UNIVERSITAS INDONESIA
PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU
DISERTASI
NAMA: TINTIN SUKARTINI NPM: 0806475630
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN DEPOK APRIL 2015
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU
DISERTASI
NAMA: TINTIN SUKARTINI NPM: 0806475630
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN DEPOK APRIL 2015 i Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU
Disertasi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
NAMA: TINTIN SUKARTINI NPM: 0806475630
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN DEPOK APRIL 2015 ii Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
NAMA PEMBIMBING DAN PENGUJI DISERTASI
PEMBIMBING DISERTASI
Promotor
: Prof. Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc
Ko-Promotor
: Agung Waluyo, S.Kp., MSc, PhD : Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM
PENGUJI DISERTASI: Penguji
: Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS, Ph.D : Dr. Erlina Burhan, dr, MSc, Sp.P(K) : Dr. Hotma Rumahorbo, S.Kp., M.Epid : Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes
iii Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan semua pihak, sangat sulit bagi saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Airlangga yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan. 2. Rektor Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan. 3. Dekan
Fakultas
Keperawatan
Universitas
Airlangga
yang
telah
memberikan ijin dan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan 4. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan 5. Ketua Program Studi S3 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan 6. Prof. Dr. Ratna Sitorus, SKp, M.App.Sc selaku Promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini; 7. Agung Waluyo, SKp, MSc, PhD dan Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM selaku ko-promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini;
vi
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
8. Kusman Ibrahim, SKp, MNS, PhD selaku penguji dan konsultan pakar yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini; 9. Dr. Erlina Burhan, dr, MSc, SpP(K) selaku penguji disertasi yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini; 10. Dr. Hotma Rumahorbo, S.Kp, M.Epid selaku penguji disertasi yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini; 11. Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes selaku penguji dan konsultan pakar yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini; 12. Suryani, S.Kp., M.H.Sc., Ph.D selaku konsultan pakar yang telah banyak memberikan masukan dalam proses pengembangan model untuk disertasi. 13. Endro Sukmono, dr, SpP selaku Ka.SMF Paru RS Haji Surabaya terdahulu dan Nur Indah, dr, SpP selaku Ka.SMF Paru RS Haji Surabaya dan pembimbing klinik yang telah memberi arahan sehingga terlaksananya penelitian. 14. Puji Rahayu, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Kepala Bidang Keperawatan RS.Haji Surabaya dan staf poli paru Siti Kholifah, A.Md.Kep, Mat Sahari A.Md.Kep, dan Rita, A.Md.Kep
yang telah banyak membantu
memfasilitasi untuk terlaksananya penelitian; 15. Wahyu Handayani, S.K.M selaku Kasie Litbang RS Haji Surabaya dan staf: mbak Laras dan mbak Widi yang telah banyak membantu memfasilitasi untuk terlaksananya penelitian 16. Haryanto, S.Kep, Ns selaku Kasie. Litbang RS.Ibnu Sina Gresik, Nur Hadi A.Md.Kep dan Mulyati A.Md.Kep selaku perawat poli paru RS. Ibnu Sina Gresik yang telah banyak membantu memfasilitasi untuk terlaksananya penelitian; 17. Dr. Muhit, S.Kep, Ns.,M.Kes selaku staf Ahli Bupati Gresik yang telah membantu memfasilitasi penelitian ini. vii
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
18. Kepala Badan perencanaan pembangunan, penelitian dan pengembangan daerah
kabupaten
Gresik
telah
membantu
memfasilitasi
untuk
terlaksananya penelitian; 19. Orang tua, anak Nada Nur Zahra dan seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan material dan moral; 20. Teman-teman di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah banyak memberikan dukungan moral 21. Teman-teman S3 Keperawatan Angkatan II Fakultas Ilmu Keperawatan Universtas Indonesia yang telah banyak memberikan dukungan dalam menyelesaikan proposal disertasi; 22. Staf Administrasi S3 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan; 23. Seluruh responden penelitian
Akhir kata saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, 1 April 2015 Tintin Sukartini
viii
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Tintin Sukartini : Program Doktor Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia : Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru
. Faktor utama penyebab kegagalan pengobatan TB paru adalah ketidakpatuhan pasien. Perawat berperan penting dalam meningkatkan kepatuhan pasien melalui proses interaksi. Berdasarkan hal ini maka perlu dikembangkan model intervensi berbasis sistem interakasi untuk meningkatkan kepatuhan. Tujuan penelitian yaitu menghasilkan model yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien TB paru berbasis teori sistem interaksi King. Penelitian melalui dua tahap penelitian yaitu, tahap I: Penelitian kualitatif dan pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King yang dihasilkan melalui penelitian kualitatif, studi literatur dan konsultasi pakar; Tahap II: Validasi model dengan desain quasy eksperimen dengan kelompok kontrol. Metode sampling yang digunakan adalah consecutive sampling dengan sample sebanyak 50 pasien. Uji statistik menggunakan uji chi square, independent t-test, Mancova dan GLM-RM. Hasil didapatkan 1) Tahap I: diperoleh 12 tema kepatuhan dan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi dengan 1 modul untuk pasien; 2) Tahap II: terdapat perbedaan bermakna dalam pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pengobatan. Kesimpulan, model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti efektif meningkatkan kepatuhan pasien TB paru. Rekomendasi: Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dapat diintegrasikan dalam clinical pathway pada pasien TB paru di poli paru. Penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan model kepatuhan pada pasien TB paru yang memiliki keterbatasan sistem interpersonal dengan keluarga yaitu pada pasien yang tidak memiliki keluarga atau tinggal terpisah jauh dari keluarga. Kata kunci: Model peningkatan kepatuhan, sistem interaksi King, kepatuhan.
ix Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Program Title/Topic
: Tintin Sukartini : Doctoral Program of Nursing Science, Faculty of Nursing Science, University of Indonesia : Development Adherence Improvement Model Based on King’s Interaction System Theory and The Effect on TB Patient’s Adherence
The main factor cause the failure of Tuberculosis (TB) treatment was the patient’s non-adherence. Nurses play an important role in improving patient’s adherence through interaction nurse-patient. It is necessary to develop interaction model based on interaction system theory to improve patient’s adherence. The purpose of the study was to develop adherence improvement model based on King’s inetraction system theory. This study was divided into 2 phase, Phase 1: qualitative study and development adherence improvement model based on King’s interaction system theory resulted from qualitative study, literature review and expert consultation. Phase II: validation of the model by quasy experiment design with control group. Sampling used in the study was consecutive sampling to select 50 patients. Data were analyzed using chi square, independent t-test, Mancova and GLM-RM. Result shows: Phase I: There were found 12 themes and adherence improvement model based on King’s interaction system. Phase II: There were significant different on knowledge, self efficacy, motivation, prevention transmission, nutrition adherence and treatment adherence. Conclusion, Adherence improvement model based on King’s interaction system theory is effective on improving TB patient’s adherence. Development adherence improvement model based on King’s interaction system theory can be integrated into clinical pathway in TB patients. Further study on adherence improvement model with limited interpersonal system, namely patient without family and separated. Key word: Adherence improvement model, King’s interaction system theory, treatment adherence.
x Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vii ABSTRAK ......................................................................................................... x DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xviii BAB 1PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 1.3 Tujuan ........................................................................................................... 1.3.1 Tujuan umum ....................................................................................... 1.3.2 Tujuan khusus ...................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................
1 1 9 11 11 11 12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1 Tuberkulosis Paru ........................................................................................ 2.2 Teori Perilaku ............................................................................................... 2.3 Kerangka Kerja Sistem Interaksi dan Middle Range Teori Pencapaian Tujuan dari King ........................................................................................... 2.4 Health Promotion Model Nola J.Pender ...................................................... 2.5 Model Partnership ....................................................................................... 2.6 Hubungan Teori Sistem Interaksi King, Health Promotion Model, Pender dan Model Partnership ................................................................................. 2.7 Kerangka Teori Penelitian ............................................................................
13 13 26
BAB 3 KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL................................................................. 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................................... 3.2 Hipotesis........................................................................................................ 3.3 Definisi Operasional......................................................................................
45 52 59 69 71
74 74 76 77
BAB 4 METODE PENELITIAN ..................................................................... 80 4.1 Penelitian Tahap I: Penelitian Kualitatif ...................................................... 80 4.1.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 80 4.1.2 Partisipan Penelitian ................................................................................... 80 4.1.3 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 81 4.1.4 Etika Penelitian .......................................................................................... 81 4.1.5 Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 82 4.1.6 Alat Pengumpul Data ................................................................................. 83 4.1.7 Analisis....................................................................................................... 84 4.1.8 Penyusunan Model ..................................................................................... 84 4.2 Penelitian Tahap II : Validasi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King ......................................................................................... 85 xi Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
4.2.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 85 4.2.2 Populasi dan Sampel ................................................................................. 86 4.2.3 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 87 4.2.4 Etika Penelitian .......................................................................................... 87 4.2.5 Alat Pengumpul Data ................................................................................ 89 4.2.6 Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 92 4.2.7 Analisis Data ............................................................................................. 92 4.2.8 Kerangka Kerja Penelitian ......................................................................... 94
BAB 5 HASIL PENELITIAN .......................................................................... 95 5.1 Hasil Penelitian Tahap I ................................................................................ 95 5.1.1 Hasil Penelitian Kualitatif .......................................................................... 95 5.1.2 Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interakasi King .......................................................................................... 103 5.2 Hasil Penelitian Tahap II............................................................................... 110 5.2.1 Perbedaan Karakteristik Responden antar Kelompok................................ 110 5.2.2 Pengetahuan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 113 5.2.3 Self Efficacy Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 114 5.2.4 Motivasi Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 116 5.2.5 Pencegahan Penularan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 117 5.2.6 Kepatuhan Nutrisi Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 119 5.2.7 Kepatuhan Pengobatan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 122 5.2.8 Pengaruh Variabel Perancu terhadap Pengetahuan, Self Efficaccy, Motivasi, Pencegahan Penularan dan Kepatuhan Nutrisi ......................... 123 BAB 6 PEMBAHASAN .................................................................................... 125 6.1 Pembahasan Hasil Penelitian ........................................................................ 125 6.1. 1 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King terhadap Pengetahuan Pasien TB paru ............................. 125 6.1. 2 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King terhadap Self Efficacy Pasien TB paru ............................. 129 6.1. 3 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King terhadap MotivasiPasien TB paru .................................... 132 6.1. 4 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King terhadap Pencegahan Penularan Pasien TB paru ............. 135
xii Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
6.1. 5 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King terhadap Kepatuhan Nutrisi Pasien TB paru .................... 138 6.1. 6 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King terhadap Kepatuhan Pengobatan Pasien TB paru ............ 141 6.1. 7 Hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi. .......................... 145 6.2 Implikasi Keperawatan.................................................................................. 147 6.3 Keterbatasan Penelitian ................................................................................. 148
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 150 7.1 Simpulan ....................................................................................................... 150 7.2 Saran .............................................................................................................. 152 7.2.1 Aplikatif ..................................................................................................... 152 7.2.2 Perkembangan Keilmuan ........................................................................... 153 7.2.3 Penelitian Selanjutnya ................................................................................ 153
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 154
xiii Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3
Tabel 5.4 Tabel 5.5
Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 5.8
Tabel 5.9
Tabel 5.10 Tabel 5.11 Tabel 5.12 Tabel 5.13
Metode pengukuran kepatuhan minum obat Definisi operasional variabel Hasil Uji coba instrumen Penyusunan model bedasarkan tema Karakterstik responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol (n=100) Perbedaan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum intervensi (n=100) Uji normalitas data Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97) Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97) Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97) Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97) Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97) Perbedaan berat badan pasien sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King Kepatuhan pengobatan kelompok intervensi dan kelompok kontrol (n=97) Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara kelompok Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara kelompok berdasarkan variabel
xiv Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
44 77 91 104 110 111
112 113
114 116 118
120
121 122 124 124
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 2.10 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6
Theory of reasoned action Theory of planned behaviour Sumber-sumber self efficacy dan proses pegubahannya Dynamic interacting system Proses human interaction yang menuntun pada transaksi: sebuah model transaksi Model promosi kesehatan menurut Pender Revisi model promosi kesehatan dari Pender Empat tahap partnership Mohammadi Antecedans, atribut dan konsekuen partnership Kerangka teori penelitian Kerangka konsep penelitian tahap I Kerangka konsep penelitian tahap II Tahapan proses penelitian Kerangka kerja penelitian Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King Grafik interaksi nilai rata-rata pengetahuan diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok Grafik interaksi nilai rata-rata self efficacy diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok Grafik interaksi nilai rata-rata motivasi diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok Grafik interaksi nilai rata-rata pencegahan penularan diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok Grafik interaksi nilai rata-rata kepatuhan nutrisi diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok
xv Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
28 28 34 48 49 53 55 64 66 73 74 75 86 94 107 114 115 117 119 121
DAFTAR SINGKATAN
ARDS
: Acute respiratory distress syndrome
ARTI
: Annual risk of tuberculosis infection
BMI
: Body mass index
BP4
: Balai pencegahan dan pengobatan penyakit paru
BTA
: Bakteri tahan asam
DOTS
: Directly observed treatment short-course
ETPT
: Energi tinggi protein tinggi
FDC
: Fixed-dose combination
Gerdunas
: Gerakan terpadu nasional
HIV/AIDS
: Human immunodeficiency virus/ acquired immune deficiency syndrome
HPM
: Health promotion model
HRZ
: Isoniazid, rifampicin, pirazinamid
HRZE
: Isoniazid, rifampicin, pirazinamid, etambutol
HRZES
: Isoniazid, rifampicin, pirazinamid, etambutol, streptomicin
IMT
: Indeks massa tubuh
MDGs
: Millenium development goals
MDR
: Multidrug-resistant
OAT
: Obat anti tuberkulosis
PPOK
: Penyakit paru obstruksi kronis
RS
: Rumah sakit
RSUD
: Rumah sakit umum daerah
SOPT
: sindrom obtstruksi pasca tuberkulosis
SPS
:sewaktu-pagi-sewaku
TB
: Tuberkulosis
TRA
: Theory of reasoned action
TPB
: Theory of planned behaviour
TURP
: Trans urethral resection of prostate
WHO
: World health organization
xvi Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat ijin penelitian Lampiran 2: Surat keterangan lolos kaji etik Lampiran 3: Surat keterangan telah melakukan penelitian Lampiran 4: Informed consent/penjelasan penelitian tahap I Lampiran 5: Lembar persetujuan menjadi partisipan Lampiran 6: Data demografi Lampiran 7: Petunjuk pelaksanaan wawancara mendalam Lampiran 8: Lembar catatan lapangan (field note) Lampiran 9: Informed consent/penjelasan penelitian tahap II Lampiran 10: Lembar kuesioner Lampiran 11: Analisis tema dan subtema berdasarkan penelitian kualitatif Lampiran 12: Panduan implementasi model Lampiran 13: Format evaluasi model
xvii Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan penyumbang terbesar ketiga di dunia untuk penyakit tuberkulosis (TB) setelah India dan Cina (Depkes, 2007). Peringkat ini turun menjadi peringkat ke 4 di dunia pada tahun 2012 dengan jumlah kasus baru sekitar 400.000-500.000 kasus, setelah India (2,0 juta - 2,5 juta), Cina (900.0001.100.000) dan Afrika Selatan (400.000-600.000) kasus (WHO, 2012). Menurut Survei kesehatan nasional tahun 2001 penyakit TB merupakan penyakit rakyat nomor satu dan sebagai penyebab kematian nomor tiga di Indonesia (Depkes, 2001).
Berdasarkan data Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan WHO (2008) bahwa sampai Januari 2007, 37% rumah sakit (RS) melaksanakan DOTS dengan kualitas pelaksanaan yang berbeda. TB menduduki peringkat rata-rata nomor 2 pada klinik rawat jalan di Rumah Sakit Umum dan peringkat 1 di Rumah Sakit Paru. Pada Rumah Sakit umum ditemukan hampir 6.5% kasus pengobatan kategori II yang gagal pengobatan dan menunjukkan MDR-TB (multidrug resistant TB). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi TB yang diantaranya adalah rencana global penanggulangan TB yang diarahkan untuk mencapai target Global TB yang sejalan dengan WHO DOTS (directly observed treatment, short-course) dan strategi baru stop TB. Menurut Depkes pada tahun 2008 TB Prevalence adalah 253 per 100.000 populasi sedangkan MDGs (millenium development goals) target pada tahun 2015 untuk TB adalah 222 per 100.000 populasi artinya hal ini kondisi di Indonesia mendekati target yang diharapkan. Pada tahun 2009 deteksi kasus mencapai 71% dan tingkat keberhasilan pengobatan mencapai 90% (Kemkes, 2011).
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh)
1
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
2
orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi pasien TB, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi pasien TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) pasien tuberkulosis setiap tahun, dimana 50% pasien adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes, 2009).
Penyakit TB merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam prioritas untuk pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi serta dapat mengakibatkan kematian. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2010, periode prevalensi TB Paru 2009/2010 adalah sebesar 725/100.000 penduduk, dengan kasus tertinggi pada usia di atas 54 tahun, jenis kelamin laki-laki, tinggal di desa, pendidikan tidak sekolah dan pada kelompok petani/nelayan/buruh. Cakupan penggunaan OAT FDC (obat anti tuberkulosis Fixed dose combination) dan kombipak sebesar 83.2%. Upaya yang dilakukan oleh suspek TB Paru yaitu kembali ke tenaga kesehatan (32.2%), pengobatan program TB (11.1%), beli obat di apotek/toko obat (31.9%), minum obat herbal/tradisional (7.8%) dan tidak diobati (16.9%). Alasan suspek TB Paru tidak datang ke fasilitas kesehatan yang paling besar adalah dapat diobati dan sembuh sendiri (38.2%), tidak ada biaya (26.4%), penyakit tidak berat (16.3%), akses ke fasilitas kesehatan sulit (4.4%), tidak ada waktu (5.7%) dan lainnya 9%. (Kemkes, 2010)
Pada tahun 2011 World Health Organization (WHO) memperkirakan terjadi 8,7 juta kasus baru TB secara global, yang setara dengan 125 kasus per 100.000 penduduk. Sebagian besar dari perkiraan jumlah kasus pada tahun 2011 terjadi di Asia (59%) dan Afrika (26%). WHO menetapkan 22 negara di dunia sebagai negara dengan masalah penyakit TB yang tinggi (high burden countries), yaitu negara-negara yang mencakup 63% dari populasi dunia dan menyumbang sekitar
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
3
80% dari perkiraan jumlah kasus TB baru yang terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya (WHO, 2012).
Estimasi prevalensi kasus TB di Indonesia adalah sebesar 600.000 atau setara 281 per 100.000 penduduk dan estimasi insidensi berjumlah 450.000 kasus baru per tahun atau setara 187 kasus baru per 100.000 penduduk, dengan jumlah kematian akibat TB diperkirakan 65.000 kematian per tahunnya. Sedangkan keberhasilan pengobatan pada tahun 2010 mencapai 90 % (WHO, 2012). Walaupun cakupan keberhasilan pengobatan ini mencapai target WHO namun ada kecenderungan pasien berhenti minum obat karena ada perbaikan gejala dalam 2-4 minggu. Keadaan tersebut akan bertambah parah jika tidak ada suatu upaya penanganan yang komprehensif dengan melibatkan beberapa pihak dan model asuhan yang efektif dalam menangani pasien TB paru. Dampak yang diperoleh jika pasien tidak melakukan pengobatan secara tuntas diantaranya adalah bisa terjadi MDR yaitu resisten terhadap OAT primer, bahkan sekarang bisa menjadi XDR (Extensive drug resistant) yaitu kuman TB resisten terhadap OAT lini kedua. (Depkes RI & WHO, 2008)
Jawa Timur merupakan penyumbang kedua kasus Tuberkulosis positif di Indonesia setelah Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Jawa Timur pasien TB di Jawa Timur mencapai 20 ribu per tahun, dari total 41.472 pasien TB di provinsi ini, sebanyak 25.618 diantaranya merupakan pasien baru BTA + yang ditemukan selama 2012. Adapun tingkat keberhasilan pengobatan mencapai 90% (Dinkes Jatim, 2013).
Pada berbagai studi tentang TB paru diperoleh hasil bahwa pasien yang berobat menunjukkan ketidakpatuhan dalam pengobatan. Studi yang dilakukan Daud (2001)
di
poliklinik
RS.Ahmad
Muchtar
Bukit
Tinggi
menunjukkan
ketidakpatuhan pasien berobat sebesar 31% (n=100), sedangkan studi yang dilakukan Aisyah (2003) di puskesmas Jatinegara menunjukkan ketidakpatuhan pasien sebesar 26,1% (n=92). Selain faktor ketidakpatuhan faktor keterlambatan pengobatan menjadi faktor yang penting dalam pengobatan TB Paru. Berdasarkan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
4
studi yang dilakukan Wahyono (2003) didapatkan hasil bahwa pasien TB yang di kecamatan Ciracas Jakarta Timur mengalami keterlambatan diagnostik pada pasien
selama 2 minggu, keterlambatan pada pelayanan kesehatan selama 1
minggu dan keterlambatan total selama 6,05 minggu. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa puskesmas atau poliklinik yang menjadi struktur utama pelayanan kesehatan dalam penanggulangan TB Paru masih mengalami kesulitan dalam menangani pasien. Saat pasien
TB tidak patuh berobat atau pasien
terlambat dilakukan diagnostik, maka bisa muncul gejala yang berat yang mengharuskannya sampai di rawat inap.
Berdasarkan studi yang dilakukan Darmadi (2000) pasien TB paru yang aktif berobat menunjukkan sikap yang positif dan motivasi yang tinggi untuk mencapai kesembuhan sedangkan pasien yang tidak aktif berobat memiliki sikap yang buruk dan motivasi yang rendah untuk sembuh. Demikian pula yang terjadi pada pengawas menelan obat (PMO), PMO pada pasien TB yang aktif berobat memiliki pengawasan yang baik sedangkan PMO pada pasien yang tidak aktif berobat memiliki pengawasan yang buruk. PMO untuk pasien TB paru terbanyak adalah keluarga (suami, istri, orangtua, anak, menantu) yaitu sebanyak 93%, sebanyak 4,7% petugas kesehatan dan sebanyak 2,3% adalah lainnya (Rachmawati & Turniani, 2006)
Pada studi yang dilakukan oleh Syahrizal (2004) tentang kepatuhan pasien TB Paru dalam menelan obat di Rumah Sakit Khusus Paru-paru propinsi Sulawesi Selatan tahun 2002, diperoleh hasil bahwa pasien yang tidak patuh sebanyak 36,7% (n=190) dan prosentase terbanyak dari responden adalah umur muda (58,9%), laki-laki (75,6%), bekerja (77,8%), pendidikan rendah (58,9%), pengetahuan kurang baik (65,6%), jumlah anggota keluarga besar (62,2%), jarak dekat (90%), transportasi mudah (94,4%), ketersediaan obat banyak (91,1%), PMO (91,1%), pelayanan petugas baik (70%), penyuluhan petugas (97,8%).
Hasil studi Craig, dkk (2007) menunjukkan bahwa faktor risiko sosial dapat menyulitkan pengobatan TB paru. Penambahan jangka waktu pengobatan,
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5
melewatkan janji dengan layanan kesehatan dan peningkatan durasi rawat inap semuanya terkait dengan penggunaan alkohol dan narkoba. Riwayat pengobatan TB sebelumnya dikaitkan dengan perpanjangan masa perawatan dan melewatkan janji dengan layanan kesehatan. Faktor risiko sosial menunjukkan pentingnya kebutuhan layanan yang responsif untuk mempertahankan pasien pada pengobatan. Tunawisma tidak memiliki orang untuk mengingatkan pasien untuk meminum obat mereka, hal ini sebagai tanda kurangnya dukungan sosial yang dikaitkan dengan
lamanya waktu rawat inap (Craig. Story, Hayward, Hall,
Goodburn & Zumla, 2007) .
Berdasarkan hasil studi pendahuluan bulan Februari-Maret 2012 di RSU Dr. Soetomo terhadap 19 pasien dengan kasus lama dan 11 pasien dengan kasus baru, 17 dari 19 pasien kasus lama (89%) menyatakan tidak menyelesaikan pengobatan pada kondisi sakit terdahulu. Dalam melakukan pencegahan penularan sebanyak 14 pasien (47%), masih jarang atau tidak pernah menutup mulut saat batuk atau bersin, 17 pasien (57%) ludah dan dahak yang keluar tidak dibuang dalam tempat tertutup yang diberi desinfektan dan 15 pasien (50%) dahak yang keluar saat batuk selama di rumah sakit tidak dibuang ke tempat khusus yang telah disediakan. Sedangkan untuk keyakinan diri, sebanyak 15 pasien (50%) merasa tidak atau kurang yakin bisa mendapatkan informasi tentang penyakit TB, 22 pasien (73%) merasa tidak atau kurang yakin mampu melakukan kegiatan sesuai kondisi sakitnya, dan 24 pasien (80%) merasa tidak atau kurang yakin dalam mengatasi sesak napas dalam melakukan kegiatan yang diinginkan. Dari hasil studi di atas menunjukkan bahwa kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru masih sangat rendah.
Dari beberapa hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakpatuhan pasien dalam berobat masih dirasakan cukup tinggi. Walaupun peran keluarga sebagai PMO sudah dilakukan tetapi masih menunjukkan adanya ketidakpatuhan dari pasien untuk menjalankan pengobatan. PMO bagi pasien merupakan faktor motivasi eksternal bagi pasien untuk patuh berobat. Program ini sudah dijalankan oleh pemerintah namun dari hasil studi di atas masih terdapat pasien yang tidak
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
6
patuh yang cukup signifikan sehingga selain peran PMO perlu ditambahkan intervensi yang menekankan pada sistem interaksi perawat pasien yang terus menerus dengan meningkatkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pada pasien TB paru agar memiliki motivasi yang kuat untuk patuh dalam melakukan pengobatan
Pengobatan TB saat ini bukan lagi berfokus pada mencegah kematian tetapi pengobatan harus berfokus pada peningkatan kualitas hidup pada pasien yang dilakukan pengobatan TB. Pada hasil studi Marra, dkk (2004) diperoleh 4 tema yang berkaitan dengan kualitas hidup pada pasien TB yaitu isu yang berkaitan dengan TB dengan subtema “gejala”, “ketersediaan fasilitas kesehatan” dan “dampak emosional”; tema kedua yaitu faktor pengobatan TB dengan subtema “efek yang merugikan”, “kemudahan administrasi” dan “kepatuhan” ; tema ketiga yaitu isu dukungan sosial dan fungsional untuk pasien TB; dan tema keempat yaitu perilaku kesehatan dengan subtema “modifikasi perilaku” dan “pengetahuan TB” (Marra, Marra, Cox, Palepu & Fitzgerald, 2004)
Secara umum asuhan keperawatan pada pasien TB di Indonesia sudah melaksanakan program untuk peningkatan kepatuhan diantaranya melakukan penyuluhan kepada pasien tentang TB Paru, penularan, pentingnya pengobatan dan kontrol yang teratur. Penyuluhan di poliklinik biasanya dilaksanakan secara berkelompok dan belum menekankan pada interaksi antara pasien dan perawat yang intensif untuk merubah persepsi dan keyakinan diri pasien sehingga patuh dalam melaksanakan pengobatan atas kesadaran dari diri sendiri.
Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada pengelolaan pasien TB dalam memfasilitasi terapi dan mengarahkan perilaku pasien yang konstruktif agar pasien dapat termotivasi untuk patuh. Peran serta perawat untuk ikut program pemerintah sangat diperlukan agar tidak terjadi gagal pengobatan yang menyebabkan terjadinya MDR-TB atau XDR-TB. Selain dengan mendukung program pemerintah yang salah satunya adalah dengan program
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
7
PMO, perawat perlu melakukan suatu pendekatan agar pasien patuh dalam menjalankan pengobatan.
Saat ini perawat sudah memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien tetapi masih belum optimal terbukti dari hasil studi pendahuluan masih banyak pasien yang belum patuh melaksanakan pengobatan. Dari kajian tersebut dapat dijelaskan bahwa ada kesenjangan antara pendidikan kesehatan yang sudah diberikan oleh perawat dengan kepatuhan pasien yaitu masih kurang optimalnya interaksi antara perawat dan pasien untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Berdasarkan fakta tersebut perlu adanya suatu pendekatan baru yang menekankan adanya sistem interaksi perawat dengan pasien agar pasien memiliki kemampuan sendiri untuk mencapai kepatuhan. Model interaksi King digunakan untuk meningkatkan interaksi perawat dan pasien sehingga meningkatkan kepatuhan melaksanakan pengobatan untuk mencapai kesembuhan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka teori kerangka kerja sistem interaksi dan Middle range teori pencapaian tujuan dari King digunakan sebagai kerangka teori dalam penelitian ini yang berfokus pada interaksi dinamis sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial dalam mencapai tujuan yaitu peningkatan kepatuhan pasien TB Paru. Sistem personal menurut King menggambarkan karakteristik individu dan individu dipandang sebagai sistem terbuka (Alligood & Tomey, 2006). Sistem interpersonal menggambarkan interaksi dua orang atau lebih seperti hubungan antara pasien, dan perawat. Sistem sosial adalah interaksi yang menggambarkan hubungan yang lebih luas dari interpersonal seperti hubungan antara pasien dan perawat dengan keluarga atau kelompok masyarakat. King memandang manusia sebagai sistem personal yang terdiri dari konsep persepsi, diri, pertumbuhan dan perkembangan, gambaran diri, pembelajaran, waktu, ruang dan koping. Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih individu berinteraksi, bisa dua orang
(dyad) atau tiga orang (triad). Dalam
memahami sistem interpersonal diperlukan pengetahuan mengenai komunikasi, interaksi, peran, stres, stresor dan transaksi. Sedangkan sistem sosial merupakan sistem interaksi kelompok yang membentuk masyarakat.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
8
Selain kajian tentang teori sistem interaksi dari King, model partnership digunakan dalam melengkapi pengembangan model aplikasi King yang akan dibangun pada pasien TB Paru. Model partnership menurut Notoatmojo (2010) adalah model hubungan pasien dan perawat yang menekankan pada persamaan (equity), keterbukaan (transparency) dan saling menguntungkan (mutual benefit). Dari berbagai kajian model partnership, model partnership caring pada pasien kanker dan partnership care pada pasien hipertensi menunjukan pengaruh yang positif dalam menjalankan asuhan keperawatan. Model partnership memiliki kesamaan dengan model sistem interaksi King yaitu merupakan suatu hubungan yang sejajar antara perawat dan pasien dan merupakan hubungan yang bersifat terbuka.
Selain kajian model partnership dan teori King, health promotion model (HPM) Pender pada penelitian ini digunakan sebagai kerangka teori. HPM pada dasarnya merupakan konsep yang didasarkan pada upaya memberdayakan kemampuan seseorang dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Teori HPM memandang pentingnya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sebagai sesuatu yang logis dan ekonomis. Komitmen pada rencana tindakan merupakan faktor yang sangat penting dalam perubahan perilaku yaitu tercapainya peningkatan kepatuhan pada pasien TB paru. HPM memungkinkan pasien menilai keuntungan apa yang diharapkan sehingga patuh dalam pengobatan. Dalam pengembangan model ini komitmen pada rencana tindakan berdasarkan teori HPM adalah adanya motivasi dan keyakinan diri pada pasien TB paru untuk mencapai perilaku kepatuhan.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikembangkan satu pendekatan atau model baru yang dapat mengoptimalkan pelaksanaan asuhan keperawatan pada TB paru yang berfokus pada sistem interaksi pasien TB paru untuk meningkatkan kepatuhan pasien TB paru. Pengembangan model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King akan dikembangkan sehingga tercapai tujuan yaitu meningkatnya kepatuhan pasien.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
9
Dalam pengembangan model ini, poli Paru RSU (Rumah Sakit Umum) Haji Surabaya menjadi pilihan untuk lokasi penelitian kelompok intervensi dengan beberapa pertimbangan yaitu RSU Haji Surabaya merupakan rumah sakit pendidikan milik pemerintah daerah Jawa Timur dan rumah sakit tipe B di wilayah Indonesia Timur. Pertimbangan lain adalah banyak pasien TB yang berobat di Poli Paru sehingga sangat memungkinkan untuk dikembangkannya model peningkatan kepatuhan. Sedangkan untuk kelompok kontrol dipilih RS. Ibnu Sina Gresik dengan pertimbangan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Ibnu Sina Gresik setara dengan RSU Haji Surabaya, yaitu sama-sama milik pemerintah daerah, melaksanakan program TB-DOTS dan memiliki karakteristik pasien yang hampir sama. Dengan terpilihnya Poli Paru RSU Haji Surabaya dan RSUD Ibnu Sina Gresik sebagai tempat penelitian, diharapkan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dapat dikembangkan dan dapat diterapkan secara optimal sesuai kondisi poli serta dapat dijadikan rujukan oleh rumah sakit lainnya.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian Tuberkulosis paru merupakan penyakit kronis yang sejak tahun 1993 dinyatakan sebagai kegawatdaruratan global oleh WHO. Walau terjadi penurunan kasus TB selama kurun waktu 20 tahun terakhir dimana pada tahun 1990 prevalensi TB adalah 443 per 100.000 penduduk menjadi 281 per 100.000 penduduk pada tahun 2011, namun beban penyakit TB masih sangat tinggi di masyarakat. Menurut WHO tahun 2011 diperkirakan masih ditemukan sekitar 8.7 juta kasus TB paru dan 1.4 juta meninggal akibat TB paru di dunia. Walaupun kasus baru ditemukan dan diberi pengobatan namun pada pasien TB ada kecenderungan untuk mengalami putus obat karena adanya perbaikan gejala dalam 2-4 minggu. Jika hal ini dibiarkan maka akan menimbulkan dampak yang buruk bagi pasien. Masalah yang masih ditemukan pada pasien TB di RS adalah ketidakpatuhan dalam pengobatan. Petugas perawat masih belum optimal melaksanakan peran untuk membuat pasien patuh dalam berobat. Program penyuluhan yang dilakukan pada pasien terbukti belum efektif meningkatkan kepatuhan pasien sehingga perlu
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
10
dicari model yang lebih baik untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Pada saat ini walaupun pemerintah sudah melaksanakan program PMO bagi pasien TB paru, namun masih terdapat pasien yang tidak patuh dalam menjalankan pengobatan. Keluarga sebagai PMO terbanyak pada pasien TB paru belum banyak memberikan kontribusi yang maksimal agar pasien patuh untuk berobat. Berdasarkan pertimbangan di atas maka selain dilaksanakannya program PMO maka perlu alternatif intervensi keperawatan yang menekankan pada sistem interaksi perawat dan pasien.
Teori sistem interaksi King digunakan untuk
menekankan interaksi pasien dan perawat dimana perawat berfokus pada sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien sehingga pasien mampu berkomitmen pada rencana tindakan sesuai dengan teori HPM untuk mencapai kepatuhan. Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti merumuskan masalah penelitian:
Bagaimanakah
efektifitas
pengembangan
Model
peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pada pasien TB paru.
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diuraikan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimanakah pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pada pasien TB paru? 2) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru? 3) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem
interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru? 4) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru? 5) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan: pencegahan penularan pasien TB paru? 6) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan nutrisi pasien TB paru? 7) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru?
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
11
8) Adakah hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Didapatnya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King yang efektif terhadap kepatuhan pada pasien TB paru.
1.3.2 Tujuan Khusus: Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Dikembangkannya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King. 2) Mengidentifikasi pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru. 3) Mengidentifikasi pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru. 4) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru. 5) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan: pencegahan penularan pasien TB paru. 6) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan:nutrisi pasien TB paru. 7) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru. 8) Mengidentifikasi hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
12
1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat aplikatif Penjelasan yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar terapi berbasis teori sistem interaksi King yang sangat diperlukan perawat untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien penyakit kronis dengan kepatuhan melaksanakan pengobatan yang rendah. 2. Manfaat keilmuan Hasil penelitian ini menunjang ilmu keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah. Penjelasan pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pasien TB paru memberi kontribusi terhadap pengembangan keilmuan khususnya teori aplikasi yang bisa langsung diterapkan dalam asuhan kepada pasien.
3. Manfaat Metodologis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya dan sebagai masukan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah dalam mencapai target Global TB yaitu penemuan kasus baru sebesar 90% dan angka angka kesembuhan 95%.
4. Manfaat kebijakan kesehatan Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam
pengambilan keputusan yang terkait dengan peningkatan pelayanan keperawatan TB paru di tatanan klinik dan membantu program pengentasan TB paru dan menurunkan angka putus obat.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab 2 ini menguraikan landasan teori yang berkaitan dengan teori tuberkulosis paru, teori perilaku, framework sistem interaksi dan middle range teori pencapaian tujuan dari King, health promotion model Pender, model partnership, teori perilaku dan kerangka teori penelitian.
2.1 Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang sudah sejak lama diketahui keberadaannya. Keberadaan TB paru sering dihubungkan dengan daerah urban yang padat dan kumuh. TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosae dan merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah (Alsagaff & Mukti, 2005). Penyebab TB paru adalah Mycobacterium tuberculosae, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um (Bahar & Amin, 2006).
A.
Manifestasi Klinis dan Patofisiologi
Keluhan yang dirasakan oleh pasien dengan TB paru dapat bermacam-macam dan kadang-kadang dijumpai tanpa keluhan. Beberapa manifestasi klinis TB paru menurut Alsagaff dan Mukty (2005), yaitu: 1) Batuk Gejala batuk adalah gejala yang paling banyak ditemukan. Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu pasien tidur dan dikeluarkan saat pasien bangun pagi hari. Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus menerus sehingga batuk menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu pasien pada waktu siang 13 Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
14
maupun malam hari. Bila yang terkena trakea dan atau bronkus, batuk akan terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang (paroksismal). Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hollow sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak. 2) Dahak Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukoporulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengkejuan. Jarang berbau busuk, kecuali bila terjadi infeksi anaerob. 3) Batuk darah Darah yang dikeluarkan pasien mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Oleh karena itu, proses tuberkulosis harus cukup lanjut untuk dapat menimbulkan batuk dengan ekspektorasi. 4) Nyeri dada Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat telah terjadi pleuritik luas (nyeri dipelukan daerah aksila, diujung scapula atau di tempat lain). 5) Wheezing Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granulasi, ulserasi dan lainlain (pada tuberkulosis lanjut). 6) Dispneu Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernafasan serta loss of vascular bed/vascular trombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
15
Usman (2008) menjelaskan bahwa faktor berat badan mempengaruhi gejala klinis, berat badan yang kurang memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan berat badan normal. Gejala klinis yang ditemukan secara umum adalah batuk berat, sesak napas, sakit dada dan demam.
Alsagaff dan Mukty (2005) menjelaskan bahwa proses awal TB paru menahun berupa satu atau lebih pneumonia lobuler yang juga disebut fokus dari
“asman”.
Fokus ini mengambil tempat di daerah subklavikula yang sesuai dengan daerah posterolateral dari lobus superior atau di lapangan tengah paru yang sesuai dengan segmen superior dari lobus inferior, walaupun lokalisasi ini lebih jarang terjadi. Lesi infiltrat dini ini selalu tidak stabil, dapat sembuh dengan jalan reabsorbsi menjadi fibrosis, mengalami kalsifikasi atau dapat menjadi progresif yang proses eksudatifnya menjadi bertambah luas, disertai dengan perkejuan-perlunakan dan berakhir dengan timbulnya kavitas. Proses dikatakan menahun apabila progresifitasnya berjalan perlahan-lahan atau ada kavitas yang disertai penyembuhan di satu bagian, sedangkan di bagian lain dari paru proses masih tetap aktif dan meluas.
B.
Diagnosis TB Paru
Menurut Depkes RI (2007) diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukanya basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka pasien di diagnosis sebagai pasien TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis
tetap mencurigakan TB, ulangi Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
16
pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, di diagnosis sebagai pasien TB BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai pasien TB BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, pasien tersebut bukan TB.
Menurut Depkes (2007) tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: kasus baru, kambuh pindahan, setelah lalai dan lain-lain. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 Dosis harian). Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. Pindahan (transfer In) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah (form TB. 09). Setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out) adalah pasien yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya pasien tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. Di kategori lain-lain ada kasus gagal dan kasus kronis. Dikatakan gagal jika pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih dan pasien dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan. Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
Menurut Alsagaff & Mukty (2005) aktifitas penyakit tuberkulosis paru dinyatakan dalam aktif dan tenang. Aktif bila dahak mengandung basil tuberkulosis, bila ada kavitas (kecuali open case dengan basil tahan asam dalam dahak negatif) dan gambaran radiologis berbeda dengan foto tunggal maupun serial. Tenang (quiescant) jika dahak tidak mengandung basil untuk jangka waktu paling sedikit 6 bulan, gambaran radiologis, tampak proses stabil atau hanya mengalami sedikit
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
17
perubahan. Dan masih ada kavitas (tetapi open case dengan basil tahan asam negatif). Tidak aktif (in active) jika bakteriologis negatif pada pemeriksaan dahak setiap bulan untuk jangka waktu paling sedikit 6 bulan, gambaran radiologi yang dibuat serial menunjukkan proses stabil atau bertambah bersih sedikit atau berkerut dan tidak tampak ada kavitas baik pada foto polos maupun pada tomogram.
Penularan yang sering terjadi ialah melalui saluran pernafasan yang dikenal sebagai droplet infection, dimana basil tuberkulosis dapat masuk sampai ke alveoli. Penularan lebih mudah terjadi bila ada hubungan yang erat dan lama dengan pasien tuberkulosis paru aktif, yakni golongan pasien yang dikenal sebagai open case, bentuk penularan yang lain adalah melalui debu yang beterbangan diudara yang mengandung basil tuberkulosis (Alsagaff & Mukty, 2005).
C.
Komplikasi TB Paru
Menurut Bahar dan Amin (2006) penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini meliputi pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, menjalar ke organ lain: usus dan Poncet’s arthropath. Komplikasi lanjutan: obstruksi jalan nafas: SOPT (sindrom obstruksi pasca tuberkulosis) kerusakan parenkim berat: SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru dan sindrom gagal nafas dewasa: acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Menurut Alsegaff dan Mukty (2005) sebelum ditemukan obat anti tuberkulosis, pasien tuberkulosis paru mempunyai masa depan yang suram, seperti halnya pasien kanker paru pada saat ini. Tetapi sejak ditemukan obat anti tuberkulosis, maka masa depan pasien tuberkulosis paru sangat cerah. Kecuali pasien yang telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terjadi penyulit pada organ paru dan organ lain di dalam organ dada, maka banyak pasien yang jatuh ke dalam korpulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan batuk darah
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
18
hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian, walaupun secara tidak langsung.
D.
Faktor Risiko TB Paru
Menurut Achmadi (2008) faktor resiko adalah semua variabel yang berperan menimbulkan kejadian penyakit. Faktor resiko TB saling berkaitan satu sama lain dan dikelompokkan ke dalam kelompok faktor resiko kependudukan dan faktor lingkungan. Banyak variabel kependudukan yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit TB paru, yaitu: jenis kelamin, umur, status gizi dan kondisi sosial ekonomi. Faktor resiko lingkungan meliputi: kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan ketinggian.
1. Faktor resiko Kependudukan: 1) Jenis kelamin Achmadi (2008) menyatakan bahwa berdasarkan catatan statistik meski tidak selamanya konsisten mayoritas pasien TB paru adalah wanita. Hal ini masih memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Depkes (2008) bahwa wanita termasuk kelompok rentan terserang TB selain anak, usia lanjut, kelompok resiko penularan tinggi seperti tahanan dan kaum pendatang. 2) Umur Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Menurut Depkes (2008) anak dan usia lanjut termasuk dalam kelompok rentan terkena TB paru. Namun di Indonesia sebagian besar pasien TB Paru adalah usia produktif, yakni 15 hingga 55 tahun. 3) Status Gizi Status gizi, merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB. Seperti diketahui, kuman TB paru merupakan kuman yang suka “tidur” hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit, maka timbulah kejadian penyakit TB Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
19
Paru. Salah satu kekuatan daya tangkal untuk mencegah hal tersebut adalah status gizi yang baik. 4) Kondisi sosial ekonomi WHO
dalam Achmadi (2008) menyebutkan 90% pasien TB didunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk, serta kondisi rumah yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.
2. Lingkungan Faktor lingkungan yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit TB paru yaitu: 1) Kepadatan tempat tinggal Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB paru 2) Lantai rumah Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian pertumbuhan kuman TB paru di lingkungan juga sangat dipengaruhi. 3) Ventilasi Menurut Budiyono (2003) ventilasi merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru. Achmadi (2005) menyatakan bahwa ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dan kuman lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar matahari. 4) Pencahayaan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
20
Menurut Achmadi (2008) rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup, khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain sinar ultraviolet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Budiyono (2003) menyatakan bahwa cahaya matahari masuk rumah merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru. 5) Kelembaban Mulyadi dalam Achmadi (2008) berdasarkan hasil penelitian di Kota Bogor menjelaskan bahwa penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60% beresiko terkena TB paru 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60%.
Faktor resiko TB paru juga didukung oleh studi yang dilakukan Tobing (2009) yang menemukan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap potensi TB adalah sikap, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, pendidikan, pengetahuan, pembinaan petugas dan dukungan keluarga.
E.
Pengobatan dan Penatalaksanaan
Menurut Achmadi (2008) sejak tahun 1995 program pemberantasan paru telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO.
Pelaksanaannya
di Indonesia dibentuk
gerakan terpadu nasional (Gerdunas) TB yang dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 24 maret 1999 bertepatan dengan hari TB sedunia. Bank Dunia menyatakan bahwa strategi DOTS ini adalah suatu strategi yang sangat cost effective.
Ada 5 komponen kegiatan strategi DOTS ini yaitu: 1. Harus ada komitmen politik pada berbagai tingkatan, baik nasional maupun kabupaten. Komitmen ini harus ditumbuhkan pada semua pihak, khususnya yang dapat memberikan kontribusi sumber daya dan keputusan bersama.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
21
2. Diagnosis tuberkulosis paru harus dilaksanakan dengan metode pemeriksaan dahak untuk mencari ada tidaknya kuman tahan asam TB yaitu BTA. 3. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan paduan obat yang telah ditetapkan dan disepakati, yaitu obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek yang harus diawasi oleh pengawas minum obat (PMO). Anggota PMO adalah keluarga dekat, atau kerabat, kenalan, tokoh masyarakat yang bisa mengawasi pelaksanaan minum obat bagi pasien yang bersangkutan. 4. Ketersediaan OAT dengan mutu yang baik harus terjamin selama pengobatan. 5. Pencatatan dan pelaporan yang baik, disertai analisis untuk evaluasi dan pengembangan program.
Menurut Depkes (2007) prinsip pengobatan TB Paru adalah sebagai berikut: Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS). Pengawasan menelan obat adalah salah satu komponen DOTS untuk pengobatan panduan OAT dengan pengawasan langsung. Dibawah ini akan diuraikan mengenai persyaratan PMO, siapa yang bisa menjadi PMO, tugas PMO dan informasi penting yang perlu disampaikan PMO pada pasien dan keluarganya (Depkes, 2007). a. Persyaratan PMO
Seseorang yang dikenal, yang dipercaya dan disetujui oleh petugas kesehatan maupun pasien dan harus disegani serta dihormati oleh pasien.
Seseorang yang tinggal dekat pasien
Bersedia membantu pasien dengan sukarela Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
22
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
b. Siapa yang menjadi PMO
Petugas kesehatan: bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi dan lain-lain.
Kader kesehatan, guru, anggota PKK (pembinaan kesejahteraan keluarga), PPTI (perhimpunan pemberantasan tuberkulosis Indonesia) atau tokoh masyarakat
Anggota keluarga.
c. Tugas PMO
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara teratur
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala
mencurigakan
TB
untuk
segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:
TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan UPK (unit pelayanan kesehatan).
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
23
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1. Tahap intensif Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. 2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Menurut Depkes (2007) Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan
paduan
OAT:
Kategori
1:
2HRZE/4H3R3;
Kategori2:
2HRZES/HRZE/5H3R3E3; dan Kategori 3: 2HRZ/4H3R3. Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. 1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari isoniosid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z) dan etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan rifampisisn (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan pasien TB ekstra paru berat. 2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yaitu terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK (unit pelayanan kesehatan). Dilanjutkan 1 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
24
hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah pasien selesai minum obat. Obat ini diberikan untuk: pasien kambuh (relaps), pasien gagal (failure) dan pasien dengan pengobatan setelah lalai (after default) 3. Kategori 3 (2HRZ/ 4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: pasien baru BTA negatif dengan rontgen positif sakit ringan, pasien ekstra paru ringan, yaitu kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. 4. OAT Sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pasien baru BTA positif dengan kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Menurut Bahar dan Amin (2006) pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam kontrol ulangan ternyata sputum BTA kembali positif baik secara mikroskopik langsung ataupun secara biakan. Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar kumannya masih sensitif terhadap obat-obat yang digunakan semula.
Menurut Bahar dan Amin (2006) penatalaksanaan terhadap pasien kambuh adalah: 1. Lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTA mikroskopis langsung 3 kali, biakan dan resistensi. 2
Evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
25
3. Identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkulosis seperti diabetes miletus, alkoholisme atau pemberian kortikosteroid yang lama. 4. Sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan/resistensi. 5. Nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis, dan bakteriologis tiap bulan selama pengobatan.
Menurut Depkes RI (2007) obat yang diberikan untuk pasien kambuh menggunakan paduan OAT kategori 2 yaitu tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yaitu terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Menurut Bahar dan Amin (2006) yang dapat menyebabkan kegagalan pengobatan/kekambuhan adalah lesi paru yang terlalu luas/sakit berat, penyakit lain yang menyertai seperti diabetes melitus, infeksi HIV serta adanya gangguan imunologis. Terjadinya gangguan imunologis ini adalah akibat adanya kebiasaan merokok dan minum alkohol serta pemakaian obat-obatan sejenis imunosupresan dan kortikosteroid. Pada pasien tuberkulosis paru yang mempunyai penyakit penyerta perlu mendapat perhatian atau pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol atau mendeteksi.
Pokok permasalahan pada perawatan pasien TB paru pada umumnya adalah ketidakpatuhan menggunakan OAT, hal ini dapat terlihat dari studi yang dilakukan oleh Castelnuovo (2010) bahwa faktor yang menyebabkan kegagalan dalam berobat adalah jauh dari rumah sakit, tidak hadir saat pengarahan pertama pengobatan TB, kurangnya pemeriksaan dahak berulang, tidak melanjutkan pengobatan setelah fase intensif, mengalami efek samping obat, tidak ada dukungan keluarga, pengetahuan yang buruk tentang pengobatan TB, usia lebih dari 25 tahun dan penggunaan transportasi umum.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
26
Studi lain yang dilakukan oleh Daryatno (2003) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien TB paru adalah status gizi dengan indeks masa tubuh (IMT) < 18.5, riwayat minum obat tidak teratur dan kebiasaan merokok. Status gizi dengan IMT < 18.5 memiliki risiko untuk kambuh 20 kali dibanding status gizi > 18.5. Status gizi yang buruk mengakibatkan kelemahan fisik dan penurunan daya tahan tubuh yang meningkatkan risiko kekambuhan. Riwayat minum obat tidak teratur memiliki risiko 43.46 kali untuk kambuh dibandingkan dengan yang minum obat teratur. Kebiasaan merokok 1-10 batang memiliki risiko 15 kali, merokok 20-30 batang memiliki risiko 40-50 kali dan merokok 40-50 batang memiliki risiko 70-80 kali untuk kambuh dibanding yang tidak merokok.
Ketidakpatuhan atau ketidakteraturan dalam pengobatan (dosis, jangka waktu dan panduan obat) pada pasien TB paru dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Kepatuhan minum obat diukur dari kesesuaian dengan aturan yang ditetapkan, dengan pengobatan lengkap sampai selesai dalam jangka waktu yang telah ditentukan. OAT harus ditelan secara teratur sesuai dengan jadwal untuk menghindari terjadinya kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan. Ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat dipengaruhi salah satunya oleh perilaku pasien tersebut. Berikut akan diulas teori perilaku yang mendasari perilaku seseorang.
2.2 Teori Perilaku Perilaku pada dasarnya adalah aktivitas atau tindakan manusia. Perilaku merupakan faktor penting dari pendidikan kesehatan yang bertujuan untuk merubah perilaku seseorang. Menurut Notoatmojo (2010) perilaku kesehatan sebagai tujuan dari pendidikan kesehatan sekurang-kurangnya harus memiliki 3 dimensi yaitu:
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
27
a. Mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai nilai-nilai kesehatan) b. Mengembangkan perilaku positif (pembentukan dan pengembangan perilaku sehat) c. Memelihara perilaku yang sudah positif atau perilaku yang sudah sesuai dengan norma/nilai kesehatan (perilaku sehat).
Perubahan perilaku memerlukan waktu yang relatif lama. Menurut Notoatmojo (2007) secara teori perubahan perilaku terjadi melalui 3 tahap yaitu: pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan berarti sebelum seseorang mengadopsi perilaku maka harus tahu dulu apa arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan keluarganya, misalnya: pengetahuan tentang sakit dan penyakitnya. Sikap adalah menilai atau bersikap terhadap obyek kesehatan tersebut. Indikator untuk sikap sejalan dengan dengan indikator pengetahuan kesehatan. Praktik adalah perilaku kesehatan yang terlihat. Praktik kesehatan muncul setelah seseorang mengetahui stimulus kesehatan dan setelah melakukan penilaian terhadap stimulus tersebut. Indikator praktik atau perilaku kesehatan mencakup tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit misalnya: pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit; tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan misalnya mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, melakukan olahraga secara teratur, tidak merokok; tindakan (praktik) kesehatan lingkungan seperti membuang air besar di jamban dan membuang sampah di tempat sampah.
Karena perubahan perilaku merupakan tujuan akhir dari pendidikan kesehatan, maka di bawah ini akan dibahas teori perubahan perilaku dalam keperawatan, teori pengetahuan, teori self efficacy, teori motivasi, kebutuhan nutrisi pasien TB paru dan teori kepatuhan.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
28
A. Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior (TPB)
TRA dikembangkan pertama kali tahun 1967 yang bertujuan untuk mempelajari hubungan antara sikap dan perilaku. TRA telah banyak digunakan pada berbagai studi namun kemudian dikritik oleh Ajben yaitu mengenai perilaku yang dipengaruhi langsung oleh intensi, Ajben dan Fishben membatasi intensi hanya pada perilaku yang dikontrol oleh kehendak. Pada tahun 1985 Ajzen membuat TPB untuk mengatasi kekurangan tersebut (Peterson dan Brewdow, 2004). Pada dasarnya TRA dan TPB mengasumsikan bahwa individu memiliki pertimbangan rasional mengenai dampak dari tindakan mereka. Sebelum mereka memutuskan terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku spesifik tertentu maka mereka mempertimbangkan secara cermat dan mencari informasi yang tersedia kemudian memutuskan perilaku mereka. Hubungan antara konstruksi TRA dan TPB dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2 di bawah ini:
Keyakinan perilaku
Sikap
Intensi perilaku
Variabel eksternal Keyakinan normatif
Perilaku
Norma subyektif
Gambar 2.1 Theory of Reasoned Action menurut Ajzen dan Fishben (Peterson dan Brewdow, 2004)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
29
Keyakinan perilaku
Sikap
Intensi perilaku
Variabel eksternal Keyakinan normatif
Norma subyektif
Keyakinan kontrol
Persepsi kontrol perilaku
Perilaku
Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior menurut Ajzen (Peterson dan Brewdow, 2004)
a.
Intensi perilaku
Intensi perilaku adalah motivasi individu untuk terlibat dalam perilaku yang spesifik. Hal ini mengindikasikan upaya individu untuk berinvestasi dalam perilaku. Determinan dari intensi perilaku adalah sikap, norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku. b.
Determinan intensi perilaku
Determinan intensi perilaku meliputi sikap, norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku.
Sikap: secara umum sikap didefinisikan sebagai tendensi psikologis yang dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu obyek. Misalnya, menyukai atau tidak menyukai, menyetujui atau tidak menyetujui.
Norma subyektif: norma subyektif mengacu pada penilaian subyektif seseorang tentang preferensi/rujukan lain yang signifikan dan dukungan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang spesifik.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
30
Persepsi kontrol perilaku: TPB menambahkan perilaku yang dipersepsikan sebagai determinan ketiga dari intensi perilaku. Konstruksi ini ditambahkan dalam upaya untuk memperluas kesesuaian TRA untuk perilaku yang dibawah kendali kehendak, yaitu perilaku yang tidak hanya tergantung keputusan seseorang tapi juga berdasarkan kemampuan, sumber daya dan kesempatan yang tidak selalu tersedia. Persepsi kontrol perilaku didefinisikan sebagai persepsi individu tentang kemudahan dan kesulitan bagi dia untuk melakukan perilaku.
B. Pengetahuan
Pengetahuan menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “apa”. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang.
Dalam domain kognitif menurut Benyamin Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl (2001 dalam Widodo, 2006) mencakup 6 (enam) tingkat, yaitu : 1) Mengingat (remember) Mengingat adalah usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari memori atau ingatan. Memori bisa yang baru saja didapatkan atau sudah lama didapatkan.Mengingat meliputi mengenali (recognition) dan memanggil kembali (recalling). 2) Memahami/mengerti (understand) Memahami adalah membangun sebuah pengertian dari berbagai sumber. Memahami mencakup tujuh proses kognitif yaitu menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelskan (explaining).
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
31
3) Menerapkan (apply) Menerapkan
merupakan
proses
kognitif
memanfaatkan
atau
mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dengan dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge) yaitu menjalankan
prosdur
(executing)
dan
mengimplementasikan
(implementing). 4) Menganalisis (analyze) Menganalisis adalah memecahkan atau misahkan tiap-tiap bagian dari suatu permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-tiap bagian tersebut
dan
mencari
tahu
bagaimana
keterkaitan
tersebut
menimbulkan permasalahan. Menganalisis berkaitan dengan proses kognitif
menguraikan
(differentiating),
mengorganisasikan
(organizing) dan memberi atribut (atributting). 5) Mengevaluasi (evaluate) Mengevaluasi
adalah
proses
kognitif
memberikan
penilaian
berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Evaluasi meliputi mengecek
(checking)
dan
mengkritisi
(critiquing).
Mengecek
mengarah pada kegiatan pengujian hal-hal yang tidak konsisten atau kegagalan dari suatu operasi atau produk. Mengkritisi mengarah pada penilaian suatu operasi atau produk berdasarkan pada kriteria atau standar eksternal. 6) Menciptakan (create) Menciptakan merupakan kegiatan menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong
dalam
kategori
ini
adalah
membuat
(generating),
merencanakan (planning), atau memproduksi (producing).
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
32
C. Self Efficacy
Bandura (1997) mendefinisikan self efficacy sebagai suatu keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam melakukan aktivitas tertentu yang akan berpengaruh terhadap kehidupannya. Self efficacy akan menentukan bagaimana seseorang merasa, berpikir, dan memotivasi dirinya sendiri untuk bertindak atau berperilaku.
Menurut Bandura (1997) self efficacy seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Self efficacy tersebut dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi empat faktor yang terdiri atas : 1) Performance accomplishment Merupakan suatu pengalaman menguasai sesuatu prestasi atau prestasi yang pernah dicapai oleh individu tersebut di masa lalu. Faktor ini adalah pembentuk self efficacy yang paling kuat. Prestasi yang baik pada masa lalu yang pernah dialami oleh subyek akan membuat peningkatan pada ekspektasi efikasi, sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkan efikasi individu. 2) Vicarious experience Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka untuk mendapatkan seperti apa yang orang lain peroleh. Self efficacy akan meningkat jika mengamati keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain, sedangkan sebaliknya self efficacy akan menurun apabila individu mengamati seseorang yang memiliki kemampuan setara dengan dirinya mengalami kegagalan. Pengaruh yang diberikan faktor ini terhadap self efficacy adalah berdasarkan kemiripan orang yang diamati dengan diri pengamat itu sendiri. Semakin orang yang diamati memiliki kemiripan dengan dirinya, maka semakin besar potensial self efficacy yang akan disumbangkan oleh faktor ini. 3) Verbal persuasion Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku. Individu mendapat pengaruh atau sugesti bahwa ia mampu mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang senantiasa diberikan keyakinan dan dorongan untuk sukses, maka akan menunjukkan perilaku untuk
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
33
mencapai kesuksesan tersebut, begitupun sebaliknya. Faktor ini sifatnya berasal dapat berasal dari luar atau dalam diri individu sendiri, namun yang membedakan dengan vicarious experience adalah pada faktor ini subyek mendapatkan feedback langsung dari pihak lain, sedangkan pada vicarious experience subyek sendirilah yang secara aktif mengamati pihak lain tanpa intervensi dari pihak yang diamati. Besar pengaruh yang dapat diberikan oleh pemberi persuasi adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi serta kriteria kerealistisan tentang apa yang dipersuasikan. Selain itu, subyek dapat memberikan persuasi kepada dirinya sendiri dengan semacam self talk kepada dirinya sendiri. 4) Emotional arousal Kondisi emosional (mood) juga mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang terkait self efficacy-nya. Keadaan emosi yang menyertai individu ketika dirinya sedang melakukan suatu kegiatan akan mempengaruhi self efficacy seseorang pada bidang tersebut. Emosi yang dimaksudkan adalah emosi yang kuat seperti takut, stres, cemas dan gembira. Emosi-emosi tersebut dapat
meningkatkan
ataupun menurunkan self - efficacy seseorang.
Menurut Bandura (1994) self efficacy akan mempengaruhi proses dalam diri manusia, yaitu : 1) Proses kognitif Self efficacy mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat mendorong atau menghambat perilaku
seseorang.
Self
efficacy
yang tinggi
mendorong
pembentukan pola pikir untuk mencapai kesuksesan, dan pemikiran akan kesuksesan akan memunculkan kesuksesan yang nyata, sehingga akan semakin memperkuat self efficacy seseorang. 2) Proses motivasional Self efficacy merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri sendiri untuk membentuk sebuah motivasi. Kepercayaan self efficacy mempengaruhi tingkatan pencapaian tujuan, kekuatan untuk berkomitmen, seberapa besar usaha yang diperlukan, dan bagaimana usaha tersebut ditingkatkan ketika motivasi menurun.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
34
3) Proses afektif Self efficacy berperan penting dalam mengatur kondisi afektif. Self efficacy mengatur emosi seseorang melalui beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya bahwa mereka mampu mengelola ancaman tidak akan mudah tertekan oleh diri mereka sendiri, dan sebaliknya seseorang self efficacy yang rendah cenderung memperbesar resiko. Seseorang dengan self efficacy yang tinggi memiliki kontrol pemikiran yang lebih baik, dan self efficacy yang rendah dapat mendorong munculnya depresi. 4) Proses seleksi Proses kognitif, motivasional, dan afektif akan memungkinkan seseorang untuk membentuk tindakan dan sebuah lingkungan yang membantu dirinya dan bagaimana mempertahankannya. Menurut Bandura (1994) suatu perubahan tingkah laku hanya akan terjadi apabila adanya perubahan self efficacy pada individu yang bersangkutan. Perubahan self efficacy perlu dilakukan untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku individu yang memiliki masalah perilaku. Berikut adalah gambar skema proses pengubahan self efficacy.
Gambar 2.3 Sumber-sumber self efficay dan proses pegubahannya (Bandura, 1994)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
35
1) Performance accomplishment (1) Participant modelling. Hal ini dilakukan dengan menirukan model yang telah berprestasi atau sukses dalam bidang tertentu. (2) Performance desensitization, merupakan upaya menghilangkan pengaruh buruk akibat kegagalan pada masa lalu. Apabila cara yang ditempuh berhasil untuk bangkit dari kebangkrutan terdahulu, maka self efficacy akan meningkat. (3) Performance exposure. Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih dibandingkan kegagalan. Contohnya jika seseorang pernah tidak naik kelas, maka hal yang dilakukan adalah dengan mengingatkan kembali prestasi lain pada masa lalu pernah dicapainya. 4) Self-instructed performance. Melatih diri untuk melakukan yang terbaik sehingga seseorang mampu untuk menekan dirinya sendiri sampai ke batas maksimalnya. 2) Vicarious experience (1) Live modelling, dengan cara mengamati model yang nyata di dunia atau lingkungan yang mempunyai kemiripan tujuan dan karakteristik. (2) Symbolic modelling, dengan cara mengamati model simbolik, film, komik, cerita yang menceritakan keberhasilan atau kesuksesan mencapai tujuan yang mempunyai kemiripan dengan karakteristik individu . 3) Verbal persuasion (1) Sugestion. Mempengaruhi dengan kata-kata berdasarkan kepercayaan subyek terhadap pemberi persuasi. Contohnya hipnoterapis yang memberikan sugesti kepada seorang siswa yang takut pelajaran matematika agar ketakutannya tersebut hilang. (2) Exhortation. Nasihat atau peringatan yang mendesak/memaksa seperti yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya ketika masih kecil. (3) Self-instruction. Selain dapat diberikan oleh orang lain, persuasi juga dapat diberikan oleh subyek kepada diriya sendiri dengan berkomunikasi dengan dirinya sendiri untuk dapat melakukan sesuatu.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
36
(4) Intrepretive treatment. Menggunakan interpretasi baru yang berdasarkan fakta lebih meyakinkan daripada memperbaiki interpretasi lama yang salah dan cenderung menurunkan self - efficacy. 4) Emotional arousal (1) Attribution. Mengubah atribusi atau penanggungjawab suatu kejadian emosional. Hal ini berkaitan dengan cara pandang yang biasa digunakan oleh subyek. Contohnya subyek yang merasa bahwa kemampuan matematikanya rendah adalah dikarenakan pengajarnya di sekolah tidak menyenangkan (eksternal), dapat diubah dengan memberikan gambaran detil tentang teori atribusi. (2) Relaxation
biofeedback.
Relaksasi
digunakan
untuk
menurunkan
gelombang otak subyek sehingga lebih mudah untuk menerima sesuatu dibandingkan ketika seseorang berada pada kondisi sadar penuh (gelombang otak beta). Dengan melakukan relaksasi, gelombang otak akan turun sampai ke level alpha. (3) Symbolic desensilization. Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik seperti benda-benda mati yang memiliki karakteristik sama dengan sikap emosional positif yang diharapkan. (4) Symbolic
exposure.
Memunculkan
emosi
secara
simbolik
yang
menguntungkan (meningkatkan self - efficacy) meskipun sedang tidak dalam kondisi yang semestinya. Contohnya ketika sedang melakukan pekerjaan
yang
kantor
yang
berat,
seseorang
diminta
untuk
membayangkan keadaan emosinya ketika sedang berlibur.
D. Motivasi
Menurut Jhon Elder (dalam Notoatmojo, 2007), motivasi adalah sebagai interaksi antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku.
Menurut Terry G. (dalam Notoatmodjo, 2007),
motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan (perilaku), sedangkan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
37
menurut Stooner (dalam Notoatmodjo, 2007), motivasi adalah sesuatu hal yang menyebabkan dan yang mendukung tindakan atau perilaku seseorang.
Menurut Notoatmodjo (2007), motivasi mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu: 1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. 2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan yang sudah direncanakan sebelumnya. 3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Pilihan perbuatan yang sudah ditentukan atau dikerjakan akan memberikan kepercayaan diri yang tinggi karena sudah melakukan proses penyeleksian.
Dibawah ini akan diuraikan beberapa teori motivasi: 1) Teori motivasi Abraham Maslow (1943) Abraham Maslow (1943 dalam Nursalam, 2014) mengemukakan bahwa pada
dasarnya
semua
manusia
memiliki
kebutuhan
pokok.
Ia
menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks; yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting. (1)
Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)
(2)
Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
38
(3)
Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki)
(4)
Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan)
(5)
Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan,
dan
keindahan;
kebutuhan
aktualisasi
diri:
mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya) 2) Teori motivasi Herzberg (1966) Menurut teori motivasi Herzberg (1966 dalam Nursalam, 2014) ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, (faktor intrinsik). 3) Teori Vroom (1964 dalam Nursalam, 2014) menerangkan tentang cognitive theory of motivation yang menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini jika ia tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: (1) Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas (2) Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu). (3) Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan positif,
netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
39
sesuatu yang melebihi harapan motivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan. 4) Theory Achievement Mc Clelland (1961) Teori Mc Clelland (1961 dalam Nursalam, 2014) menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu: (1)
Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
(2)
Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial)
(3)
Need for Power (dorongan untuk mengatur)
E. Nutrisi
Kebanyakan pasien TB paru mengalami penurunan berat badan karena proses penyakit. Peningkatab berat badan pasien diperlukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam melawan penyakit maka diperlukan gizi yang seimbang. Menurut Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia (2010) gizi seimbang adalah gizi yang dibutuhkan untuk memelihara kesehatan dan mencapai status gizi seimbang. Berdasarkan gizi seimbang makanan dikelompokkan dalam tiga fungsi utama zat gizi yaitu: 1. Sumber energi atau tenaga: yaitu padi-padian seperti beras, jagung, dan gandum, sagu, umbi-umbian seperti ubi, singkong, talas serta hasil olahannya seperti tepung-tepungan, mi, roti, makaroni dan bihun 2. Sumber protein yaitu sumber protein hewani seperti daging, ayam, telur, susu dan keju, serta sumber protein nabati seperti kacang-kacangan berupa kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, dan kacang tolo serta hasil olahannya seperti tempe, tahu, susu kedelai dan oncom. 3. Sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah. Sayuran diutamakan yang berwarna hijau dan kuning jingga seperti bayam, daun singkong, katuk, kangkung, wortel dan tomat serta sayur kacang-kacangan seperti kacang panjang, buncis dan kecipir. Buah-buahan diutamakan yang berwarna kuning jingga seperti pepaya, mangga, apel dan jeruk.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
40
Diet pada pasien TB Paru adalah diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) yaitu diet yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Makanan yang diberikan dalam bentuk biasa ditambah protein tinggi seperti susu, telur dan daging. Adapun tujuan diet ETPT adalah untuk: 1. Memenuhi Kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan pada jaringan paru. 2. Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal.
Dibawah ini ada bahan makanan yang dianjurkan yang dianjurkan pada pasien TB paru: 1.
Sumber karbohidrat: nasi, roti, mi, ubi, makaroni dan hasil olah tepungtepungan seperti cake, puding, dodol.
2.
Sumber protein hewani: daging sapi, ayam, ikan, telur, susu dan hasil olahan seperti keju, yougurt dan es krim
3.
Sumber protein nabati: Semua jenis kacang-kacangan dan hasil olahnya seperti tahu dan tempe.
4.
Sayur: semua jenis sayuran seperti bayam, buncis, daun singkong, kacang panjang, labu siam dan wortel, dikukus dan ditumis
5.
Buah-buahan: Semua jenis buah-buahan segar, buah kaleng dan jus buah
6.
Lemak dan minyak: minyak goreng, mentega, margarin, santan encer.
7.
Minuman: madu, sirup, teh dan kopi encer
8.
Bumbu: bumbu tidak tajam seperti bawang merah, bawang putih, laos, salam, kecap.
Pada dasarnya tidak ada pantangan pada pasien TB paru, tapi ada beberapa bahan makanan yang tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan asam lambung sehingga dapat mengakibatkan pasien mudah terangsang untuk batuk saat asam lambung mengiritasi tenggorokan. Bahan makan yang tidak dianjurkan diantaranya: 1. Dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental 2. Bumbu yang tajam seperti cabe dan merica 3. Gorengan dan es terutama saat batuk.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
41
F. Kepatuhan
Kepatuhan menurut Sacket dan Haynes (1976 dalam Rankin & Stallings, 2001) didefinisikan sebagai perilaku pasien (minum obat, mengikuti diet dan perubahan gaya hidup lainnya) yang berkaitan dengan resep klinis. Lebih lanjut lagi mereka menjelaskan bahwa penyajian data kepatuhan memiliki relevansi klinis jika hal tersebut berkaitan dengan pencapaian dari tujuan pegobatan. Pertama terkait dengan kepatuhan terhadap pengendalian penyakit yang berkaitan dengan pengobatan dokter (kontrol hasil mematuhi resep pengobatan). Dokter menentukan dosis dan waktu pengobatan, diet khusus yang harus diikuti dan jenis pemantauan tubuh yang harus dilakukan. Kepatuhan diukur melalui pencapaian pasien dalam kegiatan ini.
Kedua, kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang ditentukan dalam kepatuhan atau ketidakpatuhan. Menurut Hays dan Dimatteo (1987 dalam Rankin & Stallings, 2001) ketidakpatuhan didefinisikan sebagai kegagalan pasien untuk memenuhi resep klinis seperti yang dimaksudkan oleh praktisi kesehatan. Menurut Leventhal, Zimmerman, dan Guttman, 1984; Trostle (1988 dalam Rankin & Stallings, 2001) ketidakpatuhan pasien akan resep medis disebabkan oleh kurang pengetahuan, pemberontakan atau ketidakstabilan emosional.
Menurut teori Feuerstein (1986 dalam Niven, 2000) terdapat 5 faktor yang mendukung kepatuhan pasien antara lain: 1.
Pendidikan Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.
2.
Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam program
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
42
pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan. 3.
Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan.
4.
Perubahan model terapi Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
5.
Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien Adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang diagnosisnya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.
Menurut Taylor (1991 dalam Niven, 2000), ada beberapa variabel yang berhubungan dengan kepatuhan: 1. Ciri-ciri kesehatan dan pengobatan Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis karena tidak ada akibat buruk yang langsung dirasakan pengobatan yang komplek dan pengobatan dengan efek samping. Tingkat kepatuhan rata-rata minum obat untuk penyembuhan penyakit akut (kasus baru) dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78%. Pada penyakit kronis dengan pengobatan jangka panjang, tingkat kepatuhan minum obat menurun sampai 54%. 2. Ciri-ciri individu Variabel demografi juga digunakan untuk meramal kepatuhan seseorang, sebagai contoh di Amerika Serikat para wanita kulit putih dan orang tua cenderung mematuhi aturan dokter. 3. Komunikasi antara penderita dengan petugas kesehatan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
43
Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan petugas mempengaruhi tingkat kepatuhan, misalnya informasi dengan pengawasan dari petugas yang cukup, kepuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan petugas, kepuasan terhadap pengobatan yang diberikan, frekuensi pengawasan, dukungan dan tindak lanjut juga penting. 4. Variabel sosial Hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan telah dipelajari secara luas. Secara umum orang-orang yang merasa menerima perhatian dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau sekelompok orang biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis dari pada pasien yang kurang mendapat dukungan sosial. Keluarga memegang peran yang sangat penting dalam pengelolaan medis, baik pada anak, remaja ataupun dewasa misalnya pengangguran pengaruh normatif pada pasien yang mungkin memudahkan atau menghambat perilaku kepatuhan. Becker (1987) bahkan menyarankan bahwa interaksi keluarga harus diintegrasikan pada proses pengobatan dini. 5. Persepsi dan harapan penderita Variabel-variabel health belief model bahwa kepatuhan sebagai fungsi dari keyakinan tentang kesehatan, ancaman yang dirasakan, persepsi kekebalan, pertimbangan mengenai hambatan/kerugian (biaya, waktu) dan keuntungan (efektifitas pengobatan).
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah: (a) faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, status sosio ekonomi dan pendidikan, (b) faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi, (c) faktor program pelayanan seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan, (d) faktor psikososial seperti intelegensia atau tingkat pengetahuan, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial lainnya.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
44
Kepatuhan pengobatan pada pasien TB paru adalah tindakan atau kegiatan yang dilakukan
pasien
agar
sembuh
dari
penyakit.
Sesuai
buku
pedoman
penanggulangan tuberkulosis (Kemkes, 2011), pasien dapat dikatakan patuh berobat jika pasien berobat secara teratur selama minimal 6 bulan dalam 2 fase pengobatan dan sesuai panduan obat. Tidak patuh jika pasien tidak berobat secara teratur dalam 2 fase pengobatan dan tidak sesuai panduan obat.
Dibawah ini akan diuraikan metode pengukuran kepatuhan minum obat menurut Osterberg dan Blaschke (2005). Tabel 2.1 Metode pengukuran kepatuhan minum obat Test Keuntungan Metode langsung Pengawasan langsung Lebih akurat menelan obat Pengukuran level obat atau Obyektif metabolit dalam darah
Kerugian Pasien dapat menyembunyikan obat dalam mulut dan tidak praktis untuk kegiatan rutin Ada variasi metabolisme sehingga dapat terjadi kesalahan penilaian; mahal Mahal
Pengukuran “biologic Obyektif marker” dalam darah Metode tidak langsung Kuesioner pasien, laporan Sederhana, murah, metode Rentan terhadap kesalahan diri pasien yang paling berguna dalam dengan peningkatan waktu tatanan klinik antara kunjungan; hasil mudah terdistorsi oleh pasien Menghitung pil Obyektif, dapat dihitung, Data mudah diubah oleh mudah dilaksanakan pasien Jumlah ulangan resep Obyektif Ulangan resep tidak setara dengan konsumsi obat-obatan; membutuhkan sistem farmasi tertutup Pengkajian respons klinis Sederhana, secara umum Faktor lain selain kepatuhan pasien mudah dilaksanakan pengobatan dapat mempengaruhi respons klinis Monitoring pengobatan Presisi, secara umum Mahal; membutuhkan elektronik mudah dilaksanakan kunjungan kembali dan unduh data dari pengobatan Pengukuran “physiologic Mudah dilakukan “markers” mungkin tidak markers” (seperti denyut nampak (misal: peningkatan jantung pada pasien dengan metabolisme, kurang pengobatan beta blocker) penyerapan, kurang respons) Diari pasien Membantu menilai bagi Mudah diubah oleh pasien yang susah mengingat Pasien anak, kuesioner Sederhana, obyektif Rentan terhadap distorsi pada pengasuh atau guru
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
45
2.3 Kerangka Kerja Sistem Interaksi dan Middle Range Teori Tencapaian Tujuan dari King
Imogene King memformulasikan kerangka kerja sistem personal, sistem interpersonal, dan sistem sosial sebagai domain dari keperawatan (Alligood & Tomey, 2006)
1.
Sistem personal King mengatakan bahwa setiap individu adalah personal, sehingga diperlukan pemahaman tentang konsep gambaran diri, pertumbuhan dan perkembangan, persepsi, diri, ruang, dan waktu untuk memandang secara komprehensif bahwa manusia adalah personal. Persepsi merupakan konsep mayor dari sistem personal. Persepsi adalah suatu proses dimana data diperoleh, diorganisasikan, diinterpretasikan dan ditransformasikan dalam perilaku. Persepsi dipengaruhi oleh emosi dan pengalaman masa lalu. Diri adalah bagian dalam diri seseorang yang berisi benda-benda dan orang lain. Karakteristik diri adalah individu yang dinamis, sistem terbuka dan orientasi pada tujuan. Konsep diri dipengaruhi oleh perubahan tumbuh kembang. Gambaran diri merupakan komponen dari tumbuh kembang yang berubah seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi oleh konsep diri. Tumbuh kembang dapat didefinisikan sebagai proses diseluruh kehidupan seseorang dimana dia bergerak dari potensial untuk mencapai aktualisasi diri. Ruang adalah universal sebab semua orang punya konsep ruang, personal atau subjektif, individual, situasional, dan tergantung dengan hubunganya dengan situasi, jarak dan waktu, transaksional, atau berdasarkan pada persepsi individu terhadap situasi. King mendefinisikan waktu sebagai lama antara satu kejadian dengan kejadian yang lain merupakan pengalaman unik setiap orang dan hubungan antara satu kejadian dengan kejadian yang lain. Konsep pada sistem personal kemudian oleh King ditambahkan dua konsep baru yaitu pembelajaran dan koping (Alligood, 2010).
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
46
2.
Sistem interpersonal Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih individu berinteraksi, bisa dua orang (dyad) atau tiga orang (triad). Hubungan antara pasien dan perawat adalah salah satu tipe sistem interpersonal. Keluarga ketika dalam kelompok kecil juga bisa dikatakan sebagai sistem interpersonal. Dalam memahami
sistem
interpersonal
diperlukan
pengetahuan
mengenai
komunikasi, interaksi, peran, stres dan transaksi.
Interaksi didefinisikan sebagai tingkah laku yang dapat diobservasi oleh dua orang atau lebih di dalam hubungan timbal balik. King mendefinisikan komunikasi sebagai proses dimana informasi yang diberikan dari satu orang ke orang lain baik langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui telpon, televisi atau tulisan kata. ciri-ciri komunikasi adalah verbal, non verbal, situasional, perseptual, transaksional, tidak dapat diubah, bergerak maju dalam waktu, personal, dan dinamis. Komunikasi dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dalam menyampaikan ide-ide satu orang ke orang lain. Aspek perilaku non verbal yang sangat penting adalah sentuhan. Aspek lain dari perilaku adalah jarak, postur, ekspresi wajah, penampilan fisik dan gerakan tubuh. Transaksi adalah interaksi yang berorientasi tujuan. Ciri-ciri transaksi adalah unik, karena setiap individu mempunyai realitas personal berdasarkan persepsi mereka. Peran mengacu kepada serangkaian set perilaku seseorang dalam posisi yang spesifik di dalam sistem sosial. Stres menurut King adalah suatu keadaan yang dinamis dimanapun manusia berinteraksi dengan lingkungannya untuk memelihara keseimbangan pertumbuhan, perkembangan dan perbuatan yang melibatkan pertukaran energi dan informasi antara seseorang dengan lingkungannya untuk mengatur stresor. Konsep stresor merupakan konsep yang ditambahkan pada sistem interpersonal (Alligood, 2010)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
47
3. Sistem sosial Sistem sosial adalah sistem interaksi yang berisi kelompok yang membentuk masyarakat. Contoh dari sistem sosial adalah sistem keagamaan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Untuk memahami sistem sosial diperlukan pengetahuan tentang otoritas, pembuat keputusan, organisasi, kekuasaan dan status. Organisasi bercirikan struktur posisi yang berurutan dan aktifitas yang berhubungan dengan pengaturan formal dan informal seseorang dan kelompok untuk mencapai tujuan personal atau organisasi. King mendefinisikan otoritas atau wewenang, bahwa wewenang itu aktif, proses transaksi yang timbal balik dimana latar belakang, persepsi, nilai-nilai dari pemegang mempengaruhi definisi, validasi dan penerimaan posisi di dalam
organisasi
berhubungan
dengan
wewenang.
Kekuasaan adalah universal, situasional, atau bukan sumbangan personal, esensial dalam organisasi, dibatasi oleh sumber-sumber dalam suatu situasi, dinamis dan orientasi pada tujuan. Pembuatan atau pengambilan keputusan bercirikan untuk mengatur setiap kehidupan dan pekerjaan, orang, universal, individual, personal, subjektif, situasional, proses yang terus menerus, dan berorientasi pada tujuan. Status bercirikan situasional, posisi ketergantungan, dapat diubah. King mendefinisikan status sebagai posisi seseorang didalam kelompok atau kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain di dalam organisasi dan mengenali bahwa status berhubungan dengan hak-hak istimewa, tugas-tugas, dan kewajiban.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
48
Adapun ketiga komponen sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial digambarkan oleh King sebagai berikut:
Social system (socie Social systems (society )
Interpersonal systems (groups)
Personal systems Interpersonal system (individual) (society)
Gambar 2.4 Dynamic interacting system (Alligood & Tomey, 2006)
Untuk menguji teorinya King menggambarkan proses interaksi perawat-pasien untuk mencapai tujuan. Riset King menggambarkan proses yang menuntun pada pencapaian tujuan dan studi interaksi perawat-pasien untuk menentukan kapan perawat membuat transaksi.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
49
feedback Nurse
Perception Jugdement Action
Reaction
interaction
transaction
Action
Patient
Jugdement Perception
feedback
Gambar 2.5 Proses human Interaksi yang menuntun pada transaksi : sebuah model transaksi (Alligood & Tomey , 2006)
Filosofi personal King tentang manusia (human being) dan kehidupan mempengaruhi asumsinya termasuk dalam hal yang berkaitan dengan lingkungan, kesehatan, keperawatan, dan interaksi perawat-pasien. Kerangka kerja sistem interaksi dan teori pencapaian tujuan “berlandaskan pada asumsi bahwa fokus keperawatan adalah interaksi manusia dan lingkungannya yang menuntun pada tingkat kesehatan individu, yaitu kemampuan dalam peran sosial” (Alligood & Tomey, 2006) 1. Konsep Manusia King memandang manusia sebagai suatu sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungan yang memungkinkan benda, energi, dan informasi dengan leluasa mempengaruhinya. Dalam kerangka kerjanya meliputi tiga sistem interaksi yang dinamis sebagai individu disebut sebagai sistem personal, ketika individu ini bersatu dalam kelompok disebut sistem interpersonal. Sistem sosial tercipta ketika kelompok mempunyai ketertarikan dan tujuan yang sama dalam satu komunitas atau masyarakat. 2. Konsep Lingkungan Menurut King lingkungan adalah sistem sosial yang ada dalam masyarakat yang saling berinteraksi dengan sistem lainnya secara terbuka. Lingkungan Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
50
merupakan suatu sistem terbuka yang menunjukkan penukaran masalah, energi, informasi dengan keberadaan manusia. Manusia tersebut akan berinteraksi dengan lingkungan internal dengan penukaran energi yang diatur secara terus menerus terhadap perubahan lingkungan eksternal. 3. Konsep Sehat King mendefinisikan sehat sebagai pengalaman hidup manusia yang dinamis, yang secara berkelanjutan melakukan penyesuaian terhadap stresor internal dan eksternal melewati rentang sehat sakit, dengan menggunakan sumber-sumber yang dimiliki oleh seseorang atau individu untuk mencapai kehidupan seharisehari yamg maksimal. 4. Konsep Keperawatan King menyampaikan pola intervensi keperawatan adalah proses interaksi pasien dan perawat meliputi komunikasi dan persepsi yang menimbulkan aksi, reaksi, dan jika ada gangguan, menetapkan tujuan dengan maksud tercapainya suatu persetujuan dan membuat transaksi. Teori pencapaian tujuan King berfokus pada sistem interpersonal dan interaksi yang membutuhkan tempat antara individu, khususnya hubungan perawat-pasien. Dalam proses keperawatan tiap anggota dyad saling mempersepsikan, membuat keputusan dan bertindak bersama-sama. Bersama-sama aktivitas ini memuncak dalam reaksi. Hasil interaksi dan jika persepsi sama maka terbentuk transaksi. Sistem ini terbuka untuk umpan balik karena tiap fase dipengaruhi oleh persepsi. Hubungan dari proses dan outcome/hasil adalah fokus keperawatan dan pelayanan kesehatan. Proses adalah sistem fungsi dinamik dan outcome/hasil diasumsikan sebagai proses yang menyediakan informasi untuk mengevaluasi keefektifan asuhan keperawatan. Outcome/hasil berpusat pada pasien, berorientasi tujuan yang realistis dan dapat diukur. King (dalam Alligood & Tomey, 2006) mengembangkan delapan proposisi dalam teori pencapaian tujuan, yaitu: jika persepsi akurat dalam interaksi perawat-pasien, transaksi terjadi. Jika perawat-pasien membuat transaksi maka tujuan akan tercapai. Jika tujuan tercapai, kepuasan akan terjadi. Jika tujuan tercapai, asuhan keperawatan yang efektif terjadi. Jika transaksi terjadi dalam interaksi perawatUniversitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
51
pasien, pertumbuhan dan perkembangan akan meningkat. Jika perkiraan peran dan penampilan peran dipersepsikan sama oleh perawat dan pasien, transaksi akan terjadi. Jika konflik peran dialami oleh perawat atau pasien atau keduanya maka stres dalam interaksi perawat-pasien akan terjadi. Jika perawat dengan pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai menginformasikan ke pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan pencapaian tujuan akan dicapai.
Beberapa hasil penelitian yang menggunakan kerangka teori dari King adalah persepsi pasien bedah tentang peran dan tanggung jawab perawat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan pasien bedah tentang peran dan tanggung jawab perawat. Penerapan teori King melibatkan identifikasi persepsi pasien tentang peran dan tanggung jawab perawat. Persepsi adalah salah satu konsep utama King. Persepsi didefinisikan sebagai representasi realitas manusia melalui proses pengorganisasian, menafsirkan dan mengubah informasi dari data sensori dan memori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan pasien tentang peran dan tanggung jawab perawat adalah sesuai. (Sivaramalingan, 2008).
Reck (2010) meneliti tentang kepuasaan dan harapan pasien dengan pelayanan keperawatan dan kesadaran perawat akan harapan mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel prediktor (harapan pasien yang diantisipasi diterima dari perawat) dan penilaian perawat tentang harapan pasien dan variabel hasil yaitu kepuasan pasien. Teori pencapaian tujuan dari King digunakan dalam penelitian ini sebagai fokus interaksi antara perawat dan pasien. Konsep interaksi dyad dipergunakan dimana penelitian ini menggunakan 109 sampel pasangan pasien-perawat, yaitu 1 pasien dengan 1 perawat, perawat dalam konsep ini adalah perawat yang merawat pasien. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara harapan pasien dan penilaian harapan pasien dengan kepuasaan. Hasil penting dari penelitian ini adalah pengembangan ukuran yang memungkinkan pasien untuk menilai harapan mereka dan ukuran
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
52
lain yang memungkinkan perawat untuk memberi penilaian tentang harapan pasien.
Khowaja (2006) melakukan studi yang menggunakan kerangka kerja sistem interaksi dan teori pencapaian tujuan King dengan mengintegrasikan dengan model multidisiplin clinical pathway pada pasien TURP (transurethral resection of prostate) di Pakistan. Khowaja menjelaskan bahwa teori King memerlukan kemampuan perawat untuk berfikir kritis, observasi perilaku dan mengumpulkan informasi penting yang spesifik untuk menemukan kebutuhan pasien. Clinical pathway menyediakan untuk memenuhi tujuan tersebut. Pencapaian tujuan memerlukan evaluasi yang terus menerus. Teori pencapaian tujuan dapat untuk meningkatkan atau mempertahankan
kesehatan, mengontrol sakit atau
memfasilitasi pasien meninggal dalam damai. Sesuai dengan proses ini, clinical pathway adalah alat atau cara untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan uraian di atas dijelaskan bahwa manusia terdiri dari sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial dalam melakukan interaksi untuk mencapai tujuan. Proses pencapaian tujuan dimulai dari tahap reaksi, interaksi dan transaksi. Dasar teori inilah yang akan digunakan untuk mencapaian tujuan perawatan pada pasien TB melalui sistem interaksi personal, sistem interpersonal dan sistem pasien melalui tahapan proses sampai mencapai fase transaksi.
2.4 Health Promotion Model
Pender (dalam Alligood & Tomey, 2006) mengemukakan health promotion model (HPM) memberdayakan
yang merupakan konsep kemampuan
seseorang
yang didasarkan pada upaya dalam
meningkatkan
derajat
kesehatannya. Model promosi kesehatan menggabungkan 2 teori yaitu teori nilai harapan (expectancy value) dan teori kognitif sosial (social cognitif theory) yang konsisten dengan semua teori yang memandang pentingnya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit adalah suatu yang logis dan ekonomis.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
53
Adapun model health promotion model (HPM) menurut Pender dapat dilihat di bagan berikut:
Gambar 2.6 Model Promosi Kesehatan menurut Pender (Alligood & Tomey, 2006) Adapun komponen elemen dari teori ini adalah sebagai berikut : a.
Teori nilai harapan (expectancy-value theory) Menurut teori nilai harapan, perilaku sehat bersifat rasional dan ekonomis. Seseorang akan mulai bertindak dan perilakunya akan tetap digunakan dalam dirinya, ada 2 hal pokok yaitu : 1) Hasil tindakan bernilai positif 2) Pengambilan tindakan untuk menyempurnakan hasil yang diinginkan.
b.
Teori kognitif sosial (social cognitive theory) Teori model interaksi yang meliputi lingkungan, manusia dan perilaku yang saling mempengaruhi. Teori ini menekankan pada: pengarahan diri (self direction), pengaturan diri (self regulation) dan persepsi terhadap keyakinan diri (self efficacy).
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
54
Teori ini mengemukakan bahwa manusia memiliki kemampuan dasar: 1) Simbolisasi yaitu proses dan transformasi pengalaman sebagai petunjuk untuk tindakan yang akan datang. 2) Pikiran ke depan, mengantisipasi kejadian yang akan muncul dan merencanakan tindakan untuk mencapai tujuan yang bermutu. 3) Belajar dari pengalaman orang lain. Menetapkan peraturan untuk generasi dan mengatur perilaku melalui observasi tanpa perlu melakukan trial dan error. 4) Pengaturan diri menggunakan standar internal dan reaksi evaluasi diri untuk memotivasi dan mengatur perilaku, mengatur lingkungan eksternal untuk menciptakan motivasi dalam bertindak. 5) Refleksi diri, berpikir tentang proses pikir seseorang dan secara aktif memodifikasinya. Menurut teori ini kepercayaan diri dibentuk melalui observasi dan refleksi diri. Kepercayaan diri terdiri dari :pengenal diri (self atribut), evaluasi diri (self evaluation) dan keyakinan diri (self efficacy).
Dari uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pasien akan bertindak dan tetap berperilaku jika hasil tindakan bernilai positif.
Teori di atas juga
menekankan pada persepsi pasien tentang keyakinan diri. Berdasarkan hal tersebut konsep ini dapat digunakan perawat untuk membentuk perilaku yang positif pada pasien TB paru dengan meningkatkan self efficacy pasien agar pasien memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai kesembuhan. Pada perkembangan selanjutnya Pender melakukan revisi pada kerangka konseptual model promosi kesehatan dari model sebelumnya menjadi sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
55
Kerangka Konseptual Model Promosi Kesehatan Sifat-sifat dan pengalaman individu
Perilaku spesifik pengetahuan dan sikap
Hasil Perilaku
Manfaat dari tindakan yang dirasakan
Hambatan untuk melakukan tindakan
Hubungan dengan perilaku sebelumnya
Kebutuhan bersaing rendah atau tinggi dan preferensi
Keyakinan diri yang dirasakan
Tindakan terkait yang mempengaruhi
Pengaruh hubungan interpersonal (Keluarga, kelompok, provider), norma, dukungan , model.
Faktor personal, biologis, psikologis, sosial budaya
Komitmen pada rencana tindakan
Pengaruh situasional: pilihan, sifat kebutuhan, estetika.
Gambar 2.7 Revisi Model Promosi Kesehatan dari Pender, N.J, Murdaugh, C.L., dan Parsons, M.A (2002). Promosi kesehatan dalam praktik keperawatan dikutip dari Alligood &Tomey (2006) hal 458. Adapun definisi konsep mayor health promotion model revisi menurut Pender diuraikan sebagai berikut: a. Prior related behavior (hubungan dengan perilaku sebelumnya) adalah frekwensi perilaku yang sama atau mirip masa lalu. Perilaku sebelumnya mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung dalam pelaksanaan perilaku promosi kesehatan. b. Personal factors (faktor personal) meliputi aspek biologis, psikologis, dan sosial budaya. Faktor-faktor ini merupakan prediksi dari perilaku yang didapat dan dibentuk secara alami oleh target perilaku. Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Model perilaku kesehatan
56
c. Perceived benefits of actions (manfaat tindakan) adalah hasil positif dari tindakan yang diharapkan terjadi dari perilaku kesehatan. d. Perceived bariers to actions (hambatan tindakan yang dirasakan) adalah dapat diantisipasi dan dibayangkan. Hambatan yang diantisipasi secara berulang terlihat dalam penelitian empiris, mempengaruhi intensitas untuk terlibat dalam suatu perilaku yang nyata yang dilaksanakan. e. Perceived self efficacy (keyakinan diri) adalah judgment/keputusan dari kapabilitas seseorang untuk mengorganisasi dan menjalankan tindakan secara nyata. f. Activity-related affect (afek/sikap yang berhubungan dengan aktivitas). Perasaan subjektif muncul sebelum, saat dan setelah suatu perilaku, didasarkan pada sifat stimulus perilaku itu sendiri. g. Interpersonal influences (pengaruh interpersonal) adalah kesadaran mengenai perilaku, kepercayaan atau pun sikap terhadap orang lain.
Pengaruh
interpersonal termasuk di dalamnya adalah norma (harapan dari orang terdekat), dukungan sosial (instrument dan emosional) dan modeling (belajar melalui observasi dari orang lain yang melakukan perilaku tertentu). Sumber utama pengaruh interpersonal adalah keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan h. Situational influences (pengaruh situasional) adalah persepsi dan kesadaran personal terhadap berbagai situasi atau keadaan dapat memudahkan atau menghalangi suatu perilaku. i. Commitment to a plan of action (komitmen pada rencana tindakan), komitmen menggambarkan konsep intensi dan identifikasi strategi perencanaan. Rencana kegiatan dikembangkan oleh perawat dan pasien dengan pelaksanaan perilaku kesehatan. j. Immediate competing demands and preferences (kebutuhan bersaing dan preferensi)
adalah perilaku alternatif yang masuk ke dalam kesadaran
sehingga tindakan yang mungkin dilakukan segera sebelum kejadian terjadi. k. Health promoting behavior (perilaku peningkatan kesehatan) adalah tindakan akhir atau hasil tindakan. Perilaku ini akhirnya secara langsung ditujukan pada pencapaian hasil kesehatan positif untuk pasien. Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
57
Komponen paradigma health promotion model menurut Pender pada model revisi telah banyak dilakukan penelitian misal untuk menilai persepsi manfaat dan hambatan tindakan pada perilaku melakukan olahraga, deteksi dini kanker payudara, perilaku promosi kesehatan. Grubbs dan Carter (2002) menjelaskan bahwa manfaat tindakan olahraga yang dilakukan oleh mahasiswa adalah meningkatkan tingkat fitnes fisik, penampilan, kekuatan otot dan tonus otot. Sedangkan hambatan yang dirasakan oleh mahasiswa adalah olah raga membuat lelah, mengalami kelelahan, butuh kerja keras dan tidak ada dukungan keluarga untuk melakukan olahraga. Menurut Gasalberti (2002) tidak ada hubungan antara tingkat kesehatan dengan perilaku melakukan pemeriksaan payudara untuk deteksi dini kanker payudara. Hambatan yang dirasakan oleh pasien adalah berupa ketakutan dan kecemasan terkena kanker. Johson dan Nies (2005) menjelaskan bahwa biaya, kurangnya disiplin dan kurangnya motivasi merupakan faktor hambatan dalam perilaku promosi kesehatan.
Berdasarkan uraian revisi health promotion model di atas, dapat dijelaskan bahwa selain faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak selain dipengaruhi oleh hasil tindakan yang diperoleh ternyata dipengaruhi oleh faktor lain yang diantaranya adalah hambatan dalam melaksanakan tindakan dan faktor personal pada seseorang. Faktor personal ini perlu mendapat kajian lebih lanjut untuk menilai pengaruh perilaku pasien TB paru dalam mengambil tindakan perawatan.
Dalam health promotion model, Pender berasumsi bahwa manusia menciptakan kondisi agar tetap hidup dimana mereka dapat mengekspresikan keunikannya. Manusia mempunyai kapasitas untuk merefleksikan kesadaran dirinya, termasuk penilaian terhadap kemampuannya. Mampu menilai perkembangan sebagai suatu nilai yang positif dan mencoba mencapai keseimbangan antara perubahan dan stabilitas. Secara aktif berusaha mengatur perilakunya dan melakukan perubahan perilaku dimana mereka mengharapkan keuntungan yang bernilai bagi dirinya (Alligood & Tomey, 2006). Model revisi HPM Pender merupakan model yang lebih fit dibandingkan model original. Model revisi ini lebih mampu menjelaskan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
58
perilaku promosi kesehatan dibandingkan model aslinya (Ronis, Hong & Lusk, 2006).
Pender berasumsi bahwa individu terdiri dari biopsikososial yang kompleks berinteraksi
dengan
lingkungannya
secara
terus
menerus,
menjelmakan
lingkungan yang diubah secara terus menerus. Profesional kesehatan merupakan bagian dari lingkungan interpersonal yang berpengaruh terhadap manusia sepanjang hidupnya. Pembentukan kembali konsep diri manusia dengan lingkungan adalah penting untuk perubahan perilaku (Alligood & Tomey, 2006).
Menurut Alligood dan Tomey (2006) Pender mengemukakan asumsi kesehatan dalam beberapa hal. Perilaku sebelumnya dan karakteristik yang diperoleh mempengaruhi kepercayaan dan perilaku untuk meningkatkan kesehatan. Manusia lebih suka melakukan promosi kesehatan ketika model perilaku itu menarik, perilaku yang diharapkan terjadi dan dapat mendukung perilaku yang sudah ada. Keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan adalah sumber interpersonal yang penting yang mempengaruhi, menambah atau mengurangi keinginan untuk berperilaku promosi kesehatan. Pengaruh situasional pada lingkungan eksternal dapat menambah atau mengurangi keinginan untuk berpartisipasi dalam perilaku promosi kesehatan. Komitmen terbesar pada suatu rencana kegiatan yang spesifik lebih memungkinkan perilaku promosi kesehatan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Seseorang dapat memodifikasi kognisi, mempengaruhi interpersonal dan lingkungan fisik yang mendorong melakukan tindakan kesehatan.
Menurut Rankin dan Stallings (2001) model revisi promosi kesehatan Pender membuat kontribusi untuk pendidikan kesehatan pasien melalui fokus baru yaitu komitmen pada rencana tindakan dan kebutuhan bersaing dan preferensi. Mengevaluasi komitmen pasien pada rencana tindakan adalah kunci untuk melaksanakan
intervensi
pendidikan.
Jika
penyedia
layanan
kesehatan
menentukan komitmen besar untuk mempromosikan gaya hidup sehat atau skrining preventif, maka adalah suatu yang logis untuk menentukan kontrak
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
59
dengan pasien untuk menentukan tindakan yang seharusnya serta menyediakan beberapa penghargaan untuk pasien. Kebutuhan bersaing dan preferensi juga sangat penting bagi perawat atau penyedia layanan kesehatan lainnya yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan pendidikan kesehatan. Contoh seorang ayah muda yang khawatir kehilangan pekerjaan, mungkin tidak akan mengambil cuti untuk melakukan kontrol ke layanan kesehatan dibandingkan orang lain dengan pekerjaan yang lebih stabil.
2.5 Model Partnership
Partnership adalah suatu konsep yang menjelaskan suatu model tentang hubungan yang antara perawat dan pasien. Partnership dalam hal hubungan ini ditandai oleh suatu kerjasama dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan. Kerjasama ini menganggap bahwa setiap individu adalah sederajat dan memiliki kompetensi yang diakui dan dapat dimanfaatkan.
Hook (2006) menyatakan bahwa faktor yang melatarbelakangi partnership adalah profesionalisme
staf
dan
lingkungan.
Profesionalisme
staf
meliputi
pengetahuan/keterampilan dalam membangun hubungan, komunikasi, kompetensi klinis dan instrospeksi. Lingkungan meliputi aman, waktu, dukungan pimpinan dan hubungan interdisiplin.
Model partnership adalah suatu proses yang memiliki tahapan yang saling berhubungan. Setiap tahapan memiliki tujuan khusus dan memiliki interelasi yang dinamis. Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa untuk membangun partnership dibutuhkan 3 prinsip kunci yaitu persamaan (equity), keterbukaan (transparency) dan saling menguntungkan (mutual benefit). Persamaan berarti siapa yang menjalin partnership dalam hal ini perawat, pasien dan keluarga harus merasa sama atau sederajat dan tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain karena merasa lebih tinggi. Keterbukaan yang dimaksud adalah setiap anggota membuka diri untuk menjelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, hal ini bertujuan untuk saling melengkapi dan saling membantu dalam mencapai tujuan.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
60
Saling menguntungkan dalam partnership bukanlah menguntungkan dalam segi materi atau uang tetapi keuntungan dalam hal mencapai tujuan secara bersamasama sehingga lebih efektif.
Jonsdottir, dkk (2004) menjelaskan inti dari praktik keperawatan relasional sebagai partnership. Inti dari praktik keperawatan relasional adalah proses partnership profesional. Dialog terbuka, caring, saling responsif dan non-direktif terjadi dalam partnership. Perawat ada untuk memberi perhatian kepada pasien dalam kaitannya dengan kesehatan mereka yang sulit dan makna pengalaman kesehatan mereka yang terungkap. Perawat sepenuhnya hadir dan berhubungan dengan pasien dengan perhatian terbuka dalam partnership. Perawat menjaga pasien sebagai sesama manusia. Kemitraan tidak hanya terbuka tetapi merupakan proses caring yang terus menerus. Dibawah ini diuraikan berbagai studi tentang partnership:
A. Model partnership pada pasien dengan kanker menurut Endo, dkk.
Model partnership yang dibuat oleh Endo, Nitta, Inayoshi, Saito, Takemura, Minegishi, Kubo dan Kondo (2000) pada dasarnya hampir sama dengan pedoman penelitian yang dikembangkan oleh Neuman (1994) dan telah dilakukan pilot study. Tujuan penelitian adalah untuk mengatasi proses partnership caring dengan mengelaborasi pengenalan pola keluarga sebagai intervensi keperawatan dengan keluarga dengan kanker. Penelitian dilakukan pada keluarga di Jepang dimana istri atau ibu mereka mengalami kanker ovarium. Pengembangan model ini dilakukan melalui empat tahap yaitu: (1) menetapkan mutualitas proses penyelidikan, (2) memfokuskan wawancara pada peristiwa yang paling berarti bagi
seseorang
dan
kejadian
dalam
kehidupan
keluarga,
(3)
berbagi
penggambaran peneliti mengenai pola keluarga yang telah ditransmutasikan dari wawancara ke diagram yang sekuensial sebagai pola dari waktu ke waktu, (4) identifikasi kejadian pola pengakuan keluarga dan wawasan ke dalam makna pola hidup keluarga.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
61
Perawat peneliti melakukan partnership dengan keluarga yang berbeda dan melakukan 3 wawancara dengan keluarga masing-masing. Pada pertemuan pertama peserta diminta menggambarkan orang yang bermakna dan peristiwa dalam sejarah keluarga mereka. Cerita keluarga ditransformasikan ke dalam diagram pola sekuensial konfigurasi interaksional dan berbagi dengan keluarga di pertemuan kedua. Bukti pengenalan pola dan wawasan makna dari pola keluarga diidentifikasi lebih lanjut dalam pertemuan ketiga
Hasil yang diperoleh menunjukkan 5 dimensi transformasi proses pengenalan pola keluarga. Sebagian besar keluarga menemukan makna dalam pola keluarga mereka, keluarga menunjukkan keterbukaan meningkat, keterhubungan dan kepercayaan dalam partnership caring. Adapun 5 dimensi transformasi atau 5 fase pola keluarga yang ditemukan adalah sebagai berikut: 1) Tahap 1: Perhatian utama keluarga-perawat dan evolusi pola keluarga Tahap ini dimulai dari setiap anggota keluarga mengemukakan pendapat dan anggota keluarga lain mendengarkan sehingga setiap anggota keluarga dapat memahami diri sendiri dan anggota keluarga yang lain. Keluarga menjadi suatu pola yang melekat dimana perawat dan seluruh anggota keluarga dapat berpartisipasi dalam setiap pertemuan. 2) Tahap 2: Pengakuan pola keluarga sebagai keseluruhan dan pola anggota keluarga sebagai bagian dari keseluruhan. Fase ini mengacu pada pengenalan pola anggota keluarga sebagai bagian dari pola keluarga. Pada fase ini mulai ditemukan makna dan saling pengertian terhadap pola keluarga. Perawat dan keluarga saling menerima dan penuh perhatian. 3) Tahap 3: Penerapan makna dalam pola keluarga Setiap anggota keluarga memiliki makna yang berasimilasi menjadi makna bersama dalam pola keluarga. Ketika proses mungkin akan terjadi berbagai ketegangan tetapi pada saat makna bersama ditemukan maka ketegangan ini perlahan akan menurun. 4) Tahap 4: Caring dan potensi aksi
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
62
Ketika terjadi pengakuan adanya kesamaan makna dalam pola keluarga maka masing-masing anggota keluarga akan saling peduli dan berbagi dalam setiap tindakan. Anggota keluarga akan percaya diri dengan keberadaannya dan percaya diri dalam melakukan tindakan. 5) Tahap 5: Transformasi Tahap ini mengacu kepada ekspresi keluarga akan tindakan perubahan keadaan dan realisasi pertumbuhan diri. Keadaan keluarga yang biasanya saja akan terlihat lebih harmonis.
Dalam partnership caring setiap perawat-peneliti memahami pola keluarga sebagai makna keseluruhan dari caring. Pengenalan pola keluarga sebagai intervensi keperawatan adalah proses pembentukan makna transformasi dalam partnership keluarga dan perawat. Penelitian ini memberikan kontribusi untuk pemahaman proses pengenalan pola sebagai partnership caring dengan keluarga.
B. Partnership care model pada pasien hipertensi menurut Mohammadi, dkk.
Model partnership yang dikembangkan oleh Mohammadi, dkk (2002) didahului dengan studi kualitatif dengan metode grounded theory untuk menggambarkan dan menjelaskan masalah hipertensi pada pasien di Iranian. Tujuan utama penelitian partnership caring ini adalah untuk menentukan struktur penting dalam mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi dan mengidentifikasi penjelasan teoritis dari masalah tersebut. Partisipan yang dipilih adalah pasien yang mengalami hipertensi minimal 4 tahun dan berada dalam perawatan, dokter dan perawat yang bertanggung jawab dalam pengobatan dan perawatan selama minimal 2 tahun. Tahap awal dipilih 4 partisipan kemudian dipilih delapan, sepuluh dan dua belas dengan konsekuensi sudah terjadi saturasi data.
Data dikumpulkan melalui dua wawancara terbuka (3 minggu setiap bagian), field notes, observasi, dokumen, jurnal dan review literatur. Dalam wawancara terbuka
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
63
(pasien, dokter dan perawat), diwawancara dengan pertanyaan yang mengacu pada pertanyaan riset untuk menentukan struktur penting dalam mengontrol hipertensi. Hasil wawancara direkam melalui tape recorder. Observasi langsung dan catatan dibuat ketika kunjungan ke klinik berkenaan dengan dokter, pengobatan, perawatan yang diberikan di rumah sakit dan perencaan pulang oleh perawat. Wawancara, observasi dan review catatan digunakan sebagai triangulasi untuk meningkatkan kredibilitas penelitian. Data yang terkumpul di analisis dengan metode analisis komparatif konstan.
Partnership caring theory yang berhasil digeneralisasikan dari penelitian meliputi konsep dan proses: ketidakpatuhan pasien, tidak efektif hubungan perawatan antara pasien, dokter dan perawat, kurangnya kesadaran dan pengertian pasien akan sifat penyakit dan efek samping yang membahayakan dari penyakitnya, perlu kesadaran dan partisipasi aktif pasien dalam mengontrol hipertensi seperti yang dilakukan oleh dokter dan perawat dalam proses mengontrol hipertensi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, Mohammadi, dkk (2002) menekankan bahwa variabel tidak efektifnya hubungan pasien, dokter dan perawat merupakan variabel inti. Berdasarkan hal tersebut Mohammadi, dkk berkeyakinan bahwa perlu dibuat model atau mekanisme yang menjamin kepatuhan pasien selama pengobatan dan proses perawatan. Pendekatan partnership dapat meningkatkan keterlibatan, motivasi dan komitmen individu dalam kelompok. Peneliti pada tahap selanjutnya merancang “partnership care model”. Pada model ini partnership meliputi seluruh tim yang meliputi pasien, dokter dan perawat sementara riset sebelumnya lebih banyak menekankan pada pasien.
Model partnership care model adalah model yang merupakan suatu tahap yang berkesinambungan seperti dijelaskan oleh Mohammadi, Abedi, Jalali, Gofranifour dan Kazemnejad (2006) bahwa model partnership adalah tahap-tahap yang mengikuti suatu tujuan khusus dan memiliki keterkaitan yang dinamis seperti yang dijelaskan pada gambar 2.5. Tahap-tahap ini terdiri dari motivasi (motivation), kesiapan (readying), keterlibatan (involvement) dan evaluasi
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
64
(evaluation). Penelitian dilakukan secara clinical trial pada pasien hipertensi di Iran untuk mengontrol hipertensi. Tahap pertama pada model partnership pada pasien dengan hipertensi ini adalah motivasi. Motivasi sangat diperlukan pada pasien hipertensi karena penyakit hipertensi adalah termasuk penyakit silent disease dan banyak pasien tidak menyadari memiliki penyakit hipertensi. Motivasi sangat diperlukan untuk mendorong pasien agar mau terlibat secara aktif dalam proses pengendalian penyakit. Setelah melalui tahap motivasi maka tahap kesiapan pasien menjadi pertimbangan berikutnya. Pada tahap ini menyiapkan desain program dan anggota tim partnership sangat diperlukan serta menyiapkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Mereka menyiapkan diri untuk berpartisipasi dalam perawatan diri. Hal ini dicapai selama proses pendidikan selama kegiatan partnership dilakukan. Tahap selanjutnya adalah keterlibatan yang berarti proses yang terus menerus dan partisipasi aktif anggota serta kepatuhan pasien dalam menjalankan perawatan diri selama pertemuan-pertemuan partnersip. Proses evaluasi dan modifikasi dilakukan selama situasi pengamatan yang diperoleh dari pertemuan berkala. Secara keseluruhan tujuan praktis dari model partnership ini adalah untuk membentuk hubungan yang efektif antara anggota kelompok dan meningkatkan kerjasama, motivasi dan tanggung jawab anggota dalam proses perawatan dalam rangka meningkatkan kesehatan, kualitas pelayanan, kepuasan pasien dan mengurangi faktor resiko.
Motivation
Evaluation
Partnership for health promotion
Readying
Involvement
Gambar 2.8 Empat tahap partnership Mohammadi (2006) Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
65
Mohammadi (2006) menjelaskan bahwa proses dari model partnership yang digunakan terdiri dari dua tahap yaitu (1) pertemuan pendidikan partnership (educational partnership meeting), (2) tindak lanjut pertemuan partnership (follow-up partnership meeting). Pada tahap pertama dilakukan empat pertemuan yang terdiri dari 5-7 pasien dengan 1 orang perawat dan 1 orang dokter. Perawat berperan sebagai pemimpin dan dokter hadir sebagai pendukung dan memberi kontribusi dalam proses diskusi. Pertemuan pertama pada pertemuan pendidikan partnership berisi topik mengenai sifat, penyebab dan komplikasi hipertensi. Pertemuan kedua berisi topik terapi non-obat, pertemuan ketiga berisi topik terapi obat dan pada pertemuan terakhir berisi topik pentingnya pengukuran dan pencatatan tekanan darah secara terus menerus. Pada tahap kedua dilakukan 11 pertemuan dalam 1 tahun.
Pertemuan ini
dilakukan seperti pada pertemuan tahap pertama yang terdiri dari 5-7 pasien, 1 orang perawat dan 1 orang dokter. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk memberi motivasi dan mengevaluasi kepatuhan pasien dan partisipasi selama proses perawatan dan terapi. Dalam setiap pertemuan dilakukan pengukuran tekanan darah, program pendidikan pasien, evaluasi medis dan pemberian resep yang dilakukan selama 40-45 menit. Program pendidikan yang diberikan dirancang sesuai dengan kebutuhan pasien. Hasil dari model partnership selama 1 tahun ini diperoleh hasil terdapat penurunan yang signifikan dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain penurunan yang signifikan pada penurunan tekanan darah, pada kelompok intervensi memiliki BMI (body mass index), HDL (high density lipoprotein), kecemasan, kualitas hidup dan skor kepatuhan yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol.
C. Model partnership Hook
Hook (2006) melakukan analisis konsep dari model partnership dalam konteks hubungan seorang profesional dengan pasien. Adapun alasan Hook melakukan analisis ini karena dirasakan konsep partnership sebelumnya belum matang
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
66
sehingga dibutuhkan konsensus dan konsistensi. Metode yang digunakan oleh Hook adalah metode analisa dari Roger dengan mencari literatur dari berbagai disiplin dan ditemukan 62 literatur dari tahun 2000-2004. Pencarian dilakukan melalui CINAHL, Medline, Social science index dan PsyINFO. Dari 62 literatur ini sebanyak 42% adalah literatur keperawatan, 5% dari terapi okupasi, 5% dari pengunjung kesehatan, 2% dari kesehatan jiwa dan sitasi tunggal dari terapi fisik, kedokteran holistik, sosiologi, pastoral care dan pemasaran. Adapun hasil analisis dapat dilihat pada gambar berikut:
Antecedants;
Konsekuen
Atribut partnership
(Proses dan struktur) Staf professional: -Nilai -Pengetahuan/keterampilan dalam membangun hubungan dan komunikasi -kompetensi klinik -introspeksi
Kompetensi profesional
H U B U
Berbagi pengetahuan
Berbagi kekuasaan
Komunikasi N Lingkungan: -aman -waktu -dukungan kepemimpinan -hubungan interdisiplin
G A Partisipasi pasien
N
Otonomi pasien Berbagi pengambilan keputusan
P E M B E R D A Y A A N
Peningkatan Manajemen diri
Peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan
Peningkatan outcome kesehatan
Gambar 2.9 Antecedans, atribut dan konsekuen partnership (Hook, 2006)
Dalam penerapan model partnership dapat ditemukan beberapa hambatan dalam pelaksanaanya. Partnership adalah hubungan kerjasama yang sederajat, saling mengakui kompetensi dan bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan. Bila salah satu pihak merasa memiliki kekuasaan yang lebih dari yang lainnya maka akan terjadi kekuasaan yang tidak seimbang. Perawat akan memberi pengetahuan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
67
yang merasa dibutuhkan pasien dan mengambil keputusan untuk pasien dan bukan membantu pasien untuk mengambil keputusan. Henderson (2003) menemukan beberapa faktor yang menyebakan terjadinya kekuasaan yang tidak seimbang yaitu perawat memberi informasi, perawat mengontrol interaksi dengan pasien dan perawat menggunakan kekuasaan.
D. Partnership Keperawatan Keluarga
Penelitian Jondottsir, dkk (2007), menggambarkan proses partnership antara perawat peneliti dan pasangan yang memiliki istri mengalami kesulitan bernafas yang parah karena PPOK (penyakit paru obstruksi kronis). Hidup dengan gejala penyakit paru-paru adalah tantangan. Dampak sulit bernafas pada individu dan keluarga sering diabaikan oleh pelayanan kesehatan yang terbatas dalam mengelola manifestasi klinis dan penyebab pernafasan yang sulit. Penelitian ini menggambarkan pendekatan yang berbeda untuk praktik keperawatan keluarga yang dinamakan partnership. Partnership adalah pendekatan praktik keperawatan dimana perawat berhubungan dengan individu, keluarga, kelompok dan komunitas sebagai “pasien”.
Jondottsir, dkk meneliti pengalaman pasangan dengan berpartisipasi dalam konteks praktik (researcher-as-if practitioner). Partisipan dalam studi ini adalah pasangan yang memiliki istri mengalami kesulitan bernafas, hidup satu rumah dengan suami, usia 45-60, dan masuk rumah sakit berulang dalam 2 tahun terakhir. Lima pasangan berpartisipasi sebagai partisipan. Data yang dihasilkan didasarkan pada dialog yang mencerminkan research-as-if practice. Dari hasil didapatkan tiga tema yang berkaitan dengan proses partnership antara perawat sebagai peneliti dan pasangan dengan istri yang mengalami kesulitan bernafas. Tema yang didapatkan yaitu: koherensi hidup dengan gejala dan regimen pengobatan, hidup sepenuhnya dan mengambil hal-hal saat mereka datang, dan efisiensi penggunaan pelayanan kesehatan.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
68
Tema menemukan koherensi dalam kehidupan dengan gejala dan regimen pengobatan, mengungkapkan sifat dialog relasional yang mencirikan partnership. Memiliki kesempatan untuk terlibat dalam dialog dengan perawat tentang hidup dengan penyakit merupakan suatu hal baru dan sangat berharga bagi pasangan. Dalam dialog, perawat empati dan aktif mendengar. Tema hidup sepenuhnya dan mengambil hal-hal sebagaimana mereka datang mencerminkan tantangan keluarga dalam menemukan diri mereka, membuat mereka ingin hidup, meminimalkan penyakit dan mengambil hal-hal sebagaimana mereka datang. Interaksi dengan professional kesehatan, khususnya dokter memiliki signifikansi yang tak terduga dalam penelitian dan tercermin dalam tema efisiensi penggunaan fasilitas kesehatan. Mengartikulasikan partnership dalam penelitian ini tidak dimaksudkan menjadi resep atau instruksi bagi perawat untuk bagaimana terlibat dengan pasien tetapi saran untuk “transformasi praktik keperawatan”.
Dari beberapa studi tentang model di atas dapat disimpulkan bahwa masingmasing model memiliki fokus sentral yang berbeda-beda. Model partnership care dari Endo, 2000 menekankan pada pola pengenalan keluarga dalam hal ini pada pengenalan pola keluarga pada pasien kanker. Dalam pengenalan pola keluarga ini ditemukan 5 proses transformasi dari pola keluarga yang dimulai dari perhatian terhadap evolusi pola keluarga, pengakuan pola keluarga, penerapan makna pola keluarga, caring dan potensi, dan transformasi pola keluarga. Pola keluarga ini merupakan transformasi proses partnership sebagai intervensi keperawatan dalam merawat pasien kanker. Dari model partnership ini dapat disimpulkan bahwa pola pehamanan yang sama dalam hal ini pola keluarga merupakan inti dari model partnership untuk mencapai tujuan yaitu merawat keluarga dengan pasien kanker. Pengenalan pola keluarga merupakan hal yang penting dalam proses patnership tetapi masih memiliki kelemahan bahwa model ini belum menjelaskan tahapan proses partnership dalam proses asuhan keperawatan.
Model partnership caring dari Mohammadi, 2002 menekankan pada struktur penting dalam membentuk model partnership untuk merubah perilaku pasien dalam mengontrol hipertensi. Studi ini dilanjukan oleh Mohammadi, 2006 dengan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
69
menguraikan tahapan-tahapan proses dalam mengontrol hipertensi. Tahapan ini terdiri dari motivasi, readying, involvement dan evaluasi. Kelemahan model ini adalah belum menjelaskan proses interaksi antara perawat dan pasien yang seharusnya merupakan hal penting dalam proses partnership.
2.6 Hubungan Teori Sistem Interaksi King, Health Promotion Model Pender dan Model Partnership.
Menurut King setiap individu adalah personal yang tercermin melalui persepsi, diri, pertumbuhan dan perkembangan, gambaran diri, pembelajaran, ruang, waktu dan koping. King menekankan bahwa manusia memiliki perasaan dan persepsi, makhluk sosial, rasional, memiliki kontrol, bertujuan dan berorientasi pada tindakan dan berorientasi pada waktu. Diri merupakan konsep kedua dari sistem personal yang merupakan individu secara keseluruhan. Pengalaman dan persepsi yang tersimpan dalam diri seseorang adalah apa yang membentuk diri. Sikap, gagasan, kebutuhan, nilai, tujuan dari individu dan sifat genetik merupakan faktor yang mempengaruhi diri. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan konsep ketiga dari sistem personal King, King mengidentifikasi bahwa pengalaman hidup dan lingkungan yang positif maupun negatif mempengaruhi perubahan individu. Gambaran diri merupakan konsep sistem personal yang dipengaruhi oleh lingkungan dan persepsi, dengan demikian gambaran diri dianggap suatu hal yang subyektif. Ruang adalah lingkungan dimana perawat dan pasien berinteraksi, waktu digambarkan sebagai periode dari peristiwa yang dialami oleh setiap individu. Pembelajaran dan koping adalah konsep yang ditambahkan terakhir oleh King.
Sistem interpersonal terjadi ketika individu berinteraksi satu dengan yang lain seperti interaksi antara perawat, pasien dan keluarga. Konsep yang berhubungan dengan sistem interpersonal adalah peran, stres, stresor, interaksi, transaksi dan komunikasi. Peran merujuk pada seperangkat perilaku yang diharapkan seseorang dalam posisi spesifik dalam sistem sosial. Peran dalam sistem interpersonal
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
70
memerlukan komunikasi dan hubungan yang interaktif. Stres adalah perubahan energi posistif dan negatif antara individu dan lingkungan, obyek, kejadian atau orang lain. Stres dapat berupa fisiologik, psikologis dan sosial. Interaksi didefinisikan sebagai tindakan 2 orang atau lebih, proses interaksi ini melibatkan proses yang dipengaruhi oleh situasi. Transaksi adalah interaksi yang berorientasi tujuan dimana individu berkomunikasi satu dengan lainnya atau dengan lingkungan untuk mencapai tujuan. Ketika transaksi terjadi maka tujuan tercapai. Komunikasi adalah transmisi informasi verbal dan non verbal antara 2 atau lebih individu dalam lingkungan dan komunikasi dinamis terus terjadi dalam proses interaksi ini.
Sistem sosial berkembang sebagai hasil dari sistem personal yang lebih besar seperti keluarga, kelompok, organisasi, komunitas atau masyarakat. Dalam sistem sosial terdapat konsep kekuasaan, otoritas, pengambilan keputusan, organisasi dan status. Sistem sosial dapat digunakan sebagai sistem pendukung bagi pasien yaitu berupa dukungan keluarga dan dukungan dari sistem pelayanan kesehatan.
Pendekatan lain yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan pasien agar memiliki kepatuhan berobat berkaitan dengan penyakit dan masalah fisik salah satunya menggunakan pendekatan promosi kesehatan. Teori HPM digunakan sebagai kerangka teori untuk membangun penelitian ini. HPM secara konseptual terdiri dari tiga komponen yaitu karakteristik individu, sikap dan perilaku spesifik, dan hasil perilaku. Karakteristik individu dan pengalaman berhubungan dengan perilaku dan faktor personal (biologis, psikologis, sosiokultural) yang merupakan dasar pengalaman dari individu untuk memilih terikat dengan perilaku promosi kesehatan. Sikap dan perilaku spesifik berkaitan dengan persepsi manfaat dan hambatan tindakan, persepsi keyakinan diri, sikap yang berhubungan dengan aktivitas, pengaruh interpersonal dan pengaruh situasional merupakan pusat dari HPM dimana komponen tersebut dapat dirubah.
Dalam promosi kesehatan pasien seringkali pasif dan sedikit bertanya, dengan pendekatan sistem interaksi pasien dapat termotivasi untuk terlibat secara aktif
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
71
dan berdiskusi tentang manfaat dan hambatan untuk melaksanakan tindakan untuk mencapai kepatuhan. Kerangka teori yang digunakan dalam membangun model peningkatan kepatuhan adalah model partnership, dalam model partnership menekankan adanya persamaan, kesejajaran dan keterbukaan, prinsip ini digunakan dalam interaksi perawat-pasien dimana perawat harus memposisikan diri sebagai fasilitator yang memiliki persamaan tujuan yaitu kepatuhan pasien untuk mencapai kesembuhan. Sistem interaksi harus menekankan keterbukaan antara perawat pasien sehingga akan mudah untuk mengkaji, menganalisis dan melakukan intervensi segala permasalahan. Aspek kesejajaran ditekankan bahwa walaupun perawat lebih tahu tentang masalah kesehatan, akan tetapi yang memiliki permasalahan adalah pasien. Sehingga pasienlah yang berhak memutuskan apa yang terbaik untuk mereka dan perawat hanya sebagai fasilitator dan edukator.
2.7 Kerangka Teori Penelitian Kerangka teori disusun berdasarkan teori yang sudah dijelaskan pada bahasan sebelumnya, kerangka teori merupakan panduan teoritis untuk melaksanakan penelitian. Teori, konsep dan model yang digunakan untuk membangun kerangka teori ini adalah teori sistem interaksi King, health promotion model Pender dan model partnership Mohammadi.
Teori pencapaian tujuan King digunakan untuk mengembangkan model peningkatan kepatuhan
pasien dengan memperhatikan sistem personal dan
interpersonal pasien pasien. Kebutuhan pasien akan dinilai berdasarkan sistem personal dengan memperhatikan persepsi, diri, gambaran diri, pembelajaran, ruang, waktu dan koping. Sistem interpersonal pasien dinilai dengan memperhatikan komunikasi, peran, stres dan stresor yang terjadi dalam interaksi diantara pasien dan perawat sehingga tercapai transaksi. Dalam proses mencapai tujuan peningkatan kepatuhan pasien diperlukan komitmen pasien yang sesuai dengan teori health promotion model Pender. Komitmen dapat dinilai dari self efficacy dan motivasi pasien. Model partnership diintegrasikan ke dalam teori King sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan. Model partnership digunakan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
72
dalam proses intervensi dengan menggunakan azas persamaan, kesejajaran dan keterbukaan.
Aplikasi kerangka kerja sistem interaksi King, health promotion model (HPM) Pender dan model partnership sangat dimungkinkan untuk mengembangkan model peningkatan kepatuhan pada pasien TB paru. Dalam penelitian ini teori HPM Pender dan model partnership digunakan sebagai kerangka teori untuk membangun model. Faktor biologis pada HPM merupakan faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku digunakan sebagai faktor perancu yang mempengaruhi hubungan model dengan variabel dependen. Model partnership diterapkan sebagai salah satu komponen komunikasi dalam interaksi yang menanamkan adanya kesejajaran antara perawat-pasien. Berdasarkan hal tersebut di atas penulis merasa perlu menggunakan teori-teori tersebut sebagai landasan teori untuk penelitian.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
KERANGKA TEORI PENELITIAN Sistem Interaksi Pasien berdasarka teori King
Sstem personal: persepsi, diri, tumbuh kembang, gambaran diri, ruang dan waktu Sistem interpersonal: komunikasi, stress, peran, interaksi dan transaksi Sistem sosial: otoritas, pembuat keputusan, organisasi, kekuasaan dan status
Health Promotion Model Nola J.Pender Sifat dan pengalaman individu Perilaku spesifik pengetahuan dan sikap Komitmen pada rencana tindakan Perilaku promosi kesehatan
Model peningkatan Kepatuhan
Faktor pendukung 1. Pendidikan 2. Akomodasi 3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial 4. Perubahan model terapi 5. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien
Variabel yang berhubungan: 1. Ciri-ciri kesehatan dan pengobatan 2. Ciri-ciri individu 3. Komunikasi antara penderita dengan petugas kesehatan 4. Variabel sosial 5. Persepsi dan harapan penderita
Pasien: 1. 2.
3. Model partnership perawat pasien dalam mencapai tujuan: Persamaan Kesejajaran keterbukaan
Pengetahuan Intensi perilaku: self efficacy dan motivasi Kepatuhan: pencegahan penularan, nutrisi, pengobatan
Gambar 2.10 Kerangka Teori Penelitian 73 Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
BAB 3 KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL PENELITIAN
Dalam bab 3 ini akan menguraikan tentang kerangka konsep penelitian, hipotesis penelitian dan definisi operasional dari variabel pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan variabel dependen yaitu pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pengobatan pasien TB paru.
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep merupakan struktur dari konsep dan atau teori yang diletakkan secara bersama-sama dengan menggunakan skema pada suatu penelitian. Dalam kerangka konsep menjelaskan hubungan atau keterkaitan antara variabel model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan variabel pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pengobatan.
Kerangka konsep pada penelitian terbagi menjadi dua bagian yaitu kerangka konsep penelitian tahap 1 dan kerangka konsep penelitian tahap 2. Di bawah ini digambarkan kerangka konsep penelitian tahap 1 sebagai berikut:
Studi literatur
Studi kualitatif
Konsultasi pakar
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Tahap 1
74 Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
75
Adapun kerangka konsep penelitian tahap II dapat digambarkan pada skema di bawah ini: Variabel dependen
Variabel independen
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King Perawat
Pasien
Pengetahuan Self efficacy Motivasi Pencegahan penularan Kepatuhan nutrisi Kepatuhan pengobatan
Variabel perancu Usia Jenis kelamin Tingkat pendidikan Status perkawinan Pekerjaan
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Tahap II.
Berdasarkan kerangka konsep yang sudah dibuat, penelitian tahap 1 adalah pembentukan model melalui studi literatur, studi kualitatif dan konsultasi pakar. Penelitian tahap 2 adalah validasi model dengan variabel penelitian sebagai berikut: 1.
Variabel independen Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
2.
Variabel dependen Pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pengobatan.
3.
Variabel perancu Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan. Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
76
3.2 Hipotesis Hipotesis mayor: Intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King efektif meningkatkan kepatuhan pasien TB paru Hipotesis Minor: 1) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru. 2) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru. 3) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru. 4) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pencegahan penularan pasien TB paru. 5) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan nutrisi pasien TB paru. 6) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru. 7) Terdapat hubungan variabel perancu:usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
77
3.3 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi operasional variabel: VARIABEL
Variabel Independen/ Intervensi Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
Variabel dependen: pengetahuan
Self Efficacy Motivasi
Kepatuhan: Pencegahan penularan
DEFINISI OPERASIONAL
ALAT UKUR
Serangkaian intervensi keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien TB paru dengan memperhatikan sistem interaksi pasien yaitu sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial
Model yang dikembangkan dan diujicobakan kepada pasien TB Paru. Peneliti sendiri yang menerapkan uji coba model kepada pasien TB Paru
CARA UKUR
HASIL UKUR
SKALA UKUR
1. Pasien yang kategorik mendapatkan model peningkatan kepatuhan 2. Pasien yang tidak mendapatkan model kepatuhan
Pengetahuan pasien tentang TB paru yang meliputi pengetahuan sakit dan penyakit, pemeliharaan kesehatan dan kesehatan lingkungan
Kuesioner
Pasien mengisi kuesioner
Skor (0-100)
Numerik
Keyakinan pasien bisa mencapai hasil yang baik dalam pengobatan Dorongan untuk bertindak melakukan pengobatan dan perawatan untuk mencapai kesembuhan Tindakan pasien mencegah penularan kepada orang lain
kuesioner
Pasien mengisi kuesioner
Skala Likert (1-5) Skor 10-50
Numerik
Kuesioner
Pasien mengisi kuesioner
Skala Likert (1-5) Skor 10-50
Numerik
Pasien mengisi kuesioner
Skala Likert (1-5) Skor 10-50
Numerik
Kuesioner
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
78
Kepatuhan: nutrisi
Kepatuhan pengobatan
Tindakan pasien untuk menkonsumsi diet ETPT (energi tinggi protein tinggi) PARAMETER Perubahan berat badan pada akhir bulan ke-2 dan ke-5 pengobatan Ketepatan pasien minum obat sesuai waktu, dosis, dan lama pengobatan
Kuesioner
Pasien mengisi Skala Likert (1-5) kuesioner Skor (10-50)
numerik
Timbangan BB
Penimbangan BB BB dalam kg pasien
numerik
Dosis
Menghitung pil
Cara
Kuesioner
Waktu
kuesioner
Formulir TB-01 dan Pendataan pasien formulir TB-02 melalui kunjungan, menghitung jumlah obat, bungkus dan sisa obat Variabel perancu Faktor personal usia
Umur pasien sejak lahir sampai hari penelitian
Angket
Wawancara tentang usia
1. Sesuai 2. tidak sesuai
kategorik
1. Satu kali kategorik satu waktu 2. Beberapa waktu 1. Sebelum kategorik makan 2. Setelah makan 1. Patuh kategorik 2. Tidak patuh (drop out)
Golongan usia menurut depkes,
kategorik
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
79
responden dalam tahun
jenis kelamin
Pengelompokan responden menjadi laki-laki dan perempuan
tingkat pendidikan terakhir
Jenjang pendidikan yang Angket ditempuh responden secara formal
Angket
Status kawin
Status perkawinan responden
Angket
Pekerjaan
Sesuatu yang sengaja dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan penghasilan
Angket
Wawancara tentang jenis kelamin responden Wawancara tentang pendidikan responden
Wawancara tentang status perkawinan responden Wawancara tentang pekerjaan responden
yang kemudian dibuat dalam 2 kategori 1. 18-45 th 2. 45-65 th 1.Laki-laki 2.Perempuan
kategorik
1. pendidikan formal < 9 tahun 2. Pendidikan formal > 9 tahun
kategorik
1.Kawin 2.Belum Kawin/Janda/duda
kategorik
1.Bekerja 2.Tidak Bekerja
kategorik
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
BAB 4 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap penelitian yaitu tahap pertama adalah pengembangan model melalui studi literatur, studi kualitatif dan konsultasi pakar dan tahap kedua adalah validasi model menggunakan desain quasi eksperimen.
4.1 Tahap I: Penelitian Tahap 1
Pada pengembangan model melalui penelitian kualitatif bertujuan untuk menghasilkan model dari hasil temuan pengalaman pasien TB paru dalam upaya mencapai kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah
menguraikan sistem personal, menguraikan sistem
interpersonal dan menguraikan sistem sosial pada pasien patuh.
4.1.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Metode ini digunakan untuk mengeksplorasi, memahami dan menafsirkan pengalaman pasien yang menyebabkan pasien patuh dalam menjalankan pengobatan TB paru berbasis teori sistem interaksi King.
4.1.2
Partisipan Penelitian
Partisipan penelitian ini adalah pasien TB yang berobat di Poli Paru RS Haji Surabaya pengobatan dengan melihat catatan medik, dengan kriteria: 1.
Pasien meyatakan bersedia menjadi responden penelitian dengan menanda tangani surat persetujuan atau informed consent
2.
Pasien dewasa (umur 18 - 65 tahun)
3.
Pasien yang patuh berobat selama 5-6 bulan dengan kriteria hasil BTA menunjukkan negatif.
4.
Mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang dapat dipahami oleh peneliti. 80
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
81
Pemilihan sampel dilakukan melalui metoda purposive sampling, yaitu memilih sampel sebagai informan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Informan atau partisipan dalam penelitian ini adalah 8 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Pemilihan 8 partisipan ini karena saat pengambilan data telah terjadi saturasi.
Pada penelitian ini partisipan
adalah pasien TB paru yang telah menjalani pengobatan selama 6 bulan.
4.1.3
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di poli paru RSU Haji Surabaya, waktu penelitian pada bulan Maret-April 2013. Pemilihan dilakukan di RSU Haji Surabaya karena RSU Haji surabaya merupakan RS Pemerintah Provinsi Jatim dimana banyak pasien TB paru yang berobat.
4.1.4
Etika Penelitian Penelitian telah mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan Komite Etik RSU Haji Surabaya. Etika penelitian yang diterapkan memenuhi prinsip etik beneficence, prinsip menghargai harkat dan martabat manusia serta prinsip keadilan sesuai polit dan Beck (2008). Yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
4.1.4.1 Prinsip beneficence Untuk memenuhi prinsip beneficence peneliti memastikan penelitian yang dilakukan menjamin bahwa manfaat yang didapatkan dari penelitian ini jauh lebih besar daripada risiko yang mungkin ditimbulkan. Peneliti menjelaskan bahwa penelitian ini hanya menggali pengalaman selama menjalankan pengobatan TB paru dan tidak melakukan tindakan apapun yang dapat merugikan partisipan. Selama proses wawancara peneliti melakukan wawancara senyaman mungkin dan partisipan dapat mengungkapkan pengalamannya secara terbuka dan leluasa.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
82
4.1.4.2 Prinsip menghargai harkat dan martabat manusia. Untuk menghargai harkat martabat manusia dalam penelitian ini partisipan mendapat informasi secara lengkap terlebih dahulu dan berhak untuk menerima atau menolak terlibat dalam penelitian ini. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian yaitu untuk menggal faktor-faktor yang menyebabkan pasien patuh dalam pengobatan TB paru. Peneliti juga menjelaskann alasan pemilihan partisipan yaitu karena partisipan patuh berobat selama 5-6 bulan ini, kemudian peneliti meminta kesedian partisipan untuk wawancara dan dilakukan penanda tanganan informed consent sebagai bukti partisipan bersedia dilakukan wawancara. Wawancara dilakukan di poli paru RSU Haji sekitar 45 menit untuk setiap partisipan.
4.1.4.3 Prinsip keadilan Prinsip keadilan adalah hak mendapatkan perlakuan yang adil dan hak mendapatkan keleluasaan pribadi (privacy). Peneliti memberi perlakuan yang sama kepada partisipan tanpa membeda-bedakan usia, jenis kelamin, pekerjaan, suku, agama dan status sosial. Perlakuan yang sama diterapkan pada saat wawancara yaitu, waktu yang hampir sama, tempat dan suasana ruangan yang hampir sama. Peneliti menjelaskan bahwa hasil wawancara akan dipublikasikan namun identitas dari partisipan akan dijaga kerahasiaannya dan
tidak akan
dipublikasikan. Semua nama akan diganti dengan kode yang diketahui hanya oleh peneliti. Peneliti juga menjelaskan bahwa hasil penelitian ini akan memberi manfaat pada pasien TB paru yang nanti akan menjalani pengobatan selama 6-9 bulan.
4.1.5
Prosedur Pengumpulan Data
Langkah pertama yang dilakukan adalah melihat catatan medik pasien yang berobat di poli paru. Pasien yang dipilih adalah pasien yang terakhir kontrol ke rumah sakit yaitu akhir bulan ke-5 dan menunjukkan BTA negatif . Hal lain yang disiapkan adalah ruangan untuk wawancara. Setelah itu dilakukan wawancara pada pasien yang memenuhi kriteria dengan sebelumnya
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
83
memberikan penjelasan dan penandatanganan surat persetujuan penelitian. Wawancara dilakukan antara 30-45 menit.
Persiapan lain yang dilakukan selain menyiapkan partisipan adalah persiapan alat. Peneliti memastikan bahwa alat rekam mampu merekam dengan baik. Hal yang dilakukan peneliti adalah memastikan alat memiliki baterai yang cukup untuk merekam, posisi volume suara adalah posisi terendah dan memori alat rekam masih banyak.
Pada saat wawancara, peneliti menggunakan tehnik wawancara jenis pertanyaan terstruktur untuk menggali pengalaman partisipan.
Peneliti
selalu mengajukan pertanyaan terbuka di awal wawancara. Saat ada jawaban partisipan belum jelas, peneliti memvalidasi jawaban partisipan dengan tehnik pertanyaan klarifikasi.
Seluruh wawancara dilakukan dengan posisi berhadapan antara peneliti dan partisipan. Dengan posisi ini peneliti tidak mengalami hambatan saat membuat catatan lapangan yang berisi respon non verbal partisipan. Jarak antara partisipan dan peneliti sekitar satu meter. Alat perekam diletakkan sekitar 50 cm dari peneliti dan partisipan, dengan arah mikropon ke arah partisipan. Wawancara dilakukan rata-rata sekitar 30-45 menit. Kegiatan wawancara pada satu partisipan diakhiri pada saat semua informasi yang dibutuhkan sesuai tujuan penelitian telah diperoleh.
Setelah dilakukan
wawancara dibuat kontrak kembali yaitu apabila ada data yang kurang lengkap atau perlu klarifikasi maka informan akan dilakukan wawancara kembali. Seluruh partisipan dilakukan wawancara kembali melalui telpon untuk melakukan klarifikasi atas data yang telah disusun.
4.1.6
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang akan digunakan adalah peneliti sendiri, pedoman wawancara, catatan lapangan dan tape recorder.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
84
4.1.7
Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan hanya dilakukan untk menemukan tema yang digunakan sebagai dasar untuk membangun model, adapun langkah-langkah análisis sebagai berikut: 1.
Membaca seluruh transkrip partisipan dan catatan lapangan untuk memperoleh
gambaran
umum
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kepatuhan pengobatan TB paru 2.
Mendengarkan hasil wawancara dan membaca transkrip secara berulang-ulang untuk memilih pernyataan yang bermakna.
3.
Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan partisipan yang signifikan dengan fenomena yang diteliti.
4.
Mengorganisasikan makna yang telah teridentifikasi kedalam beberapa kelompok tema.
5.
Mengintegrasikan semua hasil penelitian dalam suatu narasi.
6.
Memvalidasi hasil penelitian dengan kembali ke partisipan dan mengecek kembali apakah data yang ditampilkan sudah sesuai dengan yang dialami partisipan dan menambah data baru pada proses validasi untuk mendapatkan gambaran penelitian secara utuh.
4.1.8 Penyusunan Model Setelah dilakukan studi kualitatif tahap selanjutnya adalah konsultasi pakar untuk menambah masukkan agar terbentuk model yang fit untuk dilakukan uji coba. Konsultasi dilakukan kepada pakar keperawatan. Konsultan yang dipilih adalah pakar keperawatan yang memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam ilmu keperawatan dan atau masalah tuberkulosis paru. Konsultan yang dipilih sebanyak 3 orang. Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan pakar yang dipilih untuk dilakukan konsultasi. Setelah melakukan kontrak untuk pertemuan dengan pakar yang dimaksud kemudian menjelaskan maksud dan tujuan konsultasi. Konsultasi dilakukan 1 kali untuk masing-masing pakar. Hasil dari konsultasi pakar dinarasikan, di analisis dan sintesis dengan hasil studi kualitatif sehingga tercapai model peningkatan kepatuhan berdasarkan sistem interaksi King yang fit dan siap untuk dilakukan uji coba.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
85
4.2 Penelitian Tahap II: Validasi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King
Validasi dilakukan dengan melaksanakan uji coba pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pada pasien TB paru di Poli Paru RSU Haji Surabaya untuk kelompok intervensi dan RSUD Ibnu Sina Gresik untuk kelompok kontrol selama 6 bulan (akhir bulan ke-5 pengobatan). Pertimbangan waktu 6 bulan disesuaikan dengan periode waktu dimana pengobatan TB paru adalah selama 6 bulan sehingga dapat dinilai kepatuhan pasien dalam pengobatan.
4.2.1
Desain penelitian
Penelitian pada tahap 2 menggunakan desain penelitian quasy eksperimen dengan pre-post test control group design, yaitu subyek yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol sesuai dengan RS yang dipilih. Subyek dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pada saat berobat di poli paru dimana sebelumnya dilakukan pengukuran awal (pre test).
Pengukuran selanjutnya
dilakukan pada 2 bulan setelah pengobatan atau setelah fase intensif pengobatan (post test 1) dan pengukuran ketiga dilakukan pada akhir bulan ke-5 (post test 2). Selanjutnya hasil pengukuran awal (pre-test) dibandingkan dengan hasil pengukuran akhir (post test1 dan post test2) untuk menentukan perbedaan pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang mendapatkan penerapan model dan yang tidak diberi perlakuan. Sedangkan untuk variabel kepatuhan hanya dilakukan pengukuran pada akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke5 intervensi.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
86
Populasi (Pasien Tuberkulosis Paru) Observasi 1
Model Peningkatan Kepatuhan
Pre Populasi
Observasi 2
Observasi 3
Post1
Post2
Sampel Observasi 1
Pre
Observasi 3
Observasi 2
Kontrol
Post2
Post1
Gambar 4.1 Tahapan proses penelitian
4.2.2
Populasi dan Sampel
Populasi yang diteliti adalah pasien TB paru yang tinggal di Kota Surabaya berdasarkan data pasien yang masuk rumah sakit dan kontrol rutin di Poli Paru RS Haji Surabaya dan RS Ibu Sina Gresik tahun 2014. 1. Pasien meyatakan bersedia menjadi responden penelitian dengan menanda tangani surat persetujuan atau informed consent baik sebagai subyek penelitian maupun tindakan keperawatan/pengambilan sampel darah. 2. Pasien dewasa (umur 18 - 65 tahun) 3. Tidak terdapat penyakit lain yang dapat mengganggu pengukuran, misalnya
diabetes
melitus,
sirosis
hepatis,
hepatitis;
penyakit
kardiovasuler, pasien luluh paru, pasien tidak kooperatif dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. 4. Pasien baru terdiagnosis TB paru.
Penentuan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan penentuan besar sampel untuk uji hipotesis beda dua proporsi (uji 1 sisi) dari Ariawan (1998) dan Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J, Lwanga SK (diterjemahkan oleh Promono D dan Kusnanto H, 2002).
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
87
Formulasi rumus tersebut adalah sebagai berikut:
n=
(Z1-/2 √2P(1-P)+ Z1-β√P1(1-P1)+P2(1-P2))² _______________________________________ (P1 – P2)²
Keterangan:
= level of significance (%)
1-
= Power of test (%)
P1
= Proporsi kelompok intervensi
P2
= Proporsi kelompok kontrol
n
= sample size
Pada penelitian sebelumnya ditemukan : P1= 33.3%, P2=10.7% (Mohammadi dkk, 2006). Berdasarkan rumus di atas, peneliti ingin menguji hipotesis dengan derajat kemaknaan 5% (Z1-α/2 =1.96) dan kekuatan uji 90% (Z1-β = 0.84). Dengan memasukkan angka-angka tersebut kedalam rumus menggunakan software maka diperoleh besar sampel sebesar 50. Pada penelitian ini menggunakan besar sampel 50 untuk kelompok intervensi dan 50 untuk kelompok kontrol. Sehingga total sampel adalah 100 responden. Kelompok intervensi adalah pasien TB paru di RS Haji Surabaya dan kelompok kontrol adalah pasien TB paru di RS Ibnu Sina Gresik. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling yaitu memasukkan responden yang memenuhi kriteria sampai kuota terpenuhi.
4.2.3 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Poli Paru RS Haji Surabaya Surabaya dan RS Ibnu Sina Gresik dengan waktu penelitian Februari – Juli tahun 2014.
4.2.4 Etika penelitian Sesuai dengan pedoman nasional etik penelitian kesehatan Depkes (2005) maka penelitian kesehatan harus mempertimbangkan prinsip utama etik yaitu (1) kerahasiaan (confidenciality) , (2) menghargai martabat manusia (respect for
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
88
persons), (3) Kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence), dan (4) keadilan (justice). Sebelum dilakukan penelitian peneliti mendapatkan ethical clearance dari Komite Etik Fakultas Imu Keperawatan Universitas Indonesia dan Komite Etik RS. Haji Surabaya. Ethical clearance yang didapat hanya 1 kali untuk seluruh rangkaian penelitian dari tahap 1 dan tahap 2.
1. Kerahasiaan ( Confidentially) Di dalam penelitian ini aspek kerahasiaan dilakukan dengan cara: Peneliti menjelaskan kepada responden bahwa semua data yang diperoleh dijaga kerahasiaanya
oleh
peneliti.
Hanya
data-data
mengenai
demografi,
pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi, kepatuhan pengobatan dan berat badan yang disampaikan tanpa menyebutkan nama responden. Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, peneliti hanya menggunakan kode yang diketahuinya, dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden. 2. Menghargai martabat manusia (respect for persons) Dalam menghargai martabat manusia peneliti memberikan penjelasan tentang penelitian kepada responden dan diminta kesediannya untuk menjadi responden penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa keikutsertaaan dalam penelitian
bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Pasien TB paru sebagai
responden memiliki hak untuk mengikuti atau menolak penelitian setelah memperoleh penjelasan dan menandatangani surat persetujuan penelitian (informed consent). Pada penelitian ini tidak ada pasien yang menolak keikutsertaannya dalam penelitian. 3.
Kemanfaataan (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence) Prinsip kemanfaataan dalam penelitian ini dipenuhi dimana hasil penelitian yang diperoleh bermanfaat dalam peningkatan kepatuhan pasien untuk asuhan keperawatan pasien berikutnya. Prinsip tidak merugikan dalam penelitian ini terpenuhi dimana penelitian ini hanya memberikan model peningkatan kepatuhan, pemberian kuesioner dan observasi yang tidak memberikan tindakan invasif atau apapun yang dapat merugikan pasien.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
89
4.
Keadilan (justice) Untuk melaksanakan prinsip keadilan dalam penelitian ini maka kelompok kontrol dalam hal ini pihak RS Ibnu Sina Gresik akan diberikan penawaran untuk memperoleh intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King setelah selesai penelitian.
4.2.5 Alat Pengumpul data
Pengumpulan data primer pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian sebagai berikut:
4.2.5.1 Instrumen pengukuran pada pasien Karakteristik pasien meliputi jenis kelamin, pendidikan, umur, status perkawinan dan pekerjaan. Kuesioner tentang pengetahuan disusun oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada. Pertanyaan merupakan pertanyaan positif benar salah. Pertanyaan terdiri dari 8 item untuk kemudian di prosentase sehingga diperoleh skor minimal 0 dan skor maksimal 100. Pertanyaan berisi pengetahuan tentang gejala, penularan, pengobatan, cara batuk, membuang dahak dan lingkungan rumah bagi pasien TB paru.
Kuesioner tentang self efficacy dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pertanyaan menggunakan skala likert 1-5, yang ini memuat pertanyaan-pertanyaan tentang keyakinan diri pasien
dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi keyakinan
mendapatkan sumber informasi, keyakinan mendapatkan dukungan sosial serta keyakinan mengatasi gangguan fisik dan emosi. Skor yang diperolah adalah 1050.
Kuesioner tentang motivasi dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan menggunakan skala likert 1-5, terdiri dari 9 pernyataan positif dan 1 pernyataan negatif yaitu no.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
90
2, kuesioner ini memuat pernyataan tentang motivasi pasien dalam menjalankan pengobatan TB paru. Skor yang diperolah adalah 10-50.
Kuesioner tentang pencegahan penularan dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan menggunakan skala likert 1-5, yang ini memuat pernyataan tentang keyakinan diri pasien
dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi keyakinan
mendapatkan sumber informasi, keyakinan mendapatkan dukungan sosial serta keyakinan mengatasi gangguan fisik dan emosi. Skor yang diperolah adalah 1050. Pernyataan terdiri dari 7 pernyataan positif dan 3 pernyataan negatif (no. 1,3, dan 9).
Kuesioner tentang kepatuhan nutrisi dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan menggunakan skala likert 1-5, yang ini memuat pernyataan tentang kepatuhan nutrisi
dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi pola makan,
makanan 4 sehat 5 sempurna dan pantangan makan saat mengalami gejala batuk. Skor yang diperolah adalah 10-50. Pernyataan terdiri dari 9 pernyataan positif dan 1 pernyataan negatif (no 10).
Untuk mengukur kepatuhan minum obat dilakukan penghitungan pil sehingga pasien diminta membawa kembali blister obat dan juga digunakan formulir TB-01 dan formulir TB-02. Selain itu pada pasien juga ditanyakan mengenai dosis yang diminum, cara minum dan waktu minum obat.
4.2.5.2 Uji coba instrumen Uji coba instrumen dilakukan untuk mengukur validitas dan reliabilitas instrumen. Suatu pengukuran dapat dikatakan memiliki keterandalan apabila ia memberikan hasil yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan berulangulang (Sastroasmoro, 2008).
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
91
Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi atau keteraturan hasil pengukuran suatu
instrumen apabila instrumen tersebut digunakan lagi
sebagai alat ukur dari responden. Hasil uji mencerminkan dapat dipercaya atau tidaknya suatu instrument penelitian berdasarkan ketepatan suatu alat ukur. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Alpha-Cronbach. Tingkat reliabilitas diukur berdasarkan skala Alpha 0 sampai dengan 1. Dikatakan reliable Alpa-Cronbach 0.6-0.8 dan sangat sangat reliable jika Alpa-Cronbach lebih besar dari 0.8.
Validitas atau disebut juga kesahihan menunjukkan berapa dekat suatu alat ukur menyatakan apa yang seharusnya diukur. Kesahihan pengukuran dipengaruhi oleh bias pengukuran (bias pengamat, bias subyek dan bias instrument), makin besar bias maka akan makin kurang sahih pengukuran. Instrumen yang digunakan diuji tingkat kevalidan dengan melakukan analisis item. Alat ukur yang digunakan menggunakan alat ukur yang telah terstandar dan telah dilakukan kalibrasi (peneraan ulang). Dilakukan pelatihan pada semua tenaga pengumpul data sehingga memiliki keseragaman dalam melakukan pengukuran. Uji validitas dilakukan melalui perbandingan nilai r hitung tiap item dengan nilai r tabel. Intrumen valid jika r hitung masing-masing pernyataan lebih besar dari r tabel. Instrumen di uji cobakan kepada 30 responden maka diperoleh nilai r tabel dengan degree of freedom 28 (30-2) adalah 0.2407.
Tabel 4.1 Hasil uji coba instrumen No
Variabel
1 2 5 4
Pengetahuan Self efficacy Motivasi Pencegahan penularan Kepatuhan nutrisi Uji keseluruhan
5
Jumlah pertanyaan 8 10 10 10
Validitas
Reliabilitas
0.630-0.910 0.496-0.880 0.463-0.786 0.508-0.841
0.905 0.872 0.666 0.834
10
0.375-0.735
0.632
48
0.939-0.950
0.943
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
92
4.2.6 Prosedur pengumpulan data Prosedur penelitian terdiri dari prosedur administratif dan prosedur teknis. 1. Prosedur administratif dalam penelitian ini adalah mengurus perijinan kepada pihak RSU Haji sebagai kelanjutan penelitian kualitatif tahap 1 dan mengurus perijinan baru kepada Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik untuk kemudian dilanjutkan mengurus perijinan ke RSUD Ibnu Sina Gresik. 2. Prosedur teknis proses pengumpulan data diawali dengan memberikan penjelasan tentang penelitian dan responden diminta kesediannya untuk menjadi responden penelitian selama 6 bulan. Keikutsertaaan dalam penelitian ini bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Peneliti tetap menghargai dan menghormati hak-hak responden. Sosialisasi program kepada kepala ruang dan perawat di Poli Paru RSU Haji Surabaya dan RSUD Ibnu Sina Gresik. Kegiatan ini dilaksanakan melalui pertemuan yang dilaksanakan secara khusus atas persetujuan kepala ruang. 3. Adapun pelaksanaan intervensi model dilakukan sebanyak 8 kali pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan saat pasien terdiagnosis TB paru, pertemuan ke-2 pada akhir minggu ke-2, pertemuan ke-3 pada akhir minggu ke-4, pertemuan ke-4 pada akhir minggu ke-6, pertemuan ke-5 pada akhir bulan ke-2, pertemuan ke-6 pada akhir bulan ke-3, pertemuan ke-7 pada akhir bulan ke-4 dan pertemuan ke-8 pada akhir bulan ke-5 intervensi. Panduan lengkap bisa dilihat pada buku model.
4.2.7 Analisis Data
1.
Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang diukur dalam penelitian yaitu dengan distribusi frekuensi. Pada penelitian ini, variabel yang dianalisis secara univariat adalah karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan. Variabel penelitian dengan data Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
93
numerik disajikan dengan
nilai mean dan median pada kedua
kelompok.
2. Analisis Bivariat Uji bivariat dilakukan untuk melihat perbedaan proporsi dan perbedaan rata-rata pada kedua kelompok.
Uji yang digunakan
adalah uji chi square dan independent t test. Uji chi square digunakan untuk melihat perbedaan proporsi jenis kelamin, usia, pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan.. Uji chi square juga digunakan untuk melihat perbedaan proporsi kepatuhan dalam pengobatan TB paru. Uji independent t test digunakan untuk melihat perbedaan ratarata pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
3.Analisis Multivariat Uji general linier model repeated measure (GLM-RM) digunakan untuk melihat adanya perbedaan pada variabel yang diukur secara berulang. Pengukuran terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sebelum diberikan intervensi, pada akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 setelah intervensi. Uji multivariat analysis of covariance (Mancova) digunakan untuk menguji apakah variabel usia, jenis
kelamin,
pendidikan,
pekerjaan
dan
status
perkawinan
merupakan variabel perancu atau bukan.
Keseluruhan proses peneltian tahap 1 dan tahap 2 dapat dijelaskan pada kerangka kerja di bawah ini:
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
KERANGKA KERJA PENELITIAN Studi Literatur
TAHAP I
Assesment dengan studi kualitatif :
1.Teori sistem interaksi dan pencapaian tujuan, King (1971, 1981)
Konsultasi pakar Pengalaman pasien TB paru dalam upaya mencapai kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
2. Model partnership, Mohammadi, (2006) 3. Kepatuhan pasien TB
TAHAP II : Validasi
Terbentuknya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
(Uji coba) Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian
Kepatuhan pasien: Pengetahuan self efficacy, motivasi pencegahan penularan kepatuhan nutrisi kepatuhan pengobatan
Faktor perancu 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Tingkat pendidikan 4. Status perkawinan 5. Pekerjaan
94 Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
BAB 5 HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian diuraikan ke dalam 2 tahap penelitian yaitu tahap I: penelitian kualitatif untuk menggali pengalaman pasien TB paru dalam upaya mencapai kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King; tahap II: validasi model.
5. 1 Hasil Penelitian Tahap I
Di bawah ini akan diuraikan hasil penelitian tahap I yaitu pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King berdasarkan studi literatur, penelitian kualitatif dan konsultasi pakar.
5.1.1. Hasil penelitian kualitatif
5.1.1.1 Karakteristik partisipan Partisipan dalam penelitian ini yaitu 8 pasien TB yang telah berobat selama 6 bulan yaitu pasien yang pada masa akhir pengobatan. Usia pasien berkisar antara 18 sampai dengan 60 tahun, terdiri dari 7 laki-laki dan 1 perempuan. Tingkat pendidikan bervariasi mulai dari SD sampai SMA. Suku berasal dari suku yang sama yaitu Jawa. Pekerjaan swasta, ibu rumah tangga dan pelajar.
5.1.1.2 Tema Setelah data dianalisis ditemukan 12 tema sebagai hasil penelitian. Tema-tema tersebut diuraikan berdasarkan tujuan penelitian yaitu kepatuhan pasien TB paru dalam pengobatan berbasis sistem personal, kepatuhan pasien TB paru dalam pengobatan berbasis sistem interpersonal dan kepatuhan pasien dalam pengobatan berbasis sistem sosial. Pada tema yang luas teridentifikasi melalui subtemasubtema dan subtema teridentifikasi melalui kategori-kategori. Sedangkan pada tema yang spesifik hanya teridentifikasi melalui ketegori-kategori. 95
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
96
Tema 1 : Persepsi yang positif tentang TB paru Tema persepsi yang positif atau benar tentang TB paru diidentifikasi melalui subtema pengobatan TB paru, pencegahan penularan dan nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan.
Subtema pengobatan TB paru terdiri dari ketegori
penyebab TB paru, lama pengobatan, cara minum obat, efek samping obat dan sembuh jika dokter yang mengatakan sembuh. Subtema pencegahan penularan diidentifikasi melalui kategori cara batuk dan bersin dan cara buang dahak. Subtema nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan diidentifikasi melalui kategori makanan yang membantu penyembuhan dan makanan yang dilarang. Subtema pengobatan TB paru pada kategori penyebab didukung oleh pernyataan: didukung oleh pernyataan: “Ya penyakit karena kuman...” (P2) “penyebabnya bakteri, harus jaga kesehatan”, (P7) Kategori lama pengobatan didukung oleh pernyataan: “Ya bisa 6 sampai 9 bulan” (P5) “...pengobatan harus rutin 6 sampai 9 bulan”(P8) Kategori cara minum obat didukung oleh pernyataan: “sekali langsung 3 tablet” (P2) “3 tablet sekali minum” (P4) Kategori efek samping obat didukung oleh pernyataan: “ ...dijelaskan saya lupa, kalo tidak salah mual-mual, muntah dan kulit merah-merah, kalo saya tidak merasakan apa-apa” (P1) “....gak mbak saya gak merasakan apa-apa,biasa saja malah badan tambah enakan” (P6) Katogori sembuh jika dokter yang menyatakan sembuh didukung oleh pernyataan: “...diingatkan kalo sembuh itu harus kata dokter bukan oleh diri sendiri atau orang lain.” (P2) “....Sembuh itu harus kata dokter....” (P4)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
97
Subtema pencegahan penularan pada kategori cara batuk dan buang dahak didukung oleh pernyataan: “...komunikasinya pakai masker, ...batuk ditutup, buang dahak gak sembarangan” (P1) “kalo batuk dan bersin menutup mulut, buang dahak ke saluran air” (P6) Subtema nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan yang didukung oleh pernyataan: “Ya biasa saja mbak, nasi, sayur tahu tempe, gak macam-macam” (P5) “...nasi, sayur, ikan, tahu, tempe,asalkan goreng-gorengan dikurangi” (P8)
Tema 2: Kesadaran diri Tema kesadaran diri teridentifikasi melalui kategori yakin TB paru dapat disembuhkan dan rajin berobat walau harus datang sendiri. Kategori yakin untuk sembuh didukung dengan pernyataan: “ ya karena saya punya keinginan untuk sembuh, karena ada cita-cita yang belum tercapai” (P2) “ya pengen sembuh, orang mana sih yang gak pengen sembuh, ya kesadaran sendiri mbak” (P7) Kategori datang sendiri ke rumah sakit: “iya sendiri” (P3) “dulu sih tiga bulan pertama diantar bapak sekarang tidak, wis sudah besar saja saya datang sendiri, bapak tak suruh kerja”. (P8)
Tema 3: Tumbuh kembang yang optimal Tema tumbuh kembang
optimal teridentifikasi melalui dua subtema yaitu
subtema harapan masa depan yang lebih baik dan subtema mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Subtema harapan masa depan yang lebih baik didukung oleh pernyataan: “...ada cita-cita yang belum tercapai” (P2) “...masih ingin punya anak mbak” (P4) Subtema mampu menjalankan tugas perkembangan di dukung oleh pernyataan: “...selain sekolah paling main sepakbola” (P3) Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
98
“....di rumah ya seperti biasa merawat suami, paling ikut pengajian” (P4) Tema 4: Gambaran diri positif Tema mampu menerima perubahan gambaran diri secara positif langsung diidentifikasi langsung dalam kategori: Tidak malu memakai masker dan tidak malu berat badan turun. Didukung oleh pernyataan: “ gak mbak, sayakan orangnya gak pernah minder, gak pernah putus asa, saya percaya diri saja” (P2) “ya sempat minder mbak, ada rasa-rasa malu makanya dari situ saya pengen sembuh...” (P8)
Tema 5: Lingkungan yang sehat Tema Lingkungan yang sehat terdiri dari subtema lingkangan poli paru yang tenang dan lingkungan rumah yang sehat. Subtema lingkungan poli paru yang nyaman didukung oleh pernyataan; “....cukup luas dan nyaman mbak” (P3) “......ya enak mbak, apalagi ruangnya di pojok dekat kamar mandi kalo mau buang dahak tinggal langsung ke kamar mandi” (P5) Subtema lingkungan rumah yang sehat didukung oleh pernyataan: “...saya masih ngontrak 1 kamar, tapi kalo matahari tiap pagi masuk kamar kok mbak, terus dari halaman belakang juga masuk” (P2) “ sama suster disini disuruh bikin genteng kaca, akhirnya sama suami dibuatkan genteng kaca” (P4)
Tema 6: Disiplin minum obat
Tema disiplin minum obat terdiri dari kategori waktu minum obat 1 jam sebelum makan dan menggunakan alarm sebagai pengingat. Kategori waktu minum obat didukung oleh pernyataan: “minum obat harus rutin, minum jam 6 malam 1 jam sebelum makan” (P1) “....jam 6 sore habis magrib” (P2) Kategori menggunakan alarm sebagai pengingat didukung oleh pernyataan: “ ...saya pakai alarm..” (P2) “konsep saya ya di alarm” (P8)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
99
Tema 7: Koping yang efektif Tema koping yang efektif selama pengobatan TB paru terdiri dari subtema menerima kondisi yang dialami dan berfikir positif. Subtema menerima kondisi yang dialami didukung oleh pernyataan: “ya banyak-banyak berdoa mbak...mau bagaimana lagi, namanya dikasih musibah harus sabar, mendekatkan diri sama Allah, ya kadang ada jenuhnya minum obat tapi kan mau sembuh jadi harus sabar, harus ikhlas, minta sama Allah supaya lekas sembuh dan dikasih kesabaran” (P1) “ya harus sabar, harus telaten, harus ikhlas, harus rutin. Ya namanya dikasih sakit mbak, dikasih sama yang di Atas ya sabar saja” (P2) Subtema berfikir positif ditunjang dengan pernyataan: “Gak mbak saya anggap ujian saja” (P3) “.......Insya Allah saya bisa sembuh mbak asal rajin berobat”(P4)
Tema 8: Komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan dan keluarga.
Tema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan dan keluarga diidentifikasi melalui subtema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan dan subtema komunikasi terbuka pasien dengan keluarga Subtema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan didukung oleh pernyataan: ” ya lancar mbak, suka ngasih tahu kalo berobat lagi kapan, minum obatnya harus rutin, makan sediki-sedikit tapi sering biar nambah beratnya” (P1) “...ya dokter biasanya ngasih tahu mbak”, “perawat sih pasti ngasih tahu, ya kalo semua demi kebaikan kita, ya kita nurut saja mbak”.(P7) Subtema komunikasi terbuka pasien dengan keluarga didukung oleh pernyataan: ” ya sama mbak, harus rajin-rajin beribadah, ya cobaan diambil hikmahnya saja, berobat harus telaten” (P1) “Ayah ibu kerja, paling mengingatkan saja untuk berobat” (P3) Tema 9: Menjalankan perannya secara optimal
Tema menjalankan perannya selama sakit terbagi dalam subtema melakukan pekerjaan sehari-hari dan sutema melakukan kegiatan di masyarakat. Subtema
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
100
melakukan pekerjaan sehari-hari dengan kategori bersekolah, bekerja seperti biasa dan mengerjakan pekerjaan rumah yang didukung oleh pernyataan: “iya sekolah boleh ijin” (P3) “pernah gak masuk 1 bulan tapi dianggap cuti, sekarang sudah kerja lagi” (P8) Subtema melakukan kegiatan di masyarakat dengan kategori ikut arisan dan ikut pengajian didukung oleh pernyataan: “...ya kalo badan sudah sehat sudah mulai ikut aktif lagi pengajian di masjid” (P1) “...ikut pengajian, ikut arisan RT mbak” (P4)
Tema 10: Mengelola stres selama sakit
Tema mengelola stres yang dialami selama sakit terbagi menjadi tiga subtema yaitu stres yang dialami dengan kategori penurunan berat badan, jenuh minum obat dan jenuh bolak-balik ke RS, subtema penyebab stress dengan kategori waktu pengobatan yang lama dan subtema penanganan stres dengan kategori menganggap sebagai rekreasi, berdiskusi dengan keluarga dan berdiskusi dengan sesama pasien. Subtema stres yang dialami didukung oleh pernyataan: “jenuhnya minum obat tapikan mau sembuh jadi harus sabar”(P5) “...awal-awal sempat stres karena berat badan turun mbak, tapi justru itu yang memacu saya untuk segera sembuh supaya tidak kurus lagi” (P8) Subtema penyebab stres diidentifikasi dengan kategori waktu pengobatan yang lama didukung dengan pernyataan: “...ya karena berobatnya kan lama...minum obatnya lama...tapi yak diikhlaskan saja mbak” (P6) “Berobatnya lama, harus bolak-balik” (P8) Subtema penanganan stres didukung oleh pernyataan: “...ya dianggap rekreasi saja mbak” (P2) “...jenuh sih wajar ya mbak, tapi gak apa-apa, lama-lama juga biasa” (P8)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
101
Tema 11: Mengetahui prosedur pelayanan kesehatan
Tema mengetahui prosedur pelayanan kesehatan terdiri dari subtema mengetahui organisasi pelayanan di poli paru, subtema mengetahui wewenang RS di poli paru dan sub tema menyadari statusnya sebagai pasien di poli paru. Subtema mengetahui organisasi pelayanan di poli paru terdiri dari kategori: fasilitas yang dimiliki rumah sakit, SDM yang dimiliki RS dan alur penerimaan pasien di poli, hal ini didukung dengan pernyataan: ”....katanya dokternya bagus, terus fasilitas disini tempatnya dekat-dekat saja jadi bolak-baliknya cepet dan gak susah”. (P2) “....kata anak saya fasilitasnya lebih lengkap daripada di puskesmas....”. (P6) Subtema mengetahui wewenang poli paru terdiri dari kategori pemberian OAT sesuai program pemerintah didukung oleh pernyataan: “dari awal sudah dijelaskan kalo sakit paru seperti saya masuk dalam program pemerintah dan akan dipantau terus”. (P2) “...awal sakit didata sama perawat kalo masuk program pemerintah, diawasi terus, kalo gak balik ke RS akan dicari” (P6) Subtema menyadari status sebagai pasien rumah sakit dengan kategori patuh pada aturan RS didukung oleh pernyataan: “ya kalo berobat sesuai jadwal mbak, selasa dan rabu” (P1) ”....kalo berobat setiap selasa-rabu”, “kalo keluar kota sama perawatnya boleh datang sebelum waktu kontrol asal di selasa atau rabu” (P2) Tema 12: Mampu mengambil keputusan
Tema mampu mengambil keputusan terdiri dari kategori: pengobatan di poli paru dan kategori dirujuk ke tempat lain hal ini didukung oleh pernyataan: “...dari awal memang saya niat berobat di RS”(P3) “...awalnya saya mau pindah puskesmas, tapi kata perawatnya kalo berobat disini mau pindah harus nunggu dulu 2 bulan baru boleh pindah, akhirnya karena enak disini ya gak jadi pindah”. (P4) Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
102
Keseluruhan analisis tema dan subtema dapat dilihat pada tabel di bawah ini dapat dilihat pada lampiran 8.
Dari hasil tema di atas dapat digambarkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien yang patuh. Pada sistem personal, pasien TB paru yang patuh memiliki presepsi yang positif, memiliki kesadaran diri untuk sembuh, tumbuh kembang yang optimal, gambaran diri yang positif , lingkungan yang sehat, disiplin minum obat dan memiliki koping yang efektif. Pasien yang patuh memiliki persepsi yang positif mengenai pengobatan TB paru, pencegahan penularan dan nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan. Pasien juga memiliki kesadaran diri kalo penyakitnya dapat disembuhkan dan rajin berobat walau harus datang sendiri. Pasien yang patuh memiliki tumbuh kembang optimal karena masih meemiliki harapan akan masa depan yang lebih baik dan mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Pasien memiliki gambaran diri yang positif yaitu tidak malu memakai masker dan tidak malu berat badan turun. Pasien disiplin minum yaitu selalu minum obat 1 jam sebelum makan dan menggunakan alarm sebagai pengingat. Pasien juga memiliki koping yang efektif selama pengobatan TB paru karena mampu
menerima kondisi yang
dialami dan selalu berfikir positif.
Pada sistem interpersonal, pasien yang patuh adalah pasien yang memiliki komunikasi yang terbuka dengan tenaga kesehatan dan keluarga, yang mampu menjalankan perannya secara optimal, yang mampu menyeimbangkan stres selama sakit. Pasien mengatakan bahwa selama sakit dan berobat selalu berkomunikasi dan berinteraksi dengan perawat dan dokter. Perawat dan dokter bersikap ramah dan selalu terbuka dan mau mendengarkan keluhan pasien dan memberikan informasi yang dibutuhkan. Keluarga dapat menerima pasien dan selalu mendukung pasien untuk menjalani pengobatan. Selama berobat tidak ada kendala peran yang terlalu berarti dalam sekolah ataupun pekerjaan. Sekolah dan kantor menerima ijin selama ada surat keterangan istirahat/sakit dari dokter. Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
103
Pasien yang patuh mengatakan bahwa pada awal pengobatan yang menyebabkan stres adalah jenuh minum obat dan jenuh bolak balik ke RS tetapi lama kelamaan menjadi hilang dan ringan menjalani pengobatan.
Pada sistem sosial, pasien yang patuh memiliki pengetahuan mengenai prosedur pelayanan kesehatan di RS dan mampu mengambil keputusan untuk berobat di RS. Pengetahuan mengenai prosedur pelayanan kesehatan meliputi pengetahuan organisasi pelayanan di poli paru, dan mengetahui kekuasaan dan wewenang yang dimiliki poli paru serta pasien menyadari status dirinya sebagai pasien yang harus patuh dengan peraturan RS. Dalam kemampuan pengambilan keputusan, pasien yang patuh memilih melanjutkan pengobatan di RS karena lokasi rumah yang lebih dekat dan karena RS memiliki dokter spesialis paru, perawat yang ahli dan lokasi RS yang dekat dari rumah.
Berdasarkan 12 tema yang teridentifikasi dari hasil penelitian kemudian disusun model intervensi untuk meningkatkan sistem interaksi perawat pasien berdasarkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.
5.1.2 Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interkasi King dikembangkan dengan beberapa alasan diantaranya: 1) Penyakit TB paru sampai hari ini masih merupakan permasalahan dalam bidang kesehatan di Indonesia. Walaupun ada kecenderungan terjadi penurunan kasus dari tahun ke tahun tetapi beban di masyarakat masih sangat tinggi. Perawat sebagai sebagai salah satu tim kesehatan wajib berperan serta dalam membantu pemerintah menuntaskan kasus TB paru; 2) perlu pendekatan asuhan kepada pasien dengan menggunakan teori-teori keperawatan. Teori keperawatan berperan dalam membedakan keperawatan dengan disiplin ilmu lain dan bertujuan untuk menggambarkan, menjelaskan, memperkirakan, dan mengontrol hasil asuhan keperawatan yang dilakukan; 3) program ini selaras dengan program pemerintah yaitu program TB DOTS. Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
104
Pengembangan model peningkatan kepatuhan didasarkan pada hasil studi literatur penelitian tahap 1, dan konsultasi pakar, diuraikan seperti di bawah ini.
Tabel 5.1 Penyusunan model bedasarkan tema No 1.
Tema Model Intervensi Sistem personal Menumbuhkan persepsi yang Persepsi yang positif atau benar tentang TB positif tentang TB paru; pembelajaran tentang TB paru paru dan disiplin minum obat Kesadaran diri Menumbuhkan persepsi yang positif: pembelajaran tentang Lingkungan yang pencegahan penularan sehat Pembelajaran tentang lingkungan yang sehat Disiplin minum Menumbuhkan persepsi yang obat tepat tentang TB paru: Mengelola stres pembelajaran tentang nutrisi selama sakit Tumbuh kembang Meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh yang optimal Gambaran diri Membantu menyeimbangkan stres positif Mengoptimalkan tumbuh kembang Menumbuhkan gambaran diri yang positif Sistem Meningkatkan komunikasi yang Interpersonal terbuka perawat-pasien, pasien Komunikasi keluarga terbuka pasien Membantu meningkatkan koping dengan tenaga kesehatan dan keluarga Koping yang efektif Menjalankan perannya secara optimal Sistem sosial Memfasilitasi pengambilan Mampu keputusan pasien untuk menjalani mengambil pengobatan keputusan. Meningkatkan pengetahuan Mengetahui tentang prosedur pelayanan RS: prosedur wewanang dan kekuasaan RS, pelayanan prosedur dan fasilitas RS. kesehatan Menjelaskan tentang prosedur pelayanan RS: menumbuhkan kesadaran akan status sebagai pasien
Metode Wawancara, ceramah dan diskusi dilengkapi media booklet yang berisi: Konsep TB paru Pengobatan TB paru Praktik minum obat Pencegahan penularan pada pasien TB paru Nutrisi pada pasien TB paru Lingkungan pada pasien TB paru Stres dan penanganannya Tumbuh kembang dan gambaran diri. Stres dan penanganannya Peran
Pelayanan dan fasilitas RS Haji
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
105
5.1.2.1 Deskripsi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model yang dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien TB paru dengan meningkatkan sistem interaksi perawat-pasien secara terus menerus berdasarkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. Media pembelajaran yang dibuat dalam bentuk booklet yang representatif dan sesuai dengan tingkat pemahaman pasien.
Model yang diberikan kepada pasien adalah bertujuan untuk meningkatkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. Dalam model ini terdiri dari 8 kali pertemuan yaitu dari awal pasien terdiagnosis sampai akhir bulan ke-5 pengobatan. Pertemuan pertama pada pasien dimulai saat awal pasien terdiagnosis TB paru. Pada pertemuan ini yang perlu ditingkatkan pada sistem personal adalah: menciptakan lingkungan yang nyaman untuk interaksi perawat-pasien di RS, menumbuhkan persepsi yang positif atau benar tentang TB paru dan meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh. Pada sistem interpersonal yang perlu dilakukan pada pertemuan pertama adalah meningkatkan komunikasi perawatpasien dan pasien keluarga. Pada sistem sosial yang perlu ditingkatkan adalah memfasilitasi pengambilan keputusan pasien untuk menjalankan pengobatan meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pelayanan RS.
Pertemuan ke-2 dilakukan pada akhir minggu ke-2 pengobatan, pada pertemuan ini yang dilakukan adalah meningkatkan sistem interpersonal yaitu meningkatkan komunikasi perawat-pasien secara terus menerus dan untuk meningkatkan sistem personal adalah menumbuhkan persepsi yang positif dengan memberikan pembelajaran tentang pencegahan penularan dan lingkungan yang sehat untuk penyembuhan pasien TB paru dan sistem sosial untuk menjelaskan prosedur pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kesadaran pasien akan statusnya sebagai pasien untuk patuh pada peraturan RS. Pada pertemuan ke-3 yaitu pada akhir minggu ke-4 meningkatkan sistem interpersonal yaitu komunikasi perawat-
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
106
pasien dan meningkatkan sistem personal yaitu menumbuhkan persepsi yang positif dengan memberikan pembelajaran tentang nutrisi yang dibutuhkan oleh pasien TB paru. Pada pertemuan ke-4 atau akhir minggu ke-6 adalah meningkatkan sistem personal pasien yaitu meningkatkan koping pasien dan pada sistem interpersonal adalah meningkatkan komunikasi perawat-pasien serta membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami. Pada pertemuan ke-5 atau akhir minggu ke-8/akhir bulan ke-2, intervensi yang diberikan pada sistem personal adalah membantu pasien menerima perubahan gambaran diri secara positif dan mengoptimalkan pencapaian tumbuh kembang. Sedangkan pada sistem interpersonal adalah meningkatkan komunikasi antara perawat-pasien dan membantu pasien mengoptimalkan atau menjalankan peran selama sakit. Pada pertemuan ke-6 (akhir bulan ke-3), pertemuan ke-7 (akhir bulan ke-4) dan pertemuan ke-8 (akhir bulan ke-5), intervensi difokuskan hanya untuk meningkatkan komunikasi dan interaksi perawat pasien dan motivasi pasien agar selalu patuh.
Di bawah ini akan digambarkan mengenai skema model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
107
1.1.2.2
Skema Model
Berikut ini skema model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King : Sistem Interaksi Perawat-Pasien Meningkatkan Sistem sosial Meningkatkan pengetahuan birokrasi pelayanan RS Social Meningkatkan systemkemampuan (socie Pengambilan keputusan
Perawat
Pasien
Meningkatkan Sistem interpersonal Meningkatkan komunikasi perawatpasien, pasien-keluarga Mengoptimalkan peran selama sakit Mengelola stress selama sakit
Meningkatkan Sistem personal Menumbuhkan persepsi yang Interpersonal system positif (society) Meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh Mengoptimalkan tugas tumbuh kembang Meningkatkan gambaran diri Mengoptimalkan lingkungan yang sehat Menjelaskan disiplin minum obat Meningkatkan koping pasien
Transaksi Peningkatan sistem personal Sistem interpersonal Sistem sosial
Gambar:5.1 Model Peningkatan Kepatuhan berbasis Teori Sistem Interaksi King Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model sistem interaksi yang dinamis. Fokus keperawatan dalam meningkatkan sistem personal adalah menumbuhkan persepsi yang positif tentang TB paru, meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang, meningkatkan gambaran diri yang positif, mengoptimalkan lingkungan yang sehat, menumbuhkan disiplin minum obat dan meningkatkan koping pasien. Pada sistem interpersonal adalah meningkatkan komunikasi perawat-pasien dan pasien keluarga, mengoptimalkan peran pasien selama sakit serta menyeimbangkan stres yang dialami pasien. Sedangkan fokus pada sistem sosial adalah perawat
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
108
melakukan interaksi untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang prosedur pelayanan RS dan meningkatkan kemampuan pasien dalam pengambilan keputusan. Semua intervensi di atas bertujuan untuk mencapai kepatuhan pasien dalam pengobatan. Dalam melakukan interaksi perawat bertugas sebagai pemberi pelayanan, motivator dan edukator bagi pasien dengan meningkatkan sistem personal sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.
1.1.2.3 Panduan Implementasi Model Panduan ini menjelaskan tentang prosedur intervensi model yang dilakukan oleh perawat kepada pasien yang terdiri dari intervensi untuk meningkatkan sistem personal pasien, intervensi untuk meningkatkan sistem interpersonal pasien dan intervensi untuk meningkatkan sistem sosial pasien. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King secara keseluruhan terdiri dari delapan kali pertemuan yaitu 8 kali pemberian edukasi dan 2 kali monitoring dan evaluasi yaitu pada akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5. Model ini dilakukan oleh peneliti sendiri, tetapi secara umum model ini harus dilakukan oleh perawat dengan pendidikan minimal S1 Ners. Namun dalam pelaksanaannya jika terdapat kekurangan sumber daya perawat maka dapat dilakukan oleh perawat dengan minimal pendidikan D III dan telah mendapat sertifikasi atau pelatihan tentang TB paru. Materi pendidikan kesehatan disusun berdasarkan kebutuhan pasien. Berikut ini adalah uraian kegiatan implementasi model:
Pada sistem personal, pasien TB paru agar patuh harus diberikan pembelajaran dan motivasi agar persepsi menjadi positif atau benar. Pembelajaran yang diberikan meliputi konsep TB paru, lama pengobatan, pencegahan penularan dan nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang kesembuhan pasien. Pasien diberikan keyakinan dan kesadaran diri bahwa sakitnya bisa disembuhkan asalkan pasien patuh. Pasien dibantu untuk mengoptimalkan tumbuh kembang dengan cara berdiskusi bahwa walaupun kondisi sakit tapi masih bisa meraih cita-cita atau merawat anak asal tahu cara mencegah penularan. Pasien diberikan penjelasan walaupun sakit dan harus memakai masker atau terjadi penurunan berat badan, Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
109
tidak perlu malu karena perubahan tersebut sifatnya sementara, dan justru harus patuh agar berat badan bisa kembali normal dan tidak harus menggunakan masker. Pasien diajak berdiskusi dan diberikan penjelasan agar menerima sakit sebagai ujian, lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, dengan keluarga dan rajin berdiskusi dengan pasien lain agar bisa berbagi pengalaman mengenai sakit yang dialami.
Pada
sistem
interpersonal,
pasien
intervensi
yang
diberikan
meliputi
meningkatkan komunikasi yang terbuka antara perawat pasien dan pasien keluarga. Setiap pertemuan perawat meningkatkan komunikasi yang terbuka agar pasien merasa percaya dan mampu mengungkapkan segala permasalahan kesehatan yang dialami. Pasien juga ditingkatkan agar terus terbuka dan mencari dukungan dari keluarga.
Pasien diajak diskusi untuk mengidentifikasi stres,
penyebab dan solusi agar mampu menyeimbangkan stres selama sakit. Pasien diajak diskusi agar tidak ada kendala peran yang terlalu berarti dalam sekolah ataupun pekerjaan. Pihak RS atau dokter dapat memberikan surat keterangan istirahat/sakit dari dokter untuk diberikan pada instansi tempat pasien sekolah atau bekerja.
Pada sistem sosial, pasien diberikan intervensi pengetahuan mengenai prosedur pelayanan RS, seperti pelayanan TB paru hanya dilaksanakan tiap selasa dan rabu, fasilitas yang dimiliki seperti pelayanan laboratorium, radiologi dan farmasi. Tata cara alur pelayanan baik pasien umum, BPJS maupun asuransi lainnya dan sumber daya yang dimiliki seperti dokter spesialis dan perawat yang ahli dibidang TB paru. Pasien juga diberikan penjelasan mengenai program TB paru, bahwa setiap pasien yang sakit akan di data dan dilaporkan pada dinas kesehatan. Obat yang diberikan adalah obat gratis dari pemerintah, jika pasien membeli sendiri harganya mahal sehingga pasien harus patuh karena pemerintah sudah membantu memfasilitasi biaya. Pasien juga diberikan penjelasan bahwa jika ingin pindah ke puskesmas, maka harus setelah 2 bulan pengobatan atau setelah melewati pengobatan fase intensif. Dengan diberikan penjelasan tersebut pasien dapat mengambil keputusan untuk berobat di RS atau pindah setelah 2 bulan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
110
pengobatan. Pemberian intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dilengkapi dengan 1 buku model dan 1 booklet yang diberikan kepada pasien sesuai dengan pokok bahasan yang tercantum di panduan implementasi model. Panduan lengkap intervensi model tercantum pada lampiran 9.
5.2 Hasil Penelitian Tahap II Penelitian tahap II merupakan validasi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King. Pada Tahap ini digambarkan tentang perbedaan karakteristik responden, tingkat pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pasien dalam pengobata sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.
5.2.1 Perbedaan karakteristik responden antar kelompok Berikut ini adalah gambaran perbedaan karakteristik responden, tingkat pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi antar kelompok sebelum perlakuan. Tabel.5.2 Karakteristik responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol Intervensi (n=50) N %
Variabel 1. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 2. Umur 18-45 45-60 3. Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja 4. Pendidikan Pend.formal < 9 th Pend.formal > 9 th 5. Status perkawinan Menikah Belum menikah/ Janda/Duda
Kontrol (n=50) n %
Nilai p*
36 14
72 28
27 23
54 46
0.062
34 16
68 32
31 19
62 38
0.675
8 42
16 84
25 25
50 50
0.01
12 38
24 76
27 23
54 46
0.004
37 13
74 26
40 10
80 20
0.635
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis kelamin dengan proporsi terbesar adalah lakilaki pada kedua kelompok. Usia responden pada kelompok intervensi maupun Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
111
kelompok kontrol proporsi terbanyak pada usia 18-45 tahun yaitu pada kelompok intervensi sebesar 68% dan pada kelompok kontrol sebesar 62%. Pekerjaan pada kelompok intervensi memiliki proporsi tertinggi pada bekerja yaitu sebesar 84% sedangkan pada kelompok kontrol memiliki proporsi yang sama pada kelompok bekerja maupun tidak bekerja yaitu sebesar 50%.
Tingkat pendidikan pada
kelompok intervensi memiliki proporsi tertinggi yaitu pada pendidikan SMA dan PT yaitu sebesar 76% sedangkan kelompok kontrol memiliki proporsi terbesar pada tingkat pendidikan SD dan SMP yaitu sebesar 54%. Status perkawinan pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol memiliki proporsi terbesar pada status perkawinan sudah menikah, pada kelompok intervensi sebesar 74% dan 80% pada kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik responden pada jenis, umur, status perkawinan dengan nilai p>0.05, berarti kedua kelompok setara. Sedangkan status pekerjaan dan tingkat pendidikan tidak memiliki nilai kesetaraan sehingga variabel ini berpotensi sebagai variabel perancu. Untuk selanjutnya keselurahan variabel ini diuji apakah mempengaruhi pengaruh model intervensi terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
Pada tabel di bawah ini akan ditampilkan hasil uji variabel pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model.
Tabel. 5.3 Perbedaan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum intervensi (n=100) Intervensi Kontrol Variabel Nilai p* Mean Median Mean Median 1. Pengetahuan 51.75 50 48.80 50 0.299 2. Self efficacy 29.50 30 30.40 30 0.134 3. Motivasi 31.80 32 32.32 32 0.396 4. Pencegahan 24.80 24 24.16 24 0.069 penularan 5. Kepatuhan nutrisi 31.42 31 32.10 32 0.288 * uji independent t-test Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
112
Dari hasil uji independent t test menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi dengan nilai p>0.05 sehingga kedua kelompok setara. Kepatuhan pengobatan tidak dilakukan karena pengukuran kepatuhan dilakukan hanya pada pengukuran post test1 dan pos test 2.
Di bawah ini akan diuraikan hasil uji normalitas data pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi sebelum dan setelah intervensi.
Tabel. 5.4 Uji normalitas data pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan setelah intervensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Variabel Pengetahuan pre Pengetahuan post 1 Pengetahuan post 2 Self efficacy pre Self efficacy post 1 Self efficacy post 2 Motivasi pre Motivasi post 1 Motivasi post 2 Pencegahan penularan pre Pencegahan penularan post 1 Pencegahan penularan post 2 Kepatuhan nutrisi pre Kepatuhan nutrisi post 1 Kepatuhan nutrisi post 2
Signifikansi p=0.140 p=0.030 p=0.000 p=0.204 p=7.660 p=0.000 p=0.524 p=0757 p=0.010 p=0.032 p=0.000 p=0.558 p=0.000 p=0.226 P=0.816
Dari hasil uji normalitas data di atas dapat terlihat sebagian besar data berdistribusi normal atau p>0.05. Untuk selanjutnya data diuji dengan GLM-RM untuk melihat pengaruh model dan uji mancova untuk melihat pengaruh variabel perancu.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
113
5.2.2 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)
Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.5 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97) Variabel
Mean
Intervensi (n=50) Median 95% CI
Mean
Kontrol (n=47) Median 95% CI
Nilai p*
50.00 62.50
0.607
Pengetahuan Sebelum Post test1
51.75 88.25
50 87.5
Post test 2
94.00
100 90.37-97.63 67.28 75.00 63.54-71.03 2 2 p1 (p<0.001,R =0.581), p2 (p=0.013 R, =0.064)
47.91-53.8 48.80 84.28-92.21 65.42
46.34-54.27 61.33-69.51
R2
0.400 <0.001 <0.001 0.521
p interaksi < 0.001,R2=0.555.
Dari tabel 5.5 menunjukkan nilai rata-rata pengetahuan mengalami peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan pengetahuan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (p=0.607), akan tetapi terdapat perbedaan pengetahuan setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 40% dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 52.1%. Terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 58.1% dan terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar 6.4%. Perbedaan pengetahuan lebih tinggi pada pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi dibandingkan pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap pengetahuan terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar 5.2) Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
114
Gambar 5.2. Grafik interaksi nilai rata-rata pengetahuan diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok Secara umum terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran (sebelum intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar 55.5%.
5.2.3 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)
Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.6 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97) Variabel Self efficacy Sebelum Post test 1 Post test 2
Mean 29.78 44.46 49.06
Intervensi (n=50) Median 95% CI
Mean
Kontrol (n=47) Median 95% CI
30.50 28.92-30.63 30.12 30.00 29.20-30.96 44.00 43.71-45.20 37.38 38.00 36.61-38.15 50.00 48.63-49.48 46.79 46.00 46.35-47.28 p1 (p<0.001, R2=0.475), p2 (p<0.001, R2=0.526) P interaksi < 0.001, R2=0.406
Nilai p
R2
0.623 <0.001 <0.001
0.646 0.364
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
115
Dari tabel 5.6 menunjukkan nilai rata-rata self efficacy mengalami peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan self efficacy antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (p=0.623), akan tetapi terdapat perbedaan self efficacy setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 64.6% dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 36.4%.
Terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 47.5% dan terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar 52.6%. Perbedaan self efficacy lebih tinggi pada pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan intervensi dibandingkan pada pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap self efficacy terlihat pada 2 bulan setelah intervensi namun lebih jelas terlihat setelah 5 bulan intervensi (Gambar 5.3)
Gambar 5.3. Grafik interaksi self efficacy diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
116
Secara umum terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran (sebelum intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar 40.6%.
5.2.4
Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)
Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.7 Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97) Variabel Motivasi Sebelum Post test 1 Post test 2
Mean 32.08 45.26 47.28
Intervensi (n=50) Median 95% CI
Mean
Kontrol (n=47) Median 95% CI
33 31.21-32.95 32.04 32.00 31.20-33.00 45 44.54-45.97 37.98 38.00 37.24-38.71 47 46.61-47.94 36.13 35.00 35.44-36.81 p1(p<0.001, R2=0.434), p2(p<0.001, R2=0.243) p interaksi < 0.001, R2=0.524
Nilai p
R2
0.967 <0.001 <0.001
0.675 0.850
Dari tabel 5.7 menunjukkan nilai rata-rata motivasi mengalami peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan motivasi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (p=0.967), akan tetapi terdapat perbedaan motivasi setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 67.5% dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 85%.
Terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 54.34% dan terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran setelah 2 bulan Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
117
terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar 24.3%. Perbedaan motivasi lebih tinggi pada pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi dibandingkan pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan ntervensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap motivasi terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar 5.4)
Gambar 5.4. Grafik interaksi motivasi diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok Secara umum terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran (sebelum intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar 52.4%.
5.2.5 Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)
Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut: Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
118
Tabel 5.8 Pencegahan penularan sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97) Variabel Pencegahan penularan Sebelum Post test 1 Post test 2
Intervensi (n=50) Mean Median 95% CI
24.80 45.28 49.12
Mean
Kontrol (n=47) Median 95% CI
25.00 24.30-25.29 24.16 24.00 45.00 44.58-45.98 37.74 38.00 50.00 48.38-49.85 41.60 40.00 p1 (p<0.001, R2=0.607), (p=0.987) p interaksi < 0.001, R2=0.454
23.68-24.70 37.02-38.47 40.84-42.35
Nilai p*
0.093 <0.001 <0.001
Dari tabel 5.8 menunjukkan nilai rata-rata pencegahan penularan mengalami peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan pencegahan penularan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (p=0.093), akan tetapi terdapat perbedaan pencegahan penularan setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 69.9% dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 67.9%.
Terdapat perbedaan pencegahan penularan antar pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 60.7%, namun tidak terdapat perbedaan pencegahan penularan antar pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p=0.987). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap pencegahan penularan terlihat pada 2 bulan setelah intervensi namun tidak terdapat perbedaan setelah 5 bulan intervensi (Gambar 5.5)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
R2
0.699 0.679
119
Gambar 5.5. Grafik interaksi pencegahan penularan diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok. Secara umum terdapat perbedaan pencegahan penularan antar pengukuran (sebelum intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar 45.4%.
5.2.6 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)
Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
120
Tabel 5.9 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97) Variabel Kepatuhan nutrisi Sebelum Post test 1 Post test 2
Mean
31.42 44.52 47.08
Intervensi (n=50) Median 95% CI
Mean
Kontrol (n=47) Median 95% CI
31.00 30.58-32.30 32.10 32.00 44.00 43.78-45.25 37.60 38.00 48.00 46.43-47.73 39.13 40.00 p1(p<0.001, R2=0.778), p2 (p=0.011, R2=0.065) p interaksi < 0.001, R2=0.703
31.43-33.25 36.84-38.35 38.46-39.80
Nilai p*
0.153 0.001 0.001
Dari tabel 5.9 menunjukkan nilai rata-rata kepatuhan nutrisi mengalami peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (p=0.153), akan tetapi terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 64.1% dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 75%.
Terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 77.8% dan terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p=0.011) dengan kekuatan perbedaan sebesar 6.5%. Perbedaan kepatuhan nutrisi lebih tinggi pada pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi dibandingkan pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan ntervensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap kepatuhan nutrisi terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar 5.5)
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
R2
0.641 0.750
121
Tabel 5.10 Perbedaan berat badan pasien sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan nutrisi berbasis teori sistem interaksi King.(n=97) Variabel 1. 2. 3. 4. 5.
BB awal BB1 BB2 ∆BBawal-BB1 ∆BB1-BB2
Intervensi Mean Median 51.83 52.00 54.30 54.00 56.08 56.00 2.36 2.00 1.80 2.00
Kontrol Mean Median 50.06 50.00 51.81 52.00 53.32 53.00 1.96 2.00 1.51 1.00
p 0.246 0.104 0.067 0.012 0.039
Tabel 5.10 mendukung perbedaan kepatuhan nutrisi pada pasien TB paru, dalam tabel dapat dilihat peningkatan berat badan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Setelah 2 bulan intervensi kelompok intervensi mengalami rata-rata peningkatan berat badan sebesar 2.36 kg sedangkan kelompok kontrol mengalami rata-rata peningkatan berat badan sebesar 1.96 kg (p=0.012), sedangkan setelah 5 bulan intervensi rata-rata peningkatan berat badan pada kelompok intervensi sebesar 1.80 kg dan pada kelompok kontrol sebesar 1.51 kg (p=0.039)
Gambar 5.6. Grafik interaksi kepatuhan nutrisi diantara waktu pengukuran dan diantara kelompok.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
122
Secara umum terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran (sebelum intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar 70.3%.
5.2.7 Kepatuhan pengobatan (cara, dosis, waktu dan kepatuhan pengobatan selama 6 bulan) sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)
Kepatuhan pengobatan pasien TB paru berdasarkan cara minum obat (satu kali dalam satu waktu atau beberapa kali dalam beberapa waktu), dosis pengobatan, waktu minum obat (1 jam sebelum makan atau sesudah makan) dan kepatuhan pengobatan selama 6 bulan didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel.5.11 Kepatuhan pengobatan kelompok intervensi dan kelompok kontrol (n=97) Variabel
Intervensi (n=50) n %
1. Cara Satu kali satu waktu Beberapa kali beberapa waktu 2. Dosis Sesuai Tidak sesuai 3. Waktu sebelum makan Sesudah makan 4. Kepatuhan Tidak drop out Drop out
0
0
Kontrol (n=47) n % 36
Nilai p
76.6 0.001
50
100
11
23.4
50 0
100 0
47 0
100 0
50 0
100 0
40 7
85.1 14.9
50 0
100 0
47 3
94 6
1
0.005 0.242
Dari tabel 5.10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan cara minum OAT pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 2 bulan pemberian intervensi
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
123
(p=0.001). Pada kelompok intervensi 100% responden minum OAT dalam satu waktu sedangkan pada kelompok kontrol ada 11 responden (23.4%) yang masih minum OAT dalam beberapa waktu (pagi, siang dan malam). Dosis minum OAT pada kelompok intervensi atau kelompok kontrol tidak ada perbedaan, kedua kelompok minum obat sesuai dengan dosis yang diberikan. Terdapat perbedaan waktu minum obat antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 2 bulan intervensi (p=0.005), setelah 2 bulan intervensi 100% kelompok intervensi minum OAT 1 jam sebelum makan, sedangkan pada kelompok kontrol 7 (14.9%) responden minum OAT setelah makan. Pada akhir intervensi (setelah 5 bulan) tidak terdapat perbedaan kepatuhan pengobatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, namun pada kelompok intervensi tidak ada responden yang drop out sedangkan pada kelompok kontrol ada 3 (6%) responden yang drop out pengobatan.
5.2.8
Pengaruh variabel perancu terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
Intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan, self effiacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi perlu dipertimbangkan adanya variabel lain yang mengganggu hasil atau disebut juga variabel perancu. Variabel yang diduga sebagai variabel perancu pada penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan dan status perkawinan. Di bawah ini akan dijelaskan hasil uji statistik untuk menilai adanya varaibel perancu pada pengukuran hasil penelitian akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
124
Tabel 5.12. Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara kelompok Pengukuran Jenis kelamin Umur Pekerjaan Pendidikan Status perkawinan
Akhir bulan ke-2 p=0.275 p=0.255 p=0.403 p=0.001 p=0.722
Akhir bulan ke-5 p=0.943 p=0.189 p=0.915 p=0.000 p=0.242
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa hanya variabel pendidikan (p<0.05) yang merupakan variabel perancu. Untuk selanjutnya varaiabel mana saja yang dipengaruhi oleh variabel pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.13. Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara kelompok berdasarkan variabel Pengukuran
Pendidikan
Akhir bulan ke-2 Pengetahuan p=0.000 Self efficacy p=0.918 Motivasi p=0.756 Pencegahan p=0.261 penularan Kepatuhan p=0.108 nutrisi
Akhir bulan ke-5 Pengetahuan p=0.000 Self efficacy p=0.913 Motivasi p=0.376 Pencegahan p=0.327 penularan Kepatuhan p=0.428 nutrisi
Dari tabel 5.13 di atas dapat dilihat bahwa variabel pendidikan merupakan variabel perancu bagi pengaruh model intervensi peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
BAB 6 PEMBAHASAN
Bab ini membahas tentang hasil penelitian efektifitas model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi, implikasi penelitian terhadap ilmu keperawatan dan keterbatasan penelitian.
6.1 Pembahasan Hasil Penelitian
6.1.1 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan. Pengaruh ini dapat dicapai dengan meningkatkan sistem personal pasien yaitu menumbuhkan persepsi yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran yang tepat tentang TB paru. Dengan intervensi yang reguler selama 2 bulan pertama, dimana perawat dan pasien berinteraksi dengan rentang 2 minggu sekali yaitu saat pasien datang ke poli paru untuk kontrol, pasien memperoleh pengetahuan dan dapat berdiskusi dan berbagi pengalaman tentang TB paru. Pasien pada akhirnya menemukan perspektif baru mengenai apa dan bagaimana TB paru.
Peningkatan pengetahuan terjadi pada kelompok kontrol. Walaupun pada kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami peningkatan pengetahuan
walaupun
tidak
sebesar
kelompok
intervensi.
Peningkatan
pengetahuan pada kelompok kontrol dapat disebabkan karena pasien menerima informasi tentang TB paru dari sumber lain. Sumber yang dapat dijadikan sumber pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai sumber seperti media cetak, elektronik maupun dari petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
125 Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
126
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pembronia (2012) yang meneliti tentang pengaruh motivational interviewing terhadap motivasi dan kemandirian penderita TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa motivational interviewing meningkatkan pengetahuan pasien TB paru. Penelitian senada dilakukan Prayogi (2014) yang meneliti pengaruh psychoeducative family therapy terhadap kepatuhan pasien TB paru, dari hasil didapatkan bahwa pasien yang diberi psychoeducative family therapy
memiliki pengetahuan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak memperoleh perlakuan. Walaupun intervensi dari penelitian ini berbeda dengan dengan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, namun masih memiliki kesamaan yaitu sama-sama memberikan pembelajaran yang tepat ke pasien mengenai TB paru.
Penelitian yang hampir sama yaitu penelitian Sekarsari (2013) yang meneliti tentang efektifitas model “ProMise” integrasi edukasi dan konseling terhadap perawatan mandiri, pengetahuan, tahap perubahan, readmission dan atau kematian pasien gagal jantung.
Persamaan dengan model peningkatan interaksi King
adalah sama-sama memberikan edukasi dan interaksi kepada pasien selama kurun waktu 6 bulan. Pasien yang diberikan edukasi secara terus menerus akan meningkatkan pengetahuannya.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Aini, Fatmaningrum & Yusuf (2011) yang meneliti tentang upaya meningkatkan perilaku pasien dalam tatalaksana Diabetes Mellitus dengan pendekatan teori model behavioral system Dorothy E.Johnson. Persamaan dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah sama-sama memberikan intervensi berupa edukasi dan pemberian motivasi. Dari hasil didapatkan bahwa pasien yang diberikan edukasi dan motivasi akan meningkat tingkat pengetahuannya dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan intervensi.
Penelitian lain yang hampir sama adalah penelitian Ibrahim, Mardiah dan Priambodo (2014) yang meneliti tentang pengetahuan, sikap, dan praktik
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
127
kewaspadaan universal perawat terhadap penularan HIV/AIDS, pada hasil menunjukkan adanya hubungan yang positif antara pengetahuan dan praktik. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan/kognitif merupakan domain penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan didefinisikan sebagai pengakuan secara intelektual dengan fakta kebenaran/prinsip di tambah dengan pengamatan, pengalaman dan laporan. Adanya pengetahuan di perlukan sebelum terjadinya tindakan pada seseorang. Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh pembelajaran, dalam hal ini pembelajaran yang diberikan pada pasien TB paru yang menjalani pengobatan diberikan melalui peningkatan sistem personal yaitu memberikan pembelajaran yang tepat mengenai konsep TB paru.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Lamak, Kusnanto dan Dewi (2014) tentang pengetahuan, self efficacy dan stres pasien kusta melalui penerapan support group dengan pendekatan teori adaptasi, pada hasil didapatkan bahwa support group dapat meningkatkan pengetahuan pasien. Walaupun intervensi yang diberikan berbeda dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King namun masih memiliki persamaan yaitu pada intervensi pasien mendapatkan informasi mengenai penyakit dan penanganannya.
Hasil penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Loriana, Thaha dan Ramdan (2007) yang meneliti tentang efek konseling terhadap pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat pada penderita TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa ada pengaruh efek konseling terhadap peningkatan pengetahuan pasien TB paru. Konseling pada pasien TB pada intinya adalah memberikan pembelajaran kepada pasien TB paru, hal ini hampir sama dengan yang intervensi pada model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King yaitu memberikan informasi yang dibutuhkan pasien. Sesuai pendapat Corones, dkk (2009) bahwa kebutuhan akan informasi pada pasien yang menjalankan pengobatan adalah sangat tinggi.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
128
Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian tahap 1 dalam tema persepsi yang positif atau benar mengenai TB paru. Pada penelitian ini pasien mendapatkan pembelajaran yang tepat mengenai konsep TB paru dan pengobatan TB paru. Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena ada pemahaman-pemahaman baru. Peningkatan pengetahuan pada pasien dapat dipengaruhi karena pasien selalu berinteraksi dengan perawat dan dokter, sehingga dimungkinkan melalui interaksi yang terus menerus dan pembelajaran yang tepat maka pasien mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang tepat.
Gagne (1988) dalam information processing learning theory berpendapat bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Pemrosesan informasi melalui interaksi antara kondisi internal dan kondisi eksternal individu. Untuk mengingat sesuatu manusia harus melakukan 3 hal yaitu mendapatkan informasi, menyimpannya dan mengeluarkan kembali.
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model intervensi yang menekankan adanya interaksi antara perawat dan pasien. King (dalam Alligood & Tomey, 2006) mengembangkan proposisi dalam teori pencapaian tujuan, yaitu: jika persepsi akurat dalam interaksi perawat-pasien maka akan terjadi transaksi. Jika perawat-pasien membuat transaksi maka tujuan akan tercapai. Dalam model ini perawat menumbuhkan persepsi yang tepat agar pengetahuan pasien dapat meningkat. Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Dalam model ini untuk mencapai transaksi atau tujuan maka interaksi harus dilakukan secara terus menerus. Peningkatan pengetahuan pada pasien TB paru diperlukan sebagai dasar untuk meningkatkan perilaku yaitu kepatuhan pasien.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
129
6.1.2 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru. Peningkatan self efficacy dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal. Intervensi yang diberikan adalah meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan, membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan koping pasien.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhtar (2013) tentang pengaruh pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan self efficacy dan self care activity keluarga dan penderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang bersama-sama keluarga mendapatkan intervensi pemberdayaan keluarga memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun intervensi ini berbeda dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King namun masih memiliki intervensi yang hampir sama. Pada model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pasien mendapatkan
intervensi
untuk
meningkatkan
sistem
interpersonal
yaitu
meningkatkan komunikasi dan interaksi pasien dengan keluarga. Pasien yang dapat melakukan komunikasi dan interaksi yang terbuka dengan keluarga akan memperoleh dukungan yang sangat kuat untuk meningkatkan keyakinan diri sehingga merasa yakin untuk patuh menjalankan pengobatan sehingga mencapai kesembuhan.
Sejalan dengan hasil penelitian Hendiani, Sakti dan Widayanti (2012) yang meneliti tentang hubungan antara persepsi dukungan keluarga sebagai PMO dengan self efficacy pasien TB paru. Hasil menunjukkan bahwa pasien yang memiliki persepsi positif tentang dukungan keluarga sebagai PMO memiliki
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
130
keyakinan diri yang lebih tinggi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian tahap 1 yang mendukung yaitu subtema komunikasi dan interaksi pasien dan keluarga selama pengobatan dengan kategori pasien merasa nyaman berinteraksi dengan keluarga, pasien mendapat perhatian dari pasangan dan keluarga memberi motivasi. Pasien yang memiliki komunikasi dan interaksi yang baik dengan keluarga akan memiliki keyakinan diri yang lebih baik dibandingkan yang tidak memiliki komunikasi dan interaksi yang terbuka dengan keluarga.
Tema lain yang mendukung adalah kesadaran diri untuk sembuh yang memiliki kategori yakin TB paru dapat disembuhkan dan rajin berobat walau harus datang sendiri. Pasien yang patuh memiliki keyakinan yang kuat bahwa sakit TB paru dapat disembuhkan. Pada pasien yang patuh yang tidak memiliki atau jauh dari keluarga, mereka memiliki keyakinan yang kuat untuk sembuh dan rajin datang berobat di poli paru walaupun harus datang sendiri ke rumah sakit. Pada model intervensi King salah satu intervensi yang diberikan adalah meningkatkan sistem personal yaitu meningkatkan kesadaran diri. Pasien yang kurang mendapat dukungan keluarga diberikan keyakinan bahwa mereka harus mampu dan harus yakin untuk patuh hingga mencapai kesembuhan. Beberapa komponen yang penting dalam menumbuhkan self efficacy adalah meningkatnya pengetahuan dan sikap , tingginya harga diri, merasa mempunyai kemampuan yang cukup, mempunyai keyakinan untuk mengambil tindakan serta kepercayaan akan kemampuan untuk mengubah situasi (Notoatmojo, 2010). Berdasarkan hal tersebut pasien harus diyakinkan bahwa diri mereka sendiri yang mampu merubah situasi dari sakit menjadi sehat walau tanpa dukungan keluarga. Pasien masih berhak meraih cita-cita di masa depan saat sudah sembuh dari TB paru.
Pada intervensi untuk meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, pasien TB paru diberikan contoh pasien-pasien yang patuh berobat dan mencapai kesembuhan agar memiliki keyakinan bahwa mereka juga sanggup untuk patuh supaya dapat mencapai kesembuhan. Dengan memberikan contoh pasien yang sembuh, sesuai dengan pendapat Bandura (1994) di atas salah satu faktor yang mempengaruhi self
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
131
efficacy seseorang adalah vicarious experience, yaitu seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka untuk mendapatkan seperti apa yang orang lain peroleh. Self efficacy akan meningkat jika mengamati keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain, sebaliknya self efficacy akan menurun apabila individu mengamati seseorang yang memiliki kemampuan setara dengan dirinya mengalami kegagalan.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Kholifah (2014) yang meneliti tentang self management intervention sebagai upaya peningkatan kepatuhan pada penderita DM. Pada hasil didaptkan bahwa self management intervention terbukti meningkatkan pengetahuan, self efficacy dan kepatuhan pada pasien DM. Persamaan intervensi dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah memberikan intervensi berupa pendidikan kesehatan dan pemberian motivasi.
Sejalan dengan penelitian Hidayati (2012) yang meneliti tentang Pengaruh hypertension self-management program terhadap perubahan self efficacy, self care behaviour dan tekanan darah penderita hipertensi di puskesmas Mojo. Persamaan dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dengan penelitian ini adalah sama-sama memberikan edukasi dan meningkatkan kesadaran diri pasien. Pada hasil ditemukan bahwa pasien yang diberikan edukasi dan kesadaran diri memiliki self efficacy yang meningkat.
Dalam model ini perawat melakukan interaksi yang terus menerus dengan pasien dan meningkatkan komunikasi yang terbuka dengan pasien dari awal intervensi sampai terminasi. King (dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan jika perawat dengan pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai menginformasikan ke pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan pencapaian tujuan akan dicapai. Dalam penelitian ini terbukti bahwa self efficacy pasien terjadi peningkatan. Self efficacy sangat diperlukan bagi pasien TB paru agar memiliki keyakinan bahwa sakit TB paru dapat disembuhkan.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
132
6.1.3 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.
Pengaruh terhadap motivasi diperoleh dengan cara meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan, membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan koping pasien.
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Kamil, Ibnu dan Rachman (2013) yang melakukan penelitian kualitatif tentang media cetak komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dalam pengobatan pasien tuberkulosis type multidrug resistant tuberculosis. Pada hasil ditemukan tema diantaranya media cetak KIE memberikan dampak yang positif terhadap pasien yaitu motivasi untuk lebih giat berobat. Persamaan dengan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah pada intervensi model menggunakan media booklet untuk meningkatkan sistem personal dimana salah satunya adalah meningkatkan motivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan.
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutarno dan Utama (2012) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berobat penderita tuberkulosis. Pada hasil ditemukan bahwa dukungan sosial dari keluarga dan petugas, pengetahuan dan persepsi tentang TB memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi untuk berobat. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terjadi interaksi yang terus menerus antara perawat dan pasien beserta keluarga jika keluarga turut datang ke poli paru. Perawat selalu melibatkan keluarga dalam memberikan intervensi terutama untuk meningkatkan sistem interpersonal pasien yaitu meningkatkan komunikasi antara
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
133
pasien dengan keluarga dan perawat serta dokter. Senada dengan pendapat Mohammadi (2006) bahwa motivasi sangat diperlukan untuk mendorong pasien agar mau terlibat secara aktif dalam proses pengendalian penyakit. Persamaan lain model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dengan model partnership Mohammadi adalah menekankan adanya proses kerjasama yang terus menerus antara perawat dan pasien dalam proses perawatan.
Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1 yaitu dalam persepsi yang positif atau benar tentang TB paru dimana pasien memperoleh pembelajaran yang tepat tentang TB paru dan pengobatan TB paru. Pasien yang patuh memperoleh pembelajaran yang tepat sehingga merasa termotivasi untuk patuh dan mencapai kesembuhan karena tahu mengenai penyakitnya. Tema lain yang berkaitan dengan peningkatan motivasi adalah tema mencapai tumbuh kembang yang optimal, tema gambaran diri yang positif dan tema komunikasi yang terbuka antara pasien dengan tenaga kesehatan dan pasien dengan keluarga.
Pasien yang memiliki persepsi yang positif atau benar akan meyakini walaupun gejala fisik sudah hilang namun penyakit TB paru belum sembuh. Hanya dokter yang berhak menyatakan sembuh setelah melalui serangkaian pengobatan dan pemeriksaan untuk menyatakan bahwa sakit benar-benar sembuh. Pasien yang memiliki persepsi yang positif merasa yakin akan sembuh dan memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh walaupun harus menjalankan pengobatan dalam jangka waktu yang lama. . Pasien yang patuh menjalankan pengobatan adalah pasien mampu mencapai tumbuh kembang yang optimal. Tema mencapai tumbuh kembang yang optimal terbagi menjadi dua subtema yaitu subtema harapan masa depan yang lebih baik dan subtema mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Pasien yang patuh memiliki motivasi yang kuat karena harus sembuh untuk mencapai cita-cita di masa depan seperti mencapai gelar sarjana, mendapatkan pekerjaan yang layak dan mewujudkan harapan untuk memiliki anak. Pasien yang patuh juga memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh karena harus menjalankan tugas
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
134
perkembangan secara optimal seperti mengasuh anak. Pasien yang memiliki balita namun memiliki sakit TB paru memiliki motivasi yang lebih untuk segera sembuh dan patuh berobat agar tidak was was anaknya tertular TB paru.
Pada tema gambaran diri yang positif, pasien yang yang patuh memiliki gambaran diri yang positif, Walaupun pada awalnya merasa minder dengan penurunan berat badan namun akhirnya penurunan berat badan ini menjadikan motivasi yang kuat untuk patuh dalam pengobatan agar mencapai berat badan normal. Pasien yang patuh juga tidak pernah merasa malu kalo harus memakai masker kemana-mana karena tujuan memakai masker adalah untuk melindungi orang lain dari tertular TB paru dan melindungi diri agar tidak terkontaminasi udara kotor yang dapat menyebabkan penyakit lain atau mempeparah kondisi sakit. Pasien merasa yakin dan termotivasi untuk sembuh agar terbebas dari memakai masker dan terbebas dari kekhawatiran menulari orang lain.
Tema komunikasi terbuka diidentifikasi menjadi dua subtema yaitu komunikasi dengan petugas kesehatan dan subtema komunikasi dengan keluarga. Pasien yang mendapat dukungan yang positif dari keluarga maupun petugas memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai kesembuhan dan patuh dalam menjalankan pengobatan. Menurut King (dalam Alligood & Tomey, 2006) jika perawat dengan pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai menginformasikan ke pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan pencapaian tujuan akan dicapai. Dengan komunikasi dan interaksi yang terus menerus pasien mampu mencurahkan segala perasaan dan permasalahan selama sakit sehingga merasa nyaman dan memiliki dukungan yang positif yang membantunya untuk selalu termotivasi mencapai kesembuhan.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
135
6.1.4 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pencegahan penularan pasien TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pencegahan penularan pasien TB paru. Pengaruh ini terbukti pada akhir bulan ke-2 intervensi namun tidak terbukti pada akhir bulan ke-5 intervensi. Hal ini terjadi bisa disebabkan pada kelompok kontrol mendapatkan informasi yang sama tentang pencegahan penularan dari petugas kesehatan atau media lainnya. Pengaruh model terhadap pencegahan penularan diperoleh
melalui
peningkatan
sistem personal
pasien
yaitu
menumbuhkan persepsi yang positif atau benar melalui pembelajaran yang tepat tentang pencegahan penularan dan memberikan penjelasan tentang lingkungan rumah yang mendukung kesembuhan
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Kaona, dkk (2004) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan dan pengetahuan tentang transmisi penularan pada pasien TB paru. Hasil menunjukkan bahwa pasien lebih banyak pasien pria dibandingkan pasien wanita yang melakukan transmisi atau penularan TB paru (memakai tempat makan yang sama). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak pasien yang tidak mengetahui bagaimana pencegahan penularan tuberkulosis paru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, salah satu intervensi yang diberikan adalah pembelajaran yang tepat mengenai pencegahan penularan. Pasien diberikan pembelajaran bagaimana cara batuk dan bersin yang benar, cara membuang dahak dan menggunakan alat-alat makan dan minum agar tidak terjadi penularan.
Hasil senada dengan penelitian Widari (2010) yang meneliti tentang perbandingan pengaruh penyuluhan kesehatan dan konseling terhadap perubahan perilaku pencegahan penularan pada penderita tuberkulosis. Pada hasil ditemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dan konseling terhadap perubahan pengetahuan, sikap maupun perilaku pencegahan
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
136
penularan pasien tuberkulosis paru. Persamaan penelitian ini dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah sama-sama memberikan pembelajaran. Metode yang digunakan yaitu hampir sama dengan metode konseling dimana interaksi perawat-pasien dilakukan secara individual dan bukan dalam kelompok. Pada hasil ditemukan bahwa ada peningkatan perilaku pencegahan penularan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan secara bermakna pada pengukuran sebelum intervensi terhadap akhir bulan ke-2 intervensi (60.7%) sedangkan antar pengukuran akhir bulan ke-2 intervensi terhadap akhir bulan ke-5 intervensi tidak menunjukkan peningkatan yang bermakna. Hal ini dimungkinkan pembelajaran selama 2 bulan sudah cukup memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan perilaku pasien. Kondisi ini dimungkinkan karena pembelajaran yang reguler selama 2 bulan pertama yaitu setiap 2 minggu sekali saat pasien berobat ke poli paru. Peningkatan ini juga dimungkinkan karena adanya pembelajaran yang tepat pada model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King yaitu diberikannya pembelajaran mengenai orang yang memiliki resiko tertular, pencegahan penularan TB paru dan sikap saat bersin dan batuk. Dengan pembelajaran yang tepat pasien mampu melakukan pencegahan penularan kepada orang lain sehingga menurunkan jumlah pasien TB paru.
Peningkatan pencegahan penularan juga terjadi pada kelompok kontrol. Walaupun pada kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami peningkatan pencegahan penularan walaupun tidak sebesar kelompok intervensi. Peningkatan pencegahan penularan pada kelompok kontrol dapat disebabkan karena pasien menerima informasi tentang TB paru dari sumber lain, seperti media cetak, elektronik maupun dari petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2007). . Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Asih, Suyanto dan Munir (2014) yang meneliti tentang gambaran perilaku pasien TB paru terhadap upaya
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
137
pencegahan penyebaran penyakit TB paru pada pasien yang berobat di poli paru. Pada hasil ditemukan bahwa 43.5% pasien memiliki pengetahuan yang baik, 70.4% memiliki sikap yang baik dan 46.1% memiliki perilaku yang baik tentang upaya pencegahan penularan. Dari hasil tersebut memberikan gambaran bahwa masih diperlukan pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan perilaku pencegahan penularan TB paru. Intervensi model King menyediakan model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan perilaku pencugahan penularan.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Fatimah (2008), yang meneliti tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru di kabupaten Cilacap. Hasil penelitian ditemukan bahwa ada hubungan antara kejadian TB paru dengan pencahayaan, ventilasi, keberadaan jendela dibuka, kelembaban, suhu, jenis dinding dan status gizi. Lingkungan merupakan faktor yang penting untuk mencegah terjadinya penularan. Lingkungan yang buruk dapat meningkatkan resiko penularan yang pada akhirnya meningkatkan angka kejadian TB paru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pasien diberikan pembelajaran dan diajak diskusi mengenai lingkungan rumah yang sehat untuk mencegah terjadinya penularan. Pasien diajarkan untuk membuka jendela rumah setiap hari agar sinar matahari dan udara dapat masuk ke dalam rumah, membuat genteng kaca jika kamar tidak memiliki jendela serta mengajarkan agar selalu menjaga kebersihan rumah.
Hasil penelitian juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1, yang menemukan bahwa pasien yang patuh mendapatkan pembelajaran yang tepat mengenai pencegahan penularan, dimana pasien menjelaskan cara batuk dan bersin yang benar, menjelaskan cara membuang dahak yang benar yaitu ke saluran air, dan saat makan mengunakan alat-alat makan dan minum secara terpisah. Pasien yang patuh dapat menurunkan resiko orang lain tertular TB paru. Tema lain yang mendukung adalah tema lingkungan yang sehat yang mendukung kesembuhan. Pada kategori lingkungan rumah pasien menjelaskan bahwa rumah memiliki jendela yang dibuka sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah. Lingkungan yang sehat membantu mencegah penularan dan penyebaran penyakit
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
138
TB paru. Pada kategori ruang RS, pada ruang poli paru ruangan tidak dilengkapi AC (air conditioner), memiliki jendela yang banyak dan selalu dibuka mendapat sinar matahari yang cukup karena tidak terhalang oleh bangunan lain.
King (dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan bahwa kerangka kerja sistem interaksi dan teori pencapaian tujuan berlandaskan pada asumsi bahwa fokus keperawatan adalah interaksi manusia dan lingkungannya yang menuntun pada tingkat kesehatan individu. Dalam model ini interaksi antara perawat dan pasien menuntun pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan agar tahu cara melakukan pencegahan penularan sehingga tidak menulari orang lain disekitarnya, pasien juga diajarkan bagaimana lingkungan yang sehat agar membantu penunjang kesembuhan. Pencegahan penularan yang dinilai dalam penelitian ini adalah penilaian yang dilakukan untuk mengukur persepsi bagaimana melakukan pencegahan penularan. Dengan persepsi yang tepat diharapkan pasien mampu menerapkan pencegahan penularan baik saat di hadapan petugas di rumah sakit, saat di rumah maupun saat berinteraksi dengan lingkungan sosial.
6.1.5 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King berpengaruh kepatuhan nutrisi pasien TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kepatuhan nutrisi diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King. Pada akhir bulan ke 2 dan akhir bulan ke 5 setelah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King menunjukkan hasil adanya perbedaan kepatuhan nutrisi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan secara bermakna lebih besar antar pengukuran sebelum intervensi terhadap akhir bulan ke-2 intervensi (77.8%) dibandingkan antar pengukuran akhir bulan ke-2 intervensi terhadap akhir bulan ke-5 intervensi (0.06%). Pengaruh terhadap kepatuhan nutrisi pada pasien dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan menumbuhkan persepsi Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
139
yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran tentang TB paru dengan salah satunya adalah pembelajaran tentang nutrisi yang menunjang kesembuhan pada pasien TB paru. Hal ini juga didukung oleh adanya perbedaan peningkatan berat badan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu sebesar 2.36 kg pada kelompok intervensi dan 1.96 kg pada kelompok kontrol. Walaupun pada kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami peningkatan kepatuhan nutrisi dan peningkatan berat badan walaupun tidak sebesar kelompok intervensi. Hal ini dimungkinkan karena pasien pada kelompok kontrol mendapat informasi dari media lain atau dari petugas kesehatan. Peningkatan berat badan juga dipengaruhi oleh pengobatan selama fase intensif dimana perbaikan pada organ paru akan meningkatkan nafsu makan pasien sehingga terjadi peningkatan berat badan.
Senada dengan penelitian Nurhanah, Airuddin dan Abdullah (2010) yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan 2007. Pada hasil penelitian ditemukan bahwa ada hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status nutrisi, tempat tinggal dan merokok dengan kejadian tuberkulosis. Status nutrisi berkorelasi positif dengan kejadian TB paru. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Misnadiarly dan Sunarno (2009), yang meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian tuberkulosis di Indonesia tahun 2007. Pada hasil ditemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru adalah diabetes mellitus, status nutrisi, pendidikan, pekerjaan, merokok, usia tua dan jenis kelamin. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Fatimah (2008) yang meneliti tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru di kabupaten Cilacap. Hasil penelitian ditemukan bahwa ada hubungan antara kejadian TB paru dengan pencahayaan, ventilasi, keberadaan jendela dibuka, kelembaban, suhu, jenis dinding dan status gizi.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
140
Berdasarkan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa walaupun status nutrisi bukan penyebab kejadian TB paru akan tetapi status nutrisi berkaitan dengan daya tahan tubuh seseorang. Saat daya tahan tubuh menurun maka akan mudah sekali terserang berbagai penyakit termasuk TB paru. Pada pasien TB paru selain pengobatan status nutrisi menjadi sangat penting karena membantu meningkatkan daya tahan tubuh sehingga pasien dapat sembuh dengan waktu pengobatan yang minimal (6 bulan). Status gizi yang buruk dapat memperpanjang waktu pengobatan. Dalam intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, pasien diberikan pembelajaran yang tepat mengenai nutrisi yang penting untuk membantu proses penyembuhan TB paru.
Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1 yaitu dalam tema persepsi yang positif atau benar tentang TB paru dimana pasien mendapatkan pembelajaran yang tepat tentang nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang kesembuhan. Dengan pembelajaran yang tepat pasien dapat mengetahui dan mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang untuk meningkatkan daya tahan tubuh sehingga dapat membantu proses kesembuhan. Menurut King (dalam Alligood & Tomey, 2006), dalam hubungan interpersonal perawat dan pasien saling mempersepsikan, membuat keputusan dan bertindak bersama-sama. Hasil sebuah interaksi dan jika persepsi sudah sama maka akan terbentuk transaksi. Dalam hal ini transaksi yang terbentuk adalah kepatuhan nutrisi. Nutrisi bukan merupakan faktor penyebab terjadinya TB paru tetapi nutrisi adalah faktor yang dapat menyebabkan seseorang tertular TB paru atau memperberat kondisi penyakit TB paru.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
141
6.1.6 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap cara minum OAT (satu waktu dan beberapa waktu), waktu minum obat (sebelum makan dan setelah makan) namun tidak ada pengaruh terhadap dosis OAT pada akhir bulan ke-2 intervensi. Dari hasil kepatuhan (drop out pasien selama pengobatan), walau secara statistik tidak signifikan namun secara teoritis angka 6% ini cukup signifikan karena dari yang drop out ini dapat menimbulkan efek yang besar seperti terjadinya penularan kepada orang lain dan terjadinya multidrug resisten yang semakin mempersulit pengobatan dan menurunkan kualitas hidup pasien.
Penilaian kepatuhan pengobatan dilakukan melalui wawancara dan menghitung bungkus obat dan sisa obat pada pasien. Metode ini merupakan metode yang paling murah untuk menilai kepatuhan walaupun memiliki kelemahan yaitu pasien dapat memanipulasi jumlah obat yang diminum. Metode yang paling tepat adalah dengan melakukan pengukuran kadar konsentrasi obat dalam darah sehingga dapat diketahui bahwa pasien memang benar patuh dalam minum obat. Metode ini sangat sulit dilakukan karena mahal dan kemungkinan adanya penolakan dari pasien untuk dilakukan pemeriksaan darah.
Pengaruh terhadap kepatuhan pengobatan diperoleh dengan cara meningkatkan sistem personal pasien melalui disiplin minum obat dan meningkatkan sistem sosial pasien dengan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan untuk melaksanakan pengobatan dan meningkatkan pengetahuan tentang birokrasi pelayanan di rumah sakit. Hasil penelitian di atas sejalan dengan penelitian Hutapea (2009) yang meneliti tentang pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum OAT. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh dukungan keluarga terhadap keteraturan minum obat dan cara minum obat. Responden yang minum obat setiap hari adalah 69.4% sedangkan cara minum obat sekaligus
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
142
sebanyak 72.7%. Persamaan kedua penelitian ini sama-sama menekankan pentingnya aspek keluarga dalam mempengaruhi kepatuhan pasien.
Senada dengan hasil penelitian Pramonodjati (2010), meneliti tentang pengaruh pembelajaran tuberkulosis terhadap kepatuhan berobat dan tingkat kesembuhan penderita tuberkulosis didapatkan hasil bahwa pembelajaran tuberkulosis pada pasien memberikan kontribusi sebesar 13% terhadap kepatuhan berobat dan tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis paru. Senada dengan hasil penelitian Senewe (2002), yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di puskesmas Depok. Pada hasil didapatkan bahwa sebanyak 33% pasien tidak patuh dalam pengobatan, dari pasien tidak patuh ini didapatkan bahwa sebanyak 69% tidak mendapat penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran merupakan hal penting yang memberikan kontribusi pada kepatuhan pasien.
Selain pembelajaran yang tepat tentang pengobatan TB paru, pada intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pasien diberikan pembelajaran tentang efek samping obat. Seperti diketahui bahwa kebanyakan pasien saat mengalami efek samping obat maka akan menghentikan sendiri pengobatannya atau akan menganggap bahwa obat yang diberikan tidak manjur sehingga akan mencari pertolongan pada dokter lain yang berakibat terputusnya pengobatan atau memulai pengobatan dari awal. Hal ini didukung oleh penelitian Bagiada dan Primasari (2010) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita tuberkulosis dalam berobat di poliklinik DOTS. Pada hasil ditemukan bahwa salah faktor yang paling penting yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan adalah adanya efek samping dari obat. Pembelajaran tentang efek samping obat dan hal apa yang harus dilakukan saat timbul efek samping obat menjadi hal yang sangat penting agar pasien tidak menghentikan pengobatan dan mencari pertolongan yang tepat.
Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian Bam,Gunneberg, Chabroon, Sawasdi, Bam, Aalberg dan Kasland (2006) yang meneliti tentang faktor yang
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
143
mempengaruhi kepatuhan pasien akan DOTS. Didapatkan hasil bahwa dari pasien yang tidak patuh sebanyak 61% menyatakan tidak tahu kalo harus minum obat setiap hari terutama saat mereka sudah merasa lebih baik. DOTS, usia muda, pengetahuan tentang TB dan ketersediaan pendidikan kesehatan berhubungan dengan peningkatan kepatuhan pengobatan. Dari hasil penelitian tersebut sangat jelas bahwa ketidakpatuhan pengobatan salah satunya adalah dipengaruhi oleh persepsi pasien yang keliru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King salah satu intervensi yang diberikan adalah menekankan pentingnya kepatuhan dan kesembuhan. Pasien biasanya setelah 2 bulan pengobatan akan merasa sembuh karena gejala-gejala sudah mulai berkurang dan tubuh sudah mulai membaik.
Senada dengan penelitian Pasek, Suryani dan Murdani (2013) yang meneliti tentang hubungan persepsi dan pengetahuan penderita tuberkulosis dengan kepatuhan pengobatan. Pada hasil ditemukan bahwa penderita TB yang memiliki persepsi positif memiliki kemungkinan patuh sebesar 21.41 kali dibandingkan yang memiliki persepsi negatif. Tingkat pengetahuan yang baik memiliki kemungkinan untuk patuh sebesar 16,81 kali dibandingan dengan yang pengetahuan kurang. Dilihat dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa persepsi memiliki pengaruh yang besar pada pasien untuk patuh. Pada intervensi model penigkatan kepatuhan seperti telah diuraikan di atas bahwa membuat persepsi pasien menjadi benar adalah merupakan faktor yang penting dalam model ini.
Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian kualitatif Nugroho (2011) yang meneliti tentang faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan adalah lama pengobatan melewati tahaf intensif sehingga gejala hilang dan pasien merasa sembuh, pembiayaan pengobatan tidak secara cuma-cuma, pasien tidak mengetahui tahapan pengobatan, tidak ada pengawas menelan minum obat, adanya kesulitan menuju BP4 (Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru), adanya efek samping obat, dan ketidaktahuan tentang komplikasi penyakit. Dari uraian di atas tampak bahwa penyebab drop out pengobatan adalah adanya
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
144
persepsi yang tidak tepat tentang sembuh, kurangnya pengetahuan pasien dan kurangnya dukungan keluarga.
Pada intervensi disiplin minum obat pasien diajarkan bagaimana cara minum obat yang tepat dan bagaimana agar tidak lupa minum obat. Dengan memberi contoh yaitu pasien minum obat pertama kali dihadapan perawat, pasien tidak akan lupa dan bingung cara minum obat, sehingga pasien tidak akan membagi obat dalam nbeberapa waktu. Pasien juga diajarkan memasang alarm pada telepon selular atau jam weker sehingga tidak akan lupa saat waktunya tiba untuk minum obat. Saat ini sudah banyak teknologi yang diciptakan melalui jaringan telepon selular untuk pengingat minum obat. Beberapa teknologi yang dikembangkan diantaranya kotak minum obat yang dilengkapi dengan alarm digital, alarm pengingat pada telepon selular berbasis android maupun blackberry, aplikasi pengingat berbasis sms (short message service). Diantara banyaknya pilihan tentu saja disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk menggunakan teknologi tersebut. Alarm pada telepon selular sederhana maupun alarm jam weker merupakan pilihan yang paling seserhana dan paling mudah untuk diterapkan pada pasien TB paru.
Pada intervensi menyeimbangkan stres, pasien diajarkan untuk mengatasi kejenuhan saat berobat dengan cara memotivasinya agar pasien mau berobat dan menganggapnya sebagai rekreasi serta menganjurkan untuk bersosialisasi dengan berbagi pengalaman dengan pasien lain. Pada intervensi koping yang efektif pasien diajarkan untuk sabar, tabah, ikhlas dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Koping yang konstruktif dapat membuat pasien lebih menerima kondisi sakitnya dan dapat membantu pasien TB paru untuk mencapai kepatuhan. Hal ini sesuai dengan penelitian Hidayat, Hamid dan Mustikasari (2014) yang meneliti tentang hubungan koping individu dengan tingkat kepatuhan penyandang diabetes mellitus, pada hasil ditemukan bahwa ada hubungan koping individu dengan kepatuhan. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Sonia, Arifin dan Murni (2014) yang meneliti tentang hubungan mekanisme koping dengan kepatuhan kemoterapi pada penderita keganasan yang mengalami ansietas dan depresi, pada
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
145
hasil ditemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara mekanisme koping dengan melakukan kemoterapi. Berdasarkan hal tersebut sangatlah jelas bahwa koping sangat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Meningkatkan koping pasien menjadi konstruktif sangat menunjang tercapainya kepatuhan pasien.
Hasil penelitian ini sejalan dengan analisis refleksi dari Garcia, Cirina, Elias, Lira dan Enders
(2014) yang menganalisis interaksi profesional-pasien dalam
kepatuhan pengobatan pasien TB paru dalam persepsi model konseptual sistem interaksi dan teori pencapaian tujuan King. Dari hasil analisis refleksi ini didapatkan hasil bahwa persepsi, keputusan dan aksi dari profesional-pasien ketika sudah sama akan menghasilkan transaksi yang mempengaruhi tujuan, kualitas komunikasi profesional pasien, menjamin kepatuhan pengobatan dan memiliki pengaruh posistif terhadap kontrol dan pengobatan TB paru. Hasil penelitian model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King memiliki kesamaan dengan analisis refleksi dari Garcia, dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa sistem interaksi perawat-pasien meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien TB paru, terbukti bahwa pasien yang diberikan intervensi memiliki kepatuhan sebesar 100% dibandingkan pada kelompok kontrol yang memiliki kepatuhan sebesar 94%.
6.1.7 Hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa variabel perancu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan tidak berhubungan dengan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi pada pasien TB paru.
Hanya variabel tingkat pendidikan yang berhubungan
dengan pengetahuan pasien TB paru. Tingkat pendidikan pada kelompok intervensi sebanyak 76% berpendidikan SMA dan PT sedangkan pada kelompok kontrol hanya 46% yang berpendidikan SMA dan PT. Dalam hal ini maka tingkat Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
146
pendidikan memperbesar pengaruh yang sesungguhnya dari model terhadap pengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan pengetahuan pada kelompok intervensi dipengaruhi oleh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan bercampurnya pengaruh dari faktor tingkat pendidikan.
Sejalan dengan penelitian Islami, Asiyah dan Wardoyo (2011) yang menjelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan. Pendidikan dapat membawa pengetahuan seseorang secara umum, seseorang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dimana responden yang memiliki tingkat pendidikan SMA-PT memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan pasien dengan tingkat pendidikan SD-SMP.
Sesuai dengan penelitian penelitian Erawatiningsih, Purwanta dan Subekti (2012) didapatkan bahwa faktor pendidikan merupakan faktor
dominan
yang
mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan pasien TB paru. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola berpikir seseorang, semakin tinggi pendidikan maka cara berpikir akan semakin luas sehingga lebih mudah dalam memperoleh pengetahuan. Tingkat pendidikan turut menentukan seseorang memahami pengetahuan yang diperoleh. Semakin tinggi pendidikan pada umumnya akan semakin baik pengetahuannya. Informasi atau pembelajaran akan memberikan pengaruh terhadap pengetahuan seseorang. Walaupun pendidikan rendah, seseorang akan meningkat pengetahuannya jika diberikan informasi atau pembelajaran. Dengan demikian, perawat dalam memberikan pembelajaran kepada pasien perlu menyesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Pada pasien yang berpendidikan rendah perlu digunakan bahasa yang sederhana sehingga maksud yang disampaikan dapat diterima dengan mudah.
Pemberian intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pada dasarnya adalah mengembalikan peran dan fungsi perawat di poli paru sebagai pemberi pelayanan keperawatan. Selama ini perawat di poli lebih banyak
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
147
melaksanakan fungsi administratif sehingga dengan model ini peran perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan dapat kembali dioptimalkan untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Peran perawat meliputi peran pelaksana, peran pendidik, peran koordinator, peran pembaharu, peran fasilitator. Pelaksanaan intervensi model meningkatkan peran perawat sebagai pelaksana asuhan keperawatan dengan meningkatkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori interaksi King dapat dimasukkan kedalam pembiayaan BPJS pada tingkat pelayanan lanjut di rumah sakit. Sebagai salah satu upaya untuk memasukkan dalam pembiayaan asuransi kesehatan BPJS, maka model ini harus terintegrasi dengan pelayanan keperawatan pada pasien TB paru. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dapat digunakan sebagai bentuk asuhan keperawatan pada pasien TB paru di poli paru. Sehingga pasien TB paru yang mendapatkan intervensi model ini dapat dibiayaai melalui asuransi BPJS sebagai pelayanan tingkat lanjut di rumah sakit.
6.2.
Implikasi terhadap pelayanan keperawatan 1. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King memberi kesempatan kepada pasien untuk berinteraksi terus menerus dengan perawat berbagi informasi dan perasaan selama menjalankan pengobatan. Melalui pertemuan yang rutin akan terbina hubungan saling percaya sehingga pasien secara terbuka mengungkapkan perasaannya. Kepatuhan pasien sangat ditunjang oleh interaksi perawat-pasien yang terus menerus. Model ini efektif meningkatkan kepatuhan pasien melalui peningkatan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. 2. Model ini teruji mampu meningkatkan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kapatuhan nutrisi dan kepatuhan menjalankan pengobatan khususnya setelah 2 bulan intervensi. Walaupun model ini memiliki dampak optimum pada akhir bulan ke-2 intervensi namun interaksi perawat-pasien perlu terus ditingkatkan sampai akhir
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
148
pengobatan. Pengetahuan pasien dapat ditingkatkan melalui intervensi pembelajaran yang tepat dan persepsi yang benar tentang kepatuhan dan kepatuhan. Self efficacy dapat ditingkatkan melalui intervensi peningkatan sikap dan keyakinan nilai diri. Motivasi dapat ditingkatkan melalui intervensi menumbuhkan persepsi yang positif atau benar tentang TB paru, mengoptimalkan tumbuh kembang dan memfasilitasi perubahan gambaran diri menjadi positif. Pencegahan penularan dapat ditingkatkan melalui pembelajaran tentang pencegahan penularan dan mengajarkan tentang lingkungan rumah yang mendukung penyembuhan. Kepatuhan nutrisi dapat ditingkatkan dengan memberikan pembelajaran tentang nutrisi yang dibutuhkan untuk membantu proses kesembuhan. Sedangkan kepatuhan pengobatan
dapat
ditingkatkan
dengan
memberikan
intervensi
menumbuhkan persepsi yang positif atau benar benar tantang TB paru melalui pembelajaran tentang TB paru, mengajarkan disiplin minum obat, mengajarkan koping yang efektif dan menyeimbangkan stres yang dialami, membantu pasien menjalankan perannya selama sakit dan meningkatkan sistem sosial pasien berupa kemampuan pengambilan keputusan dan menjelaskan tentang birokrasi pelayanan kesehatan di RS. 3.
Penerapan model dan modul ini memerlukan dukungan dari pemerntah sehingga dapat dijadikan salah satu model intervensi keperawatan pada pasien TB paru di poli paru. Model ini dapat dijadikan acuan perawat dan penanggung jawab poli paru untuk menerapkan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan dan mencegah drop out pengobatan.
6.3. Keterbatasan penelitian Ada beberapa hal keterbatasan dalam penelitian ini yaitu: pertama adalah pemilihan sampel penelitian tidak dapat dilakukan randomisasi. Hal ini tidak dapat dilakukan karena responden yang dilakukan penelitian dan kelompok kontrol berasal dari rumah sakit yang berbeda. Kedua, adanya variabel perancu pada penelitian yang tidak dapat dikendaalikan semuanya
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
149
yaitu variabel pendidikan. Ketiga, pada saat implementasi model ada beberapa pasien yang harus berobat ke beberapa poli sehingga intervensi dilakukan saat pasien telah menyelesaikan pengobatan di seluruh poli yang harus dikunjungi sehingga saat intervensi kadang-kadang pasien sudah merasa
bosan
dan
mengantuk
sehingga
waktu
intervensi
lebih
dipersingkat.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini membahas tentang simpulan dari hasil penelitian yang diuraikan berdasarkan tahapan penelitian serta saran sebagai bahan rekomendasi terhadap kebijakan dan peningkatan pelayanan keperawatan.
7.1 Simpulan 1. Terbentuknya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King berdasarkan hasil temuan penelitian kualitatif, studi literatur dan konsultasi pakar. Model ini dilengkapi dengan 1 buku model dan 1 modul yang terdiri dari 8 pokok bahasan. 2. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti efektif meningkatkan pengetahuan pasien tentang TB paru sebagai dasar terbentuknya perilaku kepatuhan. Pengetahuan dapat dicapai dengan meningkatkan sistem personal pasien yaitu menumbuhkan persepsi yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran yang tepat tentang TB paru. 3. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti meningkatkan self efficacy pasien. Peningkatan self efficacy dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal pasien melalui
intervensi
meningkatkan
kesadaran
diri
untuk
sembuh,
mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan, membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan koping pasien. 4. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti meningkatkan motivasi pasien. Peningkatan motivasi pasien dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal pasien melalui
intervensi
meningkatkan
kesadaran
diri
untuk
sembuh,
mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan
150
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Universitas Indonesia
151
komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan, membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan koping pasien. 5. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti meningkatkan pencegahan penularan pasien. Pencegahan penularan dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan meningkatkan lingkungan yang sehat melalui pembelajaran tentang lingkungan yang mendukung kesembuhan dan bagaimana melakukan pencegahan penularan TB paru. 6. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti meningkatkan kepatuhan nutrisi pasien. Kepatuhan nutrisi pada pasien dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan menumbuhkan persepsi yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran tentang TB paru dengan salah satunya adalah pembelajaran tentang nutrisi yang menunjang kesembuhan pada pasien TB paru. 7. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti berpengaruh terhadap cara dan waktu minum obat namun tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok tentang kepatuhan pengobatan ditinjau dari angka drop out. Dengan meningkatkan sistem personal pasien melalui disiplin minum obat dan meningkatkan sistem sosial pasien dengan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan untuk melaksanakan pengobatan dan meningkatkan pengetahuan tentang birokrasi pelayanan di rumah sakit terbukti dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Walau tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dalam hal drop out pengobatan, namun pada kelompok intervensi tidak ada yang drop out pengobatan sedangkan pada kelompok kontrol ada 3 pasien (6%) yang drop out pengobatan. Walau terlihat kecil tapi dari angka tersebut dapat menimbulkan permasalahan karena pasien yang putus obat dapat berisiko mengalami resistensi obat dan menyebabkan penyebaran infeksi terhadap orang lain.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
152
7.2 Saran Saran yang diberikan berupa saran aplikatif, perkembangan keilmuan dan saran untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut: 7.2.1 Aplikatif 1. Kepada pihak RS agar memperbaiki manajemen pelayanan keperawatan di poli paru dengan menerapkan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King sebagai standar asuhan. Model ini dapat digunakan sebagai acuan meningkatkan kepatuhan pasien TB paru dalam pengobatan dengan mengintegrasikan ke dalam asuhan keperawatan sesuai peran dan fungsi perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan. 2. Menerapkan standar di RS agar perawat di poli paru memiliki sertifikasi perawat TB paru dan menjadikan buku panduan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King sebagai salah satu materi yang diberikan di pelatihan untuk memperoleh sertifikasi tersebut. . 3. Mengintegrasikan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King sehingga kegiatan pelayanan keperawatan di poli paru dapat dilakukan sesuai jadwal kunjungan pasien ke poli paru, menghemat biaya, tenaga dan dapat mencapai hasil yang optimal. Intervensi model dapat diintegrasikan dalam clinical pathway pelayanan di poli paru yaitu berupa tindakan mandiri keperawatan sehingga tindakan keperawatan yang dilakukan dapat di klaim melalui asuransi BPJS. 4. Melakukan kajian dan modifikasi pelaksanaan model tanpa mengurangi substansi materi dan proses interaksi disesuaikan dengan sumber daya yang ada di poli paru, misal mengurangi lama waktu setiap pertemuan atau interaksi dilakukan 1 perawat dengan 2 atau 3 pasien dalam setiap interaksi.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
153
7.2.2 Perkembangan Keilmuan 1. Hasil penelitian ini dapat didesiminasikan pada tingkat nasional maupun internasional sehingga dapat dijadikan rujukan dan model dapat direplikasi. 2. Pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan dibidang keperawatan medikal bedah khususnya terkait intervensi keperawatan untuk meningkatkan kepatuhan pasien yang berobat di poli paru agar tidak terjadi putus obat. 3. Kepada institusi pendidikan agar mengintegrasikan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dalam kurikulum pendidikan keperawatan khususnya dalam materi pembelajaran yaitu keperawatan medikal bedah atau keperawatan sistem respirasi dalam asuhan keperawatan pada pasien TB paru. 7.2.3 Penelitian selanjutnya 1. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan responden pasien TB paru dengan komplikasi seperti Diabetes Mellitus, penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal atau penyakit lainnya. 2. Penelitian ini perlu dilakukan pada rumah sakit dengan jumlah pasien dan jumlah perawat pelaksana yang berbeda dengan di RS Haji Surabaya waktu minimal 2 bulan. 3. Penelitian lanjutan pada pasien TB paru kategori II atau pasien MDR-TB 4. Penelitian lanjutan pengembangan model interaksi keluarga dan pasien perlu
dilakukan
karena
mengingat
pentingnya
keluarga
dalam
pendampingan pasien dan pengawas menelan obat selama pasien menjalani pengobatan. 5. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan metode riset kualitatif fenomenology terkait sistem interaksi keluarga dan pasien yang meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
154
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. (2008). Manajemen penyakit berbasis wilayah: Universitas Indonesia Press Aini, N., Fatmaningrum, W, Yusuf, Ah. (2011). Upaya meningkatkan perilaku pasien dalam tatalaksana diabetes mellitus dengan pendek atan teori model behavioral system Dorothy e. Johnson . Jurnal Ners, 6(1) Aisyah (2003). Hubungan persepsi, pengetahuan TB paru dan PMO dengan kepatuhan berobat pasien TB paru di puskesmas kecamatan Jatinegara Jakarta Timur tahun 2001. Tesis, FKM-UI Alsagaff, H. & Mukty, A (2005). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University Press. Alligood, M.R & Tomey, A.M (2006). Nursing theory: utilization & application. Missouri: Mosby Inc Amin, Z., & Bahar, A. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: FKUI.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Asih, Suyanto & Munir (2014). Gambaran perilaku pasien TB paru terhadap upaya pencegahan penyebaran penyakit TB paru pada pasien yang berobat di poli paru. Jurnal online mahasiswa, Universitas Negeri Riau, April 2014. Bagiada & Primasari (2010) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita tuberkulosis dalam berobat di poliklinik DOTS. Jurnal Penyakit Dalam vol 11 (3). Bandura, A., (1994). Self Efficacy In V.S Ramachaudran (Ed 1).Encyclopedia of human behavior (Vol.4 pp 71-81) New York: Academic Press (Reprined in H.Friedman (Ed) Encyclopedia of mental health. San Diego: Academic Press Bandura, A., (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H.Freeman Bam, T.S., Gunneberg, C., Chamroonsawasdi, K., Bam, D.S., Aalberg, O., Kasland, O., ...& Srisorrachatr. S. (2006). Factor affecting patient adherence to DOTS in urban Kathmandu, Nepal. The International Jurnal Tuberculosis. Vol. 10 (3) 270-76 Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
155
Benzein, E., Johansson, P., Arestedt, K.F., & Saveman, B.I. (2008). Nurses' attitudes about the importance of families in nursing care; a survey of swedish nurses. Journal of Family Nursing, 14(2), 162-80. Budiyono, FX.(2003). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberculosis paru BTA positif di kota Jakarta Timur tahun 2003. Tesis Universitas Indonesia. (http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=77746&loka si=lokal) akses 30 Januari 2011 Carpenter, B. D. (2002). Family, peer, and staff social support in nursing home patients: contributions to psychological well-being. Journal of Applied Gerontology, Vol. 21(3), 275-93. Castelnuovo B. (2010). A review of compliance to anti tuberculosis treatment and risk factors for defaulting treatment in Sub Saharan Africa. African Health Sciences. Vol 10 (4) 320-4 Corones, K., Coyer, F. M., & Theobald, K. A. (2009). Exploring the information needs of patient who have undergone PCI. British Journal of Cardiac Nursing, vol. 49(3), 123. Craig G.M., B. H., Story A., Hayward A., Hall J., Goodburn A. & Zumla A. (2007). The impact of social factor on tuberculosis management Journal of advanced nursing, Vol 58(5), 418-24. Darmadi (2000). Analisis kualitatif perilaku kepatuhan menelan obat pasien tuberkulosis Paru di 4 Puskesmas Wilayah Kabupaten Ketapang tahun 2000(http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=70978 &lokasi=lokal ) akses 30 januari 2011 Daryatmo, T (2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien tuberculosis paru strategi DOTS di puskesmas dan BP4 di Surakarta dan wilayah sekitarnya. Tesis Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/1436http://eprints.undip.ac.id/14364/1/2003MI KM1965.pdf 4/1/2003MIKM1965.pdf 30 januari 2011 Daud, I., (2001). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita TB paru pasien rawat jalan di poliklinik paru RSUD DR. Ahmad Muchtar Bukit Tinggi tahun 2000. Tesis, FKM-UI Depkes (2002).Survei kesehatan nasional 2001: laporan studi mortalitas tahun 2001: pola penyakit penyebab kematian di Indonesia, Tim Suskernas, Jakarta: Depkes Depkes (2005). Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Jakarta: Depkes.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
156
Depkes (2007). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Depkes Depkes RI & WHO (2008). Lembar Fakta Tuberkulosis. Hari TB sedunia. 24 Maret 2008 Dinkes Jatim (2013). Profil kesehatan jatim 2012. Duhamel, F., & Talbot, L.R. (2004). A constructivist evaluation of family systems nursing interventions with families experiencing cardiovascular and cerebrovascular illness. Jornal of Family Nursing, Vol. 10(1), 12-32. Endo, E., Nitta, N., Inayoshi, M., Saito, R., dkk (2000). Pattern recognicion as a caring partnership in families with cancer. Journal of Advanced Nursing, Vol. 32(3), 603-10. Erawatyningsih, Purwanta & Subekti, E. (2012) Faktor-faktor yang mempengaruhiketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (BKM), 25(3), 117 Fatimah, S., (2008). Faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru di kabupaten Cilacap tahun 2008. Disertasi.Universitas Diponegoro. Gagne (1998). Mastering learning and instructional design. Performance improvement quartely, Vol. 1(1) Garcia, M.C., Cirina, I.D., Elias, T.M., Lira, A.L., & Enders, B.C., (2014) Nurse-patient interaction in adhesion to tuberculosis treatment reflection in light of Imogene King. Journal of Nursing UFPE online, Vol. 8 (7) Gasalberti, D. (2002). Early detection of breast cancer by self-examination: the influence of perceived barriers and health conception. ONF, Vol. 29(9), 1341-7. Grubbs, L., & Carter, J. (2002). The relationship of perceived benefits and barrier to reported exercise behavior in college undergraduates. Family Community Health 25(2), 76-84. Henderson, S. (2003). Power imbalance between nurses and patients: a potential inhibitor of partnership in care. Journal of Clinical Nursing, 12, 501508. Hendiani, N., Sakti, H. & Widayanti, C. G. (2012). The relationship between perceived family support as drug consumption controller/ pengawas minum obat (PMO)’s and self efficacy of tuberculosis patients in BPKM Semarang region. Jurnal Psikologi, Vol. 1 (1) 94-105
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
157
Hidayat, Hamid & Mustikasari (2014) Hubungan koping individu dengan tingkat kepatuhan penyandang diabetes mellitus. In prosiding seminar nasional. Vol. 2 (1) Hidayati, L. (2012). Pengaruh hypertension self-management program terhadap perubahan self efficacy, self care behaviour dan tekanan darah penderita hipertensi di puskesmas Mojo. Tesis, Universitas Airlangga. Hook, M. L. (2006). Patnering with patients - a concept ready for action. Journal of advanced nursing, 56 (2), 133-43. Hutapea (2009). Pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum OAT . Jurnal Respirologi Indonesia. 29 (2). Ibrahim, K., Wardiah, M., Priambodo, A.P., (2014). Pengetahuan, sikap, dan praktik kewaspadaan universal perawat terhadap penularan HIV/AIDS. Jurnal Ners, Vol 9 (1) 11-8 Islami, Asiyah, N., & Wardoyo, N.B. (2011) Hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan ibu tentang pertolongan pertama kecelakaan anak di rumah desa Sumber Girang RW 1 Lasem Rembang. E-Journal Stikesmuhkudus. Vol 2(1) Jonsdottir, H., Litchfield, M., & Pharris, M.D. (2004). The relational core of nursing practice as partnership. Journal of Advanced Nursing, 47(3) 24150. Jonsdottir, H. (2007). Research-as-if-practice: a study of family nursing partnership with couples experiencing severe breathing difficulties. Journal of Family Nursing, Vol.13(4), 443-60. Johson, R. L., & Nies, M.A. (2005). A qualitative perspective of barriers to health-promoting behavior of african american ABNF Journal March/April 39-41. Kamil, S., Ibnu, I. F., & Rachman, W. A. (2013). Media cetak informasi dan edukasi (KIE) dalam pengobatan pasien tuberkulosis type multidrug resistant (MDR) di kota Makasar. Repasitory. Unhas.ac.id Kaona, F.A., Siziya, S., & Sikaona, L. (2004). An assesment of factors contributing to treatment adherence and knowledge of TB transmission among patients on TB treatment. BMC Publich health 4 (1), 68 Kemkes (2010). Laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2010 Kemkes (2011). TB control in Indonesia is approching MDGs target, from www.Depkes.go.id, diunduh 20 April 2011 jam 19.00 Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
158
Kemkes (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Killen, M. B., & King, I.M. (2007). Viewpoint: use of king's conceptual system, nursing informatics and nursing classifiation system for global communication International Journal of Nursing Terminologies & Classification. Vol. 18 (2). Kholifah, S.N., (2014). Self management intervention sebagai upaya peningkatan kepatuhan pada penderita DM. Jurnal Ners, Vol 9 (1) 143-50 Khowaja, K. (2006). Utilization of King's interacting systems framework and theory of goal attainment with multidisciplinary model:clinical pathway. Australian Journal of Advanced Nursing, Vol. 24(2), 44-50 Lamak, M.K., Kusnanto, Dewi, Y.S., (2014). Pengetahuan, self efficacy dan stres pasien kusta melalui penerapan support group dengan pendekatan teori adaptasi. Jurnal Ners, Vol 9 (1) 49-58 Lemeshow S., H., D.W., Klar, J., & Lwanga, S.K. (2002). Besar sampel dalam penelitian kesehatan (D. Pramono, & Kusnanto., H., Trans.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Loriana, R., Thaha, R. M., & Ramdan, I. M. Efek konseling terhadap pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis di wilaah kerja dinas kesehatan kota Samarinda. Pasca unhas.ac.id Marra C., Marra. F., Cox V., Palepu A., & Fitzgerald M. (2004). Factor influencing quality of life in patients with active tuberculosis. Health and quality of life outcomes 2(58), 1-10. Misnadiarly dan Sunarno (2009). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian tuberkulosis di Indonesia tahun 2007. Buletin penelitian kesehatan. Mohammadi, E., Abedi, H.A., Gofranipour, E., & Jalali, F (2002). Partnership caring: a theory of high blood pressure control in Iranian hypertensives. International Journal of Nursing Practice, 8, 324-329. Mohammadi, E., Abedi, H.A., Gofranipour, E., Jalali, F & Kazemnejad, A. (2006). Evaluation of 'partnership care model' in the control of hypertension. International Journal of Nursing Practice, 12, 153-159. Motsomane, S., & Peu, MD (2008). Nurses'views about tuberculosis patients'discharge plan at Moses Kotana in the North-West Province. curationis 31(1), 59-67.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
159
Morisky D.E., Mallote. C. K., Ebin V., Davidson P., Cabrena D., Trout P.T & Coly A. (2001). Behavioral interventions for the control of tuberculosis among adolescents Public health reports, 116, 568-574. Muhtar (2013). Pengaruh pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan self efficacy dan self care activity keluarga dan penderita tuberkulosis paru di kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Tesis, FKp-UNAIR Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nugroho (2011). Faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan TB paru. Jurnal kesehatan masyarakat, Vol.7(1),83-90. Nurhanah, N., Amirrudin , R., & Abdullah, T., (2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan 2007. Media kesehatan masyarakat Indonesia, Vol. 6 (4) Nursalam (2014). Manajemen keperawatan, konsep dan penerapan dalam praktik keperawatan. Edisi 4. Jakarta, Salemba Medika. Osterberg, L. & Blascchke, T (2005). Adherence to medication. NEJM; 353:487-97. Penuntun Diet (2010). Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia Pasek, M. S., Suryani, N. & Murdani, P. (2013). Hubungan persepsi dan tingkat pengetahuan penderita tuberkulosis dengan kepatuhan pengobatan di wilayah kerja puskesmas Buleleng. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga. Vol. 1 (1) 14-23 Pembronia (2012). Pengaruh pendekatan motivational interviewing terhadap motivasi dan kemandirian penderita dalam pengobatan TB paru di Puskesmas Kopeta Maumere. Tesis. FKp-UNAIR Peterson, S. J., & Brewdow, T.S, (2004). Middle range theories: application to nursing research: Lippincott Williams & Wilkins. Pramonodjati (2010). Pengaruh pembelajaran tuberkulosis terhadap kepatuhan berobat dan tingkat kesembuhan penderita tuberculosis. Tesis. Universitas Sebelas Maret.
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
160
Prasad, S. A., Randall, S.D., & Baljour-Lyn, I.A. (2000). Fifteen-count breathlessness score: an objective measure for children. Pediatric Pulmonology, Vol. 30, 56-62. Prayogi, B., (2014). Pengaruh psycoeducative family therapy terhadap dukungan keluarga dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan kualitas hidup pasien TB paru. Tesis, FKpUNAIR Rachmawati T.& Turniani. (2006). Pengaruh dukungan sosial dan pengetahuan tentang penyakit TB terhadap motivasi untuk sembuh pasien TB paru yang berobat di puskesmas. Buletin penelitian sistem kesehatan, Vol. 9(3), 134-41. Rankin, S.H., & Stallings, K.D., (2001). Patient education, principle & practice, 4th edition. Lippincott Williams & Walkins Reck, D. L. H. (2010). Patients’ expectations and satisfaction with nursing care, and their nurses’ awareness of their expectations Retrieved 1 March 2012, from www.proquest.com/products_umi/dissertations/ Ronis, D. L., Hong, O., & Lusk,S.L. (2006). Comparison of the original and revised structures of the health promotion model in predicting construction worker's of hearing protection. Research in Nursing & Health . Vol. 29, 3-17. Sastroasmoro (2008). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung seto. Sekarsari, R. (2013). Effektifitas model “ProMise” integrasi edukasi dan konseling terhadap perawatan mandiri, pengetahuan, tahap perubahan, readmission dan atau kematian pasien gagal jantung. Disertasi, Universitas Indonesia. Senewe, F.P. (2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di puskesmas Depok. Bulletin penelitian kesehatan, Vol. 30 (1). Sivaramalingan, S. (2008). Surgical patients' perceptions of nurse'sroles and responsibilities Retrieved 1 Mach 2012, from www.proquest.com/products_umi/dissertations/ Smeltzer S.C., & Bare B.G. (2002). Brunner & Suddarth’s Textbook of MedicalSurgical Nursing. Lippincot Williams & Wilkins; 9th edition Sonia, Arifin & Murni (2014). Hubungan mekanisme koping dengan kepatuhan kemoterapi pada penderita keganasan yang mengalami ansietas dan depresi. Majalah Kedokteran Andalas. Vol.37 (1) Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
161
Streuebert,H.J.,& Carpenter, D.R. (2003) Qualitative research in nursing: advancing humanistic imperative. (3rd ed). Philadelphia: Lippincott Sutarno, S., & Utama, G. A. & Utama (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berobat penderita tuberkulosis paru di pekalongan 2012. Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Widya, Vol. 1 (1) Syahrizal (2004). Analisis kepatuhan penderita TBC paru BTA positif dalam menelan obat di rumah sakit khusus paru-paru provinsi Sulawesi Selatan tahun 2002. Tesis, FKM-UI Tobing, T. L. (2009). Pengaruh perilaku pasien TB paru dan kondisi rumah terhadap pencegahan potensi penularan TB paru pada keluarga di kabupaten Tapanuli utara tahun 2008. Tesis http: repository.usu.ac.id diunduh 2 April 2011 Tomey, Marriner A., & Alligood, Martha R. (2006). Nursing theorists and their work. St.Louis, Missouri: Mosby Inc Osterberg L., dan Blaschke, T. (2005). Drug therapy: adherence to medication. The New England Journal of Medicine. 487-497 Usman, S. (2008). Konversi BTA pada pasien TB paru kategori I dengan berat badan rendah dibandingkan berat badan normal yang mendapatkan terapi intensif. Tesis http: repository.usu.ac.id diunduh 2 April 2011 Wacharasin, C. (2010). Families Suffering with hiv/aids; what family nursing interventions are useful to promote healing. Journal of Family Nursing, Vol.16(3), 302-21. Wahyono, Tri Y.W. (2003). Faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan diagnosa tuberkulosis paru. Tesis, FKM-UI WHO (2012). Global tuberculosis report 2012. ISBN 978 92 4 156450 2 Widari, N.P., (2010). Perbandingan pengaruh metode penyuluhan dan konseling terhadap perubahan perilaku pencegahan penularan pada penderita TBC di Surabaya. Tesis. UNS
Universitas Indonesia
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 1
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 2
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 2
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 3
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 4 INFORMED CONSENT / PENJELASAN PENELITIAN TAHAP 1 Pengembangan Model Keperawatan Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis (TB) Paru Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam pengobatan TB Paru. Peneliti (Saya) akan memberikan lembar persetujuan ini, dan menjelaskan bahwa keterlibatan anda di dalam penelitian ini atas dasar sukarela. Nama saya/peneliti adalah Tintin Sukartini. Saya pengajar di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga dan sekarang sedang melanjutkan studi S3 di Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, yang beralamat di Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia kampus Depok, 16424. Saya dapat dihubungi di nomor telpon 081357011444. Penelitian ini merupakan bagian dari persyaratan untuk Program Pendidikan Doktoral saya di Universitas Indonesia. Pembimbing saya adalah DR.Ratna Sitorus SKp, M.App.SC, dan Agung Waluyo, SKp, MSc, PhD dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia dan DR. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Penelitian ini melibatkan pasien TB Paru yang berusia 18 tahun atau lebih, telah berobat di RS Haji minimal 5 bulan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang pengalaman pasien yang berobat dan faktorfaktor apa saja yang menyebabkan patuh dalam pengobatan. Keputusan anda untuk ikut atau pun tidak dalam penelitian ini, tidak berpengaruh pada hak anda untuk berobat di rumah sakit. Dan apabila anda memutuskan berpartisipasi, anda bebas untuk mengundurkan diri dari penelitian kapan pun. Sekitar 8 Pasien akan terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilakukan di RSU Haji Surabaya.
Wawancara akan dilakukan satu kali pertemuan selama 30-45 menit sesuai dengan kesepakatan, jika ada kekurangan informasi maka akan dilakukan wawancara kedua dengan waktu yang disepakati dan ditetapkan kemudian. Saya akan menjaga kerahasiaan anda dan keterlibatan anda dalam penelitian ini. Nama anda tidak akan dicatat dimanapun. Semua kuesioner yang telah terisi dan hasil wawancara yang direkam hanya akan diberikan nomor kode yang tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi identitas anda. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang berkaitan dengan anda akan di tampilkan dalam publikasi tersebut. Siapa pun yang bertanya tentang keterlibatan anda dan apa yang anda jawab di penelitian ini, anda berhak untuk tidak menjawabnya. Namun, jika diperlukan catatan penelitian ini dapat dijadikan barang bukti apabila pengadilan memintanya. Keterlibatan anda dalam penelitian ini, sejauh yang saya ketahui, tidak menyebabkan risiko yang lebih besar dari pada risiko yang biasa anda hadapi sehari-hari. Walaupun keterlibatan dalam penelitian ini tidak memberikan keuntungan langsung pada anda, namun hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui lebih
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam menjalankan pengobatan.
Apabila setelah terlibat penelitian ini anda masih memiliki pertanyaan, anda dapat menghubungi saya atau sms di nomer telpon 081357011444. Setelah membaca informasi di atas dan memahami tentang tujuan penelitian dan peran yang diharapkan dari saya di dalam penelitian ini, saya setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Tanggal
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 5 LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama ( inisial )
:
Umur
:
Alamat
:
Setelah membaca dan mendengarkan penjelasan penelitian ini (terlampir) dan setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya terkait penelitian ini, maka saya memahami tujuan penelitian ini yang nantinya akan bermanfaat bagi pasienpasien lain yang mengalami sakit seperti saya. Saya mengerti bahwa penelitian ini menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai partisipan.
Saya
sangat memahami bahwa keikutsertaan saya menjadi partisipan pada
penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi pemahaman tentang kepatuhan minum obat, kepatuhan pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi. Dengan menandatangani surat persetujuan ini, berarti saya telah menyatakan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini tanpa paksaan dan bersifat sukarela.
Nama dan Tangan Informan
Tanggal :
Nama dan Tanda Tangan Peneliti
Tanggal :
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 6 DATA DEMOGRAFI
Inisial Partisipan
:
Umur
:
Alamat
:
Agama
:
Jenis Kelamin
:
Suku
:
Status Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Nomor Telepon
:
Sudah berapa lama menjalani pengobatan ? Apakah sebelumnya pernah mengalami sakit yang sama? Kapan terjadi? Berapa lama pengobatan? Apakah Bapak/Ibu/Saudara teratur berobat di poliklinik? Siapa yang mengantar Bapak/Ibu/Saudara berobat dan yang mengingatkan minum obat di rumah?
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 7 Petunjuk Pelaksanaan Wawancara mendalam Faktor-faktor yang menyebabkan pasien patuh dalam pengobatan Petunjuk untuk Wawancara mendalam: Pertama-tama di tiap sesi wawancara saya menyiapkan ruangan, petunjuk dan kisi-kisi wawancara, buku catatan, informend consent, tape recorder dan kaset. Setelah itu dilakukan sesi wawancara dengan menjelaskan tujuan dari wawancara dan tanda tangan informed consent. Kemudian dijelaskan juga agar selama sesi wawancara partisipan terbuka, jujur dan menyampaikan pengalaman dalam menjalankan pengobatan. Sebagai pewawancara saya mendorong partisipan untuk mengungkapkan pengalamannya secara mendalam dengan memberikan pertanyaan terbuka. Peneliti mendengarkan dengan empati semua yang yang dijelaskan partisipan dan berusaha mendapatkan informasi yang jelas dan detail. Pertanyaan Yang Berkaitan Dengan Kepatuhan Pasien 1. Apa yang membuat Bapak/Ibu/Saudara patuh dalam menjalankan pengobatan TB paru? Pertanyaan ini dapat dikembangkan dengan beberapa pertanyaan probing sebagai berikut: 1) Apa yang Bapak/Ibu/Saudara ketahui tentang TB paru? 2) Apa yang membuat Bapak/Ibu/Saudara yakin bahwa penyakit TB paru dapat disembuhkan? 3) Selama Bapak/Ibu/Saudara sakit apakah merasakan perubahan peran sebagai suami/istri/orang tua/anak? 4) Selama Bapak/Ibu/Saudara sakit apakah merasakan perubahan pada penambilan diri? 5) Apakah yang dikatakan oleh perawat kepada Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh minum obat? 6) Berapa lama waktu yang diperlukan oleh Bapak/Ibu/Saudara untuk berobat agar sembuh dari TB paru? 7) Bagaimana keadaan lingkungan rumah yang menurut Bapak/Ibu/Saudara dapat menunjang proses penyembuhan? 8) Apa yang Bapak/Ibu/Saudara lakukan ketika mengalami permasalahan yang berkaitan dengan sakit yang dialami? 9) Bagaimana komunikasi yang dilakukan perawat terhadap Bapak/Ibu/Saudara sehingga membuat patuh dalam berobat? 10) Apa saja interaksi yang dilakukan perawat dengan Bapak/Ibu/Saudara sehingga membuat patuh dalam berobat? 11) Peran seperti apa yang dilakukan oleh Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh dalam berobat? 12) Selama proses pengobatan apakah Bapak/Ibu/Saudara mengalami permasalahan? 13) Seperti apa masalah yang Bapak/Ibu/Saudara rasakan? 14) Perubahan apa yang Bapak/Ibu/Saudara rasakan setelah menjalani pengobatan dalam 5-6 bulan terakhir? 15) Dukungan apa yang dilakukan oleh suami/istri/orangtua/anak selama berobat? Apa yang mereka katakan sehingga Bapak/Ibu/Saudara patuh berobat? 16) Apa saja yang sudah disampaikan pihak RS sehingga Bapak/Ibu/Saudara patuh dalam berobat?
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan 17) Apakah Bapak/Ibu/Saudara diberdayakan/dilibatkan oleh pihak RS dalam pengobatan? 18) Dukungan seperti apa yang diberikan oleh masyarkat/lingkungan yang mendukung Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh dalam berobat? 19) Dalam hal apa Bapak/Ibu/Saudara dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengobatan yang dilakukan?
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 8 LEMBAR CATATAN LAPANGAN (FIELD NOTE)
Tanggal
:
Waktu (jam)
:
Tempat
:
Pewawancara
:
Informan
:
Dihadiri oleh
:
Posisi duduk
:
Situasi Wawancara
:
Karakteristik partisipan (penampilan, pakaian, dll):
RESPON YANG DIAMATI
ARTI DARI RESPON
Rencana isi field Note:
Komunikasi non verbal yang sesuai dengan komunikasi verbal informan
Komunikasi non verbal yang tidak sesuai
dengan
komunikasi
verbal
informan
Situasi lingkungan saat wawancara
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 9 INFORMED CONSENT / PENJELASAN PENELITIAN TAHAP II Pengembangan Model Keperawatan Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis (TB) Paru Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam pengobatan TB Paru. Peneliti (Saya) akan memberikan lembar persetujuan ini, dan menjelaskan bahwa keterlibatan anda di dalam penelitian ini atas dasar sukarela. Nama saya/peneliti adalah Tintin Sukartini. Saya pengajar di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga dan sekarang sedang melanjutkan studi S3 di Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, yang beralamat di Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia kampus Depok, 16424. Saya dapat dihubungi di nomor telpon 081357011444. Penelitian ini merupakan bagian dari persyaratan untuk Program Pendidikan Doktoral saya di Universitas Indonesia. Pembimbing saya adalah DR.Ratna Sitorus SKp, M.App.SC, dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia. Penelitian ini melibatkan pasien yang berusia 18 tahun atau lebih dan telah dinyatakan positif menderita TB Paru. Keputusan anda untuk ikut atau pun tidak dalam penelitian ini, tidak berpengaruh pada hak anda untuk berobat di rumah sakit (RS). Dan apabila anda memutuskan berpartisipasi, anda bebas untuk mengundurkan diri dari penelitian kapan pun. Sekitar 120 Pasien akan terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilakukan di RSU Haji Surabaya dan RSUD Ibnu Sina Gresik. Kuesioner yang akan saya berikan terdiri dari 8 bagian. Bagian pertama berisi pertanyaan tentang demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, staus perkawinan. Bagian kedua berisi pertanyaan tentang pengetahuan TB Paru. Bagian ketiga berisi pertanyaan tentang keyakinan diri. Bagian ke empat berisi pertanyaan tentang motivasi, bagian kelima berisi tentang kepatuhan pencegahan penularan, bagian ke enam berisi tentang kepatuhan nutrisi dan bagian terakhir bagian ke lima berisi tentang kepatuhan minum obat. Diharapkan anda dapat menyelesaikan pengisian kuesioner ini antara 30-45 menit. Saya akan menjaga kerahasiaan anda dan keterlibatan anda dalam penelitian ini. Nama anda tidak akan dicatat dimanapun. Semua kuesioner yang telah terisi hanya akan diberikan nomor kode yang tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi identitas anda. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang berkaitan dengan anda akan di tampilkan dalam publikasi tersebut. Siapa pun yang bertanya tentang keterlibatan anda dan apa yang anda jawab di penelitian ini, anda berhak untuk tidak menjawabnya. Namun, jika diperlukan catatan penelitian ini dapat dijadikan barang bukti apabila pengadilan memintanya. Keterlibatan anda dalam penelitian ini, sejauh yang saya ketahui, tidak menyebabkan risiko yang lebih besar dari pada risiko yang biasa anda hadapi sehari-hari.
Walaupun keterlibatan dalam penelitian ini tidak memberikan keuntungan langsung pada anda, namun hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui lebih
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan jauh tentang pengetahuan, keyakinan diri, motivasi, kepatuhan minum obat, kepatuhan pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kualitas hidup pada pasien TB Paru. Apabila setelah terlibat penelitian ini anda masih memiliki pertanyaan, anda dapat menghubungi saya atau sms di nomer telpon 081357011444. Setelah membaca informasi di atas dan memahami tentang tujuan penelitian dan peran yang diharapkan dari saya di dalam penelitian ini, saya setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Tanggal
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan
SURAT PERSETUJUAN
Setelah mendapatkan penjelasan maksud penelitian dan tindakan yang akan dilakukan selama penelitian (pengukuran Tinggi badan, Berat Badan, pertanyaan pengetahuan,
pernyataan
mengenai
self-efficacy,
motivasi,
kepatuhan
pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi dan kepatuhan minum obat) dan lamanya penelitian maka dengan ini saya menyatakan PERSETUJUAN untuk dilakukan pemeriksaan pemeriksaan dan menjawab pertanyaan seperti tersebut di atas
guna mengetahui status penyakit Tuberkulosis paru saya dengan segala
akibatnya.
Demikian surat persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Surabaya, 2012 Yang memberi Persetujuan
(___________________________)
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 10 LEMBAR KUESIONER Isilah tanda silang ( X ) pada kotak yang telah disediakan sesuai dengan pertanyaan berikut : No Responden
:
A . Data Demografi 1. Jenis kelamin
: 1) Laki – laki 2) Perempuan :
2. Pendidikan
1) Tidak sekolah 2) SD 3) SMP 4) SMA 5) Pendidikan Tinggi 3. Umur
: 1) 18 - 25 2) 26 - 35 3) 36 –45 4) 46-55 5) 56-65
4. Status perkawinan
: 1) Menikah 2) Belum menikah 3) Janda/duda
5. Pekerjaan sebelum sakit: 1) Tidak bekerja 2) PNS/POLRI/TNI
3) Swasta
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan 4) Buruh/Tani/Nelayan 5) Pensiunan
6. Agama / Kepercayaan
:
1) Islam 2) Kristen 3) Hindu 4) Budha 5) Lain – lain 7. Minuman yang dikonsumsi 1`. Minuman beralkohol Lainnya, sebutkan
10. Status gizi:
TB:........cm
BB:.............kg
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan KUESIONER PRE TEST PETUNJUK PENGISIAN: BERILAH TANDA (V) PADA PERNYATAAN 1. PENGETAHUAN No Pernyataan 1 Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman Gejala sakit TB Paru yang paling sering adalah batuk lebih dari 2 2 minggu 3 Penyakit TB paru tidak dapat ditularkan kepada orang lain 4 Pengobatan TB paru memerlukan waktu minimal 6 bulan Makanan bergizi seperti nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu dapat 5 memperbaiki kesehatan Membuang dahak harus dilakukan pada tempat tertutup dan diberi 6 desinfektan 7 Saat batuk atau bersin maka mulut dan hidung harus ditutup Rumah yang memiliki ventilasi yang baik dan mendapat sinar 8 matahari yang cukup dapat menbantu pencegahan penularan penyakit TB paru
Benar
Salah
2. SELF EFFICACY SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju No Pertanyaan SS S RR TS (5) (4) (3) (2) 1 Saya yakin kalo saya bisa mendapatkan informasi tentang sakit TB paru dari sumber-sumber di masyarakat sekitar rumah 2 Saya yakin keluarga dan teman-teman dapat membantu saya melakukan pekerjaan saya ketika sedang sakit 3 Saya yakin keluarga dan teman-teman mau memdengarkan keluhan saya dan memberi dukungan emosional kepada saya 4 Saya yakin dapat meminta informasi dari dokter dan perawat tentang penyakit yang mengkhawatirkan saya. 5 Saya yakin bahwa saya dapat mengetahui gejala sakit saya dan kapan saya harus kembali ke dokter untuk mendapat bantuan. 6 Saya yakin dapat mengurangi gangguan emosi yang disebabkan oleh kondisi kesehatan saya sehingga tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari. 7 Saya yakin dapat mengatasi ketidaknyamanan fisik atau rasa sakit yang saya alami selama sakit. 8 Saya yakin dapat mengontrol batuk dan sesak napas (jika ada) ketika melakukan kegiatan sehari-hari. 9 Saya yakin dapat menyimpan perasaan sedih atau tak bahagia yang saya alami karena sakit. 10 Saya yakin dapat melakukan sesuatu untuk membuat diri saya merasa lebih baik ketika saya merasa sakit, sedih atau tak bahagia.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
STS (1)
Lanjutan 3. MOTIVASI SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju NO Pernyataan SS S RR TS (5) (4) (3) (2) 1 Saya percaya bahwa sakit yang yang saya alami merupakan cobaan dari YME dan bukan kutukan atau hukuman 2 Setelah diberi penjelasan tentang lama pengobatan, saya tidak yakin kalo saya mampu berobat sampai 6 bulan 3 Saya harus berusaha untuk makan makanan yang bergizi secara teratur agar membantu proses penyembuhan saya 4 Menyelesaikan pengobatan adalah hal yang penting buat saya walaupun memerlukan waktu yang lama 5 Bagi saya melakukan pencegahan agar tidak menulari keluarga dan orang lain adalah hal yang penting agar mereka tidak sakit seperti saya. 6 Saya harus menjaga lingkungan rumah saya agar cahaya matahari pagi dan udara bisa masuk ke dalam rumah. 7 Saya harus datang secara rutin ke puskesmas atau rumah sakit untuk kontrol dan mengambil obat. 8 Saya mencemaskan biaya pengobatan penyakit saya karena tidak tahu biaya yang harus saya keluarkan 9 Saya akan meminta keluarga untuk selalu mengingatkan saya untuk minum obat 10 Saya tidak akan berhenti minum obat sesuai aturan sampai dokter menyatakan saya sembuh.
No
4. KEPATUHAN PENCEGAHAN PENULARAN Pernyataan
Tidak pernah (1)
1. Saat batuk dan bersin saya tidak menutup mulut dengan tissue atau saputangan 2. Saat bepergian ludah dan dahak yang keluar saya buang ditempat sembarangan 3. Tissue bekas bersin dan batuk saya langsung buang di tempat sampah umum tanpa tanpa dibungkus plastik 4. Pintu dan jendela rumah saya buka setiap hari agar udara masuk ke dalam rumah 5. Seluruh ruangan rumah mendapat sinar matahari yang cukup di pagi hari 6. Saya tidak berhadapan langsung ketika berbicara dengan orang lain karena takut menulari 7. Di rumah saya membuang dahak pada tempat khusus yang diberi desinfektan (lisol, dll) atau langsung ke saluran air pembuangan 8. Kasur dan bantal saya jemur di bawah sinar matahari 9. Saya menggunakan masker jika dahak saya positif kuman 10. Saya tidur terpisah jika dahak saya positif kuman
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Jarang (2)
Kadang kadang (3)
STS (1)
Sering (4)
Selalu (5)
Lanjutan 5. KEPATUHAN NUTRISI No
Pernyataan
Tidak pernah (1)
1. 2.
Saya makan minimal 3x sehari Saya makan nasi atau pengganti nasi setiap hari 3. Saya makan makanan yang mengandung protein seperti: daging, ayam, tahu, tempe, ikan atau telur setiap kali makan 4. Saya makan sayur-sayuran setiap kali makan 5. Saya makan buah-buahan setiap hari 6. Saya minum susu setiap hari 7. Saya minum vitamin yang diberikan oleh dokter setiap hari 8. Saya jarang makan dan setiap makan selalu sedikit 9. Saya tidak makan goreng-gorengan atau minum es setiap saya batuk 10. Saya tidak mau banyak makan karena takut gemuk
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Jarang (2)
Kadang kadang (3)
Sering (4)
Selalu (5)
Lanjutan
KUESIONER POST TEST PETUNJUK PENGISIAN: BERILAH TANDA (V) PADA PERNYATAAN 1. PENGETAHUAN No Pernyataan Benar 1 Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman Gejala sakit TB Paru yang paling sering adalah batuk lebih dari 2 2 minggu 3 Penyakit TB paru tidak dapat ditularkan kepada orang lain 4 Pengobatan TB paru memerlukan waktu minimal 6 bulan Makanan bergizi seperti nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu dapat 5 memperbaiki kesehatan Membuang dahak harus dilakukan pada tempat tertutup dan diberi 6 desinfektan 7 Saat batuk atau bersin maka mulut dan hidung harus ditutup Rumah yang memiliki ventilasi yang baik dan mendapat sinar 8 matahari yang cukup dapat menbantu pencegahan penularan penyakit TB paru
No 1
2 3 4 5 6
7 8 9 10
Salah
2. SELF EFFICACY SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju Pertanyaan SS S RR TS (5) (4) (3) (2) Saya yakin kalo saya bisa mendapatkan informasi tentang sakit TB paru dari sumber-sumber di masyarakat sekitar rumah Saya yakin keluarga dan teman-teman dapat membantu saya melakukan pekerjaan saya ketika sedang sakit Saya yakin keluarga dan teman-teman mau memdengarkan keluhan saya dan memberi dukungan emosional kepada saya Saya yakin dapat meminta informasi dari dokter dan perawat tentang penyakit yang mengkhawatirkan saya. Saya yakin bahwa saya dapat mengetahui gejala sakit saya dan kapan saya harus kembali ke dokter untuk mendapat bantuan. Saya yakin dapat mengurangi gangguan emosi yang disebabkan oleh kondisi kesehatan saya sehingga tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Saya yakin dapat mengatasi ketidaknyamanan fisik atau rasa sakit yang saya alami selama sakit. Saya yakin dapat mengontrol batuk dan sesak napas (jika ada) ketika melakukan kegiatan sehari-hari. Saya yakin dapat menyimpan perasaan sedih atau tak bahagia yang saya alami karena sakit. Saya yakin dapat melakukan sesuatu untuk membuat diri saya merasa lebih baik ketika saya merasa sakit, sedih atau tak bahagia.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
STS (1)
Lanjutan 3. MOTIVASI SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju Pernyataan SS S RR TS (5) (4) (3) (2) Saya percaya bahwa sakit yang yang saya alami merupakan cobaan dari YME dan bukan kutukan atau hukuman Setelah diberi penjelasan tentang lama pengobatan, saya tidak yakin kalo saya mampu berobat sampai 6 bulan Saya harus berusaha untuk makan makanan yang bergizi secara teratur agar membantu proses penyembuhan saya Menyelesaikan pengobatan adalah hal yang penting buat saya walaupun memerlukan waktu yang lama Bagi saya melakukan pencegahan agar tidak menulari keluarga dan orang lain adalah hal yang penting agar mereka tidak sakit seperti saya. Saya harus menjaga lingkungan rumah saya agar cahaya matahari pagi dan udara bisa masuk ke dalam rumah. Saya harus datang secara rutin ke puskesmas atau rumah sakit untuk kontrol dan mengambil obat. Saya mencemaskan biaya pengobatan penyakit saya karena tidak tahu biaya yang harus saya keluarkan Saya akan meminta keluarga untuk selalu mengingatkan saya untuk minum obat Saya tidak akan berhenti minum obat sesuai aturan sampai dokter menyatakan saya sembuh.
NO 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
No
4. KEPATUHAN PENCEGAHAN PENULARAN Tidak Pernyataan pernah (1)
1. Saat batuk dan bersin saya tidak menutup mulut dengan tissue atau saputangan 2. Saat bepergian ludah dan dahak yang keluar saya buang ditempat sembarangan 3. Tissue bekas bersin dan batuk saya langsung buang di tempat sampah umum tanpa tanpa dibungkus plastik 4. Pintu dan jendela rumah saya buka setiap hari agar udara masuk ke dalam rumah 5. Seluruh ruangan rumah mendapat sinar matahari yang cukup di pagi hari 6. Saya tidak berhadapan langsung ketika berbicara dengan orang lain karena takut menulari 7. Di rumah saya membuang dahak pada tempat khusus yang diberi desinfektan (lisol, dll) atau langsung ke saluran air pembuangan 8. Kasur dan bantal saya jemur di bawah sinar matahari 9. Saya menggunakan masker jika dahak saya positif kuman 10. Saya tidur terpisah jika dahak saya positif kuman
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Jarang (2)
Kadang kadang (3)
STS (1)
Sering (4)
Selalu (5)
Lanjutan 5. KEPATUHAN NUTRISI No
Pernyataan
Tidak pernah (1)
Jarang (2)
Kadang kadang (3)
1. 2.
Saya makan minimal 3x sehari Saya makan nasi atau pengganti nasi setiap hari 3. Saya makan makanan yang mengandung protein seperti: daging, ayam, tahu, tempe, ikan atau telur setiap kali makan 4. Saya makan sayur-sayuran setiap kali makan 5. Saya makan buah-buahan setiap hari 6. Saya minum susu setiap hari 7. Saya minum vitamin yang diberikan oleh dokter setiap hari 8. Saya jarang makan dan setiap makan selalu sedikit 9. Saya tidak makan goreng-gorengan atau minum es setiap saya batuk 10. Saya tidak mau banyak makan karena takut gemuk
6.
KEPATUHAN MINUM OBAT 1. Dosis: 1) Seharusnya: ....tab. 2) Yang diminum ....tab, sisa obat: ....tab 2. Cara: 1) Satu waktu: jam.... 2) Beberapa waktu: pagi jam ..., siang jam ....., malam jam .... 3. Waktu 1) 1 jam sebelum makan 2) Setelah makan 4. Pemantauan : Formulir TB-01 Formulir TB-02
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Sering (4)
Selalu (5)
Lampiran 11 Analisis tema dan sub tema berdasarkan penelitian kualitatif Variabel Tema Sub tema Kategori Kepatuhan 1. Persepsi yang Pengobatan TB Penyebab TB paru berdasarkan positif paru Lama pengobatan sistem tentang TB Cara minum obat personal paru Nutrisi selama sakit pasien Efek samping obat Pencegahan Cara batuk dan bersin penularan Cara buang dahak Nutrisi Makanan untuk membantu penyembuhan Makanan yang dilarang 2. Kesadaran Yakin sakit TB paru diri untuk bisa disembuhkan sembuh Patuh berobat walau datang sendiri ke RS 3. Tumbuh Harapan masa Masih bisa sekolah kembang depan yang mencapai sarjana optimal lebih baik sesuai Masih bisa mencapai tumbuh keinginan memiliki kembang anak Mampu Mampu merawat menjalankan keluarga tugas Mampu merawat anak perkembangan balita 4. Gambaran Tidak malu berat diri positif badan turun Tidak malu memakai masker 5. Lingkungan Nyaman saat Nyaman saat berada di yang sehat berada di ruang poli paru ruang poli paru Ruang di Tiap ruang di rumah rumah memiliki jendela menunjang Ruang tanpa jendela penyembuhan memiliki genting kaca Ada ruang sendiri untuk tidur 6. Disiplin Waktu minum obat 1 minum obat jam sebelum makan Alarm sebagai pengingat 7. Koping yang Menerima Selalu tabah menjalani efektif kondisi yang takdir dari Tuhan dialami Mendekatkan diri ke
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan
Berfikir positif
Kepatuhan berdasarkan sistem interpersonal pasien
1. Komunikasi yang terbuka antara pasien dengan petugas kesehatan dan pasien dengan keluarga.
Komunikasi terbuka pasien dan petugas kesehatan
Komunikasi terbuka pasien dan keluarga
2. Menjalankan perannya selama sakit
3. Mengelola stres selama sakit
Melakukan pekerjaan sehari-hari Melakukan kegiatan di masyarakat Stress yang dialami
Penyebab stress Penanganan stress
Kepatuhan berdasarkan sistem sosial pasien
1. Mengetahui birokrasi pelayanan kesehatan
Mengetahui tentang organisasi pelayanan di poli paru Mengetahui wewenang dan kekuasaan RS
Tuhan dengan rajin beribadah Berfikir bisa sembuh asal rajin berobat Berfikir sakit sebagai cobaan Perawat dan dokter menyampaikan informasi tentang sakit yang dialami Perawat dan dokter mendengar keluhan
keluhan sakit disampaikan ke keluarga berdiskusi dengan keluarga tentang pengobatan Bersekolah Bekerja seperti biasa Mengerjakan pekerjaan rumah Ikut arisan Ikut pengajian Penurunan berat badan Jenuh minum obat Jenuh bolak-balik ke RS Waktu pengobatan yang lama Anggap rekreasi Berdiskusi dengan keluarga Berdiskusi dengan sesama pasien Alur pengobatan di RS Fasilitas yang dimiliki RS SDM yang dimiliki RS Pihak RS yang menyatakan sembuh Pemberian OAT sesuai Program
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan
Menyadari statusnya sebagai pasien. 2. pengambilan keputusan oleh pasien
Pasien terdaftar dalam program pemerintah Obat gratis Patuh pada aturan RS Penanganan saat kondisi tak terduga pengobatan di poli paru dirujuk ke tempat lain
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 12 Panduan Implementasi Model TAHAP INTERVENSI
TUJUAN
Pertemuan 1 (Awal pasien terdiagnosis)
1. Menciptakan ruang yang nyaman untuk interaksi perawatpasien
Waktu: 40-60 menit
INTERVENSI PERAWAT 1.
2.
2. Meningkatkan komunikasi terbuka perawatpasien, pasienkeluarga
3.
4.
5.
POKOK BAHASAN
Perawat mempersiapkan tempat atau ruang yang cukup nyaman untuk interaksi perawat-pasien dengan didampingi 1 orang anggota keluarga Siapkan meja dan tempat duduk khusus bagi perawat dan pasien untuk berinteraksi Perawat mengucapkan salam dan memperkenalkan diri sebagai perawat di ruang poli paru yang siap membantu pasien menjalani pengobatan Bina hubungan saling percaya, saling menerima dan saling menghargai Gunakan bahasa sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien
6. 7.
8.
Libatkan keluarga (PMO) dalam pertemuan Motivasi pasien agar selalu terbuka mengenai masalah kesehatan kepada keluarga, perawat dan dokter Melakukan kontrak waktu dengan pasien untuk 6 kali pertemuan selama di RS
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
WAKTU
METODE Menyiapkan tempat/ruang
5 menit
Wawancara dan diskusi
Lanjutan 3. Memfasilitasi pengambilan keputusan pasien untuk menjalani pengobatan
Menanyakan pada pasien apakah pasien akan berobat di RS Haji atau dirujuk balik ke puskesmas Jika pasien bersedia berobat di RS Haji lakukan pencatatan pada form TB-01 Tanyakan apakah pasien siap menjalani pengobatan selama 6-9 bulan dan tidak akan putus obat Jelaskan bahwa obat yang diberikan adalah gratis sehingga tidak perlu takut memikirkan biaya Jelaskan bahwa jika memilih pengobatan di RS untuk selanjutnya harus melanjutkan pengobatan rutin di RS, Jika ingin pindah dapat dilakukan setelah 2 bulan pengobatan. Libatkan keluarga jika pasien datang ditemani keluarga (PMO)
5-10 menit
Wawancara dan diskusi
15. Menanyakan apa yang diketahui oleh pasien mengenai sakit yang diderita 16. Menjelaskan pada pasien bahwa pasien menderita TB paru dan harus menjalani
5-10 menit
Wawancara dan diskusi
9.
10.
11.
12.
13.
14.
4. Menumbuhkan persepsi yang positif tentang TB paru
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan pengobatan selama 6-9 bulan 17. Tanda dan gejala hilang tidak berarti sakit sudah sembuh 18. Hanya dokter yang berhak menyatakan sembuh melalui pemeriksaan 5. Meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh
19. yakinkan pasien agar yakin sakitnya bisa disembuhkan dengan cara menunjukkan pasien yang sembuh/hampir sembuh yang saat itu sedang kontrol di RS. 20. diskusikan dengan pasien sumber-sumber dukungan yang membantu pasien dalam pengobatan baik dari dalam diri maupun luar 21. berikan motivasi pada pasien untuk terus berobat walau harus datang sendiri ke RS 22. Jelaskan pada pasien bahwa sakitnya adalah bukan kutukan atau hukuman tetapi sebagai suatu ujian 23. Yakinkan pasien bahwa yg mengalami sakit bukan hanya sendiri, tetapi banyak sekali sehingga bisa berbagi pengalaman (tunjukkan bahwa pasien yang berobat di poli memiliki masalah yang sama)
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5-10 menit
Wawancara dan diskusi
Lanjutan 24. Beri contoh banyak pasien yang asalnya tidak mau minum obat dengan dimotivasi terus menerus akhirnya mau berobat dan bisa sembuhyakinkan
pasien agar yakin sakitnya bisa disembuhkan dengan cara menunjukkan pasien yang sembuh/hampir sembuh yang saat itu sedang kontrol di RS. 25. diskusikan dengan pasien sumber-sumber dukungan yang membantu pasien dalam pengobatan baik dari dalam diri maupun luar 26. berikan motivasi pada pasien untuk terus berobat walau harus datang sendiri ke RS 27. Jelaskan pada pasien bahwa sakitnya adalah bukan kutukan atau hukuman tetapi sebagai suatu ujian 28. Yakinkan pasien bahwa yg mengalami sakit bukan hanya sendiri, tetapi banyak sekali sehingga bisa berbagi pengalaman (tunjukkan bahwa pasien yang berobat di poli memiliki masalah yang sama) 29. Beri contoh banyak pasien yang asalnya tidak mau minum obat dengan dimotivasi terus
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan menerus akhirnya mau berobat dan bisa sembuh 6. Menumbuhkan persepsi yang positif melalui
pembelajaran yang tepat tentang TB paru dan menjelaskan tentang pentingnya disiplin minum obat dan lama pengobatan
30. Menjelaskan tentang materi yang akan disampaikan pada pertemuan pertama yaitu tentang penyakit TB paru dan pengobatan TB paru 31. Menjelaskan bahwa nanti pasien akan minum OAT yang pertama di hadapan petugas 32. Menanyakan tentang apa yang diketahui oleh pasien tentang penyait TB Paru. Berikan kesempatan kepada pasien untuk menjawab sesuai pemahamannya. 33. Memberikan pujian terhadap jawaban yang benar yang diberikan pasien 34. Memperbaiki jawaban pasien jika keliru 35. Menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien mengenai: a. Definisi TB paru b. Apakah TB paru dapat disembuhkan? c. Tanda & gejala TB paru d. Diagnosis TB paru e. Klasifikasi TB
10-15 menit 1. Konsep TB paru 2. Pengobatan TB paru 3. Praktik minum obat
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Ceramah dan diskusi dengan media booklet
Lanjutan f. Bahaya penyakit TB paru 36. Menyampaikan materi tentang pengobatan : a. Tujuan pengobatan b. Prinsip pengobatan c. Fase minum obat d. Jenis obat e. Cara dan waktu minum obat f. Bagaimana agar tidak jenuh minum obat g. Efek samping OAT dan penatalaksanaan 37. Praktik: Pasien minum OAT di hadapan perawat Memberi tahu waktu kontrol berikutnya dan kelengkapan yg harus dibawa pasien (catatan obat, bungkus obat dan sisa obat) 7. Meningkatkan pengetahuan prosedur pelayanan di RS : tentang wewenang dan kekuasaan RS
38. Beritahukan
pada pasien bahwa selama pengobatan akan menjalani serangkaian pemeriksaan seperti Rontgen, pemeriksaan dahak dan atau darah yang waktunya akan ditentukan oleh pihak RS 39. Beritahukan pada pasien bahwa hanya dokter yang berhak menyatakan sembuh
Prosedur pelayanan dan fasilitas RS
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5 menit
Wawancara & diskusi
Lanjutan Beritahukan
40.
41.
42.
43.
8. Meningkatkan
pengetahuan pasien tentang prosedur pelayanan kesehatan di RS: organisasi pelayanan di poli paru dan fasilitas RS
pada pasien bahwa OAT yang diberikan adalah obat gratis dari pemerintah Beritahukan bahwa harga obat mahal, sehingga pasien harus patuh berobat karena pemerintah sudah memprogramkan pemberian obat secara gratis selama 6 bulan. Beritahukan Obat yang diberikan pemerintah memiliki kandungan dan khasiat yang sama dengan obat paten Beritahukan bahwa OAT seluruh dunia adalah sama sehingga berobat dimanapun akan diberikan obat yang sama Beritahukan pasien bahwa pengobatan TB paru merupakan program pemerintah sehingga nama mereka akan tercatat di Dinas Kesehatan.
44. Menjelaskan pelayanan dan Pelayanan dan fasilitas RS Haji: fasilitas RS.Haji a. Pelayanan medis b. Penunjang medis c. Fasilitas penunjang umum d. SDM & fasilitas poli paru e. Waktu pelayanan poliklinik f. Waktu pelayanan pendaftaran pasien
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5 menit
Ceramah dan diskusi dengan media booklet
Lanjutan g. Tata cara pendaftaran pasien umum, BPJS dan asuransi lain 45. Mengakhiri pertemuan dan menjelaskan gambaran materi untuk pertemuan ke-2 Pertemuan 2 (Akhir Minggu ke-2)
Waktu: 20-30 Menit
1. Meningkatkan komunikasi terbuka perawatpasien, pasienkeluarga.
1. Memberi salam 2. Libatkan keluarga dalam pertemuan 3. Menanyakan keluhan pasien 4. Merespon keluhan pasien 5. Memberi motivasi agar pasien terbuka kepada keluarga, perawat dan dokter mengenai masalah kesehatan 6. Memberi motivasi agar pasien patuh 7. Menjelaskan tujuan yang ingin dicapai pada pertemuan 2 8. Menjelaskan tentang materi yang akan disampaikan pada pertemuan kedua yaitu tentang pencegahan penularan dan lingkungan rumah yang sehat untuk pasien
5 menit
wawancara
2. Menumbuhkan kesadaran akan statusnya sebagai pasien.
9.
5 menit
Wawancara dan diskusi
Beri penjelasan pada pasien bahwa sebagai pasien harus patuh mengikuti aturan di RS
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan 10. Bantu pasien untuk patuh pada aturan yang ditetapkan di rumah sakit seperti harus menunggu antrian dalam berobat dengan mengikuti nomor antrian yang diperoleh saat daftar. 11. Jelaskan pada pasien bahwa pasien masih boleh bekerja dan beraktifitas di masyarakat jika kondisi kesehatan memungkinkan 12. Jelaskan pada pasien walaupun dinas ke luar kota, bepergian ataupun maka pasien dapat menjelaskan kepada dokter agar pengobatan tidak terputus 13. Dalam keadaan mendesak dan pasien tidak dapat datang kontrol, maka keluarga dapat mewakili pasien datang ke RS untuk konsultasi dengan dokter agar pengobatan tidak terputus. 3. Menumbuhkan persepsi yang positif tentang TB paru melalui pembelajaran yang tepat tentang pencegahan penularan TB paru
14. Menjelaskan tentang Pencegahan pencegahan penularan: penularan pada a. Orang yang memiliki pasien TB paru resiko tertular b. Pencegahan penularan TB paru c. Sikap saat bersin dan batuk
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5-10 menit
Ceramah dan diskusi dengan media booklet
Lanjutan 4. Pembelajaran tentang
lingkungan rumah yang sehat
Pertemuan 3 (Akhir minggu ke-4) Waktu: 15-20 menit
1. Meningkatkan komunikasi terbuka perawatpasien
2. Menumbuhkan persepsi yang positif tentang TB paru melalui pembelajaran tentang nutrisi yang dibutuhkan pasien TB paru
15. Mengkaji kondisi rumah Lingkungan pada pasien dengan menanyakan pasien TB paru ruang yang ada di rumah, posisi pintu dan jendela (Buat denah sederhana) 16. Menjelaskan tentang lingkungan rumah yang sehat untuk pasien TB paru: a. Lingkungan fisik rumah yang berpengaruh pada TB paru b. Menciptakan kondisi dan ruang/lingkungan rumah yang sehat 17. Penutup 1. Memberi salam 2. Melibatkan keluarga dalam pertemuan 3. Menanyakan keluhan pasien 4. Merespon keluhan pasien 5. Memberi motivasi agar pasien patuh 6. Menjelaskan tujuan yang ingin dicapai pada pertemuan 3 7. Menjelaskan tentang materi Nutrisi pada yang akan disampaikan pada pasien TB paru pertemuan ketiga yaitu tentang kebutuhan nutrisi pada pasien TB paru: a. Gizi seimbang b. Diet pada pasien TB
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5-10 menit
Ceramah dan diskusi dengan media booklet
5 menit
wawancara
10-15 menit
Ceramah dan diskusi dengan media booklet
Pertemuan 4 (Akhir minggu ke-6) Waktu: 15-20 menit
1. Meningkatkan komunikasi terbuka perawatpasien
2. Membantu pasien mengelola stres dan meningkatkan koping pasien
paru c. Tujuan diet ETPT pada pasien TB paru d. Bahan makanan yang dianjurkan e. Bahan makanan yang tidak dianjurkan f. Cara makan sehari-hari 8. Penutup 1. Memberi salam 2. Libatkan keluarga dalam pertemuan 3. Menanyakan keluhan pasien 4. Merespon keluhan pasien 5. Memberi motivasi agar pasien patuh 6. Menjelaskan tujuan yang ingin dicapai pada pertemuan 4 7. Diskusikan dengan pasien stres yang dialami pasien selama sakit 8. Diskusikan dengan pasien bahwa kejenuhan berobat bisa diatasi dengan kesabaran dan mendekatkan diri pada Tuhan 9. Diskusikan dengan pasien bahwa dengan kesabaran pengobatan yang lama pada akhirnya akan sampai pada akhir pengobatan
Stres dan koping
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5 menit
Wawancara
10-15 menit
Ceramah dan diskusi dengan media booklet
Lanjutan
Pertemuan 5 (Akhir minggu ke-8/ akhir bulan ke-2)
1. Meningkatkan komunikasi terbuka perawatpasien
Waktu: 20-35 menit
2. Mengoptimalkan tumbuh
10. Ajarkan pasien untuk tabah, sabar dan ikhlas menerima cobaan 11. Memberi pembelajaran tentang stres: a. Definisi stres b. Penyebab stres pada pasien TB paru c. Penanganan stres pada pasien TB paru 12. Anjurkan pasien untuk berdiskusi dengan sesama pasien TB sehingga bisa berbagi pengalaman 13. Ajarkan pasien agar berobat ke RS dianggap sebagai rekreasi atau hiburan sehingga tidak membuat jenuh 14. Penutup 1. Memberi salam 2. Libatkan keluarga dalam pertemuan 3. Menanyakan keluhan pasien 4. Merespon keluhan pasien 5. Motivasi agar pasien patuh 6. Libatkan keluarga dalam pertemuan 7. Menjelaskan tujuan yang ingin dicapai pada pertemuan 8. Tanya dan diskusikan gangguan tugas
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5 menit
Wawancara
5 -10 menit
Wawancara dan diskusi
Lanjutan kembang pasien
perkembangan yang dialami pasien, mis: gangguan peran dalam mencari nafkah atau bersekolah 9. Diskusikan dengan pasien bahwa saat pengobatan jika kondisi membaik masih bisa bekerja dengan normal dan memenuhi peran dalam keluarga maupun masyarakat. 10. Diskusikan dengan pasien bahwa jika patuh berobat maka pasien masih bisa sekolah dan meraih citacita seperti menjadi sarjana 11. Yakinkan pasien masih bisa merawat anak (asal memakai masker jika BTA positif, sampai BTA negatif) 12. Beritahukan pasien untuk memeriksakan anak balita dan orang dewasa yang memiliki gejala yang sama yang tinggal 1 rumah
3. Menumbuhkan gambaran diri pasien agar positif.
13. Tanyakan dan monitor frekwensi pernyataan yang mengkritik diri sendiri 14. Monitor pernyataan pasien tentang pernyataan gambaran diri yang
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5-10 menit
Wawancara dan diskusi
Lanjutan berkaitan dengan bentuk tubuh dan berat badan 15. Ajarkan pasien bahwa perubahan gambaran diri karena TB paru bersifat sementara dan dapat kembali ke semula asalkan patuh dalam pengobatan 16. Ajarkan pasien untuk merubah gaya hidup seperti tidak merokok dan begadang sehingga kondisi badan menjadi lebih sehat 17. Yakinkan pasien jangan pernah malu untuk memakai masker saat bekerja demi menjaga diri sendiri dan orang lain agar tidak tertular
4. Mengoptimalkan perannya pasien selama sakit
18. Bantu pasien mengidentifikasi transisi peran selama sakit 19. Diskusikan dengan pasien bahwa gangguan peran sifatnya sementara 20. Diskusikan dengan pasien bahwa walau sakit dan memerlukan pengobatan yang lama, pasien masih bisa memenuhi peran sebagai suami atau istri 21. Diskusikan dengan pasien bahwa selama sakit asal
Tumbuh Kembang, Gambaran diri dan peran
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
5-10 menit
Wawancara dan diskusi Media: Booklet
Lanjutan
Pertemuan 6 (Akhir bulan ke-3) Waktu: 10-15 menit
1. Meningkatkan komunikasi terbuka
kondisi sudah membaik masih bisa bekerja dan atau sekolah 22. Diskusikan dengan pasien bahwa saat kontrol berobat masih bisa ijin kerja dan ijin sekolah dengan meminta surat keterangan dari rumah sakit. 23. Memberi pembelajaran tentang: Tumbuh kembang, gambaran diri dan peran a. Masalah tumbung kembang yang sering dihadapi b. Upaya mengoptimalkan tumbuh kembang c. Masalah gambaran diri yang sering dihadapi d. Upaya meningkatkan gambaran diri menjadi positif e. Masalah peran yang sering dihadapi f. Upaya meningkatkan fungsi peran 24. Penutup 1. Memberi salam 2. Libatkan keluarga dalam pertemuan
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
10-15 menit
Wawancara dan diskusi
Lanjutan perawat-pasien
Pertemuan 7 (Akhir bulan ke-4) Waktu:10-15 menit
Pertemuan 8 (Akhir bulan ke-5) Waktu: 10- 15 menit
1. Meningkatkan komunikasi terbuka perawat-pasien
1. Meningkatkan komunikasi terbuka perawat-pasien
3. Menanyakan keluhan pasien 4. Merespon keluhan pasien 5. Motivasi agar pasien patuh 6. Beri pujian atas kepatuhan pasien 2. Memberi salam 3. Libatkan keluarga dalam pertemuan 4. Menanyakan keluhan pasien 5. Merespon keluhan pasien 6. Motivasi agar pasien patuh 7. Beri pujian atas kepatuhan pasien 1. Memberi salam 2. Libatkan keluarga dalam pertemuan 3. Menanyakan keluhan pasien 4. Merespon keluhan pasien 5. Motivasi agar pasien patuh 6. Beri pujian atas kepatuhan pasien 7. Terminasi
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
10-15 menit
Wawancara dan diskusi
10-15 menit
Wawancara dan diskusi
Lampiran 13
NO
EVALUASI
I Y
1.
2.
II T
Y
T
III Y T
PERTEMUAN IV V Y T Y T
Pengetahuan : Pasien mampu menyebutkan penyebab TB paru Pasien mampu menyebabkan tanda-gejala TB paru Pasien mampu menyebutkan lama pengobatan TB paru Pasien mampu menyebutkan cara penularan TB paru Pasien mampu menyebutkan lingkungan rumah yang sehat Self Efficacy: Pasien yakin penyakitnya bisa disembuhkan Pasien yakin dapat menerima informasi dari dokter dan perawat Pasien yakin mendapat dukungan dari keluarga Pasien yakin dapat mengatasi perasaan sedih karena sakit Pasien yakin mengetahui efek samping obat dan kapan harus mencari pertolongan
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Y
VI T
Y
VII T
Y
VIII T
Lanjutan 3.
4.
Motivasi: Pasien rutin kontrol ke poli Pasien percaya bahwa sakitnya merupakan cobaan dari Tuhan yang Maha Esa Pasien tidak mengkhawatirkan perannya akan terganggu Pasien tidak mengkhawatirkan adanya gangguan perubahan gambaran diri pasien tidak mengkhawatirkan adanya gangguan tumbuh kembang Pencegahan Penularan Pasien dapat menjelaskan bahwa saat batuk menutup mulut dengan saputangan atau punggung tangan pasien menjelskan bahwa dahak di buang ke saluran air Pasien menjelskan pintu dan jendela rumah dibuka setiap hari agar sinar matahari masuk dan ventilasi lancar Pasien menjelaskan tidur terpisah selama BTA masih positif Pasien memakai masker jika BTA positif sampai BTA negatif
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lanjutan 5.
6.
Kepatuhan nutrisi Pasien menjelaskan makan sedikit tapi sering pasien menjelaskan mengkonsumsi energi tinggi protein tinggi setiap hari Pasien menjelaskan mengkonsumsi sayursayuran setiap hari Pasien menjelaskan tidak minum es saat batuk Terjadi peningkatan berat badan Kepatuhan pengobatan Pasien menjelaskan minum obat sesuai dosis yang diberikan Pasien menjelaskan waktu minum obat 1 jam sebelum makan Pasien menjelaskan minum obat dalam satu waktu yaitu sore hari Bungkus dan sisa obat sesuai Penurunan gejala fisik
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Lampiran 14 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1.
KETERANGAN PERORANGAN
1. 2. 3. 4. 5.
Nama Lengkap NIP Tanggal Lahir Jenis Kelamin Instansi
6.
Alamat Rumah
7. 8.
No. Telepon Email
9.
Nama Anak
2. NO 1. 2. 3. 4.
5.
6.
: Tintin Sukartini : 197212170320002001 : 17 Desember 1972 : Perempuan : Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Kampus C Mulyorejo, Surabaya : Perum City Home Regency N12A-Keputih, Surabaya :081357011444 :
[email protected] [email protected] : Nada Nur Zahra
PENDIDIKAN FORMAL NAMA PENDIDIKAN SDN NAGRAK III SMPN NAGRAK SMAN CIBADAK Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
-
STTB/TANDA LULUS/IJAZAH TAHUN 1985 1988 1991
Sukabumi Sukabumi Sukabumi
Keperawatan
1997
Jakarta
2005
Surabaya
2015
Depok
JURUSAN
Magister Kesehatan (Biostatistik) Program Doktoral Keperawatan
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
TEMPAT
3.
RIWAYAT PEKERJAAN
NO 1.
4.
TAHUN 1997-1998
2.
1998-2000
3.
2000-sekarang
KEGIATAN PENELITIAN NO TAHUN POSISI 1. 2006 Ketua
2.
5.
INSTITUSI Akper Muhammadiyah Ponorogo, Jawa Timur Akper Pemda Ponorogo, Jawa Timur Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur
2014
Anggota
JABATAN Staf Pengajar Staf Pengajar Staf Pengajar
TOPIK Manfaat Senam Tera terhadap kebugaran Lansia Model Intervensi keperawatan SBE (Spiritual Breathing Exercise) terhadap kualitas fungsi pernafasan dan modulasi respons imun pada penderita TB paru
SPONSOR LPPMUNAIR BOPT
PUBLIKASI ILMIAH TAHUN
JUDUL
PENERBIT/ JURNAL
2007
Pernafasan Active cycle breathing meningkatkan aliran ekspirasi maksimum penderita tuberculosis paru
Jurnal Ners Vol 2 No 2 Oktober 2007 (ISSN 1858-3598)
2007
Oksigenisasi dengan Bag and mask 10 lpm memperbaiki asidosis respiratorik pada klien edema akut
2007
2008
Jurnal ners Vol 2 No 2 Oktober 2007 (ISSN 1858-3598) Perilaku pemulung tentang demam Jurnal ners Vol 2 berdarah dengue dengan keberadaan no 2 Oktober 2007 jentik aedes aegypty (ISSN 1858-3598) Manfaat senam lansia terhadap kebugaran Artikel Penelitian Pio Ners Cermin Dunia Keperawatan ISSN 1907-35
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
6.
KONFERENSI/LOKAKARYA/SEMINAR/SIMPOSIUM
PANITIA/ PESERTA/ PENYELENGGARA TAHUN JUDUL KEGIATAN PEMBICARA 2001 Lokakarya Program P4UA (Pusat Peserta Pekerti peningkatan dan pengembangan pendidikan UNAIR) 2003 Tata laksana kegawat RSU Dr. Soetomo Peserta daruratan terhadap efek Surabaya samping obat 2004 Penanganan trauma RSU Dr. Soetomo Peserta thorax dengan Surabaya pemasangan Bullae Drainage secara paripurna 2005 Lokakarya kurikulum PSIK-FK Unair Pembicara berbasis kompetensi 2005 Lokakarya media P4UA (Pusat Peserta pembelajaran peningkatan dan pengembangan pendidikan UNAIR) 2006 Lokakarya Applied P4UA (Pusat Peserta Approach (AA) peningkatan dan pengembangan pendidikan UNAIR) 2007 The Association of AINEC Peserta Indonesia Education Center (AINEC) “The study visit to Hongkong and China” 2008 Lokakarya pengelolaan PSIK-FK Unair Peserta dan peningkatan kinerja Program Studi Ilmu Keperawatan FK Unair 2008 Simposium Nasional FK UNAIR Peserta penyakit Tropik-Infeksi dan HIV & AIDS dengan tema “update on tropical infectious disease dan HIV & AIDS
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
7.
PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN 2004
2004
2005
2007
2007
JENIS/NAMA KEGIATAN Diversifikasi pangan produk olahan susu dan kedelai sebagai alternative penanggulangan diare balita akibat intoleransi laktosa di Puskesmas Kembangbahu Lamongan Penerapan pencegahan pemberantasan penyakit demam berdarah melalui media pembinaan budi daya ikan pada masyarakat terjangkit endemik kabupaten Lamongan Pelatihan penerapan keamanan pangan sebagai upaya penanggulangan keracunan pangan di kecamatan krian Sidoarjo Pelatihan Siswa pemantau jentik (Wamantik) sebagai upaya peningkatan kesadaran siswa sekolah dasar akan bahaya demam berdarah dengue di Surabaya Pelatihan kader Posyandu Lansia sebagai upaya deteksi dini masalah kesehatan yang terjadi pada lanjut usia di puskesmas kembangbahu Lamongan
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
TEMPAT Lamongan
Lamongan
Sidoarjo
Gresik
Lamongan