PENGEMBANGAN SILABUS BAHASA INGGRIS KEBIDANAN DI UNIPDU SESUAI DENGAN LEVEL 5 KKNI (SEBUAH ANALISIS KEBUTUHAN) Irta Fitriana PENGEMBANGAN SILABUS TOEFL READING UNTUK MAHASISWA PRODI SELAIN BAHASA INGGRIS DI UNIPDU JOMBANG Endang Suciati1 Maisarah2 DESIGNING A READING TEACHING MATERIAL BASED ON THE STUDENTS’ WEAKNESS POINTS IN ANSWERING UN READING TESTS AT SMA EXCELLENT AL-YASINI Putri Nurul Hidayati1 Achmad Fanani2 PELAFALAN BUNYI PANJANG BAHASA JEPANG PADA MAHASISWA, PENGAJAR DAN PENUTUR ASLI BAHASA JEPANG PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JEPANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA Rike Febriyanti1 Sri Aju Indrowaty2 IMPROVING THE EIGHTH YEAR STUDENTS’ READING COMPREHENSION BY USING NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) AT SMP MUHAMMADIYAH 2 KALISAT – JEMBER Muhammad Saifuddin1 Dedi Malik Wijaya2
COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING: IMPLICATIONS FOR THE COMMUNICATIVE CLASSROOM Achmad Farid
0
DEVELOPING A SYLLABUS OF ENGLISH FOR D3 MIDWIFERY UNIPDU IN ACCORDANCE WITH LEVEL 5 KKNI (A NEEDS ANALYSIS) PENGEMBANGAN SILABUS BAHASA INGGRIS KEBIDANAN DI UNIPDU SESUAI DENGAN LEVEL 5 KKNI (SEBUAH ANALISIS KEBUTUHAN) Irta Fitriana Unipdu Jombang (
[email protected]) ABSTRACT This research is based on the fact that the syllabus for learning English at D-3 Midwifery Unipdu Jombang was not appropriate with the needs of the profession of a midwife. The results showed that the syllabus‟ content of English required by the graduate of D3 midwifery Unipdu is as follows: General expressions: 1) common phrases to start and end a conversation with a client. 2) The introductory phrases. 3) Therapeutic greetings. 4) Numbers. 5) Time expressions. 6) Phrases to praise. 7) Phrases to calm someone. Grammar: 1) Yes / No questions / Wh questions. 2) Imperative sentences. Vocabulary: 1) Vocabulary about teens‟ physical changes. 2) Vocabulary on adolescent mental changes. 3) Vocabulary of the human‟s reproductive system. 4) Vocabulary related to pregnancy. 5) Vocabulary related to patient's vital signs. 6) Vocabulary of human‟s reproductive system. 7) Vocabulary related to childbirth. 8) Vocabulary related to signs of labor. 9) Vocabulary of stages of labor. 10) Vocabulary of after birth. 11) Vocabulary of contraception. 12) Vocabulary of newborn care. 13) Vocabulary of infant feeding. 14) Vocabulary of reproductive disorders in women Keywords: Syllabus, KKNI level 5, Needs Analysis ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa silabus pembelajaran bahasa Inggris pada D-3 Kebidanan Unipdu Jombang selama ini kurang sesuai dengan kebutuhan profesi seorang bidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konten bahasa Inggris untuk mencapai kompetensi yang dibutuhkan seorang lulusan D3 kebidanan Unipdu adalah: General expressions: 1) Ungkapan untuk memulai dan mengakhiri percakapan dengan klien. 2) Ungkapan perkenalan. 3) Salam therapeutik. 4) Ungkapan angka. 5) Ungkapan untuk menyatakan durasi waktu. 6) Ungkapan untuk memuji. 7) Ungkapan untuk menenangkan seseorang. Grammar: 1) Yes/No questions / Wh questions. 2) Imperative sentences. Vocabulary: 1) Kosa kata perubahan fisik remaja. 2) Kosa kata perubahan kejiwaan remaja. 3) Kosa kata sistem reproduksi manusia. 4) Kosa kata terkait keadaan kehamilan klien. 5) Kosa kata terkait tanda-tanda vital pasien. 6) Kosa kata sistem reproduksi manusia. 7) Kosa kata terkait persalinan. 8) Kosa kata terkait tanda-tanda persalinan. 9) Kosa kata kala dalam persalinan. 10) Kosa kata terkait masa nifas. 11) Kosa kata terkait alat kontrasepsi. 12) Kosa kata terkait perawatan bayi baru lahir. 13) Kosa kata terkait pemberian makan bayi. 14) Kosa kata terkait masalah umum gangguan reproduksi pada wanita Kata Kunci: Silabus, KKNI level 5, Analisis Kebutuhan
1
Silabus yang dikembangkan disesuaikan dengan level 5 KKNI (D-3). Penyusunan silabus didasarkan pada analisis kebutuhan siswa (students‟ needs analysis). Pendekatan yang digunakan adalah backward design yang diajukan oleh Jack C. Richards. Dalam pendekatan ini capaian pembelajaran (learning outcomes) ditentukan terlebih dulu baru kemudian menentuan language contents (konten bahasa) yang digunakan untuk mencapai capain pembelajaran tersebut.
A. PENDAHULUAN Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa silabus pembelajaran bahasa Inggris pada D-3 Kebidanan Unipdu Jombang selama ini kurang sesuai dengan kebutuhan profesi seorang bidan. Materimateri mata kuliah bahasa Inggris yang diberikan lebih banyak berkaitan dengan bahasa Inggris kedokteran atau keperawatan yang tentu tidak sesuai dengan kompetensi bahasa Inggris yang diharapkan dikuasai oleh seorang mahasiswa D-3 Kebidanan Unipdu.
B. LANDASAN TEORI
Ketidaksesuaian ini lebih banyak dikarenakan sulitnya menemukan rujukanrujukan buku bahasa Inggris kebidanan di pasaran sebagai bahan pengembangan silabus pembelajaran. Karena itu silabus yang tepat sasaran sesuai dengan kompetensi kebidanan sangat perlu untuk dikembangkan. Silabus tersebut nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan atau pijakan untuk mengembangkan atau menyusun bahan ajar, buku teks atau buku ajar bagi mahasiswa D-3 Kebidanan Unipdu pada khususnya dan mahasiswa D-3 Kebidanan di Indonesia pada umumnya.
1. Analisis Kebutuhan Melakukan analisis kebutuhan merupakan langkah pertama yang penting dalam pengembangan kurikulum yang sedang dikembangkan. Salah satu asumsi dasar pengembangan kurikulum adalah bahwa program pendidikan yang baik harus didasarkan pada analisis kebutuhan peserta didik. Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang kebutuhan peserta didik dikenal sebagai analisis kebutuhan. Menurut Brown dalam Kusumoto (2008 : 3), definisi dari analisis kebutuhan adalah "koleksi dan analisis sistematis dari semua informasi subyektif dan obyektif yang diperlukan untuk mendefinisikan dan memvalidasi tujuan kurikulum yang memenuhi kebutuhan pembelajaran bahasa siswa dalam konteks lembaga tertentu dan mempengaruhi situasi belajar dan mengajar."
Penelitian ini didasarkan pada analisis kebutuhan siswa (students‟ needs analysis). Melakukan analisis kebutuhan merupakan langkah pertama yang penting dalam pengembangan kurikulum yang sedang dikembangkan. Menurut Brown dalam Kusumoto (2008 : 3), definisi dari analisis kebutuhan adalah "koleksi dan analisis sistematis dari semua informasi subyektif dan obyektif yang diperlukan untuk mendefinisikan dan memvalidasi tujuan kurikulum yang memenuhi kebutuhan pembelajaran bahasa siswa dalam konteks lembaga tertentu dan mempengaruhi situasi belajar dan mengajar."
Analisis kebutuhan adalah sebuah proses sistematik untuk menentukan kebutuhan, atau „jarak‟ antara kondisi terkini dan kondisi yang diinginkan. Kesenjangan antara kondisi terkini dan kondisi yang diharapkan harus diukur agar dapat 2
mengidentifikasi kebutuhan secara tepat. Kebutuhan bisa jadi merupakan keinginan untuk meningkatkan kinerja terkini atau untuk memperbaiki kekurangan (Kizlik : 2010).
sejumlah besar subjek. Prosedur ini juga dapat digunakan untuk menggali informasi tentang berbagai macam isu, seperti penggunaan bahasa, kesulitan komunikasi, gaya belajar yang disukai, kegiatan kelas yang disukai, dan sikap serta keyakinan, dan sebagainya.
Analisis kebutuhan dalam pengajaran bahasa dapat digunakan untuk beberapa tujuan yang berbeda (Richards, 2003: 59), misalnya:
b. Self-ratings. Prosedur ini berisi skala yang digunakan siswa untuk menilai pengetahuan atau kemampuan mereka.
a. untuk mengetahui kemampuan bahasa seseorang dalam melakukan peran tertentu, seperti manajer penjualan, pemandu wisata, atau mahasiswa.
c. Wawancara. Prosedur ini digunakan untuk mengeksplorasi masalah secara lebih mendalam. Walaupun demikian, wawancara membutuhkan waktu lebih lama untuk mengelola data dan hanya cocok untuk kelompok-kelompok kecil.
b. untuk membantu menentukan materi yang sesuai dan membahas kebutuhan siswa. c. untuk menentukan siswa/kelompok siswa yang paling membutuhkan pelatihan keterampilan bahasa tertentu. d.
d. Meeting. Prosedur ini memungkinkan sejumlah besar informasi dikumpulkan dalam waktu yang cukup singkat. Namun, informasi yang diperoleh dengan cara ini mungkin impresionis dan subyektif dan mencerminkan ide-ide dari anggota yang lebih vokal.
untuk mengidentifikasi kesenjangan antara apa yang siswa dapat lakukan dan apa yang mereka butuhkan untuk dapat dilakukan.
e. Observasi/ Pengamatan. Pengamatan terhadap perilaku peserta didik dalam situasi tertentu adalah cara lain untuk menilai kebutuhan mereka. Namun, orang sering tidak melakukan dengan baik ketika mereka merasa sedang diamati, jadi hal ini harus diperhitungkan.
e. untuk mengumpulkan informasi tentang peserta didik tertentu yang mengalami masalah dalam hal kebahasaan.
2. Prosedur Analisis Kebutuhan Menurut Richards (2003: 59) ada beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk menganalisis kebutuhan, dan jenis informasi yang diperoleh sering tergantung pada jenis prosedur yang dipilih. Pengumpulan informasi selama analisis kebutuhan dapat dilakukan melalui beberapa cara berikut:
f. Mengumpulkan sampel. Sampel bahasa dapat dikumpulkan melalui sarana berikut: tugas tertulis dan lisan, simulasi atau permainan peran, tes prestasi, dan tes kinerja. g. Analisis tugas (task analysis). Hal ini mengacu pada analisis tugas-tugas bahasa Inggris yang harus dikerjakan peserta didik dalam setting kerja/pendidikan dan penilaian karakteristik linguistik.
a. Kuesioner. Kuesioner adalah salah satu instrumen yang paling umum digunakan. Prosedur ini relatif mudah untuk dipersiapkan dan dapat digunakan dengan 3
h. Studi kasus. Dengan studi kasus, seorang atau sekelompok mahasiswa akan mengikuti sebuah pekerjaan tertentu yang relevan atau pengalaman pendidikan agar dapat mengetahui karakteristik dari situasi tersebut.
kinerja seseorang, dan bagaimana mengalokasikan waktu dan sumber daya ke area-area yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Dalam merencanakan silabus, perencana dapat memilih salah satu kerangka silabus berikut (Richards : 2003: 153-162 ). 1. Silabus gramatikal: silabus yang berorientasi pada item gramatikal. Secara tradisional, silabus gramatikal telah digunakan sebagai dasar untuk perencanaan program umum, khususnya untuk pelajar tingkat awal. 2. Silabus Fungsional: silabus yang disusun di sekitar fungsi komunikatif seperti meminta, menyarankan, atau menyatakan persetujuan. Silabus fungsional berusaha untuk menganalisis konsep kompetensi komunikatif menjadi komponenkomponen yang berbeda pada asumsi bahwa penguasaan fungsi individu akan menghasilkan kemampuan komunikatif secara keseluruhan. 3. Silabus situasional: Silabus yang disusun seputar bahasa yang diperlukan untuk situasi-situasi yang berbeda seperti di bandara atau di hotel. Situasi adalah setting di mana tindakan komunikatif tertentu biasanya terjadi. 4. Silabus berbasis Topik/konten: Silabus yang disusun seputar tema, topik, atau konten-konten lain. Dengan silabus ini, konten, fungsi, atau situasi adalah titik awal dalam desain silabus. 5. Silabus berbasis kompetensi: silabus yang terorganisir berdasarkan spesifikasi kompetensi yang diharapkan dikuasai peserta didik dalam situasi dan kegiatan khusus. Kompetensi adalah deskripsi mengenai keterampilan-keterampilan
i. Analisis informasi yang tersedia. Prosedur ini menggali sejumlah besar informasi yang relevan yang umumnya tersedia dalam berbagai sumber, termasuk buku, artikel jurnal, laporan survei, catatan atau file. Prosedur ini merupakan langkah pertama dalam melakukan analisis kebutuhan.
3. Pengolahan Informasi yang Diperoleh Selama analisis kebutuhan, sejumlah besar kebutuhan potensial dapat diidentifikasi. Namun, kebutuhan-kebutuhan ini harus diprioritaskan karena tidak semuanya mampu mengatasi kesulitan dalam program bahasa, atau mungkin kerangka waktu yang tersedia dalam program ini cocok untuk menangani hanya sebagian saja. Hasil analisis kebutuhan secara umum terdiri dari informasi yang diambil dari beberapa sumber yang berbeda dan diringkas dalam bentuk daftar peringkat (Richards, 2003: 64). 4. Perlunya Merancang Silabus Menurut Oxford English Dictionary, kata silabus pertama kali muncul dalam bahasa Inggris pada tahun 1656 dan mengacu pada makna daftar isi. Penggunaan yang lebih khusus yang mengacu pada garis besar perkuliahan muncul pada tahun 1889. Sebuah silabus yang direncanakan dengan baik akan memberikan informasi yang berguna bagi siswa. Silabus akan memberikan informasi tentang bagaimana merencanakan tugas dalam satu semester, bagaimana mengevaluasi dan memantau 4
penting, pengetahuan dan sikap yang dibutuhkan untuk melaksanakan secara efektif tugas-tugas dan kegiatan tertentu. 6. Silabus keterampilan (skills syllabus): silabus yang disusun seputar kemampuan-kemampuan dasar yang berbeda yang meliputi penggunaan bahasa untuk tujuantujuan seperti membaca, menulis, mendengar, atau berbicara. 7. Silabus Berbasis Tugas: Silabus yang disusun berdasar tugas-tugas yang telah dirancang secara khusus untuk memfasilitasi pembelajaran bahasa kedua. Dengan kata lain silabus yang unit-unit dasarnya adalah tugas-tugas atau kegiatan.
mendeskripsikan komptensi-kompetensi apa saja yang harus dikuasai oleh seorang bidan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Selain itu juga akan dideskripsikan konten-konten bahasa Inggris yang diperlukan unuk mendukung kompentensi tersebut. Analisis kebutuhan tersebut menggunakan alur yang diajukan oleh Jack Richards (2013). 2. Sumber data Data dalam penelitian ini adalah daftar kompetensi-kompetensi kebidanan dan konten kebahasaan yang dibutuhkan untuk menjalankan kompetensi tersebut. Data penelitian diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan para praktisi bidan profesional, pengelola rumah sakit, para dosen kebidanan dan juga dosen sejawat mata kuliah bahasa Inggris. Selain itu data juga diperoleh melalui studi literatur bidang-bidang kebidanan.
Jenis silabus yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah Silabus Berbasis Kompetensi dimana silabus yang disusun didasarkan pada spesifikasi kompetensi yang diharapkan dikuasai peserta didik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas tertentu, dalam hal ini kegiatan atau keterampilan kebidanan. Dalam silabus tersebut akan dirumuskan Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (Course Leaning Outcomes (CLO)). CLO menggambarkan apa yang akan mahasiswa ketahui dan apa yang dapat dilakukan mahasiswa di akhir perkuliahan. Capaian pembelajaran perkuliahan berbasis kinerja (performance) dan berorientasi pada hasil. CLO merupakan gambaran yang bermakna (significant) dan terkait dengan apa yang diharapkan dapat dilakukan mahasiswa di „dunia nyata‟.
3. Format Silabus Silabus yang akan didesain dalam penelitian ini disesuaikan dengan besaran angka kredit yang sudah ditetapkan oleh prodi D-3 Kebidanan Unipdu yaitu sebesar 2 SKS. Silabus dirancang untuk 14 kali pertemuan dengan 2 kali ujian (UTS dan UAS). Untuk sekali tatap muka dialokasikan waktu 100 menit ditambah dengan penugasan. Dalam silabus akan dirumuskan learning outcomes (Capaian Pembelajaran), baik Capaian Pembelajaran Mata Kuliah maupun Capaian Pembelajaran Khusus untuk masing-masing kompetensi, berikut dengan konten bahasanya. 4. Responden/Informan
C. METODE PENELITIAN
Data yang dibutuhkan dalam menganalisis kebutuhan dikumpulkan melalui wawancara dengan: 1. Para praktisi kebidanan (bidan)
1. Desain penelitian Desain penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini akan 5
2. Dosen-dosen kebidanan 3. Pengelola rumah sakit (ruang obgyn) 4. Dosen sejawat mata kuliah bahasa Inggris
Pranikah; 2. Ibu hamil; 3. Ibu Bersalin; 4. Ibu Nifas; 5. bayi Baru lahir; 6. Wanita dengan gangguan reproduksi 1) Asuhan kebidanan kepada remaja putri dan wanita pra nikah a. Mampu menjelaskan tentang perubahan-perubahan fisik selama masa remaja b. Mampu menjelaskan tentang perubahan kejiwaan masa remaja c. Mampu memberikan penjelasan mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja
D. PEMBAHASAN 1. Profil Lulusan Berdasarkan pada analisis kurikulum D-3 Kebidanan Unipdu, secara garis besar Prodi D-3 Kebidanan Unipdu Jombang berusaha mencetak para lulusannya untuk menjadi: 1. Care provider (Pemberi asuhan kebidanan) 2. Community leader (Penggerak masyarakat) 3. Communicator (komunikator) 4. Decision Maker (Pengambil keputusan dalam asuhan kebidanan) 5. Manager (Pengelola)
2) Asuhan kebidanan kepada ibu hamil a. Mampu melakukan pengumpulan data dasar untuk mengevaluasi keadaan klien. b. Mampu melakukan pengumpulan data dasar tentang riwayat kesehatan dan obstetri klien. c. Mampu mencatat tanda-tanda vital pasien (tekanan darah, berat badan, dll) d. Mampu menegakkan diagnosa kehamilan yang meliputi gravida, para, abortus, umur ibu, umur kehamilan dan keadaan janin (jumlah, presentasi dan letak janin).
2. Kompetensi yang harus dikuasi dalam pemberian asuhan kebidanan Berdasarkan pada deskripsi profil dan kompetensi kunci yang harus dikuasai oleh para lulusan D-3 kebidanan Unipdu, maka ada satu poin penting yang harus disertakan dalam silabus bahasa Inggris untuk kebidanan yaitu pemberian asuhan kebidanan yang efektif. Adapun yang dimaksud dengan asuhan Kebidanan adalah penerapan fungsi dan kegiatan yang menjadi tanggungjawab dalam memberikan pelayanan kepada klien yang mempunyai kebütuhan masalah dalam bidang kesehatan ibu hamil, masa persalinan, masa nifas, bayi setelah lahir serta keluarga berencana (Depkes RI, 1999).
3) Asuhan kebidanan kepada ibu bersalin a. Mampu menjelaskan konsep persalinan b. Mampu mengenali tanda-tanda permulaan persalinan c. Mampu mengenali tanda dan gejala inpartu d. Mampu menjelaskan tentang Kala dalam persalinan e. Mampu membantu ibu dalam persalinan normal
Secara Ringkas, Asuhan kebidanan adalah Asuhan yang di berikan oleh seorang Bidan yang mempunyai Ruang Lingkup sebagai berikut: 1. Remaja Putri dan Wanita 6
pra nikah dibutuhkan konten kebahasaan (Inggris) sebagai berikut:
4) Asuhan kebidanan kepada ibu nifas dan KB a. Mampu menjelaskan tentang konsep teori nifas b. Mampu memberikan perawatan pada masa nifas c. Mampu menjelaskan jenis-jenis KB dan tata cara penggunaannya
Common expressions: 1. Ungkapan-ungkapan umum tentang memulai dan mengakhiri percakapan dengan klien (greetings, opening and closing a conversation) 2. Ungkapan perkenalan (introduction)
5) Asuhan kebidanan kepada bayi baru lahir a. Mampu mengumpulkan data persalinan b. mampu mengumpulkan data mengenai bayi yang baru dilahirkan c. Mampu memberikan penjelasan kepada ibu tentang tata cara perawatan bayi
Grammar: 1. Membuat kalimat tanya. Kalimat tanya yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang perubahan fisik dan kejiwaan klien. 2. Membuat kalimat perintah. Kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan arahan kepada klien Vocabulary: 1. Kosa kata terkait perubahan fisik remaja (teenage physical changes) 2. Kosa kata terkait perubahan kejiwaan remaja (teenage psychological changes) 3. Kosa kata tentang sistem reproduksi manusia (human‟s system of reproduction)
6) Asuhan kebidanan kepada Wanita dengan gangguan reproduksi a. Mampu menjelaskan tentang berbagai macam gangguan umum reproduksi pada wanita b. Mampu memberikan penanganan terhadap gangguan umum reproduksi pada wanita
b. Pemberian asuhan kebidanan kepada ibu hamil Dalam memberikan asuhan kebidanan kepada ibu hamil dibutuhkan konten kebahasaan (Inggris) sebagai berikut:
3.
Konten bahasa Inggris yang dibutuhkan Mencermati kompetensi kunci yang dibutuhkan oleh seorang bidan dalam asuhan kebidanan, maka perlu diidentifikasi konten bahasa Inggris yang diperlukan untuk tercapainya kompetensi tersebut. Adapun konten bahasa Inggris yang diperlukan dibagi menjadi 3 sub: Common Expressions, Grammar, dan Vocabulary. Ketiga kompenen bahasa ini diperlukan untuk tercapainya kompetensi bidan di atas.
Common expressions: 1. Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Ungkapan untuk perkenalan (introduction) 3. Ungkapan tentang angka (numbers) Grammar: 1. Membuat kalimat tanya. Kalimat tanya yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang keadaan kehamilan klien. 2. Membuat kalimat perintah. Kalimat perintah yang digunakan untuk
a. Pemberian asuhan kebidanan kepada remaja putri dan wanita pra nikah Dalam memberikan asuhan kebidanan kepada remaha putri dan wanita 7
memberikan arahan kepada klien tentang apa yang harus dilakukan oleh ibu hamil berkaitan dengan kehamilannya. 3. Kalimat pernyataan: Untuk memberitahukan tentang keadaan kehamilan pasien
2. Kosa kata terkait tanda-tanda persalinan (signs of labor) 3. Kosa kata tentang kala dalam persalinan (stages of labor)
d. Pemberian asuhan kebidanan kepada ibu nifas dan KB Dalam memberikan asuhan kebidanan kepada ibu nifas dan KB dibutuhkan konten kebahasaan (Inggris) sebagai berikut:
Vocabulary: 1. Kosa kata terkait keadaan kehamilan klien (client‟s pregnancy condition: number of pregnancy, fetal position, fetal presentation, etc) 2. Kosa kata terkait tanda-tanda vital pasien (client‟s vital sign: blood pressure, body weight, etc) 3. Kosa kata tentang sistem reproduksi manusia (human‟s system of reproduction)
Common expressions: 1. Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Ungkapan umum untuk memuji (praising) Grammar: 1. Membuat kalimat tanya. Kalimat tanya yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang keadaan klien pasca kelahiran dan menanyakan tentang program KB yang diinginkan. 2. Membuat kalimat perintah. Kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan instruksi kepada klien tentang apa yang harus dilakukan selama masa nifas dan proses pemasangan alat kontrasepsi.
c. Pemberian asuhan kebidanan kepada ibu bersalin Dalam memberikan asuhan kebidanan kepada ibu bersalin dibutuhkan konten kebahasaan (Inggris) sebagai berikut: Common expressions: 1. Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Ungkapan umum untuk menyatakan durasi waktu (time duration) Grammar: 1. Membuat kalimat tanya. Kalimat tanya yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang keadaan klien pra kelahiran. 2. Membuat kalimat perintah. Kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan arahan kepada klien dalam menghadapi persalinan 3. Kalimat pernyataan. Kalimat pernyataan untuk memberitahukan tentang keadaan pasien dalam menghadapi persalinan.
Vocabulary: 1. Kosa kata terkait masa nifas (post natal terms) 2. Kosa kata terkait alat kontrasepsi (contraceptive methods) e. Pemberian asuhan kebidanan kepada bayi baru lahir Dalam memberikan asuhan kebidanan kepada bayi baru lahir dibutuhkan konten kebahasaan (Inggris) sebagai berikut:
Vocabulary: 1. Kosa kata terkait persalinan (labor terms)
8
Common expressions: 1. Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Ungkapan umum untuk memuji (praising)
tentang apa yang harus dilakukan selama penanganan pasien. Vocabulary: 1. Kosa kata terkait masalah-masalah umum gangguan reproduksi pada wanita (woman‟s reproductive system disorder)
Grammar: 1. Membuat kalimat tanya. Kalimat tanya yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang persalinan dan bayi yang baru dilahirkan. 2. Membuat kalimat perintah. Kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan instruksi kepada klien tentang apa yang harus dilakukan selama masa perawatan bayi dan pemberian makan bayi.
4. Desain silabus bahasa Inggris untuk D3 kebidanan Unipdu Berdasarkan deskripsi konten bahasa Inggris di atas, maka silabus bahasa Inggris untuk D3 Kebidanan Unipdu dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengingat ada 6 (enam) kompetensi utama yang harus dikuasai oleh lulusan D3 Kebidanan Unipdu maka masingmasing kompetensi akan diberikan dalam dua kali pertemuan. Jadi akan ada dua belas pertemuan untuk mengajarkan bahasa Inggris yang berkaitan dengan pencapaian kompetensi di atas. 2. Dua pertemuan awal akan digunakan untuk mengajarkan tentang bagaimana membuat kalimat tanya dan kalimat perintah dalam bahasa Inggris. Ini penting mengingat dua bentuk kalimat ini sangat diperlukan di dalam berkomunikasi dengan klien.
Vocabulary: 1. Kosa kata terkait perawatan bayi baru lahir (newborn baby treatment) 2. Kosa kata terkait pemberian makan bayi (breastfeeding) f. Pemberian asuhan kebidanan kepada wanita dengan gangguan reproduksi Dalam memberikan asuhan kebidanan kepada wanita dengan gangguan reproduksi dibutuhkan konten kebahasaan (Inggris) sebagai berikut: Common expressions: 1. Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Ungkapan umum untuk menenangkan seseorang (comforting someone)
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, maka struktur silabus akan terlihat sebagai berikut: Perte muan ke 1
Grammar: 1. Membuat kalimat tanya. Kalimat tanya yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang gangguan reproduksi yang dialami seorang klien. 2. Membuat kalimat perintah. Kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan instruksi kepada klien
2
3-4
9
Learning Outcomes Mampu membuat kalimat tanya dalam bahasa Inggris Mampu membuat kalimat perintah dalam bahasa Inggris Mampu
Materi
1. Yes/No questions 2. Wh questions
1. Imperative sentences
1.
Ungkapan-
memberikan penjelasan mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja dan wanita pra nikah
2.
3.
4.
5.
5-6
Mampu memberikan penjelasan mengenai asuhan kebidanan kepada ibu hamil
1.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
ungkapan umum untuk memulai dan mengakhiri percakapan dengan klien Ungkapan perkenalan (introduction) Kosa kata tentang perubahan fisik remaja (teenage physical changes) Kosa kata tentang perubahan kejiwaan remaja (teenage psychological changes) Kosa kata tentang sistem reproduksi manusia (human‟s system of reproduction)
tanda-tanda vital pasien (client‟s vital sign: blood pressure, body weight, etc) 8. Kosa kata tentang sistem reproduksi manusia (human‟s system of reproduction)
Salam therapeutik (therapeutic greetings) Ungkapan tentang angka (numbers) Kalimat tanya yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang keadaan kehamilan klien. Kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan arahan kepada klien tentang apa yang harus dilakukan oleh ibu hamil berkaitan dengan kehamilannya. Kalimat pernyataan untuk memberitahukan keadaan kehamilan pasien Kosa kata terkait keadaan kehamilan klien (client‟s pregnancy condition: number of pregnancy, fetal position, fetal presentation, etc) Kosa kata terkait
10
7 8-9
UTS Mampu memberikan penjelasan tentang asuhan kebidanan kepada ibu bersalin
10-11
Mampu memberi penjelasan mengenai asuhan kebidanan kepada ibu nifas dan KB
1. Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Ungkapan umum untuk menyatakan durasi waktu (time duration) 3. Kalimat tanya untuk mengumpulkan data tentang keadaan klien pra kelahiran. 4. Kalimat perintah untuk memberikan arahan kepada klien dalam menghadapi persalinan 5. Kalimat pernyataan untuk memberitahukan tentang keadaan pasien dalam menghadapi persalinan. 6. Kosa kata terkait persalinan (labor terms) 7. Kosa kata terkait tanda-tanda persalinan (signs of labor) 8. Kosa kata tentang kala dalam persalinan (stages of labor) 1.
Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Ungkapan umum untuk memuji (praising) 3. Kalimat tanya untuk mengumpulkan data tentang keadaan
klien pasca kelahiran dan menanyakan tentang program KB yang diinginkan. 4. Kalimat perintah untuk memberikan instruksi kepada klien tentang apa yang harus dilakukan selama masa nifas dan proses pemasangan alat kontrasepsi. 5. Kosa kata terkait masa nifas (post natal terms) 6. Kosa kata terkait alat kontrasepsi (contraceptive methods) 12-13
Mampu memberi penjelasan tentang asuhan kebidanan kepada bayi baru lahir
14-15
Mampu memberi penjelasan tentang asuhan kebidanan kepada wanita dengan gangguan reproduksi
tentang gangguan reproduksi yang dialami seorang klien. 4. Kalimat perintah untuk memberikan instruksi kepada klien tentang apa yang harus dilakukan selama penanganan pasien. 5. Kosa kata terkait masalah-masalah umum gangguan reproduksi pada wanita (woman‟s reproductive system disorder) 16
UAS
E. KESIMPULAN
1. Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Kalimat tanya untuk mengumpulkan data tentang persalinan dan bayi yang baru dilahirkan. 3. Kalimat perintah untuk memberikan instruksi kepada klien tentang apa yang harus dilakukan selama masa perawatan bayi dan pemberian makan bayi. 4. Kosa kata terkait perawatan bayi baru lahir (newborn baby treatment) 5. Kosa kata terkait pemberian makan bayi (breastfeeding) 1. Salam therapeutik (therapeutic greetings) 2. Ungkapan umum untuk menenangkan seseorang (comforting someone) 3. Kalimat tanya untuk mengumpulkan data
Dari uraian di bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal berikut: 1. Dengan mempertimbangkan alokasi waktu pertemuan dalam satu semester (14 kali tatap muka dan 2 kali ujian (UTS dan UAS)), maka pemberian asuhan kebidanan dipilih menjadi topik utama dalam pengajaran bahasa Inggris kebidanan. 2. Berdasarkan pada hasil wawancara dengan berbagai pihak, pemberian asuhan kebidanan difokuskan pada: a. Pemberian asuhan kebidanan kepada remaja putri dan wanita pra nikah b. Pemberian asuhan kebidanan kepada ibu hamil c. Pemberian asuhan kebidanan kepada ibu bersalin d. Pemberian asuhan kebidanan kepada ibu nifas dan KB e. Pemberian asuhan kebidanan kepada bayi baru lahir f. Pemberian asuhan kebidanan kepada wanita dengan gangguan reproduksi 3. Untuk konten bahasa Inggris dalam rangka pencapaian kompetensi yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: General expressions: 11
1) Ungkapan-ungkapan umum untuk memulai dan mengakhiri percakapan dengan klien 2) Ungkapan perkenalan (introduction) 3) Salam therapeutik (therapeutic greetings) 4) Ungkapan tentang angka (numbers) 5) Ungkapan umum untuk menyatakan durasi waktu (time duration) 6) Ungkapan umum untuk memuji (praising) 7) Ungkapan umum untuk menenangkan seseorang (comforting someone)
11) Kosa kata terkait alat kontrasepsi (contraceptive methods) 12) Kosa kata terkait perawatan bayi baru lahir (newborn baby treatment) 13) Kosa kata terkait pemberian makan bayi (breastfeeding) 14) Kosa kata terkait masalah-masalah umum gangguan reproduksi pada wanita (woman‟s reproductive system disorder) DAFTAR PUSTAKA
Grammar: 1) Yes/No questions / Wh questions 2) Imperative sentences
_______. KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2012
Vocabulary: 1) Kosa kata tentang perubahan fisik remaja (teenage physical changes) 2) Kosa kata tentang perubahan kejiwaan remaja (teenage psychological changes) 3) Kosa kata tentang sistem reproduksi manusia (human‟s system of reproduction) 4) Kosa kata terkait keadaan kehamilan klien (client‟s pregnancy condition: number of pregnancy, fetal position, fetal presentation, etc) 5) Kosa kata terkait tanda-tanda vital pasien (client‟s vital sign: blood pressure, body weight, etc) 6) Kosa kata tentang sistem reproduksi manusia (human‟s system of reproduction) 7) Kosa kata terkait persalinan (labor terms) 8) Kosa kata terkait tanda-tanda persalinan (signs of labor) 9) Kosa kata tentang kala dalam persalinan (stages of labor) 10) Kosa kata terkait masa nifas (post natal terms)
Altschuld, James W. and Kumar, David Devraj. 2010. Needs Assessment: An Overview. Thousand Oaks: Sage. ISBN 978-1-4129-7584-1. Fanani, Achmad. 2011. Thesis. Designing EPT Syllabuses and Workbooks for Non English Department Students (A Students‟ Needs Analysis). Universitas Surabaya Fulgham, S. M. & Shaughnessy, M. 2008. Q & A with Ed Tech Leaders: Interview with Roger Kaufman. Educational Technology. Kaufman, Roger, Alicia M. Rojas, Hannah Mayer. 1993. Needs Assessment: A User's Guide. Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publications, Inc. p. 4. Kizlik, B., "Needs Assessment Information", ADPRIMA, 12
http://www.adprima.com/needs.htm diunduh 16 Oktober 2013. Kusumoto, Yoko. 2008. Needs Analysis: Developing A Teacher Training Program For Elementary School Homeroom Teachers In Japan. University of Hawai„i at Mānoa Second Language Studies. NOAA, Costal Services Center. "Needs Assessment Training". Diunduh 22 September 2013. Nunan, D. 2003. The impact of English as a global language on educational policies and practices in the AsiaPacific Region. TESOL Quarterly, 37, 589–613. Richards, Jack C. 2003. Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge University Press. Cambridge. Richards, Jack C. 2013. „Curriculum Approaches in Language Teaching: Forward, Central, and Backward Design‟. RELC Journal, Singapore.
13
DEVELOPING A SYLLABUS OF TOEFL READING FOR THE STUDENTS OF NON ENGLISH DEPARTMENT UNIPDU JOMBANG PENGEMBANGAN SILABUS TOEFL READING UNTUK MAHASISWA PRODI SELAIN BAHASA INGGRIS DI UNIPDU JOMBANG Endang Suciati1 Maisarah2 Unipdu Jombang (
[email protected])
ABSTRACT The research is based on the fact that the syllabus TOEFL Reading used in Unipdu Jombang does not meet the needs of the students, because it only consists of a number of exercises and answer keys with a short discussion. In short, this study uses a two-stage analysis. First, analyzing the type of questions frequently found in TOEFL reading. The second step is identifying the type of questions considered as the weakness of the students. This study used a needs analysis in form of survey. 25 respondents were given a test. The test materials were reading questions often found in TOEFL. From the test result, it can be concluded that the reading material should be delivered in TOEFL reading training for three meetings are: vocabulary, reference, topic, exception, inference, and passage organization Keywords: TOEFL Reading, Needs Analysis, Syllabus. ABSTRAK Penelitian ini didasari pada fakta bahwa silabus TOEFL Reading yang selama ini digunakan di Unipdu Jombang masih dirasa kurang memenuhi kebutuhan para mahasiswa, sebab hanya terdiri dari materi dan sejumlah latihan soal serta kunci jawaban dengan pembahasan singkat. Secara ringkas, penelitian ini menggunakan dua tahap analisis. Pertama, dianalisis jenis soalsoal apa sajakah yang sering muncul pada TOEFL reading. Langkah kedua yaitu mengidentifikasi jenis soal yang menjadi kelemahan para mahasiswa. Penelitian ini menggunakan analisis kebutuhan berupa survey. Responden sejumlah 25 orang diberikan tes. Materi tes tersebut yaitu soal-soal reading yang sering muncul dalam TOEFL. Dari hasil tes tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai materi apa saja yang harus disampaikan dalam pelatihan TOEFL reading untuk 3 pertemuan. Materi-materi tersebut adalah: vocabulary, reference, topic, exception, inference, dan passage organization Kata Kunci: TOEFL Reading, Analisis Kebutuhan, Silabus.
14
kelemahan responden dalam menjawab soalsoal TOEFL reading. Pengidentifikasian ini diharapkan dapat menjadi dasar penyusunan silabus TOEFL reading yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Penelitian ini menggunakan analisis kebutuhan. Terdapat dua tahap analisis yang dilakukan. Pertama, dari buku TOEFL Practice Test workbook yang diterbitkan oleh ETS (Educational Testing Service) pada tahun 2003 serta Preparation Kit Workbook yang diterbitkan oleh ETS di tahun 2002, dianalisis bentuk soal-soal apasajakah yang sering muncul pada TOEFL reading. Langkah kedua yaitu mengidentifikasi jenis soal yang menjadi kelemahan para mahasiswa. Jenis soal dirangking dari yang termudah hingga yang tersulit. Sebelum melakukan identifikasi tersebut, sejumlah mahasiswa diminta untuk melaksanakan tes kemampuan TOEFL reading terlebih dahulu. Setelah dilakukan langkah yang kedua tersebut nantinya dapat ditarik kesimpulan tentang kebutuhan materi apa saja yang harus di sampaikan dalam pelatihan TOEFL reading.
A.
PENDAHULUAN Sering kali TOEFL (Test of English as a Foreign Language) menjadi salah satu prasyarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk berbagai keperluan. Sebagai contoh, seseorang yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri harus memiliki sertifikat TOEFL dengan nilai tertentu. Bahkan, mahasiswa diharapkan juga menempuh tes TOEFL sebelum lulus dari universitas. Untuk itu, berbagai pelatihan TOEFL banyak dibuka di berbagai instansi pendidikan sebagai bentuk persiapan melakukan tes tersebut. Namun, tidak jarang bagi mereka yang telah mengikuti pelatihan tersebut masih merasa kurang puas dengan hasil tes TOEFL. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk menemukan formula yang tepat dalam materi pembuatan silabus yang sesuai dengan kebutuhan untuk memudahkan peserta dalam menjawab soal. Terdapat beberapa jenis tes TOEFL, antara lain iBT (Internet Based Test), CBT (Computer Based Test) dan PBT (Paper Based Test). Penelitian ini menggunakan jenis TOEFL model PBT karena jenis TOEFL ini masih banyak digunakan di Indonesia termasuk di UNIPDU Jombang. Ada beberapa macam sesi dalam tes TOEFL PBT (Paper based Test), namun dalam penelitian ini difokuskan pada salah satu sesi yaitu Reading Comprehension. Dalam sesi ini, peserta harus menyelesaikan 5-7 bacaan yang masing-masing terdiri dari 7-12 pertanyaan. Waktu yang disediakan untuk menjawab seluruh pertanyaan adalah 55 menit, atau rata-rata 1,1 menit per pertanyaan. Penelitian ini penting dilaksanakan untuk membantu para trainer TOEFL dalam menyiapkan materi pelatihan yang tepat sasaran. Dalam penelitian ini diidentifikasi jenis-jenis pertanyaan yang paling sering muncul pada sesi Reading Comprehension dan juga mengidentifikasi kelemahan-
B. 1.
KERANGKA TEORI Analisis Kebutuhan Kebutuhan ialah istilah yang digunakan dalam menggambarkan harapan/ekspektasi atau keinginan yang harus dipenuhi oleh seseorang. Definisi kebutuhan menurut Wikipedia adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan makhluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar (alasan) berusaha. Dalam bidang pendidikan, kebutuhan didefinisikan sebagai semua hal yang bisa dilakukan oleh siswa dan apa yang mereka harus mampu untuk melakukan (Richard dalam Fanani, 2011). Program pendidikan yang baik seharusnya mengacu pada analisis kebutuhan siswa. Informasi mengenai kebutuhan siswa yang dikumpulkan dan 15
disusun, merupakan prosedur dari analisis kebutuhan. Berikut adalah beberapa tujuan dari analisis kebutuhan dalam hal pengajaran bahasa, (Richards, 2013): a. Mengetahui kemampuan bahasa seseorang dalam profesi tertentu, misalnya: manajer, pemandu wisata, atau mahasiswa. b. Membantu menentukan materi apa saja yang sesuai dan membahas kebutuhan siswa. c. Menentukan siswa/ kelompok siswa yang paling membutuhkan bimbingan dalam hal keterampilan bahasa d. Mengidentifikasi kesenjangan antara apa yang siswa dapat lakukan dengan apa yang mereka butuhkan. e. Menggalang informasi mengenai siswa tertentu yang mengalami masalah dalam hal keterampilan kebahasaan.
harus disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa, sehingga nantinya informasi yang didapatkan tidak berlebihan. Dalam mengumpulkan berbagai informasi diperlukan alasan yang jelas, sehingga dapat ditentukan informasi apa saja yang akan digunakan (Richards dalam Fanani: 2011). Sebagai contoh, Pengamatan kebutuhan bahasa siswa selain jurusan bahasa Inggris di sebuah universitas di Selandia Baru (Gravatt, Richards, dan Lewis di Richards (2004: 63), menggunakan prosedur berikut ini: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
2.
Prosedur Analisis Kebutuhan Ada berbagai macam prosedur yang dapat digunakan dalam melakukan analisis kebutuhan dan jenis informasi yang diperoleh sering tergantung pada jenis prosedur yang dipilih (Richards, 2004). Prosedur pengumpulan informasi bisa didapatkan dari: 1. Kuesioner 2. Self-ratings 3. Wawancara 4. Rapat 5. Observasi/ Pengamatan 6. Mengumpulkan sampel 7. Analisis tugas (task analysis) 8. Studi kasus 9. Analisis informasi yang tersedia
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 4.
Survei literatur Analisis dari berbagai survei kuesioner Kontak dengan orang lain yang telah melakukan survei serupa Wawancara dengan pengajar untuk menentukan tujuan Identifikasi jurusan apa saja yang berpartisipasi Presentasi proposal proyek Pengembangan percontohan kuesioner untuk mahasiswa dan staf Mereview kuesioner Uji coba kuesioner Pemilihan staf dan mata pelajaran siswa Mengembangkan jadwal untuk mengumpulkan data Administrasi kuesioner Tindak lanjut wawancara dengan peserta terpilih Tabulasi tanggapan Analisis tanggapan Penulisan laporan dan rekomendasi.
Tes Toefl Reading Reading Comprehension bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam memahami teks dan mengartikan makna dari sebuah konteks kalimat. Pada bagian ini, peserta akan dihadapkan pada beberapa macam topik teks. Jumlah soal yaitu 50, berupa
3.
Merancang Analisis Kebutuhan Dari berbagai macam prosedur pengumpulan informasi diatas, maka seorang peneliti akan dihadapkan pada beberapa pilihan. Pilihan tersebut tentunya 16
pertanyaan mengenai informasi berdasarkan teks yang disediakan. Terdapat berbagai macam lembaga kredibel yang menyediakan program pelatihan TOEFL di Indonesia. Beberapa diantaranya yaitu Pusat Studi Bahasa UNESA (Universitas Negeri Surabaya), PINLABS UA (Universitas Airlangga). Sedangkan lembaga di UNIPDU yang dapat melayani hal itu adalah PSB UNIPDU (Pusat Studi Bahasa Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum). Dalam program pelatihan tersebut, para peserta didik akan dibimbing dalm menjawab dengan benar soal-soal yang disediakan berikut tips atau strategi dalam menjawab soal.
Setelah mengetahui jenis soal TOEFL reading dari buku-buku tersebut, 25 responden melakukan tes dengan menjawab jenis-jenis soal tersebut. Dengan demikian teknik pengumpulan data dari penelitian ini adalah survey. Setelah dilakukan tes, maka identifikasi soal dapat dilakukan yaitu dengan mendaftar jenis soal yang menjadi kelemahan responden. Dalam hal ini perhitungan dengan frekuensi dilakukan, dan hasilnya dijabarkan secara deskriptif. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Dengan mengetahui jenis-jenis soal dalam TOEFL reading yang menjadi kelemahan responden, maka dapat disusun silabus yang lebih sesuai. Pengajar nantinya dapat lebih fokus dalam mengajarkan TOEFL reading sehingga para peserta diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya dalam menjawab soal.
Secara umum ada dua jenis pelatihan TOEFL PBT, yaitu: pelatihan 20 jam dan pelatihan 30 jam. Namun jenis pelatihan TOEFL PBT yang digunakan di UNIPDU adalah 20 jam, dengan rincian sebagai berikut:
D. 1.
ANALISIS DAN DISKUSI Jenis soal yang sering muncul dalam TOEFL Listening Setelah menganalisis 500 soal reading Comprehension, didapatkan 12 macam jenis pertanyaan. Namun, hanya ada 8 jenis pertanyaan yang dianggap paling sering muncul. Jenis-jenis pertanyaan tersebut adalah: 1. Vocabulary 2. Details 3. Reference 4. Topic 5. Exception 6. Inference 7. Passage Organization 8. Main Idea
1. Introduction to TOEFL: 30 menit 2. Sesi 1 (Listening Comprehension): 7,5 jam (5 kali tatap muka) 3. Sesi 2 (Structure and Written Expression): 7,5 jam (5 kali tatap muka) 4. Sesi 3 (Reading Comprehension): 4,5 jam (3 kali tatap muka) C.
METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Metode ini diterapkan karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui jenis pertanyaan yang ditemukan dari buku TOEFL Practice Test workbook yang diterbitkan oleh ETS (Educational Testing Service) pada tahun 2003 serta Preparation Kit Workbook yang diterbitkan oleh ETS di tahun 2002.
2.
Analisis Kelemahan Responden Setelah memberikan tes pada 25 responden terhadap 8 jenis pertanyaan yang sering muncul dalam TOEFL, hasil tes menunjukkan bahwa dari kedelapan jenis soal tersebut, passage organization 17
merupakan jenis soal yang paling sulit bagi responden yang kemudian diikuti oleh jenis soal yang lain, yaitu reference, inference, topic, vocabulary, exception, details dan main idea. Berdasarkan temuan di atas, soal yang dirasakan paling sulit adalah passage organization. Hanya sebanyak 2 responden (8%) yang tidak memiliki kesulitan dalam menjawab jenis soal passage organization. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden (92%) memiliki kesulitan dalam mengidentifikasi informasi yang terdapat di dalam bacaan baik berupa baris atau paragraf.
Pada jenis soal vocabulary, peserta dituntut untuk dapat mengetahui padanan kata atau sinonim yang disajikan dalam pilihan jawaban. Secara otomatis, peserta diharapkan memiliki banyak perbendaharaan kata yang mencukupi. Hal inilah yang menjadi kendala utama peserta dalam menjawab jenis soal vocabulary. Jenis soal ini menempati posisi kelima jenis soal yang dirasakan sulit oleh responden. Sebanyak 12 responden (48%) tidak memiliki kendala dalam menjawab soal jenis ini. Dalam menjawab jenis soal exceptions, peserta diharapkan mampu memahami dan menemukan informasiinformasi dari bacaan. Hal ini dikarenakan pada jenis soal ini, peserta diberi pilihan jawaban yang berisi informasi-informasi tertentu yang ada pada bacaan, namun ada salah satu opsi jawaban yang tidak ada di dalam bacaan, opsi itulah yang harus dipilih. Dari 25 responden, sebanyak 12 responden (48%) tidak memiliki kesulitan dalam jenis soal exceptions.
Jenis soal kedua yang dirasakan paling sulit adalah reference. Hanya 7 mahasiswa (28%) yang tidak memiliki kesulitan dalam menjawab jenis soal reference. Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian besar responden (72%) memiliki kesulitan dalam menentukan anteseden dari sebuah kata ganti. Jenis soal inference merupakan jenis soal ketiga yang dirasakan sulit oleh responden. Sejumlah 7 dari 25 responden (28%) tidak memiliki kesulitan dalam menjawab soal jenis ini. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden (72%) kesulitan dalam menyimpulkan secara logis berdasarkan informasi atau fakta-fakta yang ada pada bacaan.
Sebanyak 19 responden dari 25 (76%), tidak kesulitan dalam menjawab jenis soal details. Dalam menjawab jenis soal details, peserta harus dapat dengan jeli mengidentifikasi informasi-informasi spesifik pada bacaan yang memuat pertanyaan what, why, when, who, where dan how.
Topic merupakan jenis soal keempat yang dirasa sulit bagi responden. Hanya 10 responden (40%) yang tidak memiliki kesulitan dalam menjawab soal jenis ini. Telah disebutkan diatas bahwa dalam menjawab jenis soal topic, peserta harus memiliki pemahaman yang baik mengenai seluruh isi bacaan. Karena itu tidak mengherankan jika sebagian besar responden (60%) memiliki kesulitan dalam pemahaman bacaan.
Pada jenis soal main idea, sebanyak 19 responden (76%), tidak mengalami kesulitan dalam menjawab jenis soal ini. Pada jenis soal ini, para responden diharapkan mampu menyimpulkan pokok pikiran dari paragraph tertentu.
18
yang sering muncul (8 jenis soal) akan dimasukkan dalam silabus, hanya 6 materi saja yang disajikan, antara lain: vocabulary, reference, topic, exception, inference, dan passage organization. Enam meteri tersebut adalah materi yang dirasakan paling sulit oleh responden karena sebagian besar tidak dapat menjawab jenis soal tersebut dengan benar. Berikut adalah komposisi materi yang ada pada silabus reading comprehension:
3.
Implikasi Pada Pengembangan Silabus Pelatihan Menurut Richard (2003:145), sebuah silabus yang dirancang untuk kebutuhan pelajar, harus mampu mendeskripsikan alasan-alasan logis pentingnya sebuah silabus tersebut dibuat dengan menjawab pertanyaan seperti: tentang apa materinya?, untuk siapa materi tersesut?, dan model pengajaran yang bagaimanakah yang akan diaplikasikan untuk meteri tersebut? Sehubungan dengan hal itu, maka penelitian ini menjelaskan alasan pembuatan silabus TOEFL reading comprehension, antara lain: Silabus dirancang untuk para mahasiswa yang memiliki kemampuan bahasa Inggris rendah yang dibuktikan dengan sebelumnya mengikuti tes TOEFL dan mendapatkan score kurang dari 450. Desain silabus ini khusus untuk mereka yang akan mengikuti tes TOEFL PBT (Paper Based Test) dan ingin meningkatkan score TOEFL hingga 450 keatas. Materi yang disajikan dalam silabus ini adalah berbagai macam jenis soal reading comprehension berdasarkan kelemahan mereka. Selain itu, silabus ini juga dirancang dengan terlebih dahulu memperhatikan alokasi waktu yang ada. Dalam materi reading comprehension, dialokasikan 3 kali pertemuan. Sebelumnya, telah diketahui dari analisis butir soal bahwa jenis soal reading comprehension yang sering kali muncul sebanyak 8 item, antara lain: vocabulary, details, reference, topic, exception, inference, passage organization, and main idea. Berdasarkan tes dengan menggunakan kedelapan jenis soal tersebut, para responden mengalami kesulitan. Hanya 2 jenis soal, details dan main idea dimana sebagian besar responden, masing-masing sebesar (76%), tidak mengalami masalah dalam menjawab kedua jenis soal tersebut. Dengan memperhatikan jumlah alokasi waktu yang terbatas untuk materi reading comprehension, maka tidak semua jenis soal
Materi pada Silabus TOEFL Reading Comprehension 1. Pertemuan pertama (1,5 jam): reference, passage organization 2. Pertemuan kedua (1,5 jam): exception, inference 3. Pertemuan ketiga (1,5 jam): topic, vocabulary E.
KESIMPULAN Dalam analisis butir soal, sebanyak 500 soal yang diteliti. Dari sejumlah soal tersebut, didapatkan 12 jenis soal, namun jenis soal yang dapat dikategorikan sering muncul sebanyak 8, yaitu: -
vocabulary, details reference topic exception inference passage organization, dan main idea.
Berdasarkan tes pada responden dengan materi 8 jenis soal tersebut, maka didapatkan hasil bahwa seluruh responden mengalami kesulitan dalam menjawab semua jenis soal. Mamun untuk 2 jenis soal (details dan main idea), mayoritas responden (lebih dari 50%) tidak mengalami kesulitan menjawab kedua jenis soal tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan efisiensi waktu bahwa alokasi pertemuam 19
untuk pelatihan reading comprehension sangat terbatas yaitu 3 pertemuan, dan juga berdasarkan hasil analisis kebutuhan siswa, maka dalam silabus hanya disajikan 6 jenis soal saja yaitu: -
Richards, J. C. 2013. Curriculum Approaches in Language Teaching: Forward, Central, and Backward Design. RELC Journal. Singapore Sumber Internet: http://www.aminef.or.id/fulbright.php?site=f ulbright&m=ip-pro-ma-fulbrightma accessed on 5 January 2011 http://www.ets.org/toefl accessed on 10 January 2011 http://www.thetoefl.com/toefl/differencebetween-ibt-cbt-and-pbt.htm accessed on 25 January 2011
vocabulary reference topic exception inference passage organization
DAFTAR PUSTAKA __________ 2003 ETS (Educational Testing Service). TOEFL Practice Test workbook. __________ 2002 ETS (Educational Testing Service). TOEFL: Test Preparation Kit Workbook. __________ 2013–14 Information and Registration, BULLETIN for Paperbased Testing (PBT). TOEFL® PBT Fanani, Achmad. 2011. Designing EPT Syllabuses and Workbooks for Non English Department Students (A Needs Analysis). Surabaya Huh, Sorin. 2006. A Task-based Needs Analysis for A Business English Course. Second Language Studies, 24(2), Spring, pp. 1-64 University of Hawai„i at Mānoa. Kusumoto, Yoko. 2008. Second Language Studies, 26, pp 1-44. University of Hawai‟I at Manoa Long, M. 1996. Task Based Language Learning, University of Hawaii ESL department, spring term. 1996. Richards, J. C. 2004. Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge University Press.
20
DESIGNING A READING TEACHING MATERIAL BASED ON THE STUDENTS’ WEAKNESS POINTS IN ANSWERING UN READING TESTS AT SMA EXCELLENT AL-YASINI MERANCANG BAHAN AJAR READING BERDASARKAN KELEMAHAN SISWA DALAM MENJAWAB SOAL UN READING DI SMA EXCELLENT AL-YASINI Putri Nurul Hidayati1 Achmad Fanani2 Unipdu Jombang (
[email protected] /
[email protected]) ABSTRACT The senior high school students often had difficulty understanding and answering UN Reading questions so that they had English UN scores less than 4,00. This research is aimed at designing a reading teaching material for the twelfth grade students of SMA Excellent AlYasini Kraton Pasuruan. The teaching material was based on the students‟ weakness points in answering UN reading questions. The method used of this research was quantitative analysis. Meanwhile, the sampling was cluster random consisting of 20 students. The data were collected through test and analyzed by using percentage calculation. The findings of this research as follows, the students mainly had difficulty on three types of questions in explanation text: word meaning (100%), unstated information (90%), and main idea (80%), in discussion text, it was identified that the students had problem dealing unstated information (85%) and detailed information (75%), the most problematic question for the students in news item was detailed information (95%) and in exposition text, detailed information (85%) was also the students‟ difficulty. Based on the findings, it can be concluded that the teaching material developed consisted of the materials that were in accordance with the students‟ proficiency level as shown by the results of the research Keywords: UN, student‟s needs, teaching material ABSTRAK Siswa SMA sering mengalami kesulitan dalam memahami dan menjawab soal UN Reading sehingga mereka mempunyai nilai UN Bahasa Inggris kurang dari 4,00. Penelitian ini bertujuan untuk merancang bahan ajar reading untuk siswa kelas dua belas SMA Excellent AL-Yasini. Bahan ajar ini berdasarkan kelemahan siswa dalam menjawab soal-soal UN Reading. Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif. Sedangkan, teknik pengumpulan sample adalah cluster rondem yang terdiri dari 20 siswa. Data-data dikumpulakan melalui tes dan dianalisis dengan menggunakan perhitungan persentasi. Hasil dari analisis adalah sebagai berikut, sebagian besar siswa mempunyai kesulitan dalam soal makna kata (100%), informasi tersirat (90%), dan ide pokok (80%) pada teks explanation, informasi tersirat (85%) dan informasi rinci (75%) adalah masalah siswa pada teks discussion, dan pada teks news item (95%) dan exposition (85%) mempunyai kesulitan yang sama dalam menjawab soal informasi rinci. Berdasarkan temuan, dapat disimpulkan bahsa bahan ajar yang dikembangkan terdiri dari materi yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa yang telah ditunjukkan dari hasil penenlitian. Kata kunci: UN, kebutuhan siswa, bahan ajar 21
English, especially in answering UN English reading questions and the result of the identification is used to design a reading teaching material that is based on the students‟ difficulties. Based on the interview with the teacher, this problem may happen because of various factors, especially because of the teaching materials used were not based on the students‟ needs and it was also found out that reading became one of the most difficult skills to teach. That is because understanding some reading passages became the students‟ main problem. They had to read long passages and were supposed to understand the meaning. They usually gave up first before trying to translate the context. Therefore, they felt difficult in answering some English reading text questions, especially UN reading questions and it was found that their reading comprehension scores in simulation test are low.
A. INTRODUCTION UN is a measurement activity and competence assessment nationally with the objective is to assess graduation competence nationally on certain subjects (Permendikbud, 2014). In other word, UN is a final test conducted by schools in the final stage of learning on certain subjects to assess and measure students‟ attainment on the specified subjects as they determine whether the students can graduate or not at the national level. Generally, the subjects which are tested in UN include Mathematics, Bahasa Indonesia, and English. Among some subjects included in UN, it turns out that English is difficult subjects for students to do. Many students complained that they felt difficult to understand and do UN English questions. They complained that English UN was difficult in 2014, for example: A student of SMAN 68 Jakarta, Leoni said that the English UN questions in that year were more difficult than in the previous one. Whereas, she frequently practiced answering some English UN questions, but she still felt difficult in answering the questions. She also stated that reading was part of UN English question which was difficult to do. (http://kampus.okezone.com/read/2014/04/1 6/560/971173/aksen-dalam-un-Bahasainggris-bikin-siswa-bingung). Muhammad Nuh, the educational minister also stated that the UN questions in 2014 were different from the previous years. The questions which are to measure students‟ competency were based on the international standard. It might cause the difficulties faced by the students (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/2 389).
The students‟ problems in answering UN reading questions become one of the clues of how far the students are able to master the English reading skill. These problems need to be analyzed in order that we can solve the problems faced by the students. Then, the results of the identification is very important to be used as the basis for constructing the UN English reading teaching material that meets the students‟ needs. In addition, the research reviewed English UN reading tests from academic year 2007/2008 to 2013/2014 during KTSP curriculum to find out the types of questions that frequently appear in English reading questions. Therefore, the UN English reading material is not only developed by looking at the students‟ weakness points in answering UN reading questions, but also by reviewing the UN English reading questions in KTSP curriculum.
This research is conducted to identify SMA Excellent Al-Yasini Kraton Pasuruan students‟ difficulties in learning 22
curriculum, starting from academic year 2007/2008 to 2013/2014 and the second data were from the result of students‟ test in answering UN reading questions that were used to find out the students‟ weakness points.
B. METHOD The design of this research was quantitative analysis. A study case conducted to the twelfth grade student of SMA Excellent Al-Yasini Kraton Pasuruan. The design of this research was quantitative analysis. This research was called analysis because it tried to analyze the types of reading questions that frequently appear in UN reading tests and the students‟ weakness points in answering UN reading questions. To conduct an analysis of students‟ needs, a frequency calculation was required. Thus, a quantitative approach was used in this research. It is connected to the amount or number of something rather than with how good it is. In this research, the numeral data were calculated by using percentage calculation. And in this case, the researcher used an analysis to find out the students‟ weakness point in answering UN Reading questions. The result of the analysis was used to design a teaching material of UN reading tests that meets the students‟ need.
The following is the frame of data analysis.
The population of this research was the twelfth grade students of SMA Excellent Al-Yasini in academic year 2014/2015. There are 256 students of twelfth grade who are divided into seven classes namely, XII IPA 1, XII IPA 2, XII IPA 3, XII IPA 4, XII IPS 1, XII IPS 2, and XII IPS 3. The twelfth year students of SMA Excellent Al-Yasini was chosen as the subjects as they will pass the UN test to determine whether they graduate or not, especially in English UN test and it is highly relevant to this research.
C. FINDINGS 1. The Result of Question Items Analysis After analyzing 111 reading questions from English UN questions from academic year 2007/2008 to 2013/2014, the following results were obtained. a. Explanation Text
In this research, the numeral data were calculated by using percentage calculation. Meanwhile, the sampling was cluster random consisting of 20 students. The data were collected through test and analyzed by using percentage calculation.
After conducting an analysis on 38 explanation text questions, it was found that there were seven types of question that appeared in this part. Four out of them are regarded as questions that are commonly found: unstated information, word meaning, specific information, and main idea.
The first data are taken from seven types of English UN tests of KTSP 23
There were 27 questions analyzed. Among the questions, it is identified that seven types of question existed. There were only two types of question that can be said as commonly found in this part: unstated information and detailed information.
1. Unstated Information In this type of question, the students are required to find an answer that is not stated or not mentioned in the passage. Based on the identification of 38 questions, nine questions are dealing with unstated information (23, 7%).
1. Unstated Information The majority of questions in discussion text deal with unstated information. Eight out of 27 questions (29, 6 %) were of this type.
2. Word Meaning This type of question requires the students to determine the synonym/closest meaning or antonym/opposite of a word in the text. Among the questions analysed, there were seven questions of this type (18, 4%).
2. Detailed Information The second commonly found question in this part is dealing with detailed information. It had seven questions (25, 9%). In this part, the students are asked to find the information from the text. The information can be found after they read the text carefully.
3. Specific Information In this part, some questions will require the students to find one piece of information or answer rather than the passage as whole that is clearly stated in the text. There are seven questions dealing with specific information (18, 4%).
The following is the summary of the common question in discussion text.
4. Main Idea
No
From 38 questions analyzed, six questions (15, 8%) were main idea questions. These question are all asking about what the primary point the author is trying to present to the reader in the passage.
1 2
The following table is the summary of commonly found question in explanation text. No 1 2 3 4
Type of question Unstated Information Meaning of Word Specific information Main Idea
Frequency
Percentage
9
23,7 %
7
18,4 %
7
18,4 %
6
15,8 %
Type of question Unstated Information Detailed Information
Frequency
Percentage
8
29,6 %
7
25,9 %
c. News Item Text There were 24 questions analyzed. Among the questions, six types of questions are identified, and only three types of question were categorized as commonly found in this part: main idea, specific information, and detailed information. 1. Main idea The students are required to determine the main idea of a news item text. Main idea was the first commonly found
b. Discussion Text
24
question in news item text (6 questions (25%)).
a. Explanation Text
2. Specific Information
In explanation text, it was found out that the respondents mainly had difficulty on three types of questions: word meaning, unstated information, and main idea.
The second commonly found question in this part is dealing with specific information. The number of question to this part were 5 out of 24 questions (20, 8%). The answer of specific information question is clearly stated in the text. The students can identify and find it fast.
1. Word Meaning The respondents seem to have difficulty translating one of words meaning in the text. There was no participant who could answer the questions correctly. It means that 20 respondents (100%) could not answer the questions. This number clearly shows that all respondents failed to determine the synonym or antonym of one of words meaning in the text.
3. Detailed information The students are asked to find the detailed information from news item text. They have to read the text carefully to find the information. This question had the same number question appeared with specific information, 5 (20, 8%). The following table is the summary of the common problem in news item text. No 1 2 3
Type of question Main Idea Specific Information Detailed Information
Frequency
Percentage
6
25 %
5
20,8 %
5
20,8 %
2. Unstated Information The respondents seem to have difficulty drawing conclusion as indicated by their responses on unstated information questions. Unstated information question, in which the respondents must draw a conclusion about the text or sentences, seemed problematic for many respondents. There were 18 out of 20 respondents (90%) who had problem dealing with this question.
d. Exposition Text
3. Main Idea
In these types of question, out of 24 questions analyzed, 7 types of question are identified, and there was only 1 type of question that can be categorized as commonly found question: detailed information (22, 8 %).
For most respondents, questions on main idea of a text were difficult to answer where 16 respondents (80%) could not handle the question appropriately. They failed to identify the main idea of the text. 4. Specific Information
2. The Students’ Weakness Points
For most of the respondents, questions on specific information were not difficult to answer. At least 15 respondents (75%) could handle them appropriately.
After administering the test to the respondents based on the common questions found in UN Reading Questions, the following results were obtained.
25
The following table is the summary of the students‟ weakness points in explanation text. No 1 2 3 4
Type of question Word Meaning Unstated Information Main Idea Specific Information
Frequency
Percentage
20
100 %
18
90 %
16
80 %
5
25
c. News Item Text The most problematic question for the students in news item text was detailed information question. On the other hand, most students could manage specific information and main idea question well. 1. Detailed Information Detailed information was the most difficult question for the students as only one respondent (5%) could manage the question well. It means that 19 respondents (95%) were recognized failing to answer the question correctly.
b. Discussion Text As discussed earlier, there were two common types of question that commonly appear: unstated information and detailed information. It was identified that the students had problem dealing with both types of question.
2. Specific Information
1. Unstated Information
3. Main idea
There were 85% (17 respondents) who could not have trouble dealing with this type.
It seemed easy to answer main idea question in news item text rather than in explanation text because generally the main idea is stated in the beginning of the text and sometimes, the tittle of the news has already existed. In this part, it was found that there were only 2 students (10%) who could not answer the question well. It means that 18 students (90%) did not have problem dealing with this question.
On the other hand, most respondents could manage the question well as only 4 of 20 respondents (35%) did not answer the question correctly.
2. Detailed Information For detailed information questions, it was identified that the respondents had problem on this type of question. Out of 20 respondents, 15 respondents (75%) had trouble finding detailed information in the text.
The following table is the summary of the students‟ weakness point in news item text.
The following table is the summary of the students‟ weakness point in discussion text. No 1 2
Type of question Unstated Information Detailed Information
Frequency
No
Percentage
1
17
85 %
2
15
75 %
3
26
Type of question Detailed Information Specific Information Main Idea
Frequency
Percentage
19
95 %
4
20 %
2
10 %
in the text. It can be easy for the students to find the information, if they have already read the text carefully and comprehensively. The question used dealing with this type are why, which of the following, and the following.
d. Exposition Text As discussed earlier, there was only one type question that frequently appeared, namely detailed information in this text. Most of the students had problem dealing with this question. As the result of the identification, it was found that there were 17 respondents (85%) who had difficulty answering the questions.
The difficulty answering detailed information questions faced by the respondents may happen because they could not read the whole text and check the sentences in the text carefully to digest the information. Whereas, the information can be found by checking the sentences of answer one by one in the text.
D. DISCUSSION The following is the discussion of the characteristics of UN Reading questions and why the students generally faced such difficulties based on the findings discussed earlier.
3. Unstated Information The third skill tested in UN Reading is finding unstated information in the text. The students are asked to draw a conclusion based on their own words or prior knowledge to express an idea they have read. To find the information easily, the students must be able to find the gist of the text. This means that they should be able to summarize and make conclusion from the information they read.
1. Word Meaning The academic skill tested in UN Reading is determining the correct synonym or antonym of a word in a text. It is designed to measure students‟ vocabulary. These questions often use synonyms and antonyms (words which have either the same or opposite meanings). To achieve this, the students must be able to understand the text contextually and comprehensively to know the meaning of a vocabulary in question. The context helps them make a general prediction about meaning.
Unstated information can be difficult question to the students because they have to find the information that is not stated in the text and they only focused on finding the information that is really stated in the text, instead they should use their own word or prior knowledge to draw conclusion from the fact existed in the text and they could not do it.
Based on the calculation above, word meaning is the highest difficulty faced by the respondents. It is not surprising because in understanding the word meaning is difficult if one does not master or have rich vocabularies. This may happen because the respondents lack vocabulary and they could not understand the text contextually so that they were difficult to find the meaning of a word in the text.
4. Main Idea UN Reading assesses the students‟ skill to find the general idea of the text. To find it fast and easily, the students can look at the first sentence of each paragraph and look for common theme or idea in the first line.
2. Detailed Information The next academic skill tested in UN Reading is finding detailed information 27
This may be problematic for students because they could not apply the previewing technique for how to find the main idea of text appropriately.
3. News Item Text: 1 meeting
5. Specific Information
4. Exposition Text: 1 meeting
Meeting 4: Detailed Information
Meeting 5: Detailed Information
Finally in UN Reading, some questions also test the students to find the specific information of the text and find the place where the information exists in the text. To answer the question easily, the students must be able to use their scanning skill well. This means that they must be able to find important points of the information they read to answer the questions correctly. The questions word used are usually what, where, when, who, how, etc.
Meeting 6: Detailed Information The problem of word meaning question in explanation text is given in a single meeting due to the fact that beside it is the most problematic question for the students found in this part and the common question found, there are many words that should be learnt by the students to comprehend the text contextually and strategies for how to answer the question easily. Therefore it would be wise if this problem is treated in single meeting. However, two problems found in this part are given in a single meeting due to the allocated meeting, they are the lower problem than word meaning question.
To find the specific information in the text is quite easy for the test takers because the information is clearly stated in the text. They were only able to apply what is called scanning technique to find the answer of the question. E. THE IMPLICATION ON TEACHING MATERIAL
2. UN Reading Teaching Material
THE
The English UN Reading developed through this research are designed in accordance with the syllabuses constructed. The syllabuses are designed on the basis of their relevance and appropriateness for the intended learners namely the students who has the English UN scores less than 4,00. The content of the course will depend on the learners‟ proficiency levels (Richard, 2003: 148). Therefore, the teaching material developed consisted of the materials that are contextualized according to the learners‟ proficiency level. The questions in the teaching material are picked up from many sources, including English UN Reading questions during KTSP curriculum, internet, books and some are self-composed. The types of questions and the quality of the questions are designed as similar as those found in UN Reading tests. Each chapter is
1. The syllabuses Finally, considering the number of meetings allocated, the number of common problems found and the students‟ weakness point, all problems can be accommodated in the teaching process with the following topical breakdowns. This is a syllabus that is organized around themes (Richard, 2003: 157). 1. Explanation Text: 2 meetings Meeting 1: Word Meaning Meeting 2: Unstated Information and Main Idea 2. Discussion Text: 2 Meeting 3: Unstated Information 28
designed to consist of three parts: the explanation of the theories/concepts of each topic under discussion, the modelled practices, and take home-assignments. This teaching material would use Bahasa Indonesia as the explanation of the theories and concepts so that they would be able to understand the materials more easily. Besides, the use of Bahasa Indonesia would make the teaching process more effective and efficient.
REFERENCES Harahap, Rachmad Faisal. 2014. Aksen dalam UN Bahasa Inggris Bikin Siswa Bingung. (Online). Retrieved from: http://kampus.okezone.com/read/2014/ 04/16/560/971173/aksen-dalam-unbahasa-inggris-bikin-siswa-bingung. (April, 16th 2014). Maulipaksi, Desliana. 2014. UN 2014 Ukur Kompetensi dengan Standar Internasional. (Online). Retrieved from: http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/ber ita/2389. (14th April 2014).
F. CONCLUSION The first analysis was to find out the types of question that frequently appeared in UN reading questions. The result of the analysis was then used to construct a reading comprehension test. The second analysis was to find out the students‟ weakness points in answering UN reading comprehension questions. The identification were used as the basis for constructing a reading teaching material that meets the students‟ needs.
Richards, J. C. 2004. Curriculum development in language teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Salinan Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 2014 Tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional.
Based on the data obtained, the syllabus and teaching material for six meetings could be designed. The first two meetings discuss the Explanation texts, where the first meeting discusses word meanings and the second is unstated information. The third two meetings will discuss Discussion text, where the third meeting discusses unstated information and the fourth is detailed information. The fifth meeting is News item texts and the topic discussed is detailed information. The Exposition texts dealing with detailed information is discussed in the last meeting.
29
THE PRONUNCIATION OF LONG VOWEL SOUNDS (CHOUON) BY STUDENTS, TEACHERS AND NATIVE SPEAKERS OF DEPARTMENT OF JAPANESE LANGUAGE TEACHING OF BRAWIJAYA UNIVERSITY PELAFALAN BUNYI PANJANG BAHASA JEPANG PADA MAHASISWA, PENGAJAR DAN PENUTUR ASLI BAHASA JEPANG PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JEPANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA. Rike Febriyanti1 Sri Aju Indrowaty2 Universitas Brawijaya (
[email protected] /
[email protected])
ABSTRACT This study shows that (1) the pronunciation of long sound vocabulary by teachers and students tended to be shorter than the native speakers. (2) There was no significant difference between the pronunciation of long sound vocabulary by the teachers and the native speakers. (3) There is no significant difference between the pronunciation of long sound vocabulary by the students and native speakers. (4) The students‟ long sound vocabulary pronunciation was shorter than that of the teacher, but the standard deviation of the teachers‟ pronunciation of long vowel vocabulary was higher than that of the students and native speakers. Keywords: pronunciation, long sounds vocabulary, teachers, students, native speakers
ABSTRAK Penelitian ini menunjukkan bahwa (1) pelafalan kosakata bunyi panjang yang dihasilkan pengajar dan mahasiswa cenderung lebih pendek daripada penutur asli. (2) Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pelafalan kosakata bunyi panjang oleh pengajar dengan penutur asli. (3) Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pelafalan kosakata bunyi panjang oleh mahasiswa dengan penutur asli. (4) Pelafalan kosakata bunyi panjang oleh mahasiswa lebih pendek daripada pengajar tetapi data pelafalan kosakata bunyi panjang oleh pengajar standar deviasinya sangat tinggi daripada mahasiswa dan penutur asli. Kata Kunci: pelafalan, kosakata bunyi panjang, guru, murid, penutur asli
30
panjang dan bunyi pendek dalam Bahasa Jepang. Maka dalam penelitian ini kami ingin mengetahui sejauh mana kepekaan baik pengajar maupun pembelajar Bahasa Jepang dalam membaca atau mengucapkan bunyi panjang dalam Bahasa Jepang.
A. PENDAHULUAN Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang memiliki perbedaan yang mendasar dari segi penggunaan huruf, cara melafalkan kosakata dan tata bahasa. Pada aspek cara melafalkan kosakata, bahasa Jepang mempunyai kosakata yang harus dilafalkan panjang pendeknya sesuai dengan yang tertulis. Sedangkan Bahasa Indonesia tidak mengenal kosakata bunyi panjang. Sehingga dalam mempelajari bahasa Jepang, pembelajar Indonesia cenderung kesulitan untuk mendengar dan berbicara kosakata yang berbunyi panjang. Hal ini juga dinyatakan oleh Okuma (2000) yang mengatakan bahwa salah satu kesulitan orang asing yang belajar bahasa Jepang adalah bunyi panjang. Masih banyak penelitian tentang kesalahan dalam pemerolehan bahasa asing atau bahasa kedua, tetapi pada khususnya penelitian ini didasari oleh hasil penelitian terdahulu (Febriyanti, 2014:26) yang menyebutkan bahwa pembelajar Bahasa Jepang kewarganegaraan Indonesia kesulitan untuk membedakan bunyi panjang dan pendek kosakata Bahasa Jepang. Terutama dalam mata pelajaran menulis, dikarenakan pemelajar Indonesia tidak dapat membedakan saat mendengar kosakata yang mempunyai bunyi panjang atau dua ketukan dengan bunyi pendek atau satu ketukan dalam Bahasa Jepang. Akibatnya saat mereka menulis kosakata bunyi panjang, mereka tidak memperhatikan huruf yang seharusnya ditulis panjang. Oleh karena itu hipotesa dari fenomena kesalahan di atas adalah tidak adanya bunyi panjang atau 2 ketukan pada kosakata bahasa Indonesia yang mengakibatkan pembelajar Indonesia kurang memperhatikan dan kurang adanya kepekaan dalam mendengar bunyi panjang dalam Bahasa Jepang. untuk
B. TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kesalahan Berbahasa Analisis kesalahan atau biasa disebut error analysis mempunyai beberapa penggolongan seperti yang diungkapkan oleh Hakuta (2002). Diantaranya yang pertama adalah mistake dan error. Mistake adalah kesalahan yang terjadi hanya pada saat saat tertentu, seperti pada waktu keadaan tidak nyaman, atau lupa, dimana kesalahan itu terjadi karena ketidaksengajaan. Sedangkan error adalah kesalahan yang terjadi pada keadaan apapun. Ada beberapa jenis pembagian kesalahan. Antara lain kesalahan antar bahasa atau 言 語間エラー(gengokan eraa)、dimana kesalahan itu adalah kesalahan itu terjadi karena ada masalah antara dua bahasa yaitu bahasa ibu(B1) dan bahasa tujuan (B2), disini kesalahan karena pengaruh bahasa ibu sangat terlihat. Sedangkan kesalahan intra bahasa atau 言語内エラー (gengonai eraa) adalah kesalahan karena penggunaan di dalam bahasa itu sendiri. Sedangkan pendapat yang lain membagi kesalahan dalam kesalahan global dan kesalahan lokal. Kesalahan global adalah kesalahan dimana kesalahan tersebut mempengaruhi makna kalimat hingga tidak dapat dipahami. Dan kesalahan lokal adalah kesalahan yang tidak sampai mempengaruhi makna kalimat secara keseluruhan. Penelitian kesalahan berbahasa yang akan kami lakukan ini sangat berkaitan dengan keinginan kami untuk memperbaiki cara dan teknik mengajar kami selaku pengajar bahasa Jepang di Prodi Pendidikan
Dibutuhkan peran aktif dari pengajar mengingatkan perbedaan bunyi 31
Bahasa Jepang Universitas Brawijaya terutama untuk kami sendiri dalam melafalkan kosakata bunyi panjang 「長音 (chouon)」 yang ada dalam kosakata bahasa Jepang. Chouon menurut Iwabuchi (1989:197) dalam Sudjianto dan Dahidi (2009:48) jika dilihat dari segi haku atau ketukan, chouon terdiri dari 2 ketukan. Dalam IPA (International Phonetic Alphabet) kosakata bunyi panjang dan bunyi rangkap yang mempunyai 2 ketukan diberi tanda [] seperti カード[ka do]、有望[yu bo ]、かっぱ[kapa]. Untuk mengetahui kosakata bunyi panjang tersebut benar benar dilafalkan panjang atau 2 ketukan oleh pengucap dibutuhkan alat yang bisa menentukan panjang pendek waktu pengucapan sebuah kosakata. Oleh karena itu kami menggunakan software Praat.
Fonologi Bunyi Panjang Bahasa Jepang Dalam bahasa Jepang ada konsep sukukata dan ketukan. Di dalam bahasa Jepang ada yang disebut sukukata yang ringan 軽音節(keionsetsu)) seperti sukukata “ka”(か)、“to”(と)yang mempunyai tempo 1 ketukan. Dan ada yang disebut sukukata berat (重音節( juuonsetsu)) seperti “kan” (かん), ”kai” (かい), ”tott”(とっ), ”tou”(とー) yang mempunyai tempo 2 ketukan. Berdasarkan sejarah pelafalan bahasa Jepang, yang termasuk sukukata ringan mempunyai tempo 1 ketukan dan sukukata berat mempunyai tempo 1 ketukan ditambah dengan ketukan khusus. Dengan kata lain yang disebut sukukata ringan mempunyai tempo 1 ketukan dan sukukata berat mempunyai tempo 2 ketukan. Karena dalam bahasa Jepang membedakan huruf vokal bunyi panjang sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak membedakan tempo vokal bunyi panjang maka banyak kesalahan pengucapan bunyi panjang bahasa Jepang oleh pembelajar Indonesia termasuk pengajarnya. Bunyi panjang dalam bahasa Jepang disebut chouon yang terdiri dari vokal /a: /, /i:/, /u:/, /e:/ /o:/. Sebenarnya tidak ada ketentuan seberapa panjang tempo pelafalan bunyi panjang atau chouon tergantung kecepatan berbicara. Oleh karena itu sebagai pedoman kami menggunakan suara penutur asli bahasa Jepang membaca naskah yang
Software Praat Menganalisa kosakata bunyi panjang dapat menggunakan berbagai software seperti Praat, Speech Analyzer, WinCecil atau WaveSurfer. Tetapi jika ingin terfokus pada bunyi atau suara saja, cukup dengan menggunakan Praat. Software Praat adalah software yang dapat diunduh yang dibuat oleh Paul Boersma dan David Weenink dari Amsterdam University Belanda. Kelebihan software Praat ini mudah penggunaannya. Selain mudah untuk mempersiapkannya dan mudah jika ingin mengulang menggabungkan suara atau di edit. Dalam menilai panjang pendeknya bunyi pelafalan sebuah kosakata dibutuhkan spektogram untuk melihat waktu yang dibutuhkan untuk mengucapkan sebuah kosakata. Berikut adalah tampilan data suara dalam software Praat.
32
direkam dengan alat “Voice Recorder”. Kemudian dimasukkan ke dalam software Praat untuk dilakukan segmentasi data. Setelah dilakukan segmentasi data, kami akan membandingkan waktu pelafalan kosakata bunyi panjang (chouon)antara objek data yaitu suara mahasiswa dan pengajar dengan sumber data yaitu suara penutur asli bahasa Jepang.
“Shouhin” dan mendapat 5 potongan bunyi panjang “Shouhin”. Dari hasil potonganpotongan tersebut kami mendapatkan panjang waktu pengucapan bunyi panjang “ou” yang kami isolasi dari “Shouhin”. Dari total 10 data panjang waktu pengucapan bunyi panjang “Shouhin” yang diucapkan oleh dua penutur asli yang kami jadikan waktu acuan tersebut, kami mendapat ratarata panjang waktu pengucapan bunyi “ou” dalam kata “Shouhin” yaitu 0.15988277 detik.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan orientasi membuat deskripsi secara nyata dan faktual tentang fakta yang diteliti. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari hasil belajar siswa (Moleong 2002:3). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Dengan demikian akan menghasilkan gambaran atau fenomena yang sebenarnya yang menyebabkan terjadinya kesalahan pengucapan bahasa Jepang. Obyek penelitian ini menggunakan soal bacaan yang ada didalam buku latihan soal JLPT N3 【日本語能力試験問題集N3読解スピ ードマスター】halaman 30.
Prosedur yang serupa kami jalankan untuk data yang kami peroleh dari 5 orang pengajar dan 5 orang mahasiswa. Rata-rata, para pengajar yang kami ambil datanya, mengucapkan bunyi panjang “Shouhin” selama 0.20004796 detik atau 0.04022526 detik lebih panjang atau 25 % lebih panjang daripada rata-rata pengucapan penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “Shouhin” yang dihasilkan oleh para pengajar secara signifikan lebih panjang daripada rata-rata bunyi panjang “Shouhin” yang dihasilkan oleh penutur asli. Sedangkan mahasiswa rata-rata mengucapkan bunyi panjang “Shouhin” selama 0.14008986 detik atau lebih pendek 0.01973284 atau 12 % lebih panjang daripada rata-rata bunyi panjang “Shouhin” yang diucapkan oleh penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “Shouhin” yang dihasilkan oleh mahasiswa secara
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan rekaman. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data tertulis berupa kata-kata atau kalimat dalam bacaan atau Dokkai yang harus dibacakan oleh setiap responden. Kemudian semua data rekaman dimasukkan kedalam software Praat untuk melihat spektogram suara. Dimana dengan melihat spektogram suara dapat melihat panjang pendeknya suara. D. PEMBAHASAN 1. Bunyi Panjang “Shouhin” Dari rekaman suara itu kami memotong bagian yang mengandung kata 33
signifikan lebih pendek daripada rata-rata bunyi panjang “Shouhin” yang dihasilkan oleh penutur asli.Terdapat sebuah fenomena yang cukup unik dalam data yang kami temukan yaitu bahwa data para pengajar cenderung lebih heterogen daripada data yang kami temukan pada mahasiswa. Pada data pengajar, kami menemukan bahwa ada 1 orang pengajar yang menghasilkan ratarata bunyi panjang “Shouhin” yang relative lebih pendek, 3 orang pengajar yang menghasilkan rata-rata bunyi panjang “Shouhin” yang relative lebih panjang dan 1 orang pengajar yang menghasilkan rata-rata bunyi panjang “Shouhin” yang relative sama panjang dengan penutur asli. Sementara itu, dikalangan mahasiswa ada 4 orang mahasiswa yang menghasilkan rata-rata bunyi panjang “Shouhin” lebih pendek dan sisanya 1 orang mahasiswa yang menghasilkan rata-rata bunyi panjang “Shouhin” lebih panjang daripada penutur asli.
Rata-rata, para pengajar yang kami ambil datanya, mengucapkan bunyi panjang “Chuumon” selama 0.0762164 detik atau 0.0589266 detik lebih pendek atau lebih pendek 43% daripada rata-rata pengucapan penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “Chuumon” yang dihasilkan oleh para pengajar secara signifikan lebih pendek daripada rata-rata bunyi panjang “Chuumon” yang dihasilkan oleh penutur asli. Sementara itu, mahasiswa rata-rata mengucapkan bunyi panjang “Chuumon” selama 0.06177375 detik atau lebih pendek 0.07336925 atau lebih pendek sekitar 54% daripada rata-rata bunyi bunyi panjang “Chuumon” yang diucapkan oleh Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “Chuumon” yang dihasilkan oleh mahasiswa secara signifikan lebih pendek daripada rata-rata bunyi panjang “Chuumon” yang dihasilkan oleh Penutur asli.
Selain itu, data yang kami peroleh dari mahasiswa jauh lebih lengkap daripada data yang kami peroleh dari para pengajar. Hal ini terjadi karena ada 1 orang pengajar yang hanya bisa membaca teks yang mengandung bunyi 5 kali bunyi panjang “Shouhin” sebanyak 1 kali saja yang lainnya salah membaca. Dan ada 2 orang mahasiswa yang masing-masing 1 kali salah dalam membaca bunyi panjang “Shouhin”. 2. Bunyi Panjang “Chuumon”
3. Bunyi panjang “tesUUryou”
Kami mengamati waktu pengucapan bunyi dari suku kata “uu” dari kata “chuumon”. Dari total 2 data panjang waktu pengucapan bunyi panjang “Chuumon” yang diucapkan oleh dua penutur asli yang kami jadikan waktu acuan tersebut, kami mendapat rata-rata panjang waktu pengucapan yaitu 0.135143 detik
Kami menganalisa waktu panjang bunyi kata “uu” pada “tesuuryo” yang diucapkan oleh dua Penutur asli yang kami jadikan waktu acuan tersebut, kami mendapat rata-rata panjang waktu pengucapan yaitu 0.192038 detik.
34
Rata-rata, para pengajar yang kami ambil datanya mengucapkan bunyi panjang “tesuuryo” selama 0.174893 detik atau 0.01715 detik lebih pendek atau lebih pendek 8.9% daripada rata-rata pengucapan Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “tesuuryo” yang dihasilkan oleh para pengajar secara relative sama panjang dengan rata-rata bunyi panjang “tesuuryo” yang dihasilkan oleh Penutur asli. Sementara itu, mahasiswa rata-rata mengucapkan bunyi panjang “tesuuryo” sepanjang 0.1722494 detik atau lebih pendek 0.0197886 atau lebih pendek sekitar 10.3% daripada rata-rata bunyi bunyi panjang “tesuuryou” yang diucapkan oleh penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “tesuuryo” yang dihasilkan oleh mahasiswa secara signifikan sedikit lebih panjang daripada rata-rata bunyi panjang “tesuuryo” yang dihasilkan oleh Penutur asli.
Rata-rata, para pengajar yang kami ambil datanya, mengucapkan bunyi panjang “you” selama 0.25586495 detik atau 0.0440975 detik lebih panjang atau lebih panjang 20.8% daripada rata-rata pengucapan Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “tesuuryou” yang dihasilkan oleh para pengajar relatif lebih panjang daripada yang dihasilkan oleh penutur asli. Sementara itu, mahasiswa rata-rata mengucapkan bunyi panjang “tesuuryou” sepanjang 0.2440191 detik atau lebih panjang 0.0322516 detik atau lebih panjang sekitar 15.2% daripada rata-rata bunyi bunyi panjang “tesuuryou” yang diucapkan oleh Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “tesuuryou” yang dihasilkan oleh mahasiswa secara signifikan lebih panjang daripada yang dihasilkan oleh Penutur asli. Hal ini sangat menarik karena waktu pelafalan bunyi panjang yang dihasilkan oleh penutur non penutur asli di akhir kata seperti“tesuuryou” lebih panjang daripada waktu bunyi panjang yang dihasilkan oleh penutur asli, sementara waktu pelafalan bunyi panjang yang dihasilkan oleh penutur non penutur asli di tengah kata seperi “tesuuryou” lebih pendek daripada waktu pelafalan bunyi panjang yang dihasilkan oleh penutur asli.
4. Bunyi panjang “tesuurYOU” Pada pemenggalan ini kami memberi penekanan pada analisis terhadap suku kata “you” pada kata “tesuuryou”. Dari total 2 data panjang waktu pengucapan bunyi panjang “tesuuryou” yang diucapkan oleh dua Penutur asli yang kami jadikan waktu acuan tersebut, kami mendapat rata-rata panjang waktu pengucapan yaitu 0.211775 detik. 35
5. Bunyi panjang ““nijuu””
diucapkan oleh dua penutur asli yang kami jadikan waktu acuan tersebut, kami mendapat rata-rata panjang waktu pengucapan yaitu 0.1999357 detik.
Dari total 2 data panjang waktu pengucapan bunyi panjang ““nijuu”” yang diucapkan oleh dua Penutur asli yang kami jadikan waktu acuan tersebut, kami mendapat rata-rata panjang waktu pengucapan yaitu 0.150347 detik.
Rata-rata, para pengajar yang kami ambil datanya, mengucapkan bunyi panjang “goukei” selama 0.15975048 detik atau 0.04018452 detik lebih pendek atau lebih pendek 20% daripada rata-rata pengucapan Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “goukei” yang dihasilkan oleh para pengajar jauh lebih pendek daripada rata-rata bunyi panjang “goukei” yang dihasilkan oleh Penutur asli. Sementara itu, mahasiswa ratarata mengucapkan bunyi panjang “goukei” sepanjang 0.134709 detik atau lebih pendek 0.065226 detik atau lebih pendek sekitar 32.6% daripada rata-rata bunyi bunyi panjang “goukei” yang diucapkan oleh Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “goukei” yang dihasilkan oleh mahasiswa secara signifikan jauh lebih pendek daripada rata-rata bunyi panjang “goukei” yang dihasilkan oleh Penutur asli.
Rata-rata, para pengajar yang kami ambil datanya, mengucapkan bunyi panjang ““nijuu”” selama 0.144252 detik atau 0.0060918 detik lebih pendek atau hanya lebih pendek 4% daripada rata-rata pengucapan Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa ratarata bunyi panjang ““nijuu”” yang dihasilkan oleh para pengajar relative sama panjang dengan rata-rata bunyi panjang ““nijuu”” yang dihasilkan oleh Penutur asli. Sementara itu, mahasiswa rata-rata mengucapkan bunyi panjang ““nijuu”” sepanjang 0.12407 detik atau lebih pendek 0.0262777 detik atau lebih pendek sekitar 17.5% daripada rata-rata bunyi bunyi panjang ““nijuu”” yang diucapkan oleh penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang ““nijuu”” yang dihasilkan oleh mahasiswa secara signifikan lebih pendek daripada ratarata bunyi panjang ““nijuu”” yang dihasilkan oleh penutur asli.
7. Bunyi panjang “ijou” Dari total 2 data panjang waktu pengucapan bunyi panjang “ijou” yang diucapkan oleh dua penutur asli yang kami jadikan waktu acuan tersebut, kami mendapat rata-rata panjang waktu pengucapan yaitu 0.162971 detik.
6. Bunyi panjang “goukei” Dari total 2 data panjang waktu pengucapan bunyi panjang “goukei” yang 36
Rata-rata, para pengajar yang kami ambil datanya mengucapkan bunyi panjang “ijou” selama 0.1412568 detik atau 0.0217142 detik lebih pendek lebih pendek 13.3% daripada rata-rata pengucapan penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “ijou” yang dihasilkan oleh para pengajar jauh lebih pendek daripada rata-rata bunyi panjang “ijou” yang dihasilkan oleh Penutur asli. Sementara itu, mahasiswa rata-rata mengucapkan bunyi panjang “ijou” sepanjang 0.12079 detik atau lebih pendek 0.042172 detik atau lebih pendek sekitar 25.9% daripada rata-rata bunyi panjang “ijou” yang diucapkan oleh penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “ijou” yang dihasilkan oleh mahasiswa secara signifikan jauh lebih pendek daripada rata-rata bunyi panjang “ijou” yang dihasilkan oleh penutur asli.
Rata-rata, para pengajar yang kami ambil datanya mengucapkan bunyi panjang “muryou” selama 0.2975506 detik atau 0.0797481 detik lebih pendek atau lebih pendek 40% daripada rata-rata pengucapan Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “muryou” yang dihasilkan oleh para pengajar jauh lebih pendek daripada ratarata bunyi panjang “muryou” yang dihasilkan oleh Penutur asli. Sementara itu, mahasiswa rata-rata mengucapkan bunyi panjang “muryou” sepanjang 0.26210075 detik atau lebih pendek 0.0623495 detik atau lebih pendek sekitar 31% daripada rata-rata bunyi bunyi panjang “muryou” yang diucapkan oleh Penutur asli. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90%, maka kami berkeyakinan bahwa kami bisa mengambil kesimpulan bahwa rata-rata bunyi panjang “muryou” yang dihasilkan oleh mahasiswa secara signifikan jauh lebih pendek daripada rata-rata bunyi panjang “muryou” yang dihasilkan oleh Penutur asli.
8. Bunyi panjang “muryou” Dari total 2 data panjang waktu pengucapan bunyi panjang “muryou” yang diucapkan oleh dua penutur asli yang kami jadikan waktu acuan tersebut, kami mendapat rata-rata panjang waktu pengucapan yaitu 0.19957585 detik.
E. KESIMPULAN Berdasarkan data yang kami peroleh, kami memperoleh cukup data untuk dapat menyatakan bahwa: 1.
37
Pelafalan kosakata bunyi panjang yang dihasilkan pengajar dan mahasiswa
cenderung lebih pendek daripada penutur asli. 2. Dengan menggunakan 90 % tingkat keyakinan, kami berkesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pelafalan kosakata bunyi panjang oleh pengajar dengan penutur asli . 3. Dengan menggunakan 90 % tingkat keyakinan, kami berkesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pelafalan kosakata bunyi panjang oleh mahasiswa dengan penutur asli . 4. Pelafalan kosakata bunyi panjang oleh mahasiswa lebih pendek daripada pengajar tetapi data pelafalan kosakata bunyi panjang oleh pengajar standar deviasinya sangat tinggi daripada mahasiswa dan penutur asli 5. Data yang gugur karena ketidakmampuan membaca justru ada pada data pelafalan kosakata bunyi panjang oleh pengajar. Sementara yang diberikan adalah teks kemampuan standar seorang pengajar bahasa Jepang. Saran 1. Pengajar harus lebih sadar terhadap pelafalan kosakata bunyi panjang dan pendek karena pengajar merupakan menjadi role model bagi mahasiswa. 2. Untuk mengurangi kesalahan pelafalan panjang ataupun pendek sebuah kosakata, mahasiswa dapat dilatih dengan cara merekam suaranya sendiri agar lebih menyadari dan berhati hati. 3. Penutur asli disarankan untuk menjadi
benchmark bagi pengajar non penutur asli dan mahasiswa DAFTAR PUSTAKA 張【日本語教育のための誤用分析】 2001. 3Aネットワーク Febriyanti, Rike.【インドネシア語母語話 者が書いた日本語作文に見られる 誤用の分類と分析】. 2014 喜代三風間. 【言語学[Linguistics: An Introduction]】. 1993. 東京大学出版会 Maleong, Lexy J (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya 迫田久美子【日本語教育に生かす第二言 語習得研究】.2006. アルク 助川・利江【音声指導がおよぼす日本語 の長音と短音の習得への影響 :英語 を母語とする初級学習者の場合】 2000. Ochanomizu University Web library- Institutional Repository 渡邊亜子・菊池民子. 2011【日本語能力 試験問題集 N3読解スピードマスタ ー】Jリサーチ出版 Daftar Website 【「大辞林第三版」の解説】 https://kotobank.jp/word/転移-102040
38
IMPROVING THE EIGHTH YEAR STUDENTS’ READING COMPREHENSION BY USING NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) AT SMP MUHAMMADIYAH 2 KALISAT – JEMBER MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION SISWA KELAS 8 MELALUI NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) DI SMP MUHAMMADIYAH 2 KALISAT – JEMBER Muhammad Saifuddin1 Dedi Malik Wijaya2 Unipdu Jombang (
[email protected]) ABSTRACT Reading refers to the ability to read and understand the written text. Reading is one way to find information. The use of Numbered Heads Together (NHT) model offered the students to work in groups and help them out to improve their reading comprehension. This research was done through cycle model and the data of the research were taken from the result of observation and reading test. After having two cycles of the implementation, it showed that there was an improvement. The students‟ active participation increased from 60,86% to 73.91% while the result of students reading test increased from 60,86% of the students to 73.91% or 17 students. Based on this result, it can be concluded that the use of NHT could improve the eighth year students‟ reading comprehension. Keywords: Numbered Heads Together (NHT), reading comprehension, written text
ABSTRAK Membaca adalah merupakan kemampuan untuk memahami teks tulis. Membaca merupakan salah satu cara untuk menemukan informasi. Model Numbered Heads Together (NHT) memberikan siswa kesempatan untuk bekerja sama dalam grup dan membantu mereka untuk meningkatkan kemampuan membaca. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk siklus dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil observasi dan tes tulis membaca. Setelah dilakukan dalam dua siklus, hasil menunjukkan adanya peningkatan. Kektifan belajar siswa meningkat dari 60,86% ke 73,91% sedangkan hasil tes tulis membaca meningkat dari 60,86% menjadi 73,91% atau 17 siswa. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan NHT dapat meningkatkan kemampuan membaca siswa kelas 8 SMP. Kata kunci: Numbered Heads Together (NHT), reading comprehension, teks tulis
39
Kalisat, it was revealed that the eighth year students still experienced difficulties in comprehending the meaning of words, sentences, and paragraphs. They also had problem in identifying the general and specific information of the text, so that they did not comprehend the whole text. Besides, the English teacher often asked them to read individually and invited them to answer the questions. In fact, they lacked of motivation and less activeness. It was also found that there were only 45.1% or 14 students who got the passing grade. It means that there were less than 50% of the students who succeeded in reading activities. Based on the problem above, it is important to overcome the students‟ difficulties, so that their reading comprehension can be improved. As it is known that overcoming the students‟ difficulties is essential, cooperative learning can be a problem solving . According to Joyce (2005), cooperative learning is the instructional use of small groups through which students work together to maximize their own and each other learning. It can be said that cooperative learning is a learning activity in which students work together to accomplish shared learning. By learning cooperatively, students are given the responsibility of creating the learning community where all the students participate in significant and meaningful ways. Cooperative learning also requires the students work together to achieve goals which they could not achieve individually. It is also said by Dornyei (1997:482) that in cooperative learning, students settle small group in order to achieve common learning goal via cooperation. Crandall as quoted in Arnold (1999:244) says that cooperative learning offers many positive affective features which encourage language learning, while also supporting development of prosocial, academic and higher order thinking skill.
A. INTRODUCTION Reading enables the students to gain some information through reading. As it is one of the language skills, reading skill has a great function in English subject mastery. The main purpose of teaching reading to the students is to develop their communicative competence both spoken and written form to reach the level of functional literacy (BSNP, 2006). Through reading activities, they are expected to understand what the author wants to say in reading texts. In order to gain the purpose, the students must have a good reading ability. They cannot just read the language of the text but they should comprehend the text content. Fairbrain and Winch (1996 : 8) note that we read in order to gain meaning from the text. To get the understanding of the reading text is the main activity. In line, Grellet (1996 : 8) also states that it is important for the students who deal with the English language through reading activities. Furthermore, reading is one among the other skills which should also be mastered by the students to gain English language comprehensively. In that case, the students of junior high school are also required to learn it. Specifically, the objective of teaching reading to the eight year students is they are expected to be able to comprehend the meaning of functional texts and short essays in the form of descriptive, recount, and narrative text which have relation to their surrounding environment (BSNP, 2006). In fact, some of the students may feel that reading comprehension is difficult. In reading activities, the students not only read the text but also comprehend the text. Between reading and comprehending the text, the students should be familiar with the words used that these words help them understand the content of the text. Based on the preliminary study conducted in SMP Muhammadiyah 2 40
Number Heads Together (NHT) is one of the cooperative learning models. It offers the students to work in group. By taking the advantages of NHT model, they are able to socialize one another that it helps them to work in group to solve the problem. Cooper (2011 : 267) states that Numbered Heads Together provides the students with an incentive to sharpen the students‟ interests in socializing to an academic agenda, to invest in their teammates learning, and to work hard themselves. The students work in groups and they think together to discuss the answer with the members of the group. This model offers group success orientation. The group‟s success depends on every individual‟s success because every student has his or her own responsibility to do the assignment based on the result of the discussion. The benefit of this strategy is cooperative work and the group success depends on individual success, so every member cannot entrust to the other members without working. Each students has the same chance to support their team to get maximal score. Millis (2002) states that Numbered Heads Together (NHT) is one of cooperative learning models that has some advantages, they are: 1. Promote discussion and both individual and group accountability. 2. Increase student‟s retention. 3. Enhance student satisfaction with their learning experience. 4. Each students has the same chance to support their team to get maximal score. 5. Help to promote positive competition. To be successful in implementing NHT, there are some procedures should be followed. As it is proposed by Cooper (2011: 266), there are 6 stages in NHT model. 1. Plan. Identifying appropriate practice material.
2. Form teams. Assigning students using five member teams only as needed. In general it is best to make teams approximately equal in the range of student ability. 3. Assign numbers to the students. Giving each student on the team a number from 1 to 5 at random. 4. Pose the questions. When the teams are settled and the student number the teacher pose a question. 5. Call for heads together. The students put their heads together to make sure that everyone in the group has the answer. 6. Call for the number of respondents. The teacher calls a number from 1-6. All the students with that number stand. One of the standing students is called upon to give their group‟s answer. Standing students with different answers can be called upon to explain their group‟s thinking. On the other hand, the implementation of NHT model is to help the students in reading comprehension. In this case, reading comprehension covers several types of comprehension. Grellet (1996) propose four levels of comprehension based on the unit of comprehension, they are; comprehending words meaning, comprehending sentences, comprehending paragraph and comprehending text. 1. Word Comprehension The first step in reading comprehension is to comprehend the word‟s meaning. Students need to comprehend most of the words in each sentence. Afterwards, they combine the words into a sentence and they try to understand the whole sentences. Then, they will be able to comprehend the paragraphs. Finally, they will be able to comprehend the text. It is basically important in reading comprehension to understand the word‟s 41
meaning, because it is imposssible for the students to comprehend the text or the material without understanding the meaning of the words. Sometimes students find unfamiliar words. Here, they must guess or decode the meaning of the words. Grellet (1996:7) states that the students have to use what they know to understand unknown elements, whether these are ideas or simple words. From decoding process it will make them to understand. As stated by Oakhil and Beard (1999:15), good readers should process word faster because they use of redudancy lightens that load on their word decoding mechanism. So, the students can only decode or guess the meaning of the words if they feel it is difficult to understand them. It can be restated that word comprehension refers to understanding the meaning of the words in the context or in the sentences. Shortly, it can be concluded that understanding word meaning is basically important since it is impossible to comprehend the meaning of the text without understanding the word meaning of the words in it.
Wood (1991:151) further says that all sentences to be complete, they must have a subject and a predicate that give information about the subject. In addition, there are three kinds of sentences: a simple sentence express one complete thought and contain one subject and one predicate. A compound sentence contains two or more subjects and predicates since they are made up of two or more simple sentences. A complex sentence contains a simple sentence and several phrases. The phrases may also contain a subject and a predicate, but they do not express complete thought. So, the phrases are not sentences in their own. Based on the ideas, comprehending sentence means understanding what the sentence tells about, not only the meaning of the words but also the whole sentences completely. It can be concluded that accurate understanding of sentences is important to all other comprehension skills and to the effective reading of written material. 3. Paragraph Comprehension It becomes absolutely essential for the students to comprehend a paragraph. Wood (1991:151) points out that most paragraphs usually contain several sentences and one of these sentences, the topic sentence, introduces the main idea of the paragraph. According to Wingersky et. al (1999:31) a paragraph has three parts: a topic sentence, supporting details and a concluding sentence. Knowing the parts of the paragraph is an important basic for comprehending the meaning of a paragraph. Therefore, to understand the meaning of a paragraph, a reader must be able to identify the topic of the paragraph and state the main point made by writer and investigate the supporting details, which explain or support the main idea.
2. Sentence Comprehension Wood (1991:151) defines sentence as the smallest unit in the material that we read that expresses a complete idea. Grellet (1996:15) has suggested that it is better to understand the meaning of some words constructed in sentences than to understand the meaning of word by word. Commonly, it is difficult to understand a sentence although each word is known. Sometimes, it is possible for the students to make clear comprehension of the sentence as a whole although they already have read word by word and then tend to groups of words appropriately because sentence is not as simple as words.
42
The following parts will review the parts of a paragraph in detail. 1. Identifying the topic sentence The term used to identify this main idea is the topic sentence (Wingersky et. al, 1999:25). In fact, the main idea of a paragraph is usually stated in what is called the topic sentence. Topic sentence usually comes at the beginning or at the end of a paragraph. 2. Identifying the supporting details Supporting details are sentences that give a clear and convincing picture of the main idea of being suggested by the topic sentence (Wingersky et. al, 1999:34). It can be said that supporting details must include facts to support the main idea or the topic. 3. The concluding sentence Wood (1991:129) states that a conclusion focuses on a major idea that the author wants the reader to pay attention to and remember. It can be said that a concluding sentence gives an explanation about the main idea with different words in order to make the paragraph to be easier to understand. In this research, comprehending the paragraph means understand the main idea or the topic sentence, the supporting details and the concluding sentence.
in order to get the information in the text, the students should comprehend each parts of the text, they are words, sentences, and paragraphs.Based on the explanation above, it can be said that to have a good comprehension in reading a text, students should comprehend words, sentences, and also paragraphs as a whole. B. METHOD This research focused on improving the students reading comprehension by using Numbered Heads Together model. In that case, Classroom Action Research was used. Elliot (1991:69) defines the action research is the study of social situation with a view to improve the quality of the action. It means that the aim of CAR is to improve the quality of teaching and learning process. Regarding to the problem of this study, CAR was proposed to improve both the students‟ reading comprehension through the implementation of Numbered Heads Together and their active participation. The subjects of this research were selected purposively. They were the eighth year students of SMP Muhammadiyah 2 Kalisat – Jember who consisted of 26 students in the class. This research used cycle model (Elliot, 1991) in which each cycle covered planning, implementing, observing, and reflecting. Indeed, this research was done in two cycles. The indicators of the research success were taken from the result of students‟ reading comprehension and the result of observation. The data used in this research were the result of reading comprehension test and the result of observation. Reading comprehension test was administered after the treatment by using NHT model. The research was successfully done if the research achieved at least 70% of the students who passed the passing grade, 65, and the students fulfilled at least 3 indicators of the observation.
4. Text Comprehension The aim of reading is to comprehend the text, about the message written by the author. Grellet (1996:4) says that one of the reasons for reading is reading for information (in order to find out something or in order to do something with the information got). It can be said that text comprehension refers to understanding the whole of the text, that includes understanding the general information of the text and the specific information of the text. The whole text consists of words, sentences, and paragraphs. So, to comprehend the text, 43
able to improve the results of students‟ active participation and students reading test, it was needed to revise the previous lesson plans based on the weaknesses found in cycle 1. Based on the result of observation, it was also found that the time given to the students in the main activities during teaching reading process was inappropriate. There were some additional times in the stage of reading text and students‟ put their heads together when they were discussing the answer. And also, the students were needed to provide more time in doing test. Time allocation in Cycle 1 for doing test was 40 minutes, then it was revised into 60 minutes for the reading test in Cycle 2. By revising the lesson plan and giving more time to the students in doing the test, there was an improvement on the students‟ active participation and students‟ reading comprehension test. The percentage of the students who could fulfill at least 3 indicators was 73.91% of the students in observation. Meanwhile, in the students‟ reading test, there were 73.91% of the students who got the passing grade that was 65 or higher. In this case, it can be seen that the result of both students‟ active participation and students‟ reading test have the same percentage. However, there was no relation between students‟ active participation and students‟ reading test. It meant that it was just coincidence which made the same number of the percentage. Having known the results of observation and students‟ reading comprehension test in Cycle 2 were achieved the standard requirement of the research success, the action of the research stopped. Based on the reflection above, it can be stated that the use of Numbered Heads Together is able to improve the students‟ reading comprehension and students‟ active participation. The results showed that both the students‟ observation
C. DISCUSSION The first cycle was done in 3 meeting, consisting of 2 meetings for the implementation of NHT and 1 meeting for reading test. This cycle was implemented based on the lesson plans had already made before. During the process of teaching reading by using NHT model, the students were observed to see their active participation. This result of observation was used as the data to analyze not only their active participation but also to see whether there were weaknesses or not in the implementation of NHT model. The result of observation revealed that there were only 14 students or 60.86% of the students who were able to fulfilled at least 3 indicators to be categorized as active. Meanwhile, the standard requirement of the students‟ actively involved in the teaching reading comprehension by using Numbered Heads Together was at least 70% of the students who were actively involved. It means that from the results of observation, the percentage of the students‟ active participation could not achieve the standard requirement of the success. On the other hand, the results of reading test in Cycle 1 showed that the percentage of the students who got the passing grade that is 65 or higher was 60.86% or 14 students. It means that the students could not achieve the standard requirement of the success that was at least 70% of the students who got the passing grade that was 65 or higher. Since the standards requirement of the research success were at least 70% of the students who could fulfill at least 3 indicators of observation and there were at least 70% of the students who got the passing grade that is 65 or higher could not be achieved by the students, it means that Cycle 2 was needed to establish to improve the students‟ reading comprehension. To be 44
and the students‟ reading test have improved from Cycle 1 to Cycle 2. The improvement of the students‟ active participation and the students‟ reading comprehension test are presented by the following charts:
Based on the chart above, it can be seen that the students who got score at least 70 increased from 60.86% in Cycle 1 to 73.91% in Cycle 2. In Cycle 1, the result of the students‟ reading comprehension test could not fulfill the target requirement that is at least 70% of the students who get score at least 65 or higher. Dealing the reflection of the results of observation and the students‟ reading comprehension have improved, it can be concluded that the use of Numbered Heads Together can improve the eighth year students‟ reading comprehension at SMP Muhammadiyah 2 Kalisat.
Based on the chart above, the result of observation in Cycle 1 showed that there were 60.86% were actively involved in the Cycle 1. The target requirement of students‟ active participation in Cycle 1 had not been achieved. It means that Cycle 2 was needed to be conducted to improve the students‟ active participation. Based on the result of students‟ observation in Cycle 2, the students‟ active participation reached the standard requirement of active participation, that is 73.91%. Thus, the target requirement of active participation in Cycle 2 had been achieved.
REFERENCES Arnold, J. 1999. Affect in Language Learning. London : Cambridge University Press
Meanwhile, the result of the students‟ reading comprehension test improved from Cycle 1 to Cycle 2. The improvement of the students‟ reading comprehension test is presented in the following chart:
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas Mata Pelajaran Pelajaran Bahasa Inggris. Pemerintah Propinsi Jawa Timur Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Sub Din Dikmenum Cooper, J. M. 2011. Clasroom Teaching Skill. Second Edition. Boston: Houghton Mifflin Company
45
Dornyei, Z. 1997. Psychological Process in Cooperative Learning: Group Dynamics and Motivation. The Modern Language Journal 81 (1997). Page:482-493
Millis, J. 2002. Cooperative Learning. Available at : http://www.utc.edu/Administration/Wal kerTeachingResourceCenter/FacultyDe velopment/CooperativeLearning/index. html. Retrieved on September 2 nd,2011
Elliot, J. 1991. Action Research for Educational Change; Developing Teachers and Teaching. London: Open University Press
Oakhill, J and Roger Beard. 1999. Reading Development and Teaching of Reading. London: Black Well Publisher
Fairbairn,G and Christopher Winch.1996. Reading, Writing and Reasoning. New York: Open University Press
Wingersky, J, Boerner and Horguin, B. 1999. Writing Paragraph Essay; integrating Reading, Writing, and Grammar skill (Third edition). New York: McMillan publishing Co.
Grellet, F. 1996. Developing Reading Skills. Cambridge: Cambridge University Press
Wood, N. V. 1991. Strategies for College Reading and Thinking. United States: McGraw-Hill.Inc.
Joyce, B. 2005. A Guide to Cooperative Learning. Available at: http://www.P9CDS.P9.K12.md.us/ec/learningI.html. Retrieved on September 1 st ,2011
46
COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING: IMPLICATIONS FOR THE COMMUNICATIVE CLASSROOM COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING: IMPLIKASI BAGI RUANG KELAS YANG KOMUNIKATIF Achmad Farid, S.S., M.A. Unipdu Jombang (
[email protected])
ABSTRACT A linguistically informed teacher about views of language can either adopt structuralist or functionalist approach to successfully teach language in his/her classroom. The Communicative Language Teaching is aimed at attracting second language learners to purposeful classroom activities in which learners use and reproduce language as it is practiced in real communication beyond the classroom in meaningful situations. To achieve this, a linguistically well-informed language teacher needs to focus on his role as a facilitator, an interdependent member of the classroom, a needs analyst, a counsellor, and a group activity manager. In addition, the teacher needs to remember that in communicative classroom students negotiate (for meaning) between themselves in their own ways in the classroom communications. Therefore, a linguistically wellinformed teacher needs to consider what classroom activities he needs to pick up to achieve the ultimate goal of the CLT, which is the communicative competence. Keywords: CLT, classroom communications, communicative competence ABSTRAK Seorang guru bahasa yang benar-benar mengetahui akan pandangan-pandangan bahasa bisa mengadopsi pendekatan strukturalis ataupun fungsionalis untuk mengajarkan Bahasa di kelasnya secara efektif. Communicative Language Teaching bertujuan untuk melibatkan pembelajar bahasa kedua dalam kegiatan-kegiatan kelas yang memunyai tujuan tertentu di mana pembelajar bahasa bisa menggunakan dan memproduksi bahasa sebagaimana bahasa tersebut digunakan dalam komunikasi sebenarnya di luar kelas pada konteks yang bermakna. Untuk meraih hal ini, seorang pengajar bahasa yang mengetahui pandangan-pandangan bahasa perlu memperhatikan perannya sebagai seorang fasilitator, anggota kelas yang interdependen, seorang analis kebutuhan, seorang pembimbing, dan seorang manajer aktifitas kelompok. Selain itu, guru juga perlu memperhatikan bahwa dalam communicative classroom siswa menegosiasikan makna antar siswa dalam innteraksi di kelas. Maka dari itu, seorang guru bahasa harus mempertimbangkan kegiatan apa yang harus ia gunakan untuk mencapai tujuan akhir dari CLT, yaitu kompetensi komunikatif. Kata kunci: CLT, komunikasi ruang kelas, kompetensi komunikatif
47
emphasizes the importance of social and cultural knowledge that speakers need to possess, so that they are able to understand and make use of linguistic forms.Hymes postulates that language speakers not only need knowledge but also ability to put that knowledge into use in communication. This implies that language speakers or learners need to know a language and be able to put that knowledge to use in communicating with people in a variety of settings and situations. The language speakers‟ knowledge is then referred to as „communicative competence‟ (Ibid: 1972).
A. INTRODUCTION Language is defined in many different ways by various linguists. The structuralists view language as rules, and focus on ways in which linguistic entities can be combined together. Language is considered as the knowledge of grammar, consisting of syntax, inflectional morphology, and phonology, encompasses knowledge of formal rules or operations that operate on abstract linguistic categories, for example verb and noun, and phrases(Ambridge and Lieven, 2011). In contrast, for emergentists, language is believedas a „system of communication‟, „a medium for thought‟, „a vehicle for literary expression‟, and „a social institution‟(O‟grady, 1989: 1). This definition of language agrees withthat of functionalistswho view language primarily in terms of its function in the context of situations, focusing on meaning conveyed in different situations.Rispoli (1991), in Ritchie and Bhatia (1999: 222),defined functionalism in linguistics as the explanation and elucidation of grammatical formswherein semantic and pragmatic are exceptionallyimportantconstructs.Tomasello (2003) proposesthat linguistic structuresare linguistic symbols which are meaningful functioning as patterns which comprise meaningful linguistic symbols used in communication.This view of language is opposed to that of generativists who conceivelanguage rules as fixed rules for combining morphemes and words not related to meaning.
Allen, (2007) proposes that only with regard to the semantic and communicative functions of language linguistic structures can be comprehended and explained because the key function of language is as a means of socialcommunication.That is to say, in the view of functional linguists, attention should not only be paid to the formal associationsin linguistic elements but to the way language is actually practised in communicative situation. Swan and Walter (1990) hold that language usemustbe related to real life in contexts communicative interactionswith real exchange of information and opinionsas much aspossible. B.
COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING: A FUNCTIONAL VIEW OF SECOND LANGUAGE TEACHING
From the functional view of second language learning, rather than concentrating on the algebraic linguistic system, attention would be paid more to the ways wherein second language learners try to make meaning and attain their individual communicative purposes (Mitchell & Myles, 2004).Therefore, a teacher who is wellinformed about this language view would
While generativists view linguisticknowledge as the abstract understanding that language speakers have which make them able to produce grammatically correct sentence in a language (Chomsky, 1965), Hymes (1972) 48
focus his language teaching on communicative proficiency rather than on mere mastery of language rules.
performed and, what it entails (Hymes, 1972: 284-286). Littlewood (1981) explained that one of the noticeable characteristics of CLT is that it intensively focuses on functional and structural aspects of language and combinesthese into a more fully communicative model.According to Canale and Swain (1980), the communicative value in the CLT comprises grammatical competence, sociolinguistic competence, discourse competence, and strategic competence.Grammatical competence refers to what Chomsky (1965) coined linguistic competence, which is the formal system of language.
Inspired by the works of British functional linguist as Firth (1957) and Halliday (1973) and of some American sociolinguists as Hymes (1972) and Labov (1972) some linguists such as Candlin (1976) and Widdowson (1972) started to develop the view that language teaching should focus on communicative proficiency. Wilkin (1972) also proposed a functional of communicative definition of language that could serve as a basis for developing communicative syllabuses for language teaching. The work of these scholars initiated the emergence of the so-called Communicative Language Teaching (Richards and Rogers, 1998).
According to Stern (1983), linguistic competence is the language users‟ ability to use the rules structuring the language without being aware of them. Sociolinguistic competence is the speakers‟ knowledge of the social environment in which communicative interactions takes place, which Hedge (2000) calls pragmatic competence which covers the type of relationships between speakers, the information the participants share, and the purposes of the communicative interaction.
The emergence of the Communicative Language Teaching (CLT) Approach can be considered as a response against formal structural approaches such as audiolingualism which focuses almost exclusively onrules (Whong: 2013). The main reason of the development of the CLT Approach is the shift from the structurebased to meaning-based view, which regards language more than merely a structure of rules, but more as a source, which is dynamic for the meaning generation (Nunan, 1989).TheCLT emerges from the theory of language as communication, and it is aimed at developing what Hymes (1972)refers to as „communicative competence‟ (Richards and Rogers, 1998). Hymes‟ concept of communicative competence is explained as the ability a speaker needs to possessin order to be communicatively proficient in a social context.He believesthat a language speaker who possesses communicative competence acquires both capability and knowledge to use language in regard towhether his/her language is structurally possible, feasible by means of available implementation, is appropriate to situation; and is actually
Discourse competence, which Bachman (1990) calls textual competence refers to the understanding of individual communicationcomponentsconcerningtheir interrelatedness between one and another and how meaning expressed in the text. Strategic competence relates to the way speakers manage strategies, so that they can keep the communication channel available. Along with those competences, Faerch, Haastrup, and Phillipson, quoted in Hedge (2000), add fluency to one of the communicative competences a speaker needs to possess. Fluency refers to language production and it is usually reserved for speaking. It is the ability to relate components of language together with 49
capability and without hindrance excessive hesitation (Ibid: 2000: 54).
or
interactions will enable learners to negotiate language input. Next, the teacher will hold task principle, which implies that he will encourage learning by creating classroom activities in which language is used to conduct meaningful task (Johnson, 1984). Swain (1995) suggests that with particular task conditions learners will not merely reveal their language hypotheses, but think seriously about them anduse the language as well.
Further, Richards and Rogers (1986) formulate the characteristics of CLT in the context of language theory. Language is the system to convey meaning in social interaction and communication, and this is the primary function of language.The structure of language is the reflection of its functional and communicative uses, and its primary unit are not only its grammatical and structural categories, but also functional and communicative meaning features as represented in discourse. C.
The next principle the teacher should apply in communicative classroomis the meaningfulness.Learners will be encouraged if they use language that is meaningful to them. In contrast, learners will be discouraged if they merely learn language patterns that do not make meaning for them. Storch and Aldosari (2012) suggest that in the classroom setting students are on a language task which is meaning-focused and when they find a linguistic problem, they negotiate the problem to find a solution andshare their linguistic information. Therefore, language learning activities should be managed in a way that enableslearners to engage in language use which is meaningful and authentic. In brief, the given principles are expected to facilitate second language learning, rather than the language acquisitionprocesses (Richards and Rogers, 1986).
COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING: IMPLICATIONS FOR THE COMMUNICATIVE CLASSROOM
Nunan (1989) proposes that in terms of learning, it is normally accepted that we need to differentiatebetween knowing various grammatical rules and being able to use the rules effectively and appropriately when communicating. A teacher who is well-informed about functional view of language and adopts communicative approach to language teaching would hold the principle that the improvement of communicative language ability is the purpose of classroom learning. Therefore, a well-informed teacher would emphasis on communicative practice in the classroom.
D. MANAGING A COMMUNICATIVE CLASSROOM
The communicative practices in the CLT are characterized by some principles.Richards and Rogers (1986) formulate some underpinning principles in the CLT in practice. First of all, the teacher will create activities that facilitate real communication motivating students to learn. For example, the well-informed teacher can create a classroom setting in which interaction between one student and another happens. Gass& Mackey (2007) argue that
Based on the principles of the CLT described above, a well-informed teacher would take some considerations to create a communicative classroom. The considerations inferred from Richards and Rogers (1986) are, first of all, he would pay attention to his role as a teacherto achieve the goals in a communicative classroom, which is to facilitate the communication process between all participants in the 50
classroom.A well-informed teacher also needs to pay attention to the role of the students. More importantly, the classroom activities created by the teacher should facilitate real communication to encourage learning.
a fixed arrangement, and this allows the students to interact more with other learnersrather than with the teacher. In communicative classroom, students‟ cooperation is highly expected. Students are suggested to work in pairs or small groups.Working in pairs or small groups has been proven to be very effective methods to boost students‟ communicative ability. Ohta‟s study (2001) have revealed that when learners are arranged to work in pairs small groups or pairs, they appear to use the target language more for various functions, for example asking questions,making requests, and providing feedback. Therefore, pair and group work may enable learners to improvethe quantity and quality of target language practice.
Students‟ role in Communicative Language Classroom Breen and Candlin (1980) suggest that as the ultimate purpose of a communicative language classroom is achieving communicative competence, the learners are supposed to negotiate for meaning between themselvesin their own ways.In the communicative classroom, learners‟ roles are as negotiatorsbetween themselves and between themselves and the learning objectives.The learners may also have monitoring role for other learners, which means they can provide feedback for their colleagues.Therefore, they are also potential teachers for other language learners. Another important role is as informant to the teacherregardingtheir own learning improvement. Principally, a communicative language classroom would provide the opportunity for both the teacher and the learners to be mutually dependentparticipants in a communicative method of teaching and learning.
A well-informed teacher‟s role According to Breen and Candlin (1980: 99), a well-informed teacher should play two main roles in the communicative classroom. First, the teacher should be a facilitator of the communicative activities between all learners inthe classroom as well as facilitate communicative practices between the learners and different activities anddiscourse.The second role is to perform as an „interdependent‟ member in the language learning. Therefore, the teacher needs to be able to organise resources and also becomea resource who controls procedures and activities in the classroom.Widdowson (1978) suggests thatdespite the use of the learnercanteredmethod and collaborative activity in the communicative classroom, teacher should not be less authoritative. The teachers till need to organise encouraging atmosphere for learning and to observe and controlactivities.
Richards and Rodgers (1986) added that in a communicative language classroom the use of text is quite limited. Grammatical rules are not taught explicitly. Many language teaching scholars argue that explicit grammar instruction does not help learners to apply the rules. Green and Hecht(1992) propose that second language learners who are usually taught explicit rules of grammarare unsuccessful to apply the rules when it comes to the communicative activities. Serratrice (2012) also argue that explicit teaching does not seem to be useful in learning language. What‟s more, communicative classroom is not arranged in
Richards and Rogers (1986: 77) suggest another four roles teachers need to have: needs analyst, counsellor, and group activity manager.Regarding the teachers‟ 51
role as a needs analyst, it is very important to know the learners‟ language need, which can be done formally or informally. Bax (2003) suggests that before teaching teachers need to use „context approach‟, in which teachers first conduct a needs analysis and then identifysuitable methods of language teaching based on the students‟ needs.As a counsellor, the teachers are supposed to give examples of effective communication in order to maximize the engagement of speaker intention and hearer interpretation by using paraphrasing, confirmation, and feedback.The teachers‟ role as group process manager refers to teachers‟ responsibility to manage the classroom as a setting for communication and communicative processes. Activities in classroom
communicative
suitablefor communicative classroom when performed in pairs or groups because it would encouragethe participation of all students. Consequently, the students will be engaged in active learning activities. Bell (2001) suggests that students‟highlevel engagementin active learning is much more effective than passive learning. Role play isa teaching method that has been proven to encourage activelearning and allowstudents to gain experience they have never had before (Van Ments, 1999).
Hedge (2000) defines information gap as an activity where learners are missing information they need inorder to accomplish a taskand are required to communicate to each other to find the information, and this activity involvesinformation decodingor encoding from or into language. The rationale behind this activity is the fact that in real interaction, people generally need to communicate to get information they do not have (Richards, 2006). This activity is aimed at providing more opportunity for learners to experience authentic communication by practicinglanguage beyond forms, andapply their linguistic and communicative ability to gain information.Thus, the learners will recall their existinglinguistic knowledge such as grammar and vocabulary, use theircommunicationstrategiesand meaning negotiation abilityto complete a task.
language
A well-informed teacher goalin communicative classroom is to develop fluency in the use of language. Fluency is naturaluse of language that happens when a language speaker is involved in meaningful communicationand keepsunderstandable and continuingcommunicative interaction even though his or her communicative competence is limited (Richards, 2006). Fluency is established through classroom activities in which students need to „negotiate meaning‟, „use communication strategies‟, „correct misunderstandings‟, and work to avoid communicationfailures(Ibid, 2006: 14).Useful activities used in a communicative classroom include the following:
Information gap
Role-play Role play refers to an experientiallearning methodin which the learners perform roles in a predetermined scenario to facilitate aimed practice and feedback to practiceskills (Kiger, 2004).Hedge (2000) suggests that role play is very
Some empirical studies have shown that the use of information gap in L2 teaching is very effective. Doughty and Pica (1985, 1986) investigateadult students and teachers from six intermediate L2 English classroom to 52
compare the effectiveness of a task with optional and required information exchange across teacher-directed, smallgroup, and pair interactional patterns.The result shows that it is evident that activities which requirean information exchange for the task completion generate more modified interaction than those in which information exchange was optional. This happens because the task with required information exchange encouraged students to have more comprehension and confirmation check, clarification requests, and repetitions.
need to know and understand the rules which may include the procedure of the game, acceptability and nonacceptability, and grading. Third, the objective of the game should be clear, which means that there some cleargoals for gaming which are understood and agreed upon by the participants.Next, gaming must have an ending point at which the game is supposedto be ended, whether the objective of the game is achieved or not. Last but not least, the game is expected to make the participants engaged and challenged. A study on the effectiveness of games in language classroom was conducted by Palmer (1981). The subjects were 54 first-year students of Thai college. They wererandomly divided tocontrol and experimental groups. The control group was instructed with the university'sconventional method. The result shows thatno differences were found in terms of cognitive learning. However, the experimental group consider that the experimental programme was really enjoyable, and it was evident that they unconsciously reached more of the teaching objectivescompared to the control group.Therefore, it can be inferred that a well-informed teacher use of games in communicative language learning is very essential considering the effectiveness of games in promoting the unconscious acquisition of learning aims and positive feelings toward instruction.Consequently, a wellinformed teacher would minimise the use of traditional teaching methods with a lot of negative evidence which is believed to hinder unconscious learning.
Games Games have been widely applied in teaching, and there have been a large number of games used in CLT: spelling bees, crossword puzzles, limericks, Scrabble, riddles, Diplomacy, Guggenheim, tongue twisters, anagrams, Password, word squares, one-ups-manship, spoonerisms, rebuses, stinkypinkies, twenty questions, and debates to name a few (Palmer and Rodgers, 1983: 2). The nature of games in language teaching is to make the learners concentrate on the activity they are dealing with and use the language as a means to achieve the goal instead of as a goal itself (Terrell, 1982). Palmer and Rodgers (1983ː 3), in the study to review the use of games in language teaching, they use gamingcharacteristics proposed by Rodgers (1981). First, gaming should be competitive.For example, there is a competition between participants, (e.g. board-race), against time (e.g. race heats), against their own best performance (e.g. hammer throw), against a particular goal (e.g. matching). Second, gaming should use a predetermined rule, and all participants
Pair-work or group work A well-informed teacher would create as much interactions as possible
53
between participants in the language classroom, and this can be done by assigning individuals into pair or small group works. Storch (2002) investigated the nature of pair work interaction in an adult ESL classroom. The result shows that pair interaction can help boost the learning opportunities for language learners as all individual is involved in the social interaction. Block (1996) suggests that a language classroom is supposed to be a social event in which communications between individuals have someadvantages and consequently result in various academic outcomes.
facilitator, an interdependent member of the classroom, a needs analyst, a counsellor, and a group activity manager. In addition, the teacher needs to bear in mind that in communicative classroom students negotiate (for meaning) between themselves in their own ways in the classroom interactions. Therefore, a well-informed teacher needs to consider what classroom activities he needs to pick up to achieve the ultimate goal of the CLT, the communicative competence.
Regarding the best way to pair students, Long & Porter (1985) suggest that pairing of mixed proficiency can benefit both high and low proficiency learners sincemore negotiations in the target language occur. However, Leeser‟s study (2004) suggests that although low proficiency students can benefit from being paired with their high proficiency counterparts, high proficiency learners would benefit more from the activity when they are paired with high proficiency students.
Allan, K. (2007) The pragmatics of connotation. Journal of pragmatics, 39 (6), pp. 1047-1057.
REFERENCES:
Ambridge, B., & Lieven, E. V. (2011). Child language acquisition: Contrasting theoretical approaches. Cambridge University Press. Bachman, L. F. (1990) Fundamental Considerations in Language Testing. Oxford: Oxford University Press. Bax, S. (2003) The end of CLT: A context approach to language teaching. ELT journal, 57 (3), pp. 278-287.
There are more activities that can be applied in CLT classroom, such as: jigsaw, information-gathering, opinionsharing, information-transfer, reasoning gap, interview activities, etc.
Bell,
E. CONCLUSION A well-informed teacher about functionalist view of language can adopt CLT approach to effectively teach language in hisclassroom. The CLT is aimed at engaging L2 learners in purposeful activities in which leaners practice and reflect language as it is used in real communication outside the classroom in meaningful contexts. To achieve this, a well-informed teacher needs to pay attention to hisrole as a
M. (2001) Online role-play: Anonymity, engagement and risk. Educational Media International, 38 (4), pp. 251-260.
Block, D. (1996) Not so fast: Some thoughts on theory culling, relativism, accepted findings and the heart and soul of SLA. Applied linguistics, 17 (1), pp. 63-83. Breen, M. P., & Candlin, C. N. (1980) The essentials of a communicative curriculum in language 54
teaching. Applied linguistics, 1 (2), pp. 89-112.
Johnson. (1984) Communicative syllabus design and methodology. Oxford: Pergamon.
Canale, M., & Swain, M. (1980) Theoretical bases of communicative approaches to second language teaching and testing. Applied linguistics, 1 (1), pp. 1-47.
Kiger, A. M. (2004) Teaching for health. Elsevier Health Sciences. Leeser, M.J. (2004) Learner proficiency and focus on form during collaborative dialogue. Language Teaching Research, 8, pp. 55–81.
Chomsky, N. (1965) Aspects of the theory of syntax. MIT press. Doughty, C., & Pica, T. (1986) “Information gap” tasks: Do they facilitate second language acquisition?. TESOL quarterly, 20 (2), pp. 305-325.
Littlewood, W. (1981) Communicative language teaching: An introduction. Cambridge University Press.
Gass, S. M., & Mackey, A. (2007) Input, interaction, and output in second language acquisition. Theories in second language acquisition: An introduction, pp. 175-199.
Long, M. H., & Porter, P. A. (1985) Group work, interlanguage talk, and second language acquisition. TESOL quarterly, 19 (2), pp. 207-228. Mitchell, R., Myles, F., and Marsden, E. (2013) Second language learning theories. Routledge.
Green, P. S., & Hecht, K. (1992) Implicit and explicit grammar: An empirical study. Applied Linguistics, 13 (2), pp. 168-184.
Nunan, D. (1989) Designing tasks for the communicative classroom. Cambridge University Press.
Halliday, M. A. (1973) Explorations in the Functions of Language. London: Edward Arnold.
O'Grady, W., Dobrovolsky, M., &Aronoff, M. (1989) Contemporary linguistics: An introduction. Harlow, UK: Longman.
Hedge, T. (2000) Teaching and learning in the language classroom. Oxford, UK: Oxford University Press.
Ohta, Holsbrink‐Engels, G. A. (2001) Using a computer learning environment for initial training in dealing with social‐ communicative problems. British Journal of Educational Technology, 32 (1), pp. 53-67.
A.S. (2001) Second language processes in the class-room: Learning Japanese. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Palmer, A. S. (1981) Measures of achievement, communication, incorporation, and integration for two classes of formal EFL learners. RELC Journal, 12 (1), pp. 37-61.
Hymes, D. (1972) On communicative competence. Sociolinguistics, 269293, 269-293. 55
Palmer, A., & Rodgers, T. S. (1983) Games in language teaching. Language teaching, 16(01), pp. 2-21.
Storch, N., &Aldosari, A. (2013) Pairing learners in pair work activity. Language teaching research, 17 (1), pp. 31-48.
Richards, J. C. (2006) Communicative language teaching today. SEAMEO Regional Language Centre.
Swain, M. (1995) Three functions of output in second language learning.Principle and practice in applied linguistics: Studies in honour of HG Widdowson, pp. 125-144.
Richards, J. C., & Rodgers, T. S. (2001) Approaches and methods in language teaching. Cambridge University Press. Rispoli, M. (1991) The acquisition of verb subcategorization in a functionalist framework. First Language, 11(31), pp. 41-63.
Swan, M., & Walter, C. (2001) The good grammar book. Oxford University Press. Terrell, T. D. (1982) The natural approach to language teaching: An update. The Modern Language Journal, 66(2), pp. 121-132.
Ritchie, W. C., & Bhatia, T. K. (1999). Handbook of Child Language Acquisition. Academic Press, Inc., Order Fulfillment Department, 6277 Harbor Drive, Orlando, FL 32887.
Tomasello, M., & Tomasello, M. (2009) Constructing a language: A usagebased theory of language acquisition. Harvard University Press.
Rodgers, T. S. (1981) A framework for making and using language teaching games. Singapore: RELC.
Van Ments, M. (1999) The Effective Use of Role-Play. London:Kogan Page.
Serratrice, L. (2012) Individual differences in native speakers‟ competence: Implications for learning mechanisms and first language acquisition. Linguistic Approaches to Bilingualism, 2 (3), pp. 308-313.
Whong, M. (2013) A linguistic perspective on communicative language teaching. The Language Learning Journal, 41(1), pp. 115-128. Widdowson, H. G. (1978) Teaching language as communication. Oxford University Press.
Storch, N. (2002) Patterns of interaction in ESL pair work. Language learning,52(1), pp. 119-158.
56
www.fbs.unipdu.ac.id
Vol. 4 no. 1, Juni 2015
EDUCATE Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Terbit dua kali setahun, Juni dan Nopember, berisi kajian tentang ilmu pendidikan bahasa dan sastra
PENANGGUNG JAWAB Rektor UNIPDU
PEMBINA Dekan FBS
KETUA PENYUNTING Achmad Fanani, S.S., M.Pd
PENYUNTING PELAKSANA Trikaloka Handayani Putri, S.S., M.Pd Nailul Fauziyah, S.Hum, M.Pd Nurul Laili, S.Pd
KESEKRETARIATAN Dwi Nurcahyani,S.S.
LAYOUT & DISTRIBUSI Adi Yusuf, S.S. Siti Zainab S.
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Bahasa dan Sastra UNIPDU Jombang, Komplek Ponpes Darul Ulum, Tromol Pos 10 Kode Pos 61481 Telp. (0321) 871362 email:
[email protected]
57
DAFTAR ISI
PENGEMBANGAN SILABUS BAHASA INGGRIS KEBIDANAN DI UNIPDU SESUAI DENGAN LEVEL 5 KKNI (SEBUAH ANALISIS KEBUTUHAN) Irta Fitriana
1
PENGEMBANGAN SILABUS TOEFL READING UNTUK MAHASISWA PRODI SELAIN BAHASA INGGRIS DI UNIPDU JOMBANG Endang Suciati1 Maisarah2
14
DESIGNING A READING TEACHING MATERIAL BASED ON THE STUDENTS‟ WEAKNESS POINTS IN ANSWERING UN READING TESTS AT SMA EXCELLENT AL-YASINI Putri Nurul Hidayati1 Achmad Fanani2
21
PELAFALAN BUNYI PANJANG BAHASA JEPANG PADA MAHASISWA, PENGAJAR DAN PENUTUR ASLI BAHASA JEPANG PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JEPANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA Rike Febriyanti1 Sri Aju Indrowaty2
30
IMPROVING THE EIGHTH YEAR STUDENTS‟ READING COMPREHENSION BY USING NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) AT SMP MUHAMMADIYAH 2 KALISAT – JEMBER Muhammad Saifuddin1 Dedi Malik Wijaya2
39
COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING: IMPLICATIONS FOR THE COMMUNICATIVE CLASSROOM Achmad Farid
47
58