PENGEMBANGAN HPT (I): IBADAH-IBADAH DI BULAN RAMADAN
Oleh Tim Penulis Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
1
DAFTAR ISI
1. EKSISTENSI SALAT IFTITAH DALAM PELAKSANAAN SALAT TARAWIH …………………………………………………………………………………..3 2. TASYAHUD AWAL DALAM SALAT TARAWIH EMPAT RAKAAT ………30 3. TUNTUNAN I’TIKAF DI BULAN RAMADAN………...……..……………..72 4. TUNTUNAN TADARUS DI BULAN RAMADAN ……………..…………….82
2
EKSISTENSI SALAT IFTITAH DALAM PELAKSANAAN SALAT TARAWIH MUKADDIMAH Sekalipun salat iftitah telah menjadi keputusan Muktamar Nasional (Munas) Tarjih dan telah dihimpun dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah,1 namun eksistensi salat iftitah dalam kaitannya dengan pelaksanaan salat tarawih masih dipertanyakan dan diperdebatkan di kalangan umat Islam pada umumnya dan di lingkungan tokoh dan warga Muhammadiyah pada khususnya. Terlebih lagi dengan kemunculan buku “Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah dan Fikih” yang disusun oleh Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA semakin menghangatkan perdebatan di lingkungan sebagian warga Muhammadiyah. Karena eksistensi salat iftitah dalam pelaksanaan salat tarawih merupakan keputusan yang telah ditetapkan berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karya semacam ini tentu patut diapresiasi sebagai sebuah karya yang dapat mencerdaskan kita dalam beragama berdasarkan dalil yang sarih dan shahih serta pemahaman yang lebih kuat. Hal ini merupakan spirit yang diajarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah agar warga Muhammadiyah tidak hanya menjadi muqallid yang beramal tanpa berdasarkan ilmu dan dalil.2 Terkait dengan salat iftitah, pertanyaan-pertanyaan yang umum dikemukakan oleh masyarakat dan warga Muhammadiyah umumnya berkisar pada lima hal, yaitu: (1) Dalil disyariatkan salat iftitah, (2) Apakah salat tarawih itu sama dengan qiyamul lail maupun salat tahajjud ?, (3) Apakah salat iftitah itu masyruk dalam mengawali salat tarawih ?, (4) Apakah salat iftitah dilaksanakan secara berjama’ah ataukah munfarid (sendirian) ?, dan (5) bagaimanakah cara pelaksanaan salat iftitah ? Dari lima pokok persoalan di atas, penulis hanya fokus pada tiga persoalan awal. Dalam makalah ini penulis berusaha mencari dan menemukan jawaban serta argumentasi terhadap eksistensi (kemasyrukan) salat iftitah dalam pelaksanaan salat tarawih. Atas dasar itulah maka pokok-pokok yang dibahas dalam makalah ini meliputi; (1) dalil disyariatkan 1 2
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, cetakan ketiga, tt, halaman. 341-342 Dalam penerangan tentang tarjih yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur Moehammadijah (PP Muhammadiyah) tahun 1935 dinyatakan: …kami berseru juga kepada sekalian ulama’ supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan Majelis Tarjih itu dimana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan.” (lihat kata pengantar, halaman. Viii dan HPT, hlm. 371-372) 3
salat iftitah, (2) apakah salat tarawih memiliki kesamaan dengan salat lail di luar ramadan (tahajjud) dan (3) apakah salat iftitah itu masyruk dalam mengawali salat tarawih. Dari diskusi ini diharapkan dapat ditemukan jawaban yang kuat dari ketiga persoalan tersebut, melalui dialog dan diskusi yang argumentatif, sehingga dapat menghasilkan konsep naskah yang layak untuk dibawa dan diputuskan pada MUNAS Tarjih yang akan datang. MASALAH PERTAMA: Dalil Disyari’atkan Salat Iftitah Tidak diragukan lagi bahwa hadis-hadis yang berbicara tentang dalil disyari’atkannya salat ifititah cukup banyak sehingga dapat dipertangggungjawabkan otentitas dan validitas kehujjahannya. Jika ditelusuri dari sumber-sumber kitab hadis mu’tabar, maka dapat ditemukan beberapa hadis-hadis Nabi yang berbicara tentang eksistensi salat iftitah sebagai pembuka salat lail, antara lain:
ﷲ ﺑْنَ َﻗﯾْسِ ْﺑ ِن ِ ﷲ ْﺑ ِن أَﺑِﻲ َﺑﻛْرٍ ﻋَنْ أَﺑِﯾ ِﮫ أَنﱠ َﻋ ْﺑ َد ﱠ ِ ( ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ ﻗُ َﺗ ْﯾ َﺑ ُﺔ ﺑْنُ َﺳﻌِﯾ ٍد ﻋَنْ ﻣَﺎﻟِكِ ْﺑ ِن أَﻧَسٍ ﻋَنْ َﻋ ْﺑ ِد ﱠ١ ﺳﻠﱠ َم اﻟﻠﱠ ْﯾﻠَ َﺔ َ ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ ﷲ ِ ﺻ َﻼ َة رَ ﺳُولِ ﱠ َ ﻣَﺧْ رَ َﻣ َﺔ أَﺧْ ﺑَرَ هُ ﻋَنْ زَ ْﯾ ِد ْﺑ ِن ﺧَ ﺎﻟِ ٍد ا ْﻟ ُﺟ َﮭﻧِﻲﱢ أَ ﱠﻧ ُﮫ ﻗَﺎ َل َﻷَرْ ُﻣﻘَنﱠ َﺻﻠﱠﻰ رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن َو ُھﻣَﺎ دُون َ ﺻﻠﱠﻰ رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن طَوِ ﯾﻠَ َﺗ ْﯾ ِن طَوِﯾﻠَ َﺗ ْﯾ ِن طَوِ ﯾﻠَ َﺗ ْﯾ ِن ُﺛ ﱠم َ ﺻﻠﱠﻰ رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ﺧَ ﻔِﯾ َﻔ َﺗ ْﯾ ِن ُﺛ ﱠم َ َﻓ ﺻﻠﱠﻰ رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن َو ُھﻣَﺎ دُونَ اﻟﻠﱠ َﺗ ْﯾ ِن َﻗ ْﺑﻠَ ُﮭﻣَﺎ ُﺛ ﱠم َ ﺻﻠﱠﻰ رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن َو ُھﻣَﺎ دُونَ اﻟﻠﱠ َﺗ ْﯾ ِن َﻗ ْﺑﻠَ ُﮭﻣَﺎ ُﺛ ﱠم َ اﻟﻠﱠ َﺗ ْﯾ ِن َﻗ ْﺑﻠَ ُﮭﻣَﺎ ُﺛ ﱠم (ك ﺛ ََﻼثَ َﻋﺷْرَ َة رَ ْﻛ َﻌ ًﺔ )رواه ﻣﺳﻠم َ ِﺻﻠﱠﻰ رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن َو ُھﻣَﺎ دُونَ اﻟﻠﱠ َﺗ ْﯾ ِن َﻗ ْﺑﻠَ ُﮭﻣَﺎ ُﺛ ﱠم أ َْوﺗَرَ َﻓ َذﻟ َ “.....Dari Zaid bin Khalid Al Juhani bahwa ia berkata; Saya benar-benar akan memperhatikan salat
Rasulullah saw pada malam ini. (Maka saya melihat) beliau salat dua raka'at ringan. Kemudian beliau salat dua raka'at yang sangat panjang. Kemudian beliau salat dua raka'at lagi selain dua raka'at sebelumnya. Kemudian beliau salat dua raka'at lagi selain dua raka'at sebelumnya. Kemudian beliau salat lagi selain dua raka'at sebelumnya. Kemudian beliau salat dua raka'at lagi selain dua raka'at sebelumnya. Dan sesudah itu beliau salat witir, hingga bilangan semua raka'atnya adalah tiga belas raka'at. (HR Muslim) Hadis ini terdapat dalam kitab shahih Muslim bab al-Du'a fi shalat al-lail wa qiyaamih, hadis nomor 1284. Hadis ini termasuk hadis shahih yang diriwayatkan dari para rawi yang kredibel dengan sanad yang bersambung (muttashil). Selain imam Muslim, matan hadis ini juga diriwayatkan Abu Dawud bab fi shalah al-lail nomor 1159, Ibnu Majah bab Ma ja’a fi kam yushalli bi al-lail nomor 1352, imam Ahmad bab Hadits Zaid bin Khalid a-Juhni radiyallahu a’anhu nomor 20691, dan imam Malik dalam bab Shalah al-Nabi shallahu ‘alaihi wasallam fi al-Witri nomor 246.
4
( ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ ﯾَﺣْ ﯾَﻰ ﺑْنُ ﯾَﺣْ ﯾَﻰ َوأَﺑُو َﺑﻛْرِ ﺑْنُ أَﺑِﻲ َﺷ ْﯾ َﺑ َﺔ ﺟَ ﻣِﯾﻌًﺎ ﻋَنْ ُھ َﺷ ْﯾ ٍم ﻗَﺎ َل أَﺑُو َﺑﻛْرٍ ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ ُھ َﺷ ْﯾ ٌم أَﺧْ ﺑَرَ ﻧَﺎ أَﺑُو٢ ْﺳﻠﱠ َم إِذَا ﻗَﺎ َم ﻣِن َ ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ ﷲ ِ ﺣُرﱠ َة ﻋَنْ اﻟْﺣَ َﺳ ِن ﻋَنْ ﺳَﻌْ ِد ْﺑ ِن ِھﺷَﺎ ٍم ﻋَنْ ﻋَﺎ ِﺋ َﺷ َﺔ ﻗَﺎﻟَتْ ﻛَﺎنَ رَ ﺳُول ُ ﱠ ٣ (اﻟدﻋﺎء ﻓﻰ ﺻﻼة اﻟﻠﯾل وﻗﯾﺎﻣﮫ:اﻟﻠﱠﯾْلِ ﻟِﯾُﺻَ ﻠﱢﻲَ ا ْﻓ َﺗ َﺗ َﺢ ﺻ ََﻼ َﺗ ُﮫ ﺑِرَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ﺧَ ﻔِﯾ َﻔ َﺗ ْﯾ ِن )رواه ﻣﺳﻠم "... Dari Aisyah, ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila bangun untuk melaksanakan salat malam, beliau memulai (membuka) salatnya dengan (salat) dua rakaat yang ringan-ringan." (HR Muslim, bab ad-Du'a fi shalat al-lail wa qiyamih, hadis nomor 1286)
ﺻﻠﱠﻰ َ ( ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ أَﺑُو َﺑﻛْرِ ﺑْنُ أَﺑِﻲ َﺷ ْﯾ َﺑ َﺔ ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ أَﺑُو أُﺳَﺎ َﻣ َﺔ ﻋَنْ ِھﺷَﺎ ٍم ﻋَنْ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ٍد ﻋَنْ أَﺑِﻲ ھُرَ ﯾْرَ َة ﻋَنْ اﻟ ﱠﻧﺑِﻲﱢ٣ اﻟدﻋﺎء ﻓﻰ:ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم ﻗَﺎ َل إِذَا ﻗَﺎ َم أَﺣَ ُد ُﻛ ْم ﻣِنْ اﻟﻠﱠﯾْلِ َﻓ ْﻠ َﯾ ْﻔ َﺗﺗِﺢْ ﺻ ََﻼ َﺗ ُﮫ ﺑِرَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ﺧَ ﻔِﯾ َﻔ َﺗ ْﯾ ِن )رواه ﻣﺳﻠم ﱠ (ﺻﻼة اﻟﻠﯾل وﻗﯾﺎﻣﮫ "... Dari Abu hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda:Apabila salah seorang dari kamu akan melakukan salat lail, hendaklah memulai salatnya dengan dua rakaat yang ringan-ringan." (HR Muslim, bab ad-Du'a fi shalat al-lail wa qiyaamih, hadis nomor 1287)
ُ ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ َﻋ ْﺑ ُد اﻟﺳ َﱠﻼمِ ﺑْن-٤ رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ﺧَ ﻔِﯾ َﻔ َﺗ ْﯾ ِن ُﺛ ﱠم رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن طَوِ ﯾﻠَ َﺗ ْﯾ ِن طَوِ ﯾﻠَ َﺗ ْﯾ ِن طَوِ ﯾﻠَ َﺗ ْﯾ ِن ُﺛ ﱠم ك ﺛ ََﻼثَ َﻋﺷْرَ َة رَ ْﻛ َﻌ ًﺔ َ َو ُھﻣَﺎ دُونَ اﻟﻠﱠ َﺗ ْﯾ ِن َﻗ ْﺑﻠَ ُﮭﻣَﺎ ُﺛ ﱠم رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن َو ُھﻣَﺎ دُونَ اﻟﻠﱠ َﺗ ْﯾ ِن َﻗ ْﺑﻠَ ُﮭﻣَﺎ ُﺛ ﱠم رَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ُﺛ ﱠم أ َْو َﺗرَ َﻓ ِﺗ ْﻠ (ﻣﺎﺟﺎء ﻓﻰ ﻛم ﯾﺻﻠﻰ ﺑﺎﻟﻠﯾل:)اﺑن ﻣﺎﺟﮫ "..... Dari Zaed bin Khalid al-Juhani ia berkata, sungguh saya mencermati salat Rasulullah saw. pada suatu malam, beliau salat dua rakaat yang ringan-ringan, kemuian salat dua rakaat yang panjang (lama), lalu salat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu salat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu salat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu salat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, berjumlah tigabelas rakaat." (HR. Ibnu Majah, bab Maa Ja’a fi kam yushalli bi al-lail, nomor. 1352) 4
Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam Ahmad, Ibn Abi Syaibah, Ishaq bin Rahawaih, al-Thahawi, Abu Awanah dan imam al-Baihaqi 4 Matan hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunannya, bab. Fi Shalah al-Lail, nomor. 1159, Imam Ahmad bin hanbal dalam Musnadnya bab. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani radiyallahu ‘anhu, 3
nomor. 20691, dan Imam malik dalam kitab Muwattha’nya, bab Shalah al-Nabi fi al witri, nomor 246. 5
ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ ﷲ ِ ( ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ُد ﺑْنُ َﺳﻠَ َﻣ َﺔ ﻋَنْ ِھﺷَﺎ ٍم ﻋَنْ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ٍد ﻋَنْ أَﺑِﻲ ھُرَ ﯾْرَ َة ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل رَ ﺳُو ُل ﱠ٥ (ﺻﻠﱢﻲ ﺑِﺎﻟﻠﱠﯾْلِ َﻓ ْﻠ َﯾ ْﺑ َد ْأ ﺑِرَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ﺧَ ﻔِﯾ َﻔ َﺗ ْﯾ ِن )رواه أﺣﻣد َ إِذَا ﻗَﺎ َم أَﺣَ ُد ُﻛ ْم ُﯾ “.... Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian
melakukan salat malam maka hendaklah ia memulainya dengan dua raka'at yang ringan-ringan." (HR. Ahmad, bab. Musnad Abi Hurairah, nomor. 6879)
ُﷲ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ ﷲ ِ ( ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ َﻋ ْﺑ ُد اﻟرﱠ زﱠ اقِ أَﺧْ ﺑَرَ ﻧَﺎ ِھﺷَﺎ ٌم ﻋَنْ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ٍد ﻗَﺎ َل َﺳﻣِﻌْ تُ أَﺑَﺎ ھُرَ ﯾْرَ َة َﯾﻘُو ُل ﻗَﺎ َل رَ ﺳُو ُل ﱠ٦ (َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم إِذَا ﻗَﺎ َم أَﺣَ ُد ُﻛ ْم ﻣِنْ اﻟﻠﱠﯾْلِ َﻓ ْﻠﯾَﺳْ َﺗ ْﻔﺗِﺢْ ﺻ ََﻼ َﺗ ُﮫ ﺑِرَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ﺧَ ﻔِﯾ َﻔ َﺗ ْﯾ ِن )رواه أﺣﻣد “.... Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah saw bersabda: "Jika salah seorang dari kalian bangun untuk salat malam, hendaklah ia membukanya dengan dua rakaat yang ringan-ringan.”
(HR. Ahmad, bab. Musnad Abi Hurairah, nomor. 7421)
ُﷲ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ ( ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ ُﻣﻌَﺎوِ َﯾ ُﺔ ﻗَﺎ َل ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ زَ ا ِﺋ َدةُ ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ ِھﺷَﺎ ُم ﺑْنُ ﺣَ ﺳﱠﺎنَ ﻋَنْ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ٍد ﻋَنْ أَﺑِﻲ ھُرَ ﯾْرَ َة ﻋَنْ اﻟ ﱠﻧﺑِﻲﱢ٧ (َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم ﻗَﺎ َل إِذَا ﻗَﺎ َم أَﺣَ ُد ُﻛ ْم ﻣِنْ اﻟﻠﱠﯾْلِ َﻓ ْﻠ َﯾ ْﻔ َﺗﺗِﺢْ ﺻ ََﻼ َﺗ ُﮫ ﺑِرَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ﺧَ ﻔِﯾ َﻔ َﺗ ْﯾ ِن )رواه أﺣﻣد “.... Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: "Jika salah seorang dari kalian salat malam hendaklah membukanya dengan dua rakaat yang ringan-ringan.” (HR. Ahmad, Musnad Abu
Hurairah, nomor. 8816)
ُﷲ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ ﷲ ِ ( ﺣَ ﱠد َﺛﻧَﺎ ُھ َﺷ ْﯾ ٌم ﻋَنْ أَﺑِﻲ ﺣُرﱠ َة َﻋ ِن اﻟْﺣَ َﺳ ِن ﻋَنْ ﺳَﻌْ ِد ْﺑ ِن ِھﺷَﺎ ٍم ﻋَنْ ﻋَﺎ ِﺋ َﺷ َﺔ ﻗَﺎﻟَتْ ﻛَﺎنَ رَ ﺳُو ُل ﱠ٨ (ﺻﻠﱢﻲ ا ْﻓ َﺗ َﺗ َﺢ ﺻ ََﻼ َﺗ ُﮫ ﺑِرَ ْﻛ َﻌ َﺗ ْﯾ ِن ﺧَ ﻔِﯾ َﻔ َﺗ ْﯾ ِن )روا أﺣﻣد َ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم إِذَا ﻗَﺎ َم ﻣِنْ اﻟﻠﱠﯾْلِ ُﯾ “.....Dari Abu Hurrah dari Al Hasan dari Sa'ad bin Hisyam dari 'A`isyah berkata: Bila Rasulullah
saw salat malam, beliau membuka (memulai) salat dengan dua rakaat yang ringan-ringan. (HR. Ahmad, bab. Musnad Abu Hurairah, nomor. 22890)
Jika dilihat dari aspek kuantitas maupun kualitasnya, hadis-hadis yang berbicara tentang kemasyrukan salat iftitah pada prinsipnya telah memenuhi kreteria hadis maqbul, bahkan beberapa diantaranya termasuk hadis shahih. Sementara jika dilihat dari aspek redaksi matannya, beberapa 6
matan hadis tentang syariat salat iftitah tersebut ada yang menggunakan bentuk informasi (khabariyah) dan ada pula yang menggunakan redaksi perintah. Sekalipun beberapa diantaranya menggunakan redaksi perintah (fi’il amr), namun berdasarkan qarinah (indikator-indikator) yang ada semua ulama sepakat bahwa hukum salat iftitah adalah sunnah sebagaimana salat lail dan bukan sesuatu yang wajib. Kemudian jika dicermati seluruh redaksi (matan) hadis yang berbicara tentang salat iftitah, tidak ditemukan satupun hadis yang secara spesifik berbicara tentang salat iftitah dalam kaitannya dengan pembuka salat tarawih atau qiyamur ramadhan. Begitu pula halnya, tidak ada satupun dari hadis-hadis tersebut secara spesifik menggunakan salah satu dari beberapa nama jenis salat malam seperti witir atau tahajjud. Semua dalil yang mensyari’atkan salat iftitah dikaitkan dengan salat malam secara umum baik di bulan ramadhan maupun di luar bulan ramadhan. Sekalipun harus diakui bahwa umumnya salat lail Nabi saw dilaksanakan di malam hari setelah bangun tidur yang selanjutnya dikenal dengan salat tahajjud. Persoalan inilah kemudian membuka kran diskusi bahkan perdebatan tentang keabsahan salat iftitah sebagai pembuka salat tarawih, apakah khusus di luar ramadhan atau salat lail yang pelaksanaannya setelah bangun tidur baik di bulan ramadhan maupun di luar bulan ramadhan. Terlebih lagi di lingkungan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang berusaha konsisten dengan semangat purifikasinya untuk menjernihkan akidah dan ibadah mahdah dari berbagai modifikasi, penambahan ataupun pengurangan terhadap sesuatu yang menjadi hak prerogatif syari’. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi; ٥
.اﻷﺻل ﻓﻰ اﻟﻌﺑﺎدة اﻟﺑطﻼن ﺣﺗﻰ ﯾﻘوم دﻟﯾل ﻋﻠﻰ اﻷﻣر
“Pada dasarnya ibadah adalah batal, kecuali ada dalil yang memerintahkannya.”
٦
اﻷﺻل ﻓﻰ اﻟﻌﺑﺎدات اﻟﺗوﻗﯾف واﻹﺗﺑﺎع
.
“Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang ditetapkan.”
MASALAH KEDUA DAN KETIGA: Apakah sama antara salat tarawih dan salat lail (qiyamul lail/salat tahajjud) dan Apakah Salat Iftitah itu Masyruk dalam pelaksanaan salat Tarawih ? Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha’ir, Syirkah Nur Asia, tt. Hal.44. Lihat pula Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istimbath Hukum Islam , Jakarta. PT.Rajagrafindo Persada, Cetakan keempat, Mei 2002. Hal. 120 6 Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Jakarta. Sa’adiyah Putra, 1983. Hal. 188 5
7
Sebelum membahas persoalan ini, di sini perlu dikemukakan pengertian salat tarawih baik secara bahasa maupun istilah. Dari definisi-definisi yang ada diharapkan dapat menjadi salah satu aspek untuk menemukan kejelasan posisi salat tarawih dalam kaitannya dengan salat lail yang dilakukan oleh Rasulullah saw di luar bulan ramadhan. Tarawih menurut bahasa merupakan bentuk jama’ dari ” ٌ ” ﺗَﺮْ ِو ْﯾ َﺤﺔyang berarti "waktu sesaat untuk istirahat". Ada juga yang menyatakan bahwa tarawih berasal dari kata “ ”راحdan “ ﯾﺘﺮوح- ”ﺗﺮوح yang berarti istirahat, berkipas-kipas atau bersantai-santai, karena salat tarawih dilakukan secara santai. Sedangkan secara istilah, salat tarawih dapat dimaknai sebagai salat sunnah yang dilaksanakan secara berjama’ah selepas melaksanakan salat isya’ yang pelaksanaannya khusus di bulan ramadhan.7 Secara lebih rinci Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA menjelaskan tentang historisitas kemunculan istilah salat tarawih dan pengertiannya. Menurut beliau; bahwa frasa “salat tarawih” belum dikenal pada masa Rasulullah saw. Sehingga tidak dijumpai satu hadispun yang menggunakan istilah “tarawih” Istilah “tarawih” baru ditemukan dalam karya abad ke 4-5 hijriyah, yang merupakan bentuk jamak dari kata “tarwihah” yang berarti jeda istirahat pada setiap selesai mengerjakan empat rakaat salat sunat malam ramadhan, yang kemudian dalam perkembangannya, istilah “tarawih” digunakan untuk menyebut rangkaian empat rakaat yang diikuti dengan istirahat. Lalu digunakan pula untuk menyebut seluruh rangkaian salat sunat ramadhan termasuk dengan witirnya.8 Dalam ungkapan yang lebih sederhana salat tarawih adalah salat sunat (tatawuk) yang dikerjakan di dalam bulan ramadhan sesudah salat isya’.9 Pengertian tersebut di atas selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Nashshayyan dalam kitabnya “Shallu kama ra’aitumuni ushalli, ‘ammah masa’il al Thaharah wa al-Shalah Maqrunah bi al-Dalil min al-Kitab wa al-Sunnah Ma’a Bayan al-Rajih Fiha wa Dzikru Ikhtiyarrat al-A’immah Laha”, menyatakan:
:ﺻﻼة اﻟﱰاوﻳﺢ ﻫﻲ ﻛﻴﻒ:ﺑﲔ ﻛﻞ ﺗﺴﻠﻴﻤﺘﲔ ﻛﻤﺎ ﺟﺎء ﰱ ﺣﺪﻳﺚ اﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ أﻧﻪ ﺳﺄل ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻣﺎ ﻛﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ:ﻛﺎﻧﺖ ﺻﻼة رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻌﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﰱ رﻣﻀﺎن ؟ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺼﻠﻰ أرﺑﻌﺎ ﻓﻼ ﺗﺴﻞ ﻋﻦ ﺣﺴﻨﻬﻦ وﻃﻮﳍﻦ ﰒ،وﺳﻠﻢ ﻳﺰﻳﺪ ﰱ رﻣﻀﺎن وﻻ ﰱ ﻏﲑﻩ ﻋﻠﻰ إﺣﺪى ﻋﺸﺮة رﻛﻌﺔ
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tuntunan Ibadah Pada Bulan Ramadhan, cetakan ke.3 Juni 2013, hlm. 31 8 Syamsul Anwar, Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah dan Fikih , Suara Muhammadiyah, cetakan pertama, Juli 2013, hlm. 81 9 Ibid. hal. 75 7
8
ﰒ ﻳﺼﻠﻰ... ﻓﺪل "ﻳﺼﻠﻰ أرﺑﻌﺎ.()ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ.ﻳﺼﻠﻰ أرﺑﻌﺎ ﻓﻼ ﺗﺴﻞ ﻋﻦ ﺣﺴﻨﻬﻦ وﻃﻮﳍﻦ ﰒ ﻳﺼﻠﻰ ﺛﻼﺛﺎ ١٠ .أرﺑﻌﺎ" ﻋﻠﻰ أن ﻫﻨﺎك ﻓﺎﺻﻼ ﺑﲔ اﻷرﺑﻊ اﻷوﱃ واﻷرﺑﻊ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ “Salat tarawih adalah; qiyamur ramadhan (salat di bulan ramadhan) yang dilaksanakan dari awal
malam, dan dikatakan (dinamakan) tarawih di bulan ramadhan dikarenakan mereka beristirahat antara setiap dua salam sebagaimana terdapat dalam hadis Abi Salamah bin Abdirrahman, bahwasanya ia bertanya kepada ‘Aisyah ra.; bagaimana salat Rasulullah saw di bulan ramadhan ? lalu ia menjawab: Tidaklah Rasulullah saw melaksanakan salat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at, Beliau salat empat raka'at, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau salat empat raka'at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau shalat tiga raka'at". Maka kalimat: beliau salat empat rakaat...kemudian empat rakaat” menunjukkan bahwa disana terdapat pemisah/jarak antara empat rakaat pertama dengan empat rakaat yang kedua".
Lebih lanjut beliau mengatakan; waktu salat tarawih disyariatkan setelah salat isya’ dengan salat sunnah rawatib ba’diahnya. Ibnu Qayyim mengutif pernyataan Abu Hafsh; sesungguhnya salat witir (salat Malam) lebih afdhal dikerjakan di akhir malam selain bulan ramadhan, sedangkan di bulan ramadhan lebih utama dilaksanakan di awal malam (ba’da isya) bersama imam berdasarkan sabda Rasulullah saw; barangsiapa yang salat bersama imam hingga selesai, (maka) dicatat baginya pahala seperti salat semalam penuh.11 Hal senada juga dikemukakan oleh al-Shan’ani dalam kitab ”Subulussalam”; adapun penamaan salat malam di bulan ramadhan dengan nama “Tarawih” karena Rasulullah melaksanakannya dengan empat rakaat lalu beliau istirahat.12 Sedangkan Utsaimin menyatakan; ١٣
. ُﺳ ﱢﻣﯾَتْ ﺗراوﯾ َﺢ ﻷن اﻟﻧﺎس ﻛﺎﻧوا ﯾطﯾﻠوﻧﮭﺎ ﺟدا ﻓﻛﻠﻣﺎ ﺻﻠوا أرﺑﻊ رﻛﻌﺎت اﺳﺗراﺣوا ﻗﻠﯾﻼ.... "
“Dinamakan tarawih dikarenakan orang-orang memanjangkan salatnya, lalu setiap kali mereka salat empat rakaat, mereka istirahat sebentar.”
Sulaiman bin Muhammad al-Nashshayyan, Shallu kama ra’aitumuni ushalli, ‘ammah masa’il al Thaharah wa al-Shalah Maqrunah bi al-Dalil min al-Kitab wa al-Sunnah Ma’a Bayan al-Rajih Fiha wa Dzikru Ikhtiyarrat al-A’immah Laha, Juz.1, Dar al-Tadmiiyah-Saudi Arabiya,hal.481 11 Ibid. hal. 484 12 Muhammad bin Ismail al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, Subulussalam, tahqiq Abdul Qadir Atha’, juz.2, cetakan pertama, Daar all-Fikr, hal. 22 13 Syekh Muhammad Shalih bin Utsaimin, Majalis Syahr Ramadhan, al-Majlis al-Rabi’ fi Hukmi Qiyam alRamadhan, edisi al-Maktabah al-Syamilah, edisi kedua 10
9
Dari beberapa penjelasan tentang definisi salat tarawih yang ada, terdapat benang merah yang mempertemukan berbagai pendapat yang ada, yaitu qiyamu al ramadhan yang kemudian populer dengan sebutan salat tarawih merupakan salah satu bentuk salat malam yang pelaksanaannya setelah salat isya’ hingga menjelang terbit fajar.14 Hal ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama’ ahli fikih (fukaha’). 15 Jadi, salat tarawih adalah nama untuk salat sunat malam yang khusus dilaksanakan pada bulan ramadhan setelah melaksanakan salat isya’ hingga sebelum fajar yang umumnya dilaksanakan secara berjama’ah. Dari uraian di atas dapat pula disimpulkan bahwa salat tarawih dimungkinkan (dapat) dilaksanakan baik langsung setelah salat isya dan sebelum tidur maupun pada tengah (separuh) malam setelah bangun tidur. Namun demikian, adanya benang merah tersebut tidak serta merta dapat menutup curamnya perbedaan pendapat tentang persamaan antara salat tarawih dengan salat lail di luar bulan ramadhan. Dikalangan para ulama terjadi perberbedaan pandangan tentang apakah salat tarawih termasuk salat lail atau tahajjud sebagaimana yang dilaksanakan di luar ramadhan, sehingga hal itu berdampak pada kesimpulan ada atau tidaknya salat iftitah sebelum pelaksanaan salat tarawih. Dalam istilah yang lebih tegas lagi, apakah salat iftitah sebagai pembuka salat tarawih itu masyru’ (disyariatkan) ataukah persoalan yang diada-adakan (bid’ah). Terkait dengan persoalan ini, menurut hemat penulis (penulis makalah ini), persoalan salat iftitah dalam konteks pelaksanaan salat tarawih tidak terkait dengan bid’ah atau tidak, namun terkait dengan perbedaan pemahaman para ulama’ yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan mereka dalam memahami dalil-dalil yang ada. Terkait dengan pendapat para ulama tentang persoalan apakah salat tarawih termasuk salat lail atau tahajjud sebagaimana yang dilaksanakan di luar ramadhan, dapat dipetakan menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Pendapat yang menyatakan bahwa salat tarawih termasuk (nama lain) dari salat lail atau tahajjud. Kelompok yang berpendapat seperti ini antara lain; a. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dalam putusan Muktamar Tarjih disebutkan bahwa; salat lail adalah salat sunnah yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah salat lail disebut juga salat tahajjud, salat witir, qiyamu al-lail dan qiyamu al-ramadhan. Atas dasar itulah,
Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA., mengemukakan; salat tarawih merupakan salah satu bentuk salat malam yang pelaksanaanya dilakukan setelah salat isya hingga sebelum fajar.... Berdasarkan hadis yang ada, para fukaha menyepakati bahwa waktunya adalah seetelah salat isya dan salat sunnatnya hingga sampai terbit fajar. Lihat: buku Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah dan Fikih halaman. 114-115, 15 Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, juz. 27, Dar al-Shafwah li al14
Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’-Kuwait, cetakan pertama, 1992, halaman. 145 10
maka dalam HPT ditegaskan bahwa salat iftitah disunnahkan (masyru’) dalam pelaksanaan salat tarawih. Dalam teks aslinya disebutkan sebagai berikut:
،اﻛﺛر ﻣن ﺻﻼة اﻟﻠﯾل ﺑﻌد أن ﺗﺻﻠﻲ اﻟﻌﺷﺎء إﻟﻰ طﻠوع اﻟﻔﺟر ﻓﻰ رﻣﺿﺎن وﻓﻰ ﻏﯾر رﻣﺿﺎن ﺗﻘرأ ﻓﻰ ﻛل رﻛﻌﺔ ﻣﻧﮭﺎ اﻟﻔﺎﺗﺣﺔ.ﺗﺻﻠﯾﮭﺎ اﺣدى ﻋﺷرة رﻛﻌﺔ رﻛﻌﺗﯾن رﻛﻌﺗﯾن أو أرﺑﻌﺎ أرﺑﻌﺎ ﺗﻘرأ ﻓﻰ أوﻟﮭﻣﺎ ﺑﻌد ﺗﻛﺑﯾرة، وﺻل ﻗﺑﻠﮭﺎ رﻛﻌﺗﯾن ﺧﻔﯾﻔﺗﯾن... .وﺳورة ﻣن اﻟﻘرآن ﺛم ﺗوﺗر ﺑﺛﻼث ... ﺳﺑﺣﺎن ذى اﻟﻣﻠك واﻟﻣﻠﻛوت واﻟﻌزة واﻟﺟﺑروت واﻟﻛﺑرﯾﺎء واﻟﻌظﻣﺔ:اﻹﺣرام “Hendaklah engkau membiasakan salat malam sesudah salat isya’ hingga menjelang terbit
fajar, baik di dalam maupun di luar bulan ramadhan. Engkau kerjakan sebelas rakaat, dua rakaat-dua rakaat, atau empat rakaat-empat rakaat, dengan membaca al-fatihah dan suart dari al-Qur’an pada tiap-tiap rakaat. Kemudian engkau akhiri (salat witir) tiga rakaat, ....... dan kerjakanlah sebelum itu dua rakaat singkat-singkat. Pada rakaat pertama setelah takbiratul ihram, engkau membaca; Subhana dzil Mulki wal Malakut wal ‘Izzati wal Jabarut wal Kibriya’i wal ‘Azhamah.”16 Keputusan Munas Tarjih ini kemudian dikuatkan atau setidaknya sering dikutif dalam beberapa fatwa Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menganggap sama antara salat tarawih dengan salat lail, qiyamu al-lail, salat tahajjud maupun salat witir, sebagaimana dimuat dalam buku tanya Jawab Agama yang diterbitkannya.17 Secara lengkap, dalam Tanya Jawab Agama 5, cetakan kelima, Juni 2011, halaman. 63 disebutkan:
Salat lail sering juga disebut dengan salat tahajjud, atau kalau dilakukan pada bulan ramadhan disebut dengan istilah salat tarawih atau qiyamur ramadhan. Karena cara pelaksanaannya sama, yakni salat sunat diwaktu malam, dikerjakan sesudah salat isya’. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ketika ‘Aisyah ditanya tentang salat malam Rasulullah, ia menjawab bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan salat malam di bulan ramadhan maupun bulan lainnya melebihi 11 rakaat. Melihat sifat dan cara pelaksanaannya yang sama dengan salat lail yang berarti tahajjud jika dilakukan pada hari-hari biasa selain ramadan atau qiyamur ramadhan (salat Tarawih) jika
16 17
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah...., halaman 341-342 Lihat: Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab Agama 3, cetakan ketiga, maret 2004, halaman. 115-124, Tanya Jawab Agama, jilid 4, cetakan keenam, september 2011, hal. 156-159, dan Tanya Jawab Agama 5, cetakan kelima, Juni 2011, halaman. 63. 11
dilakukan pada bulan ramadhan, maka salat iftitah yang dilakukan sebelum salat lail bisa dikerjakan pada sebelum salat tarawih.18 b. Syekh Nashiruddin al-Bani Nashiruddin al-Bani memasukkan salat tarawih kedalam kategori salat malam atau salat lail (tahajjud) sehingga tata cara pelaksanaan (kaifiat) salat tarawih sama dengan kaifiat salat malam.19 Lebih lanjut beliau mengatakan kebolehan mengakhirkan salat tarawih hinggga sebelum terbit fajar karena memiliki keutamaan sendiri, namun salat tarawih secara jama’ah lebih afdhal sebagaimana yang dilakukan oleh nabi bersama sahabat, berdasarkan hadis dari ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, Muslim dan imam ahli hadis lainnya.20 Ketika menjelaskan hadis dari ‘Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw tidak pernah salat sunat di malam hari baik di bulan ramadhan maupun di luar bulan ramadhan melebihi 11 rakaat, beliau menjelaskannya menyatu dengan pembahasan salat lail pada umumnya, dimana Rasulullah saw mengawali salatnya tersebut dengan dua rakaat ringan (salat iftitah), artinya beliau salat 13 rakaat jika dihitung dengan dua rakaat salat iftitah;
" ﻣﺎ ﻛﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻳﺰﻳﺪ ﰲ رﻣﻀﺎن وﻻ ﰲ ﻏﲑﻩ ﻋﻠﻰ إﺣﺪى ﻋﺸﺮة: ﺑﻠﻔﻆ " رﻛﻌﺔ ٢١ ...
“Tidaklah Rasulullah saw mengerjakan salat sunnah baik di bulan Ramadhan atau diluar
ramadhan melebihi sebelas rakaat, dan sungguh (telah dijelaskan terdahulu) dengan cara dikompromikan antara keduanya yang (penjelasan) ringkasnya bahwa ‘Aisyah bermaksud dengan ucapan tersebut selain dua rakaat ringan yang dilakukan oleh Rasulullah saw untuk membuka salat lail.” Sedangkan salat lail yang diriwayatkan oleh Aisyah dengan jumlah 13 rakaat berbunyi;
ﻳﺼﻠﻲ ﺛﻼث ﻋﺸﺮ رﻛﻌﺔ ﻣﻨﻬﺎ ﲦﺎﻧﻴﺔ ﻳﺴﻠﻢ ﺑﲔ ﻛﻞ رﻛﻌﺘﲔ ﰒ ﻳﻮﺗﺮ ﲞﻤﺲ ﻻ ﳚﻠﺲ وﻻ ﻳﺴﻠﻢ إﻻ ﰲ ﻛﺎن ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻳﺮﻗﺪ ﻓﺎذا: اﳋﺎﻣﺴﺔ وﻓﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ اﺳﺘﻴﻘﻆ ﺗﺴﻮك ﰒ ﺗﻮﺿﺄ ﰒ ﺻﻠﻰ ﲦﺎن رﻛﻌﺎت ﳚﻠﺲ ﰲ ﻛﻞ رﻛﻌﺘﲔ ﻓﻴﺴﻠﻢ ﰒ ﻳﻮﺗﺮ ﲞﻤﺲ رﻛﻌﺎت ﻻ Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majeis Tarjih, Tanya Jawab Agama 5, cetakan kelima, Juni 2011, hlm. 63 19 Syamsul Anwar, Salat Tarawih..., hlm. 149 20 Muhammad Nashiruddin al-Bani, Shallu Kama Ra’aitumuni Ushalli, Maktabah al-Ma’arif Li-Anshr wa al18
21
Tauzi’-Riyadh, cetakan pertama, 2000, hlm. 18 Ibid., halaman. 16-17 12
".ﳚﻠﺲ اﻻ ﰲ اﳋﺎﻣﺴﺔ وﻻ ﻳﺴﻠﻢ اﻻ ﰲ اﳋﺎﻣﺴﺔ "ﻓﺎذا أذن اﳌﺆذن ﻗﺎم ﻓﺼﻠﻰ رﻛﻌﺘﲔ ﺧﻔﻴﻔﺘﲔ ) رواﻩ أﲪﺪ وﺳﻨﺪﻩ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮط اﻟﺸﻴﺨﲔ وﻗﺪ أﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢ وأﺑﻮ ﻋﻮاﻧﺔ وأﺑﻮ داود واﻟﱰﻣﺬي ٢٢ (...وﺻﺤﺤﻪ واﻟﺪارﻣﻲ واﺑﻦ ﻧﺼﺮ واﻟﺒﻴﻬﻘﻲ “Beliau salat 13 rakaat, diantaranya 8 rakaat, beliau salam di antara setiap 2 rakaat kemudian
salat witir dengan 5 rakaat. Beliau tidak duduk dan tidak pula salam kecuali pada rakaat kelima, dan terdapat hadis ‘Aisyah ra ia berkata; adalah Rasulullah saw tidur lalu apabila beliau bangun beliau mebersihkan gigi lalu berwudlu kemudian salat 8 rakaat, beliau duduk pada setiap 2 rakaat lalu salam, kemudian beliau witir dengan 5 rakaat, beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kelima dan tidak pula salam kecuali pada rakaat kelima. Maka apabila muadzzin mengumandangkan azan, beliau salat dua rakaat ringan. (HR. Ahmad dan sanadnya sahih menurt syarat imam al-Bukhari dan Muslim, dan hadis ini juga diriwayatkan oleh imam Muslim, Abu ‘Awanah, Abu Dawud, Tirmidzi dan disahihkannya, Darimi, Ibnu Nahsr dan al-Baihaqi) Sepintas hadis Aisyah yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw salat lail di bulan ramadhan maupun di luar ramadhan tidak lebih dari 11 rakaat, sepitas terlihat kontradiktif dengan hadis lain yang diriwayatkkannya dengan jumlah 13 rakaat. Namun menurut menurut sebagian ulama, hadis tersebut sesungguhnya dapat dikompromikan maknanya (thariqatul jam’i) dengan menyimpulkan bahwa jumlah 11 rakaat tersebut jika tidak dihitung dengan salat iftitah (rak’atain khafifatain), sedangkan jika dihitung dengan salat iftitah, maka jumlah salat lail di bulan ramadhan (tarawih) maupun di luar ramadhan (salat lail/tahajjjud) menjadi 13 rakaat. c. Persis (Abdul Qadir Hassan) Salat sunat yang biasa disebut tahajjud, tarawih, qiyamul lail, salat lail, qiyamur ramadhan adalah sama, yaitu salat sunat antara sesudah salat isya sampai hampir terbit fajar. Salat tahajjud biasa disebut salat lail atau qiyamul lail. Salat tahajjud yang dilaksanakan di bulan ramadhan disebut qiyamur ramadhan atau salat tarawih. Perbedaan antara tahajjud dengan salat lail, bahwa salat lail itu salat di waktu malam secara umum, sedangkan tahajjud itu salat lail yang dilaksanakan setelah bangun tidur.23 Dari empat representasi pendapat yang mendukung kesamaan antara salat tarawih dengan salat lail di luar ramadhan atau tahajjud dapat disimpulkan bahwa salat lail di luar ramadhan atau salat tahajjud sama dengan qiyam al-ramadhan atau salat tarawih. Hanya saja salat 22 23
Ibid., halaman. 19 A. Qadir Hassan, Kata Berjawab Solusi Untuk Berbagai Permasalahan Syari ’ah, Jilid. 2, Cetakan pertama 2006, Surabaya-Pustaka Progressif, hal. 177 13
tahajjud biasanya dilaksanakan setelah bangun dari tidur di malam hari, sedangkan salat tarawih dapat (umumnya) dilaksanakan setelah salat isya’ setelah salat sunat rawatibnya maupun di pertengahan malam. 2. Pendapat yang menyatakan bahwa salat tarawih tidak sama dengan salat lail atau tahajjud: a. Imam al-Nawawi Ketika menjelaskan hadis tentang salat iftitah sebagaimana termaktub dalam shahih Muslim, Imam an-Nawawi menegaskan:
. َھذَا َدﻟِﯾل َﻋﻠَﻰ اِﺳْ ﺗِﺣْ ﺑَﺎﺑﮫ ﻟِ َﯾ ْﻧﺷَط ِﺑ ِﮭﻣَﺎ ﻟِﻣَﺎ ﺑَﻌْ دھﻣَﺎ، ك َ َِوﻓِﻲ ﺣَ دِﯾث أَﺑِﻲ ھُرَ ﯾْرَ ة ْاﻷَﻣْر ِﺑ َذﻟ “Dan dalam hadis (riwayat) Abi Hurairah terdapat perintah tntang hal itu, ini merupakan
dalil dianjurkannya memulai shalat malam dengan dua rakaat ringan (salat iftiitah) sebagai pemanasan untuk shalat-shalat setelahnya”.24 Penjelasan beliau tersebut menunjukkan bahwa shalat iftitah itu hanya disyariatkan ketika salat malam yang dilakukan setelah bangun tidur. Karena fungsi salat iftitah adalah sebagai pemanasan untuk ibadah salat selanjutnya (tahajjud). Sementara salat tarawih umumnya dilaksanakan di awal waktu, setelah sebelumnya melakukan shalat isya dan ba’diyah isya. Pernyataan imam an-Nawawi tersebut selaras dengan penjelasan beberapa ulama tafsir seperti imam al-Thabari dan al-Alusi ketika menjelaskan surat al-Isra ayat 79 yang berbicara tentang salat tahajjud. Sekalipun imam al-Thabari dan al-Alusi sedikitpun tidak menyinggung keterkaitan antara salat iftitah dengan salat tahajjud maupun salat tarawih, namun para penggiat kajian turats yang memiliki pendapat bahwa tahajjud tidak sama dengan salat tarawih terkadang mengaitkan penjelasan beliau ini sebagai argumentasi bahwa kedua jenis salat tersebut berbeda antara satu dengan lainnya. Pada saat menjelaskan surat al-Isra ayat. 79 yang berbicara tentang anjuran salat tahajjud, beliau menyatakan; ٢٥
. اﻟﺗﯾﻘظ واﻟﺳﮭر ﺑﻌد ﻧوﻣﺔ ﻣن اﻟﻠﯾل:واﻟﺗﮭﺟد
“Tahajjud adalah bangkit/bangun dan berjaga setelah bangun tidur di waktu malam.”
Pendapat beliau itu dikuatkan dengan beberapa pendapat para ulama lainnya dari kalangan generasi salaf sebagai berikut:
Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, bab ad-Du'a fi shalat al-lail wa qiyaamih, hadis nomor ,nomor. 1284, dalam al-Maktaah al-Syamilah, edisi kedua 25 Al-Thabari,Tafsir al-Thabari dalam al-Maktabah al-Syamilah edisi kedua 24
14
ﻋن ﻋﻠﻘﻣﺔ واﻷﺳود أﻧﮭﻣﺎ ﻗﺎﻻ، ﻋن ﻣﺣﻣد ﺑن ﻋﺑد اﻟرﺣﻣن،ﻋن أﺑﻲ إﺳﺣﺎق : ﻗﺎل، ﺛﻧﺎ اﻟﻘﺎﺳم: ﻗﺎل،ﺣدﺛﻧﻲ اﻟﺣﺎرث : : . ﺑﻌد اﻟﻧوم:اﻟﺗﮭﺟد . : اﻟﺗﮭﺟد:ﻗﺎل
. :
: ٢٦
.رﻗدة
“Dari Abi Ishaq dari Abdillah bin Abdirrahman, dari Alqamah dan al-Aswad bahwasanya
keduanya berkata; tahajjud setelah tidur. Telah menceritakan kepadaku al-Harits, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Qasim, telah menceritakan kepada kami Hasyim dari al-A’masy dari Ibrrahim dari Alqamah, ia berkata; tahajjud setelah tidur. Telah menceritakan kepada kami Harits, telah menceritakan kepada kami Qashim, telah menceritakan kepada kami Yazid, dari Hisyam dari Hasan, ia berkata; tahajjud adalah jika dilaksanakan setelah isya akhir. Dari Abdillah bin Shalih, dari Laits dari Ja’far bin Rabi’ah dari al-A’raj dari Kkatsir bin Abbas dari al-Hajjaj din Amru berkata; hanya saja tahajjud itu sesudah bangun dari tidur.
Begitu pula halanya ketika menafsirkan surat al-Isra ayat. 79, imam al-Alusi mengemukakan tentang definisi dan syarat salat tahajjud sebagai berikut;
واﻟﺗﮭﺟد ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻧﻘل ﻋن اﻟﻠﯾث اﻻﺳﺗﯾﻘﺎظ ﻣن اﻟﻧوم ﻟﻠﺻﻼة وﯾطﻠق ﻋﻠﻰ ﻧﻔس اﻟﺻﻼة ﺑﻌد اﻟﻘﯾﺎم : ﻣن اﻟﻧوم ﻟﯾﻼً ﯾﻘﺎل . :ل : وﻗﺎل اﻟﻣﺑرد، وﻏﯾرھم. وﻋﻠﻘﻣﺔ.واﻷﺳود ٢٧
.ًاﻟﻧوم ﯾﺳﻣﻰ ﺗﮭﺟدا
“Dan (pengertian) tahajjud sebagaimana diriwayatkan dari al-Laits (adalah) bangun dari
tidur untuk salat dan dikaitkan dengan salat itu sendiri setelah bangun dari tidur di malam hari. Dinamakan tahajjud yaitu salat di waktu malam setelah bangun dari tidur, begitu pula kata “hajada” ini menunjukkan (harus) didahului tidur untuk mendapatkan salat tahajjud, maka jika belum tidur dan (lalu) salat sesuai yang ia kehendaki (maka) tidak dinamakan salat tahajjud. Pendapat ini diriwayatkan dari Mujahid, al-Aswad, Alqamah dan lainnya, dan Mubarrid berkata; yaitu berjaga untuk salat atau untuk zikir kepada Allah swt. ada pula pendapat yang menyatakan (tahajjud) adalah berjaga untuk taat (kepada Allah) dan secara 26 27
Ibid Imam al-Alusi, Tafsir al-Alusi ketika menjelaskan surat al-Isra’ ayat 79. Lihat pula al-Maktabah al-Syamilah, edisi kedua. 15
zahir tidak disyaratkan tidur terlebih dahulu untuk mendapatkannya. Dan (pendapat) yang masyhur adalah bahwa itu (salat sebelum tidur) dinamakan qiyam dan salat setelah tidur dinamakan tahajjud.” Sementara salat tarawih umumnya dilaksanakan oleh umat Islam setelah selesai melaksanakan salat isya dan salat sunat rawatibnya.
b. Syekh Shalih Al-Utsaimin Ketika menjelaskan pengertian dan status salat tarawih beliau mengatakan; Salat lail disebut salat tahajjud karena salat tersebut dilaksanakan setelah bangun tidur. Disebut salat witir karena dalam melaksanakan salat tersebut diakhiri dengan witir (bilangan ganjil), disebut qiyamu al-lail karena dilaksanakan hanya pada waktu malam, dan disebut qiyamu alramadhan karena dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Namun khusus untuk salat malam yang dilaksanakan di bulan ramadhan lebih populer dengan sebutan salat tarawih, karena dalam shalat malam tersebut dilaksanakan dengan bacaan yang bagus dan lama dan setelah empat rakaat pertama dan kedua ada istirahat sebentar.28 Namun dalam karyanya yang lain ketika beliau ditanya tentang salat iftitah sebelum pelaksanaan salat tarawih beliau menyatakan;
ﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﰲ اﻟﱰاوﻳﺢ أن ﺗﻔﺘﺘﺢ ﰲ رﻛﻌﺘﲔ ﺧﻔﻴﻔﺘﲔ ﻛﺼﻼة اﻟﻘﻴﺎم أم ﻻ ؟: وﺳﺌﻞ ﻓﻀﻴﻠﺘﻪ ﻷن ﺻﻼة اﻟﻘﻴﺎم ﺗﻔﺘﺘﺢ ﺑﺮﻛﻌﺘﲔ ﺧﻔﻴﻔﺘﲔ ﺣﻴﺚ ان اﻟﺸﻴﻄﺎن اذا، ﻟﻴﺲ ﻫﺬا ﻫﻮاﻟﺴﻨﺔ، ﻻ: أﺟﺎب ﻓﺎذا ﻗﺎم وذﻛﺮ اﷲ اﳓﻠﺖ ﻋﻘﺪة ﻓﺎذا ﺗﻮﺿﺄ اﳓﻠﺖ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ،ﻧﺎم اﻻﻧﺴﺎن ﻋﻘﺪ ﻋﻠﻰ ﻗﺎﻓﻴﺘﻪ ﺛﻼث ﻋﻘﺪ ﻓﺎذا ﺻﻠﻰ اﳓﻠﺖ اﻟﺜﺎﻟﺜﺔ وﳍﺬا ﻛﺎن ﻣﺸﺮوﻋﺎ ﲣﻔﻴﻒ اﻟﺮﻛﻌﺘﲔ اﻷوﻟﻴﲔ ﻣﻦ ﻗﻴﺎم اﻟﻠﻴﻞ ﻟﻴﻜﻮن ذﻟﻚ .أﺳﺮع ﻓﻴﺤ ّﻞ اﻟﻌﻘﺪ
“Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin ditanya mengenai apakah termasuk sunnah Nabi
dalam shalat Tarawih membukanya dengan dua rakaat ringan sebagaimana dalam shalat Tahajud? Jawaban beliau, “Tidak, itu tidak sesuai dengan sunnah Nabi karena shalat Tahajud itu dibuka dengan dua rakaat ringan karena jika seorang itu tidur maka setan memasang tiga ikatan pada tengkuknya. Jika orang tersebut bangun dan berdzikir mengingat Allah maka lepaslah satu ikatan. Jika dia berwudhu maka lepaslah ikatan yang kedua. Jika 28
Syekh Muhammad Shalih bin Utsaimin, Majalis Syahr Ramadhan. Edisi terjemahan oleh Muhammad Muhaimin (Kultum Ramadhan Panduan Bagi Para Da’i), cetakan ketiga, Juli 2008, Mitra PustakaYogyakarta, halaman. 46-49 16
dia mengerjakan shalat maka lepaslah ikatan ketiga. Oleh karena itu dituntunkan untuk mengerjakan dua rakaat tersebut dengan cepat agar semakin cepat hilangnya ikatan setan tersebut”.29 c. Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA. Ketika beliau menjelaskan status salat tarawih beliau menyatakan bahwa salat tarawih termasuk salat nafilah malam. Oleh karena itu seperti salat malam pada umumnya, waktu salat tarawih adalah di malam hari, hanya saja salat tarawih adalah salat di malam bulan ramadhan. Penjelasan bahwa salat tarawih adalah salat malam dapat ditemukan dalam sejumlah hadis Nabi saw. Berdasarkan hadis-hadis yang ada, para fukaha sepakat bahwa salat malam itu waktunya adalah sesudah salat isya hingga sebelum fajar.30 Sekalipun dari aspek waktu dan jumlah rakaat salat lail pada umumnya dan salat tarawih memiliki kesamaan, namun berdasarkan hasil kajian dan pemahaman beliau terhadap hadis-hadis salat tarawih (qiyam al-Ramadhan) dan hadis-hadis tentang salat iftitah, beliau menyimpulkan bahwa jika hadis-hadis tersebut dikaji secara seksama akan terlihat perbedaan yang tegas antara kaifiat salat tarawih dan salat malam di luar ramadhan. Menurut beliau bahwa salat sunat dua rakaat ringan (salat iftitah) adalah pembuka salat tahajjud, karena di dalam hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw tidur terlebih dahulu kemudian bangun mengerjakan salat. Salat malam yang dikerjakan setelah bangun dari tidur adalah salat tahajjud. Tidak ditemukan hadis bahwa Rasulullah saw salat tarawih dimulai dengan dua rakaat ringan.31 Dari paparan kedua kelompok baik yang pro maupun kontra tentang eksistensi salat tarawih atau qiyam al-ramadhan apakah termasuk bagian dari salat lail/tahajjud ataukah tidak, faktor utamanya karena tidak ditemukan dalil yang secara spesifik (sharih) menjelaskan tentang pelaksanaan salat iftitah dalam konteks pelaksanaan qiyam al-ramadhan atau salat tarawih. Sementara di sisi lain mayoritas ulama memasukkan salat tarawih sebagai bagian dari salat lail (yang khusus dilaksanakan di bulan ramadhan). Hanya saja salat tahajjud pelaksanaannya di malam hari setelah bangun tidur, sementara salat tarawih umumnya dilaksanakan setelah salat isya’ secara berjama’ah, namun juga dapat dilaksanakan pada pertengahan atau sepertiga malam. Sementara itu, sikap para ulama baik dari kalangan ahli hadis (Muhadditsun) maupun ahli fikih (fukaha’) pun beragam. Sebagian mereka tidak mengulas persoalan ini secara gamblang dan tegas mendudukkan eksistensi salat iftitah apakah khusus terkait dengan salat tahajjud ataukah umum untuk salat lail baik di luar maupun di dalam bulan ramadhan. Sebagian menyatakan secara Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Arbain Sualan fi Fiqh Shiyam wa Fadhli Qiyam,. Lihat pula; www. ustad aris.com 30 Syamsul Anwar, Salat Tarawih..., hlm. 113-115 31 Ibid., hlm. 150 dan 153 29
17
tegas bahwa salat iftitah khusus untuk salat lail setelah bangun tidur (tahajjud), sebagian mengatakan untuk salat lail baik di luar bulan ramadhan maupun di dalam bulan ramadhan, dan sebagian lagi pada posisi remang-remang yang memunculkan multi interpretasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam ulasan beberapa reprensentasi kitab-kitab berikut ini: a. Kitab Zad al-Ma’ad Ibnu Qayyim al-Jauziyah meletakkan dan mengulas hadis tentang salat iftitah pada pembahasan salat lail, witir dan salat awal lail (fashl fi siyaq shalatihi shallallahu ‘alaihi wasallam bi al-lail wa witrihi wa dzikr shalah awwalu al-lail) namun sama sekali tidak menyebutkan istilah qiyam alramadhan atau salat tarawihh.32 b. Kitab Al-Mughni Ibnu Quddamah al-Muqaddisi (541-620 H), dalam kitabnya mengaitkan pelaksanaan salat iftitah dengan salat tahajjud sebagaimana tertulis dalam judul bab “Istihbab Istiftah al-Tahajjud birak’atain Khafifatain” dalam ulasan beliau tidak menyinggung sedikitpun istilah tarawih atau qiyamu al-ramadhan dalam kaitannya dengan salat iftitah. Namun dalam rangkaian pembahasan tentang persoalan tahajjud atau qiyamul lail, beliau mengulas cara pelaksanaannya sama dengan cara pelaksanaan salat lail di bulan ramadhaan “fi layali ramadhan”.33 Hal ini tentu membuka pemahaman yang berbeda diantara ulama’ berikutnya. Sebagian menyatakan bahwa sekalipun cara pelaksanaan salat lail di luar ramadhan/tahajjud sama dengan salat lail di bulan ramadhan (11 rakaat), namun salat iftitah hanya terkait dengan salat setelah bangun tidur (tahjjud). Sementara sebagian yang lain memahaminya bahwa pada prinsifnya beliau tidak membedakan antara salat lail di luar ramadhan (tahajjud) dengan salat lail di bulan ramadhan (tarawih). c. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Sebagaimana Ibnu Quddamah al-Muqaddisi, Dr. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan salat sunat dua rakaat ringan sebagai pembuka salat tahajjud,34 dan tidak menyebutkan sebagai pembuka salat tarawih atau qiyam al-ramadhan. Hal ini oleh sebagian pihak difahami bahwa hal tersebut menunjukkan salat iftitah sebagai pembuka salat tahajjud dan bukan untuk salat tarawih.35 Namun bagi yang lain hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa keduanya berbeda sama sekali sehingga salat tarawih tidak disyariatkan untuk dibuka dengan salat iftitah, karena salat tarawihpun boleh/dapat dilaksanakan di tengah malam setelah bangun tidur. Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr az-Zar’i al-Dimsyiqi (Ibnu Qayyim al-Jauziyah), Zaad alMa’ad Fi Hhadyi Khair al’Iibad, Juz.1, Daar al-Fikr -Maktab al-Buhuts wa al-Dirasat, hal. 242-243 33 Ibnu Quddamah al-Muqaddisi, Al-Mughni, Juz. 1, Bait al Afkar al-Dauliyah-Riyad-Saudi Arabia, 2004, hal. 32
34
35
316 Wahbah az-Zuhaili,, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cetakan ketiga, 1986, Dar al-Fikr li al-Thiba’ah wa alTauzi’ wa al-Nasyr-Damasykus Syamsul Anwar, Salat Tarawih...,hal. 153 18
Selain kitab-kitab tersebut di atas, masih banyak lagi kitab-kitab lainnya yang memiliki ulasan yang hampir sama dalam persoalan ini. Termasuk dalam kitab-kitab hadis primer yang tergabung dalam al-kutub al-Sittah, umumnya mereka meletakkan hadis ‘Aisyah tentang kaifiyat salat lail Nabi baik di bulan ramadhan (qiyam al-ramadhan/tarawih) maupun di luar bulan ramadhan (salat lail/tahajjud) dalam bab yang sama yang berbicara tentang salat lail secara umum. Contohnya; imam al-Bukhari meletakkan hadis ‘Aisyah tersebut dalam “Abwab al-Tahajjud” bab “Qiyam al-Nabi bi al-lail fi ramadhan wa ghairihi”,36 imam Muslim meletakkannya dalam bab “Shalah al-lail wa adadu rakaat al-Nabi”.37 Hal ini tentu berdampak pada perbedaan pandangan terhadap beberapa hal yang terkait dengannya. Menanggapi perbedaan pandangan tentang eksistensi salat iftitah dalam pelaksanaan salat tarawih dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama, dibutuhkan solusi pemahaman ideal sebagaimana dikemukakan oleh ulama’ terdahulu antara lail; al-jam’u wa alTaufiq (kompromi makna) maupun al- Tarjih (memilih pendapat yang paling kuat dalilnya) atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Namun salah satu hal yang patut dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk pemahaman dalil-dalil yang ada adalah; jika yang menjadi streesing pelaksanaan salat iftitah itu karena bangun tidur untuk menghilangkan kemalasan akibat belenggu syetan serta sebagai pemanasan sebelum melaksanakan salat sunat berikutnya – sebagaimana dijelaskan oleh imam al-Nawawi, Utsaimin dan lainnya, maka mestinya salat tarawih yang dilaksanakan pada tengah malam sehabis bangun tidur juga disunnahkan untuk dimulai dengan salat iftitah. Karena itu salat iftitah dapat menjadi pembuka salat lail pada umumnya dan bukan semata-mata karena nama yang disandangnya sebagai salat tahajjud ataupun salat tarawih (qiyam al ramadhan). Bahkan berdasarkan konsensus para ulama, salat tarawih dapat dilaksanakan sejak setelah salat isya’ hingga menjelang terbit fajar sebagaimana salat lail di luar ramadhan. Artinya salat tarawih tidak harus dilaksanakan tepat sehabis salat isya’, namun dapat pula dilaksanakan pada setengah atau sepertiga malam setelah seseorang bangun dari tidur. Terlebih lagi, jika melihat redaksi matan hadis yang berbicara tentang perintah atau pensyari’atan salat iftitah, umumnya menggunakan redaksi “shalla al-lailata, idza qama min al-lail, idza qama ahadukum min al-lail, yushalli bi al-lail”, dan tidak ada satupun hadis yang secara spesifik menggunakan redaksi “fi al-Tahajjudi” atau “qiyam al-Ramadhan”. Sehingga mengaitkan salat iftitah khusus dengan salat tahajjud (sehabis bangun tidur) murni merupakan hasil pemahaman atau interpretasi dari para ulama, yang tentunya membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat. Termasuk dalam memahami kata “idza qama ahadukum” apakah berarti “qama min al-naum” ataukah “qama li-al-shalah”.
Za’id bin Shabri bin Abi Ulfah, Al-Jam’ al-Shahih li al-Bukhari, dalam al-Kutub al-Sittah, cetakan pertama 2005,Maktabah al-Rasyid-Riyadh, halaman. 120 37 Ibid., halaman. 882 36
19
Dengan demikian, dalam menyikapi perbedaan pandangan tentang disunnahkan atau tidaknya salat iftitah untuk mengawali salat tarawih dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut; pertama: Jumhur ulama’ sepakat bahwa salat tarawih termasuk bagian dari salat lail yang waktu pelaksanaanya sejak selesai salat isya’ hingga menjelang fajar. Dengan demikian, maka salat iftitah juga disunnahkan untuk dilakukan sebagai pembuka salat malam di bulan ramadhan (qiyam al-ramadhan/tarawih) sebagaimana keumuman hadis-hadis tentang perintah salat iftitah. Kedua: Kesamaan antara salat lail atau salat tahajjud dan salat tarawih terletak pada waktu dan cara pelaksanaannya, yaitu salat sunat yang dilaksanakan di malam hari sehabis salat isya sampai sebelum terbit fajar sebanyak 11 rakaat. Namun khusus salat tahajjud dilaksanakan di waktu malam setelah bangun tidur, sehingga diperlukan semacam pemanasan dengan melaksanakan salat iftitah dua rakaat. Sedangkan salat tarawih umumnya dilaksanakan sehabis salat isya’ dan salat sunat rawatib ba’diyah isya’, sehingga tidak diperlukan (disunnahkan) untuk mengawalinya dengan salat iftitah. Ketiga: Jumhur ulama’ sepakat bahwa salat tarawih termasuk dari salat lail yang waktu pelaksanaannya sejak selesai salat isya’ hingga menjelang fajar, sehingga dimungkinkan untuk dilaksanakan sehabis bangun tidur dan diawali dengan salat iftitah (rakatain khafifatain). Dengan demikian, kesunnahan melaksanakan salat iftitah atau tidak sebagai pembuka salat tarawih bukan semata-mata karena perbedaan namanya dengan salat lail, namun karena waktu pelaksanaanya apakah sebelum atau sesudah tidur. KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kalangan ulama perbeda pendapat tentang apakah salat lail, salat tahajjud, salat witir dan salat tarawih itu sama ataukah tidak. 2. Istilah tarawih muncul pada era setelah Rasulullah saw wafat, sehingga tidak ditemukan hadis yang secara spesifik menggunakan istilah tersebut dalam pembahasan tentang keanekaragaman nama salat lail. 3. Salat lail baik di bulan ramadhan maupun di luar ramadhan dapat dilaksanakan setelah salat isya’ sampai sebelum terbit fajar. 4. Munculnya pro kontra tentang eksistensi salat tarawih atau qiyam al-ramadhan apakah termasuk bagian dari salat lail/tahajjud ataukah tidak, faktor utamanya karena ketiadaan dalil yang secara spesifik (sharih) menjelaskan tentang pelaksanaan salat iftitah dalam konteks pelaksanaan qiyam al-ramadhan atau salat tarawih. 5. Salat tarawih termasuk salah satu dari salat malam, sedangkan penamaannya seringkali dikaitkan dengan waktu, sifat dan fungsi salat. Misalnya; salat lail dinamakan tahajjud karena dilaksanakan sehabis bangun tidur sehingga orang harus bersusah payah untuk bangkit dari rasa kantuk dan kemalasannya. Dinamakan tarawih karena dilaksanakan secara santai dengan memberikan waktu jeda atau istirahat dalam setiap salam. Dinamakan salat lail karena diadakan di waktu malam sehabis salat isya’ hingga menjelang fajar. Sebagaimana pula penamaan salat rak’atain 20
khafifatain karena dilaksanakan dengan ringan dan cepat, namun jika salat ringan tersebut
dikerjakan sebagai pembuka salat malam maka ia dinamakan salat iftitah, dan jika di laksanakan di waktu fajar sebelum salat subuh maka dinamakan salat sunat fajar. 6. Tidak ditemukan hadis secara spesifik menjelaskan tentang salat iftitah dalam kaitannya dengan pelaksanaan salat tarawih atau qiyam al ramadhan, sehingga sebagian ulama membawanya kepada keumuman hadis yang menjelaskan tentang anjuran membuka salat sunat lail dengan salat iftitah dan sebagian lagi meniadakan salat iftitah dalam konteks pelaksanaan salat tarawih atau qiyam al-ramadhan. 7. Jika melihat redaksi matan hadis yang berbicara tentang perintah atau pensyari’atan salat iftitah, umumnya menggunakan redaksi “shalla al-lailata, idza qama min al-lail, idza qama ahadukum min al-lail, yushalli bi al-lail”, dan tidak ada satupun hadis yang secara spesifik menggunakan redaksi “fi al-Tahajjudi” atau “qiyam al-Ramadhan”. Sehingga mengaitkan salat iftitah khusus dengan salat tahajjud (sehabis bangun tidur) murni merupakan hasil pemahaman atau interpretasi dari para ulama, yang tentunya membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat. Termasuk dalam memahami kata “idza qama ahadukum” apakah berarti “qama min al-naum” ataukah “qama li-al-shalah”. 8. Sebagian ulama seperti imam an-Nawawi berpendapat bahwa salat iftitah khusus dilaksanakan sebagai pembuka salat malam yang dilaksanakan setelah bangun tidur di malam hari yang berfungsi sebagai pemanasan dan menghilangkan rasa kantuk dan malas (mengusir atau membuka belenggu syetan). 9. Pelaksanaan salat iftitah dalam kaitannnya dengan pelaksanaan salat tarawih atau qiyam ramadhan tidak terkait dengan persoalan bid’ah atau tidak, namun hanya perbedaan sudut pandang dan interpretasi seseorang terhadap dalil yang ada, sehingga dibutuhkan adanya solusi pemahaman yang ideal seperti al-jam’u wa al-taufiq atau al- tarjih terhadap beberapa dalil atau pendapat yang ada. 10. Sebagaimana seseorang boleh melaksanakan salat malam sehabis salat isya’ maupun di sepertiga malam baik di dalam maupun di luar ramadhan, maka salat tarawih juga dapat dilaksanakan di tengah malam setelah bangun tidur, lalu diawali dengan salat iftitah. Maka ada atau tidak adanya salat iftitah dalam konteks pelaksanaan salat tarawih bukan karena nama atau waktunya yang hanya dilaksanakan di bulan tertentu tetapi juga terkait dengan waktu pelaksanaannya sebelum ataukah sehabis bangun dari tidur.
USULAN RUMUSAN NATIJAH Berdasarkan beberapa point tersebut maka dapat diputuskan tentang status hukum salat iftitah sebagai pembuka salat tarawih sebagai berikut:
21
1. Salat iftitah sunnah untuk dikerjakan sebagai pembuka salat lail baik du luar bulan raadhan maupun di buulan ramadhan (tarawih) berdasarkan keumuman hadis yang menjelaskan tentang pelaksanaannya sebagai pembuka salat lail, karena berdasarkan kesepakatan ulama’ fikih bahwa salat tarawih (qiyam al-Ramadhan) termasuk bagian dari salat lail. 2. Tidak disunnahkan melaksanakan salat iftitah pada salat tarawih yang pelaksanaannya langsung setelah salat isya dan sebelum tidur, dan salat iftitah disunnahkan sebagai pembuka salat tarawih yang pelaksanaannya di pertengahan atau sepertiga malam setelah bangun tidur baik secara sendiri maupun berjamaah. 3. Tidak ada kesunnahan untuk melaksanakan salat iftitah sebagai pembuka salat tarawih, karena tidak ditemukan hadis Nabi yang secara spesifik menjelaskan bahwa Rasulullah saw memulai salat tarawih dengan dua rakaat ringan. Salat iftitah hanya disunnahkan sebagai pembuka salat tahajjud, karena di dalam hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw tidur terlebih dahulu kemudian bangun mengerjakan salat. Lalu, mana diantara ketiga usulan natijah ini yang dapat diambil sebagai sikap resmi Majelis Tarjih Muhammadiyah ? Menurut hemat penulis, pendapat kedualah yang ideal dan memungkinkan untuk menjawab perdebatan dan sebagai salah satu metode kompromi (al-jam’u wa al-taufiq) terhadap keberagaman pemahaman dalil yang ada. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abi Ulfah, Za’id bin Shabri bin, Al-Jam’ al-Shahih li al-Bukhari, dalam al-Kutub al-Sittah, Maktabah al-Rasyid-Riyadh, cetakan pertama 2005 al-Alusi, Tafsir al-Alusi ketika menjelaskan surat al-Isra’ ayat 79, dalam al-Maktabah al-Syamilah, edisi kedua. Anwar, Syamsul, Prof.Dr., Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah dan Fikih, Suara Muhammadiyah, cetakan pertama, Juli 2013 al-Bani, Muhammad Nashiruddin, Shallu Kama Ra’aitumuni Ushalli, Maktabah al-Ma’arif Li-Anshr wa al-Tauzi’-Riyadh, cetakan pertama, 2000 Dimsyiqi, Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr az-Zar’i al-, (Ibnu Qayyim alJauziyah), Zaad al-Ma’ad Fi Hadyi Khair al’Iibad, Juz.1, Daar al-Fikr -Maktab alBuhuts wa al-Dirasat Hakim, Abdul Hamid, Al-Bayan, Jakarta. Sa’adiyah Putra, 1983 Hassan, Abdul Qadir, Kata Berjawab Solusi Untuk Berbagai Permasalahan Syari’ah, Jilid. 2, Cetakan pertama 2006, Surabaya-Pustaka Progressif Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, penerbit Persatuan, cetakan ketiga, tt. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tuntunan Ibadah Pada Bulan Ramadhan, cetakan ke.3 Juni 2013 Muqaddisi, Ibnu Quddamah al-, Al-Mughni, Juz. 1, Bait al Afkar al-Dauliyah-Riyad-Saudi Arabia, 2004 Nashshayyan, Sulaiman bin Muhammad al-, Shallu kama ra’aitumuni ushalli, ‘ammah masa’il al
Thaharah wa al-Shalah Maqrunah bi al-Dalil min al-Kitab wa al-Sunnah Ma’a Bayan al-Rajih Fiha wa Dzikru Ikhtiyarrat al-A’immah Laha, Juz.1, Dar al-Tadmiiyah-Saudi Arabiya
23
Al—Nawai, Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, bab ad-Du'a fi shalat al-lail wa qiyaamih, hadis nomor. 1284, dalam al-Maktaah al-Syamilah, edisi kedua Shan’ani, Muhammad bin Ismail al-Amir al-Yamani al-, Subulussalam, tahqiq Abdul Qadir Atha’, juz.2, cetakan pertama, Daar all-Fikr As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Al-Asybah wa al-Nazha’ir, Syirkah Nur Asia, tt. al-Thabari,Tafsir al-Thabari ketika menjelaskan surat al-Isra’ ayat 79, dalam al-Maktabah alSyamilah edisi kedua Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab Agama 3, cetakan ketiga, maret 2004 Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab Agama 4, cetakan keenam, september 2011 Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majeis Tarjih, Tanya Jawab Agama 5, cetakan kelima, Juni 2011 Usman, Muchlis, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istimbath Hukum Islam, Jakarta. PT.Rajagrafindo Persada, Cetakan keempat, Mei 2002 Utsaimin, Muhammad Shalih bin al-, Majalis Syahr Ramadhan. Edisi terjemahan oleh Muhammad Muhaimin (Kultum Ramadhan Panduan Bagi Para Da’i), , Mitra Pustaka-Yogyakarta, cetakan ketiga, Juli 2008 ------------, Muhammad Shalih bin al-, Arbain Sualan fi Fiqh Shiyam wa Fadhli Qiyam,. dalam www. ustad aris.com Uwaidhah, Mahmud Abdul Lathif, Al-Jami’ Li Ahkami al-Shalah, al-Mamlakah al-Urduniyah alHasyimiah, cetakan ketiga 2003 Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, juz. 27, Dar alShafwah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’-Kuwait, cetakan pertama, 1992 az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dar al-Fikr li al-Thiba’ah wa al-Tauzi’ wa alNasyr-Damasykus cetakan ketiga, 1986
24
LAMPIRAN-LAMPIRAN Beberapa hadis Nabi saw yang terkait dengan pembahasan makalah:
ﱠﺎس أَ ﱠن َﻋْﺒ َﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ َﻦ ٍ ْﺐ ﻣَﻮَْﱃ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ ٍ ِﻚ َﻋ ْﻦ ﳐََْﺮَﻣﺔَ ﺑْ ِﻦ ُﺳﻠَْﻴﻤَﺎ َن َﻋ ْﻦ ُﻛَﺮﻳ ٌ َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲏ ﻣَﺎﻟ َ ( َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ إِﲰَْﺎﻋِﻴ ُﻞ ﻗ١ ض ِ ْﺖ ِﰲ ﻋ َْﺮ ُ ﺿﻄَ َﺠﻌ ْ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َوِﻫ َﻲ ﺧَﺎﻟَﺘُﻪُ ﻓَﺎ َ ﱠﱯ ْج اﻟﻨِ ﱢ ِ َﺎت ﻟَْﻴـﻠَﺔً ِﻋْﻨ َﺪ َﻣْﻴﻤُﻮﻧَﺔَ زَو َ ﱠﺎس أَ ْﺧﺒَـَﺮﻩُ أَﻧﱠﻪُ ﺑ ٍ َﻋﺒ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ُﻮﳍَﺎ ﻓَـﻨَﺎ َم َرﺳ ِ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َوأَ ْﻫﻠُﻪُ ِﰲ ﻃ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ﺿﻄَ َﺠ َﻊ َرﺳ ْ اﻟْ ِﻮﺳَﺎ َدةِ وَا ﺲ َ َﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَ َﺠﻠ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ﻆ َرﺳ َ ِﻴﻞ ا ْﺳﺘَـْﻴـ َﻘ ٍ ِﻴﻞ أ َْو ﺑـَ ْﻌ َﺪﻩُ ﺑَِﻘﻠ ٍ َﻒ اﻟﻠﱠْﻴ ُﻞ أ َْو ﻗَـْﺒـﻠَﻪُ ﺑَِﻘﻠ َ َﱴ إِذَا اﻧْـﺘَﺼ ﺣﱠ َﺿﺄ َﺎت اﳋَْﻮَاﰎَِ ِﻣ ْﻦ ﺳُﻮَرةِ ِآل ِﻋ ْﻤﺮَا َن ﰒُﱠ ﻗَﺎ َم إ َِﱃ َﺷ ﱟﻦ ُﻣ َﻌﻠﱠ َﻘ ٍﺔ ﻓَـﺘَـ َﻮ ﱠ ِ ﳝَْ َﺴ ُﺢ اﻟﻨـ ْﱠﻮَم َﻋ ْﻦ َو ْﺟ ِﻬ ِﻪ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ ﰒُﱠ ﻗَـَﺮأَ اﻟْ َﻌ ْﺸَﺮ ْاﻵﻳ ْﺖ إ َِﱃ ُ ْﺖ ﻓَـ ُﻘﻤ ُ ﺻﻨَ َﻊ ﰒُﱠ ذَ َﻫﺒ َ ْﺖ ِﻣﺜْ َﻞ ﻣَﺎ ُ ﺼﻨَـﻌ َ َْﺖ ﻓ ُ ﱠﺎس ﻓَـ ُﻘﻤ ٍ َﺎل اﺑْ ُﻦ َﻋﺒ َ ﺼﻠﱢﻲ ﻗ َ ُِﻣْﻨـﻬَﺎ ﻓَﺄَ ْﺣ َﺴ َﻦ ُوﺿُﻮءَﻩُ ﰒُﱠ ﻗَﺎ َم ﻳ َﲔ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ ﰒُﱠ َرْﻛ َﻌﺘـ ِ ْ َﲔ ﰒُﱠ َرْﻛ َﻌﺘـ ِ ْ ﺼﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َْﲎ ﻳـَ ْﻔﺘِﻠُﻬَﺎ ﻓ َ ْﲎ ﻋَﻠَﻰ َرأ ِْﺳﻲ َوأَ َﺧ َﺬ ﺑِﺄُذُِﱐ اﻟْﻴُﻤ َ ﺿ َﻊ ﻳَ َﺪﻩُ اﻟْﻴُﻤ َ َﺟْﻨﺒِ ِﻪ ﻓَـ َﻮ َﲔ ﰒُﱠ َﺧَﺮ َج ِ ْ َﲔ َﺧﻔِﻴ َﻔﺘـ ِ ْ ﺼﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ ََﱴ أَﺗَﺎﻩُ اﻟْ ُﻤ َﺆذﱢ ُن ﻓَـﻘَﺎ َم ﻓ ﺿﻄَ َﺠ َﻊ ﺣ ﱠ ْ َﲔ ﰒُﱠ أ َْوﺗَـَﺮ ﰒُﱠ ا ِ ْ َﲔ ﰒُﱠ َرْﻛ َﻌﺘـ ِ ْ َﲔ ﰒُﱠ َرْﻛ َﻌﺘـ ِ ْ َرْﻛ َﻌﺘـ (ﺼْﺒ َﺢ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ﺼﻠﱠﻰ اﻟ ﱡ َ َﻓ “..... bahwasanya 'Abdullah bin 'Abbas mengabarkan kepadanya, bahwa ia pada suatu malam pernah bermalam di rumah Maimunah, isteri Nabi saw, dan bibinya dari pihak ibu. Katanya, "Aku berbaring di sisi bantal sementara Nabi saw dan isterinya berbaring pada bagian panjang (tengahnya). Rasulullah saw lalu tidur hingga pada tengah malam, atau kurang sedikit, atau lewat sedikit, beliau bangun dan duduk sambil mengusap sisa-sisa kantuk yang ada di wajahnya dengan tangan. Beliau kemudian membaca sepuluh ayat terakhir dari Surah Ali 'Imran. Kemudian berdiri menuju tempat wudlu, beliau lalu berwudlu dengan memperbagus wudlunya, lalu shalat." Ibnu 'Abbas berkata, "Maka akupun ikut dan melakukan sebagaimana yang beliau lakukan, aku lalu berdiri di sampingnya. Beliau kemudian meletakkan tangan kanannya di kepalaku seraya memegang telingaku hingga menggeserku ke sebelah kanannya. Kemudian beliau shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian witir. Setelah itu beliau tidur berbaring hingga tukang adzan mendatanginya, beliau lalu berdiri dan shalat dua rakaat ringan, kemudian keluar untuk menunaikan shalat Subuh." (nomor 177, bab Qira’ah alQur’an ba’da al hadats wa ghairihi)
25
ﺻﻠﱠﻰ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ َﺎب َﻋ ْﻦ ﻋُﺮَْوةَ َﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋِ َﺸﺔَ أَ ﱠن َرﺳ ٍ ِﻚ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ ٍ ْت َﻋﻠَﻰ ﻣَﺎﻟ ُ َﺎل ﻗَـَﺮأ َ َْﲕ ﻗ َ َْﲕ ﺑْ ُﻦ ﳛ َ ( َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳛ٢ ﺿﻄَ َﺠ َﻊ َﻋﻠَﻰ ِﺷ ﱢﻘ ِﻪ ْ غ ِﻣْﻨـﻬَﺎ ا َ َاﺣ َﺪةٍ ﻓَِﺈذَا ﻓَـَﺮ ِ ﺼﻠﱢﻲ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ إِ ْﺣﺪَى َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔً ﻳُﻮﺗُِﺮ ِﻣْﻨـﻬَﺎ ﺑِﻮ َ ُاﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن ﻳ (َﲔ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ ِ ْ َﲔ َﺧﻔِﻴ َﻔﺘـ ِ ْ ﺼﻠﱢﻲ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َُﱴ ﻳَﺄْﺗِﻴَﻪُ اﻟْ ُﻤ َﺆذﱢ ُن ﻓَـﻴ ْاﻷَﳝَْ ِﻦ ﺣ ﱠ Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya katanya; aku setorkan hapalan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari 'Urwah dari 'Aisyah bahwa Rasulullah saw pernah salat malam sebelas rakaat, beliau akhiri dengan satu rakaat witir. Jika beliau selesai, beliau berbaring diatas lambung sebelah kanan hingga datang muadzin, lalu beliau melakukan dua rakaat (sunnah) ringan." (salat al lail wa rakaatu al nabiy saw, no. 1215)
َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺷ ْﻌﺒَﺔُ َﻋ ْﻦ ِزﻳْ ِﺪ ﺑْ ِﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ َ َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ َﺟ ْﻌ َﻔ ٍﺮ ﻗ َ ( أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ أَﲪَْ ُﺪ ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ اﳊَْ َﻜ ِﻢ ﻗ٣ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺖ ﻛَﺎ َن َرﺳ ْ ﺼﺔَ أَﻧـﱠﻬَﺎ ﻗَﺎﻟ َ ﱢث َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ َﻋ ْﻦ َﺣ ْﻔ ُ ْﺖ ﻧَﺎﻓِﻌًﺎ ﳛَُﺪ ُ َﺎل َِﲰﻌ َﻗ (َﲔ )رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ِ ْ َﲔ َﺧﻔِﻴ َﻔﺘـ ِ ْ ﺼﻠﱢﻲ إﱠِﻻ َرْﻛ َﻌﺘـ َ ُﻃَﻠَ َﻊ اﻟْ َﻔ ْﺠ ُﺮ َﻻ ﻳ “.....Dari Ibnu Umar dari Hafshah dia berkata; "Apabila Fajar telah terbit maka Rasulullah Saw tidak mengerjakan salat kecuali dua rakaat yang ringan". (Nasa’i.al-Shalah ba’da Thulu’ al-fajr, no.579 dan waktu salat al—fajjr wa dzikru ikhtilaf ‘ala al-Nafi’, nomoor. 1755)
َي َﻋـ ْﻦ أَِﰊ ﺳَـﻠَ َﻤﺔَ ﺑْـ ِﻦ َﻋْﺒـ ِﺪ اﻟـﺮﱠﲪَْ ِﻦ أَﻧـﱠﻪُ ﺳَـﺄ ََل ﻋَﺎﺋِﺸَـﺔ ْـﱪ ﱢ ُِ ِﻚ َﻋ ْﻦ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ اﻟْ َﻤﻘ ٌ َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲏ ﻣَﺎﻟ َ ( َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ إِﲰَْﺎﻋِﻴ ُﻞ ﻗ٤ ـﺖ َﻣـﺎ ﻛَـﺎ َن ﻳَِﺰﻳـ ُﺪ ِﰲ ْ َﻀـﺎ َن ﻓَـﻘَﺎﻟ َ ﺻـﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠـﻪُ َﻋﻠَْﻴـ ِﻪ َوﺳَـﻠﱠ َﻢ ِﰲ َرَﻣ َ ـﻮل اﻟﻠﱠـ ِﻪ ِ ﺻ َـﻼةُ َر ُﺳ َ ـﺖ ْ َـﻒ ﻛَﺎﻧ َ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـﻬَـﺎ َﻛْﻴ ﺼـﻠﱢﻲ أ َْرﺑـَ ًﻌـﺎ َ ُﺼـﻠﱢﻲ أ َْرﺑـَ ًﻌـﺎ ﻓَ َـﻼ ﺗَﺴَـ ْﻞ َﻋـ ْﻦ ُﺣﺴْـﻨِ ِﻬ ﱠﻦ َوﻃُـﻮﳍِِ ﱠﻦ ﰒُﱠ ﻳ َ َُرَﻣﻀَﺎ َن وََﻻ ِﰲ َﻏ ِْـﲑﻩِ َﻋﻠَـﻰ إِﺣْـﺪَى َﻋﺸْـَﺮةَ َرْﻛ َﻌـﺔً ﻳ ـﺎل ﻳَـﺎ ﻋَﺎﺋِﺸَـﺔُ إِ ﱠن َ َـﻮل اﻟﻠﱠـ ِﻪ أَﺗَـﻨَـﺎ ُم ﻗَـْﺒـ َﻞ أَ ْن ﺗُـﻮﺗَِﺮ ﻗ َ ـﺖ ﻳَـﺎ َر ُﺳ ُ ﺼـﻠﱢﻲ ﺛ ََﻼﺛًـﺎ ﻓَـ ُﻘ ْﻠ َ ُﻓ ََﻼ ﺗَ َﺴ ْﻞ َﻋـ ْﻦ ُﺣﺴْـﻨِ ِﻬ ﱠﻦ َوﻃُـﻮﳍِِ ﱠﻦ ﰒُﱠ ﻳ ( )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى.ْﲏ ﺗَـﻨَﺎﻣَﺎ ِن وََﻻ ﻳـَﻨَﺎ ُم ﻗَـﻠِْﱯ َﻋﻴـ َﱠ “Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Sa'id Al Maqbariy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwasanya dia bertanya kepada 'Aisyah ra. tentang cara salat Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Maka 'Aisyah ra. menjawab: "Tidaklah Rasulullah saw (melaksanakan salat malam) di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at, Beliau salat empat raka'at, maka jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau salat empat raka'at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian Beliau shalat tiga raka'at. Lalu aku bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum melaksanakan witir?" Beliau menjawab: "Wahai 'Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, namun hatiku tidaklah tidur". (Qiyamu al-Nabi saw bi al-lail fi ramadhan wa ghairihi, 26
no. 1079 dan Fadlu Man Qama ramadhan, no. 1874, Kitab shalah al musafir wa qasruha; bab shalah al-lail wa ‘adadu raka’at al-Nabi fi al-lail: 1219))
ي َﻋـ ْﻦ أَِﰊ ﺳَـﻠَ َﻤﺔَ ﺑْـ ِﻦ َﻋْﺒـ ِﺪ ْـﱪ ﱢ ُِ ـﻚ َﻋـ ْﻦ ﺳَـﻌِﻴ ِﺪ ﺑْـ ِﻦ أَِﰊ ﺳَـﻌِﻴ ٍﺪ اﻟْ َﻤﻘ ٍ ِْت َﻋﻠَـﻰ ﻣَﺎﻟ ُ َﺎل ﻗَـَﺮأ َ َْﲕ ﺑْ ُﻦ َْﳛ َﲕ ﻗ َ ( َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳛ٥ ـﺖ َﻣــﺎ َﻛــﺎ َن ْ ﻀــﺎ َن ﻗَﺎﻟَـ َ ﺻـﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠـﻪُ َﻋﻠَْﻴـ ِﻪ َو َﺳـﻠﱠ َﻢ ِﰲ َرَﻣ َ ـﻮل اﻟﻠﱠـ ِﻪ ِ ﺻـ َـﻼةُ َر ُﺳـ َ ـﺖ ْ ـﻒ ﻛَﺎﻧَـ َ اﻟـﺮﱠﲪَْ ِﻦ أَﻧﱠـﻪُ َﺳـﺄ ََل ﻋَﺎﺋِ َﺸـﺔَ َﻛْﻴـ ﺼـﻠﱢﻲ أ َْرﺑـَ ًﻌــﺎ ﻓَـ َـﻼ َ ُﻀــﺎ َن وََﻻ ِﰲ َﻏـ ِْـﲑﻩِ َﻋﻠَــﻰ إِ ْﺣـﺪَى َﻋ ْﺸـَﺮةَ َرْﻛ َﻌـﺔً ﻳ َ ﺻـﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠـﻪُ َﻋﻠَْﻴـ ِﻪ َو َﺳـﻠﱠ َﻢ ﻳَِﺰﻳـ ُﺪ ِﰲ َرَﻣ َ ـﻮل اﻟﻠﱠـ ِﻪ ُ َر ُﺳـ ُـﺖ ﻋَﺎﺋِﺸَـﺔ ْ َﺼـﻠﱢﻲ ﺛ ََﻼﺛًـﺎ ﻓَـﻘَﺎﻟ َ ُﺼﻠﱢﻲ أ َْرﺑـَﻌًﺎ ﻓ ََﻼ ﺗَ ْﺴﺄ َْل َﻋ ْﻦ ُﺣ ْﺴﻨِ ِﻬ ﱠﻦ َوﻃُﻮﳍِِ ﱠﻦ ﰒُﱠ ﻳ َ ُﺗَ ْﺴﺄ َْل َﻋ ْﻦ ُﺣ ْﺴﻨِ ِﻬ ﱠﻦ َوﻃُﻮﳍِِ ﱠﻦ ﰒُﱠ ﻳ (ْﲏ ﺗَـﻨَﺎﻣَﺎ ِن وََﻻ ﻳـَﻨَﺎ ُم ﻗَـ ْﻠِﱯ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ َﺎل ﻳَﺎ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔُ إِ ﱠن َﻋﻴـ َﱠ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ أَﺗَـﻨَﺎ ُم ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﺗُﻮﺗَِﺮ ﻓَـﻘ َ ْﺖ ﻳَﺎ َرﺳ ُ ﻓَـ ُﻘﻠ “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya katanya; aku menyetorkan hapalan kepada Malik dari Said bin Abu Said Al Maqbari dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia pernah bertanya kepada 'Aisyah; "Bagaimanakah shalat (sunnah) Rasulullah saw pada bulan Ramadhan?" Aisyah menjawab; "Rasulullah saw mengerjakan salat sunnah baik ketika Ramadhan atau diluar ramadhan tak lebih dari sebelas rakaat, beliau mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya salat beliau, setelah itu beliau mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya salat beliau, kemudian beliau salat tiga rakaat." Aisyah berkata; lalu aku bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir? Beliau menjawab: "Wahai 'Aisyah, kedua mataku memang tidur, namun hatiku tidak." (Shalah alLail wa ‘Adad rakaat al-Nabi saw, nomor. 1219)
ْﺲ ﺑْ ِﻦ ِ َﺲ َﻋ ْﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ أَِﰊ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ أَ ﱠن َﻋْﺒ َﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ َﻦ ﻗَـﻴ ٍ ِﻚ ﺑْ ِﻦ أَﻧ ِ ( َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻗُـﺘَـﻴْﺒَﺔُ ﺑْ ُﻦ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ َﻋ ْﻦ ﻣَﺎﻟ٦ ﺼﻠﱠﻰ َ َﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟﻠﱠْﻴـﻠَﺔَ ﻓ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ َﻼةَ َرﺳ َ ََرُﻣ َﻘ ﱠﻦ ﺻ ْ َﲏ أَﻧﱠﻪُ ﻗَ َﺎل ﻷ ﳐََْﺮَﻣﺔَ أَ ْﺧﺒَـَﺮﻩُ َﻋ ْﻦ َزﻳْ ِﺪ ﺑْ ِﻦ ﺧَﺎﻟِ ٍﺪ اﳉُْﻬ ِﱢ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬﻤَﺎ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ وَﳘَُﺎ دُو َن اﻟﻠﱠﺘـ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َﲔ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ ﻃَﻮِﻳﻠَﺘـ ِ ْ َﲔ ﻃَﻮِﻳﻠَﺘـ ِ ْ َﲔ ﻃَﻮِﻳﻠَﺘـ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َﲔ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ َﺧﻔِﻴ َﻔﺘـ ِ ْ َرْﻛ َﻌﺘـ َﲔ وَﳘَُﺎ دُو َن ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬﻤَﺎ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ وَﳘَُﺎ دُو َن اﻟﻠﱠﺘـ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬﻤَﺎ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ وَﳘَُﺎ دُو َن اﻟﻠﱠﺘـ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ (ث َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔً )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ َ ِﻚ ﺛ ََﻼ َ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬﻤَﺎ ﰒُﱠ أ َْوﺗَـَﺮ ﻓَ َﺬﻟ ِ ْ اﻟﻠﱠﺘـ “.... dari Zaid bin Khalid Al Juhani bahwa ia berkata; Saya benar-benar akan memperhatikan salat Rasulullah saw pada malam ini. (Maka saya melihat) beliau salat dua raka'at ringan, kemudian beliau salat dua raka'at yang panjang, kemudian beliau salat dua raka'at lagi selain dua raka'at sebelumnya, kemudian beliau salat dua raka'at lagi selain dua raka'at sebelumnya, kemudian beliau salat lagi selain dua raka'at sebelumnya. Kemudian beliau salat dua raka'at lagi selain dua raka'at sebelumnya. Dan sesudah itu beliau salat witir, hingga bilangan semua raka'atnya adalah tiga belas raka'at. (HR. Muslim dalam bab al-Du’a’ fi al-Shalah al-Lail wa qiyamih, nomor 1284)
27
ْﺲ ﺑْ ِﻦ ﳐََْﺮَﻣﺔَ أَ ْﺧﺒَـَﺮﻩُ َﻋ ْﻦ َزﻳْ ِﺪ ﺑْ ِﻦ ِ ( َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲏ َﻋ ْﻦ ﻣَﺎﻟِﻚ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ أَِﰊ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ أَ ﱠن َﻋْﺒ َﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ َﻦ ﻗَـﻴ٧ ْت َﻋﺘَﺒَﺘَﻪُ أ َْو ُ َﺎل ﻓَـﺘَـ َﻮ ﱠﺳﺪ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ َﻼةَ َرﺳ َ ََرُﻣ َﻘ ﱠﻦ اﻟﻠﱠْﻴـﻠَﺔَ ﺻ ْ َﺎل ﻷ َ َﲏ أَﻧﱠﻪُ ﻗ ﺧَﺎﻟِ ٍﺪ اﳉُْﻬ ِﱢ َﲔ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َﲔ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ ﻃَﻮِﻳﻠَﺘـ ِ ْ َﲔ ﻃَﻮِﻳﻠَﺘـ ِ ْ َﲔ ﻃَﻮِﻳﻠَﺘـ ِ ْ ﺼﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ﻓُ ْﺴﻄَﺎﻃَﻪُ ﻓَـﻘَﺎ َم َرﺳ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬﻤَﺎ ِ ْ َﲔ وَﳘَُﺎ دُو َن اﻟﻠﱠﺘـ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬﻤَﺎ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ وَﳘَُﺎ دُو َن اﻟﻠﱠﺘـ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬﻤَﺎ ﰒُﱠ ِ ْ وَﳘَُﺎ دُو َن اﻟﻠﱠﺘـ ث َ ْﻚ ﺛ ََﻼ َ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬ َﻤﺎ ﰒُﱠ أ َْوﺗَـَﺮ ﻓَﺘِﻠ ِ ْ َﲔ وَﳘَُﺎ دُو َن اﻟﻠﱠﺘـ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛﻌَﺘـ َ َﲔ ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻬﻤَﺎ ﰒُﱠ ِ ْ َﲔ وَﳘَُﺎ دُو َن اﻟﻠﱠﺘـ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ ﰒُﱠ (َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔً )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ
“.....Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani dia berkata, "Saya akan menyelidiki shalat Rasulullah saw pada malam ini." Zaid bin Khalid Al-Juhani berkata, "Aku lalu tidur di kemah beliau, atau pintunya. Rasulullah saw kemudian berdiri dan salat dua rakaat panjang, dua rakaat panjang, dua rakaat panjang. Kemudian beliau salat dua rakaat yang lebih ringan dari dua rakaat sebelumnya. Beliau salat dua rakaat yang lebih ringan lagi dari dua rakaat sebelumnya. Beliau salat dua rakaat yang lebih ringan lagi dari dua rakaat sebelumnya. Lalu beliau salat dua rakaat yang lebih ringan dari dua rakaat sebelumnya. Kemudian beliau salat witir, maka genaplah menjadi tiga belas rakaat." (HR. Muslim, bab al-Du’a’ fi shalah al-lail wa qiyamih, nomor 1284)
َﺷ ﱢﻲ َﻋ ْﻦ ِﻀﻴ ِْﻞ َﻋ ْﻦ َدا ُوَد ﺑْ ِﻦ أَِﰊ ِﻫْﻨ ٍﺪ َﻋ ْﻦ اﻟْ َﻮﻟِﻴ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ اﳉُْﺮ َ ( َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻫﻨﱠﺎ ٌد َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ اﻟْ ُﻔ٨ َﱴ ﺑَِﻘ َﻲ َﺳْﺒ ٌﻊ ﺼ ﱢﻞ ﺑِﻨَﺎ ﺣ ﱠ َ ُﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـﻠَ ْﻢ ﻳ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﺻ ْﻤﻨَﺎ َﻣ َﻊ َرﺳ ُ َﺎل َ َﲑ َﻋ ْﻦ أَِﰊ ذَ ﱟر ﻗ ٍْ َﲑ ﺑْ ِﻦ ﻧـُﻔ ِْ ُﺟﺒـ َﺐ َ َﱴ ذَﻫ ُﺚ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﰒُﱠ َﱂْ ﻳـَ ُﻘ ْﻢ ﺑِﻨَﺎ ِﰲ اﻟﺴﱠﺎ ِد َﺳ ِﺔ َوﻗَﺎ َم ﺑِﻨَﺎ ِﰲ اﳋَْﺎ ِﻣ َﺴ ِﺔ ﺣ ﱠ ُ َﺐ ﺛـُﻠ َ َﱴ ذَﻫ ِﻣ ْﻦ اﻟ ﱠﺸ ْﻬ ِﺮ ﻓَـﻘَﺎ َم ﺑِﻨَﺎ ﺣ ﱠ ِف َ ﺼﺮ َ َﱴ ﻳـَْﻨ َﺎم ﺣ ﱠ ِ اﻹﻣ ِْ َﺎل إِﻧﱠﻪُ َﻣ ْﻦ ﻗَﺎ َم َﻣ َﻊ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻟ َْﻮ ﻧـَ ﱠﻔ ْﻠﺘَـﻨَﺎ ﺑَِﻘﻴﱠﺔَ ﻟَْﻴـﻠَﺘِﻨَﺎ َﻫ ِﺬﻩِ ﻓَـﻘ َ َﺷﻄُْﺮ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﻓَـ ُﻘ ْﻠﻨَﺎ ﻟَﻪُ ﻳَﺎ َرﺳ ﺻﻠﱠﻰ ﺑِﻨَﺎ ِﰲ اﻟﺜﱠﺎﻟِﺜَِﺔ َوَدﻋَﺎ أَ ْﻫﻠَﻪُ َوﻧِﺴَﺎءَﻩُ ﻓَـﻘَﺎ َم َ ث ِﻣ ْﻦ اﻟ ﱠﺸ ْﻬ ِﺮ َو ٌ َﱴ ﺑَِﻘ َﻲ ﺛ ََﻼ ﺼ ﱢﻞ ﺑِﻨَﺎ ﺣ ﱠ َ ُِﺐ ﻟَﻪُ ﻗِﻴَﺎ ُم ﻟَْﻴـﻠَ ٍﺔ ﰒُﱠ َﱂْ ﻳ َ ُﻛﺘ ...َﺤﻴ ٌﺢ ِ ِﻳﺚ َﺣ َﺴ ٌﻦ ﺻ ٌ َﺎل أَﺑُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ َﻫﺬَا َﺣﺪ َ َﻼ ُح ﻗَﺎ َل اﻟ ﱡﺴﺤُﻮُر ﻗ َ ْﺖ ﻟَﻪُ َوﻣَﺎ اﻟْﻔ ُ َﻼ َح ﻗُـﻠ َ َﱴ ﲣََﱠﻮﻓْـﻨَﺎ اﻟْﻔ ﺑِﻨَﺎ ﺣ ﱠ "..... Dari Abu Dzar berkata; "Kami berpuasa Ramadlan bersama Rasulullah saw, namun beliau tidak salat malam bersama kami sampai tersisa tujuh hari dari Ramadlan. Lalu beliau salat bersama kami hingga sepertiga malam. Kemudian beliau tidak salat bersama kami pada malam ke dua puluh enam. Beliau salat bersama kami pada malam ke dua puluh lima, hingga lewat tengah malam. Kami berkata kepada beliau: 'Seandainya anda jadikan sisa malam ini untuk kami melakukan salat nafilah.' Beliau bersabda: 'Barangsiapa yang salat fardlu bersama imam, hingga selesai diberikan baginya pahala salat satu malam.' Kemudian Nabi tidak salat lagi bersama kami hingga tersisa tiga malam dari bulan Ramadlan. Beliau salat bersama kami untuk ketiga kalinya, dengan mengajak keluarga dan istri-istri beliau. Lalu beliau salat hingga kami takut akan ketinggalan 28
al falah. (Jubair) bertanya; 'Apakah artinya al falah? ' Dia menjawab; 'Sahur'." Abu 'Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan shahih. ( HR. Abu Dawud nomor.1375, Ahmad nomor.20474, Tirmidzi nomor 806, Nasa’i nomor 1605, Ibnu Majah nomor 1327, Ibnu Huzaimah nomor 2206, Ibnu Hibban nomor 288/6, Thayalisi nomor 63, Ibnu Abi Syaibah nomor 164/2, al-Baihaqi nomor 494/2,al-Thahawi nomor 349/1)
ﺻﻠﱠﻰ َ ﱠﱯ ْج اﻟﻨِ ﱢ ِ َﲑ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ زَو ِْ َﺎب َﻋ ْﻦ ﻋُﺮَْوةَ ﺑْ ِﻦ اﻟﱡﺰﺑـ ٍ َﺲ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ ٍ ِﻚ ﺑْ ِﻦ أَﻧ ِ َﱯ َﻋ ْﻦ ﻣَﺎﻟ ( َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ اﻟْ َﻘ ْﻌﻨِ ﱡ٩ ﺻﻠﱠﻰ ِﻣ ْﻦ اﻟْﻘَﺎﺑِﻠَ ِﺔ َ س ﰒُﱠ ٌ َﻼﺗِِﻪ ﻧَﺎ َ ﺼﻠﱠﻰ ﺑِﺼ َ َْﺠ ِﺪ ﻓ ِ ﺻﻠﱠﻰ ِﰲ اﻟْ َﻤﺴ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ﱠﱯ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ ﺻﺒَ َﺢ ْ َﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ أ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ س ﰒُﱠ ا ْﺟﺘَ َﻤﻌُﻮا ِﻣ ْﻦ اﻟﻠﱠْﻴـﻠَ ِﺔ اﻟﺜﱠﺎﻟِﺜَِﺔ ﻓَـﻠَ ْﻢ ﳜَُْﺮ ْج إِﻟَْﻴ ِﻬ ْﻢ َرﺳ ُ ﻓَ َﻜﺜـَُﺮ اﻟﻨﱠﺎ ِﻚ ِﰲ َ ض َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َوذَﻟ َ ﻴﺖ أَ ْن ﺗـُ ْﻔَﺮ ُ َﺸ ِ َﱐ ﺧ ُوج إِﻟَْﻴ ُﻜ ْﻢ إﱠِﻻ أ ﱢ ِ ﺻﻨَـ ْﻌﺘُ ْﻢ ﻓَـﻠَ ْﻢ ﳝَْﻨَـﻌ ِْﲏ ِﻣ ْﻦ اﳋُْﺮ َ ْﺖ اﻟﱠﺬِي ُ َﺎل ﻗَ ْﺪ َرأَﻳ َﻗ ي َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒ َﺪةُ َﻋ ْﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َﻋ ْﻤﺮٍو َﻋ ْﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ِﻦ َرَﻣﻀَﺎ َن َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻫﻨﱠﺎ ُد ﺑْ ُﻦ اﻟ ﱠﺴ ِﺮ ﱢ ﺻﻠﱠﻰ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ْﺠ ِﺪ ِﰲ َرَﻣﻀَﺎ َن أ َْوزَاﻋًﺎ ﻓَﺄََﻣﺮَِﱐ َرﺳ ِ ﺼﻠﱡﻮ َن ِﰲ اﻟْ َﻤﺴ َ ُس ﻳ ُ َﺖ ﻛَﺎ َن اﻟﻨﱠﺎ ْ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َ (ِﺖ ﻟَْﻴـﻠ َِﱵ َﻫ ِﺬﻩِ ﲝَِ ْﻤ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻏَﺎﻓ ًِﻼ وََﻻ َﺧ ِﻔ َﻲ َﻋﻠَ ﱠﻲ َﻣﻜَﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ س أَﻣَﺎ وَاﻟﻠﱠ ِﻪ ﻣَﺎ ﺑ ﱡ ُ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨﱠﺎ “Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi dari Malik bin Anas dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari Aisyah isteri Nabi saw bahwa Nabi saw mengerjakan salat di dalam masjid, kemudian orang-orang turut mengikuti salat beliau, kemudian beliau mengerjakan lagi di malam berikutnya, ternyata orang-orang yang mengikuti salat beliau semakin banyak, dan di malam ketiga, ketika orang-orang telah berkumpul, Rasulullah saw tidak kunjung keluar. Keesokan harinya, beliau bersabda: "Aku telah mengetahui apa yang kalian perbuat semalam, dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangiku keluar menemui kalian, hanya saja aku khawatir jika salat tersebut akan diwajibkan atas kalian." Kejadian itu terjadi pada bulan Ramadhan." Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sarri telah menceritakan kepada kami 'Abdah dari Muhammad bin 'Amru dari Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Aisyah dia berkata; "Biasanya orang-orang mengerjakan salat di masjid pada bulan Ramadhan secara terpisah, lalu Rasulullah saw memerintahkanku (untuk menghamparkan tikar), maka aku pun menghamparkan tikar untuk beliau, lalu beliau salat di atas tikar tersebut…" seperti kisah dalam hadis ini, Aisyah berkata; "Beliau saw bersabda: "Wahai sekalian manusia, demi Allah, segala puji bagi Allah, tidaklah aku lalai pada malam hariku ini, dan tidak pula tempat kalian samar bagiku." (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu dawud, Nasa’i, Ahmad)
29
TASYAHUD AWAL DALAM SALAT TARAWIH EMPAT RAKAAT
A. Pendahuluan Dalam beberapa dokumen resmi yang menjelaskan sikap persyarikatan tentang masalahmasalah keagamaan, disebutkan bahwa Muhammadiyah mengakui prinsip tanawwuk (keragaman) dalam pelaksanaan salat tarawih.38 Prinsip tanawwuk diambil sebagai jalan untuk mengkompromikan sejumlah riwayat yang menjelaskan secara berbeda-beda tentang tatacara salat tarawih dan salat lail yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.. Dalam Putusan Tarjih yang dihasilkan dalam Muktamar Khususi Tarjih tahun 1972 di Wiradesa dijelaskan delapan ragam cara pelaksanaan salat tarawih menurut Muhammadiyah, yaitu : a) 4 + 4 + 3 b) 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1 c) 4 + 3/ 6 + 3/ 8 + 3/ 10 + 3 d) 8 + 2 + 1 e) 8 + 5 f) 8 + 1 + 2 g) 7 + 2
h) 9 + 2
Putusan Wiradesa tersebut kemudian dipertegas kembali dan dijelaskan secara lebih rinci oleh Buku Tanya Jawab Agama Jilid 3.39 Namun demikian, sekalipun Muhammadiyah mengakui prinsip tanawwuk, pada umumnya di lapangan warga Muhammadiyah lebih banyak yang memilih untuk mempraktekkan salat tarawih dengan cara empat empat tiga. 40 Cara salat tarawih seperti demikian barangkali dapat dikatakan telah menjadi identitas tersendiri bagi masjid-masjid Muhammadiyah yang membedakannya dari masjid-masjid lainnya. Belakangan ini kemudian muncul pendapat yang mempertanyakan keabsahan praktek salat tarawih empat empat tiga yang biasa dilakukan oleh warga Muhammadiyah. Pertanyaan yang muncul bukan lagi sekedar masalah bilangan tarawih 11 rakaat atau pelaksanaannya yang menggunakan cara empat empat, karena terkait masalah tersebut Muhammadiyah sudah sering mendengarnya.41 Tetapi yang muncul akhir-akhir ini adalah kritik mengenai teknis pelaksanaan
Prinsip tanawwuk dalam masalah ibadah artinya adalah mengakui bahwa Rasul melakukan satu ibadah tertentu dengan cara yang bermacam-macam. Lebih lanjut baca Ibnu Taimiyah: “fashl fi al-ib±d±t allat³ j±at ‘al± wujhin muta’adidah” dalam Majm’ al-Fat±w±, vol. XXII. (Kairo : al-Maktabah al-Tauf³qiyyah, tth), h. 200-6. 39 Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih. Himpunan Putusan Tarjih, h. 342 & 352-355 dan Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tanya Jawab Agama Jilid 3. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004), h. 107-114. 40 Menarik untuk diperhatikan, asal muasal munculnya penegasan kembali keragamaan bilangan rakaat tarawih dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid 3 adalah kebingungan dari seorang penanya beserta jamaah lainnya di suatu masjid di Medan ketika mereka salat dipimpin oleh imam yang melaksanakan tarawih dengan cara 8 rakaat satu kali salam. 41 Untuk merespon pertanyaan tersebut, dalam beberapa fatwa Tarjih sendiri juga sudah berulang kali dijelaskan dalil mengapa Muhammadiyah salat tarawih 11 rakaat dengan cara empat empat tiga. Lebih lanjut baca: Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP 38
30
salat tarawih yang berjumlah empat empat rakaat itu. Muncul kecendrungan baru yang menyatakan bahwa tarawih empat empat rakaat harus dilakukan dengan tasyahud awal pada rakaat kedua. Dus, praktek salat tarawih tanpa tasyahud awal seperti yang selama ini diamalkan oleh warga Muhammadiyah dianggap praktek yang tidak berdasar sama sekali. Sebuah artikel yang penulis baca di internet dengan percaya diri menyatakan bahwa praktek yang meninggalkan tasyahud awal dalam salat tarawih adalah praktek yang muncul dari “reka-reka akal” semata alias tidak memiliki dalil.42 Pandangan seperti demikian ternyata mulai banyak dianut.43 Di dunia maya kita dengan mudah dapat menjumpai pandangan-pandangan seperti itu. Berangkat dari munculnya sejumlah kritik dan tuduhan tidak ada dalil dalam praktek tarawih tanpa tasyahud awal dalam salat empat empat rakaat, Majelis Tarjih dan Tajdid kemudian memutuskan untuk mengangkat permasalahan ini dalam Munas Tarjih ke-28. Tulisan ini disusun untuk menguraikan landasan argumentasi (dalil naqli) dari praktek yang telah menjadi putusan dan praktek mengakar di tengah warga Muhammadiyah. Tulisan ini menguji secara kritis dengan kacamata ilmu kritik hadis dan ilmu Usul Fikih dalil yang dianggap mendasari adanya praktek tasyahud awal pada salat tarawih yang berjumlah empat empat rakaat. Setelah itu tulisan ini merekonstruksi dalil-dalil yang menerangkan bahwa salat tarawih empat empat rakaat dilakukan tanpa adanya tasyahud awal. Secara eksplisit, rumusan masalah yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Benarkah cara salat tarawih empat rakaat tanpa tasyahud awal yang selama ini dilakukan warga Muhammadiyah adalah praktek yang tidak ada dalilnya sama sekali? 2. Benarkah Rasululllah Saw. melakukan tasyahud awal pada salat tarawih yang berjumlah 4 rakaat ? B. Tasyahud Awal pada Salat Tarawih 4 Rakaat, Adakah Dalilnya ? Ada dua model istid±l (penggunaan dalil) yang umumnya digunakan dalam tulisan-tulisan yang menyebutkan keharusan tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat. Pertama, menggunakan nas umum, berupa hadis Nabi yang tidak secara langsung terkait dengan salat tarawih, dan kedua, menggunakan nas yang dianggap khusus berbicara tentang salat tarawih. Pada bagian ini dua model istidl±l tersebut akan diuraikan dan akan diuji secara kritis.
1) Ber-istidl±l dengan dalil salat umum
Muhammadiyah. Tanya Jawab Agama 1. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), cet. VII, h. 90 dan Tanya Jawab Agama 6, cet. I, 2010, h. 64. 42 http://www.arrahmah.com/read/2010/08/12/8698-bilangan-rakaat-shalat-tarawih-dan-cara-melaksanakannya.html (akses tanggal 3 Oktober 2013, pukul 15:21). 43 Penulis ingat pada bulan Ramadan lalu, di sebuah stasiun televisi milik faham salafi, seorang ustadz dalam ceramahnya tentang salat tarawih menyatakan bahwa cara yang benar dalam melaksanakan tarawih 4 rakaat adalah dengan duduk tasyahud awal pada rakaat kedua. Sang ustadz kemudian mengatakan bahwa salat tarawih 4 rakaat tanpa tasyahud adalah praktek yang tidak ada dalilnya sama sekali.
31
a. Riwayat Aisyah (nas no. 2) Dalil pertama yang dijadikan dasar bahwa Rasulullah melakukan tasyahud awal dalam salat tarawih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah tentang tatacara Rasulullah melakukan salat. Disebutkan dalam hadis berikut ini bahwa Rasulullah Saw. membaca tahiyat setiap dua rakaat.
ﲔ( َوﻛَﺎ َن َ َب اﻟْﻌَﺎﻟَ ِﻤ ب )اﳊَْ ْﻤ ُﺪ ﻟِﻠﱠ ِﻪ ر ﱢ ِ َﺼﻼَةَ ﺑِﺎﻟﺘﱠ ْﻜﺒِ ِﲑ وَاﻟْ ِﻘﺮَاءَة ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳَ ْﺴﺘَـ ْﻔﺘِ ُﺢ اﻟ ﱠ ُ ﻛَﺎ َن َرﺳ: َﺖ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ ى ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ َوﻛَﺎ َن إِذَا َرﻓَ َﻊ َ َﱴ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻮ ُﻮع َﱂْ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ ِ ِﻚ َوﻛَﺎ َن إِذَا َرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟﱡﺮﻛ َ َﲔ ذَﻟ َ ْ ﺼ ﱢﻮﺑْﻪُ َوﻟِ َﻜ ْﻦ ﺑـ َ ُﺺ َرأْ َﺳﻪُ َوَﱂْ ﻳ ْ ْﺨ ِ إِذَا َرَﻛ َﻊ َﱂْ ﻳُﺸ ُِﺐ ِر ْﺟﻠَﻪ ُ ش ِر ْﺟﻠَﻪُ اﻟْﻴُ ْﺴﺮَى َوﻳـَﻨْﺼ ُ ﱠﺤﻴﱠﺔَ َوﻛَﺎ َن ﻳـَ ْﻔ ِﺮ ِ َﲔ اﻟﺘ ِ ْ ُﻮل ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ُ ى ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ َوﻛَﺎ َن ﻳـَﻘ َ َﱴ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻮ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺴ ْﺠ َﺪةِ َﱂْ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ [ ﺼﻼَةَ ﺑِﺎﻟﺘﱠ ْﺴﻠِﻴ ِﻢ] رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ اش اﻟ ﱠﺴﺒُ ِﻊ َوﻛَﺎ َن ﳜَْﺘِ ُﻢ اﻟ ﱠ َ ْﱰ َ َِِش اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ِذرَا َﻋْﻴ ِﻪ اﻓ َ ْﲎ َوﻛَﺎ َن ﻳـَْﻨـﻬَﻰ َﻋ ْﻦ ﻋُ ْﻘﺒَ ِﺔ اﻟ ﱠﺸﻴْﻄَﺎ ِن َوﻳـَْﻨـﻬَﻰ أَ ْن ﻳـَﻔْﱰ َ اﻟْﻴُﻤ Dari Aisyah ia berkata : adalah Rasulullah Saw. memulai salatnya dengan takbir dan membaca alhamdulillaahi rabbil ‘±lamiin. Jika rukuk beliau tidak menaikkan (terlalu tinggi) atau menurunkan kepala (terlalu rendah), tetapi pertengahan di antara itu. Jika mengangkat kepala dari rukuk, beliau tidak bersegera sujud sampai tegak berdiri. Jika mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak bersujud sampai tegak dalam posisi duduk. Beliau membaca tahiyyat pada setiap dua rakaat. Beliau membentangkan kaki kiri dan menegakkan (telapak) kaki kanan. Beliau melarang dari duduknya Syaithan dan melarang seseorang menghamparkan tangannya (dalam sujud salat) seperti binatang buas menghamparkan tangannya. Beliau menutup salat dengan salam. [HR Muslim] Menurut yang menggunakannya, hadis di atas dipahami sebagai nas yang menjelaskan bahwa tasyahud awal adalah bagian dari ketentuan umum yang berlaku dalam seluruh salat.44 Nas tersebut kemudian diposisikan sebagai mukhassis bagi riwayat Aisyah yang berasal dari Abu Salamah (nas no 1) yang bersifat mujmal. Pertanyaannya, apakah nas di atas memang dapat dijadikan mukhassis bagi hadis Aisyah tentang salat tarawih empat empat rakaat? Untuk dapat dibawa sebagai hadis yang mentakhsis hadis Aisyah tentang salat tarawih (nas no 1), hadis di atas perlu dibandingkan dengan riwayat-riwayat Aisyah lainnya, khususnya yang secara shar³h (eksplisit) berkaitan dengan salat lail. Riwayat-riwayat yang berisi tentang penjelasan Aisyah mengenai salat lail atau salat tarawih, umumnya selalu menyebutkan secara tekstual dan eksplisit frasa “salat lail”, baik penjelasan Aisyah tersebut berasal dari pertanyaan sahabat yang diajukan pada Aisyah [nas no 1, 23, 24, 25, 26] atau tidak berasal dari pertanyaan sahabat [nas no 29 dan 30]. Sementara pada hadis di atas (nas no 2) tidak didapati penyebutan frasa “salat tarawih” atau “salat lail”. Bahkan dalam hadis tersebut tidak disebutkan salat apa yang dilakukan Rasulullah. Oleh karena itu, untuk dapat dipahami bahwa hadis tersebut menjelaskan salat tarawih yang berjumlah empat rakaat tampaknya agak sulit dan terlalu dipaksakan, karena hal tersebut menyelisihi riwayat-
Dadang Syaripuddin. Tasyahhud Awal pada Setiap Dua Rakaat dalam Shalat yang Empat Rakaat, makalah disampaikan dalam forum Halaqah Pra Munas Tarjih, 5 Oktober 2013 di UM Purwerejo, h. 2. 44
32
riwayat Aisyah lainnya yang selalu menyebutkan “salat lail” atau “salat tarawih” secara eksplisit dalam seluruh riwayatnya. Lebih dari itu, hadis Aisyah tersebut menurut penulis justru lebih tepat untuk dimaknai sebagai dalil yang menjelaskan salat yang dua rakaat. Sebab, sangat terang bahwa Aisyah tidak sedang menjelaskan salat yang empat rakaat. Sejak semula dalam hadis tersebut tidak disebutkan ada rakaat ketiga dan keempat yang dilakukan oleh Nabi. Mari kita perhatikan. Setelah mengatakan “
َﱠﺤﻴﱠﺔ ِ َﲔ اﻟﺘ ِ ْ ُﻮل ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ُ [ َوﻛَﺎ َن ﻳـَﻘbeliau
membaca tahiyyat pada setiap dua rakaat]” Aisyah lalu
mengakhiri pernyataannya dengan kalimat “ﺴﻠِﻴ ِﻢ ْ ﺑِﺎﻟﺘﱠ
َﺼﻼَة َوﻛَﺎ َن ﳜَْﺘِ ُﻢ اﻟ ﱠ
[beliau menutup salat dengan
salam]”. Itu artinya laporan Aisyah dalam riwayat di atas adalah tentang salat Nabi yang dua rakaat, bukan yang empat rakaat. Sehingga dengan demikian bacaan tahiyat atau tasyahud dalam hadis tersebut juga harus dimaknai sebagai bacaan yang dilafalkan Nabi pada salat yang dua rakaat, bukan empat rakaat. Yang menggunakan hadis di atas (nas no 2) sebagai penjelas (mukhassis) hadis Aisyah tentang salat tarawih (nas no 1) mungkin kurang menyadari bahwa hadis tersebut adalah dalil untuk salat dua rakaat. Ketidaksadaran inilah yang perlu untuk diluruskan. Seperti diuraikan sebelumnya, dalam masalah ibadah mahdah kita tidak cukup ber-istidl±l dengan dalil-dalil umum atau bahkan dengan dalil untuk ibadah lainnya. Jika untuk salat tarawih empat rakaat kita ber-istidlal dengan dalil salat dua rakaat, maka akan terjadilah kekacauan dalil. Konsekwensi yang akan terjadi jika pola ini masih tetap diterapkan, orang bisa pula ber-istidl±l untuk masalah puasa sunah dengan dalil puasa wajib atau sebaliknya ber-istidl±l untuk puasa wajib dengan dalil puasa sunah. Dengan beristidlal secara silang, orang bisa membuat ibadah yang tadinya tidak ada menjadi ada dan membuat ibadah yang tadinya batal menjadi sah. Penulis berpendapat, jika seseorang dibolehkan ber-istidl±l dalam masalah ibadah secara arbitrer tanpa harus memperhatikan kesesuaian antara dalil dan konteks ibadahnya, maka maknanya orang tersebut sudah melibatkan diri untuk masuk dalam satu-satunya otoritas yang dapat membuat dan menentukan syariat, yaitu otoritas Syarik. Oleh karena itu, agar kita tidak melakukan pelanggaran otoritas, maka setiap ibadah mahdah tidak boleh kita lakukan kecuali setelah ada dalil yang bersifat khusus, bukan sekedar dalil yang dicari-cari atau dipas-paskan, yang terkadang tak jarang redaksinya tidak bersifat mantq (eksplisit), bahkan mengandung banyak kejanggalan internal di dalamnya. Selain itu, dalam masalah ibadah kita tidak diperkenankan memiliki prakonsepsi terlebih dahulu, kemudian setelah itu mencari-cari dalil agar mendapatkan legitimasinya dari syariah. Inilah esensi dari kaedah popular yang berbunyi :
Asas pokok dalam masalah ibadah adalah mengikuti petunjuk
ُْﻒ َو اْ ِﻹﺗﱢﺒﺎَع ُ ﺻ ُﻞ ِﰱ اﻟْﻌِﺒَﺎ َدةِ اﻟﺘـ َْﻮﻗِﻴ ْ َاْﻷ
Untuk menguatkan kaedah di atas, kiranya perlu dikutip dukungan pernyataan al-Sy±tibi dalam kitabnya al-Muw±faq±t berikut ini: 33
اﻟْﻌِﺒَﺎ َد
Masalah ibadah, tidak ada ruang bagi akal dalam pengadaannya, apalagi dalam hal tatacaranya.45 b.
Riwayat Ibnu Masud (nas no. 3)
Dalil kedua yang digunakan sebagian kalangan untuk menunjukkan adanya tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat adalah hadis riwayat Abdullah ibn Masud berikut ini :
ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋﻠﱠ َﻢ َ َﳓ َﻤ َﺪ َرﺑـﱠﻨَﺎ َوإِ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤﺪًا ََْﲔ َﻏْﻴـَﺮ أَ ْن ﻧُ َﺴﺒﱢ َﺢ َوﻧُ َﻜﺒﱢـَﺮ و ِ ْ ُﻮل ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ُ َﺎل ُﻛﻨﱠﺎ َﻻ ﻧَ ْﺪرِي ﻣَﺎ ﻧـَﻘ َ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ ﱠﱯ َورَﲪَْﺔُ اﻟﻠﱠ ِﻪ ْﻚ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨِ ﱡ َ ﱠﻼ ُم َﻋﻠَﻴ َ ﺎت اﻟﺴ ُ َات وَاﻟﻄﱠﻴﱢﺒ ُ ﺼﻠَ َﻮ ﱠﺎت ﻟِﻠﱠ ِﻪ وَاﻟ ﱠ ُ ﱠﺤﻴ ِ َﲔ ﻓَـ ُﻘﻮﻟُﻮا اﻟﺘ ِ ْ ْﰎ ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ُْ َﺎل إِذَا ﻗَـﻌَﺪ َ َْﲑ َو َﺧﻮَاﲤَِﻪُ ﻓَـﻘ ِْ ﻓَـﻮَاﺗِ َﺢ اﳋ ﲔ أَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ اﻟﻠﱠﻪُ َوأَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤﺪًا َﻋْﺒ ُﺪﻩُ َوَر ُﺳﻮﻟُﻪُ َوﻟْﻴَﺘَ َﺨﻴـْﱠﺮ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َ ِِﱠﻼمُ َﻋﻠَْﻴـﻨَﺎ َو َﻋﻠَﻰ ِﻋﺒَﺎ ِد اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﺼﱠﺎﳊ َ َوﺑـََﺮﻛَﺎﺗُﻪُ اﻟﺴ اﻟ ﱡﺪﻋَﺎ ِء أَ ْﻋ َﺠﺒَﻪُ إِﻟَْﻴ ِﻪ ﻓَـْﻠﻴَ ْﺪعُ اﻟﻠﱠﻪَ َﻋﱠﺰ َو َﺟﻞﱠ ]رواﻩ ﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق و اﲪﺪ و أﺑﻮ داود و اﻟﱰﻣﺬى و اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ و اﻟﻠﻔﻆ ﻟﻪ و اﺑﻦ ﺣﺒﺎن و [اﻟﻄﱪاﱏ و اﺑﻦ ﺧﺰﳝﺔ Dari Abdullah (ibn Masud) ia berkata. Dahulu kami tidak tahu apa yang kami baca setiap rakaat kedua, sehingga kami mengucapkan kalimat tasbih, takbir dan tahmid dan bahwa Muhammad Saw. telah mengajarkan pembuka-pembuka kebaikan dan penutupnya. Nabi Muhammad Saw. kemudian berkata (mengajarkan kepada kami): apabila kalian duduk di setiap dua rakaat kedua maka bacalah: al-tahiyy±tu lill±hi wa al-shalaw±tu wa al-thayyib±t, assalamual’aika ayyuhan
nabiyyu warahmatull±hi wabarak±tuhu. Assalamu ‘alain± wa ‘al± ‘ib±dill±hissh±lih³n. Asyhadu anl± il±h± ill±ll±ha wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasluhu. Kemudian kalian memilih
doa-doa yang kalian inginkan. Kemudian berdoalah kepada Allah azza wa jalla (dengan doa itu). [HR Abdur Razaq, al-Thayalisi, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Nasai dan lafal ini darinya, Ibnu Hibban, al-Thabrani dan Ibnu Khuzaimah].
Berdasarkan penelusuran penulis, hadis di atas ditakhrij setidaknya oleh sembilan orang mukharrij. Pada tingkatan sahabat, hadis tersebut bersumber dari satu orang perawi, yaitu Abdullah ibn Masud. Setiap versi matan walaupun berbeda pelafalannya, namun mengandung common element (al-ma’n± al-musytarak) antara masing-masing versi. Pada hadis Abdullah ibn Masud di atas permasalahan sesungguhnya tidak terletak pada aspek otentisitasnya, namun lebih pada aspek dil±lah al-lafzh ‘al± al-hukm (penunjukan lafal terhadap hukum) nya. Pertanyaannya yang perlu dijawab terkait dengan hal ini adalah tepatkah hadis di atas dipahami sebagai perintah untuk melakukan duduk tahiyat (tasyahud) setiap dua rakaat? Jika diperhatikan dengan seksama, sejak awal sesungguhnya hadis di atas hendak menginformasikan kepada kita tentang bacaan yang dilafalkan ketika duduk pada rakaat kedua, 45
Ibr±him ibn Ms± al-Sy±tibi. al-Muw±faq±t. Komentar: Abdullah Darr±z. (Kairo: al-Maktabah al-Tauf³qiyyah, tth.), III:36.
34
bukan keharusan melakukan rakaat kedua itu sendiri. Hal tersebut dapat dipahami dari siy±q (konteks) kalimat yang menjadi pembuka hadis. Ibnu Masud mengatakan “
ُﻮل ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ ُ ُﻛﻨﱠﺎ َﻻ ﻧَ ْﺪرِي ﻣَﺎ ﻧـَﻘ
َﲔ ِ ْ ( َرْﻛ َﻌﺘـdahulu kami tidak tahu apa yang kami baca setiap rakaat kedua)”.
Ibnu Masud kemudian
menceritakan bahwa ketika duduk dua rakaat, dirinya dan para sahabat lainnya hanya membaca tasbih, takbir dan tahmid (nas no 4). Dalam riwayat yang lain (yang diceritakan kepada tabiin bernama Syaqiq [nas no 5], Ibnu Masud menceritakan bahwa ada pula di kalangan sahabat yang membaca kalimat keselamatan atas Allah selain bacaan di atas. Laporan Ibnu Masud bahwa para sahabat tidak tahu tentang bacaan pada saat duduk di rakaat kedua menunjukkan bahwa pesan yang ingin disampaikan dalam hadis tersebut adalah tentang bacaan atau doa itu sendiri, bukan tentang kewajiban duduk tasyahud awal setiap dua rakaat. Dalam riwayatnya di atas Ibnu Masud mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “ ِﰲ
ﱠﺎت ُ ﱠﺤﻴ ِ َﲔ ﻓَـ ُﻘﻮﻟُﻮا اﻟﺘ ِ ْ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ
ْﰎ ُْ إِذَا ﻗَـ َﻌﺪ
(jika kalian duduk setiap dua rakaat, maka ucapkanlah al-tahiy±t). Dalam
versi lain laporan Ibnu Masud berbunyi “
ﲔ ِ ْ اﻟﺮْﻛ َﻌﺘَـ َ َﻋﻠﱠ َﻤﻨَﺎ َر ُﺳ ْﻮُل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أَ ْن ﻧـَ ُﻘ ْﻮَل إِذَا َﺟﻠَ ْﺴﻨَﺎ ِﰲ
ﺎت ُ ( ”اﻟﺘﱠ ِﺤﻴﱠRasulullah mengajarkan kami jika kami duduk pada rakaat kedua agar kami membaca altahiy±t). Hampir semua versi yang meriwayatkan hadis di atas menggunakan partikel kondisional (harf syarth) idz± yang artinya jika. Pemaknaan terhadap hadis Ibnu Masud di atas sangat bertumpu pada partikel “idz±” tersebut. Dengan mempertimbangkan keberadaan partikel “idz±”, maka makna yang muncul dari pemahaman secara mafhm mukh±lafah terhadap hadis tersebut adalah : “jika kalian tidak duduk pada rakaat kedua atau kalian melakukan salat yang tidak harus duduk pada rakaat kedua, maka bacaan al-tahiy±t tidak perlu dibaca”. Memang betul ada sebuah matan yang tidak menggunakan laporan dengan format kondisional dengan partikel idz±. Matan tersebut adalah versi Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204 H/819 M) yang berbunyi: “ِﷲ
ﺎت ُ ﲔ اﻟﺘَ ِﺤﻴﱠ ِ ْ ( ﻓَﺄ َﻣَﺮﻧﺎَ أَ ْن ﻧـَ ُﻘ ْﻮَل ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘَـmaka beliau menyuruh kami untuk
membaca pada setiap dua rakaat al-tahiyy±t lill±h)” [nas no. 4). Namun setelah direkonstruksi sanad hadis Abdullah ibn Masud secara keseluruhan, tampak jelas bahwa al-Thayalisi telah melakukan periwayatan bil makna. Karena lafal al-Thayalisi berbeda dengan lafal dari mukharrijmukharrij lainnya. Sehingga dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa al-Thayalisi telah melakukan perubahan lafal (wording) hadis. Dari empat orang perawi yang menerima hadis dari Syu’bah (tabaqah ke-3), yaitu Muhammad ibn Jakfar, Muhammad ibn Katsir, al-Walid dan al-Thayalisi, hanya ia sendirilah yang menghilangkan partikel “idz±”. Tiga orang lainnya yang menerimanya dari Syu’bah dan perawi-perawi lainnya tetap mempertahankan partikel “idz±”. Tetapi sekali lagi, ada atau tidak partikel “idz±” tetap saja tidak ada dal±lah shar³hah (petunjuk eksplisit) yang memerintahkan untuk duduk tasyahud awal pada lafal dari al-Thayalisi. Lafal versi al-Thayalisi sama seperti versi mukharrij-mukharrij lainnya; mengajarkan tentang doa ketika duduk tasyahud awal pada rakaat kedua. Untuk menunjukkan perintah melakukan tasyahud awal, semestinya redaksi hadis Ibnu Masud berbunyi: “kunn± l± najlis fi kulli rak’atain fa amaran± an najlisa (kami dahulu tidak duduk pada setiap dua rakaat, kemudian Rasulullah menyuruh kami 35
melakukannya)”. Kenyataannya, tidak ada lafal seperti itu yang muncul pada semua versi hadis dari Ibnu Masud. Berikut ini skema sanad hadis dari Abdullah ibn Masud tentang doa pada saat duduk tasyahud:
Sebagai catatan tambahan, ada yang memahami bahwa hadis Abdullah ibn Masud yang sedang didiskusikan di sini adalah hadis yang menjelaskan tata cara salat dua rakaat yang hanya memiliki satu tasyahud bukan salat empat rakaat atau bukan menjelaskan tentang tasyahud awal. Buktinya adalah pernyataan Nabi agar Ibnu Masud memilih berdoa dengan doa apa saja setelah membaca bacaan tasyahud. Ibnu Rajab al-Hanbali, pensyarah kitab Sahih Bukhari yang mengomentari hadis di atas mengatakan: Lafal ini (maksudnya perintah untuk memilih doa pada saat duduk tahiyat) sangat jelas menunjukkan bahwa tasyahud ini dilakukan setiap dua rakaat yang langsung salam.46
2. Riwayat Abu Hurairah, dapatkah dijadikan dalil ? Dalil kedua yang dijadikan dasar bahwa salat tarawih empat rakaat harus melakukan tasyahud awal adalah hadis riwayat Abu Hurairah (nas no 6). Dalil ini dianggap menceritakan langsung
Zainuddin Ab al-Faraj Ibnu Rajab al-Hanbaliy. Fath al-B±ri Syarh Shah³h al-Bukh±riy. (al-Mad³nah al-Munawwawah: al-Ghurab± alAstariyyah, 1996), vol. VII: 325. 46
36
bahwa Rasulullah apabila salat tarawih empat rakaat juga melakukan tasyahud awal. Hadisnya adalah sebagai berikut :
َﺎم َوأَﺑُﻮ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ ٍ ِث ﺑْ ِﻦ ِﻫﺸ ِ َﺎل أَ ْﺧﺒَـﺮَِﱏ أَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ِﻦ اﳊَْﺎر َىﻗ ْﺐ َﻋ ِﻦ اﻟﱡﺰْﻫ ِﺮ ﱢ ٌ َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺷ َﻌﻴ َ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ اﻟْﻴَﻤَﺎ ِن ﻗ ، ﲔ ﻳـَْﺮَﻛ ُﻊ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳـَﻘُﻮُم َ ﻓَـﻴُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، َِﲑﻩ ِْ َﲑﻫَﺎ ِﰱ َرَﻣﻀَﺎ َن َوﻏ ِْ ﺻﻼَةٍ ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑَِﺔ َوﻏ َ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ أَ ﱠن أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻛَﺎ َن ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ ﰒُﱠ، َﺎﺟﺪًا ِ ﲔ ﻳـَ ْﻬﻮِى ﺳ َ ِﺣ. ُﻮل اﻟﻠﱠﻪُ أَ ْﻛﺒَـُﺮ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ، ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ. َﻚ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ َ ُﻮل َرﺑـﱠﻨَﺎ َوﻟ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ. ُﲪ َﺪﻩ َِ ُﻮل َِﲰ َﻊ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟِ َﻤ ْﻦ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ ﲔ ﻳـَﻘُﻮمُ ِﻣ َﻦ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱡﺴﺠُﻮِد َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ُﺪ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱡﺴﺠُﻮِد َ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ ِﱏ ْﺴﻰ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ إ ﱢ ِ ِف وَاﻟﱠﺬِى ﻧَـﻔ ُ ﺼﺮ َ ْﲔ ﻳـَﻨ َ ُﻮل ِﺣ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ، ِﺼﻼَة غ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠ َ َﱴ ﻳـَ ْﻔُﺮ ِﻚ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌ ٍﺔ ﺣ ﱠ َ َوﻳـَ ْﻔ َﻌ ُﻞ ذَﻟ، َﲔ ِ ْ ُﻮس ِﰱ ا ِﻻﺛْـﻨَﺘـ ِ اﳉُْﻠ [َق اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى َ َﱴ ﻓَﺎر ﺼﻼَﺗَﻪُ ﺣ ﱠ َ ََﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ﻟ ْ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ إِ ْن ﻛَﺎﻧ ِ ﺼﻼَةِ َرﺳ َ ِﻷَﻗْـَﺮﺑُ ُﻜ ْﻢ َﺷﺒَـﻬًﺎ ﺑ Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman, ia berkata telah menceritakan kepada kami Syuaib dari Zuhri, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Bakar Ibn Abdu al-Rahman Ibn alHarist bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdu al-Rahman: bahwasanya Abu Hurairah selalu bertakbir setiap melakukan salat wajib dan salat lainnya, baik di bulan Ramadan dan lainnya. beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika akan rukuk, kemudian mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” kemudian mengucapkan “rabban± wa lakal hamd” sebelum beliau bersujud. Kemudian beliau mengucapkan Allahu Akbar ketika tunduk bersujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepala dari sujud, kemudian bertakbir ketika berdiri dari duduk pada rakaat kedua. Abu Hurairah melakukan hal tersebut pada setiap rakaat sampai beliau selesai melaksanakan salat. Kemudian beliau mengatakan ketika berpaling, Demi Dzat yang aku pada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku yang paling dekat kemiripannya diantara kalian dengan salat Rasululullah. Sungguh inilah cara salat beliau hingga beliau meninggalkan dunia ini [HR Bukhari] Menurut seorang penulis, pesan primer (Usul Fikih:‘ib±rah al-nassh) dari hadis di atas adalah tentang takbir yang memisahkan antar gerakan dalam salat. Namun, hadis di atas juga dianggap menyampaikan pesan sekunder (Usul Fikih: isy±rah al-nassh) yaitu tentang adanya tasyahud awal dalam salat tarawih.47 Pesan sekunder tersebut dapat dipahami dari dua kalimat, yaitu pernyataan perawi sebelum Abu Hurairah bahwa Abu Hurairah selalu bertakbir saat melakukan salat wajib, baik pada bulan Ramadan maupun bulan lainnya dan pernyataan bahwa Abu Huairah melakukan takbir setelah duduk pada rakaat kedua. Pertanyaannya, apakah riwayat Abu Hurairah di atas benar-benar tepat untuk dijadikan dalil ? Setelah membaca secara cermat hadis di atas, penulis menyatakan bahwa hadis di atas la yashluhu lil ihtij±j bihi (tidak dapat dijadikan dalil) bahwa salat tarawih empat rakaat juga harus menggunakan tasyahud. Alasannya adalah sebagai berikut :
47
Dadang Syarifuddin. Op. Cit., h. 17
37
a)
Kalimat “wa ghairih± fi Ramadl±n wa ghairihi” pada hadis di atas lahir dari periwayatan bilmakna
Setelah dilakukan takhr³j, hadis yang menceritakan praktek Abu Hurairah mengimami salat seperti tersebut dalam hadis di atas, selain terdapat dalam Shah³h al-Bukh±ri juga terdapat dalam empat belas kitab hadis primer (al-mash±dir al-ashliyyah) lainnya, yaitu : Muwattaha Imam Malik, al-Umm Imam al-Syafii, Mushannaf Abdir Razz±q, Musnad Ahmad, Shah³h Muslim, Shah³h Ibni Khuzaimah, Musnad Ab³ ‘Aw±nah, Sunan Ab³ D±wd, Sunan al-D±rimi, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nas±i, Musnad al-Sy±miyy³n li al-Thabr±ni, Shah³h Ibni Hibban dan Musnad al-Mshiliy, (nas no 7-21). Dari 15 orang mukharrij tersebut, secara keseluruhan terdapat 26 jalur periwayatan untuk hadis ini. Imam Bukhari sendiri yang dalam satu riwayatnya terdapat tambahan kalimat “wa ghairih± fi Ramadl±n wa ghairihi”, memiliki empat jalur ketika mentakhrij hadis ini, yaitu melalui Abul Yaman, Yahya ibn Bukair, Abdullah ibn Yusuf dan Adam. Jika digambarkan dalam bentuk skema, sanad hadis tersebut menjadi seperti ini : Rasulullah
Abu Hurairah
Said al-Maqbariy
Abu Salamah
Abu Bakar ibn Abdurrahman
Atha’ Yahya
Ibnu Abi Dzikbin
Waki’
Malik (w. 179 H)
Adam
Syuaib
Zuhri
Uqail
Ibnu Juraij
Sufyan
Ma’mar
Syafii (203 H) Baqiyyah Usman
Abu Ya’la (307 H )
Abdullah ibn
Ali ibn
Abu al-
Ayyash
Yusuf
Al-Laits
Abdur Razaq (w. 211 H)
Yam±n
Abu Zur’ah
Yahya ibn Bukair
Hujain Ahmad (w. 241
Al-Bukh±ri (w. (w. 256 256 H) H)
Abu Dawud
Muhammad ibn Rafi’
H)
Abu Bakar
Nashr ibn Ali Yusuf bin Muslim
Ibnu Khuzaimah (w. 311 H)
: ada: tambahan kata “Ramadan” Keterangan Tanpatambahan kata “Ramadan” : tanpa kata “Ramadan” Menggunakan kata “Ramadan”
(w. 316 H)
Suwaid
Hibban ibn Musa Ali ibn Hasan Al-Hasan ibn Sufyan
Nasai (w. 303 H) Ibnu Hibban (w. 354 H)
(w. 255 H) Abdullah
Al-Tirmidzi (w. 279 H)
Abu Thahir
Keterangan :
Sawwar
Al-Darimi
Muslim (w. 261 H)
Abdullah
Harmalah ibn Yahya
Abu Awanah
Al-Thabrani (w. 360 H)
(w. 275 H)
Abdul A’la
Al-Dabari
Hajjaj
Amru ibn Usman
Yunus
38
Membandingkan 26 jalur dengan 26 matan hadis yang terdapat dalam 15 kitab al-mashadir tersebut, kita dapat menemukan matan yang menjadi common element (unsur bersama) antar pelbagai riwayat. Common element dari keseluruhan matan hadis riwayat Abu Hurairah tersebut dapat dinyatakan dalam empat hal berikut: 1. Abu Hurairah diceritakan memimpin salat jamaah. 2. Di dalam jamaahnya ada dua orang tabiin yang kemudian meriwayatkan praktek Abu Hurairah menjadi sebuah hadis. Dua orang tersebut adalah Abu Salamah dan Abu Bakar ibn Abdurrahman. 3. Abu Hurairah bertakbir ketika akan memulai salat, ketika rukuk, ketika sujud dan ketika bangkit dari rakaat kedua. 4. Abu Hurairah menyatakan bahwa dirinyalah orang yang paling mirip salatnya dengan salat Rasulullah dibandingkan dengan seluruh jamaah yang hadir pada salat yang ia imami. Sekalipun 26 jalur tersebut memiliki common element dan beberapa diantaranya ada yang lafalnya sangat identik, namun antara satu riwayat dengan riwayat lainnya juga memiliki perbedaan pada matannya. Perbedaan tersebut ada yang hanya bersifat lafziah saja, artinya perbedaan lafal yang tidak terkait dengan isi, dan ada juga yang terkait dengan substansi hadis. Berikut ini contoh perbedaan lafal dan perbedaan substansial dari common element hadis: No.
Perbedaan lafal
1.
ُﲔ ﻳـ َْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪ َ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ
2.
َﺎﺟﺪًا ِ ﲔ ﻳـَ ْﻬﻮِى ﺳ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ
ُﻮع ِ اﻟﺮﻛ ﺻ ْﻠﺒَﻪُ ِﻣ َﻦ ﱡ ُ ﻳـ َْﺮﻓَ ُﻊ
ﲔ ﻳـ َْﺮَﻛ ُﻊ َ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ
ﲔ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ُﺪ َ ﲔ ﻳـ َْﺮَﻛ ُﻊ َوإِذَا ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ َ َﺣ ِ ﲔ ﻳـَﻘُﻮُم و َ ﻓَـﻴُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ أَرَا َد أَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ
23
ﺼﻼَةِ ُﻛﻠﱢﻬَﺎ ِﻚ ِﰱ اﻟ ﱠ َ ﻳـَ ْﻔ َﻌ ُﻞ ِﻣﺜْ َﻞ ذَﻟ
غ ِﻣ َﻦ َ َﱴ ﻳـَ ْﻔُﺮ ِﻚ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌ ٍﺔ ﺣ ﱠ َ ﻓَـﻴَـ ْﻔ َﻌ ُﻞ ذَﻟ
ﻀ َﻲ ِ َﱴ ﻳـَ ْﻘ ِﻚ ﺣ ﱠ َ ﻳـَ ْﻔ َﻌ ُﻞ ِﻣﺜْ َﻞ ذَﻟ
ﺼﻼَِة اﻟ ﱠ
َُﻼﺗَﻪ َﺻ
Tabel 1 : perbedaan lafal yang tidak berpengaruh pada pesan hadis
No. Tambahan subtansial
1.
Kemungkinan
Mukharrij
terhadap common
Penyusun
element hadis
Lafal
ﺼﻼَةِ اﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑَِﺔ إِذَا ﻗَﺎ َم إ َِﱃ اﻟ ﱠMuslim (no. [392]-30)
39
Yunus ibn Yazid
Keterangan
12 orang mukharrij lainnya
tidak
Al-Nasai (no. 1023)
menyebutkan
Ibnu Hibban (no.
lafal “ ِﺼﻼَة اﻟ ﱠ
1767)
”اﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑَِﺔ
2.
َﲑﻫَﺎ ِْ ﺻﻼَةٍ ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑَِﺔ َوﻏ َ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞBukhari (no. 803) َﲑِﻩ ِْ ِﰱ َرَﻣﻀَﺎ َن َوﻏ
Tabrani (no. 3135)
Abul Yaman dan 13 orang Yahya ibn
mukharrij lainnya
Ayyash
tidak menyebutkan lafal “ ﺼﻼَةِ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠ
َﲑﻫَﺎ ِﰱ ِْ اﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑَِﺔ َوﻏ َﲑِﻩ ِْ ” َرَﻣﻀَﺎ َن َوﻏ 3.
ﲔ ا ْﺳﺘَ ْﺨﻠَ َﻔﻪُ ﻣَﺮْوَا ُن َ أَ ﱠن أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ِﺣNasai (no. 1023) َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻤﺪِﻳﻨَ ِﺔ
Ibnu Hibban (no. 1767)
Yunus ibn Yazid
11 orang mukharrij lainnya tidak menyebutkannya.
Muslim (no. [392]-30) Tabel 2 : perbedaan lafal yang bersifat substansial dan memiliki implikasi pada pesan hadis Membandingkan matan dari masing-masing mukharrij di atas (nas no 3-18) dan melihat adanya perbedaan lafal, serta adanya beberapa tambahan di luar common element, kita dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi periwayatan bilmakna dalam hadis di atas. Dalam menarasikan hadis, perawi tidak menyampaikannya secara letterlijk sesuai dengan penyataan perawi awalnya, Abu Hurairah (sahabat) atau Abu Bakar ibn Abdurrahman dan Abu Salamah (tabiin), melainkan dengan pembahasaan ulang (wording) yang menambahkan secara signifikan pesan awal hadis. Namun pertanyaannya, apakah mungkin keragamaan lafal sesungguhnya telah terjadi sejak generasi perawi kedua yang menjadi saksi perbuatan dan pernyataan Abu Hurairah, yaitu Abu Salamah dan Abu Bakar ibn Abdur Rahman yang berasal dari generasi tabiin? Ataukah keragaman lafal baru terjadi sesudahnya, dimulai dari al-Zuhri dari generasi tabiut tabiin sebagai common link, ataukah terjadi pada generasi-generasi sesudahnya lagi ? Tabel di bawah ini adalah hasil perbandingan matan antar mukharrij dengan mukharrij lainnya. Tabel ini menunjukkan keidentikan matan antara sejumlah mukharrij. Setelah ditelusuri, keidentikan 40
tersebut disebabkan karena mereka menerima hadis dari jalur yang sama atau karena mereka mengalami pertemuan sanad pada satu titik perawi. Kita dapat berasumsi bahwa jalur pertemuan itulah yang menjadi perawi yang bertanggungjawab terhadap penyusunan lafal (wording) hadis. N
Matan yang identik
o. 1.
Kemungkinan pembuat lafal hadis
Nasai (no. 1023)
Yunus ibn Yazid
Yunus adalah common link dari 3 jalur hadis yang matannya identik. Lafal tidak dianggap berasal dari Zuhri (gurunya Yunus) karena lafal Yunus tidak identik dengan lafal milik murid Zuhri yang lainnya.
Abdul A’la
Abdul A’la adalah common link dari 3 jalur hadis yang matannya identik. Lafal tidak dianggap berasal dari Ma’mar (gurunya Abdul A’la) karena lafal Abdul A’la tidak identik dengan lafal Abdur Razaq yang juga menerimanya dari Ma’mar.
Syuaib
Syuaib adalah common link dari 3 jalur hadis yang matannya identik. Lafal tidak dianggap berasal dari Zuhri (gurunya Yunus) karena lafal Syuaib tidak identik dengan lafal milik murid Zuhri yang lainnya.
Malik
Malik adalah guru dari Syafii. Kemungkinan penyusun lafalnya adalah Malik sendiri.
Abdur Razaq/Ibnu Juraij
Abdur Razaq adalah common link dari 3 jalur hadis yang matannya identik. Lafal kemungkinan bisa juga berasal dari gurunya Ibnu Juraij yang tidak meriwayatkan hadis tersebut kecuali
Ibnu Hibban (no. 1767) Muslim (no. [392]-30)
2.
Ahmad (no. 7645) Al-Darimi (no. 1283) Nasai (no. 1156)
3.
Al-Thabrani (no. 3135) Al-Bukhari (no. 803) Abu Dawud (no. 836) Kecuali tambahan kata “Ramadan” yang tidak dimuat oleh Abu Dawud.
4.
Malik (no. 71/248) Syafii (no. 221)
5.
Analisis
Ahmad (no. 7646) Abu Awanah (no. 1853) Muslim (no [392]-29)
41
kepada Abdur Razaq sendiri. 6.
Muslim (Nasai 1150)
Al-Laits/Uqail
Al-Laits adalah common link dari 3 jalur hadis yang matannya identik.
Ahmad (no. 9851)
Lafal kemungkinan bisa juga berasal dari
Bukhari (no. 789)
gurunya
Uqail
yang
tidak
meriwayatkan hadis tersebut kecuali kepada al-Laits sendiri. Tabel 3 : Matan-matan yang identik dan kemungkinan penyusunnya. Mengenai kalimat “wa ghairih± fi Ramadl±n wa ghairihi” dalam hadis Abu Hurairah di atas, dari 26 jalur hadis ternyata tambahan tersebut hanya terdapat dalam dua jalur, yaitu jalur Imam Bukhari melalui Abul Yaman (nas no 6) dan jalur al-Tabrani (nas no 8) melalui Ali ibn Ayyash [lihat no. 6 pada tabel 3 di atas]. Sedangkan 24 jalur lainnya (nas no 7, 9-21) tidak menyebutkan kalimat “wa ghairih± fi Ramadl±n wa ghairihi”. Implikasi dari ketiadaan kalimat tersebut adalah keterangan bahwa Nabi melakukan duduk tasyahud awal pada bulan Ramadan menjadi tidak ada. Pertanyaan kemudian muncul di benak kita; jika tidak terdapat dalam sebagian besar jalur lainnya, dari mana munculnya tambahan tersebut? Dengan penelisikan terhadap jalur sanad, kalimat “wa ghairiha fi Ramadl±n wa ghairihi”” dapat dipastikan belum muncul sampai pada perawi di tingkatan ketiga, yaitu Ibnu Juraij, Uqail dan Ma’mar. Oleh karena itu, kita dapat menduga bahwa penambahan (ziy±dah) kata Ramadan terjadi pada perawi setelah tingkatan ketiga. Besar kemungkinan Abu alYaman dan Ali ibn Ayyashlah yang menambahkan kata tersebut saat meriwayatkannya kepada Bukhari dan kepada Abu Zur’ah (guru al-Tabrani). Tambahan tersebut lahir dari sebuah proses periwayatan bilmakna yang melibatkan unsur intrepretasi perawi. Bukan periwayatan billafzhi yang tetap mempertahankan otentisitas teks apa adanya. Karena telah terjadi periwayatan bil makna pada versi Bukhari dan Thabrani dari Ali ibn Ayyash dan Abu al-Yaman, kita hanya dapat berpegang pada common element saja. Apalagi dalam kasus tambahan kata “wa ghairih± fi Ramadl±n wa ghairihi”, riwayat bil makna dari dua orang perawi tersebut terjadi dalam masalah ibadah. Tambahan tersebut menyebabkan ibadah yang tadinya tidak ada menjadi ada. Di samping itu tambahan tersebut tidak memiliki dukungan jalur lainnya (mut±bi’, corroborator), baik dari tabaqah (tingkatan yang sama) atau tabaqah sebelumnya. Dalam hal ini (konteks ibadah) kejujuran perawi yang seorang diri semata dianggap tidaklah cukup. Karena bisa jadi seorang perawi jujur juga melibatkan interpretasinya dalam meriwayatkan hadis. Namun di luar urusan ibadah, di mana tambahan informasi tersebut tidak merubah common element dan hanya berfungsi sebagai penjelas, kita dapat memberlakukan pengecualian. Tambahan tersebut dapat diterima. Seperti halnya tambahan penjelasan dari Yunus bin Yazid bahwa perbuatan Abu Hurairah yang menjelaskan tentang takbir dalam salat saat ia lakukan saat ia menduduki jabatan sebagai gubernur Madinah pada masa Marwan (lihat no 3 pada tabel no 2). 42
Mungkin muncul pertanyaan, apakah tambahan tersebut tidak bisa dikembalikan kepada kaedah “ziy±dah al-tsiqah maqblah (tambahan redaksi dari orang yang kredibel dapat diterima)” ? Sebab, membaca kitab biografi perawi, hampir semua biografer menyebut Ali ibn Ayyash dan Abu al-Yaman sebagai pribadi yang tsiqah.48 Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu membuka kembali buku-buku ilmu hadis.49 Ternyata para ulama hadis sendiri tidak lah mutlak memegangi kaedah itu. Beberapa ulama hadis justru memberikan syarat tambahan agar suatu tambahan bisa diambil. Al-Khat³b al-Baghd±di mensyaratkan perawi kredibel tersebut harus seorang diri (ziy±dah al-tsiqah maqblah idz± infarada bih±) artinya agar riwayat perawi tersebut tidak bertentangan dengan perawi lainnya.50 Hal yang sama juga dipegangi oleh Ibnu Hajar al-Asqalani. Ibnu Hajar menyatakan :
ِﲔ اﻟﱠﺬﻳْ َﻦ َْ ِﻚ َﻋﻠَﻰ ﻃَ ِﺮﻳ ِْﻖ اﳌُ َﺤ ﱢﺪﺛ َ وََﻻ ﻳـَﺘَﺄﺗ َﻰ ذَﻟ،ﺼﻴ ٍْﻞ ِ َﲑ ﺗـَ ْﻔ ِْ ُﻮل اﻟﺰﱢﻳﺎدة ُﻣﻄْﻠﻘًﺎ ِﻣ ْﻦ ﻏ ِ ْل ﺑﻘﺒ ُ ا ْﺷﺘُﻬَﺮ ﻋَ ْﻦ ﲨَْ ٍﻊ ِﻣ َﻦ اﻟﻌُﻠﻤﺎ ِء اﻟﻘَﻮ Pandangan yang populer dari banyak ulama adalah pendapat yang menerima tambahan (perawi) secara mutlak, tanpa diperinci. Hal tersebut tidak sesuai dengan metode para ahli hadis yang mensyaratkan tidak adanya sy±dz dalam hadis sahih dan hasan.51
Al-Zayla’i juga mensyaratkan perawinya harus tsiqah dan tidak bertentangan dengan perawi tsiqah yang lain. Dalam Nashbu al-R±yah (kitab yang mentakhrij hadis-hadis kitab Fikih Hanafi alHid±yah) ia menulis :
َوُﻫ َﻮ أَﻧـﱠﻬَﺎ ﺗـُ ْﻘﺒَﻞُ ِﰲ ﻣ َْﻮ ِﺿ ٍﻊ دُو َن ﻣ َْﻮ ِﺿ ٍﻊ، ُﱠﺤﻴ ُﺢ اﻟﺘﱠـ ْﻔﺼِﻴﻞ ِ وَاﻟﺼ، َوِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ َﻣ ْﻦ َﻻ ﻳـَ ْﻘﺒَـﻠُﻬَﺎ، ﱠﺎس َﻣ ْﻦ ﻳـَ ْﻘﺒَ ُﻞ ِزﻳَﺎ َدةَ اﻟﺜﱢـ َﻘ ِﺔ ُﻣﻄْﻠَﻘًﺎ ِ ﻓَ ِﻤ ْﻦ اﻟﻨ ِﻚ َ أ َْو دُوﻧَﻪُ ِﰲ اﻟﺜﱢـ َﻘ ِﺔ … َوَﻣ ْﻦ َﺣ َﻜ َﻢ ِﰲ ذَﻟ، ُ َواَﻟﱠﺬِي َﱂْ ﻳَ ْﺬﻛ ُْﺮﻫَﺎ ِﻣﺜْـﻠُﻪ، ﻓَـﺘُـ ْﻘﺒَ ُﻞ إذَا ﻛَﺎ َن اﻟﺮﱠاوِي اﻟﱠﺬِي رَوَاﻫَﺎ ﺛَِﻘﺔً ﺣَﺎﻓِﻈًﺎ ﺛـَْﺒﺘًﺎ،
Diantara manusia (ulama) ada yang menerima tambahan dari orang yang tsiqah secara mutlak. Namun ada juga yang tidak menerimanya (secara mutlak). Yang benar (dalam hal ini) adalah diperinci. Tambahan orang yang tsiqah dapat diterima di satu kondisi, (namun bisa juga) tidak diterima dalam kondisi yang lain. Diterima jika perawi yang meriwayatkannya adalah orang yang tsiqah, hafal dan mantap (ingatannya) dan tidak ditolak oleh orang yang sama tsiqah dengannya atau lebih rendah. Barangsiapa yang menghukumi tambahan orang yang
48
49
Ibnu Hajar al-Asqalani. Tahdz³bu al-Tahdz³b. Al-Dzahabi. Siyar A’lam al-Nubal±. Ibnu Shalah menjelaskan bahwa tambahan perawi yang seorang diri dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam dan masing-masing
memiliki hukumnya sendiri. Pertama, tambahan perawi tsiqah yang menyelisihi dan berkontradiksi (mukh±lif wa mun±fiy) dengan seluruh perawi tsiqah lainnya. Tambahan ini hukumnya ditolak (fa h±dz± hukmuhu al-radd). Kedua, tambahan yang tidak bertentangan dan berkontradiski dengan perawi tsiqah lainnya. Ini hukumnya diterma (fa h±dz± maqbl). Ketiga, tambahan yang berada di tengahtengah dua tambahan di atas (bayna h±tayni al-martabatain), seperti tambahan dalam sebuah hadis yang tidak disebutkan oleh seluruh pearwi hadis tersebut. Lih. Ibnu Shalah. Al-Muqaddimah. Edisi : Aisyah Abdur Rahman (Bintu al-Syati). (Kairo : D±r al-ma’±rif, tth.), h. 251. Sayang sekali Ibnu Shalah tidak menjelaskan perspektifnya tentang jenis yang ketiga ini. Padahal tambahan kata “Ramadlan” termasuk ke dalam kasus yang ketiga. 50 Al-Khat³b al-Baghd±di. Al-Kif±yah fi Ma’rifati Ushl ‘Ilmi al-Riw±yah. (Kairo : D±r al-Hud±, 2003), vol. II, h. 538. 51 Ibnu Hajar al-‘Asqal±ni. Nazhatu al-Nazhr Syarh Nukhbah al-Fikr. Editor dan komentator: Abdullah al-Rahiliy. (Riyadh: Maktabah alMalik Fahd, 2001), h. 82
43
tsiqah dengan menyamaratakannya, sungguh ia telah salah. Karena setiap tambahan memiliki hukumnya sendiri-sendiri.52
b)
Hadis Riwayat Abu Hurairah adalah tentang takbir
Hadis riwayat Abu Hurairah (nas no 6) sesungguhnya membicarakan tentang takbir. Hadis tersebut sama sekali tidak berbicara tentang tasyahud awal pada salat tarawih, terutama sebagai ‘ib±rah al-nash (pesan inti)nya. Sebagai bukti bahwa tema utama hadis Abu Hurairah adalah tentang takbir, para ulama mukharrij meletakkan hadis tersebut dalam kitab masing-masing pada bab tentang takbir (lihat takhrij hadis nas no 6-21). Tidak ada satupun ulama hadis atau fikih yang menempatkannya pada bab tentang salat tarawih. Ibnu Taimiyah yang mengupas hadis di atas juga menjelaskan bahwa hadis tersebut berbicara tentang takbir. Dalam Majm’ al-Fat±wa ia menulis :
ﲔ أَ ﱠن اﻟْ َﻜﻼَ َم إِﳕﱠَﺎ ُﻫ َﻮ ِﰱ اﳉَْ ْﻬ ِﺮ ﺑِﺎﻟﺘَ ْﻜﺒِ ِْﲑ ُﻓَـ َﻬ َﺬا ﻳـُﺒَـ ﱢ Ini menjelaskan bahwa tema inti (dalam hadis) adalah tentang bertakbir secara jahar. 53
Jika dianggap bahwa dalam hadis tersebut ada pesan sekunder (isy±rah al-nassh) tentang tasyahud awal pada salat tarawih, menurut penulis dalam konteks riwayat tentang takbir di atas, pesan sekunder tersebut tidak dapat digunakan. Sebab, hadis di atas berasal dari proses periwayatan bilmakna, bukan bil lafzhi. Selain itu, hadis di atas adalah sunnah fi’liyah yang berasal dari laporan dua orang tabiin mengenai salat Abu Hurairah, bukan sunnah qauliyah yang merupakan pernyataan langsung dari Nabi. Hemat penulis, pesan sekunder (isy±rah al-nassh) baru dapat digunakan jika nasnya adalah al-Quran atau sunnah qauliyyah. Jika sunnahnya adalah fi’liyah, yang lafalnya berasal dari laporan sahabat, tabiin atau bahkan perawi sesudahnya, pesan dari isy±rah al-nassh tidaklah cukup digunakan sebagai dalil untuk mendasari suatu ibadah. Sebab dalam sunnah fi’liyah terbuka kemungkinan untuk melakukan wording (penyusunan lafal sendiri) yang bisa jadi merupakan interpretasi perawi dan tidak otentik berasal dari Rasul. Oleh karena itu, sepanjang merupakan sunnah fi’liyah, yang dapat dijadikan sebagai dalil adalah sisi ib±rah al-nassh (pesan inti) nya saja. Sisi isy±rah al-nassh dalam sunnah fi’liyah dapat diabaikan. Al-Sy±tibi bahkan lebih tegas menyebutkan bahwa sisi sekunder (dalam istilahnya al-ma’n± altab’iy) dari sebuah teks tidak dapat digunakan untuk menetapkan sebuah hukum. Dalam alMuw±faqat ia menulis :
…ﻓﺎﳊﺎﺻﻞ أن اﻻﺳﺘﺪﻻل ﺑﺎﳉﻬﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻋﻠﻰ اﻷﺣﻜﺎم ﻻ ﻳﺜﺒﺖ ﻓﻼ ﻳﺼﺢ إﻋﻤﺎﻟﻪ أﻟﺒﺘﺔ Kesimpulannya, beristidlal dengan makna sekunder sebuah teks untuk sebuah hukum tidak dapat dilakukan. Tidak sah menggunakannya sama sekali.54 Jam±luddin al-Zayla’i al-Hanafi. Nashb al-R±yah fi Takhr³j Ahaditsi al-Hid±yah. Editor: Muhammad Awamah. (Jeddah: Dar al-Qiblah li al-Tsaq±fah al-Isl±miyyah, Muassasah al-Rayy±n, al-Maktabah al-Makkiyah, tth.), vol. I, h. 337. 52
53 54
Ibnu Taimiyah, XXII: 342. Argumentasi al-Sy±tibi dalam menolak isy±rah al-nassh dijelaskannya sebagai berikut :
44
c) Abu Hurairah tidak pernah meriwayatkan hadis tentang rakaat tarawih Argumen terakhir bahwa Abu Hurairah tidak sedang menceritakan cara salat tarawih yang berjumlah empat rakaat adalah Abu Hurairah sendiri tidak pernah meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. salat tarawih empat rakaat. Di sini kita memegang sebuah asumsi bahwa jika Abu Hurairah ingin meriwayatkan tasyahud awal dalam salat tarawih, semestinya ia juga ikut terlibat dalam periwayatan hadis tentang salat tarawih Rasulullah, khususnya yang berjumlah empat rakaat. Kenyataannya, Abu Hurairah tidak pernah meriwayatkan satupun hadis tentang rakaat salat tarawih. Terkait dengan salat lail dan witir, hanya ada tiga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yaitu tentang keutamaan salat tarawih, tentang salat sunah iftitah dan larangan witir tiga rakaat.55 Dengan tiga alasan di atas, yaitu : pertama, redaksi Ramadan dalam versi Bukhari dan Tabrani adalah redaksi yang lahir dari periwayatan bilmakna, kedua, pesan hadis adalah tentang takbir, dan ketiga, Abu Hurairah tidak meriwayatkan hadis tentang bilangan rakaat tarawih Rasulullah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hadis tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk pelaksanaan tasyahud awal dalam salat tarawih. Dalam hal ini sebuah kaedah menyebutkan :
ﻂ ﺑِِﻪ اْﻹ ْﺳﺘِ ْﺪَﻻ ِل َ اﻻ ْﺣﺘِ َﻤ ِﺎل َﺳ َﻘ ِْ إِ ﱠن اﻟ َﺪﻟِْﻴ َﻞ َﻣ َﻊ
Sebuah dalil yang di dalamnya terdapat kejangggalan, maka tidak bisa dijadikan dalil.56 C. Dalil Salat Tarawih 4 Rakaat Tidak Menggunakan Tasyahud; a)
Tidak adanya dalil adalah dalil tidak adanya tasyahud awal (اﻷول
اﻟﺪﻟﻴﻞ دﻟﻴ ٌﻞ ﻋﻠﻰ ﻋﺪم اﻟﺘﺸﻬﺪ ِ )ﻋﺪم
أن وﺿﻊ ﻫﺬﻩ اﳉﻬﺔ ﻋﻠﻰ أن ﺗﻜﻮن ﺗﺒﻌﺎ ﻟﻸوﱃ ﻳﻘﺘﻀﻰ أن ﻣﺎ ﺗﺆدﻳﻪ ﻣﻦ اﳌﻌﲎ ﻻ ﻳﺼﺢ أن ﻳﺆﺧﺬ إﻻ ﻣﻦ ﺗﻠﻚ اﳉﻬﺔ ﻓﻠﻮ ﺟﺎز أﺧﺬﻩ ﻣﻦ ﻏﲑﻫﺎ ﻟﻜﺎن ﺧﺮوﺟﺎ ﻠﻰ ﻏﲑ ﻓﻬﻢ ﻋﺮﰊ وذﻟﻚ ﻏﲑ ﺻﺤﻴﺢ ﻓﻤﺎ أدى إﻟﻴﻪ ﻣﺜﻠﻪ وﻣﺎ ذﻛﺮ ﻣﻦ اﺳﺘﻔﺎدة اﻷﺣﻜﺎم ﺑﺎﳉﻬﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻏﲑ ﻣﺴﻠﻢ وإﳕﺎ ﻫﻰ راﺟﻌﺔ إﱃ أﺣﺪ أﻣﺮﻳﻦ إﻣﺎ إﱃ اﳉﻬﺔ اﻷوﱃ وإﻣﺎ إﱃ ﺟﻬﺔ ﺛﺎﻟﺜﺔ ﻏﲑ ذﻟﻚ Ibrahim ibn Musa al-Al-Sy±tibi. II:86. 55 Syamsul Anwar. Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah, dan Fikih. Khususnya bab VI tentang “Nas-nas Salat Tarawih”. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013), h. 229-412. 56 Syihabuddin Abu al-Abbas al-Qar±fi. Anw±ru al-Burq fi Anw±’i al-Furq. Editor: Muhammad Sarraj dan Ali Jumah. (Kairo: D±r alSal±m, 2001), vol. II:518.
45
Setiap salat yang memiliki tasyahud awal selain salat wajib selalu ada dalil khususnya. Artinya, keberadaan praktek tasyahud awal selalu dijelaskan oleh dalil yang bersifat khusus, bukan sekedar dalil umum untuk salat wajib yang kemudian digeneralisasi. Salat-salat yang memiliki tasyahud awal selain salat wajib adalah: 1) Salat 4 rakaat sebelum asar yang dijelaskan oleh hadis riwayat ‘Ashim ibn Dhamrah dari sahabat Ali ibn Abi Thalib (nas no 31). 2) Salat lail 7 rakaat (duduk pada rakaat keenam) yang dijelaskan hadis dari Ummul Mukminin Aisyah Ra. (nas no ٢٦ ) 3) Salat lail 9 rakaat (duduk pada rakaat 8) yang juga dijelaskan oleh Aisyah Ra. (nas no 25). Keterangan di atas sejalan dengan prinsip bahwa hukum asal dalam pelaksanaan ibadah mahdah adalah tidak ada (al-ashlu fi al-‘ib±dah al-‘adam). Dan sejalan dengan kaedah al-ashlu fi alib±dah al-tawq³f wa al-ittib±. Makna dari kaedah tersebut adalah; masyruk tidaknya satu ibadah harus didasarkan pada dalil khusus, bukan sekedar dalil umum untuk ibadah wajib yang kemudian digeneralisasi ke ibadah lain yang hukumnya sunnah. Maka, ketika tidak ada dalil yang menjelaskan (dal³l al-mutsbit) adanya tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat, hal tersebut berarti menunjukkan bahwa tasyahud awal tidak ada atau tidak dipraktekkan oleh Nabi. Dalam hal ini logika ta’m³m (generalisasi) bahwa tasyahud awal adalah aturan umum yang dilakukan di setiap salat, kecuali salat khusus yang mempunyai tata cara yang berbeda (seperti salat janazah) adalah logika yang bertentangan dengan prinsip hukum asal di atas. b)
Istiqr± terhadap tatacara Rasulullah melakukan salat lail dan salat witir
Dalil yang menjelaskan cara Rasulullah Saw. melaksanakan tarawih empat empat rakaat hanya ada satu, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ketika ditanya oleh Abu Salamah (nas no 1). Hadis tersebut berbunyi :
Dari Abu Salamah Ibn Abd Rahman [diriwayatkan] bahwa dia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana salat Rasulullah Saw. di [bulan] Ramadlan. Aisyah menjawab : Beliau salat di bulan Ramadan –dan di bulan lainnya- tidak lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, maka jangan engkau tanya tentang baik dan lamanya. Kemudian beliau salat lagi empat rakaat, maka jangan engkau tanya baik dan lamanya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Lalu aku (Aisyah) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan witir? Beliau menjawab: wahai Aisyah, kedua mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak tidur. [HR Muttafaq alaih] Hadis di atas harus diakui adalah hadis yang mujmal. Karena di dalamnya tidak dijelaskan tatacara pelaksanaan cara salat tarawih. Oleh karena itu, untuk mengetahui ada atau tidaknya gerakan tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat, kita tidak cukup hanya dengan hadis itu saja. Dan, selain itu memang tidak ada nas yang eksplisit menerangkan, baik ada (itsb±t) atau tidak adanya (nafy) tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat. Sehingga, untuk mencari 46
jawabannya kita perlu menerapakan metode al-istiqr± al-ma’nawiy (induksi) terhadap nas-nas yang menerangkan praktek Rasulullah saat melakukan salat lail salat witir. Metode al-istiqr± al-ma’nawiy oleh al-Syatibi didefinisikan sebagai metode penemuan hukum Islam yang dalam prosedurnya memanfaatkan bukan hanya dalil tunggal, tetapi dengan mengumpulkan keseluruhan dalil-dalil yang relevan, sekalipun tidak berhubungan secara langsung, sehingga dapat diperoleh kepastian dalam produk hukum. Dengan melihat secara induktif bagaimana keterangan yang dibawa oleh sejumlah nas-nas ghairu shar³h (yang tidak eksplisit), kita akan menemukan qar³nah (indikasi) tentang cara Rasulullah melakukan salat tarawih empat rakaat. Dengan sendirinya kita akan menemukan jawaban apakah Rasulullah melakukan duduk tasyahud awal pada salat tarawih yang berjumah 4 rakaat. Berikut ini dua dalil yang perlu kita cermati : 1)
Dalam salat lail 8 rakaat, Rasulullah duduk hanya di rakaat terakhir (nas no 22).
Dari Qatadah ia berkata: (Nabi Saw.) salat delapan rakaat, beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke ٨. Beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah, kemudian berdoa, lalu salam, sehingga kami dapat mendengar salamnya itu. Kemudian beliau salat lagi dua rakaat sambil duduk lalu salam. Kemudian beliau salat satu rakaat. Maka jadilah ia ١١ rakaat. Setelah Rasululullah berusia lanjut dan bertambah berat badannya, beliau kerjakan salat witir (lail dan witir) ٧ rakaat. Kemudian melakukan salat ٢ rakaat dengan cara duduk sesudah salam. [HR Abu Dawud]
Dalam nas di atas diterangkan bahwa Rasulullah melaksanakan salat lail dengan bilangan 8+2+1. Dalam hadis tersebut juga dijelaskan bahwa Rasulullah tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan. Makna tidak duduk di sana tentu saja bukan Rasulullah salat dengan cara berdiri terus, tetapi maknanya adalah Rasulullah tidak melakukan duduk tasyahud awal. Keterangan dalam hadis di atas bahwa Rasulullah tidak duduk (atau tidak melakukan tasyahud awal) dalam salat lail yang berjumlah delapan rakaat menjadi indikasi (qar³nah) bahwa salat tarawih yang berjumlah empat rakaat juga tidak mengenal tasyahud awal. Karena di sini kita memegang sebuah asumsi bahwa Rasulullah melaksanakan salat, khususnya sunat di malam hari, secara konsisten. Jika ada pandangan bahwa dalam salat tarawih empat rakaat Rasulullah melakukan tasyahud awal, semestinya untuk salat delapan rakaat yang dua kali lebih panjang beliau juga akan melakukan hal yang sama. Namun, kenyataanya dalam salat lail delapan rakaat Rasulullah tidak melakukannya, sehinga dengan demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalam salat empat rakaat beliau juga tidak melakukannya. Dalam sebuah kaedah mantiq dinyatakan:
، ﻳـَ ْﻠ ِﺰُم ِﻣ ْﻦ ُو ُﺟ ْﻮِد اﻟْ َﻤ ْﻠُﺰْوِم ُو ُﺟ ْﻮُد اﻟﻼَ ِزِم ﻳـَ ْﻠ ِﺰُم ِﻣ ْﻦ ﻧـَ ْﻔ ِﻰ اﻟﻼَ ِزِم ﻧـَ ْﻔ ُﻲ اﻟْ َﻤ ْﻠُﺰْوِم Dari kaedah di atas, kaedah tentang salat tarawih 8 & 4 rakaat yang dapat kita susun adalah:
47
Adanya tasyahud awal dalam salat 4 rakaat mengharuskan adanya tasyahud awal dalam salat 8 rakaat. Sehingga, tidak adanya tasyahud awal dalam salat tarawih 8 rakaat mengharuskan tidak adanya tasyahud dalam salat tarawih 4 rakaat.
2)
Witir Rasulullah dalam tarawih 4+4 tidak menggunakan tasyahud
Jika diasumsikan bahwa salat tarawih yang berjumlah 4 rakaat menggunakan tasyahud, semestinya salat witir yang dilakukan setelah itu juga menggunakan tasyahud. Karena keduanya adalah satu kesatuan cara salat Rasulullah yang dijelaskan oleh Aisyah dalam riwayatnya. Jika digunakan hadis umum bahwa Rasulullah duduk tasyahud setiap dua rakaat (nas no 2) untuk menafsirkan praktek salat tarawih 4 rakaat (nas no 1), semestinya hal yang sama juga dilakukan pada salat witir 3 rakaat sesudahnya. Namun, kenyataannya terdapat sejumlah dalil yang ‘menghalangi’ hal tersebut. Terdapat dua buah hadis yang menjelaskan bahwa witir Rasulullah yang berjumlah 3 rakaat dilaksanakan tanpa melakukan tasyahud awal. Ini menjadi indikasi bahwa salat tarawih 4+4 rakaat yang dilakukan sebelumnya juga tidak menggunakan tasyahud. Dua hadis tersebut adalah : i.
Hadis dari Ubay bin Kaab (nas no 28):
Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata. Rasulullah Saw. membaca dalam salat witir “sabbihis m± rabiikal a’l±”, pada rakaat kedua membaca “qul y± ayyuhal k±firn”, pada rakaat ketiga “qul huwall±hu ahad”. Rasulullah tidak salam kecuali di akhir salat. Setelah salat Rasulullah mengucapkan “subh±nal malikil qudds”. [HR Nasai] ii.
Hadis dari Abu Hurairah (nas no 27)
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw. bahwasanya ia berkata: janganlah kalian melakukan witir 3 rakaat, akan tetapi lakukanlah witir 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan kalian samakan witir dengan salat magrib. [HR Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi. Menurut Syuaib al-Arnauth : sanadnya sahih sesuai syarat Muslim]
Secara matan hadis tersebut mungkin bisa dianggap bernilai daif karena bertentangan (sy±dz) dengan riwayat yang jusutru menjelaskan bahwa nabi sendiri melakukan salat witir 3 rakaat (nas no 1). Namun, untuk mengatasi kesan kontradiksi tersebut, para ulama mengajukan cara kompromi. Cara komprominya adalah yang dimaksud larangan nabi untuk melakukan salat witir 3 rakaat adalah larangan melakukan witir yang di dalamnya terdapat duduk tasyahud awal. Inilah yang dimaksudkan dari sabda nabi “agar salat witir tidak sama dengan salat magrib”. Ibnu Hajar menjelaskan bentuk kompromi tersebut:
48
وَاﳉَْﻤْﻊ ﺑـ َْﲔ َﻫﺬَا َوﺑـ َْﲔ ﻣَﺎ ﺗَـ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣ ْﻦ اﻟﻨﱠـﻬْﻲ َﻋ ْﻦ اﻟﺘﱠ َﺸﺒﱡﻪ ﺑِﺼ ََﻼةِ اﻟْ َﻤﻐْﺮِب أَ ْن ﳛُْﻤَﻞ اﻟﻨﱠـﻬْﻲ َﻋﻠَﻰ ﺻ ََﻼة اﻟﺜ َﱠﻼث ﺑِﺘَ َﺸ ﱡﻬ َﺪﻳْ ِﻦ
“Kompromi antara hadis ini (witir Rasulullah yang berjumlah 3 rakaat) dan larangan menyerupai salat magrib aadlah dibawanya larangan kepada salat 3 rakaat dengan dua tasyahud”. 57
Perlu juga ditambahkan, selain witir tiga rakaat yang dilakukan pada tarawih empat-empat, witir-witir lainnya yang dilakukan Rasulullah juga tidak menggunakan tasyahud awal, baik yang berjumlah 5 rakaat (nas no 29) maupun 7 rakaat (nas no 30). Tasyahud awal hanya ada di witir yang berjumlah 9 rakaat (nas no 25). D. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil: 1. Praktek tarawih empat rakaat tanpa tasyahud adalah praktek yang memiliki dalil atau dasar syari 2. Dasar syarinya adalah a. Setiap salat yang ada tasyahud awal selalu ada dalil khususnya. Contohnya: salat 4 rakaat sebelum asar, salat lail 7 rakaat (duduk pada rakaat keenam) dan 9 rakaat (duduk pada rakaat 8). Sehingga ketika tidak ada dalil khususnya yang menerangkan adanya tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat, maka hal tersebut berarti tasyahud awal tidak ada. Ini kembali kepada kaedah; al-ashlu fi al-ib±dah al-tawq³f wa al-ittib±. b. Dasar lainnya adalah qar³nah yang dijelaskan oleh dua dalil, yaitu : Rasulullah tidak melaksanakan tasyahud dalam salat tarawih delapan rakaat, sebagaimana eksplisit disebutkan dalam nas no 22 Rasulullah tidak melaksanakan tasyahud dalam witir tiga rakaat yang dilakukan sesudah tarawih empat empat rakaat (nas no 28) 3. Tasyahud awal dalam salat tarawih adalah pendapat yang tidak memiliki dasar yang kuat karena sejumlah alasan: a. Hadis Aisyah “َﱠﺤﻴﱠﺔ ِ َﲔ اﻟﺘ ِ ْ ُﻮل ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ُ ” َوﻛَﺎ َن ﻳـَﻘadalah dalil untuk salat dua rakaat, bukan untuk salat tarawih yang empat rakaat. Indikasinya adalah kalimat “ﺴﻠِﻴ ِﻢ ْ ﺑِﺎﻟﺘﱠ
b.
c.
Hadis Abdulllah ibn Masud “ﱠﺎت ُ ﱠﺤﻴ ِ اﻟﺘ
َﺼﻼَة ” َوﻛَﺎ َن ﳜَْﺘِ ُﻢ اﻟ ﱠ
َﲔ ﻓَـﻘُﻮﻟُﻮا ِ ْ ْﰎ ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛﻌَﺘـ ُْ ”إِذَا ﻗَـ َﻌﺪmenerangkan tentang bacaan
pada tahiyat pada rakaat kedua, bukan tentang setiap salat empat rakaat ada tasyahud pada rakaat kedua. Kalimat “wa ghairih± fi Ramadl±n wa ghairihi” dalam riwayat Abu Hurairah yang terdapat dalam versi Imam Bukhari dan al-Tabrani adalah tambahan yang lahir dari periwayatan bilmakna, tambahan siginifikan terhadap commont element 26 jalur hadis dan setelah
Ibnu Hajar al-‘Asqal±ni. Fath al-B±ri bi Syarh Shah³h al-Bukh±ri. Komentar: Abdul Az³z bin ‘Abdull±h bin B±z dan Abdurrahman bin N±shir. Editor: Ab Qutaibah. (D±r Thayyibah), vol. III, h. 326. 57
49
d. e.
diverifikasi ternyata tidak dijumpai dalam 24 jalur lainnya yang menceritakan hal yang sama. Hadis Abu Hurairah adalah tentang takbir, bukan tentang salat tarawih. Abu Hurairah tidak pernah meriwayatkan hadis tentang rakaat salat tarawih.
50
NAS-NAS TERKAIT A. Salat Tarawih 4 Rakaat
Nas no 1
ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﺻﻼَةُ َرﺳ َ َﺖ ْ ْﻒ ﻛَﺎﻧ َ َﻛﻴ- َﻋ ْﻦ أَِﰉ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ أَﻧﱠﻪُ أَ ْﺧﺒَـَﺮﻩُ أَﻧﱠﻪُ َﺳﺄ ََل ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ًَﲑﻩِ َﻋﻠَﻰ إِ ْﺣﺪَى َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔ ِْ ﻀﺎ َن َوﻻَ ِﰱ ﻏ َ ﻳَِﺰﻳ ُﺪ ِﰱ َرَﻣ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺖ ﻣَﺎ ﻛَﺎ َن َرﺳ ْ ِﰱ َرَﻣﻀَﺎ َن ﻓَـﻘَﺎﻟ- وﺳﻠﻢ َُﺖ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔ ْ ﻗَﺎﻟ، ﺼﻠﱢﻰ ﺛَﻼَﺛًﺎ َ ُ ﰒُﱠ ﻳ، ﺼﻠﱢﻰ أ َْرﺑـَﻌًﺎ ﻓَﻼَ ﺗَ َﺴ ْﻞ َﻋ ْﻦ ُﺣ ْﺴﻨِ ِﻬ ﱠﻦ َوﻃُﻮﳍِِ ﱠﻦ َ ُ ﰒُﱠ ﻳ، ﺼﻠﱢﻰ أ َْرﺑـَﻌًﺎ ﻓَﻼَ ﺗَ َﺴ ْﻞ َﻋ ْﻦ ُﺣ ْﺴﻨِ ِﻬ ﱠﻦ َوﻃُﻮﳍِِ ﱠﻦ َ ُ ﻳ، [ْﲎ ﺗَـﻨَﺎﻣَﺎ ِن َوﻻَ ﻳـَﻨَﺎمُ ﻗَـﻠِْﱮ ]ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ إِ ﱠن ﻋَﻴـ َﱠ، ُ ﻳَﺎ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔ: َﺎل َ ﻓَـﻘ. ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ أَﺗَـﻨَﺎ ُم ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﺗُﻮﺗَِﺮ َ ْﺖ ﻳَﺎ َرﺳ ُ ﻓَـ ُﻘﻠ Dari Abu Salamah Ibn Abd Rahman [diriwayatkan] bahwa dia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana salat Rasulullah Saw. di [bulan] Ramadlan. Aisyah menjawab : Beliau salat di bulan Ramadan –dan di bulan lainnya- tidak lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, maka jangan engkau tanya tentang baik dan lamanya. Kemudia beliau salat lagi empat rakaat, maka jangan engkau tanya baik dan lamanya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Lalu aku (Aisyah) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan witir? Beliau menjawab: Wahai Aisyah, kedua mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak tidur [Muttafaqun Alaih]. Takhr³j : 1. Muhammad ibn ‘Ism±il al-Bukh±ri. Shah³h al-Bukh±ri. (Damaskus, Beirut: D±r Ibn Kast³r, 2002), a. No. 1147, h. 278, kitab “al-tahajjud”, bab “qiy±m al-nabi shallallahu ‘alaihi wassalama bi al-lail fiy Ramadl±n wa ghairihi”, b. No. 2013, h. 483, kitab “shal±t al-tar±wih”, bab “fadlu man q±ma Ram±dl±n” dan c. No. 3569, h. 878, kitab “ al-manaqib”, bab “k±na al-nabiy shall±llahu ‘alaihi wasallama tan±mu ‘ainuhu wa l± yan±mu qalbuhu”. 2. Muslim ibn Hajj±j al-Nays±buri. Shah³h Muslim. Editor: Ab Shuhaib al-Karamiy. (Riy±dh: Bait al-Afk±r al-Dauliyyah, 1998), hadis no. 737, h. 291, kitab “kit±bu shal±t”, bab “shal±tu al-layl wa ‘adadu raka’±t”.
B. Tahiyat setiap Dua Rakaat Pada Salat Wajib Nas no 2
(ﲔ َ َب اﻟْﻌَﺎﻟَ ِﻤ ب )اﳊَْ ْﻤ ُﺪ ﻟِﻠﱠ ِﻪ ر ﱢ ِ َﺼﻼَةَ ﺑِﺎﻟﺘﱠ ْﻜﺒِ ِﲑ وَاﻟْ ِﻘﺮَاءَة ﻳَ ْﺴﺘَـ ْﻔﺘِ ُﺢ اﻟ ﱠ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ﻛَﺎ َن َرﺳ: َﺖ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ ى ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ َوﻛَﺎ َن َ َﱴ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻮ ُﻮع َﱂْ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ ِ ِﻚ َوﻛَﺎ َن إِذَا َرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟﱡﺮﻛ َ َﲔ ذَﻟ َ ْ ﺼ ﱢﻮﺑْﻪُ َوﻟِ َﻜ ْﻦ ﺑـ َ ُﺺ َرأْ َﺳﻪُ َوَﱂْ ﻳ ْ ْﺨ ِ َوﻛَﺎ َن إِذَا َرَﻛ َﻊ َﱂْ ﻳُﺸ ِﺐ ُ ش ِر ْﺟﻠَﻪُ اﻟْﻴُ ْﺴﺮَى َوﻳـَْﻨﺼ ُ ﱠﺤﻴﱠﺔَ َوﻛَﺎ َن ﻳـَ ْﻔ ِﺮ ِ َﲔ اﻟﺘ ِ ْ ُﻮل ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ُ ى ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ َوﻛَﺎ َن ﻳـَﻘ َ َﱴ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻮ إِذَا َرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺴ ْﺠ َﺪةِ َﱂْ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ ﺼﻼَةَ ﺑِﺎﻟﺘﱠ ْﺴﻠِﻴ ِﻢ] رواﻩ اش اﻟ ﱠﺴﺒُ ِﻊ َوﻛَﺎ َن ﳜَْﺘِ ُﻢ اﻟ ﱠ َ ْﱰ َ ِش اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ِذرَا َﻋْﻴ ِﻪ اﻓ َ ْﱰ َِ ْﲎ َوﻛَﺎ َن ﻳـَْﻨـﻬَﻰ َﻋ ْﻦ ﻋُ ْﻘﺒَ ِﺔ اﻟ ﱠﺸْﻴﻄَﺎ ِن َوﻳـَْﻨـﻬَﻰ أَ ْن ﻳـَﻔ َ ِر ْﺟﻠَﻪُ اﻟْﻴُﻤ [ ﻣﺴﻠﻢ 51
Dari Aisyah ia berkata : adalah Rasulullah Saw. memulai salatnya dengan takbir dan membaca alhamdulillaahi rabbil ‘±lamiin. Jika rukuk beliau tidak menaikkan (terlalu tinggi) atau menurunkan kepala (terlalu rendah), tetapi pertengahan di antara itu. Jika mengangkat kepala dari rukuk, beliau tidak bersegera sujud sampai tegak berdiri. Jika mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak bersujud sampai tegak dalam posisi duduk. Beliau membaca tahiyyat pada setiap dua rakaat. Beliau membentangkan kaki kiri dan menegakkan (telapak) kaki kanan. Beliau melarang dari duduknya Syaithan dan melarang seseorang menghamparkan tangannya (dalam sujud salat) seperti binatang buas menghamparkan tangannya. Beliau menutup salat dengan salam [HR Muslim] Takhr³j : Muslim ibn Hajj±j al-Nays±buri. Shah³h Muslim. hadis no. 498, h. 204, kitab “al-shalat”, bab “m± yajma’ shifat al-shal±h”.
C. Bacaan Tasyahud pada Rakaat Kedua Nas no 3
ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋﻠﱠ َﻢ َ َﳓ َﻤ َﺪ َرﺑـﱠﻨَﺎ َوإِ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤ ًﺪا ََْﲔ َﻏْﻴـَﺮ أَ ْن ﻧُ َﺴﺒﱢ َﺢ َوﻧُ َﻜﺒﱢـَﺮ و ِ ْ ُﻮل ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ُ َﺎل ُﻛﻨﱠﺎ َﻻ ﻧَ ْﺪرِي ﻣَﺎ ﻧـَﻘ َ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ ﱠﱯ َورَﲪَْﺔُ اﻟﻠﱠ ِﻪ ْﻚ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨِ ﱡ َ ﱠﻼ ُم َﻋﻠَﻴ َ َﺎت اﻟﺴ ُ َات وَاﻟﻄﱠﻴﱢﺒ ُ ﺼﻠَﻮ ﱠﺎت ﻟِﻠﱠ ِﻪ وَاﻟ ﱠ ُ ﱠﺤﻴ ِ َﲔ ﻓَـﻘُﻮﻟُﻮا اﻟﺘ ِ ْ ْﰎ ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ُْ َﺎل إِذَا ﻗَـﻌَﺪ َ َْﲑ َو َﺧﻮَاﲤَِﻪُ ﻓَـﻘ ِْ ﻓَـﻮَاﺗِ َﺢ اﳋ ﲔ أَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ اﻟﻠﱠﻪُ َوأَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤ ًﺪا َﻋْﺒ ُﺪﻩُ َوَر ُﺳﻮﻟُﻪُ َوﻟْﻴَﺘَ َﺨﻴـْﱠﺮ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َ ِِﱠﻼمُ َﻋﻠَْﻴـﻨَﺎ َو َﻋﻠَﻰ ِﻋﺒَﺎ ِد اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﺼﱠﺎﳊ َ َوﺑـََﺮﻛَﺎﺗُﻪُ اﻟﺴ اﻟ ﱡﺪﻋَﺎ ِء أَ ْﻋ َﺠﺒَﻪُ إِﻟَْﻴ ِﻪ ﻓَـْﻠﻴَ ْﺪعُ اﻟﻠﱠﻪَ َﻋﱠﺰ َو َﺟﻞﱠ ]رواﻩ ﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق و اﲪﺪ و أﺑﻮ داود و اﻟﱰﻣﺬى و اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ و اﻟﻠﻔﻆ ﻟﻪ و اﺑﻦ ﺣﺒﺎن و [اﻟﻄﱪاﱏ و اﺑﻦ ﺧﺰﳝﺔ
Dari Abdullah ibn Masud ia berkata. Dahulu kami tidak tahu apa yang kami baca setiap rakaat kedua, sehingga kami mengucapkan kalimat tasbih, takbir dan tahmid dan bahwa Muhammad Saw. telah mengajarkan pembuka-pembuka kebaikan dan penutupnya. Nabi Muhammad Saw. kemudian berkata (mengajarkan kepada kami): apabila kalian duduk di setiap dua rakaat maka bacalah: al-tahiyy±tu lill±hi wa al-shalaw±tu wa al-thayyib±t, assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu
warahmatull±hi wabarak±tuhu. Assalamu ‘alain± wa ‘al± ib±dill±hissh±lih³n. Asyhadu anl± il±ha ill±ll±ha wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasluhu. Kemudian kalian memilih doa-doa yang kalian inginkan. Kemudian berdoalah kepada Allah azza wa jalla (dengan doa itu) . [HR Abdurraz±q, Ahmad, Ab D±wud, al-Tirmidzi, Nas±i dan lafal ini darinya, Ibnu Hibb±n, al-Thabr±ni dan Ibnu Khuzaimah].
Takhr³j : Abu Abdurrahman, Al-Nas±i. “Sunan al-Nas±i” dalam al-Kutub al-Sittah, hadis no. 1162-3. Editor: Raid ibn Shabri. Kitab “al-Tathb³q”, bab “kayfa al-tasyahhud al-awwal”, h. 2314. Abu ‘Is± Muhammad bin ‘Is±, al-Tirmidzi. “Sunan al-Tirmidz³” dalam al-Kutub al-Sittah, hadis no. 289. Editor: Raid ibn Shabri. Kitab “al-Shal±h”, bab “m± j±a fi al-tasyahhud”, h. 1790. 52
Nas no 4
ﻛﻨﺎ ﻻ ﻧﺪري ﻣﺎ ﻧﻘﻮل ﰲ ﻛﻞ رﻛﻌﺘﲔ ﻏﲑ أن ﻧﺴﺒﺢ وﻧﻜﱪ وﳓﻤﺪ رﺑﻨﺎ وأن ﳏﻤﺪا ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻋﻠﻢ: ﻗﺎل ﻋﺒﺪ اﷲ ﻓﻮاﺗﺢ اﳋﲑ وﺟﻮاﻣﻌﻪ أو ﺟﻮاﻣﻌﻪ وﺧﻮاﲤﻪ ﻓﺄﻣﺮﻧﺎ أن ﻧﻘﻮل ﰲ ﻛﻞ رﻛﻌﺘﲔ اﻟﺘﺤﻴﺎت ﷲ واﻟﺼﻠﻮات واﻟﻄﻴﺒﺎت اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻴﻚ أﻳﻬﺎ اﻟﻨﱯ ورﲪﺔ اﷲ وﺑﺮﻛﺎﺗﻪ اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻴﻨﺎ وﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎد اﷲ اﻟﺼﺎﳊﲔ أﺷﻬﺪ أن ﻻ إﻟﻪ إﻻ اﷲ وأﺷﻬﺪ أن ﳏﻤﺪا ﻋﺒﺪﻩ ورﺳﻮﻟﻪ ﰒ ﻟﻴﺨﱰ [أﺣﺪﻛﻢ ﻣﻦ اﻟﺪﻋﺎء أﻋﺠﺒﻪ إﻟﻴﻪ ﻓﻴﺪﻋﻮ ﺑﻪ ]رواﻩ اﻟﻄﻴﺎﻟﺴﻰ Abdullah ibn Masud berkata. Dahulu kami tidak tahu apa yang kami baca setiap rakaat kedua, sehingga kami mengucapkan kalimat tasbih, takbir dan tahmid dan bahwa Muhammad Saw. telah mengajarkan pembuka-pembuka kebaikan dan penutupnya. Nabi Muhammad Saw. kemudian menyuruh kami untuk membaca di setiap dua rakaat : al-tahiyy±tu lill±hi wa al-shalaw±tu wa althayyib±t, assal±mual’aika ayyuhan nabiyyu warahmatull±hi wabarak±tuhu. Assalamu ‘alain± wa ‘al± ib±dill±hisshalih³n. Asyhadu anl± il±ha illall±ha wa asyhadu anna Muhammad an ‘abduhu wa rasluhu. Kemudian kalian memilih doa-doa yang kalian inginkan. Kemudian berdoalah kepada Allah (dengan doa itu). [HR. al-Thay±lisi]
Takhr³j : Al-Thay±lisi, Sulaiman ibn D±wud ibn al-J±rd. Musnad Ab³ D±wud al-Thay±lisi. Editor: Muhammad Abdul Muhsin al-Turkiy. (D±r Hajar), vol. I, 241, hadis no. 302, “m± asnada ‘Abdull±h ibn Mas’d”, h. 241.
Nas No 5
ُﺼﻼَةِ ﻗُـْﻠﻨَﺎ اﻟ ﱠﺴﻼَم ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ِﰱ اﻟ ﱠ ِ َﺎل ُﻛﻨﱠﺎ إِذَا َﺟﻠَ ْﺴﻨَﺎ َﻣ َﻊ َرﺳ َ َﻋ ْﻦ َﺷﻘِﻴ ُﻖ ﺑْ ُﻦ َﺳﻠَ َﻤﺔَ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد ﻗ ُﻮ َ ﻻَ ﺗَـ ُﻘﻮﻟُﻮا اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َﻋﻠَﻰ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻫ: ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ُ َﺎل َرﺳ َ َﻋﻠَﻰ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗَـْﺒ َﻞ ِﻋﺒَﺎ ِدﻩِ اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َﻋﻠَﻰ ﻓُﻼَ ٍن َوﻓُﻼَ ٍن ﻓَـﻘ ُﱠﱮ َورَﲪَْﺔُ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﺑـََﺮﻛَﺎﺗُﻪُ اﻟ ﱠﺴﻼَم ْﻚ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨِ ﱡ َ َﺎت اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َﻋﻠَﻴ ُ َات وَاﻟﻄﱠﻴﱢﺒ ُ ﺼﻠَﻮ ﱠﺎت ﻟِﻠﱠ ِﻪ وَاﻟ ﱠ ُ ﱠﺤﻴ ِ ُﻞ اﻟﺘ ِ َﺲ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ ﻓَـْﻠﻴَـﻘ َ اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َوﻟَ ِﻜ ْﻦ إِذَا َﺟﻠ ِ َﲔ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎ ِء وَاﻷَر َ ْ أ َْو ﺑـ- ْض ِ ِﺢ ِﰱ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎ ِء وَاﻷَر ٍ َﺎب ُﻛ ﱠﻞ َﻋْﺒ ٍﺪ ﺻَﺎﻟ َ ِﻚ أَﺻ َ ﲔ ﻓَِﺈﻧﱠ ُﻜ ْﻢ إِذَا ﻗُـْﻠﺘُ ْﻢ ذَﻟ َ َِِﻋﻠَْﻴـﻨَﺎ َو َﻋﻠَﻰ ِﻋﺒَﺎ ِد اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﺼﱠﺎﳊ - ْض [أَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ْن ﻻَ إِﻟَﻪَ إِﻻﱠ اﻟﻠﱠﻪُ َوأَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤﺪًا َﻋْﺒ ُﺪﻩُ َوَر ُﺳﻮﻟُﻪُ ]رواﻩ اﺑﻮ داود Dari Syaqiq ibn Salamah dari Abdullah ibn Masud, ia berkata. Kami apabila berada dalam posisi duduk ketika salat bersama Rasulullah Saw. kami melafalkan : “al-sal±mu ‘alall±hi qabla ‘ib±dihi, alsal±mu ‘al± ful±n wa ful±n” (Keselamatan atas Allah sebelum keselamatan atas hamba-hamba-Nya. Keselamatan atas fulan dan fulan). Rasulullah Saw. mengatakan: janganlah kalian mengucapkan “al-sal±mu ‘alall±hi” karena keselamatan justru berasal dari Allah. Akan tetapi jika salah seorang di antara kamu duduk, maka ucapkanlah: al-tahiyy±tu lill±hi wa al-shalaw±tu wa al-thayyib±t, assal±mual’aika ayyuhan nabiyyu warahmatull±hi wabarak±tuhu. Assalamu ‘alain± wa ‘al± ib±dill±hisshalih³n. Karena sesungguhnya jika kalian mengucapkannya, kalimat tersebut juga akan 53
mengenai hamba Allah yang salih, baik di langit maupun di bumi, atau antara langit dan buumi. Asyhadu anl± il±ha illall±ha wa asyhadu anna Muhammad an ‘abduhu wa rasluhu. [HR Abu Dawud].
Takhr³j : Sulaiman ibn Asyast Abu Dawud al-Sijistani. Sunan Ab³ D±wd. (Riyadh: bait al-Afkar al-Dauliyyah), hadis no. 968, h. 122, kitab “al-Shal±t”, bab “al-tasyahhud”.
D. Ragam Hadis tentang Takbir dari Abu Hurairah Nas no 6
َﺎم َوأَﺑُﻮ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ ٍ ِث ﺑْ ِﻦ ِﻫﺸ ِ َﺎل أَ ْﺧﺒَـﺮَِﱏ أَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ِﻦ اﳊَْﺎر َىﻗ ْﺐ َﻋ ِﻦ اﻟﱡﺰْﻫ ِﺮ ﱢ ٌ َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺷ َﻌﻴ َ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ اﻟْﻴَﻤَﺎ ِن ﻗ ، ﲔ ﻳـَْﺮَﻛ ُﻊ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳـَﻘُﻮُم َ ﻓَـﻴُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، َِﲑﻩ ِْ َﲑﻫَﺎ ِﰱ َرَﻣﻀَﺎ َن َوﻏ ِْ ﺻﻼَةٍ ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑَِﺔ َوﻏ َ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ أَ ﱠن أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻛَﺎ َن ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ ﰒُﱠ، َﺎﺟﺪًا ِ ﲔ ﻳـَ ْﻬﻮِى ﺳ َ ِﺣ. ُﻮل اﻟﻠﱠﻪُ أَ ْﻛﺒَـُﺮ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ، ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ. َﻚ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ َ ُﻮل َرﺑـﱠﻨَﺎ َوﻟ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ. ُﲪ َﺪﻩ َِ ُﻮل َِﲰ َﻊ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟِ َﻤ ْﻦ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ ﲔ ﻳـَﻘُﻮمُ ِﻣ َﻦ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱡﺴﺠُﻮِد َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ُﺪ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱡﺴﺠُﻮِد َ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ ِﱏ ْﺴﻰ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ إ ﱢ ِ ِف وَاﻟﱠﺬِى ﻧـَﻔ ُ ﺼﺮ َ ْﲔ ﻳـَﻨ َ ُﻮل ِﺣ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ، ِﺼﻼَة غ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠ َ َﱴ ﻳـَ ْﻔُﺮ ِﻚ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌ ٍﺔ ﺣ ﱠ َ َوﻳـَ ْﻔ َﻌ ُﻞ ذَﻟ، َﲔ ِ ْ ُﻮس ِﰱ ا ِﻻﺛْـﻨَﺘـ ِ اﳉُْﻠ [َق اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى َ َﱴ ﻓَﺎر ﺼﻼَﺗَﻪُ ﺣ ﱠ َ ََﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ﻟ ْ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ إِ ْن ﻛَﺎﻧ ِ ﺼﻼَةِ َرﺳ َ ِﻷَﻗْـَﺮﺑُ ُﻜ ْﻢ َﺷﺒَـﻬًﺎ ﺑ Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman, ia berkata telah menceritakan kepada kami Syuaib dari Zuhri, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abu Bakar Ibn Abdu al-Rahman Ibn alHarist bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdu al-Rahman, bahwasanya Abu Hurairah selalu bertakbir setiap melakukan salat wajib dan salat lainnya, baik di bulan Ramadan dan bulan lainnya. Ia bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika akan ruku, kemudian mengucapkan “samiallahu liman hamidah” kemudian mengucapkan “rabbana wa lakal hamd” sebelum ia bersujud. Kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar ketika tunduk bersujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepala dari sujud, kemudian bertakbir ketika berdiri dari duduk pada rakaat kedua. Abu Hurairah melakukan hal tersebut pada setiap rakaat sampai beliau selesai melaksanakan salat. Kemudian beliau mengatakan ketika berpaling, Demi Dzat yang aku pada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku yang paling dekat kemiripannya diantara kalian salatnya dengan salat Rasululullah. Sungguh inilah cara salat beliau hingga beliau meninggalkan dunia ini [HR Bukh±ri].
Takhr³j : Muhammad ibn Ism±il al-Bukh±ri. Shah³h al-Bukh±ri, hadis no. 803, h. 196-7, kitab “al-adz±n”, bab “yahwi bi al-takbi³ h³na yasjud”. 54
Nas no 7
ِث أَﻧﱠﻪُ َِﲰ َﻊ أَﺑَﺎ ِ َﺎل أَ ْﺧﺒَـﺮَِﱏ أَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ِﻦ اﳊَْﺎر َ َﺎب ﻗ ٍ ْﺚ َﻋ ْﻦ ﻋُ َﻘﻴ ٍْﻞ َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ ُ َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ اﻟﻠﱠﻴ َ َﲑ ﻗ ٍْ َْﲕ ﺑْ ُﻦ ﺑُﻜ َ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳛ ُُﻮل َِﲰ َﻊ اﻟﻠﱠﻪ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ، ﲔ ﻳـَْﺮَﻛ ُﻊ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ُﲔ ﻳـَﻘُﻮم َ ﺼﻼَةِ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ إِذَا ﻗَﺎ َم إ َِﱃ اﻟ ﱠ ُ ُﻮل ﻛَﺎ َن َرﺳ ُ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻳـَﻘ َﻚ َ ْﺚ { َوﻟ ِ ِﺢ َﻋ ِﻦ اﻟﻠﱠﻴ ٍ َﺎل َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ } ﺑْ ُﻦ ﺻَﺎﻟ َ ﻗ- َﻚ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ َ ُﻮل َوُﻫ َﻮ ﻗَﺎﺋِ ٌﻢ َرﺑـﱠﻨَﺎ ﻟ ُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ، ﺻْﻠﺒَﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌ ِﺔ ُ ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َ ِﺣ. ُﲪ َﺪﻩ َِ ﻟَ ِﻤ ْﻦ ِﻚ َ ﰒُﱠ ﻳـَ ْﻔ َﻌﻞُ ذَﻟ، ُﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ُﺪ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ُﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﲔ ﻳـَ ْﻬﻮِى َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ- اﳊَْ ْﻤ ُﺪ [ُﻮس ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ِ َﲔ ﺑـَ ْﻌ َﺪ اﳉُْﻠ ِ ْ ﲔ ﻳـَﻘُﻮُم ِﻣ َﻦ اﻟﺜﱢـْﻨﺘـ َ َوﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ، ﻀﻴَـﻬَﺎ ِ َﱴ ﻳـَ ْﻘ ﺼﻼَةِ ُﻛﻠﱢﻬَﺎ ﺣ ﱠ ِﰱ اﻟ ﱠ
Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Bukair, ia berkata telah menceritakan kepada kami alLaits, dari Uqail, dari Ibnu Syihab ia berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar ibn Abdurrahman ibn al-Harist bahwasanya ia mendengan Abu Hurairah berkata. Adalah Rasulullah Saw. apabila berdiri untuk salat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika rukuk, kemudian membaca “samiallahu liman hamidah” ketika mengangkat punggungnya dari rukuk, kemudian membaca “rabbana lakal hamd” ketika beliau berdiri. Abdullah ibn Shalih [salah seorang perawi, Rofiq] dari al-Laist mengatakan “walakal hamd”, kemudian bertakbir ketika menunduk, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya. Beliau melakukan hal tersebut di semua (rakaat) sampai selesai salat. Dan beliau juga bertakbir ketika berdiri dari rakaat kedua setelah duduk [HR Bukh±ri]. Takhr³j : Muhammad ibn Ism±il al-Bukh±ri. Shah³h al-Bukh±ri, hadis no. 789, h. 193-4, kitab “al-adz±n”, bab “altakb³r idz± q±ma min al-sujd”.
Nas no 8
، ﻋﻦ اﻟﺰﻫﺮي، ﺛﻨﺎ ﺷﻌﻴﺐ ﺑﻦ أﰊ ﲪﺰة: ﻗﺎﻻ، وأﺑﻮاﻟﻴﻤﺎن اﳊﻜﻢ ﺑﻦ ﻧﺎﻓﻊ، ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻋﻴﺎش، ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ زرﻋﺔ اﻟﺪﻣﺸﻘﻲ ﻛﺎن ﻳﻜﱪ ﰲ ﻛﻞ ﺻﻼة ﻣﻦ، أن أﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮة، وأﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ، ﻋﻦ أﰊ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ اﳊﺎرث ﺑﻦ ﻫﺸﺎم » رﺑﻨﺎ: » ﲰﻊ اﷲ ﳌﻦ ﲪﺪﻩ « ﰒ ﻳﻘﻮل: ﰒ ﻳﻘﻮل، وﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﺮﻛﻊ، وﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﻘﻮم، اﳌﻜﺘﻮﺑﺔ وﻏﲑﻫﺎ ﰲ رﻣﻀﺎن وﻏﲑﻩ ﰒ ﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﺴﺠﺪ، ﰒ ﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﺮﻓﻊ رأﺳﻪ، » اﷲ أﻛﱪ « ﺣﲔ ﻳﻬﻮي ﺳﺎﺟﺪا: ﰒ ﻳﻘﻮل، وﻟﻚ اﳊﻤﺪ « ﻗﺒﻞ أن ﻳﺴﺠﺪ ﰒ، ﻓﻴﻔﻌﻞ ذﻟﻚ ﰲ ﻛﻞ رﻛﻌﺔ ﺣﱴ ﻳﻔﺮغ ﻣﻦ اﻟﺼﻼة، ﰒ ﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﻘﻮم ﻣﻦ اﳉﻠﻮس ﰲ اﻟﺜﻨﺘﲔ، ﰒ ﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﺮﻓﻊ رأﺳﻪ، إن ﻛﺎﻧﺖ ﻫﺬﻩ، إﱐ ﻷﻗﺮﺑﻜﻢ ﺷﺒﻬﺎ ﺑﺼﻼة رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ، » واﻟﺬي ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ: ﻳﻘﻮل ﺣﲔ ﻳﻨﺼﺮف [ﻟﺼﻼﺗﻪ ﺣﱴ ﻓﺎرق اﻟﺪﻧﻴﺎ « ]رواﻩ اﻟﻄﱪاﱏ
Telah menceritakan kepada kami Abu Zurah al-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Ali bin Iyash dan Abu al-Yaman al-Hakam bin Nafi. Keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Syuaib dari Zuhri, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abu Bakar Ibn Abdu al-Rahman Ibn alHarist bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdu al-Rahman, bahwasanya Abu Hurairah selalu bertakbir setiap melakukan salat wajib dan salat lainnya, baik di bulan Ramadan dan lainnya. beliau 55
bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika akan ruku, kemudian mengucapkan “samiallahu liman hamidah” kemudian mengucapkan “rabbana wa lakal hamd” sebelum beliau bersujudu. Kemudian beliau mengucapkan Allahu Akbar ketika tunduk bersujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepala dari sujud, kemudian bertakbir ketika berdiri dari duduk pada rakaat kedua. Abu Hurairah melakukan hal tersebut pada setiap rakaat sampai beliau selesai melaksanakan salat. Kemudian beliau mengatakan ketika berpaling, Demi Dzat yang aku pada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku yang paling dekat kemiripannya diantara kalian salatnya dengan salat Rasululullah. Sungguh inilah cara salat beliau hingga beliau meninggalkan dunia ini [HR Tabr±ni] Takhr³j : Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabrani, Musnad al-Sy±miyyin. Editor: Muhamamd Abdul Maj³d alSalafi. (Beirut: Muassasah al-R’Is±lah, 1996), hadis no. 3135, vol. IV, h. 221, “Syua’ib ‘an al-Zuhri ‘an Ab³ Bakr ibn Abdur Rahman ibn al-Har³st ibn Hisy±m”.
Nas no 9
ََﺎب َﻋ ْﻦ أَِﰉ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ أَﻧﱠﻪُ َِﲰ َﻊ أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮة ٍ ْﺞ أَ ْﺧﺒـَﺮَِﱏ اﺑْ ُﻦ ِﺷﻬ ٍ ﱠاق أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ اﺑْ ُﻦ ُﺟَﺮﻳ ِ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ رَاﻓِ ٍﻊ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﱠﺮز ُُﻮل » َِﲰ َﻊ اﻟﻠﱠﻪ ُ ﲔ ﻳـَْﺮَﻛ ُﻊ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ َ ﲔ ﻳـَﻘُﻮمُ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ َ ﺼﻼَةِ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ إِذَا ﻗَﺎ َم إ َِﱃ اﻟ ﱠ-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ُﻮل ﻛَﺎ َن َرﺳ ُ ﻳـَﻘ ﲔ َ َﺎﺟﺪًا ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ ِ ﲔ ﻳـَ ْﻬﻮِى ﺳ َ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ.« َﻚ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ َ ُﻮل َوُﻫ َﻮ ﻗَﺎﺋِ ٌﻢ » َرﺑـﱠﻨَﺎ َوﻟ ُ ُﻮع ﰒُﱠ ﻳـَﻘ ِ ﺻْﻠﺒَﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟﱡﺮﻛ ُ ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َ ِﺣ.« ُﲪ َﺪﻩ َِ ﻟِ َﻤ ْﻦ ُﲔ ﻳـَﻘُﻮم َ ﻀﻴَـﻬَﺎ َوﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ ِ َﱴ ﻳـَ ْﻘ ﺼﻼَةِ ُﻛﻠﱢﻬَﺎ ﺣ ﱠ ِﻚ ِﰱ اﻟ ﱠ َ ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪُ ﰒُﱠ ﻳـَ ْﻔﻌَ ُﻞ ِﻣﺜْ َﻞ ذَﻟ َ ﲔ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ُﺪ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ َ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪُ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ [ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﺻﻼَةً ﺑَِﺮﺳ َ ِﱏ ﻷَ ْﺷﺒَـ ُﻬ ُﻜ ْﻢ ُﻮل أَﺑُﻮ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ إ ﱢ ُ ُﻮس ﰒُﱠ ﻳـَﻘ ِ ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻤﺜـ َْﲎ ﺑـَ ْﻌ َﺪ اﳉُْﻠ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Rafi’, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Syihab, dari Abu Bakar ibn Abdur Rahman bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata: adalah Rasullulah Saw. apabila berdiri untuk melakukan salat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika rukuk, kemudian membaca “samiallahu liman hamidah” ketika mengangkat punggungnya dari rukuk. Kemudian beliau membaca ketika berdiri “rabbana wa lakal hamd”. Kemudian beliau bertakbir ketika menunduk untuk sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika sujud. Kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat kepalanya (dari sujud). Beliau melakukan hal tersebut di semua (rakaat) sampai selesai salat. Dan beliau juga bertakbir ketika berdiri dari rakaat kedua setelah duduk. Kemudian Abu Hurairah mengatakan : sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip di antara kalian dengan salat Rasulullah [HR Muslim]. Takhr³j
Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi. Shah³h Muslim., hadis no. 392, h. 168, kitab “kit±bu shal±t”, bab “al-takb³r fi kulli khafd wa raf’ fi al-shal±h illa raf’uhu min al-ruk’ fa yaqlu f³hi samill’±hu liman hamidah”.
56
Nas no 10
ََﺎل أَ ْﺧﺒَـﺮَِﱏ أَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ َوأَﺑُﻮ َﺳﻠَ َﻤﺔَ أَ ﱠن أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮة َىﻗ ْﺐ َﻋ ِﻦ اﻟﱡﺰْﻫ ِﺮ ﱢ ٍ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋ ْﻤﺮُو ﺑْ ُﻦ ﻋُﺜْﻤَﺎ َن َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَِﰉ َوﺑَِﻘﻴﱠﺔُ َﻋ ْﻦ ُﺷ َﻌﻴ ُﻮل َرﺑـﱠﻨَﺎ ُ ﲪ َﺪﻩُ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ َِ ُﻮل َِﲰ َﻊ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟِ َﻤ ْﻦ ُ ﲔ ﻳـَْﺮَﻛ ُﻊ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ َ ﲔ ﻳـَﻘُﻮُم ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ َ َﲑﻫَﺎ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ ِْ ﺻﻼَةٍ ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑَِﺔ َوﻏ َ ﻛَﺎ َن ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ ﲔ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ُﺪ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ َ ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪُ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ َ َﺎﺟﺪًا ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ ِ ﲔ ﻳـَ ْﻬﻮِى ﺳ َ ُﻮل اﻟﻠﱠﻪُ أَ ْﻛﺒَـُﺮ ِﺣ ُ َﻚ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ َ َوﻟ ﲔ َ ُﻮل ِﺣ ُ ﺼﻼَةِ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ َﱴ ﻳـَ ْﻔُﺮغَ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠ ِﻚ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌ ٍﺔ ﺣ ﱠ َ َﲔ ﻓَـﻴَـ ْﻔﻌَ ُﻞ ذَﻟ ِ ْ ُﻮس ِﰱ اﺛْـﻨَﺘـ ِ ﲔ ﻳـَﻘُﻮُم ِﻣ َﻦ اﳉُْﻠ َ ﲔ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ َرأْ َﺳﻪُ ﰒُﱠ ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ َ ِﺣ َق َ َﱴ ﻓَﺎر ﺼﻼَﺗُﻪُ ﺣ ﱠ َ ََﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ﻟ ْ إِ ْن ﻛَﺎﻧ-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﺼﻼَةِ َرﺳ َ ِِﱏ ﻷَﻗْـَﺮﺑُ ُﻜ ْﻢ َﺷﺒَـﻬًﺎ ﺑ ْﺴﻰ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ إ ﱢ ِ ِف وَاﻟﱠﺬِى ﻧـَﻔ ُ ﺼﺮ َ ﻳـَْﻨ
[اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ ]رواﻩ أﺑﻮ داود
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ustman, telah menceritakan kepada kami ayahku dan Baqiyyah dari Syuaib dari Zuhri, ia berkata: telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar bin Abdur Rahman dan Abu Salamah bahwasanya Abu Hurairah bertakbir pada setiap salat wajib dan salat lainnya. Ia bertakbir ketika berdiri kemudian bertakbir ketika rukuk, kemudian membaca samiallhu liman hamidah. Kemudian mengucapkan “rabbana walakal hamd” sebelum bersujud. Kemudian mengucapkan allahu akbar ketika tunduk sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudia bertakbir ketika sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika bangun dari duduk di rakaat kedua. Ia melakukan hal tersebut di setiap rakaat, sampai selesai salatnya. Kemudian ia berkata ketika berpaling, Demi Dzat yang aku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku paling dekat kemiripannya di antara kalian salatnya dengan salat Rasulullah Saw. Sungguh inilah cara salat beliau hingga beliau meninggalkan dunia ini. [HR Abu Dawud]
Takhr³j : Sulaiman ibn Asyast Abu Dawud al-Sijistani. Sunan Ab³ D±wd. (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2005), hadis no. 836, h. 1409, kitab “al-Shal±t”, bab “fiy tam±m al-takb³r”.
Nas no 11
ُﲔ ﻳـَﻘُﻮم َ ﺼﻠﱢﻰ ﺑِﻨَﺎ ﻓَـﻴُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﺣ َ َُﺎل ﻛَﺎ َن أَﺑُﻮ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻳ َ ي َﻋ ْﻦ أَِﰉ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﻗ َﻋ ِﻦ اﻟﱡﺰْﻫ ِﺮ ﱢ، َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻣ ْﻌ َﻤٌﺮ، ﱠاق ِ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﱠﺮز َﺲ َوإِذَا أَرَا َد أَ ْن َ ُﻮع َوإِذَا أَرَا َد أَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻣَﺎ ﻳـَ ْﺮﻓَ ُﻊ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱡﺴﺠُﻮِد َوإِذَا َﺟﻠ ِ ﲔ ﻳـَْﺮَﻛ ُﻊ َوإِذَا أَرَا َد أَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻣَﺎ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ ِﻣ َﻦ اﻟﱡﺮﻛ َ َﺣ ِو ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ِﱏ ﻷَﻗْـَﺮﺑُ ُﻜ ْﻢ َﺷﺒَﻬﺎً ﺑَِﺮﺳ ْﺴﻰ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ إ ﱢ ِ َﺎل وَاﻟﱠﺬِى ﻧـَﻔ َ َﲔ ﻓَِﺈذَا َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ ِ ْ َﲔ اﻷُ ْﺧَﺮﻳـ ِ ْ ِﻚ ِﰱ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌﺘـ َ َﲔ َﻛﺒﱠـَﺮ َوﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﻣﺜْ َﻞ ذَﻟ ِ ْ ﻳـَْﺮﻓَ َﻊ ِﰱ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌﺘـ [َق اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ] رواﻩ اﲪﺪ َ َﱴ ﻓَﺎر ﺻﻼَﺗُﻪُ ﺣ ﱠ َ َِﺖ َﻫ ِﺬﻩ ْ ﺻﻼَﺗَﻪُ ﻣَﺎ زَاﻟ َ ﻳـَﻌ ِْﲎ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢTelah menceritakan kepada kami Abdur Razar, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman ia berkata. Adalah Abu Hurairah salat mengimami kami. Ia bertakbir ketika berdiri, ketika rukuk, ketika ia hendak sujud setelah mengangkat (kepala) dari ruku, ketika ia hendak sujud setelah mengangkat (kepala) dari sujud, ketika ia duduk. Ketika 57
hendak berangkat dari rakaat yang kedua ia bertakbir. Demikian juga ia bertakbir seperti itu pada dua rakaat s’Is±nya. Ketika ia telah selesai salam, ia berkata: demi Dzat yang aku ada pada tanganNya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling dekat kemiripannya dengan Rasulullah Saw. (yaitu dalam hal salatnya). Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [HR Ahmad]. Takhr³j : Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Al-Musnad. Editor: Ahmad Muhammad Syakir. (Kairo: D±r al-Had³st, 1995), ‘Musnad Ab³ Hurairah”, hadis no. 7644, vol. VII, h. 384.
Nas no 12
ي َﻋ ْﻦ أَِﰊ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ َﺎﻻ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋﺒْ ُﺪ ْاﻷَ ْﻋﻠَﻰ َﻋ ْﻦ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ َﻋ ْﻦ اﻟﱡﺰْﻫ ِﺮ ﱢ َ ﺼُﺮ ﺑْ ُﻦ َﻋﻠِ ﱟﻲ َو َﺳﻮﱠا ُر ﺑْ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ َﺳﻮﱠا ٍر ﻗ ْ َأَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ ﻧ َﺎل َِﲰ َﻊ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟِ َﻤ ْﻦ َ ْﻒ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ َرَﻛ َﻊ َﻛﺒﱠـ َﺮ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ َرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ ﻗ َ ﺻﻠﱠﻴَﺎ َﺧﻠ َ َو َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ أَﻧـﱠ ُﻬﻤَﺎ ِﱐ ﻷََﻗْـَﺮﺑُ ُﻜ ْﻢ َﺷﺒَـﻬًﺎ ْﺴﻲ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ إ ﱢ ِ َﺎل وَاﻟﱠﺬِي ﻧـَﻔ َ ﲔ ﻗَﺎ َم ِﻣ ْﻦ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌ ِﺔ ﰒُﱠ ﻗ َ َﻚ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ ﰒُﱠ َﺳ َﺠ َﺪ َوَﻛﺒﱠـَﺮ َوَرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ َوَﻛﺒﱠـَﺮ ﰒُﱠ َﻛﺒﱠـَﺮ ِﺣ َ ﲪ َﺪﻩُ َرﺑـﱠﻨَﺎ َوﻟ َِ [ﻆ ﻟِ َﺴﻮﱠا ٍر ]رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ ُ وَاﻟﻠﱠ ْﻔ. َق اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َ َﱴ ﻓَﺎر َﻼﺗُﻪُ ﺣ ﱠ َ َﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ﺻ ْ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻣَﺎ زَاﻟ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﺑَِﺮﺳ
Telah mengabarkan kepada kami Nashr bin Ali dan Sawwar bin Abdullah bin Sawwar. Mereka berdua berkata. Telah bercerita kepada kami Abdul A’la dari Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu bakar bin Abdur Rahman dan Abu Salamah bin Abdur Rahman bahwa keduanya salat di belakang Abu Hurairah Ra. Ketika rukuk, Abu Hurairah bertakbir. Ketika ia mengangkat kepalanya ia mengucapkan samillahu liman hamidah rabbana wa lakal hamd. Kemudian ia sujud dan bertakbir, ia mengangkat kepalanya dan bertakbir. Kemudian ia bertakbir ketika berdiri dari satu rakaat. Kemudian ia berkata: demi Dzat yang aku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang paling dekat diantara kalian kemiripannya dengan Rasulullah Saw.. Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia. Lafal milik Sawwar [HR Nasai] Takhr³j : Ab Abdurrahman Ahmad ibnu Syu’aib al-Nas±i. Sunan al-Nasai. Editor: N±shiruddin al-Alb±ni. (Riy±dh: Maktabah al-Ma’±rif li al-Nasyr wa al-Tauz³’, tth): a. hadis no. 1156, vol. h. 188, kitab “al-tathb³q” bab “al-takb³r li al-nuhdl”. b. hadis 1150 bab “raf’u al-yadain li al-ruku’ hidzaa furu’I al-udzunain” c. hadis no 1023, bab “al-takbir li al-ruk”.
Nas no 13
: َى َﻋ ْﻦ أَِﰉ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﱠﺮﲪَْ ِﻦ َو َﻋ ْﻦ أَِﰉ َﺳﻠَ َﻤﺔَ َﻋ ْﻦ أَِﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮة ﺼُﺮ ﺑْ ُﻦ َﻋﻠِ ﱟﻰ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒ ُﺪ اﻷَ ْﻋﻠَﻰ َﻋ ْﻦ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ َﻋ ِﻦ اﻟﱡﺰْﻫ ِﺮ ﱢ ْ َأَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ ﻧ ﰒُﱠ َﺳ َﺠ َﺪ.َﻚ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ َ َرﺑـﱠﻨَﺎ َوﻟ: َﺎل َ ﰒُﱠ ﻗ، ُﲪ َﺪﻩ َِ َﺎل َِﲰ َﻊ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟِ َﻤ ْﻦ َ ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ َرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ ﻗ، ْﻒ أَِﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ َرَﻛ َﻊ َﻛﺒﱠـَﺮ َ ﺻﻠﱠﻴَﺎ َﺧﻠ َ أَﻧـﱠ ُﻬﻤَﺎ 58
ﺻﻠﻰ اﷲ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ِﱏ ﻷَﻗْـَﺮﺑُ ُﻜ ْﻢ َﺷﺒَﻬﺎً ﺑَِﺮﺳ ْﺴﻰ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ إ ﱢ ِ وَاﻟﱠﺬِى ﻧـَﻔ: َﺎل َ َﲔ ﰒُﱠ ﻗ ِ ْ ﲔ ﻗَﺎ َم ِﻣ َﻦ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌﺘـ َ ﰒُﱠ َﻛﺒﱠـَﺮ ِﺣ، َوَﻛﺒﱠـَﺮ ﰒُﱠ َرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ َوَﻛﺒﱠـَﺮ [] رواﻩ اﻟﺪارﻣﻲ.َق اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َ َﱴ ﻓَﺎر ﺻﻼَﺗُﻪُ ﺣ ﱠ َ َِال َﻫ ِﺬﻩ َ ﻣَﺎ ز-ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ Telah mengabarkan kepada kami Nashr ibn Ali, telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, dari Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Bakar bin Abdur Rahman, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa keduanya salat di belakang Abu Hurairah. Ketika ia rukuk, ia bertakbir. Ketika mengangkat kepalanya ia mengucapkan samiallahu liman hamidah, kemudian mengucapkan: rabbana wa lakal hamd. Kemudia ia sujud dan bertakbir da mengangkat kepalanya dan takbir. Kemudian ia bertakbir ketika berdiri dari rakaat kedua. Kemudian Abu Hurairah mengatakan: demi Dzat yang aku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang paling dekat diantara kalian kemiripannya dengan Rasulullah Saw.. Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [HR Darimi].
Takhr³j :
Ab Muhammad ‘Abdullah ibn Abdurrahman al-D±rimi. Editor: Husain S±lim Asad al-D±rani. (Arab Saudi: D±r al-Mughn³ li al-Nasyr wa al-Tauz³’, 1421 H/1421 M), hadis no. 1283, vol. II, h. 794 , kitab “al-shal±h” bab “al-takb³r ‘inda kulli khafd wa raf’ ”.
Nas no 14
ﻛﺎن: أﺧﱪﻧﺎ أﺑﻮ ﻃﺎﻫﺮ ﻧﺎ أﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ راﻓﻊ ﻧﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق أﺧﱪﻧﺎ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ اﻟﺰﻫﺮي ﻋﻦ أﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻗﺎل أﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮة ﻳﺼﻠﻲ ﺑﻨﺎ ﻓﻴﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﻘﻮم وﺣﲔ ﻳﺮﻛﻊ وإذا أراد أن ﻳﺴﺠﺪ وﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﺮﻓﻊ ﻣﻦ اﻟﺮﻛﻮع وإذا أراد أن ﻳﺴﺠﺪ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﺮﻓﻊ واﻟﺬي ﻧﻔﺴﻲ: ﻣﻦ اﻟﺴﺠﻮد وإذا ﺟﻠﺲ وإذا أراد أن ﻳﻘﻮم ﰲ اﻟﺮﻛﻌﺘﲔ ﻛﱪ وﻳﻜﱪ ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ ﰲ اﻟﺮﻛﻌﺘﲔ اﻷﺧﺮﻳﲔ ﻓﺈذا ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻣﺎ زاﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺻﻼﺗﻪ ﺣﱴ ﻓﺎرق اﻟﺪﻧﻴﺎ] رواﻩ اﺑﻦ- ﻳﻌﲏ ﺻﻼﺗﻪ- ﺑﻴﺪﻩ إﱐ ﻷﻗﺮﺑﻜﻢ ﺷﺒﻬﺎ ﺑﺮﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ [ﺧﺰﳝﺔ Telah mengabarkan kepada kami Abu Thahir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman, ia berkata. Adalah Abu Hurairah salat bersama kami. Ia bertakbir ketika berdiri, ketika rukuk, ketika hendak sujud, setelah selesai dari sujud, ketika duduk. Ketika hendak bangkit dari rakaat kedua ia bertakbir. Dan ia bertakbir seperti itu juga pada dua rakaat s’Is±nya. Ketika selesai salami a mengatakan, demi Dzat yang aku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang paling dekat diantara kalian kemiripannya dengan Rasulullah Saw. maksudnya dalam hal salat. Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [HR Ibnu Khuzaimah]. Takhr³j : Ab Bakar Muhammad ibn Ish±q ibn Khuzaimah ibn al-Salami al-Na’is±buriy. Shah³h Ibn Khuzaimah. Editor: Dr. Musthaf± A’zhami. (Beirut: al-Maktab al-Isl±miy, 1980), hadis no. 579, h. 291. Bab “ dzikr al-dal³l ‘al± anna 59
h±dzihi al-lafzhah allat³y dzakarath± lafzh ‘±m mur±duhu kh±s wa anna al-nabiyya shallall±hu ‘alaihi wa sallam innam± yukabbiru fi ba’dhi al-raf’i l± fi kullih± lam yukabbir shallall±hu ‘alaihi wa sallam ’inda raf’ihi raksahu ‘an al-rukk wa innam± yukabbiru fi kulli raf’in khal± ‘inda raf’ihi raksahu min al-ruk’”.
Nas no 15
ﺼﻠﱢﻲ ﺑِﻨَﺎ ﻓَـﻴُ َﻜﺒﱢـُﺮ َ ُ ﻛَﺎ َن أَﺑُﻮ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻳ:َﺎل َ ﻗ،َ َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻠَ َﻤﺔ، َﻋ ِﻦ اﻟﱡﺰْﻫ ِﺮيﱢ،ٌ أﻧﺒﺎ َﻣ ْﻌ َﻤﺮ:َﺎل َ ﻗ،ﱠاق ِ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﱠﺮز:َﺎل َ ﻗ،َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ اﻟ ﱠﺪﺑَِﺮيﱡ َوإِذَا،ِ َوإِذَا أَرَا َد أَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻣَﺎ ﻳـَْﺮﻓَ ُﻊ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱡﺴﺠُﻮد،ُﻮع ِ َوإِذَا أَرَا َد أَ ْن ﻳَ ْﺴ ُﺠ َﺪ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻣَﺎ ﻳـَ ْﻔُﺮغُ ِﻣ َﻦ اﻟﱡﺮﻛ،ُﲔ ﻳـَْﺮَﻛﻊ َ َﺣ ِ ﲔ ﻳـَﻘُﻮُم و َ ِﺣ ِﱐ إ ﱢ،ِْﺴﻲ ﺑِﻴَ ِﺪﻩ ِ وَاﻟﱠﺬِي ﻧـَﻔ:َﺎل َ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ،َِﲔ اﻷُ ْﺧَﺮﻳـ َْﲔ ِ ْ ِﻚ ِﰲ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌﺘـ َ َوﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﻣﺜْ َﻞ ذَﻟ، َﲔ َﻛﺒﱠـَﺮ ِ ْ َﺲ َوإِذَا أَرَا َد أَ ْن ﻳـَﻘُﻮَم ِﰲ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌﺘـ َ َﺟﻠ [ ]رواﻩ أﺑﻮ ﻋﻮاﻧﺔ.َق اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َ َﱴ ﻓَﺎر َﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ﺻَﻼﺗُﻪُ ﺣ ﱠ ْ ﻣَﺎ زَاﻟ،ُ ﻳـَﻌ ِْﲏ ﺻَﻼﺗَﻪ،- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﻷَﻗْـَﺮﺑُ ُﻜ ْﻢ َﺷﺒَـﻬًﺎ ﺑَِﺮﺳ Telah menceritakan kepada kami al-Dabari, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq, telah mengabarkan Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman, ia berkata. Adalah Abu Hurairah salat bersama kami. Ia bertakbir ketika berdiri, ketika rukuk, ketika hendak sujud, setelah selesai dari sujud, ketika duduk. Ketika hendak bangkit dari rakaat kedua ia bertakbir. Dan ia bertakbir seperti itu juga pada dua rakaat s’Is±nya. Ketika selesai salami a mengatakan, demi Dzat yang aku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang paling dekat diantara kalian kemiripannya dengan Rasulullah Saw. maksudnya dalam hal salat. Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [HR Abu Awanah]. Takhr³j : Ab Aww±nah Ya’qb ibn Ish±q, Musnad Abi Aww±nah. Editor: Ayman ibn ‘²rif al-Dimasyq. Beirut : D±r alMa’rifah, 1998), hadis no. 1591, vol. I, h. 427, kitab “al-shalaw±t”, bab “bay±n al-takb³r fi al-shal±h fi kulli raf’in wa khafdlin”.
Nas no 16
ﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق ﻋﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ اﻟﺰﻫﺮي ﻋﻦ أﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻗﺎل ﻛﺎن أﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮة ﻳﻜﱪ ﺑﻨﺎ ﻓﻴﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﻘﻮم وﺣﲔ ﻳﺮﻛﻊ وإذا أراد أن ﻳﺴﺠﺪ و ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﻔﺮغ ﻣﻦ اﻟﺴﺠﻮد وإذا ﺟﻠﺲ وإذا أراد أن ﻳﻘﻮم ﰲ اﻟﺮﻛﻌﺘﲔ ﻳﻜﱪ وﻳﻜﱪ ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ ﰲ اﻟﺮﻛﻌﺘﲔ اﻷﺧﺮﻳﲔ وإذا ﺳﻠﻢ ﻗﺎل واﻟﺬي ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ إﱐ ﻷﻗﺮﺑﻜﻢ ﺷﺒﻬﺎ ﺑﺮﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻳﻌﲏ ﰲ اﻟﺼﻼة ﻣﺎ زاﻟﺖ ﻫﺬﻩ [ﺻﻼﺗﻪ ﺣﱴ ﻓﺎرق اﻟﺪﻧﻴﺎ ]رواﻩ ﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق
Dari Abdur Razaq, dari Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman, ia berkata. Adalah Abu Hurairah bertakbir (ketika salat) bersama kami. Ia bertakbir ketika berdiri, ketika rukuk, ketika hendak sujud, setelah selesai dari sujud, ketika duduk. Ketika hendak bangkit dari rakaat kedua ia bertakbir. Dan ia bertakbir seperti itu juga pada dua rakaat s’Is±nya. Ketika selesai salami a mengatakan, demi Dzat yang aku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang paling dekat diantara kalian kemiripannya dengan Rasulullah Saw. maksudnya dalam hal salat. Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [HR Abdur Razaq] 60
Takhr³j : Ab Bakr Abdur Razaq, al-Mushannaf. Editor: Habiburrahm±n al-A’zhami. Majlis Ilmi, hadis no. 2495, vol. II, h. 61, kitab “al-shal±h”, bab “al-takb³r”.
Nas no 17
ى َﻋ ْﻦ َك ﻋَ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ُﺟَﺮﻳ ٍْﺞ َﻋ ِﻦ اﻟﱡﺰْﻫ ِﺮ ﱢ ِ َﺎل أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ُﻦ اﻟْ ُﻤﺒَﺎر َ ْﺖ َﻋﻠِ ﱠﻰ ﺑْ َﻦ اﳊَْ َﺴ ِﻦ ﻗ ُ َﺎل َِﲰﻌ َىﻗ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ُﻦ ُﻣﻨِ ٍﲑ اﻟْﻤَﺮَْوِز ﱡ ِﻳﺚ ٌ َﺎل أَﺑُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ َﻫﺬَا َﺣﺪ َ ﻗ. ﻛَﺎ َن ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ َوُﻫ َﻮ ﻳـَ ْﻬﻮِى- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ﱠﱮ أَِﰉ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ َﻋ ْﻦ أَِﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ []رواﻩ اﻟﱰﻣﺬى.َﺤﻴ ٌﺢ ِ َﺣ َﺴ ٌﻦ ﺻ Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Munir al-Marwazi. Ia berkata, aku mendengar Ali ibn al-Hasan, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Abdullah ibn al-Mubarak, dari Ibnu Juraij dari al-Zuhri, dari Abu Bakar ibn Abdur Rahman, dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Saw. bertakbir ketika beliau sujud. Abu ‘Is± mengatakan: ini adalah hadis hasan sahih [HR Tirmidzi]. Takhr³j : Muhammad ibn ‘Is± al-Tirmidzi, (Riy±dh: D±r al-Sal±m, 1999), hadis no. 254, h. 70, kitab “al-shalat”, bab “m± j±a fi al-takb³r ‘inda al-ruk’ wa al-sujd”.
Nas no 18
أﺧﱪﻧﺎ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﻋﻦ: أﺧﱪﻧﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻗﺎل: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﺒﺎن ﺑﻦ ﻣﻮﺳﻰ ﻗﺎل: أﺧﱪﻧﺎ اﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﺳﻔﻴﺎن ﻗﺎل- ١٧٦٧ أن أﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮة ﺣﲔ اﺳﺘﺨﻠﻔﻪ ﻣﺮوان ﻋﻠﻰ اﳌﺪﻳﻨﺔ ﻛﺎن إذا ﻗﺎم إﱃ اﻟﺼﻼة اﳌﻜﺘﻮﺑﺔ ﻛﱪ ﰒ ﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﺮﻛﻊ: اﻟﺰﻫﺮي ﻋﻦ أﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﲰﻊ اﷲ ﳌﻦ ﲪﺪﻩ رﺑﻨﺎ وﻟﻚ اﳊﻤﺪ ﰒ ﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﻬﻮي ﺳﺎﺟﺪا ﰒ ﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﻳﻘﻮم ﺑﲔ اﻟﺜﻨﺘﲔ: ﻓﺈذا رﻓﻊ رأﺳﻪ ﻣﻦ اﻟﺮﻛﻮع ﻗﺎل واﻟﺬي ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ: ﺑﻌﺪ اﻟﺘﺸﻬﺪ ﰒ ﻳﻔﻌﻞ ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ ﺣﱴ ﻳﻘﻀﻲ ﺻﻼﺗﻪ ﻓﺈذا ﻗﻀﻰ ﺻﻼﺗﻪ وﺳﻠﻢ أﻗﺒﻞ ﻋﻠﻰ أﻫﻞ اﳌﺴﺠﺪ ﻓﻘﺎل [إﱐ ﻷﺷﺒﻬﻜﻢ ﺻﻼة ﺑﺮﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ]رواﻩ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن Telah mengabarkan kepada kami al-Hasan ibn Sufyan ia berkata, telah menceritakan kepada kami Hibban ibn Musa ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdullah ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdullah ia berkata, telah mengabarkan Yunus ibn Yazid dari al-Zuhri, dari Abu Salamah, bahwasanya Abu Hurairah ketika ditunjuk oleh Marwan sebagai gubernur Madinah, apabila berdiri melakukan salat wajib ia bertakbir, kemudian bertakbir ketika rukuk. Apabila mengangkat kepalanya dari rukuk ia mengucapkan: samiallhu liman hamidah, rabbana wa 61
lakal hamd. Kemudian ia bertakbir ketika tunduk sujud, kemudian bertakbir ketika berdiri dari rakaat kedua setelah tasyahud. Ia melakukan hal itu sampai ia menyelesaikan salatnya. Ketika salatnya selesai dan selesai mengucapkan sala, ia menghadap ke arah jamaah masjid. Ia berkata : demi Dzat yang aku ada pada tangan-Nya. Sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip dengan salat Rasulullah Saw. [HR Ibnu Hibban] Takhr³j : Muhammad ibn Hibban. Shah³h Ibn Hibb±n bi Tart³b Ibni Balb±n. Editor: Syua’ib al-Arn±uth. (Beirut: Muassasah al-Ris±lah, 1993), hadis no. 1767, h. 63, kitab “al-shal±t”, bab “shifat al-shal±t”.
Nas no 19
ﺾ َ ﺼﻠﱢﻰ ﳍَُ ْﻢ ﻓَـﻴُ َﻜﺒﱢـُﺮ ُﻛﻠﱠﻤَﺎ َﺧ َﻔ َ ُْف أَ ﱠن أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻛَﺎ َن ﻳ ٍ َﺎب َﻋ ْﻦ أَِﰉ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ِﻦ ﻋَﻮ ٍ ِﻚ َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ ٍ َو َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲎ َﻋ ْﻦ ﻣَﺎﻟ [ ]رواﻩ ﻣﺎﻟﻚ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﺼﻼَةِ َرﺳ َ ِِﱏ ﻷَ ْﺷﺒَـ ُﻬ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺎل وَاﻟﻠﱠ ِﻪ إ ﱢ َ َف ﻗ َ ﺼﺮ َ َْوَرﻓَ َﻊ ﻓَِﺈذَا اﻧ Telah menceritakan kepada ku dari Mali, dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah ibn Abdur Rahman ib Auf bahwasanya Abu Hurairah salat mengimami mereka. Ia bertakbir setiap kali sujud dan berdiri. Ketika beliau selesai, beliau berkata: demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip dengan salat Rasulullah Saw. [HR Malik] Takhr³j :
M±lik ibn Anas. Kit±b al-Muwattha. (Beirut: D±r al-Fikr, 1987), hadis no. 20, h. 63, kitab “al-shal±t”, bab “iftit±h al-shalat”.
Nas no 20
ﺻﻠﻰ ﺑﻨﺎ أﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮة: ﲰﻌﺖ ﺳﻌﻴﺪا اﳌﻘﱪي ﻳﻘﻮل: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﻋﻤﲑ اﳌﺪﻳﲏ ﻗﺎل، ﺣﺪﺛﻨﺎ أﰊ، ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﺑﻦ وﻛﻴﻊ ﻫﻜﺬا ﻛﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﻨﺎ ] رواﻩ أﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ: ﻓﻠﻤﺎ اﻧﺼﺮف ﻗﺎل، ﻓﻜﺎن ﻳﻜﱪ ﻛﻠﻤﺎ رﻓﻊ وﺳﺠﺪ [اﳌﻮﺻﻠﻰ Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibn Waki’, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Umair al-Madini, ia berkata: aku telah mendengar Said alMaqbariy sedang berkata: Abu Hurairah salat (mengimami) kami. Ia bertakbir setiap kali berdiri dan sujud. Ketika ia selesai salat ia berkata: “beginilah Rasulullah salat mengimami kami”. [HR Abu Ya’la al-Mushili]
62
Takhr³j : Ab Ya’l±, Ahmad ibn ‘Ali ibn Mustann± ibn al-Tam³mi. (Damaskus dan Beirut : D±r al-Makmn li al-Tur±st, 1987), hadis no. 6615, h. 492, kitab “T±bi’ Musnad Ab³ Hurairah”.
Nas no 21
أﺧﱪﻧﺎ اﻟﺮﺑﻴﻊ ﻗﺎل أﺧﱪﻧﺎ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻗﺎل أﺧﱪﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺷﻬﺎب ﻋﻦ أﰉ ﺳﻠﻤﺔ أن أﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮة ﻛﺎن ﻳﺼﻠﻰ ﳍﻢ ﻓﻴﻜﱪ ﻛﻠﻤﺎ [ﺧﻔﺾ ورﻓﻊ ﻓﺈذا اﻧﺼﺮف ﻗﺎل واﷲ إﱏ ﻻﺷﺒﻬﻜﻢ ﺻﻼة ﺑﺮﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ]رواﻩ اﻟﺸﺎﻓﻌﻰ Telah mengabarkan kepada kami Rabi’, telah mengabarkan kepada kami al-Syafii, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah, bahwasanya Abu Hurairah pernah salat bersama mereka. Ia bertakbir setiap … Ketika ia menghadap (ke jamaah) ia berkata: demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang paling mirip salatnya dengan salat Rasulullah Saw. [HR al-Syafii]
Takhr³j : Muhammad ibn Idr³s al-Sy±fi’i. Al-Umm. (Al-Manshrah: D±r al-Waf±, 2005), vol. II, hadis no. 221, h. 251-2, kitab “al-shal±h”, bab “al-takb³r li al-ruk’ wa ghairih”.
E. Ragam Pelaksanaan Salat Tarawih Nas no 22
ﺲ ﻓَـﻴَ ْﺬ ُﻛُﺮ اﻟﻠﱠﻪَ َﻋﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ ﰒُﱠ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ ﰒُﱠ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ ﺗَ ْﺴﻠِﻴﻤًﺎ ُ ِﺲ ﻓِﻴ ِﻬ ﱠﻦ إِﻻﱠ ِﻋْﻨ َﺪ اﻟﺜﱠﺎ ِﻣﻨَ ِﺔ ﻓَـﻴَ ْﺠﻠ ُ َِﺎت ﻻَ َْﳚﻠ ٍ ﺼﻠﱢﻰ ﲦََﺎ ِن َرَﻛﻌ َ ُ ﻳ: َﺎل َ َﻋ ْﻦ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ ﻗ ُ ُﲎ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ أَ َﺳ ﱠﻦ َرﺳ ْﻚ إِ ْﺣﺪَى َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔً ﻳَﺎ ﺑـ َﱠ َ ﺼﻠﱢﻰ َرْﻛ َﻌﺔً ﻓَﺘِﻠ َ ُﺲ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻣَﺎ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ ﰒُﱠ ﻳ ٌ َِﲔ َوُﻫ َﻮ ﺟَﺎﻟ ِ ْ ﺼﻠﱢﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ ُﻳُ ْﺴ ِﻤﻌُﻨَﺎ ﰒُﱠ ﻳ - ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ [ ]رواﻩ أﺑﻮ داود.ﺲ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻣَﺎ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ ٌ َِﲔ َوُﻫ َﻮ ﺟَﺎﻟ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َوأَ َﺧ َﺬ اﻟﻠﱠ ْﺤ َﻢ أ َْوﺗَـَﺮ ﺑِ َﺴْﺒ ٍﻊ َو-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
Dari Qatadah ia berkata: (Nabi Saw) salat delapan rakaat, beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke ٨. Beliau duduk sambil dzikir kepada Allah, kemudian berdoa, lalu salam, sehingga kami
dapat mendengar salamnya itu. Kemudian beliau salat lagi dua rakaat sambil duduk lalu salam. Kemudian beliau salat satu rakaat. Maka jadilah ia ١١ rakaat. Setelah Rasululullah berusia lanjut dan bertambah berat badannya, beliau kerjakan salat witir (lail dan witir) ٧ rakaat. Kemudian melakukan salat ٢ rakaat dengan cara duduk sesudah salam. [HR Abu Dawud] Takhr³j : Sulaiman ibn Asy’ast Ab D±wud al-Sijistani. Sunan Ab³ D±wd, hadis no. 1343, h. 162, kitab “alTathawwu”, bab “fiy shalat al-layl”.
63
Nas no 23
ﻛَﺎ َن: َﺖ ْ ﻳُﻮﺗُِﺮ ﻗَﺎﻟ-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ﺑِ َﻜ ْﻢ ﻛَﺎ َن َرﺳ: ْﺖ ﻟِﻌَﺎﺋِ َﺸﺔَ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ُ َﺎل ﻗُـﻠ َ ْﺲ ﻗ ٍ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ أَِﰉ ﻗَـﻴ َث َﻋ ْﺸَﺮةَ ]رواﻩ َ َﺺ ِﻣ ْﻦ َﺳْﺒ ٍﻊ َوﻻَ ﺑِﺄَ ْﻛﺜَـَﺮ ِﻣ ْﻦ ﺛَﻼ َ َث َوَﱂْ ﻳَ ُﻜ ْﻦ ﻳُﻮﺗُِﺮ ﺑِﺄَﻧْـﻘ ٍ َث َو َﻋ ْﺸ ٍﺮ َوﺛَﻼ ٍ َث َوﲦََﺎ ٍن َوﺛَﻼ ٍ ﺖ َوﺛَﻼ َﺳ ﱟ ِ َث و ٍ ﻳُﻮﺗُِﺮ ﺑِﺄ َْرﺑَ ٍﻊ َوﺛَﻼ [أﺑﻮ داود Dari Abdullah bin Abi Qais, ia berkata: aku bertanya kepada Aisyah Ra. : berapa rakaat Rasulullah salat witir (lail dan witir). Beliau menjawab: Rasulullah salat witir (salat lail dan witir) 4 dan 3 rakaat atau 6 rakaat dan 3 rakaat atau 8 dan 3 rakaat atau 10 dan 3 rakaat. Rasulullah tidak pernah melakukan salat witir (lail dan witir) kurang dari 7 rakaat dan tidak lebih dari 13 rakaat [HR Abu Dawud].
Takhr³j : Sulaiman ibn Asy’ast Ab D±wud al-Sijistani. Sunan Ab³ D±wd, hadis no. 1362, h. 164, kitab “alTathawwu”, bab “fiy shal±ti al-layl”.
Nas no 24
ﺼﻠﱢﻰ َ َُث َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔً ﻳ َ ﺼﻠﱢﻰ ﺛَﻼ َ َُﺖ ﻛَﺎ َن ﻳ ْ ﻓَـﻘَﺎﻟ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﺻﻼَةِ َرﺳ َ ْﺖ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َﻋ ْﻦ ُ َﺎل َﺳﺄَﻟ َ َﻋ ْﻦ أَِﰉ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﻗ ِﺻﻼَة َ َﲔ اﻟﻨﱢﺪَا ِء وَا ِﻹﻗَﺎ َﻣ ِﺔ ِﻣ ْﻦ َ ْ َﲔ ﺑـ ِ ْ ﺼﻠﱢﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ ُﺲ ﻓَِﺈذَا أَرَا َد أَ ْن ﻳـَْﺮَﻛ َﻊ ﻗَﺎ َم ﻓـََﺮَﻛ َﻊ ﰒُﱠ ﻳ ٌ َِﲔ َوُﻫ َﻮ ﺟَﺎﻟ ِ ْ ﺼﻠﱢﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َُﺎت ﰒُﱠ ﻳُﻮﺗُِﺮ ﰒُﱠ ﻳ ٍ ﲦََﺎ َن َرَﻛﻌ [ْﺢ ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ ِ ﺼﺒ اﻟ ﱡ Dari Abu Salamah, ia berkata. Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat Rasulullah Saw. Beliau menjawab, Rasulullah Saw. 13 rakaat; salat (lail) 8 rakaat, salat witir (3 rakaat), kemudian salat (sunah fajar) 2 rakaat dengan cara duduk. Apabila beliau ingin ruku, beliau berdiri, kemudian ruku dan melakukan salat dua rakaat antara adzan dan iqamat untuk salat subuh [HR Muslim]. Takhr³j : Muslim ibn Hajj±j al-Nays±buri. Shah³h Muslim, hadis no. 738, h. 291, kitab “kit±bu shal±t”, bab “shal±tu allayl wa ‘adadu raka’±t”.
Nas no 25
َﺖ ُﻛﻨﱠﺎ ﻧُﻌِ ﱡﺪ ْ ﻓَـﻘَﺎﻟ.-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ِﻴﲎ َﻋ ْﻦ ِوﺗْ ِﺮ َرﺳ ِ ﲔ أَﻧْﺒِﺌ َ ِْﺖ ﻳَﺎ أُمﱠ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨ ُ َﺎل )ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﻫﺸﺎم ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ( ﻗُـﻠ َ …ﻗ ﺲ ﻓِﻴﻬَﺎ إِﻻﱠ ِﰱ اﻟﺜﱠﺎ ِﻣﻨَ ِﺔ ُ َِﺎت ﻻَ َْﳚﻠ ٍ ﺼﻠﱢﻰ ﺗِ ْﺴ َﻊ َرَﻛﻌ َ ُﺿﺄُ َوﻳ ﱠك َوﻳـَﺘَـ َﻮ ﱠ ُ ﻟَﻪُ ِﺳﻮَا َﻛﻪُ َوﻃَﻬُﻮَرﻩُ ﻓَـﻴَْﺒـ َﻌﺜُﻪُ اﻟﻠﱠﻪُ ﻣَﺎ ﺷَﺎءَ أَ ْن ﻳـَْﺒـ َﻌﺜَﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﻓَـﻴَﺘَ َﺴﻮ َﳛ َﻤ ُﺪﻩُ َوﻳَ ْﺪﻋُﻮﻩُ ﰒُﱠ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ ﺗَ ْﺴﻠِﻴﻤًﺎ َْﱠﺎﺳ َﻌﺔَ ﰒُﱠ ﻳَـ ْﻘﻌُ ُﺪ ﻓَـﻴَ ْﺬ ُﻛُﺮ اﻟﻠﱠﻪَ و ِ ﺼﻠﱢﻰ اﻟﺘ َ ُﺾ َوﻻَ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ ﰒُﱠ ﻳـَﻘُﻮُم ﻓَـﻴ ُ َﳛ َﻤ ُﺪﻩُ َوﻳَ ْﺪﻋُﻮﻩُ ﰒُﱠ ﻳـَْﻨـ َﻬ َْﻓَـﻴَ ْﺬ ُﻛُﺮ اﻟﻠﱠﻪَ و ُﲎ ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ أَ َﺳ ﱠﻦ ﻧِ ﱡ ْﻚ إِ ْﺣﺪَى َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔً ﻳَﺎ ﺑـ َﱠ َ َﲔ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻣَﺎ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ َوُﻫ َﻮ ﻗَﺎ ِﻋ ٌﺪ ﻓَﺘِﻠ ِ ْ ﺼﻠﱢﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ ُﻳُ ْﺴ ِﻤﻌُﻨَﺎ ﰒُﱠ ﻳ -ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- َﱮ اﻟﻠﱠ ِﻪ
64
]رواﻩ-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- َﱮ اﻟﻠﱠ ِﻪ ُﲎ َوﻛَﺎ َن ﻧِ ﱡ ْﻚ ﺗِ ْﺴ ٌﻊ ﻳَﺎ ﺑـ َﱠ َ ﺻﻨِﻴﻌِ ِﻪ اﻷَوِﱠل ﻓَﺘِﻠ َ َﲔ ِﻣﺜْ َﻞ ِ ْ ﺻﻨَ َﻊ ِﰱ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌﺘـ َ َوأَ َﺧ َﺬ اﻟﻠﱠ ْﺤ َﻢ أ َْوﺗَـَﺮ ﺑِ َﺴْﺒ ٍﻊ َو
[ﻣﺴﻠﻢ
…(Saad bin Hisyam bin Amir) berkata. Aku bertanya, wahai Ummul Mukminin (Aisyah), beritahukan aku tentang witir (salat lail dan witir) Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab; kami menyiapkan untuk Rasulullah siwaknya dan (perlengkapan) bersuci. Kemudian Allah membangunkannya di waktu yang Dia inginkan pada malam hari, lalu Rasulullah bersiwak, berwudu dan salat 9 rakaat. Rasulullah tidak duduk dalam salat tersebut kecuali pada rakaat ke-8. Rasulullah mengingat dan memuji Allah serta berdoa kepada-Nya. Kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Rasulullah berdiri untuk rakaat yang ke-9, kemudian duduk berzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian salam sehingga kami mendengar salam itu. Kemudian setelah itu beliau salat lagi 2 rakaat sambil duduk. Maka jadilah salat itu 11 rakaat [HR Muslim]. Takhr³j : Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi. Shah³h Muslim, hadis no. 746, h. 293, kitab “kit±bu shal±t”, bab “j±mi’ shal±ti al-layl wa man n±ma”.
Nas no 26
ََﺎت ﻻ ٍ ﻛَﺎ َن ﻳُﻮﺗُِﺮ ﺑِﺜَﻤَﺎ ِن َرَﻛﻌ: َﺖ ْ ﻗَﺎﻟ. -ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ﱠﱮ ِﻴﲎ َﻋ ْﻦ ِوﺗْ ِﺮ اﻟﻨِ ﱢ ِ َﺣ ﱢﺪﺛ: ْﺖ ُ َﺎل )ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﻫﺸﺎم ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ( ﻗُـﻠ َﻗ َﲔ ِ ْ ﺼﻠﱢﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ ُﱠﺎﺳ َﻌ ِﺔ ﰒُﱠ ﻳ ِ ﱠﺎﺳ َﻌ ِﺔ َوﻻَ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ إِﻻﱠ ِﰱ اﻟﺘ ِ ﺲ إِﻻﱠ ِﰱ اﻟﺜﱠﺎ ِﻣﻨَ ِﺔ وَاﻟﺘ ُ ِﺼﻠﱢﻰ َرْﻛ َﻌﺔً أُ ْﺧﺮَى ﻻَ َْﳚﻠ َ ُﺲ إِﻻﱠ ِﰱ اﻟﺜﱠﺎ ِﻣﻨَ ِﺔ ﰒُﱠ ﻳـَﻘُﻮُم ﻓَـﻴ ُ َِْﳚﻠ ِْﺲ إِﻻﱠ ِﰱ اﻟﺴﱠﺎ ِد َﺳ ِﺔ وَاﻟﺴﱠﺎﺑِ َﻌ ِﺔ َوَﱂ ْ َﺎت َﱂْ َْﳚﻠ ٍ ُﲎ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ أَ َﺳ ﱠﻦ َوأَ َﺧ َﺬ اﻟﻠﱠ ْﺤ َﻢ أ َْوﺗَـَﺮ ﺑِ َﺴْﺒ ِﻊ َرَﻛﻌ ْﻚ إِ ْﺣﺪَى َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔً ﻳَﺎ ﺑـ َﱠ َ ﺲ ﻓَﺘِﻠ ٌ َِوُﻫ َﻮ ﺟَﺎﻟ [ُﲎ ]رواﻩ أﺑﻮ داود َﺎت ﻳَﺎ ﺑـ َﱠ ٍ ْﻚ ِﻫ َﻰ ﺗِ ْﺴ ُﻊ َرَﻛﻌ َ ﺲ ﻓَﺘِﻠ ٌ َِﲔ َوُﻫ َﻮ ﺟَﺎﻟ ِ ْ ﺼﻠﱢﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ ُﻳُ َﺴﻠﱢ ْﻢ إِﻻﱠ ِﰱ اﻟﺴﱠﺎﺑِ َﻌ ِﺔ ﰒُﱠ ﻳ (Saad bin Hisyam bin Amir) berkata. Aku bertanya, (wahai Ummul Mukminin Aisyah), beritahukan kepadaku tentang witir (salat lail dan witir) Rasulullah Saw. Beliau menjawab: Rasulullah melaksanakan salat witir (lail) sebanyak 8 rakaat. Beliau tidak duduk (tahiyat) kecuali pada rakaat ke-8. Kemudian beliau berdiri dan melaksanakan salat 1 rakaat lagi. Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke-8 dan ke-9. Kemudian beliau salat 2 rakaat lagi sambil duduk. Maka jadilah salat itu sebelas rakaat [HR Abu Dawud]. Takhr³j : Sulaiman ibn Asyast Abu Dawud al-Sijistani. Sunan Ab³ D±wd, hadis no. 1342, h. 162, kitab “al-Tathawwu”, bab “fiy shal±ti al-layl”.
65
F. Witir 3 rakaat tidak menggunakan Tasyahud Nas no 27
ﻻ ﺗﻮﺗﺮوا ﺑﺜﻼث أوﺗﺮوا ﲞﻤﺲ أو ﺑﺴﺒﻊ وﻻ ﺗﺸﺒﻬﻮا ﺑﺼﻼة اﳌﻐﺮب: ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﻋﻦ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ أﻧﻪ ﻗﺎل [ إﺳﻨﺎدﻩ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮط ﻣﺴﻠﻢ: ]رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ و اﳊﺎﻛﻢ و اﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﻗﺎل ﺷﻌﻴﺐ اﻷرﻧﺆوط
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw. bahwasanya ia berkata: janganlah kalian melakukan witir 3 rakaat, akan tetapi lakukanlah witir 5 rakaat atau 7 rakaat. Jangan samakan witir dengan salat magrib. [HR Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi. Menurut Syuaib al-Arnauth : Sanadnya sahih sesuai syarat Muslim]
Nas no 28
ﱢﻚ ْاﻷَ ْﻋﻠَﻰ وَِﰲ اﻟﱠﺮْﻛ َﻌ ِﺔ اﻟﺜﱠﺎﻧِﻴَ ِﺔ ﺑُِﻘ ْﻞ ﻳَﺎ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻘَْﺮأُ ِﰲ اﻟْ ِﻮﺗْ ِﺮ ﺑِ َﺴﺒﱢ ْﺢ ا ْﺳ َﻢ َرﺑ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل ﻛَﺎ َن َرﺳ َ ْﺐ ﻗ ٍ ُﰊ ﺑْ ِﻦ َﻛﻌ َﻋ ْﻦ أ َﱢ ﱡوس ﺛ ََﻼﺛًﺎ ِ ِﻚ اﻟْ ُﻘﺪ ِ آﺧ ِﺮِﻫ ﱠﻦ َوﻳـَﻘُﻮ ُل ﻳـَﻌ ِْﲏ ﺑـَ ْﻌ َﺪ اﻟﺘﱠ ْﺴﻠِﻴ ِﻢ ُﺳْﺒﺤَﺎ َن اﻟْ َﻤﻠ ِ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟْﻜَﺎﻓِﺮُو َن وَِﰲ اﻟﺜﱠﺎﻟِﺜَِﺔ ﺑُِﻘ ْﻞ ُﻫ َﻮ اﻟﻠﱠﻪُ أَ َﺣ ٌﺪ وََﻻ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ إﱠِﻻ ِﰲ []رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ
Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata. Rasulullah Saw. membaca dalam salat witir “sabbihisma rabiikal a’la”, pada rakaat kedua membaca “qul ya ayyuhal kafirun”, pada rakaat ketiga “qul huwallahu ahad”. Rasulullah tidak salam kecuali di akhir salat. Setelah salat rasulullah mengucapkan “subhanal malikil quddus”. [HR Nasai] Takhr³j : Abdurrahman ibn Ahmad Al-Nasai. Sunan al-Nasai. hadis no. 1700, h. 278, kitab “qiy±m al-layl wa tathawu’u al-nahr” bab “al-takb³r li al-nuhdl”.
G. Witir lebih dari 3 rakaat yang tidak menggunakan tasyahud Nas no 29
ﺲ ُ ِْﺲ ﻻَ َْﳚﻠ ٍ ِﻚ ﲞَِﻤ َ َث َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛ َﻌﺔً ﻳُﻮﺗُِﺮ ِﻣ ْﻦ ذَﻟ َ ﺼﻠﱢﻰ ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﺛَﻼ َ ُ ﻳ-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺖ ﻛَﺎ َن َرﺳ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ [آﺧ ِﺮﻫَﺎ ] رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ ِ َﻰ ٍء إِﻻﱠ ِﰱ ْ ِﰱ ﺷ Dari Aisyah [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Adalah Rasulullah Saw. salat di waktu malam tiga belas rakaat, dengan witir 5 rakaat di mana ia tidak duduk dalam rakaat mana pun kecuali pada rakaat terakhir [HR Muslim].
66
Takhr³j : Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi. Shah³h Muslim, hadis no. 737, h. 291, kitab “shal±t”, bab “j±mi’ shal±ti al-layl wa man n±ma”.
Nas no 30
آﺧ ِﺮِﻫ ﱠﻦ ِ َﺎت َﻻ ﻳـَ ْﻘﻌُ ُﺪ إﱠِﻻ ِﰲ ٍ ﺻﻠﱠﻰ َﺳْﺒ َﻊ َرَﻛﻌ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َوأَ َﺧ َﺬ اﻟﻠﱠ ْﺤ َﻢ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺖ ﻟَﻤﱠﺎ أَ َﺳ ﱠﻦ َرﺳ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ َﺐ ﺻﻠﱠﻰ ﺻ ََﻼةً أَﺣ ﱠ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ُﲏ َوﻛَﺎ َن َرﺳ ْﻚ ﺗِ ْﺴ ٌﻊ ﻳَﺎ ﺑـ َﱠ َ َﲔ َوُﻫ َﻮ ﻗَﺎ ِﻋ ٌﺪ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻣَﺎ ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ ﻓَﺘِﻠ ِ ْ ﺻﻠﱠﻰ َرْﻛ َﻌﺘـ َ َو [أَ ْن ﻳُﺪَا ِوَم َﻋﻠَْﻴـﻬَﺎ]رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ
Dari Aisyah, ia berkata: ketika Rasulullah Saw. telah berumur dan mulai gemuk, beliau salat tujuh rakaat. Beliau tidak duduk (tahiyat) kecuali di akhirnya, kemudian beliau salat lagi 2 rakaat dengan cara duduk setelah salam. Itulah 9 (rakaat salat Rasulullah), wahai anaku. Dan adalah Rasulullah Saw. apabila beliau salat, beliau lebih suka untuk melakukannya kontinyu [HR Nasai]. Takhr³j : Ab Abdurrahman Ahmad ibnu Syua’ib al-Nas±i. Sunan al-Nasai. hadis no. 1718, h. 280, kitab “ qiy±m allayl wa tathawu’u al-nahr” bab “kayfa al-witr bi sab’in”. H. Salat Sunat Qabliyyah Ashar dengan Tasyahud Awal
Nas No 31
ﺼﻞُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ﱠﻦ ِ َﺎت ﻳـَ ْﻔ ٍ ﺼ ِﺮ أ َْرﺑَ َﻊ َرَﻛﻌ ْ ﺼﻠﱢﻰ ﻗَـْﺒ َﻞ اﻟْ َﻌ َ ُﱠﱮ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳ َﺎل ﻛَﺎ َن اﻟﻨِ ﱡ َ ﺿ ْﻤَﺮَة َﻋ ْﻦ َﻋﻠِ ﱟﻰ ﻗ َ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎ ِﺻ ِﻢ ﺑْ ِﻦ [ﲔ ] رواﻩ اﲪﺪ و اﻟﱰﻣﺬى و اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ َ ِﲔ وَاﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨ َ ﲔ َوَﻣ ْﻦ ﺗَﺒِ َﻌ ُﻬ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻤ َ ِﺑِﺎﻟﺘﱠ ْﺴﻠِﻴ ِﻢ َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻤﻼَﺋِ َﻜ ِﺔ اﻟْ ُﻤ َﻘﱠﺮﺑ Dari Ashim ibn Dhamrah dari Ali, ia berkata: Nabi Saw. salat sebelum asar sebanyak empat rakaat. Di antara empat rakaat tersebut dipisahkan oleh bacaan salam (tasyahud awal) kepada Malaikat Allah yang didekatkan dan kepada orang-orang Islam dan orang-orang beriman yang mengikuti mereka [HR Ahmad, al-Tirmidzi dan al-Nasai]. Takhr³j : Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Musnad Ahmad. Editor: Ahmad Muhammad Sy±kir. Musnad “Ali ibn Abi Thalib”, hadis no. 550., h. 447-8. Abu ‘Is± Muhammad bin ‘Is±, al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidz³. Kitab “al-shalat”, bab “ma jaa fi al-arba’qabla al-ashri”, hadis no. 429, h. 453. Ab Abdurrahman Ahmad ibnu Syua’ib al-Nas±i. Sunan al-Nasai. (Kairo: Muassasah al-Ris±lah, 2001), kitab “al-shalat”, bab “ al-shalah qabla al-ashr”, hadis no. 324, h. 214. 67
68
DAFTAR PUSTAKA Abdur Raz±q, Abu Bakr. al-Mushannaf. Editor: Habiburrahm±n al-A’zhami. Majlis Ilmi. Ab ‘Aww±nah, Ya’qb ibn Ish±q. Musnad Abi ‘Aww±nah. Editor: Ayman ibn Arif al-Dimasyq. Beirut : D±r al-Ma’rifah, 1998). Ab D±wud al-Sijistani, Sulaim±n ibn Asyast. Sunan Ab³ D±wd. (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2005). Ab Ya’l± al-Mshiliy, Ahmad ibn ‘Ali ibn Mustann± ibn al-Tam³mi. (Damaskus dan Beirut : D±r alMakmn li al-Tur±st, 1987). Ahmad, ibn Muhammad ibn Hanbal. Al-Musnad. Editor: Ahmad Muhammad Syakir. (Kairo: D±r alHad³st, 1995). al-‘Asqal±ni, Ibnu Hajar. Fath al-B±ri bi Syarh Shah³h al-Bukh±ri. Komentar: Abdul Az³z bin ‘Abdull±h bin B±z dan Abdurrahman bin N±shir. Editor: Ab Qutaibah. (D±r Thayyibah). __________________. Nazhatu al-Nazhr Syarh Nukhbah al-Fikr. Editor dan komentator: Abdullah al-Rahiliy. (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd, 2001). Anwar, Syamsul. Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah, dan Fikih. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013). al-Baghd±di, al-Khat³b. Al-Kif±yah fi Ma’rifati Ushl ‘Ilmi al-Riw±yah. (Kairo : D±r al-Hud±, 2003). al-Bukh±ri, Muhammad ibn Ism±’il. Shah³h al-Bukh±ri. (Damaskus, Beirut: D±r Ibn Kast³r, 2002). Dadang Syaripuddin. Tasyahhud Awal pada Setiap Dua Rakaat dalam Shalat yang Empat Rakaat, makalah disampaikan dalam forum Halaqah Pra Munas Tarjih, 5 Oktober 2013 di UM Purwerejo. al-D±rimi, Ab Muhammad ‘Abdull±h ibn Abdurrahman. Editor: Husain Salim Asad al-Darani. (Arab Saudi: D±r al-Mughni li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1421 H/1421 M). Ibnu Hibban, Muhammad. Shah³h Ibn Hibb±n. (Beirut: Muassasah al-Ris±lah, 1993).
69
Ibn Khuzaimah, Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq al-Naisaburiy. Shah³h Ibn Khuzaimah. Editor: Dr. Mustafa A’zami. (Beirut: al-Maktab al-Isl±miy, 1980). Ibnu Rajab al-Hanbaliy, Zainuddin Ab al-Faraj. Fath al-B±ri Syarh Shah³h al-Bukh±riy. (alMad³nah al-Munawwawah: al-Ghurab± al-Astariyyah, 1996). Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin. Majm’ al-Fat±w±. (Kairo : al-Maktabah al-Tawf³qiyyah, tth). Ibnu Shalah. Al-Muqaddimah. Edisi : Aisyah Abdur Rahman (Bintu al-Syati). (Kairo : D±r al-Ma’±rif, tth.). Malik ibn Anas. Kit±b al-Muwattha. (Beirut: D±r al-Fikr, 1987). Muslim, ibn Hajj±j al-Nays±buri. Shah³h Muslim. Editor: Ab Shuhaib al-Karamiy. (Riyadh: Bait alAfk±r al-Dauliyyah, 1998). al-Nas±i, Abdurrahman ibn Ahmad. Sunan al-Nasai. Editor: Nashiruddin al-Albani. (Riyadh: Maktabah al-Ma’±rif li al-Nasyr wa al-Tauz³’, tth). al-Qar±fi. Syih±buddin Abu al-‘Abb±s. Anw±ru al-Burq fi Anw±’i al-Furq. Editor: Muhammad Sarr±j dan ‘Ali Jum’ah. (Kairo: D±r al-Sal±m, 2001). al-Sy±fi’i, Muhammad ibn Idr³s. Al-Umm. (Al-Manshrah: D±r al-Waf±, 2005). al-Sy±tibi, Ibr±him ibn ‘Is± al-Gharn±tiy. al-Muw±faq±t. Komentar: Abdullah Darr±z. (Kairo: alMaktabah al-Tauf³qiyyah, tth.). al-Tabr±ni, Abu al-Q±sim Sulaiman ibn Ahmad, Musnad al-Sy±miyyin. Editor: Muhamamd Abdul Maj³d al-Salafi. (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1996). al-Thay±lisi, Sulaiman ibn D±wud ibn al-J±rd. Musnad Ab³ D±wud al-Thay±lisi. Editor: Muhammad Abdul Muhsin al-Turkiy. (D±r Hajar, tth.). al-Tirmidziy, Ab ‘Is± Muhammad ibn ‘Is±. (Riy±dh: D±r al-Sal±m, 1999). Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Tanya Jawab Agama 1. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003).
70
__________________________________________. Tanya Jawab Agama 6, cet. I, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010).
___________________________________________. Tanya Jawab Agama Jilid 3. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004). Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih. Himpunan Putusan Tarjih. al-Zayla’i, Jam±luddin al-Hanafi. Nashb al-R±yah fi Takhr³j Ahaditsi al-Hid±yah. Editor: Muhammad Awamah. (Jeddah: D±r al-Qiblah li al-Tsaq±fah al-Isl±miyyah, Muassasah al-Rayy±n, alMaktabah al-Makkiyah, tth.). http://www.arrahmah.com/read/2010/08/12/8698-bilangan-rakaat-shalat-tarawih-dan-caramelaksanakannya.html (akses tanggal 3 Oktober 2013, pukul 15:21).
71
TUNTUNAN I’TIKAF
1. Pengertian I’tikaf Secara bahasa, i’tikaf berasal dari bahasa arab ‘akafa
habsu
(َﻒ َ ) َﻋﻜ, yang bermakna al-
(ﺲ ُ )اَﳊَْْﺒyaitu memenjarakan, menahan, berdiam dan tetap pada sesuatu (tempat)
58
.
Selanjutnya, i’tikaf diartikan sebagai berikut:
َﺎت اﻟْﻌَﺎ ِدﻳﱠِﺔ ِ ﺼﱡﺮﻓ َ ْﺲ َﻋ ِﻦ اﻟﺘﱠ ِ ﺲ اﻟﻨﱠـﻔ ُ َﺣْﺒ Memenjarakan/menahan diri sendiri dari melakukan sesuatu yang biasa Dalam beberapa ayat, i’tikaf ditujukan kepada sikap tekun beribadah atau berdiam diri di tempat peribadatan dalam rangka persembahan kepada Tuhan. Baik itu dalam rangka menyembah Allah seperti yang dilakukan kaum muslimin ataupun menyembah berhala sebagaimana yang dilakukan kaum musyrikin. Sebagaimana yang tersebut beberapa ayat berikut:
[٩٧ :(٢٠) ْﺴ َﻔﻨﱠﻪُ ِﰲ اﻟْﻴَ ﱢﻢ ﻧَ ْﺴﻔًﺎ ]ﻃﻪ ِ ْﺖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﻋَﺎﻛِﻔًﺎ ﻟَﻨُ َﺤﱢﺮﻗَـﻨﱠﻪُ ﰒُﱠ ﻟَﻨَـﻨ َ َِﻚ اﻟﱠﺬِي ﻇَﻠ َ وَاﻧْﻈ ُْﺮ إ َِﱃ إِﳍ
Artinya: “Dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami
akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan)”. (QS. Thaha (20) : 97)
ﱠﺎس ِ َﲔ اﻟﻠﱠﻪُ ءَاﻳَﺎﺗِِﻪ ﻟِﻠﻨ ُِﻚ ﻳـُﺒـ ﱢ َ ْﻚ ُﺣﺪُوُد اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓ ََﻼ ﺗَـ ْﻘَﺮﺑُﻮﻫَﺎ َﻛ َﺬﻟ َ َﺎﺟ ِﺪ ﺗِﻠ ِ َﺎﺷﺮُوُﻫ ﱠﻦ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ ﻋَﺎﻛِﻔُﻮ َن ِﰲ اﻟْ َﻤﺴ ِ َوﻻَ ﺗـُﺒ [١٨٧ :(٢) ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَﺘﱠـﻘُﻮ َن ]اﻟﺒﻘﺮة Artinya: “Dan janganlah kamu campuri mereka [istri-istrimu]itu, sedang kamu beri`tikaf
dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”. (QS. Al-Baqarah (2) :187)
[٥٢ :(٢١) َﺎل ﻷَِﺑِﻴ ِﻪ َوﻗـ َْﻮِﻣ ِﻪ ﻣَﺎ َﻫ ِﺬﻩِ اﻟﺘﱠﻤَﺎﺛِﻴ ُﻞ اﻟ ِﱠﱵ أَﻧْـﺘُ ْﻢ َﳍَﺎ ﻋَﺎﻛِﻔُﻮ َن ]اﻷﻧﺒﻴﺎء َ إِ ْذ ﻗ
Artinya: “(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patungpatung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" (QS. al-Anbiya’ (21) :52)
[٩١ :(٢٠) َﱴ ﻳـَﺮِْﺟ َﻊ إِﻟَْﻴـﻨَﺎ ﻣُﻮﺳَﻰ ]ﻃﻪ ﲔ ﺣﱠ َ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻟَ ْﻦ ﻧـَْﺒـَﺮ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﻋَﺎﻛِ ِﻔ
Artinya: “Mereka menjawab: "Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami.” (QS. Thaha (20) : 91)
58
Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab Darul (Dar al-Kutub al Ilmiyah; Bairut, tt), hlm. 3058 72
[٧١ :(٢٦) ﲔ ]اﻟﺸﻌﺮاء َ ﺻﻨَﺎﻣًﺎ ﻓَـﻨَﻈَ ﱡﻞ َﳍَﺎ ﻋَﺎﻛِ ِﻔ ْ َﻗَﺎﻟُﻮا ﻧـَ ْﻌﺒُ ُﺪ أ
Artinya: “Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya". (QS. Asy-Syu’ara (26) : 71)
[١٣٥ :(٧) َﺎم ﳍَُ ْﻢ ]ﻷﻋﺮاف ٍ ﺻﻨ ْ ََوﺟَﺎوَْزﻧَﺎ ﺑِﺒ َِﲏ إِ ْﺳﺮَاﺋِﻴ َﻞ اﻟْﺒَ ْﺤَﺮ ﻓَﺄَﺗـَﻮْا َﻋﻠَﻰ ﻗـَﻮٍْم ﻳـَ ْﻌ ُﻜﻔُﻮ َن َﻋﻠَﻰ أ
Artinya: “Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka…” (QS. Al-A’raf (7) :135) Berdasarkan ayat-ayat diatas, orang-orang kafir juga biasa beri’tikaf di rumah-rumah ibadah mereka dengan cara bertapa, semedi, bersujud dan sebagainya, dalam rangka pengabdian kepada tuhan-tuhan mereka. Sedang yang dimaksud i’tikaf dalam pembicaraan di sini adalah peribadatan kaum muslimin dengan cara berdiam dan mengasingkan diri di masjid (QS. Al-Baqarah (2) :187). Sedang pengertian i’tikaf menurut istilah dikalangan para ulama terdapat perbedaan, AlHanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat i’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjama’ah59, dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i) i’tikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah60. Majelis Tarjih dan Tajdid mendefinisikan i’tikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
2. Dasar Pensyariatan
I’tikaf disyariatkan berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
a. Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 125.
ﲔ وَاﻟﱡﺮﱠﻛ ِﻊ اﻟ ﱡﺴﺠُﻮِد … ]اﻟﺒﻘﺮة َ ﲔ وَاﻟْﻌَﺎﻛِ ِﻔ َ ْﱵ ﻟِﻠﻄﱠﺎﺋِِﻔ َِ َو َﻋ ِﻬ ْﺪﻧَﺎ إ َِﱃ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ َوإِﲰَْﺎﻋِﻴ َﻞ أَن ﻃَ ﱢﻬﺮَا ﺑـَﻴ [١٢٥ :(٢) Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud.(QS. Al-Baqarah (2) : 125)
b. Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 187.
59 60
Ibn Hamam al-Hanafi, Fath al-Qadir (Dar-al-Fiqr; Bairut, tt), II, hlm. 106. Muhammad Ibn Ahmad al-Khatib asy-Syarbiniy, Mughni al-Muhtaj: (Dar-al-Fiqr; Bairut ,tt), I, hlm. 449. 73
ﺾ ِﻣ َﻦ ُ َﻂ اْﻷَﺑْـﻴ ُ َﲔ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﳋَْْﻴ ََﱴ ﻳـَﺘَﺒـ ﱠ َﺐ اﷲُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوُﻛﻠُﻮا وَا ْﺷَﺮﺑُﻮا ﺣ ﱠ َ ﺎﺷﺮُوُﻫ ﱠﻦ وَاﺑْـﺘَـﻐُﻮا ﻣَﺎ َﻛﺘ ِ َ… ﻓَﺎْﻵَ َن ﺑ ﺎﺟ ِﺪ ِ َﺎﺷﺮُوُﻫ ﱠﻦ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ ﻋَﺎﻛِﻔُﻮ َن ِﰲ اﻟْ َﻤ َﺴ ِ ﺼﻴَﺎ َم إ َِﱃ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ َوﻻَ ﺗـُﺒ ْﻂ اْﻷَ ْﺳ َﻮِد ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻔ ْﺠ ِﺮ ﰒُﱠ أَﲤِﱡﻮا اﻟ ﱢ ِ اﳋَْﻴ [١٨٧ :(٢) ]اﻟﺒﻘﺮة.ﱠﺎس ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَﺘﱠـﻘُﻮ َن ِ َﲔ اﷲُ آَﻳَﺎﺗِِﻪ ﻟِﻠﻨ ُِﻚ ﻳـُﺒـ ﱢ َ ْﻚ ُﺣﺪُوُد اﷲِ ﻓَﻼَ ﺗَـ ْﻘَﺮﺑُﻮﻫَﺎ َﻛ َﺬﻟ َ ﺗِﻠ ...maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa. [QS. al-Baqarah (2):187] c. Hadits riwayat Abdullah Ibn Umar
ﻒ ُ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن ﻳـَ ْﻌﺘَ ِﻜ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـ ُﻬﻤَﺎ أَ ﱠن َرﺳ َﺎل ﻧَﺎﻓِ ٌﻊ َوﻗَ ْﺪ أَرَِاﱐ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻨْﻪُ اﻟْ َﻤﻜَﺎ َن اﻟﱠﺬِي َﻛﺎ َن َ َاﺧَﺮ ِﻣ ْﻦ َرَﻣﻀَﺎ َن ﻗ ِ اﻟْ َﻌ ْﺸَﺮ ْاﻷَو [ْﺠ ِﺪ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ِ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﻣ ْﻦ اﻟْ َﻤﺴ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ِﻒ ﻓِﻴ ِﻪ َرﺳ ُ ﻳـَ ْﻌﺘَﻜ Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw.melakukan I’tikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadlan. Nafi’ berkata, “Dan Abdullah bin Umar telah memperlihatkan kepadaku tempat yang terdapat dalam ruangan Masjid, tempat yang Rasulullah saw. pergunakan untuk melakukan I’tikaf. (HR. Bukhari) d. Hadits riwayat Aisyah ra:
ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ﱠﱯ زوج اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ- رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ- ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ]ﻣﺘﻔﻖ.َِﻒ أَزْوَا ُﺟﻪُ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌ ِﺪﻩ َ َﱴ ﺗَـ َﻮﻓﱠﺎﻩُ اﷲُ ﰒُﱠ ا ْﻋﺘَﻜ َاﺧَﺮ ِﻣ ْﻦ َرَﻣﻀَﺎ َن ﺣ ﱠ ِ ِﻒ اْﻟ َﻌ َﺸَﺮ اْﻷَو ُ ﻛَﺎ َن ﻳـَ ْﻌﺘَﻜ [ﻋﻠﻴﻪ Dari ’Aisyah ra. Istri Nabi saw.“Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh
terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Bukhari Muslim]
74
ِﱄ َرأْ َﺳﻪُ َوُﻫ َﻮ ﳎَُﺎ ِوٌر ِﰲ ﺼﻐِﻲ إ َﱠ ْ ُﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳ َ ﱠﱯ َﺖ ﻛَﺎ َن اﻟﻨِ ﱡ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـﻬَﺎ ﻗَﺎﻟ [ﺾ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ٌ ِْﺠ ِﺪ ﻓَﺄَُر ﱢﺟﻠُﻪُ َوأَﻧَﺎ ﺣَﺎﺋ ِ اﻟْ َﻤﺴ Dari ‘Aisyah ra. berkata: “Nabi saw. menjulurkan kepala Beliau kepadaku ketika sedang beri’tikaf di masjid lalu aku menyisir rambut Beliau sedangkan aku saat itu sedang haidh”.(H.R. Bukhari)
3. Hukum Pelaksanaan I’tikaf Seluruh ulama sepakat bahwa secara hukum asal, ibadah i’tikaf itu hukumnya sunnah, bahkan menjadi sunnah muakkadah, yaitu ketika dilaksanakan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Nabi saw bersabda:
َﻒ َﻣﻌِﻲ َ َﺎل َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ا ْﻋﺘَﻜ َ ﻗ... ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ ي َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ أَ ﱠن َرﺳ َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ اﳋُْ ْﺪ ِر ﱢ [ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري... َاﺧَﺮ ِ ِﻒ اﻟْ َﻌ ْﺸَﺮ ْاﻷَو ْ ﻓَـ ْﻠﻴَـ ْﻌﺘَﻜ Artinya: Dari Abi Sa’id al-Khudri ra. Bahwasanya Rasulullah…..bersabda Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.”….. (HR. Bukhari) Seandainya hukum i’tikaf ini wajib, pasti beliau tidak mengatakann, siapa yang mau, tetapi beliau akan mengatakan, wajiblah atas kalian datang beri’tikaf. Namun hukum i’tikaf akan berubah menjadi wajib, apabila seseorang bernadzar untuk melakukan i’tikaf, misalnya apabila permohonannya dikabulkan Allah SWT. Dalilnya adalah hadits Nabi saw berikut ini :
ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻣ ْﻦ ﻧَ َﺬ َر أَ ْن ﻳُﻄِﻴ َﻊ اﻟﻠﱠﻪَ ﻓَـ ْﻠﻴُ ِﻄ ْﻌﻪُ َوَﻣ ْﻦ ﻧَ َﺬ َر َ ﱠﱯ َﺎل اﻟﻨِ ﱡ َ َﺖ ﻗ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـﻬَﺎ ﻗَﺎﻟ [ﺼ ِﻪ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ِ ﺼﻴَﻪُ ﻓ ََﻼ ﻳـَ ْﻌ ِ أَ ْن ﻳـَ ْﻌ Artinya: Dari ‘Aisyah ra. berkata, bersabda Rasulullah saw. “Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka taatilah ia”…... (HR. Bukhari) Selain itu juga hadits lainnya yang lebih jelas dan tegas terkait dengan seseorang yang bernadzar untuk mengerjakan i’tikaf di masa Rasulullah saw.
ْف ِ أَو: ﱠﱯ ﻓَـﻘَﺎل اﻟﻨِ ﱡ. َام ِْﺠ ِﺪ اﳊَْﺮ ِ ِﻒ ﻟَْﻴـﻠَﺔً ِﰲ اﻟْ َﻤﺴ َ ْت أَ ْن أَ ْﻋﺘَﻜ ُ ِﱐ ﻧَﺬَر إ ﱢ: ﻳَﺎ َرﺳُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ: َﻋ ْﻦ ﻋُ َﻤَﺮ أَﻧﱠﻪُ ﻗَﺎل [ﺑِﻨَ ْﺬرَِك ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري
75
Artinya: Dari Umar ra. berkata, ”Ya Rasulallah, aku pernah bernadzar untuk melakukan i’tikaf satu malam di masjid Al-Haram”. Beliau saw menjawab, ”laksanakan nadzarmu”. (HR. Bukhari)
4. Waktu dan Batasan Pelaksanaan I’tikaf a. Waktu pelaksanaan i’tikaf I’tikaf dapat dilakukan setiap waktu, terutama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagaimana hadits Nabi saw.
َف إ َِﱃ َ ﺼﺮ َ ِْﻒ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ اﻧ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَرَا َد أَ ْن ﻳـَ ْﻌﺘَﻜ َ ﱠﱯ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـﻬَﺎ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ ْﱪ َﺎل أَﻟِﱠ َ َﺐ ﻓَـﻘ َ َﺧﺒَﺎءُ َزﻳْـﻨ ِ ﺼﺔَ و َ َﺧﺒَﺎءُ َﺣ ْﻔ ِ ِﻒ إِذَا أَ ْﺧﺒِﻴَﺔٌ ِﺧﺒَﺎءُ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ و َ اﻟْ َﻤﻜَﺎ ِن اﻟﱠﺬِي أَرَا َد أَ ْن ﻳـَ ْﻌﺘَﻜ [ﱠال ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ٍ ْﺸﺮًا ِﻣ ْﻦ َﺷﻮ Artinya: Dari ‘Aisyah ra. Bahwasanya Nabi saw. hendak i’tikaf. Ketika beliau beranjak menuju ke tempat i’tikaf , ternyata (ketika itu) beliau melihat beberapa kemah, yaitu kemah ‘Aisyah, Hafshah dan Zainab,’ maka Rasulullah bersabda, ‘Apakah mereka
(para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini? Maka beliau kembali dan tidak jadi melakukan i’tikaf di bulan Ramadhan sehingga beliau beri’tikaf 10 hari di bulan Syawal.” (HR. Bukhari)
[ﱠال ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ٍ آﺧ ِﺮ اﻟْ َﻌ ْﺸ ِﺮ ِﻣ ْﻦ َﺷﻮ ِ َﻒ ِﰲ َ َﱴ ا ْﻋﺘَﻜ ِﻒ ِﰲ َرَﻣﻀَﺎ َن ﺣ ﱠ ْ ﻓَـﻠَ ْﻢ ﻳـَ ْﻌﺘَﻜ.... Artinya: “Rasulullah tidak jadi beri’tikaf di bulan Ramadhan sehingga beliau melakukan I’tikaf 10 hari terakhir bulan Syawal” (HR. Bukhari)
[ﱠال ]رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ ٍ َﻒ ِﰲ اﻟْ َﻌ ْﺸ ِﺮ اْﻷَوِﱠل ِﻣ ْﻦ َﺷﻮ َ َﱴ ا ْﻋﺘَﻜ ﺣ ﱠ.... Artinya: “Sehingga beliau ber’itikaf di 10 hari pertama bulan Syawwal” (HR. Muslim)
َﺎل َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن َ ﻗ... ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ ي َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ أَ ﱠن َرﺳ َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ اﳋُْ ْﺪ ِر ﱢ [ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري... َاﺧَﺮ ِ ِﻒ اﻟْ َﻌ ْﺸَﺮ ْاﻷَو ْ َﻒ َﻣﻌِﻲ ﻓَـ ْﻠﻴَـ ْﻌﺘَﻜ َ ا ْﻋﺘَﻜ Artinya: Dari Abi Sa’id al-Khudri ra. Bahwasanya Rasulullah…..bersabda Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.”….. (HR. Bukhari) b. Waktu mulai masuk i’tikaf Kapankah seseorang yang beri'tikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan mulai masuk 76
masjid ? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa masuknya adalah pada malam ke-21 dari bulan Ramadhan. Dalam hadits dari 'Aisyah yang disebutkan
إِذَا أَرَا َد أَ ْن- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اَﻟﻠﱠِﻪ ُ ﻛَﺎ َن َرﺳ:َﺖ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻲ اَﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـﻬَﺎ ﻗَﺎﻟ
[ﰒُﱠ َد َﺧ َﻞ ُﻣ ْﻌﺘَ َﻜ َﻔﻪُ ] ُﻣﺘﱠـ َﻔ ٌﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ, ﺻﻠﱠﻰ اَﻟْ َﻔ ْﺠَﺮ َ ِﻒ َ ﻳـَ ْﻌﺘَﻜ
Artinya: Dari 'Aisyah ra. berkata, "Rasulullah saw. biasa jika ingin i'tikaf, beliau shalat Shubuh dahulu, kemudian beliau masuk ke tempat i'tikafnya." (HR. Bukhari Muslim). Tekstual hadits menunjukkan bahwa orang yang beri'tikaf disunnahkan masuk ke tempat i'tikaf setelah shalat Shubuh pada hari ke-21. Namun ada pendapat yang lain yang jadi pegangan mayoritas ulama mengatakan bahwa orang yang beri'tikaf masuk pada malam ke-21. Hal ini berdasarkan hadits, Rasulullah saw :
َﺎل َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن َ ﻗ... ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ ي َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ أَ ﱠن َرﺳ َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ اﳋُْ ْﺪ ِر ﱢ [ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري... َاﺧَﺮ ِ ِﻒ اﻟْ َﻌ ْﺸَﺮ ْاﻷَو ْ َﻒ َﻣﻌِﻲ ﻓَـ ْﻠﻴَـ ْﻌﺘَﻜ َ ا ْﻋﺘَﻜ Artinya: Dari Abi Sa’id al-Khudri ra. Bahwasanya Rasulullah … … ... bersabda Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir … … …” (HR. Bukhari) Dimaksud sepuluh hari terakhir disini berarti dimulai dari malam ke-21 dari bulan Ramadhan. c. Lamanya beri’tikaf Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf, apakah dilaksanakan selama sehari semalam (24 jam) atau boleh dilaksanakan dalam beberapa waktu (saat). Menurut al-Malikiyah i’tikaf dilaksanakan dalam waktu minimal satu malam satu hari. Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang sebentar. I’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari dengan argumentasi sebagaimana diungkapkan sebelumnya, i’tikaf dalam bahasa Arab berarti menahan/berdiam diri. Menahan/berdiam diri di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal i’tikaf. Artinya setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu 77
singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari al-Qur’an maupun Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu. Dalam sebuah atsar juga disebutkan, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah ra. bahwa ia berkata,
وﻣﺎ أﻣﻜﺚ إﻻ ﻷﻋﺘﻜﻒ، إﱐ ﻷﻣﻜﺚ ﰲ اﳌﺴﺠﺪ اﻟﺴﺎﻋﺔ Artinya :“Sungguh aku berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf.” Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa saat tertentu dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).
5. Tempat Pelaksanaan I’tikaf Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa i’tikaf dilaksanakan di masjid. Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan i’tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i’tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu maupun tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa i’tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jam’at. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).
Menurut hemat kami masjid yang dapat dipakai untuk melaksanakan i’tikaf diutamakan masjid jami (masjid yang biasa digunakan untuk melaksanakan salat jama’ah lima waktu dan salat Jum’at), namun boleh juga dilaksanakan di masjid yang disediakan untuk salat jama’ah lima waktu saja yang di Indonesia termasuk juga didalamnya mushalla, langgar dan surau. Masjid adalah tempat untuk shalat, dan tempat sujud bagi badan manusia, jamaknya adalah masajid, yaitu tempat-tempat yang dibangun untuk shalat di dalamnya, ikhlas hanya untuk Allah semata dan untuk mengibadahiNya.61 Setiap tempat yang memungkinkan di dalamnya untuk menyembah Allah dan bersujud kepadaNya
61
Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab Darul (Dar al-Kutub al Ilmiyah; Bairut, tt), hlm. 1940 78
6. Syarat-syarat I’tikaf Untuk sahnya i’tikaf diperlukan beberapa syarat, yaitu; a. Orang yang melaksanakan i’tikaf beragama Islam. Maka orang kafir atau orang yang tidak beragama Islam tidak sah bila melaksanakan i’tikaf. Walaupun syariat membolehkan orang yang bukan beragama Islam masuk ke dalam masjid, namun tidak dibenarkan melaksanakan ibadah i’tikaf, kecuali setelah menyatakan diri masuk Islam. b. Orang yang melaksanakan i’tikaf suci dari hadas besar, yaitu: junub, haid dan nifas. Allah swt berfirman:
َﱴ ﺗَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻮا ﻣَﺎ ﺗَـ ُﻘﻮﻟُﻮ َن وََﻻ ُﺟﻨُﺒًﺎ إﱠِﻻ ﻋَﺎﺑِﺮِي َٰى ﺣ ﱠ ٰ ﱠﻼةَ َوأَﻧﺘُ ْﻢ ُﺳﻜَﺎر َ ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا َﻻ ﺗَـ ْﻘَﺮﺑُﻮا اﻟﺼ [٤٣ :(٤) ]اﻟﻨﺴﺎء...َﺴﻠُﻮا ِ َﱴ ﺗَـ ْﻐﺘ ِٰﻴﻞ ﺣ ﱠ ٍ َﺳﺒ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa [4]: 43)
c. Orang yang akan beri’tikaf adalah berakal sehat Sebab ibadah itu membutuhkan niat dan menyengaja untuk melakukan. Orang yang tidak punya kesadaran atas dirinya, tentu tidak bisa berniat untuk mengerjakan suatu ibadah. Maka secara otomatis orang gila yang tidak waras pemikirannya, tidak sah bila melakukan i’tikaf. Termasuk di dalamnya adalah orang yang kurang waras, idiot yang akut, serta penderita kelainan syaraf. d. Orang yang melaksanakan i’tikaf sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan. Seorang anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz, apabila melaksanakan ibadah i’tikaf, hukumnya sah dan berpahala. Sebagaimana kalau anak yang belum baligh itu menjalankan ibadah shalat dan puasa, bila sudah mumayyiz, maka ibadahnya sah dan berpahala baginya. e. I’tikaf dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa (Mushola, Langgar/ Surau) sebagaimana penjelasan sebelumnya. f. Orang yang akan melaksanakan i’tikaf hendaklah memiliki niat i’tikaf.
َوﻟِ ُﻜ ﱢﻞ ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ﻣَﺎ ﻧـَﻮَى، َﺎل ﺑِﺎﻟﻨﱢـﻴﱠ ِﺔ ُ َﺎل » اﻷَ ْﻋﻤ َ ﻗ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ َﻋ ْﻦ ﻋُ َﻤَﺮ أَ ﱠن َرﺳ [ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري... Artinya: Dari Umar bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: semua perbuatan (tergantung) pada niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang tergantung apa yang diniatkan…(HR. Bukhari)
79
7. Amalan-amalan yang dibolehkan selama I’tikaf Dengan memperhatikan beberapa ayat dan hadis Nabi Saw., ada beberapa amalan (ibadah) yang dapat dilaksanakan oleh orang yang melaksanakan i’tikaf, yaitu; a. b. c. d. e. f. g. h.
Melaksanakan salat sunat, seperti salat tahiyatul masjid, salat lail dan lain-lain berdzikir dan berdo’a, beristigfar, bertaubat, bersholawat, muhasabah diri Membaca al-Qur’an, tadarus al-Qur’an serta mengkaji buku-buku agama. Menerima tamu di masjid Makan dan minum Tidur Berbincang-bincang yang bermanfaat Menyalakan dan mematikan lampu masjid
8. Hal-hal yang membolehkan orang yang ber’iktikaf keluar masjid Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di dalam masjid tidak keluar dari masjid. Namun demikian bagi mu’takif (orang yang melaksanakan i’tikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan, yaitu; a. Alasan syar’i, seperti melaksanakan salat Jum’at
ْﺖ إِﻻﱠ َ ِﱄ َرأْ َﺳﻪُ ﻓَﺄَُر ﱢﺟﻠُﻪُ َوﻛَﺎ َن ﻻَ ﻳَ ْﺪ ُﺧ ُﻞ اﻟْﺒَـﻴ َﻒ ﻳُﺪِْﱐ إ َﱠ َ ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا ا ْﻋﺘَﻜ َ ُِﻮل اﷲ ُ ﻛَﺎ َن َرﺳ ﳊَِﺎ َﺟ ِﺔ اْ ِﻹﻧْﺴَﺎ ِن Artinya: “Nabi jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya lalu saya sisir rambutnya, dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (kebutuhan).” (HR Abu Daud) b. Keperluan hajat manusia baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya. Para ulama sepakat bila seorang yang sedang beri’tikaf kebelet buang air (kecil atau besar), maka keluarnya dari masjid tentu tidak membatalkan i’tikafnya. Demikian juga dengan mandi wajib, yaitu mandi janabah. Bila seorang yang sedang beri’tikaf di masjid, tiba-tiba dalam tidurnya bermimpi hingga keluar mani, maka dia wajib segera meninggalkan masjid, untuk melaksanakan mandi janabah. Untuk itu, keluarnya dari masjid tidak membatalkan i’tikafnya. Dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini :
[ْﺖ إِﻻﱠ ﳊَِﺎ َﺟ ٍﺔ إِذَا ﻛَﺎ َن ُﻣ ْﻌﺘَ ِﻜﻔًﺎ ] ُﻣﺘﱠـ َﻔ ٌﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َ ﱠﱯ ﻛَﺎ َن ﻻَ ﻳَ ْﺪﺧُﻞ اﻟْﺒَـﻴ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ Artinya: Dari Aisyah ra. bahwa Nabi saw. tidak masuk ke dalam rumah kecuali karena ada hajat, bila beliau sedang beri’tikaf. (HR. Bukhari Muslim)
80
Termasuk ke dalam kebolehan ketika beri’tikaf adalah kepentingan untuk membuang benda-benda najis yang kebetulan ada di dalam masjid. Juga bila seseorang merasa ingin muntah, entah karena sakit atau sebab lain, pada saat dia sedang beri’tikaf, maka dia boleh keluar masjid tanpa membatalkan i’tikafnya. c. Keadaan darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh, gempa, kebakaran dan lainnya.
9. Tata cara dan langkah beri’tikaf a. Berwudhu di rumah. b. Berniat ikhlas dalam hati untuk iktikaf. c. Memasuki masjid dengan kaki kanan dan berdoa
» إِذَا َد َﺧ َﻞ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل َرﺳ َ َﺎل ﻗ َ ﻗ- أ َْو َﻋ ْﻦ أَِﰉ أُ َﺳْﻴ ٍﺪ- َﻋ ْﻦ أَِﰉ ﲪَُْﻴ ٍﺪ [ ]رواﻩ اﳌﺴﻠﻢ... .ِﻚ َ َاب رَﲪَْﺘ َ ُﻞ اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ اﻓْـﺘَ ْﺢ ِﱃ أَﺑْـﻮ ِ ْﺠ َﺪ ﻓَـ ْﻠﻴَـﻘ ِ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ُﻢ اﻟْ َﻤﺴ
Dari Abu Hamid -atau dari Abu Usaid- berkata, bersabda Rasulullah saw. apabila masuk salah seorang dari kalian ke masjid maka ucapkanlah” Ya Allah bukakanlah padaku pintupintu rahmat-Mu”….(HR. Muslim) d. Shalat sunat tahiyatul masjid.
ْﺠ َﺪ ِ َﺎل إِذَا َد َﺧ َﻞ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ُﻢ اﻟْ َﻤﺴ َ ﻗ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ َﻋ ْﻦ أَِﰉ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ اﻟ ﱠﺴﻠَ ِﻤ ﱢﻰ أَ ﱠن َرﺳ [ﺲ ] ُﻣﺘﱠـ َﻔ ٌﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َ َِﲔ ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن َْﳚﻠ ِ ْ ﻓَـ ْﻠﻴـ َْﺮَﻛ ْﻊ َرْﻛ َﻌﺘـ
Dari Abu Qatadah as-Salamiy Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: apabila salah seorang daripada kamu masuk ke masjid, maka hendaklah dia melakukan rukuk (shalat) sebanyak dua rakaat sebelum dia duduk” (H.R. Bukhari-Muslim)
e. Mengamalkan amalan-amalan yang dianjurkan sebagaimana yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. f. Menghindari hal-hal yang dilarang dan dan tidak bermanfaat, seperti ngobrol yang tidak bermanfaat, bergunjing dan sebagainya. g. Jika ada keperluan sementara, diperbolehkan keluar masjid untuk kembali lagi tanpa memperbarui niat. h. Jika telah selesai iktikaf, maka keluar masjid dengan berdoa
َوإِذَا... ... - ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل َرﺳ َ َﺎل ﻗ َ ﻗ- أ َْو َﻋ ْﻦ أَِﰉ أُ َﺳْﻴ ٍﺪ- َﻋ ْﻦ أَِﰉ ﲪَُْﻴ ٍﺪ [ِﻚ ]رواﻩ اﳌﺴﻠﻢ َ ﻀﻠ ْ َُﻚ ِﻣ ْﻦ ﻓ َ ِﱏ أَ ْﺳﺄَﻟ ُﻞ اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ إ ﱢ ِ َﺧَﺮ َج ﻓَـ ْﻠﻴَـﻘ Dari Abu Hamid -atau dari abu Usaid- berkata, bersabda Rasulullah saw. . … dan apabila keluar (salah seorang dari kalian dari masjid) maka ucapkanlah”Ya Allah aku mohon kepada-Mu akan karunia-Mu.(H.R. Muslim) 81
TUNTUNAN TADARUS AL-QUR’AN Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, karena di dalamnya terkandung beribu kebaikan. Tidak heran pada bulan ini semua umat Islam berlomba-lomba mencari kebaikan, termasuk tadarus al-Quran. Pada malam hari Ramadlan, masjid-masjid marak dengan bacaan AlQur'an secara silih berganti. Tidak jarang, bacaan tersebut disambungkan pada pengeras suara. Semua itu dilakukan dengan satu harapan: berkah Ramadlan yang telah dijanjikan Allah SWT. Bagaimana sebenarnya tuntunan melakukan tadarus tersebut ?Apakah khatam itu tujuan sebenarnya kita bertadarus, tanpa menjaga hak-hak al-Quran dari segi tajwid, makhraj, makna kandungan dan sebagainya? Apa hakekatnya makna tadarus al-Qur’an?
Pengertian Tadārus Istilah tadārus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembacaan al-Qur’an secara bersama-sama di bulan puasa (Ramadhan). Kata tadārus berasal dari kata darosa ( )درسyang berlatih dan selalu menjaga kesungguhan terhadap sesuatu hal mempelajari, meneliti, menelaah, kesungguhan. Firman Allah swt.
mengkaji
dan
()اﻟﺮﻳﺎﺿﺔ واﻟﺘﻌﻬﺪ ﻟﻠﺸﻴﺊ.
mengambil
pelajaran
62
artinya
dengan penuh
ﱠﺎس ﻛُﻮﻧُﻮا ِﻋﺒَﺎدًا ِﱄ ِﻣ ْﻦ دُو ِن اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﻟَ ِﻜ ْﻦ ِ ُﻮل ﻟِﻠﻨ َ َﺎب وَاﳊُْ ْﻜ َﻢ وَاﻟﻨﱡﺒُـ ﱠﻮةَ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ َ ﻣَﺎ ﻛَﺎ َن ﻟِﺒَ َﺸ ٍﺮ أَ ْن ﻳـ ُْﺆﺗِﻴَﻪُ اﻟﻠﱠﻪُ اﻟْ ِﻜﺘ
َﺎب وَﲟَِﺎ ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ﺗَ ْﺪ ُرﺳُﻮن َ ﲔ ﲟَِﺎ ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ﺗـُ َﻌﻠﱢﻤُﻮ َن اﻟْ ِﻜﺘ َ ﻛُﻮﻧُﻮا َرﺑﱠﺎﻧِﻴﱢ
Tidak wajar bagi manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (QS. Ali Imran (2): 79) Kemudian ada imbuhan huruf ta’ dan alif pada kata darasa menjadi tadārasa, maka maknanya berubah mendapatkan imbuhan ‘saling’. Dari sinilah kita kenal kata “tadārus” atau “mudārasah“. Sehingga kata ini dapat diartikan “membaca, menelaah, dan mendapatkan ilmu secara bersama-sama, di mana dalam prosesnya mereka sama-sama aktif”. Dalam Hadits Nabi swt.
ْﺖ ِﻣ ْﻦ ٍ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ … َوﻣَﺎ ا ْﺟﺘَ َﻤ َﻊ ﻗـ َْﻮٌم ِﰲ ﺑـَﻴ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل َرﺳ َ ﻗ:َﺎل َ َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻨْﻪُ ﻗ
َﺸﻴَْﺘـ ُﻬ ْﻢ اﻟﺮﱠﲪَْﺔُ َو َﺣ ﱠﻔْﺘـ ُﻬ ْﻢ ِ َﺖ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱠﺴﻜِﻴﻨَﺔُ َوﻏ ْ َﺎب اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﻳَـﺘَﺪَا َرﺳُﻮﻧَﻪُ ﺑَـ ْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ إﱠِﻻ ﻧـََﺰﻟ َ ُﻮت اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻳَـ ْﺘـﻠُﻮ َن ﻛِﺘ ِ ﺑـُﻴ
()رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ. َُﻼﺋِ َﻜﺔُ َوذَ َﻛَﺮُﻫ ْﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻴ َﻤ ْﻦ ِﻋْﻨ َﺪﻩ َ اﻟْﻤ
Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: ….“Tidak berkumpul suatu kaum pada mana-mana rumah Allah, mereka membaca dan ber-tadārus Al-Qur’an, melainkan Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab Darul (Dar al-Kutub al Ilmiyah; Bairut, tt), hlm. 1360
62
82
diturunkan kepada mereka ketenangan (sakinah), diliputi rahmat, dikelilingi malaikat dan Allah menyebut mereka pada para malaikat”. (HR. Muslim) Dalam hadis tersebut ada dua istilah yang dipakai, yaitu Tilawah (Yatlūna) dan Tadarus (Yatadārasūnah). Tilawah al-Qur’an terbagi pada dua macam. Pertama, “ Tilawah Lafdziyah” , yakni membaca al-Quran huruf demi huruf yang sesuai
dengan makhrojnya dan sifat-sifat yang dimiliki oleh masing-masing huruf. Kedua “Tilawah Hukmiyah”, yaitu membenarkan segala informasi yang ada dalam alQur’an, mengikuti hukum-hukum yang ditetapkan dalam al-Quran dengan menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh al-Quran. Model yang terakhir ini dikenal dengan istilah “Tadārus al-Quran”. Dari keterangan di atas jelaslah ada perbedaan titik tekan dari kedua istilah tersebut. Tilawah lebih ditekankan bagaimana membaca al-Qur'an dengan baik dan benar, sedang tadarus al-Qur'an lebih ditekankan pada membaca al-Qur'an dengan tartil dan tadabbur, yakni tidak hanya sekedar membaca saja, tetapi disertai dengan mengkaji isi kandungan ayat yang dibaca serta memahaminya. Oleh karena itu, pada bulan Ramadhan seyogyanya ada 2 program yang berbeda, yaitu bagi umat Islam yang baru bisa baca al-Qur'an dan belum lancar bias menggunakan model Tilawah Lafdziyyah, sedang bagi orang yang sudah bisa membaca, perlu adanya peningkatan dengan mempelajari dan memahami ayat atau surat yang dibaca dengan menggunakan model Tilawah Hukmiyyah. Sampai disini dapat dipahami bahwa, mudārasah atau tadārus merupakan sebuah proses atau mekanisme untuk melakukan tadabbur al-Qur’an. Dari pengertian ini, istilah tadārus al-Quran sebenarnya agak berbeda antara bentuk yang kita saksikan sehari-hari dengan makna bahasanya. Tadārus atau tadarusan biasanya berbentuk sebuah majelis di mana para pesertanya membaca alQuran bergantian. Satu orang membaca dan yang lain menyimak. Dan umumnya dilaksanakan di masjid atau mushalla di malam-malam bulan Ramadhan. Adapun kegiatan ‘tadārus-an’ yang kita lihat sehari-hari di negeri kita ini, sepertinya nyaris tanpa pengkajian makna tiap ayat, yang ada hanya sekedar membaca saja. Bahkan terkadang benar dan tidaknya bacaan itu, tidak terjamin. Karena tidak ada ustadz’ yang ahli di bidang membaca Al-Quran. Bentuk tadarusan seperti itu lebih tepat menggunakan istilah qira’ah – yang sebelumnya kita sebut tilawah lafdziyyah- yang hanya dimaknai sebagai aktifitas membaca secara kognitif atau kegiatan membaca secara umum. Seseorang yang sudah fasih dan menguasai teknik membaca Al-Quran yang baik, maka tidak mengapa bila masing-masing membaca sendiri-sendiri. Kalaupun mau di-sima’ (didengarkan) juga tidak mengapa. Karena membaca dan mendengar sama-sama mendatangkan pahala. Allah swt. telah memerintahkan kita selain untuk membaca, juga mendengarkan Al-Quran.
ﺼﺘُﻮا ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗـُﺮْﲪَُﻮ َن ِ ئ اﻟْﻘُﺮْآ ُن ﻓَﺎ ْﺳﺘَ ِﻤﻌُﻮا ﻟَﻪُ َوأَﻧ َ َوإِذَا ﻗُ ِﺮ
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat .(QS. al-A’raf (7): 204)
83
Namun apabila masih lemah bacaannya, sebaiknya mereka tidak dilepas membaca alQuran sendirian. Perlu ada ustadz yang membetulkan bacaannya. Sehingga yang perlu dilakukan bukan ‘tadarusan’, tetapi belajar membaca al-Quran. Atau istilah yang sekarang populer adalah tahsin Al-Quran atau tahsin at-tilawah. Tahsin artinya membaguskan bacaan. Tentu saja harus ada ustadz yang ahli dalam membaca Al-Quran. Dan tidak boleh seseorang dibiarkan membaca dengan salah baik makhraj maupun tajiwidnya. Mereka harus didampingi oleh yang sudah baik bacaannya, dibimbing dan dibenahi bacaannya dengan baik. Asasnya, tadarus bermaksud memperdengarkan bacaan Al-Qur’an di hadapan seseorang yang dapat mengawasi bacaan itu daripada sebarang kesilapan. Amalan tadarus merupakan salah satu ibadat penting yang diberi tumpuan oleh Rasulullah s.a.w. dalam bulan Ramadhan. Diriwayatkan, Rasulullah saw. bertadarus Al-Quran dengan Jibril sendiri.
ﱠﺎس َوﻛَﺎ َن أَ ْﺟ َﻮُد ﻣَﺎ ِ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْﺟ َﻮَد اﻟﻨ َ ُﻮل اﻟﻠﱠِﻪ ُ َﺎل ﻛَﺎ َن َرﺳ َ ﱠﺎس َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـ ُﻬﻤَﺎ ﻗ ٍ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ ُﻮل ُ ﲔ ﻳـَ ْﻠﻘَﺎﻩُ ِﺟﱪِْﻳ ُﻞ َوﻛَﺎ َن ِﺟﱪِْﻳﻞُ ﻳـَ ْﻠﻘَﺎﻩُ ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ ﻟَْﻴـﻠَ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ َرَﻣﻀَﺎ َن ﻓَـﻴُﺪَا ِر ُﺳﻪُ اﻟْﻘُﺮْآ َن ﻓَـﻠََﺮﺳ َ ﻳَﻜُﻮ ُن ِﰲ َرَﻣﻀَﺎ َن ِﺣ (ﱢﻳﺢ اﻟْﻤ ُْﺮ َﺳﻠَ ِﺔ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ِ َْﲑ ِﻣ ْﻦ اﻟﺮ ِْ ﲔ ﻳـَ ْﻠﻘَﺎﻩُ ِﺟﱪِْﻳ ُﻞ أَ ْﺟ َﻮُد ﺑِﺎﳋ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﺣ َ اﻟﻠﱠ ِﻪ Artinya: Dari Ibnu Abbas ra. berkata “Nabi Muhammad s.a.w. merupakan orang yang
sangat pemurah dengan kebajikan, dan kemuncak kemurahannya ialah sepanjang bulan Ramadhan.Jibril a.s. menemuinya pada setiap malam bulan Ramadhan sehingga habis bulan itu dan Rasulullah membacakan Al-Qur’an kepadanya. Sesungguhnya Rasulullah adalah amat pemurah umpama angin yang bertiup kencang”. (HR.Bukhari dan Muslim). Visi dan Tujuan Tadarus Agar visi tadarus/mudarasah al-Qur’an tercapai dengan baik maka, perlu memperhatikan beberapa hal di bawah ini : 1. Memiliki pandangan integral terhadap al-Qur’an yang pedoman Ilahi yang menata dan mengarahkan kehidupan. 2. Pembacaan dan pencermatan secara mendalam. Bagian ini terwujud dengan dua hal pula : a. Verifikasi pemahaman dan ilmu kita tentang al-Qur’an. Allah berfirman :
َﲑ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻟََﻮ َﺟ ُﺪوا ﻓِﻴ ِﻪ ا ْﺧﺘ َِﻼﻓًﺎ َﻛﺜِ ًﲑ ِْ أَﻓ ََﻼ ﻳـَﺘَ َﺪﺑـﱠﺮُو َن اﻟْﻘ ُْﺮآَ َن َوﻟ َْﻮ ﻛَﺎ َن ِﻣ ْﻦ ِﻋْﻨ ِﺪ ﻏ
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau kiranya al-Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An Nisaa’(3) :82)
b. Aktualisasi ajaran al-Qur’an dalam lapangan kehidupan nyata, bukan sekedar pengetahuan wacana dan bersifat kognitif belaka; baik pada tataran pribadi, keluarga dan masyarakat. Ini berarti al-Qur’an menjadi kode etik kehidupan kita. Allah berfirman :
َﻛﺒُـَﺮ َﻣ ْﻘﺘًﺎ ﻋِﻨ َﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ أَن ﺗَـ ُﻘﻮﻟُﻮا ﻣَﺎ َﻻ ﺗَـ ْﻔ َﻌﻠُﻮ َن 84
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff (61):3)
3. Memegang komitmen yang baik dan menancapkan dalam sanubari kita serta merasakan ‘seolah-olah’ al-Qur’an diturunkan kepada kita dan kita berdialog aktif dengannya. Allah berfirman :
ﱠﻼةِ وَﳑِﱠﺎ َرَزﻗْـﻨَﺎ ُﻫ ْﻢ َ َﻰ ﻣَﺎ أَﺻَﺎﺑـَ ُﻬ ْﻢ وَاﻟْ ُﻤﻘِﻴﻤِﻲ اﻟﺼ ٰ َﺖ ﻗُـﻠُﻮﺑـُ ُﻬ ْﻢ وَاﻟﺼﱠﺎﺑِﺮِﻳ َﻦ َﻋﻠ ْ َﺟﻠ ِاﻟﱠﺬِﻳ َﻦ إِذَا ذُﻛَِﺮ اﻟﻠﱠﻪُ و ﻳُﻨ ِﻔﻘُﻮ َن
(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka. (QS. Al-Hajj(22):35)
Fungsi serta Manfaat Mudarasah dan Tadabbur Tadarus Al-Qur’an mempunyai banyak manfaat dan kelebihan. Selain kelebihan-kelebihan yang dijanjikan bagi sesiapa yang membaca Al-Quran, Rasulullah s.a.w. juga telah bersabda :
ْﺖ ِﻣ ْﻦ ٍ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ … َوﻣَﺎ ا ْﺟﺘَ َﻤ َﻊ ﻗـ َْﻮٌم ِﰲ ﺑـَﻴ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل َرﺳ َ ﻗ:َﺎل َ َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻨْﻪُ ﻗ َﺸﻴَْﺘـ ُﻬ ْﻢ اﻟﺮﱠﲪَْﺔُ َو َﺣ ﱠﻔْﺘـ ُﻬ ْﻢ ِ َﺖ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱠﺴﻜِﻴﻨَﺔُ َوﻏ ْ َﺎب اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﻳـَﺘَﺪَا َرﺳُﻮﻧَﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ إﱠِﻻ ﻧـََﺰﻟ َ ُﻮت اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻳـَْﺘـﻠُﻮ َن ﻛِﺘ ِ ﺑـُﻴ
()رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ. َُﻼﺋِ َﻜﺔُ َوذَ َﻛَﺮُﻫ ْﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻴ َﻤ ْﻦ ِﻋْﻨ َﺪﻩ َ اﻟْﻤ
Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: ….“Tidak berkumpul suatu kaum pada mana-mana rumah Allah, mereka membaca dan bertadarus Al-Qur’an, melainkan diturunkan kepada mereka ketenangan (sakinah), diliputi rahmat, dikelilingi malaikat dan Allah menyebut mereka pada para malaikat”. (HR. Muslim)
Dari hadis diatas setidaknya dapat diambil faedah fungsi dan manfaat tadarus al-Qur’an diantaranya yaitu: 1. Sarana dan media untuk menambah ilmu. Tentunya, dengan melakukan mudarasah secara bersama-sama dengan orang lain semakin menambah cakrawala keilmuan kita. Ingat, Rasulullah s.a.w. selalu rajin mempelajari Al-Qur’an dan mencermati ayat-ayatnya, sehingga beliau mengetahui dengan sempurna maksud dan maknanya dengan tadarus/mudarasah bersama Jibril as. 2. Membantu proses menjaga Al-Qur’an yang telah kita kuasai serta tidak mudah lupa dan lalai. 3. Memupuk dan membina rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan sesama muslim. Dengan demikian, Islam telah melakukan proses pendidikan nalar kolektif dan etika bersama; kita membangun karakter yang kuat. 4. Sebagai sarana dan media tazkyatun nufus, mensucikan, ketentraman jiwa 85
5. Memperbaiki kualitas tilawah. Allah saw. berfirman :
Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. (QS. Al Muzzammil (73):4)
ً َوَرﺗ ِﱢﻞ اﻟْﻘُﺮْآ َن ﺗـ َْﺮﺗِﻴﻼ....
Tuntunan Tadārus Untuk berinteraksi dengan al-Quran dengan cara melakukan tadarus al-Qur'an mutlak diperlukan beberapa langkah yang harus ditempuh. 1. Memperhatikan adab /sopan santun dalam membaca al-Qur’an Artiya orang yang akan memahami al-Quran, hendaklah selalu memperhatikan adab-adab membaca al-Qur'an. 2. Membaca satu ayat atau satu surat atau satu juz atau satu maqtha' dengan benar-benar memperhatikan arti dan maknanya secara mendalam/mentadabburkan. Artinya seorang yang akan memahami al-Qur'an setelah memperhatikan adab-adab membaca al-Qur'an dalam membaca al-Qur'an hendaklah dengan penuh kekhusyuan dan merenungkan maknanya. Sehingga baginya dalam tahapan/langkah ini tidak memiliki keinginan menyelesaikan satu juz atau surat, tidak menghitung-hitung berapa ayat atau halaman yang telah dibaca, berapa kebaikan yang akan didapatkan. 3. Berhenti beberapa saat atau beberapa waktu dalam rangka memahami ayat atau surat yang dibaca. 4. Memperhatikan secara cermat dan mendalam tentang bentuk kalimatnya. Bentuk-bentuk kalimat tersebut baik mengenai susunannya, maknanya, sebab-sebab turunnya, i'robnya dan gharibnya. 5. Dalam rangka memahami dan tadabbur ayat yang dibaca hendaklah kembali kepada para ulama 6. Dalam rangka memahami ayat atau surat yang dibaca, hendaklah membaca terjemahan dan literatur tafsir. Seperti al-Qur’an dan Terjemahnya oleh Kementerian Agama, tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, tafsir al-Nur karya Hasbi ash-Shiddiqi dan tafsir karya Ibnu Katsir, al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dan lain sebagainya, sehingga dapat memilih pendapat atau penafsiran yang mendekati kepada kebenaran. Langkah-Langkah Tadarus Tidak ada cara tertentu dan seragam dalam aktivitas tadarus al-Qur’an. Sebagai acuan, dari dalil al-Qur’an dan Hadis yang telah dipaparkan diatas setidaknya langkah-langkahnya yang bisa diikuti sebagai berikut: 1. Menciptakan suasana nyaman dan memotivasi peserta untuk siap bertadarus ayat 2. Membaca al-Qur’an secara bergantian dalam suatu kumpulan kecil, sementara yang lainnya menyimak. 3. Membacanya mengikuti tertib surah dan ayat, sebagaimana tertib mashaf sehingga selamat daripada kesalahan tajwid dan sebagainya. 4. Fasilitator menjelaskan dan menegaskan beberapa kalimat/mufradat pokok dalam ayat sementra peserta lainnya mendengar/memperhatikan penjelasan dan mencatat hal-hal yang 86
dianggap penting dan memberikan kesempatan kepada peserta untuk memberi tanggapan dan pemikiran mengenai tema dan isi tafsir. 5. Aktifitas tadārus diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk segera khatam. 6. Aktivitas ini boleh dihidupkan di tempat-tempat yang sesuai terutama di masjid, musholla atau di rumah sebaik-baiknya bersama keluarga.
87