i
PENGEMBANGAN MINUMAN OLAHRAGA BERBASIS TEMPE DAN EFEKNYA TERHADAP PEMULIHAN KERUSAKAN OTOT PADA ATLET SETELAH LATIHAN KEKUATAN
MANSUR JAUHARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Minuman Olahraga Berbasis Tempe dan Efeknya terhadap Pemulihan Kerusakan Otot pada Atlet Setelah Latihan Kekuatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014
Mansur Jauhari NIM I162090061
iv
RINGKASAN MANSUR JAUHARI. Pengembangan Minuman Olahraga Berbasis Tempe dan Efeknya terhadap Pemulihan Kerusakan Otot pada Atlet Setelah Latihan Kekuatan, Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN, HADI RIYADI dan IKEU EKAYANTI Latihan merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan oleh seorang atlet sebelum mengikuti suatu pertandingan dan merupakan suatu proses yang berulang dan meningkat yang bertujuan untuk meningkatkan potensi dalam upaya mencapai prestasi yang optimal. Salah satu bentuk latihan adalah latihan kekuatan, yang dapat menyebabkan kerusakan otot dan harus segera dipulihkan. Salah satu zat gizi yang berperan dalam membantu proses pemulihan tersebut adalah asam amino rantai bercabang BCAA (Branched Chain Amino Acids). Tempe merupakan salah satu bahan yang berpotensi karena selain mengandung protein dengan kandungan BCAA yang tinggi juga mengandung isoflavon yang merupakan salah satu komponen penting dalam pemulihan kerusakan otot. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengembangkan formula minuman olahraga berbasis tempe yang dapat diterima secara sensori untuk pemulihan kerusakan otot, (2) mengevaluasi tingkat penerimaan panelis terhadap formula minuman olahraga berbasis tempe sebagai kandungan utama, (3) menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan, (4) menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan Penelitian pengembangan formula minuman olahraga berbasis tempe diawali dengan pembuatan tepung tempe dengan bahan utama tempe segar dengan lama fermentasi 36 jam. Tempe dipotong-potong kemudian diblansir dengan cara dikukus, dilanjutkan penggilingan dan pengeringan dengan cara dikering bekukan (freeze drying). Pengayakan terhadap tepung tempe dilakukan dengan saringan 80 mesh. Analisa terhadap tepung tempe menunjukkan setiap 100 gram mengandung kadar air 5.39 g, abu 1.22 g, protein 45.55 g, lemak 33.9 g, karbohidrat 13.94 g, kalsium 0.14 g, besi 0.018 g, natrium 0.004 g, magnesium 0.06 g, klorida 0.04 g dan kalium 0.10 g. Formulasi minuman olahraga dibuat dengan komposisi tepung tempe sebagai bahan utama, gula, bubuk coklat dan air. Berdasarkan komposisi bahanbahan tersebut dibuat tiga formula minuman yang dibedakan atas tingkat konsentrasi tepung tempe yaitu F1 (8.66%), F2 (7.31%) dan F3 (6.32%). Untuk menentukan formula terbaik yang akan digunakan untuk studi selanjutnya, dilakukan uji organoleptik berdasarkan uji hedonik. Hasil uji hedonik minuman tempe menunjukkan bahwa formula 2 cenderung mempunyai nilai kesukaan secara keseluruhan yang paling tinggi (5.42) dibandingkan dengan formula 3 (5.37) dan formula 1 (nilai 4.92) (P>0.05). Formula 2 mempunyai penerimaan secara keseluruhan yang tertinggi dengan nilai 80% dan ditetapkan sebagai minuman terpilih. Minuman tempe tersebut per sajian (600 ml) mengandung protein 23 gram, karbohidrat 48 gram, lemak 17.11 gram, energi 438 kkal, asam amino Branched Chain Amino Acids (BCAA) 4161.6 mg, Ca 72.92 mg, Fe 9.46 mg, Mg 33,12 mg, Na 2.37 mg Cl 21.30 mg, K 54 mg dan isoflavon sebesar 25.78 mg.
v
Untuk menguji pengaruh minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot dan stres oksidatif pada atlet mahasiswa, desain penelitian eksperimen dengan metode double blind randomized controlled trial ditetapkan sejumlah 18 orang atlet mahasiswa pria usia 18-24 tahun yang dipilih secara acak dan dibagi ke dalam 3 kelompok perlakukan intervensi masing-masing berupa a) minuman tempe dan b) minuman whey, yang masing-masing mengandung protein 23 gram, serta c) minuman plasebo. Subjek melakukan latihan kekuatan dengan squat, yang dibagi menjadi enam set dengan lima belas pengulangan dengan interval istirahat 2 menit antar set. Subjek melakukan latihan kekuatan dengan beban 75 % dari kekuatan maksimalnya (1RM/one repetition maximum). Segera setelah latihan kekuatan selesai subjek mengonsumsi minuman perlakuan. Minuman perlakuan juga diberikan pada hari ke dua sampai dengan hari ke empat. Creatine kinase (CK), kekuatan maksimal, nyeri otot diukur sebagai penanda kerusakan otot. Percobaan di atas juga digunakan untuk menguji pengaruh minuman tempe terhadap stres oksidatif. CK, kekuatan maksimal, nyeri otot, kadar malondialdehid (MDA) dan superoksida dismutase (SOD) diukur pada saat sebelum latihan dan pada 6, 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan kekuatan. Pemberian minuman tempe setelah latihan secara nyata menurunkan kadar CK dan meningkatkan kekuatan otot pada titik waktu 24 jam (p<0.05), tetapi memberikan respon yang sama terhadap nyeri otot. Penurunan aktivitas CK pada titik waktu 24 jam setelah latihan pada kelompok yang diberikan minuman tempe, whey dan plasebo masing-masing adalah 80.66 U/L, 124.5 U/L, dan 192.33 U/L, sedangkan untuk peningkatan kekuatan otot masing-masing adalah 0.41 kg, -1.66 kg dan -5 kg. Pemberian minuman tempe setelah latihan memberikan respon yang sama terhadap kadar MDA dan SOD bila dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu whey dan plasebo (P>0.05), akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan stres oksidatif. Penelitian yang dilakukan memberikan kesimpulan bahwa minuman tempe berpotensi sebagai minuman olahraga alternatif untuk pemulihan kerusakan setelah latihan kekuatan pada atlet. Kata kunci: latihan kekuatan, minuman tempe, pemulihan kerusakan otot, stres oksidatif
vi
SUMMARY MANSUR JAUHARI. Development of Tempeh-Based Sport Drinks and its Effect on Muscle Damage Recovery of Athletes After Resistance Training. Supervised by AHMAD SULAEMAN HADI RIYADI and IKEU EKAYANTI
Training is an essential activity that should be done by an athlete prior to attending the game and it is an iterative and increased process aiming to enhance the potency in order to obtain optimal achievement. Resistance training is one form of training which may lead to the muscle damage and should be recovered immediately. Branched chain amino acids are nutrients that play roles in the recovery processes. One of ingredient that is potential for recovery the muscle damage is tempeh. Beside it contains proteins with high content of BCAA, it also contain isoflavone an important component in the muscle damage recovery.This research was aimed: (1) to develop an appropriate formula of tempeh-based sport drinks for muscle damage recoveries which is sensorically acceptable, (2) to evaluate the level of panelist acceptability on tempeh-based sport drink formula, (3) to analyze the effect of administering tempeh drinks on muscle damage recovery after resistance training, (4) to analyze the effect of administering of tempeh drinks on oxidative stress after resistance training. First step in the research on development of tempeh-based sport drink formula was the preparation of tempeh flour as the main ingredient. Fresh tempeh with 36 h of fermentation were cut and steamed blanched. After grinding the ground tempeh was freeze dried and shieved on 80 mesh shieve. This tempeh flour contained 5.3 g moisture, 1.22 g ash, 45.55 g protein, 33.9 g fat, 13.94 g carbohydrate, 0.14 g calcium, 0.018 g iron, 0.004 g sodium, 0.06 g magnesium, 0.04 g chloride and 0.10 g potassium per 100 gram flour. Sport drink formulation were made with the compotition of tempeh flour as the main ingredient, sugar, chocolate powder and water. Based on its ingredient composition, there were three kinds of formula which were differentiated by the level of tempeh flour concentration namely F1(8.66%), F2 (7.31%) and F3 (6.32%). To determine the best formula for further study, the sensory analysis was performed. Results of the hedonic test showed that the F2 formula had the highest overall acceptability (5.42) than the F3 (5.37) and F 1 (4.92) (p>0.05). The F2 had the highest overall preference with the score of 80% and there was chosen as the best formula for further investigation. This formula contained protein 23 g, carbohydrate of 48 g, fat of 17.11 g, energy of 437.9 calorie, branched chain amino acids (BCAA) of 4161.6 mg, Ca of 72.92 mg, Fe of 9.46 mg, Mg of 33.12 mg, Na of 2.37 mg, Cl of 21.30 mg and K 54 mg, and isoflavone of 25.78 g per serving. To analyze the effect of tempeh drinks on muscle damage recovery and stress oxidative in student athlete, an experiment with double blind randomized control trial design was carried out. Eighteen semi-trained men (18-24 y) were randomly divided into three groups and each group received either: 1) tempeh drink and 2) whey drink, which each contain ~23 g protein, and 3) placebo drink. Subject performed resistance training by squat, which was divided into 6 sets with
vii
fifteen repetitions and 2 minute rest interval between sets. Subject performed resistance training with load of 75% of maximum strength (1 RM / one repetition maximum). As soon as the resistance training was over, subjects consumed the test drinks. Test drinks was administered at day 2 up to day 4. Creatine kinase level (CK), maximal voluntary contraction (MVC) and muscle soreness as marker of muscle damage were recorded before training and at six, 24, 48, 72, and 96 h post exercise. Administering of tempeh drinks after training significantly decreased the CK level and increased maximal strength at 24 h (P<0.05), but had similar response in muscle soreness. The decrease in CK activity at time points of 24 hours after exercise in the group given a tempeh drinks, whey and placebo namely 80.66 U / L, 124.5 U / L, and 192.33 U / L, respectively, whereas the increase in muscle strength were 0:41 kg, -1.66 kg and -5 kg, respectively. Administering of tempeh drinks after training had similar response on level of MDA and SOD level of all groups (p>0.05), but there was a tendency that the treatment of tempeh drinks give a better effect in reducing oxidative stress. In conclusion, tempeh drinks was potential to be used as an alternative sports drinks for muscle damage recovery on athlete. Key words: muscle damage recovery, oxidative stress, resitance training, tempeh drink
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
i
PENGEMBANGAN MINUMAN OLAHRAGA BERBASIS TEMPE DAN EFEKNYA TERHADAP PEMULIHAN KERUSAKAN OTOT PADA ATLET SETELAH LATIHAN KEKUATAN
MANSUR JAUHARI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Budi Setiawan, MS 2. Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc 2. Prof Dr dr A Purba, MSc AIFO
iii
Judul Disertasi
Nama NIM
: Pengembangan Minuman Olahraga Berbasis Tempe dan Efeknya terhadap Pemulihan Kerusakan Otot pada Atlet Setelah Latihan Kekuatan : Mansur Jauhari : I162090061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman, MS Ketua
Dr Ir Hadi Riyadi, MS Anggota
Dr Ir Ikeu Ekayanti, MKes Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Manusia
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:10-04-2014
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, beserta Anggota Pembimbing yaitu Dr Ir Hadi Riyadi MS dan Dr Ir Ikeu Ekayanti M.Kes yang telah memberi masukan, arahan, bimbingan dan dorongan moril selama penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Budi Setiawan MS selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup dan Prof Dr drh Agik Suprayogi MSc selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup dan ujian terbuka serta kepada Prof Dr dr A Purba MSc AIFO selaku penguji luar komisi pada saat ujian terbuka. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan juga kepada Prof drh M Rizal M Damanik MRepSc PhD selaku Ketua Program Studi dan Prof Dr Ir Dodik Briawan M.CN selaku Sekretaris Program studi Ilmu Gizi Manusia Sekolah Pasca Sarjana IPB (periode 2010-2014), Prof Dr Ir Ali Khomsan MS selaku ketua Program studi Ilmu Gizi Manusia Sekolah Pasca Sarjana IPB (periode 2014-2018). Ucapan terimakasih kami sampaikan pula kepada Guru Besar dan Bapak/Ibu Dosen Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB yang telah memberikan wawasan keilmuan selama penulis menuntut ilmu di IPB, juga kepada pengelola dan staf yang sudah banyak membantu dan memberikan layanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Negeri Jakarta pada waktu itu (Prof Dr Bedjo Sujanto M,Pd), Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Dr Achmad Sofyan Hanif M.Pd (periode 2005-2009), Dr Bambang Sudjiono M.Pd (periode 2009-2013), Dr Abdul Sukur M.Si (periode 2013-2017), Ketua Jurusan Olahraga Prestasi Tirto Apriyanto S.Pd M.Si yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menempuh studi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui Program Penelitian Hibah Disertasi Doktor serta memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Sandwich-Like di University of Adelaide Australia yang telah menambah pengalaman dan wawasan pengetahuan kepada penulis. Terimakasih juga disampaikan kepada Dr John Carragher dan Dr Beverley Muhlhausler dari School of Agriculture, Food and Wine University of Adelaide Australia atas bimbingan, saran dan bantuan selama penulis mengikuti Program Sandwich-like. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ketua Laboratorium Somatokinetika Fakultas Ilmu keolahragaan UNJ beserta staf atas izin dan pelayanan yang baik selama penulis melakukan penelitian di sana, serta kepada pimpinan dan segenap staf Laboratorium Pramita Jakarta, Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Terimakasih Penulis sampaikan kepada anggota klub bulutangkis mahasiswa Fakultas Ilmu keolahragaan UNJ yang telah bersedia menjadi subjek
v
dalam penelitian ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ari Subarkah, M.Pd dan Bapak Bayu Nugraha, M.Pd yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini, khususnya dalam pelaksanaan latihan kekuatan. Terimakasih juga penulis sampaikan atas kebaikan, ketulusan, dukungan dari para sahabat tercinta dan teman-teman seperjuangan di program Studi Ilmu Gizi Manusia Angkatan 2009, Ibu Hidayah Dwiyanti, Ibu Dewi Kartikasari, Ibu Iskari Ngadiarti, Ibu Katrin Roosita, Pak Ali rosidi dan Pak Arifasno Napu, untuk kakak-kakak kelasku Ibu Atik Kridawati, Ibu Wilda Welis, Ibu Asli Wirda Hayati, Ibu Mellova serta untuk adik-adik kelasku Ibu Betty, Ibu Dara, Ibu Teti, Ibu Trini, Pak Nurrahman, Ibu Yuni dan Ibu Nia. Terimakasih juga untuk teman-teman dosen dari Fakultas Ilmu Keolahragaan UNJ, Pak Aan, Ibu Heni, Ibu Eva, Ibu Ika, Ibu Marlinda, Ibu Nur, Ibu Yana, Pak Ari terimakasih atas persahabatan, perhatian, dan dukungannya selama ini. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada pihak pengelola Jurnal Pakistan Journal Nutrition dan Jurnal Agritech yang telah menerima naskah yang merupakan bagian dari disertasi ini untuk dipublikasikan. Ungkapan terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Siti Murtinah (alm) dan Ayahanda Drs Ahmad Suyuti, atas doa, kasih sayang dan bekal ilmu yang cukup yang diberikan kepada ananda sehingga ananda dapat mencapai strata pendidikan tertinggi ini. Juga kepada kakak-kakak ku Mas Saiful (alm), Mas Munir, Mas Burhan, Mbak Atun, Mbak Ummi, Mas Imam serta Adikku Atiq dan Aziz, Terimakasih atas doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini. Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna, saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. .
Bogor, Juni 2014 Mansur Jauhari
vi
vii
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian Hipotesis Ruang Lingkup Penelitian Daftar Pustaka 2. TINJAUAN PUSTAKA Latihan Kekuatan (Resistance Exercise) Sistem Energi pada Latihan Kekuatan Kerusakan Otot Setelah latihan Kebutuhan Protein pada Latihan Kekuatan Metabolisme Protein Peran Protein dan Asam Amino BCAA Pada Pemulihan Kerusakan Otot Perubahan Konsentrasi Asam Amino Selama Latihan Kekuatan Waktu Pemberian Protein Stres Oksidatif Setelah Latihan Kekuatan Antioksidan Potensi Tempe Dalam Pemulihan Kerusakan Otot Definisi Operasional Daftar Pustaka 3. PENGEMBANGAN FORMULA MINUMAN OLAHRAGA BERBASIS TEMPE UNTUK PEMULIHAN KERUSAKAN OTOT Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan Daftar Pustaka 4. PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN TEMPE TERHADAP PEMULIHAN KERUSAKAN OTOT SETELAH LATIHAN KEKUATAN PADA ATLET MAHASISWA Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan Daftar Pustaka 5. PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN TEMPE TERHADAP STRES OKSIDATIF SETELAH LATIHAN KEKUATAN PADA ATLET MAHASISWA
xvi xvii xviii 1 1 3 4 5 5 5 5 6 9 9 10 10 11 12 15 16 18 18 19 20 23 24 31 31 31 32 33 37 38
41 41 41 43 46 50 50
53
viii
Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan Daftar Pustaka 6. PEMBAHASAN UMUM Implikasi Hasil dan Keterbatasan Penelitian 7. SIMPULAN DAN HASIL Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
53 53 54 55 59 59 63 70 71 71 71 72 77
ix
DAFTAR GAMBAR 1. Nilai rerata tingkat kesukaan minuman tempe (skala 1-9) 2. Persentase penerimaan panelis terhadap minuman olahraga berbasis tempe 3. Bagan pelaksanaan penelitian pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan pada atlet 4. Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar CK serum pada subjek setelah latihan 5. Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kekuatan maksimal pada subjek setelah latihan kekuatan 6. Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap nyeri otot pada subjek setelah latihan kekuatan 7. Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar MDA plasma pada subjek setelah latihan kekuatan 8. Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar SOD eritrosit pada subjek setelah latihan kekuatan
34 35 45 47 48 48 56 57
x
DAFTAR TABEL 1. Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 g bahan kering dan 100 g 22 dalam bahan yang dapat dimakan (BDD) 2. Komposisi asam amino tepung tempe 34 3. Kandungan asam amino pada minuman tempe dan whey per takaran saji 36 4. Karakteristik subjek pada baseline 46 5. Asupan zat gizi subjek 46
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Ethical clearance 2. Bukti-bukti publikasi bagian dari disertasi
77 78
1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Prestasi olahraga di Indonesia harus terus ditingkatkan baik prestasi di tingkat regional maupun internasional. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi olahraga seperti faktor teknik, taktik, pembinaan mental dan strategi yang baik, serta metode latihan dan sarana prasarana yang memadai. Faktor lain yang sangat penting adalah pemenuhan gizi seimbang, dengan pemenuhan gizi yang baik diharapkan kondisi fisik atlet menjadi lebih baik. Latihan merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh seorang atlet sebelum mengikuti suatu pertandingan. Latihan merupakan suatu proses yang berulang dan meningkat guna meningkatkan potensi dalam upaya mencapai prestasi yang optimal. Atlet mengikuti program latihan jangka panjang untuk meningkatkan kondisi fisik dan mental sebagai sarana untuk mempersiapkan menuju suatu pertandingan (Tangkudung 2006). Latihan kekuatan merupakan komponen umum dari latihan olahraga. Selama latihan, terutama latihan eksentrik seperti latihan beban, latihan plyometric dan berlari kencang umumnya dapat menyebabkan kerusakan otot. Selain itu dapat menyebabkan robeknya sarkolema di beberapa serat otot, miofibril yang rusak, dan rusaknya garis z. Kerusakan sel otot setelah melakukan latihan dengan intensitas yang tinggi ditandai salah satunya oleh meningkatnya kadar enzim creatine kinase (CK) (Bean 2009). Peningkatan kadar enzim CK ini disebabkan oleh kerusakan pada sarkolema akibat gerakan yang terus menerus dalam intensitas tinggi. Kerusakan sarkolema menyebabkan keluarnya enzim CK dari sel otot menuju sistem sirkulasi darah (Tortora 2009). Selain itu kerusakan sel otot setelah melakukan latihan dengan intensitas tinggi juga ditandai oleh meningkatnya kadar enzim LDH (Lactate Dehidrogenase) dan serum myoglobin. Penelitian White et al. (2008) menemukan terjadinya peningkatan kerusakan otot secara signifikan yang ditandai dengan kenaikan CK setelah latihan kekuatan. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan Udani et al. (2009) yang mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kerusakan otot dan rasa nyeri setelah melakukan latihan kekuatan. Penelitian Cooke et al. (2010) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan terhadap kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Kerusakan otot yang terjadi setelah latihan tersebut, harus segera dipulihkan karena kerusakan otot dapat menyebabkan rasa nyeri otot dan rasa tidak nyaman yang dialami cukup lama yaitu sekitar satu sampai tiga hari setelah melakukan latihan, kondisi ini membuat atlet menjadi sulit untuk tidur. Meskipun serangan nyeri otot ini bukanlah suatu penyakit atau kelainan, namun kondisi ini dapat membatasi pelaksanaan latihan berikutnya. Di samping itu dampak kerusakan otot juga dapat menurunkan kemampuan kekuatan otot maksimal. White et al. (2008) menyebutkan bahwa latihan kekuatan dapat menyebabkan rasa nyeri otot secara signifikan setelah 6 jam latihan. Selain itu menurut Bean (2010) kerusakan otot bahkan dapat menunda penyimpanan glikogen, sehingga pengisian glikogen secara lengkap dapat membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu selama 7-10 hari. Tertundanya penyimpanan glikogen ini dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan melakukan latihan pada hari berikutnya. Oleh karena itu
2 perlu adanya upaya untuk mempercepat proses pemulihan khususnya melalui pengaturan gizi. Al Masri et al. (2011) menyebutkan bahwa tidak terpenuhinya gizi setelah latihan dapat mengakibatkan kelelahan otot dini dan nyeri yang berkepanjangan. Dalam proses pemulihan kerusakan otot, salah satu zat gizi yang berperan terutama protein, di mana secara langsung protein diperlukan dalam menekan gangguan garis z pada otot (Helman et al. 2003), sedangkan secara tidak langsung melalui pembentukan β-Hydroxy-β- Methylbutyrate (HMB) melalui transaminasi leusin (Nissen et al. 1996). HMB dikonversi ke HMG-CoA dalam sitosol, yang dapat digunakan untuk sintesis kolesterol dalam sel. Di semua sel, kolesterol diperlukan untuk sintesis membran sel baru serta perbaikan membran yang rusak dalam memelihara fungsi sel dan pertumbuhan (Nissen dan Abumrand 1997). Branched chain amino acids (BCAA) atau asam amino rantai bercabang yaitu leusin, valin, dan isoleusin merupakan asam amino yang penting bagi para atlet dan individu yang aktif, karena digunakan dalam metabolisme energi dalam kerja otot. Selain itu, leusin memainkan peran penting dalam regulasi sintesis protein (Brian dan Haub 2007). Menurut Bean (2009) asam amino BCAA dapat meminimalkan pemecahan protein otot selama latihan intensitas tinggi. BCAA merupakan proporsi tertinggi dalam jaringan otot dan yang pertama dipecah untuk energi selama intensitas tinggi, dan latihan yang lama, sehingga apabila jumlah BCAA cukup tersedia maka semakin kecil kemungkinan terjadinya pemecahan jaringan otot yang ada. Suplementasi protein telah terbukti meringankan kerusakan otot, yang ditandai dengan menurunnya kadar CK, mengurangi rasa nyeri otot serta meningkatkan fungsi otot (Millard et al. 2005). Shimomura et al. (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemberian BCAA sebelum latihan kekuatan, dapat menurunkan rasa nyeri otot dibandingkan dengan kelompok plasebo. Pemberian protein utuh yang dikombinasikan dengan karbohidrat sebelum, sesudah, atau selama latihan daya tahan dapat memberikan efek penurunan nyeri otot setelah latihan (Millard et al. 2005). Sedangkan menurut Seifert et al. (2005) pemberian protein utuh menurunkan konsentrasi dari mioglobin dan CK plasma. Jackman et al. (2010) dengan pemberian BCAA, pemberian supleman tersebut berpengaruh terhadap penurunan nyeri otot pada 48 dan 72 setelah latihan tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar CK dibandingkan dengan plasebo. Penelitian yang dilakukan Howatson et al. (2012) pemberian suplemen BCAA diberikan 7 hari sebelum latihan kekuatan, segera sebelum dan setelah latihan kekuatan dan selama 4 hari setelah latihan memberikan pengaruh secara nyata terhadap penurunan kadar CK, penurunan nyeri otot dan peningkatan kekuatan otot dibandingkan dengan plasebo pada 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan. Sebaliknya, sebuah studi yang memberikan protein susu dan larutan karbohidrat segera setelah latihan kekuatan justru tidak menemukan perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok plasebo dengan indikasi nyeri otot atau kekuatan maksimal sukarela (Wojcik et al. 2001). Namun, ada kecenderungan kadar CK lebih rendah pada kelompok yang diberikan susu dan larutan karbohidrat dibandingkan dengan kelompok plasebo (Wojcik et al. 2001). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gilson et al. (2010) pada atlet sepak bola menunjukkan bahwa pemberian susu coklat setelah latihan, hanya memberikan pengaruh pada kadar CK dan tidak untuk indikator kerusakan otot
3 yang lain seperti kekuatan maksimal dan rasa nyeri otot. Penelitian yang dilakukan White et al. (2008) menunjukkan bahwa konsumsi karbohidrat dan whey protein setelah atau sesudah latihan tidak berpengaruh terhadap kerusakan dan nyeri otot pada atlet yang berlatih kekuatan dibandingkan dengan plasebo. Sebaliknya, Buckley et al. (2010), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi whey protein setelah latihan kekuatan, pemulihan kekuatan otot dapat meningkat. Salah satu sumber protein yang cukup potensial dan belum banyak digunakan pada atlet adalah tempe, yang merupakan makanan tradisional yang sangat popular di Indonesia, tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi dengan penambahan Rhizopus oligosporus. Hampir separuh penduduk Indonesia senang mengkonsumsi tempe khususnya pada masyarakat menengah ke bawah. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi gizi dan non gizi seperti isoflavon yang lebih baik dibanding kedelai. Selain itu tempe mudah diproduksi, harga relatif terjangkau, tersedia di pasaran, serta mudah dimasak. Di dalam proses pembuatan tempe dari kedelai, enzim protease menghidrolisis komponen protein menjadi asam amino bebas dan nitrogen terlarut. Proses hidrolisa ini menghasilkan kenaikan asam amino bebas pada tempe menjadi 85 kali lebih banyak daripada asam amino bebas pada kedelai (Mahmud 1996). Tempe juga mengandung asam amino BCAA (valin, leusin, isoleusin) yang tinggi dibanding dengan asam amino yang lainnya. Nilai cerna tempe lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai, keadaan tersebut meningkatkan mutu gizi protein tempe (Hermana et al. 1996). Melihat banyaknya keunggulan dari tempe sebagai sumber protein, tempe mempunyai potensi untuk digunakan dalam memperbaiki kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Tempe dapat diolah menjadi berbagai jenis masakan, antara lain tempe dapat dibuat menjadi minuman yang dikenal dengan minuman tempe. Minuman tempe dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai minuman olahraga yang mempunyai kualitas protein yang baik yang mengandung BCAA, yang diharapkan memberikan manfaat terhadap pemulihan dari kerusakan otot setelah melakukan latihan olahraga. Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian Latihan kekuatan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kerusakan otot yang ditandai dengan nyeri otot, peningkatan konsentrasi CK dalam darah, menurunnya kekuatan otot (Cockburn 2010). Selain itu latihan kekuatan dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan, yang disebut sebagai stres oksidatif (Urso dan Clarkson 2003). Kerusakan otot dapat diperparah dengan hadirnya ROS yang berpotensi dapat menyebabkan kerusakan otot lanjut (Malm et al. 1999; MacIntyre et al. 2001). Aktivasi ROS dapat menyebabkan lisis membran sel otot (Tidball 2005), melalui peroksidasi lipid lanjut (Close et al. 2005). Menurunnya kekuatan otot, rasa nyeri, kekakuan dan berkurangnya kapasitas untuk berolahraga di tingkat optimal dapat mempengaruhi sesi latihan berikutnya. Oleh karena itu, intervensi untuk meringankan gangguan dapat memberikan manfaat bagi atlet yang rutin melakukan latihan sehingga kerusakan otot tesebut dapat segera pulih agar atlet dapat melakukan latihan pada hari berikutnya dalam kondisi yang optimal.
4 Salah satu zat gizi yang penting dalam pemulihan kerusakan otot adalah protein. Stimulus sintesis protein dan meminimalkan pemecahan protein adalah dua proses seluler yang penting untuk pemulihan kerusakan otot setelah kerusakan (Rennie et al. 2001). Walaupun pemecahan protein mungkin merupakan proses penting yang terlibat dalam respon adaptif selama pemulihan (Tipton et al. 2008), meningkatkan sintesis protein dalam otot selama periode pemulihan sangat penting untuk regenerasi otot dan hipertrofi. Oleh karena itu, pentingnya strategi yang dapat mendorong keseimbangan protein otot yang positif selama beberapa hari setelah kerusakan otot untuk meningkatkan sintesis protein. Beberapa penelitian tentang pemulihan kerusakan otot yang sudah dilakukan sebelumnya pada umumnya menggunakan sumber protein yang berasal dari susu seperti Gilson et al. (2010) menggunakan susu coklat, Cockburn et al. (2011) menggunakan susu, sedangkan penelitian lainnya menggunakan whey protein antara lain White et al. (2008), Buckley et al. (2010), Cooke et al. (2010), Burnley et al. (2010). Penelitian yang menggunakan asam amino bebas seperti asam amino rantai bercabang (BCAA) adalah Matsumoto et al. (2009), Howatson et al. (2012), Jackman et al. (2010), sedangkan Street et al. (2011) menggunakan glutamin, dan Kirby et al. (2012) menggunakan asam amino leusin. Selama ini dalam memenuhi kebutuhan protein setelah melakukan latihan, atlet banyak menggunakan produk yang sudah ada di pasaran seperti whey protein yang harganya relatif mahal. Salah satu sumber protein yang potensial namun belum banyak digunakan pada atlet adalah tempe, tempe juga mengandung isoflavon yang dapat berperan sebagai antioksidan. Antioksidan dapat menangkal radikal bebas yang dihasilkan selama latihan, radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan otot secara sekunder (Howatson et al. 2008). Dengan demikian isoflavon dapat berperan dalam mempercepat pemulihan kerusakan orot. Selain itu, ketersediaan tempe di Indonesia yang mudah diperoleh akan menjamin kontinuitas sumberdaya tersebut. Namun demikian belum ada penelitian tentang pengaruh pemberian tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Agar mudah dikonsumsi setelah latihan tempe dapat diolah menjadi suatu minuman yang nikmat. Dengan melihat kandungan BCAA dan isoflavon dalam tempe memungkinkan untuk digunakan sebagai minuman bagi atlet guna membantu proses pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan terkait dengan penggunaan tempe untuk pemulihan kerusakan otot : 1. Bagaimana kandungan gizi dan penerimaan minuman tempe secara sensori apabila minuman tempe digunakan sebagai minuman olahraga untuk pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan? 2. Bagaimanakah pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan? 3. Bagaimanakah pengaruh pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan? Tujuan Umum Mengembangkan minuman olahraga tinggi BCAA dari tempe dan kegunaannya terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan pada atlet.
5 Tujuan Khusus 1. Mengembangkan formula minuman olahraga berbasis tempe yang dapat diterima secara sensori untuk pemulihan kerusakan otot. 2. Mengevaluasi tingkat penerimaan panelis terhadap formula minuman olahraga berbasis tempe sebagai kandungan utama. 3. Menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. 4. Menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan. Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian antara lain: 1. Dihasilkan produk minuman olahraga alternatif untuk membantu atlet dalam mempercepat proses pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan melalui pemanfaatan pangan lokal yaitu minuman tempe. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengangkat potensi minuman tempe sebagai sumber protein nabati untuk pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. 3. Membantu menyediakan minuman meningkatkan prestasi atlet.
fungsional
olahragawan
untuk
4. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu gizi olahraga.
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis yang diajukan yaitu: 1. H1 : ada perbedaan penerimaan minuman tempe terhadap pemberian jumlah air yang berbeda pada tepung tempe 2. H1 : terdapat efek pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot 3. H1 : terdapat efek pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian pengembangan minuman tempe sebagai minuman sumber protein dan isoflavon yang secara sensori dapat diterima untuk pemulihan kerusakan otot pada atlet dan menguji dampaknya pada pemulihan kerusakan otot dan stres oksidatif setelah latihan kekuatan pada atlet.
6 DAFTAR PUSTAKA Al Masri. 2011. 100 Questions & Answers About Sports Nutrition and Exercise. Jones and Bartlett Publishers, LLC. Bean A. 2009. Sports Nutrition. London. Published by A & C Black Publishers Ltd 36 Soho Square. Brian SS, Haub MD. 2007. Whey, Casein, and Soy Protein. Sports Nutrition fats and Proteins. Driskell JA, editor. New York. CRC Press. Buckley JD, Thomson RL, Coates AM, Howe PR, Denichilo MO, Rowney MK. 2010 Supplementation with a whey protein hydrolysate enhances recovery of muscle force-generating capacity following eccentric exercise. J Sci Med Sport.13(1) :178-81. Burnley ECD, Olson AN, Sharp RL, Baier SM, Alekel DL. 2010. Impact of protein supplements on muscle recovery after exercise-induced muscle soreness. Journal Exercise Science Fitness 8: 89-96. Close GL, Ashton T, McArdle A, MacLaren, DPM. 2005. The emerging role of free radicals in delayed onset muscle soreness and contraction-induced muscle injury. Comparitive Biochemistry and Physiology. 142: 257-266. Cockburn E. 2010. Acute protein-carbohydrate supplementation: effects on exercise-induced muscle damage. Current Topic In Nutraceutical Research. 8: 7-18. Cockburn E, Ansley PR, Hayes PR, Stevenson E. 2011. Effect of volume of milk consumed on the attenuation of exercise-induced muscle damage. Eur J Appl Physiol. 112: 3187–3194. Cooke, Rybalka, Stathis. 2010. Whey Protein Isolate Attenuates Strength Decline After Eccentrically-Induced Muscle Damage in Health Individuals. Journal of International Society of Sports Nutrition. 7 (30) : 1-9. Gilson SF, Saunders MJ. 2010. Effects of chocolate milk consumption on markers of recovery following soccer training : a randomized cross-over study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 7(19): 1-10. Hermana, Mahmud MK. 1996. Pengembangan Teknologi Pembuatan Tempe. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia. Hermana, Mahmud MK, Karyadi D. 1996. Komposisi dan Nilai Gizi Tempe serta Manfaatnya dalam Peningkatan Mutu Gizi makanan. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia. Helman EE, Huff-Lonergan E, Davenport GM, Lonergan SM. 2003. Effect of dietary protein on calpastatin in canine skeletal muscle. J Anim Sci. 81:2199-2205.
7 Howatson G, Someren KV. 2008. The prevention and treatment of exercise induced muscle damage. Sports Medicine. 38: 483-503. Howatson G, Hoad M, Goodall S, Tallent J, Bell PG, French DN. 2012. Exerciseinduced muscle damage is reduced in resistance-trained males by branched chain amino acids: a randomized, double-blind, placebo controlled study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 9 (20):1-7. Jackman SR, Witard OC, Jeukendrup AE, Tipton KD. 2010. Branched-chain amino acid ingestion can ameliorate soreness from eccentric exercise. Medicine Science Sports Exercise. 42:962–970. Kirby, TJ. Triplett NT, Haines TL, Skinner JW, Fairbrother KR, McBride JM. 2012. Effect of leucine supplementation on indices of muscle damage following drop jumps and resistance exercise Amino Acids. 42: 1987–1996 MacIntyre DL, Sorichter S, Mair J, Berg A, McKenzie DC. 2001. Markers of inflammation and myofibrillar proteins following eccentric exercise in humans. European Journal of Applied Physiology. 84: 180-186. Mahmud MK. 1996. Tempe dan Infeksi. Bunga rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia. Malm C, Lenkei R. Sjodin B. 1999. Effects of eccentric exercise on the immune system in men. Journal of Applied Physiology. 86: 461-468. Matsumoto K, Koba T, Hamada K, Sakura M, Higughi T, Miyata H. 2009. Branched-chain amino acid supplementation attenuates muscle soreness, muscle damage and inflammation during an intensive training program. J Sports med phys fitness. 49: 424-31. Millard-Stafford M, Warren GL, Thomas LM, Doyle JA, Snow T,Hitchcock K. 2005. Recovery from run training: efficacy of a carbohydrate-protein beverage? Int J Sport Nutr Exerc Metab. 15:610-624. Nissen S, Sharp R, Ray M, Rathmacher JA, Rice D, Fuller JC Jr, Con-nelly AS, Abumrad N. 1996. Effect of leucine metabolite beta-hydroxy-betamethylbutyrate on muscle metabolism during resistance-exercise training. J Appl Physiol. 81:2095-2104. Nissen SL, Abumrad NN. 1997. Nutritional role of the leucine metabolite βhydroxy-β-methylbutyrate (HMB). J Nutr Biochem 1997; 8:300–311. Rennie MJ, Tipton KD. 2000. Protein and amino acid metabolism during and after exercise and the effects of nutrition. Annu Rev Nutr. 20:457-483. Seifert JG, Kipp RW, Amann M, Gazal O. 2005. Muscle damage, fluid ingestion, and energy supplementation during recreational alpine skiing. Int J Sport Nutr Exerc Metab. 15:528-536. Shimomura Y, Yamamoto Y, Bajotto G, Sato J, Murakami T, Shi-momura N, Kobayashi H, Mawatari K. 2006. Nutraceutical effects of branched-chain amino acids on skeletal muscle. J Nutr. 136:529S-532S.
8 Street B, Byrne C, Eston R. 2011. Glutamine supplementation in recovery from Eccentric exercise attenuates Strength loss and muscle soreness. J Exerc Sci Fit. 9: 116–12. Tangkudung J. 2006. Kepelatihan Olahraga. Jakarta: Penerbit Cerdas Jaya. Tidball JG. 2005. Inflammatory processes in muscle injury and repair. American Journal of Physiology. 288: R345-R353. Tipton KD. 2008. Protein for adaptations to exercise training. Eur J Sport Sci. 8:107-118. Tortora G. 2009. Principles of Anatomy And Physiology. John Wiley & Sons, Inc. All rights reserved. Udani, JK, Singh, BB. 2009. BounceBackTM Capsules For Reduction of DOMS after Eccentric Exercise : Randomized, Double-Blid, Placebo-Controlled, Crosover Pilot Studi. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 6 (14): 1-6. Urso ML, Clarkson PM. 2003. Oxidative stress, exercise, and antioxidant supplementation. Toxicology. 189: 41-54. White JP, Wilson JM, Austin KG, Greer BK, St John N, Panton LB. 2008. Effect of carbohydrate-protein supplement timing on acute exercise-induced muscle damage. J Int Soc Sports Nutr. 5 (5): 1-7. Wojcik JR, Walber-Rankin J, Smith LL, Gwazdauskas FC. 2001. Comparison of carbohydrate and milk-based beverages on muscle damage and glycogen following exercise. Int J Sport Nutr Exerc Metab. 11:406-419.
9 2. TINJAUAN PUSTAKA Latihan Kekuatan (Resistance Training) Salah satu cara untuk mengembangkan kekuatan atlet adalah dengan cara melakukan latihan kekuatan (Resistance Training). Kekuatan otot yang lebih besar untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan tugas seperti mendorong atau mengangkat. Ketahanan otot yang lebih besar memungkinkan orang untuk melakukan pekerjaan yang berat dalam waktu yang lama tanpa merasa lelah. Orang-orang yang meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan dengan menggunakan otot untuk bergerak melawan kekuatan beban. Angkat berat dan latihan kekuatan lainnya dapat menekan otot-otot yang menyebabkan peningkatan ukuran dan kekuatan (Smolin dan Gresvenor 2010). Latihan kekuatan adalah jenis aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot, power, daya tahan otot, dan / atau hipertrofi. Latihan beban (dengan barbel, dumbel, menggunakan mesin) adalah yang paling efektif untuk meningkatkan ukuran otot dan kekuatan karena memberikan variabilitas yang besar untuk gerakan-gerakan yang dilakukan dan mudah diukur bahwa perkembangan tersebut mudah dipantau dan ditentukan (Kraemer et al.2001). Latihan kekuatan harus dilakukan 2-3 hari seminggu pada awal program latihan, dan dua hari seminggu setelah latihan kekuatan yang diinginkan telah dicapai. Hal ini dapat dilakukan dengan beban atau dengan mesin latihan kekuatan. Setiap sesi harus mencakup minimal 8 sampai 10 latihan yang melatih kelompok otot utama. Setiap latihan harus diulang 8 sampai 12 kali. Peningkatan jumlah beban dalam mengangkat akan meningkatkan kekuatan otot. Peningkatan jumlah pengulangan akan meningkatkan daya tahan (Smolin dan Gresvenor 2010). Resistance Training, sering disebut latihan kekuatan atau latihan beban, melibatkan penggunaan otot untuk mendorong terhadap kekuatan. Tubuh beradaptasi untuk melakukan tugas yang diminta, apakah tugas itu adalah untuk mengangkat beban lebih berat, peregangan milimeter lebih jauh, atau terus mengangkat selama beberapa menit lagi. Ketika otot bekerja, tekanan atau beban berlebihan menyebabkan otot untuk beradaptasi dengan meningkatnya ukuran dan kekuatan, proses tersebut disebut sebagai hipertrofi. Dengan semakin meningkatkan jumlah atau intensitas latihan pada setiap sesi, secara perlahan otot mengalami hipertrofi. Semakin besar jumlah dan intensitas latihan, semakin besar efek dari latihan. Dengan meningkatkan kekuatan otot, latihan kekuatan juga dapat meningkatkan kekuatan otot. Peningkatan dalam kekuatan otot terjadi ketika kekuatan otot meningkat, ketika kinerja kardiovaskular ditingkatkan karena latihan aerobik, dan ketika diet dioptimalkan. Ketika otot tidak digunakan, otot menjadi lebih kecil dan lebih lemah. Proses ini disebut atrofi. (Smolin dan Gresvenor 2010). Kekuatan maksimum mengacu pada kemampuan tertinggi dari sistem neuromuskuler sehingga dapat menghasilkan kontraksi maksimum. Kekuatan maksimal ditunjukkan pada beban tertinggi yang dapat diangkat oleh seorang atlet. Kekuatan maksimal berhubungan dengan faktor daya tahan otot, performa mengangkat beban dan kecepatan (Bompa dan Haff 2009).
10 Sistem Energi pada Latihan Kekuatan Energi untuk aktivitas latihan kekuatan terutama berasal dari sistem anaerobik. Ini karena kebutuhan ATP yang sangat tinggi diperlukan untuk menghasilkan tingkat yang besar selama aktivitas dengan intensitas tinggi dan durasi pendek. Ini sesuai, dengan serat otot rangka yang beradaptasi untuk terjadinya hipertropi dengan kemampuan metabolisme energi anaerobik. Pool ATP dan creatine phosphate dalam sel otot adalah sumber utama ATP selama beberapa detik pertama dari aktivitas intensitas tinggi. Tingkat ATP dipertahankan selama beberapa detik pertama dari latihan intensitas yang sangat tinggi, setelah tingkat creatine phosphate dan ATP habis ke tingkat yang rendah dengan cara yang sesuai. Namun, tingkat ATP tidak habis ke titik kelelahan, ini menunjukkan bahwa mekanisme lain yang lebih bertanggung jawab untuk kelelahan otot selama melakukan intensitas yang sangat tinggi. Dalam merespon latihan intensitas yang lebih tinggi, tingkat creatine phosphate meningkat, adaptasi ini lebih besar dalam serat otot Tipe II daripada Tipe I (Wildman and Miller 2004). Glikolisis anaerobik meningkat karena terjadinya latihan intensitas yang sangat tinggi. Kontribusi dari glikolisis anaerob untuk regenerasi ATP selama detik pertama. Latihan terus-menerus, menyebabkan tingkat creatine phosphate akan habis dan glikolisis anaerobik menjadi sistem regenerasi penyedia ATP yang utama. Akibatnya, produksi asam laktat menjadi salah satu faktor pembatas dari performa (Bean 2009). Glikolisis anaerobik terjadi terutama dalam serat tipe II karena kebutuhan kekuatan yang tinggi. Beberapa ATP aerobik juga dihasilkan pada serat tipe I yang digunakan untuk yang pertama dan bila tersedia oksigen, tetapi kontribusi dari jalur aerobik minimal. Total produksi ATP sebagian bergantung pada tingkat kebugaran, frekuensi, intensitas, waktu, dan jenis aktivitas serta hidrasi dan status energi atlet. Regenerasi ATP melalui glikolisis yang kemudian akan diproduksi asam laktat dari piruvat yang memungkinkan untuk produksi ATP yang cepat selama latihan intensitas tinggi. NADH diperlukan untuk mengubah piruvat menjadi asam laktat yang diproduksi pada awal glikolisis. Reaksi laktat dehidrogenase (LDH) sehingga meregenerasi NAD+ pada langkah awal glikolisis. Ketergantungan lebih besar pada glikolisis anaerobik dan regenerasi asam laktat untuk regenerasi cepat ATP. Di satu sisi merupakan cara yang sangat cepat karena sistem anaerobik menghasilkan ATP, yang mendukung upaya latihan yang lebih kuat. Di sisi lain, asam laktat dalam jaringan otot dapat mengurangi kapasitas fungsional yang dapat menghambat aktivitas, mengikat kalsium dan enzimatik. Produksi asam laktat secara langsung berkaitan dengan intensitas latihan, sistem energi dapat mempertahankan upaya latihan yang hanya sebentar selama latihan yang sangat kuat (Wildman and Miller 2004). Kerusakan Otot Setelah latihan Kerusakan otot terjadi ketika otot menerima stimulus fisik yang berlebihan. Dalam latihan dan olahraga, kerusakan otot disebabkan oleh trauma fisik, sehingga robek, memar, atau pecahnya serat otot, dan gangguan miofilamen (Nosaka 2007). Latihan kekuatan dapat berhubungan dengan tingginya kerusakan
11 otot jaringan, sebuah proses yang ditandai dengan gangguan retikulum sarkoplasma dan sarkomerik protein garis z (Belcastro et al 1998). Kondisi tersebut dipicu oleh trauma dari aktivitas fisik yang kemudian memicu kaskade metabolik yang ditandai oleh peningkatan progresif indikator mikroskopis kerusakan otot (Evan et al. 1986). Beberapa indikator kerusakan otot mencakup peningkatan tingkat CK, LDH dan nyeri otot (Candow 2006). Kadar enzim CK meningkat setelah latihan dengan intensitas tinggi yang disebabkan oleh kerusakan pada sarkolema akibat gerakan yang terus menerus dalam intensitas tinggi. Kerusakan sarkolema menyebabkan keluarnya enzim CK dari sel otot menuju sistem sirkulasi sehingga hal ini dapat dijadikan indikator kerusakan otot (Tortora 2009). Peningkatan indeks kerusakan otot berhubungan dengan kinerja yang menurun (White et al. 2008). Menurut Willoughby et al.(2003) bahwa olahraga berat dapat menyebabkan kerusakan otot dan peradangan yang tergantung pada modus latihan, intensitas, dan durasi. Latihan dengan komponen eksentrik besar menghasilkan besarnya kerusakan serat otot, peradangan, serangan nyeri otot yang tertunda, dan berbagai defisit fungsional. Respon terhadap kerusakan otot karena latihan yang disebabkan oleh besarnya peningkatan inflamasi sitokin pada otot yang digunakan, pada plasma. Hampir setiap orang dapat mengalami beberapa jenis nyeri otot setelah latihan. Nyeri otot sering disebut sebagai serangan nyeri otot tertunda. Serangan nyeri otot tertunda menggambarkan fenomena nyeri otot atau kekakuan otot yang umumnya terjadi 12 sampai 48 jam setelah olahraga. Hal ini biasanya terjadi pada individu yang tidak terbiasa untuk berolahraga, melakukan peningkatan intensitas latihan yang mendadak atau melakukan olahraga setelah lama tidak aktif (Al Masri 2011). Kerusakan otot terjadi karena latihan eksentrik dengan gejala seperti nyeri otot, kehilangan kekuatan otot dan berbagai gerakan dan pembengkakan (Nosaka 2007). Tindakan otot eksentrik melibatkan gerakan yang menyebabkan otot untuk berkontraksi memanjang sementara. Contoh aktivitas otot eksentrik termasuk turun tangga, berjalan menurun, dan angkat berat di gym. Serangan nyeri otot tertunda diperkirakan sebagai akibat luka kecil yang terjadi di membran dari serat otot. Jumlah kerusakan tergantung pada faktor-faktor tertentu seperti seberapa keras, berapa lama, dan apa jenis latihan yang atlet lakukan. Ketika serat otot yang rusak, peradangan (pembengkakan) terjadi dan menempatkan tekanan pada saraf di sekitarnya, menimbulkan rasa nyeri dan nyeri tekan. Berbeda dengan keyakinan yang diyakini banyak orang, serangan nyeri otot tertunda bukan hasil asam laktat yang tersisa dalam otot, karena mayoritas asam laktat biasanya hilang dalam beberapa menit setelah olahraga. Sebagian besar kerusakan otot disebabkan oleh tindakan otot eksentrik (Al Masri 2011).
Kebutuhan Protein pada Latihan Kekuatan Latihan kekuatan membutuhkan tambahan protein untuk memberikan peningkatan stimulus untuk pertumbuhan otot. Untuk membangun otot harus berada dalam keseimbangan nitrogen positif. Ini berarti tubuh harus mempertahankan protein yang lebih dari makanan daripada yang dikeluarkan atau digunakan sebagai bahan bakar. Asupan sub-optimal protein akan menghasilkan
12 penambahan yang lebih lambat dalam ukuran, kekuatan dan massa, atau bahkan hilangnya otot, meskipun latihan keras. Dalam prakteknya tubuh mampu beradaptasi dengan sedikit variasi dalam asupan protein. Hal ini menjadi lebih efisien dalam daur ulang asam amino selama metabolisme protein jika asupan rendah selama jangka waktu tertentu. Tubuh juga bisa beradaptasi dengan asupan protein yang tinggi secara konsisten dengan mengoksidasi surplus asam amino untuk energi. Penting untuk dipahami bahwa diet tinggi protein saja tidak akan menghasilkan peningkatan kekuatan atau ukuran otot. Tujuan ini hanya dapat dicapai bila asupan protein yang optimal dikombinasikan dengan latihan kekuatan yang intensif (Dunford 2008). Latihan kekuatan mempunyai kebutuhan harian protein paling besar dibanding atlet endurance (daya tahan). Rekomendasi asupan saat ini adalah antara 1,4 dan 1,8 g / kg berat badan / hari (William 1998). Rekomendasi protein untuk atlet kekuatan menurut Asosiasi Diet Amerika ACSM (American College of Sport Medicine) adalah 1,6-1,7 g / kg berat badan per hari. Belum ada anjuran banyaknya protein yang harus dikonsumsi pada satu waktu. Beberapa atlet dianjurkan bahwa konsumsi protein tidak lebih dari 30 g protein karena tidak banyak yang dapat diserap dari saluran pencernaan sekaligus dan sebaiknya mengkonsumsi sejumlah kecil protein dalam sekali makan sepanjang hari untuk penyerapan protein yang maksimal. Tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung atau menyangkal angka ini. Jumlah maksimum protein yang dapat diserap atau harus dikonsumsi untuk meningkatkan penyerapan pada atlet terlatih tidak diketahui pada saat ini (Dunford 2008). Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan menggunakan jumlah protein yang berbeda-beda seperti penelitian yang dilakukan White et al. (2008) memberikan protein sebanyak 23 gram yang diberikan sebelum atau sesudah latihan kekuatan berupa whey protein. Sedangkan Gilson et al. (2010) memberikan protein sebanyak 28 gram protein dari susu coklat yang diberikan setelah latihan sepak bola. Buckley et al. (2010), dalam penelitiannya memberikan whey protein dengan kandungan protein sebanyak 25 gram setelah latihan kekuatan.
Metabolisme Protein Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsurunsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen, di samping itu beberapa asam amino mengandung unsur-unsur fosfor, besi, iodium dan kobalt. Unsur nitrogen adalah unsur utama protein, karena terdapat di semua protein akan tetapi tidak terdapat di dalam karbohidrat dan lemak. Unsur nitrogen merupakan 16 % dari berat protein (Almatsier 2006). Asam amino terdiri atas atom karbon yang terikat pada satu gugus karboksil (- COOH), serta gugus amino (-NH2), satu atom hidrogen (-H) dan satu gugus radikal (-R) atau rantai cabang. Beberapa asam amino di dalam tubuh dapat disintesis dari asam amino lainnya (disebut sebagai asam amino nonesensial), sementara beberapa harus diperoleh dari makanan yang kita makan (disebut
13 sebagai asam amino esensial). Asam amino esensial terdiri dari histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptopan dan valin sedangkan yang termasuk asam amino non esensial adalah alanin, arginin, asparigin, asam aspartat, sistein, asam glutamat, glutamin, glisin, prolin, serin dan tirosin (Benardot 2006). Protein membentuk bagian dari struktur setiap sel dan jaringan dalam tubuh, termasuk jaringan otot, organ-organ internal, tendon, kulit, rambut dan kuku. Sekitar 20% dari total berat badan orang dewasa adalah protein. Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan jaringan baru, untuk memperbaiki jaringan dan untuk mengatur saluran metabolik, dan juga dapat dibutuhkan untuk membuat hampir semua enzim serta berbagai hormon (seperti adrenalin dan insulin) dan neurotransmitter. Protein memiliki peran dalam menjaga keseimbangan cairan yang optimal pada jaringan, transportasi gizi dalam dan luar sel, membawa oksigen dan mengatur pembekuan darah (Bean 2009). Pencernaan protein berawal di lambung dan selesai di usus halus. Enzim yang mencernakan protein dibentuk sebagai prekursor inaktif (zimogen) yang berukuran lebih besar daripada enzim aktifnya. Zimogen inaktif tersebut disekresikan dari sel pembentuknya dan masuk ke dalam lumen saluran pencernaan. Di dalam lumen tersebut, zimogen mengalami pemutusan untuk menghasilkan bentuk yang lebih kecil dan memiliki aktivitas proteolitik. Pencernaan protein dimulai di lambung, sekresi cairan yang kaya HCL berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang sangat asam (pH 1,5-2,5) dalam lambung. Hal ini penting untuk pencernaan protein karena dua alasan. Pertama, pH rendah mengaktifkan enzim pencernaan protein yang pertama yaitu pepsin. Kedua, keasaman cairan lambung meluruskan struktur protein yang kompleks. Karena protein secara alami memiliki desain tiga dimensi tertentu, Pelurusan struktur protein tersebut disebut sebagai denaturasi protein. Denaturasi protein meningkatkan efisiensi enzim protein pepsin dan selanjutnya pencernaan dapat terjadi (Wildman and Miller 2004). Pepsinogen disekresikan oleh chief cell lambung. Sel parietal mensekresikan asam klorida (HCL), HCL mengubah pepsinogen sehingga menjadi pepsin (Marks et al. 2000). Protein dihidrolisa dalam lambung oleh pepsin dengan bantuan asam klorida menyebabkan terbuka dan terpecahnya protein menjadi peptida yang lebih kecil yaitu proteosa dan pepton (Muchtadi 1993). Jumlah waktu yang dihabiskannya di lambung tergantung pada sejumlah variabel, termasuk jenis dan bentuk protein yang dikonsumsi, kandungan lemak dari makanan, kandungan serat makanan, area permukaan, dan berat total makanan yang dikonsumsi (Driskell 2007). Produk akhir dari pencernaan protein lambung dengan pepsin terutama polipeptida yang besar, bersama dengan beberapa oligopeptida dan asam amino bebas. Produk-produk akhir dari pencernaan dalam lambung bersifat asam melalui sfingter pilorus ke duodenum (proksimal atau bagian atas dari usus halus) untuk pencernaan lebih lanjut (Gropper 2009). Produk akhir yang bersifat asam dari lambung masuk ke duodenum akan merangsang pelepasan hormon pengaturan dan peptida seperti sekretin dan cholecystokinin (CCK) dari sel-sel endokrin mukosa. Sekretin dan CCK yang dibawa oleh darah ke pankreas, dimana sel-sel asinar dirangsang untuk mengeluarkan cairan pankreas alkali yang mengandung bikarbonat, elektrolit, air, dan proenzim pencernaan, juga disebut zimogen. Selain itu cairan pankreas,
14 kelenjar Brunner dari usus halus mengeluarkan banyak mukus (lendir) (Wildman and Miller 2004) Proenzim atau zimogen pencernaan disekresi oleh pankreas, dan selanjutnya bertanggung jawab untuk pencernaan protein dan polipeptida, meliputi: tripsinogen, chymotrypsinogen, procarboxypeptidases A dan B, proelastase, kollagenase. Dalam usus halus, zimogen ini tidak aktif secara kimiawi yang masing-masing harus diubah menjadi enzim aktif, sehingga mampu menghidrolisis substrat. Berikut reaksi yang terjadi dalam usus halus untuk mengaktifkan zimogen: Enteropeptidase Tripsinogen Tripsin Enteropeptidase (sebuah endopeptidase yang sebelumnya dikenal sebagai enterokinase) disekresikan dari brush border usus halus karena respon dari CCK dan sekretin. Setelah tripsin terbentuk, ia dapat merubah tripsinogen dan chimotripsinogen untuk menghasilkan enzim proteolitik yang aktif. Tripsin Tripsinogen Tripsin Tripsin Kimotripsinogen
Kimotripsin
Tripsin dan kimotripsin keduanya endopeptidase. Tripsin yang spesifik untuk ikatan peptida berdekatan dengan asam amino dasar (lisin dan arginin). Kelebihan Tripsin bebas yang dihasilkan dari tripsinogen juga bertindak dengan memberikan umpan balik yang negatif untuk menghambat sintesis tripsinogen oleh sel pankreas, sehingga pankreas mengatur sekresi zimogen. kimotripsin adalah spesifik untuk ikatan peptida yang berdekatan dengan asam amino aromatik (fenilalanin, tirosin, dan triptofan) dan untuk ikatan peptida yang berdekatan dengan metionin, asparagin dan histidin (Groper 2009). Endopeptidase yang berasal dari proelastase, dan kolagenase menghidrolisis polipeptida menjadi fragmen lebih kecil, seperti oligopeptida dan tripeptida. Procarboxypeptida dikonversi menjadi karboksipeptidase oleh tripsin dan berfungsi sebagai eksopeptidase. Tripsin Prokarboksipeptida
Karboxipeptidase
Exopeptidase ini memecahkan ikatan peptida pada karboksi terminal - C polipeptida menjadi asam amino bebas, enzim karboksipeptidase tergantung pada seng dan spesifik membutuhkan seng di tempat aktif. Karboksipeptidase menghidrolisis peptida dengan terminal - C aromatik netral atau asam amino alifatik netral. Karboksipeptidase B memecah asam amino dasar dari terminal – C akhir, menghasilkan asam amino bebas dasar sebagai produk akhir (Groper 2009). Setelah protein masuk ke dalam usus kecil, Protein diserap di sepanjang usus halus. Enzim pankreas seperti tripsin dan kimotripsin menghidrolisis protein menjadi oligopeptida. Protein terutama diserap ke dalam darah sebagai
15 oligopeptida. Asam amino bebas juga hadir dalam usus halus dan diserap oleh transporter khusus, dengan asam amino netral diserap tercepat, diikuti oleh asam amino dasar dan asam amino asam. Dengan demikian, komposisi, kualitas, dan sumber dari muatan asam amino mempengaruhi asam amino di pool plasma. Setelah asam amino yang diserap ke dalam darah, mereka beredar melalui vena portal ke hati dan kemudian ke seluruh tubuh. Ini asam amino dimetabolisme untuk energi, dibuat menjadi protein, atau dilepaskan kembali ke sirkulasi (Driskell 2007).
Peran Protein dan Asam Amino BCAA pada Pemulihan Kerusakan Otot Perbandingan mikrograf elektron dari jaringan otot yang diambil dari atlet sebelum dan setelah latihan yang keras mengungkapkan cukup jelas kerusakan otot yang dipicu latihan, termasuk robeknya sarkolema di beberapa serat otot, miofibril yang rusak, dan rusaknya garis z. kerusakan otot secara mikroskopis setelah latihan juga ditunjukkan oleh peningkatan kadar protein, seperti mioglobin dan enzim CK, yang biasanya terkurung dalam serat otot. Dari 12 sampai 48 jam setelah periode latihan berat, otot rangka sering menjadi sakit, seperti serangan nyeri otot tertunda atau delayed onset muscle soreness (DOMS) disertai oleh kekakuan, nyeri, dan pembengkakan. Meskipun penyebab DOMS belum sepenuhnya dipahami, kerusakan otot mikroskopis tampaknya menjadi faktor utama. Dalam menanggapi kerusakan otot yang dipicu latihan, serat-serat otot menjalani perbaikan: daerah baru sarkolema dibentuk untuk menggantikan sarkolema yang robek, dan protein otot (termasuk miofibril) disintesis dalam sarkoplasma dari serat otot (Tortora 2009). Asam amino rantai bercabang (BCAA) yaitu leusin, valin, dan isoleusin merupakan asam amino yang penting bagi para atlet dan individu yang aktif, karena digunakan dalam metabolisme untuk energi dalam kerja otot. Selain itu, leusin memainkan peran penting dalam regulasi sintesis protein (Driskell 2007). Menurut Bean (2009) asam amino BCAA dapat meminimalkan pemecahan protein otot selama latihan intensitas tinggi. BCAA dapat membuat sebuah proporsi tinggi jaringan otot dan yang pertama dipecah untuk energi selama intensitas tinggi, latihan yang lama, sehingga apabila jumlah BCAA banyak maka semakin kecil kemungkinan akan memecah jaringan otot yang ada. BCAA dapat mempercepat perbaikan kerusakan otot setelah latihan. Menurut Nosaka (2007) bahwa asupan protein berperan dalam pemulihan kerusakan otot yang dipicu karena latihan kekuatan, pemulihan dari kerusakan otot akan mendapatkan manfaat dari kenaikan ketersediaan asam amino, seperti arginin, glutamin dan BCAA (isoleusin, leusin dan valin), melalui suplementasi, latihan yang memicu kerusakan otot menyebabkan peningkatan yang lebih besar dalam pemecahan protein otot daripada sintesis, sehingga akan terjadi keseimbangan negatif yang lebih besar. Coombes (2000) melaporkan bahwa konsumsi BCAA (12 g / hari selama 2 minggu dan dosis tambahan 20-g baik sebelum dan sesudah latihan) dikaitkan dengan kenaikan lebih kecil dalam aktivitas CK serum (penanda kerusakan otot) selama beberapa hari setelah 2 jam latihan sepeda ergometer pada VO2 max 70%, dibandingkan dengan kelompok plasebo. Penelitian yang
16 dilakukan Shimomura (2006) efek suplementasi BCAA menurunkan serangan nyeri otot dan kelelahan otot setelah latihan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Howatson et al. (2012) dengan memberikan BCAA 20 g / hari, yang diberikan 7 hari sebelum latihan dan 4 hari pada masa pemulihan memberikan pengaruh secara nyata terhadap penurunan kadar CK dan peningkatan kekuatan otot dibandingkan dengan plasebo pada 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan. Namun demikian penelitian yang dilakukan Jackman et al. (2010) yang memberikan BCAA 29.2 g per hari, setelah latihan selama 3 hari berturut-turut, berpengaruh terhadap penurunan nyeri otot pada 48 dan 72 jam setelah latihan tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar CK. Asam amino diperkirakan memberi efek perlindungan melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Secara langsung, asam amino dapat menekan jalur yang bertanggung jawab atas gangguan garis z pada otot selama metabolik kascade yang dipicu oleh trauma mekanik (Helman et al. 2003), sementara mekanisme tidak langsung berhubungan dengan pembentukan asam amino spesifik yang berasal dari metabolit, seperti β-Hydroxy-β- Methylbutyrate (HMB), ditunjukkan dalam studi dengan indeks kerusakan otot yang lebih rendah (Nissen et al. 1996). Langkah pertama dalam pembentukan HMB adalah transaminasi leusin menjadi α-ketoisocaproate (KIC), yang terjadi baik di sitosol dan mitokondria sel otot (Krebs dan Lund 1977). Dalam mitokondria, KIC adalah ireversibel yang dioksidasi menjadi isovaleril-CoA oleh enzim rantai bercabang asam α-keto dehidrogenase. Isovaleryl-CoA kemudian lebih lanjut mengalami langkah metabolisme dalam mitokondria, menghasilkan β-hidroksi-βmethylglutaryl-CoA(HMG-CoA). Selanjutnya metabolisme oleh enzim HMGCoA lyase hasil dalam produk akhir dan asetoasetat asetil-KoA. Sekitar 90% dari KIC teroksidasi untuk isovaleryl CoA dalam mitokondria hati dan akhirnya menjadi asetoasetat dan asetil-CoA (Nissen 2007). Teori utama pengaruh HMB adalah dengan meningkatkan integritas membran sel dengan menyediakan substrat yang memadai untuk sintesis kolesterol. Sudah jelas bahwa HMB dikonversi ke HMG-CoA dalam sitosol, yang dapat digunakan untuk sintesis kolesterol dalam sel (Nissen dan Abumrand 1997). Dalam semua sel, kolesterol diperlukan untuk sintesis membran sel baru serta perbaikan membran yang rusak dalam memelihara fungsi sel yang tepat dan pertumbuhan (Chen 1984; Dabrowski et al. 1980). Sel tertentu, seperti sel otot, membutuhkan sintesis de novo dari kolesterol untuk fungsi kolesterol sel. Oleh karena itu, selama periode stres yang meningkat pada sel-sel, seperti terjadi dalam otot selama latihan yang keras, permintaan untuk kolesterol untuk pertumbuhan atau perbaikan membran selular mungkin melebihi apa yang dapat dilakukan melalui produksi endogen yang normal dari tersedianya HMG-CoA seluler (Nissen 2007). Perubahan Konsentrasi Asam Amino Selama Latihan Kekuatan Selama olahraga asam amino dimobilisasi dari pool asam amino bebas di dalam tubuh, yang terletak dalam plasma dan sel lainnya (Pitkanen et al. 2003). Pool ini sekitar 2% dari total asam amino di dalam tubuh dan lebih dari setengahnya ada dalam otot rangka. Beberapa tapi tidak semua asam amino dimobilisasi digunakan untuk sintesis protein sementara yang lain digunakan
17 untuk penyediaan energi / oksidasi atau substrat saat glukoneogenesis. Latihan telah terbukti menyebabkan perubahan di kedua konsentrasi asam amino bebas di samping perubahan metabolisme protein (Blomstrand 1996). Latihan aerobik telah terbukti bertanggung jawab untuk perubahan dalam konsentrasi asam amino serta keseluruhan perubahan dalam sintesis protein (Sheffield et al. 2004). Selanjutnya, olahraga kekuatan dapat merangsang perubahan besar dalam konsentrasi asam amino dan sintesis protein, mengakibatkan perubahan secara keseluruhan hipertropi otot (Rasmussen and Phillips 2003). Selain itu, penelitian lain juga melaporkan peningkatan dalam tingkat sintesis protein pada perenang terlatih setelah dikombinasikan dengan latihan kekuatan dan latihan daya tahan (Tipton et al. 1996). Keseluruhan peningkatan hipertrofi otot adalah hasil sebuah kondisi di mana tingkat sintesis protein otot lebih tinggi dari nilai pemecahan protein otot. Perubahan hipertrofi otot dilaporkan menjadi proses yang lambat, sebagian besar karena hubungan antara sintesis protein dan pemecahan (Phillips et al. 2002). Latihan kekuatan dikaitkan dengan peningkatan sintesis protein otot setelah latihan (Phillips et al. 1997). MacDougall et al. (1995) melaporkan bahwa penggunaan latihan kekuatan pada subyek terlatih akan menyebabkan peningkatan cepat (dalam 2-4 jam) dalam sintesis protein dan peningkatan ini berlangsung selama 24-36 jam. Phillips et al. (1997) melakukan penelitian serupa pada subjek tidak terlatih dilaporkan bahwa sintesis protein tetap meningkat secara signifikan sebesar 34% setelah 48 jam. Menurut (Kerksick dan Leutholtz 2005) latihan yang akut dan panjang dapat meningkatan sintesis protein yang dihasilkan setelah latihan kekuatan terus-menerus. Hal tersebut sangat penting untuk orang-orang yang sangat terlatih dan untuk tetap memaksimalkan lingkungan anabolik di dalam tubuh mereka untuk pertumbuhan otot, dan juga untuk individu yang lebih tua atau kurang aktif yang hanya melakukan latihan kekuatan beberapa hari per minggu untuk mencegah atrofi otot dan penurunan yang terkait dalam fungsi otot. Latihan kekuatan menyebabkan peningkatan sintesis protein otot baik latihan akut maupun latihan yang lama, studi terbaru dan peningkatan teknik yang lebih jelas menentukan komponen protein otot rangka yang bertanggung jawab atas peningkatan hipertropi otot (Willoughby et al. 2003). Para peneliti belum mampu menentukan komponen protein otot rangka yaitu sarkoplasma, mitokondria, miofilamen (aktin dan miosin) yang paling bertanggung jawab atas peningkatan dalam sintesis protein. Dengan mempertimbangkan peran aktin dan miosin dengan proses kontraktil dan merupakan komposisi besar dalam otot rangka masuk akal bahwa pertumbuhannya sangat bertanggung jawab atas perubahan hipertrofi otot dan kekuatan yang menghasilkan kemampuan otot sebagaimana telah dilaporkan dalam hal transportasi asam amino di seluruh otot (Wagenmakers 1999). Studi yang dilakukan Hasten et al. (2000) melaporkan bahwa hipertrofi dan perubahan dalam kekuatan sebagian besar disebabkan perubahan dalam miosin dan aktin sebagai akibat dari latihan kekuatan. Dibandingkan dengan tingkat basal, sintesis protein meningkat 108 ± 18% dan pemecahan protein meningkat 51 ± 17% selama 3 jam setelah selesai dari latihan. Secara keseluruhan keseimbangan protein, namun, masih ditemukan keseimbangan negatif 3 jam setelah latihan (Kerksick dan Leutholtz 2005).
18 Waktu Pemberian Protein Terpenuhinya jumlah protein yang cukup setiap hari adalah sesuatu yang mendasar dan penting, namun atlet tidak boleh berlebihan walaupun melihat pentingnya waktu asupan protein sepanjang hari, terutama setelah latihan. Konsumsi protein dan karbohidrat asupan segera setelah latihan memberikan manfaat. Karbohidrat merangsang pelepasan insulin, yang diketahui mempengaruhi penyerapan asam amino ke dalam otot sehingga kehadiran karbohidrat juga memiliki efek yang menguntungkan (Dunford 2008). White et al. (2008) dalam penelitiannya bahwa minuman yang mengandung protein yang diberikan sebelum atau sesudah latihan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan kerusakan otot namun ada kecenderungan protein yang diberikan sesudah latihan memberikan pengaruh terhadap penurunan kerusakan otot yang lebih besar. Efek akut dari latihan adalah menempatkan tubuh ke dalam keadaan katabolik, pemecahan jaringan tertentu untuk menyediakan energi untuk mempertahankan latihan. Sebagai contoh, pemecahan glikogen otot untuk memberikan glukosa, lemak yang tersimpan dipecah untuk memobilisasi asam lemak, dan pemecahan protein otot untuk memberikan asam amino yang dapat digunakan sebagai energi (misalnya, leusin). Sebuah strategi penting pemulihan untuk atlet adalah untuk membalikkan keadaan katabolik, dan menempatkan tubuh dalam kondisi untuk pemulihan energi dan hormonal dan pertumbuhan jaringan jangka panjang. Satu sampai dua jam pertama setelah latihan ini disebut sebagai "jendela anabolic", periode waktu tersebut penting untuk membalikkan kondisi katabolik untuk mendorong keadaan hormonal dan gizi untuk penggantian menyimpan energi dan sintesis protein bukan pemecahan. Segera setelah latihan yang yang paling penting untuk memulai penggantian glikogen yang optimal juga untuk pemulihan protein. Kondisi seperti ini membutuhkan asupan gizi yang tepat (Dunford 2008). Stres Oksidatif Setelah Latihan Kekuatan Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan kapasitas antioksidan di dalam sel (Powers et al. 2004). Latihan olahraga berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan menyebabkan gangguan keseimbangan homeostatis prooksidan-oksidan intraseluler. Peningkatan konsumsi oksigen pada saat olahraga dapat mencapai 10-15 kali dari kondisi istirahat, sehingga mengakibatkan pembentukan stres oksidatif yang berperan dalam menghasilkan peroksida lipid (Clarkson 1995). Radikal bebas atau reactive Oxygen Species (ROS) adalah molekul atau atom atau senyawa yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital sebelah luar. Zat ini sangat reaktif untuk menangkap elektron dari molekul orbitnya sendiri (Mark et al, 2000). Beberapa oksigen yang mengandung radikal adalah anion superoksida (O2), radikal hidroksil (OHº), hidroperoksil (HO2-), alkosil (LOº) atau ROº, peroksil (LO2º) atau RO2º. Sedangkan nitrogen yang mengandung radikal misalnya : nitrit oksida (NOº), nitrogen dioksida (NO2º) (Gropper et al. 2009). Tanda (º) mempunyai kecenderungan menarik elektron yang tidak berpasangan,
19 sehingga mempunyai kecenderungan menarik elektron dari molekul lain dan menyebabkan molekul sangat reaktif dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel (Utari 2011). Radikal bebas memainkan peran penting sebagai mediator di dalam kerusakan otot rangka dan peradangan setelah latihan berat. Radikal bebas meningkat selama latihan sebagai akibat dari peningkatan konsumsi oksigen di dalam mitokondria dan fluks transportasi elektron, yang mendorong peroksidasi lipid (Dekkers 1996). Aldehida, terutama MDA, sering digunakan sebagai penanda stres oksidatif dalam respon setelah olahraga. Latihan kekuatan seperti latihan eksentrik dikenal sebagai penyebab peradangan otot, telah dihipotesiskan berkontribusi terhadap peningkatan peroksidasi lipid karena reaksi makrofag dalam jaringan (Urso dan Clarkson 2003). Maughan et al. (1989) menemukan peningkatan MDA 6 jam setelah downhill running, dengan kembali ke tingkat awal pada 72 jam setelah latihan. Subyek juga mengalami peningkatan dalam penanda kerusakan otot, (yaitu CK, laktat dehidrogenase (LDH) ) mengalami peningkatan terbesar dalam konsentrasi MDA serum. Menurut Poljsak (2011) penurunan stres oksidatif dapat tercapai pada tiga level (1) penurunan paparan polutan dari lingkungan (2) meningkatkan level antioksidan endogen dan eksogen, atau (3) penurunan produksi stres oksidatif dengan cara menstabikan dan mengefisienkan produksi energi mitokondria. Antioksidan Perubahan dalam aktivitas enzim antioksidan dalam eritrosit telah digunakan untuk melihat stres oksidatif. Enzim yang paling umum diperiksa setelah stres latihan adalah superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase yang merupakan antioksidan endogenous. Fungsi SOD dalam sel sebagai antioksidan enzimatik salah satu dasar pertahanan terhadap radikal superoksida (Powers dan Lennon 1999). Peningkatan aktivitas enzim SOD sesuai dengan peningkatkan ketahanan terhadap stres oksidatif (Fielding dan Meydani 1997). Agen pereduksi atau antioksidan adalah kebalikan dari oksidasi dengan memberi ion hidrogen atau elektron sehingga suatu senyawa tidak lagi bersifat radikal. Senyawa ini dapat menghambat, menghentikan atau mencegah oksidasi dengan cara membersihkan oksidasi (scavenger) atau dengan memperbaiki kerusakan sel yang disebabkan karena radikal bebas (Gropper et al. 2009). Menurut Utari (2011) Antioksidan dapat berasal dari tubuh (endogenous) dan dari luar tubuh (eksogenous). Antioksidan endogenous berupa enzim (sering disebut antioksidan enzimatik) yang dapat mencegah radikal bebas pada tahap inisiasi dan mengubah radikal bebas menjadi molekul yang kurang reaktif. Menurut Rimbach et al. (2007) menyebutkan bahwa isoflavon berperan sebagai antioksidan melalui mekanisme penghambat oksidasi LDL, menstimulasi aktivitas enzim antioksidan (SOD dan katalase) serta induksi sintesa glutation. Sedangkan antioksidan non enzimatik berperan untuk menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi (pada phase propogasi). Contoh antioksidan ini adalah: vitamin E, Vitamin C, flavonoid termasuk isoflavon, beta karoten. Diet antioksidan dapat mendetoksifikasi peroksida yang dihasilkan selama latihan, yang dapat mengakibatkan peroksidasi lipid, antioksidan mampu
20 membersihkan radikal peroksil dan karena itu dapat mencegah kerusakan otot. Enzim antioksidan endogen juga memainkan peran dalam protektif pada proses peroksidasi lipid. Penelitian pada hewan pengerat dan manusia menunjukkan peningkatan yang signifikan dari malondialdehid (sebuah produk dari peroksidasi lipid) setelah latihan (Dekkers 1996). Menurut Utari (2011) Tempe kaya akan isoflavon dan kadarnya dapat dipertahankan jika tempe diolah dengan pengukusan. Pemberian tempe sebanyak 160 gram setiap hari selama 4 minggu dapat meningkatkan aktivitas superoksida dismutase (SOD) sebesar 56,9% dan menurunkan malondialdehyde (MDA) sebesar 10,4% . Superoksida dismutase (SOD) adalah pertahanan primer terhadap stres oksidatif karena SOD yang akan mengubah anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Superoksida adalah inisiator reaksi berantai yang kuat (Marks et al. 2000). Berdasarkan ikatannya dengan SOD, maka SOD dapat digolongkan menjadi 3 yaitu Cu/Zn-SOD, Fe-SOD dan MN-SOD (Marks et al. 2000). Cu/Zn-SOD terdapat sitosol serta kloroplas tanaman dan kemungkinan di luar sel, Mn-SOD dalam mitokondria, sedangkan Fe-SOD sering tidak terdeteksi karena umumnya Fe berikatan dengan enzim katalase atau dalam kloroplas. Aktivitas SOD terdeteksi dalam beberapa jenis pangan nabati seperti semangka dan tempe. Aktivitas SOD akan meningkat jika dalam diet seseorang terkandung cukup mineral Zn, Mn dan Cu. (Davis et al. 2000). Di dalam tubuh, SOD dapat diditeksi lewat jumlah dan aktivitasnya. Semakin tinggi aktivitas enzim tersebut, akan semakin rendah produk oksidasi lipid yang terjadi (Winarsi 2004). Potensi Tempe Dalam Pemulihan Kerusakan Otot Tempe adalah produk fermentasi dari kacang kedelai (Glycine max) atau kacang-kacangan lainnya yang disebabkan oleh aktivitas kapang Rhizopus sp. Proses fermentasi menyebabkan sejumlah protein, lemak dan karbohidrat mengalami degradasi menjadi fraksi-fraksi yang lebih sederhana dan lebih mudah dicerna daripada bahan asalnya yaitu kedelai, selain itu proses fermentasi dapat menghilangkan atau mengurangi bau langu (beany flavor) kedelai yang disebabkan oleh adanya aktivitas enzim lipoksigenase yang tidak disukai (Anwar, Sulaeman & Kustiyah 1994). Pada proses fermentasi tempe, terjadi pencernaan enzimatik pada protein, lemak dan karbohidrat. Peristiwa ini terjadi karena pada pertumbuhan kapang memerlukan energi yang diperoleh melalui pemecahan protein, lemak dan karbohidrat dengan bantuan enzim yang diproduksinya selama masa inkubasi. Enzim-enzim tersebut adalah enzim protease, lipase, amilase dan fitase. Pada masa inkubasi 12 jam pertama enzim yang aktivitasnya tertinggi adalah enzim amilase yang menguraikan karbohidrat pada kedelai menjadi gula sederhana sehingga mudah diserap dan dimanfaatkan tubuh manusia. Kedelai mengandung karbohidrat yang kurang bermanfaat disebut stakhiosa dan rafinosa. Kedua jenis karbohidrat ini menyebabkan pembentukan gas di dalam perut, memberikan sifat flatulence pada pemakannya. Pada fermentasi kedua jenis karbohidrat tersebut dicernakan oleh enzim sehingga tempe tidak mengandung keduanya, dan sifat flatulence dari kedelai menjadi hilang.
21 Pada periode fermentasi 12 sampai 24 jam aktivitas enzim protease paling tinggi. Enzim ini mencernakan/menghidrolisa komponen protein menjadi asam amino bebas dan nitrogen terlarut. Proses hidrolisa ini menghasilkan kenaikan asam amino bebas pada tempe dan nitrogen terlarut. Proses hidrolisa ini menghasilkan kenaikan asam amino bebas pada tempe menjadi 85 kali daripada asam amino bebas pada kedelai, demikian pula nitrogen terlarut naik sebanyak 4 kali lipat daripada nitrogen terlarut pada kedelai. Keadaan ini yang memberi sifat mutu gizi protein tempe menjadi tinggi, karena sudah dalam bentuk protein hidrolisat, sehingga mudah diserap meskipun oleh usus yang sangat atropis sekalipun (Mahmud 1996). Selanjutnya setelah inkubasi selama 24 jam sampai 36 jam aktivitas tertinggi adalah aktivitas enzim lipase. Enzim tersebut menguraikan lemak menjadi asam-asam lemak bebas seperti asam palmitat, stearat, oleat dan terutama linoleat dan linolenat. Asam amino bebas meningkat dari 0.5% pada kedelai menjadi 21 % pada tempe. Berdasarkan pembentukan zat gizi yang mudah diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh, maka waktu fermentasi terbaik adalah 24 jam sampai 36 jam (Hermana et al. 1996) Selama fermentasi terjadi peningkatan padatan terlarut (soluble solid) dari 13 % pada kedelai menjadi 28 % pada tempe selama 72 jam fermentasi. Peningkatan padatan terlarut menunjukkan bahwa daya cerna tempe lebih tinggi daripada kedelai (Streinkus 1983). Secara umum nilai mutu gizi kedelai dibandingkan dengan tempe dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen yang disintesa atau diubah selama fermentasi bakteri terutama dan mungkin juga pada fermentasi kapang yaitu vitamin B-Kompleks, antioksidan yaitu isoflavon termasuk daidzein dan genistein, dan juga sintesa senyawa antimikrobia yang aktif terhadap bakteri. Vitamin yang terbentuk adalah vitamin B12, aktivitas vitamin ini naik sampai 33 kali selama fermentasi. Vitamin B lainnya adalah riboflavin yang kenaikannya berkisar antara 8 sampai 47 kali, piridoksin 4 sampai 14 kali lipat, niasin 2 sampai 5 kali, biotin 2 sampai 3 kali, senyawa folat 4 sampai 5 kali dan pantotenat sampai 2 kali lipat (Mahmud 1996). Proses fermentasi dalam pembuatan tempe dapat menyebabkan peningkatan isoflavon total khususnya dari aglikon yang jauh lebih tinggi bila dibanding dengan kedelai (Wang dan Murphy 1994). Isoflavon adalah fitoestrogen yang merupakan sub-klas flavonoid, merupakan komponen non gizi pada tanaman yang sangat mirip struktur kimia dengan estrogen (Setchell dan Adlercreuts 1988; Rimbach et al. 2007). Dalam tanaman, isoflavon terdiri dari empat bentuk isomer yaitu : 1) aglikon (unconjugates) dan glukosida (conjugates) yang terdiri dari 2) β-glucosides (genistin, daidzin, glycitin), 3) acetyl-βglycosides dan 4) malonyl-β-glycosides (Wang dan Murphy 1994; Xu et al. 2000). Menurut Pawiroharsono (1999) pada proses pemanasan kedelai yang dilakukan sebelum diolah menjadi tempe memberikan efek penetrasi ke daging biji kedelai sehingga enzim α-glucoside tumbuh subur dan membantu perubahan isoflavon terikat (glukosida) menjadi isoflavon tidak terikat (aglikon). Proses fermentasi kedelai menjadi tempe telah mengubah bentuk sebagian isoflavon dari bentuk terikat menjadi bentuk bebas.
22 Tabel 1 Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 g bahan kering dan 100 g dalam bahan yang dapat dimakan (BDD) Komposisi Proksimat Satuan Bahan kering BDD Kedelai Tempe Kedelai Tempe Air G 0 0 12,7 55.3 Abu g 6.1 3.6 5.3 1.6 Protein g 46.2 46.5 40.3 20.7 Lemak g 19.1 19.7 16.7 8.8 Karbohidrat g 28.2 30.2 24.9 13.5 Serat g 3.7 7.2 3.2 3.2 Kalsium mg 254 347 221.7 155.1 Fosfor mg 781 724 681.8 323.6 Besi mg 11 9 9.6 4.0 Tiamin mg 0.48 0.28 0.42 0.12 Riboflavin mg 0.15 0.65 0.13 0.29 Niasin mg 0.67 2.52 0.58 1.13 As Pantotenat µg 430 520 375.4 232.4 Piridoksin µg 180 100 157 44.7 Vit B12 µg 0.15 3.9 0.13 1.7 Biotin µg 35 53 30.6 23.7 Asam Amino : Isoleusin mg 2190 2481 1912 1109 Leusin mg 3582 3939 3127 1761 Lisin mg 2634 2756 2300 1232 Metionin mg 511 528 446 236 Sistein mg 400 745 349 333 Fenilalanin mg 2283 2270 1996 1015 Tirosin mg 1496 1266 1306 566 Treonin mg 1909 1823 1667 815 Triptopan mg 533 572 465 256 Valin mg 2205 2472 1925 1105 Total Asam Amino 17743 18852 15493 8428 Esensial Arginin mg 2697 3031 2355 1355 Histidin mg 1065 1257 930 562 Alanin mg 2021 2107 1764 942 As aspartat mg 5838 5326 5097 2381 As glutamat mg 8394 7353 7328 3287 Glisin mg 1961 1982 1712 886 Prolin mg 2042 2295 1783 1026 Serin mg 2457 2018 2145 902 Total asam amino tidak 26475 25369 22114 11341 esensial Total asam amino 44218 44221 37607 19769 Sumber : Hermana, Mien Karmini Mahmud dan Darwin Karyadi (1996)
23 Definisi Operasional Atlet mahasiswa
:
Kerusakan otot
:
Latihan kekuatan
:
Minuman tempe
:
Kadar CK
:
Kekuatan Maksimal
:
Rasa nyeri otot
:
Stres oksidatif
:
Kadar MDA
:
Kadar SOD
:
Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan UNJ yang mengikuti klub bulutangkis dan rutin melakukan latihan. keadaan tubuh yang ditandai dengan peningkatan kadar CK, menurunnya kekuatan otot dan meningkatnya rasa nyeri. Latihan yang dilakukan dengan squat dengan beban 75% dari angkatan maksimal (1 RM) dengan enam set dan lima belas pengulangan dengan interval istirahat 2 menit antar set. Minuman yang terbuat dari tempe dengan tambahan air, gula dan bubuk coklat. Kadar CK yang terdapat di dalam serum dan dinyatakan dalam µL. Jumlah angkatan tertinggi yang dapat diangkat dengan squat yang dinyatakan dalam kilogram. Rasa sakit yang dirasakan setelah latihan kekuatan yang diukur dengan menggunakan visual analog scale (VAS) yang dinyatakan dengan skore 1-10. Ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan perlawanan antioksidan di dalam tubuh yang diukur dengan kadar MDA plasma. Kadar MDA yang terdapat dalam plasma dan dinyatakan dalam nmol/mL. Kadar SOD yang terdapat dalam eritrosit yang dinyatakan dalam U/ml.
24 DAFTAR PUSTAKA Al Masri. 2011. 100 Questions & Answers About Sports Nutrition and Exercise. Jones and Bartlett Publishers, LLC. Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta. PT Gramedia. Anwar F, Sulaeman A, Kustiyah L. 1994. Petunjuk Praktikum Pengawetan dan Pengolahan Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bean A. 2009. Sports Nutrition. London. Published by A & C Black Publishers Ltd 36 Soho Square. Belcastro AN, Shewchuk LD, Raj DA, 1998. Exercise-induced muscle injury: a calpain hypothesis. Mol Cell Biochem. 79:135-145. Blomstrand E, Newsholme EA.1996. Influence of ingesting a solution of branched chain amino acids on plasma and muscle concentration of amino acids during prolonged submaximal exercise. Nutrition 12:485-490. Benardot D. 2006. Advanced Sports Nutrition. USA. Human Kinetics. Bomba TO, Haff GG. 2009. Periodization, theory and methodology of training. United States of America. Human Kinetic. Buckley JD, Thomson RL, Coates AM, Howe PR, Denichilo MO, Rowney MK. 2010 Supplementation with a whey protein hydrolysate enhances recovery of muscle force-generating capacity following eccentric exercise. J Sci Med Sport. 13(1) :178-81. Candow DG, Chilibeck PD, Facci M, Abeysekara S, Zello GA. 2006. Protein supplementation before and after resistance training in older men. Eur J Appl Physiol. 97:548-556. Chen HW. 1984. Role of cholesterol metabolism in cell growth. Fed Proc. 43:126–130. Clarkson PM. 1995. Antioxidants and physical performance. Crit Rev Food Sci Nutr. 35:131-141 Coombes JS, McNaughton LR. 2000. Effects of branched-chain amino acid supplementation on serum creatine kinase and lactate dehydrogenase after prolonged exercise. J Sports Med Phys Fitness. 40:240-246.
25 Dabrowski MP, Peel WE, Thomson AE. 1980. Plasma membrane cholesterol regulates human lymphocyte cytotoxic function. Eur J Immunol. 10:821– 827. Davis CD, David BM, Forrest HN. 2000. Changes in dietary zinc and cooper affect zinc status indicators of postmenopausal women, notably, extracellular superoxide dismutase and amyloid precursor protein. Am J Clin Nutr. 71(3):781-788. Dekkers. 1996. The role of antioxidant vitamins and enzymes in the prevention of exercise-induced muscle damage. Auckland, NZ. Sports Medicine. Driskell J. 2007. Sports Nutrition Fat and Protein. New York. CRC Press. Dunford D. 2008. Nutrition For Sports And Exercise. Thomson Wadsworth, a part of The Thomson Corporation. Evans WJ, Meredith CN, Cannon JG, Dinarello CA, Frontera WR, Hughes VA, Jones BH, Knuttgen HG. 1986. Metabolic changes following eccentric exercise in trained and untrained men. J Appl Physiol .61:1864-1868. Fielding RA., Meydani M. 1997. Exercise, free radical generation, and aging. Aging Clin. Exp. Res. 9: 12-18. Gilson SF, Saunders MJ. 2010. Effects of chocolate milk consumption on markers of recovery following soccer training: a randomized cross-over study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 7(19):1-10. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced nutrition and human metabolism. USA. Thomson Wadsworth. Hasten DL, Pak-Loduca J, Obert KA. 2000. Resistance exercise acutely increases MHC and mixed muscle protein synthesis rates in 78-84 and 23-32 yr olds. Am J Physiol Endocrinol Metab. 278:E620-E626. Helman EE, Huff-Lonergan E, Davenport GM, Lonergan SM. 2003. Effect of dietary protein on calpastatin in canine skeletal muscle. J Anim Sci. 81:2199-2205. Hermana, Mahmud MK. 1996. Pengembangan Teknologi Pembuatan Tempe. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia. Hermana, Mahmud MK, Karyadi D. 1996. Komposisi dan Nilai Gizi Tempe serta Manfaatnya dalam Peningkatan Mutu Gizi makanan. Sapuan, Soetrisno N, editor. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia.
26 Howatson G, Hoad M, Goodall S, Tallent J, Bell PG, French DN. 2012. Exerciseinduced muscle damage is reduced in resistance-trained males by branched chain amino acids: a randomized, double-blind, placebo controlled study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 9 (20):1-7. Jackman SR, Witard OC, Jeukendrup AE, Tipton KD. 2010. Branched-chain amino acid ingestion can ameliorate soreness from eccentric exercise. Medicine Science Sports Exercise. 42:962–970. Kerksick CM, Leutholtz. 2005. Nutrient administration and resistance training. Journal of the international society of sports nutrition. 2 (1): 50-67. Kraemer WJ, Ratamess NA, Rubi MR. 2001. Basic prinsiple od resistance training, nutrition and the strength athletes. USA. CRC Press LLC. Krebs HA, Lund P. 1977. Aspects of the regulation of the metabolism of branched-chain amino acids. Adv Enzyme Regul 1977; 15:375–394. Maughan RJ, Donnelly AE, Gleeson M, Whiting PH, Walker KA, Clough PJ. 1989. Delayed-onset muscle damage and lipid peroxidation in man after a downhill run. Muscle Nerve. 12 (4): 332-336. MacDougal JD, Gibala MJ, Tarnopolsky MA, et al. 1995. The time course for elevated muscle protein synthesis following heavy resistance exercise. Can J Appl Physiol. 20:480-486. Mahmud MK. 1996. Tempe dan infeksi. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Jakarta.Yayasan Tempe Indonesia. Mark DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta. Penerbit EGC. Muchtadi D. 1993. Metabolisme Zat Gizi I. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Nissen S, Sharp R, Ray M, Rathmacher JA, Rice D, Fuller JC Jr, Con-nelly AS, Abumrad N. 1996. Effect of leucine metabolite beta-hydroxy-betamethylbutyrate on muscle metabolism during resistance-exercise training. J Appl Physiol, 81:2095-2104. Nissen SL, Abumrad NN. 1997. Nutritional role of the leucine metabolite βhydroxy-β-methylbutyrate (HMB). J Nutr Biochem 1997; 8:300–311. Nissen SL. 2007. β-Hidroxy-β-Mathylbutyrate. Sports Nutrition fats and Proteins. Driskell JA, editor. New York. CRC Press. Nosaka K. 2007. Muscle damage and amino acid supplementation: Does it aid recovery from muscle damage. International SportMed Journal 8 (2): 54-67
27 Pawiroharsono S. 1999. Microbiological Aspects of Tempe. The complete handbook of tempe, the unique fermented soy food of Indonesia. The American Soybean Association. Phillips SM, Tipton KD, Aarsland A, Wolf SE and Wolfe RR. 1997. Mixed muscle protein synthesis and breakdown after resistance exercise in humans. American Journal of Physiology, Endocrinology and Metabolism. 273:E99-E107. Phillips SM, Parise G, Roy BD. 2002. Resistance-training-induced adaptations in skeletal muscle protein turnover in the fed state. Can J Physiol Pharmacol. 80(11):1045-1053. Pitkanen HT, Nykanen T, Knuutinen J. 2003. Free amino acid pool and muscle protein balance after resistance exercise. Med Sci Sports Exerc. 35(5):784792. Poljsak B. 2011. Strategies for reducing or preventing the generation of oxidative stress. Oxidative Medicine and Cellular Longevity :1-15. Powers S, Deruisseau KC, Quindry, Hamilton KL. 2004. Dietary antioxidants and exercise. Journal of Sports Sciences. 22 :18-94. Powers, SK, Lennon SL. 1999. Analysis of cellular response to free radicals: focus on exercise and skeletal muscle. Proc Nutr Soc. 58: 1025-1033. Rasmussen BB, Tipton KD, Miller SL, Wolf SE and Wolfe RR. 2000. An oral essential amino acid-carbohydrate supplement enhances muscle protein anabolism after resistance exercise. J Appl Physiol. 88:386-392. Rimbach G, Christine Boesch-Saadatmandi, Jan Frank, Dagmar Fuchs, Uwe Wenzel, Hannelore Daniel, Wendy L Hall, Peter D. Weinberg. 2007. Dietary isoflavones in the prevention of cardiovascular disease-A molecular perspective. Food and Chemical Toxicology. 46:1308-1319. Setchell KDR, Adlercreuts H. 1988. Mammalian lignans and phytoeestrigens. Recent studies on their formation, metabolism and biological role in health and disease. In role and the Gut Flora in Toxicity and cancer; ed. IP Rowland, pp. 315-45. London: Academic. Sheffield-Moore M, Yeckel CW, Volpi SE, et al. 2004. Postexercise protein metabolism in older and younger men following moderate-intensity aerobic exercise. American Journal of Physiology, Endocrinology and Metabolism. 287:E513-E522. Shimomura Y, Yamamoto Y, Bajotto G, Sato J, Murakami T, Shi-momura N, Kobayashi H, Mawatari K. 2006. Nutraceutical effects of branched-chain amino acids on skeletal muscle. J Nutr. 136:529S-532S.
28
Smolin, Gresvenor. 2010. Healthy Eating A Guide to Nutrition, Nutrition For Sports and Exercise. Chelsea House Publishers. Steinkraus KH. 1983. Handbook of Indigenous Fermented Food. New York. Marcel Dekker. Tortora G. 2009. Principles of Anatomy And Physiology. John Wiley & Sons, Inc. All rights reserved. Tipton KD, Ferrando AA, Williams BD. 1996. Muscle protein metabolism in female swimmers after a combination of resistance and endurance exercise. J Appl Physiol. 81(5):2034-2038. Urso ML, Clarkson PM. 2003. Oxidative stress, exercise, and antioxidant supplementation. Toxicology. 189: 41-54. Utari DM. 2011. Efek intervensi tempe terhadap profil lipid, superoksida dismutase, LDL teroksidasi dan malondialdehyde pada wanita menopause [disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Wagenmakers A. 1999. Skeletal muscle amino acid transport and metabolism. In: Biochemistry of Exercise X. Edited by: Hargreaves M, Thompson M. Champaign, IL:Human Kinetics:217-231. Wang HJ and Murphy PA. 1994A. Isoflavone content in commercial soybean foods. J Agric Food Chen. 42: 1666-73. Wang HJ and Murphy PA. 1994B. Isoflavone composition of American and Japanese soybeans in Iowa: effect of variety, crop year, and location. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 42:1674-1677. White JP, Wilson JM, Austin KG, Greer BK, St John N, Panton LB. 2008. Effect of carbohydrate-protein supplement timing on acute exercise-induced muscle damage. J Int Soc Sports Nutr. 5 (5): 1-7. Wildman RE, Miller B. 2004. Sports and fitness nutrition. Wadsworth, A Division of Thomson Learning. Williams MH. 1998. The ergogenics edge. Illinois. Human Kinetics. Willoughby DS, Taylor L, Taylor M. 2003. Glucocorticoid receptor and ubiquitin expression after repeated eccentric exercise. Med Sci Sports Exerc. 35(12):2023-2031. Winarsi H. 2004. Respons hormonal dan imunologis wanita premenopause terhadap minuman fungsional berbahan dasar susu skim yang
29 disuplementasi dengan isoflavon kedelai [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Xu X,Wang JJ, Murphy PA, Hendrich S. 2000. Neither background diet nor type of soy food affects short-term isoflavone bioavailability in women. J Nut .130:798-801.
30
31 3. PENGEMBANGAN FORMULA MINUMAN OLAHRAGA BERBASIS TEMPE UNTUK PEMULIHAN KERUSAKAN OTOT ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari formulasi minuman olahraga berbasis tempe untuk pemulihan kerusakan otot dengan kandungan gizi yang tepat dan dapat diterima secara sensori. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal yaitu tingkat konsentrasi tepung tempe yaitu formula 1 = 8.66%, formula 2 = 7.31% dan formula 3 = 6.32%, dengan masingmasing perlakuan mengandung 23 gram protein. Tepung tempe yang digunakan mengandung kadar air 5.39 %, abu 1.22 %, protein 45.55 %, lemak 33.9 %, karbohidrat 13.94 %, kalsium 0.14%, besi 0.018%, natrium 0.004 %, magnesium 0.06 %, klorida 0.04 % dan kalium 0.10%. Hasil uji hedonik minuman tempe menunjukkan bahwa formula 2 cenderung mempunyai nilai kesukaan secara keseluruhan yang paling tinggi (5.42) dibandingkan dengan formula 3 (5.37) dan formula 1 (nilai 4.92) (P>0.05). Minuman tempe dengan formula 2 mempunyai penerimaan secara keseluruhan yang tertinggi dengan nilai 80%. Minuman tersebut mempunyai karakteristik per sajian (600 ml) sebagai berikut kandungan protein 23 gram, karbohidrat 48 gram, lemak 17,11 gram, energi 438 kkal, asam amino BCAA 4161.6 mg, Ca 72.92 mg, Fe 9.46 mg, Mg 33.12 mg, Na 2.37 mg dan Cl 21.30 mg, dan K 54 mg. Kata Kunci: daya terima, minuman olahraga, minuman tempe
Pendahuluan Latihan merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh seorang atlet sebelum mengikuti suatu pertandingan. Salah satu diantaranya adalah latihan kekuatan seperti angkat beban, latihan kekuatan tersebut akan memicu kerusakan otot yang ditandai dengan peningkatan kadar creatine kinase (CK) serum, nyeri otot dan penurunan kekuatan otot. Hasil penelitian yang dilakukan Udani dan Singh (2009) mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kerusakan otot dan rasa nyeri setelah melakukan latihan kekuatan. Penelitian Cooke et al. (2010) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan terhadap kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Kerusakan otot yang terjadi harus segera dipulihkan karena akan mempengaruhi latihan berikutnya, yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap prestasi. Untuk membantu pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan diperlukan minuman yang mengandung protein untuk mempercepat proses pemulihan tersebut. Beberapa penelitian tentang pemulihan kerusakan otot pada umumnya menggunakan sumber protein yang berasal dari susu seperti Gilson et al. (2010) menggunakan susu coklat, Cockburn et al. (2011) menggunakan susu, sedangkan penelitian lainnya menggunakan whey protein antara lain Buckley et al. (2010), White et al. (2008), Cooke et al. (2010), Burnley et al. (2010). Penelitian yang menggunakan asam amino bebas seperti asam amino rantai bercabang (BCAA) adalah Matsumoto et al. (2009), Howatson et al. (2012),
32 Jackman et al. (2010), sedangkan Street et al. (2011) menggunakan glutamin, dan Kirby et al. (2012) menggunakan asam amino leusin. Tempe merupakan makanan tradisional yang sangat populer di Indonesia, sebagian penduduk Indonesia biasa mengonsumsi tempe sebagai lauk pauk atau sebagai kudapan. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi gizi dan non gizi seperti isoflavon yang lebih baik dibanding kedelai. Selain itu tempe mudah diproduksi, banyak tersedia di pasaran, harga relatif terjangkau, serta mudah pengolahannya. Menurut Wang et al. (1996) Tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi dengan penambahan Rhizopus oligosporus. Tempe mempunyai banyak keunggulan, jumlah total asam amino kedelai meningkat bermakna saat proses fermentasi. Formasi total dari asam amino bebas kedelai meningkat 3-10 kali setelah menjadi tempe. Hal tersebut karena R. oligosporus menghidrolisa protein asam amino dan peptida. Tempe juga mengandung asam amino rantai bercabang (branch chain amino acid/BCAA), yaitu valin, leusin, isoleusin yang tinggi, yang sangat dibutuhkan dalam pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Tempe mempunyai nilai cerna yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai, keadaan tersebut meningkatkan mutu gizi protein tempe (Hermana et al.1996). Menurut Utari (2011) Tempe juga mengandung isoflavon, isoflavon merupakan golongan fitokimia yang mempunyai peran sebagai antioksidan. Di pasaran produk minuman olahraga yang mengandung protein yang dapat digunakan untuk pemulihan kerusakan otot, umumnya berbasis dari susu, yang harganya relatif lebih mahal. Oleh karena itu perlu dicari alternatif untuk menciptakan suatu minuman yang mempunyai nilai gizi yang baik, rasanya nikmat dan harganya terjangkau. Berdasarkan potensi yang dimiliki tempe, tempe dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai minuman olahraga untuk pemulihan kerusakan otot, selain mempunyai kualitas protein yang baik yang mengandung asam amino BCAA, tempe juga mengandung isoflavon yang diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap pemulihan kerusakan otot setelah melakukan latihan olahraga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari formula minuman olahraga berbasis tempe yang tepat dalam kandungan gizi dan sensorinya untuk pemulihan kerusakan otot.
Metode Bahan dan Alat Bahan utama penelitian adalah tempe dengan lama fermentasi 36 jam yang diperoleh dari perusahaan tempe Sunoto Batu Ampar Kramat Jati Jakarta Timur, gula yang diperoleh dari PT Gulaku, bubuk coklat diperoleh dari PT Ceres, Bandung. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung tempe adalah freeze dryer, pengiling makanan merk Rheninghaus, freezer merk Electrolux, gelas pyrex. Analisis asam amino menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography), protein dengan metode Kjeldahl, lemak dengan metode Soxhlet (Sudarmadji et al. 1997), kadar air dengan metode thermogravimetri (AOAC 1970), abu dengan metode pengabuan kering dan karbohidrat ditentukan dengan metode by different (Andarwulan et al. 2011), kadar isoflavon ditentukan dengan metode HPLC (Song et al. 1998). Analisis
33 kalsium, magnesium, natrium, besi, kalium menggunakan AAS/Atomic Absorption Spectrophotometer,(Andarwulan et al. 2011). klorida menggunakan mercury nitrate titration
Disain Penelitian Pembuatan Tepung Tempe Pengembangan minuman olahraga berbasis tempe ini diawali dengan pembuatan tepung tempe. Proses pembuatan tepung tempe dimulai dengan mensteam blanching, selanjutnya dilakukan penggilingan dan kemudian dilakukan pengeringan dengan metode freeze drying. Setelah itu tepung tempe yang sudah jadi kemudian diayak. Kapasitas untuk sekali proses adalah 2 kg tempe dan 40%. Selanjutnya dilakukan menghasilkan rendemen berupa tepung tempe analisa gizi dari tepung tempe yang meliputi uji proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat/by difference), asam amino, isoflavon, kalsium, besi, magnesium, natrium, klorida dan kalium. Formulasi minuman olahraga berbasis tepung tempe Formulasi minuman tempe mangacu pada penelitian White et al. (2008) yang menggunakan protein sebanyak 23 gram. Selain itu minuman tempe ini mengandung karbohidrat sebanyak 8%, sesuai dengan syarat dari minuman isotonik yaitu mengandung karbohidrat sebayak 4-8% (Bean 2009). Untuk memperbaiki flavor minuman, digunakan bubuk coklat. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan tunggal, yaitu tingkat konsentrasi tepung tempe yaitu formula 1 = 8.66%, formula 2 = 7.31% dan formula 3 = 6.32%. Masing-masing formula persajian mempunyai energi yang berbeda yaitu 405 kkal, 438 kkal dan 469 kkal. Penerimaan minuman olahraga berbasis tempe dilakukan dengan uji organoleptik berupa uji hedonik (kesukaan) oleh 30 orang panelis semi terlatih. Pada uji hedonik (kesukaan) parameter yang diamati meliputi warna, aroma, rasa, kekentalan dan keseluruhan dengan skala 1= amat sangat tidak suka sampai 9 = amat sangat suka, Data hasil pengujian sensori yaitu uji hedonik dianalisis dengan uji friedman, bila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji banding ganda. Hasil Dan Pembahasan Komposisi zat gizi tepung tempe Tepung tempe yang akan digunakan dalam minuman olahraga berbasis tempe mempunyai Kandungan gizi yaitu air 5.39 %, abu 1.22 %, protein 45.55 %, lemak 33.9 %, karbohidrat 13.94 %, kalsium 0.14%, besi 0.018%, natrium 0.004 %, magnesium 0.06 % klorida 0.04 % dan kalium 0.10%. Komposisi asam amino tepung tempe disajikan pada Tabel 2. Tepung tempe mengandung asam amino BCAA sebanyak 8.16%. Asam amino BCAA penting untuk mempercepat pemulihan kerusakan otot.
34 Tabel 2 Komposisi asam amino tepung tempe Asam Amino % terhadap tepung tempe Asam aspartat 5.56 Asam glutamate 9.12 Serin 2.66 Histidin 1.25 Glisin 1.86 Threonin 1.96 Arginin 3.45 Alanin 2.18 Tirosis 1.82 Metionin 0.63 Valin 2.21 Fenilalanin 2.60 Isoleusin 2.18 Leusin 3.77 Lisin 3.10 Hasil uji organoleptik terhadap tingkat kesukaan minuman olahraga berbasis tempe tersaji pada Gambar 1. Hasil penilaian terhadap kesukaan warna, nilai tertinggi (7) dimiliki oleh formula 3 dan terendah (4.9) dimiliki oleh formula 1. Sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah air yang digunakan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penerimaan warna minuman olahraga berbasis tempe. Penilaian organoleptik terhadap kekentalan menunjukkan bahwa nilai tertinggi (6.1) dimiliki oleh formula 3 dan terendah (4.5) dimiliki oleh formula 1. Sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan air berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penerimaan kekentalan minuman olahraga berbasis tempe. Untuk penilaian organoleptik terhadap aroma, rasa dan kesukaan secara keseluruhan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05).
b ab a
a a a
a a a
ab b
a
a a a
Gambar 1 Nilai rerata tingkat kesukaan minuman tempe (skala1-9)
35 Persentase penerimaan panelis terhadap minuman tempe dapat dilihat pada Gambar 2. Presentase penerimaan berdasarkan pada banyaknya panelis yang memberikan skor antara 5 dan 9 terhadap jumlah keseluruhan panelis. Penerimaan tertinggi untuk kesukaan secara keseluruhan terhadap minuman tempe adalah formula 2 yaitu sebesar 80 %. Berdasarkan hasil uji hedonik dan persentase terbanyak penerimaan panelis terhadap minuman tempe secara keseluruhan maka formula terpilih adalah formula 2 dengan konsentrasi tepung tempe sebesar 7.31 %.
Gambar 2 Persentase penerimaan panelis terhadap minuman olahraga berbasis tempe Kandungan zat gizi minuman olahraga berbasis tepung tempe Berdasarkan uji organoleptik, produk dengan konsentrasi tepung tempe sebesar 7.31 % (F2) relatif paling bisa diterima dan dinyatakan sebagai formula terpilih dan selanjutnya dilakukan analisis kimia minuman tempe. Protein dan asam amino merupakan zat gizi yang menjadi perhatian utama dalam formulasi minuman ini, karena formulasi minuman ini bertujuan untuk membuat formula minuman yang digunakan untuk mempercepat pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan dan dapat diterima oleh konsumen. Menurut Nosaka (2007) bahwa asupan protein berperan dalam pemulihan kerusakan otot yang dipicu karena latihan kekuatan, pemulihan dari kerusakan otot akan mendapatkan manfaat dari kenaikan ketersediaan asam amino, seperti arginin, glutamin dan BCAA (isoleusin, leusin dan valin). Indikator bahwa telah terjadi pemulihan kerusakan otot adalah menurunnya CK darah, menurunnya nyeri otot dan peningkatan kekuatan otot (Cockburn 2010). Minuman tempe terpilih per sajiannya (600 ml) mengandung protein sejumlah 23 gram dengan kandungan asam amino seperti terdapat pada Tabel 3. Bila dibandingkan dengan whey protein yang digunakan dalam penelitian White et al. (2008) minuman tempe ini mempunyai kandungan protein yang sama, sedangkan masing-masing asam amino mempunyai kandungan yang berbeda. Dalam minuman olahraga berbasis tempe terpilih ini mengandung asam amino BCAA yaitu valin, leusin dan isoleusin yang tinggi, asam amino BCAA penting dalam proses pemulihan kerusakan otot. Kandungan isoleusin, leusin dan valin
36 masing-masing adalah 1111.8 mg, 1922.7 mg, dan 1127.1 mg, total asam amino BCAA per sajian adalah 4161,6 mg. Bila dibandingkan dengan minuman whey protein, minuman tempe per sajian (600 ml) memberikan kontribusi valin sebesar 78.27%, isoleusin 73.14% dan leusin 77.84%. Tabel 3 Kandungan asam amino pada minuman tempe terpilih dan whey per takaran saji Asam Amino minuman minuman prosentase tempe whey ** minuman tempe terhadap whey Asam aspartat (mg) 2835.6 2490 113.8 Asam glutamate (mg) 4651.2 3870 120.1 Serin (mg) 1356.6 1240 109.4 Histidin (mg) 637.5 400 159.3 Glisin (mg) 948.6 530 178.9 Threonin (mg) 999.6 1720 58.11 Arginin (mg) 1759.5 480 366.5 Alanin (mg) 1111.8 1380 80.56 Tirosisn (mg) 928.2 590 157.3 Metionin (mg) 321.3 440 73 Valin (mg)* 1127.1 1440 78.27 Fenilalanin (mg) 1326 670 197.91 Isoleusin (mg)* 1111.8 1520 73.14 Leusin (mg)* 1922.7 2470 77.84 Lisin (mg) 1581 2120 74.57 Asam amino BCAA (mg) 4161.6 5430 76.64 *asam amino BCAA ** whey protein (White et al. 2008) Selain mengandung protein yang baik, minuman olahraga berbasis tempe terpilih per sajian (600 ml) juga mengandung energi sebesar 438 kkal dan juga kaya akan zat gizi lain seperti karbohidrat sebanyak 48 gram, lemak 17.11 gram, mineral yang terdiri dari kalsium 72.92 mg, zat besi 9.46 mg, natrium 2.37 mg, magnesium 33.12 mg dan klorida 21.30 mg, jumlah mineral tersebut memberikan kontribusi terhadap angka kecukupan gizi kalsium sebesar 5.6 %, zat besi 53.33%, natrium 0,15%, magnesium 7.8 %, klorida 0.92 %, kalium 1.14%. Minuman tempe ini per sajian mengandung isoflavon sebesar 25.78 mg. Karbohidrat dan protein yang terkandung dalam minuman ini memberikan manfaat yang baik karena menurut Bloomer et al. (2000) mengonsumsi minuman protein-karbohidrat segera setelah latihan kekuatan mendorong lebih efisien pertumbuhan otot jaringan serta pengisian bahan bakar glikogen lebih cepat, dibandingkan dengan minuman karbohidrat saja atau plasebo. Karbohidrat merangsang pelepasan insulin, yang diketahui mempengaruhi penyerapan asam amino ke dalam otot sehingga kehadiran karbohidrat memiliki efek yang menguntungkan (Dunford 2008). Kehadiran radikal bebas setelah latihan dapat memperparah kerusakan otot dengan yang berpotensi menyebabkan kerusakan otot lanjut (Malm et al. 1999; MacIntyre et al. 2001). Aktivasi radikal bebas tersebut dapat menyebabkan lisis
37 membran sel otot (Tidball 2005). Radikal bebas dapat dihasilkan selama dan setelah latihan kekuatan. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan otot secara sekunder (Howatson et al. 2008). Kelebihan lain dari minuman tempe ini adalah kandungan isoflavonnya, isoflavon dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas. Menurut Utari (2011) isoflavon berperan dalam menangkal radikal bebas melalui pemutusan rantai propagasi radikal bebas, hidroksi akan mendonorkan elektron atau hidrogen sehingga terjadi pembersihan (scavenging) atau penghalang (interceptor) terhadap radikal bebas. Isoflavon juga mempunyai peran dalam pemutusan rantai propagasi melalui pengikatan (chelating) ion metal transisi sehingga ion asing tersebut dapat dihilangkan dan efek prooksidannya dapat dihambat. Kandungan isoflavon sebesar 25,78 mg yang terdapat dalam minuman tempe ini dapat berperan dalam mempercepat pemulihan kerusakan otot. Jumlah isoflavon tersebut sudah memenuhi 85.93% dari rekomendasi minimum yang dianjurkan yaitu 30-100 mg/orang/hari (Messina 2002). Minuman olahraga berbasis tempe ini diberikan sejumlah 600 ml, diminum sekaligus setelah latihan kekuatan. Jumlah tersebut dapat menggantikan cairan tubuh yang hilang selama latihan. Rekomendasi untuk cairan yang dapat dikonsumsi setelah latihan adalah setidaknya 450-675 ml cairan untuk setiap kehilangan 0,5 kg berat badan (Bean 2009). Penelitian yang dilakukan Cockburn et al. (2011) jumlah minuman susu yang diberikan pada atlet setelah latihan kekuatan sebanyak 500 ml dan 1000 ml. Minuman yang dihasilkan perlu dilakukan pengocokan sebelum diminum karena ukuran partikel yang lolos ayakan 80 mesh tidak bisa terlarut secara sempurna. Dengan melihat kandungan zat gizi dan non gizi minuman tempe, perlu dikaji lebih lanjut pengaruh minuman tempe untuk pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan pada atlet.
Kesimpulan Berdasarkan hasil uji hedonik, maka formula terpilih adalah formula 2 dengan konsentrasi tepung tempe sebesar 7.31 %. Minuman olahraga yang dihasilkan per sajian (600 ml) mengandung energi sebesar 438 kkal, 23 gram protein, asam amino BCAA 4161.6 mg, karbohidrat 48 gram, lemak 17.11 gram, kalsium 72.92 mg, zat besi 9.46 mg, natrium 2.37 mg, magnesium 33.12 mg, klorida 21.30 mg, kalium 54 mg dan mengandung isoflavon sebesar 25.78 mg. Minuman tempe mempunyai potensi yang sangat baik sebagai minuman untuk pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan.
38 DAFTAR PUSTAKA. Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta. Dian Rakyat. [AOAC]. Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemistry 15th ed. Arlington: AOAC Inc.
Bean A. 2009. Sports Nutrition. Published by A and C Black Publishers Ltd. Bloomer R. 2000. Effects of meal form and composition on plasma testosterone, cortisol and insulin following resistance exercise. International. Journal. Sport Nutrition. 10:415-424. Buckley JD, Thomson RL, Coates AM, Howe PR, Denichilo MO, Rowney MK. 2010. Supplementation with a whey protein hydrolysate enhances recovery of muscle force-generating capacity following eccentric exercise. J Sci Med Sport. 13(1):178-181. Burnley ECD, Olson AN, Sharp RL, Baier SM, Alekel DL. 2010. Impact of protein supplements on muscle recovery after exercise-induced muscle soreness. Journal Exercise Science Fitness 8: 89-96. Cockburn E. 2010. Acute protein-carbohydrate supplementation: effects on exercise-induced muscle damage. Current Topic In Nutraceutical Research. 8: 7-18. Cockburn E, Ansley PR, Hayes PR, Stevenson E. 2011. Effect of volume of milk consumed on the attenuation of exercise-induced muscle damage. Eur J Appl Physiol. 112: 3187–3194. Cooke MB, Rybalka E, Stathis CG, Cribb PJ, Hayes A. 2010. Whey protein isolate attenuates strength decline after eccentrically-induced muscle damage in healthy individuals. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 7 (30): 1-9 Dunford D. 2008. Nutrition For Sports And Exercise. Thomson Wadsworth, a part of The Thomson Corporation. Gilson SF, Saunders MJ. 2010. Effects of chocolate milk consumption on markers of recovery following soccer training : a randomized cross-over study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 7(19): 1-10. Hermana, Mahmud MK, Karyadi D. 1996. Komposisi dan Nilai Gizi Tempe serta Manfaatnya dalam Peningkatan Mutu Gizi makanan. Sapuan, Soetrisno N, editor. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia.
39
Howatson G, Someren KV. 2008. The prevention and treatment of exercise induced muscle damage. Sports Medicine. 38: 483-503. Howatson G, Hoad M, Goodall S, Tallent J, Bell PG, French DN. 2012. Exerciseinduced muscle damage is reduced in resistance-trained males by branched chain amino acids: a randomized, double-blind, placebo controlled study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 9 (20):1-7. Jackman SR, Witard OC, Jeukendrup AE, Tipton KD. 2010. Branched-chain amino acid ingestion can ameliorate soreness from eccentric exercise. Medicine Science Sports Exercise 42: 962–970. Kirby, TJ. Triplett NT, Haines TL, Skinner JW, Fairbrother KR, McBride JM. 2012. Effect of leucine supplementation on indices of muscle damage following drop jumps and resistance exercise Amino Acids. 42: 1987–1996. MacIntyre DL, Sorichter S, Mair J, Berg A, McKenzie DC. 2001. Markers of inflammation and myofibrillar proteins following eccentric exercise in humans. European Journal of Applied Physiology. 84: 180-186. Malm C, Lenkei R. Sjodin B. 1999. Effects of eccentric exercise on the immune system in men. Journal of Applied Physiology. 86: 461-468. Matsumoto K, Koba T, Hamada K, Sakura M, Higughi T, Miyata H. 2009. Branched-chain amino acid supplementation attenuates muscle soreness, muscle damage and inflammation during an intensive training program. J Sports med phys fitness. 49: 424-31. Messina M. 2002. Soy and the prevention and treatment of chronic disease. A shorts review of the literature as a tech bull. 87: 1-18.
Nosaka K. 2007. Muscle damage and amino acid supplementation: does it aid recovery from muscle damage. International SportMed Journal. 8: 54-67. Song T, Barua K, Buseman G, Murphy, PA. 1998. Soy isoflavone analysis: quality control and a new internal standard. Am J Clin Nutr. 68(suppl): 1474S–9S. Street B, Byrne C, Eston R. 2011. Glutamine supplementation in recovery from Eccentric exercise attenuates Strength loss and muscle soreness. J Exerc Sci Fit. 9: 116–12. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1997. Prosedur Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
40 Tidball JG. 2005. Inflammatory processes in muscle injury and repair. American Journal of Physiology. 288: R345-R353. Udani JK, Singh BB. (2009). BounceBackTM capsules for reduction of doms after eccentric exercise : randomized, double-blid, placebo-controlled, crossover pilot studi. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 6 (14): 1-6. Utari DM. 2011. Efek intervensi tempe terhadap profil lipid, superoksida dismutase, LDL teroksidasi dan malondialdehyde pada wanita menopause [disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. White JP, Wilson JM, Austin, KG, Greer BK, St John N, Panton LB. 2008. Effect of carbohydrate-protein supplement timing on acute exercise-induced muscle damage. Journal of the International Soceity of Sports Nutrition. 5 (5): 1-7. Wang HL, Doris IR, Hesseltine. 1996. Protein Quality of wheat and Soybeans After Rhizopus oligosporus Fermentation. Journal Nutrition. 96:109-114.
41 4. PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN TEMPE TERHADAP PEMULIHAN KERUSAKAN OTOT SETELAH LATIHAN KEKUATAN PADA ATLET MAHASISWA ABSTRAK Latihan kekuatan berhubungan dengan kerusakan jaringan otot, diperlukan pemulihan kerusakan otot dengan segera. Protein adalah zat gizi utama yang berperan dalam pemulihan kerusakan otot. Minuman tempe dibuat dari tepung tempe yang tinggi kandungan proteinnya yang dapat digunakan untuk pemulihan kerusakan otot. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efek pemberian minuman tempe untuk pemulihan kerusakan otot. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah double blind control trial. 18 orang atlet laki-laki (18-24 tahun), dibagi menjadi 3 kelompok (masing-masing n=6) kelompok 1 menerima minuman tempe (mengandung 23 g protein), kelompok 23 g protein) dan kelompok 3 menerima 2 menerima whey (mengandung minuman plasebo, setelah latihan. Subjek melakukan latihan kekuatan dengan beban 75% dari kekuatan maksimal (1 RM) dengan squat yang terdiri dari 6 set dan 15 pengulangan dengan 2 menit istrahat antar set. Creatine kinase (CK), kekuatan maksimal dan nyeri otot sebagai penanda kerusakan otot diukur sebelum latihan, 6, 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan. Pemberian minuman tempe secara nyata menurunkan tingkat CK dan meningkatkan kekuatan otot pada 24 jam dibandingkan dengan plasebo, tetapi tidak berbeda pada nyeri otot. Kata kunci : latihan kekuatan, minuman tempe, pemulihan kerusakan otot. Pendahuluan Latihan kekuatan merupakan komponen umum dari suatu latihan olahraga. Selama latihan, terutama latihan eksentrik seperti latihan beban, latihan plyometric dan berlari kencang, umumnya dapat menyebabkan kerusakan otot (Bean 2010). Termasuk robeknya sarkolema di beberapa serat otot, miofibril yang rusak, dan rusaknya garis z sarkomer (Tortora 2009). Beberapa indikator kerusakan otot adalah peningkatan tingkat creatine kinase (CK), nyeri otot dan penurunan kekuatan otot (White et al. 2008; Udani et al. 2009; Cooke et al. 2010 dan Howatson et al. 2012). Kerusakan otot yang terjadi setelah latihan kekuatan, harus segera dipulihkan. Kerusakan otot dapat menyebabkan rasa nyeri otot dan rasa tidak nyaman yang dialami beberapa hari setelah melakukan latihan. Menurut Nosaka (2007) kondisi ini dapat mengganggu pelaksanaan latihan berikutnya. Selain itu menurut Bean (2010) kerusakan otot bahkan dapat menunda penyimpanan glikogen, sehingga pengisian glikogen secara lengkap dapat membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 7-10 hari. Tertundanya penyimpanan glikogen ini dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan melakukan latihan pada hari berikutnya. Dalam proses pemulihan kerusakan otot, salah satu zat gizi yang berperan adalah protein. Beberapa hasil penelitian menggunakan sumber protein yang berasal dari whey, susu dan BCAA yang memberikan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan Burnley et al. (2010) dengan memberikan whey protein setelah latihan kekuatan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kekuatan otot, kadar CK dan nyeri otot pada 24, 48 setelah latihan. Penelitian yang dilakukan
42 White et al. (2008) menunjukkan bahwa konsumsi whey protein tidak berpengaruh terhadap pemulihan kerusakan otot dibandingkan dengan plasebo. Sebaliknya, Buckley et al. (2010), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi whey protein setelah latihan kekuatan, pemulihan kekuatan otot dapat meningkat. Cooke et al. (2010) menyebutkan bahwa pemberian whey protein isolat setelah latihan kekuatan dapat memperbaiki kekuatan otot pada hari ke 3 dan ke 7 setelah latihan dibandingkan dengan plasebo, tetapi tidak berbeda nyata pada kadar CK. Jackman et al. (2010) melalui penelitiannya dengan pemberian branched chain amino acids (BCAA) setelah latihan kekuatan dan juga selama periode pemulihan memberikan pengaruh terhadap penurunan nyeri otot pada 48 dan 72 setelah latihan tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar CK dibandingkan dengan plasebo. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Howatson et al. (2012) di mana suplementasi BCAA diberikan 7 hari sebelum latihan kekuatan, sebelum dan setelah latihan kekuatan dan selama 4 hari setelah latihan memberikan pengaruh secara nyata terhadap penurunan kadar CK, penurunan nyeri otot dan peningkatan kekuatan otot dibandingkan dengan plasebo pada 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gilson et al. (2010) pada atlet sepak bola menunjukkan bahwa pemberian susu coklat setelah latihan, hanya memberikan pengaruh pada kadar CK dan tidak untuk indikator kerusakan otot yang lain seperti kekuatan maksimal dan rasa nyeri otot. Salah satu sumber protein yang cukup potensial dan belum banyak digunakan pada atlet adalah tempe, yang merupakan makanan tradisional yang sangat populer di Indonesia. Tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi dengan penambahan Rhizopus oligosporus. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi gizi dan non gizi seperti isoflavon yang lebih baik dibanding kedelai. Selain itu tempe mudah diproduksi, harga relatif terjangkau, tersedia di pasaran, serta mudah pengolahannya. Asam amino bebas kedelai meningkat 85 kali setelah menjadi tempe (Mahmud 1996). Tempe juga mengandung asam amino BCAA (valin, leusin, isoleusin) yang tinggi. Nilai cerna tempe lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai, dan karenanya meningkatkan mutu gizi protein tempe (Hermana et al. 1996). Sehingga tempe sebagai sumber protein mempunyai potensi yang baik dalam memperbaiki kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Menurut Jauhari et al. (2014) tempe dapat diolah menjadi minuman yang dikenal dengan nama minuman tempe yang mempunyai rasa yang nikmat dan mengandung asam amino BCAA yang tinggi yaitu 4161.6 mg per sajian dengan kandungan isoleusin, leusin dan valin masing-masing adalah 1111.8 mg, 1922.7 mg, dan 1127.1 mg. Minuman tempe dapat dijadikan salah satu alternatif minuman olahraga yang mempunyai kualitas protein yang baik dengan kandungan BCAA, yang diharapkan memberikan manfaat terhadap percepatan pemulihan dari kerusakan otot setelah melakukan latihan kekuatan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan dengan melihat indikator kerusakan otot yaitu kekuatan maksimal, kadar CK dan nyeri otot.
43 Metode Disain, Subjek dan Tempat Penelitian Disain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dengan metode double blind randomized controlled trial. Subjek penelitian ini adalah anggota klub bulutangkis mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta. Kriteria inklusi subjek adalah : pria, usia 18-24 tahun, indeks massa tubuh 18,5-25, rutin melakukan latihan, tidak sedang minum obat tertentu seperti analgesik, aspirin atau anti-inflamasi setidaknya 7 hari sebelum penelitian, dan tidak mengonsumsi alkohol selama 48 jam sebelum penelitian, tidak alergi terhadap susu, tidak mengalami cidera sebelum dilakukan penelitian, sehat tidak ada penyakit jantung, diabetes atau penyakit kronis lainnya. Tiap subyek menandatangani informed consent. Jumlah subjek penelitian ini adalah sebanyak 18 orang. Analisis CK dilakukan di laboratorium Pramita Jakarta. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan RSUP dr Kariadi Semarang Nomor : 369/EC/FK/RSDK/2012.
Minuman Perlakuan Jumlah total subjek adalah 18 orang, secara acak dibagi ke dalam 3 kelompok, setiap perlakuan terdiri 6 orang. Perlakuan dibagi ke dalam 3 kelompok, kelompok pertama mendapatkan minuman tempe, kelompok kedua mendapatkan minuman whey protein dan kelompok ketiga mendapatkan minuman plasebo. Minuman diberikan dengan jumlah kalori yang sama (isokalori), perlakuan minuman diberikan setelah latihan kekuatan. Minuman tempe per sajian (600 ml) mengandung kalori 438 kkal, karbohidrat 48 g, lemak 17.1 g, dan protein 23 g, whey mengandung energi 438 kkal, karbohirat 48 g, lemak 17.1 g, dan protein 23 g, sedangkan plasebo mengandung energi 438 kkal karbohirat 48 g, lemak 27.33 g, dan protein 0 g. Minuman perlakuan diberikan kepada subjek dalam botol yang sama, botol dilapisi dengan alumunium foil dengan jumlah 600 ml dan dengan rasa coklat. Pelaksanaan Penelitian Sebelum penelitian dilaksanakan subjek berpuasa 12 jam pada malam sebelumnya. Subjek datang pada pukul 07.00 pagi ke Muscle Academy Gym (MAG) laboratorium Somatokinetika Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta. Kemudian dilakukan pengambilan data yaitu nyeri otot, CK darah, kekuatan maksimal, berat badan, tinggi badan dan persen tebal lemak. Nyeri otot diukur dengan menggunakan visual analog scale (VAS) dengan skala 0-10 (White et al. 2008), berat badan, tinggi badan dan persen tebal lemak diukur dengan timbangan digital. Sebelum melakukan latihan kekuatan, subjek melakukan pemanasan. Kemudian subjek diuji untuk kemampuan kekuatan maksimal dengan menggunakan squat sebanyak 3 kali angkatan. Kemudian istirahat selama lima menit sebelum subjek melakukan latihan kekuatan dengan squat, latihan kekuatan dibagi menjadi enam set dari lima belas pengulangan dengan interval istirahat 2 menit antar set. Subjek melakukan latihan kekuatan dengan beban 75 % dari
44 kekuatan maksimalnya (1RM). Setelah melakukan latihan kekuatan, subjek melakukan pendinginan. Segera setelah latihan kekuatan selesai subjek mengonsumsi minuman, baik kelompok minuman tempe, kelompok whey dan kelompok plasebo dengan waktu dua menit. Sembilan puluh menit setelah penyelesaian latihan, responden mendapatkan makan siang. Setelah makan siang, responden dapat meninggalkan laboratorium, dan datang kembali untuk pengukuran yang ke dua setelah enam jam latihan. Tidak ada makanan yang dikonsumsi antara pemberian makanan siang dan pengukuran 6 jam setelah latihan. Subjek mengulangi semua pengukuran nyeri otot, CK darah dan kekuatan maksimal pada enam, 24, 48 dan 96 jam setelah latihan kekuatan. Minuman perlakuan juga dikonsumsi selama masa pemulihan yaitu pada hari ke dua sampai dengan hari ke empat setelah latihan kekuatan. Pada 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan semua pengukuran diambil setelah 12 jam puasa semalam. Bagan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat di Gambar 3. Semua subjek diinstruksikan untuk mengonsumsi diet normal serta menjaga aktivitas harian yang minimum. Subjek diharapkan untuk mengendalikan kebiasaan gizinya atau aktivitas fisik dan tidak mengkonsumsi makanan yang tidak biasa dikonsumsi. Subjek tidak diperkenankan mengkonsumsi kedelai dan hasil olahannya (tahu, tempe, oncom, kecap) selama penelitian berlangsung. Selain itu, subjek tidak menggunakan suplemen vitamin atau obat anti-inflamasi atau obat-obatan yang terkait dengan perlindungan terhadap kerusakan otot karena latihan. Pembatasan ini diberlakukan 48 jam sebelum dan selama periode pengujian (White et al. 2008). Untuk mengontrol asupan pangan yang dikonsumsi, selama penelitian subjek mendapatkan dari peneliti. Subjek juga diminta untuk mencatat asupan pangan di luar pangan yang diberikan. Analisis Sampel darah Sampel darah digunakan untuk analisis kadar CK. Pengukuran Aktivitas CK serum ditentukan dengan Creatine Kinase Reagen Set Roche / Hitachi, HITACHI 902. Prinsip kerja dalam penentuan aktivitas CK adalah bahwa dalam proses Transfosforilasi ADP menjadi ATP dikatalisis oleh CK dan akan dihasilkan NADPH. Jumlah NADPH ini yang diproduksi inilah yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas CK. Jumlah NADPH ditentukan pada absorbansi pada panjang gelombang 340 nm (Tietz and Norbert 1995).
Analisis Data Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis of variance (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antara kelompok perlakuan dengan selang kepercayaan 95%, bila terdapat keragaman dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) taraf 5%.
45
Responden berpuasa ±12 jam semalam
Pengambilan darah (mengukur CK). Pemeriksaan nyeri otot. Mengukur kekuatan maksimal.
Minum air putih
Melakukan kekuatan
latihan
Pemberian minuman perlakuan
Setelah
90 menit
6 jam setelah latihan
Makan Siang
Pengambilan darah (mengukur CK). Pemeriksaan nyeri otot. Mengukur kekuatan maksimal.
Puasa 12 jam, malam sebelumnya
24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan
Pengambilan darah (mengukur CK). Pemeriksaan nyeri otot. Mengukur kekuatan maksimal.
Pemberian minuman perlakuan (Pada 24, 48, 72 setelah latihan)
Gambar 3 Bagan pelaksanaan penelitian pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan pada atlet.
46
Hasil dan Pembahasan Karakteristik subjek Karakteristik subjek pada awal penelitian disajikan dalam Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis ragam, secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam karakteristik subyek penelitian pada ketiga kelompok perlakuan (whey, minuman tempe dan plasebo) dalam usia, berat badan, tinggi badan, IMT, persentase lemak, tingkat kekuatan (1RM). Tabel 4 Karakteristik subjek pada baseline Karakteristik Kelompok Kelompok Minuman Kelompok Whey Tempe Plasebo Usia (Tahun) 19.93 0.66 20.80 2.09 19.33 1.36 Tinggi (cm) 171.66 5.85 168.83 4.53 169.50 3.44 Berat (kg) 68.88 8.36 61.88 6.18 62.98 12.13 IMT 23.31 1.90 21.84 2.62 21.76 3.56 % lemak Tubuh 20.20 1.99 16.50 3.62 17.75 5.10 Kekuatan Maksimal 82.5 14.74 88.33 14.02 83.75 15.06 Keterangan : tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05) Analisis konsumsi makanan Berdasarkan hasil analisis konsumsi makanan dengan menggunakan metode recall 24 jam (tidak termasuk suplemen) menunjukkan tidak ada perbedaan pada asupan energi, protein, lemak dan karbohidrat antara kelompokkelompok selama penelitian (Tabel 5). Tabel 5 Asupan zat gizi subjek Zat Gizi Kelompok Kelompok Minuman Kelompok Whey Tempe Plasebo Energi (kkal) 2589.7 135.56 2507.61 226.41 2661.71 133.72 Karbohidrat (g) 415.1 23.05 407.80 33.79 426.23 30.40 Lemak (g) 61.79 6.61 58.92 6.28 66.38 4.48 Protein(g) 85.28 6.07 83.88 9.85 87.46 3.41 Keterangan : tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05) Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap aktivitas creatine kinase Gambar 4 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar CK setelah latihan kekuatan. Peningkatan kadar CK terjadi pada semua perlakuan. Peningkatan kadar CK mencapai puncaknya pada 24 jam setelah latihan untuk semua perlakuan. Pada 24 jam setelah latihan, pada perlakuan minuman tempe kadar CK secara nyata lebih rendah bila dibandingkan dengan plasebo (P<0.05). Bila dibandingkan dengan whey tidak berbeda nyata (P>0.05). Perlakuan minuman tempe pada titik waktu pengamatan lain setelah latihan (6 jam, 48 jam, 72 jam dan 96 jam setelah latihan) tidak berbeda dengan perlakukan whey dan plasebo, akan tetapi menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar CK yang paling rendah dibandingkan dengan plasebo.
47
a a
ab a
a
ab
a
a
b
a
a a
a a
a
a
Gambar 4 Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar CK serum pada subjek setelah latihan Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata di setiap titik waktu pengamatan pada hasil DMRT dengan selang kepercayaan 95%
Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap kekuatan otot Penurunan kekuatan otot terjadi pada semua perlakuan pada 6 jam setelah latihan, tetapi tidak terdapat perbedaan antar perlakuan. Pada titik waktu 24 jam setelah latihan, pada perlakuan minuman tempe terjadi perubahan kekuatan otot secara nyata bila dibandingkan dengan plasebo (P<0.05), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan whey (P>0.05). Pada titik waktu 48, 72 dan 96 jam setelah latihan, antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam perubahan kekuatan otot, tetapi ada kecenderungan minuman tempe menunjukkan perbaikan kekuatan otot yang paling baik. Perubahan kekuatan otot setelah melakukan latihan kekuatan disajikan pada Gambar 5. Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap nyeri otot Skor nyeri otot meningkat secara nyata di atas tingkat dasar untuk semua kelompok di semua titik waktu. Namun, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh pada skor nyeri otot, akan tetapi ada kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe menunjukkan skor nyeri yang paling rendah pada semua titik waktu pengamatan (Gambar 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Buckley et al. (2008) di mana konsumsi whey protein dengan kandungan protein 25 g setelah latihan kekuatan terjadi peningkatan pemulihan kekuatan otot pada 6 dan 24 jam setelah latihan, tetapi tidak mempengaruhi kadar CK dan nyeri otot. White et al. (2008) yang memberikan whey hanya satu kali setelah atau sebelum latihan kekuatan dengan jumlah protein 23 g tidak memberikan dampak nyata terhadap penurunan kadar CK, nyeri otot dan peningkatan kekuatan maksimal pada semua titik waktu pengamatan (6,24,48,72,96 jam). Begitu juga penelitian yang dilakukan Burnley et al. (2010) dengan memberikan suplemen protein dengan jumlah 0.4 g/kg berat badan setelah latihan kekuatan tidak memberikan pengaruh
48 nyata terhadap kekuatan otot, kadar CK dan nyeri otot. Cooke et al. (2010) menyebutkan bahwa pemberian whey protein 1.5 g/kg berat badan/hari setelah latihan kekuatan dan selama 14 hari dapat memperbaiki kekuatan otot pada hari ke 3 dan ke 7 setelah latihan dibandingkan dengan plasebo, tetapi tidak berbeda nyata pada kadar CK. a
a a
a
a a
ab
a
b a
a ab b a a a
a
a
a
a
a
a
Gambar 5 Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kekuatan maksimal pada subjek setelah latihan kekuatan Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata di setiap titik waktu pengamatan pada hasil DMRT dengan selang kepercayaan 95%
Gambar 6 Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap nyeri otot pada subjek setelah latihan kekuatan
49 Menurut Nosaka (2007) bahwa asupan protein berperan dalam pemulihan kerusakan otot yang dipicu karena latihan kekuatan, pemulihan dari kerusakan otot akan mendapatkan manfaat dari kenaikan ketersediaan asam amino, seperti arginin, glutamin dan BCAA (isoleusin, leusin dan valin), melalui suplementasi, latihan yang memicu kerusakan otot menyebabkan peningkatan yang lebih besar dalam pemecahan protein otot daripada sintesis, sehingga akan terjadi keseimbangan negatif yang lebih besar. Namun, ketika diberikan asupan asam amino, pemecahan protein akan berkurang dan sintesis protein terjadi dengan baik, sehingga terjadi keseimbangan protein yang positif. Bahkan, menurut (Rennie dan Tipton 2000) bahwa keseimbangan positif setelah latihan dapat tercapai hanya jika ketersediaan asam amino yang meningkat. Suplementasi asam amino akan menstimulus pengangkutan asam amino ke dalam otot rangka, dan pemberian asam amino eksogen setelah latihan meningkatkan sintesa protein sekaligus mengurangi pemecahan protein, suplemen asam amino yang efektif untuk mengurangi kerusakan otot dan / atau meningkatkan pemulihan dari kerusakan otot (Nosaka 2007). Shimomura et al. (2006) menyatakan bahwa stimulasi sintesis protein oleh leusin, dan penekanan pemecahan protein oleh asam amino BCAA, dapat menghasilkan efek yang menguntungkan dengan penurunan kerusakan otot. Terjadinya perbedaan kadar CK dan kekuatan maksimal yang nyata hanya pada 24 jam setelah latihan disebabkan karena latihan kekuatan menyebabkan stimulasi sintesis protein otot (sampai 50-100% di atas nilai-nilai dasar) yang puncaknya terjadi dalam waktu 3-24 jam, dan dapat tetap meningkat, meskipun pada tingkat berkurang, hingga 48 jam pasca-latihan (Biolo et al. 1995 dan Phillips et al. 1997). Penyediaan asam amino eksogen, terutama dalam 4 jam pertama setelah latihan kekuatan, meningkatkan sintesis protein, mengurangi pemecahan protein, dan menghasilkan keseimbangan protein yang positif (Biolo et al. 1995 and Tipton et al. 1999). Kemungkinan lain disebabkan karena pengaruh jumlah kandungan BCCA. Pada penelitian ini minuman tempe mengandung 23 gram protein per sajian dengan total kandungan asam amino BCAA 4.16 g, yang meliputi isoleusin 1.11 g, leusin 1.92 g dan valin 1.12 g. Penelitian lain yang dilakukan oleh Howatson et al. (2012) memberikan BCAA 20 g / hari yang diberikan 7 hari sebelum latihan dan 4 hari pada masa pemulihan memberikan pengaruh secara nyata terhadap penurunan kadar CK dan peningkatan kekuatan otot dibandingkan dengan plasebo pada 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan. Namun demikian penelitian yang dilakukan Jackman et al. (2010) yang memberikan BCAA 29.2 g per hari, setelah latihan selama 3 hari berturut-turut, berpengaruh terhadap penurunan nyeri otot pada 48 dan 72 jam setelah latihan tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar CK. Tidak adanya pengaruh jenis minuman yang diberikan terhadap kadar CK selain pada jam ke 24 kemungkinan juga disebabkan karena besarnya variasi pada nilai-nilai CK antar individu. Kondisi tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan White et al. (2008); Jackman et al. (2009) dan Cooke et al. (2010). Akan tetapi ada kecenderungan pada perlakuan minuman tempe menunjukkan kadar CK yang paling rendah, peningkatan kekuatan maksimal yang paling tinggi dan rasa nyeri yang paling rendah. Hal tersebut kemungkinan berhubungan dengan komponen antioksidan yang terkandung dalam minuman tempe yaitu isoflavon, yang berperan dalam menangkal radikal bebas yang dihasilkan selama
50 latihan. Latihan yang berlebihan berkontribusi dalam pembentukan ROS (reactive oxygen spesies). Di dalam tubuh ROS yang merupakan radikal bebas yang akan memicu stres oksidatif yang berkaitan dengan kerusakan otot setelah latihan, Aktivasi ROS dapat menyebabkan lisis membran sel otot (Tidball 2005). Menurut Howatson et al. (2008) ROS ini telah terlibat dalam kerusakan sekunder setelah terjadinya gangguan mekanik primer. Hal tersebut yang menyebabkan kerusakan otot yang terjadi pada kelompok perlakuan minuman tempe cenderung lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan minuman tempe memberikan dampak kerusakan otot yang paling kecil dibandingkan dengan whey dan plasebo. Minuman tempe berpotensi sebagai minuman olahraga untuk pemulihan kerusakan otot pada atlet setelah melakukan latihan kekuatan. Kesimpulan Pemberian minuman tempe secara nyata menurunkan kadar CK dan meningkatkan kekuatan maksimal pada 24 jam setelah latihan. Pemberian minuman tempe, whey dan plasebo memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap rasa nyeri otot, akan tetapi ada kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe menunjukkan rasa nyeri otot yang paling rendah. Minuman tempe berpotensi sebagai minuman olahraga untuk pemulihan kerusakan otot pada atlet setelah melakukan latihan kekuatan.
DAFTAR PUSTAKA Bean A. 2009. Sports Nutrition. London : Published by A & C Black Publishers Ltd. Biolo G, Maggi, SP, Williams BD,Tipton KD, Wolfe RR. 1995. Increased rates of muscle protein turnover and amino acid transport after resistance exercise in humans. Am J Physiol. 268: E514-520. Buckley JD, Thomson RL, Coates, AM, Howe PR, Denichilo MO, Rowney MK, 2010. Supplementation with a whey protein hydrolysate enhances recovery of muscle force-generating capacity following eccentric exercise. J Sci Med Sport. 13(1):178-81. Burnley ECD, Olson AN, Sharp RL, Baier SM, Alekel DL. 2010. Impact of protein supplements on muscle recovery after exercise-induced muscle soreness. Journal Exercise Science Fitness. 8: 89-96. Cooke MB, Rybalka E, Stathis CG, Cribb PJ, Hayes A. 2010. Whey protein isolate attenuates strength decline after eccentrically-induced muscle damage in healthy individuals. Journal of the International Society of Sports Nutrition 7 (30) : 1-9.
51 Gilson SF, Saunders MJ. 2010. Effects of chocolate milk consumption on markers of recovery following soccer training : a randomized cross-over study. Journal of the International Society of Sports Nutrition (19): 1-10. Hermana, Mahmud MK. Karyadi D. 1996. Komposisi dan Nilai Gizi Tempe serta Manfaatnya dalam Peningkatan Mutu Gizi makanan. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Yayasan Tempe Indonesia. Jakarta. Howatson G dan Someren KV. 2008. The prevention and treatment of exercise induced muscle damage. Sports Med 38. (6): 483-503. Howatson G, Hoad M, Goodall S, Tallent J, Bell PG, French DN. 2012. Exerciseinduced muscle damage is reduced in resistance-trained males by branched chain amino acids: a randomized, double-blind, placebo controlled study. J Int Soc Sports Nutr. 9 (20):1-7. Jackman SR, Witard OC, Jeukendrup AE, Tipton KD. 2010. Branched-chain amino acid ingestion can ameliorate soreness from eccentric exercise. Med Sci Sports Exerc. 42:962–970. Jauhari M, Sulaeman A, Riyadi H, Ekayanti I. 2014. Pengembangan formula minuman olahraga berbasis tempe. Jurnal Agritech. Siap terbit. Mahmud MK. 1996. Tempe dan Infeksi. Bunga rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia. Nosaka K. 2007. Muscle damage and amino acid supplementation: Does it aid recovery from muscle damage. International SportMed Journal. 8:54-67. Phillips SM, Tipton KD, Aarsland A, Wolf SE, Wolfe RR. 1997. Mixed muscle protein synthesis and breakdown after resistance exercise in humans. Am J Physio. 273: E99-107. Rennie MJ, Tipton KD. 2000. Protein and amino acid metabolism during and after exercise and the effects of nutrition. Ann Rev Nutr. 20: 457- 487. Shimomura YY, Yamamoto, Bajotto G. 2006. Nutraceutical effects of branchedchain amino acids on skeletal muscle. J Nutr. 136: 529S-532S. Tietz, Norbert W. 1995. Clinical guide to laboratory test. Philadelphia. WB Saunders Company. Tidball JG. 2005. Inflammatory processes in muscle injury and repair. American Journal of Physiology. 288: R345-R353. Tortora GJ, Derrickson B. 2009. Principles of anatomy and physiology. USA. John Wiley and Sons inc.
52
Tipton KD, Ferrando AA, Phillips SM, Doyle Jr, Wolfe RR. 1999. Postexercise net protein synthesis in human muscle from orally administered amino acids. Am J Physiol. 276: E628-634. Udani JK, Singh BB. 2009. Bouncebacktm capsules for reduction of doms after eccentric exercise : randomized, double-blid, placebo-controlled, crosover pilot studi. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 6 (14): 1-6. White JP, Wilson JM, Austin KG, Greer, John BK, Panton LB. 2008. Effect of carbohydrate-protein supplement timing on acute exercise-induced muscle damage. J Int Soc Sports Nutr. 5 (5): 1-7.
53 5. PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN TEMPE TERHADAP STRES OKSIDATIF SETELAH LATIHAN KEKUATAN PADA ATLET MAHASISWA ABSTRAK Latihan kekuatan berhubungan dengan peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS). Minuman tempe tinggi kandungan isoflavonnya yang dapat digunakan untuk menangkal efek dari ROS. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan pada atlet mahasiswa. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dengan metode double blind randomized controlled trial. Jumlah sampel keseluruhan adalah 18 orang, pria, usia 18-24 tahun dibagi ke dalam 3 perlakuan, dengan intervensi berupa a) minuman tempe (n=6), b) minuman whey (n=6), dan c) minuman plasebo (n=6). Subjek melakukan latihan kekuatan dengan squat, yang dibagi menjadi enam set dengan lima belas pengulangan dengan interval istirahat 2 menit antar set. Subjek melakukan latihan kekuatan dengan beban 75% dari kekuatan maksimalnya (1RM). Kadar malondialdehid (MDA) dan superoksida dismutase (SOD) diukur sebagai penanda tingkat stres oksidatif. Semua variabel diukur pada saat sebelum latihan dan pada 6, 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan kekuatan. Pemberian minuman tempe setelah latihan memberikan respon yang sama terhadap kadar MDA dan SOD bila dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu whey dan plasebo (P>0.05), akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan stres oksidatif. Kata kunci : latihan kekuatan, minuman tempe, stres oksidatif. Pendahuluan Olahraga merupakan aktivitas yang dapat memberikan manfaat terhadap kesehatan, agar mendapatkan manfaat yang optimal, olahraga harus dilakukan secara teratur dan tidak berlebihan. Selain untuk tujuan mendapatkan manfaat kesehatan, olahraga juga bertujuan untuk memperoleh suatu prestasi. Untuk mencapai tujuan prestasi, seorang atlet harus melakukan serangkain proses latihan yang panjang sampai dengan suatu pertandingan akan berlangsung. Latihan olahraga secara moderat adalah baik untuk kesehatan, tetapi jumlah latihan yang berlebihan akan menurunkan manfaat (Hayes 2008). Selama latihan sel terus memproduksi radikal bebas dan reactive oxygen species (ROS) sebagai bagian dari proses metabolisme. Radikal bebas ini dinetralkan oleh sistem pertahanan antioksidan yang rumit yang terdiri dari enzim seperti katalase, superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan berbagai antioksidan non enzimatik, termasuk vitamin A , E dan C, glutathione, ubiquinone, dan flavonoid. Latihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan, yang disebut sebagai stres oksidatif (Urso dan Clarkson 2003). Salah satu bentuk latihan fisik yang dilakukan atlet adalah latihan kekuatan. Latihan kekuatan terutama latihan eksentrik seperti latihan beban, latihan plyometric dan berlari kencang umumnya dapat menyebabkan kerusakan
54 otot. Kerusakan otot seperti robeknya sarkolema di beberapa serat otot, miofibril yang rusak, dan rusaknya garis z (Bean 2009). ROS dapat memperparah terjadinya kerusakan otot (Malm et al. 1999; MacIntyre et al. 2001). Aktivasi ROS dapat menyebabkan lisis membran sel otot (Tidball 2005), melalui peroksidasi lipid lanjut (Close et al. 2005). Menurut Cockburn (2010) bahwa peningkatan ROS setelah latihan merupakan peristiwa sekunder yang akan mempengaruhi kerusakan otot, di mana kerusakan otot dapat terjadi dengan dengan peningkatan kadar creatine kinase (CK). Menurut Urso dan Clarkson (2003) Latihan eksentrik, yang dikenal sebagai penyebab peradangan otot, berkontribusi terhadap peningkatan peroksidasi lipid mungkin karena reaksi makrofag dalam jaringan. Maughan et al. (1989) menyatakan bahwa peningkatan Malondialdehyde (MDA) 6 jam setelah downhill running, kembali ke tingkat awal pada 72 jam setelah latihan. Subyek dengan peningkatan yang besar pada penanda kerusakan otot seperti (yaitu CK, laktat dehidrogenase ) juga mengalami peningkatan yang besar dalam konsentrasi MDA serum. Menurut Close et al. (2004) ada peningkatan yang signifikan dalam produksi ROS pada 48-72 jam setelah latihan downhill running, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Eston et al. (1996) bahwa terjadi peningkatan ROS pada 96 jam setelah latihan downhill running. Tingginya radikal bebas dalam tubuh dapat disebabkan karena rendahnya aktivitas enzim antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang memberikan elektron atau reduktan sehingga dapat mencegah terjadinya radikal bebas melalui pencegahan reaksi oksidasi. Antioksidan endogen disentesa di dalam tubuh seperti superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase. Enzim SOD merupakan pertahanan pertama terhadap proses oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh dan aktivitasnya bergantung pada beberapa logam mineral Zn, Cu, Fe dan Mn (Utari 2011). Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat luas dan dapat dengan mudah diperoleh di pasaran dengan harga terjangkau. Tempe selain mengadung nilai gizi yang tinggi, tempe juga mengandung senyawa non gizi seperti isoflavon, isoflavon mempunyai aktivitas antioksidan, aktivitas ini berhubungan dengan peran isoflavon dalam menurunkan dampak dari radikal bebas. Tempe dapat diolah menjadi berbagai jenis masakan, antara lain tempe dapat dibuat menjadi minuman yang dikenal dengan minuman tempe. Menurut Jauhari et al. (2014) minuman tempe dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai minuman olahraga yang kaya akan antioksidan, minuman tempe mengandung 25.78 mg isoflavon per takaran saji. Oleh karena itu perlu dikaji lebih mendalam manfaat tempe terhadap enzim antioksidan (SOD), kadar MDA setelah latihan kekuatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan pada atlet mahasiswa. Metode Penelitian ini bersamaan dengan penelitian dengan judul pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan pada atlet mahasiswa (Jauhari et al. 2013). Minuman diberikan setelah latihan kekuatan sebanyak 600 ml dengan jumlah kalori yang sama (isokalori).
55 Minuman tempe per sajian mengandung kalori 438 kkal, karbohidrat 48 g, protein 23 g dan isoflavon 25.78 mg, whey mengandung kalori 438 kkal, karbohirat 48 g, protein 23 g dan isoflavon 0 mg, sedangkan plasebo mengandung kalori 438 kkal karbohirat 48 g, protein dan isoflavon 0 mg. Analisis Sampel darah Kadar MDA dan SOD diukur pada saat sebelum latihan dan pada enam, 24, 48 dan 96 jam setelah latihan kekuatan melalui pengambilan darah. Analisis MDA dan SOD dilakukan di laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sampel darah digunakan untuk analisis kadar MDA dan SOD. SOD diukur dengan menggunakan reagent merk Randox, prinsip kerjanya adalah Reaksi antara xantin dengan xantin oksidase untuk membentuk radikal superoksidase (O2o). Radikal superoksidase ini yang akan digunakan untuk mendeteksi SOD. Dalam peristiwa oksidasi akan terbentuk radikal superoksidase (O2o). Jumlah radikal superoksidase ini dideteksi dengan cara mereaksikan dengan regent dan menghasilkan formazen dye yang bisa terbaca pada kolorimetri. SOD akan mendesmutasi radikal superoksidase, dari penurunan jumlah radikal superoksidase itu yang digambarkan sebagai aktivitas SOD (Woolliams et al. 1983). Pengukuran MDA menggunakan spektrofotometer prinsipnya adalah bahwa dalam uji ini mereakasikan antara thiobarbituric acid (TBA) dan MDA, merupakan reaksi antara dua molekul TBA dengan satu molekul MDA yang akan menghasilkan produk berupa pigmen berwarna merah kemudian dibaca denga spektrofotometer dengan panjang gelombang 532 nm (Wills ED 1987). Analisis Data Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis of variance (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antara kelompok perlakuan dengan selang kepercayaan 95%, bila terdapat keragaman dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) taraf 5%. Hasil dan Pembahasan
Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap kadar MDA plasma Tingkat stres oksidatif dapat dideteksi salah satunya dengan menggunakan parameter MDA yang ada di dalam darah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah melakukan latihan kekuatan terjadi peningkatan kadar MDA pada 6 jam setelah latihan untuk semua perlakuan, pada kelompok minuman tempe terjadi kenaikan sebesar 0.018 nmol/mL, kelompok whey sebesar 0.087 nmol/mL dan kelompok plasebo sebesar 0.074 nmol/mL dibandingkan dengan kadar MDA sebelum melakukan latihan. Namun, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh pada kadar MDA (P>0.05), akan tetapi ada kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe menunjukkan kadar MDA yang paling rendah pada semua titik waktu pengamatan bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Gambar 7). Pada titik pengamatan 24 jam setelah latihan pada perlakuan minuman tempe kadar MDA lebih rendah bila dibandingkan dengan MDA pada saat sebelum melakukan latihan kekuatan. Hal ini menunjukan bahwa minuman tempe dapat
56 kembali ke tingkat awal lebih cepat yaitu 24 jam setelah latihan dibandingkan dengan perlakuan yang lain, walaupun tidak berbeda nyata (P>0.05).
Gambar 7 Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar MDA plasma subjek setelah latihan kekuatan Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap kadar SOD Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 6 jam setelah latihan, pemberian minuman tempe dapat meningkatkan aktivitas SOD subjek sebesar 47.2 U/ml, pada kelompok whey 12.31U/ml sedangkan pada kelompok plasebo terjadi penurunan sebesar -8.25 U/ml. Namun demikian analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan plasebo (P>0.05) (Gambar 8). Begitu juga pada titik waktu pengamatan yang lain perlakuan minuman tempe menunjukkan aktivitas SOD yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan plasebo. Penelitian yang dilakukan Chen et al. (2002) dengan pemberian isoflavon genistin selama empat minggu pada tikus yang melakukan latihan tidak berpengaruh terhadap kadar SOD bila dibandingkan dengan plasebo. Menurut Urso dan Clarkson (2003) bahwa latihan kekuatan dikenal sebagai penyebab peradangan otot, latihan kekuatan berkontribusi terhadap peningkatan peroksidasi lipid mungkin karena reaksi makrofag dalam jaringan. Beberapa studi melaporkan bahwa latihan dapat meningkatkan kadar MDA darah (Koska et al. 2000; Miyazaki et al. 2001). Marzatico et al. (1997) menyebutkan bahwa MDA plasma meningkat selama 48 jam setelah latihan jenis sprint pada sprinter dan segera setelah latihan daya tahan pada pelari maraton. Goldfarb et al (2011) melaporkan peningkatan signifikan dalam MDA hingga 72 jam setelah latihan yang melakukan latihan kekuatan dengan empat set dan 12 pengulangan dengan arm elbow flexors. Maughan et al. (1989) menemukan peningkatan MDA 6 jam setelah latihan kekuatan dan kembali ke tingkat awal pada 72 jam setelah latihan.
57
Gambar 8 Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar SOD eritrosit subjek setelah latihan kekuatan Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Chen et al. (2002) dengan pemberian isoflavon genistin selama empat minggu pada tikus yang melakukan latihan tidak berpengaruh terhadap kadar MDA otot bila dibandingkan dengan plasebo. Begitu juga penelitian yang dilakukan Lenn et al. (2002) yang memberikan 120 mg isolate kedelai selama 30 hari sebelum latihan dan seminggu setelah latihan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar MDA bila dibandingkan dengan plasebo. Isoflavon merupakan golongan fitokimia yang dapat berperan sebagai antioksidan, peran isoflavon dalam menangkal radikal bebas adalah melalui pemutusan rantai propagasi radikal bebas dimana hidroksi akan mendonorkan elektron atau hidrogen sehingga terjadi pembersihan (scavenging) atau penghalang (interceptor) terhadap radikal bebas. Isoflavon juga mempunyai kemampuan pemutusan rantai propagasi melalui pengikatan (chelating) ion metal transisi sehingga ion asing tersebut dapat dihilangkan dan efek prooksidannya dapat dihambat (Utari 2011). Menurut Hwang et al. (2000) isoflavon dapat menstabilkan struktur LDL yang rentan terhadap oksidasi dengan cara menangkap radikal bebas sehingga menjadi produk yang lebih stabil dan produksi lipid dapat dicegah. Isoflavon juga dapat mencegah reaksi berantai lebih lanjut sehingga pembentukan MDA menurun. Perubahan dalam aktivitas enzim antioksidan dalam eritrosit telah digunakan untuk melihat stres oksidatif. Enzim yang paling umum diperiksa setelah stres latihan adalah superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase. Fungsi SOD dalam sel sebagai antioksidan enzimatik salah satu dasar pertahanan terhadap radikal superoksida (Powers dan Lennon 1999). Peningkatan aktivitas enzim SOD sesuai dengan peningkatkan ketahanan terhadap stres oksidatif ( Fielding dan Meydani 1997). Antioksidan endogenous merupakan enzim yang dapat mencegah radikal bebas pada tahap inisiasi dan mengubah radikal bebas menjadi molekul yang
58 kurang reaktif. Menurut Rimbach et al. (2008) menyebutkan bahwa isoflavon berperan sebagai antioksidan melalui mekanisme penghambat oksidasi LDL, stimulasi aktivitas enzim antioksidan (SOD dan katalase) serta menginduksi sintesa glutation. Meningkatnya jumlah protein pembentuk enzim kemungkinan karena tingginya kandungan protein pada tempe. Superoksida dismutase (SOD) adalah enzim antioksidan yang merupakan pertahanan primer terhadap stres oksidatif karena SOD yang akan mengubah anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). SOD dapat mencegah radikal bebas pada tahap inisiasi dan mengubah radikal bebas menjadi molekul yang kurang reaktif. Enzim ini merupakan protein yang mengandung Cu dan memerlukan keberadaan mangan (Mn), seng (Zn) dan tembaga (Cu) untuk menjalankan fungsinya. Mekanisme peningkatan aktivitas SOD kemungkinan kerena peningkatan Cu, Fe dan Zn dalam tempe, di mana mineral-mineral tersebut merupakan kofaktor dan pengatur dalam sitosol (Gropper et al. 2009). Azadbakht et al. (2007) menjelaskan bahwa asam fitat pada tempe mengalami penurunan dibandingkan dengan kedelai, karena saat fermentasi terjadi hidrolisis asam fitat oleh fitase menjadi inositol dan 6 molekul asam fosfat. Asam fitat ini berperan mengikat Zn, Cu, Fe, sehingga penurunan kadar asam asam fitat akan mempertahankan kadar Zn, Cu dan Fe, sehingga penurunan kadar asam fitat akan mempertahankan kadar Zn, Cu dan Fe dalam tubuh serta mampu meningkatkan kapasitas antioksidan tubuh. Tidak berbedanya pengaruh perlakuan minuman tempe terhadap kadar MDA dan SOD bila dibandingkan dengan plasebo kemungkinan karena waktu pemberian yang hanya 5 hari dengan pemberian isoflavon sebanyak 25.78 mg. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Chen et al. (2002) dan Lenn et al. (2002) pemberian dilakukan selama 30 hari dengan pemberian isoflavon yang berasal dari kedelai. Walapun ke dua penelitian tersebut memberikan hasil yang sama dengan penelitian ini. Menurut Xu et al. (1994) dan (Wiseman 1999) bahwa antar individu mempunyai variasi bioavailabilitas isoflavon yang tinggi mungkin dikaitkan dengan keberadaan bakteri usus, yang diperlukan untuk degradasi isoflavon terkonjugasi menjadi bentuk aglikon untuk penyerapan. Sebagain besar isoflavon terdapat dalam hipokotil, isoflavon yang dominan adalah genistein dan daidzein yang umumnya dalam bentuk terikat (conjugates) (Wang dan Murphy 1994). Bahan pangan kedelai yang tidak di fermentasi (tahu) kaya akan βglucosida, sedangkan yang difermentasi (tempe) kaya akan aglikon yang disebabkan karena proses hidrolisis enzimatik selama fermentasi (Wang dan Murphy 1994). Bentuk aglikon secara aktif langsung diabsorbsi usus halus (Wolter 2004). Tempe sebagai bahan utama dalam pembuatan minuman ini mengandung isoflavon dalam bentuk aglikon yang bisa langsung dapat diabsorbsi dibandingkan isoflavon yang berasal dari kedelai. Dengan pemberian dalam waktu yang lebih lama kemungkinan akan memberikan pengaruh terhadap kadar MDA dan SOD. Penelitian yang dilakukan Utari (2011) pada wanita menopause yang memberikan tempe sebanyak 160 gram yang mengandung 49.3 mg isoflavon per hari selama empat minggu memberikan pengaruh terhadap kadar MDA dan SOD.
59 Kesimpulan Pemberian minuman tempe, whey dan plasebo memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap kadar MDA dan SOD, akan tetapi ada kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe menunjukkan kadar MDA yang lebih rendah dan kadar SOD yang lebih tinggi pada semua titik waktu pengamatan bila dibandingkan dengan plasebo.
DAFTAR PUSTAKA Azadbakht L, Kimiagar M, Mehrabi Y, Esmaillzadeh A, Hu FB, Willett WC. 2007. Dietary soya intake alters plasma antioxidant status and lipid peroxidation in postmenopausal women with the metabolic syndrome. British Journal of Nutrition. 98:807–813. Bean A. 2009. Sports Nutrition. London : Published by A & C Black Publishers Ltd. Cockburn E. 2010. Acute protein-carbohydrate supplementation: effects on exercise-induced muscle damage. Current Topics In Nutraceutical Research. 8: 7-18. Chen CY, Holtzman GI and Bakhit RM. 2002. High-genistin isoflavone supplementation modulated erythrocyte antioxidant Enzymes and increased running endurance in rats undergoing One session of exhausting exercise – A pilot study. Pakistan Journal of Nutrition. 1 (1): 1-7 Close GL, Ashton T, McArdle A, MacLaren, DPM. 2005. The emerging role of free radicals in delayed onset muscle soreness and contraction-induced muscle injury. Comparitive Biochemistry and Physiology. 142: 257-266. Close GL, Ashton T, Cable T. 2004. Eccentric exercise, isokinetic muscle torque and delayed onset muscle soreness: the role of reactive oxygen species. Eur J Appl Physiol. 91: 615–21. Eston RG, Pears J, Jackson M. 1996. Association between the production of thiobarbituric reactive substances (malondialdehyde) and markers of muscle damage induced by uphill and downhill running. J Sports Sci. 4:80. Fielding RA, Meydani M. 1997. Exercise, free radical generation, and aging. Aging Clin Exp Res. 9:12-18. Goldfarb AH. 1999. Nutritional antioxidants as therapeutic and preventative modalities for exercise-induced muscle damage. Can J Appl Physiol 24: 249-/266.
60 Gropper SS, Jack L Smith, James L. Groff. 2005. Advanced nutrition and human metabolism, fourth edition. USA. Thomson Wadsworth. Hayes DP. 2008. Nutritional Hormesis. European Journal of Clinical Nutrition. 61:147-159.
Hwang J, Alex Sevanian, Howard NH, Ursini, F. 2000. Synergistic inhibition of LDL oxidation by phytoestrogens and ascorbic acid. Free Radical Biological & Medicine. Vol 29:1: 79-89. Jauhari M, Sulaeman A, Riyadi H, Ekayanti I. 2013. Effect of administering tempeh drink on muscle damage recoveries after resistance exercise in student athletes. Pakistan Journal of Nutrition. 12 (10): 924-928. Jauhari M, Sulaeman A, Riyadi H, Ekayanti I. 2014. Pengembangan formula minuman olahraga berbasis tempe. Jurnal Agritech, siap terbit. Koska J, Blazicek P, Marko M, Grna JD, Kvetnansky R, Vigas M. 2000. Insulin, catecholamines, glucose and 52 M.L. Lenn J, Uhl T, Mattacola C, Boissonneault G, Yates J, Ibrahim W, And Bruckner G. 2002. The effects of fish oil and isoflavones on delayed onset muscle soreness. Medicine & Science In Sports & Exercise. MacIntyre DL, Sorichter S, Mair J, Berg A, McKenzie DC. 2001. Markers of inflammation and myofibrillar proteins following eccentric exercise in humans. European Journal of Applied Physiology. 84: 180-186. Malm C, Lenkei R. Sjodin B. 1999. Effects of eccentric exercise on the immune system in men. Journal of Applied Physiology. 86: 461-468. Marzatico F, Pansarasa O, Bertorelli L, Somenzini L, Della G. 1997. Blood free radical antioxidant enzymes and lipid peroxides following long-distance and lactacidemic performances in highly trained aerobic and sprint athletes. J. Sports Med. Phys Fitness. 37: 235-239. Maughan RJ, Donnelly AE, Gleeson M, Whiting PH, Walker KA, Clough PJ. 1989. Delayed-onset muscle damage and lipid peroxidation in man after a downhill run. Muscle Nerve. 12 (4): 332-336.
Miyazaki H, Oh-ishi S, Ookawara T, Kizaki T, Toshinai K, Ha S, Haga S, Ji LL, Ohno H. 2001. Strenuous endurance training in humans reduces oxidative stress following exhausting exercise. Eur. J. Appl. Physiol. 84 (1-2):1-6. Powers, SK, Lennon SL. 1999. Analysis of cellular response to free radicals: focus on exercise and skeletal muscle. Proc Nutr Soc. 58: 1025-1033.
61
Rimbach G, Christine Boesch-Saadatmandi, Jan Frank, Dagmar Fuchs, Uwe Wenzel, Hannelore Daniel, Wendy L Hall, Peter D. Weinberg. 2007. Dietary isoflavones in the prevention of cardiovascular disease – A molecular perspective. Food and Chemical Toxicology. 46:1308-1319. Tidball, JG. 2005. Inflammatory processes in muscle injury and repair. American Journal of Physiology. 288: R345-R353. Urso ML, Clarkson PM. 2003. Oxidative stress, exercise, and antioxidant supplementation. Toxicology. 189: 41-54. Utari, DM. 2011. Efek Intervensi Tempe Terhadap Profil Lipid. Superoksida Dismutase, LDL Teroksidasi dan Malondialdehyde pada Wanita Menopause (disertasi). Gizi Masyarakat Sekolah PascaSarjana, Institut Pertanian Bogor. Wang HJ and Murphy PA. 1994A. Isoflavone content in commercial soybean foods. J Agric Food Chen. 42: 1666-73. Wang HJ and Murphy PA. 1994B. Isoflavone composition of American and Japanese soybeans in Iowa: effect of variety, crop year, and location. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 42:1674-1677 Wills ED. 1987. Evaluation of lipid peroxidation in lipids and biological membranes. In: Snell K, Mullock B (ed). Biochemical Toxicology. A Practical Approach. Practical Approach Series, IRL Press, Oxford. Wiseman H. 1999. The bioavailability of non-nutrient plant factors: dietary flavonoids and phyto-oestrogens. Proc. Nutr. Soc. 58: 139-146. Wolters M and Hahn A. 2004. Soy isoflavones: a therapy for menopausal symptoms? Wien Med Wochenschr. 154:334-41. Woolliams JA, Wiener G, Anderson PH, Mcmurray CH. 1983. Research in veterinary Science. 34:253-256. Xu X, Wang H, Murphy PA, Cook L, Hendrick S. 1994. Daidzein is a more bioavailable soy milk isoflavone than is genistein in adult women. J Nutr . 124: 825-832.
62
63 6. PEMBAHASAN UMUM Pengembangan formula minuman olahraga berbasis tempe untuk pemulihan kerusakan otot telah berhasil mendapatkan produk minuman tempe dengan penerimaan sensori terbaik, yaitu dengan cara melarutkan tepung tempe dengan konsentrasi tepung tempe sebesar 7.31% dengan penambahan gula dan bubuk coklat. Dengan pengembangan produk ini, tempe tidak hanya bisa dinikmati sebagai lauk pauk atau kudapan biasa tetapi dapat dinikmati dalam bentuk minuman yang nikmat. Dalam setiap sajian minuman tempe (600 ml), mengandung 23 gram protein dan kandungan total asam amino rantai bercabang (BCAA) adalah 4161.6 mg, dengan susunan BCAA yaitu isoleusin, leusin dan valin, masing-masing adalah 1111.8 mg, 1922.7 mg, dan 1127.1 mg. Selain mengandung protein yang baik, minuman olahraga berbasis tempe juga mengandung energi sebesar 438 kkal serta kaya akan zat gizi lain seperti karbohidrat (48 gram), lemak (17.11 gram), mineral yang terdiri dari kalsium (72.92 mg), zat besi (9.46 mg), natrium (2.37 mg), magnesium (33,12 mg), klorida (21.30 mg) dan kalium (54 mg). Minuman tempe ini juga mengandung isoflavon sebanyak 25.78 mg. Melihat kandungan zat gizi dan isoflavon yang baik serta secara sensori dapat diterima, minuman tempe yang dihasilkan mempunyai potensi yang besar sebagai minuman untuk pemulihan kerusakan otot dan menurunkan stres oksidatif setelah latihan kekuatan. Minuman tempe dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif minuman olahraga yang mempunyai nilai gizi yang baik, rasanya nikmat dan harganya terjangkau. Minuman tempe dalam penelitian ini telah dikaji pengaruhnya terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Menurut Bompa dan Haff (2009) kekuatan otot merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan dalam berbagai cabang olahraga dan merupakan faktor yang penting dalam semua cabang olahraga yang didominasi kecepatan. Mengingat pentingnya kekuatan otot untuk keberhasilan prestasi suatu olahraga, maka perlu dilakukan latihan kekuatan untuk semua cabang olahraga. Dampak dari latihan kekuatan adalah terjadinya kerusakan jaringan otot yang dapat didefinisikan sebagai gangguan membran plasma disertai dengan kehilangan protein otot (yaitu CK, mioglobin, LDH, Aldolase, troponin), masuknya protein otot ke serum, peningkatan inflamasi infiltrat dalam serat otot (yaitu makrofag dan neutrofil), serangan nyeri otot tertunda, penurunan fungsional (kehilangan kekuatan), dan mungkin gangguan struktural seperti kekacauan garis Z sarkomer (Sorichter et al 1999; Warren et al 2001). Kerusakan otot yang terjadi setelah latihan kekuatan perlu segera dipulihkan karena akan mempengaruhi latihan berikutnya, yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap prestasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian minuman tempe secara nyata meningkatkan kekuatan otot dan menurunkan kadar CK yang lebih baik dibandingkan kelompok yang diberikan whey dan plasebo, terutama pada pengamatan 24 jam setelah latihan. Pada kelompok yang diberikan minuman tempe telah terjadi pemulihan kerusakan otot yang ditandai dengan terjadinya kemampuan kekuatan otot melebihi kemampuannya sebelum latihan yaitu sebesar 88.75±14.46 kg : 88.33±14.02 kg. Sebaliknya untuk kelompok whey dan plasebo belum terjadi pemulihan kerusakan otot yang ditandai dengan masih menurunnya
64 kekuatan maksimal dibandingkan dengan sebelum dilakukan latihan kekuatan yaitu sebesar 80.83±11.14 kg : 82.5±14.74 kg dan 78.75±12.32 kg : 83.75±15.05 kg. Kadar CK dalam serum menggambarkan tingkat kerusakan jaringan otot yang semakin parah, peningkatan kadar CK disebabkan kerusakan pada sarkolema yang menyebabkan keluarnya CK dari sel otot menuju sirkulasi darah (Tortora 2009). Pada pengamatan 24 jam setelah latihan, pada kelompok yang diberikan minuman tempe secara signifikan menunjukkan peningkatan kadar CK yang paling rendah yang menandakan terjadinya kerusakan yang paling kecil. Peningkatan kadar CK pada kelompok tempe, whey dan plasebo masing-masing yaitu 80.66±36.12 u/l, 124.50±54.01 u/l dan 192.33±103.71 u/l. Keadaan tersebut berkaitan dengan komponen-komponen yang lebih baik daripada whey dan plasebo. Pada minuman tempe mengandung asam amino BCAA yang tinggi juga mengandung asam amino arginin dan glutamin (asam glutamat). Menurut Nosaka (2007) bahwa kenaikan dalam ketersediaan asam amino, seperti arginin, glutamin dan BCAA penting dalam pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Ketersediaan asam amino perlu ditingkatkan untuk waktu tertentu sebelum atau setelah melakukan olahraga yang dapat mengakibatkan kerusakan otot. Kecukupan asupan protein diperlukan untuk pemulihan kerusakan otot. Pemberian asam amino eksogen setelah latihan meningkatkan sintesis protein sekaligus mengurangi pemecahan protein (Phillips 2004), suplementasi asam amino mempengaruhi besarnya kerusakan otot dan pemulihan. Protein makanan memiliki peran penting dalam mengatur metabolisme protein di otot rangka (Evan et al. 2001). Ketersediaan asam amino yang tinggi, terutama rantai asam amino bercabang (BCAA), adalah penting untuk sintesis protein pada jam-jam setelah konsumsi (Cooke et al. 2010). Ketersediaan asam amino penting untuk memaksimalkan efek anabolik dan meminimalkan efek kataboliknya setelah latihan (Gibala 2001; Phillips 2004). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Buckley et al. (2010) di mana konsumsi whey protein dengan kandungan protein 25 g setelah latihan kekuatan terjadi peningkatan pemulihan kekuatan otot pada 6 dan 24 jam setelah latihan, tetapi tidak mempengaruhi kadar CK dan nyeri otot. White et al. (2008) yang memberikan whey hanya satu kali setelah atau sebelum latihan kekuatan dengan jumlah protein 23 g tidak memberikan dampak nyata terhadap penurunan kadar CK, nyeri otot dan peningkatan kekuatan maksimal pada semua titik waktu pengamatan (6,24,48,72,96 jam). Latihan eksentrik seperti angkat beban mengakibatkan penurunan sementara dalam tingkat sintesis protein otot skeletal dan peningkatan tingkat degradasi protein (Fielding et al. 1991; Lowe et al. 1995). Perubahan dalam metabolisme protein mungkin menjadi faktor penyebab dari kerusakan ultra struktural yang diamati (Lowe et al. 1995), yang mengarah pada gangguan miofibrillar, kehilangan protein kontraktil dan berkurang integritas membran sel. Sebagai konsekuensi protein intramuskular dalam serum dan nyeri otot meningkat, dan fungsi otot berkurang. Dalam penelitian ini, konsumsi minuman tempe setelah latihan kekuatan kemungkinan besar meningkatkan pengiriman asam amino ke otot, sehingga menambah sintesis protein otot dan meminimalkan degradasi protein, sehingga menghasilkan pengurangan yang lebih kecil dalam
65 kekuatan dan pemulihan / atau lebih cepat yang diamati pada kelompok minuman tempe. Kerusakan otot rangka diklasifikasikan dalam dua tahap yang disebut kerusakan primer dan sekunder (Howatson et al. 2008). Kerusakan primer dibagi menjadi dua mekanisme: metabolik dan mekanik. Kerusakan metabolik telah diusulkan sebagai akibat dari iskemia atau hipoksia selama latihan yang panjang, yang mungkin mengakibatkan perubahan konsentrasi ion, akumulasi limbah metabolisme, dan kekurangan adenosin trifosfat (ATP) (Duncan 1987). Rangsangan mekanik, dapat menyebabkan kerusakan otot sebagai akibat langsung dari beban terlalu banyak pada serat otot atau keseimbangan yang tidak tepat dari variabel latihan yang dapat menyebabkan gangguan garis Z sarkomer (Howatson et al. 2008; Sorichter et al 1999; Warren et al 2001). Kerusakan sekunder dapat diwujudkan melalui proses yang terkait dengan olahraga yang dapat menyebabkan terganggunya homeostasis kalsium intraseluler dan respon inflamasi sistemik dan lokal (Duncan 1987). Latihan kekuatan yang terdiri dari kontraksi memanjang (eksentrik) dapat menginduksi kerusakan otot. Kerusakan otot terjadi ketika otot menerima stimulus fisik yang berlebihan. Dalam latihan dan olahraga, cidera otot yang disebabkan oleh trauma fisik, sehingga robek, memar, atau pecahnya serat otot, dan gangguan miofilamen (Nosaka 2007). Hal ini tidak sepenuhnya dipahami bagaimana gejala kerusakan otot yang diinduksi dengan latihan eksentrik, dan bagaimana pemanjangan kontraksi otot menyebabkan kerusakan otot. Namun, secara umum teori yang dapat diterima bahwa kejadian awal ini disebabkan oleh gangguan mekanik pada tingkat sarkomer, menyebabkan kerusakan membran plasma yang menghasilkan dalam penurunan kopling contraction excitation, yang merupakan penyebab utama hilangnya fungsi otot, dan gangguan regulasi Ca2+ dalam serat otot yang menyebabkan pemecahan protein dan membran setelah respon inflamasi (Armstrong et al.1991; Proske et al. 2001). Latihan meningkatkan sintesis protein, tetapi apakah itu menghasilkan peningkatan protein kontraktil otot dan / atau non-kontraktil adalah tergantung pada keseimbangan antara sintesis dan pemecahan protein. Keseimbangan protein otot (sintesis minus pemecahan) setelah latihan kekuatan adalah negatif, meskipun terjadi kenaikan dalam sintesis protein setelah latihan. Namun, sintesis protein distimulus oleh suatu pengiriman peningkatan asam amino ke otot (Tipton dan Wolfe 1998), dan kombinasi konsumsi asam amino dan latihan kekuatan menginduksi keseimbangan protein positif (Philips 2004). Peningkatan sintesis protein otot terus terjadi selama 48 jam setelah latihan kekuatan (Tipton dan Wolfe 1998). Menyediakan asam amino eksogen, terutama dalam 4 jam pertama setelah latihan kekuatan, meningkatkan sintesis protein, mengurangi pemecahan protein, dan menghasilkan keseimbangan protein yang positif (Biolo et al. 1995; Tipton et al. 1999), sehingga memberikan lingkungan untuk pertumbuhan otot. Shimomura et al. (2006) menyatakan bahwa stimulasi sintesis protein oleh leusin, dan penekanan pemecahan protein oleh BCAA, dapat menghasilkan efek yang menguntungkan dengan penurunan kerusakan otot. Suplementasi asam amino merangsang pengangkutan asam amino ke dalam otot rangka, dan pemberian asam amino eksogen, terutama BCAA, dalam beberapa jam setelah olahraga terjadi peningkatan sintesis protein sedangkan pemecahan protein berkurang (Wolfe 2000). Bohe et al. (2003) menyatakan bahwa sintesis protein
66 otot diatur oleh konsentrasi asam amino ekstraselular (darah) daripada intraseluler, dan bahwa sintesis protein meningkat ketika asam amino esensial dalam darah tinggi. Asam amino rantai bercabang (BCAA) yaitu leusin, valin, dan isoleusin merupakan asam amino yang penting bagi para atlet dan individu yang aktif, karena digunakan dalam metabolisme untuk energi dalam kerja otot. Selain itu, leusin memainkan peran penting dalam regulasi sintesis protein (Driskell 2007). Menurut Bean (2009) asam amino BCAA dapat meminimalkan pemecahan protein otot selama latihan intensitas tinggi. BCAA dapat membuat sebuah proporsi tinggi jaringan otot dan yang pertama dipecah untuk energi selama intensitas tinggi, latihan yang lama, sehingga apabila jumlah BCAA banyak maka semakin kecil kemungkinan akan memecah jaringan otot yang ada. BCAA dapat mempercepat perbaikan kerusakan otot setelah latihan. Asam amino diperkirakan memberi efek pelindung melalui mekanisme pencampuran langsung dan tidak langsung. Secara langsung, asam amino dapat menekan jalur yang bertanggung jawab atas gangguan garis z pada otot selama metabolik kascade yang dipicu oleh trauma mekanik (Helman 2003), sementara mekanisme tidak langsung berhubungan dengan pembentukan asam amino spesifik yang berasal dari metabolit, seperti β-Hydroxy-β- Methylbutyrate (HMB), ditunjukkan dalam studi dengan indeks kerusakan otot yang lebih rendah (Nissen et al. 1996). Teori utama pengaruh HMB adalah dengan meningkatkan integritas membran sel dengan menyediakan substrat yang memadai untuk sintesis kolesterol. Sudah jelas bahwa HMB dikonversi ke HMG-CoA dalam sitosol, yang dapat digunakan untuk sintesis kolesterol dalam sel (Nissen dan Abumrand 1997). Dalam semua sel, kolesterol diperlukan untuk sintesis membran sel baru serta perbaikan membran yang rusak dalam memelihara fungsi sel yang tepat dan pertumbuhan (Chen 1984; Dabrowski et al. 1980). Sel tertentu, seperti sel otot, membutuhkan sintesis de novo dari kolesterol untuk fungsi kolesterol sel. Oleh karena itu, selama periode stres yang meningkat pada sel-sel, seperti terjadi dalam otot selama latihan yang keras, permintaan untuk kolesterol untuk pertumbuhan atau perbaikan membran selular mungkin melebihi apa yang dapat dilakukan melalui produksi endogen yang normal dari tersedianya HMG-CoA seluler (Nissen 2007). Kombinasi protein /asam amino dan karbohidrat telah terbukti meningkatkan sintesis protein dan menghambat peningkatan dalam degradasi protein yang terjadi dari latihan (Rasmussen et al, 2000.; Bird et al, 2006;. Tang et al, 2007). Oleh karena itu, stimulasi yang kuat dari pengaruh protein dan karbohidrat yang dikonsumsi bersama-sama dapat meningkatkan perbaikan otot setelah kerusakan otot akut dengan meningkatkan turnover protein (Biolo et al. 1997; Phillips et al.1997.). Ini dapat mempertahankan dan / atau mengembalikan integritas struktural dan fungsi otot rangka (Betts et al, 2009), dan mengurangi kenaikan protein intramuskular dan nyeri, dan pengurangan dalam fungsi otot. Latihan kekuatan seperti latihan eksentrik tidak selalu menyebabkan kerusakan otot yang parah. Hal ini juga diketahui bahwa besarnya kerusakan otot yang kurang signifikan dalam latihan berikutnya dalam latihan eksentrik yang sama dibandingkan dengan awal latihan (Clarkson et al. 1992; McHugh 2003). Efek ini sering disebut sebagai efek latihan berulang, dan mendasari mekanisme adanya adaptasi dari saraf, mekanik, dan selular (Clarkson et al. 1992).
67 Dibandingkan dengan individu yang tidak terlatih, besarnya kerusakan otot yang lebih rendah dan pemulihan yang lebih cepat pada individu terlatih (Newton et al. 2007). Oleh karena itu besarnya kerusakan otot setelah latihan pada atlet tidak parah bila dibandingkan dengan yang bukan atlet. Namun, tampaknya bahwa kerusakan otot yang terjadi selama dan setelah bertanding atau latihan tetap terjadi pada batas tertentu, dan tetap penting untuk meningkatkan pemulihan dari kerusakan otot (Nosaka 2007). Minuman tempe dalam penelitian ini mengandung isoflavon sebesar 25.78 mg per sajian dan telah dikaji pengaruhnya terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan. Isoflavon berperan sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas yang dihasilkan selama dan setelah latihan kekuatan. Latihan kekuatan dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan, yang disebut sebagai stres oksidatif (Urso dan Clarkson 2003). Kerusakan otot dapat diperparah dengan hadirnya ROS yang berpotensi dapat menyebabkan kerusakan otot lanjut (Malm et al. 1999; MacIntyre et al. 2001). Radikal bebas sangat reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan mitokondria membran dan struktur sitoplasma melalui peroksidasi fosfolipid, protein dan nukleotida (Jenkins, 1993 dan Packer, 1997). Latihan olahraga berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan menyebabkan gangguan keseimbangan homeostatis prooksidan-oksidan intraselular. Ada beberapa sumber dan mekanisme pembentukan senyawa radikal selama latihan olahraga adalah peningkakatan suhu tubuh yang menyebabkan kehilangan cairan (hipohidrasi), kenaikan kalsium sitosol, mobilisasi dan aktivasi leukosit, proses inflamasi, pergeseran sirkulasi, paparan polutan udara selama latihan dan peningkatan sekresi adrenalin (Harjanto 2004). Menurut Belviranli dan Gokbel (2006) mekanisme pembentukan oksidan yang terkait latihan olahraga yaitu (1) Konsumsi oksigen meningkat beberapa kali lipat selama olahraga menyebabkan kebocoran elektron dari rantai transfer elektron mitokondria yang menghasilkan anion superoksida; (2) Xanthine dehidrogenase mengoksidasi hipoksantin menjadi xanthine dan xanthine menjadi asam uric dengan menggunakan NAD+ sebagai elektron aseptor membentuk NADH. Selama iskemia pada otot aktif, xanthine terbentuk melalui metabolisme anaerobik dari ATP dan xanthine dehidrogenase diubah menjadi xantin oksidase. Selama reperfusi, menghasilkan peningkatan oksigen, xantin oksidase masih mengkonversi hipoxantin menjadi asam uric, tetapi menggunakan oksigen sebagai elektron aseptor membentuk superoksida; (3) Kerusakan jaringan akibat latihan dapat menginduksi aktivasi sel-sel inflamasi seperti neutrofil kemudian memproduksi radikal bebas dengan NADPH oksidase; (4) Konsentrasi katekolamin meningkat selama latihan, dan ROS menyebabkan autooksidasi; (5) dengan peningkatan suhu tubuh selama latihan olahraga mitokondria otot menjadi tidak berpasangan dan membentuk superoksida; (6) terjadi Autooksidasi oksihemoglobin menjadi methemoglobin yang menghasilkan superoksida dan laju pembentukan methemoglobin dapat meningkat dengan olahraga. Kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung senyawa radikal bebas berikatan dengan membran lipid, protein struktural, enzim, RNA, dan DNA sel. Secara tidak langsung senyawa radikal bebas dapat mengakibatkan kerusakan tidak langsung karena MDA yang dihasilkan dari proses peroksidasi lipid menyerang gugus amino pada protein dan membentuk cross link intramolekul maupun antar molekul
68 protein sehingga terjadi penurunan fungsi membran sel yang mengakibatkan kerusakan struktural dan fungsional sel (Suarsana 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kadar MDA dalam plasma meningkat setelah subjek melakukan latihan kekuatan dengan squat dalam enam set dengan lima belas pengulangan baik pada kelompok minuman tempe, whey dan plasebo. Pada pengamatan 6 jam setelah latihan, terjadi kenaikan kadar MDA pada kelompok yang diberikan minuman tempe, whey dan plasebo masingmasing sebesar 0.018 nmol/mL, 0.087nmo/mL dan 0.074 nmol/mL (P>0.05), dan terlihat ada kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe menunjukkan kadar MDA yang paling rendah pada semua titik waktu pengamatan bila dibandingkan dengan kelompok whey dan plasebo. Kelompok minuman tempe rata-rata kadar MDA nya sudah mengalami pemulihan pada pengamatan 24 jam setelah latihan. Hal tersebut dapat terjadi karena peran isoflavon yang terdapat dalam minuman tempe. Isoflavon merupakan golongan fitokimia yang dapat berperan sebagai antioksidan, peran isoflavon dalam menangkal radikal bebas adalah melalui pemutusan rantai propagasi radikal bebas dimana hidroksi akan mendonorkan elektron atau hidrogen sehingga terjadi pembersihan (scavenging) atau penghalang (interceptor) terhadap radikal bebas. Isoflavon juga mempunyai kemampuan pemutusan rantai propagasi melalui pengikatan (chelating) ion metal transisi sehingga ion asing tersebut dapat dihilangkan dan efek prooksidannya dapat dihambat (Utari 2011). Pada penelitian secara in vitro, isoflavon yang tergolong kelas flavonoid dapat menghambat peroksidasi lipid melalui aktivitasnya sebagai free radical scavenger dengan cara menyumbangkan ion hidrogen kepada radikal bebas sehingga membentuk produk yang stabil (Hodgson et al. 1996). Isoflavon bereaksi dengan produk peroksidasi lipid lain seperti radikal peroksil (LOOº), radikal lipid (Lº) dan radikal lipid alkoksil (LOº) sehingga senyawa yang lebih stabil. Menurut Poljsak (2011) penurunan stres oksidatif dapat tercapai pada tiga level (1) penurunan paparan polutan dari lingkungan, (2) meningkatkan level antioksidan endogen dan eksogen atau (3) penurunan produksi stres oksidatif dengan menstabilkan dan mengefisienkan produksi energi mitokodria. Stres oksidatif endogen dapat dipengaruhi oleh dua cara yaitu dengan mencegah pembentukan ROS atau menurunkan ROS dengan antioksidan. Selain menghasilkan radikal bebas, latihan olahraga secara regular juga dapat meningkatkan level antioksidan endogenus seperti glutation yang dapat berpotensi dalam mengurangi efek negatif dari produksi radikal bebas selama berolahraga (Harris & Baer 2006). Enzim antioksidan mempunyai peran dalam mempengaruhi pembentukan radikal bebas melalui tahapan inisiasi dan propagasi. SOD dan katalase dapat menghambat fase awal dengan tidak mengaktifkan molekul prekursor penghasil ROS. Pada tahap propagasi glutation peroksidase mampu menangkap – OH dan lipid peroksida (Jeukendruo dan Gleeson 2004). Tempe diketahui juga mengandung enzim superoksida dismutase (SOD), yaitu suatu enzim yang dapat mengendalikan radikal bebas hidroksil yang sangat reaktif (Kumalaningsih 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok yang diberikan minuman tempe mengalami peningkatan kadar SOD yang lebih tinggi setelah melakukan latihan kekuatan bila dibandingkan dengan perlakuan whey dan plasebo. SOD merupakan enzim antioksidan yang mempunyai peran dalam
69 pertahanan primer terhadap stres oksidatif. SOD dapat mencegah radikal bebas pada tahap inisiasi dengan mengubah radikal bebas menjadi molekul yang kurang reaktif. Peningkatan ketersediaan Cu, Fe dan Zn dalam tempe diduga yang menyebabkan peningkatan aktivitas SOD, mineral-mineral tersebut berfungsi sebagai kofaktor dan pengatur SOD dalam sitosol (Gropper et al. 2009). Terjadinya peningkatan mineral tersebut karena selama proses fermentasi terjadi peningkatan enzim fitase yang menyebabkan menurunkan asam fitat sekitar sepertiga, asam fitat tersebut dapat mengikat mineral seperti Fe, Zn dan Cu (Sudarmadji dan Markakis 1978). Sehingga dengan menurunnya kadar asam fitat tersebut dapat meningkatkan ketersedian mineral Zn, Fe dan Cu yang dapat membantu fungsi SOD. Dalam pemulihan kerusakan otot peran protein khususnya asam amino BCAA sangat penting. Dalam minuman tempe selain mengandung asam amino BCAA yang tinggi, dalam minuman tempe mengandung komponen lain seperti isoflavon yang berperan dalam menghambat kerusakan otot melalui penghabatan pembentukan radikal bebas yang dihasilkan selama latihan kekuatan. Dibandingkan dengan mengonsumsi tempe dalam bentuk tempe goreng, keripik tempe, atau jenis masakan tempe yag lain, maka mengonsumsi tempe dalam bentuk minuman mempunyai kelebihan yaitu lebih mudah dicerna sehingga zat-zat gizi lebih cepat diserap. Selain itu jumlah yang dikonsumsi bisa lebih banyak karena dalam bentuk tepung mempunyai densitas kamba yang lebih kecil (tidak bulky), sehingga ketika mengonsumsi dengan volume yang sama, jumlah zat gizi yang dikonsumsi menjadi lebih banyak. Aktivitas fisik dapat menghasilkan panas di dalam tubuh, panas ini harus dihilangkan agar atlet dapat terus melakukan aktivitas. Kegagalan untuk menghilangkan panas akhirnya dapat menyebabkan heat stroke dan berpotensi terjadi kematian. Salah satu mekanisme utama untuk menghilangkan panas adalah dengan cara memproduksi keringat, keringat berperan mendinginkan tubuh ketika menguap dari kulit (Benardot 2006). Kehilangan cairan tubuh bisa sangat tinggi, jika cairan tersebut tidak diganti dengan cepat, akan terjadi dehidrasi Hal ini akan berdampak buruk pada kemampuan fisik dan kesehatan seperti dapat menurunkan volume darah dan meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan tekanan pada jantung, paru-paru dan sistem peredaran darah, yang berarti jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah keseluruh tubuh (Bean 2009). Produk ini tidak hanya sebagai sumber protein saja tetapi dapat memberikan manfaat yang lain yaitu untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang setelah latihan. Keringat yang keluar dari tubuh mengandung elektrolit (terutama natrium klorida tetapi juga kalium, kalsium, dan magnesium). Elektrolit tersebut membantu mengatur keseimbangan cairan antara kompartemen tubuh yang berbeda (misalnya, jumlah cairan di dalam dan di luar sel otot), dan volume cairan dalam aliran darah. Gerakan air dikendalikan oleh konsentrasi elektrolit pada kedua sisi membran sel. Misalnya, peningkatan konsentrasi natrium di luar sel akan menyebabkan air bergerak dari dalam sel keluar sel. Demikian pula, penurunan konsentrasi natrium akan menyebabkan air bergerak dari luar ke bagian dalam sel. Kalium menarik air melewati membran, sehingga konsentrasi kalium yang tinggi di dalam sel meningkatkan kadar air sel. Keunggulan yang lain dari produk ini adalah minuman tempe mengandung elektrolit yaitu natrium klorida kalium, kalsium, dan magnesium. Kandungan elektrolit per sajiannya adalah
70 natrium 2.37 mg, klorida 21.30 mg, kalium 54 mg, kalsium 72.92 mg, dan magnesium 33.12 mg. Keunggulan lain dari produk ini adalah harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan minuman olahraga yang biasa digunakan oleh atlet seperti whey protein. Biaya yang diperlukan untuk pembuatan minuman tempe persajiannya adalah sekitar Rp 5.000, sedangkan minuman whey protein adalah Rp 25.000.
Implikasi Hasil dan Keterbatasan Penelitian Protein, khususnya asam amino BCAA mempunyai peranan penting dalam mempercepat pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Strategi mempercepat pemulihan kerusakan otot tersebut dilakukan melalui pengembangan minuman sumber protein yang berasal dari pangan tradisional Indonesia yaitu tempe. Mudahnya diperoleh dengan harga terjangkau akan menjamin kontinuitas penyediaan sumber protein ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa tempe yang kemudian dibuat tepung dan dilakukan penambahan air, gula dan bubuk coklat akan tercipta produk minuman yang secara sensori dapat diterima dan mengandung protein dan asam amino BCAA yang tinggi serta isoflavon yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa minuman ini berpotensi dapat diterima oleh atlet sebagai minuman alternatif dalam mempercepat proses pemulihan kerusakan otot. Pembuatan minuman tempe ini relatif mudah dilakukan dan dapat dilakukan dengan skala rumah tangga. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada 24 jam setelah latihan, minuman tempe secara nyata mampu mempercepat pemulihan kerusakan otot khususnya pada kemampuan kekuatan otot yang ditandai dengan peningkatan kemampuan mengangkat beban dibanding sebelum latihan kekuatan. Selain itu minuman tempe lebih cepat dalam menurunkan kadar CK darah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kandungan isoflavon di dalam minuman tempe mempengaruhi tingkat stres oksidatif, ada kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe menunjukkan kadar MDA yang paling rendah pada semua titik waktu pengamatan bila dibandingkan dengan kelompok whey dan plasebo. Sedangkan untuk kadar SOD minuman tempe mengalami peningkatan kadar SOD yang lebih tinggi setelah melakukan latihan kekuatan bila dibandingkan dengan perlakuan whey dan plasebo. Produk ini tidak hanya sebagai sumber protein dan isoflavon saja tetapi dapat memberikan manfaat yang lain yaitu untuk mengantikan cairan tubuh yang hilang setelah latihan. Keterbatasan penelitian ini adalah bahwa selama pelaksanaan penelitian, terutama pada fase setelah latihan kekuatan subjek diminta untuk tidak melakukan aktivitas fisik yang berat, akan tetapi subjek tidak dikontrol secara ketat, hanya berdasarkan kejujuran dari subjek bahwa subjek tidak melakukan aktivitas yang berat. Begitu juga dengan kriteria inklusi subjek tentang penggunaan alkohol hanya berdasarkan pada kejujuran subjek. Parameter yang dapat berhubungan dengan rasa sakit yaitu tingkat stres atau emosi tidak diamati dalam penelitian ini.
71 7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Minuman tempe hasil terbaik didasarkan penambahan air sebanyak 600 ml pada tepung tempe sebesar 51 gram. kandungan gizi minuman olahraga berbasis tempe per sajian mengandung energi sebesar 438 kkal, 23 gram protein, asam amino BCAA 4161.6 mg, karbohidrat 48 gram, lemak 17.11 gram, kalsium 72.92 mg, zat besi 9.46 mg, natrium 2.37 mg, magnesium 33.12 mg, klorida 21.30 mg, dan vitamin B6 0.07 mg dan mengandung isoflovon sebesar 25.78 mg. Pemberian minuman tempe secara nyata menurunkan kadar CK dan meningkatkan kekuatan maksimal pada 24 jam setelah latihan. Ada kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe menunjukkan rasa nyeri otot dan kadar MDA yang lebih rendah dan kadar SOD yang lebih tinggi pada semua titik waktu pengamatan bila dibandingkan dengan perlakuan lain. Minuman tempe mempunyai potensi yang sangat baik sebagai minuman untuk pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan.
Saran 1. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) diharapkan dapat memfasilitasi penggunaan minuman olahraga berbasis tempe untuk digunakan atlet pada semua cabang olahraga. 2. Perlu dilakukan penelitian kaitan minuman tempe dan latihan daya tahan pada atlet. 3. Perlu dilakukan studi intervensi kaitan minuman tempe pada atlet wanita setelah latihan kekuatan.
72 DAFTAR PUSTAKA
Armstrong RB, Warren GL,Warren JA. 1991. Mechanisms of exercise-induced muscle fibre injury. Sports Medicine. 12 :184-207. Bean A. 2009. Sports Nutrition. London. Published by A & C Black Publishers Ltd 36 Soho Square. Belviranli M, Gokbel H. 2006. Acute exercise induced oxidative stress and antioxidant changes. Eur J Gen Med. 3: 126-131. Benardot D. 2006. Advanced Sports Nutrition. USA. Human Kinetics. Betts JA, Toone RJ, Stokes KA, Thompson D. 2009. Systemic indices of skeletal muscle damage and recovery of muscle function after exercise: Effect of combined carbohydrate-protein ingestion. Applied Physiology Nutrition and Metabolism. 34:773-784. Biolo G, Tipton KD, Klein S, Wolfe RR. 1997. An abundant supply of amino acids enhances the metabolic effect of exercise on muscle protein. American Journal of Physiology. 273: E122-E129. Biolo G, Maggi SP, Williams BD. 1995. Increased rates of muscle protein turnover and amino acid transport after resistance exercise in humans. Am J Physiol Endocrinol Metab. 268: E514-E520. Bird SP, Tarpenning KM, Marino FE. 2006. Independent and combined effects of liquid carbohydrate/essential amino acid ingestion on hormonal and muscular adaptations following resistance training in untrained men. Eur J Appl Physiol. 97:225-238. Bohé J, Low A, Wolfe RR. 2003. Human muscle protein synthesis is modulated by extracellular, not intracellular amino acid availability: a dose-response study. J Physiol. 532: 315-324. Bomba TO, Haff GG. 2009. Periodization, theory and methodology of training. United States of America. Human Kinetic. Buckley JD, Thomson RL, Coates AM, Howe PR, Denichilo MO, Rowney MK. 2010 Supplementation with a whey protein hydrolysate enhances recovery of muscle force-generating capacity following eccentric exercise. J Sci Med Sport 13(1): 178-81. Chen HW. 1984. Role of cholesterol metabolism in cell growth. Fed Proc. 43:126–130.
73 Clarkson PM, Nosaka K, Braun B. 1992. Muscle function after exercise-induced muscle damage and rapid adaptation. Med Sci Sports Exer. 24: 512-520. Cooke, Rybalka, Stathis. 2010. Whey Protein Isolate Attenuates Strength Decline After Eccentrically-Induced Muscle Damage in Health Individuals. Journal of International Society of Sports Nutrition. 7 (30): 1-9. Dabrowski MP, Peel WE, Thomson AE. 1980. Plasma membrane cholesterol regulates human lymphocyte cytotoxic function. Eur J Immunol. 10:821– 827. Duncan CJ. 1987. Role of calcium in triggering rapid ultrastructural damage in muscle: a study with chemically skinned fibres. J Cell Sci. (Pt 4):581-594. Driskell J. 2007. Sports Nutrition Fat and Protein. New York. CRC Press. Evans WJ. 2001. Protein nutrition and resistance exercise. Can J Appl Physiol. 26(Suppl):S141-152. Fielding RA, Meredith CN, O’Reilly KP, Frontera WR, Cannon, JG. and Evans WJ. 1991. Enhanced protein breakdown after eccentric exercise in young and older men. Journal of Applied Physiology. 71: 674-679. Gibala MJ. 2001.Regulation of skeletal muscle amino acid metabolism during exercise. Int J Sport Nutr Exerc Metab. 11: 87-108. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced nutrition and human metabolism, fourth edition. USA. Thomson Wadsworth. Harjanto. 2004. Pemulihan stress oksidatif pada latihan olahraga. Jurnal Kedokteran Yarsi. 12 (3): 81-87. Harris GK, Baer DJ. 2006. Antioxidants. Di dalam : Kohlstadt I, editor. Scientific evidence for musculoskeletal, Bariatric and Sports Nutrition. USA: CRC Press. Helman EE, Huff-Lonergan E, Davenport GM, Lonergan SM. 2003. Effect of dietary protein on calpastatin in canine skeletal muscle. J Anim Sci. 81:2199-2205. Hodgson JM, Croft KD, Puddey IB, Mori TA, Beilin LJ. 1996. Soybean isoflavonoids and their metabolic products inhibit in vitro lipoprotein oxidation in serum. J. Nutr. Biochem. 7:664-669. Howatson G, van Someren KA. 2008. The prevention and treatment of exercise induced muscle damage. Sports Med. 38(6):483-503. Jackman SR, Witard OC, Jeukendrup AE, Tipton KD. 2010. Branched-chain amino acid ingestion can ameliorate soreness from eccentric exercise. Medicine Science Sports Exercise. 42:962–970.
74
Jenkins RR. 1993. Exercise, oxidative stress, and antioxidants: a review. Int. J. Sport Med. 3: 356-375. Jeukendrup A, Gleeson M. 2004. Sport nutrition an introduction to energy production and performanec. New Zealand: Human kinetic. Kumalaningsih S. 2011. Antioksidan alami. Jakarta.Trubus Agrisarana. Lowe DA, Warren GL, Ingalls CP, Boorstein DB, Armstrong RB. 1995. Muscle function and protein metabolism after initiation of eccentric contractioninduced injury. Journal of Applied Physiology. 79:1260-1270. MacIntyre, DL., Sorichter, S., Mair, J., Berg, A. and McKenzie, DC. 2001 Markers of inflammation and myofibrillar proteins following eccentric exercise in humans. European Journal of Applied Physiology. 84: 180-186. McHugh, MP. 2003. Recent advances in the understanding of the repeated bout effect: The protective effect against muscle damage from a single bout of eccentric exercise. Scandinavian Journal of Medicine and Science in Sports. 13: 88-97. Malm C, Lenkei R. Sjodin B. 1999. Effects of eccentric exercise on the immune system in men. Journal of Applied Physiology. 86: 461-468. Newton M, Morgan GT, Sacco P. 2007. Comparison between resistance trained and untrained men for responses to a bout of strenuous eccentric exercise of the elbow flexors. J Strength Cond Res (In press). Nissen S, Sharp R, Ray M, Rathmacher JA, Rice D, Fuller JC Jr, Con-nelly AS, Abumrad N. 1996. Effect of leucine metabolite beta-hydroxy-betamethylbutyrate on muscle metabolism during resistance-exercise training. J Appl Physiol. 81:2095-2104. Nissen SL, Abumrad NN. 1997. Nutritional role of the leucine metabolite βhydroxy-β-methylbutyrate (HMB). J Nutr Biochem 1997; 8:300–311. Nissen SL. 2007. β-Hidroxy-β-Mathylbutyrate. Sports Nutrition fats and Proteins. Driskell JA, editor. New York. CRC Press. Nosaka K. 2007. Muscle damage and amino acid supplementation: Does it aid recovery from muscle damage. International SportMed Journal. 8: 54-67. Packer L. 1997. Oxidants, antioxidant nutrients and the athlete. J Sports Sci. 15: 353-363.
75 Phillips SM. 2004. Protein requirement and supplementation in strength sports. Nutrition. 20: 689-695 Phillips SM, Tipton KD, Aarsland A, Wolf SE and WolfeRR. 1997. Mixed muscle protein synthesis and breakdown after resistance exercise in humans. American Journal of Physiology, Endocrinology and Metabolism, 273: E99-E107. Poljsak B. 2011. Strategies for reducing or preventing the generation of oxidative stress. Oxidative Medicine and Cellular Longevity :1-15. Proske U, Morgan, DL. 2001. Muscle damage from eccentric exercise: Mechanism, mechanical signs, adaptation and clinical applications. Journal of Physiology. 537: 333-345. Rasmussen BB, Tipton KD, Miller SL, Wolf SE and Wolfe RR. 2000. An oral essential amino acid-carbohydrate supplement enhances muscle protein anabolism after resistance exercise. J Appl Physiol. 88: 386-392. Shimomura Y, Yamamoto Y, Bajotto G, Sato J, Murakami T, Shi-momura N, Kobayashi H, Mawatari K. 2006. Nutraceutical effects of branched-chain amino acids on skeletal muscle. J Nutr. 136:529S-532S Sorichter S, Puschendorf B, Mair J.1999. Skeletal muscle injury induced by eccentric muscle action: muscle proteins as markers of muscle fiber injury. Exerc Immunol Rev. 5:5-21. Suarsana IN. 2009. Aktivitas hipoglikemik dan antioksidatif ekstrak methanol tempe pada tikus diabetes (Disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sudarmadji S, Markakis P. 1978. Lipid and other changes occurring during the fermentation and frying of tempeh. Fd.chem:3. Tang, JE, Manolakos JJ, Kujbida GW, Lysecki PJ, Moore DR, Phillips, SM. 2007. Minimal whey protein with carbohydrate stimulates muscle protein synthesis following resistance exercise in trained young men. Applied Physiology Nutrition and Metabolism 32: 1132-1138. Tipton KD, Wolfe RR. 1998. Exercise induced changes in protein metabolism. Acta Physiol Scand. 162: 377-387. Tipton KD, Ferrando AA, Phillips SM, Doyle D Jr, Wolfe RR. 1999. Postexercise net protein synthesis in human muscle from orally administered amino acids. Am J Physiol. 276: E628-634. Tortora G. 2009. Principles of Anatomy And Physiology. John Wiley & Sons, Inc. All rights reserved.
76
Urso ML, Clarkson PM. 2003. Oxidative stress, exercise, and antioxidant supplementation. Toxicology. 189: 41-54. Warren GL, Ingalls CP, Lowe DA, Armstrong RB.2001. Excitation-contraction uncoupling: major role in contraction-induced muscle injury. Exerc Sport Sci Rev. 29(2): 82-87. White JP, Wilson JM, Austin KG, Greer BK, St John N, Panton LB. 2008. Effect of carbohydrate-protein supplement timing on acute exercise-induced muscle damage. J Int Soc Sports Nutr. 5 (5): 1-7. Wolfe RR. 2000. Protein supplements and exercise. Am J Clin. Nutr. 72: 551S557S.
77 Lampiran 1 Ethical Clearance
78 Lampiran 2 Bukti-bukti Publikasi bagian dari disertasi
79
80 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah Dosen pada Jurusan Olahraga Prestasi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta sejak tahun 2005. Dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah pada tanggal 15 Agustus 1974 sebagai anak ketujuh dari sembilan saudara dari pasangan Bapak Drs. Ahmad Suyuti dan Ibu Siti Murtinah (alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan Studi di program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia dan pada perguruan tinggi yang sama sejak tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari beasiswa program pascasarjana (BPPS) Kemeterian Pendidikan Republik Indonesia. Penulis juga mendapatkan bantuan berupa dana penelitian dari Dirjen Pendidikan Tinggi melalui Dana Program Hibah Disertasi Doktor. Selama mengikuti program S-3 penulis berkesempatan mengikuti Program Sandwich-Like di University of Adelaide Australia, yaitu pada bulan Oktober hingga Desember 2012. Publikasi ilmiah yang telah diterbitkan selama periode tugas belajar antara lain : 1) Effect Of Administering Tempeh Drink On Muscle Damage Recoveries After Resistance Exercise In Student Athletes pada Pakistan Journal of Nutrition Volume 12 Nomor 10 tahun 2013. 2) Artikel dengan judul Pengembangan Formula Minuman Olahraga Berbasis Tempe yang akan diterbitkan pada jurnal nasional terakreditasi pada Jurnal Agritech Volume 34 Nomor 3 pada bulan Agustus 2014. Hadir sebagai pemakalah pada The 3rd Internasional Seminar on PE, Sport & Health 2013 di Semarang. Penulis aktif sebagai ahli gizi di KONI DKI Jakarta sejak Tahun 2009sekarang, sebagai ahli gizi pada kontingen DKI Jakarta pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII 2012, juga sebagai ahli gizi pada Pekan Olahraga Pelajar Nasioanal (POPNAS) kontingen DKI Jakarta pada tahun 2013. Sebagai konsultan gizi di Pertamina Soccer School (PSS) Jakarta sejak Tahun 2012- sekarang. Penulis aktif sebagai pengurus cabang olahraga Cricket Provinsi DKI Jakarta sebagai Ketua Bidang Sports Science periode 2013-2017.