PENGEMBANGAN KURIKULUM KEAGAMAAN DI PESANTREN (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)
TESIS Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Agama Islam pada Program Studi Pendidikan Agama Islam
Dosen Pembimbing: Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
Oleh: LIA SURAEDAH 21140110000010
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
i
PERNYATAAN PENULIS
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Lia Suraedah NIM : 21140110000010 Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 16 Januari 1983 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)” adalah benar-benar karya asli saya, kecuali kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terbukti saya melakukan kecurangan ilmiah secara sengaja di dalam penulisan tesis ini, maka saya bersedia gelar Magister Pendidikan Agama Islam yang telah diberikan kepada saya dicabut kembali. Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, Januari 2017
Lia Suraedah
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGEMBANGAN KURIKULUM KEAGAMAAN DI PESANTREN (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)
TESIS Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh: Lia Suraedah 21140110000010
Pembimbing
Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
iii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS Tesis dengan judul “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)” yang disusun oleh Lia Suraedah dengan Nomor Induk Mahasiswa 21140110000010 telah diujikan di sidang promosi tesis oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal, 04 Januari 2017. Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran penguji. Jakarta, Tim Penguji Tanggal
Januari 2017 Tanda Tangan
Ketua Program Nama : Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag NIP : 19670328 20003 1 001
…………
…………………
Penguji I Nama : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA NIP : 19540802 198503 1 002
…………
…………………
Penguji II Nama : Dr. Fauzan, MA NIP : 19761107 200701 1 013
…………
…………………
Pembimbing Nama : Muhammad Zuhdi, M. Ed, Ph. D NIP : 19720704 199703 1 002
…………
…………………
Mengetahui Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA NIP. 19550421 198203 1 007
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI 1.
Padanan Aksara Huruf Arab Huruf Latin
ا
Keterangan Tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
je
ح
h
h dengan garis dibawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis bawah
ض
d
de dengan garis bawah
ط
t
te dengan garis bawah
ظ
z
zet dengan garis bawah
ع
„
koma terbalik di atas, menghadap ke kanan
غ
gh
ؼ
f
ef
ؽ
q
ki
ؾ
k
ka
ؿ
l
el
ـ
n
em
ge dan ha
v
2.
ف
n
en
ك
w
we
ق
h
ha
ء
,
apostrog
م
y
ye
Vokal a. Vokal Tunggal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin a
fathah
__ِ
i
kasrah
____ُُ
u
dammah
__َ
Keterangan
b. Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab
َ__ م َ__ ك 3.
a dan i
Keterangan
au
a dan u
Vokal Panjang Tanda Vokal Arab
ىَا ِ ى ْي لك ْيُى 4.
Tanda Vokal Latin ai
Tanda Vokal Latin â
Keterangan a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh:
الر َجاؿ ِّ = al- rijâl bukan ar-rijâl.
الديْيػ َواف ِّ = al-dîwân bukan ad-dîwân. vi
Adapun jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abu Hâmid al-Ghazâlî bukan Abu Hamid Al-Ghazâlî
vii
ABSTRAK LIA SURAEDAH, NIM: 21140110000010, “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren khususnya di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok. Persamaan tesis ini dengan disertasi Ali Anwar yang berjudul “Pembaharuan Pendidikan di Pesantren: Studi Kasus Pesantren Lirboyo” adalah terletak pada pembahasan pengembangan pendidikan di pesantren. Disertasi ini membahas seluruh unsur yang terkait dengan pengembangan dan pembaharuan pendidikan di pesantren, namun tidak secara spesifik membahas pengembangan kurikulumnya. Berbeda dengan tesis ini yang secara mendalam dan komprehensif mengkaji pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menggali informasi melalui sumber data primer dengan melakukan studi lapangan dan mengolah dokumen-dokumen Pesantren al-Hamidiyah. Data sekunder penelitian ini adalah buku-buku yang sangat berhubungan dengan persoalan kurikulum pesantren. Tehnik pengumpulan data yang dilakukan antara lain: observasi, wawancara dan dokumuntasi. Analisis data dilakukan dengan mencocokkan hasil temuan dengan teoriteori para ahli pengembangan kurikulum dan pesantren. Validasi data dilakukan dengan mencocokkan dan membandingkan data dari berbagai sumber. Hasil penelitian ini adalah Pesantren al-Hamidiyah mengkombinasikan sistem pendidikan pesantren salafiyah dengan sistem pendidikan pesantren modern dan telah mengembangkan kurikulum keagamaannya dengan melakukan beberapa langkah-langkah yang sesuai dengan teori pengembangan kurikulum yang diterapkan oleh para ahli kurikulum, yaitu: mengupayakan pengembangan kurikulum keagamaan dengan mempertimbangkan landasan filosofi, psikologi, sosiologi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; prinsip fleksibelitas, relevansi dan kontinuitas; menggunakan pendekatan subjek akademis dan humanistik, megupayakan pengembangan pada komponen-komponen kurikulum dan menentukan model pengembangan kurikulum. Dengan demikian berimplikasi pada peningkatan kualitas kurikulum pesantren sehingga dapat terus menarik minat masyarakat dan mampu bersaing dengan pesantren lain dan lembaga pendidikan lainnya. Kata Kunci: pengembangan kurikulum, keagamaan, pesantren
viii
ABSTRACT LIA SURAEDAH, NIM: 21104110000010, Religiosity Curriculum Development in Islamic Boarding School (Pesantren) (Religiosity Curriculum Qualitative Study in Islamic Boarding School (Pesantren) al-Hamidiyah Sawangan Depok). The goal of research is to acknowledge and analyze religiosity curriculum development in pesantren, particularly in Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok. This thesis is similar with Ali Anwar‟s dissertation entitled “Pembaruan Pendidikan di Pesantren: Studi kasus Pesantren Lirboyo” or “Education Innovation in pesantren. That dissertation discussed all the aspect of education development and innovation in pesantren, but not specifically discussed about curriculum development, different from this thesis that discussed deeply and comprehensively about religiosity curriculum development in pesantren. The method used in this research is a descriptive analysis with a qualitative approach, finding information by doing field study primery data and analyzing alHamidiyah‟s documents. Secondary data of this research is the books that very related to pesantren‟s curriculum. Data collection technique used were observations, interviews, and decomentations. Data analyses have done by matcing the findings and the theories from the experts of curriculum development and pesantren. Data validation has conducted by matching and comparing the data from various sources. The result of this research is that Pesantren al-Hamidiyah has applying curriculum of pesantren‟s education which combine traditional, or known as salafiyah, and modern pesantren‟s curriculum; and developed its religiosity curriculum by doing several steps which is appropriate with curriculum development‟s theories conducted by curriculum experts, i.e.: endorsing religiosity curriculum development by cosidering philosophy basis, psychology, sociology, and development of science and technology; flexibelity principal, relevance, and continuity; employing academic and humanistic subject approach; and attempting development on curriculum‟s components. Therefore, it implicated on higher pesantren‟s curriculum quality that constantly taking people‟s interest and being able to compete with other pesantren and educatioan institutions. Key Word: religiosity, curriculum development, pesantren
ix
ملخص يل سريدة :رقم تسجيل الطالبة :21140110000010تطوير ادلناىج الدراسية الدينية يف ادلعهد :دراسة نوعية ادلناىج الدراسية الدينية يف معهد احلميدية سواعنج ديفوء. ىذا البحث خيتاج لتحليل تطوير ادلناىج الدراسية الدينية يف ادلعهد خاصة يف معهد احلميدية سواعنج ديفوء معادلة كىذا البحث باألطركحة لعل أنوار بعنواف :جتديد الًتبية يف ادلعهد :دراسة يف معهد لريبيا يف حبث تطوير الًتبية يف ادلعهد .كىذه األطركحة خصت حبث التطوير كالتجديد يف ادلعهد إمجاال كالتبحث تطوير ادلناىج الدراسية خاصة خالفا هبذا ا لبحث يبني تطوير ادلناىج الدراسية الدينية يف ادلعهد تفصيال سامال .استخدـ ىذا ا لبحث منهجية النوعية من مصادر البينات الضركرية بدراسات ميدانية كحتليل الوثائق دلعهد احلميدية كمصادر البينات احلاجية من الكتب قد تعلق بادلناىج الدراسية ادلعهدية كطريقها مجع البينات كمنها ادلالحظات كادلقابالت كالتوثيق .كحتليل البينات مبوافقة النتائج من ادلتخصصني يف ادلناىج الدراسية ك ادلتخصصني يف ادلعهد كتصحيها مقارنة بادلصادر .حاصل ىذا البحث أف معهد احلميدية طور ادلناىج الدراسية الدينية اليت توافق نظرية تطوير ادلناىج الدراسية من علمائها بنمط ادلناىج الدراسية ادلعهدية سلفية كحديثة ؛ككسب تطويرىا باإلعتبارات اإلمجاعية كادلركنية كادلوافقية كاإلستمرارية؛ كموضوعها اكادديية كإنسانية ككسب تطوير ادلناىج الدراسية كعاقبتها تقدمها الكمية ذلذادلعهد حىت حيبو اجملتمع كيزاحم مبعهد أخر كجلنة الًتبية األخر مفتاح الكلمة :تطوير المناهج الدراسية – الدينية -المعهد
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah serta lindungan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut risalahnya hingga akhir zaman. Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan civitas akademik Magister Pendidikan Agama Islam khususnya kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A, Ketua Program Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Sapiudin, M.Ag, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan segala fasilitas belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan memberikan ilmu, inspirasi dan motivasi sehingga tulisan ini dapat terselesaikan. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada dosen pembimbing tesis, Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D, yang dengan penuh ketelitian dan perhatian telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis dalam penulisan dan penyusunan tesis ini. Tak terlupakan rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua dan mertua yang senantiasa mendoakan dan membimbing serta mengajarkan untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati Rasullullah SAW. Secara khusus penulis sampaikan terimakasih kepada suami tercinta, H. Munawwir al-Qosimi yang terus mendo‟akan dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi, serta untuk putra-putri tersayang; Muhammad al-Qosimi, Ahmad al-Qosimi, Ibrahim al-Qosimi dan Deana Silvi semoga Allah SWT melindungi semua. Yang tidak terlupakan terimakasih kepada para santri Pesantren al-Qosimiyyah Parung Bogor yang turut mendo‟akan dan membantu penulis. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Yayasan Islam al-Hamidiyah, Dewan Pengasuh, Kepala MTs dan MA, Kepala Kajian Islam, guru, staf dan karyawan Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok yang telah terlibat dalam penelitian ini sehingga berjalan dengan lancar dan baik tanpa ada hambatan yang berarti. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan di Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan masukkan dan saran dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga jasa baik semua pihak mendapatkan balasan yang berlipat-lipat dari Allah SWT dan semoga semua mendapatkan ridha dari Allah SWT. Amin.
Jakarta,
Januari 2017 Penulis
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PEDOMAN TRANSLITERASI ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN DAFTAR LAMPIRAN BAB I : PENDAHULUAN A. B. C. D. E. BAB II
BAB III
ii iii iv v viii xi xii xiv xv xvi 1
Latar Belakang Masalah Identifikasi Masalah Batasan Masalah Rumusan Masalah Tujuan dan Manfaat
: KURIKULUM PESANTREN
DAN
1 7 7 7 7 PENDIDIKAN
KEAGAMAAN
DI 9
A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan 1. Sejarah Pesantren di Indonesia 2. Ragam Pesantren 3. Pola Pendidikan di Pesantren B. Kurikulum Keagamaan 1. Pendidikan Agama dan Keagamaan 2. Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren 3. Model-model Pengembangan Kurikulum C. Kerangka Berpikir D. Telaah Pustaka
9 9 15 17 21 21 25 46 51 52
: METODOLOGI PENELITIAN
54
A. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian 2. Jenis Data 3. Objek dan Sumber Data Penelitian B. Teknik Pengumpulan Data C. Teknik Analisis dan Validasi Data D. Kisi-kisi Pertanyaan Wawancara
54 54 54 55 55 56 56
xii
BAB IV
: KURIKULUM DAN PENDIDIKAN PESANTREN AL-HAMIDIYAH
KEAGAMAAN
DI
A. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pendidikan Pesantren alHamidiyah B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Keagamaan di Pesantren alHamidiyah 1. Dinamika Pengembangan Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah 2. Upaya-upaya Pengembangan Komponen-komponen Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah C. Analisis Pengembangan kurikulum Keagamaan/Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah 1. Landasan Filosofi, Psikologi, Sosiologi, dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2. Prinsip Feksibelitas, Relevansi, dan Kontinuitas 3. Komponen-komponen Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah 4. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah 5. Model Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam alPesantren Hamidiyah BAB V
: PENUTUP
58 58 63 63 69 91 91 93 94 98 99 102
A. Kesimpulan B. Saran-saran
102 102
DAFTAR PUSTAKA
103
LAMPIRAN
106
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2. 7 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12
Kitab Tata Bahasa Arab, Tajwid, dan Logika Kitab Fiqh dan Usul Fiqh Kitab Aqidah (Usulluddin dan Tauhid) Kitab Tafsir al-Qur‟an Kitab Hadits dan Ilmu Hadits Kitab Kesalehan, Perilaku Terpuji, dan Tasawuf Kitab Sejarah Hidup Nabi (Sirah) dan Karya Penghormatan untuk Nabi SAW Perkembangan Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah dari Periode ke Periode Daftar Perkembangan Santri MTs/MA Putra dan Putri Pesantren alHamidiyah (2000-2014) Daftar Perkembangan Jumlah Santri MTs/MA Putra dan Putri Pesantren al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2014-2016 Jadwal Kegiatan Santri Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017 Struktur Program Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Distribusi Jam Pelajaran Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017 Rencana Pembelajaran Kitab Salaf Kajian Islam Pesantren alHamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017 Target Pencapaian Pembelajaran al-Qur‟an, Tilawah dan Tahfidz Tahun Pelajaran 2016/2017 Target Pencapaian Bahasa Arab Tahun 2016/2017 Silabus Kajian Islam Silabus Kajian Islam Daftar KKM Kemampuan Santri
xiv
40 41 42 42 43 43 44 63 66 68 73 76 77 79 80 81 81 83 90
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN Gambar 2.1 Bagan 2.1 Bagan 2.2 Bagan 2.3 Bagan 2.4 Bagan 2.5 Bagan 2.6 Gambar 4.1 Gambar 4.2
Visualisasi Pendidikan dan Pengajaran Komponen Sistem Agama (Relegi) Model Pengembangan Kurikulum (Pawlas dan Oliva) Model Pengembangan Kurikulum Oliva Prosedur Pengembangan Kurikulum Model Taba Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp Skema Kerangka Berpikir Dokumentasi Pelatihan Internet Pesantren al-Hamidiyah Dokumentasi Syuting Live di Stasiun TV
xv
22 23 27 28 47 48 52 88 89
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10
Struktur Organisasi Yayasan Islam al-Hamidiyah Periode 20152020 Struktur Organisasi Yayasan dan Pesantren al-Hamidiyah Tahun 2016/2017 Daftar Guru Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Tahun 2016/2017 Daftar Guru dan Karyawan MTs al-Hamidiyah Tahun 2016/2017 Daftar Guru dan Karyawan MA al-Hamidiyah Tahun 2016/2017 Daftar Prestasi Santri Data Lulusan Santri MA al-Hamidiyah Tahun 2015 Pedoman Wawancara Pedoman Observasi Dokumentasi Pelaksanaan Pembelajaran dan Kegiatan Santri Pesantren al-Hamidiyah
xvi
107 108 109 113 115 117 119 121 122 123
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengkajian mengenai pendidikan, terutama yang terkait dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan dari persoalan kurikulum. Kurikulum merupakan salah satu faktor terpenting dalam pelaksanaan pendidikan. Setiap lembaga pendidikan baik yang dikelola oleh pemerintah, swasta ataupun masyarakat, membutuhkan kurikulum untuk dapat merumuskan nilai-nilai yang akan ditanamkan pada peserta didik. Kurikulum menjadi ukuran tersendiri dari keberhasilan proses pengajaran. Kurikulum juga merupakan acuan yang digunakan oleh sebuah lembaga pendidikan dalam menjalankan proses pembelajaran. Dalam dokumen kurikulum 2013, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2012: 2) pembahasan umum mengenai pengertian dan substansi kurikulum secara konseptual, menyebutkan bahwa: “Kurikulum merupakan suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara pedagogis, kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.” Kurikulum menurut Sukmadinata (2012: 4), yaitu semua aspek yang terkait dengan pendidikan seperti metode belajar dan sasaran-sasaran pembelajaran. Sementara itu, Hidayat (2013: 20) menelusuri lebih jauh pengertian kurikulum, menurutnya kurikulum memiliki beberapa arti, yaitu: (1) sebagai rencana pembelajaran, (2) sebagai rencana belajar murid, (3) sebagai pengalaman belajar yang diperoleh murid dari sekolah atau madrasah. Secara lebih luas lagi menurut Arifin (2013: 5) kurikulum adalah semua kegiatan dan pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini merupakan hidden curriculum (kurikulum tersembunyi), misalnya fasilitas sekolah, lingkungan yang aman, suasana keakraban, kerja sama yang harmonis dan sebagainya yang dinilai turut mendukung keberhasilan pendidikan. Dewey‟s sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan Hunkins (2009: 10) bependapat bahwa:“curriculum is all the experiences children have under the guidance of teachers”. Kurikulum sangat dibutuhkan oleh semua lembaga pendidikan termasuk pesantren. Sudah seharusnya pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki kurikulum agar pelaksanaan pembelajaran lebih terarah. Berbagai laporan penelitian oleh para sarjana Islam mengenai pesantren, menandai bahwa pesantren merupakan hal yang masih cukup menarik untuk diperbicangkan. Menurut hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh Anwar (2008: 101) pembaharuan pendidikan Pesantren Lirboyo Kediri ditandai dengan dibuatnya Yayasan Pendidikan Islam HM. Tribakti al-Mahrusiyah dan Pesantren Salafi Terpadu ar-Risalah sebagai unit (cabang) yang meyelenggarakan lembaga pendidikan di luar unit pondok induk, selain pempertahankan sistem pendidikan tradisional atau 1
2
pesantren salafiyah dengan melaksanakan pendidikan diniyah juga membuka sistem pendidikan umum di bawah pengawasan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, dengan membuka jenis pendidikan Taman Kanak-kanak, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan perguruan tinggi dibawah naungan Yayasan Pendidikan Islam HM. Tribakti (YPIT) dan jenis Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas dibawah naungan Pesantren Salafi Terpadu ar-Risalah. Sama halnya, dengan laporan Damopoli (2011: 311) fungsi pesantren dan implikasi pembaruan pendidikan Pesantren Modern IMMIM terhadap masyarakat salah satunya adalah menyelenggarakan pendidikan formal kesekolahan (SLTP/SMU) sebagai pembaruan pendidikan pesantren, juga tetap mempertahankan pendidikan kepesantrenan dengan menjalankan kurikulum pendidikannya 100 % umum dan 100 % agama. Lain halnya, dengan Pesantren Darul Fallah sebagaimana berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malik MTT (2008: 49) ia meyebutkan dalam tulisannya bahwa Pesantren Darul Fallah menerapkan suatu sistem pendidikan terpadu dari berbagai sisi, seperti keterpaduan antara; (1) pendidikan agama dengan teknologi/keterampilan agrobisnis, (2) pendidikan formal dengan non formal pesantren serta informal komunitas pesantren, (3) pendidikan intelektual (teori) dengan praktek penerapan usaha dan kewirausahaan, (4) pendidikan pencapaian prestasi individual dengan semangat pelayanan pada masyarakat du‟afa wal masâkin. Model pendidikan yang ditawarkan oleh masing-masing pesantren di atas merupakan upaya pengelola pesantren agar memiliki daya minat masyarakat yang kian berpikiran modern dan membutuhkan suatu lembaga pendidikan modern yang memberikan pendidikan-pendidikan yang dapat menjadi bekal bagi kehidupan dunia dan akhiratnya. Laporan tersebut di atas menandakan bahwa pesantren terus berinovasi dengan mengembangkan kurikulum pendidikannya menyesuaikan diri dengan perkembangan kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah dan mencoba terus mengikuti dan memenuhi perkembagan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dalam memilih lembaga pendidikan. Oleh karena itu pesantren masih dijadikan arternatif pilihan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan Islam. Untuk itu pesantren dituntut agar lebih kreatif dan dapat berinovasi mengembangkan kurikulum pendidikannya yang memiliki daya tarik yang cukup baik dan dapat bersaing dengan jenis pendidikan lain. Menurut Nata (2012: 297) masyarakat saat ini membutuhkan sebuah lembaga pendidikan yang menyediakan berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan dalam menggunakan teknologi yang canggih dan bahasa asing yang dibutuhkan untuk dapat memasuki lapangan pekerjaan dan merebut berbagai peluang yang tersedia. Hal ini pula yang dijadikan pertimbangan pesantren dalam mengembangkan kurikulumnya, yaitu selain memberikan materi-materi keagamaan, pesantren juga berupaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut dengan memberikan materi tambahan berupa berbagai keterampilan, pemanfaatan perkembangan teknologi dan memperdalam bahasa asing. Berbagai bentuk dan model yang ditawarkan pada suatu lembaga pendidikan termasuk jenis pesantren, sudah semestinya menempatkan kurikulum sebagai landasan penting bagi keberlangsungan proses belajar mengajar walaupun dalam aplikasi di tingkat institusi berbeda-beda karena disesuaikan dengan kondisi riil suatu lembaga. Meskipun pesantren selama ini dikenal konservatif dan identik dengan wilayah Islam tradisional, pada dasarnya pesantren tetap membuka diri bagi perubahan. Dari segi historis menurut pandangan Madjid (1997: 3) pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab,
3
lembaga yang serupa dengan model pendidikan pesantren sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam sebagai pelopor pendidikan di Indonesia. Pesantren sebagai produk asli masyarakat Indonesia sudah selayaknya pesantren hingga kini masih diminati oleh masyarakat Indonesia. Namun, pesantren perlu menyesuaikan diri dengan kemajuan kebutuhan masyarakat dengan melakukan langkahlangkah yang tepat seperti mengembangkan kurikulum keagamaannya yang sesuai dengan perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia, agar kurikulum keagamaan yang berada pada pendidikan kepesantren dapat berjalan lebih maju dan profesional sebagaimana perkembangan kurikulum pendidikan pada sekolah/madrasah di Indonesia. Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim khususnya yang berkecimpung di dunia pesantren. Karena kelahiran Undang-undang ini masih sangat belia dan belum sebanding dengan usia keberadaan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat dilihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-undang Sisdiknas sebagai berikut; dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Bahkan pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang berperan membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta berakhlak mulia. Pesantren telah sejak lama melaksanakan objek kajian berorientasi keagamaan namun tetap dalam kerangka kurikulum nasional. Dengan kata lain, secara tidak langsung fungsi kurikulum sudah diterapkan oleh kalangan pesantren secara konsisten sebagai syarat tercapainya tujuan pendidikan nasional, meskipun dalam konteks yang lebih sederhana. Sebagai lembaga pendidikan pesantren terkenal dengan kemandirian dalam mengelola sistem pembelajaran, inilah yang terkadang diartikan sebagai eksklusif, anti sosial, dan semacamnya. Dalam kesederhanaannya, kenyataan menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan sepanjang hayat (life long integrated education) di sebagian besar pesantren telah berjalan dengan sangat baik dan konsisten. Selain itu, peran pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah selain sebagai sarana pembentukan karakter dan pencetak kader-kader calon ulama, pesantren merupakan bagian dari khazanah pendidikan Islam Indonesia yang setia berada dalam barisan “apa adanya”. Menurut Madjid (1997 : 7) sebagai lembaga pendidikan dengan kurikulum yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (agama Islam), pesantren dianggap kurang memberikan arah yang prospektif bagi masa depan dibandingkan dengan lembaga-lembaga formal sekolah dan perguruan tinggi. Di sisi lain, juga dianggap kurang dapat mengimbangi tuntutan zaman. Karena kurangnya dalam mengimbangi tuntutan zaman, beserta faktor-faktor lain yang beragam, pesantren dianggap kurang siap untuk “lebur” dalam mewarnai kehidupan modern. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Qomar (2005: 113), yakni isi kurikulum keagamaan pesantren dianggap kurang melakukan pengembangan-
4
pengembangan yang di sesuaikan dengan tuntutan zaman seperti pada kajian bahasa Arab yang sangat populer diajarkan di setiap pesantren. Bahasa Arab adalah sebagai alat dalam memahami ajaran Islam terutama yang terurai dalam al-Qur‟an, Hadits, dan kitab-kitab Islam klasik, dianggap terlalu berlebihan pada aspek kognitif, sedangkan pada aspek afektif dan psikomotorik kurang terjelajahi secara proposional. Pesantren harus memperhatikan dan menghadapi situasi yang berkembang sekarang. Oleh karena itu, perlu trobosan-trobosan yang tepat dan sesuai, seperti kemampuan multibahasa sebagai alat utama pengembangan pemikiran. Maka para santri selain memiliki akar tradisi (kitab kuning dan pemikiran klasik), juga terlibat aktif dan kritis dalam wacana modernitas (Kitab putih). Guna membenahi kekurangan-kekurangan tersebut banyak para tokoh dari kalangan pesantren mulai mengembangkan visi-misi dan kurikulumnya. Pesantren mulai melakukan akomodasi dan penyesuaian seperti adanya sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal. Bahkan pesantren juga mulai melakukan pengembangan kurikulum dengan memasukkan pelajaran umum seperti pelajaran bahasa Inggris, sains teknologi, keterampilan, dan ilmu-ilmu lain serta pelajaran ekstra seperti olah raga, seni dan lain-lain. Langkah lain yang ditempuh pesantren berdasarkan gagasan kemandirian adalah memperkenalkan beberapa pelatihan keterampilan (vocational) dalam sistem pendidikannya. Sebagai contoh, Pesantren Tebu Ireng dan Rejoso sejak dekade 1950-an dan awal 1960-an telah mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan keterampilan bidang pertanian dan perdagangan. Begitu juga pesantren Gontor, Denanyar, Tambak Beras dan Tegalrejo telah mengembangkan koperasi (Madjid, 1997 : xviii). Perjumpaan pesantren dengan kurikulum merupakan sebuah keharusan karena kedudukannya yang cukup sentral dalam dunia keilmuan. Menurut Azra (1998: 87) karena kedudukannya sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosiohistoris yang cukup kuat. Dengan bekal tersebut pesantren mampu bertahan di tengah gelombang perubahan berbagai sisi kehidupan menyangkut ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dalam konteks keilmuan, Azra (1998: 89) berpendapat paling tidak pesantren memiliki tiga fungsi pokok. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge); kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition); ketiga, pembinaan calon-calon ulama (reproduction of ulama). Dilihat dari tanggungjawab pesantren yang cukup besar terhadap tiga hal di atas maka agaknya pembaharuan terhadap kurikulum khususnya aspek pembelajaran merupakan kebutuhan mendesak. Namun, sejauh ini masih jarang dari kalangan pesantren yang memperhatikan secara serius dalam kurikulumnya mengenai langkah pengenalan keluar secara lebih luas terhadap keilmuan yang diajarkan. Padahal segala potensi yang ada khususnya di bidang transmisi keilmuan klasik, jika tidak dikembangkan dan didukung dengan improvisasi metodologi hanyalah akan menghadirkan penumpukan keilmuan sebagaimana yang diungkapkan Malik Fajar seperti dikutip Madjid (1997 : 114), sehingga akhirnya karena kurangnya improvisasi metodologi tersebut materi keilmuan, ketrampilan yang didapatkan dari pesantren baik pesantren klasik maupun modern hanya menjadi teori-teori yang tidak dapat diaplikasikan secara praktis di dalam kehidupan sosial masyarakat, karena tidak responsif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Kurikulum harus senantiasa berkembang disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat merupakan input dari institusi pendidikan memerlukan proses dan output yang baik. Menurut Wahyudin (2014: 62) Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensip yang meliputi perencanaan,
5
penerapan, dan evaluasi karena pengembangan kurikulum menunjukkan perubahanperubahan dan kemajuan-kemajuan. Pembahasan mengenai perubahan untuk pencapaian kemajuan dalam kaitannya dengan pendidikan Qomar (2010: 214) berpendapat bahwa, perubahan merupakan salah satu dari arah pembaruan. Perubahan dapat mengarah kepada kemajuan atau kemunduran. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola perubahan agar mengarah pada upaya dan orientasi penyempurnaan yang terkendali. Perubahan dan perkembangan yang dirumuskan dalam ajaran Islam secara umum, memiliki landasan teologis normatif, yaitu yang terkandung dalam al-Qur‟an Surah al-Ra‟d (13): 11 dan al-Qur‟an Surah al-Anfâl (8): 53, kedua ayat tersebut mengandung pengertian bahwa suatu kaum harus merubah dirinya sendiri, jika menginginkan suatu perubahan pada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah Maha berkehendak atas segala sesuatu, maka sebagai makhluk ciptaan-Nya hendaklah kita selalu memohon perlindungan hanya kepada-Nya. Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sudah semestinya melakukan perubahan dan pengembangan pada kurikulum keagamaannya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah sejak lama diakui sebagai lembaga induk yang berperan menciptakan usaha dalam memodernisasikan masyarakat dalam ruang lingkup yang sederhana. Keberadaan pesantren dari awal keberadaannya, hingga kini merupakan salah satu alternatif lembaga pendidikan Islam yang dipilih masyarakat Muslim. Pesantren terus berkembang, baik dari segi fisik maupun sistem kurikulum pendidikannnya, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut juga yang menjadikan pesantren tetap menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat Muslim yang ingin mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Islam. Pesantren sejak awal keberadaannya, hingga kini telah menunjukkan perkembangannya terutama pada kurikulum yang diterapkan, baik pada pesantren yang menerapkan sistem tradisional (salafiyah), modern dan pesantren kombinasi yang memadukan sistem pendidikan tradisional dan modern tersebut. Fenomena hadirnya pesantren dengan sistem pendidikan kombinasi tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan pesantren agar dapat memenuhi kebutuhan dan minat masyarakat yakni masyarakat yang tidak hanya memiliki bekal pada kesalehan akhirat saja namun, juga dapat memenuhi kebutuhan duniawi. Fenomena keberadaan pesantren dengan sistem pendidikan kombinasi tersebut merupakan suatu bentuk perkembangan pesantren yang ditunjang dengan pengakuan yang diberikan pemerintah, yakni berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, yakni terdapat pada Pasal 14 ayat (3) “Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal” dan Pasal 26 ayat (2) “Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi”. Upaya pengembangan kurikulum, terutama pada pendidikan keagamaan dapat dilakukan dengan terus mempertahankan ciri khas utama pesantren yakni pendalaman pada kajian yang bersumber pada al-Qur‟an, Hadits dan kajian-kajian keislaman karya-karya ulama klasik (kitab kuning) dengan mengembangkan komponen-komponen kurikulum, seperti tujuan, materi dan metode kurikulum dan ditambah dengan keterampilan yang menunjang nilai-nilai keagamaan, seperti konsep yang ditawarkan Qomar (2014: 42-43), yaitu: (1) memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan
6
mendakwahkan Islam sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman baik dalam sekala lokal, nasional, maupun internasional; (2) memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan meneliti (menggali, menemukan, dan mengembangkan khazanah keislaman); (3) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki keterampilan kewirausahaan, seperti usaha memasarkan hasil karya keterampilan kaligrafi Islam; (4) memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki konsentrasi keahlian. Pesantren al-Hamidiyah adalah salah satu lembaga pendidikan swasta yang beralamat di Jl. Raya Depok Sawangan KM. 2 No. 12 Kec. Rangkapan Jaya Kel. Pancoran Mas Kota Depok. Pesantren al-Hamidiyah termasuk pesantren yang terus mengembangkan kurikulumnya. Pesantren yang didirikan oleh seorang ulama kharismatik yakni KH. Achmad Sjaichu pada 17 Juli 1988, lembaga ini pada awal berdirinya adalah pesantren dengan jenis pendidikan formal berbentuk Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, dan kini telah memiliki unit satuan pendidikan yang berkembang dengan pesat antara lain; Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak Islam (TK), Taman Pendidikan al-Qur‟an (TPQ), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) berwawasan Internasional, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Keberadaan unit-unit tersebut tetap mengedepankan ajaran dan nilai-nilai yang bercirikhas keagamaan. (Profil Pesantren al-Hamidiyah) Pesantren al-Hamidiyah mengembangkan kurikulum pesantren salafiyah dengan memadukan kurikulum pesantren salafiyah dan pendidikan modern yang lazim dikenal dengan sistem salafiyah asriyah. Kurikulum yang digunakan oleh unit-unit pendidikan Pesantren al-Hamidiyah menggunakan kurikulum Kementrian Agama RI, Kementrian Pendidikan Nasional, dan kurikulum kepesantrenan/keagamaan yang biasa disebut Kajian Islam, adapun kitab kuning yang digunakan, seperti Bulugh al-Maram, Ta‟lim Muta‟alim, Fath al-Qarib, Imritî dan Amtsilah al-Tasrifiyah. (Profil Pesantren al-Hamidiyah) Secara geografis keberadaan Pesantren al-Hamidiyah berada di tengah perkotaan, disana terdapat beberapa lembaga pendidikan lain yang memiliki kualitas yang cukup baik dan diminati oleh masyarakat sekitar. Namun, hal tersebut tidak menjadikan keberadaannya tersingkir dari minat masyarakat. Pesantren al-Hamidiyah terus melakukan pengembagan kurikulum yang disesuaikan dengan minat masyarakat, yakni masyarakat yang membutuhkan pendidikan yang dapat dijadikan bekal untuk memenuhi tuntutan kehidupan duniawi dan akhiratnya kelak. Sebagai pesantren yang menerapkan pola pendidikan pesantren kombinasi, Pesantren al-Hamidiyah memberikan keilmuan agama dan non agama melalui sekolah/madrasah dan memberikan ilmu keagamaan tambahan melalui pendidikan kepesantren yang dilaksanakan di luar jam sekolah. Nampaknya, hal tersebutlah yang menjadikan Pesantren al-Hamidiyah tetap menjadi alternatif pendidikan yang diminati oleh masyarakat, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah kota Depok. Pengembangan kurikulum keagamaan yang dilakukan oleh Pesantren alHamidiyah adalah sebagai upaya peningkatan mutu pendidikannya terbukti dengan berbagai prestasi yang diperoleh para santrinya baik dalam bidang akademik dan non akademik, selain itu Pesantren al-Hamidiyah memiliki alumni yang tersebar di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia dan Universitas al-Azhar Kairo yang berada di luar Negeri. Dengan berdasarkan latar belakang tersebut penulis mencoba mengangkat tesis yang berjudul “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)”.
7
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas dalam latar belakang masalah di atas, maka beberapa masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Bagaimana pola pengembangan kurikulum keagamaan yang diterapkan di Pesantren alHamidiyah dalam meningkatkan mutu pendidikannya? 2. Bagaimana dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah? 3. Adakah upaya pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah yang sesuai dengan konsep pengembangan kurikulum? 4. Bagaimana kualitas lulusan Pesantren al-Hamidiyah? C. Batasan Masalah Merujuk pada identifikasi masalah tersebut di atas, penelitian ini kiranya perlu penulis batasi, dengan demikian diharapkan menjadi jelas konteks apa saja yang akan menjadi inti permasalahan. Secara garis besar penelitian ini penulis batasi pada: 1. Langkah-langkah yang dilakukan Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan kurikulum keagamaannya. 2. Dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah. D. Rumusan Masalah Berdasarkan dari beragam problematika yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini, khususnya pesantren, maka masalah yang akan dikupas pada penelitian ini akan dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimanakah pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok?” Pertanyaan tersebut tentu tidak mewakili semua pembahasan yang disajikan. Namun, secara garis besar penelitian ini akan diarahkan pada satu titik, yakni mengupas secara komprehensif program-program yang ditempuh Pesantren al-Hamidiyah dalam menjaga irama sistem pendidikannya agar senantiasa dalam posisi yang tidak tertinggal. Selain beberapa hal yang telah diungkapkan di atas, tentunya dalam penelitian ini juga akan dibahas secara spesifik kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan yang diterapkan Pesantren al-Hamidiyah. E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji aspek-aspek dalam perkembangan lembaga pendidikan Islam terutama menyangkut topik yang akan dibahas yaitu: 1. Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan kurikulum keagamaannya. 2. Untuk mengetahui dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren alHamidiyah. Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoritif substantif maupun manfaat secara praktis empirik. 1. Manfaat secara teoritif substantif, yaitu: a. Memberikan masukan keilmuan dalam pengembangan dunia pendidikan pesantren. b. Menambah wacana baru seputar pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren dan kurikulum lembaga pendidikan Islam.
8
c. Memperkaya teori tentang pengembangan kurikulum keagamaan di lembaga pendidikan Islam. 2. Manfaat secara praktis empirik, yaitu: a. Sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi Magister Pendidikan Agama Islam b. Sebagai sumbangan informasi mengenai perkembangan praktis kurikulum keagamaan di pesantren dan lembaga pendidikan Islam. c. Sebagai masukan dan pertimbangan kepada pesantren dan lembaga pendidikan Islam terkait dengan pengembangan kurikulum.
9
BAB II KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, telah sejak lama diakui sebagai lembaga induk yang berperan menciptakan usaha dalam memodernisasikan masyarakat dalam ruang lingkup yang sederhana. Keberadaan pesantren dari awal keberadaannya, hingga kini merupakan salah satu alternatif lembaga pendidikan Islam yang dipilih masyarakat Muslim. Pesantren terus berkembang, baik dari segi fisik maupun sistem kurikulum pendidikannnya, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut juga yang menjadikan pesantren tetap menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat Muslim yang ingin mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Islam. Menurut Tafsir (2013: 290) pesantren merupakan komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam pembentukan manusia yang religious. Lembaga tersebut telah banyak melahirkan pemimpin bangsa di masa lalu, kini, dan agaknya di masa datang. Lulusan pesantren banyak yang mengambil partisipasi aktif dalam pembagunan bangsa. Pesantren sebagai lembaga pendidikan dapat menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, non formal, dan informal dengan jenjang pendidikan yang terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Pesantren juga termasuk pada jenis pendidikan keagamaan. Hal tersebut berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, yakni terdapat pada Pasal 14 ayat (3) “Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal” dan Pasal 26 ayat (2) “Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi”, juga diperkuat dengan ketentuan Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 30 ayat (4), yang berbunyi: Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. 1. Sejarah Pesantren di Indonesia Sebelum membahas lebih lanjut sejarah perkembangan pesantren, terlebih dahulu perlu suatu penjelasan yang dapat dipahami mengenai pengertian dari pesantren. Pesantren memiliki berbagai macam pengertian, menurut Dhofier (2011: 41) pesantren berasal dari kata “santri” yang diberi awalan pe- di depan dan akhiran -an, yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan C.C. Berg sebagaimana di kutip Dhofier, berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Dari pengertian ini, istilah shastri jika dikaitkan dengan santri dalam makna pendidikan Islam, yakni orang yang mempelajari dan memperdalam ajaran agama Islam kemudian mengajarkannya kepada masyarakat, dari sini dapat dipahami bahwa pesantren merupakan tempat santri dalam proses mempelajari dan mendalami ajaran agama Islam tersebut. Istilah pesantren yang mengadopsi istilah-istilah yang digunakan oleh masyarakat Hindu di atas, terkadang menimbulkan pertanyaan, yaitu mengapa istilah yang digunakan tidak mengadopsi istilah-istilah ajaran Islam. Penggunaan istilah pesantren tersebut bila
9
10
dikaitkan dengan sejarah asal mula menyebarkan ajaran Islam di Indonesia sebagaimana disebutkan oleh Yunus (1995: 220) salah satu faktor keberhasilan penyebaran Islam di Indonesia adalah menggunakan metode yang digunakan oleh Rasullullah SAW, yaitu dengan cara mudah, tidak sempit, dan disampaikan secara beranggsur-angsur. Pernyataan Yunus tersebut menunjukkan bahwa penggunaan istilah pesantren yang biasa digunakan oleh masyarakat Hindu, merupakan metode yang digunakan oleh para ulama yang menyebarkan Islam di Indonesia yakni menyesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia sebelum masuknya Islam yang sebagian besar menganut agama Hindu. Pada zaman Sultan Agung (1613), kebudayaan lama Indonesia asli dan Hindu disesuaikan dengan agama dan kebudayaan Islam, seperti Gerebeg Poso” dan “Gamelan Sekatan” dalam memperingati hari raya Idul Fitri dan perayaan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. (Yunus: 1995: 221) Secara lebih tegas Madjid (1997: 20) membedah asal mula kata “santri” dan juga kiai karena kedua unsur ini senantiasa menyatu ketika berbicara mengenai pesantren. Cak Nur berpendapat bahwa kata “santri” berasal dari “sastri” (bahasa Sansekerta) yang berarti melek huruf, sehingga dikonotasikan bahwa santri merupakan kelas literary, yaitu bagian dari komunitas yang memiliki pengetahuan agama yang dibaca dari kitab-kitab berbahasa Arab dan selanjutnya diasumsikan paling tidak santri mampu membaca al-Qur‟an. Kemudian istilah santri juga diyakini berasal dari bahasa Jawa, “cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun sang guru pergi dan menetap, dengan tujuan dapat belajar suatu keahlian. “Cantrik” juga terkadang diartikan sebagai orang yang menumpang hidup atau ngenger. Pandangan Cak Nur tersebut, mengandung pengertian bahwa pesantren merupakan tempat belajar santri yang didalamnya ada figur kiai sebagai seorang guru yang membimbing dan mengajarkan ilmu dan nilai-nilai keagaman Islam. Istilah lain yang selalu berpasangan dengan pesantren adalah pondok. Istilah “pondok pesantren” menjadi sangat dikenal masyarakat. Kata “pondok”, sebelum tahun 1960-an lebih dikenal dari pada pesantren. Istilah pondok berasal dari pengertian asramaasrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau berasal dari kata bahasa Arab “funduq”, yang artinya hotel atau asrama. (Dhofier, 2011: 41) Dari pengertian dua istilah tersebut, baik pesantren maupun pondok, sama-sama mengandung pengertian sebagai tempat tinggal santri, sehingga pemakaian istilah tersebut secara bersamaan merupakan penguatan makna saja. Akan tetapi, menggunakan salah satu saja sudah dianggap cukup memadai untuk mendeskripsikan lembaga pendidikan Islam pesantren. Istilah Pesantren atau pondok pesantren menurut Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 pasal 1 ayat (4) “Pesantren atau Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya”. Peraturan pemerintah tersebut dijadikan landasan bagi pesantren-pesantren saat ini, banyak pesantren yang terus berupaya bertahan dan mengembangkan pendidikannya dengan mengkombinasikan antara pendidikan kepesantrenan dengan jenis pendidikan lain seperti sekolah/madrasah. Menurut Dhofier (2011: 79) harus ada lima elemen sekurang-kurangnya untuk dapat disebut pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajian kitab-kitab klasik, santri, dan kiai. Teori Dhofier tersebut ini dapat dijadikan rujukan untuk mengidentifikasi sebuah pesantren, setidaknya pesantren harus memiliki lima elemen, jika elemen tersebut tidak ada salah satunya, maka menjadi salah satu hambatan untuk kemajuan pesantren tersebut. Adapun elemen-elemen dasar pesantren adalah:
11
(1) Pondok atau asrama: sebagai tempat tinggal para santri. Dengan adanya pondok para santri menjadi tinggal teratur berada dalam satu lingkungan. (2) Masjid: sebagai tempat menjalankan aktifitas ibadah harian dan biasanya pengajaran juga dilakukan di dalam masjid. Biasanya bagi pesantren dalam periode rintisan yang belum memiliki masjid, melakukan kegiatan ibadah di ruang-ruangan yang berada dilingkungan sekitar pesantren. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan bagi pesantren dalam melakukan aktivitas ibadah dan pendidikannya. (3) Kiai: sebagai tokoh kunci dalam lingkungan pesantren, seorang kiai hendaklah betulbetul menguasai keilmuannya karena seorang kiai dituntut untuk mengajar dan memimpin berbagai kegiatan ibadah keagamaan para santri, selain itu figur kiai sama seperti figur ayah dalam keluarga yakni sebagai pendidik dalam menanamkan nilainilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Seorang kiai dalam pesantren menentukan keberhasilan santri dikehidupannya kelak. Kiai juga biasanya dibantu oleh guru/ustadz baik yang menetap didalam lingkungan pesantren atau tidak. (4) Santri: sebagai pelaku dari pembelajaran, keberadaan santri sangat dibutuhkan sekali karena santrilah adanya pesantren.Untuk itu diperlukan manajemen rekrutmen santri, yakni untuk merekrut masyarakat agar tertarik pada pendidikan pesantren. Karena pada beberapa kasus terdapat pesantren yang gulung tikar disebabkan tidak memiliki santri terutama yang menetap. (5) Pengajaran Kitab-kitab kuning: merupakan salah satu alat dan sarana pendidikan dan ciri khas dari pesantren, pada beberapa pesantren seperti pesantren modern tidak memakai kitab kuning namun menggantinya dengan buku-buku karangan intelektual Islam. Berbagai pengertian mengenai pesantren tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai tempat yang digunakan para penuntut ilmu yang biasa disebut sebagai santri, untuk mempelajari ilmuilmu keagamaan yang berasal dari al-Qur‟an dan Hadits kemudian ditambah kitab-kitab ulama klasik (kitab kuning) yang merupakan ciri khas pesantren sebagai rujukan dalam proses pembelajaran. Sistem asrama yang dipandu langsung oleh kiai beserta para guruguru dalam waktu 24 jam di dalamnya menjadikan kelebihan tersendiri bagi pesantren, yakni memungkinkan terbentuknya karakter santri yang mandiri dan dapat bersosialisasi langsung terhadap lingkungannya. Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar tradisi sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikannya dapat dilacak meskipun ada sedikit perbedaan pemahaman. Di kalangan ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat dalam menyebutkan pendiri pesantren pertama kali. Menurut beberapa sumber, sebagian menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal sebagai Syaikh Maghribi, dari Gujarat, India, sebagai pendiri pencipta pondok pesantren yang pertama kali di Jawa. Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang Kuning Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly menginformasikan bahwa di samping Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon sebagai pendiri pertama, sewaktu mengasingkan diri bersama pengikutnya dalam khalwat, beribadah secara istiqamah untuk bertaqarrub kepada Allah. (Qomar, 2005: 8) Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya, Qomar (2005: 9) mengutip beberapa catatan ahli sejarah, bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah sebagai peletak dasar sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Imam
12
Rahmatullah (Raden Rahmat/Sunan Ampel) sebagai wali pembina pertama di Jawa Timur. Adapun Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), terdapat dua kemungkinan yang tercatat oleh ahli sejarah, yakni pendapat pertama, mendirikan pesantren sesudah Sunan Ampel, sedangkan pendapat kedua, menyatakan kemungkinan Sunan Gunung Jati sebagai pendiri pesantren pertama, tetapi khusus di wilayah Cirebon atau secara umum Jawa Barat. Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli sejarah mengenai siapa tokoh pertama sebagai pendiri pesantren di tanah nusantara ini, hal yang terpenting adalah keberadaan pesantren di Indonesia seiring dengan awal masuknya ajaran Islam di bumi nusantara ini. Para ulama yang terkenal dengan “Wali Songo” tersebutlah merupakan perwakilan para tokoh-tokoh terpenting dari perkembagan awal ajaran Islam dan pesantren merupakan tempat yang dijadikan pusat pendidikan dan kegiatan dakwah Islam. Pendidikan pesantren juga dapat dikatakan sebagai pioneer dan bahkan secara geneologis merupakan “cikal bakal” bagi perkembangan pendidikan nasional di Indonesia, menurut Dhofier (2011: 63) indikatornya adalah dari keterangan-keterangan yang terdapat dalam Serat Cebolek dan Serat Centhini dapat disimpulkan bahwa paling tidak sejak permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren-pesantren yang masyhur dan menjadi pusat pendidikan Islam, Mulyadi (dalam Nizar, 2013: 90) juga menambahkan bahwa saat itu juga telah banyak dijumpai pesantren yang besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqh, teologi dan tasawuf. Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah, justru misi yang kedua ini lebih menonjol. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah tersebut tepat sasaran sehingga terjadi benturan antara nlai-nilai yang dibawanya dan nilai-nilai yang telah mengakar di masyarakat setempat. Lazimnya, baik pesantren yang berdiri pada awal pertumbuhannya maupun pada abad ke-19 dan ke-20 masih juga menghadapi kerawanan-kerawanan sosial dan keagamaan pada awal perjuangannya. (Qomar, 2005: 11) Selanjutnya, pesantren ikut berperan dalam melawan penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Kemudian pada masa kemerdekaan pesantren mengalami nuansa baru, rakyat menyambut munculnya era pendidikan baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat penjajahan, sedangkan pemerintah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Perkembagannya lembaga pendidikan milik pemerintah, justru menjadi ancaman bagi pesantren. Namun, pada perkembagan selanjutnya pesantren tetap masih bertahan hidup dan berkembang dengan baik hingga sekarang. (Qomar, 2005: 12-14) Lembaga pendidikan pesantren berkembang terus dari segi jumlah, sistem, dan materi yang diajarkan. Bahkan pada tahun 1910 beberapa pesantren seperti pesantren Denanyar (Jombang), mulai membuka pondok khusus untuk santri-santri wanita. Kemudian pada tahun 1920-an pesantren-pesantren di Jawa Timur, seperti pesantren Tebuireng (Jombang), Pesantren Singosari (Malang), mulai mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah. (Dhofier, 2011: 72) Sebagaimana kita ketahui bersama, pendidikan pesantren kian berkembang sesuai dengan perkembangan jiwa dan kepribadian masyarakat Indonesia, karenanya perkembangan dan kemajuan pesantren merupakan cita-cita ideal semua elemen masyarakat (Muslim). Setidaknya, konsep tentang manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sekaligus menerapkan keimanan dan ketakwaan (IMTAK) dapat muncul dari institusi pesantren.
13
Sejak berdirinya pada abad yang sama dengan masuknya Islam hingga sekarang, pesantren telah berperan aktif dalam masyarakat luas. Pesantren telah berpengalaman menghadapi berbagai corak masyarakat dalam rentang waktu itu. Pesantren tumbuh atas dukungan mereka, bahkan menurut Rahim (2001: 152), pesantren berdiri didorong permintaan (demand) dan kebutuhan (need) masyarakat. Sehingga pesantren memiliki fungsi yang jelas. Fungsi pesantren sejak awal keberadaannya sampai sekarang telah mengalami perkembangan. Visi, posisi, dan persepsinya terhadap dunia luar telah berubah. Qomar (2005: 22) mengutip berbagai catatan peneliti dari beberapa fungsi sekaligus peran pesantren sesuai dengan perkembagannya, yaitu: (1) Pesantren sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam. Kedua fungsi ini bergerak saling menunjang. Pendidikan agama dapat dijadikan bekal dalam menyebarkan dakwah Islam, sedangkan dakwah dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan. (2) Pesantren sebagai pencetak calon ulama dan mubaligh yang militan dalam menyiarkan agama Islam. (3) Pesantren sebagai fungsi religious (diniyyah), fungsi sosial (ijtima‟iyyah), dan fungsi edukasi (tarbawiyyah). (4) Pesantren sebagai lembaga pembinaan moral dan kultur. (5) Pencetak kader bangsa yang benar-benar patriotik; kader yang rela mati demi memperjuangkan bangsa, sanggup mengorbankan seluruh waktu, harta, bahkan jiwanya. (6) Pesantren sebagai pusat penyuluhan kesehatan. (7) Pesantren sebagai pusat pengembagan teknologi bagi masyarakat pedesaan. (8) Pesantren sebagai pusat usaha-usaha penyelamatan. (9) Pesantren sebagai memberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Berbagai fungsi dan peran pesantren di atas merupakan sebuah bukti pesantren telah terlibat dalam menegakkan Negara dan mengisi pembangunan sebagai pusat perhatian pemerintah. Begitu besarnya fungsi dan peran pesantren bagi perkembangan Indonesia, selain sebagai pusat pendidikan dan dakwah Islam dan pusat reproduksi ulama, pesantren dalam masalah-masalah tertentu berperan sebagai kepanjagan tangan pemerintah dalam mengsukseskan program-program pembangunan. Selanjutnya, tujuan dari pesantren sebagaimana terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 Pasal 26 ayat (1) adalah menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat. Menurut Qomar (2005: 7) pesantren bertujuan membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan Negara. Dhofier, (2011: 186) mengambil contoh dari tujuan pendidikan Pesantren Tebuireng yakni dalam 30 tahun pertama adalah untuk mendidik calon ulama. Sekarang ini, tujuannya sudah diperluas yaitu untuk mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi “ulama intelektual” (ulama yang menguasai pengetahuan umum) dan “intelektual Ulama” (sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga menguasai pengetahuan Islam.
14
Istilah “ulama” sebenarnya berasal dari kata „alim dan merupakan bentuk jama‟ dari kata itu. Tetapi dalam pengertian umum sekarang, “ulama” sudah menjadi bentuk tunggal. Seorang alim adalah orang yang berilmu, tetapi kata “ulama”menunjuk kepada orang yang memiliki pengetahuan agama, terutama dibidang fiqih atau hukum agama, padahal ahli fiqh disebut sebagai faqih atau jamaknya fuqaha. Para ulama, menurut suatu Hadits Nabi SAW adalah pewaris para Nabi. (Rahardjo, 1999:185) Sedangkan Istilah “intelektual”, disamakan dengan golongan terpelajar, golongan intelektual digolongkan menjadi dua, yang pertama adalah golongan terpelajar yang sekolahan atau bukan (termasuk drop-outs), yang peranannya tidak harus berkaitan dengan ilmu yang dipelajari atau profesi yang dikuasai. Sedangkan golongan kedua adalah kaum terpelajar yang kepentingan utamanya adalah menggunakan disiplin ilmunya secara profesional, dan karena itu peran yang mereka jalankan berkaitan erat dengan ilmu yang mereka pelajari sekolah atau profesi yang mereka kuasai. (Rahardjo, 1999: 68) Dengan pengertian ulama dan intelektual di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ulama adalah mereka yang menekuni keseluruhan ajaran-ajaran Islam, melakukan interprestasi dan mensistematiskannya, kemudian menyampaikannya kepada masyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa ulama adalah mereka yang benar-benar menguasi ajaranajaran Islam kemudian menyampaikannya kepada orang lain, sedangkan mereka yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam, namun tidak menekuni dan menguasai secara keseluruhan ajaran-ajaran Islam tersebut, maka belum dapat dikatakan ulama dan dibutuhkan istilah lainnya. Kemudian istilah intelektual disini mengandung arti sebagai orang yang terpelajar baik menekuni ilmu agama atau non agama. Jadi, cukup jelas bahwa tujuan pesantren untuk mereproduksi ulama yang intelektual, yang memungkinkan dapat berperan menyesuaikan keberadaannya di era globalisasi ini. Menurut Mastuhu sebagaimana dikutip oleh Tafsir (2013: 303), terdapat prinsipprinsip yang berlaku pada pendidikan di pesantren. Prinsip-prinsip tersebut menggambarkan ciri-ciri utama tujuan pendidikan pesantren, antara lain sebagai berikut: 1) Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam. 2) Memiliki kebebasan yang terpimpin. 3) Berkemampuan mengatur diri sendiri. 4) Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. 5) Menghormati orang tua dan guru. 6) Cinta kepada ilmu. 7) Mandiri. 8) Kesederhanaan. Inti dari tujuan pembelajaran yang merupakan keunggulan utama di pesantren adalah menanaman keimanan. Metode menanaman keimanan terbentuk dari kondisi menyeluruh kehidupan budaya pesantren, pengaruh kiai baik dalam ritual peribadatan maupun dalam perilaku kesehariannya. (Tafsir, 2013: 305) Dari tujuan pesantren yang diuraikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah untuk mendidik dan membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran Islam atau ilmu-ilmu keagamaan, dan kaderisasi ulama yang dilakukan adalah upaya agar mereka siap mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Kaderisasi ulama ini sudah semestinya dilakukan oleh pesantren, agar tujuan-tujuan pembelajaran pesantren dapat tercapai sebagaimana semestinya dan tidak terjadi penyimpanganpenyimpangan dalam pemahaman ilmu keagamaan yang disebabkan karena kurangnya pendalaman dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan tersebut. Wacana kaderisasi ulama
15
intelektual, merupakan trobosan yang sangat baik selain para santri menguasai ilmu-ilmu keagamaan juga menguasai ilmu-ilmu bidang lain yang dapat menjadi modal bagi kehidupan duniawinya dan merupakan salah satu solusi dalam menghadapi perkembangan arus globalisasi. Namun, pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan akhlak mulia harus tetap dilakukan karena merupakan ciri khas dari pesantren itu sendiri. 2. Ragam Pesantren Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang awal keberadaannnya adalah hasil usaha mandiri kiai yang dibantu santri dan masyarakat, pesantren memiliki berbagai bentuk dan ciri khusus tergantung selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun geografis yang yang berada disekelilingnya. Keberagaman pesantren dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti dari rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan dan kemoderenan, keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sudut sistem pendidikannya. Pertama, pesantren dilihat dari segi kurikulumnya terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu (a) pesantren modern; (b) pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/usul alfiqh, ilmu tafsir/Hadits, ilmu tasawwuf/tariqah, dan qira‟at al-Qur‟an); dan (c) pesantren campuran. (Arifin dalam Qomar, 2005: 16) Pembagian ketiga jenis pesantren ini, nampaknya tidak perlu dipertentangkan secara gradual. Ketiganya nampak jelas perbedaan satu sama lainnya, pada pesantren modern memang dikelompokkan sebagai pesantren jenis baru karena pada sistem pendidikannya berbeda dengan pesantren tahassus yang pada praktek pelaksanaan pendidikannya masih menggunakan sistem tradisional atau klasik. Kedua jenis pesantren tersebut tentunya berbeda dengan pesantren campuran, yang menggabungkan atau mengkombinasikan sistem kurikulum pendidikan modern dan tradisional. Kedua, pesantren dilihat dari segi kemajuan muatan kurikulumnya, yaitu: (a) pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan menghafal sebagian dari al-Qur‟an; (b) pesantren sedang yang hanya berbagai kitab fiqh, aqidah tata bahasa Arab/nahwu saraf, dan terkadang amalan sufi; dan (c) pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah, tasawwuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya. (Qomar, 2005: 16) Pembagian kelompok pada jenis pesantren ini terasa masih kabur, karena kemajuan bukan hanya dilihat dari banyaknya mata pelajaran yang ditawarkan, namun dapat dilihat dari hasil atau alumninya. Pada pelaksanaan dibeberapa pesantren yang hanya lebih fokus dengan satu bidang ilmu malah lebih terlihat keahliannya pada ilmu tersebut, dibandingkan dengan pesantren yang lebih banyak menawarkan berbagai macam keilmuan namun tidak lebih fokus pada satu keahlian. Namun, tidak dipungkiri banyak juga pesantren yang menawarkan berbagai macam keilmuan melahirkan alumni yang berkompeten, tentunya dalam pelaksanaan kurikulum pendidikannya harus didukung oleh metode, visi, sarana prasarana, dan sistem yang baik dan sesuai. Ketiga, pesantren dilihat dari segi jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu: (a) pesantren kecil jumlah santri kurang dari 1.000 santri dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten; (b) pesantren menengah memiliki santri antara 1.000 sampai 2.000 santri dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten; (c) pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2.000 orang dan memiliki pengaruh keberbagai kabupaten dan propinsi. (Dhofier, 2011: 79) pengelompokkan jenis pesantren ini nampaknya tidak perlu diperdebatkan, jika memang dilihat dari jumlah santri yang ada, namun jika diukur dengan tingkat keberhasilan penggolongan pesantren kecil, menengah, dan besar perlu dikaji lagi, yakni tidak menjadi sebuah standar bahwa pesantren yang jumlah santrinya sedikit tetapi
16
digolongkan pesantren kecil, bisa jadi pesantren dengan jumlah santri sedikit menghasilkan alumni yang berkualitas pada bidang tertentu dan pengaruhnya bisa menjangkau masyarakat di berbagai daerah yang memang tertarik dan membutuhkan sistem pendidikan pesantren tersebut. Keempat, pesantren dilihat dari segi usia santri, yaitu (a) pesantren khusus anakanak balita; (b) pesantren khusus orang tua; dan (c) pesantren mahasiswa. (Qomar, 2005: 18) pengelompokan jenis pesantren ini masih perlu dipertegas, yakni pada pesantren khusus orang tua, karena tidak ada pembagian batasan usia. Jika memang yang dimaksud orang tua di atas batas kelompok usia mahasiswa, maka perlu satu pengelompokan lagi dari pesantren berdasarkan tingkat usia ini, seperti pesantren khusus remaja yang berada pada standar usia sekolah. Kelima, pesantren dilihat dari segi kecenderungan pada organisasi sosial keagamaan, yaitu: (a) pesantren NU; (b) pesantren Muhammadiyah; (c) pesantren Persis; dan (d) pesantren netral. (Qomar, 2005: 18) Jenis pesantren ini biasanya tidak semua melabeli dirinya secara langsung, jenis organisasi sosial keagamaan yang dianut pada nama lembaganya. Namun, dapat terlihat pada implementasi pendidikannya. Keenam, pesantren dilihat dari segi sistem yang dikembangkan, dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: (a) memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai, kurikulum tergantung dengan kiai, dan pengajaran secara individual; (b) memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberikan palajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat di asrama untuk mempelajari pengetahuan agama dan umum; dan (c) hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah/madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama, kiai sebagai pengawas dan pembina mental. (Qomar, 2005: 18) Ketiga kelompok ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu bagi pesantren yang santri dan kiai tinggal bersama serta kiai sejara langsung memberikan pembelajaran secara individu memiliki kelebihan yakni adanya kedekatan emosional antara keduanya serta kiai dapat langsung memantau perkembagan santri, hal tersebut tentunya akan berbeda dengan kiai yang tinggal terpisah dengan santri dan hanya sebagai pengawas dan pembina mental saja, namun jenis pesantren ini biasanya memiliki kelebihan dalam sistem manajemen yang lebih baik, dibandingkan dengan pesantren yang masih menggunakan sistem tradisional. Ketujuh, pesantren dilihat berdasarkan elemennya, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: (a) terdiri dari masjid dan rumah kiai; (b) terdiri dari masjid, rumah kiai, dan pndok (asrama); (c) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), dan pendidikan formal; (d) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), pendidikan formal dan pendidikan keterampilan; dan (e) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), madrasah, dan dilengkapi bangunan-bangunan fisik lainnya. (Qomar, 2005: 18) Pengelompokkan jenis pesantren ini memang perlu diperhatikan oleh pesantren dalam menghadapi perkembangannya, karena elemen-elemen dasar tersebut memang yang sangat penting untuk perkambangan pesantren. Kedelapan, pesantren dikelompokkan berdasarkan unsur kelembagaan, yaitu: (a) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun sekolah umum; (b) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; (c) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; (d) pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta‟lim); dan (e) pesantren untuk asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa. (Qomar, 2005: 18)
17
Pengelompokkan jenis pesantren ini, merupakan ciri khas tersendiri bagi masing-masing pesantren dan memiliki daya tarik sendiri berbagai kalangan masyarakat yang memiliki beragam kebutuhan akan jenis pendidikan pesantren. Namun, disini pesantren harus lebih jeli memperhatikan perkembagan dan kebutuhan masyarakat tersebut. Kesembilan, pesantren dilihat dari segi keterbukaan terhadap perubahan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, yaitu: (a) pesantren salafiyah yang mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya, penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan tanpa mengenalkan pengajaran umum; (b) pesantren khalafi memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrsasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren. (Dhofier, 2011: 76) Pesantren jenis ini, nampaknya yang paling popular dibandingkan pengelompokan pesantren-pesantren lainnya. Terlepas dengan adanya kerancuan dalam praktik tentang pemahaman pesantren salafiyah dan khalafiyah, untuk sementara istilah itu masih digunakan untuk memudahkan pemahaman terutama ditinjau dari perspektif jaringan dan perubahan sosial. Variasi dan keberagaman pesantren merupakan ciri khas dari masing-masing pesantren tersebut, naman pesantren juga perlu melihat dan mempertimbangkan perkembangan kebutuhan masyarakat dan tentunya harus menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan masyarakat tersebut. Jika, tidak dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat, pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat dan memilih jenis pendidikan lainnya. 3. Pola Pendidikan di Pesantren Pola Pendidikan di pesantren dapat diklasifikasikan berdasarkan kurikulum pendidikannya menjadi beberapa pola, diantaranya, yaitu: Pesantren Pola I adalah pesantren yang materi pelajaran agama bersumber dari kitab-kitab kuning dan metode yang digunakan adalah wetonan dan sorogan, dan bandongan tidak memakai sistem klasikal, juga tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Pesantren pola ini menurut Dhofier (2011: 76) adalah sebagai pesantren tipe lama (klasik), sedangkan menurut Rahim (2005: 76) pesantren pola ini disebut pesantren salafiyah. Pada pola ini juga terdapat beberapa pesantren yang hanya mengajarkan dan memperdalam satu bidang ilmu saja, Arifin (dalam Qomar, 2005: 18) menyebutnya sebagai pesantren tahassus, seperti Pesantren Krapyak dan Wonokromo misalnya, hanya mengkhususkan pendidikannya untuk pendalaman ilmu Qirâ‟at alQur‟an, kemudian pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren Bendo Jampes yang mengutamakan pengajaran gramatika bahasa Arab. Menurut Yasmadi (2002: 70-71) dalam konteks keilmuan pesantren tradisional (salafiyah) merupakan salah satu jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya. Pola pengajaran di pesantren tersebut menjadikan kelebihan tersendiri sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang mewarisi sistem pengajaran Islam, yang digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan klasik. Dengan sistem tradisional ini tidak sedikit melahirkan alumni-alumni pesantren yang berbengaruh dan meneruskan sang guru “kiai” dengan membuka pesantren baru. Hal ini menjadi siklus yang berkelanjutan dalam melestarikan pendidikan dan ajaran-ajaran Islam. Keberadaan pesantren-pesantren tradisional atau komunitas Islam tradisi yang merakyat sangat dirasakan manfaatnya. Hal ini dapat dilihat dari perspektif perlindungan dari serangan budaya Barat yang secara ekstrem merobek gaya hidup generasi muda yang sederhana menjadi individu-individu hedonis. Dengan pola hidup pesantren yang sangat
18
bersahaja, paling tidak menjauhkan pikiran materialistik. Meski peranannya cukup sentral dalam menjaga keilmuan namun bukan berarti pesantren tipe ini lepas dari kelemahan. Dalam pandangan Cak Nur pelaksanaan pola salafiyah secara kaku (rigid) merupakan kendala tersendiri. Dalam posisinya sebagai institusi pendidikan, keagamaan, dan sosial, pesantren dituntut melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya. (Madjid, 1997: 114) Dalam konteks ini, ada baiknya pesantren salafiyah, disamping tetap mempertahankan kekhasan isi dan metode pendidikannya, hendaklah dapat melangkapi dengan kurikulum yang dapat disesuaikan dengan kemajuan zaman dan kebutuhan serta keinginan masyarakat yang beragam akan jenis pesantren saat ini. Namun, perubahan dan pengembangan yang dilakukan, semestinya hanya sebatas aspek oprasional dan manajemennya saja, bukan pada substansi pendidikan pesantren itu sendiri. Contoh tradisi pesantren yang perlu dan harus dipertahankan menurut Qomar (2014: 13) adalah: (1) Penggunaan kitab kuning berbahasa Arab. (2) Penguasaan ilmu alat seperti nahwu, saraf, dan balaghah. (3) Penggunaan asrama (pondok). (4) Memaksimalkan penggunaan masjid. (5) Hubungan batiniah antara kiai dan santri. (6) Kemandirian (sikap independent) pesantren. Mempertahankan pengajaran dengan menggunakan kitab kuning berbahasa Arab dan didukung dengan penguasaan terhadap ilmu alat, dapat memungkinkan santri mengenal dan menguasai khasanah Islam klasik dan menjadikan santri terbiasa dengan bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci dan wahyu. Selanjutnya, dengan memaksimalkan kegiatan melalui asrama dan masjid, tentunya dapat mendukung semua kegiatan santri, seperti sebagai tempat kegiatan belajar dan dapat mengontrol kedisiplinan ibadah santri. Selain itu, kedekatan hubungan batiniah antara kiai dengan santri dapat menghubungkan perasaan keduanya dalam proses pembentukan kepribadian. Terakhir, kemandirian (sikap independent) pesantren, dapat terlihat dalam sikap kemandirian kiai, ustadz, dan santri, yakni kebebasan menentukan dan merumuskan model pendidikan yang dipandang alternatif. Unsur-unsur modernisasi tersebut dapat diambil oleh pesantren sebagai salah satu cara agar tetap dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, manfaat lainnya memungkinkan pesantren untuk memperluas wawasan santri tentang perkembagan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan pendukung lainnya. Pesantren Pola II adalah sistem pendidikan yang dalam proses belajarnya sudah mengenal penjenjangan (klasikal), referensi utama dalam materi keislaman bukan kitab kuning, melainkan kitab-kitab baru yang ditulis para sarjana Muslim abad ke-20, sistem pendidikannya tidak mengikuti sistem pemerintah, yakni menggunakan kurikulum sendiri. (Subhan, 2012: 129) jenis pesantren ini biasa disebut pesantren modern (independent) karena dalam sistem pendidikannya berbeda dengan sistem pesantren tradisional, yakni memadukan pengetahuan agama dan non agama dalam satu sistem dengan kurikulum yang independent. Contoh pesantren dengan pola pendidikan tersebut adalah Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa-Timur. Menurut laporan Pohl (2006: 389-409) Terinspirasi oleh reformasi di Universitas al-Azhar Kairo, Gontor berusaha untuk memodernisasikan metode pengajaran dan memperluas ruang lingkup mata pelajaran yang diajarkan. Mulai tingkat
19
sekolah dasar sampai tingkat Universitas, bahasa Arab dan Inggris sebagai Bahasa pengantar, sertifikat yang ditawarkan oleh Gontor diakui oleh al-Azhar, Pesantren ini dikenal untuk mengirim sejumlah besar siswa ke Kairo. Kurikulum pendidikan di Pesantren Modern Gontor mencakup semua kegiatan dalam berbagai bentuknya. Semua itu merupakan satu kesatuan kurikulum yang tidak dapat dipisahkan, yang mengatur seluruh kehidupan santri. Totalitas kegiatan yang ada memiliki nilai pendidikan dalam berbagai aspek, sehingga “segala yang dilihat, didengarkan, dirasakan, dan dialami oleh santri adalah untuk pendidikan.” Kurikulum yang mengintegrasikan antara kegiatan intra dan ekstra. Adapun pelaksanaan kurikulum itu didelegasikan kepada lembaga-lembaga yang telah ditetapkan, kegiatan intrakulukuler diselenggarakan oleh lembaga Kulliyat al-Mu‟alimin al-Islamiyah (KMI). Sedanglan kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler merupakan tanggung jawab Lembaga Pengasuhan Santri. (Zarkasyi, 2005: 126) Berbeda dengan pesantren tradisional yang cenderung „kurang membuka diri‟ dari unsur-unsur luar, maka lain halnya dengan pesantren modern. Pesantren jenis ini tampaknya lebih fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal baru disamping tetap mempertahankan tradisi lama yang sudah ada. Salah satu ciri pesantren modern yakni dalam proses belajarnya sudah mengenal penjenjangan (klasikal) dan kurikulum. Fenomena munculnya pesantren modern sangat terkait dengan keberadaan kolonialisme yang mendirikan sekolah-sekolah modern yang kemudian berpengaruh pada pola pikir para elit Islam tentang sistem pendidikan yang lebih baik. Menurut Azyumardi Azra dalam sebuah pengantar yang diberi judul “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” yang terdapat dalam Madjid (1997: xii), bahwa harus diakui bahwa modernisasi paling awal dari sistem pendidikan Islam di Indonesia tidak bersumber dari kalangan muslim sendiri. Pendidikan dengan sistem yang lebih modern justru diperkenalkan oleh Belanda melalui perluasan kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan pada paruh kedua abad ke-19. Meskipun ada kesan terpaksa karena desakan komunitas internasional yang mengecam sikap pemerintahan kolonial yang eksploitatif, program pendidikan bagi kaum pribumi ini diimplementasikan pemerintah kolonial Belanda dengan cara mendirikan volkschoolen atau lebih dikenal dengan istilah sekolah rakyat. Senada dengan Azra, dalam pandangan Madjid (1997: 89), suatu kenyataan sederhana namun cukup tajam adalah anggapan bahwa „modern‟ selalu dikonotasikan dengan „Barat‟. Munculnya anggapan ini karena masih banyak yang meyakini bahwa nilainilai kemodernan didominasi nilai-nilai dari Barat. Padahal sebetulnya nilai-nilai kemodernan itu sifatnya adalah universal, sangat berbeda dengan nilai-nilai Barat yang lokal atau regional saja. Ketika Barat mengalami kemajuan secara kebetulan akses informasi sudah berevolusi secara merata ke seluruh belahan dunia, hasilnya simbol modern melekat secara permanent. Yang menjadi arus bawah peradaban modern adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, jadi dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan kemodernan adalah penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Pandangan Cak Nur di atas memang merupakan realitas. Artinya komponenkomponen kemodernan pada dasarnya telah memiliki standar yang cukup jelas. Hakikatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja penguasaan teknologi itu saat ini berada dalam kendali Barat, sehingga seolah-olah Barat adalah sumber modernisasi. Dalam kaitannya dengan ini, umat Islam sesungguhnya memiliki kesempatan yang sama dengan Barat dalam merengkuh nilai-nilai modernitas. Hanya saja rasa percaya diri dan semangat sangat dibutuhkan. Hal tersebut dimungkinkan karena
20
secara historis Islam merupakan perintis berbagai bidang keilmuan seperti kedokteran, ilmu alam, dan aljabar. Bahkan seperti yang dikutip Azra (1998:104), Herbert A. Davies dalam A Outline Hitory of the World, mengemukakan bahwa umat Islam telah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa yang dipunyai Eropa Kristen. Keinginan kuat dari kalangan pesantren yang berbasis tradisional untuk memperbarui sistem pendidikannya, yakni berawal dari keinginan untuk bertahan dari ekspansi lembaga-lembaga pendidikan umum, lembaga-lembaga pesantren tersebut mulai melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal. Sejumlah perubahan ini tentu menuntut kesiapan yang matang dari kalangan pesantren, sehingga tidak terkesan memaksakan diri.(Madjid, 1997: xv) Unsur-unsur moderisasi dari sistem pendidikan sekuler yang perlu diambil menurut Qomar (2014: 13) di antaranya: (1) Penerapan manajemen secara professional. (2) Penerapan kepemimpinan kolektif. (3) Penerapan sikap kritis. (4) Menghindari pemahaman pemikiran agama yang mensucikan pemikiran agama (taqdis afkar al-dinî). (5) Penguatan epistemologi dan metodologi. (6) Penerapan keharusan penelitian dan penulisan karya ilmiah. (7) Penggunaan alat-alat teknologi modern. Unsur-unsur modernisasi tersebut dapat diambil oleh pesantren sebagai salah satu cara agar pesantren tetap dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, manfaat lainnya memungkinkan pesantren untuk memperluas wawasan santri tentang perkembagan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan pendukung lainnya. Pada pekembangannya beberapa pesantren lainnya, mengadopsi sistem dan kurikulum modern pesantren Gontor, seperti Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, dan Pesantren Darun Najah (Pohl, 2006: 389-409). Namun, pesantren tersebut lebih cocok masuk dalam kelompok pesantren pola III karena dalam pelaksanaannya memadukan sistem kurikulum pendidikan Pondok Modern Gontor dan membuka sekolah/madrasah dengan mengikuti kurikulum pemerintah. Pesantren Pola III adalah pesantren yang materi pelajaran agama bersumber dari kitab-kitab kuning dan metode yang digunakan adalah wetonan dan sorogan, hafalan, dan musyawarah serta memakai sistem klasikal dan non klasikal. Selain itu pendidikan keterampilan dan pendidikan organisasi juga diberikan. Memasukkan pengetahuan umum, mengkombinasi berbagai sistem pendidikan, yaitu sistem pengajaran menggunakan kitabkitab klasik, membuka madrasah dan sekolah, (dengan menggunakan kurikulum pemerintah dan kurikulum pesantren yang dibuat sendiri), perguruan tinggi serta pendidikan keterampilan, seperti: pertanian, pertukangan, dan peternakan. Menurut Dhofier (2013: 76) pesantren dengan pola tersebut adalah pesantren tipe baru, seperti Pesantren Tebuireng dan Rejoso di Jombang, telah membuka SMP dan SMA, dan Universitas. Begitu juga pada Yayasan Pendidikan Islam HM Tribakti (YPIT) yang kini menjadi Pesantren al-Mahrusiyah dan Pesantren Salaf Terpadu ar-Risalah, sebagai unit pengembangan pesantren Lirboyo Kediri, selain tetap mempertahankan sistem
21
pendidikan pesantren tradisional (salafiyah), juga membuat membuka sistem pendidikan umum sebagai cabangnya diluar pondok induk. (Anwar, 2008: 101) Sementara itu, Menurut Zuhdi (2006: 421) contoh pesantren yang memadukan sistem pendidikannya, seperti Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur adalah sebuah sistem pendidikan kombinasi, dengan memperbarui sistem pendidikannya, yang semula sebagai pesantren tradisional menjadi pesantren yang mengkombinasikan antara pesantren tradisonal dengan sistem sekolah dan madrasah, yakni (a) Sekolah: disediakan bagi santri/pesera didik yang berminat mempelajari pengetahuan non agama; (b) Madrasah: disediakan bagi santri/peserta didik yang berminat memperdalam pengetahuan agama. Selain sekolah dan madrasah juga mempertahankan pendidikan pesantren tradisional setelah jam sekolah/madrasah. Contoh lain dari pesantren yang mengkombinasikan kurikulum pendidikannya, berdasarkan laporan Malik MTT (2008: 46) adalah Pesantren Darul Falah Bogor, memadukan pendidikan pesantren dan pendidikan pertanian, menurut Daulay (2009: 67) pesantren jenis ini lebih menitikberatkan pada pelajaran keterampilan disamping pelajaran agama. Selanjutnya, Pesantren Mahasiswa al-Hikam Jawa Timur. Menerapkan kurikulum dengan menggabungkan modernitas dan tradisi, melengkapi pendidikan perguruan tinggi sekuler dengan pelatihan agama berakar pada sufi dan lebih menerapkan tradisi pesantren. (Lukens-Bull, 2001: 350-372) B. Kurikulum Keagamaan 1. Pendidikan Agama dan Keagamaan Pendidikan berasal dari kata “didik“, mendapat awalan “pen” dan “an”, yang berarti proses pengubahan sikap dan tingkah laku sesorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. (Depdikbud, 1993: 232). Menurut Maksum (1999: 16) bahwa dalam khasanah pendidikan Islam terdapat sejumlah istilah yang merunjuk langsung pada pengertian pendidikan dan pengajaran seperti tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib, tabyin, dan tadris. Istilah “tarbiyah” berasal dari kata kerja “rabba” yang berarti memperbaiki, bertanggung jawab, dan memelihara atau mendidik. Syed Muhammad al-Attas, sebagaimana dikutip Maksum (1999: 19) menawarkan istilah “ta‟dib” yang dalam pandangannya lebih mampu mewakili pendidikan Islam dalam keseluruhan esensinya yang fundamental. Menurutnya, istilah ini sudah mengandung arti ilmu (pengetahuan), pengajaran (ta‟lim), dan pengasuhan (tarbiyah). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa Istilah “tarbiyah” berasal dari kata kerja “rabba” yang berarti mendidik, sedangkan kata pengajaran dalam bahasa Arab adalah “ta‟lim” dari kata kerja “‟allama” yang berarti mengajar. Menurut al-Hazimi (2000: 18-19) kata “tarbiyah”, yang banyak dijumpai dalam al-Qur‟an memiliki beberapa arti, diantaranya: a. Al-Hikmah (bijaksana), al-„Ilm (pengetahuahan) dan al-ta‟lim (pengajaran). Sebagaimana dalam firman Allah SWT, yang berbunyi:
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali „Imran (3): 79)
22
Kata rabbani berasal dari akar kata tarbiyah. al-Hazimi mengutip penafsiran Ibn Abbas, yaitu kata rabbani ini berarti orang yang bijaksana, berpengetahuan dan lemah lembut. Pengertian ini mengandung arti bahwa seorang pendidik haruslah pemiliki sifat yang bijaksana, berpengetahuan dan lemah-lembut. b. Al-Ri‟âyah (melindungi). Sebagaimana dalam Firman Allah SWT, yang berbunyi:
. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. al-Isrâ (17): 24) Kata “rabbayânî” (mendidik) dalam ayat ini memiliki arti orang tua harus melindungi anaknya. Makna melindungi disini bukan berarti terus-menerus memberikan kesenangan-kesenangan duniawinya, namun memberikan pengarahan atas perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum agama. Kedua pengertian diatas tentunya tersimpan pengertian bahwa pendidikan adalah menanamkan sifat-sifat kebaikan dan akhlak mulia. Kata “tarbiyah” berarti mendidik dan “ta‟lim” berarti “mengajar mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Yunus (1990: 19) mendidik berarti menyiapkan anak dengan segala macam jalan agar dapat menggunakan tenaga dan bakatnya dengan sebaikbaiknya. Sedangkan mengajar berarti memberikan ilmu pengetahuan kepada anak dengan tujuan supaya pandai. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa mendidik mempunyai cakupan yang lebih luas dari mengajar. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Azra (1999: 3) bahwa arti pendidikan adalah suatu proses transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspeknya. Sedangkan pengajaran hanyalah sebagai proses transfer ilmu saja. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan dan pengajaran tidak dapat dipisahkan. Pengajaran dibutuhkan untuk menambah ilmu pengetahuan sedangkan pendidikan bermanfaat untuk mengisi berbagai dimensi nilai yang hidup dalam masyarakat, baik nilai agama, etika, maupun adat istiadat. Sejalan dengan uraian di atas, Tafsir (2013: 37-38) menulis bahwa pendidikan adalah mengembangkan seluruh aspek kepribadian, sedangkan pengajaran hanyalah mengembangkan sebagian dari aspek kehidupan. Disinilah letak keterkaitan antara makna pendidikan dengan pengajaran. Tafsir mencoba melakukan visualisasi terhadap pendapat Dewantara, yakni pengajaran tidak lain adalah dengan cara memberikan pengetahuan serta kecakapan. Berikut ini visualisasi yang dibuat tafsir untuk memudahkan makna pendidikan dan pengajaran: Gambar 2.1 Visualisasi Pendidikan dan Pengajaran A = Daerah Pendidikan B = Usaha Pendidikan dalam bentuk pengajaran C = Usaha pendidikan dalam bentuk memberi contoh D = Usaha pendidikan dalam bentuk pembiasaan E = Usaha pendidikan dalam bentuk hadiah dan pujian F = Usaha pendidikan dalam bentuk lainnya
23
Jadi, pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai secara maksimal. Adapun usaha tersebut dapat beragam macamnya, diantaranya adalah mengajarkan dengan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, memberikan contoh (teladan), pembiasaan melakukan kegiatan poitif, memberikan pujian dan hadiah. Kesimpulannya, pengajaran adalah sebagian usaha dari pendidikan. (Tafsir, 2014: 38) Secara terminologis pendidikan terdapat pengertian yang bervariasi, tergantung latar belakang perumusannya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 (2003: 3) tentang pendidikan pada pasal 1 ayat (1) mendefinisikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan Azra (1999: 4) mendefinisikan pendidikan sebagai proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat. Pendidikan merupakan proses yang komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan untuk mempersiapkan mereka agar mampu mengatasi segala tantangan. Berdasarkan pengertian pendidikan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa definisi pendidikan adalah upaya membentuk pengalaman dan perubahan yang dikendaki dalam tingkah laku seseorang kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Upaya ini hanya akan berhasil melalui interaksi antara pendidik dengan yang dididik. Selanjutnya, dalam memahami makna pendidikan agama dan keagamaan perlu pemahaman mengenai definisi agama. Menurut Tumanggor (2014: 19) agama adalah suatu ajaran yang mengandung aturan, hukum, kaidah, historis, i‟tibar serta pengetahuan tentang alam, manusia, roh, Tuhan, dan metafisika (natural dan supranatural atau riil dan ghaib) baik yang datang dari manusia maupun dari Tuhan. Dapat dipahami bahwa agama berisi pengajaran dan aturan-aturan yang harus dijalankan manusia, sesuai dengan ajaran agama yang diyakini. Adapun keagamaan yang merupakan bagian dari agama dapat diartikan bahwa keagamaan adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, seperti ajaran-ajaran keagamaan, emosi keagamaan dan soal-soal keagamaan. Koentjaraningrat sebagaimana dikutip oleh Tumanggor (2014: 7) menegaskan bahwa komponen yang terkait dalam sistem agama (relegi), antara lain: emosi keagamaan “emotion of religion”, system keyakinan “faith of belief system”, sistem ritus dan upacara “ritual and ceremonial system”, peralatan ritus dan upacara “ritual and ceremonial tool”, dan umat agama “religious people”. Bagannya sebagai berikut: Bagan 2.1 Komponen Sistem Agama (Relegi)
24
Dalam ajaran Islam ilmu dan aturan-aturan yang terdapat dalam agama bersumber pada al-Qur‟an dan Hadits, adapun ajaran yang terdapat dalam pendidikan agama Islam menurut al-Jantani sebagaimana dikutip oleh Ghazali dan Gunawan (2015: 40), yakni mencakup keluruh aspek kehidupan manusia, yaitu aspek pendidikan jasmani, pendidikan spiritual, pendidikan intelektual, pendidikan emosional, pendidikan moral, pendidikan sosial, dan pendidikan kepribadian. Teori ini dapat dipahami, bahwa dalam agama Islam terdapat berbagai aspek pengajaran dan pendidikan yang dapat dijadikan pedoman bagi manuasia dalam menjalani kehidupannya. Berdasarkan pengertian pendidikan dan agama menurut para ahli di atas, istilah pendidikan agama dan keagamaan memiliki arti yang hampir sama dengan sedikit perbedaan. Perbedaan tersebut dapat diartikan bahwa, pendidikan keagamaan merupakan rincian lebih mendalam dari pendidikan agama itu sendiri. Perbedaan makna pendidikan agama dan keagamaan juga terlihat pada Peraturan Pemeritah RI No. 55 tahun 2007 pasal 1 ayat (1) dan (2) berdasarkan pengertiannya, yaitu pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan, pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama berupa pengajaran dan pemahaman ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan pendidikan keagamaan selain mempelajari ilmu-ilmu keagamaan tersebut, juga mempersiapkan atau mengkader para peserta didik untuk menjalankan perannya menjadi ahli agama atau dengan istilah kaderisasi ulama. Dalam hal ini, pendidikan keagamaan dibutuhkan materi-materi dan metode tambahan dibandingkan dengan pendidikan agama. Pendidikan agama dan keagamaan berdasarkan fungsi dan tujuan berdasarkan Peraturan Pemeritah RI No. 55 tahun 2007 pasal 2 ayat (1) dan (2), yaitu Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama dan bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Sedangkan, Fungsi dan tujuan pendidikan keagamaan terdapat pada Peraturan Pemeritah RI No. 55 tahun 2007 pasal 8 ayat (1) dan (2), yaitu hampir sama dengan fungsi dan tujuan pendidikan agama, perbedaannya adalah pendidikan keagamaan sama dengan pengertiannya yaitu memiliki fungsi dan tujuan menjadikan dan mengkader peserta didik untuk menjadi ahli agama atau ulama yang mengamalkan ilmunya. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan agama dan keagamaan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan keagamaan berupa upaya yang lebih spesipik dan mendalam lagi dalam memberi pelajaran dan pemahaman aspek-aspek terpenting dari ilmu-ilmu agama kepada peserta didik, dibandingkan dengan pendidikan agama itu sendiri. Upaya tersebut dimaksudkan agar peserta didik mampu benar-benar menjadi ahli-ahli agama berdasarkan keilmuan dan pengalaman yang didapat selama berlangsungnya proses pendidikan keagamaan tersebut. Selanjutnya Peraturan Pemeritah RI No. 55 tahun 2007 pasal 14 ayat (1) sampai (3) juga menjelaskan bahwa, pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah
25
dan pesantren. Adapun Pendidikan diniyah yang dimaksud adalah diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Sedangkan pendidikan pesantren dapat menyelenggarakan satu atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Kemudian Pada pasal 26 ayat (2) juga dijelaskan bahwa Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi. Pada lembaga pendidikan pesantren yang melaksanakan jalur pendidikan formal dapat berupa pendidikan diniyah formal dan bagi lembaga pendidikan pesantren yang melaksanakan jalur pendidikan non formal dapat melaksanakan pendidikan diniyah non formal yang diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan al-Qur‟an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis, hal ini sebagaimana terdapat pada Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 Pasal 21 ayat (1). Pesantren juga dapat menyelenggarakan pendidikan diniyah yang dipadukan dengan jenis pendidikan lain seperti sekolah/madrasah. Jadi, pendidikan keagamaan di pesantren dapat diselenggarakan pada satu atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal atau pendidikan keagamaan di pesantren dapat juga diselenggarakan pada jenis pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi. 2. Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren Sebelum membahas lebih jauh apa itu pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren, perlu diketahui tentang konsep dan makna kurikulum secara umum terlebih dahulu. Kurikulum memiliki pengertian yang sangat bervariasi, para ahli kurikulum memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan pemikiran mereka masing-masing. Perbedaan pemikiran tersebut berjalan sesuai dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan yang digunakan. Pengertian tentang kurikulum dibahas dalam dokumen kurikulum 2013, kementrian pendidikan dan kebudayaan (2012: 9-10) terdapat dua pengertian, yaitu: Pertama, kurikulum sebagai rencana adalah rancangan untuk konten pendidikan yang harus dimiliki oleh seluruh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya di satu satuan atau jenjang pendidikan tertentu. Kedua, Kurikulum sebagai proses adalah totalitas pengalaman belajar peserta didik di satu satuan atau jenjang pendidikan untuk menguasai konten pendidikan yang dirancang dalam rencana. Apabila ditelusuri lebih jauh, kurikulum mempunyai berbagai arti, yaitu: (1) sebagai rencana pembelajaran, (2) sebagai rencana belajar murid, (3) sebagai pengalaman belajar yang diperoleh murid dari sekolah atau madrasah. (Hidayat, 2013: 20) Menurut Arifin, (2013: 5) kurikulum diartikan sebagai semua kegiatan dan pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini merupakan hidden curriculum (kurikulum tersembunyi), misalnya fasilitas sekolah, lingkungan yang aman, suasana keakraban, kerja sama yang harmonis dan sebagainya yang dinilai turut mendukung keberhasilan pendidikan. Pengertian kurikulum tersebut hampir sama dengan pendapat Dewey‟s sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan Hunkins (2009: 10), yaitu “curriculum is all the experiences children have under the guidance of teachers”.
26
Pengertian yang sama juga dijelaskan oleh Tafsir (2013: 81), bahwa dalam pendidikan, kegiatan yang dilakukan peserta didik dapat memberikan pengalaman belajar, seperti pergaulan, olah raga, dan pramuka selain mempelajari bidang studi itu sendiri. Atas dasar inilah maka inti dari kurikulum adalah pengalaman belajar. Karena dalam kenyataannnya pengalaman belajarlah yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pendewasaan peserta didik. Pendewasaan disini bukan hanya dalam hal mempelajari mata pelajaran melainkan interaksi sosial juga, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Dalam sistem pendidikan Islam al-Syaibani sebagaimana dikutip oleh Tafsir (2013: 97), kurikulum dikenal dengan istilah „manhaj‟ yang berarti „jalan terang‟. Makna tersirat dari jalan terang tersebut menurut al-Syaibany adalah jalan yang harus dilalui oleh para pendidik dan anak-anak didik untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap mereka. Istilah „manhaj‟ yang mengandung arti „jalan terang‟ juga terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur‟an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. al-Mâidah (5): 48) Lebih lanjut al-Syaibany dalam Tafsir (2013: 98) menyatakan, bahwa kurikulum pendidikan Islam seharusnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan akhlak harus diambil dari al-Qur‟an dan hadis serta contoh-contoh dari tokoh-tokoh terdahulu yang shaleh. (2) Memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, akal, dan ruhani. Untuk pengembangan menyeluruh ini harus berisi mata pelajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek.
27
(3) Memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal, dan ruhani manusia. (4) Memperhatikan seni halus, yaitu ukur, pahat, tulis indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu, memperhatikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, teknik, keterampilan, bahasa asing sekalipun semuanya iinidiberikan kepada setiap individu secara efektif berdasarkan bakat, minat, dan kebutuhan. (5) Mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang sering terdapat masyarakat karena perbedaan tempat dan zaman. Dari penjelasan para ahli mengenai pengertian kurikulum tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah rencana pembelajaran dan rencana belajar peserta didik, selain itu kurikulum merupakan pengalaman belajar peserta didik secara keseluruhan, baik berasal dari dalam maupun luar lingkungan sekolah. Pengertian kurikulum tersebut sangat tepat bila dikaitkan dengan proses pendidikan Islam seperti pesantren, karena di pesantren pembelajaran bukan hanya terjadi dalam lingkungan kelas saja, namun di luar kelas seperti asrama yakni pengalaman berinteraksi antar teman atau dengan guru (kiai), disiplin pada kegiatan keseharian, pembentukan karakter yang menanamkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia terjadi dalam keseluruhan lingkungan pesantren. Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai kurikulum tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan tentang pengertian pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian sebagai komponen situasi belajar-mengajar, antara lain penempatan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar-mengajar. (Hamalik, 2013: 183) Menurut Sukiman (2015: 5) pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah suatu proses yang dimulai dari kegiatan menyusun kurikulum, mengimplementasikan, mengevaluasi, dan memperbaiki sehingga diperoleh suatu bentuk kurikulum yang dianggap ideal. Wahyudin (2014: 62) juga menambahkan bahwa, pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensip yang meliputi perencanaan, penerapan, dan evaluasi karena pengembangan kurikulum menunjukkan perubahan-perubahan dan kemajuan-kemajuan. (Wahyudin, 2014: 62) Secara sederhana menurut Pawlas dan Oliva (2008: 266) proses dari pengembangan kurikulum dapat terlihat pada bagan 2.2 berikut: Bagan 2.2 Planning
Implementation
Evaluation
Model Pengembangan Kurikulum (Pawlas dan Oliva, 2008: 266) Model pengembangan kurikulum berdasarkan bagan di atas menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum dibutuhkan beberapa tahapan, yakni dimulai dengan melakukan perencanaan kurikulum, setelah itu adalah implementasi kurikulum, yakni
28
dengan merelisasikannya kedalam proses belajar-mengajar, kemudian kurikulum yang telah dilaksankan tersebut dievaluasi, dengan melihat sesuai atau tidaknya kurikulum yang telah dilaksankan tersebut dengan tujuan dari pengembangan kurikulum. Secara lebih luas lagi Oliva sebagaimana dikutip oleh Pawlas dan Oliva (2008: 267) menggambarkan proses pada model pengembangan kurikulum yang terlihat pada bagan 2.3 di bawah berikut: Bagan 2.3 Model Pengembangan Kurikulum Oliva Statement of Philosophy and Aims
Statement of Curriculum Goals
Statement of Curriculum Objectives
Design of Curriculum Plan
Implementation of The Curriculum
Evaluation of The Curriculum
Menurut Hamalik (2012: 104) kegiatan pengembangan kurikulum dapat dilakukan pada berbagai kondisi, mulai dari tingkat kelas sampai dengan tingkat nasional. Kondisikondisi tersebut meliputi: a. Pengembangan kurikulum oleh guru kelas. b. Pengembangan kurikulum oleh kelompok guru dalam satu sekolah. c. Pengembangan kurikulum melalui pusat guru (teacher‟s center). d. Pengembangan kurikulum pada tingkat daerah. e. Pengembangan kurikulum melalui proyek nasional. Pengembangan kurikulum dilakukan dalam upaya agar kurikulum dapat berkembang kearah yang lebih baik dari kurikulum sebelumnya dan sesuai dengan perkembangan praktik pendidikan di sekolah, pengembangan kurikulum dapat dilakukan dengan menambah atau mengembangkan kurikulum sebelumnya. Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses perencanaan dan penyusunan kurikulum sekolah, mulai tingkat kelas hingga Nasional, kemudian diterapkan ke dalam kelas sebagai wujud proses belajar mengajar disertai dengan penilaian-penilaian terhadap kegiatan tersebut, sebagai langkah penyempurnaan sehingga memperoleh hasil yang lebih baik dan bagus. Uraian dan pembahasan mengenai pengembangan kurikulum dan pendidikan keagamaan di atas, selanjutnya dapat dikaitkan mengenai maksud dari pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren. Pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren adalah proses pengembangan kurikulum terhadap ilmu-ilmu dan pendidikan keagaman yang dipersiapkan atau mengkader peserta didik untuk menjadi ahli agama atau ulama yang mengamalkan ilmunya. Selanjutnya, perlu diketahui kurikulum keagamaan yang dikembangkan dalam sistem pendidikan di pesantren, namun terlebih dahulu perlu juga suatu pembahasan terkait dengan pengembangan kurikulum itu sendiri. Dalam pembahasan mengenai pengembangan kurikulum, terdapat beberapa hal penting yang terkait dengan pengembangan kurikulum, diantaranya adalah prinsip-prinsip, landasan-landasan, dan komponen-komponen kurikulum. Kurikulum dalam pengembangannya haruslah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang akan menjadi kaidah, norma, pertimbangan atau aturan yang menjiwai kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah
29
berkembang maupun prinsip yang diciptakan sendiri, sehingga bisa saja terjadi perbedaan prinsip di masing-masing lembaga pendidikan. (Arifin, 2013: 27) Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam kurikulum diantaranya, yaitu: prinsip secara umum dan khusus. Beberapa prinsip kurikulum secara umum yang perlu dibahas terlebih dahulu sebelum mengakaji prinsip pengembangan secara khusus. Adapun prinsip-prinsip umum tersebut, yaitu: 1) Prinsip Relevansi Relevansi mempunyai kedekatan hubungan sesuatu dengan apa yang terjadi. Apabila dikaitkan dengan pendidikan, berarti perlunya kesesuaian antara program pendidikan dengan tuntutan kehidupan masyarakat. Pendidikan dikatakan relevan bila hasil yang diperoleh akan berguna bagi kehidupan seseorang. (Idi, 2010: 179) Dua macam relevansi yang harus dimiliki dalam program kurikulum menurut Sukmadinata (2012: 150): (a) Relevansi keluar, yaitu : - Kesesuaian atas keserasian antara pendidikan dengan lingkungan hidup siswa - Kesesuaian antara pendidikan dengan kehidupan anak didik disaat sekarang dan yang akan datang. - Kesesuaian antara pendidikan dengan tuntutan dunia kerjanya bagi siswa. Pada prinsip relevansi keluar tersebut dimaksudkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh, penyesuaian isi, tujuan, dan metode belajar pada peserta didik yang berada dilingkungan pedesaan idealnya berbeda dengan peserta didik yang berada di daerah kota-kota besar, karena lingkungan dan kebutuhan serta tuntutan dunia kerjanya masyarakatnya akan berbeda-beda pula. Contoh lainnya, seperti metode dan alat-alat yang digunakan pada masa lampau sudah tidak dapat digunakan pada masa sekarang. Untuk itu diperlukan penyesuaian-penyesuaian yang tepat agar tujuan dari kurikulum tersebut dapat tercapai sesuai yang dikehendaki. (b) Relevansi ke dalam, yaitu : Kurikulum juga harus memiliki relevansi ke dalam yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum. yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum. Pengembangan kurikulum dengan mempertimbangkan relevansi internal ini idealnya akan menghasilkan kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum tersebut, apabila terjadi ketidak sesuai kurikulum bisa jadi kemungkinan adanya ketidak sinkronan antar komponen-komponen kurikulum tersebut. 2) Prinsip Fleksibelitas Prinsip fleksibelitas artinya kurikulum memungkinkan terjadinya penyesuaianpenyesuaian dengan kemampuan karakteristik peserta didik, karakteristik sekolah, serta kondisi dan potensi daerah. (Widyastono, 2014: 38) Fleksibelitas yang dimaksud adalah tidak kaku artinya memberi sedikit kebebasan dan kelonggaran dalam melakukan atau mengambil suatu keputusan tentang suatu kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pelaksana kurikulum. Prinsip fleksibelitas juga berkaitan dengan adanya kebebasan siswa dalam menentukan program atau jurusan yang sesuai
30
dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Demikian pula memberi kebebasan kepada guru dalam mengembangkan program dan kegiatan-kegiatannya. (Hidayat, 2013: 77) Fleksibelitas terhadap guru, dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan sendiri program-program pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum yang masih bersifat agak umum. Guru diberikan kebebasan menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya, sebagai salah satu contohnya, guru bidang studi keagamaan akan berbeda metode pembelajaran yang digunakannya dengan guru bidang studi matematika dan IPA. Menurut Drajat, (2006: 127) memberi kebebasan terhadap ruang gerak peserta didik dan pendidikan dalam bertindak di lapangan. Hal ini dikarenakan dalam diri anak didik terdapat banyak perbedaan-perbedaan dalam segala hal, bakat, kemampuan membaca, menulis (belajar), keterampilan, dan sebagainya. Dengan demikian sekolah dapat memberi fasilitas yang luas terhadap siswa. Dengan terbentuknya pengadaan program pilihan, jurusan, program spesialisasi, program pendidikan keterampilan dalam program-program lain yang dapat dipilih siswa atas dasar kemampuan, kemauan serta minat dan bakat yang dimilikinya. Keadaan tersebut akan sulit terwujud apabila sekolah tidak dapat memenuhi kebutuhan peserta didik, seperti sedikitnya program-program pilihan yang di sediakan oleh lembaga pendidikan atau sekolah. 3) Prinsip Kontinuitas (Kesinambungan) Prinsip ketiga adalah kotinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau tidak berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara serempak bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMTP, SMTA, dan Perguruan Tinggi. (Sukmadinata 2012: 151) Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukkan adanya saling terkait antara tingkat pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi. Menurut Idi (2010: 182) minimal ada dua kesinambungan dalam pengembangan kurikulum ini, yaitu: (a) Kesinambungan di antara berbagai tingkat sekolah: - Bahan pelajaran (subject matters) yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi hendaknya sudah diajarkan pada tingkat pendidikan sebelumnya atau di bawahnya. - Bahan pelajaran yang telah diajarkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah tidak harus diajarakan lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga terhindar dari tumpang tindih dalam pengaturan bahan dalam proses belajar mengajar. (b) Kesinambungan di antara berbagai bidang studi: Kesinambungan di antara berbagai bidang studi menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan hubungan antara bidang studi yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, untuk mengubah angka temperatur dari skala Celcius ke skala Fahrenheit dalam IPA diperlukan keterampilan dalam pengalian pecahan. Karenanya, pelajaran mengenai bilangan pecahan tersebut hendaknya sudah diberikan sebelum anak didik mempelajari cara mengubah temperatur itu.
31
Dengan adanya kesinambungan dalam program-program yang terdapat dalam kurikulum, baik pada berbagai tingkat pendidikan maupun pada berbagai macam mata pelajaran (bidang studi), tentunya akan memudahkan peserta didik dalam proses pembelajaran, sebagai contohnya pelajaran-pelajaran dasar yang terdapat pada tingkat dasar sebagai penentu keberlanjutan pada tingkat pelajaran selanjutnya yakni pada tingkat menengah atau apa saja yang sudah dipelajari pada tingkat dasar tidak perlu pengulangan mendalam pada tingkat selanjutnya, jika diperlukan pengulangan hal tersebut hanya bersifat review secara singkat saja. 4) Prinsip Praktis (Efisiensi) Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efesiensi. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasanketerbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. (Sukmadinata, 2012: 151) Menurut Sukiman (2015: 37) prinsip efisiensi maksudnya adalah berhubungan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan usaha yang dijalankan, atau biaya yang dikeluarkan. Suatu usaha dapat dikatakan efisien, apabila hasil yang dicapai telah sesuai dengan usaha atau biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya, jika hasil yang dicapai tidak sebanding dengan apa yang dikeluarkan, maka tidak dapat dikatakan efisien. Efisien waktu dapat diwujudkan dengan merencanakan kegiatan belajar mengajar peserta didik agar tidak terjadinya waktu yang bayak terbuang. Efisiensi jumlah guru dan peralatan sekolah dengan menyesuaikan jumlah peserta didik yang ada. Hal tersebut akan memungkinkan efisiensi waktu dan biaya pendidikan. 5) Prinsip Efektifitas Menurut Hidayat (2013: 75) efektifitas dalam kurikulum dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu: (a) efektifitas pembelajaran terutama menyangkut sejauhmana jenis-jenis kegiatan pembelajaran yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik, (b) efektifitas belajar siswa atau peserta didik, terutama menyangkut seberapa jauh tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang diinginkan dapat dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang ditempuh. Sedangkan menurut Sukiman (2015: 37), selain efektifitas yang berkaitan dengan belajar siswa atau peserta didik, efektifitas dari segi pendidik atau guru juga perlu dipertimbangkan. Adapun upaya efektifitas terhadap guru, dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan tambahan untuk meningkatkan kompetensi guru, seperti melalui pelatihan-pelatihan, workshop, diskusi-diskusi, dan studi lanjut. Sedangkan upaya untuk memenuhi efektifitas peserta didik, yakni dengan memilih dan menggunakan strategi dan media pembelajaran yang dipandang paling tepat di dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Upaya-upaya tersebut di atas apabila dapat terlaksana sebagaimana yang dimaksudkan, tentunya akan berdapak pada efektifitas belajar mengajar yang terjadi di sekolah. Namun, apabila upaya-upaya tersebut belum dapat terpenuhi, sebagai dampaknya memungkinkan ketidak tercapaiannya tujuan kurikulum pendidikan secara menyeluruh. Selain prinsip-prinsip umum di atas ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam mengembangkan kurikulum. Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi,
32
pengalaman belajar, dan penilaian. Berikut ini diuraikan dengan lebih mendetail tentang prinsip-prinsip khusus di atas, yaitu: (1) Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan Tujuan pendidikan mencakup pada tujuan yang bersifat umum atau berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus). Perumusan tujuan pendidikan menurut Sukmadinata (2012: 153) bersumber pada : (a) Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat ditemukan dalam dokumen lembaga negara mengenai tujuan dan strategi pembangunan termasuk di dalamnya pendidikan. (b) Survai mengenai persepsi orang tua siswa/masyarakat tentang kebutuhan mereka yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka. (c) Survai tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu dihimpun melalui angket atau wawancara, observasi dan dari berbagai media massa. (d) Survai tentang manpower (e) Pengalaman Negara-negara lain dalam masalah yang sama. (f) Penelitian Perumusan tujuan di atas, harus adanya kesesuaian dan saling melengkapi yakni antara kebutuhan masyarakat, pandangan para ahli, pengalaman dari Negara-negara lain, pengalaman-pengalaman pelaksanaan pendidikan sebelumnya, dan tujuan yang ditentukan oleh pemerintah harus sinkron. Tujuan tersebut akan sulit dicapai apabila salah satu dari urutan tersebut, ada bahkan banyak perbedaannya dan tidak sinkron. (2) Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah ditentukan para perencana kurikulum menurut Sukmadinata (2012: 153) perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (a) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan semakin sulit menciptakan pengalaman belajar. (b) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap dan keterampilan. (c) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis. Ketiga ranah belajar, yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan diberikan secara simultan dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan buku pedoman guru yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan dan alat pengajaran secara lebih mendetail. Jadi, dalam perumusan yang berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan hendaknya adanya rician dari tujuan pendidikan/pengajaran tersebut, selain itu juga hendaknya mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Langkah-langkah tersebut dilakukan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki arah yang jelas. (3) Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar Menurut Sukmadinata (2012: 153) Pemilihan proses belajar mengajar digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Apakah metode atau tekhnik belajar mengajar yang digunakan cocok untuk mengajar bahan pelajaran?
33
2) Apakah metode atau tekhnik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa? 3) Apakah metode atau tekhnik tersebut memberikan uraian kegiatan yang bertingkattingkat? 4) Apakah metode atau tekhnik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotorik? 5) Apakah metode atau tekhnik tersebut lebih mengaktifkan siswa atau mengaktifkan guru atau kedua-duanya? 6) Apakah metode atau tekhnik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru? 7) Apakah metode atau tekhnik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan di rumah juga mendorong penggunaan sumber yang ada di rumah dan di masyarakat? 8) Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang menekankan pada ”learning by doing?” di samping ”learning by seeing and knowing?” Pengembangan kurikulum dengan memperhatikan prinsip ini dibutuhkan kreatifitas serta pengalaman yang cukup dari praktik belajar mengajar, untuk menemukan metode apa yang sesuai dengan peserta didik. Keberagaman tingkat intelektual dan spikologi perserta didik, serta lingkungan juga dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan metode yang tepat. Dengan metode pembelajaran yang tepat maka diharapkan pembelajaran dapat berlangsung dengan baik dan mudah untuk dipahami oleh peserta didik. (4) Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian Penilaian merupakan bagian integral dari pengajaran beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penilaian, sebagaimana dirumuskan oleh Sukmadinata (2012: 154): (a) Dalam penyusunan alat penilaian (test) hendaknya diikuti langkah-langkah sebagai berikut: rumusan tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Uraikan ke dalam bentuk tingkah laku murid yang dapat diamati. Hubungkan degan bahan pelajaran, tulislah butir-butir tes. (b) Dalam merencanakan suatu penilaian hendaknya diperhatikan beberapa hal: - Bagaimana kelas, usia dan tingkat kemampuan kelompok yang akan dites? - Berapa lama waktu dibutuhkan waktu untuk pelaksanaan tes? - Apakah tes tersebut berbentuk uraian atau obyektif? - Berapa banyak butir tes perlu disusun? - Apakah tes tersebut diadministrasikan oleh guru atau oleh siswa. (c) Dalam pengelolaan suatu penilaian hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut: - Norma apa yang digunakan dalam pengelolaan hasil tes? - Apa digunakan formula quessing ? - Bagaimana pengelolaan skor ke dalam skor masak? - Skor standart apa yang digunakan? - Untuk apakah hasil tes digunakan? Dengan menyusun langkah-langkah apa saja yang harus diperhatikan dalam melakukan penilaian, maka akan mendapatkan cara penilaian yang baik dan objektif sesuai dengan keadaan tingkat intelektual peserta didik. Kurangnya kriteria apa yang harus
34
dijadikan sebagai sumber penilaian, maka akan memungkinkan penilaian yang kurang baik dan tidak objektif, keadaan ini tentunya akan merugikan peserta didik. Selain memperhatikan prinsip-prinsip kurikulum tersebut di atas, dalam pengembangan kurikulum juga perlu memperhatikan landasan-landasan pengembangan kurikulum. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Pengembangan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembuatan sebuah gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalu landasan pendidikan, khususnya kurikulum yang lemah, yang akan ambruk adalah manusianya. (Sukmadinata, 2012: 38) Terdapat beberapa landasan-landasan dalam mengembangkan kurikulum, yaitu landasan filosofi, landasan psikologi, dan landasan sosiologis, dan landasan perkembangan ilmu dan teknologi. Masing-masing landasan sangat berperan dalam langkah pengembangan kurikulum. 1) Landasan Filosofi, yakni pandangan hidup masyarakat. Adapun pandangan hidup masyarakat Indonesia adalah pendidikan berdasarkan pancasila. (Dakir, 2010: 79) Menurut Hamalik (2014: 19) filsafat pendidikan dapat menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, serta seperangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. (Hamalik, 2014: 19) 2) Landasan Psikologi, yakni dapat dijadikan landasan dalam memilih pengalaman belajar yang akurat berdasarkan ilmu-ilmu psikologi, Sukmadinata (2012: 46) mengungkapkan bahwa sedikitnya terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian. Menurut Idi (2010: 80) teori-teori belajar, teori-teori kognitif, pengembangan emosional, dinamika group, perbedaan kemampuan individu, kepribadian, model formasi sikap dan perubahan, serta mengetahui motivasi, semuanya sangat relevan dalam merencanakan pengalaman-pengalaman pendidikan (educational experiences). 3) Landasan Sosiologi, yakni pertimbangan-pertimbangan sosio-kurtural. Sekolah adalah suatu institusi sosial yang didirkan dan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu kurikulum sebaiknya mempertimbangkan segi sosiologis ini, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun perbaikan kurikulum. Menurut Hamalik, 2013: 80) Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang meliputi berbagai komponen, yakni subsistem kepercayaan, nilai-nilai, kebutuhan dan permintaan. Masing-masing komponen atau susbsistem tersebut berpengaruh terhadap penyusunan dan perkembangan kurikulum, sehingga relevan dengan kondisi sosiologis masyarakat. Arifin (2013: 75) menambahkan bahwa unsur-unsur sosiologis lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yakni: Pertama, mengembangan kurikulum harus memperhatikan unsur-unsur pendidikan informal, seperti peran orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Kedua, pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan kepentingan peserta didik masa yang akan datang. Ketiga, pengembangan kurikulum harus dapat membekali kemampuan yang cukup kepada peserta didik.
35
4) Landasan perkembangan ilmu dan teknologi, yakni kurikulum dapat mengimbagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Widyastono (2014: 33) isi kurikulum harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi. Dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan didapatkan kurikulum sesuai. Sehingga, komponen-komponen kurikulum, seperti Isi dan metode kurikulum tidak tertinggal dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin modern. Pengembangan kurikulum pada hakikatnya adalah pengembangan komponenkomponen yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri, yang terdiri dari empat komponen utama, yaitu komponen tujuan, isi kurikulum, metode atau strategi pencapaian tujuan, dan komponen evaluasi. (Wahyudin, 2014: 46) Komponen-komponen kurikulum tersebut dapat diurai lebih lanjut diantaranya, yaitu: a. Komponen Tujuan Kurikulum Sebagaimana diketahui kurikulum adalah suatu program untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan tersebut harus menjadi fokus segala aktifitas pendidikan. Berhasil tidaknya proses belajar di institusi pendidikan sangat tergantung pada seberapa maksimal pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Dalam setiap lembaga pendidikan atau sekolahperlu adanya pensosialisasian tujuan yang akan dicapai oleh sekolah yang bersangkutan, ini jelas untuk menstimulasi pada semua pihak di lingkungan sekolah agar pengajaran berjalan sebagaimana mestinya. Komponen tujuan dalam pengembangan kurikulum terbagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan pendidikan yang masih bersifat umum adalah tujuan nasional dan tujuan institusional. Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan institusional adalah tujuan yang menjadi landasan bagi setiap lembaga dan masih menggambarkan nilai-nilai, kebutuhan, dan harapan dari masyarakat. Tujuan khusus dalam pendidikan adalah menggambarkan kecakapan atau kemampuan dalam bidang studi atau aspek tertentu. (Wahyudin, 2014: 53) Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab II pasal 3 adalah sebagai berikut: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Hamalik (2012: 122) merumuskan tujuan kurikulum dengan mempertimbangkan beberapa faktor, seperti: 1) Tujuan pendidikan Nasional, karena tujuan ini menjadi landasan bagi setiap lembaga pendidikan. 2) Kesesuaian antara tujuan kurikulum dan tujuan lembaga pendidikan yang bersangkutan. 3) Kesesuaian tujuan kurikulum dengan kebutuhan masyarakat atau lapangan kerja, untuk mana tenaga-tenaga akan disiapkan. 4) Kesesuaian tujuan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. 5) Kesesuian tujuan kurikulum dengan sistem nilai dan aspirasi yan berlaku dalam masyarakat.
36
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut baik tujuan secara nasional, tujuan umum, dan tujuan khusus, selanjutnya dapat ditentukan atau direncanakan materi pelajaran sesuai dengan jenjang pendidikan yang ada, yaitu mulai tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi yang tentunya memiliki perbedaan dalam setiap jenjangnya. b. Komponen Materi/Isi Kurikulum Isi program kurikulum atau bahan ajar adalah segala sesuatu yang diberikan kepada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan. (Hidayat, 2013: 62) Isi kurikulum meliputi mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dan isi masing-masing mata pelajaran tersebut. Jenis-jenis mata pelajaran ditentukan atas dasar tujuan institutional atau tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan. (Hidayat, 2013: 62) Menurut Hamalik (2014: 25) materi kurikulum pada hakikatnya adalah isi kurikulum atau pendidikan. Adapun isi kurikulum disusun dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Materi kurikulum berupa bahan pembelajaran yang terdiri dari bahan kajian atau topik-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh siswa dalam proses belajar dan pembelajaran. 2) Materi kurikulum mengacu pada pencapaian tujuan masing-masing satuan pendidikan. Perbedaan dalam ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran disebabkan oleh perbedaan tujuan satuan pendidikan tersebut. 3) Materi kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan nasional. Dalam hal ini, tujuan pendidikan nasional merupakan target tertinggi yang hendak dicapai melalui penyampaian kurikulum. Menurut Wahyudin (2014: 54) materi kurikulum dapat berasal dari beberapa sumber, yaitu: masyarakat beserta budayanya, siswa, dan ilmu pengetahuan. Menurutnya, isi/materi kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembagan siswa, berupa keterampilan dan pengetahuan yang dapat menjadi pengalaman belajarnya yang kelak dapat berguna untuk menghadapi kebutunhannya dimasa yang akan datang. Selain itu, materi kurikulum diambil dapat dari dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang memang dibutuhkan siswa yang dapat digunakan sebagai bekal untuk melanjutkan kejenjang berikutnya atau untuk bekerja. Lebih lanjut, Wahyudin (2014: 55) menyusun beberapa tahapan dalam penyeleksian materi kurikulum yakni sebagai berikut: Identifikasi kebutuhan, Mendapatkan bahan kurikulum, dan Analisis bahan. Menurutnya, ketiga tahapan tersebut dapat dilakukan dengan menyusun isi/materi kurikulum yakni harus berdasarkan kesesuaian antara harapan dan kenyataan. Oleh karena itu, dalam menentukan isi/materi kurikulum harus sesuai berdasarkan tujuan. Selanjutnya, dalam menentukan bahan dari isi/materi kurikulum dapat lakukan dengan mengkaji beberapa jurnal, menelaah sumbersumber literatur baru, dan melacak informasi melalui internet. Kemudian, menganalisis isi/materi kurikulum dapat dilakukan dengan menguji konsep atau keterampilan yang ada dalam bahan kurikulum. Langkah-langkah tersebut dapat dijadikan acuan bagi guru atau pengembang kurikulum dalam menyusun isi/materi kurikulum, agar isi/materi yang digunakan dalam pelaksanaan proses sesuai dengan tujuan, baik tujuan institusional maupun tujuan secara nasional dan sesuia dengan kebutuhan masyarakat.
37
c. Komponen Strategi (Metode) Pembelajaran Strategi dapat disebut juga sebagai metode, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Suatu metode dikatakan berhasil bila kegiatan guru dan siswa terlaksana dengan baik dalam proses belajar mengajar. Metode dilaksanakan melalui prosedur tertentu. Metode atau strategi pembelajaran menempati fungsi yang penting dalam kurikulum, karena memuat tugas-tugas yang perlu dikerjakan pada siswa dan guru, karena itu penyusunannya hendaknya berdasarkan analisis tugas yang mengacu pada tujuan kurikulum dan berdasarkan perilaku awal siswa. Menurut Hamalik (2014: 27) dalam hubungan ini ada tiga alternatif pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: 1) Pendekatan yang berpusat pada mata pelajaran, di mana materi pembelajaran terutama bersumber dari mata pelajaran. Penyampaiannya dilakukan melalui komunikasi antara guru dan siswa. Guru sebagai penyampai pesan atau komunikasi, sedangkan siswa sebagai penerima pesan. Bahan pelajaran adalah pesan itu sendiri, dalam rangkaia komunikasi tersebut dapat digunakan berbagai metode pengajaran. 2) Pendekatan yang berpusat pada siswa. Pembelajaran dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, minat dan kemampuan siswa. Dalam pendekatan ini lebih banyak digunakan metode dalam rangka individualisasi pembelajaran. Seperti belajar mandiri, belajar modul, paket belajar dan sebagainya. 3) Pendekatan yang berorientasi pada kehidupan masyarakat, metode ini bertujuan mengintegrasikan sekolah dan masyarakat serta untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Prosedur yang ditempuh adalah dengan mengundang masyarakat ke sekolah atau siswa berkunjung kemasyarakat. Metode yang digunakan terdiri dari karyawista, nara sumber, kerja pengalaman, survei proyek, pengabdian atau pelayanan masyarakat, berkemas dan unit. Menurut Hidayat (2013: 65) hal terpenting dalam strategi pembelajaran, yaitu: Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian tindakan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumberdaya/kekuatan dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pelaksanaannya, strategi pembelajaran merupakan implementasi kegiatan antara guru dan siswa yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Strategi belajar mengajar efektif yang dapat dilakukan diantaranya sebagaimana terdapat dalam Wahyudin (2014: 56), yaitu: a) Pengajaran Ekspositori, seperti: pengajaran yang menggunakan metode ceramah, tugas membaca, dan presentasi audio visual. b) Pengajaran Interaktif, pengajaran yang hampir sama dengan pengajaran ekspositori perbadaannya terdapat dorongan yang disengaja ketika terjadi interaksi antara guru dan siswa yang biasanya terbentuk dengan memberikan pertanyaan. c) Pengajaran Kelompok Kecil, strategi ini melibatkan pembagian kelas ke dalam kelompok-kelompok kecil yang bekerja relatif bebas untuk mencapai suatu tujuan. Guru berperan sebagai koordinator aktivitas dan pengarah informasi. d) Inkuiri (pemecahan masalah), pengajaran ini biasanya melibatkan pembelajaran dengan aktivitas yang dilaksanakan secara bebas, berpasangan, atau dalam kelompok yang lebih besar.
38
d. Komponen Evaluasi Kurikulum Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Evaluasi kurikulum dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum. Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif seperti tes standar, tes prestasi belajar, dan tes diagnostis. Sedangkan instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat menggunakan questionnaire, inventori, interview, dan catatan anekdot. (Wahyudin, 2014: 57) Sukmadinata (2012: 185-188) mengemukakan model-model evaluasi kurikulum, yaitu: 1) Evaluasi model penelitian: didasarkan atas teori dan metode tes psikologi dan tes lapangan 2) Evaluasi model objektif: evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum dan kurikulum diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus) 3) Evaluasi model campuran multivariasi: membandingkan lebih dari satu kurikulum berdasarkan kriteria khusus dari masing-masing kurikulum. Sementara itu, Hidayat (2013: 69), membagi proses evaluasi pada dua situasi, yaitu: 1) Evaluasi hasil pembelajaran: menilai keberhasilan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang telah tentukan, dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk mengukur pencapaian setiap tujuan yang khusus atau indikator yang telah ditentukan. Menurut ruang lingkup bahan dan jarak waktu belajar dibedakan atau evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. (a) Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan pembelajaran dalam waktu yang relatif pendek. (b) Evaluasi sumatif: ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan dan kompetensi yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu yang cukup lama, satu semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan. (Sukmadinata, 2012: 111) 2) Evaluasi pelaksanaan pembelajaran: komponen yang dievaluasi dalam pembelajaran bukan hanya hasil belajara tetapi keseluruhan pelaksanaan pembelajaran yang meliputi evaluasi komponen tujuan pembelajaran, materi pembeljaran, strategi atau metode pembelajaran serta komponen evaluasi pembelajaran itu sendiri. Pada jenis evaluasi ini menggunakan model CIPP, yaitu: (a) Evaluasi konteks (context evaluation): tujuannya untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan evaluan. (b) Evaluasi masukan (input evaluation): mengatur keputusan, menentukan sumbersumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. (c) Evaluasi proses (process evaluation): mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. (Hidayat, 2013: 70-71) (d) Evaluasi hasil (product evaluation): penilaian yang dilakukan guna melihat ketercapaian atau keberhasilan program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada tahapan ini evaluator dapat menentukan atau
39
memberikan rekomendasi kepada yang dievaluasi, apakah suatu program dapat dijalankan, dikembangkan, dimodifikasi atau bahkan dihentikan. Untuk mengembangkan fungsi dan makna evaluasi kurikulum terhadap pengembangan kurikulum, menurut Hamalik (2013: 255) ada empat keadaan yang harus dihindari, yaitu: 1) Apabila dalam desain kurikulum sama sekali tidak terdapat rancangan evaluasi, desain ini tidak perlu dilaksanakan. 2) Apabila dalam proses evaluasi terjadi penyimpangan tujuan evaluasi. 3) Apabila tidak menghiraukan kesimpulan dan penilaian evaluasi yang telah ada. 4) Evaluasi sering sekali digunakan sebagai alat peserta didik, yang justru sebenarnya harus menimbulkan kepercayaan diri pada peserta didik. Berbagai metode yang digunakan dalam komponen evaluasi kurikulum dimaksudkan agar tercapainya tujuan kurikulum dan upaya untuk memperbaiki programprogram yang terdapat dalam kurikulum. Dalam melakukan pengembangan kurikulum tahap evaluasi sangat diperlukan untuk menilai seberapa berhasil suatu program yang telah ditentukan sebelum implementasi kurikulum yang dibuat tersebut. Dari pengertian kurikulum beserta prinsip-prinsip, landasan-landasan dan komponen-komponennya, dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan pengalaman peserta didik dalam memecahkan segala masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, pada hakikatnya dengan penggunakan kurikulum yang baik tentunya akan dapat meningkatkan cara berpikir masyarakat dalam berpikir dan bertindak. Berdasarkan uraian-uraian mengenai konsep pengembangan kurikulum keagamaan di atas, selanjutnya perlu diketahui mengenai apasaja yang termasuk dalam kajian kurikulum keagamaan di pesantren. Pesantren sebagai lembanga pendidikan Islam memiliki kurikulum yang sangat bervariasi, kurikulumnya sesuai dengan konsep kiai dan kelembagannya. Kurikulum keagamaan di pesantren terdapat berbagai macam ragam dan polanya, semua itu berdasarkan perkembangan pesantren dan kebutuhan masyarakat. Kurikulum keagamaan di pesantren ketika masih berlangsung di langgar (surau) atau masjid adalah berupa pengajian yang masih dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa inti ajaran Islam yang mendasar. Rangkaian trio komponen ajaran Islam yang berupa iman, Islam, dan ihsan atau doktrin ritual, dan mistik telah menjadi perhatian kiai perintis pesantren sebagai isi kurikulum yang diajarkan kepada santrinya. Penyampaian tiga komponen ajaran Islam tersebut dalam bentuk yang paling mendasar, sebab disesuaikan dengan tingkat intelektual dengan masyarakat (santri) dan kualitas keberagamaannya pada waktu itu. (Qomar, 2005: 109) Kemudian kurikulum pesantren berkembang menjadi bertambah luas lagi dengan penambahan ilmu-ilmu yang masuk merupakan elemen dari materi pelajaran yang diajarkan pada masa awal pertumbuhannya. Beberapa laporan mengenai pelajaran tersebut dapat disimpulkan: al-Qur‟an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dengan usul al-fiqh dan qawâid al-fiqh, hadits dengan mustalah al-hadîts, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu dan saraf, bayan, ma‟ani, badi‟ dan arud, tarikh, mantiq, tasawuf, akhlak dan falak. (Qomar, 2005: 112) Selain mempertahankan kitab-kitab Islam klasik sebagai upaya pelestarian khazanah yang lama, pada awal abad ke-20 beberapa pesantren mulai bersikap progresif dengan mulai memasukkan pelajaran-palajaran umum. Beberapa laporan tersebut dapat
40
disimpulkan diantaranya, yaitu: Bahasa Indonesia, matematika, ilmu bumi, bahasa Belanda, sejarah, IPS, IPA, tehnik, sosial, kesenian dan olah raga. (Qomar, 2005: 130-13) Saat ini, meskipun kebanyakan pesantren telah mengakomodasi sejumlah mata pelajaran umum untuk diajarkan di pesantren, tetapi pengajaran kitab-kitab Islam Klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yakni mendidik calon-calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional. Yang dimaksud paham Islam tradisional di sini merujuk kepada kitab-kitab Islam Klasik karangan ulama yang beraliran Syafi‟iyah. Dalam kaitan ini kitab-kitab Islam Klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan kedalam delapan kelompok, yaitu: (1) nahwu (syntax) dan saraf (morfologi); (2) fiqh; (3) usul al-fiqh; (4) hadits; (5) tafsir; (6) tauhid; (7) tasawuf; dan (8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Selain penggolongan di atas, kitab-kitab tersebut memiliki pula karakteristik teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal. Juga dapat dikategorisasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) kitabkitab dasar; (2) kitab-kitab tingkat menengah; dan (3) kitab-kitab besar. (Dhofier, 2011: 87) VanBruinessen (1999: 154-155) melaporkan bahwa kitab-kitab Islam Klasik (kitab kuning) yang digunakan di beberapa pesantren di Indonesia, yaitu: Kitab Fiqh, Usul alFiqh, Akidah, Tafsir al-Qur‟an, Hadits dan Ilmu Hadits, tata bahasa Arab (nahwu dan saraf), akhlak dan tasawuf. Rincian dari kitab-kitab kuning yang biasa digunakan oleh pesantren-pesantren di Indonesia, dapat dilihat pada table-tabel berikut: Tabel 2.1 Kitab Tata Bahasa Arab, Tajwid, dan Logika Nama Kitab Sharaf: 1. Al-Kailanî/Syarah al-Kailanî 2. Al-Maqshûd/Syarah alMaqshûd 3. Al-Amtsilah al-Tasrifîyyah 4. Al-Bina‟ Nahwu: 1. Al-Jurumîyyah/Syarah alJurumîyyah 2. Al-Imritî/Syarah al-Imritî 3. Al-Mutammimah 4. Al-Fîyah 5. Ibn „Aqîl 6. Al-Dahlan Qatrun Nada 7. Al-Awâmil 8. Qawâid al-I‟rab 9. Al-Nahwu al-Wadih 10. Qawaid al-Lughat
Tingkat Aliyah Aliyah Tsanawiyah Ibtida‟iyah
Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Aliyah Aliyah Aliyah Tsanawiyah Ibtida‟iyah/ Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah
41
Balaghah: 1. Jawâhil al-Maknum 2. „Uqud al-Jumân
Aliyah Aliyah
Tajwid: 1. Tuhfah al-Atfâl 2. Hidayah al-Shibyân
Tsanawiyah Tsanawiyah
Manthiq: 1. Al-Sullam al-Munauraq 2. Idah al-Mubham
Aliyah Aliyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 149) Tabel 2.2 Kitab Fiqh dan Usul Fiqh Nama Kitab Fiqh: 1. Fath al-Mu‟în 2. „Iânah al-Tâlibin 3. Al-Taqrîb 4. Fath al-Qarîb 5. Kifâyat al-Akhyâr 6. Al-Bâjurî 7. Al-Iqnâ‟ 8. Minhaj al-Talibîn 9. Minhaj al-Tulâb 10. Fath al- Wahab 11. Al-Mahallî 12. Minhaj al-Qawîm 13. Safinah 14. Kasyifat al-Saja 15. Sullam al-Taufîq 16. Al-Tahrîr 17. Uqud al-Lujain 18. Sittîn Mas‟alah/Syarah Sittîn Mas‟alah 19. Al-Muhazhab 20. Bughyat al-Mustarsyidîn 21. Al-Mabâdi al-Fiqhîyyah 22. Al-Fiqh al-Wâdih 23. Sabil al-Muhtadîn Ushul Fiqh: 1. Al-Waraqât/Syarah alWaraqat
Tingkat Aliyah Aliyah Tsanawiyah Aliyah Tsanawiyah/Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Aliyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah
Aliyah/Khawash
42
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Lataif al-Isyarat Jam‟ al-Jawâmi‟ Al-Lumâ‟ Al-Asybah wa al-Nadhair Al-Bayân Bidayat al-Mujtahid
Aliyah/Khawash Aliyah/Khawash Aliyah/Khawash Khawashah Tsanawiyah/Aliyah Khawashah
Sumber: VanBruinessen (1999: 154) Tabel 2.3 Kitab Aqidah (Ushuluddin, Tauhid) Nama Kitab Tauhid: 1. Umm al-Barâhin 2. Al-Sanusî 3. Al-Dasuqî 4. Al-Syarqawî 5. Kifayah al-„Awâm 6. Tijan al-Durarî 7. Aqidah al-„Awâm 8. Nur al-Zulâm 9. Jauhar al-Tawhîd 10. Tuhfah al-Murîd 11. Fath al-Majid 12. Jawahir al-Kalamiyah 13. Husn al-Hamîdîyyah 14. Aqidah al-Islamîyyah
Tingkat Aliyah Tsanawiyah Aliyah/Khawash Aliyah/Khawash Tsanawiyah/‟Aliyah Tsanawiyah Ibtida‟iyah/Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Khawash Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 155) Tabel 2.4. Kitab Tafsir al-Qur’an Nama Kitab Tafsir: 1. Al-Jalâlain 2. Tafsir al-Munîr 3. Tafsir Ibn Katsîr 4. Tafsir Baidawî 5. Jami‟ al-Bayan (alTabarî) 6. Al-Marâghi 7. Tafsir al-Manâr 8. Tafsir Dep. Agama ‘Ilm Tafsir:
Tingkat Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah Khawash Aliyah/Khawash Khawash Tsanawiyah
43
1. Al-Itqân 2. Itmam al-Dirayah
Aliyah Aliyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 158) Tabel 2.5 Kitab Hadis dan Ilmu Hadis Nama Kitab Hadis: 1. Bulugh al-Marâm 2. Subul al-Salâm 3. Riyad al-Sâlihîn 4. Sahih al-Bukhârî 5. Tajrid al-Sarih 6. Jawahir al-Bukhâri 7. Sahih al-Muslim/Syarah 8. Arbain Nawawi 9. Majâlis al-Sanîyyah 10. Durrat al-Nâshihîn 11. Tanqih al-Qawl 12. Mukhtar al-Hahadîts 13. Al-Usfurîyyah
Tingkat Tsanawiyah Aliyah/Khawash Khawash Aliyah Aliyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Aliyah Aliyah Aliyah Tsanawiyah Tsanawiyah
‘Ilm Dirayah al-Hadits: 1. Al-Baiquniyah/Syarah 2. Minhat al-Mughits
Tsanawiyah Aliyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 160) Tabel 2.6 Kitab Kesalehan, Perilaku Terpuji, dan Tasawuf Nama Kitab Akhlaq: 1. Ta‟limul al-Muta‟alim 2. Al-Wasâyâ 3. Al-Akhlak li al-Banât 4. Al-Akhlak li al-Banîn 5. Irsyâd al-„Ibâd 6. Nasaih al-„Ibâd
Tingkat Tsanawiyah Ibtida‟iyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Aliyah
Tashawuf: 1. Ihya Ulum al-Din 2. Sâir al-Sâlikîn 3. Bidayat al-Hidâyah 4. Maraqi al-„Ubûdîyyah
Aliyah Aliyah Tsanawiyah Tsanawiyah
44
5. 6. 7. 8.
Hidâyat al-Sâlikîn Minhaj al-„Âbidîn Sirajut al-Talibîn Al-Hikam/Syarah Hikam 9. Hidâyat al-Azkiya 10. Kifayat al-Atqiya‟ 11. Risalat al-Mu‟awanah 12. Al-Adzkar
Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah/Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 163) Tabel 2.7. Kitab Sejarah Hidup Nabi (Sirah) dan Karya Penghormatan untuk Nabi Saw. Nama Kitab 1. (Khulashat) Nur al-Yaqin 2. Barzanjî 3. Dardirî
Tingkat Tsanawiyah Tsanawiyah Tsanawiyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 168) Selain kitab-kitab kuning, pesantren pada perkembanganya juga memakai bukubuku lain diluar kitab kuning. Laporan Mastuhu sebagaimana dikutip oleh Qomar (2005: 130) menyebutkan bahwa sejak 1970-an, telah banyak buku-buku agama Islam yang berisi pembaharuan pemikiran Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang dipelajari santri dan kiai-kiai muda dalam bentuk pelajar kelompok, seperti buku-buku karya Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, Kuntowijoyo, dan Ali Syari‟ati yang mulai mendapat sambutan serius dari beberapa santri pesantren. Berbagai macam perkembangan kurikulum keagamaan yang ada pada pesantren menurut Qomar (2014: 63) kurikulumnya tidak perlu diserangamkan hanya saja pesantren harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya yaitu: 1) Memperkuat penguasaan epistemologi dan metodologi. 2) Memperkuat ilmu-ilmu pendekatan metodologis (manhaji) seperti usul al-fiqh (epistemologi hukum Islam), al-qawaid al-fiqhiyah (kaidah-kaidah ilmu fiqh, mantiq (logika), dan filsafat ilmu keislaman. 3) Memperkuat ilmu-ilmu wawasan, seperti sejarah, filsafat, perbandingan madzhab (muqaranat al-madzahib), perbandingan agama (muqaranat al-adyan), ilmu-ilmu alQur‟an, ilmu-ilmu hadits („ulum al-hadits). 4) Mengenalkan pelajaran metode penelitian. 5) Mengenalkan pelajaran metode penulisan karya ilmiah. 6) Mengenalkan pelajaran telaah teks kitab secara kontekstual. Perkembangan kurikulum pendidikan dan keagamaan di pesantren bukan hanya ditandai dengan pelajaran-pelajaran kitab kuningnya. Namun, kurikulum keagamaan juga dapat berbentuk pendidikan karakter, yang terbentuk dari sistem asrama yang membentuk kepribadian santri. Dari sisi keagamaan karakter santri terbentuk, seperti membiasakan santri untuk salat berjamaah, dan program menjalankan aktivitas-aktivitas keagamaan
45
lainnya, sehingga santri terbiasa menjalankan ritual-ritual keagamaannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai contoh lain, sebagaimana terdapat dalam Qomar (2005: 136), yakni dalam bidang kesenaian Islami, pesantren telah mengembangkannya diantaranya: seni tulis indah dalam bahasa Arab (khat, kaligrafi Arab), seni baca al-Qur‟an, seni baca salawat (lagu pujaan untuk Rasullullah SAW), seni hadrah (rebana), dan lagu-lagu kasidah, juga seni berpidato (ceramah). Selain isi atau materi, pengembangan kurikulum keagamaan juga terlihat pada pada upaya pengembangan metode pembelajarannya. Pada mulanya, pesantren menggunakan metode-metode yang bersifat tradisional. Bahkan beberapa pesantren tradisional meskipun hidup pada kurun waktu sekarang juga masih menggunakan metodemetode tradisional itu. Metode-metode itu terdiri atas: metode wetonan, metode sorogan, metode muhâwarah, dan metode majlis taklim. Metode tersebut kemudian kembangkan dengan menambah metode diskusi yang berjalan cukup baik, bahkan mampu memacu para santri untuk melakukan telaah (mutala‟ah) atas kitab-kitab besar. (Qomar, 2014: 6465) Metode wetonan (bandongan) merupakan metode pengajaran dengan cara guru atau kiai membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kemudian santri mendengarkannya dan mereka memperhatikan bukunya sendiri serta membuat catatan-catatan tersendiri. Dhofier (2011: 54) Pada metode ini kiai dapat mengajarkan santri dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang sama. Selain itu, metode ini memungkinkan santri menambah perbendaharaan kata dari gramatika Arab yang terdapat kitab tersebut. Namun, kekurangan pada metode ini guru atau kiai tidak dapat langsung mengetahui tingkat intelektual santri dan kadang menyebabkan santri pasif. Selain wetonan atau (bandongan) juga ada metode sorogan, metode ini dilakukan dengan cara guru menyampaikan kepada santri secara individual. Dhofier (2011: 54) Melalui metode ini memungkinkan guru atau kiai dapat mengetahui kepribadian santri, mengamati perbedaan tingkat kemampuan intelektual santri, dan mempererat kedekatan emosional antara guru atau kiai dengan santri. Namun, pada metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama oleh karena itu, dibutuhkan beberapa guru untuk mengefisienkan waktu atau dapat pula dilakukan sistem penjadwalan terhadap santri yang akan melakukan metode ini. Berbeda dengan metode-metode tersebut, metode muhâwarah adalah suatu kegiatan bebicara dengan bahasa Arab yang diwajibkan pesantren kepada santri. Manfaat metode ini besar sekali dalam bentuk lingkungan bahasa (bi‟ah lughawiyah) dan dapat menambah perbendaharaan kata (mufradat) tanpa melalui hafalan. Selanjutnya metode mudzakarah yaitu, suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti akidah, ibadah, dan masalah agama pada umumnya. Metode ini diminati kiai yang tergabung dalam forum Bahts al-Masail dengan wilayah pembahasan yang diperluas. (Qomar, 2014: 65) Pada metode muhâwarah, manfaat bagi santri adalah memungkinkan santri terbiasa dengan bahasa Arab dalam keseharian, secara tidak langsung dapat memungkinkan kelancaran dalam berbahasa Arab. Selanjutnya, pada metode mudzakarah yang biasa terjadi pada forum Bahts al-Masail, bermanfaat bagi santri untuk mengembangkan pengetahuan keagamaannya berdasarkan masalah-masalah yang terjadi dalam masyrakat yang dibahas dalam forum tersebut, tentunya dengan pertimbangan aspek keagamaan dan kemaslahatan. Namun, metode ini tidak dapat dilakukan oleh seluruh santri, hanya santri yang sudah cukup pendalaman ilmu
46
keagamaannya, bagi santri yang masih belum cukup pendalam ilmu keagamaannya, hanya dapat dilakukan dalam forum kecil saja pada lingkungannya sendiri. Adapun metode majlis taklim adalah suatu metode menyampaikan ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka, dihadiri oleh jamaah yang memiliki berbagai latar belakang pengetahuan, tingkat usia, dan jenis kelamin. Metode ini tidak hanya melibatkan santri tetapi juga masyarakat disekitar pesantren. (Qomar, 2014: 65) Metode majlis taklim ini memungkinkan santri untuk belajar cara penyampaian ilmu keagamaan kepada masyarakat, yakni ceramah agama. Metode-metode di atas merupakan metode yang banyak dipakai di berbagai pesantren hingga saat ini. Namun, dalam metode-metode tersebut memerlukan metode yang lebih trampil dan kreatif yang memungkinkan santri lebih aktif dalam proses pembelajaran dan dapat mengaplikasikan keilmuannya dengan baik, serta dengan keilmuannya tersebut dapat bersaing dengan dengan masyarakat luas, yang menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengenahun namun tidak keluar dari esensi Islam itu sendiri. 3. Model-model Pengembangan Kurikulum Model-model yang dapat digunakan dalam proses pengembangan kurikulum sebagaimana dikemukakan oleh para ahli pendidikan mulai dari suatu model yang sederhana sampai dengan model yang paling sempurna, model-model tersebut biasa dijadikan rujukan oleh pengembang kurikulum dalam proses perbaikan atau perubahan kurikulum diantaranya adalah: a. Model Pengembangan Kurikulum Hilda Taba Model Taba lebih menekankan pada bagaimana melakukan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum yang sedang berjalan. Taba tidak setuju dengan pendekatan deduktif, alasannya kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum. Menurut Taba, sebaiknya kurikulum dilakukan secara induktif. (Widyastono, 2014: 44) Sukmadinata (2012: 166) menyebutkan ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba ini, yaitu: 1) Mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori dengan praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan pelaksanaan eksperimen di dalam kelas menghasilkan data-data yang untuk menguji landasan teori yang digunakan. 2) Menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di kelas-kelas atau tempat lain untuk mengetahui validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun data bagi penyempurnaan. 3) Mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal yang lebih bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. Hal itu dilakukan, sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan praktis pada suatu sekolah belum tertentu demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi. 4) Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh atau
47
berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum dan para professional kurikulum lainnya. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui konsepkonsep dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai sudah masuk dan dipakai. 5) Implementasi dan diseminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah ini kemungkinan adanya masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan dihadapi, baik berkenaan dengan kesiapan guruguru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya. Bagan 2.4
Prosedur Pengembangan Kurikulum Model Taba (Wahyudin, 20114: 65) Model Taba ini, memungkinkan pengembangan kurikulum yang sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan dan kebutuhan masyarakat, karena melakukan proses pengembagan dimulai langsung dari pelaksana kurikulum yakni guru. Guru sebagai pelaksana kurikulum baik dikelas atau di sekolah, tentunya lebih mengetahui apa saja yang sesuai dan dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakat sekitar. b. Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp Model pengembangan kurikulum ini dikembangkan oleh Beaucamp seorang ahli kurikulum. Beucamp dalam Sukmadinata (2012: 163) mengemukakan lima langkah yang dapat dilakukan di dalam suatu pengembangan kurikulum: 1) Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi, ataupun seluruh daerah. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan kurikulum. 2) Menetapkan personalia yaitu menetapkan siapa-siapa saja yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (a) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar; (b) para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru terpilih; (c) para profesional dalam sistem pendidikan; (d) profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat. 3) Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum langkah ini berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta kegiatan evaluasi dan dalam menentukan
48
keseluruhan desain kurikulum. Beaucamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu: a) Membentuk tim pengembang kurikulum. b) Mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang digunakan. c) Studi penjajakan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru. d) Merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru. e) Penulisan dan penyusunan kurikulum baru. 4) Implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah menerapkan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana sebab membutuhkan kesiapan yang meyeluruh baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya di samping kesiapan managerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat. 5) Langkah ini merupakan langkah terakhir yaitu mengevaluasi kurikulum. Dalam langkah ini mencakup empat hal, yaitu: a) Evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru. b) Evaluasi desain kurikulum. c) Evaluasi belajar siswa. d) Evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum data yang diperoleh dari hasil evaluasi ini digunakan bagi penyempurnaan sistem dan desain kurikulum serta prinsipprinsip pelaksanaannya. Bagan 2.5
Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp (Wahyudin, 2014: 70)
49
Model pengembangan kurikulum yang diterapkan Beauchamp berbeda dengan model yang diterapkan oleh Taba dan Tyler, yakni seperti model Taba yang lebih menekankan pada pendekatan induktif yang dilakukan oleh pelaksana pendidikan dalam hal ini guru, sedangkan pada model Beauchamp, menerapkan pendekatan deduktif, yakni melibatkan berbagai kalangan yang berhubungan dengan kurikulum dalam cangkupan yang lebih luas, seperti: para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru terpilih, para profesional dalam sistem pendidikan, profesional lain, dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal tersebut memungkinkan perubahan kurikulum secara Nasional. Hambatan pada pelaksanaan kemungkinan terjadi dalam hal hasil kurikulum yang diterapkan pada lembaga pendidikan, seperti ketidak sesuaian kurikulum yang diberikan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki perbedaan kebutuhan dan sosial budaya yang berbeda-beda. Berbagai model pengembangan kurikulum yang diterapkan oleh para ahli, kesemuanya memiliki persamaan yakni mengikuti struktur kurikulum dan komponenkomponennya. Perbedaannya terlihat pada perincian dan kelengkapan pada setiap tahapannya. Pemilihan pada salah satu model di atas, dalam pengembangan kurikulum yakni dengan melihat kekuatan dan kelemahan, kemungkinan pencapaian yang maksimal serta kesesuai dengan sistem dan konsep pendidikan yang digunakan. Model pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh Taba berdasarkan pendekatan induktif yakni berdasarkan pengalaman belajar dari dalam dengan melibatkan guru-guru sebagai pelaksana kurikulum. Taba tidak setuju dengan pendekatan deduktif, alasannya kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum. Selain itu, model Taba ini bersifat hanya memperbaiki dan mengembangkan kurikulum sudah ada. Model Taba ini, dapat digunakan sebagai acuan lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren yakni dengan mengikuti langkah-langkah pada model taba ini. Pertama, membuat unit-unit eksperimen oleh guru dan pemimpin atau pengasuh pesantren (kiai) yang merupakan orang-orang yang biasa terlibat langsung dalam pelaksanaan kurikulum dan pendidikan, yaitu dengan melihat kebutuhan dan minat masyarakat akan pengetahuan. Dalam hal ini, kebutuhan dan minat masyarakat modern adalah ingin mendapatkan pengetahuan akan agama agar dapat bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, namun tetap dalam metode dan sistem yang modern. Kemoderenan dapat dilakukan pesantren yakni dengan melengkapi dengan fasilitas-fasilitas serta sarana prasarana yang baik. Selanjutnya, merumuskan tujuan, visi, dan misi sebuah lembaga pendidikan pesantren, dengan mengetahui tujuan, visi, dan misi maka dapat menentukan isi atau materi pelajaran dan pengalaman belajar atau metode apa saja yang perlu diterapkan tentunya juga berdasarkan kebutuhan masyarakat. Kedua, menguji eksperimen. Dengan pengetahui apa saja kebutuhan dan minat masyarakat, mengetahui tujuan, visi, dan misi, dan menentukan isi atau materi serta metode apa saja yang harus diterapkan pada pesantren, maka langkah selanjutnya adalah menguji eksperimen tersebut. Apakah hasil eksperimen tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tujuan dari pesantren. Ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Langkah ini dapat dilakukan dengan melihat hasil pengujian eksperimen, dengan begitu pesantren dapat memilih hasil yang sudah sesuai dengan kebutuhan dan tujuan atau merevisi hasil yang belum sesuai. Keempat, mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum. Langkah ini dapat dilakukan dengan memilih dan mengembangkan materi, metode, dan pengalaman belajar
50
apa saja yang perlu diterapkan. Untuk selanjutnya adalah pelaksanaan dari kurikurim tersebut. Selanjutnya, model Beauchamp. Kemungkinan dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren adalah dengan dua cara, yaitu: Pertama, model Beauchamp ini dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan melakukan diskusi antara pemerintah terkait dengan para ahli bersama perwakilan beberapa guru yang kemudian mengembangkan atau memperbarui kurikulum pesantren secara nasional yang kemudian dapat diterapkan pada lembaga pendidikan pesantren. Hal ini sebagaimana yang dilakukan pemerintah dalam memberikan standar kurikulum nasional kepada pesantren-pesantren yang memiliki lembaga pendidikan kombinasi, yakni kurikulumnya berdasarkan kurikulum pemerintah dan kurikulum yang dibuat oleh bidang kurikulum pesantren sendiri. Kedua, model Beauchamp dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren besar, yang memiliki beberapa unit-unit, yakni dengan berdiskusi antara ketua yayasan, pengasuh/kiai, perwakilan beberapa guru, dengan menentukan tujuan pesantren, materi dan metode apa saja yang perlu dikembangkan atau ditambah berdasarkan kebutuhan peserta didik dan masyarakat, yang kemudian diterapkan pada masing-masing unit-unit sesuai dengan jenjang pendidikannya. Kemungkinan ada kekurangan pada model ini, yaitu belum tentu kurikulum yang diterapkan tersebut sesuai pada masing-masing unit dalam persantren tersebut. Kelebihan pada model ini, memungkinkan pesantren memiliki standar kurikulum yang dapat digunakan pada masing-masing unit pesantren tersebut. Menurut Qomar (2014: 42-43) terdapat beberapa model pengembangan kurikulum yang dapat dipertimbangkan oleh lembaga pendidikan pesantren, yaitu: pengembangan pesantren menekankan kemampuan santri pada pendalaman ajaran Islam melalui literaturliteratur atau sumber-sumbernya yang asli (al-Qur‟an, Hadits, dan kitab-kitab bahasa Arab baik kitab kuning/kutub al-safra‟ maupun kitab putih/al-kutub al-baida‟, baik kitab warisan/al-kutub al-turats maupun kitan hasil modifikasi), kemudian ditambah dengan beberapa keilmuan di antaranya: (1) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan mendakwahkan Islam sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman baik dalam sekala lokal, nasional, maupun internasional. (2) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan meneliti (menggali, menemukan, dan mengembangkan khazanah keislaman. (3) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki keterampilan kewirausahaan. (4) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki konsentrasi keahlian. Model-model yang ditawarkan Qomar (2014: 43-44) tersebut, menurutnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: Pertama, untuk mewujudkan santri memiliki kemapuan tambahan yakni berdakwah, diperlukan tambahan wawasan kepada santri tentang cara-cara dan metodemetode dakwah yang dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan perkembangan berpikir masyarakat. Kedua, agar santri memiliki tambahan kemampuan untuk meneliti, maka dapat dilakukan dengan menambah mata pelajaran yang terkait langsung dengan metodologi penelitian terhadap bidang sosial keagamaan, seperti metode penelitian hadits, metode penelitian sejarah, dan metode penelitian yang terkait dengan memperkuat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan.
51
Ketiga, untuk menambah kemampuan santri dalam bidang kewirausahaan, diperlukan pelajaran tambahan pelajaran-pelajaran yang terkait dengan kewirausahaan, adapun kaitan kewirausahaan dengan nilai-nilai keagamaan seperti hasil-hasil keterapilan kaligrafi yang dapat digunakan sebagai produk keterampilan yang dapat dipasarkan keberbagai tempat. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pengetahan dasardasar bisnis kewirausahaan, ekonomi bisnis, dan manajeman perekonomian yang dapat dilakukan dengan melaksanakan lokakarya/workshop yang terkait dengan kewirausahaan, maupun memberikan keterampilan yang dapat membuka peluang ekonomi selain itu dapat pula dengan membuka kelas sekolah kejuaruan. Keempat, langkah yang dapat dilakukan agar santri memiliki tambahan konsentrasi keahlian pada bidang tertentu, yaitu diperlukan pendalaman-pendalaman dalam beberapa keilmuan yang diajarkan, seperti dengan menambah tenaga-tenaga pengajar konsentrasi yang professional dan tenaga khusus dengan menyeleksi bakat dan minat santri. Dari empat model yang ditawarkan oleh Qomar tersebut, perlu diperhatikan lebih mendalam yakni dalam penguasaan ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan ciri khas dari pesantren harus benar-benar dipertahankan. Dalam hal ini, jika santri memiliki kemampuan selain ahli dalam keagamaan, juga memiliki kemampuan dibidang lain, ini berararti sudah sesuai dengan tujuan dari pesantren yakni menjadikan santri sebagai calon ulama yang intelektual, paling tidak merupakan tambahan sebagai bekal untuk kehidupannya kelak. C. Kerangka Berpikir Pesantren pada awal keberadaannya berupa sistem pendidikan sederhana yang mencerminkan model tradisional, seiring dengan perjalanan waktu, dunia pesantren pun mulai melakukan penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat akan tenaga-tenaga trampil yang dapat memenuhi tuntutan kehidupan duniawi dan ukhrawinya. Oleh karena itu, banyak institusi pesantren yang mulai mengembangkan sistem pendidikannya, berupa pendidikan umum, baik berupa sekolah ataupun madrasah. Kesediaan pesantren mengembangkan pendidikannya dengan pendidikan umum ini sejalan dengan pandangan Azra pada tulisannya yang berjudul: Kontinuitas dan Perubahan yang terdapat dalam Madjid ( 1997: ix) menegaskan bahwa jika pesantren ingin tetap survive, maka institusi ini dapat mentrasformasikan dirinya menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidaktidaknya menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum. Selanjutnya, diperlukan skema berpikir yang dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengembagan kurikulum dan pendidikan keagamaan di pesantren hendaknya berdasarkan prinsip relevansi, fleksibelitas, kontinuitas, efisiensi, efektifitas, dan ditambah produktivitas sebagai indikator yang memungkinkan tercapainya sasaran yang diinginkan, yaitu kemajuan. Skema berikut ini dimaksudkan untuk memberi gambaran alur berpikir yang dikembangkan dalam penelitian ini.
52
Bagan 2.6 Skema Kerangka Berpikir Model Pesantren Kombinasi: Kolektif Yayasan Klasikal Kitab Ulama Klasik/ Kitab Kuning Sorogan dan Bandongan Penekanan Bahasa Arab dan Inggris Sekolah/Madrasah Keterampilan Kurikulum Pemerintah dan Kepesantrenan
Model Pengembangan Kurikulum: Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi
Indikator: Relevansi Fleksibelitas Kontinuitas Efisiensi Efektifitas Produktifitas
Objek Pengembangan: Kelembagaan Tujuan Isi/Materi Metodologi Evaluasi Tenaga Pengajar
Sasaran: Kemajuan Pola pendidikan pesantren kombinasi merupakan perpaduan dari pola pendidikan pesantren tradisional dan pola pendidikan pesantren modern (independent). Langkahlangkah yang dilakukan pada pengembagan kurikulum dapat terlihat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, langkah-langkah tersebut dipertimbangkan berdasarkan upaya pencapaian tujuan, baik tujuan nasional ataupun tujuan kelembagaan. Adapun pengembangan kurikulum keagamana dalam penelitian ini terdapat beberapa komponen sebagai objek pengembangan yang dapat melengkapinya, yaitu tujuan, metodologi, isi/materi, evaluasi dan tenaga pengajar. Komponen-komponen tersebut sebagai penentu sejauhmana pengembangan tersebut. Penelitian ini lebih menekankan sejauh mana pengembagan kurikulum keagamaan yang dilakukan oleh pesantren dalam merespon perkembagan zaman dan perkembangan intelektual. D. Telaah Pustaka Penelitian yang membahas tentang kurikulum secara umum sudah cukup sering dibahas oleh para ahli pendidikan, baik pada tingkat lokal ataupun internasional. Akan tetapi pembahasan yang secara gamblang mengkhususkan pada persoalan kurikulum keagamaan pesantren di tengah perubahan politik nasional masih tergolong kurang, apalagi yang spesifik menyangkut suatu era dan kondisi tertentu. Beberapa penelitian terdahulu telah membahas tentang kurikulum pesantren secara keseluruhan, penelitian tersebut dapat dijadikan acuan dalam mengungkap perbedaan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, dilakukan telaah pustaka pada beberapa hasil laporan penelitian sebelumnya, antara lain adalah:
53
Pertama, tesis yang berjudul Politik Pendidikan Pesantren Melacak Transformasi Institusi, Kurikulum dan Metode oleh Prof. DR. Mujamil Qomar, M.Ag. Tesis ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Erlangga dengan judul Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi pada tahun 2005. Kajian dari penelitian ini adalah berusaha mengungkap transformasi kepemimpinan pesantren, transformasi sistem pendidikan pesantren, transformasi institusi pesantren, transformasi kurikulum pesantren, dan transformasi metode pendidikan pesantren. Di samping itu, kajian ini juga mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi tersebut dan implikasinya. Kedua, tesis yang berjudul Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal di Pondok Pesantren yang di tulis oleh A. Malik MTT, kemudian tesis ini diterbitkan oleh Departemen Agama Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Islam pada tahun 2008. Tesis ini berisi tentang inovasi kurikulum yang dilakukan oleh pesantren dengan berbasis lokal. Ketiga, disertasi yang berjudul Pembaharuan Pendidikan di Pesantren: Studi Kasus Pesantren Lirboyo Kediri oleh Ali Anwar tahun 2008. Kajian dari penelitian ini mengungkap pembaharuan pendidikan pada pesantren salaf iyah, yakni dengan mendirikan unit-unit pendidikan yang mengkombinasikan sistem pendidikan tradisional dengan modern. Keempat, disertasi yang berjudul Pembaruan Pendidikan Islam di Makasar: Studi Kasus Pesantren modern Pendidikan al-Qur‟an IMMIM Tamalanrea Makasar. Disertasi ini kemudian dijadikan buku yang berjudul Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern oleh Muljono Damopoli pada tahun 2011. Kajian dari penelitian ini adalah berusaha mengungkap pembaharuan pendidikan Islam di wilayah Makasar. Dari sejumlah studi tentang pesantren tersebut di atas, sepanjang penelusuran penulis, belum ada yang secara spesifik melakukan kajian dengan fokus pada pengembangan kurikulum keagamaan secara utuh. Titik perbedaan antara buku dan hasil penelitian tersebut di atas dengan tesis penulis adalah secara mendalam penelitian ini akan fokus kepada kajian tentang pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren. Dengan begitu, maka studi tentang pengembangan kurikulum keagamaan pesantren secara komprehansif barulah dilakukan melalui penelitian tesis ini.
54 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif atas dasar paradigma naturalistik. Sugiono (2009: 9) menegaskan bahwa: metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiyah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Moleong (2013: 10-12) menambahkan bahwa, penelitian kualitatif itu berakar pada setting dunia empiris sebagai mengandalkan keutuhan manusia sebagai instrument penelitan. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, analisis data dilakukan secara induktif, serta lebih menekankan pada kualitas proses penelitian, membatasi studi tentang fokus penelitian, dan memilih seperangkat kriteria untuk validitas rancangan penelitian serta subjek penelitian. Hasil penelitian dalam penelitian kualitatif tidak digunakan untuk menjawab hipotesis yang telah diumuskan, dan memutuskan menerima atau menolak hipotesis, tetapi lebih ditekankan pada bagaimana pengumpulan data yang dimaksud untuk mendeskripsikan dan menganalisis terhadap keadaan sesungguhnya yang terjadi di lapangan penelitian. 2. Jenis Data Data yang akan dicari dan dikumpulkan melalui penelitian ini adalah data yang sesuai dengan fokus penelitian, yaitu tentang pengembangan kurikulum Pesantren alHamidiyah, termasuk di dalamnya terdapat pola-pola pengembangan sistem pendidikan Pesantren al-Hamidiyah, setting sosial dan keadaan dan kebutuhan pendidikan masyarakat sekitar Pesantren al-Hamidiyah, dan alur perkembangan Pesantren al-Hamidiyah itu sendiri. Jenis data dalam penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dalam bentuk verbal yaitu dalm bentuk kata-kata atau ucapan lisan dan perilaku subjek (informan), berkaitan dengan pengembangan kurikulum keagamaan Pesantren al- Hamidiyah. Lexy J Moleong (2013: 157) menyatakan bahwa karakteristik data primer adalah bentuk kata-kata atau ucapan lisan dan perilaku manusia. Data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen dan foto-foto yang dapat digunakan sebagai pelengkap data primer. Karakteristik yang ada pada data sekunder yaitu berupa tulisan-tulisan, rekaman, gambar, foto yang berhubungan dengan subjek penelitian. Dari kedua jenis data tersebut penulis akan menggunakan data primer yang didapat dari wawancara dan observasi terhadap informan penelitian yang ditentukan, dan data sekunder pendukung yaitu berupa literatur tambahan dan dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Data primer akan digali melalui wawancara yang akan dilakukan kepada orangorang yang terkait dengan penelitian ini, seperti: pengasuh pesantren (kiai), kepala madrasah, kepala kajian Islam dan Asrama, bidang kurikulum pesantren, bidang kepesantrenan, guru-guru, dan staf-staf terkait dengan penelitian. Sedangkan, data skunder pada penelitian ini didapat dengan mengumpulkan data-data tulisan-tulisan, seperti dokumen-dokumen, profil pesantren, program kerja dan arsip-arsip yang berkaitan dengan 54
55
penelitian. Kemudian data sekunder lainnya berupa rekaman, gambar, foto kegiatan yang berhubungan dengan subjek penelitian. 3. Objek dan Sumber Data Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah kurikulum Pesantren al-Hamidiyah yang diwujudkan dalam pengembangan satuan pendidikan yang ada dalam ruang lingkup Pesantren al-Hamidiyah. Sebagai perluasan dari satuan pendidikan pesantren maka madrasah bisa menjadi kepanjangan tangan dari Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan kurikulum keagamaan dan menjawab kebutuhan masyarakat disekitarnya. Berkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dirumuskan, maka yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah sumber yang berasal dari informan (narasumber penelitian), dokumentasi, dan literatur pendukung yang relevan. Pada dasarnya perolehan data-data penelitian ini bermuara pada dua sumber, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Mengenai sumber data primer, penulis melakukan observasi lapangan dan mengolah dokumen-dokumen Pesantren al-Hamidiyah. Sedangkan data sekunder penelitian ini adalah buku-buku utama yang sangat berhubungan dengan persoalan kurikulum, jurnal-jurnal ilmiah pendidikan, makalah-makalah, informasi sekitar pesantren, serta sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penelitian ini, undang-undang tentang pendidikan. Selanjutnya, penulis juga melakukan studi eksplorasi (Morissan, 2012: 35), yaitu mengumpulkan berbagai informasi tentang Pesantren al-Hamidiyah dari aspek kependidikannya sebagai bahan untuk penelitian. Informasi akan penulis lacak dari elemen-elemen penting Pesantren al-Hamidiyah seperti para tenaga pengajar, pembina/pengelola pesantren, kepengurusan struktural, dan alumni pesantren tersebut. B. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi, dan gabungan ketiganya atau triangulasi. Peneliti menggunakan pedoman wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka. ( Moleong, 2013: 189) Pedoman ini dimaksudkan untuk menjaga agar wawancara dapat berlangsung tetap pada konteks permasalahan penelitian. Dengan daftar pertanyaan tersebut diharapkan dapat memperoleh data primer mengenai pengembagan kurikulum dan pendidikan keagamaan. Penelitian ini akan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. Studi lapangan (field research), yaitu pengamatan langsung di lapangan untuk memperoleh data dan informasi yang dikumpulkan dengan cara: (1) Observasi (pengamatan), yaitu teknik observasi (pengamatan) dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan pencatatan secara sistematis atas fokus permasalahan dan objek penelitian. (Moleong, 2013: 174) Dalam penelitian ini observasi penulis digunakan untuk memperoleh gambaran nyata berkaitan dengan fokus studi dan objek yang diteliti berkenaan dengan kondisi objektif dilapangan serta pengamatan dan sudut pandang peneliti terhadap objek penelitian. Teknik observasi ini mengambil berbagai data yang berhubungan dengan perkembangan Pesantren al-Hamidiyah, perkembangan kurikulum keagamaan Pesantren al-Hamidiyah, dan keadaan Pesantren al-Hamidiyah masa kini. (2) Wawancara, yaitu sebagai instrumen penting dalam penelitian kualitatif, wawancara yang akan penulis gunakan adalah wawancara yang mendalam, yang menggali
56
sedalam-dalamnya informasi yang didapat dari informan (narasumber) yang telah penulis tentukan. Wawancara ini digunakan untuk menggali data tentang sejarah lahirnya Pesantren al-Hamidiyah, serta perkembangan Kurikulum kegamaan Pesantren al-Hamidiyah dari dulu sampai sekarang. Adapun narasumber yang telah penulis tentukan adalah Pimpinan Pengasuh Pesantren al-Hamidiyah, Kepala Madrasah dan Waka kurikulum setiap jenjang pendidikan di Pesantren al-Hamidiyah, Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah. (3) Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data yang terkait dengan fokus studi dan objek penelitian yang berasal dari sumber utamanya yaitu modul yang dibuat yayasan, pesantren, maupun madrasah, silabus, RPP, arsip-arsip yang terkait dengan kurikulum pesantren dan madrasah, majalah dan artikel yang memuat tentang Pesantren alHamidiyah, serta brosur dan pemberitaan lain yang terkait dengan permasalahan fokus studi serta objek yang dikaji. C. Teknik Analisis dan Validasi Data Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptifeksploratif dengan melibatkan tiga komponen analisis. Menurut Suprayogo (2003: 193-97) dan Moleong (2013: 248-269) proses yang dapat dilakukan dalam menganalisis data deskriptif-eksploratif, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Ketiga komponen analisis ini bersifat interaktif. pada tahap reduksi data dilakukan kategorisasi dan pengelompokan data dalam sekala prioritas, mana yang lebih penting, yang bermakna, dan yang relevan dengan fokus studi dan objek yang diteliti, sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya mampu ditarik dan diverivikasi. Pada tahap penyajian data digunakan analisis tema, grafik, matrik, dan tabel. Adapun penarikan kesimpulan dilakukan dengan teknik mencari pola, tema, hubungan, persamaan, dan hal-hal yang sering timbul. Analisis data akan disesuaikan berdasarkan hasil temuan penelitian dan teori-teori para ahli pengembangan kurikulum, seperti model pengembangan kurikulum Hilda Taba, Beauchamp yang terdapat pada buku karangan Nana Syaodih Sukmadinata tahun 2012, yang berjudul “Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek”, model pengembangan kurikulum Oliva yang terdapat pada buku karangan George Paulas dan Peter F. Oliva tahun 2008, yang berjudul “Supervision for Today‟s Schools”, dan model pengembangan kurikulum pesantren yang terdapat dalam buku karangan Mujamil Qomar tahun 2014 yang berjudul “Menggagas Pendidikan Islam”. Pengujian validasi data pada penelitian ini dilakukan dengan cara triangulasi. Mengenai triangulasi, Moleong (2013: 330) menjelaskan bahwa metode ini digunakan sebagai teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data lain. Untuk menguji validasi data pada penelitian ini, penulis mencocokkan dan membandingkan data dari berbagai sumber, baik sumber lisan (hasil wawancara), tulisan (pustaka), maupun data hasil observasi. D. Kisi-kisi Pertanyaan Wawancara Terdapat beberapa informasi penting yang dapat dijadikan rujukan dalam penelitian ini, untuk itu dibutuhkan beberapa pertanyaan yang akan digunakan dalam metode wawancara. Agar lebih jelas dan terarah berikut ini terdapat beberapa kisi-kisi pertanyaan yang akan dipakai sebagai pedoman wawancara, yaitu: 1. Konsep pengembangan kurikulum a. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
57
b. Landasan pengembangan kurikulum c. Komponen pengembagan kurikulum: - Tujuan - Materi/isi - Metodologi - Evaluasi d. Model pengembangan kurikulum e. Pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren 2. Struktur organisasi lembanga 3. Latarbelakang pendidikan tenaga pengajar (guru) 4. Kegiatan penunjang kurikulum keagamaan
58
BAB IV KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN ALHAMIDIYAH A. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pendidikan Pesantren al-Hamidiyah Pesantren al-Hamidiyah merupakan pesantren yang berada dalam naungan Yayasan Islam al-Hamidiyah (YIH) yang didirikan pada tanggal 6 Desember 1976 berdasarkan Akta Notaris Nomor 3 dengan notaris pengganti Basuki Budinanto. Akte ini merupakan penyempurnaan dari Akte nomor 16 tahun 1969 oleh Raden Soerojo Wongsowidjojo, SH. Saat ini Yayasan Islam al-Hamidiyah di ketuai oleh Dr. H. Imam Susanto Sjaichu, Sp.BP yang merupakan salah satu putra dari KH. Achmad Sjaichu. Yayasan Islam al-Hamidiyah menetapkan tujuan kegiatannya, yaitu Pendidikan dan Dakwah serta mengusahakan kesejahteraan ummat Islam. Melalui bidang-bidang itu, YIH merencanakan dan menyelenggarakan program-program untuk mencapai tujuannya, yakni mempertinggi mutu pendidikan Islam dan mengusahakan kesejahteraan bagi ummat Islam. (Profil Yayasan Islam al-Hamidiyah) Tujuan kegiatan yang ditetapkan Yayasan Islam al-Hamidiyah di atas menunjukkan bahwa Yayasan Islam al-Hamidiyah masih tetap konsisten sejak awal berdiri hingga kini yakni sebagai lembaga yang konsen dalam pelestarian pendidikan dan dakwah Islamiyah serta mengupayakan kesejahteraan umat Islam melalui kegiatankegiatan sosialnya. Yayasan Islam al-Hamidiyah melewati tahap-tahap perkembangannya secara istiqamah, terencana, dan konsisten pada jalur pendidikan dan dakwah. Dari tahun ke tahun program-program yang diselenggarakan YIH berkembang cukup pesat, mulai dari Kelompok Bermain dan TK, TPQ, SDIT, SMP, MTs dan MA yang berpusat di Jl. Raya Sawangan-Depok, Grup Medik Meruya (GMM) yang berpusat di Meruya-Jakarta Barat, dan Tarbiyah Islamiyah Surabaya yang beralamat di Jl. Kedung Tarukan, Surabaya. (Profil Yayasan Islam al-Hamidiyah) Semakin banyak unit yang dikembangkan oleh Yayasan Islam al-Hamidiyah, menunjukkan bahwa Yayasan Islam al-Hamidiyah semakin berkembang dan dapat memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat akan pendidikan, khususnya pendidikan dengan ciri keagamaan. Pesantren al-Hamidiyah merupakan salah satu bagian dari unit-unit yang berada dalam tanggung jawab Yayasan Islam al-Hamidiyah. Pesantren al-Hamidiyah juga merupakan unit pertama dari Yayasan Islam al-Hamidiyah yang terintegrasi dengan Madrasah baik Madrasah Tsanawiyah maupun Madrasah Aliyah al-Hamidiyah. Pesantren al-Hamidiyah merupakan salah satu wujud dari harapan dan keinginan yang sudah lama dicita-citakan oleh KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Pesantren alHamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 untuk mewujudkan keinginan yang besar dalam menangani pengembangan dan pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah. (Profil Pesantren al-Hamidiyah) KH. Achmad Sjaichu mengharapkan dunia pesantren bisa menjadi penutup bagi perjalanan panjang kehidupannya, setelah ditinggalkan selama hampir 40 tahun terhitung sejak ia meninggalkan pesantren al-Hidayah, Lasem. Dalam kurun waktu selama 40 tahun (1950-1980) KH. Achmad Sjaichu terjun dalam dunia politik dan bergiat dalam Jam‟iyah Nahdatul Ulama. Dalam bidang tersebut, KH. Achmad Sjaichu berhasil membukukan berbagai prestasi. Di bidang politik, KH. Achmad Sjaichu mencapai karir yang cukup
58
59
terhormat, yaitu dengan menjadi ketua DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), yang kini berubah menjadi DPR RI. Dengan basis keilmuan pesantren yang diperkaya dengan berbagai pengalaman dan peristiwa yang menyertai perkembangan kehidupannya itulah, KH. Achmad Sjaichu menemukan kembali dunia pesantren yang pernah ditinggalkannya dalam konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren, KH. Achmad Sjaichu ingin mengkader da‟i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu. Kesadaran baru itu muncul dari hasil pemahaman menyeluruh tentang makna kehadiran para juru dakwah dan ulama ditengah-tengah masyarakat yang bergerak maju dan cepat. (Profil Pesantren al-Hamidiyah) KH. Achmad Sjaichu merasakan keprihatinan yang mendalam atas kenyataan makin langkanya ulama dan juru dakwah, baik dari segi kuantitas karena banyaknya ulama yang wafat, maupun segi kualitas karena sistem pendidikan dan pengajaran dalam lembaga pesantren yang masih harus lebih disempurnakan lagi. Menurutnya, para juru dakwah dan ulama perlu dipersiapkan sejak dini dengan seperangkat ilmu dan keterampilan yang cukup untuk menyertai perkembangan kehidupan modern yang kian kompleks. KH. Achmad Sjaichu kemudian teringat kembali akan keprihatinan dan kekhawatiran yang pernah dirasakan Rasulullah SAW belasan abad yang silam tentang kondisi umatnya yang kehilangan pemimpin dari kalangan ulama. Namun, KH. Achmad Sjaichu tidak tenggelam dan hanyut dalam keprihatinan semata-mata. Ia optimis dapat mewujudkan keinginannya mendirikan pesantren sebagai jawaban atas keprihatinan dan kekhawatiran tersebut. Sebab Nasyr al-„Ilmi (pengembangan ilmu pengetahuan) bukan semata-mata menjadi keinginan manusia, tetapi juga mendapat jaminan dari Allah SWT. (Profil Pesantren al-Hamidiyah) Upaya yang dilakukan oleh KH. Achmad Sjaichu sangat tepat sekali yakni memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk terus melakukan upaya reproduksi/kaderisasi calon ulama atau para juru dakwah, dengan mendirikan pesantren. Dengan adanya pesantren sedikitnya dapat menimalisir kelangkaan ulama karena dari pesantren lahirlah para calon-calon ulama walaupun dibutuhkan pendidikan dan pengajaran keagamaan yang lebih mendalam dan khusus lagi untuk mencapai tahap menjadi ulama. Setidaknya, pesantren dapat dijadikan gerbang pertama dalam mendalami pendidikan keagamaan. Motivasi yang besar untuk mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren juga mendapat dorongan dari istrinya (almarhumah) Ny. Hj. Solchah Sjaichu. Sebelum wafatnya tanggal 24 Maret 1986, Ny. Hj. Solchah terus mendorong agar rencana mendirikan pesantren itu segera diwujudkan. Atas dasar itu, bulatlah tekad untuk mendirikan pesantren. Kebetulan pada saat yang sama, ada sebidang tanah di daerah Depok di jual dengan harga relatif murah. Tanah yang berlokasi di daerah Rangkapan Jaya, Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat itu, akhirnya dibeli pada tahun 1980. Di atas tanah inilah, pesantren yang menjadi idamannya dan idaman istrinya, didirikan. Karena beberapa kesibukan dan persiapan yang belum cukup, pembangunan pesantren itu tertunda. Baru pada tahun 1987, dengan disaksikan para ulama dan tokoh masyarakat, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali meletakan batu pertama, mengawali pembangunan pesantren. Oleh KH. Achmad Sjaichu pesantren itu diberi nama al-Hamidiyah, dinisbatkan dengan nama ayahandanya, H. Abdul Hamid. Pesantren al-Hamidiyah kemudian dimasukan dalam daftar unit kerja di lingkungan Yayasan Islam al-Hamidiyah. (Profil Pesantren alHamidiyah) Berdirinya Pesantren al-Hamidiyah tentunya dilakukan dengan perencanaan yang matang, baik secara fisik maupun program-program yang akan dijalankan yakni dengan merekrut orang-orang yang memang ahli pada bidangnya masing-masing.
60
Secara fisik, bangunan pesantren al-Hamidiyah dirancang dan ditangani langsung pengawasannya oleh Ir. H. Mochamad Sutjahjo Sjaichu, putra ketiga KH Achmad Sjaichu. Bersamaan dengan itu dilakukan pula perencanaan berbagai program pendidikan di bawah koordinasi (Almarhum) DR. H. Fahmi D. Saifuddin, MPH, wakil ketua Yayasan Islam alHamidiyah pada saat itu, yang juga menantu KH. Achmad Sjaichu. Sementara pembangunan fisik berjalan, persiapan pembukaan pesantren juga dilakukan. Rapat-rapat Yayasan kemudian menghasilkan keputusan perlunya segera dibentuk suatu badan pengelola. Maka dicarilah tenaga-tenaga yang siap untuk menjalankannya. Seperangkat kepengurusan dipersiapkan, dan tepat tanggal 17 Juli 1988, pondok Pesantren alHamidiyah dibuka. Pada saat itu, pesantren menerima murid pertama 150 siswa untuk Madrasah Aliyah, dan 120 untuk Madrasah Tsanawiyah. Dari jumlah tersebut, 75 santri putra dan 40 santri putri bermukim di asrama, sedang lainnya pulang pergi. (Profil Pesantren al-Hamidiyah) Menteri Agama RI H. Munawir Sadzali kembali menjadi saksi bagi pembukaan kegiatan perdana Pesantren al-Hamidiyah. Dalam pidato sambutan peresmian pembukaan pesantren, menteri antara lain menyatakan rasa syukur dan penghargaan yang tinggi atas dibangunnya pesantren al-Hamidiyah Depok oleh KH. Achmad Sjaichu. Pendirian pondok pesantren sejalan dengan usaha Menteri Agama yang saat itu mengadakan proyek percontohan pendidikan madrasah dengan materi pendidikan terdiri dari 70% substansi agama dan 25% substansi umum yang disebut MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus). (Profil Pesantren al-Hamidiyah) Pada acara peresmian yang dihadiri alim ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat itu, Menteri Agama lebih jauh menyatakan, program yang menekankan pengajaran bidang studi agama adalah jawaban atas kelangkaan ulama yang sedang dirasakan umat Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia. Dan membangun pondok pesantren bukan sekedar membangun bangunan fisik belaka. Tapi lebih dari itu, adalah membangun manusia, mempersiapkan ulama yang mampu menjawab tantangan zaman. Pesantren al-Hamidiyah tidak hanya membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan agama dan umum, tetapi juga mendidik mereka menjadi seorang muslim yang beriman, berakhlak karimah, berpola hidup sederhana, dan dibimbing untuk menempuh kehidupan secara mandiri dalam berbagai hal dengan mengedepankan semangat kebersamaan. Hingga saat ini Pesantren alHamidiyah telah dikenal secara nasional. Hal ini terbukti dari santri yang belajar tidak hanya berasal dari Jabodetabek tetapi juga dari luar Jabodetabek seperti dari daerah Aceh, Batam, Padang, Palembang, Lampung, Kepulauan Seribu, Cianjur, Bandung, Kalimantan, Ambon, Papua, dan daerah lainnya. (Profil Pesantren al-Hamidiyah) Sejak berdirinya, Pesantren al-Hamidiyah dipimpin langsung oleh KH. Achmad Sjaichu hingga beliau pulang ke rahmatullah pada tanggal 5 Januari 1995. Sesudah beliau wafat, Pesantren al-Hamidiyah dipimpin oleh beberapa ulama dan cendikiawan seperti Prof. KH. Alie Yafie, KH. Utsman Abidin dan KH. Musthafa Bisri yang duduk sebagai mustasyar dan majelis pengarah. Sedangkan sebagai pelaksana, dipimpin DR. H Fahmi D. Saifuddin, MPH selaku penanggung jawab/pengasuh dan KH. Ali Mustafa Yaqub , MA selaku pengasuh/pelaksana harian hingga tahun 1997 kemudian dilanjutkan oleh KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA selaku pengasuh/kepala pesantren, selajutnya diteruskan oleh KH. Drs. Zainuddin Ma‟sum Ali hingga tahun 2016 dan kini dilanjutkan Oleh KH. Drs. A. Zarkasyi. (Buku Pedoman Umum Pesantren al-Hamidiyah). Sosok pengasuh atau yang biasa disebut dengan kiai dalam lingkungan pesantren memang sangat dibutuhkan sekali. Kiai bukan hanya memberikan pendidikan dan pengajaran dalam bidang keagamaan namun, lebih dari itu yakni memberikan
61
pembelajaran kehidupan yang sesuai dengan syari‟at dan ajaran-ajaran keislaman. Pesantren al-Hamidiyah mulai sejak awal selalu dipimpin dan dibimbing oleh ulama-ulama yang memang ahli dan berpengalaman dalam ilmu-ilmu keagamaan dan pesantren. Selain kiai, tentunya para guru/ustadz sangat dibutuhkan oleh pesantren dalam mengajar dan mendidik, dan membimbing santri agar dapat menguasai keilmuan yang diajarkan dan memiliki akhlak yang terpuji tentunya. Sebelum wafat, KH. Achmad Sjaichu telah mewakafkan seluruh asset, sarana dan fasilitas pesantren al-Hamidiyah kepada Yayasan Islam al-Hamidiyah untuk tujuan nasyirul „ilmi (penyebaran ilmu/pendidikan) dan pembinaan ummat. Hal ini telah beliau ikrarkan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf Kecamatan Pancoran Mas Depok sehingga terbitlah akta Ikrar Wakaf No. K-26/BA.032/118/IV/1993, No. K26/BA.032/119/IV/1993, No. K-26/BA.032/120/IV/1993, K-26/BA.032/121/IV/1993, dan No. K-26/BA.032/122/IV/1993 yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf Kecamatan Pancoran Mas Depok. Berdasarkan ikrar wakaf tersebut, maka pesantren alHamidiyah berstatus wakaf untuk umat Islam. Sebagai nadzir yang bertanggung jawab atas keberlangsungan dan pengembangan Pesantren al-Hamidiyah demi terwujudnya cita-cita almaghfurlah KH. Achmad Sjaichu adalah Yayasan Islam al-Hamidiyah. (Buku Pedoman Umum Pesantren al-Hamidiyah, 2000: 3) Wakaf yang dilakukan oleh KH. Achmad Sjaichu tersebut di atas merupakan sedekah dan dapat dijadikan amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir sesuai dengan firman Allah SWT, yaitu:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan. Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran (8): 92) Dan sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW yang terdapat dalam Muslim bin Hijâj, jilid III, Juz 5 (73), yaitu:
ِ ِ َ َف رس ِات ْي اف اإلنْي َس ُى َ " إِ َذا َم:صلَّن ااُى َعلَْييو َك َسلَّن َم قَ َاؿ َ وؿ اا َع ْين أَِ ُىىَريْيػَرَة أ َّن َ ُى ِ ٍة ِ ص َدقٍَةة َجا ِريٍَةة أ ْيَك ِع ْيل ٍةم يػُىْينتَػ َف ُىع بِِو أ ْيَك َكلَ ٍةد َ إَِّنال م ْين:انْيػ َقطَ َع َعْينوُى َع َملُىوُى إَِّنال م ْين ثََالثَة )صالِ ٍةح يَ ْيدعُىو لَوُى (ركاه مسلم َ
“Dari Abî Hurairah sesungguhnya Rasulullâh SAW bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya. (HR. Muslim)
62
Wakaf Pesantren al-Hamidiyah termasuk Wakaf Permanen (al-Waqf alMu‟abbad). Menurut Mundzir Qahâf (2006: 158-159) wakaf permanen (al-Waqf alMu‟abbad), yaitu wakaf berbentuk barang yang bersifat abadi seperti tanah dan bangunan dengan tanahnya, atau barang bergerak yang ditentukan wâqif sebagai wakaf abadi dan produktif, dimana sebagian hasilnya untuk disalurkan sesuai tujuan wakaf, sedangkan sisanya untuk biaya perawatan wakaf dan mengganti kerusakannya. Adapun Visi dan Misi Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana tertulis dalam brosur penerimaan santri baru Pesantren al-Hamidiyah tahun pembelajaran 2016/2017 adalah sebagai berikut: Visi : “Sebagai pesantren yang unggul dalam ilmu pengetahuan agama dan umum, sehingga diharapkan dapat menghasilkan kader muslim yang intelek, cerdas, terampil, percaya diri, berkepribadian kuat, mampu mengembangkan diri dan mampu mengembangkan diri dan umat manusia seutuhnya”. Misi : 1. Menyiapkan kader-kader muslim yang menguasai ilmu pengetahuan agama Islam dan ilmu pengetahuan umum yang luas dan mendalam serta memiliki pribadi muslim yang berakhlak mulia. 2. Menyiapkan kader muslim yang memiliki sifat istiqamah terhadap ajaran yang diyakini dan mampu mengamalkan kepada masyarakat. 3. Menyiapkan kader muslim yang luas wawasan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan dilandasi nilai-nilai ajaran Islam yang kuat dan mampu menerapkan dalam kehidupan masyarakat. 4. Mewujudkan Pesantren al-Hamidiyah Depok menjadi pesantren yang unggul dan berkualitas yang menjadi rujukan pesantren lainnya. 5. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan professional tenaga pendidik sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan. Pesantren al-Hamidiyah juga menyediakan fasilitas-fasilitas berupa sarana dan prasarana sebagai faktor pendukung pelaksanaan pendidikannya yang terintegrasi dengan sekolah/madrasah sebagaimana terdapat dalam brosur penerimaan santri baru Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren al-Hamidiyah tahun pembelajaran 2016/2017 diantaranya sebagai berikut: 1. Asrama Santri Putra 2. Asrama Santri Putri 3. Lab. IPA 4. Lab. Komputer/Ruang Internet 5. Lab. Bahasa 6. Perpustakaan 7. Masjid 8. Musalla Putri 9. Poliklinik 10. WiFi Hotspot 11. Lapangan Upacara 12. Lapangan Olah Raga 13. Barber Shop
63
14. 15. 16. 17. 18.
Wartel Koperasi dan Waserba Kantin (Putra dan Putri) Ruang Makan Santri Putra dan Santri Putri Ruang Kelas yang memadai dan representatif.
B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah 1. Dinamika Pengembangan Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah Secara kelembagaan Pesantren al-Hamidiyah dalam pengembangan pendidikannya mengalami beberapa tahapan, yaitu: Tahap I : Tahap persiapan dan membuka pesantren (1976-1988) Tahap II : Tahap konsolidasi untuk mempertahankan keberlangsungan hidup pesantren (1988-1993) Tahap III : Tahap persiapan untuk melakukan pengembangan pesantren secara berencana (1994-1996) Tahap IV : Tahap pengembangan pesantren secara berencana Fase 1 : (1996-2000) Fase 2 : (2001-2005) Fase 3 : (2006-2010) Tahap V : Tahap Pembangunan lanjut (2011 dan seterusnya) Tahapan-tahapan tersebut di atas juga berpengaruh pada pengembagan dibidang kurikulum keagamaan, setidaknya telah menjalani pengembangan kurikulum keagamaan sebanyak tiga kali, pengembangan kurikulum tersebut sesuai dengan tuntutan dan keadaan. Pengembangan Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah dikembangkan berdasarkan prinsip fleksibelitas, prinsip fleksibelitas pada kurikulum menurut Widyastono (2014: 38) artinya kurikulum memungkinkan penyesuaian-penyesuaian dengan karakter peserta didik, karakteristik sekolah, serta kondisi dan potensi daerah. Kaitannya prinsip fleksibelitas pada pengembangan kurikulum keagamaan Pesantren al-Hamidiyah yakni menyesuaikan kemampuan santri dan karakteristik pesantren. Tabel 4.1 Perkembangan Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah dari Periode ke Periode Periode
Sumber kurikulum
Sifat
Keterangan
1988-2002
Departemen Agama Kepesantrenan
Formal Non Formal
- Kurikulum Depag dan Kurikulum Kepesantrenan berjalan dalam satu kesatuan - Evaluasi pembelajaran menyatu
2002-2014
Departemen Agama Kajian Islam Sistem Marhalah
Formal Non Formal
- Kurikulum Depag dan Kepesantrenan/Kajian Islam Berjalan secara Mandiri
64
- Santri di tes pada awal masuk dan dikelompokkan berdasarkan kemamampuan - Evaluasi pembelajaran secara mandiri 2014Sekarang
Departemen Agama Kajian Islam Sistem Tingkat Pendidikan
Formal Non Formal
- Kurikulum Depag dan Kepesantrenan/Kajian Islam berjalan Secara Mandiri - Santri dikelompokkan sesuai tingkat pendidikan di madrasah formal - Evaluasi pembelajaran secara mandiri
Sumber: Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah 2016 Data di atas menunjukkan adanya pengembangan kurikulum dari periode ke periode. Pengembangan tersebut berupa pengembangan sistem kurikulum itu sendiri. Pengembangan kurikulum dengan jalan efisiensi, dari sistem yang menyatu antara kurikulum Depag (pemerintah) dengan kurikulum kepesantrenan menjadi kurikulum yang terpisah. Langkah tersebut dilakukan agar kurikulum kepeantrenan yang dikembangkan dapat berjalan beriringan dengan porsi yang seimbang dengan kurikulum yang dikembangk oleh madrasah formal. Berikut ini uraian tentang dinamika perkembangan kurikulum keagamaan/kepesantrenan Pesantren al-Hamidiyah: a. Tahap Awal Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah Pada awal keberadaannya pada tahap sebelum tahap pengembangan pesantren secara berencana, sebagaimana menurut Abdul Rasyid Marhali, Lc selaku Kepala Kajian Islam dan sebagai salah satu alumni Madrasah Aliyah Pesantren al-Hamidiyah yang kemudian melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, yaitu Baghdad University, berasarkan wawancara pada 18 November 2016, menurutnya pengembangan kurikulum Keagamaan/kepesantrenan Pesantren al-Hamidiyah sempat melaksanakan kurikulum yang menyatu antara kurikulum Madrasah dengan kepesantrenan dengan sistem pembelajaran dan ujian evaluasi yang menyatupula. Pelaksanaan kurikulum ini berlangsung sejak awal berdiri yaitu pada tahun 1988-2002. Pada tahapan ini kurikulum dan pembelajaran madrasah formal dan kepesantrenan berjalan dalam satu kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Materi-materi terdiri dari materi-materi umum dan keagamaan yang sesuai kurikulum pemerintah dan materimateri keagamaan/kepesantrenan yang bersumber pada kitab-kitab karangan ulama klasik atau kitab kuning. Metode pembelajaran juga masih sederhana seperti, metode sorogan, bandongan dan ceramah. Evaluasi hasil pembelajaran juga menyatu dalam bentuk laporan hasil belajar yang disatukan semua antara materi-materi kemadrasahan dengan materimateri kepesantrenan.
65
Pada saat awal berdiri, pesantren menerima murid pertama 150 siswa untuk Madrasah Aliyah, dan 120 untuk Madrasah Tsanawiyah. Dari jumlah tersebut, 75 santri putra dan 40 santri putri bermukim di asrama, sedang lainnya pulang pergi. Kemudian jumlah santri kian bertambah, menurut Abdul Rasyid Marhali, Lc selaku Kepala Kajian Islam dan juga sebagai alumni Pesantren al-Hamidiyah berasarkan wawancara pribadi pada 18 November 2016, menurutnya jumlah santri diperkirakan bertambah hingga berjumlah ribuan, namun kebanyakan pada saat itu santri yang tidak bermukin di asrama melainkan pulang pergi. Pada perkembangan kurikulum tahap pertama ini, tidak ditemukan dokumendokumen yang terkait dengan kurikulum keagamaan, penulis berasumsi hal tersebut disebabkan tahap awal ini merupakan tahap persiapan dan membuka pesantren, tahap konsolidasi untuk mempertahankan keberlangsungan hidup pesantren, dan tahap persiapan untuk melakukan pengembangan. Oleh karena itu, tidak banyak dokumen yang tersimpan karena bergantinya beberapa kepengurusan yang menyebabkan tercecernya beberapa dokumen. Ketidakadaan dokumen-dokumen tersebut juga menandakan bahwa pada tahapan ini sistem administrasi dan manajemen yang dilakukaan secara terbatas dan kemungkinan kurikulum berjalan dengan konsep yang sederhana, dengan kata lain Pesantren al-Hamidiyah pada tahapan ini sedang mencari jadi diri yang sesuai antara tujuan awal pendiri dengan perkembangan kemampuan santri pada saat itu. b. Tahap Pengembangan Kurikulum Sistem Marhalah Pengembangan kurikulum dengan sistem Marhalah Kajian Islam mulai tahun 2002-2014. Sistem Marhalah pada kurikulum kepesantrenan ini, struktur dan pelaksanaan pembelajarannya dipisahkan antara kurikulum madrasah formal dengan kurikulum keagamaan/kepesantrenan yang biasa disebut dengan Kajian Islam. Pelaksanaan program Kajian Islam agar mencapai hasil yang maksimal sesuai dengan kurikulum Kajian Islam sistem marhalah, maka dilaksanakan sistem dari yang paling mudah menuju tingkatan yang paling sulit yaitu marhalah Ula, Wusta Alif, Wusta Ba‟, Ulya Alif, Ulya Ba‟, dan Ulya Jim, santri di tes kemampuan akademik bidang keagamaan kemudian (pengelompokan santri berdasarkan hasil mapping) dalam jangka waktu pembelajaran 6 tahun. Dalam hal ini kemungkinan bercampurnya santri, antara santri yang belajar pada madrasah formal tingkat Aliyah dengan santri tingkat Tsanawiyah menjadi satu kelompok/kelas di kelas Kajian Islam tergantung hasil tes awal masuk. (Profil Pesantren al-Hamdiyah) Pada tahap kedua ini, kurikulum keagamaan mulai terlihat seperti kurikulum sekolah/madrasah pada umumnya. Tahap pengembangan ini telah dibuat struktur program kegiatan yang terdiri dari materi-materi keagamaan/kepesantrean yang dikelompokkan berdasarkan jenis kajian seperti, al-Qur‟an, Hadits, Tauhid, Akhlak, Fiqh, Bahasa Arab, dan Tarikh. Metode pembelajaran yang digunakan juga mulai bervariatif, dengan menambahkan metode-metode dalam pembelajaran bahasa Arab seperti metode mubasyarah. Evaluasi pembelajaran juga mulai di buat beberapa kriteria-kriteria standar penilaian, kenaikan kelas, dan kelulusan. Pada tahap mengembangan ini, sebagai temuan data terdapat beberapa buku pedoman yang dibuat oleh pengelola pesantren seperti, buku pedoman umum, pedoman santri, dan pedoman pendidikan dan pengajaran pesantren al-Hamidiyah yang diterbitkan mulai 17 Juli 2000. Buku tersebut berisi berbagai ketentuan yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan digunakan hingga sekarang. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara administratif Pesantren al-Hamidiyah sudah melakukan pengembangan. Pada
66
tahapan ini juga, kurikulum keagamaan/kepesantrenan mulai terlihat upaya-upaya pengembangan terkait dengan komponen-komponen kurikulum. Pengembangan pesantren tahap kedua ini, pihak pengelola pesantren selain mengubah dan mengembangkan kurikulum pembelajarannya, juga mengeluarkan kebijakan baru sebagaimana menurut Abdul Rasyid Marhali, Lc selaku Kepala Kajian Islam dan sebagai salah satu alumni Madrasah Aliyah Pesantren al-Hamidiyah, berasarkan wawancara pada 18 November 2016 mengungkapkan bahwa Pesantren al-Hamidiyah pada merubah kebijakan bahwa seluruh santri diwajibkan tinggal di asrama. Hal tersebut merupakan upaya pesantren untuk meningkatkan kualitas pendidikannya dan agar lebih mudah dalam pengawasan pada seluruh santri. Kebijakan tersebut mempengaruhi perkembangan jumlah santri, pada saat itu sempat terjadi kegoncangan, jumlah santri mengalami penurunan yang sangat banyak. Namun, seiring berjalannya waktu pengurus Yayasan, dewan pengasuh dan para guru berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dan melengkapi sarana prasarana yang dibutuhkan, dari sini jumlah santri terus bertambah dan minat masyarakat untuk menitipkan putra putrinya belajar keagamaan di Pesantren alHamidiyah kian mengalami kemajuan. Bertambahnya minat masyarakat untuk menitipkan putra putrinya belajar keagaamaan di Pesantren al-Hamidiyah, tidak semata-mata dimanfaatkan kepercayaan masyarakat tersebut. Pesantren al-Hamidiyah lebih mementingkan kualitas dari pada kuantitas, dalam artian dalam menampung jumlah santri disesuaikan dengan kemampuan daya tampung pesantren baik dari segi sarana prasarana maupun jumlah guru. Sehubungan dengan hal tersebut pihak Yayasan Islam al-Hamidiyah memberikan alternatif lain bagi masyarakat yang masih ingin menitipkan putra putrinya belajar di bawah naungan yayasan yang sama dengan membuka kelas pada Kelompok Bermain dan TK, TPQ, SDIT, SMP dan Perguruan Tinggi, yang dimana tidak mewajibkan santri atau peserta didik untuk mukim atau tinggal di asrama. Namun, masih dalam tujuan yang hampir sama dalam bentuk sistem yang berbeda yakni melestarikan dakwah dan pendidikan Islam. Terlihat pada beberapa kegiatan keagamaan seluruh unit bergabung pada satu acara. Sehubungan dengan hal tersebut penelitian ini hanya berfokus pada unit yang berhubungan langsung dengan pesantren yakni Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah al-Hamidiyah saja. Perubahan dan perkembangan jumlah santri Pesantren al-Hamidiyah dapat terlihat pada tabel 4.2 di bawah ini. Tabel 4.2 Daftar Perkembangan Santri MTs/MA Putra dan Putri Pesantren al-Hamidiyah (2000-2014) No.
Santri MTs
Santri MA
Jumlah Santri
1
Tahun Pembelajaran 2000-2001
555
465
1.020
2
2001-2002
550
465
1.015
3
2002-2003
425
199
624
4
2003-2004
340
178
518
5
2004-2005
338
161
499
67
6
2005-2006
323
147
470
7
2006-2007
380
153
533
8
2007-2008
351
190
541
9
2008-2009
295
188
483
10
2009-2010
352
190
541
11
2010-2011
297
189
484
12
2011-2012
300
180
480
13
2012-2013
345
203
548
14
2013-2014
353
222
575
Sumber: Tata Usaha MTs/MA Pesantren al-Hamidiyah c.
Tahap Pengembangan Kurikulum Keagamaan dengan Sistem Jenjang dan Tingkat Pendidikan
Pada perkembangan selanjutnya kurikulum kepesantrenan (Kajian Islam) diterapkan dengan sistem berdasarkan Jenjang dan Tingkat Pendidikan di madrasah formal mulai tahun 2014 hingga sekarang, yaitu Madrasah Tsanawiyah kelas VII, VIII dan IX, dan Madrasah Aliyah kelas X, XI dan XII Program IPA/IPS yang dibedakan antara alumni santri Pesantren al-Hamidiyah dengan non alumni dengan memberikan tambahan materi dasar dalam pembelajaran al-Qur‟an dan program PAI atau Keagamaan, dibedakan dari mulai kurikulum dan Asramanya. Pada santri program keagamaan kini mulai tahun 2016 dipisahkan asrama, ruang belajar serta kurikulumnya dari santri program IPA/IPS. Khususnya untuk santri Madrasah Aliyah program Keagamaan kelas X dan XI, sedangkan kelas XII masih menyatu dalam struktur kurikulum Kajian Islam. Hal ini disebabkan santri kelas XII meneruskan program kurikulum sebelumnya. Sedangkan santri kelas X dan XI sudah mulai mengikuti pembelajaran kurikulum yang baru yang terpadu pada kurikulum Madrasah Aliyah program Keagamaan Kementrian Agama RI. Santri program keagamaan memiliki kurikulum diluar kurikulum Kajian Islam, kurikulum program keagamaan melaksanakan program pendidikan terpadu antara pendidikan pagi dengan malam dijadikan satu berdasarkan kurikulum Kementrian Agama RI, tidak seperti kurikulum yang diterapkan pada kajian Islam dengan kurikulum Madrasah formal yang terstruktur secara mandiri. Kurikulum yang digunakan program keagamaan Madrasah Aliyah al-Hamidiyah menurut Suyatno, S.Si, M.Pd selaku Kepala MA al-Hamidiyah dan Jauhari, Lc selaku Kordinator pelaksana, yaitu mengikuti ketentuan dari Kementrian Agama RI kemudian ditambah dengan pendalaman kemampuan bahasa Arab dan bahasa pengatar pada pelajaran agama juga menggunakan bahasa Arab serta pendidikan melalui asrama.
68
Sedangkan, pada santri MTs dan MA program IPA/IPS berada pada pengawasan dan melaksanakan kurikulum kepesantrenan atau Kajian Islam dan Asrama. Kurikulum pada tahapan Sistem Jenjang dan Tingkat Pendidikan tersebut, tidak banyak perubahan dari kurikulum sebelumnya. Berubahan terlihat pada bobot pada materi yang diberikan dan perincian pada beberapa sub materi, seperti materi al-Qur‟an pada sistem marhalah terbagi menjadi dua sub pokok pelajaran Qira‟ah dan tahfidz dengan bobot jam belajar masing-masing 3, sedangkan pada sistem tingkat materi al-Qur‟an terbagi menjadi Tahqiq/Tahfidz dengan bobot jam belajar 6, Bin Nadar/Tilawah, dan Tajwid dengan bobot jam belajar masing-masing 2. Perubahan tersebut pada tahapan sistem kurikulum ini lebih konsen pembelajaran al-Qur‟an pada Tahqiq/Tahfidz. Pembahasan lebih rinci terkait pengembangan kurikulum keagamaan dapat terlihat pada upaya-upaya pengembangan komponen-komponen kurikulum Pesantren al-Hamidiyah pada pembahasanan selanjutnya. Perbedaan antara sistem marhalah dan sistem tingkat pendidikan tersebut di atas, terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan kurikulum pada sistem marhalah, yakni memudahkan santri dalam pelaksanaan pembelajaran ketingkat selanjutnya, karena santri dapat menyesuaikan tingkat kemampuannya sesuai dengan kurikulum mata pelajaran yang diterapkan. Namun, disisi lain karena bercampurnya tingkat usia maka mempengaruhi psikologi perkembangan santri yang berbeda-beda tingkat usia sehingga terkadang menimbulkan kendala dalam pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan, kelebihan kurikulum pada sistem Tingkat Pendidikan adalah memudahkan proses pembelajaran karena terdapat tingkat usia yang sama, sehingga memudahkan guru dalam menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan psikologi santri yang sama pada jenjang usia. Kelemahan pada sistem ini adalah terdapat kendala bagi santri tingkat Madrasah Aliyah yang masih rendah pengetahuan keagamaannya. Oleh karena itu, pengelola membedakan materi dan metode pembelajaran antara santri yang berasal dari lulusan tingkat MTs alHamidiyah (alumni) dengan santri lulusan luar Pesantren al-Hamidiyah (non alumni) dengan memberikan tambahan materi namun pada kelas dan jenjang pendidikan yang sama. Perubahan kurikulum dengan system tingkat pendidikan ini juga mempengaruhi perkembangan jumlah santri. Perubahan dan perkembangan jumlah santri Tingkat MTs dan MA baik putra dan putri Pesantren al-Hamidiyah dapat terlihat pada tabel 4.3 di bawah ini. Tabel 4.3 Daftar Perkembangan Jumlah Santri MTs/MA Putra dan Putri Pesantren al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2014-2016
NO.
TAHUN PEMBELAJARAN
SANTRI MTS
SANTRI MA
JUMLAH SANTRI
1
2014-2015
373
231
604
2
2015-2016
387
231
618
3
2016-2017
417
267
684
Sumber: Tata Usaha MTs/MA Pesantren al-Hamidiyah
69
Hal lain yang berpengaruh terhadap kebijakan pengembangan kurikulum, yaitu lulusan yang berminat untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi pada bidang keagamaan khususnya. Pasang surut santri untuk melanjutkan pada bidang keagamaan dipengaruhi kebijakan pemerintah yang mana pada perkembangannnya mengharuskan tingkat Madrasah Aliyah untuk membuka jurusan/program. Pesantren al-Hamidiyah yang semula hanya ada jurusan/program keagamaan kemudian pada perkembangannya membuka dua jurusan yakni jurusan IPA dan IPS. Dari sini minat santri malah lebih banyak tertarik untuk masuk pada program IPA dan IPS dibandingkan Program PAI. Hal ini juga berpengaruh juga pada santri untuk melanjutkan pendidikan pada program di luar keagamaan. Namun, saat ini pihak pesantren berupaya untuk menarik minat santri untuk lebih banyak memilih program keagamaan dengan memberikan fasilitas pendukung yakni memiliki asrama tersendiri, dengan program-program yang lebih menekankan pada keilmuan agama, upaya tersebut bertujuan agar dapat mencapai tujuan awal pendiri yakni pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah serta kaderisasi calon ulama. 2. a.
Upaya-upaya Pengembangan Komponen Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah Komponen Tujuan Kurikulum Tujuan kurikulum tidak terlepas dari tujuan pendidikan itu sendiri. Bagi pendiri Pesantren al-Hamidiyah, tujuan dari pendidikan yang dicita-citakan pada awal mula pendirian pesantren sangatlah sederhana, yaitu untuk mewujudkan keinginan yang besar dalam menangani pengembangan dan pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah. Tujuan awal tersebut terus disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan keadaan. Ketika santri kian bertambah maka tujuan pesantren ini kian berkembang. Sebagaimana terdapat dalam buku pedoman umum Pesantren al-Hamidiyah (2000: 23), tujuan pendidikan Pesantren alHamidiyah adalah menghasilkan manusia muslim yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan sehat jasmani dan rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki kesadaran dan tanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat guna mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, selain itu menghasilkan calon atau kaderisasi ulama yang mampu mengembangkan ajaran Islam ala Ahlu alSunnah wal Jama‟ah dan melakukan dakwah Islamiyah ditengah masyarakat. Tujuan Pesantren al-Hamidiyah kian berkembang disesuaikan berdasarkan perkembangan pendidikan unit lain yang merupakan bagian dari sistem pendidikan terpadu yakni antara pesantren dengan madrasah formal baik MTs maupun MA alHamidiyah program IPA dan IPS yang menerapkan pengetahuan keagamaan dan umum. Oleh karena itu, menurut Drs. Eridian Patrio Putra, Wakamad dan Kabid. Pendidikan dan Pengajaran, berdasarkan hasil wawancara pada 14 Maret 2016, tujuan dari pendidikan Pesantren al-Hamidiyah selain mereproduksi/kaderisasi calon ulama juga unggul dalam pengetahuan umum (intelektual). Namun, upaya untuk terus melahirkan calon ulama dapat terlihat pada santri Madrasah Aliyah program Keagamaan, kurikulum yang diterapkan lebih banyak menekankan pelajaran keagamaan dengan banyak pelajaran yang bersumber dari kitab-kitab kuning ulama klasik dan menekankan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran khususnya pelajaran keagamaan. Dengan kata lain, tujuan dari Pesantren al-Hamidiyah yakni mereproduksi/kaderisasi calon ulama-intelektual atau intelektual-ulama, ulama yang memiliki keilmuan agama dan keilmuan non agama dan intelektual yang paham ilmu keagamaan. Hal ini disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tujuan pesantren tersebut, baik ulama-intelektual maupun intelektual ulama, kedua-duanya mencerminkan adanya keutamaan ilmu. Penegasan tentang betapa utamanya
70
ilmu yang dilandasi dengan iman yang kuat disebutkan dalam firman Allah, sebagai berikut:
… … “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. alMujadilah (58): 11) Tujuan pesantren secara struktural diuraikan lebih rinci disesuaikan dengan visi dan misinya sebagaimana terdapat dalam brosur penerimaan santri baru tahun pembelajaran 2016/2017 diantaranya adalah: 1) Mendidik santri yang memiliki iman yang kuat dan kepercayaan yang mantap terhadap kebenaran seluruh ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT, kepada Nabi Muhammad SAW. 2) Mendidik santri agar beriman, berakhlak mulia, beramal salih, cakap, serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab atas kesejahteraan umat manusia dan masa depan negara Republik Indonesia. 3) Mendidik santri agar mampu berpikir rasional dilandasi dengan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan mampu menjabarkan pada agama Islam sehingga dapat mengembangkan prikehidupan masyarakat. 4) Mendidik santri agar memiliki kemampuan menuangkan buah pikirannya yang rasional, metodologi yang tepat dan mampu menuliskan sebagai karya tulis, laporan penelitian atau kajiaan telaah yang berguna bagi upaya peningkatan kualitas dan pengembangan ilmu dakwahnya. 5) Tercapainya kehidupan baik di dalam maupun di luar pesantren berciri khas Islam dan nilai-nilai kepesantrenan. Sedangkan, tujuan-tujuan kurikulum tercermin pada masing-masing bidang studi yang diajarkan, Kurikulum kepesantrenan/keagamaan Pesantren al-Hamidiyah biasa disebut dengan Kajian Islam. Program pembelajaran Kajian Islam merupakan bagian dari realisasi visi, misi dan tujuan yang telah diterapkan oleh Pesantren al Hamidiyah. Oleh karena itu, secara umum tujuan kurikulum program Kajian Islam tercermin pada masingmasing bidang studi/materi pelajaran sebagaimana terdapat pada profil Pesantren alHamidiyah diantaranya meliputi : 1)
Al-Quran : a) Mengerahkan santri kepada kemampuan membaca al-Qur‟an sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan. b) Mendorong santri untuk membiasakan membaca al-Qur‟an secara baik dan benar dan menjadikannya sebagai suatu kebutuhan. c) Mengarahkan santri untuk menghafal surat-surat dan ayat-ayat pilihan
2)
Tauhid/Aqidah Tauhid : a) Menanamkan dan meningkatkan keyakinan bertauhid kepada Allah SWT, baik tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah maupun tauhid ubudiyyah. b) Memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar menghayati dan meyakini rukun iman serta menjadikannya sebagai landasan perilaku dalam
71
c)
kehidupan sehari-hari baik dalam hubungannya dengan Allah SWT, dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar. Memberikan dasar utama dalam pembentukan kepribadian manusia sehingga menjadi manusia-manusia yang beriman sesuai dengan aqidah ahlussunnah wal Jamaah.
3)
Akhlak: a) Memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada para santri agar menghayati dan meyakini akhlak Islam sebagai landasan perilaku dalam kehidupan seharihari. b) Memberikan dasar utama dalam pembentukan pribadi muslim dengan mengarahkan santri menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur.
4)
Fiqih: a) Mendorong, membimbing, mengembangkan, dan membina santri untuk mengetahui, memahami, dan menghayati hukum Islam agar dapat diamalkan dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari hari. b) Memberikan bekal kepada santri agar lebih mampu memahami ajaran Islam dalam aspek hukum.
5)
Hadits: a) Mendorong, membimbing dan membina kemampuan para santri dalam membaca kitab kitab hadis serta dalam memahami arti dan pokok kandungannya sehingga dapat meningkatkan ilmu , iman dan takwa kepada Allah SWT. b) Melatih para santri dalam memahami menghafal dan mengamalkan Hadits-hadits Nabi SAW.
6) Ilmu Hadits: Memberikan bekal ilmu kepada para santri untuk memahami Hadits-hadis Nabi SAW sebagai sumber kedua ajaran Islam sesudah al-Qur‟an, serta menseleksi Hadits-hadits yang sahih, dari Hadits Nabi yang daif, maudu‟ dan lain-lain. 7) T a f s i r: a) Mengarahkan santri kepada pemahaman dan penghayatan terhadap isi dan kandungan al-Qur‟an yang kemudian diharapkan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. b) Melatih para santri untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an (pilihan). 8)
Ilmu Tafsir: Memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada para santri untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an sebagai wahyu dan sumber utama ajaran Islam yang mencakup bahan kajian tentang pokok pokok ilmu tafsir.
9)
Usul Fiqh : Memberikan bekal kepada para santri agar lebih mampu memahami metodologi istimbat hukum Islam serta mempraktekkan metode istimbat tersebut untuk menggali hukum hukum Islam tentang masalah masalah kontemporer dari nas al-Qur‟an, alSunnah, Ijma‟ dan fatwa sahabat.
72
10) Bahasa Arab : a) Memberikan bekal kemampuan berbahasa Arab kepada para santri untuk memahami dan mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan Islam dan ajaran Islam serta mengembangkan hubungan antar bangsa dan negara negara Islam. b) Memberikan pengetahuan dan kemampuan berbahasa Arab baik secara pasif maupun aktif untuk memahami ajaran agama Islam yang asli dari sumber pokoknya. c) Memberikan dasar-dasar bahasa Arab sebagai bekal untuk pengembangan lebih lanjut di pendidikan tinggi. d) Pelajaran bahasa Arab meliputi keterampilan membaca menyimak, berbicara, mengungkapkan dan menulis dalam bahasa Arab yang diajarkan secara terpadu, unsur-unsur berbahasa seperti tata bahasa, kosakata, pelafalan, dan ejaan diajarkan sebagai dasar untuk menunjang kelima keterampilan tersebut. b.
Komponen Materi/Isi Kurikulum Pada dasarnya kurikulum Pendidikan Pesantren al-Hamidiyah memadukan antara kurikulum pemerintah dan kurikulum yang disusun oleh Pimpinan dan Pendiri Pesantren al-Hamidiyah. Kedua macam kurikulum tersebut diintegrasikan sehingga menjadi kurikulum terpadu. Oleh karena itu, para santri harus menempuh seluruh kurikulum tersebut tanpa membeda-bedakan kedua kurikulum tersebut. Kurikulum yang disusun merupakan perluasan terhadap materi-materi pelajaran agama yang bersumber dari teks-teks kitab klasik, di samping pengembangan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Hal ini dimaksudkan agar para lulusan Pesantren al-Hamidiyah memiliki keunggulan-keunggulan dibanding lembaga pendidikan lain, khususnya dalam dalam kemampuan untuk mengakses kitab-kitab kuning dan berkomuikasi dengan bahasa Arab dan Inggris yang sangat diperlukan bagi ulama, da‟i dan muballigh pada era modern. Pesantren al-Hamidiyah menerapkan Sistem Pendidikan Integral (Terpadu) yaitu sistem pendidikan yang menyatukan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan proses pendidikan dan pengajaran termasuk didalamnya proses belajar mengajar untuk menghasilkan santri/siswa yang berkualitas dan berwawasan luas serta mampu menjawab tuntutan zaman. Satuan unit pendidikan yang secara integral (terpadu) dengan pesantren alHamidiyah adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs) al-Hamidiyah dan Madrasah Aliyah (MA) al-Hamidiyah. Adapun pelaksanaan pendidikan madrasah dengan kepesantrenan secara struktur berkembang mandiri yakni antara madrasah dengan kepesantrenan melaksanakan kurikulum sesuai ketentuan kurikulum masing-masing kecuali untuk Madrasah Aliyah program Keagaman. Namun, secara tidak langsung ada keterkaitan dalam artian Pesantren al-Hamidiyah memadukan pendidikan formal melalui madrasah, pendidikan non formal melalui pesantren dan masjid, dan pendidikan informal melalui asrama, selama 24 jam seluruh aktivitas pendidikan dilaksanakan. Pendidikan formal madrasah dan non formal kepesantrenan/kajian Islam dilaksanakan dengan tujuan memberikan pengetahuan secara akademik dan pendidikan informal yakni melalui asrama dengan tujuan pembentukan karakter dan akhlak mulia. (Wawancara dengan Drs. Eridian Patrio Putra, Wakamad dan Kabid. Pendidikan dan Pengajaran, 14 Maret 2016) Mutu pendidikan pada dasarnya tidak terlepas dari kurikulum yang digunakan dan dilaksanakan oleh sebuah institusi pendidikan. Pesantren mempunyai ciri khas tersendiri dalam dunia pendidikan yaitu pendidikan yang memberikan pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan. Pesantren al-Hamidiyah mengembangkan kurikulum kombinasi yang
73
memadukan kurikulum pesantren salafiyah dan modern yang lazim dikenal dengan sistem salafiyah asriyah. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, Pesantren al-Hamidiyah memiliki nilai-nilai dasar yang menjadi landasan, sebagaimana tertuang dalam buku pedoman umum Pesantren al-Hamidiyah (2000: 9-12) diantaranya, yaitu: 1) Nilai-nilai dasar agama, meliputi: bidang Aqidah mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama‟ah; bidang Syari‟ah atau Fiqh mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (alMadzahib al-Arba‟ah), yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali; bidang Tasawuf atau Akhlak mengikuti faham transenden mystical yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali dan al-Junaidi. 2) Nilai-nilai Pendidikan didasarkan pada :
a) Landasan Filosofi, yaitu bertujuan mendidik para santri agar menjadi calon atau
kader „ulama warasah al-anbiya‟ yang akan memperjuangkan tegaknya ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama‟ah, sesuai dengan firman Allah SWT, yaitu:
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Fatir (35): 28) b) Landasan Psikologis, yaitu dengan memahami keadaan psikologis santri serta dapat memberikan situasi-situasi belajar yang tepat kepada mereka agar mereka dapat mengembangkan bakat dan minatnya sebagai kader ulama warasah alanbiya. c) Landasan Sosiologis, yaitu para santri dikenalkan dan didik norma-norma dan adat istiadat masyarakat dan santri harus berusaha menyumbangkan derma baktinya untuk memajukan masyarakat. Kurikulum kepesantrenan Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah dilaksanakan diluar jam madrasah formal yang dimulai dari waktu Subuh dan dilanjutkan setelah ba‟da Ashar dan selesai hingga pukul 21.00 yang dilaksanakan mulai hari Senin hingga Ahad. Tabel 4.4 JADWAL KEGIATAN SANTRI KAJIAN ISLAM PESANTREN AL-HAMIDIYAH TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017 WAKTU 04.00-05.45 05.45-07.00 07.00-09.40 09.40-10.00 10.00-12.00 12.00-13.20 13.20-14.40
KEGIATAN Bangun pagi, shalat subuh berjama‟ah, durus al-lughah, takhtiman/tabarukan Mandi, sarapan pagi, dan persiapan masuk kelas KBM Istirahat KBM dan Shalat Duha KBM Salat Zuhur berjama‟ah dan makan siang KBM
74
14.40-15.15 Salat Ashar berjama‟ah 15.15-18.00 Program Bahasa, KKI, mandi dan persiapan salat maghrib 18.00-18.30 Salat Maghrib berjama‟ah dan wirid/zikir 18.30-19.00 Makan malam 19.00-19.40 Salat Isya berjama‟ah dan wirid/zikir 19.40-21.00 KKI 21.00-22.00 Belajar mandiri 22.00-04.00 Istirahat/tidur dan salat tahajud Keterangan: 1. KBM adalah Kegiatan Belajar Mengajar di Madrasah 2. KKI adalah Kegiatan Kajian Islam Sumber: Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Deskripsi gambaran rutinitas santri sebagai berikut; Pukul 04.00-05.45 seluruh santri dibangunkan dari tidur dan langsung menuju masjid untuk melaksanakan salat Subuh berjama‟ah dilanjutkan dengan pemberian kosa kata baru bahasa atau muhâdatsah (durus al-Lughah) bagi santri kelas VII dan kelas X IPA/IPS, sedangkan santri kelas VIII, IX, XI dan XII IPA/IPS/PAI mengikuti takhtiman /tabarukan (Kajian Kitab Salaf). Dan kegiatan ini berakhir pada pukul 06.00. Pukul 05.45-07.00 seluruh santri melaksanakan mandi dan sarapan pagi. Pada pukul 06.45 bel berbunyi sebagai tanda masuk kelas dan seluruh santri harus bergegas mengosongkan asrama menuju ruang kelas masing-masing. Pukul 07.00-12.00 kegiatan belajar mengajar termin pertama dilaksanakan, pada termin ini dilaksanakan dua kali istirahat yaitu pada pukul 08.30-09.00 dan pukul 10.30-10-45. Pukul 12.00-13.20 kegiatan belajar mengajar termin pertama selesai, dilanjutkan salat Zuhur berjama‟ah. Setelah itu seluruh santri makan siang dan istirahat. Dan pukul 13.20 bel berbunyi tanda masuk kelas untuk termin kedua. Pukul 13.20-14.40 seluruh santri harus berada diruang kelas masing-masing untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar termin kedua. Pukul 14.40-15.15 setelah keluar dari ruang kelas dan pulang ke asrama, santri langsung menuju masjid untuk salat Asar berjama‟ah. Selanjutnya pukul 15.15-18.00 seluruh santri melaksanakan kegiatan bahasa untuk santri MTs kelas VII dan MA kelas X IPA/IPS, sedangkan santri VIII, IX, XI, dan XII melaksanakan kegiatan mengaji al-Qur‟an (tahqiq/tahfidz) dan Kajian Kitab Salaf di kelas masing-masing. dilanjutkan mandi dan persiapan salat Maghrib. Pukul 18.00-18.30 santri melaksanakan salat Maghrib berjama‟ah dan wirid. Pukul 18.30-19.00 makan malam dan 19.00-19.40 salat Isya berjama‟ah dan wirid. Pukul 19.4021.00 seluruh santri mengikuti Kegiatan Kajian Islam di kelas masing-masing. 21.0022.00 belajar mandiri, mengulangi materi pelajaran yang dipelajari dan mempersiapkan materi untuk keesokan harinya, selain belajar di depan asrama masing-masing diadakan juga pengulangan materi-materi yang dianggap kurang oleh guru bidang studi masingmasing. Dan pada pukul 22.00 bel tanda belajar malam berakhir, santri istirahat/tidur dan kemudian harus bangun esok hari pada pukul 04.00. Kegiantan santri mulai pagi hingga malam terbagi pada tiga kelompok kegiatan yang dibawah kordinator masing-masing, yakni Kegiatan di Madrasah dibawah pengawasan Kepala Madrasah dan guru-guru madrasah, Kegiatan Kajian Islam dan Asrama dibawah pengawasan Kepala Kajian Islam dan Asrama yang dibantu oleh guruguru Kajian Islam beserta Koordinator Asrama. Semua rangkaian kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan sebagai upaya Pesantren al-Hamidiyah, yang tidak hanya
75
memberikan pendidikan akademik baik berupa pelajaran umum dan keagamaan, namun pendidikan karakter yang terbagun berdasarkan pengalaman bersama guru dan teman, baik di sekolah/madrasah ataupun di Asrama. Semua kegiatan tersebut menjadi kesatuan dalam kurikulum Pesantren al-Hamidiyah, namun berjalan dibawah pengawasan masing-masing unit tersebut. Upaya pengembangan komponen materi/isi kurikulum yang dilakukan oleh Pesantren al-Hamidiyah dilakukan sebagai upaya untuk mencapai tujuan Pesantren alHamidiyah. Pada awal mula pelaksanaan pembelajaran, materi/isi yang diajarkan belum terformat secara profesional dan pada perkembangannya materi/isi pelajaran dibuat secara baik dan dibuat struktur berupa nama-nama kitab yang digunakan berdasarkan tingkat kelas santri. Pada struktur program Kajian Islam sistem marhalah, yakni berupa tingkatan dari yang paling mudah menuju tingkatan yang paling sulit yaitu marhalah Ula, Wusta Alif, Wusta Ba‟, Ulya Alif, Ulya Ba‟, dan Ulya Jim. Santri di tes kemampuan akademik bidang keagamaan kemudian (pengelompokan santri berdasarkan hasil mapping) dalam jangka waktu pembelajaran 6 tahun. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya menggunakan sistem tingkat pendidikan yang disesuaikan dengan kelas dan tingkatan pada madrasah formal. Perbedaan pada sistem yang digunakan terdapat sedikit perubahan disesuaikan berdasarkan tingkat perkembangan kemampuan santri. Pada sistem marhalah materi pembelajaran dibagi menjadi delapan bagian mata pelajaran dengan pengelompokkan menggunakan istilah, yaitu al-Qur‟an, Hadits, Tauhid, akhlak, fiqih, bahasa Arab, muhadârah dan tarikh. Sedangkan pada sistem berdasarkan tingkat pendidikan mata pelajaran dibagi menjadi empat, yaitu bahasa Arab, al-Qur‟an, kitab salaf dan muhadârah. Adapun kitab-kitab yang digunakan pada sistem marhalah di antaranya adalah: Al-Qur‟an : Qira‟ah dan Tahfidz Hadits : Bulugh al-Marâm dan Baiquni Tauhid : Hujjah Ahlu Sunnah dan Husn al-Hamidîyyah Akhlak : Ta‟lim al-Muta‟lim dan Nasaih al-„Ibâd Fiqh : Fâth al-Qarîb dan Fâth al-Mu‟în Bahasa Arab : Muhâdasah, al-„Imritî, Alfiyah, al-Amtsilah al-Tasrifiyyah, dan Nadzam al-Maqsûd 7) Tarikh : Khulasah Nurul Yaqin 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Sedangkan, pada sistem tingkat pendidikan kitab-kitab/sumber materi yang digunakan diantaranya adalah: 1) Bahasa Arab : Durus al-Lughah, Muthala‟ah Haditsah, Imla‟, Nahwu, Saraf, dan Imritî 2) Al-Qur‟an : Tahqiq/Tahfidz, Bin Nadar/Tilawah, dan Tajwid 3) Kitab Salaf : Ta‟lim al-Muta‟lim/Akhlak lil Banin-Banat, Matan Taqrîb, Jawahir al-Kalamiyah, Khulashah Nur al-Yaqin, Fath al-Qarîb, al-Tibyan, Bulugh al-Marâm, Baiquniyah, Husn al-Hamîdîyyah, Nasaih al-Ibad, Fath al-Mu‟în dan Mabadi Awaliyah Perbedaan materi-materi yang terdapat pada pelaksanaan pembelajaran Kajian Islam sistem marhalah dan sistem tingkat pendidikan dapat terlihat pada tabel 4.5 dan 4.6.
76
perubahan tersebut disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan santri dan perkembangan kondisi pesantren. Tabel 4.5 Struktur Program Kepesantrenan/Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah NO. 1
2
3
4
5
6
MATA PELAJARAN AL-QUR’AN a. Qira‟ah b. Tahfidz al-Qur‟an c. Ulum al-Qur‟an HADITS a. Tahfidz - Arbain Nawawi - Bulugh al-Marâm b. Jawahir al-Bukhari c. Ilmu Hadits Baiquni TAUHID a. Aqidah al-Awam b. Hujjah Ahlu Sunnah c. Husn al-Hamîdîyyah AKHLAQ a. Akhlaq lil Banîn/lil Banât b. Ta‟lim al-Muta‟alim c. Usfuriyah d. Nasailul „Ibad FIQIH a. Safinah al-Najah b. Taqrib c. Fath al-Qarîb d. Fath al-Mu‟în e. Al-Waraqat (Usul Fiqh) BAHASA ARAB a. Muhadatsah b. Mahfudat/Tahsin Khithabah c. Imla‟ d. Nahwu: - Jurmiyah - Imritî - Al-fiyah e. Saraf:
MARHALAH WUSTO BA’ ULYA BA’ A B C D
ULYA JIM
JML
3 3
3 3
3 3
3 3
3 3
3 3
18 18
2
2
2
2
2
2
12
2
2
4
2
2
8 4
2
2
2
2
2
2
2
2
8 2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
4
2
10 2
2
2
12
2
2
8 4
2
77
- Al-Amtsilah al2 2 2 2 Tasrifiyyah - Nadam Maqsûd - Al-fiyah Ibn alMalik f. Balaghah AlWadihah 7 MUHADARAH 8 TARIKH a. Khulasah Nur al2 2 2 2 Yaqin b. Madarij al-Su‟ud JUMLAH 22 22 22 22 Sumber: Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
8 2
2
4
8
22
22
132
A
VII B C D
TINGKAT PENDIDIKAN MADRASAH TSANAWIYAH VIII IX E A B C D A B C D
E
JM L
6 1
6 1
6 1
6 1
6 1
4 -
4 -
4 -
4 -
4 -
4 -
4 -
4 -
4 -
66 5
1 -
1 -
1 -
1 -
1 -
3 3 -
3 3 -
3 3 -
3 3 -
4 3 -
4 3 -
4 3 -
4 3 -
4 3 -
5 32 27 -
6 2
6 2
6 2
6 2
6 2
2 2
2 2
2 2
2 2
2 2
2 2
2 2
2 2
2 2
48 28
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
23
2
2
2
2
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10
-
-
-
-
-
2 1
2 1
2 1
2 1
1
1
1
1
1
8 9
-
-
-
-
-
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2 -
2 -
2 -
2 -
2 -
10 -
Tabel 4.6 Distribusi Jam Pelajaran Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017
NO
MATA PELAJARAN
BAHASA ARAB 1 Durus al-Lughah 2 Mutala‟ah Haditsah 3 Imla‟ 4 Nahwu 5 Saraf 6 Imritî AL-QUR’AN 1 Tahqiq/Tahfidz 2 Bin Nadar/Tilawah 3 Tajwid KITAB SALAF 1 Ta‟lim. M/Akhlak lil Banîn-Banât 2 Matan Taqrib 3 Jawahir alKalamiyyah 4 Khulashah Nur al-Yaqîn 5 Fath al-Qarib 6 Al-Tibyan 7 Bulugh al-Marâm
78 8 9
Baiquniyah Husn alHamîdîyyah 10 Nasaihul „Ibad 11 Fath al-Mu‟în 12 Mabadi Awaliyah MUHADARAH JUMLAH
NO
MATA PELAJARAN
1
Durus al-Lughah
2
Mutala‟ah Haditsah
3 Imla‟ 4 Nahwu 5 Saraf 6 Imritî AL-QUR’AN 1 Tahqiq/Tahfidz 2 Bin Nadar/ Tilawah 3 Tajwid KITAB SALAF 1 Ta‟lim. M/Akhlak lil Banîn-Banât 2 Matan Taqrib 3 Jawahir alKalamiyah 4 Khulasah Nur alYaqin 5 Fath al-Qarib 6 Al-Tibyan 7 8 9
Bulugh al-Marâm Baiquniyyah Husn alHamîdiyyah 10 Nasaihul Ibad 11 Fath al-Mu‟în 12 Mabadi Awaliyah MUHADARAH JUMLAH
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
28 308
TINGKAT PENDIDIKAN MADRASAH ALIYAH X IPA-IPS XI IPA-IPS XI IPAIPS Alumni Non Alumni PA PI PA PI PA PI PA PI 6 6 6 6 2 2 2 2
XII PAI
JM L
2
34
1
1
1
1
-
-
-
-
-
4
1 -
1 -
1 -
1 -
3 3 2
3 3 2
3 3 2
3 3 2
3 3 2
4 15 15 10
6 2
6 2
6 2
6 2
2 2
2 2
1 1
1 1
1 1
31 15
2
2
2
2
-
-
-
-
-
8
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1
2 -
2 -
2 -
2 -
2 1
2 1
2 2
2 2
1 1 1
17 1 7
2 22
-
2 22
1 2 2 22
1 2 2 22
2 2 2 22
2 2 2 22
1 2 1 2 22
7 10 1 18 198
2 22
2 22
Sumber: Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
79
Dari kedua struktur dan distribusi jam pelajaran pada tabel di atas, perbedaan yang paling menonjol dari sistem marhalah dengan sistem tingkat pendidikan, yaitu pada materi pelajaran al-Qur‟an, Nahwu dan Saraf. Perbedaan terlihat pada sistem marhalah materi pelajaran al-Qur‟an memiliki bobot yang sama antara tiap tingkatan dan pada materi pelajaran Nahwu dan saraf diberikan pada setiap tingkatan. Sedangkan, pada sistem tingkat pendidikan materi pelajaran al-Qur‟an, bobotnya lebih banyak pada tingkat MTs kelas VII dan materi pelajaran Nahwu dan Saraf tidak diberikan. Penambahan bobot jumlah pembelajaran al-Qur‟an dimaksudkan agar santri dapat membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar seperti diungkapkan oleh Drs. KH. Zainuddin Ma‟sum selaku Mustasyar Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana hasil wawancara pribadi pada penelitian pendahuluan 14 Maret 2016, beliau mengungkapkan santri harus dapat membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar terlebih dahulu sebelum mempelajari materi-materi pembelajaran yang lain, selain itu kemampuan santri dalam membaca al-Qur‟an juga dijadikan salah satu pertimbangan dalam kenaikan kelas. Selain mendata kitab-kitab salaf dalam materi/isi kurikulum Kajian Islam juga memiliki rencana pembelajaran kitab salaf dan target pencapaian pembelajaran pembelajaran al-Qur‟an, tilawah dan tahfidz yang dibedakan antara target hafalan alumni (alumni MTs Pesantren al-Hamidiyah) dan non alumni pada kelas X untuk tahun ajar 2016-2017 adalah sebagai berikut: Tabel 4.7 Rencana Pembelajaran Kitab Salaf Kajian Islam Pesantren al-Hamididyah Tahun Pembelajaran 2016/2017
No. 1.
2.
3.
4.
5.
KELAS
DAFTAR KITAB SALAF Ta‟lim al-Muta‟alim
VII
VIII
IX
X, XI, XII IPA/IPS
XII PAI
a. Matan Taqrîb b. Jawahir al-Kalamiyyah c. Khulasah Nur al-Yaqin a. Jawahir al-Kalamiyyah b. Khulasah Nur al-Yaqin c. Fath al-Qarîb a. b. c. d.
Bulugh al-Marâm Husn al-Hamîdîyyah Nasaihul „Ibad Fath al-Mu‟în
a. b. c. d. e.
„Ulum al-Qur‟an Bulugh al-Marâm Baiquniyah Husn al-Hamîdîyyah Nasaihul „Ibad
80
f. Fath al-Mu‟în Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 5) Tabel 4.8 Target Pencapaian Pembelajaran al-Qur’an Tilawah dan Tahfidz Tahun Pembelajaran 2016/2017 No
Semester
1
Ganjil
2
Genap
VII Q.S. alFatihah s/d alBayyinah (Tahqiq dan Tahfidz)
VIII Q.S. atTariq s/d alMutaffifin (Tahqiq dan Tahfizh)
Q.S. alQadar s/d al-„Ala (Tahqiq dan Tahfizh)
Q.S. alInfithar s/d alNaba‟ (Tahqiq dan Tahfizh)
Kelas IX X Q.S. Q.S alYasin Fatihah dan ars/d AlRahman „Ala (Tahfizh (Tahqiq ) dan Tahfizh) Non Alumni Q.S alBaqarah Juz 1 bagi Alumni Q.S. al- Q.S. alWaqiah Thariq s/d alNaba‟ (Tahqiq dan Tahfizh) Non Alumni. Dan Q.S. alBaqarah Juz 2 bagi Alumni
XI Q.S. alBaqarah Juz 2 (Tahfidz )
XII Q.S. alBaqarah Juz 3 (Tahfidz)
Q.S. alBaqarah Juz 2 (Tahfidz )
Q.S. alBaqarah Juz 3 (Tahfidz)
Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016:3) Selain Pembelajaran al-Qur‟an dan kitab salaf Kajian Islam pesantren alHamidiyah juga mengembangkan pendidikan bahasa Arab dalam kurikulumnya. Pelajaran bahasa Arab meliputi: membaca, menyimak, praktik berbicara (muhadastah), mengungkapkan dan menulis dalam bahasa Arab (imla‟) yang diajarkan secara terpadu, melalui metode-metode mutakhir, yaitu mengadopsi metode verbal kitab Durus al-Lughah al-Arabiyah dari Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dengan unsur-unsur ilmu
81
alat kaidah bahasa Arab seperti ilmu tata bahasa Arab (nahwu dan saraf), pengayaan mufradat (pembendaharaan kosa kata), pelafalan dan ejaan (imla‟) yang diajarkan dari dasar agar tercapainya keterampilan bahasa Arab. Berikut ini batasan-batasan pelajaran yang harus ditempuh santri dalam pelajaran bahasa Arab. Tabel 4.9 Target Pencapaian Pembelajaran Bahasa Arab Tahun Pembelajaran 2016/2017 PELAJARAN DURUS AL-LUGHAH
MUTALA‟AH HADITSAH IMLA‟ NAHWU SARAF
KELAS 7 8&9 10 11 & 12 7 10 7 10 8&9 11 & 12 8&9 11 & 12 7 8
MUHADATSAH 9
KETERANGAN Juz 1 (25 bab) Juz 2 (14 bab) Juz 1 (25 bab + Tamrinat Juz 1) Tamrinat Juz 2 & 3 Jilid 1 & 2 Qiraan Rasyidah Juz 1 Mutalaah Haditsah Jilid 2 Qiraan Rasyidah Jilid 1 Nahwu Jilid 1 Nahwu Jilid 2 Al-Amtsilah al-Tasrifiyah Qawaid al-Sarfiyah Muhadatsah Yaumiyah Jilid 1 + Mahfuzat + Imla Muhadatsah Yaumiyah Jilid 2 (Muhadatsah Malam) Muhadatsah Yaumiyah Jilid 3 (Muhadatsah Malam)
10 & 11 Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 15) Selain target pencapaian dan jenis-jenis kitab salaf, Pesantren al-Hamidiyah juga membuat silabus untuk memudahkan guru akan batasan-batasan pelajaran dan mengetahui tujuan pencapaian akan masing-masing pelajaran. Berikut ini contoh dari silabus dalam pembelajaran kitab-kitab kuning (salaf). Tabel 4.10 Silabus Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Kelas
VIII
Pelajaran Tauhid Waktu 21 x 45 Menit Sumber Kitab Jawahir al-Kalamiyyah Tujuan Pembelajaran: 1. Santri memahami arti aqidah Islamiyah 2. Santri memahami dengan terinci sifat-sifat yang wajib bagi Allah 3. Santri dapat memahami dan menjelaskan terkait sifat-sifat musybihat
82
Santri dapat mengenal dan memahami malaikat dan peranannya Santri dapat mengetahui cara mengimani terhadap kitab-kitab samawi Santri dapat memahami secara terinci seputar iman terhadap Rasul-rasul Allah SWT Semester Ganjil
Semester Genap
1
معٌت العقيدة اإلسالمية
1
كيفية اإلعتقاد بالزبور
2
كيفية اإلدياف باا إمجاال
2
كيفية اإلعتقاد اإلجنيل
3
كيفية اإلعتقاد بالوجود اا تعل
3
كيفية اإلعتقاد بالقراف
4
كيفية اإلعتقاد مبخالفة ذات اا
4
القراف أعظم ادلعجزات
5
كيفية اإلعتقاد بأفعاؿ اا
5
اإلدياف بالرسل
6
كيفية اإلعتقاد بقياـ بنفسو
6
عدد األنبياء
7
كيفية اإلعتقاد حبياة اا
7
ما ادلعجزات
8
كيفية اإلعتقاد بعلم اا
8
كجو داللة ادلعجزات عل صدؽ األنبياء
9
كيفية اإلعتقاد بقدرة اا
9
كجو داللة ادلعجزات عل صدؽ األنبياء
10
كيفية اإلعتقاد ببصر اا
10
الفرؽ بني ادلعجزات كالسحر
11 12
UTS
11 12
UTS
الصفات ادلستحيلة يف حق اا تعاىل
4. 5. 6.
الفرؽ بني ادلعجزات كالكرامة
13
اجلواز يف حق اا تعاىل
13
الصفات الواجبة يف حق اا
14
ادلراد باإلستواء
14
الصفات ادلسحيلة يف حق اا
15
ادلراد باليد يف حق اا
15
دلاذ أكل أدـ عليو السالـ من الشجرة اليت هن عنو
16
كيف نثبت شيأ مث نقوؿ " الكيف فيو رلهوؿ
16
دلاذ أكل أدـ عليو السالـ من الشجرة اليت هن عنو
17
اإلدياف بادلالئكة
17
صفات اجلواز يف حق األنبياء
18
كظائف ادلالئكة
18
احلكمة يف حلوؽ األمراض لألنبياء
19
اإلدياف بكتب اا
19
اخلالصة
20
كيف إعتقاد العلماء يف حق التورة ادلوجودة األف
20
اخلالصة
21
UAS 21 UAS )Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 9
83
Tabel. 4.11 Silabus Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Kelas
IX
Pelajaran Waktu Sumber Kitab
Tauhid 21 x 45 Menit Jawahir al-Kalamiyyah
Tujuan Pembelajaran: 1. Santri memahami keistimewaan Nabi Muhammad SAW 2. Santri memahami mukjizat Nabi Muhammad SAW 3. Santri dapat mengetahui sirah perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW 4. Santri dapat mengetahui cara mengimani hari akhir 5. Santri dapat memahami seputar alam barzah 6. Santri dapat memahami secara terinci seputar iman terhadap qada dan qadar Semester Genap
Semester Ganjil
ىل يبلغ الويل درجة النيب
1
إمتياز نبينا صل اا عليو كسلم عن سائر األنبياء
1
ما اجملتهد كمن اجملتهدكف
2
أف عيس ينزؿ يف أخر الزماف
2
مل إختلف اجملتهدكف يف بعض ادلسائل
3
معجزات نبينا عليو الصالة كالسالـ
3
ماأشراط الساعة
4
سرية نبينا عليو الصالة كالسالـ
4
من السعيد
5
اإلدياف باليوـ األخر
5
6
اإلعتقاد بسؤاؿ القدر
6
7
كل من مات يسأؿ مث يعذب أك ينعم
7
8
اإلعتقاد حبشر األجساد
8
9
اإلعتقاد بالصراط
9
10
حكم ادلؤمن الطائع بعد احلساب
10
11 12
UTS
11 12
اإلعتقاد بالقضاء كالقدر
13
كل إنساف مبجبور عل مجيع أفعالو
13
14
ىل جيوز التكلم يف ذاتو تعاىل بالعقل
14
15
ىل متكن رؤية اا بالبصر
15
84
16
كيف تؤثر العني
16
17
ما اإلسراء كادلعراج
17
18
ىل ينفع الدعاء
18
UAS 19 UAS Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 10)
19
c.
Komponen Strategi (Metode) Pembelajaran Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di atas, pesantren al-Hamidiyah menerapkan sistem pendidikan pesantren kombinasi, yaitu memadukan kurikulum pesantren salaf dan modern yang lazim dikenal dengan sistem salafiyah asriyah. Adapun metode yang digunakan adalah mengadopsi dari keduanya. Diantara ciri-ciri kemoderenan Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana tercatat dalam buku pedoman umum Pesantren alHamidiyah (2000: 7) adalah sebagai berikut: 1)
2)
3)
4)
Disiplin ilmu yang dikembangkan di pesantren al-Hamidiyah tidak terbatas pada ilmuilmu agama yang bersumber dari kitab kuning (al-kutub al-salafiyah), tetapi juga “ilmu-ilmu umum” yang dikembangkan oleh sekolah-sekolah umum. Sistem pendidikannya tidak lagi menekankan hafalan terhadap materi-materi keilmuan klasik yang terkesan verbalistik, tetapi lebih banyak menggunakan penalaran terhadap materi-materi keilmuan yang relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Metode pengajarannya dilakukan dalam bentuk klasikal (madrasah/sekolah), meskipun tidak meninggalkan sama sekali metode sorogan, bandongan atau wetonan yang menjadi ciri khas pesantren salafiyah. Menerapkan manajemen modern dengan ciri-ciri kemoderenan seperti, rasional, keterbukaan, perencanaan yang matang, memperhatikan proses dan tidak hanya berorientasi pada tujuan, serta tidak nepotism (family oriented).
Meskipun demikian, sesuai dengan prinsip al-muhafadatu „ala al-qadim al salih wa al-akhdzu bi al-aslah, Pesantren al-Hamidiyah tetap mempertahankan beberapa ciri khas pesantren salaf yang dinilai masih relevan hingga kini di antaranya, yaitu: 1)
2) 3) 4)
5)
Pengkajian terhadap kitab-kitab salaf, baik dalam disiplin „ulum al-Qur‟an, „ulum alHadits, Fiqh beserta Usul Fiqh, Aqidah, Akhlak maupun ilmu-ilmu bantu seperti, Nahwu, Saraf, dan balaghah. Metode sorogan (tutorial mentorship). Metode Wetonan (Bandongan). Mewajibkan para santri untuk salat berjama‟ah, melakukan salat sunnah, qiam al-lail, dzikir sesudah salat, membaca rawi (diba dan barzanji), istighasah, tahlil, dan melaksanakan puasa sunnah. Lebih menekankan pendidikan dalam arti pembentukan kepribadian muslim yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, dan tidak sekedar pengajaran yang lebih menekankan pada pengembangan kecerdasan para santri dengan membekali ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, berorientasi pada to be, bukan sekedar to have.
85
Pesantren al-Hamidiyah juga menerapkan strategi pembelajaran bahasa Arab, strategi pembelajaran bahasa Arab Pesantren al-Hamidiyah mengadopsi strategi dan metode dari lembaga pendidikan dan pesantren-pesantren yang terbukti efektif keberhasilannya dalam bidang bahasa Arab baik dalam dan luar negeri, secara garis besar sebagaimana terdapat dalam Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 12) adalah sebagai berikut: 1)
2)
3)
4) 5)
Diciptakan lingkungan berbahasa Arab, dimana santri ditempatkan pada situasi terpojok, sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain menggunakan bahasa Arab. Program ini didukung oleh semua komponen di Pesantren al-Hamidiyah. Penggeraknya adalah musyrif asrama dan native speaker. Dalam menjelaskan teori, atau makna kalimat, digunakan metode mubasyarah, mana guru menggindari penggunaan bahasa Indonesia (bahasa non Arab), misalnya menunjukkan langsung pada benda yang dimaksud. Penguasaan mufradat dan ungkapan dengan cara dihafal, proses pembinaannya melalui kegiatan mufradat pada waktu Subuh yang dibimbing oleh guru secara klasikal, dan kegiatan tamrin penguasaan mufradat serta hiwar yang dilakkan dilapangan dengan menekankan keaktifan santri. (ba‟da Subuh/Ashar). Membuat tempelan-tempelan yang berisi mufradat, hiwar atau ungkapan berbahasa Arab yang diganti secara periodik. Membuat klub bahasa Arab, yang dimotori oleh santri yang dianggap mampu. Adapun program kegiatan bahasa, yaitu: (a) Hari Bahasa : Senin, Selasa, dan Rabu (b) Mahkamah Bahasa : Malam Kamis dan Jum‟at (c) Muhadatsah : Malam Rabu dan Jum‟at Pagi (d) Lab. Bahasa : Disesuaikan (e) Program Semester : Mengadakan lomba pidato bahasa, mengadakan debat bahasa, mengadakan madding bahasa, mengadakan pensi bahasa, dan mengadakan cerdas cermat bahasa. (f) Program Tahunan : Mengadakan studi banding
Metode-metode di atas memungkinkan santri menguasai bahasa Arab baik dalam keseharian maupun dalam pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, Pesantren al-Hamidiyah juga menerapkan metode pendidikan yang diterapkan dalam mendidik para santri sebagaimana terdapat dalam buku pedoman umum Pesantren al-Hamidiyah (2000: 26) diantaranya, yaitu: 1)
2)
3)
Memberikan keteladanan (Uswah al-Hasanah), yaitu memberikan contoh keteladanan dari segala perbuatan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam dan sesuai dengan panca jiwa pesantren yakni jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa persaudaraan, dan jiwa kebebasan, baik dari kiai, guru, dan pengasuh/pembimbing asrama. Memberikan pengajaran (Ta‟lim), yaitu memberikan pengajaran dan pendidikan, bukan hanya sekedar mengajarkan keilmuan akademis namun memberikan pendidikan yang kelak dapat membentuk karakter dan akhlak yang baik bagi santri Memberikan hadiah dan hukuman (al-Hadiyyah wa al-„Uqubah), yaitu dengan memberikan penghargaan baik secara lisan atau materi atas prestasi yang diperoleh santri serta memberikan hukuman yang mendidik bagi santri yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan.
86
Selain itu, ada juga metode pembinaan santri agar santri tidak hanya unggul dalam bidang akademik, namun juga unggul dalam kepribadian (pembentukan karakter dan akhlak mulia). Menurut Hidayat M. Idris selaku Kepala MTs sebagaimana terdapat pada Warta al-Hamidiyah (2016: 16), salah satu program unggulan pendidikan MTs dan termasuk salah satu program Pesantren al-Hamidiyah adalah pembentukan akhlaq alkarimah, yaitu penerapan nilai-nilai Islam, budi pekerti/kesopanan, nilai etika/estetika, nilai kepribadian dan kebangsaan. Menurutnya, pengembangan Pesantren al-Hamidiyah agar menjadi lebih baik adalah pengembangan yang didasari oleh nilai-nilai Islami atau akhlaq al-karimah untuk menuju keunggulan akademik. Selain pembentukan karakter dan akhlak mulia, diterapkan juga metode keterampilan dalam bidang keagamaan, seperti Kegiatan Sibghah Ma‟hadiyah, Muhadarah, dan KPM (Kegiatan Pengabdian Masyarakat): 1)
2)
3)
4)
Kegiatan Sibghah Ma‟hadiyah: (a) Membiasakan santri selalu membaca al-Qur‟an dengan khatam di bawah bimbingan seorang guru atau kakak senior dari Ikatan Santri Pesantren alHamidiyah (ISPAH) atau Ta‟mir masjid (asisten) (b) Kegiatan takhtiman dilakukan perkelas (c) Waktunya dilakukan ba‟da asar, dengan durasi 30 menit (d) Target-target pembacaan al-Qur‟an, yaitu: - Kelas VIII dan kelas IX: semester ganjil juz 1-15 dan semester genap juz 1630 Minimum bacaan al-Qur‟an sebanyak 2 halaman per-hari - Kelas XI dan XII: semester ganjil juz 1-30 dan semester genap juz 1-30 Minimum bacaan al-Qur‟an sebanyak 4 halaman per-hari (e) Khusus hari Jum‟at santri dibekali materi taharah dan ibadah, untuk praktek ibadahnya dilaksanakan pertriwulan. Program dari Sibghah Ma‟hadiyah adalah: (a) Semester ganjil: - Praktek wudu - Praktek Salat - Praktek bacaan tahlil - Praktek menjadi imam tahlil (b) Semester genap: - Praktek bacaan Ratibul Haddad - Do‟a salat tahajud - Do‟a salat Duha (c) Tabarukan wajib diikuti kelas VIII-XII putra atau putri, waktunya ba‟da salat subuh dengan durasi 40 menit. (d) Pelatihan pengurusan jenazah bagi putra dan putrid setahun sekali (e) Pembekalan bagi santri putra dan putri tentang fiqh kewanitaan (Haid, Nifas, dan Istihadah (f) Dzikir sesudah salat fardu, wajib diikuti oleh semua santri dengan harapan mereka hafal bacaan dzikir tersebut dengan berpegang pada pedoman buku dzikir yang diterbitkan oleh Pesantren al-Hamidiyah. Muhadarah: dilaksanakan pada hari Sabtu pagi pukul 07.00-08.20 WIB dengan alokasi waktu 2 jam dan dibimbing oleh guru yang ditunjuk oleh Kepala Kajian Islam dan Asrama. KPM (Kegiatan Pengabdian Masyarakat)
87
(a) KPM dilaksanakan satu tahun sekali bagi seluruh santri setelah UAS ganjil. (b) Peserta KPM dikelompokkan terlebih dahulu secara khusus sesuai minat dan bakat santri, yaitu: Ceramah, MC, Qori, Do‟a, Salawat dan mendapatkan bimbingan dari seorang ustadz. (c) Setelah mendapatkan pelatihan dibentuk satu kelompok Muhadarah dengan susunan (MC 2 orang, 2 orang penceramah, 4 orang pembaca salawat, qari dan saritilawah, dan doa 1 orang dalam bimbingan seorang ustadz), kelompok muhadarah akan terjun ke masyarakat di Majlis Ta‟lim, Masjid, Musalah di sekitar wilayah Jabodetabek dengan terlebih dahulu menyebarkan form kesediaan. (Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama, 2016: 17-18) Ada pula, program pembinaan santri Pesantren al-Hamidiyah dalam bidang keagamaan yang terpadu dengan kegiatan madrasah formal diantaranya sebagai berikut: 1)
Menyisipkan jiwa agama pada setiap mata pelajaran dengan mengintegrasikan bidang IMTAQ dan IPTEK 2) Salawat Nabi, doa, zikir, tadarus al-Qur‟an, dan Salat Duha 3) Salat berjama‟ah 4) Pelatihan Salat Jenazah 5) Pelatihan Imam (Salat Rawatib, Tarawih, Idul Fitri dan Idul Adha) 6) Pelatihan Bilal (Salat Jum‟at, Tarawih, Idul Fitri, dan Idul Adha) 7) Pelatihan Kultum dan Khatib 8) Kegiatan Qurban dan Bakti Sosial 9) Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) 10) Tahfidz al-Qur‟an 11) Muhadarah Dalam proses pembelajan para guru diberikan panduan proses pembelajaran kajian Islam hal ini dimaksudkan agar guru lebih mudah dan terarah dalam menyampaikan materi-materi pembelajaran sebagaimana terdapat dalam Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 6-7) meliputi: 1)
2)
3)
Perencanaan Proses Pembelajaran: (a) Guru mempersiapkan materi pembelajaran sebelum mengajar (b) Guru datang tepat waktu (c) Masing-masing guru memiliki silabus materi yang akan diajarkan (d) Membuat RPP (e) Membawa absensi Pelaksanaan Proses Pembelajaran (a) Mengawali KBM dengan membaca do‟a: tawasul kepada muallif dan sahib alma‟had (b) Meriview pelajaran sebelumnya baik dengan tanya jawab atau membaca bersama-sama (lalaran) (c) Menyampaikan materi sesuai dengan silabus (d) Menyimpulkan materi ajar sebelum menutup KBM baik dengan tanya jawab atau ringkasan (e) Menutup KBM dengan do‟a yang seragam Pelaksanaan Pembelajaran
88
4)
(a) Mengadakan ulangan harian minimal dua kali (b) Guru melakukan analisa hasil ulangan santri (c) Mengadakan remedial bagi santri yang tidak mengikuti ulangan harian dan yang mendapatkan nilai di bawah KKM (d) Pelaksanaan remedial disesuaikan dengan waktunya Pengawasan Proses Pembelajaran (a) Supervisi pembelajaran oleh kepala Kajian Islam (b) Supervisi administrasi oleh kepala Kajian Islam (c) Laporan bulanan absensi siswa (d) Memberikan teguran dan sanksi terhadap santri yang tidak masuk kelas (e) Mengadakan rapat bulanan dalam mengevaluasi capaian silabus meteri ajar
Panduan proses pembelajaran kajian Islam tersebut dipatuhi dan diterapkan oleh para ustadz/ustadzah, baik sebelum atau sedang berlangsungnya pelaksanaan pembelajaran. Sebagaimana hasil pengamatan pada pelaksanaan pembelajaran di kelas, terlihat ustadz/ustadzah mempersiapkan materi yang akan disampaikan dan masing-masing dari mereka terlihat memiliki silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah disusun sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan, selain itu mereka juga melengkapi administrasi pendukung pembelajaran seperti absensi. Pada proses pelaksanaan pembelajaran, berdasarkan hasil pengamatan, diawali dengan membaca do‟a yang telah ditentukan, secara bersama-sama kemudian ustadz/ustadzah meriview pelajaran sebelumnya dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada santri, setelah proses tanyajawab tersebut, kemudian para santri membaca bersama-sama materi biasa disebut pada lingkungan pesantren dengan “lalaran”. Pesantren al-Hamidiyah juga mengembangkan metode pembelajarannya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Metode ini dilakukan dengan memanfaat komputer dan internet, hal ini terlihat dari beberapa kegiatan pembelajaran dan pelatihanpelatihan, seperti pelatihan internet sebagai wahana syi‟ar digital dari santri Madrasah Aliyah dan tampil langsung didepan kamera baik sebagai MC atau sebagai penceramah di salah satu stasiun TV Indonesia. Upaya ini dilakukan agar santri dapat mempelajari praktek langsung dalam melakukan syi‟ar Islam kelak di hadapan masyarakat. Sebagaimana terlihat pada gambar-gambar di bawah ini: Gambar 4.1 Pelatihan Internet Pesantren al-Hamidiyah
Sumber: Dokumentasi Pesantren al-Hamidiyah
89
Gambar 4.2 Syuting Live di Stasiun TV
Sumber: Dokumentasi Pesantren al-Hamidiyah d.
Komponen Evaluasi Kurikulum Upaya pengembangan komponen evaluasi kurikulum yang dilakukan oleh Pesantren al-Hamidiyah, yakni dengan mengevaluasi seluruh kegiatan. Pada kegiatan pembelajaran Kajian Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu evaluasi pembelajaran alQur‟an, evaluasi pembelajaran kitab salaf, dan evaluasi pembelajaran Bahasa Arab. Adapun langkah-langkah yang dilakukan diantaranya, yaitu: 1)
Evaluasi Penilaian Hasil Pembelajaran al-Qur‟an sebagaimana terdapat dalam Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 3) (a) Menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM): Bagi santri yang belum mahir dalam membaca al-Qur‟an nilai KKM 60 dan bagi santri yang sudah mahir nilai KKM 70. (b) Prosedur Penilaian Hasil Belajar: Melakukan ulangan harian minimal 3X, Ulangan Tengah Semester (UTS) dan Ulangan Akhir Semester (UAS) (c) Teknik dan Instrumen Penilaian Hasil belajar: bagi santri yang kurang lancar dan kurang benar bacaannya rentang nilainya adalah 40-50, santri yang lancar tapi kurang benar bacannya rentang nilainya adalah 60-70, dan santri yang lancar dan benar bacaannya rentang nilainya adalah 80-90 (d) Penentuan Kriteria Kenaikan Kelas dan Kelulusan Diputuskan berdasarkan hasil rapat guru dan disahkan oleh ketua dan disetujui oleh pemimpin atau kepala kajian Islam.
2)
Evaluasi Penilaian Hasil Pembelajaran Kitab Salaf sebagaimana terdapat dalam Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 7-8) (a) Menentukan KKM: membuat daftar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) (b) Prosedur Penilaian Hasil belajar: - Mengadakan ulangan harian/Lembar Kerja Santri (LKS) baik tertulis maupun praktek - Mengadakan evaluasi belajar (UTS dan UAS) baik tertulis maupun praktek
90
3)
- Mendeteksi/memeriksa kitab-kitab santri pada setiap bulan (c) Teknik dan instrument penilaian hasil belajar - Menentukan persen untuk hasil belajar harian, UTS maupun UAS (harian 30%, UTS 30% dan UAS 40%) - Masing-masing ustadz menentukan instrument penilaian sesuai dengan mata pelajaran/kitab yang diampu baik tulis maupun praktek (d) Menentukan Kriteria kenaikan kelas dan kelulusan: seorang santri dapat dinyatakan naik kelas kajian Islam apabila: - Nilai rata-rata mencapai 60 - Nilai pelajaran al-Qur‟an dan bahasa Arab mencapai minimal 60 - Santri tidak dapat memenuhi kriteria tersebut di atas maka yang bersangkutan tidak naik kelas kajian Islam dan diberi kesempatan yang mengulang sekali lagi di kelas yang sama (e) Pelaporan hasil penilaian (rapot) - Memastikan santri mengambil rapot kajian Islam - Nilai hasil ujian diserahkan kepada panitia seminggu setelah ujian Evaluasi Penilaian Hasil Pembelajaran Bahasa Arab dengan membuat format penilaian dan menentukan Kriteria Ketuntasan Minimum atau KKM santri sebagaimana terdapat dalam Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 13) a) Format penilaian lisan/interaktif untuk ulangan harian dan semester b) Format penilaian tertulis/latihan soal tulisan untuk ulangan harian dan semester c) Format penilaian daftar nilai harian/bulanan/semester Tabel 4.12 DAFTAR KKM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB KAJIAN ISLAM PESANTREN AL-HAMIDIYAH NO. 1 2 3 4 5 6 7 8
MATERI
KKM
DURUS AL-LUGHAH
6,5
MUTALAAH
6,6
IMLA‟
6,6
NAHWU
6,5
SARAF
6,3
MUHADATSAH
6,6
TAMRINAT
6,5
MAHFUZAT
6,6
Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016:14)
91
Tabel di atas menunjukkan bahwa santri dalam pembelajaran bahasa Arab nilainilai minimal yang telah ditentukan tersebut harus dicapai, kemudian apabila nilai santri kurang dari batas nilai tersebut maka santri akan diberikan kesempatan untuk melakukan remedial dan apabila setelah dilakukan remedial nilai masih belum mencukupi maka santri tidak naik kelas dan diberikan kesempatan untuk mengulang sekali lagi di kelas yang sama. Hal ini kemungkinan terjadi pada pelaksanaan pembelajaran sistem marhalah, terlihat pada ketentuan sistem penempatan kelas yang disesuaikan dengan kemampuan santri. Namun, hal ini jarang terjadi pada sistem tingkat kelas, pada system ini santri diupayakan untuk mencapai nilai ketuntasan dengan memberikan pembelajaran tambahan dan kesempatan remedial bagi santri yang belum mencapai nilai KKM dan terlihat juga berdasarkan rekap nilai yang dimiliki guru rata-rata santri adalah mencapai nilai ketuntasan dan naik kelas. C. Analisis Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam Pesantren alHamidiyah Kurikulum yang digunakan pada Pesantren Al-Hamidiyah adalah seluruh pengalaman belajar santri yang terdiri dari beberapa materi keagamaan yang bersumber pada al-Qur‟an dan Hadits ditambah dengan kitab-kitab salaf/kuning dan pengalamanpengalaman belajar lain berupa praktek-praktek dari teori-teori yang diajarkan dan praktek kehidupan bermasyarakat, baik sesama teman di asrama ataupun terhadap para guru dan pembimbing/pengawas asrama. Jadi, dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan santri adalah pengalaman belajaran yang seluruhnya merupakan bagian dari kurikulum itu sendiri. Kurikulum sebagai pengalaman belajar juga diungkapkan oleh beberapa ahli. Menurut Arifin, (2013: 5) kurikulum diartikan sebagai semua kegiatan dan pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini merupakan hidden curriculum (kurikulum tersembunyi), misalnya fasilitas sekolah, lingkungan yang aman, suasana keakraban, kerja sama yang harmonis dan sebagainya yang dinilai turut mendukung keberhasilan pendidikan. Pengertian kurikulum tersebut hampir sama dengan pendapat Dewey‟s sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan Hunkins (2009: 10), yaitu “curriculum is all the experiences children have under the guidance of teachers”. Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan dan merubah kurikulum keagamaannya mempertimbangkan beberapa hal yang berkaitan dengan kurikulum, baik landasan kurikulum, prinsip kurikulum, komponen-komponen kurikulum, dan pendekatan kurikulum, model pengembangan kurikulum itu sendiri. 1.
Landasan Filosofi, Psikologi, Sosiologi, dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam pengembangan kurikulum perlu memperhatikan dasar atau landasan apa kurikulum dikembangkan. Landasan-landasan yang dipertimbangkan oleh Pesantren alHamidiyah dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum keagamaannya, diantaranya adalah landasan filosofi, psikologi, sosiologi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertama, pengembangan kurikulum atas dasar pertimbangan landasan filosofis. Menurut Hamalik (2014: 19) filsafat pendidikan dapat menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, serta seperangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. (Hamalik, 2014: 19) Dalam hal ini Pesantren al-Hamidiyah tujuan
92
dari kurikulum pendidikannya adalah bertujuan mendidik para santri agar menjadi calon atau kader „ulama warasah al-anbiya‟ yang akan memperjuangkan tegaknya ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama‟ah. Tujuan tersebut dimaksudkan agar santri dapat meneruskan dan melestarikan ajaran-ajaran Islam. Kedua, pengembangan kurikulum atas dasar pertimbangan landasan psikologi, Pesantren al-Hamidiyah memperhatikan unsur perkembangan psikologis santri dan memberikan situasi-situasi belajar yang tepat kepada mereka agar mereka dapat mengembangkan bakat dan minatnya sebagai kader ulama warasah al-anbiya. Upaya tersebut terlihat pada pengelompokkan kelas yang disesuaikan dengan kelompok usia yang sama dan memberikan situasi-situasi belajar yang disesuaikan dengan perkembangan anak sesuai tingkat kelasnya. Hal ini selaras dengan konsep Sukmadinata (2012: 46) yang mengungkapkan bahwa sedikitnya terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian. Ketiga, pengembangan kurikulum berlandaskan sosiologis. Menurut Arifin (2013: 75) unsur-unsur sosiologis yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu: pengembangan kurikulum harus memperhatikan unsur-unsur pendidikan informal, pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan kepentingan peserta didik untuk masa yang akan datang dan pengembangan kurikulum harus dapat membekali kemampuan yang cukup kepada peserta didik. Kaitannya dengan pendapat ahli di atas, Pesantren al-Hamidiyah telah mempertimbangkan pengembangan kurikulumnya atas pertimbangan sosiologis tersebut. Pertimbangan sosiologis tersebut dilakukan dengan memberikan pengetahuan yang cukup dalam bidang keagamaan, baik secara teori maupun praktek, hal ini dimaksudkan agar santri siap ketika berhadapan secara nyata dengan masyarakat luas. Dalam hal materi yang diberikan yakni santri dibekali dengan teori-teori dan praktek dalam bidang keagamaan, teori yang diberikan melalui sumber-sumber keagamaan berupa kitab-kitab karangan ulama salaf dan praktek yang diberikan dengan memberikan santri seperti praktek ibadah harian, pelatihan pengurusan jenazah, kegiatan muhadarah baik yang diaksanakan pada kegiatan mingguan di hadapan teman-temannya yang lain, kegiatan pengabdian masyarakat (KPM) yang dilakukan satu tahun sekali, atau mengikuti lomba bidang keagamaan antar pesantren lain. Keempat, pengembangan kurikulum berlandaskan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Widyastono (2014: 33) isi kurikulum harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi. Dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan didapatkan kurikulum sesuai. Sehingga, komponen-komponen kurikulum, seperti Isi dan metode kurikulum tidak tertinggal dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin modern. Pesantren al-Hamidiyah memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena itu dalam mengembangkan kurikulumnya memberikan pelatihanpelatihan yang berkaitan dengan perkembangan teknologi. Hal ini dimaksudkan agar santri memiliki kemampuan tambahan, seperti pelatihan internet sebagai wahana syi‟ar digital dari santri Madrasah Aliyah dan tampil langsung didepan kamera baik sebagai MC atau sebagai penceramah di salah satu stasiun TV Indonesia. Upaya ini dilakukan agar santri dapat mempelajari praktek langsung dalam melakukan syi‟ar Islam menggunakan teknologi kelak di hadapan masyarakat.
93
2.
Prinsip Fleksibelitas, Relevansi dan Kontinuitas Dalam pengembangan kurikulum dapat dilakukan atas dasar beberapa prinsip pengembangan kurikulum, prinsip tersebut salah satunya adalah prinsip flesibelitas. Menurut Sukmadinata (2012: 151) prinsip fleksibelitas dalam pengembangan kurikulum, yaitu kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Sukiman (2015: 38) menambahkan bahwa fleksibelitas yang dimaksud, yaitu fleksibelitas bagi peserta didik dalam wujud kebebasan dalam memilih program pendidikan, dan fleksibelitas bagi guru adalah dalam bentuk pengembangan program pembelajaran. Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya telah melakukan pengembagan kurikulum keagamaannya, langkah tersebut dilakukan berdasarkan prinsip fleksibelitas. Prinsip fleksibelitas ini diwujudkan oleh Pesantren al-Hamidiyah dengan pembuka tiga program jurusan pada Madrasah Aliyah, kaitannya dengan kurikulum keagamaan, yaitu bagi santri yang memilih salah satu program keagamaan berdasarkan minat dan kemampuan, pihak pengelola pesantren memberikan solusi untuk mereka dengan cara memberikan bobot materi yang berbedabeda, seperti bagi santri yang mimilih program IPA/IPS diberikan bobot materi yang lebih ringan dibandingkan dengan santri yang memilih program Keagamaan. Langkah tersebut di atas, dilakukan atas dasar bahwa santri pada kelompok program IPA/IPS memiliki beban yang lebih banyak pelajaran non agama yang tentunya akan semakin memberatkan jika diberikan materi keagamaan yang sama beratnya, alasan lain yakni santri pada kelompok program ini memang tidak memiliki orientasi khusus dalam mendalami bidang keagamaan. Sedangkan, pada santri kelompok program keagamaan memang memiliki bakat dan minat untuk ahli dalam bidang keagamaan. Namun, bukan berarti santri program IPA/IPS tidak unggul dalam bidang keagamaan, sebagai contoh menurut Kepala Madrasah Aliyah Suyatno, S.Si, M.Pd berdasarkan hasil wawancara pada 18 November 2016, ada juga santri pada kelompok program IPA/IPS kemampuannya melebihi santri program keagamaan seperti dalam bidang tahfidz alQur‟an. Solusi yang diberikan oleh Pesantren al-Hamidiyah agar santri tetap mendapatkan haknya yakni mendapatkan berbagai keilmuan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan mereka, yakni dengan membekali seluruh santri dengan memberikan teori dan praktek ilmu keagamaan dan umum. Pesantren al-Hamidiyah selain mempertimbangkan pengembangan kurikulum keagamaan berdasarkan prinsip fleksibelitas juga mempertimbangan pengembangan kurikulum berdasarkan prinsip relevansi. Menurut Sukiman (2015: 35), relevansi kurikulum adalah adanya hubungan, kaitan, kesesuaian atau keserasian antar unsur-unsur kurikulum itu sendiri dan antara isi kurikulum dengan tuntutan dan kebutuhan hidup yang ada dimasyarakat. Prinsip relevansi dipertimbangkan berdasarkan tuntutan dan kebutuhan para santri yang pada umumnya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ke perguruan tinggi yang pada umumnya perguruan tinggi yang menuntut kemampuan bahasa Arab dan tahfidz al-Qur‟an seperti Universitas Islam Negeri dan Universitas luar Negeri (Kairo/Mesir). Untuk itu Pesantren al-Hamidiyah memberikan pendalaman ilmu keagamaan dalam bidang tersebut. selain itu juga ditambah dengan materi-materi kitab salaf sebagai ciri dari Pesantren al-Hamidiyah yang bersifat sebagai pesantren kombinasi, yakni salaf modern. Selain prinsip fleksibelitas dan relevansi Pesantren al-Hamidiyah juga mempertimbangkan pengembangan kurikulum keagamaannya berdasarkan prinsip
94
kontinuitas. Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukkan adanya saling terkait antara tingkat pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi. Menurut Idi (2010: 182) minimal ada dua kesinambungan dalam pengembangan kurikulum ini, yaitu: a. Kesinambungan di antara berbagai tingkat sekolah, dalam hal ini Pesantren alHamidiyah menerapkan materi keberlanjutan antara materi yang diberikan pada santri MTs kelas VIII dan kelas IX yang dapat dilihat dari contoh silabus yang ada di atas, walaupun masih menggunakan sumber materi dari kitab salaf/kuning yang sama, namun dengan materi yang berbeda. Santri kelas VIII diberikan materi untuk mengenal aqidah Islamiyah, sifat-sifat wajib bagi Allah, kemudian mengimani Malaikat, Kitab-kitab dan Rasul-rasul Allah dan pada kelas IX materi berlanjut pada pemahaman keistimewaan Nabi Muhammad SAW, mengetahui lebih jauh sirah perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, mengimani hari akhir, seputar alam barzah dan dapat mengimani terhadap qada dan qadar. Pada masing-masing tingkat kelas tidak terjadi tumpang tindih materi. b. Kesinambungan di antara berbagai bidang studi, dalam hal ini kesinambungan dari bidang studi terlihat pada perbedaan materi yang diberikan pada santri baru kelas VII dengan tingkat kelas lainnya, materi yang diberikan menekankan pembelajaran pada kelompok pembelajaran al-Qur‟an, hal ini dimaksudkan agar santri baru dapat membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah ilmu tajwid terlebih dahulu sebelum mempelajari kitab salaf/kuning dan nahwu saraf pada tingkat selanjutnya dikarenakan materi pembelajaran tersebut membutuhkan kemahiran dalam membaca dan tulis al-Qur‟an dalam bahasa Arab. 3. a.
Komponen-komponen Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam al-Hamidiyah Tujuan Perkembangan tujuan Pesantren al-Hamidiyah, baik tujuan sebagai institusi lembangan pendidikan Islam maupun tujuan kurikulum itu sendiri, telah menunjukkan bahwa Pesantren al-Hamidiyah masih konsisten bertujuan untuk terus melestarikan pendidikan Islam itu sendiri. Dalam tujuan-tujuan tersebut terkandung beberapa poin penting diantaranya adalah: 1) 2)
3)
Membantu pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa, hal tersebut merupakan citacita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam mukaddimah UUD 1945. Telah melaksanakan tujuan pendidikan itu sendiri, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang tentang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 3, yaitu: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional ini terlihat pada tujuan Pesantren alHamidiyah secara umum. Mendidik dan mengarahkan santri menjadi calon ulama-intelektual dan intelektualulama. Sebagai calon ulama, diwujudkan dengan memberikan materi-materi pendalam keagamaan baik di madrasah formal maupun pada Kajian Islam/Kepesantrenan; dan sebagai intelektual, diwujudkan dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan selain
95
4)
pengetahuan keagamaan di madrasah formal, yang keduanya dapat menjadi bekal bagi santri setelah selesai masa pendidikan di pesantren. Telah melaksanakan tujuan kurikulum. Tujuan ini terlihat pada materi-materi baik teori dan praktek yang diberikan, sudah sesuai dengan tujuan Pesantren itu sendiri.
Pesantren al-Hamidiyah dalam mengukur keberhasilan tujuan pendidikannya sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni dengan mengukur keberhasilan tersebut berdasarkan kemampuan santri yang telah menyelesaikan program pendidikan pada santri tingkat Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana terdapat pada buku pedoman umum pesantren al-Hamidiyah (2000: 24) diantaranya sebagai berikut: 1)
Dari Segi Kemampuan (Keilmuan dan Keterampilan) a) Mampu membaca al-Qur‟an secara fasih dan tartil b) Memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah dalam membaca al-Qur‟an dengan benar c) Mampu melaksanakan salat lima waktu dan salat-salat sunnah dengan benar d) Mampu membaca dzikir, wirid, dan do‟a setelah salat dengan benar e) Mampu membaca tahlil, istighatsah dan rawi dengan benar f) Minimal mampu membaca kitab Taqrib untuk Tsanawiyah dan Fath al-Qarib untuk tingkat Aliyah g) Memiliki basis keilmuan yang diperlukan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Para lulusan tingkat Tsanawiyah mampu melanjutkan pada jenjang Aliyah, dan para lulusan Aliyah mampu melanjutkan kejenjang Perguruan tinggi h) Memiliki kemampuan berbahasa Arab dan Inggris dengan baik, sehingga mampu berkomunikasi dengan kedua bahasa tersebut serta mampu mengakses kitab-kitab, buku, koran, majalah yang menggunakan bahasa Arab dan Inggris
2)
Dari Segi Kepribadian a) Memiliki rasa tanggungjawab untuk melaksanakan salat fardu lima waktu dan salat-salat sunnah b) Memiiki kesadaran untuk membaca al-Qur‟an, berzikir, berdo‟a, membaca tahlil, istighatsah, rawi dan sebagainya c) Selalu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, baik kepada Allah SWT dengan melaksanakan berbagai ibadah mahdah, kepada sesama manusia saling menghormati dan tolong menolong, serta kepaa makhluk Allah lain dengan memelihara dan tidak merusaknya d) Menghormati dan mentaati orang tua, saudara, dan keluarga yang lebih tua, serta menyayangi keluarga yang lebih muda e) Memiliki kesandaran untuk memiliki perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan negatif yang tidak layak dilakukan oleh santri f) Memiliki, menghayati, dan mengamalkan jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, pesaudaraan dan kebebasan
b.
Materi/Isi Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangankan materi/isi kurikulum keagamaannya berdasarkan pada tujuan, pengembangan itu dilakukan dengan memberikan
96
materi-materi, pengetahuan dan pengalaman-pengalaman keagamaan. Materi-materi yang bersumber dari kitab-kitab kalisik/kitab kuning, sudah sesuai dengan tujuan pesantren itu sendiri. Hanya saja pendalaman pada kitab-kitab kalisik/kitab kuning agak sedikit berbeda antara perkembangan kurikikulum keagamaan/kepesantrenan sistem marhalah dengan tingkat pendidikan. Perbedaan yang paling menonjol terlihat pada bobot dan materi pelajaran, yaitu pada materi pelajaran al-Qur‟an dan Nahwu dan Saraf. Perbedaan terlihat pada sistem marhalah materi pelajaran al-Qur‟an memiliki bobot yang sama antara tiap tingkatan dan pada materi pelajaran Nahwu dan Saraf diberikan pada setiap tingkatan. Sedangkan, pada sistem tingkat pendidikan materi pelajaran al-Qur‟an bobot lebih banyak pada tingkat MTs kelas VII dan materi pelajaran Nahwu dan Saraf tidak diberikan pada tingkat MTs kelas VII. Perbedaan lain pada dua sistem (marhalah/tingkat pendidikan) tersebut, yaitu adanya penambangan dan mengurangan materi, penambangan bobot pada materi tahqiq/tahfiz al-Qur‟an pada sistem tingkat pendidikan dan tidak terlihat lagi kajian ulum al-Qur‟an yang sebelumnya ada dalam sistem marhalah. Perbedaan lain, yakni pada tingkatan materi-materi kitab-kitab salaf Pesantren alHamidiyah pada tingkat pendidikan seperti terlihat dalam daftar kitab-kitab salaf yang umum digunakan pesantren-pesantren di Indonesia, sebagaimana terlihat dalam bukunya Martin VanBruinessen (1999: 149) salah satu contohnya adalah kitab Imritî pada Pesantren al-Hamidiyah dipakai pada tingkatan aliyah sedangkan pada daftar yang disusun VanBruinessen digunakan untuk tingkat tsanawiyah. Perbedaan tersebut dikarenakan kitab-kitab yang digunakan oleh pesantren-pesantren yang terdapat dalam data VanBruinessen umumnya adalah pesantren salafiyah dan data tersebut disusun pada tahun yang sudah cukup lama. Untuk memaksimalkan penyampaian materi Pesantren al-Hamidiyah menggunakan silabus pada masing-masing materi keagamaan yang diajarkan, tidak seperti pesantren-pesantren tipe lama (klasik) sebagaimana menurut Azra (1998: 88) pola pendidikan pada pesantren klasik tidak menggunakan kurikulum dan silabus. Tetapi berupa jenjang level kitab dalam berbagai disiplin ilmu, yang pembelajarannya dilaksanakan dengan pendekatan tradisional. Pesantren al-Hamidiyah menerapkan kurikulum tersendiri diluar kurikulum pemerintah dan memakai silabus, yaitu berupa batasan-batasan materi yang akan diajarkan dan tujuan pencapaian dari materi secara keseluruhan pada masingmasing bidang studi yang diajarkan, namun belum terlihat lebih rinci pada masing-masing pembahasan atau bab, seperti: pokok pembahasan, sub pokok pembahasan, materi pembelajaran, metode, penilaian, bahan/alat atau berupa rincian Kompetensi Dasar, Materi Pokok/Pembahasan, Kegiatan Pembelajaran, Indikator, Penilaian, Alokasi Waktu, Jam tatap muka, dan referensi yang terstruktur secara profesional. Walaupun dalam pedoman guru rincian-rincian tersebut sudah ada namun jika disajikan dalam struktur yang lebih profesional tentunya akan memudahkan guru dalam penyampaian materi. c.
Strategi/Metode Strategi atau metode pengembangan kurikulum keagamaan Pesantren alHamidiyah adalah mengadopsi metode yang digunakan oleh pesantren salaf dan modern. Menurut Qomar (2014: 64-65) metode-metode pembelajaran yang biasa digunakan oleh pesantren, seperti sorogan, bandongan, muhawarah, metode majlis ta‟lim dan metode diskusi. Metode tradisional atau metode pesantren salafiyah yang digunakan oleh pesantren al-Hamidiyah, seperti masih menggunakan sistem halaqah berupa metode sorogan, bandongan dalam pembelajaran kitab-kitab kuning/salaf seperti pengajian tabarukan, sedangkan metode pesantren modern ditandai dengan memberikan penekanan-
97
penekanan dalam bahasa Arab baik dalam keseharian maupun dalam pengajaran dalam bentuk muhawarah, metode mubâsyarah, dimana guru menggindari penggunaan bahasa Indonesia (bahasa non Arab), misalnya menunjukkan langsung pada benda yang dimaksud. Pesantren al-Hamidiyah juga mengembangkan metode-metode pendidikan lainnya, seperti memberikan keteladanan (Uswah al-Hasanah) baik ketelaanan yang diberikan oleh pengasuh maupun para guru, memberikan pengajaran (Ta‟lim), dan memberikan hadiah dan hukuman (al-Hadiyyah wa al-„Uqubah) metode ini dimaksudkan agar santri lebih bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Pendidikan bukan hanya memberikan materi-materi pelajaran tetapi pendidikan juga dapat dilakukan dengan memberikan keteladanan yang baik, karena biasanya santri akan meniru perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh gurunya. Oleh karena itu metode keteladanan ini biasa diterapkan dalam pendidikan di lingkungan pesantren. Secara tidak langsung metode keteladanan merupakan bagian dari kurikulum tersembunyi yang biasa disebut hidden curriculum. Menurut Nana Sudjana (1996: 7) kurikulum tersembunyi adalah hal atau kegiatan yang terjadi di sekolah dan ikut mempengaruhi perkembangan peserta didik, tetapi tidak diprogramkan dalam kurikulum potensial. Pendapat yang sama diungkapkan juga oleh Arifin (2013: 7) menyatakan bahwa, kurikulum tersembunyi, yaitu segala sesuatu yang mempengaruhi peserta didik secara positif ketika sedang mempelajari sesuatu. Menurutnya, pengaruh itu mungkin dari pribadi guru, peserta didik itu sendiri, karyawan sekolah, dan suasana pembelajaran. Kedeladanan terlihat dari perilaku para guru atau ustadz/ustadzah dalam salat berjama‟ah di masjid. Berdasarkan hasil pengamatan penulis para guru tidak hanya mengarahkan para santri untuk salat berjama‟ah, namun mereka juga ikut melaksanakan salat berjama‟ah bersama para santri. Metode lainnya adalah metode pembinaan santri agar santri tidak hanya unggul dalam bidang akademik, namun juga unggul dalam kepribadian (pembentukan karakter) dan berakhlak mulia. Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani (2011: 12) karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran dengan kata lain keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Kebiasaan harian yang diterapkan oleh Pesantren al-Hamidiyah, terlihat seperti kewajiban salat berjama‟ah, hal ini diupayakan agar santri terbiasa untuk salat berjama‟ah. Contoh lainnya, seperti pendidikan akhlaq al-karimah yang diberikan merupakan upaya agar tertanam dalam diri para santri untuk memiliki akhlak yang baik. Cerminan pada pembentukan akhlak mulia tercermin pada para santri sebagaimana hasil pengamatan penulis, para santri bersikap sopan dan santun terhadap guru dan tamu yang berkunjung. Mereka memberikan salam penghormatan dan penyambutan yang baik dan sopan kepada guru atau tamu yang ada dihadapan mereka. Selain itu, direrapkan juga metode keterampilan dalam bidang keagamaan, yaitu Kegiatan Sibghah Ma‟hadiyah, Muhadarah, dan KPM (Kegiatan Pengabdian Masyarakat). Metode ini merupakan bagian dari kurikulum yang dikembangkan oleh pesantren alHamidiyah, metode ini merupakan pengalaman belajar di luar pendidikan akademis. Pesantren al-Hamidiyah juga mengembangkan metode pembelajarannya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Metode ini dilakukan dengan memanfaat komputer dan internet, hal ini terlihat dari beberapa kegiatan pembelajaran dan pelatihanpelatihan, seperti pelatihan internet sebagai wahana syiar digital dari santri Madrasah Aliyah. Strategi ini merupakan upaya Pesantren al-Hamidiyah dalam menambah keterampilan santri dalam memanfaatkan kemajuan teknologi.
98
d.
Evaluasi Pesantren al-Hamidiyah dalam merumuskan evaluasi hasil pembelajaran sudah cukup baik, terlihat dari pengelompokkan materi, yakni evaluasi hasil pembelajaran alQur‟an, evaluasi hasil pembelajaran kitab salaf, dan evaluasi hasil pembelajaran Bahasa Arab. Evaluasi dilaksanakan dengan menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal, prosedur penilaian hasil belajar, teknik dan instrumen penilaian hasil belajar, penentuan kriteria kenaikan kelas, menentukan target batasan pencapaian pembelajaran. Langkah-langkah dalam mengevaluasi hasil belajar Pesantren al-Hamidiyah sudah sesuai dengan langkah-langkah mengevaluasi hasil belajar yang dirumuskan oleh para ahli pendidikan. Menurut Hidayat (2013: 69), proses evaluasi pada dua situasi, yaitu: Evaluasi hasil pembelajaran dan Evaluasi pelaksanaan pembelajaran. Pesantren al-Hamidiyah melakukan evaluasi sebagaimana evaluasi menurut para ahli pendidikan, yaitu: 1) Evaluasi hasil pembelajaran: menilai keberhasilan santri berupa penilaian harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester dan ujian kenaikan kelas atau penilaian berupa penilaian jangka pendek dan jangka panjang (evaluasi formatif dan evaluasi sumatif). 2) Evaluasi pelaksanaan pembelajaran: komponen yang dievaluasi dalam pembelajaran bukan hanya hasil belajar tetapi keseluruhan pelaksanaan pembelajaran yang meliputi evaluasi komponen tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi atau metode pembelajaran serta komponen evaluasi pembelajaran itu sendiri. 4.
Pendekatan Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam al-Hamidiyah Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan kurikulum keagamaan/ kepesantrenannya berdasarkan pendekatan subjek akademis, pendekatan subjek akademis menurut Sukiman (2015: 45) adalah pengembangan dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk persiapan pengembangan disiplin ilmu. Pendekatan ini berpijak pada teori-teori pendidikan klasik yang mempunyai asumsi bahwa semua ilmu pengetahuan, ide-ide dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu. Pendekatan subjek akademis tersebut di atas, diaplikasikan Pesantren alHamidiyah dengan memilih sumber materi pembelajaran keagamaannya berdasarkan alQur‟an, Hadits beserta kitab-kitab karangan ulama klasik atau kitab salaf/kuning dan menyajikan materi-materi tersebut disesuaikan dengan tingkat kelas santri. Hal ini sesuai dengan tujuan dari Pesantren al-Hamidiyah yang ingin terus memelihara dan melestarikan ajaran Islam yang sudah ada dan khasanah keilmuan ulama klasik, terlihat pada pengajian “tabarukan” menggunakan kitab-kitab ulama salaf dengan metode bandongan. Selain itu, metode yang digunakan yakni dengan menyampaikan materi kemudian dielaborasi oleh santri sampai mereka menguasai dan dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari. Selain menggunakan pendekatan subjek akademis, Pesantren al-Hamidiyah juga menerapkan pendekatan Humanistik. Pendekatan Humanistik menurut Hilda Taba sebagaimana dikutip oleh Sukiman (2015: 45), yakni menekankan bahwa tugas pendidikan yang utama adalah mengembangkan anak sebagai individu selain sebagai makhluk sosial. Dalam hal ini Pesantren al-Hamidiyah bukan hanya memberikan pendidikan akademis saja, melainkan memberikan pendidikan yang dapat mengembangakan kemampuan santri dalam bidang non akademik melalui kegiatan muhadarah dan Kegiatan Pengabdian Masyarakat (KPM), dimana dalam kegiatan ini santri diberikan kesempatan untuk mengembangkan bakat dan minat masing-masing. Selain kedua pendekatan di atas, Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan kurikulum keagamaannya berdasarkan pendekatan rekonstruksi sosial. Menurut
99
Sukmadinata (2012: 91) kurikulum dengan pendekatan rekonstruksi sosial ini lebih memusatkan perhatian pada problem-problem yang dihadapi masyarakat. Pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi dan kerjasama. Dalam pendekatan rekonstruksi sosial, santri diberikan pendidikan baik dikelas maupun di asrama. Dimana santri berinteraksi dan bekerjasama, baik dengan teman maupun dengan guru dalam melaksanakan tugas-tugas dan kegiatan-kegiatan hariannya. Selain itu, dengan adanya bimbingan yang dilakukan oleh wali asrama yakni melalui sistem pelayanan dan pembinaan asrama, dalam hal ini terdapat wali asrama melaksanakan kegiatan pengasuhan dalam rangka mengembangkan potensi mental/spiritual, intelektual dan sosial santri dengan memberikan bimbingan kehidupan asrama berdasarkan daur kehidupan santri. Serta memberikan bimbingan kepada santri agar santri dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik bersama santri lainnya. 5. Model Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam al-Hamidiyah Pesantren al-Hamidiyah paling sedikit telah tiga kali memperbaiki dan mengembangkan kurikulum keagamaannya. Pesantren al-Hamidiyah melakukan beberapa langkah dalam melaksanakan pengembangan kurikulum keagamaan atau kepesantrenannya. Langkah-langkah dalam pengembangan kurikulum keagamaan/ kepesantrenan yang dilakukan Pesantren al-Hamidiyah, jika merujuk pada model pengembangan yang dirumuskan oleh ahli kurikulum, model pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh Pesantren al-Hamidiyah hampir serupa dengan model yang dirumuskan oleh Beauchamp. Model Beauchamp sebagaimana dikutip oleh Sukmadinata (2012: 163) terdapat langkah-langkah dalam melakukan pengembangan kurikulum di antaranya yaitu: a.
b.
c.
Menetapkan arena atau ruang lingkup wilayah yang dicakup oleh kurikulum tersebut, dalam hal ini kurikulum dikembangkan mencakup satu lembaga pendidikan, yaitu Pesantren al-Hamidiyah. Menetapkan personalia, dalam hal ini Pesantren al-Hamidiyah menentukan anggota dalam rapat kerja pengembangan kurikulum keagamaannya terdiri atas beberapa personel yang berpengalaman dalam bidang pendidikan dan pesantren (Dewan Pengasuh/Kiai) dan guru-guru sesuai keahlian pada bidang/mata pelajaran masingmasing, seperti ahli dalam pembelajaran al-Qur‟an, ahli dalam kitab kuning dan ahli dalam bidang bahasa Arab. Yang kemudian disetujui oleh ketua Yayasan Islam alHamidiyah. Pesantren al-Hamidiyah dalam menentukan personel dalam tim pengembangan kurikulum keagamaan/kepesantrenannya hanya melibatkan tim ahli pendidikan dan guru-guru tingkat lokal pesantren saja yang tentunya sudah berpegalaman dibidang pendidikan dan pesantren, yang sebelumnya telah melakukan studi banding dengan beberapa pesantren lain dan konsultasi dengan pihak Kementrian Agama RI yang berwenang. Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Tahapan ini dilaksankan oleh Pesantren al-Hamidiyah dengan: 1) Membagi tim berdasarkan bidang dan keahlian, terdiri dari para guru, kepala Kajian Islam dan Asrama, Ketua Dewan Pengasuh, Kepala Bidang Pendidikan dan Pengajaran Yayasan Islam al-Hamidiyah, Kepala Bidang SDM. Yayasan Islam alHamidiyah, dan beberapa ahli yang berpengalaman sesuai bidangnya, seperti ahli dalam bahasa Arab, Ahli dalam Kitab Kuning serta ahli dari ilmu al-Qur‟an. Kemudian membagi para peserta rapat kerja tersebut menjadi lima komisi, yaitu:
100
d. e.
f.
Komisi A: membidangi pelajaran al-Qur‟an; Komisi B: membidangi pelajaran kitab salaf/kuning; Komisi C membidangi pelajaran Bahasa Arab; Komisi D: membidangi kegiatan Sibghah Ma‟hadiyah dan Muhadarah; komisi E: membidangi masalah asrama. 2) Mengadakan penilaian terhadap kurikulum yang sedang digunakan, setelah itu meneliti apa saja yang menjadi kekurangan dari kurikulum yang sedang digunakan untuk selanjutnya memberikan masukan berupa beberapa usulan dari masingmasing komisi untuk bahan pertimbangan bagi pelaksanaan kurikulum selanjutnya. 3) Merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, selanjutnya masingmasing tim yang terbagi menjadi lima komisi di atas menentukan programprogram masing-masing. Program-program tersebut berupa program kegiatan semester/tahunan, pedoman proses pembelajaran, dan pedoman penilaian hasil belajar. 4) Setelah menentukan program-program sesuai bidang masing-masing, pada masingmasing program tersebut di rumuskan komponen-komponen kurikulum, yaitu: a) Merumuskan tujuan pembelajaran b) Memilih materi/isi: dengan menentukan kitab-kitab yang digunakan dalam setiap jenjang dan tingkat pendidikan, dan menyusun silabus pembelajaran, dan menentukan batasan-batasan pencapaian minimum materi pembelajaran c) Menentukan pengalaman belajar d) Menentukan strategi atau metode pembelajaran pada masing-masing bidang e) Menentukan kriteria evaluasi/penilaian hasil belajar. Penulisan dan penyusunan kurikulum baru. Implementasi Kurikulum. Kurikulum yang telah direncanankan kemudian dilaksanakan oleh masing-masing guru sesuai dengan keahlian masing-masing dibawah pengawasan Kepala Kajian Islam. Evaluasi Kurikulum. Evaluasi berupa evaluasi pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, evaluasi desain kurikulum, evaluasi hasil belajar santri dan evaluasi keseluruhan kurikulum.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren al-Hamidiyah merupakan pesantren yang menerapkan pola pendidikan pesantren kombinasi. Pola pendidikan pesantren kombinasi, menyatukan sistem pendidikan pesantren modern dan tradisional/salafiyah dan pendidikan pesantren yang terintegrasi dengan sekolah/madrasah. Menurut Dhofier (2013: 76) pesantren dengan pola tersebut adalah pesantren tipe baru, seperti Pesantren Tebuireng dan Rejoso di Jombang, telah membuka SMP dan SMA, dan Universitas. Begitu juga pada Yayasan Pendidikan Islam HM. Tribakti (YPIT) yang kini menjadi Pesantren alMahrusiyah dan Pesantren Salaf Terpadu ar-Risalah, sebagai unit pengembangan pesantren Lirboyo Kediri, selain tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren tradisional (salaf), juga membuat membuka sistem pendidikan umum sebagai cabangnya di luar pondok induk. (Anwar, 2008: 101) Sementara itu, Menurut Zuhdi (2006: 421) contoh pesantren yang memadukan sistem pendidikannya, seperti Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur adalah sebuah sistem pendidikan kombinasi, dengan memperbarui sistem pendidikannya, yang semula sebagai pesantren tradisional menjadi pesantren yang mengkombinasikan antara pesantren tradisonal dengan sistem sekolah dan madrasah, yakni (a) Sekolah: disediakan bagi santri/pesera didik yang berminat mempelajari pengetahuan non agama; (b) Madrasah: disediakan bagi santri/peserta didik yang berminat
101
memperdalam pengetahuan agama. Selain sekolah dan madrasah juga mempertahankan pendidikan pesantren tradisional setelah jam sekolah/madrasah. Sebagai lembaga pendidikan pesantren yang mengembangkan model pendidikan pesantren kombinasi tentunya terdapat kelebihan dan kelemahan dari beberapa sisi. Kelebihan pada pesantren dengan pola/model pendidikan kombinasi ini, yaitu memungkinkan santri melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi sesuai dengan jurusan yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Selain itu, lulusan pada pesantren kombinasi ini memiliki peluang untuk dapat memiliki berbagai profesi baik dibidang keagamaan maupun non keagamaan, seperti guru/dosen, pengasuh pesantren, Insinyur, dokter, pengacara, ekonom, dan akuntan. tentunya memiliki nilai tambah yakni memiliki modal pemahaman keagamaan yang lebih luas dibandingkan dengan lembaga pendidikan non keagamaan. Disisi lain, pesantren dengan model/pola pendidikan kombinasi ini terdapat beberapa kelemahan, yaitu kemungkinan santri kurang menguasai ilmu kepesantrenan/keagamaannya dibandingkan dengan santri yang berada di pesantren salaf, hal ini dipengaruhi oleh banyaknya materi pelajaran yang diberikan yang mengakibatkan pengurangan materi-materi kepesantrenan. Untuk itu, sebagai pesantren yang memiliki model kombinasi, Pesantren alHamidiyah mengembangkan kurikulum keagamaannya yakni dengan tetap mempertahankan pembelajaran yang bersumber dari kitab-kitab ulama klasik atau kitab kuning, juga memberikan keterampilan bagi santri agar mampu menyampaikan keilmuannya sesuai dengan tujuan awal pesantren yakni sebagai pelestarian pendidikan dan dakwah Islam yakni Pesantren al-Hamidiyah memberikan tambahan materi berdakwah dan latihan-latihan yang membimbing agar mempunyai keterampilan tersebut. Melalui kegiatan muhadarah yang merupakan bagian dari kurikulum kepesantrenannya, dimana santri diupayakan agar kelak dapat memiliki kemampuan dalam berdakwah pada masyarakat luas, selain itu santri diberi kesempatan mengikuti perlombaan-perlombaan keagamaan baik antar santri Pesantren al-Hamidiyah maupun antar pesantren lain, hal ini sebagai acuan dan semangat serta menguji kemampuan santri ketika berhadapan langsung didepan masyarakat luas. Pada intinya upaya pesantren bertujuan untuk memeberikan bekal kepada santri, sehingga diharapkan apapun bidang atau profesi yang dimiliki para santri kelak, tetap dapat melestarikan pendidikan dan dakwah Islamiyah. Orientasi santri Pesantren al-Hamidiyah untuk menjadi calon ulama-intelektual atau intelektual-ulama terlihat pada data lulusan yang melanjutkan keberbagai perguruan tinggi baik perguruan tinggi keagamaan atau non keagamaan, perguruan tinggi negeri maupun swasta sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing santri. Lulusan yang memilih jurusan keagamaan biasanya mereka melanjutkan studi ke Universitas Islam Negeri di beberapa wilayah dan Universitas al-Azhar Kairo Mesir dengan bea siswa penuh dari kedutaan Mesir, sedangkan lulusan yang memilih jurusan non keagamaan (umum) tersebar di beberapa perguruan tinggi Nasional, seperti Universitas Brawijaya, Universitas Padjajaran, Universitas Jambi dan Universitas Andalas. Selain itu dapat juga dilihat dari berbagai prestasi-prestasi yang diraih oleh santri dalam bidang akademik dan non akademik, prestasi-prestasi dibidang bahasa dan keagamaan, dan prestasi-prestasi pada bidang umum (non keagamaan).
102
BAB V PENUTUP Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana terdapat dalam bab-bab tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut: A. Kesimpulan Pesantren al-Hamidiyah melakukan pengembangan kurikulum keagamaan dengan menggunakan model pengembangan kurikulum yang diterapkan oleh Beauchamp. Langkah-langkah pengembangan yang dilakukan, yaitu dengan membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang yang berpengalaman dalam bidang kurikulum dan kepesantrenan serta pengasuh dan beberapa perwakilan guru; pengorganisasian dan prosedur pengembangan kurikulum dengan melakukan penilaian terhadap kurikulum yang sedang digunakan, menentukan kriteria-kriteria untuk menentukan kurikulum yang baru, merumuskan komponen-komponen kurikulum; mengimplementasikan kurikulum; dan mengevaluasi kurikulum. Pengembangan kurikulum keagamaan juga dilakukan dengan memisahkan antara kurikulum keagamaan (kepesantrenan) dengan kurikulum sekolah/madrasah formal, sehingga menghasilkan kurikulum yang seimbang. B.
Saran-saran
1.
Pesantren al-Hamidiyah hendaknya terus melakukan pengembangan kurikulum keagamaannya dengan lebih mengembangkan unsur-unsur yang terkait dengan kurikulum, seperti pembuatan silabus dan RPP yang lebih rinci lagi sebagaimana silabus dan RPP yang diterapkan oleh para ahli kurikulum dan digunakan oleh sekolah/madrasah fomal. Pesantren al-Hamidiyah perlu menambah materi-materi keagamaan yang bersumber dari kitab berbahasa Arab karangan ulama salafiyah dan ulama kontemporer yang belum digunakan, agar santri mendapatkan informasi ilmu-ilmu keagamaan yang lebih luas lagi dan dapat meningkatkan kemampuan santri dalam penguasaan kitabkitab tersebut. Pesantren al-Hamidiyah perlu lebih meningkatkan metode pembelajaran, seperti metode diskusi dengan mengadakan diskusi-diskusi ilmiah, seminar-seminar baik dalam lingkup pesantren maupun bersama pesantren-pesantren lain yang berkaitan dengan pendidikan pesantren dan meningkatkan metode menterjemah berbahasa Arab.
2.
3.
102
103
DAFTAR PUSTAKA Anwar, Ali. 2008. Pembaharuan Pendidikan di Pesantren: Studi Kasus Pesantren Lirboyo Kediri. Disertasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Arifin, Zainal. 2013. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Azra, Azyumardi. 1998. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu _____. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Damopolii, Muljono. 2011. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern. Jakarta: Rajawali Pers Daulay, Haidar Putra. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia). Jakarta: LP3S Dakir. 2010. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta Drajat, Zakiyah. 2006. Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara Gazali, Dede Ahmad dan Gunawan, Heri. 2015. Studi Islam Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Hamalik, Oemar. 2012. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Kerjasama SPs UPI dengan PT Remaja Rosdakarya _____. 2013. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya _____. 2014. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Jakarta: Bumi Aksara Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan, Kebijakan otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : PT. Grafindo Persada Al-Hazimi, Khâlid bin Hâmid. 2000. Usul al-Tarbiyah al-Islamiyyah. Madinah: Dâr‟âlim al-Kutub Hidayat, Sholeh. 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Al-Hujâj, Muslim. Sahîh Muslim, Jilid III. Juz 5. Beirut: Dâr al- Fikr Idi, Abdullah. 2010. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jogjakarta: ar-Ruzz Media Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Lukens-Bull, A, Ronald, Two Side of Same Coin: Modernity and Tradition in Islamic Education in Indonesia, Wiley, Vol. 32, No. 3, 2001, p. 350-372, http://www.jstor.org/stable/3195992, Accessd: 30/03/2015 Madjid, Nurkholish. 1997. Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina Maksum. 1999. Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Malik MTT, A. 2008. Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal di pondok Pesantren. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Morissan. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana
104
Nata, Abuddin. 2012. Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya. Jakarta: Rajawali Pers Nizar, Samsul (ed.). 2013. Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan Islam Nusantara. Jakarta: Kencana Ornstein, Alan C. and Francis, P. Hunkins. 2009. Curriculum: Foundations, Prinsiples, and Issues. Boston: Allyn & Bacon Paulas, George. E dan Oliva, Peter F. 2008. Supervision for Today‟s Schools. USA: John Wiley & Sons Inc Peraturan Pemerintah RI No. 55. 2007. Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta: Kementrian Agama Pesantren al-Hamidiyah. 2000. Pedoman Umum Pesantren al-Hamidiyah. Depok: Pesantren al-Hamidiyah _____. 2016. Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama. Depok: Kajian Islam dan Asrama Pesantren al-Hamidiyah _____. 2016. Brosur Madrasah Tsanawiyah al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017. Depok: Pesantren al-Hamidiyah _____. 2016. Brosur Madrasah Aliyah al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017. Depok: Pesantren al-Hamidiyah Pohl, Florian, Islamic Education and Civil Sosiety, Chicago Journals , Vol. 50, No. 3, 2006, p. 389-409, http://www.jstor.org/stable/10.1086/503882, Accessed: 30/03/2015 Qahâf, Mundzir. 2006. Al-Waqfu al-Islâmî Tathatawaruhû, Idaratuhû Tanmiyatuhû. Damaskus: Dar al-Fikr Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga _____. 2010. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga _____. 2014. Menggagas Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Rahardjo, M. Dawam. 1999. Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu _____. 2005. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Subhan, Ali. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20: Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana Sudjana, Nana. 1996. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru Algesindo Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alvabeta Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Sukiman. 2015. Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Rosdakarya Tafsir, Ahmad. 2013. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Tumanggor, Rusmin. 2014. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kencana
105
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Van Bruinessen, Martin. 1999. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan Widyastono, Herry. 2014. Pengembangan Kurikulum di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Bumi Aksara Yayasan Islam al-Hamidiyah. 2016. Warta al-Hamidiyah: Media Komunikasi Pembangun Generasi Islami. Edisi. 55. Depok: Yayasan Islam al-Hamidiyah Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta Ciputat Press Yunus, Mahmud. 1990. Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Hidakarya Agung _____. 1995. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Mutiara Sumber Widya Zarkasyi, Abdullah Syukri. 2005. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Jakarta: PT. RajaGrafindo Zuhdi, M. (Ed.) Roger Slee. 2006. Inclusive Education: Modernization of Indonesia Islamic Schools‟ Curricula, 1945-2003. Vol. 10, No. 4-5. Canada: Taylor & Francis DAFTAR WAWANCARA Drs. KH. Zainuddin Ma‟sum, selaku Mustasyar Pesantren al-Hamidiyah Abdul Rasyid Marhali, Lc, selaku Kepala Kajian Pesantren al-Hamidiyah Suyatno, S.Si, M.Pd selaku Kepala MA al-Hamidiyah Jauhari, Lc, selaku Koordinator Pelaksana Program Keagamaan MA al-Hamidiyah Drs. Eridian Patrio Putra, selaku Wakil Kepala MA al-Hamidiyah dan Kepala Bidang Pendidikan dan Pengajaran Yayasan al-Hamidiyah
106
Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI YAYASAN ISLAM AL-HAMIDIYAH PERIODE 2016-2020
107
Lampiran 2 STRUKTUR ORGANISASI YAYASAN DAN PESANTREN AL-HAMIDIYAH TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017
1. Ketua Yayasan 2. Mustasyar 3. Pelaksana Harian YIH
: Dr. H. Imam Susanto Sjaichu, Sp.BP : Drs. KH. Zainuddin Ma‟sum : Ir. H. Ahmad Fahri Sjaichu Marti Alifa, S. Psi 4. Kepala Bid. Pendidikan dan Pengajaran : Drs. Eridian Patrio Putra a. Kepala Madrasah Aliyah : Suyatno, S.Si, M.Pd b. Kepala Madrasah Tsanawiyah : Hidayat, S.S 5. Kepala Dewan Pengasuh : Drs. KH. Achmad Zarkasih a. Kepala Kajian Islam dan Asrama : H. Abdul Rasyid Marhali, Lc b. Wakil/Penjab. Kitab dan al-Qur‟an : R. Ahmad Fauzan, S.Pd c. Koordinator Bahasa : Saiful Bahri, S.Pd d. Koordinator Asrama Putra : Asenih, S.Ag. e. Koordinator Asrama Putri : Dra. Sofiah
108
Lampiran 3 DAFTAR GURU KAJIAN ISLAM DAN ASRAMA PESANTREN AL-HAMIDIYAH TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017
NO
1 2
NAMA Drs. KH. Zainuddin Ma‟sum Drs. KH. A. Mahfudz Anwar, M.Ag
L/P
PEND. TERAKHIR
MATA PELAJARAN YANG DIAMPU
L
S1
Pengajian Tabarukan
L
S2
Bulugh al-Marâm
3
Drs. H. Achmad Zarkasih
L
S1
Bulugh al-Marâm
4
H. Addin A. Rochim, Lc
L
S1
Muhadarah, Fath alMu‟in, Jawahir alKalamiyyah
5
Asenih, S.Ag.
L
S1
Tajwid
6
Subhan Hidayat, S.Sos.I
L
S1
7
H. Abdul Rasyid, Lc
L
S1
8.
Dra. Syukriyah
P
S1
9
Fahmi A. Purnoto, M.Pd
L
S2
10
R. Ahmad Fauzan, S.Pd
L
S1
11
Abdul Mun‟im H, S.Pd. I
L
S1
Nasailul „Ibad, Saraf, Imritî Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, tajwid, Jawahir alKalamiyah, Nasail al„Ibad Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Tajwid, Tahqiq/tahfidz, Durus al- Lughah, Mutala‟ah Haditsah, Bulugh alMarâm Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Tajwid, Ta‟lim alMuta‟alim/Akhlak (Banin-Banat), Mutala‟ah Haditsah, Imla‟, Fath al-Qarib, Jawahir alKalamiyyah, Muhadarah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar,
109
12
Dra. Masfufah
P
S1
13
Fatihatul Hasanah
P
Pesantren
14
M. Miftahul Arif, S.Ag
L
S1
15
Imam Mahrus
L
Pesantren
16
Wawan, S.Pd.
L
S1
17
Muhaidi, S.Pd.I
L
S1
18
Ahmad Ridwan, S. S. I
L
S1
19
M. Fauzi
L
S1
20
Aan Kumaidi
L
Pesantren
21
Aryan Kusuma
L
Pesantren
22
Siti Hanah, S.Ag
P
S1
23
Nurul Abidah
L
Pesantren
Tajwid, Durus alLughah, Mutala‟ah Haditsah, Imla‟, Ta‟lim alMuta‟alim/Akhlak (Banin-Banat), saraf, Muhadarah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Muhadarah Tahqiq/tahfidz Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Tajwid, Durus alLughah, Mutala‟ah Haditsah, Imla‟, Ta‟lim alMuta‟alim/Akhlak (Banin-Banat) , Muhadarah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Nahwu, Saraf, Imriti, Fath al- Mu‟în Khulashah Nur alYaqin Nahwu Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Tajwid, Muhadarah Nahwu, Saraf, Durus al- Lughah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Jawahir alKalamiyyah, Fath alQarib, Muhadarah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Matan Taqrib, Jawahir al-Kalamiyyah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Muhadarah Tahqiq/tahfidz,
110
24
Siti Sholihah
L
Pesantren
25
Drs. Azhri Azhari
L
S1
26
M. Syifa Zakaria
L
S1
27
Fitri Ariyani
L
Pesantren
Tilawah/Bin Nazar, Tajwid, Mutala‟ah Hadistah, Ta‟lim alMuta‟alim, Muhadarah Matan Taqrib, Jawahir al-Kalamiyah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Jawahir alKalamiyyah, Fath alQarib, Muhadarah Durus al-Lughah, Muhadarah Durus al-Lughah
28
Ilah Rohilah, S.Hum
L
S1
Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Tajwid, Mutala‟ah Haditsah, Muhadarah
29
M. Syaiful Bahri, S.Pd
L
S1
Durus al-Lughah
30
Tanzirrurrahman
L
Pesantren
Durus al-Lughah
31
Dra. Isti‟anah Masfufah
P
S1
Nahwu, Saraf,
32
Imam Nafi‟ J, SQ
L
S1
Tahqiq/tahfidz, Tajwid
33
Ahmad Syaiful Huda
L
Pesantren
34
M. Nur Iskandar, S.Pd
L
S1
35
Zainuddin Nur
L
Pesantren
36
Hj. R. Zulfatullaila, SHI
L
S1
37
Nanang Suaidi, S.Pd. I
L
S1
38
Fathurrazaq
L
Pesantren
39
Luthfi Zulfikar, S.Pd. I
L
S1
Fath al-Qarib Durus al-Lughah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Durus al-Lughah, Muhadarah Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar, Nahwu, Matan Taqrib, Saraf, Fath al-Qarib Nahwu, Saraf, Fath alQarib Durus al-Lughah, Nahwu, Imritî, Bulugh al-Marâm
111
40
Hj. Nur Ilman, SPd. I
L
S1
41
Arief Masthuro Warli, Lc
L
S1
42
H. Mukhtar Syarih
L
S1
43
Yunus Priadi
L
Pesantren
Tahqiq/tahfidz, Tilawah/Bin Nazar Fath al-Mu‟in, Nahwu, Saraf, Muhadarah Durus al-Lughah Saraf, Imritî
112
Lampiran 4 DAFTAR GURU DAN KARYAWAN MTS AL-HAMIDIYAH TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017
NO
NAMA
L/P
Pend. Terakhir
Jurusan
Sastra Inggris Hukum Perdata Tarbiyah/ IPA Keagamaan Tarbiyah/ Muamalah Tarbiyah MIPA Tarbiyah/ Bahasa Arab Ushuludin Teknologi Sastra/ Bahasa Indonesia FKIP/BK
Jabatan/Bidang Keahlian
1
Hidayat, S.S.
L
S1
2
Sinta Wahyuning , SH
P
S1
3
Dra. Siti Barkah
P
S1
4 5
M. Muchtar Sy Rif'ah Zulfatullaila, SHI Drs. Muslich Acmad Rifa'i M. Shoheh Ali, S.Ag
L P
MA S1
L L L
S1 S1 S1
9 10 11
Wulansari A, S.Ag Bayu Wardhani, STP Luthfi Jawahirul. Q, S.S
P L L
S1 S1 S1
12
Maryamah, S.Pd.
P
S1
13 14 15
Siti Andriyani, S.Si Lidia, S.Pd. Asenih, S.Ag
P P L
S1 S1 S1
16 17
L P
S1 S1
P
S1
FBIPS
IPS
19
Abdul Rasyid, Lc Hj. Nur Ilman H, S.Pd.I Yulia Darmawaty, S.Pd Dra. Nurul Hidayah
MIPA FBIPS/ Dakwah/ KPI Ilmu Islam PAI
P
S1
Bahasa Indonesia
20
Dra. Desi Fitriani
P
S1
21 22
Dwi Wahyu P, S.Si Dwi Alfiani R, S.Pd
L L
S1 S1
FPBS/ Bahasa Indonesia FPBS/ Bahasa Indonesia IPS FKIP/ Matematika
6 7 8
18
Kepala Madrasah/ Bahasa Inggris PKn IPA Akidah Akhlak Fiqh Akidah Akhlak IPA Bahasa Arab SKI IPA Bahasa Indonesia
Bimbingan Konseling Matematika IPS Al-Qur‟an Hadis Al-Qur‟an Hadis Al-Qur‟an Hadis
Bahasa Indonesia
IPS Matematika
113
23
Bambang S, S.Pd
L
S1
24
Nurbaeti, S.Pd.
P
S1
25
Euis Virgiani, S.Pd.
P
S1
26
Ilman, S.Pd
L
S1
27
Irma Aryani, S.Pd
P
S1
28
L
S2
29
Djamaluddin P., M.Ag. Nursyamsiyah, M.Ag.
P
S1
30 31 32 33 34 35 36 37
Dewi Retno, S.Si Saaman, S.Pd Rodiyah Rodiyanah Oos Sarcosih, M.Pd.I Abdul Muis, S.Ag Evi Herawati Ahmad Tamim Fuad Hasan
P L P L L P P P
S1 S1 S1 S1 S1 SMA MA D1
38
Nurul Abidah
P
SMA
FKIP/ Matematika Ilmu Sosial/ Sejarah FKIP/ Bahasa Inggris FKIP/ Matematika FKIP/ Matematika Managemen Pendidikan Pendidikan Bahasa Arab MIPA PAI Penjaskes Bahasa Arab Sekretaris Keagamaan Managemen Informatika IPS
TIK PKn Bahasa Inggris
Matematika Matematika Bahasa Arab Bahasa Arab Matematika PKn Penjaskes Bahasa Arab Perpustakaan TU Laboran IT TU
114
Lampiran 5 DAFTAR GURU DAN KARYAWAN MA AL-HAMIDIYAH TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017 N O
NAMA
L/ P
Pend. Terakhir
1
Suyatno, S.Si, M.Pd
L
S2
2
Jauhari, Lc
L
S1
3
Drs. H. Achmad Zarkasih
L
S1
4
Drs. H. Ahmad Mahfudz Anwar
L
S1
5
Drs. Ashri Azhari
L
S1
6
Subhan Hidayat, S.Sos.I
L
S1
7
Nurbaeti, S.Pd
P
S1
8
Dra.Embay Sa'adiah, M.Pd
P
S2
9
N. Yanti Supriyanti, S.Ag
P
S1
10
Mahyudin, SS, M.Pd
L
S2
11
Dra. Hj. Yufiyani
P
S1
12
Dwi Wahyu Prihantoro, S.Si
L
S1
13
Supriyo, S.Si
L
S1
L
S1
P
S1
L
S1
14 15 16
Prita Ayu Eka Septiawanty, S.Pd Ratu Mariatul Khusnah, S.Pd Drs. Eridian Patria Putra
Jurusan
Jabatan/Bidang Keahlian
Pend. MIPA
Kepala Madrasah/ Matematika Bahasa Arab/ Usul Fiqih/ Muhadarah Fikih/ Usul Fiqih/ I.Hadits/Akhlak/I.Ka lam Qurdits/ Fiqih/ I. Tafsir Qurdits/Aqidah Akhlak/ SKI Ilmu Hadits/Aqidah Akhlak/I. Tafsir/ Qurdits
Syari‟ah/Bah asa Arab PAI Ilmu Qur‟an PAI STAI alHamidiyah Sejarah Pendidikan
Bahasa Indonesia Pendidikan B. Inggris Matematika
PKn/ Sejarah Bahasa Indonesia/Seni Budaya Bahasa Indonesia/Seni Budaya Bahasa Inggris Matematika
Biologi Biologi Fisika Kimia Ilmu Sejarah Pendidikan Koperasi
Fisika/Matematika Kimia Sosiologi/Geografi Ekonomi
115
17
Sinta Wahyuning Sri, SH
P
18
Mujahidin
L
19
Dra. Hj. Yayuk Hari Sugihartini
P
S1
20
Aghnini Ghinan Nafsi, S.Pd
P
S1
21
Arief Masthuro Warli, Lc
L
S1
22
Dewanti Puspitawati, S.Pd
P
S1
23
Suparno, S.Pd
L
S1
L
S1
L
S1
L
S1
24 25 26
Bambang Sumaryono, S.Pd M. Luthfi Zulfikar, S.Pd.I Nur Muhammad Iskandar, S.Pd
S1
STKIP
27
Muhaidi Abdul Muhid
L
S1
28
Oos Sarchosi, M.M.
L
S2
29
Abdul Mun'im Hasan, S.Pd.I
L
S1
30
Evi Herawati
P
SMK
31
Khurzudin
L
SMA
32
Mutia Hijriyana
P
D3
33
Achmad Ta'mim
L
MA
L
S1
P
S1
L
S1
34 35 36
Mochamad Fachrur Rozie A, Skom Norma Juwita Novianti, S.Ip Abdul Muis, S,Ag
Hukum
Ilmu Pendidikan Pendidikan Bahasa Inggris Syari‟ah dan Hukum Pendidikan Ekonomi Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Matematika PAI Pendidikan Bahasa Arab
Managemen Pendidikan Tarbiyah/ PAI Sekretaris Keagamaan Akutansi Keagamaan Tehnik Informatika Ilmu Perpustakaan KPI
PKn Penjas Bimbingan Konseling B. Inggris I.Hadits/ B.Arab/ Ushul Fiqh/ Muhadatsah Ekonomi/PKn/Wira Usaha Bahasa Inggris Matematika SKI/ I.Kalam/ I.Hadits/ I.Tafsir Bahasa Arab
Ushul Fiqh Muhadarah TU TU TU Laboran Kordinator TI Perpustakaan Perpustakaan
116
Lampiran 6 DAFTAR PRESTASI SANTRI MTS DAN MA PESANTREN AL-HAMIDIYAH A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
19. 20. 21. 22. 23. 24.
Tingkat Madrasah Tsanawiyah Juara 1 dan 2 lomba pidato bahasa Inggris tingkat MTs kota Depok (2014) Juara 1 Lomba Bulu Tangkis Tingkat Kota Depok (2014) Juara 2 Lomba Bulu Tangkis Pospeda Tingkat Kota Sukabumi (2014) Juara 3 Olimpiade MIPA (Biologi) dan PAI (2014) Juara 3 lomba pidato bahasa Indonesia Tingkat Kota Depok (2014) Juara 2 Lomba Lintara Tingkat Kota Depok (2014) Finalis Lomba Storytelling Humaniora Tingkat Nasional (2014) Juara 1 Olimpiade Sains dan PAI Tingkat Kota Depok (2014) Juara 2 Olimpiade MIPA (Fisika) dan PAI Tingkat Kota Depok (2014) Juara 1 LTC IPA Tingkat Kota Depok (2015) Peringkat 1 Bidang Studi Fisika dalam Lomba KSM dan PAI Tingkat Kota Depok (2015) Juara 2 Lomba KSM Tingkat Provinsi Jawa Barat (2015) Juara 1 MIPA (Matematika) dan PAI Tingkat Kota Depok (2014) Peringkat 3 Lomba Bidang Studi Matematika Tingkat Kota Depok (2015) Juara 3 LCT Matematika Tingkat Kota Depok (2015) Juara 1 LCT Fotografi Tingkat Kota Depok (2015) Juara 3 LCT IPS Tingkat Kota Depok (2015) Terbaik 1 Recycly (Team). Terbaik 2 Tilawah (Team). Terbaik 3 Ceramah Keagamaan Tingkat Jabodetabek (2015) Peringkat 1 Bidang Studi Lagu Religi (2015) Juara 1 Speech Kontes Tingkat Kota Depok (2015) Juara 3 berbagi Cerita Sains BPPT Ipttek (2015) Juara 2 Lomba Standup Comedi PMI Tingkat Jabodetabek (2015) Peringkat 1 Lomba olimpiade PAI Tingkat Kota Depok (2015) Juara 3 Lomba Marawis Tingkat Kota Depok (2016)
B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Tingkat Madrasah Aliyah Juara 1 pidato bahasa Arab Tingkat Jabodetabek (2011) Peringkat 1 Olimpiade Geografi Tingkat Kota Depok (2011) Juara 3 Paskibra Tingkat Kota Banten (2012) Peringkat 1 Olimpiade Matematika Tingkat Kota Depok (2012) Peringkat 2 Olimpiade Matematika Tingkat Jabodetabek (2012) Peringkat 1 Olimpiade Matematika se- Jawa (2012) Juara 2 MTQ Putra Tingkat Kota Depok (2013) Juara 1 MTQ Putri Tingkat Kota Depok (2013) Terbaik 3 Ceramah Keagamaan Tingkat Jabodetabek (2015) Terbaik 2 Tilawah Tingkat Jabodetabek (2015) Terbaik 1 Recyle Tingkat Jabodetabek (2015) Terbaik 4 Ceramah Keagamaan Tingkat Jabodetabek dan Jawa Barat (2015) Juara 3 Cerdas Tangkas Matematika Tingkat Jawa Barat (2016)
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
117
14. Mengirim santri untuk melanjutkan studi ke United State of America (USA) dalam Program Pertukaran Pelajar Antar Bangsa 15. Mengirim santri MA untuk melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir dengan bea siswa penuh dari kedutaan Mesir 16. Lulusan diterima dibeberapa Universitas/perguruan Tinggi Islam Negeri Ternama di Idonesia.
118
Lampiran 7 DATA LULUSAN SANTRI MA AL-HAMIDIYAH TAHUN PEMBELAJARAN 2015/2016 NO 1 2 3 4 5 6 7
NAMA SANTRI Fakhri Maulidi Alwin Maulana A. Rani Rufaida Ananda Rachma A. Jafar Wicaksono D. Mohammad Adam F. Moh. Jibril
Kelas XII MAK XII MAK XII IPA XII IPS XII MAK XII MAK XII MAK
PTN/PTS UIN Ambon UIN Bandung UIN Bandung UIN Jakarta UIN Jakarta UIN Jakarta UIN Jambi
8
Saiful Hidayatullah Adam Abdurrahman H. Nur Gusti Ditta Z. Yudhia Fairuz F. Anindita Putri W. Muhammad Ilyas Ahmad Quthbuddin S.M.
XII MAK
UIN Jogjakarta
JURUSAN Tafsir Hadist Hukum Keluarga Komunikasi Psikologi Hukum Keluarga Dirosah Islamiyah Ilmu Hadist Pengembangan Masyarakat
XII IPS XII IPS XII IPS XII IPS XII IPA
UNBRAW UNPAD UNPAD UNS UIN Bandung
Akutansi Jurnalistik Sastra Perancis Seni Rupa Biologi
XII MAK
UIN Jakarta
XII MAK
UIN Jakarta
XII MAK
UIN Jakarta
Ahwal Syahsiyah
17
Hanif Dzikri J. Muhammad Miftahur R. Noer Fadillah Raissoevel
Tasawuf Komunikasi Penyiaran Islam
XII MAK
UIN Jakarta
18 19
Achmad Rifa'i Mohammad Adam F.
XII IPA XII MAK
UIN Jogjakarta UIN Jakarta
20
Ahmad Musthafa
XII MAK
UIN Jakarta
XII MAK XII MAK XII IPS XII IPA
UIN Jogja UIN Jakarta PNJ Poltek AKA
9 10 11 12 13 14 15 16
21 22 23
Hengky Fernando Mohammad Iqbal R. Mohammad Ghasan S.
24
Kamelia Latifa Muhammad Andika Riedo P Muhammad Ilyas
25 26
XII IPA
UIN Bandung
Jinayah Siyasyah Ilmu Komunikasi & Dakwah Dirosah Islamiyah Ilmu Tafsir & AlQur'an Ilmu Tafsir & AlQur'an Dirosah Islamiyah Desain Grafis Analisis Kimia Hukum Keluarga Islam
XII IPA XII IPA
UIN Bandung UIN Jakarta
Teknik Informatika Pendidikan Agama
119
Islam 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Mohammad Andi A. Rendra Trinanda Putra Iqbal Zauqul Adib Yudita Yuara Ken Warsy Triastuti Said Andi Hendriyan Muhammad Fikri Hadi Ikrar Firstian Astri Ainun Annisa Jasmine Hanifa M. Nida Amalia
XII MAK XII MAK XII IPA XII IPA XII IPA XII IPS XII IPS XII IPS XII IPA XII IPA XII IPA
38
XII IPA
39 40
Achmad Sofyan Aziz Agiandika Sastramijaya Astri Ainun Annisa
41 42 43 44 45 46
Ilham Ramadhani S. Khansa Permata Ary Muhamad Facri Putra Muhammad Yusuf I. Siti Halimatusy Syarah Shopia Devi A.
XII IPA XII IPA XII IPA XII IPA XII IPA XII IPA
47 48 49
Syifa Amalia Thifal Indri Maulidina Utari Larasati
XII IPA XII IPA XII IPA
50 51
Winne Keke H. Ananda Virghi A.
XII IPA XII IPS
XII IPA XII IPA
UIN Jakarta UIN Jakarta UIN Jakarta UNILA Univ. Andalas Univ. Jambi Univ. Brawijaya Univ.Soedirman UPN Jakarta UPN Jakarta UPN Jakarta ISTN Tanah Baru ITENAS Bandung STIKES ITENAS Bandung STT Telkom BINUS STT PLN Unv. Pancasila UIKI Univ. Trilogi Univ. Trisakti Univ. Pancasila STT Tekstil Bandung UMJ
52 Anindita Putri W. XII IPS Univ. Trisakti 53 Dhiya Ulhaq Q. XII IPS Mercubuana 54 Salmadianka K. XII IPS STT Telkom 55 Syifa Putri N. XII IPS STT Telkom 56 Syifa Violita XII IPS APP 57 Faris Muhammad XII MAK YAMAN Sumber: Tata Usaha Madrasah Aliyah al-Hamidiyah
Agribisnis Managemen Dakwah Hukum Tata Negara Teknik Informatika Biologi Sistem Informasi Hukum Ekonomi Islam Hukum Ilmu Keperawatan Teknik Informatika Ilmu Gizi Teknik Elektro Teknik Informatika Imu Keperawatan Tehnik Sipil Design Interior Teknik Informatika Teknik Informatika Teknik Sipil Kedokteran Ilmu & Teknologi Pangan Arsitektur Arsitektur Desiner Akutansi Desain Komunikasi Visual Managemen Desain Interior Desain Interior Manegemen Studi Islam
120
Lampiran 8 PEDOMAN WAWANCARA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14.
Bagaimana pola kurikulum pendidikan di Pesantren al-Hamidiyah? Kurikulum keagamaan seperti apa yang direkomendasikan oleh Pesantren alHamidiyah untuk menarik minat masyarakat? Adakah kurikulum khusus yang diterapkan di Pesantren al-Hamidiyah? (kurikulum yang beda dengan pesantren lain) Apakah Pesantren al-Hamidiyah menjalin kerjasama dalam bidang kurikulum Keagamaan dengan lembaga lain? Bagaimana pola pengembangan kurikulum kegamaan Pesantren al-Hamidiyah sejak berdiri hingga sekarang? Berapa kali mengalami pengembagan kurikulum bidang keagamaan pesantren? Berdasarkan prinsip-prinsip apa saja pengembangan kurikulum keagamaan dilakukan? Apasaja yang menjadi landasan-landasan dalam merancang pengembangan kurikulum keagamaan tersebut? Seperti apa bentuk mengembangan kurikulum keagamaan yang dilakukan oleh Pesantren al-Hamidiyah yang berkaitan dengan komponen-komponen kurikulum: a. Perkembagan tujuan b. Perkembangan materi/isi bahan ajar c. Perkembangan metodologi pembelajaran d. Perkembagan evaluasi hasil belajar Model pengembangan kurikulum seperti apa yang digunakan oleh Pesantren alHamidiyah? Bagaimana bentuk struktur organisasi kelembagaan Pesantren al-Hamidiyah? Bagaimana sistem rekrutment tenaga pendidikan keagamaan? Apasaja kegiatan-kegiatan edukatif tambahan sebagai penunjang kurikulum utama Pesantren al-Hamidiyah (khususnya dalam bidang keagamaan)? Bagaimana kualitas output yang dihasilkan berdasarkan pengembangan kurikulum keagamaan yang dilakukan?
121
Lampiran 9
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
PEDOMAN OBSERVASI Mengamati kondisi fisik atau sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembelajaran keagamaan Mengamati proses pembelajaran secara umum, baik yang berlangsung di dalam ruangan maupun di luar ruangan Mengamati aktifitas guru dan kelengkapan dokumen pendukung pembelajaran Mengamati metode dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Mengamati tata waktu dan tempat dalam proses pembelajaran Mengamati kondisi santri saat proses pembelajaran Mengamati situasi dan kondisi lingkungan pesantren
122
Lampiran 10 DOKUMENTASI KEGIATAN SANTRI PESANTREN AL-HAMIDIYAH
123
124
BIODATA PENULIS
Nama Alamat
: Lia Suraedah : Pesantren al-Qosimiyyah Kp. Tajur RT 001/04 Ds. Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat : Jakarta, 16 Januari 1983
Tempat Tanggal Lahir Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. SD Negeri Pedurenan 1 Bekasi (1989-1995) b. MTs NU Putri Buntet Pesantren Cirebon (1995-1998) c. MA HM Tribakti Kediri (1998-2001) d. S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001-2005) e. S2 FITK Megister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014-2017) 2. Pengalaman Organisasi a. Kepala Sekolah SMP Islam Terpadu al-Qosimiyyah (2011-2012) b. Kepala Sekolah SD Islam Terpadu al-Qosimiyyah (2013-2014) c. Bendahara Yayasan Sunan Drajat Sejahtera (2010-Sekarang)