri asap cair dari limbah pertanian. Agritech 16(4)19-22. Daun, H., 1979. Interaction of Wood Smoke Component and Food. Food Tech. 35(5): 66-70. Draudt, H. N., 1963. The Meat Smoking Process. Review Food Tech. 17. 1557. Dugan,Jr., L.R., Lipids, In : Principle of Food Science Part I Food Chemistry, O.R. Fennema (ed), Marcel Dekker, Inc. New York. Ernawati, dan Edi Sigar. 1996. Dapur Pintar. Jakarta : Upaya Warga Negara. Girard, J.P., 1992. Technology of Meat and Meat Product Smoking. Ellis Harwood. New York. London. Toronto. Sydney. Tokyu. Singapore. 162-201. Gorbatov, V.M., N.N, Krylova, V.P. Volovinskaya, Y.N. Cyaskovkaya, K.I. Bazarova, R.I. Khlamova, and G.Y. Yakavlova,. 1971. Liquid Smoke For Use in Cured Meat. Food Tech 25: 71-77 Hambali, Erliza., Permanik, R., Fatmawati. 2009. Membuat Aneka Bumbu Instan Kering. Penebar Swadaya: Surabaya Handayani, Ninik. 2004. Pembuatan Tepung Asap dan Aplikasinya pada Bumbu Instan Kering. Skripsi, FTP UGM, Yogyakarta Heid, J.L dan M.A Joslyn, 1967. Fundamental of Food Processing Operation Ingredients Methods and Packing. The Avi Publishing Co,Inc., Westport, Connecticut
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 76
ISBN 978-602-98902-1-1
Kinsella, J.E. 1976. Functional Properties of Protein in Foods : a Survey Critical Review. Food Science Nutr., 7:219. Maga. Y.A. 1987. Smoke in Food Processing. CRC Press. Inc. Boca Raton. Florida. : 1 - 3 ; 113 - 138. Pszczola, D.E., 1995. Tour Highlights Production and Users of Smoke Based Flavors. Food Tech (1)70-74 Senter,S.D ; Robertson,JA ; dan Meredith, F.I., 1989. Phenolic Compound of The Mesocarp of Cresthaven Peaches During Storage and Ripening. Juornal Food Science 54 : 1259-1268 Thomas, ANS. 1995. Tanaman Obat tradisional. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Tranggono, Suhardi, Bambang-Setiadji, Purnama-Darmadji, Supranto, dan Sudarmanto. 1996. Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan I (2) : 15 - 24. Van Arsdel. W, dan Copley, M.I, 1963. Food Dehydration Vol 1. The AVI Publishing Company, Inc, Westport. Yefrida, Yani Kasuma Putri, Richi Silvianti, Novita Lucia, Refilda, dan Indrawati. 2008. Pembuatan Asap Cair Dari Limbah Kayu Suren (Toona sureni), Sabut Kelapa dan Tempurung Kelapa (Cocos nucifera Linn). J.Ris.Kim Vol. I No. 2 Maret 2008 : 187-191
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 77
ISBN 978-602-98902-1-1
Dryoprotective Effect Of Different Types Of Sugar On Functional Properties Of Surimi Powder Jamuna Nadaraja, Nurul Huda* and Tajul Aris Yang Fish and Meat Processing Laboratory, Food Technology Programme School of Industrial Technology, Universiti Sains Malaysia Minden, 11800, Penang, Malaysia. *Correponding Author:
[email protected]
ABSTRACT Commercial Threadfin bream surimi (Nemipterus spp.) with different dryoprotectant; trehalose, sucrose and sorbitol were freeze dried to produce surimi powder. As a control was the freeze dried surimi powder without dryoprotectant. The resulting surimi powder were investigated for dryoprotective effect during storage at 4°C for 4 months and compared with control. The stability and functional properties of fish protein powder was monitored by studying the changes in color, protein solubility in 3% NaCl, water holding capacity, gel forming ability and Ca2+ ATPase activity throughout the storage at 4°C. During 4 month of storage, all surimi powder either with or without dryoprotectant undergone a certain extend of deterioration in these quality attribute due to protein denaturation. The surimi powder with dryoprotectant exhibit higher protein solubility, Ca2+ ATPase activity, water holding capacity and gel forming ability compared to control. However, the addition of dryoprotectant results reduction in powder whiteness and gel whiteness due to the Maillard reaction. It is shown that the dryoprotectant trehalose, sucrose and sorbitol have cryoprotective properties in protecting the functional properties of myofibrillar protein in surimi powder during storage at 4°C. Among the dryoprotectant, trehalose exhibits high cryoprotective effect followed by sucrose and sorbitol respectively. Key words: Surimi powder, dryoprotectant, low sweetness sugar, functional properties
INTRODUCTION Surimi is the Japanese term for an intermediate food product prepared by water washing mechanically deboned fish mince. The minced fished water- washed or leached to remove fat and water in frozen condition (Okada, 1992). Many recent studies show that, the fish protein stabilized during frozen storage addition of cryoprotective additives, so these additives also useful in stabilizing the protein against denaturation during drying. Moreover, drying of the frozen surimi found to be one of the ways to reduce the need of storage facilities and dried fish protein offer many advantage such as lower shipping costs, more convenient storage and very useful in dry mix application since most of the food protein ingredients are traded in dry form (Niki et al., 1992). Processing of surimi powder involves drying or removal of water directly after the raw surimi has been blended with mixture of sugar or polyols. In this powdered form the surimi can be kept without frozen storage (Huda et al., 2000). Since there is possibility producing surimi powder using cryoprotectant such as sugars and polyols from denaturation during drying, the cryoprotectant also serves as a dryoprotectant (Huda et al., 2001). However, so far there is no published study on the protective effects of different dryoprotectant in surimi powder produced from Threadfin bream (Nemipterus spp.) surimi during storage.
MATERIAL AND METHODS Preparation of Surimi Powder
The surimi sample that used in this project was supplied by local manufacturer of the surimi and surimi basedproducts located in Malaysia. The surimi samples preparation with addition of different dryoprotectant such as Sorbitol (Euro Chemo- Pharma Sdn. Bhd.), Sucrose (MSM Co. Bhd.) and Trehalose (Hayashibana) were stored in cold room at temperature around -18°C until being sent to USM by refrigerated truck. The frozen surimi blocks were sliced into small slices with 10 cm length, 5 cm width and 1cm thickness. Then the slices were frozen in a freezer at -18°C for at least 24 hours before placed in the drying chamber of Labconco Freeze Drying System (USA). The freeze drier was activated and run for 72 hours until the moisture content reached around 5 %. The dried samples were milled and sieved using commercial sieve (40 mm screen mesh). The resulting powders were packed in vacuum packaging and stored at 4 ± 1°C for 4 months until used for the further analysis (Huda et al., 2001). Functional properties Analysis The color measurement of surimi powder measured according to Park (2005) using colorimeter (Minolta Spectrophotometer, Model CM-3500d, Osaka, Japan). The protein solubility in 3% NaCl was calculated on the basis of 100% solubility of the protein (AOAC, 1990; Venugopal et al., 1996). The water holding capacity of surimi powder was reported in terms of ml of water held by 1 g of protein powder according to the method of Miller and Groninger (1976). The gel forming ability of surimi powder measured according to the method of Miller and Groninger, (1976). The Ca2+ATPase Activity were determined using modified method based on MacDonald and Lanier (1994) and Benjakul et al. (1997).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 78
ISBN 978-602-98902-1-1
sucrose, sorbitol and trehalose were decreased. Addition of dryoprotectant to surimi will affect the whiteness due to Maillard reaction (Musa et al., 2005). Similar result was reported by Shaviklo et al. (2010b), the freeze dried Saithe protein without addition of sugar showed highest lightness and whiteness compared to freeze dried protein with addition of sugar. Among the sugars, the non reducing sugars sucrose and trehalose are most effective to maintain whitwness value during storage both dryoprotectants slightly induce browning results from Maillard RESULT AND DISCUSSION reaction compared to the reducing sugars. According to Huda et al. (2000), the drying processes The changes in color (whiteness value) , protein denature the protein and cause reduction in protein solubility. solubility in 3% NaCl, water holding capacity, gel forming ability The dryoprotectant works by increasing the surface tension of Tabl 1. The functiona; properties changes of surimi powder added with different dryoprotectant throughout the storage at 4°C
Statistical Analysis All the data were analyzed statically using one-way ANOVA (for comparing more than 2 means) at 5% significant level. Duncan test was also conducted to perform comparison between treatments at 5% significant level. All statistical analyses were conducted by using SPSS, version 17.0 (SPSS Inc., Chicago, USA).
Type of Dyoprotectant FP
Month
None
Sorbitol
Sucrose
Trehalose
WV
0 81.45±0.21 aB 79.24±0.03aA 80.20±0.18 aB 80.16±0.28 aB bB bA bB 1 80.40±0.05 77.99± 0.08 79.13±0.16 79.07±0.40 bB cC bA cB 2 79.40±0.02 77.69±0.11 78.68±0.01 78.77±0 cB dC cA dB 3 78.89 ±0.07 77.17±0.20 77.62±0.06 78.02±0.09 dB 4 77.81±0.09eA 75.43 ±0.16dC 76.92±0.11 dD 76.98±0.09eB PS 0 19.68±0.32 aA 17.37±0.02aC 18.07 ± 0.02 aB 18.19 ± 0.13 aB 1 17.81±0.20 bA 17.21±0.08bB 17.85 ± 0 abA 18.04 ± 0.07 aA 2 16.69±0.05 cB 16.85±0.05cC 17.13 ± 0.58 bcA 17.80 ± 0.04 bA 3 14.46±0.29 dC 16.72±0.05cB 17.21 ± 0.04 cA 17.40 ± 0.09 cA eC dB cA 4 13.81±0.04 15.94±0.03 16.61 ± 0.09 16.52 ± 0.78 dA aA aB aC WHC 0 6.75±0.068 13.14 ±0.01 13.52±0.01 13.82±0.14aD bA bB bC 1 5.85±0.0707 13.09±0.04 13.45±0.03 13.80±0.06bD cA cB cBC 2 5.615±0.0212 12.77±0.03 13.05±0.02 13.41±0.27cC dA dB dB 3 5.405±0.0071 12.37±0.07 12.35±0.29 12.74±0.04dB 4 5.17±0.045 eA 11.57±0.10 dB 11.8±0.07 dC 11.86±0.79dC GFA 0 5±0 aA 2±0 aB 2±0 aB 2±0 aB 1 5±0 aA 2±0 aB 2±0 aB 2±0 aB 2 6±0 aA 3±0 aB 3±0 aB 3±0 aB aA aB aB 3 6±0 3±0 3±0 3±0 aB aA aB aB 4 6±0 4±0 4±0 4±0 aB aA aB aC CaATP 0 34.12±0.81 35.58±0.04 41.09±0.30 43.23 ±0.13 aD b b 1 30.38 ±0.93 31.54±0.39 2 26.43±0.88 cA 27.49±1.05cA 33.53±0.13 bB 32.53±0.23 bB 3 23.07±0.63 dD 26.02±0.028dA 29.85±0.09 cC 30.70 ±0.84 cB 4 20.06±0.38 eA 25.31±0.43dB 28.55±0.04 dC 28.89±0.60 dC FP (Functional Properties), WV (Whiteness Value) , PS (Protein Solubility in 3% NaCl), WHC (Water Holding Capacity, GFA (Gel Forming Ability) and CaATP (Ca2+ ATPase Activity). Different lowercase superscript letters in the same column indicate significant differences among month of storage (p< 0.05). Different uppercase superscript letters in the same rows indicates significant different among the samples. and Ca2+ ATPase activity of surimi powder added with different dryoprotectant throughout the storage at 4°C showed at Table 1. Whiteness value of surimi powder with dryoprotectant and without dryoprotectant decreased significantly during 4 month of storage (p< 0.05). On the 0 month storage, the surimi powder without dryoprotectant was lightest compare to the surimi powder with the dryoprotectant and there were no difference among in the whiteness value among sucrose, sorbitol and trehalose. After 4 month storage, the whiteness value among
water which stabilized the protein by favoring solute exclusion from the protein surface. Moreover it also enhances the strength of intermolecular hydrophobic interaction. So incorporating dryoprotectant in surimi could be protect and stabilizing protein from heat denaturation. The protein solubility in 3% NaCl of surimi powder with dryoprotectant and those without dryoprotectant decreased significantly during 4 month of storage (p< 0.05). The protein solubility in 3% NaCl of surimi powder with different dryoprotectant (trehalose, sucrose and sorbitol) is
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 79
ISBN 978-602-98902-1-1
different significantly (p< 0.05). Among the dryoprotectant, surimi powder with trehalose shows higher protein solubility in 3% NaCl followed by sucrose and sorbitol respectively. Zhou et al. (2006) also reported that high level salt solubility of trehalose indicates that trehalose posse better dryoprotective effect on tilapia protein than sorbitol/ sucrose. Additionally, the polyphosphate proved to enhance the dryoprotective effect of trehalose and sucrose/sorbitol (Pan et al., 2010). The water holding capacity of surimi powder with dryoprotectant is higher than those without dryoprotectant. Among the dryoprotectant, surimi powder with trehalose shows higher water holding capacity followed by sucrose and sorbitol respectively. Whereas the surimi powder without dryoprotectant have low water holding capacity. At the end of storage, the trehalose able to retain its dryoprotective effect and has an effective dryoprotective role against denaturation of myofibrillar protein. In addition, the sucrose and sorbitol also able to retain dryoprotective effect during storage. This shows that the dryoprotectant able to retain the functional properties of myofibrillar protein during drying process and also during storage. According to Shaviklo et al. (2010a), sample containing salt and sucrose had the higher water holding capacity and stable during 12 weeks of frozen storage at -18°C. Shaviklo et al. (2010b) reported that water holding capacity of freeze dried Saithe protein containing sugar was higher than spray dried Saithe and freeze dried Saithe without addition of sugar. The lack of lyoprotectant in the sample reduced the water holding capacity of freeze dried protein. Lyoprotectant such as sucrose have protective effects on protein through a preferential hydration effect and stabilize the structure of the protein during drying process. The gel forming ability of surimi powder with dryoprotectant and those without dryoprotectant varied significantly (p< 0.05). The freeze dried surimi powder with different dryoprotectant such sorbitol, sucrose and trehalose gelled at concentration 2% while the freeze dried surimi powder without any dryoprotectant gelled at concentration 5% (p< 0.05). The samples with dryoprotectant require lower concentration to form gel whereas the sample without dryoprotectant requires higher concentration. At 0 month storage, the sample with dryoprotectant requires lower concentration to forms gel. The dryoprotectants are effective in protecting the functional properties of the myofibrillar protein drying process. This indicating the dryoprotectant reduced denaturation of fish proteins, myosin and actomyosin which are responsible for the gel forming ability. In addition, there is no significant different between the different type of dryoprotectant in the gel forming ability of the surimi powder. The three type of dryoprotectant in the surimi powder shows the same effect on the gel forming ability of the surimi powder during four month storage. The freeze dried Saithe protein containing sugar have a better gelation capacity than freeze dried trout and tilapia without addition of sugar (Montejano et al., 1994). Huda et al. (2001) reported that surimi powder of lizard fish, threadfin bream and purple-spotted big eye forms gels at concentration 1-4%. Moreover, freeze dried Saithe protein and spry dried samples with additives (sugar) gelled at concentration of 10 and 20 g kg1 respectively (Shaviklo et al., 2010b).
The Ca2+ ATPase activity of Natural Actomyosin (NAM) extracted from freeze dried surimi powder with dryoprotectant and without dryoprotectant decreased significantly during the 4 month of storage (p< 0.05). There is significant difference in the Ca2+ ATPase activity between the surimi powders with different dryoprotectant and without dryoprotectant during 4 month of storage (p< 0.05). The Ca2+ ATPase activity of NAM from surimi powder without dryoprotectant is lowest while the Ca2+ ATPase activity of NAM from surimi powder added with trehalose is higher followed by sucrose and sorbitol respectively. There is a sharp decrease in Ca2+ ATPase activity of NAM from surimi powder without dryoprotectant observed compared to samples with the dryoprotectant. When comparing the activity of NAM of sample with different dryoprotectant, those added with trehalose showed greatest activity within the storage period (P< 0.05). According to Zhou et al. (2006), Ca2+ ATPase activity of NAM is a good indicator of integrity of myosin molecule and the myosin head possesses the ATPase enzymatic activities. The rearrangement of protein via protein-protein interaction also contributes to loss of activity. Moreover, the oxidation of sulfhydryl groups on the active sites of actomyosin also induces decrease in the Ca2+ ATPase activity. According to Dey and Dora (2010), the decreased in Ca2+ ATPase activity was probably due to the conformational changes of myosin globular head as well as the aggregation in this portion. Myosin conformational changes were caused by the increase in ionic strength of the system (Benjakul et al., 2003).
CONCLUSION The surimi powder with different dryoprotectant; trehalose, sucrose and sorbitol that prepared from freeze dried methods able to retain the functional properties of gel forming ability, protein solubility, Ca2+ ATPase activity and water holding capacity during storage compared to surimi powder without dryoprotectant. These had revealed the cryoprotective effectiveness of trehalose, sucrose and sorbitol in retarding the protein denaturation during storage at 4°C for 4 month. Among the dryoprotectant, trehalose showed high cryoprotective effect in retaining the functional properties of myofibrillar protein during drying as well during storage period. In addition to that, the whiteness of surimi powder with dryoprotectant also affected during storage due to Maillard reaction of the carbohydrate during storage. Among the three dryoprotectant, sorbitol experienced higher Maillard reaction compared to trehalose and sucrose. In conclusion, the surimi powder with dryoprotectant has high quality characteristics compared to the raw surimi powder without any dryoprotectant. ACKNOWLEDGEMENTS The authors acknowledge with gratitude the support given by the Universiti Sains Malaysia (USM). This research was conducted with aid from a research grant provided by the MALAYAN SUGAR MANUFACTURING COMPANY BERHAD.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 80
ISBN 978-602-98902-1-1
REFERENCES AOAC International (1990) Official Methods of Analysis, 15th Edition, Gaithersburg, MD: AOAC International. Benjakul, S., Seymour, T. A., Morrissey, M. T., & An, H. (1997). Physicochemical changes in Pacific whiting muscle proteins during iced storage. Journal of Food Science, 62(4), 729-733.
(2nd ed., pp. 33-106). Taylor and Francis Group,Boca Baton, London. Shaviklo, G. R., Thorkelsson, G., Sigurjon, A., Kristinsson, H. G., & Sveinsdottir, K. (2010a). The influence of additives and drying methods on quality attributes of fish protein powder made from Saithe (Pollachius virens). Journal of the Science of Food and Agriculture, 90, 2133-2143.
Benjakul, S., Visessanguan, W., & Tueksuban, J. (2003). Changes in physico-chemical properties and gel-forming ability of lizardfish (Saurida tumbil) during post-mortem storage in ice. Food Chemistry, 80, 535–544.
Shaviklo, G. R., Thorkelsson, G., & Arason, S. (2010b). The influence of additives and frozen storage on functional properties and flow behaviour of fish protein isolated from haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 10, 333-340.
Dey S.S. & Dora K.C. (2010). Effect of sodium lactate as cryostabilizer on physico-chemical attributes of croaker (Johnius gangeticus) muscle protein. Journal of Food Science and Technology, 47(4), 432-436.
Venugopal, V., Chawla, S. P., & Nair, P. M. (1996). Spray dried protein powder from Threadfin bream: preparation, properties and comparison with FPC type-B. Journal of Muscle Food, 7, 55-71.
Huda, N., Abdullah, A., & Babji, A. S. (2000). Effects of cryoprotectants on functional properties of dried lizardfish (Saurida tumbil) surimi. Malaysian Applied Biologi, 29(1&2), 9-16.
Zhou, A., Benjakul, S., Pan, K., Gong, J., & Liu, X. (2006). Cryoprotective effects of trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi during frozen storage. Food Chemistry, 96, 96–103
Huda, N., Abdullah, A., & Babji, A. S. (2001). Functional properties of surimi powder from three malaysian marine fish. International Journal of Food Science and Technology, 36, 401- 406. MacDonald, G. A., & Lanier, T. C. (1994). Actomyosin stabilization to freeze-thaw and heat denaturation by lactate salts. Journal of Food Science, 59(1), 101-105. Miller, R., & Groninger, H. S. (1976). Functional properties of enzyme-modified acylated fish protein derivatives. Journal of Food Science, 41, 268-272. Montejano, J. G., Morales, O. G., & Diaz, S. R. (1994). Rheology of gels of freeze-dried surimi of trout (Cyanuscion nothus) and tilapia (Oreochromis niloticus). CyTa Journal of Food, 34, 165-177. Musa, K. H., Abdullah, A., & W.M.Wan-Aida. (2005). Functional properties of surimi related to drying methods. Malaysian Applied Biology, 34(2), 83-87. Niki, H., Matsuda, Y., & Suzuki, T. (1992). Dried Forms of Surimi. In T. C. Lanier & C. M. Lee (Eds.), Surimi Technology (pp. 209-242). Marcel Dekker, New York. Park, J. W. (2005). Surimi and surimi seafood (2nd Edition). Taylor and Francis Group, Boca Baton, London Okada, M. (1992). History of surimi technology in japan. In T. C. Lanier & C. M.Lee (Eds.), Surimi Technology (pp. 3-22). Marcel Dekker, New York. Pan, J., Shen, H., & Luo, Y. (2010). Cryoprotective effects of trehalose on grass carp (Ctenopharyngodon Idellus) surimi during frozen storage. Journal of Food Processing and Preservation, 34, 715-727. Park, J. W., & Lin, T. M. J. (2005). Surimi manufacturing and evaluation. In J. W.Park (Ed.), Surimi and surimi seafood
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 81
ISBN 978-602-98902-1-1
Counterbalance Influence Of ‘Rasi’ (Rice Of Cassava-By Product) Flour, Sweet Potato Flour And Soya Bean Flour To Some Characteristics Of ‘Rasi’ Flakes [PENGARUH IMBANGAN TEPUNG RASI (BERAS AMPAS SINGKONG), TEPUNG UBI JALAR, DAN TEPUNG KEDELAI TERHADAP BEBERAPA KARAKTERISTIK FLAKES RASI] Marleen Sunyoto.1Souvia Rohimah1 Muadz Akbar2 1Researcher
2Graduate
at Faculty of Agricultural Industrial Technology, Padjadjaran University, Indonesia Student from Faculty of Agricultural Industrial Technology, Padjadjaran University, Indonesia 022 2505765, 0811247755,
[email protected]
ABSTRACT ‘Rasi’ flour is an alternative food sources that rich in energy. ‘Rasi’ is a kind of food product which is made on the basis of cassava as raw materials. It is made of cassava-by product from the processing of cassava into tapioca starch. ‘Rasi’ has 359 kcal of energy/100 grams of ‘rasi’, close to rice, so that‘rasi’ can be utilizedas breakfast foods, namely ‘rasi’ flakes. Flakes should have a crispiness characteristic, so they need an additional material such as sweet pootato flour to improve the organoleptic properties of the product. High content of protein in soya bean flour is needed to improve the nutritional value of protein in the ‘rasi’ flakes. The aim of this study was to determine the appropriate counterbalance of ‘rasi’ flour, sweet potato flour and soya bean flour to produce a new food product (‘rasi flakes’) with good characteristics and preferred by panelists. Randomized Block Design was carried out as the experimental method with five treatments and five replications. The ratio of rasi flour to sweet potato flour and soya bean bean flour was 50:16.67:33.3, 50:18.33:36.67, 60:13.33:26.67, 65:11.67:23.33, and 70:10:20 respectively. The results showed that the counterbalance of rasi flour, sweet potato flour and soya bean flour of 50:16.67:33.33 gave the best results of water 4,42%, protein 11,0%, rehydration 72,6%, brownish yellow, yield 90,4%, hardness 936 gF and organoleptic properties such as, color, taste, crispiness, and crispiness after soaking in milk can be accepted by the panelists. Keywords: Rasi flour, sweet potato flour, soya bean flour, flakes
I.INTRODUCTION Tapioca is a starch derived from the extraction of cassava (Manihot esculenta Crantz sin. Utilissima M. Pohl), which has undergone washing process, grating, strach deposition and starch drying (Wargiono and Barrett, 1987),and it is a kind of foodstuffs that very common in Indonesia.Data in the Central Bureau of Statistics of Indonesia (2004), shows that annual cassava production in Indonesia approximately is about 19.4 million tonnes, and around11.4 million tonnes is processed into tapioca flour intapiocaprocessing industries,distributed in Sumatra, Java, and Sulawesi. One ton of cassava can produce 250 kg of tapioca flour and 114 kg of solid waste (Tarmudji, 2004).In the past, this waste was utilizedas animal feed and fertilizer or directly discharged into rivers or ditches. Waste tapioca if not treated properly can cause disease, the emergence of a bad odor and the damage of the ecosystem in rivers (Environmental Impact Management Agency, 1996). Nowadays, tapioca waste has become valuable source of food diversification and is treated as stapple food. This kind of stapple food has been consumed for many years by indigenous people of Cireundeu, Cimahi, West Java Province. Therefore, it is suggested that the term tapioca‘waste’ or cassava‘waste’ should not be used especially infood processing, but rather cassava-by productthat known by the local people as ‘Rasi’ or rice of cassava-by product. ’Rasi’ is akind of carbohydrate food sources, derived from cassava-byproduct of the manufacture cassava or tapioca
(Center for Food Security and Consumption, Department of Agriculture, 2009). ‘Rasi’ has an energy content of almost equivalent to rice, which is 359 kcal/100 gram material, whereas rice contains 360 kcal/100 gram material. So that ‘rasi’ can be used as alternative food sources (Central Consumption and Food Security Ministry of Agriculture, 2009). But the utilization of rasi is still limited and simple, such as ‘steaming method’ in traditional food making. Therefore, it is necessary to develop a new food product that based on ‘rasi’ products to increase the selling value of the ‘rasi’ and a food product that can be accepted by the public.Utilization of ‘rasi’ can be performed by processing ‘rasi’ into ‘rasi’ flour bymilling ‘rasi’. Semi-finished productis recommended because it has a longershelf life, is easily mixed in the formulation, flexible and easily used to make varieties products (diversification), easily added nutrients (fortification), practical and more quickly cooked to consumer desire in modern life (Widowatiet.al, 2002). One alternative in the development of food product that based on ‘rasi’ flour as raw material is breakfast cereal. Cereal is a kind of food, that usually consumed at breakfast. It is practical in serving and contain adequate nutritional values. Cereal is made of various materials such as corn, wheat, rice and oats (Fizzel et.al, 1992) and is processed into variousforms such as flat (flaked), flakes (shredded), granules (granulated) and an expanding product (puffed) and usually it is served with fresh milk.Flakes is one of the breakfast cereal product in the form of thin sheets, round, brownish yellow, crunchy texture and
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 82
ISBN 978-602-98902-1-1
rehydration ability (Sutanto, 2001).Consumers acceptance to flakes products generally is based on eating quality of those products such as color, flavor, aroma, crispiness, the ability of flakesto remaincrispywhen imersein the milk (non sogging abilities) (Daniels, 1974). According to Herliana (2006), the desired characteristics of cassava flakes products for hardness around 262.5 gf, moisture content 3-5%, rehydration capacity 60.18%, brownish yellow, the texture remains crispy after being soaked in the milk for 1 minute, strong aroma, tasty, with a yield ranges from 93.93% to 95.51%. Crispiness is the most important factor in making the morning meal types of flakes (Loh and Mannell, 1990). The main component that affect crispy propertyof flakesis amylose and amylopectin. Amylose will form a hard texture, while amylopectin stimulate the expansion, crispy, porus and light properties. Sweet potato is a type of tubers plant that contain lots of starch with amylopectin content ranging from 60-70% and the remaining 30-40% is amylose. Processing of sweet potato into flour is one method of preservation, saving storage space and increasing sales value as well as easy mixed in the formulation. Sweet potato flour contains high carbohydrate, ranging from 88-90 g/100 g of material (Bogasari, 2006). Therefore, the addition of sweet potato flour in the manufacture of flakes would produce a crunchy flakes. According to Khomsan (2002), breakfast will contribute approximately 25% of the nutrients, its about 500 kcal and 12.5 g protein for 2000 calories of energy sufficiency. A good breakfast will contribute some important nutrients that needed by human body such as carbohydrates, proteins, fats, vitamins and minerals. Flakesthat are made of‘rasi’ and sweet potatoes flour have a low protein content so that theyneed additional materials as a source of protein, ie soybeans. Soybeanprobably is the best source of vegetable protein among other types of nuts. Soybean contains an average of 35 percent protein, even for high yielding varieties can reach 40-44 percent (Koswara, 1995). Soybean protein has many benefits for human health because it contains highessential amino acids that isgood for the body, but first, it has to be processed into soybean flour first so that they can be used as additional material in the manufacture of flakes. The addition of soybean flour will increase protein content in the ‘rasi’ flour,giving rise to the production ofnutritious flakes. Based on the above description, therefore, a research was conducted to assess the proper counterbalanceof‘rasi’ flour, sweet potato flour to soybean flour that will produce mixed flour as raw material in the production of ‘rasi’ flakes with good characteristics intheir color, flavor, aroma, crispiness and thair ability to remain crunchy in milk.
Technology, Faculty of Agriculture Industrial Technology, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia. Raw materials used in this study is the ‘rasi’ flour, sweet potato flour, soybean flour, sugar, salt and water. Materials used for analysis are distilled water, H2SO4, HBO3, NaOH, HCl, red methyl indicator.The equipment consists of basin, pan, measuring cups, roller noodle / pasta bike, oven cabinet dryer, electric oven Loading modell 100-800, hammer mill type SKI, tyler sieve CSC Scientific Catalog No.18480, gas stove, grinder, analytical scales, spoons, knives, stopwatch. The method used in this study is the method of experiment by using randomized block design (RAK), consisting of 5 treatments with 5 replications. The treatments were counterbalanceof ‘rasi’ flour, potato flour and soybean flour, with the detail as follows: A: Counterbalance of‘rasi’ flour andsweet potato flourto soybean flour = 50: 16.67: 33.33 B: Counterbalance of‘rasi’ flour andsweet potato flour to soyvean flour = 55: 15: 30 C: Counterbalance of‘rasi’ flour andsweet potato flour to soybean flour = 60: 13.33: 26.67 D: Counterbalance of‘rasi’ flour andsweet potato flour to soybean flour = 65: 11.67: 23.33 E: Counterbalance of‘rasi’ flour andsweet potato flour to soybean flour = 70: 10: 20 2.1 Preliminary Experiment The preliminary experiment consisted of five stages. The first stage is making the ‘rasi’ flour, potato flour, and soybean flour. The second phase, is the procedure determination of amount of added water during dough formation. The third stage, is the determination of temperature and steaming time. The fourth stage, is the determination of temperature and bakingtime. The fifth phase, is the manufacture of ‘rasi’ flakes,followed by organoleptic test. 2.2 Main Experiment The main experiment was conducted in two stages. The first stage is making ‘rasi’ flour, potato flour and soybean flour. The second phase is the manufacture of’rasi’ flakes with theratio of ‘rasi’ flour, sweet potato flour to soybean flour (50: 16.67: 33.33), (55: 18.33: 36.67), (60: 13.33: 26.67), (65: 11.67: 23.33), and (70: 10: 20). Processing Diagram of ’Rasi’Flakes is presented in Figure 1.
II.RESEARCH METHOD The experiment was carried ot in two stages, preliminary experiment and main experiment. The preliminary experiment was conducted in June-July 2009, and the main experiments conducted in March 2010. Both stages were carried out at the Laboratory of Food Processing Technology, Laboratory of Food Processing Engineering, Laboratory of Nutrition and Sense Assessment, Department of Food Industry
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 83
ISBN 978-602-98902-1-1
3.
Observation of the organoleptic properties of ‘rasi’flakesincluding aroma, color, taste, crispiness, and ‘rasi’ flakescrispiness after being soak in milk with Ranking Test(Soekarto, 1985). 4. Hardnesstest using Rheoner Type RE 3305 (Liliana, 2001 cited Desiana, 2006). B. Supporting observations (without any statistical test) 1. Cost analysis for home industry scale. 2. Analysis of starch content, amylose and amylopectin in flour constellations by using spectrophotometric method.
‘RASI’ FLOUR, SWEET POTATO FLOUR, SOYABEAN FLOUR in accordance with treatment Sugar 5% (b/b) Salt 1% (b/b) Water 80% (v/b)
FLOUR MIXING
DOUGH FORMING d = 5 cm, thickness = 1 cm
HEATING T = 90-95oC cm, t = 8 min
III.RESULTS AND DISCUSSION 3.1 Observation of Chemical Properties 3.1.1Water Levels Counterbalance influence of‘rasi flour, potato flour and soybean flour to moisture of ‘rasi’ flakes can be seen in Table 1.
COOLING at Room temp T = 27-30oC, t = 10 min
FLAKES FORMING 1cm x 1cm, thickness = 1mm
BAKING T = 140oC, t = 15 min
FLAKES ‘RASI’
COOLING at Room temp T = 27-30oC, t = 10 min
PACKAGING
Figure 1. Processing Diagram in the Making of ‘Rasi’ Flakes(Modiified from Kent and Evers,1994) Observation Criteria The observations on the instant porridge include: A. Main Observations (Statistical Test) 1. Chemical properties: • Water content by gravimetric method (AOAC, 1975) • Protein content by micro-Kjeldahl method (AOAC, 2000) 2. Physical Properties: • Power rehydration of ‘rasi’flakes in milk (Ranganna, 1978) • Rendement (Apriyantono et.al, 1989)
Table 1. Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and SoybeanFlour to Water Levels of ‘Rasi’ Flakes (% wb) Treatment (%) (‘Rasi’ F, Sweet Potatoes AverageWater Levels F, Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 4.6 a B (55: 15: 30) 4.6 a C (60: 13.33: 26.67) 4.5 a D (65: 11.67: 23.33) 4.4 a E (70: 10: 20) 4.4 a Note : The average treatment marked by the same small letters on the same column are not significantly different at 5% level according to Duncan test. Statistical analysis showed that counterbalance treatment of ‘rasi’ flour, potato flour and soybean flour did not give a significant difference in the effect of moisture content of ‘rasi’flakesfor all treatments. This is probably caused by water absorption of starch contained in wheat and ‘rasi’ flour in steaming process of dough that led to the development of sweet potato starch granules. The development of starch granules is resulted from water molecules that penetrate into the granules and trapped in the structure of the molecules of amylose and amylopectin (Muchtadi et.al., 1988). The same steaming time and temperature for each treatments caused each dough gelatinized perfectly. The perfect gelatinization in dough causesstarch granulesreach optimum inflation. If starch granulesare heated continously above the gelatinitation temperature, they will be broken so that the water molecules located in the vicinity of starch granuleswill evaporate causing flakesto have lower water content after baking. Time and temperature of baking are the same for each treatmentcausing water content of the ‘rasi’ flour of the resulting flakes are not much different. According to Matz (1959), in the manufacture of corn flakes from wheat and oats as raw materials, flakes with water content of 3-5% will be obtained. One of the desirable
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 84
ISBN 978-602-98902-1-1
characteristics of products of cassava flakes have a moisture content ranging from 3-5% (Herliana, 2006). Table 2 shows that the flakes have a moisture content of ‘rasi’ flour from 4.4 to 5.6%. It does not meet the reference standard of SNI 01-2886-2000 onextrudate snack food that has a maximum value of 4%, eventhough ‘rasi’ flourflakes still have a crunchy texture.Water content in food ingredients determinesacceptability,freshness, and durability of these foodstuffs (Winarno, 2008). Water is an important component in any food because the water can affect the appearance, texture, and taste of food. Foodstuffs with low water content such those flakeswill easily absorb water (hygroscopic) so that they need to be packaged properly in order to maintain durability. Microbial decomposition that generally contaminates dry products is fungi that live in products with a very low aw, 0.8 to 0.87 orproducts with 15-17% water content (Buckle et al., 1987). 3.1.2Level of Protein Based on statistical analysis, the counterbalance treatment of ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour gives a significantinfluence difference tothe protein content of the resulting flakes, as seen in Table 2 below. Table 2. Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and Soybean Flour to Protein Levels of ‘Rasi’ Flakes (% wb) Treatment (%) (Rasi F: Sweet PotatoesF : Average Protein Levels Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 11.0 a B (55: 15: 30) 8.7 b C (60: 13.33: 26.67) 7.3 c D (65: 11.67: 23.33) 5.5 d E (70: 10: 20) E 4.1 Note: The average treatment marked by the same small letters on the same column are not significantly different at 5% level according to Duncan test. It can be seen in Table 2, that all treatments gave a significantly different effect. This shows that the addition of soy flour gives a significant difference in protein content for each treatment. The more soy flour is used, the higher the protein content of ‘rasi’ flakes.This is because soy flour contains 32.5% protein (Fintan, 2004) while the ‘rasi’ flour and sweet potato flour contains only 1.4% and 2.5% protein respectivelly. Soy flour contributes the highest protein compare withthose of ‘rasi’flour and sweet potato flour so that the addition of soy flour gives thehighest protein content offlakes.The Recommended Dietary Allowance (RDA) suggested that a mixture of milk and breakfast cereals should be able to supply protein around 15-22% for children aged 8-10 years (Vail et al., 1978).‘Rasi’ flakes with the addition of 33.33%soy flour can supply 11% protein and to fulfill the need of protein can be obtained by consuming ‘rasi’ flakes with milk. Based on the Nutrition Directorate of the Ministry of Health (1992), skim milk can increase protein content because of it’s high protein content of 35.6% while full-cream milk contains 24.6%. Decreasing protein level can be occurred in the
manufacture of flakes, caused by an interaction between amine groups derived from proteins and free carboxyl groups derived from the carbohydrate group during the flakes baking processes. Observation 3.2 Physical Properties 3.2.1 Yield Based on statistical analysis, thecounterbalance treatment of ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour providenosignificant difference to ‘rasi’ flakesrendemen of all treatments. Counterbalance influence of ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour to the ‘rasi’ flakes can be seen in Table 3. Table 3. Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and Soybean Flour to ‘Rasi’ Flakes Yield (% bk) Treatment (%) (Rasi F: Sweet Potatoes F: Average yield Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 90.4 a B (55: 15: 30) 90.0 a C (60: 13.33: 26.67) 89.2 a D (65: 11.67: 23.33) 90.0 a E (70: 10: 20) 89.7 a Note : The average treatment marked by the same small letters on the same column are notsignificantly different at 5% level according to Duncan test. The data in Table 3 states that the yield of the ‘rasi’flakes were not significantly different for each treatment. The use of counterbalance ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour is different does not give effect to yield of resulting ‘rasi’ flakes.This is because the formulation of the materials used for each treatment have the same amount, i.e the ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour as much as 100 g (counterweight according to treatment), 8 g sugar, 1 g salt and 80 mlwater.Based on data from the ‘rasi’flakes above the rendemen is 89.7 to 90.4%, which means that in 100 grams of raw materials,will produceflakes 89.7 to 90.4 grams. The high value of rendemen of ‘rasi’ flakes can provide benefit in the production of ‘rasi’ flakes so that ‘rasi’ flakes could becomea promising food product to be developed into an industrial scale. 3.2.2Power Rehydration Milk Flakes Statistical analysis data shows that the counterbalance treatment of ‘rasi’ flour, potato flour, and soy flour give significant influence difference on the rate of rehydration ‘rasi’flakes. The influence of counterbalance‘rasi’ flour, potato flour and soy flour to rehydration flakes‘rasi’ in milk can be seen in Table 4.
Table 4. Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour, Soybean Flour to Rehydration
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 85
ISBN 978-602-98902-1-1
Power of ‘Rasi’ Flakesin Milk (%) Treatment (%) (Rasi F:Sweet Potatoes F: Average Rehydration Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 72.6 a B (55: 15: 30) 70.6 a C (60: 13.33: 26.67) 68.9 ab D (65: 11.67: 23.33) 68.8 ab E (70: 10: 20) 64.4 b Note : The average treatment marked by the same small letters on the same column are not significantly different at 5% level according to Duncan test. Power rehydration is the abilityof flakes to absorb liquid (milk) after soaking in milk for 1 minute. On the tables above, the flakes with E treatment gives significant effect difference on the flakescompare withthose of A, B, C and D treatments. The range of rehydration power of‘rasi’ flakesis 0200% where the higher the power of rehydration, the faster the flakes absorb the liquid.The amount of rehydration power indicates the crispness quality of flakes when consumed with milk. ‘Rasi’ flakes with average rehydration power of 64.4 to 72.6% indicate that the ‘rasi’ flakes have a slow rehydration ability and still have a crisp texture when consumed with milk. Treatment E produced flakes with the lowest rehydrationpower which is 64.4%,it means that treatment Ehasslow ability in absorbing liquid (milk) and still has a crisp texture when consumed. This is due to the treatment E had the highest proportion of ‘rasi’ flour of 70 %. Based on research results, ‘rasi’ flour has a starch content of 11-12%, containing 18% and 82%amylose and amylopectin respectivelly. The low starch content in ‘rasi’ flour will produce flakes with a hard texture. According Ervina and Suseno (2000), the rehydration is affected by the porosity of flakes. Porosity flakesare influenced by gelatinization process. Perfect gelatinization will produce granules of starch that optimally swollen and evenly distributed, and when dried will produce porous material structure that has a high rehydration capacity. According to Hermanianto and Widowati (1999), three major factors that influence the process of gelatinization isthe availability of starch, water and sufficient energy (heat). 3.2.3 Hardness Statistical analysis data indicate that the counterbalance treatment of‘rasi’ flour, potato flour and soy flour givesignificant influence difference to‘rasi’ flakeshardness. The counterbalance influence of ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour to ‘rasi’flakeshardness can be seen in Table 5.
Table 5. Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and Soybean Flour to ‘Rasi’ Flakes Hardness (gF) Treatment (%) (Rasi F:Sweet Potatoes F: Average Hardness Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 271.2 b B (55: 15: 30) 280.8 b C (60: 13.33: 26.67) 378.7 a D (65: 11.67: 23.33) 406.4 a E (70: 10: 20) 504.7 a Note : The average treatment marked by the same small letters on the same column are not significantly different at 5% level according to Duncan test. Based on data from the table above, flakes with treatment A and B provide significant influence differencecompare withthose of C, D and Etreatments. Hardness can be defined as resistance to deformation or force to produce a particular deformation. The higher the force required to produce deformation, the higher the level of hardness of the product (de Man, 1997). ‘Rasi’ flakeshardnessis tested using a Rheoner instrument with a range of value from 0 to 1500 GF. Gf value indicates how much force is required to destroy the ‘rasi’flakes. The higher the force needed to crush the ‘rasi’ flakes indicates the higher the level of hardness. ‘Rasi’ flakeshardness ranging from 271.2 to 504.7 GF indicates that the ‘rasi’ flakes have a low-level hardness and still have a crunchy texture when consumed in the mouth. The resulting hardness value of flakes is higher with the addition of conterbalance of sweet potatoes flour. Sweet potato flour has a high content of amylopectin of 70%. According to Daniels (1974), the crispness of flakesis influenced by the ratio of amylose to amylopectin content in food. Amylose will form a hard texture, while amylopectin would form a crunchy texture, porous and light. In the E treatment,the lowest addition of sweet potato flour reduces the content of amylopectin in dough compared to the other treatments, resulting the much stronger flakes. Hardness value that measured objectively by using Rheoner instrument can be correlated with sensory (organoleptic) test results ofsubjectivelyassessed,flakes crispness. Hardness value is inversely proportional to crispness, that means the lower the hardness of a product, the more crispness it will be. Based on the results of organoleptic test, panelists believe that the flakes with a lower level of hardness have a more crunchy texture. 3.3Organoleptic Observation 3.3.1Aroma The organoleptic test indicates that the counterbalance treatmentof ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour gives significantinfluence differenceto aroma of‘rasi’ flakes. The counterbalance influence of‘rasi’ flour, potato flour and soy flour to the aroma of ‘rasi’ flakescan be seen in Table 6.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 86
ISBN 978-602-98902-1-1
Table 6. Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and Soybean Flour to ‘Rasi’ Flakes Aroma Treatment (%) (Rasi F:Sweet Potatoes F: Average Aroma Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 1.6 a B (55: 15: 30) 2.3 a C (60: 13.33: 26.67) 3.7 a D (65: 11.67: 23.33) 3.0 a E (70: 10: 20) 4.3 b Note : The same letter indicates no significantly different in test level of 1%. The data in Table 6 states that E treatment gives tangible effect to the treatments A, B, C and D. According to panelists appraisal, A, B, C and D treatment better than E treatment because it has a sharper scent of sweet potato. The A treatment has sweet potatoes aroma, the sharpestaroma compared with other treatments. This is because the A treatment has the mostcounterbalance of sweet potato and the highest protein content, so that more primary amine groups which can react with reducing sugars in the Maillard reaction. Maillard reaction provide a great share in the formation of flavor, color and specific aroma products, such as in coffee, bread and breakfast cereal products (Tranggono and Sutardi, 1990). Aroma that formed in the Maillard reaction occurs due toa reaction between reducing sugars and primary amine group.According to Soekarto (1985), odor or aroma produced by the interaction between odor substances with olfactory epithelium cells. The smell or odor of food determines delicacy of the food material. 3.3.2Color Based on the results of organoleptic test, counterbalancetreatment of ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour gives a significantlyinfluence difference in the ‘rasi’ flakescolor. The influence of counterbalanceof ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour to color ‘rasi’ flakesis shown in Table 7. Table 7. Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and Soybean Flour to ‘Rasi’ Flakes on Colours Treatment (%) (Rasi F:Sweet Potatoes F: Average Color Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 1.6 a B (55: 15: 30) 2.2 b C (60: 13.33: 26.67) 3.4 b D (65: 11.67: 23.33) 3.6 b E (70: 10: 20) 4.1 c Note : The same letter indicates no significantly different in test level of 1%. Determination of food quality generally depends on several factors, one factor is color. Before consideringthe other factors visually,color is the first to be appeared and sometimes it
determines the level of consumer acceptance. Generally,flakesin the market i.e cornflakes is brownish yellow in color.Table 7 shows that A treatment gave significantinfluence differencecompare with B, C, D and Etreatments. According to the panelists,A treatment has a more golden brown color compared with B, C, D, and Etreatments. This is caused by the presence of sugar occurring in sweet potato flour, so that the higher the addition of sweet potato flour,the more golden brown color the flakes are produced. Color formation in the flakes were caused by non-enzymatic browning of sugar caramelization and Maillard reactions that occur during baking. According to Tranggono and Sutardi (1990), caramelization is a non enzymatic browning which include degradation of sugar without amino acids or proteins. If sugar is heated above the melting point,there will be a color change with the formation of darker colors to brown. Maillard reaction is a reaction between amines, amino acids, proteins and sugars during heating process that cause a brown color. The formation of brownish yellow color in ‘rasi’flakes also caused by the presence of carotenoid pigments in sweet potato flour and soy flour. According to Winarno (2008), carotenoids are pigments group of yellow, orange and red orange color, in papaya, mango, carrot, sweet potato, and in some yellow and red,fruit and nuts. 3.3.3Taste Based on the results of organoleptic test, counterbalancetreatment of ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour givessignificantinfluence difference to the flavor of producedflakes, as displayed in Table 8. Table 8. Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and Soybean Flour to ‘Rasi’ Flakes Taste Treatment (%) (Rasi F:Sweet Potatoes F: Average Pain Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 1.6 a B (55: 15: 30) 2.6 b C (60: 13.33: 26.67) 2.8 b D (65: 11.67: 23.33) 4.0 c E (70: 10: 20) 3.9 b Note : The same letter indicates no significantly different in test level of 1%. Table 8 shows that A treatment gave a significant influence differencecompare with B, C, D and Etreatments. Panelistsstatethat A treatment hasa little astringent tastecompare with B, C, D dan E treatments. The panelists rating decrease with an increase of ‘rasi’ flour counterbalance. Panelists rating decreases with increase in proportion of flour used constellation. This is because the ‘rasi’ flour has an astringent taste, but with the addition of sweet potato flour that has a sweet taste, could cover the ‘rasi’ flour taste. Taste in the flakes appears at the time of baking. It is a caramelization process that gives a distinctive taste of producedflakes. The taste is determined by the flakes-making up components and changes during the baking process.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 87
ISBN 978-602-98902-1-1
Tribelhorn (1991) suggested that the use of sugar and salt in the making of flakes will improve the flakes flavor.During the baking process, Maillard reaction will occur,enhancing the flavor ofbaked food products (Tranggono and Sutardi, 1990). In the A treatment, the highest addition of soy flour gives the lowest level of astringent tase.The high protein content can stimulate an increase in Maillard reaction because more amine group can react with reducing sugar groups. 3.3.4Crispness Based on the results of organoleptic test, counterbalancetreatment of‘rasi’ flour, potato flour and soy flour gives a significant influencetothe crispness of flakes produced, as shown in Table 9 below. Table 9.The Counterbalance Influence of‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and Soybean Flourto the ‘Rasi’ Flakes Crispness Treatment (%) (Rasi F:Sweet Potatoes F: Average Crispness Soybean F) A (50: 16.67: 33.33) 2.0 a B (55: 15: 30) 2.2 b C (60: 13.33: 26.67) 2.8 b D (65: 11.67: 23.33) 3.5 b E (70: 10: 20) 4.4 c Note : The same letter indicates no significantly different in test level of 1%. According to Loh and Mannel (1990), crispnessis an important texture characteristic of the flakes product flakes.Crispness is defined as a generated sound or noise when a product is bitten, chewed, cut or pressed. The crispness can be measured subjectively by sensory or organoleptic test and also objectively by using a particular instrument.Table 9 indicates that A treatment gives significant influencecompare with B, C, D and E treatments. Amylose will form a hard texture, while amylopectin stimulate expansion, crispness, porosity and lightness. The highest content of amylopectinin the manufacture of these flakesis in the sweet potato flour. Addition of small quantity sweet potato flour counterbalance could reduce the content of amylopectin in dough so that it can affect flakes crispness.This causes the less porousflakes product than those offlakes with the addition of more sweet potato flour. Less porous flakes are will lower the level of flakes crispness.Therefore, the panelists value thatA treatment has more crispness texture compared with B, C, D and E treatments, because A treatment has a greaterproportion of sweet potato flour than B, C, D and E treatments. Gelatinization process also affects the crispness offlakes. Perfect gelatinized dough will expand/swell when dried evenly and produce a more porous product (Handy, 2007). 3.3.5Crispness In Milk The organoleptic test shows that the counterbalance treatment of‘rasi’ flour, potato flour and soy flour gives no significant influence difference on the crispnessof flakes in milk produced, as shown in following Table 10.
Table 10.Counterbalance Influence of ‘Rasi’ Flour, Sweet Potatoes Flour and Soybean Flour to ‘Rasi’ Flakes Crispness in Milk Treatment (%) Average (T. Rasi: T. Sweet Crispnessin Milk Potatoes: T. Soybean) A (50: 16.67: 33.33) 2.4 a B (55 : 15 : 30) 3.3 a C (60 : 13,33 : 26,67) 3.2 a D (65 : 11,67 : 23,33) 3.0 a E (70 : 10 : 20) 3.0 a Note : The same letter indicates no significantly different in test level of 1%. According to Vail et al (1978), flakes is one type of breakfast cereals, that are categorized as ready to eat cereal. They are easily and fastly to be served, and can be consumed directly either with added milk or directly consumed as snacks. One of the characteristics that must be possesed is the ability to maintain flakes crispness after soaking in milk. Dipping flakes in milk causes the flakes become soft. Changing in flakes texture isrelated to the absorption of milk by flakes. Good quality flakes are flakes with slow rehydration power, so thatthe crispness of flakesafter soaking in milk can be maintained (Daniels, 1974). The absorption of fluid into flakesis associated with the rehydration of the flakes.Rehydration power of flakesin E treatment as high as 64.4%,is the lowest value compared with other treatments. This causes the flakesof E treatment become the best resilience in milk becauseflakes with amylopectin content have a less porous texture so thatit does not easily absorb the milk. 3.4 Cost Analysis of Processing‘Rasi’Flakes The terms of feasibility of a business is having the BCR (benefit cost ratio) more than 1. The IRR (internal rate of return)is more than the value of the interest rate at prevailing time, that is 6% and the NPV (net present value)is positive (> 0). Based on the cost analysis,the processing of‘rasi’flakeswill become feasible business because they meet eligibility requirements for the business, which acquired BCR of 1.19, IRR of 16.5% and 26,400,364NPV for the period 5 years and at the interest rate of 10%. Table 11.Analysis Results of Business Feasibility of ‘Rasi’ Flakes Criteria BCR (benefit cost ratio) IRR (internal rate of return) NPV (net present value)
Value 1.19 16.5 26,400,364
‘Rasi’flakesgenerated in this study has an advantage, having a protein content (4.1 - 11%) higher than the flakes on the market (3-4%), using tapioca pulp waste which has been used as a staple food by anindigenous people of Cirendeu, Cimahi as their main raw material for hundred years. It isalso to increase the selling value of the waste by processing the ‘rasi’ into flakes and
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 88
ISBN 978-602-98902-1-1
has a cheaper price than the flakes in the market. ‘Rasi’flakesprocessing deserves to be comercialized because it has not only an economic valuebutalso a very competitive value with the flakes in the market. Table 12.Price List of ‘Rasi’ Flakes and Some Branded Flakes in the Market Price per Weight Price FlakesBrand gram (grams) (USD) (USD / gram) ‘Rasi’ Flakes 500 19.50 39.0 Nestle Corn Flakes 275 17.50 63.6 Nestle Honey Star 300 26.50 88.3 Nestle Milo 330 26.70 80.9 Nestle Koko Krunch 170 15.85 93.2 3.5 Analysis of Starch Content, Amylose and Amylopectin in ‘Rasi’ Flour Analysis of starch content, amylose and amylopectin in‘rasi’flour was conducted by spectrophotometric method. The principle of spectrophotometric method is an interaction of electromagnetic radiation energy with a chemical substance causinga specific and unique absorption each chemical substance. Table 13.Results Analysis of Starch Content, Amylose and Amylopectin in ‘Rasi’ Flour Concentration Material Compound (%) Starch 11.9 ‘Rasi’ Amylose 18.1 Flour Amylopectin 81.8 Starch content of ‘rasi’ flour is 11.9% showing the occurrence of starch in ‘rasi’ flour although in low quantities. The low starch content in ‘rasi flour is due to solid waste production of starch which has precipitated the starch in the manufacturing process. The availability of starch, water and the adequacy of energy (heat) are the three main factors that affect the process of gelatinization (Hermanianto and Widowati, 1999).The table above shows that the ‘rasi’ of flour containing 18.1% amylose and 81,8%amylopectin. According to Daniels (1974), the ratio between amylose and amylopectin content in food will influence the crispness of flakes produced. Amylose will form a hard texture, while amylopectin would form a crunchy texture, porous and light. IV. CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS 4.1 Conclusions Based on the results of research, it can be concluded that the counterbalancetreatment of ‘rasi’ flour, potato flour and soy flour gives a significantinfluence tothe protein content, rehydration capacity, hardness, color, flavor, aroma, and crispness,but provides no significant effect on water content, the yield (rendemen) and flakescrispness after soaking in the milk. The counterbalance or ratio of‘rasi’ flour, potato flour and soy flour at 50: 16.67: 33.33 produce a nutritious ‘rasi’flakeswith the best characteristic. That ‘rasi’flakes has a
4.6% moisture content, 11.0%protein content, 72.6%power rehydration, brownish yellow,90.4% of yield and 271.2 GF hardness. Panelists valuethat the proportion has a better color, flavor, and cripsness than the other counterbalance. Cost analysisof ‘rasi’flakes processing showss that the processing is worth to be commercialized because they meet requirements for the business, which acquired BCR of 1.19, the IRRvalueat 16.5% and NPV value at 26,400,364 for a period of 5 years and on interest rate of 10%. 4.2 Suggestions In the manufacture of ‘rasi’flakes, it is importantto have an equipment that could produce flakes with uniform size. Further research is needed on the complete nutrient content including level of carbohydrates, fats, fiber, and vitamins in the ‘rasi’flakes so that the proper number of servings to meet the daily nutritional needs of consumers can be defined. REFERENCE AOAC. 1990. Officials Methods of Analysis. Association of Official Agric. Chemist, Washington, DC. AOAC No.45. 104. 2000. Officials Methods of Analysis. Association of Official Agric. Chemist, Washington, DC. Alwie, J. 2007. Mempelajari Karakteristik Tepung Siap Pakai (Cake Mix) Berserat yang diperoleh dari Imbangan Terigu dan Tepung Ubi Jalar. Skripsi, Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad, Jatinangor. Apriyantono, A.,D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budianto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI Makanan Ringan Ekstrudat (SNI 01-2886-2000). Jakarta. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 1996. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Tapioka. Avaible online at: http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/indexview.php?sub=7 (diakses tanggal 24 Oktober 2009) Biro Pusat Statistik. 2004. Produksi Tepung Tapioka di Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Bogasari. 2006. Tepung Ubi jalar Sariumbi. Bogasari Baking Center. Bandung. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan Penerjemah: H. Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta Daniel, R. 1974. Breakfast Cereal Technology. Notes Data Corporation, USA. de Man. 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB, Bandung. Desiana, A. 2006. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Lama Perendaman terhadap Beberapa Karakteristik Emping Jagung (Zea mays.L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad, Univeritas Padjadjaran, Jatinangor. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara. Jakarta. Ervina, MGA dan T.I.P. Suseno. 2000. Potensi Tersembunyi Flake Tempe Gembus. Seminar Nasional Industri
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 89
ISBN 978-602-98902-1-1
Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Fizzell, D., G. Coccodrilli, dan C.J. Cante. 1992. Breakfast Cereals. John Wiley and Sons, Inc. New York. Grace. 1977. Cassava Processing. Food and Algiculture Organization of the United Nation. Rome. Handayani, M. N. 2007. Pengaruh Jumlah Penambahan Air terhadap Beberapa Karakteristik Flakes Garut (Arrowroot Flakes). Skripsi, Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad. Jatinangor. Herliana, S. 2006. Pengaruh Jumlah Air dan Lama Pengukusan terhadap Beberapa Karakteristik Flakes Ubi kayu. Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Hermanianto, J dan S. Widowati. 1999. Karakteristik Mutu dan Fisiko-Kimia dan Organoleptik Produk Sereal Sarapan dengan Teknologi Ekstrusi Ulir Tunggal dan Hasil Samping Penggilingan Pad (Menir dan Bekatul). Seminar Nasional Teknologi Pangan, Bogor. Hariyadi, P. 1997. Produk ekstrudat, flakes, dan tepung kedelai. Makalah Pelatihan sehari menuju industri berbasis kedelai. Surabaya. Juanda, D dan B. Cahyono. 2001. Ubi Jalar, Budi Daya, dan Analisis Usaha Tani. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Kent, N. L. dan A. D. Evers. 1994. Technology of Cereals an Introduction for Students of Food Science and Agriculture. Pergamon Press. Ltd. Oxford. England Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta. Khomsan, A. 2002. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Lipi Bogor. 1977. Ubi – Ubian. Balai Pustaka, Jakarta. Loh, J and W. Mannell. 1990. Application Of Rheology and Baked Product Texture, New York. Matz, S.A. 1959. The Chemistry and Technology of Cereals as Food and Feed. AVI Publishing Company, Inc. Wesport, USA Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. PAU-IPB, Bogor. Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan, PAU Pangan dan Gizi. Bogor. Nazruddin. 1993. Komoditi Ekspor Pertaian-Tanaman Pangan dan Hortikultura. Penebar Swadaya. Jakarta. Onwueme, I. C. 1978. The Tuber Tropical Corps. John Wiley and Sons. Ltd. New York – Brisbane – Toronto. Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Departemen Pertanian. 2009. Beras Singkong (Rasi), Makanan Pokok Masyarakat Cirendeu Sebagai Pangan Sumber Karbohidrat Alternatif Mendukung Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman. Available at: http//bkp.deptan.go.id (diakses tanggal 5 Agustus 2009). Rubatzky, V. E. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 1, Prinsip, Produksi, dan Gizi. ITB. BandungRukmana, R. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pascapanen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Rukmana, H. R. 1997. Ubi Jalar, Budidaya, dan Pascapanen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Smith, A.K. dan S.J. Circle. 1978. Processing Soy Flour Protein Concentrates and Protein Isolates. The AVI Publishing Co., Wesport, Connecticut. Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Suprapto, H.S. 1991. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Sutanto, P. 2001. Pemanfaatan Tepung Kentang Sebagai Substitusi Tepung Tapioka pada Pembuatan Flake. Zigma. Majalah Gizi dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian UK Widya Mandala, Surabaya. Synder, H. E. And T. W. Kwon. 1987. Soybean Utilization. Van Nostrand Reinhold Company. New York. Tarmudji, M.S. 2004. Pemanfaatan Onggok Untuk Pakan Unggas. Sinar tani. Bogor. Thompson, T. 2009. Seed to Seedling : Soybean. Avaible online at : http://www.pssc.ttu.edu/pss1321/Web%20topics/seedt oseedlingnew.htm(diakses 24 Oktober 2009) Tribelhorn, R. E. 1991. Breakfast Cereal. In K. J. Lorenz dan K. Pulp (eds). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker Inc., New York, Basel, Hongkong. Tranggono dan Sutardi. 1990. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. PAU-Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Vail, E.G., J.A. Phillip, L.O. Rust, R.M. Griswold dan M.M. Justin. 1978. Foods. Houghton Mifflin Company, Boston. Wargino, J dan D.M. Barret. 1987. Budidaya Ubi Kayu. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta. Widowati, S., Suismono, Suarni, Sutrisno, dan O. Komalasari. 2002. Proses Pembuatan Aneka Tepung Dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Badan Litbang. Pertanian. Pertanian. Hal : 12 – 14. Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wiratakusumah, Djokohermawanto, dan Nuri Andarwulan. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Wiriano, Harry. 1983. Pembuatan Tepung Ubi Jalar. Hasil Wawancara Balai Besar Industri Hasil Pertanian. Bogor. Yang, T.H. 1982. Sweet Potatoes As A Supplemental Staple Food. Sweet Potato Proceedings of The 1st. Yuniarti. 2000. Pengaruh Lama Waktu Blansing dan Bentuk Irisan Terhadap Karakteristik Tepung Ubi Jalar. Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 90
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengaruh Substitusi Santan Kelapa Dan Jenis Koagulan Terhadap Produk Tahu [THE EFFECT OF COCONUT MILK SUBSTITUTION AND COAGULANT TYPES ON TOFU] J. R. Wijaya, O. Jonathan and M. Manullang
(Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pelita Harapan)
ABSTRACT Tofu is known as one of the popular plant protein source in Indonesia. However, it has been reported that the beany aroma has disturbed the acceptance of tofu for some people. In fact, soy bean as the raw material of tofu is not an Indonesia origin material. Coconut milk has also been familiar in Indonesia community. It was reported that coconut milk contain globulin 7S and 11 S that might be able to be used in the curd production of tofu. The use of coconut milk as a substitution might improve the flavor and the quality of tofu produced. The effect of coconut milk substitution and coagulant types on tofu products were observed in this study. Six different concentrations of coconut milk substitution and two types of coagulants were used in this study. The organoleptic test and chemical analysis were used to evaluate the products. The data showed that the coconut milk substitution affected the moisture content, the percentage of protein and the gel strength of tofu. The higher the concentration of coconut milk substitution, the lower the moisture content, the percentage of protein and the gel strength were. The types of coagulant only affected the moisture content and gel strength. The use of different coagulant types resulted in different moisture content and gel strength. Compare to CaCl2, the use of GDL resulted in the higher moisture content of tofu, but lower gel strength. GDL gave smoother and softer texture of tofu. The most acceptable formulation based on the general acceptance (taste, aroma, color and texture) was found in the tofu made from 30% coconut milk substitution, GDL and 20 minutes pressing time. Keyword: Tofu, soy milk, coconut milk, CaCl2, GDL, globulin 7S, globulin 11S
PENDAHULUAN Protein merupakan zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1995). Masyarakat menilai protein sebagai zat makanan yang mahal, karena pengetahuan masyarakat tentang sumber protein masih mengarah pada bahan pangan yang berasal dari hewan, seperti daging, susu, dan telur. Dalam kenyataannya protein nabati sebenarnya memiliki kandungan asam amino yang mendekati kandungan asam amino pada protein hewani. Oleh sebab itu bahan pangan yang berasal dari nabati juga sebenarnya dapat dijadikan sebagai sumber protein bagi tubuh manusia. Kedelai merupakan salah satu contoh bahan pangan nabati yang memiliki kandungan asam amino yang hampir lengkap dan menyerupai kandungan asam amino pada susu sapi. Kedelai termasuk famili Leguminosae dan merupakan salah satu sumber protein nabati yang mempunyai kadar protein tinggi. Kedelai banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan beberapa produk lokal seperti tahu, kembang tahu, tauco, tempe, dan kecap. Tahu merupakan salah satu produk hasil olahan kedelai yang sangat populer. Pembuatan tahu berasal dari penggumpalan protein susu kedelai, Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), protein yang berperan dalam pembentukan curd adalah globulin 7S (ß konglisinin) dan 11S (glisinin). Permasalahan yang sering muncul dari hasil olahan kacang kedelai, termasuk tahu, adalah adanya beany flavor. Santan kelapa mempunyai karakteristik bau dan rasa yang dapat diterima oleh konsumen dan diketahui mengandung globulin 7S dan 11S (Rasyid et al, 1992). Protein kelapa
kemungkinan besar juga dapat diendapkan menjadi curd dengan adanya koagulan. Santan kelapa dapat menjadi salah satu alternatif substitusi kedelai. Oleh sebab itu perlu dilakukan studi untuk mengetahui kemungkinan penggunaan santan kelapa sebagai alternatif substitusi yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan memberikan cita rasa baru pada tahu dan sekaligus pengaruhnya terhadap mutu dan sensori tahu yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu pengepresan tahu yang tepat, perbandingan konsentrasi susu kedelai dengan santan kelapa yang optimal dan jenis koagulan sehingga diperoleh tekstur tahu yang optimal dan dapat diterima oleh konsumen.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kacang kedelai dan daging buah kelapa, air dan koagulan (NaHCO3, CaCl2 , GDL) . Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah adalah asam sulfat pekat, kalium sulfat padat, larutan natrium hidroksida-natrium tiosulfat, larutan asam klorida 0,02 N, mixed indicator, air raksa oksida/selenium, larutan asam borat jenuh 4%, larutan NaOH 30%, larutan H3BO3 3%, larutan HCl 0,1N, campuran CuSO4 dan K2SO4 (1:3), akuades dan dietil eter. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan untuk proses pembuatan tahu, timbangan analitik, stopwatch, gelas ukur dan gelas piala. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah pemanas Kjedahl, alat destilasi Kjedahl, labu Kjedahl,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 91
ISBN 978-602-98902-1-1
buret, erlenmeyer, tanur, oven, soxhlet, cawan dan tutup pengabuan, cawan porselen, desikator, penjepit cawan, texture analyzer TAXT-Plus, Brookfield Viscometer DV-1+ . Penentuan Jumlah Air dalam Pembuatan Susu Kedelai dan Santan kelapa Proses pembuatan susu kedelai di awali dengan sortasi dan pencucian 2-3 kali. Kacang kedelai selanjutnya direndam dalam NaHCO3 0.5% selama 8-12 jam, ditiriskan, dikupas dan di giling dengan perbandingan air yang telah ditentukan (8, 9 dan 10 kali berat kacang kedelai). Hasil penggilingan disaring untuk diambil susu kedelainya Pembuatan santan kelapa dilakukan dengan menggunakan kelapa parut. Kelapa parut di peras dengan perbandingan air yang telah ditentukan (2 dan 3 kali berat parutan daging kelapa). Susu kedelai dan santan kelapa yang dihasilkan selanjutnya diukur viskositasnya dengan menggunakan Brookfield viscometer DV-1+. Hasil terbaik ditentukan berdasarkan kemiripan antara viskositas susu kedelai dan santan kelapa. Prosedur Pembuatan Tahu Metode pembuatan tahu yang dilakukan merupakan modifikasi dari metode yang digunakan oleh Shurtleff dan Aoyagi (1984) dan Santoso (1993) seperti terlihat pada gambar 1. Susu kedelai (2400 ml) panaskan 20 menit hingga 95°C, aduk perlahan satu arah diamkan 5 menit pada suhu 95°C. CaCl2 atau GDL dimasukkan pada suhu 82°C, aduk perlahan searah diamkan 15 menit (CaCl2) atau lanjutkan pemanasan pada 85-90°C selama 30 menit. (GDL)
Curd
Whey
tuang ke dalam cetakan yang telah dialasi kain saring
waktu pengepresan yang ditentukan. Jenis koagulan yang digunakan adalah CaCl2 dan GDL dengan konsentrasi 0.31%. Penentuan perbandingan susu kedelai dengan santan kelapa Penentuan perbandingan susu kedelai dengan santan kelapa yang masih dapat membentuk curd, dilakukan melalui pembuatan tahu dengan berbagai konsentrasi substitusi santan kelapa. Penentuan Waktu Pengepresan Curd Penentuan waktu pengepresan curd dilakukan berdasarkan hasil pengukuran kekuatan gel (gram/cm2) dengan menggunakan texture analyzer. Waktu pengepresan yang menghasilkan curd dengan kekuatan gel mendekati kekuatan gel kontrol akan dijadikan waktu pengepresan tahu pada penelitian utama. Sebagai kontrol digunakan 3 jenis tahu yang dijual di pasar. Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan terhadap kacang kedelai dan daging buah kelapa. Analisis proksimat meliputi penentuan kadar air, protein, lemak, abu dan karbohidrat. Metode penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven, penetapan kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl-mikro, penetapan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi soxhlet dan penetapan total abu dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri. Semua prosedur tersebut berdasarkan Apriyantono, dkk (1989). Prosedur penetapan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan metode by difference berdasarkan AOAC (1995). Analisis kadar air dan protein juga dilakukan terhadap produk tahu yang dihasilkan. Pengukuran Tesktur Tahu Pengukuran tekstur tahu dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer TAXT PLUS Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik berdasarkan Soekarto (1985) dengan parameter rasa, aroma, warna, kekenyalan dan penilaian secara keseluruhan. Skala yang digunakan adalah 1 (paling tidak suka) sampai 7 (paling suka). Uji organoletik ini diterapkan terhadap tahu yang telah digoreng dengan jenis minyak yang sama. Analisis Data Semua analisis dilakukan dengan pengulangan dan data disajikan sebagai rata-rata. Data hasil analisis diolah dengan menggunakan analisis ragam (pada α =5%)
press 20 - 30 menit Tahu Gambar 1. Prosedur Pembuatan Tahu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prosedur pembuatan tahu dengan substitusi santan kelapa dilakukan sesuai dengan prosedur pembuatan tahu, kecuali bahwa bahan baku yang digunakan diganti dengan campuran susu kedelai dan santan kelapa dengan perbandingan dan
Analisis proksimat Hasil analisis proksimat kacang kedelai dan daging buah kelapa dapat dilihat pada tabel 1.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 92
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 1. Hasil analisis proksimat kacang kedelai dan daging buah kelapa Komponen Jumlah (%) Kacang Daging buah kedelai kelapa Air (wet basis) 9,57 42,36 Protein 31,94 3,84 Lemak 16,03 47,08 Abu 4,76 0,85 Karbohidrat (by 37,71 5,88 difference)
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kacang kedelai memiliki kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi, sedangkan daging buah kelapa memiliki kandungan lemak yang sangat tinggi namun kandungan karbohidrat dan proteinnya rendah. Menurut Prawiranegara (1996) kadar protein daging buah kelapa tua memang relatif rendah hanya berkisar 3,4%. Namun di dalam protein kelapa terdapat globulin 7S dan 11 S yang diperlukan dalam pembuatan tahu (Rasyid et al, 1992). Viskositas Susu Kedelai dan Santan Kelapa Penentuan penambahan banyaknya air pada pembuatan susu kedelai maupun santan kelapa didasarkan pada viskositasnya yaitu agar susu kedelai dan santan kelapa memiliki viskositas yang hampir sama pada suhu yang sama. Tabel 2. Viskositas susu kedelai dengan beberapa perbandingan jumlah air terhadap jumlah kacang kedelai (diukur pada suhu 30°C) Jumlah Air Viskositas susu kedelai (cPs) 8x (2000 ml) 16 cPs 9x (2250 ml) 15,2 cPs 10x (2500 ml) 14,4 cPs Tabel 3. Viskositas santan kelapa dengan beberapa perbandingan jumlah air terhadap jumlah parutan kelapa (diukur pada suhu 30°C) Jumlah Air Viskositas santan kelapa (cPs) 2x (500 ml) 14,5 cPs 3x (750 ml) 12,4 cPs
Dari hasil tersebut, maka pembuatan susu kedelai dilakukan dengan menggunakan penambahan air panas (80°100°C) sebanyak 10x dari berat kering kacang kedelai dan pembuatan santan kelapa dengan menambahkan 2x dari berat parutan daging buah kelapa. Keduanya menghasilkan viskositas yang hampir sama yaitu 14.4 dan 14.5 cPs. Penentuan Waktu Pengepresan dan Formulasi Tahu Penentuan waktu pengepresan tahu didasarkan pada hasil penampakan secara visual pada penelitian pendahuluan. Tabel 4. Kekuatan gel tahu pada berbagai waktu pengepresan Sample Kekuatan gel (gr/cm2) Tahu kontrol 1 494ab Tahu kontrol 2 606c Tahu kontrol 3 478a 100% santan kelapa, CaCl2, 10 menit 416a 100% santan kelapa, CaCl2, 20 menit 595bc 100% santan kelapa, CaCl2, 30 menit 600c
Keterangan: Superscript yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada α = 0.05
Pembuatan tahu dengan pengepresan 10 menit menghasilkan tahu yang berpori besar dan mudah rapuh, sedangkan waktu pengepresan 20 menit dan 30 menit menghasilkan tahu yang memiliki tekstur yang baik, tidak rapuh, dan kokoh. Oleh sebab proses pembuatan tahu dengan substitusi santan kelapa dibuat dengan waktu pengepresan 20 menit. Konsentrasi substitusi santan kelapa yang digunakan adalah 0%, 15%, 30%, 45%, 60% dan 75% dan jenis koagulan nya adalah CaCl2 dan GDL. Kadar Air, Protein dan Kekuatan Gel Tahu
Analisis kadar air, protein dan kekuatan gel tahu dilakukan terhadap tahu yang dihasilkan dengan berbagai konsentrasi substitusi santan dan 2 jenis koagulan. Tabel 5. Kadar air dan kadar protein tahu dengan berbagai konsentrasi sustitusi santan kelapa Konsentrasi Substitusi Kadar air (%) Kadar Protein(%) Santan Kelapa (%) CaCl2 GDL CaCl2 GDL 0 78,15 b 83,52a 18.62a 18,23 a 15 73,00 c 79,23 b 17.38 a 16,55 a 30 63,00 f 68,38 d 15,20 b 14,66 b 45 58,14 g 65,71 e 13,43 c 13,40 c 60 51,98 i 53,79 h 13,26 c 13,47 c 75 47,10 j 46,62 j 12,91 c 13,05 c Tabel 6. Kekuatan gel tahu dengan berbagai konsentrasi substitusi santan kelapa Konsentrasi Substitusi Kekuatan gel (gr/cm2) Santan Kelapa (%) CaCl2 GDL 0 535,50a 359,00 b 15 372,75 b 305,75 c 30 291,00 c 231,50 d 45 202,75 de 175,25 ef 60 209,50 d 173,25 ef 75 165,50 f 157,00 f
Keterangan: Superscript yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada α = 0.05
Berdasar hasil analisis ragam yang dilakukan dinyatakan bahwa jenis koagulan tidak berpengaruh terhadap kadar protein tahu yang dihasilkan dan tidak ada interaksi antara keduanya. Namun konsentrasi substitusi santan kelapa memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar proteinnya. Semakin tinggi konsentrasi substitusi santan kelapa, semakin rendah kadar protein tahu yang dihasilkan. Konsentrasi substitusi dan jenis koagulan berpengaruh terhadap kadar air dan kekuatan gel tahu yang dihasilkan dan ada interaksi antara keduanya. Peningkatan konsentrasi substitusi santan kelapa menurunkan kadar air dan kekuatan gel secara nyata, baik pada tahu yang menggunakan CaCl2 maupun GDL.Penggunaan GDL cenderung memberikan kekuatan gel yang lebih rendah, namun kadar air yang lebih tinggi daripada CaCl2. Tekstur lunak yang terbentuk pada tahu dengan GDL diduga berkaitan dengan mekanisme penggumpalan protein oleh asam glukonat yang terbentuk selama pemanasan susu kedelai selama 30 menit (Matthew, 1989)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 93
ISBN 978-602-98902-1-1
Uji Organoleptik Tahu Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik terhadap rasa, aroma, warna, tekstur (kekenyalan), dan penilaian secara keseluruhan Tabel 7. Hasil uji hedonik terhadap Rasa dan Aroma Tahu Konsentrasi Score untuk rasa Score untuk Substitusi aroma Santan Kelapa (%) CaCl2 GDL CaCl2 GDL 0 2,73 3,87 3,83 4,43 15 3,37 4,33 4,07 4,03 30 3,63 4,53 4,37 4,43 45 3,67 4,10 4,30 4,70 60 3,93 3,63 4,57 4,63 75 3,97 3,60 4,93 4,50 Tabel 8. Hasil uji hedonik terhadap warna tahu Konsentrasi Substitusi Score untuk warna Santan Kelapa (%) CaCl2 GDL 0 3,70 4,43 15 4,73 4,77 30 4,77 5,07 45 5,03 5,40 60 5,20 5,23 75 5,10 5,20
Dari hasil uji hedonik terlihat bahwa peningkatan substitusi santan kelapa, meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap rasa dan aroma tahu.Tingkat kesukaan terhadap rasa tahu yang menggunakan GDL cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan CaCl2. Untuk warna, pengamatan dilakukan terhadap bagian dalam tahu, bukan warna kulit tahu. Data pada tabel 8 menunjukkan bahwa penggunaan santan kelapa dapat meningkatkan tingkat kesukaan panelis terhadap warna tahu. Secara keseluruhan nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna tahu yang menggunakan GDL cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan CaCl2. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), tahu yang dibuat dengan menggunakan CaCl2 memang memiliki warna yang kurang putih. Semakin banyak konsentrasi substitusi santan kelapa yang digunakan, warna tahu akan semakin putih. Seperti pada rasa dan aroma, tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan tahu juga meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi substitusi santan kelapa. Namun pada 2 konsentrasi substitusi santan kelapa tertinggi, yaitu 60% dan 75%, nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan tahu menurun. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap kekenyalan tahu dengan menggunakan GDL lebih tinggi dibandingkan dengan CaCl2, kecuali pada konsentrasi substitusi 60% dan 75%. Tabel 9. Hasil pengamatan uji organoleptik terhadap kekenyalan tahu Konsentrasi Substitusi Score untuk kekenyalan Santan Kelapa (%) CaCl2 GDL 0 2,40 4,30 15 3,17 4,63 30 4,27 4,70 45 4,63 4,77 60 4,47 4,53 75 4,33 4,03
Tabel 10. Hasil pengamatan uji organoleptik terhadap penilaian secara keseluruhan tahu Konsentrasi Substitusi Score untuk penilaian keseluruhan Santan Kelapa (%) CaCl2 GDL 0 15 30 45 60 75
2,83 3,47 3,87 4,07 4,00 4,20
4,03 4,63 4,80 4,3 4,10 4,03
Kekenyalan dapat dipengaruhi oleh konsentrasi substitusi santan kelapa yang digunakan dalam pembuatan tahu. Rasio antara globulin 7S dengan 11S mempengaruhi tektur tahu yang terbentuk. Globulin 11S menghasilkan curd lebih kokoh sedangkan 7S menghasilkan pasta (pasty) (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Globulin 7S pada kedelai lebih sedikit dibandingkan globulin 11S (Khatib et al. 2002). Pada protein kelapa kandungan globulin 7S lebih banyak dibandingkan protein kedelai (Rasyid et al. 1992). Oleh sebab itu penambahan protein kelapa cenderung menghasilkan curd yang lebih lembut. Semakin banyak konsentrasi substitusi santan kelapa yang ditambahkan, tekstur tahu yang dihasilkan akan semakin lembut. Namun semakin lembut tahu yang dihasilkan belum tentu semakin disukai oleh panelis, sebab tekstur yang terlalu lembut akan menurunkan kekenyalan tahu sehingga terlalu mudah hancur saat dimakan. Peningkatan konsentrasi substitusi santan kelapa sampai pada konsentrasi tertentu dapat meningkatkan penerimaan keseluruhan tahu yang dihasilkan. Penggunaan GDL menghasilkan tahu yang lebih disukai oleh panelis.
KESIMPULAN Konsentrasi substitusi santan kelapa dan jenis koagulan mempengaruhi kualitas tahu yang dihasilkan, namun waktu pengepresan tidak mempengaruhi kualitas tahu. Konsentrasi substitusi santan kelapa dan jenis koagulan mempengaruhi kadar air, kadar protein dan kekuatan gel tahu. Peningkatan substitusi santan kelapa menurunkan kadar air, kadar protein dan kekuatan gel tahu, sedangkan jenis koagulan memberikan pengaruh hanya pada kadar air dan kekuatan gel, namun tidak berpengaruh terhadap kadar protein. Penggunaan GDL cenderung memberikan kekuatan gel yang lebih rendah, namun kadar air yang lebih tinggi daripada CaCl2. Dalam uji organoleptik, tahu yang memiliki nilai ratarata tertinggi tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan adalah tahu yang dibuat dengan konsentrasi substitusi santan kelapa 30%, menggunakan GDL dengan waktu pengepresan 20 menit.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 94
ISBN 978-602-98902-1-1
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical International. Maryland. Apriyantono, A.D., Fardiaz, N.L., Puspitasari., Sedarnawati, S. dan Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aurand, L.W., Woods, A.E., dan Wells, M.R. 1987. Food Composition and Analysis. Van Nostrand Reinhold. New York. Lisawati, L.1994. Rasio Globulin 7s Dan 11s Hasil Isolasi Protein Kedelai Dan Pengaruhnya Terhadap Tekstur Tahu Sutera. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Baier, S.K., dan McClements, D.J. 2005. Influence of Cosolvent Systems on the Gelation Mechanism of Globular Protein: Thermodynamic, Kinetic, and Structural Aspects of Globular Protein Gelation. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. vol 4. Cai, R., McCurdly, A., dan Baik, B.K. 2002. Textural Property of Six Legume Curd in Relation to Their Protein Constituents. J. Food Sci. (67) :1725-1730. Egan, H., Kirk, R.S., dan Sawyer, R. 1981. Pearson’s Chemical Analysis of Food. Churchill Livingstone. New York. Dewi, C.M. 1987. Stabilisasi Campuran Susu Kedelai Dan Santan Kelapa. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Igoe, R.S. dan Hui, Y.H. 1996. Dictionary of Food Ingredients, Third Edition. Chapman and Hall. New York. Hadi, R. 1990. Studi Proses Pembuatan Yogurt Krim Kelapa. Institut Peratnian Bogor. Bogor. Khatib, K.A., Herald., T.J., Aramouri, F.M., MacRitchie, F., dan Schapaugh, W.T. 2002. Characterization and Functional Properties of Soy β-Conglycinin and Glycinin of Selected Genotypes. J. Food Sci. 67 (8): 2923-2929. Kim, K-H. dan Kim, D-M. 1996. Improved Soy Food Products Through Food Science and Nutrition Application. The Institute of Food Research and Product Development. Bangkok. Koesoema, D. 1993. Pengaruh Rasio Globulin 7S Dan 11S Isolat Protein Kedelai Terhadap Tekstur Tahu. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Matthews, R.H. 1989. Legumes Chemistry, Technology, and Human Nutrition. Marcel Dekker, Inc. New York. Prasetyanti, R. 1991. Karakterisasi Galaktomanan Dan Fosfolipid Daging Buah Berbagai Kultivar Kelapa (Cocos nucifera L.). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wijaya, R. 1994. Hubungan Rasio Protein Globulin 7S Dan 11S Terhadap Tekstur Tahu Dengan Penggumpal Whey Tahu. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rasyid, F., Manullang, M., dan Hansen, P.M.T. 1992. Isolation and Characterization of Coconut Protein. J Food Hydrocolloids. 6 (3) : 301-314. Renkema, J.M.S. 2001. Formation, structure and rheological properties of soy protein gels. Wageningen University. Netherlands. Santoso, H.B. 1993. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.
Santoso, H.B. 1993. Susu dan Yoghurt Kedelai. Kanisius. Yogyakarta. Sarwono, B. dan Saragih, Y.N. 2001. Membuat Aneka Tahu. Penebar Swadaya. Bogor. Shurtleff, W. dan Aoyagi, A. 1984. Tofu and Soymilk Production, The Book of Tofu, Volume II, Second Edition. Soyfood Center. Lafayette. .SNI 01-3830-1995. 1995. Susu Kedelai. Dewan Standarisasi Nasional. SNI 01-3142-1998. 1998. Tahu. Dewan Standarisasi Nasional. SNI 01-3922-1995.1995. Kedelai. Dewan Standarisasi Nasional. Sullivan, D.M., dan Carpenter, D.E. 1993. Methods of Analysis for Nutritional Labeling. AOAC International. Maryland. Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Wilkens, W.F., Mattick, L.R., Hand, D.B. 1967. Effect of Processing method on oxidative off–flavor of soybean milk. didalam: Tofu and Soymilk Production, The Book of Tofu, Volume II, Second Edition. Shurtleff, W. Dan Aoyagi, A.1984. Soyfood Center. Lafayette. Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 95
ISBN 978-602-98902-1-1
Mutu Cita Rasa Standar Dan Tingkat Kesukaan Minuman Fungsional Sehat Bubuk Kopi Dekafosin [Standard Taste Quality and Preference Level of Health Functional Beverage of Decafosin Coffee] Tejasari 1) , Sulistyani 2) , dan Roro Ayu Arumsari 1) 1) Jurusan
2) Pusat
Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UNEJ Penelitian Kopi dan Kakao, Kaliwening Jember (Email :
[email protected])
ABSTRACT Low caffeine coffee is a safe choice for consumer whom caffeine sensitive, caffeine diet restricting, heart diseas, and having hypertention, cause of its consumption health effect. Decaff inul herbal instant coffee was formulated from low caffeine ( < 2 %) robusta coffee bean powder and inulin powder extracted from dahlia (Dahlia pinnata) tuber in a certain safe level composition. However, the usage of low caffeine coffee powder and the addition of inulin powder in the formulation potentially change the coffee taste quality. This study aims to : 1) analyse the quality characteristic standard of decaff inul coffee instant, and 2) identify the influence of coffee decaffeination, and the addition of inulin powder on the quality taste characteristic standard of decaff inul herbal instant coffee. Decaffeination was done using ethanol extraction technique for 3-5 hours. Decaff inul instant coffee powder was formulated by an addition and homogenizing of inulin powder of 12, 20, and 28 % d.w., respectively. Water content of decaff inul instant coffee was analyzed using oven-gravimetri method, while the ash content was identified by direct method. Meanwhile, the content of water soluble fibre was measured by enzymatic gravimetry method, and caffeine content was analyzed using chromatography spectrophotometry method. Standard taste quality of decaffosin coffee was performed by coffee tester, while hedonic test was done by panellist coffee lover. Coffee taste characteristics tested were aroma (QAR and IAR), flavor (QFL and IFL), body, sweeteness, bitterness, balance, and preference. The result showed that decaffosin coffee having of water, ash, and caffeine were 5,04%, 2.3%, and 0,47 %, respectively. Its content of total reducing sugar, sucrose, fructose, glucose and inulin were . 2.8 %, 30.83 %, 94.33 %, 1.23 %, and 28.15 %, respectively. Decaffeination and inulin addition very significantly reduced water Fhα=0,01= 479,57 > Ftab=3,44), increased ash (Fhα=0,01= 84,06 > Ftab=2,24) and reduced caffeine (Fhα=0,01= 25 500,91 > Ftab=2,24) content of decaff inul instant coffee formula. Decaff inul instant coffee formulated by addition of 20 %, and 28% dw inulin powder was evaluated as having the best taste and flavour. Its medicinal value was weak, the quality of aroma taste (QAR) and flavour (QFL) remained as good, the aroma intensity (IAR) detected as strong, and the sweetteness was rather strong, eventhough the bitterness was rather weak. Decaff inul instant coffee formulated by addition of 20 % inulin powder was significantly unlikely by coffee lover. Although, decaffeination and inulin addition did not singnificantly difference on the preference of colour (X2c = 17.39 < X2 tab = 18.55), taste ( ² c = 11.41 < ² tab = 14.68) whole preference (X2ct=18.06>X2tab α=0.05 =15.51), and the aroma ( ² c= 5.56 > ² tab= 4.17 ) as compared to the control group. Key words : decaff coffee bean, herbal decaff-inul instant coffee, inulin, standard quality of coffee flavour and taste, preference level S
PENDAHULUAN Kopi dekaf dikategori sebagai jenis kopi berkadar kafein rendah (di bawah satu persen), dan dapat menjadi pilihan minuman kopi sehat bagi masyarakat penggemar kopi. Asupan kafein yang rendah (rerata 85 mg/cangkir/hari) mampu mencegah gangguan jantung, kekejangan otot, dan peningkatan tekanan darah. Demikian pula, asupan kafein rendah dapat menjaga keseimbangan glukosa dan insulin, metabolisme neurotransmitter Gamma Amino Butiric Acid (GABA) di otak, dan sistem syaraf. Tersedianya kopi dekaf di pasar memberi kemudahan bagi penggemar kopi untuk tetap menikmati seduhan kopi dengan nikmat dan aman. Jenis kopi dekaf masih dapat dikembangkan lagi dengan melakukan fortifikasi zat alami yang berefek sehat, seperti inulin dan fruktooligosakarida (FOS). Fortifikasi inulin dan FOS dapat meningkatkan mutu zat gizi kopi, khususnya mutu karbohidratnya _________________________________ *Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
karena senyawa oligosakarida ini memberi efek positif akan meningkatkan kemanfaatan karbohidrat bagi tubuh. Selain itu, senyawa inulin telah terbukti secara ilmiah memberi multi efek fungsional sehat, antara lain menurunkan kadar kolesterol LDL, trigliserida (TAG), meningkatkan HDL, dan menurunkan Indeks Aterogenik (IA). Bahan FOS, yang terdiri atas 2-8 monomer gula fruktosa dengan ikatan β (2-> ) memiliki tingkat kemanisan kurang lebih sepertiga dari sukrosa, sehingga dapat digunakan sebagai pemanis pengganti sukrosa, yang rendah kalori. Inulin dan FOS dikatakan sebagai bahan pangan fungsional lebih banyak diteliti berefek sehat, antara lain sebagai prebiotik, menurunkan kadar kolesterol darah, meningkatkan produksi vitamin B dan meningkatkan penyerapan kalsium sehingga dapat mencegah resiko osteoporosis. Inulin dan FOS tidak terdekomposisi oleh enzim pencernaan, namun keduanya dapat dimanfaatkan oleh bakteri baik yang terdapat dalam usus besar (kolon), khususnya Bifidobacterium sp. dan Bacteroides sp. Lalu menghasilkan suasana kolon menjadi asam (pH rendah) sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen penyebab penyakit (Firmansyah, 2007). Dengan demikian, pengurangan kafein dan pengayaan inulin dan FOS mestinya memberikan efek sinergis sehat.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 96
ISBN 978-602-98902-1-1
Namun demikian, pengurangan kafein dan fortifikasi inulin serta FOS pada kopi dapat mengubah cita rasa kopi. Pengubahan cita rasa yang sangat nyata dapat berakibat pada penurunan daya terima masyarakat penggemar kopi. Oleh karena itu, perlu dibuktikan pengaruh pengurangan konsentrasi kafein dan penambahan inulin dan FOS terhadap mutu cita rasa kopi dan daya terima atau kesukaan penggemar kopi. Studi ini bertujuan untuk membuat formula kopi dekafosin dan mengevaluasi mutu cita rasa standard. Secara khusus, percobaan ini menguji efek dekafeinasi dan penambahan inulin serta FOS terhadap mutu cita rasa standard dan daya terima kopi dekafosin.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan yang digunakan yaitu umbi akar tanaman dahlia (Dahlia pinnata), biji kopi robusta, arang aktif, agar PDA, akuades, dekstrin, biakan Aspergillus niger, yeast ekstrak, CMC, sukrosa, kertas coklat, aluminium foil, tissue, kapas, aquades steril, enzim pankreatin, enzim pepsin dan gula Tropicana. Bahan kimia utama yang digunakan untuk ekstraksi kafein, dan inulin yaitu NaOH 0,5N , HCl 0,5N, , 4M HCl, 2N NaOH, aquades, etanol 78% dan 95%, aseton etanol, chloroform, celite 545, glass wool, diethyl eter, NH4OH (1+2),4N H2SO4, 2N NaOH, DNS, Na K tatrat, glukosa murni, NaOH 2M, sukrosa murni, HCl 30%, resorcin, fruktosa murni, HCl pekat, KI-K2C2O4, 0,005N Na2S2O3, reagen Shaffer somoghy, 2N H2SO4, etanol murni (PA), H2SO4 70%, sistein, karbazole, bubuk inulin standart, BaOH, CaCO3, ZnSO4 Alat utama yang dipergunakan yaitu blender, sentrifus, tabung 50 ml, alat pengolahan kopi, spektrofotometer, kolom kromatografi, glass wool, peralatan ekstraksi kafein, kertas saring peralatan gelas Erlenmeyer , 100 ml dan 500 ml, beaker glass 150 ml; 250 ml; 400 ml; 500 ml; 600 ml; 1000 ml, pipet ukur 1 ml dan 10 ml, mikro pipet, biuret 10 ml dan 50 ml, gelas ukur 10 ml dan 100 ml, labu ukur 10 ml; 25 ml; 50ml; 100 ml; 250 ml; 500 ml dan 1000ml, tabung reaksi, botol timbang, kurs porselein, timbangan analitis, pH meter, sentrifuse, freezer, lemari pendingin, oven, tanur pengabuan, desikator, shaker water bath, freeze drying, autoklaf, Laminer air flow, corong, spatula, sendok teh, blender, kain saring, rak tabung reaksi, hot plate, stirer, batang stirer, lampu bunsen, ose, vortex, kompor listrik, dan peralatan gelas (Duran dan pyrek), kolom kromatografi 5x 50 cm, kuvet, spectrophotometer. Rancangan penelitian(research design) Penelitian laboratoris (pure experiment) terdiri atas enam tahapan utama, yaitu 1) dekafeinasi biji kopi dan pembuatan bubuk kopi dekaf, 2) eksktraksi inulin alami umbi dahlia, 3) produksi FOS, 4) formulasi minuman kopi dekafosin, 5) analisis mutu zat gizi karbohidrat, dan 6) uji mutu standard cita rasa minuman kopi dekafosin : aroma–bau (QAR,IAR), flavor - rasabau (QFL, IFL)), body –kental kopi (bod), kesepatan (Ast), kepahitan (bit), after taste (Aft). Kegiatan dekafeinasi, pembuatan bubuk kopi dekaf, dan uji mutu standard cita rasa kopi dekafosin dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Kopi Kakao Kaliwening Jember. Kegiatan produksi bahan FOS
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan dan Hasil Pertanian FTP Universitas Jember. Adapun analisis mutu zat gizi karbohidrat dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia FTP Universitas Jember. Rancangan percobaan (experimental design) Percobaan dirancang sebagai Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan satu faktor, yaitu kadar inulin dengan tiga tingkat yaitu 12, 20, dan 28 % bk. Data pengukuran parameter mutu kopi dekaf inul instan diulang sebanyak 3 kali. Penilaian mutu sensoris formula kopi dekafosin dilakukan oleh 3 panelis ahli dengan skala nilai 0-10, dan dinilai sebagai ulangan. Dekafeinasi biji kopi Dekafeinasi biji kopi dilakukan dengan ekstraksi pelarut air selama 5 jam ( modifikasi Sulistyowati, 2001). Kopi beras berkadar air 10-15% dihancurkan lolos saring 45 mesh. Lalu grip kopi tersebut dinaikkan kadar air hingga 40-50% dengan uap panas basah suhu 100oC, lalu diaduk dan diekstrak dengan air (5 kali berat biji kopi) selama 3,5,8 jam, suhu 32oC. Lalu, biji kopi diangkat dan sisa pelarut dihilangkan dengan pengeringan 105oC. Kopi dikeringkan hingga berkadar air 10%, disangrai, dan digiling halus. Ekstraksi inulin Umbi dahlia bersih dipotong lalu diblender dengan penambahan air (b:v=1:2), lalu dipanaskan (80-90 o C, 30 menit). Filtrat diambil dan ditambah etanol 30% sebanyak 40% dari volume filtrate, lalu disimpan selama 18 jam, suhu ± - 10 o C. Kemudian, larutan dibiarkan pada suhu ruang (± 2 jam), lalu disentrifugasi (1500 rpm, 15 menit). Endapan (inulin basah 1) ditambah air (1:2) lalu dipanaskan (70 o C, 30 menit). Larutan ini ditambahi karbon aktif 1-2%(b/v). Larutan disaring, diukur volumenya, dan didinginkan pada suhu ruang. Selanjutnya, ditambahkan etanol 30% sebanyak 40% volume larutan. Lalu didinginkan di dalam freezer selama 18 jam. Setelah pendinginan tahap II, larutan dicairkan pada suhu ruang lalu disentrifugasi (1500 rpm, 15 menit) hingga diperoleh endapan putih (inulin basah II). Endapan dikeringkan (50-60 o C , 6-7 jam) lalu dihaluskan hingga diperoleh bubuk inulin alami. Formulasi dan pembuatan bubuk kopi dekafosin Formula kopi dekaf inul instan diramu dari bahan bubuk kopi dekaf dan penambahan bubuk inulin dengan perbandingan tertentu, yaitu 12, 20, dan 28 % bk. Campuran kedua bahan tersebut dihomogenasi kering, kemudian ditambah gula pasir 200% dan air, lalu dibuat menjadi bubuk kopi instan dengan pemanasan di atas api kecil hingga mengkristal. Analisis kadar air (Metode Oven) Penentuan kadar air bahan dilakukan dengan menimbang botol timbang yang telah dikeringkan dalam oven selama 1 jam dan setelah itu didinginkan dalam eksikator selama 15 menit (a g). Kemudian menimbang sampel yang telah dihaluskan kurang lebih 1 gram dalam botol timbang (b g). Selanjutnya botol timbang dimasukkan ke dalam oven suhu 100°C-105°C selama 24 jam. Lalu botol timbang dipindahkan ke dalam eksikator
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 97
ISBN 978-602-98902-1-1
selama 15 menit, kemudian ditimbang sampai beratnya konstan (c g). Analisis kadar abu (Metode Langsung) Krus porselin dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan setelah itu didinginkan dalam eksikator selama 15 menit lalu ditimbang (a g). Kemudian menimbang sampel yang telah dihaluskan kurang lebih 2-10 gram dan dihomogenkan dalam krus porselin tersebut (b g). Kemudian dipijarkan dalam tanur pengabuan sampai diperoleh abu berwarna putih keabu-abuan. Selanjutnya krus porselin didinginkan sampai dingin (12 jam), setelah dingin krus porselin dimasukkan kedalam eksikator untuk kemudian ditimbang beratnya (c g). Analisis Mutu Zat Gizi Karbohidrat Total gula pereduksi. Membuat reagen DNS dengan menimbang 0,25 g DNS tambahkan 25 ml aquadest, stirer homogen dengan kecepatan 10 rpm. Setelah homogen larutkan ke dalam campuran 75 g Na K tartrat dalam 50 ml NaOH 2 M. Tambahkan aquadest hingga batas labu ukur 250 ml. Untuk membuat Kurva Standart menggunakan larutan glukosa murni dengan siapkan 7 tabung reaksi dan beri label (0 ; 25 ; 50 ; 75 ; 100 ; 150 ; 200) μL. Tuangkan glukosa murni ke dalam 7 tabung reaksi. Tambahkan reagen 2 ml. Vortex dan panaskan pada hotplate suhu 100oC selama 10 menit hingga terbentuk kompleks warna merah jingga. Sampel diabsorbansi dengan spektrofotometer pada α= 570 nm. Untuk Uji total gula pereduksi siapkan 4 tabung reaksi dan beri label (0;100;500;700) μL. Tuangkan supernatan sampel ke dalam 4 tabung. Tambahkan reagen 2 ml. Vortex dan panaskan pada hotplate suhu 100oC selama 10 menit hingga terbentuk kompleks warna merah jingga. Sampel diabsorbansi dengan spektrofotometer pada α = 570 nm. Sukrosa. Membuat reagen recorcinol dengan menimbang 0,1 g recorcinol, kemudian dilarutkan kedalam 100 ml aquadest. Untuk uji sukrosa ambil 25 μl larutan sampel ditambah dengan 250 μl 0,1% resorcinol dan 750 μl 30% HCl, kemudian dipanaskan pada suhu 80oC selama 8 menit. Setelah dingin diukur dengan spektrofotometer pada α = 520 nm dan jumlah sukrosa dihitung dengan menggunakan kurva standar sukrosa. Untuk kurva standart menggunakan sukrosa murni. Fruktosa. Pada uji fruktosa reagen seliwanoff dibuat segera sebelum uji di mulai. Pereaksi ini dibuat dengan mencampurkan 3,5 ml resorsinol 0,5% dengan 12 ml HCl 1 N pekat, kemudian diencerkan menjadi 35 ml dengan aquadest. Uji dilakukan dengan menambahkan 100 μl dan 1 ml larutan sampel ke dalam 2 ml pereaksi, kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit. Warna merah cherry menunjukkan adanya fruktosa dalam contoh. Sampel diabsorbansi dengan spektrofotometer pada α = 500 nm. Untuk kurva standart menggunakan fruktosa murni. Glukosa. Membuat reagen Shaffer Somoghy dengan menimbang 25 g Na2CO3 yang dilarutkan kedalam 100 ml aquades, 25 g garam Rochelle yang dilarutkan kedalam 100 ml aquades, 100 g CuSO4.5H2O/L diambil 75 ml, 25 g NaHCO3 yang dilarutkan kedalam 100 ml aquades, 5 g KI yang dilarutkan kedalam 100 ml aquades, 250 ml 0,1N KIO3. Bahan-bahan tersebut kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 1000 ml dan
ditera sampai tanda batas. Membuat larutan KI-K2C2O4 dengan menimbang 2,5 g KI dan 2,5 g K2C2O4 yang kemudian dilarutkan dengan aquades hingga tanda batas labu ukur 100 ml. Membuat larutan 2N sebanyak 100 ml. Membuat larutan 0,005N Na2S2O3 dengan menimbang 1,25 g Na2S2O3.5H2O pindahkan ke dalam labu ukur 1 Liter dan tambahkan 0,015 g Na2CO3 dan encerkan dengan aquades sampai tanda batas. Uji glukosa ini dilakukan dengan mengambil 5 ml sampel yang mengandung glukosa (0,5 – 2,5 mg) ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi shaffer somoghy, campuran dikocok dan dipanaskan selama 15 menit. Kemudian didinginkan selama 4 menit, lalu ditambahkan 2 ml KI-K2C2O4 dan 3 ml 2N H2SO4 dan dikocok. Setelah itu didinginkan kembali selama 5 menit, kemudian campuran tersebut dititrasi dengan larutan 0,005N Na2S2O3 yang telah distandarisasi. Perubahan warna menjadi kuning kemerahan menandakan bahwa sampel mengandung glukosa. Inulin. Satu ml sampel ditambah 0,2 ml sistein 1,5% dan 6 ml H2SO4 70%, campuran dikocok, lalu ditambah 0,2 ml karbazol 0,12% dalam larutan etanol. Kemudian dipanaskan (60oC, 10 menit). Setelah dingin absorbansinya diukur pada panjang gelombang 560 nm. Kurva standar dibuat dengan menggunakan sampel yang mengandung inulin lebih dari 20 μg/ml. Analisis kadar kafein Penentuan kadar kafein dengan menggunakan metode kromatografispektrometer yaitu dengan melalui empat tahapan, persiapan larutan standar kafein, persiapan contoh, persiapan kolom dan pengukuran. Persiapan larutan standar. Timbang secara teliti 100 mg caffeine (USP anhydrous) masukkan dalam 100 ml labu ukur, tambahkan chloroform larutkan dan terakan sampai batas vol (Lar. 1 mg/ml). Encerkan 10 ml larutan diatas sampai 100 ml dengan chloroform (Lar. 100 μg/ml). Selanjutnya encerkan lagi 10, 20 dan 15 ml larutan di atas menjadi 100, 100, dan 50 ml dengan chloroform untuk mendapatkan konsentrasi standar; 10, 20 dan 30 μg caffeine/ml. Tentukan kurva hubungan antara konsentrasi dan absorbansi pada panjang gelombang 276 nm (gunakan chloroform sebagai referensi). Persiapan contoh. Masukkan contoh dalam 100 ml beaker, tambahkan 5 ml NH4OH (1+2), dan panaskan di atas penangas air yang mendidih selama 2 menit. Dinginkan larutan (keruh), pindahkan dalam labu ukur 100 ml, dan terakan sampai volume dengan H2O. Ambil 5 ml aliquot dan tambahkan 6 gr celite 545 dan campurkan merata. Selanjutnya dipakai pada lapisan II pembuatan kolom basa, lihat butir 3 di bawah. Persiapan kolom terdiri dari dua tahap yaitu kolom asam dan kolom basa. Persiapan kolom asam yaitu kolom yang digunakan 2,5 x 25 cm, tempatkan glasswool pada dasarnya. Siapkan 3 gr celite 545 dan tambahkan 3 ml 4N H2SO4, aduk buat adonan dengan spatula. Pindahkan dalam kolom dan padatkan dengan tekanan kecil. Tempatkan lembaran glasswool (atau kertas saring) di atas celite. Persiapan kolom basa yaitu lapisan I : campurkan 3 gr celite dan 2 ml 2N NaOH, dan tempatkan pada kolom. Lapisan II : bagi masing-masing porsi ± 2 gr campuran contoh + celite
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 98
ISBN 978-602-98902-1-1
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar air bubuk kopi dekafosin instan Kadar air bubuk kopi dekaf dan non dekaf berkisar antara 4,46–5,80 persen, dan kopi Dekafosin berkadar air sebesar 5,04 persen (Gambar 1). Data pada gambar tersebut menunjukkan bahwa kadar air pada kopi non dekaf lebih rendah dari kopi dekaf. Pada bubuk kopi yang ditambahkan bahan FOS berkadar air lebih tinggi daripada sampel kopi yang lainnya. Hal ini disebabkan karena inulin dan FOS yang dikeringkan merupakan bahan yang bersifat higroskopis dalam udara yang lembab (Crow, 2005) sehingga kadar air dapat meningkat selama proses penggilingan, pemindahan bahan dan penyimpanan. Pada proses tersebut berlangsung terjadi kontak antara bahan dengan udara luar yang mengandung uap air. Selain itu, inulin merupakan bahan yang dapat larut dalam air, yaitu maksimum 10% dalam suhu ruang (Franck, 2002). Sehingga dalam proses penyimpanannya harus sangat
4.46
Kadar Air (% b.k)
Uji kesukaan minuman dekafosin Pengujian kesukaan kopi dekafosin dilakukan oleh 25 panelis semi terlatih. Cara pengujian dilakukan secara acak menggunakan sampel yang terlebih dahulu diberi kode. Panelis diminta menjelaskan tingkat kesukaan mereka terhadap parameter mutu kopi, meliputi aroma, warna, dan rasa. Lalu, panelis diminta untuk menuliskan skor berdasarkan tingkat skala yang tercantum pada kuesioner yang telah disediakan. Skala tingkat kesukaan yang digunakan adalah 1 sampai 5 : 1= sangat suka, 2= suka, 3= agak suka, 4= tidak suka, dan 5 = sangat tidak suka. Analisis data Perbedaan data pengukuran parameter kopi dekafosin dan data penilaian organoleptik dianalisis menggunakan analisis ragam Khai Kuadrat (Х2) sebagai dasar penentuan pengaruh proses dekafeinasi dan penambahan inulin pada formula kopi dekafosin.
diperhatikan dan dapat mempengaruhi bertambahnya kadar air kopi dekafosin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar air kopi Dekafosin dipengaruhi oleh perpaduan bahan inulinFOS, dan penambahan bahan FOS sehingga menghasilkan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan adanya penambahan bahan inulin. Hasil uji Anova (Fhit = 16,18 > Ftab=4,28, α=0.01) membuktikan bahwa dekafeinasi dan penambahan inulin dan FOS berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan kadar air formula minuman kopi. Kadar air bubuk kopi Dekafosin lebih besar (5,04 persen) bila dibandingkan dengan standar mutu bubuk kopi instan berdasarkan (SNI 01-6685-2002) yaitu syarat mutu kopi instan, baik mutu I maupun mutu II yaitu kadar air maksimal 4%.
5
0
4.55
4.96
5.40
4.76
Kontrol non dekaf Kontrol non dekaf+inulin Kontrol non dekaf+FOS Kopi non dekafosin
5.80
4.95
5.04
Kontrol dekaf Kontrol dekaf+inulin Kontrol dekaf+FOS Kopi dekafosin
Gambar 1 Kadar air berbagai formula kopi Kadar abu bubuk kopi dekafosin Kadar abu dapat menggambarkan kadar mineral suatu bahan pangan. Kadar abu bubuk kopi dekaf, non dekaf, dan dekafosin berkisar antara 1,87 sampai 3,15 persen (Gambar 2). Data pada gambar tersebut menunjukkan bahwa : 1) kadar abu antara kopi non dekaf lebih tinggi dari kopi dekaf, 2) penambahan bahan FOS menyebabkan kadar abu lebih tinggi daripada penambahan bahan inulin pada kopi dekaf maupun non dekaf. Kopi dekafosin instan mengandung kadar abu yang lebih rendah dari kadar abu pada kopi dekaf-FOS, atau dekaf inul. Keadaan ini disebabkan oleh pengaruh kandungan mineral biji kopi robusta sebelum dan sesudah proses dekafeinasi, dan bahan yang dicampurkan seperti penambahan bahan inulin dan bahan FOS. Hal tersebut dibuktikan bahwa dekafeinasi dan penambahan inulin dan FOS berpengaruh sangat nyata (Fhit = 58.60 > Ftab=4,28, α=0.01) terhadap peningkatan kadar abu formula minuman kopi.
5 Kadar Abu (% b.k)
seperti pada butir 2. tempatkan masing-masing porsi di atas lapisan I dengan meratakan dan menekan secara berurutan sampai semua contoh ada di atas lapisan I, kompak dan homogen. Elusi dan bilas (kering) wadah beaker dengan 1 gr celite dan tumpahkan di atas lapisan II. Pengukuran. Tumpangkan kolom basa di atas kolom asam. Lewatkan 150 ml Diethyl Ether yang dijenuhkan dengan H2O pada kolom basa lalu lewatkan kolom asam dan buang larutannya. (sampai tahap ini porsi caffeine sudah pindah di kolom asam, lepaskan kolom basa). Lewatkan 50 ml Diethyl Ether yang dijenuhkan dengan H2O pada kolom asam, dan buang cairannya. Tempatkan labu ukur 50 ml di bawah kolom asam. Lewatkan pada kolom asam 48 ml chloroform yang telah dijenuhkan dengan H2O (lewatkan 10 ml dulu), cuci (dengan mencelupkan) ujung kolom basa dalam cairan yang keluar dari kolom asam tersebut, lanjutkan sisa chloroform jenuh air sampai habis. Tera dengan menambahkan chloroform jenuh air pada labu sampai volume dan kocok. Baca absorbansi pada 276 nm dengan referensi chloroform jenuh air. Lakukan scanning pada 350-250 nm.
2.91 1.93
2.43
3.15 1.87
2.57 2.78 2.3
0 Kontrol non dekaf Kontrol non dekaf+inulin Kontrol non dekaf+FOS
Kontrol dekaf Kontrol dekaf+inulin Kontrol dekaf+FOS
Gambar 2. Kadar abu bubuk formula kopi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 99
ISBN 978-602-98902-1-1
Kadar kafein bubuk kopi dekafosin Kadar kafein semua bubuk kopi berkisar antara 0,47 sampai 1,41 persen (Gambar 3). Data pada gambar tersebut menunjukkan bahwa kadar kafein kopi non dekaf lebih tinggi dari kopi dekaf. Hal ini terjadi karena proses dekafeinasi sangat berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar kafein bubuk kopi yang dihasilkan (Fhit = 304,78 > Ftab=4,28, α=0.01). Selama proses dekafeinasi dengan menggunakan pelarut air, kelarutan kafein sangat tinggi sehingga kadar kafein bubuk kopi dekafosin cukup rendah. Kadar kafein bubuk kopi Dekafosin paling rendah, yaitu sebesar 0,47 persen. Hal ini terjadi karena bahan inulin dan FOS yang ditambahkan pada bubuk kopi, bersifat mengikat kafein sehingga memudahkan kafein untuk larut. Pengaruh penambahan inulin berbeda dengan penambahan FOS terhadap penurunan kadar kafein bubuk kopi dekaf, non dekaf, maupun dekafosin. Hal ini dapat terjadi karena inulin memiliki unit glukosa pada ujungnya dan terjadi pengikatan gugus karbon dengan gugus karbonil sehingga inulin mudah larut dalam air. Sementara, kafein yang berada dalam keadaan senyawa alkaloid kompleks menyebabkan molekul kafein tidak mudah berikatan dengan molekul air dan tingkat kelarutan kafein dalam air mendidih menjadi lebih rendah.
1.41 1
1.31
1.30 0.82
0.72
0.80
1.02 0.47
0
Kontrol non dekaf Kontrol non dekaf+inulin Kontrol non dekaf+FOS
Kontrol dekaf Kontrol dekaf+inulin Kontrol dekaf+FOS
10
5
0
Mutu Zat Gizi Karbohidrat Minuman Kopi Dekafosin Total Gula Pereduksi. Kadar total gula pereduksi bubuk kopi instan berkisar antara 2,68 sampai 4,98 persen (Gambar 4). Kadar total gula pereduksi pada bubuk kopi Dekafosin sebesar 2,8 persen. Data tersebut memperlihatkan bahwa kadar total gula pereduksi pada kopi non dekaf lebih tinggi daripada kadarnya pada kopi dekaf. Hal ini disebabkan karena selama proses pengolahan kopi biji, baik sebelum dan sesudah dekafeinasi hingga menjadi bubuk kopi, banyak menyebabkan kehilangan konsentrasi gulanya (Ridwansyah, 2003). Penambahan inulin dan FOS pada bubuk kopi berpengaruh sangat nyata (Fhit = 430,75 > Ftab=4,28, α=0.01) terhadap kadar total gula pereduksi bubuk kopi yang dihasilkan. Menurut
2.68
4.98
3.81
2.89
Kontrol non dekaf Kontrol non dekaf+inulin Kontrol non dekaf+FOS Kopi non dekafosin
4.74
4.08
2.8
Kontrol dekaf Kontrol dekaf+inulin Kontrol dekaf+FOS Kopi dekafosin
Sukrosa. Kadar sukrosa bubuk kopi instan berkisar antara 0 sampai 33,48 persen (Gambar 5). Data tersebut menunjukkan bahwa kadar sukrosa kopi non dekaf lebih tinggi daripada kadar nya pada kopi dekaf. Penambahan bahan inulin maupun FOS meningkatkan kadar sukrosa, namun penambahan bahan inulin menyebabkan kadar sukrosa lebih tinggi daripada penambahan bahan FOS pada bubuk kopi. Hasil uji statistic membuktikan bahwa penambahan bahan inulin sangat berpengaruh nyata terhadap kadar sukrosa dibandingkan penambahan bahan FOS pada kopi Dekafosin (Fhit = 5906.93 > Ftab=4,28, α=0.01). Proses dekafeinasi sangat berpengaruh nyata terhadap kadar sukrosa bubuk formula kopi. Hal ini terjadi karena selama dekafeinasi, jumlah gula yang dihasilkan dari hidrolisis karbohidrat menjadi monomer gula pada biji kopi bersifat larut air, sehingga kopi dekaf memiliki kadar sukrosa yang lebih rendah daripada kopi non dekaf. 40
Gambar 3. Kadar kafein bubuk formula kopi
4.22
Gambar 4. Kadar total gula pereduksi formula kopi
Kadar Sukrosa (% b.k)
Kadar Kafein (% b.k)
2
Franck & De Leenheer (2004) inulin yang diekstrak dari umbi segar dahlia selalu mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, dan sedikit oligosakarida. Oleh karena itu, keberadaan komponen ini di dalam inulin umbi dahlia tidak dapat dihindari. Kadar gula pereduksi yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah molekul fruktosa yang masih dalam bentuk oligomernya (oligofruktosa) lebih sedikit, karena hampir sebagian besar bahan telah dihidrolisis menjadi monomer. Total Gula Pereduksi (% b.k)
Kadar abu suatu bahan dapat digunakan untuk menduga distribusi mineral dari suatu bahan tersebut. Kandungan mineral pada masing-masing kopi bubuk berbeda, sehingga nilai kadar abu pada kopi instan akan beragam. Kadar abu bubuk kopi dekafosin instan sesuai syarat mutu produk (SNI 01-29831992), yaitu kadar maksimal abu sebesar l 7-14 persen.
33.48
32.77
27.82
30.83
20
0
0.02 Kontrol non dekaf Kontrol non dekaf+inulin Kontrol non dekaf+FOS Kopi non dekafosin
Kontrol dekaf Kontrol dekaf+inulin Kontrol dekaf+FOS Kopi dekafosin
Gambar 5. Kadar sukrosa berbagai formula kopi Fruktosa. Kadar fruktosa formula kopi berkisar antara 0 sampai 97,65 persen (Gambar 6). Kadar fruktosa pada bubuk kopi Dekafosin instan sebesar 94,33 persen. Data pada gambar
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 100
ISBN 978-602-98902-1-1
88.42
97.65 94.33 77.43
60 40 20 0
2.02
1.79
2
1.95
1.66
1.23
0.96 0.36
0 Kontrol non dekaf Kontrol non dekaf+inulin Kontrol non dekaf+FOS Kopi non dekafosin
Kontrol dekaf Kontrol dekaf+inulin Kontrol dekaf+FOS Kopi dekafosin
Kontrol non dekaf Kontrol non dekaf+inulin Kontrol non dekaf+FOS Kopi non dekafosin
Kontrol dekaf Kontrol dekaf+inulin Kontrol dekaf+FOS Kopi dekafosin
Gambar 6. Kadar Fruktosa Bubuk Kopi Instan Glukosa. Kadar glukosa bubuk kopi instan berkisar antara 0,36 sampai 3,08 persen (Gambar 7). Data tersebut memperlihatkan bahwa kadar glukosa kopi non dekaf lebih tinggi daripada kadarnya pada kopi dekaf. Penambahan bahan FOS sangat berpengaruh nyata terhadap kadar glukosa daripada penambahan bahan inulin pada kopi Dekafosin (Fhit = 11,52 >Ftab=6,99, α=0.01). Kadar glukosa bubuk kopi instan yang ditambah bahan FOS lebih tinggi daripada akibat penambahan inulin. Hal ini dapat terjadi karena produksi FOS dengan metoda transfruktosilasi dari sukrosa memiliki kelemahan karena aktivitas enzimnya terkadang dihambat oleh glukosa yang menghasilkan produk sampingan sehingga produk FOS yang dihasilkan tidak murni, melainkan masih merupakan campuran dari FOS, glukosa dan sukrosa (Ekandini, 2006).
Inulin. Kadar inulin pada formula minuman kopi berkisar antara 22,44 – 73 persen (Gambar 8). Kadar inulin pada bahan bubuk inulin sebesar 73 persen. Data pada gambar tersebut menunjukkan bahwa kadar inulin minuman kopi non dekaf lebih rendah daripada kadarnya pada minuman kopi dekaf. Hal ini dapat terjadi karena pada bubuk kopi non dekaf senyawa kafein masih bebas dengan ukuran, dan berat molekulnya menjadi kecil. Kafein menjadi mudah bergerak, mudah berdifusi melalui dinding sel, dan selanjutnya larut dalam air. Selain itu, pengaruh energi panas dapat pula menyebabkan ikatan terputus sehingga kafein mudah larut dalam air. Bubuk kopi dekaf mengandung inulin lebih besar dari bubuk kopi non dekaf. Hal ini dapat terjadi karena inulin memiliki unit glukosa pada ujungnya dan terjadi pengikatan gugus karbon dengan gugus karbonil sehingga inulin mudah larut dalam air dan kafein yang berada dalam kondisi terikat. Ikatan yang komplek menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi sehingga tingkat kelarutan kafein lebih rendah daripada inulin. Penambahan inulin dan FOS berpengaruh lebih besar terhadap peningkatan kadar inulin bubuk kopi Dekafosin bila dibandingkan dengan kopi penambahan inulin (Fhit = 157,26 > Ftab=7,01, α=0.01). Kontrol inulin memiliki nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan sampel. Hal ini dapat terjadi karena inulin yang diekstrak dari umbi dahlia mengandung 69,50-75,48% inulin (Saryono dkk, 1999). 100 Kadar Inulin (% b.k)
Kadar Fruktosa (% b.k)
80
3.08
Gambar 7. Kadar glukosa formula minuman kopi
120 100
4 Kadar Glukosa (% b.k)
tersebut menunjukkan bahwa kadar fruktosa pada kopi non dekaf lebih tinggi daripada kadarnya dalam kopi dekaf. Penambahan bahan inulin maupun FOS meningkatkan kadar fruktosa yang lebih tinggi daripada penambahan bahan FOS saja. Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh hasil bahwa penambahan bahan inulin berpengaruh sangat besar (Fhit = 114233.03 > Ftab=4,28, α=0.01) terhadap kadar fruktosa daripada penambahan bahan FOS yang terdapat didalam kopi dekafosin. Hal ini terjadi karena kadar gula fruktosa pada inulin lebih besar dari FOS. Satu rantai inulin dapat dibangun oleh sekitar 30 unit FOS, sementara FOS terdiri atas 2 sampai 8 unit fruktosa saja.
73 50 22.44 0
Kontrol Inulin Kontrol dekaf+inulin
30.5
22.61
28.15
Kontrol non dekaf+inulin Kopi non dekafosin
Gambar 8. Kadar inulin bubuk kopi dekafosin Tingkat Kesukaan Formula Minuman Kopi Dekafosin Warna formula minuman kopi Dekafosin. Berdasarkan hasil analisis data uji kesukaan diketahui bahwa warna formula kopi dekaf+FOS disukai oleh cukup banyak panelis (40%).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 101
ISBN 978-602-98902-1-1
Selanjutnya, warna formula kopi non dekaf, dekaf+inulin, non dekaf+FOS disukai oleh masing-masing 37% panelis. Warna formula minuman kopi Dekafosin agak disukai oleh 27 % panelis. Penambahan bubuk inulin yang berwarna kuning kecoklatan dan bahan FOS yang berwana kuning kemerahan dalam minuman formula kopi dekafosin instan membentuk warna kuning kecoklatan. Data hasil analisis Khai kuadrat diketahui bahwa penambahan bahan inulin dan FOS tidak nyata berpengaruh terhadap kesukaan warna formula minuman kopi dekafosin (Х² c=17,397< Х²tab=18,549) pada nilai kemaknaan (p) > 5 persen. Hal tersebut membuktikan bahwa proses dekafeinasi dan penambahan kedua bahan inulin FOS tidak nyata berpengaruh terhadap kesukaan warna formula minuman kopi Dekafosin Aroma minuman kopi dekafosin. Berdasarkan hasil analisis uji kesukaan diketahui bahwa aroma formula kopi non dekaf+inulin (30%) lebih banyak disukai daripada aroma formula kopi non dekaf, dan formula kopi dekaf (27 % panelis). Aroma formula kopi dekaf+inul lebih disukai (17%) daripada aroma formula kopi dekaf+FOS (7%). Hal ini dapat terjadi karena inulin tidak memiliki aroma sehingga tidak mempengaruhi perubahan aroma pada kopi instan. Sedangkan FOS memiliki aroma agak asam karena hasil fermentasi, sehingga menimbulkan aroma asam pada seduhan formulan kopi dekaf+FOS, non dekaf+FOS, dan dekafosin. Selain itu, proses dekafeinasi dengan menggunakan pelarut air dapat mempengaruhi perubahan aroma kopi yang dihasilkan karena senyawa volatilnya, antara lain golongan aldehid, keton, dan alkohol berpengaruh terhadap aroma kopi. Sementara, senyawa non volatile, seperti kafein, asam klorogenat, dan senyawa nutrisi berpengaruh terhadap mutu kopi. Namun, menurut Koswara (2006), aroma seduhan kopi dekafein tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan rasa seduhan kopi non dekafein. Pembentukan aroma kopi terjadi saat penyangraian, yang menimbulkan perubahan fisik, dan kimiawi dalam biji kopi, seperti penguapan air, terbentuknya senyawa volatil (mudah menguap), karamelisasi, pengurangan serat kasar, denaturasi protein dan terbentuknya CO2 sebagai hasil oksidasi, dan terbentuknya aroma yang karakteristik pada kopi (Ridwansyah, 2003). Berdasarkan hasil analisis statistik dibuktikan bahwa pada formula minuman kopi dekaf dengan kopi dekaf + inulin, kopi dekaf dengan kopi dekaf + FOS, (c² hitung < c² tabel) dan nilai kemaknaan (p) > 5 persen. Artinya bahwa penambahan bahan inulin dan FOS tidak nyata berpengaruh terhadap tingkat kesukaan aroma formula minuman kopi dekaf + inulin dan kopi dekaf +FOS instan. Sedbaliknya, pada formula minuman kopi dekaf dengan kopi dekaf + FOS + inulin (Dekafosin), (c² hitung > c² tabel) namun nilai kemaknaan (p) > 5 persen. Artinya bahwa penambahan bahan inulin dan FOS tidak nyata berpengaruh terhadap tingkat kesukaan aroma formula minuman kopi Dekafosin instan. Jadi dapat disimpulkan bahwa penambahan bahan inulin dan bahan FOS tidak nyata berpengaruh terhadap aroma kopi Dekafosin instan, namun tingkat kesukaan panelis rendah. Berdasarkan hasil analisis uji kesukaan rasa dapat diperoleh bahwa persentase yang sangat disukai adalah pada
kopi dekaf dan prosentase sangat tidak suka adalah pada seduhan kopi non dekaf-FOS. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada kopi non dekafosin instan, masih banyak terkandung senyawa-senyawa non volatil yang berpengaruh terhadap mutu kopi. Rasa pahit berlebihan dapat memberikan rasa yang kurang baik pada kopi, sebaliknya jika rasa pahit ini berkurang secara berlebihan cita rasa kopi secara keseluruhan juga akan turun. Ada beberapa senyawa yang berperan sebagai pembentuk rasa pahit yaitu kafein, asam alifatik, asam khologenat, dan trigonelin. Kafein tidak mempunyai pengaruh langsung pada cita rasa, namun pada beberapa jenis kopi, kafein berhubungan dengan komponen lainnya seperti lemak dan asam klorogenat sehingga menentukan bitterness (pahit). Selama penyangraian trigonelin tidak dapat terdegradasi sempurna sehingga rasa pahitnya sedikit mewarnai karakteristik cita rasa seduhan formula minuman kopi dan selama proses penyangraian sebagian kecil dari kafein akan menguap dan terbentuk komponen-komponen lain, yaitu aseton, furfural, amonia, trimethylamine, asam formiat dan asam asetat. Sehingga rasa kopi yang terbentuk pada formula minuman kopi sangat kuat dan memiliki rasa pahit. FOS memiliki rasa manis namun rendah sehingga tidak dapat mempengaruhi rasa formula minuman kopi instan. Sedangkan inulin hasil ekstraksi tidak memiliki rasa sehingga tidak akan mempengaruhi perubahan rasa pada formula minuman kopi instan. Pada formula minuman kopi dekaf dengan kopi dekaf + inulin, (c² hitung > c² tabel) dan kopi dekaf dengan kopi dekaf + FOS, (c² hitung > c² tabel) dan nilai kemaknaan (p) > 5 persen. Sedangkan pada formula minuman kopi dekaf dengan kopi dekaf + FOS + inulin (Dekafosin), (c² hitung < c² tabel) dan nilai kemaknaan (p) > 5 persen. Sehingga terbukti bahwa penambahan bahan inulin dan FOS tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan rasa formula minuman kopi dekaf + inulin, kopi dekaf + FOS dan kopi Dekafosin. Dapat disimpulkan bahwa proses dekafeinasi, penambahan bahan inulin dan FOS tidak nyata berpengaruh terhadap tingkat kesukaan rasa kopi Dekafosin instan, namun tingkat kesukaan panelis sangat rendah. Namun menurut Mulato dkk (2005), biji kopi hasil proses dekafeinasi cenderung memiliki karakteristik aroma dan rasa yang lebih rendah daripada kopi non dekaf.
KESIMPULAN Proses dekafeinasi berpengaruh nyata terhadap karakteristik mutu kimia formula minuman bubuk kopi Dekafosin instan. Demikian juga, penambahan bahan inulin dan bahan FOS berpengaruh nyata terhadap karakteristik mutu kimia formula minuman bubuk kopi Dekafosin, yaitu dapat meningkatkan kadar air, kadar abu, kadar sukrosa, kadar fruktosa, dan kadar inulin. Namun dapat menurunkan kadar kafein, kadar total gula pereduksi, dan kadar glukosa. Penambahan bahan inulin dan FOS tidak nyata berpengaruh terhadap tingkat kesukaan warna ( ² hitung = 17,397 < ²tabel = 18,549); aroma ( ² hitung = 5,563 > ² tabel = 4,168) dan rasa ( ² hitung =11,413 < ² tabel = 14,684) yang memiliki nilai kemaknaan (p) > 5 persen.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 102
ISBN 978-602-98902-1-1
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Dirjen Dikti yang membiayai penelitian ini melalui Program Hibah Penelitian Kompetitif Hibah Bersaing XIV.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Mutu Kopi Instan.
Dahlia (Dahlia pinnata L). Makalah Pada seminar Rutin puslitbang Tanaman Pangan, tanggal 16 Juni 2005, Bogor. Widowati, S. 2006. Dahlia Bunganya Indah, Umbinya Mengandung Inulin. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Bogor. Wijayanti, R. 2007. Kualitas Mikrobiologis Yoghurt Sinbiotik Bubuk dari Susu Kambing dengan Fruktooligosakarida (FOS) sebagai Sumber Prebiotik Selama Penyimpanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/45A0A108-5F48-4F1DF3D-37E1554E7AEE/16186/Standarmutukopi2.pdf. 29 Agustus
Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist 14th edition. AOAC, Arlington, Virginia.
2009
Balitbangkes. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional. Departemen Kesehatan Republi
Crow D. 2005. Probiotic and Prebiotic References on Bowel Dysbiosis (On-Line). http://members.shaw.ca/inulin_prebiotic_probiotic. 15 Desember 2009 Ekandini AI. 2006. Produksi Sirup FOS (Fruktooligosakarida) dari Tepung Inulin Secara Hidrolisis Asam. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Firmansyah A. 2007. Membentengi Anak Lewat Pencernaan (2). http://www.sahabatnestle.co.id. 18 Maret 2009. Franck A. 2002. Technological Functionality of Inulin and Oligofructose in BritishJournal of Nutrition Volume 87. CABI Publishing, UK. Franck A and De Leenher L. 2004. Inulin. http: //www.wileyvch.de/books/biopoly/pdfv06/bpol6014_439_448.pdf. Koswara, S. 2006. Ebookpangan.com.2006.
Kopi
Rendah
Kafein.
http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/KOPI20%RENDAH 20%KAFEIN. pdf. 18 Januari 2008. Mulato S, Supriyadi, Sri-Anggrahini dan Lestari H. 2005. Kandungan kafein, Asam klorogenat, dan Trigonellin Biji Kopi (Coffea canephora) varietas robusta Dalam Proses Dekafeinasi Dengan Sistem Pengukusan-Pelarutan. Yogyakarta : Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi. Sumatera Utara: Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Saryono, Is Sulistyati, Delita Z dan Martina A. 1999. Identifikasi Jamur Pendegradasi Inulin Pada Rizosfir Umbi Dahlia (Dahlia variabilis). Jurnal Natur Indonesia 1I (1): 22 – 27. Sulistyowati. 2001. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Cita Rasa SeduhanKopi. Materi Pelatihan Uji Cita Rasa Kopi: 19-21 Februari 2002. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember. Widowati S, Sunarti TC dan Zaharani A. 2005. Ekstraksi, Karakterisasi, danKajian Potensi Prebiotik Inulin dari Umbi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 103
ISBN 978-602-98902-1-1
Optimasi Proses Pembuatan Isolat Protein Tempe Campuran Kedelai (Glycine max Merr) dan Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) Optimization of Protein Isolate Making Process from Soybean (Glycine Max Merr) and Cowpea (Vigna unguiculata) Tempeh Asrul Bahar1) , Andriyani Tri Suproborini2), dan Yuli Witono3) 1)Dosen
Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, FT, Universitas Negeri Surabaya Teknologi Hasil Pertanian, FTP, Universitas Jember 3)Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, Universitas Jember
2)Mahasiswa Jurusan
ABSTRACT Production of protein isolates in Indonesia is still very low, it is necessary to increase the production with the alternative materials that is tempeh made from soybean and cowpea mix. The utilization of this tempeh as protein isolate raw material, expected benefits of each component in the soybean and cowpea can complement each other. Protein content of protein isolates should be a minimum of 90% (db). Therefore, it is necessary to find the precipitation pH and the optimum level of purification, so we get tempeh protein isolate with high protein content. The analytical method used is descriptive analysis method. The optimal making process of soy and cowpea mix tempeh protein isolates conducted with precipitation at pH 5 and pH 4, the oil extraction is carried out at the beginning of the process (before extraction of protein) and before the drying stage. The result of this research indicated that the protein isolate of soy and cowpea mix tempeh have 70.83% (75.12% db) protein content, increased by 20.67% from previous research that is 50.16%. Keywords: Protein Isolate, Tempeh, Soybean, Cowpea
PENDAHULUAN Tempe merupakan makanan tradisional yang dibuat dengan cara fermentasi. Proses fermentasi pada pembuatan tempe menjadikan daya cernanya lebih tinggi, karena komponenkomponennya telah terurai menjadi molekul yang lebih sederhana (Sarwono, 2004). Bahan baku utama pembuatan tempe di Indonesia adalah kedelai, namun untuk memenuhi kebutuhan kedelai tersebut Indonesia masih impor kedelai. Untuk itu dimungkinkan pembuatan tempe campuran kedelai dan kacang tunggak, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor dan dapat meningkatkan pemanfaatan kacang lokal Indonesia. Produksi isolat protein di Indonesia masih sangat rendah, untuk itu perlu adanya peningkatan produksi isolat protein dengan pemanfaatan bahan baku alternatif yaitu dari tempe campuran kedelai dan kacang tunggak. Kedelai mempunyai asam amino pembatas metionin dan sistein sedangkan kacang tunggak asam amino pembatasnya adalah tryptophan dan tyrosin (Phillips, 1982; Haliza, dkk. 2007). Dengan penggunaan tempe campuran kedelai dan kacang tunggak sebagai bahan baku pembuatan isolat protein, diharapkan keunggulan tiap komponen dalam kedelai dan kacang tunggak dapat saling melengkapi. Proses isolasi protein dari bahan nabati yang berbasis protein diawali dengan ekstraksi pada pH basa (diatas pH 10), pada pH tersebut diperoleh kelarutan protein yang maksimal. Setelah diperoleh larutan protein maka proses selanjutnya adalah pengendapan dengan cara pengaturan pH pelarut menggunakan asam klorida (HCl) mendekati pH isoelektrik. Menurut Winarno (1985) prinsip penggunaan asam adalah untuk menurunkan pH larutan protein, pH pengendapan umumnya diatur sampai dengan 4. Proses selanjutnya adalah
pencucian dengan alkohol, pengeringan dengan pemgering beku, dan terakhir proses pengayakan dengan saringan 70 mesh hingga diperoleh bubuk isolat protein (Subagio dkk., 2003). Berdasarkan penelitian Jatmiko (2010), kadar protein isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak masih rendah yaitu 50,16 %. Kadar protein isolat protein seharusnya minimal 90 % (db). Untuk menghasilkan isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak antara lain dipengaruhi oleh pH dan tingkat presipitasi serta tingkat pemurniannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pH presipitasi dan tingkat pemurnian yang optimum dan memperoleh cara pembuatan isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak yang tepat sehingga dihasilkan isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak dengan kandungan protein tinggi.
METODOLOGI Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah kacang kedelai lokal produksi balai benih Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kacang tunggak lokal, ragi Raprima produksi P.T Aneka Fermentasi Industri (AFI) Bandung Indonesia, kertas dan kain saring, aquades, reagen lowry, follin, selenium, H2SO4, dietil ether, reagen nelson, reagen arsenomolibdat, minyak goreng, asam borax, indikator metil merah dan biru, etanol, HCl, NaOH, alkohol, benzen, buffer phosphat, dan SDS. Peralatan yang digunakan meliputi oven, pH meter, spektrofotometer, penangas, sentrifus, tanur pengabuan, oven vakum, alat destilasi, eksikator, soxhlet, stirer, blender dan vortex serta peralatan gelas. Tahap Penelitian
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 104
ISBN 978-602-98902-1-1
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Penelitian dimulai pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011. Penelitian dilaksanakan melalui empat tahap yaitu pembuatan tempe campuran kedelai dan kacang tunggak, penentuan pH isoelektrik protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak, pembuatan isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak, pemurnian dan pengeringan isolat protein. Pembuatan Tempe Campuran Kedelai dan Kacang Tunggak Pembuatan tempe campuran kedelai dan kacang tunggak dimulai dengan penyiapan kedelai dan kacang tunggak yang telah dicuci hingga bersih. Karena karakteristik yang berbeda maka proses perendaman dan perebusan antara kedelai dan kacang tunggak berbeda. Untuk kedelai, dilakukan perebusan pertama selama 15 menit. Kemudian dilanjutkan proses pengupasan dengan meremas sambil dicuci hingga semua kulit terlepas. Selanjutnya kedelai direndam selama 24 jam. Kemudian proses perebusan kedua selama 30 menit dan dilanjutkan dengan penirisan dan pendinginan hingga benarbenar kesat. Kemudian kedelai diinokulasi dengan ragi tempe sebanyak 1% dari berat kedelai setelah perebusan kedua. Untuk kacang tunggak mempunyai tahapan yang sama dengan kedelai, tetapi sedikit beda. Perbedaannya yaitu lama perebusan pertama adalah 10 menit, lama perendaman kacang tunggak adalah 12 jam, sedangkan perebusan kedua dilakukan selama 20 menit dan diinokulasi dengan ragi tempe sebanyak 2 % dari berat kacang tunggak setelah perebusan kedua. Setelah kedua bahan diinokulasi dengan ragi tempe kemudian dilakukan pencampuran kedua bahan. Perbandingan campuran antara kedelai dan kacang tunggak adalah 60% kedelai dan 40% kacang tunggak. Kemudian proses pengemasan menggunakan kemasan plastik yang dilubangi. Dan dilakukan pemeraman selama 36 jam pada suhu ruang. Penentuan pH Isoelektrik Protein Tempe Campuran Penentuan pH isoelektrik dimulai dengan pembuatan larutan campuran tempe yaitu penghancuran 100 g tempe dan larutan NaOH 0,1 N 500 ml dengan blender kemudian disaring untuk mendapat filtrat. Selanjutnya dilakukan pengendapkan selama 4-5 jam dan diambil supernatannya. Supernatan yang didapat dibagi menjadi 10 tabung dan diatur pHnya yaitu pH 3; 3,5; 4; 4,5; 5; 5,5; 6; 7; 8 dan 10 dengan penambahan HCl 1 N. Penentuan konsentrasi protein dalam filtrat dilakukan dengan metode lowry. Kemudian dibuat kurva pH isoelektrik antara pH dengan konsentrasi. Titik isoelektrik protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak merupakan konsentrasi protein yang terendah yang digunakan sebagai pH presipitasi yang berperan dalam pembuatan isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak. Pembuatan Isolat Protein Tempe Campuran Pembuatan isolat protein dimulai dengan penghancuran 300 g tempe campuran kedelai dan kacang tunggak dan penghilangan lemak pada tempe (defatting) dengan menggunakan etanol 70%. Kemudian dilakukan ekstraksi protein dengan larutan NaOH 0,1 N sebanyak 1500 ml dengan
blender. Kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 55oC selama 30 menit untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi protein. Selanjutnya dilakukan defating dan pemisahan residu nonprotein dengan pemusingan atau sentrifugasi, maka akan terpisah antara filtrat dengan endapan. Kemudian endapan dibuang dan dilakukan pengaturan pH supernatan menggunakan HCl 0,1 N hingga mencapai pH isoelektrik sehingga protein mengendap. Pada tahap penentuan pH isoelektrik didapat dua titik pH isoelektrik yang berbeda, maka pengaturan pH dilakukan secara bertahap. Karena ekstraksi dilakukan pada kondisi basa maka pengaturan pH pertama dipilih pH yang lebih tinggi (pH 5), kemudian dilanjutkan pengaturan untuk pH yang lebih rendah (pH 4), setiap setelah pengaturan pH dilakukan pengendapan selama 2 jam dan pemisahan endapan. Tahap selanjutnya adalah pemusingan endapan tersebut dengan sentrifus pada suhu 4oC, 4000 rpm selama 10 menit. Endapan yang diperoleh merupakan isolat protein. Pemurnian dan Pengeringan Isolat Protein Tempe Campuran Untuk menghilangkan sisa asam dan senyawa lain seperti minyak maka dilakukan proses pencucian isolat protein basah yaitu dengan penambahan alkohol 70 % dan pemusingan atau sentrifuse pada suhu suhu 4oC, 4000 rpm 10 menit. Selanjutnya dengan oven vakum dilakukan pengeringan isolat protein untuk menghilangkan bau alkohol. Pengeringan dengan suhu 40oC selama 12 jam. Setelah kering, pengecilan ukuran dilakukan dengan blender, kemudian pengayakan pada ayakan 80 Mesh dan dihasilkan isolat protein tempe campuran kacang kedelai dan kacang tunggak. Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis secara deskriptif dari rata-rata ulangan setiap parameter pengamatan (Suryabrata, 1994). Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Untuk memudahkan intrepretasi, data yang dihasilkan selanjutnya akan diploting dalam bentuk grafik. Parameter Pengamatan Parameter yang diamati meliputi : kadar protein (Mikro Kjedahl, Sudarmadji dkk, 1997), kadar lemak (Metode Soxhlet), kadar pati (Metode Nelson-Somogyi), kadar air (Metode Oven), kadar abu (Metode Langsung), kelarutan protein pada berbagai pH (Metode Lowry), Oil Holding Capacity (OHC) dan Water Holding Capacity (WHC), daya dan stabilitas emulsi (Parkington dkk., 2000), daya dan stabilitas buih (Zayas, 1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN Titik Isoelektrik Protein Tempe pH isoelektrik protein tempe kedelai, tempe kacang tunggak dan tempe campuran berkisar pada pH 4 dan 5. Pada pH tersebut konsentrasi protein terendah yang dicapai pada tempe kedelai adalah sekitar 1,9 mg/ml, pada tempe campuran kedelai dan kacang tunggak adalah sekitar 1,8 mg/ml, sedangkan pada
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 105
ISBN 978-602-98902-1-1
tempe kacang tunggak adalah sekitar 0,8 mg/ml. Adanya sejumlah protein dengan konsentrasi rendah tersebut karena pada kondisi pH isoelektrik ada sebagian protein yang tidak dapat diendapkan. Perbedaan titik isoelektrik pada berbagai tempe ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan komposisi asam aminonya. Titik isoelektrik ditunjukkan dengan kelarutan minimal pada suatu pH tertentu. Kelarutan protein tempe pada bebagai pH ditunjukkan pada Gambar 1. Konsentrasi Protein (mg/ml)
6 4
Tempe Kedelai
2
Tempe Campuran
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112
Tempe Kc. Tunggak
pH
Gambar 1. Kelarutan Protein berbagai Jenis Tempe pada berbagai pH
Rendemen (%)
Rendemen Rendemen tertinggi yaitu pada isolat protein tempe kedelai, kemudian isolat protein tempe campuran dan yang paling rendah adalah isolat protein tempe kacang tunggak. Rendemen isolat protein tempe kedelai, tempe campuran, dan tempe kacang tunggak secara berturut-turut adalah 6,8%; 4,2%; dan 2%. Hal ini disebabkan oleh kandungan protein kedelai yang lebih tinggi yaitu sekitar 35% (Koswara, 1995) dibanding kacang tunggak yaitu sekitar 21% (Rukmana dan Oesman, 2000). Rendeman isolat protein berbagai jenis tempe ditunjukkan pada Gambar 2.
8 7 6 5 4 3 2 1 0
6,78
Komponen
Jenis Isolat Protein Tempe Tempe K. Campuran Tunggak 70,83 74,72
Protein
Tempe Kedelai 69,28
Lemak
22,58
17,11
2,31
Pati
0,90
2,14
2,25
Air
5,22
5,71
9,53
Abu
1,25
1,05
1,56
Kadar Protein Tabel 1 dapat dilihat kandungan protein isolat protein tempe yang tertinggi adalah isolat protein tempe kacang tunggak (74,72% atau 82,59% (db)), kemudian tempe campuran (70,83% atau 75,12% (db)), dan yang paling rendah adalah tempe kedelai (69,28% atau 73,10% (db)). Seharusnya kadar protein isolat protein adalah 90% (FAO, 2007) dan kadar tertinggi seharusnya pada isolat protein tempe kedelai. Namun karena kandungan lemak pada isolat protein tempe kedelai paling besar, sehingga kadar proteinnya paling rendah. Kadar Lemak Tabel 1 dapat dilihat bahwa isolat protein tempe kedelai memiliki kadar lemak paling tinggi yaitu 22,58%. Isolat protein campuran memiliki kadar lemak sebesar 17,11% sedangkan kadar lemak terendah adalah isolat protein tempe kacang tunggak yaitu 2,31%. Hal ini karena kadar lemak kedelai (18% (Aak, 1989)) memang lebih tinggi dibanding kacang tunggak(1,4% (Direktorat Gizi Depkes RI, 1981)). Namun bila dibandingkan dengan isolat protein menurut FAO (2007) maka kadar lemak isolat protein yang dihasilkan masih terlalu tinggi. Kadar lemak isolat protein menurut FAO (2007) adalah sekitar 0,5%. Hal ini diduga lemak terikat kuat dengan gugus hidrofob dan pelarut lemak (media ekstraksinya) kurang kuat daya ekstraknya. Kadar Pati Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kandungan pati isolat protein bebagai jenis tempe, kandungan pati tertinggi adalah pada isolat protein tempe kacang tunggak, kemudian isolat protein tempe campuran dan yang memiliki kadar pati terendah adalah isolat protein tempe kedelai. Hal ini menurut Aak (1989) karena kacang tunggak memiliki kadar karbohidrat yang tinggi (61%), sedangkan kedelai mempunyai kadar karbohidrat lebih rendah (34%).
4,21 2,01
Tempe Kedelai
Jumlah (%)
Tempe Tempe K. Campuran Tunggak Isolat Protein
Gambar 2. Rendemen Isolat Protein berbagai Jenis Tempe Komposisi Kimia Isolat Protein Hasil analisis komposisi kimia isolat protein tempe kedelai, tempe campuran, dan tempe kacang tunggak secara proksimat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Isolat Protein berbagai Jenis Tempe Secara Proksimat
Kadar Air Tabel 1 menunjukkan kadar air isolat protein yang paling tinggi adalah pada isolat protein tempe kacang tunggak yaitu 9,53%, sedangkan kadar air pada isolat protein tempe kedelai dan tempe campuran tidak berbeda jauh yaitu sekitar 5,5%. Hal ini dapat disebabkan karena kadar protein dan pati isolat protein tempe kacang tunggak lebih besar dibanding isolat protein tempe campuran dan tempe kedelai. Protein dan pati bersifat mengikat air, sehingga air lebih sulit diuapkan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 106
ISBN 978-602-98902-1-1
Sifat Fungsional Isolat Protein Kelarutan Protein Isolat Protein Tempe pada berbagai pH
Konsentrasi Protein (mg/ml)
Kelarutan protein pada berbagai pH merupakan identifikasi protein terlarut yang terdapat dalam isolat protein. Kelarutan protein dalam isolat protein berbagai jenis tempe dapat dilihat pada Gambar 3. 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
Tempe Kedelai Tempe Campuran Tempe Kc. Tunggak
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 pH
Gambar 3. Hubungan antara pH dan Kelarutan Isolat Protein Tempe Gambar 3 menunjukkan bahwa kelarutan protein berbedabeda pada berbagai pH. Kelarutan protein terendah ketiga jenis tempe ini berkisar pada pH 3 hingga pH 5. Kelarutan protein akan meningkat pada pH diatas atau dibawah pH isoelektrik, karena protein mengandung muatan positif atau negatif. Kelarutan protein pada pH diatas pH isoelektrik didominasi oleh gugus amino yang berperan sebagai gugus basa. Sedangkan kelarutan protein pada pH dibawah pH isoelektrik didominasi oleh gugus karboksil yang berperan sebagai gugus asam. Oil Holding Capacity (OHC) Hasil analisis nilai OHC berbagai jenis isolat protein tempe dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Oil Holding Capacity (OHC) Isolat Protein berbagai Jenis Tempe Sampel
OHC (%)
Tempe Kedelai
131,18
Tempe Campuran
192,73
Tempe Kc. Tunggak
330,20
minyak 1,93 kali berat isolat protein. Ketiga isolat protein yang dihasilkan mempunyai nilai OHC yang lebih tinggi dibanding isolat protein kedelai (107%) (Anonim, 2004). Urutan nilai OHC dari yang tertinggi adalah isolat protein tempe kacang tunggak, isolat protein tempe campuran dan yang paling kecil adalah isolat protein tempe kedelai. Hal ini disebabkan karena kadar protein isolat protein tempe kacang tunggak lebih tinggi dibanding isolat protein tempe campuran dan tempe kedelai sehingga kapasitas mengikat minyak juga tinggi. Protein bersifat dapat mengikat air dan lemak. Disamping itu diduga kandungan lemak isolat protein tempe kedelai yang tinggi membuat daya serap lemaknya rendah karena protein telah mengikat lemak. Water Holding Capacity (WHC) Hasil analisis nilai WHC berbagai jenis isolat protein tempe dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Water Holding Capacity (WHC) Isolat Protein berbagai Jenis Tempe Isolat Protein WHC (%) Tempe Kedelai
167,94
Tempe Campuran
229,36
Tempe Kc. Tunggak
292,27
Tabel 3 dapat dilihat bahwa isolat protein tempe campuran memiliki nilai WHC 229,36%, sedangkan untuk produk bakery hanya membutuhkan sekitar 60-70% (Andarwulan, 2009). Sedangkan urutan nilai WHC dari yang tertinggi adalah isolat protein tempe kacang tunggak, diikuti isolat protein tempe campuran dan isolat protein tempe kedelai. Hal ini karena isolat protein tempe kacang tunggak memiliki kadar protein dan kadar pati yang paling tinggi. Daya dan Stabilitas Emulsi Aktivitas emulsi dan stabilitas emulsi isolat protein berbagai jenis tempe dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
Daya Emulsi (m2/g)
Kadar Abu Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung dari bahan dan cara pengabuannya. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar abu ketiga isolat protein tempe tidak jauh berbeda, yaitu sekitar 1,2 – 1,5%.
9.5 9.0 8.5 8.0 7.5 7.0
9,04
9,07 7,85
Tempe Tempe Tempe Kc. Kedelai Campuran Tunggak Isolat Protein
Gambar 4. Daya Emulsi Isolat Protein berbagai Jenis Tempe
Nilai OHC isolat protein tempe campuran adalah 192,73%, hal ini berarti isolat protein tempe campuran dapat mengikat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 107
ISBN 978-602-98902-1-1
Stabilitas Emulsi (m2/g)
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
7,53
8,98
7,40
Tempe Tempe Tempe Kc. Kedelai Campuran Tunggak Isolat Protein
Gambar 5. Stabilitas Emulsi Isolat Protein berbagai Jenis Tempe Daya dan stabilitas emulsi isolat protein tempe tertinggi adalah isolat protein tempe campuran, kemudian tempe kedelai dan yang terendah adalah tempe kacang tunggak. Daya dan stabilitas emulsi antara lain dipengaruhi oleh komposisi dan konformasi protein. Isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak diduga menghasilkan isolat protein dengan komposisi dan konformasi protein yang saling bersinergi dalam membentuk dan menstabilkan emulsi. Bila dibandingkan dengan daya emulsi isolat protein kedelai yaitu 10m2/g (Zhao dan Hou, 2009), maka daya emulsi isolat protein yang dihasilkan cukup baik. Artinya isolat protein tempe yang dihasilkan dapat digunakan sebagai emulsifier produk pangan seperti mayonnaise, margarin, dan produk berbasis emulsi lainnya. Daya dan Stabilitas Buih
Daya Buih (ml/g)
Hasil analisis daya dan stabilitas buih dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7. 30
25,04 15,93
20 10
Tempe Tempe Kc. Campuran Tunggak Isolat Protein
Stabilitas Buih (%)
Gambar 6. Daya Buih Isolat Protein berbagai Jenis Tempe 72,22 66,67 80 60 40 20 0
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pembuatan isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak yang optimal dilakukan dengan presipitasi bertingkat yaitu pada pH 5 dan pH 4, ekstraksi minyaknya dilakukan pada awal proses (sebelum ekstraksi protein) dan sebelum tahap pengeringan. Isolat protein yang dihasilkan memiliki kadar protein 70,83% (75,12% db) meningkat sebesar 20,67% dari hasil penelitian sebelumnya yaitu 50,16 %, kadar lemak 17,11% dan kadar pati 2,14% serta memiliki sifat fungsional OHC 192,73%, WHC 229,36%, daya emulsi 9,07m2/g, stabilitas emulsi 8,98 m2/g, daya buih 15,93 ml/g, dan stabilitas buih 44,44%. Saran Perlu dikaji lebih lanjut penggunaan isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak dalam produk pangan. Diharapkan ada penelitian lebih lanjut, yaitu untuk mengetahui cara pembuatan isolat protein tempe campuran kedelai dan kacang tunggak dengan kadar protein, lemak dan pati yang sesuai dengan standar isolat protein.
9,41
0 Tempe Kedelai
Gambar 6 dapat dilihat bahwa daya buih tertinggi adalah isolat protein tempe kedelai, diikuti tempe campuran dan tempe kacang tunggak. Hal ini dapat disebabkan isolat protein tempe kedelai mempunyai gugus hidrofobik yang lebih banyak. Karena adanya gugus hidrofobik pada antar muka akan memfasilitasi polipeptida yang akan memproduksi buih dengan stabilitas tinggi. Gambar 7 dapat dilihat bahwa stabilitas yang tertinggi adalah isolat protein tempe kedelai, kemudian isolat protein tempe kacang tunggak dan yang paling rendah adalah isolat protein tempe campuran. Hal ini disebabkan kandungan protein isolat protein tempe kedelai dan kandungan pati isolat protein tempe kacang tunggak membuat viskositas tinggi. Larutan dengan viskositas yang lebih tinggi mempunyai kestabilan buih yang lebih tinggi dibanding larutan dengan viskositas lebih rendah. Namun bila dibandingkan dengan daya buih isolat protein kedelai yaitu 40,88ml/g (Anonim, 2004) maka daya buih isolat protein tempe yang dihasilkan kurang baik, sehingga isolat protein ini kurang cocok untuk produk pangan yang membutuhkan daya buih seperti es krim dan whipped krim.
DAFTAR PUSTAKA Aak. 1989. Kedelai. Yogyakarta : Kanisius
44,44
Andarwulan, N. 2009. Bakery. http://paujiuji.blogspot.com/2009/03/bakery.html [8 Februari 2011] Anonim. 2004. Karakterisasi Isolat Protein Terfosforilasi dan Termodifikasi Enzimatis 10 Varietas Kedelai. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/3992 2/Bab%20IV%20F95esr.pdf/ [8 Februari 2011]
Tempe Tempe Tempe Kc. Kedelai Campuran Tunggak Isolat Protein
Gambar 7. Stabilitas Buih Isolat Protein berbagai Jenis Tempe
Direktorat Gizi Depkes R.I., 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta : Bhatara Karya Aksara
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 108
ISBN 978-602-98902-1-1
FAO. 2007. Isolated Soybean Protein (ISP). http://www.fao.org/docrep/t0532E/t0532e07.htm [6 Maret 2010] Haliza, W., Purwani, E.Y. dan Thahir, R. 2007. Pemanfaatan Kacang-Kacangan Lokal sebagai Substitusi Bahan Baku Tempe dan Tahu. http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/media/publikasi/bullet in/2007/1.pdf [24 Oktober 2010] Koswara, 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Parkington, Xiong, Blanchard, Srinivasan, and Froning, 2000. Chemical And Functional Properties Of Oxidatively Modified Beef Heart Surimi Stored at 20C. J. Food Chemistry and Toxicology. 65 (3): 428-433. Phillips, R. D. 1982. Preparation and Composition of a DryMilled Flour from Cowpeas. http://www.springerlink.com/content/g85046w520426417/ [24 Oktober 2010] Rukmana, R. dan Oesman, Yuyun Y. 2000. Kacang Tunggak. Yogyakarta : Kanisius Sarwono, B. 2004. Membuat Tempe dan Oncom. Jakarta : Penebar Swadya Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty Subagio, A., Windrati, W. S. and Witono Y., 2003. Development of functional proteins from some local non-oilseed legumes as food additives, Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, Yogyakarta Suryabrata, S. 1994. Metodologi Penelitian. Jakarta : Raja Grafindo Persada Winarno, F.G. 1985. Kedelai Bahan Pangan Masa Depan. dalam Utomo dan Antarlina. 1998. Potensi Kacang Komak (Dolichos Lablab L.) Sebagai Bahan Baku Isolat Protein. Prosiding Seminar Nasional-Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, Yogyakarta Zayas, J.F. 1997. Functionality Of Protein In Food. Berlin : Springer Zhao X. and Hou Y. 2009. Limited Hydrolysis of Soybean Protein Concentrate and Isolate with Two Proteases and The Impact on Emulsifying Activity Index of Hydrolysates. http://www.ajol.info/index.php/ajb/article/viewFile/ 61088/49280 [8 Februari 2011]
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 109
ISBN 978-602-98902-1-1
Pemanfaatan Tepung Bonggol Pisang (Mussa Paradisiaca Linn) pada Pembuatan Cookies (Banana Tuber Flour (Musa paradisiaca Linn) Application on Cookies) Bernatal Saragih Jurusan/PS Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Jl. Pasir Balengkong Kampus Gunung Kelua Samarinda 75123 Indonesia
ABSTRACT The objective of this research wants to know the substitution of wheat flour to banana tuber flour on cookies quality. This research used Randomized Completely Design (RCD) with six levels treatment which repeated 3 times, i.e. : 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, and 50%. Data analyzed use ANOVA and it treatment significant different continued with Tukey test at level α 5%. The result of research showed that the best treatments is at substitution of wheat flour 50% and banana tuber flour 50% with water content 0,18%, ash content 3,48%, water absorption 2,26 times and total solid content 29,83 0Brix and organoleptic value with 46 degrees of sweetness, 32 banana tuber flavor, 7 sap taste, 18 bitter taste, 18 astringent flavor, 14 banana tuber aroma, 54 crunchy, 50 brown color, 3,6 charred flavor, 3,6 uncooked taste, 57 wheat flavor, and 57 the wheat aroma. The result of research shows that water contents, dusty contents, and fiber contents mount progressively along with the increasing of amount of used banana tuber flour substitution.
*Korespondensi penulis: E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN
Mengingat besarnya jumlah populasi maupun luasan perkebunan pisang terutama di wilayah Kaltim, maka perlu dilakukan pemanfaatan limbah bonggol pisang tersebut sebagi sumber serat kasar. Serat kasar terbukti mampu mencegah berbagai macam penyakit diantaranya penyakit gigi, diabetes melitus, tekanan darah tinggi, kanker usus besar, penyakit divertikulosis dan konstipasi, obesitas, jantung koroner, batu empedu serta meningkatkan kesehatan mikroflora usus. Masalah yang dihadapi dari penelitian sebelumnya (Saragih, 2007 dan Saragih 2008) dalam mengolah mi berbahan dasar tepung bonggol pisang adalah pada warna. dimana pada substitusi bonggol pisang berpengaruh terhadap warna mi. Hal ini karena tepung bonggol pisang memiliki warna kecoklatan. oleh karena itu, maka semakin besar substitusi tepung bonggol pisang pada mi basah maka warna mi semakin kecoklatan, demikian pula sebaliknya. Sehingga warna pada mi tidak disukai oleh panelis. Maka dari itu pada penelitian ini adalah lanjutan penelitian dengan mencoba alternatif pada produk lain untuk mensubtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang pada pembuatan cookies untuk mengetahui persentase terbaik pada cookies serta menghasilkan produk yang berkualitas, bahan baku utama yang digunakan yaitu bonggol pisang sebagai limbah yang terbuang diolah menjadi tepung bonggol pisang, Pengolahan tepung bonggol pisang tersebut merupakan salah satu bentuk alternatif karbohidrat dalam pembuatan cookies. Tujuan penelitian penelitian adalah untuk mengatahui pengaruh substitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang pada pembuatan cookies.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung bonggol pisang, tepung terigu, baking powder, gula jagung, mentega, susu bubuk, chocochips, dan telur. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Oven, mixer, timbangan, pengayak tepung, baskom, sendok kue, dan toples. Rancangan percobaan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan persentase subtitusi tepung bonggol pisang (B) sebanyak 6 perlakuan yang diulang masing-masing 3 ulangan. Perlakuan persentase subtitusi tepung bonggol pisang (B) dari penilitian ini adalah : B0 = 100% Tepung bonggol pisang B1 = 90% tepung bonggol pisang + 10% tepung terigu B2 = 80% tepung bonggol pisang + 20% tepung terigu B3 = 70% tepung bonggol pisang + 30% tepung terigu B4 = 60% tepung bonggol pisang + 40% tepung terigu B5 = 50% tepung bonggol pisang + 50% tepung terigu Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila dari sidik ragam menghasilkan perbedaan yang nyata pada taraf 5% akan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5% .
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian disajikan pada Gambar 1.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 110
ISBN 978-602-98902-1-1
Kadar abu (% b/b)
2973-1992) kadar air maksimum dari cookies yaitu 5%, cookies yang dihasilkan dari subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang ini masih memenuhi standar SNI karena memiliki kadar air kurang dari 5%. Kadar Abu Kadar abu pada tepung bonggol pisang yaitu 0,06% (Mulyani, 2011) semakin rendah kadar abu maka semakin baik kualitas tepung, menurut Sunarni dan Patog (1999) diketahui bahwa kadar abu pada tepung terigu sebesar 1,83%, sehingga tepung bonggol pisang mampu menjadi subtitusi yang baik untuk tepung terigu karena memiliki kadar abu yang rendah. 8 6
a
a
ab
ab
ab
B1
B2
B3
B4
4
b
2 0 B0
B5
Perlakuan subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang
Keterangan : Diagram batang yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf α 5% berdasarkan UJI BNJ (B) = 1,41 Gambar 3. Kandungan abu pada produk cookies dengan subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang. Gambar 1. Diagam Alir Pembuatan Cookies
Kadar air cookies (% b/b)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang memberikan pengaruh terhadap kadar air pada produk cookies yang dihasilkan (Gambar 2). 0.8 0.6 0.4 0.2 0
a
B0
b
B1
bc
B2
bc
B3
bc
B4
c B5
Perlakuan sutitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang
Total Padatan Terlarut (0Brix) Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang, tidak berpengaruh terhadap total padatan terlarut pada cookies.Dari hasil analisis dapat diketahui total padatan terlarut berturut-turut sesuai dengan perlakuan dengan nilai 30,00 0 Brix , 30,00 0Brix, 29,83 0Brix, 30,00 0Brix, 29,830Brix , 29,83 0Brix, saling tidak berbeda nyata. Hal tersebut dikarenakan kadar gula jagung yang digunakan pada pembuatan cookies relatif sama untuk semua perlakuan. Daya Serap Air Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang, menunjukkan adanya pengaruh terhadap daya serap air pada produk cookies yang dihasilkan.
Keterangan : Diagram batang yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf α 5% berdasarkan UJI BNJ (B) = 0,19 Gambar 2. Kandungan air pada produk cookies dengan subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang. Kadar air pada tepung bonggol pisang memiliki kadar air 0,98% (Mulyani, 2011). Berdasarkan SNI (SNI 01-
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 111
Daya serap air cookies(% b/b)
ISBN 978-602-98902-1-1
300 250 200 150 100 50 0
d
cd
B1
B2
bc
b
Ket :
a
e
B0
B3
B4
B5
Perlakuan subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang
Keterangan : Diagram batang yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf α 5% berdasarkan UJI BNJ (B) = 1,41 Gambar 4. Daya serap air pada produk cookies dengan subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang. Hasil Penelitian (Gambar 4), menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi tepung bongol pisang, maka semakin kecil kemampuannya dalam menyerap air, sedangkan pada perlakuan B5 dengan subtitusi tepung terigu sebanyak 50% lebih banyak menyerap air. diduga Granula pati bersifat higroskopis, mudah menyerap air, dan pada analisis ini dapat diketahui bahwa subtitusi dengan tepung terigu yang jumlahnya lebih besar dari perlakuan lain, mampu menyerap air lebih banyak, hal ini sesuai dengan pernyataan (Soraya, 2011). Uji Organoleptik dengan metode Deskripsi Dari garfik majemuk sebagai analisis deskripsi mutu pada produk cookies dapat diketahui bahwa tingkat rasa yang paling tinggi yaitu rasa bonggol pisang pada perlakuan B0 dengan nilai rata-rata yang diperoleh sebesar 57,33 derajat. Kemudian juga dapat diketahui bahwa rasa gosong dan rasa mentah dengan nilai mutu paling rendah pada produk cookies, dan nilai mutu yang paling baik terdapat pada perlakuan B5 cookies hasil subtitusi tepung terigu dan tepung bonggol pisang, selanjutnya untuk perolehan nilai pada tiap atribut (Gambar 5)..
Aroma…60 40 Rasa… 20 Rasa… 0
Rasa…
Rasa…
Rasa… Rasa… Rasa… Rasa…
Warna…
Organoleptik Produk cookies hasil subtitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang 1. Rasa manis B0 = 28,82 B1 = 33,96 B2 = 33,00 B3 = 34,17 B4 = 33,35 B5 = 35,30 2. Rasa bonggol pisang B0 = 57,33 B1 = 54,00 B2 = 41,20, B3 = 35,53 B4 = 32,00 B5 = 24,40 3. Rasa getah B0 = 21,06 B1 = 20,55 B2 = 19,44 B3 = 15,77 B4 = 6,46 B5 = 4,47 4. Rasa pahit B0 = 50,88 B1 = 35,76 B2 = 35,86 B3 = 26,00 B4 = 20,55 B5 = 14,84 5. Rasa sepat B0 = 43,20 B1 = 26,28 B2 = 29,96 B3 = 20,73 B4 = 20,58 B5 = 12,86 6. Aroma bonggol pisang B0 = 37,01 B1 = 23,62 B2 = 14,68 B3 = 16,18 B4 = 15,11 B5 = 11,04 7. Kerenyahan B0 = 34,86 B1 = 32,66 B2 = 31,64 B3 = 33,47 B4 = 34,66 B5 = 38,90 8. Warna coklat B0 = 44,35 B1 = 41,37 B2 = 38,33 B3 = 40,68 B4 = 39,15 B5 = 37,75 9. Rasa gosong B0 = 2,91 B1 = 4,76 B2 = 3,24 B3 = 2,59 B4 = 2,59 B5 = 1,84 10. Rasa mentah B0 = 3,71 B1 = 4,64 B2 = 6,62 B3 = 3,80 B4 = 6,13 B5 = 2,13 11. Rasa terigu B0 = 4,73 B1 = 12,73 B2 = 23,93 B3 = 36,99 B4 = 35,00 B5 = 42,55 12. Aroma terigu B0 =5,66 B1 = 17,06 B2 = 22,93 B3 = 29,86 B4 = 34,35 B5 = 38,73 -
B 0 B 1 B 2
Pada penelitian ini juga dilakukan analisis deskripsi organoleptik cookies yang ada dipasaran sebagai pembanding. Hasil penelitian (Gambar 6) cookies dipasaran (industri) lebih manis dengan nilai 75,35 dan lebih renyah dengan nilai 65, sedangkan cookies subtitusi dengan tepung bonggol pisang rasa manisnya lebih rendah dengan nilai 35,30 dan kerenyahannya juga lebih rendah dengan nilai 38,90. Hal ini diduga karena cookies dipasaran menggunakan gula tebu dengan kadar gula yang cukup tinggi sehingga mempengaruhi rasa manis dan kerenyahannya, sedangkan pada cookies subtitusi tepung terigu dan tepung bonggol pisang menggunakan gula jagung, dengan maksud untuk menghasilkan suatu produk baru yang baik untuk kesehatan, serta baik dikonsumsi bagi penderita diabetes. Kadar serat ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kandungan serat pada prodak cookies yang dihasilkan.
100 Arom… 80 Rasa… 60 40 20 Rasa… 0
Rasa…
Rasa…
Rasa… Rasa… Rasa… Rasa…
Warn…
Arom…
B5
Keren…
Aroma… Kereny…
Gambar 5. Garafik majemuk sebagai analisis deskripsi mutu cookies.
Gambar 6. Grafik majemuk sebagai analisis deskripsi mutu produk cookies pada perlakuan B5 dan cookies dipasaran.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 112
ISBN 978-602-98902-1-1
Ket : 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Saragih, B. Odit, F. K. dan Andi, S. 2007. Kajian Pemanfaatan Tepung Bonggol Pisang (Musa paradisiacal Linn) Sebagai Subtitusi Tepung Terigu dalam Pembuatan Mi Basah. Prosiding Seminar Nasional. Pekan Ilmiah Nasional. Lipi. Jakarta.
Rasa manis B5 = 35,30, Cookies dipasaran = 75,35 Rasa bonggol pisang B5 = 24,40, Cookies dipasaran = 0 Rasa getah B5 = 4,47, Cookies dipasaran = 0 Rasa pahit B5 = 14,84, Cookies dipasaran = 0 Rasa sepat B5 = 12,86, Cookies dipasaran = 0 Aroma bonggol pisang B5 = 11,04, Cookies dipasaran = 0 Kerenyahan B5 = 38,90, Cookies dipasaran = 65 Warna coklat B5 = 37,75, Cookies dipasaran = 70 Rasa gosong B5 = 1,84, Cookies dipasaran = 5 Rasa mentah B5 = 2,13, Cookies dipasaran = 0 Rasa terigu B5 = 42,55, Cookies dipasaran = 80 Aroma terigu B5 = 38,73, Cookies dipasaran = 85
Saragih, B. Odit, F. K. dan Andi, S. 2008. Kajian Substitusi tepung Bonggol Pisang (Musa paradisiaca Lin) pada Tepung Terigu terhadap Mutu Mie Basah. Jurnal Teknologi Pertanian Unmul. Vol.3 No.2: 63-67. Soraya, G. 2011. Teknologi Hasil Pangan. http://gunasoraya.blogspot.com (20 Maret 2011) Sunarni. 2000. Studi Pembuatan Kue Kering (Cookies) dari Tepung Sorgum Sebagai Alternatif Subtitusi Terigu. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Lahan Wilayah Kering. Universitas Lampung. Hlm. 193-201.
Hasil uji kadar serat terhadap dua sampel cookies yang di uji yaitu B0 dan B5, diperoleh hasil untuk perlakuan B0 dengan jumlah serat kasar sebanyak 7,36%, dan pada perlakuan B5 diperoleh jumlah serat kasar sebanyak 3,5%, dari pengujian tersebut dapat diketahui bahwa substitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang berpengaruh terhadap peningkatan kadar serat cookies yang dihasilkan. KESIMPULAN Substitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang pada cookies memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada kadar kadar air, kadar abu, daya serap air, dan organoleptik akan tetapi berbeda tidak nyata pada total padatan terlarut. Cookies dengan substitusi tepung terigu terhadap tepung bonggol pisang 50:50 memiliki keunggulan dan sifat sensoris terbaik. *Terimakasih disampaikan penulis kepada Sri Nugroho Wesaji, S.TP dan Deny Sumarna, SP, M.Si atas bantuannya dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2973-1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3751-2006. Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Mulyani, I. 2011. Studi Pembuatan Tepung Bonggol Pisang (Musa Paradisiaca Linn) dari Berbagai Fase Pertumbuhan. [Skrips] Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 113
ISBN 978-602-98902-1-1
EVALUASI MUTU MI KERING YANG DIBUAT DARI TEPUNG TERIGU YANG DISUBTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG LOKAL RIAU (Quality Study of Dried Noodle Made from Wheat Flour Substituted with Riau Local Corn Flour) 1, 2)
Usman Pato1*) dan Shanti Fitriani2)
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Riau Kampus Bina Widya, Jl. HR Subrantas No. 30, Pekanbaru *)e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The objective of this study was to find the best formulation in production of dried noddle made from wheat flour substituted with local corn flour. Each stage of the research was conducted in three replication with five treatments. Parameters observed were levels of moisture, ash, protein and starch as well as organoleptic assessment with hedonic test on overall acceptance. The data obtained were analyzed by analysis of variance. If calculated F was greater than or equal to table F, the analysis was continued with DNMRT test at 5% level. Meanwhile the organoleptic data were analyzed by Friedman test at 5% level. Results showed that substitution of wheat flour with local corn flour was significantly influenced the levels of moisture, ash, protein and starch contents of dried noodle. The substitution also affected the organoleptic assessment of dried noodle before and after boiling process. Treatment that could be accepted by the panelists was JT3 (Wheat Flour 60% and Local Corn Flour 40%) with 10.02% moisture, 1.49% ash, 16.28% protein and 12.36% starch contents, respectively. In general, dried noodle of JT3 treatment had met the Indonesian quality standard of dried noodle (SII 0178-90). Key words: dried noodle, corn flour, substitution, Riau
PENDAHULUAN Pangan merupakan komoditas penting bagi bangsa Indonesia, mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Akan tetapi dalam aspek ketersediaan pangan masalah pokok yang dihadapi adalah semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut pemerintah melaksanakan beberapa program dan kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, salah satunya adalah dengan penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan). Program ini ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif sumber karbohidrat selain beras. Pangan pokok sumber karbohidrat yang bersifat lokal banyak ditemukan pada beberapa daerah di Indonesia. Konsumsi pangan pokok lokal dan pengolahannya secara tradisional sudah berlangsung turun temurun di Indonesia. Kondisi yang demikian itu sangat potensial untuk usaha penelitian dan pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan pokok lokal. Hal ini akan mempermudah tindak lanjut terhadap hasil penelitian yaitu sosialisasi kepada masyarakat, sehingga penerimaan masyarakat terhadap produk baru cenderung lebih mudah. Salah satu sumber pangan pokok lokal yang pengelolaannya belum optimal dan memiliki potensi besar untuk diolah ialah jagung. Hal ini juga akan meningkatkan nilai jual jagung, sehingga dapat menekan ongkos produksi olahan jagung menjadi lebih murah. Jagung yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Zae mays L., adalah salah satu jenis tanaman biji-bijian dari keluarga rumputrumputan (Graminaceae) dan serealia yang bisa tumbuh hampir
diseluruh dunia. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras (Purwono dan Hartono, 2008). Bahkan, dibeberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara), jagung dijadikan sebagai bahan pangan utama. Tidak hanya sebagai bahan pangan, jagung juga dikenal sebagai salah satu bahan pakan ternak dan industri (Purwono dan Hartono, 2008). Propinsi Riau merupakan salah satu daerah berpotensi menghasilkan jagung di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik Propinsi Riau bahwa produksi jagung pada tahun 2008 sebanyak 47.959 ton pipilan kering, sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 56.521 ton pipilan kering. Produksi jagung pipilan kering mengalami peningkatan sebesar 17,85% dari tahun sebelumnya (BPS, 2010.) Mi merupakan salah satu produk olahan instan hasil penganekaragaman pangan pokok non beras yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Mi basah yang ada di pasaran memiliki umur simpan yang pendek atau mudah rusak oleh bakteri dan kapang. Untuk memperpanjang umur simpan mi, sebagian air dalam bahan tersebut harus dihilangkan melalui pengeringan. Mi kering adalah mi segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%. Pengeringan pada umumnya dilakukan dengan penjemuran dibawah sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat kering, maka mi mempunyai daya simpan yang relatif lebih panjang dan mudah penanganannya (Astawan, 2006). Mi biasanya terbuat dari bahan baku tepung terigu yang masih diimpor. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pemanfaatan bahan baku lokal yaitu tepung jagung sebagai alternatif bahan baku dalam pembuatan mi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan komposisi substitusi tepung jagung yang tepat pada pembuatan mi kering
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 114
ISBN 978-602-98902-1-1
dari tepung jagung lokal Riau dan menentukan karakteristik mutu mi kering yang dihasilkan.
METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung yang diperoleh dari Kabupaten Palalawan, Propinsi Riau, tepung terigu komersil cakra kembar, dan bahan-bahan kimia untuk analisis. Sementara itu alat-alat utama yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat pencetak mi, desikator, labu kjeldahl, refrigerator, tanur, dan alat-alat gelas. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan secara eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan. Adapun perlakuan dalam penelitian ini adalah: JT1 = tepung terigu 40%, tepung jagung 60%; JT2 = tepung terigu 50%, tepung jagung 50%; JT3= tepung terigu 60%, tepung jagung 40%; JT4 = tepung terigu 70%, tepung jagung 30%; dan JT5 = tepung terigu 80%, tepung jagung 20%. Pelaksanaan penelitian diawali dengan pembuatan tepung jagung metoda kering dengan tahapan sebagai berikut: (1) biji jagung kering ditimbang dan disortasi; (2) biji bersih ditumbuk hingga biji jagung membentuk pecahan kasar; (3) pecahan kasar biji jagung digiling menggunakan blender hingga pecahan lebih halus; (4) kemudian pecahan halus biji jagung diayak memakai ayakan ±40 mesh, dari pengayakan ini dihasilkan tepung jagung halus dan beras jagung; (5) lalu dilakukan penggilingan berulang-ulang agar memperoleh tepung yang maksimal. Setelah itu dilakukan pembuatan mi kering (Astawan, 2006): (1) pencampuran bahan dan pembuatan adonan; (2) penggilingan; (3) pencetakan; (4) perebusan; (5) pengovenan; dan (6) pendinginan. Parameter yang Diamati Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi: kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat serta uji organoleptik. Analisis data Data parametrik yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan ANOVA dan jika F hitung sama atau lebih besar dari F tabel maka dilakukan uji lanjut DNMRT pada taraf 5% untuk membandingkan tiap perlakuan. Sementara itu untuk data organoleptik berdasarkan tingkat kesukaan terhadap penerimaan keseluruhan produk mi kering dianalisis dengan Uji Friedman pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Hasil sidik ragam dari perlakuan pembuatan mi kering yang disubstitusi tepung jagung berpengaruh nyata terhadap kadar
air. Rata-rata kadar air mi kering setelah diuji lanjut dengan uji DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai kadar air mi kering pada perlakuan JT4 berbeda tidak nyata dengan perlakuan JT1, JT2 dan JT3. Kadar air pada perlakuan JT5 berbeda nyata dengan kadar air pada perlakuan JT4. Berbeda nyatanya kadar air tersebut diduga dipengaruhi oleh kandungan air pada bahan baku dan bahan tambahan pada mi. Pada dasarnya tingginya kandungan air yang terdapat pada suatu bahan disebabkan tingginya pati pada bahan tersebut. Fraksi amilosa yang bersifat lebih kering menyebabkan lebih banyak menyerap air selama proses pengolahan dan akan mengalami proses gelatinasi. Gelatinasi merupakan peristiwa terbentuknya gel dari pati karena pemberian air panas yang semakin meningkat dan menyebabkan air yang terperangkap di dalam pati semakin banyak (Pudjiatmoko, 2007). Tabel 1. Rata-rata kadar air mi kering Perlakuan
Rata-rata(%)
JT1 (TT 40% dan TJ 60%)
9,47 ab
JT2 (TT 50% dan TJ 50%)
8,94 ab
JT3 (TT 60% dan TJ 40%)
10,02 ab
JT4 (TT 70% dan TJ 30%)
6,58 a
JT5 (TT 80% dan TJ 20%)
12,70 b
Ket: TT=Tepung Terigu; TJ=Tepung Jagung Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji lanjut DNMRT 5%.
Kadar air mi kering yang dibuat dari tepung terigu yang disubstitusi dengan tepung jagung dari hasil penelitian ini berkisar antara 6,58%-12,70%. Kadar air mi kering yang sesuai dengan standar mutu mi kering (SII 0178-90) adalah JT1–JT4 yaitu berkisar antara 8-10%. Jumlah kadar air yang terdapat di dalam suatu bahan pangan sangat berpengaruh atas seluruh susunan persentase zat-zat gizi secara keseluruhan. Kadar air yang terdapat dalam bahan pangan sangat berperan penting yaitu dapat berfungsi untuk membentuk tekstur bahan pangan, cita rasa dan kesegaran bahan pangan. Selain itu kadar air dalam bahan makanan menentukan komposisi yang dapat menentukan kualitas bahan makanan tersebut (Rajman, 2010). Kadar Abu Rata-rata kadar abu mi kering setelah diuji lanjut dengan uji DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata kadar abu mi kering Perlakuan
Rata-rata(%)
JT1 (TT 40% dan TJ 60%)
3,04a
JT2 (TT 50% dan TJ 50%)
2,03b
JT3 (TT 60% dan TJ 40%)
1,49c
JT4 (TT 70% dan TJ 30%)
1,27c
JT5 (TT 80% dan TJ 20%)
1,29c
Ket: TT=Tepung Terigu; TJ=Tepung Jagung Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji lanjut DNMRT 5%.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 115
ISBN 978-602-98902-1-1
Hasil sidik ragam dari perlakuan penambahan tepung terigu dan tepung jagung dengan formulasi yang berbeda pada pembuatan mi kering berpengaruh nyata terhadap pengamatan kadar abu mi kering. Kadar abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya (Jaya, 2010). Kadar abu mi kering yang diperoleh pada penelitian ini antara 1,27%-3,04%. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar abu mi kering yang cenderung tinggi terdapat pada perlakuan JT1, sedangkan yang terendah pada perlakuan JT4, yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan JT3 dan JT5. Penilaian kadar abu mi kering yang disubstitusi dengan tepung jagung memberikan pengaruh nyata, karena kandungan kadar abu tepung yang digunakan berbeda. Tepung jagung memiliki kadar abu yaitu 2,46% dan kadar abu terigu adalah 0,70% (Laboratorium Kimia Pangan UNRI, 2009). Semakin meningkatnya substitusi tepung jagung maka kadar abu mi kering semakin meningkat. Kadar abu mi kering ini berasal dari unsur mineral dan komposisi kimia yang tidak teruapkan selama proses pengabuan. Menurut Pangloli dan Royaningsih (1998), kadar abu yang terdapat pada suatu bahan menunjukkan jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Mineral dalam makanan biasanya ditentukan dengan cara pengabuan atau pembakaran. Kadar abu pada suatu produk makanan akan ikut menentukan kualitas suatu produk. Peningkatan kadar abu menunjukkan bertambahnya kandungan mineral pada mi kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu yang dihasilkan pada setiap perlakuan telah memenuhi standar mutu mi kering SII 0178-90 yaitu maksimum 3%. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Kadar Protein Rata-rata kadar protein mi kering setelah diuji lanjut dengan uji DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata kadar protein mi kering Perlakuan
Rata-rata(%)
JT1 (TT 40% dan TJ 60%)
13,87b
JT2 (TT 50% dan TJ 50%)
16,94a
JT3 (TT 60% dan TJ 40%)
16,28a
JT4 (TT 70% dan TJ 30%)
16,11a
JT5 (TT 80% dan TJ 20%)
14,92ab
Ket: TT=Tepung Terigu; TJ=Tepung Jagung Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji lanjut DNMRT 5%.
Hasil sidik ragam dari perlakuan substitusi tepung jagung pada pembuatan mi kering berpengaruh nyata terhadap kadar protein. Berbeda nyata kadar protein tersebut diduga dipengaruhi oleh kandungan kadar protein pada bahan baku dan bahan tambahan pada pembuatan mi. Tepung terigu mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibanding tepung jagung yaitu 11,2% dan tepung jagung 9,5% (Laboratorium Kimia Pangan UNRI, 2009). Tetapi pada perlakuan JT5 terjadi penurunan kadar protein, hal ini diduga
karena tingginya kadar air pada perlakuan JT5, sejalan dengan pendapat Hadiwiyoto (1993), bahwa kadar protein berbanding terbalik dengan kadar air. Menurut Purwani dkk (2006), protein yang terdapat pada mi berasal dari tepung terigu dan telur yang ditambahkan selama proses pengolahan. Tepung terigu dan telur merupakan bahan pembuat mi yang paling banyak menyumbangkan protein pada mi. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan JT1 berbeda nyata dengan perlakuan JT2, JT3 dan JT4 tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan JT5. Kadar protein yang diperoleh lebih tinggi ditunjukkan pada perlakuan JT2 yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan JT3, JT4 dan JT5. Sedangkan protein yang terendah terdapat pada perlakuan JT1 yang juga berbeda tidak nyata dengan JT5. Kandungan protein dari hasil penelitian berkisar antara 13,87%-16,94%. Kadar protein yang dihasilkan sesuai dengan standar mutu mi kering (SII 0178-90) yaitu minimal 11%. Kadar Karbohidrat Respon panelis menunjukkan bahwa dari perlakuan substitusi tepung jagung pada pembuatan mi kering berpengaruh nyata terhadap pengamatan kadar karbohidrat. Rata-rata kadar karbohidrat mi kering setelah diuji lanjut dengan uji DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata kadar karbohidrat mi kering Perlakuan
Rata-rata(%)
JT1 (TT 40% dan TJ 60%)
12,02b
JT2 (TT 50% dan TJ 50%)
18,49a
JT3 (TT 60% dan TJ 40%)
12,36b
JT4 (TT 70% dan TJ 30%)
10,36bc
JT5 (TT 80% dan TJ 20%)
8,98 c
Ket: TT=Tepung Terigu; TJ=Tepung Jagung Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji lanjut DNMRT 5%.
Data Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadinya penurunan kadar karbohidrat. Penurunan kadar karbohidrat yang diperoleh pada mi kering sejalan dengan penggunaan tepung jagung, dimana semakin tinggi tepung jagung yang ditambahkan, kadar karbohidrat pada mi juga meningkat, kecuali pada perlakuan JT1. Hal ini disebabkan kadar karbohidrat pada tepung jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat yang berfungsi menurunkan penyusutan dalam pemasakan. Menurut Purwani dkk. (2006), kadar karbohidrat yang terdapat pada tepung jagung membuat proses pengadonan pada mi semakin mudah karena kandungan amilosanya yang tinggi membuat adonan semakin pulen. Tingginya kadar karbohidrat mi, merupakan hal yang membuat mi sering digunakan sebagai makanan sumber karbohidrat. Kadar karbohidrat pada perlakuan JT2 berbeda nyata dengan kadar karbohidrat pada perlakuan JT1, JT3, T4 dan JT5. Tingginya karbohidrat pada perlakuan JT2 (50% tepung terigu dan 50% tepung jagung) dikarenakan komposisi tepung terigu dan tepung jagung sama perbandingannya sehingga terbentuk suatu adonan yang kokoh dan pati yang terkandung dalam adonan menjadi tidak mudah larut dalam air pada saat proses perebusan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 116
ISBN 978-602-98902-1-1
Penilaian Organoleptik terhadap Keseluruhan Mi Kering Respon panelis terhadap organoleptik penilaian keseluruhan mi kering secara hedonik berpengaruh nyata terhadap penilaian keseluruhan mi kering. Rata-rata penilaian keseluruhan mi kering setelah diuji lanjut dengan uji Friedman pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 5. Data pengujian nilai organoleptik mi kering yang belum direbus terhadap penilaian keseluruhan mi kering secara hedonik berkisar antara 2,64-3,16 (netral), tetapi mi kering yang telah direbus menunjukkan berbeda tidak nyata, yaitu berkisar antara 2,76-3,24 (netral). Hal ini menunjukkan bahwa penilaian keseluruhan mi kering yang disubstitusi tepung jagung dapat diterima oleh panelis. Respon panelis terhadap penilaian keseluruhan mi kering memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap penilaian keseluruhan mi kering. Tabel 5. Penilaian keseluruhan mi kering Rata-rata Perlakuan Mi kering Mi kering yg direbus Hedonik Deskriptif Hedonik Deskriptif JT1 3,12a 2,52a 2,76° 2,08b JT2 2,72ab 2,48a 2,84a 2,56a JT3 2,92ab 2,68a 3,24a 2,56a JT4 3,16a 2,48a 3,20a 2,60a JT5 2,64b 2,68a 3,00a 2,88a Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji Friedman 5%.
Respon panelis terhadap penilaian keseluruhan mi kering secara deskriptif sebelum direbus menunjukkan berbeda tidak nyata, tetapi setelah dilakukan perebusan, penilaian keseluruhan mi kering memperlihatkan perbedaan yang nyata. Rata-rata penilaian keseluruhan mi kering setelah direbus berkisar antara 2,08-2,88 (berbeda dengan mi terigu hingga tidak berbeda dengan mi terigu). Hal ini menunjukkan bahwa mi kering yang disubstitusi tepung jagung secara derkriptif terhadap penilaian keseluruhan mi kering dapat diterima oleh panelis. Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin bertambah jumlah tepung terigu maka tingkat penerimaan keseluruhan panelis juga semakin baik. Hal ini disebabkan karena kecenderungan para panelis masih kepada mi yang berbahan baku tepung terigu.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa substitusi tepung jagung berpengaruh nyata terhadap kadar air, abu, protein dan karbohidrat mi kering. Substitusi tersebut secara umum juga berpengaruh terhadap penilaian organoleptik mi kering sebelum direbus dan setelah direbus baik secara hedonik maupun deskriptif. Perlakuan mi kering yang masih dapat diterima dengan substitusi tepung jagung yang dihasilkan pada penelitian ini adalah perlakuan JT3 (tepung terigu 60%, tepung jagung 40%) yang sama baiknya dengan perlakuan JT4. Kadar air pada perlakuan JT3 10,02%, kadar abu 1,49%, kadar protein 16,28% dan kadar karbohidrat 12,36%. Penilaian keseluruhan mi kering dengan substitusi tepung jagung berkisar
suka hingga netral. Mi kering yang dihasilkan dari perlakuan JT3 telah memenuhi kategori mutu 1 menurut SII 0178-90.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami atas nama Tim Peneliti mengucapkan terima kasih banyak kepada Pemerintah Republik Indonesia c/q DP2M, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah menyediakan dana Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas Nasional tahun 2009 sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA Astawan, I. M. 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2010. Riau Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. Riau. Budwiharso,S. 2010. Morfologi Tanaman Jagung. http://www.agrilands.net/ read/full/agriwacana/tanaman/2010/12/02/morfologitanaman-jagung. Htm l. Diakses pada tanggal 20 Desember 2010 Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Hasil Perikanan. Jilid 1. Liberty. Yogyakarta 275 hal. Jaya, R.M. 2010. Kadar Abu. http://eremjezone.blogspot.com/2010/05 /kadar-abu.html. Diakses pada tanggal 25 Desember 2010. Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. 2009. Komposisi kimia nilai gizi tepung jagung pelalawan. Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. 2009. Komposisi Kimia Setiap 100 gram Tepung Terigu Cakra Kembar. Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru Purwono dan R. Hartono. 2008. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. Rahmiaty. 2006. Substitusi tepung terigu dengan tepung sagu dalam pembuatan mi kering. Skripsi (tidak dipublikasikan) Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Unversitas Riau. Pekanbaru. Rajman. 2010. Kandunggan Air Dalam Bahan Panggan. http://www.rajman. co.cc/2010/07/kandungan-air-dalambahanpangan.html. Diakses pada tanggal 7 Januari 2011. SNI 01-3727-1995. Tepung Jagung. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Jakarta. http:// agribisnis.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 24 Februari 2010. Susilawati dan Medikasari. 2008. Kajian Formulasi Tepung Terigu Dari Berbagai Jenis Ubi Jalar sebagai Bahan Dasar Pembuatan Biskuit Non-Flaky Crackers. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II, Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 117
ISBN 978-602-98902-1-1
PEMISAHAN ASAM LEMAK OMEGA-3 DARI LIMBAH MINYAK IKAN MELALUI REAKSI HIDROLISIS DAN KROMATOGRAFI (Separation of Omega-3 Fatty Acid from Fish Oil Waste Through Hydrolisis Reaction and Chromatography) Siti Nurhasanah, Imas S. Setiasih, Tati Sukarti, Betharia Sianturi Jurusan Teknologi Industri Pangan, Unpad
[email protected]
ABSTRAK Asam lemak omega 3, khususnya asam lemak rantai panjang (Eicosapentaenoic acid/EPA dan Docosahexaenoic acid/DHA), memegang peranan penting dalam gizi manusia. Salah satu sumber asam lemak omega 3 yang sangat potensial di Indonesia adalah minyak ikan dari limbah industri pengolahan ikan. Tujuan Penelitian ini adalah menentukan metode produksi ester asam lemak omega 3 yang lebih sederhana dimana tahapan prosesnya lebih singkat dengan harapan komposisi asam lemak omega 3 dari masing-masing metode tidak berbeda sehingga biaya operasionalnya lebih murah serta lebih aman terhadap oksidasi. Tahapan proses yang dihilangkan adalah fraksinasi urea dan ekstraksi asam lemak tak jenuh jamak. Minyak ikan yang digunakan sebagai bahan baku memiliki karakteristik fisik dan kimia sebagai berikut, yaitu warna yang cokelat warna cokelat gelap dengan nilai parameter warna L = 23.975, a = 3.89 dan b = 4,59 (sistem Hunter), aroma amis dan cukup menyengat tetapi tidak tengik, bilangan asam 6,375%, kadar asam 6,8%, bilangan peroksida 3,75 mg Oksigen/100 g, dan bilangan iod 190,62 g/100 g. Dari hasil analisis menggunakan gas kromatografi menunjukkan bahwa dengan penyederhanaan proses terjadi pemisahan asam lemak tak jenuh sebesar 30,08 %. Kata Kunci : minyak ikan, asam lemak omega-3, kromatografi
PENDAHULUAN Asam lemak omega 3, khususnya asam lemak rantai panjang (Eicosapentaenoic acid/EPA dan Docosahexaenoic acid/DHA), memegang peranan penting dalam gizi manusia. Asam lemak tersebut dibutuhkan untuk pertumbuhan janin, perkembangan otak dan retina, peningkatan kekebalan dan pencegahan resiko penyakit degeneratif. Konsumsi asam lemak omega-3 dapat meningkatkan profil lemak tubuh dan menurunkan agregasi platelet dengan cara menurunkan endothelial leukocytes adhesion molecules (Tremoli, et al.,1995; de Caterina dan Libby, 1996; Kelly et al.,1988). Asam lemak omega 3 juga dapat menurunkan resiko, pertumbuhan dan perkembangan metastatik tumor (Zaks dan Gross, 1999). Ketergantungan Indonesia terhadap produk-produk oleokimia sangatlah tinggi terutama untuk kebutuhan pangan dan farmasi. Sementara itu industri oleokimia di Indonesia sangat sedikit dan hampir seluruh produk oleokimia diimpor dari berbagai negara di dunia. Padahal potensi alam Indonesia kaya akan bahan baku untuk oleokimia seperti minyak sawit, minyak kelapa dan minyak ikan yang jika dimanfaatkan akan mengurangi ketergantungan impor Indonesia bahkan sebaliknya dapat mengekspornya. Salah satu sumber asam lemak omega 3 khususnya EPA dan DHA yang sangat potensial di Indonesia adalah minyak ikan dari limbah industri pengolahan ikan. Minyak limbah pengolahan ikan. selama ini hanya digunakan untuk industri cat, vernis, pakan ternak atau tidak dimanfaatkan sama sekali. Oleh karena itu dengan dimanfaatkannya limbah minyak ikan sebagai bahan baku produksi asam lemak omega 3 akan terjadi peningkatan nilai ekonomi yang besar. Kandungan EPA dan DHA dalam minyak ikan tersebut tinggi dan sangat bervariasi. Beberapa hasil penelitian pada minyak ikan dari limbah industri
pengolahan ikan tuna menunjukkan komposisi berat EPA dan DHA bervariasi yaitu masing-masing sebesar 0,34% dan 8,20% (Elisabeth 1992), 1,04% dan 12,23% (Elisabeth, 1997), 2,88% dan 15,22% (Handaruwati, 2000), 2,54% dan 11,76% (Soekopitojo 2003). Berbagai macam cara untuk memperoleh produk minyak (oil base) yang kaya akan asam lemak omega 3 telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya seperti reaksi butanolisis (hidrolisis secara enzimatis) (Komari et al., 2003, Soekopitojo, 2003 dan Mahmud, 2005). Namun umumnya pembuatan produk asam lemak omega 3 cukup rumit, memerlukan tahapan proses yang panjang dan biaya operasional yang tinggi. Asam lemak omega-3 adalah asam lemak yang memiliki ikatan rangkap pertama pada atom karbon nomer tiga dari ujung gugus metilnya. Menurut Guil-Guerrero dan Belarbi (2001), asam lemak omega-3 akan berikatan dengan Ag-silica gel berdasarkan nomor, posisi dan konfigurasi ikatan rangkapnya. Oleh karena itu asam lemak selain asam lemak omega-3 seperti asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal tidak akan berikatan secara spesifik dengan Ag-silica gel. Dengan demikian tahapan-tahapan proses yang memisahkan asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal tidak diperlukan karena asam-asam lemak tersebut akan terpisahkan selama pemisahan secara kromatografi. Lingkup penelitian ini adalah mencoba menyederhanakan proses produksi asam lemak omega-3 dari limbah minyak ikan dengan memotong tahapan proses untuk pemisahan asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal seperti Fraksinasi dengan urea dan kristalisasi. Penyederhanaan tahapan proses, namun dengan tetap memperhatikan kualitas produk akhir sangat diperlukan. Proses yang sederhana, biaya operasional yang murah dan dengan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 118
ISBN 978-602-98902-1-1
memanfaatkan bahan baku yang murah atau limbah akan mempercepat terwujudnya industri pembuatan asam lemak omega 3. Oleh karena itu penelitian untuk mencari alternatif proses yang sederhana khususnya dalam pembuatan asam lemak omega 3 menjadi sangat penting. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa penelitian untuk memanfaatkan limbah minyak ikan dan mencari alternatif proses yang sederhana dalam pembuatan asam lemak omega 3 menjadi sangat penting.. Melalui uji perbandingan berbagai alternatif metode diharapkan akan diperoleh suatu metode produksi asam lemak omega 3 dari limbah minyak ikan yang sederhana, murah dan aman terutama terhadap oksidasi selama proses pemisahan.
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari minyak hasil samping pengalengan ikan tuna (tuna precooked oil) yang diperoleh dari PT Aneka Tuna Indonesia, Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Pada precooked oil tersebut ditambahkan antioksidan. Bahan-bahan untuk proses hidrolisis (preparation of FFA), preparasi kolom, serta proses pemisahan asam lemak adalah NaOH, Na2EDTA, akuades, etanol 96%, gas nitrogen, HCl 23%, heksan, silika gel untuk kolom kromatografi 60 mesh, aseton, dan perak nitrat. Bahan-bahan untuk analisis terdiri dari standar asam lemak, larutan TBA (0,2883 g TBA/100 ml asam asetat glasial), asetat glasial, kloroform, natrium tiosulfat, indikator pati 1%, KI jenuh, larutan wijs, KI 15%, alkohol 95%, KOH, dan indikator PP. Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri dari kromatografi gas dengan detektor Flame Ionization Detector (GC-FID), rotavapor, kromatografi kolom, kromameter, spektrofotometer dan beberapa alat gelas untuk analisis. Tahap-tahap proses pembuatan metil asam lemak omega 3 dari asam lemak omega 3 adalah sebagai berikut Chen et al. (2000): 1. Penyabunan Limbah Minyak Ikan Pada proses penyabunan, limbah minyak ikan sebanyak 500 g dicampurkan dengan 150 g KOH, 500 ml air dan 500 ml etanol 96% (v/v) dalam suatu reaktor berpengaduk (agitasi) selama satu jam. Suhu reaktor diatur 60oC dan kondisi atmosfirnya jenuh dengan gas nitrogen. Setelah penyabunan selesai, ditambahkan 250 ml air. Bahan yang tak tersabunkan akan terpisahkan dengan ekstraksi heksana sebanyak 2,5 l. Pada fase alkohol-air (mengandung sabun) ditambahkan asam (480 ml HCl 23% v/v) sampai pH 1 dan asam lemak bebas (ALB) akan diperoleh melalui ekstraksi heksana. Ekstrak selanjutnya dicuci dengan air destilata sampai pH netral. 2. Fraksinasi dengan Urea. Sebanyak 40 g ALB dicampurkan dengan urea dengan perbandingan 1:4 (b/b) untuk memperoleh kristal kompleks urea dengan asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal. Pelarut untuk urea adalah 430 ml methanol . Kristalisasi dilakukan dengan cara mendinginkannya pada suhu sekitar 0oC selama satu malam. Selanjutnya kristal dapat dipisahkan dengan filtrasi vakum.
3. Ekstraksi Asam Lemak Tak Jenuh Jamak Filtrat hasil penyaringan pada Fraksinasi dengan urea dicampurkan dengan 15 ml HCl 10% (v/v) dan 15 ml heksana. Campuran diaduk selam 1 jam dan lapisan heksana dipisahkan dan diekstrak lagi dengan heksana dan asam hidrklorat sehingga diperoleh suatu fraksi asam lemak tak jenuh jamak (ALTJJ). 4. Esterifikasi ALTJJ Proses esterifikasi dilakukan dengan cara melarutkan minyak (kurang lebih 5 g) dalam 100 ml toluene. Selanjutnya ditambahkan 1% asam sulfat dalam metanol (200 ml). Campuran tersebut dipanaskan selama semalaman pada suhu 50ºC. Selanjutnya diekstraksi dengan heksana. Metilester akan diperoleh pada fase heksana. 5. Kristalisasi ALTJJ dapat dipisahkan dari ALJ dan ALTJT melalui kristalisasi dalam medium heksana pada suhu -20oC yang diinkubasi selama 10 jam (Modifikasi dari Zaks dan Gross 1999). 6.Fraksinasi Metilester dengan Kromatografi (Guil-Guerrero dan Belarbi, 2001) Fraksinasi metilester dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom dimana kolom diisi dengan silika gel yang diargentasi (Ag-silica gel). Ag-silica gel dapat dibuat sebagai berikut : 100 g silica gel for column chromatography dimasukkan ke dalam 200 ml etanol, diaduk dan kemudian ditambahkan dengan larutan 10 g perak nitrat dalam 35 ml etanol. Pengadukan dilanjutkan selama 10 menit. Etanol selanjutnya diuapkan (60oC). Selanjutnya Ag-silica gel diaktifkan dengan memanaskannya 120oC selama 12 jam. Metode Fraksinasi metilester berikut ini merupakan modifikasi dari metode. Kolom yang digunakan adalah kolom kromatografi preparatif (tinggi 40-50 cm dan diameter 3 cm). Agsilica gel yang telah diaktifkan selanjutnya dipak ke dalam kolom dengan bantuan heksana sebagai fluida pemadatnya. Untuk pemisahan asam lemak dilakukan elusi dengan pelarut heksana yang mengandung aseton beberapa konsentrasi sebagai berikut : • Pelarut elusi 1:heksana dengan konsentrasi aseton 0,5% untuk menegelusi asam lemak jenuh (ALJ) 12:0, 14:0, 16:0 dan 24:0 • Pelarut elusi 2: heksana dengan konsentrasi aseton 1% untuk menegelusi ester asam lemak tak jenuh tunggal (ALTJT) 16:1 n-9 dan 18:1 n-9 • Pelarut elusi 3: heksana dengan konsentrasi aseton 5% untuk menegelusi ester asam lemak tak jenuh jamak (ALTJT) 18:4 n-3 dan 20:4 n-6 • Pelarut elusi 4: heksana dengan konsentrasi aseton 10% untuk mengelusi ester EPA 20:5 n-3 • Pelarut elusi 5: heksana dengan konsentrasi aseton 15% untuk menegelusi ester DHA 22:6 n-3 Analisis
Analisis kimia yang dilakukan meliputi:
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 119
ISBN 978-602-98902-1-1
• Analisis bilangan Iod yang menunjukkan banyaknya ikatan rangkap pada asam lemak (Ketaren, 2005) • Analisis bilangan peroksida yang menunjukkan tingkat oksidasi tahap awal (Ketaren, 2005) • Analisis bilangan asam untuk menentukan berapa banyak bahan penyabun (NaOH atau KOH) yang akan digunakan (Ketaren, 2005) • Analisis komposisi asam lemak menggunakan kromatografi gas dengan detektor Flame Ionization Detector (GC-FID) (AOCS Official Method Ce 1-62, 1990) • Analisis warna (Hutching, 1999) Oleh karena setiap tahapan tersebut memerlukan banyak pelarut dan bahan kimia yang digunakan sehingga biaya proses pembuatan menjadi sangat mahal, maka dalam penelitian ini dicoba suatu metode alternatif yang lebih sederhana dan singkat yaitu a. menghilangkan tahap proses Fraksinasi dengan urea yang bertujuan untuk memisahkan ALJ dan ALTJT b. mengganti tahap proses Fraksinasi dengan urea dengan proses kristalisasi biasa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Limbah Minyak Ikan Limbah minyak ikan (LMI) yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak ikan yang berasal dari proses pengalengan ikan yaitu limbah cair pada tahap pra pemasakan (precooking). Untuk mencegah oksidasi selama perjalanan ditambahkan antioksidan 200 ppm berupa BHA dan BHT dengan perbandingan 1 : 1, jadi dari 5 kg minyak ikan yang diperoleh ditambahkan BHA dan BHT sejumlah 1 gram (0.5 g BHA dan 0.5 g) BHT Karakteristik-karakteristik LMI yang penting sebagai bahan baku adalah bilangan asam, komposisi asam lemak omega-3, tingkat oksidasi dan warna. Hasil analisis terhadap karakteristik LMI adalah seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Beberapa Karakteristik LMI Karakteristik Nilai atau Deskripsi Kimia Bilangan asam*) 6,375 % Kadar Asam*) 6,8 % Bilangan peroksida 3,75 mg Oksigen/100 g Bilangan iod 190,62 g/100 g Karakteristik Fisik Warna Coklat gelap Parameter Warna L = 23.975, a = 3.89 dan Sistem Hunter b = 4,59 Bau Bau amis cukup menyengat tetapi tidak tengik Kadar asam LMI menunjukkan adanya asam-asam lemak bebas yang terkandung dalam LMI. Asam-asam lemak bebas tersebut dapat dihasilkan dari peristiwa kimia seperti hidrolisis dan oksidasi. Dengan demikian kandungan asam dalam LMI tersebut harus dinetralkan dengan menggunakan NaOH 200Be.
Tingkat oksidasi LMI dapat ditunjukkan dengan bilangan peroksida. Bilangan peroksida untuk menunjukkan tingkat oksidasi tahap awal yaitu tahap pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Menurut Ketaren (1986) ketengikan (rancidity) terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Dengan demikian bilangan peroksida yang tinggi merupakan indikator bahwa minyak sebentar lagi akan tengik. Bilangan peroksida LMI adalah 3,75 mg oksigen/100g. Bilangan peroksida LMI tersebut masih cukup rendah dan tidak tercium bau tengik sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan Asam Lemak Omega-3 dari Limbah Minyak Ikan Melalui Reaksi Hidrolisis dan Pemurnian Kromatografi. Bilangan iod digunakan untuk menentukkan tingkat ketidakjenuhan asam-asam lemak yang terdapat pada minyak. Semakin besar bilangan iod menunjukkan semakin besar pula ikatan rangkap yang terdapat dalam minyak. Bilangan iod LMI yang digunakan sebagai bahan baku sebesar 190,62 gr/100 gr, angka ini diperoleh dengan menggunakan metose Wijs. Karakteristik fisik yang dianalisis adalah warna dan bau. Warna LMI adalah berwarna coklat gelap karena banyaknya pigmen-pigmen dan kotoran. Berdasarkan sistem Hunter parameter warna LMI diukur dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-200. Hasil pengukuran dan penghitungan menunjukkan nilai parameter warna LMI adalah L = 23.975, a = 3.89 dan b = 4,59 . Sedangkan bau LMI yang tercium adalah bau amis yang cukup menyengat, tetapi tidak tercium bau tengik. Bau tersebut adalah bau yang normal untuk minyak ikan. Karena tidak tercium bau tengik, maka LIM tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku. Ketengikan disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa malonaldehida yang terjadi pada reaksi oksidasi tahap akhir. Pembuatan metil asam lemak omega 3 Tahap-tahap proses yang dilakukan dalam pembuatan metil asam lemak omega 3 dari asam lemak omega 3 adalah : penyabunan, Fraksinasi dengan urea, ekstraksi ALTJJ, esterifikasi ALTJJ, dan pemurnian asam lemak omega3. Pada proses penyabunan, limbah minyak ikan sebanyak 500 g dicampurkan dengan 150 g KOH, 500 ml air dan 500 ml etanol 96% (v/v) dalam suatu reaktor berpengaduk (agitasi) selama satu jam. Suhu reaktor diatur 60oC dan kondisi atmosfirnya jenuh dengan gas nitrogen. Proses ini sekaligus berfungsi untuk menetralkan dan menjernihkan minyak ikan. Tujuan dari proses netralisasi dan bleaching agar diperoleh suatu minyak TAG yang terbebas dari asam lemak bebas, pigmen, fosfolipida, kotoran yang tidak larut minyak serta logam-logam (Bimbo 1990). Warna LMI sebelum dinetralisasi dan bleaching adalah berwarna coklat gelap karena banyaknya pigmen-pigmen dan kotoran. Setelah dinetralisasi dan bleahcing, warna LMI berubah menjadi coklat kekuningkuningan serta lebih cerah dan jernih. Secara kuantitatif warna LMI sebelum dan sesudah proses netralisasi dan bleaching diukur dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-200. Hasil penghitungan dalam sistem Hunter, warna LMI sebelum netralisasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 120
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 2. Warna LMI dengan sistem Hunter Sampel L a LMI MIT 23,975 3,89 MIT netral 55,0 23,5
b 4,59 50,5
Suatu produk asam lemak omega-3 dapat dihasilkan dengan terlebih dahulu menghidrolisis bahan baku limbah minyak ikan menjadi asam lemak bebas (ALB). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatik. Hidrolisis enzimatik reaksinya sering tidak sempurna menghasilkan asam lemak bebas, tetapi dihasilkan pula DAG dan MAG sebagai produk intermediet. Sedangkan hidrolisis secara kimia misalnya dengan penyabunan dapat menghasilkan asam lemak bebas dengan rendemen yang tinggi. Penelitian Guil-Guerrero dan Belarbi (2001) menunjukkan bahwa penyabunan minyak hati ikan cod dengan KOH dapat menghasilkan rendemen 330/400 (82,5%) dari minyak ikan yang sudah dinetralisasi dan dibleaching. Proses hidrolisis dengan menggunakan basa kuat (NaOH) akan mengahasilkan dua fraksi yaitu fraksi yang tersabunkan dan yang tidak tersabunkan. Fase yang tidak tersabunkan dapat diekstraksi dengan heksana, sedangkan fraksi yang tersabunkan selanjutnya dapat diekstraksi dengan larutan HCl sampai pH 1 sehingga dihasilkan asam lemak bebas (Guil-Guerrero dan Belarbi, 2001; Haagsma et al., 1982). Ekstrak selanjutnya dicuci dengan air destilata sampai pH netral. Minyak ikan sangat sensitif terhadap cahaya dan peningkatan suhu, oleh karena itu pada proses pengendapannya dilakukan dalam keadaan dingin dan terhindar dari cahaya. Yield dari proses ini adalah 64,5%, ini berarti dari 1000 g LMI diperoleh ALB sebanyak 645 g. Sebelum dilakukan pemisahan dengan kolom kromatografi, Guil-Guerrero dan Belarbi (2001) melakukan proses kristalisasi asam lemak bebas dengan urea agar asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tak jenuh tunggal (ALTJT) dapat terkristalkan dan yang tersisa hanya asam lemak tak jenuh jamak (ALTJJ). Dari 4 g asam lemak bebas setelah kompleksasi dengan 16 g urea dalam 43 ml metanol yang kemudian dikristalkan pada suhu 0oC selama satu malam sehingga terdapat 2 fase yaitu fase padat dan fase cair. Proses ini menghasilkan 1 gram, dengan demikian hasil proses ini adalah 25%. Chen dan Ju (2001) melakukan suatu modifikasi proses kristalisasi untuk mengayakan ALTJ dalam asam lemak minyak biji rami dengan menggunakan suatu pelarut pada suhu rendah. Kristalisasi asam lemak bebas atau dalam bentuk metilester sering dilakukan dengan terlebih dahulu mengkomplekskannya dengan urea. Menurut Joseph dan Seaborn (1990), urea akan membentuk kristal dengan senyawa berantai lurus dan bukan dengan senyawa-senyawa berantai cabang atau siklik. Kristal urea murni terdapat dalam bentuk tetragonal yang kompleks dan akan membentuk kristal dengan struktur heksagonal bila membentuk kompleks dengan senyawa-senyawa alifatik berantai lurus. David et al.(2002) mengkomplekskan CLA dengan urea (1:2,5 b/b) yang dilarutkan dalam metanol hangat (2 g/mL) untuk mengefektifkan kompleksasi. Setelah didinginkan -25°C seharian, fraksi kompleks urea (UC) dipisahkan dengan filtrasi vakum. Hasil kristalisasi fase kompleks urea terjadi peningkatan ∆9c,11t-CLA dari 45,6%
menjadi 50,4% dan pada fase mother liquor terjadi peningkatan ∆10t,12c-CLA dari 50,3% menjadi 69,1%. Hal ini menunjukkan bahwa urea cenderung membentuk kompleks dengan rantai yang lurus dan panjang. Kristalisasi minyak ikan dalam bentuk gliserida juga dapat dilakukan seperti yang dilakukan oleh Lee dan Foglia (2001) yang mengkristalisasi TAG minyak menhaden dalam aseton dan Zaks dan Gross (1999) yang mengkristalisasi MAG minyak menhaden dalam heksana. Kristalisasi TAG minyak menhaden dalam aseton dengan perbandingan 1:20 (b/v) pada suhu –38oC dapat meningkatkan ALTJ dari 10,2% menjadi 11,1% dan meningkatkan EPA dan DHA dari 30,4% menjadi 35,3% (Lee dan Foglia 2001). Hasil kristalisasi 5,3 g MAG dalam 35 ml heksana pada suhu –20oC dan diinkubasi selama 10 jam adalah terjadi peningkatan EPA dan DHA dari sekitar 40% menjadi 60% (Zaks dan Gross 1999). Menurut Zaks dan Gross (1999), MAG terdiri dari MAG yang terasilasi asam lemak jenuh (MAG-J) dan MAG yang terasilasi asam lemak tidak jenuh (MAG-TJ). Karena asam lemak omega-3 (khususnya EPA dan DHA) termasuk ALTJ, maka mengkristalkan MAG-J sehingga dapat dipisahkan dari fraksi cair akan menghasilkan suatu produk MAG yang lebih kaya oleh asam lemak omega-3. MAG dilarutkan dalam suatu pelarut yang mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap MAG-TJ dari pada MAG-J, maka MAG-J cenderung mengkristal dan meninggalkan larutan ketika suhu didinginkan -20 sampai 25oC untuk beberapa jam. Heksan, aseton dan tetrahidrofuran adalah pelarut-pelarut yang biasa digunakan untuk tujuan ini. Asam lemak omega-3 termasuk ke dalam kelompok asam lemak tak jenuh (ALTJ). Usaha untuk memekatkan ALTJ secara tidak langsung dapat memekatkan asam lemak omega3. Cara untuk memekatkan ALTJ minyak ikan dapat dilakukan dengan memanfaatkan sifat-sifat fisik dan kimia antara asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tak jenuh (ALTJ) antara lain dengan kristalisasi. Titik leleh asam lemak tergantung pada derajat ketidakjenuhan, asam lemak 20:5 dan 22:6 meleleh pada –54,4oC dan –44,5oC, asam lemak 18:1 (n-9) meleleh pada 10,5oC dan 18:0 pada suhu 70,1oC. Jika suhu suatu campuran ALJ dan ALTJ diturunkan, maka ALJ yang mempunyai titik leleh yang lebih tinggi akan mengkristal terlebih dahulu dan fase cair menjadi lebih kaya ALTJ (Hamilton 1995). Untuk meningkatkan daya pisah kristalisasi, minyak/lemak dilarutkan dalam suatu medium pelarut atau dalam bentuk suatu kompleks misalnya dengan kompleks urea. Fase cair atau filtrat hasil penyaringan pada Fraksinasi dengan urea dicampurkan dengan 15 ml HCl 10% (v/v) dan 15 ml heksana dan asam hidroklorat sehingga diperoleh suatu fraksi asam lemak tak jenuh jamak (ALTJJ) dan selanjutnya dilakukan proses esterifikasi. Proses ini yang menyebabkan pada saat analisis dengan gas kromatografi asam lemak yang terdapat dalam sampel terdeteksi. Proses esterifikasi dilakukan dengan cara melarutkan 5 gram minyak dalam 100 ml toluene. Selanjutnya ditambahkan 1% asam sulfat dalam metanol (200 ml). Campuran tersebut dipanaskan selama semalaman pada suhu 50ºC. Selanjutnya diekstraksi dengan heksana sehingga dihasilkan metilester pada fase heksana.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 121
ISBN 978-602-98902-1-1
Kromatografi merupakan teknik pemisahan MAG yang paling banyak digunakan terutama untuk keperluan analisis seperti kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography, TLC), kromatografi cair kinerja tinggi (High Performance Liquid Chromatography, HPLC), dan kromatografi gas (Gas Chromatography, GC) dengan kapasitas pemisahan beberapa mg atau beberapa g. Namun untuk pemisahan dan pemurnian MAG untuk keperluan produksi diperlukan kromatografi preparatif. Menurut Gritter et al. (1991), kromatografi preparatif dipakai untuk memperoleh komponen campuran dalam jumlah yang memadai dalam keadaan murni. Kolom yang digunakan adalah kolom kromatografi preparatif dengan tinggi 40 cm dan diameter 3 cm (Gambar 8). Ag-silica gel yang telah diaktifkan selanjutnya dipak ke dalam kolom dengan bantuan heksana sebagai fluida pemadatnya. Ag-silica gel dibuat dengan cara mencampurkan 100 g silica gel for column chromatography dimasukkan ke dalam 200 ml etanol, diaduk dan kemudian ditambahkan dengan larutan 10 g perak nitrat dalam 35 ml etanol. Pengadukan dilanjutkan selama 10 menit. Etanol selanjutnya diuapkan (60oC). Selanjutnya Ag-silica gel diaktifkan dengan memanaskannya 120oC selama 2 jam. Metode Fraksinasi metilester ini merupakan modifikasi dari metode Guil-Guerrero dan Belarbi (2001). Kolom kromatografi yang digunakan dilengkapi dengan stock solution, sehingga dalam proses pemisahan ketersediaan pelarut dapat dijaga. Selain itu dilengkapi pula sirkulator agar laju pemisahan (flow rate) konstan dan tidak terjadi kemacetan. Perbedaan laju alir antara asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tak jenuh (ALTJ) saat melewati kolom kromatografi dapat dimanfaatkan untuk pemisahan ALTJ dari campuran asam lemak. Untuk mendapatkan ALTJ omega-3 dapat digunakan kolom kromatografi ion perak untuk membentuk suatu kompleks antara ALTJ dengan ion perak (ALTJ-Ag) yang reversibel dan relatif lebih polar. Menurut Corley et al. (2002), prinsip pemisahan tersebut terjadi karena ion logam (ion perak) akan berkoordinasi dengan elektronelektron orbital pi dari ikatan rangkap atom-atom karbon dari suatu asam lemak tak jenuh membentuk suatu kompleks logam dengan residu asam lemak. Kekuatan kompleks tergantung pada panjang residu asam lemak, jumlah ikatan rangkap, posisi ikatan rangkap, dan konfigurasi cis atau trans. Dengan demikian menurut Hamilton (1995) meskipun dalam pemisahan minyak ikan komponen 20:5 (ω-3) dan 22:6 (ω-3) adalah yang utama namun karena nomor ikatan tak jenuh dari 16:4 dan 18:4 adalah ω-3, maka akan terpisahkan pula secara nyata. Ester asam lemak dipisahkan menggunakan kromatografi kolom silika gel yang diargentasi (Guerrero dan Belarbi, 2001). Asam lemak dipisahkan melalui serangkaian elusi dengan urutan sebagai berikut : 1. pelarut aseton 0,5% dalam heksana (2 x 5 ml) sehingga dapat mengelusi ester asam lemak jenuh (ALJ) 12:0, 14:0, 16:0 dan 24:0 2. pelarut aseton 0,5% dalam heksana (3 x 5 ml) untuk mengelusi ester asam lemak tak jenuh tunggal (ALTJT) 16:1 n-9 dan 18:1 n-9
3.
pelarut aseton 1% dalam heksana untuk mengelusi ester ALTJT 20:1 n-9 dan 22:1 n-9 serta ester ALTJT 18:4 n-3 dan 20:4 n-6 ikut terelusi. 4. pelarut aseton 5% dalam heksana untuk mengelusi ester ALTJT 18:4 n-3, 20:4 n-6, 20:5 n-3 dan 22:6 n-3 5. pelarut aseton 10% dalam heksana mengelusi ester EPA 6. pelarut aseton 15% dalam heksana menghasilkan ester DHA Komposisi asam lemak menggunakan GC-FID seperti terlihat pada Gambar 1 menunjukkan bahwa total asam lemak omega-3 LMI cukup tinggi yaitu 21,04% (b/b) (terdiri dari EPA 13,50%, DHA 4,28% dan asam lemak omega-3 lain 3,26%). Dengan demikian LMI tersebut layak untuk digunakan sebagai bahan baku untuk asam lemak omega-3 yang tinggi, dari grafik tampak pada peak menit ke 45 (EPA) dan menit ke 65 (DHA) hasil perbandingan dengan standar asam lemak.
Gambar 1. Komposisi asam lemak menggunakan GC-FID
Gambar 2. Kromatogram GC Analisa Asam Lemak Standar C424
Gambar 3. Kromatogram hasil kromatografi kolom perlakuan lengkap
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 122
ISBN 978-602-98902-1-1
DAFTAR PUSTAKA Cho SY, Miyashita K, Miyazawa T, Fujimoto K, Kaneda T. 1987. Autoxidation of eicosapentaenoic and docosahexaenoate . J. Am. Oil Chem. Soc. No. 64:876-879. Gambar 4. Kromatogram hasil kromatografi kolom perlakuan penyederhanaan
Connor WE, Lowensohn R, Hatcher L. 1996. Increased docosahexaenoic acid levels in human newborn infants by administration of sardine and fish oil during pregnancy. Lipids 31S:183-187
Dari rangkaian proses di atas dihasilkan ester DHA seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Corley DG, Zeller SG, Doom JP, Duffin KL, 2002. Process for Separating a triglyceride comprising a docosahexaenoic acid residue from a mixture of triglycerides. US Patent 6 399 803.
Tabel 3. Karakteristik Produk
Pengujian Warna
LMI coklat gelap
Eluen terakhir Perlakuan Perlakuan lengkap penyederhanaan Kuning cerah Kuning cerah
de Catarina R, Libby P. 1996. Control of endothelial leukocyte adhesion molecules by fatty acids. Lipid 31s:57-63. Elisabeth J. 1992. Isolasi asam lemak omega-3 dari minyak hasil limbah industri pengolahan ikan tuna [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
L
23.98
75.44
75.26
a
3.89
-0.55
-0.89
b Bilangan peroksida (mg oksigen/100 g) Bilangan Iod (g/100g) EPA dan DHA yang dihasilkan (%)
4.59
7.5
4.69
3.75
3.16
3.14
190.62
190.63
218.1
Guil-Guerrero, JL. dan Belarbi E. 2001. Purification for cod liver oil polyunsaturated fatty acids. J. Am. Oil Chem. Soc. 78:477-484.
30.08
Haagsma, N, CM van Gent, JB Luten, RW deJong dan E van Doorn. 1982. Preparation of an n-3 fatty acids concentrate fron cod liver oil. J. Am. Oil Chem. Soc. 59:117-118.
17.78
37.11
Elisabeth J. 1997. Studi inkorporasi enzimatik eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) pada trigliserida minyak ikan tuna dan crude palm oil (CPO) [desertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gritter, Roy J, James M. Bobbitt, dan Arthur E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung.
KESIMPULAN DAN SARAN Asam lemak omega-3 dapat diperoleh dari minyak ikan yang berasal dari limbah industri pengolahan ikan (precook oil) melalui reaksi hidrolisis dan pemurnian kromatografi. Sebelum proses pemisahan dilakukan karakterisasi bahan baku yang meliputi bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan iod, dan warna dengan chromameter. Proses yang biasa dilakukan meliputi penyabunan, Fraksinasi dengan urea, ekstraksi ALTJJ, esterifikasi ALTJJ, dan pemurnian asam lemak omega-3. Proses pemurnian pada minyak ikan hasil hidrolisis dengan menggunakan adsorben silika gel dan perak nitrat (Ag-silica gel) sehingga asam lemak selain asam lemak omega-3 seperti asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal tidak akan berikatan secara spesifik dengan Ag-silica gel. Dengan dilakukan penyederhanaan proses produksi asam lemak omega-3 dari limbah minyak ikan dengan memotong tahapan proses untuk pemisahan asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal seperti Fraksinasi dengan urea dan kristalisasi asamasam lemak tersebut terpisahkan selama pemisahan secara kromatografi akan tetapi hasilnya lebih rendah 30,08%.
Hamilton J. 1995. Development in Oils and Fats. Blackie Academic and Profesional, London. Handaruwati RR. 2000. Produksi fraksi minyak ikan tuna kaya asam lemak omega-3 melalui reaksi alkoholisis enzimatik menggunakan lipase Rhizomucor miehei [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Houghton, P.J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extracts. Chapman & Hall, London). Istiqamah T. 1998. Aktivitas dan stabilitas lipase rhizomucor miehei dan candida antartica pada reaksi asidolisis antara konsentrat asam lemak omega-3 dengan minyak sawit kasar dalam media bebas pelarut [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kelly DS, Nelson GJ, Serrato CM, Schmidt PC and Branch LB. 1988. Effect of type of dietary fat on indices of immune status of rabbits. J. Nutr. 118:1376-1384. Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 123
ISBN 978-602-98902-1-1
Kiyohara, S dan Shiro, F. 2001. Process of Selectivity Separating of Polyunsaturated Fatty Acids Using Silver Ions Extraction. University of Hawaii at Manoa and University of California, Berkeley, California. Komari, Budijanto S, Haryadi P. 2003. Produksi lemak kaya DHA pada posisi sn-2 dengan modus kontinyu untuk fortifikasi pada makanan. Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. Mahmud, HR. 2005. Pemisahan monoasilgliserol kaya asam lemak omega-3 hasil reaksi butanolisis limbah minyak ikan. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Miyashita K, Ota T, Okazaki S, Nishikawa M, Maruyama K, penemu; Maruha Corporation. 22 Oktober 1996. Method of stabilizing an omega-3 unsaturated fatty acid compound. US Patent 5 567 730. Nakahara T et al. 1996. Production of docosahexaenoic and docosapentaenoic acids by Schizochytrium sp. Isolated from Yap Islands. J. Am. Oil Chem. Soc. 73:1421-26. Soekopitojo S. 2003. Produksi monoasilgliserol kaya docosahexaenoic acid minyak ikan tuna secara alkoholisis enzimatik dalam reaktor packed-bed kontinyu [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tremoli EP et al. 1995. Prolonged inhibition of platelet agregation after n-3 fatty acids methyl ester ingestion by healthy volunteer. Am. J. Clin. Nutr. 61:607-613. Winarno FG. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Winarno FG. 1999. Minyak Goreng Dalam Menu Masyarakat. Balai Pustaka, Jakarta. Zaks A, Gross AT, penemu, 1999, Enzymatic production of monoglycerides containing omega-3 unsaturated fatty acids. US Patent 5 935 828.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 124
ISBN 978-602-98902-1-1
MEMPELAJARI SIFAT FISIK, KIMIA DAN FISIKOKIMIA PATI BONGGOL PISANG BATU (Musa brachycarph) MODIFIKASI DENGAN METODE ASETILASI. Study of Physic, Chemistry, and Physicochemistry Properties of Modified Banana Corm Starch (Musa Brachycarph) with Acetylation Method. Ir. Debby. M. Sumanti., M. S.1, Fitri Fillianty, STP., M.Si.1, Joanita Maria Ulfah 2.
1) Tenaga Pendidik Jurusan Teknologi Industri Pangan FakultasTeknologi Industri Pertanian UNPAD 2) Alumni Jurusan Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian UNPAD
ABSTRAK Bonggol pisang batu (Musa brachycarp) dapat dijadikan salah satu sumber pati. Pati alami bonggol pisang batu memiliki sifat pasta pati yang tidak jernih dan suhu gelatinisasi yang tinggi. Untuk mengubah sifat pati alami tersebut maka dilakukan modifikasi asetilasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik pati bonggol pisang batu modifikasi asetilasi dengan berbagai pH awal yang sesuai untuk produk pangan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Perlakuan yang digunakan adalah pengkondisian pH awal pati pada pH 8, pH 9, dan pH 10. Hasil penelitian menunjukkan pati modifikasi asetilasi dengan pH awal 10 memiliki kadar abu yang melebihi standar sehingga tidak sesuai untuk produk pangan, sedangkan pati dengan pH awal 8 dan 9 memiliki karakteristik yang sesuai untuk produk pangan. Pati asetilasi dengan pH awal 8 memiliki karakteristik derajat putih 63,15%, kehalusan pati 100%, kadar air 9,83%, kadar abu 0,41%, kadar amilosa 45,29%, persen asetilasi 0,89%, derajat substitusi 0,03, suhu gelatinisasi 73,5ºC, viskositas puncak 3158,4 cP dan viskositas balik 1411,2 cP. Pati asetilasi dengan pH awal 9 memiliki karakteristik derajat putih 62,40%, kehalusan pati 100%, kadar air 9,75%, kadar abu 0, 49%, kadar amilosa 45,31%, persen asetilasi 1,28%, derajat substitusi 0,05, suhu gelatinisasi 72,5ºC, viskositas puncak 3047,2 cP dan viskositas balik 1202,5 cP. Pati dengan karakteristik seperti ini dapat diaplikasikan pada produk pangan yang bersifat semi basah seperti mie, bakso, dan roti. Kata kunci: bonggol pisang, pati modifikasi, asetilasi.
PENDAHULUAN Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia), tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah (Rismunandar, 1990). Di Indonesia tanaman pisang masih dapat tumbuh dengan subur di daerah pegunungan hingga ketinggian 2000 meter dengan udara dingin (Munadjim, 1983). Menurut Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2006), produksi tanaman pisang cukup besar terlihat dari luasnya lahan penanaman yaitu 22.378 ha untuk provinsi Jawa Barat. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008), jumlah tanaman yang berproduksi adalah ± 100 juta pohon dengan jumlah produksi ± 5,1 juta ton pisang dengan luas penanaman pisang 94.144 ha untuk skala nasional. Berdasarkan data tersebut berarti bonggol pisang yang dihasilkan cukup banyak, namun saat ini pemanfaatanya belum optimal. Bonggol pisang merupakan pangkal batang yang membentuk bulat, besar dan memiliki sifat khas akar rhizoma sebagai tunas anakan yang baru (Suhardiman, 1997). Pemanfaatan bonggol pisang selama ini hanya terbatas untuk pakan ternak saja, padahal pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, bonggol pisang telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan sementara pengganti beras bagi mereka yang kekurangan pangan (Munadjim, 1983). Selain itu, bonggol pisang dimanfaatkan sebagai bahan baku keripik, sumber bahan alkohol, dan diolah menjadi tepung. Bonggol pisang mengandung karbohidrat, protein dan mineral. Bonggol pisang juga mengandung pati, yaitu sekitar 11 %, sehingga bonggol pisang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sumber pati baru (Munadjim, 1983).
Menurut Ginanjar (2009), diantara jenis tanaman pisang, pisang batu merupakan jenis pisang yang buahnya tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena umumnya buah pisang batu hanya digunakan untuk campuran rujak (tidak dikonsumsi segar), sedangkan yang memilki nilai ekonomis yang tinggi dari tanaman pisang batu adalah daunnya (sebagai pembungkus). Menurut Riana (2005), umumnya semua jenis bonggol pisang dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk pangan, tetapi bonggol pisang jenis kapas (jenis plantain) dan batu lebih mudah ditemukan karena persebarannya banyak didaerah Jawa Barat dan tanpa pemeliharaan khusus serta umur panennya singkat. Di wilayah Jawa Barat pisang batu banyak dihasilkan di daerah Sukabumi dan Cianjur, di wilayah Jawa Tengah disekitar bagian barat dan tengah, sedangkan untuk wilayah Jawa Timur di daerah Lumajang dan Malang (Zuhairini, 1997). Pemanfaatan bonggol pisang batu sebagai sumber pati baru merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah tanaman pisang batu. Menurut Suprianti (2009), pati bonggol pisang batu yang diekstrak menggunakan larutan pengekstrak air hangat (T=55°±2°C) menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengekstrak air dingin dan dibandingkan dengan jenis pisang raja bulu dan pisang kapas. Peranan pati dalam industri pengolahan pangan diantaranya sebagai bahan baku pembuatan dekstrin, gula cair, pati modifikasi, bahan pengental, bahan pengisi dan lain-lain. Namun, dalam penggunaannya pati alami memiliki beberapa kelemahan antara lain: retrogradasi yang tinggi, dapat mengalami sineresis, ketidaklarutan, kenaikan viskositas, dan ketidakmampuan untuk mengembang dalam air dingin,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 125
ISBN 978-602-98902-1-1
penampakan yang kurang jernih, stabilitas yang rendah pada suhu dan pH rendah, dan lain – lain (Jarowenko, 1989). Kelemahan sifat pati alami ini dapat diatasi dengan melakukan modifikasi pati, sehingga dihasilkan pati dengan karakteristik yang lebih baik sehingga dapat diaplikasikan pada industri tertentu. Secara garis besar, modifikasi pati dapat dilakukan dengan cara fisik maupun kimia (Belitz, Grosch dan Schieberl, 1987). Salah satu bentuk modifikasi yang sering dilakukan adalah metode asetilasi. Pati modifikasi asetilasi menghasilkan pasta pati yang jernih, tahan retrogradasi dan viskositasnya stabil pada suhu rendah (Xie, Liu dan Cui dalam Liu, 2006). Selain itu, modifikasi pati dengan metode asetilasi membutuhkan biaya yang rendah bila dibandingkan dengan metode modifikasi kimia pati lainnya. Pati modifikasi dengan metode asetilasi menggunakan pereaksi asam asetat glasial. Asetilasi pada dasarnya merupakan reaksi antara pati dengan reaktan, dengan tujuan mensubstitusikan gugus hidroksil dari unit anhidroglukosa pada pati dengan gugus asetil sehingga dihasilkan produk berupa pati asetat (Sapri, 2005). Tingkat substitusi gugus asetil terhadap gugus –OH pada pati asetilasi dinyatakan dalam nilai DS (Derajat Substitusi). Nilai DS berkisar antara 0,01 – 3 yaitu apabila nilai DS sebesar 0,01 berarti terdapat satu gugus asetil tiap 100 molekul glukosa dan apabila nilai DS sebesar 3 berarti terdapat 300 gugus asetil tiap 100 molekul glukosa atau dengan kata lain tiap gugus –OH tersubstitusi dengan gugus asetil. (Belitz, Grosch dan Scieberle, 1987). Proses modifikasi untuk memperbaiki karakteristik pati alami perlu memperhatikan beberapa faktor yang terkait seperti konsentrasi bahan dan pereaksi, pH, lama proses reaksi, dan adanya katalis (Whistler dan Daniel, 1990 dikutip Rahmanto, 2005). Betancur et al. (1997) menyatakan bahwa pH dan konsentrasi pereaksi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan grup asetat dengan pati. pH dapat menyebabkan penekanan laju reaksi hidrolisis sekunder dan pemisahan kembali gugus asetil sebagai media yang dapat membantu proses penyerapan molekul air sehingga menghasilkan pati dengan struktur yang lebih teratur dengan ketahanan yang tinggi terhadap kerusakan. Selain pH, waktu asetilasi pati juga mempengaruhi karakteristik pati asetat yang dihasilkan. Menurut Rahmanto (2005), waktu asetilasi yang lebih lama memberikan kesempatan pada pereaksi untuk bereaksi lebih banyak dan masuk ke bagian dalam granula karena reaksi asetilasi cenderung menyerang pada bagian amorf terlebih dahulu. Pati modifikasi asetilasi atau pati asetat memiliki nilai derajat substitusi (DS) yang rendah sehingga cocok untuk diaplikasikan pada industri pangan. menurut FAO (1990), batas maksimal nilai DS pati asetat untuk produk pangan adalah 0,1. Berdasarkan paparan di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari sifat fisiko kimia pati bonggol pisang batu modifikasi metode asetilasi pada berbagai pH awal dan waktu reaksi.
METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bonggol pisang batu, natrium metabisulfit (Na2S2O5), aquades, Asam asetat glasial, HCL 1N, HCl 0,2N, NaOH 1N, Na2SO4, NaOH 0,45 N, dan NaOH 0,1 N. Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, beaker glass, pipet, buret, batang pengaduk, termometer 1000 C, statip, klem, crustang, pH meter analitik, peralatan dapur, oven, magnetic stirer, neraca analitis, desikator, tanur, grinder, blender, ayakan Tyler, sentrifugator, SEM (Scanning electrone microscope), “Milling Meter” Whitenessmeter, Rapid Visco Analyzer DV-II Pro, dan Crush Mill. Rancangan Percobaan Metode percobaan yang akan digunakan adalah metode deskriptif yaitu mendeskripsikan sifat fisikokimia pati bonggol pisang batu modifikasi metode asetilasi. Pada penelitian ini akan dilakukan 4 perlakuan yang diulang sebanyak 2 kali. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut: A = Pati bonggol pisang batu alami B = Pati bonggol pisang batu dengan pH awal 8 C = Pati bonggol pisang batu dengan pH awal 9 D = Pati bonggol pisang batu dengan pH awal 10 Pelaksanaan Percobaan Penelitian terdiri dari beberapa tahapan yaitu; proses pembuatan pati bonggol pisang batu, proses pembuatan pati modifikasi metode asetilasi dan pengamatan terhadap karakteristik fisiko kimia pati modifikasi metode asetilasi. 1. Proses pembuatan pati bonggol pisang batu 1) Sortasi Sortasi adalah pemisahan bahan baku dari bahan yang telah rusak atau busuk, serta pemisahan dari benda-benda asing misalnya kayu, kulit, ataupun tali sebelum proses penanganan labih lanjut (Tjahjadi, 2003). 2) Pengupasan kulit bonggol pisang Pengupasan kulit bonggol bertujuan untuk memisahkan kulit dari daging bonggol. 3) Pemotongan Pemotongan bertujuan untuk memperkecil ukuran bonggol, sehingga dapat mempermudah proses pengolahan selanjutnya. 4) Perendaman dalam Larutan Natrium Metabisulfit Perendaman bonggol pisang yang telah dipotong menggunakan larutan kimia yang bertujuan untuk membatasi kemungkinan kontak antara permukaan bahan dengan udara sehingga dapat mencegah pencoklatan. Pada percobaan ini perendaman dilakukan dengan menggunakan larutan natrium metabisulfit. Menurut Irawaty (2007), perendaman sawutan bonggol pisang dalam larutan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 1150 ppm selama 35 menit menghasilkan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 126
ISBN 978-602-98902-1-1
karakteristik tepung bonggol pisang dengan warna yang paling baik yaitu krem cerah dan menurut batasan yang telah ditetapkan FDA (Food and Drug Administration) yaitu sebesar 1000-2000 ppm, jadi pada percobaan pendahuluan dan utama digunakan konsentrasi natrium metabisulfit sebesar 1000 ppm dan direndam selama 30 menit. 5) Penirisan Penirisan bonggol pisang dilakukan untuk memisahkan air sisa perendaman natrium metabisulfit pada saat proses perendaman. 6) Penghancuran Penghancuran bonggol pisang dilakukan menggunakan crush mill dengan cara basah yakni dengan penambahan air. Penghancuran bonggol menggunakan crush mill dilakukan secara kontinyu dimana jumlah bahan masuk sama dengan jumlah bahan yang keluar. Karena itu, penambahan air dilakukan secara kontinyu pula. Penambahan air bertujuan untuk memudahkan penghancuran bonggol. Bonggol pisang yang telah dihancurkan ini disebut dengan bubur bonggol pisang. Bubur bonggol pisang kemudian disaring unuk memisahkan ampasnya, sedangkan filtrat atau cairan yang lolos ditampung dalam wadah. Air yang ditambahkan dalam proses penghancuran yaitu air hangat. 7) Pengendapan dan Pencucian pati Suspensi pati yang diperoleh dari proses penyaringan diendapkan selama 5 jam (pengendapan 1). Setelah 5 jam diendapkan, suspensi akan memisah menjadi dua fase yakni cairan pada bagian atas dan padatan pada bagian bawah. Bagian airnya dibuang, sedangkan endapannya (pati basah) diambil dan dimasukkan ke dalam wadah bersih untuk dicuci dengan cara diaduk-aduk. Suspensi pati dari pencucian kemudian diendapkan lagi selama 1 jam (pengendapan II) dan pati basah yang diperoleh dari pengendapan II kemudian dikeringkan. 8) Pengeringan Pengeringan bertujuan untuk mengurangi sebagian kadar air bahan. Pati yang telah diekstrak kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 600C + 2 0C selama 12 jam. Pati basah dikeringkan diatas loyang bersih. 9) Penggilingin Penggilingan bertujuan untuk mengecilkan ukuran pati yang masih menggumpal setelah dikeringkan hingga berbentuk partikel–partikel halus. Penggilingan dilakukan dengan menggunakan grinder. 10) Pengayakan Pengayakan bertujuan untuk memisahkan benda atau bahan lain yang tidak diinginkan seperti kotoran, debu atau bahan lain yang mungkin ikut sehingga akan dihasilkan pati bonggol pisang bertekstur halus dengan ukuran seragam. Pengayakan dapat dilakukan menggunakan ayakan tyler berukuran 80 mesh. Pati yang tidak lolos ayakan akan digiling untuk diayak kembali.
2. Proses pembuatan pati modifikasi metode asetilasi 1) Pembuatan larutan pati Pati dilarutkan dengan air dengan perbandingan pati dan air sebesar 1 : 3 lalu diukur nilai pHnya. 2) Pengondisian pH awal larutan pati Larutan pati dikondisikan pada pH 8, 9, dan 10 menggunakan NaOH 0,5N yang diberikan setetes demi setetes hingga mencapai pH yang diinginkan. 3) Penambahan Asam Asetat Glasial Penambahan Asam Asetat Glasial sebanyak 6 % dilakukan setetes demi setetes sambil dilakukan pengadukan selama 60 menit untuk menyempurnakan reaksi asetilasi. pH larutan juga dipertahankan pHnya dengan penambahan NaOH 0,5N. 4) Pengkondisian pH larutan pati pada pH 5,5 Larutan pati dikondisikan pada pH 5,5 menggunakan HCl 0,2 N yang diberikan setetes demi setetes hingga mencapai pH tersebut. 5) Pencucian larutan pati Pencucian larutan pati dimaksudkan untuk memisahkan pati hasil modifikasi asetilasi dengan sodium asetat dan produk deasetilasi. Larutan pati dicuci dengan cara menambahkan akuades pada larutan pati sebanyak 2 kali volume kemudian diaduk. Pencucian dilakukan sebanyak dua kali. 6) Sentrifugasi Sentrifugasi dimaksudkan untuk memisahkan padatan (pati) dengan cairan dan kotoran. Sentrifugasi dilakukan dengan cara memasukkan cairan ke tabungtabung sentrifugasi dan tabung-tabung tersebut dimasukkan ke dalam alat sentrifugasi. Pati dan air yang disentrifugasi akan terpisah karena perbedaan berat jenis dimana padatan akan mengendap dan cairan berada diatasnya.
7) Pengeringan Pati modifikasi yang telah disentrifugasi kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 500C selama 20 jam. 8) Penyimpanan Pati dikemas dalam plastik kedap udara dengan ditambahkan silica gel dalam wadah penyimpanan. Diagram proses pembuatan modifikasi pati asetilasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 127
ISBN 978-602-98902-1-1
Larutan pati 1:3 (b/v)
NaOH (0,5N)
Asam asetat Glasial 6%
HCl 0,2 N
Akuades
Pengondisian pH 8, 9, 10
Pengadukan T= 25-30 °C, t = 60 menit
Pengondisian pH 5,5
Pencucian pati
Air bekas cucian
Sentrifugasi
Pengeringan T= 500 C, t = 20 jam
Pati modifikasi asetilasi
Gambar 1. Diagram Proses Modifikasi Pati Asetilasi (Modifikasi Xie, Liu, dan Cui, 2006) Pada tahap ketiga, dilakukan pengamatan sifat fisik (bentuk dan ukuran pati, derajat putih, dan kehalusan pati), sifat kimia (kadar air, kadar amilosa, dan kadar abu), persen asetilasi, nilai DS (Derajat Substitusi), sifat fisikokimia (suhu gelatinisasi, viskositas puncak, dan viskositas balik). HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Pati 5.1.1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati
Pati Alami
pH awal 8
pH awal 9 pH awal 10 Gambar 2. Granula Pati Bonggol Pisang (Perbesaran 1000 kali)
Pengamatan mikroskopik dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscop) dengan perbesaran 1000 kali menunjukkan bahwa granula pati modifikasi asetilasi dengan pH 8, pH 9, dan pH 10 mengalami perubahan pada lapisan luar granula pati dibandingkan pati bonggol pisang alami. Perubahan pada lapisan luar granula pati dapat dilihat pada Gambar 2. Modifikasi asetilasi menyebabkan terjadinya perubahan pada lapisan luar granula pati dimana lapisan luar granula pati menjadi kasar dan rusak (lingkaran merah). Menurut Gonzales dan Perez (2002), perubahan pada lapisan luar granula pati modifikasi asetilasi terjadi karena adanya penambahan NaOH sebagai katalis pada proses asetilasi. Katalis basa seperti NaOH yang digunakan pada asetilasi dalam media berair berfungsi untuk mengendalikan pH agar selalu berada pada pH optimal (Billmers dan Tessler, 1994 dikutip Sapri, 2005). Semakin banyak jumlah NaOH yang ditambahkan maka kerusakan pada lapisan luar granula semakin besar. Hasil pengamatan mikroskop elektron dengan perbesaran 1000 kali (Gambar 2) menunjukkan kerusakan yang terjadi pada granula pati ditandai dengan munculnya bintik-bintik putih dan retakan pada lapisan luar granula (lingkaran merah). Bintik-bintik putih dan retakan pada lapisan luar granula pati semakin banyak seiring naiknya pH awal pati asetilasi. Menurut Singh, Kaur dan Singh (2004), lapisan luar granula pati yang kasar disebabkan oleh terjadinya gelatinisasi pada permukaan granula pati akibat penambahan NaOH 0.5N. Penambahan NaOH ke dalam air akan menghasilkan reaksi eksoterm sehingga suhu larutan naik menyebabkan terjadinya gelatinisasi pada permukaan granula pati. Tabel 1. Ukuran Granula Pati Bonggol Pisang Alami dan Modifikasi Asetilasi No. Jenis Pati Bonggol Pisang Ukuran Granula (μm) 1. Pati alami 24 – 100 2. Pati modifikasi A (pH awal 8) 29 – 108 3. Pati modifikasi B (pH awal 9) 25 – 99 4. Pati modifikasi C (pH awal 10) 26 – 113 Menurut Suprianti (2009), granula pati alami bonggol pisang memiliki bentuk menyerupai granula pati kentang yaitu berbentuk seperti kerang atau agak oval. Berdasarkan Tabel 1 ukuran pati alami bonggol pisang batu berkisar antara 24 – 100 μm, sedangkan ukuran pati modifikasi asetilasi bonggol pisang batu berkisar antara 25 – 113 μm. Bentuk dan ukuran pati dipengaruhi oleh kadar amilosanya. Misalnya, pati jagung berbentuk menyudut dengan kandungan amilosa 25%, kemudian menjadi semakin bulat apabila kandungan amilosanya mencapai 70% (Haryadi, 2006). Berdasarkan hal tersebut kadar amilosa pati alami bonggol pisang batudan modifikasi asetilasi tidak berbeda jauh sehingga ukuran dan bentuk granula pati tidak mengalami banyak perubahan. Fraksi amilosa menyebabkan ukuran granula cenderung besar, sedangkan fraksi amilopektin menyebabkan ukuran granula lebih kecil (BeMiller dan Whistler, 1996). Pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu termasuk pada pati dengan kadar amilosa tinggi yaitu berkisar antara 45,29 - 46,82 %. Selain kadar amilosa sumber pati juga mempengaruhi ukuran
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 128
ISBN 978-602-98902-1-1
pati. Pati jagung memiliki ukuran 4 – 26 µm, pati kentang berukuran 15 – 100 µm, dan pati singkong 5 – 36 µm (Liu, 2006). Menurut Brautlecht (1953), ukuran granula pati dengan kisaran 5-7 μm merupakan ukuran granula yang kecil, 8-40 μm merupakan ukuran granula sedang dan 110 μm merupakan ukuran granula besar. Berdasarkan hal ini pati bonggol pisang termasuk pada granula berukuran besar. 5.1.2. Derajat Putih Tabel 2. Derajat Putih Pati Bonggol Pisang Alami dan Modifikasi Asetilasi No. Jenis Pati Bonggol Pisang Rata-rata derajat putih (%) 1. Pati alami 60,95 2. Pati modifikasi A (pH awal 8) 63,15 3. Pati modifikasi B (pH awal 9) 62,40 4. Pati modifikasi C (pH awal 10) 61,10 Hasil percobaan menunjukkan nilai derajat putih pati modifikasi asetilasi berkisar antara 61,10 % - 63,15 %, nilai ini hampir sama dengan nilai derajat putih pati alami yaitu 60, 95 % (Tabel 2). Nilai derajat putih pati modifikasi asetilasi yang hampir sama dengan pati alami menyebabkan warna pati tidak berbeda apabila dilihat secara langsung. Warna pati alami bonggol pisang dan pati modifikasi asetilasinya berwarna putih kusam. Nilai derajat putih pati bonggol pisang baik yang alami maupun modifikasi masih dibawah nilai derajat putih pati singkong. Nilai derajat putih antara pati alami bonggol pisang batu dan pati modifikasi asetilasinya yang hampir sama menunjukkan bahwa modifikasi asetilasi tidak mempengaruhi nilai derajat putih. Namun, nilai derajat putih pada pati modifikasi asetilasi berbeda–beda. Perbedaan nilai derajat putih pada setiap perlakuan modifikasi asetilasi dipengaruhi oleh jumlah NaOH yang ditambahkan dan proses pencucian yang dilakukan pada akhir proses modifikasi. Nilai derajat putih pati modifikasi asetilasi bonggol pisang semakin menurun seiring naiknya pH awal. Hal ini disebabkan oleh jumlah NaOH yang ditambahkan pada suspensi pati. Menurut Xie, Liu, dan Cui dalam Liu (2006), selama proses asetilasi terdapat dua reaksi sampingan yaitu proses deasetilasi dan proses pembentukan sodium asetat sebagai produk sampingan. Sodium asetat ini berwarna coklat sehingga dapat mempengaruhi warna suspensi pati modifikasi. Semakin tinggi pH awal maka semakin banyak jumlah NaOH yang ditambahkan sehingga jumlah sodium asetat yang terbentuk semakin banyak. Sodium asetat ini dapat dipisahkan dari suspensi pati dengan cara pencucian dan sentrifugasi. Waktu sentrifugasi dan jumlah ulangan proses pencucian pada masing – masing perlakuan pati modifikasi sama yaitu setiap suspensi pati dicuci menggunakan akuades dan disentrifugasi selama 5 menit. Proses ini diulang sebanyak 2 kali untuk setiap perlakuan. Persamaan proses pencucian ini menyebabkan jumlah sodium asetat yang dapat dipisahkan pun sama sedangkan jumlah sodium asetat yang dihasilkan setiap perlakuan berbeda dimana semakin tinggi pH maka semakin tinggi pula jumlah sodium asetat yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan masih adanya sodium asetat yang masih
tertinggal pada suspensi pati, sehingga mempengaruhi nilai derajat putih pada setiap perlakuan pati modifikasi asetilasi. Menurut SNI tapioka, derajat putih pati yang termasuk mutu I yaitu minimal 94,5%, sedangkan yang termsauk ke dalam mutu II minimal 92,0%, dan yang termasuk ke dalam mutu III yaitu pati yang memiliki derajat putih dibawah 92,0%. Berdasarkan hal tesebut, pati bonggol pisang modifikasi asetilasi termasuk ke dalam mutu III. 5.1.3. Kehalusan Pati Tabel 3. Ukuran Partikel Pati Bonggol Pisang Alami dan Modifikasi Asetilasi No. Jenis Pati Bonggol 80 mesh 100 mesh Pisang 1. Pati alami Lolos Lolos 99,73% 100 % 2. Pati modifikasi A Lolos Lolos 100 % 100 % 3. Pati modifikasi Lolos Lolos 100 % 100 % 4. Pati modifikasi C Lolos Lolos 100 % 100 % Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 3 terlihat bahwa pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu memiliki nilai rata–rata kehalusan pati yang hampir sama dengan pati alami bonggol pisang batu dan hal ini berlaku untuk pati asetilasi dengan pH awal 8, 9, dan 10. Pati alami bonggol pisang batu dan pati modifikasi asetilasinya memiliki derajat kehalusan > 99% pada ayakan 100 mesh. Berdasarkan hasil pengamatan pati alami bonggol pisang batu dan pati modifikasi asetilasinya memiliki tekstur yang halus. Pengukuran terhadap derajat kehalusan dapat pula dilakukan dengan cara difisir. Menurut Soekarto (1985) difisir merupakan teknik penilaian produk atau komoditi dengan menggunakan ujung jari. Ujung jari memiliki kepekaan istimewa sehingga dapat mendeteksi tekanan sebesar 3 g/mm2. Namun, pada penelitian utama dilakukan pengukuran terhadap derajat kehalusan dengan menggunakan ayakan Tyler. Kehalusan pati bonggol pisang batu ini diukur menggunakan ayakan Tyler dengan ukuran 80 dan 100 mesh. Hasil pengayakan menunjukkan baik pati alami maupun pati modifikasi asetilasinya lolos pada ayakan 80 mesh (100 %) dan 100 mesh (> 99 %). Pati yang memiliki derajat kehalusan yang tinggi akan lebih cepat larut karena luas permukaannya yang semakin besar sehingga memperluas aplikasinya dalam produk pangan. Selain itu, derajat kehalusan pati juga menentukan tingkat mutu dari pati tersebut. Pati bonggol pisang modifikasi asetilasi yang halus memiliki nilai terima yang lebih tinggi dibandingkan pati yang kasar. Hal ini disebabkan oleh konsumen yang pada umumnya lebih menyukai pati dengan tekstur yang lebih halus dan ukuran yang seragam.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 129
ISBN 978-602-98902-1-1
5.2. Sifat Kimia Pati 5.2.1. Kadar Air
10 9.8 9.6 9.4 9.2 9
9.83 9.575
9.75
9.58
5.2.2. Kadar Amilosa Pati A
Pati B
Pati C
Kadar Amilosa (%)
Pati D
Gambar 3. Diagram Batang Kadar Air Pati Bonggol Pisang Keterangan : • Pati A : pati alami bonggol pisang batu • Pati B : pati modifikasi asetilasi pH 8 • Pati C : pati modifikasi asetilasi pH 9 • Pati D : pati modifikasi asetilasi pH 10 Nilai rata–rata kadar air bonggol pisang pada tiap perlakuan modifikasi asetilasi berkisar antara 9,58 – 9,83 % dan kadar air pati alami bonggol pisang batu yaitu 9,58 %. Nilai kadar air pati modifikasi asetilasi dengan pH 8, 9 dan 10 hampir sama dengan pati alaminya. Nilai rata-rata kadar air bonggol pisang disajikan pada Gambar 3. Pengeringan pati alami bonggol pisang batu dan pati modifikasi asetilasinya dilakukan secara bersamaan menggunakan oven dengan suhu 50˚C selama 20 jam. Suhu dan waktu pengeringan yang sama menyebabkan air yang menguap selama proses pengeringan sama. Pengeringan terjadi mula-mula pada air permukaan, setelah air di permukaan berkurang maka terjadi pengaliran air antar sel ke permukaan, karena proses keseimbangan kadar air dalam bahan sendiri. Proses ini berjalan sampai keadaan kadar air antarsel dan kadar air permukaan seimbang. Proses ini terjadi berulang kali sehingga terjadi pemindahan air dari dalam bahan ke udara. Kadar air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Air dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat. Air bebas terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan intergranular dan pori-pori yang terdapat pada bahan. Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan, misalnya proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahan oleh aktivitas serangga perusak (Sudarmadji, dkk., 1989). Kadar air yang cukup rendah pada produk pati modifikasi membuat daya tahan simpan produk menjadi lebih panjang, hal ini dikarenakan mikroba pembusuk sulit untuk tumbuh dan berkembang biak. Mikroba pembusuk yang umumnya mengontaminasi produk kering adalah kapang. Kapang dapat hidup pada produk yang memiliki aw yang sangat rendah yaitu 0,8 - 0,87 atau produk berkadar air 15% – 17 % (Buckle, et al., 1987). Kerusakan yang dapat terjadi pada produk pati diantaranya bau apek dan timbul bintik-bintik (spot-spot) kapang berwarna hitam. Pada produk berkadar air rendah, faktor penyimpanan harus diperhatikan dengan baik karena produk tersebut bersifat sangat higroskopis (mudah menyerap air).
Kadar Amilosa (%)
kadar air (%)
Kadar Air (%)
Menurut SNI tapioka, kadar air maksimal yang diijinkan untuk produk pati (tapioka) adalah sebesar 15% (Badan Standar Nasional, 1994), sedangkan kadar air maksimal yang diijinkan untuk pati modifikasi yaitu sebesar 13% (Sriroth et al., 2002). Berdasarkan hal tersebut, kadar air dari pati bonggol pisang modifikasi asetilasi dengan pH 8, 9, dan 10 telah memenuhi standar tersebut.
47 46.5 46 45.5 45 44.5 44
46.82 45.63
Pati A
45.29
45.31
Pati B
Pati C
Pati D
Gambar 4. Diagram Batang Kadar Amilosa Pati Bonggol Pisang Berdasarkan analisis kadar amilosa yang dilakukan terhadap pati bonggol pisang batu baik yang alami maupun modifikasi asetilasi menunjukkan bahwa pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu dengan pH awal 8, dan 9 memiliki kandungan amilosa yang hampir sama dengan pati alaminya, sedangkan pada pati modifikasi asetilasi denagn pH 10 terjadi kenaikan kadar amilosa. Hasil analisis kadar amilosa pada pati alami bonggol pisang batudan modifikasi asetilasi dapat dilihat pada Gambar 4. Pada pH 10 kadar amilosa lebih tinggi dibandingkan dengan pati alaminya. Hal ini terjadi karena pati modifikasi asetilasi mengalami hidrolisis asam. Asam asetat glasial yang ditambahkan pada proses asetilasi menghidrolisis molekul – molekul amilosa dan amilopektin menjadi rantai yang lebih pendek. Daerah amorf yang mengandung cabang pada ikatan glikosida α-D-(1,6) pada amilopektin lebih mudah mengalami hidrolisis oleh asam dibandingkan pada ikatan α-D-1,4 glikosida sehingga pada tahap awal hidrolisis jumlah amilosa atau fraksi linier dari pati tersebut lebih tinggi dibandingkan pada pati tanpa modifikasi (Wurzburg, 1989). Adanya pemutusan rantai cabang pada amilopektin menyebabkan kadar amilosa pati modifikasi asetilasi dengan pH 10 lebih tinggi dari pati alaminya. Amilosa merupakan molekul berantai lurus yang merupakan faktor utama dalam retrogradasi dan ketidakstabilan dalam pemasakan (Jarowenko, 1989). Retrogradasi merupakan proses pembentukan kelompokan intermolekuler molekul – molekul pati yang berakibat pada pembentukan gel (Haryadi, 2006). Pada umumnya kecenderungan kebanyakan sol pati kental membentuk gel pada pendinginan dan kelihatan buram, hal ini disebabkan oleh molekul – molekul amilosa yang berantai lurus dapat mengelompok melalui ikatan – ikatan hidrogen intermolekuler (Wurzburg, 1986). Berdasarkan hal ini, maka retrogradasi pati sangat bergantung pada kadar amilosa pati. Semakin tinggi kadar amilosa pati maka kecenderungan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 130
ISBN 978-602-98902-1-1
5.2.3. Kadar Abu
Kadar Abu
Kadar Abu 0.8 0.6 0.4 0.2 0
0.37
Pati A
0.41
Pati B
0.49
0.61
mengakibatkan garam dan produk sampingan (sodium asetat) yang terbentuk tidak terbuang semua sehingga meningkatkan kadar abu pati. Menurut BSN (1996), kadar abu maksimal yang diijinkan untuk pati tapioka sebesar 0,6 %. Berdasarkan hal ini, maka pati bonggol pisang modifikasi asetilasi dengan pH awal 10 tidak sesuai dengan standar BSN. 5.3. Persen Asetilasi
% Asetilasi
% Asetilasi
gel pati mengalami retrogradasi semakin tinggi. Retrogradasi dapat menyebabkan sineresis apabila gel pati dibiarkan lama dan pengaruhnya semakin besar jika bahan pangan disimpan pada suhu dingin. Proses modifikasi asetilasi pada pati dapat merubah sifat amilosa dan menurunkan kadar amilosa sehingga pati lebih sulit mengalami retrogradasi. Menurut Van Beynum dan Roels (1985), penyisipan gugus asetil pada pati menyebabkan kelarutannya meningkat dengan melemahkan energi ikatan hidrogen dan akan menurunkan retrogradasi. Selain itu, menurut Fleche (1985), reaksi asetilasi akan mengurangi jumlah gugus hidroksil sehingga menghambat retrogradasi dan meningkatkan stabilitas pati terutama pada suhu rendah.
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Pati D
Gambar 5. Diagram Batang Kadar Amilosa Pati Bonggol Pisang Berdasarkan Gambar 5, nilai rata – rata kadar abu bonggol pisang batu modifikasi asetilasi berbeda dengan kadar abu pada pati alami bonggol pisang. Kadar abu pati modifikasi asetilasi lebih tinggi dibandingkan kadar abu pati alami bonggol pisang. Kadar abu pati modifikasi asetilasi naik seiring naiknya pH awal asetilasi. Nilai rata – rata kadar abu pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu berkisar antara 0,41 – 0,61 %, sedangkan nilai rata – rata kadar abu pati alami bonggol pisang batu adalah 0,37 %. Modifikasi asetilasi pada pati bonggol pisang batu mengakibatkan nilai kadar abu pati meningkat. Meningkatnya kadar abu pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu ini dikarenakan adanya penambahan NaOH yang bertujuan untuk menaikkan pH pati. Peningkatan kadar abu pati modifikasi asetilasi berbanding lurus dengan penambahan NaOH. Semakin tinggi pH awal suspensi pati maka NaOH yang ditambahkan pun semakin banyak. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu memiliki hubungan yang sangat erat dengan kadar mineral yang terkandung pada suatu produk (Sudarmadji, 2007). Penambahan NaOH menyebabkan kadar mineral Na (Natrium) pada pati modifiksi asetilasi meningkat. Berdasarkan hal itu, semakin banyak NaOH yang ditambahkan maka kadar abu pati bongol pisang batu modifikasi asetilasi semakin tinggi. Proses pencucian pada proses akhir asetilasi juga berpengaruh pada kadar abu pati modifikasi asetilasi. Menurut Jarowenko (1989), proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan garam dan produk sampingan yang terbentuk selama proses asetilasi. Pencucian yang kurang maksimal
1.33
Pati C
Pati D
0.89
0.00 Pati A
Pati C
1.28
Pati B
Gambar 6. Diagram Batang Persen Asetilasi Pati Bonggol Piasng Batu Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peningkatan pH meningkatkan laju reaksi asetilasi sehingga nilai asetilasi pun meningkat. Pada pati modifikasi asetilasi dengan pH 8 persen asetilasi mencapai 0,89 %, pada pH 9 persen asetilasi sebesar 1,28 %, dan pada pH 10 persen asetilasi sebesar 1,33 %. Menurut Rahmanto (2005), besarnya peningkatan laju reaksi asetilasi tidak dapat ditentukan dengan pasti, disebabkan oleh banyaknya faktor yang berpengaruh pada proses asetilasi seperti jenis dan kualitas bahan dasar dan bahan pereaksi, metode dan alat yang digunakan. Persen asetilasi pada pati bonggol pisang alami dan modifikasi asetilasi disajikan pada Gambar 6. Persen asetilasi merupakan persentase banyaknya gugus asetil (yang bersumber dari senyawa asam asetat) yang dapat mensubstitusi gugus –OH pada molekul pati atau dengan kata lain yaitu banyaknya residu gugus asetil yang terkandung dalam molekul pati modifikasi (Wilkins, 2003). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses reaksi asetilasi pati seperti suhu, lama reaksi, konsentrasi pereaksi, pH dan konsentrasi katalis yang digunakan. Semua faktor tersebut akan mempengaruhi besarnya laju reaksi asetilasi sehingga akan mempengaruhi besarnya persen asetilasi yang dihasilkan. Kenaikan persen asetilasi juga dipengaruhi oleh jumlah NaOH yang ditambahkan. Semakin tinggi pH suspensi maka NaOH yang ditambahkan semakin banyak. NaOH dapat merusak lapisan luar granula sehingga asam asetat glasial dapat masuk dan bereaksi dengan molekul pada bagian dalam granula. Semakin banyak jumlah NaOH yang ditambahkan maka lapisan luar granula semakin banyak yang rusak dan kesempatan asam asetat glasial untuk bereaksi semakin besar. Menurut Jarowenko (1989), reaksi dimungkinkan terjadi pada daerah amorf dari molekul pati karena lebih mudah bereaksi dengan reagen dan katalis. Menurut Chen et al. (2004), karena
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 131
ISBN 978-602-98902-1-1
lebih mudah terjangkau oleh reagen, asetilasi terjadi pada seluruh daerah amorf dan hanya berlangsung pada lamela bagian luar dari daerah kristalin pada daerah pati. Penyusun utama pada bagian amorf pati adalah amilosa, namun masih terdapat sedikit amilopektin. Sekitar 70% bagian pati merupakan bagian amorf dan sisanya adalah daerah kristalin. Reaktivitas amilosa lebih tinggi daripada amilopektin oleh karena amilosa terdapat pada daerah amorf sedangkan amilopektin adalah penyusun daerah kristalin (Chen et al, 2004). Semaki tinggi kadar amilosa pati maka jumlah gugus asetil yang dapat mensubstitusi lebih besar. Menurut FDA dalam Wurzburg (1989), terdapat 2 tipe pati modifikasi yaitu pati modifikasi untuk produk pangan (food starch-modified) dan pati modifikasi untuk industri (Industrial starch- modified). Pati modifikasi untuk produk pangan dapat digunakan dalam makanan sesuai dengan batas pemakaian yang telah ditetapkan, sedangkan pati modifikasi untuk industri digunakan sebagai salah satu bahan penyusun dalam alat yang digunakan dalam proses produksi. Kandungan gugus asetil dalam pati yang diizinkan untuk aplikasi pangan yaitu sebesar 2,5 % (FDA dalam Wurzburg, 1989). Hal ini berhubungan dengan daya cerna pati asetat karena yang dapat dicerna tubuh hanyalah pati yang memiliki gugus –OH sedangkan gugus – COCH3 (asetil) tidak dapat dicerna dengan baik oleh tubuh (BeMiller, 2003). Berdasarkan hal ini, pati bonggol pisang modifikasi asetilasi dengan pH 8, 9, dan 10 memiliki persen asetilasi yang sesuai standar karena persen asetilasi semua perlakuan berada dibawah 2,5 %.
digantikan oleh gugus substituen (-COCH3) (Xie, Liu, dan Cui dalam Cui, 2006). Nilai DS mencerminkan jumlah mol substituen per AGU (unit anhidroglukosa). Setiap AGU pada pati memiliki 3 gugus hidroksil yang dapat disubstitusi, sehingga DS maksimum yang dapat dicapai adalah 3 (Rutenberg dan Solarek, 1984). Nilai DS pati asetat dapat dihitung dari nilai kadar asetil yang telah didapatkan sebelumnya. Berdasarkan penelitian ini nilai DS pati modifikasi asetilasi pada pH 8 adalah 0,03, maka hal itu menunjukkan bahwa terdapat 3 gugus –COCH3 pada setiap 100 unit α-D glukopiranosa, sedangkan nilai DS pada pati modifikasi asetilasi dengan pH 9 dan 10 adalah sebesar 0,05, maka hal itu menunjukkan bahwa terdapat 5 gugus –COCH3 pada setiap 100 unit α-D glukopiranosa. Pati asetilasi dengan nilai DS rendah memiliki kelebihan dibandingkan pati alaminya. Pati asetilasi memiliki stabilitas viskositas dan kejernihan pasta pati yang lebih baik, daya tahan yang tinggi terhadap sineresis, dan juga meningkatnya stabilitas pada suhu yang sangat rendah (Angboola et al. 1991). Rutenberg dan solarek (1984), menyatakan bahwa pati asetat lebih mudah terdispersi pada waktu pemasakan dibandingkan pati alaminya. Perubahan sifat pada pati asetilasi menyebabkan aplikasinya menjadi lebih luas.
5.5. Sifat Fisikokimia Pati 5.5.1. Suhu Gelatinisasi
Suhu Gelatinisasi
5.4. Derajat Substitusi 76
0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0
0.05
0.05
0.03
75.3
75 74
73.25
73
72.5
72.55
Pati C
Pati D
72 71
0.00 Pati A
Suhu ( C)
Derajat Substitusi
Derajat Substitusi
Pati A Pati B
Pati C
Pati D
Gambar 7. Diagram Batang Derajat Substitusi (DS) Pati Bonggol Pisang Batu Berdasarkan hasil pengamatan nilai DS pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu berkisar antara 0,03 – 0,05. Nilai DS tersebut tergolong pada pati asetat dengan nilai DS rendah. Golongan pati asetat dengan nilai DS rendah merupakan jenis pati modifikasi komersial yang paling banyak digunakan dalam industri pangan. Produk komersial tersebut biasanya merupakan derivat pati (turunan pati) dengan nilai DS rendah yaitu 0,01 – 0,2 (Jarowenko, 1989). Rata - rata nilai DS setiap perlakuan pati alami bonggol pisang batu dan modifikasi asetilasi dapat dilihat pada Gambar 7. Derajat substitusi (DS) merupakan jumlah rata – rata gugus hidroksil pada tiap unit α-D glukopiranosil yang telah
Pati B
Gambar 8. Diagram Garis Suhu Gelatinisasi Pati Bonggol Pisang Alami dan Modifikasi Berdasarkan hasil pengamatan terhadap suhu gelatinisasi pati bonggol pisang modifikasi asetilasi memiliki suhu gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati bonggol pisang batu alami. Rata – rata suhu gelatinisasi pati alami bonggol pisang batu dan pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan rata – rata suhu gelatinisasi pati bonggol pisang alami (A) memiliki suhu gelatinisasi 75,3° C, sedangkan pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu dengan pH 8 memiliki suhu gelatinisasi sebesar 73,25° C dan pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu dengan pH 9 dan 10 memiliki suhu gelatinisasi 72,5° C dan 72,55° C. Menurunnya suhu gelatinisasi pati ini berhubungan dengan nilai derajat substitusi (DS) pati modifikasi asetilasi. Semakin besar nilai DS maka
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 132
ISBN 978-602-98902-1-1
suhu gelatinisasi semakin rendah. Berdasarkan penelitian Saartrat, Puttanlek, Rungsardthong, dan Uttapap (2004) pada pati ganyong dengan nilai DS 0.1 suhu gelatinisasi pati yang pada mulanya 70,6 dan 70,0 °C turun menjadi 65,0 dan 64,8 °C. Penurunan suhu gelatinisasi pada pati bonggol pisang modifikasi asetilasi tidak terlalu besar yaitu hanya berkisar 2 – 3 °C. Hal ini terkait dengan nilai DS pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu yang kecil yaitu berkisar antara 0,03 – 0,05. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati mengalami pengembangan/pembengkakan yang ditandai dengan peningkatan viskositas pati (Liu, 2006). Suhu gelatinisasi pada tiap jenis pati berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin serta jenis modifikasi pati yang dilakukan (bila pati dimodifikasi). Proses modifikasi asetilasi menyebabkan suhu gelatinisasi pati menurun karena adanya substitusi gugus asetil (-COCH3) pada molekul pati. Penurunan suhu gelatinisasi terjadi dikarenakan adanya penyisipan grup asetil pada molekul pati terutama pada bagian yang bersifat amorf (Chen et al., 2004). Kekompakan rantai antara molekul menurun karena adanya gugus asetil yang masuk menghalangi pembentukan ikatan hidroksil. Hal ini menyebabkan menurunnya kekompakan bagian amorf pati. Oleh karena itu pembengkakan pati asetilasi lebih mudah terjadi daripada pati alaminya. Menurut Murphy dalam Glicksman (2000), seiring naiknya nilai DS interaksi antar molekul pati pada granula semakin melemah mengakibatkan penyerapan air dan gelatinisasi terjadi pada suhu yang lebih rendah. Pati asetilasi memiliki kelebihan mudah diolah terutama berguna pada kondisi kandungan air sedikit dan kondisi dengan jumlah air terbatas akibat adanya kompetisi dengan bahan lain karena pati asetilasi lebih mudah menyerap air. 5.3.2.
Viskositas Puncak
Viskositas Puncak 3542.4
Viskositas (cp)
3600 3400 3200
3040
3158.4
3047.2
3000 2800 2600 Pati A
Pati B
Pati C
Pati D
Gambar 9. Diagram Batang Viskositas Puncak Pati Bonggol Pisang Alami dan Modifikasi Berdasarkan hasil pengamatan nilai viskositas puncak pati modifikasi asetilasi lebih besar dibandingkan pati alaminya. Namun viskositas puncak pati modifikasi asetilasi pada pH 9 lebih rendah dibandingkan pH 8. Nilai rata – rata viskositas puncak pati alami bonggol pisang batu dan modifikasi asetilasi dapat dilihat pada Gambar 9.
Viskositas puncak merupakan titik puncak atau maksimum viskositas pasta pada proses pemanasan tanpa memperhatikan suhunya. Pada titik ini gelembung pati mulai pecah dan diikuti dengan penurunan viskositas. Viskositas puncak merupakan indikator kemudahan pasta jika dimasak yaitu semakin tinggi viskositas puncak maka semakin mengembang produk akhir dari pasta tersebut (Bemiller dan Whistler, 1996). Viskositas puncak pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu dengan pH awal 8, 9, dan 10 lebih tinggi dibandingkan pati alami bonggol pisang batu. Menurut Betancur et al. (1997), viskositas pati meningkat dengan adanya penyisipan gugus asetil pada molekul pati. Proses asetilasi menyebabkan kenaikan viskositas dengan melemahkan daya ikat pada daerah amorf granula pati. Kenaikan viskositas pada pati asetilasi tidak mutlak tergantung pada jenis pati itu sendiri. Asetilasi mempengaruhi interaksi antara rantai pati, dengan menggangu inter atau intra- molekul ikatan hidrogen, dengan cara memperlemah struktur granula pati sehingga menyebabkan naiknya daya serap granula pati terhadap air. Berdasarkan penelitian Wilkins (2003), pada pati jagung asetilasi menyebabkan viskositas pati meningkat dibandingkan pati alaminya. Sedangkan penelitian Saartrat (2004) pada pati ganyong menunjukkan bahwa asetilasi menurunkan viskositas puncak pati ganyong. Penurunan viskositas pati ganyong disebabkan adanya gugus fosfat dan kalsium yang mempengaruhi tingkat pengembangan granula pati ganyong. Kenaikan viskositas puncak pada pati bonggol pisang batu asetilasi menunjukkan pati bonggol pisang tidak mengandung gugus mineral yang tinggi. Kenaikan viskositas puncak pada pati bonggol pisang batu asetilasi terjadi pada semua perlakuan. Namun, pada pH 9 kenaikan viskositas tidak terlalu signifikan bila dibandingkan perlakuan lainnya. Rendahnya tingkat kenaikan viskositas pati bonggol pisang batu asetilasi dengan pH 9 dibandingkan pati alaminya dapat disebabkan oleh tingginya daya serap air pada granula pati tersebut. Penyerapan air yang tinggi mengakibatkan granula pati lebih cepat membengkak menjadi ukuran yang lebih besar. Granula pati menggelembung menjadi sangat besar dengan viskositas yang tinggi, tetapi mudah pecah sehingga menurunkan viskositasnya pada pemasakan selanjutnya (Haryadi, 2006). Pengukuran viskositas puncak pati sangat penting karena nilai viskositas puncak dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pecahnya granula pati dan pengembangan volume pati tersebut (Suismono, 2003, dikutip Sumirat, 2010), selain itu viskositas puncak juga menunjukkan tingkat daya ikat air (water binding capacity) oleh pati. Semakin tinggi viskositas puncak maka akan semakin tinggi pula daya ikat air pati tersebut (Xie, Liu, dan Cui dalam Liu, 2006). Berdasarkan sifat amilografnya, diketahui bahwa bahan baku atau tepung dengan viskositas puncak < 500 BU sesuai untuk produk basah, viskositas puncak 500 -1000 BU sesuai untuk produk semi basah, dan viskositas puncak > 1000 BU sesuai untuk produk ekstruksi. Menurut Brautlecht (1953), nilai 500 BU setara dengan 2700 cP. Pati bonggol pisang modifikasi asetilasi dengan pH 8 memiliki viskositas puncak 3158,4 cP yang setara dengan 585 BU, pH 9 sebesar 3047,2 cP yang setara dengan 564,3 BU dan pH 10 sebesar 3542,4 cP yang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 133
ISBN 978-602-98902-1-1
setara dengan 656 BU. Ketiga perlakuan pada pati modifikasi asetilasi ini memiliki BU pada kisaran 500 – 1000 BU sehingga cocok untuk diaplikasikan pada produk semi basah seperti roti, mie, dan bakso. 5.2.3.
Viskositas balik Viskositas balik
Viskositas (Cp)
2500
2157.6
2000 1500
1244
1304.8
Pati A
Pati B
1000
978.4
500 0 Pati C
Pati D
Gambar 10. Diagram Batang Viskositas Balik Pati Bonggol Pisang Alami dan Modifikasi Berdasarkan hasil pengukuran nilai viskositas balik pati modifikasi asetilasi dari bonggol pisang batu dengan pH 10 lebih tinggi dibandingkan pati alaminya, sedangkan pati modifikasi asetilasi dengan pH 9 memiliki viskositas yang lebih rendah dari pati alami bonggol pisang batu dan pH 8 sedikit di atas pati alami. Viskositas balik adalah besarnya viskositas puncak dikurangi dengan viskositas akhir pati (Suismono, dkk, 2003). Besarnya viskositas balik menunjukkan besarnya tingkat retrogradasi pati pada proses pendinginan. Semakin besar viskositas balik maka semakin besar kecenderungan pati tersebut untuk mengalami retrogradasi pada suhu rendah. Hal itu disebabkan karena pada suhu rendah setelah proses pemanasan (50 °C) viskositas pati tersebut tidak dapat kembali meningkat seperti saat pati tersebut dipanaskan, atau dengan kata lain terjadi proses penyusutan volume/pemadatan yang merupakan indikasi terjadinya retrogradasi (Susimono, dkk, dikutip Kulsum, 2003). Hasil pengujian terhadap viskositas balik pati alami bonggol pisang batudan modifikasi pati dapat dilihat pada Gambar 10. Retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi setelah dilakukan pendinginan. Molekul molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain membentuk ikatan hidrogen serta berikatan dengan cabang amilopektin pada bagian luar granula. Dengan demikian ikatan hidrogen menggabungkan butir pati yang membengkak tersebut menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno, 1992). Viskositas balik pati asetilasi dipengaruhi oleh derajat substitusi (DS) dan kadar amilosa pati. Pada pati asetilasi dengan pH 8 viskositas balik pati lebih tinggi dari pati alaminya, namun selisihnya tidak terlalu besar. Hal ini terjadi dikarenakan pati bonggol pisang batu merupakan pati yang tergolong memiliki amilosa tinggi sedangkan nilai DS pati asetilasi pH 8 cukup rendah yaitu 0,03 sehingga energi dari ikatan hidrogen
pada pati masih tinggi yang menyebabkan pati mengalami retrogradasi. Pati modifikasi asetilasi dengan pH 9 memiliki nilai viskositas balik yang lebih rendah dari pati alaminya. Hal ini terjadi karena pati asetilasi pH 9 memiliki kadar amilosa yang lebih rendah dari pati alaminya dan memiliki nilai DS yang lebih tinggi dari pati asetilasi pH 8 yaitu 0,05. Nilai DS yang tinggi menunjukkan substitusi gugus hidroksil oleh gugus asetil yang lebih tinggi pula. Penyisipan gugus asetil pada molekul pati dapat melemahkan ikatan hidrogen pada rantai molekul sehingga tingkat retrogradasi turun. Menurut Saartrat, dkk (2004), semakin banyak gugus asetil pada rantai amilosa maka akan menghasilkan viskositas balik yang lebih rendah. Pada saat pasta pati didinginkan terjadi pengikatan kembali molekul amilosa dikarenakan adanya gaya tarik yang tinggi antar gugus hidroksil dan dengan adanya gugus asetil pada pati menyebabkan gaya tarik molekul melemah. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya tingkat retrogradasi pada pati modifikasi asetilasi pada pH 9. Hal ini sesuai dengan tujuan modifikasi asetilasi sendiri yaitu menurunkan tingkat retrogradasi pada pasta pati. Pati modifikasi asetilasi dengan pH 10 memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi dari pati alaminya dan nilai DS yang sama dengan pati modifikasi asetilasi dengan pH 9. Viskositas balik pati asetilasi pH 10 lebih tinggi dari pati alaminya. kadar amilosa yang tinggi menunjukkan jumlah ikatan hidrogen yang tinggi. Hal ini menyebabkan jumlah gugus asetil pada pati modifikasi tidak mampu mengurangi energi dari gaya tarik gugus hidroksil untuk kembali berikatan. Sehingga retrogradasi pada pasta pati masih dapat terjadi. Proses retrogradasi merupakan proses pembentukan kembali ikatan hidrogen molekul amilosa yang menyebabkan molekul air dalam granula pati keluar. Keluarnya molekul air dari dalam granula pati dinamakan sineresis. Semakin sedikit molekul amilosa yang berikatan kembali saat proses pendinginan, tingkat retrogradasi yang terjadi akan semakin kecil dan nilai viskositas balik juga akan semakin kecil. Retrogradasi merupakan masalah utama dalam penggunaan pati dalam bahan pangan, karena menyebabkan viskositas bahan pangan menjadi tidak stabil selama penyimpanan dan menyebabkan pembentukan lapisan tipis pada permukaan bahan pangan olahan basah (saus, soup, dan lain-lain) yang akan menebal serta tidak dapat dilarutkan lagi dengan pemanasan dan pengadukan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pati bonggol pisang batu asetilasi dengan pH awal 8 tidak mengalami perubahan pada bentuk dan ukuran granula pati namun lapisan luar granula pati menjadi tidak kompak karena adanya penambahan NaOH. Pati bonggol pisang batu modifikasi asetilasi dengan pH awal 8 memiliki karakteristik derajat putih 63,15%, kehalusan pati yaitu lolos pada ayakan 80 dan 100 mesh 100%, kadar air 9,83%, kadar abu 0,41%, kadar amilosa 45,29%, persen asetilasi 0,89%, derajat substitusi 0,03, suhu gelatinisasi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 134
ISBN 978-602-98902-1-1
2.
3.
4.
73,5ºC, viskositas puncak 3158,4 cP dan viskositas balik 1411.2 cP. Pati bonggol pisang batu modifikasi asetilasi dengan pH awal 9 tidak mengalami perubahan pada bentuk dan ukuran granula pati namun lapisan luar granula pati menjadi tidak kompak karena adanya penambahan NaOH. Pati bonggol pisang batu modifikasi asetilasi dengan pH awal 9 memiliki karakteristik derajat putih 62,40%, kehalusan pati yaitu lolos pada ayakan 80 dan 100 mesh 100%, kadar air 9,75%, kadar abu 0,49%, kadar amilosa 45,31%, persen asetilasi 1,28%, derajat substitusi 0,05, suhu gelatinisasi 72,5ºC, viskositas puncak 3047,2 cP dan viskositas balik 1202,5 cP. Pati bonggol pisang batu modifikasi asetilasi dengan pH awal 10 tidak mengalami perubahan pada bentuk dan ukuran granula pati namun lapisan luar granula pati menjadi tidak kompak karena adanya penambahan NaOH. Pati bonggol pisang batu modifikasi asetilasi dengan pH awal 10 memiliki karakteristik derajat putih 61,1%, kehalusan pati yaitu lolos pada ayakan 80 dan 100 mesh 100%, kadar air 9,58%, kadar abu 0,61%, kadar amilosa 46,82%, persen asetilasi 1,33%, derajat substitusi 0,05, suhu gelatinisasi 72,5ºC, viskositas puncak 3542,4 cP dan viskositas balik 2157,6 cP. Karakteristik pati bonggol pisang modifikasi asetilasi dengan pH awal 8 dan 9 dapat diaplikasikan pada produk pangan yang bersifat semi basah seperti mie, bakso, dan roti. Pati bonggol pisang batu modifikasi asetilasi dengan pH awal 10 tidak sesuai untuk produk pangan karena memiliki kadar abu yang melebihi ambang batas.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi pati bonggol pisang batu modifikasi asetilasi dengan reagen asam asetat glasial pada pembuatan olahan pangan, terutama produk semi basah. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods Of The Association Of Official Analytical Chemist. Washington DC Anonim1. 2008. About Stach Modification. www.penford.com.au. Diakses pada: 11 Maret 2010 Artiani, P. A. dan Avrelina, Y. R. 2006. Modifikai Cassava Starch dengan Proses Acetylasi Asam Asetat Untuk Produk Pangan. Jurnal. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang. Badan Standarisasi Nasional. 1994. SNI 01-541-1994. Syarat Teknis Mutu Tepung Tapioka. Belitz, H.D, W. Grosch dan P. Schieberle. 1987. Food Chemistry. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. New York.
Belitz, H.D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. 2nd ed. Penerjemah : Bunghagen MM, Hadziyev, D., Hessel, P., Jordan S., Spinz, C. Springer verlag, Berlin. BeMiller, J.N. dan R. L. Whistler. 1996. Carbohydrates. Dalam Fennema, O.R. Food Chemistry. 3rd ed. Marcel Dekker, Inc, New York. Betancur, A.D., G.I. Chel dan H.E. Canixares. 1997. Acetylation and Charahcteristics of Canavalia ensifromis starch. J. Agric. Food Chem. 45: 378-385. Brautlecht, C. A. 1953. Starch. Its Sources, Production and Uses. Reinhold Publishing Corporation, New York. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Carey, F.A. 2003. Organic Chemistry. McGraw-Hill Companies. New York Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Komoditi Buah-buahan Indonesia, Jakarta. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Fennema, O.R. 1976. Principle O f Food Science. Food Chemistry Part I. Department Of Foods Science, University Of Wiconsia Madison. Mercel Dekker Inc., New York. Fleche, G. 1985. Chemical Modification and Degradation of Starch. Dalam Van Beynum, G. M. A dan J. A. Roels. Starch Conversion Technology. Marcel Dekker, Inc. New York. Haryadi. 2006. Kimia dan Teknologi Pati. Hand Out Kuliah Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ginanjar, R. M. 2009. Pengaruh imbangan Tepung Bonggol Pisang Batu (Musa brachycarph) dan Tepung Jagung Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia, dan Inderawi Flakes Bonggol Pisang. Skripsi S1. Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung. Gliksman, M. 1969. Gum Technology In The Food Industry. Academic Press. New York, Sanfransisco. Gonzales, Z dan E. Perez. 2002. Effect of Acetylation on Some Properties of Rice Starch. Satrch/Starke 54: 148-154. Golachowski, A. 2003. Properties of Acetylated starch Obtained from SO2-Treated Starch milk. Electronic Journal of Polish
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 135
ISBN 978-602-98902-1-1
Agricultural Universities, Food Science and Technology, Volume 6, Issue 1. Gowen, S. 1995. Bananas and Plantain. Chapman and Hall, London. Henderson, S. M. dan Perry, R. L. 1976. Agriculture process Engineering. 3rd ed. United State of America. Hendriyani, T. Y. 2004. Mengkaji Berbagai Karakteristik Partikel Jali (Coix lacrymajobi L.) Hasil Penggilingan. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung. Hoover, P. dan H. Manuel. 1995. A comparative study of The Physicochemical Properties of Starches from Two Lentil cultivars. Food Chem 53:275-284. Jarowenko, W. 1989. Acetylated and Miscellaneous Organic Ester. Di dalam Modified Starch : Properties and Uses. Editor O. B. Wuzburg. CRC Press, Boca Ranton. Florida. Kulsum, U. 2009. Modifikasi Pati Ubi Jalar dengan Metode Cross-link Ganda. Skripsi S1. Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung. Liu, Q. 2006. Understanding Starches and Their Role in Foods. Dalam Food Carbohydrate. Editor Q. Liu. 2006. Food Carbohydrate. Francise and Taylor. England. Loesecke, H.W. 1950. Bananas. Chemistry, Phisiology and Technology. Second Revised Edition. Interscience Publ.Inc., New York-London. Man, J.M. de. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah : Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung. Muchtadi, T. R dan Subarna. 1988. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Nabati. Jurusan Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Munadjim. 1983. Teknologi Pengolahan Pisang. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Operating Instructions Manual No. M/03-165-A0404, Brookfield DV-II +Pro Programmable Viscometer, 2005. Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Foof Components. 2nd edition. Academic Press, Inc., San Diego, California. Radley, J.A.1940. Starch and Its Derivates. D Van Nostrand Company, Inc. New York Rahmanto, A. 2005. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Asetilasi Pati Sagu dengan Katalis Asam Sulfat Terhadap Karakteristik Produknya. Skripsi S1, Fateta IPB, Bogor
Rice Grain Quality Evaluation Procedures. 2002. Method Currently in Use in The PGBG Grain Quality Laboratory. IRRI, Philippines. Rismunandar. 1990. Bertanam Pisang. Sinar Baru Algesindo, Bandung. Rutenberg, M. W. dan D. Solarek. 1984. Starch Derivates : Production and Uses. Di dalam : R. L. Whistler, J. N. BeMiller, dan E. F. Paschall (eds). Starch Chemistry and Technology. 2nd ed. Academy Press. Orlando. Saartrat, S., C. Puttanlek, V. Rungshardthong, dan D. Uttapap. 2004. Paste and Gel Properties of Low-Substituted Acetylated Canna Starches. Carbohydrates Polimers 53: 317 – 324. Sapri. 2005. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Asetilasi Pati Sagu (Metroxylon sp.) dengan Katalis Asam Perklorat Terhadap Karakteristik Produknya. Skripsi S1, Fateta IPB, Bogor. Simmonds, N.W. 1966. Bananas. Longman Group Limited, London. Singh, J., L. Kaur, dan N. Singh. 2004. Effect of Acetylation on Some Properties of Corn and Potato Starches. Starch 56: 586-601. Sriroth, K., K. Piyachomwan, K. Sangseethong dan C.Oates. 2002. Modification of Cassava Starch. Papaer Present at X International Starch Convension. Cracow-Poland. Suhardiman, P. 1997. Budidaya Pisang Cavendish. Kanisius, Yogyakarta. Sunarjono, H. 2004. Budidaya Pisang Dengan Bibit kultur Jaringan. PT Penebar swadaya, Jakarta. Suprianti, R. D. 2009. Kajian Fisik, Kimia, dan Fisikokimia Pati bonggol Pisang batu (Musa brachycarph), Pisang Kapas (Musa paradisica var forma tipica) dan Pisang Raja Bulu (Musa paradisica I.) dengan Metode Ekstraksi Basah. Skripsi S1. Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung. Swinkels, J. J. 1985. Source of Starch. Dalam : Van beynum, G.M.A dan Roels, J. A. Starch Conversion technology. New York: Marcel dekker, Inc. Tjahjadi, C. 2003. Penanganan Segar dan Penyimpanan Sayuran dan Buah – Buahan. Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung. Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 136
ISBN 978-602-98902-1-1
Van Beynum, G. M. A dan J. A. Roels. 1985. Starch Conversion Technology. Marcel Dekker, Inc. New York. Whistler, R. dan R. Daniel. 1990. Function of Polysaccharides. Dalam Food Additives. Marcel Dekker, Inc., New York. Wilkins, M. R., P. wang, L. Xu, Y. Niu, M.E. Tumbleson, dan K.D Rausch. 2003. Variability of Reaction Efficiencies and Pasting Properties of Acetylated Dent Corn Starch from Various Commercial Hybrids. Cereal Chem 80(1): 72-75. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Winarno, F. G. 2010. Enzim Pangan. M-Brio Press. Bogor. Wurzburg, O.B. 1989. Modified Starches : Properties and Uses. CRC Press, Inc., Boca Ranton, Florida. Xie, S.X., Q. Liu dan W. Cui. 2006. Starch Modification and Applications. Dalam Food Carbohydrate. Editor Q. Liu. 2006. Food Carbohydrate. Francise and Taylor. England
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 137
ISBN 978-602-98902-1-1
Ekstraksi dan Purifikasi Parsial Enzim 5’-Fosfodiesterase Dari Kecambah Kacang Hijau (Extraction And Partial Purification Of 5’-Phosphodiesterase From Germinated Mung Beans) Tyas Utami, Shinta Maharani, Ardhea Mustika Sari, Muhammad Nur Cahyanto Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora No 1, Bulaksumur, Yogyakarta,
[email protected]
ABSTRACT 5’-Phosphodiesterase (5‘-PDE) is an enzyme that hydrolyses RNA to a mixture of ribonuleotides such as 5’-guanosine monophosphate (5’-GMP) and 5’-inosine monophosphate (5’-IMP), which are flavour enhancers. This study investigated the extraction of 5’-PDE from germinated mung bean and the partial purification of this enzyme. The germinated mung beans were extracted using acetate buffer pH 5.0 with the ratio of germinated mung beans (g) and the volume of buffer (ml) varied from 1:6 to 1:14. The crude enzyme was partially purified by ammonium sulphate precipitation. The activity of 5’-PDE was assayed by measurement of the rate of hydrolysis of p-nitrophenyl phosphate. The proteins were determined by the method of Bradford using BSA as a standard. The results show that the extraction of 5’-PDE from germinated mung bean is simple. A reasonable ratio of the mass of germinated mung beans (g) to the buffer volume (ml) is 1:8. The enzyme can be partially purified ∼14 fold with an enzyme recovery 42.18% using ammonium sulphate precipitation with 40-80% saturation. The activity of crude enzyme after six days of storage at 4°C decreased to 60% of the initial activity. Ammonium sulphate precipitation increased the storage stability of the enzyme. Its remaining activity after eight days of storage at 4°C was 94%. Keywords: 5’-Phosphodiesterase, germinated mung beans, extraction, ammonium sulphate precipitation
Pendahuluan Enzim 5’-fosfodiesterase (EC 3.1.4.1) dapat menghidrolisis RNA menghasilkan 5’-nukleotida seperti 5’guanosine monophosphate (5’-GMP) dan 5’-inosine monophosphate (5’-IMP) yang banyak digunakan dalam industri pangan, yaitu sebagai perisa makanan karena mampu meningkatkan citarasa umami. Enzim 5’-fosfodiesterase (5’PDE) dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu mikroorganisme, jaringan tanaman, maupun organ binatang (Shi dkk., 2007, Deoda dan Singhal, 2003, Laufer dan Gutcho, 1968). Mikroorganisme yang sudah dipelajari untuk memproduksi 5’-PDE adalah Penicillium citrinum, Streptomyces aureus dan Aspergillus niger (Deoda dan Singhal, 2003, Shi dkk., 2007). Akan tetapi jalur pembentukan 5’-fosfodiesterase pada mikroorganisme dan proses pemurnian enzimnya cukup kompleks. Selain itu mikroorganisme yang sudah dikenal dapat memproduksi enzim 5’-fosfodiesterase tidak mempunyai status generally recognized as safe (GRAS) sehingga prosedurnya lebih kompleks. Selain itu 5’-PDE juga dapat diisolasi dari bisa ular dan jaringan hewan seperti ginjal dan saluran pencernaan, namun ada kendala pada aplikasinya untuk industri pangan dan farmasi. Beberapa tanaman sepert kecambah barley, kacang hijau dan biji-bijian lainnya diketahui mengandung 5’-PDE. Laufer dan Gutcho (1968) melaporkan bahwa terdapat aktivitas enzim yang dapat menghidrolisis RNA menjadi nukleotida 5 monofosfat pada tanaman barley, rye, oat, gandum, dan kacang-kacangan. Penelitian tentang enzim 5’-PDE hampir semuanya berasal dari barley (Benaiges dkk., 1989, Deoda dan Singhal, 2003, Dhule dkk., 2006, Zou dkk., 2008). Hasil penelitian yang telah kami lakukan menunjukkan adanya aktivitas 5’-PDE selama perkecambahan biji kedelai hitam,
kedelai kuning dan kacang hijau (Utami dkk., 2011). Kecambah kacang hijau berpotensi sebagai sumber 5’-PDE. Dhule dkk (2006) melakukan ekstraksi dan purifikasi 5’-PDE dari kecambah barley dan mendapatkan bahwa enzim tersebut berasosiasi dengan phosphomonoesterase. Oleh karenanya purifikasi 5’-PDE perlu dilakukan sebelum diaplikasikan untuk menghasilkan 5-mukleotida sebagai bahan perisa makanan. Purifikasi sebagian enzim ini dapat digunakan untuk menghidrolisis RNA menjadi 5’-GMP dan 5’adenosin monophosphat yang merupakan prekursor 5-IMP (Deoda dan Singhal., 2003). Beberapa peneliti telah melakukan purifikasi enzim 5’-PDE berasal dari barley dan mikroorganisme dengan cara perlakuan pemanasan, ultra filtrasi, presipitasi dengan amonium sulfat, presipitasi dengan aseton, kromatografi gel dengan Sephadex G-100, kromatografi DEAE-separose serta kombinasinya (Benaiges dkk., 1989, Beluhan dkk., 2003, Deoda dan Singhal, 2003, Dhule dkk., 2006, Guo-Qing dkk, 2006, Zou dkk., 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan metoda ekstraksi dan purifikasi parsial enzim 5-PDE dari kecambah kacang hijau dengan cara yang sederhana, serta mempelajari stabilitas enzimnya selama penyimpanan. Pada penelitian ini dipelajari rasio berat kecambah dan volume bufer untuk ektraksi enzim kasar, tingkat kejenuhan amonium sulfat yang dapat memberikan yield dan tingkat kemurnian yang tinggi, serta stabilitas penyimpanan enzim kasar maupun setelah dilakukan presipitasi dengan amonium sulfat. Metodologi Bahan
Kacang hijau varietas VIMA I diperoleh dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Asam
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 138
ISBN 978-602-98902-1-1
asetat, sodium asetat, sodium karbonat, etanol 95%, dan asam fosfat 85% diperoleh dari Merck KGaA, Jerman. Nitrophenyl phosphate disodium salt hexahydrate, 4-nitrophenyl, Coomassie Briliant Blue G-250 diperoleh dari Sigma-Aldrich, USA. Bovine Serum Albumin (BSA) diperoleh dari Wako Pure Chemical Industries, Ltd, Jepang. Perkecambahan kacang hijau Sebanyak 5 g kacang hijau dicuci dengan air selanjutnya dilakukan perendaman dalam 100 ml air hangat (47°C) selama 7 jam dalam wadah plastik. Kemudian kacang hijau ditiriskan menggunakan saringan plastik. Saringan tersebut ditempatkan diatas serbet dan ditutup dengan serbet basah. Pada hari kedua kacang hijau direndam kembali dengan air pada suhu ruang selama 5 jam, selanjutnya ditiriskan lagi. Pada hari ke tiga dan ke empat kacang hijau hanya disiram menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali sehari. Ekstraksi 5’-fosfodiesterase dari kecambah kacang hijau Kacang hijau yang telah dikecambahkan selama 4 hari diekstraksi menggunakan bufer asetat 50 mM, pH 5,0 pada suhu 4°C dengan rasio berat kecambah dan volume bufer 1:6; 1:8; 1:10; 1:12; dan 1:14. Kecambah kacang hijau yang telah ditambah dengan bufer asetat dihancurkan dengan mortar sampai kecambah hancur, lebih kurang 2 menit. Ekstrak kecambah disaring, selanjutnya disentrifugasi menggunakan Centrifuge 5804 R pada 4500 rpm saelama 20 menit dengan suhu 4°C. Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak kasar 5’-fosfodiesterase. Ekstrak kasar enzim 5’-PDE disimpan pada suhu 4°C dan diuji aktivitas enzim dan kadar protein terlarut. Purifikasi parsial 5’-fosfodiesterase Purifikasi parsial enzim 5’-PDE dilakukan dengan presipitasi secara bertingkat menggunakan garam amonium sulfat. Presipitasi dilakukan secara bertahap, diawali dengan konsentrasi amonium sulfat 0-20% jenuh. Amonium sulfat dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam larutan enzim sambil terus diaduk menggunakan magnetic stirrer. Setelah semua amonium sulfat dimasukkan ke dalam larutan, selanjutnya larutan tetap diaduk selama satu malam (± 18 jam) pada suhu 4°C. Selanjutnya dilakukan pemisahan dengan sentrifugasi menggunakan Centrifuge 5804R pada suhu 4°C selama 20 menit, 4500 rpm. Endapan dipisahkan dari supernatan, dan diuji aktivitas enzim dan kadar protein terlarutnya. Supernatan yang diperoleh kemudian dipresipitasi kembali dengan tingkat kejenuhan yang lebih tinggi, secara pertahap. Setiap fraksi yang diperoleh diuji aktivitas enzim dan kadar proteinnya. Yield yang diperoleh dihitung dengan membandingkan aktivitas setelah presipitase dengan aktivitas enzim awal pada enzim kasar. Tingkat kemurnian enzim dihitung dari aktifitas spesifik enzim setelah presipitasi terhadap aktivitas enzim awal pada enzim kasar. Enzim 5’-PDE yang diperoleh diuji stabilitasnya selama penyimpanan pada suhu 4°C. Pengujian aktivitas enzim 5’-fosfodiesterase Pengujian aktivitas enzim 5’-PD mengacu pada Dhule dkk (2006), dengan mengukur kecepatan hidrolisis 4nitrophenyl phosphate disodium salt hexadehydrate. Sebanyak
100 µl substrat 4-nitrophenyl phosphate disodium salt hexahydrate 10 mM dimasukkan ke dalam 800 µl bufer asetat (50 mM) pH. Selanjutnya ditambahkan larutan enzim kasar sebanyak 100 µl. Inkubasi dilakukan pada suhu 60° selama 10 menit dalam waterbath (Sibata WS-240). Reaksi dihentikan dengan menambahkan 0,3 ml larutan 5% sodium karbonat. Selanjutnya ditambahkan 1,7 ml aquades ke dalam larutan tersebut sebelum peneraan absorbansinya. Kadar p-nitrophenol yang dihasilkan ditera absorbansinya pada panjang gelombang 400 nm menggunakan spektrofotometer Genesys-20. Kurva standar standar p-nitrophenol dibuat pada kisaran konsentrasi 0-0,055 µmol/ml. Satu unit enzim didefinisikan sebagai 1 µmol p-nitrophenol yang terbentuk per menit pada kondisi pengujian. Pengujian kadar protein terlarut Pengujian kadar protein terlarut ditentukan berdasarkan metoda Bradford (1976). Sebanyak 100 µl larutan enzim ditambah dengan 1000 µl reagen Bradford. Campuran ditera absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Larutan bovine serum albumin (BSA) digunakan untuk membuat kurva standar untuk menentukan kadar protein. Hasil dan Pembahasan Perkecambahan biji kacang hijau Pada hari pertama perkecambahan, kulit biji mulai rusak dan terlihat calon akar yang keluar dari biji. Pada hari ke dua perkecambahan, telah tumbuh akar, dan panjang akar terus bertambah seiring dengan waktu perkecambahan (Tabel 1). Pada mulanya biji akan menyerap air sehingga terjadi pelunakan kulit biji. Metabolisme sel berlangsung, yaitu pembelahan induk sel yang akan mengalami diferensiasi menjadi akar. Peningkatan jumlah sel yang diikuti peningkatan volume mendesak kulit biji yang sudah lunak sehingga pecah dan keluar akar muda dari kulit biji. Selama perkecambahan terjadi peningkatan berat akibat pertambahan masa sel. Perkecambahan akan berjalan dengan baik apabila kebutuhan air tercukupi. Proses perendaman dilakukan agar biji yang mulanya kering akan menyerap air. Penyerapan air merupakan proses pertama yang terjadi pada perkecambahan biji, diikuti dengan pelunakan kulit biji, pengembangan biji dan pecahnya kulit biji. Air mempunyai peranan yang penting karena membantu pelunakan kulit biji, memberikan fasilitas masuknya oksigen ke dalam biji, mengencerkan protoplasma dan sebagai media transport makanan dalam tingkat seluler (Kamil, 1982).Selama 5 hari perkecambahan, terjadi kenaikan berat dan kadar air kecambah kacang hijau. Perkecambahan biji dilakukan selama 5 hari karena dikawatirkan setelah hari kelima akan tumbuh jamur seperti yang dilaporkan oleh Deoda dan Singhal (2003). Selama waktu perkecambahan terjadi peningkatan aktivitas 5’-PDE, dan aktivitas enzim tertinggi dicapai pada perkecambahan hari ke empat (Gambar 1). Untuk selanjutnya perkecambahan kacang hijau dilakukan selama 4 hari. Beluhan dkk, 2003 menyatakan bahwa bagian pertumbuhan pada perkecambahan biji merupakan sumber 5’-PDE yang baik terutama pada bagian akar serealia yang bisa menjadi malt seperti oats, barley, gandum, dan padi. Pada biji yang kering 5’-
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 139
ISBN 978-602-98902-1-1
PDE bersifat inaktif, dan perkecambahan biji merupakan cara untuk mengaktifkan 5’-PDE. Hasil penelitian Laufer dan Gutcho (1968) menunjukkan bahwa enzim dari bagian akar mempunyai aktivitas hidrolisis pada RNA yang lebih tinggi dibandingkan pada biji. Pada penelitian ini enzim diektraksi dari seluruh biji yang berkecambah karena berdasarkan hasil penelitian Deoda dan Singhal (2003) aktivitas enzim kasar 5’-PDE yang diekstraksi dari seluruh bagian biji yang berkecambah lebih tinggi dari pada dari bagian akar saja. Ekstraksi 5’- Phosphodiesterase Ekstraksi 5’-PDE dilakukan menggunakan bufer asetat pH 5,0 dengan rasio berat kecambah dan volume bufer 1:6 sampai 1:14. Ekstraksi dengan bufer ini dimaksudkan untuk mendapatkan protein enzim 5’-PDE yang sebanyaknyabanyaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan meningkatkan rasio berat kecambah dengan volume bufer asetat dari 1:6 ke 1:8 dan 1:10 terjadi peningkatan aktivitas spesifik enzim 5’-PDE namun peningkatan volume bufer lebih lanjut akan menurunkan aktivitas spesifik 5’-PDE (Tabel 2). Aktivitas spesifik menunjukkan rasio aktivitas enzim yang dikehendaki dengan protein atau enzim lain yang ada pada enzim kasar tersebut sebagai kontaminan. Semakin tinggi aktivitas spesifiknya maka kuantitas enzim yang dikehendaki relatif lebih tinggi dibandingkan aktivitas kontaminan lainnya. Salah satu sumber 5’-PDE dari tanaman adalah kecambah barley. Namun dalam kecambah barley juga ditemukan aktivitas kontaminan lainnya seperti 3’-phosphodiesterase dan phosphomonoesterase (Benaiges dkk, 1989, Dhule dkk., 2006). Oleh karenanya dipilih rasio berat kecambah dengan volume bufer yang memberikan aktivitas spesisfik 5’-PDE yang paling tinggi. Sehingga rasio optimum untuk berat kecambah dengan volume bufer adalah 1:8. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitianyang dilakukan oleh Zou dkk, (2008) yaitu mendapatkan rasio berat kecambah dengan volume bufer yang optimum adalah 1:8-1:10 untuk ekstraksi 5’-PDE dari malt yang merupakan hasil samping industri bir. Purifikasi parsial 5-PDE dengan variasi tingkat kejenuhan amonium sulfat Presipitasi protein dengan konsentrasi garam tinggi bertujuan untuk mengkonsentrasikan dan memurnikan protein. Oleh karenanya teknik ini sering digunakan pada tahap awal dari proses pengunduhan hasil untuk mengurangi volume untuk tahap berikutnya. Pada percobaan pertama (Tabel 3), terlihat bahwa protein yang terpresipitasi pada amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 0-40% nampaknya sebagian besar bukan protein enzim yang diinginkan, dilihat dari tingkat kemurnian yang diperoleh kurang dari satu. Protein enzim 5’-PDE lebih banyak terpresipitasi pada amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan diatas 40%. Enzim 5’-PDE terutama terpresipitasi pada amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 60% yang menghasilkan yield 23,53% dengan tingkat kemurnian 2,41. Namun masih terdeteksi adanya aktivitas enzim pada 90% supernatan. Pada percobaan kedua, penggunaan amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 50-90% menghasilkan lebih banyak enzim yang terpresipitasi yaitu 72,65% atau 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan presipitasi dengan tingkat
kejenuhan 50-60%. Pada kondisi ini, protein yang terpresipitasi juga lebih tinggi yaitu 35,8%. Namun tingkat kemurnian yang diperoleh turun menjadi 2,03. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun lebih banyak enzim 5’-PDE yang terpresipitasi, namun banyak juga protein bukan enzim yang dikehendaki ikut terpresipitasi juga. Analisis pada 90% supernatan menunjukkan jumlah protein dan enzim yang lebih rendah dibandingkan pada percobaan pertama. Percobaan ketiga juga membuktikan bahwa sebagian besar enzim 5’-PDE terpresipitasi pada tingkat kejenuhan amonium sulfat 40-60% dan 60-80% yaitu enzim yang terpresipitasi sebesar 41,75% dan 45,89%.Hasil ini seupa dengan hasil penelitian Benaiges dkk (1989), yang menunjukkan bahwa presipitasi 5’-PDE dari kecambah barley dengan tingakt kejenuhan 40-60% dan 60-80% menghasilkan hampir mendapatkan 100% aktivitas enzim awal. Pada tingkat kejenuhan 40-60% diperoleh yield 54,8% dan pada 60-8-% diperoleh yield 37,4%. Tingkat kemurnian yang diperoleh meningkat menjadi 5,82. Hasil serupa juga diperoleh Guo-Qing dkk, (2006) yang melakukan purifikasi parsial nuclease p1 (disebut juga 5’-PDE) dari Penicillium citrinum. Ditemukan bahwa tingkat kejenuhan 40% menghilangkan hampir semua protein yang tidak dikehendaki dan pada tingkat kejenuhan 85% hampir mendapatkan semua enzim yang diinginkan, yield yang diperoleh 62,5% dengan tingkat kemurnian 5,63 kali. Percobaan keempat diperoleh tingkat kemurnian tertinggi yaitu pada tingkat kejenuhan amonium sulfat 40-80% yaitu sebesar 14 dan yield yang cukup tinggi (42,18%). Garam yang berikatan dan berinteraksi secara langsung dengan protein mempunyai efek tidak menstabilkan. Konsentrasi garam yang optimum adalah yang dapat menyokong hidrasi daerah polar dan dehidrasi daerah nonpolar pada protein tanpa berinteraksi secara langsung. Presipitasi menggunakan kadar garam tinggi tergantung pada banyaknya residu hidrofobik pada permukaan protein. Ketika konsentrasi ion garam dalam larutan menjadi semakin tinggi maka akan cenderung menarik molekul air pada larutan. Molekul air yang pada awalnya mengelilingi protein menjadi jarang. Hal ini menyebabkan protein dengan residu hidrofobik teragregasi dan kemudian terpresipitasi. Hal penting yang perlu diingat adalah garam tidak pernah mengendapkan semua enzim, tetapi hanya mengurangi kelarutan. Konsentrasi garam bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh pada presipitasi protein. Presipitasi protein enzim juga tergantung dari sifat protein lain yang ada pada larutan (co-presipitasi) dan konsentrasi protein awal dari larutan. (Scope, 1994). Tahapan pemurnian enzim merupakan kompromi antara yield (rendemen) yang diperoleh dan derajat kemurnian. Dari keempat percobaan variasi tingkat kejenuhan amonium sulfat tampak bahwa enzim 5’-PDE dapat dipresipitasi dengan amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan diatas 40%. Presipitasi dengan amonium sulfat 40-80% memberikan yield yang baik yaitu 42,18% dengan tingkat kemurnian tertinggi yaitu 14. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Deoda dan Singhak (2003) yaitu mendapatkan yield 5’-PDE dari kecambah barley sebesar 46,5% dengan tingkat kemurnian 12,6% pada tingkat kejenuhan amonium sulfat 20-70%. Sedangkan Dhule dkk, (2006) mendapatkan yield yang lebih besar yaotu 60,83% namun
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 140
ISBN 978-602-98902-1-1
tingkat kemurniannya hanya 2,11 pada presipitasi kecambah barley menggunakan amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 20-60%. Stabilitas enzim selama penyimpanan. Enzim kasar 5’-PDE dan setelah melalui tahap presipitasi dengan amonium sulfat diuji stabilitasnya selama penyimpanan pada suhu 4°C. Pada Gambar 2 terlihat aktivitas enzim kasar 5’-PDE mengalami penurunan selama penyimpanan pada suhu 4°C. Setelah satu minggu penyimpanan, aktivitas enzim kasar tinggal 60%. Penelitian yang dilakukan oleh Beluhan dkk, 2003 menghasilkan enzim 5’PDE dengan stabilitas penyimpanan yang baik yaitu hanya terjadi penurunan aktivitas sebesar 40% setelah 8 hari penyimpanan suhu 4°C, dan aktivitas enzimnya relatif konstan selama 90 hari pada penyimpanan -18°C. Didalam larutan enzim kasar masih tercampur dengan protein selain enzim 5’PDE, dan juga komponen lain yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Setelah dilakukan presipitasi enzim dengan amonium sulfat, aktivitas 5’-PDE relatif lebih stabil selama penyimpanan pada suhu 4°C, yaitu sampai dengan 8 hari penyimpanan, aktivitasnya masih diatas 90% dari aktivitas mula-mula. Menurut Scope (1994). 2-3 M suspensi amonium sulfat dari presipitas protein dapat stabil selama satu tahun. Kadar garam yang tinggi juga mencegah proteolitis dan aktivitas bakteri. Selain menaikkan tingkat kemurnian enzim, presipitasi dengan amonium sulfat juga dapat meningkatkan stabilitas enzim selama penyimpanan. Kesimpulan Ekstraksi 5’-Phosphodiesterase dari kecambah kacang hijau dapat dilakukan dengan cara sederhana dan murah, dengan rasio berat kecambah dengan volume buffer asetat pH 5,0 adalah 1:8. Purifikasi parsial dengan tingkat kejenuhan amonium sulfat 40-80% menghasilkan enzim 5’-PDE yang terpresipitasi (yield) sebesar 42,18% dengan tingkat kemurnian 13,99. Setelah penyimpanan selama 6 hari pada suhu 4°C aktivitas 5’-PDE masih 60%. Selain menaikkan tingkat kemurnian enzim, presipitasi dengan amonium sulfat menghasilkan enzim dengan stabilitas penyimpanaan yang lebih baik yaitu pada penyimpanan 8 hari suhu 4°C,yaitu aktivitas enzimnya masih 94%. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Proyek Penelitian Fundamental Tahun Anggaran 2011. Untuk itu diucapkan terima kasih. Daftar Pustaka Barford M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein using the principle of protein dye-binding. Anal. Biochem. 72: 248-
254.tivity from barley rootles. Enzyme Microb. Technol. 11:445-451. Beluhan S, Karmelic I, Novak S, and maric V. 2003. Partial purification and biochemical characterization of alkaline 5’-Phosphodiesterase from barley malt sprouts. Biotechnology Letters. 25:1099-1103. Benaiges MD, Lopez-Santin L, and Sola C. 1989. Partial purification of 5’- Phosphodiesterase activity from barley rootlets. Enzyme Microb. Technol. 11:444-451. Deoda AJ, and Singhal RS. 2003. 5’-Phosphodiesterase (5’PDE) from germinated barley for hydrolysis of RNA to produce flavour nucleotide. Bioresource Technology. 88: 245-250. Dhule SS, Shetty PR, Iyer JL, and Singhal RS. 2006. Purification and characterization of 5’phosphodiesterase from germinated barley. Process Biochemistry 41: 1899-1902. Guo-Qing X, Shi L, Yu Y, Zheng-Xing T, and Jian-She. 2006. Production, purification, and characterization of nuclease p I from Penicillium citrinum. Process Biochemistry. 41:1276-1281. Kamil, 1982. Teknologi Benih 1. Angkasa, Bandung. Laufer L, and Gutcho S. 1968. Hydrolysis of RNA to 5’Nucleotide by Seed Sprout, particularly Malt Sprout. Biotechnology and Bioengineering. 10:257-275. Scope RK, 1994. Protein purification primciples and practice. Springer-Verlag, New York. Shi LR, Ying GQ, Zhang XY, Tang ZX, Chen JS, Xiong WY, and Liu HZ. 2007. Medium optimization for 5’phosphodiesterase production from Penicillium citrinum using response surface methodology. Food Technology and Biotechnology 45. 126-133. Utami T, Maharani S., Cahyanto MN. 2011. Activity of 5’Phosphodiesterase Isolated from Various Germinated Beans. Prosiding Asean Food Conference, Bangkok Zou H, Cai G, Cai W, Li H, Gu Y, Park Y, Meng F. 2008. Extraction and DNA Digestion of 5’-Phosphodiesterase from Malt Root. Tsinghua Science and Technology. 13 (4): 480-484. _______ Tabel 1. Berat, panjang akar dan kadar air kacang hijau selama perkecambahan
Hari Perkecambahan Awal 1 2 3 4 5
Panjang akar (cm) 0,5 2,2 3,3 4,5 11
Berat kecambah (g) 5,05 10,90 18,09 20,01 22,97 30,43
Kadar air (%) 15,02 55,12 63,48 68,90 75,65 86,34
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 141
0.2
120.00
0.16
Aktivitas enzim relatif (%)
Aktivitas enzim (U/g kecambah)
ISBN 978-602-98902-1-1
0.12 0.08 0.04 0 1
2
3
4
5
Protein mg/ml
5,15 5,14 5,15 5,22 5,04
26,5 37,5 48,3 58,5 66,7
0,66 0,31 0,22 0,24 0,25
40.00 20.00
Total Protein mg 17,46 11,43 10,67 14,22 16,69
1
2
3
4
5
6
7
8
Penyimpanan 4°C (Hari) enzim kasar
Tabel 2.Ekstraksi enzim 5’-fosfodiesterase pada berbagai rasio berat kecambah dan volume bufer Supernatan (ml)
60.00
0
Gambar 1. Aktivitas 5’-fosfodiesterase selama perkecambahan kacang hijau
Kecambah (g)
80.00
0.00
Waktu Perkecambahan (Hari)
Rasio kecambah dan buffer 1:06 1:08 1:10 1:12 1:14
100.00
Gambar 2. Stabilitas enzim selama penyimpanan pada suhu 4°C
Aktivitas spesifik U/mg 2,70 3,41 3,21 2,43 2,08
Tabel 3. Purifikasi parsial enzim 5’-fosfodiesterase dengan cara presipitasi amonium sulfat Persen saturasi
Percobaan I
0-20 20-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90
Enzim yang terpresipitasi (%) 1,89 3,77 3,40 23,53 3,99 2,48 1,56
Protein yang terpresipitasi (%) 6,76 19,19 6,53 9,77 2,09 1,50 1,27
Tingkat kemurnian
Percobaan II
0-50 50-90
9,69 72,65
22,45 35,80
0,43 2,03
Percobaan III
0-20 20-40 40-60 60-80
1,16 1,73 41,75 45,89
1,32 3,48 10,94 7,88
0,88 0,50 3,82 5,82
Percobaan IV
0-40 40-80
3,51 42,18
33,35 3,02
0,11 13,99
0,28 0,20 0,52 2,41 1,91 1,65 1,23
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 142
ISBN 978-602-98902-1-1
Ekstraksi Dan Karakterisasi Isolat Protein Wijen Putih (Sesamum indicum L.) Varietas: Sumberrejo 1 [Effect Extraction and Characterization of Indonesian White Sesame (Sesamum indicum L.) varietas : Sumberrejo1] Pudji Hastutia dan Masagus Muhammad Prima Putrab Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada bAlumni Pascasarjana Program Stusi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada aJurusan
ABSTRACT Sesame (Sesamum indicum L.) is an important oilseed which can be cultivated and well grown in Indonesia. The oil extraction produced oil cake which is rich in protein and was under-utilized. Therefore, there is a need to characterize this protein in order to provide information for further utilization. The aim of this study was: (a) to extract the sesame protein from oil cake, and (b) to characterize the functional properties of the protein isolates. Protein isolates were prepared from sesame defatted flour by alkaline solubilization pH 11 followed by isoelectric precipitation at pH 4. Sesame protein isolates were evaluated for protein concentration and functional properties include Water Absorption Capacity (WAC), Oil Absorption Capacity (OAC), Foaming Capacity (FC), Foam Stability (FS) and Gelation Capacity.The defatted white sesame flour found to contain 51.31±0.09% of protein, 0.63.59±0.16% of fat, 25.24±0.86% of carbohydrates and 9.09±0.06% of ash. The isolation protocol gave protein recovery of 55.52±2.84% and the isolate has protein content of 90.88±2.66%. It was found that the WAC was 377.43±2.66%, the OAC was 263.9±8.89%, the FC at pH 7 was 196.53±2.2% and the FS after 90 min was 54.26±9.27%. The minimum protein concentration for gelation at pH 7 was 12% w/v. Keywords: sesame protein, protein extraction, functional properties
PENDAHULUAN Wijen (Sesamum indicum L.) adalah golongan biji berkadar minyak tinggi yang dibudidayakan di banyak negara tropis. Meskipun tanaman ini bukan tanaman asli Indonesia, namun tanaman wijen dapat tumbuh dengan baik karena Indonesia memiliki kesuburan tanah dan iklim yang cocok. Di Indonesia, wijen banyak dibudidayakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan.Sulawesi Selatan Di Jawa Tengah, wijen dibudidayakan di Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Grobogan, Rembang, Semarang dan Salatiga. Pemanfaatan biji wijen sampai saat ini masih terbatas sebagai sumber minyak dan sebagai ingredien atau ditaburkan pada makanan camilan, seperti ondhe ondhe, keciput, enting enting dan berbagai jenis kue. Biji wijen merupakan sumber minyak nabati yang banyak digunakan untuk berbagai industri, seperti industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain. Minyak wijen juga baik untuk dikonsumsi setiap hari karena merupakan salah satu minyak nabati yang banyak mengandung asam lemak tak jenuh terutama oleat (sampai 38,84%) dan linoleat (sampai 46,26%) (Nzikou, et al., 2009). Biji wijen mengandung protein sekitar 20% (Nzikou, et al., 2009) dan meningkat menjadi sekitar 41% pada bungkil (Onsaard, et al., 2010) setelah proses ekstraksi minyak. Bungkil sisa hasil ekstraksi minyak ini biasanya hanya diberikan kepada hewan sebagai sumber protein. Namun, melihat tingginya kandungan protein tersebut, bungkil wijen memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber protein nabati atau sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dikarenakan sifat fungsional yang dimiliki protein. Beberapa penelitian telah dilakukan pada sifat fungsional protein konsentrat wijen (Inyang
dan Iduh, 1996 dan Onsaard, et al., 2010) dan protein isolat wijen (Gandhi dan Srivastava, 2007 dan Kanu, et al, 2007.), namun hasil penelitian wijen dari Indonesia belum terpublikasikan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melakukan ekstraksi protein dari bungkil wijen putih varietas Sumberrejo 1 dari Kabupaten Klaten dan mengidentifikasi sifat fungsional isolat proteinnya.
METODOLOGI
Bahan dan Alat Biji wijen (varietas Sumberejo 1) yang digunakan sebagai sumber protein wijen dalam penelitian ini diperoleh dari petani tradisional, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang dipanen pada Mei 2010. Bahan kimia untuk analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah PA grade, kecuali heksana untuk perlakuan defatting menggunakan technical grade. Pembuatan Tepung Bungkil Wijen Rendah Lemak Biji wijen dipanaskan dalam penyangrai 800C selama 30 menit kemudian dikempa menggunakan pengempa hidraulik dengan tekkana 40 kN selama 5 menit untuk mengeluarkan minyaknya. Selanjutnya bungkil wijen dihancurkan dan dihilangkan minyaknya dengan cara ekstraksi menggunakan nheksan dalam kolom ekstraksi selama 72 jam. Bungkil wijen rendah lemak yang diperoleh memiliki kandungan lemak <1%. Bungkil wijen rendah lemak tersebur kemudian dikeringanginkan pada suhu ruang dilanjutkan dengan pengecilan ukuran dan pengayakan hingga lolos ayakan 60 mesh. Tepung wijen rendah lemak kemudian dikemas dalam kantong polietilen dan disimpan dalam ruang dingin pada suhu 40 C sampai dengan digunakan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 143
ISBN 978-602-98902-1-1
Pembuatan Isolat Protein dari Tepung Rendah Lemak Isolat protein wijen dibuat menurut metode yang dikembangkan oleh Chavan, et al. (2001), dengan modifikasi. Dispersi dari tepung wijen rendah lemak dalam aquadest (1:25, w/v) diatur pH nya menjadi 11 dengan menggunakan 1N NaOH pada 300 C, kemudian dihomogenisasi selama 2 jam, setiap 10 menit sekali diperiksa dan diatur pH agar tetap pada kondisi pH 11. Suspensi tersebut disentrifugasi pada 4000 x g selama 30 menit untuk mendapatkan supernatan yang mengandung protein terlarut. Supernatan diatur pH nya sampai titik isoelektris protein wijen dengan menambahkan 1N HCl untuk mengendapkan proteinnya. Selanjutnya, endapan protein dipisahkan dengan disentrifugasi pada 4000 g selama 30 menit. Endapan protein dikeringkan dengan freeze drier. Protein recovery dihitung dengan rumus berikut: Protein recovery (%)= {[berat isolat protein (g) x kadar protein dalam isolat protein(%)]/ [berat isolat protein (g) x kadar protein dalam isolat protein(%)]} x 100. Analisis Proksimat Terhadap bungkil wijen dan tepung wijen rendah lemak dilakukan penentuan kadar air secara termografimetri (AOAC, 1999), kadar lemak (AOAC, 1999), kadar protein (AOAC, 1999) dan kadar abu (AOAC, 1999) dan kadar karbohidrat dihitung secara by different dengan dengan mengurangi 100% dengan persentase kadar air, lemak, protein dan abu. Kemampuan Menahan Air (Water holding capacity (WHC)) dan Kemampuan menyerap Minyak (Oil absorption capacity (OAC)) WHC dan OAC ditentukan dengan metode Sosulski, et al. (1976). Satu gram sampel dicampur dengan 10 ml aquadest atau minyak kedelai dalam tabung centrifuge. Campuran di homogenisasi selama 30 detik setiap 5 menit dengan vortex dan setelah 30 menit tabung disentrifugasi selama 30 menit pada 2000g. Air atau minyak yang tidak terserap pada bahan dibuang dengan cara dituang. WHC (g air per g sampel) dihitung menggunakan persamaan: WHC = (W2-W1)/W0 dalam hal ini W0 adalah berat sampel kering (g), W1 adalah berat tabung berisi sampel kering (g) dan W2 adalah berat tabung berisi sampel setelah pengujian, (setelah air atau minyak dituang) (g). OAC (gram minyak per gram protein) dihitung menggunakan persamaan: OAC = (O2-O1)/ O0 dalam hal ini O0 adalah berat sampel kering (g), O1 adalah berat tabung ditambah sampel kering (g) dan O2 adalah berat tabung dengan sampel setelah pengujian (g). Kemampuan Pembentukan Buih dan Stabilitas Buih Kemampuan pembentukan buih dan stabilitas buih ditentukan dengan metode Kabirullah dan Wills (1982). Lima puluh millileter larutan isolat protein 1% pada pH 7 dihomogenisasi pada kecepatan rendah selama 1 menit
menggunakan waring blender, kemudian dipindahkan ke alam gelas ukur. Volume busa yang terbentuk di atas permukaan larutan dicatat setelah 30 detik. Kemampuan pembentukan buih dinyatakan sebagai persen volume yang meningkat karena terbentuknya buih. Stabilitas buih dinyatakan sebagai volume buih yang tersisa setelah 30, 60, 90 dan 120 menit. Kemampuan Pembentukan Gel (Least Gelation Concentration (LGC)) Kemampuan pembentukan gel ditentukan dengan modifikasi metode Coffman dan Garcia (1977). Tabung reaksi berisi suspensi 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, dan 20% (b/v) bahan dalam 5 ml aquadest pada pH 7 dipanaskan selama 1 jam dalam air mendidih dilanjutkan dengan pendinginan pada air es dan pendinginan lebih lanjut pada 4oC selama 2 jam. Kemampuan pembentukan gel (LGC) dinyatakan sebagai konsentrasi terkecil sampel yang tidak tumpah saat tabung reaksi dibalik, setelah suspensi dipanaskan dan didinginkan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Kimia Bungkil Wijen dan Tepung Wijen Rendah Lemak Komposisi proksimat bungkil wijen dan tepung wijen rendah lemak ditunjukkan pada Tabel 1. Komposisi proksimat bungkil wijen dan tepung wijen rendah lemak lemak asal Indonesia varietas Sumberrejo 1 ternyata mirip dengan wijen dari Thailand hasil penelitian dari Oksaard, et al (2010) dan wijen dari India hasil penelitian Gandhi dan Srivastava (2007), kecuali untuk kadar abu dalam hal ini wijen Indonesia yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi dari wijen Thailand. Variasi ini mungkin karena perbedaan dalam berbagai tanaman, iklim budidaya, tahap pemata ngan, waktu panen biji wijen dan metode ekstraksi yang digunakan. Tabel 1. Komposisi kimia bungkil wijen dan tepung wijen rendah lemak Analisis Bungkil wijen Tepung wijen rendah (%db) lemak (%db) Kadar air 6,74±0,07 13,73±0,6 Kadar lemak 25,59±0,48 0,63±0,16 Kadar protein 36,04±0,08 51,31±0,09 Kadar abu 12,76±0,04 9,09±0,06 Karbohidrat a 18,86±0,93 25,24±0,86 Nilai dari tiga ulangan ± standar deviasi aditentukan dengan by-different . Pembuatan Protein Isolat Penelitian awal dilakukan untuk mengetahui profil kelarutan protein pada berbagai pH. Hasil ini digunakan untuk memilih pH solubilisasi dan pH pengendapan protein. Profil kelarutan protein pada berbagai pH diberikan pada Gambar 1.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 144
ISBN 978-602-98902-1-1
seperti komposisi asam amino, konformasi protein dan surface hydrophobicity. Tabel 2. Sifat Fungsional Isolat Protein Wijen Value
Gambar 1. Profil Kelarutan Protein Wijen pada Berbagai pH Gambar 1 menunjukkan bahwa kelarutan protein wijen meningkat ketika pH di bawah atau di atas pH Isoelektrisnya (pH 4). Kelarutan protein yang relatif rendah di dekat pH isoelektris dapat disebabkan protein pada pH tersebut memiliki muatan yang rendah, karena adanya gaya tolak menolak elektrostatik antara muatan positif dan negatif. Pada nilai pH di atas atau di bawah pH isoelektriknya, protein memiliki muatan negatif atau positif sehingga ada tolakan elektrostatik yang kuat. Kondisi ini mencegah protein mengalami penggabungan sehingga menyebabkan peningkatan kelarutan protein. Selain berpengaruh pada kelarutan protein, ternyata peningkatan pH juga berpengaruh pada warna. Peningkatan pH menyebabkan ketampakan warna larutan.lebih gelap. Dari percobaan ini diperoleh cara pembuatan isolat protein dengan menggunakan prinsip pelarutan-presipitasi protein pada pH 11 untuk pH solubilisasi dan pH 4 untuk pH presipitasi, yang selanjutnya digunakan untuk memproduksi isolat protein. Isolat protein yang dibuat dari tepung wijen rendah lemak dengan solubilisasi pada pH 11 diikuti presipitasi pada pH isoelektriknya (pH 4) memiliki protein recovery sebesar 55,52 ± 2,84% dengan kadar protein 90,88 ± 2,66% (% db). Sifat Fungsional Isolat Protein Wijen Sifat fungsional protein isolat wijen, meliputi WAC dan OAC, LGC, kemampuan pembentukan buih dan stabilitasnya, disajikan pada Tabel 2. Kemampuan Menahan Air (WHC) dan Kemampuan menyerap Minyak (OAC) Interaksi air dan minyak dengan protein sangat penting dalam sistem pangan karena efek mereka dalam rasa dan tekstur makanan. Pengukuran daya serap air (WAC) dan daya serap minyak (OAC) dari penelitian menunjukkan nilai yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan WAC dan OAC konsentrat protein wijen Thailand (masing-masing 353 ± 0,36% dan 269±0,22) (Onsaard, et al., 2010). Namun jika dibandingkan dengan protein isolat wijen India (masing-masing 192% dan 378%) (Gandhi dan Srivastava, 2007), isolat protein wijen Indonesia varietas Sumberejo 1 ditemukan memiliki WAC yang lebih tinggi tapi dengan OAC yang lebih rendah. Perbedaan ini mungkin karena perbedaan faktor-faktor intrinsik
Kemampuan Menahan Air (WAC) (%) Kemampuan Menyerap Minyak (OAC) (%) Kemampuan Pembentukan Gel (LGC) (% w/v) Kemampuan Pembentukan buih (%) Stabilitas buih (%) at 30 min at 60 min at 90 min at 120 min
377,43±2,66 263,9±8,89 12 196,53±2,2 75,77±4,38 64,04±6,45 54,26±9,27 41,04±11,77
Kemampuan Pembentukan Gel (LGC) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan pembentukan gel dengan Least Gelation Capacity (LGC) 12%. Hal ini menyatakan bahwa isolat protein wijen dapat membentuk gel dengan konsentrasi paling sedikit 12%. Kemampuan pembentukan gel ini sama dengan isolat protein wijen India oleh Gandhi dan Srivastava (2007). Sifat kemampuan pembentukan gel ini dikaitkan sifat kemampuan menyerap dan mempertahankan airnya. Bahan yang mempunyai kemampuan menyerap air rendah biasanya mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah. Sathe, et al. (1982) mengemukakan bahwa sifat ini dapat diasosiasikan dengan dengan komposisi kimia bahan tersebut, seperti komponen karbohidrat dan lemak. Lebih lanjut, Fleming et al., (1975) mengemukakan sifat ini mempunyai korelsi langsung dengan kandungan globulin dalam bahan. Kemampuan Pembentukan Buih dan Stabilitas Buih Persyaratan dasar protein sebagai agen pembentuk buih yang baik adalah kemampuan untuk (i) menyerap dengan cepat di interfase air dan udara selama proses pembuihan, (ii) memiliki kemampuan perubahan konformasi yang cepat dalam pembentukan ulang di interfase air dan udara dan (iii) mampu membentuk sebuah lapisan viskoelastik kohesif melalui interaksi antarmolekulnya. Dua faktor pertama sangat penting untuk menentukan kemampuan pembentukan buih yang lebih baik sedangkan faktor yang ketiga penting bagi dalam menentukan stabilitas buih (Sathe, et al., 1982). Pengukuran kemampuan pembentukan buih menunjukkan kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat protein wijen Thailand (Onsaard, et al., 2010). Hasil pengujian stabilitas buih dari penelitian ini menunjukkan stabilitas yang baik. Dari hasil kajian sifat sifat fungsional isolat protein bungkil wijen tersebut menunjukkan sifat cukup bagus dan potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengaya protein pada pangan, namun karena pada bungkil wijen hasil samping pengambilan minyak wijen lazimnya ada perlakuan pendahuluan seperti penyangraian, yang memungkinkan perubahan sifat fungsionalnya, maka perlu dilakukan kajian
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 145
ISBN 978-602-98902-1-1
pengaruh proses penyangraian terhadap sifat fungsional isolat protein. Di samping itu perlu pula dikaji jenis asam amino penyusun protein wijen ini dalam kaitannya dengan penggunaan lebih lanjut, misalnya untuk fortifikasi protein pada makanan tertentu. Selain itu perlu pula kajian perbandingan sifat sifat fungsional isolat protein wijen ini dengan isolat protein kedele yang sudah lebih lazim penggunaannya.
KESIMPULAN Isolat protein yang diperoleh dari bungkil wijen putih Indonesia varietas Sumberejo 1 melalui metoda pelarutan dan pengendapan pada titik isoelektris, merupakan sumber protein nabati yang baik, dengan kadar protein 90,88% dan memiliki sifat fungsional dapat digunakan untuk pertimbangan dalam penggunaannya sebagai bahan tambahan dalam sistem makanan.
Nzikou, J.M., Matos, L., Bouanga-Kalou, G., Ndangui, C.B., Pambou-Tobi, N.P.G., Kimbonguila, A., Silou, Th., Linder, M. and Desobry, S. 2009. Chemical Composition on the Seeds and Oil of Sesame (Sesamum indicum L.) Grown in Congo-Brazzaville. Advance Journal of Food Science and Technology 1(1): 6-11. Onsaard, E., Patchaneepun, P., and Poonpun, A. 2010. Functional Properties of Sesame Protein Concentrate from Sesame Meal. As. J. Food Ag-Ind., 3(04): 420-431. Sathe, S.K, Deshpande, S.S. and Salunkhe, D.K. (1982). Functional properties of winged bean (Psophocarpus tetragonolobus, L) proteins. Journal of Food Science, 47 (2), 503-506.
DAFTAR PUSTAKA Adebowale,Y. A., E. A. Adeyemi, and A. A. Oshodi. 2005. Functional and Physicochemical Properties of flours of six Mucuna Species. African Journal of Biotechnology. Vol 4 (12): 1461-1468. Chavan, U. D., D. B. Mc Kenzie, F. Shahidi. 2001. Functional Properties of Protein Isolates from Beach Pea (Lathyrus maritimus L.). Food Chemistry (74): 177-187. Coffman, G. W. O. and Garacia, V. V. 1977. Functional Properties and Amino Acid Content of Protein Isolates from Mung Bean. Journal of Food Technology, 12: 423-477. Fleming, SE, Sosulski FW, and Hamon NW. 1975. Gelation and thickening phenomenon of vegetable protein products. J. Food Sci. 40,805-807. Gandhi, A.P. and Srivastava, J. (2007). Studies on the production of protein isolates from defatted sesame seed (Sesamum indicum) flour and their nutritional profile. ASEAN Food Journal, 14 (3), 175-180. Inyang, U.E. and Iduh, A.O. (1996). Influence of pH and salt concentration on protein solubility, emulsifying and foaming properties of sesame protein concentrate. Journal of the American Oil Chemists’ Society, 73(12), 1663-1667. Kabirullah M and Wills, R. B.H. 1982. Functional Properties of Acetylated and Succinylated Sunflower Protein Isolate. J Food Technology 17: 235–249. Kanu, P.J., Kerui, Z., Ming, Z.H., Haifeng, Q., Kanu, J. and Kexue, Z. (2007). Sesame protein 11: Functional properties of sesame (Sesamum indicum L.) protein isolate as influenced by pH, temperature, time, and ratio of flour to water during its production. Asian Journal of Biochemistry, 2(5), 289-301. Naczk, M., Diosady, L. L., & Rubin, L. J. (1985). Functional properties of canola meals produced by a two phase solvent extraction system. Journal of Food Science, 50, 1685–1692.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 146
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengkayaan Zat Besi Organik Dan Anorganik Pada Ekstrak Kedelai: Pengaruhnya Terhadap Ketersediaan Zat Besi dan Sistem Kekebalan Bakteri [Enrichment of Organic and Anorganic Iron to Soybean Extract : The Effect on Iron Avalability and Bacteri Immune System] Enny Purwati Nurlaili
Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM
ABSTRACT A research on organic and anorganic iron enrichment to soybean extract has been conducted. The objectives of this research were to study on iron availability and bacteri immune system. Twenty newly born rats and their mother (4 rats) were used. They were divided into 4 groups of 5 newly born and 1 mother rats, and were given four different soybean extract respectively i.e. 1 (inorganic Fe enrichment), 2 (organic enrichment), 3 (inorganic and organic enrichment), Control (without Fe). FeSO4. 7 H2O and lactoferrin were used as the source of inorganic and organic Fe respectively. During the experiment the rats baby also got regular milk from their mothers which were fed by AIN 93 diet. After 22 days of intervention, blood were withdrawn from the retroorbital plexus for Hb, Fe, and bacteri total determination. The rats were executed and liver was taken for Fe analysis, and bacteri total Escherichia coli, Salmonella pullorum, Staphylococcus aureus and Bacillus subtilis gut was taken. It was found that Fe enrichment of the soybean extract have increase the total hemoglobin (12,18 g/dl), total Fe of the serum (112,13 μg/dl ), highest in third groups. Number of total Fe of the liver highest in control groups. Bacteri total of the gut Escherichia coli (4,26 X104 cfu/g) and Staphylococcus aureus (7,76X104cfu/g) lowest in third groups, but Salmonella pullorum (3,14X103cfu/g) and Bacillus subtilis (4,26X105cfu/g) in two groups. Key words : organic and anorganic iron, soybean extract, iron availability, bacteri total.
PENDAHULUAN Masalah gizi di Indonesia yaitu gizi kurang dan lebih, tetapi untuk masalah gizi kurang yang masih ada, yaitu kurang energi protein (KEP), anemi gizi besi (AGB), gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kurang vitamin A (KVA). Anemi gizi merupakan penyakit kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, seperti zat besi, asam folat dan vitamin B12 yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah merah, tetapi yang paling banyak disebabkan karena kekurangan zat besi sehingga disebut anemi gizi besi (AGB) (Almatsier, 2002). Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, prevalensi anemi gizi besi pada bayi dan anak balita di Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 40,5 %, ibu hamil (50,9 %) dan menyusui sebesar 45,1 %. yang mempunyai implikasi sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang luas karena dapat menyebabkan rentan terhadap infeksi, ketahanan fisik berkurang. Sehingga berakibat angka sakit dan angka kematian meningkat, menurunkan daya kerja fisik, akan mengurangi laju pembangunan nasional (Ernawati, 2003) Kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh ketersediaan zat besi pada makanan yang rendah, ASI sebagai makanan bayi bukan merupakan sumber zat besi, oleh karena itu bayi berumur lebih dari 6 bulan perlu tambahan makanan yang mengandung zat besi. (Abdul, 2002). Upaya mengatasi masalah AGB tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan jumlah dan kualitas zat besi, tetapi berpengaruh pada warna, rasa, aroma, daya tahan, kenampakan serta menyebabkan mual, muntah, diare dan konstipasi Laktoferin merupakan zat besi organik yang ditemukan pada kolustrum dan ASI mamalia (Teraguchi dkk. 1994), berfungsi sebagai penghambat bakteri patogen yang hidupnya tergantung pada zat besi yang ada dalam saluran pencemaan
dan sebagai pensuplai zat besi organik (Naim, 2005). Walaupun harganya sangat mahal tetapi bayi yang mengkonsumsi ekstrak tersebut tidak mengalami diare. Ekstrak kedelai menurut Solahudin (2005) merupakan pengganti ekstrak bagi anak yang alergi terhadap susu sapi (menderita laktose intoleranse). Penggunaan ekstrak kedelai yang diperkaya dengan zat besi organic (laktoferin) pada penelitian ini agar bayi yang mengalami AGB sekaligus laktose intoleranse diharapkan dapat mengkonsumsi ekstrak kedelai ini dengan aman. Melihat potensi laktoferin tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian ini yang sangat penting untuk konsumen supaya tidak hanya membeli ekstrak kedelai yang mahal tetapi juga bermanfaat.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah laktoferin (PT Sari Husada), tikus putih jenis Wistar (LPPT UGM), ekstrak kedelai untuk bayi (komposisi sama, berbeda sumber zat besinya, zat besi anorganik/ FeS04.7H20 dan organik/laktoferin. Pakan induk tikus (AIN-93 G, komposisi tepung jagung, kasein, dekstrin, sukrosa, minyak kedelai, campuran vitamin AIN-93-VX, campuran mineral AIN-93 G-MX, L-sistin, kolin bitartrat, tertbutilhidroquinon), bahan-bahan kimia untuk analisis dengan kualitas pro analisis. Alat yang digunakan antara lain spray drier (Lab plant), spektrometer DR/2000 Hach, AAS (Parkin elmer tipe 2380), Sentrifuse (Heraeus sepatech biofuge 15)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 147
ISBN 978-602-98902-1-1
Cara Penelitian Penelitian secara in vivo ini didahului dengan pembuatan ekstrak kedelai untuk bayi yang mengacu pada ekstrak kedelai yang ada di pasaran, kemudian dilanjutkan dengan pemberian ekstrak kedelai tersebut pada anak tikus. Komposisi ekstrak kedelai untuk anak usia 6 bulan - 2 tahun (usia sapih) mengacu pada Codex Alimentarius, dibuat dengan komposisi sama kecuali untuk sumber zat besinya. Formula untuk induk (ibu hamil dan menyusui) dibeli dengan komposisi menurut Codex Alimentarius. Penelitian diawali dengan adaptasi pakan tikus selama seminggu dengan pakan standar yang mengacu pada American Institute of Nutrition 1993 (AIN-93) pada 4 ekor calon induk tikus, kemudian dianalisis kadar hemoglobinnya. Selanjutnya calon induk tikus tersebut dikawinkan dengan tikus jantan. Setelah yakin telah kawin, calon induk tikus dipisahkan dari kandang untuk kawin dan diletakkan pada kandang yang lain, pada saat itu calon induk tikus sudah dinyatakan hamil dan diberi ekstrak untuk induk hamil dengan cara dipaksa (force feeding) masing-masing sebanyak 4 ml perhari yang diberikan dalam 2 kali. Perkiraan lama calon induk tikus hamil selama 2022 hari. Selama masa kehamilannya calon induk tikus diberi pakan AIN-93 G. Setelah anak tikus lahir dilakukan penimbangan berat badan anak tikus setiap hari, hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan berat badannya. Pada hari ke 6, dipilih secara acak anak tikus yang mempunyai berat badan antara 7-10 g sebanyak 5 ekor tiap induk tikus, dan kemudian dibagi kelompok untuk tiap-tiap perlakuan, terdiri dari seekor induk tikus dengan 5 ekor anak tikus. Untuk anak tikus yang mempunyai berat badan lahir rendah akan disortir dan tidak digunakan untuk penelitian ini. Setiap kelompok diberi ekstrak kedelai dengan komposisi yang sama kecuali pada sumber zat besi yang berbeda, kelompok tersebut berturut-turut adalah kelompok 1 (diberi ASI dan ekstrak kedelai dengan FeSO4.7 H2O), kelompok 2 (diberi ASI dan ekstrak kedelai dengan laktoferin), kelompok 3 (diberi ASI dan ekstrak kedelai dengan campuran FeSO4 7 H2O dan laktoferin), kelompok kontrol (diberi ASI dan ekstrak kedelai tanpa penambahan zat besi). Pemberian ekstrak kedelai diberikan sampai usia sapih, pemberian dilakukan secara paksa (force feeding) sebanyak 0,1-0,4 ml, dua kali sehari. Untuk ekstrak induk diberikan sebanyak 2 ml, dua kali sehari. Sedangkan untuk pakan (AIN93G) dan minuman induk diberikan secara tak terbatas (ad libitum). Pada akhir perlakuan tersebut di atas semua anak tikus dari masing-masing kelompok perlakuan diambil darahnya melalui mata (retroorbital plexus) dengan menggunakan suatu tabung mikro hematokrit untuk analisis kadar hemoglobin, total zat besi dari serum, selanjutnya juga dilakukan pembedahan anak tikus, untuk diambil organnya (hati), dan digunakan untuk analisis total zat besi dari hati. Parameter Yang Diamati Parameter yang akan diamati pada penelitian ini, meliputi kadar hemoglobin darah (Tes Fotometrik-3317 Merckotest), total zat besi serum-dan hati (Astuti, 1992), sifat bakteriostatik bakteri gram positif dan gram negatif. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metoda Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan yaitu kelompok 1 (dengan sumber zat besi anorganik yaitu FeSO4. 7 H2O), kelompok 2 (dengan sumber zat besi organik yaitu laktoferin), kelompok 3 (dengan sumber zat besi anorganik dan organik yaitu FeSO4. 7 H2O dan laktoferin), kelompok kontrol (tanpa zat besi). Masing-masing perlakuan menggunakan 5 ekor anak tikus (ulangan) dengan menggunakan seekor induk. Dari hasil analisis, dievaluasi dengan analisis varian (anova) pada tingkat kepercayaan 5 % dan 1 %, jika terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji BNT.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kadar Hemoglobin Dalam Darah Anak Tikus Hasil analisis kadar hemoglobin dalam darah ditunjukkan pada Tabel 1, menyatakan bahwa kadar hemoglobin darah antar perlakuan berbeda nyata pada taraf 5%. Jika dilihat pada hasil tersebut di atas bahwa kecenderungan kadar hemoglobin pada perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik dan organik mempunyai kadar hemoglobin yang tertinggi, kemudian diikuti oleh penambahan zat besi organik dan baru yang anorganik. Hal ini menunjukkan bahwa pengkayaan zat besi organik (laktoferin) ternyata mempengaruhi dalam peningkatan kadar hemoglobin dalam darah anak tikus. Hal ini didukung dengan hasil penelitian oleh Nagasako, dkk. 1993 yang menyatakan bahwa laktoferin merupakan regulator dalam absorbsi zat besi dan mempunyai bioavailabilitas yang tinggi, yang juga dikemukan oleh Ward dkk. (2005). Tetapi hasilnya berbeda dengan hasil penelitian pada anak sapi oleh Kume dan Tanabe (1994) yang menyatakan bahwa dengan penambahan laktoferin yang dijenuhi zat besi tidak menaikkan kadar hemoglobin dalam darah anak sapi, tetapi penambahan FeSO4. 7 H2O dengan laktoferin mungkin lebih efektif dalam meningkatkan hemoglobin pada anak sapi (Kume dan Tanabe, 1996). Fenomena yang sama ditunjukkan oleh Nagasako, dkk (1993) yang mengatakan bahwa kemungkinan laktoferin yang mengikat zat besi pada sisi yang satu sedangkan sisi yang lain bertindak sebagai pengikat (chelat), sehingga mengakibatkan meningkatnya absorbsi zat besi dari usus ke hemoglobin darah. Hal yang senada juga disampaikan oleh Nurlaili (2002) yang mengatakan bahwa suplementasi laktoferin pada susu formula ternyata dapat mempengaruhi peningkatan kadar hemoglobin darah anak tikus. Laktoferrin berfungsi sebagai regulator absorbsi zat besi, hal ini dapat dibuktikan dengan penambahan laktoferin yang dijenuhi zat besi dapat mencegah anemia pada tikus, dan meningkatkan hematokrit serta hemoglobin darah pada tikus yang mengalami anemia (Kume, 1994 ;Nagasako dkk.,1993). Nagasako dkk., 1993. mengatakan bahwa bayi yang minum ASI jarang menderita anemi karena bioavailabilitas yang tinggi dari zat besi dalam ASI. Kemungkinan bahwa laktoferin berfungsi sebagai sumber zat besi terutama bagi bayi yang baru lahir. 2. Kadar Total Zat Besi Pada Serum Anak Tikus Hasil analisis kadar total zat besi pada serum (Tabel 1), menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 148
ISBN 978-602-98902-1-1
Perlakuan pemberian ekstrak kedelai dengan dengan penambahan zat besi anorganik dan organik cenderung mempunyai total zat besi pada serum yang paling tinggi. Artinya bahwa pengkayaan laktoferin berfungsi untuk menstabilkan kandungan zat besi anorganik yang terdapat dalam serum, pendapat ini dikemukakan oleh Nagasako, dkk. 1993 dan oleh Kawakami, dkk. 1993, yang juga mengatakan bahwa zat besi fero mudah dirubah bentuk feri yang tak terlarut, tetapi kelarutan zat besi fero dapat distabilkan oleh laktoferin, dan aktivitas mengikat zat besi laktoferin yang sangat besar mungkin berhubungan dengan peranan laktoferin dalam absorbsi zat besi. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Nurlaili (2002), mengatakan bahwa perlakuan pemberian susu formula dengan penambahan zat besi organik (laktoferin) dapat meningkatkan kadar total zat besi pada serum anak tikus. Mekanisme laktoferin untuk meningkatkan absorbsi zat besi yang bertanggung jawab terhadap peningkatan absorbsi zat besi pada anak sapi belum diketahui dengan jelas, kecuali laktoferin yang dijenuhi zat besi kemungkinan akan mengikat zat besi pada sisi yang satu sedangkan sisi yang lain bertindak sebagai pengkelasi (chelat) dan meningkatkan absorbsi zat besi dari usus ke hemoglobin darah daripada yang disimpan dalam jaringan (Nagasako, dkk. 1993). 3. Kadar Total Zat Besi Pada Hati Anak Tikus Hasil analisis kadar total zat besi pada hati (Tabel 1), menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%, kecuali pada perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan dengan penambahan laktoferin ternyata akan mempengaruhi pada zat besi yang tersimpan dalam hati. Seperti yang sudah diutarakan oleh, Nagasako, dkk. 1993 mengemukakan bahwa mekanisme laktoferin dalam membantu meningkatkan absorbsi zat besi belum diketahui secara jelas, akan tetapi setelah zat besi diabsorbsi dari usus kemudian lebih dialihkan untuk meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah daripada disimpan di dalam jaringan, ternyata dari hasil analisis menunjukkan bahwa zat besi organik belum secara jelas mampu meningkatkan kandungan zat besi yang tersimpan dalam jaringan yaitu pada hati tetapi berpengaruh pada kadar hemoglobinnya. Tabel 1. Kadar Hemoglobin Darah, Kadar Zat Besi Serum dan Hati Perlakuan Kadar Hb Kadar Fe Kadar Fe Hati Darah (g/dl) Serum (μg/dl) (ppm) Kel 1
10,09 c
90,56 c
56,33 d
Kel 2
10,81 b
105,41 b
139,05 b
Kel 3
12,18 a
112,13 a
85,08 c
Kontrol
8,00 d
49,26 e
202,99 a
Keterangan : * Rata-rata dari lima kali ulangan ** Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
4. Total Bakteri Escherichia coli Dalam Usus Anak Tikus E. coli merupakan bakteri patogen yang sangat membahayakan, biasanya terdapat pada saluran pencernaan. Dengan penelitian pengkayaan laktoferin ini diharapkan E. coli
yang terdapat pada usus tikus dapat ditekan. Hasil analisis total bakteri E. coli pada usus ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol mempunyai rata-rata E. coli yang tertinggi dibandingkan dengan semua perlakuan, kemudian berturut-turut perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik, penambahan zat besi organik dan campuran zat besi anorganik dan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antar semua perlakuan berbeda sangat nyata, baik untuk perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik, penambahan zat besi organik, campuran zat besi anorganik dan organik, kontrol (p>0,01). Penggunaan laktoferin dalam penelitian ini ternyata mampu menekan pertumbuhan E. coli dalam usus. Menurut Teraguchi, dkk. 1994 mengatakan bahwa apolaktoferin dapat menghambat pertumbuhan E. coli secara in vitro dengan mekanisme pengasingan zat besi dengan kemampuan mengikat zat besi yang kuat, sehingga membuat lingkungan yang defisien zat besi untuk semua bakteri yang memerlukan zat besi untuk pertumbuhannya. Sedangkan menurut Arnold, dkk. 1980. mengatakan bahwa hubungan secara langsung antara laktoferin dan permukaan bakteri, mengindikasikan bahwa laktoferin dapat merusakkan membran bagian luar dari bakteri Gram Negatif sehingga menyebabkan terlepasnya lipopolisakarida dari sel bakteri, dengan cara demikian sensitifitas sel berfungsi sebagai antibiotik (Dionysius, dkk. 1993). Lebih lanjut Dionysius (1993) mengatakan bahwa bentuk laktoferin yang didasarkan atas kandungan zat besinya dibedakan menjadi native-laktoferin (kejenuhan zat besi 31,7 %), apo-laktoferin (0,6 %), keduanya menghambat pertumbuhan 19 strains bakteri E. coli dan holo-laktoferin (100 %) tidak berpengaruh. 5. Total Bakteri Salmonella pullorum Dalam Usus Anak Tikus Salmonella sp merupakan parasit pada manusia, mamalia lain, juga pada burung dan beberapa jenis amfibi. Hasil perhitungan total bakteri Salmonella pullorum pada usus anak tikus ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan campuran zat besi anorganik dan organik mempunyai rata-rata Salmonella pullorum yang tertinggi dibandingkan dengan semua perlakuan, kemudian berturut-turut perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik,kontrol, penambahan zat besi organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan zat besi campuran zat besi anorganik dan organik berbeda sangat nyata dengan perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik, penambahan zat besi organik, kontrol (p>0,01). Hasil penelitian Suzuki dkk (2005), menunjukkan bahwa struktur dan fungsi reseptor laktoferin pada mamalia memperlihatkan aktifitas sangat tinggi di usus kecil bayi, sedangkan dalam jumlah normal tersebar di seluruh jaringan. Pemberian pakan berupa susu sapi pada mencit menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dari jaringan usus ke mesenteric lymp nodes, dan bakteri yang berperan terutama anggota dari famili Enterobacteriaceae.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 149
ISBN 978-602-98902-1-1
6. Total Bakteri Staphylococcus aureus Dalam Usus Anak Tikus Staphylococcus sering terdapat sebagai flora normal pada kulit atau selaput lendir manusia, tapi dapat pula sebagai penyebab penyakit infeksi, pernanahan, abses bahkan septikimia yang fatal. Staphylococcus tertentu dapat menyebabkan keracunan makanan, karena memproduksi enterotoksin tahan panas. Penentuan total bakteri Staphylococcus aureus pada usus anak tikus, dilakukan untuk mengetahui seberapa besar bakteri tersebut yang tersimpan di dalam mukosa usus. Untuk mengetahui lebih jelas disajikan pada Tabel 2. Perlakuan dengan penambahan penambahan zat besi organik mempunyai rata-rata Staphylococcus aureus yang tertinggi dibandingkan dengan semua perlakuan, kemudian berturut-turut perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik, kontrol, campuran zat besi anorganik dan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antar semua perlakuan berbeda sangat nyata, baik untuk perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik, penambahan zat besi organik, campuran zat besi anorganik dan organik, kontrol (p>0,01). Rainard (1992) melaporkan bahwa laktoferin mampu menghambat aktifitas bakteri uji, dan menyebabkan bakteri kehilangan kemampuannya untuk membentuk koloni dengan cepat, yang diduga berupa bagian struktural yang merupakan salah satu sifat utama bakteri. Vorland dkk (1998) melaporkan bahwa laktoferin yang berasal dari sapi mempunyai antibakteri terhadap E.coli dan S.aureus lebih tinggi bila dibandingkan dengan manusia, tikus dan kambing. Secara alami protein yang bersifat antimikrobial mempunyai kemampuan aktivitas sebagai antiviral. 7. Total Bakteri Bacillus subtilis Dalam Usus Anak Tikus Bakteri ini mempunyai kemampuan memproduksi endospora yang tahan pada lingkungan yang ekstrim. Bacillus subtilis dapat menjadi penyebab pengasaman (souring) makanan kaleng akibat degradasi gula. Hasil analisis total bakteri Bacillus subtilis pada usus anak tikus disajikan pada Tabel 2. Perlakuan dengan penambahan penambahan campuran zat besi anorganik dan organik zat besi organik mempunyai ratarata Bacillus subtilis yang tertinggi dibandingkan dengan semua perlakuan, kemudian berturut-turut perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik, zat besi organik dan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antar semua perlakuan berbeda sangat nyata, baik untuk perlakuan dengan penambahan zat besi anorganik, penambahan zat besi organik, campuran zat besi anorganik dan organik, kontrol (p>0,01). Laktoferin dikenal mempunyai kemampuan sebagai antimikrobia. Kemampuan tersebut dimungkinkan oleh adanya peptida tunggal yang aktif, yang mempunyai lokasi di dekat Nterminal dari laktoferin, yaitu wilayah yang berbeda dari tempat pengikatan Fe. Sekuen laktoferin yang bersifat antimikrobia pada manusia terdiri dari 18 residu asam amino yang dibentuk dari ikatan disulfida antara residu sistein 20 dan 37, sedangkan pada sapi 19 dan 36. Peptida aktif yang berasal dari susu sapi didapatkan lebih potensial daripada yang berasal dari manusia.
Peptida ini efektif melawan bakteri gram negatif dan gram positif (Lonnerdal dan Iyer, 1995) Tabel 2. Total Bakteri Escherichia coli, Salmonella pullorum, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis Pada Usus Anak Tikus Perlakuan
Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kontrol
Total Bakteri E.coli Usus (cfu/g)
Total Bakteri S. pullorum Usus (cfu/g)
Total Bakteri S.aureus Usus (cfu/g)
Total Bakteri B.subtilis Usus (cfu/g)
1,45 X107 b 4,80 X106 c 4,26 X104 d 3,79 X107 a
8,44X105 b
1,63X106 c
8,56X105 c
3,14X103 b
3,63X106 a
4,26X105 d
7,97X107 a
7,76X104 e
3,68X106 a
3,68X105 b
4,53X105 d
7,20X104 e
Keterangan : * Rata-rata dari lima ulangan ** Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengkayaan zat besi organik dan anorganik pada ekstrak kedelai perlakuan 3 paling efektif dalam meningkatkan kadar kadar hemoglobin darah (12,18 g/dl), kadar total Fe pada serum (112,13 μg/dl ). Kadar Fe pada hati tertinggi pada kelompok kontrol (202,99 ppm). Sedangkan pada ekstrak kedelai perlakuan 3 paling efektif dalam menurunkan total bakteri Escherichia coli (4,26X104 cfu/g) dan Staphylococcus aureus (7,76X104cfu/g), sedangkan perlakuan 2 mampu menurunkan Salmonella pullorum (3,14X103cfu/g) dan Bacillus subtilis (4,26X105cfu/g).
UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terimakasih kepada : Direktorat Penelitian Dan Pengabdian Kepada Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas Dana Hibah Bersaing Tahun 2009 yang diberikan kepada Peneliti
DAFTAR PUSTAKA Abdul, A. 2002, Pengaruh Pemberian Kombinasi Fero Sulfat Bersama Asam Askorbat dan Asam Sitrat Terhadap Status Zat Besi Pada Tikus Rattus norvegicus Dengan Keadaan Defisiensi Zat Besi, Airlangga University Library, Surabaya Almatsier. S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Dionysius,A.D., Grieve,P.A., dan Milne,J.M. 1993. Forms of Lactoferrin : Their Antibacterial Effect on Enterotoxigenic E.coli. J.Dairy Sci. 76 : 2597-2606.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 150
ISBN 978-602-98902-1-1
Ernawati, F. 2003, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Severitas Anenii Anak Balita dan Wanita Usia Subur , Center for Research and Development of Nutrition and Food, N1HRD Hashizume, S., Kuroda, K. dan Murakami, H. 1983. Identification of Lactoferrin as an Essential Growth Factor for Human Lymphocytic Cell Lines in Serum -free Medium. Bichim. Biophys. Acta. 763-777. Heinnermen. J. 2003. Khasiat Kedelai Bagi Kesehatan Anda. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. Kawakami,H., Dosako,S. dan Nakajima,I. 1993. Note : Effects of Lactoferrin on Iron Solubility under Neutral Conditions. Biosci. Biotech. Biochem. 57(8) : 1376-1377.
Teraguchi,S., Ozawa,K., Yasuda,S., Shin,K., Fukuwatari,Y., dan Shimamura,S. 1994. The Bacteriostatic Effects of Orally Administered Bovine Lactofen-in on Intestinal Enterobacteriaceae of SPF Mice Fed Bovine Milk. Biosci. Bioth. Biochem. 58: (3) 482 -487. Vorland, L.H., Ulvatine, H., Anderson, J., Haukland, H., Rekdal, O., Svendsen, J.S. dan Gutterberg, T.J. 1998. Lactoferrin of Bovine Origin is More Active than Lactoferrin of Human, Murine, and Caprine Origin. Scand J. Infect.Dis. 30 (5): 513-517. Ward, P.P., Paz,E., Connely, O.M. 2005. Multifunctional Roles of Lactoferrin: A Critical Overview. Celluler and Molecular Life Sciences. 62.(2005), p 2540-2548.
Kawakami, H., Shinmoto, H., Dosoko,S., dan Sogo, Y. 1987. One Step Isolation of Lactoferrin Using Immobilized Monoklonal Antibiodies. J. Dairy sci. 70: 752-759. Kume.S.I. dan Tanabe, S. 1994. Effects of Twinning and Supplemental Iron-saturated Lactoferrin on Iron Status of Newborn Calves. J.Dairy Sci. 77 : 3118-3123. Kume,S.I. dan Tanabe, S.. 1996. Effects of Supplemental Lactoferrin with Ferrous Iron on Iron Status of Newborn Calves. J.Dairy Sci. 79 : 459-464 Lonnerdal, B. dan Iyer, S. 1995. Lactoferrin: molecular Structure and Biological Function. Annu. Rev. Nutr. 15: 93-110. Nagasako.Y., Saito,H., Tamura,Y., Shimamura.S., dan Tomita,M. 1993. Iron binding Properties of Bovine Lactoferrin in Iron Rich Sulution. J.Dairy Sci. 76: 18761881. Naim, R. 2005 Protein Antimikroba Dalam Susu.IPB Bogor Nurlaili, E.P. 2002. Efek Suplementasi laktoferin Pada Ekstrak terhadap Availabilitas Zat Besi,Oksidasi Lemak, Dan Pertumbuhan Escherichia coli Pada Saluran Pencernaan Tikus. Jurnal Teknologi & Industri Pangan. Vol.XIII No. 3 Tahun 2002, hal 239-245. Rahardjo, S. 1999. Konsumsi Protein Kedelai Lebih Efektif MenurunkanKolesterol Darah Dibandingkan Isoflavon. Jurnal Agritech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian. Vol 19.No. 4. tahun 1999, hal 149-159. Rainard, P. 1992. Binding of Bovine Lactoferrin to S. agalactiae. FEMS Microbiol. Lett. 177 (1-3): 235-239. Renner, E. 1989. Micronutrients in Milk and Milk Based Food Products. Elsevier Applied Science. London and New York. Solahudin. G.2005. Mengapa Anak Perlu Minum Susu ?. http:/7www. mail-archive. com/m
[email protected]/ Suzuku, Y.A., Lopez, V. Dan Lonnerdal, B. 2005. Mammalian Lactoferrin Receptors, Structure and Function. Cell. Moll. Life Sci. 62 (22): 2560-2575.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 151
ISBN 978-602-98902-1-1
VALIDASI ANALISIS KANDUNGAN ISOFLAVON PADA KEDELAI LOKAL SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI [Validation of Isoflavone Analysis of Local Soybean by HPLC] 1)
Sri Priatni1)*, Susfiyanti2), Yunahara Farida2)
Pusat Penelitian Kimia LIPI, Bandung, email:
[email protected] 2) Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta
ABSTRACT Soybean has been consumed in Indonesia since long times ago in several kinds of food products such as tofu, tempe and soy sauce. Besides protein sources, soybean also contain the isoflavone daidzein and genistein compounds having known as the bioactive compounds for anticancer and antioxidant. The aim of this research is to validate the analysis of daidzein and genistein content of local soybean var. Wilis by High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Isoflavone aglucone of daidzein and genistein analysis were carried out by extraction of the free fatty dried soybean flour with methanol. Extraction of these compounds was carried out by some stages before analyzed by HPLC. On this study, μBondapack C18 column chromatography was used with mobile phase the mixture of methanol-acetic acid glacial (97:3) and water-acetic acid glacial (97:3). Detection of these compounds was carried out by a UV detector at wavelength of 260 nm. Results calculation of the data was shown that correlation coefficient of standard calibrations daidzein and genistein standard were 0.9789 and 0.9147, respectively. Limit of detection (LOD) and limit of quantization (LOQ) of daidzein were 0.73 ppm and 2.43 ppm, genistein were 5.92 ppm and 19.72 ppm, respectively. According to Horwitz, the precision of this method was shown by coefficient variant (CV) value was 1.23% to 4.51%. Results analysis of daidzein and genistein compounds of the local soybean were 0.67 mg and 0.04 mg per 100g of free fatty dried soybean flour. Isoflavone content of local soybean var. Wilis was lower than that of import soybean which contained of 0.889 mg daidzein and 0.12 mg genistein per 100g of free fatty dried soybean flour. Keywords: validation, isoflavone, soybean, HPLC
PENDAHULUAN
Selain sebagai sumber protein nabati, kedelai diketahui memiliki potensi lain untuk dikembangkan karena mengandung senyawa bioaktif, yaitu isoflavon. Isoflavon adalah salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak terdapat dalam tumbuh-tumbuhan, khususnya dari golongan Leguminoceae. Isoflavon adalah senyawa yang termasuk dalam golongan flavonoid Senyawa isoflavon genistein dan daidzein banyak dikandung pada kacang kedelai dan hasil olahannya. Kedua jenis senyawa ini dikenal pula sebagai fitoestrogen karena strukturnya yang serupa dengan hormon estrogen pada manusia. Kandungan isoflavon genistein dan daidzein pada kedelai dapat berbeda tergantung pada varietas kedelai, lokasi penanaman, faktor iklim, lingkungan dan umur tanaman (Pawiroharsono, S., 1995). Berbagai aktivitas yang dimiliki senyawa isoflavonoida menyebabkan keberadaanya dalam kedelai menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Dilaporkan bahwa isoflav 2on memiliki sifat sebagai anti-hemolisis, anti-oksidan, anti-fungi serta anti-kanker (Wuryani, (1995). Isoflavonoida memiliki kelompok senyawa yang cukup besar yaitu 19 kelompok aglikon dan 6 kelompok glikosida. Meskipun berada dalam bentuk yang “bebas” (aglikon) dan “terikat” (glikosida), unsur utama penyusun isoflavonoida ialah 15 atom karbon dengan susunan sebagai C6 – C3 – C6. Isoflavon merupakan kelompok yang tersebar luas dibandingkan kelompok senyawa isoflavonoida lainnya. Meskipun berbagai senyawa telah dapat didentifikasi, namun yang paling sering ditemukan adalah daidzein (7,4’dihidroksiisoflavon) dan genistein (5, 7, 4’-trihidroksiisoflavon). Pada umumnya isoflavon diketemukan di alam dalam bentuk *
Korespondensi penulis:
[email protected]
aglikon, tetapi dalam kedelai sebagian besar daidzein dan genistein terikat dalam bentuk 7-O-glukosida daidzin dan genistin (Williams, CA. dan Harborne JB., 1989). Struktur kimia beberapa senyawa isoflavon yang umum terdapat dalam kedelai disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Senyawa isoflavon aglikon pada kedelai (9) Analisis senyawa isoflavon daidzein dan genistein pada kedelai lokal dan berbagai produk olahannya seperti tempe, kecap dan tauco telah dilakukan melalui beberapa penelitian. Secara umum, analisis isoflavon dilakukan dengan metode kromatografi kinerja tinggi (KCKT) karena metode tersebut dinilai cukup efektif, sensitif dan akurat. Maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji validasi analisis kandungan daidzein dan genistein pada kedelai lokal varietas Wilis menggunakan metode KCKT. Tahapan validasi meliputi penentuan batas deteksi atau limit of detection (LOD) dan batas kuantitasi atau limit of quantization (LOQ), uji linearitas, uji
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 152
ISBN 978-602-98902-1-1
kesesuaian sistem dan uji perolehan kembali. Disamping itu dilakukan pula analisis kandungan isoflavon pada kedelai lokal dibandingkan terhadap kandungan isoflavon pada kedelai impor.
METODOLOGI Bahan dan alat Senyawa standar murni daidzein dan genistein diperoleh dari Sigma Chemical Co. USA, conto kedelai lokal varietas Wilis dan conto kedelai impor berasal dari Amerika. Bahan lain yang digunakan adalah pelarut metanol pa., heksan teknis, asam asetat glasial pa., dan aquabidest. Peralatan yang digunakan adalah evaporator vakum, pendingin -20oC, soxhlet dan KCKT Hitachi dengan jenis detektor UV-VIS model L-7420. Metode Pembuatan larutan baku dan kurva kalibrasi Dua macam larutan baku dibuat dengan menimbang daidzein dan genistein masing-masing 1 mg dan dilarutkan dalam metanol pa sebanyak 10 ml. Larutan baku campuran dibuat dengan mencampur masing-masing 1 ml larutan induk ke dalam labu ukur 10 ml dan diencerkan dengan metanol sampai 10 ml. Kurva kalibrasi dibuat dengan cara membuat larutan baku daidzein dan genistein dengan konsentrasi 40 ppm, masingmasing dari larutan baku tersebut dipipet sebanyak 5 ml dan ditambahkan metanol sampai 10 ml, pengenceran dilakukan hingga konsentrasi 10 ppm. Selanjutnya, pengenceran dilakukan sampai lima tingkat konsentrasi yang berbeda yaitu 1,5 ppm, 2,5 ppm, 3,5 ppm, 4,5 ppm dan 6 ppm. Kurva kalibrasi didapat dengan menginjeksi masing-masing konsentrasi tersebut sebanyak 20μl pada alat KCKT Preparasi conto Metoda ekstraksi senyawa isoflavon mengikuti metoda yang telah digunakan oleh Wuryani yang dimodifikasi. Conto kedelai dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 2 jam kemudian dihaluskan dengan alat blender kering. Tepung kedelai selanjutnya ditimbang sebanyak 40 g dan diekstraksi dengan alat soxhlet menggunakan n-Heksana teknis selama 3 – 4 jam. Ekstraksi ini dilakukan untuk menghilangkan kandungan lemak pada conto. Tepung yang telah bebas lemak ditimbang sebanyak 30 g, kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan dilarutkan dalam 300 ml campuran metanol-air (80 : 20). Larutan didiamkan atau dienapkan pada suhu 4oC selama 1224 jam. kemudian disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum. Filtrat selanjutnya diuapkan dengan evaporasi pada suhu 40oC dengan tekanan rendah sampai kering, residu dilarutkan kembali dalam 120 ml metanol pa. Larutan disaring dan diuapkan sampai setengahnya dengan alat evaporator vakum, selanjutnya disimpan pada suhu -20oC selama 20 menit. Sisa larutan selanjutnya diuapkan kembali hingga kering dan residunya dilarutkan dengan 10 ml metanol pa. Analisis senyawa isoflavon dengan KCKT
Metoda analisis senyawa isoflavon ini mengikuti metoda yang telah digunakan oleh Wuryani yang dimodifikasi. Sejumlah ekstrak conto dilarutkan dalam metanol dan dilakukan pengenceran, disaring dengan syringe dan kertas saring milipore 0,5 µm. Sebanyak 20 µl larutan tersebut kemudian diinjeksikan pada alat KCKT Hitachi model L-7420 dengan menggunakan alat penyuntik Rheodyne ukuran Loop 20 µl. Pemisahan dilakukan dalam kolom Boundapack C-18 dengan sistem gradien. Pengukuran absorbansi sinar UV dilakukan pada panjang gelombang 260 nm. Kecepatan pemisahan dari setiap analisis dipertahankan pada 1,0 ml/menit. Perubahan posisi fasa gerak diatur dengan menggunakan dua buah pompa. Fasa gerak berupa pelarut A (air : asam asetat = 97 : 3), dan pelarut B (metanol : asam asetat = 97 : 3). Pada lima menit pertama, fasa gerak berupa 100 % pelarut A, setelah itu perbandingan pelarut B meningkat secara linier sampai 100 % dalam jangka waktu 55 menit, lalu diturunkan 0 % selama periode 5 menit. Analisis validasi data Evaluasi dilakukan secara statistik yang meliputi : 1. uji linearitas : sebagai parameter adanya hubungan linear antara konsentrasi analit dengan respon detektor instrumen, digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linear y= b x + a. Hubungan linear yang ideal dicapai jika nilai r mendekati 1. 2. Uji ketelitian metode : yaitu dengan menghitung nilai simpangan baku (SB) dan koefisien variasi (KV). 3. Uji t : dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang bermakna antara hasil percobaan dengan nilai sebenarnya. 4. Pengambilan kesimpulan : dirumuskan berdasarkan hasil analisis statistik uji t yang dilakukan terhadap hasil percobaan kembali dan KV untuk uji ketelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis senyawa isoflavon daidzein dan genistein pada kedelai lokal dan dibandingkan terhadap kedelai impor telah dilakukan secara kromatografi cair kinerja tinggi. Uji validasi terhadap analisis tersebut meliputi uji linearitas, penentuan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ), uji kesesuaian sistem dan uji perolehan kembali. Uji linearitas dilakukan menggunakan satu seri larutan dengan konsentrasi berbeda dan penetapan kurva kalibrasi berdasarkan data kromatogram yang menggambarkan hubungan antara konsentrasi standar daidzein dan genistein dengan luas puncak seperti disajikan pada Gambar 2. Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai koefisien korelasi (R) untuk daidzein dan genistein masing-masing sebesar 0,9789 dan 0,9147. Dengan demikian terdapat hubungan linier yang cukup baik antara konsentrasi standar daidzein dan genistein dengan luas puncak oleh kromatogram. Sehingga diperoleh persamaan garis yang dapat dipergunakan untuk menentukan kadar daidzein dan genistein dalam kedelai lokal dan kedelai impor dengan cara memasukkan nilai luas puncak ke dalam persamaan garis.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 153
ISBN 978-602-98902-1-1
900000 800000
LOQ = 10 x √Σ(yi-y)2 /b n-2
700000 p 600000 u 500000 n 400000 c a 300000 k 200000
l u a s
keterangan : y : luas puncak yang terukur yi: nilai y linier n : jumlah analisis
y = 74427x + 38160 R² = 0.836
100000 0 0
1
2
3
4
5
6
7
konsentrasi (ppm)
Gambar 2. Kurva hubungan antara konsentrasi dengan luas puncak standar genistein 700000
l u a s
600000 p 500000 u 400000 n c 300000 a 200000 k 100000
y = 58683x + 12175 R² = 0.958
Melalui data uji linearitas dan persamaan regresi linear y = bx + a yang dimiliki masing-masing standar (lihat Gambar 2), maka diperoleh hasil uji batas deteksi (LOD) dan batas kuantisasi (LOQ) pada standar daidzein sebesar 0,73 ppm dan 2,43 ppm, sedangkan pada standar genistein sebesar 5,92 ppm dan 19,72 ppm. Contoh kromatogram KCKT senyawa standar campuran daidzein dan genistein seperti disajikan pada Gambar 3.
0 0
2
4
6
8
10
konsentrasi (ppm)
Gambar 3. Kurva hubungan antara konsentrasi dengan luas puncak standar daidzein Uji batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dilakukan untuk mengetahui batas deteksi dan batas kuantisasi dari metode yang digunakan. Konsentrasi terendah analit dalam sampel yang masih dapat dideteksi tetapi tidak harus kuantitatif dapat diketahui melalui batas deteksi. Sedangkan batas kuantisasi dapat diketahui konsentrasi terendah analit dalam sampel yang masih dapat ditetapkan kadarnya dengan presisi dan akurasi yang masih dapat diterima. Perhitungan batas deteksi dan batas kuantisasi dapat digunakan dengan menggunakan metode blanko conto, akan tetapi karena blanko conto sulit diperoleh maka pada penelitian ini digunakan blanko pereaksi. Rumus batas deteksi (LOD) dan batas kuantisasi (LOQ) yang digunakan adalah: LOD = 3 x √Σ(yi-y)2 /b n-2
Gambar 4. Kromatogram KCKT senyawa standar campuran daidzein (Rt: 29,02) dan genistein (Rt: 30,42) Pada uji presisi dalam analisis daidzein dan gensitein pada kedelai lokal dilakukan penyuntikan larutan sampel yang mengandung daidzein dan genistein sebanyak 5 kali menghasilkan waktu retensi dan luas puncak seperti disajikan pada Tabel 1.
Table 1. Hasil uji presisi senyawa isoflavon daidzein dan genistein Daidzein Genistein Waktu retensi Luas puncak Waktu retensi Luas puncak (A) (A) 28,62 1816312 30,92 709699 29,12 1831863 30,57 728987 29,02 1849624 30,83 748253 28,91 1858598 30,85 778725 28,82 1874400 30,68 791457 A rata-rata = 1846159 A rata-rata = 751424 SB = 22690,90 SB = 33920,62 KV = 1,2291% KV = 4,5142% Keterangan: SB = simpangan baku, KV = koefisien variasi (%)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 154
ISBN 978-602-98902-1-1
Dari hasil pengujian terhadap metode analisis diperoleh nilai simpangan baku relatif (KV) luas puncak larutan daidzein dan genistein dengan cara adisi, yaitu dengan menambahkan setengah dari konsentrasi sampel dan setengah dari konsentrasi standar campuran adalah 1,2291% dan 4,5142%. Nilai tersebut memenuhi syarat nilai simpangan baku relatif menurut Horwitz, yaitu tidak lebih dari 5,5037%. Melalui uji kesesuaian sistem tersebut dapat direkomendasikan bahwa metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini dapat digunakan untuk analisis kandungan daidzein dan genistein secara KCKT. Untuk mengetahui kandungan daidzein dan genistein pada contoh kedelai lokal varietas Wilis, analisis dilakukan sebanyak tiga kali ulangan, konsentrasi isoflavon pada contoh ditentukan dengan membandingkan luas puncak contoh terhadap luas puncak standar daidzein dan genistein. Analisis KCKT terhadap contoh kedelai lokal dibandingkan terhadap kedelai impor. Hasil analisis kandungan isoflavon daidzein dan genistein seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis KCKT kandungan isoflavon rata-rata pada kedelai lokal dan impor dalam 100 g bahan kering bebas lemak Daidzein Sampel
Luas area
Konsentrasi (mg)
Genistein Luas area
Konsentrasi (mg)
Kedelai lokal
1721692
0,67
329002
0,04
Kedelai impor
2310677
0,89
867703
0,12
Data analisis KCKT terhadap kandungan isoflavon daidzein dan genistein menunjukkan bahwa kedelai lokal memiliki konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan kedelai impor. Pada kedua contoh tersebut, kandungan daidzein lebih tinggi dibandingkan dengan genistein. Pada kromatogram KCKT menunjukkan kedelai lokal (Gambar 5) memiliki waktu retensi daidzein 29,12 dan genistein 30,92, sedangkan pada kedelai impor (Gambar 6) menunjukkan waktu retensi daidzein 29,04 dan genistein 30,89.
Gambar 6. Kromatogram KCKT analisis senyawa isoflavon aglikon pada kedelai impor Pola kromatogram pada kedua contoh kedelai tersebut menunjukkan pola yang mirip. Daerah puncak yang memiliki waktu retensi lebih kecil dari waktu retensi daidzein dan genistein diduga sebagai puncak yang muncul dari isoflavon aglikon lain seperti factor-2 dan glisitein. Hasil penelitian Wuryani, menunjukkan bahwa pada kedelai mengandung isoflavon factor-2 dan glisitein. Selain adanya isoflavon aglikon tersebut, dimungkinkan pula adanya senyawa isoflavon glukosida, yaitu senyawa isoflavon yang masih terikat dengan gugus glukosa.
KESIMPULAN Hasil penelitian pada uji validasi kandungan isoflavon daidzein genistein terhadap kedelai secara KCKT dapat disimpulkan bahwa senyawa standar daidzein dan genistein mempunyai nilai koefisien korelasi dengan nilai 0,9789 dan 0,9147. Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) daidzein adalah 0,7285 ppm dan 2,4284 ppm, sedangkan genistein adalah 5,9173 ppm dan 19,7243 ppm. Menurut Horwitz, ketepatan metode ditunjukkan dengan nilai koefisien variasi (KV) sebesar 1,2291% sampai dengan 4,5142%. Hasil analisis kandungan daidzein dan genistein pada kedelai lokal masing-masing sebesar 0,67 mg dan 0,04 mg per 100 g bahan kering bebas lemak. Kandungan isoflavon pada kedelai lokal var. Wilis lebih rendah apabila dibandingkan dengan kedelai impor yang memiliki kandungan daidzein sebesar 0,89 mg dan genistein 0,12 mg per 100 g bahan kering bebas lemak.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, (1995). Hal 39 Humfer,C., and Holmes,P., Pytoestrogens in The Human Diet, Leicester,UK, http://www.le.ac.uk/webpub/webpab.html Gambar 5. Kromatogram KCKT analisis senyawa isoflavon aglikon pada kedelai lokal
Pawiroharsono, S., (1995) Potensi tempe dan pengembangan industri tempe generasi -3, Prosiding symposium sehari pengembangan industri makanan dari kedelai, MENPANGAN- P3KT LIPI-IPB,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 155
ISBN 978-602-98902-1-1
Santell,R.C., Kieu,N., and Helferich,W.G., (2000), Genistein Inhibits Growth of Estrogen-Independent Human Breast Cancer Cells in Culture but Not in Athymic Mice, Biochemical and Molecular Action of Nutrients, 16651669. Yetti M. Iskandar, Sri Priatni, (2005), Biokonversi senyawa isoflavonoida oleh rhizopus oryzae l16 pada hasil fermentasi kedelai, Jurnal Teknologi Indonesia LIPI, Vol 28 No 2 Tahun 2005, ISSN 0126-1533 United States Phamacopeial Convention, Inc. (2005), The United States Pharmacopeia. 28th ed. Washington: Board of Trustess, Hal 2748 Williams, CA. and Harborne JB., (1989), Isoflavonoids, Methods in plant biochemistry. Vol. 1. Academic press, London, Wuryani, (1995), Isoflavones in tempe, ASEAN Food Journal vol. 10/3. p. 4 lpi.oregonstate.edu/.../soyiso/isostructure.html, [Januari 2011]
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 156
ISBN 978-602-98902-1-1
KANDUNGAN KOMPONEN AKTIF MINYAK KASAR DAN HASIL DEGUMMING DARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus) YANG DIEKSTRAK SECARA TRADISIONAL [Content of Active Components of Crude Oil and Degumming Results of Redfruit (Pandanus conoideus) Extracted Traditionally] Murtiningrum1)*, Zita L. Sarungallo1), dan Mathelda K. Roreng1) 1)
Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua (UNIPA), Jl. Gunung Salju Amban Manokwari-98314, Papua Barat. Telp: 0986-214991/Fax: 0986-214991
ABSTRACT Crude redfruit oils degumming was done to elimate gums (phospholipid), carbohydrates and protein that can release undesirable flavor and affect shelf life, but the process can decreased minor components. This study intended to determine the minerals, β-carotene, α-tocopherol, content fatty acid composition and antioxidant activity. The results indicate that the degumming process of crude oil red fruit with 0.2% citric acid can decrease the levels of phosphorus, calcium, iron, total unsaturated fatty acids and antioxidant activity but it can increase β-carotene and αtocopherol content. The yield of redfruit contain unsaturated fatty acid which are still dominated by oleic acid, linoleic acid and linolenic acid. Key words: Red fruit (Pandanus conoideus), degumming, β-carotene, α-tocopherol, fatty acid
PENDAHULUAN Proses pengolahan minyak buah merah yang dilakukan oleh masyarakat Papua secara tradisional bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan tersebut pada umumnya terletak pada perbandingan buah dan air, lama pemanasan dan cara pemisahan minyak dari buah. Namun pada prinsipnya metode pengolahan yang digunakan adalah metode wet rendering yaitu terdapat tahapan penambahan air dalam proses ekstraksi minyak (Murtiningrum dkk., 2009). Masyarakat tradisional Distrik Merdey dalam proses produksi minyak buah merah menggunakan cara yang tidak memerlukan suhu yang tinggi pada tahap perebusan daging buah, tetapi memerlukan waktu proses yang lebih lama saat pengepresan. Murtiningrum dkk., (2009) melaporkan bahwa minyak buah merah yang diekstrak secara tradisional Merdey diperoleh dengan cara menggantung karung berisi lumatan hasil perebusan daging buah merah dan dipress dengan kayu. Selanjutnya minyak dapat terpisah akibat gaya gravitasi bumi dengan waktu pengepresan 1-3 jam. Minyak buah merah hasil ekstraksi cara tradisional Merdey merupakan minyak kasar (crude oil) yang memiliki sifat tidak berbeda dengan minyak pangan lainnya yaitu mengandung komponen selain trigliserida seperti gum (fosfolipid), karbohidrat, protein dan beberapa komponen lainnya (Anderson, 1996). Adanya komponen selain trigliserida dalam minyak buah merah terlihat dengan rendahnya bilangan penyabunan minyak kasar buah merah (62,50±0,09) jika dibandingkan dengan bilangan penyabunan minyak buah merah setelah degumming (209,80±12,32) (Sarungallo dkk., 2009). Peningkatan bilangan penyabunan setelah degumming disebabkan hilangnya gum (fosfolipid) dengan berat molekul tinggi (20.000 dalton), sehingga dalam minyak buah merah setelah degumming hanya terdiri dari komponen-komponen trigliserida yang memiliki berat molekul lebih rendah (800 dalton) dari fosfofolipid. Minyak yang mempunyai berat molekul
tinggi mempunyai bilangan penyabunan lebih rendah dari minyak dengan berat molekul tinggi (Subramanian et al., 1997; Wan, 2000). Fosfolipid dalam minyak buah merah menyebabkan rasa lengket dan getir dalam mulut dan tenggorokan saat minyak buah merah kasar dikonsumsi untuk itu perlu dilakukan penghilangan fosfolipid sebelum dikonsumsi. Penghilangan fosfolipid pada beberapa minyak pangan dapat dilakukan dengan degumming melalui penambahan air dan asam lemah seperti asam fosfat atau asam sitrat. Namun dalam prosesnya dapat mempengaruhi komposisi komponen minornya. Aluyor et al., (2009) melaporkan bahwa proses degumming selain dapat menurunkan fosfolipid minyak kacang tanah dari 3,98% menjadi 0,31%, juga menurunkan kandungan besi dari 3,98% menjadi 0,31% dan penurunan komposisi asam lemak baik asam lemak jenuh maupun asam lemak tidak jenuh minyak kacang tanah. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji perbedaan kandungan komponen aktif pada minyak kasar buah merah dan minyak hasil degumming-nya.
METODE PENELITIAN Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah minyak buah merah jenis Monsmir asal Distrik Merdey Kabupaten Teluk Bintuni. Adapun bahan kimia jenis Pro Analysis digunakan untuk analisis kandungan mineral fosfor, kalsium dan besi, βkaroten, α-tokoferol dan komposisi asam lemak. Degumming Minyak Buah Merah Minyak buah merah dihasilkan dengan cara tradisional Merdey. Proses degumming dilakukan dengan cara pencampuraan minyak buah merah dengan asam sitrat 0,2%, dalam penangas air dengan suhu 60-70oC selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air (60oC) dan pengendapan. Proses ini diulang sampai pH air pencucian
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 157
ISBN 978-602-98902-1-1
netral. Minyak yang dihasilkan kemudian dipanaskan dalam penangas air untuk menguapkan air yang masih tersisa dan dikemas. Analisis kadar kalsium, besi dan fosfor, β-karoten, αtokoferol dan komposisi asam lemak minyak buah merah Analisis komponen aktif minyak buah merah dilakukan terhadap kadar kalsium, besi dan fosfor menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) (AOAC, 1999), sedangkan kadar β-karoten (AOAC, 1999) dianalisis menggunakan HPLC dan α-tokoferol ditentukan dengan UV-VIS spectrophotometer (IUPAC, 1987). Analisis komposisi asam lemak ditentukan dengan Gas Cromatography (GC) (AOAC, 1999). Pengujian aktivitas antioksidan Pengujian aktivitas antioksidan minyak kasar dan hasil degumming dari minyak buah buah merah kasar dan minyak buah merah komersil dilakukan dengan mengukur waktu induksi menggunakan alat rancimat merk Metrohm, dengan menggunakan pembanding BHT dan α-tokoferol terhadap minyak kedelai murni. Analisis Data Untuk mengetahui perbedaan nilai tengah kadar kalsium, besi dan fosfor, β-karoten, α-tokoferol dan kekuatan antioksidan minyak kasar buah merah dan minyak degummning dilakukan analisis statistik dengan uji-t nilai banding tengah pada taraf 0,05 dengan dua kali ulangan (Montgomery, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan mineral, β-karoten, α-tokoferol dan aktivitas antioksidan minyak buah merah Kandungan mineral β-karoten, α-tokoferol dan aktivitas antioksidan minyak buah merah disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil uji-t semua parameter menunjukkan adanya perbedaan nyata antara minyak kasar dan minyak hasil degumming dari minyak buah merah. Proses pemurnian dengan degumming cenderung menurunkan kadar fosfor minyak buah merah, yang hasilnya menyamai minyak komersil. Pemurnian dengan degumming merupakan proses melarutkan asam lemah seperti asam fosfat dan asam sitrat sehingga dapat merubah fosfatida dan gum menjadi tidak larut dalam minyak sehingga dapat dengan mudah dipisahkan (O’Brien, 2000). Subramanian (1997) juga melaporkan bahwa kandungan fosfolipid minyak kasar kedelei dan minyak kasar kapas berturut-turut 5.370 mg/kg dan 6.060 mg/kg dan setelah degumming menurun menjadi berturut-turut 4.140 mg/kg dan 4.200 mg/kg.
Tabel 1. Kandungan mineral, β-karoten,α-tokoferol dan aktivitas antioksidan minyak buah merah Parameter Fosfor (%) Kalsium (%) Besi (mg/kg) β-karoten (mg/kg) ά-tokoferol (mg/kg) Aktivitas antioksidan (jam)
Minyak komersil†) 0,06 ± 0,00 0,008±0,00 10±0,76 8±0,23 913±0,58 5,2
Ket. : †)Sarungallo dkk., (2006) Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Minyak Buah Merah Tradisional Merdey Minyak Kasar Minyak Degumming 0,08 ± 0,00a 0,06 ± 0,00b 0,02±0,00a 0,01±0,00b 9±0,57a 5±0,20b 23±0,24a 27±0,24b 111±2,49a 2.618±52,47b 9,70a
7,5b
Kandungan kalsium dan zat besi minyak buah merah yang diekstrak secara tradisional Merdey juga menunjukkan penurunan setelah degumming. Sementara kadar kalsium minyak komersil yang terendah (0,008%), namun memiliki kadar besi yang tertinggi (10 mg/kg). Perbedaan tersebut lebih dipengaruhi oleh jenis dan asal buah merah, serta metode ekstraksinya. Murtiningrum dkk. (2004) dan Murtiningrum dkk. (2005) juga melaporkan bahwa minyak buah merah yang diekstrak dengan metode wet rendering, setelah di-degumming mengalami penurunan kadar kalsium dan zat besi, yaitu berturut-turut 159 mg/kg dan 37 mg/kg menjadi 14 mg/kg dan 5 mg/kg. Kandungan β-karoten dan α-tokoferol minyak kasar buah merah berturut-turut sebesar 23 mg/kg dan 111 mg/kg dan setelah dilakukan degumming cenderung meningkat menjadi masing-masing sebesar 27 mg/kg dan 2.618 mg/kg. Kenaikan kandungan β-karoten dan α-tokoferol minyak buah merah setelah degumming disebabkan karena hilangnya komponen pengotor seperti gum sehingga kadarnya lebih terkonsentrat. Kandungan β-karoten dan α-tokoferol dari minyak buah merah komersil lebih rendah dibandingkan dengan minyak buah merah setelah degumming dengan nilai berturut-turut 8 mg/kg dan 913 mg/kg. Rendahnya β-karoten dan α-tokoferol pada minyak buah merah komersil dapat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis dan asal daerah buah merah, proses pengolahan, suhu dan lamanya waktu penyimpanan. Andarwulan dkk., (2006) melaporkan bahwa metode ekstraksi yang digunakan berpengaruh nyata terhadap kandungan senyawa aktif minyak buah merah yaitu pada cara pengolahan tradisional kandungan β-karoten pada minyak sebesar 1.852 mg/kg dapat ditingkatkan melalui modifikasi pengolahan melalui proses pengepressan dan sentrifugasi menjadi 4.583 mg/kg, sementara kandungan α-tokoferol minyak buah merah sebesar 426 mg/kg menjadi 1.368 mg/kg. Berdasarkan waktu induksinya, terlihat bahwa potensi antioksidan minyak buah merah kasar (9,7 jam) lebih besar dibandingkan minyak hasil degumming (7,5 jam). Azima dkk. (2004) melaporkan bahwa aktivitas antioksidan BHT adalah 8,6 jam dan minyak kedelai murni 8 jam. Dengan demikian aktivitas antioksidan minyak buah merah kasar lebih tinggi, sedangkan minyak hasil degumming-nya setara dengan BHT dan minyak kedelai.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 158
ISBN 978-602-98902-1-1
Aktivitas antioksidan minyak buah merah menurun setelah degumming, walaupun kandungan β-karoten dan α-tokoferolnya lebih tinggi jika dibandingkan minyak kasarnya. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses degumming beberapa komponen antioksidan seperti komponen flavanoid dan tanin terikut dalam pemisahan komponen fosfolipid selama proses pencucian minyak. Sarungallo dkk (2006) melaporkan bahwa hasil pengujian komponen fitokimia secara kualitatif pada 16 kultivar, buah merah mengandung alkaloid, flavanoid dan tanin. Selanjutnya Robinson (1991), menjelaskan bahwa senyawa yang paling banyak berperan sebagai antioksidan kemungkinannya adalah tanin dan flavanoid, sedangkan triterpenoid kemungkinan berperan sebagai anti-agregasi platelet. Minyak buah merah komersil memiliki aktivitas antioksidan paling rendah yaitu 5,2 jam (Tabel 1). Rendahnya aktivitas antioksidan ini dapat dipengaruhi oleh tingkat kerusakan minyak karena faktor kemasan dan penyimpanan. Menurut Ketaren (1986) reaksi oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan selanjutnya akan terurai menjadi asam lemak bebas. Winarno (1997) menambahkan bahwa reaksi ini disebabkan oleh otooksidasi asam lemak tidak jenuh, yang diawali dengan reaksi pembentukan radikal bebas yang dipercepat oleh cahaya, panas, peroksida lemak/hidroperoksida logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, enzim lipoksida, suhu penyimpanan, sinar, serta ketersediaan oksigen yang dapat terjadi selama penyimpanan produk. Komposisi Asam Lemak Minyak Buah Merah Komposisi asam lemak minyak ditentukan dengan Gas Chromatography setelah bahan melalui reaksi esterifikasi menjadi bentuk metil esternya. Tabel 2 memperlihatkan bahwa minyak buah merah mengandung asam lemak yang teridentifikasi adalah asam laurat, asam miristat, asam palmitat, asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat dengan persentase yang cukup tinggi. Tabel 2. Komposisi Asam Lemak Minyak Komersil, Minyak Kasar dan Minyak Degumming dari Minyak Buah Merah Cara Tradisional Merdey Komposisi Asam Lemak Asam Lemak Jenuh - Asam Laurat - Asam miristat - Asam palmitat Total Asam lemak Jenuh Asam Lemak Tidak Jenuh - Asam lemak palmitooleat - Asam Oleat - Asam linoleat - Asam alfa linolenat Total asam lemak tidak jenuh Unknown compound Total asam lemak Ket. : †)Sarungallo dkk., (2006)
Jenis Minyak Buah Merah (%) Tradisional Merdey Minyak Minyak kasar Degumming
Minyak Komersil† 21,17
0,13 0,06 23,57
24,71
21,17
23,77
24,71
0,89 60,37 8,59 0,76
0,67 61,34 8,63 0,94
0,83 56,98 9,67 1,17
68,96 9,87 100
70,92 5,51 100
67,82 7,47 100
Minyak buah merah mengandung asam lemak tidak jenuh dengan presentasi yang cukup tinggi. Jumlah tersebut dipengaruhi oleh metode ekstraksi dan proses pengolahan yang diterapkan. Andarwulan dkk., (2006) melaporkan bahwa total asam lemak tidak jenuh minyak hasil ekstraksi tradisional 87,36% cenderung meningkat dengan modifikasi pengolahan minyak menjadi 93,31%. Tabel 2 menunjukkan bahwa proses degumming menurunkan kandungan asam lemak tidak jenuh oleat (omega 9) namun meningkatkan kandungan asam lemak tidak jenuh linoleat (omega 6) dan linolenat (omega 3). Jika dilihat dari total asam lemaknya maka proses degumming minyak buah merah cenderung menurunkan kadar total asam lemak tidak jenuh dari 70,92% menjadi 67,82%. Menurut Aluyor et al. (2009) pemurnian tidak mempengaruhi komposisi asam lemak pada minyak kasar dan hasil degumming minyak kacang tanah. Kadar asam lemak tidak jenuh minyak buah merah lebih tinggi dibandingkan dengan kadar asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat minyak sawit, berturut-turut 38-50%, 5-14% dan 1%, dan juga pada ikan tuna yang mengandung asam lemak linoleat (omega-6) sebesar 4,67% (De Witt and Chong, 1988; Andarwulan dkk., 2006). Tingginya tingkat kandungan asam lemak tidak jenuh dan rendahnya tingkat asam lemak jenuh merupakan indikasi bahwa minyak buah merah tidak akan membeku pada suhu kamar. Disamping itu tingginya asam lemak tidak jenuh (oleat) dapat berperan dalam meluruhkan LDL dan meningkatkan kadar HDL seperti yang dilaporkan oleh Rudel et al. (1995) bahwa kandungan asam lemak jenuh yang menyebabkan terjadinya akumulasi kolestreril dalam LDL dan arteri jantung pada monyet sehingga meningkatkan kadar LDL dan aterosklerosis, sebaliknya kandungan asam lemak tidak jenuh majemuk menyebabkan tingginya kandungan kolestril linoleat sehingga menurunkan LDL dan aterosklerosis. KESIMPULAN Proses degumming minyak kasar buah merah dengan menggunakan asam sitrat 0,2%, dapat menyebabkan penurunan kadar fosfor, kalsium, besi, total asam lemak tidak jenuh dan kekuatan antioksidan. Kandungan mineral cenderung menurun yaitu fosfor dari 0,08% menjadi 0,06%, kalsium 0,02% menjadi 0,01% dan zat besi dari 9 mg/kg menjadi 5 mg/kg. Kekuatan antioksidan minyak kasar menurun dari 9,7 jam menjadi 7,5 jam. Proses degumming menurunkan total asam lemak tidak jenuh dan didominasi oleh asam oleat 56,98%, asam linoleat 9,67% dan asam linolenat 1,17%. Proses pemurnian melalui degumming meningkatkan kadar β-karoten dari 23 mg/kg menjadi 27 mg/kg dan α-tokoferol dari 111 mg/kg menjadi 2.618 mg/kg. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana yang diberikan melalui Penelitian Hibah Bersaing dengan Nomor Kontrak 037/SP3/PP/DP2M/II/2006.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 159
ISBN 978-602-98902-1-1
DAFTAR PUSTAKA Aluyor, E.O., P. Aluyor and C.E. Ozigagu. 2009. Effect of Refining on The Quality and Composition of Groundnut Oil. African Journal of Food Science 3 (8) : 201-205. Andarwulan, N., N. S. Palupi dan Susanti. 2006. Pengembangan Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.). Prosiding Seminar Nasional PATPI, 2-3 Agustus 2006. Yogyakarta. 504-511. Anderson, D. 1996. A Primer on Oils Processing Technology. In : Hui, Y.H. (Ed.). Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. John Wiley & Sons., New York. AOAC (Association of Analytical Chemist). 1999. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist, 16th ed. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Azima, F., D. Muchtadi, F. R. Zakaria dan B.P. Priosoeryanto. 2004. Potensi anti-Hiperkolsterolemia Ekstrak Casia Vera (Cinnamomum burmanni Nees ex Blume). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XV(2):145-152
Fat Protects African Green Mongkeys from Coronary Artery Atheroclerosis. Atheeroclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology. 15:2101-2110. Sarungallo, Z. L., Murtiningrum, A.H.A.Toha dan M. Junaidi. 2006. Eksplorasi Jenis Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk) asal Papua. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Unipa. Manokwari Sarungallo, Z. L., Murtiningrum dan S.N.P. Paiki. 2009. Sifat Fisikokimia Minyak Kasar dan Hasil Degumming dari Buah Merah (Pandanus conoideus L.) yang Diekstrak secara Tradisional Merdey. Jurnal Agrotek 1 (6) : 9-15. Subramanian, R. And M. Nakajima. 1997. Membrane Degumming of Crude Soybean and Rapeseed Oils. JAOCS, 74(8):971-975 Wan, P.J. 2000. Properties of Fats and Oils. In: Introduction to Fats and Oils Technology. O’Brien, R.D, W.E.Farr, P.J.Wan, editor. AOCS Press, Champaign. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia, Jakarta.
De Witt, G.F. and Y. H. Chong. 1988. The Nutritional Value of Palm Oil Minor Component. Palm Oil Research Instutut of Malaysia, Malaysia. IUPAC. 1987. Method 2.411 Identification and Determination of Tocopherols. Standard Methods for the Analysis of Oils, Fats and Derivatives. Blackwell Scientific Publications. Oxford Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. Murtiningrum. 2004. Ekstraksi Minyak dengan Metode Wet Rendering dari Buah Merah (Pandanus conoideus L) dan Pemurnian dengan Filtrasi Membran. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Murtiningrum, S. Ketaren, Suprihatin dan Kaseno. 2005. Ekstraksi Minyak dengan Metode Wet Rendering dari Buah Merah (Pandanus conoideus L). Jurnal Teknologi Industri Pertanian : 15 (1) : 28-33. Murtiningrum, Z. L. Sarungallo dan S.N.P. Paiki. 2009. Ekstraksi Minyak : Studi pada Beberapa Daerah Sentra Buah Merah (Pandanus conoideus L.) di Papua. Jurnal Agrotek 1 (7) : 36-40. Montgomery, D.C. 1991. Design and Analysis of Experiments. John Wiley and Sons, New York. O’Brien, R.D. 2000. Fats and Oils Processing. In: Introduction to Fats and Oils Technology. O’Brien, R. D, W. E. Farr, P. J. Wan (Ed.). AOCS Press, Champaign. Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Penerbit ITB, Bandung. Rudel, L.L., J. S. Parks and J.K. Sawyer. 1995. Compared with Dietary Manounsatand Saturated Fat, Polyunsaturated
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 160
ISBN 978-602-98902-1-1
Keragaman Hayati Bakteri Asam Laktat Pada Makanan Fermentasi Tradisional Indonesia [The biodiversity of lactic acid bacteria in Indonesian indigenous fermented foods] Agus Wijaya
Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
ABSTRACT Lactic acid bacteria (LAB) have been long known to be involved in the production of fermented foods. Presently, these products constitute one-quarter of our diets and are characterized by a safe history, certain beneficial health effects and an extended shelf life when compared to non-fermented, fresh foods (Hammes and Tichaczek, 1994). There are a wide range of food commodities fermented by LAB or LAB in combination with other microorganisms from various raw materials, including milk, meat, fish, vegetables, fruits, soybean and olives. The role of LAB in various Indonesian fermented foods will be discussed in this paper, from tempoyak in South Sumatera to tempe in Yogyakarta and from wadi in Banjarmasin to peda in Lombok. In conclusion, the genus Lactobacillus plays the most important role in Indonesian fermented foods, followed by Streptococcus, Pediococcus, Leuconostoc and Enterococcus. Key words : lactic acid bacteria, Indonesian fermented foods
PERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT
PENDAHULUAN Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri yang memiliki persamaan kharakteristik morfologi, metabolik dan fisiologis. Secara umum BAL dideskripsikan sebagai bakteri Gram-positif, tidak membentuk spora, tidak melakukan respirasi dan berbentuk batang atau bulat, yang memproduksi asam laktat sebagai produk akhir utama selama fermentasi karbohidrat (Axelsson, 1998). Di samping itu, BAL mengandung kurang dari 55% mol% G+C content sehingga BAL termasuk ke dalam cabang Clostridium dari bakteri Gram-positif (Stiles dan Holzapfel, 1997). Secara historis, BAL telah lama diketahui terlibat dalam produksi makanan. Kebanyakan BAL memiliki status GRAS karena didasarkan pada sejarah panjang penggunaan yang aman pada pangan. BAL umumnya dianggap sebagai organisme food grade. Diasumsikan bahwa kebanyakan representatif dari BAL ini tidak memiliki risiko kesehatan apa pun bagi manusia. Pada kasus yang jarang terjadi, spesies BAL dapat bertindak sebagai patogen oportunistik (Aguire dan Collins, 1993; Gasser, 1994; Holzapfel et al., 1995). Genus BAL yang telah dideskripsikan sampai saat ini adalah Aerococcus, Alloiococcus, Carnobacterium, Dolosigranulum, Enterococcus, Globicatella, Lactobacillus, Lactococcus, Lactosphaera, Leuconostoc, Mellissioccus, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus dan Weissella (Axelsson, 2004). Klasifikasi di atas terutama didasarkan pada karakteristik fenotip seperti morfologi, pola fermentasi glukosa, pertumbuhan pada suhu tertentu, konfigurasi asam laktat, kemampuan tumbuh pada konsentrasi garam yang tinggi dan toleransi terhadap asam atau basa (Axelsson, 2004).
Peranan bakteri asam laktat (BAL) dalam fermentasi makanan adalah sangat besar. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa 25% makanan yang kita konsumsi adalah produk fermentasi BAL dan produk ini dicirikan oleh sejarah yang aman, efek-efek kesehatan yang positif dan masa simpan yang lebih lama bila dibandingkan dengan pangan segar yang tidak difermentasi (Hammes dan Tichaczek, 1994). Kultur starter BAL digunakan dalam produksi susu fermentasi, daging dan produk tanaman olahan. Produk-produk fermentasi ini memiliki flavor, aroma dan tekstur yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk-produk segarnya (Sofos, 1993). Banyak studi menunjukkan bahwa fermentasi dengan BAL meningkatkan nilai gizi dari produk pangan dengan cara meningkatkan kuantitas, ketersediaan, daya cerna dan asimilasi potensi gizi. Yogurt contohnya, mengandung lebih banyak asam-asam amino bebas bila dibandingkan dengan susu segar sebagai hasil dari proteolisis protein susu oleh mikroflora yogurt (Gorbach, 1990). Fermentasi tidak hanya menjamin keamanan mikrobiologis terhadap produk pangan, tetapi juga membuat pangan lebih mudah dicerna, mengurangi toksisitas substrat pangan seperti pada fermentasi ubi kayu yang mengandung senyawa sianogen (Caplice dan Fitzgerald, 1999) dan menghambat pertumbuhan bakteri perusak dan patogen melalui produksi metabolit antimikroba yang diproduksi oleh BAL (Ray dan Daeschel, 1995). Secara tradisional, BAL merupakan komponen dasar probiotik karena kelompok bakteri ini memenuhi persyaratan fungsional dan keamanan (Reuter, 1997). g
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 161
ISBN 978-602-98902-1-1
PRODUK-PRODUK INDONESIA
PANGAN
FERMENTASI
Produk Tanaman
Buah-buahan fermentasi Acar buah. Tidak terdapat populasi bakteri asam laktat (BAL) yang mendominir spesies lainnya pada acar buah. Produk ini ditumbuhi oleh Lactobacillus sp., Weissella confusa dan Enterococcus casseliflavus-flavescens dengan proporsi yang sama (Rahayu, 2003). Mandai cempedak. Lactobacillus plantarum-pentosus mendominir sekaligus menekan pertumbuhan Lactobacillus sp. dan Pediococcus pentosaceus (Rahayu, 2003). Mandai nangka. Bakteri Streptococcus thermophilus merupakan populasi minor karena didominir oleh Lactobacillus plantarumpentosus (Rahayu, 2003). Tempoyak. Lactobacillus plantarum tumbuh pada produk ini dalam proporsi populasi yang hampir sama dengan Streptococcus sp. (Rahayu, 2003). Selain itu, Lactobacillus casei dan Lactobacillus corynebacterium juga berhasil diisolasi dari tempoyak (Wirawati, m2002). Sayuran fermentasi Asinan rebung. Lactobacillus plantarum tumbuh pada produk ini dalam jumlah yang proporsional dengan Lactobacillus plantarum-pentosus (Rahayu, 2003). Asinan sawi. Lactobacillus sp. dan Pediococcus spp. tumbuh di bawah dominasi Lactobacillus plantarum-pentosus (Rahayu, 2003). Lactobacillus juga berhasil diisolasi oleh Hardiningsih et al. (2006) Asinan terong. Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus plantarum-pentosus tumbuh secara berimbang (Rahayu, 2003). Sayur asin (kubis). Leuconostoc mesenteroides dan Weissella confusa menginisiasi fermentasi sayur asin. Tahap akhir fermentasi didominasi oleh Lactobacillus plantarum dan Pediococcus pentosaceus (Puspito dan Fleet, 1985). Ubi kayu (mentah) Gatot. Lactobacillus plantarum-pentosus mendominir pertumbuhan BAL pada gatot. Populasi minor yang tumbuh dalam proporsi yang berimbang adalah Lactobacillus plantarum, Lactobacillus fermentum dan Pediococcus sp. (Rahayu, 2003). Selain itu Djaafar (1997) juga menunjukkan peran Leuconostoc. Growol. Genus Streptococcus memiliki andil dalam fermentasi growol (Djaafar, 1997). Seperti pada gatot, Lactobacillus plantarum-pentosus merupakan populasi dominan pada growol. Sementara itu, Lactobacillus plantarum merupakan spesies minoritas (Rahayu, 2003). Ubi kayu dan ketan (dimasak) Tape ketan. Lactobacillus plantarum bersama-sama dengan Lactobacillus plantarum-pentosus mendominir populasi BAL pada produk ini, sedangkan Lactobacillus sp. tumbuh sebagai populasi minoritas (Rahayu, 2003). Tape ubi. Terdapat 3 spesies BAL yang menjadi populasi terbanyak dalam fermentasi tape ubi, yaitu: Lactobacillus plantarum, Weissella confusa dan Pediococcus pentosaceus
dan pada saat yang sama menekan populasi Lactobacillus sp. (Rahayu, 2003). Peran Streptococcus dan Leuconostoc juga ditunjukkan oleh Djaafar (1997). Kedelai Kecap. Pada fase kedua fermentasi kecap (moromi), Lactobacillus plantarum-pentosus merupakan spesies dominan terhadap populasi Lactobacillus plantarum (Rahayu, 2003). Tempe. Pola populasi BAL dominan-minoritas pada produk ini adalah mirip dengan komposisi mikroba pada kecap, kecuali dengan adanya spesies Pediococcus pentosaceus (Rahayu, 2003). Di samping itu, Lactobacillus casei, Streptococcus faecium dan Streptococcus epidermis juga berperan menurunkan pH hingga 4,5 selama perendaman kedelai (Kuswanto, 2004). Kultur starter mikroba Ragi tape. Lactobacillus plantarum tumbuh sebagai populasi minor dalam produk ragi tape ini karena memiliki waktu generasi yang lebih panjang daripada spesies dominan Pediococcus pentosaceus (Rahayu, 2003). Ragi tempe. Satu-satunya spesies BAL yang terdapat pada produk ini adalah Pediococcus pentosaceus (Rahayu, 2003).
Produk Hewani
Pakasam. Lactobacillus plantarum-pentosus merupakan spesies bakteri asam laktat (BAL) yang mendominir fermentasi, disusul oleh Lactobacillus spp., Pediococcus acidilactici, Streptococcus thermophilus, Leuconostoc paramesenteroides dan beberapa spesies Lactobacillus lainnya (Rahayu, 2003). Peda. Pada produk ini, Streptococcus thermophilus mendominir populasi BAL dan disusul oleh Lactobacillus curvatus, Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus murinus (Rahayu, 2003). Selain itu, Idawati (1996) berhasil mengisolasi Leuconostoc sp. dari produk ini. Pindang. Streptococcus thermophilus merupakan spesies dominan pada produk ini, disusul oleh Enterococcus faecium, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus fermentum dan Pediococcus acidilactici (Rahayu, 2003). Hardiningsih et al. (2006) juga memperoleh genus Lactobacillus pada pindang ikan selar. Ikan asin. Populasi BAL yang paling banyak adalah Leuconostoc paramesenteroides, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus acidophilus dan Streptococcus thermophilus (Rahayu, 2003). Wadi. Seperti pada produk peda dan pindang, Streptococcus thermophilus juga mendominir produk wadi. Selain itu, Lactobacillus plantarum-pentosus, Lactobacillus fermentum, Pediococcus acidilactici dan Enterococcus faecium merupakan populasi BAL yang khas pada produk ini (Rahayu, 2003). Terasi. Seperti pada wadi, Streptococcus thermophilus juga merupakan populasi BAL dominan, sementara Lactobacillus plantarum dan Pediococcus pentosaceus merupakan populasi subdominan. Di samping itu, Pediococcus acidilactici, Lactobacillus plantarum-pentosus, Weissella confusa, Lactobacillus murinus, Lactobacillus sakei, Lactobacillus sp., Enterococcus faecium dan Pediococcus acidilactici merupakan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 162
ISBN 978-602-98902-1-1
populasi minor karena kalah berkompetisi dengan populasi dominan (Rahayu, 2003). Bekasam. Seperti pada kebanyakan makanan fermentasi Indonesia, Lactobacillus merupakan genus dominan pada bekasam dan diikuti oleh genus Streptococcus, Enterococcus, Pediococcus, dan Tetragenococcus (Wijaya dan Rosidah, 2007). Rusip. Berbeda dengan bekasam, Streptococcus merupakan genus dominan pada produk rusip, sementara Lactobacillus menjadi genus subdominan dan diikuti oleh Pediococcus, Enterococcus, Lactococcus/Vagococcus/Streptococcus dan Leuconostoc/ Oenococcus (Wijaya et al., 2007).
KERAGAMAN HAYATI BAKTERI ASAM LAKTAT Kecuali pada ragi tempe, Lactobcillus merupakan genus yang dominan terdapat pada seluruh makanan fermentasi tradisional Indonesia yang dibahas dalam tulisan ini. Spesies Lactobacillus yang terdapat pada hampir setiap produk adalah kompleks Lactobacillus plantarum-pentosus. Genus Pediococcus terdapat pada 14 jenis pangan fermentasi, yaitu pada kelompok buah-buahan fermentasi (mandai cempedak), sayuran fermentasi (asinan sawi dan sayur asin), ubi kayu mentah (gatot), ubi kayu masak (tape ubi), kedelai (tempe), kultur starter mikroba (ragi tape dan ragi tempe) dan produk ikan (pakasam, pindang, wadi, terasi, rusip dan bekasam. Spesies P. pentosaceus merupakan isolat yang dominan terdapat pada ragi karena memiliki resistensi yang tinggi terhadap kekeringan dan panas. Streptococcus hanya berperan dalam fermentasi produk yang bergaram, kecuali pada tempe. Produk-produk yang dimaksud adalah mandai nangka, tempoyak dan seluruh produk ikan dan udang fermentasi (seperti pakasam, peda, terasi dan wadi). Genus Leuconostoc berperan dalam fermentasi 6 produk yaitu pada gatot, tape, kelompok sayuran fermentasi (sayur asin) dan kelompok ikan fermentasi (pakasam, peda dan ikan asin). Selain itu, dua spesies yang berperan adalah L. mesenteroides dan L. paramesenteroides. Acar buah kelompok ikan dan udang fermentasi (pindang, wadi, terasi, bekasam dan rusip) merupakan produk-produk yang ditumbuhi oleh genus Enterococcus; dalam hal ini terdapat 2 spesies yang berperan yaitu E. faecium dan E. casseliflavusflavescens. Weissella confusa merupakan satu-satunya anggota genus Weissella yang berperan dalam fermentasi acar buah, sayur asin, tape ubi dan terasi.
KESIMPULAN Genus bakteri asam laktat dominan pada makanan fermentasi tradisional Indonesia adalah Lactobacillus (dengan spesies dominan L. plantarum) karena genus ini terdapat pada seluruh makanan fermentasi yang ditelaah dalam tulisan ini, disusul oleh Pediococcus (dengan spesies dominan P. pentosaceus), Streptococcus (dengan spesies dominan S. thermophilus), Leuconostoc (dengan spesies dominan L. mesenteroides) , Enterococcus (dengan spesies dominan E.
faecium) dan Weissella (dengan spesies dominan W. confusa). Dengan demikian, genera bakteri asam laktat yang berperan pada fermentasi makanan Indonesia cukup beragam.
DAFTAR PUSTAKA Aguire, M. and Collins, M.D. 1993. Lactic acid bacteria and human clinical infection. J. Appl. Bacteriol. Vol. 75: 95107. Axelsson, L. 2004. Lactic acid bacteria: classification and physiology. In Lactic Acid Bacteria, Microbiology and Functional Aspects. 3rd edition. Salminen, S., von Wright, A. and Ouwehand, A. (Eds.). Marcell Dekker, Inc. New York. Caplice, E. and Fitzgerald, G.F. 1999. Food fermentations: role of microorganisms in food production and preservation. Int. J. Food Microbiol. Vol. 50: 131-149. Djaafar, T.F. 1997. Bakteri asam laktat dan manfaatnya sebagai pengawet makanan. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. XVI, No. 1: 19-22. Gasser, F. 1994. Safety of lactic acid bacteria and their occurrence in human clinical infections. Bull. Inst. Pasteur, Vol. 92: 45-67. Gorbach, S.L. 1990. Lactic acid bacteria and human health. Ann. Med. Vol. 22: 37-41. Hammes, W.P. and Tichaczek, P.S. 1994. The potential of lactic acid bacteria for the production of safe and wholesome food. Z. Lebensm. Unters. Forsch. Vol. 198: 193-201. Hardiningsih, R., Napitupulu, R.N.R. dan Yulineri, T. 2006. Isolasi dan uji resistensi beberapa isolat Lactobacillus pada pH rendah. Biodiversitas Vol. 7 No. 1: 15-17. Holzapfel, W.H., Geisen, R. And Schillinger, U. 1995. Biological bacteriocins and food-grade enzymes. Int. J. Food Microbiol. Vol. 24: 343-362. Idawati. 1996. Isolation and selection of lactic acid bacteria having antibacterial activities from peda and kecap ikan. Sarjana Thesis. Faculty of Agricultural TechnologyBogor Agricultural University. Bogor. Kuswanto, K.R. 2004. Industrialization of tempe fermentation. In . Industrialization of indigenous fermented foods. Steinkraus, K.H. (Ed.). 2nd edition. Marcel-Dekker, Inc. New York-Basel. Puspito, H. and Fleet, G.H. 1985. Microbiology of sugar asin fermentation. Appl. Microbiol. Biotechnol. Vol. 22: 442445.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 163
ISBN 978-602-98902-1-1
Rahayu, E.S. 2003. Lactic acid bacteria in fermented foods of Indonesian origin. Agritech Vol. 23, No. 2: 75-84. Ray, B. and Daeschel, M.A. 1995. Food biopreservatives of microbial origin. CRC Press, Boca Raton, Florida. Reuter, G. 1997. Present and future of probiotics in Germany and in Central Europe. Biosci. Microflo. Vol. 16: 43-51. Sofos, J.N. 1993. Current microbiological considerations in food preservation. Int. J. Food Microbiol. Vol. 19: 87-108. Stiles, M.E. and Holzapfel, W.H. 1997. Lactic acid bacteria of food and their current taxonomy. Int. J. Food Microbiol. Vol. 36: 1-29. Wijaya, A. and Rosidah, U. 2007. Eksplorasi bakteri penurun kholesterol darah asal bekasam dengan pelacak gen BSH. Laporan penelitian dana Hibah Bersaing Dikti. Univesitas Sriwijaya. Wijaya, A., Pambayun, R. dan Arafah, E. 2007. Eksplorasi bakteri penurun kholesterol darah asal rusip dengan pelacak gen BSH. Laporan penelitian dana Ristek. Univesitas Sriwijaya. Wirawati, C.U. 2002. Potential of lactic acid bacteria isolate from tempoyak as probiotic. MS thesis. Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 164
ISBN 978-602-98902-1-1
Evaluasi Lactobacillus Berpotensi sebagai Probiotic yang Diisolasi dari ASI untuk Fermentasi Yoghurt (Evaluation of Lactobacillus Potential as Probiotics Isolated from Breast Milk for Yoghurt Fermentation) 1Southeast
Lilis Nuraida **1, Rizka R. Bastomi 2 and Siti Nurjanah 1
Asia Food and Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center and Departement of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University, 2 Alumni of Department of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University
ABSTRACT Three lactobacilli i.e. Lactobacillus rhamnosus B16, Lactobacillus pentosus A7, Lactobacillus fermentum A17f and Pediococcus pentosaceus A16 isolated from breast milk, have been evaluated for yoghurt fermentation, as single culture or combination with Streptococcus salivarius subsp thermophillus (S. thermophillus). Those lactic acid bacteria (LAB) isolates were able to survive at pH 2 and bile acid, hence they were potential as probiotic cultures. As a single culture, not all isolates grow well on skim milk. Only L. rhamnosus B16 and L. pentosus A7 grew well on skim milk as indicated by the lowering of pH. The growth of P. pentosaceus A16 in milk needs supplementation with sugar, i.e. sucrose or glucose. Supplementation of sugars did not enhance the growth of L. fermentum A17f. Poor growth of L. fermentum in milk was also indicated by less massive curd formed. Prolong incubation at 30, 37 and 42 oC decreasing the pH below 4 for L. rhamnosus B16, L. pentosus A7 and P. Pentosaceus A16, but L. fermentum A17f remain about 5. The pH decrease is higher at higher incubation temperatur i.e. 42oC. The growth of the L. rhamnosus B16, L. pentosus A7 and P. pentosaceus A16 were faster at higher temperature i.e. at 37 and 43oC as compared to 30oC. The total number of LAB of those LAB was higher than L. fermentum A17f. Acid production and growth of L. rhamnosus B16 and L. pentosus A7 was faster compared to the other. Curdling has started after 24 h, while the other started after 48 h. Incorporation of S. thermophillus at ratio of (1:1, 1:2 or 2:1 did not affect the titratable acidity and the pH of yoghurt of L. rhamnosus B16 and L. pentosus A7, but it did for L. pentosaceus A16. Mix culture of L. pentosus A7 and S. themophillus did not affect the total LAB and lactobacilli, however the effect was shown for P. pentosaceus A16. In conclusion, L. rhamnosus B16 and L. pentosus A17 could be used for yoghurt fermentation but for the best sensory characteristic, incorporation of S. thermophillus as starter culture is necessary, meanwhile P. pentosaceus A16 has to be used together with S. thermophillus for yoghurt fermentation. Key words: Lactic acid bacteria, breast milk, yoghurt, starter culture.
PENDAHULUAN Kesadaran masyarakat saat ini akan pentingnya kesehatan semakin meningkat. Salah satunya adalah dengan meningkatnya konsumsi produk-produk pangan fungsional. Salah satu produk pangan fungsional yang sedang berkembang saat ini adalah minuman susu fermentasi yang mengandung probiotik. Menurut Agrawal (2005), sekitar 65% produk pangan fungsional yang beredar saat ini merupakan produk pangan probiotik. Terdapat berbagai jenis produk yang telah dikenal luas yang mengandung probiotik di dalamnya, sebagian besar diantaranya merupakan produk turunan susu, seperti kefir, yoghurt, susu fermentasi ‘yakult’, keju dengan Bifidus infantis, es krim dengan berbasis susu terfermentasi, dan produk susu bubuk yang mengandung bifidus untuk anak-anak (Daigle et al., 1999). Salah satu produk susu terfermentasi yang sudah dikenal luas adalah yoghurt. Yoghurt konvensional difermentasi oleh Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Kedua bakteri asam laktat ini tidak dapat bertahan melewati saluran pencernaan sehingga tidak dapat bekerja dalam usus manusia. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya persyaratan bakteri untuk digunakan sebagai bakteri probiotik Agrawal (2005). Oleh karena itu Saat ini, berkembang penggunaan Lactobacillus acidophilus atau Lactobacillus casei, dan Bifidobacterium bifidus sebagai kultur dalam pembuatan yoghurt.
Probiotik akan bekerja pada saluran pencernaan. Sebelum mencapai usus, menurut Agrawal (2005), probiotik harus melalui lambung yang memiliki asam lambung dengan pH 2.0 yang dapat mematikan sebagian besar mikroba yang melewatinya. Oleh karena itu, ketahanan terhadap asam merupakan sifat yang harus ada pada probiotik, dan juga ketahanan terhadap garam empedu. Beberapa bakteri asam laktat yang diisolasi dari air susu ibu memiliki potensi sebagai probiotik (Nuraida et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian Nuraida et al., (2007), bakteri asam laktat isolat ASI L. rhamnosus B16, L. pentosus A7, P. pentosaceus A16, dan L. fermentum A17f secara in vitro telah diketahui tahan hidup pada pH 2.0 dan tahan terhadap garam empedu pada konsentrasi 0.5 % selama waktu inkubasi 5 jam. Selain itu, P. pentosaceus A16 dan L. fermentum A17f secara in vivo diketahui memiliki sifat yang menguntungkan inangnya dengan meningkatkan proliferasi sel limfosit pada organ limfa dan menurunkan jumlah patogen ( E. coli, B. cereus, S. thyphimurium dan S. aureus) pada feses (Nuraida et al., 2008). Berdasarkan potensi yang dimilikinya, bakteri asam laktat isolat ASI L. rhamnosus B16, L. pentosus A7, P. pentosaceus A16, dan L. fermentum A17f digunakan dalam penelitian ini dalam pembuatan yoghurt yang mengandung probiotik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan BAL isolat ASI L. pentosus A7, P. pentosaceus A16, L. fermentum A17f, dan L. rhamnosus B16 sebagai kultur starter dalam pembuatan yoghurt, yang mencakup pengaruh
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 165
ISBN 978-602-98902-1-1
METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Kultur bakteri asam laktat isolat ASI yang digunakan diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi SEAFAST Center IPB, yaitu yaitu Lactobacillus rhamnosus B16, Lactobacillus pentosus A7, Pediococcus pentosaceus A16, dan Lactobacillus fermentum A17f, kultur bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu skim (Sunlac), glukosa, gula pasir, bahan kimia dan media untuk analisis pewarna kristal-violet, lugol, pewarna safranin, akuades, MRSA (Oxoid), MRSB (Oxoid), RA (Oxoid), NaOH, KHP, KH2PO4, indikator fenolftalein. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan standar untuk analisis mikrobiologi, inkubator suhu 30 0C, 37 0C dan 42 0C, cup plastik bertutup, dan refrigerator. B. Metode 1. Pemilihan Medium Starter Kultur L. rhamnosus B16, L. pentosus A7, L. fermentum A17f dan Pediococcus. pentosaceus A16 masing-masing sebanyak 1 % (dari volume medium) ditumbuhkan pada (1) 100 ml susu skim 10 % (2) 100 ml (susu skim 10 % + glukosa 3 %) dan (3) 100 ml (susu skim 10 % + sukrosa 3 %). Medium fermentasi tersebut dipasteurisasi pada suhu 950C selama 5 menit. Medium fermentasi yang telah dingin kemudian diinokulasikan dengan kultur BAL isolat ASI. Masing-masing perlakuan diinkubasi pada suhu 370C dengan analisis terhadap nilai pH pada selang waktu 24, 48, dan 72 jam. 2. Pengaruh Suhu dan Waktu Fermentasi Yoghurt Pembuatan yoghurt pada tahap ini menggunakan medium terbaik dari tahap pemilihan medium starter untuk masing-masing kultur. Sebanyak 2% kultur starter (pada media terbaik) ditumbuhkan ke dalam 100 ml susu skim (12%) tanpa atau dengan penambahan glukosa atau sukrosa 3%. Suhu inkubasi yang digunakan adalah 300C, 370C dan 420C dengan analisis terhadap nilai pH, total asam tertitrasi (TAT), total BAL, dan pembentukan curd dilakukan pada selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam. 3.
Pengaruh Kombinasi BAL Isolat ASI dengan Streptococcus thermophillus Pengaruh rasio kultud BAL isolat ASI dan Streptococcus thermophillus Kultur L. rhamnosus B16, L. pentosus A7, P. pentosaceus A16, dan L. fermentum A17f dikombinasikan dengan Streptococcus thermophillus dengan kombinasi perbandingan BAL isolat ASI dan S. thermophilus 1:1, 1:2, dan 2:1. Sebagai kontrol, ditumbuhkan kultur tunggal BAL isolat ASI. Masing-masing kultur sebanyak 2 % kultur starter ditumbuhkan ke dalam 100 ml susu skim (12%) tanpa atau dengan penambahan glukosa atau sukrosa 3%. Suhu inkubasi yang
digunakan adalah suhu inkubasi terbaik, yaitu 37oC dan 42oC dengan waktu inkubasi selama 48 jam. Analisa dilakukan terhadap nilai pH dan total asam tertitrasi (TAT). Dengan menggunakan rasio terpilih, dilakukan pengamatan terhadp pengaruh waktu inkubasi. Sebagai kontrol digunakan kulur tunggal BAL isolat ASI dan kultur tunggal Streptococcus thermophillus. Inkubasi pada suhu 42oC, dengan pengamatan dilakukan terhadap nilai pH, total asam tertitrasi (TAT), total BAL, dan total Lactobacillus pada selang waktu 0, 6, 12, 24, 30, 36, dan 48 jam. Uji hedonik (rasa, aroma, konsistensi, dan overall) pada yoghurt dengan waktu inkubasi terpilih. Untuk uji sensori, yoghurt konvensional yang difermantasi dengan kultur S. thermophillus dan L. bulgaricus juga digunakan sebagai kontrol. Untuk yoghurt Pediococcus, uji sensori juga mencakup yoghurt yang difermentasi dengan kombinasi kultur S. thermophillus, L. bulgaricus dan P. pentosaceus A16) HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Pemilihan Medium starter Nilai pH setelah fermentasi selama 72 jam oleh L. rhamnosus B16, dan L. pentosus A7 lebih rendah dari kultur P. pentosaceus A16 dan L. fermentum A17f (Gambar 1 sampai 4). Penambahan glukosa atau sukrosa ke dalam media tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai pH starter yang difermentasi oleh kultur L. pentosus A7, L. fermentum A17f, dan L. rhamnosus B16, namun penambahan berpengaruh nyata terhadap nilai pH starter P. pentosaceus A16. Tanpa adanya penambahan glukosa atau sukrosa, P. pentosaceus A16 tidak dapat membentuk asam dengan baik yang terlihat dari nilai pH starter yang masih tinggi dan starter masih dalam bentuk cair sampai hari ke-3 inkubasi. Pediococcus tumbuh paling baik dengan adanya sukrosa (Raccach, 1999). Pediococcus memiliki ketidakmampuan dalam memfermentasi laktosa secara cepat yang menyebabkan kultur ini tidak digunakan dalam fermentasi susu menjadi minuman (Oberg dan Broadbent (1993). 7.00 6.00 5.00
pH
suplementasi gula, mengevaluasi pengaruh suhu dan waktu inkubasi, menguji pengaruh kombinasi BAL isolat ASI dengan S. thermophilus terhadap pembentukan asam pada yoghurt dan pertumbuhan BAL serta mengetahui penerimaan konsumen terhadap yoghurt yang dihasilkan.
a
a
a
4.00
24 jam
3.00
48 jam 72 jam
2.00 1.00 0.00 skim 10%
skim 10% + suk 3%
skim 10% + glu 3%
Medium fermentasi
Gambar 1. Nilai pH starter kultur L. pentosus A7 pada berbagai media starter dengan suhu inkubasi 370C selama 72 jam
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 166
ISBN 978-602-98902-1-1
7.00
b a
a
6.00
pH
5.00 4.00 24 jam
3.00
48 jam
2.00
72 jam
suhu 370 C dan 420 C, sedangkan pada suhu 300 C nilai tersebut baru tercapai pada hari kedua inkubasi. Untuk kultur L. fermentum A17f jumlah asam laktat sesuai SNI baru tercapai pada hari ketiga inkubasi di suhu 370 C dan 420 C, dan nilai tersebut tidak tercapai di suhu inkubasi 300 C. 2.00
0.00 skim 10 %
skim 10 %+ suc 3%
skim 10 %+ glu 3%
Medium fermentasi
Gambar 2. Nilai pH starter kultur P. pentosaceus A16 pada berbagai media starter dengan suhu inkubasi 370C selama 72 jam
% Asam Lakat
1.00
1.60 Hari ke-0
1.20
Hari ke-1 0.80
Hari ke-2
0.40
Hari ke-3
0.00 30 7.00
a
a
a
pH
5.00
24 jam
4.00
48 jam
3.00
72 jam
2.00 1.00 0.00 skim 10%
skim 10% + suc 3% skim 10% + glu 3%
Medium fermentasi
Gambar 3. Nilai pH starter kultur L. fermentum A17f pada berbagai media starter dengan suhu inkubasi 370C selama 72 jam 7.00 6.00
pH
5.00 4.00
a
a
a
24 jam
3.00
48 jam
2.00
72 jam
Sejalan dengan pembentukan asam, nilai pH yoghurt masing-masing kultur menunjukkan semakin lama inkubasi dilakukan maka nilai pH yoghurt semakin menurun (data tidak diperlihatkan). Suhu dan waktu inkubasi yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai pH yoghurt untuk semua kultur yang digunakan.
2.00 1.60 Hari ke-0
1.20
Hari ke-1
0.80
Hari ke-2 Hari ke-3
0.40 0.00 30
1.00
skim 10 %
skim 10 %+ suc 3%
skim 10 %+ glu 3%
Medium fermentasi
Gambar 4 . Nilai pH starter kultur L. rhamnosus B16 pada berbagai media starter dengan suhu inkubasi 370C selama 72 jam Berdasarkan hasil pengamatan di atas, terlihat bahwa 2. Pengaruh Suhu dan Waktu Fermentasi Yoghurt Kultur Tunggal Total Asam Tertitrasi ( % Asam Laktat ) dan Nilai pH Gambar 5 sampai 8 di bawah ini menunjukkan total asam tertitrasi yoghurt pada berbagai suhu dan waktu inkubasi. Suhu dan waktu inkubasi yang digunakan berpengaruh nyata terhadap jumlah asam laktat yoghurt untuk semua kultur. Persyaratan jumlah asam laktat yang terdapat pada yoghurt berdasarkan SNI adalah antara 0.5-2.0 %. Pada yoghurt kultur L. pentosus A7, P. pentosaceus A16, dan L. rhamnosus B16 nilai tersebut telah tercapai pada hari pertama inkubasi pada
37 42 o Suhu Inkubasi ( C)
Gambar 6. Persentase Asam laktat yoghurt kultur P. pentosaceus A16 pada berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi 2.00
% Asam Laktat
0.00
42
Gambar 5. Persentase Asam laktat yoghurt kultur L. pentosus A7 pada berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi
% Asam Laktat
6.00
37 Suhu inkubasi (o C)
1.60
Hari ke-0
1.20
Hari ke-1 0.80
Hari ke-2 Hari ke-3
0.40 0.00 30
37 Suhu Inkubasi (o C)
42
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 167
ISBN 978-602-98902-1-1
Gambar 7. Persentase Asam laktat yoghurt kultur L. fermentum A17f pada berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi
% Asam Laktat
2.00 1.60 Hari ke-0
1.20
Hari ke-1 0.80
Hari ke-2
0.40
Hari ke-3
A7, P. pentosaceus A16, dan L. rhamnosus B16 telah mencapai total BAL yoghurt antara 108-109 cfu/mL pada hari pertama inkubasi di semua suhu. Namun total BAL yoghurt kultur L. fermentum A17f baru mencapai 108 CFU/mL pada hari kedua fermentasi pada suhu 370 C dan 420C, dan jumlah tersebut tidak tercapai hingga hari ke-3 fermentasi pada suhu 300 C. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL berlangsung lebih lambat pada suhu 300 C dibandingkan inkubasi yoghurt dikedua suhu lainnya.
0.00
9.50 o
Suhu Inkubasi ( C)
Gambar 8. Persentase Asam laktat yoghurt kultur L. rhamnosus B16 pada berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi Pada SNI 01-2981-1992 tidak disebutkan persyaratan nilai pH yoghurt, sedangkan nilai pH yoghurt menurut Jay (2005) adalah pada kisaran 4,4-3,65. Hasil pengamatan yoghurt menggunakan kultur L. pentosus A7 dan L. rhamnosus B16 menunjukkan bahwa yoghurt mencapai kisaran pH 3,8 pada hari kedua inkubasi di suhu 370 C dan 420 C, namun nilai pH ini tidak tercapai hingga hari ketiga inkubasi yoghurt pada suhu 300 C. Yoghurt kultur P. pentosaceus A16 dapat mencapai pH < 4 di ketiga suhu inkubasi, namun nilai tersebut baru dapat dicapai pada hari ketiga inkubasi. Sedangkan nilai pH yoghurt kultur L. fermentum A17f masih di atas 4 pada semua suhu hingga hari ketiga inkubasi. Hasil ini menunjukkan bahwa L. fermentum A17f tidak dapat digunakan sebagai starter untuk feremntasi yoghurt. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa inkubasi yoghurt di suhu 300 C untuk semua kultur menyebabkan proses pembentukan asam laktat dan penurunan nilai pH yoghurt berlangsung lebih lambat dibanding inkubasi yoghurt di kedua suhu lainnya. Total Bakteri Asam Laktat Produk probiotik menunjukkan manfaat yang diinginkan bagi kesehatan manusia jika jumlah bakteri probiotik yang hidup di dalamnya cukup tinggi. Kurmann dan Rasic (1991) menganjurkan dosis minimum jumlah probiotik adalah 108-109 cfu/mL, sehingga ketika melewati saluran pencernaan masih cukup banyak probiotik hidup yang sampai ke usus dan dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Hasil pengamatan total BAL yoghurt dapat dilihat pada Gambar 9 sampai 12. Suhu dan waktu inkubasi yang digunakan berpengaruh nyata terhadap total BAL yoghurt L. pentosus A7, P. pentosaceus A16, dan L. rhamnosus B16 namun hanya waktu yang berpengaruh nyata terhadap total BAL yoghurt L. fermentum A17f. Semua kultur yang diinkubasi pada suhu 370 C dan 420 C umumnya menunjukkan pola pertumbuhan BAL yang sama. Total BAL yoghurt meningkat hingga hari pertama inkubasi, kemudian jumlahnya tidak berubah atau menurun pada hari kedua dan ketiga inkubasi. Namun pada suhu inkubasi 300 C jumlah BAL yoghurt terus meningkat hingga hari kedua dan baru menurun pada hari ketiga. Kultur L. pentosus
Total BAL (Log)
42
9.00 8.50
Hari ke-0
8.00
Hari ke-1
7.50
Hari ke-2
7.00
Hari ke-3
6.50 6.00 30
37 42 o Suhu inkubasi ( C)
Gambar 9. Total BAL yoghurt kultur L. pentosus A7 pada berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi
9.50 9.00
Total BAL (Log)
37
8.50
Hari ke-0
8.00
Hari ke-1
7.50
Hari ke-2
7.00
Hari ke-3
6.50 6.00 30
37 Suhu Inkubasi (o C)
42
Gambar 10. Total BAL yoghurt kultur P. pentosaceus A16 pada berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi 9.50 9.00 Total BAL (Log)
30
8.50 Hari ke-0
8.00
Hari ke-1
7.50
Hari ke-2
7.00
Hari ke-3
6.50 6.00 30
37 Suhu Inkubasi (o C)
42
Gambar 11. Total BAL yoghurt kultur L. fermentum A17f pada berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 168
ISBN 978-602-98902-1-1
B16 di semua suhu inkubasi (data tidak diperlihatkan). Hasil ini menunjukkan bahwa pembentukan asam laktat pada yoghurt kultur tunggal, sebagai kontrol, sama dengan pembentukan 9.00 asam laktat pada yoghurt kultur BAL isolat ASI yang 8.50 dikombinasikan dengan S. thermophilus. Untuk yoghurt Hari ke-0 8.00 menggunakan kultur P. pentosaceus A16 dan L. fermentum Hari ke-1 7.50 A17f pada semua suhu, menunjukkan bahwa kombinasi dengan Hari ke-2 S. thermophilus berpengaruh nyata terhadap jumlah asam laktat 7.00 Hari ke-3 yoghurt. Yoghurt kultur tunggal P. pentosaceus A16 dan L. 6.50 fermentum A17f memiliki kadar asam laktat yang lebih rendah 6.00 bila dibandingkan dengan yoghurt menggunakan kultur 30 37 42 kombinasi dengan S. thermophilus. Suhu Inkubasi (o C) Kombinasi dengan S. thermophilus tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH yoghurt L. pentosus A7 Gambar 12. Total BAL yoghurt L. rhamnosus B16 pada dan L. rhamnosus B16 (data tidak diperlihatkan). Nilai pH berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi yoghurt telah mencapai < 4,0 setelah inkubasi selama 48 jam pada semua suhu. Hasil ini menunjukkan bahwa penurunan Pembentukan Curd Banyaknya asam laktat yang terbentuk dari hasil nilai pH yoghurt kultur tunggal sebagai kontrol sama dengan fermentasi masing-masing kultur mempengaruhi pembentukan penurunan nilai pH yoghurt kultur BAL isolat ASI yang tekstur pada yoghurt. Hasil pengamatan tekstur yoghurt dapat dikombinasikan dengan S. thermophilus. Oleh karena itu pada dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil pengamatan tekstur pembuatan yoghurt, kultur BAL L. pentosus A7 dan L. curd yoghurt, terlihat bahwa curd yoghurt lebih padat pada rhamnosus B16 dapat digunakan secara tunggal. Kombinasi dengan S. thermophilus berpengaruh inkubasi yoghurt selama 2 hari daripada curd yoghurt yang diinkubasi selama 1 hari. Selain itu, inkubasi yoghurt selama 1 nyata terhadap nilai pH yoghurt kultur P. pentosaceus A16 dan hari akan menghasilkan tekstur curd yoghurt yang masih sedikit L. fermentum A17f pada semua suhu Yoghurt menggunakan kedua kultur tunggal BAL ini memiliki nilai pH > 4.0, sedangkan cair dan mudah hancur. yoghurt kultur kombinasi memiliki pH < 4,0 setelah 48 jam Tabel 1. Perubahan curd pada yoghurt yang difermentasi oleh kultur L. pentosus A7, P. pentosaceus A16, L. fermentum A17f, dan L. r hamnosus B16 pada berbagai suhu inkubasi selama 3 hari inkubasi. Total BAL (Log)
9.50
Inkubasi hari ke0 1 2 3
Keterangan :
L. pentosus A7 30oC 37oC 42oC ++ ++ + +++ +++ ++ +++ +++
P. pentosaceus A16 30oC 37oC 42oC + + + ++ ++ + ++ ++
L. fermentum A17f 30oC 37oC 42oC + + + ++ ++ ++ ++
L. rhamnosus B16 30oC 37oC 42oC + ++ ++ + +++ +++ ++ +++ +++
Yoghurt belum menggumpal + Curd sudah terbentuk, tapi masih sedikit cair ++ Tekstur curd agak padat +++ Tekstur curd padat Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada inkubasi. Hasil ini menunjukkan bahwa kultur P. pentosaceus yoghurt untuk semua kultur, pembentukan asam, penurunan A16 dan L. fermentum A17f tidak dapat memfermentasi susu nilai pH, dan pertumbuhan BAL selama fermentasi pada yoghurt secara tunggal, tetapi harus dikombinasikan dengan S. dengan suhu inkubasi 30 0C lebih lambat dibandingkan yoghurt thermophilus untuk meningkatkan kecepatan pembentukan dengan suhu inkubasi 370 C dan 420 C. Sehingga suhu inkubasi asam pada yoghurt. Berbagai perbandingan kombinasi S. yang dipilih adalah suhu 370C dan 420C, sedangkan lama thermophillus dengan L. fermentum A17f dan P. pentosaceus inkubasi yang dipilih adalah 48 jam. Meskipun pembentukan A16 yang digunakan tidak mempengaruhi total asam dan nilai asam, penurunan nilai pH, dan jumlah BAL yang disyaratkan pH yoghurt. Pada tahap berikutnya dipilih kultur L. pentosus A7 pada yoghurt telah tercapai pada 24 jam inkubasi, namun berdasarkan pengamatan tekstur curd secara visual, yoghurt dan kultur P. pentosaceus A16 sebagai perwakilan kultur yang dengan lama inkubasi 48 jam memiliki tekstur curd yang lebih dapat memfermentasi susu secara tunggal dan yang harus dikombinasikan dengan S. thermophillus. Kultur P. padat dan tidak mudah hancur. pentosaceus A16 dipilih karena kultur tersebut memiliki sifat 3. Pengaruh kombinasi BAL Isolat ASI dengan fungsional yang paling baik dibandingkan sifat fungsional kultur lain yang digunakan. Kultur tersebut secara in vivo diketahui Streptococcus thermophillus Kombinasi dengan S. thermophilus (rasio 1:1, 1:2 dapat bertahan dalam saluran pencernaan, meningkatkan dan 2:1) tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah asam laktat proliferasi sel limfosit pada organ limfa dan menurunkan jumlah yoghurt menggunakan kultur L. pentosus A7 dan L. rhamnosus patogen pada feses (Nuraida et al., 2008). Selain itu, pemberian
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 169
ISBN 978-602-98902-1-1
kultur P. pentosaceus A16 pada tikus putih dapat meningkatkan total BAL pada feses.
berlangsung paling cepat antara waktu inkubasi 12 hingga 24 jam.
Total Asam Tertitrasi ( % Asam Laktat ) dan Nilai pH Perubahan total asam pada yoghurt selama fermentasi dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14. Total asam tertitrasi meningkat sejalan dengan waktu inkubasi hingga mencapai 1.5% setelah 48 jam inkubasi. Pada yoghurt kultur tunggal P. pentosaceus A16 pembentukan asam yang terjadi lebih lambat, sehingga penurunan pH yang terjadi juga lebih lambat dari yoghurt lainnya.
Total Bakteri Asam Laktat Hasil pengamatan pada semua yoghurt menunjukkan bahwa total BAL meningkat pada awal masa inkubasi dan kemudian menurun pada jam ke-36 (Gambar 15 dan 16). Hal tersebut dikarenakan terjadi penghambatan pertumbuhan BAL oleh asam yang diproduksi. Yoghurt yang memiliki jumlah BAL terbesar adalah yoghurt yang menggunakan kultur kombinasi dengan S. thermophilus, yaitu yoghurt kultur L. pentosus A7 + S. thermophilus dan yoghurt kultur P. pentosaceus A16 + S. thermophilus. 10.00
1.60 A7
1.20
A7 + ST ST
0.80 0.40
Total BAL (log)
% Asam Laktat
2.00
9.00
A7
8.00
A7 + ST ST
7.00 6.00
0.00 0
6
12 24 30 Jam ke-
36
5.00
48
0
Gambar 13. Pembentukan asam laktat pada yoghurt kultur L. pentosus A7, yoghurt kultur L. pentosus A7 + S. thermophilus (perbandingan 1:1), dan yoghurt kultur S. thermophilus selama fermentasi yoghurt pada suhu inkubasi 420 C
12
24
Jam ke-
30
36
48
Gambar 15. Perubahan total BAL pada yoghurt kultur L. pentosus A7, yoghurt kultur L. pentosus A7 + S. thermophilus (perbandingan 1:1), dan yoghurt kultur S. thermophilus selama fermentasi yoghurt pada suhu inkubasi 420 C 10.00
1.6 A16
1.2
A16+ST
0.8
ST
Total BAL (log)
2
% Asam Laktat
6
9.00 8.00
A16 A16+ST
7.00
ST 6.00
0.4 5.00
0
0
0
6
12
24
30
36
48
Jam ke-
Gambar 14. Pembentukan asam laktat pada yoghurt kultur P. pentosaceus A16, yoghurt kultur P. pentosaceus A16 + S. thermophilus (perbandingan 1:1), dan yoghurt kultur S. thermophilus selama fermentasi yoghurt pada suhu inkubasi 420 C Nilai pH yoghurt menurun drastis setelah inkubasi selama 24 jam yang mencapai nilai 4, dan mencapai pH kurang dari 4 pada lama inkubasi 36 jam. Namun, untuk yoghurt kultur tunggal P. pentosaceus A16 nilai pH baru mencapai 5 setelah inkubasi selama 24 jam dan mencapai nilai pH 4 setelah inkubasi selama 48 jam. Hasil pengamatan nilai pH dan total asam tertitrasi yoghurt menunjukkan bahwa proses fermentasi
6
12
24 30 Jam ke-
36
48
Gambar 16. Perubahan total BAL pada yoghurt kultur P. pentosaceus A16, yoghurt kultur P. pentosaceus A16 + S. thermophilus (perbandingan 1:1), dan yoghurt kultur S. thermophilus selama fermentasi yoghurt pada suhu inkubasi 420 C Total Lactobacillus Hasil pengamatan pada yoghurt menggunakan kultur kombinasi L. pentosus A7 dan S. thermophilus (Gambar 17) menunjukkan bahwa sampai jam ke-6 inkubasi Lactobacillus mendominasi. Pertumbuhan S. thermophilus baru meningkat dan lebih dominan pada jam ke-12 inkubasi, kemudian Lactobacillus kembali mendominasi. Menurut Oberman (1985), pada pembuatan yoghurt konvensional, Streptococcus thermophilus pada proses fermentasi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 170
ISBN 978-602-98902-1-1
Hasil analisa sidik ragam uji hedonik kedua seri yoghurt dengan inkubasi 24 dan 48 jam menunjukkan bahwa kombinasi kultur yang dilakukan tidak berpengaruh nyata terhadap aroma dan konsistensi untuk semua yoghurt dan tidak berbeda nyata dengan yoghurt konvensional (Gambar 18 dan Gambar 19). Rasa dan penerimaan overall yoghurt yang difermentasi oleh L. pentosus A7 setelah 24 jam tidak berbeda nyata dengan yang difermentasi oleh campuran L. pentosus A7 dengan S. thermophilus maupun yoghurt konvensional (campuran L. bulgaricus dengan S. thermophilus). Namun setelah 48 jam inkubasi, rasa dan penerimaan overall yoghurt L. pentosus A7 dengan S. thermophilus lebih baik daripada yoghurt kultur tunggal (Gambar 18).
Total Bakteri (LOG)
10.00 9.00 BAL
8.00
Lactobacillus S. thermophilus
7.00 6.00 5.00 0
6
12 24 30 36 Waktu inkubasi (Jam)
48
Gambar 17. Perubahan total BAL, Lactobacillus dan S. thermophilus pada yoghurt kombinasi L. pentosus A7 dengan S. thermophilus (perbandingan 1:1) selama fermentasi yoghurt pada suhu inkubasi 420 C 6.00
Skor kesukaan
5.00
a a
a
a a a b
b
b
b a
a
4.00
A16+ST A16+ST+LB
3.00
ST+LB
2.00 1.00
Sensori
5.00
6.00
Skor kesukaan
menghasilkan sejumlah asam laktat, asam asetat, asetaldehid, diasetil, dan asam format sehingga menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Total Lactobacillus yoghurt terus meningkat hingga jam ke-36, kemudian menurun pada jam ke48. Seperti halnya pada total BAL, dengan semakin banyaknya jumlah asam laktat yang terbentuk, pertumbuhan Streptococcus dan Lactobacillus terhambat.
a a a
a a a
a,b a
b
a,b
b
a
4.00 A7 A7 + ST
3.00
ST + LB
2.00 1.00 0.00 Konsistensi
Aroma
Rasa
Overall
Gambar 18. Hasil uji sensori pada yoghurt kultur L. pentosus A7, yoghurt kultur L. pentosus A7 + S. thermophilus (perbandingan 1:1), dan yoghurt kultur L. bulgaricus + S. thermophilus (perbandingan 1:1) dengan lama inkubasi 48 jam pada suhu inkubasi 420 C
0.00 Aroma
Konsistensi
Rasa
Overall
Gambar 19. Hasil uji sensori pada yoghurt kultur P. pentosaceus A16 + S. thermophilus (perbandingan 1:1), yoghurt kultur P. pentosaceus A16 + S. thermophilus + L. bulgaricus (perbandingan 1:1:1), dan yoghurt kultur L. bulgaricus + S. thermophilus (perbandingan 1:1) dengan lama inkubasi 48 jam pada suhu inkubasi 420C Hasil uji hedonik pada seri yoghurt yang difermentasi oleh kultur P. pentosaceus A16 menunjukkan kombinasi yang dilakukan berpengaruh nyata terhadap rasa dan penerimaan overall yoghurt dan berbeda nyata dengan yoghurt konvensional. Rasa yoghurt kombinasi kultur P. pentosaceus A16 dengan S. thermophilus dan yoghurt kombinasi kultur P. pentosaceus A16, S. thermophilus, dan L. bulgaricus lebih disukai oleh panelis karena pada media Total ditambahkan BAL fermentasinya telah sukrosa sebagai media fermentasi terbaik P. pentosaceus A16. Sehingga rasa yoghurt lebih manis dan lebih disukai panelis dari rasa yoghurt konvensional. Hasil uji ranking pada seri yoghurt kultur L. pentosus A7 menunjukkan bahwa yoghurt konvensional menempati ranking tertinggi dengan rata-rata ranking sebesar 1.90, kemudian yoghurt kultur kombinasi L. pentosus A7 dan S. thermophilus dengan rata-rata ranking sebesar 1.97 dan yoghurt kultur tunggal kombinasi L. pentosus A7 menempati ranking terendah. Hasil uji ranking pada seri yoghurt P. pentosaceus A16 (data tidak ditunjukkan) menunjukkan bahwa yoghurt kombinasi kultur P. pentosaceus A16, S. thermophilus, dan L. bulgaricus memiliki nilai rata-rata ranking tertinggi, kemudian yoghurt kombinasi kultur P. pentosaceus A16 dengan S. thermophilus, dan ranking terendah adalah yoghurt konvensional. Adanya gula pada yoghurt P. pentosaceus menyebabkan yoghurt ini lebih diterima dari yoghurt konvensional. KESIMPULAN Kultur L. pentosus A7 dan L. rhamnosus B16 isolat ASI dapat digunakan sebagai kultur tunggal dalam fermentasi yoghurt. Kultur P. pentosaceus A16 memerlukan penambahan glukosa dan sukrosa untuk mendukung pertumbuhannya pada susu skim. Penambahan glukossa atau sukrosa tidak memperbaiki pertumbuhan L. fermentum A17f pada susu skim. Untuk pembuatan yoghurt dengan menggunakan isolat ASI, suhu inkubasi yang dapat digunakan adalah 370C dan 420C. Meskipun pembentukan asam, penurunan nilai pH,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 171
ISBN 978-602-98902-1-1
dan jumlah BAL pada yoghurt yang disyaratkan telah tercapai pada 24 jam inkubasi, namun berdasarkan pengamatan tekstur curd secara visual, yoghurt dengan lama inkubasi 48 jam memiliki tekstur curd yang lebih padat dan tidak mudah hancur. Kombinasi kultur P. pentosaceus A16 dengan Streptococcus thermophillus membentuk asam pada yoghurt yang lebih baik dibandingkan dengan yoghurt menggunakan kultur tunggal. Sehingga kultur P. pentosaceus A16 dalam pembuatan yoghurt harus dikombinasikan dengan S.thermophilus (perbandingan 1:1). Sedangkan kombinasi kultur L. pentosus A7 dan L. rhamnosus B16 dengan S. thermophilus tidak mempengaruhi total asam pada yoghurt dibandingkan dengan kultur tunggalnya, tetapi berdasarkan hasil uji sensori yoghurt yang dihasilkan mendekati mutu sensori yoghurt konvensional, sehingga dalam pembuatan yoghurt, kultur L. pentosus A7 dan P. pentosaceus A16 harus dikombinasikan dengan S. thermophillus.
Oberman, H. 1985. Fermented milk. Di dalam: Wood, B. J. B (Ed). Microbiology of Fermented Food. Volume 1. Elsevier Application Science, New York. Raccach, M. 1999. Pediococcus. Di dalam: Robinson, R. K., Batt, C. A., dan Patel, P. D (Eds). Encyclopedia of Food Microbiology 2nd Edition. Academic Press, New York.
DAFTAR PUSTAKA Agrawal, R. 2005. Probiotics: An emerging food supplement with health benefits. Food Biotechnology 19: 227-246. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Yoghurt. SNI 01-29811992. Caldwell, S. L., Hutkins, R. W., McMahon, D. J., Oberg, C. J., dan Broadbent, J. R. 1998. Lactose and galactose uptake by genetically engineered Pediococcus species. Appl Microbiol Biotechnol 49: 315-320 Daigle, A., Roy, D., Belanger, G., dan Vuillermard, J. C. 1999. Production of probiotic cheese (chedar-like) using enriched cream fermented by Bifidobacterium infantis. Journal Dairy Science 82: 1081-1091. Jay , M. J. 1978. Modern Food Microbiology 2nd Edition. Van Nostrand Reinhold Company, New York. Kurmann, J.A., Rasic, J.L. 1991. The health potential of products containing bifidobacteria. Di dalam: Robinson, R. K (Ed). Therapeutic Properties of Fermented Milks. Elsevier Applied Science. Nuraida, L., Susanti., dan Hartanti, A. W. 2007. Lactic Acid Bacteria and Bifidobacteria profile of Breast Milk. 10th ASEAN Food Conference. Kuala Lumpur- Malaysia, 2123 Agustus 2007. Nuraida, L., Susanti., dan Palupi, N. S. 2008. Probiotic Properties of Lactobacillus pentosus A16 and L. Fermentum A17 Isolated from Breast Milk. Symposium on Diet, Nutrition and Immunity. Singapore, 16-17 April 2008. Oberg, C.J dan Broadbent, J.R. 1993. Thermophilic starter cultures: another set of problems. Journal Dairy Science 76: 2392-2406.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 172
ISBN 978-602-98902-1-1
PRODUKSI MINUMAN FUNGSIONAL ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) DENGAN CARA FERMENTASI BAKTERI ASAM LAKTAT [Production of Functional Beverages Rosella (Hibiscus Sabdariffa Linn) By Fermentation Lactic Acid Bacteria] Nurud Diniyah, Setiadji, Wiwik Siti Windrati, Linda Mayasari Susilo Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, Universitas Jember
[email protected]
ABSTRACT Rosella has the most important components of the pigment anthocyanin. Anthocyanins are flavonoid compounds that function as primary antioxidants. At low pH tends to stabilize anthocyanin so necessary to the proper handling to maintain the stability of the most important components of roselle by applying the functional beverage production technology rosella by fermentation using lactic acid bacteria (BAL). BAL used is Lactobacillus plantarum, Lactobacillus bulgaricus and Streptococus thermophillus. BAL in addition can produce metabolites of lactic acid that can stabilize the pigment anthocyanin, BAL also produce aroma-forming compounds, as well as lactic acid which can provide a distinctive flavor that can enhance and improve the functional properties of functional drinks taste rosella.The aim of this study was to determine the effect of long fermentation and functional characteristics of roselle drinks using BAL. The study was compiled using the CRD (Completely Randomized Design) single factor that is a long fermentation (0, 1, 2, 3, and 4 days) with repeated 4 times to obtain 20 units of the experiment. Determination of the best treatment method effectiveness index. Data were analyzed by ANOVA and follawed LSD α = 5 and 1%. The results showed that the treatment best fermentation to produce functional beverages rosella is 3 days with turbidity 191,167 FTU; a pH value of 3,342; a total acid of 18,456 µmol/mL; total sugar 6,539 (° Brix); reducing sugar 0,078 mg/mL; Vitamin C 0,008 mg/mL; anthocyanin 1,668 mg /mL; the antioxidant power of 0,018 µmol /mL and organoleptic scoring were for taste 3,231; colour 2,960; aroma 3,360; and overall 3,520, respectively. Key words : Functional beverages, rosella, anthocyanin, Lactic Acid Bacteria (BAL)
PENDAHULUAN Pandangan masyarakat tentang pangan saat ini semakin meningkat dimana masyarakat memilih pangan tidak hanya dari penampakan dan citarasa saja. Namun masyarakat juga cenderung memilih pangan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh atau yang disebut sebagai pangan fungsional. Menurut Badan POM (2001), pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajiankajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang dianjurkan. Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) merupakan tanaman yang akhir-akhir ini cenderung terjadi peningkatan penggunaannya karena tanaman ini terbukti berkhasiat dapat menyembuhkan atau mencegah penyakit-penyakit tertentu. Zat aktif yang paling berperan dalam kelopak bunga rosella meliputi gossypetin, antosianin, dan glukosidal hibiscin (Maryani dan Kristiana, 2005). Menurut Nurfarida dalam Maryani (2008) antosianin merupakan pigmen alami yang memberi warna merah pada seduhan kelopak bunga rosella dan bersifat antioksidan. Kelopak bunga rosella mengandung asam sitrat dan malat sehingga mempunyai rasa mild asam yang segar dan
khas dengan warna natural yang menarik serta beberapa mineral. Namun pemanfaatan rosella masih terbatas pada beberapa jenis produk pangan saja. Hal ini pun dalam jumlah sedikit yaitu, sirup, selai, jeli, saos, wines, permen dan manisan serta hasil olahan esence. Kelopak bunga rosella dapat dimanfaatkan sebagai pewarna dan paling banyak dijual dalam bentuk bunga kering. Warna merah pada rosella disebabkan karena kandungan antosianin di dalamnya. Konsentrasi pigmen antosianin yang terkandung di dalamnya dipengaruhi oleh pH, dimana pigmen antosianin lebih stabil pada pH rendah. Oleh sebab itu, diperlukan sosialisasi dan promosi keunggulan dari produk rosella ini dengan membuat produk minuman kesehatan rosella dengan cara fermentasi menggunakan bakteri asam laktat (BAL) untuk meningkatkan karakteristik sifat fungsionalnya. Penggunaan kultur mikroba dalam pengolahan pangan misalnya dalam pembuatan makanan fermentasi, terutama ditujukan untuk mengubah bahan pangan asalnya menjadi produk baru yang mempunyai karakteristik berbeda dari bahan asalnya. Selain tujuan utama tersebut penggunaan kultur mikroba dapat mengawetkan (Fardiaz, 1992). BAL yang umumnya dipakai dalam pembuatan minuman fermentasi adalah Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus, yang tergolong dalam bakteri pembentuk asam laktat bersifat homofermentatif. Kedua bakteri ini dapat tumbuh bersama-sama secara simbiosis (Rahayu dan Sudarmadji, 1989). Menurut Fraizier dan Westhoff (dalam Silalahi, tanpa tahun), starter yang paling baik untuk pembuatan yoghurt adalah campuran dari bakteri L. bulgaricus dan S. thermophillus dibandingkan secara mandiri, karena kedua bakteri ini akan berkembang lebih cepat dibandingkan secara terpisah.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 173
ISBN 978-602-98902-1-1
Selama proses fermentasi L. bulgaricus memberikan rasa asam sedangkan S. thermopillus memberikan keasaman dan flavor ( Frazier dan Westoff, 1978; Gomez dan Barraquuio dalam Silalahi, tanpa tahun). Sedangkan Lactobacillus plantarum merupakan spesies Lactobacillus yang mampu memproduksi H2O2 dalam jumlah yang tinggi (Jenie dan Rini, 1995). Berdasarkan hal tersebut maka pentingnya penerapan kombinasi yang terdiri dari L. plantarum, L. bulgaricus dan S. thermophillus mempunyai efek sinergis dalam menghasilkan minuman fungsional yang berasal dari rosella yang dapat mempengaruhi cita rasa minuman fungsional rosella yang dihasilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses tersebut adalah waktu fermentasi, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi yang optimal menggunakan BAL terhadap minuman fungsional rosella yang dihasilkan dengan mengamati karakteristiknya.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rosella kering, gula pasir, susu skim, tepung beras, hidrolisat teri dari teri medan, dan biakan bakteri asam laktat (BAL). Mikroba yang digunakan pada penelitian ini adalah BAL yang terdiri dari L. plantarum, L. bulgaricus dan S. thermophillus diperoleh dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. L. bulgaricus dan L. plantarum disimpan pada media Mannosa Rogosa Sharp Agar (MRS agar). Komposisi media MRS agar adalah sebagai berikut: Pepton 10 g, beef extract 10 g, yeast extract 5 g, K2HPO4 2 g, amonium sitrat 2 g, glukosa 2 g, sodium asetat 3H2O 20 g, MgSO4 7H2O 0,58 g, MnSO4 4H2O 0,28 g, agar 15 g, aquades 1000 ml. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah Buffer pH 1.0 (potassium klorida 0.025 M), buffer 4.5 (Sodium asetat 0.4 M), enzim protamex, K2HPO4, glukosa, NaOH 0,01 N, asam oksalat, Indikator PP, reagen DPPH, pati 1%, Iod 0,001 N, reagen Arsenomolybdat (Ammonium molybdat dan H2SO4 pekat), reagen Nelson (Na2SO4, KNa Tartat, Na2CO3, NaHCO3, CuSO4. 5H2O dan H2SO4 pekat), etanol teknis, HCl, dan aquades. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi blender (merk philips), pH meter, shaker water bath, refrigerator, timbangan digital (XP-1500, Jerman), oven (WTB Binder), vortex, sentrifuse, autoclave (tipe HL 36 AE), hand refraktometer skala 0 ~ 32% (portable Refractometer Toto PRF), turbidimetri, ayakan tyler 50 mesh, dan spektrometer UV-Vis. Pembuatan hidrolisat teri Pembuatan hidrolisat teri sebagai pengganti tripton pepton (media pertumbuhan bakteri), 50 g tepung teri yang telah dikeringkan dan dihaluskan ditambah dengan aquades 250 ml (dalam erlenmeyer 500 ml) kemudian ditambahkan protamex 0,05 g, lalu dimasukkan inkubator dan di shaker selama 3 jam pada suhu 50 oC, lalu didinginkan dan selanjutnya difiltrasi dengan menggunakan kain saring dan kapas, filtrat diambil dan didihkan selama 15 menit pada kondisi steril (ditutup dengan kapas dan aluminium foil) kemudian didinginkan, filtrat yang terbentuk merupakan hidrolisat teri.
Pembuatan starter bakteri asam laktat (BAL) Pembuatan starter bakteri asam laktat (BAL) yang meliputi 4 stater bakteri yaitu L. bulgaricus, L. plantarum, S. thermophilus, dan starter mix (campuran L. plantarum, L. bulgaricus, dan S. thermophilus). (2 g glukosa, 0,25 g K2HPO4, 20 ml hidrolisat teri, dan 40 ml aquades) dimasukkan dalam erlenmeyer, selanjutnya disterilisasi dengan menggunakan autoclave selama 2 jam, lalu didinginkan kemudian ditambahkan 20 g pati tepung beras steril dan inokulum kultur kerja 3 ml (dilakukan pada kondisi aseptis), lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam menggunnakan inkubator. Produksi Minuman Fungsional Rosella Produksi minuman fungsional rosella dengan menggunakan fermentasi bakteri asam laktat (BAL). Rosella kering diambil 10 g ditambahkan 200 ml aquades lalu diblender selanjutnya dimasukkan pada erlenmeyer 500 ml. Kemudian dipasteurisasi dan di shaker pada suhu 80 oC selama 10 menit (kondisi aseptis dengan ditutup kapas), lalu didinginkan kemudian ditambahkan susu skim (1%) lalu inokulasi starter (5% dari aquades) dengan kondisi aseptis lalu ditutup aluminium foil, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam (1 hari), 48 jam (2 hari), 72 jam, 98 jam (4 hari). Setelah itu hasilnya disaring menggunakan kain saring di atas kain saring dilapisi kapas steril dihasilkan filtrat, lalu filtrat dididihkan selama 5 menit, didinginkan lalu disaring dengan menggunakan kertas saring. Hasil filtrasi ditambah gula 80 g selanjutnya diencerkan menjadi 1,3 L selanjutnya dibotolkan. Rancangan penelitian Penelitian ini disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal yaitu lama fermentasi (0, 1, 2, 3, dan 4 hari) dengan ulangan sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 20 satuan percobaan. Analisis parameter Analisis parameter yang dilakukan berturut-turut meliputi pH dan total asam (Dufour et al., 2002), kekeruhan (Subagio, 2006), kadar gula total, gula reduksi dan vitamin C (Sudarmadji dkk, 1997), kadar antosianin (Durst dan Wrolstad, 2005) dan daya antioksidan (Subagio dan Morita, 2001), serta organoleptik (warna, rasa, aroma dan keseluruhan) (Hadiwiyoto, 1994). Analisis data Data hasil analisis diuji secara statistik dengan ANOVA dan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) kepercayaan 5 dan 1%. Penentuan perlakuan menggunakan metode indeks efektifitas (DeGarmo, 1984).
metode selang terbaik et al.,
HASIL DAN PEMBAHASAN Kekeruhan Rerata kekeruhan minuman fungsional rosella berkisar 164,778-191,444 (FTU) (Gambar 1). Perlakuan lama fermentasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kekeruhan minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi 1 hari mempunyai nilai kekeruhan terendah yaitu 164,778 (FTU)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 174
sedangkan pada perlakuan lama fermentasi 2 hari mempunyai nilai kekeruhan tertinggi yaitu 191,444 (FTU). Semakin lama waktu fermentasi maka nilai kekeruhan menunjukkan maikin tinggi. Partikel-partikel yang menyebabkan kekeruhan dalam cairan diantaranya adalah zat padat yang tidak larut dan mikroorganisme yang terdapat di dalamnya. Peningkatan kekeruhan pada produk minuman fungsional rosella menunjukkan bahwa bakteri asam laktat telah mengalami pertumbuhan dan meningkatkan kekeruhan produk.
pH
ISBN 978-602-98902-1-1
3.600 3.550 3.500 3.450 3.400 3.350 3.300 3.250 3.200 3.150 3.100 0
1
4
200.000 150.000
Gambar 2. pH minuman fungsional rosella hasil perlakuan lama fermentasi
100.000 50.000 0.000 0
1
2
3
4
Lama fermentasi (hari)
Gambar 1. Nilai kekeruhan minuman fungsional rosella akibat perlakuan lama fermentasi
Rerata pH minuman fungsional rosella berkisar 3,3173,526 (Gambar 2). Perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai pH minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi 0 hari mempunyai nilai pH tertinggi dengan nilai 3,526 sedangkan pada perlakuan lama fermentasi 4 hari mempunyai nilai pH terendah yaitu 3,317. Makin lama waktu fermentasi akan menyebabkan nilai pH turun. Penurunan nilai pH tersebut dikarenakan adanya produksi asam organik yaitu asam laktat yang dihasilkan dari proses metabolisme bakteri asam laktat selama fermentasi yang diawali dengan pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan selanjutnya glukosa diubah menjadi asam laktat. Surono (2004) menyatakan bahwa proses fermentasi yang melibatkan bakteri asam laktat mempunyai ciri khas yaitu terakumulasinya asam organik yang disertai dengan penurunan nilai pH. Didukung oleh Buckle et al., (1987), bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat. Efek dari asam laktat berkaitan dengan penurunan pH lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 dan asam laktat ini dapat menghasilkan pH yang rendah pada substrat sehingga menimbulkan suasana asam.
Total Asam Rerata total asam minuman fungsional rosella berkisar 58,663-75,999 (µmol/mL) (Gambar 3). Perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap total asam minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi 0 hari mempunyai total asam terendah dengan nilai 14,666 (µmol/mL) sedangkan pada perlakuan lama fermentasi 4 hari mempunyai tptal asam tertinggi yaitu 19,000 (µmol/mL). Makin lama waktu fermentasi akan menyebabkan total asam meningkat. Kenaikan total asam tersebut dikarenakan adanya produksi asam organik yaitu asam laktat yang dihasilkan dari proses metabolisme bakteri asam laktat selama fermentasi yang diawali dengan pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan selanjutnya glukosa diubah menjadi asam laktat. Surono (2004) menyatakan bahwa proses fermentasi yang melibatkan bakteri asam laktat mempunyai ciri khas yaitu terakumulasinya asam organik yang disertai dengan meningkatnya total asam. Didukung oleh Buckle et al., (1987), bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat. Beberapa jenis asam organik yang dihasilkan bakteri asam laktat selama fermentasi antara lain asam laktat dan asam asetat, serta sedikit asam propionat dan asam butirat (Giraud dkk dalam Hadiwiyoto, 1994). 25.000 Total asam (µmol/ml)
Kekeruhan (FTU)
3
Lama fermentasi (hari)
250.000
pH
2
20.000 15.000 10.000 5.000 0.000 0
1
2
3
4
Lama fermentasi (hari)
Gambar 3. Total asam minuman fungsional rosella akibat perlakuan lama fermentasi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 175
ISBN 978-602-98902-1-1
Total padatan (°Brix)
sehingga gula reduksi berkurang. Penurunan gula reduksi pada perlakuan fermentasi selanjutnya menunjukkan bahwa bakteri asam laktat sudah melakukan aktivitas pemecahan terhadap glukosa maupun fruktosa yang terkandung dalam minuman rosella dan dilanjutkan perombakan gula sederhana tersebut sehingga terbentuk asam laktat. Bakteri asam laktat akan memanfaatkan gula reduksi sebagai nutrisinya dan menghasilkan senyawa-senyawa metabolit sekunder berupa asam laktat. Pada lama fermentasi 0 hari kadar gula reduksi lebih rendah daripada lama fermentasi 1 hari, karena pada lama fermentasi 0 hari belum ada aktivitas perombakan sukrosa menjadi gula inver (glukosa dan fruktosa) sedangkan pada waktu lama fermentasi 1 hari kadar gula reduksinya paling tinggi dibandingkan waktu fermentasi yang lain. Pada lama fermentasi 1 hari diduga bakteri asam laktat mulai beraktifitas memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (gula reduksi), sehingga terjadi peningkatan kadar gula reduksi. Setelah fermentasi 2 hari hingga 4 hari kadar gula reduksi turun, ini disebabkn karena bakteri asam laktat memanfaatkan gula reduksi sebagai nutrisinya dalam menghasilkan senyawa metabolit sekunder berupa asam laktat. 0.160 0.140 Gula reduksi (mg/ml)
Total Padatan Rerata total padatan minuman fungsional rosella berkisar 6,233-6,939 (°Brix) (Gambar 4). Total padatan ini diukur berdasarkan total gula (sukrosa) yang ada pada minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap total padatan minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi 4 hari mempunyai total padatan terendah dengan nilai 6,233 (°Brix) sedangkan pada perlakuan lama fermentasi 0 hari mempunyai total padatan tertinggi yaitu 6,939 (°Brix). Makin lama waktu fermentasi akan menyebabkan total padatan turun. Penurunan total padatan tersebut dikarenakan terjadi proses fermentasi yang mengubah gula menjadi asam laktat sehingga total padatan berkurang. Penurunan total padatan pada perlakuan fermentasi selanjutnya menunjukkan bahwa bakteri asam laktat sudah melakukan aktivitas pemecahan terhadap glukosa maupun fruktosa yang terkandung dalam minuman rosella dan terbentuk asam laktat sehingga makin lama fermentasi menyebabkan total padatan minuman fungsional makin turun. Adanya produksi asam organik yaitu asam laktat yang dihasilkan dari proses metabolisme bakteri asam laktat selama fermentasi yang diawali dengan pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan selanjutnya glukosa diubah menjadi asam laktat. Surono (2004) menyatakan bahwa proses fermentasi yang melibatkan bakteri asam laktat mempunyai ciri khas yaitu terakumulasinya asam organik yang disertai dengan meningkatnya total asam. Didukung oleh Buckle et al., (1987), bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat.
0.120 0.100 0.080 0.060 0.040
7.200
0.020
7.000
0.000 0
6.800 6.600
1
2
3
4
Lama fermentasi (hari)
6.400 6.200
Gambar 5. Kadar gula reduksi minuman fungsional rosella akibat perlakuan lama fermentasi
6.000 5.800 5.600 0
1
2
3
4
Lama fermentasi (hari)
Gambar 4. Total padatan minuman fungsional rosella akibat perlakuan lama fermentasi Gula Reduksi Rerata gula reduksi minuman fungsional rosella berkisar 0,046-0,117 (mg/mL) (Gambar 5). Perlakuan lama fermentasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap gula reduksi minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi 4 hari mempunyai total padatan terendah dengan nilai 0,183 (mg/mL) sedangkan pada perlakuan lama fermentasi 0 hari mempunyai gula reduksi tertinggi yaitu 0,117 (mg/mL). Makin lama waktu fermentasi akan menyebabkan gula reduksi turun. Terjadi penurunan kadar gula reduksi tersebut dikarenakan terjadi proses fermentasi yang mengubah gula menjadi asam laktat
Vitamin C Rerata vitamin C minuman fungsional rosella berkisar 0,006-0,016 (mg/mL) (Gambar 6). Perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar vitamin C minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi 0 hari mempunyai kadar vitamin C tertinggi dengan nilai 0,016 (mg/mL) sedangkan pada perlakuan lama fermentasi 4 hari mempunyai kadar vitamin C terendah yaitu 0,006 (mg/mL). Makin lama waktu fermentasi akan menyebabkan kadar vitamin C turun. Terjadi penurunan kadar vitamin C tersebut disebabkan karena aktivitas metabolisme bakteri asam laktat menghasilkan H2O2, suatu oksidator kuat yang dapat menurunkan kandungan viatamin C pada produk minuman fungsional rosella.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 176
dihasilkan oleh enzim NADH oksidase dan superoksida dismutase dimana oksigen berperan sebagai elektron akseptor eksternal dan NADH oksidase yang dimiliki oleh hampir semua bakteri asam laktat L. Plantarum memiliki sistem unik pelindung terhadap enzim superoksida dismutase. Sistem ini berdasarkan akumulasi sistem unik pelindung terhadap enzim superoksida dismutase. Sistem ini berdasarkan akumulasi spesifik Mn2+ yang mencapai intraseluler konsentrasi tinggi yaitu 30-34 mM, yang dapat mengikat superoksida (Surono, 2004).
0.070 0.060 0.050 0.040 0.030 0.020 0.010 0.000 0
1
2
3
4
Lama fermentasi (hari)
Gambar 6. Kadar vitamin C minuman fungsional rosella akibat perlakuan lama fermentasi
Kadar antosianin (mg/L)
Antosianin Rerata antosianin minuman fungsional rosella berkisar 1,251-1,668 (mg/mL) (Gambar 7). Perlakuan lama fermentasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap antosianin minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi 4 hari mempunyai kadar antosianin terendah dengan nilai 1,251 (mg/mL) sedangkan pada perlakuan lama fermentasi 3 hari mempunyai kadar antosianin tertinggi yaitu 1,668 (mg/mL). Peningkatan kadar antosianin terjadi dari lama fermentasi 0 hari ke lama fermentasi 3 hari tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan pada lama fermentasi 4 hari terjadi penurunan kadar antosianin hal ini diduga karena pada waktu tersebut dihasilkan H2O2 sehingga mempengaruhi kestabilan antosianin. Menurut Abbas (2003), menyatakan bahwa penambahan oksidator (H2O2) mengakibatkan kerusakan antosianin mengalami penurunan absorbansi sebesar 79,3%. 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 0
1
2
3
4
Lama fermentasi (hari)
Gambar 7. Kadar antosianin minuman fungsional rosella akibat perlakuan lama fermentasi Daya antioksidan Rerata daya antioksidan minuman fungsional rosella berkisar 0,045-0,074 (µmol/mL) (Gambar 8). Perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap antioksidan minuman fungsional rosella. Perlakuan lama fermentasi 4 hari mempunyai kadar antioksidan tertinggi dengan nilai 0,019 (µmol/mL) sedangkan pada perlakuan lama fermentasi 0 hari mempunyai kadar antioksidan terendah yaitu 0,011 (µmol/mL). Makin lama waktu fermentasi akan menyebabkan daya antioksidan meningkat. Peningkatan aktivitas antioksidan ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Enzim superoksida dismutase dimiliki oleh beberapa bakteri asam laktat. H2O2
Daya antioksidan (µmol/mL)
Vitamin C (mg/mL)
ISBN 978-602-98902-1-1
0.080 0.070 0.060 0.050 0.040 0.030 0.020 0.010 0.000 0
1
2
3
4
Lama fermentasi (hari)
Gambar 8. Daya antioksidan minuman fungsional rosella akibat perlakuan lama fermentasi Uji Organoleptik Rasa Hasil uji nilai kesukaan rasa produk minuman fungsional rosella berkisar antara 2,346-3,231. Perlakuan lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan rasa produk, semakin lama proses fermentasi semakin disukai. Fermentasi oleh bakteri asam laktat terhadap minuman fungsional rosella memberikan cita rasa yang khas terhadap produk hasil fermentasi. Metabolit primer yang dihasilkan bakteri asam laktat selama proses fermentasi yaitu asam laktat, asam asetat dan etanol menyebabkan terjadinya perubahan cita rasa minuman fungsional rosella sebelum dan setelah fermentasi. Senyawa flavor seperti diasetil juga menjadi penyebab timbulnya cita rasa khas pada minuman fermentasi, metabolisme sitrat menjadi diasetil melaui jalur piruvat. S. thermophillus dan L. bulgaricus saling mendukung dalam menghasilkan asam laktat dan aroma. Warna Hasil uji nilai kesukaan warna produk minuman fungsional rosella berkisar antara 2,400-3,360. Perlakuan lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan warna produk. Warna minuman fungsional rosella dihasilkan secara alami dari pigmen antosianin yang terdapat dalam rosella. Perbedaan warna dikarenakan selama fermentasi terjadi pemecahan komponen gula yang berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi pigmen antosianin. Aroma Hasil uji nilai kesukaan aroma produk minuman fungsional rosella berkisar antara 2,440-3,360. Perlakuan lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan aroma produk. Pada perlakuan lama fermentasi 0 hari bakteri asam laktat belum melakukan metabolisme karena belum mengalami proses fermentasi, sehingga belum muncul aroma khas dari senyawa yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Pada
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 177
ISBN 978-602-98902-1-1
fermentasi 1 hari aroma khas mulai muncul karena selama proses fermentasi bakteri asam laktat khususnya L. bulgaricus menghasilkan senyawa diasetil (asetaldehida) yang memberi aroma pada produk disamping aroma dari asam laktat. Aroma minuman fungsional sirsak dengan makin lama fermentasi maka aromanya makin kuat ini ditunjukkan dengan makin meningkatnya kesukaan aroma oleh panelis. Keseluruhan Hasil uji nilai kesukaan keseluruhan produk minuman fungsional sirsak berkisar antara 2,360-3,520. Perlakuan lama fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan keseluruhan. Nilai kesukaan keseluruhan produk paling disukai terdapat pada perlakuan fermentasi 2 hari dengan nilai 3,520 (suka), sedangkan nilai kesukaan keseluruhan produk yang paling tidak disukai adalah pada perlakuan fermentasi 0 hari dengan nilai sebesar 2,360 (tidak suka). Perlakuan Terbaik Hasil perhitungan menunjukkan bahwa penelitian terbaik untuk parameter fisikokimia dan organoleptik adalah minuman fungsional rosella dari perlakuan lama fermentasi 3 hari (Tabel 1) dengan karakteristik: kekeruhan 191,167 FTU, nilai pH 3,342, total asam 18,456 µmol/mL, total padatan 6,539 (° Brix), gula reduksi 0,078 mg/mL, vitamin C 0,008 mg/mL, antosianin 1,668 mg/mL, daya antioksidan 0,018 µmol/mL dan nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa 3,231; warna 2,960; aroma 3,360; dan keseluruhan 3,520. Tabel 1. Penilaian terbaik terhadap parameter fisik-kimia dan organoleptik minuman fungsional rosella hasil perlakuan lama fermentasi 3 hari Nilai Produk Lama Fermentasi (hari) Fisik, Kimia dan Organoleptik 0 0,301 1 0,509 2 0,683 3 0,705* 4 0,489 *= Perlakuan terbaik Pemilihan perlakuan terbaik minuman fungsional rosella dilakukan menggunakan indeks efektivitas dengan melihat parameter fisik, kimia dan organoleptik. Perlakuan terbaik dipilih dari nilai produk yang tertinggi sehingga pada Tabel 1 terlihat bahwa perlakuan lama fermentasi 3 hari memiliki nilai produk tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. KESIMPULAN DAN SARAN Perlakuan lama fermentasi 3 hari merupakan hasil terbaik dan menghasilkan minuman fungsional rosella yang memiliki karakteristik sebagai berikut, kekeruhan 191,167 FTU, nilai pH 3,342, total asam 18,456 µmol/mL, total padatan 6,539 (° Brix), gula reduksi 0,078 mg/mL, vitamin C 0,008 mg/mL, antosianin 1,668 mg/mL, daya antioksidan 0,018 µmol/mL dan nilai rata-
rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa 3,231; warna 2,960; aroma 3,360; dan keseluruhan 3,520. Sebagai saran dari penelitian ini yaitu penambahan sukrosa yang dilakukan di awal fermentasi perlu diganti dengan glukosa selain itu, perlu dilakukan penelitian umur simpan pada minuman fungsional rosella. DAFTAR PUSTAKA Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Kajian Proses Standarisasi Produk Pangan Fungsional Di Badan Pengawas Obat Dan Makanan. Lokakarya Kajian Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Buckle, Edwards, Fleet, Wooton. 1987. Ilmu Pangan Terjemahan oleh Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia, Jakarta. DeGarmo EP, Sullivan WG, Canada CR. 1984. Enginering Economy. 7th Edition. McMillan Pub. New York. Dufour D, Larsonneu S, Alarcon F, Brabet C, Chuzel G. 2002. Improving the bread-making potential of cassava sour starch, In Dufour D, O’Brien GM, Best R : Cassava Flour and Starch: Progress in Research and Development. International Centre for Tropical Agriculture (CIAT), Columbia, pp 133-142. Durst RW, Wrolstad RE. 2005. Determination of total monomeric anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and wines by the ph differential method: collaborative study. Journal of AOAC Int. Vol. 88. Fardias, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Frazier WB, Dennis C. Westhoff. 1998. Food Microbiology. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Hadiwiyoto S. 1994. Teori Dan Prosedur Pengujian Mutu Susu Dan Hasil Olahannya. Liberty, Yogyakarta. Jenie SL, Shinta E. Rini. 1995. Aktivitas Antimikroba dari Beberapa Spesies Lactobacillus terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Makanan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan, 7(2) : 46-51. Maryani Herti, Lusi Kritiana. 2008. Khasiat dan Manfaat Rosella. Edisi Revisi. Agromedia Pustaka, Jakarta. Rahayu K, Sudarmadji, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. PAUUGM, Yogyakarta. Subagio A., Morita N. 2001. No effect of esterification with their fatty acid on antioxidant activity of lutein. Food Res. Int, 34: 315-320. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT. Tri Cipta Karya (TRICK), Jakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 178
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengaruh Jenis Bakteri Starter Campuran (Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus Lactobacillus acidophilus, dan Bifidobacterium) dan Lama Fermentasi Terhadap Beberapa Karakteristik Minuman Sinbiotik Kacang Koro Pedang (Canavalia Ensiformis L.) [The Effect Of Mixed Culture (Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus Lactobacillus acidophilus, and Bifidobacterium) and Period Of Incubation To Several Characteristics Of Sinbiotic Drink From Jack Bean (Canavalia ensiformis l.)] Indira Lanti K1, In – in Hanidah, Betty D. Souviah
Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industi Pertanian, UNPAD
ABSTRACT Jack Bean (Canavalia ensiformis) is indigenous legume that had a potential to became an alternative to reduce the demand of soybean. Jack bean seed content of protein 27,12 %, fat 5,75 %, carbohydrate 42,25%, ash 3,15 %, and moisture 13,05 %. The all seed of Canavalia as known as contain toxic substances, the toxicity of Jack bean has been attribute to the presence of canavanine, concanavalin, canavalin, canatoxin, fitat acid, tripsin inhibitor, lesitin, dan protease inhibitor. Heat treatment and soaked can be used to detoxification of Jack bean seeds. Due the increasing of consumption of functional food, Jack bean can be consider of raw material for the synbiotic product. Synbiotic is containing of probiotic and prebiotic. Legume is containing of oligosaccharide that indigestible by gastrointestinal. Jack bean seeds containing 1,79 – 2,71% of oligosaccharide. Oligosaccharide may benefit gastrointestinal tract health by fermentation of desireable bacterial species. The use of probiotic has been proposed to give benefit to human health such as prevent pathogen bacteria and increase the body immune. The effort using a different lactic acid bacteria is to get the functional and a good taste of synbiotic product. The result of this research is the used of L. bulgaricus, S. thermophilus,and Bifidobacterium bifidum with time of incubation 5 hour give pH 5,52, viable bacteria 1,3 x 109 CFU/ml, with titratable acidity 0,58%, and a good characteristic from panelis. Key word : Jack bean, synbiotic, oligosaccharide, probiotic, prebiotic. Key words : Functional beverages, rosella, anthocyanin, Lactic Acid Bacteria (BAL)
PENDAHULUAN Indonesia kaya akan tanaman polong-polongan, diantaranya koro pedang (Canavalia ensiformis L.). Tanaman koro pedang telah lama dikenal di Indonesia, namun kompetisi antar jenis tanaman menyebabkan tanaman ini tersisih dan jarang ditanam dalam skala luas. Kacang koro pedang sering kali dijadikan tanaman tumpangsari dengan tanaman ubi kayu, coklat, jagung, kopi dan lain - lain. Kacang – kacangan kaya akan protein dan nutrisi lain seperti pati, serat, lemak, vitamin dan mineral (Saikia et al., 1999). Kacang koro pedang mengandung protein cukup tinggi yaitu 27% dari biji kering (Subagio, Windarti, dan Witono ,2002). Kesulitan berkembangnya produk olahan dari kacang koro pedang adalah terdapat senyawa anti nutrisi. Menurut Carlini and Gumaraes (1981) Senyawa anti nutrisi yang terdapat didalamnya adalah yang bersifat termostabil (canavanine, concanavalin, canavalin, canatoxin) dan senyawa termolabil faktor (asam fitat, anti tripsin, lesitin, dan protease inhibitor) (Bressani and Sosa 1990). Dengan pengolahan lebih lanjut seperti proses perendaman dan pemanasan, maka kacang koro pedang dapat menjadi komoditi yang dapat dimanfaatkan secara luas (Gabriel dan Akharaiyi, 2007). Pengolahan sari kacang koro pedang menjadi minuman fermentasi sinbiotik merupakan upaya untuk memberikan nilai tambah kacang koro pedang dan memberikan alternatif lain bagi masyarakat yang ingin mengkonsumsi minuman fungsional. Minuman sinbiotik merupakan suatu produk yang
mengandung prebiotik dan probiotik. Salah satu contoh adalah produk yang mengandung oligofruktosa dan probiotik bifidobacteria memenuhi kriteria sinbiotik (Surono, 2004). Kacang-kacangan mengandung oligosakarida tidak tercerna, tapi menguntungkan bagi bakteri probiotik, sehingga kacang kacangan dapat sebagai sinbotik gabungan dari prebiotik dan probiotik (Koswara, 1995). Kacang koro pedang mengandung oligosakarida 1,79 - 2,71 % oligosakarida. Prebiotik adalah bahan pangan yang tidak dapat di hidrolisis oleh enzim – enzim pencernaan, tetapi memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi tubuh melalui stimulasi secara selektif pertumbuhan dan atau aktifitas satu atau sejumlah terbatas bakteri dalam usus besar sehingga memperbaiki kesehatan tubuh (Gibson dan Roberfoid, 1995). Penambahan bakteri L. bulgaricus dan S. thermophilus diharapkan dapat memberikan karakteristik yang baik terhadap minuman sinbitoik. Penggunaan bakteri Bifidobacterium bifidum dan L. acidophilus diharapkan menjadi bakteri probiotik yang bermanfaat.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain kacang koro pedang yang di dapat dari KOPAGROGTROI Padalarang, Jawa Barat, susu skim, MRS-A, MRS-B, starter bakteri L. bulgaricus, S. thermophilus, Bifidobacterium bifidum dan L. acidophilus dari LIPI Serpong, bahan kimia NaOH,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 179
ISBN 978-602-98902-1-1
toluene, H2SO4, Na2SO4, HgO, etanol, HCl, indikator phenolphtalein, metal biru, safranin, lugol, kristal violet, Alat yang digunakan tabung reaksi, cawan petri, erlenmeyer, waterbath, kompor, panci, kain saring, blender, finpipet, inkubator, spektorfotometer, cuvet, Bunsen, neraca analitik, labu kejdhal, refluks, oven.
takaran 1 ml dan tetap diberi makan berdasarkan berat dan minum secara bebas. Setelah proses perlakuan pengamatan dilakukan pada total bakteri asam pada feses tikus.
Pembuatan Sari kacang Koro Pedang Pembuatan sari kacang dilakukan dengan tahap awal penghilangan senyawa anti nutrisi dan pengupasan kacang koro pedang kemudian melalui proses pemblenderan dan penyaringan. Sari kacang kemudian di uji proksimat dan diamati sifat organoleptiknya untuk mendapatkan sari kacang koro pedang yang disukai panelis (Gambar 1). Bakteri L. bulgaricus,S. thermophilus, Bifidobacterium bifidum dan L. acidophilus ditumbuhkan dalam media adaptasi agar siap digunakan pada sari kacang koro pedang.
Gambar 2. Pembuatan Minuman Sinbiotik Kacang Koro Pedang
Gambar 1. Pembuatan Sari Kacang Koro Pedang Sari kacang kemudian dipanaskan dan dicampur dengan susu skim pada suhu 800C selama 15 menit. Sari kacang kemudian diinkubasi untuk mendapatkan minuman sinbiotik kacang koro pedang (Gambar 2). Hasil proses inkubasi kemudian diuji proximat, pH, asam tertitrasi, total bakteri asam laktat, dan sifat organoleptiknya. Pengujian organoleptik dilakukan kepada 15 panelis dengan skala hedonic adalah sebagai berikut : sangant suka (5), suka (4), biasa (3), kurang suka (2), tidak suka (1). Pengujian penunjang kacang koro pedang dilakukan dengan cara in vivo kepada 9 ekor tikus strain Winstar dibagi menjadi 3 ekor perlakuan kontrol negatif yaitu aquades, 3 ekor perlakuan kontrol positif yaitu minuman sinbiotik komersil, dan 3 ekor perlakuan. Masa adaptasi dilakukan dengan lama waktu 7 hari diberi ransum standar dan air minum secara bebas. Proses perlakuan dilakukan selama 7 hari dan 2 kali perhari dengan
Prosedur Analisis 1. Pengukuran pH (AOAC, 1984) 2. Perhitungan Jumlah Total Asam Tertitrasi (dihitung sebagai asam laktat) (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) Menimbang sampel sebanyak 5 gram dalam erlenmeyer dan menambahkan 0,1 ml (2 tetes) phenolphtalein. Mentitrasi sampel dengan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah muda yang stabil. Pemakaian titer dicatat dan asiditas dihitung sebagai persen asam laktat 3. Analisis Proksimat yang meliputi kadar air, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar protein 4. Pengukuran Total bakteri. Perhitungan Total Mikroba Metode Total Plate Count / TPC (Fardiaz, 1989). 5. Uji Organoleptik Hedonik, Menurut Soekarto (1995), uji organoleptik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap produk baru. Uji organoleptik untuk produk minuman sinbiotik kacang koro pedang adalah uji hedonic untuk mendapatkan formula yang paling disukai panelis
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan rancangan acak faktorial dengan uji lanjutan Duncan dapat dilihat pada tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi interaksi antara jenis bakteri L. bulgaricus, S. thermophilus, Bifidobacterium bifidum, dan L. acidophilus dan lama inkubasi 4, 5, dan 6 jam. Maka pada pengamatan yang dilakukan dilakukan pengujian secara mandiri. Penurunan pH minuman sari kacang koro pedang sinbiotik merupakan hasil perubahan dari laktosa dan nutrisi lain dari kacang sehingga menghasilkan asam – asam amino. Taraf waktu memberikan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 180
ISBN 978-602-98902-1-1
hasil yang signifikan pada setiap perlakuan. Semakin lama waktu inkubasi maka bakteri akan lebih banyak menghasilkan asam sehingga pH semakin menurun. Pada waktu 4 jam minuman sinbiotik yang dihasilkan masih mempunyai pH 5,67 dan mencapai pH 5,43 pada pH 6 jam. pH yang diharapkan dari minuman sinbiotik adalah 5 – 5,50, melihat dari fungsi minuman sinbiotik harus bersifat prebiotik dan probiotik. Pada pH 5 – 5,50 diharapkan oligosakarida yang merupakan prebiotik belum terpecah seluruhnya oleh bakteri saat inkubasi. Setiap bakteri mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengkonversi gula menjadi asam laktat, maka hasil total asam tertitrasi jumlahnya akan berbeda. Peningkatan total bakteri pada setiap jamnya akan menyebabkan peningkatkan pada hasil metabolit dari bakteri dan memengaruhi pada penginderaan. Hal ini disebabkan perbedaan pertumbuhan untuk setiap jenis bakteri. Pertumbuhan bakteri didukung oleh nutrisi yang terdapat pada sari kacang koro pedang dan penambahan susu skim. Perlakuan lama inkubasi 4, 5, dan 6 jam tdak menghasilkan jumlah bakteri yang berbeda nyata. Hal ini dikarenakan pertumbuhan bakteri yang terus meningkat setiap jamnya. Total bakteri diatas 107 CFU/ml diharapkan dapat menjadi sumber probiotik yang baik bagi tubuh. Sampai saat ini belum ada konsensus internasional tentang dosis probiotik, namun dosis yang dianjurkan adalah 107 – 109 CFU/hari dan tergantung dari jenis mikroorganismenya (Balitbangkes, 2007).
Bakteri yang tumbuh diisolasi dalam media MRS-A untuk dilihat totalnya dan sifat morfologisnya. Banyak sifat atau mutu komoditi berkaitan dengan warna. Bersama dengan aroma, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan (Man, 1997). Warna yang dihasikan dari produk sangat dipengaruhi oleh warna sari kacang koro pedang yang dibuat. Warna dari minuman fermentasi sari kacang koro pedang sinbiotik adalah putih agak kekuningan. Menurut Ott et. al. (1999) bakteri S. thermophilus dan L. bulgaricus paling berpengaruh terhadap hasil akhir pada yogurt. Bakteri S. thermophilus banyak memengaruhi dalam pembentukan rasa melalui pembentukan asam laktat dan senyawa sederhana lain. Bakteri L. bulgaricus lebih banyak memengaruhi citarasa dibandingkan S. thermophilus dengan menghasilkan aroma berupa asetaldehid dan asam laktat. Berdasarkan pengujian hedonik produk yang dihasilkan panelis belum begitu menyukai sifat organoleptik yang dihasilkan dari segi rasa. Rata – rata nilai yang dihasilkan masih bersifat kurang suka sampai biasa. Penggunaan jenis bakteri yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang berbeda nyata(p<0,005) terhadap panelis. Berdasarkan pengujian hedonik produk yang dihasilkan panelis belum begitu menyukai sifat organoleptik yang dihasilkan dari segi rasa. Rata – rata nilai yang dihasilkan masih bersifat kurang suka sampai biasa.
Tabel 1. Perhitungan Rancangan Acak Faktorial dengan Uji Lanjutan Duncan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 181
ISBN 978-602-98902-1-1
Total asam yang paling banyak dihasilkan oleh bakteri S. thermophilus, L. bulgaricus dan L. acidophilus, Bifidobacterium sebesar 0,60%. Hasil tersebut berbeda nyata dengan perlakuan jenis bakteri S. thermophilus, L. bulgaricus dan L. Acidophilus. Dengan 4 jenis bakteri menghasilkan lebih banyak total asam tetapi tidak berbeda nyata pada taraf jenis bakteri yang lain. Menurut taraf lama inkubasi 4,5,dan 6 jam memberikan hasil yang signifikan. Selama proses inkubasi asam akan terus terbentuk pada suasana anaerob. Pada waktu 6 jam, total asam dihasilkan paling banyak yaitu 0,630%. Total asam berhubungan erat dengan pH karena asam yang dihasilkan akan menurunkan pH. Banyak sifat atau mutu komoditi berkaitan dengan warna. Bersama dengan aroma, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan (Man, 1997). Warna yang dihasikan dari produk sangat dipengaruhi oleh warna sari kacang koro pedang yang dibuat. Warna dari minuman fermentasi sari kacang koro pedang sinbiotik adalah putih agak kekuningan. Para panelis cenderung menyukai warna dari minuman fermentasi sari kacang koro pedang sinbiotik. Pengunaan berbagai jenis bakteri tidak memengaruhi warna dari minuman sinbiotik yang dihasilkan karena selama fermentasi bakteri tidak menghasilkan metabolit yang menyebabkan perubahan warna yang signifikan. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kurang baik karena produk bersifat “plain”. Rasa dari minuman sinbiotik sari kacang koro pedang banyak di pengaruhi oleh dari rasa kacang koro pedang sendiri dan asam laktat. Setiap bakteri akan menghasilkan senyawa sederhana yang memengaruhi rasa dan sifat organoleptik lainnya. Asam laktat dihasilkan dari pemencahan laktosa menjadi asam piruvat kemudian menjadi asam laktat penggunaan bakteri S. thermophilus, L. bulgaricus dan Bifidobacterium mempunyai penerimaan rasa yang paling tinggi. Menurut Ott et. al. (1999) Bakteri S. thermophilus dan L. bulgaricus paling berpengaruh terhadap hasil akhir pada yogurt. Bakteri S. thermophilus banyak memengaruhi dalam pembentukan rasa melalui pembentukan asam laktat dan senyawa sederhana lain. Bakteri L. bulgaricus lebih banyak memengaruhi citarasa dibandingkan S. thermophilus dengan menghasilkan aroma berupa asteldehid dan asam laktat. Aroma dari yogurt dengan starter S. thermophilus dan L. bulgaricus adalah kombinasi berbagai jenis bahan hasil metabolit sekunder seperti acsetaldehid, diasetil, aseton, asetonik, 2-butanin, etanol dan beberapa asam organic (Ott et. al., 1997). Jenis bakteri Bifidobacterium memberikan aroma yang kurang disukai sehingga pada penggunaan jenis bakteri ini mempunya nilai penerimaan yang paling rendah yaitu 2,56 (kurang disukai). Pada waktu inkubasi 4 dan 5 jam aroma khas kacang masih
tercium sehingga banyak panelis yang kurang menyukai, sedangkan pada waktu 6 jam perpaduan bau asam dan khas kacang menyebabkan panelis juga tidak menyukainya. Dari perlakuan waktu inkubasi maka perlakuan 6 jam memberikan aroma yang paling tidak disukai dengan nilai 2,36 (kurang suka). Kekentalan dari minuman fermentasi sari kacang koro pedang dipengaruhi oleh pengenceran pada pembuatan sari kacang dan penambahan susu skim. Kisaran dari nilai yang diberikan oleh panelis adalah 3,18 – 3,24. Nilai tersebut menunjukkan panelis “biasa” terhadap kekentalan produk. Analisis proksimat dilakukan untuk produk minuman sinbiotik kacang koro pedang terbaik, yaitu penggunaan jenis bakteri S. termophilus, L. bulgaricus, dan Bifidobacterium dengan lama waktu fermentasi 5 jam (Tabel 2). Menurut Tamime dan Robinson (1989), kandungan protein pada susu memengaruhi kekentalan, semakin tinggi protein maka semakin tinggi kekentalan. Penggunaan bakteri S. thermophilus, L. bulgaricus dan Bifidobacterium, akan menjadi sumber probiotik yang baik. Bifidobacterium akan menjadi bakteri yang paling banyak bertahan dalam saluran pencernaan (Surono,2004). Pengujian perlakuan terbaik dilakukan secara invivo kepada 3 ekor tikus strain Wistar , dengan 3 ekor kontrol positif dan 3 ekor kontrol negatif . hasil uji invivo dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram BatangTotal Koloni Bakteri Asam Laktat Pada Feses Tikus (cfu/ml) Berdasarkan gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah bakteri asam laktat pada perlakuan kontrol (-) memiliki total bakteri asam laktat yang paling sedikit. Pada perlakuan ini hewan percobaan hanya diberi perlakuan dengan air mineral saja. Sedangkan hasil total bakteri asam laktat pada perlakuan kontrol (+) tidak jauh berbeda dengan hasil total BAL pada perlakuan minuman sinbiotik kacang koro pedang. Sifat fungsional dari minuman sinbiotik kacang koro pedang dapat disetarakan dengan produk yang diberikan pada kontrol positif. Menurut Surono (2004), berbagai hambatan dilalui mikroba dalam saluran pencernaan mulai dari mulut sampai anus diantaranya adalah enzim lisozim pada air liur, asam lambung, garam empedu, dan senyawa metabolit yang dihasilkan bakteri asam laktat, terutama asam laktat. Hambatanyang paling berarti adalah asam lambung dan garam empedu. Bakteri probiotik harus mampu bertahan agar dapat mencapai usus halus dalam keadaan tetap hidup dalam jumlah yang cukup memadai untuk berkembang biak dan menyeimbangkan mikrobiota dalam usus. Didalam lambung terdapat Lactobacillus sebanyak 0-103 CFU/g
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 182
ISBN 978-602-98902-1-1
atau per ml, dan Bifidobacterium sebanyak 0-102 CFU/g atau per ml. Bakteri yang dapat hidup di dalam lambung hanyalah bakteri-bakteri yang tahan asam, karena dalam rongga lambung yang kosong, memiliki pH 3,0 sampai 3,5 (Winarno, 2003). Dalam usus halus Lactobacillus yang hidup sebanyak 102-105 CFU/g atau per ml, dan Bifidobacterium sebanyak 103- 1011 CFU/g atau per ml (Surono, 2004). Total leukosit menunjukkan bahwa pemberian minuman sinbiotik kacang koro pedang tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan perlakuan pemberian minuman air mineral (Gambar 4). Total leukosit paling rendah terdapat pada tikus dengan penggunaan minuman probiotik komersial. Jumlah leukosit yang rendah menunjukkan bahwa darah dalam tubuh tikus tidak bertahan kepada infeksi, jika jumlah leukosit berada di bawah 6600 maka terjadi infeksi pada tubuh tikus. Jumlah leukosit pada tikus normal adalah sekitar 6,6 – 12,6 (×103/mm3). Banyaknya bakteri probiotik dalam tubuh dapat memengaruhi sistem imun dalam tubuh (Febriyantho dan Wisnubroto, 2009). Kondisi kesehatan tikus dapat dilihat dari jumlah leukosit didalam tubuhnya.
Jumlah sel (sel/mm3)
Perhitungan Leukosit 12000
10296
10070 6965
7000 2000 -3000
kontrol -
kontrol +
minuman sinbiotik
Perlakuan
Gambar 4. Diagram Batang Jumlah Leukosit pada hewan percobaan (sel/mm3) Meningkatnya sistem imun dalam tubuh akan menunjukkan jumlah leukosit dalam jumlah ambang batas yang rendah. Peningkatan jumlah leukosit akan terjadi dalam tubuh apabila terjadi infeksi dan jumlah leukosit yang terhitung akan kurang dari 6600 karena banyak leukosit yang mati dalam menjaga system imun tubuh. Di dalam tubuh darah putih terbagi menjadi 2 bagian yaitu granulosit dan agranulosit. Hasil pembagian tersebut dalam hasil perhitungan jenis leukosit dalam darah tikus dapat dilihat pada gambar 5.00
Jumlah limfosit paling tinggi terdapat pada tikus dengan perlakuan minuman sinbiotik, dan yang paling rendah pada kontrol dengan air mineral. Batas normal neutrofil pada tikus normal yang berkisar 1,77–3,38 (×103/mm3) atau 4,40– 4,92% (Febriyantho dan Wisnubroto, 2009). Penggunaan minuman sinbiotik dapat mendukung sistem imun akan tetapi belum terlampau berpengaruh.pada perlakuan kontrol negatif limfosit pada tikus cenderung rendah tetapi dengan total neutrofil yang tinggi. Keadaan tersebut menunjukkan adanya sistem imun yang dibentuk oleh tubuh untuk menanggapi adanya bahaya. Pada perlakuan kontrol positif dan minuman sinbiotik total limfosit cukup tinggi akan tetapi dengan neutrofil yang rendah. Keadaan tersebut masih tergolong normal atau terjadi infeksi. Jumlah sel basofil pada tikus normal adalah sekitar 0,00–0,03 (×103/mm3) atau 0,00–0,60% (Febriyantho dan Wisnubroto, 2009). Pada hasil penelitian jumlah basofil tidak ada dan masuk ke dalam rentang normal. Total monosit paling tinggi terdapat pada perlakuan kontrol negatif, seluruh perlakuan menghasilkan total monosit dalam rentang normal.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian jenis bakteri dan lama inkubasi tidak memberikan interaksi terhadap nilai pH, total asam, total bakteri asam laktat, karakteristik warna, rasa, aroma, kekentalan dari minuman sinbiotik kacang koro pedang sinbiotik. Perlakuan terbaik adalah penggunaan jenis bakteri S. termophilus, L. bulgaricus, dan Bifidobacterium dengan lama waktu fermentasi 5 jam. Perlakuan terbaik dipilih karena mempunyai karakteristik fungsional yang baik dengan pH 5,52, total bakteri asam laktat 1,3 x 109, total asam tertitrasi 0,58%, dan karakteristik warna, rasa, aroma, kekentalan, kenampakan keseluruhan yang dapat diterima oleh panelis. Berdasarkan analisis in vivo menunjukkan bahwa minuman sinbiotik kacang koro pedang terbaik berpengaruh terhadap sistem imunitas tubuh.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada saudara Rocky Barus STP dan juga kepada UNPAD atas Hibah Penelitian Strategi Nasional DIPA UNPAD Tahun 2010 .
DAFTAR PUSTAKA Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budijanto S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 1970. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. AOAC, Washington DC.
Gambar 5. Diagram Batang Diferensial Leukosit Pada Hewan Percobaan(sel/mm3)
Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist 14th edition. AOAC, Arlington, Virginia.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 183
ISBN 978-602-98902-1-1
Balitbangkes. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Peel and Seed Extracts Using in vitro Models. J. Agric.Food Chem. 50, 81-86.
Bressani, R. and Sosa, J. L. 1990. Effect of Processing on The Nutritive Value of Jackbean (Canavalia ensiformis). Plant Foods in Human Nutrition 40:207 – 214.
Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatatra Karya Aksara, Jakarta.
Carlini, C. R. and Gumaraes, I. 1981. Isolation and Characterization of Toxiv Protein From Canavalia ensiformis (Jackbean) Seeds Distinct From Con A. Toxicon. 19: 667 – 675.
Subagio, A., Windrati, W. S., dan Witono, Y., 2002. Protein Albumin dan Globulin dari Beberapa Jenis Koro – koroan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional PATPI, KElompok Gizi dan Keamanan Pangan, pp : 143 - 151
Chau CF, Cheung PCK. 1999. Effects of the phisico-chemical properties of three legume fibers on cholesterol absorption in hamster. J Nut. Research, Vol. 19, No. 2: 257-265. Fardiaz. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Febriyantho, D dan Wisnubroto, A. P. 2009. Efek Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap GAmbaran Leukosit Tikus (Rattus norvegicus) Diabetik Karena Aloksan. Available at : http://www.scribd.com/doc/14117567(diakses 19 November 2010) Gabriel, R.A dan Akharaiyi F. C. 2007. Effect of Spontaneous Fermentation On Composition of Thermally Treated Jack Beans (Canavalia ensifomis L.). International Jurnal of Biology Chemistry, p. 91-97.
Subekti I. 1995. Apa Itu Diabetes?: Patofisiologis, Gejala, dan Tanda. dalam: Soegondo S, Soewondo P, Subekti I (eds). 1995. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. Hal 251-256. Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT. Tri Cipta Karya, Jakarta Tamime, A. Y., dan Robinson, R. K. 2007. Yoghurt Science and Technology Third Edition. PErgamon Press. Winarno. 2003. Bioteknologi Industri Susu. LActicia Press. Yogyakarta.
Guillon F, Champ MMJ. 2002. Charbohydrate fraction of legumes: uses in human nutrition and potential for health. B J Nutr. 88 (suppl): 293-306. Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pusat Sinar Harapan, Jakarta. Laswati DT, Marsono Y, Noor Z. 2000. Pengaruh Diet Residu Ekstraksi Protein Kedelai pada Kadar Gula Darah Tikus Diabetes. Dalam Nuraida L, Haryadi RD, Budijanto S. (eds). Pemberdayaan Industri Pangan dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Menghadapi Era Perdagangan Bebas. Prosiding Vol. III Siminar Nasional Industri Pangan PATPI, Surabaya. 10-11 Oktober 2000. Man, J. de. 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB. Bandung Muchtadi, R. T.. dan Suyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan PAngan. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor. Musthafa Z, Lawrence GS, Saweang A. 2000. Radikal bebas sebagai prediktor Atherosklerosis pada tikus wistar diabetes melitus. Cermin Dunia Kedokteran. No.127, Hal: 30-31. Saikia, P. C. R. Sarkar dan I . Birua. 1999. Chemical Composition, Anti Nutritional Factors Andeffect of Cooking on Nutritional Quality of Rice Bran (Vigna umbellate (Thumb : Ohwi dan Ohashi). J. Food Chem. 67: 347-352. Singh RP, Murthy, KNC, Jayaprakasha. 2002. Studies on Antioxidant Activity of Pomegranate (Punica granatum)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 184
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengaruh Penambahan Sukrosa Pada Bulgaricus Milk Terhadap Konsentrasi Conjugated Linoleic Acid (CLA) Susu Kambing [The Effect Of Sucrose Addition In Bulgaricus Milk On Conjugated Linoleic Acid (CLA) Concentration Of Goat’s Milk] Indratiningsih dan Feny Prabawati Sutomo Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT Goat’s milk has an advantage, especially on the fat composition. CLA compound naturally is found in ruminant products, such as milk and meat. CLA is bioactive, which can inhibit several degenerative diseases. The purpose of this study was to determine the concentration of CLA in goat’s milk fermented by Lactobacillus bulgaricus with the addition of sucrose. Fermented milk was inoculated by 3 and 5% of Lactobacillus bulgaricus and added with 4% of sucrose. Furthermore, milk was incubated at a temperature of 40°C until the pH reached 4.5. The results were tested qualities of fermented milk including levels of CLA, pH, acidity, and lactose. Data were analyzed with factorial analysis using SPSS 12 version for windows. The results showed that there is no difference in bulgaricus milk quality with the addition of sucrose, as well as on the concentration of CLA. This study can be concluded that the addition of sucrose in bulgaricus milk produces 0.91% and 1.03% CLA of relative total fatty acids Key words : Goat’s Milk, Bulgaricus milk, Sucrose, CLA
PENDAHULUAN Susu kambing di Indonesia sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, karena belum banyak penelitianpenelitian mengarah pada nilai fungsional susu kambing sebagai bahan pangan, padahal potensinya sangat besar. Pengembangan makanan fungsional dibutuhkan untuk mengatasi penyakit degeneratif. Selama ini kandungan lipida dari produk peternakan sering dijadikan alasan sebagai penyebab penyakit degeneratif antara lain atherosklerosis dan kanker. Asam lemak esensial terdapat pada produk ternak dengan kadar yang rendah, tetapi asam linoleat relatif tinggi konsentrasinya pada susu kambing. CLA (Conjugated Linoleic Acid) dalam susu merupakan senyawa hasil isomerasi asam linoleat oleh bakteri rumen diketahui mempunyai manfaat bagi kesehatan dan diantaranya dapat menghambat perkembangan sel kanker. Bakteri asam laktat (BAL), Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus termophillus telah diketahui bermanfaat bagi kesehatan dan BAL strain tertentu diketahui memiliki kemampuan untuk membentuk CLA. Sehingga pembentukan CLA dengan menggunakan BAL untuk memproduksi susu fermentasi akan lebih efisien bila dibandingkan melalui proses perlakuan pakan terhadap ternaknya. Disamping itu susu kambing terfermentasi dapat mengurangi bau khas yang kurang disukai konsumen. Susu kambing memiliki 35% asam lemak rantai medium (C6-C14) dibanding susu sapi sebanyak 17% dan tiga asam lemak masing-masing asam kaproat (C6), kaprilat (C8) dan kaprat (C10) sebanyak 15% pada susu kambing dibanding 5% pada susu sapi. Ketiga asam lemak ini telah diguanakan untuk terapi sindrom malabsorbsi, gangguan pencernaan dan penyakit jantung koroner. Hal ini karena kemampuan metabolismenya yang baik untuk menyediakan enersi dan dalam waktu yang bersamaan dapat menghambat serta melarutkan deposisi kolesterol (Haenlein, 1992).
Komposisi kimia susu kambing secara umum mengandung lemak 3,5–8%, solid non fat 9,1%, protein 3,7%, laktosa 5%, abu/mineral 0,85% dan total solid 13,9%. Asam lemak jenuh sekitar 67% dan asam lemak tidak jenuh sekitar 33% (Devendra dan Mc Lerroy, 1982). Perbandingan susu kambing dengan susu lainnya menunjukkan bahwa susu kambing mengandung lemak cukup tinggi dan lemak susu kambing lebih unggul karena globula lemaknya jauh lebih kecil, halus dan homogen tersebar dalam susu. Lemak susu kambing mengandung asam-asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat dan asam linoleat yang merupakan asam lemak esensial. Asam lemak esensial untuk diet manusia adalah asam linoleat dan asam linolenat. Dengan mengkonsumsi asam linoleat yang cukup, tubuh sudah dapat mensintesis asam linolenat dan asam arakhidonat. Komponen lemak susu diketahui berperanan penting pada kesehatan manusia, karena terdapatnya senyawa CLA (Parodi, 1999). Dalam perkembangannya sekarang, CLA diketahui mempunyai efek yang baik bagi kesehatan manusia, antara lain diketahui dapat berfungsi sebagai anti karsinogen, menghambat atherosklerosis, menstimulasi sistem imun dan dapat mereduksi lemak tubuh. Makanan yang kaya sebagai sumber CLA adalah produk olahan susu seperti yogurt dan keju serta daging sapi. Dalam susu sapi terdapat 5,5 mg/g lemak, dan daging sapi 4,3 mg/g lemak. Kandungan CLA pada makanan masih dibawah dosis yang dapat memberikan efek kesehatan. Lipida termasuk asam-asam lemak terutama asam linoleat merupakan prekursor CLA dan terdapat korelasi positif antara kadar lipida dengan CLA. CLA adalah asam linoleat dimana ikatan rangkapnya yang berjumlah dua tidak dipisahkan oleh dua ikatan tunggal, tetapi hanya dipisahkan oleh satu ikatan tunggal sehingga letak ikatan rangkapnya terletak pada karbon nomor 9, 10 serta 11, 12. Pada karbon nomor 9, 10 berbentuk cis dan pada karbon nomor 11, 12 berbentuk trans. Struktur yang berbeda ini menentukan bentuk molekul dan fungsi CLA sebagai anti kanker, antioksidan dan fungsi-fungsi lainnya. Isomer CLA yang aktif adalah 9-cis,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 185
ISBN 978-602-98902-1-1
11-trans octadecanoic acid. CLA bersifat relatif stabil pada pemrosesan susu dengan panas (Lin et al., 1999). Mekanisme terbentuknya CLA pada susu yaitu terjadinya isomerasi dari asam linoleat dan asam linolenat melalui jalur biohidrogenasi dalam rumen. Isomerasi ini melalui bakteri anaerob Butyrivibrio fibrisolvent dengan reaksi yang dapat mengubah ikatan cis-12 menjadi ikatan trans-11 (Jahreis et al.,1999). CLA setelah keluar dari rumen, akhirnya akan diabsorpsi kedalam darah dan akhirnya kedalam susu. CLA ternyata mempunyai aktifitas dapat mencegah terjadinya tumor. Pada percobaan secara invitro, CLA dengan konsentrasi yang rendah dapat membunuh dan mencegah terjadinya kanker kulit, kolon dan payudara. Penambahan sukrosa sebelum fermentasi dapat digunakan untuk menghambat osmofilik ragi dan jamur. Akan tetapi harus diperhatikan ketika penambahan gula pada level konsentrasi diatas 7% (w/v) karena tekanan osmotik dan penurunan aw akan menghambat mikroorganisme starter, terutama Lactobacillus delbrueckii ssp. bulgaricus (Marshall dan Mabbitt, 1980 cit Early, 1998). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh proses fermentasi dengan bakteri L. bulgaricus dengan penambahan sukrosa terhadap kualitas susu Bulgaricus termasuk kadar CLA.
METODOLOGI
dengan susu kambing yang dipasteurisasi pada suhu 85°C selama 30 menit, kemudian suhu diturunkan sampai suhu 40°C dan diinokulasi dengan 3 dan 5% bulk starter yang mengandung Lactobacillus bulgaricus serta ditambah sukrosa 4%. Inkubasi dilakukan pada suhu 40°C sampai pH mencapai 4,5 sampai 5 atau sampai tidak terjadi wheying off. Produk susu terfermentasi dianalisis terhadap variabel-variabel sifat fisik, kimia dan CLA (Lin et al., 1999). Analisis data Analisis data percobaan menggunakan analisis variansi pola faktorial 2x2 dan bila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut Duncan menggunakan taraf α = 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas susu pasteurisasi Hasil pengujian kualitas susu pasteurisasi dengan penambahan sukrosa 0% dan 4% dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengujian kualitas susu pasteurisasi dengan perlakuan sukrosa 0 dan 4% Perlakuan pH Keasaman Laktosa CLAa (%) (%) Sukrosa 0% 6,53 0,21 3,28 0,89 Sukrosa 4% 6,56 0,20 3,19 0,91 a
Bahan dan alat Bahan yang digunakan meliputi kultur bakteri Lactobacillus bulgaricus FNCC 041 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Studi Pangan dan Gizi, UGM, susu kambing peranakan ettawa (PE) yang diperoleh dari peternakan kambing PE, Dusun Nganggring, Sleman, Yogyakarta, dan Sukrosa. Peralatan yang digunakan adalah GC-MS Shimadzu, pH-meter, Buret, Kjeltech, dan sentrifus Babcock. Metode penelitian Uji kualitas susu. Uji kualitas susu dilakukan terhadap sifat fisik, kimia, CLA. Sifat fisik dan kimia meliputi pH dan derajat keasaman. Komposisi kimia meliputi kadar protein, karbohidrat, lemak (AOAC, 1990) dan CLA (Lin et al., 1999) dengan membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standar. Metode fermentasi susu dan uji sifat kimia. Fermentasi susu diawali dengan pembuatan mother starter dan bulk starter. Persiapan mother starter dilakukan dengan membuat larutan pepton steril dengan konsentrasi 0,1% sebanyak 6 ml. selanjutnya 3 ml pepton steril dimasukkan kedalam kultur bakteri asam laktat agar tegak. Kultur BAL diambil sebanyak 0,2 ml dan diinokulasikan kedalam 50 ml susu skim steril, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Pembuatan bulk starter dilakukan dengan cara larutan susu skim steril 12% yang telah didinginkan pada suhu kamar, diinokulasi dengan 1% mother stater, dan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Bulk starter siap digunakan untuk membuat susu fermentasi. Susu fermentasi dibuat
dalam % total asam lemak
Hasil pengujian yang telah dilakukan diketahui bahwa susu kambing pasteurisasi dengan perlakuan sukrosa 0 dan 4% yang digunakan dalam penelitian ini memiliki rata-rata nilai pH masing-masing yaitu 6,53 dan 6,56. Nilai pH tersebut tergolong normal karena menurut Berg (1988) susu kambing memiliki pH antara 6,3 sampai 6,7. Susu kambing pasteurisasi dengan perlakuan sukrosa 0 dan 4% yang diguanakan dalam penelitian memiliki rata-rata derajat keasaman masing-masing yaitu 0,21% dan 0,20%. Derajat keasaman tersebut lebih tinggi dari rata-rata kisaran normal keasaman titrasi susu kambing yaitu 12 sampai 14°D (1°D setara dengan 0,01% asam laktat) (Berg, 1988). Susu kambing mengandung laktosa 4,1% (Anonim, 2007b). Susu kambing pasteurisasi dengan perlakuan sukrosa 0% dan 4% yang digunakan dalam penelitian memiliki kadar laktosa masing-masing yaitu 3,28% dan 3,19%. Kadar CLA dalam penelitian ini didapat pada kisaran nilai 0,89 sampai 0,91% dari total asam lemak, hasil ini sesuai dengan hasil Jahreis et al. (1999), kadar CLA dengan kisaran 0,26 sampai 1,14% dari total asam lemak. Kualitas susu fermentasi Kadar CLA. Hasil pengujian kadar CLA Bulgaricus milk dari susu kambing dengan penambahan sukrosa ditunjukkan pada Tabel 2.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 186
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 2.
Hasil pengujian kadar CLA (% total asam lemak) Bulgaricus milk dari susu kambing dengan penambahan sukrosa Perlakuan Konsentrasi starter Rata-ratans 3% 5% Sukrosa 0% 0,91 0,99 0,95 Sukrosa 4% 0,96 1,03 1,00 Rata-ratans 0,94 1,01 ns
Non signifikan
Peningkatan CLA terjadi selama proses fermentasi walaupun tidak signifikan. Dalam proses ini. Terjadi proses proteolisis oleh enzim protease dari L. bulgaricus yang bekerja terhadap protein susu sehingga dihasilkan peptida-peptida sederhana dengan berat molekul yang lebih rendah yang dapat menjadi donor hidrogen. Demikian pula keasaman merupakan donor hidrogen dalam proses pembentukan CLA. Nilai pH. Hasil pengujian nilai pH Bulgaricus milk dari susu kambing dengan penambahan sukrosa ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengujian nilai pH Bulgaricus milk dari susu kambing dengan penambahan sukrosa Perlakuan Konsentrasi starter Rata-ratans 3% 5% Sukrosa 0% 4,83 4,81 4,82 Sukrosa 4% 4,82 4,77 4,80 Rata-ratans 4,83 4,79 ns
Non signifikan
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi stater yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH. Hal ini dapat disebabkan karena susu kambing memiliki kapasitas buffer yang tinggi (Anonim, 2007a). Kapasitas buffer yang tinggi dapat mempertahankan keasaman susu. Menurut Salle (1982) cit. Nurfitasari (2006) pembentukan asam setara asam laktat tidak akan mudah menurunkan pH jika susu mempunyai buffer yang tinggi. Buffer yang tinggi akan mengabsorbsi asam sehingga mengurangi intensitas asam. Menurut Park (1991), buffer utama yang terkandung dalam susu kambing yaitu N protein, NPN (non protein nitrogen) dan P2O5 (fosfat). Menurut Devendra (1980) cit. Al-Baarri dan Murti (2007a), non protein nitrogen susu kambing lebih tinggi dari susu sapi, sehingga kapasitas buffer susu kambing lebih tinggi dibandingkan susu sapi. Rata-rata nilai pH dari Bulgaricus milk dengan konsentrasi starter 3% dan 5% masing-masing yaitu 4,83 dan 4,79. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi starter 5% menghasilkan rata-rata nilai pH yang lebih rendah dibandingkan konsentrasi starter 3%. Hal tersebut sesuai dengan laporan Kusmajadi et al. (1988) bahwa peningkatan konsentrasi starter berarti peningkatan jumlah mikrobia dan pada media serta kondisi yang ideal. Peningkatan ini diikuti dengan peningkatan aktivitas serta perkembangbiakan mikrobia dan kemudian terjadi peningkatan perombakan laktosa menjadi asam laktat yang dicerminkan dengan peningkatan kadar asam. Rahayu (1989) menambahkan bahwa terbentuknya asam laktat menyebabkan penurunan pH.
Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan sukrosa tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH. Bulgaricus milk dengan penambahan sukrosa 0% dan 4% menghasilkan rata-rata nilai pH yang sama yaitu 4,82 dan 4,80. Sukrosa atau gula dalam penelitian ini ditambahkan ke dalam susu sebelum pemanasan. Menurut Tamime (2006) penambahan gula sebelum pemanasan akhir selama pembuatan tidak akan mempengaruhi aktivitas kultur starter oleh adanya gula dalam susu. Oleh karena itu Bulgaricus milk dengan penambahan sukrosa 0% dan 4% menghasilkan ratarata nilai pH yang tidak jauh. Derajat keasaman. Hasil pengujian derajat keasaman Bulgaricus milk dari susu kambing dengan penambahan sukrosa ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengujian derajat keasaman Bulgaricus milk dari susu kambing dengan penambahan sukrosa Perlakuan Konsentrasi starter Rata-ratans 3% 5% Sukrosa 0% 0,92 0,95 0,94 Sukrosa 4% 0,86 0,96 0,91 Rata-ratans 0,89 0,96 ns
Non signifikan
Penggunaan bakteri Lactobacillus bulgaricus sebagai kultur tunggal dapat menjadi penyebab konsentrasi starter yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap derajat keasaman. Pada pembuatan yogurt, Lactobacillus bulgaricus bersimbiosis mutualisme dengan Streptococcus thermophillus. Pertumbuhan Streptococcus thermophillus meningkat karena distimulir adanya asam amino dan peptide sederhana, terutama valin (Walstra et al., 1999), lisin dan histidin (Widodo, 2003) hasil degradasi protein oleh Lactobacillus bulgaricus. Sedangkan Lactobacillus bulgaricus tumbuh dengan cepat karena distimulir adanya asam format dan CO2 yang dihasilkan oleh Streptococcus thermophillus (Walstra et al., 1999). Dalam penelitian ini Lactobacillus bulgaricus sebagai kultur tunggal sehingga tidak ada faktor yang mempercepat pertumbuhannya. Menurut Walstra et al. (1999) kombinasi bakteri yogurt, akan menghasilkan asam laktat lebih cepat dibandingkan kultur tunggal. Xanthopoulos et al. (2001) menambahkan bahwa hubungan simbiosis antara dua spesies selama asidifikasi susu akan menghasilkan konsentrasi bakteri dan produksi asam yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan kultur tunggal. Rata-rata derajat keasaman dari Bulgaricus milk dengan konsentrasi starter 3% dan 5% yaitu 0,89 dan 0,96. Dapat dilihat bahwa rata-rata derajat keasaman Bulgaricus milk dengan konsentrasi starter 5% lebih tinggi dibandingkan konsentrasi starter 3%. Lactobacillus delbrueckii subsp. Bulgaricus mampu memproduksi D (+) laktat dari laktosa dalam susu (Law, 1997). Semakin tinggi konsentrasi starter Lactobacillus bulgaricus dalam susu, maka semakin banyak Lactobacillus bulgaricus yang memecah laktosa menjadi asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan dapat meningkatkan derajat keasaman Bulgaricus milk yang dihasilkan. Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan sukrosa tidak memberikan pengaruh terhadap derajat keasaman Bulgaricus milk yang dihasilkan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 187
ISBN 978-602-98902-1-1
Rata-rata derajat keasaman Bulgaricus milk dengan penambahan sukrosa 0% dan 4% masing-masing yaitu 0,94 dan 0,91. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata derajat keasaman Bulgaricus milk dengan penambahan sukrosa 0% lebih tinggi dibandingkan 4%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan sukrosa menyebabkan penurunan derajat keasaman dari Bulgaricus milk yang dihasilkan. Menurut Early (1998); Hui (1993), penambahan bahan pemanis dapat mengurangi level produksi asam oleh kultur. Rata-rata persentase asam laktat dari yogurt dengan menggunakan starter Lactobacillus bulgaricus yaitu pada kisaran 1,2 sampai 1,5% (Jennes dan Patton, 1969 cit. Kusmajadi, 1988), 125 sampai 150°D (Berg, 1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keasaman Bulgaricus milk lebih rendah dari kisaran tersebut. Hal tersebut dapat disebabkan perbedaan jenis susu yang digunakan. Penelitian ini menggunakan susu kambing dimana susu kambing diketahui memiliki kapasitas buffer yang tinggi (Anonim, 2007a). Berdasarkan analisis statistik, tidak terdapat interaksi antara perlakuan (sukrosa 0% dan 4%) dengan perbedaan konsentrasi starter (3% dan 5%) terhadap derajat keasaman Bulgaricus milk. Kadar laktosa Hasil pengujian kadar laktosa Bulgaricus milk dari susu kambing dengan penambahan sukrosa ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil pengujian kadar laktosa Bulgaricus milk dari susu kambing dengan penambahan sukrosa Perlakuan Konsentrasi starter Rata-ratans 3% 5% Sukrosa 0% 2,41 2,13 2,27 Sukrosa 4% 2,40 2,12 2,26 Rata-ratans 2,41a 2,13b Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) ns Non signifikan a,b
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi starter yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar laktosa. Rata-rata kadar laktosa dari Bulgaricus milk dengan konsentrasi starter 3% dan 5% masingmasing yaitu 2,41 dan 2,13. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi starter yang lebih tinggi diperoleh kadar laktosa yang lebih rendah. Hal tersebut sesuai dengan laporan Kusmajadi et al. (1988) bahwa tingkat konsentrasi starter yang digunakan juga akan mempengaruhi kecepatan perombakan laktosa pada waktu dan suhu inkubasi yang sama. Peningkatan konsentrasi starter berarti peningkatan jumlah mikrobia. Peningkatan tersebut akan diikuti dengan peningkatan aktivitas serta perkembangbiakan starter pada media serta kondisi yang ideal, kemudian terjadi peningkatan perombakan laktosa menjadi asam laktat. Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa penambahan sukrosa tidak memberikan pengaruh terhadap kadar laktosa dari Bulgaricus milk yang dihasilkan. Rata-rata
kadar laktosa Bulgaricus milk dengan penambahan sukrosa 0% dan 4% masing-masing yaitu 2,27 dan 2,26. Selama proses fermentasi, laktosa oleh bakteri asam laktat diubah menjadi asam laktat. Laktosa susu yang diubah menjadi asam laktat hanya sekitar 30% sedang sisanya (70%) masih dalam bentuk laktosa (Rahayu, 1989; Hui, 1993). Berg (1988) menambahkan bahwa 15 sampai 40% laktosa dapat difermentasi, tergantung tipe bakteri yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis statistik, tidak terdapat interaksi antara perlakuan (sukrosa 0% dan 4%) dengan perbedaan konsentrasi starter (3% dan 5%) terhadap kadar laktosa Bulgaricus milk yang dihasilkan.
KESIMPULAN Bulgaricus milk yang dihasilkan dari fermentasi susu kambing dengan penambahan sukrosa 4% mempunyai kadar 0,91 sampai 1,03 % relatif total asam lemak
DAFTAR PUSTAKA Al-Baarri AN. dan Murti TW. 2007. Evaluasi Komposisi Kimia Susu Kambing Segar yang Difortifikasi Bakteri Asam Laktat dengan Kehadiran Ekstrak Susu Kedelai. http://milkordie.blogspot.com/2007/04/evaluasikomposisi-kimia-susu-kambing.html. [18 Januari 2008] Anonim. 2007. Got Goats Milk. http://www.askdrsears.com.images/meyenberghomepag ebanner.asp [21 Februari 2007]. AOAC, 1990. Official methods of analysis of the Association of official Analytical Chemist, Washington DC. Berg JCTV. 1988. Dairy Technology in the Tropics and Subtropics. Pudoc Wageningen, Netherlands. Devendra C. and Mc. Leroy GB. 1982. Goat and Sheep Production in The Tropics. Longman Group Ltd., London. Early R. 1998. The Technology of Dairy Products. 2nd ed. Blackie Academic & Professional, New York. Gurr MI. 1992. Role of Fat in Food and Nutrition. Elsevier Applied Science, London and New York. Haenlein GFW. 1992. Why Goat Milk. Diakses dari situs Http://ag.udel.edu/ Hui YH. 1993. Dairy Science and Technology Handbook 2 Product Manufacturing. VCH Publishers, Inc, New York. Jahreis G., Fritsche J., Mockel P., Schone F., and Moller U. 1999. The Potential Anticarcinogenic Conjugated Linoleic Acid, in Milk Different species: Cow, Goat, Ewe, Mare, Women. Nutrition Research 19 (10): 1541-1549. Kusmajadi, Suradi, Dedeh D., Udu D., Rusdi, N. Djuarnani. 1988. Pengaruh Tingkat dan Jenis Penambahan Starter Pada Pembuatan Yogurt. Bioproses dalam Industri
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 188
ISBN 978-602-98902-1-1
Pangan. Pusat Antar Universitas Gadjah Mada dan Penerbit Liberty, Yogyakarta. Law BA. 1997. Microbiology And Biochemistry of Cheese and Fermented Milk. 2nd ed. Blackie Academic & Professional, London. Lin H., Boylston TD., Leudeche LO., and Schultz TD. 1999. Conjugated Linoleic Acid Content of Cheddar type of Cheeses as Affected by Processing. J. Food Sci., 64 (5): 874-878. Nurfitasari A. 2006. Kualitas Acidophilus milk Berbahan Dasar Susu Kambing dengan Penambahan Tepung Albumen, Skripsi Sarjana Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Park YW. 1991. Relative Buffering Capacity of Goat Milk, Cow Milk, Soy-Based Infant Formulas and Commercial Nonprescription Antacid Drugs. J. Dairy Sci. 74: 33263333. Parodi PW. 1999. Conjugated Linoleic Acid: The Early Years. In: Advanced in Conjugated Linoleic Acid Research. Volume I. M. P. Yurawecz, M. M. Mossoba, J. K. G. Kramer, M. W. Pariza and G. J. Newton. Rahayu K. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Gadjah Mada dan Penerbit Liberty, Yogyakarta. Tamime AY. 2006. Fermented Milk. Blackwell Science Ltd. Oxford, UK. Walstra P., Geurts TJ., Noomen A., Jellema A. and Van Boekel MAJS. 1999. Dairy Technology. Principles of Milk Properties and Processes. Marcel Dekker, New York. Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Lacticia Press, Yogyakarta. Xanthopoulos V., Petridis D. and Tzanetakis N. 2001. Characterization and CLAssification of Streptococcus thermophillus and Lactobacillus delbrueckii Subsp. Bulgaricus Strains Isolated from Traditional Greek Yogurts. J. Food Sci. 66: 747-752.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 189
ISBN 978-602-98902-1-1
Kajian Proses Fermentasi “Jaruk” Bunga Tigarun (Crataeva nurvala, Ham) Sebagai Makanan Tradisional Khas Kalimantan Selatan The study of fermentation process of “jaruk” tigarun flower (Crataeva nurvala, Ham) as a traditional food from South Borneo Nazarni Rahmi
Baristand Industri Banjarbaru, Kementerian Perindustrian Jl. Panglima Batur Barat no. 2 Banjarbaru Email :
[email protected]
ABSTRACT ”Jaruk” Tigarun is a traditional food from South Borneo made from tigarun flower fermented. In fresh form, the flower has a bitter taste which decreases after fermentation and resulted a sour-bitter taste that acceptable by local people. This research are aims to know the process of fermentation include the optimum condition of tigarun flower fermentation, such as physical, chemical and microbiological changes. Fermentation condition have done in 10oC, 30oC and 50oC for 1,3 and 7 days which addition of salt, rice, and water only. physical changes were observed with organoleptic appear and chemical changes with proximat analysis, while mirobiological tested used SNI 19-2897-1992 methods. Fe and tannin content were analysed also. Result showed, the optimum fermentation process deal at room temperature (30OC) for 3 – 7 days without addition of rice and salt. This fermentation involved acid bacteria (6,5 x 106 cfu/gram). The physical changes were degradation colour of flower and leaves to be red-browness, wilt but crunchy and had a specific sour-bitter flavour. Chemichal changes were nutrition decrease like carbohydrate, protein, fat and ash content but not significant. The microbiological examination like total bactery,total fungi/yeast, coliform and E.coli were decrease significant after fermentation. Profile quality from “jaruk” tigarun had fullfill the food safety requirement. Keyword : tigarun, fermentation, traditional, food, borneo.
PENDAHULUAN Keragaman suku bangsa yang cukup besar mulai dari Sabang sampai Merauke menyebabkan Indonesia kaya akan makanan tradisional. Dalam mengembangkan makanan tradisional, yang perlu mendapat perhatian utama adalah upaya mengangkat citra makanan tradisional agar sejajar dengan bahan makanan lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi, terutama dalam segi pengolahan, distribusi dan pemasaran1. Jaruk kembang tigarun adalah salah satu jenis produk makanan tradisional Kalimantan Selatan yang dibuat dengan memfermentasikan kembang dari pohon Tigarun (Crataeva nurvala Ham) selama waktu tertentu dengan atau tanpa penambahan garam. Selanjutnya dapat dikonsumsi dalam bentuk lalapan. Proses pengolahan kembang tigarun belum ada standarnya, namun karena proses pengolahannya mirip dengan pembuatan acar maka standarisasi produk ini dapat menggunakan standar acar. SNI 01 – 3784 – 19952. Sebagaimana produk pangan hasil fermentasi tradisional lainnya, fermentasi kembang tigarun masih dibuat secara alami dengan pengendalian yang kurang layak. Akibatnya, kualitas hasil fermentasi sering tidak seragam, terkontaminasi dengan mikroba liar bahkan patogen, sehingga umur simpan pendek dan makanan yang dihasilkan dapat membahayakan konsumen. Untuk itu perlu adanya suatu penelitian yang mengungkapkan kondisi kembang tigarun selama fermentasi (suhu dan waktu fermentasi), mikroba yang terlibat serta analisa nilai gizi (mutu) sebelum dan sesudah fermentasi sehingga dapat diketahui kondisi optimum dari proses pengolahan kembang tigarun. Analisis mutu suatu produk pangan, mengharuskan ada parameter yang dapat diukur secara kuantitatif. Parameter
tersebut harus mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa. Parameter tersebut antara lain pengukuran fisik seperti kenampakan dan kadar air, pengukuran kimiawi seperti, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat, uji organoleptik serta uji mikrobiologis3. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kondisi optimum dari fermentasi kembang tigarun (suhu dan waktu fermentasi), perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologisnya sehingga dapat dievaluasi nilai gizinya untuk pengembangan produk makanan tradisional khas Kalimantan Selatan. METODOLOGI Bahan dan alat Bahan yang digunakan adalah kembang tigarun segar, air, garam (5 kg), nasi, bahan untuk pengujian kimia CaSPO4, Na2SO4, H2SO4, NaOH 30%, HCL,eter,dan media uji mikrobiologi TPC, PDA, GYP, dan BPW. Peralatan yang dipakai meliputi toples kaca, Inkubator (memmert), panci alumanium, spektrometer, pHmeter, kompor, colony counter oven (WTB binder series),vacuum sealer,plastik kemasan ketebalan 0,3 dan 0,5 mm,alat-alat gelas, Metoda 1. Survei ke Produsen, Pedagang dan Konsumen Survei dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada 50 responden dari suku Banjar asli atau yang telah lama berdomisili di Banjarmasin dan sekitarnya. Tipe kuesioner adalah setengah tertutup dengan setengah pertanyaan memerlukan jawaban berupa pilihan ya atau tidak. Survei ke produsen bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan, bahan dan rasio bahan yang digunakan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 190
ISBN 978-602-98902-1-1
Sementara, survei ke konsumen bertujuan untuk mengetahui persepsi mutu konsumen terhadap kembang tigarun. 2. Penentuan Kondisi Fermentasi dan Pengujian Penelitian terhadap kondisi fermentasi dengan perlakuan suhu (10oC, 30oC dan 50oC), waktu (1 hari, 3 hari dan 1 minggu) serta penambahan garam dan nasi. Pengujian dan evaluasi mutu/ nilai gizi dari kembang tigarun meliputi analisis fisik (kenampakan, kadar air), analisis kimia (kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar tannin, kadar Fe, serat kasar dan pH). Pengujian mikrobiologi dengan metoda TPC (SNI 19-2897-1992 tentang Cara Uji cemaran mikroba), penghitungan jumlah bakteri pembentuk asam dilakukan menurut Bounkong (1998) 4 3. Pengemasan Produk terbaik jaruk kembang tigarun selanjutnya dikemas dengan plastik P.E yang mempunyai ketebalan 0,3 dan 0,5 mm; dengan/ tanpa air serta dalam keadaan biasa dan vakum. Selanjutnya produk kemasan diuji kembali sifat fisik, kimia dan mikrobiologi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil survey Faktor–faktor mutu yang menjadi pertimbangan konsumen terlihat dalam Gambar 1. Persepsi konsumen terhadap mutu sesuai dengan konsep mutu menurut ITC, yaitu penilaian mutu dilakukan berdasarkan ciri fisik, organoleptik dan atribut internal (nilai gizi dan keamanan mikroba). Diantara faktor mutu tersebut faktor gizi masih kurang mendapat perhatian konsumen yaitu sekitar 15% sementara faktor rasa dan harga 30%.
15 30
rasa harga kebersihan
25
gizi 30
Gambar 1. Faktor mutu jaruk kembang tigarun Jaruk kembang tigarun umumnya dikonsumsi sebagai lauk tambahan untuk meningkatkan selera makan karena rasa dan aromanya yang khas serta sudah dikenal secara turun temurun. Dalam satu bulan bila kembang tigarun sedang musim responden mengkonsumsinya rata-rata antara 2 - 4 kali seminggu. Produk ini disukai karena rasa dan aromanya yang spesifik (90%) sedangkan yang menyukai karena rasanya saja yang spesifik 10%. Masih adanya rasa sepet/pahit pada beberapa produk dianggap sebagai rasa khas dari produk tersebut sehingga tidak ada responden yang menganggap rasa tersebut mengurangi kesukaan mereka.
Penduduk kota umumnya juga mengenal produk jaruk kembang tigarun ini (74% responden berasal dari kota). Umumnya mereka membeli produk yang sudah difermentasi antara 1 – 3 hari dari pedagang di pasar (85%) sisanya 15% membuat sendiri di rumah. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan jaruk kembang tigarun adalah kembang tigarun segar yang dapat diperoleh dari pemetik langsung atau pedagang pengumpul di pasar. Sebanyak 89% responden penjual jaruk kembang tigarun memperoleh kembang tigarun segar dari pedagang pengumpul, 11% sisanya memperoleh dengan cara memetik sendiri. Kriteria kembang tigarun yang baik adalah yang masih segar, batangnya masih keras, tidak rusak atau cacat. Satu batang kembang tigarun umumnya terdiri dari 17 - 20 tangkai bunga. Warna kelopak bunga berkisar antara putih sampai kuning muda dengan jumlah kelopak 4 lembar, 13 – 17 benang sari yang berwarna ungu kecoklatan dan 1 putik yang berwarna kehijauan Proses pengolahan jaruk kembang tigarun masih berlaku secara tradisional. Pertama-tama kembang dilayukan dengan cara menjemurnya di bawah sinar matahari selama satu hari. Selanjutnya bunga dicuci bersih kemudian dimasukkan dalam toples kaca atau wadah bersih lainnya dan disiram dengan air panas yang sudah mendidih. Diamkan sampai air menjadi dingin. Setelah dingin air dibuang, bunga ditiriskan dan dimasukkan kembali dalam toples atau wadah bersih bertutup berisi air matang dingin dan fermentasikan selama 1 sampai 7 hari. Jaruk kembang tigarun fermentasinya dianggap berhasil bila warna bunga menjadi hijau kemerahan atau hijau kecoklatan, bau yang tercium agak asam dan khas tigarun, tidak berbau busuk, rasa sepet jauh berkurang, bunga tetap renyah dan tidak lunak. 2. Penentuan Kondisi Fermentasi dan Pengujian Hasil Uji Fisik, Kimia dan Mikrobiologi Analisa proximat dilakukan untuk mengetahui komponen gizi dari kembang tigarun segar sementara pengujian fisik dilakukan untuk menentukan tingkat penerimaan kembang tigarun segar. Hasil pengujian lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Fisik dan Kimia Tigarun Segar NO Parameter uji Hasil uji 1 Pengamatan segar, bunga kuning/krem cerah, fisik(kenampakan) daun dan kelopak tidak banyak rontok, batang masih keras 2 Kadar air (%) 88,33 3 Karbohidrat (%) 2,55 4 Lemak (%) 2,27 5 Protein (%) 3,67 6 Kadar abu (%) 1,71 7 Fe (ppm) 10,31 8 Tannin (%) 0,12 9 pH 7,2 Pengamatan fisik kembang tigarun segar menunjukkan bahwa kembang tigarun yang baik adalah yang kembangnya
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 191
ISBN 978-602-98902-1-1
masih segar dengan warna bunga yang cerah dan mahkota serta kelopak tidak banyak rontok, batangnya masih keras. Bunga ini juga harus tidak banyak cacat, maksudnya tidak ada mahkota yang dimakan ulat, dan tidak kotor. Kadar air kembang tigarun segar adalah 88,33% (Lihat Tabel 1). Kadar air kadang dapat digunakan untuk mengetahui kesegaran suatu bahan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan tingkat penerimaan produk, kesegaran dan daya tahan bahan tersebut5. Umumnya bahan makanan dari golongan sayuran memiliki kadar air yang relatif besar. Hasil pengujian karbohidrat kembang tigarun adalah 2,55% hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada ketimun (2,7%). Hal ini mungkin disebabkan pada bunga dan buah karbohidrat bukan komponen penyusun utama melainkan protein sebagai salah satu penyusun struktural dan bahan pembentuk jaringan baru, dibuktikan dengan kadar protein kembang tigarun yang lebih besar yaitu 3,67%. Pada sebagian besar jaringan, protein merupakan komponen terbesar setelah air 5. Kadar lemak pada kembang tigarun adalah 2,27%. Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah sebenarnya. Lemak pada tanaman umumnya tersimpan dalam biji-bijian sebagai cadangan sumber energi5. Kadar abu menunjukkan kadar mineral dalam suatu bahan. Pada penelitian ini kadar abu kembang tigarun adalah 1,71 %. Mineral merupakan salah satu komponen penting dalam metabolisme tanaman. Beberapa mineral dikenal memiliki fungsi kofaktor dalam enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme. Kadar besi (Fe) kembang tigarun rata-rata adalah 10,31ppm. Kadar ini bila dibandingkan dengan bayam yang terkenal sebagai suplemen penambah darah sangat kecil. Bayam kandungan besi (Fe) nya mencapai 3,9 mg/100 gram6. Kadar tannin pada kembang tigarun adalah 0,12%. Tannin merupakan astringen yang memberikan sensasi rasa pahit dari polifenol yang berikatan dengan protein presipitat. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa kembang tigarun dapat digunakan sebagai terapi pendarahan pada wanita melahirkan. dan tannin ternyata dikembangkan sebagai obat untuk antidiare, hemostatik (penjaga keseimbangan) dan antihemorrhiodal atau pendarahan7. Diduga yang berperanan dalam terapi pendarahan pada wanita melahirkan adalah kandungan tannin yang terdapat dalam kembang tigarun. Pengujian mikrobiologi meliputi jumlah bakteri secara total, bakteri coliform, E.coli, bakteri pembentuk asam, kapang/khamir dan Salmonella seperti yang terlihat pada Tabel 2. berikut ini. Tabel 2. Hasil Uji Mikrobiologi Tigarun Segar No Parameter uji Satuan 1 TPC (Total Plate Count) koloni/100 gram 2 Coliform APM 3 E.Coli APM 4 Salmonella 5 Bakteri pembentuk asam cfu/gram 6 Kapang/khamir koloni/100 gram
Hasil uji 2,55 x 105 ≥ 2.400 ≥ 2.400 Negatif 3,0 x 104 2,8 x 106
Hasil pengujian mikrobiologis menunjukkan bahwa kembang tigarun segar mempunyai nilai Total bakteri (TPC) yang cukup tinggi yaitu 2,55 x 105 koloni/100 gram namun mengingat keberadaannya sebagai raw material, yang belum mengalami perlakuan jumlah TPC yang cukup tinggi ini dianggap wajar. Pada beberapa tanaman pangan lainnya jumlah TPC berkisar antara 106 – 1012. Demikian pula halnya dengan hasil pengujian bakteri coliform dan E.coli yang sangat tinggi. Bakteri salmonella tidak ditemukan dalam raw material. Salmonella umumnya ditemukan pada produk daging, telur dan hasil olahnya8. Bakteri ini merupakan salah satu indikator kontaminasi dari produk pangan lain atau dari manusia yang terinfeksi bakteri ini. Penelitian ini mendapatkan bakteri pembentuk asam sebesar 3,0 x104 cfu/gram. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri pembentuk asam secara alami sudah terdapat di kembang tigarun. Hasil pengujian terhadap kapang-khamir pada kembang tigarun segar diperoleh 2,8 x 106 koloni/100 gram. Jumlah ini relatif tinggi, namun normal karena terdapat dalam raw material yang belum mendapat perlakuan pengolahan. Hasil Fermentasi dengan Perlakuan Suhu dan Penambahan Garam Serta Nasi Fermentasi terjadi hanya pada tigarun yang tanpa penambahan garam dan nasi pada suhu 30OC. Tigarun yang difermentasi dengan nasi pada hari kedua mulai membusuk (berlaku pada suhu 30 dan 50 OC). Hal ini mungkin disebabkan bakteri menggunakan nasi sebagai sumber karbon utama selain selulosa yang berasal dari batang/daun tigarun. Pada hari kedua bakteri sudah mulai mengkonversi sumber karbohidrat sederhana dalam bahan yaitu nasi, yang menyebabkan fermentasi jadi asam; tercatat pH tigarun pada hari ketiga fermentasi adalah 5,15. Hasil fermentasi kemudian jadi asam dan membusuk. Ini ditandai dengan warna kembang yang kekuningan, tangkai yang lembek dan bau busuk. Fermentasi pada suhu 10 OC, meskipun tidak busuk namun tidak terjadi fermentasi seperti yang diharapkan. Warna kembang tigarun tetap hijau kekuningan, rasanya pun masih sangat pahit. Hal ini mungkin karena kondisi optimum fermentasi tradisional adalah pada suhu ruang atau setara dengan suhu 30OC, sehingga hanya fermentasi pada suhu 30OC yang yang berhasil. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fermentasi kembang tigarun melibatkan bakteri jenis mesofil. Fermentasi dengan garam juga tidak berhasil. Hal ini dimungkinkan karena garam menghambat metabolisme bakteri terhadap kembang tigarun. Pada dosis tertentu garam dapat bersifat bakteriostatik pada produk pangan8. Walaupun tigarun tidak busuk namun fermentasi dianggap gagal karena tigarun tidak berubah warnanya menjadi merah kecoklatan, rasanya masih sangat pahit dan tidak timbul aroma asam khas tigarun. Sejalan dengan lamanya waktu fermentasi kembang tigarun mulai membusuk. Garam yang ditambahkan mungkin menghambat difusi dan degradasi alkaloid selama fermentasi sehingga rasa pahit masih ada pada kembang tigarun.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 192
ISBN 978-602-98902-1-1
Hasil uji fisik dan kimia juga dilakukan pada jaruk kembang tigarun yang fermentasinya berhasil seperti yang terlihat pada Tabel 3. Lama waktu fermentasi ternyata menurunkan semua komponen uji. Kadar air yang turun menjadi 70,53% dikarenakan selama fermentasi komponen struktural dari kembang tigarun mengalami degradasi sehingga sejumlah air terikat akan terbebas dari bahan. Demikian juga halnya dengan karbohidrat, lemak dan protein. Komponen ini terutama karbohidrat akan terdegradasi menjadi molekul sederhana yang digunakan sebagai sumber karbon mikroba selama fermentasi. Kadar abu dan besi (Fe) juga menurun, meskipun tidak diketahui secara jelas namun komponen ini mungkin merupakan kofaktor enzim-enzim tertentu yang dibutuhkan
mikroba untuk melakukan proses katabolisme selama fermentasi. Sementara kadar tannin menunjukkan penurunan yang tidak terlalu signifikan, hal ini mungkin karena tannin yang terdapat dalam kembang tigarun sebagian besar berupa kondensat yang sifatnya tidak mudah larut. Pengujian pH menunjukkan terjadi penurunan yang cukup tajam terhadap produk jaruk kembang tigarun. Pada fermentasi hari ke-7 pH jaruk kembang tigarun mencapai 4,50. pH sebenarnya menunjukkan jumlah atom H+ yang dilepaskan yang setara dengan asam monoprotik. Pada fermentasi acar, standar keasaman produknya diukur dengan jumlah asam asetat % b/b (SNI 01-3784-1995). kondisi ini jelas berbeda dan sehingga tidak bisa dibandingkan.
Tabel 3. Hasil Uji Fisik dan Kimia Jaruk Kembang Tigarun Parameter uji (%) Kenampakan Bau dan rasa Kadar air (%) Karbohidrat (%) Lemak (%) Protein (%) Kadar abu (%) Fe (ppm) Tanin (%) pH
Fermentasi 1 hari Segar, bunga berwarna krem, daun masih hijau Langu, masih pahit 90,31 2,53 2,21 3,60 1,52 7,46 0,10 7,00
Tabel 4. Hasil Uji Mikrobiologi Jaruk Kembang Tigarun Mikrobiologi Satuan TPC Coliform E.Coli Salmonella Bakteri pembentuk asam Kapang/khamir
koloni/100 gram APM APM cfu/gram koloni/100 gram
Fermentasi 3 hari Layu, bunga berwarna kuning kecoklatan, daun kecoklatan Spesifik jaruk, renyah 93,24 2,15 2,12 3,41 0,32 7,17 0,10 5,15
Fermentasi 1 hari 1,4 x 106 <3 <3 negatif 2,8 x 105 1,2 x 102
Fermentasi 7 hari Layu, bunga dan daun berwarna merah kecoklatan Spesifik jaruk, renyah 93,20 1,82 2,0 3,22 0,33 7,10 0,10 4,50
Fermentasi 3 hari 2,9 x 107 <3 <3 negatif 6,5 x 106 4,8 x 102
Fermentasi 7 hari 1,7 x 102 <3 <3 negatif 1,2 x 101 1,5 x 101
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 193
ISBN 978-602-98902-1-1 Jumlah total bakteri yang tumbuh selama fermentasi mengalami kenaikan selanjutnya menurun pada akhir fermentasi. Kenaikan jumlah bakteri ini dimungkinkan terkait dengan kenaikan jumlah bakteri pembentuk asam dan sementara dilain pihak jumlah kapang/ khamir justru menurun sejalan dengan lamanya waktu fermentasi. Kenaikan jumlah bakteri total dan bakteri pembentuk asam mengikuti kurva pertumbuhan bakteri yaitu fase lag atau adaptasi kemudian fase pertumbuhan/ fase eksponensial, fase stasioner dan akhirnya fase kematian. Pada penelitian ini fase pertumbuhan optimum didapat pada fermentasi hari ke-3, saat jumlah bakteri total yang tumbuh mencapai 2,9 x 107 koloni/ 100 gram; sama halnya dengan bakteri pembentuk asam pada hari yang sama mencapai 6,5 x 106 cfu/gram. Selanjutnya pada fermentasi hari ke-7, kedua jumlah bakteri ini menurun tajam, atau diasumsikan mereka telah mencapai fase stasioner dan fase kematian (1,7 x 102koloni/ 100 gram untuk TPC dan 1,2 x 101 cfu/gram untuk bakteri pembentuk asam). Proses pertumbuhan mikroba merupakan proses yang memiliki batas. Pada saat tertentu, setelah melewati batas minimum, mikroba akan mengalami fase kematian9 Pada penelitian ini diduga bahwa fase kematian terjadi pada hari ke-7 disebabkan oleh inhibisi dari produk metabolisme antara lain asam organik, yang terbukti dari menurunnya pH jaruk kembang tigarun menjadi 4,5 pada akhir fermentasi. Kapang dan khamir juga menurun jumlahnya selama fermentasi, mungkin karena kondisi fermentasi yang ekstrim untuk pertumbuhan kapang dan khamir. Menurut standar acar (SNI 01-3784-1995) total bakteri untuk produk acar maksimal 1,0 x 102. Produk jaruk kembang tigarun memenuhi persyaratan ini. 3.Penyimpanan dan Pengemasan. Fermentasi tigarun yang berhasil adalah tanpa penambahan garam dan nasi pada suhu 30OC, sehingga dilanjutkan dengan perlakuan penyimpanan dan pengemasan. Pengemasan merupakan faktor penting dalam proses pengolahan pangan, karena pengemasan berfungsi sebagai penghambat dan pencegah kemunduran nilai gizi dan estetika serta memberikan proteksi terhadap kontaminasi lingkungan10. Selain itu, saat ini pengemasan mempunyai nilai samping yang cukup tinggi disisi ekonomis yaitu meningkatkan penampilan yang pada akhirnya akan menarik minat pembeli. Hasil pengamatan menunjukkan jaruk kembang tigarun yang dikemas dengan air rendaman mampu bertahan selama 1-2 hari baik dengan plastik yang ketebalannya 0,3 mm maupun 0,5 mm. Pengemasan tanpa air untuk plastik ketebalan 0,3 mm mampu bertahan selama 3 hari sementara dengan plastik 0,5 mm mampu bertahan selama 4 hari. Selanjutnya pada pengemasan secara vakum produk jaruk kembang tigarun yang dikemas vakum menggunakan plastik 0, 3 mm mampu bertahan selama 3 bulan sementara produk yang dikemas vakum dengan plastik 0,5 mm mampu bertahan selama 6 bulan. Hasil pengujian sifat fisik, kimia dan mikrobiologis dilakukan setelah waktu penyimpanan (Tabel 5 dan Tabel 6). Terlihat bahwa pengemasan vakum dengan dua tipe ketebalan tidak menunjukkan banyak perubahan produk jaruk kembang tigarun, berarti pengemasan dengan cara ini mampu mempertahankan sifat fisik, kimia dan mikrobiologis jaruk kembang tigarun.
Selanjutnya dari hasil penelitian ini diusulkan profil mutu jaruk kembang tigarun untuk pengembangan dan pembuatan standar mutu produk (RSNI) seperti yang terlihat pada Tabel 7. Tabel 5. Hasil Uji Fisik dan Kimia Jaruk Kembang Tigarun Setelah Pengemasan NO Parameter uji Hasil uji 1 Pengamatan Layu, bunga dan daun fisik(kenampakan) berwarna merah kecoklatan 2 Bau dan rasa Spesifik jaruk , renyah 3 Kadar air (%) 88,0 4 Karbohidrat (%) 1,80 5 Lemak (%) 2,0 6 Protein (%) 3,20 7 Kadar abu (%) 0,30 8 Fe (ppm) 7,1 9 Tannin (%) 0,10 10 pH 4,20 Tabel 6. Hasil uji Mikrobiologis Jaruk Kembang Tigarun Setelah Pengemasan Parameter uji Satuan Hasil uji TPC koloni/100 gram 1,0 x 102 Coliform APM <3 E.Coli APM <3 Salmonella Negatif Bakteri pembentuk asam cfu/gram 1,0 x 104 Kapang/khamir koloni/100 gram 1,8 x 101 Tabel 7. Profil Mutu Jaruk Kembang Tigarun No Profil mutu Satuan Persyaratan 1 Warna Merah kecoklatan 2 Bau Spesifik jaruk 3 Rasa Sedikit pahit dan renyah 4 pH 4,50 5 Kadar air (% b/b) 93,20 6 Karbohidrat (%b/b) 1,82 7 Lemak (%b/b) 2,0 8 Protein (%b/b) 3,22 9 Kadar abu (%b/b) 0,33 10 Fe (ppm) 7,10 11 Tannin (%) 0,10 12 TPC koloni/100 1,0 x 102 gram 13 Coliform APM <3 14 E.Coli APM <3 15 Salmonella Negatif 16 Bakteri pembentuk cfu/gram 1,0 x 104 asam 17 Kapang/khamir koloni/100 1,8 x 101 gram 18 Keadaan kemasan normal KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengolahan kembang tigarun optimum tanpa penambahan nasi dan garam pada suhu 30OC. Selama fermentasi perubahan fisik yang terjadi adalah layu dan perubahan warna dari kembang tigarun menjadi merah kecoklatan, perubahan kimia yang tidak
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 194
ISBN 978-602-98902-1-1 signifikan dan perubahan jumlah total bakteri jaruk kembang tigarun yang menurun dan sesuai dengan standar acar yaitu 1,5 x 102 koloni/100 gram. Pengemasan vakum mampu mempertahankan profil mutu jaruk kembang tigarun selama 3 bulan dengan plastik P.E ketebalan 0,3 mm dan 6 bulan dengan plastik P.E ketebalan 0,5 mm SARAN 1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keterlibatan bakteri pembentuk asam pada jaruk kembang tigarun sekaligus identifikasinya sehingga dapat digunakan sebagai starter fermentasi. 2. Penelitian terhadap kandungan alkaloid, isolasi dan identifikasi struktur dari alkaloid perlu dilakukan untuk dimanfaatkan dalam terapi farmasi. 3. Perlu dilakukan uji profil mutu pada produk jaruk kembang tigarun yang beredar dipasaran. DAFTAR PUSTAKA Iljas. 1995. Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan Di Indonesia. Buletin Teknologi dan Industri pangan. Vol.V (3).Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor. Anonim. 1995.SNI 01-3784-1995. Acar. Dewan Standardisasi Nasional. Syarif dan Halid. 1993. Standardisasi Pangan Tradisional. Buletin Teknologi dan Industri pangan. Vol.VI. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor. Bounkong,S. 1998. Isolation And Identification Lactic Acid Bacteria From Thailand Traditional Food Fermentation. Thesis. Agriculture Food Technology Departement. Gadjah Mada University. Yogyakarta.. Winarno, F.G. 2002. Kimia pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta. Anonim,. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, Bhratara Karya Aksara. Jakarta. http://en.wikipedia.org/wiki/Tannin , akses tanggal 5 Desember 2010. pukul 12.15 WIT Trihendrokesowo. 1989. Mikrobiologi Pangan dan Pengolahan. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta. Anonim,. 2006. Modul 1.07 Teknik Fermentasi. Panduan Pelaksanaan Laboratorium Instruksional I/II. Departemen Teknik Kimia ITB. Halaman 1-24. Suyitno. Bahan-bahan Pengemas. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta. 1990
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 195
ISBN 978-602-98902-1-1
Peningkatan Nilai Nutrisi Tepung Sorgum Dengan Fermentasi Menggunakan Lactobacillus plantarum (Nutirional Value Improvement of Sorghum Flour by Fermentation with Lactobacillus plantarum) Yudi Pranoto, Zulman Efendi dan Priyanto Triwitono
Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada Jl. Flora No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Sorgum memiliki komposisi nutrisi yang baik untuk dikonsumsi manusia, namun memiliki komponen antinutrisi yang menyebabkan rendahnya bioavailabilitas nutrisi, seperti rendahnya kecernaan protein dan pati. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan kecernaan protein dan pati tepung sorgum melalui proses fermentasi dengan Lactobacillus plantarum. Fermentasi dilakukan dengan mensuspensikan 100 g tepung sorgum ke dalam 200 ml aguades steril dalam erlenmeyer, diinokulasi dengan starter L. plantarum dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 36 jam. Pengamatan terhadap medium dan tepungnya dilakukan setiap interval 4 jam. Analisis total bakteri, bakteri asam laktat, pH dan total asam dilakukan pada medium fermentasi. Analisis kecernaan protein, pati, dan perubahan warna dilakukan pada tepung sorgum terfermentasi hasil pengeringan.Hasil pengamatan terhadap total bakteri dan BAL menunjukkan adanya peningkatan yang nyata hingga fermentasi 24-28 jam, sedangkan pH fermentasi mengalami penurunan seiring dengan kenaikan total asam tertitrasi.Kecernaan protein tepung sorgum terfermentasi mengalami kenaikan dari 41,81% menjadi 80,31% setelah fermentasi selama 36 jam. Kenaikan kecernaan pati optimal terjadi pada fermentasi 28 jam, diperoleh kenaikan dari 47,34% menjadi 84,59%. Fermentasi menaikkan kecerahan tepung sorgum dibandingkan kontrol dengan peningkatan nilai L optimal pada fermentasi 28 jam diperoleh dari 79,46 menjadi 82,49. Dapat disimpulkan bahwa fermentasi menggunakan isolat Lactobacillus plantarum secara nyata meningkatkan nilai nutrisi dan kecerahan tepung sorgum. Kata kunci : Sorgum, kecernaan pati, kecernaan protein
PENDAHULUAN Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan salah satu serealia potensial sumber karbohidrat dan protein. Sorgum memiliki komposisi karbohidrat dan protein yang tidak rendah dibanding kelompok besar serealia seperti jagung, gandum dan padi. Sorgum memiliki kadar pati 80,42 % menempati urutan kedua sebagai sumber karbohidrat kedua dari kelompok serealia setelah beras (86,45 %) sedangkan kandungan protein 10,11 % lebih tinggi dari beras yang hanya 9,28 % (Suarni, 2001). Pemanfaatan sorgum sebagai pangan menghadapi berbagai kendala antara lain karena rendahnya tingkat kecernaan pati dan protein. Penyebab rendahnya kecernaan pati dan protein sorgum diantaranya adalah keberadaan ikatan disulfida protein, pati nonwaxy, matrik protein dan interaksinya dengan pati (Wong et al., 2009). Selain itu keberadaan polifenol seperti tanin dapat menurunkan tingkat kecernaan protein (Svensson et al., 2010). Tepung sorgum alami memiliki tingkat kecernaan pati yang rendah diantaranya disebabkan granula pati masih terperangkap dalam matrik protein. Menurut Correia et al. (2010) bahwa matrik protein memerangkap granula pati sehingga menghalangi hidrolisis enzimatik. Granula pati bebas dari matrik protein akan lebih mudah dihidrolisis oleh enzim amilolitik mikrobia. Proses fermentasi pada sorgum diketahui dapat meningkatkan kecernaan protein (Elkhier dan AbdAlRaheem, 2011). 3 Proses fermentasi menjadi penting pada sorgum karena fermentasi diantaranya dapat menghasilkan peptida-peptida (Elkhalifa dan Bernhardt, 2006) dan meningkatkan asam amino bebas (Onyango et al., 2004). Fermentasi diharapkan dapat membebaskan granula pati dari matrik protein Selain itu enzim 1Korespondensi
penulis : 081392004400, e-mail :
[email protected]
tannase dari mikrobia yang tumbuh selama fermentasi berperan terhadap hidrolisis tanin (Svensson et al., 2010; Duodu et al., 2003). Hal ini dapat meningkatkan kecernaan protein dan pati. Bakteri yang dominan selama fermentasi sorgum diketahui adalah bakteri asam laktat (Mugula et al., 2003a; Correia et al., 2010). Sehingga perlu dilakukan fermentasi dengan bakteri potensial yang dapat memperbaiki kinerja fermentasi tepung sorgum dan salah satunya adalah Lactobacillus plantarum. Bakteri L. plantarum memiliki kemampuan proteolitik (Mugula et al., 2003b) dan amilolitik (Songre-Ouattara et al., (2009). Selain itu bersifat toleran terhadap pH rendah dan kondisi asam laktat berlebih (Charalampopoulos et al., 2002). L. plantarum juga memiliki aktivitas tannase yang dapat memetabolisme asam fenolat (Svensson et al., 2010), dan melakukan degradasi tanin (Molin, 2008). Dengan demikian L. plantarum adalah BAL potensial yang dapat digunakan sebagai isolat dalam fermentasi tepung sorgum. Penelitian fermentasi tepung sorgum dengan L. plantarum belum banyak dilaporkan. Informasi tentang kecernaan pati dan protein terutama sorgum yang berasal dari Indonesia belum banyak banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kecernaan pati dan protein tepung sorgum dengan fermentasi menggunakan L. plantarum dan pengaruhnya terhadap warna tepung sorgum terfermentasi.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain sorgum yang diperoleh dari petani di Kabupaten Atambua, Provinsi Nusa Tenggara Timur, kultur bakteri Lactobacillus plantarum sub plantarum strain NBRC 15891 yang diperoleh dari Food and Nutrition Culture Collection (FNNC), Pusat Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bahan kimia yang digunakan adalah H2SO4, katalisator K2SO4,HgO,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 196
ISBN 978-602-98902-1-1 CuSO4, NaOH-N2S2O3.5H2O, asam borat 4%, indikator MRBCG, HCl, NaOH, glukosa standar, glukosa standar, alkohol, buffer asetat, buffer HCl-KCl, Buffer Tris-Maleat, Buffer Wholpole, Trichloro acetic (TCA), reagen Glucose GOD FS, buffer fosfat, NaCl, dan CaCO3. Enzim yang digunakan adalah amiloglukosidase (Cat. A9913, Sigma), α-amilase (Cat. A3176, Sigma), pepsin (Cat. 107185, Merck). Media untuk pertumbuhan mikrobia adalah deMann, Rogosa and Sharpe Agar (Cat. 660, Merck), dan Nutrient Agar (Cat. 5450, Merck). Alat-alat yang digunakan antara lain petridish, sieve shaker dengan ayakan 60 mesh, sentrifugasi, inkubator (Fischer scientific), autoclave (Express, Hirayama and Eastern), timbangan analitik (Mettler PM 4600 Delta Range), laminar flow (Gelman science), water bath (Haake SWB and GFC), oven (Heraeus), pH meter digital (Scooth), seperangkat alat micro-Kjehdahl, Soxhlet, dan Chromameter Konica Minolta CR-400. Pembuatan tepung sorgum Biji sorgum dikeringkan dengan cabinet dryer terlebih dahulu hingga kadar air 11%, dilanjutkan dengan penepungan menggunakan grinder. Butiran tepung sorgum yang seragam diperoleh dari hasil penggilingan yang lolos ayakan 60 mesh. Tepung dikemas plastik dengan penambahan silika gel kemasan lalu disimpan di ruang pendingin pada suhu 4°C sebagai persediaan sampel penelitian. Preparasi L. plantarum Isolat diperoleh dari 1 ampul isolat L. Plantarum sub plantarum strain NBRC 15891 yang telah ditumbuhkan dalam MRS Broth, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Sebelum digunakan dalam fermentasi jumlah L. plantarum ditentukan dengan cara ditumbuhkan dalam media MRS agar metode pour plate secara duplo. Hasil perhitungan koloni menunjukkan bahwa jumlah L. plantarum adalah 8,93 (log10 CFU/ml). Fermentasi sorgum Fermentasi dilakukan dengan cara ditambahkan tepung sorgum dan aquades steril perbandingan 1 : 2 (fermentasi spontan) dan untuk fermentasi dengan isolat caranya ditambahkan 1% isolat L. plantraum, kemudian fermentasi dikondisikan pada suhu inkubasi 37°C selama 36 jam. Sampel diambil setiap interval 4 jam. Analisis pertumbuhan total bakteri dan BAL (Fardiaz, 1993) 1 ml sampel diencerkan dengan larutan pengencer 0.85% NaCl (b/v) dan digunakan tiga seri pengenceran terbaik yang menunjukkan pertumbuhan koloni bakteri yang dapat dihitung yaitu antara 30 sampai 300 koloni, diambil 1 ml dari masingmasing pengenceran diinokulasi dalam media agar dengan metode pour plate yang dilakukan secara duplo. Media agar yang digunakan untuk menentukan jumlah total bakteri (total plate count) menggunakan media Nutrient Agar (NA), jumlah BAL menggunakan media MRS. Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Jumlah sel ditentukan berdasar jumlah koloni bakteri yang hidup dalam media agar menggunakan Quebec Colony Counter. Tepung sorgum Fermentasi dengan isolat L. plantarum pada 37°C, 36 jam
Diambil sampel pada 0, 4, 8, 12, 16, 20, 24, 28, 32, dan 36 jam Dikeringkan pada 60°C 24 jam Digiling sampai lolos ayakan 60 mesh Tepung sorgum terfermentasi Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung sorgum terfermentasi Analisis perubahan keasaman (Apriyantono et al., 1989) Derajad keasaman (pH) sampel ditera menggunakan pH meter digital. Total asam dianalisis dengan metode titrasi. Sampel 1 g dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml dan diencerkan sampai tanda tera dengan aquades. Sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan ditambah 3 tetes fenolftalein 1%. Titrasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan menjadi warna merah muda. Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai prosentase dari ml titrasi x N NaOH x 90 setiap 1 g sampel. Analisis kecernaan protein (Tanaka et al., 1978) 200 mg tepung sorgum ditempatkan dalam tabung sentrifugasi, ditambah 9 ml buffer Wolphole 0.2 N pH 2 dan 1 ml larutan enzim pepsin 1%, digojog sampai homogen, diinkubasi pada penangas bergoyang pada suhu 37°C selama 5 jam, sentrigugasi 3000 rpm selama 20 menit, supernatan dipindah ke tabung sentrifugasi dan tambahkan 5 ml larutan TCA 20%, biarkan 15 menit suhu ruang. Supernatan diambil untuk uji kadar protein tercerna dengan metode Kjeldahl (AOAC, 1990). Pengukuran kadar protein pada sampel tepung mula-mula juga dilakukan dengan metode Kjeldahl (AOAC, 1990). Kecernaan protein diukur dengan melihat prosentase protein yang dicerna oleh enzim hidrolisis setiap kadar protein sampel. Analisis kecernaan pati (Zia-Ul-Haq et al., 2007) 50 mg sampel tepung sorgum ditambah 10 mL buffer HClKCl dengan pH 1,5 kemudian 0,2 ml larutan yang mengandung 1 g pepsin dalam 10 ml buffer HCl-KCl ditambah kedalam sampel, inkubasi pada suhu 40°C selama 60 menit dalam penangas bergoyang. Ditambah buffer Tris-maleat pH 6,9 sampai volume tepat 25 ml. Kemudian ditambah dengan 5 ml larutan α-amilase (2,6 UI) dalam buffer tris maleat. Sampel diinkubasi dalam penangas bergoyang pada suhu 37°C selama 3 jam. Setelah inkubasi, diambil 1 ml larutan kemudian dilakukan inaktivasi enzim dengan pemanasan pada suhu 100°C selama 5 menit. Kemudian ditambah 3 ml buffer asetat pH 4.75 dan 60 μL enzim amiloglukosidase dan diinkubasi selama 45 menit pada suhu 60°C di dalam penangas bergoyang. Setelah itu dilakukan pengenceran untuk mengetahui kadar glukosa sampel. Kadar glukosa diukur dengan mereaksikan reagen Glucose GOD FS (Glucose Oxidase Fluid Stable) pada contoh sampel dan ditera pada λ=500 nm. Kadar pati masing-masing sampel diukur dengan metode Direct Acid Hydrolisis (AOAC, 1990). Sebelumnya dibuat kurva standar glukosa seperti penentuan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 197
ISBN 978-602-98902-1-1
Analisis data Analisis data percobaan menggunakan analisis ragam oneway ANOVA dan bila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut Duncan menggunakan taraf α = 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah bakteri (Log 10 CFU/ml)
Pertumbuhan total bakteri dan BAL Jumlah total bakteri dan BAL mengalami peningkatan selama fermentasi tepung sorgum (Gambar 1). Secara umum peningkatan secara nyata terjadi pada fermentasi 24 jam dan 28 jam. Kemudian jumlah bakteri menurun secara nyata setelah fermentasi 28 jam.
Perubahan keasaman Hasil penelitian menunjukkan fermentasi tepung sorgum selama 36 jam menggunakan L. plantarum terjadi penurunan pH dari 5,80 menjadi 3,34 dan peningkatan total asam dari 0,25% menjadi 1,38% seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Penurunan pH pada fermentasi 28, 32 dan 36 jam tidak berbeda nyata. Demikian juga total asam pada fermentasi 24, 28 dan 36 jam tidak berbeda nyata (P<0,5). 7 6 5 4 3 2
12
1
10
0
pH Total asam 0
8
1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
4
8
12
16
20
24
28
32
Total asam
Analisis warna (Sahin dan Sumnu, 2006) Pengamatan warna tepung dilakukan dengan menggunakan Chromameter system Hunter Lab (Chromameter Konica Minolta CR-400) dengan parameter nilai kecerahan (L, lightness) dengan perubahan antara 0 (hitam) sampai 100 (putih), merah (a, + red-green) yaitu –a (kehijauan) sampai +a (kemerahan) dan kuning (b, + yellow-blue) yaitu –b (kebiruan) sampai +b (kekuningan).
Hal ini dapat terjadi disebabkan antara lain akumulasi metabolit seperti asam-asam organik, alkohol dan CO2. Menurut Hutkins (2006) bahwa bakteri L. plantarum termasuk tipe heterofermentative yang mampu menghasilkan asam asetat, etanol dan CO2 melalui jalur phosphoketolase dalam jumlah yang lebih banyak dibanding tipe homofermentative. Faktor lain penyebab seleksi mikrobia disebutkan oleh Molin (2008), bahwa fermentasi selama fermentasi terjadi penurunan pH dan mencapai titik kritis pertumbuhan mikrobia melalui peran asam organik, hidrogen peroksida, nitrogen peroksida dan senyawa antimikrobia yang dapat mengkontrol pertumbuhan mikrobia.
pH
gula reduksi metode Nelson-Somogy (AOAC, 1990).Kadar glukosa dikonversikan ke pati dengan dikalikan faktor 0.9 Kecernaan pati diukur dengan melihat prosentase pati yang dicerna dengan enzim hidrolisis setiap kadar pati sampel.
36
Waktu fermentasi (jam)
6
Gambar 2. Perubahan pH dan total asam pada fermentasi tepung sorgum
4 total bakteri
2
BAL
0 0
4
8
12
16
20
24
28
32
36
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 1. Jumlah total bakteri, BAL dan bakteri proteolitik pada fermentasi tepung sorgum
Peningkatan total bakteri tertinggi terjadi pada fermentasi 28 jam yaitu 11,44 (Log10 CFU/ml) sedangkan BAL tertinggi terjadi pada 24 jam yaitu 11,54 (Log10 CFU/ml). Peningkatan total bakteri dan BAL menunjukkan kemampuan bakteri dalam memanfaatkan sumber energi terutama karbohidrat sorgum untuk dimanfaatkan sebagai substrat pertumbuhan. BAL merupakan bagian dari total bakteri merupakan bakteri dominan dalam fermentasi serealia. Faktor pendukung pertumbuhan total bakteri dan BAL diantaranya ketersediaan substrat dan kondisi lingkungan. Sorgum diketahui kaya karbohidrat sekitar 82,84% (Kazanas dan Fields, 1981). Kondisi inkubasi pada suhu 37°C dan kondisi asam mendukung pertumbuhan BAL. Hal ini dinyatakan oleh pendapat Hutkins (2006) bahwa BAL bersifat fermentatif, fakultatif anaerobik, toleran asam, aerotolerant, dan memiliki suhu pertumbuhan antara suhu 30°C-45°C. Penurunan total bakteri dan BAL menunjukkan bahwa kondisi lingkungan tidak lagi mendukung pertumbuhan bakteri.
Penurunan pH merupakan indikasi telah terjadi perombakan karbohidrat sebagai substrat pertumbuhan bakteri. Secara umum BAL dapat merombak karbohidrat melalui enzim ekstraseluler sehingga menghasilkan dekstrin, matosa dan monosakarida. Gula monosakarida diubah menjadi gula fosfat oleh enzim intraseluler kemudian terjadi metabolisme sesuai tipe fermentasi BAL. Jalur pemanfaatan gula oleh BAL dilakukan melalui The Embden-Meyerhoff Pathway pada BAL homofermentative dan The Phosphoketolase Pathway pada BAL heterofermentative (Hutkins, 2006). Fermentasi tepung sorgum dengan menggunakan L. plantarum menunjukkan penurunan pH dan peningkatan total asam. Mugula et al. (2003c) menyebutkan bahwa bakteri L. plantarum adalah penghasil asam laktat potensial yang dapat hidup pada rentang pH 3,17-3,19. Dengan demikian akumulasi asam laktat dan asam organik lainnya menyebabkan penurunan pH dan peningkatan total asam. Kecernaan protein Analisis kecernaan protein menunjukkan bahwa selama fermentasi menggunakan L. Plantarum dapat meningkatkan kecernaan protein. Peningkatan protein setelah fermentasi terjadi dari rentang 41,81% pada jam ke-0 dan 80,31% pada jam ke-36 seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Namun peningkatan kecernaan protein pada fermentasi 28, 32 dan 36 jam tidak berbeda nyata (P<0,5).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 198
ISBN 978-602-98902-1-1
Kecernaan protein (%)
100 80 60 40 20 0 0
4
8
12
16
20
24
28
32
36
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 3. Kecernaan protein pada tepung sorgum terfermentasi dengan L. plantarum
Peningkatan kecernaan protein in vitro selama fermentasi tepung sorgum secara spontan juga dilaporkan Elkhier and Abd-Al Raheem (2011). Sedangkan Ibrahim et al. (2005) melaporkan bahwa fermentasi secara spontan pada sorgum kultivar Wad Ahmed menunjukkan peningkatan kecernaan protein secara nyata dari 47,9 % pada 0 jam dan tertinggi 69,6 % pada 28 jam. Menurut Hutkins (2006) bahwa BAL mampu memetabolisme protein melibatkan enzim protease, peptidase untuk mendegradasi protein sehingga tersedia asam amino bagi pertumbuhan mikrobia. Peningkatan kecernaan protein tepung sorgum terfermentasi berhubungan dengan hidrolisis protein dan tanin sorgum. Mugula et al. (2003b) menyebutkan bahwa L. plantarum memiliki kemampuan proteolitik. Selain itu bakteri L. plantarum dilaporkan dapat melakukan pemecahan tanin melalui aktivitas tannase (Duodu et al., 2003; Molin, 2008; Svensson et al., 2010). Dengan demikian ikatan tanin-protein dapat dikurangi sehingga protein bebas tersedia untuk dihidrolisis enzim mikrobia dengan demikian meningkatkan kecernaan protein sorgum. Kecernaan pati Hasil penelitian menunjukkan bahwa fementasi tepung sorgum dengan L. plantarum selama 36 jam meningkatkan kecernaan pati sorgum. Peningkatan kecernaan pati setelah fermentasi yaitu 47,34% pada jam ke-0 dan tertinggi 84,59% pada jam ke-28 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Peningkatan kecernaan pati pada fermentasi 28 jam dan 32 jam tidak berbeda nyata (P<0,5).
Kecernaan pati (%)
100 80 60 40 20
Menurut de Mesa-Stonestreet et al., (2010) bahwa granula pati diselubungi matrik protein dan pada kondisi alami sulit dihidrolisis oleh enzim. Fermentasi dapat menyebab proteolisis (Elkhalifa dan Bernhardt, 2006). Proteolisis pada matrik protein kemungkinan dapat melepaskan granula pati ikatan pada selubung matrik protein sehingga mudah dihidrolisis enzim. Fermentasi menyebabkan hidrolisis karbohidrat menjadi molekul sederhana seperti dekstrin, disakarida, dan monosakarida lalu. Degradasi pati menjadi senyawa sederhana meningkatkan luas permukaan fraksi pati yang kontak dengan enzim sehingga dapat meningkatkan aksi hidrolisis pati. Sedangkan pada tepung alami menyatakan ukuran granulanya masih besar sehingga sulit dihidrolisis enzim dan kecernaan pati menjadi rendah (Singh et al. 2010). Selain itu peran L. plantarum dalam fermentasi tepung sorgum kemampuan amilolitik. SongreOuattara et al. (2009) menyebutkan bahwa bakteri L. plantarum memiliki amilolitik potensial terbukti penggunaan bakteri L. plantarum pada fermentasi millet lebih banyak menghasilkan asam laktat. Ketersediaan pati bebas dan hasil hidrolisis pati menjadi molekul sederhana memberi kontribusi pada peningkatan kecernaan pati sorgum. Perubahan warna Hasil penelitian menunjukkan bahwa fermentasi tepung sorgum dengan menggunakan L. plantarum mengalami perubahan kecerahan (L), kemerahan (a) dan kekuningan (b) seperti yang disajikan pada Tabel 1. Fermentasi tepung sorgum dengan L. plantarum secara mampu meningkatkan kecerahan secara nyata dari 79,46 pada fermentasi jam ke-0 menjadi 82,49 pada fermentasi 28 jam. Warna kemerahan tepung sorhum terfermentasi mengalami penurunan secara nyata dari 3,26 pada fermentasi jam ke-0 dan terendah 1,00 pada jam ke-28. Warna kekuningan mengalami penurunan secara nyata dari 12,44 pada fermentasi jam ke-0 dan terendah 11,84 pada jam ke-36. Tabel 1. Perubahan warna pada tepung sorgum terfermentasi Waktu fermentasi (jam) 0 4 8 12 16 20 24 28 32 36
Kecerahan (L)
Kemerahan (a)
Kekuningan (b)
79,46 a 79,98 b 81,42 de 81,25 d 80,37 c 81,73 e 82,39 f 82,49 f 81,36 d 80,53 c
3,26 e 2,76 d 3,43 e 1,94 a 2,65 d 1,24 b 1,11 a 1,00 a 2,36 c 2,30 c
12,44 e 12,02 b 12,87 g 12,99 h 12,44 e 12,19 c 12,17 c 12,32 d 12,58 f 11,84 a
perbedaan superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05).
0 0
4
8
12
16
20
24
28
32
36
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 4. Kecernaan protein pada tepung sorgum terfermentasi dengan L. plantarum
Peningkatan kecernaan pati menunjukkan indikasi bahwa selama fermentasi tepung sorgum telah terjadi perombakan karbohidrat. Perombakan karbohidrat menghasilkan pati bebas dan molekul sederhana dengan berat molekul rendah hasil degradasi pati oleh enzim mikrobia dan enzim endegenous.
Perubahan warna pada tepung sorgum terfermentasi disebabkan antara lain hidrolisis senyawa tanin oleh tanase sehingga warna awal tepung kontrol yang berwarna kecoklatan menjadi pudar dan kecerahan meningkat secara nyata. Selain itu selama fermentasi kemungkinan terjadi perubahan molekul antosianin sorgum karena pengaruh pH lingkungan. Menurut Shahidi dan Naczk (1995) bahwa antosianin adalah pigmen yang larut air, tidak stabil, mudah dihidrolisis dan sensitif perubahan pH. Perubahan antosianain menjadi karbinol atau kalkon
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 199
ISBN 978-602-98902-1-1 menyebabkan pemudaran warna orange dan merah (Shahidi dan Naczk, 1995) sehingga kenampakan tepung sorgum terfermentasi menjadi lebij cerah.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa fermentasi tepung sorgum dengan menggunakan L. Plantarum mampu meningkatkan kecernaan protein dan kecernaan pati secara nyata dibanding kontrol. Selain itu tepung sorgum terfermentasi menunjukkan perubahan warna secara nyata, yaitu kenampakan menjadi lebih cerah, sedangkan warna kemerahan dan kekuningan berkurang sehingga tepung sorgum terfermentasi lebih unggul dibanding kontrol.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Dirjen Dikti yang telah membiayai penelitian ini melalui Program Hibah Penelitian Strategis Nasional Tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Association of Official Analytical Chemist, Washington, D.C. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budijanto S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor Charalampopoulos D, Wang R., Pandiella SS, Webb C. 2002. Application of cereals and cereal component in functional food: a review. International J. Food Microbiol. 79 : 131-141 Correia I, Nunes A, Guedes S, Barros A, Delgadillo I. 2010. Screening of lactic acid bacteria potentially useful for sorgum fermentation. J. Cereal Sci. 52: 9-15 de Mesa-Stonestreet DJ, Alavi S, Bean SR. 2010. Sorgum proteins: the concentration, inokulumion, modification, and food applications of kafirins. J. Food Sci. 75, Nr. 5 : R90-R104 Duodu KG, Taylora JRN, Beltonb PS, Hamaker BR. 2003. Factors affecting sorgum protein digestibility. J. Cereal Sci. 38 : 117–131 Elkhalifa AEO, Bernhardt R. 2006. Fermentation modifies protein /protein and protein/starch interactions in sorgum dough. Eur. Foo. Res. Technol. 222: 559-564 Elkhier MKS, Abd-AlRaheem AA. 2011. Effect of fermentation period on the chemical composition, in-vitro protein digestibility and tannin content in two sorgum cultivars (Dabar and Tabat) in Sudan. J. Appl. Biosci.39: 26022606 Fardiaz S. 1993. Analisis mikrobiologi Pangan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Francis Group, LLC CRC Press, Boca Raton, London, New York Mugula JK, Nnko SAM, Narvhus JA, Sørhaug T. 2003a. Microbiological and fermentation characteristics of togwa, a Tanzanian fermented food. International J. Foood Microbiol. 80:187-199 Mugula JK, Sørhaug T, Stepaniak L. 2003b. Proteolytic activities in togwa, a Tanzanian fermented food. International J. Food Microbiol. 84 : 1 – 12 Mugula JK, Narvhus JA, Sørhaug T. 2003c. Use of starter cultures of lactic acid bacteria and yeasts in the preparation of togwa, a Tanzanian fermented food. International J. Food Microbiol. 83 : 307– 318 Sahin S, Sumnu SG. 2006. Physical Properties of Foods. Springer Science, LLC, New York, USA Shahidi F, Naczk M. 1995. Food Phenolics : Source, Chemistry, Effects, Applications. Technomic Publishing company, Inc. USA Singh J, Dartois A., Kaur L. 2010. Starch digestibility in food matrix: a review. Trends in Food Sci. & Technol. 21: 168180 Svensson L, Monang S, Lutz DL, Schieber A, Ganzle MG. 2010. Phenolic acids and flavonoids in nonfermented and fermented red sorgum (Sorgum bicolor L. Moench). J. Agric. Food Chem. 56: 9214-9220 Songre-Ouattara LT, Mouquet-River C, Icard-Verniere C, Rochette I, Diawara B, Guyot JP. 2009. Potential of amylolytic lactic acid bacteria to replace the use of malt for partial starch hydrolysis to produce African fermented pearl millet gruel fortified with groundnut. International J. Food Microbiol. 130: 258–264 Suarni 2001. Tepung komposit sorgum, jagung, dan beras untuk pembuatan kue basah (cake) . Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros, 6 : 55-60 Tanaka Y, Resurreccion AP, Julian BO, Bechtel DB. 1978. Properties of whole and undigested fraction of protein bodies of milled rice. Agric. Biol. Chem, 42: 2015-2029 Wong JH, Lau T, Cai N, Singh J, Pedersen JF, Vensel WH, Hurkman WJ, Wilson JD, Lemaux PG, Buchanan BB. 2009. Digestibility of protein and starch from sorgum (Sorgum bicolor) is linked to biochemical and structural features of grain endosperm. J. Cereal Sci. 49 : 73–82 Zia-Ul-Haq M, Iqbal S, Ahmad S, Imran M, Niaz A, Bhanger MI. 2007. Nutritional and compotitional study of Desi chikpea (Cicer arietinum L.) cultivars grown in Punjab, Pakistan. Food Chem.105: 1357-1363
Hutkins RW. 2006. Microbiology and technology of fermented foods. Blackwell Publishing, State Avenue, Ames, Iowa 50014, USA Kazanas N, Fields ML. 1981. Nutritional improvement of sorgum by fermentation. J. Food Sci, 46: 819-821 Molin G. 2008. Lactobacillus plantarum, The Role in Foods and in Human Health. Dalam Edward RF. Handbook of Fermented Functional Foods. Second Edition. Taylor &
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 200
ISBN 978-602-98902-1-1
IMPROVING PREBIOTIC PROPERTIES OF MODIFIED BANANA FLOUR BY SPONTANEOUS FERMENTATION AND AUTOCLAVING-COOLING PROCESS [Peningkatan Sifat Prebiotik Tepung Pisang Modifikasi melalui Fermentasi Spontan dan Pemanasan Bertekanan] Nurhayati1*, Betty SL Jenie2, Sri Widowati3, Harsi D Kusumaningrum2 1 Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Jember Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta IPB 3 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Departemen Pertanian 2 Departemen
ABSTRACT Banana flour was a potential prebiotic source due to its resistant starch content. Resistant starch as dietary supplement may stimulate the growth of beneficial bacteria in the human gastrointestinal tract. Banana flour was a potential prebiotic source due to its resistant starch (RS) content. In this study the formation of RS type III (RS3) in banana flour was increased in order to improve the prebiotic properties. Modified banana flour was prepared by fermented the banana slices for 24 h at room temperature followed by autoclaving-cooling process respectively at 121oC for 15 min, 4oC for 24 h. The autoclaving-cooling process was repeated twice cycles. The modification process increased resistant starch content 10.48% to 45.83% db. The prebiotic properties of native banana flour-resistant starch (RS2) and modified banana flour-resistant starch (RS3) were examined including the stability to artificial human gastric juice, the capability modulate the gut bacterial composition using fecal batch culture fermentation, production of short chain fatty acid and prebiotic index (PI) score. The results showed that both RS2 and RS3 were stable to artificial human gastric juice at pH 1, 2, 3, 4 or 5 and they were able to increase the lactobacilli and bifidobacterial population. The PI score of RS3 was higher (5.14) than RS2 (4.02) and the RS3 also can increase concentration of butyric acid. It can be concluded that modified banana flourRS showed better prebiotic properties than native banana flour-RS. Key word: banana flour, spontaneous fermentation, autoclaving-cooling process, resistant starch, prebiotic properties.
INTRODUCTION Prebiotics has drawn much attentions lately as new development in functional foods. Researchs have been conducted to explore potential carbohydrate source as prebiotics such as tubers (Jenie et al., 2006). A prebiotic was originally defined in 1995 as a “non-digestible food ingredient that beneficially affects the host by selectively stimulating the growth and/or activity of one or a limited number of bacteria in the colon, and thus improves host health” (Gibson & Roberfroid, 1995). A more recent definition stated that “A prebiotic is a selectively fermented ingredient that allows specific changes, both in the composition and/or activity in the gastrointestinal microbiota that confers benefits upon host wellbeing and health” (Gibson et al., 2004). The prebiotics selectively stimulate a limited number of bacteria in the colon especially bifidobacteria and lactobacilli, to improve host health. Bifidobacteria and lactobacilli are known to inhibit the growth of pathogenic bacteria, such as certain species of clostridia (e.g. Clostridium difficile and C. perfringens) and pathogenic Enterobacteriaceae, through the production of short-chain fatty acids, lowering of colonic pH, production of antimicrobial compounds, or competition for growth substrates and adhesion sites (Lievin et al., 2000). 4
Resistant starch (RS) is one of new emerging prebiotic compounds (FAO, 2007). RS has been defined as the fraction of starch, which escapes digestion in the small intestine, and may be digested in the large intestine (Englyst, Kingman &
Cummings, 1992). It is subdivided into 4 fractions: RS1, RS2, RS3, and RS4. These are also called as type I, II, III, and IV starches (Sajilata et al., 2006). RS2 is tightly packed in a radial pattern and this compact structure limits the accessibility of digestive enzymes. A disruption of the granular structure by heating with excess of water (gelatinization) and a slow recrystallization of the starch molecules upon cooling or dehydration (retrogradation) are two steps to produce RS3 (Shamai et al., 2003). RS3 is of particular interest, because of its thermal stability. This allows it to be stable in most normal cooking operations, and enables its use as an ingredient in a wide variety of conventional foods (Haralampu, 2000). Plantain agung semeru var (Musa paradisiaca formatypica), also called horn plantain, is widely cultivated in Lumajang Regency, East Java Province, Indonesia. The plantain is a major source of carbohydrate, which contains more than 70% starch on a dry weight basis and about 6% resistant starch content (Jenie et al., 2009). Juarez-Garcia et al (2006) reported that banana flour is a starchy food that contains a high proportion of indigestible compounds such as resistant starch and nonstarch polysaccharides, included in the dietary fiber content. Tribess et al. (2009) concluded RS content of green banana flour was significantly influenced by air velocity of drying process. Green banana flour dried at higher air velocities presented higher resistant starch content, if the air temperatures were lower than gelatinization temperature. Jenie et al. (2009) had been developed modification process in RS-rich banana flour production by introduction fermentation process of banana slices for 24 h before heating and cooling process. The modification process could increase the RS3 content up to four times
*Korespondensi penulis : 08123466409 E-mail :
[email protected]
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 201
ISBN 978-602-98902-1-1 MATERIALS AND METHODS Material Plantain agung semeru var (Musa paradisiaca formatypica) was used for this study. The fully mature but unripe banana fruits were obtained from Central Supply in Lumajang Regency, which were harvested at 120 days after flowering. Native and modified banana flour preparation Native banana flour was prepared by peeling the fruits, cutting into 5 mm, drying at 50 °C in a convection oven for 8 h, grinding to pass 80 mesh. Modified banana flour was prepared by peeling the fruits, and slicing into 5 mm, immediately rinsed in sterile distilled water (750 g/L), then incubated at room temperature for 24 h. The slices were drained and pressurecooked (autoclave) at 121 °C for 15 min. The mixture was cooled at room temperature and stored at 4 °C for 24 h. Autoclaving-cooling process were repeated and then the sample was dried at 50 °C in a convection oven for 8 h and ground into 80 mesh. The modified and native banana flour were analyzed for chemical composition including moisture, ash, protein, fat and carbohydrate content (AOAC, 1999). Resistant starch content was determined according to Englyst et al (1992). Isolation of resistant starch RS of banana flour was isolated according to Englyst et al. (1992). The free lipid-banana flour (100 mg) was preincubated with a pepsin solution (containing 20 mg of pepsin) at 40 °C for 60 min, and added with 20 mL sodium acetate buffer (0.1 M, pH 5.2). The solution was hydrolysed by 5 mL enzyme solution (pancreatin extract and amyloglucosidase) and incubated in a water-bath at 37 °C for 2 h. The residue was dispersed in water and centrifuged at 554.4 × g for 10 min to remove glucose and other components. The insoluble residue was washed twice with distilled water until free glucose and then washed twice with 80% (v/v) ethanol and 95% (v/v) ethanol successively, and finally dried at 40 °C overnight in a vacuum oven to obtain the resistant starch. Effect of artificial human gastric juice hydrolysis Resistant starch was tested for artificial human gastric juice hydrolysis following the method of Wicheinchot et al. (2010). Artificial human gastric juice was mimicked by using hydrochloric acid buffer containing (in g/L): NaCl, 8; KCl, 0.2; Na2HPO4⋅2H2O, 8.25; NaHPO4, 14.35; CaCl2⋅2H2O, 0.1; MgCl2⋅6H2O, 0.18. The pH of the buffer was adjusted to 1, 2, 3, 4 and 5 using 5 M HCl (Korakli et al., 2002). HCl buffer (5 mL) at each pH was added to 5 mL sample solution (1% w/v) and the reaction mixtures were incubated in a water bath at a controlled temperature of 37±1 °C for 6 h. Sample (1 mL) was taken periodically at 0, 0.5, 1, 2, 4 and 6 h. Reducing sugar content in the sample was determined by DNS method (Robertson et al., 2001) and total sugar was determined by phenol–sulfuric acid method (Dubois et al., 1956). Percent hydrolysis of sample was calculated based on reducing sugar liberated and total sugar content of the sample (Korakli et al., 2002).
Fecal batch culture fermentation Erlenmeyer glasses (vessel) was filled with 180 mL of a sterile medium and inoculated with 20 mL of the slurry, 2 g of resistant starch (RS2 and RS3). The sterile medium contain 2 g/L peptone water, 2 g/L yeast extract, 0.1 g/L NaCl, 0.04 g/L K2HPO4, 0.04 g/L KH2PO4, 0.01 g/L MgSO4 7H2O, 0.01 g/L CaCl2·2H2O, 2 g/L NaHCO3, 0.5 g/L L-cysteine HCl, 0.5 g/L bile salts, 4 ml resazurin at 0.05 g/L, 10 µL vitamin K1, 2 mL Tween 80, and 10 mL hemin. The medium was adjusted to pH 7.0 and continuously spurged with oxygen-free nitrogen (15 mL/min). The slurry was prepared by formulation of fecal slurry from healthy donor was prereduced 0.1 M phosphate-buffered saline (pH 7.0) and then mixed in a mixer for 120 s. Fecal samples were obtained from one 30 years female volunteer who had not taken antibiotics for at least 6 months prior to providing the sample and who had no history of a gastrointestinal disorder. Fermentation process were maintained at 37 °C, and duplicate samples were removed after 0, 4, 10, and 24 h for the enumeration of bacteria and SCFA analyses (Tuohy, 2002; Manderson et al.; 2005). The samples from each vessel were serially diluted with phosphate buffer saline (pH 7), supplemented with 0.5 g cysteine–HCl. Portions of 20 μL from each dilution were plated, in triplicate, onto agar plates. The selective growth media used were: Brain Heart Infusion agar supplemented per liter with 75 mg chloramphenicol, 75 mg calnicitine, for Bacteroides spp.; Thioglycollate agar, supplemented per liter with 8 mg/L lincomycin and 8 mg/L colistin, for Clostridium spp.; deMann Rogosa Sharpe agar, supplemented with 1.32 mL glacial acetic acid, for Lactobacillus spp.; MRS agar containing per liter 0.5 g cysteine HCl, and 0.5 mL propionic acid, pH 5.0, for Bifidobacterium spp.; nutrient agar, for total aerobes. All agar medium were purchased from Oxoid and Merck which were prepared according to the supplier's instructions. All the antibiotics used in the preparation of media were purchased from Kalbe Farma . Calculation of prebiotic index (PI) The PI score was calculated using equation Palframan et al. (2003) as follows: PI = (Bif/Total) + (Lac/Total) – (Bac/Total) – (Clos/Total) where Bif, Bac, Lac, Clos, and total are the numbers of bifidobacteria, bacteroides, lactobacilli, clostridia, and total numbers of bacteria, respectively, at 0, 4, 10, 24 h to their respective numbers at the time of inoculation. Positive effect is assumed by an increase in the populations of bifidobacteria or lactobacilli is a positive effect while negative effect by an increase in bacteroides or clostridia. Analysis of short chain fatty acid One-millilliter samples were removed from the batch culture fermentors, added by H2SO4 4N, and added 0,003 g sulfo 5-salicylate acid. The sample was centrifugated at 12.000 rpm, 7 °C for 10 min, 20 µL was injected onto an gas chromatograph system (Chrompack CP 9002 No. Seri 946253). RESULT AND DISCUSSION Chemical composition of native and modified banana flour Chemical composition of native and modified banana flour are presented in Table 1. The moisture content of the modified banana flour (9.74 ± 0.03 g/100g) was slightly higher compared with the native banana flour (5.03 ± 0.05 g/100g). The
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 202
ISBN 978-602-98902-1-1 difference may be attributed to the particular formulation of the flour. Slade and Levine (1991) explaned water content can be related to the relative abundance of amorphous starch zones in native flour, which influences water absorption to a large extent. There were no difference (P<0.05) in fat and protein content of the flour, but there was difference (P<0.05) in ash and carbohydrate content. The carbohydrate content decreased from 88.75 ± 0.06 g/100g to 85.66 ± 0.03 g/100g of flour. Modification two cycles of autoclaving-cooling process could be able to increase the RS content significantly. RS content of native banana flour (RS2) was 10.48 ± 0.06 g/100g of flour, while RS content of modified banana flour (RS3) was 45.83 ± 0.96 g/100g of flour.
The results demonstrated that during 24 h of spontaneous fermentation the amylose content was increase and the starch content was decrease. Amylose content increased from 13.56 ± 0.05 g/100g of starch (native banana flour) to 16.54 ± 0.53 g/100g of starch (modified banana flour). During fermentation debranching of amylopectin might occur and amylose with lower degree of polymerization (DP) was formed. Soto et al (2004) reported that the linear fragments of starch (amylose) can contributed to starch retrogradation and decreased the enzymatic susceptibility of starch. RS3 was formed by heating and cooling while RS2 was unstable and destroyed. Autoclaving-cooling process can destroy the starch granular crystalline structure so decreased RS2 content. Ambriz et al (2008) reported that a high content of resistant starch was detected (30.4%) in the native banana flour, but the value decreased drastically after boiling the banana flour (3.6%). Stability of resistant starch on artificial human gastric juice Banana resistant starch were hydrolysed with artificial human gastric juice and showed to be stable to the juice. Percentage of hydrolysis increased with increasing pH of artificial gastric juice (Fig. 1).
Resistant starch of native banana flour (RS3) showed lower acid stability compared with modified banana flour- RS (RS2). Degree of RS2 hydrolysis for 2 h at pH of 1, 2, 3, 4 and 5 respectively were 0.55%, 1.25%, 1.25%, 0.60% and 0.58%, while degree of RS3 hydrolysis for 2 h at pH of 1, 2, 3, 4 and 5 were 2.03%, 2.97%, 2.46%, 2.87% and 3.54%, respectively. The maximum hydrolysis of RS3 (3.74%) occurred after incubation at pH 5 for 4 h than 4% indicated that the banana resistant starch stable to hydrolyse by artificial human gastric juice. Food is usually retained in the human stomach where gastric juice (pH 2–4) is released within 2 h, when banana resistant starch are consumed, more than 98% of native banana flour-RS and more than 96% of modified banana flour-RS were estimated to reach the intestine. The results were comparable to that of dragon fruit (pitaya) oligosaccharides, which had 96% resistance to artificial gastric acid (Wichienchot et al., 2010). Gluco-oligosaccharide produced by Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 showed 98.4% resistance in the acidic conditions of the human stomach (Wichienchot et al., 2006). Capability of resistant starch to modulate bacterial population and produce SCFA The effects of native banana flour-resistant starch (RS2) and modified banana flour-resistant starch (RS3) on the bacterial population are shown in Table 2. These results showed that the addition of both RS2 and RS3 to the fermentation medium could significantly increase the levels of bifidobacteria and lactobacilli, which are considered to have beneficial properties. Significant the increasing were observed in Bifidobacteria spp and Lactobacillus spp numbers after 24h fermentation in RS3.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 203
ISBN 978-602-98902-1-1 small intestine. However, the RS can be degraded by amylolytic enzymes formed by colonic bacteria and is one of the most important sources of carbohydrate for these organisms (Gibson et al., 2000). RS3 contain smaller oligomer fragments (DP 30 – 100) that were more readily taken up and metabolised by the bacteria than RS2 like Novelose (Schmiedl et al, 2000). Similar increasing in PI values at 10h incubation time were also observed in studies with pectic oligosaccharide (Manderson et al, 2005). Bacteroides could not grow in RS3, but in RS2 significant growth was observed after 4h fermentation. Similarly, Clostridium spp levels did not increase after 24 h fermentation in RS3. Sharp and Macfarlane (2000) reported that the bacteria can use RS2 by attaching apically to RS granules and forming rosette-like structures which, with glycocalyx formation, agglomerated to form biofilm networks in the planktonic phase. Volatile fatty acids were determined after 24 h fermentation. Concentrations of acetic and propionic acids were higher in native banana flour-RS i.e 6.26 ± 1.47 mM/ml; and 2.32 ± 0.26 mM/ml respectively, but butyric acid was higher in the modified banana flour-RS (0.23 ± 0.10 mM/ml). Acetic acid is mainly metabolized in human muscle, kidney, heart and brain, whereas propionic acid acts as a possible gluconeogenic precursor suppressing the cholesterol synthesis (Gibson, 1999). While butyric acid is known to have pro-differentiation, anti-proliferation and anti-angiogenic effects on colonocytes. Pre-treatment of HT29 colon carcinoma cells with butyric acid (2 - 4 mM) for 15 min caused a reduction of micronuclei so protect human colon cells from selected genotoxic substances like H2O2 and Fe-NTA (Hovhannisyan et al, 2009). Prebiotic index Fig. 2 showed the prebiotic index (PI) score was higher RS of modified banana flour (5.14) than RS of native banana flour (4.02) at 10 h fermentation. The result indicated that prebiotic functionality of RS was improved by spontaneous fermentation and autoclaving-cooling process on banana slices. Positive PI score were obtained by both substrates, possibly due to increased levels of lactobacilli and bifidobateria but decreased or remained levels of bacteroides and clostridia. The higher PI score obtained from RS3 suggested that it could be the better prebiotic.
CONCLUSION Combination of spontaneous fermentation and autoclaving-cooling processes was able to increased in the RS3 formation in banana flour. Resistant starch from native and modified banana flour showed prebiotic properties. Including the stability to acid conditions in human stomach (artificial human gastric juice) and the capability to stimulate the growth of benefical bacteria (lactobacilli and bifidobacteria). Modified banana flour-resistant starch (RS3) had better prebiotic properties as shown by higher prebiotic index and butyric acid production than native banana flour-resistant starch (RS2). ACKNOWLEDGMENTS We thank to Prof. Dr. Suminar Setiati Achmadi for critical reading on this paper. We would like to thank National Research Council of Indonesia (DP2M Research Project 2009/2011) for financial support. REFERENCE [AACC]. American Association of Cereal Chemists. (2000). Approved Methods of the AACC 10th ed. AACC. St. Paul. MN Cummings, J.H., Macfarlane, G.T. (2002). Gastrointestinal effects of prebiotics. British Journal Nutrition, 87(Suppl. 2), S145–S1151. Dubois, M., Gilles K.A., Hamilton J.K., Rebers P.A., Smith F. (1956). Calorimetric method for determination of sugars and related substances. Journal of Analytical Chemistry, 28, 350–356. Englyst H.N., Kingman S.M., Cummings J.H. 1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fractions. Eur J Clin Nutr 46:S33–S50. [FAO] Food and Agricultural Organization. (2007). Technical Meeting On Preobitics.http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/ Prebiotics_Tech_Meeting_Report.pdf. Accessed on 22 November 2008. Gibson, G.R., Berry-Ottaway J., Rastall, R.A. (2000). Prebiotics: new developments in functional foods. Chandos Publishing Limited, Oxford, United Kingdom.
Autoclaving and cooling treatment of starchy foods can increase the starch resistancy to hydrolysis by amylase in the
Gibson, G.R., Probert, H.M., Van Loo, J., Rastall, R.A., Roberfroid, M. (2004) Dietary modulation of the human colonic microbiota: updating the concept of prebiotics. Nutr. Res. Rev. 17:259-275.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 204
ISBN 978-602-98902-1-1 Gibson, G.R., Roberfroid, M. (1995) Dietary modulation of the human colonic microbiota: introducing the concept of prebiotics. J. Nutr. 25:1401-1412.
Shamai, K., Bianco-Peled, H., Shimonic, E. (2003). Polymorphism of resistant starch type III . Carbohydrate Polymers 54, 363–369.
Hovhannisyan, G., Aroutiounian R., Glei, M. (2009). Butyrate reduces the frequency of micronuclei in human colon carcinoma cells in vitro. Journal of Toxicology in Vitro 23, 1028–1033
Sharp, R., Macfarlane, G.T. (2000). Chemostat Enrichments of Human Feces with Resistant Starch Are Selective for Adherent Butyrate-Producing Clostridia at High Dilution Rates. Applied and Environmental Microbiology. 66 (10), 4212–4221.
Juarez-Garcia, E., Agama-Acevedo, E., Sayago-Ayerdi, S. G., Rodriguez-Ambriz, S. L., Bello-Perez, L. A. (2006). Composition, digestibility and application in breadmaking of banana flour. Plant Food for Human Nutrition, 61, 131–137. Korakli, M., Ganzle M.G., Vogel R.F. (2002). Metabolism by bifidobacteria and lactic acid bacteria of polysaccharides from wheat and rye, and exopolysaccharides produced by Lactobacillus sanfranciscensis. Journal of Applied Microbiology, 92, 958–965. Lievin, V., Pfeiffer. L., Hudault, S., Rochat, F., Brassart, D., Neeser, J.R., Servin A.L. (2000). Bifidobacterium strains from resident infant human gastrointestinal microbiota exert antimicrobial activity. Gut. 47, 646– 652. Manderson, K., Pinart, M., Tuhoy, K.M., Race, W.E., Otckiss, A.T., Widmer, W., Yadhav, M.P., Gibson, R., Rastall, R.S. (2005). In vitro determination of prebiotic properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. Applied and Environmental Microbiology. 71 (12), 8383-8389, Palframan, R., Gibson G.R., Rastall R.A. (2003). Development of a quantitative tool for the comparison of the prebiotic effect of dietary oligosaccharides. Letter Applied Microbiology. 37, 281–284. Robertson, J.A., Ryden, P., Botham, R.L., Reading, L., Gibson, G.R., Ring, S.G. (2001). Structural properties of dietderived polysaccharides and their influence on butyrate production during fermentation. British Journal Nutrition, 81, S219–S223. Saavedra, J.M., Tschernia, A. (2002). Human studies with probiotics and prebiotics: clinical implications. British Journal Nutrition. 87, S241–S246.
Slade, L., Levine, H. (1991). Beyond water activity. Recent advances based on an alternative approach to the assessment of food quality and safety. Critical Review of Food Science and Nutrition 30, 115–360. Soto, R.A.G., Acevedo, E.A., Feria, J.S., Villalobos, R.R., BelloPerez, L.A. (2004). Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. Starch/Stärke, 56, 495–499. Tribess, T.B., Hernandez-Uribe, J.P., Mendez-Montealvo, M.G.C., Menezes, E.W., Bello-Perez, L.A., Tadini. C.C. (2009). Thermal properties and resistant starch content of green banana flour (Musa cavendishii) produced at different drying conditions. LWT-Food Science and Technology. 42, 1022-1025. Tuohy, K.M., Ziemer, C., Klinder, A., Knobel, Y., Pool-Zobel, B.L., Gibson, G.R. (2002). A human volunteer study to determine the prebiotic effects of lactulose powder on human colonic microbiota. Microbial Ecology Health Dis. 14, 165–173. Vardakou, M., Palop, C.N., Christakopoulos, P., Faulds, C.B., Gasson, M.A., Narbad, A. (2008). Evaluation of the prebiotic properties of wheat arabinoxylan fractions and induction of hydrolase activity in gut microflora. International Journal Food Microbiology. 123, 166-170. Wichiencho, S., Jatupornpipat, M., Rastall. R.A. (2010). Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. Food Chemistry. 120, 850–857. Wichienchot, S., Prasertsan, P., Hongpattarakere, T., Gibson, G. R., & Rastall, R. A. (2006). In vitro fermentation of mixed linkage gluco-oligosaccharides produced by Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 by the human colonic microflora. Current Issues in Intestinal Microbiology.7, 7–12.
Schmiedl, D., BaÈuerlein, M., Bengs, H., Jacobasch, G. (2000). Production of heat-stable, butyrogenic resistant starch. Carbohydrate Polymers 43, 183-193.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 205
ISBN 978-602-98902-1-1
Kajian Minuman Sinbiotik Berbahan Dasar Kacang Hijau (Phaseolus radiatus) Secara In Vivo Terhadap Sistem Imunitas Tubuh (Study of Synbiotic Drinks Using Mung Bean (Phaseolus radiatus) To The Immunity of Body System Through In Vivo) Betty D. Sofiah, Dwi Wahyudha Wira dan Efri Mardawati
Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran ABSTRACT Mung bean contains oligosaccharide prebiotic materials that can not be digested but this material can provide positive benefits to the body, and it is able to stimulated selectively the activities of good bacteria growth in the colon. The concentration starter that added to synbiotic drink affect lactic acid levels. The purpose of this study was tried to determine the appropriate concentration starter of synbiotic drinks of mung bean to enhance the growth of lactic acid bacteria in the digestive system and the level of animal immunity. The research method which was used was descriptive research method without further testing. The treatments were conducted by giving 5 types of drinks to the animal experiments which were mineral water, commercial probiotic drinks, and mung bean synbiotic drinks with the addition of starter 3%, 4%, and 5%; with three repetition. The result of this research showed that synbiotic drinks of mung bean by adding of starter concentration of 4% were considered better than the commercial probiotic drinks with pH 5,14, the number of leukocytes was 9.500/mm3, lymphocytes 73%, neutrophils 1%, monocytes 6%, and basophils 0%, and the numbers of lactic acid bacteria which contained in the feces 1,9x106 CFU/g feces. Keyword: mung bean, synbiotic drink, lactic acid bacteria, in vivo PENDAHULUAN Kacang hijau (Phaseolus radiatus) merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang banyak diproduksi di Indonesia. Ketersediaan kacang hijau di Indonesia menduduki urutan ketiga setelah kacang tanah dan kacang kedelai (BPS,2009). Komponen gizi yang dimiliki oleh kacang hijau sangat beragam. Karbohidrat merupakan komponen terbesar dari biji kacang hijau (lebih dari 55%), yang terdiri dari pati, gula dan serat Berdasarkan jumlahnya, protein adalah penyusun utama kedua setelah karbohidrat. Kacang hijau mengandung 20-25% protein. Kandungan gizi kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Kacang Hijau per 100g bahan Komponen Kalori (kkal) Air (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (IU) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg)
Sumber : Marzuki dan Soeprapto (2001)
Jumlah 345,00 10,00 22,20 1,20 62,90 125,00 320,00 6,70 157,00 0,64 6,00
Kacang hijau mengandung senyawa oligosakarida yang terdiri dari rafinosa, stakiosa dan verbaskosa. Senyawa - senyawa tersebut merupakan bahan prebiotik, karena senyawa tersebut tidak dapat dicerna di dalam tubuh, namun bermanfaat untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri baik di dalam usus, sehingga dapat meningkatkan ketahanan sistem pencernaan. Prebiotik pada umumnya merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna, tapi memiliki pengaruh baik terhadap ekosistem
mikroflora probiotik dalam usus sehingga dapat memberikan efek kesehatan pada manusia (Surono, 2004). Pemanfaatan kacang hijau sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Dengan adanya kandungan prebiotik dalam kacang hijau dan untuk meningkatkan pemanfaatan kacang hijau serta menambah keanekaragaman pangan, salah satu alternatif bentuk pengolahannya adalah dengan mengolahnya menjadi minuman sinbiotik kacang hijau. Minuman sinbiotik merupakan suatu produk, dimana didalamnya terkandung bahan prebiotik dan bakteri probiotik. Menurut Salminen (1998), bakteri probiotik adalah bakteri hidup dalam kultur tunggal atau campuran yang mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia. Sebagian besar bakteri probiotik adalah bakteri asam laktat (Winarno, dkk, 2003), namun yang umum digunakan adalah Lactobacillus achidophilus dan Bifidobacterium. Penggunaan kedua bakteri tersebut secara bersama-sama dapat memberikan keuntungan bagi tubuh karena mampu menjaga keseimbangan mikrobiota dalam saluran pencernaan. Prebiotik yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, menjadi makanan bagi bakteri probiotik. Dengan banyaknya mengonsumsi makanan atau minuman yang banyak mengandung prebiotik, maka akan meningkatkan pertumbuhan dan keaktifan dari bakteri probiotik. Bila jumlah bakteri probiotik meningkat, maka pH dalam usus menjadi semakin sedikit asam oleh asam organik yang diproduksinya, yang mengakibatkan kondisi usus kurang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri patogen (Winarno, dkk, 2003). Selain menghasilkan asam-asam organik, bakteri probiotik juga menghasilkan peroksidase (H2O2) dan bakteriosin yang bersifat antimikroba bagi bakteri patogen (Supriadi, 2003). Di dalam usus, bakteri probiotik terikat atau melekat pada permukaan mukosa saluran usus. Jika bakteri probiotik yang melekat pada permukaan mukosa usus mendominasi, maka tidak ada tempat lagi bagi bakteri patogen untuk melakukan adesi (pelekatan). Saat bakteri probiotik melekat pada permukaan mukosa usus, maka terjadi interaksi yang dapat mengaktifkan sistem imun.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 206
ISBN 978-602-98902-1-1 Sistem imun yang diaktifkan melibatkan berbagai sel termasuk makrofag, sel T, sel B, dan granuloside (neutrofil, basofil, dan eosinofil). Kesemua sel tersebut membentuk jaringan kerja sama yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh yang kuat ( Surono, 2004). Oleh karena itu, dengan mengonsumsi makanan yang sehat, seperti minuman sinbiotik, maka tingkat imunitas seseorang dapat meningkat. Konsentrasi starter yang ditambahkan ke dalam minuman sinbiotik akan mempengaruhi karakteristik yang meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur, serta kadar asam laktat dari minuman sinbiotik yang dihasilkan (Supangkat dan Ace, 2006), serta nilai pH dan viskositas (Pustaka, 2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian secara in vivo, karena dengan adanya pengujian ini diharapkan dapat membuktikan adanya pengaruh peningkatan pertumbuhan bakteri asam laktat dalam sistem pencernaan terhadap tingkat imunitas hewan percobaan. Untuk mengetahui efektivitas dari minuman sinbiotik kacang hijau ini, perlu dibandingkan dengan minuman sinbiotik komersial sebagai kontrol positif dan air minum putih biasa sebagai kontrol negatif. Di pasaran belum terdapat minuman sinbiotik komersial, maka dalam penelitian ini akan digunakan minuman probiotik komersial yang mengandung bakteri yang sama sebagai kontrol positif. METODOLOGI
Rancangan Percobaan Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif tanpa uji lanjutan. Metode ini menggunakan 5 jenis perlakuan dengan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diujikan terhadap tikus putih adalah : I0 = Pemberian air minum putih biasa sebanyak 1 ml (sebagai kontrol negatif) = Pemberian minuman probiotik komersial sebanyak 1 I1 ml (sebagai kontrol positif) I21 = Pemberian minuman sinbiotik kacang hijau denga konsentrasi starter 3% sebanyak 1 ml I22 = Pemberian minuman sinbiotik kacang hijau denga konsentrasi starter 4% sebanyak 1 ml I23 = Pemberian minuman sinbiotik kacang hijau dengan konsentrasi starter 5% sebanyak 1 ml Tikus putih diberi asupan sesuai dengan perlakuan sebanyak dua kali dalam sehari (pagi dan sore) dengan rentang waktu 6 jam, selama 7 hari. Setelah itu tikus dimatikan (dislokasio servikalis), kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil darah yang terdapat pada pembuluh vena dan untuk mengambil feses yang terdapat pada usus besar. Pada darah yang diambil, kemudian dilakukan penghitungan jumlah leukosit dan diferensiasi leukosit. Sedangkan pada feses, dilakukan TPC. Sari Kacang Hijau
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang hijau (Phaseolus radiatus) varietas wallet dengan umur panen 58 hari yang didapat dari UPTD Balai Pengembangan Benih Palawija, Plumbon-Cirebon, susu skim, starter murni (S. thermophilus, L. bulgaricus, L. acidophilus, dan Bifidobacterium) yang di dapat dari LIPI Serpong, tikus putih galur Wistar yang di dapat dari ITB (surat keterangan hewan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 13), pakan tikus, air minum biasa, sekam padi, minuman probiotik komersial yang mengandung bakteri S. thermophilus, L. bulgaricus, L. acidophilus dan Bifidobacterium, NaCl fisiologis, MRS agar, dan MRS broth. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis diantaranya adalah H2SO4 pekat, NaOH 30%, NaOH 4 N, NaOH 0,1 N, buffer fosfat pH 6,8, sodium dodesilsulfat, H3BO3 3%, HCl 0,1 N, HCl 25%, HCl 0,2 N, HCl 4 N, indicator Tashiro, garam kjeldahl, aquadest, Petroleum eter, perak nitrat 0,1 M, pepsin, pankreatik, pasir yang telah dimurnikan dengan asam dan dikalsinasi, phenolphthalein, klorofom, larutan TURK, larutan giemsa, dan methanol 90%. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah inkubator, kandang tikus, wadah plastik, panci, toples plastik, mikroskop, alat sentrifuse, waterbath, oven, blender, neraca analitik, desikator, alat pengekstraksi soxhlet, viscometer, kromameter, timble ekstraksi, pH meter, botol minum, labu kjeldahl, tabung destilat, kondensor, glass wool, erlenmeyer 300 ml, gelas ukur 100 ml, gelas kimia, filter gelas 1-G-3, tabung reaksi, cawan petri, bak pewarna, vaquette dengan antikoagulan heparin, styrofoam, kain saring, plastik, masker, sarung tangan karet, buret, bunsen, cawan, penjepit cawan, pipet volume, pipet tetes, pipet leukosit, batang pengaduk, termometer, hemositometer, corong, objek glass, gunting bedah, pinset anatomi dan fisiologis, suntikan, ose, sonde lambung, spatula, dan kertas saring bebas lemak Whatman no. 40.
Susu skim 5% (2 ose) (1 ose)
Pencampuran
Pasteurisasi T : 80 – 85oC, t : 15 menit
Pendinginan (T: 40 – 45oC)
Penambahan starter 3%, 4%, dan 5%
Inkubasi selama 5 jam, pada suhu 37oC selama 2 jam, dilanjukan pada suhu 42oC selama 3 jam
Minuman sinbiotik kacang hijau
Gambar 1.Diagram Proses Pembuatan Minuman Sinbiotik Kacang Hijau Metode yang digunakan untuk menghitung jumlah leukosit yaitu dengan menghisap darah kedalam pipet leukosit sampai pada garis tanda 0,5 tepat, kemudian menghapus kelebihan darah yang melekat pada ujung pipet, selanjutnya masukkan ujung pipet kedalam larutan TURK sambil mempertahankan darah tetap pada garis tadi, kemudian menghisap larutan TURK perlahan-lahan sampai garis tanda 11 tepat. Setelah itu pipet diangkat dari cairan, kemudian tutup ujung pipet dengan ujung jari, dan kocok pipet tadi selama 15-30 detik. Selanjutnya membuang semua cairan yang ada pada batang kapiler pipet (3 – 4 tetes) dan kemudian sentuhkan ujung pipet (sudut 30 derajat) dengan menyinggung pinggir kaca penutup pada kamar hitung (hemositometer). Biarkan kamar hitung yang sudah terisi tersebut selama 2-3 menit agar leukkosit-leukosit mengendap. Selanjutnya amati jumlah leukosit pada kamar hitung dengan menggunakan mikroskop. Hitung semua leukosit yang terdapat dalam keempat bidang besar pada sudut-sudut seluruh
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 207
ISBN 978-602-98902-1-1 permukaan yang dibagi. Mulai menghitung dari sudut kiri atas, kemudian ke kanan, lalu turun ke bawah dan dari kanan ke kiri dan seterusnya. Perhitungan jumlah leukosit adalah Jumlah sel yang terhitung x 50 (Gandasoebrata, 2007). Metode yang digunakan untuk perhitungan deferensiasi leukosit adalah dengan mengambil objek glass yang bersih, kemudian meletakan satu tetes darah disisi kanan, selanjutkan buat sediaan apus dengan menggeser darah yang telah diteteskan kearah sebelah kiri dengan sudut 45 derajat dengan menggunakan objek glass yang lain. Kemudian keringkan. Preparat yang baik adalah tipis, rata, tidak terputus-putus, ekor tidak boleh robek. Setelah itu, merendam peparat yang sudah kering dengan methanol 90%, selama 10 menit, kemudian difiksasi. Dilanjutkan dengan merendam preparat yang telah difixasi dalam larutan giemsa selama 15 menit. Selanjutnya mencuci preparat yang telah direndam larutan giemsa dengan air yang mengalir, lalu preparat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di udara. Yang terkahir adalah mengamati preparat dengan menggunakan mikroskop, hitung leukosit yang terlihat hingga jumlahnya mencapai 100 (Djojosoebagio, 1989 dikutip Wattiheluw, 2007). Metode yang digunakan untuk menghitung jumlah total bakteri dalam feses adalah metode agar tuang. Dengan cara yaitu pengenceran dilakukan dari 10-1 sampai 10-4. Untuk mendapatkan pengenceran 10-1 diambil 1 ml stok sampel dicampur dengan 9 ml NaCl Fis. Untuk mendapatkan pengenceran 10-2 diambil 1 ml dari masing- masing pengenceran 10-1 dan seterusnya sehingga mendapatkan pengenceran 10-6. Selanjutnya untuk menghitung jumlah total bakteri asam laktat pengenceran 10-2 sampai 10-4 dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian ditambahkan MRS Agar sebanyak 15-20 ml. Setelah agar beku, cawan dibungkus kemudian diinkubasi selama 2 x 24 jam dengan suhu 370C di dalam inkubator, setelah koloni tumbuh dihitung dengan coloni counter (Fardiaz, 1989). Menurut Cappucino and Sherman (1987) dikutip Wulandari,S., Sayuti, I., dan Asnaini (2005), jumlah bakteri dapat dihitung dengan rumus: Jumlah Bakteri
=
Jumlah x koloni
1 Jumlah pengenceran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2. pH minuman Sinbiotik Kacang Hijau Perbedaan pH terjadi karena penambahan konsentrasi starter yang berbeda. Semakin tinggi konsentrasi starter yang ditambahkan, dengan lama inkubasi yang sama, maka semakin rendah pH minuman yang dihasilkan. Jumlah asam laktat dan pH memiliki hubungan yang erat dengan peningkatan jumlah bakteri asam laktat, yaitu meningkatnya jumlah bakteri asam laktat diikuti dengan peningkatan aktivitas metabolisme sehingga produksi asam laktat semakin meningkat sedangkan nilai pH menurun. Secara keseluruhan, nilai pH dari minuman sinbiotik kacang hijau yang diuji memenuhi kriteria nilai pH minuman sinbiotik yang dianjurkan, yaitu 5,0-5,5. Pada pH < 5.0 oligosakarida yang terkandung dalam sari kacang hijau tersebut akan terhidrolisis menjadi monomer gula sederhana seperti monosakarida, sehingga akan menghilangkan efek fungsional/prebiotiknya (MacFarlane, 2010). Helferich dan Wethoff (1980) dikutip Sulaiman (2009) menyatakan bahwa asam yang berperan dalam menentukan keasaman yoghurt adalah asam laktat. Asam laktat merupakan asam yang mudah terdisosiasi membentuk ion H+ dan ion CH3CHOHCOO-. Konsentrasi ion H+ sangat menentukan nilai pH sehigga semakin tinggi konsentrasi asam laktat maka semakin tinggi pula konsetrasi ion H+ yang berarti nilai pH semakin menurun. Jumlah Leukosit Berdasarkan perhitungan terhadap jumlah leukosit pada hewan percobaan yang diberi perlakuan, dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa hewan percobaan yang diberi minuman sinbiotik kacang hijau dengan konsentrasi starter 3% memiliki jumlah leukosit yang paling tinggi, yaitu 12.750/mm3 dan jumlah leukosit paling rendah dimiliki oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan kontrol negatif (-), yaitu 7.092/mm3.
Nilai pH
Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai pH minuman sinbiotik kacang hijau, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2 diketahui bahwa minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter sebanyak 3% (v/v) memiliki nilai pH paling tinggi yaitu 5,22, diikuti oleh minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 4% (v/v) dengan nilai 5,14, dan minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 5% (v/v) yaitu 5,02.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 208
ISBN 978-602-98902-1-1 Gambar 3. Diagram Batang Jumlah Leukosit Hewan Percobaan Sel darah putih (leukosit) merupakan komponen darah yang berperan dalam memerangi infeksi. Jumlah normal dari sel darah putih pada tikus putih adalah sekitar 6,6 – 12,6 (×103/mm3) (Mitruka dan Rawnsley, 1981 dikutip Febriyantho dan Wisnubroto, 2009). Setiap individu memiliki jumlah leukosit yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan fisiologis masing-masing individu yang meliputi umur, jenis kelamin, spesies, iklim, dan kondisi lingkungan (Titik, 2008). Peningkatan jumlah leukosit dari batas normal atau disebut juga leukositosis, sedangkan jumlah leukosit yang berada di bawah batas normal atau penurunan jumlah leukosit disebut juga leukopenia. Berdasarkan perlakuan minuman sinbiotik yang diberikan, dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa hewan percobaan yang diberi perlakuan kontrol (-) adalah hewan percobaan yang memiliki jumlah leukosit terbaik, yaitu sebanyak 7.092/mm3. Hal ini dipilih dikarenakan jumlah leukositnya yang mendekati batas bawah jumlah leukosit tikus normal yaitu 6.600/mm3. Diikuti oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik dengan starter 4%, kontrol (+), dan minuman sinbiotik dengan starter 5%. Diferensiasi Leukosit Berdasarkan perhitungan terhadap diferensiasi leukosit pada hewan percobaan, dapat dilihat bahwa jenis leukosit yang paling banyak dimiliki oleh hewan percobaan adalah limfosit, yaitu sekitar 69% - 74%, sedangkan yang paling sedikit dimiliki oleh hewan percobaan adalah basofil dan neutrofil batang, yaitu 0%. Neutrofil batang atau disebut juga neutrofil pita adalah neutrofil yang belum matang atau belum dewasa, sedangkan neutrofil bersegmen adalah neutrofil yang sudah dewasa. Diagram rata-rata diferensiasi leukosit dari hewan percobaan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Batang Deferensiaisi Leukosit Hewan Percobaan Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah limfosit yang paling banyak dimiliki oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau dengan konsentrasi starter 5% yaitu 74%, diikuti oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik dengan starter 4%, kontrol -, dan kontrol +, sedangkan hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau dengan starter 3% memiliki
jumlah limfosit yang paling kecil, yaitu 69%. Tetapi, jumlah limfosit tersebut masih berada di dalam batas normal. Jenis leukosit yang paling sedikit dimiliki oleh hewan percobaan adalah basofil dan neutrofil batang, yaitu 0%. Pada jenis neutrofil bersegmen, jumlah yang dimiliki oleh hewan percobaan adalah sekitar 15% - 27%. Jumlah ini melebihi batas normal neutrofil pada tikus normal. Peningkatan neutrofil atau neutrofilia dapat terjadi sesaat sesudah stres, latihan berat (Jain, 1986 dikutip Febriyantho dan Wisnubroto, 2009) serta disebabkan infeksi bakteri (Faris, 2010). Peningkatan neutrofil yang paling tinggi dialami oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik dengan penambahan starter 3%. Pada jenis leukosit monosit, jumlah yang dimiliki hewan percobaan sekitar 3% - 10%. Jumlah ini melebihi batas normal monosit pada tikus normal. Peningkatan monosit yang paling tinggi dialami oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik dengan penambahan starter 5%. Peningkatan monosit dapat terjadi karena leukemia monositik, dan infeksi bakteri (Mitruka dan Rawnsley, 1981 dikutip Febriyantho dan Wisnubroto, 2009). Pada jenis leukosit eosinofil, jumlah yang dimiliki hewan percobaan sekitar 1% - 2%. Jumlah ini melebihi batas normal eosinofil pada tikus normal. Peningkatan eosinofil yang paling tinggi dialami oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan kontrol (+). Eosinofilia atau kelebihan eosinofil disebabkan oleh alergi, hipersensitivitas terhadap obat, infeksi parasit, infeksi virus, keganasan, dan kelainan kulit. (Faris, 2010). Kelebihan jumlah eosinofil ini tidak terlalu banyak dari batas normal. Pada Gambar 4 terlihat bahwa hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik dengan starter 3% memiliki jumlah limfosit yang paling rendah, jumlah neutrofil yang terlalu tinggi, serta jumlah monosit dan eosinofil yang diatas normal. Hal ini yang menyebabkan jumlah leukosit dari hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau dengan starter 3% melebihi batas normal. Peningkatan jumlah leukosit ini dapat disebabkan karena adanya infeksi bakteri dan stres yang berlebih. Pada minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 4%, jumlah limfosit yang dimiliki adalah 73%. Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi kedua, hal ini dinilai baik karena jumlah dari limfosit tersebut masih berada dibatas normal. Jumlah neutrofil yang dimiliki oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik dengan starter 4% yaitu 20%, jumlah tersebut merupakan jumlah terendah kedua, hal ini juga dinilai cukup baik karena mengarah ke batas normal. Jumlah monosit dan eosinofil yang dimiliki hewan percobaan tersebut berada diatas batas normal. Dengan melihat hasil diferensiasi leukosit tersebut, maka wajar jika jumlah leukosit yang dimiliki hewan percobaan ini masih berada dalam batas normal, yaitu 9.500/mm3. Pada minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 5%, jumlah limfosit yang dimiliki adalah 74%. Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi dibandingkan dengan hewan percobaan lain, hal ini dinilai baik karena jumlah dari limfosit tersebut masih berada dibatas normal, dan cukup untuk membangun sistem imun yang kuat. Jumlah neutrofil yang dimiliki oleh hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau dengan starter 5% yaitu 15%, jumlah tersebut merupakan jumlah terendah, hal ini juga dinilai cukup baik karena mengarah ke batas normal. Jumlah monosit dan eosinofil yang dimiliki hewan percobaan tersebut berada diatas
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 209
ISBN 978-602-98902-1-1 batas normal, bahkan untuk jumlah monosit, hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau dengan starter 5% memiliki jumlah yang paling tinggi, yaitu 10%. Hal ini berpengaruh terhadap jumlah leukosit yang dihasilkan, yaitu 11.750/mm3. Jumlah ini masih berada dalam batas normal, namun mendekati batas atas normal. Pada kontrol (-), jumlah leukosit yang dimiliki hewan percobaan memiliki jumlah yang paling rendah, hal ini karena jumlah limfosit yang dimilikinya baik, yaitu 73%. Tetapi, jumlah dari neutrofil yang dimilikinya cukup tinggi, yaitu 22%, sedangkan jumlah monosit dan eosinofil yang dimiliki hewan percobaan tersebut berada diatas normal, namun tidak terlalu jauh. Pada kontrol (+), jumlah limfosit yang dimiliki hewan percobaan cukup baik, yaitu 72%. Tetapi, jumlah eosinofil yang dimilikinya merupakan jumlah tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain, sedangkan jumlah monosit dan eosinofil yang dimilikinya berada diatas normal, namun mengarah kebatas normal. Hal ini cukup berpengaruh pada jumlah leukosit yang diperoleh, yaitu 9.750/mm3.
di dalam saluran pencernaan. Menurut Surono (2004), di dalam lambung terdapat Lactobacillus sebanyak 0-103 CFU/g atau per ml, dan Bifidobacterium sebanyak 0-102 CFU/g atau per ml. Bakteri yang dapat hidup di dalam lambung hanyalah bakteribakteri yang tahan asam, karena dalam rongga lambung yang kosong, memiliki pH 3,0 sampai 3,5 (Winarno, dkk, 2003). Di dalam usus halus Lactobacillus yang hidup sebanyak 102-105 CFU/g atau per ml, dan Bifidobacterium sebanyak 103-1011 CFU/g atau per ml (Surono, 2004). Menurut Gorbach, dkk. (1967); Drasar dan Hill, (1974) dikutip Suryadjaja (2005) dilaporkan bahwa di usus halus mengandung Lactobacillus 102105 CFU/g atau per ml dan di dalam kolon atau usus besar terdapat Lactobacillus yang hidup sebanyak 104-109 CFU/g. Selanjutnya menurut Surono (2004), Bifidobacterium yang hidup didalam usus besar sebanyak 108-1011 CFU/g atau per ml. Minuman sinbiotik kacang hijau yang dihasilkan pun memiliki kualitas yang cukup baik, hal ini terlihat pada Gambar 6 bahwa jumlah total bakteri asam laktat yang ada tidak mengalami penurunan atau pengurangan yang drastis.
Total Bakteri Asam Laktat Pada Feses Hasil perhitungan total bakteri asam laktat diperoleh rata-rata 1,05x105 CFU/g feses untuk perlakuan kontrol negatif (-), dan 1,73x106 CFU/g feses untuk perlakuan kontrol positif (+). Pada perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau diperoleh rata-rata 1,7x106 CFU/g feses untuk penambahan starter 3%, 1,9x106 CFU/g feses untuk penambahan starter 4%, dan 6,9x105 CFU/g feses untuk penambahan starter 5% seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 6. Diagram Batang Total Bakteri Asam Laktat Minuman Sinbiotik Kacang Hijau (dalam log10)
Gambar 5. Diagram Batang Total Bakteri Asam Laktat Hewan Percobaan (dalam log10) Pada Gambar 5 dapat dilihat, bahwa jumlah total bakteri asam laktat dari feses hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan kontrol negatif (-), dan memiliki jumlah yang hampir sama dengan kontrol positif (+). Bahkan pada feses hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 4% memiliki jumlah bakteri asam laktat lebih banyak dibandingkan kontrol positif (+). Pada hewan percobaan yang diberi perlakuan minuman sinbiotik kacang hijau dengan starter 4% pun memiliki jumlah leukosit yang baik, yaitu 9.500/mm3. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri probiotik yang terdapat dalam minuman sinbiotik kacang hijau mampu menjaga sistem imunitas di dalam tubuh tetap baik. Kisaran jumlah total bakteri asam laktat tersebut menunjukkan bahwa bakteri probiotik mampu bertahan hidup
Pengamatan Penunjang Analisis penunjang dilakukan pada sampel yang dianggap lebih baik dibandingkan minuman probiotik komersial, yang dipilih berdasarkan nilai pH minuman sinbiotik kacang hijau, jumlah dan diferensiasi leukosit pada hewan percobaan, dan total bakteri asam laktat pada feses hewan percobaan. Berdasarkan kriteria tersebut, maka sampel terbaik adalah minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 4%. Analisis Sifat Kimia Minuman Sinbiotik Kacang Hijau Dengan Konsentrasi Starter 4% Tabel 2. Hasil Analisis Sifat Kimia Komponen Kimia Kadar air Kadar lemak Kadar protein
Hasil Analisis 94,01 % 0,55 % 0,78%
Kadar serat pangan total
0,56 %
Total Asam Tertitrasi
0,30 %
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 210
ISBN 978-602-98902-1-1 Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat dalam minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 4% adalah 94,01%. Nilai yang diperoleh ini cukup besar karena dalam pembuatan minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 4% digunakan air sebanyak 7 bagian dari jumlah kacang hijau yang digunakan. Nilai kadar air ini juga menunjukkan bahwa total padatan yang terdapat dalam minuman ini sebesar 5,99%. Total padatan akan memengaruhi dalam pembentukkan tekstur dan kekentalan dari minuman sinbiotik. Kadar lemak yang terkandung adalah 0,55% dan kadar protein 0,78 %. Lemak pada minuman fermentasi memberikan efek yang signifikan pula terhadap tekstur yang dihasilkan, sedangkan protein berpengaruh terhadap viskositas yang dihasilkan. Menurut Triyono (2010), semakin tinggi kadar protein dalam yoghurt maka kekentalan akan semakin tinggi juga. Kadar serat pangan total yang terkandung sebesar 0,56%, menunjukkan bahan yang tidak akan tercerna oleh saluran pencernaan manusia. Kandungan serat pangan total menunjukkan bahan oligosakarida, hemiselulosa dan selulosa yang tersisa pada bahan. Oligosakarida yang tersisa akan menjadi bahan prebiotik bagi tubuh, kandungan oligosakarida diharapkan lebih tinggi karena sifatnya yang larut air sehingga diharapkan masih banyak terdapat dalam minuman sinbiotik kacang hijau. Kandungan oligosakarida pada kacang hijau terdiri dari rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai total asam tertitrasi dari minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan starter 4% adalah 0,3%. Menurut Supriadi (2003), total asam tertitrasi merupakan pengukuran untuk semua komponen asam, baik yang terdisosiasi maupun yang tidak terdisosiasi. Hasil pengukuran total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam laktat. Asam laktat sebagai produk utama yogurt merupakan asam yang mudah terdisosiasi membentuk ion H+ dan ion CH3CHOHCOO-. Analisis Sifat Fisik Minuman Sinbiotik Kacang Hijau Dengan Konsentrasi Starter 4% Tabel 3. Hasil Analisis Sifat Fisik Karakteristik Hasil Pengukuran 9 centiPoise L* : 60,11 Warna a* : - 5,43 b* : 1,70 Hasil pengukuran menunjukkan bahwa viskositas yang dimiliki oleh minuman sinbiotik kacang hijau 4% adalah agak cair. Hal ini dapat dapat dilihat dari hasil pengukurannya dan juga dari spindel yang digunakannya. Semakin tinggi nilai spindel, maka produk yang dihasilkan semakin kental. Dalam pengukuran viskositas minuman sinbiotik kacang hijau, spindel yang digunakan adalah L1 dengan kecepatan 200 rpm. Kekentalan ini juga dipengaruhi oleh kandungan protein yang terdapat dalam minuman sinbiotik kacang hijau. Menurut Triyono (2010), semakin banyak penambahan susu skim dalam pembuatan yoghurt kacang hijau, maka semakin tinggi kadar protein yang dihasilkan, dan kandungan padatannya pun semakin banyak, sehingga viskositas akan semakin kental. Kandungan protein yang dimiliki minuman sinbiotik kacang hijau tidak terlalu tinggi, yaitu
hanya 0,78%, sehingga viskositas yang dihasilkannya pun tidak terlalu kental. Warna yang dihasilkan pada produk minuman sinbiotik kacang hijau, berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan alat kromameter, dengan penentuan warna berdasarkan sistem CIE L*a*b*, maka diperoleh nilai kecerahan cenderung putih, memiliki warna cenderung kehijauan dan kekuningan. Warna yang tidak cerah dikarenakan adanya penambahan susu skim dalam pembuatan minuman sinbiotik kacang hijau, sedangkan warna kehijauan dan kekuningan didapat dari warna kacang hijau itu sendiri. KESIMPULAN Kesimpulan 1. Minuman sinbiotik kacang hijau mampu menjaga sistem imunitas di dalam tubuh, dilihat dari nilai pH yang berada pada kisaran 5,0 – 5,5, jumlah leukosit pada kisaran 6,6 – 12,6 (x103/mm3), diferensiasi leukosit dengan rincian jumlah neutrofil 15-27%, eosinofil 1-2%, basofil 0,0 %, limfosit 6974%, dan monosit 3-10%, serta jumlah total bakteri asam laktat pada feses hewan percobaan yang mendekati minuman probiotik komersial. 2. Minuman sinbiotik kacang hijau dengan penambahan konsentrasi starter 4% dianggap lebih baik dibandingkan minuman probiotik komersial dengan jumlah bakteri asam laktat yang terkandung dalam feses 1,9x106 CFU/g, jumlah leukosit 9.500/mm3, dengan jumlah deferensiasi leukosit yang cukup baik, yaitu limfosit 73%, neutrofil 20%, eosinofil 1%, monosit 6%, dan basofil 0%. Saran
Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan memberi perlakuan pendahuluan yaitu mencekoki hewan percobaan dengan bakteri patogen agar dapat terlihat kefektifan dari minuman sinbiotik kacang hijau dalam menekan jumlah bakteri patogen. Selain itu, sebaiknya dilakukan pengamatan secara berkala terhadap feses tikus, agar diperoleh data yang lebih baik. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Rektor Unpad dan Dikti yang membiayai penelitian yang merupakan bagian penelitian Program Hibah Penelitian Stategis Nasional 2010.
Viskositas
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2009. Kacang Hijau.Availabel at: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?eng=0 (Diakses : 18 September 2010) Fardiaz, D. 1989. Analisis Pangan, Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Faris.
2010. Leukositosis. Available at : http://smartpatient.wordpress.com/2010/02/13/leukositosi s/ (Diakses : 19 Januari 2011) Febriyantho, D dan wisnubroto, A.P. 2009. Efek Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap gambaran leukosit Tikus (Rattus norvegicus) Diabetik Karena Aloksan. Available at : http://www.scribd.com/doc/14117567/EFEK-Virgin-
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 211
ISBN 978-602-98902-1-1 Coconut-Oil-VCO-TERHADAP-GAMBARANLEUKOSIT-TIKUS-Rattus-norvegicus-DIABETIKKARENA-ALOKSAN (diakses 19 November 2010) Gandasoebrata,R. 2007. Penuntun Laboratorium Klinik. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta. Available at :http://analislaboratoriumkesehatan.blogspot.com/2010/ 09/menghitung-sel-sel-darah.html (Diakses : 24 Oktober 2010) MacFarlane, S. 2010. Characteristic of A Healthy Colonic Microbiota and Its Modulation With Prebiotics. Indonesian Scientific Society For Probiotics and Prebiotics. Jakarta. Marzuki, A.R. dan Soeprapto, H.S. 2001. Bertanam Kacang Hijau. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Merina,L. 2009. Kajian Proses Pengolahan Kacang Hijau (Vigna radiata L.) (Dikupas dan Tidak Dikupas) terhadap Kandungan Kalsium dan Beberapa Karakteristik Yoghurt Kacang Hijau Sinbiotik. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pangan. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Pustaka, K. B. A. 2003. Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Konsentrasi Starter Terhadap Sifat Fisiko Kimia dan Organoleptik Soyghurt. Available at : http://digilib.unej.ac.id (Diakses : 17 November 2010). Salminen, S. and Von Wright A. 1998. Lactic Acid Bacteria. Microbiology and Functional Aspects. Second Edition : Marcel Decker Inc. New York. ____________________________. 1993. Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker, Inc., New York.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Titik, A. 2008. Laju Digesti Pada Ikan Lele (Clarias batracus). Laporan Praktikum Fisiologi Hewan I. Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwekorto. Available at : http://aprianatitik.wordpress.com/arsip/ (Diakses : 11 Januari 2011) Triyono, A. 2010. Mempelajari Pengaruh Maltodekstrin dan Susu Skim Terhadap Karakteristik Yoghurt Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.). Seminar Nasional Rekayasa dan Proses. Available at : http://eprints.undip.ac.id/22692/ Wattiheluw, M.J. 2007. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit, Kandungan Fe, Zn, dan Hormon Testosteron dalam Plasma Burung Perkutut (Geopelia striata L.). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Available at: http://www.damandiri.or.id/cetakartikel.php?id=533 (Diakses : 24 Oktober 2010) Winarno, F.G., Wida W. Ahnan, dan W. Widjajanto. 2003. Flora Usus dan Yoghurt. M-Brio Press, Bogor. (Diakses : 24 Oktober 2010) Wulandari,S., Sayuti, I., dan Asnaini. 2005. Analisis Mikrobiologi Produk Ikan Kaleng (Sardines) Kemasan Dalam Limit Waktu Tertentu (Expire). Jurnal Biogenesis Vol. 2(1):3035, 2005. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau. Riau. Available at : http://biologifkip.unri.ac.id/karya.../7%20wulan-ANALISIS%203035.pdf. (Diakses : 25 November 2010)
Sulaiman, A.S.N. 2009. Pengaruh Konsentrasi Gelatin Terhadap Beberapa Karakteristik Yogurt Kacang Hijau Sinbiotik. Skripsi Fakultas Teknologi Industri Pangan. Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Supangkat, S. dan Ace, I. S. 2006. Pengaruh Konsentrasi Starter Terhadap Karakteristik Yoghurt. Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 1. No. 1, Mei 2006. (Diakses : 17 Available at : http://sttp-bogor.ac.id November 2010) Supriadi, Y. 2003. Pembuatan Soygurt Sinbiotik Dengan Menggunakan Kultur Campuran Bifidobacterium bifidum, Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus casei galur Shirota. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT. Tri Cipta Karya, Jakarta. Suryadjaja. 2005. Potensi Ubi Jalar putih dan Merah (Ipomoea batatas L.) Untuk Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat dan Menekan Pertumbuhan Bakteri Patogen. Skripsi.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 212
ISBN 978-602-98902-1-1
Optimasi Kadar VCO dan Madu Pada Pengolahan Produk Minuman Kesehatan Berenergi VCOMadu-Ginseng (VARIATION OF VCO AND HONEY CONTENT ON VCO-HONEY-GINSENG ENERGY HEALTHY DRINK PRODUCTION) 1Departement
Feti Fatimah
of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Science , Sam Ratulangi University, Manado.
ABSTRACT Energy is used to run body function, muscle activity and human growth. Anathlete and heavy workerfulfill their energy demand byconsume non-steroid energy drink as alternative. The aim of this research is to develop new product become a non-steroid energy drink, healthy and safe to be consume. Thus the highest energy source is from carbohydrate and lipids, then this energy drink use non artificial/natural raw materials such as Virgin Coconut Oil (VCO), honey and gingseng. VCO-honey-ginseng drink is in emulsion form. This research use variation of VCO and honey content and its effects on VCO-honey-ginseng drink quality. Product quality was determined by its viscosity and emulsion droplet size. The result shows that there are relation between VCO and honey content with product quality. The increasing of VCO and honey content will increase product viscosity and decrease emulsion droplet size. Product with VCO content 20-30% and honey content 10-35% yieldgood quality product that has droplet size under 3 µm and viscosity under 30 dpa-s. Keywords : Virgin Coconut Oil, honey, ginseng, energy drink, emulsion
PENDAHULUAN Dewasa ini, minuman berenergi sangat marak beredar, tetapi minuman tersebut tidak mengandalkan karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi. Menurut Saputro (2007), kesegaran yang dihasilkan oleh minuman berenergi yang sekarang beredar di pasaran ditimbulkan oleh 2 komponen dominan yaitu kafein dan taurin. Dampak langsung setelah mengkonsumsi kafein adalah peningkatan aktifitas mental dan tetap terjaga atau bangun, tidak begitu merasa lelah, daya fikir lebih cepat, tetapi terdapat pengurangan kemampuan untuk berpikir. Bahkan pada beberapa penelitian juga diketahui bahwa terdapat hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian infark miokard akut (serangan jantung mendadak). Dampak negatif lain dari kafein adalah: insomia, gelisah, tremor dan diuresis. Zat aktif lain yang terdapat dalam minuman berenergi adalah taurin. Taurin adalah molekul asam amino yang mengandung gugus amino tapi tidak memiliki gugus karboksil yang diperlukan untuk membentuk ikatan peptida. Taurin ditemukan dalam susu murni, telur, ikan, tiram dan kacang-kacangan. Meskipun banyak laporan tentang manfaat kesehatan taurin seperti: mempunyai peran sebagai antioksidan in vivo (Aurora et al., 1988), menurunkan berat badan (Yamazaki dan Takemasa, 1998) serta mencegah penyakit epilepsi, penurunan fungsi retina dan mencegah hepatitis (Gupta, 2004). Tetapi bila taurin dikonsumsi secara berlebihan, maka taurin juga dapat merelaksasi otak sehingga kita bisa menjadi lamban dan pelupa (Killic and Yildirim, 1998). Berdasarkan permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini dikembangkan minuman berenergi alternatif yang sehat, yaitu minuman yang dibuat dari bahan dasar VCO, madu dan Ginseng. Berbeda dari minyak kopra (Copra oil/CO) yang pada umumnya digunakan sebagai minyak goreng, VCO lebih diperuntukkan untuk dikonsumsi sebagai nutraceutical. Menurut Nevin dan Rajamohan (2004), VCO mempunyai manfaat kesehatan yang lebih tinggi dari pada CO dikarenakan perbedaan metode ekstraksinya yakni tidak mengandung
bahan kimia dan perlakuan panas. Oleh karena itu, VCO telah diklaim sebagai bahan pangan fungsional (Marina et al., 2009). Berbagai peran kesehatan VCO telah banyak dilaporkan. Menurut Enig (2000), Fife (2005), Mohamed et al., (2002), dan Sutarmi dan Rozaline (2002), asam laurat merupakan salah satu virus-‘inactivating’ fatty acid yang terbaik, terutama monogliseridanya (monolaurin). Santoz et al., (2005) menyatakan bahwa VCO juga dapat membantu mengurangi kelengketan platelet, menstimulasi metabolisme, mencegah terjadinya serangan jantung, mengurangi radikal bebas dalam sel serta mempunyai peran sebagai antioksidan sebaik vitamin E. Lebih lanjut Nevin dan Rajamohan (2004) serta Fatimah dan Rindengan (2011) menyatakan bahwa VCO dapat mereduksi total kolesterol, trigliserida, pospolipid, kolesterol LDL, dan VLDL serta menaikkan kolesterol HDL dalam serum serta jaringan. Penggunaan VCO secara signifikan dilaporkan mempunyai efek antitrombotik lebih baik dibandingkan dengan CO (Nevin dan Rajamohan, 2008). Sehubungan dengan perannya sebagai penghasil energi, VCO dilaporkan mengandung triasilgliserol rantai sedang (medium chain triacyl glicerol/ MCT) khususnya laurin yang mempunyai koefisien digestibiliy maksimum sehingga komponen ini lebih cepat dicerna dari pada lemak jenis lain. Hal ini disebabkan MCT mempunyai ukuran lebih kecil dari pada LCT (long chain triacylglicerols) yang dapat memfasilitasi aksi enzim lipase pankreas sehingga akan terhidrolisis lebih cepat dan lebih sempurna dari lemak-lemak yang lainnya. Oleh karena itu, VCO lebih cepat diabsorbsi tubuh dan lebih cepat cepat menghasilkan energi (mempunyai efek termogenik tinggi) (Oopik et al., 2004). Dari uraian di atas, maka diketahui begitu besarnya manfaat kesehatan dari VCO, meskipun demikian, VCO belum banyak diminati masyarakat. Menurut Villarino et al. (2007), VCO memiliki cita rasa yang menyerupai minyak kelapa (CO) tetapi berasa agak asam. Oleh karenanya, harus ada teknologi pengolahan produk lain yang diolah dari bahan dasar VCO agar dapat meningkatkan penerimaan konsumen. Oleh karena itu, maka pengembangan minuman berenergi dengan menggunakan bahan dasar VCO adalah sangat tepat guna mendapatkan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 213
ISBN 978-602-98902-1-1
METODOLOGI 1. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: VCO diperoleh dari industri di Manado, madu komersial, ekstrak ginseng komersial, emulsifier polioksietilena sorbitan tristearat dari Merck. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: WiseTis homogenizer, 1 set alat mikroskop Olympus DP 12 dilengkapi dengan kamera Olympus Bx 51 serta 1 set alat Viscometer RION CO LTD Japan seri VT.04. 2.
Metoda Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Prosedur pembuatan minuman berenergi VCO-Madu-ginseng berbentuk emulsi dilakukan seperti pada penelitian sebelumnya (Fatimah, 2005). Jenis emulsifier yang digunakan adalah polioksietilena sorbitan tristearat sebesar 1%. Pada formula awal digunakan VCO dengan kadar 25% dan madu 25%, sisanya adalah air distilasi. Fasa air (campuran air dan madu) dan fasa minyak (campuran VCO dan emulsifier) dicampur menggunakan homogenizer pada 10.000 rpm dalam waktu 10 menit. Produk yang dihasilkan selanjutnya dilakukan penentuan viskositas menggunakan viscometer dan droplet emulsi diukur dengan mikroskop Olympus DP 12 dilengkapi yang dengan kamera. Formula selanjutnya dilakukan dengan variasi kadar VCO dan madu. Pada penelitian ini masingmasing formula dibuat dan dianálisis sebanyak 3 kali ulangan. Hubungan antara kadar madu/VCO dan viskositas diketahui dengan melakukan uji korelasi. Untuk mengetahui tingkat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji Anova dengan SPSS 17. Kegiatan pengolahan produk minuman berenergi VCOMadu dilaksanakan di laboratorium kimia FMIPA Universitas Sam Ratulangi, sedangkan uji viskositas dilakukan di laboratorium Rekayasa dan Gizi Fak.Teknologi Pertanian UGM dan pembuatan foto droplet emulsi dilakukan di laboratorium anatomi FKH UGM.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh Kadar VCO terhadap Viskositas produk Viskositas minuman bervariasi antara 1,5 hingga 31,6 poise. Dikarenakan peningkatan viskositas pada produk minuman pada umumnya tidak disukai (Lyly et al., 2010), maka perlu dilakukan pemilihan kadar VCO agar menghasilkan produk minuman emulsi VCO-madu-ginseng dengan viskositas rendah namun memiliki stabilitas emulsi yang baik. Pada penelitian sebelumnya, telah dilakukan penelitian tentang pengolahan VCO menjadi beberapa produk turunan yaitu: emulsi VCO-sari buah (Fatimah et al., 2009), salad dressing (Fatimah and Gugule, 2011) serta pada produk emulsi VCO-madu (Fatimah et al., in press). Menurut Fatimah et al. (2009), produk emulsi VCO-sari buah paling optimal pada kadar VCO 25%, diatas kadar tersebut, maka produk emulsi sangat kental dan kurang disukai sebagai minuman. Pada pengolahan produk emulsi VCO-madu diketahui bahwa kadar VCO 30% (dengan kadar madu 20%) merupakan merupakan kadar maksimal untuk menghasilkan produk dengan viskositas cukup rendah yakni 24 poise (Fatimah et al., in press). Viskositas produk emulsi VCO-madu-ginseng pada beberapa variasi kadar VCO disajikan pada tabel dan gambar 1. Tabel 1. Viskositas produk pada beberapa kadar VCO No. Kadar VCO Viskositas (%) (dpa-s) 1 20 14± 0,1a 2 25 20 ± 0,3b 3 30 25 ± 0,1c 4 35 31 ± 0,2d 5 40 35 ± 0,5e 6 45 40 ± 0,4f 7 50 45 ± 0,3g Catatan: Data dinyatakan dalam rata-rata ± SD dari 3 ulangan. Data dengan superscript huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05)
50 VISKOSITAS (dpa-s)
minuman berenergi yang sehat bahkan dapat berfungsi sebagai minuman fungsional. Penambahan madu dan ginseng diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai minuman kesehatan berenergi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi kadar VCO dan madu pada pengolahan produk minuman berenergi VCO-madu-ginseng serta pengaruhnya terhadap viskositas dan ukuran droplet emulsi yang berhubungan dengan stabilitas emulsi produk. Hubungan antara viskositas dan stabilitas emulsi telah dikemukakan oleh Raymundo et al. (2001). Dikatakan bahwa semakin kental suatu emulsi maka stabilitas emulsinya akan meningkat, tetapi adanya peningkatan viskositas pada produk minuman pada umumnya tidak disukai konsumen (Lyly et al., 2010). Berdasarkan hal tersebut, maka ruang lingkup penelitian ini adalah melakukan pemilihan kadar VCO dan madu pada beberapa variasi kadar guna mendapatkan produk minuman VCO-madu-ginseng yang berkualitas yakni produk dengan viskositas terendah namun mempunyai stabilitas emulsi yang baik. Diduga terdapat peningkatan viskositas dengan meningkatkan kadar VCO dan madu. Penentuan stabilitas emulsi akan dilakukan dengan cara melihat ukuran droplet emulsi yang dihasilkan.
40 30
y = 5.171x + 9.4 R² = 0.996
20 10 0 20
25
30
35
40
45
KADAR VCO (%)
Gambar 1. Hubungan antara kadar VCO dan viskositas produk Berdasarkan pada Tabel 1 diketahui adanya pengaruh kadar VCO terhadap viskositas produk. Pada Gambar 1 ditunjukkan adanya hubungan antar dua variabel dengan koefisien korelasi (r) 0,997. Peningkatan kadar VCO akan meningkatkan viskositas produk. Produk dengan viskositas dibawah 30 dpa-s adalah produk dengan kadar VCO 20-30%. 2.
Pengaruh Kadar Madu terhadap Viskositas produk Pada formula awal, digunakan kadar madu 25%. Penggunaan kadar madu 25% bertujuan untuk mendapatkan citarasa produk yang baik sehingga dapat menghilangkan rasa
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 214
ISBN 978-602-98902-1-1 oily dari VCO serta rasa pahit dari ginseng. Meskipun demikian, dalam penelitian ini juga dilakukan variasi kadar madu antara 10 hingga 35% guna melihat pengaruhnya terhadap viskositas dan stabilitas emulsi produk. Viskositas produk pada beberapa variasi kadar madu disajikan pada Table dan Gambar 2.
VISKOSITAS (dpa-s)
Tabel 2. Viskositas produk pada beberapa kadar madu No. Kadar madu Viskositas (%) (dpa-s) 1 10 8 ± 0,3a 2 15 11 ± 0,2b 3 20 14 ± 0,3c 4 25 20 ± 0,3d 5 30 23 ± 0,5e 6 35 25 ± 0,7f Catatan: Data dinyatakan dalam rata-rata ± SD dari 3 ulangan. Data dengan superscript huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05) 30 25 20 15 10 5 0
y = 3.628x + 4.133 R² = 0.981
10
15
20
25
30
25%
30%
35%
40%
45%
35
KADAR MADU (%)
Gambar 2. Hubungan antara kadar madu dan viskositas Tabel 1 menunjukkan adanya pengaruh pengaruh kadar madu terhadap viskositas produk. Dari Gambar 2 diketahui bahwa kenaikan kadar madu akan meningkatkan viskositas produk. Produk dengan variasi kadar madu 10 hingga 35% ( VCO 25%) memiliki viskositas dibawah 30 dpa-s. 3.
20%
Pengaruh kadar VCO terhadap ukuran droplet emulsi Kadar minyak dalam produk minuman harus ditentukan agar dapat menghasilkan tekstur yang baik dan emulsi stabil. Menurut Taherian et al. (2007), ukuran partikel minyak mempunyai peran yang sangat besar terhadap stabillitas emulsi. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam suatu produk minuman, ukuran partikel minyak dengan diameter 0,1 µm akan bergerak 100 kali lebih lambat dari pada partikel dengan diameter 1,0 µm. Oleh karena itu, stabilitas emulsi produk emulsi dapat ditingkatkan dengan mereduksi ukuran partikel minyak serta meningkatkan viskositas fasa air. Foto droplet emulsi produk VCO-madu-ginseng yang dibuat dari beberapa kadar VCO disajikan pada Gambar 3 dan ukuran droplet emulsinya disajikan pada tabel 3.
50% Gambar 3. Ukuran droplet emulsi produk dengan kadar VCO 20-50% Tabel 3. Ukuran droplet produk pada beberapa kadar VCO No. Kadar VCO Ukuran Droplet (%) (µm) 1 20 1,67 2 25 1,56 3 30 1,44 4 35 1,33 5 40 1,11 6 45 0,78 7 50 0,46 Berdasarkan data pada Gambar dan Tabel 3 diketahui bahwa peningkatan kadar VCO akan menurunkan ukuran droplet emulsi. Produk yang dibuat dengan kadar VCO 20-50% menghasilkan ukuran droplet VCO yang relatif lebih kecil (mempunyai ukuran 0,46-1,67 µm), dengan demikian produk dengan kadar VCO 20-50% merupakan produk emulsi yang stabil. Menurut Raymundo et al. (2001), terdapat hubungan antara viskositas dan stabilitas emulsi, semakin tinggi viskositas emulsi maka stabilitas emulsi akan meningkat. Sistem emulsi dengan ukuran droplet 5 µm bersifat cukup stabil apabila cairan mempunyai viskositas cukup tinggi. Berdasarkan data pada tabel 1 dan 3, maka diketahui bahwa peningkatan kadar VCO akan berpengaruh pada peningkatan viskositas dan penurunan ukuran droplet emulsi atau peningkatan stabilitas emulsi.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 215
ISBN 978-602-98902-1-1 Pada pembahasan sebelumnya dinyatakan bahwa produk emulsi yang disukai adalah yang mempunyai viskositas dibawah 30 dpa-s. Berdasarkan hal tersebut maka formula dengan kadar VCO 20-30% (dan kadar madu 25%) merupakan formula yang dipilih karena memiliki viskositas dibawah 30 dpa-s dan mempunyai ukuran droplet emulsi cukup rendah, yakni 1,44-1,67 µm. 4.
Pengaruh kadar madu terhadap ukuran droplet emulsi Madu mengandung beberapa komponen seperti karbohidrat 75%, mineral, vitamin, serta memiliki beberapa komponen antioksidan seperti quercetin dan asam askorbat (Sambodo, 2009). Adanya kandungan karbohidrat diduga dapat berperan sama seperti komponen hidrokoloid yakni terlibat pada sistem dispersi melalui adsorbsinya pada interfasa minyak-air. Menurut Tesch et al. (2002), komponen hidrokoloid mengandung bagian non polar dan polar. Selanjutnya dikatakan bahwa bagian non polar dari molekul berada pada droplet, sedangkan rantai yang bersifat hidrofilik menonjol pada fasa air dan melindungi droplet dengan mekanisme gaya tolakan sterik. Dengan demikian, diharapkan adanya peran karbohidrat dari madu dalam pembentukan serta stabilisasi emulsi. Foto droplet emulsi produk VCO-maduginseng yang dibuat dari beberapa kadar madu disajikan pada Gambar 4 dan ukuran droplet emulsinya disajikan pada tabel 4.
Berdasarkan pada Tabel 3 diketahui bahwa meningkatnya kadar madu akan diikuti dengan menurunnya ukuran droplet emulsi. Dengan demikian, terdapat peran karbohidrat dari madu dalam pembentukan serta stabilisasi emulsi. Dilihat dari ukuran droplet emulsi, maka produk dengan kadar madu 10-35% merupakan produk emulsi yang cukup stabil (mempunyai ukuran droplet 0,78-2,22 µm). KESIMPULAN Peningkatan kadar VCO 20-50% dan kadar madu 1035% akan meningkatkan viskositas dan stabilitas emulsi produk. Produk dengan kadar VCO 20-30% dengan kadar madu 10-35% mempunyai kualitas yang baik, yakni memiliki viskositas dibawah 30 dpa-s dan ukuran droplet emulsi dibawah 3 µm. UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan terima kasih kepada Kementrian Riset dan Teknologi yang telah mendanai penelitian ini melalui Program Insentif Terapan 2011.
DAFTAR PUSTAKA Aurora OI, Halliwell B, Hoey BM, Butler J. 1988. The Antioxidant action of taurine, hypotaurine and their metabolic precursor. J Biochem 56: 251-255. Enig, M.E. 2000. Know Your Fat:Complete Primer for Understanding the Nutrition Fat, Oils and Cholesterol. Bethesda Press.
10%
Feti Fatimah, Johnly Rorong, Sanusi Gugule. in Press. Stabilitas Dan Viskositas Produk Emulsi VCO-Madu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.
15%
Feti Fatimah dan Barlina Rindengan. 2011. Pengaruh Diet Emulsi Virgin Coconut Oil terhadap Profil Lipid Tikus Putih (Rattus Norvegicus), Jurnal Penelitian Tanaman Industri, Vol 1.No.1:1-40. 20%
30%
25%
Feti Fatimah, Sanusi Gugule, 2011, Kualitas Emulsi Salad Dressing Berbahan Dasar Virgin Coconut Oil, Jurnal Agritech, Juni. Fatimah, F., S.Gugule, B.Rindangen. 2009. Teknologi Pengolahan Produk Farmasi Turunan Virgin Coconut Oil (VCO emulsion Bercita Rasa Buah), Laporan Penelitian. Program Kerjasama Penelitian LEMLIT Universitas Sam Ratulangi Manado dan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain.
35%
Tabel 4. Ukuran droplet produk pada beberapa kadar madu No. Kadar madu Ukuran Droplet (%) (µm) 1 10 2,22 2 15 2,05 3 20 1,61 4 25 1,56 5 30 1,11 6 35 0,78
Fife B. 2005. Coconut Oil Miracle. PT Bhuana Ilmu Populer. Gramedia. Jakarta. Gupta RC. 2004. Taurine: Insurances of Sound health. Indian J. Pharmacol 36:5-333. Kilic, Z., Z.Yildirim. 2008. Effect of Taurine and Age on Liver Antioidant Status and Protein Oxidation, Turkish Journal of Biochemistry. 33 (4):169-174. Lyly M, Ohis N, Lahteenmaki L, Salmenkallio M, Liukkonen KH, Karhunen K, Poutanen K. 2010. The effect of fibre amount, energy level and viscosity of beverages
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 216
ISBN 978-602-98902-1-1 containing oat fibre supplement on perceived satiety. Food Nutrition Research 54: 1654-6628. Marina, A.M., Y.B.Che Man, I.Amin. 2009. Virgin Coconut oil: Emerging functional food oil, Trends in Food science & Technology. Volume 20:481-487. Mohamed AI, Hussein AS, Bathena SJ, Hafez YS. 2002. The Effect of Dietary Menhaden, Olive, and Coconut Oil Fed With Three Levels of Vitamin E on Plasma and Liver Lipids and Plasma Fatty Acid Composition in Rats. J Nutr.Biochem 13: 435-441. Nevin,K.G., T.Rajamohan. 2008. Influnce of virgin coconut oil on blood coagulation factor, lipid levels and LDL oxidation in cholesterol fed Sprague-Dawley rats. The European e-Journal of Clinical Nutrition and Metabolism. volume 3: 1-8. Nevin KG, Rajamohan T. 2004. Beneficial Effect of Virgin coconut oil on lipid parameters and in vitro LDL oxidation. J Clin.Biochem 37:830-835. Oopik V, Timpmann S, Medijainen L, Hemberg H. 2001. Effects of medium chain triglyceride ingestion on energy metabolism and endurance performance capacity in well-trained runners. Nutr.Res 21:11251135. Raymundo, A, Franco JM, Empis J, Sousa I. 2001. Optimatization of The composition of Low-fat Oil-inwater Emulsions Stabilized by White Lupin Protein. JAOCS Vol.79:8. Sambodo NW. 2009. Uji efek tonik madu Rambutan pada Mencit putih jantan dengan metode Natatory exhaustion. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhamadiyah Surakarta. Santoz RR, Laygo RC, Payawal DA. 2005. The Antioxidant Effect Of VCO on Lipid Peroxidation. Phil.J.internal Medicine 43:199-204. Saputro EN. 2007. Kandungan sakarin, Siklamat, kafein, taurin, dan zat gizi lain dalam minuman berenergi serta frekuensi konsumsi oleh supir angkutan kota di kecamatan Tembalang, Skripsi. Taherian AR, Fustier P, Britten M, Ramaswamy HS. 2007. Steady and dynamic shear rheological properties and stability of non-flocculated beverage emulsions. Int.J.food Properties. 10: 1-20. Tesch S, Gerhards C, Schubert H. Stabilization of emulsion by OSA strarches. 2002. J.Food Eng 54: 167-174. Villarino, B.J., L.M.Dy, C.Lizada. 2006. Descriptive sensory evaluation of virgin coconut oil and refined, bleached and deodorized cococnut oil. Food Science and Technology. volume 40: 193-199. Yamazaki, M., and M.Takemasa. 1998. Effect of Dietary Taurine on Egg Weight, Poultry Science. 77:10241026.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 217
ISBN 978-602-98902-1-1
Kajian Jumlah Stroberi Dan Variasi Ratio Adsorben Pada Pengemasan Aktif Stroberi (Fragaria ananassa) Var. California (Study The Effect Of The Amount Of Strawberry And Adsorbent Ratio Variations On The Packaging Aktive Of Strawberry (Fragaria ananassa) Var. California) Ina Siti Nurminabari 1)2), Yusep Ikrawan1), dan Nastiti Darmokusumo1) 1)
Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan Bandung 2) E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research is aiming to study the effect of the amount of strawberries and the ratio between KMnO4 and silica gel (as an absorbent) on active packaging for strawberries to be stored in room temperature. This research is expected to show how to longer preserve the freshness of strawberries stored in room temperature. The packaging technique is designed to be simple so that it can be easily applied by strawberry retailers. The research method is divided into preliminary and main research. The preliminary research includes an observation towards the decline of the quality of strawberries without packaging at a room temperature of 27°C. The observation is done towards colour, texture, and appearance of the strawberries. The next step of the preliminary research is the determination of the position of absorbent in strawberry active packaging system. Absorbent is placed beneath the strawberries, suspended above the strawberries and directly on top of the strawberries. The main research is done by observing the impact of the number of strawberries, namely 5, 10, and 15 respectively and the ratio between silica gel and KMnO4, namely 30:70, 50:50, and 70:30 on the active packaging system. Strawberry samples are then analyzed for vitamine C content and texture. The preliminary research has shown a decline in the quality of the strawberries into a stage of impassable for consumption after three days of storage. The best positioning of the absorbent is by suspending it above the strawberries. The main research has shown that the number of strawberries and the ratio between silica gel and KMnO4 have an impact on vitamine C content and texture of the fruits after four days of storage. The firmness grade of the strawberries rises during storage. The higher the grade, the more tender the fruits. The vitamine C content experiences a decline during storage. The best active packaging for strawberries is the a1b1 treatment with five strawberries and a ratio between silica gel and KMnO4 of 30:70. Key words: strawberry, active packaging, Adsorbent
PENDAHULUAN Stroberi merupakan buah-buahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Beberapa petani di Indonesia telah melakukan budi daya stroberi secara komersial dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat di daerah Bandung Selatan Jawa Barat, seperti di Ciwidey terdapat sekitar 15 ha, di Lembang 7 ha, dan di Garut 5 ha dengan populasi tanaman per hektar sekitar 50.000 tanaman. Prospek usaha stroberi sangat menjanjikan karena produksi buah yang sampai sekarang belum dapat memenuhi permintaan pasar ini memiliki harga jual yang cukup tinggi (Budiman, dkk, 2008). Stroberi begitu diminati dikarenakan kandungan vitamin C yang relatif tinggi yakni 60 mg per 100 gram. Vitamin C merupakan senyawa antioksidan, yang berperan sebagai pelindung tubuh dari radikal bebas, termasuk diantaranya sel kanker. Berdasarkan standard Amerika Serikat, bila mengkonsumsi delapan buah stroberi berukuran sedang dapat mencukupi 160% kebutuhan vitamin C per hari. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan sebutir jeruk (Budiman, dkk., 2008). Sayangnya stroberi tidak bisa bertahan lama karena sekali pun telah dipanen, stroberi tetap mengalami perubahan fisikokimiawi, diantaranya respirasi (Pantastico, 1997). Respirasi adalah suatu proses metabolisma memanfaatkan oksigen dalam pembakaran senyawa makromolekul menghasilkan CO2, air, dan energi (Winarno dan Aman, 1981). Respirasi berlangsung bila dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari sifat fisiokimia buah, seperti adanya etilen (Pantastico, 1997).
Produksi etilen akan meningkat apabila terjadi kematangan buah, kerusakan fisik, timbulnya penyakit, meningkatnya suhu menjadi 30°C, dan kekurangan air (water stress) (Kader, 1992). Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan buah sesudah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme dan oleh karena itu sering dianggap sebagai petunjuk mengenai potensi daya simpan buah. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai oleh umur simpan pendek. Hal itu juga merupakan petunjuk laju kemunduran mutu dan nilainya sebagai bahan makanan (Pantastico, 1997). Stroberi termasuk buah yang memiliki laju respirasi tinggi (50-100 mL dari CO2 per kg per jam pada suhu 20ºC) sehingga buah mudah rusak dengan sendirinya dalam waktu singkat, tanpa adanya patogen-patogen penyebab kebusukan (DeEll, 2006). Kerusakan stroberi pada umumnya diakibatkan oleh kerusakan fisik seperti luka akibat tekanan antarbuah karena ditumpuk terlalu banyak. Stroberi hanya dapat bertahan 5-7 hari bila disimpan pada suhu 0ºC dengan kelembaban nisbi 90-95%. Jika disimpan pada suhu ruang, buah stroberi hanya akan bertahan selama 3 hari (Kader, dkk., 2003). Penanganan pasca panen stroberi segar yang akan dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan pengemasan aktif (active packaging). Pengemasan aktif atau disebut juga pengemasan interaktif adalah teknik pengemasan karena adanya interaksi aktif antara kemasan dengan bahan pangan yang dikemas (Hendrayana, 2009). Pada pengemasan aktif biasanya kemasan mempunyai bahan penyerap O2 (oxygen scavangers), bahan penyerap atau penambah CO2, penyerap etilen, penyerap air, bahan antimikroba, heating/cooling, dan yang dapat mengeluarkan aroma/flavor serta pelindung cahaya
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 218
ISBN 978-602-98902-1-1 (photochromic) (Rooney, M.L., 1995). Dalam penelitian ini difokuskan pada bahan penyerap etilen dan penyerap uap air. Bahan penyerap etilen yang digunakan adalah kalium permanganat (KMnO4), sedangkan bahan penyerap uap air yang digunakan adalah silika gel. Menurut Abeles (1973) dalam Indrawati (2003), etilen dapat dioksidasi oleh kalium permanganat (KMnO4) dan diubah ke dalam bentuk etilen glikol dan mangan dioksida. Hasil penelitian Widodo (2007) menunjukkan KMnO4 bersifat efektif jika diberikan sampai sebanyak 200 mg KMnO4 per 368,59 g duku per 2064,59 cm3 ruang kemasan, yang mampu memperpanjang masa simpan buah duku dari 3 hari (tanpa kemasan) atau 5 hari (tanpa KMnO4 tetapi dalam chamber) menjadi 8,67 hari. Peningkatan pemberian KMnO4 melebihi 200 mg KMnO4 tidak mampu meningkatkan masa simpan buah duku. Bafdal dkk., (2007) menyatakan bahwa pada pengemasan aktif untuk mencegah penguningan brokoli (berdiameter 15 cm sebanyak 2 buah), KMnO4 yang digunakan sebanyak 10 gram diketahui brokoli mulai mengalami sedikit penguningan pada hari ke-9 selama penyimpanan pada suhu 10ºC ± 2ºC. Indrawati (2003) melakukan pengujian efektivitas bahan penyerap etilen terhadap penyerapan etilen yang dihasilkan buah pisang. Diketahui bahan penyerap etilen belum optimum untuk menunda kemasakan buah pisang karena hanya menggunakan 3 gram bahan penyerap etilen untuk tiga buah pisang yang disimpan dalam toples. Hasil penelitian Kurniawan (2008) menunjukkan bahan penyerap etilen yang paling efektif menyerap etilen adalah bahan penyerap dengan konsentrasi KMnO4 0,025% pada suhu ruang. Banyaknya buah yang dikemas akan berpengaruh terhadap produksi etilen, sehingga perlu adanya pengaturan perbandingan antara KMnO4 dan silika gel yang akan ditambahkan, agar diperoleh kombinasi yang baik untuk pengemasan aktif stroberi. Semakin banyak stroberi maka semakin banyak etilen dan uap air yang dihasilkan. Apabila semakin banyak etilen dan uap air yang dihasilkan maka kerusakan buah akibat jamur akan semakin cepat terjadi. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh banyaknya stroberi dan perbandingan antara KMnO4 dan silika gel yang dapat digunakan pada pengemasan aktif terhadap karakteristik buah stroberi selama penyimpanan pada suhu ruang.
keseragaman yang sama disimpan pada suhu ruang dan udara terbuka. Kemudian diamati perubahan yang terjadi selama penyimpanan terhadap warna, tekstur, dan penampakan hingga mengalami penurunan kualitas. Percobaan berikut adalah penentuan posisi KMnO4 dan silika (sebagai adsorbent). Kantong berisi adsorbent dimasukkan ke dalam tiga toples dengan posisi yang berbeda-beda. Pada toples pertama, adsorbent diletakkan di bawah buah dengan diberi penyangga styrofoam berlubang, toples kedua adsorbent digantungkan pada tutup stoples, dan pada toples ketiga adsorbent diletakkan langsung di atas stroberi (Gambar 1).
Gambar 1. Skema penentuan posisi letak adsorbent (2)
Penelitian utama Penelitian utama merupakan kelanjutan dari penelitian pendahuluan. Posisi adsorbent yang terpilih dari penelitian pendahuluan dengan cara digantung (Gambar 2). Percobaan berikut adalah menentukan jumlah stroberi (faktor A), terdiri dari 5 buah (a1), 10 buah (a2), 15 buah (a3); dan perbandingan silika gel dan KMnO4 (faktor B), terdiri dari 30:70 (b1), 50:50 (b2), 70:30 (b3). Pengamatan terhadap perubahan karakteristik stroberi berupa pengujian tingkat kekerasan stroberi menggunakan penetrometer dan analisis vitamin C menggunakan metode iodimetri (AOAC, 1999) selama penyimpanan mulai dari hari ke-0 hingga hari ke-4. Langkah-langkah penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3.
METODOLOGI
Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain stroberi var. california yang diperoleh dari petani di Ciwidey (Jawa Barat), silika gel, dan kalium permanganat (KMnO4). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain aquadest, larutan I2, dan amilum. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian antara lain toples, styrofoam, dan kantong kain blacu. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain neraca digital, lumpang, alu, pipet volumetri, labu Erlenmeyer, buret dan penetrometer (Precision, 134X-4, Chicago, AS). Deskripsi Percobaan (1) Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan berupa pengamatan terhadap penurunan kualitas stroberi yang terjadi selama penyimpanan pada suhu ruang. Stroberi yang memiliki tingkat
Gambar 2. Skema pengemasan aktif stroberi
Gambar 3. Diagram alir penelitian utama Pengujian kekerasan stroberi (Penetrometer Precision, 134X-4, Chicago, AS)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 219
ISBN 978-602-98902-1-1 Stroberi yang akan diuji diletakkan di bawah jarum penetrometer, kemudian jarum ditahan selama 10 detik baru dilepaskan dan dicatat nilai yang terbaca pada penetrometer. Pengukuran dilakukan berulang hingga empat kali pengukuran pada bagian yang berbeda dari stroberi. Perhitungan: Kekerasan Buah (mm/detik/gram) =
(∑ Nilai Pengukuran10 ) 10 detik
Analisis Kadar Vitamin C Stroberi (AOAC, 1999) Stroberi seberat 4,99 gram dihaluskan, lalu dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer berukuran 250 ml dan ditambahkan aquadest sampai 100 mL dan 5 mL amilum sebagai indikator, kemudian dititrasi dengan I2 hingga berwarna biru. Perhitungan : Kadar Vitamin C (mg vit. C/100 gram sampel) =
V I 2 × N I 2 × BE vitamin C × 100 Ws
Analisis data Data percobaan yang diperoleh dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial 3x3 dengan jumlah ulangan sebanyak 3 kali. Untuk melihat adanya pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati dilakukan analisis variansi (ANAVA) dan apabila terdapat perbedaan nyata dilakukan uji lanjut Duncan menggunakan taraf 5% (Gaspersz, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan (1) Pengamatan penurunan kualitas stroberi Penurunan kualitas stroberi selama penyimpanan pada suhu ruang (± 27ºC) diamati secara subyektif dari atribut mutunya yaitu warna, tekstur, dan penampakan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel Hari Ke-
1. Hasil Pengamatan Penelitian Pendahuluan Penurunan Kualitas Buah Stroberi Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang War na
Tekst ur
Penampak an
Keterangan
0
+
+
Kurang menarik
Segar
1
++
++
Agak menarik
Segar
2
+++
+++
Menarik
Segar
3
+++
++++
Menarik
Segar
4
+++ +
++++
Agak menarik
Agak layu, kulit buah mulai kisut, tangkai dan sepal mulai layu
5
+++ ++
+++++
Kurang menarik
Layu, kulit kisut, tangkai dan sepal mengering
6
+++ ++
+++++
Tidak menarik
Layu, kulit kisut, tangkai dan sepal sudah kering
Gambar
Keterangan Warna: Merah + = keputihan ++ = Merah agak
Keterangan Tekstur: + ++
= Keras = Agak keras
+++ ++++ ++++ +
oranye = Merah = Merah agak tua = Merah tua
+++ ++++ ++++ +
= Agak lunak = Lunak = Lunak sekali
Perubahan warna (kulit dan daging) yang terjadi pada stroberi sangat terlihat dari hari ke-0 hingga hari ke-6. Pada hari ke-0 hingga ke-1 warna kulit stroberi masih belum berwarna merah penuh. Stroberi berwarna merah mulai terjadi pada hari ke-2 hingga ke-3 penyimpanan. Sedangkan mulai dari hari ke-4 hingga ke-6, stroberi sudah sangat merah. Perubahan warna stroberi dimana semakin lama semakin merah disebabkan turunnya jumlah klorofil pada buah yang disebut degreening sehingga pigmen-pigmen lainnya dapat bertambah. Warna merah pada stroberi berasal dari antosianin yang terkandung di dalamnya. Antosianin menyebabkan warna merah, biru, dan ungu dalam buah dan sayuran. Antosianin sangat dipengaruhi oleh pengaruh pH media, umumnya pada pH rendah (asam) antosianin akan berwarna merah, pada pH netral (mendekati 7) berwarna biru, dan pada pH tinggi (basa) berwarna putih. Oleh karena kandungan vitamin C pada buah stroberi tinggi sehingga asam, maka warna antosianin yang muncul adalah merah (Winarno dan Aman, 1981). Perubahan tekstur stoberi sangat terasa mulai dari hari ke-0 hingga ke-6. Pada hari ke-0 - 1 buah masih keras sehingga belum layak untuk dikonsumsi segar. Perubahan tekstur menjadi lebih lunak mulai terjadi pada hari ke-2 - 4. Pada hari ke-5 - 6 buah sudah mulai mengalami kelayuan dan tekstur buah menjadi sangat lunak. Jika dilihat dari tekstur, stroberi yang paling baik untuk dikonsumsi segar adalah stroberi pada hari ke-3 dan hari ke-4 setelah penyimpanan karena memiliki tekstur yang sudah lunak. Tekstur buah dipengaruhi oleh ketegangan, ukuran, bentuk, dan keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang, dan susunan tanamannya. Ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel pada dinding sel, dan bergantung pada konsentrasi zat-zat osmotik aktif dalam vakuola, permeabilitas protoplasma, dan elastisitas dinding sel (Pantastico, 1997). Penampakan stroberi yang menarik sangat penting untuk kualitas stroberi yang dimakan segar. Pada hari ke-0 hingga ke-1, meskipun stroberi masih segar namun belum menarik untuk dimakan segar. Hal ini dikarenakan buah yang masih belum berwarna merah penuh, sehingga belum mencirikan warna dan penampakan yang khas dari buah stroberi. Pada hari ke-2 - 3, stroberi sudah memenuhi kualitas stroberi yang dimakan segar. Hal ini terlihat dari warna merah yang penuh dan kulit buah yang mengkilat. Sedangkan pada hari ke-4 - 6, sudah tidak berkualitas untuk stroberi yang dimakan segar karena kulit sudah mulai kisut dan sepal mulai layu yang mencirikan stroberi sudah tidak segar lagi meskipun warna dari buah sudah merah tua. Stroberi yang berkualitas untuk dimakan segar jika dilihat dari atribut mutu yang diamati yaitu warna, tekstur, dan penampakan adalah stroberi pada hari ke-3 penyimpanan karena warnanya sudah merah penuh, baik warna kulit buah maupun warna daging buahnya. Teksturnya pun sudah lunak, dan penampakannya menarik yang terlihat dari warna merah buah dan masih segar yang terlihat pada kulit buah yang masih mengkilat dan sepal yang masih berwarna hijau segar. (2) Posisi adsorbent Adsorbent yang diletakkan di bawah buah dan terhalang oleh sekat styrofoam menunjukkan tidak adanya
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 220
ISBN 978-602-98902-1-1 penyerapan etilen yang ditandai dengan sedikitnya warna bercak cokelat pada kantong kain blacu, bahkan mempercepat pertumbuhan jamur dan mengakibatkan cairan dari dalam sel buah keluar sehingga buah busuk. Selain itu, uap air yang dihasilkan buah dari proses respirasi tidak dapat diserap dengan baik oleh silika gel karena sirkulasi di dalam toples terhalang oleh penyangga meskipun telah diberi lubang-lubang pada penyangga styrofoam. Adsorbent yang digantung menunjukkan etilen diserap oleh KMnO4. Hal ini terlihat dari bercak kecokelatan pada kantong kain. Namun demikian masih muncul jamur pada buah stroberi yang menunjukkan jumlah penyerap etilen yang digunakan kurang optimal. Silika gel dapat menyerap dengan baik uap air yang dihasilkan karena uap air yang dihasilkan akan naik ke atas bagian toples dan dapat langsung diserap oleh silika gel. Begitu juga penyerap etilen (KMnO4) yang digantungkan di atas dapat menyerap langsung gas etilen yang dihasilkan oleh buah stroberi.
Adsorbent ysng diletakkan di atas stroberi (kontak langsung) menunjukkan posisi yang tepat karena paling banyak menyerap etilen. Hal ini dikarenakan etilen yang dihasilkan stroberi langsung diserap oleh adsorbent, begitu juga uap air yang dihasilkan langsung diserap oleh silika gel. Hal ini terlihat dari banyaknya bercak cokelat pada kantong kain blacu bila dibandingkan dengan posisi adsorbent yang digantung, sehingga buah yang ditumbuhi jamur lebih sedikit. Namun, apabila posisi ini digunakan dikhawatirkan KMnO4 yang ada di dalam kantong kain menempel pada permukaan kulit buah sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia jika buah yang dimakan telah terkontaminasi KMnO4. Oleh karena itu adsorbent yang digantung dipilih dan digunakan pada penelitian utama. Hasil pengamatan dari penentuan posisi adsorbent dapat dilihat pada Gambar 4. Penelitian Utama (1) Kekerasan stroberi Hasil analisis statistik menunjukkan faktor A (jumlah buah), faktor B (variasi adsorbent), dan interaksinya (AB) memberikan pengaruh terhadap kekerasan buah stroberi yang diamati selama empat hari dengan selang waktu pengamatan sehari. Berdasarkan pengamatan selama empat hari dapat diketahui bahwa nilai kekerasan stroberi semakin lama semakin meningkat yang menandakan buah semakin lunak (Gambar 5).
Gambar 5. Grafik pengamatan kekerasan stroberi selama penyimpanan Kekerasan stroberi dipengaruhi oleh variasi adsorbent yang digunakan dan jumlah buah yang dikemas. Hal ini berhubungan dengan jumlah etilen yang dihasilkan dan kemampuan serap adsorbent. Stroberi yang termasuk ke dalam golongan buah non-klimaterik dan disimpan dalam kemasan toples plastik yang tertutup rapat, pada awal penyimpanan oksigen yang terperangkap di dalam kemasan akan digunakan oleh buah untuk proses respirasi dan dihasilkan CO2, H2O, gas C2H4 dan energi. Adsorbent dengan rasio berbeda ditempatkan dalam kemasan akan menyerap senyawa-senyawa yang dihasilkan dari respirasi buah juga akan berbeda. Silika gel akan menyerap uap H2O dan KMnO4 mengabsorpsi C2H4. Banyaknya uap H2O yang dihasilkan dari respirasi bila terkondensasi menjadi fase cair dan jatuh pada permukaan buah stroberi akan mempengaruhi kekerasan buah. Begitu pula jika gas C2H4 hasil respirasi semakin banyak maka akan memengaruhi jaringan buah yang diduga berdampak pada kekerasan buah. Penggunaan adsorbent dengan perbandingan yang berbeda pada masing-masing perlakuan menyebabkan daya absorpsi untuk mengabsorpsi senyawa hasil respirasi juga akan berbeda. Keadaan ini menyebabkan kekerasan stroberi yang telah disimpan akan berbeda pula. Perubahan pada kelunakan buah selama proses pemasakan disebabkan oleh perubahan komposisi dalam dinding sel. Semakin tinggi tingkat kemasakan buah, maka nilai kelunakannya akan semakin tinggi. Dinding sel buah mempunyai susunan yang sangat kompleks tetapi pada umumnya tersusun atas selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin. Pada proses pemasakan, protopektin yaitu jenis pektin yang tidak larut di dalam air mengalami perubahan menjadi pektin yang larut dalam air sehingga membuat buah menjadi semakin lunak (Pantastico, 1997). Berdasarkan dinding buahnya, stroberi termasuk ke dalam golongan buah berry yaitu buah yang mempunyai lapisan luar tipis sedangkan lapisan dalam dan tengahnya menyatu. Perubahan tekstur berlangsung lebih cepat ketika buah berada dalam penyimpanan. Hal ini dikarenakan pektin yang terkandung di dalam buah mengalami pemecahan. Pektin yaitu senyawa kimia golongan karbohidrat atau dapat pula dinyatakan bahwa pektin terbentuk dari senyawa protopektin yaitu dengan adanya aktivitas enzim protopektinase, yang pembentukannya terutama pada bagian luar membran sel pada lamella di antara membran sel yang satu dengan yang lainnya. Aktifnya enzim-enzim pektinmetilasterase dan poligalekturonase yaitu pada buah berada dalam proses masak, ternyata telah menyebabkan pemecahan pektin menjadi senyawa-senyawa lain sehingga menyebabkan perubahan tekstur buah yang tadinya keras
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 221
ISBN 978-602-98902-1-1 berubah menjadi lunak (Kartasapoetra, 1994). Perubahan struktural dengan kisaran yang luas terjadi pada pemasakan buah. Perubahan tebal dinding sel dan banyaknya ruang antar sel menyebabkan menjadi lunaknya jaringan, hal ini dianggap sebagai petunjuk utama terjadinya pemasakan. Melunaknya buah disebabkan oleh perombakan protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut atau perombakan kadar lemak (pada alpukat) (Pantastico, 1997). (2)
Kadar Vitamin C Stroberi Hasil analisis statistik menunjukkan faktor A (jumlah buah) , faktor B dan interaksinya AB memberikan pengaruh terhadap kadar vitamin C buah stroberi yang diamati selama empat hari dengan selang waktu pengamatan satu hari. Kadar vitamin C stroberi cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan (Gambar 6).
Gambar 6. Grafik pengamatan kadar vitamin C stroberi selama penyimpanan Jumlah stroberi yang sama dan rasio silika gel:KMnO4 berbeda menunjukkan kadar vitamin C stroberi antarperlakuan berbeda nyata. Hal ini disebabkan pada awal penyimpanan oksigen yang terdapat di dalam udara yang terperangkap di dalam kemasan toples akan mengoksidasi vitamin C stroberi. Adanya silika gel dan KMnO4 dengan rasio yang berbeda akan menyebabkan etilen yang dihasilkan pada proses respirasi stroberi diserap oleh bahan pengabsorpsi atau dioksidasi oleh KMnO4. Etilen merupakan salah satu gas yang dihasilkan dalam respirasi dapat mempengaruhi jaringan sel stroberi dan keadaan ini dapat memengaruhi kandungan vitamin C di dalam buah. Hal ini mengakibatkan kadar vitamin C di dalam stroberi akan berbeda. Selain itu oksigen yang terperangkap di dalam kemasan berinteraksi dengan etilen yang dihasilkan pada proses respirasi, dan adanya bahan pengabsorpsi dengan rasio berbeda mengakibatkan penyerapan etilen yang dapat mempengaruhi jaringan sel buah juga akan berbeda. Keadaan ini mengakibatkan kadar vitamin C dalam stroberi juga berbeda setelah penyimpanan. Selain itu KMnO4 yang dapat menyerap etilen yang keluar pada proses respirasi, natrium silikat dapat menyerap etilen, keadaan ini juga akan memberikan pengaruh terhadap kadar vitamin C yang terkandung dalam stroberi. Brody et al. (2001) menyatakan bahwa silika gel dapat menyerap gas etilen, tetapi tidak dapat mengoksidasi etilen. Walaupun demikian silika gel dapat digunakan dengan KMnO4 untuk meningkatkan kapasitas penyerapan etilen. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mengikat etilen, bahan utama yang sebagai pereaksi dengan etilen biasa digunakan
adalah silika gel dengan KMnO4. Silika gel dapat menyerap etilen ketika KMnO4 mengoksidasinya. Setiap varietas stroberi mengandung kadar vitamin C yang berbeda, dalam suatu studi diketahui kandungan vitamin C stroberi berkisar antara 39 hingga 89 mg per 100 gram. Buah stroberi yang matang di pohon yang terkena sinar matahari langsung mengandung vitamin C yang lebih tinggi daripada yang matang di pohon yang berada di tempat teduh. Setelah dipanen, buah-buah yang terluka cenderung kehilangan vitamin C dengan cepat. Buah-buah stroberi yang tidak terluka akan kehilangan vitamin C sedikitnya selama 3 hari pada suhu penyimpanan 40 hingga 75°F (Darrow, 2010). Hal ini dilihat dari nilai kekerasan buah yang menunjukkan buah masih baik serta dilihat dari kandungan vitamin C yang paling tinggi dibandingkan dengan buah dari perlakuan yang lain pada hari keempat penyimpanan. Etilen merupakan senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang dihasilkan oleh jaringan tanaman dan digolongkan sebagai hormon yang aktif dalam proses pematangan, karena ikatan rangkap yang dimiliki etilen. Menurut Winarno dan Aman (1981), bahwa dalam keadaan normal etilen akan aktif bila berikatan secara kompleks dengan metalo-enzim dan oksigen, yang kemudian merangsang pemasakan. Menurut Bambang dan Bambang (1995) dalam Rahman (2007), bahwa kerja etilen dapat dipengaruhi dengan mengganggu ikatan etilen. Dioksidasinya etilen oleh KMnO4 menjadi etilen glikol dan mangan dioksida dalam sistem kemasan aktif, menyebabkan etilen menjadi tidak aktif untuk merangsang aktivitas ATP-ase dalam penyediaan energi yang dibutuhkan dalam metabolisme. ATP-ase adalah suatu enzim yang diperlukan dalam pembentukan energi dari ATP yang ada dalam buah. Menurut Pantastico (1997) bahwa aktivitas respirasi dibedakan dalam tiga tingkat yaitu: (a) pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana; (b) oksidasi gula menjadi asam piruvat; dan (c) transformasi piruvat dan asam-asam organik, air, dan energi. Protein dan lemak secara aerobik menjadi CO2 berperan sebagai substrat dalam proses pemecahan ini. Menurut Bambang dan Bambang (1995) dalam Rahman (2007), bahwa pemanfaatan glukosa pada respirasi mencakup dua reaksi berurut yaitu: (a) glukosa menjadi piruvat, melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas (EMP) yang terjadi pada sitoplasma; dan (b) piruvat menjadi karbondioksida dan air, melalui jalur TCA, yang terjadi pada mitokondria. Karbondioksida yang dihasilkan dalam respirasi berasal dari siklus TCA dalam kondisi aerob dan melibatkan konsumsi oksigen. Dalam kondisi anaerob, Piruvat dimetabolisme menjadi asam laktat atau asetaldehid dan etanol dalam proses yang dikenal sebagai fermentasi. Tidak aktifnya etilen dalam sistem kemasan aktif menyebabkan etilen tidak dapat merangsang aktivitas ATP-ase untuk menghasilkan energi yang akan digunakan dalam respirasi untuk membentuk karbondioksida dan air. Sehingga pembentukan karbondioksida dan air dalam respirasi menjadi berkurang/lambat akibat kurang tersedianya energi yang akan digunakan piruvat untuk menghasilkan karbondioksida.
KESIMPULAN Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas stroberi selama penyimpanan pada suhu ruang (± 27ºC) dan stroberi yang disimpan hingga hari ke-3 menunjukkan tidak layak untuk dikonsumsi. Pada pengemasan aktif, posisi adsorbent terpilih yaitu dengan cara digantung.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 222
ISBN 978-602-98902-1-1 Nilai kekerasan stroberi cenderung mengalami kenaikan selama 4 hari penyimpanan. Semakin tinggi nilai kekerasan buah maka semakin lunak buah. Kadar vitamin C stroberi cenderung mengalami penurunan selama 4 hari penyimpanan yang berarti kadar vitamin C semakin berkurang. Jumlah buah dan rasio adsorbent berpengaruh nyata terhadap tingkat kekerasan buah dan kandungan vitamin C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang paling baik adalah perlakuan a1b1 yaitu pengemasan aktif dengan jumlah stroberi sebanyak 5 buah, menggunakan adsorbent dengan rasio silika gel : KMnO4 sebesar 30:70.
DAFTAR PUSTAKA Bafdal, N., C. Tjahjadi, S. Hong, D. Kim, D.S. Moody, and T. Pujianto, (2007), Active Packaging for Inhibition of Yellowing in Broccoli, Joint Research Between Padjadjaran University and Korea Research Institute, Bandung. Brody, A.L., E.R. Strupinsky, and L.R. Kline, (2001), Active Packaging for Food Applications, CRC Press, Boca Raton.
Pantastico, Er. B., (1997), Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub-Tropika, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Rahman, A.N., (2007), Kajian Penggunaan Sistem Kemasan Aktif Penyerap Etilen Untuk Memperpanjang Masa Simpan Buah Alpukat (Persea americana Mill), Tesis, Program Studi Teknologi Pasca Panen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rooney, M.L., (1995), Active Food Packaging, Chapman & Hall, Glasgow. Widodo, S.E., (2007), Pengembangan Penyerap Etilen dan Oksigen sebagai Bahan Aditif pada Pengemasan Aktif (Active Packaging) Buah Duku, melalui http://pustakailmiah.unila.ac.id/2009/07/06/pengembanga n-penyerap-tilen-dan-oksigensebagai-bahan-aditif-padapengemasan-aktifactive-packaging-buah-duku, diakses 7/9/2009. Winarno, F.G. dan M. Aman, (1981), Fisiologi Lepas Panen, Penerbit Sastra Hudaya, Jakarta.
Budiman, S. dan D. Saraswati, (2008), Berkebun Stroberi Secara Komersial, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Darrow, G.M., (2010), The Strawberry: History, Breeding, and Physiology, available at http://www.nal.usda.gov/pgdic/Strawberry/book/fore.ht m, accessed 21/8/2010. DeEll, J., (2006), Postharvest Handling and Storage of Strawberries, available at http://www.omafra.gov.on.ca/english/ag.html, accessed 15/9/2009. Gaspersz, V., (1995), Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan 1, Penerbit Tarsito, Bandung. Hendrayana, T., (2009), Pengemasan, melalui http://kimiaanalitik.blogspot.com/ 2009/08/pengemasan.html, diakses 27/10/2009. Indrawati, A., (2003), Pengembangan Bahan Penyerap Etilen Untuk Penyimpanan dan Pengemasan Produk Pertanian Segar (Mempelajari Karakteristik Bahan Penyerap Etilen Menggunakan Media Arang), Skripsi, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kader,
A.A., (1992), Postharvest Technology of Horticultural Crops. Division of Agriculture and Natural Resources University of California.
Kartasapoetra, A.G., (1994), Teknologi Penanganan Pasca Panen, Cetakan Kedua, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Kurniawan, A., (2008), Penggunaan Silika Gel dan Kalium Permanganat sebagai Bahan Penyerap Etilen, Skripsi, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 223
ISBN 978-602-98902-1-1
Pembuatan Keju Krim Susu Tempe Sebagai Produk Pangan Kaya Nutrisi [Making of Cream Cheese Tempeh As Rich Nutrition Food Product ] Diah Ratnaningrum dan Thelma Agustina Budiwati Pusat Penelitian Kimia - LIPI, Bandung
ABSTRACT Cream Cheese was made from a mixturure of cow’s milk and tempeh’ milk with composition of 1:0. 0:1. 1:1. 1:2. 2:1. 1:3 and 3:1. The Lactic Acid Bacteria used were Streptococcus thermophilus and Lactobacillus bulgaricus with concentration of 4% and 5% and fermented for 30 minutes. After added pinneapple ectract as a coagulant (0,5%), fermentation was continued for 16 hours at 43oC. Lactic acid concentration and pH were determined after fermentation. The aim of research as form of diversification of food process. Proximate analysis including protein, reducing sugar, fat and wáter content was examined. While microbiological analysis was done for enumeration of LAB population. The result showed that best cream cheese was obtained when the composition of cow’s milk and tempeh’s milk combination for protein, fat, and lactic acid was 1:2 (1.535 mg/ml), 1:1 (88,12%) and 2:1 (5.44%), respectively, with 4% LAB as starter cheese. Key Words: tempeh milk, crem cheese, starter LAB, bromelin
PENDAHULUAN Keju merupakan salah satu produk olahan susu yang diperoleh dengan cara koagulasi bagian casein susu. Keju telah banyak dikenal oleh masyarakat luas sebagai makananyang kaya akan gizi tetapi harganya cukup mahal. Menurut Eckles, (1943) dalam Roswantina Kristanti, (1995), keju adalah terbentuknya curd dari susu atau terkoagulasinya susu. Pada umumnya koagulan keju terbuat dari enzim rennin (enzim proteolitik) yang harganya cukup mahal dan jumlahnya pun terbatas. Proses koagulasi terjadi akibat adanya penambahan enzim rennin pepsin atau kerjaasam laktat (BAL) atau kombinasi keduanya, (Kristanti R, 2000) Keju terbuat dari dua komponen utama yaitu casein (protein susu) dan lemak susu dengan penambahan enzim penggumpal susu, mikroba dan garam, (Eckles, 1943). Pada prinsipnya pembuatan keju terdiri dari proses pemanasan, koagulasi dan pemeraman. Mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam pembuatan keju adalah kelompok bakteri asam laktat (BAL) yang menghasilkan asam laktat dengan memfermentasi laktosa. Kultur yang digunakan dalam pembuatan keju ini dapat dilakukan secara tunggal ataupun campuran. Bakteri penghasil asam laktat adalah Streptococcus thermophilus, Streptococcus lactis, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus cremoris, dan sebagainya. Spesies-spesies dari bakteri yang diperlukan, dipilih dan dikombinasikan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dari penggunaan starter tersebut, misalnya untuk pembuatan keju krim yang diperlukan produksi asam yang cepat dan pembentukan aroma yang baik, (Siti Rohmayanti, 1994). Penggunaan bakteri dalam pembuatan keju tergantung pada suhu yang digunakan, (Kristanti R, 2000). Untuk pengolahan keju dengan suhu sekitar 49-50oC, maka digunakan bakteri asam laktat yang tahan pada suhu tinggi, dan starter yang biasa digunakan berupa campuran dari Streptococcus thermophilus dan actobacillus. bulgaricus, Lactobacillus helvaticus atau Lactobacillus lactis, (Siti Rohmayanti, 1994). Sedangkan pembuatan keju dengan
menggunakan suhu sekitar 42-46oC menggunakan campuran Streptococcus thermophilus dan Streptococcus lactis. Menurut Fraziuer dan Wetshtoff, (1980), bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri homofermentatif yang menghasilkan asam laktat sebagai produk utama dalam metabolisme gula. Kemampuannya dalam memproduksi asam laktat, menyebabkan bakteri tersebut berperan penting dalam industri makanan. Keju yang banyak beredar di pasaran kebanyakan adalah jenis keju keras yang memerlukan proses fermentasi yang lebih lama sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian, biaya produksi pun lebih tinggi. Oleh karena itu, pembuatan keju krim adalah salah satu alternatif dalam penurunan biaya produksi karena memerlukan waktu yang pendek. Keju krim adalah keju lembut seperti mentega, berwarna putih dengan rasa sedikit gurih. Keju krim dibuat dari susu sapi dengan kandungan lemak susu paling sedikit 33%, kadar air tidak lebih dari 55%, dan memiliki pH antara 4,4 sampai 4,9. Keju krim ini termasuk keju muda yang tidak mengalami proses pematangan dan merupakan bahan utama untuk membuat cheescake dan berbagai hidangan penutup lainnya. Beberapa komiditi kacang-kacangan telah banyak digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat susu yang dikenal sebagai susu nabati. Susu yang umum ditemukan di pasaran adalah susu kedele, sedangkan susu tempe dan kacang-kacangan lain belum banyak ditemukan. Tempe adalah produk hasil fermentasi kedele yang merupakan makanan tradisonal rakyat Indonesia yang kaya akan nutrisi. Kandungan protein, lemak dan karbohidratnya tidak banyak berubah dibandingkan kedele. Selain itu, tempe mengandung senyawa bioaktif. Salah satu senyawa aktif yang terkandung didalamnya adalah zat antioksidan dalam bentuk isoflavon aglikon, Bioteknologi, 2002). Mengingat kandungan protein yang ada dalam tempe tidak berbeda jauh dengan protein yang terdapat dalam susu sapi, maka diharapkan susu tempe pun dapat dibuat keju dengan karakteristik yang hampir sama. Untuk meningkatkan nilai gizi dan nilai tambah dari produk tempe, maka perlu penganekaragaman produk tempe untuk diolah lebih lanjut. Salah satunya adalah dengan cara fermentasi susu tempe dan penambahan bakteri asam laktat (BAL) menjadi produk keju.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 224
ISBN 978-602-98902-1-1 Keju dibuat dari campuran susu sapi dengan susu tempe dengan penambahan enzim bromelin, sebagai koagulannya. Enzim bromelin yang bisa didapatkan dari ekstrak nanas ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu dapat memutuskan ikatan peptida pada residu sistenil dan histidil, stabil pada suhu 6080°C pH netral dengan pH optimumnya adalah antara 6-7,5, (Sri hartati, 2003). Keunggulan lainnya adalah mudah didapat, melimpah di alam, waktu prosesnya pendek sehingga biaya produksinya lebih murah. Untuk mendapatkan produk keju yang berkualitas tinggi, diperlukan starter yang stabil, tidak mudah terkontaminasi, tahan pada suhu tinggi dan mempunyai kandungan probiotik dan prebiotik yang cukup tinggi yang sangat baik buat kesehatan. Selain itu, media pertumbuhan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan juga, apabila ingin mendapatkan keju yang kaya nutrisi, memiliki tekstur/penampakan yang bagus, aroma yang enak dan gurih. Tujuan dari penelitian adalah memproduksi keju yang kaya nutrisi, mengandung probiotik, prebiotik yang aman dikonsumsi dan memenuhi syarat kesehatan.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain tempe yang berasal dari pasar simpang-Dago, Bandung, biakan bakteri asam laktat koleksi Pusat Penelitian Kimia- Lipi Bandung, nanas Bogor yang diperoleh dari pedagang pasar Sadang Serang, Bandung, susu skim yang diperoleh dari pasar baru, Bandung, dan susu sapi murni KPBS yang di peroleh dari toko di sekitar pungkur, Bandung Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain baskom, hotplate, kukusan, kain saring, blender, gelas piala, batang pengaduk, inkubator, laminar, waterbath, gelas kimia, erlenemeyer, dan pisau. Alat yang digunakan untuk analisis adalah buret, pH meter, neraca analitis, neraca kasar, erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, waterbath, tabung reaksi, spektrofotemeter, rak tabung, dan botol semprot. Mikroorganisme dan Media Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yang disimpan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar/MRS Agar dan MRS Broth (Oxoid). Untuk pemeliharaan bakteri asam laktat (BAL) disimpan didalam media MRS. Inkubasi dilakukan pada inkubator shaker dengan suhu 37oC dan 43oC dan kecepatan 150 rpm selama 24 jam. Sebelum digunakan dalam pembuatan keju, terlebih dahulu bakteri dilihat kurva pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan untuk menentukan waktu panen (fase eksponensial) pada media susu skim. Pembuatan Starter Pada pembuatan starter digunakan bakteri asam laktat Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang ditumbuhkan pada media MRS Agar umur 24 jam. Masingmasing bakteri diinokulasikan ke media MRS broth (aktivasi) inkubasi pada suhu masing-masing selama 24 jam, kemudian hasil aktivasi diinokulasikan ke dalam media susu skim cair 10% dan inkubasi kembali pada masing-masing suhu 37oC dan 43oC sampai fase ekponensial yang siap dipanen. Selanjutnya dibuat starter campuran dengan perbandingan 1:1
Pembuatan Ekstrak Nanas Buah nanas segar dibersihkan dari kulit dan durinya, kemudian diambil bonggol (hati) nanasnya. Setelah bonggol nanas dicuci sampai bersih, kemudian diblender sampai hancur dan disaring sehingga diperoleh ekstrak nanas. Pembuatan Susu Tempe Mula-mula tempe dipotong-potong dan dikukus selama 15 menit, kemudian dihancurkan dengan blender dengan perbandingan air:tempe 1:3. Selanjutnya dilakukan proses penyaringan untuk mendapatkan susu tempe. Pembuatan Keju Campuran Susu Sapi : Susu Tempe Susu tempe yang telah disaring kemudian dicampur dengan susu sapi dengan perbandingan susu sapi:susu tempe = 0:1; 1:0; 1:1; 1:2; 2:1; 1:3, dan 3:1. Campuran diaduk hingga homogen, Kemudian dilakukan pasteurisasi pada suhu 70-80oC selama 20-30 menit. Setelah itu dinginkan hingga suhu mencapai 42oC, dilakukan inokulasi atau penambahan starter campuran dengan variasi konsentrasi 4% dan 5% (v/v). Inkubasi dilakukan dalam inkubator pada suhu 43oC selama 30 menit sampai pH sekitar 5,6. Setelah 30 menit, hasil inkubasi diangkat dan ditambahkan ekstrak nanas dengan konsentrasi 0,5% (v/v). Kemudian diinkubasi kembali selama 16 jam sehingga terjadi penggumpalan (pembentukan curd). Curd selanjutnya dipanaskan didalam waterbath pada suhu 51oC. Kemudian curd disaring untuk memisahkan whey dari curd, kemudian ditambahkan garam dengan konsentrasi 3% (b/b) dan terbentuklah keju krim. Analisa yang dilakukan terhadap curd meliputi analisis pH dan kadar asam laktat dengan metoda titrasi. Analisis Proksimat Keju Campuran Susu Murni : Susu Tempe Keju Analisis proksimat yang dilakukan terhadap keju campuran susu murni dan susu tempe yang dihasilkan meliputi analisis kadar protein terlarut dengan menggunakan spektrofotometer (metode lowry), analisa kadar lemak menggunakan alat soxhlet (metode sokhletasi), analisa kadar air menggunakan oven (metode gravimetri) dan analisa kadar gula pereduksi menggunakan spektrofotometer (metode nelson-somogyi) Semua metoda yang digunakan diambil dari. Analisis Mikrobiologis Penghitungan populasi keju campuran susu sapi dan susu tempe dilakukan dengan menggunakan Metoda Total Plate Count.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pembuatan atau fermentasi keju memerlukan bakteri asam laktat yang akan membantu mempercepat proses terjadinya koagulasi campuran susu murni dan susu tempe, selain menghasilkan aroma dan asam laktat. BAL ditanam terlebih dahulu dalam media susu skim 10% untuk memperbanyak jumlah selnya. Proses ini merupakani adaptasi BALyang nantinya akan ditanam pada media substrat campuran. Jumlah sel koloni yang tertinggi diperoleh pada Streptococcus thermophilus dengan nilai 3,6x1014CFU/ml, untuk Lactobacillus bulgaricus dengan nilai 1,72x106 CFU/ml.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 225
ISBN 978-602-98902-1-1 Pembuatan keju secara fermentasi pada prinsipnya merupakan proses pemanasan, pengendapan,pemeraman,dan penggaraman. Bakteri asam laktat mempunyai peranan yang essensial hampir dalam semua susu fermentasi makanan dan minuman. Peran utama bakteri ini dalam industri makanan adalah sebagai pengasam bahan mentah dengan memproduksi sebagian besar asam laktat (bakteri homofermentatif) asam asetat, etanol, dan CO2 (bakteri heterofermentatif). Pada saat fermentasi, Lactobacillus. bulgaricus dan Streptococcus thermophilus menghasilkan sejumlah enzim yang akan menguraikan laktosa dalam susu menjadi asam laktat. Kadar asam laktat yang tertinggi pada curd adalah 1% dengan pH 4,50 dicapai pada penambahan konsentrasi starter campuran 4% dengan perbandingan susu sapi dan susu tempe 2:1 (Tabel 1). Kondisi ini merupakan kondisi optimum bagi bakteri untuk melakukan aktifitas metabolismenya mengubah laktosa yang ada dalam media menjadi asam laktat. Untuk konsentrasi starter 5% kadar asam laktat curd yang tertinggi diperoleh pada perbandingan susu sapidan susu tempe 3:1 yaitu 1,86%. Dengansemakin meningkatnya konsentrasi starter bakteri asam laktat, maka semakin tinggi kadar asam laktatnya. Hal ini sejalan dengan aktifitas metabolisme startertersebut yang mempunyai suhu optimum 41oC sampai 45oC9, untuk mengubah laktosa yang ada dalam media menjadi asam laktat. Pengubahan laktosa ini menyebabkan pH media menjadi turun mencapai 4,0 sampai 4,5 (Tabel 1). Tabel 1. Kadar asam laktat Curd dengan berbagai konsentrasi starter BAL dan ekstrak nanas 0,5% Perbandingan Susu murni:Susu tempe
1:0 0:1 1:1 1:2 2:1 1:3 3:1
Konsentrasi Starter BAL
4%
5%
0,51 0,38 0,96 0,69 1,00 0,66 0,85
1,51 0,96 1,62 0,86 1,46 1,08 1,86
Untuk pH curd diperoleh pH terendah pada perbandingan susu sapi:susu tempe 1:0 yaitu 4,03 dengan penambahan konsentrasi starter BAL 4%,sedangkan penambahan konsentrasi starter BAL 5% diperoleh pH terendah pada perbandingan susu sapi:susu tempe 1:3 yaitu 3,92. (Tabel2). Tabel 2.
pH curd dengan berbagai konsentrasi starter BAL dan ekstrak nanas 0,5%
Perbandingan Susu murni:Susu tempe 1:0 0:1 1:1 1:2 2:1 1:3 3:1
Konsentrasi Starter BAL 4% 4,03 4,70 4,42 4,50 4,50 4,05 4,75
5%
4,01 4,49 4,22 4,28 4,01 3,92 4,32
Kadar asam laktat keju krim tertinggi pada penambahan konsentrasi starter BAL 4% maupun 5% dengan ekstrak nanas 0,5%, diperoleh pada perbandingan 1:3 dengan nilai masing-masing 5,44% dan 2,71%. Ternyata penambahan
konsentrasi starter BAL semakin tinggi, menghasilkan kadar laktat laktat yang menurun. (Tabel 3). Jadi pada konsentrasi starter BAL 4% merupakan kondisi yang optimum untuk bakteri asam laktat dalam melakukan aktifitas metabolismenya. Tabel 3 Kadar asam laktat keju krim dengan berbagai konsentrasi starter BAL dan ekstrak nanas 0,5% Perbandingan Susu murni:Susu tempe
Konsentrasi Starter BAL 4%
1:0 0:1 1:1 1:2 2:1 1:3 3:1
5%
2,33 1,04 4,23 4,89 5,44 4,27 4,40
1,25 1,03 1,99 1,85 2,71 1,99 1,47
Hasil analisis proksimat yang dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan pengaruh penambahan konsentrasi starter BAL 4% dan ekstrak nanas 0,5% pada keju krim, diperoleh hasil analisis proksimat yang dapat dilihat pada tabel 4. Kadar protein terlarut yang diperoleh pada perbandingan susu sapi dan susu tempe 1:2 dengan nilai 1,535 mg/ml. Kondisi ini merupakan kondisi optimum terjadinya pemecahan protein menjadi peptida dan asam amino yang lebih sederhana. Selama fermentasi berlangsung kandungan-kandungan yang didalam media akan dipecah-pecah menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Diantaranya protein akan dipecah oleh enzim proteolitik menjadi menjadi protein yang mudah larut, peptida dan asam-asam amino, yang akan mempengaruhi terhadap aroma dan rasa. Sedangkan untuk karbohidrat akan dipecah menjadi gula-gula yang sederhana. Lemak akan dipecah menjadi asam lemak dan gliserol. Kadar gula pereduksi tertinggi diperoleh pada perbandingan 3:1 yaitu 0,994 mg/ml, hal ini disebabkan bahwa kondisi tersebut merupakan kondisi optimum bakteri asam laktat untuk memecah karbohidrat menjadi gula-gula sederhana. Untuk kadar lemak tertinggi diperoleh pada perbandingan 1:1 sebesar 88,12%, semakin tinggi kadar lemak dapat menyebabkan flavor keju semakin gurih dan teksturnya halus. Sedangkan jika kadar lemaknya rendah keju yang dihasilkan kurang gurih, teksturnya kurang halus, lebih keras (keju yang mengalami pemeraman). Pembentukan flavor pada saat fermentasi keju dihasilkan dari rangkaian proses biokimia kultur mikroba yang menghasilkan enzim dan enzim yang memang sengaja ditambahkan. Sedangkan untuk kadar air tertinggi yang dihasilkan sebesar 34,97% pada perbandingan susu murni:susu tempe 2:1. Untuk jumlah bakteri tertinggi yang dihasilkan sebesar 1,2x109 CFU/g pada perbandingan susu murni:susu tempe 1:0. (Tabel 3) Tabel 4. Hasil analisis proksimat keju dengan konsentrasi starter BAL 4% dan ekstrak nanas 0,5% Susu sapi: Susu Tempe 1:0 0:1 1:1 1:2 2:1 1:3 3:1
Protein terlarut (mg/ml) 0,728 0,170 0,787 1,535 0,515 0,475 0,314
Gula pereduksi (mg/ml) 0,826 0,521 0,471 0,285 0,690 0,297 0,994
Lemak (%) 41,27 46,88 88,12 63,55 63,83 58,71 33,97
Air (%)
23,18 16,15 24,50 31,30 34,97 24,59 30,99
Jumlah Sel CFU/gr 1,2x109 9,3x105 6x105 1,2x108 3,3x107 9x107 3x107
Hasil analisis proksimat untuk produk keju dengan penambahan starter BAL 5% dan ekstrak nanas 0,5% dapat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 226
ISBN 978-602-98902-1-1 dilihat pada Tabel 4. Kadar protein terlarut keju krim tertinggi diperoleh pada perbandingan susu sapi:susu tempe 1:0 dengan nilai 1,403 mg/ml. Selama proses pembuatan keju dan pemeramannya, terjadi dekomposisi protein susu kasein secara perlahan oleh adanya enzim-enzim protease yang berasal dari koagulan, susu dan mikroba. Kasein mengalami pemecahan menjadi peptida dan asam amino yang dapat mempengaruhi rasa keju termasuk rasa pahit yang tidak dikehendaki. Untuk mendapatkan flavor keju yang dapat diterima, pemecahan protein susu tersebut harus dikendalikan dengan seimbang. Kadar gula pereduksi keju tertinggi yang diperoleh pada perbandingan 1:0 sebesar 1,158 mg/ml, hal ini disebabkan bahwa kondisi tersebut merupakan kondisi optimum bakteri asam laktat untuk memecah karbohidrat menjadi gula-gula sederhana. Kadar lemak keju tertinggi diperoleh pada perbandingan 1:2 dengan nilai 53,49%, semakin tinggi kadar lemak dapat menyebabkan flavor keju semakin gurih dan tekstur elastik dan lunak9. Sedangkan jika kadar lemaknya rendah keju yang dihasilkan kurang gurih, teksturnya kurang halus. Kadar air tertinggi dihasilkan pada perbandingan 3:1 sebesar 51,08%. BAL sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, sehingga merupakan prospek yang baik dalam pengembangan berbagai jenis makanan fungsional dengan melibatkan BAL yang bersifat probiotik. Bakteri tersebut berperan dalam menjaga ekosistem dalam usus, melindungi saluran pencernaan dari bakteri patogen, menjaga populasi bakteri sehat didalam tubuh dan mampu menghasilkan antibiotik alami yang dapat melawan mikroba-mikroba yang jahat dan berbahaya11. Karena daya produksi antibiotik inilah, BAL bisa membantu penyembuhan penyakit infeksi. Untuk jumlah bakteri asam laktat tertinggi pada perbandingan 1:1 sebesar 2,4x1011 CFU/gr. (Tabel 5). Tabel 5. Hasil analisis proksimat keju dengan konsentrasi starter BAL5% dan ekstrak nanas 0,5%. Susu sapi: Susu Tempe 1:0 0:1 1:1 1:2 2:1 1:3 3:1
Protein terlarut (mg/ml) 1,403 1,016 1,00 0,698 0,837 0,984 0,922
Gula pereduksi (mg/ml) 1,158 1,008 0,608 0,353 0,752 0,104 0,821
Lemak (%)
Air (%)
Jumlah CFU/gr
32,49 10,383 52,05 53,49 42,79 37,03 49,32
26,57 19,54 27,65 22,15 32,35 23,61 51,08
8,1x1010 3x108 2,4x1011 2,5x109 2,4x106 2,4x109 2,3x1010
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keju krim yang optimum adalah keju krim yang dibuat dengan penambahan konsentrasi starter BAL 4% dan ekstrak nanas 0,5%, dengan melihat unsur asam laktat, protein dan lemak.
DAFTAR PUSTAKA AOAC, 1999. Official Method Of Analysis Of The Association Of Official Analytical Washington DC.
Chemist,
Eckles (1952), Milk and Milk Product. Tata Mc. Graw-Hill, Publishing Co. Ltd, Bombay, New-Delhi, 253. Frazieur dan Wetshoff., (1979), Food Microbiology. Treeth edition. Tata, Mc. Graw-Hill, Publishing Company Limited, New-Delhi. Harti A.S, (2003). Pengaruh Aspergillus oryzae DAN Micrococcus luteus Pada Baceman Terhadap Aktifitas Enzim β-Glukosidase Dan Kandungan Senyawa Isoflavon Kecap Kedele: Skripsi Program Studi Teknologi Pangan, Jurusan Teknik dan Manajemen Indsutri, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan Bandung. Inggrid S.Surono, (2008). Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan, Yayasan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia. Kritanti R, 2000. Pengaruh Jenis Penggumpal dan perbandingan Susu sapi dengan Susu Kedelai Terhadap Karakteristik Keju Cottage: Skripsi Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pasundan Bandung. Rohmayanti Siti, 1994. Pengaruh Penambahan Nanas dan Lama Pemeraman Terhadap Kualitas keju dai Susu Kedelai: Skripsi Program Studi Teknologi Pangan, Jurusan Teknik dan Manajemen Industri, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan Bandung. Sri Widowati, Efektifitas Bakteri Asam Laktat (BAL) Dalam Pembuatan Produk Fermentasi Berbasis Protein Susu Nabati: Laporan Penelitian, Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Tutik Nurhidayati, 2003. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan Suhu Fermentasi Terhadap Kualitas Keju Cottage: Laporan Penelitian. Kappa (2003) Vol. 4 No.1, 13-17. www. Bioteknology, Bioteknologi Keju Cottage Nanas cimie, 18 januari 2002. http://www.food-info.net/id/dairy/cheese- production.htm
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Pusat Penelitian Kimia yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan penelitian ini yang didanai oleh Program DIPA-LIPI, Kedeputian IPT – LIPI.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 227
ISBN 978-602-98902-1-1
Studi Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Kasar Eucheuama spinosum Terhadap pH dan Suhu (Study Of Antibacterial Activities Of Eucheuma spinosum Crude Extract In Various pH and Temperatures) 1Dosen
Hardoko1, Nuri Arum Anugrahati2, Angela Maggie Tjandinegara3
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya dan Dosen tidak tetap Jurusan Teknologi Pangan UPH, 2Dosen Jurusan Teknologi Pangan UPH, 3Alumni Jurusan Teknologi Pangan UPH
ABSTRACT Most plants possess antimicrobial compounds as a results of their metabolic processes, but they differ from one to another in term of their antimicrobial characteristics. The research with objective to study antibacterial activities of E. spinosum in response to pH and temperature was carried out. Antibacterial compound were first extracted using several combinations of ethanol-ethyl acetate solvents, evaporated, and then their analyzed their activities against several bacteria. Their characteristics were then observed in response to pHs (3, 4, 5, 6, 7, 8) and temperatures (40, 50, 60, 70 and 800C). Results showed that the extract obtained using 100% ethyl acetate exhibited the highest antibacterial activity with MIC and MBC values of 0.42% and 1.69% respectively for Bacillus cereus, 1.39% and 1.59% for Escherichia coli, and 0.08% and 0.34% for Staphylococcus aureus. Based on Response Surface Method (RSM), their crude extract possessed the best antibacterial activity at pH 6.56 and temperature 64.670C for S. aureus, and pH 7.0 and temperature 41.70C for B. cereus. The SEM photograph on bacteria revealed that the crude extract damaged the cell wall of B. cereus and caused lysis on S. aureus. Key words : crude extract, MIC, MBC, pH, temperature
PENDAHULUAN
METODOLOGI
Mikroba patogen pangan telah berkembang pesat baik dalam segi jumlah maupun jenis selama beberapa tahun belakangan ini. Tingginya keragaman dan aktivitas mikrobamikroba tersebut menimbulkan tantangan bagi dunia industri pangan untuk dapat menghasilkan pangan yang tetap berkualitas dan aman untuk dikonsumsi. Salah satu cara untuk menghindari pertumbuhan mikroba pada bahan pangan adalah dengan zat antimikroba. Zat antimikroba alami yang telah banyak digunakan adalah dari rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, lada, dan pala. Pentingnya penggunaan zat antimikroba dalam bahan pangan mendorong usaha untuk mencari bahan lain yang mempunyai zat antimikroba. Rumput laut merupakan tanaman yang tumbuh di daerah perairan. Rumput laut juga bernilai ekonomis dan telah banyak dimanfaatkan bagi keperluan manusia antara lain untuk bahan pangan dan obat-obatan. Rumput laut merah merupakan kelompok rumput laut yang banyak ditemukan di wilayah perairan Indonesia. Eucheuma merupakan rumput laut merah yang saat ini banyak dicari karena kandungan karaginan di dalamnya. Salah satu jenis rumput laut merah yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Eucheuma spinosum yang merupakan rumput laut penghasil karaginan. Beberapa jenis rumput laut yang ditemukan memiliki aktivitas antibakteri adalah Gracilaria cornea, Drachiella minuta, dan Halopitys incurvus (Bansemir et al., 2005). Aktivitas antibakteri pada rumput laut merah belum banyak diuji sedangkan menurut Gamal (2009), rumput laut merah merupakan jenis rumput laut yang paling banyak mengandung komponen bioaktif. Tingginya kandungan bioaktif tersebut membuka peluang bagi rumput laut untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya baru yang berfungsi sebagai antimikroba, khususnya terhadap bakteri-bakteri patogen yang umum ditemukan dalam bahan pangan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengoptimasi aktivitas antibakteri dari rumput laut merah Eucheuma spinosum.
Alat dan Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut Eucheuma spinosum segar yang diperoleh dari Pulau Pari di Kepulauan Seribu. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah pelarut etanol teknis dan pelarut etil asetat teknis. Bahan yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri adalah media Nutrient Agar, media Nutrient Broth, kultur bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah reagen Folin-Ciocalteau, larutan Na2CO3 2%, dan asam galat. Bahan kimia lain yang digunakan adalah larutan NaOH 0,1 M, larutan HCl 0,1 M, larutan buffer pH 3, pH 4, pH 5, pH 6, pH 7, pH 8, dan akuades. Alat yang digunakan meliputi pisau, timbangan meja (Ohaus), timbangan analitik (Sartorius), blender kering (Modena), rotary evaporator (Buchi), shaker, pompa vakum Buchner, kertas saring Whatman no. 4, cawan petri disposable (Technoplas), jangka sorong (Tricle Brand), mikropipet (Gilson), spatula, tabung reaksi berulir, gelas beaker, Erlenmeyer, gelas ukur (Iwaki), bunsen, bulp pump, inkubator dan waterbath (Memmert), termometer (Brand), pH meter (Metrohm), dan autoclave (Hirayama), serta spektrofotometer visible (Barnstead Turner). Metode Penelitian Penelitian Tahap I (Ekstraksi dan Uji Daya hambat bakteri) Rumput laut Eucheuma spinosum segar dikecilkan ukurannya dengan blender kering lalu diekstrak dengan kombinasi pelarut etanol : etil asetat 100:0, 80:20, 60:40, 40:60, 20:80, dan 0:100. Rasio sampel dan pelarut yang digunakan adalah 1:3. Ekstraksi maserasi dilakukan dengan bantuan shaker pada suhu ruang (±230C) selama enam jam. Larutan kemudian disaring dengan kertas Whatman no. 4 dan pelarutnya diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 400C dengan tekanan 175 mBar (untuk pelarut etanol) dan 240 mBar (untuk pelarut etil asetat). Ekstrak pekat yang didapatkan disimpan dalam botol gelap dan dismpan dalam freezer hingga waktu pengujian.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 228
Analisis Zona Penghambatan, MIC dan MBC (Bloomfield, 1991) Metode difusi sumur dilakukan untuk mengetahui zona penghambatan dari ekstrak antibakteri. Mikroba yang akan diuji, diambil sebanyak 1 ml dan dituang ke dalam cawan petri. Kedalam cawan petri dituangkan nutrient agar. Campuran media dan mikroba di dalam cawan didinginkan hingga media mengeras. Sumur dengan diameter sebesar 6 mm dibuat di dalam media. Ekstrak rumput laut sebanyak 60 μl dimasukan ke dalam sumur. Konsentrasi antimikroba yang dimasukan ke dalam sumur ialah 0% (pelarut) sebagai kontrol, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% b/v ekstrak. Media tersebut diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37°C. Setelah 24 jam, dilakukan pengukuran terhadap zona penghambatan mikroba (diameter penghambatan – diameter lubang sumur). Bakteri yang digunakan, sebelumnya telah diinkubasi selama 8 jam agar berada dalam fase eksponensial karena menurut Parhusip et al. (2003), fase eksponensial dari bakteri ialah setelah bakteri diinkubasi selama 8 jam. MIC dan MBC dapat diperoleh dari kurva ln Mo (konsentrasi ekstrak rumput laut). Kurva ln Mo digambar pada sumbu X terhadap zona pengambatan yang dikuadratkan (Z2) yang digambar pada sumbu Y. Titik perpotongan kurva dan sumbu X dinamakan Mt. MBC didapat dari anti ln dari Mt. MIC dapat diperoleh dari perkalian MBC dengan 0.25.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Ekstrak Kasar E. spinosum Rendemen ekstrak kasar E. spinosum berdasarkan kombinasi pelarut yang digunakan disajikan pada Gambar 1.
1.00 0.80
(0.11±01)a
0.60
(0.66±09)b
1.20
(0.85±0.11)b
1.40
(1.53±0.03)c
1.60
(0.76±0.09)b
Penelitian Tahap II (Optimasi aktivitas antibakteri dengan program RSM) Ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik Tahap I akan dioptimasi dengan faktor pH (3, 4, 5, 6,7, 8) dan suhu (40, 50, 60, 70, 80oC) menggunakan metode RSM. Tahapan RSM meliputi pengujian secara OVAT (One Variable at A Time) untuk penentuan tingkat (level) maksimum masingmasing faktor (pH dan suhu), dilanjutkan dengan penentuan kombinasi perlakuan (CCD / Central Composite Design) dengan RSM, dan pengujian kombinasi perlakuan. Parameter yang diamati adalah zona penghambatan dengan metode difusi sumur (Bloomfield, 1991).
1.80
Rendemen (%)
Pengujian ekstrak meliputi perhitungan rendemen ekstraksi, analisis kadar air (AOAC, 1995), uji daya hambat bakteri (aktivitas antibakteri) dengan metode difusi sumur (Bloomfield, 1991), dan uji total fenolik (Slinkard dan Singleton, 1997).
(1.35±0.49)c
ISBN 978-602-98902-1-1
0.40 0.20 0.00
1OO : O 8O : 2O 6O : 4O 4O : 6O 2O : 8O O : 1OO
Etanol : Etil Asetat
Keterangan : Notasi huruf di belakang angka menunjukkan tingkat beda nyata (p<0,05)
Gambar 1. Rendemen ekstrak E. spinosum hasil ekstraksi dengan kombinasi pelarut etanol-etilasetat
Gambar 1. menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari kombinasi pelarut etanol dan etil asetat dengan rasio 100:0 dan 80:20. Karena etanol merupakan pelarut polar dan etil asetat merupakan pelarut semi polar, maka rendemen yang tertinggi tersebut mengindikasikan banyak komponen polar dalam rumput laut E. spinosum. Tingginya komponen polar tersebut terkait dengan kadar air rumput laut yang mencapai 82,38%. Namun ternnyata komponen polar yang tinggi tersebut tidak berkorelasi positif dengan aktivitas antibakterinya seperti pada data sub bab aktivitas antibakteri. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar E. spinosum Aktivitas antibakteri dari ekstrak diamati berdasarkan besar kecilnya penghambatan (zone hambat) terhadap suatu bakteri menggunakan metode difusi sumur. Makin besar nilai zona hambatnya maka makin besar aktivitas antibakterinya. Daya hambat ekstrak E. cottonii terhadap beberapa jenis bakteri ddapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan nilai MIC dan MBC ekstrak hasil ekstraksi dengan pelarut etil asetat (0:100) ada pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai MIC dan MBC ekstrak semi polar untuk beberapa jenis bakteri Jenis bakteri MIC (%) MBC (%) Bacillus cereus 0.42 1.69 Staphylococcus aureus 0.08 0.34 Escherichia coli l.39 1.59 Dari Gambar 2 terlihat bahwa ekstrak fraksi semipolar (etanol 0 : etil asetat 100) mempunyai aktivitas antibakteri (zona hambat) paling tinggi. Hal ini tidak berkorelasi positif dengan rendemennya. Dengan kata lain adalah rendemen yang tinggi menunjukkan aktivitas antibakteri rendah dan sebaliknya. Stellman (1998) menyatakan bahwa etil asetat merupakan pelarut semi polar sehingga komponen yang berperan sebagai antibakteri adalah komponen yang bersifat lipofilik seperti asam lemak yang terlarut dengan baik dalam etil asetat. Hal ini didukung Rosell dan Srivastava (1987) dan Bansemir et al. (2005) bahwa asam lemak juga dapat berperan sebagai antibakter.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 229
ISBN 978-602-98902-1-1
B. cereus 6.00
0.00
1OO : O 8O : 2O
4.00
1.00 0.00
6O : 4O 4O : 6O
1OO : O 8O : 2O
2O : 8O O : 1OO
6O : 4O 4O : 6O
(0.31±0.81)a
2.00
(0.29±0.79)a
3.00
(0.18±0.50)a
(0.50±0.73)b
(0.44±1.26)ab
1.00
(0.03±0.13)a
2.00
(0.01±0.21)ab
3.00
5.00
(0.11±0.43)a
4.00
(0.00±0.00)a
(2.96±0.63)c
5.00
(4.79±1.44)b
7.00
6.00
Zona Hambat (mm)
7.00
(0.00±0.0)a
Zone Hambat (mm)
E.coli
2O : 8O O : 1OO
Etanol : Etil Asetat
Etanol : Etil Asetat
(5.99±1.35)c
S. aureus 7.00
(3.36±2.19)b
5.00
1.00 0.00
(0.25±0.98)a
2.00
(0.61±1.73)a
3.00
(1.09±2.71)a
4.00
(0.00±0.00)a
Zona Hambat (mm)
6.00
1OO : O 8O : 2O 6O : 4O 4O : 6O 2O : 8O O : 1OO
Etanol : Etil Asetat
Keterangan : notasi huruf di belakang angka menunjukkan tingkat beda nyata (p= 0,05)
1.00
(1.71±0.21)c
(1.49±0.05)
(1.43±).13)bc
1.50
(1.24±0.09)ab
2.00 (0.90±0.18)a
Total Fenolik Ekstrak Hasil pengamatan total fenolik ekstrak dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut terlihat menunjukkan bahwa total fenolik pada ekstrak fraksi semi polar (etil asetat 100% yang mempunyai aktivitas antibakteri tertinggi) bukan yang tertinggi. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa tidak semua fenolik bersifat antibakteri atau senyawa fenolik yang ada aktivitas antibakterinya berbeda. Yap et al (2009) menyatakan bahwa senyawa femolik dapat bersifat anti bakteri. Hal ini disebabkan senyawa fenolik dapat mengganggu permeabilitas bakteri sehingga pertumbuhannya terhambat. Fenolik juga dapat mengganggu sintesis protein. Senyawa fenolik memiliki kemampuan lebih kuat menhambat bakteri gram positif daripada gram negatif (Shetty, 2006; Madigan et al, 2009).
2.50
Total Fenolik (mgGAE/g)
Berdasarkan besarnya zona hambat pada Gambar 2, juga menunjukkan bahwa ekstrak semipolar rumput laut E. spinosum lebih menghambat bakteri gram positif (B. cereus dan S. aureus) daripada bakteri gram negatif (E. coli), dan lebih lanjut terlihat bakteri berbentuk bulat (S. aureus) paling dihambat. Hal ini ditunjang oleh nilai MIC dan MBC pada Tabel 1, dimana nilai MIC dan MBC S. aureus paling kecil dan diikuti oleh B. cereus dan E. coli.
(2.11±0.41)d
Gambar 2. Aktivitas antibakteri ekstrak kasar hasil ekstraksi menggunakan kombinasi pelarut etanol dengan etil asetat.
0.50
0.00 1OO : O 8O : 2O 6O : 4O 4O : 6O 2O : 8O O : 1OO
Etanol : Etil Asetat
Keterangan :Notasi huruf di belakang angka menunjukkan beda nyata (p= 0,05) Gambar 3. Perbandingan total fenolik estrak pada enam kombinasi pelarut Berdasarkan pelarutnya, Gambar 3 juga menunjukkan bahwa fenolik yang terdapat dalam E. spinosum meskipun ada yang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 230
ISBN 978-602-98902-1-1 bersifat polar, tetapi cenderung larut pada pelarut yang semi polar (bersifat semi polar). Optimasi dengan RSM Optimasi aktivitas antibakteri berdasarkan pH dan suhu dilakukan dengan menggunakan metode RSM (Respond Surface Methodology) Jump versi 3.2.2. Ekstrak yang digunakan ialah ekstrak dari pelarut etil asetat 100% (yang mempunyai aktivitas anti bakteri tertinggi) dengan konsentrasi ekstrak 20%. Parameter yang diamati ialah diameter penghambatan dengan hasil optimasi dengan RSM dapat dilihat pada Tabel 2 dan Grafik tiga dimensinya pada Gambar 4. Pada persamaan daya hambat ekstrak terhadap S. aureus terlihat bahwa faktor yang berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap aktivitas antibakteri (zona hambat) adalah X1 yaitu pH dengan nilai R2 yang dihasilkan adalah 0,92. Hal ini menunjukkan bahwa pH lebih berpengaruh dalam menghasilkan aktivitas antibakteri dari ekstrak
Eucheuma spinosum. Demikian juga pada bakteri B. Cereus meskipun dengan R2 0.86. Hasil optimasi yang diberikan RSM untuk S. aureus adalah perlakuan X1 (pH) sebesar -0,218558 (pH 6,56) dan X2 (suhu) sebesar -0,266316 (64,670C) dengan perkiraan hasil zona penghambatan yang didapatkan sebesar 12,52 mm. Setelah pengujian verifikasi didapatkan hasil diameter penghambatan sebesar 18,7 mm. Hasil yang lebih besar pada RSM menunjukkan bahwa RSM sesuai sebagai metode optimasi aktivitas antibakteri dari ekstrak Eucheuma spinosum. Hasil optimasi yang diberikan RSM untuk B. cereus adalah perlakuan X1 (pH) sebesar -0,235775 (6,53) dan X2 (suhu) sebesar 0,2440929 (74,880C) dengan perkiraan diameter penghambatan yang didapatkan sebesar 11,03 mm. Hasil yang diperkirakan ini lebih kecil dari hasil dari CCD (Central Composite Design) dengan kombinasi X1 (pH) adalah 0 (pH 7.0) dan X2 (suhu) adalah -1,41421 (41,70C) yang menghasilkan diameter penghambatan sebesar 14,4 mm. Oleh karena itu, pH dan suhu optimum dilakukan menurut percobaan CCD.
Tabel 2. Persamaan optimasi aktivitas ekstrak terhadap pH dan suhu (p<0.05) Persamaan RSM R2 Ǿ zona hambat RSM Y= 10,75 - 2,682735X1 – 5,45625X1X1 0.86 11.03 mm Y= 12,125 - 2,467615X1 – 5,096875X1X1 0.92 12.52 mm
Bakteri B. cereus S.aureus
Staphylococcus aureus
Bacillus cereus Staphylococcus aureus
Bacillus cereus hambatan (mm)
0 5 10 15 20
15
10 5
15
hambatan (mm)
20
10
0 5 10 15
0 -5
9 8
-10 7 -15 90
6 80
70
9 8 7 -10 90
5 60
Suhu 0 ( Celci us
0
-5
50
6 80
70
5 60
Suhu 0 ( Celc iu
)
pH
Diameter peng
5
pH
Diameter peng
CCD (mm) 14.40mm 11.90mm
50
s)
Bacillus cereus
Gambar 4. Grafik tiga dimensi optimasi pH dan suhu untuk aktivitas antibakteri ekstrak kasar Pengamatan Sel Bakteri dengan SEM Pengamatan tingkat kerusakan bakteri oleh ekstrak kasar E. spinosum dilakukan menggunakan SEM
(kontrol)
E. spinosum.
(Scanning Electron Microscope). Hasil foto SEM untuk sel bakteri Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 5.
(diberi ekstrak)
(kontrol) (diberi ekstrak) Gambar 5. Foto SEM B. cereus (atas) dan S. aureus (bawah) (5000x)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 231
ISBN 978-602-98902-1-1 Dari Gambar 5 menunjukkan bahwa ekstrak kasar E. spinosum lebih merusak sel S. aureus daripada sel B. cereus. Hal ini memperkuat bukti bahwa aktivitas antibakteri (zona hambat) ekstrak kasasr fraksi semipolar E. spinosum lebih bsesar pada bakteri S. aureus daripada B. cereus. Sel bakteri Bacillus cereus yang diberi ekstrak mengalami kerusakan pada dinding selnya, sedang sel bakteri Staphylococcus aureus yang diberi ekstrak telah
mengalami lisis dan kerusakan dinding sel. Mekanisme penghambatan ekstrak belum dapat dijelaskan dan perlu penelitian lanjutan. Komponen Ekstrak Senyawa kimia yang terdapat dalam fraksi semipolar ekstrak kasar E. spinosum coba diamati menggunakan GC-MS dan hasilnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komponen kimia yang terdapat dalam ekstrak kasar Eucheuma spinosum pada pH 6,56 dan suhu 64,70C N Retention %Area Nama Komponen Kemiripan Fungsi o. Time Bahan campuran dalam pembersih 1. 3,42 1,66 Ethanol 2-butoxy 91 (Andrew, 1990) 2. 38,05 13,53 Hexadecanoic acid 96 Bahan wewangian (IFF, 2007) 3. 38,69 2,46 Hexadecanolide 91 Antimikroba (Shanab, 2007) 4. 42,67 4,96 Octadecanoic acid 96 Antimikroba (Shanab, 2007) 5. 43,17 25,38 Octadecenoic acid 99 Antimikroba (Shanab, 2007) Benzenedicarboxylic 6. 44,86 14,67 91 Antimikroba (FAO, 1996) acid Pada Tabel 3 dan 4 terlihat komponen-komponen yang terdapat dalam ekstrak Eucheuma spinosum dan fungsinya. Komponen antimikroba yang ditemukan dalam ekstrak adalah pentadecanoic acid, octadecanoic acid, hexadecanoic acid, octadecenoic acid, dan benzenedicarboxylic acid. Komponen-komponen tersebut merupakan asam lemak yang berperan sebagai antimikroba. Komponen-komponen tersebut bersifat hidrofobik sehingga tidak larut dalam pelarut polar melainkan larut dalam pelarut semi polar seperti etil asetat. KESIMPULAN Perbandingan pelarut terbaik untuk mengekstrak senyawa antibakteri dari rumput laut merah Eucheuma spinosum adalah etanol dan etil asetat dengan rasio 0:100, sehingga ekstraknya bersifat semipolar. Ekstrak kasar fraksi semipolar E. spinosum lebih aktif menghambat bakteri gram positif daripada gram negatif dan bakteri S. aureus merupakan bakteri gram positif yang paling dihambat. Suhu dan pH optimum untuk mendapatkan aktivitas antibakteri terbaik dari ekstrak rumput laut merah Eucheuma spinosum berdasarkan hasil RSM adalah pada pH 6,56 dan suhu 64,70C untuk bakteri uji Staphylococcus aureus, sedangkan untuk bakteri uji Bacillus cereus adalah pada pH 7 dan suhu 41,70C. DAFTAR PUSTAKA Andrew W. 1990. OSHA Regulated Hazardous Substances: Health, Toxicity, Economic, and Technological Data, Volume 1. Noyes Data Corporation, New Jersey. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry, Maryland. Bansemir A, M. Blume, S. Schroder, dan U. Lindequist. 2005. Screening of Cultivated Seaweeds for Antibacterial Activity Against Fish Pathogenic Bacteria. Journal of Aquaculture 252: 79-84. Bloomfield SF. 1991. Assesing Antimicrobial Activity. Blackwell Scientific Publication, Oxford.
Dubber D dan T Harder. 2007. Extracts of Ceramium rubrum, Mastocarpus stellatus and Laminaria digitata Inhibit Growth of Marine and Fish Pathogenic Bacteria at Ecologically Realistic Concentrations. Journal of Aquaculture 274: 196-200. Food and Agriculture Organization. 1996. Benzoic Acid. FAO Online. Available from http://www.fao.org; Internet accessed 5 Januaary 2010. Gamal AAE. 2009. Biological Importance of Marine Algae.Saudi Pharmaceutical Journal 18: 1-25. International Flavors and Fragrances. 2007. Hexadecanolide. IFF Online. Available from http://www.iff.com; Internet accessed 29 January 2011. Madigan MT, Martinka HM, Dunlap PV dan Clark DP. 2009. Brack Biology of Microorganism. 12th Ed. Pearson/Benjamin Cummings. Florida Parhusip A, Yasni S dan Elizabeth Y. 2003. Kajian Metode Ekstraksi Andaliman (Zathoxylum acanthopodium DC) Terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan, Vol. 1 No. 1.Tangerang. Rosell KG. dan LM Srivastava. 1987. Fatty acids as antimicrobial substances in brown algae. Hydrobiologia 151/152: 471–475. Shanab SMM. 2007. Antioxidant and Antibiotic Activities of Some Seaweeds (Egyptian Isolates). International Journal of Agriculture and Biotecnology Vol 2 No. 2: 220-225. Shetty K. 2006. Food Biotechnology. CRC Press. Florida. Slinkard K. dan VL Singleton. 1997. Total Phenol Analysis : Automation and Comparison with Manual Method. European Buletin of Drug Research. Stellman JM. 1998. Encyclopaedia of Occupational Health and Safety, 4th edInternational Labour Organization, Jenewa. Yap CF, Ho CW, Aida WMW, Chan SW, Lee SY dan Leong YS. 2009. Optimization of extraction conditions of total phenolic compound from star fruit residues. Sains Malaysiana 38 (4) : 511-520.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 232
ISBN 978-602-98902-1-1
Antibacterial Activity of Fractionated Green Sirih (Piper betle Linn) Extract Against Food Pathogenic Bacteria Suliantari 1), Betty S.L. Jenie1), dan Maggy T. Suhartono 1), 1). Staf Departement of Food science & Technology – IPB. Bogor.
ABSTRACT The potential of plant extract as antimicrobial agent has been reported in many studies, including green sirih extract. However, there is no reports on the antomicrobial activity of fractionated green sirih exyract. This study aims to measure the antibacterial activity of fractionated green sirih extract and to identify the responsible active compounds. The ethanolic extract of green sirih (Piper betle Linn)was fractionated by silica gel column using chloroform, ethanol and acetic acid, resulting in 17 fractions which showed activity against all the tested bacteria ((Escherichia coli,Salmonella Typhimurium, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus andsteria monocytogenes). Among the tested bacteria, sirih extracts showed the most effective inhibition againstSalmonella Typhimurium with the diameter inhibition of 10-26 mm. The identification was performed by GC-MS and phenolic compounds (kavikol) and acids (2,5 dimetil- benzoic acid; dodecanoic acid; miristic; palmitic and oleic acid) were found mainly in fraction 3 and fraction 4. Keywords: pathogens, fractionated sirih extract, antimicrobial.
PENDAHULUAN Salah satu tanaman herbal yaitu sirih (Piper betle Linn) telah lama diketahui dan digunakan secara turun temurun untuk pengobatan obat batuk, sakit gigi, penyegar dan sebagainya. Bagian-bagian dari tanaman sirih seperti akar, biji dan daun berpotensi untuk pengobatan tetapi yang paling sering dimanfaatkan untuk pengobatan adalah bagian daunnya. Pemanfaatan sirih dalam pengobatan tradisional ini disebabkan adanya sejumlah zat kimia atau bahan alami yang mempunyai aktivitas sebagai senyawa antimikroba. Ekstrak sirih (Piper betle Linn) mengandung beberapa komponen aktif yang diduga mempunyai aktivitas antibakteri , diantaranya adalah kavikol, fenol, eugenol, karyofilen, humulen, amorfen, naftalen, kopaen, germakren, dan silen. Harapini et. al (1996) menduga senyawa yang berperan sebagai antimikroba adalah fenolik. Yang dan Chou (1997), dalam daun sirih terdapat eugenol dan hidroksikavikol yang mempunyai aktivitas antimikroba. Selain hidroksikavikol, dalam daun sirih juga terdapat asam stearat dan palmitat yang mempunyai aktivitas antimikroba (Nalina dan Rahim, 2007). Kemampuan menghambat dari masing-masing fraksi berbeda dan diduga mungkin disebabkan karena adanya kandungan senyawa kimia yang berbeda dari masing-masing fraksi tersebut. Dari penelitian-penelitian tentang sirih yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya belum diperoleh data yang pasti mengenai fraksi-fraksi sirih yang mempunyai aktivitas antibakteri yang kuat. Dalam paper ini akan dikaji lebih lanjut aktivitas antibakteri dari fraksi-fraksi yang terdapat dalam ekstrak etanol sirih hijau.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Kultur Bakteri Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun sirih hijau. Bakteri uji yang digunakan adalah Bacillus cereus (FNCC 057), Staphylococcus aureus,
(FNCC 047) Listeria monocytogenes (FNCC 0156), Pseudomonas aeruginosa (FNCC 063) dan Salmonella Typhimurium (FNCC 0734) yang diperoleh dari Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM; Escherichia coli (ATCC) yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Seafast (South East Asia Food and Agricultural Science and Technology ) Center IPB. Persiapan bakteri uji Bakteri uji yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak terpilih adalah Staphylococcus aureus , Escherichia coli, B. cereus, Salmonella typhimurium, Listeria monocytogenes dan Pseudomonas aeruginosa. Sebelum dipergunakan bakteri-bakteri uji yang telah ditumbuhkan dalam media agar miring NA dan disimpan pada suhu 100 C tersebut terlebih dahulu disegarkan dalam media cair Nutrient broth (NB) dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370 C. Fraksinasi ekstrak sirih ( Sutedja dan Agustina, 1994) Fraksinasi ekstrak etanol sirih dilakukan dengan cara elusi pada kromatografi Kolom. Sebanyak 30 gram silika gel dibuat bubur dengan menambahkan kloroform kemudian bubur kloroform tersebut dimasukkan ke dalam corong gelas dengan diameter 2.5 cm dan panjang 30 cm, pelarut dialirkan sehingga diperoleh adsorben silika dan dibiarkan semalam. Selanjutnya ke dalam kolom tersebut ditambahkan ekstrak sirih, kemudian kolom di elusi dengan campuran eluent terpilih yang diperoleh dari hasil penelitian KLT yang menghasilkan spot terbanyak yaitu campuran kloroform, etanol dan asam asetat dengan perbandingan 4 : 1: 1. Fraksi-fraksi yang diperoleh kemudian diuapkan dan dihilangkan pelarutnya menggunakan gas N2. Volume awal fraksi yang diperoleh sebanyak 10 ml, setelah diuapkan volume fraksi yang diperoleh disamakan yaitu 3 ml. Pengujian aktivitas antibakteri (Garriga et al 1993) Kemampuan aktivitas antibakteri fraksi-fraksi ekstrak sirih hijau diuji terhadap enam jenis bakteri meliputi Gram positif dan Gram negatif seperti Bacilus cereus, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Escherichia coli, Salmonella
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 233
ISBN 978-602-98902-1-1
Typhimurium dan Pseudomonas aeruginosa. Sebelum dipergunakan isolat bakteri disegarkan terlebih dahulu dalam media cair Nutrient broth (NB) selama 24 jam. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur dengan mengukur diameter penghambatan dari ekstrak tersebut terhadap masing-masing bakteri uji. Media nutrient agar (25 ml) yang mengandung bakteri uji sebanyak 107 CFU/ml dituangkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku. Setelah membeku, kemudian pada media tersebut dibuat lubang-lubang atau sumur dengan diameter 6 mm. Ke dalam lubang tersebut dimasukkan 50µl masing-masing fraksi ekstrak sirih hijau yang diperoleh. Selanjutnya cawan diinkubasikan dalam inkubator suhu 370 C selama 24 – 48 jam. Analisis statistik Untuk mengetahui adanya perbedaan nyata / tidak kemampuan menghambat dari masing-masing fraksi terhadap masing-masing bakteri uji dilakukan uji statistik ANOVA menggunakan SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas antibakteri fraksi sirih Dengan menggunakan cara elusi kromatografi kolom dari ekstrak etanol sirih hijau telah diperoleh sebanyak 17 fraksi. Pada umumnya semua fraksi tersebut mampu menghambat pertumbuhan satu atau beberapa bakteri uji dengan diameter penghambatan berkisar antara 10 mm sampai dengan 27 mm (Tabel 1). Tabel 1. Kemampuan fraksi-fraksi sirih dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji Fraksi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
St 21 18 23 26 10.6 10 10.6 15.3 15 14 20 19.6 18 14 16.7 18 11
Rata-rata diameter penghambatan (mm) Pa Bc Ec Sa 19.3 23 16 22.7 20.3 25.3 17 22 20 26.7 26 23 26.6 25.3 25.6 23 15 12.3 0 0 11 11 10 0 0 10.1 15.3 11.3 17.3 0 0 0 0 0 0 0 0 12 11 0 0 0 12 0 0 21 23 14 25.3 11.7 14.7 10 21.7 18 15 11.3 21.3 12.7 0 0 21 0 0 0 0 13.3 19.3 0
Lm 19.6 20.3 17.3 12 13.6 10 10 0 0 0 11 10.3 0 10.3 12 0 14.3
tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri (diameter penghambatan 0 mm) yaitu fraksi 5 sampai fraksi 17 ( kecuali fraksi 14). Kemampuan menghambat fraksi 1 dan fraksi 2 terhadap bakteri Gram positif lebih tinggi dari pada bakteri Gram negatif. Fraksi 3 mempunyai kemampuan menghambat yang sama antara bakteri Gram positif dan Gram negatif sedangkan fraksi 4 kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif lebih tinggi dari bakteri Gram positif. Terhadap S. Typhimurium, semua fraksi-fraksi yang diperoleh efektif menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Diameter penghambatan terendah adalah pada fraksi 5, 6, 7 dan fraksi 17 sedangkan fraksi yang mempunyai kemampuan menghambat tertinggi untuk S. Typhimurium adalah fraksi 3 dan fraksi 4. Terhadap bakteri uji yang lainnya seperti B. cereus, E. coli; S. aureus; P. aeruginosa dan L. monocytogenes ada beberapa fraksi yang tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut. Fraksi 5 mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri uji yang digunakan kecuali terhadap E. coli dan S. aureus; fraksi 6 tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus ; fraksi 7 menghambat semua bakteri uji kecuali terhadap P. aeruginosa sedangkan fraksi 9 hanya efektif menghambat pertumbuhan S. Typhimurium. Kemampuan menghambat dari fraksi 1,2,3 dan fraksi 4 terhadap bakteri S. aureus dapat dilihat pada Gambar 1. Dengan uji statistik lebih lanjut, aktivitas antibakteri dari fraksi 1, 2, 3 dan 4 terhadap pertumbuhan E. coli; S. Typhimurium dan L. monocytogenes memberikan perbedaan yang nyata (p≤0.5). Daya hambat dari fraksi 1 terhadap pertumbuhan S. aureus memberikan perbedaan yang nyata sedangkan aktivitas antibakteri dari fraksi 2,3 dan 4 tidak berbeda nyata (p ≤0.5). Kemampuan menghambat dari fraksi 1 dan 3 terhadap pertumbuhan B. cereus memberikan perbedaan yang nyata (p ≤0.5) sedangkan fraksi 2 dan 4 tidak memberikan perbedaan yang nyata. Untuk bakteri P. aeruginosa, dengan uji statistik kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri fraksi 1 dan 4 memberikan perbedaan yang nyata sedangkan kemampuan menghambat fraksi 2 dan 3 tidak memberikan perbedaan yang nyata (p ≤0.5).
1
2
4
Keterangan: 0: Tdak ada kemampuan menghambat (diameter penghambatan 0 mm) St : S. Typhimurium Pa: P. aeruginosaBc : B. cereus Ec : E. coli Sa: S. aureus Lm : L. Monocytogenes
Gambar 1 . Kemampuan Fraksi sirih menghambat pertumbuhan S. aureus Keterangan : 1: fraksi 1; 2 : fraksi 2; 3 : fraksi 3; 4 : fraksi 4
Dari data diameter penghambatan yang diperoleh (Tabel 1), kemampuan penghambatan dari fraksi –fraksi sirih berbeda untuk masing-masing bakteri uji karena ada fraksi tertentu yang
Perbedaan kemampuan menghambat dari masingmasing fraksi ini diduga mungkin disebabkan karena adanya kandungan senyawa kimia yang berbeda dari masing-masing
3
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 234
ISBN 978-602-98902-1-1
fraksi tersebut. Hasil ini sesuai dengan pendapat dari Naidu (2000), yaitu bahwa aktivitas antimikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah komposisi kimia. Eugenol yang merupakan komponen penyusun dari minyak esensial cardamon ( kapulaga) lebih efektif menghambat bakteri B. subtilis dan S. aureus bila dibandingkan terhadap E. coli. Dari penelitian Pepeljnajk et al ( 2005 ) diperoleh hasil bahwa 2 fraksi flavonoid (F1 dan F2) yang diperoleh dari tanaman Pelargonium radula mempunyai aktivitas antimikroba yang berbeda. SIMPULAN Dari ekstrak etanol sirih hijau diperoleh 17 fraksi dan tidak semua fraksi mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji. Dari ke 17 fraksi tersebut yang dapat menghambat ke enam bakteri uji hanya fraksi 1, 2, 3, 4 dan 14 dengan diameter penghambatan antara 10 mm sampai 27 mm. Dari ke enam bakteri uji yang digunakan, bakteri yang efektif dihambat oleh fraksi- fraksi sirih hijau berturut-turut dari yang tertinggi rendah berturut-turut adalah B. cereus, S. aureus, P. aeruginosa, S. Typhimurium, L. monocytogenes dan E. coli. Pada fraksi 3 dan fraksi 4 diketemukan adanya senyawa kavikol; asam dodekanoat; miristat; palmitat dan oleat. DAFTAR PUSTAKA Garriga M, H. M. Aymerich dan Monfort J. M. 1993. Bacteriocinogenic Activity of Lactobacilli from Fermentor Sausages. J. Appl Bacteria 75: 142-148. Harapini M; A. Agusta dan R. D. Rahayu (1996). Analisis komponen kimia minyak atsiri dari dua macam sirih (daun kuning dan hijau). Prosiding Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Aromatika. Bogor 10-12 Oktober 1995. Nalina T dan Z.H. A. 2007. The Crude Aqueous Extract of Piper betle Linn and its Antibacterial Effect Toward Streptococcus mutans. American Journal of Biotechnology and Biochemistry 3 (1): 10-15. Naidu A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. London. Pepeljnjak S., Z. Kalodera dan M. Zovko. 2005. Antimicrobial Fctivity of flavonoid from Pelargonium radula (Cav.) L’Herit. Acta Pharm 55 (2005): 431-435. Suteja L dan Agustina. 1994. Ekstraksi dan Fraksinasi Komponen Bioaktif Antimikroba dalam Biji dan Daun Lada. JKTI, Vol 4- No. 2. Desember. 1994. Yang J.N. dan C.C. Chou. 1997. Antimicrobial Activity of various Solvent Extracts of Betel Quid Ingredients. Food Science, Taiwan; 24 (5) : 497-505.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 235
ISBN 978-602-98902-1-1
Potensi Lengkuas ( Alpinia galanga) Sebagai Antimikrobia Pada Pindang Ikan (Potency of Languas ( Alpinia galanga) as Antimicrobial in Pindang Fish) Merkuria Karyantina(1), Nanik Suhartatik(1), Agung Setya Wardana(1) (1)Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta Jl.Sumpah Pemuda No.18,Joglo,Kadipiro, Surakarta 57136
ABSTRACT Pindang fish is one of preserve fish product. People like that product, because pindang have specific taste and not salty. In this process, fish was preserved with steam or boiled in salty inveronment and normal presure for againts the pathogen bacteria or inhibit activity of enzim. But, people take dangerous chemical for make pindang fish. Pindang is not durable product because water activity in pindang was high so pathogen bacteria and microorganism can growth. One of natural preservative for pindang fish is languas (Alpinia galanga). This aim of research is to know influence of salt and languas powder combination for making of pindang. Analyzed conduct on 0, 2, 4 and 6 days after making pindang fish. Microbiology analized showed that add salt and languas powder can decrease of microbial growth. Combination of salt 10% and languas powder 6% showed amount of total microbe was less than the other combination (2,39 x 10 8 cfu/ml) on sixth days. Amount of total coliform also showed was less (9,30 x 10 3cfu/ml) on sixth days. Visual observed on sixth days showed that combination salt 10% and languas powder 6% was became dry and off odor. Keyword : languas powder, pindang, microbiology
PENDAHULUAN Manusia telah memanfaatkan ikan sebagai salah satu bahan pangan yang banyak mengandung protein, sejak beberapa abad yang lalu. Protein ikan sangat diperlukan oleh manusia karena selain lebih mudah dicerna juga mengandung asam amino dengan pola yang hampir sama dengan pola asam amino dalam tubuh manusia. Keuntungan memanfaatkan daging ikan sebagai sumber protein antara lain adalah kandungan protein daging ikan cukup tinggi (20 %), mengandung sedikit tenunan pengikat (tendon) sehingga mudah dicerna tubuh, meskipun kandungan lemak cukup tingg (0,1 – 2,2 %) akan tetapi 25 % dari jumlah tersebut merupakan asam-asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan manusia, kadar kolestrol sangat rendah, mengandung sejumlah mineral (K,Cl,P,S,Mg,Ca,Fe,Zn,F,Ar,Cu dan Y), kandungan vitamin A dan D dalam jumlah mencukupi kebutuhan tubuh manusia. Daging ikan dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat. Disamping keuntungan-keuntungan mengkonsumsi daging ikan, ikan mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan ikan antara lain adalah tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi (80 %) dan pH mendekati netral sehingga merupakan media tumbuh bakteri pembusuk maupun mikroorganisme. Daging ikan mudah mengalami autolisis sehingga daging menjadi lunak dan menjadi media pertumbuhan mikroorganisme. Daging sangat mudah mengalami proses oksidasi sehingga sering timbul bau tengik pada tubuh ikan. Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri perikanan. Tujuan pengolahan dan pengawetan ikan adalah mencegah proses pembusukan ikan, meningkatkan jangkauan pemasaran ikan, diversifikasi pengolahan produk perikanan dan meningkatkan pendapatan petani.
Salah satu produk olahan ikan adalah ikan pindangDalam proses pemindangan, ikan diawetkan dengan cara mengukus atau merebusnya dalam lingkungan bergaram dan bertekanan normal, dengan tujuan menghambat aktivitas atau membunuh bakteri pembusuk maupun aktivitas enzim (Afrianto, et al, 2005). Daya awet ikan pindang relatif rendah terutama bila dibandingkan dengan produk ikan asin, karena kadar cairan dalam tubuh ikan pindang masih terlalu tinggi sehingga bakteri pembusuk dan mikroorganisme lain masih dapat tumbuh dangan baik (Afrianto, et al. 2005). Berbagai upaya telah dilakukan misalnya dengan cara menggarami ikan, mengangkut ikan dengan es batu atau dengan penambahan bahan lain yang sifatnya mengawetkan ikan. Namun tidak jarang penjual ikan menggunakan bahan pengawet yang berbahaya dan dilarang untuk produk makanan, salah satu contohnya adalah penggunaan formalin. Sebenarnya di alam banyak kita temui bahan pengawet alami yang bisa digunakan sebagai pengawet ikan. Penelitian Wardana dkk (2007) tentang potensi daging picung (kluwak) dalam mengawetkan pindang ikan membuktikan bahwa pelumuran pindang ikan dengan bubuk picung dan garam mampu menekan pertumbuhan bakteri pada pindang ikan, serta mampu memperpanjang umur simpan dari pindang ikan sampai umur 6 hari. Bahan lain yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet ikan adalah lengkuas atau laos (Alipinia galanga). Lengkuas mempunyai kemampuan dalam menghambat aktivitas mikrobia pembusuk. Senyawa dalam lengkuas yang mampu menghambat aktivitas mikrobia adalah kandungan minyak atisiri. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dkk membuktikan bahwa kombinasi bubuk lengkuas 2,5 % dan garam 5 % mampu memperpanjang umur simpan ikan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 236
ISBN 978-602-98902-1-1
METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lengkuas putih (diekstrak menjadi bubuk), ikan tongkol, garam, media Plate Count Agar, Violet Red Bile Agar, NaCl cair (sebagai media pengencer), Nutrient padat dan cair, solat bakteri patogen Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Alat yang digunakan adalah inkubator, autoclave, sentrifuge, timbangan analitik, vortek, waterbath, pipetman, magnetic stirrer, dispenser, cawan petri, erlenmeyer, tabung reaksi, gelas beker, gelas ukur, baskom, kompor, panci untuk mengukus, pisau, besek. Tahap awal penelitian adalah pembuatan pindang ikan dengan perlakuan kombinasi penggunaan garam dan bubuk lengkuas dengan komposisi sebagai berikut Tabel 1. Tabel konsentrasi penggunaan garam dan bubuk picung Konsentrasi garam Konsentrasi bubuk lengkuas (per (per kg) kg) 0% 2% 0% 4% 6% 0% 2% 5% 4% 6% 0% 2% 10 % 4% 6% Analisis dilakukan pada penyimpanan pindang ikan hari ke 0, 2, 4 dan 6. Sedang parameter yang dianalisis adalah Analisis Mikrobiologi dengan menggunakan media PCA dan VRBA), Analisis Protein (Metode Gunning), Analisis Kadar air (Thermogravimetri), Analisis derajat keasaman (pH), Pengamatan secara visual, Uji penghambatan terhadap bakteri patogen (S.aureus dan E.coli).
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Daya awet ikan pindang relatif rendah terutama bila dibandingkan dengan produk ikan asin, karena kadar cairan
dalam tubuh ikan pindang masih terlalu tinggi sehingga bakteri pembusuk dan mikroorganisme lain masih dapat tumbuh dangan baik (Afrianto, et al. 2005). Penelitian Wardana dkk (2007) tentang potensi daging picung (kluwak) dalam mengawetkan pindang ikan membuktikan bahwa pelumuran pindang ikan dengan bubuk picung dan garam mampu menekan pertumbuhan bakteri pada pindang ikan, serta mampu memperpanjang umur simpan dari pindang ikan sampai umur 6 hari. Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar air pindang ikan pada hari ke 0 masih cukup tinggi ( rata-rata lebih dari 60. Proses pengolahan pindang ikan dengan cara mengukus disinyalir menjadi penyebab tingginya kadar air setelah ikan selesai diolah. Kadar air pindang pada hari kedua, secara keseluruhan terjadi penurunan dibandingkan kadar air pada hari ke 0. Secara visual pindang ikan tampak mulai berlendir, bau pindang ikan masih segar dan agak berbau lengkuas pada perlakuan penambahan bubuk lengkuas. Kadar air pindang ikan pada hari keempat, secara keseluruhan terjadi penurunan dibandingkan pada hari kedua. Hasil penghitungan kadar air tampak bahwa kadar air pindang ikan cenderung tidak stabil, hal tersebut kemungkinan karena pengambilan sampel dilakukan pada hari keempat, sedang analisis dilakukan pada hari berikutnya.. Kenampakan secara visual menunjukkan bahwa pada hari keempat kadar air pindang ikan yang diberi penambahan bubuk lengkuas, sebagian besar tampak mengering dan beberapa mulai berbau agak busuk, agak berlendir. Perlakuan kombinasi penggunaan garam 0% dan bubuk lengkuas (0%, 2%, 4% dan 6%), pada hari keenam tampak mengering dan dagingnya hancur namun ikan tidak berbau busuk melainkan berbau terasi. Semakin banyak penambahan bubuk lengkuas, pindang ikan tampak awet, kering dan tidak berbau busuk. Kadar Air Pindang Ikan
Kadar Air (%)
kembung dari 5 hari menjadi 7 hari dengan suhu penyimpanan 40oC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi rimpang lengkuas putih sebagai antimikrobia pada pindang ikan dan mengetahui berapa komposisi penambahan jumlah garam dan bubuk lengkuas yang efektif dalam menekan pertumbuhan bakteri pada pindang ikan. Sehingga dari penelitian ini diharapkan memberikan alternatif bahan pengawet ikan yang aman bagi kesehatan serta mengurangi penggunaan bahan kiia berbahaya dalam mengawetkan ikan.
75,00 73,00 71,00 69,00 67,00 65,00 63,00 61,00 59,00 57,00 55,00 G0 L0
G0 L1
G0 L2
G0 L3
G1 L0
G1 L1
G1 L2
G1 L3
G2 L0
G2 L1
G2 L2
G2 L3
Pe rlak uan Hari ke 0
Gambar
Hari ke 2
Hari ke 4
1. Hasil analisis kadar air pindang ikan dengan menggunakan garam dan bubuk picung
Sedang perlakuan dengan penambahan kombinasi penggunaan garam 5% dan 10% dengan penambahan bubuk lengkuas (0%, 2%, 4% dan 6%) pada hari keenam, pindang ikan tampak berair, berbau busuk dan terdapat belatung. Analisis Protein
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 237
ISBN 978-602-98902-1-1
Daging ikan mengandung protein yang cukup tinggi (20%). Kandungan protein yang tinggi bisa memicu proses pembusukan oleh bakteri pembusuk yang secara alami ada pada tubuh ikan. Proses pemindangan dengan suhu yang tinggi diharapkan mampu mematikan bakteri yang ada pada ikan. Gambar 2 menunjukkan kadar protein pindang ikan selama penyimpanan. Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Kadar protein pada hari ke nol cenderung berbedabeda antar perlakuan. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena analisis tidak dilakukan secara bersamaan, melainkan secara bertahap. Kadar Protein Pindang Ikan 27,0000
Kadar Air (%)
25,0000 23,0000 21,0000 19,0000 17,0000 15,0000 G0 L 0
G0 L 1
G0 L 2
G0 L 3
G1 L 0
G1 L 1
G1 L 2
G1 L 3
G2 L 0
G2 L 1
G2 L 2
G2 L 3
akan mempunyai total mikrobia kurang dari atau sama dengan 106 koloni per gramnya. Sedangkan bahan yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi akan mempunyai jumlah mikrobia di atas 109 cfu/g. Jumlah total mikrobia tertinggi pada perlakuan penambahan garam 0% dan bubuk bubuk lengkuas 10%. Kenaikan jumlah sel secara drastis terjadi pada perlakuan penambahan garam 0% dan bubuk lengkuas (0%, 2%, 4% dan 6%), dimana jumlah sel awal berkisar antara 104 s/d 106 cfu/ml dan pada hari kedua menjadi 108 cfu/ml. Kombinasi bubuk lengkuas sebaiknya dikombinasi dengan penggunaan garam, sehingga lebih efektif dalam menekan pertumbuhan mikrobia. Total mikrobia pada pindang ikan pada penyimpanan hari keempat menunjukkan bahwa jumlah mikrobia terbanyak pada perlakuan penggunaan garam 0% dan bubuk lengkuas 0% yaitu 1,05 x 1011 cfu/ml sedang jumlah terbanyak pada perlakuan penambahan garam 10% dan bubuk lengkuas 6%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kombinasi penggunaan garam dan bubuk lengkuas yang semakin banyak mampu menekan pertumbuhan mikrobia sampai 4 hari. Gambar 3 menunjukkan jumlah mikrobia (log cfu/ml) selama penyimpanan 0, 2 dan 4 hari.
Pe r lak uan Hari ke 0
Hari ke 4
Analisis Total Mikrobia pada pindang ikan
Gambar 2. Kadar protein pindang ikan selama pada hari ke 0 dan ke 4
Analisis Total Mikrobia Selain pemantauan kadar air dan kadar protein dilakukan analisis mikrobiologis, yang meliputi analisis total mikrobia dan total coliform. Analisis total mikrobia pindang ikan dilakukan dengan menggunakan media Plate Count Agar (PCA). Jumlah sel awal tergolong rendah, yaitu antara 104 s/d 106 cfu/ml. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa bahan makanan yang tergolong dalam kondisi segar
11,00 10,00
Log (cfu/ml)
Kadar protein terendah tampak pada perlakuan penambahan garam 10% dan bubuk lengkuas 2%. Hal tersebut dimungkinkan protein telah mengalami degradasi selama penyimpanan. Protein hewani mudah rusak apabila terkena panas tinggi atau terkontaminasi oleh bakteri. Kadar protein terbanyak pada perlakuan penambahan garam 5% dan bubuk lengkuas 0%. Pengamatan selanjutnya dilakukan pada penyimpanan hari keempat. Salah satu indikator kerusakan protein pada bahan pangan hewani adalah timbulnya bau busuk yang menyengat. Pada hari kedua penyimpanan, pindang mulai berbau busuk. Pindang ikan pada penyimpanan hari keempat, bau busuk mulai menyengat, sehingga disinyalir telah terjadi kerusakan protein. Secara umum, kadar protein pada hari keempat cenderung lebih sedikit dibandingkan kadar protein hari kedua. Kadar protein tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan garam 5% dan bubuk lengkuas 2%. Kadar protein terendah pada perlakuan penambahan garam 10% dan bubuk lengkuas 2%. Pada hari keenam tidak dilakukan analisis protein, karena pindang ikan sudah berbau busuk dan menyengat.
12,00
9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 G 0L0
G 0L1
G 0L2
G 0L3
G 1L0
G 1L1
G 1L2
G 1L3
G 2L0
G 2L1
G 2L2
G 2L3
Perlakuan Hari ke 0
Hari ke 2
Hari ke 4
Gambar 3. Nilai Total Plate Count selama penyimpanan pindang ikan Potensi lengkuas sebagai antimikrobia terdapat pada komponen minyak atsiri yang ada pada lengkuas. Analisis Bakteri Coliform Analisis total coliform dilakukan dengan menggunakan media Violet Red Bile Agar dengan metode pour plate. Gambar 4 menunjukkan jumlah colifom selama penyimpanan pindang ikan. Hasil analisis total coliform pada hari ke nol menunjukkan bahwa tidak ditemukannya bakteri coliform pada semua perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pindang ikan setelah proses pemasakan sangat layak untuk dikonsumsi.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 238
ISBN 978-602-98902-1-1
Analisis Total coliform pada pindang ikan 7,00
6,00
Log (cfu/ml)
5,00
4,00
3,00 2,00
1,00 0,00 G0L0
G0L1
G0L2
G0L3
G1L0
G1L1
G1L2
G1L3
G2L0
G2L1
G2L2
G2L3
-1,00
Perlakuan Hari ke 0
Hari ke 2
Hari ke 4
Gambar 4. Pertumbuhan total coliform pindang ikan dengan penambahan garam dan bubuk lengkuas Jumlah coliform pada hari kedua menunjukkan peningkatan jumlah bakteri. Jumlah coliform tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan garam 0% dan bubuk lengkuas 0% yaitu 5,00 x 105 cfu/ml, sedang pada perlakuan yang lain jumlah coliform berkisar 101-103 cfu/ml. Pengamatan hari keenam menunjukkan bahwa jumlah coliform terjadi peningkatan dibandingkan pada hari kedua. Peningkatan jumlah berkisar antara 101-103 cfu/ml. Jumlah coliform terbanyak pada perlakuan penambahan garam 0% dan bubuk lengkuas 0% yaitu 5,00 x 106 cfu/ml. Minyak atsiri pada lengkuas mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif maupun negatif (Anonim1, 2007). Penelitian yang dilakukan Yuharmen (2002), minyak atsiri lengkas sampai konsentrasi 10 % tidak aktif terhadap E.coli dan jamur Rhizopus sp. Namun pada konsentrasi 6 % sampai 8 % minyak atsiri lengkuas sudah dapat menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus serta jamur Neurospora sp. dan Penicillium sp. Analisis Keasaman (pH) Keasaman (pH) suatu bahan makanan sangat mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen terhadap bahan pangan tersebut. pH juga sangat mempengaruhi pertumbuhan mikrobia, pH yang ekstrem rendah atau tinggi mampu menghambat pertumbuhan mikrobia. pH Pindang Ikan 8,0
Gambar 5 menunjukkan bahwa derajat keasaman pindang ikan cenderung masih tinggi, berkisar antara 5,5- 7,5. Pada hari ke 0, pH pindang ikan adalah sama untuk semua perlakuan. Pada hari kedua pH pada perlakuan penambahan garam 0 % dan bubuk lengkuas 0% serta penambahan garam 0% dan bubuk lengkuas 2% menunjukkan pH yang meningkat. Peningkatan tersebut dikarenakan kadar air pindang tinggi. Pindang yang disimpan selama 4 hari menunjukkan kecenderungan pH yang stabil pada sebagian besar perlakuan. Pada penyimpanan hari keenam, pH pindang cenderung mengalami peningkatan pada semua perlakuan. Hal tersebut kemungkinan karena terjadi peningkatan kadar air selama penyimpanan sehingga suasana lingkungan menjadi basa. Kombinasi penggunaan garam dan bubuk lengkuas yang semakin banyak maka pH pindang cenderung semakin basa. pH terendah pada penyimpanan hari keenam terdapat pada perlakuan penambahan garam 5% dan 10% yang dikombinasikan dengan penambahan bubuk lengkuas 4% dan 6%. Bubuk lengkuas mampu memberikan suasana lingkungan yang asam sehingga kenaikan pH tidak terlalu mencolok. Pada pH yang rendah, beberapa jenis bakteri tidak mampu tumbuh dengan baik.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. 2. 3.
Kandungan minyak atsiri pada lengkuas berpotensi digunakan sebagai bahan pengawet pindang ikan. Kombinasi penggunaan garam dan bubuk lengkuas lebih efektif dalam menekan pertumbuhan mikrobia pada tubuh pindang ikan. Perlakuan dengan menggunakan garam 10% dan bubuk lengkuas 6% menunjukkan jumlah mikrobia yang rendah (2,39 x 108 cfu/ml) pada penyimpana hari keempat. Aroma lengkuas cukup kuat sehingga jika diolah lebih lanjut, pindang ikan akan memberikan cita rasa yang khas.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, Tim Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dirjen pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana bagi pelaksanaan Penelitian Dosen Muda ini, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Unisri, rekan dosen, laboran serta semua pihak yang terlibat dalam kegiatan Penelitian ini..
DAFTAR PUSTAKA
7,5 7,0
pH
6,5
Anonim1. 2007. Alpinia Galanga – Greater Galanga. www.tropilab.com . Download 3 Januari 2008
6,0 5,5 5,0 4,5 4,0
G 0 L0
G 0 L1
G 0 L2
G 0 L3
G 1 L0
G 1 L1
G 1 L2
G 1 L3
G 2 L0
G 2 L1
G 2 L2
Afrianto, Eddy ; Liviawaty, Evi. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Peneribit Kanisius Yogyakarta
G 2 L3
Perlakuan
pH hari ke 0
Gambar
pH hari ke 2
pH hari ke 4
pH hari ke 6
5. pH pindang ikan dengan kombinasi penambahan garam dan bubuk lengkuas selama penyimpanan
Astawan, Made Prof.DR. 2004. Ikan Pindang Tangkal Penyakit Degeneratif. www.kompas.com. Download 9 Maret 2006 Hernani dan Rahardjo,M. 2005. Tanaman Antioksidan. Penebar Swadaya. Jakarta
Berkhasiat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 239
ISBN 978-602-98902-1-1
Kunia, Kabelan. 2007. Lengkuas Pengganti Formalin.. www.pikiran-rakyat.com . Download 3 Januari 2008 Pandit, I.G. Suranaya; Suryadhi,N.T.; Arka, I.B. Adiputra, N. 2008. Pengaruh Penyiangan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Kimiawi, Mikrobiologis dan Organoleptik Ikan Tongkol (Auxis tharzard Lac). Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (Progran Pasca Sarjana Universitas Udayana). Bali http://ejournal.unud.ac.id Download 10 Januari 2008 Sinaga,
Erna. 2007. Alpinia Galanga (L.) http://iptek.apjii.or.id. Download 3 Januari 2008
Willd..
Yuharmen, Eryanti, Yum; Nurbalatif. 2002. Uji Akitivitas Antimikrobia Minyak Atsiri dan Ekstrak Metanol Lengkuas (Alpinia galanga).. Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Riau. Wardana, Agung S.;Suhartatik, Nanik. 2007. Potensi Picung Sebagai Senyawa Antimikrobia Pada Pembuatan Ikan Pindang. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 240
ISBN 978-602-98902-1-1
APLIKASI EKSTRAK LADA (Piper nigrum L.) SEBAGAI PENGAWET ALAMI PADA NILA HITAM (Oreochromis niloticus L.) SELAMA PENYIMPANAN DINGIN [Application of Extract of Pepper (Piper nigrum L.) As Natural Preservative in Black Tilapia (Oreochromis niloti L.) During Chilling Storage ] 1)
Adolf J. N. Parhusip1) , Amelia Soliman2) , Eveline1)
Master of Food Technology and Food Technology Department of Universitas Pelita Harapan 2) Alumni of Food Technology Universitas Pelita Harapan
ABSTRACT
Pepper (Piper nigrum L.) is a kind of spices usually used as traditional medicine and culinary herbs. Many reports have been published to explore the antimicrobial compound in pepper which is its capabilility of inhibiting the growth of pathogenic bacteria. LC50 results of toxicity tests of black pepper and white pepper extract was ≤ 50 ppm which means they are categorized as low toxicity. This research consists of three steps: extraction with ethyl acetate solvent, antimicrobial activity test and application to fresh black tilapia (Oreochromis niloticus L.). Both of black pepper and white pepper extracts have smaller diameters of inhibition against B. cereus (0.42 mm) and (0.51 mm) respectively, at 50% concentration. From the result of aromatic oil either from white pepper (6.14 mm) or black pepper (8.68 mm) showed that B. cereus was more sensitive than other bacteria. Antibacterial activity of white pepper extract and black pepper has higher inhibition than that of aromatic oil of white pepper and black pepper against S. aureus (12.76 mm) and B. cereus (16.23 mm) at 25% concentration. Organoleptic test showed that fresh black tilapia soaked in solution of 4 MIC and 5 MIC could extend shelf life up to 2 days in chilling storage. Microbiological test showed that 3 MIC, 4 MIC, and 5 MIC reached the maximum limit of microbiological range of Indonesia Fresh Fish Standard (SNI) at 1, 2, and 3 days, respectively. Challenge test result showed that black pepper could inhibit bacterial growth in fresh black tilapia. Keyword: pepper seeds, antimicrobial activity, extracts, fresh black tilapia, chilling storage
PENDAHULUAN
METODOLOGI
Ikan nila hitam (Oreochromis niloticus L.) merupakan salah satu bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan. Ikan nila hitam mengandung air dan protein yang cukup tinggi sehingga menjadi media pertumbuhan yang baik untuk bakteri (Sukarya, 2009). Beberapa bahan pangan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan secara alami mengandung komponen antibakteri dan sering digunakan sebagai pengawet alami. Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu jenis rempah yang banyak ditemukan dan mudah diperoleh. Ekstrak lada hitam dan lada putih yang diperoleh dengan metode maserasi pelarut etil asetat memiliki aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri patogen seperti bakteri Gram positif (Bacillus cereus dan Listeria monocytogenes), bakteri Gram negatif (Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa), dan kapang (Aspergillus flavus) (Daniel, 2010). Kemampuan lada sebagai antibakteri dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional, antibiotik (Daniel, 2010) atau sebagai pengawet alami yang memungkinkan mengalami penurunan mutu dikarenakan rekontaminasi bakteri, namun aplikasi bahan pangan pada ikan nila hitam belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan potensi lada sebagai bahan pengawet alami sehingga dapat menurunkan total bakteri dan memperpanjang umur simpan dari ikan nila hitam segar (Oreochromis niloticus L.).
Bahan dan alat Bahan yang digunakan adalah biji lada hitam dan biji lada putih yang diperoleh dari Lampung, ikan nila hitam segar (Oreochromis niloticus L.). Kultur yang digunakan adalah P. aeroginosa, B. cereus, E. aerogones, S. faecalis, L. monocytogenes dan S. aureus. Bahan pendukung yang digunakan adalah Nutrient Agar (NA), Nurient Broth (NB), Plate Count Agar (PCA) sedangkan pelarut yang digunakan adalah etil asetat (food grade), etanol 96%. Alat yang digunakan adalah mikroskop, cawan petri, labu erlenmeyer, inkubator, heater, vortex, colony counter, laminar air flow, refrigerator, jarum ose, gelas ukur, kertas saring, blender, corong buchner, rotary evaporator, autoklaf, incubator shaker, labu destilasi, refrigerator, labu lemak, Spektrofotometer dan aluminium foil. Prosedur penelitian Penelitian pendahuluan terdiri dari preparasi bahan, ekstraksi dengan metode maserasi, pengujian fitokimia, pengujian kadar piperin, pengujian toksisitas, penentuan minyak atsiri, menentukan fase pertumbuhan bakteri lalu diuji aktivitas ekstrak, minyak atsiri dan bubuk dan menentukan MIC dan MBC, serta menentukan konsentrasi dan ekstrak terpilih. Penelitian utama terdiri dari aplikasi ekstrak dan konsentrasi lada terpilih pada ikan nila hitam segar dengan penyimpanan suhu dingin, pengujian deskriptif, pengujian total mikrobiologi dan challenge test.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 241
ISBN 978-602-98902-1-1
Ekstraksi dengan metode maserasi (Parhusip, et al. 2010) Metode maserasi dengan pelarut etil asetat (1:4) selama 24 jam suhu ruang. Hasil ekstrak disaring dan dipekatkan dengan rotary evaporator 40-45ºC.
Rendemen bubuk dan ekstrak Rendemen bubuk dan rendemen ekstrak dihitung dengan menggunakan perbandingan antara berat yang diperoleh (gram) dengan berat sampel sebelum dikeringkan (bubuk) dan diesktraksi (ekstrak) (gram) (Vilona, 2007). Penentuan kadar piperin lada (BSN2, 1995) Penentuan kadar piperin lada menggunakan Spektrofotometer pada panjang gelombang 343 nm (etanol sebagai blanko). Analisis kualitatif komponen fitokimia (Seidel, 2006) Penentuan fitokimia terhadap komponen-komponen aktif, seperti golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, terpenoid, fenolik dan glikosida. Penentuan kadar minyak atsiri (BSN2, 1995) Pemisahan minyak atsiri dengan cara destilasi uap dengan menggunakan air sebagai pelarut. Proses destilasi dihentikan apabila tidak ada lagi butir-butir minyak yang menetes bersama air atau volume minyak tidak bertambah dan berlangsung selama 6 jam. Pengujian toksisitas secara in-vitro (Juniarti et al., 2009) Pengujian toksisitas dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ekstrak dibuat konsentrasi 10, 100, 200, 500, dan 1000 ppm dalam air laut. Pengujian ini dilakukan dengan cara menghitung jumlah larva udang yang mati dan hidup. Penentuan fase pertumbuhan (Parhusip, 2005) Penentuan fase pertumbuhan bakteri dilakukan untuk mengetahui fase lag, fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian dari bakteri uji. Pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi sumur (Chowdhury et al., 2008) Konsentrasi ekstrak dibuat 5, 10, 15, 15, 20, dan 25% (b/v) dan kontrol. Metode difusi sumur untuk menentukan ekstrak terpilih dan nilai MIC dan MBC (Parhusip, et al. 2010). Pengujian aktivitas antibakteri juga dilakukan untuk menentukan ekstrak terpilih antara lada putih atau lada hitam untuk diaplikasikan pada ikan nila hitam. Aktivitas ekstrak selama perendaman ikan nila hitam Ikan nila hitam direndam larutan ekstrak selama 20 menit dengan konsentrasi 0 MIC, 3 MIC, 4 MIC, dan 5 MIC lalu disimpan pada suhu dingin dengan adanya kontrol yaitu ikan nila yang tidak direndam dalam ekstrak lada tetapi direndam dengan air. Setelah perendaman, ikan nila hitam yang telah disimpan dilakukan pengamatan deskriptif setiap hari
pengamatan dan pengujian total bakteri menggunakan metode Total Plate Count dan hasilnya dibandingkan dengan SNI 012729.1-2006 (BSN1, 2006).
Pengujian deskriptif ikan nila hitam selama masa penyimpanan Pengamatan deskriptif dilakukan terhadap parameter mata, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur ikan kemudian dibandingkan dengan SNI 01-27291-2006 yang ditulis pada lembar pengamatan deskriptif. Data hasil pengamatan deskriptif akan diolah menggunakan uji ANOVA dengan Program SPSS (Statistical Program for Social Science). Pengujian total mikrobiologi (Suryani et al., 2006) Penentuan Total Plate Count dengan cara diinokulasi dengan metode agar tuang untuk menghitung jumlah bakteri dan diinkubasi pada suhu 37ºC. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai jumlah koloni per gram. Challenge test (Mannisjah, 2005) Ikan nila hitam yang ditambah ekstrak dengan konsentrasi terpilih serta ikan nila hitam tanpa penambahan ekstrak yang direndam bakteri uji 106 cfu/ml. Selanjutnya, ikan yang hanya direndam dengan bakteri berfungsi sebagai kontrol kemudian ikan direndam dengan persentase MIC terbesar dan disimpan pada suhu dingin (6 - 10ºC). Setelah 24 jam penyimpanan dihitung total bakterinya. Jenis bahan
Rendemen bubuk (%)
Rendemen ekstrak (%)
Rendemen minyak atsiri (%)
Lada Putih Lada Hitam
97,22
9,41
2,58
Rendemen kadar piperin (%) 6,98
97,29
12,62
4,61
9,29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan bubuk dan ekstrak lada Hasil rendemen bubuk lada, ekstrak lada, minyak atsiri lada, kadar piperin lada, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil rendemen bubuk lada, ekstrak lada, minyak atsiri
Rendemen yang dihasilkan bubuk, ekstrak, minyak atsiri, kadar piperin pada lada hitam lebih tinggi dibandingkan dengan lada putih. Selanjutnya ekstrak lada yang dihasilkan diuji komponen fitokimianya (Tabel 2). Hasil pengujian toksisitas pada ekstrak lada putih dan ekstrak lada hitam yaitu ≤ 50 ppm. Menurut Jurniarti et al. (2009), ekstrak tergolong toksik apabila memiliki nilai LC50 ≤ 30 ppm. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak lada hitam dan lada putih tergolong kategori bertoksisitas rendah.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 242
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 2 Komponen Fitokimia Ekstrak Lada Putih dan Ekstrak Lada Hitam
12 jam
3,1x108cfu/
2,5x108cfu/ ml
ml
ml
5,43 ± 0,305
us
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
S .a u re
Fase Pertumbuhan Bakteri Uji Kurva fase pertumbuhan dari bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 3 yang menunjukkan waktu inkubasi bakteri uji pada masing-masing fase pertumbuhan bakteri dan total bakteri yang dihasilkan. Fase lag semua bakteri uji pada interval 0 - 2 jam sehingga fase lag yang dipilih adalah 2 jam. Fase eksponensial pada interval 3 – 12 jam sehingga fase eksponensial dipilih selama 6 jam. Hal ini didukung oleh Madigan et al. (2009), fase eksponensial bakteri berlangsung pada 3 - 12 jam. Fase stasioner berlangsung pada jam ke- 12 dan pada jam ke- 26 mulai memasuki fase kematian.
Diameter penghambatan (mm)
Keterangan (-) negatif, dan (+) positif
8,68 ± 0,92
12 jam
3,3x108cfu/
6,14 ± 0,16
12 jam
us
12 jam 4,0x1 08cfu/ ml
ml
Pengujian aktivitas antibakteri bubuk, minyak atisiri, dan ekstrak lada dengan metode difusi sumur Semakin besar konsentrasi ekstrak yang digunakan maka diameter penghambatan yang dihasilkan semakin besar dan hubungan antara diameter penghambatan dan konsentrasi ekstrak (Gambar 2) pada masing-masing bakteri berbeda nyata (p ≤ 0,05).
ere
ml
1,9x107cfu/ ml
5,1 ± 0,23
3,1x1 06cfu/ ml
B.c
6 jam
2,8x106cfu/
4,12 ± 0,87
6 jam
3,4x106cfu/
+
en e s
6 jam
+
5,36 ± 0,11
6 jam
Steroid Glikosida
Kualitatif
er o g
3,0x104cfu/ ml
Metode Pengujian
E.a
2,9x104cfu/ ml
4,04 ± 0,53
3,5x104cfu/ ml
in o sa
2,4x1 04cfu/ ml
6,41 ± 0,1
1 jam
er u g
2 jam
5,34 ± 0,08
2 jam
P.a
3,4x10 8cfu/ml
2 jam
Ekstrak etil asetat lada
es
12 jam
S. faecalis
6,36 ± 0,14
Fase Stasion er
1,1x10 7cfu/ml
E. aerogenes
yt o g en
6 jam
S. aureus
4,65 ± 0,61
Fase Ekspon ensi al
B. cereu s
Lada Hitam + + + +
L. m on o c
2,2x10 4cfu/ml
P. aeru gino sa 2 jam 3,9x 104c fu/m l 6 jam 3,3x 106c fu/m l 12 jam 3,3x 108c fu/m l
Lada Putih + + + +
aec alis
L. monoc ytogen es 2 jam
Senyawa Fitokimia Alkaloid Saponin Tanin Fenolik Flavonoid Triterpenoid
7,55 ± 0,21
Fase Lag
Waktu Inkubasi (jam)
Jenis Contoh
S. f
Fase Pertumbuh an
Tabel 3 Waktu Inkubasi Bakteri Uji
Lada putih Lada hitam
Keterangan:Notasi yang beda pada masing-masing bakteri setiap konsentrasi menunjukkan berbeda nyata (α ≤ 0,05) Fase stasioner Fase log Fase lag
Gambar 1. Kurva fase pertumbuhan bakteri
Fase kematian
Gambar 2. Aktivitas antibakteri minyak atsiri lada putih dan lada hitam terhadap masing-masing bakteri uji
Hasil pengujian minyak atsiri lada putih (6,14 mm) dan lada hitam (8,68 mm) yang menunjukkan B. cereus paling sensitif dibandingkan dengan bakteri uji lainnya (Gambar 2c). Pengujian aktivitas antibakteri pada ekstrak lada putih dan ekstrak lada hitam pada paling efektif pada S. aureus (12,76 mm) dan B. cereus (16,23 mm) pada konsentrasi 25% (Gambar 2a dan 2b). Bakteri Gram negatif lebih sulit menghambat dibandingkan bakteri Gram positif (Edinburg, 2010). Oleh karena itu, senyawa antibakteri pada ekstrak lada lebih sulit masuk ke dalam dinding sel bakteri Gram negatif. Penentuan ekstrak dan konsentrasi terpilih untuk aplikasi pada ikan nila hitam segar Ekstrak terpilih yang digunakan pada aplikasi ikan nila hitam segar adalah ekstrak lada hitam. Penentuan ekstrak lada hitam dipengaruhi beberapa faktor seperti secara visual, komponen fitokimia, kulit lada, rendemen, dan minyak atsiri lada, sedangkan konsentrasi terpilih untuk setiap ekstrak
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 243
0
3,6 ± 0,93g 5,47 ± 0,50ef 5,4 ± 0,48ef 5,27 ± 0,39f
5,37 ± 0,55ef 5,83 ± 0,28e 5,73 ± 0,39ef 5,67 ± 0,44ef
8,8 ± 0,32 8,8 ± 0,32a 8,8 ± 0,32a 8,8 ± 0,32a
7,87 ± 0,35cdef 8,03 ± 0,19bcde 8,53 ± 0,50abc 8,67 ± 0,44ab
0
1
a
10 9 8 7 6 5 4
6,6 ± 0,64gh 6,97 ± 0,06fgh
4,00 ± 1,00k 5,2 ± 0,36 j
7,43 ± 0,49def 7,87 ± 0,23cd
6,07 ± 1,00i 6,53 ±0,72hi
7,7 ± 0,42 ef
7,07 ± 0,25 h
6,07 ± 0,37 i
5,53 ± 0,50j
cde
8,07 ± 0,25
7,57 ± 0,49 fg
6,93 ±0,44 h
2 1 0 2
3
4
Lama penyimpanan (hari ke-) 3 M IC 4 M IC
KONTROL
Nilai 1-6 : mutu ikan rusak atau tidak dapat diterima oleh panelis ≥ 7 : mutu ikan baik atau diterima oleh panelis Gambar 3. Pengaruh lama penyimpanan dan konsentrasi ekstrak lada hitam terhadap nilai pengamatan deskriptif pada parameter (a) mata, (b) daging, (c) tekstur, (d) lendir pada permukaan badan, dan (e) bau
Pengujian mikrobiologi selama masa penyimpanan Selama masa penyimpanan sampai hari ke- 5 dilakukan uji mikrobiologi pada ikan yang telah disimpan pada masing-masing konsentrasi serta kontrol. Pengujian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat kerusakan pada ikan nila hitam dilihat dari total bakteri dari masing-masing konsentrasi yang mengacu pada SNI 01-2729.1-2006. 12,35
14 10,38 7,62
8,10 7,13 6,38 5,39
6
6,09 5,64 5,32
8
6,49 5,34 5,21 4,90
10 5,81 5,15 4,89 4,22
Total bakteri (log cfu/g)
2,53 ± 0,72l 4,07 ± 1,06k 5,13 ± 0,75ij 5,67 ±0,89i
5
5M IC
Keterangan: Notasi yang beda pada masing-masing bakteri setiap konsentrasi menunjukkan berbeda nyata (α ≤ 0,05)
5MIC
4,53 ± 0,72j 6,77 ± 0,59h 7,7 ± 0,42fg 7,9 ± 0,18ef
7,57 ± 0,49ef 8,07 ± 0,12cde 8,53 ± 0,50abc
6,5 ± 0,80gh
7,9 ± 0,24cde 8,23 ± 0,36bcd 8,8 ± 0,32ab
7,67 ±0,44de
8,83 ± 0,28ab 8,8 ± 0,32ab 8,87 ± 0,23ab
8,67 ± 0,44ab
8,87 ± 0,23a 8,87 ± 0,23a 8,87 ± 0,23a
8,87 ± 0,23a
5
5M IC
3
12
Nilai pengamatan deskriptif
4
5
4 MIC
(b) 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
6,2 ± 0,32i
8,63 ± 0,46 ab
8,07 ± 0,25 cde
7,6 ± 0,48 fg
8,73 ± 0,39 a
7,2 ± 0,32gh
3
8,28 7,42 6,29
6,57 ± 0,52d 6,67 ± 0,44d 6,67 ± 0,44d 6,5 ± 0,50d
8,27 ± 0,39 bcd
2
Lama Penyimpanan (hari ke-) 3 M IC 4 M IC
(e)
Lama penyimpanan (hari ke-)
4 2 0
0
1
2
3
4
0
5
1
Lama Penyimpanan (hari ke-) KONTROL
(c)
7,07 ± 0,25efg 7,64 ± 0,44cd 8,17 ± 0,33bc 8,53 ± 0,50ab
1
5,70
1,22 1,35 2,14
4
7,9 ± 0,18 def
1
1,6 ± 0,84p 2,33 ± 0,98o 3,2 ± 0,96n 4,53 ± 0,72kl
0,31 0,34 0,54
3
7,7 ± 0,42ef
8,77 ± 0,36 a
2
9,38
2,46 1,80 2,64
2
7,57 ± 0,49de 7,93 ± 0,25cd 8,5 ± 0,50ab 8,87 ± 0,23a
8,47 ± 0,50ab 8,67 ± 0,44ab 8,83 ± 0,28a 8,93 ± 0,12a 8,73 ± 0,39 a
8,5 ± 0,50 abc
8,47 ± 0,50abc
8,7 ± 0,42 ab
8,7 ± 0,42
ab
8,7 ± 0,42 ab
3
9,16 8,38
0,62 0,45 0,66
7,47 ± 0,50bc 7,3 ± 0,42c 7,23 ± 0,36c 7,43 ± 0,49bc
4
3,93 ± 1,00km 4,67 ± 0,56k 5,13 ± 0,25jk
2,15 1,40 1,80
7,77 ± 0,36b 7,47 ± 0,50bc 7,4 ± 0,48bc 7,4 ± 0,48bc
8,93 ± 0,12a 8,93 ± 0,12a 8,93 ± 0,12a
8.,3 ± 0,12a
6 5
MBC (%)
(a)
Nilai pengamatan deskriptif
7
KONTROL
3 MIC
5
5MIC
3,6 ± 0,84p
0,54 0,35 0,45
1
8
5,73 ± 0,93ij 6,3 ± 1,04hi 7,27 ± 0,39fg 7,53 ± 0,49def
0,75 0,74 0,74
0
9
7,67 ± 0,44def 8,2 ± 0,37 abcd
MIC (%)
KONTROL
4
0
MBC (%) 3,00 2,97 2,97
Pengamatan deskriptif ikan nila hitam selama masa penyimpanan Pengujian bertujuan untuk mempelajari lama umur simpan dari ikan yang telah direndam oleh ekstrak lada hitam secara deskriptif selama penyimpanan dingin. Hasil pengolahan statistik menunjukkan adanya berbeda nyata ≤ 0.05) (p terhadap mata, lendir pada permukaan badan, daging, bau dan tekstur. Ekstrak dengan konsentrasi 4 MIC dan 5 MIC yang direndamkan pada ikan selama penyimpanan pada pengamatan deskriptif terhadap masing-masing parameter daging, lendir pada permukaan badan ikan dan bau dapat efektif memperpanjang umur simpan ikan sampai 2 hari apabila dibandingkan dengan kontrol.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8,7 ± 0,42
ab
10
Nilai pengamatan deskriptif
S. aureus S. faecalis L. monocytogenes P. aeruginosa E. aerogenes B. cereus
8,93 ± 0,12a 8,93 ± 0,12a
KONTROL
Lada Hitam
MIC (%)
3
Lama Penyimpanan (hari ke-) 3 MIC 4 MIC
6,87 ± 0,62gh 7,43 ± 0,49efg
Lada Putih
2
1
(d)
Tabel 4 Nilai MIC dan MBC lada putih dan lada hitam terhadap bakteri uji Jenis Bakteri
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
0
Nilai pengamatan deskriptif
Penentuan MIC dan MBC ekstrak lada Nilai MIC dan MBC yang diperoleh secara keseluruhan terlihat bahwa ekstrak lada hitam memiliki nilai MIC dan MBC yang lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak lada putih (Tabel 4). Nilai MIC (0,54%) ini selanjutnya akan digunakan untuk aplikasi ekstrak lada hitam pada ikan nila hitam segar.
Nilai pengamatan deskriptif
terhadap bakteri diuji statistik dan visual yang mengacu pada Schwan et al., (2010), mampu menghambat bila zona penghambatannya lebih dari 6 mm.
8,93 ± 0,12a 8,93 ± 0,12a
ISBN 978-602-98902-1-1
3 MIC
4 MIC
5MIC
Kontrol
3 MIC
2
3
Lama penyimpanan (hari ke-) 4 MIC 5 MIC
4
5 SNI
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 244
ISBN 978-602-98902-1-1
Gambar 4. Pengaruh lama penyimpanan dan konsentrasi ekstrak terhadap total bakteri Total bakteri (log/g)
9,25
9,22
9
8,33
8,31
8 7 6
Kontrol
5
15%
4 3 2 1 0 0 1 Lama penyimpanan (hari)
(d) 10
9,93
9,3
9
Total bakteri (log/g)
Berdasarkan SNI 01-2729.1-2006, batas maksimum untuk Total Plate Count adalah 5 x 105 koloni/g. Ikan tanpa perendaman ekstrak atau kontrol telah melebihi batas maksimum total bakteri pada hari ke- 1, sedangkan ekstrak konsentrasi 3 MIC dan 4 MIC telah melebihi batas maksimum total bakteri pada hari ke- 2 dan ke- 3. Hasil berbeda konsentrasi 5 MIC melebihi batas maksimum total bakteri pada hari ke- 4. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman ikan dalam ekstrak mampu menurunkan total bakteri dibandingkan dengan hari penyimpanan kontrol. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan pada perendaman ikan nila hitam maka jumlah bakteri yang dihasilkan semakin menurun. Penurunan jumlah bakteri ini dikarenakan aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri dari ekstrak yang ditambahkan (Nollet et al., 2009).
10
8,32
8,31
8 7 6
Kontrol
5
15%
4 3 2 1 0 0 1 Lama penyimpanan (hari)
(e) 10 9
Total bakteri (log/g)
Challenge test Challange test pada ikan nila hitam segar menggunakan persen MIC terbesar yang dihasilkan dari bakteri uji pada ekstrak lada hitam yaitu 0,54 %. Challenge test merupakan salah satu metode untuk mempelajari kemampuan penghambatan pertumbuhan mikroba dari produk pangan pada kondisi yang telah ditentukan (Swarbick, 2007). (a) 10 8,36
7 5
5%
5%
4 3
0 1 Lama penyimpanan (hari)
3
10
2
9
1
8
(b) 9
Kontrol
5
(f)
4
0 1 Lama penyimpanan (hari)
Total bakteri (log/g)
6
0
6
Kontrol
10
7,32
7,24
7
1
7,01
0
9,27
9,27
7
5%
5 4 3 1 0 0 1 Lama penyimpanan (hari)
7.99
7 6
Kontrol
5
5%
4 3
0 Kontrol
6
9.33 8.16
1 7,34
8
9.33
2
8,21
2
(c)
8
2 7,33
8
Total bakteri (log/g)
Total bakteri (log/g)
9
9,33
9,34 8,35
0 1 Lama penyimpanan (hari)
Gambar 5. Pengaruh lama penyimpanan dan konsentrasi ekstrak pada challenge test terhadap (a) S. aureus, (b) B. cereus, (c) E. aerogenes, (d) P. aeruginosa, (e) L. monocytogenes, dan (f) S. faecalis
Perlakuan perendaman dengan ekstrak lada hitam dapat mengurangi jumlah bakteri terutama B. cereus dan S. faecalis yang dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 1 siklus log. Penambahan jumlah bakteri ikan (kontrol) pada hari ke- 1 untuk semua bakteri uji menunjukkan bahwa ikan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena ikan memiliki nutrisi yang tinggi pada kandungan air dan protein. Penghambatan bakteri uji oleh ekstrak lada hitam disebabkan oleh komponen aktif seperti alkaloid, fenolik, flavonoid, triterpenoid, dan glikosida. Potensi penghambatan bakteri juga dikarenakan oleh kandungan kulit dan minyak atsiri lada hitam yang berpotensi sebagai antibakteri dalam menghambat bakteri patogen pangan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 245
ISBN 978-602-98902-1-1
KESIMPULAN Komponen aktif berperan sebagai senyawa antibakteri ekstrak lada adalah alkaloid, fenolik, flavonoid, triterpenoid, dan glikosida. Bubuk lada putih dan lada hitam paling sensitif terhadap B. cereus (0,42 mm) dan (0,51 mm) pada konsentrasi 50% tetapi aktivitas penghambatan sangat rendah dibandingkan dengan aktivitas minyak atsiri lada putih (6,14 mm) dan lada hitam (8,68 mm) pada B. cereus paling sensitif dibandingkan dengan bakteri uji lainnya. Ekstrak lada hitam dipilih untuk diaplikasikan ikan nila hitam segar dengan nilai MIC tertinggi yaitu 0,54% (B. cereus dan S. aureus) dan ekstrak lada putih sebesar 0,75% (S. aureus). Ekstrak lada hitam selama penyimpanan dingin pada konsentrasi 4 MIC dan 5 MIC terhadap parameter uji, efektif memperpanjang umur simpan ikan sampai 2 hari. Perendaman dengan ekstrak lada hitam dapat mengurangi jumlah bakteri terutama B. cereus dan S. faecalis yang dapat menurunkan jumlah bakteri sebesar 1 siklus log.
SARAN Pengembangan aplikasi ekstrak lada sebagai pengawet alami yang dapat memperpanjang umur simpan dari suatu produk pangan seperti ayam lada hitam, mi basah lada hitam, dan tahu lada hitam.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standarisasi Nasional1. 2006.SNI 01-2729.1-2006: Ikan Segar Bagian 1-Spesifikasi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional, Badan Standarisasi Nasional2. 1995. SNI 01-0004-1995: Lada Putih. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional, Bloomfield, S.F1991.. Assessing Antimicrobial Activity. Dalam Denyer S.P. dan Hugo W.B. Mechanism of Action of Chemical Biocides. Oxford: Blackwell Scientific Publicat, Chowdhury, S. A., Islam, J. , dan Sultana, R. Cytoxycity, 2008. Antimicrobial and Antioxidant Studies of the Different Plant Parts of Mimosa Pudica. Stamford Journal of Pharmaceutical Sciences. S.J. Pharm. Sci. 1 (1&2): 8084. Daniel. 2010.Studi Aktivitas Antimikroba Lada Hitam dan Lada Putih (Piper nigrum L.) terhadap Mikroba Patogen Pangan. [skripsi]. Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan. Edinburgh, E. 2010. Microbilogy and Infection, 3rd edition. USA: Seidel, V. 2006. Initial and Bulk Extraction. Di dalam: Sarker, S.D., Latif, Z., dan Gray, A.I. (ed). Natural Products Isolation. 2nd ed. New Jersey: Humana Press. Juniarti, Osmeli, D. dan Yuhenita. 2009. Kandungan Senyawa Kimia, Uji Antioksidan (1,1-diphenyl-2-pikrilhydrazyl) dari Ekstrak Daun Saga (Abrus precatorius L.). Makara, Sains, Vol. 13, No. 1,50-54.
Madigan, M.T., H.M.Martinko, Dunlap P.V, dan Clark, D.P. 2009. Brock Biology of Microorganism 12th edition. California: Pearson. Nollet, L. M. L. dan Toldra, F. 2009. Handbook of Seafood and Seafood Products Analysis, Parhusip, A. J. N. 2005. Pengaruh Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap Kerusakan Sel Bacillus cereus. Volume 3 No. I. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Parhusip, A. J. N., Romasi, E. F., dan Octavia, J. 2010 “Analisis Kerusakan Sel Mikroba Patogen Akibat Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji dan Kulit Melinjo (Gnetum gnemon L.).” [laporan penelitian]. Karawaci: Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan. Schwan, W. R., Dunek, C., Gebhardt, M., Engelbrecht, K., Klett, T., Monte, A.,Toce, J., Rott, M.,Volk, T. J., LiPuma, T. J., Liu, T., dan McKelvey, R. 2010.Screening a Mushroom Extract Library for Activity Against Acinetobacter baumannii and Burkholderia cepacia and the Identification of A Sompound with Anti-Burkholderia Activity. Annals of Clinical Microbiology and ntimicrobials 9: 4, Sukarya, R. 2009..Aplikasi Bakteorisin dari Lactobacillus sp. GALUR SCG 1223 sebagai Pengawet pada Daging Ayam Segar. [skripsi] PascaSarjana IPB, Suryani, H. S., dan Peranginangin, R. 2006. Ekstraksi Gelatin dari Tulang Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) secara Asam. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol.1 No. 1. Swarbick, J. 2007.Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. New York: Informa Healthcare, pages 648-670. Vilona. 2007. Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) sebagai Pengawet Alami pada Mi Basah. [skripsi]. Jurusan Teknologi Pangan. Universitas Pelita Harapan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 246
ISBN 978-602-98902-1-1
APLIKASI ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SEBAGAI PENGAWET ALAMI PADA MI BASAH [Application of Antimicrobial Activity from Mangosteen Rind (Garcinia mangostana L.) as a Natural Preservative of Wet Noodle] Ratna Handayani1)*, Adolf J. N. Parhusip1), Vilona2)
1)Teknologi
Pangan, Universitas Pelita Harapan, 2)Alumni Universitas Pelita Harapan
ABSTRACT Mangosteen rind has been known as an antimicrobial agent, it is also used as an antioxidant, anti-inflammatory, medical uses and natural colorant. In this research, mangosteen rinds were extracted and tested the antimicrobial effect against Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, and Penicillium sp. The solvents used for extraction are ethanol, ethyl acetate, and hexane. The purposes of this research are to determine the best extract that gives the greatest inhibition zone, to determine the MIC and MBC of extracts toward microbes, to determine the antimicrobial compound mangosteen rind extracts, to observe its stability toward B. cereus spores, to observe its stability in certain pH, sugar or salt concentration, and heat condition, to observe its activity compare to antibiotics (streptomycin, amoxilin, and polymixin), and to observe the consumer acceptance and shelf life of noodle that added 5% and 10% ethanolic extract. The result showed that ethanol could inhibit Staphylococcus aureus (MIC 0.85% and MBC 3.42%), Bacillus cereus (MIC 0.86% and MBC 3.46%), and Escherichia coli (MIC 1.17% and MBC 4.66%), but did not inhibit Penicillium sp. The active compounds in mangosteen rind are alkaloid, phenol, flavonoid, triterpenoid, and steroid. The result of the extract stability indicated that sugar addition at 10-40 (%w/v) could increase the antimicrobial activity, whereas the salt addition at 14% (%w/v) could decrease the antimicrobial activity towards S. aureus. Ethanol extracts effective at pH 4. The heat temperature of ethanol extract at 80ºC and 100ºC all tested for 0, 5, 10, and 15 minutes show descent antimicrobial activity. The result also indicated that ethanol extract could inhibit the growth of B. cereus spores. The noodle which has 5% added extract could be accepted and has a longer shelf life. Key words :Antimicrobial activity, extracts, mangosteen rind, wet noodle
PENDAHULUAN
METODOLOGI
Salah satu masalah utama pada bahan pangan yang paling sering dihadapi adalah terjadinya penurunan mutu dan kerusakan dengan cepat selama penyimpanan, terutama pada bahan pangan yang bernutrisi dan mempunyai kadar air yang tinggi, seperti mi basah. Beberapa bahan pangan yang berasal dari tumbuhtumbuhan secara alami mengandung komponen-komponen yang bersifat antimikroba. Salah satu bahan pangan yang mengandung komponen antimikroba adalah buah manggis. Buah manggis diketahui mengandung senyawa fenolik seperti xanton, terutama pada kulitnya (Dweck, 2007). Komponen ini merupakan komponen aktif yang dapat bersifat sebagai antimikroba dan antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bubuk/ekstrak kulit buah manggis sebagai bahan pengawet alami mi basah, dengan menentukan ekstrak dan konsentrasi terpilih dalam menghambat berbagai mikroba, serta MIC dan MBC, menentukan komponen aktif yang terdapat pada ekstrak secara kualitatif, mengetahui kestabilan aktivitas antimikroba terhadap pengaruh pH, gula, garam, dan pemanasan, mengetahui pengaruh ekstrak terhadap spora, mengetahui aktivitas ekstrak kulit manggis dibandingkan dengan antibiotik, serta mengetahui penerimaan konsumen dan masa simpan mi basah yang ditambah ekstrak kulit buah manggis
Bahan dan alat Bahan yang akan digunakan untuk uji aktivitas antimikroba adalah kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.), kultur (Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, dan kapang Penicillium), Nutrien Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Potato Dextrose Agar (PDA), Potato Dextrose Broth (PDB), Plate Count Agar (PCA), Bile Brilliant Green Lactose Broth (BGLBB), etanol (teknis dan foodgrade), etil asetat (teknis), heksana (teknis), HCl (pro-analysis), NaOH (pro-analysis), KH2PO4 (pro-analysis), tween 80, gula, garam, dan aquadest, tepung terigu tinggi protein, garam, air, soda abu/kansui (K2CO3 dan Na2CO3), dan minyak kelapa. Alat yang digunakan adalah freeze dryer (Ilshin), pompa vakum, cawan petri, mikropipet, inkubator, autoklaf, laminar air flow, refrigerator, magnetic stirrer, heater, vortex, vaccuum evaporator, roller pencetak mi basah (roller cutter), texture analyzer (CNS-Farnell), dan chromameter (Minolta). Persiapan Kulit Buah Manggis Bahan baku berasal dari buah manggis yang telah dipilih (buah yang matang dan tidak busuk) dan dicuci, kemudian diambil kulitnya. Kulit buah manggis mengandung kadar air yang cukup tinggi sehingga untuk mengurangi kadar air dan menjaga kestabilannya, kulit buah manggis dikeringkan menggunakan freeze dry pada suhu -40ºC selama 48 jam. Kulit buah manggis kemudian dihaluskan sampai menjadi bubuk dengan menggunakan blender. Bubuk kulit buah manggis yang dihasilkan digunakan untuk proses ekstraksi.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 247
ISBN 978-602-98902-1-1
cawan petri dilakukan kontrol. Hal ini juga dilakukan pada bubuk kulit buah manggis dengan konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi ekstrak/bubuk yang digunakan adalah 10, 20, 30, 40, dan 50% (b/v), yang dibuat dengan melarutkan ekstrak dengan masing-masing pelarutnya (untuk bubuk dilarutkan dalam aquadest). Kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37ºC (30ºC untuk kapang). Diameter penghambatan diukur berdasarkan areal bening yang terbentuk di sekitar sumur.
Kulit Buah Manggis
Bubuk
Ekstraksi (etanol, etil asetat, heksana)
Etanol
Etil Asetat
Uji Spora
Heksana
Analisis Fitokimia
Uji Aktivitas
Penentuan MIC/MBC
Penentuan Nilai MIC dan MBC Perhitungan MIC dilakukan dengan memplotkan ln Mo (konsentrasi ekstrak) pada sumbu X terhadap nilai kuadrat diameter penghambatan (Z2) pada sumbu Y. Perpotongan antara kurva linier dengan sumbu X merupakan nilai Mt. Nilai MBC adalah nilai Mt dan nilai MIC adalah 0.25 x Mt.
Ekstrak dan Konsentrasiterpilih
Pembandingan dengan Antibiotik
Difusi Sumur
Pengaruh Konsentrasi Gula, Konsentrasi Garam, pH, dan Pemanasan terhadap Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Buah Manggis Larutan gula dengan konsentrasi 10, 20, 30,dan 40%, ditambahkan ke dalam ekstrak kulit buah manggis. Pengujian aktivitas dilakukan dengan metode difusi sumur. Garam dilarutkan dengan konsentrasi tertentu (1, 2, 3, 4, dan 5%.), ditambahkan ke dalam ekstrak. Pengujian aktivitas dilakukan dengan metode difusi sumur. Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak kulit buah manggis terhadap kondisi pH dilakukan dengan melarutkan ekstrak dalam buffer KH2PO4 pada pH 4, 5, 6, 7, dan 8. Pengujian dilakukan dengan metode difusi sumur. Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak kulit buah manggis terhadap pemanasan, ekstrak dipanaskan pada suhu 80ºC dan 100ºC, masing-masing selama 5, 10 dan 15 menit. Pengujian ini dilakukan dengan metode difusi sumur.
Ekstrak Terpilih
Uji Stabilitas
Formulasi pada Mi Basah (0%, 5%, 10%,15%, 20%)
pH, Gula, Garam, dan Pemanasan
Uji Penyimpanan (uji skoring, fisik, dan mikrobiologi)
Uji Hedonik
Challenge Test
Gambar 1 Diagram AlirPenelitian
Metode Ekstraksi Proses ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi selama 24 jam pada suhu ruang, menggunakan tiga pelarut, yaitu pelarut etanol, etil asetat, dan heksana. Perbandingan antara bubuk kulit manggis dan pelarut adalah 1:4. Larutan kemudian disaring dan filtrat hasil penyaringan, berupa ekstrak, dipekatkan dengan menggunakan vacuum evaporatorpada suhu 40-45ºC. Uji Aktivitas Antimikroba dengan Metode DifusiSumur Sebanyak 0.2% suspensi mikroba diinokulasikan pada media agar cair (NA untuk bakteri dan PDA untuk kapang). Agar cair dituangkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku, lalu dibuat sumur dengan diameter 6 mm dan dimasukkan sebanyak 60 µL ekstrak kulit buah manggis (ekstrak etanol, etil asetat, atau heksana), dan dalam setiap
Pembandingan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Buah Manggis dengan Antibiotik Uji ini dilakukan dengan metode difusi sumur yang menggunakan antibiotik (amoksilin, polimiksin, dan streptomisin) sebagai pembanding terhadap ekstrak terpilih kulit buah manggis. Konsentrasi antibiotik yang digunakan adalah 0.001 g/mL, 0.01 g/mL, dan 0.1 g/mL, dan konsentrasi ekstrak adalah 0.1 g/mL. Penentuan potensi aktivitas antimikroba ekstrak didasarkan pada diameter penghambatan yang terbentuk pada antibiotik dan ekstrak kulit buah manggis. Pengujian Mi Basah dengan Penambahan Ekstrak Kulit Buah Manggis Sampel mi basah yang diberikan kepada panelis adalah mi basah yang ditambahkan ekstrak kulit buah manggis dengan konsentrasi 0, 5, 10% (w/w). Panelis diminta memberikan penilaian berdasarkan tingkat kesukaan yang dinyatakan dalam skala 1-7 (tidak suka-sangat suka), parameter yang diuji adalah tingkat kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan secara keseluruhan. Pengujian skoring dilakukan selama masa penyimpanan, yaitu setiap hari selama 5 hari, dimulai dari hari pertama pembuatan mi basah (hari ke-0) sampai hari ke-4 masa
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 248
ISBN 978-602-98902-1-1
4
10
20
30
40
5.7 5.40 2b c5.6 4b
5.63b 4.95 b 5.57b
6
5.3 4.496b 5.39b
Pengujian Aktivitas Antimikroba Hasil pengujian terhadap aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa ekstrak dan bubuk kulit buah manggis dapat menghambat bakteri S. aureus, B. cereus, dan E. coli, tetapi tidak dapat menghambat kapang Penicilium sp. Hal ini dikarenakan Penicillium sp. merupakan organisme eukariotik yang memiliki struktur sel yang lebih kompleks dibandingkan bakteri. Kapang mempunyai susunan dinding sel yang lebih kompleks dibanding dengan sel bakteri. Dinding sel pada kapang terdiri dari polimer glukosa (dengan ikatan ß-1,3 kitin) dan kitin (bersifat kuat dan fleksibel). Kitin merupakan suatu
8 b
Tabel 1 Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kulit Buah Manggis Senyawa Ekstrak Ekstrak Etil Ekstrak Fitokimia Etanol Asetat Heksana Alkaloid + – + Saponin + + – Tanin + + – Fenol + + + Flavonoid + + + Streoid + + + Triterpenoid + + + Glikosida + + + Keterangan: + = positif, - = negatif
5.24b 3.84 a 4.62a
Analisis Kualitatif Fitokimia Hasil analisis kualitatif fitokimia ekstrak kulit buah manggis diduga mengandung senyawa alkaloid, fenolik, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan glikosida; kecuali yang menggunakanpelarut etil asetat yang tidak mengandung alkaloid (Tabel 1). Komponen-komponen tersebut merupakan komponen aktif yang dapat bersifat sebagai antimikroba.
Aktivitas Antimikroba Bubuk dan Ekstrak Kulit Buah Manggis Bubuk kulit buah manggis dapat menghambat bakteri uji S. aureus, B. cereus, dan E. coli. Diameter penghambatan bubuk kulit manggis terhadap mikroba uji dapat dilihat pada Gambar 2. Bubuk mempunyai kemampuan dalam menghambat bakteri, tetapi tidak sebesar penghambatan yang dihasilkan oleh ekstrak etanol. Hal ini disebabkan karena ekstrak merupakan konsentrat pekat yang diekstrak dari bubuk, sehingga pada ekstrak mengandung lebih banyak komponen aktif dibanding dengan bubuk dalam konsentrasi sama. Berdasarkan uji statistik (α = 0.05), konsentrasi ekstrak berpengaruh pada diameter penghambatan. Ekstrak kulit buah manggis menggunakan pelarut etanol pada konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50% (w/v) pada bakteri S. aureus menghasilkan diameter penghambatan yang lebih besar dibandingkan pada B. cereus dan E. coli. Perbedaan besarnya diameter penghambatan ini karena S. aureus dan B. cereus merupakan bakteri Gram positif, sedangkan E. coli tergolong dalam bakteri Gram negatif. Bakteri gram positif mempunyai dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan dan asam teikoat, sedangkan dinding sel bakteri gram negatif mempunyai dua lapisan membran yang disusun oleh lipopolisakarida, protein, dan fosfolipid pada lapisan luar serta lapisan tipis peptidoglikan pada membran dalam (Forsythe, 2000). Hal ini menyebabkan komponen aktif dalam ekstrak lebih sulit untuk masuk ke dalam bakteri gram negatif. Ekstrak kulit buah manggis menggunakan pelarut etil asetat menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji, yaitu S. aureus, B. cereus, dan E. coli.Berdasarkan uji statistik (α = 0.05), konsentrasi ekstrak memberikan pengaruh pada diameter. Diameter penghambatan pada ketiga bakteri uji tidak berbeda jauh, hal ini kemungkinan ekstrak etil asetat bersifat hidrofilik lipofilik. Sifat hidrofilik dapat melarutkan senyawa aktif larut dalam fase air tempat mikroba hidup, sedangkan senyawa hidrofobik dapat bekerja pada membran sel hidrofobik, seperti pada dinding sel E. coli (Naufalin, 2005 dan Brannen et al, 1993).
4.89 3.44a 4.12a
HASIL DAN PEMBAHASAN
polimer N-asetil-glukosamin dengan ikatan ß-1,4 (Brooks et al., 2004 dan Ardiansyah, 2002).
Diameter Penghambatan (mm)
penyimpanan. Sampel mi basah yang ditambahkan ekstrak kulit buah manggis dengan konsentrasi 0, 5, 10% (w/w) diberikan kepada panelis untuk dilakukan penilaian berdasarkan intensitas dengan skala 1-5 sesuai dengan parameter uji yaitu warna, aroma, dan kekenyalan. Pengujian fisik mi selama masa penyimpanan dilakukan terhadap warna dan tekstur. Uji warna dilakukan dengan alat chromameter dengan satuan warna L*a*b* (CIELAB), dan uji tekstur menggunakan alat texture analyzer (dengan probe 10, kecepatan 2 mm/s, dan distance 1 mm). Uji mikrobiologi dilakukan berdasakan SNI mi basah (SNI 01-2987-1992) terhadap total mikroba, E. coli, dan total kapang. Uji ini dilakukan setiap hari pada mi basah, dimulai dari hari pertama pembuatan mi sampai pada hari penyimpanan ke-4. Uji total mikroba dan kapang dilakukan dengan metode TPC (total plate count) pada media PCA, sedangkan E. coli dilakukan dengan metode MPN (most probable number) pada media BGLBB. Mi basah yang ditambah ekstrak dengan konsentrasi 5 dan 10%, serta mi basah tanpa penambahan ekstrak direndam dalam kultur mikroba uji selama 10 menit. Perhitungan mikroba dilakukan pada jumlah awal mikroba pada mi basah setelah perendaman, dan jumlah mikroba setelah 24 jam.
2 0 Konsentrasi Bubuk (%)
S. aureus
B. Cereus
50
E. coli
Keterangan : Notasi yang beda pada masing-masing bakteri
dengan konsentrasi yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (α = 0.05) Gambar 2. Diameter penghambatan bubuk kulit buah manggis
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 249
ISBN 978-602-98902-1-1
16.
15. e 33 48 14.1d 2e
6.5 6. 6.297
40
50
Pengujian Aktivitas Ekstrak Kulit Buah Manggis Terhadap SporaB. cereus Ekstrak kulit buah manggis menggunakan pelarut etanol mampu menghambat spora, dan diameter penghambatannya sedikit lebih besar (10.7) daripada diameter penghambatan sel vegetatif yang diperoleh dari uji aktivitas (10.5 mm). Dengan demikian, ekstrak kulit buah manggis menggunakan pelarut etanol ini dapat menghambat bakteri B. cereus baik pada sel vegetatif maupun spora.Diameter penghambatan yang lebih besar pada spora kemungkinan disebabkan karena pada saat dipanaskan, sebagian dari sel vegetatif telah mati sebelum membentuk spora.
c
58 6.2 5.48
4
5.3 5.5 51
8 6
Tabel 2. Nilai MIC dan MBC terhadap Berbagai Bakteri Uji Ekstrak Etanol Ekstrak Etil Ekstrak Asetat Heksana Bakteri MIC MBC MIC MBC MIC MBC (%) (%) (%) (%) (%) (%) S. aureus 0.85 3.41 1.16 4.62 2.09 8.34 B. cereus 0.86 3.46 0.96 3.74 1.30 5.21 E. coli 1.17 4.66 1.22 4.86 1.89 7.54
20 Konsentrasi 30 (%)40 50 S. aureus B. cereus E. coli (a)
4.0 5a4.4 3.9 4a 2a 4.2 5.03 4.25a
Diameter Penghambatan (%)
10
14. 14. 17cd 12.10 63d
10. 10. 50a 8.515a 5a 11. 11. b 9. 87b 20 60 b 13. 12. 02cc 11.08 15b
Diameter Penghambatan (mm)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
metode Bloomfield (1991). Hasil perhitungan nilai MIC dan MBC dapat dilihat pada Tabel 2.
2 0 10
20
30
Konsentrasi Ekstrak (%) S. aureus B. cereus E. coli
2
3.3
3.8 3.2
3.0
3.7 2.65
3.35bc 25
2.2
1.8
3
2.5 2.0
4 1.3 2a 2. 1.54
Diameter Penghambatan (mm)
(b)
5
1 0 10
20
30
40
Konsentrasi Ekstrak (%) S. aureus B. cereus E. coli
50
(c)
Keterangan: (a) = pelarut etanol, (b) = pelarut etil asetat, (c) = pelarut heksana Notasi yang beda pada masing-masing bakteri menunjukkan berbeda nyata (α = 0.05) Gambar 3. Diameter penghambatan ekstrak kulit buah manggis
Pada ekstrak kulit buah manggis menggunakan pelarut heksana, diameter penghambatan pada ketiga bakteri uji lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak etanol maupun etil asetat. Hal ini dapat disebabkan oleh komponen dalam ekstrak heksana lebih bersifat hidrofobik dan komponen lemak mempunyai ukuran molekul besar, sehingga menganggu proses difusi dan melindungi bakteri dari senyawa antibakteri (Naufalin, 2005). Penentuan MICdan MBC Penentuan MIC dilakukan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak paling kecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan MBC adalah nilai konsentrasi ekstrak terkecil yang dapat membunuh bakteri. Metode yang digunakan untuk menentukan nilai MIC dan MBC adalah dengan perhitungan
Pengujian Kestabilan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Buah Manggis Terhadap Pengaruh Gula Uji kestabilan ekstrak terhadap pengaruh gula dilakukan dengan melarutkan ekstrak etanol 10% ke dalam larutan gula dengan konsentrasi gula 10, 20, 30, dan 40%.Uji ini digunakan juga kontrol larutan gula tanpa penambahan ekstrak. Hasil pengujian terhadap larutan kontrol tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Peningkatan diameter penghambatan (Tabel 3) ini dapat berhubungan dengan semakin tingginya konsentrasi gula, nilai aw semakin rendah. Nilai aw yang rendah menyebabkan air bebas yang diperlukan mikroba untuk tumbuh menjadi berkurang. Menurut Madigan et al., 2009), air bebas diperlukan mikroba untuk distribusi nutrisi dan membuang kotoran, mendukung terjadinya reaksi enzimatis, sintesis material sel, dan berperan dalam reaksi biokimia seperti hidrolisis. Mikroba juga mempertahankan aw yang lebih rendah dari lingkungannya di dalam selnya untuk mempertahankan tekanan turgor, hal ini penting dalam pertumbuhan sel. Penurunan aw pada lingkungan dapat menyebabkan air bebas dalam sel keluar untuk mencapai kesetimbangan sehingga mengakibatkan osmotic shock dan plasmolisis, dimana sel tidak dapat tumbuh. Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi Gula terhadap Berbagai Bakteri Konsentrasi Gula (%) 0 10 20 30 40 Keterangan: Notasi yang berbeda nyata (α = 0.05)
Diameter Penghambatan (mm) S. aureus B. cereus E. coli 0 0 0 8.97a 10.05a 9.03a 9.43ab 10.38a 9.18a bc a 10.40 10.65 9.68ab 10.80c 10.80a 10.25b beda pada setiap bakteri menunjukkan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 250
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengujian Kestabilan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Buah Manggis Terhadap Pengaruh Garam Pengujian ini dilakukan dengan melarutkan ekstrak etanol 10% ke dalam larutan garam dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5%. Hasil uji terhadap larutan kontrol tidak menunjukkan adanya diameter penghambatan terhadap bakteri uji. Berdasarkan uji statistik, peningkatan konsentrasi garam tidak memberikan pengaruh nyata pada S. aureus, B. cereus, maupun E. coli. Pengaruh konsentrasi garam terhadap diameter penghambatan pada tiap bakteri uji berbeda-beda. Hal ini dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan aw yang berbeda pula pada setiap mikroba. Pertumbuhan optimum mikroba umumnya pada aw ≥ 0.98. Pada nilai aw ini, bakteri Gram negatif dapat berkembang dengan cepat. Pertumbuhan bakteri Gram positif seperti bacillus, dapat berkembang baik pada aw 0.97, sedangkan bakteri Gram positif lain seperti staphylococcus dapat tumbuh baik pada aw 0.93 (Ray, 2004). Tabel 4. Pengaruh Konsentrasi Garam terhadap Berbagai Bakteri Diameter Penghambatan (mm) Konsentrasi Garam (%) S. aureus B. cereus E. coli 0 0 0 0 10 11.08a 10.83a 9.55a 20 10.73a 12.05a 10.22a 30 11.17a 11.23a 9.97a a a 11.08 9.38a 40 10.57 a a 50 9.97 10.83 9.98a Keterangan: Notasi yang sama pada tiap bakteri menunjukkan tidak berbeda nyata (α = 0.05)
Pengujian Kestabilan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Buah Manggis Terhadap Pengaruh Nilai pH Hasil uji statistik aktivitas antimikroba ekstrak etanol kulit buah manggis pada ketiga bakteri uji menyatakan tidak ada pengaruh nilai pH terhadap aktivitas antimikroba atau tidak berbeda nyata antara pH 4, 5, 6, 7, dan 8. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai pH yang semakin meningkat, menurunkan diameter penghambatan pada ketiga bakteri uji, S. aureus, B. cereus, dan E. coli. Tabel 5. Pengaruh nilai pH terhadap Berbagai Bakteri Diameter Penghambatan (mm) Nilai pH S. aureus B. cereus E. coli 4 11.00a 11.88a 9.34a a a 5 10.67 11.28 9.17a a a 6 10.50 11.30 9.15a b a 10.60 9.00a 7 9.25 8 9.23b 10.15a 8.22a Keterangan: Notasi yang sama pada tiap bakteri menunjukkan tidak berbeda nyata (α = 0.05)
Dalam keadaan asam, komponen fenolik yang terdapat dalam ekstrak menjadi semakin efektif, dimana komponen fenolik lebih bersifat hidrofobik sehingga mampu berdifusi baik
pada fase air maupun fase lipid membran sel bakteri (Naufalin, 2005).Selain itu bakteri cenderung untuk mempertahankan pH konstan dalam sel, sehingga pada pH rendah, jumlah proton (ion H+) dalam larutan lebih banyak daripada dalam sel, yang dapat mengakibatkan masuknya proton ke dalam sel sehingga terjadi penurunan pH sitoplasma. Sel akan mengeluarkan proton untuk mempertahankan pH internal sel dan mencegah terjadinya denaturasi komponen sel. Proses ini membutuhkan energi yang besar, dan sel tidak mampu menghasilkan energi yang cukup besar untuk mengeluarkan proton yang masuk, maka energi yang seharusnya digunakan untuk metabolisme sel semakin berkurang sehingga dapat terjadi kematian pada sel (Ray, 2004). Pengujian Kestabilan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Buah Manggis Terhadap Pengaruh Pemanasan Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara umum, semakin tinggi suhu dan lama pemanasan menurunkan diameter penghambatan pada S. aureus, B. cereus, dan E. coli. Menurut Ardiansyah (2002) dan Adawiyah (1996), pemanasan dengan suhu yang tinggi dan waktu yang lama akan mempercepat kerusakan komponen aktif yang terdapat dalam ekstrak, dan semakin lama waktu pemanasan akan semakin mengurangi aktivitas ekstrak, diduga disebabkan oleh terjadinya penguapan komponen-komponen volatil pada ekstrak, terjadi proses degradasi atau terjadinya perubahan struktur kimia komponen antimikroba dan oksidasi pada ekstrak, seperti pada komponen fenolik. Tabel 6. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanasan Lama S. aureus B. cereus E. coli Pemanasa 100 n 80ºC 100ºC 80ºC 100ºC 80ºC ºC 10.50b 10.50b 10.15 10.15 8.55 8.55 c c a a a a 0 10.08b 11.00 10.22 8.88 8.82 c a a a a 5 10.73c b 10.62 10.77 8.72 8.23 c a a a 10 9.58ab 9.37a b 10.22 10.42 8.53 7.58 c a a a 15 8.73a 8.75a Keterangan: Notasi yang beda pada setiap bakteri menunjukkan berbeda nyata (α = 0.05)
Pada pemanasan dengan suhu 80ºC dan 100ºC selama 5 menit, terjadi peningkatan diameter penghambatan terhadapB. cereus, dan E. coli, sedangkan peningkatan diameter penghambatan pada S. aureus hanya pada pemanasan suhu 80ºC dengan waktu 5 menit. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pemanasan dengan waktu yang singkat memacu terjadinya reaksi-reaksi kimia antara komponen-komponen ekstrak (Rahayu, 2000). Berdasarkan uji statistik pada ketiga bakteri uji, suhu dan waktu pemanasan tidak memberikan pengaruh terhadap diameter penghambatan pada B. cereus, dan E. coli, tetapi memberikan pengaruh pada S. aureus.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 251
ISBN 978-602-98902-1-1
Potensi Aktivitas Ekstrak Kulit Buah Manggis Dibandingkan dengan Antibiotik Berdasarkan kemampuan penghambatannya, ekstrak etanol mampu menghambat bakteri uji, seperti halnya beberapa antibiotik yang digunakan. Hal ini kemungkinan ekstrak mampu menghambat bakteri seperti antibiotik yang digunakan, yaitu dengan merusak dinding sel, merusak sintesis protein, maupun merusak membran sel. Pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa secara umum kemampuan menghambat ekstrak terhadap bakteri uji hampir sebanding dengan polimiksin (kecuali pada E. coli yang hanya setengahnya saja), sedangkan jika dibandingkan dengan antibiotik lain, kemampuan menghambat ekstrak hanya sepertiga dari kemampuan menghambat streptomisin dan setengah dari amoksilin saja. Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan menghambat ekstrak kemungkinan mempunyai mekanisme seperti ketiga antibiotik yang digunakan. Tabel 7. Diameter Penghambatan Ekstrak dan Antibiotik pada Berbagai Bakteri Antibiotik Konsentrasi Diameter Penghambatan (mm) (g/mL) S. B. E. coli aureus cereus Streptomisin 0.1 28.50 28.95 31.50 Amoksilin 0.1 19.80 16.50 21.30 Polimiksin 0.1 11.90 14.65 15.25 Ekstrak 0.1 10.50 10.15 8.55
Hasil penelitian menunjukkan penerimaan panelis pada mi basah dengan 5% ekstrak hampir sama dengan mi basah 0% ekstrak, dengan nilai rata-rata sekitar 4.43-5.17 untuk 5% dan 4.40-5.20 untuk 0%. Oleh karena itu dengan penambahan 5% ekstrak kulit buah manggis, mi basah masih dapat diterima konsumen, sedangkan untuk mi basah dengan 10% ekstrak yang mempunyai nilai rata-rata berkisar pada nilai 3, kurang dapat diterima. Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Manggis Terhadap Mi Basah Selama Penyimpanan Hasil pengujian organoleptik menggunakan skoring terhadap parameter uji dapat dilihat pada Tabel 9.Hasil uji skoring pada mi basah terhadap aroma menyatakan semakin lama penyimpanan, aroma kulit manggis yang tercium semakin berkurang, tetapi meningkat pada hari ke-4; sedangkan untuk aroma basi, semakin lama semakin tercium, terutama pada mi basah dengan 0% ekstrak. Hal ini menunjukkan pada hari ke-2, mi basah telah mulai mengalami kerusakan. Mi basah dengan 5% dan 10% ekstrak masih belum mengalami kerusakan pada masa penyimpanan hari ke-2.
Uji Penerimaan Konsumen (Hedonik) Hasil uji statistik menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak berpengaruh pada tingkat kesukaan terhadap warna, rasa, kekenyalan, dan keseluruhan mi basah dengan ekstrak, tetapi tidak mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap aroma. Tabel 8. Hasil uji hedonik pada masing-masing konsentrasi Parameter 0% 5% 10% Warna 4.87b 5.17b 3.37a Aroma 4.40b 4.43b 3.70b Rasa 4.93b 4.83b 3.07a b b Kekenyalan 5.03 5.07 3.93a b b Keseluruhan 5.20 5.03 3.03a Keterangan: Notasi yang beda pada setiap parameter (baris) menunjukkan berbeda nyata (α=0.05) Tabel 9. Hasil uji organoleptik terhadap Aroma, Warna, dan Tekstur pada Mi Basah Selama Penyimpanan Lama Penyimpanan 0 1 2 3 4
Aroma kulit manggis
Aroma basi
Warna
Tekstur
Konsentrasi Ekstrak 0% 5% 10%
Konsentrasi Ekstrak 0% 5% 10%
Konsentrasi Ekstrak 0% 5% 10%
Konsentrasi Ekstrak 0% 5% 10%
1.00a 1.00a 1.00a 1.00a 1.00a
3.03bcd 2.73bc 2.50b 2.37b 2.50b
3.70d 3.53d 3.40cd 2.97bcd 3.07bcd
1.00a 1.00a 2.03a 3.43e 3.63e
1.00a 1.00a 1.33abc 1.73bcd 1.90cd
1.00a 1.00a 1.17ab 1.13ab 1.23abc
1.00a 1.00a 1.00a 1.00a 1.00a
2.57b 3.33c 3.33c 3.77cd 3.80cde
Keterangan: Notasi yang beda pada kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (α = 0.05) Warna mi basah semakin gelap dan tekstur yang semakin lama semakin tidak kenyal menunjukkan bahwa semakin lama
3.53c 4.20def 4.33def 4.37ef 4.43f
3.17d 3.10d 2.63bcd 2.33bcd 2.03ab
3.10d 3.10d 2.93cd 2.63bcd 1.93ab
2.40bcd 2.47bcd 2.20abc 2.03ab 1.40a
penyimpanan, mi basah mengalami kemunduran mutu. Kekenyalan merupakan salah satu parameter yang penting dalam mutu suatu
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 252
mi basah. Pada uji warna, warna yang diukur pada mi adalah warna nilai L, a, dan b. Nilai L merupakan pengukuran terhadap lightness (putih-hitam), a untuk pengukuran warna merah-hijau, dan b untuk pengukuran dari kuning-biru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saito et al. (2002), penambahan berbagai bakteri pada mi meningkatkan nilai b dibandingkan dengan mi tanpa penambahan bakteri. Hasil uji pada tekstur juga semakin menurun setiap harinya, yang menyatakan tekstur mi semakin tidak kenyal. Adanya perubahan ini didukung dengan jumlah mikroba yang terdapat dalam mi basah yang semakin bertambah setiap harinya, dan pada mi basah 0% ekstrak, peningkatan jumlah mikrobanya sangat drastis, sedangkan peningkatan jumlah mikroba pada mi
ISBN 978-602-98902-1-1 basah yang ditambahkan ekstrak tidak terlalu banyak. Berdasakan SNI 01-2987-1992 mi basah, jumlah maksimal total mikroba yang boleh terdapat dalam mi basah adalah 1 x 106 koloni/g. Pada penyimpanan hari ke-2, total mikroba pada mi basah tanpa penambahan ekstrak telah melebihi angka dalam SNI. Mi basah total mikroba dengan penambahan ekstrak, baik pada 5% maupun 10%, penyimpanan pada hari ke-4 masih belum melampaui SNI. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mi basah dengan 0% ekstrak telah rusak pada hari ke-2 dan ekstrak etanol kulit buah manggis mampu memperpanjang umur simpan mi basah.
Tabel 10. Hasil uji warna
0%
L 5%
10%
0%
a 5%
10%
0%
b 5%
10%
0
78.44j
37.78e
31.8a
-1.19b
3.38c
3.15c
20.89de
15.88c
8.96 a
1
76.68i
38.72e
33.69bc
-1.10b
15.60g
16.40g
22.21de
22.00de
19.47d
2
74.95h
36.00d
33.06abc
-1.18b
13.66f
14.45f
21.69de
16.11c
13.97bc
3
68.62g
34.41c
31.69a
-1.60b
11.36de
14.18f
20.84d
14.56c
13.95bc
4
66.67f
33.62bc
32.46ab
-2.67a
10.75d
11.94e
20.65e
10.91ab
10.08a
Lama Penyimpanan
Keterangan: Notasi yang beda pada kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (α = 0.05) Tabel 11. Hasil uji tekstur Tekstur
Lama Penyimpanan
0%
5%
10%
0 1 2 3 4
470.85ef 473.15f 501.00k 476.85g 412.75a
491.30h 494.95i 498.45jk 463.80c 413.40a
468.50de 472.95f 495.90ij 466.95d 427.15b
Keterangan: Notasi yang beda menunjukkan berbeda nyata (α = 0.05)
Tabel. 12 Hasil Uji Challenge Test Bakteri S. aureus B. cereus E. coli
0% 2.72 x 105 2.77 x 105 5.05 x 105
Hari ke-0 5% 2.67 x 103 2.72 x 103 3.1 x 103
10% 2.43 x 103 2.51 x 103 3.1 x 103
0% 3.29 x 108 2.14 x 109 2.09 x 1010
Hari ke-1 5% 4.68 x 105 4.27 x 105 7.36 x 105
10% 2.72 x 105 2.77 x 105 5.05 x 105
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 2
ISBN 978-602-98902-1-1 Challenge Test Pada uji ini, mi basah dengan penambahan 0, 5, dan 10% ekstrak masing-masing diinfeksikan dengan tiga bakteri uji, yaitu S. aureus, B. cereus, dan E. coli, dengan merendam mi basah ke dalam air yang mengandung bakteri sebanyak 106 CFU/ml selama 10 menit. Perhitungan jumlah bakteri dilakukan setelah 10 menit perendaman (0 hari), dan pada hari I (24 jam). Pada Tabel 12 menunjukkan bahwa jumlah bakteri pada mi basah tanpa penambahan ekstrak (0%) meningkat cukup tinggi setelah disimpan selama 24 jam.Hal ini kemungkinan bakteri yang diinfeksikan pada mi basah dapat berkembang dengan baik akibat kandungan nutrisi, seperti karbohidrat yang tinggi, yang terdapat dalam mi basah. Peningkatan jumlah total bakteri pada mi basah dengan 5 maupun 10% ekstrak tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan 0%. Dengan demikian, ekstrak kulit buah manggis mampu menghambat S. aureus, B. cereus, dan E. coli pada mi basah.
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, Dede. 1996.Kajian Pengembangan Metode Ekstraksi Komponen Antimikroba Biji Buah Atung. Program Pascasarjana IPB. Ardiansyah.2002.Kajian Aktivitas Antimikroba Daun Beluntas (Plucea indica L.). Disertasi Pascasarjana, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mi Basah SNI 01-29871992. Jakarta. Brannen, A.L., Davidson PM editor. 1993. Antimicrobial in Food. New York: Marcel Dekker. Brooks, Geo. F., Janet S. Butel, Stephen A. Morse. 2004.Jawetz, Melnick&Adelberg’s Medical Microbiology. Boston: McGraw Hill. Dweck,
KESIMPULAN Ekstrak kulit buah manggis dengan pelarut etanol, etil asetat, heksana serta bubuk dapat menghambat pertumbuhan ketiga bakteri uji. Pelarut yang digunakan untuk mengekstrak kulit buah manggis terpilih adalah etanol karena mempunyai diameter penghambatan paling tinggi dan menggunakan konsentrasi 10% karena Konsentrasi yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah 10% Hasil penentuan nilai MIC dan MBC S. aureus, B. cereus, dan E. coli paling sensitif terhadap ekstrak etanol. Ekstrak etanol kulit buah manggis dapat menghambat spora B. cereus. Penambahan konsentrasi gula memberikan pengaruh terhadap aktivitas antimikroba pada S. aureus dan E. coli, tetapi tidak memberikan pengaruh pada B. cereus. Diameter penghambatan yang paling besar adalah pada konsentrasi gula 40%. Penambahan garam tidak memberikan pengaruh terhadap aktivitas antimikroba ekstrak. pH pada ekstrak etanol kulit buah manggis tidak memberikan pengaruh pada B. cereus dan E. coli, tetapi memberikan pengaruh pada S. aureus. Ekstrak etanol kulit buah manggis paling efektif menghambat bakteri pada pH 4. Perlakuan pemanasan pada ekstrak etanol kulit buah manggis tidak memberikan pengaruh pada B. cereus dan E. coli, tetapi memberikan pengaruh pada S. aureus. Ekstrak etanol kulit manggis diduga mempunyai mekanisme penghambatan yang sama dengan antibiotik streptomisin, amoksilin, dan polimiksin. Penerimaan panelis secara keseluruhan terhadap mi dengan 5% ekstrak hampir sama dengan mi basah tanpa penambahan ekstrak (0%). Berdasarkan uji total mikroba, mi basah 0% ekstrak telah mengalami kerusakan pada hari ke-2 masa simpan, sedangkan mi basah dengan 5 dan 10% ekstrak masih belum rusak pada hari ke-4. Uji challenge test menunjukkan mi basah dengan penambahan ekstrak mampu menahan/menghambat pertumbuhan bakteri yang diinfeksikan. Penambahan ekstrak sebesar 5% cukup untuk memperpanjang umur simpan dan masih dapat diterima konsumen.
Anthony C. “Garnicia_Mangostana”. http://www.dweckdata.com/Published_papers/Garcinia_ mangostana.pdf.[30 Januari 2007]
Forsythe, S.J. 2000.The Microbiology of Safe Food. Oxford: Blackwekk Science Ltd. Harborne, J.B. 1996.Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB. Madigan, M.T., Martinko, J.M., Dunlap, P.V., dan Clark, D.P. 2009. Brock Biology of Microorganisms 12th ed. California : Pearson/Benjamin Cummings. Naufalin, Rifda. 2005. “Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan.” Disertasi Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahayu, W.P. Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil olahan Industri Terhadap Bakteri Patogen dan Perusak.Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 11(2) (2000) Ray, Bibek. 2004.Fundamental Food Microbiology, 3rd edition. Florida: CRC Press LLC. Saito, Katsuichi, Zenta Nishio, Kanenori Takata, Tatsuo Kuwabara, Atsuhsi Yokota, Hiroaki Yamauchi, Yuji Oda. “Bacterial Adjunct to Improve the Quality of Alkaline Noodles”, Food Sci Technol.Res. 9(1) (2002): 40-44
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 260
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengikatan Garam Empedu Oleh Susu Kedelai Terfermentasi dan Stabilitasnya Terhadap Pepsin Dan Pankreatin (Binding of Bile Salts by Fermented Soymilk and Their Stability from Pepsin and Pancreatin ) Yusmarini1)*, R. Indrati,2) T. Utami2) dan Y. Marsono2) 1) Program 2)
Studi Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Riau Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT Soy processing products, especially fermentation product has beneficial effect on health such as decreasing plasma cholesterol because of their hypocholesterolemic characteristic. One of the hypocholesterolemic mechanisms is through bile salt binding. The aim of the study is to examine the ability of the soy milk, the fermented soy milk product and the enzymatic soy milk hydrolysis product in the binding of bile salt in vitro and to examine binding stability the bile salt and the products to pepsin and pancreatin hydrolysis in vitro.The results of the study show that the soy milk fermented by the L. plantarum 1 R.11.1.2 is able to bind the sodium taurocholate 1.40 µmol/100 mg protein. This binding increases 5.3% compare to that of the soy milk. The ability to bind the sodium taurocholate increased significantly when the fermented product is further hydrolyzed enzymatically (1.51 µmol/100 mg protein for molecular weight <7000 Da). This binding increases 13.5% and 7.9% compared to soy milk and fermented soy milk respectively. Pepsin and pancreatin do not decrease the ability of the enzymatic hydrolysis product in binding to sodium taurocholate, both the products having molecular weight of ≥7000 Da and <7000 Da. Key words : bile salt, fermented soymilk
PENDAHULUAN Hiperkolesterol merupakan salah satu faktor resiko penyakit kardiovaskuler. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah penyakit kardiovaskuler antara lain dengan mengkonsumsi makanan yang bersifat hipokolesterolemik. Kedelai dan produk fermentasi dari kedelai dikenal dapat menurunkan level kolesterol plasma (bersifat hipokolesterolemik). Salah satu mekanisme hipokolesterolemik adalah melalui pengikatan garam empedu (Kahlon dan Shao, 2004; Yoshi-stark, dkk., 2008). Pengikatan garam empedu akan berdampak pada meningkatnya jumlah garam empedu yang diekskresikan melalui feses dan menurunnya resirkulasi garam empedu ke liver. Penurunan resirkulasi garam empedu akan memacu liver untuk mensintesa garam empedu baru dengan menggunakan kolesterol sebagai prekursornya, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi kolesterol di dalam darah. Efek hipokolesterolemik dari produk kedelai diberikan antara lain oleh protein atau peptida bioaktif yang merupakan hasil hidrolisa protein kedelai secara enzimatis. Peptida bioaktif yang bersifat hipokolesterolemik umumnya mempunyai asam amino hidrofobik pada terminal nitrogennya seperti leusin pada sequence Leu-Pro-Tyr-Pro-Arg (Yoshikawa, dkk., 2000) ; LeuPro-Tyr-Pro dan Leu-Pro-Tyr-Pro-Arg (Kwon, dkk., 2002) ; triptofan pada sequence Trp-Gly-Ala-Pro-Val-Thr, Trp-Gly-AlaPro-Ser-Leu, dan Trp-Gly-Ala-Pro-Ser-Ile (Zhong, dkk., 2007). Susu kedelai terfermentasi yang dibuat dengan menambahkan bakteri asam laktat proteolitik hasil isolasi dari susu kedelai yang terfermentasi secara spontan, diharapkan mampu mengikat garam empedu, karena diduga mengandung peptida bioaktif yang dihasilkan oleh aktivitas proteolitik bakteri
asam laktat. Kemampuan produk fermentasi susu kedelai dalam mengikat garam empedu dapat ditingkatkan dengan hidrolisa protein lebih lanjut sehingga dihasilkan peptida bioaktif lebih banyak. Penambahan protease spesifik asam amino hidrofobik (thermolysin) pada susu kedelai terfermentasi, merupakan cara yang dapat dilakukan untuk menghidrolisa protein lebih lanjut. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji kemampuan susu kedelai, produk fermentasi susu kedelai dan produk fermentasi susu kedelai yang dikombinasikan dengan hidrolisa enzimatis dalam mengikat garam empedu serta mengkaji stabilitas pengikatan garam empedu terhadap hidrolisa oleh enzim pencernaan (pepsin dan pankreatin).
Bahan
METODOLOGI
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai varietas Anjasmoro yang diperoleh dari Balai Benih Tanaman Palawija – Wonosari Daerah Istimewa Yogyakarta. Isolat bakteri asam laktat L. plantarum 1 R.11.1.2 hasil isolasi dari susu kedelai yang terfermentasi spontan (Yusmarini dkk, 2009). Enzim protease thermolysin EC.3.4.24.27 (Nacalai-Jepang), pankreatin (Sigma-Aldrich) dan pepsin EC.3.4.23.1 (Nacalai-Jepang), Total Bile Acid (TBA) Kit (Wako-Jepang) dan sodium taurokolat (Nacalai-Jepang). Pembuatan susu kedelai Susu kedelai dibuat dengan menggunakan metode Pusat Pengembangan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (Nisa, dkk., 2006) dengan sedikit modifikasi. Biji kedelai kering disortir dan direndam dalam air selama 8 jam, kemudian
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 261
ISBN 978-602-98902-1-1 dicuci dan ditiriskan lalu direbus hingga matang dan dicuci. Kedelai matang dihancurkan dengan blender sambil ditambahkan air panas dengan perbandingan 1:6, lalu disaring dengan menggunakan kain bersih yang telah dicuci dengan air panas. Susu kedelai yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditutup dengan aluminium foil dan plastik. Setelah itu susu kedelai disterilisasi pada suhu 1150C selama 10 menit. Dilakukan uji kemampuan mengikat garam empedu. Fermentasi susu kedelai dengan isolat BAL Proses fermentasi susu kedelai mengacu pada Yusmarini dkk. (2001). Susu kedelai yang telah disterilisasi pada suhu 1150C selama 10 menit didinginkan dengan cepat hingga mencapai suhu 450C. Setelah itu diinokulasi dengan isolat BAL (Lactobacillus plantarum 1 R.11.1.2) sebanyak 1% dan diinkubasi pada suhu 370C selama 20 jam. Pada akhir fermentasi dilakukan pengukuran pengikatan garam empedu. Hidrolisa enzimatis susu kedelai terfermentasi dengan protease spesifik asam amino hidrofobik (thermolysin) Susu kedelai terfermentasi dihidrolisa dengan menggunakan protease spesifik asam amino hidrofobik (thermolysin). Prosedur hidrolisa enzimatis mengacu pada Yoshi-Stark dan Wäsche (2004). Susu kedelai yang telah difermentasi dipanaskan pada suhu 800C selama 20 menit. Setelah itu dilakukan pengaturan pH susu kedelai fermentasi hingga mencapai pH 8 dengan menggunakan NaOH. Setelah itu ditambah enzim thermolysin dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 650C. Kemudian dilakukan pemanasan selama 20 menit pada suhu 900C untuk menginaktifkan enzim. Pemisahan protein dengan teknik dialisa Produk hidrolisa enzimatis didialisa menggunakan kantong dialisa (cut off 7000 Da) dengan tujuan untuk memisahkan protein/peptida yang berukuran besar dan kecil. Pemisahan protein dengan teknik dialisa mengacu pada Pohl, (1990). Sampel (produk hidrolisa enzimatis) sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam kantong dialisa yang telah diaktivasi dan kedua ujung kantong dialisa diikat dengan tali. Kemudian kantong dimasukkan ke dalam larutan buffer fosfat 20 mM pH 7. Dialisa dilakukan selama 1 malam di dalam ruang pendingin (cool room). Sampel yang terdapat pada kantong (berat molekul ≥ 7000 Da) dan sampel yang terdapat pada buffer (berat molekul < 7000 Da) dibekukan dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer. Peptida hasil dialisa baik yang berukuran ≥ 7000 Da maupun peptida yang berukuran < 7000 Da) dianalisa kemampuannya dalam mengikat garam empedu.
Uji stabilitas terhadap enzim pencernaan ( pepsin dan pankreatin) Stabilitas pengikatan garam empedu oleh produk hidrolisa enzimatis terhadap hidrolisa oleh pepsin dan pankreatin dilakukan secara in vitro. Uji stabilitas mengacu pada Yoshi-Stark dan Wäsche (2004). Susu kedelai terfermentasi yang telah dihidrolisa oleh protease spesifik dan didialisa diatur pH hingga mencapai pH 2 dengan menggunakan HCl. Setelah itu ditambah enzim pepsin dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 370C. Sebagian sampel dianalisa kemampuan pengikatan garam empedunya dan sebagian digunakan untuk tahap berikutnya yakni stabilitas terhadap pankreatin. Nilai pH dari susu kedelai fermentasi yang telah dihidrolisis dengan pepsin ditingkatkan menjadi 7 dengan menggunakan NaOH dan ditambahkan enzim pankreatin. Inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama 3 jam. Kemudian dilakukan pemanasan selama 20 menit pada suhu 800C, selanjutnya dilakukan analisa pengikatan garam empedu. Pengikatan garam empedu Preparasi sampel mengacu pada Yoshi-Stark dan Wäsche (2004). Satu milliliter sampel (susu kedelai non fermentasi dan susu kedelai fermentasi) ditambah 2,5 ml larutan 0,1 M buffer fosfat pH 7 dan digojog dengan menggunakan vortex hingga tercampur secara sempurna. Seratus mikroliter suspensi sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambah larutan garam empedu 0,25 mM sebanyak 900 µl. Garam empedu yang digunakan adalah sodium taurokolat. Suspensi kemudian diinkubasi selama 2 jam pada suhu 370C dan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 9900 x g selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dan endapan yang terbentuk ditambah dengan 0,5 ml larutan 0,1 M buffer sodium fosfat pH 7. Dilakukan pencampuran dan kemudian disentrifugasi kembali pada kecepatan dan waktu yang sama. Supernatan yang diperoleh dianalisa kemampuannya dalam mengikat aram empedu dengan TBA KIT.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengikatan garam empedu oleh susu kedelai, produk terfermentasi dan produk hidrolisa enzimatis susu kedelai Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti menyebutkan bahwa protein kedelai dapat mengikat garam empedu (Sugano, dkk., 1990 ; Kahlon dan Shao, 2004 ; Yoshistark, dkk., 2008). Penelitian ini mengkaji pengaruh proses fermentasi dan fermentasi yang dikombinasikan dengan hidrolisa enzimatis terhadap kemampuan produk dalam mengikat sodium taurokolat. Kemampuan produk mengikat sodium taurokolat disajikan pada Gambar 1.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 262
ISBN 978-602-98902-1-1 c
1.51 sodium taurokolat yang terikat (µmol/100 mg protein)
1.5
b
1.40 1.4
a
1.33
a
1.29 1.3 1.2 1.1 1 SK
SKF
SKF + hidrolisa enzimatis BM < 7000 Da
SKF + hidrolisa enzimatis BM ≥ 7000 Da
Notasi dengan huruf yang berbeda menunjukkan yang nyata pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05)
perbedaan
Gambar 1. Pengikatan sodium taurokolat oleh susu kedelai, produk fermentasi dan hidrolisa enzimatis Keterangan : SK (susu kedelai) SKF (susu kedelai terfermentasi) SKF+hidrolisa enzimatis (susu kedelai fermentasi + hidrolisa enzimatis BM < 7000 Da) SKF+hidrolisa enzimatis (susu kedelai fermentasi + hidrolisa enzimatis BM ≥ 7000 Da)
Data pada Gambar 1 menunjukkan bahwa susu kedelai dapat mengikat sodium taurokolat sebesar 1,33 µmol/100 mg protein atau sebesar (59,04%). Kemampuan mengikat sodium taurokolat diduga ada kaitannya degan kandungan asam amino hidrofobik yang dikandung oleh susu kedelai. Dari hasil analisa dengan menggunakan HPLC diketahui bahwa kedelai mengandung sejumlah asam amino hidrofobik maupun hidrofilik. Hasil analisa menunjukkan bahwa asam amino yang terdapat pada kedelai yang terdeteksi dengan HPLC terdiri atas 15 jenis asam-asam amino dan 29,51% dari asam amino tersebut adalah asam amino hidrofobik yang meliputi alanin, metionin, valin, fenilalanin, isolaeusin, leusin dan lisin (data tidak ditampilkan). Asam-asam amino hidrofobik tersebut diduga memegang peranan dalam pengikatan sodium taurokolat. Hal ini didukung oleh pernyataan Sugano, dkk. (1990) ; Kwon, dkk. (2002) yang menyatakan bahwa asam-asam amino hidrofobik yang terdapat pada terminal-N dari suatu protein atau peptida mempunyai peranan penting dalam mengikat asam/garam empedu. Kemampuan produk fermentasi susu kedelai yang diinokulasi dengan isolat L.plantarum 1 R.11.1.2 dalam mengikat sodium taurokolat sebesar 1,40 µmol/100 mg protein (62,26%). Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan susu kedelai dalam mengikat sodium taurokolat 1,33 µmol/100 mg protein (59,04%). Peningkatan yang terjadi hanya sebesar 5,3%. Selama proses fermentasi terjadi hidrolisa protein menjadi peptida oleh protease yang dihasilkan oleh isolat tersebut. Sebagian dari peptida yang dihasilkan diduga mempunyai kemampuan mengikat sodium taurokolat. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sugano, dkk. (1990)
menyatakan bahwa terjadi peningkatan pengikatan sodium taurokolat setelah protein kedelai dihidrolisa oleh protease yang berasal dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis yakni sebesar 0,35% - 24,91%. Beragamnya kemampuan produk untuk mengikat sodium taurokolat diduga berkaitan dengan struktur kimia dan sifat ionik dari peptida yang dihasilkan oleh proses hidrolisa enzimatik. Protease mempunyai spesifisitas yang berbeda sehingga peptida yang dihasilkan juga akan berbeda. Zhong, dkk. (2007) menyatakan bahwa pola pemecahan dan derajat hidrolisa berpengaruh terhadap produksi peptida bioaktif. Peptida yang bersifat hipokolesterolemik umumnya mempunyai susunan asam amino yang spesifik yakni mengandung asam amino hidrofobik pada terminal-N. Kecilnya peningkatan pengikatan garam empedu oleh susu kedelai setelah difermentasi oleh isolat L.plantarum 1 R.11.1.2, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain spesifisitas dari protease yang dihasilkan oleh isolat bakteri asam laktat kemungkinan tidak sepenuhnya dapat menghidrolisa protein menjadi peptida bioaktif atau aktivitas protease dari isolat bakteri asam laktat yang tidak optimal. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengkarakterisasi protease yang dihasilkan oleh isolat bakteri asam laktat proteolitik sehingga diketahui karakter dan spesifisitasnya dalam menghidrolisa protein. Penambahan enzim protease spesifik asam amino hidrofobik (thermolysin) pada produk fermentasi susu kedelai dapat meningkatkan kemampuan dalam mengikat sodium tauroklat. Thermolysin mempunyai aktifitas spesifik yakni dapat menghidrolisa ikatan peptida dan menghasilkan peptida dengan asam amino hidrofobik pada terminal-N. Ambler dan Meadway (1968) menyatakan bahwa thermolysin menghidrolisa ikatan peptida pada asam-asam amino hidrofobik yang bersifat bulky seperti isoleusin, leusin valin dan fenilalanin pada terminal-N. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk hidrolisa enzimatis yang mempunyai berat molekul < 7000 Da mampu mengikat sodium taurokolat sebesar 1,51 µmol/100 mg protein (67,4%). Terjadi peningkatan pengikatan yang signifikan yakni sebesar 7,9% dari produk fermentasi atau meningkat 13,5% dari susu kedelai, sedangkan peptida yang berukuran≥ 7000 Da tidak menunjukkan peningkatan pengikatan terhadap sodium taurokolat. Berdasarkan data tersebut diketahui produk yang mengandung peptida berukuran kecil (< 7000 Da) mempunyai kemampuan lebih besar dalam mengikat sodium taurokolat dibanding produk yang mengandung peptida dengan berat molekul lebih besar (≥7000 Da). Hasil ini sejalan dengan pernyataan Erdman, dkk. (2008) yang menyatakan bahwa peptida bioaktif yang bersifat hipokolesterolemik umumnya disusun oleh 2-20 asam amino atau lebih dengan kata lain peptida bioaktif umumnya mempunyai berat molekul kecil, namun berbeda dengan pernyataan Sugano, dkk (1990) yang menyebutkan bahwa protein dengan berat molekul besar mempunyai kemampuan lebih besar dalam mengikat garam empedu dibanding protein dengan berat molekul yang lebih kecil. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa kemampuan mengikat garam empedu dipengaruhi antara lain oleh besar kecilnya ukuran peptida, sifat dan susunan asam amino
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 263
ISBN 978-602-98902-1-1
a 1.6
sodium taurokolat yang terikat (µmol/100 mg protein)
penyusun peptida serta dipengaruhi juga oleh struktur kimia dari garam empedu. Kemampuan produk hidrolisat dalam mengikat garam empedu kemungkinan bisa lebih besar jika selama proses hidrolisa oleh thermolysin dilakukan pengendalian pH susu kedelai. Thermolysin aktif pada pH 5,0 – 8,5 namun pH optimumnya adalah 8,0. Proses hidrolisa akan menyebabkan terjadinya perubahan nilai pH sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi aktivitas thermolysin.
1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1 0.9 0.8
Stabilitas pengikatan garam empedu terhadap pepsin dan pankreatin
SKF + hidrolisa enzimatis
b sodium taurokolat yang terikat (µmol/100 mg protein)
Uji stabilitas bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi penurunan kemampuan produk dalam mengikat garam empedu setelah dihidrolisa oleh enzim pepsin dan pankreatin yang merupakan enzim proteolitik pada saluran pencernaan. Hasil pengujian disajikan pada Gambar 2. Data pada Gambar 2 menunjukkan bahwa hidrolisa oleh pepsin dan pankreatin tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kemampuan produk hidrolisat dalam mengikat sodium taurokolat, baik pada produk yang mempunyai berat molekul ≥ 7000 Da (a) maupun yang berukuran < 7000 Da (b), dengan kata lain produk stabil terhadap hidrolisa pepsin dan pankreatin. Pepsin dan pankreatin lebih aktif menghidrolisa protein yang berukuran besar sehingga protein yang berukuran kecil akan lolos atau dengan kata lain tidak terhidrolisa oleh pepsin dan pankreatin. Hal ini terlihat pada produk yang memiliki peptida dengan berat molekul ≥ 7000 Da kemampuanya mengikat sodium taurokolat secara angka meningkat lebih besar dibanding produk yang mengandung peptida dengan berat molekul < 7000 Da. Hal ini menunjukkan bahwa hidrolisa oleh pepsin dan pankreatin terjadi pada protein yang bermolekul besar. Sebagian dari peptida yang dihasilkan kemungkinan dapat mengikat garam empedu hanya saja secara statistik pengaruhnya tidak signifikan Meskipun hidrolisa protein tetap terjadi oleh pepsin dan pankreatin, namun tidak menurunkan kemampuan produk untuk mengikat sodium taurokolat. Yoshi-Stark dan Wäsche (2004) yang menyatakan bahwa derajat hidrolisa tidak terlalu mempengaruhi kapasitas pengikatan garam empedu. Ketika derajat hidrolisa meningkat dengan adanya penambahan pepsin dan pankreatin, ternyata kemampuan pengikatan garam empedu tidak mengalami penurunan dan peningkatan yang terjadi juga tidak signifikan.
1.41
1.36 1.29
1.6
1.52
SKF + hidrolisa enzimatis + pepsin
SKF + hidrolisa enzimatis + pepsin + pankreatin
1.58
1.54
1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1 0.9 0.8 SKF + hidrolisa enzimatis
SKF + Hidrolisa enzimatis + pepsin
SKF + Hidrolisa enzimatis + pepsin+pankreatin
Gambar 2. Stabilitas pengikatan sodium taurokolat oleh produk hidrolisa enzimatis BM ≥ 7000 Da (a) dan BM < 7000 Da (b) Keterangan : SK F (susu kedelai terfermentasi)
Kemampuan protease untuk menghidrolisa protein dan menghasilkan peptida bioaktif yang bersifat hipokolesterolemik akan mempengaruhi kemampuan produk untuk mengikat sodium taurokolat. Hasil penelitian Sugano, dkk (1990) ; Zhong, dkk. (2007) menyatakan bahwa peptida yang bersifat hipokolesterolemik mempunyai asam amino hidrofobik pada terminal-N. Pepsin dan pankreatin bukanlah enzim spesifik untuk menghasilkan peptida bioaktif yang mengandung asam amino hidrofobik pada terminal-N seperti halnya thermolysin. Oleh karena itu, meskipun terjadi hidrolisa dan peningkatan jumlah peptida karena hidrolisa oleh pepsin dan pankreatin ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan produk mengikat sodium taurokolat.
KESIMPULAN Produk fermentasi susu kedelai yang dikombinasikan dengan hidrolisa enzimatis mempunyai kemampuan lebih besar dalam mengikat sodium taurokolat dibanding susu kedelai dan susu kedelai terfermentasi. Sodium taurokolat yang terikat pada susu kedelai sebesar 1,33µmol/100mg protein, sedangkan susu kedelai yang difermentasi oleh isolat L. plantarum 1 R.111.1.2 dapat mengikat sodium taurokolat sebesar yakni 1,40µmol/100mg protein. Kemampuan produk hidrolisa Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 264
ISBN 978-602-98902-1-1 enzimatis untuk mengikat sodium taurokolat lebih tinggi yakni 1,51µmol/100mg protein. Daya pengikatan sodium taurokolat oleh produk hidrolisat stabil terhadap hidrolisa enzim pencernaan (pepsin dan pankreatin).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Dikti yang membiayai penelitian ini melalui Program Hibah Doktor Tahun Anggaran 2009.
DAFTAR PUSTAKA Ambler, R. P. and R. J. Meadway. 1968. The use thermolysin in amino acid sequence determination. J. Biochem. (108) 893 - 895. Erdmann, K., B. W. Y. Cheung and H. Schröder. 2008. The possible roles of food-derived bioactive peptides in reducing the risk of cardiovascular diseases. J. Nutr. Biochem. 19 : 643 – 654.
Yoshi-Stark, Y. Wada, Y. and Wäsche, A. 2008. Chemical composition, functional properties and bioactivities of rapeseed protein isolat. Food Chemistry 107: 32-39. Yusmarini, M. Adnan dan S. Hadiwiyoto. 2001. Perubahan nilai cerna dan fraksi protein pada susu kedelai dalam proses pembuatan soygurt. Agritech. 21 (3) : 95-98. Yusmarini, Indrati, R. Utami, T. dan Marsono, Y. 2009. Isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat proteolitik dari susu kedelai yang terfermentasi spontan. Jurnal Natur Indonesia. 12 (1) 2009 : 28 – 33). Zhong, F., X. Zhang, J. Ma and C. F. Shoemaker. 2007. Fractionation and identification of a novel hypocholesterolemic peptide derived from soy protein Alcalase hydrolysates. Food Research Int. 40 : 756762.
Kahlon, T. S. and Q. Shao. 2004. In vitro binding of bile acids by soy protein (Glycine max), black eye bean (Vigna unguiculata), Garbanzo (Cicer arietinum) and lima bean (Phaseolus lunatus). Food Chemistry 86 : 435440. Kwon, D. Y., S. W. Oh, J.S. Lee, H. J. Yang, S. H. Lee and J. H. Lee. 2002. Amino acid substitution of hypocholesterolemic peptide originated from glycinin hydrolyzate. Food Sci. and Biotechnol. 11: 55–61. Nisa,
F. Z., Y. Marsono dan E. Harmayani. 2006. Efek hipokolesterolemik susu kedelai femetasi steril pada model hewan coba. Agrosains 19 (1) : 41-53. Pohl, T. 1990. Concentration of protein and removal of solute. In : Guide to protein purification. Ed. M.P. Deutscher. Academic Press Inc. California. Sugano, M., S. Goto, Y. Yamada, K.Yoshida, Y. Hashimoto, T. Matsuo and M. Kimoto. 1990. Cholesterol-lowering activity of various undigested fraction of soybean protein in rats. Atherosclerosis 72 : 115 -122.
Yoshikawa, M., H. Fujita, N. Matoba, Y. Takenaka, T. Yamamoto, R. Yamauchi, H.Tsuruki and K. Takahata. 2000. Bioactive peptides derived from food proteins preventing lifestyle-related diseases. in : A new frontier in soy bioactive peptides that may prevent age-related chronic deseases. Food Sci. and Food Safety. Vol 4 : 63-78. Editors Wang, W. and E. G. de Mejia. 2005. Yoshi-Stark, Y. and A. Wäsche. 2004. In vitro binding of bile acids by lupin protein isolates and their hydrolysates. Food Chemistry 88 : 179 – 184.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 265
ISBN 978-602-98902-1-1
Daya Inhibisi Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa) terhadap Enzim Alfa-Amilase, AlfaGlukosidase dan Lipase secara In Vitro (Inhibition of α-amylase, α-glucosidase and lipase in vitro by roselle extracts) Endang Prangdimurti , Ilul Urifah, dan Fransisca R. Zakaria Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB Email :
[email protected]
ABSTRACT Obesity is caused as the results of an imbalance between energy intake and expenditure. Moreover, obesity is strong risk factor for various diseases, such as hypertension, arteriosclerosis, and diabetes mellitus. The aim of the present study was to assess the ability of roselle water extracts (RWEs) to inhibit lipase, α-glucosidase, and α-amylase in vitro activity, and the effect of pH digestion on the inhibitory activities. Fresh roselle flower was extracted by aquadest at 70, 85 and 1000C for 15 and 30 minutes. Results showed that RWEs without pH treatment had more than 80% inhibitory activity for lipase, α-glucosidase and α-amylase. But, RWEs with pH treatment mimic to pH of gastrointestinal tract, i.e roselle extracts was adjusted to pH 6,8 after reduced to pH 2 for 30 minutes previously, had no effect on α-glucosidase and slight inhibition on pancreatic lipase (3-41%), and pancreatic α-amylase (9-40%) activity. RWEs was suggested had an inhibitory activity on salivary α-amylase. Based on its strong α-amylase inhibitory RWEs appears to be a potential functional food for delimitate energy intake. Keywords: roselle, lipase, α-glucosidase, α-amylase, inhibitory activity
PENDAHULUAN
METODOLOGI
Menurut WHO (2003), obesitas telah menjadi epidemi global dan menjadi problem kesehatan yang harus segera diatasi sebab orang yang mengalami obesitas memiliki resiko tinggi terkena berbagai penyakit kronis seperti penyakit hipertensi, hiperlipidemia, arteriosklerosis dan diabetes. Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang digunakan. Energi yang masuk terutama berasal dari lemak dan karbohidrat yang dapat dicerna. Oleh karena itu obesitas dapat dicegah dengan melakukan pembatasan asupan kalori karbohidrat dan lemak. Salah satu alternatifnya yaitu dengan mengonsumsi pangan yang memiliki komponen bioaktif yang dapat menghambat kerja enzim pemecah karbohidrat (α-amilase, α-glukosidase) dan lemak (lipase) pada saat makan. Minuman dari kelopak bunga rosella dipercaya memiliki berbagai khasiat kesehatan, bahkan diklaim dapat mencegah obesitas. Hal ini diduga terkait dengan kemampuan ekstrak metanol rosela kering dalam menghambat kerja enzim αamilase secara in vitro hingga 100%. (Hansawasdi et al , 2000). Namun hal tersebut perlu didukung oleh data aktivitas inhibisinya apabila ekstrak telah mencapai kondisi usus halus. Oleh karena itu dalam penelitian ini diamati pengaruh perubahan pH selama proses pencernaan terhadap aktivitas inhibisi enzim. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh kondisi ekstraksi dan kondisi pencernaan in vitro terhadap kemampuan inhibisi enzim α-amilase, α-glukosidase dan lipase, dari ekstrak rosela.
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan antara lain kelopak bunga rosela segar, enzim alfa amilase dari Bacillus sp (Sigma A6380), alfa amilase dari pankreas babi (Sigma A-3176), alfa glukosidase (Sigma G-5003), dan lipase dari pankreas babi (Sigma L-3126), p-nitrofenil laurat (pNP laurat), p-nitrophenyl-αD- glukofiranosa, pati (soluble starch), acarbose, asam dinitrosalisilat (DNS). Peralatan utama yang digunakan yaitu penangas air bergoyang (shaker waterbath), sentrifus, dan spektrofotometer. Pembuatan ekstrak Kelopak bunga rosella diekstraksi dengan akuades (1:3) pada suhu 70o C, 85o C, 100o C masing-masing selama 15 dan 30 menit dengan menggunakan shaker waterbath. Ekstrakekstrak yang diperoleh lalu ditepatkan hingga 230 ml dengan akuades, kemudian diukur pH, total asam tertitrasi (TAT) dan kadar total fenolnya. Pengujian pengaruh pH saluran pencernaan terhadap daya inhibisi enzim Pengujian daya inhibisi enzim dilakukan pada 2 macam kondisi pH, yakni pH ekstrak awal, dan pada pH 6,8 setelah terlebih dahulu didiamkan 30 menit pada pH 2 (simulasi kondisi pencernaan). Uji inhibisi enzim lipase secara in vitro Pengujian dilakukan mengikuti prosedur Mc Dougall GJ et al. (2008). Lipase dilarutkan dalam akuades dingin (10mg/ml). Untuk penentuan aktivitas secara in vitro digunakan Tris bufer pH 8,2 100 mM dan p-nitrofenil laurat (pNP laurat) sebagai substrat enzim. Stok substrat 0,08% (b/v) pNP laurat dilarutkan dalam 5mM sodium asetat (pH 5.0) yang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 266
ISBN 978-602-98902-1-1 mengandung 1% triton X-100 kemudian dipanaskan pada air mendidih selama 1 menit agar didapatkan larutan yang sempurna kemudian didinginkan pada suhu ruang. Campuran reaksi berisi 450 µL larutan substrat dan 150 µL lipase dan 50 µL ekstrak rosella. Campuran reaksi diinkubasi pada 37oC selama 2 jam dan disentrifugasi pada 4000 rpm selama 15 menit. Absorbansi supernatan dibaca pada 410 nm. Uji inhibisi enzim α-glukosidase secara in vitro Pengujian dilakukan mengikuti prosedur Mayur et al. (2010). Enzim α-glukosidase disiapkan dengan melarutkan 0.2 unit α-glukosidase dalam akuades dingin. Campuran reaksi berisi 100 µl 0,1 M bufer fosfat, 100 µl 0,5 mM p-nitrophenylα-D- glukofiranosa, 100 µl 0.2 unit α-glukosidase dan 100 µl ekstrak. Campuran reaksi diinkubasi dalam penangas air pada suhu 37o C selama 30 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan memasukkan campuran reaksi ke dalam penangas air suhu 100o C selama 5 menit. Absorbansi hasil reaksi kemudian dibaca pada 410 nm. Sebagai kontrol positif yaitu acarbose 0.5 mg/ml dalam HCl 2 N. Uji inhibisi enzim α-amilase secara in vitro Pengujian dilakukan dengan merujuk metode Cengiz et al. (2010). Sebanyak 1 unit/ml enzim α-amilase dari Bacillus sp. dilarutkan dalam akuades dingin. Aktivitas inhibisi enzim αamilase dideteksi dengan menggunakan substrat larutan pati (1%). Larutan asam dinitrosalisilat (DNS) dibuat dengan mencampurkan 20 ml larutan 1,5 M Na-K-tartarat, 50 ml 96mM DNS dan air suling hingga volume akhir 100 ml. Campuran reaksi diperoleh dengan melarutkan 100 µL substrat, 100 µL ekstrak dan 100 µL larutan enzim. Setelah diinkubasikan pada suhu 370C selama 30 menit berakhir, dilakukan penmbahan larutan DNS sebanyak 200 µL dan dilanjutkan inkubasi selama 5 menit pada air mendidih. Setelah itu dilakukan penambahan 4 mL akuades dan diukur absorbansinya pada 540 nm. Sebagai kontrol positif adalah acarbose 0.5 mg/ml dalam HCl 2 N. Sebagai pembanding, dilakukan pula uji inhibisi enzim αamilase dari pankreas babi mengikuti prosedur Thalapaneni et al. (2008). Ekstrak yang diuji adalah ekstrak yang memiliki daya inhibisi enzim alfa amylase yang paling tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN pH dan Total Asam Tertitrasi (TAT) Kekhasan dari minuman ekstrak rosella adalah rasa asamnya yang sangat kuat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa ekstrak rosella memiliki pH yang rendah yaitu berkisar 2,8-2,9. Adanya perbedaan perlakuan kondisi ekstraksi (suhu dan waktu pemanasan) tidak menyebabkan adanya perbedaan nilai pH ekstrak (Tabel 1). Rendahnya pH disebabkan oleh keberadaan asam-asam organic. Bradeldin et al. (2005) menyatakan beberapa jenis asam organik pada rosela terdiri atas asam hibiscus ((-)-Hydroxycitricacid/ HCA), asam malat, asam sitrat, dan asam tartarat.
Hasil analisis TAT menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan ekstraksi menghasilkan perbedaan total asam tertitrasi (Tabel 1). Kecuali pada pemanasan 700C selama 15 menit, peningkatan suhu dan waktu ekstraksi mengakibatkan peningkatan TAT ekstrak, sehingga pada kondisi ekstraksi 1000C selama 30 menit menghasilkan TAT yang paling tinggi yaitu 9.06%. Penurunan TAT pada ekstrak 700C 30 menit kemungkinan disebabkan oleh asam-asam yang bersifat volatile. Kadar TAT ekstrak dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian TAT kelopak rosella dari Milkowska and Strzelecka. (1995) yaitu antara 8,2-12,6%. Tabel 1. Nilai pH, kadar total asam tertitrasi dan total fenol ekstrak awal Kondisi ekstraksi sampel
pH
Total Asam Tertitrasi (%)
Total Fenol (mg/ml)
70O C 15 menit 2,85 (a) 6,634 (c) 105,93 (a) 70O C 30 menit 2,85 (a) 5,427 (a) 115,14 (a) 85O C 15 menit 2,90 (a) 5,740 (a) 122,98 (b) 85O C 30 menit 2,85 (a) 5,566 (a) 121,27 (b) 100O C 15 menit 2,78 (a) 6,233 (b) 128,55 (c) 100O C 30 menit 2,86 (a) 9,058 (d) 146,73 (c) Keterangan: nilai yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak adanya perbedaan pada tingkat kepercayaan 95%.
Total fenol Analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa waktu ekstraksi tidak berpengaruh terhadap total fenol ekstrak, namun suhu ekstraksi berpengaruh terhadap total fenol ekstrak rosela. Semakin tinggi suhu ekstraksi semakin banyak komponen fenolik yang terekstrak dari jaringan bunga rosella, sehingga kadar total fenol meningkat. Komponen fenolik yang terekstrak memilki sifat yang berbeda-beda baik ketahanannya terhadap panas maupun pH. Sebagai contoh tannin memilliki ketahanan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin. Komponen fenolik pada rosella adalah quercetin, luteolin glukosida, asam klorogenat, antosianin (delphidin-3-sambubioside dan cyanidin3-sambubioside (Bradeldin et al., 2005) Pengaruh Simulasi pH Saluran PencernaanTerhadap Daya Inhibisi Enzim Pengujian aktivtas inhibisi enzim pada penelitianpenelitian terdahulu belum memperhitungkan adanya perubahan aktivitas inhibisi enzim dari suatu komponen bioaktif pangan akibat perubahan pH selama pencernaan. Bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh akan dicerna pada organ-organ pencernaan seperti lambung yang memiliki kisaran pH 1-2 dan usus besar dengan kisaran pH 6.8-7.00. Dalam penelitian ini pengujian daya inhibisi enzim dilakukan pada 2 pH yang berbeda, yakni pH ekstrak awal dan pada pH 6,8 setelah sebelumnya didiamkan selama 30 menit pada pH 2 sebagai simulasi kondisi pada pH usus. Inhibisi enzim lipase secara in vitro Ekstrak rosella awal memiliki daya inhibisi yang besar terhadap lipase yaitu 85,78- 94,17%, Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan kondisi ekstraksi berpengaruh aktivitas inhibisi lipase ekstrak awal. Ekstraksi pada suhu 850C
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 267
menghasilkan ekstrak dengan daya inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 1000C (Gambar 3). Diduga inhibisi ekstrak awal sangat dipengaruhi oleh keberadaan asam-asam organic, termasuk asam hibiscus (HCA), dan komponen fenolik pada rosela. Jena et al (2002) menyatakan HCA pada ekstrak Garcinia Cambogia menyebabkan pH ekstrak tersebut bersifat asam. Pada pH yang rendah tidak optimum bagi enzim lipase untuk bekerja dengan baik sehingga daya inhibisi ekstrak rosela cukup besar.. Daya inhibisi enzim lipase menurun dengan cukup tajam pada kondisi pH simulasi pencernaan, yaitu menjadi 2,6441,15%. Aktivitas inhibisi tertinggi terdapat pada ekstrak hasil kondisi ekstraksi 1000C, yaitu memiliki daya inhibisi sebesar 33,85-41,15%. Karena pada pH usus terjadi penigkatan pH maka asam hibiscus diduga sudah tidak mampu menghambat kerja enzim, dengan demikian diperkirakan komponen yang berperan sebagai inhibitor adalah komponen fenolik yang tahan panas. Karena lipase berada di usus halus, maka dapat dikatakan bahwa ekstrak rosella yang memiliki kemampuan biologis menghambat lipase adalah ekstrak rosella yang diperoleh pada suhu ekstraksi 100oC. Komponen inhibitor yang diduga adalah komponen fenolik yang tahan panas seperti tannin. Tanin merupakan senyawa bioaktif yang tahan terhadap panas. Kandungan tanin pada ekstrak Tanacetumparthenium hasil ekstraksi 75-90O C lebih rendah daripada suhu 100O C (Marete et al. 2009). 100.000
ab 89,579
ab 92,170
b 92,557
b 94,187
90.000
a 86,045
a 85,783
Inhibisi enzim lipase (%)
80.000 70.000 60.000 b 41,154
50.000 40.000
b 33,846
30.000 20.000 10.000
pH awal pH 6,8
a 6,563
a 6,034
70 C, 15 mnt
70 C, 30 mnt
a 2,644
a 4,760
0.000 85 C, 15 mnt
85 C, 30 100 C, 15 100 C, 30 mnt mnt mnt
Kondisi ekstraksi
Gambar 3. Daya inhibisi ekstrak rosela terhadap enzim lipase Inhibisi Enzim α-glukosidase Secara In Vitro Seluruh ekstrak awal rosella memiliki kemampuan inbihisi enzim alfa glukosidase yang cukup besar yaitu 82.6 – 93,5% (Gambar 4). Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan kondisi ekstraksi tidak berpengaruh pada daya inhibisi enzim dari ekstrak awal. Namun pada perlakuan simulasi pH usus, semua ekstrak tidak lagi memiliki kemampuan inhibisi enzim α-glukosidase. Acarbose sebagai kontrol positif memiliki kemampuan inhibisi sebesar 100% baik pada pH awal maupun setelah mengalami perlakuan pH usus. Karena enzim alfa glukosidase berada pada saluran usus, maka dapat dikatakan ekstrak rosella tidak memiliki aktivitas inhibisi terhadap enzim alfa glukosidase.
Inhibisi enzim α-glukosidase (%)
ISBN 978-602-98902-1-1 100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0.000
a 93,529
a 92,353
a 87,941
a 88,235
a 82,647
a 89,412
pH awal pH 6,8
70 C, 15 mnt
70 C, 30 mnt
85 C , 15 mnt
85 C,30 mnt
100 C, 15 100 C, 30 mnt mnt
Kondisi ekstraksi
Keterangan: Nilai penghambatan pada pH 6,8 sebesar 0%
Gambar 4. Daya inhibisi ekstrak rosela terhadap enzim αglukosidase Inhibisi enzim α-amilase secara in vitro Pengujian aktivitas inhibisi enzim α-amilase dilakukan menggunakan 2 enzim dari sumber yang berbeda yaitu αamilase dari Bacillus sp. dan α-amilase yang berasal dari pankreas babi. Alfa-amilase dari Bacillus sp. lebih sulit dihambat daripada aktivitas enzim yang lain. Inhibisi enzim α-amilase menggunakan ekstrak amadumbe (Colocasia esculenta) terhadap berbagai sumber enzim yaitu air liur manusia, barley, kentang, Bacillus sp, Aspergillus sp dan pankres babi menunjukkan α-amilase dari Aspergillus sp. paling tidak bisa dihambat diikuti dengan α-amilase dari kentang dan Bacillus sp (McEwan et al. 2010). Hasil penelitian Marshall et al (1975) menunjukkan inhibitor α-amilase dari kacang jogo (Phaseolus vulgaris) tidak mampu menghambat kerja enzim α-amilase dari Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis, rye dan gandum barley. Inhibitor kacang jogo mampu menghambat kerja enzim αamilase dari pankreas babi sebesar 97%. Inhibisi enzim α-amilase Bacillus sp. Ekstrak awal rosela memiliki daya inhibisi alfa amylase yang cukup tinggi yaitu sebesar 92,93-98,65% (Gambar 5). Adanya perbedaan kondisi ekstraksi tidak berpengaruh pada daya inhibisi enzim dari ekstrak awal. Namun pada perlakuan simulasi pH usus, semua ekstrak mengalami penurunan kemampuan inhibisi enzim α-amilase yang cukup besar, yaitu menjadi berkisar 8.48–40.39%. Ekstrak yang dihasilkan dari kondisi ekstraksi 700C selama 15 menit memiliki kemampuan inihibisi yang paling besar pada pH usus yaitu 40,39%, sedangkan kondisi ekstraksi lainnya signifikan lebih rendah. Acarbose sebagai kontrol positif memiliki kemampuan inhibisi sebesar 98.76% pada pH awal, juga mengalami penurunan setelah mengalami perlakuan pH usus yaitu menjadi 65,22%. Keberadaan asam-asam organik dan asam hibiscus pada ekstrak mampu menurunkan pH sampai dengan 2,75. Asam-asam organik pada rosela merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan penghambatan kerja enzim αamilase. Hansawasdi et al (2000) menyatakan asam hibiscus atau HCA hasil ekstraksi menggunakan metanol dan aseton pada rosela kering mampu menghambat kerja enzim α-amilase pankreas babi sampai dengan 100% pada konsentrasi 1M, namun pada pH netral asam hibiscus tidak efektif menghambat amylase.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 268
ISBN 978-602-98902-1-1 Enzim alfa amilase terdapat di saliva dan juga di pankreas. Pengujian ekstrak awal dapat mencerminkan kemampuan inhibisi ekstrak terhadap alafa amilase saliva, dan pengujian ekstrak setelah perlakuan pH usus dapat mencerminkan kemampuan inhibisinya di usus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekstrak rosela memiliki kemampuan yang besar dalam menghambat aktivtas alfa amilase saliva, namun untuk alfa amilase pankreas dihambat oleh ekstrak yang diperoleh dari kondisi ekstraksi 700C selama 15 menit. Diduga pada kondisi ekstraksi yang menggunakan suhu dan waktu yang lebih tinggi terjadi perubahan struktur komponen fenolik yang berperan dalam menghambat αamilase. Komponen fenolik yang diduga antara lain antosianin. Rosela memiliki kandungan antosianin yang cukup tinggi, namun antosianin bersifat kurang tahan panas. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kim dan Goodner (2009) ekstraksi suhu tinggi menghasilkan antosianin paling tinggi pada jagung ungu, akan tetapi suhu tinggi mendegradasi antosianin dengan sangat cepat. Suhu sedang (70O C selama 20 menit) merupakan kombinasi yang paling bagus untuk menghasilkan antosianin dan total fenol pada jagung ungu. Komponen fenolik dapat membentuk kompleks dengan protein enzim sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan katalisatornya
Inhibisi enzim α-amilase Bacillus sp (%)
120.000 100.000
a 93,809
a 92,930
a 97,294
a 94,080
a 93,403
a 98,647
KESIMPULAN Ekstrak rosella memiliki pH sekitar 2,8-2,9, dan tidak ada perbedaan pH pada berbagai kondisi ekstraksi. Kondisi ekstraksi 100O C selama 30 menit menghasilkan TAT dan total fenol tertinggi. Ekstrak rosella awal memiliki kemampuan inhibisi yang tinggi terhadap enzim lipase, alfa glukosidase dan alfa amylase. Namun perlakuan simulasi pH saluran pencernaan mengakibatkan penurunan kemampuan inhibisi ekstrak rosella yang cukup besar. Pada simulasi pH usus, ekstrak rosela tidak lagi memiliki kemampuan inhibisi α-glukosidase. Kemampuan inhibisi lipase terbaik ditunjukkan oleh ekstrak rosella yang diperoleh dari hasil ekstraksi 1000C (15-30 menit), sedangkan kemampuan inhibisi amilase yang terbaik ditunjukkan oleh hasil ekstraksi 70 0C 15 menit.
DAFTAR PUSTAKA
80.000 60.000
al (2010), menyatakan bahwa ekstrak amadumbe (Colocasia esculenta) memiliki daya inhibisi 2 kali lebih besar terhadap kerja enzim α-amilase dari pankreas babi daripada α-amilase Bacillus sp. Hasil penelitian Marshall et al (1975) menunjukkan α-amilase dari Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis tidak mampu dihambat oleh ekstrak kacang jogo. Ekstrak kacang jogo mampu menghambat kerja α-amilase pankreas babi sebesar 97%, α-amilase saliva manusia sebesar 94% dan αamilase pankreas manusia sebesar 100%.
b 40,392
a 8,483
20.000
Bradeldin A.H, Al-Wabel, N., Gerald, B. 2005. Phytochemical, pharmacological and toxicological aspects of Hibiscus sabdariffa L: A review. Phytother. Res, 19, 369-375.
pH awal
40.000
a 18,991
a 9,254
a 13,914
a 11,568
pH 6,8
0.000 70 C, 15 mnt
70 C, 30 mnt
85 C, 15 mnt
85 C, 30 mnt
Cengiz S, Cavaz L, Yurdakoc K. 2010. Alpha-amylase Inhibition Kinetics by Caulerpenyne. Mediteranian Marrine Research.
100 C, 15 100 C, 30 mnt mnt
Kondisi Ekstraksi
Hansawasdi C, Kawataba J, Kasai T. 2000. Alpha-amilase Inhibitor from Roselle (Hibiscus Sabdariffa linn) Tea. Biosci.Biotechnol. Biochem. 64(5) 1041-1043.
Gambar 5. Daya inhibisi ekstrak rosela terhadap enzim αamilase Inhibisi enzim α-amilase pankreas babi. Inhibisi menggunakan ekstrak rosela terhadap kerja enzim α-amilase dari pankreas babi hanya dilakukan pada pH ekstrak awal. Pemilihan ekstrak yang digunakan untuk analisis berdasarkan kemampuan inhibisinya pada pH awal dan setelah mendapat perlakuan pH. Berdasarkan daya inhibisi pada enzim α-amilase Bacillus sp, ekstraksi pada kondisi 70OC 15 menit tetap memiliki kemampuan inhibisi yang masih cukup tinggi (40,39%) sehingga hanya ekstrak tersebut yang digunakan untuk analisis kali ini. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hasil ekstraksi pada kondisi 70OC 15 memiliki daya inhibisi yang hampir sama dengan α-amilase Bacillus sp yaitu sebesar 90,14%. Oleh karena itu diduga ekstrak rosela juga mampu menghambat kerja enzim α-amilase dari pankreas babi pada berbagai kondisi ekstraksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa enzim alfa amylase yang berasal dari mikroba lebih sulit dihambat dibandingkan alfa amylase dari mamalia. Mc Ewan et
Jena BS, Jayaprakasha GK, Singh RP, Sakariah KK. 2002. Chemistry and Biochemistry of−) ( -Hydroxycitric Acid from Garcinia. J Agric .Food Chem 50: 10−22 Marete E. Jacquier JC, O'Riordan D. 2009. Effect of Drying Methods on the Phenolic Constituents of Meadowsweet (Filipendula ulmaria) and Willow (Salix alba). Food Science and Technology Paper. Marshall JJ and Lauda CM. 1975. Purification and Properties of Phaseolamin an Inhibitor of α-amylase, from kidney bean. Phaseolus Vulgaris. Journal of Biological Chemistry 250(20): 8030-8037.
Mayur B, Sandez S, Shrutí S, Sung-Yum S. 2010. Antioxidant and Alpha-Glucosidase Inhibitory Properties of
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 269
ISBN 978-602-98902-1-1 Carpesium abrotanoides L. Journal of Medical Plant Research 4(15) : 1547-1553 Milkowska K, Strzelecka H.1995. Flos Hibisci. The methods of identification and estimation of crude drug. Ilerba.Polonica. 41:11-16. Mc Dougall GJ, Kulkarni NN, Stewart D. 2008. Berry Polyphenols Inhibit Pancreatic Lipase Activity In Vitro. Journal of Food Chemistry 115; 193-199. Mc Ewan R, Madivha RP, Djarova T. Oyedeji OA. Opoku AR. Alpha-amylase Inhibitor of amadumbe (Colocasia esculenta): Isolation, purificationand selectivity toward α-amylase from Various Sources. African Journal of Biochemistry Research Vol. 4(9): 220-224 Pansera MR, Iob GA, Atti-Santos AC , Rossato, Atti-Serafini L, Cassel E. 2004. Extraction of Tannin by Acacia mearnsii with Supercritical Fluids. Brazilian Archives of Biology and Technology an International Journal. Sakkiadi AV, Stavrakakis MN, Haroutounian SA. 2001.Direct HPLC Assay offive biologically interesting phenolic antioxidants invariet algreek red wines. Lebensm Wiss Technol. 34:410–413. Strycharz S dan Shetty K. 2002. Effect of Agrobacterium Rhizogenes on Phenolic Content of Menthapulegium Elite Clonal Line for Phytoremediation Applications Tadera K, Minami Y, Takamatsu K, Matsuoka T. 2006. Inhibition of α-glukosidase and α-amylase by flavonoids. J Nutr Sci. 52: 149-153
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 270
ISBN 978-602-98902-1-1
Karakteristik Virgin Coconut Oil Yang Mengandung Mikroemulsi Asam Askorbat [Characteristics of Virgin Coconut Oil Containing Ascorbic Acid Microemulsion] Ambar Rukmini1), Sri Raharjo2), Pudji Hastuti2), dan Supriyadi2)
1) Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Widya Mataram, Yogyakarta 2) Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT The objective of this study were to determine the physical, chemical, and sensory characteristics of VCO containing ascorbic acid microemulsion, and to evaluate its photooxidative stability during storage. The ascorbic acid microemulsion was dispersed into the VCO so that it contained of ascorbic acid at the level of 0, 50, 100, 150, 200, or 250 ppm. A freshly prepared VCO and VCO containing microemulsion without ascorbic acid were used as comparison. All of these samples were subsequently subjected to photooxidation under fluorescent light exposure for 3x5 hours, and then stored at room temperature for up to 2 months. A sensory evaluation on appearance, odor, taste, and flavor was carried out after 2 weeks storage, whereas, the physical and chemical characteristics were determined at 2 weeks interval. The results indicated that VCO containing ascorbic acid microemulsion had no significant characteristics from the freshly prepared VCO, even though it has been exposed to light and stored for 2 months. This study confirmed that ascorbic acid microemulsion effectively used for inhibiting VCO’s quality deterioration due to photooxidation. Thus, it could be obtained the highly oxidative stability of VCO with good characteristics in physical, chemical, and sensory. Key words: virgin coconut oil, photooxidation, ascorbic acid microemulsion
PENDAHULUAN
5
Virgin coconut oil (VCO) merupakan minyak yang diperoleh dari buah kelapa tua yang segar, diolah secara mekanis atau alami, tanpa perlakuan dengan suhu tinggi, tanpa pemurnian kimiawi serta tidak mengakibatkan perubahan pada sifat alami minyak (Villarino dkk., 2007). Hal tersebut menjamin keutuhan zat gizi dan komponen yang diyakini bermanfaat bagi kesehatan. Namun demikian, selama penyimpanan atau penjualan sering terjadi penurunan mutu VCO, terutama ditandai oleh munculnya bau tengik. Penelitian pendahuluan yang dilakukan terhadap VCO komersial yang dijual di pasaran menunjukkan bahwa bau dan rasa yang tidak menyenangkan secara jelas terdeteksi oleh panelis pada sampel dengan angka peroksida ≥ 1,0 meq/kg (Rukmini dan Raharjo, 2010). Hasil verifikasi membuktikan bahwa penurunan mutu VCO tersebut diinisiasi oleh oksigen singlet atau dikenal sebagai reaksi fotooksidasi dan dapat dihambat menggunakan mikroemulsi asam askorbat (Rukmini dkk., 2011). Mikroemulsi asam askorbat adalah mikroemulsi air dalam minyak (w/o) yang membawa asam askorbat. Mikroemulsi w/o merupakan droplet air berukuran nano meter (nm) yang dikelilingi oleh medium minyak dan distabilkan oleh molekulmolekul surfaktan yang membentuk lapisan tunggal di sekeliling droplet (Lim, 2006). Droplet tersebut terbentuk jika pencampuran antara air, minyak dan surfaktan dilakukan dengan urutan dan komposisi campuran yang tepat. Sistem mikroemulsi mempunyai keunggulan karena bersifat stabil secara termodinamik, mempunyai viskositas rendah, kenampakan transparan, dan ukuran globula/partikel fase *Korespondensi penulis : e-mail:
[email protected]
terdispersi antara 5 sampai 100 nm (Flanagan dan Singh, 2006). Oleh karena itu, mikroemulsi w/o dapat digunakan sebagai sistem pembawa komponen bioaktif yang bersifat hidrofilik dan diaplikasikan pada produk berbasis minyak, misalnya VCO. Penggunaan mikroemulsi asam askorbat untuk menghambat kerusakan akibat fotooksidasi, agar dapat diperoleh VCO yang tetap terjaga mutunya hingga saat dikonsumsi, kemungkinan mempengaruhi karakteristiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik, kimiawi, dan sensoris serta stabilitas fotooksidatif VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat selama penyimpanan.
METODOLOGI Bahan dan alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah VCO yang baru dibuat, diperoleh dari produsen VCO di Yogyakarta, kemudian diserap kandungan airnya menggunakan Na2SO4 anhydrous. Bahan lain yang digunakan adalah bahanbahan yang diperlukan untuk membuat mikroemulsi asam askorbat, yaitu asam askorbat dari Sigma Chem. Co. (St. Louis, MO); surfaktan dengan HLB tinggi (Tween 20) dari Merck (Darmstadt, Jerman), surfaktan dengan HLB sedang (Span 20) dan HLB rendah (Span 80) dari Sigma Chem. Co. (St. Louis, MO); dan aqua demineralisasi (aqua DM) dari Brataco Chemika serta bahan-bahan kimia untuk analisis dari Merck (Darmstadt, Jerman). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk membuat mikroemulsi, berupa hot plate dengan magnetic stirrer, beker-glass dan buret; perlengkapan untuk uji sensoris; peralatan untuk analisis kimia, antara lain spektrofotometer UVVis (UV-1650 PC; Shimadzu Co., Jepang); peralatan untuk uji fotooksidasi, berupa lux meter (Model 407026; Extech
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 271
ISBN 978-602-98902-1-1 Instrument Co., USA) dan kotak pencahayaan yang dilengkapi lampu fluoresen cool white.
Pembuatan mikroemulsi asam askorbat
Mikroemulsi asam askorbat dibuat menurut cara Rukmini dkk. (2011), yaitu dengan melarutkan asam askorbat dalam aqua DM, kemudian mencampurnya dengan campuran surfaktan yang terdiri dari Tween 20, Span 20, dan Span 80. Setelah itu, dicampur dengan VCO yang telah diserap kandungan airnya. Terbentuknya mikroemulsi asam askorbat ditandai oleh terbentuknya larutan yang transparan. Mikroemulsi asam askorbat tersebut selanjutnya dicampurkan ke dalam VCO.
Uji stabilitas fotooksidatif VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat
VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat dipapar cahaya (4000 lux) selama 3x5 jam, kemudian disimpan pada suhu kamar selama 2 bulan. Konsentrasi asam askorbat diatur, sehingga VCO mengandung asam askorbat sebanyak 0, 50, 100, 150, 200, dan 250 ppm. Sebagai pembanding digunakan VCO tanpa mikroemulsi (kontrol) dan VCO yang mengandung mikroemulsi tanpa asam askorbat. Setelah penyimpanan 2 minggu dilakukan karakterisasi secara fisik, kimiawi, dan sensoris. Selanjutnya, karakterisasi secara fisik dan kimiawi dilakukan setiap 2 minggu.
Karakterisasi VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat
Karakterisasi secara sensoris dilakukan terhadap VCO dengan perlakuan seperti pada karakterisasi kimiawi, dengan uji pembedaan menggunakan panelis terlatih. Calon panelis dipilih berdasarkan pengalamannya dalam mengonsumsi VCO (setidaknya pernah mengonsumsi), ketertarikannya serta pengalamannya melakukan pengujian sensoris. Sebelum pelaksanaan pengujian, dilakukan pelatihan dan seleksi calon panelis. Uji pembedaan dilakukan dengan metode pembandingan jamak, bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pencampuran mikroemulsi ke dalam VCO yang baru dibuat terhadap karakteristik sensorisnya, meliputi kekeruhan, bau, rasa, dan flavor. Untuk sampel yang telah mengalami pemaparan cahaya dan penyimpanan, hanya diuji kekeruhan dan baunya. Setiap 15 mL sampel disajikan dalam botol transparan berkapasitas 20 mL yang bertutup karet. Kepada setiap panelis diberikan satu nampan yang berisi satu sampel pembanding (VCO yang baru dibuat) berkode R dan enam sampel perlakuan berkode angka tiga digit. Mereka diminta menilai dan menyatakan apakah sampel perlakuan lebih buruk, sama, atau lebih baik dibanding R, kemudian menyatakan tingkat perbedaannya (tidak berbeda, sedikit berbeda, cukup berbeda, sangat berbeda, atau amat sangat berbeda). Panelis juga diminta untuk memberikan komentar tentang sampel-sampel yang diuji. Untuk mencegah terjadinya bias penilaian, panelis diminta makan buah pir dan minum air putih setiap pergantian sampel yang diuji. Besarnya tingkat perbedaan antara sampel perlakuan dengan R dikonversikan dengan skala numerik, yaitu amat sangat lebih buruk = 1; sangat lebih buruk = 2; cukup lebih buruk = 3; sedikit lebih buruk = 4; tidak berbeda = 5; sedikit lebih baik = 6; cukup lebih baik = 7; sangat lebih baik = 8; amat sangat lebih baik = 9). Pengujian dilakukan tiga kali ulangan, masing-masing dilaksanakan pada hari yang berbeda. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANAVA dan adanya perbedaan dianalisis dengan DMRT.
Karakterisasi dilakukan secara fisik, kimiawi, dan sensoris terhadap VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat setelah pemaparan cahaya dan penyimpanan. Karakterisasi secara fisik dilakukan untuk mengetahui pengaruh pencampuran mikroemulsi asam askorbat ke dalam VCO terhadap turbiditasnya. Untuk maksud tersebut, mikroemulsi yang mengandung 0,5% asam askorbat dicampur ke dalam HASIL DAN PEMBAHASAN VCO dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, dan 5%, sehingga VCO mengandung asam askorbat sebanyak 0, 50, 100, 150, 200, Dalam penelitian ini, mikroemulsi asam askorbat dan 250 ppm. Turbiditas diukur secara spektrofotometri pada merupakan sistem dispersi yang dibentuk oleh air, asam panjang gelombang 502 nm (Cho dkk., 2008). Karakterisasi secara kimiawi dilakukan terhadap VCO askorbat, campuran surfaktan, dan VCO. Penggunaannya untuk dengan 7 perlakuan, yaitu VCO yang baru dibuat (perlakuan A), menghambat kerusakan akibat fotooksidasi, agar dapat VCO yang mengandung 1% mikroemulsi tanpa asam askorbat diperoleh VCO yang tetap terjaga mutunya hingga saat (perlakuan B), VCO yang mengandung 2% mikroemulsi tanpa dikonsumsi, kemungkinan mempengaruhi karakteristik fisik, asam askorbat (perlakuan C), VCO yang mengandung 1% kimiawi, dan/atau sensorisnya. mikroemulsi yang membawa asam askorbat 0,5% atau di dalam VCO terkandung 50 ppm asam askorbat (perlakuan D), VCO Karakteristik fisik Perubahan karakteristik fisik yang paling cepat dan mudah yang mengandung 2% mikroemulsi yang membawa asam askorbat 0,5% atau di dalam VCO terkandung 100 ppm asam diketahui adalah kenampakan. Kenampakan VCO dianalisis askorbat (perlakuan E), VCO yang mengandung 1% secara spektrofotometri melalui pengukuran turbiditas mikroemulsi yang membawa asam askorbat 1% atau di dalam berdasarkan absorbansinya pada panjang gelombang 502 nm. VCO terkandung 100 ppm asam askorbat (perlakuan F), dan VCO yang bermutu baik mempunyai kenampakan sebening air VCO yang mengandung 2% mikroemulsi yang membawa asam (Anonim, 2003) atau turbiditasnya rendah. Kandungan partikel askorbat 1% atau di dalam VCO terkandung 200 ppm asam yang terlarut dalam VCO akan mempengaruhi turbiditasnya. askorbat (perlakuan G). Analisis yang dilakukan meliputi Hasil analisis turbiditas VCO tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa hingga 5% pencampuran penentuan kadar air secara termogravimetri (IUPAC, 1992); kadar asam lemak bebas dan angka peroksida secara volumetri mikroemulsi asam askorbat ke dalam VCO tidak mempengaruhi turbiditasnya (P > 0,05), meskipun setelah dilakukan serta nilai p-anisidin secara spektrofotometri (AOCS, 2004). Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 272
ISBN 978-602-98902-1-1 pemaparan cahaya 4000 lux selama 3x5 jam dan penyimpanan hingga 2 bulan (8 minggu). Hal ini menunjukkan bahwa struktur yang membentuk sistem mikroemulsi asam askorbat tidak mengalami perubahan, meskipun dilarutkan ke dalam VCO yang merupakan fase kontinyunya. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cho dkk. (2008) terhadap mikroemulsi minyak dalam air (o/w) yang dilarutkan ke dalam air atau jus apel dengan perbandingan 1:1, 1:9, dan 1:99 yang menunjukkan hasil tetap stabil, tanpa terjadi perubahan turbiditas hingga 3 bulan penyimpanan pada suhu kamar (25 °C). Kemampuan mikroemulsi untuk dilarutkan dalam suatu media merupakan hal penting bagi penggunaannya sebagai sistem pembawa komponen bioaktif (Warisnoicharoen dkk., 2000; Flanagan dkk., 2006). Tahap ini menunjukkan bahwa konsentrasi mikroemulsi o/w yang membawa asam askorbat dan dilarutkan ke dalam VCO tidak mempengaruhi kenampakan VCO. Mikroemulsi w/o yang membawa asam askorbat dapat dilarutkan dalam VCO hingga konsentrasi 5%. Akan tetapi, semakin tinggi kandungan mikroemulsi dalam suatu produk, berarti semakin tinggi pula kandungan surfaktannya. Oleh karena surfaktan mempunyai bau spesifik yang kurang menyenangkan, maka kemungkinan hal tersebut dapat mempengaruhi karakteristik sensorisnya. Oleh karena itu, aplikasi mikroemulsi pada tahap selanjutnya hanya dilakukan dengan konsentrasi mikroemulsi 1 dan 2%, masing-masing mengandung asam askorbat 0,5 atau 1%.
Karakteristik kimiawi
Karakterisasi secara kimiawi dilakukan untuk mengetahui pengaruh pencampuran mikroemulsi asam askorbat pada VCO terhadap sifat kimiawinya, terutama stabilitas oksidatifnya selama penyimpanan. VCO yang mengandung mikroemulsi dipapar cahaya 4000 lux selama tiga hari berturut-turut dalam 5 jam setiap harinya. Kondisi ini dilakukan sebagai akselerasi terjadinya fotooksidasi, kemudian dilakukan penyimpanan pada suhu kamar sebagai pendekatan kondisi penyimpanan VCO komersial. Selama masa penyimpanan dilakukan analisis untuk mengetahui stabilitas oksidatifnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran mikroemulsi tidak berpengaruh pada kadar asam lemak bebas VCO (P > 0,05), tetapi berpengaruh pada (P < 0,01) angka peroksida, nilai panisidin, dan nilai TOTOX-nya (Tabel 2). VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat mempunyai angka peroksida, nilai p-anisidin, dan nilai TOTOX lebih rendah (P < 0,01) dibanding VCO tanpa atau dengan mikroemulsi tanpa asam askorbat. Angka peroksida, nilai panisidin, dan nilai TOTOX pada sampel sebelum dipapar cahaya lebih rendah (P < 0,01) dibanding setelah dilakukan pemaparan cahaya maupun penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa mikroemulsi asam askorbat yang dicampurkan ke dalam VCO mampu melindungi VCO dari reaksi fotooksidasi maupun oksidasi berantai. Mikroemulsi yang membawa asam askorbat lebih banyak (Perlakuan F) lebih mampu (P < 0,01) menghambat fotooksidasi maupun oksidasi berantai dibanding mikroemulsi yang membawa asam askorbat lebih sedikit (Perlakuan E). Semakin tinggi kandungan asam askorbat dalam
VCO, maka VCO mempunyai stabilitas oksidatif semakin baik (Perlakuan G dibanding yang lain). Stabilitas oksidatif minyak ditunjukkan oleh nilai TOTOXnya. Nilai TOTOX kurang dari 4 menunjukkan bahwa stabilitasnya baik (AOCS, 2004). Berdasarkan hal tersebut, semua sampel VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat masih mempunyai stabilitas oksidatif yang baik, meskipun telah dipapar cahaya dan disimpan hingga 2 bulan. Sedangkan sampel VCO yang tidak mengandung mikroemulsi asam askorbat (Perlakuan A) atau mengandung mikroemulsi tanpa asam askorbat (Perlakuan B dan C), mempunyai stabilitas oksidatif kurang baik. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai TOTOX yang lebih besar dari 4 setelah dipapar cahaya 4000 lux selama 3x5 jam dan meningkat selama masa penyimpanan. Hasil tersebut membuktikan bahwa mikroemulsi asam askorbat mampu menjaga stabilitas oksidatif VCO selama masa penyimpanan. Untuk memastikan kelayakan pencampuran mikroemulsi asam askorbat ke dalam VCO, maka perlu pula dilakukan pengujian terhadap karakteristik sensorisnya.
Karakteristik sensoris
Karakterisasi secara sensoris dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pencampuran mikroemulsi ke dalam VCO terhadap karakteristik sensorisnya, dilakukan oleh 7 orang panelis yang telah terseleksi dan terlatih, dilakukan dengan uji pembedaan menggunakan metode pembandingan jamak. Hal ini bertujuan untuk menilai pengaruh pencampuran mikroemulsi ke dalam VCO yang baru dibuat terhadap karakteristik sensorisnya, meliputi kenampakan, bau, rasa, dan flavor. Untuk sampel yang telah mengalami pemaparan cahaya dan penyimpanan, hanya diuji kenampakan dan baunya. Setiap sampel dibandingkan dengan VCO yang baru dibuat (R), hasilnya disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Gambar 1 menunjukkan bahwa mikroemulsi, baik tanpa atau dengan asam askorbat tidak mempengaruhi (P > 0,05) kekeruhan, bau, maupun flavor VCO, tetapi mempengaruhi rasanya (P < 0,05). VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat (pada berbagai konsentrasi) mempunyai nilai rasa yang tidak berbeda (P > 0,05) dibanding R. Sedangkan VCO yang mengandung mikroemulsi tanpa asam askorbat mempunyai nilai rasa lebih rendah (P < 0,05) dibanding R.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 273
ISBN 978-602-98902-1-1 Tabel 1 Nilai turbiditas VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat *) Konsentrasi mikroemulsi asam askorbat dalam VCO (%) 0 1 2 3 4 5 *)
Setelah pemaparan cahaya 4000 lux selama 3x5 jam dan penyimpanan pada suhu kamar (minggu)
Sebelum pemaparan cahaya 0,132±0,006 0,133±0,005 0,133±0,004 0,132±0,003 0,133±0,006 0,133±0,005
0 0,132±0,005 0,133±0,006 0,133±0,005 0,132±0,005 0,133±0,006 0,133±0,006
2 0,133±0,005 0,133±0,005 0,133±0,003 0,133±0,003 0,133±0,006 0,133±0,005
ditera sebagai absorbansi pada panjang gelombang 502 nm
4 0,132±0,006 0,133±0,005 0,133±0,004 0,133±0,006 0,133±0,005 0,133±0,005
6 0,132±0,006 0,132±0,004 0,133±0,006 0,133±0,006 0,133±0,006 0,133±0,005
8 0,133±0,003 0,133±0,005 0,133±0,006 0,132±0,005 0,133±0,006 0,133±0,005
Tabel 2 Karakteristik kimiawi VCO yang mengandung mikroemulsi Parameter Sebelum dan pemaparan perlakuan *) cahaya Kadar asam lemak bebas (%) A 0,195±0,004 B 0,195±0,008 C 0,194±0,007 D 0,194±0,007 E 0,195±0,008 F 0,195±0,007 G 0,195±0,006 Angka peroksida (meq/kg) A 0,173±3x10-4 B 0,180±2x10-3 C 0,181±3x10-4 D 0,180±0,000 E 0,182±7x10-4 F 0,179±1x10-3 G 0,181±1x10-3 Nilai p-anisidin A 0,195±2x10-4 B 0,212±2x10-4 C 0,215±6x10-4 D 0,209±2x10-4 E 0,209±4x10-4 F 0,207±5x10-4 G 0,207±2x10-4 Nilai TOTOX A 0,540±8x10-4 B 0,571±0,003 C 0,577±0,001 D 0,569±2x10-4 E 0,574±0,002 F 0,565±0,002 G 0,570±0,003
Setelah pemaparan cahaya 4000 lux selama 3x5 jam dan penyimpanan(minggu) 0
2
4
6
8
0,198±0,004 0,196±0,006 0,195±0,006 0,194±0,006 0,196±0,004 0,195±0,007 0,195±0,004
0,206±0,006 0,209±0,016 0,218±0,038 0,209±0,029 0,214±0,039 0,212±0,023 0,210±0,033
0,209±0,008 0,210±0,016 0,219±0,037 0,210±0,028 0,215±0,039 0,214±0,024 0,211±0,034
0,210±0,007 0,217±0,010 0,238±0,021 0,225±0,016 0,233±0,024 0,221±0,018 0,225±0,022
0,210±0,007 0,222±0,007 0,242±0,018 0,230±0,012 0,235±0,023 0,222±0,018 0,235±0,015
2,123±0,002 2,062±0,002 2,025±0,001 1,125±0,001 0,982±0,002 0,979±0,001 0,715±0,001
2,814±3x10-3 2,785±4x10-4 2,746±7x10-4 1,226±7x10-4 1,096±5x10-4 1,075±8x10-4 1,046±4x10-4
2,833±3x10-3 2,826±2x10-3 2,820±2x10-3 1,231±5x10-4 1,098±4x10-4 1,077±9x10-4 1,046±7x10-4
2,835±2x10-3 2,828±5x10-4 2,821±9x10-4 1,234±8x10-4 1,098±2x10-4 1,077±4x10-4 1,047±5x10-4
2,836±1x10-3 2,834±6x10-4 2,833±4x10-4 1,235±4x10-4 1,098±2x10-4 1,077±3x10-4 1,047±4x10-4
0,228±2x10-4 0,240±2x10-4 0,235±3x10-4 0,212±2x10-4 0,212±3x10-4 0,210±1x10-4 0,209±2x10-4
1,318±6x10-4 1,480±5x10-4 1,502±2x10-4 0,741±2x10-4 0,609±2x10-4 0,557±0,000 0,320±1x10-4
1,523±2x10-4 1,523±2x10-4 1,522±2x10-4 0,741±2x10-4 0,610±4x10-4 0,558±1x10-4 0,320±2x10-4
1,698±8x10-4 1,693±6x10-3 1,696±4x10-4 0,741±3x10-4 0,611±7x10-4 0,558±3x10-4 0,321±3x10-4
1,821±1x10-3 1,820±4x10-4 1,820±3x10-4 0,742±3x10-4 0,613±4x10-4 0,559±1x10-3 0,324±3x10-4
4,471±0,005 4,363±0,003 4,285±0,003 2,463±0,003 2,176±0,004 2,168±0,002 1,638±0,002
6,945±0,006 7,050±0,001 6,993±0,001 3,192±0,002 2,802±0,001 2,707±0,002 2,411±0,001
7,189±0,006 7,176±0,004 7,162±0,003 3,202±0,001 2,805±0,001 2,711±0,002 2,413±0,001
7,368±0,004 7,350±0,005 7,337±0,002 3,210±0,002 2,807±0,001 2,713±0,001 2,414±0,001
7,493±0,004 7,488±0,001 7,485±0,001 3,212±0,001 2,809±0,001 2,714±0,002 2,418±0,001
*) A : VCO tanpa mikroemulsi (kontrol), B : VCO mengandung 1% mikroemulsi, C : VCO mengandung 2% mikroemulsi, D : VCO mengandung 1% mikroemulsi pembawa 0,5% asam askorbat, E : VCO mengandung 2% mikroemulsi pembawa 0,5% asam askorbat, F : VCO mengandung 1% mikroemulsi pembawa 1% asam askorbat, G : VCO mengandung 2% mikroemulsi pembawa 1% asam askorbat.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 274
ISBN 978-602-98902-1-1
a
a a
a a
a
a b
a
a a b
a
a
a
a a
a
a
a a
a
a a
a
a
a
a
Gambar 1. Kekeruhan, bau, rasa, dan flavor VCO yang baru dibuat yang tidak atau yang mengandung mikroemulsi (m.e.) tanpa atau dengan asam askorbat (aa). (Huruf berbeda pada pola bar yang sama menunjukkan adanya perbedaan pada taraf signifikansi 5%. Skala nilai dibanding R: 1 = amat sangat lebih buruk, 5 = tidak berbeda, 9 = amat sangat lebih baik).
Skala nilai bau
Skala nilai
Lebih rendahnya nilai rasa pada VCO yang mengandung mikroemulsi tanpa asam askorbat dibanding R terjadi karena komponen mikroemulsi, terutama surfaktannya, mempunyai rasa spesifik yang dapat mempengaruhi rasa VCO. Rasa spesifik tersebut tereliminasi ketika asam askorbat dicampurkan ke dalam sistem mikroemulsi, sehingga VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat mempunyai rasa yang tidak berbeda dari R.
a a
a a
a a
a a
a a
a a
a a
Terdapatnya mikroemulsi asam askorbat dalam sampel tidak merubah bau alami VCO. Sedangkan bau pada VCO yang tidak mengandung mikroemulsi asam askorbat atau mengandung mikroemulsi tanpa asam askorbat menunjukkan nilai lebih rendah (P < 0,05). Hasil ini sesuai dengan hasil karakterisasi secara kimiawi (Tabel 2). VCO yang dipapar cahaya dan kemudian disimpan, mengalami fotooksidasi dan oksidasi berantai yang menghasilkan produk oksidasi primer dan sekunder. Produk oksidasi sekunder, terutama aldehid, yang ditera sebagai nilai p-anisidin merupakan komponen yang bersifat lebih mudah menguap, sehingga menurunkan nilai bau VCO. Sedangkan pada VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat dengan kandungan asam askorbat 100 ppm atau lebih mempunyai nilai bau sebanding atau lebih baik dibanding VCO yang baru dibuat. Proses pembuatan yang tidak melibatkan suhu tinggi menyebabkan VCO mempunyai bau dan rasa spesifik kelapa yang lembut dan menyenangkan. Akan tetapi, paparan cahaya dengan intensitas relatif tinggi (4000 lux) dan penyimpanan merubah bau spesifik tersebut menjadi kurang menyenangkan, sehingga nilai baunya turun. Hal tersebut tidak terjadi pada VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat. Menurut Ji dan Shen (2008), asam askorbat tidak hanya berperan sebagai singlet oxygen quencher, tetapi juga sebagai quencher sensitizer triplet tereksitasi. Hal inilah yang menghambat reaksi fotooksidasi pada VCO. Di samping itu, asam askorbat juga mampu berperan sebagai scavenger peroksida (Bodannes dan Chan, 1979; Wanasundara dan Shahidi, 2005), sehingga menghambat terjadinya oksidasi berantai yang menyebabkan terbentuknya bau dan flavor yang kurang menyenangkan. Oleh karena itu, VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat mempunyai karakteristik yang tidak berbeda dari VCO yang baru dibuat.
KESIMPULAN
c
c a
c a
d a
b
c
c
c c
e
e
Gambar 2. Kekeruhan dan bau VCO yang tidak atau yang mengandung mikroemulsi (m.e.) tanpa atau dengan asam askorbat (aa) setelah pemaparan cahaya 4000 lux selama 3x5 jam dan penyimpanan selama 2 minggu. (Huruf berbeda pada bar menunjukkan adanya perbedaan pada taraf signifikansi 5%. Skala nilai dibanding R adalah 1 = amat sangat lebih buruk, 5 = tidak berbeda, 9 = amat sangat lebih baik).
Gambar 2 menujukkan bahwa penambahan mikroemulsi, baik tanpa atau dengan asam askorbat tidak mempengaruhi (P > 0,05) kekeruhan VCO setelah pemaparan cahaya 4000 lux selama 3x5 jam dan penyimpanan selama 2 minggu.
Pencampuran mikroemulsi asam askorbat ke dalam VCO tidak mempengaruhi turbiditas, bau, dan kadar asam lemak bebasnya, meskipun setelah dilakukan pemaparan cahaya 4000 lux selama 3x5 jam dan penyimpanan hingga 2 bulan (8 minggu). VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat mempunyai angka peroksida, nilai p-anisidin, dan nilai TOTOX lebih rendah dibanding VCO tanpa atau dengan mikroemulsi tanpa asam askorbat. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa VCO yang mengandung mikroemulsi asam askorbat mempunyai karakteristik fisik, kimiawi, dan sensoris sebanding dengan VCO yang baru dibuat serta mempunyai stabilitas oksidatif yang baik, meskipun telah dipapar cahaya dan disimpan hingga 2 bulan
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang didanai oleh Hibah Penelitian Disertasi Doktor, Ditjen Dikti Depdiknas, tahun anggaran 2010.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 275
ISBN 978-602-98902-1-1
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. APCC Standard for Virgin Coconut Oil. http://www.apccsec.org/standards.htm. (1 Januari 2009).
Warisnoicharoen, W., Lansley, A.B. dan Lawrence, M.J. 2000. Nonionic oil-in-water microemulsion: the effect of oil type on phase behavior. International Journal of Pharmaceutical 198:7-27.
AOCS. 2004. Official Methods and Recommended Practices of the AOCS, Fifth edition. American Oil Chemists’ Society, Champaign, Illinois. Bodannes, R.S. dan Chan, P.C. 1979. Ascorbic acid as a scavenger of oxygen singlet. Febs Letters 105(2):195196. Cho, Y.H., Kim, S., Bae, E.K., Mok, C.K. dan Park, J. 2008. Formulation of a cosurfactant-free o/w microemulsion using nonionic surfactant mixtures. Journal of Food Science 73(3):E115-E121. Flanagan, J. dan Singh, H. 2006. Microemulsion: a potensial delivery system for bioactives in food. Critical Review in Food Science and Nutrition 46:221-237. Flanagan, J. Kortegaard, K., Pinder, D.N., Rades, T. dan Singh, H. 2006. Solubilisation of soybean oil in microemulsions using various surfactants. Food Hydrocolloids 20:253260. IUPAC. 1992. Standard Methods for the Analysis of Oils, Fats and Derivatives. Pergamon Press, New York. i, H.F. dan Shen, L. 2008. Quenching reaction of triplet state riboflavin by vitamin C: a theoretical investigation. Journal of the American Oil Chemists’ Society 85:897899. Lim, W. H. 2006. Phase diagram, viscosity and conductivity of α-sulfonate methyl esters derived from palm stearin/1butanol/alkane/water systems. Journal of Surfactants and Detergents 9(4): 349-355. Rukmini, A. dan Raharjo, S. 2010. Pattern of peroxide value changes in virgin coconut oil (VCO) due to photooxidation sensitized by chlorophyll. Journal of the American Oil Chemists’ Society 87:1407-1412. Rukmini, A., Raharjo, S., Hastuti, P., dan Supriyadi. 2011. Antiphotooxidative effect of ascorbic acid microemulsion in virgin coconut oil. Asean Food Conference, BangkokThailand, 15-18 Juni 2011. Villarino, B.J., Dy, L.M. dan Lizada, M.C.C. 2007. Descriptive sensory evaluation of virgin coconut oil and refined, bleached and deodorized coconut oil. LWT Food Science and Technology 40:193-199. Wanasundara, P.K.J.P.D. dan Shahidi, F. 2005. Antioxidants: Science, Technology, and Applications in Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, 6th ed., vol.5. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 276
ISBN 978-602-98902-1-1
Respon Imun Mukosa Dan Seluler Pada Tikus Yang Disuplementasi Susu Kambing dan Diinfeksi Salmonella typhimurium (Mucosal and Cellular Immune Responses of Rat Supplemented with Goat Milk and Infected with Salmonella typhimurium) 1)
Nurliyani1), Madarina Julia2), Eni Harmayani3)
Faculty of Animal Science UGM, 2)Faculty of Medicine UGM, 3)Faculty of Agriculture Technology UGM
[email protected]
ABSTRACT Goat milk contains bioactive proteins and oligosaccharides which can act as immunomodulators and prebiotics respectively. The objectives of the study were to determine the effect of goat milk powder supplementation on mucosal immune response (sIgA), cellular immune response (IFN-γ/interferon-γ) and the total number of lactobacilli in caecal digesta of infected rat by Salmonella typhimurium. Male Sprague Dawley rats 3 weeks old, divided into two groups: 1) rat with goat milk powder supplementation, and 2) control (aquadest). Each group using six rats, and the treatment group supplemented with 0.36 g goat milk powder/head/day by forced feeding. After 14 day supplementation, rat were infected with Salmonella typhimurium and after 21 days the rats were killed. Sample of intestinal fluid, spleen and caecal digesta were colected before and after infection. Secretory IgA (sIgA)of intestinal fluid and IFN-γ from spleen lymphocytes culture supernatant were analyzed using ELISA (enzymelinked immunossorbent assay) method, while the total number of lactobacilli were counted from caecal digesta using Total Plate Count method. The results showed that the average levels of sIgA in groups of rats supplemented with goat milk powder were not significantly different with the control before and after infection. The levels of IFN-γ in rat supplemented with goat milk powder were higher than that of the control before infected, whereas the levels of IFN-γ decreased significantly in groups of rats supplemented with goat milk powder after infection. The average of total lactobacilli in rats supplemented with goat milk powder were higher before infection compared to after infection. In conclusion, goat milk powder given at 0.36 g / day for 21 days did not able to induce mucosal and cellular immune responses after infection. Therefore, the immune system can not eliminate the pathogen which causing a decrease in lactobacilli colonization in rat infected with Salmonella typhimurium. Key words: Goat milk powder, Secretory IgA, IFN-γ, Salmonella typhimurium, Lactobacilli
PENDAHULUAN Salmonella merupakan patogen yang harus menjadi perhatian terkait kesehatan masyarakat di negara-negara maju dan berkembang. Infeksi salmonella biasanya disebabkan oleh konsumsi pangan yang terkontaminasi dan biasanya menyebabkan beberapa penyakit pada manusia seperti demam tipoid, dan salmonellosis (Tellez et al.,2011). Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi preventif yang dapat memperbaiki bahaya infeksi salmonella. Salah satu cara untuk mengurangi bahaya infeksi salmonella dengan cara peningkatan sistem imun inang ( Jain et al., 2008). Susu merupakan bahan pangan bergizi tinggi dan juga merupakan sumber komponen non-nutrien yang secara sinergis dapat menyehatkan anak terutama yang baru lahir. Komponen bioaktif dalam susu berperan penting untuk proteksi perkembangan intestinum pada anak yang baru lahir terhadap patogen, dan memodulasi respon imun setelah paparan antigen. Berbagai bukti menunjukkan bahwa peptida hasil hidrolisis protein susu dapat meregulasi fungsi imun pada anak yang baru lahir. Peptida dari protein susu dapat beraktivitas pada level sistem imun mukosa sampai fungsi sistem imun tersebut berkembang secara penuh (Baldi et al., 2005 ) Susu kambing akhir-akhir ini sudah mulai dikenal dan dikonsumsi masyarakat di Indonesia, terutama bagi kalangan masyarakat yang telah mengerti manfaat kesehatan susu kambing. Studi pada 38 anak-anak dan pada tikus dengan susu kambing sebagai pengganti susu sapi selama periode 5 bulan
menunjukkan perlakuan susu kambing dapat meningkatkan berat dan tinggi badan, mineralisasi skeletal, vitamin A serum, kalsium, thiamin, riboflavin, niacin dan hemoglobin yang melebihi perlakuan susu sapi. Susu kambing juga telah direkomendasikan sebagai alternatif yang sangat berguna untuk rehabilitasi anak-anak gizi buruk di Madagaskar, karena absorpsi lemaknya lebih bagus dibanding susu sapi. Hal ini didasarkan pada studi di 30 rumah sakit di Madagaskar yang merawat anak-anak gizi buruk usia 1 – 5 tahun, dengan periode pemberian susu kambing 2 minggu (Haenlein, 2004). Manfaat bubuk susu kambing dalam mengurangi terjadinya kerusakan epitel usus halus telah diteliti oleh Prosser et al. (2004) pada tikus yang diinduksi stres panas, dan tikus yang diinduksi indomethacin (Anonymous, 2011). Demikian juga aktivitas growth factor susu kambing dalam kultur sel menunjukkan lebih tinggi dibanding susu sapi (Wu et al., 2006). Oligosakarida dari susu kambing terbukti dapat mengurangi peradangan intestinum pada tikus colitis yang diinduksi sodium sulfat (Villoslada, et al., 2006) atau yang diinduksi hapten asam trinitrobenzensulfonat (Daddaoua et al., 2006). Fraksi non-bakteri pada susu fermentasi oleh L. helveticus dapat meningkatkan imunitas mukosa di saluran pencernaan melalui perbaikan mekanisme penguatan sel-sel epitel, barrier nonspesifik dan fungsi saluran pencernaan pada sisi infeksi. Respon imun mukosa tersebut lebih banyak terlibat dalam meningkatkan pengaruh protektif susu fermentasi dan fraksi non-bakteri terhadap salmonella dibanding kompetisi atau mekanisme eksklusi antara L. helveticus dan salmonella (Tellez et al., 2011).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 277
ISBN 978-602-98902-1-1
Respon pertama yang terjadi secara normal, apabila antigen masuk melalui jalur oral, adalah toleransi oral melalui limfosit intra-epitelial. Apabila tidak terjadi toleransi oral, maka respon imun akan diproduksi. Stimulasi imun dalam sistem imun melibatkan aktivasi sel-sel imunokompeten seperti makrofag, limfosit T dan B, serta proliferasi dan produksi sitokinnya. Sitokin merupakan glikoprotein yang berperan sebagai regulator yang dapat berinteraksi dengan reseptor spsifik pada sel dan mempunyai pengaruh pleiotropik. Sitokin tersebut berpengaruh pada keadaan aktivasi, proliferasi, maturasi dan fungsi sel-sel sistem imun serta organ (Aattouri et al., 2002). Imunoglobulin A sekretori (sIgA) banyak dijumpai pada saliva dan sekresi eksokrin yang lain seperti saluran pencernaan, pernafasan dan saluran urine (Seemann et al., 2004). Mekanisme utama proteksi terhadap antigen patogen oleh imunitas mukosa adalah diperantarai lewat sel-sel penghasil IgA dan IgA sekretori yang dapat menetralisir dan mencegah masuknya antigen berbahaya dalam inang. Stimulasi respon imun lokal efektif terhadap pencegahan penyakit oleh mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh inang melalui jalur oral (Baldi et al., 2005). Imunoglobulin A sekretori berfungsi pada sekresi mukosa sebagai pertahanan garis depan dengan cara membatasi invasi patogen (Snoeck et al., 2006). Proteksi barier epitelial mukosa oleh sIgA melalui berbagai mekanisme, antara lain melalui pembentukan kompleks dengan antigen lokal yang melapisi jaringan. Interferon γ (IFN-γ) merupakan sitokin esensial dalam reaksi imun (Aattouri et al., 2002), yang diproduksi oleh sel T teraktivasi maupun sel NK (natural killer). Peningkatan aktivasi imun akan menyebabkan produksi IFN -γ dan meningkatkan fungsi APC (antigen-presenting cells) oleh induksi molekul klas II, yang berpotensi untuk mengaktivasi sel T lebih lanjut. Disamping itu IFN -γ juga mengaktifkan makrofag, dan meningkatkan kapasitasnya sebagai APC. Sitokin IFN-γ dikenal mempunyai aktivitas sebagai imunoregulator, berperan dalam diferensiasi sel B dan sebagai antiviral (Roitt et al., 1993). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi bubuk susu kambing terhadap respon imun mukosa (sIgA) dan respon imun seluler (IFN-γ) serta total lactobacilli digesta caecum pada tikus yang diinfeksi Salmonella typhimurium.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kambing Peranakan Ettawah (PE) yang dibuat dengan cara spray drying, Salmonella typhimurium yang diambil dari koleksi kultur Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Rat-sIgA ELISA kit (Uscn Life Science Inc., Wuhan), Rat IFN-γ ELISA Kit (Bender MedSystems, Austria), dan medium Rogosa Agar. Peralatan utama yang digunakan meliputi sentrifus dingin (Sorval, Biofuge primo R), Inkubator CO2 (inco 2 Memmert), dan Microplate-reader (Model 680 XR, Bio-RAD ). Hewan coba
Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan Sprague Dawley umur 3 minggu yang diperoleh dari LPPT UGM. Rancangan penelitian. Tikus dibagi menjadi dua kelompok perlakuan bubuk susu kambing dan kontrol (aquades). Masing-masing kelompok dibagi menjadi dua yaitu sebelum dan sesudah infeksi. Setiap kelompok perlakuan sebelum dan sesudah infeksi digunakan ulangan 6 ekor tikus. Percobaan dilakukan selama 21 hari, pada hari ke 15 tikus diinfeksi secara oral dengan Salmonella typhimurium dengan konsentrasi 105 CFU/ml. Pengambilan sampel cairan intestinum, limpa dan digesta caecum tikus dilakukan pada hari ke 14 (sebelum infeksi) dan hari ke 21 (setelah infeksi). Selama percobaan tikus mendapat pakan standar AIN-93 (Rieves et al., 1993). Suplementasi susu kambing diberikan sebanyak 0,36 g/ekor/hari secara force feeding, yang setara dengan konsumsi susu 200 ml untuk manusia. Koleksi cairan intestinum. Cairan intestinum tikus dikumpulkan menurut metode Yun et al. (2000). Pengambilan cairan intestinum tersebut diambil secara flushing menggunakan 4 ml PBS dingin pH 7, yang mengandung 2 mM PMSF (phenylmethyl sulfonyl fluoride), 10 μg TPCK (tosylphenylalanine chloromethyl ketone), 0,02 % NaN3, 5 mM EDTA. Cairan flushing ditampung dalam tabung conical steril 15 ml kemudian disentrifugasi, supernatan diambil dan disimpan dalam suhu – 20oC sampai dianalisis. Prosedur koleksi supernatan dari kultur limfosit limpa Prosedur koleksi supernatan dari kultur limfosit limpa Limpa diambil secara aseptis dan dtempatkan dalam 5 ml medium RPMI 1640 yang mengandung 10% FBS and 2 % penisilin-streptomisin. Limpa dicuci dengan PBS, kemudian ditempatkan pada medium RPMI yang mengandung FBS dan penisilin-streptomisin. Limpa dirobek dengan spet dan disemprot menggunakan ujung spet 1 ml dengan bantuan pinset. Setelah limfosit terlepas, suspensi didiamkan sebentar agar sisa –sisa jaringan limpa mengendap. Bagian supernatan diambil dengan pipet Pasteur dan dipindah dalam tabung conical steril lalu disentrifus 5 menit pada 1200 rpm. Supernatan dibuang kemudian, endapan disentrifus lagi dalam medium FBS. Endapan yang didapat dihitung konsentrasi selnya sebanyak 5x105/ml, kemudian ditumbuhkan dalam medium RPMI yang mengandung FBS dan penisilinstreptomisin, lalu dimasukkan ke dalam plate 96 well. Mitogen PHA ditambahkan ke setiap well dengan konsentrasi 5 µg/ml. Plate dimasukkan dalam ikubator 5% CO2 selama 72 jam, suhu 37oC. Kultur limfosit dikeluarkan dari inkubator, supernatan diambil sebanyak 50 µl untuk dianalisis sitokinnya (Widjayanti, 1996). Analisis sIgA dan IFN-γ Secretory IgA cairan intestinum dianalisis menurut instruksi pada Rat sIgA ELISA Kit (Uscn Life Science Inc. Wuhan), sedangkan IFN-γ pada supernatan kultur limfosit limpa dianalisis menurut instruksi pada Rat IFN- γ ELISA Kit (Bender MedSystems, Austria)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 278
ISBN 978-602-98902-1-1
Penghitungan total lactobacilli Total lactobacilli dari digesta caecum dihitung menggunakan metode TPC pada media selektif Rogosa Agar. Sampel digesta ditimbang dan dibuat seri pengenceran menggunakan NaCl fisiologis, kemudian pada pengenceran tertentu diinokulasikan pada media agar. Plate agar yang telah diinokulasi, diinkubasi selama 48-72 jam, kemudian koloni yang tumbuh dihitung, dan hasilnya dinyatakan dalam log 10 CFU/g berat basah digesta. Analisis data Data hasil penelitian dianalisis dengan ANOVA dua arah (perlakuan bubuk susu kambing dan kontrol untuk tikus sebelum dan sesudah diinfeksi Salmonella typhimurium)
HASIL DAN PEMBAHASAN sIgA cairan intestinum Rerata sIgA cairan usus pada tikus yang disuplementasi bubuk susu kambing ternyata tidak ada bedanya dengan kontrol (Tabel 1) baik sebelum maupun sesudah infeksi Salmonella typhimurium. Hal ini berarti bubuk susu kambing yang diberikan sebanyak 0,36 g/hari (setara dengan konsumsi pada manusia 20 g/hari atau 200 ml susu), tidak mampu menginduksi respon imun mukosa di intestinum. Menurut Debbabi et al. (1998), dosis dan jalur pemberian serta sifat protein antigen merupakan faktor penting untuk mendapatkan respon lokal dan periferal maupun besarnya modulasi respon imun. Susu kambing dalam penelitian ini telah dibuat bubuk (powder) melalui proses pemanasan cukup tinggi, dimungkinkan dapat mengubah sebagian besar sifat molekul protein sebagai imunomodulator, sehingga tidak dapat meningkatkan respon sIgA dalam cairan usus. Protein whey dalam susu mengandung laktoferin yang dapat berperan sebagai imunomodulator. Kemampuan laktoferin berikatan dengan limfosit dan monosit.makrofag dapat dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap berbagai aspek sistem imun termasuk respon imun humoral, pematangan sel T dan sel B serta proliferasi limfosit (Debbabi et al., 1998), aktivasi komplemen, regulasi pelepasan sitokin dan regulasi produksi antibodi (Naidu, 2000). Reseptor laktoferin ditemukan pada berbagai sel seperti brush border usus halus, makrofag, dan limfosit (Zimecki et al., 1995). Apabila sebagian besar protein antigen mengalami perubahan pada bagian epitopnya, maka reseptor protein tidak akan mengenalnya sehingga menurunkan respon antibodinya. Timbulnya respon sIgA di cairan intestinum dimungkinkan memerlukan dosis pemberian antigen yang lebih tinggi atau jangka pemberiannya lebih lama, apabila jalur pemberian antigen dilakukan secara oral. Hal ini dapat dimengerti karena di dalam cairan intestinum banyak sekali enzim-enzim pencernaan yang dapat merusak sIgA, sehingga tidak dapat berperan untuk eksklusi imun.
Tabel 1. Rerata sIgA (ng/ml) cairan usus pada tikus yang disuplementasi bubuk susu kambing sebelum dan sesudah diinfeksi Salmonella typhimurium Suplementasi Bubuk susu kambing Kontrol Rerata
ns: non significant
Sebelum infeksi 46,39 42,33 44,17
Sesudah infeksi 44,65 38,57 41,60
Rerata 45,52 40,62 42,95ns
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, yang menunjukkan bahwa mencit yang diberi susu kerbau selama 7 hari, setelah hari ke 5 pascainfeksi Salmonella enteridis, tidak terjadi peningkatan sIgA dalam cairan intestinum, namun sIgA tersebut meningkat pada mencit yang diberi susu fermentasi dahi yang mengandung probiotik (Jain et al., 2008). IFN- γ supernatan kultur limfosit Tikus yang disuplementasi bubuk susu kambing selama 14 hari (sebelum diinfeksi), ternyata mampu meningkatkan respon IFN- γ. Namun demikian setelah diinfeksi Salmonella typhimurium pada hari ke 15, pemberian bubuk susu kambing sampai hari ke 21 tidak mampu meningkatkan respon IFN- γ (Tabel 2). Tabel 2. Rerata IFN-γ (pg/ml) supernatan kultur limfosit limpa pada tikus yang disuplementasi bubuk susu kambing sebelum dan sesudah diinfeksi Salmonella typhimurium Suplementasi Bubuk susu kambing Kontrol Rerata
Sebelum infeksi 63,33a 45,00b 55,00
Sesudah infeksi 37,00b 35,66b 36,33
Rerata 50,16 39,90 45,26
Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (P< 0,05) Interferon- γ merupakan sitokin yang penting dalam respon inang terhadap infeksi salmonella, dan juga mikrobia patogen mencit lainnya. Kemampuan sitokin tersebut adalah memodulasi aktivitas bakterisidal makrofag. Sitokin tersebut diproduksi pada fase awal infeksi Salmonella typhimurium yang sangat penting untuk kelangsungan hidup inang (Tellez et al., 2011). Susu kambing mengandung protein laktoferin sebagai imunomodulator dan mempunyai reseptor di makrofag. Oleh karena itu laktoferin yang resisten terhadap degradasi proteolitik di saluran pencernaan dapat mencapai sel-sel imunokompeten dan menimbulkan respon imun. Konsumsi bubuk susu kambing sebanyak 0,36 g/hari selama 14 hari pada penelitian ini hanya dapat meningkatkan produksi sitokin pada tikus yang tidak diinfeksi, terbukti produksi IFN- γ menurun secara signifikan setelah diinfeksi Salmonella. Hal ini berarti bubuk susu kambing tersebut tidak dapat meningkatkan kemampuan mikrobisidal makrofag terhadap salmonella atau tidak dapat meningkatkan fungsi makrofag sebagai APC. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, bahwa mencit yang diberi susu
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 279
ISBN 978-602-98902-1-1
kerbau selama 7 hari tidak meningkatkan produksi sitokin IFN γ oleh limpa setelah 2; 5 dan 8 hari dari infeksi Salmonella enteridis (Jain et al., 2008). Total lactobacilli Bubuk susu kambing yang diberikan selama 14 hari pada tikus, tidak dapat meningkatkan jumlah lactobacilli dalam digesta caecum atau sama dengan kontrol. Setelah tikus diinfeksi salmonella jumlah lactobacilli menurun secara signifikan (Tabel 3). Hal ini dimungkinkan bubuk susu kambing yang mengandung oligosakarida dengan pemberian 0,36 g/hari pada penelitian ini terlalu sedikit untuk berperan seperti reseptor di sel-sel epitel usus halus. Dengan demikian patogen salmonella menang dalam berkompetisi dengan lactobacilli untuk menempel pada sel-sel epitel tersebut. Tabel 3. Rerata lactobacilli (log CFU/ml) digesta caecum pada tikus yang disuplementasi bubuk susu kambing sebelum dan sesudah diinfeksi Salmonella typhimurium Suplementasi Bubuk susu kambing Kontrol Rerata
Sebelum infeksi 6,91a 7,61a 7,26
Sesudah infeksi 6,16b 7,14a 6,65
Rerata 6,53 7,38 6,95
Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (P< 0,05) Konsentrasi oligosakarida ASI (air susu ibu) sebanyak 5-8 g/l, sedangkan oligosakarida susu kambing lebih rendah dibanding ASI yaitu 0,25-0,30 g/l, namun lebih tinggi daripada susu sapi ( 0,03-0,06 g/l). Oligosakarida berpengaruh pada stimulasi pertumbuhan bifidobacteria dalam saluran pencernaan yang melindungi terhadap patogen enteric. Oligisakarida mirip prebiotik yang berpotensi menstimulasi secara selektif pertumbuhan mikrobia menguntungkan dalam saluran pencernaan. Struktur oligosakarida ASI mirip dengan glikolipid dan glikoprotein dalam sel-sel intestium, sehingga dapat berfungsi sebagai reseptor untuk mikroorganisme yang merupakan mekanisme pertahanan tambahan (Daddaoua et al., 2006). Penelitian sebelumnya menunjukkan olisakarida susu kambing dapat menghambat adesi bakteri pada membran epitel, menurunkan translokasi bakteri dalam sel model, mempromosi pertumbuhan selektif lactobacilli dan bifidobacteria (Daddaoua et al., 2006).
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada LPPM-UGM atas bantuan dana penelitian ini melalui Program Penelitian Hibah Kluster Kesehatan tahun 2009.
DAFTAR PUSTAKA Aattouri N, Bouras M, Tome D, Marcos A, and Lemonnier D. 2002. Oral ingestion of lactic-acid bacteria by rats increases lymphocyte proliferation and interferon- γ production. British Journal of Nutrition 87:367-373. Anonymous.----------------. Karihome. Goat milk infant formula. Dairy Goat Co-operative (New Zealand) Ltd http://www.karihome.com.hk/pdf/Karihome%20v1-OEAug05%20Approved.pdf (10 Agustus 2011). Baldi A, Ioannis P, Chiara P, Elenora F, Roubini C, and Vittoro DO. 2005. Biological effects of milk proteins and their peptides with emphasis on those related to the gastrointestinal ecosystem. Journal of Dairy Research 72:66-72. Daddaoua A, Puerta V, requena P, Martinez FA, Guadix E, Sanches de MF, Zarzuelo A, Suarez DM, Boza JJ, and Martinez AO. 2006. Goat milk oligosaccharides are antiinflammatory in rats with hapten-induced colitis. J. Nutr. 136:672-676. Debbabi H, Dubbary M, Rautureau M and Tome D.1998. Bovine Lactoferrin Induce both Mucosal and Systemic Immune Response in Mice. Journal of Dairy Research 65: 283-293. Haenlein GFW. 2004. Goat milk in human nutrition. Small Ruminant Research 51: 155-163. Jain S, Yadav H, Sinha PR, Naito Y, and Marotta F. 2008. Dahi containing probiotic Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei has a protective effect against Salmonella enteridis infection in mice.
KESIMPULAN
Naidu AS. 2002. Activated Lactoferrin. A new approach to meat safety. Food Tecnology 56(3):40-45
Bubuk susu kambing yang diberikan sebanyak 0,36 g/hari selama 21 hari tidak mampu menginduksi respon imun mukosa maupun respon imun seluler, sehingga sistem imun tidak dapat mengeliminasi patogen yang menyebabkan penurunan kolonisasi lactobacilli pada tikus yang diinfeksi Salmonella typhimurium.
Prosser C, Stelwagen K, Cummins R, Guerin P, Gill N, and Milne C. 2003. Reduction in heat-induced gastrointestinal hypermeability in rats by bovine colostrum and goat milk powder. Journal of Applied Physiology 96:650-654. Reeves PG., Neilsen FH, and Fahey GC, JR. 1993. AIN-93 Purified Diets for Laboratory Rodents: Final Report of
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 280
ISBN 978-602-98902-1-1
the American Institute of Nutrition Ad Hoc Writing Committee on the Formulation of the AIN-76A Rodent Diet. J. Nutr. 123:1939-1951. Roitt I, Brostoff J, and Male D. 1993. Immunology. P. 7.9. Mosby-Year Book Europe Ltd. London Seemann R, Hagewald SJ, Sztankay V, Drews J, Bizhang M, and Kage A. 2004. Levels of parotid and submandibular/sublingual salivary immunoglobulin A in response to experimental gingivitis in humans. Clin Oral Invest 8:233-237. Snoeck V, Iain RP and Eric C. 2006. The IgA system: a comparison of structure and function n different species. Vet. Res. 37:455-467. Tellez A, Corredig M, Turner PV, Morales R, and Grffiths M. 2011. A peptidic fraction from milk fermented with Lactobacillus helvetcus protects mice against Salmonella infection. International Dairy Journal 21:607614. Villoslada FL, Debras E, Nieto A, Concha A, Galvez J, Huertas EL, Boza J, Obled C, Xaus J. 2006. Oligosaccharides isolated from goat milk reduce intestinal inflammation in a rat model of dextran sodium sulfate-induced colitis 25:477-488. Wijayanti, M.A. 1996. Peranan Makrofag dalam Imunitas terhadap Infeksi Malaria: Kajian Kemampuan Fagositosis dan Sekresi Radikal Oksigen Intermediet Makrofag Peritoneum Mencit yang Diimunisasi dan Tidak Diimunisasi In Vitro. Tesis Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jurusan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Gadjah Mada. Wu F.Y, Tsao PH, Wang DC, Lin S, Wu JS, and. Cheng YK. 2006. Factors affecting growth factor activity in goat milk Journal of Dairy Science 89: 1951-1955. Yun CH., Lillehoj HS, Shu J and Min W. 2000. Kinetics differences in intestinal and systemic interferon- and antigenic-specific antibodies in chickens experimentally infected with Eimeria maxima. Avian Diseases 44:305312. Zimecki M, Mazurier J, Spik G, and Kapp JA. 1995. Human lactoferrin induces phenotypic and functional changes in murine splenic B cells. Immunology 86:122-127.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 281
ISBN 978-602-98902-1-1
Aktivitas Antioksidasi dan Inhibitor Enzim α-Glukosidase Minuman Fungsional Sirih Merah (Piper crocatum) dan Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) [Antioxidative and α-Glukosidase Enzyme Inhibitor Activity of Piper crocatum and Cinnamomum burmannii Functional Food] Mega Safithri1, Sedarnawati Yasni2, Maria Bintang3, Anna S Ranti4 Mahasiswa S3 Ilmu Pangan FATETA IPB Email:
[email protected];
[email protected] 2 Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB 3 Staf Pengajar Departemen Biokimia FMIPA IPB 4Martha Tilaar Innovation Center 1
ABSTRACT Indonesia was in the 4th largest for the number of people having diabetes mellitus with a prevalence of 8.6% of the total population in 2005 (after India, China and the United States). One of Indonesia’s medicinal plants studied that have anti-hyperglycemic activity is Piper crocatum. P.crocatum leaves have a bitter taste can be combined with C. burmannii, in order to obtain a delicious flavor and it can preserve the product. Aims of this study is to get the health drink formula made from P. crocatum and C. burmannii which have antioxidative activity by measurement of superoxide dismutase and catalase enzyme, and anti-hyperglycemic activity in vitro by measurement of α-glucosidase enzyme activity. Extraction process of P. crocatum and C. burmannii was done separately by using the solvent water. P.crocatum extract mixed with extract of C. burmannii with a ratio of 1:0; 1:0,2; 1:0,6; 1:1, and 0:1. In each mixture was added sweetener stevia as much as 0.67%v/v. Measurement of α-glucosidase enzyme activity, superoxide dismutase and catalase was performed by spectrophotometric methods. The results showed that the 1:0,6 formula is the best formula for having the enzyme activity of superoxide dismutase at 3.32 ± 0.08 U/ml, catalase 0.18 ± 0.02 U/ml, and inhibitor α-glucosidase enzyme by 61, 00 ± 2.55%, and total phenolic compounds of the largest, it is 1067.65 ± 0.90 ppm. The formula has a characteristic pH value, L, a and b respectively by 5.59 ± 0.01, 28.40 ± 0.04; +5.87 ± 0.14, and +6.32 ± 0, 06. Key words : Piper crocatum, Cinnamomum burmannii, antioksidative activity, α-glukosidase activity
PENDAHULUAN Aktivitas antihiperglikemik dari suatu produk pangan fungsional pada saat ini sangat penting, terutama pada posisi Indonesia yang menempati urutan ke-4 terbesar untuk jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8.6% dari total penduduk. Urutan di atasnya adalah India, Cina, dan Amerika Serikat (Depkes RI 2005). Temuan tersebut membuktikan bahwa penyakit diabetes melitus merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia yang sangat serius. Penderita diabetes dapat mengalami komplikasi kronis berupa nefropati (gangguan fungsi ginjal), neuropati (gangguan fungsi syaraf) dan retinopati (gangguan retina mata), gangguan kardiovaskular, serta dapat menyebabkan hipertensi akibat radikal bebas yang dihasilkan selama keadaan hiperglikemia. Radikal bebas dapat direduksi secara optimum melalui kerja enzim superoksida dismutase, katalase, dan NADPH oksidase (Ceriello 2003). Usaha untuk menjaga tidak terjadinya komplikasi penyakit pada penderita diabetes mellitus sangat penting, antara lain menggunakan obat yang bersifat hipoglikemik, atau dengan mengkonsumsi pangan fungsional yang berbahan baku tanaman obat dan rempah yang memiliki aktivitas antioksidasi dan antidiabetes (Rates 2001). Sirih merah sebagai tanaman obat memiliki senyawa aktif yang berasal dari golongan flavonoid, tanin, dan alkaloid (Safithri & Fahma 2008). Golongan senyawa tersebut telah banyak diteliti peranannya sebagai senyawa antioksidan. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian air rebusan sirih merah dengan dosis 3,22 dan 20 g/kg BB selama 10 hari dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus yang diinduksi dengan aloksan sebesar 150 mg/kg sebesar 23,6 dan 37,4%. Analisis statistik menunjukkan bahwa kadar glukosa tikus yang dicekok pada dosis tersebut tidak berbeda nyata dengan kadar glukosa tikus normal (Safithri dan Fahma 2008). Namun demikian, ekstrak daun sirih merah yang memiliki cita rasa pahit, sehingga perlu dikombinasikan dengan rempah-rempah, agar diperoleh citarasa yang enak, menambah biaktivitas, dan sekaligus dapat mengawetkan produk. Salah satu cara yang dapat dikembangkan adalah dengan menambahkan air rebusan kulit kayu manis (Cinnamomum sp) dan penambahan stevia sebagai pemanis alami yang rendah indeks glikemiknya. Kayu manis dipilih sebagai bahan kombinasi untuk sirih merah karena kayu manis telah diketahui memiliki manfaat sebagai antidiabetes ditunjukkan dari hasil penelitian Khan et al (2003), yaitu asupan kayu manis sebanyak 1, 3, dan 6 gram per hari dapat menurunkan kadar glukosa darah pada orang-orang yang menderita diabetes tipe 2. Selanjutnya, penelitian Hlebowicz et al. (2007) menunjukkan bahwa asupan 6 gram kayu manis yang dicampur dalam puding beras dapat menurunkan kadar glukosa darah postprandial dan dapat menunda pengosongan lambung. Selain itu, kulit kayu manis memiliki citarasa dan senyawa antimikroba alami karena ekstrak kayu manis dapat menghambat semua jenis strain bakteri dengan penghambatan sebesar 99,4% kecuali Salmonella para typhi B (Chaudhary dan Tariq 2006),
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 282
ISBN 978-602-98902-1-1
Dengan demikian, perlu dilakukan kajian untuk mendapatkan formula campuran air rebusan sirih merah, ekstrak kayu manis, dan stevia sebagai pangan fungsional yang memiliki aktivitas antihiperglikemik dan antioksidasi.Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula minuman kesehatan berbahan baku sirih merah dan kayu manis yang memiliki aktivitas antihiperglikemik in vitro berdasarkan pengukuran aktivitas enzim α-glukosidase, dan aktivitas antioksidasi enzim superoksida dismutase dan katalase.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain Sirih Merah (Piper crocatum) dan kayu manis (Cinnamomum burmannii) yang diperoleh dari Balai Tanaman Obat dan Rempah (BALITTRO), Cimanggu Bogor. Bahan kimia unt∆A/min dari sampel maupun standar uk analisis kadar total fenol yang meliputi Folin Ciocalteu 10%, Na2CO3 1 M, dan asam tanat. Bahan-bahan kimia untuk analisis aktivitas enzim SOD yang meliputi xantin 0.05mM, xantin oksidase 80 U/L, 2(4-iodofenil)-3-(4-nitrofenol)-5-feniltetrazolium klorida (INT) 0,025mM, buffer yang terdiri atas N-cyclohexyl-3aminopropanesulfonic acid (CAPS) 40 mM dan EDTA 0,94 mM, standar SOD 4,01U/L, asam lipoat 100 ppm. Bahan-bahan 1 kimia untuk analisis aktivitas enzim katalase, yaitu H2O2 mM, Horseradish peroxidase (HRP), oxiRedTM Probe, katalase, buffer fosfat 50 mM pH 7, dan asam lipoat 100 ppm. Bahanbahan kimia untuk analisis aktivitas enzim α-glukosidase adalah ONPG 20 mM, ONP 1 mM, enzim α-glukosidase 2,5 U/ml, buffer fosfat 0,1 M pH 7, dan acarbose 0,01% Alat-alat yang digunakan antara lain alat-alat untuk analisis kadar air, alat-alat untuk pembuatan ekstrak air sirih merah dan kayu manis, alat-alat gelas dan spektrofotemeter untuk analisis total fenol dan aktivitas enzim SOD, katalase, dan αglukosidase. pH meter dan Minolta Chroma Meters untuk mengukur pH dan perbedaan warna formula minuman yang dibuat. Pembuatan ekstrak daun sirih merah, dan kulit kayu manis Proses ekstraksi daun sirih merah dan kulit kayu manis dilakukan secara terpisah. Daun sirih merah kering matahari (6 jam) dengan kadar air 6-7% ditimbang sebanyak 10 g dan dan ditambahkan akuades sebanyak 200 mL (1:20), lalu direbus dalam keadaan tertutup sampai mendidih, dan dibiarkan mendidih selama 5 menit, kemudian disaring, diukur volume flitratnya, dan filtrat ditambahkan akuades sampai volume filtrat mencapai 100 ml. Kulit kayu manis kering matahari 9 jam (3 hari dari jam 10.00-13.00) dengan kadar air 8-9% ditimbang sebanyak 20 g, dan ditambahkan akuades sebanyak 200 mL (1:10), lalu direbus dengan air dalam keadaan tertutup sampai mendidih, dan dibiarkan mendidih selama 5 menit. kemudian disaring, diukur volume flitratnya, dan filtrat ditambahkan akuades sampai volume filtrate mencapai 100 ml (Modifikasi Safithri dan Fahma, 2008).
Formulasi Ekstrak Daun Sirih Merah dan Kulit Kayu Manis Ekstrak air daun sirih merah dicampur dengan ekstrak air kayu manis dengan perbandingan 1:0; 1:0,2; 1:0,6; 1:1; dan 0:1. Pada masing-masing campuran ditambahkan bahan pemanis stevia sebanyak 0,67%, sehingga diperoleh lima jenis formula. Analisis Kadar Air Sebanyak 5-6 gram sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi, ditambahkan toluene 75ml, dikocok perlahan-lahan seningga tercampur dengan sempurna dan semua contoh terendam, lalu ditambahkan juga kedalam labu destilasi beberapa butir batu didih. Alat destilasi dan isi penampung dipasang sedemikan rupa sehingga kecepatan destilasi adalah kira – kira 100 tetes per menit. Sewaktu pemanasan berlangsung, sekali – kali dibersihkan dinding sebelah dalam pendingin dengan sedikit toluene, untuk membilas air yang mungkin melekat pada dinding pendingin. Destilasi dihentikan apabila setelah 30 menit air tidak lagi bertambah dalam penampung, kemudian dibaca volume air dalam penampung yang dapat dinyatakan sebagai bobot air karena rapat massa air tepat 1 gram/ml (Sudarmadji, 1996). Kadar air sampel dihitung berdasarkan rumus : Berat air = ρ air x vol air Analisis kadar total fenol Sebanyak 1 ml sampel ditempatkan dalam tabung reaksi yang berisi 1 ml etanol 95% dan 5 ml air bebas ion, kemudian ditambahkan 0.5 ml pereaksi Folin Ciocalteu, lalu diinkubasi pada suhu 250C selama 5 menit. Selanjutnya, larutan ditambahkan 1 ml Na2CO3 5% dan divorteks, kemudian diinkubasi pada suhu 250C selama 1 jam diruang gelap. Ukur absorbansinya pada λ 725 nm. Standar menggunakan asam tanat dengan konsentrasi 0; 6,5; 13; 32,5; 65; 130 ppm (Modifikasi Pourmorad et al., 2006) Analisis aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) Sebanyak 0,05 ml sampel dilarutkan dengan 1,7 ml substrat (xantin dan INT) kemudian divorteks, lalu ditambahkan 0,25 ml xantin oksidase. Selanjutnya, larutan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 detik, kemudian dibaca absorbansinya (A1) pada panjang gelombang 505 nm. Setelah itu, larutan diinkubasi pada suhu 250C selama 3 menit, kemudian dibaca absorbansinya (A2) pada λ 505 nm. Larutan pembanding menggunakan asam lipoat 100 ppm. Untuk standar enzim SOD dengan konsentrasi 0,00; 0,17; 0,5; 1,00; 2,01; dan 4,01 dilakukan hal yang sama dengan sampel ,yaitu 0,05 ml standar dilarutkan dengan 1,7 ml substrat (xantin dan INT) kemudian divorteks, lalu ditambahkan 0,25 ml xantin oksidase. Selanjutnya, larutan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 detik, kemudian dibaca absorbansinya (A1) pada panjang gelombang 505 nm. Setelah itu, larutan diinkubasi pada suhu 250C selama 3 menit, kemudian dibaca absorbansinya (A2) pada λ 505 nm. Untuk perhitungan % penghambatan dan aktivitas enzim SOD, maka dilakukan langkah perhitungan sebagai berikut: A2 – A1 = ∆A/min dari sampel maupun standar 3
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 283
ISBN 978-602-98902-1-1
Selanjutnnya untuk mendapatkan % penghambatan, maka data ∆A/min dari sampel maupun standar dimasukkan dalam rumus: % penghambatan = 100 – (∆Asampel/min x 100) ∆AStd 0,00/min
Setelah itu, untuk mendapatkan aktivitas enzim SOD, maka dibuat kurva standar antara konsentrasi enzim SOD (X) dan % penghambatan (Y). Selanjutnya, data % penghambatan sampel diplotkan pada kurva standar (RANDOX, 2006). . Analisis aktivitas enzim katalase Sebanyak 20 µl sampel dilarutkan dengan 58 µl bufer fosfat 50 mM pH 7, kemudian ditambahkan 12 µl H2O2 1 mM. Setelah itu larutan tersebut diinkubasi pada suhu 250C selama 30 menit. Selanjutya, larutan ditambahkan 10 µl Na2CO3 100 mM (untuk menghentikan reaksi). Setelah itu, larutan tersebut ditambahkan 46 µl bufer fosfat 50 mM pH 7, 2 µl OxiredTM Probe, dan 2 µl larutan HRP, kemudian larutan tersebut diinkubasi pada suhu 250C selama 10 menit. Setelah itu larutan dibaca absorbansinya pada λ 570 nm. Larutan pembanding menggunakan asam lipoat 100 ppm. Pembuatan kurva standar H2O2 dilakukan dengan cara memipet 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 µl H2O2 1 mM, kemudian ditambahkan bufer fosfat 50 mM pH 7 sampai volume tepat 90 µl. Selanjutnya, larutan ditambahkan 10 µl Na2CO3 100 mM (untuk menghentikan reaksi). Setelah itu, larutan tersebut ditambahkan 46 µl bufer fosfat 50 mM pH 7, 2 µl OxiredTM Probe, dan 2 µl larutan HRP, kemudian larutan tersebut diinkubasi pada suhu 250C selama 10 menit. Setelah itu larutan dibaca absorbansinya pada λ 570 nm. Untuk perhitungan aktivitas katalase dilakukan dengan rumus: Aktivitas katalase = jumlah H2O2 1 mM yang tersisa pada sampel X faktor pengenceran 30 x volume sampel
Jumlah H2O2 1 mM yang tersisa pada sampel dihitung dengan cara memplotkan nilai absorban sampel pada kurva standar (BioVision 2011). .
Analisis aktivitas enzim α-glukosidase Sebanyak 20 µl sampel atau standar atau akuades sebagai kontrol negatif, ditambahkan 980 µl bufer fosfat 0,1 M pH 7, dan 500 µl substrat p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida 20 mM, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 5 menit. Selanjutnya, larutan tersebut ditambahkan 500 µl enzim αglukosidase 2,5 U/ml, kemudian larutan tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 mL 200 mM Na2CO3 dan diukur serapannya pada λ 400 nm. Larutan pembanding menggunakan acarbose dengan konsentrasi 0,01%. Pembuatan kurva standar dilakukan dengan menggunakan larutan p-nitrofenol (pNP) dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 15, dan 20 µM. Larutan blanko menggunakan larutan buffer fosfat 0,1 M pH 7 (pelarut larutan standar p-nitrofenol) Serapannya diukur pada λ 400 nm (Modifikasi Alfarabi, 2010). Persentase daya hambat ekstrak dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
% daya hambat = [pNP] kontrol negatif – [pNP] ekstrak x 100% [pNP] kontrol negatif Analisis data Analisis data percobaan menggunakan analisis ragam oneway ANOVA dan bila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut Tukey menggunakan taraf α = 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kadar air Daun sirih merah dan kulit kayu manis dianalisis kadar air terlebih dahulu sebelum diekstrak untuk formulasi minuman fungsional. Hasil analisis kadar air daun sirih merah dan kulit kayu manis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis kadar air daun sirih merah dan kayu manis % bobot basah % bobot kering Sampel (bb) (bk) Daun sirih merah segar 75,45±3,49 Daun sirih merah kering 6,82±1,22 Kulit kayu manis kering 8,93±1,50 Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa proses pengeringan dengan cahaya matahari selama 9 jam (3 hari dari jam 10.00-13.00), mampu menurunkan kadar air sampai dibawah 10%. Dengan demikian, daun sirih merah dan kulit kayu manis dapat aman disimpan sebelum digunakan untuk ekstraksi karena kadar air dibawah 10% dapat mencegah terjadinya proses enzimatik dan kerusakan oleh mikroba (Manoi 2006). Analisis aktivitas antioksidasi minuman fungsional terhadap enzim superoksida dismutase dan katalase Formula minuman fungsional sirih merah dan kayu manis dianalisis aktivitas antioksidasinya dengan cara enzimatis, yaitu enzim SOD dan katalase. Hal ini dikarenakan enzim SOD dan katalase merupakan enzim yang berperan optimum dalam meredam radikal bebas dalam tubuh, terutama pada penderita diabetes yang dapat mengalami komplikasi kronis berupa nefropati (gangguan fungsi ginjal), neuropati (gangguan fungsi syaraf) dan retinopati (gangguan retina mata), gangguan kardiovaskular, serta dapat menyebabkan hipertensi akibat radikal bebas yang dihasilkan selama keadaan hiperglikemia (Ceriello 2003). Berdasarkan hasil analisis aktivitas antioksidasi 5 formula minuman kesehatan terhadap aktivitas enzim superoksida dismutase (Tabel 2) menunjukkan bahwa sirih merah tunggal dan kayu manis tunggal memiliki aktivitas antioksidasi tertinggi, yaitu 3,41 U/ml dan 3,43 U/ml, dan jika kedua estrak tersebut dicampur dengan perbandingan yang sama (1:1), maka akan menghasilkan aktivitas antioksidasi yang berbeda nyata (P<0.05) dengan ekstrak tunggalnya. Namun demikian, pencampuran ekstrak sirih merah dan kayu manis dengan perbandingan 1:0,6, menghasilkan aktivitas antioksidasi yang sama dengan aktivitas antioksidasi ekstrak tunggalnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya penambahan ekstrak kayu manis tidak linear terhadap penambahan aktivitas
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 284
ISBN 978-602-98902-1-1
antioksidasinya.Hal ini sesuai dengan karakteristik senyawa bioaktif dari tanaman obat dan rempah, yang pada perbandingan tertentu dapat bersifat sinergis dan apabila terlalu besar akan bersifat antagonis (Mukherjee dan Houghton, 2009). Tabel 2. Hasil analisis aktivitas enzim SOD minuman fungsional berbahan baku daun sirih merah dan kayu manis Jenis Formula Minuman Aktivitas (Sirih merah:kayu % Inhibisi SOD U/ml manis) 1:0 93,01±0,76 3,41±0,04a 1 : 0,2 80,65±0,00 2,77±0,00c 3,32±0,08a 1 : 0,6 91,40±1,52 b 1:1 88,17±1,52 3,16±0,08b 0:1 93,55±0,00 3,43±0,00a Asam lipoat 100 ppm 35,48±1,52 0,45±0,08d Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (α>0,05) Hasil analisis aktivitas antioksidasi terhadap enzim katalase (Tabel 3), menunjukkan bahwa ekstrak kayu manis tunggal tidak memiliki kemampuan berperan sebagai aktivator maupun mimetik enzim katalase seperti halnya pada asam lipoat dan sirih merah tunggal. Namun demikian, pencampuran ekstrak air sirih merah dan ekstrak air kayu manis dengan perbandingan 1:0,6 dapat meningkatkan aktivitas antioksidasi menjadi 0,18 mU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya penambahan ekstrak kayu manis tidak linear terhadap penambahan aktivitas antioksidasinya.Hal ini sesuai dengan karakteristik senyawa bioaktif dari tanaman obat dan rempah, yang pada perbandingan tertentu dapat bersifat sinergis dan apabila terlalu besar akan bersifat antagonis (Mukherjee dan Houghton, 2009).
Analisis aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase Pengkajian mekanisme antihiperglikemik 5 formula minuman fungsional barbahan baku sirih merah dan kayu manis dilakukan pada tingkat pencernaan, yaitu dengan analisis potensi ekstrak daun sirih merah sebagai inhibitor enzim αglukosidase menggunakan metode spektrofotometer dengan pnitrofenol-α-D-glukopiranosa sebagai substrat yang akan dihidrolisis oleh glukosidase menjadi p-nitrofenil, dan ditunjukkan dengan adanya warna kuning. Enzim glukosidase merupakan enzim yang berfungsi memecah karbohidrat menjadi glukosa pada usus halus manusia. Enzim αglukosidase mengkatalisis hidrolisis terminal residu glukosa yang berikatan α-1,4 dan menghasilkan α-D-glukosa (Matsumoto et al. 2002). Berdasarkan hasil analisis 5 formula minuman kesehatan terhadap aktivitas enzim α-glukosidase (Tabel 4), menunjukkan bahwa ekstrak kayu manis tunggal memiliki nilai inhibisi terbesar terhadap aktivitas enzim α-glukosidase, yaitu 75,94%. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh ekstrak sirih merah tunggal, yang tidak memiliki daya hambat terhadap aktivitas enzim αglukosidase. Inhibisi ektrak kayu manis mengalami penurunan ketika dicampur dengan ekstrak sirih merah. Namun demikian, pencampuran yang menghasilkan daya hambat terbesar terhadap aktivitas enzim α-glukosidase ditunjukkan pada formula 1:0,6 yaitu 61,00%. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa bioaktif ekstrak air sirih merah bersifat antagonis terhadap senyawa bioaktif ekstrak air kayu manis untuk aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase. Formula 1:0,6 minuman fungsional berbahan baku ekstrak air sirih merah dan kayu manis memiliki nilai inhibisi terhadap enzim α-glukosidase yang lebih besar (61%) jika dibandingkan dengan ekstrak etanol sirih merah 1%, yaitu sebesar 39,62% (Alfarabi, 2010).
Tabel 3. Analisis aktivitas enzim katalase minuman fungsional berbahan baku daun sirih merah dan kayu manis Jenis Formula Minuman Aktivitas Katalase (Sirih Merah : Kayu Manis) mU/ml 1:0 0,13± 0,02b 1 : 0,2 0,10± 0,02ab 1 : 0,6 0,18± 0,02b 1:1 -0,24± 0,06c 0:1 -0,01± 0,02a Asam lipoat 100 ppm 0,17± 0,00b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (α>0,05)
Tabel 4. Analisis aktivitas enzim α-glukosidase minuman fungsional berbahan baku daun sirih merah dan kayu manis Jenis Formula Minuman % Inhibisi (Sirih Merah : Kayu Manis) 1:0 -0,40 ± 2,26f 1 : 0,2 26,15 ± 3,68de 1 : 0,6 61,00 ± 2,55b 1:1 48,56 ± 1,13c 0:1 75,94 ± 0,57a Acarbose 0,01% b/v 31,13 ± 1,31d Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (α>0,05)
Asam lipoat digunakan sebagai senyawa pembanding dalam aktivitas antioksidasi, dikarenakan asam lipoat dapat meningkatkan kerja enzim SOD dan katalase serta mencegah terjadinya lipid peroksidasi pada tikus yang mengalami stress kronis (Akpinar et al., 2008). Selain itu asam lipoat juga sudah diteliti dapat bersifat sebagai mimetic enzim SOD dan katalase (Ceriello, 2003).
Acarbose digunakan sebagai senyawa pembanding dalam aktivitas penghamabatan kerja enzim α-glukosidase. Acarbose akan bekerja secara kompetitif di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa di usus tanpa menyebabkan hipoglikemia dan tidak mempengaruhi kadar insulin (DeRuiter, 2003).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 285
ISBN 978-602-98902-1-1
Analisis total fenol minuman fungsional Analisis total fenol dari 5 formula minuman fungsional barbahan baku sirih merah dan kayu manis dilakukan untuk mengetahui apakah ada korelasinya antara bioaktivitas dengan jumlah total senyawa fenol yang berada dalam minuman tersebut. Berdasarkan hasil analisis total fenol 5 formula minuman kesehatan (Tabel 5), menunjukkan bahwa jumlah total fenol ekstrak air kayu manis (942,38 ppm) berbeda nyata (p<0,05) dengan esktrak air sirih merah (532,57 ppm). Namun demikian, pencampuran estrak kayu manis dengan sirih merah dengan perbandingan 1:0,6 telah memberikan jumlah total fenol yang terbesar (1067,65 ppm), jika dibandingkan dengan ekstrak tunggal kayu manis dan secara statistik nilai tersebut berbedanya nyata (p<0,05). Hasil analisis pH menunjukkan bahwa minuman fungsional berbahan baku sirih merah dan kayu manis berada pada kisaran 5-6, yang artinya minuman ini bersifat sedikit asam. Analisis nilai L menunjukkan bahwa minuman fungsional cenderung tidak cerah atau gelap ( 25,89-30,79), sedangkan berdasarkan hasil analisis nilai a (+5,87 - +14,72) menunjukkan bahwa minuman fungsional cenderung kemerahan dan untuk hasil analisis nilai b (+5,66 - +11,22) menunjukkan bahwa minuman fungsional cenderung berwarna kekuningan. Tabel 5. Analisis total fenol minuman fungsional Jenis Formula Minuman Total fenol (ppm) (Sirih Merah : Kayu Manis) 1:0 532,57 ± 0,26d 1 : 0,2 941,65 ± 0,29b 1 : 0,6 1067,65 ± 0,90a 1:1 909,62 ± 0,74c 0:1 942,38 ± 1,15b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (α>0,05) Tabel 6. Analisis pH, L, a,dan b minuman fungsional Formula Minuman
1:0 1 : 0,2 1 : 0,6 1:1 0:1
pH
5,79 ± 0,01a 5,45 ± 0,00d 5,59 ± 0,01b 5,46 ± 0,01d 5,52 ± 0,01c
a
L 25,89 ± 0,01d 28,37 ± 0,01c 28,40 ± 0,04c 29,55 ± 0,02b 30,79 ± 0,02a
+ 7,31 ± 0,02c + 7,26 ± 0,02c + 5,87 ± 0,14d + 8,07 ± 0,02b +14,72± 0,01a
b
+ 5,66 ± 0,03e + 6,64 ± 0,01d + 6,32 ± 0,06c + 7,31 ± 0,02b + 11,22±0,01a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (α>0,05)
KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa formula 1:0,6 minuman fungsional berbahan baku ekstrak air sirih merah dan kayu manis adalah formula terpilih dengan aktivitas antioksidasi terhadap SOD dan katalase yaitu sebesar 3,32±0,08 U/ml dan 0,18± 0,02 mU/ml, dan aktivitas antihiperglikemik terhadap penghambatan enzim α-glukosidase sebesar 61%. Formula tersebut memiliki total senyawa fenol sebesar 1067,65 ppm dan memiliki karakteristik nilai pH sebesar 5,59 dan nilai L, a, dan b sebesar 28,4, +5,87, dan +6,32.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Dirjen Dikti yang membiayai penelitian ini melalui Program BPPS 2008-2011.
DAFTAR PUSTAKA
Akpinar D, Yargicoglu P, Derin N, Aliciguzel Y, Agar A. 2008. The Effect of Lipoic Acid on Antioxidant Status and Lipid Peroxidation in Rats Exposed to Chronic Restraint Stress. Physiol. Res. 57: 893-901. Alfarabi M. 2010. Kajian antidiabetogenik ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) in vitro [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. BioVision. 2011. Catalase assay kit. BioVision Research Products, USA. Ceriello A. 2003. New Insights on Oxidative Stress and Diabetic Complications May Lead to a “Causal” Antioxidant Therapy. Diabetes Care 26:1589–1596. Chaudhary NMA, Tariq P. 2006. Anti-microbial activity of Cinnamomum cassia against diverse microbial flora with its nutritional and medicinal impacts. Park.J. Bot 38(1):169-174. Depkes RI. 2005. Diabetes Mellitus Masalah Kesehatan Masyarakat Yang Serius. http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=v iewarticle&sid=942 [28 Juli 2005]. DeRuiter J. 2003. Overview of antidiabetic agents. Endocrine Pharmacotherapy Module, Spring. Hlebowicz J, Darwiche G, Björgell O, Almér L. 2007. Effect of cinnamon on postprandial blood glucose, gastric emptying, and satiety in healthy subjects. Am J Clin Nutr; 85:1552– 6. Khan A, Safdar M, Khan MMA, Khattak KN, Anderson RA. 2003. Cinnaman improves glucose and lipids of people with type 2 diabetes. Diabetes Care 26:32153218 Manoi F.2006. Pengaruh cara pengeringan terhadap mutu simplisia sambiloto. Bul. Littro. 17(1):1 - 5 Matsumoto et al. 2002. A novel method for the assay of glukosidase inhibitory activity using a multi- channel oxygen sensor. Analytical science 18:1315-1319. Mukherjee PK, Houghton PJ. 2009. Evaluation of Herbal Medicinal Products. Pharmaceutical Press, London. www.pharmpress.com Pourmorad F, Hosseinimehr SJ, Shahabimajd N. 2006. Antioxidant activity, phenol and flavonoid contents of some selected Iranian medicinal plants. African Journal of Biotechonogy 5:1142-1145. RANDOX. 2006. RANSOD. RANDOX Laboratories, United Kingdom Rates SM. 2001. Plants as a source of drugs. Toxicon 39:60361. Safithri M, Fahma F. 2008. Potency of Piper crocatum decoction as an antihiperglycemia in rat strain Sprague dawley. Hayati Journal of Bioscience 15(1):45-48. Sudarmadji.1996. Analisa bahan hasil pertanian. Penerbit Liberty.yogyakarta
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 286
ISBN 978-602-98902-1-1
Aplikasi MOCAF-T1 (Modified Cassava Flour-Turunan 1) Pada Produksi Cake (Application of MOCAF-T1 (Modified Cassava Flour-Turunan 1) on Cake Production) Ahmad Nafi’*, Wiwik Siti Windrati dan Lucyana
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember * Korespondensi: penulis: Telp: 0331-335232, Email:
[email protected]
ABSTRACT MOCAF T-1 (modified cassava flour) which has distinctive characteristics could be used as ingredient in cake preparation. The study was conducted to determine the ratio of MOCAF T-1 (0; 60; 70; 80; 90 and 100%) of wheat that can be used to produce a cake with the best properties. The resulting cake was analyzed its physical and sensory properties i.e., water content, loaf volume, texture, color, staleness, appearance. The results showed that cake produced using 70 % MOCAF T-1 has good characteristics. The resulting cake attributed with a moisture content of 25.48 ± 0.65%, loaf volume of 55.66 ± 7.30% and texture of 64 ± 3.83 g/7mm. Sensory evaluation produces preference value for color, texture crumb appearance, aroma, tenderness in mouth, flavour and overall preference of 3.96, 3.80, 3.76, 4.00, 3.56, 3.68 and 3.84 (a bit like - like). Based on these results, MOCAF T-1 as a local food ingredient shows great potency as an ingredient in the food industry especially in cake production. Key words : MOCAF T-1, Aplication, cake
PENDAHULUAN Penyediaan bahan pangan yang cukup dan terdistribusi merata merupakan peran sektor pertanian untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin besar, diperkirakan mencapai 400 juta jiwa pada tahun 2035 menuntut bahan pangan dua kali lipat dari saat ini (Husodo, 2003). Tingginya konsumsi pangan berbasis terigu, menyebabkan besarnya nilai impor gandum Indonesia (4,71 juta ton). Hal ini menyebabkan kerawanan pangan, karena gandum belum dapat dibudidayakan di Indonesia. Untuk mengurangi ketergantungan pada terigu, maka perlu dicari bahan pangan lokal seperti ubi kayu (cassava). Ubi kayu telah dimodifikasi menjadi tepung MOCAF-T1 (modified cassava flour-turunan 1). Perbaikan sifat fungsional ubi kayu menyebabkan MOCAF-T1 sesuai untuk diaplikasikan pada berbagai produk pangan (Subagio, 2006). Cake merupakan produk pangan berbasis terigu yang digemari masyarakat. MOCAF T-1 dapat digunakan sebagai bahan pensubtitusi tepung terigu pada pengolahan cake. Oleh karena itu penelitian ini ditujukan untuk mengetahui jumlah penggunaan MOCAF-T1 yang optimal dan mengkarakterisasi sifat-sifat cake yang dihasilkan. METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan dasar yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung MOCAF T-1, tepung terigu, gula, telur, susu skim Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi mixer, timbangan, pengukus (dandang), cetakan, wadah plastik, oven dan alat analisa seperti rheotex, color reader dan viscometer. Rancangan Penelitian Penelitian aplikasi MOCAF T-1 pada cake menggunakan resep standard dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
Perlakuan tehadap cake sebagai berikut: A0 = tepung terigu 100 % (kontrol) A1 = MOCAF T-1 60 % + tepung terigu 40 % A2 = MOCAF T-1 70 % + tepung terigu 30 % A3 = MOCAF T-1 80 % + tepung terigu 20 % A4 = MOCAF T-1 90 % + tepung terigu 10 % A5 = MOCAF T-1 100 % + tepung terigu 0 % Pembuatan cake Pembuatan cake diawali dengan mencampur bahan-bahan seperti telur, gula, susu skim dan SP dengan menggunakan mixer selama 10 menit. Kemudian tepung sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam adonan dan diaduk sampai membentuk adonan yang homogen. Setelah itu dicampurkan margarin cair kedalam adonan hingga rata. Adonan kemudian dicetak dan dikukus selama 35-40 menit. Diagram alir pembuatan cake sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Tepung terigu (100%, 40%, 30%, 20%, 10%, 0%)
MOCAF-T1 (0%, 60%, 70%, 80%, 90% ,100%)
Pencampuran
telur Gula Susu skim SP
Margarin cair
Pencampuran (10 min)
Pembuatan Adonan
Pencetakan
Pengukusan (35 – 40 min)
Cake
Gambar 1. Diagram Alir pembuatan Cake dari MOCAF-T1 Cake yang dihasilkan diamati sifat-sifatnya meliputi: kadar air, daya kembang, tekstur, warna, stalenees cake. Uji sifat organoleptik (Mabesa, 1986) meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dengan uji sekoring dan uji hedonik untuk kesukaan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 287
ISBN 978-602-98902-1-1
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa kadar air cake dengan penggunaan MOCAF T-1 relatif lebih rendah dari pada kontrol. Semakin besar jumlah penggunaan MOCAF T-1 kadar air cake yang dihasilkan semakin rendah (Gambar 2). Hal ini terjadi karena kandungan protein dalam cake semakin rendah dengan semakin rendahnya terigu yang digunakan. Kadar protein terigu (11,5%) lebih besar dibandingkan kadar protein MOCAF T-1 (1,2%). Rendahnya protein cake, menurunkan sifat penyerapan airnya. 26.41
25.50
25.48
25.20
25.06
Kadar Air (%)
25
80 62.07
58.33
A0
A1
60
62.73
64.00
64.20
67.13
A2
A3
A4
A5
40 20 0
Perlakuan
24.50
Gambar 4. Histogram Tekstur Cake pada Berbagai Jumlah Penggunaan MOCAF T-1
20 15 10 5 0 A0
A1
A2
A3
A4
A5
Perlakuan
Gambar 2. Histogram Kadar Air Cake pada Berbagai Jumlah Penggunaan MOCAF T-1 Daya Kembang Perlakuan A0 (kontrol) mempunyai daya kembang terbesar, yaitu 63,84 ± 9,79%. Penambahan MOCAF T-1 menyebabkan penurunan daya kembang cake (Gambar 2). Daya kembang sangat dipengaruhi kadar gluten dalam adonan. Penurunan daya kembang tersebut disebabkan berkurangnya kadar gluten dengan semakin banyaknya MOCAF T-1 yang digunakan.
Warna Penggunaan MOCAF T-1 cenderung meningkatkan kecerahan cake yang dihasilkan (Gambar 5). Hal ini disebabkan dengan semakin banyaknya MOCAF T-1 akan menurunkan jumlah protein dalam adonan. Rendahnya protein dalam adonan akan mengurangi intensitas browning non enzimatis yaitu reaksi maillard sehingga warna cake lebih cerah.
Nilai kecerahan L
30
dibandingkan kontrol sedangkan perlakuan A2 (MOCAF T-1 70%) bertekstur hampir sama dengan kontrol (A0). Penggunaan MOCAF T-1 meningkatkan kandungan amilopektin dalam adonan yang dapat berinteraksi dengan gluten sehingga teksturnya lebih elastis (Gambar 4).
Tekstur (g/7mm)
secara keseluruhan. Hasil pengamatan dianalisa secara deskriptif.
90 85 80 75 70 65 60 55 50
81.73
82.27
82.78
82.05
81.92
82.24
A0
A1
A2
A3
A4
A5
Perlakuan
Daya Kembang (%)
80
63.84
60.57
60
55.66
51.89
51.12
Gambar 5. Histogram Nilai Kecerahan (L) Cake pada Berbagai Jumlah Penggunaan MOCAF T-1
47.98
40
Stalenees Cake Stalenees cake merupakan pengamatan perubahanperubahan cake selama penyimpanan. Perubahan yang sering terjadi adalah pengerasan tekstur dan kadar air. Hal ini terjadi karena proses retrogradasi pati yang menyebabkan hilangnya sejumlah air dari cake.
20 0 A0
A1
A2
A3
A4
A5
Perlakuan
Gambar 3. Histogram Daya Kembang Cake pada Berbagai Jumlah Penggunaan MOCAF T-1 Tekstur Cake yang dibuat dengan 100 % MOCAF T-1 memiliki tekstur paling tinggi sebesar 67,13 ± 10,7 g/7mm. Perlakuan A1 (MOCAF T-1 60%) memiliki tekstur yang lebih rendah
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 288
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 1. Nilai Kesukaan Warna, Tekstur, Kenampakan rongga, Aroma, Kelembutan di mulut, Rasa dan Keseluruhan terhadap Cake pada Berbagai Jumlah Penggunaan MOCAF T-1
Kadar air (%)
28 A0
26
A1 A2 A3
24
A4
0
1
2
3
A5
Penyimpanan hari ke-
Gambar 6. Hubungan Kadar Air Cake Selama Penyimpanan pada Hari Ke-0 hingga Hari ke-3
Tekstur (g/7mm)
A0
70
A1 A2
60
War na
Tek stur
Kenampak an rongga
Aro ma
Kelembuta n di mulut
Ras a
Keseluruh an
A0
3,40
3,28
2,96
3,24
3,28
3,64
3,20
A1
3,16
3,04
2,88
3,12
3,08
2,92
3,16
A2
3,96
3,80
3,56
4,00
3,56
3,64
3,84
A3
3,36
2,80
3,44
3,56
3,00
3,20
3,12
A4
3,52
3,80
2,92
3,00
3,24
3,32
3,16
A5
3,24
2,56
3,76
3,44
3,28
3,68
3,56
Cake yang paling disukai oleh panelis adalah perlakuan A2 (MOCAF T-1 70%) yang memiliki nilai kesukaan keseluruhan paling tinggi yaitu 3,84. Berdasar data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kesukaan keseluruhan ditentukan oleh warna, tekstur, aroma dan kelembutan di rongga mulut. Hasil uji efektifitas menunjukan bahwa perlakuan terbaik juga didapatkan pada perlakuan A2 (MOCAF T-1 70%) dengan total nilai 0,80.
90 80
Perlaku an
A3
50
KESIMPULAN
A4
0
1
2
3
A5
Penyimpanan hari ke-
Gambar 7. Hubungan Tekstur Cake Selama Penyimpanan pada Hari Ke-0 hingga Hari ke-3 Gambar 6 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan kadar air cake yang dihasilkan dengan semakin banyaknya MOCAF T-1 yang digunakan. Rendahnya kadar protein cake yang dibuat dengan MOCAF T-1 berkontribusi pada cepatnya air menguap dari cake. Seiring dengan itu, tekstur cake cenderung meningkat dengan semakin lama waktu penyimpanan (Gambar 7). Hal ini terjadi karena selama penyimpanan terjadi peningkatan retrogradasi pati. Sifat organoleptik Nilai kesukaan keseluruhan cake berkisar antara 3,12 sampai 3,84 (agak suka sampai suka) seperti tampak pada Tabel 1.
Jumlah penggunaan MOCAF T-1 yang optimal dengan cake yang dihasilkan masih baik adalah perlakuan A2 (MOCAF T-1 70%). Cake yang dihasilkan lebih disukai panelis dari pada kontrol. Besarnya penggunaan MOCAF T-1 ini membuka peluang pemakaiannya pada industri pengolahan cake. Substitusi MOCAF T-1 terhadap terigu yang besar akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor dan memperkuat ketahanan pangan nasional. DAFTAR PUSTAKA Husodo SY. 2003. Kemandirian di Bidang Pangan Kebutuhan Negara Kita, Jurnal Ekonomi Rakyat, th II no 6. Mabesa, I.B. 1986. Sensory evaluation of Food:Principles and Method. College of Agriculture. UPLB. Laguna Subagio, A. 2006. Ubi Kayu Substitusi Berbagai Tepungtepungan, Food Review, vol.1 Edisi 3.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 289
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengembangan Produk Minuman Effervescent dari Buah Delima (Punica granatum) Alit Pangestu, Ida Susanti dan Noer Laily
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jl. MH. Thamrin 8, Jakarta
ABSTRAK Tren konsumen dalam memilih produk minuman menuntut terus dilakukannya pengembangan produk. Pemanfaatan bahan-bahan alam yang bermanfaat bagi kesehatan dalam formula minuman semakin banyak dilakukan Minuman effervescent identik dengan suplemen dan minuman kesehatan. Buah Delima adalah salah satu buah yang diketahui memiliki manfaat kesehatan. Dibuat produk effervescent dalam bentuk serbuk yang mengandung buah delima. Bahan buah delima kering dan kristal sukrosa dibuat menjadi granula sebagai bahan dasar effervescent dengan metode hotmelt dan pengeringan oven. Metode spray drying digunakan untuk mengeringkan bahan buah delima kering dengan bahan pengisi dekstrin. Berdasarkan parameter kadar air, kenampakan, waktu dan suhu proses dipilih metode hotmelt dalam membuat granula buah delima. Untuk mendapatkan produk effervescent yang disukai panelis dilakukan uji organoleptik terhadap 5 variasi formula. Parameter yang diujikan adalah reaksi pembusaan, kejernihan, aroma dan rasa. Produk effervescent buah delima dengan komposisi asam sitrat (6,4%), natrium bikarbonat (12,8%), asam tartat (3,84%), granula buah delima (76,82%) dan essence (0,13%) merupakan formula dengan tingkat kesukaan paling tinggi. Uji proksimat dilakukan terhadap serbuk effervescent terpilih, parameter yang diuji adalah kadar abu (8,98%), protein (0,28%), lemak (0,35%), karbohidrat (88,1%), natrium (36,67 mg/g) dan vitamin C (2,12 mg/100 g). Kata kunci : buah delima, hotmelt, effervescent
PENDAHULUAN Tanaman buah delima diduga berasal dari wilayah antara Iran dan Himalaya di India utra. Produksi global terpusat di kawasan mediterania dan negara-negara timur tengah. Beberapa negara dengan kondisi iklim yang sesuai juga mengembangkan tanaman buah delima, negaranegara tersebut antara lain Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Australia. Pemanfaatan buah delima bermacam-macam antara lain digunakan sebagai : jus buah, buah meja, konsentrat, biji, teh, pengobatan dan farmasi, pewarna dan dekorasi (Lye, 2008) Manfaat buah delima terangkum dalam review yang dilakukan Miguel, et. al. (2010), antara lain sebagai antimicrobia, antioksidan, anti peradangan, anti kanker dan aktivitas imunitas. Kandungan senyawa phytokimia poliphenol pada buah delima memiliki peranan dalam modulasi sinyal sel peradangan pada sel-sel kanker usus (Adams, et. al., 2006). Buah delima kaya akan antioksidan dan mempunyai manfaat melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan radikal bebas (http://en.wikipedia.org/wiki/Pomegranate). Buah delima adalah sumber dari anthosianin dan 3glukosida dan 3,5-glukosdia dari delphinidin, cyanidin dan pelargonidin. Dan bagian daun kaya akan ellagianin dan gallotanin. Senyawa phenol pada buah delima dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu anthosianin, tipe galaggil, ellagic acid dan glikosidanya dan tannin terhidrolisa yang terdeteksi dengan spectrum UV di bawah 280 nm (Gil, et. al., 2000). Senyawa-senyawa aktif yang terdapat pada Punica adalah Punicalagin, Ellacic Acid , ellagitannins, punicalagin A, punicalagin B, potent
tannins, anthocyanins (delphinidin, cyanidin, pelargonidin, idin, malvidin, petunidin) , caffeic acid, luteolin, punicic acid, gallic acid, Punicotannic Acid, Gallic Acid , Mannite, Pelletierine, NMethylisopelletierine, Pelargonidin, Punicalin , Punicalagin, syringic acid, sinapic acid, protocatechuic acid , ferulic acid , 3,4-dihydroxyphenylacetic acid (PAA), Quercetin dan Kaempferol (Budka, 2008). Serbuk effervescent adalah serbuk berbuih yang dibuat dengan cara mencampur granul yang mengandung effervescent atau bahan-bahan lain yang mampu melepaskan gas ketika bercampur dengan air. Garam effervescent merupakan granul atau serbuk kasar sampai kasar sekali, biasanya terdiri dari natrium karbonat, asam sitrat dan asam tartrat, bila ditambahkan dengan air asam biasanya bereaksi membebaskan karbondioksida sehingga menghasilkan buih (Ansel, 1989). Sumber asam meliputi food acid yaitu bahan yang mengandung asam atau yang dapat membuat suasana asam pada campuran effervescent. Sumber asam jika direaksikan dengan air akan terhidrolisa kemudian melepaskan asam yang dalam proses selanjutnya akan bereaksi dengan sumber karbondioksida (Mohrle, 1980). Sumber karbonat yang biasa digunakan dalam pembuatan effervescent adalah natrium bikarbonat (NaHCO3) dan natrium karbonat (Na2CO3). Reaksi antara asam sitrat, asam tartrat dan natrium bikarbonat adalah sebagai berikut : H3C6H5O7.H2O + 3 NaHCO3 → Na3C6H5O7 + 4 H2O + 3 CO2 H2C4O6 + 2 NaHCO3 → Na2C4H4O6 + 2 H2O + 2 CO2
Selain bahan asam dan basa dalam pembuatan effervescent ditambahkan pemanis.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 290
ISBN 978-602-98902-1-1
Terdapat dua jenis pemanis yaitu pemanis dari alam pemanis buatan. Pemanis buatan dapat digunakan secara tunggal ataupun dikombinasikan dengan pemanis buatan lainnya. Setiap jenis pemanis mempunyai karakteristik yang berbeda, jika dilakukan kombinasi antara pemanis buatan atau dengan sukrosa, maka dapat diperoleh berbagai rasa yang berbeda. Pemanis buatan dapat memberikan effect yang sinergis dalam beberapa kombinasi dengan pemanis buatan lain. Sehingga dapat diperoleh rasa yang lebih manis daripada penambahan pemanis buatan dari jenis yang sama (http://www.sweeteners.org/pdf/sweeteners_confide nce_EN.pdf). METODOLOGI Bahan dan alat - Buah delima yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari daerah Karanganyar, Jawa Tengah. Untuk mendapatkan ekstrak buah delima digunakan pelarut etanol 96%. Sebagai pemanis digunakan gula kristal putih dan aspartam. Essence, asam sitrat, asam tartat dan natrium bikarbonat yang digunakan mempunyai klasifikasi food grade. Kemasan plastik-aluminium digunaka untuk mengemas produk effervescent. Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, telenan, loyang, oven, agitator, erlenmeyer, penyaring vakum, evaporator, grinder, hot plate, sendok kayu, nampan teflon, mortar, plastic sealer, gelas, sendok. Persiapan - Tahap awal dalam penelitian ini adalah penyediaan ekstrak buah delima. Buah delima diambil biji dan pulpnya dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan oven selama 24 jam. Bahan yang telah kering selanjutnya digrinder hingga menjadi serbuk halus. Serbuk halus buah delima diekstrak menggunakan etanol 96% (1:10 b/v) dan dilakukan agitasi selama 25 menit. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dievaporasi untuk menghilangkan pelarut (etanol). Diperoleh ekstrak pekat bebas pelarut etanol. Pembuatan granula buah delima - Dilakukan granulasi ekstrak buah delima dengan metode pemanasan (hotmelt). Gula kristal putih dicampur dengan ekstrak buah delima dan dipanaskan dengan menggunakan teflon. Pemanasan dilakukan hingga terbentuk kembali kristal gula mengandung ekstrak buah delima. Enkapsulasi buah delima Dilakukan pencampuran ekstrak buah delima dan dekstrin dengan komposisi (5:2 v/b) ditambahkan sedikit aqudes untuk mempermudah kelarutan bahan. Selanjutnya bahan di spray drying dengan suhu inlet 1200C. Pembuatan produk effervescent - Effervescent dibuat dengan melakukan pencampuran granula atau enkapsulan dengan asam sitrat, asam tartat, essence dan natrium bikarbonat. Produk
effervescent bersifat higroskopis sehingga selama proses pencampuran kelembaban udara ruangan dijaga kurang dari 30% untuk menghidari pengempalan produk. Pengujian tingkat kesukaan - Uji tingkat kesukaan dilakukan di laboratorium uji sensori Laboratoria Pengembangan Teknologi Agroindustri dan Biomedika-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LAPTIAB-BPPT). Dalam uji tingkat kesukaan panelis menilai 5 formula produk effervecent dengan parameter reaksi pembusaan, rasa asam, kejernihan, aroma, rasa manis dan rasa essence. Pengolahan data metode statistik Anova untuk uji variasi basa dan asam sedangkan kesukaan terhadap sampel dan perbaikan rasa menggunakan metoda deskriptif. Metode statistik Kruskall-wallis digunakan apabila persyaratan metode Anova tidak tepenuhi diamana homogenitas sampel kurang dari 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan pembuatan produk effervescen buah delima adalah menciptakan produk minuman siap saji (instan) yang praktis dengan rasa yang menarik dan mempunyai manfaat terhadap kesehatan. Dalam penelitian ini dilakukan penyiapan bahan ekstrak kering buah delima dengan cara spray drying dan granulasi secara hotmelt. Pengeringan ekstrak buah delima dengan cara spray drying tidak memberikan hasil yang baik dimana produk bersifat lengket, sulit larut dan suhu proses terlalu tinggi. Sedangkan pengeringan dengan cara hotmelt memberikan produk yang lebih kering, berbentuk kristal dan lebih mudah larut. Ekstrak buah delima dalam bentuk granul dibuat formula effervescent dengan melakukan pencampuran dengan asam sitrat, asam tartat, natrium bikarbonat dan essence. Komposisi formula dapat dilihat pada Tabel 1. Uji organoleptik dilakukan dengan melibatkan panelis umum untuk melakukan penilaian terhadap 5 sampel yang telah disiapkan. Parameter yang dinilai oleh panelis adalah reaksi pembusaan, rasa asam, kejernihan, aroma/bau, rasa manis, sampel yang paling disukai dan perbaikan yang diperlukan terhadap rasa asam, rasa manis/gula dan rasa lime. Skala penilaian ditetapkan sebagai berikut skala 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=netral, 4=suka dan 5=sangat suka.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 291
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 1. Komposisi effervescent
bahan penyusun
formula
Adams, L. S., Seeram, N. P., Aggarwal, B. B., Takada, Y., Sand, D. and Heber, D. Pomegranate Juice, Total Pomegranate Ellagitannins, and Punicalagin Suppress Inflammatory Cell Signaling in Colon Cancer Cells. J. Agric. Food Chem. 54, 980-985, 2006.
Persentase Bahan per Formula Nama bahan 1
2
3
12,80%
10,04%
6,84%
12,39%
12,18%
asam tartat
6,40%
6,61%
6,84%
9,42%
10,96%
asam sitrat
3,84%
3,96%
4,10%
3,72%
3,65%
79,26%
82,08 %
74,35%
73,08%
0,13%
10,14 %
0,12%
0,12%
natrium bikarbonat
granul ekstrak delima essence
76,82% 0,13%
4
5
Budka, D. A Research Review : Active Ingredients, Their Bioavailability and The Health Benefits of The Punica Granatum linn (pomegranate). MSML Research Unit , London.
Uji statistik menunjukkan data yang diperoleh tidak homogen (p=0,003) sehingga pengujian hipotesa dilakukan dengan metode Kruskal-Wallis. Pada parameter reaksi pembusaan formula 3 memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi dari formula lainnya (x=3,44). Formula 1 memiliki tingkat kesukaan tertinggi pada parameter rasa asam (x=3,26), aroma (x=3,07) dan rasa manis (x=3,19). Formula 5 merupakan produk yang paling disukai panelis pada penilaian rasa asam dengan skore 3,48 (p=0,048). Sedangkan pada penilaian parameter lainnya tidak terdapat beda nyata. Pada penilaian kesukaan terhadap keseluruhan sampel, formula 1 (29,63 %) adalah yang paling disukai. Pada urutan selanjutnya adalah formula 5 (22,22 %), 4 (18,52 %), 3 (18,52 %)dan 2 (11,11%). Analisa proksimat dilakukan terhadap formula yang paling disukai, hasil analisa dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisa proksimat effervescent terpilih. Parameter Analisa Hasil Pengujian kadar abu
8,98%
protein
0,28%
lemak
0,35%
karbohidrat
88,1%
natrium
36,67 mg/g
vitamin C
2,12 mg/100 g
DAFTAR PUSTAKA
formula
Gil M. I.; Tomas-Barberan, F. A.; Hess-Pierce, B.; Holcroft, D. M. dan Kader, A. A. Antioxidant Activity of Pomegranate Juice and Its Relationship with Phenolic Composition and Processing. J. Agric. Food Chem. 2000, (48) 4581-4589. http://en.wikipedia.org/wiki/Pomegranate. Agustus 2011
Diakses
http://www.sweeteners.org/pdf/sweeteners_confiden ce_EN.pdf. Diakses Agustus 2011 Lye, C. Pomegranate : Preiminary Assessment of The Potential For An Australian Industry. Rural Industry Research Development Corporation Publication Number 08/153, 2008 Mohrle, R. 1980. Effervescent Tablet in Pharmaceutical Dosage Form Tablet. Volume I, 3rd edition. Marcel Dekker Inc. New York. Stover, E. dan Mercure, E. W. The Pomegranate: A New Look At The Fruit Of Paradise. Hartscience Vol. 42(5) August 2007
KESIMPULAN Dari analisa yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa formula yang paling disukai adalah formula 1. Tingkat kemanisan dan kekuatan essence menjadi catatan yang diberikan beberapa panelis terhadap produk terpilih. Perlu dilakukan pengkajian untuk produksi skala industri sehingga dapat menjadi produk buah delima lokal unggulan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 292
ISBN 978-602-98902-1-1
PENGARUH PENAMBAHAN WORTEL (DAUCUS CAROTA L) DAN PENGGUNAAN JENIS CAIRAN TERHADAP HASIL JADI KUE SEMPRONG Astrid Sarah Risnawati
ABSTRAK Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh penambahan wortel, penggunaan jenis cairan serta interaksi keduanya terhadap hasil jadi kue semprong wortel yang meliputi kerenyahan, warna, aroma, rasa, dan tingkat kesukaan. Penambahan wortel yang dilakukan adalah 100%, 150%, dan 200% yang diambil dari persen berat tepung terigu dan tepung tapioka hal ini berkaitan dengan peran tepung terigu dan tepung tapioka terhadap hasil jadi semprong adalah untuk membentuk kerangka kue yang kokoh, sedangkan jenis cairan yang digunakan adalah santan dan susu dengan jumlah yang sama yaitu 350ml. Pengumpulan data menggunakan metode observasi melalui uji organoleptik. Sampel dinilai oleh 40 panelis. Data hasil uji organoleptik dianalisis dengan uji anava ganda. Pengaruh perlakuan terbaik diketahui melalui uji lanjut Duncan. Penambahan wortel berpengaruh terhadap tingkat kerenyahan, warna dan tingkat penerimaan kue semprong, tetapi penambahan wortel tidak berpengaruh terhadap rasa dan aroma kue semprong wortel. Jenis cairan berpengaruh terhadap tingkat kerenyahan, dan tingkat penerimaan kue semprong, tetapi penggunaan jenis cairan tidak berpengaruh terhadap warna, rasa dan aroma kue semprong wortel. Interaksi penambahan wortel dan penggunaan jenis cairan berpengaruh terhadap tingkat kerenyahan kue semprong wortel sedangkan untuk warna, aroma, rasa dan tingkat penerimaan tidak berpengaruh. Berdasarkan data yang ada menunjukkan hasil terbaik diperoleh dari perlakuan wortel sebanyak 400g dan menggunakan jenis cairan susu. Dengan hasil yang dicapai adalah kerenyahan mendekati sangat renyah dengan nilai 3,07, warna cukup terdapat bercak warna orange dengan nilai 2,18, aroma tidak beraroma wortel dengan nilai 3,76, rasa tidak berasa wortel yang ditunjukkan dengan nilai 3,51, tingkat kesukaan panelis dalam taraf antara cukup suka sampai suka dengan nilai 2,42 sedangkan jumlah kandungan β-karoten dalam semprong wortel sebanyak 157,70µg (setara 26.335,9 SI Vitamin A). Kata kunci : kue semprong
Pendahuluan Makanan merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia karena makanan yang dikonsumsi mengandung sebagian ataupun keseluruhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, salah satu bentuk zat gizi tersebut adalah vitamin. Vitamin adalah senyawa organik yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi penting artinya untuk proses pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan tubuh (Baskhara, 2008: 35). Salah satu vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh adalah vitamin A. Fungsi vitamin A bagi tubuh membantu metabolisme protein, membantu pembentukan kembali sel-sel tubuh dan dapat membantu proses penglihatan (Purnomo, 1987: 55) Sumber vitamin A banyak terdapat pada sayuran dan buahbuahan. Salah satu sayuran sumber vitamin A adalah wortel. Wortel atau brotel adalah tanaman semusim yang berbentuk rumput. Batangnya sangat pendek, sehingga hampir tidak terlihat. Akar tunggangnya berubah bentuk menjadi umbi. Akar samping sangat sedikit dan timbul pada umbinya. Umbi wortel berwarna kuning kemerah-merahan karena mengandung karoten (pro-vitamin A) yang tinggi. Karoten adalah pigmen berwarna kuning orange yang larut dalam lemak (Hartiningsih, 2009: 1). Wortel merupakan salah satu sumber makanan detoksifikasi yang mempunyai kemampuan untuk mengatur ketidakseimbangan dalam tubuh. Selain itu wortel merupakan komoditas sayuran yang banyak mengandung beta karoten yang merupakan prekursor vitamin A. Wortel sebagai sumber vitamin A berfungsi untuk membantu proses penglihatan (Cahyono, 2000:3).Wortel mengandung pro-vitamin A yang sangat tinggi, oleh karena itu sangat baik untuk menjaga kesehatan mata, khususnya pada anak-anak untuk menghindari buta senja dan meningkatkan ketahanan tubuh terhadap
penyakit infeksi, selain itu untuk memperoleh zat antikanker yang lebih banyak maka sebaiknya wortel dikonsumsi dalam keadaan masak. Pemasakan akan meningkatkan karoten dua hingga lima kali lebih banyak, namun, menurut Wirakusumah dalam Astutik (2009: 2) pemasakan yang terlalu lama justru akan menghilangkan beta karoten tersebut. Pemanfaatan wortel saat ini masih terbatas, hanya diolah untuk makanan jenis tertentu. Wortel hanya diolah dalam bentuk olahan sup dan jus. Mengingat jumlah produksi wortel di Indonesia mencapai 20-25 ton per hektar (Cahyono, 2002: 10), sehingga sering kita menjumpai wortel yang terbuang siasia karena rusak atau membusuk akibat tidak laku dijual. Salah satu cara untuk menghindari hal tersebut adalah adanya penganekaragaman hidangan dari pemanfaatan umbi wortel terus dikembangkan. Upaya untuk menganekaragamkan pangan olahan dari wortel salah satunya dengan cara wortel ditambahkan pada pembuatan kue. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas kue menjadi makanan yang lebih bergizi dari sebelumnya. Kue merupakan satu kecil yang menjadi teman minum teh atau kopi (Anonymous, 2008: 5). Kue yang ada Indonesia mempunyai variasi yang banyak, kue-kue tersebut berasal dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Salah satunya kue semprong. Namun sekarang ini banyak orang yang sudah melupakan kue tradisonal yang mereka miliki. Masyarakat sekarang lebih banyak memilih kue-kue modern yang banyak dijumpai di toko-toko kue. Hal ini berkaitan dengan kurangnya pemasaran dan pengenalan kepada masyarakat khususnya anak-muda. Upaya penambahan wortel dalam kue semprong dimaksudkan dapat menambah kandungan gizi dalam kue semprong dan selain itu untuk mempopulerkan kembali kue semprong kepada masyarakat.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 293
ISBN 978-602-98902-1-1
Semprong ialah makanan tradisional yang berbentuk pipih dengan tekstur renyah yang terbuat dari adonan tepung terigu dan tepung tapioka yang proses pematangannya dengan cara dipanggang (Anonymous, 2010). Kue ini di Sumatera disebut Kue Sapik, di Jawa Barat kue ini disebut kue Semprong atau Opak, sedangkan di Jawa Timur disebut Opak Gambir atau Ledre untuk daerah Bojonegoro. Berbagai macam nama namun rasanya sama, mempunyai rasa manis dengan tekstur kue yang kering, renyah, dan lembut. Pemanfaatan wortel pada setiap olahan dibuat berbedabeda tergantung akan digunakan dalam jenis olahan produk dari wortel tersebut. Diantara bentuk wortel yang digunakan dalam proses pengolahan adalah wortel dalam bentuk potongan kotak atau bulat utuh digunakan untuk olahan sup, untuk bentuk wortel yang dipotong seperti korek api dan potongan tipis digunakan dalam pembuatan olahan yang ditumis, untuk olahan jus wortel dapat langsung dihaluskan menggunakan blender, pure wortel yang dibuat dengan cara wortel dihaluskan kemudian dimasak sampai kental ditambahkan dalam pembuatan makanan bayi, dan wortel dalam bentuk parutan dapat ditambahkan pada pengolahan makanan seperti pembuatan kue (Purnomo, 1987: 37). Wortel yang yang digunakan dalam pembuatan kue semprong adalah bentuk parutan karena wortel dengan bentuk parutan lebih tipis dan kadar air tidak cukup banyak apabila dibandingkan dengan wortel dalam bentuk pure ataupun jus. Penggunaan wortel dalam bentuk parutan bertujuan untuk membuat kue semprong mempunyai tekstur yang kering sesuai dengan tekstur kue semprong yang sebenarnya. Cairan dalam kue semprong yang berfungsi untuk melarutkan semua bahan-bahan kering adalah santan. Santan merupakan cairan putih kental yang dihasilkan dari kelapa yang diparut dan kemudian diperas bersama air. Santan mempunyai lemak yang cukup tinggi sebabanyak 10,00 (Anonymous, 2010) dan digunakan sebagai perasa yang menyedapkan masakan menjadi gurih. Pada pembuatan kue tradisional Indonesia banyak menggunakan santan sebagai bahan cair karena santan sangat berperan menciptakan cita rasa yang enak dan gurih (Baskhara, 2008: 56). Namun seiring perkembangan jaman jenis cairan yang digunakan dalam pembuatan adonan semprong dapat diganti dengan tujuan untuk menganekaragamkan jenis-jenis semprong dan salah satunya untuk meningkatkan kualitas gizi dari semprong. Cairan untuk menggantikan santan dapat diganti menggunakan air, air kelapa, dan susu. Dari tiga contoh cairan yang dapat digunakan untuk menggantikan santan dalam pembuatan kue semprong yang mempunyai nilai gizi lebih baik dari yang lain adalah susu. Susu merupakan cairan bergizi yang dihasilkan oleh kelenjar susu dari mamalia betina (Anonymous, 2010). Susu yang terdapat di pasaran sekarang berkembang dengan cepat dan diolah menjadi berbagai macam susu yang mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu. Penggunaan susu pasteurisasi diharapkan mampu menambah nilai gizi dari produk semprong wortel terutama untuk kandungan protein karena kandungan gizi yang terdapat pada susu pasteurisasi cukup banyak mengingat proses pemanasan yang singkat sehingga gizi masih banyak tersimpan dalam susu pasteurisasi.
Materi dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam pembuatan semprong wortel adalah tepung terigu 100g, tepung tapioka 100g, gula 90g, dan menggunakan jenis cairan santan dan susu dengan jumlah yang sama yaitu 350 ml, sedangkan untuk wortel menggunakan wortel sebanyak 200g, 300g, dan 400g. Peralatan yang digunakan adalah timbangan, baskom, gelas ukur, sendok makan, cetakan semprong. Metode Perlakuan yang diterapkan adalah pola faktor ganda (Double Variable Design) yaitu penambahan wortel dan penggunaan jenis cairan terhadap hasil jadi semprong wortel. Variabel terikat yang diamati adalah kerenyahan, warna, aroma, rasa, dan tingkat penerimaan panelis. Dalam penelitian ini yang menjadi panelis adalah 10 Dosen Tata Boga Universitas Negeri Surabaya dan 30 orang mahasiswa Tata Boga Universitas Negeri Surabaya Data hasil uji organoleptik dianalisis menurut statistik dengan uji anava ganda. Pelaksanaan Penelitian Persiapan bahan Semua bahan kering ditimbang terlebih dahulu, sedangkan untuk wortel persiapan yang dilakukan adalah mengupas wortel selanjutnya wortel diparut. Pembuatan Semprong Wortel Semua bahan dicampur terlebih dahulu. Tahap selanjutnya adalah proses pemberian bahan cair yang dilakukan secara perlahan-lahan dan terakhir ditambah dengan wortel yang telah diparut. Setelah proses pembuatan adonan selesai, tahap selanjutnya adalah proses pencetakan dan pemanggangan. Tahap ini menggunakan jenis cetakan yang terbuat dari besi yang berlapis dua dan mempunyai pegangan yang digunakan untuk menjepit adonan agar adonan berbentuk tipis.. Proses pemanggangan semprong dilakukan diatas api kecil selama 4 menit. Hasil dan Pembahasan A. Sifat Organoleptik 1. Kerenyahan Rata-rata kerenyahan semprong adalah 1,7250 3,3000. Nilai rata-rata terendah adalah produk dari A2Cs yang menghasilkan tingkat kerenyahan cukup renyah dengan nilai rata-rata sebesar 1,7250. Sedangkan nilai tertinggi adalah A2Cu yang menghasilkan tingkat kerenyahan renyah dengan nilai rata-rata sebesar 3,3000, Hipotesis yang menyatakan ada pengaruh penambahan wortel terhadap tingkat kerenyahan kue semprong wortel dapat diterima dengan Fhitung sebesar 15,488 dengan tingkat signifikan 0,000 sedangkan untuk hipotesis ada pengaruh penggunaan jenis cairan terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap tingkat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 294
ISBN 978-602-98902-1-1
2.
3.
4.
5.
kerenyahan kue semprong wortel dapat diterima dengan Fhitung sebesar 62,919 dengan tingkat signifikan 0,000. Sedangkan hipotesis yang menyatakan ada pengaruh interaksi penggunaan jenis cairan dan penambahan wortel diterima dengan F hitung sebesar 13,440 dengan tingkat signifikan 0,000 Warna Rata-rata warna kue semprong wortel adalah 2,0750 2,8750. Nilai rata-rata pewarna terendah adalah A3Cs dengan nilai 2,0750 sedang yang tertinggi adalah A1Cs dengan nilai 2,8750i .. Hipotesis yang menyatakan ada pengaruh penambahan wortel terhadap warna kue semprong wortel dapat diterima dengan Fhitung sebesar 7,489 dengan tingkat signifikan 0,001, sedangkan untuk hipotesis ada pengaruh penggunaan jenis cairan terhadap warna kue semprong wortel dapat diterima dan diperoleh Fhitung sebesar 0,470 dengan tingkat signifikan 0,494. Sedangkan hipotesis yang menyatakan ada pengaruh interaksi penggunaan jenis cairan dan penggunaan wortel ditolak dengan F hitung sebesar 2.315 dengan tingkat signifikan 0,101 Aroma Rata-rata aroma pada semprong wortel adalah 3,4250 4,0000. Nilai rata-rata penerimaan aroma terendah adalah A1Cs dengan nilai rata-rata 3,4250 sedangkan nilai rata-rata tertinggi adalah produk dari A3Cs dengan nilai 4,0000. Hipotesis yang menyatakan ada pengaruh proporsi penggunaan wortel terhadap terhadap aroma kue semprong wortel ditolak dengan Fhitung sebesar 3,942 dan tingkat signifikan 0,21 sedangkan untuk hipotesis ada pengaruh penggunaan jenis cairan terhadap aroma kue semprong wortel ditolak, diperoleh Fhitung sebesar 1,810 dengan tingkat signifikan 0,180. Demikian pula hipotesis yang menyatakan ada pengaruh interaksi penggunaan jenis cairan dan penggunaan wortel ditolak dengan Fhitung sebesar 4,359 dengan tingkat signifikan 0,13 Rasa Rata-rata rasa pada semprong wortel adalah 3,0000 3,6750. Nilai rata-rata penerimaan rasa terendah adalah A1Cs dengan nilai 3,0000, dan A2Cs dengan nilai 3,0000 sedangkan tertinggi adalah produk dari A3Cs dengan nilai 3,6750. Hipotesis yang menyatakan ada pengaruh penambahan wortel terhadap rasa kue semprong wortel dapat diterima dengan Fhitung sebesar 6,313 dengan tingkat signifikan 0,002 sedangkan untuk hipotesis ada pengaruh penggunaan jenis cairan terhadap rasa kue semprong wortel ditolak dengan Fhitung sebesar 0,47 dengan tingkat signifikan 0,828. Sedangkan hipotesis yang menyatakan ada pengaruh interaksi penggunaan jenis cairan dan penggunaan wortel ditolak dengan Fhitung sebesar 2,895 dengan tingkat signifikan 0,57. Tingkat Penerimaan Panelis Rata-rata tingkat penerimaan kue semprong wortel adalah 2,0250= 2,9000. Nilai rata-rata rata-rata
penerimaan tingkat penerimaan terendah adalah A1Cs dengan nilai 2,0250, sedangkan tertinggi adalah produk dari A2Cu dengan nilai 2,9000. Hipotesis yang menyatakan ada pengaruh proporsi penggunaan wortel terhadap tingkat penerimaan panelis kue semprong wortel dapat diterima dengan Fhitung sebesar 10,228 dengan tingkat signifikan 0,000, sedangkan untuk hipotesis ada pengaruh penggunaan jenis cairan terhadap tingkat penerimaan panelis terhadap tingkat penerimaan kue semprong wortel dapat diterima dan diperoleh Fhitung sebesar 19.460 dengan tingkat signifikan 0,000. Sedangkan hipotesis yang menyatakan ada interaksi penggunaan jenis cairan dan penggunaan wortel ditolak dengan Fhitung sebesar 1.489 dan tingkat signifikan 0,228 B. Hasil Terbaik Setelah diketahui penilaian panelis terhadap hasil jadi kue semprong wortel yang meliputi tingkat kerenyahan, warna, aroma, rasa, dan tingkat penerimaan, dapat diambil kesimpulan bahwa yang terbaik adalah produk A3Cu. Hal ini berdasarkan dari hasil uji lanjut Duncan dan rata-rata penggunaan jenis cairan menyebutkan untuk tingkat kerenyahan dengan nilai uji lanjut Duncan adalah 3,750, rasa 3,5125 dan tingkat kesukaan 3,6125, sedangkan rata-rata penggunaan jenis cairan susu mendapat nilai untuk keranyahan sebesar 3,231, rasa 3,410 dan tingkat penerimaan mendapat nilai sebesar 2,707 sehingga dari data yang ada dapat disimpulkan produk A3Cu menjadi produk terbaik. Sedangkan untuk warna dan aroma tidak menjadi produk terbaik menurut panelis melalui uji lanjut Duncan. Produk terbaik yang telah diperoleh dari penilaian panelis terhadap hasil jadi semprong wortel perlu lebih disempurnakan lagi penelitiannya dengan menguji jumlah kandungan βkaroten yang terdapat dalam semprong tersebut. Uji kandungan Vitamin A pada semprong wortel dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Petanian Universitas Brawijaya Malang, untuk mengetahui jumlah kandungan Vitamin A dalam semprong wortel dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Jumlah Kandungan Vitamin A Semprong Wortel Parameter Hasil β-karoten 157,70 µg/g Vitamin A 26.335,9 SI/100g Kandungan β-karoten dalam semprong wortel sebesar 157,70 µg/g jumlah ini setara dengan jumlah Vitamin A sebesar 26.335,9 SI/100g. Kandungan Vitamin A dalam semprong wortel lebih tinggi dari kandungan Vitamin A dalam wortel segar (12.000 SI). Kandungan Vitamin A dalam semprong lebih tinggi dari kandungan Vitamin A pada wortel segar karena dalam pembuatan semprong wortel menggunakan margarine sebesar 3.300 SI (Anonymuous, 2010) dan susu pasteurisasi yang juga mengandung kandungan Vitamin A yang cukup tinggi sebesar 130 SI (Anonymuous, 2010), selain dari bahan yang digunakan dalam pembuatan semprong, kandungan Vitamin A dalam semprong wortel masih tetap tinggi juga membuktikan bahwa pemasakan menggunakan panas kering tidak mempengaruhi jumlah kandungan Vitamin A sesuai menurut Wirakusumah dalam Astutik (2009: 2) bahwa pemasakan akan meningkatkan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 295
ISBN 978-602-98902-1-1
karoten dua hingga lima kali lebih banyak dari pada kandungan sebenarnya. Semprong wortel memiliki kandungan gizi yang lebih baik dari semprong yang biasanya karena banyak mengandung Vitamin A yang berfungsi untuk menjaga kesehatan mata, khususnya pada anak-anak untuk menghindari buta senja dan meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi, selain itu untuk memperoleh zat antikanker. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian pembuatan sosis wortel yang menyatakan kandungan βkaroten pada sosis wortel dengan penambahan wortel sebanyak 60% dan penggunaan lemak sebanyak 40% sebanyak 213,0 µg/g (setara dengan Vitamin A 35.571 SI/100g), sedangkan pada penelitian bakpao wortel kandungan βkaroten sebesar 121,60 µg/g (setara dengan Vitamin A 20.3072 SI/100g) dengan komposisi penggunaan tepung terigu sebanyak 60% dan puree wortel sebanyak 40%, dan yang terakhir adalah penelitian bakpia wortel yang mengandung kadar βkaroten sebesar 47,31 µg/g (setara dengan Vitamin A 7.900,77 SI/100g) dengan penambahan wortel sebanyak 40%, dengan demikian dari beberapa penelitian sebelumnya dapat disimpulkan pula bahwa pemasakan baik menggunakan panas basah maupun panas kering tidak akan mengurangi kandungan vitamin A dalam produk yang dibuat dengan bahan dasar wortel. Simpulan Dan Saran A. Simpulan 1. Penambahan wortel terhadap hasil jadi kue semprong wortel berpengaruh terhadap tingkat kerenyahan, warna dan tingkat kue semprong. 2. Penggunaan jenis cairan hasil jadi kue semprong wortel berpengaruh terhahadap tingkat kerenyahan, dan tingkat kesukaan kue semprong. 3. Interaksi penambahan wortel dan penggunaan jenis cairan berpengaruh terhadap tingkat kerenyahan kue semprong wortel. 4. Produk terbaik dari semprong worte adalah produk A3Cu (penambahan wortel sebanyak 400 % dan menggunakan jenis cairan susu) 5. Jumlah kandungan βkaroten semprong wortel terbaik adalah sebesar 157,70 µg/g (setara dengan Vitamin A 26.335,9 SI/100g) B. Saran
Saran yang dapat disampaikan penulis setelah melakukan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Pada penelitian ini masih belum diteliti lebih lanjut mengenai kandungan gizi semprong wortel dan kadar air. Sebagai saran perlu diteliti lebih lanjut mengenai kandungan gizi apa saja yang terdapat pada semprong wortel dan kadar air yang dimiliki. 2. Pada penelitian ini masih belum diteliti lebih lanjut mengenai daya simpan semprong wortel, sebagai saran perlu diteliti lebih lanjut mengenai daya simpan dari semprong wortel ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous 1, Ensiklopedia Bebas. 2010. Kue Semprong. (http//www.google.com, diakses 6 September 2010). Anonymous 2, Ensiklopedia Bebas. 2010. Tepung terigu. (http//www.google.com, diakses 6 September 2010). Anonymous 3, Ensiklopedia Bebas. 2010. Minyak. (http//www.google.com, diakses 6 September 2010). Anonymous 4, Ensiklopedia Bebas. 2010. Gula. (http//www.google.com, diakses 6 September 2010). Anonymous 5, Ensiklopedia Bebas. 2010. Susu. (http//www.google.com, diakses 6 September 2010). Anonymous 6, Ensiklopedia Bebas. 2010. Pembuatan Roti dan Kue. (http//www.google.com, diakses 6 September 2010). Anonymous, 2010.Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : PT. Alex Media Kompotindo. Anonymous, 1999. Hidangan Timur Tengah. Koki, Edisi II Surabaya : Jawa Pos Group Anonymous, 2008. Cookies Layak Jual. Sedap, Edisi IV Jakarta : Jawa Pos Group Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Ashari, Sumeru. 1995. Holtikultura Aspek budidaya. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Astutik, Yuli. 2009. Skripsi: Pengaruh Penambahan Wortel dan Proses Pengolahan Terhadap Tingkat Kesukaan Sosis Wortel. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. Baskhara, Ali Widi. 2008. Sehat Murah dengan Buah & Sayuran. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Cahyono, B. 2002. Wortel : Teknik Budidaya Dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta : Kanasis. Chan, Levi Adhitya. 2008. Panduan Wirausaha Roti Modern. Jakarta : PT Agro Media Pustaka. Hartiningsih, Maria dan Hartono, Frans. 2005. Sejarah Panjang Dalam Sekerat Penganan, (Online), (http//groups.yahoo.com/groups/Budaya thionghua. Diakses 9 November 2009). Khomsan, Ali. 2007. Sehat dengan Makanan Berkhasiat. Jakarta : Kompas. Nazir, Moh. 2005. Metodologi Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. Purnomo,H dan Adiyono. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan : Buckle. Food Sains, Jakarta : UI Press P.M Gaman- K.B.Sherrington. 1987. Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi, Yogjakarta : UGM University Press Tala. 2008. Makanan Kaya Serat. (http//www.google.com, diakses 6 November 2009). Tim Penyusun Skripsi. 2002. Pedoman Penulisan dan Ujian Skripsi. Surabaya : UNESA, University Prees. Winarni, Astriati. 1993. Patiseri. Surabaya : UNESA University Prees Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta : PT. Gramedia, anggota IKAPI Wikipedia. 2010. Susu Pasteurisasi. (http//www.google.com, diakses 6 September 2010).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 296
ISBN 978-602-98902-1-1
SIFAT FISIK DAN AKSEPTABILITAS MINUMAN GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera var. chinensis) ( Physical Properties and Acceptability of Aloe vera (Aloe vera var. chinensis) Gel Drink)
1)
Chatarina Wariyah1)* dan Riyanto2) Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta 2) Program Studi Agroteknologi, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
ABSTRACT Aloe vera had functional properties as an antioxidant due to its flavonoid compound. However, the use of aloe vera extract were less practical, perishable and low acceptability. Therefore, aloe vera would be processed into aloe vera gel drink. The purpose of this research was to produce aloe vera gel drink with high acceptability. Specifically the objectives were to evaluate the effect of blanching temperature on the physical properties (colour, texture) of aloe vera gel drinks, and to determine the process condition that produce acceptable aloe vera gel drinks based on the organoleptic test. The aloe vera gel drink was made through the process of: stripping, washing, slicing, soaking in NaCl solution of 1% for 30 minutes, soaking in lime solution, blanching with temperature variations of 70, 80 and 90oC and boiling in the 15-20% sugar solution during 5 minutes. The physical properties tested of aloe vera gel were colour using chromameter and texture with Test Swick. The acceptability of aloe vera gel drink was conducted by the Hedonic Test. The results showed that the processing of aloe vera gel drink with high blanching temperature, resulted aloe vera gel with soft texture and less bright of colour. Processing of aloe vera gel drink with blanching temperature of 70 ° C produced the most acceptable product. The characteristics of the acceptable aloe vera gel drink were: the colour with L (lightness)of 18.26; a (redness): 0.44 and b (yellowness): -0.84; gel texture with resistance force of 14.38 N; deformation 56.55%. Key words: aloe vera, gel drink, acceptability.
PENDAHULUAN6 Lidah buaya atau aloe vera merupakan tanaman yang banyak digunakan sebagai makanan kesehatan, kosmetik, obat-obatan dan dipercaya dapat berfungsi sebagai antitumor, antidiabetes dan pelembab (Chang et al. , 2006). Daun lidah buaya mengandung senyawa flavonol seperti kaempeferol, quercetin dan merycetin masing-masing sebanyak 257,7; 94,80 dan 1283,50 mg/kg. Senyawa tersebut termasuk dalam kelompok polifenol yang dipercaya bersifat antioksidatif (Sultana and Anwar, 2008). Menurut Hu et al. (2005), sifat antioksidatif daun lidah buaya ditunjukkan dengan kemampuannya menangkap radikal bebas dan menghambat peroksidasi asam lemak. Selain komponen tersebut lidah buaya juga mengandung polisakarida (acylated manan) yang disebut aloin (barbaloin) yaitu C-glukosida aloe emodin sebanyak 30% (bk) daun. Aloin dipercaya sebagai zat antiinflamamtory (anti radang), namun aloin tidak stabil terhadap panas dan dengan pengeringan pada suhu lebih dari 70oC dapat menurunkan kadar aloin. Daun lidah buaya juga mengandung zat gizi seperti vitamin C, E dan A serta kaya akan serat (Miranda et al., 2009). Namun penggunaan daun lidah buaya dalam bentuk segar kurang diterima, karena citarasanya kurang disukai. Oleh karena itu perlu dilakukan proses pengolahan menjadi produk yang lebih awet dan akseptabel seperti minuman gel lidah buaya. Menurut Riyanto (2006) tahap pengolahan minuman lidah buaya meliputi: pengupasan, pengirisan, pencucian dengan larutan garam dapur, perendaman dalam larutan kapur, *Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
blansing, perebusan dalam larutan gula 15-20%, dan pengemasan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan secara inderawi minuman gel lidah buaya dapat awet sampai 4 minggu pada kemasan plastik dan pengawet potasium sorbat 0,05%. Kriteria kerusakan yang diidentifikasi adalah timbulnya bau busuk, tekstur gel lunak dan warna menjadi keruh. Karakteristik minuman lidah buaya yang menentukan kesukaan antara lain adalah warna, tekstur gel dan tentu saja rasa. Untuk menghasilkan gel dengan warna dan tekstur yang baik, pada penelitian sebelumnya dilakukan proses perendaman gel dalam larutan NaCl 1 % dan larutan kapur jenuh serta blansing pada suhu sekitar 60-70oC. Menurut Asgar dan Musaddad (2006), perlakuan blansing bertujuan antara lain untuk menginaktifkan enzim-enzim yang menyebabkan reaksireaksi pencoklatan, mengurangi jumlah mikroorganisme dan melenturkan jaringan bahan agar mudah dikemas. Pada proses pengeringan wortel, blansing pada suhu 65oC, mampu mempertahankan warna dan memperbaiki tekstur. Barret et al. (2000) juga menyatakan bahwa blansing pada jagung muda dan brokoli mampu menginaktifkan enzim lipoksigenase, peroksidase, sehingga memberikan efek positif terhadap warna dan tekstur bahan. Suhu blansing yang digunakan adalah 100oC selama 2-5 menit. Blansing dapat dilakukan dengan media air atau uap panas, namun perbedaan cara blansing akan memberikan sensitivitas yang berbeda pada sifat produk. Selain itu penggunaan suhu blansing sangat bervariasi pada setiap bahan. Pengolahan minuman gel lidah buaya yang telah dilakukan menggunakan suhu blansing 70oC. Permasalahannya adalah pengolahan minuman gel lidah buaya selain melalui proses blansing juga proses pemanasan dalam larutan gula yang dapat mengakibatkan perubahan sifat fisik gel lidah buaya. Sampai saat ini perubahan sifat fisik seperti tekstur, warna dan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 297
ISBN 978-602-98902-1-1
pengaruhnya terhadap akseptabilitasnya belum dievaluasi. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh suhu blansing terhadap warna dan tekstur minuman gel lidah buaya dan menentukan suhu blansing yang dapat menghasilkan minuman gel lidah buaya dengan akseptabilitas tinggi.
METODOLOGI Bahan dan alat
Bahan penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah daun lidah buaya (Aloe vera var. chinensis) segar yang diperoleh dari petani lidah buaya di desa Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa-tengah. Bahan lain untuk membuat minuman lidah buaya adalah gula pasir, dan potasium sorbat teknis. Bahan kimia untuk analisis kadar gula dan keasaman tertitrasi dengan kualifikasi pro analysis dari Merck. Alat –alat yang untuk preparasi sampel, peralatan pengujian inderawi dan alat –alat gelas untuk analisis kimia.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tekstur Tekstur adalah kinerja bahan bila dikenai gaya. Parameter tekstur dapat dinyatakan dalam gaya yang dapat ditahan sampai bahan mengalami kerusakan atau dinyatakan deformasi atau perubahan bentuk karena adanya pergeseran titik atau tempat bila bahan dikenai gaya (Suyitno, 1987). Hasil pengukuran tekstur gel dalam minuman lidah buaya disajikan pada Tabel 1. Tekstur gel lidah buaya yang diolah dengan blansing pada suhu 70, 80 dan 90oC masing-masing dengan gaya yang dapat ditahan dan deformasi seperti terlihat pada Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu blansing gaya yang dapat ditahan semakin rendah atau tekstur semakin lunak, sedangkan nilai deformasi tidak berbeda nyata atau elastisitas sampel sama. Pemanasan pada saat blansing sangat Tabel 1. Tekstur Gel dalam Minuman Lidah Buaya
Cara Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap yaitu: 1) pengolahan minuman gel lidah buaya dengan variasi suhu blansing (70, 80, 90oC), 2) pengujian sifat fisik (warna dan tekstur) dan kimia (kadar gula dan keasaman tertitrasi) gel lidah buaya, dan 3) menentukan akseptabilitas produk berdasarkan uji organoleptik. Proses pengolahan minuman lidah buaya menurut Riyanto (2006), tahap-tahapnya meliputi : pengupasan daun lidah buaya, pencucian, pemotongan gel dengan ukuran 2 x 3 cm, perendaman dalam larutan NaCl 1% selama 30 menit, penirisan, perendaman dalam larutan kapur jenuh 1 jam, blansing 5 menit dan perebusan dalam larutan gula dengan konsentrasi 15-20 %. Pengujian warna gel lidah buaya menggunakan color reader (Conica Minolta) dan tekstur dengan Test Zwick. Analisis kimia pada minuman lidah buaya meliputi analisis kadar gula dengan metode Nelson Somogyi (AOAC, 1990) dan keasaman tertitrasi (Ranganna, 1976). Untuk menentukan penerimaan konsumen terhadap minuman gel lidah buaya, maka dilakukan uji kesukaan menggunakan metode Hedonic Test (Krammer and Twigg, 1970). Dari hasil pengujian akan diperoleh kondisi blansing yang tepat, sehingga dihasilkan minuman gel lidah buaya dengan akseptabilitas tinggi.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu suhu blansing. Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT) (Gacula dan Singh, 1984).
Suhu blansing (oC)
Gaya (N)*
70 80 90
14,38b 13,08ab 8,39a
Deformasi (%)** 56,55 60,86 55,98
* Huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada (p<0,05). ** tidak berbeda nyata. sensitif terhadap komponen karbohidrat, protein dan vitamin (Miranda et al., 2009). Akibatnya semakin tinggi suhu blansing, maka semakin banyak komponen tersebut yang terdegradasi, sehingga jaringan rusak yang mengakibatkan tekstur lunak. Warna
Warna gel lidah buaya dinyatakan dalam nilai Lightness (L) atau kecerahan, redness (a), dan yellowness (b). Hasil pengukuran warna gel dalam minuman lidah buaya seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Warna Gel dalam Minuman Lidah Buaya Suhu blanching (oC) 70 80 90
Lightness*
Yellowness**
Redness*
18,26 19,85 19,36
-0,84c -0,76ab -0,69b
0,44 0,34 0,32
* huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05). ** tidak berbeda nyata.
Dari Tabel 2 tampak bahwa total nilai warna gel lidah buaya hampir sama terutama nilai L dan a, sedangkan nilai b berbeda nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu blansing warna gel dalam minuman lidah buaya semakin gelap atau kuning atau berbeda dengan warna alami lidah buaya. Senada dengan hal tersebut adalah pada pengolahan bubuk lidah buaya yang juga menghasilkan warna bubuk lebih gelap dengan pengeringan pada suhu yang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 298
ISBN 978-602-98902-1-1
semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu blansing kemungkinan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis semakin besar. Menurut Fennema (1985) pencoklatan non enzimatis yaitu reaksi Maillard dapat terjadi antara gugus amina dari asam amino dengan gula reduksi pada gel lidah buaya yang mengakibatkan warna gel menjadi lebih gelap.
Akseptabilitas Minuman Gel Lidah Buaya
Akseptabilitas minuman gel lidah buaya ditentukan berdasarkan kesukaan terhadap sifat inderewi yaitu bau, warna, tekstur dan rasa minuman gel lidah buaya. Hasil pengujian inderawi terhadap minuman gel lidah buaya disajikan pada Tabel 3. Nilai kesukaan yang semakin besar menunjukkan semakin kurang disukai. Bau
Hasil pengujian inderawi menunjukkan bahwa bau gel minuman lidah buaya tidak berbeda nyata dan termasuk disukai (rata-rata skor 3). Bau gel ditentukan zat volatil yang terdapat dalam daun lidah buaya. Proses pengolahan minuman gel lidah buaya melalui proses pemanasan, sehingga sebagian zat volatil Tabel 3. Akseptabilitas Minuman Gel Lidah Buaya
Bau** Warna* Suhu oC Tekstur* Rasa* Keseluruha blansing n* 70 2,65 2,09a 2,33a 2,43b 2,35a 80 3,35 3,00b 2,90ab 3,24c 3,45b 90 2,75 2,76b 2,48b 1,95a 2,50a * huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05). ** tidak berbeda nyata.
sudah menguap. Oleh karena itu bau minuman gel lidah buaya tidak berbeda nyata. Warna Warna gel lidah buaya adalah putih kehijauan. Hasil penelitian menunjukkan warna gel dalam minuman lidah buaya yang disukai adalah yang di blansing pada suhu 70oC. Gel tersebut kenampakannya kukuh, sehingga memberikan kesan disukai, sedangkan gel lidah buaya dengan proses blansing 80 dan 90oC jaringannya terlalu lunak, sehingga memberikan kenampakan yang kurang baik. Berkaitan dengan warnanya, menurut Miranda et al. (2009), perubahan warna gel lidah buaya selama pemanasan dapat terjadi akibat reaksi Maillard antara gugus amina dari protein dengan gula reduksi menghasilkan senyawa berwarna coklat melanoidin. Semakin tinggi suhu intensitas warna akan semakin tinggi, sehingga gel lidah buaya semakin tidak disukai. Hasil ini sesuai dengan pengukuran secara obyektif (Tabel 2) yang menunjukkan bahwa blansing dengan suhu 90oC warna gel dalam minuman lidah buaya semakin kecoklatan. Tekstur Secara inderawi tekstur gel lidah buaya dinilai dengan indera peraba dengan tangan (finger feel) atau dengan indera
perasa dengan mulut (mouthfeel) (Krammer dan Twigg, 1970). Tekstur gel lidah buaya ditentukan berdasarkan kekerasannya (hardness) atau kelunakannya (softness). Hasil pengujian terhadap kesukaan tekstur gel lidah buaya menunjukkan perbedaan yang nyata. Gel dalam minuman lidah buaya dengan blansing 70oC paling disukai, selanjutnya blansing pada suhu 80 dan 90oC. Hal ini disebabkan karena gel lidah buaya dengan blansing pada suhu semakin tinggi, minuman gel yang dihasilkan semakin lunak seperti yang tampak dalam pengukuran secara obyektif (Tabel 1). Oleh karena itu semakin tinggi suhu semakin tidak disukai. Rasa
Rasa minuman gel lidah buaya adalah manis karena adanya perendaman dalam larutan gula. Hasil pengujian inderawi terhadap kesukaan rasa gel lidah buaya menunjukkan bahwa rasa yang paling disukai adalah minuman gel lidah buaya dengan blansing pada suhu 90oC dan kemudian berturutturut 70 dan 80oC. Pada suhu 90oC diperkirakan sel-sel penyusun lidah buaya sudah rusak, sehingga seluruh cairan leaching ke dalam larutan. Kerusakan tersebut mengakibatkan cairan gula tidak terperangkap dalam gel, akan tetapi berada di luar. Oleh karena itu rasa manisnya tidak terlalu tinggi yang justru lebih disukai. Tabel 4 menunjukkan kadar gula dan keasaman tertitrasi dari minuman gel lidah buaya. Berdasarkan kadar gula dan asam, maka nilainya tidak begitu berbeda, namun berdasarkan imbangan gula asam tampak bahwa Tabel 4. Gula total dan keasaman tertitrasi minuman gel lidah buaya Suhu Gula total Keasaman Imbangan* Gula blansing (%bb) tertitrasi gula/asam reduksi (oC) (%bb) (%bb) 70 10,46 0,10 104,60a 8,72 80 10,62 0,09 118,00a 9,01 90 9,10 0,12 75,83b 8,87 *Huruf yang sama dibelakang angka menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
minuman gel dengan blansing 90oC imbangan gula-asam relatif lebih rendah dibandingkan pada suhu 70 dan 80oC, dan rasio tersebut memberikan citarasa yang disukai. Pada penelitian ini tidak ditambahkan asam dalam minuman dan hanya dilakukan perendaman dalam larutan gula 20% untuk semua perlakuan, sehingga kadar gula maupun asam hampir sama. Kesukaan keseluruhan Secara keseluruhan minuman gel lidah buaya yang paling disukai adalah yang diproses dengan blansing pada suhu 70 dan 90oC. Minuman lidah buaya dengan blansing 70oC disukai karena warnanya cerah dan teksturnya kukuh, sedangkan minuman gel lidah buaya dengan blansing pada suhu 90oC disukai karena imbangan gula-asam rendah. Namun berdasarkan tekstur maupun efisiensi penggunaan panas untuk blansing, maka yang paling baik adalah minuman gel lidah buaya yang dibuat dengan blansing pada suhu 70oC.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 299
ISBN 978-602-98902-1-1
KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengolahan minuman gel lidah dengan blansing pada suhu 70oC menghasilkan minuman dengan akseptabilitas tinggi. Karakteristik fisik dari gel minuman lidah buaya tersebut adalah : warna dengan nilai L : 18,26; nilai a : 0,44 dan b : -0,84; tekstur gel dengan gaya yang dapat ditahan 14,38 N; deformasi 56,55%.
Sultana B, Anwar F. 2008. Flavonol (kaempeferol, quercetin, merycetin) Contents of Selected Fruits, Vegetables and Medicinal Plants. Food Chem. 108 : 879 – 884. Suyitno. 1987. Petunjuk Laboratorium Pengujian Sifat Fisik Bahan Pangan.Yogyakarta : PAU Pangan dan Gizi, UGM.
UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima atas dana penelitian yang telah diberikan oleh DP2M Dikti.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] The Association Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC: AOAC. Asgar, A. dan Musaddad D. 2006. Optimalisasi Cara, Suhu dan Lama Blansing sebelum Pengeringan pada Wortel. J. Hort. 16 : 245 – 252. Barrett DM.,. Garcia EL, Russell GF, Ramirez E,. Shirazi A. 2000. Blanch Time and Cultivar Effects on Quality of Frozen and Stored Corn and Broccoli. J. Food Sci. 65 : 534 -540. Chang XL, Wang C, Feng Y, Liu Z. 2006. Effects of Heat Treatment on the Stabilities of Polysaccharides Substances and Barbaloin in Gel Juice from Aloevera Miller. J. Food Eng. 75 : 245-251. Fennema OR. 1985. Principles of Food Science. New York : Marcell Dekker Inc. Gacula MC. dan Singh J. 1984. Statistical Methods in Food and Consumer Research. Orlando. San Diego. New York. London : Academic Press, Inc. Hu, Q., Hu Y, Xu J. 2005. Free Radical- Scavenging Activity of Aloevera (Aloe Barbadensis Miller) Extracts by Supercritical Carbon Dioxide Extraction. Food Chem. 91 : 85-90. Krammer, AA. dan Twigg BA. 1970. Fundamental of Quality Control for the Food Industry. Westport, Connecticut : The AVI Publishing Company, Inc. Miranda, M., Maureira H, Rodriquez K, Vega-Calvez A. 2009. Influence of Temperature on Drying Kinetics, Physicochemical Properties, and Antioxidant Capacity of Aloevera (Aloe Barbadensis Miller) Gel. J. Food Eng. 91 : 297-304. Ranganna S. 1976. Manual Analysis of Fruits and Vegetables Product. New Delhi: Tata Mc. Graw-Hill Publishing Co. Limited.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 300
ISBN 978-602-98902-1-1
PROSES PENGERINGAN IRISAN KENTANG MENGGUNAKAN ENERGI PANAS KONDENSOR AC [Drying Process of Potatoes Slices Using Air Conditioning Condenser Rejected Heat Energy] Dedy Eko Rahmanto, I Dewa Made Subrata, dan Sutrisno Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Fateta IPB
ABSTRACT Drying process is a method to decrease of moisture content in the food products. The objectives of the research were to investigated of potatoes slices drying process using air conditioning (AC) condenser rejected heat, determining of drying rates, moisture content, drying efficiency, specific moisture extraction rate (SMER), and influence of environment temperature to drying performance. The drying chamber have 50.2 × 50.2 × 150.2 cm of volume dimension, which contains seven aluminium trays. The chamber was connected to the condensing unit of 1 hp split air conditioner. Potatoes were peeled, cut into 2.5 mm thickness of slices and blanced. Then the sliced potatoes was dried by using drying chambers for 6 h (each tray content 1.05 – 1.1 kg potatoes slices) at high velocity fan, low velocity fan and substitution fan. The result showed that rejected heat of AC condenser can be used for potatoes slices drying with average temperature 33.88 to 44.05 oC. The drying rate of potatoes slices about 180.7% to 214.6% dry solid h-1 in initial drying and 2.7 to 26.6% dry solid h-1 in the last drying. The SMER was determinated about 1.007 to 1.182 kg/kWh. The drying process with substitution fan was combined with reverse tray treatment produced uniform moisture content of dried slices (8.20 ± 1.04% wb). The drying process resulted 20.42 – 23.32% of drying efficiency to AC condenser energy and 67.17 – 78.77% to AC electric energy consumtion. The drying performance decreased with decrease in environment temperature. Key words: drying, potatoes, AC condenser, moisture content, efficiency
PENDAHULUAN Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan pangan yang paling tua dengan tujuan menurunkan kadar air bahan sehingga aktivitas air menurun (Singh & Heldman 2009). Pengeringan yang paling banyak digunakan adalah secara konvensional dengan menggunakan sinar matahari. Cara ini sangat murah dan mudah, akan tetapi sulit terkontrol, sangat tergantung dengan cuaca, memerlukan tempat yang luas dan waktu yang lama serta kurang terjaga kebersihannya (Mujumdar 2006; Simson & Straus 2010). Pengeringan dengan alat pengering mekanis membutuhkan waktu yang lebih singkat dari pengeringan konvensional. Pengering mekanis memerlukan sumber panas buatan yang berasal dari bahan bakar biomassa, bahan bakar minyak dan gas, elemen pemanas tenaga listrik maupun penggunaan limbah panas (Araullo 1976; Heldman & Lund 2007; Smith 2010). Salah satu limbah panas yang berpotensi sebagai sumber panas untuk alat pengering mekanis adalah panas keluaran dari kondensor AC (air conditioner). Pada AC tipe split, udara yang digunakan untuk membawa panas dari kondensor AC bisa meningkat sekitar 10oC dari suhu lingkungan. Selain itu AC biasanya beroperasi dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu sekitar lebih dari 4 jam setiap hari. Kondisi udara keluaran kondensor AC tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai energi pengeringan. Pemanfaatan udara panas tersebut diantaranya pernah diteliti untuk pengeringan baju (Suntivarakorn et al. 2009; Mahlia et al. 2009).
Rahmanto et al. (2010) juga pernah meneliti pemanfaatan panas kondensor AC untuk pengeringan pisang mentah. Kadar air pisang dapat diturunkan dari sekitar 60% bb menjadi 20% bb selama 6 jam pengeringan. Besarnya energi panas yang dihasilkan oleh kondensor AC bisa mencapai 3 sampai 4 kali dari energi listrik yang digunakannya. Kondensor AC 1 hp bisa mengeluarkan energi panas lebih dari 9000 BTU/jam atau lebih dari 2.64 kJ/detik. Hal itu berdasarkan kapasitas pendinginan secara umum untuk AC dengan daya 1 hp, sedangkan energi panas yang dilepaskan kondensor sebesar energi panas yang diserap evaporator ditambah energi dari kerja kompresor. (Dincer & Kanoglu 2010; Trott & Welch 2000). Mengingat potensi panas kondensor AC cukup besar, perlu adanya penelitian pemanfaatan panas kondensor AC untuk pengeringan bahan pangan dan hasil pertania. Salah satu produk hasil pertanian yang memerlukan proses pengeringan adalah irisan kentang untuk keperluan pembuatan keripik ataupun untuk pembuatan tepung kentang. Kentang yang telah dikupas dipotong-potong terlebih dahulu kemudian diblansing dan dikeringkan dengan udara panas. Kentang (Solanum tuberosum L.) dapat tumbuh dan banyak dibudidayakan lebih dari 100 negara di dunia sebagai salah satu bahan pangan utama. Kentang merupakan bahan yang penting bagi industri pangan (Mujumdar 2006; Singh & Kaur 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengeringan irisan kentang dengan menggunakan energi panas kondensor AC, laju pengeringan, kadar air, efisiensi pengeringan, SMER dan pengaruh suhu udara lingkungan terhadap kinerja pengeringan.
*Korespondensi penulis : 081336595095 E-mail :
[email protected]
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 301
ISBN 978-602-98902-1-1
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah kentang varietas Granola yang diperoleh dari pasar lokal Bogor. Kentang diiris dengan ketebalan 2.5 mm kemudian diblansing dengan air panas selama 3 – 4 menit. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah AC tipe split berdaya 1 hp (Koshima KA10T1 dengan kapasitas pendinginan 9000 BTU/jam), ruang pengering ukuran 50.2 × 50.2 × 150.2 cm dengan 7 rak ukuran 50 × 50 cm, data logger, thermocouple tipe T, anemometer, timbangan digital, watt meter, flash drive, komputer, pengatur kecepatan motor kipas, oven, pisau, kompor gas, panci dan pemotong keripik. Perlakuan penelitian Penelitian pengeringan irisan kentang dilakukan dengan perlakuan kecepatan aliran udara kondensor pada kecepatan tinggi, rendah dan perlakuan kipas pengganti tanpa pembalikan rak serta dengan pembalikan rak. Lama pengeringan adalah 6 jam untuk masing-masing perlakuan. Perlakuan penelitian ditabulasikan pada Tebel 1. Tabel 1 Perlakuan penelitian
Perlakuan kipas kondensor Kecepatan tinggi Kecepatan rendah Kipas pengganti
tanpa pembalikan rak KTA KRA KPA
dengan pembalikan rak KTB KRB KPB
Analisis data Analisis data penelitian dilakukan menggunakan grafik, standar deviasi, dan standar deviasi relatif SDR.
HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pengeringan dan suhu udara Laju pengeringan irisan kentang dalam penelitian ini paling tinggi pada menit ke-30 untuk semua perlakuan atau di awal pengeringan dengan laju 180.7 – 214.6% berat kering ∙ jam-1. Hal ini disebabkan oleh kandungan air bebas yang masih tinggi pada awal pengeringan sehingga air bebas ini lebih mudah teruapkan. Laju pengeringan setelah 30 menit berangsur-angsur menurun seiring dengan berkurangnya kandungan air pada bahan yang dikeringkan dan mencapai 4.2 – 26.7%bk ∙ jam-1 setelah 6 jam pengeringan. Agarry et al. (2005) melaporkan bahwa pengeringan kentang dengan menggunakan perlakuan blansing maupun tanpa blansing memiliki laju pengeringan yang paling tinggi pada awal pengeringan. Laju pengeringan untuk kipas kecepatan tinggi ditunjukkan pada Gambar 1. Perlakuan kipas berkecepatan tinggi tanpa pembalikan rak mengalami penurunan laju pengeringan yang tajam pada menit ke-150, kemudian
Laju pengeringan ( % bk . Jam -1 )
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Energi Terbarukan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem FATETA IPB pada bulan Januari 2011 – Mei 2011.
meningkat lagi setelah menit ke 180 dan berangsur-angsur menurun pada waktu selanjutnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kondisi cuaca lingkungan yang hujan setelah menit ke-120 sehingga suhu lingkungan juga menurun dan suhu udara keluaran kondensor ikut menurun. Setelah menit ke-210 pengeringan hingga menit ke-360 memiliki laju pengeringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pembalikan rak. Hal ini karena kondisi kadar air bahan terutama di rak bagian belakang masih tinggi sehingga laju pengeringan yang berlangsung juga masih tinggi. 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Gambar 1 Laju pengeringan irisan kentang pada aliran udara kondensor kecepatan tinggi tanpa pembalikan rak ( ) dan dengan pembalikan rak ( ). Faktor yang mempengaruhi proses pengeringan di antaranya yaitu kondisi lingkungan, suhu dan kecepatan udara. Selain itu jumlah bahan juga mempengaruhi waktu pengeringan. Grafik laju pengeringan untuk perlakuan kipas kondensor kecepatan rendah ditunjukkan pada Gambar 2. Laju pengeringan (% bk . Jam -1)
METODOLOGI
220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Gambar 2 Laju pengeringan pada aliran udara kondensor kecepatan rendah tanpa pembalikan rak ( ) dan dengan pembalikan rak ( ). Grafik laju pengeringan setelah pembalikan rak pada menit ke-150 terlihat hampir konstan hingga menit ke-210. Bahan yang ada pada rak bagian belakang masih tinggi kadar airnya kemudian dipindah posisinya ke depan yang menyebabkan laju pengeringannya meningkat. Laju pengeringan pada perlakuan kipas pengganti dapat dilihat pada Gambar 3. Laju pengeringan pada perlakuan kipas pengganti setelah pembalikan rak mengalami kenaikan karena perpindahan posisi bahan dengan kandungan air yang masih
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 302
Laju pengeringan ( % bk . Jam -1 )
tinggi yang semula ada di belakang menjadi berada di depan dekat dengan sumber udara panas dari kondensor AC. Pembalikan rak memungkinkan distribusi suhu yang lebih merata pada bahan yang dikeringkan. 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 0
30
60
90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Gambar 5 Grafik suhu rata-rata lingkungan selama pengeringan pada perlakuan KTA ( ), KTB ( ), KRA ( ), KRB ( ), KPA ( ) dan KPB ( ). 0
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Tabel 2 Suhu udara rata-rata selama pengeringan
Gambar 3 Laju pengeringan pada perlakuan kipas pengganti tanpa pembalikan rak ( ) dan dengan pembalikan rak ( ). Laju pengeringan untuk perlakuan kecepatan kipas kondensor yang sama tanpa pembalikan ataupun dengan perlakuan pembalikan rak seharusnya sama atau mendekati sama di menit awal hingga menit ke-150 sebelum pembalikan rak, akan tetapi berdasarkan Gambar 1, 2 dan 3 terdapat perbedaan di beberapa titik waktu, hal ini karena suhu udara keluaran kondensor tidak selalu sama pada perlakuan kecepatan kipas yang sama, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Suhu keluaran kondensor tidak selalu sama untuk perlakuan kecepatan kipas yang sama karena dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang berubah-ubah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Suhu udara kondensor ( oC)
Suhu lingkungan ( oC)
ISBN 978-602-98902-1-1
46 44 42 40 38 36 34 32 30
Udara Lingkungan Perlakuan KTA KTB KRA KRB KPA KPB
Suhu (oC) 26.54 30.58 30.59 28.35 27.63 30.36
Stdev 2.40 1.78 1.49 1.14 3.30 1.83
Udara Kondensor Suhu (oC) 33.88 38.21 43.30 40.71 41.15 44.05
Stdev 2.35 1.79 1.56 1.14 3.05 1.69
Kadar air bahan Kadar air kentang rata-rata sebelum pengeringan berkisar antara 83.76 sampai 84.89% basis basah dan sesudah pengeringan 8.20 ± 1.04% basis basah untuk perlakuan kipas pengganti dikombinasi dengan pembalikan rak dan 28.46 ± 16.97% untuk perlakuan kipas kecepatan tinggi tanpa pembalikan rak. Data kadar air rata-rata sebelum dan sesudah pengeringan disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Kadar air bahan sebelum dan sesudah pengeringan
0
30
60
Perlakuan KTA KTB KRA KRB KPA KPB
90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Gambar 4 Grafik suhu rata-rata keluaran kondensor selama pengeringan pada perlakuan KTA ( ), KTB ( ), KRA ( ), KRB ( ), KPA ( ) dan KPB ( ). Suhu lingkungan yang rendah menurunkan kinerja pengeringan, sebaliknya suhu lingkuan yang tinggi meningkatkan kinerja pengeringan, karena suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan suhu keluaran kondensor yang tinggi. Suhu keluaran kondensor rata-rata dari hasil penelitian ini adalah 33.88oC pada perlakuan kipas kondensor kecepatan tinggi dan 44.05oC pada perlakuan kipas pengganti dengan pembalikan rak. Suhu udara rata-rata selama pengeringan disajikan pada Tabel 2.
Kadar air (% bb)
Standar deviasi
Awal 84.89 83.91 83.76 84.28 84.73 83.78
Awal 0.83 1.04 0.78 0.61 0.84 1.57
Akhir 28.46 10.97 12.42 12.25 14.00 8.32
Akhir 16.97 1.72 5.82 4.89 4.60 1.04
SDR (%) Awal 0.98 1.23 0.93 0.73 0.99 1.87
Akhir 59.63 15.66 46.82 39.95 32.84 12.55
Standar deviasi terkecil untuk kadar air setelah 6 jam pengeringan adalah perlakuan kipas pengganti dikombinasi dengan pembalikan rak. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan tersebut menghasilkan kadar air akhir pada masingmasing rak pengering yang lebih seragam dibandingkan perlakuan yang lain. Keseragaman hasil pada perlakuan tersebut disebabkan oleh laju aliran udara pengering yang mengalir pada masing-masing rak lebih seragam dan pembalikan rak memungkinkan sisi yang lain dari rak mendapatkan udara panas yang cukup selama pengeringan. Kecepatan aliran udara dalam ruang pengering ditunjukkan pada Gambar 6.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 303
2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 KTA
KTB
KRA
KRB
KPA
Kadar air (% basis basah)
Kecepatan udara (m . s -1)
ISBN 978-602-98902-1-1
KPB
0
Gambar 6 Kecepatan aliran udara dalam ruang pengering
Kadar air (% basis basah)
Pengujian pengeringan dengan kipas kondensor kecepatan tinggi tanpa pembalikan rak belum memberikan hasil pengeringan sesuai yang diharapkan karena kadar air rataratanya masih jauh diatas 14% bb. Hal ini terjadi karena kondisi suhu lingkungan yang kurang mendukung dan tanpa adanya pembalikan rak menyebabkan sisi rak yang jauh dari sumber panas kurang mendapatkan panas yang cukup untuk pengeringan. Grafik penurunan kadar air rata-rata bahan irisan kentang pada pengeringan untuk masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Gambar 7, 8 dan 9. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
30
60
90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Gambar 7 Kadar air irisan kentang pada pengeringan dengan perlakuan kipas kecepatan tinggi tanpa pembalikan rak ( ) dan dengan pembalikan rak ( ).
Kadar air (% basis basah)
Penurunan kadar air bahan cenderung lebih cepat pada perlakuan yang dikombinasi dengan pembalikan rak setelah menit ke-150 dan menghasilkan kadar air rata-rata yang lebih seragam dibandingkan perlakuan tanpa pembalikan rak. Pembalikan rak memungkinkan sisi rak yang lain mendapatkan udara panas yang cukup untuk mendukung proses pengeringan. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
30
60
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Gambar 8 Kadar air irisan kentang selama pengeringan dengan perlakuan kipas kecepatan rendah tanpa pembalikan rak ( ) dan dengan pembalikan rak ( ).
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Gambar 9 Kadar kentang selama pengeringan pada perlakuan kipas pengganti tanpa pembalikan rak ( ) dan dengan pembalikan rak ( ) Energi dan Efisiensi Pengeringan Energi pada proses pengeringan digunakan untuk menguapkan kandungan air dari bahan yang dikeringkan dan membawanya ke udara lingkungan. Energi panas dihasilkan dari kondensor AC dan digunakan untuk pengeringan irisan kentang. Tabel 4 menunjukkan efisiensi alat pengering untuk mengeringkan irisan kentang selama berdasarkan energi keluaran kondensor dan energi listrik yang digunakan oleh sistim pendingin AC. Efisiensi pengeringan terhadap energi kondensor berkisar 20.42 – 23.32%. Hal ini berarti kurang dari seperempat energi panas kondensor yang termanfaatkan untuk pengeringan. Rendahnya efisiensi ini dimungkinan karena penyerapan panas oleh bahan masih sedikit dan laju aliran udara kondensor masih terlalu tinggi sehingga waktu kontak antara udara dengan bahan yang dikeringkan masih terlalu singkat. Jika laju aliran kondensor lebih rendah dari 12 m3/menit untuk menaikkan suhu dan waktu kontak udara dengan bahan pada suhu lingkungan diatas 32.5oC maka AC dapat mengalami gangguan karena terjadi kelebihan suhu dan beban kompresor di atas batas maksimalnya yang akan menyebabkan kompresor mati secara otomatis untuk mengamankan kompresor. Tabel 4 Energi dan efisiensi pengeringan Perlakuan kipas KTA KTB KRA KRB KPA KPB
Efisiensi pengeringan berdasarkan energi (%) Kondensor 20.42 22.61 21.19 23.32 21.21 21.11
Listrik 74.02 75.25 72.07 78.77 73.59 67.17
Efisiensi pengeringan berdasarkan energi listrik yang digunakan rata-rata lebih dari 70%. Hal ini disebabkan karena energi listrik yang digunakan jauh lebih kecil dari energi yang dihasilkan oleh kondensor AC. Energi panas yang dihasilkan kondensor besarnya lebih dari tiga kali energi listrik yang digunakannya. Nilai specific moisture extraction rate (SMER) pada pengujian pengeringan berkisar 1.007 – 1.182 kg/kWh seperti pada Tabel 5. Setiap kWh energi listrik yang digunakan dalam pengujian rata-rata dapat menguapkan lebih dari 1 kg
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 304
ISBN 978-602-98902-1-1
kandungan air bahan. Nilai SMER dari waktu ke waktu selama pengeringan ditunjukkan pada Gambar 10. Nilai SMER cenderung menurun seiring dengan waktu pengeringan karena semakin lama kadar air bahan semakin rendah dan laju pengeringan juga semakin menurun sehingga nilai SMER juga menurun. Tabel 5 Nilai SMER rata-rata selama pengeringan
Perlakuan KTA KTB KRA KRB KPA KPB
SMER rata-rata (kg / kWh) 1.110 1.129 1.081 1.182 1.104 1.007
Heldman DR, DB Lund. 2007. Handbook of Food Engineering. CRC Press. London Mahlia TMI, CG Hor, HH Masjuki, M Husnawan, M Varman, S Mekhilef. 2009. Clothes drying from room air conditioning waste heat: thermodynamics investigation. The Arabian J Science and Engineering, 35,(1B): 339351 Mujumdar AS. 2006. Handbook of Industrial Drying. Taylor & Francis Group, LLC. Singapore Rahmanto DE, S Panggabean, Syafriandi, Sutrisno. 2010. Drying of unripe banana using exhausting heat from room air conditioning condenser. Proceedings of International Seminar Emerging Issues and Technology Developments in Foods and Ingredients. Jakarta. 29 – 30 September 2010. PATPI: hlm 141.
3 2.5
SMER ( kg . kWh-1 )
I Dincer, M Kanoglu. 2010. Refrigeration Systems and Applications. John Wiley & Sons. United Kingdom
2
Simson SP, MC Straus. 2010. Post-harvest Technology of Horticultural Crops. Oxford Book company. Jaipur. India
1.5 1
Singh J, L Kaur. 2009. Advances in Potato Chemistry and Technology. Academic Press. Amsterdam
0.5 0 0
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu pengeringan (menit)
Gambar 10 Nilai SMER selama pengeringan pada perlakuan KTA ( ), KTB ( ), KRA ( ), KRB ( ), KPA ( ) dan KPB ( ).
KESIMPULAN Laju pengeringan irisan kentang dengan menggunakan energi panas kondensor AC dipengaruhi oleh suhu keluaran kondensor dan suhu lingkungan dengan laju pengeringan 180.7 – 214.6%bk∙jam-1 di 30 menit awal pengeringan dan 4.2 – 26.7%bk∙jam-1 setelah 6 jam pengeringan. Efisiensi pengering irisan kentang berkisar 20.42 – 23.32% terhadap panas kondensor AC dan 67.17 – 78.77% terhadap energi listrik AC. Rancangan pengeringan menggunakan kipas kondensor pengganti yang dikombinasi dengan perlakuan pembalikan rak menghasilkan kadar air akhir pengeringan yang paling seragam pada waktu pengujian dengan hasil rata-rata 8.20 ± 1.04% bb. Nilai SMER pengeringan berkisar 1.007 – 1.182 kg/kWh.
Singh RP, DR Heldman. 2009. Introduction to Food Engineering. Academic Press. USA Smith PG. 2010. Introduction to Food Process Engineering. Springer. New York. Suntivarakorn P, S Satmarong, C Benjapiyaporn, S Theerakulpisut. 2009. An experimental study on clothes drying using waste heat from split type air conditioner. World Academic of science. Engineering and Technology 53. Trott AR, T Welch. 2000. Refrigeration and Air-Conditioning. Butterworth-Heinemann. Oxford.
DAFTAR PUSTAKA Agarry SE, AO Durojaiye, TJ Afolabi. 2005. Effects of pretreatment on the drying rate and drying time of potato. Journal of Food Technology 3 (3): 361-364 AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemist. Inc., Washington D.C. Araullo EV. 1976. Rice Post Harvest Technology. International Development Research Centre. Ottawa. Canada
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 305
ISBN 978-602-98902-1-1
KONSENTRASI ASAM SITRAT DAN TARTRAT SEBAGAI SUMBER ASAM DALAM FORMULA GRANUL EFERVESEN EKSTRAK BUAH SALAK VARIETAS BONGKOK (Salacca edulis. Reinw) [Concentration Citrate And Tartrate acids as a Source of Acid In Fruit Extract Formula Effervescent Granules Snake Fruit Variety Bongkok (Salacca Edulis. Reinw)] Leni Herliani Afrianti, Yusep Ikrawan, Yusman Taufik Teknologi Pangan, Universitas Pasundan
ABSTRACT Presence of antioxidant compounds in sanke fruits Bongkok can be used as a food supplement product that can provide the elements for the health effect such as effervescent granules. Granule preparations have been made effervescent formulations of snake fruit extracts Bongkok (Salacca Reinw edulis.) As a food supplement. In this study effervescent granules made of three formulas (F1, F2, and F3) that contain extracts of snake fruits powder such as citric acid, tartaric acid, sodium carbonate, sodium bicarbonate, aspartame, PVP 6000, and mannitol. The hedonic test performed on the three formulas and F2 can be concluded that the formula containing extracts of snake fruits Bongkok powder 7.5%, 6% citric acid and acid tartrat18% is most preferred formula of the three formulas. The results of quality checks showed that granule F2 is a good quality because it has an angle point of 25.64 ° ± 0.18, compression power 13.5%, moisture content 1.82 % ±0.48 and flow rate 9.87 ± 0.45 g / sec. Key words: Snake fruit Bongkok extract, citric acid, tartaric acid, everfescent granule formula
PENDAHULUAN7 O
Buah salak (Salacca edulis Reinw.) Bongkok ditemukan di kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Buah salak ini mempunyai rasa asam, pahit dan kesat, dibandingkan dengan salak Bali dan Pondoh yang rasanya lebih segar dan manis. Karena itu salak Bongkok tidak begitu dikenal masyarakat dan menjadi produk yang terbuang. Berdasarkan kemampuannya sebagai antioksidan salak Bongkok lebih unggul dibandingkan salak lainnya, karena itu timbul pemikiran untuk memanfaatkan ekstrak salak tersebut menjadi produk kesehatan yaitu suplemen pangan. Buah salak Bongkok mengandung vitamin C 8,37 mg/100g (Afrianti, et al., 2006a), dan senyawa 2-metilester-1H-pirrol-4-asam karboksilat yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (Afrainti, et al,. 2007). Berdasarkan hal ini maka buah salak Bongkok potensial bila dijadikan suatu produk makanan tambahan. Saat ini penggunaan antioksidan dari buah salak Bongkok belum dimanfaatkan oleh masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengembangan menjadi suatu produk suplemen pangan yang berpotensi menyehatkan. Struktur senyawa hasil isolasi dan pemurnian ekstrak etil asetat buah salak Bongkok ditetapkan berdasarkan data spektroskopi, yang meliputi spektrum UV, IR, RMI 1-D, dan RMI 2-D, didapat senyawa asam 2-metilester-1-H-pirol-4-karboksilat (Afrianti, et al., 2006b). Struktur kedua senyawa dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. *Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected].
H N 2
1
5
OCH 3 4
3
O
OH
Gambar 1. Asam 2-metilester-1-H-pirol-4karboksilat Salah satu produk makanan tambahan yang sekarang ini cenderung disukai masyarakat adalah produk makanan tamabhan dalam bentuk granul everfesen. Granul everfesen disukai karena warna, bau dan rasa yang menarik. Oleh karena itu pada penelitian dibuat sediaan produk makanan dari ekstrak buah salak Bongkok dalam bentuk granul everfesen. Granula effervescent dibuat dengan mengkombinasikan bahan pengisi (manitol atau sorbitol), optimasi komposisi asam (asam sitrat dantartrat), komposisi basa (natrium bikarbonat dan natrium karbonat) dan konsentrasi lubrikan (PEG 6000) agar diperoleh stabilitas fisik yang baik (Soares et al.,2005). Granul adalah proses pembesaran ukuran partikel-partikel padatan Partikel-partikel digabungkan menjadi satu menjadi suatu massa yang permanen namun masih memilki karakter dari masing-masing komponennya. Materi granulasi dapat diperoleh dari pembesaran partikel partikel primer atau pengecilan ukuran dari materi yang dikempa secara kering (Parikh,1997).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 306
ISBN 978-602-98902-1-1
METODOLOGI
Uji Kesukaan (Hedonik Test)
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan adalah serbuk simplisia buah salak Bongkok, asam sitrat, asam tartrat, natrium karbonat, natrium bikarbonat, aspartam, polivynilpirolidon (PVP) 6000, manitol, dekstrin, Mg-stearat/talk, dan etanol 70%. Alat yang digunakan untuk membuat granul efervesen adalah timbangan analitis, wadah untuk granulasi, pengayak mesh 14 dan 16, baki untuk mengeringkan granul, tunnel dryer, alat penyemprot dan gelas ukur 100 ml. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan kualitas granul efervesen adalah eksikator, alat pengukur kecepatan aliran dan sudut istirahat granul, mistar, piknometer 25 ml, dan pH meter. Persiapan bahan Pembuatan serbuk simplisia yang meliputi pengolahan bahan meliputi sortasi, pengupasan, pemotongan, pengukusan, pengeringan (dengan tunnel dryer pada suhu 40oC selama 1 minggu), dan penggilingan menjadi serbuk simplisia. Ekstraksi serbuk kering simplisia buah salak Bongkok dengan pelarut etanol 70% secara maserasi-perkolasi pada suhu ruangan selama 3 x 24 jam, setiap proses dilakukan tiga kali pengulangan sampai filtrat berwarna bening. Filtrat dievaporasi pada suhu 40oC sampai diperoleh ekstrak kental.
Pembuatan Formula Granul Pembuatan formula granula, dapat dilakukan dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu granulasi basah, granulasi kering. (i). Metode granulasi basah dilakukan secara granulasi basah dengan bahan pengisi dekstrin dan bahan pengikat PVP/etanol. Ekstrak dicampur dengan dekstrin, dibasahi dengan PVP 1-2% yang telah dikembangkan di dalam etanol. Massa granul diayak dengan pengayak 12 mesh kemudian dikeringkan pada suhu 30-40oC. Selanjutnya massa granul kering dilewatkan pada pengayak 16 mesh, dievaluasi sifat alir dan kompresibilitasnya, kemudia dicampur dengan pelicin dan pelincir (Mg-stearat/talk), (ii) Metode granulasi kering, ekstrak kental buah salak Bongkok dicampur dengan dekstrin dan dikempa serta dihancurkan beberapa kali, dilewatkan pada pengayak ukuran 12-16 mesh sampai diperoleh granul dengan sifat alir yang memadai. Tabel 1. Formula granul efervesen ekstrak buah salak Bongkok Bahan (%) Asam sitrat Asam tartrat Ekstrak :dekstrin Natrium karbonat Natrium bikarbonat PEG 6000 Manitol Aspartam
F1 4 16 1:2 5 15 12 7,5 3,5
Formula F2 6 18 1:2 5 15 12 7,5 3,5
F3 8 19,2 1:2 5 15 12 7,5 3,5
Merupakan pengujian yang panelisnya mengemukakan respon berupa suka tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Pada pengujian ini panelis diminta mengemukakan pendapatnya secara spontan tanpa membandingkan dengan sampel standar. Cara melakukan uji kesukaan adalah kepada panelis diminta menilai sampel tersebut berdasarkan skala nilai yang sudah disediakan. Skala nilai yang digunakan adalah skala numerik dengan keterangan verbalnya. Contoh skala nilai yang diberikan dalam bentuk skala numerik adalah sebagai berikut : Nilai 5 4 3 2 1
Keterangan Sangat suka Suka Netral tidak suka sangat tidak suka
Evaluasi Granul (Lieberman et al., 1994) Kadar lembab Ditimbang seksama 5 g granul dikeringkan dengan oven suhu 40oC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar lembab dihitung dengan persamaan : (Wo-W1)/Wo x 100% Wo adalah bobot granul awal (g). W1 adalah bobot granul setelah pemanasan (g). Syarat kadar lembab granul yang baik adalah 2-4%. Sifat alir Sebanyak 25 g granul dimasukkan ke dalam corong uji sifat alir. Penutup corong dibuka sehingga granul mengalir dan ditampung di atas bidang datar pada kertas grafik milimeter. Waktu alir dicatat dan sudut baring dihitung dengan mengukur tinggi dan diameter granul yang keluar dari corong. Sudut diam antara 20-40o dan waktu alir sebesar > 10 g/detik menunjukkan potensi alir yang baik. Kompresibilitas Sebanyak 100 g granul ditimbang, dimasukkan ke dalam gelas ukur dari joulting volumeter dan dicatat volumenya (V0). Alat dihidupkan dan granul dimampatkan sebanyak 500 ketukan dan dicatat volumenya (V500). Kompresibilitas dihitung menggunakan persamaan : I = [ 1- (V500/V0)] x 100% I adalah kompresibilitas; V0 adalah volume granul sebelum dimampatkan (ml), V500 adalah volume granul setelah dimampatkan 500 ketukan (ml). Syarat indeks kompresibilitas granul yang baik adalah tidak lebih dari 20%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Warna Granul Efervesent Ekstrak Salak Bongkok Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari penyebaran spektrum sinar. Timbulnya warna
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 307
ISBN 978-602-98902-1-1
dibatasi oleh faktor adanya sumber sinar. Warna bahan pangan bergantung pada kenampakan dan kemampuan bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar tampak (Desroisier, 1988). Konsentrasi asam sitrat dan asam tartrat berpengaruh terhadap warna granul effervescent ekstrak salak Bongkok. Pada Tabel 2, konsentrasi asam sitrat 6 % dan asam tartrat 18 % memberikan warna granul effervescen buah salak Bongkok yang paling tinggi dibandingkan warna lainnya yaitu dengan nilai 3,61 (agak lebih suka). Tabel 2. Warna granul effervescent salak Bongkok Konsentrasi asam sitrat (A)
Konsentrasi asam tartrat (B) b1 b2 (18%) b3 (16%) (19,2%) a1 (8%) 3,6 A 3,22 A 3,40 A A b b a2 (6%) 3,36 A 3,61 B 3,42 A A b b a3 (4,8%) 3,23 A 3,47 B 3,58 B A b c Keterangan : huruf kecil yang berbeda (horizontal) Menunjukkan perbedaan yang nyata (Uji Duncan) Huruf besar yang berbeda (vertikal) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji Duncan).
Aroma granul effervescent ekstrak salak Bongkok Aroma suatu produk makanan atau minuman berperanan penting dalam penilaian inderawi makanan. Aroma khas yang timbul dapat dirasakan oleh indera penciuman tergantung pada bahan penyusunnya. Aroma menentukan pemilihan produk oleh konsumen karena adanya komponen aroma tertentu dalam produk makanan dapat memperbaiki dan membuat produk tersebut lebih dapat diterima oleh konsumen (Winarno, 1997). Tabel 3 memperlihatkan nilai aroma granul effervescent ekstrak salak Bongkok. Tabel 3. Aroma granul effervescent salak Bongkok Konsentrasi Konsentrasi asam tartrat (B) asam sitrat (A) b1 b2 (18%) b3 (19,2%) (16%) a1 (8%) 2,73 A 3,06 A 3,00 B a b B a2 (6%) 3,31 B 3,59 B 2,98 AB a a A a3 (4,8%) 3,27 B 3,36 B 2,53 A a a A Keterangan : huruf kecil yang berbeda (horizontal) menunjukkan perbedaan yang nyata (Uji Duncan) Huruf besar yang berbeda (vertikal) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji Duncan).
Konsentrasi asam sitrat dan asam tartrat berpengaruh terhadap aroma granul effervescent ekstrak salak Bongkok. Aroma granul effervescent ekstrak salak Bongkok dengan konsentrasi asam sitrat 6 % dan asam tartrat 18% memberikan nilai paling tinggi yaitu 3,59 (agak lebih suka). Rasa granul effervescent ekstrak salak Bongkok Rasa adalah rangsangan yang diterima oleh otak karena rangsangan elektris yang diteruskan dari sel perasa. Tabel 4. Konsentrasi asam sitrat dan asam tartrat berpengaruh terhadap rasa granul effervescent ekstrak salak Bongkok. Rasagranul
effervescent ekstrak salak Bongkok dengan konsentrasi asam sitrat 6 % dan asam tartrat 18% memberikan nilai paling tinggi yaitu 4,11 (suka). Tabel 4. Rasa granul effervescent salak Bongkok Konsentrasi Konsentrasi asam tartrat (B) asam sitrat (A) b1 b2 (18%) b3 (19,2%) (16%) a1 (8%) 3,62 A 3,98 A 4,02 B a b B a2 (6%) 3,02 A 4,11 A 4,00 AB a a A a3 (4,8%) 2,93 A 3,06 A 3,89 A a a A Keterangan : huruf kecil yang berbeda (horizontal) menunjukkan perbedaan yang nyata (Uji Duncan) Huruf besar yang berbeda (vertikal) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji Duncan).
Pada Tabel 5, sifat fisik granul meliputi kecepatan alir, sudut diam, dan kompresi menunjukkan bahwa semua formula memiliki sifat fisik granul yang baik. Hasil uji sifat fisik granul ditunjukkan kecepatan alir granul yang dibuat berkisar 9 g/det sampai 10 g/det, hasil tersebut menunujukkan bahwa granul mempunyai aliran yang baik sesuai dengan indeks konsolidasi Carr. Granul diharapkan apabila masa granul tersebut dicetak dengan mesin pencetak tablet akan dihasilkan tablet dengan keseragaman bobot yang baik. Granul F2 mempunyai kecepatan alir 9,87±0,32 g/det dan sudut diam 25,64o±0,38, hal ini menunjukkan granul F2 mempunyai aliran yang baik sesuai dengan hubungan sudut diam dengan aliran serbuk. Menurut Cartebsen (1977) jika granul mempunyai sudut diam antara 25 – 30 o mempunyai aliran yang baik. Tabel 5. Hasil evaluasi granul (data adalah rerata 3x ulangan) JENIS FORMULA EVALUASI I II III 1. Waktu alir (g/det) I 11,06 9,72 9,28 Ii 10,99 9,66 10,0 Iii 10,82 10,25 9,58 Rerata 10,96 9,87 9,62 SD 0,12 0,32 0,36 2. Sudut diam (o) I 26,57 26,01 29,45 Ii 27,13 25,26 28,09 Iii 25,3 25,65 28,38 Rerata 26,33 25,64 28,64 SD 0,94 0,38 0,72 3. Kompresi (% v/v) I 13,3 13,8 14,5 Ii 13,9 13,5 14,3 Iii 14,3 13,2 14,6 Rerata 13,83 13,50 14,47 SD 0,50 0,30 0,15 Kadar lembab (%) I 2,02 2,19 2,2 Ii 2,4 1,28 2,1 Iii 1,87 2,0 2,4 Rerata 2,10 1,82 2,23 SD 0,27 0,48 0,15
Uji sudut diam granul merupakan rangkaian dari uji waktu alir yang bertujuan untuk mengetahui baik tidaknya kecepatan alir
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 308
ISBN 978-602-98902-1-1
granul. Semua formula memenuhi persyaratan sudut diam yang optimal (Tabel 5). Kompresi menunjukkan volume granul akibat hentakan dan gerakan. Besar kecilnya indeks kompresi dipengaruhi oleh bentuk granul, kerapatan dan ukuran granul. Semakin besar indeks kompresi mengakibatkan sifat alir yang kurang baik. Pada F3 menunjukkan indeks kompresi yang paling besar (Tabel 5) sehingga berpotensi menurunkan kecepatan alir granul.
KESIMPULAN Formula F2 yang mengandung serbuk ekstrak buah salak Bongkok 7,5%, asam sitrat 6 % dan asam tartrat18 % merupakan formula yang paling disukai dari ketiga formula dengan sudut diam 25,64o±0,18, daya kempa 13,5%, kadar lembab 1,82 % ± 0,48 dan kecepatan alir 9,87±0,45 g/det. .
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh DP2M melalui HIbah Stragnas Kompetisi Batch II tahun 2010-2011.
DAFTAR PUSTAKA Afrianti, L.H., Elin Yulinah Sukandar, Slamet Ibrahim, I Ketut Adnyana, 2006a, Characterization and Antioxidant Activity from Extracts of Salak Fruits (Salacca edulis Reinw.) Variety of Bongkok.”, Prosiding The 6th National Student Conference Unika 251-260. Soegijapranata, Semarang, 15 Juni 2006. Afrianti, L.H, Elin Yulinah Sukandar, Slamet Ibrahim, I Ketut Adnyana, 2006b, Isolasi, Elusidasi Struktur dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Buah Salak Bongkok.”, Prosiding Persatuan Ahli Tekonologi Pangan Seluruh Indonesia (PATPI), Yogyakarta, 2-3 Agustus 2006. Afrianti, L.H, Elin Yulinah Sukandar, Slamet Ibrahim, I Ketut Adnyana, 2006c, Antioxidant Activity of Ethyl Acetate Extract from Salak Fruit Variety Bongkok.Proceeding The 12 Asian Symposium Spices and Other Natural Product (ASOPMS XII) Universitas Andalas Padang 13-18 November 2006.
Afrianti, L.H, Elin Yulinah Sukandar, Slamet Ibrahim, I Ketut Adnyana, 2006f. Aktivitas antioksidan ekstrak daging buah salak varietas Bongkok ( Salacca Edulis Reinw.). J Acta Pharmaceutica, Vol.XXXI,NO 1, Maret 2006. ISSN : 0216-616X Afrianti, L.H, Elin Yulinah Sukandar, Slamet Ibrahim, I Ketut Adnyana, 2006g. Inhibisi Xanthin Oksidase Ekstrak Daging Buah Salak Varietas Bongkok (Salacca Edulis Reinw.) J Infomatek Vol.8, No1, Maret 2006. ISSN : 1411-0865 Afrianti, L.H, Elin Yulinah Sukandar, Slamet Ibrahim, I Ketut Adnyana, 2007. Xanthine Oxidase inhibitor activity of terpenoid and pyrrole compounds isolated from snake fruit (Salacca edulis Reinw) Cv. Bongkok, J of Applied Sciences 7(20): 3127-3130. ISSN : 1812-5654 Banker G.S. dan C.T. Rhodes, 1990, Modern Pharmaceutics, Marcel Dekker Inc. New York. 433-435 Carstensen, J.T., Chan P.C., 1977, Flow rates and repose Angies of wet-processed granulation. J.Pharm, Sci, 66(9),p1234-1238. Ferrari CKB, EAFS Torres. 2003. Biochemical pharmacology of fungcional foods and prevention of chronic diseases of aging. Biomed & Pharm 57 Lieberman, H.A, Schwartz, 1990, Pharmaceutical Dosage Forms, Granul, Edisi ke-2, volume 1, Marcel Dekker Inc, New York, 149-211. Parikh, D.M.,1997, Handbook of Pharmaceutical Granulation Technology, Marcel Dekker Inc., New York. 337-338. Raskin I, David MR, Slavco K, Nebosja I, Alexander P, Nikolai B, Anita B, Diego AM, Christophe R, Nir yakoby, Joseph M.O’Neal, Teresa C, Ira P, Bertold F. 2002. Plants and human health in the twenty-first century.TRENDS in Biotechnology Vol.2.No.12. 522-531. Soares, L.A.L. G. Ortega, P.R., Petrovick & P.C. Schmidt. 2005. Optimization of granuls contain high doses of spraydried plant extract: A technical Note, AAPS. Pharm.Sci.Tech.6(3) E 367-371.
Afrianti, L.H, Elin Yulinah Sukandar, Slamet Ibrahim, I Ketut Adnyana, 2006d, “The 4-(methoxycarbonyl) -1Hpyrrole-2-carboxylic acid” from Salak Fruit var. Bongkok and Antioxidant Activity. Proceeding International Conference Mathematies and Natural Sciences (ICMNS 2006) ITB, Bandung, 29-30 November 2006. Afrianti, L.H, Elin Yulinah Sukandar, Slamet Ibrahim, I Ketut Adnyana, 2006e, “The Use of Salacca Fruit Variety of Bongkok Extract as Antioxidant and Inhibitor of Uric Acid. Proceeding Regional Planning for Disaster Prone Areas in South East Asia (PUDSEA) UGM, Yogyakarta, 20-21 November 2006.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 309
ISBN 978-602-98902-1-1
SUBSTITUSI TEPUNG BENGKUANG SEBAGAI SUMBER PREBIOTIK KE DALAM CRACKER [Substitution of JICAMA FLOUR as PREBIOTIC Source into CRACKER] Melanie Cornelia1)*, Hardoko2), Hendra 3)
Dosen Jurusan Teknologi Pangan , Fakultas Teknologi Industri ,Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Mahasiswa Program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB, Bogor 2)Dosen Jurusan Teknologi Pangan , Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pelita Harapan, Karawaci 3)Alumni Jurusan Teknologi Pangan , Fakultas Teknologi Industri ,Universitas Pelita Harapan, Karawaci
1)
ABSTRACT Jicama was mostly use in traditional food, i.e. in’rujak’. Jicama has distinctive aroma and taste from its oligofructose compound called inulin. Inulin can act as a prebiotic source that has many functional properties. Inulin also has been used for many application in food products, for example in baking product. The objectives of this research was to determine whether jicama can be used to make flour with several different drying temperature, and then to determine the best concentration to substitute the wheat flour in one of baking product ‘jicama cracker’. Temperatures 300C, 400C, 500C, and 600C were used to dry jicama that has been sliced and then processed into flour. The result was the best jicama flour can be made by drying temperature of 500C which has characteristics of 9.09% moisture content, and higher whiteness (%) from wheat flour at 91.67%.. The experimental research was done by using the different substitution (0%, 10%, 20%, 30%, and 40%) of jicama flour. The result showed that the best substitution of jicama flour is at 30% where it had the highest score of hedonic test. The jicama cracker consist of 2.14% moisture, 21.1% fat, 9.01% protein, 1.42% ash, 66.38% carbohydrate, 11.42% dietary fiber and 18664 ppm inulin. The result showed that jicama cracker has more inulin than the control one. So, we’re able to say that jicama flour can be used as prebiotic source. Keywords : Prebiotic, Inulin, Jicama Flour
PENDAHULUAN8 Tanaman bengkuang (Pachyrrhizus erosus) merupakan tanaman yang menghasilkan umbi akar, yang banyak digunakan sebagai bahan makanan tradisional pada umumnya (misalnya rujak).. Bagian dalam umbi mengandung gula, pati, dan oligosakarida. Oligosakarida terdapat dalam inulin (berfungsi sebagai prebiotik). Umbi ini memiliki efek pendingin karena mengandung kadar air 86-90% (Anonim, 2009). Bengkuang merupakan tanaman yang memiliki banyak fungsi. Umbi bengkuang juga mengandung agen pemutih (whitening agent) yang dapat memutihkan dan menghilangkan tanda hitam dan pigmentasi di kulit. Bengkuang juga mengandung vitamin C dan senyawa fenol yang dapat befungsi sebagai sumber antioksidan bagi tubuh. Seiring dengan perkembangannya, bengkuang juga sering dimanfaatkan dalam industri farmasi dan kosmetik (misalnya sebagai bahan utama pembuatan masker). Bengkuang mengandung sejenis karbohidrat dalam bentuk FOS (Fruktosa OligoSakarida) yang berkontribusi terhadap rasa manis dan aroma bengkuang. Penggunaan inulin sebagai sumber prebiotik dan senyawa fungsional sudah banyak diterapkan dalam produk pangan. Beberapa penerapan inulin sebagai prebiotik dalam produk pangan adalah sumber serat dan pengganti gula dalam produk baking, pengganti lemak dalam produk daging dan memberikan kerenyahan dan pengembangan pada produk sereal (Jardine et al, 2009). *Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
Pemanfaatan bengkuang masih terbatas untuk bahan pangan dan sedikit untuk industri bahan pangan. Umur simpan bengkuang yang terbatas juga menjadi kendala dalam pengolahannya. Penyimpanan bengkuang yang terlalu lama menyebabkan umbinya berserat (Anonim, 2009), oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengawetkan bengkuang dalam bentuk tepung yang memiliki keunggulan dapat disimpan lebih lama, praktis dan volumenya lebih kecil. Tujuan umum penelitian ini adalah memanfaatkan bengkuang yang dibuat sebagai sumber prebiotik dalam produk cracker. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah menentukan perlakuan suhu terbaik dalam pembuatan tepung bengkuang, menentukan tingkat substitusi terbaik untuk tepung bengkuang dalam cracker bengkuang, menganalisis kembali kandungan prebiotik (dietary fiber) dalam cracker yang terbaik dan meneliti kelebihan, kekurangan kandungan selama proses pembuatan tepung dan cracker.
METODOLOGI Bahan dan alat
Bahan yang digunakan: sebahai bahan utama adalah 3 (tiga) umbi bengkuang yang ukurannya kurang lebih sama, dan setelah ditimbang berat rata-rata nya 307.78±4.52 gram. Umbi bengkuang diperoleh dari supplier bengkuang di pasar tradisional Petojo, Jakarta Barat. Bahan lainnya : gula “Gulaku”, garam halus “Dolphin”, tepung terigu serbaguna “Segitiga Biru”, shortening “Crisco”, air dan ragi instan “Fermipan”. Bahan kimia (p.a) yang digunakan untuk analisis adalah Se, K2SO4, H2O2, H2SO4, asam borat, NaOH, HCl, KCl, BaCl2, AgNO3, pelarut benzena, dan akuades.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 310
ISBN 978-602-98902-1-1
Alat-alat yang digunakan adalah neraca meja, neraca analitik, ayakan Tyler, cabinet dryer, gelas ukur, oven, labu takar, heater, mixer, cetakan, peeler, loyang, gelas beaker, blender dan spons. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah cawan pengabuan, cawan penguapan, neraca analitik, kertas saring, tanur, tabung kondensor, soxhlet, labu didih, labu ukur, erlenmeyer, heater, alat refluks, buret, desikator, dan alat destilasi kjehldahl. Persiapan bahan Tahap awal penelitian merupakan proses pembuatan tepung bengkuang melalui pengeringan slice bengkuang dengan cabinet dryer selama 6 jam dengan perlakuan suhu. suhu pengeringan yaitu pada suhu 300C, 400C, 500C, dan 600C. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan tiga kali pengulangan untuk masing-masing pengeringan yang dilakukan. Uji statistik dihitung dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% (α = 5%).Tujuannya untuk menentukan suhu pengeringan yang terbaik yang dapat dilanjutkan menjadi tepung dengan parameter yang terbaik. Pembuatan Tepung Bengkuang Bengkuang dicuci bersih dan dikupas kulitnya, kemudian dipotong menjadi potongan-potongan seragam (slices) dengan menggunakan slicer manual. Bengkuang yang sudah dipotong kemudian diblanching terlebih dahulu dengan menggunakan larutan Natrium metabisulfit 0,3% selama 15 menit untuk mencegah pencoklatan enzimatis. Bengkuang kemudian dikeringkan dengan perlakuan cabinet dryer dengan waktu 6 jam dan perlakuan suhu pengeringan yang berbeda (300C, 400C, 500C, dan 600C). Setiap perlakuan dan pengulangan diukur kadar airnya. Bengkuang yang terlihat secara sensori kering kemudan dilanjutkan ke tahapan penepungan. Potongan bengkuang yang telah dikeringkan kemudian dihancurkan hingga menjadi tepung dengan menggunakan blender kering. Tepung yang telah dibuat kemudian dianalisis ukuran partikelnya dengan ayakan Tyler 60 mesh. Tepung kemudian diambil pada ukuran halus, dan disimpan dalam plastik yang tertutup rapat. Tepung dianalisis parameter-parameternya berupa kadar air, rendemen, dan derajat putih sebagai acuan untuk menentukan tepung terbaik yang akan digunakan dalam pembuatan cracker. Diagram alir pembuatan tepung bengkuang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Umbi bengkuang ↓ Disortir berdasarkan berat (923.33±13.55 gram) ↓ Dicuci hingga bersih ↓ Dikupas Kulit bengkuang ↓ Diiris menjadi potongan seragam (slices) dengan ketebalan ±1mm ↓ Uji kecukupan blanching Diblanching dengan larutan natrium metabisulfit 0,3%, 15 menit ↓ Dikeringkan selama 6 jam dengan perlakuan suhu 300C, 400C, 500C, dan 600C ↓ Flakes bengkuang kering ↓ Ditepungkan dengan blender kering ↓ Diayak dengan ayakan Tyler 60 mesh ↓ Tepung bengkuang Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung bengkuang
Pembuatan Cracker Bengkuang Penelitian tahap selanjutnya menggunakan metode eksperimen pembuatan cracker dengan perlakuan tingkat substitusi tepung bengkuang 0%, 10% , 20%, 30%, dan 40%. Pada tahap ini digunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan tiga kali pengulangan untuk setiap konsentrasi substitusi. Pembuatan cracker bengkuang ini sesuai perlakuan yang sudah diformulasikan pada Tabel 1. Lalu ditentukan formula cracker terbaik, dan dilakukan beberapa analisis seperti analisis proksimat terhadap cracker control, tepung bengkuang, dan cracker bengkuang terbaik untuk membandingkan hasil penelitian yang diperoleh. Dilakukan juga uji organoleptik yang meliputi uji skoring dan hedonik dan analisis total dietary fiber dan inulin. Tabel 1. Formulasi adonan cracker per 300 g
Bahan A1 A2 Tepung terigu 300 g 270 g Tepung bengkuang 0 g 30 g Garam 3g 3g Gula 6g 6g Shortening 62.5 g 62.5g Yeast 3.6 g 3.6 g Air 125 mL 125mL Skim Milk Powder 12 g 12 g Baking Powder 1.2 g 1.2 g
Formula A3 A4 240 g 210 g 60 g 90 g 3g 3g 6g 6g 62.5g 62.5 g 3.6 g 3.6 g 125mL 125mL 12 g 12 g 1.2 g 1.2 g
A5 180 g 120 g 3g 6g 62.5 g 3.6 g 125mL 12 g 1.2 g
Diagram alir pembuatan cracker bengkuang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 311
ISBN 978-602-98902-1-1
Analisis-analisis yang dilakukan - Uji Sensori Scoring dan Hedonik (Meilgaard, 2007) Parameter yang diujikan dalam uji skoring meliputi warna, aroma, kerenyahan, dan rasa dari cracker bengkuang. Parameter yang diiujikan dalam uji hedonik adalah aroma, tekstur, rasa, warna, dan keseluruhan dari cracker bengkuang. -Penentuan rendemen tepung bengkuang yang dihasilkan . %Rendemen= berat tepung bengkuang yang dihasilkan X100% berat bengkuang awal - Derajat Putih dengan menggunakan alat Minolta Chromameter. Sensor chromameter ditembakkan pada sampel dan diperoleh hasil nilai L, dan dikonversikan menjadi nilai derajat putih dengan rumus: Derajat putih (%) = 100 – [(100-L)2 + (a2 + b2)]0.5 - Analisis Abu (AOAC 938.08, 2005) - Analisis Kadar Air (AOAC 934.01, 2005)
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Tepung Bengkuang (5.26±0.4 (5.49±0.7 (6.08±0.2
7 6 5 4 3 2 1 0
6)b
6)b
4)b
40
50
60
(0±0)a 30
Suhu Pengeringan (0C)
Ket: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada α = 0.05
Gambar 3. Hasil uji lanjut rendemen tepung bengkuang
Dari uji lanjut statistik rendemen, dapat diketahui bahwa perlakuan pada suhu 400C, 500C dan 600C memiki rendemen yang tidak berbeda nyata, yang berarti rendemen dari ketiga perlakuan adalah sama. Hasil dari rendemen tepung bengkuang kurang lebih berkisar antara 10% dari berat umbi bengkuang awalnya. Dari SNI tepung terigu (2000), dinyatakan bahwa tepung terigu harus memiliki kehalusan sebanyak 95% melewati ayakan 60 mesh, maka rendemen tepung bengkuang yang diperoleh seluruhnya melewati ayakan 60 mesh. Pada pengeringan suhu 300C, hasil pengeringan tidak dapat dihancurkan menjadi tepung karena masih agak basah dan ketika diblender kering tidak bisa hancur. Pengeringan pada suhu 300C selama 6 jam belum cukup untuk mengeluarkan seluruh air dalam bengkuang untuk dihancurkan menjadi tepung. Derajat Putih Tepung Bengkuang
Derajat Putih (%)
Gambar 2 Pembuatan cracker bengkuang
- Analisis Kadar Protein (AOAC 940.25, 2005) - Analisis Kadar Lemak (AOAC 963.15, 2005) - Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) - Analisis Total Dietary Fiber (Metode Enzimatik-Gravimetrik) % Total Dietary Fiber = (berat akhir-berat awal) x 100% berat sampel - Analisis Inulin dengan HPLC (metode Gibson et al) ppm inulin sampel = luas area contoh x C standar x fC luas area standar dengan : fC = faktor konversi senilai 10x (1 mLsampel ke dalam 10 mL 0.05 M NaNO3) C standar = konsentrasi standar inulin 10000 ppm
Rendemen Tepung (%)
Bahan-bahan pembuatan cracker ditimbang sesuai formulasi ↓ Tepung, garam, gula, yeast, skim milk powder, baking powder, dan shortening dicampur ↓ Campuran kemudian didry-mix dengan mixer selama 15 menit hingga tampak seperti remah roti ↓ Ke dalam campuran ditambahkan air perlahan-lahan kemudian mix selama 5 menit ↓ Adonan diletakkan pada wadah kemudian ditutup dengan kain basah ↓ Adonan difermentasikan selama 30 menit ↓ Adonan yang telah difermentasi diroller hingga tipis dengan roller pin ↓ Adonan dilipat sebanyak 4 kali dengan pengulangan pelipatan sebanyak 4 kali ↓ Adonan kemudian ditipiskan dengan noodle maker pada skala 5 ↓ Adonan yang telah ditipiskan kemudian dipotong dengan pizza cutter (±2x2cm) ↓ Adonan diletakkan pada loyang dan ditusuk dengan garpu untuk membuat lubang udara ↓ Adonan dipanggang pada suhu 1600, 15 menit ↓ Cracker bengkuang
94 92 90 88 86 84 82 80
(93.34± (91.67± (91.65± 0.84)a 0.43)ab 0.28)bc
40
50
60
Suhu Pengeringan (0C)
Ket: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada α = 0.05
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 312
ISBN 978-602-98902-1-1
Gambar 4. Hasil uji lanjut derajat putih tepung bengkuang
Dari hasil analisis uji lanjut derajat putih dapat diketahui bahwa derajat putih dari suhu 500C tidak berbeda dengan suhu 400C dan suhu 600C, di mana suhu 400C dan 600C berbeda nyata. Namun dapat dilihat bahwa seiring dengan peningkatan suhu terjadi penurunan derajat putih. Hal ini diduga disebabkan oleh pencoklatan non enzimatik (seperti reaksi maillard) dari karbohidrat (terutama gula) dalam bengkuang. Hasil dari derajat putih tepung bengkuang berkisar antara 91.65% sampai dengan 93.34%. SNI tepung terigu tidak menerapkan derajat putih sebagai parameter mutu, maka dilakukan perhitungan derajat putih melalui tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan cracker kontrol. Hasil perhitungan derajat putih pada tepung terigu kontrol adalah 89.95%.
Kadar air (%)
Kadar Air Tepung Bengkuang (42.79±
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
15.51)b
30
(10.89± (9.09±0. (10.45± 2.28)a 1.11)a 21)a
40
50
60
Suhu Pengeringan (0C)
Ket: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada α = 0.05
Gambar 5. Hasil uji lanjut kadar air tepung bengkuang
Dari hasil analisis uji lanjut kadar air dapat diketahui bahwa kadar air tidak berpengaruh nyata pada seluruh perlakuan kecuali pada suhu 300C. Hal ini sesuai dengan pada rendemen yang tidak memiliki perbedaan sigifikan pada berat rendemen tepung hasil pengeringan. Tepung bengkuang memiliki kadar air kurang lebih 10% dan apabila dibandingkan dengan SNI tepung terigu, kadar air tepung harus berada di bawah 14.5%, maka tepung bengkuang masih memenuhi persyaratan tepung yang baik. Untuk memperkecil kerusakan tepung, maka dipilih tepung bengkuang dengan kadar air terendah yaitu pada pengeringan dengan suhu 500C.
Nilai Hedonik Keseluruhan
Hasil Uji Hedonik Cracker Tepung Bengkuang 5 (3.1±0.6) (3.1±0.5)(3.4±0.8)(3.3±0.6) (2.7±0.6) c bc 4
b
a
b
3 2 1 0
10
20
30
40
Tingkat Subtitusi Tepung (%)
Ket: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada α = 0.05 Nilai hedonik : 1=sangat tidak suka, 2 =tidak suka, 3= sedang, 4=suka, dan 5= sangat suka)
Gambar 6. Hasil uji lanjut Hedonik cracker tepung bengkuang
Dari hedonik keseluruhan diperoleh bahwa para panelis paling menyukai konsentrasi 30% dan 40% dengan nilai tertinggi. Hasil Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan pada tiga jenis sampel, yaitu tepung bengkuang, sampel cracker control (menggunakan tepung terigu 100%) dan sampel cracker menggunakan tepung bengkuang 30%. Tujuannya untuk mengetahui perubahan dan perbedaan yang terjadi antara sampel cracker kontrol dengan cracker bengkuang 30%. Tabel 2. Hasil analisis proksimat sampel tepung bengkuang dan crackers Kadar ( Sampel Sampel Cracker Sampel %) Tepung Bengkuang 30% Cracker Bengkuang Kontrol air 6.67 2.14 1.28 lemak 1.72 21.10 24.64 protein 3.29 9.01 9.76 abu 8.24 1.42 7.54 K.Hidrat 80.07 66.38 56.79 Hasil Analisis Dietary Fiber dan Inulin Analisis prebiotik yang dilakukan yaitu total dietary fiber dan kadar inulin (ppm) yang merupakan bagian dari dietary fiber. Analisis total prebiotik dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kadar prebiotik antara cracker kontrol dengan cracker bengkuang terbaik (30%), dibandingkan dengan tepung bengkuang yang digunakan.. Dari hasil analisis diketahui bahwa terdapat perbedaan pada total dietary fiber kedua produk dengan peningkatan serat pangan pada cracker substitusi tepung bengkuang 30%. Kandungan serat pangan pada cracker bengkuang lebih tinggi dibandingkan serat pangan dari pisang (2.4%), namun lebih rendah daripada biji flax yang mengandung 22.23% serat pangan (Anonim6,2009). Tabel 3. Hasil analisis total dietary fiber dan Inulin Total dietary fiber Rata-rata inulin Sampel (%) (ppm) Tepung bengkuang
10.32
11467
Cracker 30%
11.42
18664
Cracker kontrol
10.50
12741
Inulin merupakan salah satu jenis serat pangan yang berfungsi sebagai prebiotik dan sudah diterapkan dalam berbagai produk pangan. Kadar inulin dalam produk dianalisis dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Dari analisis diketahui bahwa kadar inulin dari tepung bengkuang 11467 ppm (1.15%), cracker kontrol 12741 ppm (1.2%) dan cracker substitusi tepung bengkuang 30% adalah 18664 ppm (1.87%). Inulin dalam cracker bengkuang lebih tinggi dari inulin pada pisang (0.3%-0.7%), namun lebih rendah dari bawang putih yang mengandung 9%16% inulin (Franck, 2009). Meskipun belum ada standar konsumsi perhari untuk inulin, namun sebagai prebiotik disarankan untuk mengkonsumsi inulin minimal 5 gram per harinya (Anonim2, 2008).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 313
ISBN 978-602-98902-1-1
KESIMPULAN Suhu pengeringan terbaik untuk memperoleh tepung bengkuang adalah 5000C. Tepung bengkuang yang diperoleh melalui perlakuan terbaik memiliki kadar air 9.09%, rendemen 5.49% dan derajat putih 91.67%. Substitusi tepung bengkuang pada berbagai tingkat konsentrasi mempengaruhi hasil akhir crackesr, terutama dari organoleptik. Konsentrasi subsitusi tepung bengkuang terbaik diperoleh pada substitusi 30%. Cracker bengkuang pada tingkat substitusi 30% memiliki karakterisitik berwarna agak putih, memiliki aroma bengkuang yang cukup kuat, memiliki rasa bengkuang yang kuat dan renyah. Cracker terbaik ini memiliki total serat pangan sebesar 11.42% dan kadar inulin sebesar 18664 ppm. Dari hasil penelitian kadar prebiotik, cracker bengkuang lebih tinggi daripada cracker kontrol. Maka penelitian membuktikan bahwa tepung bengkuang dapat menjadi sumber prebiotik dalam cracker.
DAFTAR PUSTAKA Anonim1, 2009. “Jicama, Raw, Fresh” Available from http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/cgibin/list_nut_edit.pl. Internet accessed 8 Februari 2010.
Jardine, Shelly. 2009. “Ingredient Handbook Prebiotics and Probiotics Second Edition”. Leatherhead Publishing : United Kingdom. Manley, Duncan. 2001.Biscuit ,Cracker and Cookie Recipes for The Food Industry. Woodhead Publishing. England. Matz, Samuel A. 1993. “Snack Food Technology Third Edition”. Pan Tech International, Inc: McAllen, Texas. Meilgaard, Morten C, B.Thomas Carr and Gail Vance Civille. 2007. “Sensory Evaluation Techniques Fourth Edition”.CRC Press: USA. Potter, N.N, dan Hotchkiss, J.H. 1995.Food Science Fifth Edtion, New York: Chapman & Hall.USA Sokol, Gail. 2006. About Professional Baking, New York: Thomson Delma Learning. Valencia.2008.”Pemanfaatan Tepung Kulit Gandum dan Inulin Sebagai Sumber Serat dalam Pembuatan Cookies”. Skripsi. Universitas Pelita Harapan. Veronica.2002.“Studi Pembuatan Fiber Cracker”. Skripsi. Universitas Pelita Harapan.
Anonim2, 2008. “Inulin and Oligofructose as Prebiotics” Available from http://www.dairyforall.com/prebiotic-inulin.php. Internet, accessed 24 Juni 2010. 2010. “Jicama” Available from Anonim3, http://en.wikipedia.org/wiki/Jicama accessed 10 February 2010. 2010. “Inulin” Available from Anonim4, http://scientificpsychic.com accessed 10 February 2010. Anonim5, 2009. “Basic Cracker Recipe” Available from http://www.towards-sustainability.com/2009/08/basiccracker-recipe.html.Internet, Accessed 10 February 2010. Anonim6, 2009. “Total Dietary, Soluble and Insoluble Fiber Content of Foods : Vegetables, Fruits and Legumes” Available from http://www.dietaryfiberfood.com/fibercontent.php. Internet, accessed 24 Juni 2010. [AOAC]. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. AOAC, Inc. USA. Brown, Amy. 2004. Understanding Food 2nd Edition, Belmont : Wadsworth/Thomson Learning. USA. Gisslen, Wayne. 2005. Professional Baking Fourth Edition, New Jersey: John Wiley & Sons Inc. Gooding, Mike J dan Davies, Paul W. 1997.Wheat Product and Utilization. CAB Intenational. USA, New York.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 314
ISBN 978-602-98902-1-1
APLIKASI EKSTRAK BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola), BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi), DAN KULIT JERUK LEMON (Citrus limon) SEBAGAI KOAGULAN ALAMI PADA PEMBUATAN TAHU [APPLICATION OF Averrhoa carambola, Averrhoa bilimbi FRUIT and Citrus limon PEEL EXTRACTS AS NATURAL COAGULANTS IN REGULAR TOFU PRODUCTION] 1) Jurusan
Sisi Patricia L.A.1)*, W. Donald R. Pokatong1), Jenifer1)
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pelita Harapan, Tangerang
ABSTRACT The application of natural coagulants for the production of tofu was studied as an alternative of the chemical coagulants which are inorganic additives. The sources of natural coagulant used in this study are extracts from fruits of Averrhoa carambola, Averrhoa bilimbi, and peel of Citrus limon. Oxalic acid content in extract was reduced using several concentration of calcium propionate as the preliminary research, due to its unbeneficial effect to the nutrition absorption. From the results, the best concentration of calcium propionate used in Averrhoa carambola and Citrus limon peel each was 0.2% and for Averrhoa bilimbi fruit was 0.4%. In the tofu production besides types of coagulants, the temperature of soymilk during the coagulant addition was also observed toward the characteristics of the tofu. The produced tofu was observed in terms of physical, chemical, and sensory characteristics. Hardness, firmness, and springiness of several tofus prepared using the natural coagulants was able to reached the values near to the control tofu (made by chemical coagulants). In general, the moisture content of tofu made from carambola, bilimbi, and lemon peel were comparable to control tofu; and as the temperature increased, the protein content also increased. From the sensory evaluation, the most preferable tofu was the one made by using the Averrhoa carambola extract as the coagulant at 70°C. It has 33.06% yield (db), 81.54% moisture, 61.63% protein (db), 23.16% fat (db), 2.43% ash (db), 704.15 g hardness, 62.82 g firmness, and 33.31% springiness. Its texture in terms of hardness has better value that the control tofu made by calcium sulfate. It also exhibited higher springiness than control tofu made by using acetic acid as the coagulant at the same temperature. By these results protein coagulants derived from natural sources was confirmed to be a possible approach to replace the chemical coagulants used in tofu production. Key words: Tofu, natural coagulant, lemon peel, bilimbi, carambola
PENDAHULUAN9 Tahu merupakan produk pangan berbasis protein kacang kedelai yang memiliki kandungan protein nabati dan elemenelemen nutrisi yang seimbang, sehingga menjadi bahan pangan yang populer sebagai makanan yang menyehatkan (Shurtleff and Aoyagi, 2001). Dalam produksi tahu, magnesium klorida atau kalsium sulfat yang merupakan bahan tambahan makanan inorganik biasanya digunakan sebagai bahan penggumpal (koagulan). Tetapi umumnya koagulan inorganik tersebut mengandung komponen pengotor seperti logam berat, walaupun kadarnya sangat rendah. Ketersediaan bahan koagulan kimia tersebut juga tidak mudah untuk diperoleh, terutama di daerah pedesaan. Oleh karena itu di dalam penelitian ini dipelajari mengenai aplikasi koagulan alami dalam pembuatan tahu, yaitu menggunakan buah belimbing (Averrhoa carambola), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), dan kulit jeruk lemon. Beberapa koagulan alami dari sumber tanaman, dilaporkan memiliki kandungan asam oksalat yang tinggi (Sanjay et al., 2008). Menurut Rassam and Laing (2005), asam oksalat mempunyai kemampuan mengikat ion Ca2+, Mg2+, dan Fe2+, sehingga mengurangi penyerapan ion-ion tersebut dalam tubuh. Kandungan asam oksalat yang tinggi di dalam tubuh juga dapat *Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
menyebabkan kristalisasi kalsium oksalat dan pembentukan batu ginjal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan sumber koagulan alami untuk pembuatan tahu dengan menggunakan buah belimbing, belimbing wuluh, dan kulit jeruk lemon dengan perlakuan pendahuluan untuk mereduksi kandungan asam oksalat di dalam bahan.
METODOLOGI Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, belimbing, belimbing wuluh, dan kulit jeruk lemon (flavedo dan albedo). Buah yang digunakan dipilih berdasarkan warna kulitnya, yaitu untuk belimbing dan lemon dipilih buah yang kulitnya berwarna kuning, sedangkan untuk belimbing wuluh, digunakan buah yang kulitnya berwarna hijau. Tahu komersial “Tahu Pong Theresia”, yang digunakan sebagai pembanding dalam uji fisik tahu dan uji sensori. Bahan-bahan kimia yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kalsium propionat food grade, 25% asam asetat food grade, kalsium sulfat (CaSO4) food grade, HNO3, K2SO4, Se, H2SO4 (konsentrat, bebas-N), H2O2 35%, 4% asam borat, mixed indicator, NaOH 35%, 0.2 N HCl, petroleum benzen, 2M HCl, dan air destilasi. Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain blender, kain saring, buret, alat Kjeldahl digestion dan sistem destilasinya, oven, desikator, tanur, neraca analitik, soxhlet,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 315
ISBN 978-602-98902-1-1
termometer, texture analyzer (TA.XT.Plus), pH meter, water bath, HPLC (Shimadzu LC-20AB). Persiapan jus Buah belimbing, belimbing wuluh dan kulit jeruk lemon dibersihkan dan dicuci. Untuk buah belimbing, 1000 g daging buah dipotong-potong dan ditambahkan dengan 1200 ml air destilasi, kemudian dihancurkan dengan blender selama 30 detik, sedangkan untuk buah belimbing wuluh, terdapat perbedaan dalam jumlah air yang ditambahkan, yaitu 2000 ml. Untuk jeruk lemon, seluruh bagian kulit dikupas dan dipotongpotong menjadi bagian kecil, kemudian dicampurkan dengan 2000 ml air destilasi, dan dihancurkan dengan blender selama 3 menit. Setelah dihancurkan semua jus disaring dengan menggunakan kain saring (Sanjay et al., 2008 dengan modifikasi). Penentuan Konsentrasi Optimum Kalsium Propionat untuk Pengendapan Asam Oksalat 150 ml jus di dalam 500 ml gelas beker, masing-masing ditambahkan dengan kalsium propionat dengan beberapa konsentrasi akhir (0.2%, 0.3%, 0.4%). Campuran tersebut dihomogenisasi menggunakan Heidolph stirrer selama 1 menit pada kecepatan 4, dan didiamkan semalam dalam suhu ruang. Endapan yang terbentuk dipisahkan menggunakan kertas saring Whatman No.1 dan massa endapan dikeringkan di dalam oven selama 6 jam pada suhu 105ºC (Patricia, 2009 dengan modifikasi). Penentuan Kandungan Asam Oksalat, pH, dan Total Asam Tertitrasi dari Jus Kandungan asam oksalat ditentukan dengan menggunakan HPLC (Shimadzu LC-20AB) di Laboratorium Afiliasi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. Total asam oksalat diperoleh dari 50 ml jus yang dicampurkan dengan 50 ml HCl (2M) dan dipanaskan di dalam waterbath pada suhu 80°C selama 15 menit. Sampel kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi selama 15 menit, 3000 rpm. Filtran (supernatan) kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.1. 20 µl sampel disuntikkan ke dalam HPLC yang dilengkapi dengan detektor UV pada panjang gelombang 210 nm. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan kolom C-18, dengan laju elusi 0.5 ml/menit, menggunakan 0.005 M asam sulfat sebagai fase bergerak. Asam oksalat diindentifikasi berdasarkan waktu retensi, kandungannya di dalam sampel ditentukan dengan kurva kaliberasi standar dengan satuan ppm (Judprasong et al., 2006 dengan modifikasi). pH dari jus diukur dengan instrument pH meter. Total Asam Tertitrasi (TAT) diukur dengan metode Sanjay et al. (2008) dengan modifikasi. Jus dititrasi dengan 0.1 N NaOH, menggunakan indikator phenolphthalein.
Pembuatan tahu dengan koagulan alami
Pengendapan Asam Oksalat dari Jus dengan konsentrasi optimum Ca-Propionate Pengendapan asam oksalat pada jus dilakukan dengan konsentrasi optimum dari kalsium propionate dari masingmasing jus. Jus kemudian didiamkan semalam untuk
membiarkan terjadinya proses presipitasi. Jus kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.1, sehingga dihasilkan ekstrak yang siap digunakan sebagai koagulan alami dalam pembuatan tahu. Pembuatan Susu Kedelai 100 g kacang kedelai direndam semalam, kemudian dipisahkan kulitnya. Kacang kedelai dicampurkan dengan 800 ml air dan dihancurkan dengan blender selama 40 detik. Untuk mendapatkan susu kedelai, campuran tersebut disaring dengan kain saring, kemudian susu dipanaskan sampai mendidih, dan ditahan suhunya pada 95°C selama 5 menit (Sanjay et al., 2008 dengan modifikasi). Pembuatan Tahu dengan Koagulan Alami Pembuatan tahu menggunakan koagulan alami berdasarkan metode dari Sanjay et al. (2008), dengan modifikasi. 500 ml susu kedelai diperlakukan dengan suhu sesuai perlakuan (60, 70, 80°C). 250 ml koagulan alami ditambahkan ke susu kedelai, kemudian diaduk selama 10 detik. Proses penggumpalan dibiarkan terjadi selama 15 menit, tanpa agitasi. Kemudian susu terkoagulasi tersebut dituang ke dalam cetakan yang sudah dilapisi dengan kain saring dan di tekan dengan beban 1 kg selama 20 menit, dan dengan beban 0.5 kg untuk 20 minutes berikutnya. Tahu yang diperoleh dapat dipisahkan dari cetakannya. Pembuatan Tahu dengan Koagulan Kontrol Asam asetat (koagulan asam) dan kalsium sulfat (CaSO4, koagulan garam) digunakan sebagai koagulan kontrol. Prosedur pembuatan tahu dengan koagulan kontrol sama dengan prosedur pembuatan tahu dengan koagulan alami, tetapi jumlah koagulan yang ditambahkan berbeda, yaitu untuk asam asetat, 1.2 ml 25% asam asetat food grade ditambahkan ke dalam susu kedelai (Chang et al., 2003 dengan modifikasi). Untuk kalsium sulfat, jumlah yang ditambahkan adalah 25 ml larutan (mengandung 0.75 g kalsium sulfat) ke dalam 500 ml susu kedelai (Sanjay et al., 2008 dengan modifikasi). Karakteristik Tahu Karakteristik tahu yang diamati meliputi analisis fisik, kimia, dan sensori. Analisis fisik yang dilakukan adalah kekerasan (hardness), kekompakan (firmness), dan kelentingan (springiness) menggunakan TA. XT Plus texture analyzer. Analsis kimia yang dilakukan meliputi rendemen, kadar air dengan metode oven, kadar protein dengan metode Kjeldahl menngunakan faktor konversi protein 6.25, kandungan lemak dengan metode ekstraksi Soxhlet, dan kadar abu dengan metode pengabuan kering. Analisis sensori dilakukan dengan uji kesukaan menggunakan uji hedonik. Sampel yang disajikan adalah sampel terbaik dari setiap koagulan alami, serta tahu dengan koagulan kontrol. Parameter yang dievaluasi adalah penampakan (appearance), warna, tekstur, dan rasa.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 316
ISBN 978-602-98902-1-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
penambahan koagulan (60, 70, dan 80°C). Analisis fisik, kimia, dan sensori dilakukan terhadap tahu yang dihasilkan.
Tabel 2. Kandungan asam oksalat dalam jus Jus Kalsium propionat (%) Asam oksalat (ppm) Kulit jeruk 0.0 1475.1c lemon 0.2 993.8a 0.3 1194.6ab 0.4 1252.0ab Buah 0.0 5981.1c Belimbing 0.2 5318.1b wuluh 0.3 5296.6b 0.4 3034.2a Buah 0.0 1339.7a Belimbing 0.2 543.3b 0.3 512.0b 0.4 530.7b Ket: Huruf yang sama pada setiap jenis jus menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Berdasarkan hasil yang diperoleh, konsentrasi optimum kalsium propionat yang digunakan dalam proses pengendapan kristal asam oksalat pada kulit jeruk lemon, belimbing wuluh, dan belimbing secara berurutan adalah 0.2%, 0.4%, dan 0.2%. Di dalam pembuatan tahu diperlukan pH yang berkisar di titik isoelektrik dari globulin kacang kedelai, yaitu sekitar 4.5. ketiga konsentrasi yang ditentukan memiliki pH dalam kisaran yang dibutuhkan.
1000 800 600 400
1273.43
1220.78e
1497.87f 1051.33d 319.17a
1200
Kulit jeruk lemon Belimbing wuluh Belimbing
485.74b 761c
1400
1026.06d 1082.34de
1095.4de
1600
704.15c 664.21c
1800
1692.32g 1571.15c
Kekerasan (Hardness) Di dalam penelitian ini kekerasan diukur menggunakan alat texture analyzer dan didefinisikan sebagai klimaks atau puncak dari kekuatan tekanan pertama terhadap produk. Hasil uji kekerasa terhadap tahu dapat dilhat pada Gambar 1.
328.19a
Tabel 1. Hasil pengendapan asam oksalat Jus Kalsium propionat (%) Endapan (g) Kulit jeruk 0.2 0.8640a lemon 0.3 0.7491a 0.4 0.8238a Buah 0.2 0.2436a Belimbing 0.3 0.3392a wuluh 0.4 0.3452a Buah 0.2 0.2880a Belimbing 0.3 0.2999a 0.4 0.3227b Ket: Huruf yang sama pada setiap jenis jus menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Analisis Fisik
681.42fg
Asam oksalat dapat menyebabkan kekurangan penyerapan ion-ion Ca2+, Mg2+, dan Fe2+ di dalam tubuh, serta dapat menyebabkan kristalisasi kalsium oksalat dan pembentukan batu ginjal. Oleh karena itu kandungannya di dalam jus yang akan digunakan di dalam pembuatan tahu harus dikurangi. Untuk mengurangi kandungan asam oksalat dilakukan pengendapan asam oksalat terhadap ketiga jenis jus dengan larutan kalsium propionat. Berat endapan dan kandungan sisa asam oksalat di dalam jus merupakan parameter yang dijadikan tolak ukur untuk memilih kosentrasi terbaik dari kalsium propionat.
Kekerasan (g)
Pengendapan Asam Oksalat
Asam asetat
Kalsium Sulfat
200 0
60
70
Suhu susu kedelai (⁰C)
80
Tahu Komersial
Gambar 1. Hasil uji kekerasan terhadap tahu. *) Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Hasil uji kekerasan menyatakan bahwa tahu menggunakan jus kulit jeruk lemon pada suhu 60°C mempunyai kekerasan tertinggi diantara semua tahu yang dihasilkan. Tetapi jika dibandingkan dengan tahu komersial yang memiliki kekerasan 1273.43 g, tahu dengan koagulan jus kulit jeruk lemon pada 80°C dan belimbing dan belimbing wuluh pada 70°C memiliki kekerasan yang paling mendekati. Menurut Shurtleff and Aoyagi (2001), beberapa jus sitrus bekerja secara efektif sebagai koagulan alami pada suhu 70°C sampai 80°C. Saat suhu terlalu rendah, teksturnya akan menjadi kasar dan bergumpal. Hui et al. (2004) secara lebih lanjut menjelaskan bahwa pada susu kedelai yang bersuhu tinggi protein akan mendapatkan energy aktivasi yang tinggi menyebabkan lebih mudahnya terjadi koagulasi, menghasilkan curd dengan water holding capacity (WHC) yang rendah, sehingga dihasilkan tahu dengan tekstur yang keras dan rendemen yang rendah. Hasil yang diperoleh Kekompakan (Firmness) Kekompakan tahu berkaitan dengan nilai kekerasannya, dengan semakin meningkat nilai kekerasan, nilai kekompakannya juga akan semakin meningkat (Sanjay et al., 2008). Hasil uji kekompakan tahu dapat dilihat pada Gambar 2.
Penelitian Utama
Dengan jus yang sudah dikurangi kandungan asam oksalatnya, di dalam penelitian utama dilakukan pembuatan tahu menggunakan koagulan alami (jus kulit jeruk lemon, jus belimbing, dan jus belimbing wuluh) dan koagulan kimia (asam asetat dan CaCl2) dengan tiga perlakuan suhu susu kedelai saat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 317
ISBN 978-602-98902-1-1
1400
Kulit jeruk lemon Belimbing wuluh Belimbing Asam asetat Kalsium sulfat
0
60
335.34
528.95
cd
414.74de
330.04cd
79.91a
70
Suhu susu kedelai (⁰C)
80
Kulit jeruk lemon Belimbing wuluh Belimbing
Asam asetat
35.78 ± 2.09 b 25.38 ± 3.30 a 33.31 ± 5.22 b 28.59 ± 1.87 a 42.21 ± 1.58 c
Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Kalsium Sulfat
77.29
200
368.02cde 165.2ab 62.82a 323.3cd 414de
400
267.32bc
600
475.72e
1000 800
Kelentingan (%)
Koagulan
1200
75.98a 48.49a
Kekompakan (g)
Tabel 3. Hasil uji kelentingan
1362.44f
1600
Tahu Komersial
Gambar 2. Hasil uji kekompakan terhadap tahu. *) Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Tahu yang dibuat dengan koagulan alami, dengan kulit jeruk lemon pada suhu 60°C memiliki kekompakan tertinggi (475.72 g), sedangkan tahu dengan koagulan belimbing pada suhu 60°C memiliki kekompakan terendah (48.49 g). Tahu komersial memiliki nilai kekompakan 528.95 g. Tahu yang memiliki nilai terdekat dengan tahu komersial adalah tahu dengan kulit jeruk lemon pada suhu 60°C, tahu dengan koagulan belimbing, belimbing wuluh, dan asam asetat pada suhu 80°C dan juga tahu dengan koagulan kalsium sulfat pada suhu 70°C. Menurut Hui et al. (2004), protein dengan komposisi glycinin (11S) yang tinggi dapat menghasilkan gel yang lebih kokoh/kompak dibandingkan dengan protein yang mengandung banyak β-conglycinin (7S). Lebih lanjut, menurut Liu dan Chang (2004), kacang kedelai mengandung protein glycinin (11S) and β-conglycinin (7S) dalam jumlah yang tinggi, dengan suhu denaturasi 90°C untuk protein 11s dan 70°C untuk protein 7s. Pemanasan menyebabkan disosiasi dari ikatan polipeptida baik di protein 11s maupun 7s, yang dilanjutkan dengan interaksi di antara protein tersebutm yang dimana dengan pemanasan lebih lanjut, dapat menyebabkan terjadinya polimerisasi protein dan koagulasi. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh, dimana suhu yang semakin tinggi menyebabkan denaturasi dari glycinin dan β-conglycinin yang menghasilkan gel yang lebih kompak dibandingkan dengan suhu yang lebih rendah (60°C), yang hanya dapat mendenaturasi β-conglycinin. Hasil uji menunjukan bahwa suhu yang berkisar antara 70°C dan 80°C menghasilkan tahu yang paling mendekati tahu komersial.
Kelentingan (Springiness) Kelentingan didefinisikan sebagai kemampuan produk untuk melenting kembali setelah mengalami deformasi setelah tekana pertama. Hasil uji kelentingan tahu dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, jenis koagulan mempengaruhi kelentingan tahu yang dihasilkan, sementara suhu tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelentingan. Tahu dengan kalsium sulfat sebagai koagulan memiliki kelentingan tertinggi, dan terdekat dengan kelentingan tahu komersial, yaitu 52.61%. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), kalsium sulfat memiliki slubilitas yang sangat rendah, mengkoagulasi protein secara perlahan untuk menghasilkan curd yang lebih halus dengan kadar air yang lebih tinggi dan tahu yang lebih lembut. Karena tahu dengan koagulan kalsium sulfat memiliki tekstur yang lembut, maka akan dihasilkan angka kelentingan yang lebih tinggi.
Analisis Kimia Kadar Air Hasil pengujian kadar air tahu dapat dilihat pada Tabel 4. di bawah ini. Tabel 4. Hasil pengujian kadar air tahu (%) Koagulan Kulit jeruk lemon Belimbing wuluh Belimbing Asam asetat Kalsium sulfat
60°C
Suhu 70°C
80°C
84.99h 81.39abc 88.58i 82.21def 83.36g
83.58g 80.92a 81.54abcd 81.75bcde 82.25def
82.48ef 81.28ab 82.83fg 82.14cdef 82.33def
Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Hui et al.,(2004) menyatakan bahwa pada suhu rendah, proses koagulasi terjadi dengan perlahan yang menyebabkan WHC dan kadar air yang lebih tinggi, sehingga suhu pencampuran koagulan ke dalam susu kedelai pun akan mempengaruhi laju koagulasi dan kualitas tahu yang dihasilkan. Kadar air tahu akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya suhu koagulasi, karena penurunan WHC pada suhu tinggi. Hal ini berkaitan dengan hasil yang diperoleh, dimana suhu yang lebih tinggi menghasilkan tahu dengan kadar air yang lebih rendah.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 318
ISBN 978-602-98902-1-1
Kadar Protein Hasil pengujian kadar protein tahu dapat dilihat pada Tabel 5. di bawah ini. Tabel 5. Hasil pengujian kadar protein tahu (%, db)
Suhu 60°C 70°C 80°C Kulit jeruk lemon 50.10a 58.09b 67.86e Belimbing wuluh 58.27b 61.63c 66.37de Belimbing 57.42b 57.16b 57.58b Asam asetat 49.63a 64.76d 58.28b Kalsium sulfat 61.74c 56.98b 61.69c Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05 Koagulan
Hasil uji menyatakan bahwa suhu yang semakin tinggi meningkatkan kadar protein tahu, terutama pada koagulan alami. Hal ini sesuai dengan dasar teori dari Liu dan Chang (2004) yang menyatakan bahwa suhu denaturasi dari protein 11S adalah 90°C dan protein 7S pada 70°C. Saat terjadi pemanasan tinggi, protein 7S dan 11S akan terdenaturasi sempurna hampir bersamaan, dimana terjadi gangguan dari ikatan peptida (Ophardt, 2003). Kadar Lemak Hasil pengujian kadar lemak tahu dapat dilihat pada Tabel 6. di bawah ini.
Tabel 6. Hasil pengujian kadar lemak tahu (%, db)
Suhu 60°C 70°C 80°C Kulit jeruk lemon 17.50 b 16.22b 22.50c Belimbing wuluh 29.39ef 30.19f 29.74ef Belimbing 35.53g 23.16c 22.68c Asam asetat 27.74de 24.07c 27.08d Kalsium sulfat 17.05b 13.65a 16.09b Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05 Koagulan
Kandungan lemak yang terendah terdapat pada tahu dengan koagulan kuit jeruk lemon pada suhu 70°C (16.22%), sedangkan kandungan lemak yang tertinggi terdapat pada tahu dengan koagulan belimbing pada suhu 60°C (35.53%). Menurut Obatolu (2008), koagulan menyebabkan terpisahnya lemak saat proses pembuata tahu, serta menurunkan daya ikat lemak (fatbinding capacity) dari protein. Kadar Abu Hasil pengujian kadar abu tahu dapat dilihat pada Tabel 7. di bawah ini. Tabel 7. Hasil pengujian kadar abu tahu (%, db) Suhu Koagulan 60°C 70°C
80°C
Kulit jeruk lemon 2.99d 3.04d 3.39e Belimbing wuluh 2.63c 2.35c 2.65c Belimbing 1.93b 2.43c 3.43e Asam asetat 1.40a 1.57a 1.43a Kalsium sulfat 6.36g 5.61f 6.05g Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Tahu dengan koagulan alami belimbing pada suhu 80°C memiliki kadar abu tertinggi (3.43%), sedangkan tahu dengan belimbing wuluh sebagai koagulan, pada suhu 60°C memiliki kadar abu terendah (1.93%). Jika dibandingkan dengan koagulan kontrol (asam asetat dan kalsium sulfat), tahu dengan koagulan kalsium sulfat (semua suhu) memiliki kadar abu tertinggi diantara semua perlakuan. Menurut Obatolu (2008), komposisi mineral dari tahu dipengaruhi oleh kandungan mineral dari koagulan yang digunakan, dimana tahu yang menggunakan kalsium sulfat sebagai koagulannya memiliki kadar abu yang tinggi karena kandungan kalsiumnya. Rendemen Hasil pengujian rendemen tahu dapat dilihat pada Tabel 8. di bawah ini. Tabel 8. Hasil pengujian rendemen tahu (%, db) Suhu Koagulan 60°C 70°C 36.29d
80°C
30.26b
Kulit jeruk lemon 27.90a h fg Belimbing wuluh 41.60 39.52 44.02i Belimbing 27.06a 33.05c 31.84c Asam asetat 40.33gh 37.68de 38.65ef Kalsium sulfat 37.08d 45.09i 40.75gh Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Rendemen tertinggi terdapat pada tahu dengan koagulan belimbing wuluh pada suhu 80°C dan kalsium sulfat pada suhu 70°C. Menurut Obatolu (2008), proses koagulasi yang lebih lambat akan menghasilkan rendemen yang lebih baik daripada koagulasi yang terjadi dengan cepat. Sebagai tambahan, saat pembuatan tahu, koagulasi yang terjadi pada susu kedelai dengan koagulan kalsium sulfat terjadi pemisahan dengan kecepatan paling lambat, dibandingkan dengan koagulan lainnya, sehingga diperoleh hasil rendemen yang tinggi karena terjadi pengikatan air yang lebih banyak.
Uji Sensori
Untuk uji sensori diberikan satu buah sampel kepada panelis dari setiap jenis koagulan, beserta satu tahu komersial. Sampel terpilih untuk uji sensori adalah tahu dengan koagulan kulit jeruk lemon dan belimbing pada suhu 70°C, tahu dengan koagulan belimbing wuluh pada suhu 80°C, tahu dengan koagulan asam asetat pada suhu 60°C, dan tahu dengan koagulan kalsium sulfat pada suhu 80°C. Sampel dipilih berdasarkan tekstur dan kandungan nutrisinya, karena parameter tersebut merupakan parameter penting dari tahu. Uji yang dilakukan merupakan uji kesukaan (hedonik) terhadap penampakan, warna, tekstur, dan rasa. Penampakan Atribut penampakan dinilai berdasarkan keadaan tahu mentah secara visual. Hasil penilaian panelis terhadap penampakan tahu dapat dilihat pada Tabel 9.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 319
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 9. Hasil uji hedonik penampakan tahu Koagulan Skor Kulit jeruk lemon 3.20a Belimbing wuluh 3.80b Belimbing 4.02b Asam asetat 5.06c Kalsium sulfat 5.24c Tahu komersial 5.86d Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
lemon dan belimbing wuluh. Sedangkan jika dibandingkan secara keseluruhan tahu dengan koagulan control (asam asetat dan kalsium sulfat) dan tahu komersial lebih disukai daripada tahu dengan koagulan alami. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), kalsium sulfat menghasilkan tahu dengan tekstur yang lembut, halus, dan menghasilkan sensasi lembut pada lidah. Hal ini menjelaskan alasan panelis lebih menyukai tahu dengan koagulan kalsium sulfat.
Hasil uji rating hedonik terhadap tahu menunjukkan bahwa skor terendah terdapat pada tahu dengan koagulan kulit jeruk lemon, dengan angka 3.2, sementara skor tertinggi pada tahu komersial. Tahu yang memiliki nilai yang paling mendekati tahu komersial adalah tahu dengan koagulan kalsium sulfat (skor: 5.24), karena memiliki tekstur yang lebih halus. Sedangkan tahu dengan koagulan alami tidak memiliki skor kesukaan yang tinggi karena memiliki penampakan yang lebih kasar dan hancur dibandingkan dengan tahu dengan kalsium sulfat sebagai koagulan (Shurtleff dan Aoyagi, 2001).
Tabel 12. Hasil uji hedonik rasa tahu Koagulan Skor Kulit jeruk lemon 3.22a Belimbing wuluh 3.14a Belimbing 4.00b Asam asetat 4.44bc Kalsium sulfat 4.94c Tahu komersial 4.76c Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Warna
Tabel 10. Hasil uji hedonik warna tahu Koagulan Skor Kulit jeruk lemon 4.34a Belimbing wuluh 4.68a Belimbing 4.76a Asam asetat 5.44b Kalsium sulfat 5.36b Tahu komersial 5.56b Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Berdasarkan hasil uji, tahu dengan koagulan alami memiliki skor warna yang berbeda dengan tahu yang dibuat dengan koagulan kimia. Hal ini disebabkan oleh jus dari buah ataupun kulit berwarna kehijauan sehingga mempengaruhi warna dari tahu yang dihasilkan. Tekstur Menurut Obatolu (2008), tekstur merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi penerimaan suatu produk, terutama untuk tahu, tekstur dapat mempengaruhi tingkat konsumsinya. Hasil pengujian terhadap tekstur tahu dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil uji hedonik tekstur tahu Koagulan Skor Kulit jeruk lemon 3.22a Belimbing wuluh 3.14a Belimbing 4.00b Asam asetat 4.44bc Kalsium sulfat 4.94c Tahu komersial 4.76c Ket: Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata pada α 0.05
Uji sensori menyatakan bahwa diantara tahu dengan koagulan alami, koagulan belimbing mempunyai tingkat kesukaan tertinggi dibandingkan dengan koagulan kulit jeruk
Rasa
Berdasarkan hasil uji, tahu dengan koagulan kulit jeruk lemon memiliki penerimaan paling rendah dibandingkan dengan tahu lainnya, karena kandungan komponen flavonoid seperti naringin, poncirin, neohesperidin, dan neoeriocitrin yang menyebabkan rasa pahit (Belitz et al., 2009). Tahu dengan koagulan belimbing, asam asetat, dan kalsium sulfat memiliki kesukaan yang sama (tidak berbeda pada α 0.05) dengan tahu komersial.
KESIMPULAN Konsentrasi optimum kalsium propionat untuk mengedapkan kalsium oksalat pada jus kulit jeruk lemon dan buah belimbing adalah 0.2%, sedangkan untuk jus buah belimbing wuluh adalah 0.4%. Suhu penambahan koagulan yang terbaik untuk pembuatan tahu adalah 70°C untuk tahu dengan koagulan kulit jeruk lemon dan belimbing, dan 80°C untuk koagulan belimbing wuluh. Lebih lanjut, peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kandungan protein pada tahu. Berdasarkan uji sensori, tahu dengan koagulan alami yang memiliki tingkat kesukaan tertinggi adalah dengan koagulan belimbing dengan suhu 70°C. Tahu tersebut memiliki rendemen 33.06% (db), kadar air 81.54%, kadar protein 61.63%, kadar lemak 23.16% fat, kadar abu 2.43% ash, kekerasan 704.15 g, kekompokan 62.82 g, dan kelentingan 33.31%.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2006a. “High Oxalate Food”. Homepage online. Available from http://www.upmc.com/healthatoz/patienteducation/docu ments/lowoxalatediet.pdf Internet; accessed on September 2, 2010. Belitz, Hans-Dieter., Werner Grosch, Peter Schieberle. Food Chemistry. 4th ed. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2009.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 320
ISBN 978-602-98902-1-1
Brown, H.C. Determination of Organic Structures by Physical Methods. New York: Academic Press, 1955. Cai, Tiande., Kow-Ching Chang. “Processing Effect on Soybean Storage Proteins and Their Relationship with Tofu Quality”. Journal Agricultural Food Chemistry, 1999, 47, 720−727. Hui, Yiu H., Sue Ghazala, Dee M. Graham, K. D. Murrell, WaiKit Nip. Handbook of Vegetable Preservation and Processing. USA: Marcell Dekker, Inc., 2004. Ji, M.P., T.D. Cai, and K.C. Chang. “Tofu Yield and Textural Properties from Three Soybean Cultivars as Affected by Ratios of 7S and 11S Proteins”. Journal of Food Science, volume 64, (1999), no. 5. Judprasong, Kunchit., Somsri Charoenkiatkul, Pongtorn Sungpuag, Kriengkrai Vasanachitt, and Yupaporn Nakjamanong. “Total and Soluble Oxalate Contents in Thai Vegetables, Cereal Grains and Legume Seeds and Their Changes After Cooking”. Journal of Food Composition and Analysis, 19 (2006) 340–347. Liu, KeShun. Soybeans: Chemistry, Technology, and Utilization. USA: Aspen Publishers, Inc., 1999. Liu, Zhi-Sheng., Sam Kow-Ching Chang. “Effect of Soy Milk Characteristics and Cooking Conditions on Coagulant Requirements for Making Filled Tofu”. Journal Agricultural Food Chemistry, 2004, 52, 3405−3411. Obatolu, Veronica A. “Effect of Different Coagulants on Yield and Quality of Tofu from Soymilk”. Eur Food Res Technol (2008) 226:467–472. Ophardt, Charles E. 2003. “Denaturation of Proteins”. Homepage online. Available from http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/568denaturat ion.html Internet; accessed on December 13, 2010. Patricia, Aimee. “Pemanfaatan Sari Buah Belimbing Wuluh Pada Pembuatan Marshmallow”. Thesis, Universitas Pelita Harapan, 2009. Sanjay, K R., R. Subramanian, Amudha Senthil, and G. Vijayalakshmi. “Use of Natural Coagulants of Plant Origin in Production of Soycurd (Tofu)”. International Journal of Food Engineering, vol. 4, (2008), iss. 1, art. 8. Shurtleff, William. Akiko Aoyagi. The Book of Tofu. USA: Ten Speed Press, 2001. Shurtleff, William. Akiko Aoyagi. Tofu and Soymilk Production: The Book of Tofu Volume II. USA: Soyfoods Center, 2001. Williams, R. 2010. “pKa Compilation”. Homepage online. Available from http://research.chem.psu.edu/brpgroup/pKa_compilation .pdf Internet; accessed on December 12, 2010.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 321
ISBN 978-602-98902-1-1
Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Pada Karakteristik Kimia dan Fisik Beras Garut Kaya Protein Nabati [The Effect of Introduction Treatment of Physical and Chemical Characteristics of Rich Protein Arrowroot Rice Instant] 1)
Siti Tamaroh1)
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buanan, Yogyakarta Jl. Wates Km. 10, Bantul, Yogyakarta e-mail :
[email protected]
ABSTRACT This research aims to make instant rice made from raw tubers of arrowroot.The raw materials used are flour made from arrowroot substituted with soybean curd 20%. Making rice arrowroot done with 3 variations of treatment, ie steam, refrigerator and freezer.The data obtained were statistically tested RAL, if there are different data DNMRT method tested with the confidence level of 5%. The results show how treatment with steam rice-producing instant arrowroot accepted by panelists, has characteristics: water content 7.61%, protein content 33.40%, 50.31% starch content, total sugar content of 4.36%, color (redness = 2.95, yellowness = 3.98, blueness = 1.65 and brightness = 1.03), texture 269.81 (N), deformation of 0.44 (%). Key words: arrowroot rice instant, rich protein, curd soybean
PENDAHULUAN10 Kebutuhan beras di Indonesia semakin meningkat, sekitar 130 kg/perkapita/tahun,tertinggi di Dunia. Hal ini disebabkan adanya pertambahan penduduk yang besar 1,8 persen/th. Peningkatan beras secara Nasional sulit dilakukan disebabkan luas lahan pertanian yang semakin sempit (Sugito, 2008). Disamping itu produktifitas lahan juga sulit ditingkatkan. Kasus kekurangan kalori protein (KKP) merupakan masalah Indonesia. Tingkat kesehatan yang rendah, kasus kematian tinggi pada anak usia sekolah terutama disebabkan kekurangan kalori protein (FAO, 2003 dalam Theobald, et al. 2005). Saat ini terjadi peningkatan penyakit degeneratif di Indonesia, diantaranya penyakit diabetes mellitus (DM). Penderita DM di Indonesia pada tahun 1994 terdapat minimal 2,5 juta penderita, dan diperkirakan akan mencapai 5 juta pada tahun 2010 (Gunawan dan dan Tjandra 1998 dalam Marsono, 2002). Potensi sumber karbohidrat di Indonesia sangat beragam, misalnya umbi-umbian lokal (umbi garut). Umbi garut adalah umbi lokal berkarbohidrat tinggi dan mengandung vitamin dan mineral, tanamannya tidak membutuhkan persyaratan tumbuh khusus dan mempunyai nilai indeks glisemik/IG yang rendah yaitu 14. IG yang rendah menggambarkan kecernaan yang rendah (Marsono, 2002). Menurut Garcia, et al. 1997 dalam Hayta, et al. 2003, kedelai mengandung komponen gizi yang lebih tinggi dari biji*Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
bijian lain, diantaranya protein, mineral (Ca, P dan Fe), asam amino (lysin, tryptophan dan threonin). Kedelai merupakan sumber protein dan kalori yang murah bagi manusia (Lusas dan Riaz, 1995). Berdasarkan hal tersebut umbi garut dapat dibuat menjadi produk diversifikasi sumber karbohidrat kaya protein nabati/kedelai. Bentuk olahan akan menentukan tingkat penerimaan konsumen. Bentuk beras/butiran akan menjadikan produk mudah diolah, mudah disimpan tahan lama dan mudah didistribusikan. Penelitian ini bertujuan menghasilkan beras instant kaya protein berbahan baku umbi garut yang berkadar protein tinggi dan disukai konsumen/panelis. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah mengetahui cara proses pengolahan (pengukusan, pendinginan/refrigerator/ 10oC dan pendinginan freezer/beku) sehingga dihasilkan beras garut instant yang berkadar protein tinggi dan diterima oleh konsumen dan mengetahui sifat fisik, kimia dan penerimaan konsumen terhadap beras instant kaya protein umbi garut.
METODOLOGI Bahan dan alat
Bahan Bahan baku yang digunakan untuk penelitian adalah umbi garut, kedelai diperoleh dari Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Bahan kimia yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut HCl, indikator pp, Na0H p.a. Merck, reagen Nelson A (Natrium karbonat anhidrat, K-Na tartarat, Na bikarbonat, Na sulfat hidrat) p.a., Nelson B (Cuprum sulfat, Na-oksida) p.a., Arsenomolybdat (Amm Hepta Molybdat, Nitrogen sulfat, Natrium arseno) p.a. Na2S204. 5 H20 P.P. Merck, K2SO4 p.a. Merck, CaSO4.2H20 p.a. Merck, H2SO4 pekat CuSO4, indicator MR-BCG. Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 322
ISBN 978-602-98902-1-1 Bahan kimia didapatkan dari laboratorium Kimia dan PHP Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Alat Alat yang digunakan adalah seperangkat alat untuk proses pembuatan beras instant, cabinet drier, muffle furnace spektrofotometer, Lovibond tinctometer, timbangan sartorius, Zwick test, seperangkat alat gelas. Cara Penelitian Tepung garut yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung garut yang disubstitusi dengan tepung curd kedelai 20%. Pembuatan Tepung Curd Kedelai Kedelai disortasi dan dicuci, selanjutnya direndam pada suhu kamar selama 12 jam. Setelah kulit ari dihilangkan, biji kedelai digiling dengan ditambah air hangat (80oC, perbandingan 1 : 8). Bubur kedelai yang dihasilkan disaring dan diambil sarinya/susu kedelai. Susu kedelai yang dihasilkan dipanaskan (90oC, selama 15 menit) dan digumpalkan dengan CaCl2 0,3% (b/b). Gumpalan yang dihasilkan dipisahkan dari cairannya dengan penyaringan. Gumpalan protein kedelai, selanjutnya disebut curd kedelai dikeringkan dengan cabinet drier pada suhu 50oC hingga kering. Curd kedelai kering selanjutnya ditepungkan dan diayak 40 mesh. Pembuatan beras umbi garut kaya protein Pembuatan beras garut instant dilakukan dengan 3 proses. Proses yang pertama adalah proses pengukusan, proses kedua adalah proses pendinginan/freezer (sekitar 10oC) dan proses ketiga adalah proses pendinginan/refrigerator. Proses pertama adalah sebagai berikut dibuat adonan tepung garut yang disubstitusi curd kedelai (20%) dengan penambahan air secukupnya hingga dapat terbentuk adonan. Adonan dibuat bentuk lembaran dengan alat gilingan mi dan dikukus/ke-1 selama 15 menit. Adonan matang dicetak dengan gilingan mi membentuk butiran, selanjutnya dikukus/ke-2 selama 30 menit. Butiran beras kukus dikeringkan dengan cabinet drier suhu 60oC sampai kering. Proses kedua adalah sebagai berikut tepung garut substitusi curd kedelai (20%) dibentuk adonan, selanjutnya dikukus 15 menit. Tepung garut kukus didinginkan/suhu kamar dan didinginkan dalam freezer (sekitar 10oC) selama 2 jam. Selanjutnya adonan dibentuk butiran beras dengan alat gilingan mi dan dikeringkan dengan cabinet drier suhu 60oC sampai kering. Proses ketiga adalah sebagai berikut tepung garut substitusi curd kedelai (20%) dibentuk adonan, selanjutnya dikukus 15 menit. Tepung garut kukus didinginkan/suhu kamar dan didinginkan dalam refrigerator (sekitar 0oC) selama 2 jam. Selanjutnya adonan dibentuk butiran beras dengan alat gilingan mi dan dikeringkan dengan cabinet drier suhu 60oC sampai kering. Analisa yang dilakukan pada beras instant berbahan baku umbi garut kaya protein adalah :
- Analisa kadar air metode thermogravimetri (AOAC, 1990)
-
Analisa kadar protein metode mikrokjeldahl (AOAC(1990) Analisa kadar pati metode Nelson-Somogyi (AOAC, 1990) Analisa kadar abu metode pengabuan dengan muffle furnace Uji tekstur (Zwick Test) Uji warna (Lovibond tinctometer) Uji kesukaan (metode Hedonic Scale Scooring, Larmond, et al. 1977)
Rancangan Percobaan Penelitian proses pembuatan beras instant berbahan baku tepung umbi garut kaya protein dengan rancangan percobaan Acak Lengkap satu faktor, yaitu cara proses pengolahan menjadi beras berbahan tepung umbi garut kaya protein. Proses pertama dengan preparasi steam/pengukusan, kedua preparasi pendinginan 10oC /refrigerator selama 2 jam dan preparasi ketiga proses pendinginan dalam freezer selama 2 jam. Setiap data yang diperoleh dihitung dengan metode statistik ANOVA, apabila ada perbedaan nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan uji beda nyata Duncan’s Multiple Range Test (DMRT),
pada tingkat kepercayaan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisa Kimia Beras Garut Instat
Hasil uji kimia beras garut instant dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1, dapat dilihat kadar air, kadar protein, kadar pati, kadar gula total dan kadar abu beras garut instant. Tabel 1. Hasil Analisa Kimia Beras Garut Instant Perlakuan
Steam Refrigerator Freezer
k. air (% wb) 7.61b 7,12a 7,12a
Protein (% db)
33.40a 33.73a 33.82a
Pati (% db)
50.31a 52.76b 52.11b
Gula total (%db) 4.36a 4.54b 5.03c
Kadar abu (db%) 4.55a 4.57a 4.57a
Kadar air Beras Garut Instant Pada Tabel 1. Menunjukkan bahwa perlakuan pembuatan beras garut berpengaruh pada kadar air beras garut yang dihasilkan. Perlakuan steam akan menghasilkan kadar air tertinggi dibandingkan perlakuan refrigerator dan freezer. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, perlakuan steam akan meningkatkan kadar air karena uap air dimungkinkan teradsorb pada beras garut selama proses steaming. Sedangkan pada preparasi garut dengan refrigerator dan freezer, kadar air relatif sama, hal ini dapat terjadi karena tidak ada proses kontak uap air pada bahan selama pembuatan beras garut. Kadar air yang rendah pada beras garut memungkinkan dilakukan penyimpanan dalam waktu yang lama. Kadar Protein Beras Garut Instant Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa kadar protein beras garut sama, artinya perlakuan preparasi tidak mempengaruhi kadar protein. Perlakuan steam, freezer dan refrigerator tidak mempengaruhi kadar protein. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa penambahan protein pada ketiga perlakuan tersebut adalah sama, Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 323
ISBN 978-602-98902-1-1 yaitu sebesar 20% b/b tepung curd kedelai pada setiap preparasi pembuatan beras garut, sehingga dimungkinkan kadar proteinnya juga sama. Kadar Pati Beras Garut Instant Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa kadar pati perlakuan steam lebih kecil dibandingkan perlakuan refrigerator dan freezer pada preparasi pembuatan beras garut. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, proses steam memungkinkan berkurangnya pati karena proses pemanasan uap air (dapat dilihat air yang digunakan untuk steam berubah menjadi keruh). Disamping itu pada proses steam dilakukan steaming dua kali, yaitu pada irisan garut sebelum ditepungkan dan pada butiran beras garut, kondisi ini yang menjadikan kadar pati perlakuan steam lebih kecil dibandingkan perlakuan refrigerator dan freezer. Kadar pati perlakuan refrgerator dan steam lebih tinggi, diantaranya karena perlakuan pemanasan hanya dilakukan satu kali, yaitu pada irisan garut sebelum dibuat tepung. Kadar Gula Total Beras Garut Instant Kadar gula total yang terdapat pada beras garut dipengaruhi oleh perlakuan. Kadar gula total perlakuan refrigerator dan freezer lebih besar dibanding perlakuan steam. Hal ini bisa dijelaskan bahwa perlakuan steam dengan uap air dapat menjadikan bahan larut (misalnya gula) akan terikut uap air dari steam, sehingga kadar gula pada beras garut berkurang. Tidak demikian halnya dengan perlakuan refrigerator dan freezer yang menghasilkan kadar pati lebih besar. Proses refrigerator dan freezer memungkinkan komponen gula sedikit tidak berkurang. Kadar Abu Beras Garut Instant Abu yang ada dalam bahan dapat digunakan untuk mengetahui adanya komponen mineral yang ada. Komponen abu dalam beras garut tidak berbeda antar perlakuan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa preparasi proses pengolahan tidak mempengaruhi kadar abu beras garut yang dihasilkan. Komponen mineral berasal dari tepung curd kedelai dan dari tepung garut sebagai bahan baku pembuatan beras garut. Tabel 2. Hasil Uji Tekstur Beras Garut Instant Perlakuan Steam Refrigerator Freezer
Tekstur (N) 269,81b 28,23a 9,87a
Deformasi (%) 0,44a 0,27a 0,21a
Pada Tabel 2. menunjukkan bahwa perlakuan pada pembuatan beras berpengaruh pada tekstur beras garut yang dihasilkan. Tekstur beras garut yang paling keras adalah perlakuan preparasi dengan steam. Perlakuan preparasi dengan refrigerator dan freezer menunjukkan tekstur yang lebih lunak. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut proses steam diduga tidak akan merubah struktur kimia penyusun tepung garut dan tepung curd kedelai, sedangkan perlakuan refrigerator dan freezer dimungkinkan adanya kerusakan
struktur kimia penyusun tepung garut dan tepung curd kedelai, menjadi struktur yang lebih sederhana, sehingga tekstur beras garut menjadi lebih lunak. Kemungkinan lainnya tekstur keras perlakuan steam disebabkan adanya ikatan yang lebih kuat antara pati dan protein pada beras garut. Tekstur bahan tidak hanya dilihat dari gaya tekan (kekerasan) saja akan tetapi juga deformasi. Deformasi adalah kemampuan bahan untuk menahan gaya yang diberikan sehingga terjadi pergeseran relatif tempat. Deformasi pada umumnya di barengi oleh perubahan bentuk yang disebabkan oleh gaya atau tekanan. Deformasi pada beras garut instant yang dihasilkan pada penelitian ini sama, artinya perlakuan pendahuluan tidak mempengaruhi deformasi beras garut instant. Hasil Analisa Warna Beras Garut Instant Hasil uji warna beras garut menggunakan alat Lovibond tinctometer dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil uji warna menunjukkan perlakuan pembuatan beras berpengaruh pada warna beras garut yang dihasilkan. Redness memberikan gambaran warna suatu bahan yang cenderung kearah lebih gelap. Yellowness memberikan gambaran suatu bahan berwarna lebih cerah, blueness memberikan gambaran kecenderungan warna lebih tua dan brigtness memberikan gambaran kearah cerahnya produk. Warna beras garut yang diperlakukan dengan steam lebih gelap dibandingkan dengan perlakuan refrigerator dan freezer. Hal ini diduga berkaitan dengan kadar air beras garut. Kadar air yang besar pada beras garut yang dipreparasi steam, memungkinkan terjadinya kontak yang intensif antara gula dan asam amino bebas sehingga terjadi reaksi pencoklatan membentuk warna coklat yang lebih intensif dibandingkan dengan perlakuan refrigerator dan freezer. Tabel 3. Hasil Uji Warna Beras Garut Instant
Perlakuan
steam refrigerator freezer
Redne ss 2,95b 2,80b 2,38a
yellowness
Blueness
3,98a 3,90a 3,40a
1,65ab 1,73b 1,33a
Brigtness 1,03a 1,10a 1,00a
Pencoklatan merupakan peristiwa kimia yang dapat berlangsung jika ada sejumlah air yang mampu mengaktifkan reaktan untuk saling bereaksi. Labuza (1972), menyatakan bahwa kecepatan reaksi kerusakan bahan makanan, termasuk pencoklatan non enzimatik merupakan fungsi aktivitas air. Hasil uji Kesukaan Beras Garut Instant Uji kesukaan dilakukan dengan menyajikan sampel beras garut yang sudah ditanak. Hasil uji kesukaan nasi garut dapat dilihat pada Tabel 4. Panelis diperintahkan untuk menilai dengan parameter nilai sebagai berikut, 1 = sangat tidak suka, 2 = agak tidak suka, 3 = suka, 4 = lebih suka dan 5 = sangat suka Warna Warna beras garut yang diperlakukan dengan freezer lebih cerah dibandingkan dengan perlakuan steam dan refrigerator. Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 324
ISBN 978-602-98902-1-1 Sehingga panelis memberikan penilaian lebih suka pada beras hasi perlakuan freezer dibandingkan dengan perlakuan steam dan refrigerator. Tabel 4. Hasil uji Kesukaan Nasi Garut Perlakuan
warna
Aroma
Steam Refrigerator Freezer
3,30a 3,60a 4,80b
4,00a 3,50a 3,50a
Rasa 3,80b 4,00b 4,00b
Tekstur 3,80a 3,60a 4,00a
keseluru han 3,70a 3,90ab 4,60b
Aroma Aroma nasi garut dinilai oleh panelis sama, tidak ada perbedaan aroma pada beras garut baik yang diperlakukan dengan steam, freezer dan refrigerator. Rasa Perlakuan steam, refrigerator dan freezer tidak berpengaruh pada rasa nasi garut yang dihasilkan. Beras garut jika sudah ditanak menjadi nasi dan dikonsumsi akan memberikan rasa yang sama. Tekstur Perlakuan steam, refrigerator dan freezer tidak berpengaruh pada tekstur nasi garut yang dihasilkan. Hasil uji menggunakan alat menunjukkan beras yang diperlakukan steam lebih keras dibanding dengan perlakuan yang lain. Uji kesukaan dilakukan dalam bentuk beras yang sudah ditanak, sehingga ada proses penyerapan air dan pematangan, yang menyebabkan nasi memiliki tekstur tidak berbeda. Kesukaan keseluruhan Perlakuan steam, refrigerator tidak berpengaruh pada kesukaan keseluruhan beras garut yang dihasilkan. Dimungkinkan kesukaan keseluruhan dinilai oleh panelis dari rasa dan tekstur nasi. Sehingga disebabkan rasa dan tekstur sama dapat dikatakan kesukaan keseluruhan nasi garut juga sama.
Kesimpulan
Hasil Penelitian ini adalah garut dapat dibuat beras garut yang mempunyai protein berkualitas, berideks glisemik sedang, disukai panelis dan awet untuk disimpan. Kesimpulan secara khusus penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Cara proses pengolahan dengan steam/pengukusan akan dihasilkan beras garut instant yang lebih disukai oleh panelis/konsumen. 2. Beras garut instant hasil penelitian ini mempunyai karakteristik sebagai berikut : Kadar air 7,61%, kadar protein 33,40%, kadar pati 50,31%, kadar gula total 4,36%, warna (redness = 2,95, yellowness = 3,98, blueness = 1,65 dan brightness = 1,03), tekstur 269,81 (N), deformasi 0,44 (%).
Daftar Pustaka Anonim. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Anonim. 2006. Empat Ratus Dua Puluh Sembilan Anak Alami Gizi Buruk. Harian Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta 3 Januari. Achmad Suryana. 2001. Kebijakan Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Ketahanan Pangan. Kerjasama FTP-UGM dengan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. 6 Maret. AOAC. 1990. Association of Official Analytical Chemist. Methods of Analysis (15 th ed). Edem, D.O., Ayatse, J.O.I. and Itam, E.H. 2001. Effect of Soy Protein supplementation on The Nutritive Value of 'Gari' (Farina) from Manihot esculents. Food Chemistry 75, 57 – 62. Hayta, M., Alpaslan,M. And Cakmakli. 2003. Physicochemical and Sensory Properties of Soymilk-incorporated Bulgur. JFS, Vol. 68, Nr. 9. Larmond, E. 1977. Laboratory for Sensory Evaluation of Food.Research Brand Canada Departement of Agriculture. Lusas, E.W and Rias, M.N. 1995. Soy Protein Product: Processing and Use.J. Nutr 125. Marsono, Y. 2002.Indeks Glisemik Umbi-umbian. Majalah Ilmu dan Teknologi Agritech. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Santos, R.V., Udarbe, M.A., Mercado, C.C. and Gonzales, J.M. 1993. Effect of Extrusion on the Protein Quality of a Milk Supplemented Rice-Mungbean Weaning Food. ASEAN Food journal vol.8, no. 2. P61-65. Sugito,Yogi.2008. Mustahil Ekspor Beras.http://jawabali.com/pertanian/mustahil-ekapor-beras762. Diacces 30 Maret 2009. Syamsir, Elvira . 2008. Produk Sereal Sarapan. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1794859-produksereal-sarapan/. Diacces 30 Maret 2009. Theobald, C.E., Mosha, Maurice, R., Bennink and Perry,K.W.Ng. 2005. Nutritional Quality of Drum-processed and Extruded Composite Supplementary Foods. JFS Vol 70,Nr 2.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 325
ISBN 978-602-98902-1-1
PEMANFAATAN HASIL SAMPING PRODUKSI VCO DAN MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) PADA PEMBUATAN BISKUIT KAYA SERAT (Application of VCO’s by product and MOCAF (Modified Cassava Flour) In Production of Fiber Rich Biscuits) 1)
Wiwik Siti Windrati1)*, Ahmad Nafi’1) dan Eva Paramitha Sandy1)
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. * Korespondensi: penulis: Telp: 0331-335232, Email:
[email protected]
ABSTRACT This study was aimed to determine the concentration of VCO’s by product and MOCAF which could be used to subtitute wheat flour on production of fiber rich biscuits. The concentration of wheat flour, VCO’s by product, and MOCAF on production of biscuits were as follow: A0 (100% wheat flour; 0% VCO’s by product and 0% MOCAF); A1 (5% wheat flour; 5% VCO’s by product and 70% MOCAF), A2 (25% wheat flour; 10% VCO’s by product and 65% MOCAF); A3 (25% wheat flour; 15% VCO’s by product and 60% MOCAF); A4 (50% wheat flour; 5% VCO’s by product and 45% MOCAF); A5 (50% wheat flour; 10% VCO’s by product and 40% MOCAF) and A6 (50% wheat flour; 15% VCO’s by product and 35% MOCAF). The produced biscuits were then characterized their physical, chemical, and sensory properties. Based on the sensory evaluation, A4 (50% wheat flour; 5% VCO’s by product and 45% MOCAF) was found to be the best treatment. This rich fiber biscuit has overall preference value of 3.36 (a bit like - like.). This score was not significantly different than that of biscuits made from 100% wheat flour (control) whose score of 3.24 (a bit like - like). The produced biscuit attributed with a texture of 96.40 g/3mm; value of color brightness (L) 50.60; loaf volume of 50.27%. The biscuit contained water of 4.07%, ash of 1.29%; protein of 6.77%; fat of 30.33%, and fiber of 0.94%. Keywords: Fiber Rich Biscuit, Vco’s By Product, MOCAF
PENDAHULUAN
mengenai sifat-sifat biskuit (sifat fisik, kimia, dan organoleptik) dari hasil samping produksi VCO dan subtitusi MOCAF.
Hasil samping produksi VCO (Virgin Coconut Oil) teknik ekstraksi kering yang berupa ampas kelapa belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat . Kandungan proteinnya yang cukup tinggiyaitu sebesar 17,5% dan serat makanan sebesar 40% (Anonim, 2008), merupakan salah satu alternatif bahan pangan yang dapat dikembangkan. Salah satu pemanfaatan ampas kelapa tersebut adalah pada pembuatan biskuit kaya serat. Pada umumnya biskuit dibuat dari bahan dasar tepung terigu atau tepung jenis lainnya. Tepung lain yang dapat digunakan dalam pembuatan biskuit yaitu MOCAF (Modified Cassava Flour). MOCAF adalah produk tepung dari ubi kayu yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Kenampakan MOCAF putih seperti terigu dan mempunyai beberapa sifat fungsional diantaranya viskositas tinggi, kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut. MOCAF bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan, mulai dari bakery, cookies hingga makanan semi basah dan basah (Subagio, 2008), disamping itu kandungan serat dalam MOCAF yang mencapai 3,4% (Subagio, 2006) sangat berpotensi sebagai bahan pensubtitusi biskuit kaya serat untuk meningkatkan kandungan serat biskuit tersebut. Pembuatan biskuit kaya serat memerlukan formulasi yang tepat dari penambahan hasil samping produksi VCO dan MOCAF sehingga biskuit tersebut disukai oleh konsumen. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
METODE PENELITIAN Pada pembuatan biskuit menggunakan bahan dasar terigu dengan substitusi hasil samping produksi VCO dan MOCAF dilakukan dengan menggunakan resep standar dengan pengulangan sebanyak tiga kali. Perlakuan yang dilakukan terhadap biskuit tersebut adalah: A0 = terigu 100%: MOCAF 0% : ampas kelapa 0% A1 = terigu 25%: MOCAF 70% : ampas kelapa 5% A2 = terigu 25%: MOCAF 65% : ampas kelapa 10% A3 = terigu 25%: MOCAF 60% : ampas kelapa 15% A4 = terigu 50%: MOCAF 45% : ampas kelapa 5% A5 = terigu 50%: MOCAF 40% : ampas kelapa 10% A6 = terigu 50%: MOCAF 35%: ampas kelapa 15% Keterangan: (%) : prosentase dari jumlah total tepung yang digunakan (250 gram). Pengolahan data sifat fisik dan kimia menggunakan metode deskriptif sedangkan untuk pengolahan data organoleptik menggunakan metode Anova dan DMRT. Penelitian diawali dengan pembuatan tepung ampas kelapa dari hasil samping produksi VCO teknik ekstraksi kering. Ampas kelapa terlebih dahulu dibersihkan dari kontaminasi benda asing misalnya kerikil, plastik, dan sebagainya, kemudian digiling dengan mesin penggiling tepung. Kemudian ampas kelapa diayak dengan ayakan 40 mesh sehingga diperoleh ampas kelapa yang halus. Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 326
ISBN 978-602-98902-1-1 Diagram alir pembuatan tepung ampas kelapa dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam pembuatan biskuit, terlebih dahulu mencampur terigu, MOCAF, ampas VCO sesuai perlakuan dan 1 sendok teh baking powder. Kemudian 125 gram margarin dan 75 gram gula halus dimasukkan dan dilakukan pengadukan hingga adonan menjadi remah-remah. Telur 1 butir dimasukkan dan diaduk hingga menjadi adonan biskuit. Adonan diletakkan di dalam plastik lalu dipipihkan dengan menggunakan rolling pin sehingga adonan berbentuk lembaran dengan tebal ± 4 mm. Setelah adonan pipih, kemudian dicetak dengan cetakan berbentuk bulat, kemudian dipanggang pada suhu 180°C selama kurang lebih 25 menit. Setelah matang, biskuit dikeluarkan dari oven dan didinginkan. Diagram alir pembuatan biskuit ditunjukkan pada Gambar 2.
Parameter Pengamatan Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi: A. Sifat fisik meliputi tekstur (menggunakan rheotex),warna (menggunakan colour reader) dan daya kembang (metode seed Displacement Test) B. Sifat Kimia meliputi kadar air (metode oven, Sudarmadji, 1997),kadar abu (metode langsung, Sudarmadji, 1997),kadar protein (metode mikro Kjedhal, Sudarmadji, 1997),kadar lemak (metode Soxhlet, Sudarmadji, 1997),kadar serat kasar (metode Ekstraksi, Sudarmadji, 1997) C. Sifat organoleptik (Mabesa, 1986) : meliputi warna,aroma,rasa,tekstur dengan uji sekoring dan uji hedonik untuk kesukaan secara keseluruhan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil samping produksi VCO
Tekstur Nilai tekstur biskuit berkisar antara 86,73 g/3mm – 191,87 g/3mm seperti terlihat pada Gambar 3.
(ampas kelapa) Penggilingan
Pengayakan
Ampas kelapa halus
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung ampas kelapa dari hasil samping produksi VCO Gambar 3. Nilai tekstur biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa Baking powder 1 sdt
Terigu : MOCAF : ampas kelapa = 250 g
Gula halus 175 g
Pencampuran adonan
Adonan
Telur 1 butir
Pencampuran adonan
Adonan biskuit
Pembuatan lembaran
Pencetakan
Pemanggangan180°C
Biskuit
Gambar 2. Diagram alir pembuatan biskuit
Margarin 125 g
Gambar 3 menunjukkan bahwa sampel A0 (kontrol) yang terbuat dari 100% tepung terigu memiliki tektur yang paling tinggi (191,87 g/3mm ± 13,29). Semakin tinggi nilai tekstur maka biskuit semakin keras dan sebaliknya semakin rendah nilai tekstur maka biskuit semakin lunak. Pada Gambar 3 terlihat bahwa penggunaan tepung Mocaf dan ampas kelapa menghasilkan biskuit dengan tekstur yang lebih lunak bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini karena Mocaf memiliki kandungan amilopektin lebih tinggi dibandingkan tepung terigu (75% pada terigu dan 80 – 83% pada Mocaf ) , amilopektin menghambat proses retrogradasi sehingga akan terbentuk struktur yang kurang mampat. Semakin tinggi kandungan amilopektin akan menghasilkan biskuit yang semakin mengembang sehingga akan terbentuk struktur rongga yang lebih besar. Besar kecilnya rongga yang terbentuk mempengaruhi tekstur pada biskuit. Semakin besar rongga yang terbentuk maka tekstur semakin lunak. Pada Gambar 3 juga terlihat bahwa semakin sedikit penambahan ampas kelapa dan semakin banyak penambahan Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 327
ISBN 978-602-98902-1-1 Mocaf maka tekstur biskuit yang dihasilkan akan semakin lunak (semakin rendah). Hal ini juga terkait dengan kandungan amilopektin yang semakin tinggi yang dapat menghambat proses retrogradasi sehingga tekstur biskuit semakin rendah.
Warna Nilai kecerahan warna biskuit berkisar antara 50,59 – 52,06. Pada nilai intensitas (C*) biskuit berkisar antara 35,17 – 37,07. Sedangkan nilai sudut warna (H) biskuit berkisar antara 17,49 – 20,18 . Hasil pengukuran warna pada biskuit dapat ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai warna biskuit: (L) kecerahan intensitas warna, (H) sudut warna Sampel L C* A0 50,74 37,07 A1 50,59 35,45 A2 52,06 35,17 A3 51,14 35,89 A4 51,13 35,38 A5 50,60 36,45 A6 51,34 36,28
antara karbohidrat khususnya gula reduksi dengan gugus amina primer akan menghasilkan melanoidin yang menyebabkan warna bahan berwarna lebih kekuningan. Gambar 4 juga menunjukkan bahwa biskuit dengan penambahan ampas kelapa memiliki intensitas warna yang lebih rendah daripada biskuit tanpa penambahan ampas kelapa. Hal ini disebabkan ampas kelapa mengandung protein yang cukup tinggi menyebabkan pencoklatan akibat pemanggangan. Daya Kembang Daya kembang biskuit berkisar antara 43,63% - 54,64% seperti terlihat pada Gambar 5.
warna, (C*) H 17,49 20,04 18,98 20,18 19,06 20,11 19,05
Gambar 4. Nilai warna biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa Tabel 1 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa hasil rerata pada masing-masing perlakuan biskuit untuk kecerahan (L), intensitas warna (C*), dan sudut warna (H) memiliki rerata yang hampir sama dan tidak berbeda jauh. Kecerahan warna sampel A0 (kontrol) cenderung lebih rendah, hal ini dipengaruhi warna terigu yang lebih gelap dibandingkan Mocaf. Pada pembuatan Mocaf terjadi proses fermentasi yang dapat menghilangkan komponen penimbul warna, seperti pigmen dan protein yang dapat menyebabkan warna coklat ketika pemanasan sehingga warna Mocaf yang dihasilkan lebih putih (Subagio, 2006). Selain itu, rendahnya nilai kecerahan biskuit kontrol disebabkan konsentrasi tepung terigu lebih tinggi maka konsentrasi protein juga lebih tinggi sehingga intensitas reaksi Maillard yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan Mocaf. Menurut Winarno (1997), reaksi
Gambar 5.
Nilai daya kembang biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa
Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi terigu yang digunakan pada biskuit maka daya kembang biskuit cenderung semakin besar. Hal ini disebabkan terigu mengandung gluten. Senyawa gluten tersusun dari dua fraksi yaitu glutenin dan gliadin, masing-masing akan menentukan elastisitas dan plastisitas adonan. Sifat elastis dan plastis pada adonan diakibatkan oleh terbentuknya kerangka menyerupai jaring-jaring dari senyawa glutenin dan gliadin. Kerangka ini yang berperan sebagai perangkap udara sehingga adonan mengembang. Glutenin memberikan sifat-sifat yang tegar dan gliadin memberikan sifat yang lengket sehingga mampu merangkap gas yang terbentuk selama proses pengembangan adonan. Gluten bersama-sama dengan pati gandum akan membentuk struktur dinding sel (building block). Apabila kerangka gluten yang terbentuk tidak kuat akan menyebabkan gas-gas yang terperangkap akan lolos kembali dan menyebabkan biskuit tidak mengembang. Dengan tidak terdapatnya gluten dalam Mocaf mengakibatkan daya kembang menjadi rendah. Pada Gambar 4.3 diketahui bahwa sampel A5 dan A6 memiliki daya kembang paling rendah. Hal ini karena adanya penambahan ampas kelapa yang mengakibatkan daya kembang biskuit menjadi berkurang. Kadar Air Kadar air biskuit berkisar antara 3,16% - 5,33% seperti terlihat pada Gambar 6.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 328
ISBN 978-602-98902-1-1 Gambar 7
Gambar 6. Nilai kadar air biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa Gambar 6 menunjukkan bahwa kadar air biskuit berbahan dasar tepung terigu lebih tinggi (5,33 ± 0,44%) dibandingan dengan kadar air biskuit berbahan campuran Mocaf (3,16% - 4,15%). Hal ini disebabkan kandungan protein tepung terigu lebih tinggi daripada Mocaf (8-13% pada terigu dan 1,2% pada Mocaf) dimana protein mempunyai sifat hidrasi. Sifat hidrasi merupakan sifat fungsional protein untuk memerangkap air dan menahannya dalam suatu sistem pangan. Dengan semakin banyak penambahan Mocaf maka protein bahan akan semakin berkurang sehingga kemampuan pengikatan air juga semakin menurun. Selain itu, nilai kadar air biskuit campuran Mocaf dipengaruhi adanya kandungan amilopektin yang lebih tinggi (75% pada terigu dan 80 – 83% pada Mocaf ). Amilopektin memiliki banyak ikatan cabang sehingga mudah melepaskan air, akibatnya air yang terserap pada proses gelatinisasi pati Mocaf lebih kecil dibandingkan pati terigu. Oleh karena itu, semakin banyak Mocaf yang ditambahkan maka air yang terserap semakin sedikit sehingga kadar air semakin rendah. Pada Gambar 6 juga menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi penambahan ampas kelapa pada biskuit maka kadar air cenderung semakin rendah. Hal ini karena ampas kelapa mengandung lemak sebesar 10,7% yang bersifat tidak mengikat air sehingga dengan adanya pemanggangan maka air akan mudah menguap. Dengan demikian biskuit dengan penambahan ampas kelapa yang semakin besar menyebabkan kadar air biskuit menjadi semakin rendah. Kadar Abu Kadar abu biskuit berkisar antara 0,94% – 1,49% ditunjukkan pada Gambar 7.
Nilai kadar abu biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa
Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai kadar abu biskuit tertinggi yaitu pada sampel A5 (Terigu 50% : Mocaf 40% : Ampas kelapa 10%) yaitu sebesar 1,49 ± 0,50% dan kadar abu terendah pada sampel A0 (Terigu 100% : Mocaf 0% : Ampas kelapa 0%) yaitu sebesar 0,94 ± 0,24%. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Perbedaan nilai kadar abu biskuit yang didapatkan untuk masing-masing perlakuan sangat mungkin dipengaruhi oleh kadar abu yang ada pada masing-masing bahan dasar yaitu tepung terigu, Mocaf , dan ampas kelapa. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kadar abu tepung terigu lebih besar daripada kadar abu Mocaf yaitu 1,3% untuk kadar abu tepung terigu dan 0,4% untuk kadar abu Mocaf, sedangkan untuk kadar abu ampas kelapa hasil samping produksi VCO sebesar 5,5%. Kadar Protein Kadar protein biskuit berkisar antara 6,13% – 14,29% seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Nilai kadar protein biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa Gambar 8 menunjukkan bahwa dengan tingginya konsentrasi tepung terigu atau rendahnya konsentrasi Mocaf maka kadar protein biskuit cenderung meningkat. Selain itu, konsentrasi ampas kelapa yang digunakan juga mempengaruhi nilai kadar protein, semakin tinggi konsentrasi ampas kelapa yang digunakan maka kadar protein juga cenderung meningkat. Nilai kadar protein pada biskuit berhubungan dengan kadar protein yang terkandung pada tepung terigu, Mocaf, dan ampas kelapa. Kandungan protein tepung terigu lebih tinggi daripada Mocaf (8-13% untuk tepung terigu dan 1,2% untuk Mocaf dan 17,5% untuk ampas kelapa). Kadar Lemak Kadar lemak biskuit berkisar antara 27,36% – 32,10% seperti ditunjukkan pada Gambar 9 .
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 329
ISBN 978-602-98902-1-1 Nilai kadar serat pada biskuit berhubungan dengan kadar serat yang terkandung pada tepung terigu, Mocaf, dan ampas kelapa. Kandungan serat tepung terigu lebih rendah daripada Mocaf (2 – 2,5% untuk tepung terigu dan 3,4% untuk Mocaf dan 40% untuk serat makanan pada ampas kelapa). Sifat Organoleptik Gambar 9 Nilai kadar lemak biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa Gambar 9 menunjukkan bahwa dengan tingginya konsentrasi ampas kelapa yang digunakan maka kadar lemak biskuit cenderung meningkat.
Hasil pengujian sifat organoleptik meliputi warna,aroma. rasa,tektur dan kesukaan keseluruhan seperti terlihat pada Tabel 2 Tabel 2.
Perla kuan A0 A1 A2 A3
Nilai kadar lemak pada biskuit berhubungan dengan kadar lemak yang terkandung pada tepung terigu, Mocaf, dan ampas kelapa. Kandungan lemak tepung terigu lebih tinggi daripada Mocaf (1,5 - 2% untuk tepung terigu dan 0,4% untuk Mocaf dan 10,7% untuk ampas kelapa). Selain itu, nilai lemak pada biskuit yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh bahan tambahan seperti margarin dan telur.
Kadar Serat Kasar Kadar serat kasar biskuit berkisar antara 0,72% – 2,21% seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Nilai kadar serat kasar biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa Serat kasar atau crude fiber tidak identik dengan serat makanan. Serat kasar adalah komponen sisa hasil hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam kuat selanjutnya dihidrolisis dengan basa kuat sehingga terjadi kehilangan selulosa sekitar 50% dan hemiselulosa 85%. Sementara itu serat makanan masih mengandung komponen yang hilang tersebut sehingga nilai serat makanan lebih tinggi daripada serta kasar (Tensiska, 2008). Gambar 10 menunjukkan bahwa dengan tingginya konsentrasi Mocaf maka kadar serat biskuit cenderung meningkat. Selain itu, konsentrasi ampas kelapa yang digunakan juga mempengaruhi nilai kadar serat, semakin tinggi konsentrasi ampas kelapa yang digunakan maka kadar serat juga cenderung meningkat.
Uji skoring warna,aroma,rasa,tektur dan kesukaan keseluruhan biskuit pada berbagai jumlah penambahan Mocaf dan ampas kelapa Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
3.24a 2.48b 2.40b 1.96bc
2.60a 2.52a 2.88ac 2.96ab
2.72 3.04 2.96 2.92
3.68a 1.96b 2.28bd 2.24bd
Keselu ruhan 3.24 3.16 3.04 2.86
A4
1.88c
2.80a
2.84
2.52bc
3.36
A5 A6
3.28a 2.36db
3.52b 3.24bc
3.24 3
2.92c 2.84cd
3.28 3.04
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda di belakang angka menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0,05) Warna Nilai warna biskuit berkisar antara 1,88 (sangat tidak gelap – tidak gelap) sampai dengan 3,28 (Agak gelap - gelap) (Tabel 2) Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa biskuit dengan konsentrasi bahan Mocaf yang lebih tinggi cenderung lebih tidak gelap dibandingkan dengan biskuit dengan bahan tepung terigu. Hal ini karena warna Mocaf lebih putih dibandingkan dengan warna tepung terigu. Selain itu, kandungan protein Mocaf lebih rendah daripada tepung terigu (1,2% pada Mocaf dan 8 – 13% pada tepung terigu) sehingga pada biskuit dengan bahan Mocaf lebih banyak maka intensitas terjadinya reaksi Maillard akan lebih rendah. Biskuit dengan penambahan ampas kelapa cenderung tidak gelap karena warna ampas kelapa tersebut berwarna putih. Aroma Nilai aroma biskuit berkisar antara 2.52 (tidak kuat – agak kuat) sampai dengan 3.52 (Agak kuat – kuat). Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa nilai aroma biskuit menunjukkan nilai tertinggi pada sampel A5 (Terigu 50% : Mocaf 40% : Ampas kelapa 10%) dengan nilai 3,52 (agak kuat – kuat), kemudian pada sampel A0 (Terigu 100% : Mocaf 0% : Ampas kelapa 0%) dengan nilai 2,60 (tidak kuat – agak kuat), dimana sampel A5 dan A0 menunjukkan hasil berbeda nyata pada taraf 5%. Sedangkan nilai aroma terendah pada sampel A1 dengan nilai 2,52 (tidak kuat – agak kuat). Tabel 2 menunjukkan bahwa biskuit dengan konsentrasi bahan Mocaf yang lebih tinggi, aromanya cenderung lebih kuat dibandingkan dengan biskuit dengan bahan tepung terigu. Hal ini karena pada pembuatan Mocaf terjadi pembebasan granula pati Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 330
ISBN 978-602-98902-1-1 yang mengakibatkan granula pati mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan terimbibisi dalam bahan dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan citarasa khas (Subagio, 2006). Selain itu, biskuit dengan penambahan ampas kelapa cenderung lebih kuat dibandingkan biskuit tanpa penambahan ampas kelapa. Hal ini karena adanya aroma yang khas yang dihasilkan oleh ampas kelapa tersebut. Rasa Nilai rasa biskuit berkisar antara 2,72 (tidak kuat – agak kuat) sampai dengan 3,24 (Agak kuat - kuat). Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa nilai rasa biskuit menunjukkan nilai tertinggi pada sampel A5 (Terigu 50% : Mocaf 40% : Ampas kelapa 10%) dengan nilai 3,24 (agak kuat – kuat), sedangkan nilai rasa terendah pada sampel A0 (Terigu 100% : Mocaf 0% : Ampas kelapa 0%) dengan nilai 2,72 (tidak kuat – agak kuat), dimana sampel A5 dan A0 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Pembentukan rasa biskuit terjadi karena proses hidrolisis protein menghasilkan asam-asam amino yang berperan dalam pembentukan citarasa. Pembentukan rasa biskuit juga dihasilkan oleh peristiwa Maillard yang memberikan citarasa khas. Selain itu, biskuit dengan penambahan ampas kelapa cenderung lebih kuat dibandingkan biskuit tanpa penambahan ampas kelapa. Hal ini karena adanya citarasa khas yang dihasilkan oleh ampas kelapa tersebut. Tekstur Nilai tekstur biskuit berkisar antara 1,96 (sangat tidak keras – tidak keras) sampai dengan 3,68 (Agak keras - keras). Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa nilai tekstur biskuit menunjukkan nilai tertinggi pada sampel A0 (Terigu 100% : Mocaf 0% : Ampas kelapa 0%) dengan nilai 3,68 (agak keras keras), kemudian pada sampel A5 (Terigu 50% : Mocaf 40% : Ampas kelapa 10%) dengan nilai 2,92 (tidak keras – agak keras), dimana sampel A0 dan A5 menunjukkan hasil berbeda nyata pada taraf 5%. Sedangkan nilai tekstur terendah pada sampel A1 dengan nilai 1,96 (sangat tidak keras – tidak keras). Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan tepung Mocaf dan ampas kelapa menghasilkan biskuit dengan tekstur yang lebih lunak bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini karena Mocaf memiliki kandungan amilopektin lebih tinggi dibandingkan tepung terigu (75% pada terigu dan 80 – 83% pada Mocaf) yang menyebabkan pengikatan air menurun, sehingga pada waktu pemanggangan gelembung gas akan terperangkap dalam jaringan matriks tiga dimensi biskuit yang kuat. Pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa semakin sedikit penambahan ampas kelapa dan semakin banyak penambahan Mocaf maka tekstur biskuit yang dihasilkan akan semakin lunak (semakin rendah). Hal ini juga terkait dengan kandungan amilopektin yang semakin tinggi yang dapat menghambat proses retrogradasi sehingga tekstur biskuit semakin rendah.
Kesukaan Keseluruhan Nilai kesukaan keseluruhan biskuit berkisar antara 2,84 (tidak suka – agak suka) sampai dengan 3,36 (Agak suka - suka). Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa nilai kesukaan keseluruhan biskuit menunjukkan nilai tertinggi pada sampel A4 (Terigu 50% : Mocaf 45% : Ampas kelapa 5%) dengan nilai 3,36 (agak suka - suka), kemudian pada sampel A0 (Terigu 100% : Mocaf 0% : Ampas kelapa 0%) dengan nilai 3,24 (agak suka suka), dimana sampel A4 dan A0 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Sedangkan nilai kesukaan keseluruhan terendah pada sampel A3 (Terigu 25% : Mpcaf 60% : Ampas kelapa 15%) dengan nilai 2,84 (tidak suka – agak suka). Berdasarkan nilai kesukaan keseluruhan dan setelah dipadukan dengan hasil nilai warna, aroma, rasa, dan tekstur biskuit pada pembahasan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa sifat biskuit yang disukai adalah warna agak gelap hingga gelap, aroma agak kuat hingga kuat, rasa agak kuat hingga kuat, dan tekstur agak keras hingga keras. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Berdasarkan nilai kesukaan keseluruhan, diperoleh sifat biskuit yang disukai yaitu pada sampel A4 (Terigu 50% : Mocaf 45% : Ampas kelapa 5%) dengan nilai 3,36 (agak suka - suka), warna agak gelap hingga gelap, aroma agak kuat hingga kuat, rasa agak kuat hingga kuat, dan tekstur agak keras hingga keras. dengan tektur 96,40 g/3mm ; nilai kecerahan warna (L) 50,60; daya kembang 50,27 %;kadar air 4,07%; kadar abu 1,29%; kadar protein 6,77%; kadar lemak 30,33%; kadar serat 0,94%. Tingkat kesukaan biskuit yang terbuat dari 100% tepung terigu hampir sama dengan biskuit campuran Mocaf dan ampas kelapa yang bernilai 3,24 (agak suka - suka), dimana A4 (biskuit campuran Mocaf dan ampas kelapa) dan A0 (biskuit 100% tepung terigu) menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf 5%. DAFTAR PUSTAKA Anonim.2008c. Production Of Coconut Flour And Virgin Coconut Oil. http://pca.da.gov.ph/pdf/techno/flour_vco.pdf. Mabesa, I.B. 1986. Sensory Evaluation of Foods Principles and Methods. Laguna : College of Agriculture. UPLB. Subagio, A. 2006. Ubi Kayu Subtitusi Berbagai Tepung-Tepungan. Dalam: Food Review, Vol. 1 edisi 3. _________. 2008. Produk Bakery dengan Tepung Singkong. Dalam: Food Review. Tensiska. 2008. Serat Makanan. Bandung: Jurusan Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran. Winarno,F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 331
ISBN 978-602-98902-1-1
MUTU BAKSO IKAN LAYANG (Decapterus spp.) YANG DISUBTITUSI DENGAN NUTRIGEL [Quality of Layang Fishball Substituted with Nutrigel] Johanna W. Harikedua1)*, Elvira Tendean1), Roike Montolalu1), dan Silvana D. Harikedua1) 1)
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Sam Ratulangi
ABSTRACT Fish ball is one of fish products made from minced fish flesh, added starch, some spices such as garlic, egg, ginger, salt, sugar, and black pepper. Starch component were substitute by Nutrijel and the fish ball stored at low temperature. Nutrijel is the trade name of carageenan and treated as much 0, 2, 4 and 6 percents (w/w) in total dough of fish ball. Storage temperature was done at chilling and freezing temperature. Quality of fish balls were determined by water content, pH and TVB-N measurement at 5, 10 and 15 days. Substituted treatment by Nutrijel affecting water content and TVB-N of fish ball significantly different (P<0.01). However, it did not affect on pH value. Time of storage only affected on TVB-N value (P<0.01,) but did not influenced water content and pH value (P>0.01). Furthermore, storage temperature affected all parameters (P<0.01). Best quality of fish ball when placed at freezing temperature, and need to test for how much time and temperature the product may still proper to consume. Key words: fish ball, nutrigel, quality, chilling, freesing
PENDAHULUAN11 Ikan adalah bahan pangan yang mudah rusak sehingga diperlukan proses pengolahan lanjutan untuk mempertahankan mutunya. Bakso adalah salah satu bentuk olahan yang banyak terdapat di pasaran dan disukai konsumen. Bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan SNI. Bahan baku utama pembuatan bakso ikan adalah daging ikan, sedangkan bahan baku tambahannya adalah bahan pengisi, yaitu tepung tapioka, garam, bumbu-bumbu, dan es (Wibowo, 2005). Kelemahan utama dari produk bakso ikan adalah masa simpannya. Penyimpanan pada suhu rendah pada hakikatnya dapat memperpanjang masa simpan. Penambahan bahan tambahan ke dalam produk pangan juga diyakini dapat memperpanjang masa simpan produk. Rumput laut terutama jenis karaginan banyak digunakan sebagai bahan aditif pada berbagai industri. Untuk itu penelitian ini ditujukan untuk membandingkan kualitas produk bakso ikan layang yang dihasilkan dan disubtitusi dengan berbagai konsentrasi nutrigel sebagai bahan tambahan dan disimpan pada suhu dingin (0–5 °C) dan suhu beku (0–(-12°C)) selama 15 hari.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging ikan layang (Decapterus sp) segar, tepung tapioka dan nutrijel, *Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
garam, bawang merah, bawang putih, jahe, dan penguat rasa (MSG). Bahan kimia yang digunakan untuk analisis, TCA, H3BO3, K2CO3, HCl 0,02 N, dan bahan kimia lainnya. Alat-alat yang digunakan antara lain blender, lemari es, timbangan, cawan porselin, oven, desikator, cawan conway, pipet, inkubator, pH meter, dan alat gelas lainnya. Rancangan Percobaan Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Perlakuan A: Subtitusi bahan nutrijel ke dalam 1000 g adonan bakso (Tabel 1) Tabel 1 Formula bakso per 1000 gram adonan bakso ikan Daging Tapioka Nutrijel Formula Ikan(g) (g) (g) A1 850 150 0 A2 850 130 20 A3 850 110 40 A4 850 90 60 Perlakuan B: Suhu Penyimpanan (°C) B1: 0–5 ; B2: 0– (-12) Perlakuan C: Waktu Penyimpanan (hari) C1:5, C2:10; C3:15 Penentuan kadar air (Sudarmadji et al., 1984) Cawan porselin diambil lalu dimasukkan dalam desikator dengan tang penjepit selama 30 menit lalu ditimbang (A gram). Contoh ditimbang dalam cawan yang sudah diketahui beratnya sebanyak ±3 gram (B gram). Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 24 jam. Diambil dengan tang penjepit lalu dimasukkan dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang (C
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 332
ISBN 978-602-98902-1-1 gram). Dikeringkan, dimasukan ke desikator, ditimbang seperti (prosedur 4,5), sampai diperoleh berat yang konstan. Perhitungan : % Kadar air =
(B − C) x 100 ( B − A)
Penentuan Total Volatile Bases - Nitrogen (TVB-N) (Suwetja, 1993) Ekstraksi sampel dilakukan dengan cara: Daging ikan dihancurkan dengan menggunakan mortar, ditambahkan larutan 5 % TCA, diaduk sampai homogen kemudian diamkan selama 30 menit pada suhu ruang, disaring ekstrak daging dengan menggunakan kertas saring, dan larutan ekstrak siap dianalisis. Proses analisis: dipipet 1 ml larutan asam borat 1% dan dua tetes larutan indikator dalam cawan Conway, dipipet 1 ml larutan ekstrak lalu dimasukkan dalam ruang luar cawan Conway, penutup cawan yang telah diolesi vaselin diletakkan diatas rumah cawan dengan sedikit terbuka, dipipet 1 ml larutan potasium karbonat jenuh dalam ruang luar cawan dan segera di tutup rapat dengan klip penahan, cawan diputar perlahan beberapa kali agar larutan ekstrak tercampur homogen dengan potasium karbonat, cawan disimpan dalam inkubator pada suhu 37OC selama 80 menit atau pada suhu kamar selama 24 jam. Blanko dibuat dengan menggantikan larutan ekstrak dengan menggunakan larutan TCA 5%. Perhitungan : Kadar TVB-N (mg N/100 g daging) = (x - a) x 0,28 x fp dimana : x = Jumlah ml HCl yang dipakai mentiter larutan sampel a = Jumlah ml HCl yang dipakai mentiter larutan blanko 0,28 = Jumlah Ammonium nitrogen yang setara dengan 1 ml 0,02 N larutan HCl Fp = faktor pengenceran Pengujian pH Ditimbang sampel yang sudah dihomogenkan sebanyak 20 g, dimasukkan ke dalam blender kemudian tambahkan 40 ml aquades dan di blender selama 1 menit. Dituangkan ke dalam gelas piala 100 ml, kemudian diukur pHnya menggunakan pH meter. Analisis Data Data hasil penelitian diolah secara statistik menggunakan Analisa Sidik Ragam dan perlakuan yang memberikan pengaruh nyata terhadap mutu bakso ikan layang ditelusuri lebih lanjut dengan uji Duncan untuk melihat pada tingkat faktor mana mutu bakso ikan layang paling baik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Bakso Ikan Layang Kadar air bahan pangan merupakan jumlah air yang dikandung bahan tersebut dan sangat berpengaruh pada mutu dan keawetan pangan (Martinez et al., 2007). Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar air tertinggi adalah 69,03 pada bakso ikan yang diberi perlakuan substitusi 15%
tapioka dan 0% karraginan, disimpan pada suhu dingin selama 15 hari sedangkan nilai rata-rata terendah adalah 62,01 pada bakso ikan yang diberi perlakuan 15% tapioka dan 0% karraginan, disimpan pada suhu beku selama 5 hari. Gambar 1. Perubahan nilai kadar air (%) bakso ikan layang selama
penyimpanan suhu dingin (0–5°C) dan suhu beku (0–(12)°C) Selama proses penyimpanan sampai pada hari ke-15, kadar air produk bakso cenderung meningkat tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05)(Gambar 1). Hal ini agak bertentangan dengan hasil penelitian Zuraida et al. (2011) menunjukkan bahwa kadar air bakso kontrol (tanpa perlakuan penambahan asap cair) yang disimpan pada suhu refrigerasi 4±1°C selama 20 hari cenderung menurun walaupun juga tidak berbeda nyata (p>0.05). Perbedaan hasil pengamatan ini diduga karena adanya pengaruh penambahan nutrigel dalam adonan bakso ikan. Hal ini diperkuat dengan hasil uji sidik ragam yang menunjukkan bahwa perlakuan penambahan nutrigel memberi pengaruh nyata terhadap nilai kadar air bakso ikan (p<0,01). Kadar TVB-N Bakso Ikan Layang Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata TVB-N tertinggi adalah 23,10 mg N/100 gr sampel pada bakso ikan yang disubstitusi dengan 15% tapioka dan 0% nutrijel dan disimpan pada suhu beku selama 15 hari, sedangkan rata-rata nilai TVB-N terendah pada bakso ikan yang disubstitusi dengan 13% tapioka dan 2% nutrijel yang disimpan pada suhu beku selama 5 hari yaitu 8,40 mg N/100 gr sampel.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 333
ISBN 978-602-98902-1-1
Gambar 2. Perubahan nilai TVB-N bakso ikan layang selama penyimpanan suhu dingin (0–5°C) dan suhu beku (0–(-12)°C)
Gambar 3. Perubahan nilai pH bakso ikan layang selama penyimpanan suhu dingin (0 – 5°C) dan suhu beku (0 – (-12)°C)
Nilai TVB-N bakso yang disimpan pada suhu rendah (dingin dan beku) cenderung meningkat selama proses penyimpanan. Menurut Cobb dan Vanderzant (1975) dan Chang et al. (1983) dalam Suwetja (1993), nilai batas kesegaran bakterial hasil-hasil perikanan dengan uji kadar TVB-N ditetapkan sebesar 30 mg N/100 gr sampel. Melalui data yang ada dapat dilihat bahwa nilai rata-rata TVB-N bakso ikan yang disimpan pada suhu rendah (dingin dan beku) selama 5, 10, dan 15 hari masih lebih rendah dari pada 30 mg N/100 gr sampel sehingga masih layak untuk dikonsumsi.
Menurut Goulas dan Kontominas (2005), kenaikan pH bisa disebabkan oleh aktivitas bakteri pembusuk yang dapat memproduksi enzim proteolitik. Enzim ini dapat memecah protein menjadi amonia, trimetilamin dan komponen volatil lainnya sehingga nilai pH akan naik. Peningkatan nilai pH bakso ikan disebabkan berkembangnya bakteri psikrofil yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa volatil seperti amonia dan trimetilamin (Ruiz-Capillas et al., 2001).
Nilai pH Bakso Ikan Layang Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata pH tertinggi adalah 6,04 pada bakso ikan dengan perlakuan suhu beku yang disubstitusi dengan 9% tapioka dan 6% nutrijel dan disimpan hingga 15 hari sedangkan nilai rata-rata pH terendah adalah 4,89 pada bakso ikan perlakuan suhu dingin yang disubstitusi dengan 9% tapioka dan 6% nutrijel dan disimpan hingga 15 hari .
KESIMPULAN
Subsitusi bahan tambahan dan suhu penyimpanan berpengaruh sangat nyata pada uji kadar air, pH dan TVB-N Lama penyimpanan berpangaruh sangat nyata pada uji TVB-N sedangkan pada uji kadar air dan pH tidak nyata pengaruhnya. Bakso ikan yang bermutu baik sebaiknya disimpan dalam suhu pembekuan dan dikemas. Bakso ikan yang disubsitusi dengan nutrijel yang disimpan selama 15 hari masih layak di konsumsi. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut bakso ikan yang disubsitusi dengan nutrijel dengan lama penyimpanan lebih dari 15 hari sehingga bisa menentukan batas mutu bakso ikan yang baik produk didinginkan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 334
ISBN 978-602-98902-1-1
DAFTAR PUSTAKA Goulas AE, Kontominas MG. 2005. Effect of salting and smoking-method on the keeping quality of chub mackerel (Scomber japonicus): biochemical and sensory attributes. Food Chem 93: 511–520. Martinez O, Salmero J, Guillen MD, Casas C. 2007. Textural and physicochemical changes in salmon (Salmo salar) treated with commercial liquid smoke flavourings. Food Chem. 100:498-503. Ruiz-Capillas C, Moral A. 2001. Residual effect of CO2 on hake (Merluccius merluccius L.) stored in modified and controlled atmospheres. Europe Food Res Technol 212: 413–420. Sudarmadji, S., Haryono, Suhardi, 1984. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Suwetja IK. 1993. Metode Penentuan Mutu Ikan . Jilid I . Penentuan Kesegaran. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat. Manado Wibowo S. 2005. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Penebar Swadaya. Zuraida I, Sukarno, Budijanto S. 2011. Antibacterial activity of coconut shell liquid smoke (CS-LS) and its application on fish ball preservation. Inter Food Res Journal 18: 405-410.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 335
ISBN 978-602-98902-1-1
Produksi Inulin Umbi Dahlia (Dahlia sp ) Dengan Variasi Umur Tanam Pada Tanah Inceptisols [Produkction of Dahlia Tuber (Dahlia sp) with Various Planted Time On Inceptisols Soil] Diah Ratnaningrum1)*, Yetti Mulyati Iskandar 1), dan Sri Pudjiraharti2) Pusat Penelitian Kimia LIPI
ABSTRACT The analysis of dahlia tuber with various planted time on inceptisols soil in Sukabumi has been conducted. The aim of research is to use dahlia tuber wich many planted especially in West Java area as inulin materials produced. Inulin is composed of a mixture of polysaccharides having various molecular weights or degrees of polymerization (DP). In general, inulin consists of fructose units with β 1-2 bonds and ending in a glucose unit. Dahlia inulin is the optimum nutritional food for the natural intestinal flora, which is otherwise known as probiotics. The results indicated that red dahlia flower with 10 month planted has inulin extract concentration 24%, violet dahlia flower 16%, yellow dahlia flower 11% and white dahlia flower 6% respectively. Keywords : Dahlia sp, Inulin, Inceptisols, planted time PENDAHULUAN Inulin merupakan bahan pangan golongan polisakarida/karbohidrat yang dapat ditemukan dalam akar atau umbi beberapa jenis tanaman keluarga Asteraceae sebagai cadangan energi. Inulin memiliki karakteristik yang khas mulai dari tekstur yang halus lunak hingga rasa yang agak manis, sehingga banyak digunakan dalam produk makanan olahan sebagai pengganti gula, lemak, dan tepung pada produk yoghurt, kefir, ice cream dan produk dressing. Secar struktur inulin merupakan polimer yang terdiri dari unit-unit monomer fruktosa yang dihubungkan satu dengan yang lain oleh ikatan β-(2→1) glikosidik dengan satu unit terminal glukosa (Gambar 1.).
Gambar 1. Struktur kimia inulin Produk inulin komersial dengan kualitas dan karakteristik tertentu digunakan untuk menigkatkan citarasa, kestabilan dan aseptabilitas makanan dengan kadar lemak dan gula rendah (Niness, 1999). Perkebunan dahlia dapat ditemukan di daerah Cihideung dan Cihanjuang Lembang yang memiliki jenis tanah andisols,
serta Salabintana Sukabumi dengan tanah jenis inceptisols. Setiap jenis tanah memiliki kandungan kimia dan tingkat kesuburan yang berbeda (Hidayat dan Mulyani,2002). Menurut hasil penelitian Widowati, 2005, umbi dahlia yang berasal dari Cianjur (tanah vertisols) mengandung inulin dengan kadar bervariasi antara 6-15 % bergantung pada jenis tanaman dahlia. Namun tidak diketahui umbi yang diteliti diperoleh dari tanaman dahlia setelah masa tanam berapa lama. Melalui kegiatan ini diharapkan akan dapat diketahui pula waktu penanaman optimum tanaman dahlia untuk produksi inulin pada jenis tanah yang berbeda. Inulin sebagai bahan pangan telah diteiliti memiliki toleransi yang tinggi untuk manusia sehingga aman dikonsumsi dan tidak menyebabkan efek samping (Tungland, 2000). Inulin yang diperoleh dari chicory, dahlia dan artichoke diklasifikasikan sebagai bahan pangan atau natural food-ingredient yang bersifat GRAS safe menurut US FD. Saat ini inulin merupakan produk impor dari Australia, China dan India. Total nilai impor inulin bersama bahan lain yang termasuk dalam produk industri penggilingan mencapai lebih dari 45 juta dolar Amerika pada tahun 2004 (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, departemen Pertanian Januari, 2005).. Tujuan dari kegiatan ini adalah memanfaatkan umbi tanaman dahlia yang banyak ditanam terutama di daerah Jawa Barat sebagai bahan baku produksi inulin agar inulin dapat diproduksi di dalam negeri sehingga dapat memenuhi kebutuhan industri lokal dengan harga relatif lebih murah serta meningkatkan nilai ekonomi tanaman dahlia dan pendapatan petani bunga dahlia. METODOLOGI Bahan dan alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah umbi tanaman dahlia yang memiliki warna bunga ungu, merah, kuning Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 336
ISBN 978-602-98902-1-1 dan putih yang ditanam di Sukabumi. Umbi memiliki umur tanam 6, 8, 10 dan 12 bulan. Sejumlah bahan kimia yang meliputi : ethanol p.a, pereaksi sistein carbazol, AgNO3 0.1 N, NaOH 0.1 N, K.Na Tartarat 1%, pereaksi folin Ciocalteu, glukosa, dan bahan kimia lainnya untuk analisa. Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau, waskom, talenan, blender, gelas piala, kain saring, corong, water bath, batang pengaduk dan batang pengaduk dan hotplate. Alat yang dibutuhkan untuk analisa adalah spektrofotometer, neraca kasar, neraca analitik, water bath, gelas kimia, tabung reaksi, erlenmeyer, buret, waterbath, dan pH meter.
tanah inceptisols dan warna bunga terdiri dari ungu,merah, kuning dan putih. Umur umbi yang disampling meliputi 6, 8, 10 dan 12 bulan masa tanam. Metoda isolasi yang digunakan yaitu dengan cara ekstraksi berdasarkan kelarutan inulin dalam air pada suhu tinggi dan pengendapan dengan etanol 30%. Proses pemanasan bertujuan untuk melarutkan inulin yang terkandung dalam umbi, dan penambahan karbon aktif dimaksudkan untuk menyerap senyawa lain seperti antosianin dan tanin yang terkandung dalam umbi tanaman Dahlia (Winkle-Shirley, 2001). Hasil pengamatan menunjukkan hasil presipitasi inulin umbi dahlia disajikan pada gambar 1.
Persiapan bahan Pengambilan sampel umbi dahlia dilakukan terhadap umur tanaman 6, 8, 10 dan 12 bulan. Proses Ekstraksi Ekstraksi inulin dari umbi dahlia dilakukan dalam skala 500 gram. Metoda ekstraksi yang dilakukan mengacu pada metoda Livingston, 1990 dan Farrar and Pollock, 1993 yaitu berdasarkan prinsip pelarutan inulin dalam air pada suhu tinggi dan pengendapan menggunakan alkohol. (Widowati, 2005). Penentuan Kadar Inulin Kadar inulin (Dische, 1951), baik dari sampel umbi maupun endapan dan bubuk inulin. Metoda yang digunakan adalah dengan cara spektrofotometri menggunakan pereaksi sistein-carbazole di mana inulin akan membentuk warna ungu dan memiliki absorbansi maksimum pada panjang gelombang 560 nm. Konsentrasi inulin ditentukan berdasarkan kurva kalibrasi antara konsentrasi standar inulin vs absorbansi pada panjang gelombang 560 nm. Penentuan Glukosa Kandungan karbohidrat dan gula total (AOAC,1995). Analisa kandungan karbohidrat dilakukan dengan cara hidrolisis sempurna/kuat dengan asam, sedangkan kandungan gula total ditentukan dengan cara hidrolisis partial/lemah dengan asam pula. Hasil hidrolisis ditentukan kandungan gula reduksinya menggunakan metoda Nelson-Somogyi. Konsentrasi gula reduksi ditentukan berdasarkan kurva kalibrasi antara standar glukosa vs absorbansi pada panjang gelombang 520 nm.
Gambar 1. Endapan Inulin Hasil Gambar 1. Presipitasi Dengan Etanol 30% Inulin yang dihasilkan dari proses ekstraksi ini belum murni, terlihat masih berwarna putih kecoklatan, yang disajikan pada gambar 1, hal tersebut keungkinan disebabkan karena kurangnya karbon yang ditambahkan dalam proses ekstraksi. Karena penambahan karbon aktip pada proses ini adalah 2% (b/v). Zat warna seperti antosianin dan tanin yang terdapat dalam umbi tanaman dahlia yang berbeda umur dan warna bunga, memiliki konsentrasi yang berbeda pula, sehingga memerlukan jumlah karbon aktip yang berbeda untuk ditambahkan pada proses ekstraksi. Dari hasil isolasi ini, diperoleh berat inulin yang disajikan pada tabel 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan telah dilakukan terhadap umur umbi tanaman dahlia yang ditanam didaerah Sukabumi dengan jenis Tabel 1. Berat Endapan dan Kadar Air Endapan Dari Umbi Dahlia No.
Nama Sampel
Umur Sampel
Berat Umbi (Gram)
1.
Dahlia Ungu
6 bulan
139.16
Berat Endapan (Gram) 15.7
Kadar Air Endapan (%) 20.86
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 337
ISBN 978-602-98902-1-1
2.
3.
4.
Dahlia Merah
Dahlia Kuning
Dahlia Putih
8 bulan 10 bulan 12 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan
Pada ekstraksi umbi dahlia ini ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yang pertama adalah keadaan umbi, umbi disarankan sebaiknya dalam keadaan masih segar karena jika terlalu lama disimpan dalam lemari pendingin, umbi dahlia tersebut akan menyusut dan tidak segar atau rusak, sehingga inulin yang dihasilkan setelah proses presipitasi cenderung berwarna coklat gelap bahkan hitam. Keadaan tanah pun harus diperhatikan, karena jika umbi dahlia tersebut ditanam dalam media tanah yang kering, maka inulin hasil ekstraksi dari umbi tersebut akan berwarna coklat atau hitam. Keadaan umbi dahlia dan media tanamnya (tanah) serta warna endapan dan warna filtrat yang dihasilkan disajikan pada gambar 2.
68.07 94.74 312.40 423.1 659.0 702.4 505.6 42.08 50.97 36.01 201.07 224.87 125.92 141.68 144.07
7.00 14.45 44..96 103.44 267.85 184.33 145.43 2.17 2.92 3.41 21.53 44.96 28.31 5.45 7.96
21.26 25.96 24.65 28.35 25.28 28.59 23.23 29.13 34.93 37.50 30.15 22.93 23.71 10.92 14.85
penambahan asam pekat (H2SO4) bertujuan untuk suasana yang lebih asam dan untuk mempercepat reaksi pengkomplekan. Pada tabel 2, dapat dilihat perolehan kadar inulin dari ekstrak umbi dahlia, serbuk dan % rendemen. Kadar inulin ekstrak umbi dahlia pada variasi umur tanam menunjukkan bunga warna merah memiliki kandungan inulin ekstrak yang paling tinggi dibandingkan dengan kadar inulin ekstrak pada bunga warna ungu ,kuning dan putih. Kadar inulin serbuk dari semua warna bunga menunjukkan 100%, hal ini diperoleh dari hasil pengeringan endapan inulin menjadi bubuk inulin. Namun % rendemen ( g inulin/100 gram umbi) sangat bervariasi hasilnya, hal ini kemungkinan disebabkan karena cara ekstraksi yang dilakukan sangat berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan. Perolehan kadar dan rendemen inulin pada umbi dahlia dengan bunga ungu dapat dilihat pada gambar 3.
persen(%)
umbi dahlia ungu
Gambar 2. Endapan inulin berwarna hitam (umbi Dahlia putih 10 bulan, kiri) dan warna coklat (umbi Dahlia putih 12 bulan,kanan) Analisis kadar inulin dilakukan dengan metode spektrofotometri menggunakan pereaksi sisteinkarbazol dimana inulin akan membentuk warna ungu (Dische, 1951). Analisis inulin ini dilakukan pada ekstrak, endapan (inulin yang terekstrak), dan filtrat sesudah pengendapan oleh etanol. Adanya
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
16 14 8.93
14
13
11.29
10.84
8.1 kadar inulin ekstrak % rendemen
6
8
10
12
umur umbi, bulan
Gambar 3. Kadar Inulin Ekstrak dan Rendemen Umbi Dahlia bunga Ungu Umbi tanaman dahlia bunga ungu memiliki kadar inulin ekstrak paling tinggi pada umbi yang berumur 10 bulan sebanyak 16% dan rendemen 11.29% , namun tidak demikian halnya pada umbi yang berumur 8 bulan bunga
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 338
ISBN 978-602-98902-1-1 ungu memiliki kadar inulin ekstrak sebesar 13% dengan rendemen 8.10%
Tabel 2. Kadar Inulin Dalam Ekstrak Umbi, Serbuk dan % Rendemen No.
1.
Nama Sampel
Umur Sampel
Berat Serbuk (g)
Dahlia Ungu
6 bulan 8 bulan 10 bulan
12.43 5.51 10.70
12 bulan 2.
Dahlia Merah
3.
Dahlia Putih
100 100 100
16 20 24
100 100 100
111.65 1.54 1.90 2.13
20
100
7 6 11
100 100 100
11
100
6 bulan 8 bulan 10 bulan
15.04 34.65 21.60 4.86
13 13 6
100 100 100
7.48 15.41 17.15 3.43
12 bulan
6.78
10
100
4.71
6 bulan 8 bulan 10 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan
100
8.93 8.10 11..29
14
12 bulan 4.
14 13 16
% Rendemen(g inulin/100g umbi)
33.87 74.12 200.14 131.63
12 bulan Dahlia Kuning
Inulin Umbi Kadar Kadar Inulin Inulin Serbuk Ekstrak (%) (%)
10.84 17..52 30..37 18.74 22.08 3.66 3.72 5.92
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 339
ISBN 978-602-98902-1-1
umbi dahlia putih
persen(%)
Kadar dan rendemen inulin yang terdapat pada umbi Dahlia bunga merah dapat dilihat pada gambar 4., dari gambar tersebut dapat dilihat perolehan kadar inulin yang paling tinggi terdapat pada umbi Dahlia dengan umur 8 bulan sebesar 20%, dan rendemen paling tinggi 30.37%. Pada umur umbi 10 bulan kadar inulin ekstrak sebesar 24% dan rendemen 18.74%. Kadar paling rendah terdapat pada umbi Dahlia bunga merah umur 6 bulan sebanyak 16%, dan rendemen 17.52%.
17.15 13 10 6 3.43
4.71
kadar inulin ektrak % rendemen
8
10
12
umur umbi, bulan
35
30.37
30
24
25 persen(%)
15.41 13
6
umbi dahlia merah
17.52 16
20
20
18.74
Gambar 6. Kadar dan rendemen inulin umbi Dahlia bunga Putih
22.08 20
15
kadar inulin ekstrak
10
% rendemen
5 0 6
8
10
12
umur umbi, bulan
Gambar 4. Kadar Inulin Ekstrak dan Rendemen Umbi Dahlia bunga Merah Kadar inulin dan rendemen inulin hasil ekstraksi pada umbi Dahlia putih, dapat dilihat pada gambar 5. Kadar inulin pada dahlia kuning yang berumur 6 bulan, diketahui kadar inulin pada ekstrak umbi sebanyak 7% dan rendemen 3.66% ,namun pada umbi berumur 10 dan 12 bulan memiliki kadar inulin ekstrak 11% dengan rendemen 5.92% dan 7.48%. umbi dahlia Kuning 11
12 10 persen (%)
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
8 6 4
11 7.48
7
6 3.66
5.92 3.72
Metoda isolasi yang digunakan yaitu cara ekstraksi berdasarkan kelarutan inulin dalam air pada suhu tinggi dan pengendapan dengan etanol pada suhu ruang dengan lama 24 jam pengendapan. Jenis tanaman akan mempengaruhi produksi umbi dan kandungan inulin dalam umbi serta karakteristik inulin hasil isolasi. Demikian pula umur tanaman dahlia akan berpengaruh secara langsung terhadap pembentukan dan ukuran umbi. Semakin tinggi umur tanaman dahlia akan semakin tinggi produksi inulin yang dikandungnya. Namun pada suatu waktu tertentu produksi umbi akan tetap dan kandungan inulin umbi mencapai maksimum. Hasil analisa kadar glukosa dari umbi dahlia dengan variasi umur umbi dahlia, disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Kadar glukosa dari inulin umbi tanaman Dahlia dengan variasi umur umbi dan warna bunga Nama Kadar Glukosa No Umur Sampel Sampel (%) Dahlia 6 bulan 2 1. Putih 8 bulan 2 10 bulan 2
2.
Dahlia Ungu
12 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan
1 2 1 2
3.
Dahlia Kuning Tua
12 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan
2 2 2 2
4.
Dahlia Merah
12 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan
2 2 2 2
12 bulan
2
kadar inulin ekstrak
2
% rendemen
0 6
8
10
12
umur umbi, bulan
Gambar 5. Kadar dan Rendemen Inulin Umbi Dahlia bunga Kuning Di daerah Jawa Barat sentra perkebunan dahlia berlokasi di daerah Cihideung dan Cihanjuang Lembang, Sindanglaya Cianjur dan Salabintana Sukabumi. Menurut literatur umbi dahlia mengandung kadar inulin yang bervariasi antara 616%per bahan basah. Bubuk inulin hasil isolasi yang dilakukan di laboratorium masih memiliki derajat keputihan yang lebih rendah dibandingkan produk komersial. Kadar inulin dan rendemen inulin hasil ekstraksi pada umbi dahlia putih, dapat dilihat pada gambar 6. Dari gambar tersebut dapat dilihat perolehan kadar inulin dan rendemen yang tinggi diperoleh dari umbi Dahlia bunga putih yang berumur 8 bulan dengan kadar inulin ekstrak sebanyak 13% dan rendemen 17.15%, dan yang paling rendah terdapat pada umbi yang berumur 10 bulan, dengan kadar inulin ekstrak 6% dan rendemen 3.43%.
Analisis kadar glukosa ini dilakukan dengan cara hidrolisis sempurna dengan asam, hasil hidrolisis ditentukan kandungan gula reduksinya (glukosa) menggunakan metoda NelsonSomogyi menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna biru kehijauan. Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |342
ISBN 978-602-98902-1-1
Analisis glukosa dilakukan pada inulin hasil ekstraksi dengan cara hidrolisis sempurna dengan penambahan asam pekat. Hidrolisis ini dilakukan untuk memecahkan senyawa inulin yang terdiri dari unit-unit fruktosa dan diakhiri dengan suatu unit glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosida β (2,1), menjadi unit yang lebih sederhana yaitu glukosa dan fruktosa (monosakarida). Dari data diatas dapat dilihat bahwa perolehan kadar glukosa yang dihasilkan dari umbi dahlia sangat kecil. Kadar glukosa yang diperoleh rata-rata dari setiap umbi sebesar 2 %, tetapi ada pula yang lebih rendah yaitu pada umbi dahlia bunga putih umur 12 bulan dan bunga ungu umur 8 bulan, kadar glukosa ini lebih rendah dari kadar inulin.
memiliki kadar air yang rendah yaitu 10,92% dan 14,85%. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Pusat Penelitian Kimia yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan penelitian ini yang didanai oleh Program Sinergi DIKTI-LIPI, Kedeputian IPT – LIPI. DAFTAR PUSTAKA Niness, K.R. 1999. Inulin and Oligofructose:What Are They?. Journal of Nutrition. Suppl. 129, 1402S-14604S. Hidayat, A. dan Mulyani A. 2002. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Widowati, S.,Santosa, B.A.S., Sunarti, C. S. And A. Zaharani. 2005. Characterization ofInulin from Some Dahlia (Dahlia pinnata) Tubers. Proceedings of the 9th Asean Food Conference, Jakarta, 5-8 August 2005. Tungland, B.C. 2000. Inulin A
Gambar 7. Satu Rumpun Umbi Dahlia Merah
Comprehensive Scientific Review. Duncan Crow Wholistic Consultan. available at http://members.shaw.ca/duncancrow/inulin review.html AOAC International. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. Ed. 16. Vol I. Maryland. Dische,
Z . and Borenfreund, E. 1951. A New Spectrophotometric Method for the Detection and Determination of Keto Sugars and Trioses. The Journal of Biological Chemistry. 583-587.
GRAS
Notice No. GRN 000118, available http://www.cfsan.fda.gov/~rdb/opa- g118.html.
at
IPTEKnet. 2008. Dahlia spp. L. available at http://www.iptek.net.id/ind/warintek/ Budidayapertanian_idx.php?doc=2b2 9. Pool-Zobe l, B.L. 2005. Inulin-type fructans and reduction in colon Gambar 8. Bunga Dahlia warna merah 1.
2.
Renstra Pusat penelitian Kimia-LIPI tahu 2005-2009.Wikipedia available at :http://en.wikipedia.org/wiki/Inulin”
KESIMPULAN Kadar inulin ekstrak umbi dahlia tertinggi diperoleh pada umbi tanaman dahlia bunga merah dengan umur tanam 10 bulan dengan kadar inulin sebanyak 24%, pada umbi dahlia ungu kadar inulin sebanyak 16%, untuk umbi dahlia bunga kuning 11%, dan umbi putih sebesar 6%. Kadar glukosa dalam inulin hasil ekstraksi diperoleh antara 1% sampai dengan 2%, kadar glukosa tersebut menunjukkan umbi dahlia dengan variasi umur berbeda memiliki kadar glukosa yang rendah. Kadar air yang diperoleh dari inulin hasil ekstraksi umbi dahlia dari setiap umur umbi dan warna bunga tidak memiliki selisih yang terlampau jauh, rata-rata antara 20,86% sampai dengan 37,5%, kecuali pada umbi dahlia putih dengan umur 10 dan 12 bulan yang Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |343
ISBN 978-602-98902-1-1
Perbandingan Kandungan Serat Hasil Olahan Jamur Tiram [COMPARISON OF FIBER CONTENT IN MUSHROOM (Pleurotus ostreatus) PRODUCTS] Donowati S. Tjokrokusumo & Netty Widyastuti & Reni Giarni Pusat Teknologi Bioindustri, BPP Teknologi
[email protected]
ABSTRACT Among others benefit of fiber are to prevent and to cure colon cancer and also to decrease the dosage of cholesterol in our blood. Natural fiber from fresh food of course is the best. But today’s lifestyles claim a development for a healthy fast food. Beside its nutrient contents, oyster mushroom has a high content of fiber, therefore this mushroom is possible to use as an alternative for the source of food fiber. The result of the result which has been done shows that the food fiber content which is made from oyster mushroom in the form of dumplings 5,06% w/w; nugget 5,17% w/w dan sausage 4,65 % w/w. The fiber content in mushroom nuggets is higher or nearly same if it is compared with nuggets in general (3-7%). This food proccesed product made from mushroom is being expected can be futher developed as a healthy food, full of nutrition, tasty, and relatively cheaper than the similiar product made from meat. Key words : edible mushroom, fiber, nutrition
PENDAHULUAN Perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap makanan yang dikonsumsi saat ini, bukan hanya dicari yang enak dalam hal rasa, dan mudah mempersiapkannya, tetapi masyarakat menengah ke atas sekarang juga sudah mulai memilih makanan mempunyai manfaat terhadap kesehatan. Kecenderungan saat ini konsumen akan memilih makanan dengan mengurangi makan daging ataupun telor atau protein dan serat hewani, namun sebagai alternatif dipilih makanan sayur-sayuran, protein dan serat nabati. Jamur pangan (edible mushroom) dapat dijadikan salah satu satu alternative sumber makanan nabati yang yang rasanya enak dan mempunyai manfaat terhadap kesehatan karena kandungan protein dan seratnya cukup baik. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) adalah jamur pangan dari kelompok Basidiomycota dan termasuk kelas Homobasidiomycetes dengan ciri-ciri umum tubuh buah berwarna putih hingga krem dan tudungnya berbentuk setengah lingkaran mirip cangkang tiram dengan bagian tengah agak cekung. Jamur tiram masih satu kerabat dengan Pleurotus eryngii dan sering dikenal dengan sebutan King Oyster Mushroom. Klasifikasi ilmiah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) : Kingdom : Fungi Phylum : Basidiomycota Class : Agaricomycetes Orde : Agaricales Family : Triclomataceae Genus : Pleurotus Species : P. Ostreatus (Anonim, 2011) Gambar 1. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) Jamur tiram memiliki kandungan nutrisi seperti vitamin, fosfor, besi, kalsium, karbohidrat, dan protein. Komposisi dan kandungan nutrisi setiap 100 gram jamur tiram adalah 367 kalori, 10,5-30,4 persen protein, 56,6 persen
karbohidrat, 1,7-2,2 persen lemak, 0.20 mg thiamin, 4.7-4.9 mg riboflavin, 77,2 mg niasin, dan 314.0 mg kalsium. Kalori yang dikandung jamur ini adalah 100 KJ/100 gram dengan 72 persen lemak tak jenuh. Kandungan seratnya mencapai 7,4- 24,6 persen sehingga cocok untuk para pelaku diet (Anonim2, 2011). Kandungan gizi jamur tiram menurut Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian, dengan protein rata-rata 3.5 – 4 % dari berat basah atau 10,5-30,4 % dari berat kering. Jamur tiram mengandung 9 macam asam amino yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin, dan fenilalanin. Kandungan asam lemak dalam jamur tiram terdiri dari 72 % asam lemak tidak jenuh, sehingga aman dikonsumsi baik yang menderita kelebihan kolesterol maupun gangguan metabolisme lipid, dan sisanya adalah asam lemak jenuh. Jamur ini mengandung vitamin penting, terutama vitamin B, C dan D. Vitamin B1 (tiamin), vitamin B2 (riboflavin), niasin dan provitamin D2 (ergosterol), dalam jamur tiram cukup tinggi. Mineral utama tertinggi adalah Kalium, Fosfor, Natrium, Kalsium, dan Magnesium. Konsentrasi K, P, Na, Ca dan Mn mencapai 56-70% dari total abu dengan kadar K mencapai 45%. Mineral mikroelemen yang bersifat logam dalam jarum tiram kandungannya rendah, sehingga jamur ini aman dikonsumsi setiap hari. (Anonim2, 2011). Jamur tiram ini memiliki manfaat kesehatan diantaranya, dapat mengurangi kolesterol dan jantung lemah serta beberapa penyakit lainnya, seperti penyakit lever, diabetes, anemia. Selain itu jamur tiram juga dapat bermanfaat sebagai antiviral dan antikanker, menurunkan kadar kolesterol, serta membantu penurunan berat badan karena berserat tinggi dan membantu pencernaan. Jamur tiram ini mengandung senyawa pleuran yang berkhasiat sebagai antitumor, menurunkan kolesterol, serta bertindak sebagai antioksidan. Adanya polisakarida, khususnya Beta-D-glucans pada jamur tiram mempunyai efek positif sebagai antitumor, antikanker, antivirus (termasuk AIDS), melawan kolesterol, anti jamur, anti bakteri, dan dapat meningkatkan sistem imun. Dilihat dari kandungan gizi yang terdapat dalam jamur tiram maka bahan ini termasuk aman untuk dikonsumsi. Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |344
ISBN 978-602-98902-1-1
Adanya serat yaitu lignoselulosa baik untuk pencernaan. Serat jamur sangat baik untuk pencernaan. Kandungan seratnya mencapai 7,4 - 24,6 % sehingga cocok untuk para pelaku diet (Anonim2, 2011). Jamur tiram dapat dibuat berbagai produk olahan pangan, seperti nugget, sosis dan siomay yang biasa dikonsumsi masyarakat setiap hari. Deversifikasi olahan jamur tiram dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat jamur tiram sebagai produk pangan olahan yang lebih menguntungkan dari pada dipasarkan dalam bentuk segar. Selain itu adanya kandungan serat yang tinggi dalam jamur tiram dan adanya efek bahwa nugget, sosis dan siomay yang berasal dari daging, ayam atau ikan dapat menyebabkan kolesterol, maka diharapkan produk olahan pangan dari jamur tiram dapat memberi solusi alternatif produk olahan pangan yang lebih menyehatkan. SNI. 01-6683-2002 (BSN, 2002) mendefinisikan nugget ayam sebagai produk olahan ayam yang dicetak, dimasak, dibuat dari campuran daging ayam giling yang diberi bahan pelapis dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (Sutaryo dan Srimulyani, 2004). Siomay adalah sejenis dim sum. Proses pembuatan siomay pada dasarnya dilakukan sebagaimana biasa dikenal. Bahan baku digiling lalu dicampur bahan-bahan tambahan serta bumbu lalu dicampur sampai merata lalu dibentuk dengan cetakan atau cara lainnya, bisa pula dibungkus dengan bahan lain seperti kulit pangsit. Sosis merupakan hasil olahan daging yang digiling, dicampur dengan bumbu dan rempah-rempah serta diberi bentuk (dengan selongsong). Sosis dapat dibuat dari daging sapi, ayam atau ikan. Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resistan terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar. Serat dalam jumlah cukup dapat menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah terjadinya konstipasi (sulit BAB), dan memperlambat pencernaan makanan. Serat dapat membantu kita makan lebih sedikit dan mengurangi berat badan. Peningkatan asupan serat akan diikuti juga dengan pengurangan distress lambung (gangguan lambung) dan apabila diikuti dengan mengonsumsi banyak cairan (8 gelas sehari) maka dapat mencegah terjadinya konstipasi. Serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna oleh enzim manusia, sehingga tidak digolongkan sebagai sumber zat gizi. Serat makanan meliputi selulosa, hemiselulosa, pektin, gum, lignin. Meskipun tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, tetapi bakteri flora saluran pencernaan terutama dalam kolon dapat merombak serat tersebut. Sumber utama serat makanan adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, serta biji-bijian dan kacang-kacangan. Jumlah serat makanan yang harus dikonsumsi oleh orang dewasa adalah 20-35 gram/hari atau 10-15 gram/1000 kkal menu. Serat pangan sering dibedakan atas kelarutannya dalam air. Serat pangan total (TDF atau Total Dietery Fiber ) terdiri dari komponen serat makanan larut air (Soluble Dietery
Fiber atau SDF) dan serat makanan yang tidak larut air (Insoluble Dietery Fiber atau IDF). SDF adalah serat makanan yang dapat larut dalam air hangat atau panas, serta dapat terendapkan oleh air:etanol dengan perbandingan 1:4. Sedangkan IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau dingin. Serat yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah komponen non struktural. Serat yang tidak larut air banyak terdapat pada kulit gandum, biji-bijian, sayuran dan kacang-kacangan. Serat yang larut dalam air biasanya berupa gum dan pektin (Anonim4, 2011). Serat pangan yang tidak larut (IDF) bermanfaat untuk mengatasi sembelit, mencegah kanker terutama kanker kolon dan mengontrol berat badan. Serat makanan mempunyai daya serap air yang tinggi adanya serat makanan dalam feses menyebabkan feses dapat menyerap air yang banyak sehingga volumenya menjadi besar dan teksturnya menjadi lunak. Adanya volume feses yang besar akan mempercepat kontraksi usus untuk lebih cepat buang air-waktu transit makanan pada kolon lebih cepat. Volume feses yang besar dan tekstur yang lunak dapat mengencerkan senyawa karsinogenik yang terkandung di dalamnya, sehingga konsentrasinya jauh lebih rendah dengan demikian akan terjadi kontak antara zat karsinogenik dengan konsentrasi yang rendah dengan usus besar, dan kontak ini pun terjadi dalam waktu yang cukup singkat sehingga tidak memungkinkan terjadinya sel-sel kanker (Anonim4, 2011). METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah jamur tiram segar yang kemudian dibuat nugget, sosis dan siomay sebagai produk olahan jamur tiram. Bahan penunjang dalam penelitian ini adalah maizena , tapioka , terigu Boga Sari, telor ayam negeri, ayam giling dari supermarket , dan bumbu bumbu lainnya seperti bawang merah, bawang putih, merica, dan garam. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dandang, loyang, timbangan analitik, kompor, gilingan daging. Prosedur pembuatan Nuget : Jamur tiram segar dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan. Jamur kemudian direbus dengan air mendidih selama 10-15 menit, angkat dan tiriskan. Campurkan semua bahan lainnya, aduk hingga rata. Siapkan loyang yang diolesi mentega, dan tuangkan adonan dan kukus kedalam dandang selama 15 menit pada temperature 901000C. Setelah dikukus bahan diangkat dan didinginkan. Lepaskan adonan dari loyang, potong-potong dengan ukuran 2x3 cm. Masukkan kedalam kocokan telor dan gulungkan nuget kedalam tepung panir dan oven selama 15 menit pada temperatur 1500C. Setelah dingin, dimasukkan kedalam plastik tahan es dan simpan dalam freezer. Prosedur pembuatan sosis : jamur segar dicuci dengan air mengalir, dan ditiriskan. Jamur tersebut kemudian dikukus 15 menit dan kemudian digiling, campur bahan-bahan lainnya dan aduk hingga rata. Tambahkan telor dan aduk , kemudian masukkan kedalam plastik ukuran diameter 1,5 cm, panjang 12 cm dan diikat dengan benang, rebus sosis hingga 20 menit, kemudian tiriskan dan dinginkan, Sosis yang telah dingin simpan dalam freezer. Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |345
ISBN 978-602-98902-1-1
Prosedur pembuatan siomay: jamur tiram segar dicuci denan air mengalir dan ditiriskan. Jamur tiram diiris halus dan dicampurkan bahan lainnya kemudian aduk rata dan setiap sendok dibungkus dengan kulit siomay yang dibeli di supermarket kemudian dikukus selama 20 menit. Setelah dingin disimpan dalam freezer. Tabel 1. Bahan -bahan untuk membuat nuget, siomay dan sosis jamur tiram. Bahan yang diolah
Jamur tiram (gr)
Nuget
Siomay
Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar serat pangan nugget adalah 5,17% w/w; siomay 5,06% w/w; dan sosis 4,65 % w/w. Berikut diagram kadar serat produk olahan pangan :
Sosis
1000 (65%) 1000 (67%) 1000 (71,4%)
Tepung terigu (gr)
-
200
200
Tepung maizena (gr)
200
-
-
Tepung Tapioka
-
200
200
Telor ayam (butir)
4 (240gr)
-
-
Ayam giling (gr)
100
100
-
Merica
secukupnya secukupnya secukupnya
Bawang Merah
secukupnya secukupnya secukupnya
Bawang Putih
secukupnya secukupnya secukupnya
Garam
secukupnya secukupnya secukupnya
Pembuatan siomay, sosis dan nugget jamur tiram dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, LAPTIAB– Serpong, Tangerang Selatan dan analisa kadar serat dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB, Bogor. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara fisiologis serat pangan didefinisikan sebagai komponen tanaman yang tidak terdegradasi secara enzimatis menjadi sub unit yang dapat diserap usus halus. Beberapa jenis pangan telah diketahui dapat dijadikan sebagai sumber serat pangan dalam diet yang terbukti positif pengaruhnya terhadap kesehatan atau fungsi fisiologis tubuh. Setiap makanan memiliki kadar serat makanan yang berbeda-beda. Makanan dapat diklaim sebagai sumber serat pangan apabila mengandung serat pangan sebesar 3-6 gram/100gram. Kandungan serat jamur tiram adalah 7,4 sampai 24,6%, sehingga dapat disebut sumber serat pangan (Sugyono, dkk, 2009).
Gambar 1. Diagram kadar serat pangan olahan jamur tiram Berdasarkan diagram serat tersebut, kadar serat nugget lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain, yaitu siomay dan sosis. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya jumlah atau komposisi jamur tiram yang ditambahkan ke dalam adonan, atau tergantung bahan lain yang ada dalam pembuatan olahan tersebut. Atau, adanya bahan lain yang mengandung serat, seperti tepung.
Gambar 2. Produk olahan jamur tiram; siomay, nugget dan sosis Serat adalah zat non gizi, ada dua jenis serat yaitu serat makanan (dietary fiber) dan serat kasar (crude fiber). Serat makanan adalah serat yang tetap ada dalam kolon atau usus besar setelah proses pencernaan, baik yang berbentuk serat yang larut dalam air maupun yang tidak larut dalam air. Sedangkan serat kasar adalah serat tumbuhan yang tidak larut dalam air. Serat yang tidak larut ini ada 3 (tiga) macam, yaitu selulosa , hemiselulosa dan lignin. Serat tersebut banyak sekali terdapat pada sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan. Adapun serat yang larut dalam air ada tiga macam pula, yaitu pektin, musilase dan gum. Serat ini juga banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran, sereal dan gum (Anonim4, 2011). Menurut Anonim5 (2011), Kandungan serat pangan nugget tergolong rendah yaitu hanya 3-7%. Namun, pada produk nugget yang ditambahkan sayuran, kadar serat pangan tersebut meningkat hingga 12%, sedangkan kadar serat kasar sosis yang di campur tempe adalah 12,89–18,72 % (Mayasari, 2010) dan kadar serat siomay belum dapat ditemukan. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, kadar serat nugget dan siomay dari produk olahan jamur tiram hampir sama dengan kadar serat nugget dan siomay yang terbuat dari daging atau ikan. Jamur tiram dapat menjadi alternatif bahan dasar pengganti daging atau ikan, sehingga menjadi produk pangan nabati yang sehat. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukan bahwa kadar serat produk olahan jamur tiram, nugget adalah 5,17% w/w; siomay 5,06% w/w; dan sosis 4,65 % w/w, sehinngga dapat diambil kesimpulan bahwa nugget, sosis dan siomay yang berbahan baku jamur tiram cukup prospektif untuk dikembangkan menjadi Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |346
ISBN 978-602-98902-1-1
produk olahan pangan yang menyehatkan dan dapat diklaim sebagai sumber serat pangan. DAFTAR PUSTAKA Anonim1, 2011. Manfaat Serat makanan Tidak Larut. www.ebookpangan.com [22 Agustus 2011] Anonim2, 2011. Jamur Tiram. www.wikipedia.org.id [22 Agustus 2011] Anonim3, 2011. Kandungan Gizi dan Manfaat Jamur Tiram. www.bom33.blogspot.com [24 Agustus 2011] Anonim4, 2011. Khasiat Serat Pangan. www.balimedhospital.co.id/konten/halaman_info.ph?dita il=155 [24 agustus 2011] Anonim5, 2011. Mengenal dan Memilih Produk Nugget. www. kulinologi.biz/index1.php?view&id=178 [25 Agustus 2011]. Mayasari, Susan. 2010. Kajian Karakteristik Kimia dan Sensoris Sosis Tempe Kedelai Hitam (Glycine soja) dan kacang Merah (Phaseolus vulgaris) dengan Bahan Biji Berkulit dan Tanpa Kulit. Skripsi Fakultas Pertanian UNS, Surakarta. Sugiyono, dkk, 2009. Modifikasi Pati Garut (Marantha arundinancea) dengan Perlakuan Siklus Pemanasan Suhu Tinggi-Pendinginan (Autoclaving-Cooling Cycling) Untuk Menghasilkan pati resisten Tipe III. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, volume XX No. 1:17-24. Sutaryo dan Sri mulyani. 2004. Pengetahuan Bahan Olahan Hasil Ternak dan Standar Nasional Indonesia (SNI). Balai Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Peternakan, Ungaran.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |347
ISBN 978-602-98902-1-1
PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN LELE (Clarias graphienus) PADA FORMULASI BUBUR BAYI MAKANAN PENDAMPING ASI [Utilization of fish protein concentrate of catfish (Clarias graphienus) on infant food formulation] 1)Teknologi
Ratna Handayani1)*, Joko Santoso2), Erdo Haryanto Putra3)
Pangan, Universitas Pelita Harapan, 2)Institut Pertanian Bogor, 3)Alumni Universitas Pelita Harapan
ABSTRACT Infants (older than 6 months) need to consume high protein food, such as skim milk and Fish Protein Concentrate apart from breast milk to fulfill their RDA. The objective of the research were to produce the best quality Fish Protein Concentrate from catfish (Clarias graphienus) and its application in infant food. The Fish Protein Concentrate was prepared according to Suzuki (1981) and then analyzed its, bulk density (Wirakartakusumah et al., 1992), water and fat holding capacity (Beuchat, 1977), degree of lightness (Cortez-Ruiz, 2008), organoleptic (Meilgaard et al., 2007), amino acid profile (AOAC, 2005), and protein digestibility (Anderson et al (1969) in Yusanidah (1990)). The Fish Protein Concentrate was found to have 84.79% protein content, 1.69% fat content, and 7.48% moisture content, 299.06% water holding capacity, 1.69% fat holding capacity, 0.42 g/ml bulk density and classified as Fish Protein Concentrate type B. The amino acid of Fish Protein Concentrate was limited in leusin, tyrosin and has 98.42% protein digestibility. The 25% Fish Protein Concentrate substitute of infant food was found to have the best quality of organoleptic characteristic with higher protein, higher AAE score compared to commercial infant formula product, good protein digestibility (86.11%) and was limited only in amino acid tirosin. Key words :Clarias graphienus, Fish Protein Concentrate, infant, infant food
PENDAHULUAN Protein merupakan salah satu makronutrien yang dibutuhkan tubuh setiap harinya.Pada saat ini banyak berkembang penelitian yang bertujuan untuk mengisolasi protein, salah satunya adalah konsentrat protein (Martin, 2000). Ikan lele dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan Konsentrat Protein Ikan (KPI) karena memiliki kandungan protein pada level menengah yaitu 17% (Martin, 2000). Prinsip dasar pembuatan KPI adalah penghilangan sebagian besar air dan lemak dari ikan segar sehingga kadar protein pada produk akhirnya menjadi lebih tinggi daripada kadar protein pada ikan segar. KPI dapat diaplikasikan ke produk pangan yang membutuhkan bahan baku berprotein tinggi. Bayi yang berusia lebih dari empat bulan membutuhkan MP-ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya, salah satunya adalah protein. Sumber protein yang direkomendasikan oleh FAO (1991) adalah susu skim, tetapi tingginya harga susu skim membuat masyarakat cenderung menghilangkan keberadaan protein dalam formulasinya yang mengakibatkan bayi kekurangan gizi. Penambahan KPI lele pada MP-ASI sebagai sumber protein alternatif pengganti susu skim diharapkan dapat memenuhi kebutuhan protein bayi dan memenuhi standar yang ditetapkan FAO (1991).
METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk proses pengolahan KPI adalah Ikan Lele dari peternak di Parung Poncol, larutan NaCl 1% (food grade), larutan NaHCO3 (food grade)1.3%, etanol (food grade), dan bubur bayi komersial (Komersial). Bahan yang digunakan pada formulasi MP-ASI adalah KPI lele, susu skim, dekstrin, tepung beras, tepung gula, minyak kelapa sawit, dan flavour. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah
K2SO4, selenium, H2SO4, H2O2, NaOH, HCl, dan petroleum benzene. Peralatan yang digunakan pada proses pengolahan adalah food processor, cabinet dryer, blender kering, ayakan 60 mesh, oven, alat destilasi kjehldahl “Ventica”, soxhlet, tanur, kromameter “Minolta”, HPLC (High Pressure Liquid Chromatography) “Shimadzu”. Prosedur Penelitian Penelitian terbagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan metode yang menghasilkan karakteristik KPI yang terbaik.Penelitian utama dilakukan untuk menentukan formulasi dengan substitusi KPI 25% dengan tingkat substitusi KPI lele (0%, 25%, 50%, 75%, 100%) pada bubur bayi MP-ASI yang memiliki sifat organoleptik mirip dengan bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 0%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis proksimat bahan baku daging ikan lele meliputi kadar air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisis proksimat daging ikan lele Komponen
Jumlah (%)
Air
75.50 ± 0.36
Protein
17.45 ± 0.49
Lemak
5.47 ± 0.25
Abu
1.16 ± 0.43
Karbohidrat (by differences)
0.41 ± 0.18
Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar protein dan lemak daging ikan lele yaitu 17.45% dan 5.47%. Salah satu syarat bahan baku KPI yang baik adalah kadar proteinnya tinggi dan kadar lemaknya rendah hingga sedang (Martin,2000). Hasil Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |348
analisis tersebut menunjukkan bahwa daging ikan lele cocok dijadikan bahan baku KPI.
73.41a
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
64.38b
2.61ab
61.52b
1
68.78ab
69.27ab
76.00a
2
3
4
Pengulangan Defatting (kali)
(b)
Keterangan : Notasi huruf superscript yang berbeda pada diagram batang menunjukkan beda nyata (p < 0.05) Gambar 1. Pengaruh Penambahan Garam (a) dan Pengulangan Defatting (b) terhadap Kadar Protein KPI
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan garam dan tahapan pengulangan defatting berpengaruh secara nyata terhadap kadar protein KPI (p < 0.05), sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh secara nyata (p > 0.05). Penambahan garam NaCl sebanyak 1% diduga dapat menyebabkan terjadinya salting in pada protein yang menyebabkan protein myofibril menjadi larut dan menyebabkan kadar protein KPI menjadi rendah. Semakin banyak pengulangan defatting maka kadar protein KPI juga semakin tinggi karena semakin banyak lemak dan air yang larut dalam pelarut organik sehingga kadar protein KPI menjadi semakin tinggi. Kadar lemak merupakan salah satu parameter KPI. Hasil analisis kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 2. Kadar Lemak (%)
1.99b
2 3 Pengulangan Defatting (kali)
4
Keterangan : Notasi huruf superscript yang berbeda pada diagram batang menunjukkan beda nyata (p < 0.05)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan garam dan pengulangan defatting berpengaruh secara nyata (p < 0.05) terhadap kadar lemak KPI dan interaksi keduanya tidak berpengaruh secara nyata (p > 0.05) terhadap kadar lemak KPI. Perubahan aktomiosin pada daging ikan menjadi bentuk sol diduga menyebabkan lemak terperangkap dalam daging ikan sehingga kadar lemak KPI tetap tinggi. Semakin banyak pengulangan defatting maka kadar lemak KPI juga semakin rendah karena semakin banyak lemak yang larut dalam pelarut organik. Kadar air merupakan salah satu parameter KPI. Hasil analisis kadar air dapat dilihat pada Gambar 3. 7.04b
8.22a
Tanpa Garam
Dengan Garam
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
Penambahan Garam
Keterangan : Notasi huruf superscript yang berbeda pada diagram batang menunjukkan beda nyata (p < 0.05) Gambar 3. Pengaruh Penambahan Garam Terhadap Kadar Air KPI
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
8.92a 6.47b
8.05 7.94 7.48ab 6.98ab 7.98ab 7.23ab
2.79a
2.30b
3.00 2.00
2
0.00 Tanpa Garam Dengan Garam Penambahan Garam
(a)
3
4
Pengulangan Defatting (kali) Tanpa Garam
1.00
ab
ab
1 4.00
2.36ab
(b)
Kadar Air (%)
Dengan Garam
Penambahan Garam
(a)
Kadar Protein (%)
3.22a
Gambar 2. Pengaruh Penambahan Garam (a) dan Pengulangan Defatting (b) Terhadap Kadar Lemak KPI Tanpa Garam
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
1
Kadar Air (%)
Kadar Protein (%)
Penentuan Metode Pembuatan KPI Terbaik Metode pembuatan KPI terbaik pada penelitian ini ditentukan dari parameter kadar protein, lemak, air, rendemen, aroma, dan derajat putih. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan KPI dengan kadar protein tinggi, kadar lemak rendah, dan kadar air rendah sesuai FAO. Kadar protein merupakan salah satu standar mutu KPI. Hasil analisis kadar protein dapat dilihat pada Gambar 1.
Kadar Lemak (%)
ISBN 978-602-98902-1-1
Dengan Garam
Keterangan : Notasi huruf superscript yang berbeda pada diagram batang menunjukkan bedanyata (p < 0.05) Gambar 4. Pengaruh Penambahan Garam dan Pengulangan DefattinTerhadap Kadar Air KPI
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |349
9.57a
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
Rendemen (%)
8.39b
1
2
3
2
2.93a
2.75a
3
2.27a 2.28a
4
Skor Aroma
(a)
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00
2.50ab
2.69a
2.84a
1
2
3
2.28b
4
(b)
Penambahan Garam (a) 8.07b
2.72a 2.67a
Pengulangan Defatting (kali)
Dengan Garam
7.96b
a 2.48a 2.52
Pengulangan Defatting (kali) Tanpa Garam Dengan Garam
8.46b
Tanpa Garam
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00
1
11.18a
4
Pengulangan Defatting (kali) (b) Keterangan : Notasi huruf superscript yang berbeda pada diagram batang menunjukkan bedanyata (p < 0.05) Gambar 5. Pengaruh Penambahan Garam (a) dan Pengulangan Defatting (b) Terhadap Rendemen KPI
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan garam dan tahapan pengulangan defatting berpengaruh secara nyata (p < 0.05) terhadap rendemen KPI dan interaksi keduanya tidak berpengaruh secara nyata (p > 0.05) terhadap rendemen KPI. Kadar lemak KPI diduga dapat mempengaruhi rendemen KPI. Pada penelitian ini, adanya penambahan garam menyebabkan turunnya nilai rendemen sedangkan pengulangan tahapan pengulangan defatting menyebabkan tingginya nilai rendemen. Hasil analisis aroma menunjukkan bahwa KPI yang memiliki aroma terlemah adalah KPI yang dibuat dengan metode tanpa penambahan garam dan proses ulangan defatting sebanyak tiga kali. Hasil analisis aroma dapat dilihat pada Gambar 6.
Keterangan : Notasi huruf superscript yang berbeda pada diagram batang menunjukkan beda nyata (p < 0.05) Gambar 6. Pengaruh Penambahan garam dan Pengulangan defatting (a) dan Pengaruh Pengulangan Defatting (b) Terhadap Aroma KPI
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengulangan defatting memberikan pengaruh secara nyata (p < 0.05) terhadap aroma KPI, sedangkan penambahan garam dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh secara nyata (p > 0.05) terhadap aroma KPI.Aroma yang muncul pada KPI lele diduga karena terbentuknya komponen basa volatil tersebut selama masa penyimpanan.Pada masa penyimpanan KPI, komponen basa volatil tersebut mungkin terbentuk akibat adanya aktivitas dari bakteri pembusuk yang alami terdapat pada daging ikan (Suzuki, 1981). Hasil analisis derajat putih menunjukkan bahwa KPI yang memiliki derajat putih paling tinggi adalah KPI yang dibuat dengan metode tanpa penambahan garam dan proses pengulangan defatting sebanyak empat kali. Hasil analisis kadar derajat putih dapat dilihat pada Gambar 7. Derjat Putih (%)
Rendemen (%)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan garam berpengaruh secara nyata (p < 0.05) terhadap kadar air KPI, sedangkan pengulangan defatting dan interaksi keduanya tidak berpengaruh secara nyata (p > 0.05) terhadap kadar air KPI. Menurut Huda et al., (1998), kadar air KPI lebih dipengaruhi oleh proses pengeringan. Proses pengeringan yang dilakukan pada suhu 40oC selama 8 jam dapat mengeringkan KPI hingga mencapai kadar air dibawah 10%. Hal ini terlihat dari seluruh KPI yang dibuat dari kombinasi penambahan garam dan pengulangan defatting memiliki kadar air kurang dari 10%. Hasil analisis rendemen menunjukkan bahwa KPI dengan rendemen tertinggi adalah KPI yang dibuat dengan metode tanpa penambahan garam dan proses ulangan defatting sebanyak empat kali. Hasil analisis rendemen dapat dilihat pada Gambar 5.
Skor Aroma
ISBN 978-602-98902-1-1
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
64.77bc 63.18bcd cde 61.73bcde 58.06de 60.12 55.49e
1
2
3
76.41b 67.14a
4
Pengulangan Defatting (kali) Tanpa Garam Dengan Garam Keterangan : Notasi huruf superscript yang berbeda pada diagram batang menunjukkan beda nyata (p < 0.05) Gambar 7. Pengaruh Penambahan Garam dan Pengulangan Defatting Terhadap Derajat Putih KPI
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan garam, tahap pengulangan defatting, dan interaksi kedua perlakuan tersebut berpengaruh secara nyata (p < 0.05) terhadap derajat putih KPI. Derajat putih pada KPI Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |350
ISBN 978-602-98902-1-1
kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah kadar lemak KPI. Semakin tinggi kadar lemak KPI maka derajat putihnya akan semakin rendah (Hendra, 2008). Pemilihan metode pembuatan KPI ini membutuhkan pertimbangan dari semua parameter.Oleh karena itu pemilihan metode pengulangan defatting empat kali dan tanpa penambahan garam dianggap dapat memenuhi semua kriteria parameter KPI dengan mutu yang terbaik. Karakterikstik KPI Terbaik Analisis Karakteristik mutu KPI terbaik meliputi analisis proksimat, analisis karakteristik fisik, analisis profil asam amino, dan analisis daya cerna in vitro.Hasil analisis proksimat KPI terbaik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.Hasil Analisis Proksimat KPI Terbaik Komponen
Jumlah (%)
Air
7.48 ± 0.49
Protein
84.79 ± 1.99
Lemak
1.69 ± 0.22
Abu
3.62 ± 0.08
Karbohidrat (by differences)
2.42 ± 1.73
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa KPI terbaik memiliki kadar protein 84.79%, kadar lemak 1.69%, dan kadar air 7.48%. KPI terbaik memiliki kadar protein dan kadar air yang sesuai dengan standar KPI tipe A, tetapi memiliki kadar lemak yang sesuai dengan standar KPI tipe B (Buckle, 1987). Hasil analisis karakteristik fisik KPI terbaik dapat dilihat pada Tabel 3 . Tabel 3. Hasil Analisis Karakteristik Fisik KPI Terbaik
Karakteristik Densitas Kamba (g/ml) Daya Serap Air (%)
Nilai 0.42 ± 0.002 299.06 ± 27.12
Daya Serap Minyak (%) 86.38 ± 11.99 Hasil analisis menunjukkan bahwa densitas kamba KPI terbaik hasil penelitian ini adalah 0.42 g/ml. Densitas kamba suatu produk pangan ditentukan dari bentuk, ukuran, dan tingkat kekerasan dari produk pangan tersebut (Wirakartakusumah et al., 1992). Hasil analisis menunjukkan bahwa daya serap air KPI terbaik hasil penelitian ini adalah 299.06%. Daya serap air merupakan sifat hidrasi protein atau kemampuan protein untuk menyerap air dan mempertahankannya dalam suatu sistem pangan (Valentina, 2001). Hasil analisis menunjukkan bahwa daya serap minyak KPI terbaik hasil penelitian ini adalah 86.38%. Daya serap minyak merupakan sifat protein dalam menyerap atau mengikat minyak. Hasil analisis profil asam amino menunjukkan bahwa asam amino leusin dan tirosin merupakan asam amino pembatas karena memiliki skor AAE yang terendah dibandingkan asam amino essensial lainnya. Jumlah asam amino lisin mencapai 7.06% sehingga KPI digolongkan sebagai KPI tipe A (Buckle, 1987). Hasil analisis daya cerna protein in vitro menunjukkan bahwa KPI terbaik hasil penelitian ini memiliki daya cerna protein sebesar 98.42 ± 0.18%. KPI terbaik ini digolongkan sebagai KPI tipe A yang memiliki syarat daya cerna minimal
92% (Buckle, 1987). Berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh FAO, KPI terbaik pada penelitian ini dapat digolongkan sebagai KPI Tipe B. Uji Organoleptik Bubur Bayi MP-ASI Pengujian sifat organoleptik dilakukan dengan uji skoring yang bertujuan untuk menentukan satu formulasi bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25% yang memiliki karakteristik organoleptik (Tabel 4) mirip dengan formulasi bubur bayi MPASI dengan substitusi KPI 0%. Tabel 4. Hasil uji organoleptik terhadap lima formulasi bubur bayi MPASI Parameter Kehalusan Kelengketan Kemudahan Ditelan Rasa Asing Aroma Asing Kesukaan Keseluruhan
Tingkat Substitusi KPI 0% 3.83 ± 0.75a 3.30 ± 1.32a 3.57 ± 0.94a 3.40 ± 1.00a 3.23 ± 0.97a 3.80 ± 0.55a
25% 3.3 ± 0.99ab 3.20 ± 1.06a 3.43 ± 0.77a 3.00 ± 0.87a 3.17 ± 0.83a 3.10 ± 0.71b
50% 3.03 ± 1.03b 3.10 ± 0.99a 3.37 ± 0.72a 3.07 ± 1.11a 3.03 ± 1.00a 3.07 ± 0.74b
75% 2.80 ± 1.19b 3.37 ± 1.07a 2.97 ± 0.96ab 2.83 ± 0.99a 3.10 ± 0.99a 2.90 ± 0.71b
100% 2.67 ± 1.12b 2.97 ± 1.07a 2.57 ± 0.97b 2.80 ± 0.96a 3.13 ± 0.94a 2.90 ± 0.96b
Keterangan: Notasi huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05).
Bubur bayi MP-ASI yang baik harus memiliki tingkat kehalusan yang tinggi, tidak lengket dalam mulut, mudah ditelan, tidak memiliki rasa asing dan aroma asing. Formulasi bubur bayi MP-ASI dengan tingkat substitusi KPI 25% tidak berbeda nyata (p < 0.05) terhadap bubur bayi MPASI dengan substitusi KPI 0% pada parameter kehalusan, kelengketan, kemudahan ditelan, rasa asing, dan aroma asing. Oleh karena itu, pada penelitian ini formulasi bubur bayi MPASI yang dengan substitusi KPI 25% adalah formulasi bubur bayi MP-ASI dengan tingkat substitusi KPI 25%. Karakteristik Formula Bubur Bayi MP-ASI dengan Substitusi KPI 25% Formula bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25% dilakukan pengujian mutunya dan dibandingkan dengan mutu dari formula bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 0% dan komersial. Pengujian mutu berupa karakteristik fisik (daya serap air, daya serap minyak, dan densitas kamba), komposisi proksimat, analisis profil asam amino, dan analisis daya cerna in vitro. Hasil analisis karakteristik fisik ketiga bubur tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil karakteristik fisik bubur bayi MP-ASI Komponen
Bubur bayi MP-ASI Substitusi Substitusi Komersial KPI0% KPI 25% b b 44.84 44.68 355.22a 52.26b 61.30b 145.64a
Daya serap air (%) Daya serap minyak (%) Densitas kamba 0.47a 0.48a 0.40b (g/ml) Keterangan : Notasi huruf superscript menunjukkan beda nyata (p < 0.05) pada setiap komponen pengujian
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |351
ISBN 978-602-98902-1-1
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formula bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25% tidak berbeda secara nyata (p > 0.05) dengan formula bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 0%, tetapi berbeda secara nyata (p < 0.05) dengan formula bubur bayi MP-ASI komersial terhadap parameter daya serap air.Hal ini diduga karena karbohidrat pada formula bubur komersial (70.83%) lebih tinggi dibandingkan dengan formula bubur MP-ASI dengan substitusi KPI 0% (66.6%) dan dengan substitusi KPI 25% (54.5%). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formula bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25% tidak berbeda secara nyata (p > 0.05) dengan formula bubur bayi MP-ASI control, tetapi berbeda secara nyata (p < 0.05) dengan formula bubur bayi MP-ASI komersial terhadap parameter daya serap minyak. Densitas kamba pada produk pangan menunjukkan kepadatan yaitu rasio antara berat produk pada volume
tertentu.Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25% tidak berbeda secara nyata (p > 0.05) dengan bubur bayi MP-ASI control, tetapi berbeda secara nyata (p < 0.05) dengan bubur bayi MP-ASI komersial terhadap parameter densitas kamba. MP-ASI yang baik memiliki densitas kamba yang tinggi (Larasati et al.,2008). Komposisi proksimat Bubur Bayi MP-ASI Dengan substitusi KPI 25% Hasil analisis proksimat bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25%, dengan substitusi KPI 0%, Komersial, dan standar bubur bayi MP-ASI menurut FAO dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisis proksimat bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25%, dengan substitusi KPI 0%, komersial, standar bubur bayi MP-ASI menurut FAO (1991) dan SNI (2005) Formula dengan Standar Formula dengan substitusi KPI Komersial Standar FAO Komponen SNI substitusi KPI 0% 25% Air (%)
6.43 ± 0.54b
7.80 ± 0.09a
1.76b
1.97a
21.83 ±
2.85± 0.13c 12.43 ±
1.98b
-
Maksimal 4
Minimal 15
8-22
Protein (%)
13.25 ±
Lemak (%)
10.31 ± 1.46b
12.68 ± 1.29a
0.44 ± 0.26c
10-25
6-15
Karbohidrat (%)
71.75 ± 6.25b
61.08 ± 5.94c
82.67 ± 1.79a
-
-
Abu (%)
3.41 ± 0.23a
2.94 ± 0.03b
1.83 ± 0.43c
-
Maksimal 3.5
Energi per 100 gram (kkal) 432.76 ± 14.06a 420.44 ± 27.52a 383.48 ± 2.42b Minimal 400 Keterangan : Notasi huruf superscript yang berbeda pada diagram menunjukkan beda nyata (p < 0.05) Hasil analisis profil asam amino menunjukkan bahwa tirosin merupakan asam amino essensial pembatas karena memiliki skor AAE terendah (64.71).Adanya data asam amino essensial pembatas dari bubur MP-ASI dengan substitusi KPI 25% dapat digunakan untuk meningkatkan suplementasi asam amino tirosin supaya nilai gizinya bertambah. Hasil analisis daya cerna protein in vitro menunjukkan bahwa daya cerna protein pada bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25% adalah 86.11 ± 1.06%.Daya cerna protein in vitro untuk bubur
-
bayi MP-ASI Komersial adalah 86.1% (Mirdhayati, 2004).Menurut FAO (1991), salah satu syarat produk makanan bayi pendamping ASI adalah memiliki daya cerna protein minimal 70%. Oleh karena itu, bubur Bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25% ini telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan FAO berdasarkan parameter kadar protein, lemak, total energi dan daya cerna protein. Bubur bayi dengan substitusi KPI 25% ini juga telah sesuai dengan standar SNI berdasarkan parameter kadar protein, lemak dan abu.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |352
ISBN 978-602-98902-1-1
KESIMPULAN KPI Lele terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini adalah KPI yang dibuat dengan metode tanpa penambahan garam dengan empat kali tahapan pengulangan defatting. Kadar protein, lemak, dan air KPI terbaik secara berurut adalah 84.79%, 1.69%, dan 7.48%. Karakteristik fisik KPI terbaik adalah daya serap air sebesar 299.06%, daya serap minyak sebesar 86.38%, dan densitas kamba sebesar 0.42g/ml. Daya cerna in vitro KPI terbaik adalah 98.42%. Asam amino pembatas dalam KPI terbaik adalah tirosin dan leusin.Berdasarkan standar mutu FAO KPI Lele terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini tergolong dalam KPI tipe B. Formula bubur bayi MP-ASI dengan substitusi KPI 25% yang dihasilkan pada penelitian ini adalah Formula bubur bayi dengan subtitusi KPI 25% dari susu skim. Kadar protein, lemak, dan karbohidrat formula bubur bayi MP-ASI tersebut adalah 21.83%, 12.68%, dan 54.75%. Total energi yang didapat dari 100 g bahan kering adalah 420.44 kkal. Karakteristik fisik bubur bayi MP-ASI tersebut adalah daya serap air sebesar 44.68%, daya serap minyak sebesar 61.30%, dan densitas kamba sebesar 0.48 g/ml. Daya cerna in vitro bubur MP-ASI tersebut adalah 86.11%. Asam amino pembatas pada bubur bayi MP-ASI tersebut adalah tirosin. Bubur bayi MP-ASI dengan subtitusi KPI 25% ini telah sesuai dengan persyaratan mutu FAO (1991) berdasarkan komposisi proksimat, total energi yang didapat dan telah sesuai dengan SNI (2005) berdasarkan komposisi proksimat. Bubur MP-ASI dengan tingkat substitusi 25% KPI dari susu skim dapat meningkatkan kadar protein 9.40 % lebih banyak dibandingkan dengan bubur MP-ASI komersial. Bubur MP-ASI dengan tingkat substitusi 25% KPI dari susu skim hanya memiliki satu asam amino pembatas yaitu tirosin. Bubur bayi MP-ASI dengan tingkat substitusi 25% KPI dari susu skim memiliki kandungan nutrisi dan daya cerna protein yang lebih tinggi dibanding bubur bayi MP-ASI komersial.
DAFTAR PUSTAKA AOAC.Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. USA: AOAC, Inc. 2005. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan (diterjemahkan oleh H. Poernomo dan Adiono). Jakarta: UI Press. Dewi Larasati, Sri Budi Wahjuningsih, dan Erry Pratiwi. Kajian Formulasi Bubur Bayi Instan Berbahan Dasar Pati Garut (Maranta arundinaceae L) sebagai Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Terhadap Sifat Fisik Dan Organoleptik. “Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian (2008) Vol. 5 No. 2 Halaman 112-118” FAO/WHO. 1991. Guidelines on Formulated Suplementary Foods for Older Infants and Young Children. Rome: FAO/WHO. Hendra, Edwin. 2008. Pemanfaatan Konsentrat Protein Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus) pada Formulasi Produk Bubur Makanan Pendamping ASI. Karawaci: Universitas Pelita Harapan.
Huda, N, Aminah Abdullah, dan Abdul Salam Babji. 1998. Effect of Drying Temperature on The Fungtional Properties Fish Protein Concentrate From Lizzard fish (Saurida tumbil). Universiti Kebanggaan Malaysia. Koesoemawardhani, Dyah dan Fibra Nurainy.2008. Karakteristik Konsentrat Protein Ikan Rucah.[Seminar Nasional]. Lampung: Universitas Lampung. Larasati, Wahjuningsih, S. B. dan Pratiwi. E. 2008.Kajian Formulasi Bubur Bayi Instan Berbahan Dasar Pati Garut (Maranta arundinaceae L) sebagai Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Terhadap Sifat Fisik Dan Organoleptik. J Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Vol. 5 No. 2 : 112118” Lehninger, A.L. 1984. Dasar-Dasar Biokimia (diterjemahkan oleh Dr. Ir. Meggy Thenawidjaja). Jakarta : Erlangga. Martin, R.E. 2000. Marine and Freshwater Products Handbook. USA: Technomic Publishing Company. Meilgaard, M.C, Gail Vance Civille, dan B. Thomas Carr. 2007. Sensory Evaluation Technique. London: CRC Press. Mirdhayati, Irdha. 2004. Formulasi dan karakterisasi sifat-sifat fungsional bubur garut (Maranta arundinaceae Linn) sebagai makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI). [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-7111.1-2005. Makanan Pendamping Air Susu Ibu: Bubuk Instan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta : 2005. Suzuki, Taneko. 1981. Fish and Krill Protein. London: Applied Science Publishing LTD. Valentina, V.S, Monang Manullang. 2001. The Production of Wheat Pollard Protein Concentrate, a Wheat Milling Byproduct Utilization.Journal Technology dan Industri Pangan Vol. XII, No.1. Victoria Valentina Sugijanto, Monang Manullang. “The Production of Wheat Pollard Protein Concentrate, a Wheat Milling Byproduct Utilization.” Journal Technology dan Industri Pangan Vol. XII, No.1 Th.2001. Winarno, F.G. 2004.Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gamedia Pustaka Utama. Windsor, M.L. 2001.Fish Protein Concentrate. USA: Torry Research Station. Wirakartakusumah, M.A., K. Abdullah, dan A.M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |353
ISBN 978-602-98902-1-1
SCALE-UP PENGOLAHAN LIDAH BUAYA (ALOE VERA) UNTUK PRODUKSI PANGAN FUNGSIONAL Sri Istini, Edi Wahjono dan Karnadi
Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gd. BPPT II Lt. 15, Jl. MH. Thamrin No. 8, Jakarta-10340
[email protected]
ABSTRAK Lidah buaya (Aloe vera) adalah salah satu jenis tanaman yang diketahui memiliki banyak manfaat dan khasiat bagi kesehatan dan telah digunakan sebagai obat herbal dan minuman kesehatan di berbagai negara. Kandungan senyawa aktif pada pelepah lidah buaya atara lain aloin, acemannan, asam aloelat, anthraquinon dan emodin. Ketersediaan sumber bahan baku lokal lidah buaya di Indonesia menjadikan peluang pengembangan lidah buaya sebagai produk pangan fungsional di Indonesia cukup prospektif. Namun demikian proses pengolahan/produksi untuk menghasilkan produk yang berkualitas masih perlu dikembangkan. Sebagai solusinya adalah dilakukan kajian pengolahan lidah buaya menjadi produk pangan fungsional pada skala laboratorium dan dikembangkan pada skala yang lebih besar (scale up) yaitu 100 kg/jam bahan baku. Proses produksi pangan fungsional Aloe vera dilakukan melalui tahapan: pencucian, pemotongan dan pengupasan, blanching, ekstraksi gel liquid, pasteurisasi dan pengemasan. Data proses produksi yang dihasilkan adalah yield sekitar 45% berupa gel liquid, viskositas 12 – 16,8 mPas, pH 4,17 – 4,4 , kadar aloin 69,386 – 81,404 ppm dan cemaran mikroba 2,3x102 – 2,8x102 cfu/ml. produk pangan fungsional ini dalam kemasan 300 – 500 ml. Keyword : Lidah buaya (Aloe vera), pangan fungsional, scale up, gel liquid.
PENDAHULUAN Lidah buaya (Aloe vera) adalah salah satu jenis tanaman yang diketahui memiliki banyak manfaat dan khasiat bagi kesehatan. Tanaman ini telah lama dikenal sebagai “ The Miracle Plant” serta banyak digunakan di berbagai negara seperti Cina, India dan Amerika sebagai bahan obat herbal dan minuman kesehatan. Lidah buaya merupakan tanaman sekulen (bergetah dan berdaging), dengan rata-rata jumlah daun 10-30 lembar, dengan ketebalan sekitar 2,5 cm (Morsy, 1991). Di dalam pelepah lidah buaya terdapat gel yang merupakan bagian yang paling banyak penggunaannya. Komponen terbesar dari gel lidah buaya adalah air yaitu 99,5% dan sisanya adalah padatan yang terdiri dari karbohidrat mono dan polisakharida. Pelepah lidah buaya mengandung beberapa senyawa aktif seperti aloin, acemannan, asam aloelat, anthraquinon dan emodin. Di Indonesia lidah buaya telah banyak dikembangkan di beberapa daerah, tapi pemanfaatannya belum dilakukan secara maksimal. Ada 3 (tiga) jenis lidah buaya yang dibudidayakan secara komersial yaitu Curacau aloe atau Aloe vera (Aloe barbadensis Miller), Cape Aloe atau Aloe ferox Miller dan Socotrine aloe atau Aloe perryii Baker. Dari ketiga jenis tersebut yang banyak dimanfaatkan adalah spesies Aloe barbadensis Miller karena mempunyai beberapa keunggulan di antaranya tahan hama, mengandung 75 nutrisi dan aman dikonsumsi. Lidah buaya juga mengandung senyawa polisakarida (terutama glukomanan atau acemanan) yang berkhasiat sebagai peningkat daya tahan tubuh (imunomodulator) bekerjasama dengan asam amino esensial dan sekunder serta enzim oksidase, katalase, lipase dan enzim-enzim pemecah protein (Furnawanthi, 2007). Hasil penelitian menunjukkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam lidah buaya
seperti : asam amino (esensial dan non esensial), vitamin, mineral, enzim, polisakharida dan senyawa kompleks antraquinon. Di samping itu lidah buaya banyak mengandung senyawa aktif seperti antioksidan, antibakteri, antiviral dan senyawa aktif lain yang berkhasiat untuk mencegah timbulnya penyakit dan membantu untuk mencegah munculnya penyakit degeneratif seperti diabetes melitus, serta meningkatkan kekebalan tubuh. Senyawa yang berperan pada pencegahan penyakit diabetes di antaranya adalah aloin. Dengan demikian lidah buaya sangat berpotensi sebagai bahan baku pangan fungsional. Selain itu pada akhir-akhir ini masyarakat akan lebih menyukai pemakaian produk herbal (back to nature) untuk mengatasi masalah kesehatan. Perkembangan penyakit di Indonesia semakin komplek, mulai dari penyakit karena infeksi hingga gangguan metabolisme seperti penyakit degeneratif dan kanker. Salah satu penyebab penyakit adalah karena perubahan gaya hidup, pola makan dan hidup masyarakat yang tidak sehat. Di samping itu telah diketahui bahwa baik penyakit infeksi maupun penyakit kanker akan dapat dibantu penyembuhannya dengan pangan fungsional berbasis imunomodulator yang di antaranya menggunkana bahan baku lidah buaya. Sementara ini budidaya lidah buaya untuk bahan baku industri mulai berkembang di beberapa daerah. Namun demikian lidah buaya banyak dipasarkan dalam bentuk pelepah segar atau dalam bentuk minuman atau dodol dari lidah buaya produksi industri tumah tangga atau industri kecil. Di sisi lain demikian pengembangan produk sebagai pangan fungsional ini masih menemui kendala dalam hal optimalisasi proses produksi, kualitas produk dan pengemasan. Beberapa kajian pengolahan pangan fungsional untuk peningkatan daya tahan tubuh telah dilakukan pada skala
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |354
ISBN 978-602-98902-1-1
laboratorium dan selanjutnya dikembangkan teknologinya pada skala produksi/komersial. Untuk itu perlu dilakukan scale-up proses produksi pangan fungsional pada skala menengah dengan menggunakan peralatan pada skala yang lebih besar. Adapun tujuan dilakukannya kegiatan scale-up pengolahan pangan fungsional ini adalah untuk menguasai teknologi produksi (mendapatkan data teknis produksi) pada skala menengah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai referensi untuk pengembangan skala komersial / industri. METODOLOGI a) Bahan dan alat. Bahan baku yang digunakan adalah lidah buaya jenis Aloe barbadensis berasal dari Tabanan, Bali. Sedangkan bahan tambahan pangan yang digunakan adalah : gula, asam sitrat, asam askorbat, potasium sorbat dan flavor. Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Unit pencucian bahan baku ( bak pencuci dan kran-kran air) kapasitas sampai 50 kg; 2. Alat pemotongan dan pengupasan lidah buaya ( alat manual : meja, pisau dan tempat gel lidah buaya padat); 3. Alat blancher (terdiri dari conveyor , pemanasan dengan uap air dan sistim tertutup); 4. Gel Liquid Extractor untuk membuat cairan lidah buaya (gel liquid) yang dilengkapi hopper dan tombol on/of , kapasitas 150 l/jam, bahan dari stainlessteel (Ulrich , 1984) 5. Pasteurizer yang merupakan alat untuk pasteurisasi gel liquid yang sudah terformulasi. Unit pasteurisasi ini dilengkapi dengan tangki penampung bahan (Feeding Tank) dan tangki produk hasil pasteurisasi (Product Tank) , menggunakan pemanas oli, bahan dari stainlessteel Alat pengemas yang menggunakan kemasan botol dalam volume 300 – 500 ml. b) Metode Metode produksi yang dilakukan pada kegiatan scale-up produksi pangan fungsional ini adalah melalui evaluasi dari beberapa hasil kajian produksi pangan fungsional pada skala laboratorium, data ketersediaan bahan baku lidah buaya dan pengolahan lidah buaya di lapangan seperti industri rumah tangga ataupun industri skala menengah (IKM). Maka untuk mengembangkan produksi pangan fungsional pada skala industri perlu dilakukan uji produksi pada kapasitas skala menengah yang kemudian data-data teknis ini dijadikan acuan untuk pengembangan skala produksi komersial / industri. Untuk mendapatkan gambaran kualitas produk, maka dilakukan analisa kualitas dengan parameter yang dianalisa: pH, viskositas, kadar aloin dan jumlah mikroba. Proses Produksi Proses produksi pangan fungsional aloe vera yang dilakukan adalah modifikasi dari proses pengolahan juice gel aloe vera (Ramachandra & Rao, 2008) dan (Alibaba, 2009). Bahan baku lidah buaya dari hasil panen sejumlah (10 kg dan 100 kg) dibersihkan dari kotoran-kotorannya, dicuci dengan air kran secara langsung sambil disikat sampai bersih. Kemudian direndam dalam larutan KMnO4 0,2 % pada konsentrasi rendah
untuk menghilangkan adanya bakteri yang menempel pada pelepah lidah buaya, selanjutnya dibilas / dicuci kembali dengan air bersih (Budi S., 2009) Pelepah lidah buaya yang sudah bersih dipotong kedua ujungnya dan dibagi 2 atau 3 kemudian dikupas kulitnya sehingga diperoleh gel lidah buaya yang bersih. Kemudian dilanjutkan proses blanching yaitu pemanasan dengan uap pada suhu 90°C dengan alat blancher yang dilakukan selama 3 – 5 menit. Setelah proses blanching, gel lidah buaya dimasukkan ke dalam alat gel liquid extractor berkapasitas 150 kg/jam untuk mendapatkan gel liquid (cairan lidah buaya). Hasil samping berupa butiran gel solid (cacahan) yang juga digunakan dalam minuman aloe vera tersebut sebagai sumber serat. Selanjutnya gel cair diformulasikan dengan menambahkan bahan tambahan pangan pada komposisi tertentu menjadi produk pangan fungsional peningkat daya tahan tubuh. Proses pencampuran dilakukan dalam tangki pencampur dilakukan pada ruangan yang bersih, kemudian diaduk menggunakan homogenizer sampai larut dan homogen. Pengadukan dilakukan selama 10 – 15 menit dan setelah itu dilakukan proses pasteurisasi terhadap hasil formulasi pangan fungsional menggunakan pasteurizer dengan sistem HTST (High Temperature Short Time) yaitu pemanasan pada suhu tinggi dalam waktu singkat. Hasil pasteurisasi kemudian dikemas dalam botol yang berwarna gelap / tidak transparan pada volume 300 ml/kemasan. Untuk menghindari proses pemanasan berkelanjutan yang berpotensi dapat merusak zat-zat gizi/bahan aktif lidah buaya, maka dilakukan pendinginan cepat terhadap produk pangan fungsional yang sudah dikemas dengan cara mendinginkan produk dalam kemasan dengan menyiram secara langsung dengan air kran pada bak yang berisi produk. Analisa Produk Untuk mengetahui kualitas produk pangan fungsional yang dihasilkan dilakukan pengukuran : rendemen, viskositas, pH dan kadar aloin. Parameter analisa yang digunakan adalah: 1. Rendemen ditentukan dari berat hasil akhir / berat bahan baku x 100%; 2. Viskositas diukur dengan alat viskometer Brookfileld dengan sistim digital; 3. Kadar keasaman atau pH diukur dengan pH meter; 4. Kadar aloin diukur menggunakan HPLC. 5. Cemaran mikroba .(SNI-01-3219-1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi pangan fungsional pada penelitian ini menggunakan bahan baku Aloe barbadensis dengan kapasitas bahan baku masing-masing 10 kg dan 100 kg. Data hasil kajian pengolahan pangan fungsional berbasis lidah buaya pada skala laboratorium dengan volume 1 liter memberikan hasil produk formula yang telah memenuhi persyaratan sebagai minuman kesehatan. Kajian skala lab memberikan hasil sebagai berikut : produk akhir (rendemen) sekitar 45%, pH 4,5 dan viskositas antara 12 – 16,7
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |355
ISBN 978-602-98902-1-1
mPas dan cemaran mikroba 1,2x102 - 2,5x10 2 cfu/ml. (Fatim et.al., 2009). Tinggi rendahnya rendemen yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan baku. Makin besar pelepah lidah buaya yang digunakan akan menghasilkan rendemen produk yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelepah lidah buaya kecil. Pelepah lidah buaya yang kecil bila dipotong-potong akan menghasilkan gel pulp yang lebih sedikit dan banyak yang terbuang sehingga pemilihan bahan baku menjadi penting. Dari hasil percobaan diperoleh rendemen + 45% terhadap bahan baku awal. Derajat keasaman (pH) produk mencapai 4.5 ini karena pH dari bahan baku lidah buaya bersifat asam. Disamping itu adanya tambahan asam sitrat dan asam askorbat juga cenderung menurunkan derajat keasaman (pH). Tetapi dengan adanya penambahan potasium sorbat dapat membantu menaikkan nilai pH produk mencapai 4.5 sehingga tidak terlalu asam dan tidak membahayakan lambung. Sedangkan viskositas produk diperoleh pada kisaran 12 – 16,8 mPas. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan proses pemanasan terutama proses pasteurisasi. Pada proses pasteurisasi digunakan sistem HTST yaitu perlakuan pada temperatur tinggi dalam waktu singkat. Temperatur tinggi tersebut dapat menurunkan viskositas cairan gel lidah buaya. Cemaran mikroba masih dalam ambang batas untuk standar SNI yaitu 2x102 cfu/ml. Adanya cemaran mikroba dapat ditekan dengan cara penambahan bahan pengawet, pasteurisasi dan mengkondisikan produk dalam pH rendah sekitar 4-5. Selanjutnya dilakukan ujicoba produksi pangan fungsional dengan peningkatan kapasitas produksi yaitu 10 kg bahan baku lidah buaya diolah menjadi pangan fungsional Aloe vera dengan metode pengolahan yang sama dan mengacu pada proses skala laboratorium. Disamping itu, juga digunakan peralatan yang agak berbeda seperti screwroll press untuk membuat ekstrak gel liquid, proses blanching pada suhu 70°C selama 5 menit dan pasteurisasi menggunakan alat pasteurizer manual menggunakan suhu 80 °C selama 10 menit. Produk pangan fungsional lidah buaya yang dihasilkan sekitar 4,5 - 4,8 liter dengan karakter sifat produk seperti pada tabel 1. Rendemen yang dihasilkan berkisar 45 – 50% , dengan viskositas 11,67 – 16,7 mPas, pH berkisar 4 – 5 karena lidah buaya bersifat asam , produk yang dihasilkan dengan penambahan asam sitrat akan menambah keasaman. Kadar aloin berkisar antara 82,25 – 85,79 ppm. Dari hasil analisa cemaran mikroba diatas masih memenuhi standar SNI 01-3219-1995 yang menyebutkan batasan TPC adalah 2x102 cfu/ml. Viskositas, pH dan jumlah mikroba menjadi parameter yang dianalisa. Parametr ini akan saling melengkapi dan menjelaskan perubahan hasil berdasarkan perubahan proses dan kondisi. Misalnya jika terjadi kontaminasi mikroba yang dapat dilihat dari jumlah mikroba yang tinggi, akan menjadikan nilai pH menurun dan viskositas juga turun. Tabel 1. Karakterisasi produk pangan fungsional Aloe vera pada kapasitas 10 kg
Karakterisasi Rendemen (%) Viskositas (mPas) pH Kadar Aloin (ppm) Cemaran mikroba (cfu/ml)
Kondisi blanching pada suhu 70°C selama 5 menit. 45 – 50 . 11,7 – 16,7 4-5 82,25 – 85,79. 1,2x102 - 2,5x10 2
Dari hasil ujicoba produksi pada kapasitas 10 kg perlu dilanjutkan dengan kegiatan proses produksi dengan kapasitas yang lebih besar (scale up)untuk mendukung pengembangan produksi pada kapasitas skala industri / komersial. Untuk scaleup produksi digunakan bahan baku lidah buaya Aloe barbadensis sekitar 100 kg sebagai kapasitas menengah dengan menggunakan pengembangan desain peralatan utama yang dibutuhkan diantaranya Gel Liquid Extractor dan Pasteurizer yang membutuhkan modifikasi kondisi operasi tertentu. Tabel 2. Pengaruh lama proses blanching terhadap sifat/karakter produk Keterangan Rendemen (%) Viskositas (CP) pH Kadar Aloin (ppm) Cemaran mikroba (cfu/ml)
Blanching selama 3 menit
Blanching selama 5 menit
Blanching selama 10 menit
45
44
44
16,8
12
10
4,17
4,4
4,5
81,404
69,386
63,659
2,8 x 102
2,3 x 102
2,3 x 10 2
Pencucian bahan baku dimaksudkan untuk membersihkan pelepah lidah buaya dari kotoran atau debu seperti tanah dan cemaran mikroba lainnya yang menempel. Pemotongan pelepah lidah buaya dilakukan pada kedua ujungnya untuk mempermudah dalam pengupasan dan diusahakan pengupasan kulitnya sebersih mungkin agar diperoleh gel lidah buaya yang bersih. Pada proses pengupasan pada umumnya keluar cairan lendir yang lama kelamaan dapat berubah warna menjadi kuning kecoklatan karena adanya proses oksidasi dan enzimatis (browning). Untuk itu gel padat lidah buaya dicuci lagi dengan air bersih dan dilanjutkan dengan proses blanching yaitu pemanasan dengan uap pada suhu tinggi (70-80°C) dalam waktu 3 sampai 10 menit. Dari hasil pengukuran viskositas produk pangan fungsional pada proses blanching selama 3 menit, 5 menit dan 10 menit menunjukkan nilai viskositas yang menurun yaitu 16,8 mPas, 12,0 mPas dan 10,0 mPas. Hal ini disebabkan karena
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |356
ISBN 978-602-98902-1-1
ekspose panas dalam waktu yang lebih lama dapat menurunkan viskositas bahan. Dari ketiga nilai viskositas tersebut yang optimum adalah 16,8 mPas yaitu pada proses perlakuan blanching selama 3 menit. Sedangkan pada pengukuran derajat keasaman (pH) produk pangan fungsional berkisar antara 4,1 sampai 4,5. Produk bersifat asam karena pada dasarnya bahan baku lidah buaya mempunyai pH asam sehingga dengan penambahan asam askorbat dan asam sitrat sebagai pengatur pH larutan produk cenderung tetap bersifat asam. Penambahan potasium sorbat diharapkan dapat sedikit menaikkan pH menjadi sekitar 4.5-5.0 sehingga aman untuk dikonsumsi. Berdasarkan hasil pada Tabel 2, menunjukkan bahwa kandungan aloin cenderung berubah terhadap lamanya kontak panas bahan selama proses blanching berlangsung. Hal ini menunjukkan aloin pada suhu tertentu ( diatas 70°C) cenderung turun hal ini disebabkan karena terjadinya keseimbangan konsentrasi aloin dan turunannya (barbaloin dan emodin) sehingga kadar aloin yang terukur lebih rendah dari pemanasan pada suhu yang lebih rendah. (Karnadi,2010) Sedangkan pada uji cemaran mikroba terhadap produk pangan fungsional dengan proses blanching selama 3 menit adalah 2,8 x 102 cfu/ml sedangkan pada blanching selama 5 menit ataupun 10 menit mempunyai cemaran mikroba yang sedikit lebih rendah yaitu 2,3 x 102cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan proses blanching selama 3 menit dan proses pasteurisasi pada suhu tinggi dalam waktu singkat cukup untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme sesuai dengan standar SNI yang berlaku. Untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap produk yang telah dihasilkan, maka telah dilakukan uji organoleptis terhadap produk pangan fungsional aloe vera yang meliputi : rasa, warna, kejernihan dan taste yang spesifik. KESIMPULAN
ditindaklanjuti atau dijadikan referensi untuk pengembangan produksi pada skala yang lebih besar/komersial. DAFTAR PUSTAKA Alibaba.com. 1999-2009. “Aloe Vera Gel & Juice Plants”. Hongkong Limited and licensors. http://www.freepatentsonline.com/7329421.html Anonim. SNI-01-3219-1995. Cara uji cemaran mikroba. Budi S. 2009. Fasilitas pencucian peralatan dan makanan dalam Hygiene Tempat Pengolahan Makanan Fatim. 2009. Optimasi Uji Cemaran Mikroorganisme pada ekstrak Aloe vera. Technical Report , BPPT. 10 hal. Furnawanti I. 2007. Mengenal lidah buaya. Dalam Khasiat & Manfaat Lidah Buaya SI TANAMAN AJAIB . hal 5 – 10. Karnadi.2010.Karakterisasi Aloin pada Aloe vera Yang dipekatkan dan dipasteurisasi.Technical Report,. BBPT Morsy E.M. 1991. Study of The Nutritional value of Aloe vera Gel. Dalam The Final Technical Report On Aloe vera Stabilization & Processing For The Cosmetic. Bevarage & Food Industies. CITA International. P 60 -62 Ramachandra C.T. and Rao P.Srinivasa. 2008.”Processing of Aloe Vera Leaf Gel : A Review” American Journal of Agricultural and Biological Sciences. 3(2). pp. 502-510. Department of Agricultural and Food Engineering. Indian Instutute of Technology. Kharagpur India. Ulrich Gael D. 1984. Size Enlargement Equipment. Spesifacation and Design of Equipment . dalam A Guide to Chemical Engineering Process Design and Economic. University New Hampshire. P. 240-242.
Produk pangan fungsional peningkatan daya tahan tubuh dengan bahan baku Aloe barbadensis tanpa penambahan air diproduksi pada skala menengah (scale-up) menggunakan peralatan yang cukup memadai dapat memenuhi standar SNI yang berlaku yaitu untuk standar minuman jus. Mengingat pada proses blanching pada suhu tinggi dalam waktu 3, 5 dan 10 menit menunjukkan hasil yaitu rendemen, viskositas, pH , kadar aloin dan adanya cemaran mikroba menunjukkan hasil beda yang signifikan maka dalam proses blanching dapat dilakukan selama 3-5 menit untuk menghasilkan produk pangan fungsional peningkatan daya tahan tubuh dengan rendemen sekitar 45%, viskositas 16,8 mPas, pH 4.5 , kandungan bahan aktif aloin relatif stabil yaitu 81,404 ppm dan cemaran mikroba 2,3x102 cfu/ml. Untuk mendapatkan respon terhadap tingkat penerimaan konsumen dapat dilakukan uji organoleptik dari produk pangan fungsional Aloe vera yanf meliputi test rasa, warna,kejernihan dan rasa spesifik. Selanjutnya hasil ini dapat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |357
ISBN 978-602-98902-1-1
Karakteristik Proses Pengeringan Cabe (Capsicum annuum) Pada Alat Pengering Energi Surya Dengan Sumber Panas Pengganti [Characteristic Drying Process of Chili (Capsicum annuum) on solar energy dryers with a heat source replacement] Fadhil Abdullah1)*, Frans Wenur1), dan Dedie Tooy2)
*Staf PengajarProgram Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo,
1)
1-2)Staf
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi
ABSTRACT The purpose of this study was to look at the characteristics of drying chili using solar energy to heat charcoal as a substitute which includes changes in temperature , relative humidity ( RH ) , drying rate and its relationship with water content of dried chili products , as well as determining the efficiency of drying chillies.The results showed that using the sun's heat, the material temperature can reach 42-500C is the use of substitute sources of heat from the furnace of charcoal, the material temperature can reach 45-55 0C. Humidity (RH) air dryer at drying with sunlight varies from 50% up to 80%. being on drying with charcoal furnace, the average RH lower reaches 44.6%. Drying rate of the final moisture content ranged from 6.7 to 7.1% mm chili with a shelf below the smallest levels of water followed by the middle shelf and top shelf. Observations on the efficiency of drying indicates that the use of heat from solar collectors gave the highest drying efficiency by 6.11% was the use of heat from the furnace shell charcoal substitute its efficiency is only around 0.16 to 0.81%. Key words:Heat Exchanger, Chili, Drying, Solar energy
PENDAHULUAN12 Karakteristik cabe yang mudah rusak (perisable) menyebabkan fluktuasi harga cabe sangat tinggi dari waktu ke waktu. Jatuhnya harga hingga mencapai tingkat yang sangat tidak ekonomis sering harus diterima petani karena tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menjual secepatnya dengan harga murah. Karena itu perlu dilakukan upaya untuk memperpanjang umur simpannya disamping memudahkan pendistribusian serta meningkatkan nilai tambahnya melalui upaya pengolahan menjadi cabe kering, tepung cabe atau saus cabe.Pengeringan surya (solar drying) berbeda dengan penjemuran walaupun keduanya menggunakan energi panas matahari.Pada pengeringan surya, bahan terlindung dari kontak langsung dengan udara luar sehingga terhindar dari embun, tikus, burung dan serangga perusak serta lebih menjamin mutu dan waktu pengeringan yang lebih pendek. Di sini suhu udara pengering dapat mencapai 10oC300C lebih tinggi dari suhu udara sekitar dan tidak memerlukan bahan bakar minyak (BBM), tidak butuh area yang luas sehingga berfungsi seperti pengeringan buatan tanpa perlu BBM. Penelitian ini bertujuan Menentukan karakteristik pengeringan cabe menggunakan alat pengering surya yang dilengkapi sumber panas pengganti, Untuk menggambarkan kerja alat pengering surya dalam proses pengeringan cabe meliputi perubahan suhu, kelembaban relatif (RH), laju pengeringan dan kondisi cabe kering dilihat dari kadar air akhir yang dicapai dan Menentukan efisiensi
*Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
pengeringan cabe menggunakan alat pengering surya dengan sumber panas pengganti
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian pengeringan ini adalah cabe merah segar (Capsicum annuum), air hangat dan arang tempurung sebagai bahan bakar pengganti. Bahan untuk konstruksi alat pengering surya terdiri dari: Papan, lata, tripleks, kawat anyam, styrofoam, plastik transparan, seng gelombang, seng plat, cat minyak, besi siku dan paku. Alat yang digunakan terdiri dari: Tungku berbahan dasar tanah liat (tungku arang), phyranometer, termokopel CA, recorder suhu, timbangan digital, anemometer type propeler, oven, alat-alat gelas dan ATM. Prosedur Kerja 1. Alat pengering surya diletakkan di lapangan terbuka yang tidak terkena naungan sepanjang hari. Posisi alat membujur utaraselatan sehingga lintasan matahari bergerak dari sisi satu ke sisi lain dari alat pengering. 2. Bahan cabe (Capsicum annuum) diambil dari kebun petani di Tomohon. Cabe yang dikeringkan dalam alat pengering surya di blansir terlebih dahulu dengan mencelupkannya ke dalam air panas suhu 900C selama ± 6 menit lalu di celupkan kedalam air dingin suhu ± 250C dan selanjutnya ditiriskan.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |358
ISBN 978-602-98902-1-1
3. Bahan kemudian di belah arah memanjang buah serta dilepas tangkainya dan selanjutnya di letakkan pada rak-rak dengan kepadatan 4kg setiap rak. 4. Untuk bahan contoh yang akan diamati perubahan beratnya selama pengeringan, digunakan ubinan terbuat dari kawat anyam berukuran 15cm x 15cm yang diletakkan di tengah rak. Masing-masing rak terdapat satu ubinan contoh. 5. Rak yang sudah berisi bahan dimasukkan ke dalam ruang pengering. Di setiap rak diambil satu cabe untuk ditancapkan termokopel sebagai contoh suhu bahan di rak bersangkutan. Dalam ruang plenum ditempatkan satu termokopel untuk pengamatan suhu udara yang keluar kolektor atau suhu udara dari pemindah panas. Di bagian atas ruang pengering ditempatkan termokopel (sebagai suhu bola kering), juga di tempatkan sebuah tabung kecil berisi air dan kapas basah untuk pengamatan suhu bola basah yang berguna bagi penentuan kelembaban udara (RH). Dua termokopel lainnya di tempatkan di ujung kolektor untuk pengamatan suhu udara sebelum masuk ke kolektor suhu bola basah luar. 6. Pengamatan perubahan berat bahan untuk mengetahui perubahan kadar air selama proses pengeringan dilakukan terhadap ubinan contoh, yang di timbang dan dicatat beratnya setiap 30 menit. Pada waktu yang sama juga dilakukan pengamatan kecepatan aliran udara dalam ruang pengering menggunakan anemometer. 7. Pengamatan Intensitas radiasi matahari dilakukan dengan menempatkan sensor pyranometer di samping alat pengering yang dihubungkan ke recorder. Interval perekaman sama dengan suhu yaitu setiap satu menit. 8. Proses pengeringan dilakukan dalam beberapa tahap: Tahap pertama, pengeringan dengan sumber panas matahari/surya (jam 09.00-17.00) dilanjutkan tahap kedua dengan sumber panas tungku arang (jam 18.00-24.00). Pengeringan kemudian dilanjutkan tahap selanjutnya pada hari berikutnya hingga dicapai kadar air <10%. Pada hari hujan, tahap pertama dilakukan menggunakan sumber panas pengganti diikuti penggunaan panas matahari dan seterusnya. Metode Perhitungan 1.Kelembaban Udara Kelembaban udara (RH) ruang pengering dan udara luar ditentukan berdasarkan data suhu udara bola kering dan suhu udara bola basah dengan mengacu pada model yang dikembangkan Humidity Formulas (2010) sebagai berikut :
Rasio campuran aktual udara (W), dapat di tentukan dengan persamaan …………(Pers. 2) Keterangan : Cp Cpv Tdb Twb Lv Eswb P
-
Panas jenis udara kering pada tekanan tetap, J/g Panas jenis uap air pada tekanan tetap, J/g Suhu udara bola kering, oC Suhu udara bola basah, oC Panas laten penguapan air, J/g Tekanan uap jenuh pada suhu bola basah, mb Tekanan atmosfir, mb.
Sedang rasio campuran jenuh udara (Ws), ditentukan dari persamaan: …………………….. (Pers. 3) disini, Es adalah tekanan uap jenuh dalam satuan milibar (mb) yang dihitung dari persamaan: ……(Pers. 4) 2.Kadar Air Penentuan kadar air bahan dilakukan dengan menggunakan metode oven sebelum dan sesudah proses pengeringan. Kadar air ditentukan berdasarkan prosedur AOAC dalam Sudarmadji, et.al.,(1977) sebagai kadar air dalam persen basis basah (% b.b.) sebagai berikut : a. ditimbang contoh yang telah dihaluskan sebanyak 5g dalam wadah timbang yang telah diketahui beratnya. b. dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC-105oC selama 7-8 jam. Kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Panaskan lagi dalam oven selama 30 menit, dinginkan dalam eksikator dan ditimbang kembali. Perlakuan ini diulang kembali sampai tercapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg) c. pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan atau
…………………… (Pers. 1) Keterangan :
RH
-
Kelembaban relatif udara, %
W Ws
- Rasio campuran aktual udara, - Rasio campuran jenuh udara, -
…………… (Pers. 5) Keterangan : diovenkan, g oven, g
KA M(0)
- Kadar air contoh, % b.b Berat awal contoh sebelum
M
- Berat akhir contoh sesudah kering
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |359
ISBN 978-602-98902-1-1
Perubahan kadar air bahan selama berlangsungnya pengeringan dihitung dari perubahan berat ubinan contoh pada masing-masing rak. Di sini kadar air akhir proses pengeringan dijadikan dasar perhitungan dengan terlebih dulu ditentukan berat bahan kering (dry matter) ubinan contoh ………(Pers. 6) dengan
ηds - Efisiensi pengeringan dengan panas matahari, mv -massa air yang diuapkan, kg mp- massa produk, kg hfg - Panas laten penguapan air, kJ/kg Cp- Panas jenis bahan, kJ/kg.0C ΔT - Besar peningkatan suhu bahan, 0C A - Luas permukaan kolektor, m2 Ir - Intensitas radiasi matahari, W/m2. Untuk panas yang berasal dari pembakaran arang tempurung, efisiensi dihitung sebagai
……. (Pers. 7) ……………… (Pers. 10)
Keterangan :
KA(t) M(t) Mbk KAakhir Makhir
-
Kadar air bahan pada waktu tertentu, % b.b. Berat bahan ubinan contoh pada waktu tertentu, g Berat bahan kering (dry matter) ubinan contoh, g Kadar air bahan pada akhir pengeringan, % b.b. Berat akhir pengeringan ubinan contoh, g
Keterangan : ηdc - Efisiensi pengeringan dengan panas dari tungku arang, ma- massa arang yang terpakai, kg H - nilai kalori arang tempurung, kJ/kg.
HASIL DAN PEMBAHASAN 3.Laju Pengeringan Laju pengeringan ditentukan berdasarkan perubahan kadar air bahan selama proses pengeringan. Karena data perubahan berat ubinan contoh dilakukan setiap setengah jam maka data perubahan kadar air juga untuk setiap setengah jam. Laju pengeringan kemudian ditentukan dengan persamaan (Wenur, et.al., 2010):
A. Suhu Pengeringan
…………….(Pers. 8) Keterangan : dM/dt KA(0) KA(t) dt
-
Laju pengeringan pada waktu tertentu, % b.b/Jam Kadar air awal, % b.b Kadar air pada waktu tertentu, % b.b Selang waktu pengamatan, Jam
4.Efisiensi Pengeringan Efisiensi pengeringan untuk pengeringan dengan energi panas matahari ditentukan berdasarkan persamaan yang digunakan Hassanain (2009), yaitu didasarkan pada panas yang digunakan untuk menguapkan air dari bahan ditambah dengan panas yang digunakan untuk menaikan suhu bahan terhadap total panas yang diterima dari radiasi matahari oleh kolektor, atau …………… (Pers. 9) Keterangan :
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu yang dapat dicapai oleh ruang pengering maupun bahan di semua rak berbeda menurut posisinya dalam ruang pengering.Suhu bahan pada rak paling bawah menunjukan suhu yang lebih tinggi dari rak tengah maupun atas.Pada pengeringan menggunakan panas dari tungku arang (hari pertama), suhu tumpukan bahan meningkat segera setelah dimasukkan dalam ruang pengering dimana suhu bahan di rak bawah dengan cepat melampaui 50oC. Berbeda dengan bahan yang ada di rak tengah dan rak atas, suhu meningkat secara perlahan dan mencapai 45oC setelah lebih dari satu jam pemanasan. Perbedaan suhu antara rak atas dan rak bawah mencapai 5-10oC ini terjadi karena aliran udara hanya terjadi secara konveksi alam dan tumpukan bahan sangat mempengaruhi aliran udara panas yang bergerak dari bawah keatas. Suhu bahan berfluktuasi atara 45oC-550C,hal ini diduga
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |360
ISBN 978-602-98902-1-1
berhubungan dengan proses pembakaran arang yang tidak merata terutama pada saat penambahan bahan bakar arang.
Pada penggunaan energi matahari (hari kedua), suhu sangat ditentukan oleh intentitas penyinaran seperti terlihat pada intensitas radiasi surya (Gambar 6). Intensitas penyinaran yang tinggi terjadi antara jam 10.00 hingga jam 14.00 dan puncaknya terjadi antara jam 11.00 sampai jam 12.00 yang kemudian mulai menurun hingga pengeringan cabe menggunakan sinar matahari dihentikan pada jam 17.00. Pada saat intensitas penyinaran matahari tinggi yaitu antara jam 10.00-14.00, suhu bahan rata-rata di rak bawah mencapai 50oC sedang rak tengah 46oC dan rak atas mencapai 42oC.Pada pengeringan hari kedua menggunakan panas pengganti dari tungku arang, suhu bahan di semua rak naik hingga lebih dari 70oC, hal ini diduga karena bahan sudah relatif kering sehingga panas yang diterima tidak lagi untuk menguapkan air (sebagai panas laten penguapan), tetapi dipakai untuk meningkatkan suhu bahan sehingga didapat suhu yang tinggi. Hal ini perlu diwaspadai karena suhu di atas 75oC dapat menurunkan mutu produk cabe kering. B. Kelembaban Relatif dan Laju Aliran Udara Hasil perhitungan kelembaban relatif udara (RH) ruang pengering yang didasarkan pada suhu bola basah dan suhu bola kering, menunjukkan bahwa saat pengeringan dengan tungku arang (hari pertama), RH udara luar relatif tinggi dengan rat-rata 87,3% sedang dalam ruang bervariasi mengikuti perubahan suhu dan waktu pengeringan dengan rata-rata 44,6% seperti terlihat pada Gambar dibawah ini
Pada pengeringan dengan energi surya (hari kedua), RH ruang berfluktuasi mengikuti radiasi matahari yang terlihat pada gambar dibawah ini
Diawal pengeringan RH berkisar 50% dan terus meningkat bersamaan dengan berlansungnya pengeringan.Di akhir pengeringan menggunakan energi surya, RH udara pengering berada pada kisaran 80%.RH yang tinggi ini mengindikasikan bahwa terdapat penumpukan uap air yang besar di ruang pengering pada akhir pengeringan dengan energi surya. Kelembaban udara yang tinggi dalam ruang pengering ini harus dihindari karena hal ini akan menghambat proses penguapan air cabe lebih lanjut dan berakibat menurunnya kecepatan pengeringan sehingga waktu pengeringan akan lebih panjang. Setelah penggantian sumber panas dari panas matahari ke panas tungku arang, RH ruang pengering menurun dengan cepat hingga pada kisaran 40%. Seiring dengan terus berlangsungnya pengeluaran air dari bahan, maka RH kemudian kembali naik dan bertahan pada RH rata-rata 50% sampai akhir proses pengeringan. Kecepatan aliran udara dalam ruang pengering juga menunjukkan keadaan yang berfluktuasi khususnya saat penggunaan energi surya di hari ke-2, dengan rata-rata kecepatan 0,68 meter perdetik. Hal yang berbeda terlihat pada penggunaan panas dari tungku arang di hari-1, dimana kecepatan udaranya relatif konstan sampai akhir proses pengeringan pada kisaran kecepatan 0,65 meter perdetik seperti terlihat pada Gambar dibawah ini :
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |361
ISBN 978-602-98902-1-1
C. Perubahan Kadar Air dan Laju Pengeringan Selama berlangsungnya pengeringan, kadar air cabe turun dari kisaran 80% menjadi sekitar 7%. Dari gambar terlihat yang terlihat dibawah ini menunjukkan bahwa pada pengeringan hari-2 dengan energi surya, perubahan kadar air bahan di semua rak agak landai (datar) artinya perubahan kadar airnya lambat berbeda dengan pengeringan hari-1 maupun hari-2 yang menggunakan panas pengganti dari tungku arang. Keadaan ini menunjukan bahwa pengeringan berlangsung lebih cepat pada saat menggunakan tungku arang karena suhu yang dapat dicapai lebih tinggi. Sementara itu penurunan kadar air di ketiga rak juga menunjukan perbedaan yang nyata dimana pada waktu yang sama rak bawah kadar airnya paling rendah, diikuti rak tengah sedang rak atas kadar airnya paling tinggi. Hal ini dikarenakan udara panas yang kering dari kolektor ataupun dari pemindah panas paling awal menyentuh bahan di rak bawah dan udara tersebut mempunyai kemampuan lebih besar untuk membawa uap air yang dilepas bahan saat pengeringan. Udara panas yang sudah memuat uap air ini kemudian akan diteruskan ke rak bahan yang ada di atasnya untuk mengambil uap air baru. Karena sudah mengandung uap air maka kemampuan mengangkut uap air baru menjadi semakin kecil yang berakibat proses pengeringan di rak tengah dan rak atas menjadi lebih lambat.
paling rendah pada rak atas. Hal ini dapat dipahami karena rak atas kelembabannya tinggi sementara suhunya relatif rendah demikian juga dengan rak tengah walau suhunya tinggi namun lingkungan udaranya telah banyak mengandung uap air hasil penguapan bahan di rak bawah, sehingga menghambat proses penguapan. Pengamatan pada hari-2 menggunakan sinar matahari menunjukan bahwa laju pengeringan antar rak tidak berbeda nyata walaupun suhu bahan antar rak berbeda, hal ini mungkin disebabkan karena telah terjadi perbedaan kadar air pada pengeringan hari sebelumnya di mana rak bawah telah jauh lebih rendah dari rak-rak diatasnya sehingga mempengaruhi laju pengeringan antar rak di hari-2, sebagaimana yang terlihat pada gambar dibawah ini : D. Efisiensi Pengeringan Efisiensi pengeringan cabe bervariasi menurut cara pengeringan yang dilakukan. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan energi surya dengan menggunakan kolektor panas dalam pengeringan cabe memberi efisiensi pengeringan 6,11%, paling tinggi dibanding dengan penggunaan tungku dengan bahan bakar arang seperti terlihat pada Tabel Tahap dan cara pengeringan Hari 1 : Sumber panas tungku arang Hari 2 : Sumber panas kolektor panas surya Hari 3 : Sumber panas tungku arang
Efisiensi pengeringan (%) 0.81% 6.11% 0.16%
Penelitian yang dilakukan Yani, et.al. (2009) pada pengeringan ikan nila menggunakan pengering surya yang dilengkapi kipas untuk sirkulasi udara pengering mendapatkan nilai efisiensi pengeringan antara 0,5 – 8,16%. Hal ini menunjukan bahwa alat pengering energi surya dengan konveksi alam yang digunakan dalam penelitian ini, memberikan hasil yang baik karena perimbangan antara energi yang terpakai untuk menguapkan air dengan energi panas yang ditangkap kolektor cukup besar. Berbeda dengan nilai efisiensi pengeringan yang diperoleh pada penggunaan panas dari pembakaran arang tempurung pada tungku yang umumnya masih sangat rendah baik dihari-1 dan hari-2, karena pada alat pengering ini menggunakan pemindah panas (heat exchanger) yang memungkinkan sebagian panas hilang pada alat ini.
Pengamatan terhadap laju pengeringan cabe khususnya saat menggunakan panas matahari memperlihatkan bahwa laju pengeringan dalam satuan perubahan kadar air b.b per jam ditemukan paling besar pada rak bawah diikuti rak tengah dan
E. Produk Cabe Kering Dari pengamatan terhadap mutu produk cabe kering khususnya terhadap kadar air produk di akhir proses pengeringan, di dapat kadar air antara 6,7-7,1% b.b. Terlihat pada tabel dibawah ini. Variasi ditemukan sesuai posisi rak pengering di mana paling rendah di rak bawah, diikuti rak tengah dan paling tinggi di rak atas, walau terdapat perbedaan namun kadar air ini telah mencapai kondisi bahan yang siap untuk ditepungkan karena sudah dibawah kadar air yang memadai yaitu 7-8%.b.b. sesuai dengan rekomendasi pengolahan tepung cabe Departemen Pertanian (2009).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |362
ISBN 978-602-98902-1-1
I
II
III
Kadar air rata-rata (%bb)
Atas
7,3
7,1
6,9
7,1
Tengah
7,1
6,7
6,9
6,9
Bawah
6,7
6,6
6,8
6,7
Rak
Ulangan
Hasil pengeringan juga memperlihatkan bahwa produk cabe kering ini menunjukkan penampakan yang menarik, karena berwarna merah cerah seperti terlihat pada Gambar dibawah ini :
waktu pengamatan, berhubungan dengan makin menurunnya suhu udara diakhir pengamatan. c. Kondisi Cabe pada kadar air akhir pengeringan cabe mencapai 6,7%-7,1% menunjukan bahwa alat pengering ini dapat diterapkan di masyarakat dengan baik untuk pengeringan cabe yang dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung cabe. 3. Efisiensi pengeringan ada pada kisaran 0,16-6,11% dan tertinggi ditemukan pada pengeringan yang menggunakan panas dari kolektor sinar matahari.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, K., A.K. Irwanto, N. Sireqar, E. Agustina, A.H.Tambunan, M. Yamin, E. Hartuiistiyoso, Y.A. Purwanto, 1989. Energi dan Listrik Pertanian. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi IPB, Bogor Acedo, A.L. 2010.Postharvest Technology for Fresh Chili Pepper in Cambodia, Laos, and Vietnam.International Cooperators Guide.http://libnts.avrdc.org.tw/fulltext_pdf/FLYER/f0006.p df, Diunduh, 23 November 2010, pk. 16:35. Anonim. 1944. Coconut Shell As An Industrial Raw Material IV. Coconut Shell Charcoal. Current Science XIII(10):245-250.
KESIMPULAN 1. Alat pengering energi surya dengan sumber panas pengganti secara baik dapat memanfaatkan energi matahari yang tersedia, namun disaat tidak tersedia seperti di hari hujan alat pengering tetap dapat dijalankan dengan menggunakan sumber panas pengganti dari tungku berbahan bakar arang tempurung. 2. a. Dalam proses pengeringan dengan panas matahari, suhu udara di ruang pengering sangat ditentukan oleh intensitas penyinaran matahari. Suhu bahan bervariasi menurut posisi rak dimana paling tinggi ditemukan pada rak bawah diikuti rak tengah dan rak atas, yang mencapai 42oC-50oC. Saat menggunakan sumber panas pengganti, suhu bahan juga secara sama bervariasi menurut posisi rak yang dapat mencapai 45oC-55oC. b. Kelembaban relatif (RH) ruang pengering berfluktuasi selama proses pengeringan berlangsung. Pada penggunaan panas dari tungku arang, rata-rata RH udara dalam alat pengering cukup rendah yaitu 44,6% dibanding dengan RH udara luar yang rata-rata 87,3%. Pada penggunaan sinar matahari RH udara dalam ruang pengering meningkat dari sekitar 50% menjadi 80% diakhir
Anonim. 2010. Sun and Solar Drying, Techniques and Equipmenthttp://www.unido.org/fileadmin/import/32146_33 SUNANDSOLARDRYING.16.pdf, Diunduh, 18 Agustus 2010, pk. 14:12. ArsipBerita.com. 2011. Pemerintah Siap Bangun Kawasan Produksi Cabe. http://arsipberita.com/show/pemerintahsiap-bangun-kawasan-produksi-cabe-133540.html, Diunduh, 25 Februari 2011, pk. 19:28. Banzon, J.A. 1980. The Coconut as Renewable Energy Source.Philippine Journal of Coconut Studies. June 1980. Brooker, D. B., Arkema, W. F. B., Hall, C. W. 1974.Drying Cereal Grains.The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Das, S.K. dan A. Chakraverty. 2003. Grain-Drying Systems, dalam A. Chakraverty, A.S. Mujumdar, G.S.V. Raghavan and H.S. Ramaswamy (eds): Handbook of Postharvest Technology, Cereals, Fruits, Vegetables, Tea and Spices, pp. 139-166, Marcel Dekker Inc, New York. Departemen Pertanian, 2004. Cara Penanganan Pascapanen yang Baik Good Handling Practices (GHP) Komoditi Hortikultura.Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Ditjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |363
ISBN 978-602-98902-1-1
Departemen Pertanian, 2009. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pengolahan Cabe.Direktorat Jenderal Pengolahan DanPemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Departemen Pertanian , Jakarta. Grabowski, S.; M. Marcotte and H.S. Ramaswamy. 2003. Drying of Fruits, Vegetables and Spices, dalam A. Chakraverty, A.S. Mujumdar, G.S.V. Raghavan and H.S. Ramaswamy (eds): Handbook of Postharvest Technology, Cereals, Fruits, Vegetables, Tea and Spices, pp. 653-695, Marcel Dekker Inc, New York. Hall, C. W. 1980. Drying And Storage Of Agricultural Crops. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Hassanain, A.A. 2009. Simple Solar Drying System for Banana Fruit. World Journal of Agricultural Sciences 5 (4): 446455. Henderson, S. M and Perry, R. L. 1976.Agricultural Process Engineering.The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut Humidity Formulas. 2010. http://www.gorhamschaffler.com/humidity_formulas.htm, Diunduh, 18 Agustus 2010, pk. 14:55. Mailoor, J.J.A., 1995. Pembuatan Briket dari Sekam Padi.Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Mujumdar, A.S. and J. Beke. 2003. Grain Drying: Basic Principles. dalam A. Chakraverty, A.S. Mujumdar, G.S.V. Raghavan and H.S. Ramaswamy (eds): Handbook of Postharvest Technology, Cereals, Fruits, Vegetables, Tea and Spices, pp. 119-138, Marcel Dekker Inc, New York. Sudarmadji, S.; B.Haryono, Suhardi. 1977. Prosedur analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty, Yogyakarta. Thompson,J.F., F.G. Mitchell and R.F. Kasmire. 2002. Cooling A.A. Kader (Ed). Horticultural Commodities. In Postharvest Technology of Horticultural Crops.Univ. of California, Agric. and Natural Resources.Publication 3311. Wenur,
F.; T.D.J.Tuju, F. Pangkerego, G.S.S.Djarkasi, L.E.Lalujan, S.M.E.Kairupan dan E.J.N.Nurali. 2010. Disain dan Uji Unjuk Kerja Alat Pengering Surya dengan Sumber Panas Pengganti untuk Pengeringan Bahan Baku Tepung. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Utara.
Yani, E., Abdurrachim dan Adjar Pratoto. 2009. Analisis Efisiensi Pengeringan Ikan Nila pada Pengering Surya Aktif Tidak Langsung. Jurnal Teknik A 31 (2): 26-33.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |364
ISBN 978-602-98902-1-1
PENGARUH ANTIOKSIDAN TERHADAP STABILITAS DAN POLA SPEKTRUM PIGMEN KAROTENOID Neurospora intermedia [Influence of Antioxidants to The Stability and Spectra of Carotenoids Pigment Neurospora intermedia] 1)
Sri Priatni1)* , Marlia Singgih2), Tutus Gusdinar2)
Pusat Penelitian Kimia LIPI, Jl. Cisitu, Bandung,
[email protected] 2) Sekolah Farmasi ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung
ABSTRACT Pigment or natural colorant from Neurospora sp. is a secondary metabolite product and a promising alternative food additive to substitute synthetic colorants. Carotenoids production from Neurospora sp. can be done by a liquid substrate or a solid substrate fermentation. Generally, carotenoids sensitive to light and oxidation. Some technique can be applied to improve the stability of carotrenoids. The objectives of the research is to study the physicochemical stability of carotenoids from Neurospora intermedia N-1. The effect of several antioxidants added to carotenoid was evaluated and its stability was expressed from the changes of their spectra data after exposing to UV light and heating process. On this study, carotenoids N. intermedia N-1 extract in acetone added each with 1 mg/mL α-tocopherol, hydroquinon and pyrogallol. The samples were exposed to UV-C light and heat treatment at 50oC, then its spectra were monitored by spectrophotometry. The result showed that antioxidants affected the carotenoid stability. Pyrogallol was proved as a strong reductor for carotenoid pigment. The absorbance of carotenoid extract seemed to remain stable after the addition of α-tocopherol and hydroquinon. Combination of α-tocopherol and carotenoid extract produced the stable spectra, both to UV light exposure and heat-treatment at 50oC. Keywords: carotenoids, stability, N.intermedia, α-tocopherol
PENDAHULUAN Penggunaan pewarna alami dapat menjadi alternatif karena efek keamanannya, dan memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan. Pigmen merupakan salah satu hasil metabolit sekunder kapang yang memiliki warna yang cerah. Kapang oncom merah Neurospora sp memiliki warna jingga, merah, merah muda, dan warna kuning. Warna kapang tersebut disebabkan oleh adanya pigmen karotenoid yang terdapat pada konidia dan miselia (Saelices dkk., 2007). Karotenoid merupakan senyawa poliena isoprenoid yang bersifat lipofilik atau tidak larut dalam air, mudah diisomerisasi dan dioksidasi, menyerap cahaya, meredam oksigen singlet, memblok reaksi radikal bebas dan dapat berikatan dengan permukaan hidrofobik (Britton, 1995). Pengaruh interaksi karotenoid-α-tokoferol dalam oksidasi lemak secara in vitro telah dipelajari oleh Haila (1999). Pada studi tersebut, suatu kombinasi karotenoid dan tokoferol pada proporsi tertentu lebih bersifat antioksidan dari pada hanya tokoferol. Dalam jumlah sangat sedikit tokoferol dapat memproteksi karotenoid dari kerusakan. Spektrum UV-Vis merupakan data awal untuk identifikasi karotenoid. Posisi panjang gelombang serapan maksimum (λmaks) dan bentuk spektra merupakan karakteristik dari kromofor (Amaya, 2001). Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian stabilitas fisikokimia dan pola spektrum pigmen karotenoid pada Neurospora intermedia N-1.
METODOLOGI Bahan dan alat: Substrat padat seperti ampas tahu kering, isolat kapang Neurospora intermedia N-1, pelarut aseton teknis (hasil destilasi), senyawa antioksidan α-tokoferol, hidrokuinon dan pirogalol. Metode: Fermentasi N. intermedia N-1 Substrat ampas tahu kering yang telah terseleksi, ditimbang sebanyak 200 gram dan ditambahkan air sebanyak 600 mL (1 : 3). Selanjutnya substrat tersebut disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Substrat yang telah diautoklaf didinginkan, diinokulasi dengan 50 mL suspensi spora (106 spora/ml) kemudian dipindahkan ke dalam 2 buah nampan bertutup dan berlubang dengan ukuran 35 cm × 25 cm dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 3-5 hari. Spora yang berwarna kuningjingga dipanen dan disimpan pada suhu -20oC untuk diekstraksi lebih lanjut.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |365
ISBN 978-602-98902-1-1
Ekstraksi pigmen karotenoid Spora N. intermedia N-1 diekstraksi dengan penambahan pelarut aseton teknis yang telah didestilasi. Suspensi spora selanjutnya disonikasi selama 10 menit dengan interval jeda 1 menit dan dikocok selama 10 menit. Ekstrak disaring menggunakan kertas saring. Tahap ekstraksi ini dilakukan berulang sampai seluruh pigmen terangkat dan residu spora berwarna kuning pucat. Pengaruh penambahan antioksidan terhadap stabilitas karotenoid Metode yang dilakukan untuk pengujian stabilitas karotenoid ini mengikuti metode Quackenbush dkk. (1942) dan Manggaprouw dkk. (2008) yang dimodifikasi. Stabilitas ekstrak karotenoid ditentukan stabilitasnya terhadap cahaya UV-C, cahaya merah dan pemanasan. Ekstrak karotenoid dilarutkan dalam aseton teknis, dilakukan pengenceran pada larutan ini sampai absorbansi kurang lebih 0,800 UA. Larutan ekstrak masing-masing ditambahkan senyawa antioksidan (α-tokoferol, hidrokuinon dan pirogalol) sebanyak 1 mg/mL, masing -masing larutan dipipet sebanyak 2 mL dan dimasukkan ke botol kecil yang telah diberi kode. Penyinaran larutan ekstrak oleh cahaya UV-C dan cahaya merah di lakukan di dalam lemari khusus selama 0, 2, 4, 6 dan 8. Sampel yang telah di sinari ditentukan serapan dan pola spektrumnya secara spektrofotometri pada panjang gelombang antara 350-600 nm. Pada pengujian stabilitas terhadap pemanasan sampel disimpan pada suhu 50°C di dalam water bath selama 0, 2, 4, 6 dan 8 jam. Sampel yang telah di inkubasi pada suhu 50°C ditentukan serapan dan pola spektrumnya secara spektrofotometri dengan panjang gelombang antara 350-600 nm.
Gambar 1. Hasil pengujian stabilitas ekstrak karotenoid N. intermedia N-1 + antioksidan terhadap pengaruh sinar UV
HASIL DAN PEMBAHASAN Senyawa karotenoid memiliki struktur utama suatu rantai poliena terkonjugasi yang bersifat menyerap cahaya, yang menyebabkan senyawa ini tidak stabil terhadap cahaya dan oksidasi (Britton, 1995). Salah satu cara untuk meningkatkan kestabilan pigmen karotenoid adalah melalui penambahan suatu senyawa antioksidan. Studi stabilitas ekstrak pigmen karotenoid pada N. intermedia N-1 dilakukan melalui reaksinya dengan beberapa senyawa antioksidan. Pengaruh interaksi karotenoid-αtokoferol dalam oksidasi lemak secara in vitro telah dipelajari oleh Haila (1999). Pada studi tersebut, suatu kombinasi karotenoid dan tokoferol pada proporsi tertentu lebih bersifat antioksidan dari pada hanya tokoferol. Dalam jumlah sangat sedikit tokoferol dapat memproteksi karotenoid dari kerusakan. Pada penelitian ini, ekstrak pigmen karotenoid pada N. intermedia N-1 dalam pelarut aseton ditambahkan senyawa antioksidan (α-tokoferol, hidrokuinon dan pirogalol) sebanyak 1 mg/mL. Stabilitas ekstrak karotenoid tersebut diamati pengaruhnya terhadap sinar UV-C (280-100 nm)dan pemanasan 50oC secara spektrofotometri. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 2. Hasil pengujian stabilitas ekstrak karotenoid N. intermedia N-1 + antioksidan terhadap pengaruh pemanasan 50oC Hasil pengujian stabilitas ekstrak karotenoid N. intermedia N1 terhadap pengaruh sinar UV-C (280-100 nm) menunjukkan bahwa senyawa antioksidan berpengaruh signifikan dalam proteksi kestabilan pigmen karotenoid. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan absorbansi secara cepat dari ekstrak kontrol setelah penyinaran selama 6 jam (Gambar 1). Pada Gambar tersebut terlihat penambahan antioksidan pirogalol memberikan nilai absorbansi yang cenderung meningkat sampai jam ke 8, pirogalol mengindikasikan sifatnya sebagai reduktor yang sangat kuat terhadap pigmen karotenoid. Diduga senyawa trans-karotenoid akan teroksidasi oleh pirogalol menghasilkan senyawa epoksi atau apokarotenoid. Adanya oksigen akan meningkatkan nilai absorbansi, tergantung pada jenis, jumlah dan lokasi oksigen pada karotenoid (Amaya, 2001). Penambahan oksigen pada
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |366
ISBN 978-602-98902-1-1
gugus poliena akan menyebabkan ikatan rangkap yang labil dan selanjutnya terputus menghasilkan produk-produk karbonil (Britton, 1995). Pada penambahan antioksidan -tokoferol dan hidrokuinon memberikan nilai absorbansi cenderung stabil. Secara struktur kimia, pirogalol memiliki dua gugus hidroksil dan hidrokuinon memiliki satu gugus hidroksil yang terikat pada satu gugus aromatik. Diketahui pula bahwa pirogalol memiliki nilai potensial reduksi (16 V), jauh lebih tinggi dari pada nilai potensial reduksi hidrokuinon (1 V) dan α-tokoferol (0,5 V). Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya gugus hidroksil dan nilai potensial reduksi suatu antioksidan sangat berpengaruh dalam stabilitas senyawa karotenoid. Karotenoid seperti β-karoten diketahui sebagai antioksidan pula, hasil studi menunjukkan β-karoten dapat bersinergi dengan α-tokoferol sebagai penangkap radikal bebas di dalam membran sel (Buettner, 1992). Hasil pengamatan pergeseran panjang gelombang maksimum (λmax) dan pola spektrum secara spektrofotometri terhadap stabilitas ekstrak karotenoid N. intermedia N-1, terindikasi adanya pengaruh antioksidan dalam geseran panjang gelombang. Pada ekstrak karotenoid kontrol terlihat adanya pergeseran λmax ke panjang gelombang yang lebih rendah (efek hipsokromik). Isomerisasi cis dari suatu ikatan rangkap kromofor menyebabkan warna karotenoid menjadi pudar, sedikit pergeseran hipsokromik (biasanya 2-6 nm untuk mono-cis) dan efek hipokromik (penurunan absorbansi) bersamaan dengan kemunculan suatu puncak cis pada daerah dekat UV (Amaya, 2001). Pada penambahan - tokoferol, λmax tetap stabil pada 467 nm selama penyinaran UV 6 jam (Tabel 1). Tabel 1. Data analisis pergeseran λmax ekstrak karotenoid N. intermedia N-1 terhadap pengaruh sinar UV Waktu (jam)
kontrol
+ Tokoferol (1 mg/ml)
0 2 4 6 8
466 465.5 462 -
467 467 467 467 467
+Hydroquin on (1 mg/ml) 467,5 467,5 467,5 467 467,5
+Pirogalol (1 mg/ml) 466,5 467 467 467 467,5
Interaksi antara tokoferol dengan senyawa karotenoid dapat menjadi sinergi diduga karena kemampuan tokoferol dalam menghambat degradasi karotenoid. Sedangkan pada penambahan pirogalol menunjukkan pergeseran λmax 1 nm ke panjang gelombang yang lebih tinggi (efek batokromik). Pergeseran batokromik dapat disebabkan oleh terkonjugasinya gugus lain seperti karbonil pada ikatan rangkap dan mengakibatkan hilangnya spektrum tajam, sehingga dari tiga puncak spektrum berubah menjadi suatu kurva yang melebar (Amaya, 2001). Pengaruh penambahan antioksidan terhadap pola spektrum ekstrak karotenoid setelah penyinaran UV selama 6 jam dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pola spektrum stabilitas ekstrak karotenoid + antioksidan setelah penyinaran UV (280-100 nm) selama 6 jam Hasil pengujian stabilitas ekstrak karotenoid N.intermedia N-1 terhadap pengaruh pemanasan 50oC menunjukkan pula pengaruh antioksidan terhadap kestabilan pigmen karotenoid. Setelah pemanasan 50oC, antioksidan yang digunakan menyebabkan pergeseran λmax ke panjang gelombang yang lebih rendah (efek hipsokromik) 1-3 nm terhadap ekstrak karotenoid (Tabel 2). Pergeseran ini tidak signifikan, namun terjadi perubahan pola spektrum (Gambar 4). Ekstrak karotenoid yang ditambahkan α-tokoferol setelah pemanasan 50oC selama 8 jam, menunjukkan pola spektrum melebar pada sekitar panjang gelombang 350 nm. Tabel 2. Data analisis pergeseran λmax ekstrak karotenoid N. intermedia N-1 terhadap pengaruh pengaruh pemanasan 50oC Waktu (jam)
kontrol
+ Tokoferol (1 mg/ml)
+Hydroquinon (1 mg/ml)
+Pirogalol (1 mg/ml)
0 2 4 6 8
465 464 463 462 462
465 465 463,5 463 462,5
465,5 464,5 464 463,5 462,5
465 46,.5 464,5 464 464
Gambar 4. Pola spektrum stabilitas ekstrak karotenoid + tokoferol setelah pemanasan 50oC .
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |367
ISBN 978-602-98902-1-1
Menurut Haila K. (1999), mekanisme reaksi antara karotenoid dan α-tokoferol adalah terjadinya aktivitas penangkapan radikal karotenoid oleh α-tokoferol membentuk radikal α-tokoferoksil. Pembentukan senyawa radikal tersebut diduga menyebabkan perubahan pola spektrum ekstrak karotenoid setelah pemanasan. Robert dkk. (2003) melaporkan terjadi peningkatan konstanta laju degradasi dari serbuk karotenoid Rosa mosqueta terenkapsulasi adalah sebanding dengan peningkatan suhu penyimpanannya, yang mengikuti kinetika reaksi orde pertama.
Robert, P., Carlsson, R.M. Romero, N.dan Masson, L. (2003) : Stability of Spray-Dried Encapsulated Carotenoid Pigments from Rosa rubiginosa Oleoresin, JAOCS, 80. No 11. 11151120 Saelices, L., Youssar, L., Holdermann, I., Al-Babili, S. dan Avalos, J. (2007) : Identifcation of the Gene Responsible for Torulene Cleavage in the Neurospora Carotenoid Pathway, Mol Genet Genomics, 278: 527–537, DOI 10.1007/s00438007-0269-2
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Dirjen Dikti yang membiayai penelitian ini melalui Program Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II
KESIMPULAN Senyawa antioksidan berpengaruh signifikan dalam proteksi kestabilan pigmen karotenoid. Absorbansi dan pola spektrum ekstrak karotenoid tersebut stabil setelah penambahan antioksidan α-tokoferol dan hidrokuinon. Ekstrak karotenoid yang ditambahkan α-tokoferol setelah pemanasan 50oC selama 8 jam, menunjukkan pola spektrum melebar pada sekitar panjang gelombang 350 nm.
DAFTAR PUSTAKA Amaya, D.B.R. (2001) : A Guide to Carotenoids Analysis in Foods, Departamento de Ciência de Alimentos Faculdade de Engenharia de Alimentos Universidade Estadual de Campinas C.P. 6121, 13083-970 Campinas, SP., Brazil Britton, G. (1995) : Structure and Properties of Carotenoids in Relation to Function, FASEB J., 9, 1551-1558 Buettner, G.R., (1993) : The Pecking Order of Free Radicals and Antioxidants: Lipid Peroxidation, α-Tocopherol, and Ascorbate, Archives of Biochemistry and Biophisics, Vol. 300, No. 2, pp 535-543 Haila, K. (1999) : Effects of Carotenoids and CarotenoidTocopherol Interaction on Lipid in vitro Oxidation, Academic Dissertation, University of Helsinki, Department of Applied Chemistry and Microbiology, 46-47 Manggaprrouw, M. (2008) : Stabilitas Ekstrak Kasar Karotenoid Buah Merah Papua (Pandanus conideus lam) selama Penyinaran dalam Pelarut Aseton, Prosiding Seminar Nasional Pigmen ISBN:979-1098-16-4, 341-348 Quackenbush, F.W. Cox R.P. dan Steenbock, H. (1942) : Tocopherol and the Stability of Carotene, The Journal of Biological Chemistry. 169-177
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |368
ISBN 978-602-98902-1-1
Perbandingan Kandungan Crude Beta - Glucan Dengan Metode Ekstraksi Air dan Metode Alkali Pada Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Comparison of Crude Beta – Glucan By Water and Alkali Method Extraction of Oyster Mushroom (Pleurotus ostreatus) Netty Widyastuti 1)*, Donowati Tjokrokusumo2), Reni Giarni3) 1)* 2) 3)Pusat
Teknologi Bioindustri – BPPT *Korespondensi penulis E-mail :
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this experiment was to detect the content of crude Beta – Glucan. Preliminary experiments have been conducted. Crude detection Beta - Glucan polysaccharide extract of fruiting bodies on the white oyster mushroom (Pleurotus ostreatus). The method of extraction by water soluble and alkali soluble. The experimental results showed that levels of Beta - Glucan oyster mushrooms with water extraction method (21,38%), whereas the alkali method shows the content levels of Beta - Glucan (48.32%). As a reference in the extraction of beta-glucan using the product Yeast - Megazyme, with water extraction (62.96%) and with alkali (56.25%). The experimental results show that in all samples of oyster mushrooms can be detected crude Beta - Glucan. In this experiment the alkali extraction method showed beta - glucan is higher than the water extraction method. Need more research method, a method more efficient in terms of time and cost for the detection content of Beta - Glucan . Key words: oyster mushrooms (Pleurotus ostreatus), beta-glucan, water extraction method, alkali extraction method.
PENDAHULUAN Beta glukan merupakan senyawa metabolit sekunder yang dapat diisolasi dari tanaman, kelompok cendawan dan mikroorganisme. Beta glukan merupakan homopolimer glukosa yang diikat melalui ikatan β-(1,3) dan β-(1,6)-glukosida dan banyak ditemukan pada dinding sel. Menurut FDA (Food and Drug Administration), beta glukan termasuk kategori Generally Recogniced As Safe (GRAS) serta tidak memiliki toksisitas atau efek samping. β-Glukan memiliki berbagai aktivitas biologis sebagai antitumor, antioksidan, antikolesterol, anti penuaan dini dan peningkat sistem imun atau peningkat sistem kekebalan tubuh yang dikenal sebagai imunomodulator. Selain itu, senyawa ini juga dapat dimanfaatkan sebagai zat aditif dalam industri makanan. Nutraceutical adalah termasuk salah satu aspek bisnis yang berkembang paling pesat saat ini. Nilai pasar tahunan nutraceutical (suplemen, mineral, vitamin) termasuk didalamnya jamur obat diperkirakan mencapai lebih dari US $45 miliar dengan pertumbuhan di atas 10%. Untuk sektor penyembuhan penyakit cardiovascular nilai pasar obat myocardial dilaporkan mencapai US $8 miliar termasuk kategori penurun kolesterol (US$6 miliar), antithrombolytics ($US1.4 miliar) dan anticoagulants (US$700 juta). Sementara obat untuk penyakit darah tinggi dilaporkan mencapai US$22 miliar dalam pasar global (Anonymous, 2000; Aryantha, 2005). Beta glukan telah lama dketahui berpotensi sebagai peningkat sistim pertahanan tubuh (immunomodulator) dan penyembuhan penyakit kardiovaskuler terutama kolesterol. Dengan gambaran peluang pasar nutraceutical untuk
penyembuhan penyakit kardiovaskuler ini, maka dapat dikatakan bahwa beta glukan memiliki potensi pasar yang besar sebagai bahan dasar agen nutraceutical untuk penyakit tersebut, dalam aspek kesehatan lain kanker dan infeksi bakteri dan virus. Kasus kanker kian hari kian bertambah banyak, bahkan di beberapa negara sudah mencapai angka frekuensi 1 dari 4 orang adalah penderita kanker. Gejala akhir-akhir ini dimana penyakit menular oleh virus seperti AIDS, SARS, dan Flu Burung adalah relung tambahan beta glukan dapat dikembangkan sebagai agen nutraceutical. Banyak penelitian yang sudah membuktikan potensi beta glukan dari jamur dapat berperan dalam kasus-kasus di atas. Dari berbagai kajian tersebut secara garis besar dapat dirangkum bahwa beta glukan memiliki potensi yang menonjol dalam 3 aspek penyakit yakni degeneratif (anti kolesterol), anti kanker dan anti mikroba terutama anti virus . Secara alami, beta glukan merupakan polimer dari glukosa dan merupakan polimer yang besar, biasanya tidak larut dalam air serta tahan terhadap asam. Beta glukan yang biasanya digunakan sebagai immunomodulator pada mamalia dan biasanya merupakan beta glukan yang larut dalam air, mudah diserap dan memiliki bobot molekul yang rendah. Beberapa contoh senyawa beta glukan antara lain, selulosa (β-1,4-glukan), pleuran (β-1,6 dan β-1,3-glukan) yang diisolasi dari spesies cendawan Basidiomycota antara lain jamur (Pleurotus ostreatus) dan lentinan (β-1,6-glukan) dan (β-1,3-glukan) dari jamur shiitake (Lentinus edodes). Perbedaan ekstraksi beta glukan ini dilakukan didasarkan pada perbedaan kelarutan beta glukan. Beta glukan ada yang larut dalam air (soluble) dan ada yang tidak larut dalam air
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |369
ISBN 978-602-98902-1-1
(insoluble), dan beberapa beta glukan yang tidak larut dalam air adalah larut dalam alkali. Kelarutan beta glukan didasarkan pada ukuran bobot molekul dan struktur dari beta glukan. Beta glukan dapat diekstraksi melalui ekstraksi basa, namun untuk mendapatkan β-glukan murni perlu dilakukan purifikasi lebih lanjut. Ekstraksi basa didasarkan pada sifat β-glukan yang mudah larut dalam basa (alkali). Beta glukan diekstraksi menggunakan NaOH kemudian diendapkan dengan asam sehingga diperoleh ekstrak beta glukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan ekstraksi beta glukan yang dilakukan berdasarkan pada perbedaan kelarutan beta glukan. Pada prinsipnya, β-glukan ada yang larut dalam air (soluble) dan ada yang tidak larut dalam air (insoluble), dan beberapa beta glukan tidak larut dalam air,4. tetapi larut dalam alkali. METODOLOGI
5.
A.EKSTRAKSI DENGAN AIR (Yap and Ng modifikasi, 2001) 6. BAHAN DAN ALAT Bahan : Akuades , etanol 80%, kertas saring Alat : Centrifugase (Himac-CR21G, High-Speed Refrigerated Centrifuge ), Hot Plate stirer (Telstrar Lyo Alfa 15), Freeze Dryer (AM4 Multiposition heating magnetic stirer), Oven (Memmert ), Freezer , Alat perajang. PERSIAPAAN BAHAN DAN POSEDUR KERJA 1. Jamur tiram kering yang sudah di haluskan sebanyak 100 gram ditambah akuades sebanyak 2 liter, kemudian dipanaskan dan distirer sehingga menjadi pasta. 2. Pasta didinginkan dan ditambah etanol 80% sebanyak 3 kali volume pasta yang diperoleh, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 4 oC 3. Kemudian disaring, endapan dikeringkan dengan freeze dryer 4. Endapan yang telah kering ditambah dengan akuades sehingga konsentrasi endapan dalam larutan sebesar 5% (b/v). 5. Endapan yang sudah ditambah akuades dipanaskan selama kurang lebih 5 jam, kemudian didinginkan 6. Kemudian disaring atau disentrifus 7. Filtrat yang diperoleh ditambah etanol 80% sebanyak 3 kali volume filtrat yang diperoleh, kemudian diinkubasi pada suhu 4 oC selama 24 jam 8. Endapan yang terbentuk disentrifus dengan kecepatan 6000 rpm pada suhu 4 oC selama 10 menit 9. Endapan yang dihasilkan yang disebut ekstrak beta glukan dikeringkan dengan freeze dryer dan dihaluskan B. EKSTRAKSI DENGAN ALKALI (modifikasi dari Yap and Ng, 2001) Bahan : Etanol 80% , akuades, Natrium Hidroksida (NaOH), Asam asetat (CH3COOH) 2M
Alat : Hot plate stirrer , centrifugase/sentrifus, freeze dryer PESIAPAN BAHAN DAN PROSEDUR KERJA 1. Seratus gram sampel ditambah dengan 1 liter etanol 80%, diaduk selama 1 jam. Kemudian disaring. Lakukan sebanyak 3 kali. 2. Endapan yang tersaring ditambah air panas sebanyak 2 liter dan diaduk selama 1 jam. Kemudian disaring. Lakukan sebanyak 3 kali. 3. Endapan ditambah larutan NaOH 1 M sebanyak 1 liter dan diaduk selama 3 jam dalam keadaan dingin. Kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan. Lakukan sebanyak 3 kali. Filtrat yang terkumpul dinetralkan dengan asam asetat 2M. Larutan disentrifus dengan kecepatan 6000 rpm, suhu 4 0C selama 10 menit. Endapan yang terpisah dicuci dengan akuades, etanol kemudian terakhir dengan akuades. Endapan dikeringkan dengan Freeze Dryer dan dihaluskan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada jamur tiram (Pleurotus ostreatus) mempunyai kandungan senyawa penting yang disebut pleuran, dan pada jamur shiitake disebut lentinan. Polisakarida ini larut dalam air, tersusun dalam bentuk -1,3 glucan dengan -1,6 dan -1,3 gluko-pyranosida. Baik pleuran ataupun lentinan banyak terdapat di bagian dekat tudung. Menurut FDA (Food and Drug Administration), beta glucan termasuk kategori Generally Recogniced As Safe (GRAS) serta tidak memiliki toksisitas atau efek samping. β-Glucan memiliki berbagai aktivitas biologis sebagai antitumor, antioksidan, antikolesterol, anti penuaan dini dan peningkat sistem imun atau peningkat sistem kekebalan tubuh yang dikenal sebagai imunomodulator. Selain itu, senyawa ini juga dapat dimanfaatkan sebagai zat aditif dalam industri makanan. Tim Jamur BPPT (2011) sedang melakukan kegiatan riset lanjutan untuk mendapatkan senyawa beta-glukan yang dapat larut dalam air dan dalam alkali yang berasal dari 4 (empat) spesies cendawan Basidiomycota, yakni jamur tiram (Pleurotus ostreatus), jamur shiitake (Lentinus edodes), jamur kuping (Auricularia auricula), dan jamur merang (Volvaria volvaceae). Hasil beta glukan dibandingkan untuk mengetahui karakteristik betaglukan yang dihasilkan meliputi struktur molekul dan Berat Molekul(BM). Beta glucan telah lama dketahui berpotensi sebagai agen pencegah (immunomodulator) dan penyembuhan penyakit kardiovaskuler terutama kolesterol. Dengan gambaran peluang pasar nutraceutical untuk penyembuhan penyakit kardiovaskuler ini, maka dapat dikatakan bahwa beta glucan memiliki potensi pasar yang besar sebagai bahan dasar agen nutraceutical untuk penyakit tersebut. Belum lagi dalam aspek kesehatan lain yakni kanker dan infeksi bakteri dan virus. Kasus kanker kian hari kian bertambah banyak, bahkan di beberapa negara sudah mencapai angka frekuensi 1 dari 4 orang adalah penderita kanker. Gejala
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |370
ISBN 978-602-98902-1-1
akhir-akhir ini dimana penyakit menular oleh virus seperti AIDS, SARS, dan Flu Burung adalah relung tambahan beta glukan dapat dikembangkan sebagai agen nutraceutical. Banyak penelitian yang sudah membuktikan potensi beta glukan dari jamur dapat berperan dalam kasus-kasus di atas. Dari berbagai kajian tersebut secara garis besar dapat dirangkum bahwa beta glukan memiliki potensi yang menonjol untuk peningkatan sistem kekebalan tubuh dalam 3 aspek penyakit degeneratif (anti kolesterol, anti kanker dan anti mikroba) terutama anti virus . Beta glukan merupakan senyawa metabolit sekunder yang dapat diisolasi dari tanaman dan mikroorganisme. Beta glukan merupakan homopolimer glukosa yang diikat melalui ikatan β-(1,3) dan β-(1,6)-glukosida dan banyak ditemukan pada dinding sel beberapa bakteri, jamur, tumbuhan dan khamir . Berikut adalah struktur kimia dari beta glukan :
1. HASIL EKSTRAKSI DENGAN AIR (Yap and Ng modifikasi, 2001) Rendemen = 1,1314 gram x 100% = 1,13% (b/b) 100,1245 gram Kadar beta glukan : No Tgl Total αββAnalisa Glukan Glukan Glukan Glukan Yeast 1
14/01/10 23,227% 2,199%
21,023% 64,498%
2
04/02/10 23,598% 1,867%
21,731% 61,415%
Ratarata
21,377%
2. HASIL EKSTRAKSI DENGAN ALKALI (modifikasi, Yap and Ng modifikasi, 2001) Rendemen = 4,6884 gram x 100% = 4,67% (b/b) 100,4264 gram
Salah satu metode untuk memproduksi senyawa aktif beta glukan dari jamur adalah dengan cara ekstraksi dilanjutkan dengan pemurnian beta glukan seperti yang dilakukan oleh Chao (1989) dalam Aryantha (2005). Penelitian terbaru oleh Yap dan Ng (2001) telah menetapkan prosedur yang lebih efisien untuk melakukan ekstraksi beta glukan. Beta glukan diisolasi melalui presipitasi ethanol dan freeze drying dalam nitrogen cair. Uji kemurnian menggunakan kolom analisis karbohidrat, hasilnya 87,5% kemurnian. Dari segi komersial, metode ini lebih hemat waktu, efisien dan relatif lebih rendah biaya dibanding metode asli Chihara et al (1987) metode Mizuno (1999). Untuk mendeteksi crude β - glucan, tubuh buah shiitake Lentinus edodes hasil panen yang masih segar dikeringkan sampai berat konstan, dihaluskan dengan grinder, kemudian o direbus sampai homogen (100 o C). Ekstraksi menggunakan 80 1. o C ethanol, kemudian dimasukkan ke dalam freezer (4 C). Larutan2. diendapkan, presipitat yang dihasilkan dioven 40 o C sampai3. beratnya konstan sedangkan supernatan dipisahkan . Kemudian presipitat di lyophilisasi dan dilanjutkan dengan sentrifugasi. Hasil4. yang diperoleh di hitung kandungan β - glucannya baik presipitat ataupun filtratnya. Penentuan kadar crude β - glucan dilakukan dengan metode Congo Red modifikasi (Widyastuti dkk, 2008 ; Widyastuti, 2009).
Kadar beta glukan : No Tgl Total αββAnalisa Glukan Glukan Glukan Glukan Yeast 1
20/08/09 48,490% 0,1802% 48,310% 57,826%
2
05/11/09 48,600% 0,2770% 48,324% 53,677% Ratarata
48,317%
PROSEDUR ANALISA BETA GLUKAN METODE MEGAZYME A. PRINSIP 1,3:1,6-β-Glucan + 1,3-β-Glucan + α-Glucan + H2O → D-Glucose D-Glucose + H2O + O2 → D-Gluconate + H2O2 H2O2 + p-hydroxybenzoic acid + 4-aminoantipyrine → quinoneimine + H2O α-Glucan + H2O → D-Glucose B. BAHAN-BAHAN (a). suspensi enzim ekso-1,3-β-glukanase dan β-glukosidase, (b). enzim amiloglukosidase dan invertase, (c). buffer reagen glukosa, (d). Reagen penentuan glukosa, (e). larutan standar glukosa 1 mg/ml, ( f ). kontrol β-glukan yeast.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |371
ISBN 978-602-98902-1-1
Konsentrasi reagen setelah dilarutkan dalam buffer, glukosa oksidase , peroxidase ,aminoantipyrine C. PEMBUATAN REAGEN Larutan (a) ditambahkan buffer sodium asetat 200 mM pH 5, bagi kedalam tabung untuk disimpan. Kemudian disimpan dalam es untuk dapat langsung digunakan.Kemudian dicairkan larutan (c) sampai 1 liter dengan akuades. Larutkan (d) dalam (c) yang sudah dilarutkan/dicairkan diatas. Bagi reagen ini (REAGEN DOPOD) kedalam larutan volume yang diinginkan untuk disimpan. Simpan dalam botol gelap, langsung dapat digunakan. Reagen lain yang diperlukan : Buffer sodium asetat . Kemudian ditambahkan asam asetat glacial kedalam 900 ml akuades dan tetapkan pH 5,0 menggunakan larutan NaOH 4M, ditambahkan sampai volume 1 liter. Buffer sodium asetat II. Tambahkan asam asetat glacial kedalam 800 ml akuades dan tetapkan pH sampai 3,8 menggunakan NaOH 4M. teruskan sampai 1 liter dengan akuades. Kalium hidroksida (2M) . Ditambahkan KOH ke dalam 800ml akuades dan larutkan dengan stirrer, tera sampai 1 liter. Diperlukan juga Asam Klorida. D. PROSEDUR ANALISA PENENTUAN 1,3:1,6 β-GLUCAN Penentuan total glukan (α-glukan dan β-glucan) + D-glukosa dalam oligosakarida, sukrosa dan glukosa bebas. 1. Pelarutan dan hidrolisis sebagian total (α-glucan dan βglucan) dalam oligosakarida, sukrosa dan gula bebas Sampel jamur tiram segar digiling sampai lolos 0,5 mm screen, kemudian ditambahkan sampel yg telah digiling ke dalam tabung reaksi, ketok tabung untuk memastikan bahwa semua sampel sampai jatuh ke dasar tabung. Tambahkan HCl pekat ke tabung dan goyang dengan vortex. Tempatkan tabung pada waterbath 30 0C selama 45 menit dan vortex tiap 15 menit. Ditambahkan air ke dalam tabung, tutup tabung dan vortex. Tutup tabung dilonggarkan dan tempatkan pada waterbath 100 0C setelah 5 menit rapatkan tutup dan lanjutkan inkubasi selama 2 jam. Tabung didinginkan pada suhu ruang, longgarkan tutup secara hati-hati dan ditambahkan KOH 2N sebanyak 10 ml. Isi tabung dipindahkan ke dalam labu volumetri 100 ml menggunakan buffer sodium asetat 200mM (pH 5) untuk mencuci tabung, dan ditera sampai batas volume. Campur hati-hati dengan pembalikan. Larutan disaring dengan dengan kertas saring whatman atau sentrifuge pada selama 10 menit. 2. Penentuan total glucan dan glukosa dalam sukrosa dan glukosa bebas. Ambil larutan yang telah disentrifuge/saring kedalam tabung reaksi (duplikat/duplo). Ditambahkan campuran enzim ekso 1,3 βglucanase dan β-glucosidase dalam sodium asetat buffer (pH 5,0) ke tabung reaksi. Campur dengan vortex inkubasi pada 40 0C 60 menit. Kemudian ditambahkan campuran glukosa oxidase/peroxidase (GOPOD) ke tabung reaksi dan inkubasi pada 40 0C 20 menit. Selanjutnya diukur absorbansi pada 510 nm terhadap blanko. Untuk setiap set penentuan, sedikitnya ada satu
kontrol jamur, dan juga ada larutan blanko dan glukosa standar (kontrol, sampel, blanko dan glukosa standar dalam satu waktu). 3. Larutan Blanko : terdiri atas buffer sodium asetat (200 mM, pH 5) + glucose oxidase/peroxidase reagen. D-glukose standar: D-glukosa standar (1 mg/mL )+ buffer sodium asetat (200 mM, pH 5,0) + glukosa oxidase/peroxidase. a. Penentuan α-glucan (phytoglycogen dan pati) dan Dglucose dalam sukrosa dan glukosa bebas. b. Pelarutan, hidrolisis dan pengukuran α-glucan, Dglucose dari sukrosa dan glukosa bebas. c. Tambahkan 100 mg sampel ke tabung reaksi. Tutup tabung untuk menjamin semua sampel jatuh ke tabung. d. Letakkan magnetic stirrer bar, kemudian masukkan 2M KOH ke tiap tabung (larutkan phytoglycogen/starch) , kemudian di putar kira-kira 20 menit dalam waterbath es. e. Tambahkan 1,2M sodium acetat buffer (pH 3,8) ke tiap tabung sambil distirer. Segera tambahkan amyloglucosidase dan invertase , campurkan dengan baik dan letakkan tabung dalam waterbath 40 0C. f. Inkubasi tabung pada 40 0C selama 30 menit dengan sebentar bentar distirer dengan vortex. g. Untuk sampel dengan kandungan α-glucan > 10%, pindahkan isi tabung ke labu volumetric 100 ml dan tera dengan aquades. stirer dengan benar. Sentrifuse larutan selama 10 menit atau saring dengan kertas saring whatman no. 1 (9 cm). h. Untuk sampel dengan kandungan α-glucan < 10%, langsung sentrifuge selama 10 menit (tanpa pengenceran). Untuk beberapa sampel, volume akhir dalam tabung (volume ini tergantung dari tipe sampel yang dianalisa). Dalam beberapa kasus, volume akan mempengaruhi perhitungan. i. Ambil larutan/supernatant (duplo) baik yang diencerkan maupun tidak ke tabung reaksi, tambahkan buffer sodium asetat (200 mM, pH 5) dan GOPOD reagent kemudian inkubasi pada 40 0C selama 20 menit. j. Kemudian, diukur absorbansi semua larutan pada 510 nm terhadap blanko. k. Metode ini tidak dapat digunakan untuk analisa β-Dglucan dengan adanya selulose (1,4-β-D-glucan). Hasil analisa beta glukan dengan metode Modifikasi Yap and Ng (2001) Hasil analisa beta glukan dengan Megazyme Kit cukup bagus karena nilai beta glukan dari Yeast standar mendekati nilai dari kemasan botol standarnya. Hasil analisa beta glukan Yeast standar adalah 54.6636 % sedang nilai atau kadar sebenarnya adalah 56,5 %. Untuk Beta glukan Yeast standar : total glukan : 55,1028 %, alfa glukan : 0,4391 %, beta glukan : 54,6636 % Untuk Pleuran (sampel ) : total glukan : 24,6751 %, alfa glukan : 1,5107 %, beta glukan : 23,1644 %
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |372
ISBN 978-602-98902-1-1
Berdasar analisa tersebut, maka kadar beta glukan dalam sampel pleuran dengan metode Yap and Ng modifikasi adalah 23,1644 % (b/b). Menurut Synytsya et al (2009), budidaya jamur tiram atau dikenal dengan genus Pleurotus merupakan sumber glukan biologis aktif. Secara parsial, β-glukan dari Pleurotus sp. (pleuran) telah digunakan sebagai suplemen karena aktifitas imunosupresifnya. Seperti komponen serat makanan, polisakarida jamur tiram dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme usus (probiotik), yakni sebagai prebiotik. Glukan biasanya diisolasi dari bagian batang Pleurotus ostreatus dan Pleurotus eryngii dengan air mendidih yakni ekstraksi alkali. Kandungan chitin ditemukan dalam jumlah kecil sebagai komponen dinding sel kompleks kitin-glukan. Surenjava (2005), menyampaikan hasil penelitiannnya bahwa beta – glukan yang berasal dari salah satu spesies Basidiomycota diantaranya adalah jamur shiitake (Lentinus edodes) mempunyai efek anti tumor. Mantovania (2007), menyebutkan bahwa zat-zat yang terkandung pada jamur dapat merangsang sistem kekebalan tubuh, modulasi imunitas humoral dan selular, dengan demikian memiliki efek menguntungkan dalam memerangi infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. β-glukan juga menunjukkan sifat hipokolesterolemik dan sifat antikoagulan. Akhir – akhir ini telah terbukti sebagai senyawa anti-sitotoksik, antimutagenik dan antitumorogenic, sehingga dapat diharapkan sebagai promotor farmakologis kesehatan. Beberapa contoh senyawa beta glukan antara lain, selulosa (β-1,4-glukan), lentinan (β-1,6 dan β-1,3-glukan yang diisolasi dari jamur shitake atau Lentinus edodes), pleuran (β-1,6 dan β-1,3glukan yang diisolasi dari jamur tiram atau Pleurotus ostreatus). Pemilihan jamur tiram sebagai bahan baku untuk ekstraksi beta glukan disebabkan jamur tiram sudah cukup dikenal luas di masyarakat, harganya terjangkau, dan waktu budidayapun relatif tidak terlalu lama dibanding dengan jamur kayu yang lainnya. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis jamur kayu yang sudah banyak dibudidayakan, karena rasanya yang enak dan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Menurut Surawiria (2006), Klasifikasi ilmiah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) sebagai berikut : Kingdom : Fungi Phylum : Basidiomycota Class : Agaricomycetes Orde : Agaricales Family : Triclomataceae Genus : Pleurotus Species : Pleurotus ostreatus Secara alami beta glukan merupakan polimer dari glukosa dan merupakan polimer yang besar, biasanya tidak larut dalam air serta tahan terhadap asam. Beta glukan yang biasanya digunakan sebagai immunomodulator pada mamalia biasanya adalah beta glukan larut dalam air, mudah diserap dan memiliki bobot molekul yang rendah.
Perbedaan ekstraksi beta glukan ini dilakukan didasarkan pada perbedaan kelarutan beta glukan. Beta glukan ada yang larut dalam air (soluble) dan ada yang tidak larut dalam air (insoluble), dan beberapa beta glukan yang tidak larut dalam air adalah larut dalam alkali. Kelarutan beta glukan didasarkan pada ukuran bobot molekul dan struktur dari beta glukan. Beta glukan dapat diekstraksi melalui ekstraksi basa, namun untuk mendapatkan β-glukan murni perlu dilakukan purifikasi lebih lanjut. Ekstraksi basa didasarkan pada sifat β-glukan yang mudah larut dalam basa (alkali). Beta glukan diekstraksi menggunakan NaOH kemudian diendapkan dengan asam sehingga diperoleh ekstrak beta glukan. Penelitian ini yang bertujuan untuk mendapatkan metod produksi beta glukan dari jamur , dalam hal ini jamur tiram (Pleurotus ostreatus) , dengan proses ekstraksi bertahap, diharapkan akan memberikan kontribusi pada berbagai sektor terutama pada peningkatan sektor ekonomi melalui teknologi kesehatan, terutama pangan fungsional. Dengan lebih tersosialisasinya manfaat beberapa jenis jamur sebagai pangan fungsional yang relatif murah, lezat, serta sarat manfaat terutama sebagai imunomodulator (peningkat sistim kekebalan tubuh) maka lebih mendorong sektor SDM (sumber daya manusia) untuk berbudidaya jamur serta lebih memperdalam pasca panennya, khususnya untuk menghasilkan senyawa beta-glukan yang bisa diterima baik oleh pasar ataupun masyarakat pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2000. New Pharmaceutical, nutraceutical & Industrial Products. Wondu Holdings Pty Limited. RIRDC Publication No. 00/173 rirdc Project no.WHP-4A. Aryantha, I. Nyoman. 2005. Pengembangan Produk Kesehatan dari Shiitake. Malakah Lokakarya Pengembangan Produk dan Industri Jamur Pangan, BPPT Jakarta, 1-2 Agustus 2005. Bellinib MF, José Pedro F. Angelia, Rodrigo J. Oliveiraa, Ariane F. Silvaa and Lúcia R. Ribeiroc. 2007. β-Glucans in promoting health: Prevention against mutation and cancer.Mutation Research/Reviews in Mutation Research Vol 658, Issue 3, March-April 2008 ; p.154-161. Chao PY., Wu ZD., Wang RC . 1989. The Extraction purification and Analysis of Polysaccharide PA3DE from the Fruit Body of Flammulina velutipes (Curt. Ex Fr) sing.Acta Biochemica and Biophysica Sinica, 21: 152-156. Chihara G., Hamuro J., Maeda Y., 1987. Antitumor and Metastatis-inhibitory Activities of Lentinan as An immunomodulator: An Overview. Cancer Detect Prev.1987; 1:423-443. Mizuno. 1999. Fractional Preparation of Polysaccharides from Mushroom and Fraction Purification of Polysaccharides by Chromatography in Extraction, Development and Chemistry of Anti-cancer Compounds from Medicinal Mushroom.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |373
ISBN 978-602-98902-1-1
Ng ML., Yap AT.2002. Inhibition of Human colon carcinoma development by Lentinan from Shiitake mushroom (Lentinus edodes). J. Altern Complement Med.8(5): 581-9. Synytsya, A., Kateřina M., Alla S., Ivan J., Jiří S., Vladimír E., Eliška K., Jana Č.2009.Glucans from fruit bodies of cultivated mushrooms Pleurotus ostreatus and Pleurotus eryngii: Structure and potential prebiotic activity Carb Polymers, Vol 76, Issue 4, 16 May 2009: p.548-556 Widyastuti, N., Wahyudi, P., Isnawan, H., Tjokrokusumo, D., Barudji, T., Giarni, R. 2011.Produksi Senyawa Polisakarida Beta-Glukan Larut Air dan Larut Alkali dari Tubuh Buah Basidiomycota .Proposal Insentif Ristek 2011. Widyastuti,N. 2009. Pengembangan Teknologi Bioproses Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Jamur Shiitake (Lentinus edodes) sebagai Sumber Gizi dan Bahan Pangan Fungsional. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Bioteknologi Umum. BPPT-Jakarta. 58 hal. Xua X, Xufeng Zhanga and Fanbo Zengb. 2005.Effects of molecular structure on antitumor activities of →3) (1 -β-dglucans from different Lentinus edodes. Carbohydrate Polymers. Vol 63, Issue 1, 18 January 2006 : p.97-104 doi:10.1016/j.carbpol.2005.08.011
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |374
ISBN 978-602-98902-1-1
KAJIAN SIFAT FISIKO KIMIA FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT PRODUK ORGANIK (Physico Chemical Properties Assessment Composite Powder Formulations Organic Products) Hasnelly
Dosen Kopertis Wil. IV Dpk. Fakultas Teknik Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Pasundan Email:
[email protected] Sumartini Dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan
ABSTRACT The purpose of this study was to determine the extent of physico chemical properties influence the formulation of flour komposist organic products that enhance the product and can be applied in the processing of organic food products in the industry. The research was conducted in the laboratory of food technology Pasundan University Faculty of Engineering and the methods used for operations research and analysis tools continue to test consumer preferences. The results show that there is a positive influence on values and preferences of consumers and significant impact the processing of organic products. Key words: physico chemical, values, and organic products
PENDAHULUAN Tepung komposit merupakan salah satu bahan dasar pembuatan kue pengganti tepung terigu. Bahan baku utama yang digunakan adalah tepung beras dan bahan tambahan lain seperti maizena, tepung ketan, tapioka, dan tepung kentang. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan di masyarakat saat ini telah menyebabkan peningkatan beberapa penyakit seperti hipertensi, anak-anak hipertensi, agresif, alergi tepung terigu, gangguan perilaku, penyakit generative diabetes mellitus (DM) dan keterlambatan perkembangan (bahasa, fisik dan emosi). Tepung beras adalah salah satu alternatif bahan dasar tepung komposit dan kandungan yang dimilikinya adalah karbohidrat, lemak, protein, mineral serta vitamin. Tepung beras berasal dari beras dan akan lebih baik berasal dari beras organik. Tepung beras merupakan produk setengah jadi untuk bahan baku industri lebih lanjut, bahan substitusi, ataupun produk komposit. Tepung komposit mempunyai kelebihan antara lain, memilik nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hanya satu jenis tepung saja, serta kualitas fisik dan organoleptik yang lebih baik. 13 Tepung beras yang digunakan sebaiknya dibuat dari beras tanpa pemberian bahan pemutih atau bahan pengawet lain. Beras *
Korespondensi penulis : 0811215018 E-mail :
[email protected]
dicuci kemudian direndam dalam air selama 12 jam pada suhu kamar, selanjutnya ditiriskan dan digiling lalu dijemur sampai kering (kadar air 7%). Setelah tepung beras kering dilanjutkan dengan pengayakan dengan ayakan 80 mesh. Tepung komposit sebagai sumber pangan alternatif dalam rangka penganekaraman pangan dan alternatif bagi yang alergi tepung terigu. Upaya kajian formulasi untuk mengkarakterisasi sifat-sifat fungsionalnya dan diharapkan untuk mengkaji potensi penggunaannya. Larsen et. Al (2000); menyatakan bahwa di dalam beras terdapat 2 jenis kompleks amilosa – lipid yaitu amilosa lipid 1 dan amilosa lipid 2. Kompleks amilosa lipid 1 ditandai dengan meleleh pada suhu < 1000 C dan hanya menunjukan sedikit struktur Kristal kompak, sedangkan kompleks amilosa lipid 2 meleleh pada suhu > 1000 C, dengan struktur Kristal kompak. Makin kompak struktur Kristal amilosa 1 semakin sulit. Chen, Z (2003), pati diklasifikasikan menjadi 4 kelompok berdasarkan pola kekentalannya saat dipanaskan. Tipe A bila pati member kekentalan puncak dan kekentalan tersebut cepat turun selama pemasakan. Tipe B dengan kekentalan relative rendah dan berkurang pelan-pelan selama pemanasan. Tipe C jika pati tidak menunjukan kekentalan puncak namun kekentalannya konstan selama pemanasan atau bahan peningkat, sedangkan tipe D terjadi bila kekentalan meningkat dua atau tiga kali dibandingkan dengan saat pemasakan. Pati jangung jenis amilomaize yang memilki rasio amilosa tinggi (80%) dan jumlah berbeda dengan jenis-jenis jagung lainnya mengandung amilopektin 74-76% dan 24-26% amilosa
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |375
ISBN 978-602-98902-1-1
(Sunarti : tetapi jenis jagung amilosa hanya mengandung 20% amilopektin). Glicksman (1982) berpendapat bahwa gum menggambarkan variasi yang luas dari thickening (pengentalan) yang larut air dan polisakarida pembentuk gel. Gum arab adalah gum alami yang dieksudasi dari berbagai spesies yang bernama Acacia. Sumber utama untuk gum arab komersil adalah Acacia Senegal L. WIlld., yang juga dikenal dengan nama Acacia verek. Gum arab larut dalam air dingin maupun panas, tetapi cenderun membentuk gumpalan jika langsung ditambahkan ke air (John M deMan, 1997). Keuntungan-keuntungan menggunakan gum arab sebagai carrier dibandingkan dengan carrier lain adalah : 1. Merupakan produk alami, 2. Bebas dari endapan dan hampir tidak berwarna, 3. Nonkalori dan mengandung serat diet dapa larut dalam air yang tinggi. 4. Produk-produk dari gum arab tidak menyebabkan rasa pati (starchy) pada produk akhir. Gum arab telah banyak digunakan untuk menstabilkan emulsi minyak sitrus atau minyak ikan dan sebagai pengemulsi basisi flavor untuk minuman. Gum aram mempunyai mempunyai molekul hidrofil yang dapat bergabung dengan air membentuk larutan kental atau gel (John M deMan, 1997).
METODOLOGI a.
b.
c.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2010 sampai Desember 2010, bertempat di Laboratorium Teknologi Pangan FT-UNPAS dan di Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi, Subang. Bahan 1. Tepung Komposit (tepung beras, maizena, tapioka, tepung ketan, tepung kentang), gum dan xanthan gum. 2. Produk Makanan Ringan Pengujian Komposisi Kimia Pengujian komposisi kimia tepung komposit dilakukan untuk mengetahui kandungan komponen kimia makro dan mikro pada tepung komposit yang dihasilkan. Hasil pengujian komposisi kimia digunakan untuk mengkaji karakteristik tepung komposit lebih lanjut. Pengujian komposisi kimia tepung komposit dilakukan dalam bentuk kadar air, kadar karbohidrat, dan kadar protein, sedangkan pengujian komposisi kimia produk dilakukan pengujian kadar air, kadar karbohidrat dan kadar protein serat lemak khusus untuk produk bolu. Pengujian karakteristik tepung komposit dilakukan dalam bentuk karakteristik fisik (warna, dan daya serap air tepung), karakteristik kimia komponen pati (rasio amilosa dan amiopektin) profil amilograf, serta bentuk dan ukuran granula pati.
Pengujian dalam bentuk komponen pati komposit dilakukan mengingat karakteristik pati akan menentukan karakteristik tepung komposit secara keseluruhan. Pengujian komponen pati komposit meliputi pengujian rasio amilosa dan amilopektin metode spektrofotometri (Apriyantono, 1984), profil Amilografi pati (metode brabender amilograph). Tahap ini dilakukan karena pati yang diperoleh tidak memiliki kemurnian 100%, dilanjutkan dengan pengujian kandungan amilosanya. Prosentase amilopektin diperoleh berdasarkan pengurangan 100% pati dengan prosentase amilosanya. Pengolahan data dengan menggunakan program linier yang merupakan salah satu teknis riset operasional untuk mendapatkan hasil optimum dari berbagai kendala yang ada sehingga dihasilkan formulasi yang optimum pada bahan dasar pembuatan produk (kue, cookies, snack dan roti). Bahan Baku - Telur (untuk yang tidak alergi) dan bagi yang alergi diganti dengan penambahan susu beras lebih banyak. - Susu/susu beras (bagi yang alergi casein) - Sukrosa (Gula Stevia bagi yang alergi sukrosa) - Kentang untuk opak kentang - Ubi atau kentang kukus untuk bolu mix atau brownis - Seledri. •
Bolu Mix Bahan-bahan : 115 gr tepung beras organik import, tepung beras organik lokal, pengembang dan pengemulsi dari tumbuhan dan alami. 1 telur ayam kampong organik (bagi yang tidak alergi) 50 cc susu beras/air hangat Pemanis stevia 250 gr ubi kukus, dihaluskan.
•
Soufllé Mix Bahan-bahan : 100 gr tepung beras organik import, beras organik lokal, maizena, pengembang dan pengemulsi dari tumbuhan dan alami, garam 1 telur ayam kampung/bebek (bagi yang tidak alergi) 250 gr kentang kukus yang dihaluskan 80 cc susu beras/air hangat Pemanis stevia 1 sendok makan margarine cair + 40 cc canola oil/50 cc minyak canola bagi yang alergi mentega.
•
Brownies Bahan-bahan : 115 gr tepung beras organik import, beras organik lokal, maizena, pengembang dan pengemulsi dari tumbuhan dan alami, garam
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |376
ISBN 978-602-98902-1-1
-
1 telur ayam kampung/bebek (bagi yang tidak alergi) 250 gr ubi kukus yang dihaluskan 80 cc susu beras/air hangat Carob Powder & kenari/almond Pemanis stevia 50 gr margarine dari canola oil/50 cc minyak canola bagi yang alergi mentega.
•
Bak Pao Mix 200 gr bakpao mix, tepung beras organik import, beras organik lokal, maizena, garam pengembang dan pengemulsi dari tumbuhan dan alami, garam 175 cc air/susu beras untuk apem/roti goring Carob Powder & kenari/almond 1 sendok canola oil. Bahan Isian : Dada ayam kampung, cancang Garam, merica, 1 sendok no egg/tapioka Wortel potong dadu & daun bawang iris halus.
•
Cake Mix Bahan-bahan : 150 gr tepung beras organik import, tepung kentan, potato strach, pengembang dan pengemulsi dari tumbuhan dan alami, garam 100 gr margarine cair dari canola oil/60 cc minyak canola 150 cc susu beras/air hangat Pemanis stevia Bisa ditambahkan 150 gr labu kukus (tidak lembek) dan 1 telur kampung organik (bagi yang tidak alergi).
3.
Protein
8,711
-
-
-
4.
Lemak
6,824
-
-
-
Hasil penelitian dengan menggunakan program linier didapt bahwa tepung beras dan bahan tambahan (maizena, tepung ketan, tapioka, dan gum / xanthan) adalah 70% dan 30%. Total biaya produksi sebesar Rp. 8.000,- perkemasan dan harga jual produk. Bahan baku yang terpilih dibuat produk roti, kue, cookies atau snack. Hasil uji organoleptik menunjukan bahwa panelis menyukai produk-produk tersebut (khususnya panelis yang alergi terigu, telur dan susu sapi). Hasil analisis kimia bahan dasar terpilih dan produk dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Hasil penelitian (tabel 1), menunjukan bahwa tepung komposit merupakan sumber karbohidrat yang potensi dengan kandungan sebesar 77,010 % s/d 81,134% (basis kering). Hal ini menunjukan bahwa tepung komposit cukup potensial.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Komposisi proksimat tepung komposit bahan baku bolu mik, cake mix, dan brownies. Tepung Komposit % No Komponen Bolu Mix Cake Mix Brownies 1. Air 7,076 9,901 8,251 2.
Karbohidrat
81,134
78,965
77,010
3.
Kadar Protein
3,791
6,134
7,744
Tabel 2. Komposisi proksimat produk berbahan baku tepung komposit. No
Komponen
Kue Bolu %
1.
Air
42,513
2.
Karbohidrat
40,092
Komoditi Kue Kerupuk Semprong Seledri % % 3,267 1,803 80,112
90,823
Opak Kentang % 1,781 91,074
Hasil uji amilografi menunjukkan suhu gelatinisasi tepung campuran sebesar 73,40 C yang termasuk kedalam “intermediate gelatinization temperature”. Pada suhu tersebut granula-granula pati yang terdapat di dalam tepung campuran mulai pecah, pada keadaan tersebut dinding sel senyawa menyusun pati mulai pecah dan ikatan 1,4 α-glukosa mulai putus sehingga terjadi peningkatan viskositas pasta tepung campuran sebesar 25,60 cP. Suhu gelatinisasi tepung campuran ini menjelaskan perbandingan antara amilosa dan amilopektin yang terdapat di dalam tepung. Hasil percobaan memperlihatkan suhu gelatinisasi tepung campuran yang medium (intermediate gelatinization temperature) dalam proses pembentukan gel memerlukan waktu yang lama dan suhu yang tinggi, hal ini menandakan kandungan amilopektin yang terdapat di dalam tepung campuran cukup tinggi. Amilopektin yang memiliki ikatan cabang 1,6 α-glukosa mempunyai sifat sedikit menyerap air dan sukar larut di dalam air, selama pemanasan pasta yang disertai dengan pengadukan terjadi penyerapan air oleh molekul-molekul amilosa lebih banyak
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |377
ISBN 978-602-98902-1-1
dari pada molekul-molekul amilopektin dan terjadi pembengkakan dari molekul-molekul pati. Pemanasan selama 22 menit memperlihatkan terjadi kenaikan viskositas pati dan menunjukkan pecahnya dinding sel pati pada suhu 73,40 C. Pemanasan pasta pati diteruskan dan pada keadaan senyawa-senyawa penyusun pati, seperti amilosa dan amilopektin semakin banyak menyerap air yang disertai putusnya ikatanikatan senyawa tersebut sehingga viskositas dan suhu pasta pati meningkat masing-masing mencapai 1900,80 cP dan 93,40 C. Keadaan ini menunjukkan ikatan amilosa dan amilopektin pecah memberikan nilai viskositas puncak dan suhu pasta yang tinggi. Selanjutnya kondisi pemanasan pada suhu ini dipertahankan dan terjadi penurunan viskositas pasta pati, pada keadaan ini ikatan-ikatan amilosa dan amilopektin semakin banyak putus yang disertai dengan keluarnya inti sel pati menyebabkan viskositas pasta pasti menjadi turun serta pasta menjadi encer. Proses selanjutnya dilakukan pendinginan pasti pasti yang telah dipanaskan disertai dengan pengadukan, keadaan ini memperlihatkan terjadinya proses retrogradasi dari molekulmolekul amilosa dan amilopektin dan viskositas pasta meningkat kembali sedangkan suhu pasta pasti menurun. Pada keadaan ini disebut viskositas dingin dengan nilai 1932,80 cP pada suhu 49,90 C dan sifat pati pada kondisi ini telah berubah dari sifat aslinya. Bila dilihat dari nilai viskositas puncak dan viskositas dingin dari pasta pati yang besarnya masing-masing 1900,80 cP dan 1932,80 cP, memberikan nilai setback viscosity sebesar 30 cP yang menandakan tekstur dari tepung campuran sangat lunak. Hal ini memperlihatkan kandungan amilopektin yang terdapat di dalam tepung campuran tinggi, sehingga pada saat pendinginan energi kinetic tidak cukup lagi untuk melawan kecenderungan molekul amilosa untuk menyatu kembali.
DATA HASIL PENGUJIAN LABORATORIUM KARAKTERISTIK PATI No
Kode sampel
1.
Tepung
Awal Gelatinisasi Waktu Suhu (menit) (0C) 12.0 73.4
Granula pati pecah Waktu Suhu Viskosit (menit) (0C) as (cP) 21.0 93.4 1900.8
Viscositas Akhir Balik 500C (cP) 1932.8 32.0
LAMPIRAN #
Viskosity (cP)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Shear Stress (D/cm2)
Shear Rate (1/sec)
Tempe rature (0C)
Time Interval (mm:ss.t)
Speed (RPM)
Torqu e (%)
6.40
100.00
0.1
1.79
28.00
30.3
01 : 00 . 3
6.40
100.00
0.1
1.79
28.00
31.9
01 : 00 . 4
0.00
100.00
0.0
0.00
28.00
35.7
01 : 00 . 4
6.40
100.00
0.1
1.79
28.00
39.9
01 : 00 . 4
0.00
100.00
0.0
0.00
28.00
44.1
01 : 00 . 4
6.40
100.00
0.1
1.79
28.00
48.6
01 : 00 . 5
0.00
100.00
0.0
0.00
28.00
52.9
01 : 00 . 4
0.00
100.00
0.0
0.00
28.00
57.1
01 : 00 . 4
6.40
100.00
0.1
1.79
28.00
61.3
01 : 00 . 0
6.40
100.00
0.1
1.79
28.00
65.4
01 : 00 . 4
11.
0.00
100.00
0.0
0.00
28.00
69.4
01 : 00 . 4
12.
25.60
100.00
0.4
7.17
28.00
73.4
01 : 00 . 0
13.
38.40
100.00
0.6
10.75
28.00
77.2
01 : 00 . 4
14.
44.80
100.00
0.7
12.54
28.00
81.1
01 : 00 . 4
15.
57.60
100.00
0.9
16.13
28.00
84.9
01 : 00 . 4
16.
160.00
100.00
2.5
44.80
28.00
88.5
01 : 00 . 4
17.
524.80
100.00
8.2
146.94
28.00
90.7
01 : 00 . 4
18.
1228.80
100.00
19.2
344.06
28.00
92.0
01 : 00 . 4
19.
1728.00
100.00
27.0
483.84
28.00
92.8
01 : 00 . 4
20.
1868.80
100.00
29.2
523.26
28.00
98.2
01 : 00 . 4
21.
1900.80
100.00
29.7
532.22
28.00
93.4
01 : 00 . 4
22.
1894.40
100.00
29.6
530.43
28.00
93.4
01 : 00 . 4
23.
1875.20
100.00
29.3
525.06
28.00
93.5
01 : 00 . 4
24.
1856.00
100.00
29.0
519.68
28.00
93.4
01 : 00 . 4
25.
1843.20
100.00
28.8
516.10
28.00
93.4
01 : 00 . 4
26.
1830.40
100.00
28.6
512.51
28.00
93.4
01 : 00 . 4
27.
1830.40
100.00
28.6
512.51
28.00
93.3
01 : 00 . 4
28.
1830.40
100.00
28.6
512.51
28.00
93.3
01 : 00 . 4
29.
1830.40
100.00
28.6
512.51
28.00
93.4
01 : 00 . 4
30.
1836.80
100.00
28.7
514.30
28.00
92.9
01 : 00 . 4
31.
1836.80
100.00
28.7
514.30
28.00
88.4
01 : 00 . 4
32.
1830.40
100.00
28.6
512.51
28.00
83.5
01 : 00 . 4
33.
1817.60
100.00
28.4
508.93
28.00
78.9
01 : 00 . 4
34.
1747.20
100.00
27.3
489.22
28.00
74.7
01 : 00 . 4
35.
1702.40
100.00
26.6
476.67
28.00
70.9
01 : 00 . 4
36.
1702.40
100.00
26.6
476.67
28.00
67.4
01 : 00 . 4
37.
1728.00
100.00
27.0
483.84
28.00
64.1
01 : 00 . 4
38.
1760.00
100.00
27.5
492.80
28.00
61.1
01 : 00 . 4
39.
1798.40
100.00
28.1
503.55
28.00
58.5
01 : 00 . 4
40.
1836.80
100.00
28.7
514.30
28.00
56.0
01 : 00 . 4
41.
1875.20
100.00
29.3
525.06
28.00
53.7
01 : 00 . 4
42.
1913.60
100.00
29.9
535.81
28.00
51.6
01 : 00 . 4
43.
1932.80
100.00
30.2
541.18
28.00
49.9
01 : 00 . 4
44.
1958.40
100.00
30.6
548.35
28.00
49.5
01 : 00 . 4
45.
1971.20
100.00
30.8
551.94
28.00
19.4
01 : 00 . 4
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |378
ISBN 978-602-98902-1-1
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif terhadap nilai dan kesukaan konsumen serta berdampak positif terhadap proses pengolahan produk organik.
DAFTAR PUSTAKA Budijanto, S. 2008. Tinggalkan Tepung Impor, Pilihlah Tepung Lokal. http:/www.beritaiptek.com/pilihberita.php?id=387, diakses : 18/12/09. Desroiser, N.W. 1998. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M muljohardjo, Cetak Pertama, Universitas Indonesia, Jakarta. Demann, J.M. 1997. Kimia Makanan. Edisi kedua, Penerbit ITB, Bandung. Duryatmo, S. 2009. ’Anak Singkong’ Penemu Tepung Singkong. http://www.trubus-online.co.id. diakses : 11/01/2010. Dwicahyo. 2009. Tepung Tapioka (Modified Starch). http://indotepung.blogspot.com/2009/04/native-tapiocastarch.html. diakses : 11/01/2010. Gaman, P.M., dan Sherrington K.B. 1983. Ilmu Pangan (Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi). Edisi Kedua, Penerjemah Murdjiati G, dkk, UGM, Yogyakarta.
Rahmah, A. 2005. Pengaruh Konsentrasi α-Amilase dan Konsentrasi Pati Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) dalam Bioreaktor Batch Terhadap Pembuatan Dekstrin. Tugas Akhir. Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan. Bandung. Rukmana, R. 1998. Budidaya Talas. Kanisius, Yogyakarta. Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Sudarmadji, S. 1996. Analisa Bahan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Tjokroadikoesoemo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya, Gramedia, Jakarta. Tranggono., dan Sutardi. 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen, PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta. Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yellashakti. 2008. Penghilangan Rasa Gatal Pada Talas. http://yellashakti.wordpress.com. Diakses : 11/01/2010.
Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisis Dalam Penilaian Percobaan. Tarsito, Bandung. Kusnandar, F. 2006. Modifikasi Pati dan Aplikasinya pada Industri Pangan. Food Review Referensi Industri dan Teknologi Pangan Indonesia, Vol 1 (3) : 26-31, PT. Media Pangan Indonesia, Bogor. Muchtadi, T., dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Pertanian Bogor, Bogor. Oktorita, D. 2003. Pengaruh Konsentrasi Natrium metabisulfit dan lama Pengeringan Terhadap Karakteristik Pati Lompong Talas (Colocasia esculenta). Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan. Poedjiadi, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |379
ISBN 978-602-98902-1-1
Kadar Antosianin, Kadar Polifenol, Dan Aktivitas Antioksidan Dari Beberapa Anggur Perjamuan Kudus [Anthocyanin, Polyphenol Content, and Antioxidant Activity of Several Kinds of Holly Communion Wine] Lydia Ninan Lestario dan Lusiawati Dewi
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Email :
[email protected]
ABSTRACT The aim of this research were to determine anthocyanin content, polyphenol content, and antioxidant activity of several wine used for holy communion. The total anthocyanin content was determined by pH differential method, polyphenol content was determined by staining with Folin Ciocalteu, whereas antioxidant activity was determined by free radical scaveging method. The results showed that the highest anthocyanin content and polyphenol content was found in local grape fruit, whereas the highest antioxidant activity was found in impor grape fruit. Key words : anthocyanin, polyphenol, antioxidant activity.
PENDAHULUAN Perjamuan kudus merupakan salah satu sakramen yang diadakan secara periodik dalam suatu gereja dan wajib diikuti oleh jemaat yang sudah memenuhi syarat dari gereja tersebut. Dalam perjamuan kudus di gereja kristen protestan, selain roti disajikan pula ’anggur’ (wine) yang juga dikonsumsi oleh jemaat. Dari satu gereja ke gereja lain seringkali dipakai jenis anggur yang berbeda dengan variasi warna, aroma, dan tingkat kemanisan yang beragam pula. ’Anggur’ dibuat melalui proses fermentasi sari buah anggur, dengan bantuan khamir seperti Saccharomyces cerevisiae, yang akan mengubah gula dalam sari buah anggur menjadi alkohol dan beberapa senyawa ester, sehingga menghasilkan rasa dan aroma yang khas. Minum wine secara teratur dipercaya mempunyai manfaat untuk kesehatan, Ghiselli dkk. (1998) menyatakan bahwa efek protektif ‘wine’ terutama diperoleh dari fraksi yang mengandung antosianin. Antosianin dalam buah anggur mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan, antara lain : sebagai antioksidan, mencegah penyakit jatung koroner dan beberapa jenis kanker, serta berpengaruh positif terhadap penglihatan. Beberapa jenis antosianin bahkan mempunyai aktivitas antioksidan dua kali lipat dibandingkan antioksidan komersial yang sudah banyak dikenal selama ini seperti katekin dan alfa-tokoferol (vitamin E) (Aruoma dan Cuppett, 1997). Lebih jauh, Prior dkk (1998) menemukan bahwa aktivitas antioksidan antosianin lebih besar 2-6 kali dibandingkan antioksidan umum lain seperti asam askorbat, glutation, dsb. Banyak bukti menunjukkan bahwa senyawa ini mudah diserap dalam tubuh, berperan dalam perlindungan oksidatif, serta memainkan peranan penting untuk memerangi penyakit jantung maupun berbagai macam kanker (Smith dkk., 2000).
Berdasarkan kenyataan diatas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang variasi kadar antosianin, kadar polifenol, dan aktivitas antioksidan dari beberapa jenis anggur yang biasa dipakai untuk perjamuan kudus di beberapa gereja di Salatiga. Dengan latar belakang diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :mengukur kadar antosianin, kadar polifenol, dan aktivitas antioksidan dari 5 jenis ’anggur’. METODOLOGI Bahan dan alat Bahan baku penelitian terutama terdiri dari 5 jenis ‘anggur’ yang biasa dipakai untuk perjamuan kudus di beberapa gereja di Salatiga, dibandingkan dengan buah anggur lokal dan buah anggur impor yang diperoleh dari pasar Swalayan di Salatiga. Bahan kimia yang digunakan meliputi : metanol, HCl, NaOH, KCl, asam sitrat, natrium sitrat, etanol, reagen Folin Ciocalteu, Na2CO3 dan reagen DPPH (Merck, Jerman). Alat utama yang digunakan antara lain : alat-alat gelas, timbangan analitik 4 desimal (Mettler), waterbath, pH meter, spektrofotometer UV-VIS (Mini Shimadzu). Karakteristik sensorik Pengamatan sensorik dilakukan terhadap warna, aroma, tingkat kemanisan, dan ada atau tidaknya rasa alkohol. Uji kualitatif antosianin (Harborne, 1996) Uji untuk memastikan adanya antosianin dilakukan terhadap semua sampel, dengan tujuan untuk mengetahui apakah pigmen ungu pada ’anggur’ adalah antosianin. Uji ini bersifat kualitatif, dan meliputi beberapa butir, yaitu: a. sampel dipanaskan dengan 2 M HCl pada suhu 100 oC selama 5 menit dan diamati perubahan warnanya; b. sampel ditambah dengan 2 M NaOH tetes demi tetes dan diamati perubahan warnanya; c. sampel dikromatografi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |380
ISBN 978-602-98902-1-1
kertas dengan larutan pengembang HCl 1 % dan larutan pengembang BAA (butanol : asam asetat : air = 4:1:5) dan dihitung Rfnya ; d. sampel diukur absorbansi maksimumnya dalam larutan metanol-HCl 1 %. Hasil-hasil tersebut dicatat dan dicocokkan dengan tabel referensi. Kadar antosianin total (Prior dkk., 1998) Kadar antosianin diukur dengan metode perbedaan pH (Cheng dan Breen, 1991 dalam Prior dkk., 1998), yaitu mengukur absorbansi ekstrak buah pada pH 1 dan pH 4,5 yang diukur pada λ=510 dan λ=700 dan dihitung dengan rumus : Abs = [(A510A700)pH1 – (A510 – A700)pH4,5]; dengan koefisien ekstingsi molar sianidin 3-glukosida = 29.600. Masing-masing sampel diulang tiga kali. Kadar polifenol (Povilaityte dan Venskutonis, 2000) Kadar polifenol diukur dengan dengan metode pewarnaan dengan Folin, dengan cara sebagai berikut : 0,5 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah dengan 2 ml larutan 10 % Folin Ciocalteau dan 2,5 ml 7,5 % Na karbonat dalam akuades, didiamkan selama 30 menit, lalu diukur absorbansinya pada λ = 765 nm. Digunakan asam galat sebagai standar. Masing-masing sampel diulang tiga kali. Aktivitas antioksidan dengan metode penangkapan radikal bebas dengan DPPH (Lestario dkk, 2005) Aktivitas antioksidan diukur dengan metode DPPH, yang prosedurnya adalah sebagai berikut : dari masing-masing sampel diambil 1 mL dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambah dengan 2 mL DPPH 0,2 mM. Dibuat juga kontrol, yaitu sampel diganti dengan pelarut sampel (metanol atau etanol). Diamkan selama 30 menit, diukur absorbansinya pada λ = 517 nm. Digunakan pula BHT 200 µg/ml sebagai pembanding. Masing-masing sampel diulang 3 kali. Aktivitas Antioksidan / Penanngkapan Radikal Bebas dihitung dengan rumus : Ao - A % Penghambatan = ------------- x 100 % Ao Ao = Absorbansi kontrol A = Absorbansi sampel HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik sensorik Karakteristik sensorik dari ke 5 anggur perjamuan dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Sensorik Beberapa Anggur Perjamuan Kudus
No.
Sampel
Warna
Aroma
1
Monaco (GKI) Buah anggur local
Coklat Merah keunguan
2
Alkohol
Rasa Manis Ada
Rasa alkohol Ada
Anggur++
Ada+
Tidak ada
3 4 5
Ungu (GBI I) Cup (GBI II) Buah anggur impor
Ungu Coklat Merah
Anggur +++ Alkohol Anggur+
Ada+++ Ada Ada++
Tidak ada Ada Tidak ada
Dari Tabel 1. menunjukkan bahwa ada variasi dalam warna, aroma, dan rasa dari sampel anggur. Sampel no. 1 berwarna coklat, merupakan karakteristik warna dari antosianin yang sudah terdegradasi. Degradasi ini dapat terjadi selama proses pengolahan buah anggur menjadi minuman anggur, atau selama penyimpanan. Ada aroma dan rasa alkohol, dan ada rasa manis. Sampel no. 2 yang berasal dari buah anggur lokal, berwarna merah ungu, merupakan karakteristik warna dari buah berantosianin yang diekstrak dengan metanol-HCL 1%. Pada umumnya buah yang mengandung antosianin berwarna merah sampai merah ungu dalam larutan metanol-HCL 1 %. Sampel no 3, berwarna ungu tua. Ada rasa manis dan aroma anggur, namun tidak ada rasa alkohol. Kemungkinan warna itu disebabkan oleh pewarna sintetik yang berwarna ungu, yang menyerupai buah anggur. Sampel no. 4, berwarna coklat, merupakan karakteristik warna dari antosianin yang sudah terdegradasi. Ada aroma dan rasa alkohol, dan ada rasa manis. Sampel no. 5, yang berasal dari buah anggur impor, berwarna merah, yang merupakan karakteristik warna dari buah berantosianin yang diekstraksi dengan metanol-HCl 1%, meski warna merahnya tidak sepekat pada buah anggur lokal. Hasil uji kualitatif antosianin Uji kualitatif antosianin dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Uji kualitatif antosianin pada masing-masing sampel dan λ maksimumnya No. 1.
Hasil uji kualitatif -
2. 3.
+ -
4.
-
5.
+
Penjelasan
Kesimpulan
Warna tetap coklat Warna hijau biru Warna tetap ungu Warna jadi merah Warna hijau biru
Degradasi antosianin Ada antosianin Tidak ada antosianin Degradasi antosianin Ada antosianin
Sampel no.1 dan sampel no. 4 menunjukkan hasil negatif, warna yang tetap coklat saat ditetesi dengan NaOH menunjukkan bahwa antosianin sudah terdegradasi. Sampel no. 2 menunjukkan hasil positif, terlihat dari warnanya yang merah dalam larutan metanol-HCl 1 %, dan menjadi kehijauan saat ditetesi NaOH. Adanya antosianin juga didukung dengan data absorbansi maksimum ekstrak pada 536 nm, yang merupakan daerah antosianin (532-554 nm; Harborne, 1984).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |381
ISBN 978-602-98902-1-1
Sampel no. 3 yang berwarna ungu, tidak memberikan hasil uji positif, saat ditetesi dengan NaOH, warnanya tetap ungu. Kemungkinan warna ungu tersebut adalah pewarna sintetik, dan bukan antosianin. Sampel no 5 menunjukkan hasil positif, terlihat dari warnanya yang merah dalam larutan metanol-HCl 1 %, dan menjadi kehijauan saat ditetesi NaOH. Adanya antosianin juga didukung dengan data absorbansi maksimum ekstrak pada 525 nm, yang masih merupakan daerah antosianin (532-554 nm; Harborne, 1984).
protective (Pazmino-Duran dkk., 2001). Antosianin dilaporkan mempunyai banyak sifat farmakologis, dan sudah digunakan untuk terapi pada manusia. Sediaan farmasi antosianin dari Vaccinium myrtillus (VMA, sejenis blue berry) yang diberikan secara oral, injeksi intravenal, maupun intramuskular dapat mengurangi permeabilitas dan fragilitas kapiler. Aktivitas antiinflamasinya bermanfaat sebagai anti-edema dan untuk diabetes microangiopathy. Selain itu antosianin memiliki aktivitas anti-ulcer dan melindungi sel-sel fibroblas tikus dari radiasi UV (Mazza, 1997).
Kandungan antosianin total dan pH Kandungan antosianin total dan pH, dan absorbansi maksimum dari ke 5 jenis sampel dapat dilihat pada Tabel 3.
Kandungan polifenol Kandungan polifenol dari 5 jenis sampel anggur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Kandungan antosianin total dan pH dari 5 jenis anggur perjamuan No. Sampel
Kandungan Antosianin total (mg/ 100 mL) 1. 0,26 ± 0,8 x10-5 2. 6,57 ± 3,3 x10-2 3. 0 4. 0 5. 1,86 ± 2,16x10-4 *) catatan : no. 2 dan no. 5 diekstrak mL pelarut
pH 3,8 2,2 3,4 3,2 2,2 dari 20
λ maks 446 nm 536 nm 515 nm 472 nm 525 nm g anggur/ 100
Dari Tabel 3. dapat dilihat bahwa kandungan antosianin tertinggi diperoleh pada sampel no. 2 , diikuti oleh sampel no.5, dan sampel no. 1. Pada sampel no 3 dan 4 kandungan antosianinnya = 0, hal ini sejalan dengan hasil uji kualitatif antosianin pada Tabel 2, yang menunjukkan bahwa sampel no. 3 dan no. 4 tidak menunjukkan hasil positif terhadap uji kualitatif antosianin. Penjelasannya karena sampel no 3 warna ungunya berasal dari pewarna sintetik, sedang sampel no. 4 warna coklatnya menunjukkan antosianin sudah terdegradasi. Sampel no. 1 menunjukkan kadar antosianin yang sangat rendah. Pada uji kualitatif antosianin, sampel ini menunjukkan hasil yang negatif. Kemungkinan yang terukur bukanlah antosianin, karena tidak memberikan uji positif saat ditetesi NaOH. Kemungkinan lain adalah masih terdapat antosianin dalam jumlah yang sangat kecil. Degradasi antosianin memang menimbulkan warna coklat. Bila melihat absorbansi maksimum sampel ini pada 446 nm, memang menandakan bahwa sampel tersebut tidak mengandung antosianin (absorbansi maksimum antosianin : 532554 nm; Harborne, 1984), melainkan produk degradasinya. Bila antosianin sudah terdegradasi, tentu akan kehilangan manfaatnya. Manfaat antosianin selain sebagai pigmen dan antioksidan, juga mempunyai beberapa manfaat lain untuk kesehatan seperti anti-neoplastik, perlindungan dari radiasi, vasotonic, vasoprotective, anti-inflamasi, chemo- dan hepato-
Tabel 4. Kandungan polifenol dari 5 jenis anggur perjamuan No. Sampel
Kandungan Polifenol (mg/ 100 mL) 1. 8,50 ± 2,0 x 10 -3 2. 33,17 ± 1,51 3. 13,98 ± 1,15 x10-2 4. 16,30 ± 1,34 x10-2 5. 23,07 ± 5,0 x 10 -5 *) keterangan : sampel no. 2 dan no. 5 dibuat dari 20 g anggur/ 100 mL pelarut Tabel 4. menunjukkan bahwa kandungan polifenol tertinggi diperoleh dari sampel no. 2, diikuti berturut-turut oleh sampel no. 5, no. 4, no. 3, dan no. 1. Sampel no. 2 dengan kandungan polifenol tertinggi ini, berasal dari buah anggur lokal, yang juga menunjukkan kandungan antosianin tertinggi. Hal ini berarti ada korelasi antara kandungan polifenol dan kandungan antosianin. Ini dapat dipahami karena antosianin termasuk dalam golongan polifenol. Kandungan polifenol tertinggi berikutnya diperoleh dari sampel no. 5, yang berasal dari buah anggur impor. Sampel ini juga memiliki kandungan antosianin total tertinggi kedua setelah sampel no. 2. Jadi hasil pengukuran kandungan polifenol ini sejalan dengan hasil pengukuran kandungan antosianin. Sampel yang memiliki kandungan polifenol yang tinggi, juga cenderung memiliki kandungan antosianin yang tinggi pula. Kandungan polifenol yang tinggi mempunyai manfaat besar bagi kesehatan. Dari hampir 200 studi epidemiologi, terlihat hubungan yang kuat dan konsisten antara konsumsi buah dan sayur yang banyak mengandung polifenol dengan penurunan resiko kanker. Orang yang mengkonsumsi lebih banyak buah dan sayur, mempunyai resiko setengahnya untuk terserang kanker dan resiko lebih kecil dari kematian akibat kanker, sehingga dihipotesakan oleh para peneliti bahwa polifenol dalam buah dan sayur menjadi penyebab dari penurunan resiko kanker. Polifenol ini bereaksi dengan beberapa mekanisme, diantaranya sebagai
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |382
ISBN 978-602-98902-1-1
antioksidan dan penangkap radikal bebas (Kelog dkk., 1994 dalam Vinson, 1999). Aktivitas antioksidan Aktivitas antioksidan dari 5 jenis sampel anggur dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Aktivitas Antioksidan dari 5 jenis sampel anggur No. Sampel Aktivitas Antioksidan (% Penghambatan) 1. 81,33 2. 88,28 3. 0 4. 79,37 5. 98,72 *) keterangan : no. 2 dan no. 5 dibuat dari 20 g anggur/ 100 mL pelarut Tabel 5. menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh dari sampel no. 5, diikuti berturut-turut oleh sampel no.2, sampel no.1, dan sampel no. 4. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil pengukuran kadar antosianin dan kadar polifenol. Sampel no. 2 yang kadar antosianin dan polifenolnya tertinggi, ternyata aktivitas antioksidannya tidak paling tinggi, tetapi berada pada urutan ke 2. Demikian juga sampel no. 5 yang aktivitas antioksidannya tertinggi diantara semua sampel, kadar antosianin dan polifenolnya berada pada urutan ke 2 setelah sampel no. 2. Jadi kadar antosianin yang tinggi tidak selalu menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi. Hal ini tidak sejalan dengan yang ditemukan oleh Wang dkk. (1997) yang menyatakan adanya korelasi positif antara aktivitas antioksidan terhadap kadar beberapa jenis antosianin (sianidin, delfinidin, malvidin, peonidin, dan pelargonidin). Dari hasil penelitian ini, diperoleh beberapa temuan yang cukup menarik dan bermanfaat untuk diketahui : 1. Ada variasi dalam kadar antosianin, polifenol, dan aktivitas antioksidan dari beberapa jenis ‘anggur’ yang biasa dipakai dalam perjamuan kudus. 2. Tidak semua anggur yang dipakai dalam perjamuan kudus dibuat / berasal dari fermentasi buah anggur; misalnya sampel no. 3 yang walaupun warnanya ungu, namun tidak mengandung antosianin dan tidak ditemui aroma maupun rasa alkohol. Tidak adanya antosianin menunjukkan bahwa sampel tersebut tidak berasal dari buah anggur, warna ungunya mungkin berasal dari pewarna sintetik yang menyerupai buah anggur. 3. Beberapa sampel anggur yang menunjukkan aroma dan rasa alkohol, ternyata antosianinnya sudah terdegradasi menjadi produk turunannya yang berwarna coklat, sehingga kurang dapat memberikan manfaat kesehatan dibanding bila antosianinnya belum terdegradasi. Dalam penelitian ini, dipakai buah anggur lokal dan impor sebagai pembanding, dan diperoleh hasil berikut :
1.
Buah anggur lokal (berwarna ungu tua, agak asam, dan tidak terlalu manis) mengandung antosianin total dan polifenol yang paling tinggi dibanding semua sampel yang lain termasuk anggur impor, namun aktivitas antioksidannya lebih rendah daripada anggur impor. 2. Buah anggur impor (berwarna ungu muda, kurang asam, dan rasanya manis) memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibanding semua sampel yang lain termasuk anggur lokal. Kadar antosianin dan polifenolnya lebih rendah daripada anggur lokal, namun lebih tinggi dibandingkan semua sampel lain. Berdasarkan hasil penemuan ini, kiranya dapat direkomendasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk : 1. Menggunakan buah anggur segar yang diekstrak sendiri dengan air matang untuk dipakai dalam perjamuan kudus. 2. Bila diinginkan kadar antosianin dan polifenol yang tinggi, sebaiknya menggunakan buah anggur lokal yang berwarna ungu tua. 3. Bila diinginkan aktivitas antioksidan yang tinggi, sebaiknya menggunakan buah anggur impor yang berwarna ungu muda. Saran diatas diberikan, mengingat bila memakai buah anggur segar, baik lokal maupun impor, maka akan dapat diperoleh manfaat antosianin, polifenol, serta antioksidan. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Kadar antosianin dan kadar polifenol tertinggi diperoleh dari sampel no.2, yang berasal dari buah anggur lokal. 2. Aktivitas antioksidan / penangkapan radikal bebas tertinggi diperoleh dari sampel no.5, yang berasal dari buah anggur impor. DAFTAR PUSTAKA Aruoma, O.I. dan S. Cupett, 1997. Antioxidant Methodology, In vivo and In vitro Concepts. AOCS Press, Champaign, Illionis. Ghiselli, A., M. Nardini, A. Baldi, and C. Scaccini, 1998. Antioxidant Activity of Different Phenolic Fractions Separated from an Italian Red Wine. J. Agric Food Chem. 46 (2): 361-367. Harborne, J.B., 1996. Metode Fitokimia. ITB, Bandung. Lestario, L.N., P. Hastuti, Sri Raharjo, Tranggono, 2005. Sifat Antioksidatif Ekstrak Buah Duwet (Syzygium cumini). AGRITECH vol. 25, no. 1 : 24 – 31. Mazza, G. 1997. Anthocyanins in Edible Plant Parts: A Qualitative and Quantitative Assesment. In Antioxidant Methodology, In vivo and in vitro concepts (Aruoma dan Cuppett, ed). AOCS Press, Champaign, Illionis.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |383
ISBN 978-602-98902-1-1
Pazmino-Duran, E.A., M.M. Giusti, R.E. Wrolstad, M.B.A. Gloria, 2001. Anthocyanins from Oxalis triangularis as potential food colorants. Food Chem. 75:211-216. Povilaityte, V. and P.R. Venskutonis. 2000. Antioxidative Activity of Purple Peril, Moldavian Dragonhead, and Roman Chamomile Extracts in Rapeseed Oil. JAOCS Vol. 77 (9): 951-956. Prior, R.L., Cao, G., Martin A., Soffic E., McEwen J., O’Brien C., Lischner N., Ehlenfeldt M., Kalt W., Krewer G., Mainland C.M., 1998. Antioxidant Capacity as Influenced by Total Phenolic and Anthocyanin Content, Maturity and variety of Vaccinium Species. J. Agric. Food Chem. 46:2686-2693. Smith, M.A.L., K.A. Marley, D. Seigler, K.W. Singletary, and B. Meline. 2000. Bioactive Properties of Wild Blueberry Fruits. J. Food Sci: 65 (2): 352-356. Vinson, J.A., 1999. The Functional Food Properties of Figs. Cereal Foods World: 44 (2): 82-87. Wang, H., G. Cao, and R. L. Prior, 1997. Oxygen Radical Absorbing Capacity of Anthocyanins. J. Agric Food Chem. 45: 304-309.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |384
ISBN 978-602-98902-1-1
KARAKTERISTIK GELATIN DARI KULIT DAN TULANG IKAN TUNA (Thunnus albacares) [Characteristics of Gelatin from the Skin and Bone of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares)] Nuri Arum Anugrahati1)*, Joko Santoso1), dan Tirzania Frannetta Sopacua1) 1)
Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pelita Harapan
ABSTRACT Yellowfin tuna (Thunnus albacares) skins and bones were used as a source of fish gelatins. Gelatins were extracted from skins and bones of yellowfin tuna and analyzed to characterize their physical and chemical properties. Gelatins from yellowfin skins pretreated with 0.5% acetic acid for 6 hours and extracted with distilled water at 70-75ºC for 1 hour while gelatins from yellowfin bones pretreated with 0.4% sodium hydroxide for 72 hours followed with 6% chloride acid for 48 hours and extracted with distilled water at 70-75ºC for 6 hours. Gelatins yield from tuna skins was lower than gelatins yield from tuna bones. Gel strength was 207.25 and 93.25 g.cm, respectively, for skin and bones gelatins. Skin gelatins exhibited higher viscosity, melting points, and setting point than bone gelatins. Skin and bone gelatins had protein content greater than 95% and ash content lower than 2%. Skin and bone gelatins had similar amino acid composition, with glycine and proline contents is lower in skin gelatins than bone gelatins. Key words: yellowfin tuna, skin gelatin, bone gelatin, gel strength, amino acid composition
PENDAHULUAN14 Negara Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara produsen ikan tuna (Thunnus albacares) di dunia. Ikan tuna tergolong ikan pelagis di daerah tropis dan subtropis. Produksi ikan tuna Indonesia tahun 2010 mencapai 207.100 ton dan hasil tersebut dijadikan target produksi pada tahun 2011. Dengan tingkat produksi sebesar 207.100 ton per tahun maka perlu adanya upaya untuk memanfaatkan limbah yang dihasilkan. Limbah ikan tuna dapat berupa kepala, insang, kulit, tulang, isi perut yang berasal dari proses pengalengan ikan atau sisa potongan dari penjualan di pasar lokal. Umumnya limbah tersebut hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Salah satu upaya pemanfaatan limbah kulit dan tulang ikan tuna adalah mengolah kulit dan tulang ikan tuna menjadi gelatin (Cho et al., 2005). Gelatin merupakan protein fibrous yang telah mengalami denaturasi dan tergolong produk turunan dari kolagen melalui hidrolisis termal secara parsial. Gelatin telah dimanfaatkan sebagai pengental, penggumpal, pengelmusi, penstabil, pembentuk busa, pengikat air dalam berbagai produk pangan dan dapat berfungsi untuk menghindari sineresis dan memperbaiki konsistensi lapisan tipis. Beberapa produk pangan yang memanfaatkan sifat fungsional gelatin adalah produk dessert, produk dari susu (dairy product), sugar confectionary, dan produk daging.
Prospek produksi gelatin di Indonesia masih cukup luas karena gelatin yang beredar di pasaran masih terbatas pada gelatin dari sapi dan permintaan terhadap gelatin halal tergolong tinggi. Dengan mengolah kulit dan tulang ikan tuna menjadi gelatin diharapkan tersedia alternatif sumber gelatin halal selain gelatin yang berasal dari sapi. Gelatin yang berasal dari sumber perikanan mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan gelatin dari mamalia seperti bebas dari virus atau bebas risiko kontaminasi Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) (Sadowska et al., 2003). Sifat fungsional gelatin berhubungan dengan sumber dan tipe kolagen serta karakteristik kimianya. Beberapa penelitian melaporkan sifat fungsional gelatin dapat bervariasi antarspesies sumber dan antarlokasi dalam satu sumber yang sama (Arnesen and Glidberg, 2007; Muyonga et al., 2004). Kekuatan gel, viskositas, sifat setting, dan titik leleh gelatin tergantung dari distribusi berat molekul dan komposisi asam aminonya khususnya asam imino (prolin dan hidroksiprolin) (Jongjareonrak et al., 2010). Lebih lanjut sifat fungsional dan panjang polipeptida gelatin dapat dipengaruhi oleh bahan kimia dalam pretreatment dan kondisi ekstraksi seperti suhu dan waktu (Kolodziejska et al., 2004). Waktu ekstraksi yang lebih lama akan memperpendek rantai polipeptida dan mempengaruhi kekuatan gel gelatin selain dipengaruhi oleh jenis asamnya (Ahmad dan Benjakul, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengekstrak gelatin dan mengkaraterisasi sifat fungsional gelatin yang dihasilkan baik secara fisik maupun kimia.
*Korespondensi penulis : E-mail :
[email protected]
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |385
ISBN 978-602-98902-1-1
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan untuk pembuatan gelatin adalah tulang dan kulit ikan yellowfin tuna (Thunnus albacares) dengan berat 6 kilogram. Tulang dan kulit ikan tuna tersebut diperoleh dari daerah Muara Baru (Jakarta Utara). Alat utama yang digunakan dalam penelitian adalah cabinet dryer dan ayakan 120 mesh. Alat yang digunakan untuk analisis adalah texture analyzer, viscometer, kromameter, pH meter, Kjeldahl distillation, High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Preparasi kulit dan tulang ikan tuna Kulit atau tulang ikan tuna dibersihkan dan dicuci terlebih dahulu sebelum direndam dalam air yang bersuhu 70-80oC. Proses perendaman untuk kulit berlangsung selama 5-7 menit sedangkan untuk tulang berlangsung selama 30 menit. Setelah direndam maka kulit atau tulang dicuci kembali dan dipotong menurut ukurannya masing-masing (3x4 cm2 untuk kulit dan 2-5 cm untuk tulang). Ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna Sebelum diekstrak kulit direndam dalam asam cuka 0.5% selama 6 jam. Selanjutnya kulit dicuci hingga pH mencapai kondisi netral (6-7). Kulit yang telah dicuci kemudian diekstrak dengan pelarut air (1:3) pada suhu 70-75oC selama 2 jam. Gelatin yang terekstrak disaring dengan kain saring dan dikeringkan menggunakan cabinet dryer pada suhu 50oC. Gelatin yang telah kering selanjutnya dihaluskan sehingga menjadi gelatin bubuk. Gelatin bubuk yang diperoleh kemudian ditimbang dan dihitung persentase rendemennya. Ekstraksi gelatin dari tulang ikan tuna Potongan tulang direndam dalam NaOH selama 72 jam sebelum diekstrak. Setelah direndam potongan tulang dicuci hingga pH mencapai kondisi netral (6-7). Potongan tulang yang telah dicuci kemudian direndam kembali dalam asam klorida 6% selama 48 jam. Selanjutnya potongan tulang tersebut dicuci kembali hingga pH netral (6-7). Tulang yang telah dicuci kemudian diekstrak dengan pelarut air (1:3) pada suhu 70-75oC selama 7 jam. Proses selanjutnya sama dengan yang dilakukan terhadap gelatin kulit ikan tuna. Analisis proksimat kulit atau tulang ikan tuna dan gelatin Kadar air, abu, dan lemak diukur menurut metode AOAC (AOAC, 2005). Kadar protein diukur dengan metode Kjeldahl menurut AOAC (AOAC, 2005) dan faktor konversi nitrogen sebesar 5.4 digunakan untuk menghitung kandungan protein gelatin. Pengujian fisik dan kimia gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi kekuatan gel, viskositas, titik leleh, titik jendal, dan derajat putih. Pengujian kimia gelatin
meliputi pH, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan komposisi asam amino. Pengukuran kekuatan gel Kekuatan gel gelatin diukur menurut metode Fernndez-Daz (2001) yang telah dimodifikasi. Larutan gelatin sebanyak 7.5 gram ditambah dengan akuades sebanyak 105 ml. Larutan tersebut diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer sampai homogen dan kemudian dipanaskan sampai suhu 60oC selama 15 menit. Larutan dimasukkan ke dalam botol dan didiamkan selama 2 menit. Setelah 2 menit maka larutan tersebut diinkubasi pada suhu 10oC pada selama 16-18 jam sampai terbentuk gel. Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer model TA-TX-plus. Jarak penetrasi gel sebesar 4 mm dengan kecepatan 0.5 mm/detik. Pengukuran viskositas Viskositas gelatin diukur menurut metode Cho et al., (2006). Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% disiapkan dan kemudian dipanaskan sampai suhu 60°C selama 15 menit. Viskositas diukur dengan menggunakan alat Brookfield syncrolectric viscometer yang dilengkapi dengan spindel No.1 pada 60 rpm dan suhu 60ºC. Pengukuran titik leleh Titik leleh gelatin diukur menurut metode JIS K6503 (JSA, 1996) yang telah dimodifikasi. Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% disiapkan dan kemudian diinkubasi pada suhu 10oC selama 17 jam. Pengukuran titik leleh dilakukan dengan memanaskan gelatin dalam waterbath. Pada bagian atas gel diletakkan gotri dan saat gotri jatuh ke bagian dasar gel maka suhu tersebut dinyatakan sebagai titik leleh gelatin. Pengukuran titik jendal Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% disiapkan dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang dihubungkan dengan termometer digital. Larutan gelatin diturunkan suhunya secara perlahan dalam wadah yang berisi pecahan es. Saat larutan gelatin membentuk gel pertama kali dinyatakan sebagai titik jendal gelatin. Penentuan derajat putih Derajat putih gelatin diukur dengan rumus W=
–
Nilai L, a, dan b diukur dengan menggunakan alat kromameter Konika Minolta (model CR-400) yang menggambarkan parameter lightness/brightness, redness/greenness, dan yellowness/blueness. Pengukuran pH
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |386
ISBN 978-602-98902-1-1
Larutan gelatin (20 g/100 ml) diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter. Pengukuran pH dilakukan pada suhu 25ºC. Pengujian asam amino Sebanyak 0.25-0.5 gram gelatin dicampur dengan 5-10 ml HCl 6 N. Sebanyak 0.25-0.5 gram sampel yang berbeda dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan 5-10 ml NaOH 6 N. Kedua gelas piala yang digunakan terlebih dahulu dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100oC. Kedua jenis sampel kemudian disaring, diambil filtratnya, dan dicampur. Selanjutnya campuran sampel ditambahkan larutan pengering (metanol, asetonitril, trietilamin) lalu dikeringkan. Larutan ditambahkan 3 ml larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, trietilamin) dan didiamkan selama 20 menit. Campuran sampel tersebut selanjutnya ditambah 50 ml larutan natrium asetat 1 M dan sampel siap diinjeksikan ke alat HPLC.
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi kimia kulit dan tulang ikan tuna Kandungan protein kulit ikan tuna adalah 35% sedangkan kandungan protein tulang ikan tuna adalah 16.5% (Tabel 1). Hal ini menandakan bahwa kandungan protein kulit ikan tuna lebih tinggi dibandingkan tulang ikan tuna. Persentase kandungan protein yang terukur dapat menggambarkan persentase rendemen gelatin yang diperoleh. Namun kandungan abu dan lemak dalam tulang ikan tuna lebih tinggi daripada kulit ikan tuna. Tabel 1. Komposisi proksimat kulit dan tulang ikan tuna Kadar (%) Kulit ikan Tulang ikan Air 58.80± 4.65b 49.74±1.55a Abu 6.37 ± 0.77a 11.73 ± 1.29b Protein 35.07 ± 0.36b 16.58 ± 1.36a Lemak 14.49 ± 0.77a 40.09 ± 4.49b Keterangan: Angka pada kolom yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05
Karakteristik fisik gelatin Rendemen gelatin yang diekstrak dari kulit dan tulang ikan tuna ternyata tidak berbeda secara signifikan (Tabel 2). Gelatin yang terekstrak dari kulit dan tulang ikan tuna berkisar antara 5.87%. Jongjareonrak et al., (2010) melaporkan bahwa rendemen gelatin yang terekstrak akan bervariasi tergantung spesies, umur spesies, lokasi sumber, kondisi ekstraksi, serta jumlah dan tipe kolagen. Tabel 2. Karakteristik fisik gelatin dari kulit dan tulang ikan tuna Karakteristik Gelatin Gelatin Gelatin fisik kulit ikan tulang ikan komersial Rendemen (%) 5.81±1.27a 7.01±2.17a Kekuatan gel, b a 207.25±5.85 93.25±2.22 171.25±1.26 Bloom (g) b a Viskositas (cP) 29.28±0.65 17.2±0.81 9.65±0.24 Titik leleh (ºC) 29.17±0.99b 27.63±0.75a 29.6±0.79
Titik jendal (ºC) 18.15±0.60b 14.93±0.15a 19.6±0.12 a Derajat putih 61.57±8.72 56.28 ±11.80a 65.66±1.07 Keterangan: Angka pada kolom yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05
Kekuatan gel gelatin yang diekstrak dari kulit dan tulang ikan tuna berbeda signifikan (p > 0.05) (Tabel 2). Kekuatan gel gelatin yang diekstrak dari kulit ikan tuna (207.25 g) lebih tinggi dibandingkan gelatin tulang ikan tuna (93.25 g). Kualitas gelatin berdasarkan kekuatan gelnya dapat dibedakan menjadi bloom rendah (<150), sedang (150-220), dan tinggi (220-300) (JohnstonBank, 1983) sehingga kekuatan gel gelatin kulit dan tulang ikan tuna dapat digolongkan berurutan menjadi bloom sedang dan rendah. Perbedaan kekuatan gel gelatin antara kulit dengan tulang ikan tuna dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan asam amino tertentu, distribusi berat molekul, interaksi asam amino, rasio rantai α/β, konfigurasi protein, dan interjunction antarprotein (Ahmad dan Benjakul, 2011). Kandungan asam imino seperti prolin dan hidroksiprolin sangat berperan pembentukan gel gelatin. Semakin tinggi kandungan prolin dan hidroksiprolin maka semakin kuat gel yang terbentuk. Apabila dibandingkan dengan gelatin komersial maka kekuatan gel gelatin komersial berada diantara kekuatan gel gelatin kulit dan tulang ikan tuna. Viskositas gelatin kulit ikan tuna berbeda signifikan (p > 0.05) dengan viskositas tulang ikan tuna (Tabel 2). Perbedaan viskositas antara gelatin kulit ikan tuna dengan gelatin tulang ikan tuna dapat disebabkan oleh distribusi molekuler komponen protein dalam gelatin. Viskositas gelatin bervariasi tergantung berat dan distribusi molekuler protein, konsentrasi, pH (Cho et al., 2006), dan suhu (Arnesen dan Gildberg, 2007). Titik leleh dan titik jendal gelatin kulit ikan tuna lebih tinggi daripada gelatin tulang ikan tuna dan berbeda signifikan pada p > 0.05 (Tabel 2). Titik leleh tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan titik leleh gelatin kulit ikan tuna (24.3ºC) sedangkan titik jendalnya lebih rendah dibandingkan titik jendal gelatin ikan tuna (18.7ºC) (Cho et al., 2005). Adanya perbedaan titik leleh atau titik jendal gelatin dalam satu spesies yang sama kemungkinan disebabkan oleh distribusi dan berat molekul komponen penyusun protein gelatin. Gelatin kulit dan tulang ikan tuna mempunyai derajat putih yang tidak berbeda signifikan (p > 0.05) (Tabel 2). Derajat putih gelatin dapat dipengaruhi oleh bahan dasar gelatin yang diekstrak. Secara umum derajat putih tidak mempengaruhi sifat fungsional dari gelatin yang dihasilkan. Karakteristik kimia gelatin pH gelatin kulit ikan tuna berbeda signifikan dengan gelatin tulang ikan tuna (Tabel 3). pH gelatin kulit ikan tuna lebih basa dibandingkan dengan pH gelatin tulang ikan tuna. Kondisi pH yang lebih asam dapat menyebabkan hidrolisis kolagen berlanjut pada penguraian polimer kolagen (Rinta et al., 2008). Penguraian polimer kolagen akan mengakibatkan penurunan berat molekul kolagen dan berpengaruh terhadap penurunan viskositas gelatin.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |387
ISBN 978-602-98902-1-1
Apabila dibandingkan dengan gelatin komersial maka pH gelatin kulit ikan tuna hampir sama dengan pH gelatin komersial. Tabel 3. Karakteristik kimia gelatin dari kulit dan tulang ikan tuna Karakteristik Gelatin Gelatin Gelatin kimia kulit ikan tulang ikan komersial pH 5.67±0.085b 4.73±0.08a 5.88±0.08 Kadar air (%) 7.37±2.9a 8.52 ±1.89a 9.70±1.99 Kadar abu (%) 1.93±0.89a 1.87±0.66a 0.79±0.09 Kadar protein (%) 99.67±0.39b 97.13±1.39a 93.95±1.45 Kadar lemak (%) 3.13±1.11a 3.14±1.15a 10.76±0.44 Keterangan: Angka pada kolom yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05
Komposisi proksimat gelatin kulit dan tulang ikan tuna bervariasi tergantung jenis jaringan bahan dasarnya (Tabel 3). Secara umum kadar air, abu, dan lemak tidak berbeda signifikan (p > 0.05) antara gelatin kulit dengan gelatin tulang ikan tuna. Kadar abu yang terukur baik pada gelatin kulit maupun tulang ikan tuna (1.87-1.93%) masih di bawah kadar abu maksimal gelatin yang dipersyaratkan yaitu sebesar 2.6% (Muyonga et al., 2004). Namun kadar lemak gelatin kulit dan tulang ikan patin masih tergolong tinggi (3%). Hal ini mengindikasikan bahwa penghilangan lemak selama proses ekstraksi gelatin baik pada kulit maupun tulang ikan patin belum efisien. Komposisi asam amino Gelatin kulit dan tulang ikan tuna mempunyai asam amino prolin (64.13 mg/g dan 88.93 mg/g), glutamat (47.49 mg/g dan 70.93 mg/g), dan glisin (49.84 mg/g dan 58.61 mg/g) yang lebih tinggi dibandingkan asam amino lain walaupun dengan komposisi yang berbeda (Tabel 4). Adanya asam amino imino seperti prolin dan hidroksiprolin berperan dalam kekuatan gel dan titik leleh gelatin. Semakin tinggi prolin dan hidroksiprolin maka semakin meningkat kekuatan gel gelatinnya (Arnesen dan Gildberg, 2007). Namun kandungan prolin yang tinggi dalam gelatin kulit dan tulang ikan tuna diduga bukan merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan gel gelatin yang dihasilkan. Hal ini terlihat dari kekuatan gel gelatin kulit dan tulang ikan tuna yang tergolong sedang dan rendah walaupun gelatin yang dihasilkan memiliki kandungan prolin yang lebih tinggi dibandingkan asam amino lain (Tabel 2). Kandungan asam amino yang memiliki gugus hidroksil bebas seperti serin, treonin, dan tirosin dalam gelatin baik dari kulit ikan maupun tulang ikan tuna juga tergolong rendah (Tabel 4). Keberadaan asam amino yang memiliki gugus hidroksil bebas dapat berperan dalam pembentukan ikatan hidrogen dan peningkatan kekuatan gel gelatin. Faktor lain yang diduga lebih berpengaruh terhadap karakteristik gelatin yang dihasilkan di samping komposisi asam aminonya adalah ukuran rantai protein (Jongjareonrak et al., 2010). Tabel 4. Komposisi asam amino gelatin dari kulit dan tulang ikan tuna Asam amino Gelatin Gelatin Gelatin
(mg/g) Aspartat Glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Metionin Sistin+sistin Isoleusin Leusin Fenilalanin Lisin
kulit ikan 32.03 47.49 10.63 49.84 13.10 20.17 6.11 9.06 64.13 8.66 10.15 11.47 6.95 5.49 6.31 9.55 20.64
tulang ikan 39.98 70.93 11.28 58.61 18.21 22.34 9.16 11.18 88.93 10.20 10.97 14.98 9.06 6.00 6.32 11.10 26.69
komersial 45.51 88.11 14.84 59.49 25.06 28.63 8.97 12.92 88.88 9.75 15.03 17.67 12.99 9.42 8.56 15.27 31.06
KESIMPULAN Gelatin dapat diekstrak dari kulit dan tulang ikan tuna. Karakteristik fisik dan kimia gelatin seperti kekuatan gel, viskositas, titik leleh, titik jendal, dan kadar protein gelatin kulit ikan tuna lebih tinggi dibandingkan gelatin tulang ikan tuna. Gelatin kulit ikan tuna memiliki komposisi asam amino yang hampir sama dengan gelatin tulang ikan tuna dengan kandungan prolin dan glisin yang lebih tinggi pada gelatin tulang ikan tuna.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. and Benjakul, S. 2011 Characteristics of Gelatine from the Skin of Unicorn Leatherjacket (Aluterus monoceros) as Influenced by Acid Pretreatment and Extraction Time. Food Hydrocolloids, 25:381-388. AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemists. Maryland. Arnesen, J.A. and Gildberg, A. 2007. Extraction and Characterisation of Gelatine from Atlantic Salmon (Salmo salar) Skin. Bioresource Technology, 98:53-57. Cho, S.H., Jahnske, M.L., Chin, K.B., and Eun, J.B. 2006. The Effect of Processing Conditions on the Properties of Gelatin from Skate (Raja kenojei) Skins. Food Hydrocolloids, 20:810-816. Cho, S.M., Gu, Y.S., and Kim, S.B. 2005. Extracting Optimization and Physical Properties of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) Skin Gelatin Compared to Mammalian Gelatins. Food Hydrocolloids, 19:221-229. Fernndez-Daz, M.D., Montero, P., and Gómez-Guillén, M.C. 2001. Gel Properties of Collagen from Skins of Cod (Gadus morhua) and Hake (Merluccius merluccius) and Their Modification by the Coenhancers Magnesium Sulphate, Glycerol and Transglutaminase. Food Chemistry, 74: 161167.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |388
ISBN 978-602-98902-1-1
Johnston-Bank, F.A. 1983. From Tannery to Table: an Account of Gelatin Production. Journal of the Society of Leather Technologists and Chemists, 68:141-145. Jongjareonrak, A., Rawdkuen, S., Chaijan, M., Benjakul, S., Osako, K., and Tanaka, M. 2010. Chemical Composition and Characterisation of Skin Gelatin from Farmed Giant Catfish (Pangasianodon gigas). LWT-Food Science and Technology, 161-165. JSA (Japanese Standard Association). 1996. Japanese Industrial Standard Animal Glues and Gelatins. JIS K 6503, Japan. Kolodziejska, I, Kaczorowski, K., Piotrowsia, B., and Sadowska, M. 2004. Modification of Properties of Gelatin from Skins of Baltic Cod (Gadus morhua) with Transglutaminase. Food Chemsitry, 86: 203-209. Muyonga, J.H., Cole, C.G.B, and Duodu, K.G. 2004. Extraction and Physico-Chemical Characterisation of Nile Perch (Lates niloticus) Skin and Bone Gelatin. Food Hydrocolloids, 18:581-592. Rinta, Tazwir, K., Wawasto. Pengaruh Perendaman dalam Asam Klorida terhadap Kualitas Gelatin Tulang Kakap Merah (Lutjanus sp). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 3(1): 63-68. Sadowska, M., Kolodziejska, I., and Niecikowska, C. 2003. Isolation of Collagen from the Skins of Baltic Cod (Gadus morhua). Food Chemistry, 81:257-262.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |389
ISBN 978-602-98902-1-1
Karakteristik Dan Aktivitas Antioksidan Rosela Kering (Hibiscus sabdariffa L.) Characteristics And Antioxidant Activity Dried Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) 1)Staf
Sri Winarti1), Sudaryati1) dan Dina Setyabudi Usman2)
pengajar Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, UPN “Veteran” Jawa Timur, Jl. Raya Rungkut Madya Surabaya, 60294 contact :
[email protected]. 2)Alumni Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, UPN “Veteran” Jawa Timur
ABSTRACT Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) is one of the ornamental plants including herbaceous plants are useful to prevent various diseases such as controlling blood pressure, blood circulation, and launched a bowel movement. Petals are bright red can be dried into dried rosella known by the public as red tea. The red color is caused rosella contains anthocyanin pigments that can act as antioxidants. The research objective was to determine the effect of differences in the drying process on characteristics and antioxidant activity dried rosela (red tea). Research methods include drying temperature of 50 º C, 60 º C, 70 º C with a cabinet dryer, drying with sunlight for 1 day and 2 days, compared with dried rosella from the market. The parameters were observed including yield, moisture content, levels of anthocyanins, total phenols, total antioxidant, reducing power, free radical trapping capacity (DPPH). The data obtained were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and further test DMRT (Duncant Multiple Range Test). The best results are drying at a temperature of 50 º C, resulting in the yield of dried rosella 99.22%, 9.42% moisture content, anthocyanin content of 7.91%, 22.01% of total phenol, total antioxidant 99.05%, reducing power 0, 0557% and free radical quencing capacity (DPPH) 83.94 ppm. Key words: rosella, red tea, drying, anthocyanin, antioxidant
PENDAHULUAN Saat ini rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menjadi begitu populer. Hampir di setiap pameran tanaman obat, nama rosella selalu diperkenalkan. Hal ini disebabkan hampir seluruh bagian tanaman ini dapat digunakan untuk kebutuhan pengobatan, terutama untuk pengobatab alternative. Selain itu, rosella memiliki kandungan senyawa kimia yang dapat memberikan banyak manfaat. Khasiat rosela untuk mencegah penyakit, mengobati gangguan berbagai penyakit dengan kandungan gossiptin anthocyanin dan gluciside hibiscin yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana diketahui rosela juga mengandung berbagai senyawa penting, antara lain campuran asam sitrat dan asam malat sehingga menghasilkan sedikit rasa asam yang segar. Kandungan asam askorbat (vitamin C) dan antosianin yang tinggi merupakan sumber antioksidan alami yang sangat efektif dalam menangkal berbagai radikal bebas penyebab kanker dan berbagai penyakit lainnya (Mardiah, dkk. 2009) John McIntosh, mengekstrak rosela dengan mengeringkan kelopak bunga pada suhu 50ºC selama 36 jam. Hasil penelitian menunjukkan rosela mengandung 51% antosianin dan 24% antioksidan (Anonim, 2009). Aktivitas antioksidan terdiri dari beberapa mekanisme diantaranya mencegah reaksi berantai, mencegah pembentukan peroksida, mencegah pengambilan atom hidrogen, mereduksi, dan menangkap radikal (Su et al., 2004; Kim, 2005). Beberapa pendekatan digunakan untuk mengkaji sifat anti dan pro-oksidan suatu senyawa (Lampi et al., 1999). Danicha, 2000 menguji efektifitas rosela sebagai obat, selama enam minggu tikus dibagi menjadi 3 kelompok, masing-
masing diberi 1000 ml dan 500 ml rosela per kg bobot tubuh dan air mineral. Hasilnya serum kolesterol menurun 22% untuk ekstrak 500 mg dan 26 % untuk ekstrak 1000 mg. Penurunan juga terjadi pada serum triglioserida sebanyak 33 % dan 28 % serta serum lowdencity lipoprotein (LDL) level sebanyak 22 % dan 32 %. Hasil penelitian Hui-Hsuan, membuktikan bahwa rosela bersifat anti kanker lambung. Penelitiannya menemukan antioksidan rosela dapat membunuh sel kanker dengan metode sitotoksis dan apoptosis (Anonim, 2009).Penelitian Yun-Ching Chang, menguji efektivitas antosianin rosela untuk penghambatan sel kanker darah atau leukemia. Ternyata, pigmen alami dari Hibiscus sabdariffa tak hanya menghambat pertumbuhan sel kanker HL-60, tetapi juga mematikannya. Dosis yang diberikan hanya 0-4 mg/ml rosela. Antosianin yang berpengaruh diberi nama delphinidin-3-sambubioside (Anonim,2009). METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kelopak bunga rosela segar dengan usia pemetikan 3-4 bulan (usia panen) dari Waru jayeng, Nganjuk. Bahan kimia yang diperlukan metanol 85%, asam asetat glacial, akuades, 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH), asam galat, polioksietilen sorbitan monostearat (tween 20), amonium tiosianat, ferri klorida, kalium ferrisianida, asam trikloroasetat, kloroform, buffer fosfat, asam klorida, dan asam linoleat.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |390
ISBN 978-602-98902-1-1
Alat yang digunakan : timbangan analitik, oven, blender kering, alat gelas, Sentrifuse, vortex pH meter, dan spektrofotometer turner SP870.
rendemen ini karena terjadi penguapan air yang semakin banyak pada waktu proses pengeringan. Hubungan antara cara dan waktu pengeringan dengan rendemen rosela kering dapat dilihat pada gambar 12.
Pelaksanaan Penelitian
ROSELA
Penimbangan 1000 gr
Pemisahan kelopak
Pengeringan
Rosela Kering
Analisa 1. Kharakteristik Rosela : - Rendemen - Kadar air - Intensitas warna 2. Aktivitas Antioksidan : - Total Fenol - Antioksidan total - Daya reduksi - Penangkapan radikal bebas
Gambar 1. Diagram Pelaksanaan Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Rendemen Rosela Kering Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin pendek waktu pengeringan maka rendemen rosela kering yang dihasilkan semakin turun. Penurunan
Keterangan : A1 = Pengeringan pada suhu 50ºC, 30 jam A2 = Pengeringan pada suhu 60ºC, 25 jam A3 = Pengeringan pada suhu 70ºC, 20 jam A4 = Pengeringan sinar matahari 1 hari A5 = Pengeringan sinar matahari 2 hari A6 = Pengeringan rosela petani (Pasaran) Gambar 2. Rendemen rosela kering pada metode pengeringan berbeda Pengeringan merupakan proses penghilangan sejumlah air dari material. Dalam pengeringan, air dihilangkan dengan prinsip perbedaan kelembaban antara udara pengering dengan bahan makanan yang dikeringkan. Material biasanya dikontakkan dengan udara kering yang kemudian terjadi perpindahan massa air dari material ke udara pengering (Rohman, 2008). 2. Kadar Air Kadar air tertinggi adalah rosela kering dari pasaran yaitu 10,1589%, sedangkan kadar air terendah adalah rosela kering dengan pengeringan suhu 70 ºC yaitu 5,3543 %.
Keterangan : A1 = Pengeringan pada suhu 50ºC, 30 jam A2 = Pengeringan pada suhu 60ºC, 25 jam A3 = Pengeringan pada suhu 70ºC, 20 jam A4 = Pengeringan sinar matahari 1 hari A5 = Pengeringan sinar matahari 2 hari A6 = Pengeringan rosela petani (Pasaran) Gambar 3. Kadar air rosela kering pada metode pengeringan berbeda
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |391
ISBN 978-602-98902-1-1
Gambar 3 dapat diketaui bahwa cara pengeringan yang berbeda akan menghasilkan rosela kering dengan kadar air berbeda. Pada pengeringan menggunakan alat pengering, suhu 50ºC dan waktu 30 jam mempunyai kadar air tertinggi, bila suhu dinaikkan 60ºC dan 70ºC, maka kadar air pada rosela kering turun. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi suhu dan semakin cepat waktu pengeringan, maka semakin cepat proses pengeringan berlangsung. Makin tinggi suhu udara pengering, makin besar energi panas yang dibawa udara sehingga makin banyak jumlah masa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Pengeringan dengan sinar matahari dengan suhu yang tidak terkontrol, maka semakin lama waktu pengeringan, menghasilkan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan menggunakan alat pengering. Hal tersebut diduga karena terjadi penyerapan air kembali pada saat penyimpanan sebelum dilakukan penjemuran selanjutnya, karena kelopak rosela mudah menyerap air dari udara. 3. Kadar Antosianin Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin pendek waktu pengeringan, menghasilkan rosela kering dengan rendemen antosianin semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin lama waktu pengeringan semakin banyak antosianin yang teroksidasi karena sifat dari antosianin adalah mudah teroksidasi dan rusak. Hasil rendemen antosianin rosela kering dari pasaran lebih rendah rendah dari pada rosela kering dari proses pengeringan yang terkontrol, hal ini karena terjadinya oksidasi antosianin yang tidak terkontrol pula. Hubungan antara metode pengeringan dan rendemen antosianin rosela kering dapat dilihat pada gambar 4.
Keterangan : A1 = Pengeringan pada suhu 50ºC, 30 jam A2 = Pengeringan pada suhu 60ºC, 25 jam A3 = Pengeringan pada suhu 70ºC, 20 jam A4 = Pengeringan sinar matahari 1 hari A5 = Pengeringan sinar matahari 2 hari A6 = Pengeringan rosela petani (Pasaran)
kemungkinan terjadinya degradasi antosianin. Kerusakan akan semakin besar dengan suhu pemanasan. Menurut Sutrisno (1987), suhu dan lama pemanasan menyebabkan terjadinya dekomposisi dan perubahan struktur pigmen sehingga terjadi pemucatan. Perubahan intensitas warna ini diduga disebabkan oleh adanya enzim. Menurut Fennema (1996) enzim yang mempengaruhi perubahan warna antosianin adalah enzim glikosidase dan fenolase. Enzim glikosidase akan menghidrolisis ikatan glikosida menghasilkan gugus gula dan aglikon. 4. Total fenol rosela kering Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa cara pengeringan berpengaruh nyata terhadap total fenol rosela kering yang dihasilkan. Rata-rata total fenol dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Nilai Rata-rata Total Fenol Rosela Kering Rata-rata Metode Pengeringan Total Fenol (%) Pengeringan pada suhu 50º; 30 jam 22,0078bc Pengeringan pada suhu 60º; 25 jam 18,2245b Pengeringan pada suhu 70º; 20 jam 16,8089b Pengeringan sinar matahari 1 hari 20,2641bc 17,9150b Pengeringan sinar matahari 2 hari Rosela kering dari Pasaran 12,4015a Keterangan: nilai rata-rata yang disertai dengan huruf yang berbeda berarti berbeda nyata Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan dapat mengakibatkan total fenol pada rosela kering semakin turun. Hal ini disebabkan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan maka semakin banyak senyawa fenol teruapkan atau teroksidasi sehingga senyawa fenol semakin rendah. Selama proses pengeringan senyawa fenol mengalami oksidasi oleh enzim polifenoloksidasi menjadi kuinon, menyebabkan terjadinya kerusakan berupa pencoklatan (browning) pada rosela kering. Suhu tinggi dan lama pengeringan menyebabkan banyaknya kerusakan senyawa fenol, pigmen serta metanol (Fennema, 1996). 5. Antioksidan Total Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa metode pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap antioksidan total metode asam linoleat dalam sistem emulsi. Nilai kemampuan penghambatan peroksidasi asam linoleat dalam sistem emulsi rosela kering dapat di lihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Rendemen antisianin rosela kering pada pengeringan berbeda Menurut Wijaya (2001), bahwa kestabilan antosianin dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka semakin besar
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |392
ISBN 978-602-98902-1-1
untuk bereaksi dengan radikal bebas sehingga terbentuk radikal antioksidan. Radikal antioksidan ini distabilisasi melalui proses resonansi dalam struktur cincin aromatiknya.
Keterangan : A1 = Pengeringan pada suhu 50ºC, 30 jam A2 = Pengeringan pada suhu 60ºC, 25 jam A3 = Pengeringan pada suhu 70ºC, 20 jam A4 = Pengeringan Sinar Matahari 1 hari A5 = Pengeringan Sinar Matahari 2 hari A6 = Pengeringan rosela petani (Pasaran) Gambar 5. Antioksidan total rosela kering pada pengeringan yang berbeda Semakin lama waktu inkubasi terjadi penurunan aktivitas antioksidan total pada semua metode pengeringan yang berbeda. Penurunan tersebut disebabkan pembentukan peroksida yang semakin intensif dan jumlah antioksidan yang tersedia tidak cukup untuk menghambat proses peroksidasi tersebut. Diduga senyawa yang berperan terhadap kemampuan penghambatan peroksidasi lemak dalam rosela adalah golongan senyawa fenol. Kemampuan penghambatan peroksidasi oleh rosela kering tergantung dari metode pengeringan berbeda yang ditunjukkan aktivitas antioksidan pada hari ke-5 inkubasi . Selain kuantitas, jenis fenol mempengaruhi kemampuan penghambatan peroksidasi. Menurut Su et al. (2004), aktivitas antioksidan senyawa fenolik dipengaruhi oleh jumlah dan posisi gugus hidroksil aromatik. Semakin banyak gugus hidroksil aromatik, kemampuan penghambatan reaksi berantai pada proses oksidasi lemak semakin efektif dengan cara mendonorkan atom H atau berperan sebagai akseptor radikal bebas. Menurut Cuveliar et al. (2003), pada sistem emulsi kecepatan oksidasi lemak dan perilaku antioksidan berbeda dengan sistem minyak curah karena tergantung dari partisi antioksidan pada antar permukaan. 6. Daya Reduksi Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa metode pengeringan berpengaruh nyata terhadap daya reduksi. Hubungan antara daya reduksi dan metode pengeringan dapat dilihat pada pada Gambar 6. Semakin tinggi suhu pengeringan maka daya reduksi ekstrak rosela kering semakin menurun, sedangkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak meningkatkan daya reduksi. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu senyawa antioksidan yang mampu mereduksi radikal bebas semakin menurun jumlahnya sehingga kemampuan mereduksi turun. Menurut Hart (1983), daya reduksi berkaitan dengan kemampuan melepaskan atom H
Keterangan : A1 = Pengeringan pada suhu 50ºC, 30 jam A2 = Pengeringan pada suhu 60ºC, 25 jam A3 = Pengeringan pada suhu 70ºC, 20 jam A4 = Pengeringan Sinar Matahari 1 hari A5 = Pengeringan Sinar Matahari 2 hari A6 = Pengeringan rosela petani (Pasaran) Gambar 6. Daya reduksi rosela kering pada pengeringan yang Berbeda Daya reduksi merupakan indikator potensi suatu senyawa sebagai antioksidan. Daya reduksi diukur dari kemampuan suatu antioksidan untuk mengubah Fe3+ menjadi Fe2+ (Kim, 2005). Singh et al. (2005) menambahkan bahwa daya reduksi berkaitan dengan kemampuan senyawa antioksidan mendonasikan atom hidrogen. Senyawa radikal merupakan suatu spesies molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan atau mempunyai struktur molekul yang terbuka sehingga bersifat reaktif (Anonymous, 2006). Senyawa yang mempunyai daya reduksi kemungkinan dapat berperan sebagai antioksidan karena dapat menstabilkan radikal dengan mendonorkan elektron atau atom hidrogen sehingga senyawa radikal berubah menjadi lebih stabil. 7. Penangkapan Radikal Bebas Berdasarkan analisis ragam bahwa perbedaan pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kapasitas penangkapan radikal bebas rosela kering. Hubungan antara perlakuan konsentrasi larutan ekstrak rosela kering dan kemampuan penengkapan radikal bebas pada berbagai metode pengeringan dapat dilihat pada gambar 7.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |393
ISBN 978-602-98902-1-1
Anonim,
2006. “Teh Rosela”. CV.Sawdah. http://www.indonetwork.co.id. (6 Maret 2007)
Anonim. 2008. “ Manfaat Rosela Bagi Kesehatan “. http://
[email protected]. (Mei 2008) Anonim,
Keterangan : A1 = Pengeringan pada suhu 50ºC, 30 jam A4 = Pengeringan sinar matahari 1 hari A2 = Pengeringan pada suhu 60ºC, 25 jam A5 = Pengeringan sinar matahari 2 hari A3 = Pengeringan pada suhu 70ºC, 20 jam A6 = Pengeringan rosela petani (Pasaran) Gambar 7. kapasitas penangkapan radikal bebas metode DPPH Gambar 7 menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan radikal bebas semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi larutan rosela kering. Hal ini menunjukkan senyawa antioksidan dalam rosela kering dari berbagai metode pengeringan berbeda berperan sebagai antioksidan primer. Kapasitas penangkapan radikal masih efektif sampai konsentrasi 1000 ppm dan belum berubah menjadi prooksidan karena menurut Pokorny et al. (2001) pada konsentrasi tinggi senyawa fenolik dapat berubah menjadi prooksidan. Senyawa fenolik dalam rosela kering berperan terhadap aktivitas penangkapan radikal yang menunjukkan perannya sebagai antioksidan primer. KESIMPULAN 1) Karakteristik rosela kering berbeda dari proses pengeringan yang berbeda, yaitu rendemen tertinggi diperoleh pada proses pengeringan suhu 50 °C, sedangkan kadar air terendah dan kadar antosianin tertinggi diperoleh pada proses pengeringan suhu 70 °C. 2) Aktivitas antioksidan tertinggi rosela kering diperoleh pada pengeringan menggunakan kabinet dryer dengan suhu pengeringan 50°C, yaitu menghasilkan total fenol tertinggi 22,0078%, antioksidan total 99,05%, penangkapan radikal bebas tertinggi berdasarkan EC50 83,9384%, dan daya reduksi adalah 0,1290. DAFTAR PUSTAKA
2009. http://www.kaskus.us/showthread.php?p=124056959#p ost124056959. (4 November 2009)
Buckle, K. A., Edwards, R. A, G. H. Fleet and M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah H. Purnomo dan Adiono. Penerbit UI-Pres Jakarta. Cuvelier, M.E., L. Lagunes-Galvetz, and C. Buset. 2003. Do antioxidants improve the oxidation stability of oil-in-water emulsions? JAOCS 80(11): 1101-1105. Duh, P., Y. Tu, and G. Yen. 1999. Antioxidant activity of water extract of Harng Iyur (Chrysanthemum morifolium Ramat). Lebensm Wiss U Technol 32: 269-277. Duke, J.A. 1992. Handbook of phytochemical constituents of GRAS herbs, and other economic plants. CRC Press, Boca Raton, Florida. Faraji, H.M. dan Tharkani, A., 1999. The Effect of Sour Tea (Hibiscus sabdariffa) on Essetial Hypertention. J. Ethnophamacol : 65 (3):231-6. www.ncbi.nlm.nih.gov. Gülcin, I., M. Oktay, E. Kirecci, and Ö.I. Kufrevioglu. 2003. Screening of antioxidant and antimicrobial activity of anise (Pimpinella anisum) seed extracts. Food Chem. 83: 371-382. Hart, H. 1983. Kimia Organik. Houngton Mifflin Co. Michigan State University. USA. Alih bahasa S. Achmadi. Erlangga. Jakarta Hartanti, S., S. Rohmah dan Tamtarini. 2003. Kombinasi Penambahan CMC dan Dekstrin pada Pengolahan Bubuk Buah Mangga dengan Pengeringan Surya. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan PATPI (Juli). Yogyakarta.
Anonim, 2006. “Hibiscus sabdariffa L.”http://www.hort.purdue.edu. (5 Maret 2007).
Herrera-Arellano A., Flores-Romero S., Chavez-Soto MA., dan Tortoriello J., 2004. Effectiveness and Tolerability of A Standardized Extract from Hibiscus sabdariffa in Patient with Mild to Moderate Hypertention, A Controlled and Randomized Clinical Trial. www.ncbi.nlm.nih.gov.
Anonim, 2006. “ Market survey Hibiscus sabdariffa L.” http://www.raise.org. (6 Maret 2007)
Hu, C. and D. Kitts. 2001. Free radical scavenging capacity as related to antioxidant activity and ginsenoside
Anonim, 2006. “Hibiscus sabdariffa L.”. http://www.floridata.com (5 Maret 2007).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |394
ISBN 978-602-98902-1-1
composition of Asian and North American ginseng extracts. JAOCS 78: 249-255. Kandaswami, C. and E. Middleton, Jr. 1996. Flavonoids as Antioxidants. In F. Shahidi (ed.). Natural AntioxidantsChemistry, Health Effects, and Application. AOCS Press, USA. Kim, O.S. 2005. Radical scavenging capacity and antioxidant activity of the E vitamer fraction in rice bran. J. Food Sci. 70(3): 208-213. Kirdpon S., Nakorn S.N., Kirdpon W., 1994. Urinary Chemical Composition in Healthy Volunteers after Consuming Roselle (Hibiscus sabdariffa Linn.). www.ncbi.nlm.nih.gov. Kitts, D., A.N. Wijewickreme, and C. Hu. 2000. Antioxidant properties of a North American ginseng extract. Mol. Cell Biochem. 203: 1-10. Kochar, S.P. dan B. Rossell. 1990. Detection estimation and evaluation of antioxidants in food system. In B.J.F. Hudson (ed.). Food Antioxidants. Elsevier Applied Science. London. Lalas, S. and J. Tsaknis. 2002. Extraction and identification of natural antioxidant from the seed of Moringa oleifera tree variety of Malawi. JAOCS 79(7): 677-697. Lampi, A.M., L. Kataja, A. Kamal-Eldin, and P. Vieno. 1999. Antioxidant activity of and tocopherols in the oxidation of rapeseed oil triacylglycerols. JAOCS 76(6): 749-755. Mardiah, Arifah R., Reki W.A., dan Sawarni., 2005. Budidaya dan Penggolahan Rosela Si Merah Segudang Manfaat. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Reishe, DW., Lilard, D.A dan Eitenmiller, R.R. 2002. Antioxidants Dalam Akoh, C.C., dan Min, D.E, Food Lipid Chemistry,Nutrition, and Biotechnology. Second edition, Revised and Expanden. Marcel Dekker, inc. New York. Rohman dan Riyanto. 2005. Aktivitas antioksidan ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia, L). Agritech .25(3): 131136. Singh, D., P. Marimuthu, C.S. de Heluani, and C. Catalan. 2005. Antimicrobial and antioxidant potentials of essential oil and acetone extract of Myristica fragrans Houtt. (aril part). J.of Food Sci. 70(2): M141-M148. Soares, J.R., T.C.P. Dins, A.P. Cunha, and L.M. Ameida. 1997. Antioxidant activity of some extract of Thymus zygis. Free Rad. Res. 26: 469-478. Su, Y-L, J-Z. Xu, C.H. Ng, L.K.K. Leung, Y. Huang, and Z-Y. Chen. 2004. Antioxidant activity of tea theaflavins and methylated catechin in canola oil. JAOCS 31(3): 269274. Widyawati. 2005. Potensi daun kemangi (Ocimum basilicum Linn) sebagai penangkap radikal bebas DPPH. Agritech 25(3):137-142. Xu, J. and Q. Hu. 2004. Effect of foliar application of selenium on the antioxidant activity of aqueous and ethanolic extracts of selenium-enriched rice. J. Agric. Food. Chem. 52:1759-1763. Yen, G.C., Y.C. Chang, and S.W. Su. 2003. Antioxidant activity and active compound of rice koji fermented with Aspergillus candidus. Food Chem. 83: 49-54.
Maryani, H. dan L. Kristiana, 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Paiva-Martins, F. and M.H. Gordon. 2002. Effects of pH and ferric ions on the antioxidant activity of olive polyphenols in oil-in-water emulsions. JAOCS 79(6): 571-576. Pokorny, J., Yanishlieva, and M.Gordon. 2001. Antioxidants in Food. Wooodhead Publishing Ltd. England. Prakash, A. 2001. Antioxidant Activity. Medallion Laboratories Analytical Progress Vol.19 No.2, Minnesota. Pratt, D.E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited Comercially. In B.J.F. Hudson (ed.). Food Antioxidants. Elsevier Applied Science, London
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |395
ISBN 978-602-98902-1-1
Pemanfaatan Ekstrak Kulit Pisang (Musa ABB cv Kepok) Sebagai Senyawa Antibakteri [Utilization of Banana Peel (Musa ABB cv Kepok) Extract as Antibacterial Compound] Eveline*), Adolf J. N. Parhusip, dan Ricko Aditya Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri UPH
ABSTRACT Banana’s peel is one of the horticultural and industrial wastes. Research on the presence of antimicrobial components in a banana peel has been carried out, so further research is needed to study the antibacterial activity of a banana peel against bacterial food pathogens. At first, waste banana’s peel was extracted with three different solvents i.e. ethanol, ethyl acetate, and hexane for 24 hours at 37°C. The antibacterial activity of each extract was tested against Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Eschericia coli, and Listeria monocytogenes. The solvent used for extraction that produced inibition zone diameter more than 6.00 mm at the concentration of 10%, 20%, 30%, 40%, and 50% was used as the selected solvent at the further step for selecting the concentration of extracts. The results showed that only the extract with ethanol inhibited the growth of tested bacteria. Alkaloid, tannin, phenolic, flavonoids, triterpenoid, and glycoside are the active compounds which were found in selected extracts with this solvent. Extract concentration of 30% inhibited B. cereus (5.20-7.75 mm inhibition zone diameter) and S. aureus (4.25-7.55 mm inhibition zone diameter), whereas 50% concentration extract was able to inhibit E. coli (3.45-5.70 mm inhibition zone diameter) and L. monocytogenes (3.25-5.45 mm inhibition zone diameter). The Minimum Inhibitory Concentration (MIC) value of the selected extract against B. cereus, S. aureus, E. coli, and L. monocytogenes were 0.72, 1.51, 1.18, and 1.19%, respectively. Observation of morphology and physiology with a Scanning Electron Microscope (SEM) and Transmitted Electron Microscope (TEM) indicated that the selected extract caused cell damage and leakage. Keyword: extract, banana peel, antibacterial, inhibition
PENDAHULUAN Pisang merupakan salah satu buah tropis yang dalam kesehariannya menimbulkan limbah berupa kulit buah dalam skala besar. Pemanfaatan limbah kulit pisang sebagai produk olahan pangan telah banyak dilakukan, namun pemanfaatan kulit pisang berkenaan dengan komponen yang terkandung di dalamnya masih terbatas. Mokbel dan Hashinaga (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kulit pisang mengandung senyawa tanin, fenolik, saponin, asam 12-hidroksi stearat, glikosida, dan D-malat. Senyawa-senyawa tersebut dalam penelitian Thammarutwasik (2009) dinyatakan sebagai senyawa yang berpotensi sebagai senyawa antimikroba. Peran antimikroba alami perlu dikembangkan guna menggantikan antimikroba sintetik yang dipercaya bersifat karsinogenik. Di Indonesia, pemanfaatan limbah kulit pisang sebagai senyawa antimikroba alami belum banyak dilakukan. Hal ini tercermin dari sejumlah limbah kulit pisang yang tidak dimanfaatkan kembali. Penelitian mengenai keberadaan komponen antimikroba pada kulit pisang telah dilakukan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari aktivitas antibakteri kulit pisang terhadap bakteri patogen pangan. 15 Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antibakteri kulit pisang yang diperoleh dari ekstrak *Korespondensi penulis: e-mail :
[email protected]
dengan pelarut (etanol, etil asetat, dan heksana) dan konsentrasi (10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%) terpilih pada setiap bakteri patogen uji (Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Listeria monocytogenes). Selanjutnya, penelitian ini juga mempelajari komponen fitokimia sebagai senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak dengan pelarut terpilih, menentukan nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration (MBC) setiap bakteri patogen uji, serta mempelajari kerusakan morfologi dan fisiologi dengan metode Scanning Electron Microscope (SEM) dan Transmitted Electron Microscope (TEM).
METODOLOGI Bahan dan alat
Bahan baku yang digunakan adalah kulit pisang kepok (Musa ABB cv Kepok). Bahan yang digunakan dalam tahap pengujian adalah pelarut etanol 96%, etil asetat, heksana, metanol, butanol, NaOH 10%, H2SO4, asam asetat anhidrat, larutan gelatin 1%, HCl 2N, pereaksi dragendorff, glutaraldehide 2%, isopropil kloroform, cacodylate buffer, osmium tetra oksida 1%, asam asetat ninhidrin, akuades, akuabides, dan kertas Whatman No. 41. Media yang digunakan adalah Nutrient Broth (NB) (Merck), dan Nutrient Agar (NA) (Merck). Kultur yang digunakan adalah B. cereus, S. aureus, E. coli, dan L. monocytogenes. Alat yang digunakan adalah cawan petri disposable (Ø = 73,75 mm), tabung reaksi dan tabung ulir Pyrex (Iwaki),
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |396
ISBN 978-602-98902-1-1
jarum ose, rak tabung reaksi, autoklaf (Hirayama), vorteks, mikroskop, lampu spiritus, laminar air flow (ESCO), oven, colony counter, incubator shaker, incubator 37°C (Memmert), penjepit kayu, spatula, gelas ukur (Duran) 250 ml, erlenmeyer 500 ml (Duran), heater (Thermolyne), rotary evaporator, blender kering (Modena), magnetic strirer (Cimarec 2 dan Torrey Piner Scientific), mikropipet (Finnpippette), timbangan analitik (Sartorius), timbangan meja, termometer, pipet volumetri (Pyrex) 10 ml, corong, jangka sorong, labu lemak 250 ml (Duran), dan alumunium foil, Scanning Electron Microscope (SEM), dan Transmitted Electron Microscope (TEM).
Metode
persiapan bahan
Metode penelitian (Gambar 1) dimulai dari persiapan bahan, ekstraksi maserasi, pemekatan ekstrak, pengujian komponen fitokimia, pengujian aktivitas antimikroba ekstrak kulit pisang dengan metode difusi sumur, penentuan MIC dan MBC, serta pengujian kerusakan morfologi dan fisiologi bakteri uji. pemotongan kulit pisang ↓ pengeringan (sun drying, 48 jam) ↓ pengecilan ukuran (blender kering) ↓ pengayakan (ayakan tyler 35 mesh) ↓ Bubuk Kulit Pisang ↓ ekstraksi maserasi (250 rpm, 37°C) 3 jenis pelarut: - etanol (polar) - etil asetat (semi-polar) - heksana (non-polar) ↓ pemekatan ekstrak (rotary evaporator, 50°C)
↓ ↓ pengujian pengujian aktivitas antimikroba (difusi sumur) komponen fitokimia (0, 10, 20, 30, 40, 50% (w/v)) (alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida) ↓ penentuan pelarut dan konsentrasi ekstrak terpilih ↓ uji morfologi SEM MBC
↓ uji fisiologi TEM
↓ penentuan MIC dan
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Persiapan bahan Kulit pisang dikeringkan hingga kadar airnya kurang dari 10% dengan menggunakan metode sun drying. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran dengan blender kering dan pengayakan dengan ayakan tyler 35 mesh.
Ekstraksi maserasi Bubuk kulit pisang masing-masing diekstrak dengan menggunakan tiga jenis pelarut, yaitu: etanol (polar), etil asetat (semi-polar), dan heksana (non-polar). Perbandingan pelarut dan sampel = 1:4. Sebanyak 400 ml pelarut dicampur dengan 100 gram sampel dan diekstrak menggunakan shaker incubator (24 jam, 250 rpm). Hasil ekstraksi disaring dengan menggunakan kertas filter Whatman No.41. Pemekatan ekstrak Sisa pelarut diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50°C. Tekanan yang digunakan: 175 mbar (etanol), 240 mbar (etil asetat), dan 335 mbar (heksana). Pengujian komponen fitokimia 1. Uji fenolik: 10 gram sampel dilarutkan dalam 10 ml metanol, disaring. Hasil filtrat diberi 5 tetes NaOH 10%. Senyawa fenolik diindikasikan dengan warna merah. 2. Uji glikosida: Sampel dilarutkan dengan alkohol dan dicampur dengan isopropil kloroform hingga larutan memisah. Endapan dikeringkan dengan suhu 40°C kemudian dilarutkan dengan metanol. Selanjutnya ditambahkan 10 tetes asam sulfat dan 10 tetes asam asetat anhidrat. Senyawa glikosida ditandai dengan terbentuknya warna kehijauan yang stabil. 3. Uji tanin: Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan larutan gelatin 1%, jika terbentuk endapan warna putih menunjukan adanya senyawa tanin. 4. Uji saponin: Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan 10 ml air panas lalu didinginkan, dikocok selama 10 detik, dan didiamkan selama 10 menit. Jika terbentuk buih berarti terdapat senyawa saponin. Penambahan HCl 2N berguna untuk memastikan keberadaan senyawa saponin. Jika buih tidak hilang maka menandakan adanya senyawa saponin. 5. Uji alkaloid: Sebanyak 1 gram sampel dimasukan ke dalam spot plate dan ditambahkan tiga tetes peraksi dragendorff, jika terbentuk endapan merah maka terdapat senyawa alkaloid pada sampel. Reagen dragendorff dapat dibuat dengan cara bismut nitrat dicampurkan ke dalam air dan asam asetat yang dicampur ke dalam larutan KI yang telah dicampur sebelumnya dengan air akuades. 6. Uji flavonoid: Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan H2SO4. Terbentuknya warna kuning, jingga, dan merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid. 7. Uji triterpenoid dan steroid: Sebanyak 1 miligram sampel kering ditambahkan ke dalam 2 ml kloroform. Sampel ditambahkan 10 tetes larutan asam asetat dan 3 tetes larutan asam sulfat pekat, dikocok. Kemudian didiamkan beberapa menit. Munculnya warna merah atau ungu stabil menunjukkan keberadaan senyawa terpenoid, sedangkan warna biru mengindikasikan senyawa steroid. Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak kulit pisang (metode difusi sumur)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |397
ISBN 978-602-98902-1-1
Kultur bakteri (10 ml) diinokulasi pada media NB dan diinkubasi (8 jam, 37°C). Sebanyak 1 ml mikroba hasil inkubasi diinokulasi ke dalam media NA pada cawan petri. Kemudian dibuat 6 sumur atau lubang (diameter 6 mm) dan ke dalamnya masing-masing dimasukan ekstrak kulit pisang 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Inkubasi dilakukan selama 24 jam lalu pengamatan area penghambatan. Penentuan pelarut dan Konsentrasi Ekstrak Terpilih Berdasarkan hasil pengujian ekstrak kulit pisang terhadap bakteri uji ditentukan pelarut terpilih dan konsentrasi ekstrak terpilih. Penentuan pelarut dan konsentrasi ekstrak terpilih didasarkan atas nilai diameter zona penghambatan yaitu lebih dari atau mendekati 6 mm. Penentuan MIC dan MBC Nilai MIC dan MBC diperoleh dengan cara menggambar kurva ln Mo (konsentrasi ekstrak kulit pisang) pada sumbu X terhadap diameter penghambatan dikuadratkan (Z2) pada sumbu Y. Perpotongan ini dinamakan dengan Mt. Perhitungan nilai MBC dilakukan dengan anti ln dari Mt dan nilai MIC diperoleh dari hasil perkalian nilai MBC dengan 0,25 (Bloomfield, 1991). Uji kerusakan morfologi mikroba dengan SEM Kultur yang akan diamati kerusakannya diletakkan pada media NB. Kemudian disentrifuse (6000 rpm, 12 menit) dan dipisahkan supernatannya. Pelet atau endapan dicuci dengan akuabides sebanyak 2 kali. Kultur yang akan diamati kerusakannya ditambahkan ekstrak terpilih dan diinkubasi (24 jam, suhu 37oC). Sampel di dalam tabung eppendorf dipisahkan dengan centrifuge, lalu dibuang supernatannya. Kemudian ditambahkan glutaraldehide 2% dan disimpan dalam suhu beku. Endapan sampel dipisahkan dengan centrifuge kembali dan diambil peletnya. Kemudian ditambahkan tannic acid dan dibiarkan dalam suhu beku selama 1 hari. Endapan dipisahkan kembali dengan sentifuse dan diambil peletnya, lalu ditambahkan cacodylate buffer (10 menit). Kemudian dipisahkan kembali dengan centrifuge dan dibuang supernatannya. Pelet ditambahkan 1% osmium tetra oksida 1% dan direndam selama 1 jam. Endapan dipisahkan kembali dan dibuang supernatannya. Pelet ditambah 50% alkohol dan direndam selama 10 menit, kemudian endapan dipisahkan kembali dan dibuang supernatannya. Kemudian ditambahkan larutan alkohol sebanyak 70, 80, dan 95% berturut-turut dengan waktu perendaman masing-masing 10 menit lalu endapan dipisahkan dengan centrifuge. Pelet ditambah larutan alkohol absolut dan direndam (10 menit) sebanyak 2 kali. Kemudian endapan dipisahkan dan dibuang supernatannya. Pelet ditambahkan larutan tert-butanol (10 menit) dan endapan dipisahkan. Tahap ini dilakukan 2 kali. Pelet direndam di dalam butanol. Cover slip dibekukan, suspensi bakteri diletakkan pada cover slip lalu dikeringkan. Spesimen diamati dengan mikroskop elektron SEM.
Kultur yang akan diamati kerusakannya diletakan di dalam media NB. Endapan pelet dipisahkan dengan centrifuge (6000 rpm, 12 menit) dan dipisahkan supernatannya. Pelet atau endapan dicuci dengan menggunakan akuabides sebanyak 2 kali. Kultur yang akan diamati kerusakannya ditambahkan ekstrak terpilih dan diinkubasi (24 jam, 37°C). Tahap preparasi TEM adalah fiksasi, pembuatan sayatan, pelapisan dan pewarnaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian komponen fitokimia Hasil pengujian fitokimia dari ekstrak kulit pisang dengan tiga jenis pelarut berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengujian membuktikan bahwa kulit pisang mengandung senyawa fitokimia yang dapat digunakan sebagai antimikroba alami. Tabel 1 memperlihatkan pelarut alkohol mampu mengekstrak komponen fitokimia lebih banyak dibandingkan etil asetat dan heksana. Ini dikarenakan sifat polar senyawa fitokimia sehingga lebih mudah larut ke dalam pelarut polar (alkohol), dibandingkan etil asetat (semi polar) dan heksana (non-polar) (Harborne, 1987). Tabel 1. Komponen fitokimia ekstrak kulit pisang Senyawa Ekstrak Ekstrak fitokimia etanol etil asetat Alkaloid + + Saponin Tanin + + Fenolik + Flavonoid + + Triterpenoid + Steroid Glikosida + + Keterangan: - : negatif (tidak ada senyawa fitokimia) +: positif (ada senyawa fitokimia)
Ekstrak heksana + + +
Alkaloid merupakan senyawa fitokimia yang bekerja sebagai antimikroba dengan cara menghambat sintesis asam nukleat atau mengganggu kerja Deoxy Ribonucleic Acid (DNA). Senyawa alkaloid dapat menghambat pertumbuhan B. subtilis, Salmonella lutea, Proteus vulgaris, E. coli, dan S. aureus (Tenover,2006). Mekanisme kerja senyawa tanin sebagai antimikroba adalah menghambat kerja enzim ekstraseluler bakteri, mengganggu substrat dalam sintesis protein dan secara langsung menghambat fosforilasi (Ishida et al., 2009). Menurut Watson dan Freedy (2009), senyawa tannin mampu menghambat pertumbuhan dari Clostridium perfringens, E. coli, dan Enterobacter cloacae. Senyawa fenolik yang ditemukan pada ekstrak kulit pisang merupakan kontribusi utama dalam menghambat mikroba. Mekanisme kerja senyawa fenolik sebagai antimikroba adalah dengan merusak membran sel sehingga dapat menyebabkan lisis dari bakteri (faktor utama penyebab kebocoran sel), membentuk kompleks dengan dinding sel sehingga menyebabkan kerusakan
Uji kerusakan fisiologi mikroba dengan TEM
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |398
ISBN 978-602-98902-1-1
dinding sel, dan menghambat kerja dari enzim (Ahmad et al., 2006). Mekanisme kerja dari senyawa flavonoid adalah membentuk kompleks dengan protein dinding sel sehingga dapat menghambat pertumbuhan dari bakteri (Ahmad et al., 2006). Bakteri yang dapat dihambat oleh senyawa flavonoid adalah S. aureus, B. cereus, dan E. coli (Indraswari, 2008). Mekanisme kerja triterpenoid sebagai antimikroba adalah dengan merusak membran sel dari bakteri. Sebagai senyawa antimikroba triterpenoid mampu menghambat pertumbuhan dari bakteri S. aureus dan E. coli (Sukadana, 2008). Senyawa glikosida terdeteksi positif pada ekstrak kulit pisang dengan pelarut etanol, etil asetat, dan heksana. Menurut Harapini (2003), glikosida merupakan salah satu senyawa fitokimia yang bersifat antimikroba. Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak kulit pisang (metode difusi sumur) Pengujian aktivitas antimikroba dengan difusi sumur dilakukan bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan pelarut terpilih dari ekstrak kulit pisang. Jenis pelarut dan konsentrasi terpilih akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Menurut Schwan et al (2010), senyawa antimikroba dapat dikatakan mampu menghambat pertumbuhan mikroba apabila diameter penghambatannya lebih besar dari 6 mm. Hasil pengujian ekstrak kulit pisang terhadap bakteri uji disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengujian ekstrak kulit pisang terhadap bakteri uji
monocytogenes adalah 50% oleh karena pada konsentrasi tersebut ekstrak mampu menghasilkan diameter zona penghambatan mendekati 6 mm (5,7 mm untuk E. coli dan 5,45 mm untuk L. Monocytogenes). Penentuan MIC dan MBC Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penghambatan tertinggi ditemukan pada bakteri B. cereus. Tabel 3 menunjukkan hasil MIC dan MBC terhadap setiap bakteri uji. Tabel 3. Nilai MIC dan MBC ekstrak etanol kulit pisang terhadap setiap bakteri uji Jenis mikroba MIC (%) MBC (%) Bacillus cereus 0,72 2,89 Staphylococcus aureus 1,51 6,02 Escherichia coli 1,18 4,75 Listeria monocytogenes 1,19 4,76
Uji kerusakan morfologi mikroba dengan SEM Hasil pengujian ekstrak terpilih terhadap bakteri uji dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dengan perbesaran 15.000 kali dapat dilihat pada Gambar 2. sebelum penambahan ekstrak
setelah penambahan ekstrak
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) B. cereus, (b) S. aureus, (c) E. coli, (d) L. monocytogenes
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ekstrak kulit pisang dengan pelarut alkohol sebagai pelarut polar mampu menghambat bakteri B. cereus, S. aureus, E. coli, dan L. monocytogenes secara berturut-turut 5,20-7,75; 4,25-7,55; 3,45-5,70; dan 3,25-5,45 mm diameter zona penghambatan. Ekstrak kulit pisang dengan pelarut etil asetat dan heksana tidak menunjukkan adanya penghambatan pada setiap bakteri uji. Oleh karena itu, alkohol ditentukan sebagai pelarut terpilih. Konsentrasi ekstrak kulit pisang terpilih untuk uji terhadap B. cereus dan S. aureus adalah 30% oleh karena pada konsentrasi tersebut ekstrak mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji lebih dari 6 mm diameter zona penghambatan (6,35 mm untuk B. cereus dan 6,25 mm untuk S. aureus). Konsentrasi ekstrak kulit pisang terpilih untuk uji terhadap E. coli dan L.
Gambar 2. Pengaruh ekstrak etanol kulit pisang terhadap kerusakan sel bakteri uji
Hasil analisis dengan menggunakan metode SEM menunjukkan semua bakteri mengalami kerusakan dinding sel. Adanya lubang pada bagian badan sel ataupun pada bagian pinggir sel, pengkerutan dan lekukan/tonjolan pada bagian dinding sel yang mengakibatkan permukaan sel tidak rata (tidak rapih). Indikasi tersebut diikuti oleh kerusakan sitoplasma bakteri karena adanya gangguan terhadap permeabilitas membran sitoplasma sehingga proton yang terdapat pada sitoplasma dipaksa untuk keluar sehingga sel mengalami lisis dan akhirnya mengalami kebocoran sel (Klayraung dan Okonogi, 2009). Kerusakan dinding sel bakteri yang pada akhirnya diikuti oleh lisis dan kebocoran sel disebabkan oleh kerja senyawa fitokimia seperti flavonoid, tanin, terpenoid, dan senyawa fenolik. Senyawa-
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |399
ISBN 978-602-98902-1-1
senyawa tersebut berikatan membentuk kompleks dengan dinding sel bakteri, menginaktifkan enzim dan membentuk kompleks dengan adhesin (Naufalin, 2005 dan Ahmad, 2006). Uji kerusakan fisiologi mikroba dengan TEM Transmitted Electron Microscope (TEM) merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis kerusakan dari mikroba secara fisiologis. Perbedaan dengan metode SEM, TEM menggunakan spesimen dengan sayatan yang sangat tipis, sehingga elektron dapat menembus sampel. Bakteri yang diuji dengan metode TEM ini adalah B. cereus. Pemilihan B. cereus sebagai bakteri uji didasarkan atas tingkat kerusakan bakteri oleh ekstrak kulit pisang dengan pelarut etanol yang menunjukkan diameter penghambatan terbesar. Gambar kerusakan sel secara fisiologis dengan perbesaran 4000 kali dapat dilihat pada Gambar 3.
diameter zona penghambatan) dan S. aureus (4,25-7,55 mm diameter zona penghambatan), sedangkan konsentrasi ekstrak sebesar 50% mampu menghambat E. coli (3,45-5,70 mm diameter zona penghambatan) dan L. monocytogenes (3,25-5,45 mm diameter zona penghambatan). Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ekstrak terpilih untuk B. cereus, S. aureus, E. coli, dan L. monocytogenes secara berturut-turut adalah 0,72%, 1,51%, 1,18%, dan 1,19%. Kerusakan morfologi bakteri yang teramati dengan metode SEM pada keempat bakteri uji secara keseluruhan antara lain kerusakan dinding sel berupa lubang pada bagian badan ataupun pada bagian pinggir sel, pengkerutan dan lekukan/tonjolan pada bagian dinding sel sehingga menyebabkan lisis dan kebocoran sel. Kerusakan mikroba secara fisiologi dengan metode TEM pada B. cereus sebagai bakteri uji adalah menipisnya dinding sel, terdapat retakan mengecil pada sel, pengkerutan sel, dan bentuk sel yang tidak utuh.
DAFTAR PUSTAKA (a)
(b)
Keterangan: (a) B. cereus kontrol (b) B. cereus dengan penambahan ekstrak Gambar 3. Kerusakan fisiologi sel B.cereus sebagai baketri uji
Gambar 3 memperlihatkan ekstrak kulit pisang dapat merusak sel B. cereus. Dinding sel B. cereus kontrol (Gambar 3a) terlihat masih utuh dan tidak mengalami kerusakan atau kebocoran sel, sedangkan B. cereus yang diberi perlakuan (Gambar 3b) terlihat mengalami kerusakan pada bagian dinding sel. Kerusakan dinding sel dapat diindikasikan dari bentuk sel B. cereus yang sudah tidak berbentuk batang utuh dan terdapat pecahan yang diduga akibat B. cereus mengalami penipisan dinding sel secara terus menerus sehingga mengakibatkan kebocoran sel. Kerusakan lain dapat dilihat dari bentuk sel yang berlekuk dan tidak berbentuk batang lagi. Penelitian dari Bizani (2005) juga menegaskan bahwa kerusakan B. cereus secara fisiologis ditandai dengan bentuk sel yang tidak rata, terdapat lubang pada badan sel, dan disintegrasi sel. Inti sel bakteri B. cereus ini mengalami degradasi atau shrinkage sehingga sebagian besar masa sel berupa sitoplasma yang merupakan sisa sitoplasma yang sudah keluar dari sel.
KESIMPULAN Pelarut etanol merupakan pelarut terpilih yang dapat mengekstrak sejumlah senyawa fitokimia sebagai komponen aktif antimikroba yang terdapat di dalam ekstrak kulit pisang. Senyawa tersebut diantaranya senyawa alkaloid, tanin, fenolik flavonoid, triterpenoid, dan glikosida. Konsentrasi ekstrak kulit pisang sebesar 30% mampu menghambat B. cereus (5,20-7,75 mm
Ahmad I, Aqil F, Owasis M. 2006. Modern Phytomedicine: Turning Medical Plants into Drugs. Weinheim: Wiley-VCH. Bizani D, Motta, AS, Morrissy JA, Terra RM, Souto AA, dan Brandelli A. 2005. Antibacterial activity of cerein 8A, a bacteriocin-like peptide produced by Bacillus cereus International Microbiology (8):125-131. Bloomfield SF. 1991. Assessing Antimicrobial Activity. Di Dalam Denyer SP dan Hugo WB Mechanism of Action of Chemical Biocides. Oxford: Blackwell Scientific Publicat. Harapini M. 2003. Uji In-Vitro “Antibakteri Ekstrak Metanol Buah Mbosi (Dysoxylum gaudichandianum (A. Juss) Miq.)”. Pusat Penelitian Biologi: LIPI. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan oleh: Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB. Indraswari A. 2008. Optimasi Pembuatan Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.) Menggunakan Metode Maserasi dengan Parameter Kadar Total Senyawa Fenolik dan Flavonoid. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ishida K, Rozental S, Pallazo JC, dan Nakamura CV. 2009. Activity of Tannins from Stryphnodendron adstringens on Cryptococcus neoformans: Effects on Growth, Capsule Size and Pigmentation. Journal of Biology (8):29. Klayraung S dan Okonogi S. 2009. Antibacterial and Antioxidant Activities of Acid and Bile Resistant Strains of Lactobacillus Fermentum Isolated from Miang. Brazilian Journal of Microbiology 40.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |400
ISBN 978-602-98902-1-1
Mokbel SM dan Hashinaga F. 2005. Antibacterial and Antioxidant Activities of Banana (Musa, AAA cv. Cavendish) Fruits peel. The American Journal of Biochemistry and Biotechnology 1 (3):125-131. Naufalin R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan [Disertasi]. Bogor: Jurusan Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor. Schwan WR, Dunek C, Gebhardt M, Engelbrecht K, Klett T, Monte A, Toce J, Rott M, Volk, TJ, LiPuma, TJ, Liu T, dan McKelvey R. 2010. Screening a mushroom extract library for activity against Acinetobacter baumannii and Burkholderia cepacia and the identification of a compound with anti-Burkholderia activity. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials (9):4. Sukadana IM, Santi SR, dan Juliarti, NK. 2008. Aktifitas Antibakteri Golongan Triterpenoid dari Biji Pepaya (Carica papaya L). Jurnal Kimia 2 (1), Januari: 15-18. Tenover FC. 2006. Mechanism of Antimicrobial Resistance in Bacteria. The American Journal of Medicine 119:s3-s10. Thammarutwasik P, Hongpattarakere T, Chantachum S, Kijroongrojana K., Itharat A, Reanmongkol W, Tewtrakul S, dan Ooraikul, B. 2009. Prebiotics – A Review Songklanakarin J. Sci. Technol. 31 (4):401-408. Watson R dan Freedy VR. 2009. Botanical Medicine in Clinical Practice. Cambridge: CABI.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |401
ISBN 978-602-98902-1-1
Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Sarang Lebah Lokal Trigona sp. Terhadap Radikal 1,1 Diphenyl-2- Picrylhidrazyl (DPPH) Sebagai Pangan Fungsional Antikanker [Antioxidants Activity Test Extract Trigona sp Local Bee Nests Against Radicals 1.1 diphenyl-2-Picrylhidrazyl (DPPH) as Anticancer Functional Food] Mahani1), S. Nugraha2), L. Sanjaya2), T.V. Rilviena3), H. Himawati3)
1) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pangan, FTIP Universitas Padjadjaran 2) Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pangan, FTIP Universitas Padjadjaran 3) Mahasiswa Jurusan Farmasi, Fak. Farmasi Universitas Padjadjaran
ABSTRACT Bees Trigona sp is the bee that is widely available in Indonesia, but the Bees of this type are still seldom cultivated because the amount of honey it produces less than the amount of propolis. Propolis has great potential to be developed as functional foods which are rich in antioxidants, and act as anticancer. The purpose and target outcomes expected from this research to obtain information on the inhibition of antioxidant activity of propolis, find out information on cancer inhibitory potential of propolis and propolis products manufacture of local liquid which is useful as an anticancer functional food which can then be patented and become business opportunities. Propolis were extracted using maceration method and fractionated by liquid-liquid extraction method. Antioxidant activity assay by spectrophotometric method using the reagent DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) showed that the fraction of water provide the strongest antioxidant activity with IC50 values of 55.31 ppm. IC50 values for ethanol extract, ethyl acetate, n-hexane fraction, respectively, 91.33, 75.35 and 159.15 ppm. Anticancer potency test with Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) using larva shrimp Artemia Salina showed that ethyl acetate fraction gave a very strong anti-cancer potential with LC50 value of 0.0015 ppm. LC50 values for ethanol extract, water fraction, and n-hexane fraction of each of 0.215, 5.623 and 0.3125 ppm. Keyword: Propolis, Trigona, Antioxcidant, Anticancer
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropis yang sangat kaya dengan keanekaragaman sumber daya hayati. Sebagian dari keanekaragaman sumber daya hayati tersebut potensial untuk dijadikan pangan fungsional, yaitu pangan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu yang sangat bermanfaat bagi pemeliharaan kesehatan. Tingginya kekayaan sumber daya hayati dan bahanbahan indigenous yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia, merupakan potensi yang sangat berharga untuk kesehatan masyarakatnya. Salah satu pangan fungsional yang potensial untuk dikembangkan tersebut adalah propolis yang berasal dari lebah Trigona sp. Lebah Trigona sp merupakan lebah yang banyak terdapat di Indonesia dan dapat menghasilkan propolis dalam jumlah yang melimpah. Lebah jenis ini masih jarang dibudidayakan dikarenakan jumlah madu yang dihasilkannya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah propolisnya. Masyarakat saat ini lebih mengenal manfaat madu dibandingkan propolis. Padahal senyawa propolis secara ilmiah telah dibuktikan memiliki khasiat sebagai antibiotik alami yang ampuh (Hasan, 2006; Dharmayanti, 2000). Selain itu propolis juga memiliki kandungan flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal. Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang sangat reaktif dan tidak
stabil, karena akan berusaha menetralisir dirinya dengan cara menarik elektron dari molekul atau atom yang ada di dekatnya, sehingga terjadi reaksi berantai. Sifat radikal bebas akan merusak sel-sel bahkan sampai ke inti sel yang bisa mengakibatkan terjadinya mutasi gen sehingga menyebabkan timbulnya kanker. Kanker merupakan salah satu penyakit degeneratif yang membutuhkan perhatian khusus, karena sebagian penderita kanker berakhir dengan kematian. Di Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan peringkat kanker sebagai penyebab kematian, yaitu dari urutan ke-12 menjadi urutan ke-6. Penderita kanker di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya bertambah 190.000 penderita baru dan seperlima di antaranya meninggal (Siswono, 2005). Pada sebuah penelitian epidemologik tentang penyakit kanker diperkirakan akan terjadi peningkatan 99 % penderita pada tahun 2010 di negara berkembang dibandingkan pada 1985. Sedangkan di negara maju peningkatan jumlah penderita diperkirakan hanya 38 % (Rusmarilin, 2003). Penyakit kanker ini dapat diselesaikan dengan konsumsi pangan fungsional tertentu yang sangat melimpah di Indonesia. Salah satu solusi untuk menekan angka penyakit kanker di Indonesia yaitu dengan menghadirkan pangan fungsional yang berfungsi sebagai antikanker yang digali dari kekayaan sumber daya hayati lokal. Salah satu potensi besar kekayaan sumberdaya hayati lokal tersebut yaitu propolis dari sarang lebah Trigona sp yang masih belum banyak dibudidayakan oleh peternak lebah di
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |402
ISBN 978-602-98902-1-1
Indonesia karena minimnya penelitian khasiat propolis khususnya sebagai antioksidan yang dapat berperan sebagai antikanker. Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a) Memperoleh informasi aktivitas penghambatan antioksidan propolis melalui uji aktivitas terhadap senyawa radikal 1,1 Diphenyl-2- Picrylhidrazyl (DPPH), b) Memperoleh informasi potensi penghambatan kanker propolis melalui uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), c) Formulasi produk propolis cair lokal yang berguna sebagai pangan fungsional antikanker.
METODOLOGI Pembuatan Ekstrak dan Fraksinasi Propolis Cair
Teknik pengambilan sampel diawali dengan pembuatan rendemen propolis dari propolis kasar. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan menggunakan alat maserator. Langkah pertama adalah mengekstraksi propolis dengan etanol sebagai pelarut memakai perbandingan propolis:etanol adalah 1 : 10 (Krell, 1996). Ekstraksi dilakukan 3x24 jam. Kemudian ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotavapor. Ekstrak kental yang dihasilkan ditimbang sehingga dihasilkan rendemen. Untuk mendapatkan rendemen ekstrak, sejumlah tertentu ekstrak kental dalam cawan penguap ditimbang kemudian diuapkan diatas penangas air dengan temperatur 40-50ºC sampai bobot tetap. Larutan ekstrak dimasukkan kedalam corong pisah dan ditambahkan pelarut kedua (n-hexan) sama banyak dengan pelarut pertama. Larutan dalam corong pisah dikocok seksama sambil sesekali udara dikeluarkan, kemudian larutan didiamkan sampai kedua pelarut terpisah sempurna dan lapisan n-hexan dipisahkan. Proses pengocokan diulangi sampai diperoleh fraksi n-hexan yang hampir tidak berwarna. Lapisan air dalam corong pisah kemudian dikocok kembali dengan pelarut etil asetat dengan cara yang sama seperti dengan pelarut n-hexan.
Pengujian Kadar Antioksidan
Langkah pertama yang dilakukan adalah menimbang ekstrak kental, fraksi air, fraksi etil asetat dan fraksi n-heksana masing-masing 0,5 g, kemudian masing-masing dilarutkan dalam etanol hingga 50 mL, sehingga diperoleh konsentrasi awal masing-masing larutan uji yaitu 1000 ppm. Langkah selanjutnya adalah menetapkan λ maksimum DPPH dengan cara mencampurkan 3,0 mL larutan DPPH dengan 2 mL etanol dan diamati absorbansinya pada λ 400-700 nm. Selanjutnya kita tentukan Operating Time DPPH dalam etanol, caranya adalah dengan melarutkan DPPH 40 ppm dalam etanol 70% diamati absorbansinya selama 60 menit dengan selang waktu 5 menit sekali. Selanjutnya, larutan uji yang telah dibuat dalam bebagi konsentrasi ditambahkan larutan DPPH sebanyak 3 mL dan didiamkan selama 30 menit, kemudian dibaca absorbansinya pada λ maksimum. Langkah terakhir adalah mengukur IC50 (Inhibition Concentration 50%) yang dihitung dari kurva regresi linier antara % inhibisi serapan dengan berbagai konsentrasi ekstrak (larutan uji).
Pengujian Potensi Anti Kanker dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test
Uji toksisitas biologis yang digunakan adalah metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Meyer et al, 1982) dengan menggunakan larva Artemia salina. Langkah pertama dalam uji BSLT ini adalah membuat medium penetasan yang teridiri dari 35 g garam laut dan NaCO3 yang dilarutkan dalam 1 L air (pH 7 – 8). Setelah medium penetasan terbentuk maka telur larva A. salina siap ditetaskan dan diujikan ke dalam larutan uji (ekstrak kental, nheksan, air, dan etil asetat) yang telah dibuat berbagai variasi konsentrasi (1000 ppm, 800 ppm, 500 ppm, 200 ppm, 100 ppm, 50 ppm, 10 ppm, 5 ppm dan 1 ppm). Masing-masing konsentrasi ditempatkan dalam vial dan sebagai blanko digunakan medium penetasan dan pelarut DMSO tanpa penambahan sampel. Pada masing-masing vial dari tiap konsentrasi ditempatkan 10 ekor larva A. salina dan dibiarkan selama 24 jam di bawah cahaya lampu. Pada perlakuan kontrol, dibuat dua jenis yaitu vial berisi air laut dan A. salina dan vial berisi air laut, pelarut DMSO dan A. salina. Toksisitas ditentukan setelah A. salina terpapar selama 24 jam dengan larutan bahan uji dengan menghitung persentase mortalitas. Larva dianggap mati jika tidak memperlihatkan gerakan selama beberapa detik waktu pengamatan. Selama pengujian, larva A. salina tidak diberi makanan. Pengamatan mortalitas A. salina dilakukan selama 24 jam pada suhu ruangan. Langkah terakhir adalah menghitung nilai Nilai LC50 dari setiap larutan uji. Parameter yang digunakan untuk mengetahui toksisitas dari sampel uji adalah jumlah A. salina yang mati 50% dari total larva uji. Kemudian di hitung nilai LC50 dengan memasukkan angka probit (50% kematian larva uji).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap persiapan sampel, pembuatan ekstrak dan fraksi propolis
Bahan yang digunakan berupa propolis yang telah dikeringkan yang diperoleh dari petani lebah hutan di Kalimatan Barat. Pengolahan simplisia dilakukan agar bahan yang diperoleh merupakan bahan yang bebas dari pengotor dan dari bagianbagian lain dari tanaman. Lalu dilakukan perajangan simplisia hingga bentuk yang kecil, agar mempermudah saat proses ekstraksi dilakukan. Hasil pemeriksaan organoleptik propolis yaitu warna simplisia coklat, tekstur sedikit kasar, lengket, berbau khas. Ekstraksi dilakukan terhadap 676 g simplisia propolis, dengan cara maserasi selama 3 x 24 jam dengan penggantian pelarut tiap 1 x 24 jam menggunakan etanol 70 % sebagai pelarut. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari (Depkes RI, 1986). Maserat ditampung, lalu dipekatkan dengan evaporator pada suhu 40 ºC kemudian dikeringkan dalam cawan penguap di atas penangas air hingga didapat ekstrak kental. Dari penelitian diperoleh 72 g ekstrak kental. Maka diperoleh rendemen sebesar 10,650 %. Fraksinasi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |403
ISBN 978-602-98902-1-1
no 1 2 3 4
Sampel Uji
Ekstrak Kental Fraksi nHeksana Fraksi Etil asetat Fraksi Air
1 70
Persentase letal (%) Konsentrasi
Hasil % inhibisi melalui uji DPPH dapat dilihat pada tabel 5 berikut :
5 90
10 100
50 100
100 100
200 100
500 100
1000 100
10
30
60
70
100
100
100
100
90
100
100
100
100
100
100
100
70
100
100
100
100
100
100
100
dilakukan terhadap ekstrak kental propolis dengan metode ekstraksi cair-cair. Fraksinasi dilakukan untuk memperoleh senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak berdasarkan kepolaran. Sebanyak 5 g ekstrak kental diambil untuk fraksinasi. Fraksinasi dilakukan dengan cara menimbang sejumlah ekstrak kental propolis dilarutkan dalam 150 mL (Dengan perbandingan etanol:air 2:8, sehingga ekstrak propolis dilarutkan pada 30 mL etanol dan 120 mL air) dan diekstraksi dari pelarut nonpolar menggunakan n-heksana dilanjutkan ke pelarut lebih polar yaitu etil asetat. Ekstraksi dilakukan sampai pelarut tidak berwarna yang menandakan komponen senyawa sudah terpisah seluruhnya. Fraksi yang didapat sebanyak 1,629 g fraksi nheksana, 1,5912 g fraksi etil asetat, dan 8,178 g fraksi air. Rendemen fraksi n-heksana, fraksi etil asetat dan fraksi air yang diperoleh terhadap jumlah simplisia yang digunakan masingmasing sebesar 1,55 %; 1,52 % dan 7,81 %.
Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode Uji DPPH
Molekul 1,1-difenil-2-pikril-hidrazil (DPPH) merupakan molekul radikal bebas yang stabil karena adanya delokalisasi elektron. Delokalisasi ini juga menimbulkan warna ungu yang dapat memberikan absorbansi pada daerah 517 nm dalam etanol. Ketika larutan DPPH dicampurkan dengan suatu zat yang dapat mendonasikan atom hidrogen maka DPPH akan tereduksi dengan pudarnya warna ungu (Molyneux, 2004). Aktivitas antioksidan dengan DPPH berdasarkan prinsip pengukuran intensitas warna ungu DPPH yang berbanding lurus dengan konsentrasi DPPH. Pada penelitian ini, sampel ditimbang sebanyak 50 mg dan dilarutkan dalam labu ukur 50 mL sehingga didapat larutan induk 1000 ppm. Sejumlah seri pengenceran dilakukan dari larutan induk ini, yaitu 5,10, 20, 40, dan 80 ppm. Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan menambahkan 2 mL sampel pada konsentrasi tertentu dengan 3 mL DPPH dimana DPPH kontrol menggunakan 3 mL DPPH dan 2 mL etanol. Dari hasil pengukuran serapan maksimum larutan DPPH 40 ppm dengan etanol dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis diperoleh serapan maksimum pada panjang gelombang 517 nm. Penentuan operating time larutan DPPH 40 ppm dalam etanol dilakukan untuk mengetahui waktu kerja agar sampel dapat meredam aktivitas radikal bebas DPPH. Penentuan operating time dilakukan dengan mengamati absorbansinya selama 60 menit. Hasil pengukuran diperoleh waktu kerja yang stabil selama 5 menit yaitu pada menit ke-30 sampai menit ke-35 setelah penambahan etanol sehingga dipilihlah menit ke-30 yaitu pengukuran dilakukan 30 menit setelah ditambahkan DPPH.
Persentase inhibisi (%) No
Sampel Uji
Konsentrasi ( ppm ) 5
10
20
40
60
80
100
10,38
17,16
25,14
26,34
-
45,3
-
1
Ekstrak Kental
2
-
13,8
23,07
24,43
26,47
37,3
3
Fraksi nHeksana Fraksi Etil asetat 5,51
11,20
16,30
30,10
-
52,02
-
4
Fraksi Air
10,50
22,05
43,00
-
67,80
-
3,85
Tabel 5. Persentase Inhibisi dari Uji DPPH Berdasarkan persamaan y=ax+b, dimana y adalah persen inhibisi yang nilainya 50 % dan x adalah konsentrasi sampel, maka nilai IC 50-nya dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Nilai IC 50 Sampel yang Diuji . Tabel 6 menunjukkan bahwa propolis fraksi air memiliki nilai IC 50 terkecil yaitu 55,31 ppm yang menunjukkan bahwa fraksi air merupakan antioksidan paling kuat, yaitu hanya dengan konsentrasi 55,31 ppm saja dapat menghambat 50 % radikal bebas DPPH.
Uji Toksisitas Antikanker dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Uji BSLT merupakan pengujian potensi antikanker dengan menggunakan hewan uji udang Artemia salina. Menurut Meyer (1982) uji BSLT ini terbukti memiliki korelasi positif dengan daya sitotoksis senyawa antikanker dimana hasil yang ditunjukkan dengan uji BSLT tidak berbeda jauh dengan hasil uji antikanker terhadap sel kanker murni. Oleh karena itu pengujian dengan metode BSLT ini seringkali dilakukan untuk mengetahui potensi antikanker dari suatu sampel tertentu. Hal yang diamati dalam uji ini adalah jumlah kematian udang yang disebabkan oleh sampel yang diuji. Semakin aktif suatu senyawa bersifat antikanker maka semakin besar jumlah kematian udang Artemia salina tersebut. Data yang diperoleh akan diolah untuk mendapatkan nilai LC50 (Lethal Concentration 50 %) dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan metode analisis probit. LC50 merupakan besarnya konsentrasi (ppm) ekstrak uji minimal untuk dapat mematikan 50% dari hewan uji. Komponen yang diuji bioaktivitasnya dengan metode BSLT
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |404
ISBN 978-602-98902-1-1
dinyatakan sangat toksik. Apabila memiliki LC50< 30 ppm, apabila memiliki LC50 > 1000 ppm. Nilai persentase kematian udang Artemia salina terhadap sampel yang diujikan dapat dilihat pada tabel 8.
konsentrasi 0,0015 ppm propolis dapat berpotensi sebagai antikanker yang sangat kuat.
Tabel 8. Nilai Persentase Kematian Udang Artemia salina
UCAPAN TERIMA KASIH
Ekstrak Kental
y = ax + b 50 = 30x + 70 x = -0,667 LC 50 = 0,215
Fraksi nHexana
y = ax + b 50 = 40x + 20 x = 0,75 LC 50 = 5,623
Fraksi Etil Asetat
y = ax + b 50 = 14,305x + 90 x = -2,79 LC 50 = 1,598 x 10-3
Fraksi Air
y = ax + b 50 = 33,219x + 66,7 x = -0,505 LC 50 = 0,3125
Berdasarkan persamaan garis y= ax+b dimana x merupakan log konsentrasi dan y adalah % letalitas. Untuk mendapatkan nilai LC 50 maka dimasukkan nilai 50 % terhadap nilai y masing-masing persamaan sehingga didapat konsentrasi minimal (x) untuk dapat membunuh 50 % udang Artemia salina. Nilai LC 50 dari masing-masing sampel dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Nilai LC 50 (ppm) dari Masing-Masing Sampel Sampel Uji
IC 50 (ppm) Kesimpulan 91,33 Kuat 159,15 Lemah 75,35 Kuat 55,31 Kuat Tabel 8 dan 9 menunjukkan bahwa nilai LC 50 yang paling kecil terdapat pada fraksi etil asetat. Hal tersebut menunjukkan bahwa propolis fraksi etil asetat memiliki potensi yang paling kuat sebagai antikanker karena hanya dengan konsentrasi 1,598 x 10-3 saja dapat berpotensi kuat sebagai antikanker.
Ekstrak Kental Fraksi n-Heksana Fraksi Etil asetat Fraksi Air
Pembuatan Pangan Fungsional Antikanker Propolis
Ekstrak kental propolis ditambahkan dengan pelarutnya yaitu propilen glikol dengan perbandingan 1:10 (100 ppm propolis) dan dimasukan ke dalam wadah sediaan propolis. Wadah sediaan yang digunakan adalah botol tidak tembus cahaya dan memiliki ketebalan yang ketebalan yang cukup. Lalu diberi label dengan nama PROLISTER (Propolis Trigona Antikanker). Label dan kemasan pangan fungsional ini dapat dilihat pada lampiran 5.
KESIMPULAN Melalui pengujian antioksidan terhadap radikal 1,1 diphenyl-2picrylhidrazyl (DPPH), fraksi air propolis memiliki kandungan antioksidan yang kuat, mendekati sangat kuat dengan nilai IC 50 sebesar 55,31 ppm. Sedangkan pengujian potensi antikanker dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), Fraksi etil asetat propolis memiliki potensi antikanker yang sangat kuat, dengan nilai LC 50 sebesar 0,0015 ppm. Hanya dengan
Penelitian ini didanai oleh DP2M Dikti Kemendiknas.
DAFTAR PUSTAKA Bagjavicenna, Erlank. 2008. Potensi Propolis Lebah Trigona Spp Sebagai Bahan Antimikrob Ketombe. Skripsi. IPB. Bogor. Dharmais Cancer Hospital. 2009. Penyebab dan Resiko Terjadinya Kanker. http://www.dharmais.co.id (20 Oktober 2010). Dharmayanti NLP et al. 2000. Efektifitas Pmberian Propolis Lebah dan Royal Jelly pada Abses yang Disebabkan Staphylococcus aureus. Berita Biologi 5:41-49. Gojmerac WL. 1983. Bee, Beekeeping, Honey and Pollination. Westport: Avi. Hasan, A.E.Z. 2006. Potensi Propolis Lebah Madu Trigona sppSebagai Zat Antimikrobial. Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, Bogor. Krell, R. 1996. Value-Added Products From Bee keeping; FAO Agricultural Services Bulltein No. 124. Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome 1996. www.fao.org/docrep.htm. Diakses tanggal : 24 Juli 2005. Meyer, B.N., (1982). Brine Shrimp : A Conventiont General Bioassay for Active Plant Constituents. Planta Med. 45, 3134. Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin J. Sci. Technol. 26(2): 211-219. Mulyadi. 1996. Kanker: Karsinogen, Karsinogenesis dan Antikanker. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta. Pusat Perlebahan Apiari Pramuka. 2003. Lebah Madu: Cara Beternak dan Pemanfaatan. Penebar Swadaya, Jakarta. Rohdiana, D.(2001). Aktivitas Daya Tangkap Radikal Polifenol Dalam Daun Teh, Majalah Jurnal Indonesia 12, (1), 53-58. Rusmarilin, Herla. 2003. Lengkuas Cegah Kanker. http://www.mediaindo.co.id ( diakses tanggal 5 Maret 2007) Siswono. 2005. Penderita Kanker Terus Meningkat, Indonesia Kekurangan Dokter Bedah Onkologi. http://www.mediaindo.co.id ( diakses tanggal 5 Maret 2007) Suryati, Y. 1993. Potensi Randu (Ceiba pentandra Gaertn) Sebagai Sumber Nektar Lebah Apis mellifera Linnaeus. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |405
ISBN 978-602-98902-1-1
Kandungan Protein Pada Jamur Konsumsi Sebagai Alternatif Pengganti Sayuran Atau Daging Dalam Upaya Peningkatan Asupan Gizi (Protein Content of Edible Mushroom as An Alternative For Vegetables Or Meat In Order To Improve Health Nutrition) Netty Widyastuti, Donowati Tjokrokusumo, Reni Giarni Pusat Teknologi Bioindustri – BPPT Korespondensi E-mail :
[email protected]
ABSTRAC Edible mushroom (mushroom consumption) is recently attracted part of the people, has been grown organically currently. Types of mushrooms widely consumed in Indonesia and is cultivated : oyster mushrooms (Pleurotus sp.), ear fungus (Auricularia sp.), paddy straw (Volvariella sp.), shiitake mushrooms (Lentinus sp.) and button mushrooms (Agaricus sp.). The purpose of this experiment was to determine the magnitude of protein content in nugget as processed food made from oyster mushrooms. The results of analysis on the processed product by the oyster mushroom by BPPT mushroom team (2011), the protein content (% w/w) in siomay, nugget and sosis, are (6.80%), (6.28%), (5.25% respectively. These results can be compared with the results of research in general protein content (% dry weight) : oyster mushrooms (30.0%), ear fungus (12.0%), mushroom (32.0%), shiitake mushrooms (15.5%), mushrooms (3.0% ), mutton (22.0%), beef (22.7%), sheep (20.8%), pork (22.3%), buffalo (21.7%), chicken (23.6%). Protein (% dry weight) on cabbage (18.4%), broccoli (28.8%), beans (21.6%), potatoes (7.6%). Both of the fresh mushrooms and mushroom processed products can be used as an alternative for vegetables or meat in order to improve health nutrition. By sosialization of the menu-based mushroom, it is expected that the more people consumes mushroom the more healthier with relatively low cost . Key words: mushroom consumption, protein, vegetables or meat alternative, socialization.
PENDAHULUAN Pada saat ini banyak sekali beredar berbagai jenis makanan, baik makanan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia ataupun makanan modern yang berasal dari negara maju seperti Amerika, Eropa, Jepang, Korea, China, Vietnam, Thailand dan negara lainnya. Di berbagai media sering ditawarkan kelezatan dan manfaat kesehatan setiap produk makanan yang menggugah selera. Hidup sehat menjadi harapan setiap orang, hal ini tentu saja tidak lepas dari pola makan sehari-hari, termasuk jenis makanan, porsi makan dan kandungan gizi setiap makanan yang dikonsumsi. Kebersihan dan kesegaran makanan juga sangat berpengaruh, juga kandungan nutrisi/gizi perlu dicermati karena makanan yang ada di pasaran relatif masih sedikit mengandung protein, bahkan ada yang tidak mengandung protein. Padahal protein adalah salah satu unsur penting untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia. Protein berfungsi membantu pertumbuhan dan pemeliharaan, membangun enzim, hormon dan imunitas dalam tubuh, oleh sebab itu protein sering disebut zat pembangun. Sumber protein ada dua macam yaitu yang berasal dari hewan (hewani) dan yang berasal dari tumbuhan (nabati). Protein hewani maupun nabati memberikan efek menenangkan otak. Protein membantu otak bekerja dengan cepat dalam menerima pesan. Sedangkan bagi anak-anak, protein berperan untuk
perkembangan tubuh dan sel otak. Pada orang dewasa, apabila terjadi luka memar, protein dapat membangun kembali sel-sel yang rusak. Protein hewani didapat dari ikan, telur, daging dan susu, sedangkan protein nabati bisa didapatkan dari tumbuhtumbuhan. Tanaman yang memiliki kandungan protein tinggi dan bisa menjadi salah satu sumber protein nabati yang potensial adalah jamur pangan. Tidak hanya lezat, jamur mempunyai kandungan gizi cukup baik. Komposisi kimia yang terkandung tergantung jenis dan tempat tumbuhnya. Rata-rata jamur mengandung 19-35% protein dibandingkan beras 7,38% dan gandum 13,2%. Asam amino esensial yang terdapat pada jamur, sekitar 9 jenis dari 20 asam amino yang dikenal. Berikutnya lagi adalah 72% lemaknya tidak jenuh, jamur juga mengandung berbagai jenis vitamin, antara lain B1 (thiamine), B2 (riboflavine) niasin dan biotin. Selain elemen mikro, jamur juga mengandung berbagai jenis mineral antara lain K, P, Ca, Na, Mg dan Cu. Edible mushroom atau jamur konsumsi sebagai salah satu bahan pangan alternatif untuk pemenuhan gizi yang relatif murah, dapat dikonsumsi anak-anak ataupun orang dewasa , lezat dengan berkhasiat obat , juga dapat sebagai immunomodulator atau peningkat sistim kekebalan tubuh karena adanya senyawa aktif yang dikandungnya yakni beta-glukan. Selain itu, jamur konsumsi relatif mudah untuk di budidayakan seperti jamur tiram (Pleurotus sp), jamur merang (Volvariela volvacea), jamur kuping (Auricularia sp), shiitake (Lentinus sp.), jamur kancing (Agaricus sp.). Jamur konsumsi selain sebagai alternatif pemenuhan gizi ,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |406
ISBN 978-602-98902-1-1
dapat juga sebagai alternatif sumber pendapatan karena tidak memerlukan lahan yang luas dengan modal yang relatif terjangkau, serta bahan baku substrat yang berlimpah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan Mattila et al. (2001), jamur kancing (Agaricus bisporus-putih dan coklat), shiitake (Lentinus edodes) dan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) bahwa jamur konsumsi sebagai sumber vitamin B2, niacin, dan folates dengan variasi 1.8-5.1,31-65 dan 0.30- 0.64 mg/100 g berat kering. Dibanding sayuran, jamur lebih kaya elemen mineral , contohnya dengan kandungan K,P,Zn dan Cu dengan kadar 26.7-47.3 g/kg, 8.7-13.9 g/kg, 47-92 mg/kg, dan 5.2-35 mg/kg berat kering. Jamur kancing mengandung Se 3.2 mg/kg berat kering, sedangkan Cd relatif tinggi pada L. edodes yakni 1.2 mg/kg berat kering. Wasser (1999; 2002), menyebutkan bahwa jamur Basidiomycetes mempunyai kandungan polisakarida pada tubuh buah, miselia, kultur padat yang berfungsi sebagai antitumor ,immunomodulator, mencegah kardiovaskular, menurunkan kolesterol, mempunyai efek anti virus, anti bakteri dan anti parasitik. Sumiati (2005) juga telah menganalisa kandungan proksimat, vitamin, mineral pada beberapa jamur pangan. Demikian juga Widyastuti dkk (2004), telah melakukan analisa pada jamur tiram dan shiitake kandungan karbohidrat, serat, protein cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan pangan alternatif pemenuhan gizi. METODOLOGI Bahan dan Alat : Bahan yang digunakan adalah nugget, siomay dan sosis yang telah dibuat dari bahan dasar jamur tiram segar, dengan rempah-rempah sebagai bumbu dan ditambah dengan tepung terigu, tepung maizena, tepung tapioka dan telor secukupnya. Si, H2SO4, NaOH, Asam Borat (HBO3), BCGMR, HCl. Kadar Protein Metode Kjeldahl (Apriyantono dkk, 1988) Persiapan bahan : Pada tahap persiapan bahan dilakukan pembuatan nugget, siomay dan sosis. Ketiga bahan tersebut dianalisa proksimat (AOAC, 1995), kadar proteinnya (Sudarmadji et al., 1997), Formulasi nugget, siomay dan sosis dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1. Komposisi bahan untuk formulasi nugget, sioamy dan sosis jamur tiram No 1
Nugget 100%
Siomay 100%
Sosis 100%
2
Bahan Jamur Tiram segar Tepung Terigu
20%
20%
20%
3 4
Tepung Maizena Tepung Tapioka
20% 0%
0% 20%
0% 20%
5 6 7
Telur Bumbu rempah Ayam giling
25% 1% 10%
25% 1% 10%
25% 1% 0%
8
Garam
0.5%
0.5%
0.5%
9
Kulit luar
Tepung panir
Kulit siomay/ kulit pangsit
Casing sosis
*Keterangan : persentase dihitung terhadap berat jamur tiram segar yang digunakan. Analisa Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Lemak Metode Soxhlet dan Kadar Protein dianalisa proksimat (Apriyantono, 1988; AOAC, 1995; Sudarmadji et al., 1997), Kadar Karbohidrat = 100% - (air + abu + protein + Lemak). Analisa Kadar Protein : Sebanyak 0,1 gram sampel ditambah 0,4 gram campuran selenium (Se) dan asam sulfat (H2SO4) pekat sebanyak 5 mL, kemudian didestruksi selama 2,5 jam. Hasil destruksi didinginkan, kemudian ditambah NaOH 30% sebanyak 20 mL. Sampel selanjutnya didestilasi sampai volume destilat mencapai kurang lebih 100 mL, yang sebelumnya penampung destilat sudah diberi 10 mL asam borat 2% yang telah ditambah indikator BCGMR (Brom Cresol Green-Metil Red). Destilat kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N sampai berwarna pink (merah muda). Hitung volume HCl yang dipakai untuk menitrasi larutan sampel. Kemudian dihitung kadar proteinnya. Tabel 2. Hasil analisa kadar proksimat nugget, siomay dan sosis jamur tiram N Sampe Abu Protei Lema Karbohidr o l (%) n (%) k (%) at (%) 1 Sioma 2,313 12,029 3,636 82,0199 y 5 9 7 2 Nugge 2,307 14,327 5,075 78,2889 t 8 5 8 3 Sosis 2,606 19,294 3,266 74,8239 0 2 9 Keterangan : Analisa Tim Jamur BPPT (2011), berdasarkan referensi Apriyantono, dkk. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penerbit IPB, Bogor Melihat hasil analisa pada tabel 2, kandungan protein produk olahan jamur tiram relatif cukup tinggi, sehingga diharapkan dapat sebagai pangan alternatif pengganti daging, ikan atau sayuran untuk peningkatan asupan gizi. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1.Jamur konsumsi (edible mushroom) yang banyak dibudidayakan di Indonesia Jamur konsumsi atau jamur pangan (edible mushroom) dapat dikatagorikan sebagai komoditas unggulan dan dapat sebagai alternatif dalam kesejahteraan masyarakat, karena berbagai alasan diantaranya: (i) jamur merupakan produk pertanian yang sehat, (ii) budidayanya ramah lingkungan, (iii) sumber daya alam tersedia, mempunyai nilai ekonomi tinggi, menyerap tenaga kerja ,teknologi budi daya mudah, mempunyai peluang pasar (karena harganya relatif murah dibanding harga daging, lezat dan berkhasiat bagi kesehatan), dapat sebagai penghasil devisa Negara, dan dapat sebagai ladang penghasilan keluarga (Anonimous, 2006).
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |407
ISBN 978-602-98902-1-1
Varietas jamur yang banyak dibudidayakan di Indonesia , yang dianggap memiliki nilai ekonomi diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Jamur kancing atau “champignon” (Agaricus bisporus, Agaricus campestris, Agaricus rodmani dan Agaricus bitorquis). Jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan di dunia, sekitar 38% dari total produksi jamur dunia. 2. Jamur tiram atau hiratake (Pleurotus sp.). Sekitar 25% dari total produksi jamur dunia berupa jamur tiram. Cina merupakan produsen jamur tiram yang utama. 3. Jamur merang (Volvariella volvaceae). Sekitar 16% dari total produksi jamur dunia berupa jamur merang. 4. Jamur shiitake atau jamur payung (Lentinus edodes). Paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Jepang, Cina dan Korea Selatan. Sekitar 10% dari total produksi jamur dunia berupa jamur shiitake. 5. Jamur kuping terdiri dari jamur kuping putih (Tremella fuciformis), jamur kuping hitam (Auricularia polytricha) dan jamur kuping merah (Auricularia auricula-judae). Jenis jamur ini banyak dipakai untuk masakan Cina. III.2. Khasiat dan Manfaat 1. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) Beberapa pakar menyebutkan bahwa pada jamur tiram (Pleurotus ostreatus) berkhasiat menghambat tumor, menurunkan kolesterol, mencegah kelainan jantung, sebagai sumber antioksidan, memperkuat pembuluh darah, melemaskan urat atau otot dan sendi, menghalau dingin. Jamur tiram, dapat dikembangkan menjadi produk lain seperti : sup, saus, pasta, sosis, baso, makanan fermentasi, makanan ringan, biskuit, mi instan, permen, dan teh serbat atau beragam minuman untuk pemulihan energi. Dari referensi tersebut, perlu dilakukan penelitian dan kajian pemanfaatan jamur konsumsi sebagai alternatif pangan sehat, juga dapat sebagai bahan substitusi pada tepung pembuat makanan, ataupun sebagai penyedap rasa. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa jamur tiram dapat meningkatkan sistim kekebalan tubuh , menurunkan gula darah dan kadar lemak, mengurangi kekakuan tendon dan anggota tubuh, menurunkan kejadian jerawat dan kutil dalam detoksifikasi umum organisme, mengatur gerak peristaltik usus, positif mempengaruhi tekanan darah, orang yang menderita alergi, dalam situasi tekanan dan regangan, meningkatkan fungsi dari sistem vaskular, mengurangi kelelahan. Rajarathnam S. ett al (1998) menyebutkan bahwa jamur tiram merupakan sumber karbohidrat non tepung kaya serat yang dapat menurunkan kadar kolesterol, kaya asam amino esensial, mineral, vit B dan asam folat. Chang (1996) menyebutkan bahwa jamur konsumsi mempunyai kandungan senyawa bioaktif sebagai ”nutraceutical” atau bahan obat, dengan khasiat mencegah tumor/kanker, AIDS, menurunkan kolesterol dan beberapa penyakit tidak menular. Sedangkan Shouji et al. (2000) menyebutkan bahwa shiitake dapat menghambat caries gigi yang disebabkan oleh Streptococcus mutans JC-2 dan Streptococcus sobrinus OMZ-176.
Disebutkan pula oleh Hendritomo (2010), bahwa melalui penyuntikan ekstrak jamur tiram dapat menghambat 75% pertumbuhan tumor sarcoma-180. Sebagai antitumor dan peningkatan system kekebalan tubuh, kalangan industrI tertarik pada produk senyawa bahan yang diekstrak secara langsung dari miselium atau tubuh buah jamur. Senyawa ini disebut “jamur nutraceuticals” yang berkualitas sebagai obat atau tonik dan mempunyai potensi penting sebagai suplemen diet yang digunakan untuk menjaga tubuh manusia dari serangan berbagai jenis penyakit. 2. Jamur Shiitake (Lentinus edodes) Shiitake juga dikenal dengan nama Jamur hitam Cina, karena aslinya memang berasal dari daratan Tiongkok dan sudah dibudidayakan sejak 1.000 tahun yang lalu. Sejarah tertulis pertama tentang budidaya shiitake ditulis Wu Sang Kuang di zaman Dinasti Song (960-1127), walaupun jamur ini sudah dimakan orang di daratan Tiongkok sejak tahun 199 Masehi. Di zaman Dinasti Ming (1368-1644), dokter bernama Wu Juei menulis bahwa jamur shiitake bukan hanya bisa digunakan sebagai makanan tapi juga sebagai obat untuk penyakit saluran nafas, melancarkan sirkulasi darah, meredakan gangguan hati, memulihkan kelelahan dan meningkatkan energi chi. Shiitake juga dipercaya dapat mencegah penuaan dini. Shiitake dalam bahasa Tionghoa disebut “xiānggū” (jamur harum), sedangkan yang berkualitas tinggi dengan payung yang lebih tebal disebut “dōnggū” (jamur musim dingin) atau “huāgū” (jamur bunga) karena pada bagian atas permukaan payung terdapat motif retak-retak seperti mekar. Jamur shiitake tumbuh di permukaan batang kayu yang melapuk dari pohon Castanopsis cuspidata, Castanea crenata (berangan), dan sejenis pohon oak Quercus acutissima. Batang dari tubuh buah sering melengkung, karena shiitake tumbuh ke atas dari permukaan batang kayu yang diberdirikan. Payung terbuka lebar, berwarna coklat tua dengan bulu-bulu halus di bagian atas permukaan payung, sedangkan bagian bawah payung berwarna putih. Jamur beracun spesies Omphalotus guepiniformis terlihat agak mirip dengan jamur shiitake sehingga banyak orang yang tertipu dan keracunan. Jamur shiitake segar atau dalam bentuk kering sering digunakan dalam berbagai masakan di banyak negara. Shiitake segar biasanya dimakan sebelum payung bagian bawah berubah warna. Batang shiitake agak keras dan umumnya tidak digunakan dalam masakan. Sebagian orang lebih menyukai shiitake kering dibandingkan shiitake segar karena shiitake kering mempunyai aroma yang lebih harum. Shiitake kering diproses dengan cara menjemur di bawah sinar matahari dan perlu direndam di dalam air sebelum dimasak. Kaldu dasar masakan Jepang yang disebut dashi didapat dari merendam shiitake kering di dalam air. Di Jepang, shiitake merupakan isi sup miso, digoreng sebagai tempura, campuran chawanmushi, udon dan berbagai jenis masakan lain. Shiitake juga digoreng hingga garing dan dijual sebagai keripik shiitake. Rusia juga memproduksi shiitake dalam jumlah banyak dan dijual sebagai acar dalam kemasan botol. Produksi shiitake sekitar 10% dari total produksi jamur
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |408
ISBN 978-602-98902-1-1
dunia (Chang, 1999). Mempunyai aktivitas natural killer cell, meningkatkan produksi T-cell, anti virus, bisa membantu melawan kanker, melawan bakteri dan jamur juga memilki aktiviats hipokolesterolemik tinggi. Kandungan lentinan dapat meningkatkan sistim kekebalan tubuh atau host defence potentiator (hdp) yg merangsang sel-sel penting dalam sistim pertahanan tubuh. Lentinan melawan virus; Versicular stomatitis, Encephalis, Adenovirus, influenza tipe-A, Herpes dan Myxovirus. Jamur juga dapat meningkatkan resistensi terhadap bakteri, cendawan, parasit penyebab infeksi, serta pengobatan beberapa kanker. Lentinan tertinggi pada bagian batang dekat tudung dan bagian tudungnya. Batang kaya serat, mencegah kanker usus, penurun gula dan kolesterol. Di Jepang, lentinan untuk penghambat virus hiv-AIDS, di AS belum yakin, Hasil peneltian lain, lentinan mempunyai sifat regulasi imunitas antiviral, serta pengaruh cadiovascular pada binatang dan manusia. Khasiat shiitake diantaranya dapat mencegah tekanan darah tinggi , menurunkan kolesterol, melindungi penyakit hati (pengobatan liver seperti hepatitis B dan sirosis dengan menggunakan ekstrak jamur), berpengaruh dalam perlindungan akibat kemoterapi. (Cochran dari Beta Glucan Center , 2002 dalam Widyastuti, 2005;2009). 3. Jamur merang (Volvariella volvacea atau Volvaria volvacea atau Agaricus volvaceus atau Amanita virgata atau Vaginata virgata) atau kulat jeramoe (Aceh) Jamur merang adalah salah satu spesies jamur pangan yang banyak dibudidayakan di Asia Timur dan Asia Tenggara yang beriklim tropis atau sub tropis. Jamur merang (straw mushroom) merupakan jenis jamur yang pertama kali dapat dibudidayakan di Cina sekitar tahun 1650. Pada tahun 1930, jamur merang mulai masuk ke Malaysia dan Filipina. Baru pada tahun 1950, jamur merang mulai dibudidayakan di Indonesia. Tubuh buah yang masih muda berbentuk bulat telur, berwarna cokelat gelap hingga abu-abu dan dilindungi selubung. Pada tubuh buah jamur merang dewasa, tudung berkembang seperti cawan berwarna coklat tua keabu-abuan dengan bagian batang berwarna coklat muda. Jamur merang yang dijual untuk keperluan konsumsi adalah tubuh buah yang masih muda yang tudungnya belum berkembang. Jamur merang dibudidayakan di dalam bangunan rumah kaca yang disebut kumbung. Sesuai dengan namanya, jamur ini memilih merang dan jerami sebagai media alami utama. Menurut penelitian, limbah kapas adalah media yang memberikan hasil produksi dan pertumbuhan yang terbaik bagi jamur merang. Jamur merang dikenal sebagai (warm mushroom), hidup dan mampu bertahan pada suhu yang relatif tinggi, antara 30°-38°C dengan suhu optimum pada 35°C. Spesies yang terkenal dan banyak dibudidayakan adalah jamur merang putih (Volvariella volvacea). Beberapa spesies lain dari genus Volvariella yang dibudidayakan adalah Volvariella bombycina, Volvariella diplasia dan Volvariella esculenta. Budidaya jamur merang relatif tidak sulit. Panen dilakukan terhadap tubuh buah yang belum sepenuhnya berkembang (masih kuncup), meskipun tubuh buah yang telah membuka payungnya pun masih bisa dikonsumsi
walaupun harga jualnya menurun (Sumiati, 2007). Jamur merang mempunyai rasa enak, gurih, dan tidak mudah berubah wujudnya jika dimasak, sehingga digunakan untuk berbagai macam masakan, seperti mi ayam jamur, tumis jamur, pepes jamur, sup jamur dan capcay. Menempati sekitar 16% total produksi dunia. Kandungan antibiotik pada jamur merang berguna untuk mencegah anemia, menurunkan darah tinggi, mencegah kanker. Eritadenin pada jamur merang sebagai penawar racun. Kandungan pati, kalori dan kolesterol yang rendah bermnafaat untuk obat pelangsing, mencegah penyakit jantung. Jamur merang juga mengandung asam folat untuk mencegah. Kandungan senyawa volvatoksin dan flammutoksin j.merang untuk memperkuat jantung (Anonimous, 2006; Surawiria, 2006; Sumiati,2007). 4. Jamur kancing (Agaricus bisporus) Jamur kancing lebih dikenal dengan istilah jamur champignon atau jamur kompos pertama kali dapat dibudidayakan di Perancis pada abad ke-17. Di Eropa konon jamur kancing sudah diketahui tumbuh secara alami di atas tumpukan kotoran kuda sejak zaman kuno di Romawi dan Yunani. Sedangkan jamur kancing yang berwarna coklat muda merupakan hasil mutasi alami di perkebunan milik seorang petani di Pennsylvania di tahun 1926. Budidaya jamur kancing awalnya di gua-gua, baru pada tahun 1975 dibudidayakan dengan sistem rumah jamur. Jamur kancing merupakan jenis jamur yang paling besar diperdagangkan di dunia. Jenis jamur kancing yang umum dibudidayakan adalah yang berwarna putih Agaricus bisporus dan Agaricus botorquis. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai “table mushroom”, “white mushroom”, “common mushroom” atau “cultivated mushroom”. Di Perancis disebut sebagai “champignon de Paris”, tapi penutur bahasa Inggris sering menyebutnya sebagai “champignon” yang dalam bahasa Perancis mencakup segala jenis fungi, termasuk jamur pangan, jamur beracun dan jamur penyebab infeksi. Secara anatomi jamur kancing terdiri dari tudung yang berbentuk seperti payung, di bawah tudung terdapat lamela, tangkai serta akar semu yang disebut rizoid. Anatomi jamur kancing sebenarnya hampir sama dengan jamur merang, perbedaannya hanya jamur merang mempunyai cawan pada bagian bawah tangkai, sedangkan jamur kancing tidak terbentuk cawan tetapi mempunyai cincin pada bagian atas tangkai tepatnya di bagian bawah payung. Jamur kancing berwarna putih putih bersih, sama dengan warna sporanya. Jamur kancing dipanen sewaktu masih berdiameter 2-4 cm. Tubuh buah dewasa dengan payung yang sudah mekar mempunyai diameter sampai 20 cm. Jamur kancing segar bebas lemak, bebas sodium, serta kaya vitamin dan mineral, seperti vitamin B dan potasium. Jamur kancing juga rendah kalori, 5 buah jamur ukuran sedang sama dengan 20 kalori. Jamur kancing dijual dalam bentuk segar atau kalengan, biasanya digunakan dalam berbagai masakan Barat seperti omelet, pizza, kaserol, gratin dan selada. Jamur kancing memiliki aroma unik, sebagian orang ada yang menyebutnya sedikit manis atau seperti daging. Jamur kancing dimasak utuh atau dipotong-
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |409
ISBN 978-602-98902-1-1
potong lebih dulu. Jamur kancing cepat berubah warna menjadi kecoklatan dan hilang aromanya setelah dipotong dan dibiarkan di udara terbuka. Jamur kancing segar sebaiknya cepat dimasak selagi masih belum berubah warna. Di dunia dibudidayakan terbanyak yakni sekitar 38%.. Khasiat: mengandung gizi tinggi dan berbagai enzim yang bermanfaat bagi manusia. Dapat menstimulasi dan meningkatkan metabolisme tubuh. Untuk pengobatan defisiensi vitamin dan mendorong proses metabolisme. Jamur.kancing, mengandung senyawa fenolik dan quinoid yang berkhasiat anti bakteri. Sbg sumber protein nabati, menurunkan kadar kolesterol dan sbg bahan baku kosmetik (Anonimous, 2006; Jaelani, 2008; Hendritomo, 2010). 5.Jamur kuping yang dibudidayakan terdiri dari tiga jenis yaitu jamur kuping putih (Tremella fuciformis), jamur kuping hitam (Auricularia polytricha) dan jamur kuping merah atau jamur kuping Yahudi (Auricularia auriculajudae). Jamur kuping putih (Tremella fuciformis) adalah salah satu spesies dari kelas Heterobasidiomycetes (jelly fungi) dengan tubuh buah seperti berbentuk rumbai-rumbai tidak beraturan, berwarna putih dan sangat bening seperti agar-agar. Dalam bahasa Tionghoa, jamur kuping putih dikenal sebagai kuping perak atau kuping pohon putih. Jamur kuping merah (Auricularia auricula-judae atau Auricularia auricula, Hirneola auricula-judae) adalah salah satu spesies dari kelas Homobasidiomycetes (jelly fungi) dengan tubuh buah berwarna coklat tua kemerahan dan berbentuk mirip sekali dengan daun telinga manusia. Tubuh buah bertekstur kenyal dan di alam bebas tumbuh di batang pohon mati yang basah dan lembab. Jamur kuping merah dalam bentuk kering biasa digunakan dalam berbagai masakan Asia. Jamur kuping hitam (Auricularia polytricha atau Hirneola polytricha) adalah salah
satu spesies jamur dari kelas Heterobasidiomycetes (jelly fungi) dengan tubuh buah berwarna coklat tua setengah bening, berbentuk mangkuk menyerupai daun telinga manusia (Anonimous, 2006; Surawiria, 2006). Jamur kuping hitam biasa digunakan dalam masakan Asia. Tubuh buah menempel di atas batang kayu yang sudah membusuk di tempat basah dan lembab. Sewaktu masih segar terlihat seperti agar-agar (jelly) basah dan bila dikeringkan menjadi mengkerut. Jamur kuping hitam lebih banyak dijual dalam bentuk kering dan harus direndam di dalam air sebelum dimasak. Jamur yang sudah dimasak mempunyai tekstur garing seperti sewaktu memakan tulang muda dan tidak mempunyai rasa. Jamur kuping hitam juga sering digunakan sebagai bahan obat tradisional karena diketahui mempunyai sifat antikoagulan. Tubuh buah tumbuh di permukaan kayu yang sudah lapuk dari pohon yang berdaun lebar. Jamur yang sudah dikeringkan menjadi sangat mengkerut dan harus direndam di dalam air sebelum dimakan. Jamur lebih banyak dijual dalam bentuk kering dan sering digunakan untuk membuat hidangan pencuci mulut. Jamur kuping putih tidak memiliki rasa dan dimakan karena tekstur yang kenyal seperti jelly dan konon bermanfaat bagi kesehatan. Jamur kuping juga sering ditemukan pada masakan kimlo dan tekwan. Khasiat untuk kesehatan : mengencerkan plasma darah, melancarkan /sirkulasi darah, mencegah wasir, menurunkan kadar kolesterol darah, menyembuhkan anemia, menyembuhkan muntah darah, keputihan, menghentikan perdarahan, meningkatkan stamina, mencegah radang usus, radang tenggorokan, memusnahkan karsinogen. Khasiat untuk kecantikan: peremajaan kulit, menghilangkan noda hitam, menghaluskan kulit. Di mancanegara, jamur kuping putih dibuat tablet, kapsul dan bentuk lainnya (Jaelani, 2008; Hendritomo,
Tabel 3. Perbandingan Nilai Gizi dan Asam Amino pada Jamur Konsumsi Kandungan
Jamur Merang
Jamur Kancing
Jamur Shiitake
Jamur Tiram
Jamur Kuping
(Volvariella volvaceae)
(Agaricus bisporus)
(Lentinus edodes)
(Pleurotus ostreatus)
(Auricularia spp)
Protein*)
21,3 - 43,0
23,9 - 34,8
13,4 - 17,5
10,5 - 30,4
4,2 - 7,7
Karbohidrat *)
50,9 - 60,0
51,3 - 62,5
67,5 - 78,0
57,6 - 81,8
79,9 - 87,6
Nilai Gizi :
Lemak *)
0,7 - 6,4
1,7 - 8,3
4,9 - 8,0
1,6 -2,1
0,8 - 9,7
Serat Kasar *)
4,4 - 13,4
8,0 - 10,4
7,3 - 8,0
7,5 - 8,7
11,9 - 19,8
Energi **)
254 - 374
326 - 381
387 - 392
345 - 367
347 - 384
Leusin
248 - 346
329 - 580
348
390 - 610
n.a.
Isoleusin
193 - 261
200 - 366
218
266 - 267
n.a.
Valin
298 - 414
112 - 420
261
309 - 326
n.a.
Komposisi Asam Amino:
Triptophan
86 - 112
91 - 143
TT
61 - 87
n.a.
Lisin
427 - 650
357 - 527
174
250 - 287
n.a.
Treonin
209 - 397
243 - 366
261
264 - 290
n.a.
Phenilalanin
159 - 285
186 - 340
261
216 - 233
n.a.
Metionin
78 - 94
41 - 126
87
90 - 97
n.a.
Histidin
-
0 - 179
87
87 - 107
n.a.
348
306 - 334
n.a.
Arginin TOTAL
1.698 - 2.469
Sumber : Fateta, IPB (2005) *) % berat kering **) kkal/100 g berat kering; n.a.=not available
268 - 529 1.827 - 3.576
Seminar Nasional PATPI 2.239 2011, 15 – 17 September 2011 |410 2.045 - 2.638 n.a.
ISBN 978-602-98902-1-1
2010). III.3. Kandungan Nutrisi/Gizi Jamur dikenal juga sebagai makanan yang bermanfaat buat kesehatan dengan segala kelebihannya, diperkirakan konsumsinya pada tahun-tahun mendatang belum mengalami perubahan berarti, apalagi jika tidak ada gebrakan dalam rangka mendongkrak konsumsi rata-rata perkapita yang masih relatif kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Masalahnya penggunaan jamur olahan relatif sempit dan hanya dikonsumsi sebagai makanan, tidak seperti minyak sawit misalnya, bisa dibuat minyak goreng, margarin, sabun cuci, sabun mandi, “oleochemical” dan sebagainya. Jamur konsumsi mempunyai kelebihan pada kandungan gizi dan asam aminonya Walaupun rasanya hampir menyamai kelezatan daging, kandungan lemak jamur lebih rendah sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi. Jamur mengubah selulosa menjadi polisakrida yang bebas kolesterol sehingga orang yang mengosumsinya terhindar dari risiko terkena serangan stroke. Selain itu, kandungan protein jamur juga lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lain yang juga berasal dari tanaman. Sumiati (2007) telah melakukan analisa nilai gizi dan sm amino pada bberapa jamur konsumsi (jamur merang, kancing, shiitake, tiram dan kuping) dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan untuk melihat perbandingan antara jamur konsumsi dan daging dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan Kandungan Protein Jamur Konsumsi dan Daging
Keterangan grafik : Perbandingan kandungan protein pada Jamur tiram (% b/b) A = 30, jamur kuping B = 12, jamur merang C = 32, jamur shiitake D = 15.5, jamur kancing E = 3.0, daging kambing F = 22, daging sapi G = 22.7, daging domba H = , 20.8, daging babi I= 20.3, daging kerbau J = 21.7, daging ayam K = 23.6. Sedangkan menurut Jansons and Kutti (2004), kandungan protein (dalam%) jamur merang = 1.8, jamur tiram = 27, jamur kuping = 8.4, daging sapi = 21, kentang = 2.0 dan kubis 1.5. Kelezatan rasa daging, sayuran ataupun jamur konsumsi dapat dilihat pada kandungan asam glutamatnya (Tabel 5), ayam = 4.3, ikan salmon = 3.0, tomat = 0.5, jamur shiitake = 2.5, jamur tiram = 0.7 dan jamur kancing = 0.4. Tabel 5. Perbandingan kandungan asam glutamate pada jamur shiitake, tiram, kancing dengan daging ayam, tomat dan ikan salmon
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jamur meskipun mengandung protein dalam jumlah kecil tetapi masih mencukupi kebutuhan. Protein dan lemak yang terkandung dalam jamur tidak setinggi pada daging, namun jamur banyak mengandung nutrisi lainnya. Dengan mengkonsumsi jamur justru dapat membuat badan lebih sehat dibandingkan dengan mengkonsumsi daging yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan. Meskipun dampak negatif akibat daging masih kontroversi dan kemungkinan dampak negatif tersebut juga berkorelasi dengan gaya hidup. Kandungan protein tinggi sangat ideal sebagai sumber makanan karena mengandung semua asam amino esensial yang diperlukan tubuh. Tubuh tidak dapat membuat 8 macam di antara asam amino yang esensial, sehingga ke delapan asam amino tersebut harus berasal dari makanan. Oleh karena itu jamur dapat merupakan makanan penting sebagai sumber asam amino. Kandungan asam amino yang terdapat pada jamur konsumsi, menimbulkan rasa lezat seperti daging, ikan ataupun sayuran. KESIMPULAN 1. Jamur konsumsi sebagai salah satu bahan pangan alternatif untuk pemenuhan gizi yang relatif murah, dapat dikonsumsi anak-anak ataupun orang dewasa , lezat dengan berkhasiat obat , juga dapat sebagai immunomodulator atau peningkat sistim kekebalan tubuh karena adanya senyawa aktif yang dikandungnya yakni beta-glucan. 2. Jamur konsumsi yang banyak di budidayakan di Indonesia adalah jamur tiram (Pleurotus sp), jamur merang (Volvariela volvacea), jamur kuping (Auricularia sp), shiitake (Lentinus sp.), jamur kancing (Agaricus sp.). 3. Jamur konsumsi selain sebagai alternatif pemenuhan gizi , dapat juga sebagai alternatif sumber pendapatan karena tidak memerlukan lahan yang luas dengan modal yang relatif terjangkau, serta bahan baku substrat yang berlimpah. 4. Kandungan protein tinggi sangat ideal sebagai sumber makanan karena mengandung semua asam amino esensial yang diperlukan tubuh. Tubuh tidak dapat membuat 8 macam di antara asam amino yang esensial, sehingga ke delapan asam amino tersebut harus berasal dari makanan. Oleh karena itu jamur dapat merupakan makanan penting
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |411
ISBN 978-602-98902-1-1
5.
6.
sebagai sumber asam amino. Kandungan asam amino yang terdapat pada jamur konsumsi, menimbulkan rasa lezat seperti daging, ikan ataupun sayuran. Walaupun rasanya hampir menyamai kelezatan daging, kandungan lemak jamur lebih rendah sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi. Jamur konsumsi/jamur pangan layak untuk disosialisasikan kepada masyarakat dalam upaya peningkatan asupan gizi, serta dapat menambah penghasilan para petani karena makin banyak masyarakat mengkonsumsi jamur, jamur akan semakin laku di pasaran. Para pelaku usaha makanan berbahan dasar jamur didorong agar lebih inovatif dalam ragam jenis olahannya.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2004. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian, Informasi Komoditas Tanaman Sayuran Daun dan Tunas, Penerbit Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta. Anonimous. 2005. Perbandingan Nilai Gizi dan Asam Amino pada Jamur Konsumsi. Fateta 2005 (PT. MCP – 2006).
Mattila, P., et al. 2001. Contents of vitamins, mineral elements, and some phenolic compounds in cultivated mushrooms. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 49, 2343-8. Mattila, P., et al. 2002. Basic composition and amino acid contents of mushrooms cultivated in Finland. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50, 6419-22. Rajarathnam S, Shashirekha M and Bano Z 1998 Biodegradation and biosynthetic capacities of mushrooms. Present and future strategies. Critical Reviews in Biotechnology 18:91, 236 Shouji N, Takada K, Fukushima K. 2000. Anti Caries Effect of A Component from Shiitake (An Edible Mushroom).Caries Res.Feb 2000, 34(1): 94-98 Sumiati, E.2005. Teknologi Budidaya Jamur Edible. BALITSA-PPP Hortikultura, Lembang.Bandung. Sumiati, E.2007. Teknologi Budidaya dan Penanganan Pascapanen Jamur merang (Volavariella volvavea).BALITSA.No.30. Synytsya, A., Kateřina M., Alla S., Ivan J., Jiří S., Vladimír E., Eliška K., Jana Č.2009.Glucans from fruit bodies of cultivated mushrooms Pleurotus ostreatus and Pleurotus eryngii: Structure and potential prebiotic activity Carb Polymers, Vol 76, Issue 4, 16 May 2009: p.548-556
Anonimous. 2006. Kajian Potensi Jamur Pangan Dan Produk Unus Suriawiria, H, Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu (Shiitake, Kuping, Tiram), Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta, 2006. Olahannya Di Indonesia, Tahun 2001-2005. Pusat Teknologi Bioindustri Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Widyastuti, N. dan Tjokrokusumo, D. 2004. Usaha Peningkatan Bioteknologi BPPT dan PT Marina Cipta Pratama. Jakarta. Kualitas Proksimat Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Radiasi Sinar Gamma (Cobalt 60) Apriyantono, dkk. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Dosis 0.5 kGy dan 1.0 kGy. Resensi Buku Ilmiah, April Penerbit IPB, Bogor 2004.ISBN 979-98404-0-6. Chang, S.T. 1999. World production of cultivated edible and medicinal mush in 1997 with emphasis on Lentinus edodes Widyastuti,N. 2009. Pengembangan Teknologi Bioproses Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Jamur Shiitake (Lentinus (Berk.) Sing. in China. International Journal of Medicinal edodes) sebagai Sumber Gizi dan Bahan Pangan Mushrooms 1: 291-300. Fungsional. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Cochran, K.W. 2002. Beta Glucan Health Center. Bioteknologi Umum. BPPT-Jakarta. 58 hal. http://www.glucan.com/therapy/ therapy.html. Hendritomo, HI. 2010. Jamur Konsumsi Berkhasiat Obat (Jamur Shiitake, Merang, Kancing, Kuping, Lingshi). Lily Publisher Yogyakarta. 148.hal. Jaelani. 2008. Jamur Berkhasiat Obat. Pustaka Obor Populer. Jakarta. 102 hal. Jansson Lisa-Marie, Kutti L. 2004. Micronutrients in edible mushrooms. , Margaretha J (supervisor). Human Nutrition, 22 April 2004. Listiyowati, S.2005. Jamur Pangan Sebagai Alternatif Pengganti Daging Sapi Dan Efeknya Terhadap Budidaya Jamur Di Indonesia. Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. J.carbpol.2005.08.011
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |412
ISBN 978-602-98902-1-1
TERAPI BAHAN PANGAN FUNGSIONAL TERPADU DALAM MINUMAN NUTRAFOSIN BERISI FRUKTOOLIGOSAKARIDA DAN INULIN PADA PENYANDANG DIABETES TIPE-2 [Integrated Functional Food Therapy in Patient with type-2 Diabetes by Nutrafosin Beverage Contained of Fructooligosacharide and Inulin] Tejasari1), Miswar 2), dan Ali Santoso3) 1)
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember 2) Fakultas Pertanian, Universitas Jember 3) Fakultas Kedokteran, Universitas Jember E-mail :
[email protected] atau
[email protected]
ABSTRACT Inulin extracted from Dahlia pinnata root crop using etanol 30%, and fructooligosaccharides (FOS) produced by sucrose fermentation by Aspergillus niger, were added in formulation of Nutrafosin beverage thru wet homogenizing technique. One sachet (150 ml) of the functional beverage consisted of 50 ml FOS, 2 g inulin powder, 2 g Tropicana sweetener, and citric acid flavor was consumed by patient with diabetes type 2 for 21 days. In a randomized single-blind placebo clinical controlled parallel study, patients consumed either tropicana sweetener as placebo (3 g/d) or fructo oligosaccharides (30 g/d) and inulin (1,5 g/d) in Nutrafosin beverage for 21 d each. Average daily intakes of energy, macronutrients, and dietary fiber were as usual habit in both treatments. Food consumption data collected by interviewing using 24 hours recall and food frequency recall method showed that large amount of subject consumed carbohydrate and protein almost two and three times of its recommended, respectively. The Nutrafosin beverage contributed of 15 g FOS, 1.5 g inulin, 68.43% fructose, 0.0032% sucrose, 69.4 % reducing sugar, and 96.5% soluble dietary fibre. The clinical trial test showed that consumption of Nutrafosin beverage for 21 days did not decrease fasting blood glucose (BSN) (Th= -1,463 < Ttab= 2,447), and post prondial (PP) blood glucose (Th= 0,19 < Ttab=2,447) in Diabetes tipe 2 subject whom having over carbohydrate and protein consumption. Key words : fructooligosaccharides, inulin, blood glucose, patient with type 2 diabetes, food consumption pattern, life style
PENDAHULUAN Minuman fungsional difahami sebagai minuman yang mengandung satu atau lebih bahan aktif pangan yang menimbulkan efek fungsional sehat teruji secara ilmiah jika dikonsumsi setiap hari dalam jumlah tertentu. Pengujian efek sehat minuman fungsional dilakukan dalam serangkaian tahapan uji, secara berurutan, yaitu secara kimiawi lalu biokimiawi pada uji hewan coba, dan uji klinis pada manusia. Bahan pangan fungsional yang telah teruji sifat atau karakteristiknya pada uji kimia, dan atau biokimiawi pada sistem in vitro dapat diteruskan pengujiannya secara biokimiawi sistem in vivo pada hewan uji. Setelah uji pada hewan, penegasan efek sehat minuman fungsional baru dapat diujikan pada subjek manusia, setelah prosedur uji dinilai layak oleh komisi etik penelitian kesehatan (etical clearance) dan telah melaksanakan informed consent pada subjek manusia. Berdasar hasil studi ilmiah secara kimia, biokimia pada system in vitro dan in vivo, dan human study, Jepang telah mengklaim sejumlah 12 jenis bahan pangan sebagai bahan pangan fungsional teruji efek sehatnya, antara lain senyawa oligosakarida, seperti fruktooligosakarida dan inulin (fruktan). Beberapa efek fisiologis sehat senyawa oligosaka-
rida, khususnya fruktooligosakarida (FOS), yaitu telah dibuktikan secara ilmiah bahwa konsumsi FOS sebanyak 5 g per hari memperbaiki gangguan pencernaan ( Paineau et al., 2008), dan menurunkan kolesterol darah (Hidaka et al., 1991), menurunkan kadar LDL dan trigliserida darah (TAG) (Causey et al., 2000). Studi Yamashita et al (1984) membuktikan bahwa konsumsi sebanyak 8 g FOS dalam diet pasien diabetes tipe 2 menurunkan gula darah sebanyak 8 persen. Namun studi Alles et al (1999), membuktikan bahwa konsumsi sebanyak 20 gram FOS tidak menurunkan lipida serum dan gula darah dan pada penyandang DM tipe 2 di bawah kontrol medis yang ketat. Selain itu, konsumsi FOS tidak mempengaruhi sekresi insulin. Namun studi pada anjing oleh Respondek et al (2008) membuktikan bahwa sebanyak 10 g FOS yang dikonsumsi selama 6 minggu menurunkan resistensi insulin, dan memodulasi transkripsi gen dalam metabolisme gula dan lipida, walau tidak menurunkan kadar gula darah puasa. Efek fisiologis konsumsi FOS atau inulin terhadap penurunan kadar gula darah ditengarai penyebabnya adalah factor pola konsumsi pangan. Seperti yang dibuktikan oleh Williams dan Jackson (2002) bahwa perbedaan latar belakang pola konsumsi pangan subjek, khususnya pola konsumsi pangan sumber karbohidrat, menyebabkan perbedaan kadar gula darah subjek. Selain itu, perlu diketahui bahwa efek fungsional bahan pangan fungsional, termasuk FOS dan inulin, akan terjadi jika subjek
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |413
ISBN 978-602-98902-1-1
cukup mengkonsumsi pangannya atau tidak berlebihan. Ketidak normalan kadar gula darah sangat dipicu oleh faktor gaya hidup, dan pola konsumsi pangan yang tidak seimbang. Hal tersebut berarti pengaturan asupan zat gizi yang seimbang dapat menentukan timbulnya penyakit Diabetes. Kondisi kadar gula yang tinggi dalam waktu lama harus dihindari karena dapat menimbulkan efek negatif lanjut, seperti kebutaan, gangguan syaraf, stroke, dan penyakit jantung. Oleh karenanya, upaya menurunkan kadar gula melalui asupan bahan pangan aktif yang mampu memodulasi metabolism gula, atau mengurangi resistensi insulin menjadi hal yang bermakna untuk dilakukan. Telaah pemastian efek fisiologis penurunan kadar gula darah dan pengurangan resistensi insulin yang stabil dari asupan inulin dan FOS perlu dilakukan melalui penambahan bukti ilmiah yang memperkuat hasil riset sebelumnya. Banyak studi yang mempelajari efek fisiologis ke dua bahan pangan fungsional tersebut di atas, namun dilakukan secara terpisah. Padahal, menggunakan dua bahan pangan fungsional yaitu inulin dan oligofruktosa secara terpadu bersama dalam satu produk minuman fungsional Nutrafosin dapat lebih memperkuat efek fisiologis sehat yang sinergis terhadap penurunan kadar gula darah. Keterpaduan karakteristik yang sama akan menimbulkan keefektifannya untuk memodulasi metabolism gula yang berakibat pada penurunan kadar gula darah yang lebih nyata. Sementara, karakteristik yang berbeda dari masing-masing senyawa dapat memperkaya efek sehat dari produk minuman nutrafosin tersebut. Studi ini bertujuan untuk memformulasi minuman fungsional nutrafosin berisi bahan pangan frukto oligosakarida (FOS) dan inulin, identifikasi mutu gizinya, serta menelaah secara klinis efek fisiologis konsumsi asupan FOS dan inulin dalam minuman fungsional nutrafosin terhadap penurunan kadar gula darah pada pasien diabetes tipe 2. METODOLOGI Bahan dan alat Bahan utama yang digunakan yaitu umbi akar dari tanaman dahlia (Dahlia pinnata), Aspergillus niger, akuades, gula Tropicana, essens jeruk, agar PDA, yeast extract, arang aktif, CMC, dan maltodekstrin. Bahan kimia utama untuk ekstraksi inulin, produksi FOS, dan analisis mutu minuman NUTRAFOSIN yaitu etanol, NaOH, HCl, resorsinol, sistein, H2SO4, pepsin, pankreatin, dan karbazol. Alat utama yang digunakan yaitu spektrofotometer, water bath, petri dish, tabung erlenmeyer, sentrifus, freeze dryer, alat destilasi, tanur, dan peralatan gelas lainnya, alat peraga food model, dan kuesioner konsumsi pangan. Rancangan Penelitian (Research Design) Penelitian ini terdiri atas lima (5) tahapan utama, yaitu 1) produksi bahan pangan fungsional inulin secara ektraksi kimia, dan FOS secara mikrobiologis; 2) formulasi minuman fungsional nutrafosi , 3) penentuan subjek penyandang disbetes tipe 2 , 4) evaluasi konsumsi pangan dan gaya hidup subjek, dan 5) uji klinis efek fisiologis konsumsi minuman fungsional nutrafosin terhadap
penurunan kadar gula darah pada diabetes tipe 2. Kegiatan produksi FOS dan inulin serta formulasi minuman fungsional nutrafosin adalah kegiatan laboratories (pure experiment). Sedangkan kegiatan survei dilakukan untuk analisis konsumsi pangan dan gaya hidup. Sementara, uji efek fungsional penurunan gula darah setelah konsumsi minuman fungsional nutrafosin merupakan crossectional study. Penentuan Subjek Penyandang Diabetes Tipe 2 Populasi yang diteliti pada kegiatan penelitian ini yaitu penyandang diabetes tipe 2, yaitu yang berdasarkan etiologinya subjek penyandang dibetes dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif hingga yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Penyandang diabetes tipe 2 merupakan target populasi dan subjek merupakan populasi terjangkau (accessible population) yaitu bagian dari populasi target yang sedang menjalani rawat jalan di Poli Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember selama bulan April sampai Juni tahun 2010. Subjek ditentukan berdasarkan kriteria inklusi sebagai berikut : penyandang diabetes tipe 2 berusia 30 – 70 tahun, dengan kadar gula darah dua jam PP ≤ 200 mg/dl, dan tidak merokok . Sebaliknya, kriteria eksklusi sebagai berikut : melakukan olah raga ekstrem, olahragawan, lingkar perut > 102 cm (Pa), >88 cm (Pi), memiliki komplikasi berat (gagal jantung), menderita penyakit yang akan mengganggu pola makan normal (seperti ; demam thyfoid), mengkonsumsi makanan dan minuman prebiotik dan probiotik, pencahar, minuman tradisional (jamu) yang berkhasiat menurunkan kolesterol/trigliserida. Subjek yang diteliti adalah individu penyandang diabetes tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Subjek bersedia ikut serta dan diteliti setelah mendapatkan penjelasan (informed consent) dari peneliti. Subjek ditentukan secara non probability dengan consecutive sampling, yang dilakukan dengan memasukkan setiap pasien sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi, yaitu 16 subjek. Rancangan Percobaan (Experimental Design) Kegiatan uji efek fisiologis minuman fungsional Nutrafosin terhadap penurunan kadar gula darah subjek penyandang diabetes tipe 2 dirancang sebagai a single blind randomized placebo-controlled parallel study. Formula minuman fungsional nutrafosin yang sesuai kebutuhan diet subjek dikonsumsi selama 20 hari sesuai dengan prosedur uji klinis yang telah dinilai layak oleh Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Jember (telah mendapat etical clearance). Kadar gula darah subjek kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dikur pada hari ke –o dan hari ke22. Produksi FOS oleh Aspergillus niger (da Silva et al., 2007 yang dimodifikasi) Produksi FOS dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : 1) persiapan media padat (PDA) untuk menumbuhkan kultur starter A. niger, 2) memperbanyak starter A.niger, dan 3) persiapan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |414
ISBN 978-602-98902-1-1
media cair yang mengandung (per liter) 40 g sukrosa, 28 g yeast extract, CMC 4 g, akuades secukupnya, NaOH 0,5 N, dan HCl 0,5 N untuk mengatur pH 7,0 . Dua puluh lima milliliter media cair diinokulasi dengan 1-2 ose isolate jamur, kemudian diinkubasi dalam shaker-incubator pada suhu 370C selama 24 jam untuk mendapatkan kultur starter. Kultur starter kemudian dimasukkan ke dalam 500 ml media cair dan diinkubasi dalam shakerincubator pada suhu 370C selama 12 dan 24 jam. Kultur jamur disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm, 40C selama 15 menit untuk memisahkan miselia jamur, lalu supernatan dianalisis kandungan FOSnya secara kromatografi (TLC dan HPLC).
Penentuan kadar fruktosa. Pada uji fruktosa reagen seliwanoff dibuat segera sebelum uji di mulai. Pereaksi ini dibuat dengan mencampurkan 3,5 ml resorsinol 0,5% dengan 12 ml HCl 1 N pekat, kemudian diencerkan menjadi 35 ml dengan aquadest. Uji dilakukan dengan menambahkan 100 μl dan 1 ml larutan sampel ke dalam 2 ml pereaksi, kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit. Warna merah cherry menunjukkan adanya fruktosa dalam contoh. Sampel diabsorbansi dengan spektrofotometer pada λ = 500 nm. Untuk kurva standart menggunakan fruktosa murni. Kadar fruktosa dihitung sebagai sepersepuluh konsentrasi absorbansi.
Ekstraksi inulin Umbi dahlia bersih dipotong lalu diblender dengan penambahan air (b:v=1:2), lalu dipanaskan (80-90 o C, 30 menit). Filtrat diambil dan ditambah etanol 30% sebanyak 40% dari volume filtrate, lalu disimpan selama 18 jam, suhu ± - 10 o C. Kemudian, larutan dibiarkan pada suhu ruang (± 2 jam), lalu disentrifugasi (1500 rpm, 15 menit). Endapan (inulin basah 1) ditambah air (1:2) lalu dipanaskan (70 o C, 30 menit). Larutan ini ditambahi karbon aktif 1-2%(b/v). Larutan disaring, diukur volumenya, dan didinginkan pada suhu ruang. Selanjutnya, ditambahkan etanol 30% sebanyak 40% volume larutan. Lalu didinginkan di dalam freezer selama 18 jam. Setelah pendinginan tahap II, larutan dicairkan pada suhu ruang lalu disentrifugasi (1500 rpm, 15 menit) hingga diperoleh endapan putih (inulin basah II). Endapan dikeringkan (50-60 o C , 6-7 jam) lalu dihaluskan hingga diperoleh bubuk inulin alami.
Analisis kadar serat larut air Sebanyak 1 g contoh bebas lemak dimasukkan ke dalam Erlenmeyer (W). ditambahkan 20 ml air destilata dan pH-nya diatur menjadi 1,5 dengan HCl 4 M. selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan dan diagitasi pada suhu 40oC selama 60 menit. Ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6,8 dengan NaOH. Kemudian ditambah 100 mg enzim pankreatin. Ditutup dan diinkubasikan pada 40oC selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH diatur dengan HCl menjadi 4,5, lalu disaring dengan kertas saring yang sudah diketahui berat dan kadar abunya. Dicuci dengan 2x10 ml air destilata. Volume filtrate diatur dengan air sampai 100 ml. kemudian ditambah 400 ml etanol 95% hangat (60oC) dan diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya disaring dengan kertas saring kering yang sudah diketahui berat dan kadar abunya. Residu pada kertas saring dicuci dengan 2x10 ml etanol 78%, 2x10 ml etanol 95% dan 2x10 ml aseton lalu dikeringkan pada suhu 1050C semalam (sampai berat konstan). Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D). Selanjutnya diabukan pada tanur 500oC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I). Kadar serat larut air dihitung dengan rumus berikut : SDF = [(D-I-Blanko) / W] x 100%.
Formulasi minuman nutrafosin Sebanyak 50 ml bahan cair FOS dan sejumlah 2 g bahan inulin dicampur lalu ditambah akuades dan essence serta gula Tropicana dan diaduk secara homogen sehingga menjadi 150 ml minuman Nutrafosin. Minuman placebo tidak diberi FOS dan inulin melainkan diberi akuades, essence, dan gula Tropicana. Minuman Nutrafosin dan placebo diminum pada sore hari yang berjarak minimal 4 jam setelah subjek meminum obatnya. Analisis kadar gula minuman nutrafosin Penentuan kadar gula reduksi. Pelarut yang digunakan mengandung 0,5 g DNS, 0,8 g NaOH, dan 15 g Na K tartrat dalam volume 100 ml. Sejumlah 1 ml sampel (supernatan FOS) dimasukkan ke dalam tabung ependorf, lalu disentrifugasi 5 x 1 000 rpm, 10 menit. Supernatan dituang ke tabung dengan berbagai volume /konsentrasi, dan masing-masing ditambah 1 ml pelarut kemudian divortek, dan dipanaskan (skala 3 ) hingga muncul warna merah jingga. Supernatan berwarna tersebut dibaca pada spektrofotometri ,λ=560 nm. Penentuan kadar Sukrosa. Larutan standar 0,1g glukosa /10 ml. Sampel (50 ul, 70 ul) ditambah 0,5 NaOH, dididihkan pada suhu 100oC selama 10 menit. Setelah dingin, tambahkan 250 ul pelarut 0,1 % resorsinol dan 790 ul 30% HCl , lalu divortek, inkubasi pada suhu 80oC selama 8 menit. Sampel dibaca pada spektrofotometer λ=520 nm.
Analisis kadar inulin Satu ml sampel ditambah 0,2 ml sistein 1,5% dan 6 ml H2SO4 70%, campuran dikocok, lalu ditambah 0,2 ml karbazol 0,12% dalam larutan etanol. Kemudian dipanaskan (60oC, 10 menit). Setelah dingin absorbansinya diukur pada panjang gelombang 560 nm. Kurva standar dibuat dengan menggunakan sampel yang mengandung inulin lebih dari 20 μg/ml. Kadar inulin dihitung sebagai sepersepuluh konsentrasi absorpsi. Konsumsi pangan dan gaya hidup Survei pola konsumsi,tingkat asupan pangan, dan informasi gaya hidup dilakukan dengan mengunjungi rumah pasien untuk mengumpulkan data dengan teknik wawancara berdasarkan kuesioner semi tertutup dengan metode 24-jam food recall dan food frequency recall. Anamnese jenis dan jumlah pangan dilakukan dengan bantuan alat food model. Jumlah berbagai jenis pangan yang dikonsumsi subjek dikonversi ke dalam kalori, dan zat gizi makro, dan serat. Tingakt asupan kalori dibandingkan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |415
ISBN 978-602-98902-1-1
dengan kebutuhan subjek. Kebutuhan kalori subjek : 1) berat badan normal ( Berat Badan Relatif atau BBR < 90%) 40-60 Kal/kg BB; 2) berat badan lebih (BBR 90-100%) 30 Kal/kg BB; 3) berat badan lebih (BBR>110%) 20 Kal/kg BB; 4) obesitas (BBR>120%) 15 Kal/kg BB (Tjokroprawiro,2007). Analisis data Data pola konsumsi pangan dan tingkat asupan zat gizi diolah dan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif, serta disajikan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Efek fisiologis asupan FOS dan inulin dari konsumsi minuman Nutrafosin terhadap kadar gula darah ditentukan berdasarkan hasil analisis keragaman (ANOVA) dan Uji Lanjut (Uji beda Duncan). Analisis statistic yang digunakan adalah uji t-test berpasangan, dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Uji statistic paired samples t-test dilakukan setelah data diuji distribusi nilai yang normal dan data berupa data kuantitatif (Wahana Komputer, 2010). Pengujian hipotesis 1) Ho = tidak terdapat perbedaan kadar parameter yang diuji ; H1= terdapat perbedaan kadar parameter yang diuji; jika Th ≥ T tab maka H 1 diterima dan Ho ditolak; jika Th ≤ T tab maka H1 ditolak dan Ho diterima (Ridwan, 2006). Pengujian hipotesis 2), jika nilai α<0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima (Wahana Komputer, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai gizi minuman nutrafosin Satu gelas (150 ml) minuman Nutrafosin berisi bahan cair FOS sebanyak 150 ml, 2 g bahan inulin, essens orange, dan 3 g gula Tropicana. Berdasarkan analisis laboratorium diketahui bahwa minuman Nutrafosin tersebut mengandung 15 g senyawa FOS dan 1,5 g senyawa inulin. Adapun hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa nilai gizi minuman Nutrafosin tersebut adalah kadar gula reduksi 69,4 %, fruktosa 68,43%, sukrosa 0,0032%, dan kadar serat larut air 96,5%. Konsumsi pangan dan gaya hidup penyandang diabetes tipe 2 Sebagian besar (>80%) subjek diabetes tipe2 mengkonsumsi pangan sumber energi dengan tingkat asupan yang lebih besar dari Angka Kecukupan Gizinya (150% AKG), asupan karbohidrat 193% AKG, asupan protein 303% AKG. Data tingkat asupan zat gizi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar subjek mengkonsumsi karbohidrat dan protein yang berlebihan. Seharusnya asupan zat gizi karbohidrat tidak boleh diberikan lebih dari 50-55% dari total kebutuhan sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal. Asupan karbohidrat yang berlebihan, apalagi jenis karbohidrat sederhana dapat meningkatkan kadar gula darah juga. Demikian juga dengan asupan protein tidak boleh berlebihan, karena direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori perhari.
Walaupun asupan lemak subjek diabetes tipe 2 sebesar 70% AKG, namun yang dipentingkan adalah pembatasan lemak jenuh sangat dianjurkan bagi penderita diabetes karena terbukti dapat memperbaiki profil lipida darah. Kebutuhan lemak yang direkomendasikan adalah pembatasan konsumsi lemak jenuh, maksimal 10% total kebutuhan kalori perhari. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari. Jika kadar kolesterol LDL > 100 mg/dl, maka jumlah kolesterol yang dapat dikonsumsi adalah 200 mg perhari (Soebardi, 2006). Kondisi subjek diabetes tipe 2 di atas sama seperti yang dinyatakan oleh Harrison (2007) bahwa sebagian pasien DM tipe 2 memiliki berat badan berlebih karena disposisi genetik, kelebihan asupan makanan, dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak dan badan keton di darah dan penurunan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak sehingga terjadi resistensi insulin. Kompensasinya terjadi peningkatan pelepasan insulin (hiperinsulinemia). Kompensasi ini tidak akan berjalan lama akibat regulasi yang menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Awalnya toleransi glukosa masih mendekati normal walaupun terjadi resistensi insulin, namun lama kelamaan kompensasi tadi menyebabkan sel beta pankreas tidak dapat menopang terjadinya hiperinsulunemia. Kegagalan kompensasi (karena peningkatan sekresi insulin) ini menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT=impaired glucose tolerance), insulin menurun, glukosa darah meningkat (hiperglikemia), dan menambah parah kondisi subjek Diabetes tipe 2. Data hasil wawancara dan pengamatan subjek diabetes tipe 2 diketahui bahwa gaya hidup sebagian besar subjek sebagai sedentary, atau kelompok aktivitas ringan sehingga tidak terlalu banyak memerlukan energi. Padahal latihan fisik sebagai intervensi nonfarmakologis, dapat meningkatkan kepekaan reseptor insulin di otot dan penambahan jumlah reseptor insulin. Latihan fisik yang dianjurkan yaitu dengan frekuensi latihan 3-5 kali per minggu, intensitas ringan hingga sedang (60-70% maximum hearth rate), selama 30-60 menit, seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda. Penderita diabetes dengan gula darah >250 mg/dl disarankan untuk tidak melakukan latihan jasmani karena dibuktikan bahawa latihan jasmani pada penderita diabetes dapat menyebabkan peningkatan gula darah dan badan keton (Soebardi, 2006). Efek konsumsi minuman nutrafosin pada penurunan kadar gula darah subjek diabetes tipe 2 Bahan pangan fungsional fruktooligosakarida (FOS) yang disebut juga neosugar adalah senyawa sakarida yang terbentuk dari 3-10 molekul fruktosa yang terikat oleh ikatan β-2.1 ke residu fruktosa pada molekul sukrosa. Senyawa FOS yang digunakan studi ini diproduksi secara mikrobiologis oleh Aspergillus niger yang memiliki enzim β-fruktofuranosidase yang mefermentasi sukrosa menjadi molekul fruktosa ke satu hingga ke tiga unit fruktosa oleh ikatan β (2 1) (Toshiaki,1995). Sementara, bahan pangan fungsional inulin yang merupakan oligomer
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |416
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 1. Kadar gula darah puasa BSN dan post prandial (PP) pada subjek Diabetes Tipe 2 kelompok perlakuan dan kontrol (plasebo)
Sub jek Perla kuan
Kadar Gula Darah (mg/dL)
L1 P1 P2 L2 P3 L3 L4 Rerata
BSN 1
BSN 2
PP1
PP 2
126 124 77 132 114 159 112 121
103 187 118 146 110 169 121 136
173 190 192 200 188 157 182 183
180 252 132 216 154 170 176 183
Sub jek kon trol
BSN 1
P4 P5 P6 L5 L6 L7 L8
Kadar Gula Darah (mg/dL)
112 159 146 172 112 122 134 130
Rerata
BSN 2
PP1
PP2
140 122 97 121 118 112 128 102
141 157 200 144 197 177 185 172
190 213 168 173 207 197 181 190
Keterangan : BSN1= gula darah puasa-perlakuan sebelum minum Nutrafosin/placebo PP1=gula darah post prandial-perlakuan sebelum minum Nutrafosin/plasebo BSN2=gula darah puasa-perlakuan setelah minum Nutrafosin/placebo PP2=gula darah post prandial-perlakuan setelah minum nutrafosin/plasebo
Kadar Gula Darah (mg/dl)
(Gambar 1b). Nilai rerata gula darah PP pada kelompok kontrol baik sebelum maupun sesudah konsumsi minuman placebo sesuai dengan standard nilai normal diabetes yaitu < 200 mg/dl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rerata gula darah puasa BSN dan PP pada kelompok kontrol setelah konsumsi minuman placebo lebih rendah daripada nilai rerata kadar gula darah puasa sebelum konsumsi minuman placebo. Namun, hasil uji-t kadar gula darah post prandial setelah konsumsi minuman placebo berbeda tidak nyata.
b)
Sebelum
200
Sesudah
150 100 50 0 BSN
PP
Jenis Kadar Gula Darah
a)
Kadar Gula Darah (mg/dl)
fruktooligosakarida dengan lebih 30-140 molekul fruktosa, yang disebut juga Fruktan, pada studi ini diperoleh melalui ekstraksi etanol 30% dari umbi dahlia (Dahlia pinnata) segar. Karena FOS dan inulin tidak bisa dicerna oleh enzim ptyalin, dan amylase pada manusia sehingga melewati sistem pencernaan hingga ke usus besar dalam keadaan utuh sehingga dapat berfungsi sebagai prebiotik, dan berefek serat (Hoebergs, 1997). SIfat fungsional lainnya yang tengah dibuktikan juga oleh beberapa studi termasuk studi ini tentang kemampuannya menurunkan kadar glukosa darah. Selain itu, senyawa FOS dan inulin bersifat larut air dan berasa manis sehingga sangat cocok digunakan sebagai pengganti sugar dalam minuman Nutrafosin bagi pasien diabetes tipe 2 yang diuji pada studi ini. Pemberian konsumsi minuman Nutrafosin yang merupakan terapi nonfarmakologis lainnya dilakukan selama 21hari dengan tujuan penurunan kadar gula darah pasien diabetes tipe 2 (Soebardi, 2006). Sebenarnya terapi non farmakologi terlebih dahulu, dan jika belum berhasil dapat dilakukan terapi farmakologis (PERKENI, 2006). Namun, pada studi ini selama konsumsi minuman Nutrafosin, subjek diabetes tipe 2 tetap meminum obat yang biasa dikonsumsinya sesuai rekomendasi dokter. Kadar gula darah normal berkisar 60 – 120 mg/100 ml, dan kadar gula darah 2 jam postprandial antara 120-180 mg/dL dikategorikan sebagai toleransi glukosa terganggu (TGT), dan jika lebih dari 180 mg/dL dinilai sebagai kondisi Diabetes melitus (DM) (Keen dan Alberti, 1997). Oleh karena itu, uji klinis laboratorium yang biasa digunakan untuk deteksi diabetes adalah kadar gula urin 170 mg/100 ml (glikosuria), gula darah sekitar 120180 mg/100 ml (hiperglisemik), dan uji toleransi glukosa abnormal. Kondisi glikosuria yang disebabkan karena defisiensi dan resistensi insulin dan menimbulkan keadaan hiperglikemi (kadar glukosa darah > 60-120 mg/dL)(Granner dalam Harper, 1995), disebut diabetes tipe 2. Hasil uji kadar gula darah puasa (BSN) dan kadar gula post prandial (PP) hasil pemeriksaan subjek diabetes tipe-2 kelompok perlakuan dan kelompok control/placebo disajikan pada Tabel 1. Pada subjek diabetes tipe 2 kelompok perlakuan, setelah konsumsi minuman Nutrafosin selama 21 hari, rerata nilai kadar gula puasanya (BSN) meningkat sebesar 12,4 persen. Sementara, nilai rerata kadar gula darah post prandial (PP) tetap atau tidak mengalami perubahan. Nilai rerata gula darah PP baik sebelum maupun sesudah diberikan minuman Nutrafosin sesuai dengan standard nilai normal diabetes yaitu < 200 mg/dl. Pada subjek diabetes tipe 2 kelompok kontrol, nilai rerata kadar gula puasa BSN sebelum konsumsi minuman placebo lebih tinggi dari standard nilai normal diabetes (120 mg/dl). Namun setelah konsumsi minuman placebo selama 21 hari, kadar gula darah puasa mengalami penurunan sebesar 13,52 persen sehingga sesuai dengan standard nilai normal diabetes (< 120 mg/dL) (Gambar 1a). Demikian pula, nilai rerata kadar gula darah PP setelah konsumsi minuman placebo mengalami penurunan sebesar 0,60 persen.
200
Sebelum
150
Sesudah
100 50 0 BSN
PP
Jenis Kadar Gula Darah
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |417
ISBN 978-602-98902-1-1
Gambar 1 Nilai rerata kadar gula darah puasa (BSN) dan post prandial (PP) pada subjek Diabetes tipe 2 kelompok perlakuan (a) dan kontrol (b) Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan kadar gula darah pada subjek diabetes tipe 2 kelompok control, antara lain latihan fisik yang dilakukan sehari-hari. Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani teratur sebanyak 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit bermanfaat untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki kepekaan insulin, sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah (PERKENI, 2006). Faktor lain yang menyebabkan peningkatan dan penurunan gula darah puasa adalah kombinasi dosis dan lamanya pemberian FOS dan inulin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi sebanyak 15 gram FOS per hari dapat menurunkan gula darah namun tidak nyata (Alles et al., 1999). Studi lain membuktikan bahwa konsumsi 18 gram FOS per hari selama 14 hari dapat menurunkan gula darah puasa pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian lainnya membuktikan bahwa konsumsi sejumlah kecil 8 g FOS dalam diet pasien diabetes tipe 2 menurunkan gula darah sebanyak 8 persen (Yamashita et al, 1984). Namun studi Alles et al (1999), membuktikan bahwa konsumsi sebanyak 20 gram FOS tidak menurunkan gula darah dan pada penyandang DM tipe 2 di bawah kontrol medis yang ketat. Berdasarkan penelitian sejak dulu (1911-1931) membuktikan bahwa inulin dapat memberikan efek maksimal pada penyandang diabetes pada dosis tinggi yakni 40-100 gram per hari pada seseorang yang tidak sensitif terhadap hasil fermentasi karbohidrat. Namun, tidak ada keterangan yang menyebutkan mengenai keterangan pola makan, sehingga sulit menentukan penurunan gula darah puasa dikarenakan FOS atau perubahan pola konsumsi (Yamashita et al., 1984). Penelitian ini menggunakan kombinasi FOS dan inulin, dimana FOS berjumlah 50 ml yang setara dengan 13 gram FOS dan rendah inulin sebanyak 1,5 gram agar tidak berefek pada gangguan pencernaan. Faktor penting lain yang mempengaruhi hasil penelitian ini adalah asupan karbohidrat sederhana yang tinggi, dan protein berlebih, pola konsumsi pangan, dan pengawasan terapi. Keterbatasan pengawasan terhadap pola konsumsi pangan subyek dan pengawasan terapi selama 21 hari dapat mempengaruhi ketaatan konsumsi minuman Nutrafosin pada waktunya. Semua pasien yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien dibawah pemberian terapi dari dokter melalui poli penyakit dalam RSD dr. Soebandhi, sehingga kepatuhan minum obat dari pasien sangat dibutuhkan untuk mengetahui dengan jelas efek pemberian FOS dan inulin ini terhadap kadar gula darahnya. Tidak hanya pengawasan kepatuhan minum obat. Pada penelitian terdahulu untuk mengetahui efek pemberian FOS dan inulin maka tingkat konsumsi dijaga antara 1700 hingga 1900 kilokalori, makanan yang dianjurkan adalah makananmakanan yang tidak mengandung FOS seperti pada pisang dan bawang (Peters et al., 2009). Pada pasien diabetes melitus asupan makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang
berserat tinggi, konsumsi karbohidrat tidak diperbolehkan lebih dari 45-65% total asupan atau energi, sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan nutrisi. Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori serta protein yang dibutuhkan sebesar 1020% total asupan energi (PERKENI, 2006). Tingginya asupan karbohidrat yang tanpa atau sedikit disertai serat dapat menyebabkan gula darah pada pasien diabetes semakin tinggi, dan jenis pangan yang dikonsumsi Di Indonesia, belum ada tempat untuk pelaksanaan uji klinis yang mendukung pengelolaan asupan pangan dan gizi yang terkontrol.
KESIMPULAN
Bahan pangan fungsional diproduksi dari bahan alami yaitu inulin dari ektraksi umbi segar dahlia ( Dahlia pinnata) dan FOS dari fermentasi sukrosa dengan bantuan Aspergillus niger. Formula minuman Nutrafosin dibuat dari kombinasi bahan pangan fungsional tersebut yaitu 50 ml bahan cair FOS dan 2 g bahan inulin ditambah dengan 3 g gula Tropicana, dan essens rasa jeruk. Satu gelas minuman Nutrafosin memberi sejumlah 15 g FOS, 1,5 g inulin, gula reduksi 69,4 %, fruktosa 68,43%, sukrosa 0,0032%, dan kadar serat larut air 96,5%. Minuman Nutrafosin dikonsumsi oleh 18 pasien penyandang diabetes tipe 2 selama 21 hari, dan diukur pengaruh konsumsinya terhadap penurunan kadar gula darah subjek diabetes tipe 2. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa terapi dengan konsumsi minuman fungsional Nutrafosin selama 21 hari tidak menurunkan dan tidak menaikkan atau tidak merubah kadar gula darah postpandrial pasien diabetes tipe 2. Namun, konsumsi minuman Nutrafosin berisi kombinasi FOS sebesar 15 gram dan inulin sebesar 1,5 gram selama 21 hari belum dapat menurunkan kadar gula darah pada penyandang Diabetes tipe 2 dengan pola konsumsi pangan yang rendah serat dan karbohidrat sederhana yang berlebih.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (Ditlitabmas) DIKTI yang membiayai penelitian ini melalui Program Hibah Penelitian Strategis Nasional Batch I Tahun 2010 dengan kontrak Nomor 170/SP2H/PP/DP2M/III/2010, tanggal 01 Maret 2010.
DAFTAR PUSTAKA Alles MS, Roos DMN, and Bakx JC. 1999. Consumption of fructooligosaccharides does not favorably affect blood glucose and serum lipid concentration in patients with type 2 diabetes. http://jn.nutrition.org/cgi/search?fulltext=consumption+of fructooligosaccharides+does+not&submit=yes&x=0&y=0. 18 February 2010.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |418
ISBN 978-602-98902-1-1
Causey JL, Feirtag JM, Gallaher DD, Tungland BC, and Slavin JL. 2000. Effects of dietary inulin on serum lipids, blood glucose and the gastrointestinal environment in hypercholesterolemic men. Nutrition Research 20, 191– 201. Da Silva DDI, de Mantilha IM, da Silva CS, Felipe M das G de E. 2007. Improvement of Xylitol production by glucose during cultive of Candida guilliermondii in Sugarcane bagasse hydrolisate. Brazillian Archives Biology & Tech 80(2):207215. Goldberg, I. 1999. Functional Foods : Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. Aspen Pub. Inc. Maryland, USA. Hidaka H, Tashiro Y and Eida T. 1991. Proliferation of bifidobacteria by oligosaccharides and their useful effect on human health. Bifidobacteria Microflora. 10: 65–79.
Sahelian R. 2004. The effect of the daily intake of inulin on fasting lipid, insulin and glucose concentrations in middle-aged men and women. Br J Nutr. 82(1):23-30. Wada T, Ochcuchi M and Iwai Y. 2003. A novel enzyme of Bacillus sp 217 c-11 that produce inulin from sucrose. J Bioscience Biotech Biochemistry, 67(6):1327-1334. Wahana Komputer. 2007. Mengolah data hasil penelitian dengan SPSS17. Jakarta. William CM and Jackson KG. 2002. Inulin and oligofructose: effects on lipid metabolism from human studies. British Journal of Nutrition 87 (Suppl. 2): S261–S264 Yamashita K, Kawai K, Itakura M. 1984. Effects of fructooligosaccharides on blood glucose and serum lipids in diabetic subjects. Nutr Res 4:961–6.
Hoebergs H. 1997. Fructan in foods and food products, ionexchange chromatographic method : collaborative study. J Assoc Off Anal Chem Int 80: 1029-1037. Keen and Alberti, 1997 Paineau D, Payen F, Panserieu S, Coulombier G, Sobaszek A, Lartigau I, Brabet M, Galmiche JP, Tripodi D, Huvelin SS, Chapalain V, Zourabichvili O, Respondek F, Wagner and Bornet FRJ. 2008. The effects of regular consumption of short-chain fructo-oligosaccharides on digestive comfort of subjects with minor functional bowel disorders. British Journal of Nutrition.99: 311–318 PERKENI 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di Indonesia 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. Peters HPF, Hanny MB, Edward H, Melnikov SM and Qvyjt F. 2009. No effect of added b-glucan or of fructooligosaccharide on appetite or energy intake1–3. Am J Clin Nutr 89:58–63. Respondek F, Swanson K, Herpigny F, Belsito K, Vester B, Wagner A, Istasse L, and Diez M. 2008. Effects of shortchain fructo-oligosaccharides on insulin sensitivity and gene expression of fat tissue in obese dogs. Proceedings of the Nutrition Society (2008), 67 (OCE), E160 at Joint meeting of the Socie´te´ Franc¸aise de Nutrition and The Nutrition Society, 6–7 December 2007 Sahelian R. 2004. Effect of oral inulin fiber administration on lipid profile and insulin sensitivity in subjects with obesity and dyslipidemia. Rev Med Chil. 131(6):597-604.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |419
ISBN 978-602-98902-1-1
Potensi Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana) sebagai Bahan Ingredien Fungsional Berkhasiat Imunomodulator Retno Windya Kusumaningtyas dan Noer Laily Pusat Teknologi Bioindustri- BPPT BPPT Gd. II Lt. 15, Jl MH Thamrin 8 Jakarta Email :
[email protected]
ABSTRAK Manggis (Garcinia mangostana) adalah salah satu buah tropis yang berasal dari Asia, digunakan ratusan tahun sebagai bahan obat tradisional. Buah manggis juga dikenal kaya akan antioksidan karena mengandung senyawa aktif golongan xanthon. Xanthon dilaporkan dapat mempertahankan dan meningkatkan sistim imun tubuh. Buah manggis juga banyak diteliti efektivitasnya sebagai anti kanker, anti inflamasi, dan memperbaiki saluran cerna bahkan sebagai anti jerawat. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi ekstrak kulit buah manggis sebagai imunomodulator, yang akan diaplikasikan sebagai ingredien pangan fungsional. Ekstraksi kulit buah manggis dilakukan menggunakan pelarut yang aman penggunaannya dalam bahan makanan, yaitu etanol dan air. Ekstrak kulit buah manggis diukur kadar total fenol dan aktivitas antioksidannya. Pengukuran aktivitas imunomodulatornya dilakukan melalui pengujian stimulasi proliferasi sel limfosit manusia dengan pembanding sebuah produk imunostimulan komersial. Adapun hasilnya diperoleh ekstrak air kulit buah manggis memiliki kadar total fenol tertinggi sebesar 24.17 mg ek. AG/g dengan lama maserasi 20 menit. Sedangkan ekstrak etanol kulit buah manggis memiliki kadar total fenol tertinggi sebesar 72.67 mg ek. AG/g dengan lama maserasi 12 jam. Pada pengujian aktivitas antioksidan diketahui bahwa aktivitas antioksidan ekstrak air kulit buah manggis tertinggi sebesar 6650 mg/g pada lama maserasi 15 menit. Sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak etanol kulit buah manggis tertinggi sebesar 10044 mg/g, pada lama maserasi 1 jam. Pada pengujian aktivitas proliferasi sel, ekstrak air kulit manggis memiliki nilai indeks stimulasi lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak etanol kulit manggis (konsentrasi 1 mg/100 µl), yaitu masing-masing sebesar 1380,67% dan 828,67%. Sedangkan aktivitas proliferasi produk imunostimulan komersial sebesar 1003,33%. Baik ekstrak air maupun ekstrak etanol kulit manggis memiliki aktivitas proliferasi limfosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan mitogen pada konsentrasi 10 ppm dan 20 ppm sebagai senyawa pembanding. Sehingga disimpulkan bahwa ekstrak kulit buah manggis sangat berpotensi sebagai bahan berkhasiat imunomodulator. Pengembangannya sebagai produk pangan fungsional akan memiliki prospek menarik seperti halnya sebagai bahan pengobatan.
Kata kunci : Manggis, imunomodulator, pangan fungsional
PENDAHULUAN Manggis (Garcinia mangostana) adalah salah satu buah tropis yang berasal dari Asia, digunakan ratusan tahun sebagai bahan obat tradisional. Sebagaimana dilaporkan kulit buah manggis (Garcinia mangostana) juga mengandung nutrisi zat besi, serat, kalsium, vitamin C, kalium, vitamin B2, protein, katecin/tannin, fosforus, natrium, vitamin B1,dan niasin. Buah manggis juga mempunyai bahan aktif dengan aktivitas antioksidan yang tinggi, selain vitamin, polisakarida dan stilbenes. Kulit manggis mengandung senyawa aktif yang unik yang disebut xanthone. Xanthone merupakan senyawa kompleks di dalam kulit (pericarp) buah manggis yang berwarna ungu. Strukturnya berbentuk cincin segi enam dengan ikatan karbon kembar untuk memberi kestabilan kepadanya. Lebih 200 xanthone terdapat di alam, dimana 40 diantaranya terdapat dalam buah manggis, terutama di bagian kulit (pericarp) buah manggis. Fungsi xanthones adalah menetralkan radikal bebas dalam tubuh, mempunyai sifat sebagai anti kanker, anti inflamasi, anti mikroba,
memperbaiki saluran cerna, anti jerawat. menurunkan kolesterol dan meningkatkan sistem imun tubuh. Pada penelitian ini digunakan bahan kulit buah manggis (Garcinia mangostana) karena diduga memiliki komponen bioaktif yang dapat meningkatkan sistem imun atau sebagai imunomodulator, yang akan diaplikasikan sebagai ingredien pangan fungsional. Ekstraksi kulit buah manggis dilakukan menggunakan pelarut yang aman penggunaannya dalam bahan makanan, yaitu etanol dan air. Optimasi kadar total fenol dan aktivitas antioksidannya ditentukan berdasarkan lamanya waktu maserasi pada proses ekstraksi. Pengukuran aktivitas imunomodulatornya dilakukan melalui pengujian stimulasi proliferasi sel limfosit manusia dengan pembanding sebuah produk imunostimulan komersial.
METODOLOGI Bahan dan alat Bahan yang dipakai kulit buah manggis. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol, akuades dan DMSO. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis antioksidan adalah
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |420
ISBN 978-602-98902-1-1
larutan DPPH 0,2 mM, buffer Tris-HCl, larutan standar 3-tert-butyl4-hydroxyanisole 5 mM, dan metanol 80%. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis total fenol adalah larutan standar asam galat 5 mg/ml, larutan Na2CO3 20%. Sedangkan untuk analisis proliferasi limfosit digunakan darah seorang responden, RPMI basal, RPMI tumbuh ( 45 ml RPMI basal+ 5ml serum FBS+ 0,5 ml antibiotik penicillin-streptomisin), Ficoll-hypaque, mitogen concavalin A, LPS, pewarna biru trifan, EDTA 10%, MTT 0,5% dan 0,04N HCl-isopropanol. Alat-alat yang diperlukan antara lain spektrofotometer, vortex, mikropipet, stopwatch, tabung eppendorf 2 ml, tabung falcon 5 ml, tabung sentrifus 15 ml, tabung venoject, jarum suntik butterfly no. 23 sekali pakai, laminar flow, sentrifus, inkubator CO2, hemasitometer, lempeng mikrotiter 96 sumur dan mikroplate reader (ELISA reader).
Optimasi proses ekstraksi menggunakan pelarut air Kulit buah manggis sebanyak 9,375 gr (setara 6 g bk) dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml lalu ditambahkan air sebanyak 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil agar tidak teroksidasi. Kemudian dipanaskan sampai mendidih dan dibiarkan selama 5, 10, 15 dan 20 menit. Filtrat dipisahkan secara sentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh difiltrasi dengan kertas saring. Filtrat dievaporasi menggunakan rotary vacum evaporator pada suhu 80 0C hingga kering. Kemudian ekstrak kering ditambahkan dengan DMSO sebagai pelarut hingga volume akhir menjadi 6 ml. Sehingga diperoleh ekstrak dengan konsentrasi 1 g/ml.
Optimasi proses ekstraksi menggunakan pelarut etanol Sampel kulit buah segar dibersihkan, kemudian dihaluskan dengan mortar. Sebanyak 9,375 gr (setara 6 g bk) sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmayer 250 ml. Setelah ditambahkan 100 ml etanol, kemudian dimaserasi dengan menggunakan shaker pada kecepatan 240 rpm selama selama 1, 6, 12, dan 24 jam pada suhu ruang, setelah itu larutan difiltrasi dengan kertas saring. Endapan dimaserasi ulang dengan menambahkan 100 ml etanol dengan waktu yang sama pada kecepatan 240 rpm dan suhu 40 0C. Endapan dimaserasi kembali dengan cara yang sama sebanyak 3 kali pengulangan. Filtrat pertama, kedua, dan ketiga sebanyak 300 ml, digabung dan dipekatkan menggunakan rotary vacum evaporator hingga kering pada suhu 40 0C. Kemudian ekstrak kering ditambahkan dengan DMSO hingga volume akhir menjadi 6 ml. Sehingga diperoleh ekstrak dengan konsentrasi 1 g/ml. Konsentrasi sampel hasil ekstraksi ditentukan dengan menghitung bobot volume akhir ekstrak terhadap berat sampel yang digunakan yaitu sekitar 6 g per 6 ml untuk ekstrak air maupun ekstrak etanol.
Penentuan kadar total fenol
Larutan standar asam galat (5 mg/ml) dibuat dengan melarutkan 0,25 gram asam galat dalam 5 ml etanol 96% dan digenapkan dengan akuades sampai volume 50 ml. Larutan Na2CO3 20% dibuat dengan melarutkan 5 gram Na2CO3 ke dalam 20 ml akuades, sambil dipanaskan hingga mendidih. Setelah didiamkan selama 24 jam, disaring dan digenapkan dengan akuades sampai dengan 25 ml (Waterhouse, 1999). Kurva kalibrasi asam galat dibuat dengan melakukan pengenceran berseri larutan standar asam galat hingga diperoleh konsentrasi 300, 400, 500, 600, dan 700 mg/l asam galat. Masingmasing konsentrasi diatas, dipipet 50 µl lalu ditambahkan 3,95 ml akuades dan dilarutkan ke dalam 250 µl larutan Folin-Ciocalteu. Campuran tersebut divorteks sampai homogen. Setelah didiamkan selama 8 menit, kemudian ditambahkan 750 µl larutan Na2CO3, dan divorteks sampai homogen. Setelah didiamkan selama 2 jam pada suhu kamar lalu diukur serapannya pada panjang gelombang 765 nm. Untuk pengukuran sampel, sebanyak 100 µl ekstrak diencerkan dengan DMSO sesuai dengan konsentrasi pengenceran yang dibutuhkan. Setelah itu, ditambahkan reagen seperti standar di atas. Sebagai blanko digunakan campuran akuades dan reagen. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Kandungan total fenol dihitung dengan memasukkan nilai serapan sampel pada panjang gelombang 765 nm kedalam persamaan garis linear yang diperoleh dari pembuatan kurva standar asam galat, yaitu: y = ax + b. Hasil dinyatakan dalam satuan mg ekuivalen asam galat/ gram ekstrak (mg ek – AG/gram). Di mana kadar asam galat sebagai sumbu x dan absorbansinya sebagai sumbu y. Kadar total fenol dalam ekstrak uji dinyatakan sebagai x.
Penentuan aktivitas antioksidan Uji aktivitas antioksidan dilakukan sesuai dengan metode Mimura (2003). Dimana, larutan DPPH 0,2 mM dibuat dengan melarutkan 19,7 mg 1,1-difenil-2-picrylhydrozyl (DPPH) dalam 250 ml etanol absolut dan disiapkan setiap kali sebelum digunakan. Larutan buffer 100 mM Tris-HCl dibuat dengan melarutkan 12,1 g Tris dalam 800 ml aquades dan pH diatur sampai 7,4 dengan HCl 1N, lalu volume digenapkan menjadi 1000 ml. Larutan standar BHA 5 mM dibuat dengan melarutkan 90 mg 3-tert-butil-hydroxyanisole dalam 100 ml etanol absolut. Larutan standar tersebut diencerkan berseri pada konsentrasi 50-500 µM dengan menggunakan etanol. Buffer Tris-HCL 100mM sebanyak 800 µl ditambahkan ke 200 µl larutan sampel (atau standar BHA). Kemudian ditambahkan dengan 1 ml larutan DPPH 0,2 mM lalu divortex. Setelah didiamkan pada suhu kamar selama 20 menit dalam ruang gelap, absorbansi diukur pada 517 nm. Aktivitas antioksidan dihitung sebagai setara BHA yang diperoleh dari korelasi dengan standar BHA. Aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai persentase menurut rumus berikut:
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |421
ISBN 978-602-98902-1-1
Aktivitas antioksidan (%) = AB1 – ( As − AB2 ) AB1
x 100
dimana : AS = absorbansi sampel, AB1 = absorbansi blanko 1, AB2 = absorbansi blanko 2
Isolasi limfosit dan pengukuran aktivitas imunostimulan menggunakan metode MTT Sel limfosit diisolasi dari darah seorang responden dengan sentrifugasi pada 1500 rpm selama 5 menit pada suhu 25ºC. Suspensi limfosit yang terdapat dalam lapisan buffy coat dipisahkan lagi berdasarkan perbedaan densitas larutan ficollhypaque. Lapisan atas yang berisi sel limfosit, monosit dan platelet dicuci 2 kali dengan media basal dan disentrifugasi pada 1500 rpm selama 10 menit, sehingga limfosit dalam presipitat terpisah dari platelet, monosit, plasma dan ficoll. Jumlah sel dihitung dengan pewarnaan biru trifan pada hemasitometer. Suspensi limfosit dengan jumlah sel hidup di atas 95% tersebut disiapkan (∑sel dalam setiap ml suspensi minimal 0,5 x 106).
Penetapan kandungan total fenol dilakukan berdasarkan reaksi antara senyawa fenol dengan pereaksi fosfomolibdat-fosfotungstat (larutan Folin-Ciocalteu) dan akan memberikan warna kuning dan dengan penambahan alkali akan menghasilkan warna biru. Setelah itu diukur serapannya pada panjang gelombang 765 nm. Kandungan total fenol dalam bahan dibandingkan terhadap standar asam galat (AG). Karena metode ini mengukur semua senyawa fenol, pilihan asam galat sebagai standar didasarkan atas ketersediaan substansi yang stabil dan murni. Selain itu asam galat lebih murah dibandingkan dengan senyawa standar lainnya. Kurva kalibrasi dibuat setiap kali pengukuran sampel. Setiap konsentrasi asam galat dilakukan tiga kali pengulangan (triplo). Nilai r atau koefisien determinasi merupakan angka yang nilainya berkisar dari 0 sampai 1 dan menunjukkan seberapa dekat nilai perkiraan untuk analisis regresi yang mewakili data sebenarnya. Analisis regresi paling dapat dipercaya jika nilai r nya sama dengan atau mendekati nilai 1, yang berarti nilai-y perkiraan dan nilai-y aktual hampir sama. Apabila r mendekati nilai 0, maka persamaan garis yang didapat tidak mampu memprediksi nilai-y. Dari hasil pengukuran kurva kalibrasi diperoleh persamaan garis kurva yaitu 0,001x + 0,041, R2 = 0,998, dan nilai r sebesar 0,998. Nilai r tersebut lebih dari 0,990 atau mendekati 1, sehingga kurva standar yang diperoleh dapat digunakan dalam perhitungan kadar total fenol. Tabel 1. Absorbansi kurva standar asam galat
Ekstrak air dan etanol kulit manggis disiapkan pada konsentrasi 1 g/ml dalam larutan DMSO. Filtrat ini disterilkan dengan penyaringan membran 0,22 µm dan 0,45 µm. Kemudian dibuat pengenceran dengan konsentrasi akhir 1 mg/100 µl, 0,75 mg/100 µl, 0,5 mg/100 µl. Sebagai pembanding digunakan produk imunostimulan komersial dengan konsentrasi yang sama. Sebagai kontrol positif digunakan mitogen LPS dan concanavalin A pada konsentrasi 10 dan 20 ppm.
Indeks stimulasi (%)= Abssampel/Abskontrol x100%.
Konsentrasi (mg/l)
Rata-rata Absorbansi
1
0
0,004
2
300
0,358
3
400
0,463
4
500
0,555
5
600
0,679
6
700
0,774 Kurv a St andar Asam Galat
0,9
y = 0,001x + 0,0418 R2 = 0,9982
0,8
Absorbansi (765 nm)
Sumur lempeng mikro diisi dengan sampel lalu diinkubasi selama 72 jam dalam inkubator CO2. Setelah 68 jam, suspensi limfosit ditambah dengan 0,5% larutan MTT lalu diinkubasi kembali dalam inkubator CO2 selama 4 jam. Kemudian ditambahkan 0,4N isopropanol-HCl dan didiamkan pada suhu ruang selama 15 menit. Pembacaan sumur lempeng menggunakan alat microplate ELISA reader pada panjang gelombang 570 nm. Aktivitas imunostimulan dinyatakan dalam Indeks Stimulasi yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
No
0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
200
400
600
800
Kon sen t r a si A sa m Ga l a t (m g/l )
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |422
ISBN 978-602-98902-1-1
Gambar 1. Kurva standar asam galat
Pada penentuan kadar total fenol dengan reagen Folin Ciocalteu diperoleh data bahwa kadar total fenol ekstrak air kulit buah manggis adalah sebesar 20.37, 21.17, 24.07 dan 24.17 mg ek. AG/g ekstrak masing-masing pada lamanya maserasi 5, 10, 15 dan 20 menit. Sehingga dapat diketahui bahwa pada ekstraksi dengan pelarut air selama 20 menit, diperoleh ekstrak kulit buah manggis dengan kadar total fenol yang tertinggi (Tabel 2).
Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol pada bahan kulit buah manggis menghasilkan ekstrak dengan kadar total fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air bahan yang sama. Pada pengujian aktivitas antioksidan diketahui bahwa aktivitas antioksidan ekstrak air kulit buah manggis sebesar 5172, 5335, 6650, dan 5696 mg/g masing-masing pada lamanya maserasi 5, 10, 15 dan 20 menit. Sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak etanol kulit buah manggis sebesar 10044, 7420, 7776, dan 6175 mg/g, masing-masing pada lamanya maserasi 1, 6, 12, dan 24 jam. Sehingga dapat diketahui bahwa pada ekstraksi dengan pelarut etanol selama 1 jam, diperoleh ekstrak kulit buah manggis dengan aktivitas antioksidan yang tertinggi seperti tercantum pada Tabel 3.
Tabel 2 Kadar total fenol ekstrak air dan ekstrak etanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana) menurut lamanya waktu maserasi Kadar total fenol bahan tanaman (mg ek. AG/g eks)
Ekstrak air Kulit manggis
Menit 5
10
15
20
20.37
21.17
24.07
24.17
Kadar total fenol bahan tanaman (mg ek. AG/g eks)
Jam
Ekstrak ethanol Kulit manggis
1
6
12
24
44.53
61.47
72.67
68.67
Sedangkan kadar total fenol ekstrak etanol kulit buah manggis adalah sebesar 44.53, 61.47, 72.67, dan 68.67 mg ek. AG/g ekstrak masing-masing pada lamanya maserasi 1, 6, 12, dan 24 jam. Sehingga dapat diketahui bahwa pada ekstraksi dengan pelarut etanol selama 12 jam, diperoleh ekstrak kulit buah manggis dengan kadar total fenol yang tertinggi (Tabel 2).
Tabel 3 Aktivitas antioksidan ekstrak air dan ekstrak etanol kulit buah manggis Aktivitas antioksidan bahan tanaman (mg/g BHA) Ekstrak air Kulit manggis
Menit 5
10
15
20
5172
5335
6650
5696
Aktivitas antioksidan bahan tanaman (mg/g BHA) Jam
Ekstrak ethanol Kulit manggis
1
6
12
24
10044
7420
7776
6175
80.0
5 menit
12000
70.0
10 menit
10000
60.0
15 menit
Kadar TF 50.0 (mg.ek AG/g 40.0 ekstrak) 30.0
20 menit
1 jam 6 jam
20.0
12 jam
10.0
24 jam
0.0
5 menit 10 menit 15 menit
Aktivitas antioksidan (mg/g)
8000
20 menit
6000 1 jam
4000 2000
6 jam 12 jam 24 jam
0
ekstrak air dan ekstrak etanol kulit manggis
Gambar 2. Kadar total fenol pada ekstrak air dan ekstrak etanol kulit buah manggis
Gambar 3. Aktivitas antioksidan ekstrak air dan ekstrak etanol kulit buah manggis
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |423
ISBN 978-602-98902-1-1
Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol pada bahan kulit buah manggis menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air bahan yang sama. Konsentrasi ekstrak merupakan salah satu perbandingan terhadap jumlah komponen bioaktif yang berhasil diperoleh dalam proses ekstraksi. Meskipun demikian, jenis komponen bioaktif yang terekstrak tersebut tidak diketahui secara jelas dan spesifik karena tidak dilakukan proses identifikasi. Adanya komponen fenolik dalam ekstrak dapat diketahui dengan analisis kadar total fenol menggunakan larutan Folin-Ciocalteu. Kemudian membandingkan hasil yang diperoleh dari masing-masing pelarut. Jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi memiliki pengaruh besar terhadap besarnya kadar total fenol dan aktivitas antioksidan yang didapatkan. Ekstraksi senyawa fenol biasanya menggunakan pelarut organik, seperti metanol, etanol, dan aseton. Pada banyak penelitian telah terbukti bahwa pelarut senyawa fenol terbaik adalah aseton, diikuti metanol dan selanjutnya adalah etanol. Kadar air pelarut tersebut juga mempengaruhi besar fenol yang terlarut. Semakin besar kadar pelarut, semakin besar pula kadar total fenol yang didapat. Persentase kadar setiap pelarut untuk mendapatkan kadar total fenol yang optimum adalah sebesar 80% (Sripad et al. 1982). Pada penelitian ini, ekstraksi kulit buah manggis (Garcinia mangostana) dilakukan dengan menggunakan dua jenis pelarut yaitu etanol dan air. Penggunaan kedua macam pelarut tersebut dimaksudkan untuk mengetahui ekstrak dari pelarut mana yang paling baik untuk mendapatkan polifenol yang tertinggi. Pelarut etanol digunakan karena memiliki polaritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan air sehingga lebih banyak melarutkan komponen polar. Sedangkan pelarut air umum digunakan pada kehidupan sehari-hari serta mudah diaplikasikan. Umumnya, komponen terlarut yang dapat diperoleh dengan menggunakan pelarut air dan etanol adalah komponen fenolik (Shahidi et al. 1995). Berdasarkan data yang diperoleh, ekstrak dengan pelarut etanol memiliki kadar fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut air. Dengan demikian, ekstraksi dengan pelarut etanol seperti yang dilakukan pada penelitian ini diduga mampu mengekstrak komponen polifenol dari sampel kulit buah manggis (Garcinia mangostana). Pelarut organik (etanol, aseton) mempengaruhi struktur parsial dari molekul protein, melemahkan ikatan hidrofobiknya, dan secara langsung berinteraksi dengan gugus bermuatan dari permukaan molekul protein. Hal ini merusak lapisan air dari molekul dan mengakibatkan denaturasi protein yang akan mempengaruhi proses ekstraksi (Sikorski et al. 2001).
lamanya waktu ekstraksi. Senyawa fenol rentan mengalami oksidasi pada temperatur yang tinggi, sehingga mengalami degradasi. Akibatnya kadar total fenol maupun aktivitas antioksidan yang terukur menjadi lebih rendah. Ekstraksi yang terlalu lama dapat memberikan kesempatan senyawa fenol untuk teroksidasi lebih banyak (Vernerris dan Nicholson, 2006). Dari hasil penentuan aktivitas antioksidan, diketahui bahwa ekstrak etanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana) memiliki aktivitas dalam menangkal radikal bebas DPPH yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak airnya (Tabel 5 dan gambar 7). Dengan demikian dapat diketahui bahwa senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana) memiliki aktivitas antioksidan yang cukup baik. Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran kadar total fenol dan aktivitas antioksidan pada kulit buah manggis yaitu: cara penanaman, bagian tanaman, musim tumbuh, kondisi lingkungan, perlakuan hortikultura, geografis penyebaran, kondisi penyimpanan hasil panen, serta prosedur pengolahan (Del Caro et al. 2005). Uji respons proliferasi limfosit didasarkan pada proses perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis sebagai respons terhadap antigen atau mitogen. Pada proses tersebut dihasilkan sel-sel efektor aktif yang berperan pada respons spesifik atau non spesifik untuk eliminasi mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya. Proliferasi merupakan fungsi dasar biologis limfosit dan respons stimulasi secara in vitro dapat menggambarkan fungsi limfosit. Aktivitas sel limfosit T dan sel limfosit B yang berproliferasi ini dapat diukur melalui indeks stimulasi (Zakaria et al. 1996). Penggunaan lipopolisakarida (LPS) dan concanavalin A (Con A) dalam media kultur limfosit berfungsi sebagai mitogen (senyawa pembanding) yang mampu menstimulasi proliferasi sel limfosit B dari LPS dan sel limfosit T dari Con A (Zakaria et al. 1996). Pengujian aktivitas imunostimulan dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan sel limfosit manusia. Penambahan larutan MTT (3[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide) pada akhir pengujian bertujuan untuk mengetahui jumlah sel yang hidup (Zakaria et al. 2007). Nilai absorbansi akan linear dengan jumlah sel hidup, atau dengan kata lain semakin tinggi absorbansi yang dihasilkan maka semakin tinggi pula jumlah sel hidup yang terdapat di dalam kultur tersebut.
Faktor ekstraksi lainnya yang ikut mempengaruhi kadar total fenol dan aktivitas antioksidannya adalah temperatur ekstraksi dan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |424
Konsentrasi ekstrak
ISBN 978-602-98902-1-1
LPS20
123.33
LPS10
81.33
Con20
292.67
Con10
190.67
Stm 0,5 mg/100µl
671.67
Stm 0,75 mg/100µl
855.50
Stm 1 mg/100µl
1003.33
MgA 0,5 mg/100µl
661.67
MgA 0,75 mg/100µl
931.67
MgA 1 mg/100µl
1380.67
MgE 0,5 mg/100µl
728.33
MgE 0,75 mg/100µl
766.00
MgE 1 mg/100µl
828.67
0
200
400
600
800 1000 1200 1400 1600
Indeks stimulasi (%)
Gambar 4 Indeks stimulasi ekstrak etanol (MgE) dan ekstrak air (MgA) kulit manggis dibandingkan imunostimulan komersial dan mitogen.
Dari hasil pengujian respons proliferasi (Gambar 4) ekstrak air kulit manggis memiliki nilai indeks stimulasi tertinggi pada konsentrasi 1 mg/100 µl ekstrak yaitu sebesar 1380.67%, diikuti dengan ekstrak air kulit manggis pada konsentrasi 0.75 mg/100 µl dengan nilai indeks stimulasi limfosit sebesar 931,67%, dan ekstrak etanol kulit manggis pada konsentrasi 1 mg/100 µl dengan nilai indeks stimulasi sebesar 828,67%. Pada konsentrasi 1 mg/100 µl, ekstrak air kulit manggis memiliki indeks stimulasi limfosit yang tertinggi diikuti dengan produk imunostimulan komersial dan ekstrak etanol kulit manggis, yaitu masing-masing sebesar 1380.67%, 1003.33% dan 828.67%. Baik ekstrak air, ekstrak etanol kulit manggis maupun produk imunostimulan komersial pada semua konsentrasi yang diujikan, memiliki indeks stimulasi proliferasi limfosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan mitogen yaitu lipopolisakarida dan concanavalin A pada konsentrasi 10 ppm dan 20 ppm sebagai senyawa pembanding. Pengujian ekstrak etanol dan air kulit manggis terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro telah menggunakan beberapa taraf konsentrasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi peningkatan dosis konsumsi dengan efek respon proliferatif sel yang dihasilkannya dan melihat respons penambahan ekstrak terhadap proliferasi limfosit, sehingga dapat digunakan untuk menentukan dosis efektif. Jumlah sel limfosit meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol dan air pada kulit manggis tidak bersifat toksik pada dosis yang diujikan. Zakaria et al. (1996) menyatakan bahwa suatu komponen dapat dikatakan tidak toksik bila dapat memacu pertumbuhan atau proliferasi sel limfosit. Peningkatan jumlah sel pada pengujian mengindikasikan bahwa di dalam ekstrak etanol dan air pada kulit manggis terdapat komponen yang dapat memicu proliferasi sel limfosit. Kulit manggis mempunyai potensi sebagai imunostimulan yaitu membantu terbentuknya imunitas dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Peningkatan respons proliferasi limfosit dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, karena sifat fenol dari tanaman yang mudah terikat pada protein untuk membentuk kompleks melalui ikatan hidrogen. Hal ini memungkinkan pengikatan senyawa fenol pada kulit manggis pada protein reseptor membran limfosit sehingga mengaktivasi sistem enzim membran yang berperan dalam proliferasi (Roitt, 1991). Faktor lainnya yang berpengaruh adalah sifat antioksidatif fenol sehingga dapat melindungi limfosit dari molekul oksigen reaktif, juga senyawa aktif yang lebih banyak tertarik oleh pelarut ekstraksi yang dapat membantu terjadinya proliferasi sel darah putih (Zakaria et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, ekstraksi menggunakan pelarut air pada kulit manggis merupakan pelarut yang paling baik untuk mendapatkan kemampuan imunostimulan dibandingkan dengan pelarut etanol. Hal ini tidak berhubungan dengan kadar total fenol dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi terdapat pada ekstrak etanolnya. Wagner (1999) melaporkan bahwa golongan senyawa fenolik, seperti flavonoid, tanin, derivat, fenilpropan dan senyawa fenol sederhana lainnya memiliki aktivitas yang berkaitan sebagai imunomodulator, baik dengan reaksi imunobiokimia (sistem komplemen) ataupun reaksi biokimia intrasel. . Ekstraksi dengan pelarut air pada kulit manggis digunakan dengan tujuan untuk mendekati keadaan nyata setiap harinya seseorang mengkonsumsi buah-buahan tersebut. Sampel dari ekstrak etanol dan ekstrak air kulit manggis pada semua taraf konsentrasi dapat memicu sel untuk berproliferasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks stimulasi proliferasi limfosit yang lebih tinggi dari lipopolisakarida dan concanavalin A pada konsentrasi yang digunakan .
KESIMPULAN Dari penelitian ini diketahui bahwa untuk mendapatkan ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana) yang berkadar total fenol yang tinggi bisa dilakukan ekstraksi air dengan lama maserasi 20 menit dan ekstraksi etanol dengan lama maserasi 12 jam. Sedangkan untuk mendapatkan ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana) yang beraktivitas antioksidan yang tinggi bisa dilakukan ekstraksi air dengan lama maserasi 15 menit dan ekstraksi etanol dengan lama maserasi 1 jam. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa senyawa aktif pada kulit buah manggis (Garcinia mangostana) yang berperan sebagai imunomodulator dapat terekstrak dengan baik dengan pelarut air. Senyawa aktif yang bersifat polar ini nanti akan memudahkan aplikasinya sebagai bahan pangan fungsional, karena sifatnya yang tidak toksik. Walau demikian masih memerlukan pengujian pada level pre klinis untuk memastikan khasiat dan keamanannya.
DAFTAR PUSTAKA
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |425
ISBN 978-602-98902-1-1
Del Caro A, et al. 2005. Influence of Technology, Storage and Exposure on Component of Extra Virgin Olive Oil (Bosana cv) From Whole and De-Stone Fruits. Department od Science and Biotechnology Italy. Mimura A. 2003. Protocols for measurement of antioxidative activities. J Agric.Food Chem. 42: 629-632 Roitt, I. M. 1991. Essensial Immunology. Blackwell Scientific Publications. Oxford, London, Edinburgh, Boston, Melbourne, Paris. Shahidi, F. (ed.). 1997. Natural Antioxidant: Chemistry, health effects and applications. AOAC Press, Illinois. Shahidi, F., Marion, Naczk. 1995. Food Phenols, Source, Chemistry, Effects, Application. Technomic Publishing Corp. Inc. Landcaster, Bassel. Sikorski, Zdzistaw E. 2001. Chemical and Functional Properties of Food Proteins. Technomic Publishing Corp. Inc. Landcaster, Bassel. Sripad G., Prakash V., Narasinga RS. 1982. Extractability of polyphenols of sunflower seed in various solvent. J.Biosci., Vol. 4, Number 2, June, p. 145-152 Vernerris W, Nicholson R, 2006. Phenolic Compound. Netherlands: Springer. p. 88-90. Wagner, H. 1999. Immunomodulatory Agent For Plant. Berlin. Germany. Waterhouse, A. 1999, Folin - Ciocalteau Micro Method For Total Phenol In Wine, Department Of Viticulture & Enology University Of California, Davis, 152178. Zakaria, F.R. 1996. Sintesis Senyawa Radikal dan Elektrofil dalam dan oleh Komponen Pangan. Dalam Prosiding Seminar dan Sistem Pangan, Reaksi Biomolekul, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalannya. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi dengan Kedutaan Besar Prancis, Jakarta. Fransiska, RZ, Sedarnawati dan Ratih Dewantin(eds.) 4 April 1996, Bogor. Zakaria, F.R., D. Nur Faridah, S. Sandjaja dan S. MadaniyahPramudya. 1996. Hubungan Antara Status Imunologi dan Pola Konsumsi Makanan Jajanan Populasi Remaja di Bogor, Jawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan Vol 1. No. 2:50–59. Zakaria,FR. 2007. Pelatihan Metoda Imunologi Untuk Pangan Fungsional. Dep. Ilmu dan Teknologi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |426
ISBN 978-602-98902-1-1
SISTEM MIKROFILTRASI CROSS-FLOW DALAM PEMURNIAN KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus L.) TERFERMENTASI OLEH Rhizopus C1 DAN Aspergillus sp-K3 SEBAGAI FLAVOR SAVORY [System of Cross-Flow Microfiltration in Purification of Fermented Mung Bean (Phaseolus radiatus L.) by Rhizopus C1 and Aspergillus sp-K3 as Savory Flavor] Agustine Susilowati 1), Aspiyanto 1) dan Yetty Mulyati Iskandar 2) 1) 2) Peneliti,
Peneliti, Pusat Penelitian Kimia-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, PUSPIPTEK-Serpong Pusat Penelitian Kimia-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl.Sangkuriang 21/ 544, Bandung 40135
ABSTRACT Process time and different kind of material on pump motor frequency, time and pressure was factor, which affected on system of cross-flow microfiltration (CFMF) of purification of fermented mung bean as savory flavor. Purification process was conducted on extract of fermented mung bean by Rhizopus C1 and Aspergillus sp-K3, respectively, through microfiltration (MF) membrane of 0.2 µm with pump motor frequency of 20 Hz, room temperature and pressure of 6 bar for 0, 30, 60, 90 and 120 minutes. The result of experiment showed that long process time would decrease permeate flux value and gave successfully separation for all components. Retentate gave higher composition than permeate, but permeate had better clearness level and aroma than both kind of materials. The whole processes, extract of Rhizopus C1 gave better composition than that extract of Aspergillus sp-K3 at optimal process condition for 120 minutes, respectively, by increasing N-amino as savory fraction before and after purification process, namely 65.79 and 59.77 %, in which gave retentate with concentrations of total solids of 6.1793 and 5.5044 %, dissolved protein of 3.7 and 2.5 mg/mL, salt of 1.007 and 0.954 %, reducing sugar of 5 dan 4 mg/mL, fat of 0.3314 and 0.6341 %, and N-amino of 2.66 and 1.74 mg/mL. Key Words : Rhizopus-C1, Aspergillus sp-K3, microfiltration, retentate, permeate.
PENDAHULUAN Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) terfermentasi oleh Rhizopus oligosporus dan Aspergillus sp-K3 berpotensi sebagai sumber flavor savory melalui membran mikrofiltrasi (MF) [Agustine., et al, 2009]. MF memungkinkan pemisahan fraksi gurih dari komponen-komponen lain. Membran MF mampu memisahkan makromolekul > 500.000 g/mol atau partikel berukuran 0,1 – 10 μm pada tekanan operasi 0,5 – 5 atm [Zeman, L. J., 1996]. Pemisahan fraksi gurih melalui sistem MF skala semi pilot (9 L) didasarkan pada kemampuan membran semipermeabel untuk membedakan partikel yang dilewatkan berdasarkan ukurannya dan berperan sebagai barier selektif yang akan menolak komponen yang tidak dikehendaki dalam suatu aliran fluida [Cheryan, M., 1992; Mulder, M. H. V., 1996]. Fluida yang mengalir sejajar (tangensial) atau aliran secara cross-flow memungkinkan partikel-partikel bahan akan mengalir rata memenuhi seluruh permukaan membran. Hal ini berbeda dengan sistem filtrasi konvensional (dead-end atau sistem sentrifugasi) berdasarkan kecepatan rotasi [Michael, A. S., 1989; Raja Ghosh, 2003]. Dengan aliran cross flow/tangensial akan mengurangi akumulasi partikel-partikel solut sebagai penyebab polarisasi konsentrasi dan meminimalkan terjadinya fouling, meskipun hal ini juga dipengaruhi oleh sifat bahan (ukuran partikel, berat molekul, daya adhesi antar komponen), kondisi operasi (tekanan, laju alir,
suhu, waktu) dan jenis material membran. Aliran fluida secara cross-flow juga memungkinkan pemisahan lebih terfokus karena sistem membran akan semakin memadatkan partikel-partikel yang tertahan pada permukaan membran sehingga pemisahan lebih efisien dan optimal. Aliran secara cross-flow juga dapat memudahkan perputaran kembali konsentrat/retentat dalam tanki umpan dan mencampurkannya sebagai umpan baru [Raja Ghosh, 2003]. Ekstrak kacang hijau terfermentasi mengandung lemak, gula, mineral, senyawa-senyawa volatil dan non volatil pembentuk rasa, flavor & aroma yang dihasilkan melalui reaksi thermal selama fermentasi dan proses-proses yang menyertainya (autolisis) [Manley, C. H., 1995]. Dengan perbedaan berat molekul (BM), ukuran partikel dan tekanan proses, memungkinkan fraksi gurih untuk lolos sebagai permeat, sedangkan bahan lain berukuran lebih besar daripada ukuran pori membran akan tertahan sebagai retentat atau konsentrat (Mulder, M. H. V., 1996]. Jenis bahan (ekstrak kacang hijau terfermentasi) berpengaruh terhadap spesifikasi aroma dan intensitas rasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui waktu proses pemurnian optimal dengan laju alir, suhu ruang dan tekanan tetap pada ekstrak kacang hijau melalui fermentasi garam menggunakan jenis kapang berbeda sehingga dihasilkan permeat dan retentat kaya fraksi gurih sebagai flavor savory.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |427
ISBN 978-602-98902-1-1
Bahan dan Alat
METODOLOGI
melalui ayakan 200 mesh hingga dihasilkan filtrat sebagai umpan/feed.
Bahan berupa kacang hijau terfermentasi oleh Rhizopus-C1 (A) dan Aspergillus sp-K3 (B) melalui fermentasi garam pada suhu 30 ºC selama 8 minggu dari Pusat Penelitian Kimia, LIPI, bahan kimia untuk analisis dan membran MF komersial berpori-pori 0,2 µm (GRM-0.2-PP), luas permukaan efektif 0,018 m2/membran dari Danish Separation Systems, Denmark. Pada percobaan ini digunakan 4 lembar membran (luas 0,072 m2). Peralatan utama berupa plate & frame type cross-flow membrane filtration modul (LabUnit M20, DSS, Denmark) yang dilengkapi dengan pompa Positive Displacement Pump Rannie 25,38 dengan laju alir berkisar 3,5 - 15 L/menit, tekanan operasi maksimal 50 bar dan arah aliran fluida melewati permukaan aktif membran adalah sejajar (cross flow), peralatan gelas, serta instrument Spectrofotometer UV-1201. 1. Proses autolisis. Proses autolisis dilakukan dengan melumatkan bahan (1 bagian) dengan air (2 bagian), pengaturan pH (5,5), pemanasan dalam shaker getar pada 140 rpm dan suhu 50 °C selama 60 jam (A) dan 48 jam (B). Inaktifasi enzim dilakukan dengan memanaskan suspensi pada 70 °C selama 5 menit. Selanjutnya dihomogenisasi pada 3000 rpm selama 15 menit dan difiltrasi
2.
Pemurnian melalui membran MF 0,2 µm. Fluida umpan berupa autolisat kacang hijau terfermentasi oleh Rhizopus-C1 (A) dan Aspergillus sp-K3 (B) berturut-turut pada tanki umpan berkapasitas 9 L dipompakan melalui tabung saringan 200 μm, sistem penukar panas/dingin, modul membran dan keluar melalui tempat pengeluaran retentat dan retentat disirkulasikan ke tanki umpan terus menerus hingga sistem perpipaan benar-benar terisi oleh fluida. Selama proses sirkulasi, fluida umpan ke tanki umpan, air pendingin pada chiller bersuhu ± 23 – 24 °C secara bersamaan dialirkan ke sistem penukar panas/dingin selama beberapa saat hingga suhu fluida dalam tanki tetap stabil, yaitu suhu kamar (± 25 °C). Setelah kondisi proses stabil, frekuensi motor pompa diatur pada 20 Hz dan kemudian tekanan operasi diatur sampai 6 bar. Fluida yang lolos per satuan luas membran (permeat) ditampung, diukur volumenya dan dicatat waktunya guna menentukan fluks sebagai permeat [Anonim, 2000]. Pengamatan dan sampling dilakukan terhadap permeat dan retentat selama 0, 30, 60, 90 dan 120 menit. Untuk ke dua jenis bahan masing-masing menunjukkan laju alir rata-rata 8,51 L/menit (A) dan 7,39 L/menit (B) Bagan proses keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 1.
Kacang hijau terfermentasi* (1 bagian) Air (4 bagian)
Pelumatan & pengaturan pH 5,5, NaOH/HCl autolisis 50 °C & 140 rpm selama 60 jam (A) & 48 jam (B) & inaktifasi 70 °C selama 5 menit Autolisat (1 bagian)
Air (2 bagian)
Pengenceran sampai padatan ± 15 % Homogenisasi 3000 rpm, 15 menit & filtrasi 200 mesh
Ampas
Filtrat /Feed Membran mikrofiltrasi 0,2 µm frekuensi 20 Hz, suhu ruang & tekanan 6 bar selama 0, 30, 60, 90 & 120 menit
Retentat sebagai Hydrolyzed Vegetable t Protein [HVP]
Permeat sebagai fraksi gurih (flavor savory)
Keterangan : *menggunakan Rhizopus-C1dan Aspergillus sp-K3. Gambar 1. Skema proses pemurnian fraksi gurih dari kacang hijau terfermentasi melalui membran MF 0,2 µm. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.Karakteristik umpan/feed Proses autolisis menghasilkan autolisat dengan komposisi berbeda. Autolisat A memberikan protein terlarut lebih ren dah (12,9 mg/mL) daripada autolisat B (14,3 mg/mL) namun dengan asam-asam amino sebagai N-amino protein oleh karena waktu autolisis lebih lama (60 jam) daripada bahan Aspergillus sp-K3 (48 jam). Protein terlarut merupakan seluruh peptida dan asam-asam amino terlarut dalam air dan menjadi indikasi terjadinya hidrolisis oleh enzim protease kapang
lebih tinggi (0,91 g/mL) daripada autolisat B (0,7 mg/mL). Hal ini disebabkan oleh perbedaan komposisi bahan awal dan pengaruh proses autolisis. Pada pH 5,5, aktifitas proteolitik Rhizopus-C1 lebih tinggi daripada Aspergillus sp-K3 dalam menghidrolisis membentuk asam-asam amino, terutama asam glutamat sebagai prekursor flavor savory non volatile. Kedua jenis autolisat tersebut tidak menampakkan perbedaan kualitas fisik, dimana bahan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |428
ISBN 978-602-98902-1-1
berupa suspensi dengan warna coklat, kental dan berasa gurih (umami). Proses pelumatan dan difiltrasi melalui ayakan lolos 200 mesh dilakukan untuk mengecilkan ukuran partikel bahan sehingga memudahkan operasi MF dengan demikian penyumbatan pada permukaan membran bisa diminimalkan. Perbedaan antara komposisi pada autolisat A dan B ditunjukkan terutama pada padatan kering dan lemak, sedangkan terhadap garam, gula pereduksi dan protein terlarut tidak memperlihatkan perbedaan berarti. Konsentrasi padatan kering (4,7619 %) dan lemak (0,987 %) pada autolisat A lebih tinggi daripada autolisat B masing-masing 4,1182 % dan 0,4088 % yang menunjukkan bahwa proses emulgasi berpengaruh terhadap komposisi. Padatan kering merupakan parameter seluruh komponen yang
a
b
akan berpengaruh terhadap nilai fluks permeat dan laju alir bahan. Sedangkan perbedaan lemak kemungkinan disebabkan oleh emulgator dengan homogenizer pada 3000 rpm selama 15 menit yang menyebabkan pengecilan ukuran partikel-partikel dan teremulgasinya lemak dengan air sehingga lemak dapat lebih banyak terekstraksi. Perbedaan komposisi umpan ini juga berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik dimana feed A berwarna lebih kuning, sedangkan feed B lebih coklat, seperti ditunjukkan pada Gambar 2b dan 2c. Perbedaan warna umpan disebabkan oleh perbedaan jenis bahan dimana proses autolisis menyebabkan terjadinya reaksi Maillard dengan membentuk pigmen coklat melanoidin melalui reaksi asam-asam amino dengan gula oleh lamanya panas (50 °C) [Nagodawithana, T. W., 1984].
c
Gambar 2. Autolisat kacang hijau terfermentasi oleh Rhizopus-C1 dan Aspergillus sp-K3 (a), Feed A (b) dan Feed B (c). Tabel 1. Karakteristik autolisat Rhizopus-C1 (A) , autolisat Aspergillus sp-K3 (B) dan sebelum proses MF (feed). Komponen
Garam, % Padatan kering, % Lemak, % Protein
terlarut,
A 5,83 24,926 1,0941
Jenis Bahan* Feed A B 0,9275 5,1 4,7619 23,4135 0,4987 1,1266
Feed B 0,954 4,1182 0,4088
12,9
3,1
14,3
2,7
N-amino,mg/mL
10,7
0,91
5,67
0,7
Gula
105
13,25
132
77,5
mg/mL
pereduksi,
mg/mL
1.Pengaruh pemurnian terhadap fluks Proses pemurnian memberikan nilai fluks permeat yang semakin menurun untuk kedua jenis autolisat dengan kecenderungan berbeda, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Penurunan nilai fluks permeat autolisat A secara tajam terjadi pada waktu pemurnian 0 – 30 menit, diduga pada awal proses
pemurnian (0 - 30 menit), akumulasi partikel-partikel solut pada permukaan membran belum menunjukkan perubahan nilai fluks permeat yang berarti karena belum menunjukkan adanya peristiwa fouling yang menghambat laju alir bahan. Pada autolisat B, penurunan nilai fluks permeat lebih perlahan (gradual) karena kisaran konsentrasi padatan kering yang lebih rendah (4,1182 %) daripada autolisat A (4,7619 %) sehingga akumulasi partikelpartikel solut lebih linier yang berpengaruh terhadap fenomena fouling yang tidak fluktuatif, sebagai akibatnya pada frekuensi motor pompa dan tekanan sama (20 Hz & 6 bar) menyebabkan laju alir autolisat B lebih cepat (7,39 L/menit) daripada laju alir autolisat A (8,51 L/menit) yang didukung dengan besarnya ukuran pori-pori membran (0,2 µm) yang sesuai pada kisaran ukuran partikel bahan sehingga jumlah permeat yang lolos melalui membran juga lebih tinggi. Pada waktu pemurnian selanjutnya (30, 60, 90 dan 120 menit), penurunan nilai fluks permeat lebih gradual dan konstan karena semakin tinggi pembentukan lapisan cake pada permukaan membran yang menghalangi laju permeasi air melewati pori-pori membran. Pada akhir pemurnian (120 menit), nilai fluks permeat autolisat B lebih tinggi (29,3 L/m2.jam) daripada autolisat A (26,3 L/m2.jam)
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |429
ISBN 978-602-98902-1-1
aktivasi enzim protease dalam menghidrolisis substrat kacang hijau.
42.50
37.50
B =Autolisat Kaldu kacang hijau-Asp sp-K3
3.75 33.84
3.25
32.50 31.5
31.25
30.53 29.3
28.16
27.50
27.91
27.22 26.3
22.50 0
30
60
90
120
150
N-amino, mg/ml
fluks, liter/menit.m2
A = Autolisat Kaldu kacang hijau -Rhiz C1 37.76
3. Pengaruh MF terhadap komposisi retentat dan permeat N-Amino (mg/mL) Waktu proses semakin lama akan meningkatkan konsentrasi N-amino dalam retentat pada autolisat A dan permeat pada autolisat B. Hal sama juga tampak pada permeat autolisat A namun pada permeat autolisat B cenderung tetap, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Hal ini karena asam-asam amino mempunyai kisaran ukuran 0,01 - 0,1 µm [Anonim, 2005.] sehingga dengan membran MF 0,2 µm dimungkinkan lolos sebagai permeat kecuali pada asam amino dengan ukuran sama atau > 0,2 µm. Faktor sifat kelarutan asam-asam amino dalam air dan interaksinya terhadap komponen autolisat lain pada pH autolisat juga merupakan faktor yang mendorong diperolehnya hasil pemurnian berbeda. Autolisat merupakan suspensi kaya asam amino dan peptida tinggi dengan BM dan ukuran partikel beragam sebagai hasil dari proses pelarutan sel kapang dan
Retentat Autolisat-Asp K3 2.66
2.25 1.96
1.75
1.68 1.54
1.25 0.98 0.84 0.63
0.75
Nilai fluks permeat dipengaruhi tidak hanya oleh konsentrasi fluida umpan tetapi juga oleh tekanan transmembran, kecepatan cross-flow, temperatur dan waktu sehingga masingmasing faktor tersebut memberikan pengaruh berbeda-beda bagi nilai fluks permeat. Pada tekanan lebih tinggi dengan konsentrasi umpan tetap cenderung meningkatkan nilai fluks permeat pada jenis bahan sama. Penurunan nilai fluks permeat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti jenis dan konsentrasi bahan, jenis membran serta kondisi operasi terutama laju alir, suhu ruang dan tekanan. Tekanan akan berpengaruh terhadap laju alir permeat sedangkan frekuensi motor pompa berpengaruh terhadap laju alir bahan. Umumnya laju alir akan berkolerasi positif terhadap nilai fluks permeat sehingga semakin tinggi laju alir bahan maka nilai fluks permeat juga akan semakin tinggi [Fellows, P. J., 1992] dan dengan meningkatnya konsentrasi umpan oleh fouling menyebabkan penurunan nilai fluks permeat secara eksponesial [Mulder, M. H. V., 1996].
Retentat Autolisat-Rhiz C1
Permeat Autolisat -Asp K3
2.75
Waktu Pemurnian, menit
Gambar 3. Nilai fluks permeat autolisat Rhizopus C1 dan Aspergillus sp K3 pada berbagai waktu pemurnian melalui membran MF 0,2 µm pada frekuensi 20 Hz, suhu ruang dan tekanan 6 bar.
Permeat Autolisat-Rhiz C1
1.82 1.68
1.74
1.26
1.33
0.98
0.91
0.77
0.25 30
60
90
120
150
Waktu pemurnian, menit
Gambar 4. Hubungan antara waktu pemurnian dengan jenis autolisat terhadap N-Amino hasil pemurnian kacang hijau terfermentasi melalui membran MF 0,2 µm pada frekuensi 20 Hz, suhu ruang dan tekanan 6 bar. Perbedaan N-amino umpan merupakan dasar proses dalam perolehan N-amino pada proses pemurnian ini. Konsentrasi N-amino dalam autolisat A lebih tinggi (0,91 mg/mL) daripada autolisat B (0,7 mg/mL). Pada autolisat A, dengan laju alir lebih besar (8,51 L/menit) dan tekanan tinggi (6 bar) menyebabkan peningkatan tajam konsentrasi N-amino dalam retentat antara 30 60 menit karena pada saat ini belum menampakkan timbulnya fouling pada permukaan membran namun selanjutnya cenderung turun (1,82 mg/mL) pada 90 menit karena mulai terjadi fouling dan optimal pada waktu 120 menit (2,66 mg/mL). Diduga bahwa antara waktu pemurnian 90 - 120 menit semakin banyak asamasam amino berukuran partikel > 0,2 µm yang tertahan pada permukaan membran dan hanya asam-asam amino berukuran partikel < 0,2 µm lolos melewati pori-pori membran sebagai permeat. Pada saat sama, tingkat kelolosan asam-asam amino dalam permeat mengikuti laju pemisahan N-amino pada retentat sehingga pada waktu pemurnian 90 - 120 menit konsentrasinya cenderung stabil sampai 120 menit, yaitu 1,33 mg/mL. Laju pemurnian berbeda tampak pada autolisat B, dimana dengan laju alir 7,39 L/menit menunjukkan peningkatan konsentrasi N-amino secara linier sejalan dengan lamanya waktu pemurnian. Selama waktu pemurnian 30, 60, 90 dan 120 menit menunjukkan konsentrasi N-amino dalam retentat pada autolisat B masingmasing adalah 0,98, 1,54, 1,68 dan 1,74 mg/mL. Pada saat sama, asam-asam amino dengan ukuran partikel < 0,2 µm oleh tekanan tinggi (6 bar) lolos melalui pori-pori membran sebagai permeat dengan konsentrasi berturut-turut 0,84, 0,77, 0,98 dan 0,91 mg/mL. Pola laju pemurnian terhadap N-amino pada bahan B tampak lebih ideal dimana perbandingan antara banyaknya asamasam amino dan ukuran partikel sama atau < 0,2 µm dalam retentat dan permeat tidak fluktuatif.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |430
ISBN 978-602-98902-1-1
5.00
Protein terlarut,mg/ml
4.50
Permeat Autolisat-Rhiz C1
Retentat Autolisat-Rhiz C1
Permeat Autolisat -Asp K3
Retentat Autolisat-Asp K3
4.00 3.7 3.6
3.50 3.3 3.1
3.00 2.50
2.9
2.9
2.4
2.4 2.2
2.1 2
2.00
2.8 2.5
2.7 2.5
1.50 30
60
90
Waktu pemurnian,menit
120
Gambar 5. Hubungan antara waktu pemurnian dengan jenis autolisat terhadap protein terlarut hasil pemurnian kacang hijau terfermentasi melalui membran MF 0,2 µm pada frekuensi 20 Hz, suhu ruang dan tekanan 6 bar. Hal ini diduga karena pengaruh proses autolisis dalam menghidrolisis protein menjadi peptida. Peptida terlarut memiliki kisaran ukuran partikel 0,01 - 0,1 µm [Anonim, 2005.] sehingga pada membran MF 0,2 µm akan lolos sebagai permeat dan pada peptida dengan ukuran > 0,2 µm akan tertahan pada permukaan membran. Perbedaan lain diduga karena konsentrasi protein terlarut dalam feed autolisat A (3,1 mg/mL) dan feed autolisat B (2,7 mg/mL) serta sifat kelarutannya dalam air. Protein terlarut merupakan peptida dan asam-asam amino dengan BM rendah hasil dari proses fermentasi garam dan autolisis sebagai fraksi gurih. Kelarutan protein terlarut sebagai asam-asam amino dalam air pada suhu ruang (25 °C) cukup tinggi dimana asam glutamat (0,7 g/100 mL) dan asam aspartat (0,4 g/100 mL) [Stanley, H. P., et al, 1998] merupakan prekursor flavor savory yang ditemukan dalam jumlah tinggi pada permeat hasil MF sel berpengaduk pada kacang hijau terfermentasi oleh Rhizopus-C1dan Aspergillus sp-K3 [Aspiyanto dan Agustine Susilowati, 2006]. Dari sifat kelarutan ini diduga berpengaruh terhadap konsentrasi protein terlarut pada proses MF. Pada autolisat A, konsentrasi protein terlarut dalam retentat dan permeat meningkat seiring dengan lamanya waktu proses pemurnian, meskipun memiliki kisaran konsentrasi berbeda. Pada akhir proses (120 menit), konsentrasi protein terlarut dalam retentat dan permeat memiliki perbedaan tidak nyata, yaitu 3,7 mg/mL dan 3,6 mg/mL. Hal ini diduga akibat adanya interaksi dengan komponen-komponen lain oleh
terbentuknya lapisan cake pada permukaan membran sehingga tertahan dalam retentat, sedangkan sebagian peptida lain mampu lolos karena mempunyai ukuran partikel < 0,2 µm. Pada autolisat B, konsentrasi protein terlarut dalam retentat lebih tinggi (2,4 mg/mL) daripada dalam permeat (2 mg/mL). Konsentrasi protein terlarut dalam permeat semakin tinggi berturut-turut 0,29, 0,28 dan 0,27 mg/mL selama waktu proses 60, 90 dan 120 menit dan lebih tinggi daripada dalam retentat yang cenderung tetap, yaitu 0,24, 0,25 dan 0,25 mg/mL selama proses 60, 90 dan 120 menit. Hal ini menunjukkan bahwa jenis bahan berpengaruh terhadap perolehan asam-asam amino sebagai peptida terlarut. Kacang hijau terfermentasi oleh Aspergillus sp-K3 mempunyai konsentrasi asam-asam amino terutama asam glutamat dan asam aspartat lebih tinggi daripada dalam permeat sebagai hasil MF sel berpengaduk terhadap kacang hijau terfermentasi oleh Rhizopus-C1 [Susilowati, A., et al, 2006]. Kemungkinan dengan semakin lamanya waktu proses, semakin tinggi protein terlarut berukuran partikel > 0,2 µm yang tertahan pada permukaan membran karena terjadinya fouling, sementara protein terlarut berukuran partikel < 0,2 µm lolos sebagai permeat. Padatan kering (%) Terhadap padatan kering, waktu proses semakin lama meningkatkan konsentrasi padatan kering dalam retentat dan permeat, seperti ditunjukkan pada Gambar 6. 8.00
7.00 Padatan kering, %
Protein terlarut (mg/mL) Proses pemurnian dengan waktu semakin lama cenderung meningkatkan konsentrasi protein terlarut dalam retentat dan permeat pada autolisat A dengan konsentrasi pada retentat lebih tinggi daripada dalam permeat pada autolisat A. Sebaliknya, pada autolisat B, konsentrasi protein terlarut dalam permeat lebih tinggi daripada dalam retentat, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Permeat Autolisat-Rhiz C1
Retentat Autolisat-Rhiz C1
Permeat Autolisat -Asp K3
Retentat Autolisat-Asp K3 6.1793
6.00 5.4234
5.401
5.1712
5.00
5.5044
4.5734 4.226
4.00
3.9346 3.6349 3.4542
3.2393
3.00
3.2063
2.955
3.3399 2.9623
2.6469
2.00 30
60
90
120
Waktu pemurnian,menit
Gambar 6. Hubungan antara waktu pemurnian dengan jenis autolisat terhadap padatan kering hasil pemurnian kacang hijau terfermentasi melalui membran MF 0,2 µm pada frekuensi 20 Hz, suhu ruang dan tekanan 6 bar. Pada retentat menunjukkan konsentrasi padatan kering lebih tinggi daripada dalam permeat untuk kedua jenis autolisat tersebut. Konsentrasi padatan kering pada feed autolisat A lebih tinggi (4,7619 %) apabila dibandingkan feed
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |431
ISBN 978-602-98902-1-1
Gula pereduksi (mg/mL) Monosakarida sebagai gula pereduksi dalam permeat pada autolisat selama proses pemurnian lebih banyak lolos daripada tertahan pada permukaan membran sebagai retentat baik pada autolisat A maupun B. Retentat dan permeat pada autolisat A mengandung gula pereduksi lebih tinggi daripada retentat dan permeat pada autolisat B. Dengan lamanya waktu proses pemurnian, konsentrasi gula pereduksi dalam retentat dan permeat pada autolisat A cenderung konstan, demikian juga pada retentat autolisat B namun pada permeat B menunjukkan peningkatan setelah 60 menit, seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Sistem MF tampak tidak optimal untuk memisahkan gula pereduksi dalam autolisat. Hal ini disebabkan oleh ukuran partikelpartikel gula < 0,2 µm (0,001 µm dengan BM 200 MWCO) [Anonim, 2005] sehingga lebih banyak lolos sebagai permeat daripada tertahan pada permukaan membran sebagai retentat. Kemungkinan lain adalah sifat kelarutan gula dalam air yang tinggi sehingga oleh interaksi kondisi proses menyebabkan sebagian gula akan terpecah membentuk molekul-molekul lebih kecil dan lolos sebagai permeat dimana feed autolisat A adalah 132,5 mg/mL dan feed autolisat B adalah 77,5 mg/mL. Perbedaan feed autolisat ini menyebabkan lebih banyak gula pereduksi yang lolos dalam permeat pada autolisat A daripada lolos dalam permeat pada autolisat B. Pada akhir proses dihasilkan konsentrasi gula pereduksi dalam permeat optimal dari autolisat A sebesar 15 mg/mL dan autolisat B sebesar 13,5 mg/mL. Gula pereduksi merupakan molekul gula (monosakarida atau sakarida) yang mempunyai sifat pereduksi dengan adanya gugus hidroksil (OH) bersifat reaktif [Mayes, P. A., 1984] dan merupakan komponen
penting hasil aktifitas amilolitik kapang Rhizopus-C1 maupun Aspergillus sp-K3 dalam fermentasi garam pada kacang hijau. 24.00 21.00 Gula pereduksi,mg/ml
autolisat B (4,1182 %) sehingga retentat maupun permeat pada autolisat A memberikan konsentrasi padatan kering lebih tinggi daripada retentat maupun permeat pada autolisat B. Meskipun demikian, tampak bahwa pada pemurnian 60 menit, konsentrasi padatan kering dalam retentat pada autolisat A (5,1712 %) dan autolisat B 3,6349 %) menurun, yang selanjutnya meningkat kembali pada waktu pemurnian 90 dan 120 menit, yaitu masingmasing 5,401 % dan 6,1793 % pada autolisat A serta 4,5734 % dan 5,5044 % pada autolisat B. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pemurnian 30 - 60 menit dengan frekuensi motor pompa 20 Hz, suhu ruang dan tekanan operasi yang tinggi (6 bar), membran masih mampu untuk menghalau partikel-partikel padatan kering sehingga lebih banyak lolos untuk ukuran partikel < 0,2 µm, namun dengan semakin lamanya waktu operasi, lapisan cake yang terbentuk pada permukaan membran semakin tebal sehingga menghalangi difusi solut padatan kering untuk lolos melalui membran meskipun ukuran partikel < 0,2 µm sehingga pada waktu pemurnian 90 dan 120 menit konsentrasi padatan kering dalam retentat akan semakin meningkat. Sementara itu, pada waktu sama tingkat kelolosan partikel-partikel dalam permeat semakin kecil sehingga konsentrasi padatan kering dalam permeat semakin rendah. Telah diketahui bahwa membran hanya mampu memisahkan sekitar 30 % padatan dari seluruh komponen [Fellows, P. J., 1992].
Permeat Autolisat-Rhiz C1
Retentat Autolisat-Rhiz C1
Permeat Autolisat -Asp K3
Retentat Autolisat-Asp K3
18.00 15.00
14.5
14.5 13.25
12.00
15 13.5
11
9.00
8.5
6.00
7.5
5 4.25
5 4
4.25 3
3.00
5 4
0.00 30
60
90
120
Waktu pemurnian, jam
Gambar 7. Hubungan antara waktu pemurnian dengan jenis autolisat terhadap gula pereduksi hasil pemurnian kacang hijau terfermentasi melalui membran MF 0,2 µm pada frekuensi 20 Hz, suhu ruang dan tekanan 6 bar. Garam
Kecenderungan berbeda ditunjukkan pada perolehan garam dimana membran MF 0,2 µm mampu memisahkan garam dalam retentat lebih tinggi daripada dalam permeat pada autolisat A dan B. Peningkatan konsentrasi garam secara tajam terjadi dalam permeat dan retentat pada autolisat A serta retentat pada autolisat B selama waktu proses pemurnian, namun konstan pada permeat autolisat B setelah proses 60 menit, seperti ditunjukkan dalam Gambar 8. Perbedaan konsentrasi garam ini menunjukkan bahwa sistem MF secara keseluruhan belum mampu untuk meloloskan seluruh garam pada permeat seiring dengan lamanya waktu pemurnian dimana garam tertahan dalam retentat pada autolisat A yang lebih optimal (1,007 %) daripada autolisat B (0,954 %) pada proses 120 menit. Garam dengan kisaran ukuran 0,001 - 0,1 µm [Anonim, 2005] seharusnya mampu lolos lebih banyak melalui sistem MF sebagai permeat daripada tertahan dalam retentat. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi proses dan interaksi dengan bahan lain dan sifat kelarutannya dalam suspensi autolisat. Meskipun demikian, garam masih mampu menembus lapisan cake yang terbentuk pada permukaan membran. Hal ini diketahui dengan lolosnya garam dalam permeat pada autolisat B yang meningkat dan optimal sebesar 0,0985 % pada proses pemurnian 120 menit dan diperlihatkan dengan penurunan nilai fluks lebih gradual (Gambar 3). Sedangkan peningkatan konsentrasi garam dalam permeat autolisat A hanya sampai proses 60 menit dan cenderung stabil sampai proses 120 menit, yaitu 0,901 %. Diduga antara proses 60 - 120 menit, viskositas bahan relatif berkurang atau oleh tekanan 6 bar yang menyebabkan terjadinya turbulensi sehingga laju alir meningkat dan mampu mengalirkan solut padatan yang ada disekitar permukaan membran.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |432
ISBN 978-602-98902-1-1
1.075
Permeat Autolisat-Rhiz C1 Permeat Autolisat -Asp K3
Retentat Autolisat-Rhiz C1 Retentat Autolisat-Asp K3
1.025
Garam, %
1.007
0.975 0.954
0.925
0.9275
0.875
0.8745
0.9805
0.954
0.954
0.904 0.901
0.901
0.9275 0.901
0.848
0.825
0.9805
0.848
0.8215
0.775 30
60
90
120
Waktu pemurnian, menit
Gambar 8. Hubungan antara waktu pemurnian dengan jenis autolisat terhadap garam hasil pemurnian kacang hijau terfermentasi melalui membran MF 0,2 µm pada frekuensi 20 Hz, suhu ruang dan tekanan 6 bar. Lemak (%). Lamanya waktu pemurnian 30, 60, 90 dan 120 menit menghasilkan pemisahan lemak pada autolisat A dan B, seperti ditunjukkan pada Gambar 9. 0.80
Permeat Autolisat-Rhiz C1
Retentat Autolisat-Rhiz C1
Permeat Autolisat -Asp K3
Retentat Autolisat-Asp K3
0.70
Lemak, %
0.6392 0.6341
0.60 0.5312
0.511
0.50
0.4694
0.4641
0.4079
0.40 0.3671 0.3254
0.30
0.2788 0.2636
0.3548
0.3567 0.3314
0.2849
0.2652
0.20 30
60
90
120
150
Waktu pemurnian, menit
Gambar 9. Hubungan antara waktu pemurnian dengan jenis autolisat terhadap lemak hasil pemurnian kacang hijau terfermentasi melalui membran MF 0,2 µm pada frekuensi 20 Hz, suhu ruang dan tekanan 6 bar.
autolisat A lebih tinggi (4,7619 %) daripada feed autolisat B (4,1182 %) sehingga partikel-partikel lemak pada feed autolisat B lebih banyak terperangkap dalam matriks padatan dan tertahan lebih banyak daripada dalam feed autolisat A. Peningkatan konsentrasi lemak dalam retentat pada autolisat B tampak selama proses antara 30 - 60 menit kemudian menurun secara tajam pada proses 90 menit. Pada saat itu, konsentrasi lemak dalam permeat sebaliknya menurun secara tajam selama proses antara 30 - 60 menit. Selanjutnya konsentrasi lemak dalam retentat maupun permeat meningkat sampai proses 120 menit dan optimal masing-masing yaitu 0,6392 dan 0,6341 %. Sedangkan dalam retentat pada autolisat A peningkatan tampak pada proses pemurnian antara 30 - 90 menit. Pada saat sama, konsentrasi lemak dalam permeat juga meningkat, kemudian dalam retentat menurun sampai proses 120 menit dan konsentrasi lemak dalam permeat tetap meningkat sampai proses 120 menit, yaitu 0,3567 %. Dengan demikian waktu optimal pemurnian adalah 90 menit (0,2548 %). Lemak pada autolisat, seperti halnya emulsi lemak lain, mempunyai kisaran ukuran partikel antara 1 - 10 µm [Anonim, 2005] sehingga memungkinkan untuk tertahan pada permukaan membran meskipun dengan kondisi operasi optimal. Lemak autolisat terdiri dari asam-asam lemak dan gliserol yang diperoleh sebagai aktifitas lipolitik dalam fermentasi garam [Susilowati, A., et al, 2009] yang tidak larut dalam air, namun pada proses autolisis melalui putaran 140 rpm selama 60 jam (A) dan 48 jam (B) menyebabkan terjadinya proses emulsifikasi dimana sebagian dari lemak akan larut dalam suspensi autolisat lebih menyerupai sistem emulsi minyak dalam air (o/w). Lemak yang terlarut dimungkinkan sebagai lemak sederhana (homolipida) berupa ester lemak atau asam lemak tak jenuh, seperti asam palmitat, laurat, stearat, oleat, linoleat dan miristat [Susilowati, A., et al, 2009]. Dari proses pemurnian autolisat kacang hijau terfermentasi oleh Rhizopus-C1 (A) dan Aspergillus sp-K3 (B) dihasilkan retentat dan permeat dengan sifat-sifat fisik berbeda. Permeat pada autolisat Rhizopus-C1 (A) tampak berwarna kuning kecoklatan, jernih dan berasa umami, sedangkan permeat pada autolisat Aspergillus sp-K3 (B) tampak berwarna kuning cerah, jernih dan berasa umami, seperti ditunjukkan pada Gambar 10a dan 10b. Permeat dan retentat masing-masing produk menghasilkan rasa umami spesifik.
Secara keseluruhan, konsentrasi lemak dalam retentat dan permeat pada autolisat B lebih tinggi daripada konsentrasi lemak dalam retentat dan permeat pada autolisat A selama pemurnian 120 menit. Hal ini diduga karena tidak hanya oleh kondisi operasi MF tetapi juga oleh perbedaan konsentrasi lemak bahan sebelum proses (feed). Konsentrasi lemak pada feed autolisat A lebih tinggi (0,4987 %) daripada feed autolisat B (0,4088 %) namun konsentrasi total padatan kering pada feed Gambar 10. Feed, permeat dan retentat pada autolisat Rhizopus-C1 /A (a) dan pada autolisat Aspergillus sp-K3/ B (b)
a
b
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |433
ISBN 978-602-98902-1-1 KESIMPULAN Interaksi perlakuan antara waktu pemurnian dengan frekuensi motor pompa 20 Hz, suhu ruang dan tekanan 6 bar meningkatkan protein terlarut, N-amino, lemak, garam dan padatan kering namun gula pereduksi cenderung tetap baik pada retentat Rhizopus-C1 (A) maupun retentat Aspergillus spK3 (B). Retentat memiliki komposisi lebih tinggi daripada permeat. Waktu optimal untuk autolisat Rhizopus-C1 (A) maupun retentat Aspergillus sp-K3 (B). masing-masing dicapai pada 120 menit dengan meningkatkan N-amino sebagai fraksi gurih sebelum dan sesudah proses masing-masing 65,79 % dan 59,77 % yang menghasilkan retentat masing-masing dengan kandungan padatan kering 6,1793 dan 5,5044 %, protein terlarut 3,7 dan 2,5 mg/mL, garam 1,007 dan 0,954 %, gula pereduksi 5 dan 4 mg/mL, lemak 0,3314 dan 0,6341 % serta N-amino 2,66 dan 1,74 mg/mL. Sistem MF 0,2 µm menghasilkan kualitas fisik permeat dan retentat berbeda. Permeat pada autolisat Rhizopus-C1(A) tampak berwarna kuning kecoklatan, jernih dan berasa umami kuat, sedangkan permeat pada autolisat Aspergillus sp-K3 (B) tampak berwarna kuning cerah, jernih dan berasa umami kurang kuat. Permeat dan retentat autolisat menghasilkan rasa umami yang spesifik.
Mayes, P. A. 1984. Lipid, Di dalam Biokimia, Rodwell,V. W., Martin, D. W., Mayes, P. A., Alih bahasa Adji Dharma dan Andreas, S. K., EGC, Edisi 19, Jakarta. Manley, C. H. 1995. Process Flavours and Precursor Systems, Di dalam Savory Flavors (ed. T. W. Nagodawithana), Esteekay Associates, Wisconsin. Nagodawithana, T. W. 1984. Savory Flavors, Di dalam Alan G., Bioprocess, Fragrance, and Color Ingredients, John Wiley & Sons Inc., New York. Pope, C. G. and Stevens M. F. 1989. The Determination of Amino Nitrogen Using Copper Method, Biochemical Journal. Raja Ghosh. 2003. Protein Bioseparation Using Ultrafiltration : Theory, Applications and New Developments, Imperial College Press, London, 105 – 109. Stanley, H. P., et al,. 1998. Kimia Organik 2, Terbitan Ke empat, ITB, Bandung. Zeman, L. J. and Zydney A. L. 1996. Microfiltration and Ultrafiltration : Principles and Applications, Marcel Dekker, Inc., New York, 545.
DAFTAR PUSTAKA Susilowati, A., et al,. 2009. Pemisahan fraksi gurih dari kacangkacangan terfermentasi sebagai flavor savory, Laporan Hasil Penelitian, Program Tematik, Kedeputian IPT, Tahun Anggaran 2009, Pusat Penelitian Kimia - LIPI, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Tangerang. Agustine Susilowati dan Aspiyanto. 2006. Karakteristik flavor savory dari kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) terfermentasi oleh Aspergillus sp-K3 melalui mikrofiltrasi sel berpengaduk, Seminar Nasional XV, Jaringan Kerjasama Kimia Indonesia, Yogyakarta. Anonim. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Analytical Chemistry, AOAC Inc., Washington D.C. Anonim. 2000. Operating Manual of DSS LabUnit M20, Danish Separation Systems AS (DSS), Denmark, January. Anonim. 2005. Membrane Techology For Process Industry, http www.pcims.com./images/TP105. 5us. pdf; PCI Membrane System Inc., Milford, U.S.A. Susilowati, A., et al,. 2006. Karakteristik flavor savory dari kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) terfermentasi oleh Aspergillus sp-K3 melalui mikrofiltrasi sel berpengaduk, Seminar Nasional XV, Jaringan Kerjasama Kimia Indonesia, Yogyakarta. Cheryan, M. 1992. Membrane Technology in Food Bioprocessing, Didalam R. P. Singh dan M. A. Wirakartakusumah (eds.), Advances in Food Engineering, CRC Press Inc., Boca Ratan, Florida Fellows, P. J. 1992. Food Processing Technology : Principles and Practices, Ellis Hordwood, New York. Mulder, M. H. V. 1996. Basic Principles of Membrane Technology, Kluwer Academic Publishers, Dordecht, The Nederlands. Michael, A. S. 1989. Handbook of Industrial Membrane Technology, Noyes Publications, Park Ridge, U.S.A. Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |434
ISBN 978-602-98902-1-1
PERBEDAAN TINGKAT KONSUMSI SUSU BERKALSIUM DI KALANGAN WANITA LANJUT USIA DI INDONESIA DAN DI MALAYSIA [ Differences Of Milk Consumption With Calcium Among Elderly Women In Indonesia And Malaysia] Ari Istiany
Program Studi Tata Boga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta
ABSTRACT The purpose of this study was to analyze differences in calcium milk consumption rates among women (elderly) in Indonesia and in Malaysia. The research was conducted in Jakarta-Indonesia and in Selangor-Malaysia using survey methods. The number of samples of elderly women in Indonesia as many as 147 people while in Malaysia as many as 168 people. The data was collected using a questionnaire with interview techniques. The data collected includes data for age, education level, income level and level of milk consumption. These data are then analyzed descriptively to obtain the minimum value, maximum value, average value, standard deviation and frequency distribution. U Mann-Whitney test used to determine differences in levels of milk consumption in Indonesia and elderly women in Malaysia. The results of this study indicate that the average age of the sample in Indonesia was 64.4 ± 7.1 years and in Malaysia was 62 ± 7 years. Most of the samples in Indonesia educated middle level, while in Malaysia the basic level. In the review in terms of income, mostly middle-income sample in both Indonesia and Malaysia. Levels of milk consumption in Indonesia following the sample as much as 27.9% consumed high calcium milk; as much as 23.2% of low calcium and milk consumption as much as 48.9% did not consume milk. Level of consumption of milk samples in Malaysia as much as 48.2% following consumption of high calcium milk; as much as 30.3% of low calcium and milk consumption as much as 21.4% did not consume milk. The data show that high calcium level of milk consumption in Indonesia is lower even still many who do not consume milk samples compared to samples in Malaysia. Based on the results of Mann-Whitney U test found that there are different levels of milk consumption among elderly women between the Indonesia and in Malaysia at the significance level of 5%. Keywords : milk consumption, calcium and elderly
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Jumlah penduduk lanjut usia mengalami peningkatan yang cukup mencolok di hampir semua Negara termasuk kawasan Asia seperti Jepang, Hongkong, Singapura, Korea, China Thailand, Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan data demografi penduduk Internasional yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (2006) dilaporkan bahwa Jumlah usia lanjut di Indonesia diperkirakan akan naik 414% dalam kurun waktu 1990-2025, suatu angka paling tinggi di dunia dibandingkan dengan Kenya: 347%, Brazil: 255%, India: 242%, China: 220%, Jepang: 129%%, Jerman: 66%, dan Swedia: 33%. Semakin banyaknya jumlah lansia akan mengakibatkan semakin tingginya angka kesakitan di Indonesia, salah satunya adalah penyakit osteoporosis. Berdasarkan Studi di Indonesia, dua dari lima orang Indonesia memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis (DEPKES, 2006). Satu dari tiga perempuan dan satu dari lima pria di Indonesia terserang osteoporosis atau keretakan tulang, ratarata berusia di atas 50 tahun. Beberapa pencegahan osteoporosis dapat dilakukan dengan cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung kalsium cukup (kirakira 800-1200 mg perhari), vitamin D3 yang cukup, hindari merokok dan mengkonsumsi alcohol serta olahraga yang teratur. Pola konsumsi susu yang sesuai dari segi jenis dan jumlahnya dapat membantu meningkatkan kekuatan tulang para
lansia. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi susu seseorang, diantaranya adalah tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, umur, tingkat kesukaan, pengetahuan gizi, riwayat penyakit, sosial budaya dan masih banyak lagi. Secara umum, tipikal masyarakat Indonesia dan Malaysia mempunyai banyak kesamaan. Namun secara lebih spesifik perlu diteliti lebih lanjut tentang tingkat konsumsi susu wanita lansia di Indonesia dan Malaysia serta faktor-faktor yang berhubungan dengannya.
B. Tujuan 1. 2. 3.
Mengidentifikasi tingkat konsumsi susu berkalsium wanita lansia yang tinggal di Indonesia dan Malaysia Menganalisis perbedaan tingkat konsumsi susu berkalsium wanita lansia yang tinggal di Indonesia dan Malaysia Menganalisis hubungan tingkat konsumsi susu berkalsium wanita lansia yang tinggal di Indonesia dan Malaysia dengan umur dan tingkat pendidikan
METODOLOGI Penelitian dilakukan di Jakarta yang mewakili wilayah Indonesia, sedangkan untuk wilayah Malaysia dilakukan di Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |435
ISBN 978-602-98902-1-1 Selangor. Waktu penelitian dilakukan selama 6 bulan dari bulan Juni – November 2009. Sampel dalam penelitian ini adalah wanita lansia yang tinggal di Indoensia sebanyak 147 orang dan di Malaysia sebanyak 168 orang. Mereka yang terlibat diacak secara sederhana. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan desain cross-sectional study. Data sosio demografi meliputi umur, pendidikan, status pernikahan dan tingkat konsumsi susu berkalsium dikumpulkan menggunakan kuesioner dengan teknik wawancara. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan sebelum kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat konsumsi susu sedangkan variabel bebasnya adalah tingkat pendidikan, umur dan wilayah tempat tinggal. Data-data tersebut di atas dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksium, simpangan baku dan frekuensi. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan tingkat konsumsi susu berkalsium wanita lansia di Indonesia dan di Malaysia digunakan uji U Mann-Whitney. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara tingkat konsumsi susu dengan umur dan tingkat pendidikan.
Lokasi Indonesia
Malaysia
Karakteristik sosio-demografi terdiri dari umur, pendidikan, dan status pernikahan. Umur termuda wanita lansia di Indonesia adalah 50 tahun dan tertua adalah 80 tahun dengan rata-rata 64,4 ± 7,1 tahun. Sebagian besar sampel berumur antara 61 – 70 tahun, yaitu sebanyak 46,3%. Umur termuda wanita lansia di Malaysia adalah 51 tahun dan tertua adalah 74 tahun dengan rata-rata 62,4 ± 7 tahun. Sebagian besar sampel berumur antara 50 – 60 tahun, yaitu sebanyak 46,4%. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagian besar wanita lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini masih mempunyai pasangan (kawin), yaitu di Indonesia sebanyak 61,2% dan di Malaysia sebanyak 62,5%. Sedangkan jumlah wanita lansia yang berstatus janda di Indonesia sebanyak 38,8% dan di Malaysia sebanyak 35,7%. Di Indonesia tidak ada responden yang tidak kawin, sementara itu di Malaysia hanya 1,8% saja. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Jumlah (Orang) 53 68 26
Persentase (%) 36,1 46,3 17,7
Total 50 – 60 61 – 70 71 – 80
147 78 59 31
100 46,4 35,1 18,5
Total
168
100
Tabel 2 Distribusi lansia berdasarkan status pernikahan Lokasi Indonesia
Malaysia
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Sosio-Demografi
Umur (Tahun) 50 – 60 61 – 70 71 – 80
Status Pernikahan Janda Kawin Tidak kawin
Jumlah (Orang) 57 90 -
Persentase (%) 38,8 61,2 -
Total Janda Kawin Tidak kawin Total
147 60 105 3 168
100 35,7 62,5 1,8 100
Sebagian besar wanita lansia yang tinggal di Indonesia berpendidikan dasar sampai menengah, yaitu masing-masing 36,7% dan 39,5%. Hanya 11,6% yang tidak sekolah dan 12,2 yang berpendidikan tinggi. Sedangkan di Malaysia sebagian besar berpendidikan dasar, yaitu sebanyak 69%. Jumlah responden yang tidak bersekolah sebanyak 19,6% dan hanya 0,6% yang berpendidikan tinggi (Tabel 3). Tabel 3 Distribusi lansia berdasarkan tingkat pendidikan Lokasi Indonesia
Malaysia
Tingkat pendidikan Tidak sekolah Sekolah Dasar Sekolah Menengah Perguruan Tinggi Total Tidak sekolah Sekolah Dasar Sekolah Menengah Perguruan Tinggi Total
Jumlah (Orang) 17 54 58 18 147 33 116 18 1 168
Persentase (%) 11,6 36,7 39,5 12,2 100 19,6 69,0 10,7 0,6 100
B. Tingkat Konsumsi Susu Tabel 1 Distribusi lansia berdasarkan umur
Jumlah wanita lansia di Indonesia yang tidak pernah minum susu sebanyak 49%, yang mengkonsumsi susu rendah kalsium sebanyak 23,1% dan tinggi kalsium sebanyak 27,9%. Sedangkan di Malaysia Jumlah wanita lansia yang tidak pernah minum susu sebanyak 21,4%, yang mengkonsumsi susu rendah kalsium sebanyak 30,4% dan tinggi kalsium sebanyak 48,2%.Data secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 4.
C.
Hasil Analisis Statistik
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |436
ISBN 978-602-98902-1-1 Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat konsumsi susu dengan umur seseorang, tetapi tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan (p<0,05). Sedangkan berdasarkan hasil uji U Mann Whitney diketahui bahwa terdapat perbedaan tingkat konsumsi susu antara wanita lansia di Indonesia dengan di Malaysia, dimana tingkat konsumsi susu di Indonesia lebih rendah dibandingkan di Malaysia. Tabel 4 Lokasi
Distribusi lansia berdasarkan tingkat konsumsi susu Tingkat Konsumsi Jumlah Persentase Susu (Orang) (%) Indonesia Tidak pernah 72 49,0 Rendah Kalsium 34 23,1 Tinggi Kalsium 41 27,9 Malaysia
1. 2. 3.
Total Tidak pernah Rendah Kalsium Tinggi Kalsium
147 36 51 81
100 21,4 30,4 48,2
Total
168
100
KESIMPULAN
Tingkat konsumsi susu di Indonesia lebih rendah dibandingkan di Malaysia. Terdapat perbedaan tingkat konsumsi susu antara wanita lansia di Indonesia dengan di Malaysia Terdapat hubungan positif antara tingkat konsumsi susu dengan umur seseorang
DAFTAR PUSTAKA Baran, D., Sorensen, A., Grimes, J., Lew, R., Karellas, A., Johnson, B. & Roche, J. 1989. Dietary modification with dairy products for preventing vertebral bone loss in premenopausal women: a three-years prospective study. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 70:264-270. Barr, S.I., McCarron, D.A., Heaney, R.P., Dawson-Hughes, B., Berga, S.L., Stern, J.S. & Oparil, S. 2000. Effects of increased consumption of fluid milk on energy and nutrient intake, body weight, and cardiovascular risk factors in healthy older adults. Journal of The American Dietetic Association 100:810-817. Barrett-Conner, E. 1991. Nutrition epidemiology: how do we know what they ate? American Journal of Clinical Nutrition 54:182S-187S. Bernstein, M.A., Nelson, M.E., Tucker, K.L., Layne, J., Johnson, E., Nuernberger, A., Castaneda, C., Judge, J.O., Buchner, D. & Singh, M.F. 2002. A home-based nutrition intervention to increase consumption of fruits, vegetables and calcium-rich foods in community dwelling elders. Journal of The American Dietetic Association 102:1421-1422. Chee, W.S.S., Ismail, M.N., Ng, K.K. & Zawiyah, H. 1997. Food intake assessment of adults in rural and urban areas from four selected regions in Malaysia. Malaysian Journal of Nutrition 3:91-102.
Chee, W.S.S., Suriah, A.R., Chan, S.P., Zaitun, Y. & Chan, Y.M. 2003. The effect of milk supplementation on bone mineral density in posmenopausal Chinese women in Malaysia. Osteoporosis International 14:828-834. Chow, S. C. & Liu, J.P. 1998. Design and analysis of clinical trials: Concept and methodologies. New York: John Wiley & Sons, Inc. Cummings, S.R., Block, G., McHenry, K. & Baron, R.B. 1987. Evaluation of two food frequency methods of measuring dietary calcium intake. American Journal of Epidemiology 126(5):796-801. Dawson-Hughes, B., Harris, S.S., Krall, E.A. & Dallal, G.E. 1997. Effect of calcium and vitamin D supplementation on bone density in men and women 65 years of age or older. New England Journal of Medicine 337:670-676. Devine, A., Prince, R.L. & Bell, R. 1996. Nutritional effect of calcium supplementation by skim milk powder or calcium tablets on total nutrient intakes in postmenopausal women. American Journal of Clinical Nutrition 64:731-737. Feskanich, D., Willett, W.C. & Colditz, G.A. 2003. Calcium, vitamin D, milk consumption and hip fractures: a prospective study among posmenopausal women. American Journal of Clinical Nutrition 77:504-511. Foo, L.H. & Zaitun, Y. 2000. Perkaitan di antara pengambilan kalsium dan factor-faktor gaya hidup dengan status kesihatan tulang di kalangan wanita selepas menopause. Malaysian Journal of Nutrition 6:75-95. Lau, E.M.C., Woo, J., Lam, V. & Hong, A. 2001. Milk supplementation of the diet in postmenopausal Chinese women on a low calcium intake retards bone loss. Journal of Bone Mineral Res. 16:1704-1709. McKane, W.R., Khosla, S. & Egan, K.S. 1996. Role of calcium intake in modulating age-related increases in parathyroid function and bone resorption. Journal of Clinical Endocrionology and Metabolism 81:1699-1703. Suleiman, S., Nelson, M., Li, F., Thomas, M.B. & Moniz, C. 1997. Effect of calcium intake and physical activity on bone mass and turnover in healthy, white postmenopausal women. American Journal of Clinical Nutrition 66:937-943. Tepper, B.J & Nagoya, R.M. 1998. Awareness of the link between bone disease and calcium intake is associated with higer dietary calcium intake in women aged 50 years and older. Journal of The American Dietetic Association 98(2):196-198.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |437
ISBN 978-602-98902-1-1
Aplikasi Limbah Minyak Kepala Ikan Patin (Pangasius suchi) Untuk Pembuatan Biskuit Dan Pengujian Karakteristik Mutu Produk Murniyati* dan Nurhayati*
*Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian aplikasi limbah minyak ikan patin untuk pembuatan biscuit dan pengujian mutu produknya. Minyak ikan patin diperoleh dengan perebusan, pengepresan dan penyaringan limbah kepala ikan patin (Pangasius suchi). Tujuan dari penelitian ini adalah pemanfaatan limbah kepala ikan patin untuk aplikasi pembuatan biscuit dan mengetahui karakteristik mutu produk yang dihasilkan. Bahan pembuat biscuit adalah tepung terigu, gula, mentega, telor dan minyak limbah kepala ikan patin. Dibuat tiga perlakuan formula biscuit dan produk dianalisis secara organoleptik (rupa dan warna, bau, rasa, tekstur) dan kimiawi (kadar air, abu, lemak, protein). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air terendah adalah pada perlakuan penambahan minyak 5% yaitu sebesar 3,77%. Kadar abu terendah adalah perlakuan penambahan minyak 5% yaitu sebesar 1,23%. Kadar lemak terendah adalah perlakuan penambahan minyak 5% yaitu sebesar 24,5%. Untuk kadar protein, yang tertinggi adalah pada perlakuan penambahan minyak sebesar 15% yaitu sebesar 7,89%. Aw biscuit minyak ikan terendah adalah pada perlakuan penambahan minyak 5% yaitu sebesar 0,556. Hasil analisis organoleptik menunjukkan bahwa biscuit minyak ikan yang paling disukai oleh panelis adalah pada perlakuan penambahan minyak 10%. Kata kunci: minyak ikan, biscuit, Pangasius suchi, limbah
PENDAHULUAN Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Upaya pemerintah untuk mengatasi limbah masih sulit dicapai. Penerapan program zero waste memberikan harapan cerah, namun hingga kini masih perlu kerjakeras untuk mencapai kondisi tersebut. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan perikanan masih cukup tinggi, yaitu sekitar 20-30 persen. Produksi ikan yang telah mencapai 6.5 juta ton pertahun, hal ini berarti sekitar 2 juta ton terbuang sebagai limbah. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan perikanan dapat berupa ikan rucah yang bernilai ekonomis rendah sehingga belum banyak dimanfaatkan sebagai pangan, bagian daging ikan yang tidak dimanfaatkan dari rumah makan, rumah tangga, industri pengalengan, atau industri pemiletan; ikan yang tidak terserap oleh pasar, terutama pada musim produksi ikan melimpah; dan kesalahan penanganan dan pengolahan. Industri pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu agroindustri yang memanfaatkan hasil perikanan sebagai bahan baku untuk menghasilkan suatu produk yang bernilai lebih tinggi. Industri perikanan seperti juga industri-industri yang lain selain menghasilkan produk yang diinginkan, juga menghasilkan limbah baik limbah padat maupun limbah cair. Limbah industri pangan dapat menimbulkan masalah dalam penanganannya karena mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein, lemak, garam-garam mineral dan sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dan pembersihan. Pada umumnya limbah industri pangan tidak membahayakan kesehatan masyarakat, karena tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit, akan tetapi kandungan bahan organiknya yang tingggi dapat bertindak sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba ( Jenie dan Winiati, 1993). Pada usaha industri perikanan, baik dari penangkapan maupun pengolahan, telah banyak menghasilkan produk hasil samping dan limbah yang tidak sedikit jumlahnya. Dari 25%
produksi ikan di dunia tidak dipakai untuk bahan pangan (konsumsi langsung) dan ditambah dengan produk-produk hasil samping dari industri pengolahan ikan. Melihat hal tersebut maka banyak kendala yang dihadapi terutama dalam pembuangan limbahnya, karena sampai saat ini hasil samping dan limbah ikan belum dapat dimanfaatkan. Alternatif sederhana mengenai pemanfaatan hasil samping limbah ikan adalah dengan cara mengolah menjadi minyak ikan (Murtini, 1992). Menurut Suryaningrum (2007) bahwa dalam industri pengolahan ikan patin akan dihasilkan limbah yang cukup banyak yaitu sekitar 67% berupa kulit, kepala, tulang dan isi perut dari total ikan patin. Limbah tersebut dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi gelatin, konsentrat protein, tepung ikan, silase, atau minyak biodiesel sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam industri ikan patin Minyak ikan merupakan asupan yang mengandung banyak nutrisi penting yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Suplemen minyak ikan biasanya berasal dari ikan laut perairan dalam dan dingin yang diekstrak dari jaringan hati ikan cod atau jaringan lemak ikan salmon (Siswono, 2008). BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kepala ikan patin siam (Pangasius suchi) dan diproses menjadi minyak ikan patin. Bahan bantu untuk pembuatan minyak ikan adalah garam, NaOH, dan karbon aktif. Sedangkan bahan untuk pembuatan biscuit adalah tepung terigu, gula halus, mentega (margarine), minyak kepala ikan patin, baking powder, telor, susu. Adapun formula yang digunakan dapatbdilihat pada table 1. Tabel 1.Formula biskuit minyak kepala ikan patin Perlakuan Bahan I II III Kontrol Tepung terigu 150 g 150 g 150 g 150 g Gula halus 80 g 80 g 80 g 80 g Margarin 95 g 90 g 85 g 100 g Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |438
ISBN 978-602-98902-1-1 Minyak ikan patin Baking powder Telor Susu Metode
5 ml 5g 25 g 15 g
10 ml 5g 25 g 15 g
15 ml 5g 25 g 15 g
0 5g 25 g 15 g
Proses pembuatan biskuit dilakukan dengan cara mencampurkan bahan-bahan sehingga terbentuk adonan biskuit, kemudian dicetak dan selanjutnya dipanggang dengan oven. Pada proses pencampuran bahan-bahan ini dilakukan dengan cara : telor, margarine dan gula dimasukkan kedalam wadah mixer dan dimixer selama ± 10 - 15 menit hingga adonan berubah menjadi putih, mengembang dan homogen sehingga bahan-bahan tercampur dengan rata. Proses pencampuran perlakuan I, II dan III cara prosesnya sama akan tetapi, lama atau waktu yang digunakan untuk menghaluskan bahan-bahan hingga bahan mengembang atau berwarna putih. Pada perlakuan I dan II proses pencampurannya dengan waktu 15 menit sedangkan perlakuan III proses pencampurannya hanya 10 menit karena adanya penambahan minyak ikan sebanyak 15 % sehingga mudah dihaluskan, hasilnya pun lebih putih dan cepat mengembang. Proses pengadonan ini dilakukan dengan cara menambahkan tepung, susu dan baking powder secara berturut-turut kedalam bahan yang telah dimixer, lalu adonan dibentuk hingga terbentuk adonan yang kalis dan homogen. Proses pengadonan ini berlangsung selama 5 – 10 menit. Adonan jangan terlalu lama diaduk karena adonan cepat mengembang sebelum pengovenan sehingga hasil adonan tidak rata pada permukaan adonan, begitupun sebaliknya adonan tidak bagus hasilnya bila tidak sampai kalis dikhawatirkan masih ada bahan yang tidak tercampur dengan rata atau tidak homogen. Pada perlakuan I (5%) pengadonan selama 10 menit untuk mengadon adonan hingga kalis dan tercampur menjadi rata atau homogen sehingga hasilnyapun lebih padat. Sedangkan pada perlakuan II (10 %) dan IV (15 %) hanya 5 -8 menit proses pengadonan dan hasil pengadonannyapun lebih lembut dan mudah tercampur rata atau homogeny Proses pencetakan dengan menggunakan alat pencetak, dengan cara adonan yang telah kalis diletakkan diatas plastik dan buat lembaran adonan yang ketebalannya ½ cm lalu cetak sesuai keinginan, hasil cetakan adonan dimasukkan kedalam Loyang untuk proses selanjutnya. Dari perlakuan I, II, dan III hasil yang paling bagus cetakannya adalah perlakuan I, karena adonan terbentuk dengan padat sehingga mempermudah dalam memasukkan kedalam loyang. Sedangkan pada perlakuan II dan III adonan sangat susah untuk dicetak dan sulit dalam memindahkan hasil cetakan kedalam Loyang karena adonan sangat lembut sehingga mudah rusak hasil cetakannya Proses pengovenan atau pemanggangan menggunakan oven, dengan suhu 125 °C selama 35 menit hingga matang. Pada perlakuan I, II dan III cara pengoven sama, untuk perlakuan I dalam waktu 15 menit dengan suhu 125 °C permukaan biskuit belum terlihat mengembang dan menghasilkan biskuit yang padat kenampakannya kuning kecoklatan, sedangkan perlakuan II dan III, biskuit kenampakannya sedikit cerah dibandingkan perlakuan I atau menggunakan minyak ikan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Dari hasil pengujian kadar air yang dilakukan menunjukkan bahwa kadar air yang tertinggi adalah pada perlakuan III dengan penambahan minyak ikan patin 15%, dan nilai rata-rata nya adalah 4,11 %. Sedangkan nilai yang terendah terdapat pada perlakuan I dengan konsentrasi minyak ikan 5 %, nilai rata-ratanya 3,77%. Semakin sedikit kadar air yang terkandung pada produk maka semakin lama pula daya awet suatu produk yang diolah, dan didukung oleh SNI 012973-1992 yang menyatakan bahwa standar kadar air pada biskuit maksimum 5%, jadi dapat disimpulkan bahwa biskuit minyak ikan patin kadar air yang terkandung sangat sedikit dan dibawah standart yang ditentukan, dan diasumsikan bahwa biskuit minyak ikan patin dapat bertahan selama 2-3 bulan. Kadar abu Proses pengujian kadar abu ini dilakukan dengan tujuan agar mengetahui seberapa besar jumlah total mineral yang terdapat pada produk biskuit minyak ikan patin yang telah dibuat, Pendapat ini juga didukung dengan pendapat Mariandi (2010) bahwa abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik, sedangkan kadar abu adalah ukuran dari jumlah total mineral yang ada dalam makanan, dan kadar mineral adalah ukuran jumlah komponen anorganik tertentu yang ada dalam makanan, sehingga penentuan kadar abu merupakan residu anorganik yang tersisa setelah air. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kadar abu yang tertinggi adalah pada perlakuan I ( 5%) dengan rata-rata 1,32% sedangkan nilai rata-rata yang terendah adalah 1,23% kadar abu yang terkandung pada biskuit perlakuan III. Didukung oleh SNI (1992) menyatakan bahwa standart kadar abu pada biskuit adalah 2%. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit minyak ikan patin memiliki kadar abu dibawah standar yang ditentukan. Kadar lemak Analisa kadar lemak ini bertujuan untuk mengetahui berapa banyak kandungan lemak yang terdapat pada biskuit minyak ikan patin, karena lemak Lemak sangat mudah mengalami kerusakan akibat oksidasi sehinggga dapat menimbulkan ketengikan dan mengurangi daya awet pada produk biscuit. Dari data yang terangkum pada tabel 7, dapat disimpulkan bahwa kadar lemak yang terendah adalah pada perlakuan I (5 %) dengan rata-rata 24,5%. Akan tetapi untuk perlakuan II dan perlakuan III nilai rata-rata kadar lemak yang dihasilkan pada biskuit adalah 25%. Didukung oleh SNI (1992) menyatakan bahwa standart kadar lemak pada biskuit adalah 27,4%. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit minyak ikan patin memiliki kadar lemak dibawah standar yang ditentukan. Kadar protein Pengujian protein pada biskuit minyak ikan patin ini bertujuan agar mengetahui berapa kandungan protein yang terdapat pada biscuit. Kadar protein yang terkandung pada biskuit minyak ikan patin yang tertinggi adalah biskuit dengan perlakuan III dengan konsentrasi minyak ikan 15%, rata-rata 7,8919% sedangkan yang terendah adalah biskuit dengan perlakuan I, rata-rata 7,6738% tanpa penambahan minyak ikan patin. SNI 01-2973-1992 menyatakan bahwa kadar protein yang terdapat pada biskuit minimum 6%, jadi dapat disimpulkan bahwa biskuit minyak ikan patin banyak
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |439
4.8 4.6
4.61
4.4
ISBN 978-602-98902-1-1
4.2 mengandung protein sehingga rata-rata kadar protein diatas standar yang ditentukan oleh SNI. Aw (aktifitas air) Pada pengujian Aw ini yang bertujuan untuk mengetahui kandungan air bebas yang terkandung didalam produk kue kering sehingga dari hasil yang telah diuji dapat disimpulkan berapa daya tahan produk sampai tumbuhnya kapang atau jamur. Dari hasil tabel pengujian Aw biskuit minyak ikan dapat disimpulkan bahwa Aw yang terendah adalah pada perlakuan ke I (5 %) minyak ikan. Semakin sedikit Aw yang terkandung pada produk maka semakin lama pula daya tahan suatu produk dan lama tumbuhnya kapang atau jamur pada biskuit minyak ikan, diasumsikan bahwa biskuit ini akan bertahan dengan daya awetnya selama 3 bulan, dengan penyimpanan dengan suhu yang konstan atau disimpan didalam toples. Sedangkan Hasil pengujian aw biskuit pada perlakuan III (15%) minyak ikan akan cepat tumbuh jamur dari pada perlakuan I dan II karena hasil rata-rata pengujian aw pada perlakuan III adalah 0,556 di asumsikan bahwa biskuit pada perlakuan ini daya tahannya ± 1 ½ bulan. Uji organoleptik Uji organoleptik yang diamati yang dilakukan terhadap produk biskuit minyak ikan patin dengan parameter kenampakan, warna, bau, tekstur, dan rasa dan penerimaan menggunakan skala hedonic 1-5 dengan jumlah panelis sebanyak 18 orang dari ulangan 1 dan ulangan 2. Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa sampai dengan 15 % minyak ikan difortifikasi pada margarine dalam pembuatan kue kering, produk yang dihasilkan masih diterima panelis. Akan tetapi secara umum rata-rata skor hedonik biskuit yang diperkaya dengan 10 % minyak ikan lebih tinggi daripada biskuit yang diperkaya dengan 15% minyak ikan patin. Disamping uji organoleptik, dilakukan juga analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein untuk melihat kandungan gizi biskuit. sedangkan uji organoleptik biskuit minyak ikan patin dinilai dari kenampakan, warna, bau, tekstur dan rasa pada biskuit. Kenampakan. Nilai terbaik yang diberikan oleh panelis pada kue kering minyak ikan pada perlakuan ke III (15 %) minyak ikan patin yang hasil rata-ratanya adalah 4.33 (agak suka) dengan kenampakan yang utuh, sedikit rapi, dan menarik sedangkan penampakan yang kurang diminati oleh panelis adalah perlakuan ke I (5 %) dengan hasil rata-ratanya 4.19 dengan kenampakannya tidak jauh beda dengan perlakuan II. Nilai organoleptik kenampakan biscuit minyak kepala ikan patin dapat dilihat pada gambar 1.
4.19
4
4.27
4.33
3.8 0%
5%
10%
15%
penambahan minyak merata. Nilai organoleptik warna biscuit minyak kepala ikan patin dapat dilihat pada gambar 2. 5 4.8 4.6
4.77
4.77 4.61
4.4 4.2
4.27
4 0%
5% 10% penambahan minyak
15%
Gambar 2. Nilai organoleptik warna biscuit minyak kepala ikan patin Bau Panelis sangat menyukai bau biskuit pada perlakuan II atau 10 % minyak ikan patin dengan nilai skor 4.94 karena pada perlakuan II ini biskuit minyak ikan mengeluarkan aroma atau bau khas minyak ikan patin dan bau nya juga tidak terlepas dari bau spesifik produk biskuit yang gurih. Panelispun kurang menyukai bau biskuit pada perlakuan III karena komposisi minyak ikannya lebih tinggi sehingga mengeluarkan aroma minyak ikan yang sedikit menyengat selain itu bau spesifik produk biskuit pun samar-samar. Nilai organoleptik bau biscuit minyak kepala ikan patin dapat dilihat pada gambar 3. 6 5 4 3
4.66
4.94
5%
10%
4.27
4
2 1 0 0%
15%
penambahan minyak Gambar 1. Nilai organoleptik kenampakan biskuit minyak kepala ikan patin Warna Hasil dari uji organoleptik untuk warna yang disukai oleh panelis dari perlakuan I (5%) hingga perlakuan III (15%) adalah warna biskuit perlakuan III dengan warna kuning kecoklatan dan merata untuk nilai skor 4.77 . Sedangkan untuk warna yang kurang diminati oleh panelis pada perlakuan I dengan skor 4.27 dengan warna kuning kecoklatan tidak
Gambar 3. Nilai organoleptik bau biscuit minyak kepala ikan patin Tekstur Perlakuan I sampai III tekstur yang terbaik dari hasil uji organoleptik adalah perlakuan I, akan tetapi tekstur biskuit yang terbaik dari fortifikasi oleh minyak ikan patin adalah perlakuan II (10 % minyak ikan) dengan nilai skor 3.94 karena tekstur yang dihasilkan renyah dan mudah untuk dikunyah, sedangkan untuk biskuit yang kurang disukai oleh panelis adalah perlakuan III dengan skor 3.333333 karena tekstur yang Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |440
ISBN 978-602-98902-1-1 dihasilkan biskuit yang sedikit renyah dan mudah dikunyah, sedangkan menurut SNI 01-2973-1992, tekstur biskuit yang baik adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih,bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dan bergerongga yang sedikit, untuk mempermudah mengetahui perbandingannya. Nilai organoleptik tekstur biscuit minyak kepala ikan patin dapat dilihat pada gambar 4. 5 4 3
4
3.56
3.94
3.33
2 1 0 0%
5%
10%
15%
penambahan minyak Gambar 4. Nilai organoleptik tekstur biscuit minyak kepala ikan patin Rasa Minyak ikan sangat mempengaruhi rasa pada biskuit, apabila formulasi minyak ikan kurang tepat pada bahan pangan maka hasilnya kurang baik juga, contohnya saja hasil dari uji kesukaan panelis terhadap kue kering. Panelis menyukai rasa kue kering dengan perlakuan II (10 %) dari pada I (5%) dan III (15%) karena rasa biskuit pada perlakuan II menghasilkan rasa yang gurih dan tidak ada rasa mengganggu atau rasa minyak ikan yang menyengat. Sedangkan pada biskuit perlakuan III dengan rasa yang kurang gurih, dan tidak ada rasa yang mengganggu. Nilai organoleptik rasa biscuit minyak kepala ikan patin dapat dilihat pada gambar 5. 5 4
4.5
4.61
4.66 3.66
3 2 1 0 0%
5% 10% 15% penambahan minyak Gambar 5. Nilai organoleptik rasa biscuit minyak kepala ikan patin KESIMPULAN 1. Limbah kepala ikan patin dapat menghasilkan 0,56% minyak ikan patin 2. Hasil pengujian proksimat yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa biskuit dengan penambahan minyak ikan patin mempunyai kadar air setiap perlakuan rata-rata 3,94 %, kadar abu rata-rata 1, 28%, kadar lemak rata-rata 24,8% dan kadar protein rata-rata 7,79 %. 3. Dari hasil pengujian organoleptik menurut skala hedonik 1-5 bahwa biskuit dengan penambahan minyak ikan patin masih diterima oleh panelis dari 5 %, 10 % dan 15 %.
Akan tetapi biskuit yang paling disukai oleh panelis adalah biskuit dengan kadar minyak ikan patin 10 %. SARAN Dalam proses pembuatan biskuit sebaiknya minyak ikan yang digunakan harus minyak ikan yang telah dilakukan proses pemurnian sehingga biskuit yang dihasil tidak begitu terasa minyak ikan patin atau menimbulkan rasa getir, selain itu untuk menghilangkan bau amis yang terdapat pada minyak ikan patin dapat ditambahkan dengan bahan pelengkap seperti : jahe dan jeruk nipis. Sebaiknya dilakukan uji Karbohidrat untuk mengetahui kandungan karbohidrat yang terdapat pada biskuit dengan penambahan minyak ikan patin. Pengujian kadar asam lemak juga sangat penting pada biskuit dengan penambahan minyak ikan patin ini dengan tujuan untuk mengetahui berapa kandungan asam lemak pada produk biskuit. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Saudari Qomariah yang telah berperan dan membantu sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Baily AJ. dan Light ND. 1989. Genes, Biosynthesis and Degradation of Collagenin Connetive tissue in Meat and Meat Products. Elsevier Applied Science. London and New York. Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi kedua. Penerjemah: M Gardjito, S Naruki, A Murdiati, Sardjono. The Science of Food an Introduction to Food Science Nutrition and Microbiology. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Universitas Gadjah Mada Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. 2000. Hasil Pelaksanaan Pekerjaan Kerjasama Penelitian Terpadu Tentang Ekspedisi Teluk Lampung. P3O LIPI. Jakarta. Trilaksani W., Salamah E. dan Nabil M. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) Sebagai Sumber Kalsium Dengan Metode Hidrolisis Protein. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol IX(2). Whitney EN. Hamilton EMN. 1987. Understanding Nutrition. New York: West Publishing Company
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |441
ISBN 978-602-98902-1-1
Sensory Acceptability Of Burgers Made From Duck Surimi-Like Material Kurnia Ramadhan, Nurul Huda*, and Ruzita Ahmad
Fish and Meat Processing Laboratory, Food Technology Programme School of Industrial Technology, Universiti Sains Malaysia Minden, 11800, Penang, Malaysia. 2 Advanced Medical and Dental Institute, Universiti Sains Malaysia, Penang 11800, Malaysia. *Correponding Author:
[email protected] 1
ABSTRACT Burgers were made from different types of duck meat i.e. duck surimi-like material with polydextrose added, duck surimi-like material with sucrosesorbitol added and duck mince meat. For comparison, burger prepared from chicken mince meat was also prepared. The burgers were investigated for sensory acceptability using hedonic test. Hedonic test was conducted by forty untrained panelists consisting of students of Universiti Sains Malaysia, using 7-point hedonic score to judge their preference on some quality attributes of burgers such as color, texture, aroma, flavor, and overall acceptability. Sensory data were then analyzed to obtain the means and median scores, and clustered based on their preference pattern. Burgers made from duck surimi-like material were preferred in terms of texture, flavor, and aroma compared to burger from duck mince meat. Means of hedonic scores on overall acceptability showed 77.5% of panelists decided on burgers made from duck surimi-like material as the preferred choice after chicken burger. Duck surimi-like material, when applied in processed meat product such as burger, significantly improved its sensorial quality. Keywords: duck meat, surimi-like material, burger, hedonic test.
INTRODUCTION Duck meat is the third most widely produced poultry meat after chicken and turkey. Moreover, Malaysia is in the third rank of the largest duck meat producer countries (FAOSTAT 2009). While consumption of duck meat in Malaysia has been limited to the Chinese market, and it is available only in particular forms, such as roasted duck and smoked duck (Tai and Tai 2001). For general consumers in Malaysia, annual consumption of duck meat is only 2 kg per capita, whereas that of chicken meat is 38 kg per capita (Noor 2008; Saran et al. 2009). Surimi technology, which initially was used to generate fish protein concentrate, has been adapted to process non-fish flesh into surimi-like material and to improve the properties of unpopular meat sources. Surimi-like materials have been shown to have better quality attributes compared to unprocessed meat, such as lower fat content and higher gel strength. Despite the abundance and availability of duck meat, studies of the use of duck surimi-like material in processed meat products, such as burgers, are lacking. Thus, the goal of this study was to evaluate the sensory acceptability of duck surimi-like material in burgers and to compare them to another popular protein source: chicken. Among the available sensory tests, the hedonic test is consumer oriented, as it is conducted using untrained consumer panels. It is designed to measure degree of liking for a product (Watts et al. 1989), and it was used herein to compare the sensory acceptability of different types of burgers. MATERIALS AND METHODS Production of Duck Surimi-like Material Carcasses of Pekin duck broilers were mechanically deboned at a commercial processing plant (Fika Food Corporation Sdn. Bhd., Penang, Malaysia) using a deboning machine with a pore size of 0.9 mm (Meat Maker Deboner, Prince Industries Inc., Murrayville, GA). The mechanically deboned duck meat was stored at -20 oC in frozen meat block
form prior to production of surimi-like material. Meat blocks were cut into smaller sizes using a meat bone saw (Model P79-SS, Powerline Equipment, Norwalk, CT) and ground using a meat grinder (Model EVE/ALL-12, Rheninghaus Srl, Torino, Italy). Surimi-like material preparation followed Ensoy et al. (2004) with modification. Burger Preparation Burgers were made from four different types of meat: coarsely ground chicken thigh meat (CB = chicken burger); mechanically deboned duck meat (DB = duck burger); duck surimi-like material with the sucrose-sorbitol blend added (SS = surimi with sucrose-sorbitol); and duck surimi-like material with polydextrose added (SL = surimi low sweetness). The burger formulation followed Naveena et al. (2006) with modification. Cooking Method and Sensory Evaluation Analysis
The cooking method used followed Dreeling et al. (2000). Each burger was cooked (griddled) on a hot plate (Tefal® Plancha, Groupe SEB, Canohès, France) for 10 min at medium heat. Both sides of the burger were cooked until a welldone cooked burger was obtained and a minimum internal temperature of 75 oC was reached (Martínez et al. 2009). A panel of 40 untrained Universiti Sains Malaysia students, which included international and local students from various races, participated in the sensory evaluation. The hedonic test was performed as described by Trindade et al. (2009). Every panelist was served four pieces of cooked burger (i.e., one of each burger type), and each consisted of one-eighth of a burger. Hedonic scores ranging from 1 to 7, where 1 represented “dislike very much” and 7 represented “like very much.” The sensory attributes evaluated were color, texture, aroma, flavor, and overall acceptability.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |442
ISBN 978-602-98902-1-1 Statistical Analysis The data were processed into a box-plot chart using SPSS software (SPSS 16.0 for Windows, SPSS Inc, Chicago, IL). RESULTS AND DISCUSSION Table 1 shows the means of the hedonic scores. CB had the highest means for all sensory attributes (p < 0.05), with scores ranging from 5.40 to 6.07. This result indicates that panelists perceived CB to lie between “like slightly” and “like moderately.” SL, SS, and DB did not differ significantly in color, and the means of hedonic scores for color fell in the middle of the 7-point scale (neither liked nor disliked). In contrast, Huda et al. (2010) reported that hedonic test for duck sausage scored higher than chicken sausage in terms of color. The differing results might be due to the different cooking methods used: The sausage was smoked and wrapped inside the casing, whereas the burger made contact with the heating surface, which may lead to uneven color. Hedonic scores of SL and SS for texture, aroma, flavor, and overall acceptability fell between “neither like nor dislike” and “like slightly.” DB was the least preferred by panelists in term so these sensory traits. The hedonic scores of DB ranged between “dislike slightly” and “neither like nor dislike.” Huda et al. (2010) also reported lower acceptability of duck meat based on a 7-point hedonic test: The mean score of duck sausage was between 3 and 4 for flavor, taste, and texture, whereas the mean score of chicken sausage was between 5 and 6 for the same attributes. Panelists in the present study preferred CB, which had lighter color, and harder, chewier, and springier texture compared to the SL, SS, and DB, referring to our work using quantitative descriptive analysis (Ramadhan et al. unpublished observations). Stronger intensity of sweetness did not caused SS became least acceptable. SL and SS did not differ significantly in flavor and aroma attributes. Table 2 shows panelist clustering based on the overall liking scores. These data show that CB was the most preferred burger type, with the scores ranging from “like slightly” to “like very much.” The first cluster consisted of 50% of the panelists, whereas the third cluster consisted of 27.5% of the panelists. Both clusters placed DB as the least preferred burger type, but they placed SL and SS in opposite order. SL was less preferred than SS in the first cluster, while in the third cluster, SL was more preferred than SS. Panelists in the third cluster showed lack of discrimination and tended to give high scores for all of the burger samples (Table 2): They gave a mean score of 5.46 for the least preferred sample and 6.46 for the most preferred sample. In contrast, members of the first cluster gave a mean score of 2.90 for the least preferred sample and 5.80 for the most preferred sample. Murray and Delahunty (2000) also reported the presence of a cluster of non-discriminating consumers in a hedonic test of attributes of cheddar cheese. Panelists in the second cluster, which constituted 15% of total panelists, gave low mean scores for overall liking of SL, SS, and DB that ranged from 1.50 to 2.83; however, the mean score for CB was 5.17. The fourth cluster consisted of only 7.5% of total panelists, and these panelists gave high mean scores for CB, SS, and DB (5.33–6.00) and a low mean score for SL (2.33).
CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS In this study, most of the 40 panelists preferred burgers made from duck surimi-like materials over duck mince in terms of texture, aroma, flavor, and overall acceptability. Clustering of panelists showed that CB was the most preferred burger type and DB was the least preferred, but the two main clusters placed SL and SS in opposite order. In general, the results showed the potential of using duck surimi-like material to improve the acceptability of processed duck meat products. Based on this research, simply serving the patties without any complements, such as burger bun, might be inappropriate for actual consumers’ condition. Further research must use actual serving condition and larger number of consumers. ACKNOWLEDGMENTS The authors acknowledge with gratitude the support given by Universiti Sains Malaysia. This research was funded by a research grant from the Malayan Sugar Manufacturing Company, Berhad. REFERENCES ENSOY, Ü., KOLSARICI, N. and CANDOĞAN, K. 2004. Quality characteristics of spent layer surimi during frozen storage. Eur. Food Res. Tech. 219, 14–19. FAOSTAT .2009. Food and Agriculture Organization of the United Nations statistical databases-agriculture production-live stock primary-duck meat production. http://faostat.fao.org/site/569/default.aspx#ancor. (Accessed November 11, 2009). HUDA, N., OOI, J.L., YONG, C.P. and NURKHOERIYATI, T. 2010. Effect of chicken and duck meat ratio on the properties of sausage. Int. J Poult. Sci. 9, 550–555. MARTÍNEZ, B., MIRANDA, J.M., VÁZQUEZ, B.I., FENTE, C.A., FRANCO, C.M., RODRÍGUEZ, J.L. and CEPEDA, A. 2009. Development of a hamburger patty with healthier lipid formulation and study of its nutritional, sensory, and stability properties. Food Bioprocess Technol. DOI: 10.1007/s11947-009-0268-x. MURRAY, J.M. and DELAHUNTY, C.M. 2000. Mapping consumer preference for the sensory and packaging attributes of cheddar cheese. Food Qual. Pref. 11, 419–435. NAVEENA, B., MUTHUKUMAR, M., SEN, A., BABJI, Y. and MURTHY, T. 2006. Quality characteristics and storage stability of chicken patties formulated with finger millet flour (Eleusine coracana). J. Muscle Foods 17, 92– 104. NOOR, Z. A. M. 2008. Broiler ducks. Department of Veterinary Services, Perak Darul Ridzuan. http://www.jpvpk.gov.my (Accessed June 20, 2011). SARAN, S., SINGH, B.P., NARAYAN, R. and TYAGI, J.S. 2009. Food safety key to Indian poultry exports. Poultry International, March 2009; p. 22, http://www.poultryinternational-digital.com (Accessed June 1, 2011). TAI, C. and J.-J. L. TAI. 2001. Future prospects of duck production in Asia. J. Poult. Sci. 38, 99–112. TRINDADE, R.A., LIMA, A., ANDRADE-WARTHA, E.R., OLIVEIRA E SILVA, A.M., MANCINI-FILHO, J. and Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |443
ISBN 978-602-98902-1-1 VILLAVICENCIO, A.L.C.H. 2009. Consumer's evaluation of the effects of gamma irradiation and natural antioxidants on general acceptance of frozen beef burger. Radiat. Phys. Chem. 78, 293–300. WATTS, B. M., YLIMAKI, G., JEFFERY, L. and ELIAS, L. 1989. Basic Sensory Methods for Food Evaluation. Chap. 7, p. 66-78, IDRC, Ottawa, ON, Canada. Table 1. Means of hedonic scores of burgers Sample CB DB SS SL
Color 5.40 ±1.19b 4.00 ±1.56a 4.35 ±1.74a 4.20 ±1.49a
Texture
Aroma
Flavor
Overall
5.68 ±0.89c
6.07 ±1.01c
5.80 ±1.16c
5.90 ±0.87c
3.58 ±1.98a
3.52 ±1.68a
3.48 ±1.74a
3.78 ±1.56a
4.65 ±1.53b
5.00 ±1.14b
4.82 ±1.48b
4.65 ±1.64b
4.65 ±1.42b
4.63 ±1.50b
4.32 ±1.59b
4.40 ±1.51ab
Data are mean ± SD of duplicate samples. Different superscript letter in the same column indicate significant differences among samples. CB: chicken burger; DB: duck burger; SS: burger made from duck surimi-like material with sucrose-sorbitol added; SL: burger made from duck surimi-like material with polydextrose added. Table 2. Mean scores of overall liking of the burgers by the clustered panelists Clust Frequency DB CB SS SL er (%) 1 5.8 2.9 4.9 4.5 50.0 0 0 0 0 2 5.1 2.8 1.5 2.5 15.0 7 3 0 0 3 6.4 5.4 5.6 5.8 27.5 6 6 4 2 4 6.0 5.3 5.6 2.3 7.5 0 3 7 3 For each cluster (row), bold numbers indicate the most preferred type of burger and underlined numbers indicate the least preferred type. CB: chicken burger; DB: duck burger; SS: burger made from duck surimi-like material with sucrose-sorbitol added; SL: burger made from duck surimi-like material with polydextrose added.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |444
ISBN 978-602-98902-1-1
SCALE-UP PENGOLAHAN LIDAH BUAYA (ALOE VERA) UNTUK PRODUKSI PANGAN FUNGSIONAL Sri Istini, Edi Wahjono dan Karnadi
Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gd. BPPT II Lt. 15, Jl. MH. Thamrin No. 8, Jakarta-10340
[email protected]
ABSTRAK Lidah buaya (Aloe vera) adalah salah satu jenis tanaman yang diketahui memiliki banyak manfaat dan khasiat bagi kesehatan dan telah digunakan sebagai obat herbal dan minuman kesehatan di berbagai negara. Kandungan senyawa aktif pada pelepah lidah buaya atara lain aloin, acemannan, asam aloelat, anthraquinon dan emodin. Ketersediaan sumber bahan baku lokal lidah buaya di Indonesia menjadikan peluang pengembangan lidah buaya sebagai produk pangan fungsional di Indonesia cukup prospektif. Namun demikian proses pengolahan/produksi untuk menghasilkan produk yang berkualitas masih perlu dikembangkan. Sebagai solusinya adalah dilakukan kajian pengolahan lidah buaya menjadi produk pangan fungsional pada skala laboratorium dan dikembangkan pada skala yang lebih besar (scale up) yaitu 100 kg/jam bahan baku. Proses produksi pangan fungsional Aloe vera dilakukan melalui tahapan: pencucian, pemotongan dan pengupasan, blanching, ekstraksi gel liquid, pasteurisasi dan pengemasan. Data proses produksi yang dihasilkan adalah yield sekitar 45% berupa gel liquid, viskositas 12 – 16,8 mPas, pH 4,17 – 4,4 , kadar aloin 69,386 – 81,404 ppm dan cemaran mikroba 2,3x102 – 2,8x102 cfu/ml. produk pangan fungsional ini dalam kemasan 300 – 500 ml. Keyword : Lidah buaya (Aloe vera), pangan fungsional, scale up, gel liquid.
PENDAHULUAN Lidah buaya (Aloe vera) adalah salah satu jenis tanaman yang diketahui memiliki banyak manfaat dan khasiat bagi kesehatan. Tanaman ini telah lama dikenal sebagai “ The Miracle Plant” serta banyak digunakan di berbagai negara seperti Cina, India dan Amerika sebagai bahan obat herbal dan minuman kesehatan. Lidah buaya merupakan tanaman sekulen (bergetah dan berdaging), dengan rata-rata jumlah daun 10-30 lembar, dengan ketebalan sekitar 2,5 cm (Morsy, 1991). Di dalam pelepah lidah buaya terdapat gel yang merupakan bagian yang paling banyak penggunaannya. Komponen terbesar dari gel lidah buaya adalah air yaitu 99,5% dan sisanya adalah padatan yang terdiri dari karbohidrat mono dan polisakharida. Pelepah lidah buaya mengandung beberapa senyawa aktif seperti aloin, acemannan, asam aloelat, anthraquinon dan emodin. Di Indonesia lidah buaya telah banyak dikembangkan di beberapa daerah, tapi pemanfaatannya belum dilakukan secara maksimal. Ada 3 (tiga) jenis lidah buaya yang dibudidayakan secara komersial yaitu Curacau aloe atau Aloe vera (Aloe barbadensis Miller), Cape Aloe atau Aloe ferox Miller dan Socotrine aloe atau Aloe perryii Baker. Dari ketiga jenis tersebut yang banyak dimanfaatkan adalah spesies Aloe barbadensis Miller karena mempunyai beberapa keunggulan di antaranya tahan hama, mengandung 75 nutrisi dan aman dikonsumsi. Lidah buaya juga mengandung senyawa polisakarida (terutama glukomanan atau acemanan) yang berkhasiat sebagai peningkat daya tahan tubuh (imunomodulator) bekerjasama dengan asam amino esensial dan sekunder serta enzim oksidase, katalase, lipase dan enzim-enzim pemecah protein (Furnawanthi, 2007). Hasil penelitian menunjukkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam lidah buaya seperti : asam amino (esensial dan non esensial), vitamin, mineral, enzim, polisakharida dan senyawa kompleks antraquinon. Di samping itu lidah buaya banyak mengandung senyawa aktif seperti antioksidan, antibakteri, antiviral dan senyawa aktif lain yang berkhasiat untuk mencegah timbulnya penyakit dan membantu untuk mencegah munculnya penyakit
degeneratif seperti diabetes melitus, serta meningkatkan kekebalan tubuh. Senyawa yang berperan pada pencegahan penyakit diabetes di antaranya adalah aloin. Dengan demikian lidah buaya sangat berpotensi sebagai bahan baku pangan fungsional. Selain itu pada akhir-akhir ini masyarakat akan lebih menyukai pemakaian produk herbal (back to nature) untuk mengatasi masalah kesehatan. Perkembangan penyakit di Indonesia semakin komplek, mulai dari penyakit karena infeksi hingga gangguan metabolisme seperti penyakit degeneratif dan kanker. Salah satu penyebab penyakit adalah karena perubahan gaya hidup, pola makan dan hidup masyarakat yang tidak sehat. Di samping itu telah diketahui bahwa baik penyakit infeksi maupun penyakit kanker akan dapat dibantu penyembuhannya dengan pangan fungsional berbasis imunomodulator yang di antaranya menggunkana bahan baku lidah buaya. Sementara ini budidaya lidah buaya untuk bahan baku industri mulai berkembang di beberapa daerah. Namun demikian lidah buaya banyak dipasarkan dalam bentuk pelepah segar atau dalam bentuk minuman atau dodol dari lidah buaya produksi industri tumah tangga atau industri kecil. Di sisi lain demikian pengembangan produk sebagai pangan fungsional ini masih menemui kendala dalam hal optimalisasi proses produksi, kualitas produk dan pengemasan. Beberapa kajian pengolahan pangan fungsional untuk peningkatan daya tahan tubuh telah dilakukan pada skala laboratorium dan selanjutnya dikembangkan teknologinya pada skala produksi/komersial. Untuk itu perlu dilakukan scale-up proses produksi pangan fungsional pada skala menengah dengan menggunakan peralatan pada skala yang lebih besar. Adapun tujuan dilakukannya kegiatan scale-up pengolahan pangan fungsional ini adalah untuk menguasai teknologi produksi (mendapatkan data teknis produksi) pada skala menengah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai referensi untuk pengembangan skala komersial / industri.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |445
ISBN 978-602-98902-1-1 METODOLOGI a) Bahan dan alat. Bahan baku yang digunakan adalah lidah buaya jenis Aloe barbadensis berasal dari Tabanan, Bali. Sedangkan bahan tambahan pangan yang digunakan adalah : gula, asam sitrat, asam askorbat, potasium sorbat dan flavor. Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut : 6. Unit pencucian bahan baku ( bak pencuci dan kran-kran air) kapasitas sampai 50 kg; 7. Alat pemotongan dan pengupasan lidah buaya ( alat manual : meja, pisau dan tempat gel lidah buaya padat); 8. Alat blancher (terdiri dari conveyor , pemanasan dengan uap air dan sistim tertutup); 9. Gel Liquid Extractor untuk membuat cairan lidah buaya (gel liquid) yang dilengkapi hopper dan tombol on/of , kapasitas 150 l/jam, bahan dari stainlessteel (Ulrich , 1984) 10. Pasteurizer yang merupakan alat untuk pasteurisasi gel liquid yang sudah terformulasi. Unit pasteurisasi ini dilengkapi dengan tangki penampung bahan (Feeding Tank) dan tangki produk hasil pasteurisasi (Product Tank) , menggunakan pemanas oli, bahan dari stainlessteel Alat pengemas yang menggunakan kemasan botol dalam volume 300 – 500 ml. b) Metode Metode produksi yang dilakukan pada kegiatan scale-up produksi pangan fungsional ini adalah melalui evaluasi dari beberapa hasil kajian produksi pangan fungsional pada skala laboratorium, data ketersediaan bahan baku lidah buaya dan pengolahan lidah buaya di lapangan seperti industri rumah tangga ataupun industri skala menengah (IKM). Maka untuk mengembangkan produksi pangan fungsional pada skala industri perlu dilakukan uji produksi pada kapasitas skala menengah yang kemudian data-data teknis ini dijadikan acuan untuk pengembangan skala produksi komersial / industri. Untuk mendapatkan gambaran kualitas produk, maka dilakukan analisa kualitas dengan parameter yang dianalisa: pH, viskositas, kadar aloin dan jumlah mikroba. Proses Produksi Proses produksi pangan fungsional aloe vera yang dilakukan adalah modifikasi dari proses pengolahan juice gel aloe vera (Ramachandra & Rao, 2008) dan (Alibaba, 2009). Bahan baku lidah buaya dari hasil panen sejumlah (10 kg dan 100 kg) dibersihkan dari kotoran-kotorannya, dicuci dengan air kran secara langsung sambil disikat sampai bersih. Kemudian direndam dalam larutan KMnO4 0,2 % pada konsentrasi rendah untuk menghilangkan adanya bakteri yang menempel pada pelepah lidah buaya, selanjutnya dibilas / dicuci kembali dengan air bersih (Budi S., 2009) Pelepah lidah buaya yang sudah bersih dipotong kedua ujungnya dan dibagi 2 atau 3 kemudian dikupas kulitnya sehingga diperoleh gel lidah buaya yang bersih. Kemudian dilanjutkan proses blanching yaitu pemanasan dengan uap pada suhu 90°C dengan alat blancher yang dilakukan selama 3 – 5 menit. Setelah proses blanching, gel lidah buaya dimasukkan ke dalam alat gel liquid extractor berkapasitas 150 kg/jam untuk mendapatkan gel liquid (cairan lidah buaya). Hasil samping berupa butiran gel solid (cacahan) yang juga digunakan dalam minuman aloe vera tersebut sebagai sumber serat.
Selanjutnya gel cair diformulasikan dengan menambahkan bahan tambahan pangan pada komposisi tertentu menjadi produk pangan fungsional peningkat daya tahan tubuh. Proses pencampuran dilakukan dalam tangki pencampur dilakukan pada ruangan yang bersih, kemudian diaduk menggunakan homogenizer sampai larut dan homogen. Pengadukan dilakukan selama 10 – 15 menit dan setelah itu dilakukan proses pasteurisasi terhadap hasil formulasi pangan fungsional menggunakan pasteurizer dengan sistem HTST (High Temperature Short Time) yaitu pemanasan pada suhu tinggi dalam waktu singkat. Hasil pasteurisasi kemudian dikemas dalam botol yang berwarna gelap / tidak transparan pada volume 300 ml/kemasan. Untuk menghindari proses pemanasan berkelanjutan yang berpotensi dapat merusak zatzat gizi/bahan aktif lidah buaya, maka dilakukan pendinginan cepat terhadap produk pangan fungsional yang sudah dikemas dengan cara mendinginkan produk dalam kemasan dengan menyiram secara langsung dengan air kran pada bak yang berisi produk. Analisa Produk Untuk mengetahui kualitas produk pangan fungsional yang dihasilkan dilakukan pengukuran : rendemen, viskositas, pH dan kadar aloin. Parameter analisa yang digunakan adalah: 6. Rendemen ditentukan dari berat hasil akhir / berat bahan baku x 100%; 7. Viskositas diukur dengan alat viskometer Brookfileld dengan sistim digital; 8. Kadar keasaman atau pH diukur dengan pH meter; 9. Kadar aloin diukur menggunakan HPLC. 10. Cemaran mikroba .(SNI-01-3219-1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi pangan fungsional pada penelitian ini menggunakan bahan baku Aloe barbadensis dengan kapasitas bahan baku masing-masing 10 kg dan 100 kg. Data hasil kajian pengolahan pangan fungsional berbasis lidah buaya pada skala laboratorium dengan volume 1 liter memberikan hasil produk formula yang telah memenuhi persyaratan sebagai minuman kesehatan. Kajian skala lab memberikan hasil sebagai berikut : produk akhir (rendemen) sekitar 45%, pH 4,5 dan viskositas antara 12 – 16,7 mPas dan cemaran mikroba 1,2x102 - 2,5x10 2 cfu/ml. (Fatim et.al., 2009). Tinggi rendahnya rendemen yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan baku. Makin besar pelepah lidah buaya yang digunakan akan menghasilkan rendemen produk yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelepah lidah buaya kecil. Pelepah lidah buaya yang kecil bila dipotong-potong akan menghasilkan gel pulp yang lebih sedikit dan banyak yang terbuang sehingga pemilihan bahan baku menjadi penting. Dari hasil percobaan diperoleh rendemen + 45% terhadap bahan baku awal. Derajat keasaman (pH) produk mencapai 4.5 ini karena pH dari bahan baku lidah buaya bersifat asam. Disamping itu adanya tambahan asam sitrat dan asam askorbat juga cenderung menurunkan derajat keasaman (pH). Tetapi dengan adanya penambahan potasium sorbat dapat membantu menaikkan nilai pH produk mencapai 4.5 sehingga tidak terlalu asam dan tidak membahayakan lambung. Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |446
ISBN 978-602-98902-1-1 Sedangkan viskositas produk diperoleh pada kisaran 12 – 16,8 perubahan hasil berdasarkan perubahan proses dan kondisi. mPas. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan proses Misalnya jika terjadi kontaminasi mikroba yang dapat dilihat dari pemanasan terutama proses pasteurisasi. Pada proses jumlah mikroba yang tinggi, akan menjadikan nilai pH menurun pasteurisasi digunakan sistem HTST yaitu perlakuan pada dan viskositas juga turun. temperatur tinggi dalam waktu singkat. Temperatur tinggi tersebut dapat menurunkan viskositas cairan gel lidah buaya. Cemaran mikroba masih dalam ambang batas untuk standar SNI yaitu 2x102 cfu/ml. Adanya cemaran mikroba dapat ditekan dengan cara penambahan bahan pengawet, pasteurisasi dan Tabel 1. Karakterisasi produk pangan fungsional Aloe vera mengkondisikan produk dalam pH rendah sekitar 4-5. pada kapasitas 10 kg Selanjutnya dilakukan ujicoba produksi pangan fungsional Kondisi blanching pada suhu Karakterisasi dengan peningkatan kapasitas produksi yaitu 10 kg bahan 70°C selama 5 menit. baku lidah buaya diolah menjadi pangan fungsional Aloe vera Rendemen (%) 45 – 50 . dengan metode pengolahan yang sama dan mengacu pada Viskositas (mPas) 11,7 – 16,7 proses skala laboratorium. Disamping itu, juga digunakan pH 4-5 peralatan yang agak berbeda seperti screwroll press untuk Kadar Aloin (ppm) 82,25 – 85,79. membuat ekstrak gel liquid, proses blanching pada suhu 70°C Cemaran mikroba (cfu/ml) 1,2x102 - 2,5x10 2 selama 5 menit dan pasteurisasi menggunakan alat pasteurizer manual menggunakan suhu 80 °C selama 10 menit. Produk Dari hasil ujicoba produksi pada kapasitas 10 kg perlu pangan fungsional lidah buaya yang dihasilkan sekitar 4,5 - 4,8 dilanjutkan dengan kegiatan proses produksi dengan kapasitas liter dengan karakter sifat produk seperti pada tabel 1. yang lebih besar (scale up)untuk mendukung pengembangan Rendemen yang dihasilkan berkisar 45 – 50% , dengan produksi pada kapasitas skala industri / komersial. Untuk viskositas 11,67 – 16,7 mPas, pH berkisar 4 – 5 karena lidah scale-up produksi digunakan bahan baku lidah buaya Aloe buaya bersifat asam , produk yang dihasilkan dengan barbadensis sekitar 100 kg sebagai kapasitas menengah penambahan asam sitrat akan menambah keasaman. Kadar dengan menggunakan pengembangan desain peralatan utama aloin berkisar antara 82,25 – 85,79 ppm. Dari hasil analisa yang dibutuhkan diantaranya Gel Liquid Extractor dan cemaran mikroba diatas masih memenuhi standar SNI 01-3219Pasteurizer yang membutuhkan modifikasi kondisi operasi 1995 yang menyebutkan batasan TPC adalah 2x102 cfu/ml. tertentu. Viskositas, pH dan jumlah mikroba menjadi parameter yang dianalisa. Parametr ini akan saling melengkapi dan menjelaskan Tabel 2. Pengaruh lama proses blanching terhadap sifat/karakter produk Blanching selama 3 menit
Blanching selama 5 menit
Blanching selama 10 menit
Rendemen (%)
45
44
44
Viskositas (CP)
16,8
12
10
pH
4,17
4,4
4,5
Kadar Aloin (ppm)
81,404
69,386
63,659
Cemaran mikroba (cfu/ml)
2,8 x 102
2,3 x 102
2,3 x 10 2
Keterangan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |447
ISBN 978-602-98902-1-1
Pencucian bahan baku dimaksudkan untuk membersihkan pelepah lidah buaya dari kotoran atau debu seperti tanah dan cemaran mikroba lainnya yang menempel. Pemotongan pelepah lidah buaya dilakukan pada kedua ujungnya untuk mempermudah dalam pengupasan dan diusahakan pengupasan kulitnya sebersih mungkin agar diperoleh gel lidah buaya yang bersih. Pada proses pengupasan pada umumnya keluar cairan lendir yang lama kelamaan dapat berubah warna menjadi kuning kecoklatan karena adanya proses oksidasi dan enzimatis (browning). Untuk itu gel padat lidah buaya dicuci lagi dengan air bersih dan dilanjutkan dengan proses blanching yaitu pemanasan dengan uap pada suhu tinggi (70-80°C) dalam waktu 3 sampai 10 menit. Dari hasil pengukuran viskositas produk pangan fungsional pada proses blanching selama 3 menit, 5 menit dan 10 menit menunjukkan nilai viskositas yang menurun yaitu 16,8 mPas, 12,0 mPas dan 10,0 mPas. Hal ini disebabkan karena ekspose panas dalam waktu yang lebih lama dapat menurunkan viskositas bahan. Dari ketiga nilai viskositas tersebut yang optimum adalah 16,8 mPas yaitu pada proses perlakuan blanching selama 3 menit. Sedangkan pada pengukuran derajat keasaman (pH) produk pangan fungsional berkisar antara 4,1 sampai 4,5. Produk bersifat asam karena pada dasarnya bahan baku lidah buaya mempunyai pH asam sehingga dengan penambahan asam askorbat dan asam sitrat sebagai pengatur pH larutan produk cenderung tetap bersifat asam. Penambahan potasium sorbat diharapkan dapat sedikit menaikkan pH menjadi sekitar 4.5-5.0 sehingga aman untuk dikonsumsi. Berdasarkan hasil pada Tabel 2, menunjukkan bahwa kandungan aloin cenderung berubah terhadap lamanya kontak panas bahan selama proses blanching berlangsung. Hal ini menunjukkan aloin pada suhu tertentu ( diatas 70°C) cenderung turun hal ini disebabkan karena terjadinya keseimbangan konsentrasi aloin dan turunannya (barbaloin dan emodin) sehingga kadar aloin yang terukur lebih rendah dari pemanasan pada suhu yang lebih rendah. (Karnadi,2010) Sedangkan pada uji cemaran mikroba terhadap produk pangan fungsional dengan proses blanching selama 3 menit adalah 2,8 x 102 cfu/ml sedangkan pada blanching selama 5 menit ataupun 10 menit mempunyai cemaran mikroba yang sedikit lebih rendah yaitu 2,3 x 102cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan proses blanching selama 3 menit dan proses pasteurisasi pada suhu tinggi dalam waktu singkat cukup untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme sesuai dengan standar SNI yang berlaku. Untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap produk yang telah dihasilkan, maka telah dilakukan uji organoleptis terhadap produk pangan fungsional aloe vera yang meliputi : rasa, warna, kejernihan dan taste yang spesifik.
viskositas, pH , kadar aloin dan adanya cemaran mikroba menunjukkan hasil beda yang signifikan maka dalam proses blanching dapat dilakukan selama 3-5 menit untuk menghasilkan produk pangan fungsional peningkatan daya tahan tubuh dengan rendemen sekitar 45%, viskositas 16,8 mPas, pH 4.5 , kandungan bahan aktif aloin relatif stabil yaitu 81,404 ppm dan cemaran mikroba 2,3x102 cfu/ml. Untuk mendapatkan respon terhadap tingkat penerimaan konsumen dapat dilakukan uji organoleptik dari produk pangan fungsional Aloe vera yanf meliputi test rasa, warna,kejernihan dan rasa spesifik. Selanjutnya hasil ini dapat ditindaklanjuti atau dijadikan referensi untuk pengembangan produksi pada skala yang lebih besar/komersial. DAFTAR PUSTAKA Alibaba.com. 1999-2009. “Aloe Vera Gel & Juice Plants”. Hongkong Limited and licensors. http://www.freepatentsonline.com/7329421.html Anonim. SNI-01-3219-1995. Cara uji cemaran mikroba. Budi S. 2009. Fasilitas pencucian peralatan dan makanan dalam Hygiene Tempat Pengolahan Makanan Fatim. 2009. Optimasi Uji Cemaran Mikroorganisme pada ekstrak Aloe vera. Technical Report , BPPT. 10 hal. Furnawanti I. 2007. Mengenal lidah buaya. Dalam Khasiat & Manfaat Lidah Buaya SI TANAMAN AJAIB . hal 5 – 10. Karnadi.2010.Karakterisasi Aloin pada Aloe vera Yang dipekatkan dan dipasteurisasi.Technical Report,. BBPT Morsy E.M. 1991. Study of The Nutritional value of Aloe vera Gel. Dalam The Final Technical Report On Aloe vera Stabilization & Processing For The Cosmetic. Bevarage & Food Industies. CITA International. P 60 -62 Ramachandra C.T. and Rao P.Srinivasa. 2008.”Processing of Aloe Vera Leaf Gel : A Review” American Journal of Agricultural and Biological Sciences. 3(2). pp. 502-510. Department of Agricultural and Food Engineering. Indian Instutute of Technology. Kharagpur India. Ulrich
Gael D. 1984. Size Enlargement Equipment. Spesifacation and Design of Equipment . dalam A Guide to Chemical Engineering Process Design and Economic. University New Hampshire. P. 240-242.
KESIMPULAN Produk pangan fungsional peningkatan daya tahan tubuh dengan bahan baku Aloe barbadensis tanpa penambahan air diproduksi pada skala menengah (scale-up) menggunakan peralatan yang cukup memadai dapat memenuhi standar SNI yang berlaku yaitu untuk standar minuman jus. Mengingat pada proses blanching pada suhu tinggi dalam waktu 3, 5 dan 10 menit menunjukkan hasil yaitu rendemen,
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |448
ISBN 978-602-98902-1-1
Optimalisasi Formulasi Labu Kuning, Pepaya, Dan Jenis Cabai Terhadap Karakteristik Saus Cabai Dengan Menggunakan Program Linier Ir. Sumartini., MP.**Prof. Dr. Ir. H. M. Supli Effendi., M.Sc.**,Raden Yuris Herawan* *Mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan Bandung, **Dosen Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan Bandung
ABSTRACT The aim of this research was to determine the characteristic of consumer acceptance and to know the price of chili sauce using linear programming in order to produce a quality chili sauce in according to chemical reference and physical barrier with economic price. Research conducted by two phase, that were first research and main research. In first research conducted materrial analysis ofstarch content, total acid, and total solids of each raw material used in making sauces In main research that was determinated sensory test of flavor, color, flavor, viscosity, appearance and analysis of linear programs using software WinQsb.The procced chili sauce consist sorting, trimming, washing, blanching, the destruction, through cooking. The best product by respons sensory was conducted chemistry analysis consist of starch content, total acid, total solids and analysis of lead contamination. The result of this research indicate that the formula 1 is a formula fisible and cost of formula 1 is Rp. 744.550. according to sensory analysis and linear programming formula 1 is the best product and contain 11.26% starch content, total acid 1.17%, 21.56% of total dissolved solids and heavy metals at .0016 ppm Pb. Keywords:Cabe,saos,harga ekonomis
PENDAHULUAN Saus cabai adalah saus yang diperoleh dari pengolahan bahan baku utama cabai (Capsicum sp.) yang telah matang dan bermutu baik dengan atau penambahan bahan makanan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan. Bahan-bahan yang dapat digunakan antara lain garam, gula, bawang putih, dan pengental (SNI, 2006). Kekentalan atau viskositas merupakan salah satu parameter penting dalam produk saus karena kekentalan terkait dengan penampakan saus yang dihasilkan, kemudahan dalam pengemasan dan kemudahan dalam mengalirkan saus saat dituang. Cabai sebagai bahan baku utama pengolahan saus cabai,selain Merupakan tanaman holtikulturapenghasilrempah dan sayur juga digunakan untuk kebutuhan industri makanan, obatobatan, dan rumah tangga. Data BPS tahun 2009 tercatat produksi cabai merah 1847,642 ton dan cabai rawit 797,126 ton .Ketersediaan cabai di pasaran bergantung pada bulan-bulan tertentu dari hasil panen, pada musim kemarau (AprilSeptember) jumlah cabai melimpah. Harga cabai akan naik pada musim hujan (Oktober-Maret) dan menjelang hari raya keagamaan atau hari besar lainnya karena naiknya permintaan pasar (Agromedia, 2008). Cabai memiliki bermacam-macam jenis dari cabai besar (merah), cabai kecil (rawit), cabai hibrida, dan cabai hias.Cabai yang digunakan pada penelitian ini yaitu jenis cabai hibrida dan cabai kecil.Cabai hibrida termasuk kedalam kelompok cabai besar (merah), namun diperoleh dari hasil persilangan.Karena rasanya yang pedas cabai merah dan cabai rawit dimasukkan kedalam kelompok cabai pedas (hot chili pepper) (Agromedia, 2008). Jenis cabai hibrida yang digunakan yaitu varietas tanjung, cabai tanjung merupakan cabai merah hibrida dari hasil seleksi individu dari populasi di sekitar daerah brebes.Type cabe merah tanjung yang sudah ditanam petani dan berada di pasaran yaitu jenis tanjung 2.Keunggulan dari cabe tanjung 2 terutama yaitu
warna tidak berubah setelah diproses, kandungan capcaisin 40100 (Suyanti, 2007). Cabai rawit mengandung capcaisin yang tinggi karena rasanya sangat pedas sehingga dalam proses pembuatan saus cabai digunakan dalam jumlah sedikit. Harga cabai rawit lebih murah dibandingkan cabe merah, namun jika supply terbatas akan terjadi lonjakan harga yang bisa melebihi harga cabe merah. Harga cabe merah tanjung per Maret Rp. 26.0000,00 /kg sedangkan cabe rawit domba per Maret Rp. 17.000,00 /kg. Harga cabai yang fluktuatif menyebabkan biaya produksi untuk membuat saus cabai menjadi tinggi.Untuk memperoleh volume yang maksimal dari hasil produksi dengan penggunaan cabai dalam jumlah minimal, maka ditambahkan bahan pengisi.Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan saus yaitu tepung singkong, ubi merah, pati jagung serta buahbuahan yang mengandung karbohidrat (Suyanti, 2007).Labu kuning dan pepaya merupakan buah-buahan yang mengandung karbohidrat.Komponen karbohidrat yang terdapat pada buahbuahan yaitu terdiri dari pati, gula, pektin dan selulosa (Sudarto, 1993). Labu kuning (Cucurbita moschata Durch) merupakan sumber karbohidrat.Di dalam labu kuning yang sudah tua banyak mengandung karbohidrat.Karbohidrat yang terdapat pada labu kuning tinggi, dalam 100 gram sebesar 6.6 gram dan memiliki 29 kalori (Daftar Komposisi Bahan Makanan Depkes RI,2009). Labu kuning atau labu parang mempunyai kelebihan kandungan nutrisi yang cukup tinggi yaitu vitamin C, vitamin A, protein, karbohidrat, mineral dan betakaroten, selain itu mengandung antioksidan (Widayati dan Damayanti, 2007). Produksi labu kuning di Jawa Barat tergolong minor dan belum terdata di Badan Pusat Statistik.Sentra labu kuning berada di Pulau Jawa yaitu Semarang.Komoditi sayuran buah ini biasanya di wilayah Semarang ditanam pada bulan FebruariMaret, dan masa panen besar antara Juli-Agustus.Pada masa panen besar produksinya melimpah, sehingga harganya jatuh (Sinar Tani, 2008).Data BPS 2003 menunjukan di Pulau Jawa produksi labu kuning mencapai 128.323 ton per tahun dan di
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |449
ISBN 978-602-98902-1-1
Sumatera sebanyak 17.952 ton per tahun.Rata-rata hasil produksi labu kuning seluruh Indonesia berkisar antara 20-21 ton per hektar. Penentuan mutu saus sebagai bahan pangan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor seperti cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, juga sifat mikrobiologis.Sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual faktor warna tampil lebih dahulu.Produk saus harus bewarna jingga sampai merah (Winarno, 1997).Untuk itu dalam penelitian ini ditambahkan pepaya untuk mencapai warna yang sesuai kriteria. Pepaya mempunyai zat warna alami yaitu pigmen karoten dan likopen, bila tidak ada pigmen likopen maka yang timbul adalah warna kuning (Muryani, 1992).Pepaya yang digunakan yaitu pepaya matang jenis burung.Kelompok pepaya burung tidak begitu disukai lidah Indonesia karena daging buahnya lembek.Harga pepaya burung lebih murah dibanding pepaya semangka karena kurang dimanfaatkan untuk olahan pangan lebih banyak digunakan sebagai pakan.(Aneka Plant Asia, 2008).Data Badan Pusat Statistik menunjukanproduksi pepaya di Jawa Barat pada tahun 2009 mencapai 1001,875 ton. Produktifitas tanaman pepaya terus meningkat sehingga pepaya mudah didapat. Hardley (1972) menyatakan, program linier adalah salah satu teknik analisa kuantitatif dari kelompok teknik riset operasional yang menggunakan model matematika. Tujuannya adalah untuk mencari, memilih, dan menentukan alternatif terbaik diantara sekian alternatif layak yang tersedia. Selain itu persoalan program linier merupakan suatu persoalan untuk menentukan besarnya masing-masing variabel, sehingga nilai fungsi tujuan atau objektif (objective function) yang linier menjadi optimum. Menurut Dimyati dan Dimyati(2004), program linier adalah perencanaan aktivitas-aktivitas untuk memperoleh suatu hasil optimum, yaitu suatu hasil yang mencapai tujuan terbaik diantara seluruh alternatif yang fisibel. Formulasi optimal pada pembuatan saus cabai diharapkan dapat menekan biaya produksi tanpa mengurangi kualitas bahan baku utama, meningkatkan nilai ekonomis bahan campuran, dan harga yang terjangkau, serta diterima oleh masyarakat luas dengan kualitas mengacu pada Standar Nasional Indonesia. pada pembuatan saus cabai berdasarkan karakteristik saus cabai. METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan dalam penelitian ini seperangkat alat analisis kimia,oven, desikator, ,spektrofotometer(AAS) dan refraktometer. 1) Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan analisis bahan baku untuk mengetahui nilai karbohidrat (pati), total asam (asam asetat) dan total padatan terlarut.yang akan digunakan sebagai variabel peubah keputusan (variabel tetap) untuk perumusan analisis program linier. 2) Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan untuk menentukan formulasi terbaik, dimana formulasi dipilih berdasarkan hasil uji organoleptik metode hedonik dengan rancangan acak kelompok (RAK) 9 kali ulangan oleh 15 orang panelis dan analisis program linier menggunakan WinQsb. Penelitian utama meliputi rancangan perlakuan, rancangan percobaan, rancangan analisis, rancangan respon dan analisis program linier. 3) Rancangan Perlakuan Perlakuan pada penelitian pendahuluan terdiri dari 2 faktor yaitu formulasi saus (F) dan jenis formulasi (J). Faktor pertama terdiri dari 1 taraf yaitu formula, dan faktor kedua terdiri dari 3 taraf yaitu formulasi 1, formulasi 2 dan formulasi 3. 4) Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial, sebagai berikut: 1. Faktor F (formulasi saus), dengan 1 taraf yaitu : formulasi. 2. Faktor J (variasi formulasi), dengan 3 taraf yaitu : formulasi 1 (labu kuning 25%, pepaya 22%,cabai merah 5%,cabai rawit 5%, bawang putih 7%,gula 5%,garam 3%,air 27,3%,cuka 0,5% danMsg 0,2%). Formulasi 2 (labu kuning 30%, pepaya 30%,cabai merah 12%,cabai rawit 4%, bawang putih 1%,gula 6%,garam 2%,air 13%,cuka 1% danMsg 1%). Formulasi 3 (labu kuning 15%, pepaya 15%,cabai merah 6,4%,cabai rawit 5%, bawang putih 5%,gula 10%,garam 4%,air 29%,cuka 0,3% danMsg Tabel 1. Model Percobaan RAK dengan Desain Faktorial 1x3 dengan 9 kali ulangan formulasi saus (F) f1 f2 f3
Jenis Formulasi (J) j1 j2 j3
Ulangan 1
2
3
f1j1 f2j1 f2j1
f1j2 f2j2 f3j2
f1j3 f2j3 f3j3
Bahan Penelitian Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu kuning, cabe merah (tanjung), cabe rawit (domba), pepaya, garam, bawang putih, gula putih, cuka, penyedap rasa (Msg) dan air. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah aquadest, larutan buffer standar, HCl pekat, NaOH, KI , H2SO4 pekat, Na2S2O3, NaOH ,indikator Phenopthalin, larutan Luff Schoorl dan larutan pH buffer. Alat yang Digunakan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |450
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 2. Denah (Layout) Rancangan Percobaan Kelompok Ulangan Pertama f1j1 f2j2 f3j3 Kelompok Ulangan Kedua f1j1 f3j3 f2j2 Kelompok Ulangan Ketiga
Kelompok Ulangan Keempat f2j2 f3j3 f1j1 \Kelompok Ulangan Kelima f3j3 f2j2 f1j1 Kelompok Ulangan Keenam f3j3 f1j1 f2j2 f2j2
Kelompok Ulangan Ketujuh f1j1 f2j2 f3j3 Kelompok Ulangan Kedelapan f2j2 f1j1 f3j3 Kelompok Ulangan Kesembilan f3j3 f2j2 f1j1 Model matematika untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : Yij = µ + F+J + FJ + εij 5)Rancangan Analisis Rancangan percobaan berdasarkan di atas dapat dibuat analisis variasi (ANAVA) untuk mendapatkan Untuk mandapatkan kesimpulan mengenai pengaruh perlakuan. a. Jika F hitung ≥ F tabel pada taraf 5%, hipotesis diterima,maka perlakuan formulasi berpengaruh terhadap karakteristik saus cabai yang dihasilkan, maka dilakukan uji lanjut jarak berganda Duncan. b. Jika F hitung < F tabel pada taraf 5%, hipotesis ditolak apabila perlakuan formulasi tidak berpengaruh terhadap karakteristik saus cabai. 6) Rancangan Respon Rancangan respon yang dilakukan dalam penelitian ini adalah respon kimia, respon fisik dan respon organoleptik. a. Respon Kimia Respon kimia meliputi : (1) Kadar karbohidrat (pati) denganmetode Luff Schoorl (Sudarmadji, 1996). (2) Kadar Total Asam metode volumetri (Sudarmadji dkk,1996) b. Respon Fisik c. Respon fisika meliputi : (1) Total Padatan Terlarut (Sudarmadji dkk, 1996) d. Respon Organoleptik Respon organoleptik ini meliputi rasa ,warna, aroma, dan penampakan dari saus cabai dengan menggunakan metode Skala Hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis, kriteria penentuan berdasarkan tingkat kesukaan panelis dalam melakukan penilaian skala hedonik yaitu :1.Sangat tidak suka;2.Tidak suka;3. Agak tidak suka;4.Biasa; 5. Agak suka;6.Suka ; 7. Sangat suka 7) Analisis Program Linier
f1j1
f3j3
Tabel 3.ANAVA (Analisis Varians) Kuadr F Derajat Sumber Jumlah at F Hitu Bebas Variasi Kuadra Tenga Tabel ng (db) t (JK) h (KT) (5%) Kelompok r-1 JKK KTK
Perlakuan F J FXJ
(F-1) (J-1) (f-1)(j-1)
JKF JKJ
KTF
KTF /KT G
JKFJ
(r-1)(fjJKG KTG 1) Total rfj-1 JKT Analisis program linier dilakukan penentuan formulaformula yang feasible dan harga dengan menggunakan program linier.Nilai koefisien dari masing-masing variabel untuk penentuan formula-formula feasible diperoleh dari Standar Nasional Indonesia dan hasil penelitian. Nilai koefisen tersebut meliputi karbohidrat (pati), total asam (asam asetat), dan total padatan terlarut. Karakteristik tersebut pada produk saus cabai ini kemudian dijadikan sebagai variabel peubah keputusan (variabel tetap) dalam pemodelan program linier sehingga diperoleh formulasi saus cabai yang optimal berdasarkan perhitungan program linier.Diagram alir proses pembuatan saus cabai dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap-tahap optimalisasi formula saus cabaidengan program linier adalah sebagai berikut : (1) Menentukan Variabel Keputusan Variabel yang digunakan dalam persoalan ini adalah variabel keputusan (variabel berubah) dan variabel peubah keputusan (variabel tetap). Variabel keputusan pada kasus ini adalah Labu kuning (X1), pepaya (X2), cabai merah (X3), cabai rawit (X4), bawang putih (X5), gula pasir (X6), garam (X7), penyedap rasa (X8), air (X9) dan msg (X10). Variabel peubah keputusan yang digunakan adalah karbohidrat (pati)(a1), total asam (asam asetat) (a2), dan total padatan terlarut(a3). (2) Menentukan Fungsi Tujuan Fungsi tujuan yang digunakan bersifat minimasi, yaitu minimasi biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan saus cabai. Galat
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |451
ISBN 978-602-98902-1-1
Persamaan linier fungsi tujuan dalam persoalan ini adalah sebagai berikut : Minimumkan Z = C1X1 + C2X2 + C3X3 + C4X4 + C5X5 + C6X6+ C7X7+ C8X8+ C9X9+ C10X10 Dimana : Z : Fungsi tujuan (minimasi biaya) pembuatan saus cabai Cn : Harga per satu unit jenis bahan baku per satu gram yang digunakan untuk membuat saus cabai Xn : Jenis bahan baku ke-n yang digunakan untuk membuat saus cabai (3) Menentukan Model Variabel Menentukan model variabel jenis bahan baku yang akan dicari formulasi optimalnya, yaitu :
a.
Variabel keputusan (variabel berubah) : Labu kuning (X1), pepaya (X2), cabai merah (X3), cabai rawit (X4), bawang putih (X5), gula pasir (X6), garam (X7), air (X8), cuka(X9), penyedap rasa (X10). b. Variabel peubah keputusan (variabel tetap) : karbohidrat (pati)(a1), total asam (asam asetat) (a2), dan total padatan terlarut(a3). Pemodelan dari program linier dalam pembuatan saus cabaidengan bahan pengisi dan jenis cabai dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Model Variabel Sifat Fisik dan Kimia Saus Cabai Dengan Bahan Pengisi (Labu kuning, Pepaya) dan Jenis Cabai (Cabai Merah, Cabai Rawit). Karakter kimia dan fisik (an) Total Total Karbohid asam padatan Bahan Baku (Xn) Biaya (Cn) (Rp/g) rat (pati) (asam terlarut (a1) asetat)( (a3) a2) Labu kuning (X11) a111 a211 a311 c1 Pepaya(X12) a112 a212 a312 c2 Cabai merah(X13) a113 a213 a313 c3 Cabai rawit(X14) a114 a214 a314 c4 Bawang putih(X15) a115 a215 a315 C5 Gula Pasir(X16) a116 a216 a316 C6 Garam(X17) a117 a217 a317 C7 Air(X18) a118 a218 a318 C8 Cuka(X19) a119 a219 a319 C9 Penyedap rasa(X10) a110 a210 a310 c10 (4) Menentukan Fungsi Pembatas yang terkandung dalam bahan baku. Nilai komponen kimia Fungsi pembatas diambil berdasarkan interaksi antara dan fisikyang dicapai ditentukan berdasarkan Standar jenis bahan baku dengan sifat kimia, dan fisik saus cabai yang Nasional Indonesia dan hasil penelitian seperti yang terbatas. Fungsi pembatas ditentukan untuk mencapai terlihat pada tabel 5. karbohidrat (pati), total asam (asam asetat) dan, total padatan terlarut yang diinginkan. Fungsi pembatas dibagi dua yaitu : a. Fungsi pembatas yang membatasi persentase karbohidrat (pati), total asam (asam asetat) dan, total padatan terlarut Tabel5. Pembatas Kimia, Fisik dan Mikrobiologi Produk Akhir Saus Cabai Kandungan Gizi
Persyaratan
Satuan
Karbohidrat (pati) Min. 9,46 (b1)* % Total Asam (asam asetat) Maks. 0,44 (b2)* % Total padatan terlarut Min. 20(b3)** % (*hasil analis produk di pasaran)(**SNI saus cabai, 2006) 1). Fungsi pembatas kimia, dan fisik. b. Fungsi pembatas yang membatasi persentase • Fungsi pembatas karbohidrat (pati)minimal B1(%) penggunaan bahan baku yang digunakan. Dimana nilai a1X11+a1X12+a1X13+a1X14+a1X15+a1X16+a1X17+a1X18 pembatas penggunaan bahan baku ditentukan +a1X19+a1X10≤ b1karbohidrat (pati) berdasarkan jumlah minimal atau maksimal penggunaan (X11+X12+X13+X14+X15+X16+X17+X18 +X19 +X10) bahan baku hingga diperoleh formula saus cabaiyang • Fungsi total asam maksimal B2 (%) optimal. a 2X11+a2X12+a2X13+a2X14+a2X15+a1X16+a1X17+a1X18+a1X19+a1X10 Persamaan linier untuk fungsi pembatas pada formula saus cabai dengan bahan pengisi (labu kuning, pepaya), dan ≥ b2 total asam(X11+X12+X13+X14+X15+X16+X17+X18+X19 +X10) • Fungsi pembatas total padatan terlarutminimal B3 (%) jenis cabai (Cabai merah, cabai rawit) adalah sebagai berikut :
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |452
ISBN 978-602-98902-1-1
a4X11+a4X12+a4X13+a4X14+a4X15+a4X16+a4X17+a4X18+a4X19+a4X10 ≤ b4total padatan terlarut(X11+X12+X13+X14+X15+X16+X17+X18+X19 +X10) 2). Fungsi pembatas bahan baku • Fungsi pembatas bahan baku keseluruhan : X11+X12+X13+X14+X15+ X16+ X17+ X18+X19 +X10= QT • Fungsi pembatas labu kuning (X11) : X11 ≥ Q11 x QT • Fungsi pembatas pepaya (X12) : X12 ≥ Q12 x QT • Fungsi pembatas cabai merah (X13) : X13 ≥Q13 x QT • Fungsi pembatas cabai rawit (X14) : X14 ≥Q14 x QT • Fungsi pembatas bawang putih (X15) : X15 ≥Q15 x QT • Fungsi pembatas bawang gula (X16) : X16 ≥Q16 x QT • Fungsi pembatas bawang garam (X17) : X17 ≥Q17 x QT • Fungsi pembatas air (X18) : X18 ≥Q18 x QT • Fungsi pembatas cuka (X19) : X19 ≥Q19 x QT • Fungsi pembatas penyedap rasa (Msg) (X10) : X10 ≥Q10 x QT Keterangan : Xnm : Jenis bahan baku ke-n pada formulasi ke-m yang digunakan dalam pembuatansaus cabai. ainm : Nilai jenis kimia, fisik dan mikrobiologi ke-i pada jenis bahan baku pembuatan saus cabai ke-n, formulasi ke-m (Xnm). bn : Nilai maksimum dan minimum persentase kimia dan fisik produk akhir saus cabai. QT : Jumlah atau banyaknya produk akhir yang akan dibuat (gram). Qnm :Jumlah bahan baku ke-n yang ditambahkan dalam pembuatan saus cabaiformulasi ke-m (gram). 7. Analisis Produk Analisis Cemaran Logam (Pb) Analisis Cemaran logam (Pb) dilakukan pada produk terpilih dengan menggunakan alat spektrofotometer atom (AAS) terhadap produk saus cabai. 8. Deskripsi Percobaan Pembuatan saus cabai 1. Penimbangan Tahapan ini dilakukan penimbangan bahan baku yang sesuai dengan kriteria, menggunakan timbangan digital untuk alat pengukurnya. 2. Trimming Tahapan ini dilakukan pemisahan bahan-bahan yang tidak terpakai seperti kulit labu kuning dan pepaya kemudian tangkai dan biji pada cabai, kecuali cabai rawit tidak dilakukan pemisahan biji. 3. Pencucian Pencucian dilakukan dengan menggunakan air mengalir untuk membersihkan kotoran dan kontaminan yang menempel pada bahan baku. 4. Blansing Blansing dilakukan pada suhu 80-85 0C selama 10 menit . Proses ini akan membunuh sebagian mikroba, mematikan enzim penyebab pencoklatan, dan melunakan jaringan daging buah. 5. Penirisan Setelah dilakukan blansing terdapat cairan yang berlebih kemudian ditiriskan selama 5 menit
6. Penghancuran Bahan baku digiling bersamaan dengan bahan tambahan lainnya seperti bumbu-bumbu kecuali asam cuka sampai halus dan merata menggunakan blender selama 5 menit Cabai merah (5%,12%,6,4%)
Cabai rawit (5%,4% dan 5%)
Labu (25%,30% 15%) dan pepaya 22%,30,15%)
Penimbangan
Penimbangan
Penimbangan
Trimming
Trimming
biji
tangkai
Pencucian
Air bersih
Trimming
Biji dan kulit
Air kotor
Blansing T = 80-85 OC t = 5 menit
Penirisan t = 5 menit Bawang putih(1%,5%,7%), gula (5%,6%10%), garam (3%,2%,4%), MSG (0,2%,1%,0,3%) dan air (27,3%,13%,29%)
Penghancuran t=5 menit
Pemasakan 90-100 oC T=10'
Asam cuka (0,5%,1%,0,3%)
Uap Air
Saus cabai
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Utama Pembuatan Saus Cabai
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan melakukan analisis bahan baku untuk mengetahui nilai dari karbohidrat (pati), total asam (asam asetat) dan total padatan terlarut. Analisis bahan baku pada masing – masing komponen bahan baku dimaksudkan unutk memperoleh nilai data dari setiap komponen.Data nilai kandungan gizi yang diperoleh berdasarkan analisis akan digunakan sebagai input data pada program linier sehingga diharapkan data output yang dihasilkan oleh program linier adalah formula yang benar-benar optimal dari segi komponen kimia dan fisik.Hasilnya seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6.. Hasil Analisis Bahan baku Bahan baku
Karbohidrat(Pati) (%)
Labu kuning Pepaya Cabai merah Cabai rawit Bawang putih Gula pasir Garam Air Cuka Penyedap rasa (msg)
11,51 3,85 5,38 13,26 15,11 53,88 0 0 0 0
Total asam (Asam Asetat) (%) 0,13 0,14 0,38 0,31 0,22 0 0 0 23,15 0
Total padatan terlarut (%) 18,12 8,69 11,88 29,55 27,05 83,39 78,12 0 9,97 18,167
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |453
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 6. menunjukan setiap bahan baku cabai merah, cabai rawit, labu kuning dan pepaya yang digunakan untuk saos dalam keadaan segar. Didukung oleh Daftar Komposisi Bahan Makanan Depkes (2009) bahwa cabai segar mengandung kadar air 90,08 % dan kandungan karbohidrat 7,3%. Sedangkan cabai rawit segar mengandung kadar air 71,30 % dan kandungan karbohidrat 19,9 %. Hasil analisis menunjukan kandungan karbohidrat cabai rawit segar sebesar 13,26 %, total asam 0,31 % dan total padatan terlarut 29,55 %.labu kuning dalam keadaan segar mengandung karbohidrat sebesar 10 % dengan kandungan air 86,6 %. Hasil analisis menunjukan ( Tabel 6) bahwa hasilnya semua bahan baku dalam keadaan segar. B Penelitian Utama (Uji Organoleptik) 1. Rasa Tabel 7. Hasil Pengaruh Jenis Formulasi Terhadap Rasa Saus Cabai Formula Nilai Rata-rata Taraf Rasa nyata 5 % 1 5,97 b 2 4,92 a 3 4,62 a Keterangan ,huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Tabel 7.. menunjukan bahwa formulasi 1 berbeda nyata dengan formula 2 dan 3 sedangkan formulasi 2 dan 3 tidak berbeda nyata terhadap rasa saus cabai. Formulasi 1 berbeda nyata dengan formula 2 dan 3 karena perbandingan cabai merah dan cabai rawit.Cabai merah dan cabai rawit yang digunakan memiliki perbandingan (1 : 1) sehingga saus cabai yang dihasilkan pada formulasi 1 rasanya tidak terlalu pedas. Cabai merah dan cabai rawit memberikan rasa pedas terhadap saus cabai karena rasa pedas didalam cabai ditimbulkan oleh senyawa capcaisin. Menurut Suyanti, (2007) menyatakan bahwa cabai merah memiliki tingkat kepedasan menengah yaitu 30.000-70.000 Schoville Unit sedangkan cabai rawit memiliki tingkat kepedasan pedas yaitu dengan tingkat kepedasan 70.000 – 175.000 Schovilee Unit. Cabai rawit yang digunakan pada proses pembuatan saus tidak dilakukan pengeluaran biji karena untuk memperoleh hasil kepedasan yang maksimal sedangkan pada cabai merah dilakukan pengeluaran biji. Suyanti, (2007) menyatakan bahwa senyawa capcaisin cabai tersimpan dalam urat putih yaitu tempat melekatnya biji. Menurut Prajnanta, (2002). Cabai merah selain mengandung capcaisin, hidrocapcaisin juga mengandung vitamin A, vitamin C, zat warna capsantin serta karoten. Cabai merah juga mengandung beberapa jenis mineral seperti fosfor, zat besi, kalium, kalsium dan niasin yang diperlukan bagi tubuh. 2. Warna Tabel 8. Hasil Pengaruh Jenis Formulasi Terhadap Warna Saus Cabai Formula Nilai RataTaraf rata Warna nyata 5 % 1 4,62 b 2 6,14 c 3 3,99 a
Keterangan :huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Tabel 8. menunjukan bahwa formula 2 berbeda nyata dengan formula 1 dan 3. Hal ini karena perbandingan cabai rawit dan cabai merah memiliki perbedaan yang sangat signifikanyaitu ( 1 : 3). Cabai merah yang digunakan memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan formulasi 1 dan formulasi 3 sehingga warna yang dihasilkan pada fornula 2 memiliki warna yang lebih merah,dibandingkan dengan formulasi lainnya. Warna merah yang timbul pada cabai merah merupakan zat warna alami yaitu antosianin dan betakaroten. Didukung oleh Apandi, (1984). Warna yang menarik pada cabai merah disebabkan adanya pigmen karotenoid di dalamnya. Karotenoid berdasarkan daya kelarutannya dalam pelarut organik digolongkan dalam dua kelompok pigmen yaitu karotenoid dan xanthopil. Cabai merah yang digunakan yaitu cabai jenis tanjung yang memiliki kelebihan tidak berubah dalam hal warna jika dilakukan proses. Menurut Balitsa (2004) cabai tanjung selain memiliki kelebihan stabil terhadap warna jika dilakukan proses dibanding dan juga mengandung zat antosianin yang tinggi. De Man (1997), menyatakan pigmen antosianin terdapat dalam cairan sel tumbuhan, senyawa ini berbentuk glikosida dan menjadi penyebab warna merah, biru, dan violet yang banyak terdapat pada buah dan sayur. Warna paling cepat dan mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan sulit cara pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subjektif dengan penglihatan masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi (Soekarto, 1985). 3. Aroma Tabel 9. Hasil Pengaruh Jenis Formulasi Terhadap Aroma Saus Cabai Formula Nilai RataTaraf rata Aroma nyata 5 % 1 4,56 a 2 4,46 a 3 5,37 b Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Tabel 9. menunjukan bahwa formula 3 berbeda nyata terhadap formula 1 dan 2, sedangkan formula 1 dan 2 tidak berbeda nyata. Formula 3 berbeda nyata dengan formula 1 dan 2 karena hal itu dipengaruhi oleh persentase penggunaan cabai merah yang lebih banyak dibandingkan cabai rawit yaitu (6,4 % : 5 %) . Aroma khas cabai mendominasi aroma yang muncul pada formula 3. Aroma khas cabai pada produk saus merupakan persayratan mutu yang harus dipenuhi karena saus cabai merupakan saus yang berbahan baku utama cabai segar. Agromedia, (2002) menyatakan bahwacabai merah mengandung minyak atsiri yang tercium sebelum disantap dan ketika dikunyah membangkitkan selera makan. Cabai yang digunakan untuk penelitian merupakan cabai segar yang bewarna merah seragam. Menurut (deMan, 1997). Aroma atau diistilahkan dengan baurasa yaitu perasaan yang dihasilkan oleh barang yang dimasukkan ke mulut, dirasakan terutama oleh indera rasa dan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |454
ISBN 978-602-98902-1-1
bau, dan juga oleh reseptor nyeri, raba dan suhu dalam mulut. Kesan baurasa makanan dipengaruhi oleh senyawa yang mempengaruhi baik rasa maupun bau. Baurasa bagi banyak makanan, bersama warna dan tekstur memegang peranan penting dalam hal penerimaan suatu makanan. 4. Kekentalan Tabel 10. Hasil Pengaruh Jenis Formulasi Terhadap Kekentalan Saus Cabai Formula Nilai Rata-rata Taraf Kekentalan nyata 5 % 1 5,84 b 2 4,55 a 3 4,37 a Keterangan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Tabel 10. menunjukan bahwa formulasi 1 berbeda nyata terhadap formula 2 dan 3. Sedangkan formula 2 dan 3 tidak berbeda nyata. Formula 1 memiliki kekentalan yang cukup pas dibandingkan dengan formula 2 dan 3. Dilihat dari perbandingan labu kuning dan pepaya formula 1 yaitu (25 % : 22 %) dengan penambahan air 27,3 % memiliki kekentalan yang pas sedangkan formula 2 perbandingan labu kuning dan pepaya yaitu (30 % : 30 %) dengan penambahan air 13 % memiliki kekentalan yang tinggi, formula 3 perbandingan labu kuning dan pepaya (15 % : 15 %) dengan penambahan air 29 % memiliki kekentalan yang rendah. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan labu kuning dan pepaya dengan penambahan air berpengaruh terhadap kekentalan saus. Komponen karbohidrat yang terdapat pada labu kuning sebesar 11,51 % dan pepaya 3, 85 %. Labu kuning dan pepaya mengandung karbohidrat pati. Menurut Muchtadi (1989) Pati pada konsentrasi rendah mampu memberikan tekstur, mengentalkan, memadatkan serta memperpanjang umur simpan beberapa jenis makanan . Makin banyak pati yang ditambahkan, makin kental saus yang dihasilkan (Astawan M, 2006). Menurut Toledo, (1991). Viskositas atau kekentalan merupakan salah satu parameter penting dalam produk saus, kemudahan dalam pengemasan dan kemudahan mengalirkan saus saat dituang. Saus yang memiliki viskositas yang sangat tinggi akan menyulitkan konsumen saat menuang saus dan menyebabkan industri membutuhkan daya pompa yang lebih besar untuk mengalirkan saus kedalam mesin pengemas karena semakin kental suatu fluida maka diperlukan gaya yang semakin besar agar fluida tersebut dapat mengalir Saus yang terlalu encer juga tidak dikehendaki oleh konsumen, oleh Karena itu saus dengan kekentalan yang tepat merupakan salah satu parameter penting dalam penerimaan produk. Kekentalan pada saus disebabkan oleh adanya peranan pati. Menurut Gaman dan Sherrington, (1994).Jika suspensi pati dalam air dipanaskan, air akan menembus lapisan luar granula dan granula ini mulai menggelembung. Ini terjadi saat temperatur meningkat dari 600C sampai 850C. Granula-granula dapat menggelembung hingga volumenya lima kali lipat volume semula. Ketika ukuran granula pati membesar campurannya menjadi kental
Gaman dan Sherrington, (1994).menyatakan saat suhu kira-kira 85 0C, granula pati pecah dan isinya terdispersi merata ke seluruh air disekelilingnya. Molekul berantai panjang mulai membuka atau terurai dan campuran pati dan atau air menjadi makin kental. Saat pendinginan jika perbandingan pati dan air cukup besar, molekul pati membentuk jaringan dengan molekul air terkurung di dalamnya sehingga terbentuk gel. Secara keseluruhan prosen ini dinamakan gelatinisasi. Gelatinisasi pati ini sangat penting dalam proses pengolahan produk pangan yang menginginkan terjadinya proses pengentalan, seperti pada produk saus, sup dan kuah daging. 5. Penampakan Tabel 11. Hasil Pengaruh Jenis Formulasi Terhadap Penampakan Saus Cabai Formula Nilai Rata-rata Taraf Penampakan nyata 5% 1 5,66 b 2 5,20 ab 3 4,59 a Keterangan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Tabel 11. menunjukan bahwa formula1 berbeda nyata dengan formula 3, sedangkan formula 2 tidak berbeda nyata dengan formula 1 dan 3. Penampakan erat hubungannnya dengan warna dan kekentalan, dimana dengan pemanasan yang baik dan waktu yang cukup untuk pemasakan akan dihasilkan saus yang baik pula, penampakan dan rasa adalah faktor penentu kualitas makanan yang penting. Warna pada formula 2 berbeda nyata dengan formula 1 dan 3 karena perbandingan cabai rawit dan cabai merah ( 1 : 3 ) sehingga saus yang dihasilkan berwarna merah. Namun dengan penambahan air 13 % lebih kecil dibandingkan formula 1 dan 3 saus formula 2 memiliki kekentalan yang lebih tinggi sehingga pada penampakan formula 2 tidak disukai oleh panelis. Kekentalan pada formula 1 berbeda nyata dengan foemula 2 dan 3 karena perbandingan labu kuning dan pepaya ( 25 % : 22 %) nilai tersebut dibandingkan dengan formula 2 lebih kecil sedangkan pada formula 3 lebih besar dari segi penambahan bahan pengisi, sehingga saus yang dihasilkan memiliki kekentalan yang pas pada formula 1. Labu kuning dan pepaya memiliki karbohidrat pati yang dapat menyebabkan saus menjadi kental dengan proses pemanasan.. Pati dalam larutan air akan mengembang setelah dilakukan proses pemanasan dalam tahapan proses pemasakan saus. Menurut Satuhu (1994). Selama pemasakan dilakukan pula pengadukan yang bertujuan agar pemasakan menjadi merata secara keseluruhan. Rasa yang dihasilkan pada formulasi 1 memiliki rasa yang tidak terlalu pedas sehingga penerimaan terhadap panelis lebih baik. Cabai rawit yang digunakan sebanding dengan cabai merah yaitu 5 % namun dengan ditambahkan pepaya dan labu, rasa pedas yang ditimbulkan sedikit berkurang karena pepaya dan labu kuning mengandung karbohidrat yang dapat memberikan efek manis di mulut. Dari hasil uji organoleptik dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan formula 1 dalam hal rasa, kekentalan dan
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |455
ISBN 978-602-98902-1-1
penampakan paling disukai oleh para panelis. Oleh karena itu formulai 1 terpilih sebagai produk terbaik dari uji organoleptik metode hedonik. C. Analisis Program Linier 1. Pemograman Linier dibuktikan dengan mensubstitusikan nilai tersebut diatas Pemograman linier dilakukan menggunakan alat bantu dengan variable pembatas bahan baku . Hasil analisis program linier dari formula 1 X2 = 2,59 X5 = program (aplikasi ) WinQSb. WinQsb merupakan alat bantu program komputer yang dirancang untuk memecahkan masalah 0,11 dan X7 = 0,66 Simbol X2 pada tabel iterasi menunjukan pembatas kadar pati, X5 menunjukan pembatas kadar total kuantitatif dibidang manajemen. Formulasi yang dihasilkan dari program linier merupakan asam sedangkan X7 pembatas total padatan terlarut. Formula formula optimal dengan komponen kimia dan fisik memenuhi 2 nilai X1 = 0,35 X2 = 2,93 dan X7 = 2,16. Simbol X1 pada tabel acuan pembatas yang ditetapkan dengan harga minimal. iterasi formula 2 menunjukan pembatas kadar pati, X2 pembatas Pembatas lain yang digunakan adalah pembatas bahan baku kadar total asam dan X7 total padatan terlarut. Formula 3 nilai X2 yaitu pembatas bahan baku tetap dan pembatas bahan baku = 1,43 X5 = 0,33 dan X7 = 2,04. Simbol X2 merupakan pembatas berubah. Pembatas bahan baku tetap adalah bawang putih, kadar pati, X5 total asam dan X7 total padatan terlarut. Dari hasil gula, garam, cuka, air, dan penyedap rasa(msg). Sedangkan analisis diatas menunjukan bahwa kadar total asam dan total pembatas bahan baku berubah yaitu labu kuning, pepaya, padatan terlarut diperoleh hasil yang minimal pada formula 1 cabai merah dan cabai rawit. sedangkan kadar pati paling minimal pada formula 2. Formula 1 Hasil program linier pada formula 1 dari segi harga jika dihubungkan dengan uji organoleptik memiliki rasa dan memiliki nilai Rp. 774.550,- harga tersebut lebih minimum kekentalan yang disukai panelis, sedangkan formula 2 memiliki dibandingkan formula 2 dan 3. Hal itu dipengaruhi oleh kekentalan yang tinggi yang disebabkan penggunaan bahan penggunaan bahan baku utama yaitu cabai. Cabai merah dan pengisi yang lebih banyak dibandingkan formula 1 dan 3. Harga cabai rawit yang digunakan lebih sedikit persentasenya bahan pengisi lebih murah dibandingkan bahan baku utama dibanding formula 2 dan 3 sehingga harga yang dihasilkan lebih sehingga hasil analisis program linier menunjukan formula 2 minimum. Hasil perhitungan program linier formula 1 memiliki lebih minimal pada pembatas kadar pati. Jumlah bahan baku yang digunakan mempengaruhi nilai X2 = 2,59 X5 = 0,11 dan X7 = 0,66 hal tersebut menunjukan bahwa produk saus formulasi 1 merupakan formula yang fisibel harga yang dihasilkan dari program linier. Faktor utama penentu terhadap pembatas bahan baku yang bisa dibuktikan dengan harga yaitu bahan baku utama. Cabai sebagai bahan utama mensubstitusikan nilai tersebut diatas dengan variable pembuatan saus merupakan faktor utama penentu harga yang pembatas bahan baku. Simbol X2 pada tabel iterasi menunjukan digunakan untuk pembuatan saus cabai. Harga cabai di pembatas kadar pati, X5 menunjukan pembatas kadar total Indonesia fluktuatif sehingga dalam industri harus memiliki asam sedangkan X7 pembatas total padatan terlarut. strategi yang baik terhadap ketersediaan cabai untuk produksi. Hasil program linier pada formulasi 2 dari segi harga Harga yang fluktuatif itu disebabkan oleh sifat fisiologis cabai. memiliki nilai Rp1002. 238,- harga tersebut tidak merupakan Setelah panen cabai segar memiliki kadar air yang cukup tinggi hasil yang minimum karena pada formula 2 penggunaan bahan dan masih mengalami proses respirasi. Sifat fisiologis ini baku utama cabai memiliki persentase yang lebih besar menyebabkan cabai merah memiliki tingkat kerusakan sebesar dibandingkan dengan formula 1 dan 3. Jumlah bahan baku 40 %. Daya tahan yang rendah ini menyebabkan harga cabai sangat mempengaruhi harga dan nilai kompoen bahan baku merah di pasaran berfluktuasi. agar sesuai dengan pembatas yang dihadapkan sehingga hasil yang diperoleh menjadi fisible. Hasil perhitungan program linier formulasi 2 memiliki nilai X1 = 0,35 X2 = 2,93 dan X7 = 2,16. Simbol X1 pada tabel iterasi formula 2 menunjukan pembatas kadar pati, X2 pembatas kadar total asam dan X7 total padatan terlarut. Hasil program linier pada formula 3 dari segi harga memiliki nilai Rp. 787.164,- harga tersebut hampir mendekati nilai minimum pada formula 1. Nilai yang berbeda terlihat pada penggunaan cabai merah yaitu 6,4 % sedangkan pada formula 1 sebesar 5 %. Harga cabai merah per gram Rp. 22 yang merupakan nilai tertinggi pada bahan baku utama sehingga besarnya penggunaan berpengaruh terhadap harga. Formula 3 dari hasil program linier dihasilkan nilai yang dihasilkan yaitu X2 = 1,43 X5 = 0,33 dan X7 = 2,04. Simbol X2 merupakan pembatas kadar pati, X5 total asam dan X7 total padatan terlarut. Hasil perhitungan program linier tersebut menunjukan bahwa produk saus formulasi 3 merupakan formula yang fisibel terhadap pembatas bahan baku dan jumlah harga yang bisa
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |456
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 12. Hasil Optimalisasi Program Linier Komposisi Bahan Baku
FI g 35 30,8 7 7 9,8 7 4.2 38.22 0.7 0.7 140
F II harga
g 55,3 42 16.8 5.6 1.4 8.4 2.8 18.2 1.4 1.4 140
F III harga
g 21 35 8,96 7 7 14 5,6 40,6 0,42 0,42 140
harga
Labu kuning 140 221,2 84 Pepaya 123.2 168 140 Cabe merah 154 369 197,12 Cabe rawit 84 67.2 84 Bawang putih 117.6 16.8 84 Gula 77 92.4 154 Garam 16.8 11,2 22,4 Air 5.35 2,54 5,684 Cuka 19.6 39,2 11,76 Penyedap rasa 7 14 4,2 Jumlah Gram Jumlah Harga 744.550,1002.238,787.164,(Rp) Jika dibandingkan dengan produk yang ada di pasaran, harga saus 140 ml Rp. 3.500,- harga tersebut lebih mahal dibandingkan dengan formula 1. Formulasi 1 baik dari segi pembatas bahan baku dan harga pada program linier memiliki hasil yang optimal sehingga dipilih sebagai produk terbaik.
Gambar 2. Produk Saus Cabai dari Berbagai Formulasi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 |457
ISBN 978-602-98902-1-1
Berbagai macam saus cabai atau sambal yang diawetkan dalam botol dapat ditemukan di pasat tradisional maupun supermarket di berbagai kota. Rasa dan mutu saus sangat tergantung oleh selera pengusaha yang memproduksinya. Setiap pengusaha memiliki resep campuran dan cara pengolahan yang berbeda (Santika, 2001) Pengujian hasil organolpetik memiliki hasil yang sama dengan hasil program linier sehingga disimpulkan bahwa program linier berpengaruh terhadap karakteristik produk saus cabai. 3.2.3.Analisis Produk Terpilih Produk saus terpilih berdasarkan dari uji organolepetik dan analisis program linier pada formulasi 1 merupakan formulasi terpilih kemudian dilakukan analisis kimia yang meliputi karbohidrat (pati), total asam dan analisis fisik yaitu total padatan terlarut. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Analisis Produk Terpilih Uji Organoleptik pada Formula 1 Analisis Formula 1 Karbohidrat(Pati) 11,26 (%) Total Asam (%) 1,17 Total Padatan 21,56 Terlarut (%) Logam Pb 0,0016 ppm
Gambar 3 . Produk Terpilih 1. Karbohidrat (pati) Analisis karbohidrat pati produk saus dilakukan dengan menggunakan metode Luff Schoorl. Hasil yang diperoleh dari hasil analisis adalah 11,26 %, hasil analisis widharosa dengan judul skripsi Pemanfaatn Tepung Asia dalm Pembuatan Saus Cabai dan Analisis Finansialnya diperoleh hasil karbohidrat 18,7 %. Hal tersebut bisa disebabkan oleh perbedaan sumber pati yang digunakan yaitu tepung asia yang berupa tepung singkong sedangkan pada formula 1 menggunakan labu kuning dan pepaya sebagai sumber utama pati. Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh makhluk hidup, karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, dan tekstur. Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun
karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati, pektin, selulosa dan lignin (Winarno, 1997). 2. Total Asam (asam asetat) Total asam merupakan salah satu parameter yang penting dalam menentukan mutu produk pengolahan dengan asam.. Kadar total asam juga erat hubungannya dengan nilai pH dan sering dijadikan parameter untuk melihat daya awet suatu produk hasil pengolahan dengan asam. Kadar asam total dinyatakan sebagai asam asetat, hasil dari analisis menunjukan kadar asam total produk saus terpilih sebesar 1,17 % sedangkan hasil analisis Nurtama dengan judul skripsi Mempelajari Karakteristik Saus Pepaya total asam asetat sebesar 0,48 %.Hal tersebut bisa disebabkan oleh penambahan asam asetat dan jenis bahan pengisi yang digunakan . 3. Total Padatan Terlarut Kandungan total padatan terlarut berpengaruh terhadap kekentalan. Makin tinggi total padatan maka kekentalannya akan makain bertambah. Total padatan terlarut merupakan salah satu parameter yang disyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia 01-2976-2006 untuk produk saus adalah minimal 20%. Hasil analisis menunjukan 21,56%. Nilai tersebut menunjukan bahwa produk termasuk dalam persyaratan SNI. Total padatan terlarut erat hubugannya dengan kadar gula total produk, karena total padatan terlarut diukur berdasarkan % gula produk. Penurunan kadar gula pereduksi seperti glukosa, fruktosa, dan lain-lain dapat menyebabkan penurunan total padatan terlarut (Mullin, 1972). Gula merupakan salah satu jenis bahan pengisi yang ditambahkan untuk memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan. Gula memiliki sifat higroskopis sehingga mudah larut dalam air (Mohrle, 1989). 4. Analisis Cemaran Logam (Pb). Kandungan logam berat Pb (timbal) pada saus labu yaitu sebesar 0,0016 ppm, kadar tersebut jauh dari ambang batas kandungan Pb pada saus cabai SNI 01-2976-2006 tentang batas maksimal atau batas ambang cemaran logam yaitu sebesar 2 ppm. Kandungan logam Pb yang tinggi dan melebihi batas normal yang telah ditentukan dapat sebagai indikator terjadinya suatu pencemaran dalam lingkungan.Pencemaran logam-logam tersebut dapat mempengaruhi dan menyebabkan penyakit pada konsumen, karena di dalam tubuh unsur yang berlebihan akan mengalami detoksifikasi sehingga membahayakan manusia. Logam tersebut dapat terdistribusi ke bagian tubuh manusia dan sebagian akan terakumulasikan. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus, dalam jangka waktu lama dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia. Absorpsi timbal di dalam tubuh sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi dan menjadi dasar keracunan yang progresif. Keracunan timbal ini menyebabkan kadar timbal yang tinggi dalam aorta, hati, ginjal, pankreas, paru-paru, tulang, limpa, testis, jantung dan otak (Supriyanto dkk, 2007). KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Kesimpulan hasil penelitian yaitu :
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 458
ISBN 978-602-98902-1-1
1. 2. 3.
Program linier dapat menentukan formulasi saus cabai yang optimal sesuai dengan karakteristik saus cabai. Hasil analisis kimia dan fisik produk terbaik saus cabai dihasilkan kadar pati sebesar 11,26 %, total asam 5,62 % dan total padatan terlarut 21,56 %. Analisis cemaran logam Pb menunjukan bahwa produk terbaik saus cabai memiliki kadungan Pb sebesar 0,0016 ppm. Angka tersebut jauh dari batas ambang cemaran logam yaitu sebesar 2 ppm.
4.2. Saran 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap umur simpan saus cabai sehingga bisa dipasarkan secara umum. 2. Agar pada penelitian atau produksi saus cabai selanjtunya waktu disesuaikan dengan kondisi harga bahan baku utama yaitu cabai merah yang fluktuatif sehingga akan mempengaruhi biaya produksi. DAFTAR PUSTAKA Adrizal, 2002.Aplikasi Program Linier Untuk Menganalisis Pemanfaatan Salvina Molesta Sebagai Bahan Pakan Itik, Makalah Pengantar Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor,
Agromedia, 2008. Panduan Lengkap Budi Daya dan Bisinis Cabai. Cetakan pertama. Agromedia Pustaka, Jakarta. Aneka Plant Asia, 2008.Dari Pepaya Burung Sampai Jeruk Pepaya. http//www.Anekaplantasia.com. Astawan ,M. 2006. Jangan Asal Nyocol Saus Cabai. http//www.kompas.com Teknologi Pengolahan Pangan Nabati. Di dalam : Nurtama B, Made A, Vivi A. 1996. Mempelajari Karakteristik Saus Pepaya. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Balitsa. 2004. Bagaimana Prospek Pengembangan Cabai Merah Tanjung 2. Balai Penelitian Holtikultura. Lembang, Bandung. Bidang Statistik Produksi .2006.Jawa Barat dalam Angka tahun 2009-2010. Biro Pusat Statistik, Bandung. Ditrektorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia.Edisi tahun 2000. Kompas Gramedia, Jakarta. Dimyati, T. T., dan Dimyati, A., (2004), Operation Research Model-model Pengambilan Keputusan, Sinar Baru Algensindo, Bandung. Douglas, M.C., and D.C. Glenn. 1982. Foods and food production encyclopedia. Van Nostrand Reinhold Co. New York. Elwin, A.M. 1997. Pengaruh Substitusi Ampas Tahu dan Pepaya Terhadap Karakteristik Saus Cabai. Tugas Akhir Teknologi Pangan. Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Bandung. Gaman, P.M, and K.B.Sherrington, 1994.Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Terjemahan M. Sardjito, S. Naruki, A. Murdiati dan Sardjono. UGM, Press, Yogyakarta.
Gass, S.L., (1985), Linear Programming, International Student Edition, McGraw Internacional Book Company, Maryland. Gaspersz, Vincent. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Edisi Pertama. Penerbit Tarsito, Bandung. Ginting, E., Y. Widodo, S.A. Rahayuningsih, dan M. Jusuf. 2004. Karakteristik pati dari beberapa varietas ubi jalar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Hambali, E., Suryani A., dan Ihsanur M. 2006. Membuat Saus Cabai dan Tomat. Cetakan ke-2. Penerbit Swadaya. Jakarta. Hakim, A. .2008. Optimasi Formulasi Kacang Hijau, Kedelai, Dan Beras Merah Terhadap Pembuatan Bubur Instan Dengan Menggunakan Program Linier. Tugas Akhir Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Pasundan, Bandung. Hardley, G., 1972, Linier Programing, Edisi ke-6, Addison Wasley Publishing Company, Manila. Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evalusai Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Muryani D. 1992.Pengaruh Penambahan Air dan CMC Terhadap Mutu Sari Buah Pepaya. Tugas Akhir Teknologi Pangan. Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Bandung. Nurtama B., Made A., dan Vivi A. 1996. Mempelajari Karakteristik Saus Pepaya. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Prajnanta F. 2002. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya, Jakarta. Retna .2001. Penentuan Umur Simpan Saus Tomat dalam KEmasan PLastik dengan Model Arhenius. Tugas Akhir Teknologi Pangan. Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Bandung. Satuhu ,S. 1994. Penanganan dan Pengolahan Buah. Cetakan pertama, Penerbit Swadaya, Jakarta. Saparinto, C., dan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Cetakan ke-7. Kanisius. Yogyakarta. Santika, A.2001. Agribisnis Cabai. Edisi Pertama. Penerbit, Penebar Swadaya . Jakarta. Setiadi. 2002. Jenis dan Budi Daya Cabai Rawit. Cetakan ke10. Penebar Swadaya, Jakarta. Setiadi. 1994. Bertanam Cabai. Edisi Pertama.Penerbit Swadaya. Jakarta. Shalahuddin, M .B. 1998. Pengaruh Substitusi Tempe Terhadap Cabai dan Penambahan Tepung Tapioka pada Pembuatan Saus Cabai Berprotein. Tugas Akhir Teknologi Pangan. Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Bandung Shodikin , A., Subhan, N., dan Syaiful A .M. 2009. Saus Waluh (Swalooh). http//www.kimfmipa.unnes.ac.id. Sinar Tani. 2008. Aneka Macam Pangan dari Bahan Baku Waluh. http//www.sinartani.com Soekarto, T. S,.1985. Penilaian Organoleptik. Cetakan pertama.Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2006. Syarat Mutu Saus Cabai, SNI 01-2976-2006, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 459
ISBN 978-602-98902-1-1
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : PAU UGM. Supriyanto, C., Samin, dan Zainul, K. 2007.Analisis Cemaran Logam Berat Pb, Cu, dan Cd Pada Ikan Air Tawar Dengan Metode Spektrometri Nyala Serapan Atom (SSA), Jurnal Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir,Yogyakarta. Suyanti. 2007. Membuat Aneka Olahan Cabai. Cetakan pertama. Penebar Swadaya, Jakarta. Toledo R.T. 1991. Fundamental of Food Procces Engineering. New York : champman and hall Winarno, F.G. 1994. Bahan Tambahan Makanan untuk Makanan dan Kontaminan. Cetakan ke-1. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Winarno, F.G.1997, Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan ke-4. Penerbit Gramedia , Jakarta. Winarno, F.G. dan Aman, 1980. Fisiologi Lepas Panen. Edisi Pertama. Sastra Hudaya. Bogor. Widayati , E., dan Damayanti ,W. 2007. Aneka Penganan dari Labu Kuning. Cetakan ke-2 . Trubus Agrisarana. Surabaya. Widharosa, N. 2008. Pemanfaatan Tepung Asia dalam Pembuatan Saus Cabai dan Analisis Finansialnya. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 460
ISBN 978-602-98902-1-1
PRODUKSI GELATIN DARI TULANG KAKAP MERAH SKALA PILOT [Gelatin Production of Bone Red Snapper in Pilot Scale] Tazwir dan Diah Lestari Ayudiarti *)
*) Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta
ABSTRACT Production of gelatin from the bones red snapper in pilot scale have been conducted by means of immersion in HCl 4% to osein formed, then washed until neutral, extraction with aquades (1:3 (w/v)) at 80°C for 6 hours, and filtered using 250 mesh screen vibrator. The filtrate was concentrated until the volume to about 10% by means of a vacuum evaporator at a temperature of 55°C. Dried with a dehumidifier with a temperature of 55°C. Analytical results obtained yield 14.56; 10.20% moisture content; ash content of 0.70%; protein content 86.10%; fat content of 0.17%; pH 4.90; viscosity of 6.70 cps; gel strength 186.7 g/bloom; point jendal 9°C; melting point 24°C; and white degrees 30.1. The above results already meet the standards of ISO 06-3732, 1995, SNI 06-06-3735, 1995, the Food Chemical Codex, 1996, and Fish gelatin 2003. Key words: Gelatin, bone, red snapper, acid, dehumidifier, pilot scale.
PENDAHULUAN16 Indonesia sampai saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan gelatin bagi industri dalam negeri, sehingga harus mengimpor gelatin dari luar negeri. Negara pengekspor utama adalah Eropa dan Amerika. Penduduk muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia, mengalami kesulitan dalam membeli produk yang mengandung gelatin, karena umumnya bahan baku gelatin yang terkandung dalam produk-produk tersebut berasal dari tulang atau kulit babi. Sedangkan apabila menggunakan bahan dari sapi, dikawatirkan terjangkit penyakit sapi gila, penyakit mulut dan kuku. Gelatin merupakan suatu protein sebagai bahan tambahan makanan yang diperoleh dari denaturasi panas terhadap bahan kolagen. Pada saat ini, gelatin yang tersedia dalam bentuk tepung dan bentuk lembaran. Pada umumnya gelatin yang tersedia di pasaran adalah produk impor dan kebanyakan berasal dari kulit dan tulang babi. Untuk itu perlu dicarikan bahan baku alternatif untuk menggantikan tulang babi tersebut. Sumber utama yang sangat potensial adalah kolagen yang berasal dari tulang ikan, satu diantaranya tulang ikan kakap. Ikan kakap merah merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang dihasilkan di perairan Indonesia.. Pada umumnya hasil tangkapan tersebut dikonsumsi segar dan sebagian besar diekspor dalam bentuk fillet Proses ini menghasilkan limbah yang berupa tulang, kulit, kepala, sisik, isi perut, ekor, insang dan sebagainya yang mencapai 50% dari total berat ikan yang belum dimanfaatkan secara optimal (Dedeh Dahlia, 2004). Sementara proposi tulang pada tubuh ikan pada umumnya mencapai sekitar 12,4%, belum termasuk duri dan daging yang masih menempel pada tulang, bisa mencapai 13,7% (Rosmawaty, P., 2005). Hasil penelitian sebelumnya terhadap ekstraksi gelatin dari tulang kakap merah menunjukkan bahwa demineralisasi yang terbaik adalah perendaman dalam larutan HCl 4% selama 2 hari dan ekstraksi pada suhu 80 0C selama 6 jam. Cara
tersebut memberikan hasil rendemen 7,4%; pH 5,05; viskositas 6,73 cPs; kekuatan gel 226,8 g/bloom; kadar air 6,73%; kadar abu 0,88%; kadar lemak 0,16%; kadar protein 86,61%; titik gel 8,4 0C; titik leleh 24,6 0C; titik isoelektrik 7,0; dan derajat putih 37,63%. Sedangkan hasil ekstraksi gelatin dari tulang ikan kakap putih dengan proses perendaman asam masing-masing dengan konsentrasi 4% dan 7%, diperoleh rendemen 14,58 dan 16,80%; kadar air 12,92 dan 19,43%; kadar abu 1,55 dan 1,99%; kadar protein 86,60 dan 80,87%; kadar lemak 0,33 dan 0,36%; pH 5,3 dan 4,5; viskositas 5,1 dan 4,5 cps; serta kekuatan gel 144 dan 126 bloom. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik produksi gelatin skala pilot dari tulang ikan kakap merah yang memenuhi persyaratan standar untuk pangan dan farmasi. dan layak komersial.
METODOLOGI Bahan dan Metoda Bahan dan alat yang digunakan Bahan utama dari penelitian ini adalah tulang ikan kakap merah yang diperoleh dari perusahaan fillet ikan didaerah Cikampek, Jawa Barat, dibawa ke Laboratorium Balai Besar Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta dalam coldbox yang berisi es selanjutnya dilakukan proses pembuatan gelatin. Alat-alat yang digunakan adalah berupa kompor pemanas, alat ekstraktor, vibrator screen, vakum evaporator danalat pengering dehumidifier. Metode Metode produksi gelatin ini menggunakan proses pembuatan gelatin secara asam, disini jumlah tulang yang digunakan dalam jumlah yang lebih besar yaitu 5 kg , prosesnya seperti pada skema berikut ini :
*Korespondensi penulis : E-mail : [email protected]
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 461
ISBN 978-602-98902-1-1
Tulang kakap merah ↓ Pembersihan dari sisa daging yang menempel ↓ Dimeneralisasi dengan asam klorida (HCl ) 4 % sampai swelling ↓ Ekstrak dengan air 1 : 3 ( b/v ) , suhu 80°C, 6 jam ↓ Penyaringan dengan Fibrator screen 250 mesh ↓ Pemekatan pada suhu 55°C sampai volume tinggal 10 % ↓ Pengeringan menggunakan alat dehumidifier pada suhu 55°C, 9 jam ↓ Butiran gelatin ↓ Digiling ↓ Tepung gelatin ↓ Analisa Gambar 1. Skema produkdi gelatin tulang kakap merah ( Lates calcarifer ) Pengamatan Gelatin yang dihasilkan dilakukan analisis yang meliputi proksimate AOAC, 1995 dan Apriyantono 1989, sifat fisikokimia yang meliputi viskositas, kekuatan gel, titik leleh, titik jendal, titik isoelektrik, derajat putih, kemudian dibandingkan dengan hasil peneltian skala laboratorium dan gelatin komersial yang ada dipasaran. Percobaan ini dilakukan dengan tiga kali ulangan
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air
Kadar air adalah kandungan air yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah dan berat kering (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air merupakan parameter penting dari suatu produk pangan, karena kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1997). Peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi, yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik dan nilai gizinya (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air dalam suatu makanan atau produk perlu dianalisis atau ditentukan besarnya untuk mengetahui besarnya jumlah air yang terkandung dalam suatu bahan makanan atau produk, juga untuk untuk mengetahui kualitasnya (Kartika, 1989). Hasil pengukuran kadar air gelatin 10,2 % (Grafik 1) menunjukan bahwa kadar air gelatin kulit ikan kakap merah
skala pilot sudah memenuhi standar gelatin tipe A yaitu berkisar antara 6,0 - 12,0, juga masih termasuk dalam standar SNI 063732, 1995 yang mensyaratkan kadar air gelatin maksimum 16 %, sedangkan mutu gelatin farmasi mensyaratkan kadar air 14 % (Fish gelatin, 2003). Kadar air yang diperoleh sedikit lebih tinggi dari gelatin yang dibuat secara lab, tapi lebih rendah dari nilai kadar air gelatin komersial. 14 12 10 8 Kadar Air 6 4 2 0 Skala Lab
Series1
Skala Pilot
Komersial
Pros e s
Grafik 1. Perbandingan kadar air gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial.
Kadar Abu Abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik dan biasanya komponen-komponen tersebut terdiri dari kalsium, natrium,besi, magnesium,dan mangan. Abu yang terbentuk bewarna putih abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan. Tujuan dari analisa kadar abu adalah untuk mengetahui secara umum kandungan mineral yang terdapat dalam bahan. Menurut Apriyantono et al (1989) menyatakan bahwa nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Hasil analisa kadar abu gelatin kulit ikan kakap merah (Grafik 2) sebesar 0,70 % menunjukan bahwa gelatin yang dihasilkan masih memenuhi persyaratan kadar abu yang diperbolehkan, yaitu maksimum 3,25 %.. Nilai kadar abu masih memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Food Chemical Codex, 1996, dimana kadar abu maksimum 3,0 % dan standar kadar abu gelatin farmasi yaitu 1 % - 2 % (Fish Gelatin 2003). 1.6 1.4 1.2 1 Kadar Abu (% 0.8 ) 0.6 0.4 0.2 0
Series1
Skala Lab
Skala Pilot
Komersial
Proses
Grafik. 2. Perbandingan kadar abu gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial Kadar protein Gelatin sebagai salah satu jenis protein konversi yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kolagen, pada dasarnya memiliki kadar protein yang tinggi Gelatin merupakan suatu
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 462
ISBN 978-602-98902-1-1
bahan makanan berupa protein murni, yang diperoleh dari penguraian kolagen dengan menggunakan panas. Berdasarkan berat keringnya, gelatin terdiri dari 98 - 99 % protein. Hasil pengukuran kadar protein dari gelatin tulang ikan kakap merah skala pilot yang besarnya 86.10 % (Grafik 3) lebih tinggi dari kadar protein gelatin komersial 80.50 %. Biasanya gelatin standar itu terbuat dari kulit sapi, sedangkan gelatin ini berasal dari ikan, kemungkin protein ikan lebih tinggi dari yang standar. 82 81.5 81 Kadar 80.5 protein ( % ) 80 79.5 79 Skala Lab
Hasil pengukuran kadar lemak gelatin tulang kakap skala pilot sebesar 0,17 % masih memenuh standar yang ditetapkan, sedikit diatas kadar lemak gelatin komersial, hal ini diduga waktu degreasing masih tersisa sedikit lemak yang menempel pada ruas-ruas tulang tersebut sehingga terbawa pada waktu ekstraksi. Rendahnya kadar lemak gelatin yang dihasilkan ini menunjukan bahwa perlakuan yang diterapkan selama proses pembuatan gelatin sudah sangat efisien.
Rendemen
Series1 Series2 Skala Pilot
Komersial
Proses
Grafik 3. Perbandingan kadar protein gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial Tingginya kadar protein gelatin tulang ikan kakap merah mengindikasikan bahwa gelatin tersebut memiliki mutu yang baik. Berdasarkan berat keringnya, gelatin terdiri dari 98 - 99 % protein.
Kadar Lemak Tujuan analisa kadar lemak adalah untuk mengetahui kemungkinan daya simpan produk, karena lemak berpengaruh pada perubahan mutu selama penyimpanan. Lemak berhubungan dengan mutu dimana kerusakan lemak dapat menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau (Winarno, 1997). Gelatin yang bermutu tinggi diharapkan memiliki kandungan lemak rendah bahkan diharapkan tidak mengandung lemak. Jobling dan Jobling (1983) menyatakan bahwa kadar lemak yang tidak melebihi batas 5 % merupakan salah satu persyaratan mutu penting gelatin. Rendahnya kadar lemak memungkinkan tepung gelatin dapat disimpan dalam waktu relatif lama tanpa menimbulkan bau dan rasa tengik. 0.3 0.25 0.2 Kadar lem ak ( 0.15 %) 0.1
Series1 Series2
0.05
Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif tidaknya proses produksi gelatin. Efisien dan efektifnya proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan gelatin dapat dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan. Rendemen gelatin dari tulang ikan kakap merah seperti terlihat pada Grafik 5. Menurut Lehninger (1982), bahwa protein akan rusak terdenaturasi tidak hanya oleh panas, tetapi juga oleh pengaruh pH, yaitu terjadinya perubahan struktur utama rantai peptida pada protein. Jika protein terdenaturasi susunan ikatan rantai polipeptida terganggu dan molekul protein terbuka menjadi struktur acak dan selanjutnya terkoagulasi, sehingga jumlah kolagen yang terekstraksi lebih rendah. Konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh suhu, waktu pemanasan dan pH Kirk menyatakan bahwa konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh pH, jenis bahan pelarut, suhu, dan pengkonsentrasiannya. Lama ekstraksi dalam air akan meningkatkan kelarutan kolagen sehingga rendemen gelatin akan meningkat (Ruan trakool dan Chen, 1986). 20 18 16 14 Rendem en ( 12 10 %) 8 6 4 2 0
Series1
Skala Lab
Skala Pilot Proses
Grafik 5. Perbandingan rendemen gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial John dan Courts (1970) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam dan lama perendaman akan menyebabkan semakin banyaknya pemecahan ikatan hidrigen dan ikatan hidrofobik yang merupakan ikatan penstabil pada triple heliks sehingga lebih mudah dan lebih banyak yang terkonversi menjadi gelatin. rendemen menurun .
0 Skala Lab
Skala Pilot
Komersial
Proses
Grafik 4. Perbandingan kadar lemak gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial
Kekuatan Gel Glicksman (1996) menyatakan bahwa salah satu sifat fisik penting dari gelatin adalah kekuatan untuk membentuk gel yang disebut sebagai kekuatan gel, karena kekuatan gel menunjukan kemampuan gelatin dalam pembentukan gel. Dari
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 463
ISBN 978-602-98902-1-1
hasil pengukuran terlihat bahwa kekuatan gel gelatin tulang ikan kakap merah berkisar antara 236 - 488 gr bloom suatau nilai yang cukup tinggi, hal ini disebabkan karena proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin berlansung cukup baik. Kekuatan gel dipengaruhi oleh asam, alkali dan panas yang akan merusak struktur gelatin sehingga gel tidak terbentuk (Glicksman, 1969). 250 200 Kekuatan 150 gel ( g bloom ) 100
Derajat keasaman ( pH ) Menurut Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa nilai pH gelatin berhubungan dengan proses yang digunakan dalam pembuatannya. Proses asam cenderung menghasilkan nilai pH rendah, sedangkan proses basa akan memiliki kecenderungan nilai pH tinggi. Hasil pengukuran nilai pH seperti terlihat pada Grafik 8.
Series1
50 0 Skala Lab
Grafik 7. Perbandingan viskositas gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial
Skala Pilot
7 6 5 Derajat 4 Keasam an ( 3 pH ) 2 1 0 Skala Lab
Komersial
proses
Grafik 6. Perbandingan kekuatan gel gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial
Series1
Skala Pilot
Komersial
Proses
Viskositas Sifat fungsional hidrokoloid yang utama adalah dalam proses pengentalan dan pembentukan gel. Staninsby (1977) menyatakan bahwa viskositas larutan gelatin terutama tergantung pada tingkat hidrodinamik (tingkat dispresi) antara molekul-molekul gelatin sendiri. Disamping itu juga, viskositas tergantung pada temperatur (diatas 40 0C viskositas menurun secara eksponensial dengan naiknya suhu), pH (viskositas terendah pada titik isoelektrik) dan konsentrasi dari larutan gelatin. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan gelatin sebagai larutan konsentrasi dan suhu tertentu Hasil pengukuran seperti terlihat pada Grafik 7 yaitu berkisar antara 5,67 – 6,70 Nilai ini sudah memenuhi standar gelatin farmasi menurut Fish Gelatin (2003). Menurut Glicksman (1969). Residu mineral yang tertinggal dalam gelatin dapat mempengaruhi karakteristik gelatin tersebut. Aldehyde yang mempertahankan ikatan silang (cross-link) dalam molekul gelatin akan membentuk polyaldehyde dengan residu mineral tersebut, sehingga menurunkan kelarutan dalam air dan meningkatkan viskositasnya. Nilai pH berpengaruh terhadap viskositas sehubungan dengan titik isoelektrik (Aviana, 2002). 8 7 6 5 Vis k os itas ( 4 cPs ) 3
Series1
2 1 0 Skala Lab
Skala Pilot Pros e s
Komersial
Grafik 8. Perbandingan derajat keasaman (pH) gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial Nilai pH gelatin skala pilot berada dibawah nilai pH gelatin komersial, hal ini karena gelatin komersial berasal dari tulang sapi yang diproses secara basa. Dengan diketahuinya nilai pH dari gelatin akan memudahkan dalam aplikasi gelatin tersebut, misalnya gelatin dengan pH netral akan sangat baik bila digunakan untuk produk farmasi, daging, fotografi, cat, dan sebagainya. Sedangkan gelatin dengan pH rendah akan sangat baik digunakan dalam produk juise, jelly, sirop, dan sebagainya.
Titik Jendal Titik jendal adalah suhu dimana larutan gelatin dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel (Suryaningrum dan Utomo, 2002). Dari hasil pengukuran dapat dilihat Grafik 9. bahwa titik gel gelatin tulang ikan kakap yang diproduksi skala pilot mempunyai nilai 9,0oC diatas nilai titik gel gelatin komersial (8,90oC). 9 8.9 8.8 Titik Jendal 8.7 0C 8.6 8.5 8.4 Skala Lab
Series1 Skala Pilot
Komersial
Proses
Grafik 9. Perbandingan titik jendal gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 464
ISBN 978-602-98902-1-1
Nilai titik jendal gelatin tulang kakap merah yang diproduksi skala pilot masih berada dalam kisaran yang ditetapkan oleh Food Chemical Codex (1996) yaitu berkisar antara 5 - 100C.
secara basa. Titik isoelektrik gelatin erat kaitannya dengan viskositas,dimana viskositas gelatin terendah diperoleh pada pH titik isoelektriknya (Leiner, 2002 ). 8.2 8.15
Titik Leleh Titik leleh merupakan kebalikan dari dari titi jendal yaitu dimana gel kembali mencair membentuk larutan. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan konsentrasi 6,67% b/b (Suryaningrum dan Utomo, 2002). Dari Grafik 10 dapat dilihat bahwa titik leleh gelatin tulang kakap merah yang diproduksi skala pilot sebesar 24,00C dibawah titik leleh gelatin leleh komersial yang bernilai 28,50 oC 29 28 27 Titik Leleh 0 26 25 C 24 23 22 21 Skala Lab
8.1 Titik Isoelektrik 8.05 0C 8
Series1
7.95 7.9 Skala Lab
Skala Pilot
Komersial
Proses
Grafik 11. Perbandingan titik isoelektrik yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial
Derajat Putih
Series1
Skala Pilot
Komersial
Proses
Grafik 10. Perbandingan titik leleh gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial Nilai titik leleh gelatin tulang kakap merah berada dibawah nilai titik leleh gelatin komersial, tapi masih masuk dalam kisaran titik jendal gelatin secara umum. Sebagaimana dinyatakan oleh Poppe (1997) bahwa gelatin memiliki titik leleh dibawah 370C, ini artinya gelatin dapat meleleh di dalam mulut dan mudah larut.
Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna gelatin, dimana umumnya derajat putih gelatin diharapkan mendekati 100 %, karena gelatin yang bermutu tinggi biasanya tidak bewarna (bening) sehingga aplikasinya lebih luas. Derajat putih gelatin hasil produksi skala pilot tidak berbeda terlalau jauh dari gelatin komersial yang nilainya 31,43, lebih rendah bila dibandingkan dengan gelatin tulang kakap yang diproduksi skala laboratorium. Nilai derajat putih gelatin ini sangat dipengaruhi oleh bahan baku,metode pembuatan dan ekstraksi, serta pengeringannya. 31.5 31 Derajat Putih ( % )
30.5 30 Series1
29.5
Titik Isoelektrik
29 Skala Lab
Titik isoelektrik protein (pI) adalah pH dimana protein memiliki jumlah muatan ion positif dan negatif yang sama. Pada titik isoelektriknya, kelarutan protein rendah sehingga terjadi penggumpalan atau pengendapan protein. Dengan demikian titik isoelektrik gelatin penting diketahui karena akan berpengaruh pada penggunaannya dalam berbagai produk terutama kaitannya dengan tingkat kelarutan gelatin (Baker et al, 1994 dalam Prayitno, 2003). Hasil pengukuran titik isolelektrik (Grafik 11) menunjukan bahwa gelatin tulang kakap merah nilainya lebih tinggi dari gelatin komersial. Rendahnya nilai titik isoelelktrik gelatin komersial ini diduga karena gelatin komersial diolah secara proses basa, pada umumnya gelatin komersial terbuat dari tulang sapi yang diproses secara basa. Poppe (1997) menyatakan bahwa titik isoelektrik gelatin berkisar antara 4,8 9,4. Gelatin yang proses asam secara mempunyai titik isoelektrik lebih tinggi dibanding dengan gelatin yang diproses
Skala Pilot
Komersial
Proses
Grafik 12. Perbandingan derajat putih gelatin yang diproduksi secara skala laboratorium, skala pilot dan komersial
KESIMPULAN Dari penelitian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya : 1.
Gelatin tulang kakap merah yang diproduksi secara pilot tidak berbeda jauh dengan gelatin tulang kakap merah yang dibuat dengan skala laboratorium (menggunakan beker gelas, bahan baku yang digunakan sekitar 100 -
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 465
ISBN 978-602-98902-1-1
2.
3. 4.
200 gram), sedangkan skala pilot menggunakan alat ekstraktor, bahan baku yang digunakan sebanyak 5 kg. Kadar abu, kadar lemak gelatin yang diproduksi secara skala pilot nilanya dibawah nilai kadar abu, lemak gelatin yang dibuat secara laboratorium, ini membuktikan bahwa proses sudah berjalan dengan baik. Sifat fungsional, kekuatan gel, viskositas, titik jendal, titik leleh, dan titik isoelektrik lebih tinggi dari gelatin yang diproduksi secara laboratorium. Gelatin tulang kakap merah yang diproduksi skala pilot, sudah memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 063732, 1995, Foof Chemical Codex, dan Fish Gelatin 2003.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2001. Gelatin Halal dan Gelatin Haram. Jurnal Halal LP POM- MUI No. 36 hal 26- 27. Anonim . 2003. Gelatin. Di dalam Tekno Pangan dan Industri. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 1 ( 9 ) : 133 - 135. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Inc. Washington, DC. Anton Apriyantono, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. British Standard 757. 1975 . Sampling and testing of Gelatin. Bukle. KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M, 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. Purnomo H, Adiono. UI Press. Jakarta. Dedeh Dahlia. 2004. Pembuatan dan Analisis gelatin dari Tulang Ikan Kakap Putih (Lattes calcarrifer bloch). (Skripsi). Fakultas Farmasi. Universitas Pancasila, Jakarta. De Man, J.M 1989.Kimia Makanan. Terjemahan. K. Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung Ditjen Perikanan. 1990. Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta. Estoe JE, Leach AA. 1977. Chemical Constitution of gelatin. In. Ward AG, Courts A. ( ed ) . The Science and Technology of Gelatin. . Academic Press. New York. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi. Institut ertanian Bogor. Fish Gelatin. 2003. Norland Product. http://www.norlandprod.com/techrpts/fisgelrpt.html. ( 26 Juni 2005 ) Glickman M. 1969. Gum technology in Food industry, academis Press. New York
Gomez- Guillen MC, Montero P. 2001. Extraction of Gelatin from Megrim (Lepidorhombus boscii ). Skin with Several Organic Acid. J. Food Sci. 66 (2 ) 213 - 216. Gudmunsson M, Hafsteinsson H. 1997 . Gelatin from cod skin as affected by chemical treatmens. J. Food Sci . 62 (1 ) 37 - 39, 47. Hinterwaldner R. 1977. Technology of gelatin manufacture. In. Ward AG. Courts A ( ed ). The science and technology og elatin. Academic Press, New York. Jombling, A. and Jombling, C.A. 1983. Conversation of Bone to Edible Product. In : Ledward, D.A., Taylor, A.J., Lawrie, R.A. ( ed ). Upgrading waste for feed and Food. Butterworths. London Kartika,B, 1989. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Perikanan. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. King W.. 1968. Gelatin. In Glicksman M (ed ). Gum and technology in Food Industry. Academic press. New York. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan KosmetikaMajelis Ulama Indonesia (LPPOM_ MUI), 1997. Tulang yang berserakan. J. Halal. 3 ( 18 ), 7 - 13. Leuenberger Bh. 1991. Investigation of the viscocity and gelatin properties of different mammalian and fish gelatin. Food Hydrocolloids 5 : 353 - 361. Montero P, Borderias J, 1991 Emulsifying capacity of collagenous material from muscle and skin of hake (Merluccius merluccius) and trout (salmo Irideus Gibb ) : effect of pH and NaCl concentration. . Food Chem. 41: 251 - 267. Poppe J. 1997. Gelatin, In. Imerson. A (ed ). Thieking and gelling Agents for Food.Blackie Academic and professional. London. Syarief, R., dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan.Arcan, Jakarta. Suryaningrum TD,Utomo BSB.2002.Petunjuk analisis Rumput Laut dan Hasil Olahannya. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial ekonomi Perikanan dan Kelautan. Jakarta. SNI 06 – 3735 . 1991. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. Stainsby G. 1977. The gelatin Gel and The Sol- Gel Transformation. In : Ward AG, Court a. ( ed ) The Science and technology of Gelatin. Academic Press, New York. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. P.T.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 253
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 466
ISBN 978-602-98902-1-1
INULIN DARI UMBI DAHLIA YANG DITANAM PADA JENIS TANAH VERTISOL, INCEPTISOL DAN ANDISOL [Inulin of Dahlia Tubers Planted on Vertisols, Inceptisols and Andisols Soil Type] Yetti Mulyati Iskandar, Sri Pudjiraharti, dan Diah Ratnaningrum Pusat Penelitian Kimia, LIPI Jl.Sangkuriang 21/ 544, Bandung 40135
ABSTRACT The objectives of this research were to measure inulin content of Dahlia sp tubers widely planted in cool area such as Cianjur, Lembang and Sukabumi at different soil type in order to produce inulin in West Java. Inulin is a naturally occurring fructooligosaccharide composed of a mixture of oligomers of varying degrees of polymerization. Dahlia tuber of flower such as violet, red, yellow and white colour was planted on different location used as the source for inulin. The extraction methods was used base on inulin dissolve in water at 800 C and precipitation was carried out by using ethanol 30%.The results indicated that inulin powder of red flower was planted on inceptisols ( Sukabumi) has the highest level of inulin that was 17.99%, total glucose 19.13%, carbohydrate 8.02%, ash 0.15% meanwhile the lowest of inulin was detected in vertisols type ( Cianjur) such as 14.90%, total glucose 26.61%, carbohydrate 8.66%, ash 0.17% and andisols type has inulin concentration 11.84%, total glucose 12.84%, carbohydrate 9.38% and ash 0.09%. Key words: Dahlia tuber, inulin, vertisols inceptisols andisols,
PENDAHULUAN
17
Tanaman dahlia (Dahlia sp) memiliki bunga yang indah yang beraneka warna dan memiliki umbi dengan akar lunak. Tanaman dahlia dapat tumbuh dengan baik dan produktif pada daerah berhawa sejuk dengan suhu ideal berkisar antara 1015oC pada ketinggian tanah 560-1400 m dpl dengan curah hujan antara 1900-3000 mm per tahun dan memerlukan aerasi dan drainage yang baik serta memerlukan sinar matahari yang penuh dan terbuka (Hidayat dan Mulyani, 2002). Kondisi tanah yang yang baik untuk pertumbuhan dahlia adalah tanah lempung berpasir dengan banyak humus, memiliki pH 6,5-7,0 dan mengandung banyak unsur hara fosfor (Anonim,2008). Inulin adalah suatu polisakarida sebagai cadangan sumber karbohidrat yang disimpan dalam umbi beberapa genus tanaman seperti dahlia. Inulin selain digolongkan sebagai food ingredient alami sehingga aman dikonsumsi juga memiliki beberapa sifat fisiologis yang menguntungkan bagi kesehatan seperti menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida serum darah, menurunkan resiko kanker usus, menjaga kestabilan kadar gula darah dan menjaga keseimbangan populasi mikroflora usus (Pool-Zobe l, B.L. 2005). Disamping itu inulin juga memiliki berbagai fungsi fisiologis yang penting bagi kesehatan tubuh sehingga dikategorikan sebagai bahan pangan fungsional (Tungland, B.C. 2000). Inulin sebagai agensia prebiotik bila ditambahkan pada produk probiotik seperti yoghurt dan kefir menghasilkan efek sinbiotik (Niness, K.R. 1999). Di Indonesia baru-baru ini inulin telah mulai ditambahkan pada produk susu bubuk instant sebagai agensia prebiotik (Widowati,S dkk,2005).Berbagai penyakit degeneratif
*Korespondensi penulis : E-mail : [email protected]
seperti hipertensi, kardiovaskuler dan diabetes memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia. Tujuan dari kegiatan ini adalah menentukan kadar inulin umbi tanaman dahlia yang ditanam di daerah Jawa Barat, sebagai bahan baku produksi inulin agar inulin dapat diproduksi di dalam negeri sehingga dapat memenuhi kebutuhan industri lokal dengan harga relatif lebih murah, serta meningkatkan nilai ekonomi tanaman dahlia dan pendapatan petani bunga dahlia.
METODOLOGI Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara lain umbi tanaman dahlia yang memiliki warna bunga ungu, merah, kuning dan putih yang ditanam di Cianjur (tanah vertisol), Sukabumi (tanah inceptisol) dan Lembang (tanah andisol) umur tanam 10 bulan. Umbi dahlia yang digunakan dari tanah inceptisol memiliki umur tanam 6, 8, 10 dan 12 bulan. Bahan kimia yang diperlukan untuk analisis antara lain heksana, HCl 1 N, NaOH 1 N, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3 pekat, H3BO3, HCl 0,02 N, dan bahan kimia lainnya. Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau (pengupas kulit ari), dan blender. Alat yang dibutuhkan untuk analisis adalah waterbath, neraca analitik, spektrofotometer, sentrifuge, alat-alat untuk analisis proksimat, kadar karbohidrat, kadar gula total, kadar abu , kadar inulin dan alat-alat gelas lain. Metode Pengambilan sampel dari tanah inceptisol dilakukan terhadap umur tanaman 6, 8, 10 dan 12 bulan.Untuk umur tanam 10 bulan dipanen dari tanah vertisol, inceptisol dan andisol. Ekstraksi inulin dari umbi dahlia dilakukan dengan menimbang
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 467
ISBN 978-602-98902-1-1
Penentuan Kadar Inulin Kadar inulin (N. Nelson, 1999) yang berasal dari sampel umbi, endapan dan bubuk inulin ditentukan dengan metoda spektrofotometri. Pereaksi yang digunakan yaitu pereaksi sistein-carbazole di mana inulin akan membentuk warna ungu dan memiliki absorbansi maksimum pada panjang gelombang 560 nm (Dische, Z . dan Borenfreund, E. 1951). Konsentrasi inulin ditentukan berdasarkan kurva kalibrasi antara konsentrasi standar inulin vs absorbansi pada panjang gelombang 560 nm. Penentuan Karbohidrat dan gula total Kandungan karbohidrat (Anonim, 1995), dilakukan dengan cara hidrolisis sempurna/kuat dengan asam, sedangkan kandungan gula total ditentukan dengan cara hidrolisis partial / lemah dengan asam pula. Hasil hidrolisis ditentukan kandungan gula reduksinya menggunakan metoda Nelson-Somogyi (Anonim, 1995).Konsentrasi gula reduksi ditentukan berdasarkan kurva kalibrasi antara standar glukosa vs absorbansi pada panjang gelombang 520 nm. Kadar karbohidrat adalah : Kadar gula reduksi hasil hidrolidsis kuat dikurangi dengan kadar gula reduksi hasil hidrolisis lemah. Penentuan Kadar Abu Kadar abu/mineral ditentukan dengan metoda gravimetri (Anonim, 1995). Sejumlah sampel dipanaskan dalam suatu cawan pijar sampai menjadi arang dan selanjutnya dipijarkan sehingga berbentuk abu. Abu yang terbentuk ditimbang secara berat selisih dan dibandingkan terhadap berat sampel awal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metoda isolasi yang digunakan yaitu dengan cara ekstraksi berdasarkan kelarutan inulin dalam air pada suhu tinggi dan pengendapan dengan etanol 30%. Proses pemanasan bertujuan untuk melarutkan inulin yang terkandung dalam umbi, dan penambahan karbon aktif dimaksudkan untuk menyerap senyawa lain seperti antosianin dan tanin yang terkandung dalam umbi tanaman Dahlia (Anonim,2002). Hasil pengamatan menunjukkan hasil ekstraksi umbi dahlia dan kadar air dari umur tanam yang berbeda, ditanam pada jenis tanah inceptisol di Sukabumi, disajikan pada gambar 1. Kadar air endapan dari umbi dahlia yang memiliki umur tanam yang berbeda berkisar antara 20.86 – 37.5 %. Namun endapan umbi dari umur tanam ini tidak menunjukkan pengaruh terhadap ekstraksi inulin umbi, tetapi memberikan kadar inulin yang berbeda dari setiap umur tanamnya. Berat umbi dari bunga dahlia yang dipanen, tergantung pada umur tanam dahlia.
Kadar Air (%)
40 30
D.Ungu
20 10
D.Merah
0
D.Kuning 6
8
10
12
D.Putih
Umur Tanam Dahlia ( Bulan ) Gambar 1. Kadar Air Umbi Dahlia Dari Variasi Umur Tanam.
Kadar Inulin Umbi (%)
umbi seberat 500 gram. Umbi Dahlia dikupas dan dipotong potong selanjutnya diblender dengan menmbahkan air dalam perbandingan 1:2 sehingga menjadi bubur umbi. Metoda ekstraksi yang dilakukan mengacu pada metoda berdasarkan prinsip pelarutan inulin dalam air pada suhu tinggi 800 – 900 C dan pengendapan menggunakan etanol 30% (Anonim,2000).
30 20
D. Ungu
10
D. Merah
0
D.Kuning 6
8
10
12
D.Putih
Umur Tanam Dahlia ( Bulan ) Gambar 2. Kadar Inulin Umbi Dahlia Dari Variasi Umur Tanam.
Kadar inulin umbi dahlia dari berbagai umur tanam pada tanah inceptisols disajikan pada gambar 2. Kadar inulin umbi bunga merah yang ditanam selama 12 bulan menunjukkan kadar inulin tertinggi jika dibandingkan dengan umur tanam 6 bulan. Demikian halnya dengan bunga dahlia warna ungu, kuning dan putih. Besar umbi dahlia pada umur tanam 6 bulan memiliki berat yang rendah karena ukuran umbi yang masih kecil. Kadar inulin bunga merah yang berumur antara 10 – 12 bulan berkisar antara 22- 24%. Inulin yang dihasilkan dari hasil proses ekstraksi ini belum murni, terlihat masih berwarna putih yang disajikan pada gambar 3 , hal tersebut disebabkan karena adanya penambahan karbon dalam proses ekstraksi. Karena penambahan karbon aktif pada proses ini adalah antara 3 - 5 % (b/v). Menurut pustaka (Anonim,2007) penambahan karbon aktif yang optimum adalah sebesar 5%, pada suhu 600 C selama 10 menit karena zat warna seperti antosianin dan tanin yang terdapat dalam umbi tanaman dahlia yang berbeda umur dan warna bunga, memiliki konsentrasi yang berbeda pula, sehingga memerlukan jumlah karbon aktif yang berbeda untuk ditambahkan pada proses ekstraksi.
Gambar 3. Endapan Inulin Hasil Presipitasi Dengan Etanol 30%.
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 468
ISBN 978-602-98902-1-1
20 15 D.Ungu
10
D.Merah
5
Vertisol
Inceptisol
Andisol
30 25 20
D.Ungu
15 10
D.Merah
5
D.Kuning
0
D.Kuning
0
tergolong rendah (6-10). Kandungan P dan K potensial bervariasi sebagian sedang sampai tinggi, dan sebagian lagi rendah sampai sedang. Umumnya kandungan lapisan atas lebih tinggi daripada lapisan bawahnya. Jumlah basa-basa dapat tukar tergolong sedang sampai tinggi, dan didominasi oleh ion Ca dan Mg, sebagian juga K. Kapasitas tukar kation tanah sebagian besar sedang sampai tinggi, dengan kejenuhan basa umumnya sedang. Dengan demikian potensi kesuburan alami Andisols termasuk sedang sampai tinggi. Kadar gula total dari umbi dahlia dianalisa dengan metoda Nelson Somogyi, hasil analisa gula total disajikan pada gambar 5 . Kadar gula total dari tanaman dahlia yang ditanam pada jenis tanah yang berbeda menunjukkan kadar gula total tertinggi pada umbi dahlia ungu yang ditanam pada tanah andisols yaitu sebesar 50.74%, pada tanah vertisols dengan bunga warna yang sama memiliki kadar gula total sebesar 48.26% , sementara pada tanah jenis inceptisols kadar gula total sebesar 14.77%.
Kadar Gula Total (%)
Kadar Inulin Umbi (%)
Metoda isolasi yang digunakan yaitu cara ekstraksi berdasarkan kelarutan inulin dalam air pada suhu tinggi dan pengendapan dengan etanol pada suhu ruang dengan lama 24 jam pengendapan. Jenis tanaman akan mempengaruhi produksi umbi dan kandungan inulin dalam umbi serta karakteristik inulin hasil isolasi. Demikian pula umur tanaman dahlia akan berpengaruh secara langsung terhadap pembentukan dan ukuran umbi. Semakin tinggi umur tanaman dahlia akan semakin tinggi produksi umbi dan kandungan inulinnya. Namun pada suatu waktu tertentu produksi umbi akan tetap dan kandungan inulin umbi mencapai maksimum. Pada penelitian ini umbi dahlia yang diekstraksi berumur antara 10 bulan dengan warna bunga ungu, merah, kuning dan putih. Tanaman tersebut disampling dari berbagai jenis tanah yaitu vertisols, andisols dan inceptisols. Tanah jenis andisols dan inceptisols memiliki karakteristik yang berbeda yang berhubungan juga dengan tingkat kesuburan tanahnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, produksi umbi serta kualitas umbi terutama kandungan inulin umbi. Hasil analisa inulin umbi yang ditanam pada 3 jenis tanah yang berbeda disajikan pada Gambar 4.
Vertisol
D.Putih
Inceptisol
Andisol
D.Putih
Jenis Tanah
Jenis Umbi Dahlia
Gambar 4. Kadar Inulin Umbi Dengan Umur Tanam 10 Bulan.
Gambar 5. Kadar Gula Total Dari Tanaman Dahlia Pada Variasi Jenis Tanah
Kadar inulin ekstrak umbi Dahlia merah pada umur 10 bulan menunjukkan kadar inulin tertinggi pada tanah inceptisols (Sukabumi) yaitu sebesar 18.99%, pada tanah andisols (Lembang) memiliki kadar inulin sebesar 11,84% dan pada tanah vertisols (Cianjur) dengan kadar inulin sebesar 14,90%. Dahlia bunga merah pada tanah vertisols memiliki kadar inulin serbuk tertinggi sebesar 100%, dengan rendemen 5.11% sementara pada tanah inceptisols memiliki kadar inulin 99.07% dengan rendemen 9,24% dan pada tanah andisols 96.48%, rendemen 4.16%. Tanah andisols ( Lembang) memiliki kadar inulin umbi paling rendah dibandingkan dengan kadar inulin umbi dari jenis tanah inceptisol (Sukabumi) dan vertisols ( Cianjur). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar inulin tertinggi terdapat dalam umbi dahlia dari jenis bunga yang merah yang diperoleh dari daerah Sukabumi (tanah inceptisol) jika dibandingkan dengan kadar inulin ekstrak dari bunga dahlia yang ditanam pada jenis tanah andisols ( Lembang ). Data analisa tanah Andisols dari berbagai wilayah, menunjukkan bahwa Andisols memiliki tekstur yang bervariasi dari berliat (30-65% liat), sampai berlempung kasar (10-20%), namun sebagian besar tergolong berlempung halus sampai berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya agak masam (5,66,5). Kandungan bahan organik lapisan atas sedang sampai tinggi, dan lapisan bawah umumnya rendah; dengan rasio C/N
Kadar gula total terendah terdapat pada umbi dahlia yang ditanam pada tanah andisols dengan bunga merah yaitu sebesar 12.48%. Di Cianjur termasuk tanah pertanian jenis vertisols (Sutanto,2005) merupakan tanah liat dengan kandungan fraksi liat tinggi 33-92%. Reaksi tanah berkisar dari agak masam (pH 6,1-6,5) sampai agak alkalis (pH 7,4-8,0). Kandungan bahan organik lapisan atas rendah sampai sedang, etapi lapisan bawahnya umumnya sangat rendah sampai rendah; rasio C/N tergolong sedang (11-15). Kandungan P dan K potensial, tergantung bahan induk, dan bervariasi dari rendah sampai tinggi, dengan rata-rata kandungan K2O lebih besar daripada P2O5. Jumlah basa-basa dapat tukar tergolong sangat tinggi, dan didominasi oleh ion Ca, Kapasitas Tukar Kation tanah sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi, dengan Kejenuhan Basa termasuk tinggi sampai sangat tinggi. Dengan demikian potensi kesuburan alami dari vertisols, ditinjau dari kandungan basa, termasuk tinggi sampai sangat tinggi. Kekurangannya terletak pada kandungan bahan organik tanah yang rendah, sifat fisik yang keras dan rekah-rekah pada musim kemarau, serta sangat lekat (sticky) pada musim hujan. Karena pH tinggi dan kaya ion Ca, kemungkinan terjadi fiksasi fosfat pada tanah ini cukup besar. Hasil analisa karbohidrat dan kadar abu dari umbi dahlia yang ditanam pada 3 jenis tanah yang berbeda, disajikan pada tabel 1
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 469
ISBN 978-602-98902-1-1
Tabel 1. Kadar Karbohidrat dan Abu pada Umbi Dahlia Jenis Tanah Jenis
Umbi
Komponen
Dahlia Dahlia Ungu Dahlia Merah Dahlia Kuning Dahlia Putih Dahlia Ungu Dahlia Merah Dahlia Kuning Dahlia Putih
Karbohidrat (% Abu (%)
Vertisols (Cianjur)
Andisols (Lembang)
Inceptisols (Sukabumi)
5,38 8,66 9,27 8,74 0,05 0,17 0,13 0,16
7,11 9,38 9,98 8,93 0,05 0,09 0,08 0,12
9,15 8,02 8,82 7,86 0,15 0,15 0,17 0,15
UCAPAN TERIMAKASIH
Kadar abu dari tanaman dahlia yang ditanam pada 3 jenis tanah yang berbeda menunjukkan, umbi dahlia ungu memiliki kadar abu yang paling rendah yang ditanam pada tanah vertisols dan andisols yaitu sebesar 0.05%, namun tidak demikian halnya jika ditanam pada tanah inceptisols yaitu sebesar 0.15%. Pada umbi dahlia kuning yang ditanam pada tanah inceptisols menunjukkan kadar abu tertinggi yaitu sebesar 0.17%, pada tanah vertisols memiliki kadar abu sebesar 0.13% dan pada tanah andisols memiliki kadar abu sebesar 0.08%. Produksi umbi perbatang bergantung dari jenis dahlia. Tanah yang termasuk ordo Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Tanah ini belum berkembang lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Karena Inceptisol merupakan tanah yang baru berkembang biasanya mempunyai tekstur yang beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini dapat tergantung pada tingkat pelapukan bahan induknya. Jenis bunga dahlia merah asal Sukabumi ( Tanah inceptisols), umbi dan inulin serbuk disajikan pada gambar 6 a,b dan c. Gambar 6. Bunga dahlia warna Merah (a), umbi dahlia (b) dan serbuk inulin dari uUmbi dahlia warna merah (c).
a
b
yaitu sebesar 17,99%, gula total 19.13%, karbohidrat 8.02%, kadar abu 0,15%, sementara kadar inulin pada jenis tanah vertisols (Cianjur) 14.90%, gula total 26.61%, karbohidrat 8.66% kadar abu 0.17% dan andisols (Lembang) memiliki kadar inulin 11.84%, gula total 12.48%, karbohidrat 9.38% dan kadar abu 0.09%. Tanah jenis vertisols, andisols dan inceptisols memiliki karakteristik yang berbeda yang berhubungan juga dengan tingkat kesuburan tanah. Hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dahlia, produksi serta kualitas umbi terutama kandungan inulin.
c
Budidaya tanaman dahlia dapat dilakukan dengan cara perbanyakan generatif dengan benih atau perbanyakan vegetatif dengan stek. Dari hasil pengamatan dilapangan menunjukkan jarak tanam 0,5 m terdapat 1 rumpun. Pada setiap 1 rumpun tanaman yang berumur 8 bulan masa tanam terdiri dari : 4 umbi besar, 8 umbi sedang 10 umbi kecil dan 7 umbi campuran.
KESIMPULAN
Terima kasih disampaikan kepada Pusat Penelitian Kimia LIPI yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan penelitian ini yang didanai oleh Program Sinergi DIKTI-LIPI, Kedeputian Bidang IPT – LIPI.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008. Dahlia spp. L, IPTEKnet. Available at http: //www. iptek.net.id/ind/warintek/Budidayapertanian_idx.php?doc =2b2. Anonim,. 2000, GRAS Notice No. GRN 000118, available at http://www.cfsan.fda.gov/~rdb/opa-g118.html Anonim, 2002. Inulin, Wikipedia available at "http://en.wikipedia.org/wiki/Inulin Anonim, 1995. AOAC International. , Official Methods of Analysis of AOAC International. Ed. 16. Vol I. Maryland. Anonim, 2007. Process for Producing Dfructose Anhydride III Crystals (USPTO patent 2007028735). Available at http://www.patent.co.id Dische, Z . and Borenfreund, E. 1951. A New Spectrophotometric Method for the Detection and Determination of Keto Sugars and Trioses. The Journal of Biological Chemistry. 583-587. Hidayat, A. dan Mulyani A. 2002. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Niness, K.R. 1999. Inulin and Oligofructose: What Are They?. Journal of Nutrition. Suppl. 129, 1402S-14604S. Pool-Zobe l, B.L. 2005. Inulin-type fructans and reduction in colon cancer risk: review of experimental and human data. British Journal of Nutrition. Suppl. 1, S73-S90. Tungland, B.C. 2000. Inulin A Comprehensive Scientific Review. Duncan Crow Wholistic Consultan. Availableathttp://members.shaw.ca/duncancrow/inulin review.html Widowati, S., dkk, . 2005. Characterization of Inulin from Some Dahlia (Dahlia pinnata) Tubers. Proceedings of the 9th Asean Food Conference, Jakarta, 5-8 August 2005.
Serbuk inulin dahlia dapat digunakan sebagai salah satu dari serat diet yang larut dalam air dan agensia prebiotik untuk makanan. Umbi dahlia bunga merah yang ditanam pada jenis tanah inceptisols (Sukabumi) memiliki kadar inulin tertinggi
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 470
ISBN 978-602-98902-1-1
Odonata Sebagai Edible Insect Meis Jacinta Nangoy
Universitas Sam Ratulangi [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kandungan nutrisi nimfa Odonata yang umumnya di konsumsi oleh masyarakat disekitar Danau Linow di Propinsi Sulawesi Utara. Teknik pengambilan sampel nimfa dilakukan pada empat lokasi yang ditetapkan di danau dengan menggunakan dua tiang yang diberi rumput di setiap lokasi sebagai titik sampel. Jarak tiang satu dengan dengan tiang lain satu m. Penentuan titik sampel berdasarkan keadaan lokasi penelitian yang memungkinkan untuk menangkap nimfa. Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan selama tiga bulan di empat lokasi yang masing-masing mempunyai dua titik sampel. Identifikasi dan klasifikasi famili nimfa menggunakan kunci identifikasi Borror and White (1990) dan Chu,C.F dan Cutkomp (1992). Analisis nutrisi sampel nimfa dilakukan menggunakan analisis proksimat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa famili Aeshnidae memiliki kandungan protein 14,36%, lemak 3,90%, karbohidrat 0,15%, air 81,01%; famili Libellulidae memiliki kandungan protein 11,41%, lemak 3,09%, karbohidrat 0,04%, air 82,72%; famili Coenagrionidae kandungan protein 7,76%, lemak 2,47%, karbohidrat 0,05%, air 83,90%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Odonata merupakan salah satu serangga yang dapat dikonsumsi dan digunakan sebagai sumber protein.
PENDAHULUAN Serangga sebagai bahan makanan telah dikenal sejak dahulu kala. Masyarakat di Cina (Xuanju) menjadikan larva semut sebagai upeti pada masa dinasti Zhou (abad 11 SM-256 SM) untuk dimakan dan digunakan sebagai obat-obatan oleh kaisar dan para bangsawan (Shen et al, 2006). Beberapa publikasi ilmiah melaporkan bahwa di Afrika, Asia, dan Amerika Latin serangga telah memainkan peran penting dalam sejarah gizi manusia. Kurang lebih 400 spesies yang dikenal dapat dimakan. Saat ini penelitian serangga sebagai makanan berkembang pesat disamping untuk kepentingan pemenuhan gizi, obat-obatan, bahkan sebagai bahan makanan para astronout untuk pesawat angkasa luar. Menurut Koswara (2002) pemanfaatan belalang di beberapa negara seperti di Zimbabwe, Locustana atau belalang dikumpulkan sebelum fajar tiba pada saat serangga dalam keadaan tidak aktif, kemudian direbus dalam air mendidih, lalu dijemur sampai kering selama satu sampai dua hari. Jika akan diolah, sayap dan kakinya dilepaskan dan Locustana kering kemudian direndam dalam air hingga air terserap, dimasak dengan bawang merah, tomat, dan hancuran kacang tanah. Masyarakat Ethiopia mengolah Locustana dengan cara menumbuk dan merebus dengan susu, atau mengeringkan dan menggiling menjadi tepung. Tepung tersebut kemudian dicampur dengan minyak sayur dan dipanggang sehingga menghasilkan makanan sejenis cake. Banyak negara Afrika mengolah belalang segar dengan cara mengsangrai, memberikan garam dan mengonsumsi sebagai snack. Produk ini tinggi kandungan proteinnya dan mengandung lemak dalam jumlah yang cukup. Odonata adalah sejenis serangga yang dikenal dengan nama umum capung yang sebagian phase hidupnya berada di air yang disebut nimfa. Nimfa tersebut sudah sejak lama dikonsumsi oleh masyarakat di sekitar Danau Linow propinsi Sulawesi Utara. Hingga saat ini studi Odonata sebagai edible insect belum dipelajari secara mendalam terutama kandungan nutrisinya. Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian Odonata sebagai edible insect.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kandungan nutrisi dari masing-masing famili Odonata yang umumnya di konsumsi oleh masyarakat. Diharapkan informasi ini akan memberikan landasan bagi pemanfataan dan pengelolaan Odonata tersebut sebagai edible insect. C. Metode Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilaksanakan di Danau Linow Desa Lahendong Kota Tomohon Propinsi Sulawesi Utara, Penelitian Laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Balai Standarisasi Propinsi Sulawesi Utara selama 3 (tiga) bulan dari Juli hingga September 2009. 2. Pelaksanaan Penelitian a. Identifikasi Nimfa Proses identifikasi dan klasifikasi spesimen nimfa dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi Borror and White (1970) dan Merritt, R.W and K.W.Cummins (1988). b. Teknik pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel nimfa dilakukan pada empat lokasi yang ditetapkan dengan menggunakan 2 tiang yang diberi rumput di setiap lokasi sebagai titik sampel. Jarak tiang satu dengan tiang lain 1 m. Penentuan titik sampel berdasarkan keadaan lokasi penelitian yang memungkinkan untuk menangkap nimfa. Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan selama 3 bulan di empat lokasi yang masing-masing mempunyai 2 titik sampel. Sampel nimfa dilakukan analisis gizi meliputi: kandungan air, kandungan protein, kandungan lemak, dan kandungan karbohidrat di Laboratorium Balai Standarisasi Industri Nasional Sulut. c. Prosedur Analisis Komposisi Gizi 1). Kandungan Air (SNI 01-2891-1992) Pengukuran kandungan air dilakukan dengan pengeringan dengan menggunakan metode pemanasan langsung, yaitu cawan dipanaskan dalam oven (105 0C) selama 15 menit, kemudian dimasukkan ke dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 471
ISBN 978-602-98902-1-1
ini dilakukan sampai diperoleh berat cawan yang tetap (misal: A g). Cawan kemudian ditimbang bersama nimfa yang sudah dihaluskan (misal : B g), dengan berat nimfa kurang lebih 5 gram. Setelah itu nimfa dikeringkan dalam oven selama 3 jam. Kemudian didinginkan dalam eksikator dan timbang sampai diperoleh berat yang tetap (misal:C g), (B – A) – (C – A) Perhitungan Kandungan Air =-------------------------------x 100 % ( C – A) 2). Kandungan Protein (SNI 01-2891-1992) Kandungan protein ditentukan dengan menggunakan metode “Micro Kjeldahl”. Nimfa yang telah dihaluskan, ditimbang kirakira 1 g dan dimasukan ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 5 H2S04 dengan sendok selenium mixture, lalu dipanaskan untuk mengilangkan uap SO2. Pemanasan dilakukan mula-mula dengan api kecil lalu api besar, sehingga terbentuk larutan yang berwarna jernih kehijauan. Larutan yang terbebas SO2, dimasukkan ke dalam labu ukur (100 ) dan diencerkan sampai tanda. Kemudian diambil 10 dan dimasukan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 10 NaOH 30%, lalu disuling. Destilasi dilakukan sampai uap destilasi tidak bereaksi basa (diuji dengan kertas pH). Hasil destilasi ditampung dalam 20 larutan asam boraks (H3BO3), kemudian dititrasi dengan HCl standar mengunakan indikator metal merah. Perhitungan : HCl x N HCl x Fp x 14,007 % Total Nitogen = ------------------------------------------- x 100% mg berat sample Kandungan Protein Keterangan : Fp Fk N
= = = =
% total Nitrogen Faktor pengenceran Faktor konversi Normalitas
3). Kandungan Lemak Kasar (SNI 01-2891-1992) Penentuan kandungan lemak nimfa, digunakan metode ekstraksi langsung dengan alat Soxhlet. Satu hingga 2 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas berisi sampel tersebut disumbat dengan kapas, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 800C selama lebih kurang satu jam, kemudian dimasukkan di dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Ke dalam soxhlet, ditambahkan pelarut heksan atau petroleum benzene, kemudian dipanaskan pada suhu 1050C dalam oven setelah proses ekstraksi berlangsung 6 jam. Setelah itu didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang sampai diperoleh bobot tetap, Perhitungan : W – W1 Kandungan lemak = ----------- x 100 % W2 W = bobot sampel, dalam gram. W1 = bobot lemak sebelum ekstraksi, dalam gram. W2 = bobot labu lemak sesudah ekstraksi.
4. Kandungan Karbohidrat SNI 01-2891-1992) Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml larutan HCl 3%, dididihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Selanjutnya didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30%, dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan sedikit asam. Kemudian isi tersebut dipindahkan ke dalam labu ukur 500 ml dan diimpitkan hingga tanda garis, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml saringan dipipet ke dalam erlenmeyer 500 ml, ditambahkan 25 ml larutan luff (dengan pipet) dan beberapa butir baut didih serta 15 ml air suling. Campuran dipanaskan dengan nyala tetap dan diusahakan agar larutan mendidih dalam waktu 3 menit, dididihkan terus selama 10 menit kemudian dengan cepat didinginkan dalam bak berisi es. Setelah sampel dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% perlahan-lahan, kemudian secepatnya dititer dengan larutan tio 0,1 N (gunakan petunjuk larutan kanji 0,5%). Disamping itu dikerjakan juga blanko. Perhitungan: (Blanko-penitar) x N tio x 10, setara dengan terusi yang tereduksi. Kemudian lihat dalam daftar Luff Schoorl berapa mg gula yang terkandung untuk ml tio yang dipergunakan, Kadar glukosa = W1 x fp x 100% W Dimana: Kadar karbohidrat = 0,90 x kadar glukosa W1 = bobot cuplikan, dalam mg W = glukosa yang terkandung untuk ml tio yang dipergunakan, dalam mg dari daftar. Fp = faktor pengenceran D. Hasil dan Pembahasan 1. Identifikasi Nimfa Capung merupakan serangga yang menarik, memiliki 4 sayap yang berselaput dan banyak sekali urat sayapnya. Bentuk kepala besar dengan mata yang besar pula. Antena (kumis serangga) berukuran pendek dan ramping. Capung memiliki toraks yang kuat dan kaki yang sempurna. Abdomen panjang dan ramping, tidak mempunyai ekor, tetapi memiliki berbagai bentuk umbai ekor yang telah berkembang dengan baik. Capung menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai nimfa yang sangat bergantung pada habitat periran seperti sawah, sungai, danau, kolam dan rawa. Ketika tumbuh dan berkembang, nimfa melepaskan kulitnya hingga beberapa kali, tergantung jenisnya, ada yang 6 kali bahkan ada yang dapat mencapai 15 kali. Hasil identifikasi nimfa menunjukkan bahwa di Danau Linow terdapat 3 famili yaitu Aeshnidae, Libellulidae, dan Coenagriodae. Famili Aeshnidae dan Libellulidae mempunyai bentuk tubuh gemuk, bersegmen, kepala lebih kecil dari dada/thorax dan perut/abdomen dan ukuran tubuh; Libellulidae (panjang ± 20 mm, lebar ± 6 mm), Aeshnidae (panjang ± 50 mm, lebar ± 7,7 mm), dan Coenagriodae (panjang ± 20 mm, lebar ± 2,5-3 mm). 2. Odonata sebagai edible Insect
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 472
ISBN 978-602-98902-1-1
Serangga Odonata sudah sejak lama telah dikonsumsi sebagai laukpauk oleh masyarakat Danau linow. Masyarakat mengenal nimfa Odonata tersebut sebagai ikan. Nimfa Odonata yang berukuran besar dikenal dengan nama sayok, sedangkan yang berukuran kecil disebut komo. Mereka mengonsumsi nimfa Odonata secara mentah, maupun diolah menjadi masakan dengan cara menggoreng, memanggang, atau di berikan bumbu dan dimasukkan dalam bamboo kemudian dipanggang 3.Analisis Komposisi Gizi Nimfa Edible insects (serangga yang dapat dikonsumsi) mengandung protein dan asam amino, terutama asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Serangga merupakan sumber protein yang baik, disamping lemak, karbohidrat, vitamin dan elemen nutrisi lainnya. Beberapa subtansi yang ada pada serangga berguna bagi kesehatan: sebagai contoh protein dan peptida antibakteri, enzym dan hormon. Beberapa serangga tertentu bermanfaat sebagai makanan kesehatan. Serangga sebagai sumber nutrisi, dapat dikonsumsi dan berpotensi untuk dunia industri penting untuk dilakukan studi lanjut (Chen Xiaoming et al, 2008). Odonata sebagai edible insect/serangga yang dikonsumsi oleh masyarakat disekitar Danau Linow telah dianalisis kandungan nutrisinya dengan menggunakan metode proksimat dan dibandingkan dengan daging ternak lainnya. Rataan kandungan nutrisi Odonata dibandingkan dengan daging ternak disajikan dalam tabel 1. Secara umum terlihat bahwa kandungan protein, lemak, karbohidrat ketiga famili tersebut cukup baik walaupun lebih rendah bila dibandingkan dengan daging ternak sapi dan ayam. Famili Aeshnidae memiliki kandungan protein tertinggi bila dibandingkan dengan famili Libellulidae dan Coenagrionidae. Demikian pula dengan kandungan lemak dan karbohidrat. Famili Aeshnidae memiliki kandungan protein lebih tinggi bila dibandingkan dengan ternak babi walaupun kandungan lemaknya lebih rendah. Berdasarkan data tabel 1 terlihat bahwa nimfa Odonata memiliki kandungan gizi yang cukup baik dan berpotensi sebagai sumber protein alternatif.
1. Kesimpulan Odonata (famili Aeshnidae, Libellulidae dan Coenagrionidae ) adalah serangga yang memiliki kandungan nutrisi yang baik sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut tentang kandungan komposisi asam amino, asam lemak, dan vitamin untuk mengetahui potensinya sebagai makanan sehat. DAFTAR PUSTAKA Amir dan Kahono. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Biodiversity Conservation Project. Bogor. Borror, D.J. and R.E. white, 1970. A field guide to the insect of Ameica north of mexico. Hougton Mifflin Company. Boston. Chen Xiaoming, F.Ying, Z.Hong, and C.Zhiyong. 2008. Edible Forest Insects. RAP Publication 2010/02 Koswara
S. Serangga sebagai Bahan Makanan http://www.ebookpangan.com//ARTIKEL/Serangga%20sebagai%20Pangan.Pdf
Merritt, R.W and K.W.Cummins. 1988. An Introduction to the Aquatic Insects of North America. Second edition. Kendal/Hunt Publishing Company. Shen, L., Li, D., Feng, F. and Ren, Y. 2006. Nutritional Composition of Polyrhachis vicina Roger (Edible Chinese black ant). Songklanakarin J. Sci. Technol., 2006, 28(Suppl. 1) : 107-114 Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI-2891-1992. UDC 663/664. Cara Uji Makanan dan Minuman. Pusat Standarisasi Industri. Departemen Perindustrian
Tabel 1. Rataan Kandungan nutrisi Odonata dibandingkan dengan daging ternak. Kadar(basis basah) Air Protein Lemak Karbohidrat % % % % Ayam 20,50 4,30 Babi 13,00 33,3 Sapi 15,80 24,30 Domba 14,60 30,50 Babi hutan 70,98 20,79 0,89 Odonata Aeshnidae 81,01 14,36 3,90 0,15 Libellulidae 82,72 11,41 3,09 0,04 Coenagrionidae 83,90 7,76 2,47 0,05
Seminar Nasional PATPI 2011, 15 – 17 September 2011 | 473