Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani dalam Semangat Otonomi Daerah Amir Faisol Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ahsanta Jambi
Abstract: District autonomy has given a great deal of opportunities for society and provincial government in order to realize an ideal society which is represented by its justice and prosperity for everybody. This is popularly called “civil society”. To realize this, it requires to develop human resources. This is done by empowering society to have self inner dynamic through education and maximize the function of Islamic education, especially its potential development. Therefore, it is crucial to improve human resources which are directed into three aspects: quality improvement of education, quality improvement of moral education in the first level, and educating and training which are directed to empower society. Keywords: Pendidikan, masyarakat madani, otonomi daerah
I. Pendahuluan Otonomi daerah sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2000. Sejak saat itu, wacana otonomi daerah mengemuka dengan berbagai dilema baru yang perlu dicari solusinya sejalan dengan perkembangan politik dalam era reformasi, menghadapi era globalisasi, utamanya perdagangan bebas di kawasan Asian 2003 dan kawasan Asia-Pasifik 2010, yang ditandai oleh persaingan ketat dalam menentukan jati diri bangsa di tengah-tengah kehidupan Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
141
Amir Faisol
bangsa-bangsa di dunia. Otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian otonomi daerah bagi pembangunan regional adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, bersumber dari wewenang pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah. Dalam pelaksanaannya, otonomi lebih memberikan peluang atas prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, dengan memperhatikan potensi dan keragaman budaya daerah. Sebagian kewenangan pemerintah pusat diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan batasbatas kewenangan yang diserahkan. Implementasi kebijakan otonomi daerah dalam upaya menjawab tuntutan lokal dan desakan kecenderungan arus global perlu diwaspadai mengingat kondisi dalam masa transisi yang labil berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan perpecahan. Kekhawatiran ini karena masyarakat tidak terbiasa untuk berbeda pendapat dan berargumen secara baik, utamanya realitas perbedaan pendapat dan arogansi kekuasaan. Pada masa orde baru, politik menjadi panglima. Segala kegiatan termasuk pendidikan diarahkan kepada tercapainya tujuan politik. Kecenderungan politik, ekonomi dan budaya berpengaruh dan memasuki dunia pendidikan. Pendidikan tidak difungsikan untuk tercapainya kesejahteraan rakyat, dan tidak diorientasikan bagi kebutuhan pasar, tetapi kebutuhan politik. Penerapan metodologi pendidikan cenderung ke cara-cara indoktrinasi sejak dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kebebasan dan kemerdekaan berpikir, kemampuan berpikir alternatif, kritis, kreatif, inovatif dihambat dan tidak mendapatkan peluang untuk berkembang, karena politik sebagai panglima pada masa itu sengaja tidak menciptakan kondisi yang berseberangan dengan tercapainya tujuan politik yang sangat merugikan bagi berkembang dan meningkatnya 142
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
kualitas SDM yang menghargai hak-hak asasi warganegara. Memasuki masa reformasi dengan pengalaman-pengalaman masa lalu yang telah membentuk masyarakat dan budaya Indonesia yang kini tengah mengalami krisis, diperlukan adanya kesepakatan bersama tentang bentuk masyarakat Indonesia baru, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur dengan supremasi hukum bagi semua orang. Kehidupan masyarakat seperti itu adalah kehidupan “masyarakat madani” ebagai bentuk masyarakat ideal dari suatu masyarakat yang demokratis, berkedaulatan rakyat, dan berkeadilan bagi seluruh anggotanya. Setiap anggota memiliki kebebasan dan kemerdekaan berpikir, hak dan kewajiban yang sama dalam mewujudkan cita-cita bersama, yang menghormati hak-hak asasi manusia. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi supremasi hukum, dimana setiap anggota memiliki kedudukan sama atas perlindungan hukum. Dalam kehidupan masyarakat madani terdapat keseimbangan dinamis antara tatanan sosial dan otonomi individual. Adanya peluang dan kesempatan bagi setiap individu untuk mengembangkan otonomi dirinya, maka setiap anggota dapat diharapkan mampu memberikan kontribusi yang sangat bermanfaat bagi berkembangnya tatanan kehidupan sosial sebagaimana diinginkan. Tatanan sosial yang memberikan kesempatan bagi berkembangnya otonomi individu adalah tatanan sosial yang dikontrol oleh para anggotanya. Era globalisasi menyadarkan bangsa kita untuk melihat ke masa depan yang penuh dengan tantangan dan persaingan. Kebijakan pembangunan nasional dengan berpegang pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah membawa perubahan strategik pada peningkatan kualitas SDM yang sangat diperlukan bagi setiap daerah untuk dapat bersaing secara positif dengan daerah lain. Pendidikan merupakan pilar utama untuk mengimplikasikan keinginan tersebut yang memerlukan waktu relatif lama dan biaya cukup besar. Pada permulaan orde baru, pemerintah telah banyak membangun gedung-gedung sekolah, mulai dari tingkat sekolah dasar Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
143
Amir Faisol
hingga perguruan tinggi. Tetapi sasarannya lebih banyak menekankan kepada pembangunan material, belum mengacu kepada pembangunan pendidikan yang berorientasi kepada mutu lulusan. Sebaliknya kehidupan masa depan menuntut manusia unggul yang mampu menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Tuntutan reformasi politik, ekonomi, sosial, dan sistem pemerintahan tidak akan membuahkan hasil kecuali melalui reformasi pendidikan. Krisis multi dimensi yang melanda bangsa dan negara kita tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi, sosial dan politik, tetapi juga oleh adanya krisis dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan adalah aset masa depan dalam membentuk dan meningkatkan kualitas SDM. Otonomi daerah yang dimantapkan dengan Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, merupakan upaya pemerintah pusat dalam memberdayakan daerah sebagai bagian dari usaha mempercepat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pendidikan adalah permasalahan besar yang menyangkut nasib dan masa depan bangsa dan negara. Untuk membantu mewujudkan kesiapan SDM dalam arti pemberdayaan potensi masyarakat, pendidikan harus mengambil peran mutlak. Semua kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah, keluarga, maupun masyarakat perlu diarahkan untuk mewujudkan individu ataupun masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri, bertaqwa dan berdaya saing dalam menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan kehidupan dalam era globalisasi sekarang ini. Kekayaan sumber daya alam (SDA) tidak akan ada artinya bagi kehidupan suatu masyarakat apabila tidak diolah oleh tenaga-tenaga terdidik yang berkualitas. Yang dimaksud manusia berkualitas bukan berarti harus berpendidikan tinggi, tetapi manusia yang mampu bekerja secara profesional, dalam arti memiliki pengetahuan, kemampuan, dan kesediaan (niat) mengabdikan diri mengolah bumi dan sumber daya lainnya anugerah Tuhan yang terdapat di daerah untuk lebih berhasil guna sehingga seluruh sumber daya dapat difungsi kan secara efektif-efisien dan rasional untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. 144
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
Pemberdayaan masyarakat merupakan kata kunci dalam otonomi daerah, karena hanya daerah yang masyarakatnya memiliki daya dan kemampuan untuk mengolah, menumbuh-kembangkan, dan memanfaatkan peluang dan sumber daya yang ada yang akan mampu mandiri dalam mengelola otonomi daerah. Pemberdayaan mengandung makna membangunkan potensi dan kekuatan masyarakat, agar mereka mampu bersaing menghadapi tantangan dan permasalahan kehidupan individual dan sosial. Suatu tantangan dan hambatan yang datang silih berganti dalam kehidupan bersama. Masyarakat dituntut memiliki kekuatan dalam diri sendiri (innerdynamic). Kepercayaan sepenuhnya harus diberikan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri dan lingkung annya. Pola peningkatan kualitas SDM untuk memberdayakan masyarakat di daerah bukan merupakan kegiatan yang sifatnya “menunggu petunjuk dari atas” (top-down intervention) yang kurang atau bahkan tidak menghargai potensi, aspirasi, kreasi dan inovasi masyarakat untuk mem bangun diri sendiri (swadaya). Tetapi sebaliknya yang diperlukan adalah pola pemberdayaan yang sifatnya tumbuh dan berkembang dari bawah (bottom-up intervention) yang mengakui dan menghargai potensi dan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahan yang dihadapinya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dan inovatif melalui prinsip swadaya dan kebersamaan. Human investment melalui pendidikan bermutu akan dapat melahirkan SDM berkualitas, yang pada gilirannya membawa masyarakat bangsa Indonesia dapat bersaing dalam konteks kerjasama dengan bangsabangsa lain di dunia terutama di Asia tanpa kehilangan martabatnya. Bangsa Indonesia memiliki kekayaan SDA lebih besar dibandingkan dengan negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Tetapi kita telah jauh tertinggal, karena mereka memiliki kualitas SDM lebih baik dibandingkan yang kita miliki.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
145
Amir Faisol
II. Fungsi Pendidikan Islam dalam Pengembangan Potensi Manusia diciptakan Tuhan dengan bekal seperangkat potensi (sumber daya) agar survival meniti jalan hidup di dunia sebagai persiapan kehidupan di akherat. Potensi diri dapat tumbuh berkembang dengan baik bila berorientasi pada “dua sisi kehidupan”, yaitu dunia dan akherat. Tidak melebihkan keperluan hidup di dunia karena melupakan akherat, dan tidak pula melebihkan akherat karena melupakan kehidupannya di dunia. Kecenderungan memilih salah satu sisi kehidupan dengan melupakan sisi kehidupan lainnya akan menyebabkan seperangkat potensi dalam diri seseorang tidak dapat berkembang serasi, yang pada gilirannya merugikan manusia itu sendiri baik secara individual maupun sosial. Berorientasi pada “dua sisi kehidupan” merupakan keharusan, karena manusia ditaqdirkan meniti kehidupan di dunia dan menyiapkan diri dalam kehidupan di hari kemudian. Firman Allah dalam surat A-Qashash, ayat 77: “Dan carilah dari apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”1
Berpegang teguh pada orientasi dua sisi kehidupan “duniaakherat” telah dimulai sejak tahap awal kehidupan manusia, yaitu ketika bayi masih dalam kandungan. Kehidupan seorang bayi dalam kandungan ditaqdirkan oleh Tuhan menghadapi “dua sisi kehidupan”, yaitu kehidupan dalam kandungan dan kehidupan di dunia setelah dilahirkan.. Seperangkat potensi dibekalkan oleh Tuhan kepada bayi untuk menghadapi “dua sisi kehidupan” yang tak terpisahkan. Bayi akan tumbuh-berkembang dengan baik apabila berpegang teguh pada orientasi “dua sisi kehidupan”. Melebihkan keperluan hidup dalam kandungan karena melupakan dunia, atau sebaliknya melebihkan kehidupan dunia karena melupakan A. Rifa’i, Tafsiru a-Aliyyu al Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa Syihabuddin, (Jakarta: Gema Tera Indonesia, 1998), jilid 3, hal. 702. 1
146
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
kehidupan dalam kandungan akan berakibat fatal bagi kehidupan bayi itu sendiri. Taqdir tak dapat ditolak, tetapi taqdir menjadi jalan ditemuinya kebahagiaan manusia, bukan bertujuan menghukum atau mencelakakan. Orientasi “dua sisi kehidupan” dunia dan akherat bagi manusia yang sedang meniti kehidupan di dunia, sama persis dengan orientasi “dua sisi kehidupan” kandungan dan dunia” bagi bayi yang sedang tumbuh-berkembang dalam kandungan. Taqdir itu indah, serasi dan alami, mengikuti Sunnatullah, datang dari Yang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara kehidupan manusia. Pemanfaatan potensi diri diserahkan sepenuhnya oleh Tuhan kepada manusia. Bila manusia berpegang teguh pada orientasi “dua sisi kehidupan”, maka orientasi tersebut akan berfungsi sebagai pengontrol aktifitas seseorang dalam memanfaatkan potensi dengan benar, sehingga kebahagiaan hidup akan ditemui. Tetapi sebaliknya, bila manusia tidak berpegang teguh pada orientasi tersebut dalam memanfaatkan potensi diri, maka kebahagiaan tidak akan ditemui, bahkan dapat mendatangkan kecelakaan diri. Kebahagiaan hidup seseorang ataupun masyarakat terletak pada kemerdekaan diri. Kemerdekaan diri merupakan modal utama yang melandasi diperolehnya kemerdekaan berkembang pada potensi-potensi lain dalam diri manusia. Agar seseorang dapat mempergunakan potensi diri seoptmal mungkin diperlukan suasana kemerdekaan diri. Kemerdekaan diri dari intimidasi, kesewenangan, kedhaliman, ketidakadilan, penekanan dan penjajahan dari sesama manusia. Dasar diciptakannya manusia atas fithrah, menyebabkan perasaan diri memiliki kesamaan derajad dan kesamaan kesempatan dalam mengaktualisasikan diri di antara sesama manusia. Jika perasaan itu tidak jelas, kabur, dan bahkan tidak ada, maka permasalahannya bukan pada potensi dasar ketiadaan kemerdekaan diri, tetapi lebih disebabkan oleh faktor eksternal yang mempengaruhi, sehingga seseorang tidak dapat menggunakan potensi-potensi dasar dalam dirinya. Tuhan tidak pernah membekalkan potensi dasar “keterbelegInnovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
147
Amir Faisol
guan diri” pada manusia, kecuali manusia itu sendiri yang membelenggukan dan menggadaikan kemerdekaan dirinya karena faktor eksternal yang mengkondisikan seseorang menjadi tidak mampu mempergunakan kemerdekaan dirinya. Kemerdekaan diri hanya dapat dipelihara dan dijaga oleh fithrah sebagai dasar manusia diciptakan. Pengaruh kekuatan fithrah tersalur pada hati nurani manusia. Karena itu, hanya hati nurani yang mampu mengawal dan menjaga kemerdekaan diri seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang bersikap, berperilaku dan berbuat di luar kehendak hati nuraninya akan menyebabkan sikap, perilaku dan perbuatannya tidak lagi didasari oleh kemerdekaan diri. Kemerdekaan diri membuat seseorang bertanggung jawab terhadap produk pemikiran, sikap, perilaku, dan perbuatannya. Orang seperti ini memiliki perasaan berharga dalam hidupnya karena sikap, perilaku dan perbuatannya teraktualisasikan atas dasar kemerdekaan diri, bukan tersandar dan terikat pada pengaruh eksternal. Orang yang hidupnya berdasarkan kemerdekaan diri memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan tentang “apa yang harus dilakukan”, dan “apa yang harus tidak dilakukan”. Kemerdekaan diri merupakan latar belakang yang menentukan apakah pengambilan keputusan orisinal atau tidak. Orang seperti ini memiliki rasa percaya diri yang kuat, yang tidak mudah “melempar batu sembunyi tangan” ketika pengambilan keputusannya ternyata tidak benar. Pengambilan keputusan untuk bersikap, berperilaku dan berbuat dilakukannya dengan penuh percaya diri. Jika pengambilan keputusannya ternyata tidak benar, sangat mudah baginya untuk surut ke belakang mengikuti pengambilan keputusan yang benar, walaupun datangnya dari orang lain. Tindakan dan perbuatan berdasarkan kemerdekaan diri, menyebabkan seseorang bersikap “terbuka” terhadap produk pemikirannya sendiri dan menghargai hasil pemikiran orang lain yang mungkin tidak sama, karena suatu kesadaran dalam diri atas kepemilikan kemerdekaan diri pada diri orang lain sebagaimana yang juga dimilikinya. Perbedaan pendapat terkesan sebagai suatu 148
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
kewajaran, yang tidak akan mengganggu kemerdekaan diri sendiri dan tidak akan mengganggu kemerdekaan diri orang lain. Bahkan orang yang memiliki kemerdekaan diri dapat belajar dan memanfaatkan perbedaan pendapat sebagai dorongan untuk mengembangkan wawasan pemikiran agar lebih berkualitas. Perasaan kemerdekaan diri bersumber dari hati nurani manusia, yang dapat merespons seruan Tuhan agar seseorang mengikuti ajakan hati nurani yang berisi nilai-nilai Ilahiyah (kemuliaan), dan kritis terhadap ajakan insaniyah “naluri manusia” baik yang muncul dari diri sendiri maupun orang lain yang seringkali merugikan bila tidak dikendalikan. Seruan Allah dalam Al-Qur’an seperti yang tercantum dalam surat Al-Ghasyiyah, ayat 17-20, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan? dan langit, bagaimana dia ditinggikan?, dan gununggunung, bagaimana dia ditegakkan, dan bumi, bagaimana dia dihamparkan?“2
Ayat tersebut diantara contoh seruan Allah kepada manusia untuk mempergunakan kemerdekaan diri dalam hidupnya, sehingga dapat berpikir secara merdeka pula terhadap fenomena alam ciptaan Allah untuk dianalisis. Firman Allah yang lain terdapat dalam surat Al-Baqarah, ayat 256, yang artinya: ”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat...”3 Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar manusia mempergunakan kemerdekaan diri dalam pengambilan keputusan tentang “apa yang harus dilakukan” dan “apa yang harus tidak dilakukan”. Ayat ini memberikan pelajaran agar semua pengambilan keputusan untuk bersikap, berperilaku dan berbuat didasarkan atas kemerdekaan diri, terbebas dari berbagai tekanan dan pengaruh eksternal, yang dapat menyebabkan pengambilan keputusan tidak orisinal. Islam lebih menghargai keorisinalan produk berpikir manusia yang lahir karena kejujuran terhadap diri sendiri. Sebuah riwayat yang mengisahkan seorang berperilaku dan 2 3
A. Rifa’i, Tafsiru..., jilid IV, hal. 969. A. Rifai, Tafsiru..., jilid I, hal. 426.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
149
Amir Faisol
selalu berbuat kejahatan, pada suatu ketika berkehendak menjadi pengikut Rasulullah s.aw., menjadi Muslim. Orang ini bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang persyaratan yang harus dipenuhi agar dirinya diterima menjadi Muslim. Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa orang tersebut “tidak boleh berbohong”. Nampaknya persyaratan ini sangat mudah dan sederhana, tetapi dibalik kemudahan dan kesederhanaan itu terdapat suatu “nilai dasar” yang perlu dimiliki oleh setiap Muslim, yaitu kejujuran terhadap diri sendiri. Sejarah hidup Rasulullah s.a.w. merupakan pelajaran bagi setiap Muslim tentang nilai dasar pertama yang harus ditanamkan pada seseorang agar menjadi Muslim yang baik. Sejak muda beliau terkenal sebagai sosok pribadi yang dapat dipercaya, sehingga mendapatkan nama julukan (panggilan) al-Amien dari masyarakatnya. Bekal kejujuran dan kepercayaan ini juga yang mendasari semua perilaku dan perbuatan beliau, baik dalam kegiatan sosial maupun ekonomi, bahkan politik. Nilai kejujuran seharusnya merupakan kegiatan awal yang harus ditanamkan kepada seseorang sehingga mempermudah upaya membina dan mengembangkan berbagai potensi yang terdapat dalam diri manusia agar hidupnya bermanfaat bagi masyarakatnya. Banyak kasus telah terjadi bahwa pembinaan dan pengembangan kecerdasan intelektual pada diri seseorang tidak menjamin yang bersangkutan bermanfaat hidupnya dalam masyarakat, bahkan tidak sedikit yang merugikan. Upaya penanaman nilai kejujuran sehingga seseorang dapat dipercaya, “satunya kata dan perbuatan” merupakan dasar pembinaan dan pengembangan potensi diri seseorang yang perlu diutamakan menjadi prioritas pertama. Penanaman nilai kejujuran merupakan upaya pembinaan hati nurani manusia. Nilai ini akan menyebabkan seseorang menjadi familiar terhadap hati nurani, sehingga menjadi terbiasa terasa nyaman dan aman apabila pertimbangan suara hati nurani dijadikan panduan pemengambilan keputusan tentang “apa yang seharusnya dilakukan” dan “apa yang seharusnya tidak dilakukan”. Tidak sedikit orang yang cerdas intelektualnya bersikap ragu dan tidak mampu mengambil keputusan, disebabkan tidak terbiasa 150
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
mendengarkan pertimbangan hati nurani ketika menghadapi permasalahan kehidupan. Banyak faktor eksternal yang mengelilingi dan mempengaruhi kehidupan seseorang dalam pergaulan di masyarakat, sehingga menimbulkan pertentangan antara suara hati nurani dengan kecenderungan naluri. Pada saat-saat seperti inilah nilai kejujuran sangat diperlukan, jujur terhadap diri sendiri, yang berarti seseorang tidak dapat membohongi dirinya dengan upaya keras untuk menutupnutupi suara hati nuraninya. Hati nurani manusia tidak pernah dan tidak dapat berbohong. Karena itu bila seseorang mengikuti suara hati nurani akan menimbulkan kepuasan batin (lega hati) walaupun dampaknya negatif bagi kecenderungan naluri. Sebaliknya bila seseorang mengingkari suara hati nuraninya akan menimbulkan kepuasan pada kecenderungan naluri tetapi berakibat timbulnya kegelisahan dalam diri yang bersangkutan. Kekecewaan, penyesalan, perasaan bersalah, berdosa, mimpi-mimpi buruk, loyo, malas, waswas dan takut menghadapi kenyataan, bahkan frustrasi dan patah hati dan tidak bertanggung jawab adalah akibat seseorang menutup-nutupi suara hati nurani sehingga menumpuk dan menjadi beban mental. Allah membekalkan hati nurani kepada setiap orang, yang berfungsi sebagai radar kehidupan, memberi tanda-tanda bahwa sesuatu “baik dilakukan atau tidak” bagi kemuliaan hidup seseorang. Berpegang teguh kepada hati nurani merupakan jihad, karena menghendaki kesungguhan proaktif dari pemiliknya. Hati nurani adalah sumber energi, berisi nilai-nilai kemuliaan paling mendasar, yang mampu menggerakkan keinginan yang terpikir oleh manusia menjadi sesuatu yang harus dijalani, ketika seseorang mengikuti suara hati nuraninya. Pendidikan Islam yang seharusnya diharapkan memupuksuburkan kekuatan hati nurani sebagai radar kehidupan, sayangnya baru dipahami sebagai ajaran fiqh, pendekatan ritual, simbol-simbol dan pemisahan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, yang sebenarnya tak terpisahkan. Pendidikan Islam baru dalam taraf pemberian ajaran materi agama, belum sampai kepada pemberian semangat (spirit) kehidupan Muslim sebagai perwujudan Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
151
Amir Faisol
kehidupan duniawi dan ukhrawi yang senyawa, tak terpisahkan. Pendidikan Islam memerlukan paradigma baru, karena Islam semakin diperlukan sebagai pedoman hidup di tengah-tengah perubahan budaya dan kehidupan modern yang berkembang sangat cepat. Pendidikan Islam yang sangat dibutuhkan masih menghadapi hambatan karena sifatnya kurang terbuka bagi kehidupan modern, antara lain masih adanya sekat pembatas antara pendidikan (yang dianggap) sekuler dengan pendidikan (yang dianggap) berciri khas agama. Sekat pembatas ini perlu ditemukan solusinya, antara lain dengan melakukan pencerahan (renaissance) terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan manusia, sikap Muslim terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perlu adanya peninjauan ulang terhadap pemahaman keilmuan Islam. Pencerahan intelektual (intellectual renaissance) terutama terhadap pemahaman keilmuan Islam dan aktualisasi kehidupan pribadi Muslim merupakan esensi dalam pengembangan pendidikan Islam. Keyakinan Islam sebenarnya memberikan kekayaan, bukan hanya terbatas sebagai arbitrasi moral tetapi memberikan komitmen pengembangan intelektual dalam semua aspek kehidupan manusia secara individual dan sosial. Dalam pendidikan Islam, upaya pengembangan intelektual harus seiring dengan pengembangan akhlaq al-karimah. Demikian pula sebaliknya, upaya pengembangan akhlaq al-karimah harus seiring dengan pengembangan intelektualnya. Upaya pengembangan kognitif harus seiring dengan pengembangan afektif. Upaya pengembangan intellectual intellegence harus seiring dengan pengembangan emotional intelligence. Bahkan upaya pengembangan intellectual intellegence tidak akan banyak manfaatnya bagi penciptaan kesejahteraan masyarakat bila tidak beriring dengan upaya pengembangan emotional intelligence manusia. Hati nurani adalah sumber energi pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual. Hati nurani merupakan sumber norma dan nilai-nilai Ilahiyah (kemuliaan hidup) manusia, yang berfungsi menjadi tolok ukur apakah sesuatu “patut dilakukan atau tidak”. Fungsi kecerdasan intelektual bukanlah radar penentuan norma dan 152
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
nilai-nilai kemuliaan hidup, tetapi merupakan pusat energi untuk “mencari jalan usaha” insaniyah agar manusia dapat bertahan meniti kehidupannya sebagai manusia yang memiliki naluri. “Pencarian alternatif jalan usaha insaniyah” bertumpu pada kecerdasan intelektual, sedangkan penentuan “kemuliaan jalan Ilahiyah yang harus ditempuh” bertumpu pada hati nurani. Kecerdasan intelektual berfungsi untuk “melahirkan berbagai gagasan dan pemikiran alternatif insaniyah sebagai jalan usaha” yang dapat dilakukan oleh seseorang. Sedangkan hati nurani berfungsi “memilihkan jalan terbaik Ilahiyah” dari berbagai alternatif usaha insaniyah melalui cara pandang (paradigma) norma dan nilai-nilai kemuliaan. Kecerdasan intelektual berfungsi untuk membaca, meneliti, mengkaji, dan menganalisis fenomena alam dan sosial yang terbentang dalam kehidupan insaniyah. Sedangkan hati nurani berfungsi mengembangkan hasil kajian kecerdasan intelektual dengan sesuatu yang sifatnya transendent dan abadi sebagai reinforcement terhadap norma dan nilainilai Ilahiyah dalam diri seseorang. Kecerdasan intelektual merupakan sumber enersi kehidupan insaniyah manusia, sedangkan hati nurani sumber kecerdasan emosional dan spiritual merupakan energi norma dan nilai-nilai kehidupan Ilahiyah seseorang.
III. Tuntutan Masyarakat Terbuka terhadap Kualitas SDM Masyarakat abad 21 adalah masyarakat terbuka. Komunikasi antarmanusia dalam berbagai aspek kehidupan bebas dari hambatanhambatan. Kondisi dan situasi dunia terbuka seringkali menimbulkan perubahan dan transformasi sosial sangat cepat, paling tidak dalam perubahan politik, ekonomi, dan budaya.4 Menghadapi perubahan sangat cepat dalam dunia global (terbuka) diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Perkembangan dunia seperti ini memerlukan manusia yang memiliki kepribadian kuat, unggul, dapat Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Tera Indonesia, 1998, hal. 415. 4
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
153
Amir Faisol
bekerja keras, produktif dan kreatif, karena diperlukan adanya kekaryaan dan produk-produk baru yang inovatif, agar dapat bersaing dalam dunia internasional. Dengan demikian, diperlukan suatu pembinaan kehidupan masyarakat, yang anggota-anggotanya dapat menyadari akan potensi diri dan mengembangkannya bagi terbentuknya tatanan kehidupan yang membawa manfaat bagi kesejahteraan diri sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Perubahan politik dalam dunia global (terbuka) ditandai oleh terjadinya proses demokratisasi, yaitu pengakuan akan potensi dan kemampuan masyarakat untuk membangun dirinya sendiri, dan secara bersama-sama membangun suatu masyarakat yang lebih makmur, berkeadilan, merata, tertib dan aman. Perubahan arah dunia politik seperti ini memerlukan tersedianya sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang pula. Dengan kata lain diperlukan manusia yang memiliki kecerdasan intelektual. Tetapi kecerdasan intelektual saja tidak menjamin terciptanya kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan berkemakmuran, kecuali seiring dengan kecerdasan emosional dan spiritual, yang mampu mendengarkan suara hati nurani, sehingga pengendalian diri dapat dilakukan. Berbekal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibarengi dengan penguasaan diri, yang energinya terdapat dalam hati nurani. Telah banyak terjadi bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berujung bukan pada penciptaan kesejahteraan hidup bermasyarakat, bahkan kebalikannya, berujung pada bencana yang menimpa kehidupan bermasyarakat. Bukan keadilan dan kemakmuran bersama yang terjadi, tetapi keadilan untuk orang lain dan kemakmuran untuk diri sendiri atau untuk segolongan orang tertentu. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh kecerdasan intrelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan mematuhi norma dan nilai Ilahiyah yang terdapat dalam hati nurani seseorang sebagai sumber energi kemuliaan hidup manusia ciptaan Tuhan. Upaya peningkatan dan pengembangan potensi (sumber daya) manusia harus dilakukan secara simultan meliputi pengembangan 154
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual manusia. Dengan kata lain upaya peningkatan dan pengembangan potensi (sumber daya) manusia harus terarah pada pembinaan dan pengembangan kehidupan “insaniyah yang Ilahiyah” dan pegembangan “Ilahiyah yang insaniyah” dalam diri manusia. Potensi (sumber daya) anggota masyarakat yang berkembang atas dasar kehidupan “insaniyah-Ilahiyah” akan melahirkan suatu kehidupan masyarakat yang berorientasi mewujudkan sikap, perilaku dan kegiatannya sebagai “rahmatan li al-alamin”, suatu masyarakat yang berorintasi memposisikan diri “tangan di atas” untuk sharing memberikan kontribusi karya terbaik bagi penciptaan kesejahteraan ummat, bukan masyarakat yang berorientasi memposisikan diri “ tangan di bawah”, yang lebih banyak berdiam diri menanti uluran tangan orang atau bangsa lain untuk memperbaiki nasibnya. Orientasi memposisikan diri “tangan di bawah” sangat membahayakan kehidupan bersama, karena tidak segan-segan bila peluang terbuka akan mengeksploitasi dan menumpuk harta-kekayaan masyarakat bagi kepentingan diri sendiri. Bimbingan Rasulullah s.a.w. “ carilah duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya, dan carilah akheratmu seolaholah kamu akan mati besok pagi” harus menjadi dasar upaya peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia, apabila berkehendak menciptakan kehidupan masyarakat sejahtera. Era masa depan adalah era ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti semakin meluas penyebaran dan kontrol ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia. Ini berarti bahwa masyarakat suatu bangsa yang tidak menguasai dan mengontrol ilmu pengetahuan dan teknologi akan kehilangan kekuatan politik dan ekonomi. Masa depan seperti ini adalah masa depan “science and technology sosiety”.5 Kehidupan masyarakat di era masa depan yang hanya mengandalkan pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa kemampuan penguasaan diri akan kehilangan identitas dalam kehidupan masyarakat global.
5
Lihat, Tilaar, Beberapa....,hal. 202
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
155
Amir Faisol
Menyandarkan tumbuh-kembangnya kekuatan politik dan ekonomi hanya berdasar pada penguasaan dan kontrol ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan manusia atau masyarakat akan kehilangan potensi “kemerdekaan diri” sebagai dasar pengembangan potensi (sumber daya) yang lain, yang terdapat dalam diri manusia. Ini disebabkan oleh ketidak-mampuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia secara utuh. Bahkan manusia atau masyarakat dapat menjadi korban dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya. Oleh karena itu era mendatang sebagai era ilmu pengetahuan dan teknologi harus bertumpu pada hati nurani. Mengabaikan dasar tumpuan berpijak atas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada hati nurani, maka kemajuan peradaban manusia bahkan berbalik akan memperbudak kehidupan manusia atau masyarakat itu sendiri. Manusia atau masyarakat kehilangan “kemerdekaan diri” bukan karena tidak memiliki potensi tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh kesalahan manusia atau masyarakat dalam menyikapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sumber energi yang harus diletakkan pada tumpuan hati nurani agar terkendali dan tertata pemanfaatannya bagi pencapaian tujuan kesejahteraan hidup masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari kebutuhan kehidupan insaniyah manusia. Agar kebutuhan hidup insaniyah manusia atau masyarakat itu terpenuhi, dan pemanfaatannya tidak mendatangkan kehancuran hidup manusia atau masyarakat, maka upaya pemenuhan kebutuhan hidup insaniyah manusia harus dalam kendali norma dan nilai-nilai Ilahiyah yang bersemayam dalam hati nurani. Dengan demikian ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi semaju dan setinggi apapun tidak akan menghancurkan kehidupan manusia atau masyarakat. Bahkan peradaban manusia atau masyarakat semakin meningkat kualitasnya, karena pada hakekatnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri membutuhkan peran hati nurani sebagai panglima yang mengawal rambu-rambu hak asasi dan kewajiban manusia sebagai 156
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
ciptaan Allah yang memiliki “kemerdekaan diri”. Kehidupan masyarakat mendatang adalah masyarakat “mega kompetisi”. Gelombang globalisasi yang melahirkan dunia terbuka mengubah semua aspek kehidupan manusia baik politik, ekonomi, sosial-budaya, serta hakhak dan kewajiban manusia. 6 Masyarakat seperti ini menuntut sumbangan kontribusi dari setiap individu dalam membina masyarakat baru yang lebih baik. Ini dapat diartikan bahwa masyarakat “mega kompetisi” membutuhkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas lahir dan batinnya. Manusia yang utuh, yang memiliki kepribadian terintegrasi, yang mendasari seluruh kemampuan dan aktivitasnya bertumpu pada hati nurani. Para pakar pendidikan Islam perlu meninjau ulang paradigma yang mendasari lahirnya pendidikan Islam. Paradigma pendidikan Islam masa lalu memerlukan peninjauan ulang sebagai upaya reformulasi agar pendidikan Islam dapat berfungsi dan berperan dalam menghadapi perubahan-perubahan sangat cepat. Paradigma pendidikan Islam pada umumnya masih sangat sektoral dengan visi dan misi sangat terbatas, yang menganut pemahaman dikhotomi (faham dualisme) keilmuan, sehingga masih membedakan antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Pemahaman dikhotomi ini telah membentuk polarisasi berpikir yang cenderung meninggalkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Masyarakat dalam era ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut setiap individu menguasai, setidaknya memahami arti pentingnya ilmu pengetahuan bagi peningkatan kualitas peradaban manusia. Apabila antara ilmu pengetahuan dan hati nurani terpadu-senyawa dalam perkembangan diri seseorang, maka dapat diharapkan orang tersebut akan memiliki kepribadian utuh yang serasi, yang “mengembangkan ilmu pengetahuan dalam semangat bertaqwa kepada Allah”, manusia yang menguasai ilmu pengetahuan sekaligus meniti kehidupan dalam kendali norma dan nilai-nilai agama. Manusia seperti inilah yang diharapkan menjadi pilar-pilar masyarakat “science and technology era”. 6
Lihat, Tilaar, Beberapa..., hal.205
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
157
Amir Faisol
Pendidikan Islam seharusnya merupakan proses evaluasi dan transmisi, proses mengatasi masalah pada waktu kini dan perencanaan di waktu mendatang, yang dapat menentukan daya tahan (survival) suatu masyarakat. Pendidikan Islam menentukan corak kehidupan masyarakat masa depan. Cara pandang “dikhotomi keilmuan”, yang membedakan antara sains Islam dan umum meskipun telah terdapat pada masa lalu, namun pada masa kini semakin menghantui bagi tercapainya kemajuan pendidikan Islam itu sendiri. “Science and technology society” menghendaki pilarpilar yang terdiri dari orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan sekaligus hidup di atas norma dan nilai Ilahiyah. Karena itu perencanaan pendidikan Islam harus dapat mengakomodir kebutuhan tersebut untuk dijadikan dasar pengembangan kurikulum dalam pendidikan Islam. Cara pandang “dikotomi keilmuan” perlu diperbaharui ke arah paradigma “keilmuan Islami”, karena pada hakekatnya semua ilmu pengetahuan (yang mengandung manfaat bagi kehidupan) itu datangnya dari Allah, tidak dari selain-Nya. Kemampuan dunia pendidikan Islam untuk merubah cara pandang “dikhotomi keilmuan” menjadi “keilmuan Islami” menentukan kemampuan pendidikan Islam untuk melahirkan manusia yang dibutuhkan menjadi pilarpilar masyarakat yang hidup dalam era ilmu pengetahuan dan teknologi. Paradigma pendidikan Islam sebagaimana dimaksud sebenarnya telah dimulai oleh Rasulullah s.a.w. ketika beliau membangun kehidupan masyarakat Madinah.
IV. Pembinaan Masyarakat Madani Ditampilkannya wacana masyarakat madani di Indonesia berkaitan dengan upaya-upaya mendorong proses demokratisasi di satu pihak, dan kritik-kritik terhadap campur tangan kekuasaan negara di pihak lain. Wacana civil society dimaksudkan untuk mengisi proses transisi menuju demokrasi.7 Yang dimaksud masyarakat madani adalah Lihat, Dawam Rahardjo, Jurnal Paramadina, Volume1, Nomor 2, 1999, hal. 12. 7
158
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
sistem sosial yang subur, yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency system. Masyarakat madani adalah masyarakat yang bermoral, masyarakat yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat yang mampu mendorong daya usaha dan inisiatif individu. Istilah madani biasanya diambil dari kata “madinah” dan digunakan sejak abad yang lalu dalam arti “civil”, beradab.8 Masyarakat Madinah di zaman Nabi s.a.w. bilamana mau diangkat menjadi contoh pada masyarakat madani, atau masyarakat beradab masa kini, mengandung dua aspek yang perlu dikaji dengan cermat. Pertama, aspek kesungguhan dan kejujuran Nabi s.a.w. dan para pengikut beliau untuk mendirikan suatu masyarakat berdasarkan keadilan, kebenaran, dan tanggung jawab di hadapan sesama manusia dan di hadapan Allah. Kedua, tidak seluruh rakyat mengambil peran aktif di Madinah. Dalam masyarakat madani modern, semua umat beragama baik di kalangan sendiri maupun bersamasama berupaya mengembangkan nilai-nilai dan norma kehidupan kemasyarakatan yang dijunjung tinggi, kemudian dikembangkan menjadi kaidah-kaidah yang melandasi masyarakat madani. Negara sebagai tempat tinggal masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan norma kemasyarakatan, secara inclusive menjadi tempat tinggal bagi semua orang dalam wilayahnya.9 Prinsip masyarakat madani yang dibangun dan dikembangkan oleh Nabi s.a.w. adalah persamaan, egaliter, keadilan dan partisipasi. Konsep masyarakat madani adalah terbentuknya lembaga-lembaga atau organisasi di luar pemerintahan, yang memiliki otonomi relatif, dan memerankan fungsi kontrol terhadap proses penyelenggaraan kehidupan kemasyara8 9
Lihat, Schumann, Jurnal Paramadina..., hal 65 Lihat, Schumann, Jurnal Paramadina..., hal. 72
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
159
Amir Faisol
katan dan pemerintahan. Pluralitas, kebebasan relatif, dan fungsi kontrol ini merupakan bagian dari unsur demokrasi. Inti dari masyarakat madani adalah adanya pribadi yang cerdas dan bermoral, yang dapat berdiri sendiri dan bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan masyarakat sejahtera.10 Masyarakat madani adalah masyarakat yang setiap anggotanya mengenal hak dan kewajiban masing-masing, dan secara bersama-sama bertanggung jawab atas kesejahteraan hidup bermasyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran, keadilan dan perdamaian. Pendidikan yang memiliki tujuan normatif sangat berperanan dalam pembinaan masyarakat madani untuk melahirkan anggota-anggota masyarakat yang berpotensi (sumber daya) unggul dalam kualitas dan bermoral. Pada masa Rasulullah s.a.w. pribadi anggota masyarakat madani ditempa bukan hanya menjadi pribadi bermoral tetapi pribadi yang ber-akhlaq al-karimah. Kelihatannya pengertian bermoral identik dengan ber-akhlaq al-karimah. Tetapi sesungguhnya sangat berbeda, karena perbedaan tolok ukur yang dipergunakan. Tolok ukur untuk menentukan manusia bermoral adalah manusia yang bersikap, bertingkah-laku dan berbuat sesuai dengan norma dan nilai-nilai kehidupan masyarakatnya. Tetapi tolok ukur untuk menentukan seseorang ber-akhlaq al-karimah berdasarkan norma dan nilai-nilai Islam yang universal. Ukuran bermoral dalam suatu masyarakat dapat berbeda dengan ukuran bermoral pada kehidupan masyarakat yang lain. Tetapi ukuran ber-akhlaq al-karimah berlaku secara universal bagi semua Muslim dimana saja berada. Karena itu istilah berakhlaq al-karimah tidak sama dengan istilah bermoral. Dalam permukaannya kelihatannya identik, tetapi hakekatnya jauh berbeda karena perbedaan dasar yang digunakan untuk mengukurnya. Sikap, perilaku dan perbuatan bermoral merupakan hasil kecerdasan emosional seseorang terhadap masyarakat lingkungannya, tetapi sikap perilaku dan perbuatan berakhlaq al-karimah Lihat, Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani, Pemikiran, Teori dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999, hal. 7 10
160
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
merupakan hasil kecerdasan emosional dan spiritual seseorang. Sikap, perilaku, dan perbuatan bermoral merupakan penyesuaian diri seseorang terhadap harapan masyarakat, sedangkan sikap, perilaku, dan perbuatan ber-akhlaq al-karimah terkandung semangat/ spirit kesungguhan yang lahir dari hati nurani seseorang karena kehendak Tuhan. Manusia bermoral cenderung pasif dalam penyesuaian diri di tengah masyarakatnya, sedangkan manusia ber-akhlaq al-karimah aktif memacu dan mengendalikan diri sesuai kehendak Tuhannya. Tindakan bermoral seseorang dapat terpolusi oleh “pamrih” karena perasaan terikat pada lingkungan masyarakatnya, sedangkan tindakan ber-akhlaq al-karimah lahir dari “kemerdekaan diri” terhadap sesama manusia baik secara individual maupun sosial. Kesan tindakan terlihat sama, tetapi jauh berbeda dari motivasi intrinsic yang mendorongnya. Konotasi bermoral lebih kepada tindakan mengikuti norma dan nilai insaniyah, sedangkan berakhlaq al-karimah lebih kepada tindakan untuk mematuhi norma dan nilai Ilahiyah. Bermoral dilakukan oleh seseorang atas tindakan penyesuaian diri terhadap masyarakat, sedangkan ber-akhlaq al-karimah merupakan kepatuhan “kemerdekaan diri” seseorang terhadap hati nuraninya. Ciri anggota masyarakat madani yang diperlukan, disamping cerdas dan ber-akhlaq al-karimah adalah kemandirian dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Dasar kemampuan hidup mandiri adalah dimilikinya “kemerdekaan diri” dalam kehidupan seseorang. “Kemerdekaan diri” dapat diperoleh setiap manusia apabila manusia berpegang teguh pada komitmen (istiqamah) terhadap Penciptanya, suatu keyakinan teguh bahwa hanya Tuhanlah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu dalam kehidupan ini. Dialah Maha Pencipta kehidupan, Maha Pemeliharanya, dan Maha Berkemampuan untuk menolong makhluk yang diciptakan-Nya apabila memohon pertolongan-Nya. Manusia memiliki derajat yang sama, tidak ada perbedaan dan tidak ada “kelebihan” antara yang satu dengan yang lain di hadapan Allah, kecuali mereka yang lebih bertaqwa. Ukuran kemuliaan hidup seseorang diukur dengan ketaqwaannya, bukan Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
161
Amir Faisol
dengan kelebihan hartanya, kelebihan jabatannya, kelebihan penguasaan ilmunya, dan “kelebihan-kelebihan” yang lain yang sifatnya insaniyah. Takberartinya segala kelebihan insaniyah yang dimiliki oleh seseorang di hadapan Allah, bukan disebabkan oleh “kelebihan-kelebihan” itu sendiri, tetapi karena “pemilik kelebihan” menggusur norma dan nilai-nilai Ilahiyah dalam praktek hidupnya di dunia. Allah memerintahkan agar seseorang berusaha seoptimal mungkin untuk mendapatkan “kelebihan-kelebihan” insaniyah dalam hidupnya, tetapi berbarengan dengan itu, Allah juga memerintahkan agar “kelebihan-kelebihan” tersebut dipergunakan untuk “berbuat kebajikan” (memposisikan tangan di atas) sebagai perwujudan norma dan nilai-nilai Ilahiyah yang dijunjung tinggi oleh “pemilik kelebihan”.
V. Otonomi Daerah dalam Perspektif Masyarakat Terbuka Masyarakat terbuka adalah masyarakat mega kompetitif, suatu masyarakat yang berada dalam kondisi kehidupan serba berkompetisi. Masyarakat mega kompetitif harus siap menyerap ledakanledakan baik ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai perubahan di semua aspek kehidupan, antara lain politik, ekonomi, dan budaya. Kemajuan dan terbukanya dunia di bidang komunikasi dan transportasi menyebabkan hubungan antar bangsa tidak lagi terbatas dan tersekat, sehingga suatu masyarakat bangsa tidak dapat membatasi diri dalam pergaulan versi dasar budaya masing-masing, bahkan saat ini mulai terlihat tumbuh berkembangnya budaya terbuka (global) sebagai akibat gelombang pergaulan dunia yang terbuka karena semakin majunya teknologi komunikasi da transportasi. Proses demokratisasi sedang melanda dunia internasional sejalan dengan semakin tumbuh-kembangnya kesadaran setiap individu akan hak dan kewajibannya. Demikian pula tumbuhkembangnya budaya masyarakat yang semakin mengarah kepada budaya global yang dapat menggoyang sendi-sendi budaya lokal. Perkembangan ilmu pengetahuan secara eksponensial akan mengubah dengan sangat cepat cara dan gaya hidup manusia, yang 162
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
bukan tidak mungkin menuntut lompatan-lompatan pola dan gaya kehidupan dari masyarakat prehistoris kepada masyarakat postindustry. Transformasi sosial menghadapi satu fase yang menentukan karena berakselerasi dengan sangat cepat yang dapat mengancam eksistensi kehidupan suatu masyarakat. Transisi dan transformasi kehidupan sosial yang mengglobal menuntut suatu masyarakat untuk menyiapkan generasi mudanya memiliki potensi yang unggul (berkualitas), tangguh, yang terusmenerus belajar mengikuti dan dapat memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendunia. Era globalisasi menempatkan manusia menjadi fokus sentral dari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Karena itu satu-satunya jalan adalah kesungguhan membangun kehidupan masyarakat yang berorientasi kepada peningkatan kualitas dan pemberdayaan potensi manusia sebagai anggota masyarakat. Upaya untuk menjadikan setiap anggota masyarakat memiliki potensi unggul merupakan keharusan apabila suatu masyarakat tidak ingin termarginalkan dari kehidupan dunia, bahkan terlempar dan tergilas oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Manusia yang diperlukan oleh kehidupan dunia yang mengglobal adalah manusia unggul yang beorientasi kepada memposisikan “tangan di atas”, siap berbuat kebajikan bagi sesama, bukan manusia yang memposisikan “tangan di bawah”, yang hidupnya menggantungkan pada uluran tangan orang lain. Manusia yang berprinsip hidup sebagai rahmatan li al-alamin, yang seluruh kecerdasannya dipergunakan untuk bekerja secara produktif, menemukan gagasan dan kegiatan kreatif dan inovatif, tidak pernah berhenti berinisiatif menemukan alternatif untuk memakmurkan bumi bagi sesama. Manusia yang wa far ‘uha fi al-sama, cita-citanya ke langit, orientasinya ke langit, kerinduannya ke langit, semangat juang hidup di dunia bertumpu pada harapannya ke langit, seluruh sikap, perilaku dan perbuatannya dalam pergaulan dunia didasarkan pada ibadah karena semata-mata mengharapkan keridhaan Allah yang sangat dicintainya. bukan manusia yang wa far ‘uha fi al-ardh. Manusia Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
163
Amir Faisol
unggul yang dituntut oleh kehidupan masyarakat terbuka, yang mendunia, adalah manusia yang patuh terhadap suara hati nurani sebagai tempat berhimpunnya norma dan nilai-nilai Ilahiyah, yang dapat mengendalikan aktifitas kehidupan manusia tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan demi terwujudnya kesejahteraan hidup bersama. Manusia unggul yang dituntut oleh kehidupan masyarakat terbuka, yang bergumul dengan perkembangan budaya global, adalah manusia yang percaya diri, memiliki kemandirian karena ber-istiqamah pada ajaran Tuhan. Manusia yang disiplin dan cermat dalam setiap langkah penyelesaian tugas yang telah diamanahkan. Manusia yang dapat dipercaya oleh masyarakat karena kejujurannya terhadap hati nurani. Manusia yang tekun dalam belajar dan bekerja, serta tabah dalam menghadapi hambatan dan kesulitan, karena kegiatan belajar dan bekerja dilakukannya sebagai ibadah, sedangkan hambatan dan kesulitan dianggapnya sebagai batu ujian kehidupan dari Tuhannya. Dengan kata lain, manusia unggul yang dituntut oleh science and technology society adalah manusia yang berakhlaq al-karimah, manusia yang berpegang teguh pada “tali Allah” yang menjunjung tinggi norma dan nilai keluhuran, yang tumbuh dan berkembang dalam diri sendiri sebagai pribadi yang memiliki kemerdekaan diri. Pribadi unggul sepert ini tidak pernah merasa kesunyian dalam kesendiriannya, dan tidak pernah terganggu dalam hiruk-pikuk pergaulan, karena hati nurani menjadi sahabat penasehat dalam kesendiriannya, dan menjadi pendamai dan penghibur dalam hiruk-pikuk pergaulan dunia. Pembangunan sumber daya manusia di era otonomi daerah akan menjadi kunci keberhasilan pembangunan daerah karena manusia adalah pelaku sekaligus sasaran pembangunan yang akan menentukan berhasil-tidaknya pelaksanaan pembangunan daerah di segala bidang. Melalui kegiatan pendidikan, upaya meningkatkan kualitas SDM dapat diarahkan pada tiga hal, yaitu: peningkatan mutu dan relevansi pendidikan; peningkatan kualitas pendidikan nilai dan pendidikan akhlaq di tingkat pendidikan dasar; dan pendidikan serta 164
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
pelatihan yang diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat pasca usia sekolah.11 Proses pendidikan adalah proses kumulatif, maka upaya peningkatan kualitas SDM harus dimulai sejak pendidikan dasar, karena pendidikan dasar merupakan peletak dasar untuk memasuki pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Berdasarkan prinsip kontinum dan akumulatif, pendidikan dasar merupakan kunci utama keberhasilan pendidikan nasional. Dalam pendidikan dasar harus telah diarahkan pada pembentukan kepribadian anak yang ber-akhlaq al-karimah, sehingga anak didik lulusan sekolah dasar diharapkan memiliki kepribadian remaja ber-akhlaq al-karimah, yang penekanannya pada nilai-nilai keluhuran, antara lain: kejujuran “satunya kata dan perbuatan”, ketekunan membaca untuk menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, kemandirian karena percaya diri, keberanian untuk mengatakan yang benar dan tidak ragu meminta maaf bila melakukan kesalahan, berlaku adil terhadap siapa saja, dan siap menolong sesama sesuai kemampuan, serta jernih dalam pikiran, perilaku dan perbuatan. Nilai-nilai keluhuran tersebut merupakan basis bagi pengembangan kepribadian manusia ber-akhlaq al-karimah, manusia “unggul” yang dituntut oleh science and technology society, masyarakat terbuka, masyarakat yang sedang bergumul dengan budaya global, ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semangat otonomi daerah harus diisi dengan pembangunan kepribadian manusia dan masyarakat yang berakhlaq al-karimah, yang merupakan puncak keunggulan sumber daya manusia dalam “era kehidupan dunia apapun” hingga akhir zaman. Pembangunan sumber daya manusia ber-akhlaq alkarimah merupakan satu-satunya solusi agar manusia atau masyarakat tiidak terhempas hidupnya dalam arena percaturan dunia yang mengglobal. Potensi seseorang atau masyarakat ber-akhlaq al-karimah memiliki daya kompetitif yang tinggi di tengah pergaulan dunia, H. Djaali, Pembangunan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan, disampaikan pada Kuliah Perdana Program Magister Managemen STIE Widya Jayakarta, Jakarta, tanggal, 28 Juni 2003 11
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
165
Amir Faisol
yang muatan nilainya lebih berbobot ke arah “memposisikan tangan di atas” sebagai rahmatan li al-‘alamin daripada sekedar aktualisasi diri beretika dalam pergaulan.
166
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Pengembangan Potensi (Sumber Daya) Manusia Menuju Masyarakat Madani
BIBLIOGRAFI A. Rifa’i, Tafsiru a-Aliyyu al Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa Syihabuddin, Ja-karta: Gema Tera Indonesia, 1998 Adi Suryadi Cula, Masyarakat Ma-dani, Pemikiran Teori dan Rele-vansinya dengan Cita-cita Reformasi, Jakarta: Raja-grafindo Persada, 1999 Dawam Rahardjo M., Jurnal Pa-ramadina, Vol. I Nomor 2, 1999 Djaali, HM. Pembangunan Sumber Daya Manusia Melalui Pendi-dikan, Makalah disampaikan pada kuliah perdana Magister Management STIE Widya Jaya-karta, Jakarta, 2003 Schumarun, Jurnal Paramadina, Vol. I No. 2, 1999 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bandung, Fokus Media, 2003 Undang-undang Otonomi Daerah No 32 Tehun 2004 tentang Pe-merintahan Daerah, Band-ung: Fokus Media, 2004
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
167