1
Pengembangan Materi Muatan Lokal Berbasis Budaya Di SD Kelas Tinggi: Kajian terhadap Aspek Budaya di Kota Kendari Oleh: Aris* L.M. Ruspan Takasi** *Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo **Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Terbuka Abstrak: Penelitian ini bertujuan: (a) mendeskripsikan aspek-aspek budaya yang ada di Kota Kendari dan (b) menemukan format materi pembelajaran yang disesuaikan dengan standar isi dan standar lulusan mata pelajaran muatan lokal kelas tinggi yang ada di Kota Kendari. Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada teknik analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) yang meliputi; reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang beragam etnik yang ada di Kota kendari menunjukkan kesamaan dalam aspek-aspek budaya. Kesamaan tersebut terdapat pada (a) asal-usul budaya, (b) asal-usul adat istiadat, (c) aneka kesenian, (d) seni tari, (e) aneka perayaan, rumah adat, (f) aneka permainan tradisional, (g) cerita rakyat. Aspek budaya-budaya tersebut dapat diangkat menjadi bahan pembelajaran Mulok di SD kelas rendah. Dengan demikian, bahan pembelajaran mulok ini dapat menjadi wahana yang efektif melakukan trasformasi nilai-nilai budaya daerah yang merupakan pilar-pilar budaya nasional yang diharapkan sebagai alat pemersatu bangsa. Kata Kunci: Bahan pembelajaran, mulok, aspek-aspek budaya, SD kelas tinggi.
PENGANTAR Kenyataan selama ini pembelajaran muatan lokal di sekolah dasar/madrasah tsanawiah (SD/MTs) di Kota Kendari masih terbatas pada bahasa daerah yang jauh dari pengalaman belajar anak. Selain itu, tidak terdapat buku paket muatan lokal (mulok) yang dijadikan acuan tetap oleh guru sehingga materi mulok tumpang tindih dengan mata pelajaran lain misalnya dengan materi pembelajaran Seni Budaya dan Kesenian. Padahal, mata pelajaran muatan lokal tidak dapat diperankan oleh mata pelajaran lain karena memiliki keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik. Berdasarkan hal di atas, melalui penelitian ini diharapkan tersusun materi muatan lokal yang merupakan representasi aspek-aspek budaya yang diangkat dari tradisi dan budaya etnik yang ada di Kota Kendari. Pentingnya penelitian ini di dasari pula oleh pembelajaran muatan lokal memiliki peran dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu materi yang sistematis yang sesuai dengan konteks pengalaman peserta didik dan guru. Dalam konteks penelitian ini pengalaman peserta didik dan guru ialah: (a) seni musik, (b) seni tari, (c) seni rupa, dan (d) Kerajinan tangan yang diangkat dari tradisi dan budaya yang ada di Kota Kendari. Pentingya mengangkat (a) seni musik, (b) seni tari, (c) seni rupa, dan (d) Kerajinan tangan dari tradisi dan budaya yang ada di Kota Kendari karena mata pelajaran muatan lokal memiliki sifat multikultural yang mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya yang ada di Kota kendari. Hal tersebut dimaksudkan untuk mebentuk sikap demokratis yang memungkinkan peserta didik hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk. Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini difokuskan pada hal-hal berikut. 1. Mendeskripsikan aspek-aspek budaya yang ada di Kota kendari. 2. Menemukan format materi pembelajaran yang disesuaikan dengan standar isi dan standar lulusan mata pelajaran muatan lokal kelas tinggi yang ada di Kota Kendari.
2
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk hal-hal yang berikut ini. 1. Mendeskripsikan secara mendalam aspek-aspek budaya yang ada di Kota kendari. 2. Menemukan format materi pembelajaran yang disesuaikan dengan standar isi dan standar lulusan mata pelajaran muatan lokal di sekolah dasar kelas tinggi yang ada di Kota Kendari. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini akan terakomodir potensi budaya yang beragam yang dimiliki oleh peserta didik. Perlakuan terhadap anak dalam keragaman budaya (multikultural) akan menimbulkan peluang tumbuhnya keragaman potensi yang selama ini hanya diukur dengan angka dan rangking berorientasi pada aspek akademik/kognitif. Penelitian ini akan bermanfaat pula mengantisipasi 10 tanda-tanda zaman yang perlu diwasapadai seperti yang dikemukakan oleh Lickona (1992: 12-22) yaitu: (a) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (b) membudayanya ketidakjujuran, (c) sikap fanatik terhadap kelompok (peer-group) dalam tindak kekerasan (d) rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (e) semakin kaburnya moral baik dan buruk, (f) penggunaan bahasa yang memburuk, (g) meningkatnya perilaku merusak diri seerti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, (h) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, (i) menurunnya ethos kerja (j) adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian antarsesama. STUDI PUSTAKA Hakikat Pembelajaran Muatan Lokal Linton (1945) mendefenisikan budaya sebagai suatu konfigurasi perilaku yang dipelajari atau konfigurasi perilaku yang diperoleh sebagai akibat saling berbagi dan menyebarnya unsur berbagai komponen melalui anggota dari suatu masyarakat tertentu (http://carla.acad.umn. Edu/culture.html). Pendapat Linton tersebut diperkuat oleh Kluckhohn dan Kelly (1945) yang mengatakan bahwa, “melalui budaya diciptakan disain-disain kehidupan, baik secara eksplisit dan implisit, rasional, irasional, dan nonirasional yang eksis pada beberapa kurun waktu sebagai potensi yang mengarahkan orang berperilaku (http://carla.acad.umn. Edu/culture.html). Dari dua definisi di atas, tampak bahwa budaya sebagai mekanisme awal kemanusiaan yang adaptif dapat diterapkan untuk memahami aspek unik kejadian-kejadian perilaku. Bronfenber (1992: 1) dalam pandangannya mengemukakan bahwa sekolah merupakan salah satu lingkungan makro yang berperan besar dalam membentuk perkembangan anak menuju masa dewasanya. Bronfenber mengistilahkan sekolah sebagai microsystem yang terkait dengan kelas, dan semua komponen yang berada di sekolah. Sejalan dengan hal itu, Vigotsky menyatakan bahwa sangat penting mengalirkan pesan budaya dalam proses pembelajaran di sekolah. Kontribusi budaya, interaksi sosial, dan sejarah dalam perkembangan mental individu sangat berpengaruh khususnya dalam perkembangan bahasa, membaca, dan menulis. Pembelajaran yang berbasis pada budaya dan interaksi sosial, mengacu pada perkembangan fungsi mental tinggi yang dikenal dalam teori Vigotsy “sosiohistoris-kultural” yang sangat berdampak terhadap persepsi, memori, dan berpikir anak (http://www.ibe.unesco.org, p.3). Vigotsky menganjurkan pula pentingnya melakukan interaksi sosiokultural ang menjadi sarana atau tools di dalam proses pembelajaran di sekolah. Pengalaman-pengalaman anak yang mempertemukannya dengan budaya inilah yang dapat dimanfaatkan untuk dapat meraih zone of proximal development. Budaya bangsa yang kaya akan nilai-nilai luhur dalam tatanan hidup bermasyarakat yang mestinya dapat diintegrasikan ke dalam proses pendidikan di sekolah agar anak tidak tercabut dari kondisi kehidupan sehari-hari masih sering diabaikan di dalam proses pembelajaran. Ajaran dan pandangan hidup orang yang diturunkan oleh nenek moyang mereka dengan kandungan nilai-nilai kebajikan yang tinggi seperti rasa hormat dan santun, kejujuran, keadilan, kepedulian, gotong royong, kepemimpinan, toleransi, respek, keluruhan budi pekerti, kreativitas, dan estetika yang mestinya apat diintegrasikan dalam kurikulum yang ada tidak dihimpun dan dialirkan untuk membangun perilaku/moral peserta didik di sekolah. Kebhinekaan nilai-nilai bangsa yang kaya dalam kandungan moral dan kebajikan untuk membentuk individu-individu dengan berlatar budaya tidak dapat menampilkan jatidirinya secara unik dan utuh. Sekolah dengan kreativitas dan inovatif dapat mendisain dan mepertemukan beragam budaya
3
yang ada dan dibawa masing-masing anak sesuai dengan latar belakang mereka yang beragam dapat berdaptasi terhadap “mainstream culture” yang ada jika kontens persfektif etnik sebagai proses mepersepsi perilaku nilai-nilai kelompok dalam konteks “microculture” tidak dipedulikan. Apabila hal itu tidak diabaikan maka ada kebutuhan tertentu dalam diri anak yang tidak dapat terpenuhi (Semiawan, 2004). Hakikat Budaya dalam Pendidikan Konvensi budaya di Eropa tahun 1994 memandang pendidikan multikultural sebagai conditio sine qua non yang dapat membingkai secara legal konsep “learning to live in democratic society sehingga akan memunculkan perilaku yang penuh tanggung jawab, dapat mengelola konflik dengan baik sehingga dapat hidup dengan penuh kedamaian, konvensi tersebut berpandangan bahwa kehidupan abad ke-21 merupakan kehidupan yang penuh dengan perbedaan. Oleh seba itu, dibutuhkan suatu kemampuan yang dapat mengatasi hal-hal ambigu dan saling bertentangan. Pendidikan multikultural mencoba mempersiapkan generasi muda agar dapat hidup dalam segmen yang tinggi, multifacet, multilingual, dan mendorong mekarnya pemahaman yang tinggi akan berbagai konsep budaya karena kenyataannya banyak layar lapis budaya yang mesti diungkap. Semiawan menegaskan bahawa tujuan utama pendidikan multikultural ialah mengubah (transformasi) berbagai pendekatan belajar, mengubah konseptualisasi dan organisasinya sehingga setiap individu dan berbagai kultur memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dalam lembaga pendidikan. Para pendidik sendiri merasa penting untuk menyadari tingkat identifikasi peserta didik dengan kelompok serta sampai seberapa jauh terjadi sosialisasi untuk dapat memahami, menjelaskan dan meramalkan perilakunya agar ia terlayani dan meramalkan perilakunya agar ia terlayani dengan baik di kelasnya. Dalam konteks penelitian ini pendidikan multikultural dibatasi sebagai suatu proses pembelajaran yang menampilkan alam bermasyarakat yang plural dan saling belajar menghargai warisan luhur etnik budaya masing-masing (mikrokultur-mikrokultur) yang ada Adengan dengan memiliki kebajikan dasar (basic godnes) yang universal dan dijalani dalam kehidupan sehari-hari (common values) sebagai kekuatan untuk dapat menjalin suatu keharmonisan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan masyarakat ‟kampung dunia‟. Batasan tersebut mencoba memasyaratkan isu act locally and think globally (berperilaku budaya setempat dan berpikir global). Artinya, materi kurikulum kandungan lokal yang dimiliki mikrokultur-mikrokultur dari berbagai etnik yang ada di Kota Kendari mesti lebih diberdayakan. Dari kokohnya kandungan lokal itulah kelak pendidikan multikultural akan tumbuh berkembang secara signifikan dan bermakna. Hakikat Pendekatan Pembelajaran di Sekolah Dasar Kelas 2 Pelaksanaan pembelajaran bagi anak Sekolah Dasar harus memiliki daya tembus indrawi dan fleksibel (Elkind, 1987: 143). Anak tidak mengorganisasikan pikiran dan pengetahuan mereka secara terkotak-kotak dalam bentuk mata-mata pelajaran yang kaku dan steril seperti pada mata pelajaran membaca, mate-matika, sains, dan seni. Anak akan lebih muda menangkap suatu proses pembelajaranmelalui aktivitas proyek secara terpadu dan holistik yang bagian-bagiannua dibingkai dalam suatu kesatuan yang utuh. Sejalan dengan hal itu Dewey menambahkan bahwa belajar bagi anak berusia 7-8 (setingkat kelas 2 sekolah dasar) bagaikan sebuah pengembaraan (Wetsbrook, http://www.ibe.unesco.org:3). Mereka sangat tertarik dengan pelajaran yang terfokus pada petualangan. Apabila program pembelajaran dilakuakan secara sistematis dan fleksibel yang mencelupkan anakdalam suatu pengembaraan pengetahuan yang tiada terhingga maka terjadilah keingintahuan yang besar dalam pergelutan pikiran dan perasaan yang dikenal dengan istilah curiosty, yaitu proses pembelajaran dikonstruk dari dalam diri anak sendiri secara terusmenerus. Maka, saat itulah anak merasakan tahapan ”industry” muncul pada dirinya yang memunculkan sejumlah kompetensi.
4
METODE PENELITIAN Jenis penelitian Penelitian ini berbasis pada pendekatan kualitatif, dengan demikian, penelitian ini mampu menghasilkan suatu uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau suatu organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Teknik Pengumpulan data Pengumpualan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview); dokumentasi (documentation); dan observasi (observation). Untuk menjamin validitas data yang diperoleh dari para responden, dilakukan teknik triangulasi sumber dari para informan sampai pada titik jenuh yaitu suatu kedaan dimana data yang diperoleh relatif sama. Metode triangulasi ini menjadi metode satu-satunya yang diandalkan dalam penelitian ini untuk menjamin validitas data yang diperoleh. Teknik Analisis data Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada teknik analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) yang meliputi; reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/penarikankesimpulan. Hasil Penelitian Aspek-Aspek Budaya Pada Etnik Yang Ada Di Kota Kendari Budaya Masyarakat Tolaki Masyarakat Tolaki memiliki aneka kesenian dalam bentuk seni sastra: (a) Onanggo (Dongeng), (b) Tula-tula (Kisah), (c) Kukua (Silsila), (d) Pe‟oliwi (Pesan-pesan Leluhur). Adapun yang berbentuk puisi adalah: (a) Telenango (Syair yang Dilagukan), (b) Kinoho/lolama (Pantun), (c) O doa (Mantera), (d) Singguru (Teka-teki), (e) Bitara Ndolea (Perumpamaan) Pada masyarakat Tolaki juga mengenal seni tari yang dinamakan: (a) Tari Lulo, (b) Tari Umoara (Tari Perang), (c) Tarian Mondotambe (Tarian Penyambutan), sedangkan seni kerajinan berupa Moana (anyaman). Adapun yang berkaitan dengan perayaan berbentuk: (a) Upacara pada saat kelahiran anak yang disebut dengan mekui (potong rambut), (b) Upacara Adat di antaranya penyerahan Kalo Sara, (c) Upacara Menanam Padi (Monahu Ndau). Untuk rumah adat atau Rumah tinggal masyarakat Tolaki berbentuk rumah panggung dan berbentuk persegi empat panjang. Adapun bagian-bagiannya disebut: (a) Otusa (tiang rumah), (b) Powuatako (tempat pemasangan lantai), Ohoro, yakni lantai yang terbuat dari bambu, (c) Orini (dinding), (d) Otambo (pintu), (e) Lausa (tangga rumah), (f) Olaho (tempat atap dipasang), dan (g) Oata (atap rumah). Adapun aneka aneka permainan tradisional dikenal dengan nama (a) Celle (2)Masamba-samba Ulu, (c) Tingko, (d) Mengenai cerita rakyat yang paling dikenal pada masyarakat Tolaki ialah cerita rakyat yang berjudul Oheo Budaya Masyarakat Muna Upacara Adat Masyarakat Muna Salah satu bentuk upacara yang dikenal pada masyarakat Muna ialah uoacara adat karia. Karia dimaksudkan untuk membentuk pPemmebentukan diri melawan musuh terbesar dalam hidupnya yaitu hawa nafsu. B. Kesenian Tradisional Salah satu seni tari yang populer pada masyarakat Muna ialah tari linda. Saat ini tari Linda tidak hanya dipakai pada saat upacara adat seperti karia, tetapi juga sudah menjadi ikon daerah Muna di beberapa festival yang dijadikan rangkaian lomba yang digelar saat perayaan-perayaan. Untuk seni ukir, masyarakat Muna memiliki berbagai jenis ukiran yang terbuat dari kayu jati (gembol). Beragam kerajinan seperti meja, kursi, jam dinding, hingga ukiran kuda sebagai simbol daerah Muna. Khusus permainan tradisional pada masyarakat Muna dikenal Kaghati yang merupakan layang-layang tradisional yang bahannya terbuat dari daun ubi hutan rangkanya terbuat dari bambu. Kalego adaalah permainan ini biasanya dilakukan di sebuah lapangan kecil (tana lapa) yang dimainkan oleh perempuan dan lelaki, Dopohule atau gasing‟. Permainan ini merupakan jenis
5
permainan tradisional musiman bagi sebagian masyarakat Muna. Dopobhinte Permainan ini memanfaatkan kulit kerang, batu, dan bambu belah sebagai alat permainannya. Pemenang pada permainan ini ditentukan dari banyaknya kulit kerang yang dikumpulkan. Permainan doposubha menggunakan media kayu sebagai alat. Kayu dipotong dengan dua bagian. Pertama, induknya (dinamai Ibu), kayu dipotong lebih panjang dari bagian kedua yaitu sebagai anak yang ukurannya sejengkal tangan. Bila sudah didapatkan dua bagian kayu, selanjutnya digali tanah tetapi tidak agak dalam karena sifatnya hanya sebagai penyanggah anak kayu. E. Pakaian Adat Pakaian adat masyarakat Muna masih dijumpai pada pakaian pengantin. pengantin misalnya terdiri atas baju Bhadhu Kopo (Baju Dasar), Balahadhadha (Baju Luar), Salapandi (Celana Panjang) sarung, Botu dan Ledha (sarung)dan celana. Adapun pada pakaian Pengantin Wanita terdiri dari baju kombo, biabia (sarung), dan selendang. Rumah Adat Masyarakat Muna Rumah adat masyarakat Muna atau rumah tempat tinggal yang disebut lambu yang artinya tempat berlindung dari panas/dingin, gangguan binatang buas (jahat), serta tempat untuk melaksanakan segala kegiatan kehidupan lainnya. Rumah adat masyarakat Muna yang menjadi tempat tinggal, umumnya terdiri atas bagian-bagian yang sebagian masyarakat Muna dikenal adalah: (a) sandi merupakan tempat bertumpunya tiang rumah, (b) katumbulao, tiang utama yang duduk pada sandi yang berbentuk segi empat atau bulat, (c) garaga, (d) garaga merupakan kayu-kayu yang dipasang pada bagian bawah sebagai tempat tumpuan lantai, (e) hale (lantai), (f) palengku (tangga rumah), (g) karondomi (dinding), (h) kantee merupakan pembatas yang dipasang pada pintu, (i) kalonga dan dhanila merupakan celah atau jendela berbentuk segi empat, layaknya rumah-rumah pada umumya, (j) ghato (atap), (k) ghilei (Layang-layang Rumah), (l) kawuwu (bumbungan rumah), dan (m) saho sebagai tempat atap dipasang. Aneka Makanan Tradisional Masyarakat Muna Masyarakat Muna memiliki aneka makanan tradisional yang khas yaitu kolope, katumbu, kahogo-hogo/kabuto, kambeweno kahitela, kaparende kaliwu meliura, sirkaya kahitela. Perayaan Masyarakat Muna Aneka perayaan yang masih menjadi tradisi/warisan budaya yaitu tobheha (acara panen padi/jagung), kaago-ago (acara membuka lahan baru), kampua (acara potong rambut), katisa (musi, tanam), weano wamba (hajatan), dan sebagainya. Cerita trakyat yang sangat dikenal pada masyarakat Muna ialah, La Sirimbone, Wa Bunga Bansa Patola dan Wa Sama Samamparia, dan masih banyak lagi cerita lainnya. Berikut salah satu cerita daerah dari daerah Muna. Budaya Masyarkat Buton Aneka Kesenian Tradisonal Masyarkat Buton Pada masyarakat Buton dikenal seni musik anabati yang merupakan salah satu bentuk seni musik yang ada pada masyarakat Buton. Anabati merupakan musik tunggal karena tidak terdapat instrumen musik lain yang melengkapinya. Begitu pula dengan pemainnya, alat musik ini hanya dimainkan hanya satu seorang. Musik anabati hanya merupakan pengantar lagu saja. Musik anati hanya dimainkan sebagai pendahuluan. Selain itu ada pula kaganda-ganda mbite yang merupakan merupakan orkes tradisional di daerah Kabupaten Buton. Instrumen musik ini merupakan instrumen musik satu-satunya (tunggal) di dalam orkestra tersebut. Pemain musik Kaganda-Ganda Mbite dalam memainkan orkes itu, duduk berjongkok menghadap penari-penari lulo. Adapun seni tari dikenal tari ando-ando. Dari segi fungsinya, tarian ini merupakan tari pemujaan yang mengandung unsur kepercayaan, di samping tujuan umumnya sebagai tari hiburan (bukan pergaulan). Gerakan-gerakan dalam tari ini sangat sederhana dan dianggap sekunder, sebab yang pokok dan utama dalam tarian ini ialah ucapan doa (mantera) dari penari-penarinya. Selain itu, dikenal pula tari kalegoa
6
tari tersebut mengandung suatu pengertian sebagai suatu tari berlenggang. Tari ini juga dihubungkan dengan upacara posuo (pingitan). Tari lain yang dikenal ialah tari lumense. Tarian ini dinamakan lumense karena gerakan penarinya laksana seorang yang sedang mengamuk dengan memegang pedang di tangannya. lumense digolongkan sebagai tarian ritual karena dilakukan untuk menyembuhkan penyakit. Jenis Permainan Tradisional Masyarkat Buton Jenis permainan tradisional yang dikenal oleh masyarakat Buton ialah gasing, england, bente, boi, dan tombo. Gasing merupakan salah satu jenis permainan rakyat yang dikenal oleh masyarakat Buton. Gasing terbuat dari kayu keras kemudian dibuat sedemikian rupa dengan ukuran panjang berkisar 10 cm dan berdiameter + 5 cm. Permainan ini dimainkan oleh anak-anak. Cara memainkan permainan ini ialah bagian tengah kayu dililitkan dengan tali lalu dilemparkan sekuat mungkin dengan posisi vertikal ke tanah. Permainan england dimainkan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Permainan ini dilakukan secara individu. Badan dalam posisi tegak. dibutuhkan kecepatan gerakan hingga dapat pada akhir finis, Kecepatan dan kekuatan sangat dibutuhkan dalam permainan ini terutama untuk mengangkat beban. Adapun bente, dilakukan secara beregu yang masing-masing regu beranggotakan 5 sampai dengan 8 orang. Cara melakukan permainan ini ialah peserta tiang pertama harus memancing/menyerang lebih dahulu agar peserta tiang yang kedua mengejar peserta tiang pertama yang meninggalkan tiang. Boi, salah satu permainan yang dilakukan secara berkelompok yang masing-masing regu beranggotakan 2 sampai dengan 5 orang. Permainan ini dilakukan oleh 2 orang dari anggota kelompok pertama harus menjaga 2 arah untuk melempar bola kertas (sekarang menggunakan bola kasti). Tombo merupakan permainan yang dilakukan antara 2 sampai dengan 3 orang. Alat yang digunakan dalam permainan ini ialah biji asam. Biji tersebut tersebut harus dimasukkan ke dalam lubang yang sudah disiapkan khusus tergantung lawan menunjuk bagian mana di antara biji asam tersebut, di belakang, di tengah, atau depan maupun samping. Sedangkan biji asam yang digunakan dalam permainan ini tidak dibatasi tergantung kesepakatan peserta berapa yang harus disimpan di dekat lubang tersebut. Aneka Adat Masyarkat Buton Pakaian adat masyarakat Buton tergambar pada pakaian pengantin pria yang disebut balahadada atau baju belah dada karena baju tersebut tidak berkancing sehingga si pemakai dapat kelihatan dadanya. Kampurui (destar pengantin) disebut kampurui pelangi karena warna destar tersebut cenderung berwarna pelangi. Pakain ini semacam penutup kepala yang terbuat dari kain berbagai warna yang dililitkan atau diikatkan sedemikian rupa pada kepala sehingga menutupi kepala. Sala Arabu (Celana) Masyarkat Buton Celana pengantin pada masyarakat Buton disebut sala arabu, artinya celana arab. Celana ini merupakan pasangan dari baju balahdada sehingga bahan dan warna serta hiasan yang melekat pada celana sama dengan hiasan yang melekat pada baju. samasili umbaea (sarung) merupakan sarung khas tenunan buton yang bermotif kotak-kotak putih dengan dasar hitam. Benang putih yang membentuk kotak-kotak adalah benang perak yang dikenal dengan nama kumbaea. bia ogena (sarung besar), dilihat dari segi bentuknya bia ogena tidak berbentuk sarung tetapi menyerupai selendang yang terbuat dari kain sutra berwarna polos dan tidak berjahit. Adapun pakaian pengantin wanita dikenal dengan nama baju kombo (baju pengantin). Bentuk potongan baju kombo berbeda jauh dari potongan baju pada umumnya. Hal tersebut terlihat jika baju kombo direntangkan maka membentuk sebuah bidang yang berbentuk bujur sangkar. Punto (sarung pengantin wanita) merupakan sarung berhias khusus digunakan untuk pengantin wanita etnis Buton. Berbeda dengan bia ogena yang terdapat pada pengantin pria, bia ogena pada pengantin wanita berbentuk sarung yang dijahit bersusun dengan berbagai warna seperti putih, merah, biru, kuning. Bia ogena merupakan lapisan terbawah dari busana pengantin wanita yang ujung sarung turun sampai ke ujung tumit. Rumah Adat Masyarkat Buton Rumah adat Buton merupakan bangunan di atas tiang. Seluruhnya terbuat dari kayu. Bangunannya terdiri atas empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai
7
kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya. Namun demikian, di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan rumah tidak memakai paku, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Aneka Makanan Tradisional Masyarkat Buton Makanan pokok bagi masyarakat buton ialah: (a) kagili, dan (b) hugu-hugu. Adapun lauk pauk tradisional pada masyarakat Buton ialah: (a) ikane iidole, (b) nasu wolio/molo, (c) kasiuna kaholeo, (d) kasiuna kamba-kamba kapayea, dan (e) parendena kondowua te melana. Aneka Perayaan Masyarkat Buton Pesta adat pekande-kandea berarti makan. Pakande-kandea merupakan suatu acara tradisional yang merupakan warisan leluhur suku Buton dan bermula sebagai nazar atau syukuran. Tradisi ini sangat unik karena disajikan berbagai panganan/makanan kecil tradisional yang diletakkan di atas talang besar yang terbuat dari kuningan yang ditutup dengan tudung saji busaran. Tradisi posuo (pingitan) merupakan salah satu tradisi yang ada pada masyarakat Buton yang masih tetap hidup dan dilestarikan hingga saat ini. Pingitan merupakan adat, dimana setiap anak perempuan yang memasuki usia remaja diwajibkan ikut tradisi tersebut selam delapan hari delapan malam. Haroa merupakan acara rasa syukur kepada Sang Pencipta dengan mengadakan acara makanmakan. Haroa sering dilaksanakan masyarakat suku Buton agar terhindar dari segala penyakit dan banyak rezeki. Lawati berarti „terima‟ yang dimaksudkan ialah gadis yang sudah jadi mantu diterima pihak lakilaki dan dibawa ke rumah pihak laki-laki yang melaksanakan pesta adat-istiadat. Bongkana tao dimaksudkan sebagai acara pembukaan tahun. Bongkana tao tersebut diadakan pada awal bulan pada tahun baru. Acara tersebut menyajikan berbagai macam makanan khas Buton yang mana diletakkan di atas meja atau di dalam talang. Cerita rakyat yang terkenal pada masyarakat Buton ialah Samboka-mboka di Kaledupa yang bercerita tentang asal muasal sebuah batu yang terdapat di atas bukit yang bentuknya seperti rambut manusia yang terurai.” BUDAYA MASYARAKAT BUGIS Masyarakat Bugis sendiri mengenal masa lampau mereka melalui manuskrip yaitu: manusrip anonima yang secara berturut-turut dapat disebut sebagai mitosa/epos dan teks sejarah/kronik. Jenis pertama berbentuk sebuah karya sastra beisi cerita bersyair, yang dinamakan sure’ galigo oleh orang Bugis, sesuai dengan nama seorang tokoh utama cerita tersebut, yakni La Galigo. Adat Istiadat Masyarakat Bugis Masyarakat Bugis terkenal dikenal dengan budaya siri’ dan pesse’. Siri’ yaitu rasa bangga dan malu. Dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, siri merupakan unsur yang paling perinsip dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari siri’. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, siri’ adalah harga diri, jiwa, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk membela dan menegakkna siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkn oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri dalam kehidupan mereka. Sopan Santun Masyarakat Bugis Orang Bugis mengenal adanya tabe’ (melintas di depan orang dengan sopan dan sambil membungkukkan badan sebagai rasa hormat kepada orang lain yang lebih tua atau pun sebaya), kebiasan ini diajarkan turun-temurun dan teraplikasi sampai sekarang. Masyarakat Bugis menerapkan hal ini karena menyangkut rasa saling menghormati antara pemuda dan orang tua begitupun sebaliknya dan antara pemuda --- untuk menjaga perasan satu sama lain.
8
Pakaian Adat Pakaian Adat Laki-Laki Masyarakat Bugis Pakaian adat laki-laki terbuat dari beludru ungu-kecoklatan dihias dengan warna emas: celana, agak longar, dengan bahan bahan kain sama, menutupi setengah betis, dengan enam atau delapan kancing emas. Bajunya dikancing hingga ke leher, juga dengan kancing emas dan setiap lengan baju dihiasi jejeran kancing emas dari ujung lengan bawah. Selembar sarung batau rok pendek, bersongket emas, melingkar di pinggang, dengan keris berhias permata; mengenakan songkok berhiaskan benang emas yang tersulam rapi dan rumit. Model celana yang dikenakan pria Bugis ada dua jenis, celana panjang (sulara lampe) yang sampai kebawah lutut dan celana pendek (sulara ponco) yang dikenakan menurut selera masing-masing. Kedua jenis celana itu tetap menjadi bagian dari pakaian tradisional Bugis hingga dekade 1990-an. Pakaian Adat Perempuan Masyarakat Bugis Perempuan Bugis mengenakan blus trsparan warna-warni model kuno (baju bodo) yang hingga kini tetap merupakan pakaian adat perempuan Sulawesi Selatan. Dahulu, setiap wanita memiliki kelompok tertentu: hijau untuk kalangan bangsawan, putih untuk pengasuh anak bangasawan, dan kuning untuk dukun (sanro). Makanan Khas dan Makanan Tradisonal Masyarakat Bugis Nasi (inanre) merupakan makanan pokok orang Bugis yang dihidangkan tiga kali sehari. Untuk sarapan, hidangan utama mereka adalah nasi ketan (sokko) yang direbus dengan santan atau singkong (lame’aju) yang dibakar atau direbus, dihidangkan bersama ikan (yang diasinkan, diasapi, atau dikeringkan). Saat makan siang dan malam, nasi putih dihidangkan bersama berbagai jenis lauk-pauk (pakanreang), seperti ikan, kadang kala ayam. Daging kambing dan sapi biasanya hanya dihidangkan saat ada pesta. Aneka Kesenian Tradisonal Masyarakat Bugis Masyarakat Bugis mengenal lagu-lagu ritual. Salah satu yang paling tua ialah lagu-lagu ritual bissu, yang juga disebut dalam siklus La Laligo. Lagu-lagu bissu antara lain berupa sessukeng, doa yang diucapkan kepada penghulu dewa orang Bugis; memmang dan ranging-ranging, mantra yang diucapkan pada ritual tertentu; sabo‟, mantra yang menyertai tarian melingkar disekeliling objek yang dikeramatkan (pohon atau tiang utama bangunan upacara); ma’lawolo, dialog ritual yang dilakukan pada peristiwa tertentu seperti upacara penobatan raja, pesta pernikahan dan penguburan putra-putri raja. Alat Musik Masyarakat Bugis Alat musik utama ritual bissu adalah gendang (genrang) berkulit dua yang ditambah yang ditabu oleh dua pemainnya dengan kedua tangnnya. Bunyi-bunyian tidak bernada (paoni-oni) yang digunakan pada upacara-upacara ritual memiliki berbagai macam jenis dan bentuk. Ada yang terbuat dari besi (tettilaguni, suji kamma, ana’beccing, dan sebaginya) yang saling dibenturkan satu dengan yang lainnya. Dapula tang terbuat dari bambu, seperti lea-lea, yang digunakan sepasang-sepasang untuk memukul sebatang kayu atau sebulah bambu lain secara silih berganti. Disamping itu, digunakan pula gong besar yang dipukul dengan palu besar. Rumah Adat Masyarakat Bugis Rumah adat Bugis merupakan model contoh rumah Asia Tenggara, yaitu rumah panggung dari kayu, yang atapnya berlerang dua, dan kerangkanya berbentuk huruf “H” terdiri dari tiang dan balok yang dirakit tanpa pasak atau paku; tianglah yang menopang lantai dan atap sedangkan dinding hanya diikat pada tiang luar. Karakter fisik tersebut, yang membuat rumah itu mudah dibongkar atau dipindahkan. Pada dasarnya, rumah tersebut memiliki atap (panggate) dua latar yang disatukan dengan sebuah bubungan lurus (alekke), yang berbeda dengan hubungan lengkung yang terdapat pada rumah Toraja, Batak, dan Minangkabau, serta pada rumah jawa abad ke-10 seperti yang terlihat pada relifef candi Borobudur. Dinding rumah (renring) terbuat dari bahan ringan, sementara lantainya (salima) berjarak sekitar dua meter—kadang-kadang lebih—dari permukaan tanah, dan kolom rumah atau (awa bola) biasanya dibiarkan terbuka. Rangka rumah terbuat dari sambungan kaya tanpa menggunakan pasak atau
9
paku (suatu teknik yang bergantung kepada tersedianya adat pertukangan yang dubutuhkan, sehingga berhubungan langsung pula dengan perkembangan kepandaian pengolahan besi penduduk setempat). Tiang rumah (alliri) bertumpu di atas tanah dan berdiri hingga ke loteng serta menopang berat atap. Pada setiap atap dibuat sebuah lobang segi empat untuk menyisipkan balok pipih penyangga lantai (areteng) dan balok pipih penyangga loteng (ware), yang menghubungkan panjang rangka rumah. Selain itu, pada setiap tiang dibuat pula lubang segi empat tepat dibawah lubang tadi untuk menyisipkan balok pipih yang menyilang di bawah penyanggga lantai (pa’tolo’riawa) dan balok pipih yang menyilang dibawah penyangga loteng (pa’tolo’riase) yang menghubungkan lebar rangka rumah. Permainan Tradisonal Masyarakat Bugis Permainan utama pada orang Bugis ialah sabung ayam (ma’saung). Hampir di setiap istana di bawah pohon asam (ri awa cempa) berdiri gelanggang sabung ayam yang beratap tapi tidak berdinding. Di tempat itulah kaum pria menonton dan bertaruh dalam “olahraga” tersebut, sedangkan kaum perempuan menonton dari atas rumah. Permainan rakyat lainnya adalah “raga”, sebuah permainan kaum pria dalam suatu lingkaran yang memainkan bola rotan anyaman (sejenis bola takraw). Bola itu tidak boleh jatuh ke tanah atau tersentuh tangan. Pemenangnya adalah pemain yang paling lama mempermainkan bola dengan kakinya atau bagian tubuhnya yang lain dan yang dapat menendangnya paling tinggi ke udara. Jenis-jenis Perayaan Masyarakat Bugis Upacara adat pada msyarakat Bugis dipimpin oleh sanro. Misalnya, “sanro wonua”, biasnya upacara perayaan ini dilakukan pada saat panen. Ritual adat yang berhubungan dengan bangunan dan perlindungan rumah, ritual upacara ini dipimpin oleh “sanro bola”. Ritual adat yang menyangkup fasefase perkembangan anak, sejak dalam kandunga hingga lahir, upacara ritual ini dipimpin oleh “sanro ana”. Upacara pengobatan dan perlindungan, ritual ini dipimpin oleh “sanro pa’bura”. Sedangkan yang mejadui pemimpin dalam perayaan pernikahan adalah “indo’botting”—tidak disebut sebagai sanro. Cerita Rakyat Masyarakat Bugis Salah satu cerita rakyat yang dikenal pada masyarakar Bugis Makassar ialah Cincing Eja. Cerita ini bercerita tentang mengapa mengapa tikus sangat dibenci oleh anjing dan kucing hingga saat ini. FORMAT MATERI YANG TELAH DIKEMBANGKAN SEMESTER 1 PELAJARAN 1 Tujuan pembelajaran pada pelajara 1 ialah siswa dapat mengungkapkan isi wacana pariwisata daerah Tolaki dan daerah Muna Membaca Pemahaman (a) Membaca Wacana “Tetewaa Moramo” (b) Menjawab pertanyaan berkaitan dengan wacana (c) Menuliskan kembali wacana Permandian Wakumoro dalam bahasa Muna (d) Mengartikan kata-kata ke dalam bahasa daerah muna! PELAJARAN 2 Tujuan Pembelajaran pada pelajaran 2 siswa dapat menyebutkan kata-kata umum bidang adat istiadat pada masyarakat Bugis dan masyarakat Buton Kosa Kata (a) Kosa kata umum bidang adat istiadat Buton dan adat istiadat Bugis (b) Menghafalkan kata-kata adat-istiadat di atas kemudian lafalkan di depan kelas! (c) Membuat kalimat dengan menggunakan kata-kata umum bidang adat-istiadat Muna, Buton, Muna, dan Bugis. PELAJARAN 3 Apresiasi Tujuan pembelajaran ialah siswa dapat membuat karya sastra berupa pantun dan puisi dalam bahasa Tolaki dan bahasa Muna
10
(a) (b) (c) (d) (e) (f)
Karya Sastra Pantun Dan Puisi Daerah Tolaki Dan Muna Mengartikan pantun-pantun Tolaki dengan benar! Mengungkapkan isi narasi legenda dari Buton dan Bugis Membaca legenda Gunung Samboka-mboka di Kaledupa Bacalah kembali 2 legenda di atas secara bergilir dengan suara yang lantang! Menuliskan unsur-unsur (tema, latar, tokoh, alur, dan amanat) yang terdapat dalam legenda Tolaki dan Muna!
SEMESTER 2 PELAJARAN 5 Melafalkan Kata-kata Khusus (a) Kata-kata khusus dalam bahasa daerah Tolaki (b) Kata-kata khusus dalam bahasa daerah Muna (c) Melafalkan kata-kata di atas dengan benar sesuai lafal bahasa Tolaki dan Muna. (d) Mencari kata-kata khusus kata-kata di bawah ini! PELAJARAN 6 Kalimat Aktif Tujuan Pembelajaran siswa dapat menyusun kalimat aktif dalam bahasa Buton (a) Menulis kalimat aktif dalam bahasa daerah Buton (b) Kalimat aktif dalam bahasa daerah Bugis (c) Membuat masing-masing 5 kalimat aktif transitiff ke dalam bahasa daerah Buton dan Bugis dengan menggunakan kata-kata di bawah ini! (d) Membuat masing-masing 5 kalimat aktif intransif ke dalam bahasa daerah Buton dan Bugis. PELAJARAN 7 Kalimat Pasif Tujuan pembelajaran siswa dapat menyusun kalimat pasif dalam bahasa daerah Tolaki (a) Kalimat pasif dalam bahasa daerah Tolaki (b) Kalimat pasif dalam bahasa daerah Muna (c) Membuat kalimat pasif dalam bahasa daerah Tolaki dengan meggunakan. (d) Membuat kalimat pasif dalam bahasa daerah Muna dengan meggunakan PELAJARAN 8 Pola Kalimat S P O K Tujuan pembelajaran: siswa dapat membuat pola kalimat SPOK dalam bahasa Buton dan Bugis (a) Pola Kalimat SPOK dalam Bahasa Buton dan Bugis (b) Mmeberi tanda subjek, predikat, objek, dan keterangan pada kalimat bahasa Buton dan Bugis. selanjutnya artikan kalimatnya! (c) Membuat Kalimat yang Berpola SPOK Ke dalam Bahasa Buton dan Bugis. Penutup Kota kendari memiliki komposisi penduduk yangh heterogen. Oleh sebab itu, Sekolahlah yang menjadi wahana yang efektif melakukan trasformasi nilai-nilai budaya daerah yang merupakan pilar-pilar budaya nasional yang diharapkan sebagai alat pemersatu. Transformasi nilai-nilai tersebut dikembangkan melalui pengembangan materi muatan lokal pada sekolah dasar kelas tinggi yang bersumber pada budaya-budaya yang ada di Kota kendari. Penelitian ini berhasil (a) mendeskripsikan aspek-aspek budaya yang ada di Kota kendari dan (b) menemukan format materi pembelajaran yang disesuaikan dengan standar isi dan standar lulusan mata pelajaran muatan lokal kelas tinggi yang ada di Kota Kendari. Penelitian ini akan mengakomodir potensi budaya yang beragam yang dimiliki oleh peserta didik. Perlakuan terhadap anak dalam keragaman budaya (multikultural) akan menimbulkan peluang tumbuhnya keragaman potensi yang selama ini hanya diukur dengan angka dan rangking berorientasi pada aspek akademik/kognitif.
11
Penelitian ini akan bermanfaat pula mengantisipasi 10 tanda-tanda zaman yang perlu diwasapadai seperti yang dikemukakan oleh Lickona (1992: 12-22) yaitu: (a) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (b) membudayanya ketidakjujuran, (c) sikap fanatik terhadap kelompok (peer-group) dalam tindak kekerasan (d) rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (e) semakin kaburnya moral baik dan buruk, (f) penggunaan bahasa yang memburuk, (g) meningkatnya perilaku merusak diri seerti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, (h) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, (i) menurunnya ethos kerja (j) adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian antarsesama. Daftar Pustaka Banks (1993) http://www.midtesol.org/articles/peediti.htm). Bronfenber (1992). “sosiohistoris-kultural” (http://www.ibe.unesco.org, p.3).” Fukuyama, Francis. (1996). Trust. The Social Virtuas and the Creation of Prosperty. New York: Free Press Paperback. Huntington, Samuel P. Culture Count, in Culture Matters. USA: Basic Books, 2000. La Mokui, La. 2008. Metode Baru Pengajaran Bahasa Muna. Raha. Linton (1945). (http://carla.acad.umn. Edu/culture.html). Kluckhohn dan Kelly (1945) (http://carla.acad.umn. Edu/culture.html). Lickona, Thomas. (1992) Edukating Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. USA: Bantam Books. --------- (1992). Educating for Charater. USA: Bantam Books.. --------- (1994). Raising for Good Children. USA: Bantam Book. Peraturan Mendiknas RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Rahman, Andi. 2005. Bugis Dalam Lintasan Sejarah. Sinyo M.P: Bandung. Semiawan, Conny. Menuju Pendidikan Multikultural “Makalah dalam Rangka Acara Perpisahan dengan Sekjen Dewan Riset Nasional” Jakarta 25 Juni 2002. Semiawan, Conny. Penelitian dan Pengembangan R & D dalam Pendidikan, Makna Tujuan dan Konteksnya, makalah dalam rangka Pelatihan Dosen Lembaga Penelitian, Universitas Negeri Jakarta. 16 Juli 2003. Semiawan, Conny. Paradigma Baru Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam Persfektif Filosofis. Jakarta. Maret 2004. Unesco. Leraning: The Treasure Within The Australian National Comission for Unesco: Unesco Publishing, 1988.