PENGEMBANGAN PROGRAM BIMBINGAN KONSELING DI UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA Oleh: Agustinus Roedy K1 Abstract: The background of doing this developmental research was coused by have not yet a guidance and counseling program at Slamet Riyadi University of Surakarta(UNISRI Surakarta) wich was based on the evaluation of student need. Objective of this developmental research is to establish an academic text and guidebook of guidance and counseling program at UNISRI Surakarta, which was based on the evaluation result of the students need. Proceduraly, the steps of developmental guidance and counseling program was divided into three steps. The first step was preparation, the seconde one was development, and the third was evaluation. . Sample of this research was 254 respondents which were representing from 6 faculties at the area of UNISRI Surakarta. Whereas, to drawing sampling techic was used Stratified Proporsional Sampling. The result of this developmental research consist of two products, the academic text of guidance and counseling program, and guidebook on the implementation of the guidance program which will be developed, based on needs and through procedures of development. The conclusion of the result of this developmental research was that the academic text of guidance and counseling program and its implementation guidebook was articulated reasonable from the content as well as its program desain. Therefore, this developmental product was reasonable and requisite accomplishing to used it as a basic in conducting the guidance and counseling program at UNISRI Surakarta. Based on the finding of the result of this developmental research, then the suggestions are consist of the three things: (1) the suggestion about utilization (2) the suggestion about dissemination. (3) the suggestion about continuation product. . Keywords: Pengembangan program bimbingan dan konseling, Naskah akademik, Panduan pelaksanaan. Gambaran secara umum di universitas Slamet Riyadi Surakarta (UNISRI Surakarta) sejak berdiri pada awal tahun delapan puluhan belum ada program kegiatan yang jelas untuk memberikan bantuan pelayanan pada mahasiswa. Bantuan yang yang diberikan pada mahasiswa tidak jelas arah dan tujuannya. Hal demikian terjadi karena kegiatan 1
Dosen KOPERTIS Wilayah VI Jawatengah diperbantukan pada Universitas Slamet Riyadi Surakarta
1
bantuan yang diberikan tidak didasarkan pada need assessmen mahasiswa. Untuk melaksanakan layanan bimbingan konseling yang baik diperlukan program bimbingan konseling yang komprehenship (Gysbers dan Henderson, 2006), berdasarkan kebutuhan mahasiswa (Kauffman, 1972), berdasarkan kebutuhan masyarakat (Munandir, 1989), dan berdasarkan kebutuhan lembaga pendidikan (Rosjidan, 1995). Dan juga berdasarkan kebutuhan seluruh sivitas akademika (Sciarra, 2004) termasuk dosen, karyawan dan pejabat struktural ditingkat Universitas maupaun Fakultas. Program bimbingan dan konseling
yang dilaksanakan berdasarkan pada
kebutuhan mahasiswa di Universitas Slamet Riyadi Surakarta diharapkan dapar menyajikan topik-topik bimbingan berdasarkan konsep-konsep bimbingan secara umum dan lebih terinci sesuai dengan kebutuhan masing-masing sivitas akademika. Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka dibuatlah rancangan pengembangan program bimbingan konseling di UNISRI Surakarta yang diawali dengan menjaring kebutuhan mahasiswa terhadap program bimbingan.
Dari data tentang kebutuhan
tersebut dibuatlah rancangan pengembangan sampai dihasilkannya produk akhir yang didalamnya dilibatkan campurtangan dari ahli bimbingan dan konseling serta ahli rancangan program bimbingan dan konseling. Tujuan umum penelitian pengembangan ini adalah untuk menghasilkan perangkat lunak berupa naskah akademik program bimbingan dan konseling dan panduan pelaksanaan program bimbingan dan konseling di Universitas Slamet Riyadi Surakarta.Tujuan khusus penelitian pengembangan ini adalah untuk menghasilkan naskah akademik program bimbingan dan konseling dan panduan pelaksanaan program
2
bimbingan dan konseling yang memiliki akseptabilitas yang teruji. Yang dimaksud akseptabilitas dalam hal ini adalah:Aspek ketepatan (accuracy) Aspek kelayakan (feasibility) Aspek kegunaan (utility) Prosedural (propriety) harus dilakukan berdasarkan urutan langkah-langkah dari analisis kebutuhan sampai dihasilkannya produk akhir (Quinn, dan Hennelly, 1981) Produk yang diharapkan dari proses pengembangan ini adalah dua jenis, yaitu (1) naskah akademik program bimbingan konseling dan (2) panduan pelaksanaannya. Kedua jenis produk pengembangan tersebut dideskripsikan berikut ini: Penyajian komponen-komponen tersebut, diharapkan dapat memberi petunjuk bagi pengguna produk pengembangan ini tentang tujuan umum program dan layanan bimbingan, tujuan khusus program dan layanan bimbingan, tujuan khusus program dan layanan bimbingan, sasaran pelaksanaan program bimbingan, tahap-tahap implementasi program bimbingan, dan strategi evaluasi pelaksanaan program bimbingan. Metode Populasi dan sampel Dalam penilaian kebutuhan, ada lima kelompok yang menjadi populasi penelitian. Kelima kelompok tersebut adalah (1) mahasiswa., (2) dosen, (3) karyawan, (4) pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Slamet Riyadi, dan (5) pimpinan Univesitas Slamet Riyadi Surakarta. Kelima kelompok tersebut dideskripsikan berikut ini. Penarikan sampel dari kelompok mahasiswa ditetapkan dengan cara Stratified Proportional Purpose Sampling. Digunakan stratified karena populasi terdiri atas beberapa semester yaitu semester II, IV, VI, dan VIII. ditetapkan secara proportional agar sampel yang diambil dari masing-masing jurusan berimbang, yaitu 5% dari jumlah populasi. Sedangkan purposive digunakan dengan pertimbangan agar semua angkatan 3
dan jurusan dalam satu fakultas terwakili dalam sampel. Jumlah populasi sebesar 3359 mahasiswa. Penarikan sampel dari kelompok dosen dan karyawan ditentukan dengan cara Proporsional Random Sampling yaitu memilih secara acak 25% dari jumlah populasi sehingga diperoleh sampel 100 orang Penarikan sampel penelitian dari pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Swasta Slamet Riyadi dan Pimpinan UNISRI Surakarta ditetapkan dengan cara Purposive Sampling. Digunakan purposive karena sampel ditentukan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu sampel yang dipilih adalah yang dipandang memiliki kewenangan dan kemampuan memberikan data yang diperlukan untuk penelitian ini. Sebaran sampel dari pengurus Yayasan dan Pimpinan sejumlah 4 orang. Langkah-langkah penelitian Instrumen pengumpulan data dalam penilaian kebutuhan adalah angket model need assessment Pietrofessa (1980) dan daftar wawancara. Setelah angket selesai disusun, diperiksa dan dikoreksi oleh pembimbing I dan II kemudian ditanggapi oleh seorang ahli (expert judgment) dan validasi sejawat dari mahasiswa program studi bimbingan konseling, mahasiswa program studi bahasa Indonesia dan program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, serta validasi dari mahasiswa UNISRI Surakarta. Expert, memeriksa angket untuk mengetahui kesesuaian antara kisi-kisi dengan judul penelitian, kisi-kisi dengan butir-butir pernyataan yang dikembangkan dalam angket. Hasil expert judgment dianalisis dengan pendekatan kualitatif, yaitu item-item yang dinilai oleh ahli kurang sesuai dengan kisi-kisi angket dihilangkan atau direvisi dan saran-saran tertulis dari expert dijadikan dasar memperbaiki angket. Uji sejawat dari program studi bahasa Indonesia dilakukan oleh seorang yang mendalami dan belajar di program studi Bahasa Indonesia program pascasarjana Universitas Negeri Malang.
4
Validasi mahasiswa dilakukan kepada 30 mahasiswa UNISRI Surakarta, dengan rincian 10 orang semester II, 8 orang semester IV, 6 orang semester VI, dan 6 orang semester VIII, dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa memahami petunjuk dan item-item angket. Mahasiswa diminta untuk mengisi angket sekaligus menuliskan tanggapan dan saran terhadap kata atau item yang digunakan dalam angket. Setelah data penilaian kebutuhan dikumpulkan, dilakukan analisis data. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisis dengan menyusun, mengelompokkan, dan menyimpulkannya sehingga lebih sederhana dan mudah dipahami (Stufebeam, 1985). Sedangkan data yang diperoleh dari penyebaran angket dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik deskriptif, yaitu mencari rerata hitung (mean). Analisis dengan mean dilakukan pada masing-masing butir angket dan masing-masing pilihan kebutuhan dalam butir angket. Rumus yang dipakai untuk menganalisis data adalah berikut ini. Persentase jawaban X =
F x 100% N
Keterangan rumus : F = Frekuensi subjek yang memilih alternatif N = Jumlah keseluruhan sunjek Setelah analisis masing-masing butir, ditentukan kategori kebutuhan, yaitu kategori tinggi (KT) dan
kategori rendah (KR). Kategori tinggi ditentukan dengan
menggabungkan jumlah persentase sangat perlu dengan perlu, kategori rendah ditentukan dengan menggabungkan jumlah persentase kurang perlu dengan tidak perlu. Analisis data difokuskan pada jawaban responden yang masuk kategori tinggi kemudian diklasifikasi ke dalam tiga kelompok intensitas, yaitu intensitas tinggi sedang, dan rendah. Intensitas ini ditentukan dengan menyusun distribusi frekuensi secara
5
berurutan, dengan dimulai dari jumlah persentase tertinggi sampai jumlah persentase terendah dengan menggunakan distribusi frekuensi berkelas (Ardhana, 1987). Rumus yang digunakan adalah berikut ini. r k
i= Keterangan rumus : i k
r
= besarnya interval = banyaknya kelas interval K ditentukan dengan rumus k = 1 + 3,222 log n. dalam hal ini hasil perhitungan akan disederhanakan lagi menjadi tiga. Dilakukan demikian atas dasar intensitas yang diperlukan, yaitu intensitas tinggi, sedang, dan rendah. = besarnya rentangan. Besar rentangan dihitung dengan cara : jumlah persentase jawaban terendah + 1
Jenis-jenis kebutuhan yang memiliki intensitas tinggi dan intensitas sedang dalam kategori tinggi akan diprioritaskan dalam pengembangan program bimbingan dan konseling. Berdasarkan hasil analisis data kuantitatif, data kualitatif, dan hasil kajian pustaka akan menjadi dasar orientasi dalam pengembangan program bimbingan dan konseling di UNISRI Surakarta. Khusus untuk responden yang berasal dari perwakilan pimpinan universitas dan yayasan tidak di minta untuk mengisi penilaian kebutuhan, akan tetapi data penilaian diperoleh melalui wawancara langsung. Sedangkan hasil penilaian tidak dilakukan dengan analisis persentase, akan tetapi melalui analisis kecenderungan dengan alasan karena jumlah responden terlalu kecil dan tidak seharusnya dipersentasekan. Instumen Pengumpul Data Yang dimaksud dengan instrumen pengumpul data dalam uji ahli produk pengembangan ini adalah alat yang dipakai untuk memperoleh data dari penilai ahli.
6
adapun alat yang digunakan dalam penilaian ahli adalah angket penilaian dan pedoman wawancara. Angket penilaian digunakan untuk mengumpulkan data dan tanggapan serta saran dari para ahli untuk keperluan revisi, sedangkan wawancara digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui angket. Secara ideal instrumen penilaian harus dapat memenuhi akseptabilitas model pengembangan yang meliputi: ketepatan (accuracy), kelayakan (feasibility), kegunaan (utility) dan propriety (prosedural) (Quinn dan Hennelly, 1981) Wawancara dilakukan dengan ahli bimbingan konseling untuk memperoleh data tambahan dari angket penialian sekaligus untuk memperjelas hal-hal tertentu dalam angket penilaian. Hasil wawancara, juga akan dijadikan dasar untuk merevisi produk pengembangan. Instrumen yang digunakan adalah tape recorder dan pedoman wawancara. Pedoman wawancara disusun berdasarkan komponen dan subkomponen yang terdapat dalam naskah program dan panduan pelaksanaan program. Teknik analisis data Data yang diperoleh dari angket penilaian ahli berupa empat pilihan jawaban (nilai, 1,2,3,4) dikonversi ke dalam bentuk persentase. Hasil konversi itu dikemukakan berikut ini. 0% - 64%
= (1) Tidak tepat/Tidak praktis /Tidak layak /Tidak bermanfaat/ Tidak dilaksanakan, direvisi (Cronbach, 1990)
65% - 79%
= (2) Kurang tepat/kurang praktis/kurang layak/ kurang bermanfaat/ Kadang dilaksanakan/ Selalu dilaksanakan, direvisi
80% - 89%
= (3) Tepat/ Praktis/ Layak/ Bermanfaat/ Dilaksanakan, tidak direvisi
7
90% - 100%
= (4) Sangat tepat/Sangat Praktis/ Sangat layak/ sangat bermanfaat/ Selalu dilaksanakan, tidak direvisi(Cronbach, 1990)
Berdasarkan hasil penilaian ahli terhadap komponen-komponen program, maka komponen yang memperoleh penilaian 1 dan 2 dari kriteria yang ditetapkan akan direvisi. Hal ini bermakna bahwa kualtias komponen tersebut dinilai kurang layak dan perlu direvisi. Sedangkan data dari hasil wawancara , berupa tanggapan, saran, dan kritikan akan disusun dan dikelompokkan berdasarkan aspek-aspek yang dinilai, disimpulkan, kemudian hasilnya dideskripsikan untuk dijadikan dasar memperbaiki komponen dan subkomponen produk pengembangan. Data yang diperoleh dari pertanyaan terbuka dalam angket tidak dianalisis tersendiri karena hanya merupakan data pendukung. Hasil Data hasil penilaian kebutuhan di Universitas Slamet Riyadi Surakarta (UNISRI), dideskripsikan dalam tiga subpokok bahasan, yaitu: Data hasil penilaian kebutuhan, Dari hasil analisis data tersebut, dapat diketahui bahwa intensitas kebutuhan pada kurikulum bimbingan, intensitas tinggi antara 83%-98,8%, intensitas sedang antara 67,2%-82,9%, dan intensitas rendah antara 51,4%-67,1%. Pada layanan bimbingan karier, terdapat tujuh topik bimbingan yang diprioritaskan dalam pengembangan program bimbingan. Ketujuh topik bimbingan karier tersebut adalah (1)Informasi cara menjalin hubungan baik dengan alumni yang sudah bekerja (97,5%), (2) cara membuat perencanaan karir (95%), (3) informasi orientasi dunia kerja (94,4%), (4) Pelatihan penunjang karir (93,7%) (5) informasi pekerjaan yang sesuai dengan jurusan (88,8%).(6) Pemantaapan pilihan karir (85%) (7) Cara membuat bsurat lamaran pekerjaan (72,6) Pada layanan bimbingan pribadi-sosial, terdapat tiga belas topik bimbingan yang diprioritaskan dalam pengembangan program bimbingan. Ketigabelas
8
topik bimbingan pribadi-sosial tersebut adalah: (1) cara mengarahkan dan mengendalikan emosi(96,6%),
(2)
informasi
mengenai
besiswa
dan
syarat-syarat
untuk
memperolehnya(94,4%), (3)Pengembangan sikap asertif (94,4%), (4)informasi cara bergaul dengan sejawat atau teman (93,8%), (5) pengembangan sikap keterbukaan (91,9%), (6) informasi mengenai hakekat dan tujuan program bimbingan konseling (88,7%), dan (7) informasi cara bergaul dengan orang yang lebih tua (85,6%).(8) cara mengatasi konflik nilai (86,3%) (9) cara bergaul dengan lawan jenis (83,8%) (10) cara mengerti diri dan orang lain (81,2%) (11) cara memahami kekuatan dan kelemahan diri dalam belajar(73,8%) (12) cara mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah (71,9%) (13) informasi mengenai bahaya NAPZA dan HIV/AIDS (67,5%). Pada layanan pengumpulan data yaitu: (1) mengenali tipe pekerjaan (96,6%), (2) mengenali bakat (95,7%) (3) mengenali minat pekerjaan (95,7%).(4) mengenali tingkat kecerdasan (93,2%) Pada bantuan individual yaitu: (5) bantuan untuk menggunakan hasil tes psikologis dalam perencananaan dan pengembangan karir (95,6,%) (6) bantuan untuk menggunakan hasil tes psikologis perencanaan pendidikan (95%). (7) pelatihan penunjang karier (85,7%). Pada layanan responsif meliputi; Pada layanan konseling, yaitu (1) konseling pribadi sosial bagi mahasiswa(96,9%), (2) Konseling akademik bagi mahasiswa (94,4%), (3) bimbingan khusus bagi mahasiswa yang sulit menyesuaikan diri dengan norma kampus UNISRI (80%),. Pada indikator layanan konsultasi yaitu: (1) membantu
dosen
menemukenali
mahasiswa
berbakat
dan
cara
mengembangkannya(98,2%), (2) Pembahasan hasil tes psikologis mahasiswa bersama dosen /PA(95,6%), dan (3) membantu dosen menyelesaikan masalah mahasiswa (85,7%). Adapun topik-topik yang dibutuhkan pada sistem pendukung
9
adalah, topik-topik
bimbingan yang diprioritaskan dalam pengembangan program bimbingan pada program sistem pendukung dapat dideskripsikan berikut ini. Pada indikator pengembangan staf adalah (1) pelatihan untuk peningkatan kemampuan karyawan dalam pelayanan yang fasilitatif kepada mahasiswa (91,9%) (2) pelatihan bagi dosen /PA mengenai teknik dan prosedur membimbing/ kepenasehatan mahasiswa (88,3%) dan, (3) pelatihan bagi dosen cara menggunakan alat bimbingan (81,4%). Selain dari data tersebut diatas juga diperoleh data dari pimpinan lembaga maupun yayasan yang berkait dengan pemenuhan kebutuhan mahasiswa terhadap program bimbingan. Kebutuhan Pengurus Yayasan dan Pimpinan Univesitas dapat dilihat dari temuan penelitian mengenai sumber-sumber fisik yang tersedia di UNISRI Surakarta, bahwa fasilitas fisik yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program bimbingan dan konseling menjadi hambatan karena keterbatasan lahan dan dana dari YPTS UNISRI Surakarta. Sedangkan Unit-unit yang telah ada di lingkungan UNISRI Surakarta, seperti klinik Kesehatan dapat menjadi sumber referal bagi mahasiswa yang membutuhkan. Sumber daya manusia yang tersedia di UNISRI Surakarta dipandang belum memenuhi rasio konselor dengan jumlah mahasiswa. Secara teori bimbingan, rasio jumlah konselor dengan mahasiswa masih sangat kurang sehingga masih banyak dibutuhkan tambahan konselor fulltime. Untuk mengatasi kekurangan tenaga profesional bimbingan konseling dan mengoptimalkan peran sumber daya yang ada, pengurus Yayasan dan Pimpinan UNISRI Surakarta dapat mengambil kebijakan (1) mengalokasikan dana operasional untuk kegiatan bimbingan
(2) mengirim secara
bertahap beberapa dosen ilmu pendidikan untuk melanjutkan studi pada Parcasarjana dengan mengambil program studi bimbingan konseling dan selalu aktif mengirimkan dosen dalam pertemuan-pertemuan ilmiah sehingga dosen bimbingan dan konseling tidak
10
ketinggalan informasi tentang perkembangan dunia bimbingan setiap saat (3) melengkapi peralatan fasilitas laboratorium konseling. Dari kajian hasil penilaian kebutuhan, dapat memberi gambaran problematika bimbingan di UNISRI Surakarta. Gambaran problematika itu, adalah (1) sebagian besar mahasiswa, UNISRI Surakarta membutuhkan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan dengan menggunakan basis kurikulum, perencanaan individual, layanan responsif, dan sistem pendukung dan (2) belum tersedia program dan pelayanan bimbingan dan konseling bagi mahasiswa UNISRI Surakarta. Dari butir-butir problematika tersebut, penulis berpendapat bahwa perlu pengembangan program bimbingan konseling yang didasarkan pada hasil penilaian kebutuhan di UNISRI Surakarta. Program bimbingan yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan di UNISRI Surakarta dapat menunjang keberhasilan program bimbingan. Tetapi, keberhasilan program bimbingan dan konseling juga ditentukan oleh dukungan pimpinan dan keterlibatan semua pihak yang ada di lingkungan UNISRI Surakarta. Pembahasan Sesuai dengan tujuan dari penelitian pengembangan ini, maka dibuatlah produk pengembangan yang berupa naskah akademik program pengembangan bimbingan dan konseling
dan panduan pelaksanaannya. Produk pengembangan yang dihasilkan
dikembangkan berdasarkan hasil penilaian kebutuhan di UNISRI Surakarta. Prosedur pengembangan menggunakan model rancangan Kemp (1985) dan komponen program menggunakan model Gysbers dan Henderson (2006). Setelah melalui prosedur pengembangan, dihasilkan dua jenis produk pengembangan, yaitu (1) naskah program bimbingan dan konseling dengan dua kelompok utama, yaitu komponen struktural dan komponen program, dan (2) panduan pelaksanaan program.
11
Naskah program, naskah program terdiri atas dua komponen, yaitu komponen struktural dan komponen program. Kedua komponen program tersebut dikemukakan berikut ini. Komponen struktural yang terdiri atas subkomponen, yaitu (1) definisi, (2) rasionel, dan (3) asumsi-asumsi program bimbingan. Ketiga sub komponen struktural tersebut diuraikan berikut ini. Definisi, komponen ini menggambarkan kedudukan program bimbingan sebagai bagian integral dari keseluruhan program pendidikan di UNISRI Surakarta, fungsi dan tujuan program, serta sasaran pelaksanaan program bimbingan dan konseling. Selain itu, definisi juga menggambarkan peran konselor sebagai tenaga inti dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling, ditambah keikutsertaan tenaga-tenaga bmbingan terlatih yang dapat membantu konselor, dan keterlibatan dosen-dosen pembimbing akademis dalam membantu proses pelayana bimbingan sesuai dengan batas-batas kewenangannya. Demikian juga ahli-ahli lain sebagai tujuan rujukan untuk kasus-kasun yang bersifat khusus. Rasionel
program,
mendeskripsikan
beberapa
dasar
pertimbangan
sehingga
pengembangan program bimbingan konseling dipandang penting dalam menunjang keseluruhan program pendidikan di UNISRI Surakarta. Pertimbangan itu berupa dampak perkembangan ilmu pengetahuan di era global dan makin ketat nya persaingan antar perguruan tinggi termasuk perguruan tinggi asing yang mempunyai konsekuensi bagi kehidupan sivitas akademika, perbedaan-perbedaan individual mahasiswa, perbedaan latar belakang mahasiswa, benturan kepentingan dan eksistensi UNISRI sebagai lembaga pendidikan perlu didukung pelaksanaannya oleh pengambil kebijakan baik ditingkat rektorat maupun yayasan.
12
Asumsi-asumsi, komponen ini mendeskripsikan beberapa asumsi dasar yang dipandang dapat menunjang keberhasilan program bimbingan dan konseling. Asumsi-asumsi dasar tersebut dikaji dari aspek-aspek teoritis maupun telaah empiris. Adapun komponenkomponen program dapat meliputi; Kurikulum bimbingan, kurikulum Bimbingan ialah komponen program bimbingan dan konseling yang diberikan kepada mahasiswa secara terstruktur dan sistematis, dilaksanakan dalam kelompok atau individual. Kurikulum Bimbingan terdiri atas tiga jenis bimbingan, yaitu bimbingan pendidikan, bimbingan karier, dan bimbingan pribadisosial. Perencanaan individual, program perencanaan individual ialah komponen program bimbingan dan konseling untuk membantu mahasiswa merencanakan, meninjau, dan mengarahkan diri dalam pengembangan pendidikan, pribadi dan karier. Perencanaan individual lebih difokuskan pada usaha membantu mahasiswa merencanakan, menganalisis, mengembangkan, dan mengevaluasi tujuan-tujuan pendidikan dan pekerjaan. Program ini mencakup tiga layanan, yaitu penilaian individual, (individual apraisal), bantuan individual (individual advisement), dan penempatan (placement). Layanan responsif, program layanan responsif ialah kegiatan untuk membantu secara cepat kepada mahasiswa dan dosen yang membutuhkan. Layanan yang bersifat responsif ini, dapat berupa layanan konseling, layanan konsultasi, dan alih tangan kasus (referal). Sistem pendukung, program Sistem Pendukung ialah program bimbingan dan subkomponen yang bertujuan mempertahankan dan menunjang pelaksanaan ketiga jenis program bimbingan dan konseling, juga mendukung keberhasilan program pendidikan
13
yang ada di perguruan tinggi, termasuk juga keterlibatan dukungan dari pemilik kebijakan seperti pengurus yayasan dan pimpinan universitas. Panduan pelaksanaan program Buku panduan pelaksanaan program bimbingan berisi tujuh komponen untuk memberi petunjuk dalam melaksanakan program bimbingan dan konseling di UNISRI Surakarta, yaitu: (a) pendahuluan, (b) tujuan umum program, (c) tujuan khusus program, (d) strategi pelaksanaan program, (e) pola dasar dan model pelaksanaan program, dan (f) implementasi pelaksanaan program, dan (g) strategi evaluasi pelaksanaan program bimbingan dan konseling. Adapun komponen-komponen tersebut dapat diuraikan berikut ini. Tujuan umum program, tujuan umum program bimbingan dan konseling menggambarkan apa yang harus dicapai setelah seluruh program itu terlaksana. Tujuan umum program bimbingan merupakan akumulasi dari tujuan masing-masing komponen program dan layanan bimbingan. Tujuan khusus program, tujuan khusus program bimbingan dan konseling merupakan penjabaran dari tujuan umum program bimbingan. Tujuan khusus program bimbingan merupakan uraian-uraian perilaku spesifik yang diharapkan dicapai oleh klien dan mahasiswa pada umumnya, serta dosen-karyawan setelah semua program dan layanan bimbingan dilaksanakan. Strategi pelaksanaan program, bagian ini berisi tentang (1) tujuan umum layanan bimbingan, (2) tujuan khusus layanan bimbingan, (3) mahasiswa sasaran, dan (4) kegiatan bimbingan yang dipandang efektif, efisien, dan memberi kemudahan untuk mencapai tujuan masing-masing layanan bimbingan. Keempat subbagian ini harus
14
dipahami secara baik oleh pengguna produk pengembangan ini agar dapat melaksanakan kegiatan bimbingan dengan baik. Pola dasar dan model pelaksanaan program, bagian ini mendeskripsikan organisasi dan model pelaksanaan program bimbingan. Organisasi yang dipandang cocok untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling di UNISRI Surakarta adalah organisasi yang kombinasi. Sedangkan model bimbingan yang digunakan adalah bimbingan yang bersifat pencegahan (prefentive) dan bimbingan pengembangan (promotive). Implementasi program bimbingan dan konseling ,untuk mengimplementasikan produk pengembangan ini, perlu dibuat tahap-tahap pelaksanaan program. Tahap-tahap tersebut terdiri atas (1) tahap konsolidasi dan (2) tahap pelaksanaan. Setiap tahap akan dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah tahap tersebut sudah sesuai dengan standar keberhasilan yang ditetapkan dan dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya. Strategi evaluasi pelaksanaan program, bagian akhir dari panduan pelaksanana program adalah strategi dasar untuk mengevaluasi keefektifan pelaksanaan program bimbingan dan konseling. Model evaluasi yang digunakan adalah model Survey dan dilengkapi stretegi lain yang mendukung.. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penilaian ahli bimbingan konseling dan ahli rancangan program bimbingan konseling, produk pengembangan ini dipandang sudah layak, ditunjukkan dengan hasil penilaian yang tinggi dari ahli bimbingan konseling dan hasil penilaian ahli rancangan program bimbingan konseling. Secara empiris hasil penilaian uji
15
ahli
menunjukkan bahwa, setelah direvisi ternyata produk pengembangan ini dapat memenuhi akseptibilitas. Dari aspek ketepatan (accuracy) produk pengembangan ini sudah sesuai dengan tujuan disusunnya naskah akademik dan panduan pelaksanaannya. Dari aspek kelayakan (feasibility), dikatakan layak karena prosedurnya praktis dan dihasilkan serta dianalisis secara obyektif. Dari aspek kegunaan (utility) produk ini sangat bermanfaat bagi civitas academica universitas Slamet riyadi surakarta. Dari aspek prosedurnya (propriety) pruduk ini ini dihasilkan melalui tahapan-tahapan baku dan terstandar. Dari hasil penilaian subjek ahli bimbingan dan ahli rancangan program bimbingan dan konseling terhadap produk pengembangan, ditarik tiga kesimpulan berikut ini.(1) secara umum produk pengembangan dinilai oleh ahli dan sudah direvisi sehingga layak untuk dijadikan sebagai dasar melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling di Universitas Slamet Riyadi Surakarta. (2) Produk yang dihasilkan adalah naskah akademik program bimbingan yang perlu mendapatkan perhatian karena menjadi prioritas tinggi untuk dipenuhi. Dalam bimbingan pendidikan ada 14 kebutuhan yang perlu perhatikan antara lain; cara menyusun rencana studi, mempersiapkan ujian, cara belajar kelommpok, pemanfaatan perpustakaan dan laboratorium sampai pada informasi faktor-faktor yang mendukung dan menghambat studi di perguruan tinggi. Dalam bimbingan karir ada 7 topik yang perlu mendapatkan perhatian antara lain; cara menjalin hubungan dengan alumni yang sudah bekerja, perencanaan karir, informasi dunia kerja, pelatihan pembuatan lamaran kerja. Dalam bimbingan pribadi sosial ada 13 topik yang perlu mendapatkan perhatian antara lain; pengendalian emosi, beasiswa, pengembangan sikap assertif, sampai informasi tentang HIV/ AID. Dalam perencanaan individual perlu dipriortaskan
tentang cara menggunakan hasil test psikologis dalam perencanaan
16
pengembangan karir dan pendidikan. Untuk sistem pendukung dapat difokuskan pada peningkatan pelayanan dosen dan karyawan agar lebih baik dalam menjalankan fungsinya sebagai pengajar, sebagai dosen PA maupun dalam pelayanan administratif. Kebutuhan mahasiswa terhadap kepedulian pimpinan universitas dan yayasan adalah; penambahan/ rasio jumlah konselor sesuai dengan jumlah mahasiswa, memberikan fasilitas ruang atau phisik bangunan yang lebih memadai agar lebih nyaman untuk keperluan konsultasi, pemeliharaan dan pengembangan laboratorium konseling yang terus menerus. Saran Berdasarkan kajian dan kesimpulan yang telah dikemukakan, dipandang perlu untuk memberikan saran-saran. Saran-saran tersebut adalah: (1) saran pemanfaatan, (2) saran deseminasi, dan (3) saran pengembangan produk lanjutan. Ketiga saran tersebut diuraikan berikut ini. Saran Pemanfaatan, ada tiga hal yang dirasakan oleh pengembang kepada calon pengguna produk pengembangan ini. Ketiga saran tersebut, adalah (1) untuk mencapai hasil yang optimal dalam pelaksanaan program bimbingan konseling, konselor perlu menguasai topik-topik bimbingan serta teknik-teknik pelaksanaannya, (2) dalam melaksanakan program bimbingan, konselor dapat memperkaya teknik dan strategi yang dipandang dapat memberi kemudahan dan mengoptimalkan pencapaian tujuan, (3) Naskah akademik program pengembangan bimbingan dan konseling ini harus disosialisasikan pada semua pihak yang terkait seperti pimpinan universitas dan yayasan, dosen dan karyawan sehingga pelayanan pada mahasiswa dapat disesuaikan berdasarkan urutan
kebutuhan
mahasiswa
(4)
dalam
17
melaksanakan
program
bimbingan,
memanfaatkan sumber, media dan fasilitas yang dianjurkan tersedia dan ditambah terus di Universitas Slamet Riyadi Surakarta seoptimal mungkin. Saran Diseminasi, produk pengembangan program bimbingan ini dapat didiseminasi ke sasaran yang lebih luas atau dapat digunakan di perguruan tinggi lain dengan dua saran. Kedua saran itu adalah: (1) produk pengembangan ini dapat digunakan di luar Universitas Slamet Riyadi Surakarta, tetapi diawali dengan penilaian kebutuhan di perguruan tinggi tersebut, (2) produk pengembangan ini dapat digunakan di luar produk pengembangan ini dapat digunakan di luar Universitas Slamet Riyadi Surakarta dengan mengadakan penyesuaian komponen dan sub-subkomponen yang dipandang perlu. Saran Pengembangan Produk Lanjutan, untuk pengembangan lebih lanjut, disarankan tiga hal. Ketiga saran tersebut adalah (1) bagi pengembang berikutnya dapat menambah obyek penilaian kebutuhan, yaitu terhadap masyarakat umum, rancangan uji cobanya dapat dikembangkan lebih dalam dan lebih luas, (2) sebagai kelanjutan hasil penilaian subjek ahli, produk ini perlu dilakukan uji kelompok kecil dan kelompok besar agar dapat diketahui keberterimaan dan keefektifan produk yang dihasilkan, dan (3) sebagai lanjutan dari pengembangan produk awal, perlu dikembangkan secara lebih luas dan mendalam jenis dan topik bimbingan tertentu atau mengadakan
18
Daftar Rujukan
Ardhana, I.W. 1987. Statistik Deskriptif Dalam ilmu Pendidikan dan Psikologi. Malang : IKIP Malang. Bishop, J.B. 1991. Managing Demands on Counseling Services: A Proces of Change (A Response to Dworkkin and Lyndon), Journal of Counseling & Development, (69): 102. Depdiknas. 2007. Penataan Pendidikan Professional konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen Dikti. Gysbers, N.C. & Henderson,P.2006. Development and Managing your School guidance Aproach. New York: McGraw-Hill Book Company. Kemp, J. 1985. The Instructional Design Process. New York: Harper & Row Publishers Inc. Kaufman, R. & English, P.W. 1972. Need Assessment Concept & Aplication. Englewood Cliffs, New Yersey: Educational Technology Publishing. Munandir, 1989. Bimbingan Sekolah di Indonesia: Corak Yang Bagaimana ? Pidato Pengukuhan Guru Besar di IKIP Malang, Tidak diterbitkan. Rosjidan, 1995. Managemen BK di Perguruan Tinggi: Isu Relevan. Surabaya: Makalah pada Konggres VIII dan Konvensi Nasional X IPBI, tanggal 14-15 Desember. Quinn, T. & Hennelly,M.1981.Standards for evaluations of Educational Programs, Projects, and Materials. New York: Mc Graw Hill Book Company. Sciarra,
D.T. 2004. School Counseling Foundation and Contemporary issues.BelmontCA: Book/Cole a division of Thomson Learning Inc.
Stufflebeam,D.L., Mc Cormick.,C.H., Brinkerhoff, R.O., Nelson, C.D. 1985.Conducting Educational Need Assessement. Boston: Kluwenijholf Publishing. Vanzandt,Z & Hayslip, J. 2001. Developing Your School Counseling Program A Handbook for Systemic planning.USA: Thomson Learning. Inc.
19
PENGGUNAAN TERAPI RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY (REBT) UNTUK MENGUBAH SELF-ESTEEM RENDAH MAHASISWA STIPAK “DUTA HARAPAN” MALANG Oleh: Obeth Rumabar*
ABSTRACT : STIPAK students as candidates of PAK teachers and priest (God Slaves) who suffer from low self-esteem need specific counseling service (curative) in order to have high self-esteem. It is because their job essence is as “the servant of God” who will be in the middle of students, family, and society life to acknowledge and present what become the contents of their tenets, namely God decree. Students have to learn and train to make plans, to choose among decisions alternatives, to act according to their own decisions and to be responsible of what they have done. Kata kunci : Self-esteem, Teknik DIBS Pengertian Self-Esteem Self-esteem adalah keadaan menghargai diri atau nilai diri, dan atau sejumlah nilai yang ditujukan pada diri individu sendiri, sebagai orang yang mampu, berharga, dan berguna (Coopersmith, 1967; Linggren dan Harvey, 1981). Menurut pandangan humanistik, self-esteem tidak dilihat secara parsial dalam proses pembentukannya, tetapi bersifat holistik, artinya positif dan negatifnya self-esteem pada individu, dipengaruhi oleh faktor internal diri dan eksternal diri individu (Coopersmith, 1967). Bertolak dari pandangan tersebut, maka muncul berbagai definisi dari para ahli psikolog dan psikoterapi aliran humanistik dan kognitifistik yang beragam, namun tetap terfokus kepada pengungkapan hakekat dari Self-esteem itu sendiri. Menurut Coopersmith, self-esteem adalah penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri; penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan, dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, berguna, dan berharga (Coopermith, 1967:4; Copersmith, dalam Goble,1992:265). Definisi ini, menekankan bahwa apabila orang lain menilai individu itu mempunyai arti, maka orang tersebut akan menerima dan menyenangi dirinya sendiri. Kondisi ini, menurut Coopersmith akan mendorong terbentuknya self-esteem yang positif. Tetapi sebaliknya, jika lingkungan menolaknya, maka penolakan itu berdampak buruk bagi terbentuknya self-esteem yang negatif (Copersmith, 1967:4-6). Sedangkan, Atwater (1983) lebih melihat self-esteem sebagai cara pandang individu yang berfokus pada diri, dan bukan dari lingkungan. Jadi, jika cara menilai dan menghargai diri itu positif, maka turut menentukan self-esteem yang tinggi, sebaliknya cara menilai dan menghargai diri itu negatif, maka akan berpengaruh pada self-esteem yang rendah. Branden (dalam Read, 1997) juga mengemukakan self-esteem sebagai penilaian seorang bahwa apabila dirinya mampu menghadapi tantangan hidup dan mendapat kebahagiaan. Freshbach & Weiner (1991) mengemukakan self-esteem memiliki konotasi nilai positif atau negatif tergantung pada cara seseorang memandang dan menghubungkannya pada sikap. Bloscovich & Tomaka (dalam John & McArtur, 2004) mengatakan bahwa self-esteem mengacu pada
* Dosen STAK Negeri Jayapura
1
pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai positif yang ada dalam dirinya atau dalam wilayah bagaimana cara seseorang menilai, menerima, menghargai, dan menyukai dirinya sendiri. Menurut Ellis (dalam Boyd & Greiger, 1986:146-148) self-esteem adalah keyakinan (belief) yang dibangun terhadap potensi dirinya, yakni inteligensi, prestasi, popularitas, daya tarik, kesehatan dan kekuatan yang cenderung rasional atau irrational. Ellis lebih menekankan pada aspek self-belief, artinya apabila keyakinan terhadap diri itu positif (rational belief) maka individu memiliki harga diri yang tinggi. Sebaliknya, apabila keyakinan (belief) terhadap dirinya itu negatif (irrational belief), akan mempengaruhi harga diri yang rendah. Untuk mengenal self-esteem lebih jauh, maka Maslow (dalam Boeree, 2004:280; Alwisol, 2004:260), mengemukakan bahwa ada dua jenis self-esteem, yaitu : 1) keadaan menghargai diri sendiri (self-respect), yakni: percaya diri, kompetensi, kesuksesan, independensi, dan kebebasan; dan 2) kebutuhan mendapat penghargaan dari orang lain (respect from others), yakni: kebutuhan terhadap status, kemuliaan, kehormatan, perhatian, reputasi, apresiasi, dan dominasi. Dalam proses pembentukannya, Coopersmith (1967) mengemukakan bahwa ada empat aspek yang dapat membentuk Self-Esteem, yaitu : 1) kekuatan; kemampuan untuk mempengaruhi dan mengontrol orang lain; 2) signifikansi, penerimaan, perhatian dan rasa sayang kepada orang lain; 3) kebajikan, kepatuhan pada standar moral dan etika, dan 4) kompetensi, performa yang meyakinkan dalam memenuhi kebutuhan untuk mencapai keberhasilan. Dari beberapa konsep yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa self-esteem adalah suatu perasaan dan perilaku yang diwujudkan seseorang berdasarkan hasil penilaian terhadap dirinya, yang berhubungan dengan inteligensi, prestasi, popularitas, daya tarik, kesehatan dan kekuatan (Coopersmith, 1967; Maslow, 1970, Beck dalam Burns, 1988:40). Jadi jika penilaian terhadap diri (inteligensi, prestasi, popularitas, daya tarik, kesehatan dan kekuatan) itu positif (rational), maka akan mempengaruhi selfesteem yang tinggi, akan tetapi sebaliknya jika penilaian terhadap diri itu negatif (irrational), maka cenderung mempengaruhi self-esteem yang rendah. Kebutuhan akan Self-Esteem Self-esteem merupakan kebutuhan hidup manusia, dan menentukan bagi kualitas kehidupan diri yang berharga, berguna dan bermartabat, atau kehidupan yang terbebas dari masalah-masalah psikologis (Adler, dalam Boeree, 2004; Adler dalam Boyd & Greiger, 1986:146-147). Sebagai kebutuhan dasar, self-esteem harus terpenuhi dan tidak boleh diabaikan. Menurut Maslow (dalam Boeree, 2004; Alwisol, 2004), apabila selfesteem terabaikan atau tidak terpenuhi dalam diri manusia, menyebabkan manusia mengalami devisit need, artinya kualitas diri manusia mengalami penurunan dari kehidupan yang berguna dan bermartabat. Dalam kehidupannya, manusia harus berusaha memenuhi kebutuhan selfesteemnya, agar ia menjadi efektif dan produktif (Adler, dalam Coopersmith, 1967). Sebaliknya, kebutuhan self-esteem yang tidak terpenuhi, akan berdampak pada perasaan rendah diri dan kompleks inferioritas, yang menjadi dasar bagi timbulnya masalahmasalah psikologis (Adler, dalam Boeree, 2004). Self-esteem yang positif, harus dimiliki oleh setiap individu, baik anak-anak maupun orang dewasa (Maslow, dalam Boeree, 2004). Kebutuhan akan self-esteem tidak dibatasi
* Dosen STAK Negeri Jayapura
2
pada kelompok usia tertentu, akan tetapi secara alami (nature) sudah dimiliki dan menjadi potensi diri individu yang dibawah sejak lahir (Rousseau, dalam Crain, 2007). Namun, dalam proses pertumbuhannya, self-esteem bisa saja terabaikan dan tidak mendapat perhatian dari lingkungan (keluarga dan masyarakat), sehingga tidak bertumbuh secara positif. Adler dan Horney (dalam Boeree, 2004), mengatakan bahwa lingkungan keluarga menjadi dasar bagi pembinaan dan pertumbuhan self-esteem yang positif. Untuk itu, perlu diciptakan lingkungan yang produktif bagi suatu pertumbuhan selfesteem anak. Munculnya sikap rendah diri (inferiority) pada anak, disebabkan oleh lingkungan keluarga yang tidak kondusif, sehingga tidak memberi kemungkinan bagi pertumbuhan self-esteem yang positif. Terkait dengan itu, Coopersmith, (1967) lebih menekankan bahwa dalam hubungan orang tua anak, perlu ketegasan terhadap sikapsikap dan perilaku orang tua dalam menerapkan aturan-aturan pada anak-anak mereka. Pola sikap dan perilaku pengasuhan orang tua dimaksud, adalah : 1) penerimaan, 2) permisif, 3) demokratis, dan 4) latihan kebebasan. Keempat kondisi antesenden ini, bagi Coopersmith (1967) apabila nampak dalam lingkungan keluarga, maka self-esteem anak akan bertumbuh positif. Efek dari Self-Esteem Self-esteem sebagai potensi diri, akan berfungsi maksimal maupun kurang maksimal dalam diri anak, apabila tidak mendapat dukungan yang baik dari lingkungannya (Horney dalam Boeree, 2004). Menurut Maslow (1970) terdapat dua bentuk kebutuhan self-esteem, yaitu bentuk yang lemah dan bentuk yang kuat. Bentuk yang lemah adalah kebutuhan kita untuk dihargai orang lain, kebutuhan terhadap status, kemuliaan, kehormatan, perhatian, reputasi, apresiasi bahkan dominasi; sedangkan bentuk yang kuat, adalah kebutuhan kita untuk percaya diri, kompetensi, kesuksesan, independensi, dan kebebasan. Secara alami (nature), self-esteem telah terbentuk dengan baik dalam diri anak (Rousseau, dalam Crain, 2007), dan berkembang pada usia 2-4 tahun (Alport dalam Boeree, 2004:436; Alwisol, 2004:283), namun dalam realitas perkembangannya (maksud Self-esteem), tidak bertumbuh dalam diri anak secara maksimal, karena faktor lingkungan yang tidak menunjang. Menurut Lock (dalam Crain, 2007), self-esteem pada anak bisa beruba negatif, akibat pemberian reward dan punishment yang tidak tepat. Pemberian reward dan punishment yang tidak tepat, berdampak pada “breaking the mind; and then, in the place of a disorderly young fellow, they have a low-spirited moped creature” (Lock, 1963:51 ; Crain, 2007:9). Sehubungan dengan perhatian dan pengabaian terhadap self-esteem itu, maka timbul efek-efek negatif maupun positif dari self-esteem terhadap diri anak. Menurut Jones (1973) posisi self-esteem menunjukkan bahwa seseorang memiliki kebutuhan untuk meningkatkan evaluasi dirinya dan mempertahankan atau menjelaskan perasaannya tentang kepuasan, nilai dan keefektifan personal. Kepuasan dan kebutuhan self-esteem akan membentuk perasaan dan sikap percaya diri yang positif, kekuatan, kemampuan, perasaan dan bermanfaat. Sebaliknya, jika pemenuhan akan kebutuhan ini tidak diperoleh atau individu memperoleh rintangan dalam memenuhi kebutuhan tersebut akan menyebabkan munculnya perasaan dan sikap inferioritas, canggung, perasaan lemah, dan tak berdaya. Persepsi diri yang negatif ini kemudian akan memunculkan
* Dosen STAK Negeri Jayapura
3
perasaan khawatir dan ketakutan yang mendasar, perasaan tidak berguna dan ketidakberdayaan menghadapi tuntutan hidup dan penilaian diri yang rendah, jika berhadapan dengan orang lain. Dalam kajiannya Coopersmith (1967) lebih memperjelas lagi bahwa anak yang self-esteem tinggi mempunyai sifat-sifat aktif, ekspresif, suka memberi pendapat, tidak menolak apabila dikritik, mempunyai minat yang tinggi pada kejadian-kejadian dalam masyarakat, percaya diri sendiri, dan mempunyai sikap optimis dalam menghadapi masalah. Sebaliknya, anak yang self-esteem rendah mempunyai sifat-sifat rendah diri, tidak percaya pada diri sendiri, tidak senang apabila dikritik, merasa terisolasi, pasif, depresif, pesimistis dalam menghadapi masalah, dan suka menggantungkan pada orang lain. Timbulnya efek-efek negatif self-esteem seperti disebutkan diatas, Horney (dalam Coopersmith,1967) mengemukakan bahwa terjadinya efek negatif self-esteem pada anak, disebabkan oleh situasi dalam keluarga. Situasi yang dimaksud, adalah cara mendidik orang tua kepada anak yang negatif seperti sikap dominasi (domination), ketidakpedulian (indiference), tidak memberi penghargaan (lack of respect), meremehkan (disparagement), tidak memberi pujian (lack of admiration), tidak memberi kehangatan (lack of warmth), isolasi (isolation), dan diskriminasi (diskrimination). Untuk itu, keluarga sebagai dasar pembentukan self-esteem yang kreatif (Field, 1993:), perlu menghindarkan diri dari praktek pengasuhan yang tidak produktif terhadap pertumbuhan positif self-esteem anak. Faktor-faktor Anteseden yang mempengaruhi Self-Esteem 1. Latar Belakang Sosial 1.1 Kelas sosial Kelas sosial merupakan aspek yang berhubungan dengan status sosial ekonomi. Kelas sosial secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkatan, yaitu : kelas atas (upper class), kelas menengah (midle class), dan kelas bawah (lower class). Tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga akan menempatkan mereka pada kedudukan kelas sosial tertentu dalam masyarakat. Selanjutnya tingkat kedudukan dalam masyarakat akan mempengaruhi self-esteem seseorang. Individu yang berada pada kelas sosial yang menengah ke atas cenderung memiliki self-esteem yang tinggi, sebaliknya individu yang berada pada kelas sosial menengah ke bawah cenderung memiliki self-esteem yang rendah. Coopersmith (1967) membagi sistem kelas menjadi tiga kategori. Orang tua yang berasal dari kelas menengah ke atas biasanya pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi dan memiliki pendapatan di atas ratarata dan pekerjaan biasanya pekerjaan yang bersifat profesional, manajerial, dan biasanya mereka tinggal di pemukiman elit. Keadaan seperti ini mempengaruhi terbentuknya self-esteem yang tinggi pada anak. Anak akan merasa bangga dan merasa dirinya berharga karena kebutuhannya selalu terpenuhi dan bisa menikmati fasilitas yang dimiliki orang tuanya. Para orang tua yang berasal dari kelas menengah biasanya memiliki latar belakang pendidikan mengah atas, memiliki pendapatan yang menengah pula, dan pekerjaan yang biasanya pada area rendah, administrasi dan pekerjaan semi profesional yang mengandalkan
* Dosen STAK Negeri Jayapura
4
keahlian. Anak yang berasal dari kelas menengah memiliki self-esteem yang menengah pula. Hal ini disebabkan orang tua dapat memberikan kebutuhan anak yang secukupnya. Para ayah yang berasal dari kelas bawah atau kelas pekerja untuk beberapa orang biasanya memiliki latar belakang pendidikan SMA ke bawah, memiliki pendapatan dibawah rata-rata dan pekerjaan mereka biasanya masuk dalam sektor produksi barang dan layanan. Anak yang berasal dari kelas sosial bawah merasa bahwa dirinya tidak berharga dibanding temanteman yang lain. Hal ini disebabkan karena orang tua tidak memperoleh pendapatan yang cukup memenuhi kebutuhannya yang dianggap paling perlu dalam kehidupannya. Studi yang dilakukan Coopersmith (1967) menunjukkan 39% anak yang mengalami self-esteem rendah berasal dari kelas sosial bawah, sedangkan 55% anak yang mengalami self-esteem tinggi berasal dari kelas sosial atas. Penelitian yang dilakukan oleh Rosenberg dan Pearlin (dalam Relay, 2003) dilaporkan bahwa variabel struktur sosial seperti kelas sosial memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap self-esteem orang dewasa dari pada anakanak. Francis dan Jones (dalam Dewitt dan Kolanda, 2004) meneliti hubungan antara kelas sosial dengan self-esteem pada 711 subyek yang berusia 16 tahun di Inggris. Dalam penelitian ini digunakan tiga skala pengukuran. Pertama, adalah skala self-esteem Rosenberg. Kedua, Self-esteem Inventory Coopersmith. Ketiga, skala self-concept Lipsitt. Hasil penelitian ditemukan bahwa hubungan kelas sosial dan self-esteem tergantung pada ukuran mana yang digunakan. Skala pengukuran self-esteem inventory Coopersmith menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kelas sosial dengan self-esteem. Hal ini disebabkan kedudukan orang tua pada kelas sosial menengah dan atas akan dialami oleh anak-anaknya, mereka merasa bangga bisa menggunakan dan menikmati fasilitas orang tua dan keadaan ini akan berpengaruh baik terhadap self-esteem. 1.2 Agama Agama sebagai kepercayaan ritual terorganisasi secara sosial dan diberlakukan oleh anggota suatu masyarakat. Setiap agama memiliki jumlah pemeluk, dan nilai-nilai yang berbeda dengan agama lainnya dan kesemuanya itu dapat berpengaruh pada self-esteem seseorang. Anak yang berasal dari agama yang dianut oleh mayoritas anggota masyarakat akan mempunyai pengaruh yang berbeda dengan mereka yang agamanya dianut oleh minoritas. Seseorang yang berasal dari agama yang mayoritas akan memberikan perasaan bangga, perasaan lebih dari agama moniritas. Demikian pula dengan ketaatan seseorang terhadap nilai-nilai agama yang dianutnya membuat dirinya memiliki rasa bangga dan bahagia. Perasaan bangga ini membuat individu memiliki selfesteem yang tinggi. 1.3 Riwayat Pekerjaan Orang Tua Tanggung jawab orang tua bukan hanya mendidik anak tetapi mencari nafkah untuk kehidupan keluarga. Oleh karena itu orang tua berupaya mendapatkan pekerjaan yang layak. Jenis pekerjaan yang dilaksanakan sesuai
* Dosen STAK Negeri Jayapura
5
dengan minat dan kemampuan akan membuat individu senang dan tekun melaksanakan tanggung jawabnya sehingga berupaya untuk lebih mengembangkan diri dalam pekerjaan itu. Keadaan seperti ini membuat anak merasa senang dan bangga sehingga mempengaruhi anak untuk menilai dirinya secara positif. Sebaliknya, pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan menyebabkan ia tidak tekun bahkan bisa berpindah-pindah pada pekerjaan yang lain. Keadaan seperti ini membuat anak merasa tidak memiliki selfesteem, sehingga mempengaruhi cara penilaiannya terhadap dirinya sendiri. Anak yang berasal dari orang tua yang mempunyai pekerjaan tetap seperti tenaga profesional, direktur suatu perusahaan, atau memiliki kedudukan penting dalam suatu lembaga tertentu akan merasa bangga dan merasa dirinya sebagai orang yang berharga. Keadaan seperti ini menyebabkan terbentuknya selfesteem yang tinggi, sedangkan anak yang berasal dari orang tua yang tidak memiliki pekerjaan yang tidak tetap, seperti kuli, penggarap lahan milik orang, dan atau pernah dipecat dalam suatu pekerjaan, berdampak negatif terhadap anak; anak merasa malu, dan tidak memilik rasa percaya diri. Dalam keadaan seperti ini, anak mengalami self-esteem yang rendah. 2.
Karakteristik Pengasuhan 2.1 Self-Esteem dan Stabilitas Ibu Para ibu yang memiliki self-esteem rendah akan tercermin pada pribadi anak. Anak-anak bisa meniru rasa tidak percaya diri atau menyalahkan diri yang diterapkan orang tuanya. Hal ini akan berakibat pada hilangnya harga diri dan produktivitas mereka. Hubungan emosional antara anak dengan ibu biasanya sangat dekat sehingga apa yang dirasakan oleh ibu, selalu dilihat dan dihayati pula oleh anak, sehingga mempengaruhi kepribadian anak termasuk selfesteem-nya. Studi yang dilakukan Coopersmith (1967) menunjukkan 75% anak yang memiliki self-esteen tinggi berasal dari ibu yang memiliki self-esteem rata-rata dan diatas rata-rata, sedangkan 63% anak yang mengalami self-esteem rendah berasal dari ibu yang memiliki self-esteem di bawah rata-rata. Seorang ibu yang memiliki kepribadian yang stabil, perilaku pengasuhan terhadap anaknya biasanya tenang, sehingga tidak menyebabkan anak merasa bingung. Keadaan seperti ini akan mempengaruhi kepribadian, termasuk self-esteem anak itu sendiri. Sebaliknya ibu yang memiliki self-esteem dan pribadi yang tidak stabil akan tercermin pada diri anak. Anak akan memandang dirinya sebagai orang yang sama seperti apa yang dialami oleh ibunya, sehingga tidak bisa menilai secara positif akan dirinya sendiri. Menurut Coopersmith (1967) ibu dari anak-anak yang memiliki selfesteem rendah cenderung memiliki emosi yang tidak stabil. Studi yang dilakukan Coopersmith (1967) menunjukkan 84,8% anak-anak yang mengalami self-esteem tinggi berasal dari ibu yang memiliki emosional secara relatif stabil, sedangkan 43,3% anak mengalami self-esteem rendah berasal dari orang tua yang memiliki self-esteem yang relatif tidak stabil.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
6
2.2 Nilai-nilai Pengasuhan Orang tua tidak saja hanya dengan menunjukkan siapa mereka dan apa yang mereka yakini, tetapi juga apa yang mereka lakukan. Menerapkan nilai-nilai yang positif pada anak-anak memang tidak selalu mudah dan menyenangkan. Orang tua bagi kehidupan anak-anak dalam masyarakat akan selalu menunjukkan kepada anak suatu bentuk moral yang idealis dalam peranannya dari pada memberikan gambaran-gambaran yang kuno yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dalam proses sosialisasi, dengan terjadinya sikap-sikap atau pendirian anak yang nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan-ketentuan sosial, maka orang tua dituntut untuk meluruskan kembali sikap dan perilaku anak. Bila orang tua gagal menangani perilaku anak-anak, mereka juga gagal dalam mengembangkan self-esteem pada anak-anak mereka. Anak-anak bisa meniru orang tua yang tidak bisa menerapkan nilai-nilai yang tinggi. Akibatnya pada diri anak berkembang selfesteem rendah. 2.3 Riwayat Perkawinan Kehidupan moderen seringkali menimbulkan tekanan, sekalipun terhadap perkawinan yang sudah lama. Orang tua yang pernah mengalami keretakan atau perceraian seringkali mengalami kesulitan untuk berdamai. Biasanya ada saja rasa kesal atau kepahitan diseputar masalah yang menyebabkan mereka hidup berpisah. Lifshtz (dalam Shochib,1998) mengemukakan bahwa anak remaja yang berasal dari keluarga yang kacau (gagal) lebih banyak mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, lebih ekstrim mengekspresikan perasaan, lebih penakut dan lebih sulit mengontrol jasmaninya dari pada anak remaja dari keluarga utuh. Keadaan orang tua yang seperti ini menyebabkan sulit bagi anak untuk menerima kenyataan yang pada akhirnya berpengaruh pada self-esteem anaknya sendiri. Perkawinan kembali dari orang tua juga akan berakibat self-esteem rendah pada diri anak meskipun hal ini berhubungan dengan umur anak saat perkawinan kembali itu berlangsung. Coopersmith (1967) mengemukakan bahwa anak-anak yang berasal dari orang tua tiri dan orang tua wali akan memiliki self-esteem yang rendah. 2.4 Perilaku Peran Pengasuhan Ibu Peran pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak akan berpengaruh pada perkembangan self-esteem anak mereka sendiri.Anak-anak yang memiliki self-esteem tinggi biasanya berasal dari ibu yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Anak akan menilai dirinya sebagai orang yang berharga dan berguna karena statusnya sebagai anak dihadapan orang tua selalu sama dengan saudaranya yang lain. Mereka lebih percaya diri dan lebih dapat menerima tanggung jawab dan tuntutan sebagai anak sesuai tingkat perkembangannya. Anak-anak yang berasal dari ibu yang melaksanakan perannya sebagai ibu, akan memiliki self-esteem positif, sedangkan anak yang berasal dari ibu yang tidak bisa melaksanakan perannya sebagai orang tua dari anak-anak, cenderung anaknya memiliki self-esteem
* Dosen STAK Negeri Jayapura
7
yang negatif. Hal ini disebabkan oleh karena akan mengembangkan penilaian terhadap dirinya sebagai orang yang tidak berarti apa-apa dibanding dengan saudaranya lain yang dalam keluarga. 2.5 Peran Pengasuhan Ayah Peran pengasuhan ayah terhadap anak dalam keluarga akan berpengaruh terhadap self-esteem anak. Coopersmith tidak memiliki bukti langsung dari para ayah tentang perannya, tetapi memiliki informasi dari istri dan anaknya. Dalam kesimpulannya kelompok anak yang memiliki self-esteem positif berasal dari ayah yang memiliki hubungan lebih dekat dan hangat dengan anak-anak mereka dari pada anaknya yang memiliki self-esteem yang negatif. 2.6 Interaksi Ayah dan Ibu Interaksi orang tua yang baik adalah tidak untuk mencari keuntungan dengan melihat siapa yang salah atau benar tetapi membuka peluang bagi perundingan. Pola interaksi antara orang tua (ayah dan ibu) mempengaruhi selfesteem anak-anak mereka. Untuk merasa aman dan terlindung, anak-anak membutuhkan stabilitas dan pengalaman positif dari kedua orang tua mereka. Anak-anak dengan self-esteem yang tinggi, mereka jarang sekali merasakan ketegangan antara ayah dan ibu mereka. Menurut Coopersmith (1967) sebagian besar dari kehidupan keluarga anak-anak dengan self-esteem yang negatif ditandai pertengkaran dan konflik. 3.
Karakteristik Subyek 3.1 Atribut Fisik Permasalahan yang sering di alami remaja adalah self-esteem, karena tubuhnya yang dinilai tidak atau kurang ideal baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, atau tidak merasa memiliki kelebihan yang bisa dipakai sebagai modal dalam bergaul, kemudian merembet ke hal-hal yang lain, misalnya: malu untuk berhubungan dengan orang lain, tidak percaya diri untuk tampil dimuka umum, menarik diri, pendiam, malas bergaul dengan lawan jenis atau bahkan menjadi seorang yang pemarah, sinis dan lain-lain. Keadaan seperti ini sangat mempengaruhi kepribadian termasuk self-esteem remaja dimana mereka akan menilai dirinya sebagai orang yang tidak memiliki harga diri yang positif. Penelitian terhadap hubungan antara kepuasan dengan berbagai macam bagian tubuh dan self-esteem menunjukkan bahwa untuk kedua jenis kelamin, wajah memberi arti yang penting. Orang yang puas dengan wajahnya lebih memiliki percaya diri ( Coopersmith,1967). Self-esteem perempuan berhubungan dengan apakah dia merasa cantik dan langsing; self-esteem laki-laki berhubungan dengan apakah mereka memiliki wajah yang tampan. 3.2 Kapasitas Umum Intelegensi sebagai kapasitas umum yang berbeda pada setiap orang akan berpengaruh pada self-esteem seseorang pula. Bila individu memiliki kemampuan umum dalam hal ini tingkat intelegensi yang tinggi, maka ia akan
* Dosen STAK Negeri Jayapura
8
memiliki gambaran yang pasti tentang dirinya sebagai orang yang mampu menghadapi tantangan baru, memiliki rasa percaya diri, harga diri serta tidak putus asa apabila menghadapi kegagalan. Individu seperti ini dapat digolongkan sebagai orang yang memiliki kemampuan umum dibawah rata-rata akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak berguna bagi orang lain, tidak mau menghadapi tantangan yang baru tetapi selalu mau melakukan hal-hal yang bersifat rutinitas, tidak aktif dan cepat putus asa dalam menghadapi kesulitan. Individu seperti ini adalah orang yang memiliki self-esteem yang rendah. 3.3 Pernyataan Sikap Seseorang yang menilai dirinya sebagai orang yang tidak mampu melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, maka ia akan mengembangkan perasaan inferior tak bernilai, dan mereka adalah yang sering merasa sedih, depresi, rasa malas, dan murung. Keadaan seperti ini akan berpengaruh pada self-esteem seseorang. Coopersmith (1967) mengemukakan bahwa perasaan gelisah dan gejala-gejalanya cenderung ditemukan pada orang yang self-esteem-nya rendah. 3.4 Masalah dan Penyakit Gejala yang dirasakan individu seperti penyakit menular, sakit perut, menggigit kaku, menurunkan nafsu makan dan gelisah merupakan manifestasi psikologis yang berakibat pada self-esteem yang negatif. Menurut Coopersmith (1967) orang yang self-esteem-nya cenderung rendah sering melaporkan bahwa mereka sering mengalami beberapa gejala tersebut dari pada kelompok dengan self-esteem yang tinggi. 3.5 Nilai-nilai Diri Setiap orang menginginkan penilaian positif terhadap dirinya, akan tetapi dalam kehidupan sosial pada umumnya tidak semua orang selalu dapat memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan individu. Individu yang selalu memandang dirinya sebagai orang yang lebih atau sama dengan orang lain berarti dapat mengembangkan self-esteem positif dalam dirinya. 3.6
Aspirasi Seseorang yang harapannya jauh melebihi apa yang mereka dapatkan cenderung merasakan efek dari self-esteem rendah. Faktor yang berhubungan dengan aspirasi adalah riwayat keberhasilan. Istilah keberhasilan memiliki makna yang berbeda untuk setiap orang. Orang bisa mengartikan keberhasilan sebagai keuntungan material, sedang yang lain mengartikan keberhasilan itu sebagai kepuasan material dan menghubungkannya dengan kepopularitasan. Orang yang mencapai keberhasilan sesuai dengan aspirasinya akan berpengaruh pada pengembangan self-esteem yang tinggi.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
9
4.
Riwayat Awal dan Pengalaman 4.1 Ukuran dan Posisi dalam Keluarga Setiap siswa berasal dari keluarga yang berbeda-beda, baik dari segi ukuran besar kecilnya keluarga maupun dari segi posisi atau kedudukannya dalam keluarga. Ahmadi (2002) mengemukakan bahwa keluarga besar terdiri atas suami istri yang memiliki lebih dari tiga orang anak. Sedangkan keluarga kecil terdiri atas suami istri yang memiliki tiga orang anak atau kurang. Ukurang keluarga atau posisi dalam keluarga memberikan pengaruh terhadap self-esteem. Anak yang lahir dari keluarga dengan sedikit anak akan mendapatkan perhatian yang lebih besar dari orang tuanya. Apa yang menjadi keinginannya sedapat mengkin dipenuhi. Kondisi seperti ini sering diasumsikan memberikan pengaruh pada self-esteem yang tinggi. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang lebih dari tiga orang anak akan terjadi persaingan antar saudara. Persaingan antar saudara berasal dari keinginan anak yang secara naluri mengharapkan dirinya menjadi perhatian orang tuanya. Anak yang tidak mendapatkan perhatian lebih sesuai dengan harapannya akan mempengaruhi self-esteem anak itu sendiri. Menurut Coopersmith (1967), jika ukuran keluarga memberikan pengaruh pada self-esteem maka itu bukanlah kondisi terpisah tetapi beberapa kondisi yang saling berhubungan. Posisi dalam keluarga tampaknya memberikan pengaruh penting dalam pengalaman sosial pertamanya. Anak mengalami ketidakuntungan dari persaingan yang sudah ada meskipun dia dapat mengatasinya dengan cara lain atau meskipun orang tua memberikan perlakuan yang sama. Anak yang cenderung memiliki self-esteem yang tinggi adalah anak yang lahir pertama dan anak satu-satunya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya perhatian yang diberikan orang tuanya. 4.2 Cara Memberi Makan (Feeding Practices) Cara memberi makanan pada anak-anak menurut Coopersmith (1967) memberikan dampak psikologis. Pemberian jadwal yang fleksibel dan bebas memberikan anak-anak perasaan aman bahwa kebutuhan mereka dapat dipenuhi oleh lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak memperhatikan kebutuhan makanan anak akan berpengaruh pada perkembangan anak. Hal seperti ini mungkin akan memberikan pengaruh pula pada perkembangan self-esteem seseorang.
4.3 Masalah-masalah dan Trauma masa Anak-anak Pengalaman pernah sakit atau kecelakaan dapat mempengaruhi anak atau kejadian tersebut akan merubah persepsi mereka terhadap dunia. Pengalaman seperti itu akan membekas dalam waktu yang lama dan sulit untuk membuangnya. Pengalaman seperti ini kemungkinan akan berpengaruh pada self-esteem anak. 4.4 Hubungan-hubungan Sosial Awal Keluarga merupakan unit sosial pertama dan yang utama dijumpai anak dalam hidupnya, dari keluargalah anak memperoleh konsep tentang
* Dosen STAK Negeri Jayapura
10
dirinya, peranan yang harus diperankan sesuai dengan jenis kelaminnya, ketrampilan intelektual maupun sosial dan sikap mereka terhadap sekolah. Hubungan sosial yang baik dan renggang antara anggota dalam keluarga samasama memberikan pengaruh pada self-esteem. 4.5 Hubungan Orang Tua Anak Meskipun telah membahas hubungan antara orang tua dan anak, tetapi studi yang dilakukan oleh Coopersmith (1967) telah menekankan pada sikapsikap dan perilaku orang tua dalam menerapkan aturan-aturan pada anak-anak mereka. Dimensi sikap dan perilaku yang dibahas adalah : 1) penerimaan, 2) permisif, 3) demokratis, dan 4) latihan kebebasan. a. Penerimaan Penerimaan dicerminkan dalam bentuk perhatian orang tua, kehangatan, kasih sayang, dan mencintai apa adanya. Orang tua merasa peduli tentang keberadaan dan kondisi anak, kehangatan, dan orang tua yang memberikan dukungan ketika anak merasakan atau berada dalam tekanan. Hal-hal tersebut membantu dalam pembentukan self-esteem anak yang tinggi, tetapi sebaliknya apabila orang tua mempunyai sikap permusuhan, tidak mempunyai perhatian terhadap anak, maka hal tersebut akan membentuk self-esteem yang rendah pada anak. Karena itu perlu dijaga hubungan yang baik antara anak dengan orang tua. Apabila komunikasi antara anak dengan orang tua terganggu, terjadi gesekan orang tua dengan anak, hal tersebut akan mengganggu pula terbentuknya selfesteem yang tinggi. Anak yang memperoleh self-esteem yang tinggi merasa dirinya menyatu dengan keluarga, searah dengan keadaan orang tua, dan anak mempunyai pandangan yang positif terhadap orang tuanya. Tindakan orang tua yang menolak anak mereka akan berdiri bersebrangan dengan orang tua yang menerima anak mereka. Orang tua semacam ini akan bersikap kasar, dingin dan tidak memberikan persetujuan pada apa yang anak lakukan dan memandang anak mereka sebagai pengganggu, sesuatu yang tidak bernilai atau bahkan obyek yang negatif. Mereka mengabaikan anak mereka, dengan mengacuhkan permintaan, kebutuhan dan aspirasi sang anak. Sikap penolakan seperti ini menunjukkan ketidaksenangan dan kebencian pada anak. Studi yang dilakukan Coopersmith (1967) menunjukkan beberapa cara penting di mana penerimaan dapat diungkapkan melalui perhatian pada kepentingan anak, sensitif terhadap kebutuhan dan hasrat anak., serta ekspresi dari rasa kasih sayang dan pemberian dukungan. Dalam konteks lain, ekspresi perasaan sayang dan hubungan yang dekat diterangkan dengan menggunakan istilah kehangatan dan perhatian kepada anak. Hasil temuan menunjukkan bahwa ibu dari anak yang self-esteem yang tinggi lebih dapat mencintai dan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak-anak mereka dari pada ibu dari anak-anak yang memiliki self-esteem yang rendah.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
11
b.
Permisif Sikap permisif orang tua terhadap anak mempunyai pengaruh juga terhadap self-esteem anak. Menurut Coopersmith (1967) istilah permisif memberi pengertian yang tidak menentu, pengertian yang membingungkan. Pada umumnya permisif dikaitakn dengan sikap orang tua yang ditandai dengan : a) tidak adanya peraturan tertentu dari orang tua kepada anak, b) tidak adanya tuntutan dari orang tua kepada anak, tidak ada bimbingan dari orang tua kepada anak. Namun menurut Coopersmith (1967) bukan itu yang dimaksud dengan permisif, justru mengandung arti : (a) adanya tuntutan agar anak mematuhi peraturanperaturan yang tertentu, (b) adanya tuntutan agar anak mematuhi peraturan atau standar yang telah ditentukan oleh orang tua, dan (c) adanya hadiah (reinforcement) bagi yang patuh melaksankan dan hukuman (punishment) bagi yang melanggarnya. Dengan demikian Coopersmith lebih condong ke arah sikap-sikap yang bersifat otoriter. Walgito (1991) dalam penelitiannya menemukan bahwa korelasi sikap otoriter dengan self-esteem menunjukkan angka korelasi r = -0,1363. Ini menunjukkan bahwa korelasi antara sikap otoriter dengan self-esteem sangat signifikan dengan arah negatif. Keadaan ini berarti makin tinggi sikap otoriter menurut persepsi siswa, self-esteem siswa akan makin rendah, demikian sebaliknya.
c.
Demokratis Menurut Coopermisth (1967) setiap kelompok sosial tanpa melihat besar kecilnya kelompok tersebut, akan ada orang yang mempunyai otoritas, orang yang mempunyai power atau kekuasaan dan mempunyai tanggung jawab pada anggota. Keluarga sebagai salah satu kelompok sosial mempunyai sifat-sifat tersebut. Namun demikian keluarga mempunyai sifat-sifat khas apabila dibandingkan dengan kelompok sosial yang lain. Pada pengertian yang demokratis dalam keluarga, orang tua ketika berhubungan dengan anak selalu melibatkan anak dalam menyelesaikan persoalan, anak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya walaupun mungkin pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat orang tua. Walaupun ada peraturan dalam keluarga tetapi anak perlu mengetahui latar belakang mengapa hal tersebut perlu dilakukan atau dihindari. Peraturan yang disertai pengertian akan lebih baik dalam membentuk selfesteem pada diri anak. Apabila pada satu sisi anak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, maka pada sisi lain orang tua perlu bertoleransi dalam menghadapi pemikiran anak tersebut. Toleransi dalam keluarga akan memberikan keuntungan dalam membentuk self-esteem yang tinggi apabila dibandingkan dengan keluarga tanpa adanya toleransi tersebut. Orang tua hendaknya responsif terhadap kebutuhan anak. Orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk bertukar pikiran secara rasional, secara nalar,. Orang tua perlu menghargai anak, memandang anak sebagai individu yang berharga.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
12
Hasil penelitian Coopersmith (1967) menunjukkan bahwa ada pengaruh yang positif antara sikap orang tua yang demokratis dengan self-esteem anak. Sikap demokratis orang tua akan berpengaruh terhadap terbentuknya self-esteem yang tinggi. Hal ini di dukung pula temuan hasil penelitian Walgito (1991) yang menunjukkan bahwa persepsi sikap demokratis dengan self-esteem menunjukkan angka korelasi sebesar r = 0,3681. Ini berarti makin demokratik sikap orang tua kepada anak, akan makin tinggi self-esteem anak, demikian sebaliknya. d.
Latihan Kebebasan Latihan kebebasan anak berkaitan dengan kebebasan dari pengaruh atau kontrol orang lain. Anak diberikan kebebasan oleh orang tua. Seperti telah dikemukakan di atas, terbentuknya self-esteem itu di dasarkan pada penilaian seseorang terhadap dirinya. Namun demikian kadangkala pendapat orang lain terhadap diri seseorang tidak menggoyahkan pendapatnya mengenai dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian ini dapat dikemukakan bahwa orang tersebut mempunyai kebebasan, mempunyai kemandirian dalam menilai dirinya sendiri. Orang mempunyai kemandirian dan menyadari sepenuhnya apa yang ada dalam dirinya sendiri. Orang tersebut mempunyai sikap bertahan, mempunyai inisiatif, nonkonformistik, dan ini sering dikaitkan dengan self-esteem yang tinggi. Demikian sebaliknya apabila orang tidak mempunyai kebebasan, tidak mempunyai kemandirian, tergantung pada pihak lain, kurang percaya diri, mencari bantuan, mencari perlindungan, mencari perhatian maka keadaan seperti ini dikaitkan dengan self-esteem yang rendah. Hasil penelitian Coopersmith (1967) menunjukkan hal yang tidak begitu menentu, dalam pengertian bahwa orang tua yang anaknya mempunyai self-esteem yang medium, justru merekalah yang mempunyai sikap protektif terhadap anaknya. Hasil penelitian Walgito (1991) dikemukakan bahwa korelasi antara sikap serba boleh dengan self-esteem menunjukkan angka korelasi sebesar r = -0,2985. Korelasi ini sangat signifikan dengan arah negatif. Ini berarti makin tinggi sikap serba boleh orang tua terhadap anak, akan makin rendah self-esteem siswa, demikian sebaliknya.
Gangguan Self-esteem pada Mahasiswa Manusia, termasuk mahasiswa sebagai makhluk individu dan sosial, tidak terlepas dari gangguan neurosis. Neurosis adalah tekanan-tekanan mental, atau gangguan emosi dan perasaan yang dialami individu, akibat ketidakacuhan orang tua, tidak adanya kehangatan dan perhatian semasa kecil (Horney, dalam Boeree, 2004; Coopersmith, 1967), atau neurosis pada mahasiswa disebabkan karena terjadinya devisit need pada kebutuhan dasar manusia (basic need) tertentu, antara lain self-esteem (Maslow, 1970; Boeree, 2004). Self-esteem sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia (Maslow, 1970), akan terpenuhi apabila ketiga kebutuhan dasar lainnya, yakni : fisical need, savety need, dan love need terpenuhi. Kegagalan yang dialami manusia, termasuk mahasiswa akibat tidak * Dosen STAK Negeri Jayapura
13
terpenuhi self-esteem, mengakibatkan mahasiswa dalam dirinya mengalami deficit need. Maslow (1970) mengatakan bahwa deficit need yang terjadi karena kebutuhan self-esteem tidak terpenuhi, maka kebutuhan tersebut akan berubah menjadi kebutuhan neurotik yang nonprodukrif, misalnya: mengembangkan gaya hidup yang tidak memiliki esteem, gaya hidup reaktif, tidak berharga, agresif, membenci orang lain, perasaan dan sikap inferior, canggung, lemah, pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup, dan rendah diri dalam bergaul (Maslow dalam Alwisol, 2004:260; Boeree, 2004). Sedangkan Adler (dalam Boeree, 2004), mengatakan deficit need menyebabkan tekanan-tekanan psikologis, yang berdampak pada rasa rendah diri individu (bandingkan Coopersmith, 1967; Back, dalam Burns, 1998). Mahasiswa yang mengalami kehilangan self-esteem ketika dibangku kuliah, menurut Back (dalam Burns, 1998:39; Corey, 1996) disebabkan oleh reaksi negatif yang muncul dalam dirinya sendiri terhadap peristiwa, kejadian, situasi yang dihadapi. Sedangkan Ellis meyakini bahwa gangguan emosi, yang menyebabkan kehilangan selfesteem, berasal dari irrational belief system (disingkat irB), yang dianut oleh mahasiswa tanpa dikritisi sejak masa childhood dan adolesence (Ellis dalam Corey, 1996; Rosdjidan, 1988). Bertolak dari pandangan Back dan Ellis tersebut, maka gangguan neurosis yang dialami mahasiswa karena tidak terpenuhinya kebutuhan self-esteem, bukan baru terbentuk dalam diri ketika menjadi mahasiswa (adulthood), akan tetapi merupakan bawaan yang tidak dikritisi sejak masa kanak-kanak dan remaja (Ellis, dalam Corey, 1996). Gardon Allport (dalam Boeree, 2004:436; Alwisol, 2004:283), mengatakan bahwa self-esteem berkembang pada usia 2-4 tahun, di usia ini individu mulai menyadari bahwa dirinya bernilai bagi orang lain dan bagi diri sendiri, dan self-esteem terkait dengan kompetensi individu. Hasil penelitian Coopermith (1967), menunjukkan bahwa kebanyakan pernyataan umum mengenai anteseden dari self-esteem terjadi pada tiga kondisi, berikut :1) total or nearly total acceptance of children by their parent, 2) clearly defined and enforced limits, dan 3) the respect and latitude for individual action that exist within the defined limits. Ketiga kondisi tersebut, menurut Coopersmith, berperan bagi pembentukan self-esteem tinggi atau rendah pada anak. Sedangkan, Adler dan Horney (dalam Boeree, 2004), menekankan sikap ketidakacuan orang tua, yaitu tidak adanya kehangatan dan perhatian bagi anak semasa kecil, dalam bentuk seperti: orang tua memaksa tujuannya pada anak, cenderung tidak memedulikan anak ketika berkomunikasi, membandingkan anak dengan anak lain, mencaci maki bila tidak menyelesaikan tugasnya dengan baik, mengingkari janji yang diberikan pada anak, merusak pertemanan anak, mempermainkan pikiran anak, jarang dekat dengan anak, dan lain-lainnya menyebabkan self-esteem rendah pada anak (Boeree, 2004:184). Hasil penelitian korelasional yang dilakukan Mangantes, terhadap hubungan antara pola asuh orang tua, kelas sosial, dan kemampuan umum dengan self-esteem pada siswa SMA Negeri Kota Malang, menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan. Sebesar 31,4% variasi tingkat self-esteem dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, kelas sosial, dan kemampuan umum. Temuan ini membuktikan bahwa dari ketiga variabel independen tersebut, pola asuh orang tua memberi pengaruh terbesar terhadap selfesteem siswa ( Mangantes, 2005).
* Dosen STAK Negeri Jayapura
14
Bertolak dari hasil penelitian diatas, dapat membenarkan asumsi Ellis bahwa mahasiswa yang mengalami gangguan emosi yang menenyebabkan kehilangan harga diri (self-esteem) berasal dari irrational belief system (disingkat irB), yang dianut oleh mahasiswa tanpa dikritisi sejak masa kanak-kanak dan remaja (Corey, 1996). Mahasiswa yang tidak terbentuk self-esteem positif dimasa childhood dan adolesence, mengalami kehilangan harga diri (Burns,1988), dan ketika berhadapan dengan peristiwa, kejadian, dan situasi di ruang kuliah, merasa tidak mampu, cemas dengan dosen, takut membuat kesalahan, merasa tidak berguna, merasa tidak berhasil; yang adalah ciri dari kehilangan harga diri (Coopersmith, 1967; Burns, 1988), dan diciptakan secara kognitif (Burns, 1988; Ellis, dalam Corey, 1996). Meski dalam perspektif aliran eksistensialis, individu memiliki kapasitas untuk merubah dirinya (Corey, 1996), individu (mahasiswa) yang self-esteem rendah, perlu mendapat bimbingan positif dari orang lain (significant other). Orang lain yang dimaksud disini, adalah konselor sekolah yang memberikan layanan konseling dengan menggunakan berbagai penedekatan konseling untuk membantu mahasiswa mengatasi rasa diri tidak mampu, tidak berharga, dan tidak berguna, sebagai ciri self-esteem rendah. Self-esteem rendah pada diri mahasiswa, muncul dari dalam diri (inner life), melalui selfconcept yang keliru terhadap dirinya, akibat kondisi eksternal yang dihadapi (Adler, dalam Coopersmith, 1976). Untuk itu, Anastasi dan Urbina (1997) menyarankan agar memberikan perlakuan konseling yang langsung kepada reaksi kognitif yang berorientasi kepada diri, dan REBT merupakan salah satu pendekatan konseling yang berorientasi kognitif (Wessler, 1986; Corey, 1996). REBT untuk Problem Self-Esteem Masalah-masalah self-esteem diibaratkan oleh terapist REBT sebagai salah satu musuh manusia yang tertua (oldest) dan yang membawa maut (deadliest), karena muncul dari penafsiran-penafsiran (irB) terhadap peristiwa-peristiwa (the A) yang menyebabkan terjadinya emotional disturbance (Ellis dalam Boyd & Greiger, 1986:160). Untuk itu, REBT menempatkan self-esteem sebagai faktor etiologikal yang terutama dalam sejumlah bentuk psikopatologi. Terkait dengan itu, Ellis (dalam Boyd & Greiger, 1986:149) dalam kajiannya mengemukakan bahwa masalah-masalah self-esteem muncul dari beberapa proposisi kesalahan dan penaklukan diri, yaitu: (1) ide bahwa orang itu sama dengan trait-nya, terutama trait pembawaannya. Jika mereka memiliki trait yang buruk secara signifikan, maka mereka akan menilai diri mereka sebagai orang yang buruk, dan cenderung self-esteem mereka rendah (LSE). Sebaliknya, jika memiliki trait yang baik, maka mereka menilai dirinya sebagai orang yang baik dan otomatis memiliki self-esteem yang positif (HSE), (2) Orang harus sukses dalam hidupnya, harus sukses dalam cinta dengan teman yang signifikan, harus hidup terus dalam keadaan yang menyenangkan dan bahagia. Ini berarti bahwa tuntutan tersebut bila tercapai maka akan memberi nilai diri atau self-esteem tinggi (HSE), akan tetapi jika gagal maka membuat mereka tidak bernilai atau self-esteem rendah (LSE), dan (3) Orang harus memiliki nilai diri (self-worth), atau membuktikan pada diri bahwa mereka memiliki nilai diri, sehinga dapat menerima dan menghargai dirinya sendiri. Ini berarti bahwa jika orang itu merasa punya nilai diri (self-worth) maka otomatis memiliki self-esteem yang tinggi (HSE), sebaliknya jika merasa tidak punya nilai diri (self-worth) maka otomatis memiliki self-
* Dosen STAK Negeri Jayapura
15
esteem rendah (LSE). Ketiga faktor tersebut, 1 dan 2 merupakan proposisi, sedangkan yang ke-3 termasuk blatantly tautological (menyolok sebagai pengulangan kata), ditekankan bahwa self-worth adalah suatu kriteria untuk kebahagiaan, pada hal tidak ada bukti yang jelas. Orang yang merasa bahagia, kecukupan, dan bebas dari simptomsimptom psikologis adalah orang yang pada dasarnya tidak kuatir tentang situasi atau mereka merasa diri tidak berguna (Boyd & Greiger, 1986:149). Bertolak dari faktor-faktor yang disebutkan diatas, REBT menempatkan pusat perhatiannya pada low self-esteem (LSE) dan mempertimbangkannya sebagai sebuah faktor etiologis dalam banyak bentuk psikopatologi (Boyd & Greiger, 1986). Mahasiswa yang tergolong low self-esteem (LSE), umumnya memiliki belief as selfdefeating atau irrational. Ellis mengemukakan “perhaps the most common self-defeating belief of a highly disturbed patient is his conviction that he is a wortless, inadequate individual who essentialy is underserving of self-respect and hapiness”, artinya penaklukan diri (self-defeating) yang sering mengganggu pasien adalah keyakinannya bahwa ia seorang yang tidak bernilai, pribadi yang memiliki kekurangan, yang pada dasarnya membuat dirinya tidak pantas mendapatkan penghargaan diri dan kebahagiaan (Ellis, dalam Boyd & Greiger, 1986:151). Keyakinan irasional (irB), yang menjadi penyebab gangguan self-esteem rendah (LSE) pada mahasiswa, muncul dari self-defeating beliefs, seperti diungkapkan Ellis sebagai berikut: “It distorts reality (it’s a misinterpretation of what’s happening); or it involve some illogical ways of evaluating yourself, others, and the world around you: awfulising, can’t-stand-it-itis, demanding and people rating; it blocks you from achieving your goals and purposes; it creates extreme emotions which persist, and which distress and immobilise; and it leads to behaviours that harm your self, others, and your life in general”. Dengan demikian, belief as self-defeating atau irrational yang menyebabkan munculnya berbagai macam cara berpikir yang membuat perasaan negatif atau disfungsional, adalah: (1) demanding; permintaan atau tuntutan yang berlebihan terhadap diri. Misalnya: “Saya harus dicintai oleh pacar saya”, “Saya seharusnya tampil menarik di depan pacar saya”, “ Saya akan dibilang kuno kalau cara tampil saya di depan pacar tidak Ok”, dll. Pendek kata, selalu mengkotbahkan atau mempidatokan diri sebagai orang yang tampil perfek (selalu berjalan lancar), (2) Awfulizing; keadaan yang mengerikan yang ditimbulkan oleh keyakinan tidak rasional. Misalnya: putus sama pacar (A), lalu mengembangkan pikiran tidak rasional (irB), seperti: Ini seharusnya tidak boleh terjadi pada diri saya, karena dia satu-satunya teman yang saya cintai, ini sangat mengerikan, ini suatu bencana besar dalam diri saya (awful, terible, catastrophic), (3) I can’t stand it-itis; situasi yang dirasakan sebagai tidak mampu betahan hidup lagi, tak tertahankan (unbearable), ingin mati rasanya (die). Keadaan ini diakibatkan oleh keyakinan irasional terhadap peristiwa yang dihadapi, seperti: “kalau saya tidak dapat dia (maksudnya pacarnya), lebih baik saya mati saja”, (4) people rating atau self-rating; cara membuat penilaian terhadap diri sebagai orang bodoh, dunggu, tidak mampu (stupid), tidak punya harapan (hopeless), tidak berguna (useless), dan tidak bernilai (worthless). Keadaan menilai diri berlebihan seperti ini,
* Dosen STAK Negeri Jayapura
16
diakibatkan oleh harapan yang tidak tercapai, dan (5) procrastination (penundaan); merupakan sejumlah little problems yang menyebabkan gangguan psikologis (psychological difficulties) yang lebih besar. Penundaan (procrastination) umumnya dialami mahasiswa, dan berhubungan dengan masalah self-dicipline dan low frustration tolerance, terhadap pekerjaan yang ditunda-tunda atau tidak diselesaikan. Misalnya, mahasiswa yang tidak disiplin dalam belajarnya, tentu banyak tugas yang tidak diselesaikan tepat waktu, sehingga selalu menilai diri sebagai orang yang tidak mampu, tidak berharga, dan tidak berguna (low self-esteem). Boyd & Greiger (1986:156), mengemukakan bahwa akibat penundaan (procrastination) terhadap pekerjaan terusmenerus, menyebabkan pasien (mahasiswa) menantang dirinya dengan pikirang negatif pada dirnya, seperti: I can’t get anything done; I,m always late; I’ve put of this appointment for months; dan somehow I just can get myself to do the things I want to do ( Boyd & Greiher, 1986). Menurut Ellis & Knaus (dalam Boyd & Greiger, 1986:156) mengatakan bahwa “suatu ketertutupan dari self-dicipline dan low-frustration tolerance yang menyebabkan procrastination, tetapi juga self-rating dan low self-esteem (LSE) menyebabkan terjadinya procrastination, dan terjadi dalam dua cara, yaitu : pertama mahasiswa takut melakukan suatu tindakan yang pasti karena tidak tahu takur gagal yang berpengaruh pada self-esteem mereka; dan kedua mereka mengamati kegagalan yang telah mereka alami, menemukan perbedaannya, dan menyalahkan diri mereka sendiri tentangnya, yang pada akhirnya mendorong terjadinya low self-esteem (LSE). Untuk mengubah low self-esteem mahasiswa, terapi REBT mempunyai pendekatan yang progres dalam mengubahnya melalui empat tahap yang dapat mempengaruhi klien mengkonstruksikan perubahan dalam aspek kognitif, emotif, dan perilakunya. Keempat tahap tersebut, adalah : (1) Tahap psychodiagnosis; bertujuan untuk mengidentifikasikan gangguan-gangguan emosional akibat low self-esteem. Tentu dalam proses diagnosa ini, konselor berusaha memahami emotional disturbance itu melalui paradigma A-B-C. Tentang masalah-masalah self-esteem, proses diagnosis dipusatkan pada melihat kategorisasi self-rating sebagai yang terutama dalam proses kognitif, menemukan isi keunikan klien dalam self-rating, dan untuk menentukan jika dan bagaimana irrational beliefs yang lain menyebabkan terjadinya gangguan; (2) Tahap membangun insight; bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada klien tentang irrational beliefs-nya dan tentang cara yang digunakan dalam menciptakan emotional disturbance. Pemahaman (insight) yang diberikan berfokus pada low self-esteem yang berkisar pada self-rating, yakni: membantu klien belajar bahwa mereka melakukan selfrating, bagaimana mereka menilai diri, dan memahami konsekuensi-konsekuensi emosional dan behavioral dari self-rating; (3) Tahap working-through; merupakan proses teraputik yang disesain untuk merehabilitasi aspek-aspek kognitif, emotif, dan behavior yang disebabkan oleh permasalahan-permasalahan psikologis (psychological problems). Fokus terapinya adalah pada tripartite constitution of self-esteem problems, yaitu: keyakinan irasional dan distorsi kognitif, operasi-operasi emosional dan imaginal, dan perilaku yang nampak (overt behavior), dan (4) Tahap Re-education; merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menguatkan dan melekatkan cara-cara berpikir rasional dan berprilaku, membantu klien memperoleh tambahan ketrampilan (seperti: pernyataan yang tegas, pengambilan keputusan) yang bisa membantu klien dalam mengatasi gangguan mereka, dan menolong klien mensintesa proses pembelajaran
* Dosen STAK Negeri Jayapura
17
teraputiknya dan menggeneralisasikan ke dalam hidup dan masa depannya ( Boyd & Greiger, 1986:159-160). Teknik Dispute Irrational Beliefs (DIBS) untuk Mengubah Low Self-Esteem (LSE) Mahasiswa Tujuan utama dari REBT adalah membantu orang merubah keyakinan-keyakinan irasional mereka menjadi keyakinan-keyakinan yang rasional (Ellis & Greiger, 1986; Ellis dalam Corey, 1996; Ellis dalam Boeree, 2004). Mengubah keyakinan adalah merupakan kerja utama terapi, karena itu konselor harus mampu dalam menantang keyakinan-keyakinan irasional klien. Mahasiswa yang mengalami low self-esteem (LSE), cenderung berpikiran irrational tentang dirinya, sebab itu Anastasi dan Urbina (1997) menyarankan agar memberikan perlakuan konseling yang langsung kepada reaksi kognitif yang berorientasi kepada diri. Terkait dengan itu, maka untuk mengubah low self-esteem mahasiswa, digunakan teknik terapi Dispute Irrational Beliefs (DIBS). DIBS merupakan teknik menantang, membatah, dan menelusuri keyakinan irasional yang paling menentukan dalam terapi REBT (Micah Perkins, 2007; Dryden, 2002:5-7). Kedudukannya (maksudnya teknik DIBS) dalam teori ABC, adalah sebagai “cornerstone” artinya “dispute” menjadi batu penjuru dalam menentukan pengubahan terhadap pikiran-pikiran irasional (irB) menjadi pikiran rasional (rB), dengan cara menantang, membantah, menelusuri pikiran irasional yang disebabkan oleh self-defeating dalam diri mahasiswa ( Ellis dalam Perkins & Dryden, 2007). Mahasiswa yang mengalami low self-esteem (LSE) memiliki irrational beliefs yang secara otomatis berpengaruh pada irrational emotive consequence (ireC) dan irrational behavior consequence (irbC) pada mahasiswa. Untuk itu, dengan tekni DIBS, seorang konselor berfungsi sebagai “teacher” untuk mengajar (membangun insight), menantang dan menyerang irrational beliefs (irB), dengan mengkuti langkah-langkah DIBS, sebagai berikut : Tahap I : Empirical Disputing Tahap ini, merupakan tahap mendeteksi (detecting) dan mebangun self-awarnes (kesadaran diri) terhadap keyakinan tidak rasional (irB) yang dianut oleh mahasiswa. Keyakinan irasional (irB) tersebut, antara lain : 1. Demanding; yaitu permintaan atau tuntutan yang berlebihan terhadap diri. Misalnya: “Saya harus dicintai oleh pacar saya”, “Saya seharusnya tampil menarik di depan pacar saya”, “ Saya akan dibilang kuno kalau cara tampil saya di depan pacar tidak Ok”, dll. Pendek kata, selalu mengkotbahkan diri/mempidatokan diri sebagai orang yang tampil perfek (running smuthly). 2. Awfulizing; yaitu keadaan yang mengerikan yang ditimbulkan oleh keyakinan tidak rasional. Misalnya: putus sama pacar (A), lalu mengembangkan pikiran tidak rasional (irB), seperti: Ini seharusnya tidak boleh terjadi pada diri saya, karena dia satu-satunya teman yang saya cintai, ini sangat mengerikan, ini suatu bencana besar dalam diri saya (awful, terible, catastrophic). 3. I can’t stand it; yaitu situasi yang dirasakan sebagai tidak mampu betahan hidup lagi, tak tertahankan (unbearable), ingin mati rasanya (die).
* Dosen STAK Negeri Jayapura
18
Keadaan ini diakibatkan oleh keyakinan irasional terhadap peristiwa yang dihadapi, seperti: “kalau saya tidak dapat dia, lebih baik saya mati saja”. 4. Self-rating; yaitu cara memberikan rangking atau menilai diri sebagai orang bodoh-dunggu-tidak mampu (stupid), tidak punya harapan (hopeless), tidak berguna (useless), dan tidak bernilai (worthless). Keadaan merating diri berlebihan seperti ini, diakibatkan oleh harapan yang tidak tercapai. 5. Procrastination (penundaan); merupakan sejumlah little problems yang menyebabkan gangguan psikologis (psychological difficulties) yang lebih besar. Penundaan (procrastination) umumnya dialami mahasiswa, dan berhubungan dengan masalah self-dicipline dan low frustration tolerance, terhadap pekerjaan yang ditunda-tunda atau tidak diselesaikan. Misalnya, mahasiswa yang tidak disiplin dalam belajarnya, tentu banyak tugas yang tidak diselesaikan tepat waktu, sehingga selalu menilai diri sebagai orang yang tidak mampu, tidak berharga, dan tidak berguna (low self-esteem). Boyd & Greiger (1986:156), mengemukakan bahwa akibat penundaan (procrastination) terhadap pekerjaan terus-menerus, menyebabkan pasien (mahasiswa) menantang dirinya dengan pikirang negatif pada dirnya, seperti: I can’t get anything done; I’m always late; I’ve put of this appointment for months; dan somehow I just can get myself to do the things I want to do ( Boyd & Greiher, 1986). Tahap II : Logical Dispute Tahap ini, merupakan tahap menantang keyakinan tidak rasional (debating irB). Cara mendebatnya adalah: menanyakan bukti irB, menanyakan kebenaran irB, menanyakan alasan menganut irB, menanyakan fakta yang mendukung irB, menanyakan keuntungan/manfaat menganut irB, dan menanyakan apakah irB selalu dapat direalisasikan. Setelah melakukan proses dispute (menantang), mengarahkan konseli untuk self-acceptance (penerimaan diri). Tahap III Pragmatical Disputing Tahap ini merupakan proses pembentukan kebiasaan berpikir rasional. Posesnya adalah konselor dan konseli melakukan correct misperception of reality (mengoreksi persepsi-persepsi yang keliru terhadap realitas), lalu melanjutkan dengan restructuring cognitive (menata kembali pikiran-pikiran positif terhadap diri yang dikacaukan oleh pikiran tidak rasional). Kemudian, membangun pikiran yang efektif (rcE, reE, dan rbE) terhadap diri, dengan mulai membiasakan diri (habit forming) dengan pola dan gaya hidup (life style) yang rasional, berpikir positif terhadap diri, dan memiliki new feeling (Perkins, 2007 p.1; Ellis & Greiger, 1986; Ellis dalam Corey, 1996). Ketiga tahapan tersebut, merupakan hasil modifikasi dari Perkins (2007) dengan tetap mengacu kepada empat tahap utama dari RET (psychodiagnostic, insight, working-through, dan re-education), dan tidak merubah sedikit pun konsep dasar teori ABC tentang D, yaitu disputing terhadap irrational beliefs (irB). Menurut Ellis (dalam Perkins & Dryden, (2002,2007), teknik DIBS dengan tahapan-tahapan tersebut diatas, efektif digunakan dalam proses
* Dosen STAK Negeri Jayapura
19
konseling, baik konseling individu (individual counseling) maupun konseling kelompok (group counseling). Tekait dengan itu, maka pengubahan terhadap gangguan self-esteem pada mahasiswa, lebih diorientasikan pada konseling kelompok (group counseling). Wessler (dalam Ellis & Greiger, 1986:309-310) mengemukakan bahwa penerapan teknik DIBS dalam group counseling untuk mengubah low self-esteem (LSE) mahasiswa, pertama-tama konselor memperhatikan group size. Ukuran kelompok yang ideal dan mendukung dalam proses pengubahan yang efektif adalah seperti yang dikemukaan Wessler bahwa group size yang efektif terdiri dari 6 orang, sedangkan apabila lebih dari 12 orang, konselor agak sulit untuk melibatkan anggota dalam proses konseling dan kurang efektif. Sedangkan untuk durasinya, Wessler mengemukakan bahwa tidak ada batasan waktu yang pasti, akan tetapi dalam prakteknya (seperti dilakukan Ellis dan kontributor REBT yang lain), durasi yang efektif untuk DIBS, adalah 10–14 jam atau lebih lama (Wessler dalam Ellis & Greiger, 1986:306). Selanjutnya, dalam proses disputing keyakinan irasional (irB) yang efektif dalam group counseling, umumnya dilakukan secara langsung oleh konselor dengan konseli dalam bentuk conversation, tetapi juga menggunakan psychodrama. Psikodrama adalah cara menantang keyakinan irasional (irB) mahasiswa dengan bermain peran. Harper (dalam Nardi, 1986:275) mengemukakan psikodrama yang rasional sebagai berikut: “psychodramtists contend that irrational and compulsive patterns are more readily seen had treated in situation which involves action rather than just conversation”. Maksudnya adalah bahwa pengalaman dalam menantang keyakinan irasional (irB) dengan psikodrama lebih efektif dalam berbagai situasi terapi dan melibatkan konseli secara aktif dari pada percakapan (conversation). Bertolak dari pengalaman itu, maka Nardi (dalam Ellis & Greiger, 1986: 276-280) mengemukakan beberapa jenis psikodrama yang umum digunakan dalam menantang irrational belief, adalah: (1) demonstration of insight, (2) the double, (3) empty chair techniques, (4) role reversal, (5) pradoxical intention, dan (6) future projection. Keenam jenis psikodrama ini telah banyak digunakan dalam proses disputing irB dan sangat efektif, namun dalam penggubahan tentang masalah low self-esteem (LSE) mahasiswa, digunakan dua jenis psikodrama, yaitu (1) empty chair techniques, (2) the double, dan menantang antar teman (dispute with friend). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan, the one-group pretest-posttest design. Subyek penelitian diambil dari mahasiswa semester II dan IV tahun akademik 2007/2008. Instrumen penelitian menggunakan Self-esteem Inventory (SEI). Materi perlakuan teknik DIBS, terdiri dari :1) membangun rapport, 2) empirical disputing, 3) logical disputing, dan 4) pragmatical disputing. Setelah diberikan perlakuan, post-test dilakukan untuk mengetahui perubahan self-esteem mahasiswa.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
20
Hasil Penelitian Hasil yang di dapat, menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang signifikan. Mahasiswa yang kategori self-esteem positif sebanyak 75,0%, dan kategori self-esteem negatif sebanyak 25,0%. Hasil perhitungan distribusi frekuensi pasca perlakuan teknik DIBS, menunjukkan bahwa mahasiswa yang kategori tinggi sebanyak 62,5%, kategori sedang sebanyak 12,5%, dan kategori rendah sebanyak 25,0%. Untuk menguji hipotesis penelitian, digunakan tes analisis Wilcoxon. Hasilnya menunjukkan mean sesudah terapi lebih besar dari mean sebelum terapi. Hasil uji Z, ternyata z hitung lebih besar dari z tabel. Dengan demikian H1 diterima pada taraf signifikasi 2,10. Berarti terapi REBT efektif mengubah self-esteem rendah mahasiswa. Kesimpulan Tujuan dari penelitian pra-eksperimental ini, adalah untuk mengetahui efektif tidaknya terapi Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) mengubah self-esteem rendah mahasiswa, maka berdasarkan pada hasil analisis data penelitian, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut : Self-esteem rendah mahasiswa mengalami perubahan menjadi tinggi secara signifikan, setelah mendapatkan perlakuan teknik DIBS. Hasil analisis pasca tes menunjukkan bahwa dari 8 mahasiswa yang mengikuti perlakuan teknik DIBS, mean self-esteem dari 6 mahasiswa mengalami perubahan signifikan. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan self-esteem, yaitu : (1) teknik DIBS memberikan pemahaman (insight) dan kesadaran (realise) kepada mahasiswa tentang irrational belief (irB) dan rational belief (rB), dan (2) pemahaman dan kesadaran menjadikan mahasiswa berani memutuskan untuk meninggalkan irrational belief (irB)nya yang menyebabkan dirinya mengalami gangguan self-esteem, dan membiasakan diri dengan rational belief (rB). Sedangkan, mean self-esteem dari 2 mahasiswa tidak mengalami perubahan secara signifikan. Ini disebabkan karena kedua mahasiswa tersebut: (1) tidak memiliki pemahaman dan kesadaran terhadap irrational belief (irB) dan rational belief (rB), karena tidak aktif dalam mengikuti proses konseling yang diberikan, (2) tidak adanya pemahaman dan kesadaran, menyebabkan mahasiswa sulit dalam membedakan irrational belief (irB) dengan rational belief (rB), dan bingun dalam mengambil keputusan untuk melepaskan irrational belief (irB) dan membiasakan diri dengan rational belief (rB). Bertolak dari simpulan hasil penelitian di atas, dapat dikemukakan simpulan umum bahwa terapi REBT efektif mengubah self-esteem rendah mahasiswa. Keefektifan teknik DIBS, ditentukan oleh ketiga hal berikut: (1) mampu membangun insight mahasiswa tentang irrational belief system (irB), yang menyebabkan gangguan selfesteem rendah pada mahasiswa, dan rational beliefs system (rB) yang merupakan ciri berpikir positif dan produktif terhadap diri, (2) proses mendebat dan mendiskriminasi irrational belief (irB) dan rational belief (rB), dan 3) hubungan baik antara konselor dengan konseli dalam memaksimalkan pelaksanaan proses konseling. Terkait dengan itu, teknik DIBS dipertimbangkan untuk digunakan dalam mengatasi masalah self-esteem mahasiswa di sekolah, maupun masalah-masalah emosional (pribadi sosial) yang lainnya.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
21
DAFTAR PUSTAKA Abel, M.H.(1997). The role of self-esteem in typical and a-typical changes in expectation. The Journal of General Psychology.124(1), 133-127. Adam, F.J.(1980). Understanding adolecent: Current Development in Adolecent Psycholoy.(4th ed).USA:Allyn and Bacon,Inc. Adiyanti,M.G.(1996). Self-esteem, Prestasi Belajar,dan kualitas hubungan Anak dengan kelompok Peer. Laporan Penelitian tidak diterbitkan.Jogyakarta:Depdikbud Universitas Gajah Mada. Adler,J.A.(1983). Interplay the Process of Interpersonal Comuncation (Edisi kedua), New York:Half Rineharf & Winston. Albin,R.S. (1986) Emosi: Bagaimana Mengenal, Menerima, dan Mengarahkan. Kanisius, Jakarta. Alwisol, (2004). Psikologi Kepribadian. UMM Press Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological Testing (7 ed) Toronto: Prentice-Hall International Inc. Andrew (1991). The active self in Psychoterapy and Integration of Therapeutic Style, Boston: Allyn and Bacon. Ardhana, W (1987). Bacaan Pilihan dalam Metode Penelitian Pendidikan. Depdikbud Dirjen PT, Proyek Pengembangan LPTK, Jakarta. Ardhana, W (2003) Bahan Kuliah Landasan Pendidikan dan Pengajaran, Tidak diterbitkan. Ary,D. (1985) Introduction to research. New York: Holt, Renehart and Windston. Atwater, Easwood. (1983). Psychology of adjustment: Personal growth in Chnging World. (2th ed). New Jersey: Prentice Hall. Inc. Ausubel, D.P., Montemayor, R & Suajian, P. (1977). Theory and Problems of Adolecent Development. (2th ed). New York:Grune 7 Stratton. Azwar, S (2003) Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Pustaka Belajar, Yogyakarta. Bernadib, I. Sutari. Pengantar Pedidikan Sistimatis. Yogyakarta: FP KIP Yogyakarta. Bernard, M.E., & Joice, M.R. (1986). RET Intervention with Younger Populations: Systematic and Practical Guidlines. Dalam A. Ellis & R. Greiger (ed), RET: Handbook of Rational Emotive Therapy, Vol. 2 (hal. 347-395), New York: Springer Publishing Company. * Dosen STAK Negeri Jayapura
22
Block Jack, 2004.Q-Method. http://www.cios.org/mailboxes/Q-method%255C024143. 201+correlation+IQ+Self+Esteem+Rosenberg & hl=id Borg, W.R & Gall, M.D, 1983. Educational Research: An Introduction. Fourth Edition. New York: Longman. Boeree, C (2004) Personality Theories. Prisma Sophi, Jokjakarta. Boyd, J & Greiger, R.M, (1986), Self-acceptance Problems, Dalam A. Ellis & R. Greiger (ed), RET: Handbook of Rational Emotive Therapy, Vol. 2 (hal. 347-395), New York: Springer Publishing Company. Branden,N, (1987). The Psychology of Self-Esteem. California : Nas Publishing. Brenchenridge, M.E, & Viencent, E.L.(1962). Child Development: Physical and Psychological Growth through Adolesence. Sanfransisco : Freeman. Brown,L. & Alexander, J.(1991). Sef-Esteem Index Examiner’s Manual, Austin, TX:PRO-ED. Brown, & Mankowski, T.A (1993). Self-esteem, mood, and self-evaluation: Changes in mood and the way you see you. Journal of Personality and Social Psychology, 64 (3), 421-430. Burks, H., & Steffle, B (1979). Theories of Counseling ( edisi ketiga). New York: Mc Jrow-Hall Company. Burns, D.D., (1988). Terapi Kognitif (Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi). Alih bahasa: Santoso, Penerbit Erlangga, Jakarta. Butterfield K. Alexandra, (1999). Self-esteem Among upward Bound Students Differences, By Race and Gender. Thesis. Virginia Polytecnic Institute and State University. Chaplin, J.P (2006) Kamus Lengkap Psikologi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Collins, G.R (1996) Konseling Kristen yang Efektif, SAAT Malang. Coopersmith, S (1967). The Antecedent of Self-Esteem. Sanfransisco: Freeman. Corey, G. (1995). Theory Practice of Counseling and Psychotherapy. Publishing Company.
Brooks/Cole
Cottone, R.R (1992). Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston : Allyn and Bacon. Crain, W. (2007), Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi, Edisi ketiga, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
23
Dewitt, A. Junnifer, & Kollanda A. Kelly, (2004). Does Perceiveid Intelligence Affect An Individual’s Self-Esteem. http://www.q=cache:877r99KQJ: Clearinghouse.mwsc.edu/manuscripts/182.asp+IQ+Self+Esteem&hl=id Dutton, K.A., & Brown, J.D. (1997) Global Self-esteem and specific self-viws as determinants of people reaction’s to success and failure.Journal of Personality and Social Psychology, 73(1), 139-148.
Ellis, A. (1962). Reason and Emotion in Psychotherapy. New York: Leyle Stuart. Ellis, A. (1973). Humanistic Psychoterapy the Rational Emotif Approach. New York:McGraw-Hill Book Company. Ellis, A & Bernard.M.E (1986). What is RET, dalam A. Ellis & R. Greiger (ed), RET; Handbook of RET. Vol.2 (hal 3-30), New York: Springer Publishing Company. Ellis, A & Greiger, R (ed), (1986). RET Handbook of Rational Emotive Therapy, Vol. 2 New York:Springer Publishing Company. Ellis, A & Perkins, H., (1994), Techniques for Disputing Irrational Beliefs (DIBS), Institut for Rational Emotive Therapy (http/:www.rebtnetwork.org/whatis.html) Ellis, A. (1992) RET, dalam J.K. Zeig & W.M.Munion (ed), What is Psychoterapy? Contemporary Perspective (hal. 75-78), Sanfransisco: Jossey-Bass Publisher. Ellis, A (1992), Comment First and Second Under Chance in RET: A reply to lyddon, Journal of Counseling Development (70:449-454) Ellis, A (2008) What is Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)?-REBT Network, http://www.rebnetwork.org/whatis.html. Ellis,
A (2008) Rational Emotive Behaviour http://www.rebnetwork.org/whatis.html.
Therapy
Rational Emotive Behaviour Therapy, Wikipedia, The free http://en.wikipedia.org/wiki/Rational-Emotive-Behavior -Therapy, 2008.
(REBT),
Encyclopedia,
Feldman, R.S. (1989). Adjustmen applying Psychology in a Complex World. New York: McGraw-Hill. Feshbach Seymour & Weiner Bernard. (1982). Personality. Canada: D.C. Heath and Company Forgus, R. & Shulman, B. (1979) Personality (2 ed). Canada: D.C. Heath and Company Field, L., (1993). Creating Self-Esteem: A Practical Guide to Realizing Your True World. Vermilion London. Field, L., (2003). Self-Esteem for Women. Kaifa Bandung. * Dosen STAK Negeri Jayapura
24
Field, L.,(1997), 60 tips for Self-steem: Quick Ways to Boost Your Convidence, Gazda, G.M. (1989). Group Counseling a Developmental approach. Fourth Edition. Boston: allyn and Bacon. Gunarsa, S.D & Gunarsa, Y.S.D, (2002). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK Gunung Mulia Jakarta. Golman, (1980), Research Method for Counselors: Practical approaches in Field Setting. New York: John Wiley and Sons. Hadi, S.(1991). Analisis Butir untuk Instrumen Angket, Tes dan Skala Nilai dengan BASIC A. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Hamachek, D. (1995). Self-Concept and School Achievement: International Dynamies and a tool for Assesing the Self-Control Component. Journal of Counceling & Development, 73 (3).419-425. Hankin, S (2004). Strategi Untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Henson, K.T. Eller,(1999). Ben F. Educational Psychology for Effective Teaching. Wadsworth Publishing Company a Division of International, Thomson Publishing.Inc. Hijlle L.A., & Ziegler, D.J, (1981). Personality Theories basic assumption, research and aplication, Tokyo: McGraw-Hill. Hurley, A.E, (1997). The effects on self-esteem and source credibility on self-denying propecies. The Journal of Psychology, 131(6), 581-594. Homrighausen, (1990) Pendidikan Agama Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Horan, J.J (1996)., Effects of Computer-Based Cognitive Restructuring on Rationally Mediated Self-Esteem, Journal Counseling Psychology, Vol. 43, page 371375. Hurlock, E.B. (1980), Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima, Erlangga. Joao M.M., Carolas R., & Haga S (1999). Keeping in hight: Attachmen style and selftrust as predictor of self-esteem level and stability, University of Lousville, Kentucky, USA. John, D. & MacArthur. (2004). Self-esteem. Research Network on Socioeconomic Status and Health. http://www.macses.ucsf.edu/research/psichological/notbook/self-esteem.html.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
25
Jones, C. Stephen. (1973). Self-esteem and interpersonal evaluation: theory versus consistency theory. Psychological Bulletin 79 (3) 185-199. Kaufman, Harry, (1973). Social Psychology: The study of Human interaction. USA: Holt Rinehard and Windston, Inc. Koeswara, (1988) Teori Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:Eresco. Latipun, (2002). Psikologi Eksperimen, UMM press Lindgren, C.H, (1976). An Introductionto Social Psichology.(3 ed). New Delhi: Wiley Estem Private Limited. Mandara, J., & Murray B. Crolyn. (2002). Effects of Parental Marital Status, Income, and Family Functioning on African American Adolescent Self-esteem.Journal of Family Psychology.
http://www.apa.org/journals/tam/fam/fam 13475.htlm
Maslow, A.H. (1970). Motivation and Personality, New York: Harper and Raw Publisher. May, R., (1997), The Art of Counseling, Pustaka Pelajar Offset Yogyakarta. Mc Millan, J.H., & Schumacher (1993). Educational research: Fundamental for the consumes, New York : Hasper Collins Publishers. Meier,P.D, et al (1991). Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen, ANDI Offset, Jogja. Munandar,U, (2003). Pengembangan Kreativitas dalam Pembelajaran: Materi Pada Pelatihan Sertifikasi Tes Psikologis bagi Konselor Pendidikan Angkatan VIII, PPS UM Murad, 2003. Profil Konselor Standar. Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling, ABKIN. Myers G. David, (1993) Social Psychology. USA: McGraw-Hill, Inc. Nardi, T.J, (1986), The Use of Psychodrama in RET, Dalam A. Ellis & R. Greiger (ed), RET: Handbook of Rational Emotive Therapy, Vol. 2 (hal. 275-280), New York: Springer Publishing Company. Nurhadi dan Senduk, A.G, (2003). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Universitas Negeri Malang. Peale, N.V, (2004). The Positif Principle Today, diterjemahkan: Joko K, Media Abadi. Pedoman Penulisan karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah dan Laporan Penelitian (Edisi ke 4), 2000. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
26
Perkins, M & Dryden, (2002), Irrational Belief of Rational Emotive Behavior Therapy, REBT-CBT NET ((http/:www.rebtnetwork.org/whatis.html ) Perkins, M (2008) What is Rational Emotive Behaviour Therapy? REBT-CBT NET- The Internet Guide to Rational Emotive Behaviour Therapy & Cognitive Therapy, http://www.rebnetwork.org/whatis.html Raka Joni, (2005). Assesmen alternatif dalam Pendidikan. Materi Pelatihan Sertifikasi Tes Psikologis bagi Konselor Pendidikan, Angkatan VIII, PPS UM. Raka Joni, (2005). Pembelajaran Yang Mendidik: Artikulasi Konseptual, Terapan Kontektual dan Verifikasi Empirik, PPS UM (tidak diterbitkan) Rosjidan, (1988). Pengantar Teori-teori Konseling, Depdikbud Dirjen PT Jakarta.
PPLPTK
Roush, D (1984), Rational Emotive Therapy and Youth: Some new techniques for counselor. The Personel and Guidance Journal ( Vol.3: 414-417 ) Shertzer B; Stone, S.C (1981) Fundamentals of Guidance. Fourth Edition, Houghton Mifflin Company. Siegel, S (1956) Nonparametric Statistics For The Behavioral Sciences, McGraw Hill Company, Inc. New York, Taronto, London. Slavin, E.R (2000). Educational Psychology: Theory and Practice,Allyn and Bacon a pearson educationa company. Suryabrata, S, (2000). Pengembangan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Trzesniewski H.K., Robins W.R., Tracy L.J., Gosling D.S., dan Jeff Potter. (2002). Global Self-esteem Across the life span. Psikologi and Aging. 17(3), 423-434. Verkuiil, (1988) Etika Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Wessler, R.L, (1986), Rational-Emotive Therapy in Groups. Dalam A. Ellis & R. Greiger (ed), RET: Handbook of Rational Emotive Therapy, Vol. 2 (hal. 295313), New York: Springer Publishing Company.
* Dosen STAK Negeri Jayapura
27
* Dosen STAK Negeri Jayapura
28
HUBUNGAN ANTARA INTELIGENSI, CAREER SELF-EFFICACY, STATUS SOSIAL EKONOMI ORANGTUA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KARIER SISWA SMA NEGERI DI KABUPATEN PAMEKASAN
ABSTRAK
Diajukan kepada Universitas Negeri Malang untuk Kelengkapan Penyerahan Tesis
Oleh : Jawahirul Kawakib NIM : 103621518988
UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING 2009
2 HUBUNGAN ANTARA INTELIGENSI, CAREER SELF-EFFICACY, STATUS SOSIAL EKONOMI ORANGTUA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KARIER SISWA SMA NEGERI DI KABUPATEN PAMEKASAN Oleh: Jawahirul Kawakib Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah varian pengambilan keputusan karier siswa mampu dijelaskan oleh varian inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua? dan menguji sumbangan efektif varian inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier siswa, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Metode penelitian mencakup rancangan penelitian, populasi dan sampel, instrumen penelitian, pengumpulan data, dan analisis data. Hasil penelitian ditemukan terdapat hubungan yang signifikan antara inteligensi, career self-efficacy, status sosial ekonomi orangtua dan pengambilan keputusan karier siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan sebesar 40,2%. Secara bersama-sama inteligensi dan career self-efficacy mampu memberikan sumbangan efektif yang sangat signifikan, jika dibandingkan dengan sumbangan efektif inteligensi dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier, dan sumbangan efektif secara bersama-sama career self-efficacy dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier siswa.
Kata Kunci : Hubungan, Inteligensi, Career Self-efficacy, Status Sosial Ekonomi, Pengambilan Keputusan Karier
Menghadapi era globalisasi dan modernisasi yang berkembang pesat di abad 21 ini, maka tuntutan mendasar bagi sumber daya manusia (human resource) Indonesia adalah tersedianya tenaga-tenaga kerja profesional yang memiliki kemampuan abstrak (abstract ability) dan kemampuan terapan (applied ability) yang tinggi dalam dunia kerja (Joni, 2005). Tuntutan zaman ini, mengedepankan kualitas SDM yang handal dan profesional, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kualitas diri yang berorientasi pada prestasi kerja (achievement), rasional, produktif, dan memiliki moralitas yang tinggi (Ardhana, 2003). Terkait dengan tuntutan tersebut, maka diperlukan kerja keras dari lembaga pendidikan formal untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki prestasi kerja yang tinggi dalam jabatan karier (jabatan pekerjaan) yang akan di embannya.
3 Tidak dapat dihindari bahwa pekerjaan (occupation, vocation, career) merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia dewasa yang sehat, di mana pun dan kapan pun mereka berada. Betapa orang akan merasa sangat susah dan gelisah apabila tidak memiliki pekerjaan yang jelas, apalagi kalau sampai menjadi penganggur. Demikian pula akan banyak orang yang mengalami stres dan frustasi dalam hidup karena masalah pekerjaan. Menurut Herr dan Crammer (dalam Isaacson, dan Brown 1993) pekerjaan memiliki peran yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologis. Secara ekonomis orang yang bekerja akan memperoleh penghasilan atau uang yang bisa digunakan untuk membeli barang dan jasa dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Secara sosial orang yang memiliki pekerjaan akan lebih dihargai oleh masyarakat daripada orang yang menganggur. Lebih lanjut secara psikologis orang yang bekerja akan dapat meningkatkan harga diri dan kompetensi diri. Pekerjaan tidak serta merta merupakan karier. Kata pekerjaan (work, job, employment) menunjuk pada setiap kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa (Isaacson, dan Brown 1993). Sedangkan definisi karier adalah suatu rangkaian keseluruhan kedudukan yang menempati posisi besar yang berhubungan dengan sebelum bekerja, bekerja, dan setelah bekerja, termasuk seluruh posisi hubungan kerja seperti mahasiswa, pegawai, pensiunan, termasuk didalamnya kegemaran hubungan
keluarga, dan posisi
sebagai warga negara. Karier hanya ada sebagai orang yang mengejarnya, dan mereka berpusat pada orang (person centered) Super, 1976 (dalam Healy, 1982). Oleh karena itu pilihan untuk memilih sebuah alternatif dan membuat suatu keputusan karier lebih memerlukan persiapan dan perencanaan yang matang dari pada hanya sekedar pekerjaan yang sifatnya sementara waktu. Mengingat pentingnya masalah karier dalam kehidupan manusia, maka sejak dini anak perlu dipersiapkan dan dibantu dalam merencanakan hari depan yang lebih cerah
4 dengan cara memberikan pendidikan dan bimbingan karier yang berkelanjutan. Siswa SMA sebagai salah satu sumber daya manusia yang amat potensial bagi bangsa dimasa depan, sudah saatnya diberdayakan dalam berbagai pengetahuan dan keterampilan kerja. Kelompok usia ini, tergolong usia remaja (12-18 tahun) dan memiliki ciri kepribadian yang berbeda dengan kelompok usia anak (childhood) dan dewasa (adulthood). Menurut Santrock (2003:34) remaja (adolecence) adalah masa perkembangan transisi dari masa anak (childhood) ke masa dewasa awal (arly adulthood), dimulai kira-kira usia 10-12 tahun dan berakhir usia 18-22 tahun. Masa adolecence, oleh Hall (dalam Santrock, 2003:13) disebut sebagai “topan dan badai”, artinya masa yang tidak stabil dan penuh dengan banyak masalah. Sedangkan, Shertzer dan Stone (1981:3) menggeneralisasikan masa remaja sebagai :1) masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa, 2) ditandai dengan perubahan fisik dan seksual (masa pubertas) yang pesat, dan 3) remaja mulai mencari kebebasan emosional, sosial, dan ekonomi. Terkait dengan ciri remaja tersebut, maka disimpulkan bahwa remaja adalah masa yang penuh dengan “storm, stress, dan conflict” Hall (dalam Santrock, 2003; Shertzer dan Stone, 1981), sehingga sukar dalam menentukan masa depannya, termasuk pembuatan keputusan untuk jabatan karier yang congruence bagi dirinya, sebab itu remaja butuh bimbingan intensif dari orang tua dan guru ( Shertzer dan Stone, 1981). Menurut Grotevant (dalam Archer, 1994) bahwa sekolah merupakan konteks sosial yang berpengaruh dalam keputusan vokasional bagi remaja. Di sekolah, remaja dapat memperoleh berbagai macam informasi mengenai alternatif pilihan pendidikan lanjutan, dan perencanaan pekerjaan melalui proses belajar mengajar dan bimbingan karier. Bimbingan yang intensif dan terarah kepada remaja, menurut Shertzer dan Stone (1981) menjadi tanggung jawab sekolah, yakni “to designe a programe and to provide services that will enable student to learn to live in the world in such a way that they will leave their
5 mark upon it”. Sebaliknya, jika layanan yang kurang terarah dari sekolah kepada remaja, maka berdampak buruk bagi pembentukan diri yang baik. Remaja membutuhkan lebih banyak kesempatan untuk melatih dan membahas pengambilan keputusan yang realistis. Banyak keputusan dalam dunia nyata diambil dalam situasi stres yang mengandung faktor-faktor keterbatasan waktu dan pelibatan emosional. Sejalan dengan keterlibatan remaja dalam mengambil keputusan, maka eksplorasi, pengambilan keputusan, perencanaan dan perkembangan identitas sangat memegang peranan penting dalam pemilihan karier oleh remaja. Meskipun beberapa anak remaja yang diharuskan untuk membuat keputusan karier awal benar-benar dapat melakukannya dengan mudah, namun kebanyakan anak remaja lain akan menghadapi kesulitan sebelum atau selama proses aktual dalam pengambilan keputusan. Kesulitan-kesulitan tersebut mungkin akan menyebabkannya berusaha untuk mentransfer tanggung jawab untuk membuat kelompok dengan orang lain atau bahkan menunda dan menghindari pembuatan sebuah keputusan. Terkadang pula kebanyakan keputusan pemilihan karier yang dibuat oleh para remaja mengalami perubahan yang menyulitkan dan tak terduga. Banyak remaja yang tidak cukup banyak mengeksplorasi pilihan karier sendiri dan juga menerima terlalu sedikit bimbingan karier dari pembimbing di sekolah mereka. Dengan kata lain kebanyakan sekolah, para siswa pada umumnya tidak tahu informasi yang perlu dicari mengenai karier, dan mereka bahkan tidak tahu bagaimana cara mencarinya. Penelitian Taveira, Silva, Rodriguez dan Maia (1998), (dalam Gati, 2001) menemukan bahwa anak remaja melaporkan tentang tingkat stress yang tinggi pada diri mereka terkait dengan eksplorasi karier, dan umumnya aktivitas tentang pengambilan keputusan. Fenomena-fenomena di lapangan juga menunjukkan adanya kekurangan bimbingan terhadap diri siswa, berdampak pada pilihan jurusan di PT dan karier karena
6 tidak cocok dengan minatnya, sehingga banyak dijumpai siswa/mahasiswa putus sekolah dan sulit mencari pekerjaan. Penelitian yang dilakukan Budirahayu (2001), terhadap 113 responden siswa kelas III SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 16 Surabaya, ditemukan sebanyak 98,2% responden berencana melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sementara 0,9% responden menyatakan keinginan langsung untuk bekerja selepas SMA. Besarnya animo siswa SMA untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi berkaitan dengan titel atau gelar strata satu yang kelak disandang apabila lulus dari sana. Penelitian ini menggambarkan bahwa siswa SMA mengalami kendala dalam membuat keputusan dan pilihan jurusan di PT dan karier
ketika tamat SMA, sehingga diasumsikan banyak siswa yang bingung dalam
memilih karier yang cocok bagi dirinya. Inteligensi, sebagai salah satu faktor dalam menentukan keberhasilan studi dan karier siswa, dapat diartikan sebagai kapasitas keseluruhan dari individu untuk bertindak dengan bertujuan, berpikir secara rasional, dan menangani lingkungannya secara efektif Wechsler (dalam Wirawan, 2005:1). Inteligensi seseorang dapat diketahui berdasarkan klasifikasi IQ yang diperoleh melalui tes inteligensi. Tinggi dan rendahnya IQ akan menentukan tinggi atau rendahnya keberhasilan dalam pengambilan keputusan tentang karier, sehingga ditekankan sebagai salah satu faktor yang dinamis dan signifikan dalam pendidikan dan pilihan karier (Shertzer & Stone, 1981:336). Menurut Holland (dalam Brown dan Lent, 2005) faktor inteligensi (IQ) sudah tercakup di dalam klasifikasi tipe-tipe kepribadian; misalnya: individu yang integratif pada umumnya cerdas dan secara alami memiliki keterampilan penalaran analitik dan abstrak. Sehubungan dengan kondisi obyektif lapangan yang digambarkan di atas, maka dapat diasumsikan pula bahwa siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan juga mengalami kondisi yang sama, yaitu sulit dalam mengambil keputusan karier yang tepat sesuai minatnya. Hasil survei awal yang dilakukan pada beberapa SMA Negeri di
7 Pamekasan, program layanan bimbingan karier dan kondisi siswa setelah tamat SMA di Pamekasan, menunjukkan bahwa program layanan bimbingan karier kurang berjalan maksimal di sekolah. Hal tersebut diuraikan berikut ini. Pertama, guru kurang memiliki informasi tentang keadaan siswa, yang berhubungan dengan inteligensi dan kemampuan khusus (bakat) siswa. Kedua, orang tua lebih dominan dalam menentukan pilihan-pilihan PT dan jabatan karier (jabatan pekerjaan) anaknya (siswa), misalnya: orang tua mengarahkan anak untuk mengambil jurusan Tarbiyah, dakwah, pada IAIN / UIN dengan tidak memberikan kebebasan kepada anak untuk mengambil keputusan dan menentukan sendiri pilihan kariernya berdasarkan cita-cita yang diharapkan. Ketiga adalah anak (siswa) benar-benar belum mengerti tipe kepribadian dan tipe jabatan karier yang berhubungan dengan kemampuan dirinya, karena itu siswa selalu mengalami kesulitan setelah tamat SMA. Keempat; latar belakang dari setiap orang tua siswa berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang berlatar belakang sosial ekonomi rendah dengan pekerjaan sebagai nelayan dan petani, ada juga yang berasal dari sosial ekonomi tinggi karena orang tuanya seorang pegawai pemerintah atau wira swasta. Secara esensial setiap manusia, termasuk siswa di tingkat SMA menginginkan karier yang ideal dalam kehidupannya, yaitu suatu pekerjaan (career) yang benar-benar congruence dengan potensi dirinya dan karakteristik kepribadian serta cita-citanya. Jika hal ini terwujud maka ia akan merasa senang pada pekerjaannya, dan ia pun berupaya secara maksimal
untuk mengembangkan
segenap potensi yang dimilikinya dengan
melakukan berbagai aktivitas yang relevan, sehingga dapat mencapai prestasi kerja yang optimal Holland (dalam Brown & Lent, 2005; Shertzer & Stone, 1981). Kekurangsiapan dan bingungnya remaja mengenai orientasi masa depan yang berkaitan dengan pendidikan lanjutan dan perencanaan pekerjaan yang akan mereka hadapi, disebabkan dari adanya beberapa faktor. Pertama faktor yang mempengaruhi siswa dalam mengambil keputusan tentang karier di masa depannya adalah faktor internal seperti
8 : faktor jasmani (kesehatan, cacat tubuh), faktor psikologis (inteligensi, perhatian, bakat, minat, kesiapan). Kedua, faktor eksternal seperti : faktor keluarga (cara orang tua mendidik, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga), faktor sekolah (metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dan siswa, hubungan siswa dengan siswa), faktor masyarakat (teman bergaul, kehidupan masyarakat, mass media). Secara sistematik, faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap pertimbangan siswa SMA dalam pengambilan keputusan karir mereka (Budirahayu, 2001). Inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orang tua termasuk faktor dari dalam dan faktor dari luar individu, dan selanjutnya dalam penelitian ini dipilih sebagai fokus kajian, karena faktor-faktor ini diduga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan pekerjaan atau jabatan yang dilakukan siswa dan secara teoritis faktor tersebut berhubungan dengan pengambilan keputusan karier (Crites,1969). Krumboltz (dalam Brown, 2007) mengkategorikan faktor inteligensi (IQ) merupakan faktor dari dalam individu yang mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan karier seseorang. Hal ini diperkuat oleh R.J Stenberg 1990 (dalam Santrock, 2003) dalam teorinya yang disebut dengan Teori Triarchic (Triarchic Theory) mengemukakan bahwa inteligensi merupakan unit dasar pemrosesan informasi, mencakup segala komponen yang dipakai untuk memperoleh atau menyimpan informasi, menyimpan atau mengeluarkan informasi, memindahkan informasi, menyusun rencana, mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan menjelaskan strategi pemecahan masalah atau menerjemahkan pemikiran menjadi suatu tindakan. Ditinjau dari teori belajar sosial, menurut Krumboltz (dalam Brown, 2007) proses pengambilan keputusan karier pada siswa SMA dapat dipengaruhi oleh lingkungan peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap individu, termasuk keadaan sosial budaya dan kekuatan ekonomi. Orang tua dengan tingkat pendidikan dan penghasilan yang tinggi dimungkinkan akan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan karier pada anaknya. Hal
9 ini diperkuat oleh penelitian dari Ginzberg (1972) yang menyatakan bahwa anak dari kalangan keluarga ekonomi rendah tidak mempunyai pilihan sebanyak mereka yang berasal dari kalangan keluarga ekonomi kelas menengah ke atas (dalam Santrock, 2003). Sementara itu, Career self-efficacy juga menjadi salah satu faktor dari tiga faktor generalisasi observasi diri (SOG) dari teori yang dikemukakan Krumboltz. Seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi akan mampu mengatasi tugas-tugas perkembangan karier dan memecahkan persoalan yang berhubungan dengan karier, termasuk dalam pengambilan keputusan tentang kariernya. Ada berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli diantaranya yang dilakukan Brown (2002:48-56), bahwa ada beberapa proposisi dalam penelitian tersebut menunjukkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan pilihan karier seseorang. Adapun masalah-masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1). Apakah varian pengambilan keputusan karier siswa mampu dijelaskan oleh varian inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua? 2). Apakah varian inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua mampu memberi sumbangan efektif terhadap pengambilan keputusan karier siswa baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama? Tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 1). Untuk menguji apakah varian pengambilan keputusan karier siswa mampu dijelaskan oleh varian inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua ? 2). Untuk menguji sumbangan efektif varian inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan, baik sendirisendiri maupun secara bersama-sama. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif korelasional. Variabel-variabel yang dikaji dalam penelitian ini meliputi : variabel Inteligensi (X1), Career Self-Efficacy
10 (X2), variabel status sosial ekonomi orang tua (X3), dan variabel pengambilan keputusan Karier (Y). Penelitian ini tidak melibatkan orang tua dan guru. Informasi tentang pengambilan keputusan karier siswa diperoleh dari siswa yang mengikuti pendidikan pada SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan. Sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik
(multistage
random sampling) pengambilan sampel bertahap. Menurut Sugiarto dkk (2001) metode pengambilan sampel bertahap adalah metode pengambilan sampel yang dilaksanakan dalam dua tahap atau lebih sesuai dengan kebutuhan. Dalam metode pengambilan sampel bertahap ini pada tiap tahap pengambilan sampelnya dapat menggunakan metode pengambilan sampel yang sama ataupun berbeda. Adapun tahapan pengambilan sampel diuraikan berikut ini. a). Tahap pertama Pengambilan sampel pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan
metode
cluster sampling. Sugiyono (1999) menyatakan bahwa metode yang digunakan untuk memilih sampel yang berupa kelompok dari beberapa kelompok (group atau cluster) di mana setiap kelompok terdiri atas beberapa unit yang lebih kecil (elements). Jumlah elements dari masing-masing kelompok (size of the cluster) bisa sama maupun berbeda. Kelompok-kelompok tersebut dapat dipilih
baik dengan menggunakan metode acak
sederhana maupun acak sistimatis dengan pengacakan pada kelompok pertamanya saja. Dari 9 SMA Negeri yang ada di kabupaten Pamekasan tersebar di 5 wilayah kecamatan diambil dengan cara random dan teknik undian. Undian dilaksanakan dengan cara terlebih dahulu membuat guntingan kertas sebanyak jumlah sekolah yang ada di 5 wilayah kecamatan kemudian menuliskan nama setiap sekolah yang ditentukan menjadi anggota sampel pada tiap kecamatan. Kecamatan Pamekasan terdapat 4 sekolah, yaitu SMA Negeri 1, 3, 4 dan 5, ditentukan satu sekolah dan sesuai undian terpilih SMA Negeri 4. Kecamatan Pademawu 2 sekolah, yaitu SMA Negeri 2 Pamekasan, SMA Negeri 1
11 Pademawu, ditentukan 1 sekolah dan sesuai undian terpilih SMA Negeri 2. Sedangkan kecamatan Galis 1 sekolah, yaitu SMA Negeri 1 Galis, Kecamatan Pakong 1 sekolah, yaitu SMA Negeri 1 Pakong, dan Kecamatan Waru 1 sekolah, yaitu SMA Negeri 1 Waru. Ketiga wilayah kecamatan tersebut masing-masing 1 sekolah, sehingga tidak dilakukan lagi undian, namun langsung ditetapkan sebagai sekolah sampel. Dengan demikian dari daftar sekolah-sekolah SMA Negeri yang ada di kabupaten Pamekasan terdapat 5 sekolah yang akan dipilih sebagai kelompok sampel sebagaimana dikemukakan dalam Tabel berikut ini: No.
Wilayah/ Kecamatan
Nama Sekolah
1
Pademawu
SMAN 2 Pamekasan
2
Pamekasan
SMAN 4 Pamekasan
3
Galis
4
Pakong
5
Waru
SMAN 1 Galis Pamekasan SMAN 1 Pakong Pamekasan SMAN 1 Waru Pamekasan TOTAL
Bidang Studi IPA IPS IPA IPS IPA IPS IPA IPS IPA IPS
Kelas L P 99 136 97 27 53 69 109 56 53 75 82 23 36 33 36 4 67 58 26 6 658
487
TOTAL 235 124 122 165 128 105 69 40 125 32 1145
b). Tahap ke dua Dari setiap sekolah yang terpilih sebagai kelompok sampel, selanjutnya ditentukan jumlah subyek yang dijadikan anggota sampel. Dalam penentuan besarnya sampel para ahli memberikan formula yang berbeda-beda. Gay (1990), yang menyarankan untuk corelational studies harus lebih dari 30 subyek. Lebih lanjut Slaven (dalam Sevilla dkk, 1993) yang menyatakan bahwa penentuan besarnya sampel dapat dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut :
n=
N 1 + N (e) 2
Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi
12 e = nilai kritis (batas ketelitian) Dengan populasi N = 2030 dan e ditetapkan 0,05 maka melalui perhitungan dengan menggunakan rumus sebagaimana tersebut diatas diperoleh n = 334. Untuk menentukan jumlah responden di tiap sekolah dan kelas ditentukan secara proporsional. Penentuan dilakukan dengan cara melihat jumlah siswa dari masing-masing sekolah sampel dibagi dengan jumlah siswa pada keseluruhan sekolah sample yaitu 1145 dan dikalikan dengan besarnya sample (n = 334). Hasil perhitungan dinyatakan dalam Tabel sebagai berikut : No.
Nama Sekolah
1
SMAN 2 Pamekasan
2
SMAN 4 Pamekasan
3
SMAN 1 Galis Pamekasan
4
SMAN 1 Pakong Pamekasan
5
SMAN 1 Waru Pamekasan
Bidang Studi IPA IPS IPA IPS IPA IPS IPA IPS IPA IPS
TOTAL
Kelas L P 29 40 28 8 16 20 32 16 15 22 24 7 10 10 11 1 19 17 7 2 191
143
TOTAL 69 36 36 48 37 31 20 12 36 9 334
Selanjutnya untuk menentukan siswa mana yang menjadi responden dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling. Teknik random sampling dilakukan dengan cara pemilihan sekolah sampel. Teknik penentuan dengan membuat guntingan kertas sebanyak jumlah siswa di kelas dan menuliskan pada setiap kertas secara berurut dari angka 1 sampai sama dengan jumlah responden yang dibutuhkan dalam setiap kelas. Dengan demikian ada guntingan kertas yang kosong. Semua gulungan kertas dimasukkan dalam kotak lalu di kocok kemudian di cabut oleh setiap siswa, masing-masing satu gulungan kertas. Siswa yang terpilih sebagai responden adalah mereka yang mencabut kertas yang bertuliskan angka. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tes inteligensi CFIT skala 3 Bentuk A dan B, inventori
career self- efficacy dengan
13 menggunakan Skala Penilaian Career Self-Efficacy (SPCS), angket status sosial ekonomi orang tua dan inventori pengambilan keputusan karier siswa. Data yang terkumpul dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis, yaitu: multiple regression. Sedangkan pengolahan data
dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer Statistic Pacage for Social Sciencies (SPSS) 13.0. Deskripsi data ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang (1). Pengambilan keputusan karier, (2). Inteligensi, (3). Career self-efficacy, dan (4). Status sosial ekonomi orangtua siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan. Data variabel pengambilan keputusan karier siswa yang berhasil dikumpulkan secara kuantitatif dari 334 responden atau n = 334, diperoleh skor maksimum = 146 dan skor minimum = 72. Kemungkinan skor pengambilan keputusan karier terendah adalah 39 dan kemungkinan skor pengambilan keputusan karier siswa
tertinggi 156. Untuk
memperoleh tiga kriteria pengambilan keputusan karier siswa (tinggi, sedang, dan rendah) dilakukan dengan cara skor pengambilan keputusan karier siswa tertinggi dikurangi skor pengambilan keputusan karier siswa terendah, yaitu 156 – 39 = 117, selanjutnya dibagi tiga menjadi 117 : 3 = 39. Dari 334 responden diketahui bahwa 108 orang siswa atau sebesar 32,3% siswa berada pada kategori pengambilan keputusan karier tinggi. Sebagian besar pengambilan keputusan karier siswa berada pada kategori sedang dengan frekuensi 225 orang siswa atau 67,4%, sedangkan siswa yang berada pada kategori pengambilan keputusan karier rendah sebanyak 1 orang siswa atau sebesar 0,3%. Dengan memperhatikan distribusi frekuensi pengambilan keputusan karier siswa, dapat disimpulkan bahwa tingkat pengambilan keputusan karier siswa XI SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan cenderung berada pada kategori sedang dengan frekuensi sebesar 67,4%, sisanya sebesar 32,3% berada pada kategori tinggi, dan 0,3% berada pada kategori rendah.
14 Data inteligensi yang dikumpulkan berdasarkan hasil tes inteligensi CFIT menunjukkan bahwa skor IQ tertinggi 169 dan skor terendah 70. Dari 334 responden diketahui bahwa 16 orang siswa atau sebesar 4,8% memiliki klasifikasi inteligensi superior, 57 orang siswa atau sebesar 17,1% berada pada klasifikasi inteligensi diatas rata-rata, sebagian besar yaitu 171 orang siswa atau sebesar 51,2% memiliki klasifikasi inteligensi rata-rata, dan 90 orang siswa atau sebesar 26,9% memiliki klasifikasi inteligensi Di bawah rata-rata. Dengan memperhatikan distribusi frekuensi, dapat disimpulkan bahwa tingkat inteligensi siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan cenderung berada pada kategori rata-rata dengan frekuensi sebesar 51,2%, sisanya 26,9% berada pada kategori di bawah rata-rata, 17,1% berada pada kategori di atas rata-rata, dan 4,8% berada pada kategori superior. Data variabel career self-efficacy yang berhasil dikumpulkan secara kuantitatif dari 334 responden atau n = 334, diperoleh skor maksimum = 295 dan skor minimum = 170. Kemungkinan skor career self-efficacy terendah 79 dan kemungkinan skor career selfefficacy tertinggi 316. Untuk memperoleh tiga kriteria career self-efficacy (tinggi, sedang, dan rendah) dilakukan dengan cara skor career self-efficacy tertinggi dikurangi skor career self-efficacy terendah, yaitu 316 – 79 = 237, selanjutnya dibagi tiga menjadi 237 : 3 = 79. Dari 334 responden diketahui bahwa sebagian besar memiliki Career Self-Efficacy sedang yaitu 252 orang siswa atau sebesar 75,4%. Sedangkan sisanya 82 orang siswa atau sebesar 24,6% memiliki career self-efficacy tinggi. Dengan memperhatikan distribusi frekuensi career self-efficacy, dapat disimpulkan bahwa tingkat career self-efficacy siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan cenderung berada pada kategori sedang dengan frekuensi sebesar 75,4% dan sisanya sebesar 24,6% berada pada kategori tinggi. Data variabel status sosial ekonomi orang tua yang berhasil dikumpulkan secara kuantitatif dari 334 responden atau n = 334, diperoleh skor maksimum = 11 dan skor minimum = 3. Kemungkinan skor status sosial ekonomi orang tua terendah 3 dan
15 kemungkinan skor status sosial ekonomi orangtua tertinggi 12. Untuk memperoleh tiga kriteria status sosial ekonomi orang tua (tinggi, sedang, dan rendah) dilakukan dengan cara skor status sosial ekonomi orangtua
tertinggi dikurangi skor status sosial ekonomi
orangtua terendah, yaitu 12 – 3 = 9, selanjutnya dibagi tiga menjadi 9 : 3 = 3. Dari 334 responden diketahui bahwa 67 orang siswa atau sebesar 20,1% status sosial ekonomi orangtua siswa berada pada kategori tinggi. Sebagian besar orangtua mereka berada pada kategori status sosial ekonomi sedang yaitu 220 orang atau sebesar 65,9%, dan 47 orangtua siswa atau sebesar 14,1% berada pada kategori rendah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat status sosial ekonomi orang tua siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan cenderung berada pada kategori sedang dengan frekuensi sebesar 65,9%, sisanya sebesar 20,1% berada pada kategori tinggi, dan 14,1% berada pada kategori rendah. Berdasarkan hasil analisis dinyatakan bahwa ada hubungan yang positif secara bersama-sama antara inteligensi, career self-efficacy, status sosial ekonomi orangtua dengan pengambilan keputusan karier siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan. Metode yang digunakan dalam teknik analisis regresi ini adalah metode enter dan stepwise. Dari uji yang dilakukan diperoleh koefisien korelasi (R) = 0,634, R2 = 0,402 dan Adjusted R2 = 0,396. Hal ini menunjukkan besarnya hubungan R koefisien korelasi R2 koefisien determinasi. Untuk mengetahui signifikan tidaknya hubungan dilihat pada nilai F. Dari uji ANOVA, diperoleh nilai Fhitung = 73,813, dan nilai signifikansi 0,000 < 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara Inteligensi, Career Self-Efficacy, dan Status Sosial Ekonomi Orangtua dengan Pengambilan Keputusan Karier Siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan. Secara keseluruhan sumbangan efektif inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua siswa terhadap pengambilan keputusan karier siswa tercermin pada nilai R2 0,402 atau 40,2% variasi pengambilan keputusan karier dipengaruhi oleh
16 ketiga faktor masing-masing inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orang tua. Dari hasil analisis dengan menggunakan metode stepwise maka diketahui bahwa sumbangan efektif career self-efficacy terhadap pengambilan keputusan karier yang tercermin pada nilai koefisien determinasi R2 0,320 atau 32%. Secara berpasangan diketahui sumbangan efektif terbesar terhadap pengambilan keputusan karier adalah career self-efficacy dan inteligensi. Besarnya sumbangan tersebut tercermin pada nilai koefisien determinasi R2 0,387. Untuk mengetahui besarnya sumbangan efektif inteligensi terhadap pengambilan keputusan karier dilakukan dengan cara, besarnya sumbangan efektif career self-efficacy dan inteligensi yang tercermin pada nilai R2 0,387 dikurangi dengan besarnya sumbangan efektif yang tercermin pada nilai R2 0,320 sehingga menjadi 0,387 – 0,320 = 0,067. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangan efektif inteligensi terhadap pengambilan keputusan karier sebesar 0,067 atau 6,7% lebih kecil dari sumbangan efektif career selfefficacy terhadap pengambilan keputusan karier siswa. Untuk mengetahui sumbangan efektif status sosial ekonomi orangtua siswa terhadap pengambilan keputusan karier dilakukan dengan cara, melihat besarnya sumbangan efektif secara keseluruhan variable independen yaitu inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua terhadap variable dependen yaitu pengambilan keputusan karier siswa yang tercermin pada nilai R2 0,402 dikurangi dengan sumbangan efektif yang diberikan inteligensi dan career self-efficacy terhadap pengambilan keputusan karier sehingga menjadi 0,402 – 0,387 = 0,015. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangan efektif yang diberikan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier siswa sebesar 0,015 atau 1,5% lebih kecil dari sumbangan efektif career self-efficacy terhadap pengambilan keputusan karier dan sumbangan efektif inteligensi terhadap pengambilan keputusan karier. Dengan demikian jika dibandingkan antara sumbangan efektif masing-masing variable independen terhadap variable dependen, maka sumbangan efektif terbesar terhadap pengambilan keputusan karier siswa adalah career self-efficacy yaitu sebesar 0,320 atau 32%.
17 Bila dilihat dari sumbangan efektif inteligensi dan career self-efficacy terhadap pengambilan keputusan karier, inteligensi dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier, career self-efficacy dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier, sumbangan efektif terbesar adalah inteligensi dan career self-efficacy terhadap pengambilan keputusan karier siswa dengan nilai 0,387 atau sebesar 38,7%. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara bersama-sama antara inteligensi, career self-efficacy, status sosial ekonomi orangtua dan pengambilan keputusan karier siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan. Dari pengujian yang dilakukan melalui metode enter maupun stepwise diperoleh nilai koefisien (r) 0,634, R2 = 0,402 dan Adjusted R2 = 0,396. Dari uji ANOVA, diperoleh nilai Fhitung = 73,813, dan nilai signifikansi 0,000 < 0,05. Dengan demikian, berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode stepwise diperoleh hasil terdapat sumbangan efektif inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua secara bersamasama terhadap pengambilan keputusan karier siswa. Walaupun demikian nilai yang tercermin dari koefisien determinasi (R2) tergolong rendah hanya sebesar 0,402 atau 40,2%. Ini berarti hanya sebesar 40,2% variasi pengambilan keputusan karier dipengaruhi oleh ketiga faktor yaitu inteligensi (X1), sebesar 0,067 atau 6,7%, career self-efficacy (X2), sebesar 0,320 atau 32%, dan status sosial ekonomi orang tua (X3), sebesar 0,015 atau 1,5%. Di antara tiga variabel tersebut, career self-efficacy memiliki koefisien pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan inteligensi dan status sosial ekonomi orangtua. Selain itu, bila dilihat secara bersama-sama sumbangan efektif inteligensi dan career self-efficacy terhadap pengambilan keputusan karier, secara bersama-sama inteligensi dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier, secara bersama-sama career self-efficacy dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier, sumbangan efektif terbesar diantara faktor-faktor tersebut adalah inteligensi dan career
18 self-efficacy terhadap pengambilan keputusan karier siswa dengan nilai 0,387 atau sebesar 38,7%. Hal ini secara singkat dapat dijelaskan bahwa meskipun inteligensi dan status sosial ekonomi orangtua cenderung lebih kecil pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan karier dibandingkan dengan career self-efficacy, akan
tetapi kedua faktor tersebut tidak
boleh dibiarkan. Dan berdasarkan hasil analisis bahwa Career self-efficacy memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan kedua faktor yang ada, maka Career self-efficacy perlu mendapat perhatian utama dalam meningkatkan Career self-efficacy siswa. Faktor utama yang menyebabkan hubungan signifikan secara bersama-sama sebagaimana teori Krumboltz 1977 (dalam Brown, 2007:66) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan karier secara garis besar dipengaruhi oleh empat kategori yaitu : 1) sumbangan genetik dan kemampuan khusus, 2) kejadian-kejadian dan kondisi lingkungan, 3) pengalaman belajar, 4) ketrampilan-ketrampilan pendekatan tugas. Disamping itu, terdapat juga faktor-faktor lain yang berpengaruh secara relevan terhadap pengambilan keputusan karier, yaitu : 5) generalisasi-generalisasi observasi-diri (SOG), 6) generalisasigeneralisasi pandangan dunia, 7) ketrampilan-ketrampilan pendekatan tugas dan pengambilan keputusan karier. Seseorang mengambil keputusan karier (Mitchell & Krumboltz, 1987) karena ia terlibat dalam berbagai perilaku yang mengarah ke suatu karier. Beberapa
perilaku
pengambilan keputusan karier antara lain : bersekolah serta memasuki program latihan, melamar pekerjaan, peningkatan pekerjaan, berubah jabatan atau memasuki pekerjaan baru. Dasar pelaksanaan perilaku tersebut menurut teori belajar adalah munculnya minat akibat dari generalisasi pengamatan diri yang berasal dari pengalaman belajar sebelumnya. Interaksi dari pengalaman belajar, sifat-sifat bawaan, kemampuan khusus dan pengaruh lingkungan menghasilkan ketrampilan pendekatan tugas yang sangat penting dalam pengambilan keputusan karier.
19 Ketrampilan yang dimaksud meliputi : 1) mengenal situasi keputusan yang penting, 2) menetapkan keputusan atau tindakan yang dapat dikelola dan realistik, 3) memeriksa dan menilai secara cermat dan tepat generalisasi pandangan atas dunia, 4) menyusun alternatif-alternatif yang luas dan beragam, 5) mengumpulkan informasi yang diperlukan tentang alternatif-alternatif, 6) menentukan sumber informasi mana yang paling andal, 7) merencanakan dan melaksanakan urutan dan langkah-langkah pengambilan keputusan. Dari hasil analisis multiple regression secara keseluruhan ditemukan terdapat hubungan yang signifikan antara inteligensi, career self-efficacy, status sosial ekonomi orangtua dan pengambilan keputusan karier siswa SMA Negeri di Kabupaten Pamekasan sebesar 40,2%, Varian pengambilan keputusan karier dipengaruhi oleh inteligensi, career self-efficacy, status sosial ekonomi orangtua. Hal ini berarti varian Pengambilan Keputusan Karier sebesar 59,8% yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Temuan ini membuktikan bahwa secara bersama-sama inteligensi dan career self-efficacy mampu memberikan sumbangan efektif yang sangat signifikan, jika dibandingkan dengan sumbangan efektif inteligensi dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier, dan sumbangan efektif secara bersama-sama career self-efficacy dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier siswa. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan penelitian, dikemukakan saran-saran sebagai berikut : 1) Career self-efficacy memberikan sumbangan efektif yang paling signifikan terhadap pengambilan keputusan karier. Oleh karena sumbangan efektif yang sangat signifikan adalah career self-efficacy, maka para konselor sekolah perlu menyusun materi bimbingan karier secara profesional bagi siswa, dan melakukan penajaman program dibidang karier. Agar siswa semakin memahami diri terutama yang hubungan dengan masalah-masalah karier mereka dimasa depan. 2). sumbangan efektif inteligensi lebih kecil di bandingkan dengan career self-efficacy terhadap pengambilan keputusan karier siswa. Untuk itu, konselor sekolah dapat memberikan bimbingan karier kepada siswa yang
20 mendapat hasil tes inteligensi di bawah rata-rata, rata-rata, di atas rata-rata, maupun superior. Agar mereka lebih mengenal dan memahami diri sendiri dan bisa meningkatkan kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri secara optimal. 3). sumbangan efektif status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier siswa lebih kecil di bandingkan dengan sumbangan efektif
inteligensi dan career self-efficacy. Konselor
sekolah dapat memberikan materi bimbingan karier secara lebih profesional kepada siswa, baik yang status sosial ekonomi orangtuanya rendah, sedang, maupun tinggi. Agar siswa dapat lebih memahami diri dan menerima keadaan yang terjadi pada mereka secara normal. 4). secara empiris, ketiga variable independen yaitu, inteligensi, career self-efficacy, dan status sosial ekonomi orangtua secara bersama-sama memberikan sumbangan efektif terhadap pengambilan keputusan karier siswa, maka para konselor sekolah dalam menyusun materi bimbingan karier diharapkan melakukan analisis kebutuhan (need assesmen) agar konselor lebih memahami siswa yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan karier. 5). oleh karena temuan menunjukkan bahwa secara keseluruhan sumbangan efektif inteligensi, career selfefficacy, dan status sosial ekonomi orangtua terhadap pengambilan keputusan karier sebesar 40,2%, dan sebesar 59,8% tidak dijelaskan dalam penelitian ini, maka perlu dilakukan
penelitian
lanjutan
tentang
pengambilan
keputusan
karier
dengan
memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengambilan keputusan karier seperti kejadian-kejadian dan kondisi lingkungan (kekuatan sosial, kultural, dan kekuatan politik).
21
DAFTAR RUJUKAN
Archer. Sally, L. (1994), Intervention for Adolescent Identity Development, Newbuy Park : Sage Publiscation. Inc. Ardhana W. (2003), Bahan Kuliah (LANDIKJAR), Tidak diterbitkan. Brown D. & Lent W. R. (2005). Career Development and Counseling; Putting Theory and Research to Work.New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Brown D. (2007) Career Information, Career Counseling, and Career Development, Pearson Education, Inc. Brown,S.D, (2002) The Role of Work and Cultural Values in Occupational Choice, Satisfaction, and Success: A Theoretical Statement. Journal of Counseling & Development, Vol.80.hal.48-55. Budirahayu. Tuti, Sudarso, Yayan S.S. (2001). Pola Pemilihan Jurusan di Perguruan Tinggi dan Rencana Bekerja pada Siswa-siswa Sekolah Menengah Umum : Studi deskriptif tentang aspirasi pendidikan dan pekerjaan pada siswa SMU setelah mereka lulus sekolah. Jurnal Penelitian Dinamika Sosial. Vol 2. 2 Agustus 2001, hal 70-78. Gati, Itamar., & Soka, Noa. (2001). High School Students’ Career-Related DecisionMaking Difficulties. Journal of Counseling & Development. Vol. 79. hal 331-340. Gay, L.R. (1990), Educational Research: Competencies for Analysis and Application (3th ed). New York: Macmillan Publishing Company. Healy, C.C. (1982). Career Development Counseling Through The Life Stages. University California. LA. Issacson E. L, Brown D. (1993). Career Information, Career Counseling, and Career Development. (5th Edition), Boston: Allyn & Bacon. Mitchell, L. dan Krumboltz, J.D. (1987). Social Learning Approach to Career Decision Making: Krumboltz theory. Dalam D. Brown & L. Brooks (ed.). Career Choice & Development. San Francisco: Jossey-Bass. Santrock, J.W (2003). Adolescence (Perkembangan Remaja), PT. Gelora Aksara Pratama. Sevilla, C. G., Ochave, J. A., P, T.G.,Regala, B. P., & Uriarte, G.G., (1993). Pengantar Metode Penelitian. (Alih bahasa oleh Amimudin Tuwu). Jakarta: UI Press. Shertzer, C., Stone, S.C (1981), Fundamentals of Guidance (Fourth edition), Houghton Mifflin.
22 Sugiarto, Siagian, D. Surayanto L.T., & Oetomo, D.S. (2001). Teknik Sampling. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Wirawan, G. Y. (2005). Tes Intelegensi. Makalah, materi pelatihan sertifikasi tes bagi konselor pendidikan angkatan IX. Malang. PPS Universitas Negeri Malang.
Pengembangan Self Regulated Learning (SRL) Melalui Mata Pelajaran Matematika Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Sumbersari I Kota Malang. Oleh Witaningsih ABSTRAK Adapun penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menemukan tindak pembelajaran yang dapat mengembangkan SRL pada siswa SD melalui mata pelajaran matematika; (2) Mendeskripsikan perubahan SRL siswa pada mata pelajaran matematika, setelah dilakukan task analysis dan experiential learning; (3) Mengetahui peningkatan prestasi belajar akibat dari perubahan SRL siswa setelah dilakukan tindak pembelajaran matematika. Penelitian ini dilaksanakan dengan desain penelitian tindakan kelas (PTK) dengan model siklus. Instrumen penelitian yang digunakan ialah observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi. Teknik analisis data dengan analisis deskriptif dan untuk prestasi belajar diuji dengan statistik non parametrik dengan uji Wilcoxon. Adapun hasil penelitian tindakan kelas ini ialah : (1) ditemukannya seperangkat langkah tindak pembelajaran yang mampu meningkatkan SRL siswa, yaitu : (a) guru membuat task analyisis/ langkah-langkah pengerjaan soal untuk setiap tugas yang dilakukan siswa; (b) guru mengajarkan task analysis/ langkah-langkah sesuai dengan skenario pembelajaran; (c) guru menugaskan siswa untuk mengerjakan tugas di kelas sesuai dengan task analysis; (d) guru menyuruh siswa mengerjakan sendiri tugas sesuai dengan task analysis; (e) guru menyuruh siswa mengoreksi kembali apakah langkah-langkah yang dilakukan sudah benar/sesuai dengan langkah yang diajarkan; (f) guru memberikan pekerjaan rumah (PR) sesuai tugas individu; (g) guru mengadakan wawancara kepada siswa yang mengalami kesulitan; (2) berdasarkan data hasil belajar siswa dengan telah diberikannya tindakan pembelajaran yang dirancang dengan strategi yang mendorong berkembangnya SRL siswa, ternyata telah terjadi peningkatan prestasi siswa secara signifikan. Kata kunci : pengembangan, self regulated learning, pelajaran matematika, sekolah dasar.
PENDAHULUAN
Hal yang menarik perhatian masyarakat Indonesia adalah masalah mutu pendidikan karena masa depan bangsa tergantung kepada pendidikan terutama disaat memasuki era globalisasi. Diakui bahwa mutu pendidikan pada umumnya dan prestasi belajar di sekolah khususnya merupakan hasil dari suatu proses interaksi berbagai faktor, yaitu guru, siswa, kurikulum, buku paket, metode pembelajaran, laboratorium, peraturan perundang-undangan
1
di bidang pendidikan dan berbagai input serta kondisi proses lainnya (Alhadza, 2001). Demikian pula Ardhana menyatakan, bahwa mutu atau kualitas pendidikan, mau tidak mau harus diakui bahwa hasil pendidikan di Indonesia sebagian masih berkualitas rendah (Ardhana, 1992). Ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Faktor tersebut adalah faktor internal meliputi keadaan jasmani (kesehatan, cacat tubuh, kelelahan) , keadaan psikologis (inteligensi, perhatian, bakat, minat, kesiapan), dan faktor eksternal seperti keadaan keluarga (cara orang tua mendidik, suasana rumah, keadaan ekonomi), lingkungan sekolah (metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dan siswa, hubungan siswa dengan siswa), keadaan masyarakat (teman bergaul, kehidupan bermasyarakat, mass media). Secara sistematik faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan pada gilirannya berpengaruh terhadap keberhasilan belajar. Secara sistematik faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan pada gilirannya berpengaruh terhadap keberhasilan belajar. Jika sebagian dari faktor-faktor tersebut tidak menampakkan fungsi dan interaksinya, menyebabkan timbulnya hambatan dalam kegiatan belajar mengajar. Banyak permasalahan dalam proses belajar mengajar yang menyebabkan rendahnya hasil belajar, misalnya kurangnya motivasi belajar, kurangnya minat belajar, kondisi sosio-emosional yang kurang mendukung belajar, tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, sikap dan kebiasaan belajar yang kurang baik dan pengaturan diri yang salah. Selain itu menurut guru pengajar mata pelajaran matematika bahwa sebagian besar siswa menganggap pelajaran matematika adalah pelajaran yang sangat sulit sehingga siswa kurang menyenangi pelajaran matematika tersebut. Berkenaan dengan itu, sejak tahap pendidikan dasar dan menengah siswa perlu menerapkan self regulated learning (SRL). SRL adalah kemampuan siswa mengatur diri
2
dalam belajar. Penekanannya pada kemampuan dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi belajar. Kesempatan belajar mengatur diri sendiri (SRL) pada mata pelajaran matematika merupakan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas diri. Sasaran yang diharapkan ialah agar siswa dapat menguasai dengan baik pengetahuan yang diterima, dapat mengembangkan pengetahuan tersebut melalui kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, dan dapat mencapai serta mempertahankan prestasi akademik. Secara prinsipil, SRL menempatkan pentingnya kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas yang sulit. Pada sisi lain, SRL menekankan pentingnya pembelajaran siswa mengenai efektivitas atau kemampuan diri sendiri untuk menjadi lebih efektif. Pembelajaran yang diatur sendiri merupakan suatu tindakan yang diawali oleh diri sendiri. Tindakan tersebut melibatkan penentuan tujuan dan memantau diri sendiri, mengelola waktu, dan mengatur lingkungan fisik dan sosial. Proses pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah, memiliki tiga bidang pelayanan, yaitu (1) Bidang administrasi dan supervisi, (2) Bidang pengajaran dan kurikulum, (3) Bidang bimbingan. (Depdiknas, 2004) Ketiga bidang pelayanan tersebut tampaknya terpisah antara satu dengan yang lain, namun semuanya memiliki arah yang sama, yaitu memberikan kemudahan bagi pencapaian perkembangan siswa yang optimal. Antara bidang pelayanan satu dengan yang lain terdapat hubungan yang saling isi mengisi. Tujuan bimbingan dan konseling identik dengan tujuan pendidikan yaitu : membantu mengembangkan dan meningkatkan potensi individu, mengembangkan kemampuan dan keterampilan individu dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat
3
(Shertzer & Stone, 1981). Agar pelaksanaan layanan bimbingan di sekolah lebih efektif dan efisien, maka harus ditemukan faktor-faktor yang menjadi sumber masalah yang menghambat perembangan individu siswa, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Keberadaan bimbingan konseling di sekolah dimaksudkan untuk membantu kepala sekolah, guru, orang tua, dan siswa itu sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Shetzer & Stone, 1981:152). Peran bimbingan konseling tidak dapat dipisahkan dari usaha dan tujuan dasar pendidikan. Hal itu berarti, merupakan keharusan memasukkan layanan bimbingan ke dalam program-program sekolah. Secara konseptual, konsep di atas dibenarkan Gysbers (1988:11), bahwa pengajaran (teaching) mencakup bimbingan (guidance) dan pembelajaran (instruction). Tidak dapat dikatakan mana yang lebih dominan dari kedua hal itu dalam keseluruhan proses dan sistem pendidikan di sekolah. Demikian hal ini dipertegas lagi dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 (ayat) 6, yang mengukuhkan sebutan konselor serta menegaskan konselor sebagai pendidik. Pedoman Bimbingan dan Konseling di sekolah dasar (2004), tentang pendidikan dasar secara jelas menggambarkan fungsi bimbingan konseling sebagai bagian integral dari pendidikan. Dari pedoman tersebut terungkap bahwa bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan. Pada ayat 2 dikatakan bimbingan diberikan oleh guru pembimbing. Demikian pula, bantuan yang diberikan pembimbing kepada siswa meliputi bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan karier. Tugas bimbingan di sekolah dasar adalah tugas guru kelas. Dalam kenyataan guru kelas mengalami kesulitan terkait dengan tidak adanya
4
alokasi waktu yang khusus bagi pelayanan bimbingan dalam jadwal pengajaran di sekolah dan belum memadainya sarana dan prasarana bimbingan di sekolah. (Abdullah, 1995). Pengintegrasian bimbingan ke dalam pembelajaran secara legalistis sesuai dengan pola layanan di sekolah dasar yakni pola layanan-bimbingan yang terinfusi ke dalam mata pelajaran (Depdiknas, 2004:6). Riyanto (2002:44-59) menjelaskan pengintegrasian bimbingan ke dalam pembelajaran dapat saja terjadi apabila di dalam kelas terjadi transfer pengetahuan dan transfer nilai yang diwarnai oleh aktivitas eksplorasi diri. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa, proses layanan bimbingan belajar hanya terbatas pada pengajaran perbaikan, kegiatan pangayaan, peningkatan motivasi belajar, serta pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif. Materi bimbingan belajar yang berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan siswa belajar mengatur diri sendiri (SRL) belum banyak dikembangkan. Padahal, materi tersebut diperlukan siswa untuk mengatur cara belajar yang dirancangnya sendiri sebagai upaya mempertahankan dan meningkatkan prestasi akademiknya. Dalam kondisi semacam ini tidak dapat disangkal bahwa peran guru sekaligus sebagai konselor memang sangat dibutuhkan. Melalui guru, permasalahan perubahan perilaku belajar siswa dapat diatasi. Oleh karena itu, guru hendaknya melaksanakan berbagai upaya dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk belajar mengatur diri sendiri (SRL). Program pengembangan SRL pada siswa SD sangat penting khususnya dalam meningkatkan hasil belajar matematika. Berdasarkan pada penelitian laboratorium, beberapa teori dan proses pengaturan diri telah digambarkan sebagai suatu urutan di mana tiap tahap yang berbeda dapat diidentifikasi (Kanfer, 1971). Tahap pertama ini disebut tahap pemantauan diri atau pengamatan sendiri. Tahap yang kedua tentang pengaturan diri tahap
5
ini disebut tahap evaluasi diri. Tahap yang ketiga dari proses self regulated learning ialah proses motivasional. Penguasaan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap dasar yang direfleksikan dalam kemampuan berpikir dan bertindak yang bersifat dinamis, berkembang, dan dapat diraih setiap waktu. Kemampuan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti menguasai pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap-sikap dasar dalam melakukan sesuatu. Kemampuan berpikir dan bertindak itu didasari oleh budi pekerti luhur baik dalam kehidupan pribadi, sosial, kemasyarakatan, keberagamaan, dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Budi pekerti luhur itu sesuai dengan kaidah-kaidah agama, adat-istiadat, aturan keilmuan, hukum perundangan, dan kebiasaan yang berlaku, sehingga manajemen bimbingan konseling di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan sederajat diselenggarakan di bawah tanggung jawab Kepala Sekolah dan semua guru, serta wali kelas sebagai pelaksana utamanya, kecuali dalam pelajaran Agama dan Pendidikan Jasmani, dan didasarkan pada tingkatan perkembangan siswa yang masih berada pada taraf awal pendidikan. Pada
prinsipnya
pelayanan
kegiatan
bimbingan
dan
konseling
di
Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan sederajat mengacu pada jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung. Pelaksanaan jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung itu dapat dimodifikasi dalam pola-pola tertentu : a. Pola kegiatan kelas sehari-hari, yaitu memasukkan materi bimbingan dan konseling dalam kegiatan kelas sehari-hari, seperti bagaimana mengatur ketertiban dan kebersihan kelas, memulai dan mengakhiri kegiatan kelas, pergaulan antarsiswa, dan lain-lain.
6
b. Pola infusi ke dalam mata pelajaran,yaitu memasukkan atau mengkaitkan materi bimbingan dan konseling ke dalam mata pelajaran tertentu. Misalnya materi bimbingan tentang sopan santun dan tata krama pergaulan dimasukkan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan IPS; materi motivasi, disiplin dan ketrampilan belajar ke dalam setiap mata pelajaran; materi kesehatan, kebersihan dan keindahan lingkungan ke dalam pelajaran IPA dan pendidikan agama, atau sebaliknya guru menarik implikasi materi pelajaran terhadap materi bimbingan, misalnya ketika mengajarkan mata uang guru menarik implikasi tentang pentingnya sikap jujur, bertanggungjawab, hemat dan sebagainya. c. Pola ekstra kurikuler, yaitu menyelenggarakan bimbingan dan konseling di luar pengajaran dan tanpa melalui jenis layanan/pendukung bimbingan dan konseling tertentu, melainkan melalui kegiatan upacara bendera, jalan-jalan/darmawisata dan lain sebagainya (Depdiknas, 2004).
Dalam kegiatannya sehari-hari melayani siswa, selain mengajar sesuai dengan kurikulum dan jadwal pelajaran, guru kelas menyelenggarakan kegiatan bimbingan dan konseling menurut pola-pola tersebut di atas. Terselenggaranya semua layanan bimbingan dan konseling di sekolah dengan baik didukung oleh pengenalan dan pemahaman akan pentingnya layanan tersebut oleh berbagai pihak yang terkait yaitu Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Kepala cabang Dinas pendidikan Kecamatan, Pengawas, Komite Sekolah, Orang Tua Siswa, Kepala Sekolah dan Guru-guru. Karena itu semua pihak tersebut bertanggung jawab atas pengembangan dan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah (Depdiknas, 2004).
7
SRL sebagai aspek pribadi sosial harus sudah dilatihkan sejak taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas, sedangkan di SD mulai kelas satu seperti yang tercantum dalam kerangka dasar kurikulum 2004 berbasis kompetensi dan memuat program kegiatan pembiasaan dengan jumlah alokasi waktu 2 jam perminggu untuk kelas 3 sampai dengan kelas 6, sedang kelas 1 dan 2 program tersebut menyatu dalam kegiatan tematik. Menunjuk pada kerangka konseptual dan konsepsi legal formal tersebut di atas, maka kegiatan pendidikan harus selalu mensinergikan proses pembiasaan siswa dalam keseluruhan proses sosial budaya di lingkungannya dalam upaya mendukung berkembangnya seluruh potensi siswa secara utuh dan menyeluruh serta berlangsung sepanjang perjalanan dan konteks kehidupan dalam lingkungannya. Oleh karena itu yang dimaksud dengan pembiasaan adalah seperangkat pengaturan, tujuan, skenario, pelaksanaan kegiatan individual atau kelompok siswa di lingkungan sekolah atau di luar sekolah serta mengkondisikan lingkungan yang mampu menghasilkan dampak pengiring (nurturant effects) siswa. Hal ini, semakin memperkuat keimanan dan ketaqwaan, memperhalus akhlak, meningkatkan kesehatan, memperluas sikap keilmuan, meningkatkan kecakapan dan kreativitas, memantapkan kemandirian, dan memperkuat komitmen dan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang demokratis. Selain itu, dalam pasal 4 ayat (4) UU RI no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa paradigma pembiasan yang harus dibangun adalah pemberian keteladanan, pembangunan kemauan, dan pengembangan kreativitas dalam kehidupan sosial di sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut, Kerangka Dasar Kurikulum 2004 dinyatakan bahwa “kegiatan pembiasaan diselenggarakan secara berkesinambungan mulai dari pendidikan taman kanak-kanak, pendidikan dasar, sampai dengan pendidikan menengah”.
8
Pembiasaan (habituation) merupakan pembentukan “proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang”, sehingga menjadikan tingkah laku itu menjadi suatu kebiasaan yang mempunyai ciri-ciri relatif menetap, tidak memerlukan fungsi berfikir yang cukup tinggi, bukan merupakan proses kematangan, tetapi sebagai hasil pengalaman atau belajar, tampil secara berulang-ulang sebagai respon terhadap stimulus yang sama (Depdiknas, 2004). Program pembiasaan ini mempunyai tujuan umum dan khusus meliputi : siswa mampu menjalankan ajaran agama, siswa menjadi kreatif, siswa memiliki kemandirian, siswa bersikap demokratis, dan siswa memiliki sikap bertanggung jawab. Dalam hal ini, peneliti mengambil beberapa contoh ruang lingkup pembiasaan yang sekiranya sesuai dengan SRL yaitu keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran mengikuti aturan (sense of order), kesadaran akan kemandirian (sense of autonomy), kesiapan menuju kematangan, pengorganisasian tugas-tugas fisik sehari-hari, keterampilan merencanakan (planning skill), keterampilan pemecahan masalah-masalah kehidupan (solving problem life skills), dan keterampilan pengelolaan diri (self management skill). Walaupun kegiatan pembiasaan ini bukan merupakan mata pelajaran tersendiri, namun peranannya amat penting dalam pembentukan watak, sikap dan perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan siswa mampu mengatur diri dalam belajar (SRL) sekalipun tanpa pengawasan guru atau orang lain. Alasan pengembangan SRL ini adalah ditemukannya prestasi belajar siswa di bawah kemampuan atau bakat yang dimilikinya.
Hal ini disebabkan antara lain oleh faktor
kepribadian siswa yang tidak mendukung untuk belajar, misalnya motivasi belajar yang rendah, sikap negatif terhadap guru, terhadap orang tua atau suatu mata pelajaran, harga diri
9
(self-esteem) yang rendah, ketidakyakinan akan kemampuannya. Hal tersebut terjadi karena setiap kali seseorang menciptakan suatu prestasi yang baik tidak ada satupun orang yang memberikan penghargaan (Anastasi, 1997). Saat ini pengembangan SRL di sekolah dasar masih kurang, dan masih bergantung pada program pembiasaan. Program pembiasaan ini dijalankan menggunakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara spontan, tanpa tergantung tempat dan waktu. (Depdiknas, 2004). Dengan demikian peneliti tergerak untuk melaksanakan PTK dengan tindak pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan SRL siswa kelas V sekolah dasar. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : (1) Bagaimana penerapan task analysis melalui matapelajaran matematika yang dapat mengembangkan SRL siswa ?; (2) Adakah perubahan SRL pada masing-masing individu setelah dilakukan tindak pembelajaran matematika ?; (3) Apakah terjadi peningkatan prestasi belajar akibat dari perubahan SRL siswa setelah dilakukan tindak pembelajaran matematika? Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menemukan tindak
pembelajaran yang dapat
mengembangkan SRL pada siswa SD melalui mata pelajaran matematika.; (2) Mendeskripsikan perubahan SRL siswa pada mata pelajaran matematika, setelah dilakukan task analysis.; (3) Mengetahui peningkatan prestasi belajar akibat dari perubahan SRL siswa setelah dilakukan tindak pembelajaran matematika.
METODE Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian tindakan. Prosedur dan langkah-langkah penelitian ini mengikuti prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam penelitian tindakan. Dengan mengikuti Kemmis dan McTaggart
10
(1988:9-15), proses penelitian tindakan dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan (observasi), sampai pada tahap refleksi (perenungan, pemikiran, dan evaluasi). Dalam rencana tindakan, masalah utama perlu diketahui oleh peneliti, misalnya nilai matematika yang rendah dan penyebabnya. Selanjutnya, peneliti dan guru kelas merencanakan tindakan apa yang perlu diadakan untuk meningkatkan nilai matematika tersebut. Peneliti menerapkan program pengembangan SRL sebagai upaya peningkatan atau perubahan
dalam
rangka
mempelajari
matematika.
Selama
penerapan
program
pengembangan SRL tersebut, peneliti mengadakan observasi dan refleksi untuk mengetahui apakah setelah tindakan dilakukan terjadi perubahan atau peningkatan. Selanjutnya peneliti mengadakan diskusi dengan guru kelas tentang hasil penerapan program pengembangan SRL tersebut dan ternyata nilai matematika belum meningkat, maka peneliti merencanakan tindakan baru yang selama pelaksanaannya akan diobservasi dan diadakan refleksi. Dari refleksi tersebut dimungkinkan muncul masalah baru yang perlu dipecahkan, sehingga peneliti bersama-sama guru dapat merevisi rencana awal. Penelitian dilakukan pada subyek siswa-siswa SD Negeri Sumbersari I klas V di Kota Malang. Subyek siswa yang dijadikan sasaran penelitian ini didasarkan pada hasil temuan selama tahap identifikasi permasalahan yang dihadapi siswa, khususnya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan proses belajar matematika. Adapun jumlah siswa kelas V di SD yang dijadikan subjek penelitian ini ada 20 orang. Data penelitian ini berupa hasil pengamatan tindakan pembelajaran, wawancara hasil SRL siswa, dokumentasi pekerjaan dan pekerjaan rumah siswa. Data-data tersebut mencakup data langkah-langkah pembelajaran (baik yang dilakukan oleh guru maupun aktivitas siswa
11
dalam setiap tahapan proses pembelajaran) dan data proses evaluasi diri siswa dalam mengerjakan tugas-tugas belajar dan mengerjakan pekerjaan rumahnya. Sumber data dalam penelitian ini adalah proses kegiatan pembelajaran matematika sekolah dasar kelas V SDN Sumbersari I yang meliputi: pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan tindakan guru dalam pelaksanaan pembelajaran, respons siswa dalam melaksanakan tugas belajarnya, proses evaluasi diri dalam mengerjakan tugas-tugas belajar dan pekerjaan rumahnya. Dipilihnya subyek siswa kelas V SD didasarkan atas pertimbangan bahwa siswa kelas V SD menurut perkembangan kognitifnya berada pada tahap operasional formal, yaitu anak sudah mampu mengabstraksikan pengalaman yang diperoleh untuk menyelesaikan masalah baru yang dihadapi (Piaget dalam Dworetzky, 1990:242). Penelitian ini diawali dengan mencari fakta di kelas V SDN Sumbersari I Malang, yaitu mengadakan observasi pembelajaran matematika dan wawancara dengan guru dan siswanya. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan permasalahan yang berkaitan dengan pembelajaran matematika. Hasil temuan tersebut dianalisis oleh peneliti secara kolaboratif bersama praktisi agar dapat merumuskan masalah umum dan menentukan alternatif tindakan yang akan dilakukan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa (1) strategi pembelajaran matematika yang dipakai guru menggunakan ceramah dan pemberian tugas, sehingga belum mampu mengembangkan aspek SRL siswa (2) kegiatan pembelajaran yang dapat mengembangkan aspek SRL siswa yaitu mengulang pelajaran dan evaluasi diri belum diterapkan oleh guru, sebab setelah guru mengoreksi pekerjaan siswa, siswa tidak diajak membahas pekerjaannya, sehingga siswa tidak dapat mengetahui letak kesalahannya dalam mengerjakan tugas-tugasnya. (3) Karena itu, peneliti dan guru menentukan alternatif
12
pemecahan dengan penelitian tindakan yang mampu mengembangkan aspek SRL siswa, khususnya pada mengulang pelajaran dan evaluasi diri dalam belajar. Pada tahap ini merupakan tahap pelaksanaan rancangan yang telah disusun oleh peneliti bersama guru Matematika kelas V. Tahap ini meliputi: (1) pelaksanaan KBM, (2) pelaksanaan pengamatan, dan (3) refleksi. Pada tahap pelaksanaan KBM ini peneliti (a) bersepakat dengan praktisi tentang rancangan yang telah dibuat bersama, (b) bekerja sama dengan praktisi dalam melaksanakan tindakan yang telah direncanakan, dan (c) melakukan pemantauan secara komprehensif terhadap pelaksanaan KBM dengan menggunakan instrumen pengumpulan data yang telah ditetapkan. Kegiatan pada tahap pelaksanaan KBM ini dilakukan dalam 2 siklus. Tiap-tiap siklus tindakan berisi 3 x pertemuan. Pelaksanaan KBM dilakukan oleh guru Matematika kelas V. Pengamatan terhadap tindakan pembelajaran dilakukan oleh peneliti dan dibantu rekan Maryam B. Gainau, mahasiswa S3 Psikologi UM sebagai observer pada saat guru melaksanakan KBM. Pengamatan dimaksudkan untuk merekam dan mendokumentasikan seluruh indikator proses dan perubahan yang terjadi baik yang mendukung maupun yang menghambat. Proses pengamatan tersebut menggunakan lembar observasi dan catatan lapangan, dengan cara mencatat tindakan guru waktu mengajar dan respon siswa, kemudian mendiskusikan hasil pengamatan antara peneliti dan observer. Adapun rambu-rambu pengamatan sebagai berikut: (1) Tempat duduk pengamat di belakang siswa; (2) Pengamat mencatat tindakan guru waktu KBM; (3) Pengamat mencatat
13
respon siswa waktu KBM; (4) Pengamat mencatat durasi KBM; (5) Pengamat tidak boleh membantu siswa dalam mengerjakan tugas. Pada tahap refleksi ini peneliti dan guru mendiskusikan hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan. Hal-hal yang didiskusikan meliputi: (1) kesesuaian antara pelaksanaan dengan skenario pembelajaran yang telah dibuat, (2) analisis tentang tindakan yang dilakukan, (3) kendala atau kesulitan yang dialami guru sewaktu melaksanakan tindakan pembelajaran, (4) kemajuan yang dicapai oleh siswa, dan (5) program tindakan pembelajaran selanjutnya. Berdasarkan hasil refleksi pelaksanaan tindakan tersebut, peneliti dan guru mendiskusikan pemecahan kendala pelaksanaan tindakan untuk dimanfaatkan dalam pelaksanaan tindakan pembelajaran pada siklus berikutnya. Serangkaian kegiatan ini dilakukan pada siklus-siklus berikutnya sampai tujuan penelitian tercapai. Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan empat teknik pengumpulan data, yaitu pengamatan, wawancara, angket dan dokumentasi. (Moleong, 1995). Pengamatan digunakan untuk merekam kesesuaian antara perencaan tindakan dengan pelaksanaan tindakan pembelajaran, meliputi tindakan membuka pelajaran, inti pembelajaran dan evaluasi pembelajaran, termasuk proses pengerjaan tugas-tugas belajar siswa dan bagaimana siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya, pengamatan terjadinya proses evaluasi diri siswa dalam belajar. Wawancara digunakan untuk memperkuat data pengamatan terhadap tindakan yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Wawancara dilakukan untuk menggali kesulitankesulitan yang dialami guru dan yang dialami siswa dalam mengikuti pembelajaran, cara mengerjakan tugas-tugas belajar dan pekerjaan rumahnya.
14
Angket digunakan untuk menggali data tentang proses evaluasi diri siswa, agar peneliti dapat mengetahui apakah ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam mengerjakan tugas-tugas belajar dan pekerjaan rumahnya serta bagaimana siswa mengatasinya. Dokumentasi digunakan untuk mengkaji program pembelajaran/skenario tindakan pembelajaran, tugas-tugas pekerjaan belajar siswa, pekerjaan rumah siswa dan angket evaluasi diri siswa yang telah terisi. Adapun instrumen pengumpulan data dalam penelitian tindakan kelas ini adalah format pedoman observasi, format pedoman wawancara, angket evaluasi diri siswa dan dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini merupakan usaha peneliti untuk memaknai data sehingga mencapai pemahaman yang baik berkaitan dengan apa yang terjadi dalam situasi nyata (McNiff, 1992:85). Data yang telah terkumpul dalam penelitian tindakan kelas ini dianalisis melalui kegiatan penyajian data dan penarikan kesimpulan. Tahap analisis tersebut dilakukan secara berulang-ulang pada saat data terkumpul dalam setiap siklus tindakan. Adapun data yang dianalisis meliputi 4 macam data yaitu:
(1) data hasil obervasi tindakan guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran matematika, (2) data aktivitas siswa dalam setiap pembelajaran, (3) data hasil angket dan (4) data hasil wawancara tentang proses evaluasi diri siswa. Teknik analisis terhadap sejumlah data tersebut sebagai berikut. Data skenario tindakan pembelajaran dan hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran dianalisis secara deskriptif kualitatif, dimaksudkan untuk melihat konsistensi antara pelaksanaan tindakan
15
tersebut dengan rencana tindakan yang sudah dibuat. Data aktivitas siswa dalam setiap pembelajaran dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data aktifitas siswa setiap tahapan proses pembelajaran didukung dengan data dokumen pekerjaan siswa dan juga pekerjaan rumah siswa. Data ini dianalisis dengan fokus pertanyaan, apakah terjadi proses SRL siswa selama pembelajaran berlangsung maupun setelah siswa mengerjakan pekerjaan rumah, khususnya pada aspek mengulang pelajaran dan evaluasi diri siswa. Untuk menguji apakah terjadi peningkatan prestasi belajar siswa setelah dilakukan tindakan pembelajaran mulai dari siklus I dan siklus II dengan melihat besarnya selisih antara hasil pre-tes dan pos-tes pada siklus I dan siklus II. Rata-rata (mean) selisih antara pre-tes dan pos-tes pada siklus I dan siklus II kemudian dihitung menggunakan metode statistik non parametrik dengan uji Wilcoxon. Perhitungan dilakukan dengan software SPSS 11.5.
HASIL Setelah selesai pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan 1, 2 dan 3 diadakan ujian/tes Matematika untuk mengetahui apakah SRL yang dilakukan siswa selama ini mempunyai dampak meningkatkan prestasi belajar anak, jika dibandingkan dengan pretes yang diberikan (skor hasil tes terlampir). Selanjutnya guru bersama peneliti mengoreksi hasil ujian siswa (skor hasil tes terlampir) dan mengadakan diskusi. Hasil diskusi menyatakan, pengakuan guru bahwa banyak manfaat jika dalam mengajar selalu membuat skenario pembelajaran yang rinci, dan tugas-tugas latihan dan PR yang dibahas bersama siswa setelah dikerjakan membuat siswa berkembang kemampuan mengevaluasi dirinya dalam belajar. Sedangkan SRL siswa sudah mulai nampak setelah selesai pembelajaran siklus I ini. Hal ini terlihat dari
16
peran aktif siswa dalam KBM, misalnya sebelum guru menyuruh mengoreksi pekerjaannya, siswa sudah melakukannya dan selalu mengisi angket evaluasi diri. Hasil diskusi dengan guru, menyatakan bahwa dalam menanamkan suatu pemahaman terhadap pelajaran khususnya matematika harus berkali-kali menjelaskannya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan siswa, siswa merasa bingung membedakan gambar soal, karena natara gambar soal yang satu dengan yang lain perbedaannya tipis. Selanjutnya guru dan peneliti merencanakan tindakan siklus II. Dari hasil diskusi guru dan peneliti didapati perbedaan yang sangat tipis antara gambar soal yang satu dengan gambar soal yang lain, sehingga menyebabkan siswa bingung, maka dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dalam tindakan siklus II akan menampilkan gambar-gambar soal yang dimulai dari gambar yang perbedaannya mencolok ke gambar soal yang perbedaannya tipis, agar tidak lagi membingungkan siswa. Diusahakan guru dapat mengatur waktu yang tersedia seefisien mungkin, sehingga tidak melebihi waktu yang sudah direncanakan. Guru harus lebih telaten dalam menjelaskan materi kepada siswa, sehingga pemahaman siswa terhadap materi pelajaran lebih optimal dan berdampak positif terhadap perkembangan SRL siswa. Selesai pelaksanaan tindakan Siklus II pertemuan 1, 2 dan 3, diadakan ujian Matematika (post-test Siklus II) untuk mengetahui apakah SRL yang dilakukan siswa selama ini mempunyai dampak meningkatkan nilai siswa , jika dibandingkan dengan pretes yang diberikan (skor hasil tes terlampir). Selanjutnya guru bersama peneliti mengoreksi hasil ujian siswa (skor hasil tes terlampir) dan mengadakan diskusi.
17
Hasil diskusi, ternyata bahwa kegiatan belajar mengajar telah terlaksana sesuai dengan skenario tindakan pembelajaran yang dibuat. Dengan skenario tindakan pembelajaran siklus II tersebut, siswa telah berkembang SRL-nya, khususnya dalam aspek evaluasi diri dalam belajar. Hal ini terbukti pula, jika dilihat dari peningkatan pretasi belajar yang ditunjukkan, dengan membandingkan prestasi belajar pada siklus tindakan I dan siklus tindakan II.
PENUTUP Temuan penelitian menghasilkan eperangkat langkah tindak pembelajaran yang meningkatkan SRL siswa adalah: (1) Guru membuat task analysis / langkah-langkah pengerjaan soal untuk setiap tugas yang dilakukan siswa; (2) Guru mengajarkan task analysis / langkah-langkah sesuai dengan skenario pembelajaran; (3) Guru menugaskan siswa untuk mengerjakan tugas di kelas sesuai dengan task analysis; (4) Guru menyuruh siswa mengerjakan sendiri tugas sesuai dengan task analysis; (5) Guru menyuruh siswa mengoreksi kembali apakah langkah-langkah yang dilakukan sudah benar / sesuai dengan langkah yang diajarkan; (6) Guru memberikan pekerjaan rumah (PR) sebagai tugas individu; (7) Guru mengadakan wawancara kepada siswa yang mengalami kesulitan. Dari pelaksanaan tindakan pembelajaran pada siklus I, pengamatan terhadap respons siswa, hasil pekerjaan siswa, hasil angket evaluasi diri dan wawancara dengan siswa ternyata pada akhir siklus I sudah menunjukan peningkatan SRL, khususnya dalam evaluasi diri dan mengulang pelajaran, tetapi masih ada beberapa siswa yang belum menunjukkan indikasi SRL-nya, sehingga perlu ditindak lanjuti dengan perbaikan skenario untuk pelaksanaan tindakan pembelajaran pada siklus II.
18
Berdasarkan pelaksanaan tindakan pembelajaran pada siklus II, pengamatan terhadap respons siswa, hasil pekerjaan siswa, hasil angket evaluasi diri dan siswa, ternyata pada akhir siklus II semua siswa sudah menunjukan peningkatan SRL, khususnya dalam evaluasi diri dan mengulang pelajaran. Berdasarkan data prestasi belajar siswa dengan telah diberikannya tindakan pembelajaran yang dirancang dengan strategi yang mendorong berkembangnya SRL siswa, ternyata telah terjadi peningkatan prestasi siswa secara signifikan. Hal ini terlihat dari hasil uji Wilcoxon dengan membandingkan hasil pretes dan postes dari Siklus I dan Siklus II. Berdasarkan kesimpulan yang dipaparkan di atas dapat dikemukakan saran-saran, yaitu: (1) Dalam setiap kegiatan pembelajaran di sekolah dasar, hendaknya dapat dirancang task analysis (TA) dan experinetial learning (EL) yang mampu meningkatkan SRL siswa, baik dari aspek evaluasi diri maupun mengulang pelajaran, (2) Pihak sekolah dapat melakukan pengadaan panduan praktis program pengembangan SRL (khususnya pengembangan aspek evaluasi diri siswa) ke dalam rancangan pembelajaran yang bisa dimanfaatkan oleh guru mata pelajaran di Sekolah Dasar. Karena berkembangnya SRL siswa, sejak di sekolah dasar, khususnya dalam evaluasi diri akan bermanfaat bagi mereka untuk menghadapi tugas-tugas belajarnya, tanpa banyak bergantung pada bantuan orang lain; (3) Diharapkan dalam jangka pendek pengembangan SRL ke dalam rancangan tindak pembelajaran dapat diterapkan pada beberapa mata pelajaran lainnya.
DAFTAR RUJUKAN Abdullah, A. E. 1995. Identifikasi Kebutuhan, Masalah, Tantangan BimbinganKonseling dan Implikasinya bagi Pengembangan Profil Konselor Abad XXI. Surabaya: Panitia Konggres VII dan Konvensi nasional X IPBI. Anastasi, A.S. 1977. Psychological Testing. New Yersey: Prentice Hall.Inc.
19
Alhadza, A. 2001. Pengaruh Motivasi Berprestasi dan Perilaku Komunikasi Antar pribadi terhadap Efektivitas Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jurnal pendidikan dan kebudayaan. 40 : 1-15. ( diakses 12 Mei 2003). Ardhana, W. 1992. Sistem Pendidikan Nasional : Relasi permasalahan dan pemecahan. Makalah dalam Konvensi Nasional Pendidikan II di Medan. 4-8 Peb. (21). Depdiknas.2003. Undang-Undang republic Indonesia Nomor 20 tahun 2003: Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas R. I. Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Kurikulum 2004: Pedoman Pengembangan Silabus dan Model Pembelajaran Tematis; Pedoman Penilaian; Pedoman Pembiasaan dan Pedoman Bimbingan dan Konseling di SD. Jakarta: Depdiknas. Gysbers,N.C. & Anderson, P. 1988. Developing and Managing Your School Guidance Program. Virginia:American Association for Counseling and Development. Kemmis, S. & McTaggart, R. 1988. The Action Research Reader. 3rd Ed. Victoria: Deakin University. Kolb, D. A. 1986. Experiential Learning; Experience as the source of learning and development. New Jersey: Prentice-Hal Inc., Englewood Cliffs. Mc Niff, J. 1992. Action Research: Principles and practice. New York: Chapman and Hall. Munandir, 1996. Program Bimbingan karier di sekolah. Jakarta: Depdikbud R. I. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Newman, R. S. 1994. Academic Help–Seeking: A Strategy of Self-Regulated Learning. Dalam D. H. Schunk & B. J. Zimmerman (1994) Self-Regulated Learning and Performance: Issues and educational application. (hal. 283-301) Hillsdale N. J.: Lawrence Erlbaum Associates. Paris, S. G. & Byrnes, J. P. 1989. The constructivist approach to self-regulated and learning in the classroom. In B. J. Zimmerman & D. H. Schunk (Eds). Self-regulated ler: Theory, research and practice. (169-200). Piaget, J. 1970. Piaget’s theory. New York : John Wiley. Pintrich, P. R. & de Groot, E. V. 1991. Motivational and self-regulated learning components of classroom academic performance. Journal of Educational Psychology (82):33-40. Riyanto, P. 2002. Pembelajaran Sebagai Proses Bimbingan Pribadi. Jakarta: Grasindo.
20
21
KEEFEKTIFAN KONSELING MULTIMODAL UNTUK MENGELOLA STRES MAHASISWA (Studi Pra-Eksperimental) Oleh: Kustyarini, S.Pd., S.Psi. A. Latar Belakang Setiap individu mempunyai keinginan untuk mencapai sesuatu yang dicitacitakan. Dari cita-cita inilah maka kebutuhan untuk berprestasi dimiliki oleh setiap individu. Adanya usaha untuk mencapai sesuatu tidak menutup kemungkinan menyebabkan individu mengalami hambatan dalam mencapai cita-cita yang pada akhirnya dapat menyebabkan individu mengalami tekanan atau stres. Pada umumnya setiap individu pernah mengalami stres, baik stres yang ringan, stres yang sedang, sampai pada stres yang berat. Stres merupakan suatu respon fisik dan psikologis yang biasa dialami oleh individu hampir di semua kalangan,
baik
orang
dewasa,
remaja,
bahkan
anak-anak.
Jenis-jenis
permasalahannya tentunya beraneka ragam. Orang dewasa mengalami stres yang lebih tinggi dan kompleks daripada usia remaja dan anak-anak. Misalnya stres beban kerja, perkawinan, keuangan, dan karena kepentingan tertentu. Stres dapat terjadi baik pada level fisik, psikologis, dan sosial (Smith, 1993). Stres fisik atau sistemik terjadi ketika tuntutan tugas berdampak pada tubuh, yang dapat mengakibatkan hilangnya kekebalan pada penyakit. Stres psikologis merupakan suatu hubungan yang partikular antara seseorang dengan lingkungan yang dinilai seseorang sebagai sebuah tuntutan yang melebihi sumberdayanya
(kemampuannya)
sebagai
manusia
dan
mengganggu
kesejahteraannya, serta berpengaruh pada proses sosialnya, hubungan interaksi dengan dengan orang lain. Stres yang berkepanjangan, secara psikologis akan menyebabkan ketegangan dan kekhawatiran yang terus-menerus. Menurut istilah psikologi, stres yang berkepanjangan disebut stres kronis yang sifatnya menggerogoti dan menghancurkan tubuh, pikiran, dan seluruh kehidupan individu. Stres merupakan reaksi terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi, sementara reaksi terhadap stres timbul setelah dilakukan suatu penilaian kognitif, untuk itu individu sangatlah perlu
1
2
mendapatkan bekal yang cukup kuat dalam menghadapi stres. Bekal pengetahuan saja tidak cukup, tetapi masih perlu bekal untuk dapat mengenal stres dengan baik dan cara mengelolanya. Seseorang sangatlah perlu belajar bagaimana mengelola stres dengan beragam kondisi secara menyeluruh. Tidak ada dua orang yang merespon terhadap situasi dengan cara yang sama. Masing-masing individu memandang dunia secara berbeda dan berespon terhadap sesuatu berbeda pula. Setiap individu mempunyai respon dan cara yang berbeda dalam menghadapi situasi yang sama. Masing-masing orang memandang dunia secara berbeda dan merespon terhadap sesuatu itu berbeda pula. Kemampuan seseorang atau tidak adanya kemampuan untuk mengatasi kejadian dan reaksi yang dialami individu itulah yang menimbulkan stres dan sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan fenomena di atas, maka perlu kiranya dikembangkan pendekatan psikologis untuk membantu mahasiswa mengelola stres. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan ”Multimodal Therapy”. Dengan pencapaian tujuan pendidikan untuk menciptakan peserta didik yang memiliki kemampuan akademik dan kepribadian yang matang, maka Bimbingan dan Konseling mempunyai fungsi yang sangat penting dan strategis untuk mewujudkan tujuan tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, seorang konselor profesional tentunya membutuhkan media untuk memperlancar proses pemberian layanan dan bantuan kepada mahasiswa. Salah satu media bimbingan konseling berbentuk pelatihan. Pelatihan ini disusun sebagai usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Salah satu alternatif program pelatihan yang dapat diberikan konselor kepada mahasiswa sebagai layanan bimbingan pribadi-sosial adalah pelatihan dengan menerapkan Multimodal Therapy dari Lazarus untuk mengelola stres mahasiswa. Agar pelayanan konseling dapat dilakukan secara maksimal oleh konselor maka penerapan Konseling Multimodal (KM) merupakan salah satu wujud pemberian layanan konseling untuk mengelola stres bagi mahasiswa. Pengetahuan dan keterampilan tersebut akan dapat menjadi bekal bagi mahasiswa jika suatu saat mereka mengalami tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu,
3
panduan penerapan Konseling Multimodal (KM) sebagai instrumen yang merupakan produk dalam penelitian ini sangat membantu konselor untuk mengelola stres mahasiswa. Beranjak dari paparan di atas, penulis termotivasi untuk meneliti apakah konseling multimodal efektif untuk mengelola stres mahasiswa dengan mengangkat sebuah judul penelitian ”Keefektifan Konseling Multimodal untuk Mengelola Stres Mahasiswa”. B. Rumusan Masalah Secara umum masalah dalam penelitian ini adalah belum adanya media bimbingan dalam bentuk panduan penerapan konseling multimodal untuk mengelola stres mahasiswa yang dapat dipakai sebagai acuan bagi konselor dalam melaksanakan keterampilan pengelolaan stres. Dan permasalahan yang peneliti angkat dalam penelitian ini adalah: ”Apakah Konseling Multimodal (KM) efektif untuk mengelola stres mahasiswa?” C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk menguji Panduan Penerapan Konseling Multimodal yang teruji keterterimaannya (acceptability) pada aspek kegunaan (utility), kelayakan (fesiability) dan ketepatan (accuracy), 2) Untuk menguji keefektifan Konseling Multimodal (KM) dalam mengurangi stres mahasiswa. KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Stres Stres merupakan suatu bagian dari hidup manusia yang tidak dapat dihindari. Ketika seseorang lahir, orang menghadapi banyak tuntutan dan tantangan baik dari dirinya sendiri maupun lingkungannya, seperti makan, air, ataupun penghargaan dan penerimaan sosial. Agar dapat terus hidup dan berkembang, seseorang harus memenuhi tuntutan dan tantangan tersebut, banyak ahli melakukan penelitian tentang stres dan mengemukakan berbagai pengertian tentang stres. Diantaranya Atwater (1987) yang menyatakan stres sebagai stimulus eksternal yang menyebabkan seseorang merasa letih, seperti tekanan di tempat kerja, namun pada saat yang sama, stimulus tersebut dapat menyebabkan dua
4
orang yang berbeda memberikan respon yang berbeda pula. Cara merespon stimulus akan menentukan tingkat stres yang dialaminya. Dikemukakan oleh Smith, C. (1993:25) bahwa stres merupakan “the pattern of specific and nonspecific responses an organism make to stimulus events that distrub its equilibrium and tax or exceed its ability to cope”. Pengertian itu lebih kurang berarti respon-respon spesifik maupun nonspesifik yang dibuat suatu organisme terhadap suatu stimulus yang mengganggu keseimbangannya dan mengganggu atau melampaui kemampuannya untuk menanggulangi. Dengan demikian, seseorang dikatakan mengalami stres, bila seseorang tersebut menghadapi suatu peristiwa yang mengganggu keseimbangan dirinya dan dibutuhkan suatu usaha ekstra untuk membangun kembali keseimbangan itu. Folkman dalam Corey (2005:89) mengatakan bahwa stres berarti proses menilai berbagai peristiwa sebagai ancaman, tantangan, atau bahaya dan merespon peristiwa-peristiwa tersebut pada tingkat fisiologi, emosional, kognitif, dan tingkah laku. Stres adalah reaksi fisiologis dan psikologis yang terjadi jika seseorang merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dihadapi dengan kemampuan untuk mengatasi tuntutan tersebut. Hewit & Flett (1993:58-65) mengatakan bahwa keadaan stres timbul apabila ada tuntutan yang luar biasa, sehingga mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stres tidak hanya berupa kondisi yang menekan seseorang atau keadaan fisik maupun psikis seseorang, maupun reaksi-reaksinya terhadap tekanan itu, melainkan keterkaitan antara ketiga hal tersebut. Pada dasarnya stres disebabkan kombinasi dan lingkungan eksternal dan faktor psikologis. Artinya pada saat individu merasakan bahwa ia dapat berhadapan dengan stressor secara adaptif, kondisi mental atau fisik akan berubah untuk menyesuaikan dengan stimulus tersebut (stressor) yang disebut stres. Masing-masing individu mungkin menciptakan stressornya sendiri. Fenomena stres sangat individualistik sifatnya. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu pola reaksi yang ditunjukkan seseorang saat orang tersebut menghadapi satu atau lebih stimulus dari luar dirinya, yang dianggap sebagai ancaman, tantangan maupun bahaya terhadap kesejahteraan, harga diri, maupun integritasnya. Pola reaksi yang ditunjukkan meliputi pola reaksi fisik, seperti
5
timbulnya rasa cemas. Akibat timbulnya pola-pola reaksi ini, keseimbangan tubuh terganggu, dan dapat menyebabkan seseorang merasa lelah, sehingga diperlukan energi yang besar untuk memulihkan kembali keseimbangan tubuhnya itu. B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Stres Stres terjadi saat seseorang menilai satu atau beberapa stimulus yang diterimanya dari kehidupan sehari-hari sebagai bahaya, ancaman, atau tantangan. Stimulus-stimulus yang dapat menyebabkan stres tersebut, baik yang bersifat eksternal maupun internal, disebut stressor. Stressor dapat berubah menjadi bukan stressor pada individu yang sama namun pada saat yang berbeda. Misalnya, seorang mahasiswa menganggap nilai ulangan statistik yang jelek sebagai stressor, tetapi saat sebagian besar teman sekelasnya mendapat nilai jelek, nilai statistik yang jelek bukan lagi menjadi stressor bagi mahasiswa tersebut. Keluarga, diri sendiri,
dan lingkungan dapat menjadi sumber stres
mahasiswa. Stres yang berkaitan dengan diri, meliputi masalah perubahan fisik siswa remaja yang puber, dimana tejadi pengaruh psikologis. Menurut hasil penelitian ternyata jika dibandingkan antara siswa laki-laki dan perempuan, siswa perempuan lebih rawan mengalami stres diakibatkan masa pubertas (dalam Ge, Conger& Elder, 2001). Misalnya tumbuhnya jerawat menimbulkan siswa tidak percaya diri untuk pergi ke sekolah dan dapat menimbulkan stres. Sedangkan stres yang berkaitan dengan lingkungan, meliputi pengaruh dari lingkungan sekolah berupa cara guru mengajar, tugas-tugas, beban mata pelajaran, dan ujian (academic pressure). Berkaitan dengan lingkungan keluarga, stres bersumber dari peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan keluarga, misalnya orangtua yang memaksakan kehendaknya agar anak tidak menonton TV, dan harus belajar. Sedangkan stres yang bersumber dari lingkungan sosialnya berupa bagaimana pengaruh teman, lawan jenis kelamin, dan gaya hidup remaja lainnya yang dapat mengakibatkan stres (Greenberg, 2002). Sementara itu stressor dibedakan oleh Kiselica, M. S. Stanley, B., Ronald, N. T., S Susan, R. 1994:3, 335-342 menjadi: a) Complex relation stressor, yang berasal dari hubungan yang dibentuk dengan orang lain. Adanya stressor yang dihasilkan dari hubungan interpersonal pada remaja akhir
6
dan dewasa awal sebagai hasil benturan antara kebutuhan akan keintiman, sex, dan rasa aman, b) Hard work stressor, yang berasal dari tuntutan untuk mencapai keberhasilan baik dalam bidang keuangan maupun sosial,
c) Tought choice
stressor, yang berasal dari makin banyaknya pilihan yang tersedia dalam kehidupan modern ini, d) Rough edge stressor, yang berasal dari keadaan dunia yang telah berubah menjadi dingin dan kasar. Ada pula yang berpendapat bahwa sumber stres adalah:
a) Frustasi,
dimana stres dapat terjadi bila sesuatu yang diinginkan atau yang dicapai tidak dapat dipenuhi atau halangan yang menutup kemungkinan tercapainya suatu tujuan. Halangan itu berasal dari internal atau eksternal. Misalkan kematian orang yang dicintainya, cacat badan, tidak memiliki ketrampilan khusus, merupakan halangan yang menimbulkan frustasi, b) Konflik Mental, dimana stres dapat disebabkan karena individu harus memilih satu diantara dua atau beberapa alternatif pilihan atau tujuan. Biasanya kalau memilih yang satu akan menimbulkan frustasi di pihak yang lain. Misalkan pilihan antara segera menikah dan meneruskan pendidikan dengan lancar. Bila memilih menikah, pendidikan akan terganggu sedang jika memilih menyelesaikan pendidikan dengan lancar, maka ia tidak boleh menikah, c) Tekanan mental, dimana stres dapat muncul karena tekanan dalam mencapai suatu tujuan tertentu atau tekanan tertentu atau tekanan untuk membuat cara-cara tertentu. Tekanan mental inipun dapat datang dari dalam individu maupun dari luar. Misalkan seorang mahasiswa merasa tertekan karena orang tuanya menuntut agar IP selalu tinggi dengan prestasi yang hebat. Umumnya tekanan mental untuk memaksa seseorang bekerja lebih keras, lebih intensif atau merubah tujuan semula. Tekanan mental dapat berwujud bermacam-macam
dalam
kehidupan
dan
kadang-kadang individu
dapat
menyelesaikan dengan baik, d) Krisis Mental, yaitu suatu keadaan mental akibat dari suatu kejadian/peristiwa yang mendadak atau berat, bahkan sukar diatasi. Misalkan seorang ayah akan mengalami tekanan karena suatu bencana alam telah memakan anak, istri, dan kekayaannya seperti di Aceh. Krisis maksudnya adalah suatu periode waktu yang pendek di mana seseorang atau kelompok mengalami ancaman atau tuntutan yang berada di luar daya tahannya. Krisis ini sering kali menimbulkan stres berat. Insiden krisis dalam kehidupan manusia rata-rata tidak
7
dapat diketahui, hal ini terjadi karena kehidupan semakin kompleks dan cepatnya perubahan dalam masyarakat. Berdasarkan ulasan di atas, tampak bahwa stressor adalah stimulusstimulus baik yang bersifat eksternal maupun internal, yang dapat menyebabkan seseorang mengalami stres. Hampir semua peristiwa dalam hidup ini menjadi stressor, tetapi masing-masing individu memiliki stressor yang berbeda. Sebuah peristiwa dapat dianggap stressor oleh seorang individu, sementara individu yang lain menganggap peristiwa tersebut bukan stressor. Bahkan sebuah peristiwa yang semula dianggap stressor oleh individu, pada saat yang berbeda dianggap bukan stressor lagi. C. Pengaruh Stres pada Pikiran, Emosi, dan Perilaku 1) Pikiran dan Stres Stres, baik yang diakibatkan oleh faktor suhu udara yang terlalu panas atau dingin, suasana bising, atau tugas yang menentukan nasib hidup seperti ujian, dapat mengganggu kerja pikiran dan menyulitkan konsentrasi (Schafer, 1998). Banyak siswa yang mengalami bahwa dalam ujian sekolah atau suasana kelas, mereka membutuhkan waktu lama untuk memahami soal dan penjelasan dari guru. Padahal mereka telah berusaha mempersiapkan terlebih dahulu di rumah dengan berusaha menghapalnya dengan baik pula. Ketegangan yang terjadi tersebut dapat mengakibatkan stres, sehingga akan mengacaukan kinerja pikiran siswa dalam melakukan segala aktivitasnya. 2) Emosi, Stres, dan Perilaku Pengalaman stres cenderung disertai emosi, dan orang yang mengalami stres menggunakan emosi itu dalam menilai stres (Leong, Vaux, 1991). Emosi yang biasa menyertai stres adalah takut, sedih tau depresi, dan amarah. Takut merupakan emosi yang biasa muncul pada waktu kita merasa, entah nyata atau hanya dalam bayangan, berhadapan dengan hal yang berbahaya atau ada dalam situasi bahaya. Dalam rasa takut itu terkait rasa tidak enak batin sekaligus sikap siap-siap terhadap bahaya yang kita anggap akan menimpa kita. Rasa takut itu bisa amat sangat, sehingga menjadi fobi (phobia), atau lunak, sekedar menjadi kecemasan (anxiety). Fobi merupakan rasa takut yang tinggi dan pada umumnya tidak rasional. Fobi biasanya memiliki penyebab tertentu, entah orang atau situasi
8
tertentu. Sedangkan kecemasan adalah perasaaan was-was kalau-kalau ada sesuatu yang buruk yang akan menimpa. Rasa cemas itu bisa terjadi tanpa sebab yang jelas. Misalnya siswa cemas akan penampilan, kecakapan, atau pergaulan mereka dengan orang lain. Stres juga dapat mendatangkan rasa sedih (depression). Rasa sedih merupakan pengalaman hidup yang tidak terhindarkan dan dialami oleh semua orang dan segala umur. Perbedaan antara sedih yang normal dan yang tidak normal sulit ditentukan. Orang yang diliputi rasa sedih atau depresi pada umumnya tidak bahagia, diliputi rasa putus asa dan cenderung pasif (Hewit & Flett, 1993:58-65). Rasa lain yang menyertai stres adalah amarah. Dari marah dapat muncul sikap dan tindakan agresif dalam kehidupan dan sikap melawan dengan mulut sampai tindak kekerasan dengan fisik. Karena merupakan tanggapan tubuh yang menyeluruh, stres juga mempengaruhi perilaku orang yang mengalaminya yang dapat menentukan sesuai atau tidaknya perilaku yang ditampilkannya. Perilaku bisa tepat, yaitu perilaku yang konstruktif, membangun dan baik. Hal ini tejadi misalnya, pada waktu banyak orang mengalami penderitaan bersama, sehingga orang bisa saling memperhatikan dan membantu. Namun, perilaku juga dapat tidak tepat bila stres disertai rasa marah, cemas, rendah diri, perilaku agresif dan destruktif bisa bertambah D. Reaksi Terhadap Stres Secara garis besar pola reaksi yang ditunjukkan seseorang dalam merespon stressor yang dihadapinya dapat dibedakan menjadi: a) Pola reaksi secara biologis, Zimbardo membedakan menjadi: (1) Emergency reaction, yang menghasilkan respon yang disebut fight-or-flight, yaitu reaksi untuk menghadapi sumber stres baik secara langsung maupun tidak untuk menghindari sumber stres, (2) The General Adaption Syndrome, dan b) Pola reaksi secara psikologis, meliputi: (1) Aspek behavior, perubahan tingkah laku yang dihasilkan sangat bergantung pada tingkat stres yang dialami, karakteristik yang dimiliki individu, dan kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh lingkungan. Tingkat stres yang ringan dapat membuat individu lebih waspada dan memperbaiki perilakunya, tetapi makin berat tingkat stres, makin banya pula gangguan yang nampak dalam perilakunya. Pola reaksi behavioral yang ditunjukkan dapat berupa agresi atau makan yang berlebihan, (2) Aspek emosional, pola reaksi yang
9
ditunjukkan adalah adanya usaha dan emosi yang bersifat negatif untuk merespon stressor, baik secara langsung maupun tidak. Pola reaksi ini dapat berupa depresi, yang biasanya disebabkan oleh perginya orang yang dicintainya, burnout, yaitu syndrome dan kelahan secara emosional, (3) Aspek kognitif, saat sebuah stressor dianggap sebagai sebuah ancaman, maka kesadaran akan ancaman tersebut dan reaksi yang ditunjukkan oleh the autonomic nervous system membuat fokus perhatian individu semata-mata hanya tertuju pada stressor, hal ini menimbulkan gangguan terhadap memori, problem solving, penilaian dan decision making sehingga bila stres yang dialami makin berat, keaktifan kognitif untuk melakukan reaksi. Stres merupakan reaksi tubuh dan jiwa terhadap stressor. Reaksi tersebut merupakan upaya penyesuaian terhadap gangguan keseimbangan diri yang mengakibatkan terjadinya proses homeostatis, yakni proses agar manusia tetap sehat. Penyesuaian pada tubuh menyebabkan cortex cerebri (bagian otak untuk berpikir) memberi tanda bahaya kepada hipotalamus (terletak di otak tengah). Kemudian teradilah rangsangan pada sistem saraf simpatis yang menyebabkan perubahan pada sistem tubuh. Antara lain peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan keringat. Bila stres tidak terkontrol atau tidak dikelola dengan baik, kelenjar adrenal akan mengeluarkan kortikoid yang menyebabkan hambatan pada sistem pencernaan, reproduksi, dan respons kekebalan. E. Bentuk-Bentuk Pengelolaan Stres: Penerapan Konseling Multimodal Ada beberapa perkembangan mutakhir yang menarik dalam dunia teori dan praktik konseling dan psikoterapi, yang dapat dipetik untuk pemahaman dan penanganan stres Perkembangan pertama dalam dunia teori dan praktik konseling serta psikoterapi ditandai adanya kecenderungan ke arah perhatian yang lebih besar terhadap pengembangan program kelola diri (self-management programs), dan penumbuhkembangan perilaku yang diarahkan oleh diri sendiri (self-directed behavior), yang kemudian memungkinkan pengembangan keterampilan bantu diri (self-help). Perkembangan ini penting jika dilihat pada perspektif kepentingan masyarakat awam di luar profesi pembantuan seperti psikolog, psikiatri, kedokteran, konseling, dan psikoterapi. Dengan menguasai berbagai program
10
kelola diri dan dengan menumbuhkembangkan perilaku yang diarahkan oleh diri sendiri untuk mengatasi stres, masyarakat awam atau dengan kata lain masyarakat luas, dapat mengatasi stres sendiri tanpa terlalu banyak bergantung pada bantuan profesional dan psikolog, psikiater, dokter, konselor, psikoterapis. Bantuan profesional hanya dibutuhkan jika persoalan yang dihadapi benar-benar di luar jangkauan kemampuan warga masyarakat untuk mengatasinya sendiri dengan berbagai upaya bantu-diri (self-help). Penderita stres, dengan menguasai hal-hal di atas diharapkan dapat mengatasi sendiri masalahnya. Perkembangan kedua, terjadi dalam teori dan praktik konseling serta psikoterapi yang memungkinkan pemahaman tentang faktor penyebab stres secara lebih sistematik dan konseptual. Dengan demikian pemahaman itu lebih mudah dimengerti dan lebih memberikan kepastian. Pada perkembangan kedua dalam dunia teori dan praktik konseling serta psikoterapi meletakkan proses berfikir (kognisi) dan keyakian (belief) bahwa dalam kondisi mental manusialah sebenarnya biang keladi pencetus stres. Itulah sebabnya, individu perlu lebih banyak melihat diri sendiri, untuk mengatasi stres yang dialami, bukan dengan menyalahkan pihak lain atau dunia luar. Perkembangan ini menjadi sangat penting, karena mengubah paradigma pemahaman dan pengelolaan stres. Stres tidak lagi ditangani secara dadakan (symptom oriented) belaka, melainkan ditangani
secara
sistematik,
konseptual,
dengan
penumbuhkembangan
ketrampilan mengatasi stres yang bisa berefek jangka panjang. Karena pencetus utama stres adalah proses berpikir atau keyakinan manusia itu sendiri, maka penanganannya ditekankan pada pengubahan proses berpikir atau keyakinan yang tak masuk akal atau di luar kenyatan. Ketika proses berpikir atau keyakinan itu berhasil diubah, pada dasarnya orang tersebut akan mampu mengatasi stres kapan saja, di mana saja, dan dengan latar belakang apapun. Perkembangan ketiga, adalah masalah-masalah dalam kehidupan manusia yang berpotensi menyebabkan stres kini dapat dipahami secara menyeluruh (komprehensif) untuk pemahaman bidang-bidang masalah di tengah kehidupan manusia, yang berandil bagi terjadinya stres. Dengan perspektif yang menyeluruh itu, manusia dapat mengembangkan gaya hidup sehari-hari yang lebih efektif untuk mengatasi stres, bahkan lebih efektif untuk bertumbuh kembang secara biopsikososiospritual. Teori ini dikemukakakan Arnold Lazarus, dengan konsep
11
BASIC ID (behavior, affect, sensation, imagery, cognition, interpersonal relationships, drugs-biology-nutrition-exercise) yang disebutnya sebagai tujuh bidang pencetus stres. Lazarus bermaksud bahwa BASIC ID dapat membawa setiap insan untuk mengatasi ketidakberesan dalam setiap bidang kehidupannya lewat tindakan nyata, oleh dirinya sendiri. Rincian makna BASIC ID adalah sebagai berikut: a) B adalah behavior atau perilaku, b) A adalah affect atau perasaan yang di dalamnya tercakup emosi, mood (dorongan hati), dan perasaan lain yang cenderung kuat. C) S merupakan sensation (penghayatan inderawi), c) I merupakan singkatan dari imagery (penghayatan citra mental) yang menaungi penghayatan citra diri (cara manusia menggambarkan dirinya), ingatan, pengalaman-pengalaman mimipi, dan fantasi-fantasi. d) C atau cognition (proses berpikir) merangkai pengertian, filosofi hidup, gagasan, keyakinan-keyakinan, wicara diri (self talk), pertimbangan dan nilai-nila, serta sikap, e) I adalah interpersonal relationships (hubungan antar manusia) dan yang terakhir adalah f) D atau drugs, biology, nutrition, exercise (obat-obatan, biologi, makanan, dan latihan tubuh). Persepektif BASIC ID yang diajukan Lazarus ini membantu individu mengenali dengan mudah tapi menyeluruh bidang-bidang yang perlu diperiksa dan diubah untuk mengatasi stres dan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih sehat dan efektif. Cara pandang ini menegaskan sekali lagi bahwa manusia itu makhluk sosial yang bergerak secara fisik, merasakan, mengindera, mencitra secara mental, dan berpikir, sekaligus dapat mengatasi stres sendiri lewat perbaikan diri. F. Hasil-hasil Penelitian tentang penggunaan Multimodal Berbagai penelitian yang dilakukan mahasiswa pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta menunjukkan bahwa individu banyak mengalami stres. Penelitian Indarjati (2001), yang berjudul ”Peran Dukungan Sosial dalam Mengatasi Stres Mahasiswa”,
menunjukkan bahwa dukungan sosial dalam
kaitannya dengan modalitas interaksi dengan orang lain (interpersonal relationship) sangat membantu mengatasi stres mahasiswa. Kemudian Pramadi (2000) dalam kaitannya dengan modalitas biologi/obat-obatan meneliti tentang ”Pengaruh Stres Terhadap Respon Ketahanan Tubuh”. Hasil penelitiannya
12
menunjukkan bahwa stres dapat mempengaruhi kondisi ketahanan tubuh. ”Tingkat Stres dan Prestasi Belajar” yang telah diteliti Sumarni (2002) dengan hasil penelitian bahwa dalam kaitannya dengan modalitas pikiran, keinginan mencapai indeks prestasi yang tinggi dapat mempengaruhi pikiran sehingga dapat menimbulkan stres, juga Damayanti di tahun yang sama meneliti ”Pengaruh Pemberian Informasi Melalui Diskusi Kelompok Terhadap Penurunan Stres Mahasiswa” yang menunjukkan bahwa interaksi dengan orang lain sangat membantu menurunkan tingkat stres mahasiswa. Berdasarkan penelitian Suraeni (2003) yang berjudul ”Pengaruh Stres Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Wisnuwardhana Malang” menunjukkan bahwa mahasiswa Universitas Wisnuwardhana Malang 90% mengalami stres dengan stresor yang beragam. Dalam kaitannya dengan modalitas perilaku dan penginderaan, mahasiswa mengalami stres disebabkan oleh adanya tugas-tugas kuliah, ujian tengah semester, pertanyaan-pertanyaan lisan saat kuliah, ujian akhir semester, menyampaikan pendapat saat diskusi kelas.
METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah pra-eksperimental dengan menggunakan the one-group pretest-posttest design. B. Subyek Penelitian Dari hasil pretest/tes awal yang dilakukan terhadap mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Wisnuwardhana angkatan 2006/2007, terdapat 9 mahasiswa yang memiliki kemampuan mengelola stres rendah. Mahasiswa tersebut ditetapkan sebagai subyek penelitian. C. Instrumen Penelitian Penelitian pra-eksperimental ini menggunakan dua jenis instrumen yaitu: a) bahan perlakuan, dan b) instrumen pengukuran. a) Bahan Perlakuan Bahan perlakuan adalah materi pengubahan yang disusun untuk diterapkan dalam proses konseling. Bahan perlakuan dalam penelitian ini berupa penerapan Konseling Multimodal (KM) yang didesain berdasarkan pendekatan teori stres
13
Lazarus & Folkman (1984). Bahan perlakuan tersebut kemudian disusun dalam sebuah panduan agar dapat digunakan konselor dalam menerapkan konseling multimodal untuk mengelola stres mahasiswa. (1) Pengembangan bahan perlakuan Konseling Multimodal (KM) dikembangkan dengan pola pengembangan yang didesain berdasarkan pendekatan teori stres Lazarus & Folkman (1984) dengan menambahkan uji ahli. Pendekatan yang dipakai dalam menyusun Konseling Multimodal (KM) ini adalah pendekatan psikologis untuk membantu mahasiswa mengelola stres dengan menerapkan teori Multimodal Theraphy dari Lazarus and Folkman. Berdasarkan pendekatan tersebut ada 7 modalitas (perilaku, emosi, penginderaan, khayalan, pikiran, interaksi dengan orang lain, biologi/obatobatan) yang dilatihkan kepada mahasiswa untuk melatih keterampilan mahasiswa mengelola stres. Perlakuan diberikan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Membangun rapport, 2) Menemukan masalah-masalah sesuai dengan masing-masing jenis modalitas, 3) Mendiskusikan penyebab masalah sesuai dengan masing-masing jenis modalitas, 4) Memberi penguatan, 5) Memberikan balikan, 6) Kesimpulan dan penutup (2) Langkah-langkah Penerapan Perlakuan yang diberikan kepada subyek penelitian adalah menerapkan ketujuh modalitas yang ada dalam konseling multimodal dengan langkah-langkah penerapan dan sesi sebagai berikut: 1) Sesi 1:
Analisis Perilaku, 2) Sesi 2:
Analisis Emosi, 3) Sesi 3: Analisis Penginderaan, 4) Sesi 4: Analisis Khayalan, 5) Sesi 5: Analisis Pikiran, 6) Sesi 6: Analisis Interaksi dengan Orang Lain, 7) Sesi 7: Analisis Biologi/Obat-obatan. b) Instrumen Pengukuran Berdasarkan pada rancangan penelitian yang dipilih, pengukuran variabel dependen (stres) menggunakan instrumen pengukuran tunggal yang berbentuk inventori stres mahasiswa hasil adaptasi dari teori stres Lazarus & Folkman dalam Corey, G. (2005). Pengukuran dilakukan dalam dua tahap, yaitu: 1) sebelum pemberian treatmen. Mahasiswa yang telah ditetapkan sebagai subyek penelitian diberikan pre test dengan menggunakan inventori stres mahasiswa untuk
14
mengetahui keadaan awal
tingkat stres mahasiswa sebelum diberi penerapan
konseling multimodal, dan 2) sesudah pemberian treatmen. Mahasiswa yang telah diberi penerapan konseling multimodal dites ulang dengan menggunakan inventori stres mahasiswa untuk melihat perubahan tingkat stres yang terjadi pada mahasiswa sesudah diberi penerapan. Hasil perubahan tingkat stres mahsiswa, ditetapkan sebagai hasil efektif terhadap penerapan konseling multimodal. Prosedur Pengembangan Instrumen Pengembangan bahan perlakuan dan alat ukur dikembangkan sebelum eksperimen dilakukan. (1)
Pengembangan Alat Ukur Inventori stres mahasiswa adalah alat ukur yang akan digunakan untuk
mengukur stres mahasiswa. Inventori stres mahasiswa terdiri dari 53 butir pernyataan yang dikembangkan berdasarkan 7 modalitas, yaitu: 1) perilaku, 2) emosi, 3) penginderaan,
4) khayalan, 5) pikiran, 6) interaksi dengan orang
lain, dan 7) biologi/obat-obatan. (2) Uji Ahli Uji ahli adalah uji atau penilaian yang dilakukan oleh ahli yang telah ditetapkan dalam penelitian ini untuk menilai apakah bahan perlakuan yang dikembangkan untuk diterapkan kepada kelompok eksperimen telah teruji keterterimaannya (acceptability) pada aspek kegunaan (utility), aspek kelayakan (feasibility), dan aspek ketepatan (accuracy). D. Teknik Analisa Data Untuk
mengetahui
signifikansi
keefektifan
Penerapan
Konseling
Multimodal (PKM) dalam mengelola stres mahasiswa dilakukan analisis data dengan menggunakan statistik non parametrik yang dihitung dengan program SPSS versi 12 for windows. Mahasiswa dikatakan mampu mengelola stres apabila skor sesudah perlakuan lebih tinggi dari pada sebelum perlakuan. Semakin tinggi perbedaan skor, semakin besar peningkatan rasa keberhasilan mahasiswa. Besaran peningkatan tersebut sekaligus dianggap sebagai pengaruh.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Bagian ini berisi uraian tentang: 1) hasil pengembangan bahan perlakuan, 2) pengujian hipotesis. Secara rinci kedua pokok bahasan tersebut diuraikan sebagai berikut: 1) Hasil Pengembangan Bahan Perlakuan Penelitian ini menggunakan bahan perlakuan yang berbentuk panduan bagi konselor tentang Penerapan Konseling Multimodal untuk mengelola stres mahasiswa dengan materi cara mengelola perilaku, emosi, penginderaan, khayalan, pikiran, interaksi dengan orang lain, dan biologi/obat-obatan. Panduan tersebut memiliki karakteristik, yaitu berbentuk naskah tulis yang berisi uraian tentang pendahuluan yang memaparkan arti stres dan rasional, tujuan, sasaran, sistematika kegiatan, alokasi waktu, tempat. Gambaran umum panduan tersebut adalah: a) Pendahuluan, b) Petunjuk Umum Penerapan Konseling Multimodal, c) Prosedur Penerapan Konseling Multimodal, dan d) Format-format Pengukuran, dan e) Inventori stres mahasiswa. 2)
Uji Ahli terhadap Panduan Penerapan Konseling Multimodal
Uji ahli dalam penelitian ini terdiri atas ahli isi dan ahli rancangan. Bahan perlakuan yang diuji adalah Panduan Penerapan Konseling Multimodal yang teruji dalam hal keterterimaannya (acceptability) yang meliputi; aspek kegunaan (utility), kelayakan (feasibility), dan ketepatan (accuracy). Uji ahli pada aspek kegunaan (Utility) menunjukkan bahwa Penerapan Konseling Multimodal berada dalam kategori sangat berguna bagi pengelolaan stres mahasiswa. Dan hal ini berarti bahwa Penerapan Konseling Multimodal teruji keterterimaannya (acceptability) pada aspek kegunaan (utility). Uji ahli pada aspek kelayakan (Feasibility) menunjukkan bahwa Penerapan Konseling Multimodal berada dalam kategori sangat layak bagi pengelolaan stres mahasiswa. Dan hal ini berarti bahwa Penerapan Konseling Multimodal teruji keterterimaannya (acceptability) pada aspek kelayakan (feasibility). Uji ahli pada aspek Ketepatan (Accuracy) menunjukkan bahwa Penerapan Konseling Multimodal berada dalam kategori sangat tepat bagi pengelolaan stres
16
mahasiswa. Dan hal ini berarti bahwa Penerapan Konseling Multimodal teruji keterterimaannya (acceptability) pada aspek ketepatan (accuracy). 3) Pengujian hipotesis Pada modalitas perilaku, rerata sebelum penerapan adalah 1,91 dan meningkat menjadi 2,57 sesudah penerapan. Hal ini berarti penerapan konseling multimodal pada modalitas perilaku dapat mengubah perilaku yang negatif menjadi perilaku yang positif. Dengan demikian penerapan konseling multimodal efektif mengurangi stres mahasiswa. Pada modalitas emosi, rerata sebelum penerapan adalah 1,73 dan meningkat menjadi 2,65 sesudah penerapan. Hal ini berarti penerapan konseling multimodal pada modalitas emosi dapat mengubah emosi yang negatif menjadi emosi yang positif. Dengan demikian penerapan konseling multimodal efektif mengurangi stres mahasiswa. Pada modalitas peninderaan, rerata sebelum penarapan adalah 1,72 dan meningkat menjadi 2,58 sesudah penerapan. Hal ini berarti penerapan konseling multimodal pada modalitas penginderaan dapat mengubah penginderaan yang negatif menjadi penginderaan yang positif. Dengan demikian penerapan konseling multimodal efektif mengurangi stres mahasiswa. Pada modalitas khayalan, rerata sebelum penerapan adalah 1,80 dan meningkat menjadi 2,59 sesudah penerapan. Hal ini berarti penerapan konseling multimodal pada modalitas khayalan dapat mengubah khayalan yang negatif menjadi khayalan yang positif. Dengan demikian penerapan konseling multimodal efektif mengurangi stres mahasiswa. Pada modalitas pikiran, rerata sebelum penerapan adalah 1,73 dan meingkat menjadi 2,69 sesudah penerapan. Hal ini berarti penerapan konseling multimodal pada modalitas pikiran dapat mengubah pikiran yang negatif menjadi pikiran yang positif. Dengan demikian penerapan konseling multimodal efektif mengurangi stres mahasiswa. Pada modalitas interaksi dengan orang lain, rerata sebelum penerapan adalah 1,74 dan berubah menjadi mean 2,47 sesudah penerapan. Hal ini berarti penerapan konseling multimodal pada modalitas interaksi dengan orang lain dapat mengubah seseorang untuk mengetahui keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian penerapan konseling multimodal efektif mengurangi stres mahasiswa.
17
Pada modalitas biologi/obat-obatan, rerata sebelum penerapan adalah 1,67 dan meningkat menjadi 2,29 sesudah penerapan. Hal ini berarti penerapan konseling multimodal pada modalitas biologi/drug dapat mengubah pola makan dan pola latihan kesehatan yang negatif menjadi pola makan, dan pola latihan kesehatan yang positif. Dengan demikian penerapan konseling multimodal efektif mengurangi stres mahasiswa. B. PEMBAHASAN Bagian ini berisi uraian tentang: pembahasan hasil penelitian. Secara rinci pembahasan hasil penelitian diuraikan sebagai berikut: Pembahasan Hasil Penelitian Rata-rata jawaban responden ( 1=perilaku,
2=emosi,
untuk
3=penginderaan,
semua
jenis
4=khayalan,
modalitas
5=pikiran,
6=interaksi dengan orang lain, dan 7=biologi/obat-obatan) sebelum penerapan konseling multimodal menunjukkan skor yang lebih rendah daripada skor ratarata jawaban responden sesudah penerapan konseling multimodal. Hal ini menunjukkan bahwa konseling multimodal (KM) signifikan dapat mengurangi stres mahasiswa yang artinya konseling multimodal (KM) efektif mengelola stres mahasiswa. Pada penerapan konseling multimodal aspek perilaku, rata-rata jawaban subyek penelitian sebelum penerapan konseling multimodal menunjukkan skor yang lebih rendah dibandingkan dengan skor sesudah penerapan konseling multimodal. Terjadinya skor yang rendah tersebut karena sebagian besar (lebih dari 50%) jawaban pada skala likert yang diberikan oleh subyek penelitian berada dalam skor yang bernilai 2 dan 1. Hal ini menunjukkan bahwa Konseling Multimodal (KM) signifikan dapat mengubah perilaku subyek penelitian yang negatif menjadi perilaku yang positif, sehingga dapat mengurangi stres mahasiswa yang artinya Konseling Multimodal (KM) efektif mengelola stres mahasiswa. Hampir
seluruh mahasiswa dapat mengidentifikasi penyebab tertekan yaitu
adanya kecemasan, ketakutan, kebingungan, dan kurang percaya diri. Sebagian besar dari subyek penelitian tersebut ketika sedang merasa tertekan melakukan hal-hal yang merugikan seperti merokok dalam jumlah yang berlebihan, minum minuman keras, bermain game online, bermain PS, chating, mengurung diri di kamar dengan menonton TV, dan keluyuran. Dengan Konseling Multimodal (KM) aspek perilaku ini, pada akhirnya mereka dapat menyadari bahwa apa yang
18
dilakukan ketika mahasiswa mengalami stres tersebut adalah hal yang merugikan. Dan selanjutnya dengan bimbingan konselor dapat menemukan apa yang sebaiknya dilakukan dalam mengatasi stres yang dialaminya, yaitu merubah perilaku yang merugikan tersebut menjadi perilaku yang menguntungkan dengan tidak atau mengurangi kegiatan merokok, menjauhkan diri dari minuman keras, tidak selalu mengurung diri di kamar, dan tidak keluar rumah untuk hal yang tidak perlu (keluyuran). Pada penerapan konseling multimodal aspek emosi, rata-rata jawaban subyek penelitian sebelum penerapan konseling multimodal menunjukkan skor yang lebih rendah dibandingkan dengan skor sesudah penerapan konseling multimodal. Terjadinya skor yang rendah tersebut karena sebagian besar (lebih dari 50%) jawaban pada skala likert yang diberikan oleh subyek penelitian berada dalam skor yang bernilai 2 dan 1. Hal ini menunjukkan bahwa Konseling Multimodal (KM) signifikan dapat mengurangi stres mahasiswa yang artinya Konseling Multimodal (KM) efektif mengelola stres mahasiswa. Secara umum mahasiswa dapat menemukan tentang apa yang sedang dirasakan pada saat tertekan yaitu merasa sedih, marah, dan jengkel. Dengan Konseling Multimodal (KM) aspek emosi ini, pada akhirnya mereka dapat menyadari bahwa apa yang dirasakan ketika mahasiswa mengalami stres tersebut adalah hal yang merugikan, yang jika dibiarkan terus menerus akan mengakibatkan stres. Dengan bimbingan konselor, mahasiswa dapat menentukan apa yang seharusnya dilakukan agar terhindar dari stres, yaitu menghilangkan marah, jengkel, dan sedih, dengan melakukan refreshing atau wisata. Pada penerapan konseling multimodal aspek penginderaan,
rata-rata
jawaban subyek penelitian sesudah penerapan konseling multimodal menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan skor sebelum penerapan konseling multimodal. Terjadinya skor yang rendah tersebut karena sebagian besar (lebih dari 50%) jawaban pada skala likert yang diberikan oleh subyek penelitian berada dalam skor yang bernilai 2 dan 1. Hal ini menunjukkan bahwa Konseling Multimodal (KM) dapat membantu mahasiswa menyadari hal-hal yang dapat menyebabkan mahasiswa mendapat gangguan kesehatan. Hampir semua mahasiswa dapat menunjukkan apa yang sedang dirasakan berkenaan dengan gejala gangguan kesehatan seperti sakit kepala, mual, nyeri. Pada umumnya gejala
19
gangguan yang dirasakan oleh mahasiswa tersebut timbul pada saat mereka menghadapi banyaknya tugas kuliah yang menumpuk. Dengan Konseling Multimodal (KM) pada aspek penginderaan ini pada akhirnya mereka dapat menyadari bahwa apa yang dirasakan oleh mahasiswa pada saat mendapat gangguan kesehatan itu adalah hal yang tidak menyenangkan. Dengan bimbingan konselor pada pelatihan modalitas ini, mahasiswa dapat dapat menemukan hal apa saja yang harus dilakukan untuk merubah perasaan tidak menyenangkan menjadi menyenangkan, yaitu dengan berusaha mengurangi pekerjaan yang menumpuk, tidak menunda-nunda waktu, dan tidak bermalas-malasan. Pada penerapan konseling multimodal aspek khayalan sebelum penerapan berada pada skor lebih rendah dibandingkan dengan skor sesudah penerapan konseling multimodal. Terjadinya skor yang rendah tersebut karena sebagian besar (lebih dari 50%) jawaban pada skala likert yang diberikan oleh subyek penelitian berada dalam skor yang bernilai 2 dan 1. Hal ini menunjukkan bahwa Konseling Multimodal (KM) dapat membantu mahasiswa untuk menghilangkan hal-hal yang dapat menimbulkan stres mahasiswa yang artinya Konseling Multimodal (KM) efektif mengelola stres mahasiswa. Pada sesi Konseling Multimodal (KM) aspek khayalan ini pada akhirnya mereka dapat menyadari bahwa melamun, berkhayal, atau bahkan mimpi buruk adalah hal yang sangat merugikan karena tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi bahkan menambah kecemasan dan ketakutan serta kurang percaya diri mereka. Dengan bimbingan konselor pada akhirnya mereka dapat menyadari bahwa hal itu sangat merugikan sehingga harus dihilangkan. Pada penerapan konseling multimodal aspek pikiran skor menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan skor sesudah penerapan konseling multimodal. Terjadinya skor yang rendah tersebut karena sebagian besar (lebih dari 50%) jawaban pada skala likert yang diberikan oleh subyek penelitian berada dalam skor yang bernilai 2 dan 1. Hal ini menunjukkan bahwa Konseling Multimodal (KM) dapat membantu mahasiswa untuk merubah pikiran negatif menjadi pikiran positif sehingga dapat mengurangi stres mahasiswa yang artinya Konseling Multimodal (KM) efektif mengelola stres mahasiswa. Padab sesi penerapan ini mereka dapat menyadari bahwa pemikiran mereka sebelumnya yaitu, cemas, takut, tidak percaya diri, adalah pemikiran negatif yang dapat
20
menyebabkan tertekan. Secara keseluruhan subyek penelitian dapat membedakan antara pikiran negatif dan pikiran positif, dan dengan bimbingan konselor mereka dapat memahami bahwa pemikiran mereka selama ini adalah pemikiran negatif yang merugikan yang dapat menyebabkan stres, sehingga harus diubah menjadi pikiran yang positif dengan selalu berpikiran optimis, merasa mempunyai kemampuan yang cukup, percaya diri, dan berani menghadapi situasi. Skor rata-rata jawaban subyek penelitian pada penerapan Konseling Multimodal (KM) aspek interaaksi dengan orang lain sebelum penerapan Konseling Multimodal (KM) ternyata lebih rendah dibandingkan dengan skor sesudah penerapan Konseling Multimodal (KM). Terjadinya skor yang rendah tersebut karena sebagian besar (lebih dari 50%) jawaban pada skala likert yang diberikan oleh subyek penelitian berada dalam skor yang bernilai 2 dan 1. Hal ini menunjukkan bahwa Konseling Multimodal (KM) dapat membantu mahasiswa untuk menyadari pentingnya membangun hubungan dengan orang lain sehingga dapat mengurangi stres mahasiswa yang artinya Konseling Multimodal (KM) efektif mengelola stres mahasiswa. Pada sesi penerapan ini secara umum menunjukkan subyek penelitian dapat mengetahui manfaat atau kerugian berinteraksi dengan orang lain. Dengan ini mereka dapat mengetahui kerugian jika tertutup dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain, anatara lain: kurang mendapat informasi sehubungan dengan kegiatan kuliahnya, tidak atau kurang mendapat dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan tugas kuliahnya. Dengan bimbingan konselor pada akhirnya mereka menyadari bahwa berinteraksi dengan orang lain sangat perlu dilakukan agar secara moril mendapat dukungan dalam menyelesaikan setiap tugas dan permasalahan yang dihadapi. Pada modalitas biologi/obat-obatan, jawaban subyek penelitian sebelum penerapan konseling multimodal menunjukkan skor rata-rata yang lebih rendah jika dibandingkan dengan skor rata-rata jawaban sesudah penerapan konseling multimodal aspek biologi/drug. Terjadinya skor yang rendah tersebut karena sebagian besar (lebih dari 50%) jawaban pada skala likert yang diberikan oleh subyek penelitian berada dalam skor yang bernilai 2 dan 1. Hal ini menunjukkan bahwa Konseling Multimodal (KM) dapat membantu mahasiswa untuk menata kembali pola makan dan pola latihan kesehatan sehingga dapat membantu mahasiswa mengurangi stres yang dialaminya. Hal ini berarti Konseling Multimodal (KM) efektif mengelola stres mahasiswa. Untuk sesi terakhir dalam penerapan konseling multimodal aspek biologi/obat-obatan, mahasiswa secara
21
keseluruhan dapat menemukan penyebab gangguan jasmani yang mempengaruhi aktifitas kesehariannya yaitu gangguan pencernakan akibat pola makan yang tidak teratur dan gangguan kebugaran jasmani akibat dari kurangnya atau bahkan tidak pernah dilakukannya latihan olah raga. Dengan pelatihan aspek ini mahasiswa dapat menyadari bahwa pola makan dan pola latihan kesehatan yang tidak baik akan merugikan kesehatan mereka baik jasmani maupun rohani. Dengan bimbingan konselor, pada akhir sesi ini mahasiswa dapat memahami arti penting pengaturan pola makan yang baik dan pengaturan pola latihan kesehatan/olah raga dan memulai menata atau mengatur kembali pola-pola itu agar terhindar dari gangguan tersebut. PENUTUP 1. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa Panduan Penerapan Konseling Multimodal teruji keterterimaannya (acceptability) pada aspek kegunaan (utility), kelayakan (fesiability) dan ketepatan (accuracy), dan Konseling Multimodal (KM) efektif untuk mengelola stres mahasiswa. Hal ini terbaca dari tabel hasil uji beda yang menunjukkan terjadinya peningkatan mean pada setiap modalitas. Pada modalitas perilaku, terjadi perubahan mean dari mean 1,91 sebelum penerapan menjadi mean 2,57 sesudah penerapan. Pada modalitas emosi, terjadi perubahan mean dari mean 1,73 sebelum penerapan menjadi mean 2,65 sesudah penerapan. Pada modalitas penginderaan, terjadi perubahan mean dari mean 1,72 sebelum penerapan menjadi mean 2,58 sesudah penerapan. Pada modalitas khayalan, terjadi perubahan mean dari mean 1,80 sebelum penerapan menjadi mean 2,59 sesudah penerapan. Pada modalitas pikiran, terjadi perubahan mean dari mean 1,73 sebelum penerapan menjadi mean 2,69 sesudah penerapan. Pada modalitas interaksi dengan orang lain, terjadi perubahan mean dari mean 1,74 sebelum penerapan menjadi mean 2,47 sesudah penerapan. Pada modalitas biologi/drug, terjadi perubahan mean dari mean 1,67 sebelum penerapan menjadi mean 2,29 sesudah penerapan. 2. Saran Beberapa saran penulis sampaikan kepada: 1) Pimpinan Perguruan Tinggi, hendaknya selalu menghimbau para konselor bahwa selain bertugas sebagai pengajar juga bertugas sebagai pembimbing mahasiswa. Berkaitan dengan perkembangan aspek afektif dan psikomotorik mahasiswa, pimpinan perguruan
22
tinggi hendaknya tidak hanya memfokuskan pada keberhasilan pemerolehan Indeks Prestasi (IP) yang tinggi tetapi juga memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi dosen dan mahasiswa untuk pengembangan aspek afektif dan kognitif mahasiswa. Untuk itu dapat ditempuh dengan menugaskan konselor dan mahasiswa untuk mengikuti seminar dan pelatihan yang relevan dengan aspek afektif dan psikomotorik mahasiswa. 2) Para Konselor, menyadari bahwa tidak semua Pembimbing Akademik memiliki latar belakang bimbingan konseling maupun psikologi, maka disarankan agar lebih aktif mencari informasi yang berhubungan dengan perkembangan mahasiswa yang informasi tersebut sangat penting untuk mendukung tugas dosen sebagai pengajar maupun pembimbing. Apabila Pembimbing Akademik mengalami hambatan dalam memecahkan masalah yang dihadapi mahasiswa, hendaknya melalui pimpinan perguruan tinggi meminta bantuan kepada konselor atau psikolog yang memiliki keahlian untuk itu. Sehingga masalah yang dihadapi oleh mahasiswa dapat diselesaikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, 3) Lembaga pendidikan yang mengelola Program Studi Bimbingan Konseling dan Psikologi dapat mendorong mahasiswanya agar dapat menghasilkan penelitian-penelitian dan bahan perlakuan yang dapat membantu konselor terutama yang bukan berlatar belakang pendidikan konseling maupun psikologi untuk melaksanakan bimbingan kepada mahasiswanya. Penelitian-penelitian maupun produk yang dihasilkan tersebut selain sesuai dengan kaidah ilmiah juga tersusun secara sistematis, mudah dipahami, sederhana, operasional dan tepat, sehingga mudah digunakan. DAFTAR PUSTAKA Arnett, J. J. 1999. Adolescent Stomi and Stress. American Psychologist, 54 (5), 317-326. Azwar, S. 1996. Reabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brannon, L.. & Feist, J. 2000. Health Psychology; An Introduction to Behavior and Health. USA: Wadsworth. Corey, G. 2005. Theory And Practice of Counselling and Psychotherapy. Sixth Edition. California: Books/Cole Publishing. Corrnier, W. H., & Cormier, L. S. 985. Interviewing Strategies For Helpets; Second Edition. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company. Gadzela, B. M., & Baloglu, M. 2001. Confirmatory factor Analysis and Internal Consistency of The Student-life Stres Inventory. Journal of Instructional
23
Psychology, 2, 2-8. http ://www. findarticles.com. Diakses Tanggal 10 Maret 2006. Greenberg, I S. 2002. Comprehensive Stress Management. New York: Mc Grawh Hill Ge, X., Conger, R. D., & Elder, G. H. 2001. Pubertal Transition, Stressfull Live Events, and The Emergence of gender differences in adolescent depressive strn ptoms. Developmental PychoIogy. Vol 37 (3), 404-417. Gunarsa, S. 1996. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hewit, P. L., & Flett, G.L. 1993. Dimension of Perfectionism, Daily Stress, and Depression: A Test of The Specific Vulnerability Hypotesis. Journal of Abnormal Psychology Vol 102. (1) 58-65. John, M. 2004. Article. Stress Management: Strategy and Techniques. http://www. humanlink. .Com. Diakses Tanggal 2 Februari 2005. Kanfer, F. H. & Goldstein, A. P. 1980. Helping People Change. Second Edition. USA: Pergamon Press. Kanters, Bristol,M. A., David, G., Attarian, & Aram. 2002. Effects of Outdoor Experiental Training On Perceptions of CoBege Stress. Journal of Experiental Education. (JO). http://www. findarticles.com. DiaksesTanggal 01 Maret 2006. Kasandra, A. 0. 2003. Pendekalan Cognitive Behavior Dalam Psikoterapi. Jakarta: Ktreativ Media. Kiselica, M. S. Stanley, B., Ronald, N. T., S Susan, R. 1994. Effect of Stress Inoculation Training on Anxiety, Stress, and Academic Performances Among Adolesencet. Journal of Counseling Psychology. Vol 41 (3, 335342) Kerlinger, F. N. 1990. Asas-asas Penelitian Behavioral (Terjemahan). Yogyakarta: Universitas Gadjahmada Press. Larson, R. & Ham, M. 1993. Stress and “Storm and Stress” in Early Adolesence: The Relationship of Negative Events With Dysphoric Affect. Developmental Psychology. Vol. 29 (1), 130-140. Lee, D. H., Kang, S., & Yum, 5. 2005. A Qualitative Assesment of Personal and Academic Stressor among Korean College Students: An Exploratory Study. College Student Journal, 03, 3-9. http://www. findarticles.com. Diakses Tanggal 12 Maret 2006. Leedy, P. D. 1985 Practical Research: Planning and Design. New Yowk: Macmillan Publishing Company.
24
Leong, F. T. & Vaux, A. 1991. The Relationship Between Stressfull Live Event, Psychoilogical Distress, and Social Desirability. Measurement and Evaluation in Counseling and Development. Vol 23 (171-178). Mahan, J. V. 1999. Cognition Versus Action: Stress and Coping Efforts of Community College Students In WestTexas, USA. Paper Presented At the Eoropean Conference On Educational Research. Finland Rickard, J. 1996. Relaxation for Children. Alih Bahasa: Hidayati, T. Jakarta: Grasindo. Romas, H. A. & Sharma, M. 2000. Practical Stress Management. Second Edition. USA: A Pearson Education Company. Ross, S. E., melbing, B. C., & Heckert, T. M. 1999. Sources of Stress Among College Students. college Student Journal. 33, 3-12.. http://www. findarticles.com. Diakses Tanggal 12 Maret 2006. Rollin, S. A, Arnold, A. R., Solomon, S. Rubin, R. I. & Holland, J.L. 2003. A Stress Managmenet Curriculum for at-risk Youth. Journal of Humanistic Counsetting, Education and Development. Vol 42, 79-89. Sheehy, R., Horan, J. J. 2000. Effect of Stress Inoculation Training for First Year Law Student. International Journal of Stress Management, (II), 4155. Smith, C. 1993. Understanding Stress and Coping. New York: MacMillan Publishing Company. Toward a MultiCultural Model Stress Process. Slavin, L. A., Rainer, K. L., McCreary, M. L. & Gowda, K. K. 1991. Journal of Counseling & Development. Vol 70 (156-163). Tuckman, W. B. 1999. Conducting Educational Research: Second Edition. USA: Harcourt Brace Jovanovich, Publisher. Yiming, C. & Fung, D. 1998. Help Your Child to Cope: Understanding Childhood Stress. Singapore: TirTleS Book International. Theories of Stress. http://www. Garysturt-Free.on line. Diakses Tanggal 2 Februari 2005.