Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang MIPA 2014 | SEMIRATA
PENGEMBANGAN MATAKULIAH FISIKA DASAR 2 DI IPB MENGGUNAKAN FORMAT SEMI FISIKA STUDIO (The Development of Basic Physics 2 Course in Bogor Agricultural University Using Semi Studio Physics Format) T. Sumaryada
1
1
Departemen Fisika IPB, Jln. Meranti Kampus Dramaga IPB, Bogor 16680
[email protected]
ABSTRACT The learning quality improvement of Basic Physics 2 course (calculus based physics ) has been done using semi studio physics format. This course which covers electricity, magnetism and optics, was taken by the first year undergraduate program in Physics and Marine Sciences and Technology. The semi studio physics format was designed by adapting the full studio physics format which has been applied worldwide with a great success. The learning results of those two classes in 2012-2013 academic calendar were measured using standardized diagnostic test, namely Conceptual Survey on Electricity and Magnetism (CSEM test) introduced by Maloney et.al. In this research 74 Physics student and 77 Marine Sciences and Technology students were involved. The difference responses from those two classes, including Normalized Gain, weak and strong spots, were presented and discussed in this paper. Suggestion and recommendation for learning quality improvemen using Full studio physics format were also given in this paper. Key words : Physics of education, Conceptual survey on electricity and magnetism, Studio physics format, Assesment method ABSTRAK Telah dilakukan upaya peningkatan kualitas pembelajaran pada mata kuliah Fisika Dasar 2 berbasis kalkulus untuk mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) dengan menggunakan format pengajaran berbasis semi fisika studio (semi studio physics format). Kuliah Fisika Dasar 2 yang membahas materi kelistrikan, kemagnetan, dan optika, merupakan kuliah wajib yang harus diambil oleh mahasiswa jurusan Fisika (FIS) dan Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK). Format semi fisika studio dirancang dengan cara mengadaptasi format studio fisika yang sesungguhnya yang telah diterapkan di seluruh negara dengan tingkat kesuksesan yang baik. Hasil proses pembelajaran selama tahun ajaran 2012-2013 dari kedua kelas yang berbeda tersebut diukur dengan membandingkan nilai pre-test dan post-test menggunakan tes diagnostik standar CSEM (Conceptual Survey on Electricity and Magnetism). Dalam penelitian ini digunakan responden sebanyak 74 mahasiswa Fisika dan 77 mahasiswa ITK. Perbedaan hasil yang diperoleh mahasiswa FIS dan ITK seperti Gain Ternormalisir, titik lemah dan titik kekuatan dari ke dua kelas tersebut ditampilkan dan dibahas dalam makalah ini. Saran dan rekomendasi untuk peningkatan mutu pembelajaran menggunakan format fisika studio penuh (Full Studio Physics Format) juga dipaparkan dalam presentasi ini. Kata kunci: Fisika kependidikan, Tes CSEM, Format fisika studio, Metode asesmen
408
PENDAHULUAN Peningkatan mutu pengajaran sains sangat berperan dalam meningkatkan harkat dan martabat suatu bangsa. Fisika sebagai salah satu bidang kajian sains masih merupakan subjek yang dirasakan sulit dipelajari dan dipahami oleh sebagian besar mahasiswa. Berbagai macam inovasi dalam penyajian materi fisika di perguruan tinggi telah banyak dilakukan orang [1,2,3,4]. Salah satu model yang dikenal adalah Studio Physics Format atau format fisika studio [5]. Model ini kemudian berkembang dan diadopsi oleh berbagai macam universitas di Amerika Serikat dengan nama yang berbeda-beda. Di MIT (Massachussets Institute of Technology) model tersebut dikenal sebagai TEAL model [6], sedangkan di NCSU (North Carolina State University) dikenal sebagai SCALE UP [7], di University of Alabama sebagai RULE [8], sementara di FSU (Florida State University) dan FIU (Florida International University) dikenal sebagai Studio Physics saja. Secara umum ada dua aliran pemikiran dalam pengajaran fisika, yaitu aliran tradisional dan modern. Pada pengajaran fisika beraliran tradisional, dosen ditempatkan sebagai pusat ilmu dan penyampaian materi sangat bergantung pada pengalaman mengajar dosen tersebut. Setting kelas tradisional biasanya berupa model amphitheatre atau model kelas datar dengan fokus perhatian ke depan yaitu mendengarkan dosen di muka kelas. Cara penyampaian kuliahnya adalah satu arah dengan pemberian umpan balik melalui pertanyaan lisan atau kuis. Mahasiswa diposisikan sebagai pendengar dan pencatat dengan sesekali diberi kesempatan bertanya dan mengekspresikan pandangan dan pengalaman belajarnya sendiri. Berbagai macam penelitian telah menunjukkan ketidakefektifan cara belajar secara tradisional ini [9,10]. Maka muncul model pembelajaran baru yaitu Student Centered Learning atau biasa disingkat sebagai SCL dengan berbagai macam variannya. Salah satu implementasi dari SCL adalah format pembelajaran berbentuk fisika studio. Penggunaan format fisika studio secara penuh (full studio physics format) memerlukan kelengkapan teknologi serta setting kelas yang khusus, disamping kesiapan tenaga pendidik yang terlatih dan familiar dengan metode tersebut. Masalah jumlah jam kuliah perminggu juga menjadi salah satu hambatan dalam penerapan format tersebut. Hal-hal di atas masih menjadi hambatan dalam penerapan format tersebut, oleh karena itu dalam penelitian ini penulis mengusulkan metode semi fisika studio yang merupakan transisi dari format tradisional ke fisika studio secara penuh. Dalam makalah ini akan dijelaskan perbedaan format tradisional, semi fisika studio, serta fisika studio penuh. Metode asesmen yang digunakan adalah pre-test dan post-test menggunakan materi uji dari Conceptual Survey on Electricity and Magnetism (CSEM) yang dikembangkan oleh Maloney et.al. [11]. Perbedaan hasil belajar dari mahasiswa Fisika dan ITK menggunakan metode semi fisika studio akan dibahas dalam makalah ini.
METODE PENELITIAN 2.1 Format Fisika Studio Pada format fisika studio, setting kelas diatur dengan membagi siswa ke dalam beberapa kelompok berisi 8 – 9 orang dengan masing-masing kelompok berada pada 409
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang MIPA 2014 | SEMIRATA
satu meja bundar seperti ditunjukkan pada Gambar 1.a. Meja bundar tersebut dilengkapi dengan laptop yang terhubung dengan peralatan lab dan berbagai macam sensor yang dilengkapi dengan data logger. Tidak seperti format kelas tradisional, pada format kelas fisika studio ini kuliah, praktikum dan responsi digabung dalam satu pertemuan. Jumlah jam perkuliahan perminggu bervariasi antara 2x3 jam perminggu hingga 3x3 jam perminggu [6,7,8]. Untuk format semi fisika studio yang kami usulkan, dilakukan transformasi bangku kuliah yang semula berjajar ke muka menjadi grouping dengan delapan orang perkelompok menyerupai format meja bundar dari format penuh fisika studio (lihat Gambar 1.b dan Gambar 3.).
(a) (b) Gambar 1. Ilustrasi dari susunan bangku dan meja belajar pada (a) format fisika studio menurut Belcher et.al. [6] dan (b) transformasi dari Studio Physics Format (SPF) ke Semi Studio Physics Format (SSPF) Hal lain yang tak kalah penting dalam format fisika studio adalah peran dosen di kelas. Tidak seperti metode tradisional yang bertumpu pada kuliah (lecturing) maka pada format ini dosen hanya bersifat sebagai fasilitator dengan dibantu oleh beberapa asisten. Dosen harus mempersiapkan dua atau tiga topik aktivitas di kelas (masing-masing selama 20 – 30 menit) yang mengintegrasikan pemahaman konsep, pengujian konsep (find it by yourself) dengan praktikum sederhana, serta latihan soal (recitation). Untuk masingmasing aktivitas, dosen dapat memberikan kuliah singkat sebagai pengantar tidak lebih dari 10 menit. Tentu saja dalam metode semi fisika studio yang kami lakukan, tidak ada materi praktikum langsung di kelas karena keterbatasan alat, ruang dan waktu. Praktikum dilakukan di waktu dan tempat yang terpisah oleh para asisten, namun tetap mengadopsi konsep grouping dan find it by yourself dalam pelaksanaannya. Materi praktikum sendiri sudah disesuaikan dengan materi yang biasa dilakukan pada fisika studio yaitu lebih menekankan pada pengamatan fenomena dan pembuktiannya ketimbang pengolahan data yang terlalu matematis. Untuk aktivitas di kelas, kami mengadopsi penggunaan flash card untuk kuis dan pengecekan pemahaman mahasiswa Flash card seperti pada Gambar 2, adalah satu lembar kertas berwarna-warni dengan pilihan huruf yang dapat dilipat sesuai jawaban yang diberikan. Melalui flash card kita dapat mengetahui respon mahasiswa secara cepat (instant) cukup dengan memperhatikan dominasi warna di kelas ketika diajukan suatu pertanyaan. Kita bisa meminta para mahasiswa untuk melihat sekeliling mereka, apakah ada yang memiliki warna atau jawaban yang berbeda. Bila ada dua mahasiswa yang duduk bersebelahan memiliki jawaban yang berbeda, kita dapat meminta mereka untuk saling berargumen untuk mempertahankan jawaban mereka masing-masing, seperti pada Gambar 3. 410
Gambar 2. Flash card dan penggunaannya dalam kuis di kelas.
Gambar 3. Diskusi kelas yang dibangkitkan oleh penggunaan Flash card di kelas. Kegiatan lain yang dapat dilakukan dikelas adalah aktivitas papan tulis kecil atau mini whiteboard activity, yaiu pemberian tugas kelompok yang dapat berupa pertanyaan konsep ataupun soal hitungan untuk kemudian dijelaskan di depan kelas (Gambar 4). Kegiatan ini dilakukan, karena umumnya mahasiswa secara psikologis lebih memperhatikan dan lebih berpikir kritis ketika rekan sejawatnya yang menjelaskan di depan kelas. Metode ini biasa dikenal sebagai Peer Instruction [12].
Gambar 4. Aktivitas pembelajaran mahasiswa dengan menggunakan papan kecil (Mini whiteboard activity). Mahasiswa yang tergabung dalam suatu grup memiliki peran yang berbeda antara lain sebagai pemimpin (leader), notulen (writer), pemikir (thinker), pengkritik (skeptic), dan 411
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang MIPA 2014 | SEMIRATA
pelopor (initiator). Peran tersebut bersifat dinamis, dan masing-masing anggota grup wajib bertukar peran setiap minggu. Dengan cara ini mahasiswa sekaligus belajar bagaimana berkomunikasi dan bekerjasama dalam kelompok, serta merasakan berada pada berbagai macam posisi. Keterampilan softskill ini adalah nilai tambah yang sangat bermanfaat bagi mahasiswa ketika mereka kembali ke masyarakat luas.
2.2 Uji CSEM (Conceptual Survey on Electricity and Magnetism Test) Conceptual Survey on Electricity and Magnetism adalah suatu uji standar (standardized test) yang bertujuan mengukur pemahaman siswa tentang konsep kelistrikan dan kemagnetan. CSEM yang terdiri dari 32 soal ini dikembangkan oleh Maloney et.al.[11] dan telah digunakan di banyak negara sebagai barometer yang akurat untuk menggambarkan kemampuan siswa dalam memahami berbagai macam fenomena kelistrikan dan kemagnetan. CSEM sering digunakan untuk membandingkan kinerja pembelajaran menggunakan metode tradisional dan format fisika studio. Ukuran keberhasilan proses pembelajaran dinyatakan dengan parameter Gain Ternormalisir (Normalized Gain) yang didefinisikan sebagai:
GT
R
post
Rpre
(1 Rpre )
(1) dengan Rpre adalah fraksi jawaban benar pada pre-test, dan Rpost fraksi jawaban benar pada post-test. Secara umum hasil survey-survey menunjukkan penggunaan format fisika studio menghasilkan nilat GT yang lebih baik dibandingkan dengan metode pembelajaran tradisional [11,12,13].
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil CSEM test diperoleh sebaran persentase jawaban benar untuk mahasiswa Fisika dan ITK. Untuk mahasiswa Fisika seperti terlihat pada Gambar 5, terlihat bahwa soal nomor 4,5,dan 23 memiliki persentase jawaban benar pada post-test di atas 60%. Sedangkan untuk mahasiswa ITK persentase jawaban benar pada post-test di atas 60% terdapat pada soal nomor 1,4,5, dan 12. Irisan antara ke dua kelompok ada pada soal nomor 4 dan 5 yang membahas konsep gaya antar muatan atau Hukum Coulomb. Ini berarti bahwa metode semi fisika studio cukup berhasil dalam menanamkan pemahaman konsep mengenai Hukum Coulomb. Persentase jawaban benar terkecil (kurang dari 10%) pada post test, untuk mahasiswa Fisika terdapat pada nomor 8, 11, 20, 29, 31, 32 , sedangkan untuk mahasiswa ITK pada nomor 11, 29, 31, 32. Irisan ke dua kelompok terdapat pada nomor 11 yaitu gerak muatan dalam medan listrik seragam, nomor 29 tentang arus induksi, nomor 31 mengenai distribusi muatan pada logam di bawah pengaruh medan magnet, dan nomor 32 tentang pembacaan arus sebagai fungsi waktu. Pada ke empat nomor tersebut penggunaan format semi fisika studio terlihat 412
belum mampu memperbaiki pemahaman siswa mengenai kaitan antara gejala kelistrikan dan kemagnetan. 80
Persentase Mahasiswa 70 Fisika Yang Menjawab 60 Dengan Benar 50
Pre Test Post Test
40 30 20 10 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 Nomor Soal (a)
90 Pre Test
Persentase Mahasiswa ITK 80 Yang Menjawab 70 Dengan Benar
Post Test
60 50 40 30 20 10 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 Nomor Soal
(b). Gambar 5. Sebaran persentase jawaban benar untuk tiap soal dari mahasiswa Fisika (a) dan ITK (b). Untuk penilaian performa secara keseluruhan ditunjukkan oleh parameter Gain Ternormalisir (GT). Pada Tabel 1 terlihat bahwa mahasiswa Fisika memperoleh GT rerata 0.13 dan lebih besar dari yang diperoleh oleh mahasiswa ITK yaitu 0.11. Namun keduanya masih dibawah nilai GT yang diharapkan dari format fisika studio yaitu 0.18 – 0.30 seperti dikemukakan oleh Gatch [14]. 413
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang MIPA 2014 | SEMIRATA
Jumlah populasi mahasiswa Fisika yang memenuhi standar GT minimum (GT > 0.18 seperti yang dikemukakan oleh Gatch), adalah 36.4 % , dua kali lebih banyak dibandingkan mahasiswa ITK. Sedangkan nilai GT individual terbesar untuk mahasiswa Fisika sebesar 0.43 dan untuk ITK 0.31. Hasil ini sekali lagi menegaskan bahwa pemahaman mahasiswa Fisika lebih tinggi dibandingkan ITK. Tabel 1. Gain Ternormalisir dari mahasiswa Fisika dan ITK Jurusan
Gain ternormalisir rerata
Jumlah mahasiswa dengan
Nilai GT individual tertinggi
GT
GT > 0.18
Fisika
0.13
36.4%
0.43
ITK
0.11
18.2%
0.31
.Dari perbandingan hasil pre-test dan post-test untuk tiap soal dapat dipetakan performa terbaik dari kedua kelompok mahasiswa tersebut. Pada Tabel.2 ditunjukkan 10 soal dengan pencapaian terbaik dari mahasiswa Fisika. Terlihat bahwa soal nomor 24 (Gaya oleh kawat berarus) mencatat kenaikan jumlah jawaban benar terbesar. Secara umum Tabel 2 ini menunjukkan pengaruh penerapan metode semi fisika studio dalam meningkatkan pemahaman mahasiswa Fisika akan fenomena kelistrikan dan kemagnetan. Tabel 2 Peningkatan performa terbaik mahasiswa Fisika Nomor Soal
24 17 26 30 23 25 4 1 5 7
Konsep Yang Diujikan
Persentase Kenaikan Jumlah Jawaban Benar (%)
Gaya oleh kawat berarus Kerja pada muatan dan garis ekipotensial Medan magnet pada kawat berarus Arus induksi pada simpai (loop) tertutup Arah medan magnet pada kawat berarus Gaya magnetik pada sebuah muatan Gaya antar muatan Distribusi muatan pada bola logam Gaya antar muatan Gaya antar muatan
Tabel 3 Peningkatan performa terbaik mahasiswa ITK
414
50.00 47.29 33.78 32.43 31.08 28.38 25.68 22.97 16.22 16.22
Nomor Soal
17 25 1 4 26 23 3 24 12 18
Konsep Yang Diujikan
Kerja pada muatan dan garis ekipotensial Gaya magnetik pada sebuah muatan Distribusi muatan pada bola logam Gaya antar muatan Medan magnet pada kawat berarus Arah medan magnet pada kawat berarus Gaya antar muatan Gaya oleh kawat berarus Gaya akibat medan listrik Medan listrik dan garis ekipotensial
Persentase KenaikanJumlah Jawaban Benar (%) 33.77 32.47 29.87 23.38 23.38 22.08 22.08 20.78 15.58 14.29
Untuk performa mahasiswa ITK ditunjukkan oleh Tabel 3. Dari table tersebut dapat dilihay bahwa soal tersukses yang mengalami peningkatan jumlah jawaban benar adalah soal nomor 17 (hubungan antara kerja pada muatan dengan garis ekipotensial). Secara umum ke sepuluh soal pada Tabel 3 menunjukkan peningkatan rata-rata jawaban benar hanya sekitar 23.77%, lebih kecil dari yang diperoleh mahasiswa Fisika yaitu 30.41%. Menarik pula untuk diamati, bahwa dari 10 soal dengan peningkatan jawaban benar terbaik pada Tabel.2 dan Tabel.3, ternyata 7 soal (70%) terkait dengan nomor soal yang sama. Ini artinya, baik mahasiswa Fisika maupun ITK sebenarnya secara umum memiliki kemampuan yang relatif sama, dan mengalami peningkatan pemahaman pada topik yang sama pula.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode semi fisika studio yang merupakan adaptasi (dengan beberapa penyesuaian) dari metode fisika studio yang sesungguhnya, mampu menghasilkan nilai Gain Ternormalisir atau GT (0.13) yang mendekati nilai minimum yang diharapkan (0.18) dari format fisika studio sesungguhnya. Berdasarkan hasil test CSEM juga diperoleh hasil bahwa secara umum mahasiswa Fisika sedkit lebih unggul dibandingkan dengan mahasiswa ITK, seperti terlihat dari jumlah populasi mahasiswa yang memiliki GT > 0.18 yaitu 36.4% untuk Fisika dan 18.2% untuk ITK. Di masa datang, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dari matakuliah Fisika Dasar 2, perlu dilakukan penggunaan format fisika studio yang sesungguhnya dengan cara mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan seperti penyiapan setting kelas berbentuk studio yang dilengkapi dengan in-class laboratory serta penyiapan sumber daya manusia (dosen dan asisten) yang terlatih dan mampu menjalankan format fisika studio ini dan mampu membuat dan mengembangkan lembar aktivitas kelas yang berbasis Student Centered Learning, Collaborative method, serta Peer Instruction.
415
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang MIPA 2014 | SEMIRATA
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diberikan penulis kepada para staf kependidikan dan administrasi dari matakuliah Fisika Dasar 2 di Sekretariat Tahun Pertama Bersama (TPB) dan Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor.
PUSTAKA [1]
P. Heller, R. Keith, S. Anderson, 1992 , Teaching Problem Solving through Cooperative Grouping-Part 1:Group versus individual problem solving, Am. J. Phys. 60(7) 627-636.
[2]
P. Heller, M. Hollabaugh, 1992, Teaching Problem Solving through Cooperative Grouping-Part 2: Designing problems and structuring groups, Am. J. Phys. 60(7) 637-644.
[3]
Goldberg, F.2007, Physics and everyday thinking. Armonk, NY: It’s About Time, Herff Jones Education Division.
[4]
Cordes, D., Evans, D., Frair, K., Froyd, J, 1999, The NSF Foundation Coalition: The First Five Years. Journal of Engineering Education, 88(1), 73-77.
[5]
J. Wilson, 1994, The CUPLE Physics Studio, Phys. Teach., 32 (12), 518-522.
[6]
Belcher, J.W., 2006, Studio Physics at M.I.T, MIT Physics Annual.
[7]
Beichner, R.J., 2003, Introduction to the SCALE-UP (Student Activities for Large Enrollment Undergraduate Programs) Project, Proceedings of the International School of Physics Enrico Fermi, Varenna, Italy.
[8]
Harrell, J.W, Jones,S., 2011, Introductory Physics Course Reform at The University of Alabama: Current Status and Lessons Learned, Background Research Paper No. 27, Presented at the NSEUS national conference on Research Based Undergraduate Science Teaching:Investigating Reform in Classrooms, Bryant Conference Center, University of Alabama,Tuscaloosa AL, June 19-21.
[9]
Hake, R. R., 1998, Interactive-engagement versus traditional methods: A sixthousand-student survey of mechanics test data for introductory physics courses. American Journal of Physics, 66(1), 64-74.
[10] Cummings, K., Marx, J., Thornton, R., Kuhl, D., 1999, Evaluating innovation in studio physics. Phys. Educ. Res., Am. J. Phys. Suppl. 67(7), S38-S44. [11] Maloney, D., O’Kuma, T. L., Hieggelke, C. J., Van Heuvelen, A., 2001, Surveying students’ conceptual knowledge of electricity and magnetism. American Journal of Physics, (69)1, S12-23. [12] Mazur, E., 1997, Peer Instruction : A user’s manual, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
416
[13] Ding, L., Chabay, R., Sherwood, B., Beichner, R., 2006, Evaluating an electricity and magnetism assessment tool: Brief electricity and magnetism assessment. Phys. Rev. ST Phys. Educ. Res. 2, 010105-1-7. [14]
Gatch, D.B., 2010, Restructuring Introductory Physics by Adapting an Active Learning Studio Model, International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning, Vol 4, No. 2, ISSN 1931-4744, Georgia Southern University.
417