PENGEMBANGAN DESKRIPTOR AKUSTIK PLANKTON DI TELUK AMBON BAGIAN DALAM MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER BIOSONIC DT-X
JOHN WALDI CHRISFENTHO KARUWAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Deskriptor Akustik Plankton di Teluk Ambon Bagian Dalam Menggunakan Echosounder Biosonic DT-X adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013
John Waldi Chrisfentho Karuwal NRP C552100011
RINGKASAN JOHN WALDI CHRISFENTHO KARUWAL. Pengembangan Deskriptor Akustik Plankton di Teluk Ambon Bagian Dalam Menggunakan Echosounder Biosonic DTX. Dibawah bimbingan SRI PUJIYATI dan INDRA JAYA. Plankton merupakan biota yang sangat penting peranannya dalam rantai makanan di suatu perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis beberapa parameter fisik-kimia perairan yang diduga mempengaruhi nilai parameter akustik plankton, mendapatkan nilai parameter akustik dari plankton memakai instrumen hidroakustik split beam echosounder untuk kuantifikasi dan identifikasi plankton dan mengembangkan suatu deskriptor akustik untuk mempermudah kegiatan kuantifikasi dan identifikasi komunitas plankton. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 yang berlokasi di perairan Teluk Ambon Bagian Dalam (TAD), Pulau Ambon, Propinsi Maluku pada posisi 128o12’792”- 128o12’792” BT dan 3o38’795”- 3o38’874 LS. Kedalaman perairan di lokasi penelitian adalah 25,17-27,00 meter dengan kedalaman rata-rata 25,93 meter. Temperatur perairan pada kisaran 28,84-30,10oC dan rata-rata 29,43oC dimana pada siang hari sebesar 29,37oC dan malam hari sebesar 29,48oC. Salinitas rata-rata tiap pengukuran berkisar antara 33,53-33,62 PSU, dimana salinitas permukaan air laut sebesar 31,76-32,67 PSU dan dasar perairan sebesar 33,80-33,89 PSU. Densitas perairan berada pada level 1.019,79-1.021,39 kg m-3. Kekeruhan rata-rata perairan tiap pengamatan sebesar 0,949-0,957 NTU dengan nilai tertinggi pada 1,005 dan terrendah pada 0,921 NTU. Komunitas fitoplankton ditemukan pada lokasi penelitian sebanyak 26 genus terdiri dari 6 kelas yang digolongkan dalam kelas Bacillariophyceae (4 genus), Ciliatea (2 genus), Coscinodiscophyceae (10 genus), Cyanophyceae (1 genus), Dynophyceae (6 genus), dan Fragilariophyceae (3 genus). Hasil identifikasi sampel zooplankton, diperoleh komposisi jenis zooplankton di lokasi penelitian sebanyak 41 jenis yang terdiri dari 6 filum, yaitu filum Arthropoda, Chaetognatha, Cnidaria, Echinodermata, Mollusca dan Annelida. 43 buah echogram data perekaman akustik mendapatkan 7038 poligon yang diolah untuk mendapatkan 7 variabel deskriptor dalam 3 kategori yaitu deskriptor morfometrik (tinggi), batimetrik (kedalaman dan ketinggian relatif) dan energetik (Sv, Sa, Skewness dan Kurtosis). Hasil analisis K means cluster menunjukan bahwa variabel scattering volume dan skewness sangat berpengaruh dalam pembentukan kluster dibandingkan variabel yang lain. Analisis diskriminan mendapatkan bahwa kontribusi dari 7 deskriptor yang digunakan untuk membentuk deskriptor yaitu Sv (>20 %), Sa, kedalaman dan kurtosis memiliki kontribusi 15 - 20 %, tinggi dan skewness memiliki kontribusi dibawah 10 – 14,99 %. Model fungsi diskriminan yang diperoleh dari hasil penelitian ini memberikan ketepatan pengklasifikasian 9 kelompok waktu sampling sebesar 26,3%.
Kata kunci : klasifikasi, deskriptor akustik, plankton
SUMMARY JOHN WALDI CHRISFENTHO KARUWAL. The Development of Plankton Acoustics Descriptor in Inner Ambon Bay by Using Biosonic Echosounder DT-X. Supervised by SRI PUJIYATI and INDRA JAYA. Plankton is a very important organism in the food chain of the water coloum. The aim of this research is to analyze some of the physical parameters of waters that suspected influenced the acoustic parameters of plankton, to get acoustic parameter values from plankton by using split beam echosounder for quantification and identification plankton and developed an acoustic descriptors to identification and quantification activities community of plankton. The research was carried out in March 2012, located in Inner Ambon Bay waters, Ambon Island, Moluccas province, at the position of 128o12’792” - 128o12’ 792” BT and 3o38’795” - 3o38’874” LS. The depth of the waters at the site of the research are 25,17-27.00 meters with an average depth of 25,93 meters. Water temperature is 28,84 – 30,10oC with average 29,43oC where during the daytime is 29,37oC, and at night is 29,48oC. The salinity average of each measurement range between 33,53-33,62 PSU, where the salinity at the surface of sea water are 31,7632,67 PSU and at bottom the waters are 33,80-33,89 PSU. The density of water are 1.019,79-1.019,39 kg.m-3. Average of the waters turbidity every observation are 0,949-0,957 NTU with the highest value is 0,921 and at the lowest is 1,005 NTU. The community of phytoplankton found in research locations are 26 genus consists of 6 classes that are classified in the class Bacillariophyceae (4 genera), Ciliatea (2 genera), Coscinodiscophyceae (10 genera), Cyanophyceae (1 genus), Dynophyceae (6 genera) and Fragilariophyceae (3 genera). The identification of zooplankton samples results, obtained the composition of zooplankton species in research location are 41 types consists of 6 phylum, which was the Arthropod, Chaetognatha, Cnidarians, Echinoderms, Molluscs and Annelids. There were 43 acoustics echogram data has been processed 7038 polygons to get 7 variable descriptors in 3 categories, namely morfometrik (high), bathymetric (depth and relative height) and energetic (Sv, skewness and kurtosis, Sa). K-means Cluster analysis results showed that the variables of Scattering volume and skewness were very influential in form a cluster while another variables. Discriminant analysis has shown that the contribution of 7 descriptors are used to form the descriptors are Sv (> 20%), Sa, depth and kurtosis contributed to 15-20%, and skewness contributed under 10- 14.99%. The discriminant function model is obtained from the results of this research provide the precision for 9 sampling time groups is 26.3% for classification. Key words: classification, acoustic descriptors, plankton
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN DESKRIPTOR AKUSTIK PLANKTON DI TELUK AMBON BAGIAN DALAM MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER BIOSONIC DT-X
JOHN WALDI CHRISFENTHO KARUWAL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Fauziyah
Judul Tesis Nama NRP
Pengembangan Deskriptor Akustik Plankton di Teluk Ambon Bagian Dalam Menggunakan Echosounder Biosonic DT-X John Waldi Chrisfentho Karuwal C552100011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.
Ir\1~:t M.8i
~7~{ Prof. Dr. If. Indra Jaya, M.Sc Anggota
Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Teknolo i Kelautan
Tanggal Ujian : 21 Juni 2013
Tanggal Lulus:
15 AU G 2013
Judul Tesis Nama NRP
: Pengembangan Deskriptor Akustik Plankton di Teluk Ambon Bagian Dalam Menggunakan Echosounder Biosonic DT-X : John Waldi Chrisfentho Karuwal : C552100011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si Ketua
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 21 Juni 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kekuatan dan anugerah yang Dia berikan maka tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis banyak menerima bantuan berbagai pihak selama proses penyelesaian tesis ini, karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Ibu Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak 1. Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan arahan, masukan serta dorongan moril yang tidak ternilai, mulai dari konsultasi judul, pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si, selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, SPs-IPB yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Teknologi Kelautan. 3. Rektor IPB, Dekan dan Sekretaris Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan FPIK IPB atas kesempatan dan fasilitas selama penulis melaksanakan studi. Penguji luar komisi Ibu Dr. Fauziyah, atas masukan dan koreksinya. 4. 5. Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2. 6. Koordinator Kopertis Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi S2. 7. Pengelola BPPS Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai pendidikan penulis. Yayasan Toyota Astra atas bantuan penelitian yang diberikan untuk 8. penyelesaian penulisan tesis ini. 9. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura dan Upt Balai Konservasi Biota Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Ambon atas penggunaan peralatan saat penelitian. 10. Tante Omi, La Imu, Pak Bob Latumeten, crew speed boad Politeknik Negeri Ambon atas bantuan dan kerjasama saat pengambilan data lapangan. 11. Pak Fahmi dan Pak Asep Priatna atas bantuan teknis saat pengolahan data akustik. 12. Papa Thom Karuwal (Alm) dan Mama Fien Karuwal/B (Almh), Papa mertua Wem Hiariey (Alm) dan Mama S.M.D. Hiariey/I (Almh), Tante Leng Karuwal, adik En dan keluarga, Ani dan keluarga, Echa dan keluarga, Itha Karuwal, kakak-kakak ipar Richard dan Keluarga, Stenly dan Keluarga, Yopi dan Anna, dengan rasa hormat penulis persembahkan ucapan terima kasih yang tulus atas segala doa dan pengorbanan yang tiada tara baik materi dan moril selama penulis melaksanakan studi. 13. Istri tercinta Sandra Leony Hiariey SP, M.Si, anak-anak yang terkasih Shawn Joaquinn Karuwal dan Aprillya Grace Chrystin Karuwal, yang selalu sabar dan
menjadi penyemangat serta motivasi, baik dalam suka maupun duka. Terima kasih atas pengorbanan yang telah diberikan selama ini. 14. Seluruh rekan kuliah di Program Studi Teknologi Kelautan, khususnya rekanrekan TEK 2010 (Pak Bambang, Acta, Murjad, Elis, Widi dan Meis) dan Eva Kadmaer atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan pendidikan ini. 15. Pak Danu, Pak Arja, Mbak Niar, Mbak Maya dan Ibu Yanti atas dukungan yang diberikan saat kuliah di pasca TEK IPB. 16. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penelitian hingga tersusunnya tesis ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan industri pangan di Indonesia dan khususnya di Maluku, serta ilmu pengetahuan dan masyarakat luas.
Bogor, Juli 2013
John Waldi Chrisfento Karuwal
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Kerangka pemikiran Tujuan penelitian Manfaat penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA Plankton Metode hidroakustik Split beam Echosounder Deskriptor Akustik Pendekatan metode hidroakustik terhadap Plankton Faktor-Faktor Fisik Kimia Perairan Temperatur Salinitas Densitas Turbiditas 3. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan lokasi penelitian Perangkat dan peralatan Penelitian Instrumen BIOSONIC DT-X scientific echosounder system Kapal Alat pengambilan contoh plankton Pengambilan data akustik Pengambilan contoh dan identifikasi plankton Analisis data Analisis plankton Analisis data akustik Analisis hubungan antara variabel Analisis nilai deskriptor akustik 4. FAKTOR BIOLOGI DAN LINGKUNGAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Batimetri Temperatur Salinitas Densitas Kekeruhan Distribusi Vertikal Komunitas Plankton Komposisi plankton Kelimpahan plankton Hubungan antara parameter fisik perairan dan komunitas plankton
xv xvii xii xviii 1 2 3 3 4 5 6 6 7 8 10 10 11 12 12 15 16 16 16 17 17 18 19 19 20 22 22 23 23 24 25 27 27 28 28 34 37
Hubungan antara zooplankton dan fitoplankton 5. DESKRIPTOR AKUSTIK PLANKTON Nilai dan sebaran menegak volume backscattering strength (Sv) rata-rata plankton Hubungan nilai volume backscattering (Svrata-rata) plankton dengan faktor fisik perairan Hubungan antara sebaran nilai backscattering volume (Svrata-rata) dengan kelimpahan plankton hasil tangkapan dengan Vandorn Water Sampler Deskriptor Akustik Plankton Analisis Statistik Analisis Korelasi Parameter Deskriptor Plankton Analisis Faktor Parameter Deskriptor Plankton Analisis Kelompok Parameter Deskriptor Plankton Analisis Diskriminan Parameter Deskriptor Plankton 6. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
38
39 40 41 43 43 44 44 45 47 51 51 53 57 81
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
7
8 9 10 11 12 13 14 15 16
Spesifikasi Biosonic DT-X scientific echosounder system Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik plankton Deskriptor Akustik menurut Charef et al. (2010) yang telah dimodifikasi Nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (D) fitoplankton selama pengamatan Nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) zooplankton di lokasi penelitian Nilai Sv rata-rata plankton berdasarkan strata kedalaman pada frekwensi 206 kHz di luar waktu sampling plankton di TelukAmbon Bagian Dalam Nilai koefisien regresi (R) dan koefisien determinasi (R2) dari hubungan nilai volume backscattering strength plankton dan parameter fisik perairan Nilai analisis regresi linear hubungan nilai Svrata-rata terhadap kelimpahan zooplankton (ind/m3) dan fitoplankton (sel/m3) Deskripsi statistik 7038 poligon yang membentuk deskriptor akustik Matriks korelasi antar deskriptor akustik Nilai Communalities Nilai Test of Equality Variabel Pembentuk Fungsi Diskriminan Nilai Wilk’s Lambda Nilai Matriks Struktur Hasil nilai klasifikasi analisis diskriminan
16 17 22 35 36
39
41 42 43 44 45 47 48 48 48 49
DAFTAR GAMBAR 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kerangka pemikiran penelitian Plot teoritis dari model 3 tipe hamburan akustik zooplankton (Martin et al., (1996) dan Stanton et al., (1996, 1998) Lokasi penelitian Diagram alir pengambilan data akustik Ilustrasi skema pengukuran deskriptor akustik Profil menegak temperatur perairan lokasi penelitian Profil menegak kondisi salinitas menegak lokasi penelitian Diagram T-S di lokasi penelitian Diagram T-S Perairan Laut Banda Sekitar Pulau Ambon Profil menegak densitas perairan di lokasi penelitian Profil menegak kekeruhan perairan di lokasi penelitian Komposisi kelas fitoplankton yang ditemukan pada waktu penelitian Komposisi genus fitoplankton yang ditemukan pada waktu penelitian Komposisi genus fitoplankton berdasarkan kedalaman Komposisi zooplankton yang ditemukan berdasarkan waktu penelitian Komposisi zooplankton yang ditemukan berdasarkan kedalaman
3 9 15 18 21 24 25 26 26 27 28 29 30 31 33 33
16 Persentase kelompok dominan penyusun komunitas zooplankton 17 Profil vertikal nilai Scattering Volume plankton pada frekuensi 206 kHz 18 Pola sebaran kelimpahan zooplankton (ind/m3) dan fitoplankton (sel/m3) di lokasi penelitian 19 Dendogram hubungan kemiripan antar variabel deskriptor 20 Diagram Pareto Nilai Penting Variabel Deskriptor
34 40 42 46 49
DAFTAR LAMPIRAN 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Alat-alat yang dipakai dalam Penelitian Jenis-jenis zooplankton yang ditemukan Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan Indeks Ekologi Fitoplankton Indeks Ekologi Zooplankton Rataan nilai indeks dispersi Morisita (I ) Masing-masing genera fitoplankton di perairan selama penelitian Rataan nilai indeks dispersi Morisita (I ) Masing-masing genera zooplankton di perairan selama penelitian Nilai Kelimpahan Zooplankton (ind/m3) dan Fitoplankton (sel/m3) di teluk Ambon Dalam Hasil Analisis Regresi Linear Hubungan Zooplankton dan Fitoplankton di Teluk Ambon Bagian Dalam Echogram plankton Analisis Statistik Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Parameter Fisik Perairan terhadap Kelimpahan Fitoplankton Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Parameter Fisik Perairan terhadap Kelimpahan Zooplankton Nilai Korelasi plankton dengan parameter fisik perairan
57 58 61 63 64 65 66 67 68 69 70 75 77 79
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plankton merupakan biota yang sangat penting peranannya dalam rantai makanan di suatu perairan. Mereka menjadi kunci utama dalam transfer energi dari produsen utama ke konsumen pada tingkatan pertama dalam tropik ekologi, seperti di lautan; ikan, mamalia, penyu dan hewan terbesar yakni paus pemakan plankton (Baleens whale). Plankton juga berperan dalam mereduksi nitrogen di perairan melalui proses penguraian nitrogen sehingga berguna bagi bakteri dan produktivitas fitoplankton. Peranan lainnya yang tidak kalah penting adalah memfasilitasi penyerapan karbondioksida (CO2) di laut. Zooplankton memakan fitoplankton yang menyerap CO2 dan kemudian setiap harinya turun ke bagian dasar untuk menghindari pemangsa di permukaan seperti ikan predator, sehingga karbon yang berada di dalam plankton tersebut dapat terendapkan di sedimen dan terdegradasi. Oleh karena itu plankton memegang peranan dalam pendistribusian CO2 dari permukaan ke dalam sedimen didasar laut. Perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan temperatur permukaan perairan juga sangat mempengaruhi keberadaan plankton baik kelimpahan, komposisi, hingga keanekaragamannya di lautan. Hal ini sangat berdampak sangat besar dalam proses produktivitas rantai makanan secara luas. Pentingnya peranan plankton sehingga telah dikembangkan berbagai metode untuk meneliti keberadaan plankton dalam suatu perairan. Salah satu metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai kebedaaan organisme di kolom air seperti plankton dan ikan, hingga dasar perairan adalah dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital sudah dikembangkan. Penelitian untuk melihat nilai hambur balik plankton dengan metode akustik telah dilakukan di beberapa negara lain seiring dengan perhatian dunia terhadap dampak pemanasan global bagi ekosistem perairan. Penelitian untuk melihat hubungan antara distribusi spasial plankton dan parameter bio-fisik lingkungan dengan sebaran sumberdaya perikanan anchovi. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah echosounder Simrad EK 60 dengan frekuensi 18, 38, 120, and 200 kHz. Hasil dari penelitian tersebut adalah diperoleh adanya empat klasifikasi plankton menurut equivalent spherical diameter (ESD; mm): 0,0 - 0.35 (Klas I), 0,35 – 0,8 (Klas II), 0,8 – 2,0 (klas III), and >2,0 mm (Klas IV) menurut Lebourges, et al (2009). Beberapa tahun terakhir penelitian plankton dengan metode akustik telah dikembangkan menggunakan teknik dan peralatan yang lebih maju yaitu penggunaan broad band acoustic Lavery, et al 2009. Pemakaian metode ini memungkinkan orang untuk mengidentifikasi komunitas plankton hingga jenisnya. Daly et al, 2001 menyatakan bahwa metode akustik memiliki beberapa kelebihan dalam mengestimasi sumberdaya perairan dibandingkan dengan metode konvensional antara lain; berbiaya efektif, dapat dioperasikan oleh orang awam akustik, tidak-invasif, tidak mempengaruhi perilaku organisme, tidak selektif, bias yang minimal terhadap ukuran atau perilaku sampling, menguatkan teori dan metode, hasil yang real time, mengumpulkan sejumlah besar data untuk dibandingkan secara
2 statistik, dapat menyapu sampel air dalam volume yang besar. Keterbatasannya antara lain agak susah untuk mengidentifikasi spesies, agak sulit untuk memperoleh informasi di dekat permukaan dan pada lapisan bawah, butuh investasi awal yang besar, relatif kompleks untuk digunakan, memerlukan pelatihan dan pengalaman, dan kemungkinan berdampak pada beberapa mamalia laut dan ikan. Struktur dan kepadatan plankton sangat mempengaruhi kestabilan rantai makanan dalam ekosistem di suatu perairan. Pengetahuan tentang keadaan komunitas plankton ini berguna untuk mamahami kondisi produktivitas primer dan kondisi kesehatan sumberdaya serta manajemen lingkungan perairan. Metode identifikasi spesies kawanan ikan dengan menggunakan deskriptor akustik telah lama dikembangkan sehingga dapat membedakan secara efisien struktur dari kawanan ikan pelagis yang berbeda (Diner et al., 1989; Georgakarakos dan Paterakis, 1993 dan Muhiddin, 2010). Sistem pengolah sinyal akustik untuk identifikasi ikan dengan metode deskriptor akustik berisi program untuk transformasi citra digital, pengolahan citra digital, pengukuran dan komputasi deskriptor dan fungsi diskriminan untuk identifikasi spesies (Fauziyah, 2005). Namun penerapannya untuk mengidentifikasi plankton belum digunakan. Secara geografis Teluk Ambon terletak antara 3° 37' 00" - 3° 48' 00" LS dan 128° 00' 00" - 128° 15' 00" BT. Teluk ini terdiri dari dua bagian yaitu Teluk Ambon bagian dalam yang luasnya sekitar 6 km2 dengan kedalaman maksim 42 m dan Teluk Ambon bagian luar dengan luas sekitar 100 km2 yang mempunyai kedalaman laut >100 m, dan berhubungan langsung dengan Laut Banda. Kedua daerah ini dipisahkan oleh Sebuah ambang (sill) dengan lebar 500 m dan kedalaman 15 meter.
Perumusan masalah Penerapan teknologi akustik di Indonesia dalam penelitian dan pengembangan bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas. Minimnya sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan teknologi akustik di Indonesia. Namun beberapa waktu terakhir ini teknik akustik mulai banyak digunakan untuk mengetahui dan memetakan sumberdaya perairan. Kemajuan teknik pemetaan dasar perairan saat ini yang dipicu oleh perkembangan yang berkesinambungan dari sistem akustik (side scan sonar, multi beam sonar, acoustic discrimination systems) menawarkan potensi untuk pekerjaan pemetaan dan monitoring ekosistem lautan (Brown, et al., 2005). Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan karakteristik kolom perairan yang memungkinkan sejumlah penelitian lanjutan mengenai kolom perairan dapat dilakukan. Tingginya variasi pada kolom perairan membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan karakteristik organisme yang mendiami perairan dengan menggunakan metode akustik. Plankton adalah salah satu organisme penting perairan yang karakternya bergantung pada dinamika perairan setempat. Karakter plankton memiliki penciri tertentu yang dapat diamati untuk membedakan struktur komunitasnya secara hidroakustik yakni cenderung mengelompok struktur komunitasnya.
3 Kerangkan pemikiran Plankton memiliki sifat dan karakter mengelompok yang dapat dideteksi secara hidroakustik. Parameter akustik seperti target strength dan volume backscattering dari organisme plankton di kolom perairan sangat dibutuhkan dalam dunia perikanan yang butuh pengembangan untuk mempermudah proses identifikasi dan pemahaman komunitas ini. Secara akustik setiap organisme memberikan pantulan terhadap energi suara yang dikenainya sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pendeskripsi (deskriptor) diri. Selama ini dekriptor untuk ikan telah banyak dikembangkan namun untuk plankton belum dibuat. Hal ini berkaitan erat dimana keberadaan plankton memiliki peranan yang sangat esensial sebagai produsen primer dalam rantai makanan di perairan sebagai tropik level tingkat I. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian parameter akustik plankton serta kaitannya dengan parameter biologi-fisika lingkungan perairan yang diduga mempengaruhi nilai parameter akustik dari plankton. Kemudian dikembangkan suatu deskriptor akustik untuk kuantifikasi identifikasi komunitas plankton tersebut. Gambar 1 memberikan kerangka pemikiran penelitian. Masalah identifikasi Plankton Echosounder split beam
Kalibrasi Kedalaman Kecepatan suara Panjang pulsa
Data akustik Raw data (tracking) (Pengukuran akustik plankton Post-proccessing Echoview, Visual Analyzer Ms Excel & SPSS
Pengecekan lapangaan
Van Dorn bottle
Fisik Air Laut (CTD
Identifikasi Manual
Kuantifikasi dan Identifikasi plankton Deskriptor Akustik Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Menganalisis beberapa parameter fisik perairan yang diduga mempengaruhi nilai parameter akustik plankton. 2) Mendapatkan nilai parameter akustik dari plankton memakai instrumen hidroakustik split beam echosounder untuk kuantifikasi dan identifikasi plankton.
4 3) Mengembangkan suatu deskriptor akustik untuk mempermudah kegiatan kuantifikasi dan identifikasi komunitas plankton.
Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai gambaran karakteristik plankton berdasarkan nilai parameter akustik yang dihasilkan oleh berbagai jenis plankton dengan menggunakan split beam echosounder. Pola yang didapatkan diharapkan dapat dikembangkan menjadi suatu deskriptor dalam proses mengklasifikasikan plankton dengan menggunakan instrumen hidroakustik split beam echosounder.
2 TINJAUAN PUSTAKA Plankton Parson dan Takahashi (1973) mendefinisikan plankton sebagai organisme yang tidak dapat menyebar melawan pergerakan massa air, yaitu meliputi (bakteri), fitoplankton (plankton tumbuhan) dan zooplankton (plankton hewan). Odum (1971) menambahkan bahwa plankton adalah semua kumpulan organisme, baik hewan maupun tumbuhan air berukuran mikroskopis dan hidupnya terapung atau melayang mengikuti arus air. Sedangkan Newell dan Newell (1971) menyatakan bahwa plankton sebagai organisme berukuran renik yang melayang-layang dalam kolom perairan dan kemampuan renangnya sangat lemah sehingga dipengaruhi oleh gerakan air. Plankton dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan fungsi yaitu fitoplankton yang terdiri dari tumbuhan air yang bersifat planktonis serta mampu berfotosintesis dan zooplankton yang terdiri dari hewan air yang bersifat planktonis (Nyabakken, 1992). Raymond (1984) serta Newell and Newell (1977) membedakan plankton menjadi dua kelompok berdasarkan daur hidupnya yaitu holoplankton dan meroplankton. Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik seperti Copepoda, Rotatoria dan Chaetognatha; sedangkan meroplankton merupakan organisme yang sebagian daur hidupnya berupa plankton seperti larva ikan, larva crustacea, dan larva moluska. Plankton sangat beraneka ragam dan terdiri dari berbagai macam larva yang bentuk dewasanya mewakili hampir seluruh hewan laut (Nyabakken, 1992). Hutabarat dan Evans (1986) menambahkan bahwa zooplankton sebagai kelompok hewan sangat banyak macamnya termasuk kelompok Protozoa, Coelenterata, Moluska, Annelida dan Crustacea. Secara menyeluruh plankton didominasi oleh jenis-jenis crustacea, baik dalam jumlah individu maupun jumlah spesiesnya (Odum, 1971). Secara ekologi Nyabakken (1992) menyatakan bahwa hanya satu golongan plankton yang sangat penting di laut yaitu kelas Copepoda dan filum Crustacea yang mendominasi 50 – 80 % dari plankton yang berada di lautan (Wickstead, 1965). Muara sungai/estuari adalah perairan pantai yang semi tertutup, dimana air tawar dari sungai dan air laut bertemu dan bercampur membentuk suatu ekosistem yang unik dan kompleks (Sumich, 1992). Jadi estuari adalah bagian dari sistem sungai yang dipengaruhi oleh aksi pasang surut dan sifat dinamika dan fisik laut lainnya, seperti arus, gelombang, salinitas dan lain-lain. Interaksi air tawar dan air asin menentukan sirkulasi air dan proses percampuran yang dibangkitkan oleh perbedaan densitas antar dua jenis air. Densitas air laut tergantung pada salinitas dan temperatur, tapi di estuari kisaran salinitas sangat besar sedangkan kisaran temperatur kecil. Variasi sifat habitat estuari, terutama dilihat dari fluktuasi salinitas dan temperatur, membuat estuari menjadi habitat yang tertekan dan keras. Tetapi menurut Sumich (1992) estuari adalah ekosistem yang produktif dan merupakan daerah untuk mencari makan atau sebagai daerah tempat asuhan bagi sebagian organisme laut. Frid dan Huliselan, 1998 mendapati bahwa di Teluk Ambon ada 56 spesies zooplankton dari 96.465 individu/m3 yang ditemukan dimana Copepoda merupakan
6 kelompok yang dominan sebesar 23 spesies dengan persentase 71% dari total individu. Pelasula dan Mudjiono, 2007 menyatakan bahwa di Teluk Ambon selama pengamatan bulan Februari hingga Agustus 2007, struktur komunitas plankton didominasi oleh kelompok Copepoda jenis Calanoida sp dan Cyclopoida sp sebesar 18,20-93,77%. Hasil penelitian Mulyadi dan Radjab, 2009 mendapati bahwa zooplankton yang predominan di teluk Ambon adalah jenis Copepoda, Meroplankton, Lucifera, Thaliacea dan Chaetognatha adalah plankton yang predominan dimana persentase kelimpahan rata-rata pada Copepoda adalah 61,23 % dari total plankton. Fitoplankton memiliki peranan yang sangat penting di dalam suatu perairan karena kemampuannya melakukan fotosintesis. Berperan sebagai pengikat awal energi matahari yang sangat menentukan kelangsungan hubungan makan-memakan dalam kehidupan biota di laut (Odum, 1971). Nybakken (1992) menyatakan bahwa fitoplankton air asin yang berukuran besar dan terdapat dalam jumlah yang banyak adalah dari kelompok diatom dan dinoflagelata. Wagey, 2002 mengemukakan bahwa selama periode penelitian 1996-1998 menemukan di teluk Ambon terdapat 105 spesies fitoplankton yang terdiri dari diatom (78 spesies), dinoflagelata (44 spesies) silicoflagelata (2 spesies) dan cyanobacteria (1 spesies). 3 spesies dinoflagelata merupakan jenis baru di Indonesia yaitu Gymnodinium catenatum, Alexandrium cohorticula dan Fragilidium cf. mexicanum. Pelasula dan Mudjiono, 2007 menyatakan bahwa selama bulan Februari hingga Agustus 2007, struktur biomassa fitoplankton di Teluk Ambon didominasi oleh jenis Trichodesmium sebesar 5,18-96,61%.
Metode hidroakustik Akustik merupakan ilmu yang mempelajari mengenai gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium. Prinsip dari pengoperasian alat akustik adalah dengan gelombang suara yang ditransmisikan ke kolom perairan dalam bentuk pulsa yang nantinya akan mengenai target kemudian dilakukan analisa terhadap pantulan yang diberikan oleh target. Prinsip dari pengoperasian metode hidroakustik adalah dimulai dari timer yang berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter melalui transducer. Transducer berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan ke medium. Gelombang akustik yang merambat di kolom perairan akan mengenai target seperti ikan atau dasar perairan dimana gelombang akustik ini akan dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh transducer dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan ke receiver amplifier yang berfungsi untuk menguatkan sinyal listrik sebelum diteruskan ke unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (MacLennan dan Simmonds, 2005).
Split beam echosounder Split beam merupakan metode baru yang dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan- kelemahan dari metode sebelumnya seperti single beam dan dual beam.
7 Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada konstruksi transducer yang digunakan, dimana pada echosounder ini transducer dibagi dalam empat kuadran. Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan full beam yang merupakan penggabungan dari keempat kuadran dalam pemancaran secara simultan. Selanjutnya, sinyal yang memancar kembali dari target diterima oleh masing-masing kuadran secara terpisah, output dari masing-masing kuadran kemudian digabungkan lagi untuk membentuk suatu full beam dengan dua set split beam. Target tunggal diisolasi dengan menggunakan output dari full beam sedangkan posisi sudut target dihitung dari kedua set split beam. Pada prinsipnya tranducer split beam terdiri dari empat kuadran yaitu Fore (bagian depan), Aft (bagian belakang), Port (sisi kiri kapal) dan Starboard (sisi kanan kapal) Split beam echosounder memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) di dalam sistem perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk mengeleminir pengaruh atenuasi yang disebabkan baik oleh geometrical spreading dan absorpsi suara ketika merambat ke dalam air. Split beam BioSonics Seri DT-X scientific digital echosounder system (dikenal sebagai "DT-X") adalah echosounder, kompak serbaguna yang dapat dikonfigurasi untuk aplikasi yang berbeda di dua lingkungan yaitu laut dan air tawar untuk pemantauan biologi termasuk batimetri, penilaian habitat, dinamika populasi, perilaku tanaman dan distribusi sedimen Split beam BioSonics Seri DT-X disebut sebagai scientific echosounder karena konsep baru yang dibenamkan dalam sistem ini, yaitu memiliki beberapa spesifikasi yang bersifat opsional memungkinkan alat ini mencapai rentang dinamis lebih dari 160 dB untuk opsi analog dan 125 dB untuk opsi digital. Echosounder ini dapat beroperasi pada frekuensi standar sebesar 38, 70, 120, 200, 420, 1000 kHz. Bila dipadukan dengan perangkat lunak bawaan sistem ini yaitu Visual Analyser yang digunakan untuk mengamati distribusi dan kepadatan ikan dan organisme lain dalam kolom air, Visual Bottom Typer (VBT) dapat digunakan untuk analisa dan klasifikasi permukaan sedimen dasar perairan serta EcoSAV untuk mendeteksi dan menganalisa vegetasi tumbuhan perairan, tinggi kanopinya dan tutupan tumbuhan tersebut. Hasil rekaman dari sistem ini juga dapat diolah lanjut dengan menggunakan perangkat lunak pengolah data akustik lain seperti echoview dan sonar pro sehingga memungkinkan peneliti bisa memilih untuk bereksplorasi.
Deskriptor Akustik
Deskriptor akustik adalah variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau sifat dari hambur balik gelombang akustik. Deskriptor akustik telah banyak dikembangkan dalam mengidentifikasi karakteristik jenis ikan berdasarkan klasifikasi sinyal hidroakustik suatu kawanan ikan (Reid et al., 2000). Deskriptor akustik yang dihasilkan dikelompokkan ke dalam 5 tipe deskriptor utama yaitu : 1. Positional Descriptors, yang menjelaskan posisi kawanan ikan horizontal dan vertikal 2. Morfometrik Descriptors, yang menjelaskan morfologi ikan target 3. Energetic Descriptors, yang menjelaskan total energi akustik, nilai rataan dan variabilitas energi akustik dan pusat massa kawanan ikan.
8 4. School Environment Descriptors, yang menjelaskan tentang jarak terpendek dan terjauh antat perimeter kawanan ikan dengan dasar perairan 5. Biological Descriptors, deskriptor yang menjelaskan sifat-sifat unik dari jenis ikan yang diamati. Deskriptor akustik yang dihasilkan akan dianalisis dengan metode analisis komponen utama sehingga dapat ditentukan variabel-variabel bebas (deskriptor akustik) yang dapat berpengaruh dalam membedakan sekumpulan kawanan ikan (Haralabous & Georgakarakos, 1996). Lawson et al, 2001 menyatakan bahwa penerapan deskriptor akustik hanya dapat dilakukan untuk kumpulan spesies (schooling spesies) yang didominasi oleh satu jenis yakni sebesar 80%, sedangkan Reid et al., 2000 menyatakan bahwa penerapan deskriptor pada analisis gerombolan yang bagus adalah 85% terdiri dari kurang dari 5 spesies dan bila lebih akan muncul masalah.
Pendekatan metode hidroakustik terhadap Komunitas Plankton. Metode akustik menyediakan cara mendeteksi, penggolongan dan mengukur distribusi plankton secara spasial, micronekton, dan organisme lainnya yang dapat memberikan resolusi dan cakupan ruang yang sempurna dan tidak terikat pada kekeruhan air. Teknik ini didasarkan pada pemancaran suara dengan frekuensi yang tinggi dan beam yang sempit, dari suatu kapal, towed body, atau transducer yang diturunkan dari kapal, dan mengukur backscattered plankton atau target lainnya yang berada dalam beam tersebut. Jika suara yang berfrekuensi tinggi dipancarkan pada frekuensi yang berbeda maka backscatter pada frekuensi yang berbeda tersebut dapat digunakan untuk membantu memperoleh informasi tambahan tentang target itu (Penrose, el. al, 2003). Pada umumnya, krill dan plankton ditangkap dengan jaring. Jaring dapat ditarik secara tegak lurus dari kedalaman tertentu sampai ke permukaan (contoh : Jaring Bongo), atau dengan menarik jaring secara diagonal dari suatu kedalaman tertentu (contoh Jaring BIONESS). Contoh dari Jaring memberikan banyak informasi tentang jenis dan kelas organisme di dalam area pengambilan contoh, tetapi terbatas menyediakan informasi tentang densitas. Penggunaan jaring ini akan menghabiskan waktu dan tenaga, juga akan merugikan organisme itu sendiri (Anonymus, 1999). Metode Bioakustik untuk pendeteksian plankton pada suatu tingkat yang jauh lebih baik dibanding pengambilan contoh dengan jaring, tetapi tidak menghasilkan informasi apapun tentang jenis dan kelas target yang sedang diamati. Scientific echosounder akan memancarkan pulsa suara dengan frekuensi tinggi ke dalam air dan menyimpan informasi posisi dan intensitas echo dari ikan dan plankton di dalam beam suara yang dipancarkan. Frekuensi yang digunakan akan tergantung pada besar obyek yang ingin dideteksi. Pendeteksian plankton pada umumnya menggunakan frekuensi antara 100 - 200 kHz. Korneliussen dan Ona, 2003 mengemukakan bahwa pemilihan frekuensi yang dipilih sangat berperan untuk mendeteksi target yang diharapkan. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memilih frekuensi agar mendapatkan target yang sesuai yaitu absorbsi/α, durasi pulsa, target strength, input power, dan ukuran transducer). Pada frekuensi yang sangat rendah, organisme kecil bertindak sebagai Rayleigh scatter yang berarti bahwa intensitas dari hamburan suara meningkat
9 seiring dengan peningkatan frekuensi dimana semua hamburan dipancarkan kembali ke segala arah. Pada frekuensi yang lebih tinggi hamburan mulai menjalar dengan cara yang berbeda dan energy dari pantulannya berbeda tergantung arah datangnya. Martin et al., (1996) dan Stanton et al., (1996) mengemukakan bahwa perbandingan antara data lapangan dan model teoritis hamburan dari spesies-spesies zooplankton mendapatkan 3 tipe akustik dari zooplankton yaitu: (i) tipe buntalan gas (gas-bearing/GB), misalnya siphonophores; (ii) tipe mirip cairan (Fluid-like/FL), misalnya euphausiids; dan (iii) tipe elastis terkupas (Elastic-shelled/ES), misalnya pteropods dan gastropoda. Gambar 2 menunjukkan model teoritis hubungan antara target strength dan frekuensi untuk beberapa organisme individu yang berbeda ukuran tertentu berasal dari model. Jika ukuran salah satu organisme ini mengecil, kurva akan mempertahankan bentuk yang sama, tapi akan bergeser ke kanan bila frekuensi menjadi lebih tinggi maka besarnya hamburan akan menurun.
Gambar 2 Plot teoritis dari model 3 tipe hamburan akustik zooplankton (Martin et al., (1996) dan Stanton et al., (1996, 1998) Sutor et al., 2005 menyatakan bahwa hubungan scattering volume dengan frekwensi dari tiga tipe akustik zooplankton bergantung pada bentuk dan ukuran dari organisme penghamburnya. Informasi energy ini kemudian diteruskan ke suatu komputer yang menampilkan informasi akustik, dengan melakukan metode keduanya (sampling dengan jaring dan bioakustik) pada waktu yang sama, dapat diperoleh suatu koefisien kalibrasi biomass dengan echo dari target (Anonymus, 1999). Informasi tentang struktur dan kepadatan komunitas plankton serta kondisi dasar perairan dan vegetasi bawah air disandikan dalam sinyal echo. Sinyal tersebut dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan data Global Position System. Sinyal dapat disandikan dan informasi tentang dasar perairan dapat diproyeksikan ke dalam bentuk grafik digital. Proses verifikasi hasil, pengambilan sampel plankton dan parameter fisik sampling bio-fisik perairan harus dilakukan oleh peneliti mengunakan instrumen lainnya dan data yang diperoleh harus dicatat sebagai data akustik. Setelah diverifikasi, hasil disimpan sehingga jenis dapat perairan dapat diketahui dan dapat dibandingkan dengan data dari sinyal echo.
10 Faktor-faktor Fisik Kimia perairan Temperatur Pada dasarnya temperatur atau suhu merupakan parameter oseanografi yang pertama kali dipelajari dan memiliki peranan yang sangat penting bagi analisis parameter-parameter yang lainnya. Temperatur dalam perairan direpresentasikan dalam derajat Celcius. Pengukuran temperatur ini mengacu kepada Skala Temperatur Praktis Internasional 1968 (International Practical Temperature Scale 1968 dalam Subagio dan Simanjuntak, 2003). Temperatur di permukaan bumi sangat ditentukan oleh jumlah radiasi matahari yang diterima. Sekitar 70% radiasi yang datang dan sampai ke permukaan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Radiasi yang jatuh ke permukaan bumi cenderung bervariasi terhadap lintang dan musim, akibatnya temperatur laut berubah-ubah terhadap ruang dan waktu. Banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran temperatur di laut, diantaranya adalah: Gerakan-gerakan air, misalnya: arus dan turbulensi Distribusi massa daratan yang tidak sama di kedua belahan bumi Pada lintang rendah (10 "N - 10 °S) dekat dengan kutub utara dan selatan terlihat perbedaan temperatur diantara bulan-bulan terhangat dan terdingin sepanjang tahun adalah kecil (< 3 °C). Di lintang menengah (sekitar 30 °N dan 30 °S) variasi terbesarnya sekitar 6 °C (Gross, 1990 dalam Subagio dan Simanjuntak, 2003) Jika suatu perairan yang homogen dan tenang dipanasi matahari maka distribusi temperatur dalam arah vertikal akan menurun secara eksponensial. Jika tidak ada gangguan pada perairan maka keadaan perairannya selalu stabil, karena lapisan yang paling alas densitasnya akan lebih rendah daripada lapisan di bawahnya. Jika ada gangguan, misalnya lapisan bagian atas turut bergerak dan menyebabkan gerakan turbulensi sehingga pengadukan lapisan permukaan (Gross, 1990 dalam Subagio dan Simanjuntak, 2003). Nybakken (1982) menyatakan bahwa temperatur adalah ukuran gerakan energi molekul. Temperatur bervariasi secara horizontal sesuai dengan garis lintang, dan juga secara vertikal sesuai dengan garis kedalaman. Temperatur merupakan salah satu faktor perairan yang rnudah diteliti dan sangat berpengaruh terhadap lingkungan. Fluktuasi temperatur air laut banyak dipengaruhi oleh iklim, temperatur udara, kekuatan arus, kecepatan angin, lintang maupun keadaan relief dasar laut (Gunarso, 1985). Temperatur air laut merupakan salah satu faktor penting bagi kelangsungan organisme di lautan, karena mempengaruhi aktifitas metabolisme dan perkembang biakan organisme tersebut (Hutabarat dan Evans, 1988). Selanjutnya menurut Nontji (1987), temperatur air laut merupakan faktor yang penting dan banyak mendapat banyak perhatian dalam pengkajian kelautan, karena data temperatur air tersebut dapat dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut, kehidupan hewan atau tumbuhan maupun untuk pengkajian meteorologi. Pengaruh temperatur secara langsung pada kehidupan laut adalah pada laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksinya, sehingga cara makan dan pertumbuhannya juga dipengaruhi oleh temperatur (Laevastu dan Hayes, 1981).
11 Hasil penelitian LIPI-Ambon tahun 1974-1975, mendapatkan kisaran temperatur di perairan teluk Ambon adalah antara 26,26-30,74oC. Tarigan dan Sapulette (1987), menemukan bahwa temperatur terendah pada lapisan permukaan maupun dekat dasar dijumpai dalam bulan Juli (musim timur) berkisar antara 24,6329,24oC dan temperatur tertinggi pada bulan Desember (musim barat berkisar antara 27,63-29,24oC. Menurut Selanno (2009), sebaran temperatur di teluk Ambon berkisar antara 27,70–29,73 ºC dengan rata-rata tiap musim berkisar antara 26,00– 30,58 ºC.
Salinitas Nontji (1987), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan salinitas (kadar garam) adalah jumlah semua garam dalam gram yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan per mil (%o). Salinitas merupakan parameter penting di laut yang bersifat konservatif (elemen penyusunnya mempunyai perbandingan relatif/konstan dengan unsur lain di laut), dengan kata lain salinitas hanya berubah oleh penambahan atau pengurangan air yang ditentukan oleh kesetimbangan evaporasi presipilasi yang terdapat pada suatu daerah. Lebih lanjut Nontji (1987) menyatakan sebaran salinitas di laut dipengaruhi berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan aliran sungai (run off) yang terdapat di sekitarnya. Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme, misalnya distribusi biota akuatik sangat erat kaitannya dengan salinitas (Nybaken, 1982). Salinitas di laut secara fisiologi mempengaruhi kehidupan biota laut karena erat hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh dengan keadaan salinitas lingkungan. Perubahan salinitas sering menunjukkan perubahan massa air dan keadaan stabilitasnya cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuh mereka nnasing-masing (Laevastu dan Hayes, 1981). Salinitas ini penting untuk mempelajari distribusi organisme dan mempelajari gerak massa air. Distribusi horizontal salinitas tergantung pada besar lintang yang sangat berkaitan dengan penguapan dan presipitasi. Sementara distribusi vertikalnya berkaitan dengan perbedaan radiasi matahari yang diterima suatu daerah permukaan. Sama seperti lapisan vertikal pada temperatur, salinitas pun memiliki lapisan haloklin yakni suatu lapisan dimana terjadi perubahan salinitas (pertambahan atau pengurangan) yang cepat terhadap kedalaman (Ningsih, S.N. 2000 dalam Subagio dan Simanjuntak 2003). Kisaran salinitas perairan teluk Ambon bagian dalam, hasil penelitian P3O LIPI Ambon tahun 1974-1975, dilaporkan berkisar antara 29,24 – 33,59 PSU. Sedangkan hasil penelitian lainnya, didapatkan kisaran salinitas antara 27,00 – 32,00 PSU (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2002). Variasi salinitas dapat secara temporal maupun spasial, berubah sepanjang waktu berdasarkan perubahan keadaan lautan, penutupan awan, dan jarak dari matahari. Selanno, 2009 memperoleh nilai salinitas dari rata-rata berkisar antara 32,25–34,75 PSU, sedangkan rata-rata tiap musim berkisar antara 29,45 – 35,27 PSU.
12 Densitas Densitas merupakan fungsi langsung dari kedalaman laut, serta dipengaruhi juga oleh salinitas, temperatur, dan tekanan. Densitas air laut merupakan jumlah massa air laut per satu satuan volume. Pada umumnya nilai densitas (berkisar antara 1,02 – 1,07 gr/cm3) akan bertambah sesuai dengan bertambahnya salinitas dan tekanan serta berkurangnya temperatur. Perubahan densitas dapat disebabkan oleh proses-proses : Evaporasi di permukaan laut, Massa air pada kedalaman < 100 m sangat dipengaruhi oleh angin dan gelombang, sehingga besarnya densitas relatif homogen, Di bawah lapisan ini terjadi perubahan temperatur yang cukup besar (Thermocline) dan juga salinitas (Halocline), sehingga menghasilkan pola perubahan densitas yang cukup besar (Pynocline), Di bawah Pynocline hingga ke dasar laut mempunyai densitas yang lebih padat Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas secara vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu. Densitas air laut tergantung pada suhu dan salinitas serta semua proses yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas permukaan laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off dari daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan. Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif antara densitas dan suhu dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman, dan menurunnya suhu.
Turbiditas Pada dasarnya turbiditas sangat berkaitan dengan skala kejernihan dari suatu perairan. Hal tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kandungan padatan terlarut atau lebih dikenal dengan Total Suspended Solid (TSS) dari perairan tersebut. Semakin tinggi tingkat TSS maka turbiditasnya pun akan semakin besar. Jenis - jenis TSS yang mempengaruhi nilai turbiditas dari suatu perairan cenderung bervariasi bergantung pada lokasinya. Turbiditas pada laut terbuka cenderung dipengaruh oleh fitoplankton. Sementara itu turbiditas pada daerah pesisir cenderung dipengaruhi oleh sedimen serta sill yang terjadi akibat erosi serta kegiatan pertambangan (Michaud, 1991). Konsentrasi yang tinggi dari kandungan partikulat dapat mempengaruhi kemampuan penetrasi matahari. Apabila hal tersebut terjadi maka tumbuhan makrophyta akan kesulitan untuk mendapatkan sinar matahari yang digunakan untuk proses fotosintesis. Apabila kemampuan berfotosintesis menurun, maka otomatis jumlah kandungan oksigen sebagai basil dari proses fotosintesis pun akan mengalami penurunan. Akibatnya organisms yang terdapat pada perairan tersebut akan
13 kekurangan oksigen dan lambat laun akan mati. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh proses yang terjadi di alam akan selalu berkaitan satu dengan yang lainnya membentuk jaringan kehidupan yang tidak dapat berdiri sendiri (Michaud, 1991). Semakin tinggi nilai turbiditas pada suatu perairan akan mempengaruhi aktivitas dari suatu ekosistem di perairan yang akan menyebabkan dampak yang negatif bagi biota - biota yang berada pada ekosistem tersebut. Bahkan untuk jangka waktu yang relatif lama dapat menyebabkan kematian pada biota - biota tersebut khususnya ikan (Michaud, 1991). Turbiditas biasanya diukur dengan suatu alat yang bernama Nephelometer atau bisa juga disebut Turbidimeter. Instrumen tersebut dapat menentukan seberapa banyak hamburan dari partikel yang terlarut di dalam perairan tersebut. Instrumen tersebut biasanya di lengkapi oleh photocell yang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki sudut 90 derajat terhadap objek yang akan disorot untuk mendapatkan hasil dari hamburan objek tersebut (Michaud, 1991).
14
3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan tanggal 23 Maret 2012 yang berlokasi di perairan Teluk Ambon Bagian Dalam (TAD), Pulau Ambon, Propinsi Maluku. Perairan ini memiliki kedalaman berkisar antara 3 – 30 m dan diduga memiliki struktur komunitas organisme plankton yang berbeda-beda pada beberapa strata kedalaman. Pengambilan data pada satu titik pencuplikan dan perekaman yang menjadi fokus kajian pada penelitian ini. Gambar 3 menunjukkan peta lokasi penelitian.
Gambar 3 Lokasi penelitian Pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB Bogor. Pengolahan data Osenaografi dan plankton di lakukan di Unit Pelaksana
16 Teknis Balai Konservasi Biota Laut Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia di Ambon. Perangkat dan peralatan penelitian Instrumen BIOSONIC DT-X scientific echosounder system Pengambilan data akustik menggunakan perangkat BIOSONIC DT-X scientific echosounder system. Transducer split beam dioperasikan dengan menggunakan frekuensi 200 kHz, transmitted power dapat dipilih pengguna pada rentang 100-1000 watt, kecepatan suara sebesar 1546,35 m/dtk dan dengan nilai transmitted pulse length 0,1 – 1,0 mdtk (dapat dipilih pengguna). Selain itu, digunakan laptop untuk merekam data secara real time dan juga GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan bujur (longitude). Spesifikasi BIOSONIC DT-X dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Spesifikasi BIOSONIC DT-X Series scientific echosounder system Spesifikasi Operating frequency Transmission power Maximum ping rate Data collection range Noise Floor Pulse duration Pulse Repetition Rates Echo level threshold Transducer Sidelobes Transmit power Receiver instantenous dynamic range Sumber: Biosonic Guide, 2006
Operation setting 206 kHz 1,000 Wrms, standard dan 100 Wrms, low power 30 pps (depending on operational mode, range, and target threshold) 0 to 1000 m -140 dB 0.1 – 1.0 ms, user selectable 0.01 - 30 pulses/second User Selectable To -35 dB 1000 Wrms (stand) & 100 Wrms (power rendah) 160 dB
Kapal Survei pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan setempat. Penempatan komponen BIOSONIC DT-X Sistem (Laptop dan GPT) harus berada pada tempat yang aman dan mudah dioperasikan. Penempatan posisi transducer harus masuk ke dalam air, sehingga transducer diletakkan di sisi luar kapal tepatnya pada bagian kiri kapal dengan kedalaman transducer 0,5 m. Transducer diletakkan di sebelah kiri karena perputaran baling-baling kapal berlawanan dengan arah jarum jam. Hal ini dilakukan karena noise yang ditimbulkan oleh baling-baling lebih besar pada satu sisi kapal daripada sisi yang lain. Dalam hal ini, sisi kanan kapal memiliki noise yang besar karena baling-baling kapal berputar ke arah kiri. Namun pada saat pengambilan data akustik, lokasi pengambilan data hanya difokuskan pada posisi yang stasioner sehingga mesin kapal dimatikan untuk mengurangi noise yang mungkin saja ditimbulkan oleh baling-baling kapal.
17 Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik plankton Alat dan bahan Split beam echosounder Notebook/Laptop
Jenis BIOSONIC DT-X Hp Compac
Van dorn water sampler Botol Plastik Pipet Tetes
Volume 2,5 liter Volume 250 ml Kaca
Mikroskop Binokuler
Nikon SMZ 645 (Zooplankton) Nikon Eclipse 50i (Fitoplankton)
Sedwick counting cell Talam bolgorof Gelas Ukur
Kaca
Formalin 4%
Pengenceran
Conductivity, Temperatur Depth Kapal/Wahana Apung
Motor Tempel
Kegunaan Pengambilan data akustik Pemrosesan dan penyimpanan data akustik Pengambilan contoh Plankton Penyimpan contoh plankton Memasukan pengawet plankton di lapangan Membantu proses identifikasi plankton
Mengamati fitoplankton Mengamati zooplankton Digunakan untuk menghomogenkan larutan plankton Bahan pengawet sampel plankton Untuk pengambilan parameter Fisik perairan Wahana apung dan tempat pemasangan alat survei akustik
Alat pengambilan contoh plankton Pengambilan contoh plankton dilakukan pada tiap stasiun pengamatan yang memiliki data akustik. Proses pengambilan sampel plankton menggunakan botol van dorn bervolume 5 liter dan menggunakan saringan dengan ukuran mesh size sebesar 300 μm untuk menyaring contoh plankton, botol plastik volume untuk menempatkan contoh plankton, pipet tetes, mikroskop untuk identifikasi jenis plankton serta buku pedoman identifikasi. Pengambilan data akustik Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan instrumen split beam echosounder BIOSONIC DT-X, dimana prinsip kerja instrumen ini adalah pemancaran gelombang suara melalui transmitting transducer secara vertikal ke kolom dan dasar perairan. Gelombang suara yang dikirim ke kolom perairan akan dipantulkan lagi dan diterima oleh receiver transducer. Instrumen ini dilengkapi dengan frekuensi 206 kHz. Instrumen split beam echosounder Biosonic DT-X dioperasikan pada stasiun pengamatan (stasioner). Kondisi kapal dalam keadaan diam dan tetap pada posisi yang telah ditentukan sehingga proses perekaman data diharapakan berasal dari kolom perairan. Perekaman dilakukan selama 1 x 24 jam. Selama perekaman
18 dilakukan pula pengambilan contoh dan parameter fisik perairan secara insitu. Diagram alir pengambilan data akustik dapat dilihat pada Gambar 4.
GPS
Laptop Biosonic DTX
GPT
Transducer
Plankton/ikan Sea bed
Gambar 4 Diagram alir pengambilan data akustik Pengambilan Contoh dan Identifikasi Plankton Pengambilan contoh plankton dilakukan pada 1 (satu) titik pengamatan secara verikal. Contoh plankton diambil dengan menggunakan plankton net selama 1 x 24 jam dengan selang waktu 3 jam. Botol Van Dorn ditarik perlahan-lahan secara vertikal ke permukaan perairan dengan pencuplikan untuk stratifikasi kedalaman 5 meter disesuaikan dengan kedalaman lokasi penelitian. Pekerjaan ini diulang 2 kali. Contoh plankton kemudian di saring dengan saringan bermata jaring 0,11 mikron untuk fitoplankton dan 0,33 mili mikron untuk zooplankton. Contoh plankton yang tersaring kemudian dimasukkan ke dalam botol contoh dan diawetkan dengan menambahkan beberapa tetes larutan formalin 4%. Plankton yang telah diawetkan dianalisis di bawah mikroskop binokuler yang meliputi identifikasi, kepadatan dan komposisi plankton yang dinyatakan dalam satuan ind/m3 untuk zooplankton dan sel/m3 untuk fitoplankton. Identifikasi genus plankton dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi Yamaji (1976), Hutabarat, Evans (1988) dan Tomas (1997). Selama pengambilan sampel plankton juga dilakukan pengambilan parameter perairan lainnya seperti temperatur, salinitas, densitas, dan konduktivitas dengan menggunakan instrumen CTD. Dilakukan pula pencatatan waktu pengambilan sampel plankton dan parameter fisik-kimia perairan.
19 Analisis data Analisis Plankton Kelimpahan Plankton Kelimpahan plankton dinyatakan dalam individu/m3 untuk zooplankton dan sel/m3 untuk fitoplankton. Rumus yang digunakan dalam penghitungan kelimpahan zooplankton adalah sebagai berikut (Wickstead, 1965): (1) D = jumlah individu plankton per satuan volume (ind/m3) q = jumlah individu dalam subsampel (ml) f = fraksi yang diambil (vol. subsampel per vol. sampel) (ml) v = volume air tersaring (liter) Sedangkan untuk fitoplankton yaitu : dimana:
.. dimana :
N n Vt Vsrc Asrc Ap Va
= = = = = = =
(2)
Jumlah Kepadatan Fitoplankton (sel/m3) Jumlah Fitoplankton dalam subcontoh yang dicacah (sel) Volume Botol sampel (ml). Volume subcontoh cuplikan (ml) Luas penutup sedgwich rafter sel (mm2) Luas suatu lapang pandang sedgwich rafter sel (mm2) Volume air (ml)
Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Keanakaragaman, keseragaman dan dominansi dapat ditentukan berdasarkan besarnya nilai indeks yang ada. Indeks keanakaragaman, keseragaman dan dominansi dihitung dengan menggunakan persamaan Shannon - Weanner. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’) ∑ Pi = ni/N dimana: H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner ni = jumlah individu ke-i N = jumlah individu total n = jumlah taksa Pi = proporsi individu ke-i Kriteria keanekaragaman yang digunakan: 0 < H’ < 2,3026 = keanekaragaman rendah 2,3026 ≤ H’ ≤ 6,9078 = keanekaragaman sedang H’ > 6,9078 = keanekaragaman tinggi
1.
2.
(3)
Indeks keseragaman (4)
20 H’maks = ln S E = indeks keseragaman S = jumlah taksa Kriteria yang digunakan: E < 0,4 : keseragaman kecil 0,4 ≤ E ≤ 0,6 : keseragaman sedang E > 0,6 : keseragaman tinggi dimana :
3.
Indeks dominansi ∑ ( ) (5) D = indeks dominansi dimana: Pi = proporsi jumlah ke-i terhadap jumlah total n = jumlah taksa Nilainya berkisar antara 0 - 1, semakin besar indeks dominansinya maka semakin besar kecenderungan salah satu spesies mendominasi suatu populasi. Kriteria yang digunakan: D < 0,4 : dominansi rendah 0,4 ≤ D ≤ 0,6 : dominansi sedang D > 0,6 : dominansi tinggi 4.
Pola Dispersi atau Penyebaran Plankton Pola dispersi plankton dapat ditentukan dengan menghitung Indeks Dispersi Morisita (Brower et al, 1990) dengan menggunakan persamaan : ∑ (
)
(6)
Iδ = Indeks Dispersi Morisita n = jumlah unit pengambilan contoh N = Jumlah seluruh individu setiap organisme Xi = Jumlah kuadrat seluruh individu dalam suatu stasiun Pola dispersi plankton ditentukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut (Brower et,al. 1990) : Iδ < 1 : pola dispersi seragam; Iδ = 1 : pola dispersi acak dan Iδ > 1 : pola dispersi mengelompok Untuk menguji kebenaran nilai di atas, digunakan uji statistik Chi-kuadrat sebagai berikut: dimana :
(
∑
)
(7)
Nilai Chi-kuadrat yang didapatkan dibandingkan dengan nilai Chi-kuadrat tabel dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (a = 0,05). Jika 2 hitung kurang dari 2 tabel berarti tidak ada perbedaan yang nyata dengan acak. Analisis data akustik Data akustik yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data akustik plankton. Perekaman data dilakukan menggunakan instrumen akustik bim terbagi (Biosonic DT-X) pada tanggal 23 Maret 2012 di teluk Ambon Bagian Dalam dengan posisi 128o12’792”- 128o12’792” BT dan 3o38’795”- 3o38’874” LS. Perekaman dilakukan secara terus menerus selama 24 jam dengan memperhatikan kondisi perairan setempat.
21 Deskripsi hubungan Nilai dan sebaran menegak volume backscattering ratarata plankton yang diperoleh data echogram bersih dari noise yang muncul saat pengambilan contoh plankton dan pengoperasian conductivity, temperature depth (CTD) digunakan. Data ini kemudian diekstrak menggunakan perangkat lunak Visual Analyzer 4 Biosonic dalam bentuk ASCII ke Ms Excel sheet untuk diolah lebih lanjut. Data deskriptor akustik didapatkan melalui data digital yang diperoleh di lapangan yang masih dalam format data asli bawaan Sistem Biosonic DT-X yaitu DT4 tiap file yang langsung dikirim ke unit komputer khusus untuk dikompres menjadi format data threshold (DT). Kemudian mengunakan software echoview versi 3.4, data tersebut kita analisis untuk mendapatkan nilai parameter akustik dari target maupun lingkungan. Penapisan (filtering) pada proses selanjutnya menggunakan threshold (80,53) – (-56,44) dB (Hestirianoto, 2001). Tampilan echogram data penapisan ini selanjutnya di digitasi langsung pada layar komputer menurut kumpulan data yang nampak sehingga membentuk poligon-poligon data yang merupakan hasil integrasi kedalaman dan ping. Kemudian poligon data tersebut diekstrak menggunakan dongle versi 4.8 untuk mendapatkan nilai deksriptornya dan di ekspor ke microsoft excel untuk diolah lanjut menggunakan SPSS versi 21. Data yang dihasilkan dari pemrosesan data berupa matriks data akustik (MDA) yang terdiri dari matriks data analisis variabel kelompok (schools analysis variables) echogram yang didigitasi pada program echoview 4.3. Data yang diperoleh kemudian diekstraksi menggunakan metode Region Analysis untuk menghasilkan parameter deskriptor akustik untuk setiap pola mengelompok (schooling). Selanjutnya setiap file memuat MDA dianalisis dengan menggunakan deskriptor akustik yang dikembangkan untuk identifikasi yang dirujuk dari Charef et al. (2010) seperti tertera pada Tabel 3. Hasil keluaran dari ekstraksi echoview dipilih sebagai parameter deskriptor yang dianggap layak untuk diuji lanjut dari hasil ektraksi menggunakan dongle echoview. Ilustrasi untuk menggambarkan skema deskriptor akustik digambarkan dalam Gambar 5.
Gambar 5 Ilustrasi Skema Pengukuran Deskriptor Akustik di Teluk Ambon Dalam
22 Tabel 3 Deksriptor akustik menurut Charef et al. (2010) yang telah dimodifikasi Deskriptor akustik Energetik Rata-Rata energi akustik (dB)
Formula Hitungan *∑ + atau Dimana :
Skewness (
Kurtosis
)
∑(
dimana
[(
) )(
)]
jika n=3; 0 jika n<3
Ei = Energi akustik sampel ke-i, En = Energi akustik sampel ke-n, ESD = Standar deviasi energi akustik ( ) ∑( ( )( )( )
Sa (dB)
) (
( (
) )(
)
)
Sa = area backscattering strength = equivalent beam angle (steradians) R = range (m)
Morfometrik
(
Tinggi (m)
) (
)
c = Kecepatan suara di air (m/s), γ = panjang pulsa (ms)
Bathymetrik Kedalaman (m)
∑ ; Di = Kedalaman pada sampel i , n = Σ sampel
Ketinggian Relatif (m)
(
)
Analisis Hubungan antara Variabel Menganalisis hubungan antara berbagai variable dalam penelitian ini digunakan analisis korelasi Pearson dan Analisis Regresi Berganda menurut Walpole, 1992. Analisis Nilai Deskriptor Akustik Analisis data statistik digunakan untuk mencari keeratan hubungan antar parameter deskriptor akustik dengan Analisis Faktor, mengelompokkan sampel plankton dengan nilai deskriptor akustik berdasarkan ukuran kemiripan (simmilarity) atau ketakmiripan (dissimilarity) dengan Analisis gerombol (Clusterring Analysis), dan Analisis Diskriminan (Discriminant Factor Analysis) unuk mengelompokkan individu ke dalam suatu obyek kelas berdasarkan sekumpulan peubah-peubah bebas (Fauziyah, 2005).
4 FAKTOR BIOLOGI DAN LINGKUNGAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) terletak pada 128o 07’ 42” – 128o 16’ 04” BT dan 03o 39’ 47” LS – 03o 45’ 50” dengan luas 12.3 km2 merupakan perairan semi tertutup (semi-enclosed bay). Perairan ini masih berhubungan dengan perairan Teluk Ambon Luar (TAL) melalui ambang (sill) berkedalaman 12,8 m. Keberadaan ambang pemisah tersebut menjadi penghubung keluar masuk air antara TAD dan TAL. Lebar ambang pemisah antara TAD dan TAL yaitu 74,5 m. Garis pantai TAD sepanjang 14,03 km dengan bentuk morfologi mengalami perubahan karena sedimentasi dan abrasi (Tarigan dan Sapulette, 1987). Kawasan daratan pesisir perairan TAD dimanfaatkan sebagai hutan bakau (mangrove), pemukiman dan pelabuhan (pelabuhan pangkalan TNI Angkatan Laut RI, POLAIRUD, LIPI, kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, serta pelabuhan perikanan). Kawasan perairan TAD telah dimanfaatkan untuk : (1) perikanan tangkap dan budidaya, (2) jalur transportasi air (lalulintas air), (3) pembangunan, (4) dan menampung, menerima berbagai beban masukan dari darat dari daerah hulu sungai dan sekitarnya. Kegiatan tersebut mencerminkan bahwa kawasan pembangunan perairan TAD merupakan kawasan pembangunan antar sektoral. Penelitian ini dilakukan pada posisi 128o12’792”- 128o12’792” BT dan 3o38’795”- 3o38’874 LS yang juga merupakan area pengambilan data kualitas air UPT Balai Konservasi Biota Laut LIPI di Ambon. Titik sampling yang luas dan sering bergeser diduga disebabkan oleh karakter arus di Teluk Ambon Dalam. Arus di perairan TAD berkarakter arus pasang surut yang secara tidak langsung dari rambatan arus Laut Banda. Arus nonpasut terdapat ditepi luar ambang Galala-Poka dan diperairan Teluk Dalam yang mengarah ke Selatan dengan kekuatan masing-masing 11,02 cm/det dan 3,58 cm/det. Selama periode surut arah arus cenderung ke luar teluk (Barat daya) dengan kecepatan berkisar dari 1 – 20 cm/detik. Pada kedalaman 15 meter kecepatan arus melemah pada seluruh daerah yakni 1 – 10 cm/detik. Saat periode pasang kecepatan arus di lapisan permukaan berkisar antara 1 – 10 cm/detik dengan variasi arah Baratdaya – Tenggara. Pada kedalaman 15 meter kecepatan arus pada beberapa lokasi terdeteksi antara 11 – 20 cm/detik sekitar Waiheru dan Lateri yang mengarah ke Timur – Tenggara (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2003).Kecepatan arus maksimum pada waktu pasang di TAD adalah 13,6 cm/det, dan surut adalah 12,4 cm/det. Kecepatan arus di daerah ambang pada waktu pasang lebih besar 0,5 m/det, dan pada waktu surut lebih kecil 0,5 cm/det (Selanno, 2009).
Batimetri Kedalaman perairan TAD di zone ambang sekitar 12,8 meter dengan lebar antar alur kedalaman 10 m pada dua sisi semenanjung sekitar 74,5 meter. Kedalaman maksimum TAD mencapai 41 m pada posisi 128°12´4,03"BT dan 03°39'29,63"LS, berjarak kurang lebih 444 meter dari dermaga Ferry Galala. Lebar dan kedalaman ambang yang demikian, diduga akibat sedimentasi, sehingga
24 penyempitan dan pendangkalan ambang terus terjadi. Dinamika penggunaan lahan daratan pesisir untuk tujuan pengembangan telah berdampak pada sedimentasi. Hasil pengukuran pada lokasi penelitian mendapatkan kedalaman perairan antara 25,17 – 27,00 meter dengan kedalaman rata-rata 25,93 meter. Perubahan kedalaman lokasi selama penelitian disebabkan karena pasang surut.
Temperatur Temperatur merupakan parameter fisik yang berperan dalam mengendalikan kondisi ekologis perairan. Perubahan temperatur biasanya dapat mempengarui proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi dalam kolom air. Secara biologi, setiap organisme air memiliki kisaran toleransi Temperatur tertentu bagi kebutuhan hidup masing-masing, misalnya untuk pertumbuhan. Selain itu peningkatan temperatur juga akan mempengaruhi aktivitas metabolisma, respirasi, reaksi kimia dan lain-lain. Dalam dunia akustik perikanan temperatur sangat berperan dalam menentukan kecepatan suara dalam air. Oleh karena itu representasi nilai temperatur suatu perairan menjadi penting untuk dikaji sebagai informasi data penelitian. Gambar 6 menunjukan profil menegak sebaran temperatur di lokasi penelitian pada kisaran 28,84 – 30,10 oC. Sepanjang hari pengamatan didapati temperatur ratarata 29,43 oC dimana pada siang hari sebesar 29,37 oC dan malam hari sebesar 29,48 oC. Bertambahnya kedalaman perairan terjadi juga disparitas temperatur ratarata yang besar dari permukaan hingga dasar perairan yaitu sebesar 0,76 oC.
Gambar 6 Profil menegak temperatur perairan lokasi penelitian Hasil penelitian LIPI-Ambon tahun 1974-1975, mendapatkan kisaran temperatur di perairan teluk Ambon adalah antara 26,26-30,74oC. Tarigan dan Sapulette (1987), menemukan bahwa temperatur terendah pada lapisan permukaan maupun dekat dasar dijumpai dalam bulan Juli (musim timur) berkisar antara 24,63-29,24oC dan Temperatur tertinggi pada bulan Desember (musim barat berkisar antara 27,63-29,24oC. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa variasi Temperatur yang terjadi di perairan TAD cukup kecil dan gejala tersebut berlangsung sepanjang
25 tahun karena berkaitan erat dengan kondisi curah hujan musiman di wilayah ini. Hasil penelitian Pemkot Ambon dan Unpatti (2002) menunjukkan bahwa dinamika temperatur terbesar terjadi pada strata kedalaman 20-30 m di seluruh perairan teluk. Hal ini menggambarkan bahwa pada kedalaman tersebut selalu terjadi pergantian massa dengan karakteristik yang berbeda selama siklus pasang surut dalam musim tersebut. Kisaran temperatur untuk organisme laut seperti karang yaitu 20-30oC, mangrove yaitu 28-32oC dan lamun yaitu 28-30oC (Kepmen LH. No.51.2004). Hasil penelitian masih berada dalam kisaran yang ditolelir oleh organisme laut. Berdasarkan para ahli kisaran nilai ini menunjukkan karakteristik perairan teluk yang semi tertutup, dimana pengaruh sungai sangat dominan. Secara keseluruhan nilai temperatur suatu perairan dipengaruhi oleh curah hujan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin dan temperatur udara.
Salinitas Salinitas air laut dikontrol oleh variasi lokal dari laju transportasi melalui siklus hidrologis. Oleh karena itu salinitas merupakan variabel di daerah pantai yang dipengaruhi oleh sungai dan runoff air tanah. Salinitas air laut permukaan bervariasi menurut lintang sebagai hasil pertukaran laju relatif air yang hilang melalui evaporasi dan air yang tersedia melalui presipitasi. Kisaran salinitas perairan teluk Ambon bagian dalam, hasil penelitian P3O LIPI Ambon tahun 1974-1975, dilaporkan berkisar antara 29,24 – 33,59 PSU. Sedangkan hasil penelitian lainnya, didapatkan kisaran salinitas antara 27,00 – 32,00 PSU (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2002).
Gambar 7 Profil menegak kondisi salinitas menegak lokasi penelitian Variasi salinitas dapat secara temporal maupun spasial, berubah sepanjang waktu berdasarkan perubahan keadaan lautan, penutupan awan, dan jarak dari matahari. Hasil penelitian ini memperoleh nilai salinitas dari rata-rata tiap pengukuran berkisar antara 33,53–33,62 PSU, dimana salinitas permukaan air laut sebesar 31,76-32,67 PSU dan dasar perairan sebesar 33,80-33,89 PSU
26 Salinitas terendah pada 32,29 PSU dan tertinggi pada 33,89. Gambaran menegak salinitas pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Selanno, 2009 mengatakan bahwa variasi temporal salinitas dipengaruhi oleh curah hujan serta run off sungai-sungai yang bermuara ke teluk Ambon. Hubungan antara temperatur dan salintias di suatu perairan dapat dijelaskan dengan diagram T-S (Gambar 8).
Gambar 8 Diagram T-S di lokasi penelitian
Gambar 9 Diagram T-S Perairan Laut Banda Sekitar Pulau Ambon (Sumber : World Ocean Data, 2005) Berdasarkan gambar diagram T-S dapat diketahui kondisi massa air di lokasi penelitian dimana massa air yang dingin dengan salinitas yang tinggi cenderung berada pada lapisan yang dalam (> 20 meter), sedangkan massa air yang hangat dengan densitas yang rendah cenderung di lapisan permukaan (0 – 10 meter). Hal ini terjadi karena sifat dari massa air yang hangat berdensitas rendah cenderung ringan dan mengapung di permukaan dibandingkan dengan campuran massa air yang dingin bersalinitas tinggi yang cenderung tenggelam. Kondisi ini juga terjadi karena teluk ambon adalah tipe teluk yang semi tertutup, dimana masih ada pengaruh dari perairan disekitarnya yaitu laut Banda.
27 Hubungan ini terlihat pada Gambar 9 yang menjelaskan bahwa antara massa air di teluk Ambon Dalam dengan massa air yang berasal dari laut Banda memiliki hubungan yakni massa air keduanya memiliki pola kesamaan temperatur dan salinitas. Diduga faktor lain yang mempengaruhi kondisi temperatur dan salinitas di lokasi penelitian adalah kondisi musim saat pengambilan data yang berada pada musim peralihan I (hujan ke kemarau) dimana pada saat ini bertiup angin barat yang mengangkut massa air permukaan di laut Banda hingga terdorong jauh masuk hingga ke Teluk Ambon Dalam dan kondisi curah hujan sedang tinggi di lokasi penelitian. Densitas Densitas merupakan salah satu parameter terpenting dalam mempelajari dinamika laut. Perbedaan densitas yang kecil secara horisontal (misalnya akibat perbedaan pemanasan di permukaan) dapat menghasilkan arus laut yang sangat kuat. Densitas air laut bergantung pada temperatur (T), salinitas (S) dan tekanan (p). Kebergantungan ini dikenal sebagai persamaan keadaan air laut (Equation of State of Sea Water) yaitu = (T; S; p) Densitas bertambah dengan bertambahnya salinitas dan berkurangnya temperatur. Densitas air laut terletak pada kisaran 1.025 kg m-3 sedangkan pada air tawar 1.000 kg m-3. Dalam kegiatan pemeruman, salinitas dan temperatur yang diperoleh dari pengukuran pada interval kedalaman tertentu sangat berguna untuk menentukan cepat rambat gelombang akustik dan menentukan pembelokan arah perambatan gelombang akustik (refraksi). Pada penelitian ini didapati densitas berada pada 1.019,79 - 1.021,39 kg m-3 (Gambar 10).
Gambar 10 Profil menegak densitas perairan di lokasi penelitian. Kekeruhan Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air. Kekeruhan juga dapat disebabkan oleh bahan organik dan
28 anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003).. Selanjutnya dikatakan bahwa warna air umumnya disebabkan oleh senyawasenyawa organisme nabati seperti tanin, asam humus, gambut, plankton dan tanaman air. Kekeruhan air umumnya memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan kecerahan air. Kekeruhan merupakan sifat optik dari suatu larutan yaitu hamburan dan absorbsi cahaya yang melaluinya dan tidak dapat dihubungkan secara langsung antara kekeruhan dengan kadar semua zat suspensi karena bergantung juga kepada ukuran dan bentuk butir (Alaerts dan Santika, 1987). Boyd (1979) menyatakan kekeruhan dapat disebabkan oleh suspensi partikel, yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi organisme perairan. Kekeruhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan organisme yang menyesuaikan diri pada air yang jernih menjadi terhambat dan dapat pula menyebabkan kematian karena mengganggu pernafasan (Michael, 1994). Pada penelitian ini didapati kekeruhan rata-rata perairan tiap pengamatan sebesar 0,949 – 0,957 NTU dengan nilai tertinggi pada 1,005 dan terendah pada 0,921 NTU (Gambar 11).
Gambar 11 Profil menegak kekeruhan perairan di lokasi penelitian. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik termasuk zooplankton, sehingga dapat mempengaruhi perkembangbiakan plankton larva dan dapat mengakibatkan kematian (Effendi, 1997). Menurut Baka (1996) bahwa kekeruhan perairan yang kurang dari 5 NTU tergolong perairan yang jernih. Distribusi Vertikal Komunitas Plankton Komposisi Plankton Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa komposisi komunitas fitoplankton ditemukan pada lokasi penelitian sebanyak 26 genus, terdiri dari 6 kelas yang
29 digolongkan dalam kelas Bacillariophyceae (4 genus), Ciliatea (2 genus), Coscinodiscophyceae (10 genus), Cyanophyceae (1 genus), Dynophyceae (6 genus), dan Fragilariophyceae (3 genus). Gambar 13 memperlihatkan komposisi jenis fitoplankton berdasarkan waktu pencuplikan di lokasi penelitian dimana genus Chaetoceros sp dari kelas Coscinodiscophyceae dan Trichodesmium sp dari kelas Cyanophyceae dominan ditemukan pada waktu dan kedalaman pengambilan sampel. Fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae, Coscinodiscophyceae, dan Fragilariophyceae (Diatom) merupakan kelas yang paling banyak ditemukan sebesar 92% (Gambar 12). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (1987) bahwa umumnya fitoplankton yang terdapat di perairan laut adalah dari jenis diatom (Bacillariophyceae, Fragilariophyceae dan Coscinodiscophyceae), diikuti dengan dinoflagellata (Dinophyceae) dan alga biru (Cyanophyceae).
Gambar 12 Komposisi kelas fitoplankton yang ditemukan pada waktu penelitian Berdasarkan kelimpahan, komposisi fitoplankton yang tertinggi ada pada kelas Coscinodiscophyceae. Fitoplankton yang umum terdapat di laut biasanya berukuran besar dan terdiri dari dua kelompok yang mendominasi, yaitu diatom (kelas Bacillariophyceae, Fragilariophyceae dan Coscinodiscophyceae) dan dinoflagelata (Kennish 1990; Skaloud and Rezacova 2004). Didapati bahwa ada 6 spesies fitoplankton yang selalu ditemukan dalam 9 kali pengambilan sampel yaitu Chaetoceros sp, Rhizosolenia sp, Thalasiothrix sp, Thalassionema sp, Ceratium sp dan Trichodesmium sp. Komposisi jenis tertinggi ditemukan pada saat pengambilan jam 13.12-13.33 WIT dan 19.13-19.24 WIT sebanyak 16 genus (Gambar 13). Chaetoceros sp dan Trichodesmium sp merupakan jenis yang paling dominan dari semua jenis fitoplankton yang ditemukan. Hal ini diduga terjadi karena fitoplankton dari kelas ini mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya dibandingkan dengan genus dari kelas yang lainnya (Nybakken 2005). Sedangkan berdasarkan kedalaman pencuplikan ditemukan 5 genus dominan yang muncul yaitu Bacteriastrum sp, Chaetoceros sp, Rhizosolenia sp, Ceratium sp dan Trichodesmium sp. Genus Chaetoceros sp dan Bacteriastrum sp merupakan jenis yang banyak ditemukan pada semua strata kedalaman (Gambar 14). Komposisi jenis yang paling tinggi ditemukan pada kedalaman 5 meter sebanyak 21 genus dan menyusut seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan.
Gambar 13. Komposisi Genus Fitoplankton yang ditemukan pada waktu penelitian
30
Gambar 14. Komposisi Genus Fitoplankton berdasarkan kedalaman
31
32 Jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang selalu ditemukan di semua waktu dan strata kedalaman pengamatan dalam jumlah yang melimpah ialah Chaetoceros sp. Hal ini berkaitan dengan bentuk tubuh Chaetoceros sp. yang membentuk rantai atau kumpulan sel serta mempunyai chaeta sehingga memiliki laju penenggelaman yang rendah serta kurang disukai oleh pemangsa herbivora. Nontji (2007) menyatakan bahwa beberapa jenis Diatom yang banyak ditemukan di perairan laut adalah Chaetoceros, Bacteriastrum, Rhizosolenia, dan Biddulphia. Jenis Dinoflagellata yang ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis dari Dinoflagellata lainnya ialah Ceratium sp. Hal ini diduga karena jenis ini mempunyai metode pengapungan dari tiga buah tanduk panjang yang dianggap dapat meningkatkan gesekan air seperti halnya pada diatom yang memiliki rambut dan duri. Jenis fitoplankton dari kelas Cyanophyceae yang ditemukan di setiap waktu dan strata kedalaman pengambilan, yaitu dari genus Trichodesmium sp. dengan kelimpahan yang cukup tinggi. Menurut Madhav and Kondalarao (2004), salah satu jenis fitoplankton yang dapat hidup di perairan miskin nutrien adalah Trichodesmium. Alga ini berupa filamen dengan ukuran 0,001 mm yang tersebar luas dan cukup banyak, serta diduga merupakan makanan zooplankton kecil. Trichodesmium sp merupakan spesies umum yang dijumpai di Laut Banda dan sekitarnya (Sediadi, 2004). Selanjutnya hasil identifikasi sampel zooplankton, diperoleh komposisi jenis zooplankton di perairan teluk Ambon Bagian Dalam sebanyak 41 jenis yang terdiri dari 6 filum, yaitu filum Arthropoda, Chaetognatha, Cnidaria, Echinodermata, Mollusca dan Annelida. 41 spesies zooplankton ini digolongkan pula dalam kelompok holoplankton (30 genus) dan meroplankton (11 genus) yang terbagi dalam 14 kelas yaitu Maxillopoda (18 genus), Branchiopoda (1 genus), Ostracoda (2 genus), Malacostraca (8 genus), Sagittoidea (2 genus), Thaliacea (1 genus), Appendicularia/larvacea (1 genus), Diplopoda (1 genus), Hydrozoa (1 genus), Gastropoda (1 genus), Cephalopoda (1 genus), Bivalvia (1 genus), Polychaeta (1 genus) dan Actinopterygii (1 genus). Lebih lanjut diketahui bahwa kopepoda merupakan bagian terbesar dari komposisi zooplankton yang ditemukan yaitu 17 genus digolongkan dalam copepoda (57, 72%), meroplankton (34,65%). Urochordata (3,97 %), Ostracoda (2,06%) dan jenis yang lain (1,58 %). Gambar 15. menunjukan kehadiran komunitas zooplankton menurut waktu pengambilan ditemukan 13 jenis zooplankton sepanjang waktu pengambilan sampel dalam jumlah yang signifikan yaitu Centropages sp (2,45%), Acrocalanus sp (14,90%), Eucalanus sp (9,79%), Oncaea sp (2,05%), Oithona sp (21,60%), Macrosetella sp (5,33%), Euchonchaecia sp (2,00%), Larvacea sp (3,43%), Larva Peneidae (12,96%), Larva Gastropoda (2,61%), Larva Echinodermata (3,29%), Larva Bivalvia (12,52%) dan Larva Annelida (2,23%). Secara umum didapati pula bahwa jumlah individu yang hadir setiap waktu pengamatan dengan jumlah yang tidak berbeda.
33
Gambar 15 Komposisi zooplankton yang ditemukan berdasarkan waktu penelitian Berdasarkan strata kedalaman perairan, ditemukan 12 spesies zooplankton yang selalu hadir pada semua strata kedalaman yaitu Centropages sp, Acrocalanus sp, Eucalanus sp, Oithona sp, Macrosetella sp, Euchonchaecia sp, Larvacea sp, Larva Peneidae, Larva Gastropoda, Larva Echinodermata, Larva Bivalvia dan Larva Annelida (Gambar 16). Kehadiran jenis-jenis zooplankton ini hingga kedalaman 20 meter diduga karena pergerakan arus dan pergantian massa air yang terjadi dalam Teluk Ambon.
Gambar 16 Komposisi zooplankton yang ditemukan berdasarkan kedalaman
34 Didapati pula pada kedalaman 5 dan 10 meter ditemukan jumlah individu zooplankton yang besar dengan jumlah jenis yang besar yaitu 29 – 30 jenis. Keadaan ini diduga karena pada lapisan kedalaman ini tersedia fitoplankton dalam jumlah yang besar sebagai makanan zooplankton. Kondisi ini berubah seiring dengan bertambahnya kedalaman, didapati jumlah individu yang semakin menyusut. Di laut terbuka banyak zooplankton yang dapat melakukan gerakan naik turun secara berkala atau dikenal dengan migrasi vertikal. Pada malam hari zooplankton naik ke atas menuju permukaan sedangkan pada siang hari turun ke lapisan bawah (Nontji 1987). Gerakan naik turun ini dapat menyebabkan perbedaan kelimpahan dan komposisi zooplankton antara lapisan dasar dan permukaan dari suatu perairan. Gambar 17 menunjukan bahwa struktur utama penyusun komunitas zooplankton. Pengamatan terhadap struktur penyusun komunitas zooplankton di lokasi penelitan menemukan copepoda (57,72%) merupakan komponen terbesar yang membentuk komunitas ini. Kennish (1990) dan Nybakken (1992) menyatakan bahwa kelompok holoplankton yang dominan di estuari adalah crustasea dimana copepoda merupakan hewan herbivor yang umumnya mendominasi perairan, Kemudian Cladosera, Ostracoda, Sergestidae, Hyperia, Chaetognatha, Urochordata, Siphonophora, Medusa, dan Meroplankton (larva organisme laut).
Gambar 17 Persentase kelompok dominan penyusun komunitas zooplankton. Kelimpahan plankton Nilai kelimpahan fitoplankton dapat digunakan untuk melihat kesuburan dari suatu perairan. Kelimpahan total komunitas fitoplankton di lokasi penelitian ini sebesar 3.041.933.333 sel/m3. Hasil perhitungan didapati kelimpahan fitoplankton menurut waktu pencuplikan tertinggi pada jam 16.12-16.34 WIT sebesar 458.333.333 sel/m3, sedang menurut kedalaman kelimpahan tertinggi ditemukan pada kedalaman 5 meter sebesar 1.072.933.333 sel/m3. Chaetoceros sp dan Trichodesmium sp merupakan jenis yang paling tinggi kelimpahannya pada semua waktu dan kedalaman pencuplikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Haumahu (2004), distribusi dan sebaran fitoplankton tidak merata di setiap perairan karena dipengaruhi oleh faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti angin, arus, dan kandungan nutrien. Pada komunitas zooplankton, kelimpahan total sebesar 928.320 ind/m3. Komunitas zooplankton ditemukan melimpah pada jam 01.13-01.34 WIT (malam hari) sebesar 135.264 928.320 ind/m3, sedangkan menurut kedalaman komunitas ini melimpah pada kedalaman 5 meter sebesar 244.992 ind/m3. Acrocalanus sp, Oithona
35 sp, Larva Peneidae, dan Larva Bivalvia merupakan populasi yang paling tinggi kelimpahannya pada waktu dan kedalaman penelitian. Melimpahnya zooplankton pada waktu dan kedalaman ini diduga berhubungan dengan melimpahnya komunitas fitoplankton pada perairan ini. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman, indeks keanekaragaman dan indeks dominansi fitoplankton selama pengamatan menurut waktu, disajikan dalam Tabel 4. sebagai berikut : Tabel 4 Nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (D) fitoplankton selama pengamatan. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu Pengamatan 10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25 Kisaran Rata-rata
Indeks Ekologi Keanekaragaman (H') 0,7509 0,5533 0,8074 0,7170 0,5837 0,6826 0,9192 0,6680 0,6183 0,5533-0,9192
Keseragaman (E) 0,3022 0,1996 0,2981 0,2586 0,2155 0,2521 0,2822 0,2688 0,2488 0,1996-0,3022
Dominansi (D) 0,5802 0,7446 0,6100 0,6696 0,7509 0,6838 0,6834 0,7046 0,7395 0,5802-0,7509
0,7000
0,2584
0,6852
Nilai indeks keanekaragaman (H’) pada waktu pengamatan berkisar antara 0,553 - 0,919. Nilai tertinggi diperoleh pada waktu pencuplikan 04.13-04.25 sebesar 0,9192 dan nilai terendah pada waktu pengambilan 13.12-13.33 WIT sebesar 0,5533 (Tabel 4). Perairan ini keanekaragaman yang relatif kecil dan menunjukkan komunitas yang tidak stabil (Odum, 1993). Secara umum dari nilai indeks keanekaragaman yang didapat, memiliki nilai yang bervariasi. Keadaan ini diduga karena dinamika faktor-fisika, kimia dan biologi yang terjadi pada perairan selama pengamatan. Nilai indeks keseragaman (E) fitoplankton selama pengamatan berkisar antara 0,1996-0,3022. Nilai keseragaman tertinggi ditemukan pada waktu pencuplikan 10.13-10.40 WIT sebesar 0,3022 dan nilai terendah ditemukan pada waktu pencuplikan 13.12-13.33 WIT sebesar 0,1996. Nilai keseragaman yang diperoleh tersebut mendekati 1 yang berarti bahwa penyebaran organisme relatif merata. Sedangkan apabila nilai indeks keseragaman mendekati 0, dimungkinkan ada jenis yang mendominasi di perairan tersebut. Indeks ini jelas mendeskripsikan bahwa komunitas fitoplankton pada lokasi ini didominasi oleh jenis Chaetoceros sp dalam jumlah yang besar. Nilai indeks dominansi yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 0,5802-0,7509. Jenis fitoplankton yang memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dari jenis lainnya adalah Bacteriastrum sp, dan Trichodesmium sp. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi zooplankton di lokasi penelitian selama pengamatan, disajikan dalam Tabel 5 sebagai berikut :
36 Tabel 5 Nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) zooplankton di lokasi penelitian. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu Pengamatan 10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25 Kisaran Rata-rata
Indeks Ekologi Keanekaragaman (H') Keseragaman (E) 2,4853 0,7721 2,2308 0,6847 2,4561 0,7452 2,3843 0,7604 2,3152 0,7604 2,3719 0,7463 2,3597 0,7425 2,4577 0,7635 2,2887 0,7299 2,2308-2,4853 0,6847-0,7721 2,3722 0,7450
Dominansi (D) 0,1233 0,1360 0,1200 0,1229 0,1387 0,1158 0,1324 0,1146 0,1433 0,1146-0,1433 0,1274
Nilai indeks keanekaragaman (H’) rata-rata adalah 2,3722. Nilai tertinggi diperoleh pada jam 10.13-10.40 WIT yaitu 2,4853 dan nilai terendah pada jam 13.12-13.33 WIT yaitu 2,2308. Berdasarkan rata-rata nilai indeks keanekaragaman tersebut, menunjukkan bahwa lokasi ini memiliki nilai keanekaragaman yang rendah dimana komunitas mudah berubah hanya dengan mengalami perubahan lingkungan yang relative kecil (Basmi, 1999). Nilai indeks keseragaman (E) rata-rata komunitas zooplankton menurut waktu pencuplikan pada lokasi penelitian ini sebesar 0,1274. Nilai keseragaman tertinggi ditemukan pada jam 10.13-10.40 WIT yaitu sebesar 0,7721 dan nilai keseragaman terendah ditemukan pada jam 13.12-13.33 WIT yaitu 0,6847. Nilai-nilai ini memberikan arti bahwa kondisi komunitas zooplankton pada lokasi ini memiliki keseragaman yang tinggi (E > 0,6). Nilai indeks dominansi (D) rata-rata menurut waktu pencuplikan pada lokasi penelitian yaitu 0,1274. Nilai dominansi tertinggi ditemukan pada jam 10.13-10.25 WIT sebesar 0,1433 dan terrendah pada jam 07.1307.32 WIT sebesar 0,1146. Nilai parameter yang diperoleh tersebut mendekati 0 berarti komunitas biota yang diamat tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suatu komunitas dalam keadaan stabil, kondisi lingkungan cukup prima dan tidak terjadi tekanan ekologis (stress) di habitat biota yang bersangkutan. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan indeks Morisita diperoleh indeks penyebaran komunitas fitoplankton yang berkisar antara 0,16 – 3,41. Hal ini menunjukan bahwa penyebaran jenis fitoplankton di lokasi penelitian cenderung mengelompok (Lampiran 6). Berdasarkan nilai indeks Morisita (I ) dapat diketahui bahwa pola penyebaran setiap genus termasuk dalam pola penyebaran mengelompok (I >1). Hal ini berarti setiap genus berada dalam kelompok dan jarang ada yang terpisah. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Odum (1971), bahwa pola penyebaran individu dalam populasi dengan tingkat pengelompokan yang bermacam-macam merupakan bentuk yang paling umu terjadi di alam. Hal ini disebabkan adanya hubungan reproduksi dan kemiripan sifat atau karakter. Selain itu, pola mengelompok juga disebabkan oleh
37 adanya kesamaan kondisi lingkungan perairan berdasarkan sifat fisika dan kimia perairan tersebut. Hasil Uji Khi-Kuadrat pada selang kepercayaan 95% (=0,05), menunjukan bahwa χ2 hitung lebih besar dari χ2 tabel untuk semua genus fitoplankton. Hal ini berarti bahwa pola penyebaran komunitas fitoplankton pada lokasi penelitian cenderung mengelompok. Berdasarkan nilai indeks dispersi Morisita (I ) zooplankton ini dapat diketahui bahwa pola penyebaran setiap genera pada lokasi penelitian termasuk dalam kategori pola penyebaran mengelompok (I > 1). Hasil uji chi-kuadrat terhadap nilai I = 1, dengan selang kepercayaan 95% ( = 0,05) menunjukkan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel untuk semua genera zooplankton. Hal ini berarti bahwa pola penyebaran zooplankton di lokasi penelitian berbeda nyata dengan acak (Lampiran 7). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Odum (1971), bahwa pola penyebaran individu dalam populasi dengan tingkat pengelompokan yang bermacammacam merupakan bentuk penyebaran yang paling umum terjadi di alam. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya perbedaan respon dari masing-masing populasi terhadap perbedaan habitat dan adanya kemiripan antara karakter individu masing-masing dalam populasi. Pola penyebaran mengelompok ditentukan oleh kompetisi zooplankton dalam menempati habitat yang layak bagi kelangsungan hidupnya atau memperoleh makanan alami yang cukup dan berkualitas atau keduanya. Kualitas habitat berupa kondisi fisikakimia dan kelimpahan fitoplankton di perairan teluk Ambon yang beragam, mengakibatkan pola penyebaran mengelompok hanya dapat terbentuk apabila semua genera zooplankton peka terhadap perubahan kualitas habitat tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pola penyebaran mengelompok zooplankton terbentuk karena semua genera zooplankton peka terhadap perubahan kualitas habitat. Hubungan antara Parameter Fisik Perairan dan komunitas Plankton Hubungan antara parameter fisika perairan dengan distribusi kelimpahan plankton dengan persamaan regresi linear berganda menunjukan hubungan yang tidak kuat hingga sangat kuat pada 5 strata kedalaman perairan sampel plankton (Lampiran 12 dan 13). Komunitas fitoplankton nilai koefisien determinasi (R2) berada pada kisaran 0,175 (strata 10 meter) – 0,995 dengan (strata 5 meter). Ini menjelaskan bahwa keempat parameter fisik perairan memberikan andil terhadap perubahan komunitas fitoplankton di perairan ini sebesar 17,5 – 99,5 %, sedangkan untuk komunitas zooplankton didapati nilai R2 berkisar antara 0,128 (strata 20 meter) – 0,680 (strata 10 meter) yang berarti bahwa perubahan struktur komunitas zooplankton juga dipengaruhi oleh keempat parameter fisik perairan sebesar 12,8 – 68,0 %. Keempat parameter ini yang sangat berpengaruh terhadap perubahan komunitas fitoplankton adalah suhu (strata 0,15 dan 20 meter) dengan nilai korelasi sebesar 0,27 hingga 0,85. Salinitas menjadi penghubung struktur komunitas berikutnya (5 dan 10 meter) sebesar 0,18 – 0,48. Faktor fisik perairan yang mempengaruhi komunitas zooplankton adalah suhu (strata 5, 15 dan 20 meter) sebesar 0,069 – 0,55, kemudian salinitas (strata 10 meter) dan turbiditas (strata 0 meter) pada lampiran 14. Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh karena suhu berdampak langsung terhadap laju proses fotosintesis, proses fisiologi hewan khususnya metabolisme dan siklus reproduksinya (Svedrup et al., 1946). Peningkatan suhu perairan sebesar 10 ºC, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Effendi, 2003).
38 Hubungan antara Zooplankton dan Fitoplankton Hubungan antara zooplankton dan fitoplankton dapat dilihat dari distribusi kelimpahan (Lampiran 9) dan besarnya nilai korelasi Pearson (R) dari kedua komunitas ini. Analisis korelasi mendapatkan koefisen korelasi (R) dari kedua komunitas yaitu pada +0,093 (0 meter), +0,268 (5 meter), +0,144 (10 meter), +0,657 (15 meter) dan 0,591 (20 meter). Disparitas nilai koefisien korelasi pada hubungan kelimpahan kedua komunitas ini menunjukan bahwa arah dan hubungan interaksi yang tidak terlalu kuat pada kedua komunitas di setiap waktu pengamatan maupun kedalaman (Santoso, 2012), kecuali pada lapisan kedalaman 15 meter. Hasil analisis regresi linear (Lampiran 9) terhadap kelimpahan kedua komunitas mendapatkan koefisien determinasi (R 2) sebesar 0.0087 (0 meter), 0,072 (5 meter), 0,021 (10 meter), 0,043 (15 meter) dan 0,350 (20 meter). Santoso, 2012 menyatakan bahwa rentang nilai koefisien determinasi (< 0,5) tergolong tidak kuat. Ini menunjukan bahwa kelimpahan kedua komunitas tidak saling mempengaruhi namun ada penyebab lain yang terjadi di perairan. Hubungan kelimpahan antara kedua komunitas ini sangat sering dijumpai pada berbagai ekosistem perairan. Ada beberapa faktor yang yang menyebabkan hal ini dapat terjadi antara lain adanya kemungkinan konsumer lain yang tidak hanya memangsa fitoplankton tetapi sekaligus juga memangsa zooplankton. Kehadiran hewan tingkat tinggi yang bersifat planktivorus seperti ikan dapat saja menyebabkan pengaruh terhadap populasi fitoplankton maupun zooplankton. Laju mortalitas dan natalitas zooplankton dan fitoplankton, hubungan makan memakan serta faktor fisik-kimia perairan merupakan hal lain yang mempengaruhi kelimpahan kedua komunitas (Umar, 2002)
5 DESKRIPTOR AKUSTIK PLANKTON
Nilai dan Sebaran menegak volume backscattering strength (Sv) rata-rata plankton Sebaran nilai Sv rata-rata plankton (Tabel 6) dibagi atas 5 strata kedalaman yaitu < 5 meter (strata 1), 5-10 meter (strata 2), 10-15 meter (strata 3), 15-20 meter (strata 4) dan lebih dari 20 meter (strata 5). Pemilihan strata ini untuk menyamakan dengan stratifikasi pencuplikan plankton insitu dan mempermudah analisis. Tabel 6 Nilai Sv rata-rata plankton berdasarkan strata kedalaman pada frekuensi 206 kHz di luar waktu sampling plankton di Teluk Ambon Bagian Dalam. Waktu Sampling 11.33-13.23 13.23-14.12 15.47-17.13 17.24-20.12 20.30-23.23 23-34-02.13 02.35-05.13 05.32-08.13 08.25-10.01
Strata 1 (< 5 m) -64,86 -63,59 -66,03 -67,43 -68,56 -67,59 -67,74 -65,60 -66,18
Strata 2 (6 -10 m) -68,60 -67,41 -68,35 -67,36 -67,19 -66,01 -65,17 -68,54 -71,50
Strata 3 (11 -15 m) -69,33 -70,19 -70,84 -66,42 -65,48 -65,38 -63,94 -67,34 -70,81
Strata 4 (16 -20 m) -71,13 -72,69 -73,64 -68,62 -66,50 -66,02 -64,15 -64,13 -73,42
Strata 5 (> 20 m) -72,97 -71,37 -67,46 -65,30 -63,55 -63,84 -62,94 -63,57 -70,16
Penggunaan frekuensi 206 kHz memberikan informasi nilai Sv rata-rata secara vertikal sampai kedalaman 27 meter secara umum menunjukan penyebaran yang tidak konstan pada kolom perairan. Disparitas nilai Sv rata-rata terjadi pada semua strata kedalaman dan waktu pengamatan. Nilai Sv rata-rata terrendah adalah pada strata ke 4 jam pengamatan 15.47-17.13 WIT sebesar -73,64 (Tabel 6 dan Gambar 18). Penggunaan frekuensi 206 kHz adalah frekuensi tinggi dimana akan membentuk beam yang sempit dengan daya tembus yang rendah namun memberikan ketelitian yang tinggi daripada frekuensi rendah. Nilai Sv rata-rata secara vertikal (Gambar 18 ) umumnya pada kedalaman < 5 meter mengalami kenaikan kemudian bergerak sedikit menurun dan meningkat pada kedalaman 5 – 10 meter. Pada kedalaman 10 – 20 meter cenderung berfluktuatif, setelah itu menguat diatas kedalaman 20 meter. Hal ini terjadi berhubungan dengan kondisi kekeruhan perairan setempat (Gambar 11). Kekeruhan perairan ini sebesar 0,949 – 0,957 NTU tergolong tinggi. Pada perairan dengan kekeruhan tinggi diasumsikan bahwa di setiap lapisan perairan tersebut mengandung partikel dan organisme tersuspensi yang cukup tinggi yang berakibat terjadi gangguan yang nyata terhadap distribusi nilai volume backscattering strength saat menggunakan frekuensi yang tinggi untuk menyapu kolom perairan. Kondisi ini terjadi karena adanya molecular thermal noise (acoustic thermal noise) yang sangat dominan pada penggunaan metode akustik menggunakan frekuensi diatas 100 kHz (Brekhovskikh dan Lysanov, 2003). Acoustic thermal noise adalah gangguan yang disebabkan oleh pergerakan molekul air secara acak. Fenomena ini dikenal dengan gerak Brown (Brownian movement). Keadaan tersebut
40 menyebabkan ketidakefektifan transfer energi pada penggunaan frekuensi tinggi, sehingga data yang didapatkan menghasilkan bias yang besar. Selain itu frekuensi 206 kHz lebih peka terhadap gangguan.
Gambar 18 Profil vertikal nilai Scattering Volume plankton pada frekuensi 206 kHz Hubungan nilai volume backscattering (Svrata-rata) plankton dengan faktor fisik perairan Sebaran nilai Sv yang bervariasi di perairan ini dapat dipastikan dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi yang ada. Pada kolom perairan yang memiliki nilai Sv rata-rata yang tinggi belum tentu dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi dengan karakteristik yang sama. Secara vertikal berdasarkan kedalaman nilai Sv rata-rata tidak menyebar secara merata di seluruh kolom perairan dari kedalaman 5-27 meter. Kolom perairan 10-20 meter yang merupakan lapisan yang hampir homogen memiliki nilai Sv rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan lapisan diatas atau di bawahnya. Temperatur perairan pada lapisan ini cocok untuk perkembangan plankton (Gambar 7). Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa pada umumnya spesies fitoplankton maupun zooplankton dapat berkembang biak dengan baik pada suhu 25oC atau lebih (Riley, 1967 dalam Yorba, 1993). Kondisi salinitas memberikan perairan ini menjadi stabil pada kedalaman 5 meter keatas yang mana cocok untuk perkembangan plankton, namun bersuhu rendah. Menurut Nybakken (1992), apabila salinitas air laut tinggi, sedangkan suhunya rendah maka viskositasnya akan tinggi dan ini memperlambat tenggelamnya benda-benda di dalamnya termasuk juga organisme planktonik. Pada kondisi perairan dengan suhu yang sama tetapi memiliki nilai salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jam pengamatan lain maka perairan ini akan memiliki nilai viskositas bervariasi pula (tinggi atau rendah). Dengan demikian laju penenggelaman di daerah perairan ini lebih lambat sehingga banyak benda termasuk plankton tertahan di kolom perairan ini dan tidak tenggelam ke lapisan air yang lebih dalam. Namun bila kita perhatikan nilai turbiditas di perairan ini didapati memiliki nilai turbiditas yang cukup tinggi. Hal ini
41 diperkirakan bahwa pada perairan ini tidak hanya mengandung plankton saja tetapi juga nutrien atau sedimen dan partikel-partikel lainnya. Ini dapat dipahami karena daerah termasuk perairan estuari dimana pasokan nutrient, sedimen dan partikel melimpah dari daratan oleh sungai yang bermuara di perairan ini. Gambar 12 menunjukkan bahwa perairan ini memiliki nilai kekeruhan yang sangat tinggi. Hasil analisa korelasi antara nilai Sv dengan kekeruhan mendapatkan rentang nilai korelasi sebesar -0,544 – 0,503 yang berarti bahwa kekeruhan perairan tidak berpengaruh terhadap sebaran scattering volume di teluk Ambon Dalam. Tipe perairan Teluk Ambon Dalam adalah perairan semi tertutup yang mendapat pengaruh yang kuat dari daratan berupa pasokan partikel-partikel termasuk nutrien sehingga jumlah fitoplankton yang memanfaatkannya cukup banyak yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah zooplankton. Analisis regresi linear berganda (Tabel 7) terhadap nilai volume scattering strength rata-rata plankton dan empat parameter fisik perairan mendapatkan nilai koefisien korelasi (R) berkisar antara 0.489 - 0.878 dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.434 - 0.770. Nilai koefisien regresi dan koefisien determinasi yang berfluktuatif selama pengambilan data mencerminkan bahwa ada faktor-faktor lain juga yang memberikan andil terhadap nilai volume scattering strength plankton Tabel 7 Nilai koefisien regresi (R) dan koefisien determinasi (R2) dari hubungan nilai volume backscattering strength plankton dan parameter fisik perairan. Time 11.33-13.23 13.23-14.12 15.47-17.13 17.24-20.12 20.30-23.23 23-34-02.13 02.35-05.13 05.32-08.13 08.25-10.01
Regression Statistics R 0,666 0,780 0,489 0,602 0,878 0,823 0,878 0,763 0,659
R
2
0,443 0,608 0,239 0,362 0,770 0,678 0,770 0,583 0,434
Adjusted R2 0,342 0,537 0,094 0,241 0,727 0,619 0,729 0,503 0,326
Standard Error 2,548 2,490 4,072 1,947 1,048 1,175 1,018 1,665 2,961
Observations 27 27 26 26 26 27 27 26 26
Faktor-faktor ini menentukan apakah plankton ini mendapatkan makanan yang cukup, memiliki kecenderungan untuk mudah tenggelam sehubungan dengan viskositas perairan dan lain-lain. Tetapi plankton ini mempunyai kecenderungan berpindah tempat lebih besar kemungkinannya karena dibawa oleh arus karena sifat plankton yang merupakan perenang pasif yang sangat mudah untuk dibawa oleh arus dari tempat asalnya.
Hubungan antara sebaran nilai backscattering volume (Svrata-rata) dengan kelimpahan plankton hasil tangkapan dengan Vandorn Water Sampler Dilihat dari sebaran nilai Svrata-rata (Gambar 18) dan kelimpahan komunitas plankton (Gambar 19) didapati keduanya memiliki kesamaan pola sebaran.
42
Gambar 19 Pola sebaran kelimpahan zooplankton (ind/m3) dan fitoplankton (sel/m3) di lokasi penelitian. Kolom perairan yang memiliki nilai Sv tinggi (1- 10 meter) ternyata memiliki nilai kelimpahan yang cenderung tinggi (5-10 meter) dan menurun seiring berambahnya kedalaman. Tabel 8 Nilai analisis regresi linear hubungan nilai volume backscattering strength rata-rata terhadap kelimpahan zooplankton (ind/m3) dan fitoplankton (sel/m3). Depth Stratum
<5 10-Jun 15-Nov 16-20 >20
R2
R
0,443 0,392 0,717 0,628 0,770
0,196 0,153 0,514 0,395 0,593
Regression Statistics Adjusted R2 Standard Error
-0,071 -0,129 0,351 0,193 0,457
2,258 2,716 3,324 4,550 3,360
Observations
9 9 9 9 9
Hasil Uji Analisis regresi linear (Tabel 8) hubungan nilai volume backscattering strength rata-rata terhadap kelimpahan zooplankton (ind/m3) dan fitoplankton (sel/m3) mendapati bahwa koefisien regresi (R) sebesar 0,392 – 0,770 dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,153 - 0,594. Ini menggambarkan bahwa ada hubungan antara sebaran nilai Sv dan kelimpahan plankton ada pada kondisi yang bervariasi sesuai dengan kedalaman perairan. Kuat dan lemah hubungan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain. Ini ditandai dengan nilai koefisien determinasi yang kecil. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan metode pengambilan data yakni dengan metode akustik dan penangkapan dengan rnenggunakan Vandorn water sampler. Saat menggunakan Vandor water sampler terdapat kelemahan yaitu contoh plankton (zoo maupun fito) dicuplik secara acak tepat pada lapisan kedalaman tertentu di dalam suatu kolom perairan, sehingga menghasilkan data plankton hanya pada lapisan kedalaman tertentu saja secara vertikal. Sistem kerja dari Vandorn water
43 sampler yang menutup juga mengakibatkan saat pengambilan contoh hanya pada lapisan tertentu saja dan melewati kelompok-kelompok lainya sehingga akan mendapatkan kelompok tertentu saja. Ini tidak menggambarkan kodisi keberadaan komunitas plankton secara utuh. Data yang dihasilkan oleh cara ini digunakan sebagai data pembanding data yang diperoleh rnenggunakan metode akustik kelautan. Deskriptor Akustik Plankton. Fauziyah (2005); Fahmi dan Wijopriono (2012) mengartikan deskriptor akustik sebagai variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau sifat dari pantulan akustik suatu obyek. Deskriptor akustik merupakan teknik dan metode penentu dalam identifikasi spesies secara hidroakustik dengan alat echosounder split beam berdasarkan algoritma pola pengenalan (Fauziyah, 2005). Deskriptor ini dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yakni morfometrik (bentuk dan ukuran), energetik (energi akustik) dan batimetrik (posisi ikan dalam kolom perairan) (Lawson, 2001). Sampel data akustik adalah data akustik plankton dimana sumber data akustik menggunakan pendekatan nilai Sv sehingga identifikasi yang cocok adalah berdasarkan kawanan (school) dan tidak berdasarkan spesies (target tunggal). Deskriptor akustik plankton dilakukan dalam penelitian ini dikarenakan pada perairan Teluk Ambon Dalam memiliki keunikan struktur komunitas plankton yang didominasi oleh kopepoda lebih dari 85%.
Analisis Statistik Data yang dianalisis sebanyak 43 echogram. Deskripsi statistik tentang deskriptor akustik dari 7038 poligon disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Deskripsi statistik 7038 poligon yang membentuk deskriptor akustik Deskriptor
Sv
Tinggi
Ketinggian Relatif
Kedalaman
Skewness
Kurtosis
Sa
Mean
-66,189
0,15297
11,8903
13,9632
1,27447
1,6231
-74,687
Median
-65,912
0,13826
11,2642
14,5909
1,27927
0,9682
-74,12
Modus
-80,093
0,11082
14,2771
19,7704
0
0
-94,418
Standar Deviasi
2,7231
0,06779
5,08817
5,08798
0,72207
2,8363
3,789
Variance
7,4154
0,00459
25,8894
25,8875
0,52139
8,0448
14,356
Minimum
-80,093
0,03166
2,92078
0,40171
-1,9771
-5,947
-94,418
Maximum
-59,841
0,78804
25,4521
22,9538
5,41391
45,112
-64,284
Jumlah Data
7038
7038
7038
7038
7038
7038
7038
CL (99.0%)
0,0836
0,00208
0,15627
0,15626
0,02218
0,0871
0,1164
Data 7038 poligon yang didapat untuk dianalisis secara statistik deskriptif menghasilkan nilai parameter deskriptor akustik yang bervariasi pada selang kepercayaan 99%. Deskriptor akustik yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari 7 variabel yang terbagi dalam 3 kategori yaitu deskriptor morfometrik (Tinggi), batimetrik (Kedalaman dan Ketinggian relatif) dan energetik (Sv, Sa, Skewness dan Kurtosis).
44 Analisis Korelasi Parameter Deskriptor Plankton Analisis korelasi dilakukan untuk menjelaskan keeratan hubungan antara variabel deskriptor akustik yang dinyatakan dengan besar kecilnya koefisien korelasi. Pada sub bab ini akan dibahas hubungan antara deskriptor secara keseluruhan. Tabel 10 memperlihatkan hampir seluruh variabel deskriptor akustik memiliki korelasi satu sama lain kecuali untuk variabel kedalaman terhadap ketinggian relatif dan kedalaman terhadap kurtosis. Variabel Ketinggian relatif (posisi kumpulan plankton terhadap permukaan perairan) berkorelasi secara negatif terhadap semua variabel deskriptor, artinya bahwa semakin dalam posisi kawanan plankton akan menghasilkan nilai yang kecil bagi variabel deskriptor yang lain. Ini terjadi karena sifat dari pergerakan plankton yang dipengaruhi oleh arus di dalam suatu perairan. Pada bagian lain variabel deskriptor scattering area (Sa) memberikan nilai korelasi yang kuat dengan scattering volume (Sv) dan ketebalan kumpulan plankton, sehingga dapat dikatakan semakin besar nilai Sa akan memberikan kontibusi yang besar bagi nilai Sv dan ketebalan kumpulan plankton. Hal ini dikarenakan besar kecilnya kumpulan plankton akan memberi kontribusi terhadap nilai hamburan (Sa dan Sv), sehingga nilai dari ketinggian sangat berfluktuasi. Selanjutnya didapati pula bahwa variabel Sv juga memiliki korelasi positif dengan variabel tinggi (ketebalan kumpulan), kedalaman, skewness dan kurtosis.
Tabel 10. Matriks korelasi antar deskriptor akustik Correlations Deskriptor
Sv
Ketinggian Relatif
Tinggi
Kedalaman
Skewness
Kurtosis
Sa
Sv
1
Tinggi
**
1
-0,251**
-0,005
1
Kedalaman
0,249
**
-0,001
-1,0
**
1
Skewness
0,445**
0,610**
-0,072**
0,068**
1
0,389
**
0,602
**
-0,063
**
0,059
**
0,975
**
1
0,906
**
0,783
**
-0,176
**
0,171
**
0,582
**
**
Ketinggian Relatif
Kurtosis Sa
0,487
0,539
1
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). b. Listwise N = 7038
Analisis Faktor Parameter Deskriptor Plankton Analisis Faktor dilakukan untuk mendapatkan hubungan antar variabel deskriptor akustik yang mencirikan tiap kawanan plankton. Analisis ini digunakan untuk mendistribusikan pembobotan pada komponen utama dengan mereduksi dimensi data sehingga mampu menjelaskan sebesar mungkin keragaman data yang dijelaskan oleh variabel deskriptor akustik. Hasil analisis faktor dapat dijelaskan melalui hasil nilai communalities, total varians explains, dan rotated component matrix.
45 Tabel 11 Nilai Communalities Communalities Deskriptor
Initial
Sv Tinggi Ketinggian relative Kedalaman Skewness Kurtosis Sa Extraction Method: Principal Component Analysis.
Extraction
1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
0,914 0,608 0,996 0,997 0,901 0,935 0,994
Tabel Communalities merupakan nilai ekstraksi yang menunjukkan kontribusi variabel terhadap faktor yang terbentuk dalam analisis faktor. Nilai ini dapat juga didefiniskan sebagai besaran nilai varians (dalam persentase) suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Nilai communalities ini sama pengertiannya dengan nilai koefisien determinasi pada model regresi. Semakin besar nilai communalities sebuah variabel , maka semakin erat hubungannya dengan faktor yang terbentuk. Hasil analisis menunjukkan nilai communalities setiap deskriptor > 0.5 sehingga analisis komponen utama dapat dilakukan untuk setiap variabel deskriptor. Pada Tabel 11 misalnya, nilai ektraksi variabel scattering volume sebesar 0,914, ini berarti bahwa 91,4 % varians dari variabel scattering volume dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Selanjutnya didapati nilai communalities yang tinggi terdapat pada variabel kedalaman, ketinggian relatif, scattering area, scattering volume dan kurtosis diatas 90% dapat menjelaskan faktor yang terbentuk, sedangkan variabel tinggi hanya dapat menjelaskan faktor yang terbentuk sebesar 60 % (0,608). Hal ini dikarenakan keberadaan kumpulan plankton di perairan berhubungan erat dengan faktor lingkungan (batimetrik). Total Variance dapat menjelaskan dasar jumlah faktor yang diperoleh untuk mengelompokan variabel deskriptor plankton. Nilai eigenvalues dipakai sebagai pembatas variabel yang akan diambil sebagai analisis faktor yaitu di atas 1 ( > 1) (Ghozali, 2012) diperoleh dengan 3 komponen saja. Tiga komponen yang terbentuk memiliki angka eigenvalues masih di atas 1, sebesar 1,067. Namun dengan 4 komponen angka eigenvalues sudah di bawah 1, sebesar 0,551 sehingga proses analisis faktor berhenti pada 3 komponen saja. 3 komponen yang terbentuk diperoleh nilai total varians kumulatif sebesar 90,650%. Varians komponen pertama diperoleh sebesar 47,172%, varians komponen kedua diperoleh sebesar 28,237% dan varians komponen ketiga diperoleh nilai sebesar 15,241% (Lanjutan lampiran 10a) Berdasarkan hasil analisis faktor maka dapat disimpulkan sesuai klasifikasi deskriptor akustik (Reid et. al, 2000) kawanan plankton dapat dibedakan berdasarkan pengelompokkan jenis deskriptor (batimetrik, energetik dan morfometrik). Namun pada hasil penelitian ini deskriptor morfometrik yang diperoleh (tinggi kawanan plankton) tidak dapat dibedakan secara jelas dengan kelompok deskriptor energetik (skewness dan kurtosis). Hal ini karena bentuk kawanan (shoaling) plankton tidak memberikan pola yang jelas seperti halnya gerombolan (schooling) ikan laut.
Analisis Kelompok Parameter Deskriptor Plankton Analisis Cluster pada dasarnya dilakukan untuk mencari dan mengelompokkan deskritor plankton berdasarkan kriteria kemiripan (similarity) karakteristik deskriptor
46 akustik yang diperoleh. Nilai deskriptor yang diperoleh akan diklasifikasikan menggunakan metode non hirarki dimana jumlah cluster ditentukan terlebih dahulu sehingga parameter deskriptor yang berada dalam satu cluster akan memiliki kemiripan satu sama lain (Santoso, 2010). Hasil analisis cluster menggunakan metode K-means Cluster diperoleh dari proses iterasi untuk mengelompokkan 7038 sampel diperoleh jarak minimum antar pusat cluster adalah 5.545 pada iterasi ke-25 dengan 9 kluster untuk waktu pengambilan contoh plankton. Hasil keluaran akhir dari analisis kluster, pada semua kluster, semua variabel deskriptor memiliki nilai yang bervariasi di tiap kluster. Berdasarkan ketujuh deskriptor yang diuji didapat bahwa sebaran nilai deskriptor dalam tiap kluster berada pada rentang -4.142 – 3,521. Kluster 1 dan 7 merupakan kluster yang memiliki 2 nilai varibel deskriptor diatas rata-rata dari keseluruhan kluster yakni skewness dan kurtosis (kluster 1) dan deskriptor tinggi dan scattering area (kluster 7). Pada kluster 3 dan 5, deskriptor Scattering volume dan kedalaman merupakan variabel dengan nilai diatas rata-rata dari semua kluster. Ketinggian relatif merupakan variabel diatas rata-rata pada kluster 2, 4 dan 9, sedangkan kedalaman dan skewness merupakan variable diatas rata-rata pembentuk kluster 6 dan 8. Pembentukan kluster 1, 4 dan 8 terbentuk oleh 6 deskriptor yang berkontribusi kuat (bernilai positif), sedangkan kluster 2, 6 dan 9 sebanyak 1 deskriptor berkontribusi kuat, kluster 3 sebanyak 4 deskriptor berpengaruh kuat, dan kluster 7 sebanyak 5 deskriptor berkontribusi kuat. Menurut Santoso (2002), nilai z-score menentukan kekuatan terhadap pembentukan kluster, jika nilai z-score semakin besar dan bernilai positif maka deksriptor tersebut berpengaruh semakin kuat terhadap kelompoknya, begitu pula sebaliknya jika z-score bernilai negatif. Lebih lanjut didapati bahwa deskriptor yang berpengaruh dalam membentuk kluster terbanyak adalah Scatering volume dan Skewness (kluster 1,3,4,7 dan 8), sedangkan deskriptor yang lain terdistribusi pada kluster lain (Lanjutan lampiran 10b). Nilai tertinggi didapat pada dekriptor kurtosis pada kluster 1, sedangkan nilai terendah ada pada dekriptor Sv pada kluster 5. Dendrogram
Average Linkage, Correlation Coefficient Distance
Kemiripan/Similarity
37.13
58.09
79.04
100.00
Sv
Sa
Tinggi
Sk ewness
Kurtosis
Kedalaman Ketinggian relatif
Variabel
Gambar 20 Dendogram hubungan kemiripan antar variabel deskriptor
47 Untuk mempersempit jumlah variable deskriptor menjadi kelompok variable yang lebih kecil dan homogen tipe analisis kluster yang dipakai adalah Hierarchical Cluster. Konsep analisis kluster tipe ini yaitu dengan menggabungkan dua variable deskriptor yang paling mirip, kemudian gabungan kedua variabel deskriptor tersebut akan bergabung lagi dengan satu atau lebih variabel yang paling mirip lainnya, demikian seterusnya (Santoso, 2012) sehingga membentuk suatu kluster yang besar. Gambar 20 menjelaskan suatu dendogram hubungan antara kluster variable deskriptor akustik plankton. Hasil dari dendogram ini menunjukan 6 kluster yang terbentuk dari 7 variabel deskriptor yang dipilih. Pada penggabunggan pertama dekriptor scattering volume dan scattering area memiliki indeks kemiripan 95,82%, demikian pun penggabungan kedua yaitu skewness dan kurtosis indeks kemiripannya sebesar 94,37%. Bila variabel scattering volume, scattering area digabungkan dengan variabel tinggi, skewness dan kurtosis maka indeks kemiripannya menurun menjadi 71,98%. Bila semua variabel digaungkan maka kluster yang terbentuk memiliki indeks kemiripan sebesar 37,13%. Dipastikan bahwa deksriptor akustik plankton yang terbentuk ditentukan oleh nilai scattering volume dan scattering area dimana kedua nilai ini berhubungan dengan dimensi dan kepadatan plankton. Sedangkan variabel skewness dan kurtosis berhubungan dengan distribusi plankton didalam beam yang terbentuk.
Analisis Diskriminan Parameter Deskriptor Plankton Analisis diskriminan bertujuan untuk mengklasifikasikan suatu individu atau observasi ke dalam kelompok yang saling bebas (mutually exclusive/disjoint) dan menyeluruh (exhaustive ) berdasarkan sejumlah variabel penjelas. Asumsi yang digunakan dalam analisis diskiminan pada penelitian ini adalah : (a) Variabel deskriptor akustik harus berdistribusi normal dan (b) Matriks varians-covarians variabel deskriptor akustik harus berukuran sama. Tabel 12 Nilai Test of Equality Deskriptor Sv Tinggi Ketinggian relatif Kedalaman Skewness Kurtosis Sa
Tests of Equality of Group Means Wilks' Lambda F df1 0,616 547,578 0,939 57,531 0,979 19,261 0,979 18,966 0,861 142,169 0,935 61,476 0,663 446,157
8 8 8 8 8 8 8
df2 7028 7028 7028 7028 7028 7028 7028
Sig. 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Nilai Test of Equality di atas berfungsi untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok tiap waktu pengamatan untuk setiap variabel deskriptor akustik. Jika nilai Sig. > 0,05, berarti tidak ada perbedaan antar grup, begitu pula sebaliknya bila nilai Sig. untuk Sig < 0,05 (Santoso, 2010). Tabel 12 menggambarkan bahwa nilai setiap deskriptor akustik berbeda pada selang kepercayaan 95 %. Hal ini berarti seluruh deskriptor akustik yang digunakan dalam penelitian ini dapat membedakan secara jelas setiap kelompok waktu pengambilan contoh.
48 Tabel 13 Variabel Pembentuk Fungsi Diskriminan
Step 1 2 3 4 5 6
Variables Entered/Removeda,b,c,d Min. D Squared Exact F Between Statistic Groups Statistic df1 df2 0,004 7 and 8 1,835 1 7028 0,032 6 and 8 8,407 2 7027 0,039 7 and 8 5,952 3 7026 0,039 7 and 8 4,487 4 7025 0,042 7 and 8 3,821 5 7024 0,042 7 and 8 3,188 6 7023
Entered Zscore (Sa) Zscore (Tinggi) Zscore (Sv) Zscore( Kurtosis) Zscore (Skewness) Zscore (kedalaman)
Sig. 0,175550 0,000225 0,000476 0,001276 0,001854 0,003985
7 variabel deskriptor, hanya 6 variabel yang dapat dipakai sebagai pembentuk fungsi diskriminan yaitu Sa, Tinggi, Sv, kurtosis, skewness dan kedalaman (Tabel 13) karena memiliki angka signifikan dibawah 0,05. Sedangkan variabel ketinggian relatif tidak bisa digunakan untuk membentuk fungsi karena diduga nilai variabel ini bervariasi yang menggambarkan sedikit banyaknya kumpulan (schooling) plankton dalam suatu lapisan dan dinamika kumpulan tersebut yang dipengaruhi oleh hal lain seperti arus. Tabel 14 Nilai Wilk’s Lambda Wilks' Lambda Number of Variables
Step 1 2 3 4 5 6
Lambda 1 2 3 4 5 6
df1
0,663 0,615 0,605 0,592 0,583 0,573
df2 1 2 3 4 5 6
df3 8 8 8 8 8 8
7028 7028 7028 7028 7028 7028
Exact F Statistic 446,157 241,238
df1 8 16
df2 7028,000 14054,000
Sig. 0,000 0,000
Wilk’s Lamda pada dasarnya merupakan varians total dalam skor diskriminan yang tidak bisa dijelaskan oleh perbedaan di antara kelompok yang ada. Pada step 1, deskriptor yang dimasukkan hanya deskriptor Sv dengan angka Wilk’s Lambda adalah 0,663. Hal ini berarti 66,3% varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antar grup. Selanjutnya sampai pada step 6, dengan seluruh deskriptor akustik digunakan, angka Wilk’s Lambda turun menjadi 0,573. Penurunan angka Wilk’s Lambda tentu baik bagi model diskriminan, karena varians yang tidak dapat dijelaskan juga semakin kecil (dari 66,3% menjadi 57,3%). Dilihat dari kolom F dan signifikansinya, secara statistik seluruh deksriptor akustik berbeda secara signifikan untuk kesembilan kelompok (Tabel 14). Tabel 15 Nilai Matriks Struktur Structure Matrix Deskriptor Zscore(Sv) Zscore(Sa) Zscore(Tinggi) Zscore(Kedalaman) Zscore(Ketinggian relatif)b Zscore(Skewness) Zscore(Kurtosis)
1 0,964* 0,868* 0,291 0,122 -0,123 0,478 0,307
2 -0,034 0,304 0,515* 0,543 -0,546 0,468 0,440
Function 3 4 -0,151 0,205 -0,352 -0,033 -0,427 -0,269 0,316 0,757* -0,313 -0,755 0,430 -0,483* 0,269 -0,345
5 -0,057 0,091 0,441 -0,095 0,092* 0,366 0,681*
6 0,036 0,146 0,449 0,095 -0,098 0,005 -0,238
49 Pada struktur matriks fungsi diskriminan yang menjelaskan korelasi antara variabel deskriptor akustik yang diperoleh dengan fungsi diskriminan deskriptor yang terbentuk. Tujuh variabel deskriptor terdistribusi pada 4 fungsi diskriminan yang terbentuk. Sv pada fungsi 1 memiliki nilai 0,964, lebih besar dibandingkan pada fungsi 2 (-0,034) dan fungsi seterusnya sehingga deskriptor Kedalaman dimasukkan sebagai variabel dalam fungsi diskriminan 1. Variabel deskriptor Sa masuk dalam fungsi diskriminan 1, deskriptor tinggi dimasukan dalam fungsi diskriminan 2, deskriptor kedalaman dan skewness dimasukan dalam fungsi diskriminan 4 dan deskriptor ketinggian relatif dan kurtosis dimasukan dalam fungsi diskriminan 5 (Tabel 15). Nilai matriks struktur yang diperoleh dari analisis diskriminan dapat menjelaskan tingkat kontribusi dalam proses klasifikasi. Gambaran tentang kontribusi tiap deskriptor untuk mengklasifikasi digambarkan dalam diagram pareto (Gambar 21).
Gambar 21 Diagram Pareto Nilai Penting Variabel Deskriptor Ketujuh deskriptor yang digunakan, deskriptor Sv memiliki persentase > 20%, diikuti deskriptor Sa, Kedalaman dan Kurtosis memiliki kontribusi 15 - 20%, kemudian deskriptor tinggi dan skewness memiliki kontribusi dibawah 10 – 14,99% dan ketinggian relatif kurang dari 10 %. Tabel 16 Hasil nilai klasifikasi analisis diskriminan Classification Resultsa,c Predicted Group Membership KK 1 2 3 4 5 6 Original Count 1 125 55 59 13 13 4 2 63 85 56 22 15 4 3 36 41 124 26 4 1 4 18 67 115 253 74 35 5 32 54 67 36 87 197 6 9 58 69 81 94 306 7 5 67 32 54 72 115 8 1 13 56 70 42 207 9 17 187 253 204 55 33 % 1 18,0 19,3 4,2 4,2 1,3 40,8 2 20,6 18,3 7,2 4,9 1,3 27,8 3 11,8 13,4 8,5 1,3 ,3 40,7 4 2,0 7,3 12,5 8,1 3,8 27,6 5 3,5 5,9 7,3 3,9 21,5 9,5 6 ,7 4,7 5,6 6,6 7,7 25,0 7 ,5 7,3 3,5 5,9 7,8 12,5 8 ,1 1,4 6,1 7,6 4,6 22,5 9 1,4 15,3 20,7 16,7 4,5 2,7 a. 26.3% of original grouped cases correctly classified.
7
8
9
4 4 5 129 184 228 259 213 87 1,3 1,3 1,6 14,1 20,0 18,6 28,2 23,2 7,1
1 2 2 72 208 305 273 260 35 ,3 ,7 ,7 7,8 22,7 24,9 29,7 28,3 2,9
32 55 66 155 53 74 41 56 353 10,5 18,0 21,6 16,9 5,8 6,0 4,5 6,1 28,8
Total 306 306 305 918 918 1224 918 918 1224 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
50 Secara keseluruhan model fungsi diskriminan yang diperoleh dari hasil penelitian ini memberikan ketepatan pengklasifikasian 9 kelompok waktu sampling sebesar 26,3% (Tabel 16). Fungsi diskriminan yang dapat dibentuk untuk klasifikasi pada tiap kelompok juga rendah (< 30%) untuk semua kelompok kecuali kelompok waktu 1 sebesar 40,8%.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa : 1. Analisis faktor mendapatkan ada 3 komponen pengelompokan deskriptor yakni komponen pertama terdiri dari variabel deskriptor tinggi, ketinggian relatif Skewness dan Kurtosis, komponen kedua terdiri dari 2 deskriptor scattering volume dan scattering area, sedangkan komponen ketiga terdiri dari deksriptor kedalaman. 2. Analisis kluster dengan mengelompokan deskriptor dari 9 kelompok waktu pengamatan didapati bahwa dekriptor scattering volume dan skewness merupakan variable yang berpengaruh sangat kuat membentuk kluster 3. Analisis diskriminan memberikan hasil deskriptor sebesar 26,3% untuk ketepatan klasifikasi.
Saran 1. Perlu dilakukan analisa lanjutan dengan menitikberatkan analisis hanya pada variabel deskriptor yang signifikan. 2. Musim dan dominasi suatu spesies diatas 80% dalam struktur komunitas plankton harus diperhatikan dalam menetapkan deskriptor akustik bagi plankton.
52
DAFTAR PUSTAKA Alaerts, G dan Santika, SS. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.. Anonymus. 1999. Using Acoustics to Monitor Krill Populations. Science-Pacific Region-Ocean Science and Productivity-Research Activities. Fisheries and Ocean Canada. Canada. http://www.OSAPResearch activities Plankton productivityacoustic monitoring of krill.htm. (acceded 12 Oktober 2011; 08: 30 WIB). Bahri, T., and Freon, P. 2000. Spatial structure of coastal pelagic schools descriptors in the Mediterranean Sea. Fisheries Research, 48: 157-166. Baka, L. 1996. Studi Beberapa Parameter Fisika dan Kimia Air di Perairan Pantai Tanjung Merdeka Kotamadya Unjung Pandang [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Basmi, J. 1999. Planktonologi : Bioekologi Plankton Algae [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 110 h. Bio Sonics, 2006. DTX Digital Scientific Echosounder. User Guide. Biosonics Inc, Seattle, USA. 33 pp Boyd, C.E. 1979. Water Quality in Warm Fish Ponds. Oxford University Press. Oxford. 216 pp. Brekhovskikh, L.M and Y.P. Lysanov, 2003. Fundamental of Ocean Acoustics. Modern Acoustics and Signal Processing. Springer-Verlag New York. Inc. 3nd Ed. Brown, C.J., Mitchell, A., Limpenny, D.S., Robertson, M.K., Service, M., dan Golding, N. 2005. Mapping seabed habitats in the Firth of Lorn off the west coast of Scotland: Evaluation and comparison of habitat maps produced using the Acoustic Ground Discrimination System, RoxAnn, and Side Scan Sonar. ICES Journal of Marine Science. 62:790-802. Brower JE, JH Jar dan CN von Ende. 1990. Field and laboratory methods for genusl ecology. 3rd Edition. WMC Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. 237 p. Charef A, Ohshimo S, Aoki I, Absi NA. 2010. Classification of Fish Schools Based On Evaluation Of Acoustic Descriptor Characteristics. Fisheries Science. 76:1-11. Coetzee, J. 2000. Use of a shoal analysis and patch estimation system (SHAPES) to characterise sardine schools. Aquatic Living Resources, Vol 13 (1):1-10. Daly, K.L., S. Samson, T. Hopkins, A. Remsen, T. Sutton, and L. Langebrake. Sensor technology for plankton assessment. In, Harada, K. and Dickey, T. (eds), Proceedings for International Workshop on Autonomous Measurements of Biogeochemical Parameters in the Ocean, Honolulu, February 2001. Diner, N., Weill, A., Coail, J.Y., and Coudevil, J.M. 1989. “Ines-Movies”: A New Acoustic Data Acquisition and Processing System. ICES Journal of Marine Science, 45: 255-267. Effendi AHR. 1997. Struktur komunitas zooplankton pada daerah terbuka dan tertutup gulma air danau Taliwang, NTB [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 256 hal. Fahmi, Z dan Wijopriono. 2012. Karakteristik Deskriptor Akustik Ikan Introduksi Air Tawar. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 18. No. 2. Pusat Penelitian Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakarta. hal 93-99.
54 Fauziyah dan I. Jaya, 2004, Pengembangan perangkat lunak Acoustic Descriptor Analyzer (ADA versi 2004) untuk identifikasi kawanan ikan pelagis (Diajukan untuk dipublikasikan pada Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan) Fauziyah. 2005. Identifikasi, Klasifikasi dan Analisis Struktur Spesies Kawanan Ikan Pelagis berdasarkan Metode Deskriptor Akustik [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 178 hal. Frid, C.L.J. and N.V. Huliselan. 1998. Hydrographic Influences on Zooplankton Biodiversity around Pulau Ambon, Maluku. Cakalele, Volume 9. Georgakarakos, S., and Paterakis, G. 1993. “School”: A Software For Fish-School Identification. ICES Journal of Marine Science, 8: 94-108 Ghozali, H. I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS 20. Edisi 6. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. 447 hal. Gross, M. G. 1990. Oceanography : A View of the Earth. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Teknik Penangkapan. Diktat Kuliah. Jurusan PSP. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. 149 hal. Hestirianoto, T. 2001. The Estimation of Zooplankton Biomass by Means of Echosounder [Disertasi]. Hartung-Gorre Verlag Konstanz. 154 p Hutabarat, S dan S.M. Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 159 p. Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries, Vol. II. Biological Aspecs. CRC Press. Inc Boca Raton. USA. 391 p. Korneliussen, R. J. and E. Ona. 2003. Synthetic echograms generated from the relative frequency response. ICES Journal of Marine Science, 60: 636–640. Laevestu, T. and M. L. Hayes. 1981. Fisheries oceanography and Ecology. Fishing News Books Limited. London. Lavery, A. C., Chu, D., and Moum, J. N. 2010. Measurements of acoustic scattering from plankton and oceanic microstructure using a broadband echosounder. – ICES Journal of Marine Science, 67: 379–394. Lawson, G.L., Barange, M., and Freon, P. 2001. Species identification of pelagic fish schools on the South African continental shelf using acoustic descriptors and ancillary information. ICES Journal of Marine Science, 58:275-287. Lebourges-Dhaussy, A., Coetzee, J., Hutchings, L., Roudaut, G., and Nieuwenhuys, C. 2009. Plankton spatial distribution along the South African coast studied by multifrequency acoustics, and its relationships with environmental parameters and anchovy distribution. – ICES Journal of Marine Science, 66: 1055–1062. Lukas, R. and Lindstrom, E.1991. The Mixed Layer of The Western Equatorial Pacific Ocean. J. Geophys. Res., Vol. 96, pp. 3343-3357. MacLennan, D. N. dan Simmonds, E. J. 2005. Fisheries Acoustics. Chapman R, Hall. Madhav VG and B Kondalarao. 2004. Distribution of phytoplankton in the coastal waters of east coast of India. Indian Journal of Marine Science. 33(3): 262-268. Martin, L. V. Stanton K.T., Wiebe, P. H. and J. F. Lynch. 1996. Acoustic classification of zooplankton. – ICES Journal of Marine Science, 53: 217–224 Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Penerjemah : Yanti R, Koestoer, Jakarta : UI Press. Jakarta.
55 Michaud, J.P. 1991. A citizen's guide to understanding and monitoring lakes and streams. Publ. #94-149. Washington State Dept. of Ecology, Publications Office, Olympia, WA, USA(360)407-7472. Muhiddin AM, 2010. Identifikasi dan Klasifikasi Kawanan Lemuru Selat Bali Berdasarkan Data Hidroakustik dengan Metode Statistik. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 20 (1) April 2010: 25 – 36. Mulyadi, H.A dan A.W. Radjab, 2009. Plankton predominan di perairan Teluk Ambon, Maluku. Jurnal Simbiosis Vol. 6, No. 2 Oktober 2009. BKBLLIPI Newell, G.F and R.C. Newell. 1977. Marine Plankton. A Practical Guide. Fifth Editions. Hutchinson Educational. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nyabakken. J. W., 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Eidman dkk. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. W.B. Saunders. Co., London. 574 p Parson, T. And M Takahashi, 1973. Biological Oceanography Processes. Ins. Oce. University of British Columbia. Pergamon Press. Oxford. Pelasula, D.D dan Mudjiono, 2007. Laporan Akhir Monitoring Teluk Ambon. UPT. Balai Konservasi Biota Laut Ambon Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Pemerintah Kota Ambon dan Universitas Pattimura, 2002. Data dan Informasi Sumberdaya Perikanan Kota Ambon Penrose JD et al. 2005. Acoustic Techniques for Seabed Classification. Coastal for Coastal Zone Estuary and Waterway Management. Technical Report. Raymond, J. E. G. 1984. Plankton and Productivity in The Ocean. Pergamon Press. The Mac Millan Co. New York. Reid D, Scalabrin C, Petitgas P, Masse J, Auckland R, Carrera P, and Georgakarakos S. 2000. Standard protocol for the analysis of school based data from echosounder surveys. Fisheries Research, 47:125-136. Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat. Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta. Penerbit Elex Media Komputindo. 341 hal Santoso, S. 2012. Aplikasi SPSS pada Statistik Parametrik. Jakarta. Penerbit Elex Media Komputindo. 311 hal Selanno, D. A. J. 2009. Analisis Hubungan Antara Beban Pencemaran Dan Konsentrasi Limbah Sebagai Dasar Pengelolaan Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Ambon Dalam [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 399 hal. Sediadi, A. 2004. Dominasi Cyanobacteria pada musim Peralihan di Perairan Laut Banda dan sekitarnya. Makara, Sains, Vol. 8, No. 1, April 2004: 1-14 Simrad. 1993. Simrad EP 500 (Operational Manual). Horten. Skaloud P and M Rezacova. 2004. Spatial distribution phytoplankton in the eastern part of the North Sea. Departemen of Phycology. Institute of Biology. University of Copenhagen. Stanton, T. K., Chu, D., and Wiebe, P. H. 1996. Acoustic scattering characteristics of several zooplankton groups. ICES Journal of Marine Science, 53: 289–295. Subagio,W. P. F. dan D. N. N. Simanjuntak. 2003. Pengukuran Salinitas, Temperatur dan Turbiditas di Perairan Samudra Hindia dan Perairan 13arat Sumatera. Program Studi Oceanografi. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Kebumian dan Teknologi Mineral. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
56 Sumich, J. L. 1992. An Introduction to the Biology Of Marine Life. Wm.C. Brown Publisher. Sutor, M.M., Cowles T.J., Peterson W.T. and S.D. Pierce. 2005. Acoustic observations of finescale zooplankton distributions in the Oregon upwelling region. Deep-Sea Research II 52 (2005) 109–121. Svedrup et al., 1946. The Oceans: Their Physics, Chemistry and General Biology. Prentice-Hall, New York. 1087 pp. Tarigan Z dan Sapulette. 1987. Perubahan Musiman Temperatur Air Laut di Teluk Ambon Dalam. Teluk Ambon I Jurnal, Biologi, Perikanan, Oseanografi dan Geologi. Ambon: BPPSDL-PPPO-LIPI. Hal: 81-90. Tomas, C. R. 1997. Identifying marine phytoplankton. Academic Press, USA. Umar NA, 2002. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton Hubungannya dengan Kelimpahan Zooplankton (Kopepoda) dan Larva Kepiting Bakau (Scylla spp [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 164 hal. Wagey, G.A. 2002. Ecology and Physiology of Phytoplankton in Ambon Bay, Indonesia [Dissertation]. The University of British Columbia, 200 pp Walpole, E.R 1992. Pengantar Statistika: Edisi 3. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wickstead, J. H. 1965. An introduction to the study of tropical plankton, vol. 1, 1– 60. London: Hutchinson Tropical Monographs . Yamaji, C.S. 1976. Ilustration of Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co. Ltd. Tokyo, Japan. Yorba, I. 1993. Studi Tentang Kelimpahan dan Distribusi Vertikal Harian Zooplankton di Teluk Pelabuhan Ratu pada Musim Timur 1992 [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
57 Lampiran 1 Alat-alat yang dipakai dalam Penelitian
Van dorn Bottle Sampler
CTD
Wahana Penelitian (15m x 1,5m x 1,5 m)
Mikroskop
Botol Sampel 500 ml
Dongel echoview 4.8
Sedgewick‐Rafter counting chamber
Peralatan analisa Plankton
GPS dan Transducer
Alat pembesaran digital
Sistem Biosonic DT-X
Bogorov Chamber
58 Lampiran 2 Jenis-jenis zooplankton yang ditemukan
Candacia, sp
Canthocalanus sp
Centropages, sp
Pontella sp
Pontellopsis sp
Temora sp
Labidocera sp
Acrocalanus sp
Rhincalanus sp
Eucalanus sp
Saphirina sp
Oncaea sp
Oithona sp
Corycaeus sp
Macrosetella sp
59 Lanjutan lampiran 2 Jenis-jenis zooplankton yang ditemukan
Clytemnestra sp
Euterpina sp
Penilia sp
Pyrocypris sp
Euchonchaecia sp
Larva & Juvenil Lucifera
Lucifera dewasa
Acetes sp
AMPHIPODA: (Hyperia)
Sagita sp
Krohnitta sp
Thaliacea sp
Larvacea sp
Siphonophora
Medusa
60 Lanjutan lampiran 2 Jenis-jenis zooplankton yang ditemukan
Larva Peneidae
Larve Palaemonidae
Larva Cirripedia
Larva Stomatopoda
Larva Echinodermata
Larva Gastropoda
Larva Cepalophoda
Larva Bivalvia
Larva Annelida
Larva Ikan
Larva Leptochela
61 Lampiran 3 Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan
Alexandrium sp
Astereonela sp
Bacillaria sp
Bacteriastrum sp
Biddulphia sp
Ceratium sp
Chaetoceros sp
Climacodium sp
Codonellopsis sp
Coscinodiscus sp
Diploneis sp
Dynophisis sp
Eutintinnus sp
Hemialus sp
Hyalodicus sp
Leptocylndrus sp
Nitzschia sp
Noctiluca sp
62 Lanjutan lampiran 3 Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan
Pleurosigma sp
Protoperidinium sp
Pyrocystis sp
Rhizosolenia sp
Thalasiothrix sp
Thalassionema sp
Thalassiosira sp
Trichodesmium sp
63 Lampiran 4 Indeks Ekologi Fitoplankton Waktu Pengamatan 10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 0 meter 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25 Kisaran Rata-rata 10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 5 meter 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25 Kisaran Rata-rata 10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 10 meter 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25 Kisaran Rata-rata 10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 15 meter 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25 Kisaran Rata-rata 10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 20 meter 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25 Kisaran Rata-rata
Kedalaman
Keanekaragaman (H') 0,5841 0,4015 0,5311 0,3853 0,2841 0,3651 0,5638 0,3559 0,4562 0,2841 - 0,5841 0,4363 0,4418 0,4604 0,6500 0,5394 0,3690 0,5491 0,4460 0,4773 0,4908 0,3690-0,65 0,4915 0,7379 0,7626 1,0291 1,0217 0,6401 0,7961 0,8230 0,9180 0,7356 0,6401-1,0291 0,8293 0,7275 0,6078 0,9169 0,7410 0,9641 1,0157 1,1085 1,0996 0,9101 0,6078-1,1085 0,8990 0,4352 0,5333 0,6322 0,5215 1,2169 1,0310 0,9192 0,7944 0,7573 0,4352-1,2169 0,7601
Indeks Ekologi Keseragaman (E) 0,2351 0,1448 0,1961 0,1390 0,1049 0,1348 0,2198 0,1432 0,1836 0,1049 - 0,2351 0,1668 0,1778 0,1660 0,2400 0,1946 0,1363 0,2028 0,1739 0,1921 0,1975 0,1363-0,24 0,1868 0,2970 0,2750 0,3800 0,3685 0,2364 0,2940 0,3209 0,3694 0,2960 0,2364-0,38 0,3152 0,2928 0,2192 0,3386 0,2673 0,3560 0,3751 0,4322 0,4425 0,3663 0,2192-0,4425 0,3433 0,1751 0,1923 0,2334 0,1881 0,4494 0,3807 0,3584 0,3197 0,3048 0,1751-0,4494 0,2891
Dominansi (D) 0,7583 0,8335 0,7751 0,8413 0,8937 0,8429 0,7572 0,8538 0,8106 0,7572-0,8937 0,8185 0,7842 0,7808 0,6901 0,7709 0,8535 0,7669 0,8315 0,8105 0,8115 0,6901-0,8535 0,7889 0,5682 0,5989 0,4265 0,4537 0,6885 0,5411 0,5896 0,5094 0,6406 0,4265-0,6885 0,5574 0,5718 0,7118 0,5481 0,6616 0,5038 0,4305 0,4474 0,4180 0,5346 -0,2938 0,5364 0,7838 0,7236 0,6862 0,7577 0,4157 0,4528 0,5666 0,6345 0,6494 0,4157-0,7838 0,6300
64 Lampiran 5 Indeks Ekologi Zooplankton Kedalaman
0 meter
Waktu Pengamatan 10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25
Kisaran Rata-rata
5 meter
10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25
Kisaran Rata-rata
10 meter
10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25
Kisaran Rata-rata
15 meter
10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25
Kisaran Rata-rata
20 meter
Kisaran Rata-rata
10.13-10.40 13.12-13.33 16.12-16.34 19.13-19.24 22.12-22.30 01.13-01.34 04.13-04.25 07.13-07.32 10.13-10.25
Keanekaragaman (H') 1,6737 1,4786 1,9719 1,9988 1,9779 2,1967 1,8899 2,0996 2,2900 1,4786-2,29 1,9530 2,1532 1,8915 2,0627 2,0418 2,0752 2,0840 2,1062 2,4128 2,2370 1,8915-2,4128 2,1183 2,5807 2,1737 2,4680 2,2438 2,1009 2,1131 2,1910 2,3283 1,9862 1,9862-2,5807 2,2429 2,4774 2,2352 2,2206 2,4771 2,2885 2,3082 2,3862 2,4327 2,3138 2,2206-2,4774 2,3489 2,4196 1,9055 2,2661 2,3490 2,3612 2,1794 2,2485 2,3478 2,3009 1,9055-2,4196 2,2642
Indeks Ekologi Keseragaman (E) 0,5200 0,4538 0,5983 0,6375 0,6497 0,6912 0,5947 0,6523 0,7304 0,4538-0,7304 0,6142 0,6689 0,5805 0,6259 0,6512 0,6816 0,6558 0,6627 0,7496 0,7134 0,5805-0,7496 0,6655 0,8017 0,6672 0,7488 0,7156 0,6901 0,6649 0,6894 0,7233 0,6335 0,6335-0,8017 0,7038 0,7697 0,6860 0,6738 0,7900 0,7517 0,7263 0,7508 0,7558 0,7379 0,6738-0,7900 0,7380 0,7517 0,5849 0,6876 0,7492 0,7756 0,6858 0,7075 0,7294 0,7338 0,5849-0,7517 0,7117
Dominansi (D) 0,3189 0,3320 0,2015 0,1998 0,2025 0,1219 0,2540 0,1720 0,1329 0,3320-0,3320 0,2151 0,1639 0,2185 0,1108 0,1949 0,1969 0,1689 0,1634 0,1160 0,1574 0,1108-0,2185 0,1656 0,1015 0,1391 0,1108 0,1272 0,1599 0,1502 0,1609 0,1291 0,2144 0,1015-0,2144 0,1437 0,1045 0,1241 0,1232 0,1049 0,1392 0,1242 0,1292 0,1105 0,1306 0,1045-0,1392 0,1211 0,1082 0,1960 0,1344 0,1162 0,1240 0,1338 0,1413 0,1127 0,1189 0,1082-0,1960 0,1317
65 Lampiran 6 Rataan nilai indeks dispersi Morisita (I fitoplankton di perairan selama penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Rata-rata
Genus Astereonela sp Bacteriastrum sp Biddulphia sp Chaetoceros sp Coscinodiscus Climacodium Hemialus Leptocylndrus Nitzschia Pleurosigma Rhizosolenia Thalassiosira Thalasiothrix Thalassionema Ceratium Dynophisis Protoperidinium Pyrocystis Noctiluca Trichodesmium Eutintinnus Diploneis Bacillaria Alexandriumt Codellopsis Hyalodicus
) Masing-masing genera
I ,1990 0,16 1,17 2,72 1,55 0,56 1,11 0,56 0,56 1,55 1,13 1,46 0,56 3,26 2,82 1,48 3,41 0,28 0,56 0,00 1,93 1,11 0,00 0,56 0,56 1,11 0,00
χ2 hitung 40,96 97,86 8,68 1887,40 2,89 3,56 1,00 6,00 25,28 25,23 21,44 3,56 11,44 26,31 9,38 11,07 6,29 1,33 0,67 425,88 2,89 0,44 7,56 4,44 5,67 0,44
Pola Sebaran seragam Mengelompok Mengelompok Mengelompok seragam Mengelompok seragam seragam Mengelompok Mengelompok Mengelompok seragam Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok seragam seragam seragam Mengelompok Mengelompok seragam seragam seragam Mengelompok seragam
66 Lampiran 7 Rataan nilai indeks dispersi Morisita (I zooplankton di perairan selama penelitian. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Genus Candacia Canthocalanus Centropages Pontella Pontellopsis Temora Labidocera Acrocalanus Rhincalanus Eucalanus Saphirina Oncaea Oithona Corycaeus Macrosetella Clytemnestra Euterpina Penilia Pyrocypris Euchonchaecia Larva & Juvenil Lucifera Lucifera dewasa Acetes AMPHIPODA: (Hyperia) Sagita Krohnitta Thaliacea Larvacea SIPHONOPHORA MEDUSA Larva Peneidae Larve Palaemonidae Larva Cirripedia Larva Stomatopoda Larva Echinodermata Larva Gastropoda Larva Cepalophoda Larva Bivalvia Larva Annelida Larva Ikan larva leptochela
Id,1990 0 0 1,975 0 1,271 0 0 1,526 0 1,344 0 1,367 1,460 1,577 1,934 0 0 0 0 1,692 1,593 0 0 0 0 0 0 1,551 0 0 1,645 0 1,131 0 1,869 1,266 0 1,412 1,393 0 0
) Masing-masing genera
Rata-rata χ2 hitung 0 0 24,025 0 9,027 0 0 81,093 0 38,643 0 10,632 112,301 7,050 61,711 0 0 0 0 21,043 7,500 0 0 0 0 0 0 25,161 0 0 105,149 0 6,149 0 37,919 12,045 0 57,403 12,015 0 0
Pola Sebaran seragam seragam mengelompok seragam mengelompok seragam seragam mengelompok seragam mengelompok seragam mengelompok mengelompok mengelompok mengelompok seragam seragam seragam seragam mengelompok mengelompok seragam seragam seragam seragam seragam seragam mengelompok seragam seragam mengelompok seragam mengelompok seragam mengelompok mengelompok seragam mengelompok mengelompok seragam seragam
67 Lampiran 8 Nilai Kelimpahan Zooplankton (Ind/m3) dan Fitoplankton (sel/m3) di Teluk Ambon Dalam Waktu 10.19 - 10.25 13.24 - 13.29 15.50 - 15.59 18.49 - 18.58 21.50 - 22.01 00.50 - 01.00 03.46 - 04.05 06.47 - 07.01 09.49 - 09.59
Waktu 10.19 - 10.25 13.24 - 13.29 15.50 - 15.59 18.49 - 18.58 21.50 - 22.01 00.50 - 01.00 03.46 - 04.05 06.47 - 07.01 09.49 - 09.59
0 meter 188,00 144,00 252,00 232,00 208,00 307,00 255,00 238,00 120,00
Zooplankton 5 meter 50.664,74 29.280,00 26.880,00 18.720,00 19.968,00 40.512,00 21.216,00 20.928,00 18.144,00
Zooplankton 15 meter 20 meter 17.559,81 7427,39 12.000,00 4320,00 11.520,00 7392,00 14.016,00 6240,00 32.160,00 11712,00 33.120,00 11136,00 27.072,00 13632,00 19.008,00 10944,00 16.032,00 8832,00
10 meter 12.318,80 28.896,00 31.296,00 29.952,00 20.064,00 22.464,00 24.000,00 25.536,00 38.592,00
0 meter 24.133.333,33 144.466.666,67 139.600.000,00 101.066.666,67 110.666.666,67 122.000.000,00 85.066.666,67 40.533.333,33 123.133.333,33
Fitooplankton 5 meter 106.333.333,33 140.000.000,00 153.533.333,33 144.133.333,33 118.600.000,00 153.866.666,67 110.533.333,33 79.600.000,00 66.333.333,33
Fitooplankton 15 meter 20 meter 23.800.000,00 12.733.333,33 32.000.000,00 21.266.666,67 18.200.000,00 30.733.333,33 27.600.000,00 30.733.333,33 46.000.000,00 14.200.000,00 31.000.000,00 13.400.000,00 46.400.000,00 11.666.666,67 16.933.333,33 9.000.000,00 25.066.666,67 6.266.666,67
10 meter 73.800.000,00 95.666.666,67 116.266.666,67 101.800.000,00 73.400.000,00 64.400.000,00 55.600.000,00 26.733.333,33 53.666.666,67
68 Lampiran 9 Hasil Analisis Regresi Linear Hubungan Zooplankton dan Fitoplankton di Teluk Ambon Bagian Dalam Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations
0 0,0933 0,0087 -0,1329 61,9332 9
5 0,268 0,072 -0,061 11.593,050 9
10 0,144 0,021 -0,119 7.930,982 9
15 0,658 0,433 0,352 6.758,080 9
20 0,591 0,350 0,257 2.581,410 9
ANOVA OF 0 METER df Regression Residual Total
1 7 8
SS 235,9520 26.850,050 27.086,000
MS 235,9519537 3835,721149
F 0,061514366
Significance F 0,811236641
1 7 8
SS 72.555.859 9,41E+08 1,01E+09
MS 72.555.858,64 134.398.817,50
F 0,539854889
Significance F 0,486372491
1 7 8
SS 9351474 4,4E+08 4,5E+08
MS 9.351.474,477,0 62.900.482,2
F 0,148670951
Significance F 0,711258418
1 7 8
SS 2,44E+08 3,2E+08 5,64E+08
MS 244.026.235,60 45.671.647,74
F 5,343057404
Significance F 0,054066752
1 7 8
SS 25.068.418 46.645.728 71.714.147
MS 25.068.418,320 6.663.675,455
F 3,761950666
Significance F 0,09359358
ANOVA OF 5 METER df Regression Residual Total ANOVA OF 10 METER df Regression Residual Total ANOVA OF 15 METER df Regression Residual Total ANOVA OF 20 METER df Regression Residual Total
69 Lampiran 10 Echogram plankton
70 Lampiran 11 Analisis Statistik a. Analisis Faktor Correlations Matrix Deskriptor
Ketinggian Kedalaman relatif -0,251** 0,249**
Sv
Tinggi
1,000
0,487**
0,487**
1,000
-0,005
-0,251**
-0,005
Kedalaman
0,249**
Skewness
Skewness
Kurtosis
Sa
0,445**
0,389**
0,906**
-0,001
0,610**
0,602**
0,783**
1,000
-1,000**
-0,072**
-0,063**
-0,176**
-0,001
-1,000**
1,000
0,068**
0,059**
0,171**
0,445**
0,610**
-0,072**
0,068**
1,000
0,975**
0,582**
Kurtosis
0,389**
0,602**
-0,063**
0,059**
0,975**
1,000
0,539**
Sa
0,906**
0,783**
-0,176**
0,171**
0,582**
0,539**
1,000
Sv Tinggi Ketinggian relatif
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). b. Listwise N = 7038
Rotated Component Matrix Component Deskriptor 1 2 Kurtosis 0,962 0,091 Skewness 0,909 0,266 Tinggi 0,590 0,503 Sv 0,108 0,936 Sa 0,339 0,934 Kedalaman 0,014 0,088 Ketinggian relatif -0,018 -0,092
3 0,027 0,060 -0,086 0,161 0,083 0,994 -0,994
Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization a. Rotation converged in 5 iterations
Grafik Plot Komponen Deskriptor Akustik
71
72 b. a. Analisis Kluster metode K Means Cluaster
Deskriptor Zscore (Sv) Zscore (Tinggi) Zscore (Ketinggian relatif) Zscore (Kedalaman) Zscore (Skewness) Zscore (Kurtosis) Zscore (Sa)
Deskriptor Zscore (Sv) Zscore (Tinggi) Zscore (Ketinggian relatif) Zscore (Kedalaman) Zscore (Skewness) Zscore (Kurtosis) Zscore (Sa)
Deskriptor Zscore (Sv) Zscore (Tinggi) Zscore (Ketinggian relatif) Zscore (Kedalaman) Zscore (Skewness) Zscore (Kurtosis) Zscore (Sa)
1 -0,38 -0,48 -0,93 0,94 5,73 15,33 -0,46
Initial Cluster Centers Cluster 2 3 4 5 -4,79 1,40 0,11 -5,01 -0,89 2,60 0,52 -1,71 2,61 -0,54 1,49 -1,14 -2,60 0,52 -1,49 1,15 -4,01 0,02 2,66 -4,50 0,45 -0,29 3,84 0,81 -3,93 1,98 0,41 -5,13
6 -4,18 2,10 -0,82 0,81 -0,65 -0,66 -2,16
7 0,87 9,33 0,27 -0,34 0,76 0,56 2,59
8 -0,30 2,02 -0,50 0,49 4,17 9,71 0,60
9 -0,87 -1,16 1,46 -1,45 -1,80 -2,61 -1,37
1 0,09 1,21 0,19 -0,20 2,35 3,52 0,60
Final Cluster Centers Cluster 2 3 4 5 -3,81 0,88 0,53 -4,14 -0,67 -0,02 0,21 -0,85 1,82 -0,96 1,07 -1,13 -1,82 0,96 -1,07 1,13 -1,04 0,05 0,38 -1,16 -0,64 -0,18 0,20 -0,63 -3,12 0,68 0,54 -3,51
6 7 -0,62 0,48 -0,61 2,84 -0,52 -0,01 0,52 -0,0059 -0,74 0,98 -0,63 0,96 -0,76 1,34
8 0,22 0,37 -0,56 0,56 1,09 1,04 0,39
9 -0,85 -0,64 1,08 -1,08 -0,89 -0,70 -0,95
ANOVA Cluster Error Mean Square df Mean Square 661,749 8 0,248 542,522 8 0,384 673,262 8 0,235 673,016 8 0,235 561,180 8 0,362 614,887 8 0,301 670,382 8 0,238
df 7028 7028 7028 7028 7028 7028 7028
F 2669,771 1414,355 2867,852 2863,399 1548,743 2041,391 2816,255
b. Cluster Analysis of Variables Correlation Coefficient Distance, Average Linkage Amalgamation Steps Number of obs. Number of Similarity Distance Clusters New in new Step clusters level level joined cluster cluster 1 6 95.8211 0.08358 1 7 1 2 2 5 94.3744 0.11251 5 6 5 2 3 4 76.0963 0.47807 2 5 2 3 4 3 71.9830 0.56034 1 2 1 5 5 2 55.2421 0.89516 1 4 1 6 6 1 37.1289 1.25742 1 3 1 7
Sig. 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
73 c. Analisa Diskriminan
Function 1 2 3 4 5 6
Eigenvalue 0,670a 0,018a 0,014a 0,009a 0,002a 0,001a
Eigenvalues % of Variance Cumulative % 93,8 93,8 2,5 96,4 2,0 98,3 1,2 99,5 0,3 99,9 0,1 100,0
Canonical Correlation ,633 ,133 ,118 ,092 ,048 ,031
Wilks' Lambda Summary of Stepwize statistics Number Step of Variables 1 1
Exact F Lambda
df1
df2
df3
Statistic df1
Approximate F
df2
Sig.
Statistic df1
df2
Sig.
0,663
1
8
7028 446,157
8
7028 0,000
2
2
0,615
2
8
7028 241,238
16
14054 0,000
3
3
0,605
3
8
7028
160,72
24 20378,13 0,000
4
4
0,592
4
8
7028
123,66
32 25908,51 0,000
5
5
0,583
5
8
7028
101,02
40 30619,70 0,000
6
6
0,573
6
8
7028
86,20
48 34560,16 0,000
Wilks' Lambda Summary of Canonical Discriminant Functions Test of Function(s)
Wilks' Lambda
Chi-square
df
Sig.
1 through 6
0,573
3910,686
48
0,000
2 through 6
0,957
307,306
35
0,000
3 through 6
0,975
181,209
24
0,000
4 through 6
0,988
83,436
15
0,000
5 through 6
0,997
23,160
8
0,003
6
0,999
6,960
3
0,073
Functions at Group Centroids Function Kelompok 1 2 3 4 5 1 -2,268 -0,124 -0,180 -0,101 0,081 2 -1,466 -0,024 -0,149 -0,200 -0,113 3 -1,309 0,009 -0,172 0,351 -0,032 4 -0,192 0,186 0,027 0,028 0,046 5 0,477 -0,200 0,001 -0,009 0,071 6 0,631 -0,140 -0,015 0,014 -0,046 7 0,598 0,165 -0,080 -0,080 0,006 8 0,727 0,073 -0,063 0,030 -0,016 9 -,578 0,007 0,225 -0,003 -0,018 Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means
6 -0,075 0,054 0,044 -0,006 0,038 -0,023 0,026 -0,036 0,001
74 Classification Resultsa,c Predicted Group Membership Kel Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 125 55 59 13 13 4 4 1 32 306 2 63 85 56 22 15 4 4 2 55 306 3 36 41 124 26 4 1 5 2 66 305 4 18 67 115 253 74 35 129 72 155 918 Count 5 32 54 67 36 87 197 184 208 53 918 6 9 58 69 81 94 306 228 305 74 1224 7 5 67 32 54 72 115 259 273 41 918 8 1 13 56 70 42 207 213 260 56 918 9 17 187 253 204 55 33 87 35 353 1224 Original 1 40,8 18,0 19,3 4,2 4,2 1,3 1,3 0,3 10,5 100,0 2 20,6 27,8 18,3 7,2 4,9 1,3 1,3 0,7 18,0 100,0 3 11,8 13,4 40,7 8,5 1,3 0,3 1,6 0,7 21,6 100,0 4 2,0 7,3 12,5 27,6 8,1 3,8 14,1 7,8 16,9 100,0 % 5 3,5 5,9 7,3 3,9 9,5 21,5 20,0 22,7 5,8 100,0 6 0,7 4,7 5,6 6,6 7,7 25,0 18,6 24,9 6,0 100,0 7 0,5 7,3 3,5 5,9 7,8 12,5 28,2 29,7 4,5 100,0 8 0,1 1,4 6,1 7,6 4,6 22,5 23,2 28,3 6,1 100,0 9 1,4 15,3 20,7 16,7 4,5 2,7 7,1 2,9 28,8 100,0 1 123 55 61 13 13 4 4 1 32 306 2 64 81 57 23 15 4 4 2 56 306 3 36 42 119 28 4 1 5 2 68 305 4 18 67 115 251 74 35 131 72 155 918 Count 5 32 54 67 36 78 204 186 208 53 918 6 9 58 69 81 98 297 228 310 74 1224 7 5 67 32 54 74 115 255 275 41 918 8 1 13 56 71 43 211 216 251 56 918 9 17 188 254 207 55 33 87 35 348 1224 Crossvalidatedb 1 40,2 18,0 19,9 4,2 4,2 1,3 1,3 0,3 10,5 100,0 2 20,9 26,5 18,6 7,5 4,9 1,3 1,3 0,7 18,3 100,0 3 11,8 13,8 39,0 9,2 1,3 0,3 1,6 0,7 22,3 100,0 4 2,0 7,3 12,5 27,3 8,1 3,8 14,3 7,8 16,9 100,0 % 5 3,5 5,9 7,3 3,9 8,5 22,2 20,3 22,7 5,8 100,0 6 0,7 4,7 5,6 6,6 8,0 24,3 18,6 25,3 6,0 100,0 7 0,5 7,3 3,5 5,9 8,1 12,5 27,8 30,0 4,5 100,0 8 0,1 1,4 6,1 7,7 4,7 23,0 23,5 27,3 6,1 100,0 9 1,4 15,4 20,8 16,9 4,5 2,7 7,1 2,9 28,4 100,0 a. 26,3% of original grouped cases correctly classified. b. Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. c. 25,6% of cross-validated grouped cases correctly classified.
75 Lampiran 12 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Parameter Fisik Perairan terhadap Kelimpahan Fitoplankton SUMMARY OUTPUT OF 0 METER Regression Statistics Multiple R 0,841 R Square 0,707 Adjusted R Square 0,413 Standard Error 32.252.205 Observations 9 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
4 4 8
SS 1E+16 4,16E+15 1,42E+16
Coefficients 86.881.192.691,99 211.932.083,81 39.904.818,85 -92.263.732,76 -299.923.039,05
MS 2,51E+15 1,04E+15
Standard Error 1.170.811.908.137,22 338.134.243,84 743.154.837,73 1.161.772.642,72 903.857.202,69
F 2,409153816
t Stat
Significance F 0,207647194
P-value 0,07 0,63 0,05 -0,08 -0,33
0,94 0,56 0,96 0,94 0,76
SUMMARY OUTPUT OF 5 METER Regression Statistics Multiple R 0,998 R Square 0,995 Adjusted R Square 0,990 Standard Error 3.140.272 Observations 9 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
4 4 8 Coefficients -4,00758E+12 1.143.898.504 -2.614.998.784 3.982.165.308 -3.554.268.008
SUMMARY OUTPUT OF 10 METER Regression Statistics Multiple R 0,418 R Square 0,175 Adjusted R Square -0,650 Standard Error 35.487.441 Observations 9
SS 8E+15 3,94E+13 8,04E+15
MS 2E+15 9,86E+12
Standard Error 1,98076E+11 60.338.284,35 143.661.515 197.062.796,5 172.863.524,4
F 202,7997591
Significance F 7,19931E-05
t Stat -20,2325 18,95809 -18,2025 20,2076 -20,5611
P-value 3,52E-05 4,56E-05 5,36E-05 3,54E-05 3,3E-05
76 Lanjutan lampiran 12 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
4 4 8 Coefficients -7,7964E+12 2.407.491.318 -5.994.938.997 7.760.864.481 4.086.609.810
SS 1,07E+15 5,04E+15 6,11E+15
MS 2,67E+14 1,26E+15
Standard Error 9,70983E+12 3.074.976.348 7.611.871.608 9.668.627.737 5.184.482.387
F 0,211934119
Significance F 0,918954044
t Stat -0,80294 0,78293 -0,78758 0,802685 0,788239
P-value 0,467008 0,477426 0,47499 0,467139 0,474645
F 3,27737829
Significance F 0,138414337
t Stat -0,60878 2,177757 -0,17321 0,578707 -0,26392
P-value 0,575549 0,094982 0,870898 0,593809 0,80488
F 0,556562625
Significance F 0,707881715
SUMMARY OUTPUT OF 15 METER Regression Statistics Multiple R 0,875 R Square 0,766 Adjusted R Square 0,532 Standard Error 7.282.804 Observations 9 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
4 4 8 Coefficients -1,11043E+11 175.276.874,3 -29.084.895,99 104.791.216,5 -86.373.183,22
SS 6,95E+14 2,12E+14 9,07E+14
MS 1,74E+14 5,3E+13
Standard Error 1,82402E+11 80.485.043,63 16.7917.048,8 181.078.166,7 327.268.820,4
SUMMARY OUTPUT OF 20 METER Regression Statistics Multiple R 0,598 R Square 0,358 Adjusted R Square -0,285 Standard Error 10.147.015 Observations 9 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
4 4 8 Coefficients 1,38123E+12 -435.470.816,5 767.454.216,2 -1.365.136.737 -390.393.634,2
SS 2,29E+14 4,12E+14 6,41E+14
MS 5,73E+13 1,03E+14
Standard Error 3,29486E+12 1.068.205.227 2.400.806.620 3.275.437.317 764.567.542,3
t Stat 0,419207 -0,40767 0,319665 -0,41678 -0,51061
P-value 0,696599 0,704394 0,765222 0,698234 0,636515
77 Lampiran 13 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Parameter Fisik Perairan terhadap Kelimpahan Zooplankton SUMMARY OUTPUT OF 0 METER Regression Statistics Multiple R 0,7694 R Square 0,5919 Adjusted R Square 0,1838 Standard Error 52,5680 Observations 9 ANOVA df
SS 16.032,4185 11.053,5815 27086
Regression Residual Total
4 4 8
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
Coefficients -2066.825,771 655,6419943 -1.444,641557 2.051,532834 2.159,623648
MS 4.008,104624 2.763,395376
Standard Error 1.908.311,317 551,1264447 1.211,271236 1.893,57818 1.473,200706
F 1,450427492
t Stat -1,083065301 1,189639874 -1,192665618 1,083415967 1,465939868
Significance F 0,363690794
P-value 0,33970233 0,299974318 0,298911945 0,339564081 0,216543653
SUMMARY OUTPUT OF 5 METER Regression Statistics Multiple R 0,7765 R Square 0,6030 Adjusted R Square 0,2060 Standard Error 102,0106 Observations 9 ANOVA df
SS 63.228,23847 41.624,65042 104.852,8889
Regression Residual Total
4 4 8
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
Coefficients -12.151.763,67 3.940,074374 -9.455,689897 1.2107,5494 -7113,442498
SUMMARY OUTPUT OF 10 METER Regression Statistics Multiple R 0,8249 R Square 0,6805 Adjusted R Square 0,3611 Standard Error 61,7549 Observations 9
MS 15.807,05962 10.406,1626
Standard Error 6.434.434,034 1.960,067059 4.666,791678 6.401,512738 5.615,40825
F 1,519009477
t Stat -1,888552063 2,010173252 -2,026164987 1,891357543 -1,266772099
Significance F 0,34765879
P-value 0,131970995 0,114776268 0,112703619 0,131544217 0,273975401
78 Lanjutan lampiran 13 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
SS 32.496,206 15.254,682 47.750,888
4 4 8
Coefficients 26.195.879,76 -7.693,895892 22.357,3321 -26.156,56518 -17.909,17159
MS 8.124,051 3.813,670
Standard Error 16.896.951,5 5.351,046058 13.246,1102 16.825,25863 9.021,989407
F 2,130244
Significance F 0,240964312
t Stat 1,550331712 -1,43783025 1,687841318 -1,554601076 -1,985057927
P-value 0,195997699 0,223860778 0,166714385 0,195012772 0,118116198
F 1,391878
Significance F 0,378221631
t Stat 1,42999875 -0,399114147 0,921083527 -1,434961816 0,720366028
P-value 0,22594322 0,710199727 0,409131505 0,224621272 0,511149193
F 0,147816
Significance F 0,954517
t Stat -0,620459141 0,652839077 -0,611546335 0,619999281 -0,256867781
P-value 0,568558273 0,549480162 0,573887618 0,568832425 0,809952283
SUMMARY OUTPUT OF 15 METER Regression Statistics Multiple R 0,7628 R Square 0,5819 Adjusted R Square 0,1638 Standard Error 79,8744 Observations 9 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
SS 35.520,30818 25.519,69182 61040
4 4 8
Coefficients 2.860.718,608 -352,3070884 1.696,300865 -2.849,807394 2.585,633288
MS 8.880,077046 6.379,922954
Standard Error 2.000.504,272 882,7226274 1.841,636307 1.985,981343 3.589,332626
SUMMARY OUTPUT OF 20METER Regression Statistics Multiple R 0,3589 R Square 0,1288 Adjusted R Square -0,7424 Standard Error 41,4726 Observations 9 ANOVA df
SS 1.016,968219 6.879,92067 7.896,888889
Regression Residual Total
4 4 8
Intercept Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
Coefficients -8.355.509,423 2.850,258553 -6.000,811217 8.300,110894 -802,6919515
MS 254,2420547 1.719,980168
Standard Error 13.466.655,37 4.365,943544 9.812,520942 13.387,29117 3.124,922664
79 Lampiran 14 Nilai Korelasi plankton dengan parameter fisik perairan A. Zooplankton 0 Meter
Zooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
Zooplankton 1 0,182 -0,489 -0,524 0,322
Suhu
Zooplankton 1 0,069 -0,277 -0,409 -0,280
Suhu
Zooplankton 1 -0,107 0,594 0,439 -0,106
Suhu
Zooplankton 1 0,551 -0,303 -0,655 0,023
Suhu
Zooplankton 1 0,209 -0,045 -0,145 -0,074
Suhu
1 0,165 -0,093 0,210
Salinitas Densitas Turbiditas
1 0,965 0,228
1 0,163
1
5 Meter Zooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
1 0,712 -0,233 -0,070
Salinitas Densitas Turbiditas
1 0,512 0,120
1 0,296
1
10 Meter Zooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
1 -0,283 -0,805 0,739
Salinitas Densitas Turbiditas
1 0,794 0,095
1 -0,438
1
15 meter Zooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
1 -0,382 -0,820 -0,330
Salinitas Densitas Turbiditas
1 0,739 0,227
1 0,323
1
20 meter Zooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
1 -0,363 -0,842 -0,245
Salinitas Densitas Turbiditas
1 0,806 0,047
1 0,199
1
80 Lanjutan lampiran 14 B. Fitoplankton 0 Meter Fitooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
Fitooplankton 1 0,825 0,001 -0,213 0,063
Suhu
Fitooplankton 1 0,206 0,484 0,469 -0,353
Suhu
Fitooplankton 1 -0,068 0,186 0,164 0,056
Suhu
Fitooplankton 1 0,854 -0,223 -0,602 -0,329
Suhu
Fitooplankton 1 0,279 -0,490 -0,472 -0,319
Suhu
1 0,165 -0,093 0,210
Salinitas
1 0,965 0,228
Densitas
1 0,163
Turbiditas
1
5 Meter Fitooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
1 0,712 -0,233 -0,070
Salinitas
1 0,512 0,120
Densitas
1 0,296
Turbiditas
1
10 Meter Fitooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
1 -0,283 -0,805 0,739
Salinitas
1 0,794 0,095
Densitas
1 -0,438
Turbiditas
1
15 Meter Fitooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
1 -0,382 -0,820 -0,330
Salinitas
1 0,739 0,227
Densitas
1 0,323
Turbiditas
1
20 Meter Fitooplankton Suhu Salinitas Densitas Turbiditas
1 -0,363 -0,842 -0,245
Salinitas
1 0,806 0,047
Densitas
1 0,199
Turbiditas
1
81
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 06 Desember 1975 di Ambon. Penulis adalah anak pertama dari Bapak Thomas Karuwal (Alm) dan Ibu Christina Budiman (Almh). Penulis menamatkan kuliah strata satu pada Universitas Pattimura Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Program Studi Ilmu Kelautan tahun 2000. Kemudian diberi kesempatan melanjutkan ke jenjang Magister pada program studi Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor di tahun 2010 dengan disponsori biaya dari BPPS Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sekarang bekerja sebagai staf pengajar Kopertis Wilayah XII untuk Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat yang dipekerjakan pada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, sejak tahun 2005.