Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Karater di Sekolah Dasar Oleh: Riyadi, Mardiyana, Rukayah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menemukan bentuk prototype model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter yang sesuai dengan kebutuhan guru di Sekolah Dasar. (2) Mendapatkan masukan dari stakeholders terhadap prototype model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di Sekolah Dasar; (3) Menemukan model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter yang tepat/cocok untuk diimplementasikan di Sekolah Dasar. Penelitin ini dibatasi pada “pembelajaran matematika di sekolah dasar” yang dilakukan dalam jangka waktu dua tahun. Tahun pertama mencakup tahap studi pendahuluan/eksplorasi dan tahap pengembangan model. Tahun kedua mencakup tahap pengujian model dan tahap diseminasi. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar di wilayah eks karesidenan Surakarta. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cluster random sampling. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, catatan lapangan, dan analisis dokumen. Analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif, sedangkan hasil eksperimen dengan teknik t-test. Hasil penelitian pada tahun pertama diuraikan sebagai berikut: 1) Model pembelajaran yang berhasil dikembangkan adalah model pembelajaran bebasis masalah dengan pendekatan kontekstual yang sintaksnya mempunyai tujuh fase, 2) Pedoman penilaian karakter yang berhasil dikembangkan dilengkapi dengan indikator-indikator untuk sembilan nilai karakter yang cocok untuk dikembangkan pada mata pelajaran matematika di sekolah dasar, dan 3) Berdasarkan uji coba terbatas dan uji coba luas diperoleh hasil: model pembelajaran bebasis masalah dengan pendekatan kontekstual dan pedoman penilaian karakter dapat diimplementasikan dengan baik di sekolah dasar. Kata kunci : model pembelajaran berbasis masalah, pendekatan kontekstual, pendidikan karakter.
PENDAHULUAN Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
1
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun upaya pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan belum sepenuhnya mengarahkan perhatian secara komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim (Ruslan Burhani, 2012) menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah masih terkendala pemahaman guru yang belum mampu mengintegrasikannya dalam mata pelajaran. Lebih lanjut, Musliar Kasim menyatakan bahwa tidak ada mata pelajaran khusus yang membahas mengenai pendidikan karakter tetapi terintegrasi pada setiap mata pelajaran. Hal ini berarti ketika hendak memasukkan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, tidak perlu membentuk mata pelajaran baru karena sifat-sifat yang hendak dibentuk pada peserta didik tidak dapat dijadikan sebagai suatu mata pelajaran. Salah satu model pembelajaran yang di dalamnya memuat pelatihan untuk menyelesaikan masalah adalah Problem Based Learning (PBL) atau di Indonesia dikenal dengan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), karena salah satu karakteristik dari PBM adalah menggunakan masalah untuk mengawali proses pembelajaran. Selain PBM memuat pelatihan untuk menyelesaikan masalah, dan berdasarkan beberapa hasil penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah. PBM lebih baik jika dibandingkan dengan prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional Namun, model pembelajaran ini masih memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah menimbulkan frustasi pada kalangan siswa jika mereka belum dapat menemukan solusi dari permasalahan (Martinis Yamin, 2008:85). Hal ini tidak akan terjadi jika permasalahan disusun berdasarkan pengalaman mereka pada kehidupan nyata yang telah mereka alami (kontekstual). Menyusun permasalahan sesuai dengan kehidupan nyata yang telah dialami siswa (kontekstual) tentu bukan hal mudah, sehingga perlu menganalisis materi pelajaran terlebih dahulu. Berdasarkan uraian di muka, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1). Bagaimanakah bentuk prototype model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter yang sesuai dengan kebutuhan guru di Sekolah
2
Dasar? 2) Bagaimanakah tanggapan stakeholders terhadap prototype model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di Sekolah Dasar? 3) Bagaimanakah hasil pengembangan prototype menjadi suatu model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di Sekolah Dasar? Berikut diuraikan kajian teoritis yang mendasari dalam mencari jawaban atas pemasalahan tersebut. Pembelajaran matematika adalah suatu cara untuk membuat siswa belajar matematika. Mengingat bahwa matematika merupakan ilmu yang deduktif aksiomatik dan objek penelaahannya abstrak, sedangkan matematika sudah harus diajarkan mulai anak-anak, maka kegiatan pembelajaran matematika harus direncanakan sesuai dengan kemampuan intelektual siswa. Oleh karena itu cara membelajarkan matematika kepada anak-anak dan orang dewasa harus berbeda, karena kemampuan intelektualnya berbeda. Menurut Doman, seperti yang dikutip oleh Herman Hudojo, menyatakan bahwa apabila fakta-fakta matematika diberikan kepada anak-anak balita sesuai dengan kemampuannya, mereka akan dapat menemukan sendiri aturan-aturan yang ada di dalamnya (Herman Hudojo, 1988: 95). Hal ini berarti bahwa matematika dapat diajarkan kepada siapa saja tanpa memandang usia, asal disesuaikan dengan kemampuan intelektualnya. Keberhasilan guru dalam membelajarkan siswa dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah model pembelajaran yang digunakan guru. Oleh karena itu pemilihan model pembelajaran merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2009:23), terdapat empat ciri dari model pembelajaran yang dapat membedakan model pembelajaran dengan metode, strategi maupun prinsip pembelajaran, empat ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1) Memiliki rasional teoritik kuat yang disusun oleh penciptanya, 2) Terdapat tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, 3) Mempunyai aturan tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat berjalan dengan baik, dan 4) Pensetingan lingkungan belajar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Berkaitan dengan
3
pemilihan
model
pembelajaran,
Nieveen
dalam
Trianto
(2009:
24-25)
mengemukakan tiga kriteria untuk menentukan kualitas model pembelajaran, yaitu validitas, kepraktisan dan keefektifan, yang masing-masing diuraikan dengan aspekaspek sebagai berikut. 1) Aspek validitas (validity) dikaitkan dengan dua hal, yaitu: a) model pembelajaran dikembangkan berdasarkan pada rasional teoritik yang kuat, dan b) model pembelajaran mempunyai konsistensi internal. 2) Aspek kepraktisan (practicality), maksudnya yaitu model pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan. 2) Aspek keefektifan (effectiveness), yaitu model pembelajaran dikatakan efektif jika ahli dan praktisi berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut praktis dan secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Kemdiknas (2010: 11) menyebutkan ada empat prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter, yaitu 1) berkelanjutan, 2) melalui semua mata pelajaran, 3) nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar, dan 4) Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.
4
METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran matematika yang mengintegrasikan pendidikan karakter di Sekolah Dasar. Oleh karena itu model yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Research and Development). Penelitian pengembangan ini dilakukan dengan menempuh prosedur penelitian pengembangan seperti diuraikan oleh Sugiyono (2010: 409), yang meliputi sepuluh langkah. Dalam pelaksanaan penelitian pengembangan ini, dari sepuluh langkah dirampatkan menjadi empat tahap yang akan dilaksanakan dalam waktu dua tahun yaitu: A) Tahun Pertama, meliputi langkah-langkah (1) studi pendahuluan atau tahap eksplorasi, dan (2) tahap pengembangan model, dan B) Tahun kedua, meliputi langkah-langkah (1) tahap pengujian model, dan (2) tahap diseminasi. Studi pendahuluan atau eksplorasi dilakukan untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang (1) kondisi nyata mengenai pembelajaran matematika Sekolah Dasar di wilayah eks karesidenan Surakarta; (2) kondisi nyata tentang kebutuhan guru di SD mengenai pedoman pembelajaran matematika. Subjek penelitian ini adalah (1) siswa kelas V sekolah dasar; (2) para guru kelas V sekolah dasar; dan (3) Stakeholders yang akan ditetapkan kemudian dalam menentukan tokoh-tokoh yang terlibat dalam mengambil kebijakan. SD yang digunakan penelitian ini adalah SD di wilayah eks karesidenan Surakarta. Penentuan SD dilakukan dengan cluster random sampling. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, diperoleh lokasi penelitian ini meliputi tiga SD, yaitu Sekolah Dasar Angkasa Colomadu Karanganyar, Sekolah Dasar Negeri Kleco II Laweyan Surakarta, dan Sekolah Dasar Negeri Sekip II Banjarsari Surakarta. Teknik pengumpulan data tahap ini adalah (1) observasi, (2) wawancara, (3) catatan lapangan, dan (4) analisis dokumen. Teknik analisis data yang digunakan pada tahun pertama penelitian ini adalah model analisis interaktif dengan teknik deskriptif kualitatif. Teknik ini sesuai dengan model Miles & Huberman dalam Sugiyono (2010: 337), yang menyatakan bahwa di dalam proses analisis ada tiga komponen yang harus disadari oleh peneliti. Tiga komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1) Reduksi Data, 2) Penyajian Data, dan 3) Penarikan simpulan, verifikasi, dan refleksi.
5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Eksplorasi/Sudi Pendahluan Hasil analisis dokumentasi terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas V SD Negeri Kleco II Kecamatan Laweyan Surakarta, SD Negeri Sekip II Kecamatan Banjarsari Surakarta dan SD Angkasa Kecamatan Colomadu Karanganyar dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Guru kelas V di tiga sekolah dasar tersebut telah mengembangkan nilai-nilai karakter, 2) Nilai-nilai karakter yang telah dikembangkan, diantaranya religius, sopan santun, demokratis, disiplin, tanggung jawab, tekun, ketelitian, kreatifitas, kerjasama, toleransi, keberanian, percaya diri dan rasa ingin tahu, 3) Pengembangan nilai-nilai karakter di tiga sekolah dasar tersebut adalah nilai-nilai karakter yang sifatnya masih umum yang dapat dikembangkan untuk semua mata pelajaran, 4) Pengembangan nilai karakter di ketiga sekolah dasar tersebut juga sudah dilengkapi dengan rubrik penilaianya, namun belum semua nilai karakter sudah dilengkapi dengan rubrik penilaiannya. Hasil tersebut di atas juga sejalan dengan hasil wawancara yang petikan wawancaranya dinyatakan sebagai berikut.
P-01: G-01: P-01: G-01:
P-01:
G-01: P-01:
G-01:
Pak, apakah nilai-nilai karakter seperti religius, jujur, disiplin, dan sebagainya dikembangkan kepada siswa SD kelas V? Ya, itu kan program pemerintah, jadi kita harus mendukungnya. Lalu, bagaimana cara mengembangkan nilai-nilai karakter tersebut, Pak? Untuk nilai karakter religius, setiap akan mulai dan menutup pelajaran anak-anak diminta berdoa sesuai agama masing-masing. Untuk nilai karakter disiplin, anak-anak diminta masuk kelas tidak terlambat dan guru member contoh dengan cara masuk kelas tidak terlambat? Pak, tadi kan nilai-nilai karakter umum yang dapat dikembangkan untuk semua mata pelajaran. Apa ada nilai-nilai karakter yang dikembangkan khusus untuk mata pelajaran matematika? Maksudnya bagaimana? Maksud saya nilai-nilai karakter tersebut diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, guru akan mengembangkan nilai karakter kejujuran maka guru memberi permasalahan yang mengintegrasikan nilai kejujuran. Contohnya begini: Amin membeli 5 buku dengan harga setiap buku Rp 2.500 dan 2 bolpoint dengan harga setiap bolpoint Rp 4.500,-. Amin membayar dengan uang Rp 20.000,dan Amin mendapat pengembalian sebesar Rp 5.000,-. Setelah dihitung ternyata penegembaliannya berlebih. Amin seorang yang jujur, maka ia mengembalikan kelebihan uang pengembaliannya. Berapa uang yang akan dikembalikan Amin kepada penjual buku dan bolpoint tersebut? Oh, kalau yang seperti itu belum. Tapi yang seperti itu, menurut saya baik untuk dikembangkan.
6
Berdasarkan
hasil wawancara, juga diketahui bagaimana cara
guru
mengembangkan nilai-nilai karakter, beberapa contoh diuraikan sebagai berikut: 1). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai disiplin antara lain dilakukan dengan: a) Memberi teladan disiplin dengan cara masuk kelas tepat waktu, b) Memberi teladan berpakaian seragam sesuai aturan, dan c) Mengecek kehadiran siswa. 2). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai sopan santun antara lain dilakukan dengan: a) Sebelum masuk kelas mencium tangan guru, b) Memberi teladan berpakaian rapi, c) Memberi teladan menerima dan memberi dengan tangan kanan, dan d) Menegur siswa yang mengucapkan kata-kata kotor. 3). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai tanggung jawab antara lain dilakukan dengan: a) Membiasakan siswa mengerjakan tugas yang diberikan, b) Memberi teladan dengan mengembalikan peralatan yang sudah dipakai ke tempatnya semula, dan c) Membiasakan siswa menjaga kebersihan kelas. Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa guru belum melakukan penilaian terhadap pencapaian siswa nilai karakter, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan wawancara berikut. P-01: G-02: P-01: G-02: P-01:
G-02: G-02: P-01: G-02:
Pak, tadi Bapak sudah menyampaikan bahwa Bapak telah mengembangkan nilai-nilai karakter seperti religius, jujur, disiplin, dan sebagainya. Ya, betul. Apakah Bapak melakukan penilaian terhadap pencapaian atau perkembangan nilai-nilai karakter yang telah dikembangkan? Maksudnya bagaimana? Maksudnya begini Pak. Dalam buku panduan yang diterbitkan Kemdinas, di sana dijelaskan ada empat kriteria perkembangan nilai-nilai karakter, yaitu BT (Belum Terlihat), MT (Mulai Terlihat), MB (Mulai Berkembang) dan MK (Membudaya). Apakah sudah melihat tingkat pencapaian setiap siswa Bapak apakah siswa tertentu sudah mencapai MT, MB atau MK? Maksudnya bagaimana? Oh, kalau yang seperti itu belum. Mengapa Pak? Begini Pak, guru SD serba susah, di satu sisi pemerintah mempunyai program-program yang harus dijalankan, di lain pihak wali murid menuntut bahwa yang penting pada saat ujian akhir sekolah nilai matematikanya tinggi. Berdasarkan tuntutan itu, guru mengajar cenderung bagaimana siswa menguasai konsep yang disampaikan, sehingga tidak sempat melakukan penilain terhadap pencapaian nilai-nilai karakter yang sudah ditanamkan. Di samping itu juga jam pelajaran matematika sekarang sudah berkurang, dulu 6 jam pelajaran sekarang cuma 4 jam pelajaran.
Guru belum melakukan penilaian terhadap perkembangan nilai karakter siswa, hal ini didasarkan pada alasan-alasan: 1) Jumlah pelajaran matematika hanya 5 jam
7
pelajaran per minggu, padahal muatan kurikulumnya padat, 2) Adanya tuntutan wali murid bahwa yang penting pada saat ujian akhir sekolah nilai matematikanya tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam pembelajaran, guru masih dominan menggunakan model pembelajaran langsung. Pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang bersifat teacher center. Menurut Arends (dalam Trianto, 2009: 41), model pembelajaran langsung adalah salah satu model pembelajaran yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baikyang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Dalam model pembelajaran langsung, guru pada umumnya memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kepada para siswa tanpa memperhatikan prakonsepsi (prior knowledge) siswa atau gagasangagasan yang telah ada dalam diri siswa sebelum mereka belajar secara formal di sekolah. Kegiatan mengajar dalam pembelajaran langsung cenderung diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa, serta penggunaan metode ceramah terlihat sangat dominan. Adapun langkah-langkah pembelajaran langsung adalah sebagai berikut: 1) Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan mempersiapkan siswa, 2) Guru menyajikan informasi kepada siswa secara tahap demi tahap, 3) Guru membimbing pelatihan, 4) Guru mengecek keberhasilan siswa dan memberikan umpan balik, dan 5) Guru memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan di rumah (Trianto, 2009: 43).
Hasil Pengembangan Model Pembelajaran Berdasarkan kajian terhadap kelebihan, kekurangan dan sintaks model pembelajaran berbasis masalah dan pendekatan kontekstual diperoleh hal-hal sebagai berikut. 1). Pada pendekatan kontekstual dari Fase 1 yaitu berpikir (thinking) ke Fase 2 yaitu masyarakat belajar terasa ada lompatan. Hal ini dikarenakan pada Fase 1, guru mengajukan pertanyaan atau masalah nyata terkait materi yang akan dipelajari dan meminta siswa berpikir untuk mencari jawaban sendiri atas masalah tersebut, kemudian langsung diikuti Fase 2 yaitu belajar dalam kelompok (masyarakat belajar). Mestinya dari Fase 1 ke Fase 2 ada langkah dimana guru memberi bimbingan kepada siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah yang disampaikan
8
guru. 2) Di lain pihak pada Fase 1 model pembelajaran berbasis masalah, guru menyampaikan masalah, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. Kelemahannya adalah masalah yang disampaikan guru belum tentu masalah nyata (kontekstual) sehingga akan sulit dipahami siswa. Hal ini tidak sesuai Teori Jean Piaget yang menyebutkan bahwa siswa sekolah dasar masih berada pada tahap berpikir operasi konkret. Berdasarkan analisis tersebut dikembangkan model pembelajaran yang merupakan perpaduan dari model pembelajaran berbasis masalah dan pendekatan kontekstual. Model baru tersebut diberi nama model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Kontekstual. Model baru tersebut mempunyai 7 fase, yaitu a) Fase 1 : Orientasi Siswa pada Masalah, b) Fase 2 : Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar, c) Fase 3 : Membantu Penyelidikan Individu maupun Kelompok, d) Fase 4 : Pemodelan (modelling), e) Fase 5 : Berbagi (sharing), f) Fase 6 : Refleksi (reflection), dan g) Fase 6 : Penilaian (authentic assesment). Hasil Pengembangan Pedoman Penilaian Karakter Pedoman penilaian karakter yang berhasil dikembangkan dilengkapi dengan indikator-indikator untuk 9 nilai karakter yang cocok untuk dikembangkan pada mata pelajaran di sekolah dasar, yaitu a) teliti, b) kreatif, c) rasa ingin tahu, d) kerja keras, e) mandiri, f) tanggung jawab, g) disiplin, h) kejujuran, dan g) demokratis. Pada masing-masing nilai karakter, peneliti hanya mengembangkan 5 indikator. Berikut
disajikan
contoh
pedoman
penilaian
karakter
yang
telah
dikembangkan. Tabel 1 Pedoman Penilaian Karakter No.
Nama
Teliti
Aspek yang Dinilai Kreatif Rasa Ingin Tahu
Kerja Keras
Indikator masing-masing aspek diuraikan pada Tabel 2 berikut
9
Tabel 2 Nilai Karakter dan Indikator yang Dikembangkan Nilai 1. Teliti
2. Kreatif
a. b. c. d. e. a. b. c. d. e.
3. Rasa Ingin Tahu
a. b. c. d.
4. Kerja Keras
e. a. b. c. d. e.
Indikator Ketepatan dalam memilih rumus yang digunakan. Keruntutan dalam menggunakan prosedur/langkah. Ketepatan hasil perhitungan. Ketepatan dalam melakukan pengukuran. Mengecek kembali hasil pekerjaan sebelum dikumpulkan. Mencoba cara-cara baru untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Menggunakan berbagai media/sumber untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Bertanya tentang materi terkait untuk memperoleh ide atau gagasan. Mempunyai penyelesaian suatu masalah yang berbeda dengan orang yang lain. Mempunyai banyak gagasan dan usul terhadap suatu permasalahan. Bertanya kepada guru atau teman tentang materi yang belum diketahui. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada guru atau teman terkait materi yang sedang dipelajari. Mencari informasi dari berbagai sumber. Mencari/menemukan cara baru untuk menyelesaikan suatu masalah. Berani mencoba alat atau metode baru. Kesulitan tidak membuat berhenti belajar/menyelesaikan tugas. Bertanya tentang tugas atau materi pelajaran yang belum dikuasai ke teman atau guru. Mencari/menemukan cara baru untuk menyelesaikan suatu tugas. Berusaha menemukan sendiri konsep/materi yang sedang dipelajari. Mengerjakan semua tugas dengan baik walaupun tugas tersebut sulit/berat.
Pedoman penskoran: 1). Masing-masing aspek diberi skor 5, jika kelima indikator pada masing-masing aspek muncul semua. 2). Masing-masing aspek diberi skor 4, jika hanya 4 dari 5 indikator pada masingmasing aspek yang muncul. 3). Masing-masing aspek diberi skor 3, jika hanya 3 dari 5 indikator pada masingmasing aspek yang muncul. 2). Masing-masing aspek diberi skor 2, jika hanya 2 dari 5 indikator pada masingmasing aspek yang muncul. 1). Masing-masing aspek diberi skor 1, jika hanya 1 dari 5 indikator pada masingmasing aspek yang muncul.
10
Nilai masing-masing aspek =
Skor yang diperoleh × 100 = …. 5
Kriteria perkembangan nilai karakter: Belum Terlihat
: jika peserta didik memperoleh skor 1 – 25.
Mulai Terlihat
: jika peserta didik memperoleh skor 26 – 50.
Mulai Berkembang : jika peserta didik memperoleh skor 51 – 75. Mulai Membudaya : jika peserta didik memperoleh skor 76 – 100. Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan pada tanggal 3 November 2012 di Kampus Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan dihadiri oleh 23 guru dan kepala sekolah dari dua kabupaten/kota yaitu Surakarta, Karanganyar dan Boyolali diperoleh hasil sebagai berikut: 1). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa baik ditinjau dari segi substansi maupun ditinjau segi sintaksisnya, model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kontekstual sudah baik karena dikembangkan berdasarkan filsafat konstruktivisme dan pembelajarannya berpusat pada siswa. Mereka memberi saran bahwa ada pemilihan kata dan struktur kalimatnya perlu diperbaiki. 2). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kontekstual merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diimplementasikan di sekolah dasar. 3). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa mereka merasa mendapat pencerahan bagaimana
mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran matematika di sekolah dasar. 4). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa mereka merasa mendapat pencerahan bagaimana cara melakukan pengukuran (penilaian) nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran matematika di sekolah dasar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1) Model pembelajaran yang berhasil dikembangkan adalah model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kontekstual yang sintaksnya terdiri dari tujuh fase, 2) Pedoman penilaian karakter yang berhasil dikembangkan dilengkapi dengan indikator-indikator untuk sembilan nilai karakter
11
yang cocok untuk dikembangkan pada mata pelajaran di sekolah dasar, dan 3) Berdasarkan uji coba terbatas dan uji coba luas diperoleh hasil bahwa model kontekstual dengan pendekatan masalah dan pedoman penilaian karakter dapat diimplementasikan dengan baik di sekolah dasar. Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, kepada para guru sekolah dasar, penulis menyarankan: 1) Guru sesekali perlu menggunakan model pembelajaran kontekstual dengan pendekatan masalah sebagai dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar yang mengitegrasikan nilai-nilai karakter. 2) Guru perlu melakukan pengukuran/penilaian terhadap nilai-nilai karakter yang dikembangkan. Salah satu pedoman penilain yang dapat digunakan adalah pedoman penilaian karakter yang dikembangkan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Depdikbud. Kemendiknas.2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Martinis Yamin, 2008. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Gaung Persada Pres: Jakarta. Ruslan Burhani. 2012. Wamendikbud: Pendidikan Karakter Terkendala Pemahaman Guru. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/1327069057 /wamendikbud-pendidikan-karakter-terkendala-pemahaman-guru pada tanggal 1 April 2012. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
12