PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA DARI KONGRES KE
KONGRES
1.1 PENGANTAR Dibandingkan dengan bahasa Mandarin, bahasa Inggris, dan bahasa-bahasa besar lainnya, usia bahasa Indonesia memang baru seumur jagung. Bahasa Indonesia dimunculkan sebagai bahasa Indonesia dengan dasar bahasa Melayu. Istilah dimunculkan itu mengisyaratkan bahwa bahasa Indonesia adalah entitas baru yang sebelum saat pemunculan itu belun ada. Bahasa Indonesia dimunculkan secara politis untuk menjadi tidak sekadar bahasa Melayu yang entitas dan fungsi sosialnya terbatas, tetapi menjadi bahasa Indonesia yang kemudian diberi kedudukan dan fungsi sosial, fungsi ekonomis, dan fungsi politis yang semuanya jauh lebih kompleks daripada fungsi bahasa Melayu sebagai bahan dasarnya. Dengan posisi itu, bahasa Indonesia harus dikembangkan agar dapat mengemban fungsi-fungsinya baik dalam kedudukan sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia — dari kongres ke kongres — telah memberi arah pengembangan bahasa Indonesia yang kemudian menjadi pedoman perjalanan kemana bahasa Indonesia itu harus dibawa. Sebagian besar peserta kongres ini pasti sepakat kalau dikatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang telah terkembang. Sebagai sarana ekspresi, bahasa Indonesia telah dikembangkan menjadi maujud yang nyaris sempurna. Kongres Bahasa Indonesia menjadi panduan yang baik untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern yang mampu menjalankan fungsi sosial, fungsi ekonomis, dan fungsi politisnya secara baik.
1.2 BAHASA INDONESIA : BAHASA MELAYU Liaw Yock Fang (2003) mendaftar banyak perbedaan baik pada pada tataran bunyi maupun leksikal antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Bahkan juga tidak sedikit kata yang sama tetapi memiliki makna yang lain. Liaw Yock Fang akhirnya menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tidak identik dengan bahasa Melayu karena banyaknya kosakata daerah ke dalam bahasa Indonesia. Dapat diprediksi bahwa warna daerah dalam khazanah kosakata bahasa Indonesia pasti akan bertambah dari waktu-waktu. Jika dilihat kontaknya dengan bahasa daerah, sudah pasti juga keadaan bahasa Indonesia jauh lebih kompleks. Kedwibahasaan di Indonesia akan membuat bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa yang berbeda dengan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Akan tetapi, dengan terbitnya Kamus Bahasa Melayu Nusantara, bukan tidak mungkin keragaman kosakata bahasa Indonesia yang diambil dari berbagai bahasa daerah itu, juga serta-merta akan masuk ke bahasa Melayu. Dalam penelitian saya (2008) telah dilaporkan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Malaysia dan Melayu Brunei Darussalam hanya memiliki kesamaan tipe berkisar 30%
saja. Kajian terhadap korpus bahasa Indonesia, bahasa Melayu Malaysia, dan bahasa Melayu Brunei Darussalam menunjukkan hasil yang menarik. Kajian dilakukan atas korpus yang 518.040 kata, yaitu terdiri atas 232.344 kata korpus BI, 167.588 kata korpus BM, dan 118.108 kata korpus BD.1 Analisis dilakukan dengan menentukan indeks tipe-token (typetoken)2 kemudian membandingkan indeks-indeks itu sehingga diketahui hubungan BI, BM, dan BB. Penghitungan dilakukan pada tataran kata, bukan fonem atau frasa.
Tabel 1: Indeks Tipe Bahasa Indonesia, Melayu Malaysia, dan Melayu Brunei Tipe BI BM BB
BI 0,31 0,26
BM 0,31 0,34
BB 0,26 0,34 -
Indeks-indeks di dalam tabel itu menunjukkan bahwa seberapa dekat ketiga bahasa serumpun ini sekarang. Berdasarkan indeks tipe, kesamaan ketiga bahasa itu berkisar 30,4% saja. Angka indeks tipe jauh lebih kecil dibandingkan indeks token karena dalam penghitungan indeks tipe, frekuensi kemunculan kata di dalam korpus tidak diperhatikan. Dengan demikian, berdasarkan indeks tipenya, bahasa Indonesia, bahasa Melayu Malaysia, dan bahasa Melayu Brunei hanya memiliki kesamaan tidak lebih dari 30,4% saja. Berdasarkan tipenya, kesamaan terbesar terdapat dalam token BM dan BB (0,34). Itu artinya terdapat sekitar 34,0% kosakata dalam korpus bahasa Melayu Malaysia sama dengan kosakata dalam korpus bahasa Melayu Brunei. Sementara, kesamaan tipe bahasa Indonesia dengan kedua bahasa itu hanya berkisar 28,5% saja. Bahkan, kesamaannya dengan bahasa Melayu Brunei hanya berkisar 26,0% saja.
1 2
Sehubungan dengan ukuran korpus, semakin besar korpus yang dibandingkan semakin baik. Ukuran korpus bahasa yang dibandingkan sebaiknya berimbang. Konsep tipe-token itu dikenalkan oleh seorang filosof Amerika yang bernama Charles Sanders Pierce dalam kumpulan tulisannya tahun 1931 sampai 1958. Lyons (1979:13) mencontohkan kalimat: ((1) There are nine letters in the word reference dan (2) There are five (different) letters in the word reference; jumlah huruf di kata reference adalah token, sedangkan jumlah jenis hurufnya adalah tipe. Dalam tataran kata, jumlah token diartikan sebagai jumlah kata di dalam sebuah korpus, sedangkan tipe adalah jumlah kata yang berbeda di dalam sebuah korpus. Indeks tipe dan indeks token dirumuskan sendiri dengan rasio pembagian jumlah tipe yang ditemukan dan total tipe. (baca Stanford Encyclopedia of Philosophy di http://stanford.edu/entries/type-tokens/#Bib).
BI
BD
BM Daerah Tipe Bersama
Daerah tipe bersama begitu kecil di dalam korpus ketiga bahasa ini. Itu berarti, kesamaan ketiga bahasa itu dilihat dari kosakatanya juga kecil. Apa sesungguhnya yang menyebabkan ini? Ada beberapa hal yang dapat dihipotesiskan menjadi penyebab yang semuanya dapat dikaitkan dengan kepekatan dunia Melayu, interferensi bahasa asing, dan peran bahasa daerah. Kemudian apakah kerja sama kebahasaan yangmelibatkan tiga negara ini dapat memperbesar kesamaan ketiga bahasa? Pertanyaan yang terakhir ini tampaknya harus dijawab tidak. Atau kalaupun iya, sangat kecil dan lembat pertumbuhannya. Kerja sama pengembangan peristilahan yang dilakukan sejak 1974 hingga tahun 2005, telah menghasilkan tidak kurang dari 325.000-an3 istilah melalui forum kerja sama negara serumpun itu (baca Sugono, 2003). Meskipun sebagian besar (85,1%) istilah yang dikembangkan oleh Mabbim berkategori sama (lihat Gambar 1) kesamaan itu tidakmuncul di dalam korpus yang merupakan realisasi berbahasa yang sebenarnya.
3
Sebagai bandingan, Komisi Istilah yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia selama 15 tahun (1950–1966) telah menghasilkan 321.719 istilah dari 23 bidang ilmu (baca Puryadi, 2007:68)
Tidak Sama
Sama
35 30
persentase
25 20 15 10 5 0 1970
1980
1990
2000
periode
Gambar 1: Perbedaan Kategori Hasil Pengembangan Istilah Sementara itu, pengembangan istilah di dalam bahasa Indonesia secara umum lebih banyak melakukan perekayasaan makna atas kosakata bahasa Indonesia yang telah ada. Di dalam pangkalan data istilah bahasa Indonesia – Glosarium Istilah Asing Indonesia – bahan dasar pembentukan istilah ternyata masih bersumber dari bahasa Indonesia. Dari 387.983 kata yang ada di dalam glosarium istilah Indonesia, jika diklasifikasikan atas dasar sumbernya akan diperoleh data seperti yang tampak dalam tabel berikut.
Tabel 3: Sumber Istilah Bahasa Indonesia Sumber Bahasa Asing Bahasa Serumpun Bahasa Indonesia Total
n 61.757 3257 322.969 387.983
% 15,9 0,8 83,2 100,0
Ternyata sumber terbesar pengembangan istilah bahasa Indonesia adalah bahasa Indonesia sendiri, yaitu sebesar 83,2%. Data itu menunjukkan bahwa sesungguhnya kosakata bahasa Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk menghasilkan istilah baru, baik dalam paduannya dengan kata lain dari bahasa Indonesia, paduannya dengan kata tertentu dengan bahasa serumpun, maupun paduannya dengan kata lain yang diserap. Kata bahasa asing – terutama bahasa Inggris – hanya berkisar 15,9%, sedangkan kata yang berasal dari unsur daerah hanya berkisar 0,8% saja. Istilah serapan yang cenderung lebih disukai pengguna sesungguhnya tidak terlalu banyak. Ini yang memberi jaminan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu tidak akan tumbuh semakin mendekat, kecuali bahasa
Melayulah yang mendekat ke dalam bahasa Indonesia. Dengan kebijakan pengembangan bahasa Indonesia seperti saat ini — yaitu dengan menggali sebanyak-banyaknya kekayaan bahasa daerah di Indonesia4 — dapat dipastikan juga bahwa bahasa Indonesia akan tumbuh menjadi bahasa yang berbeda sama sekali dengan bahasa leluhurnya.
1.3 ARAH PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA Dalam hal pengembangan bahasa Indonesia, hendak kemana sesungguhnya bahasa Indonesia akan dibawa? Sebagai forum tertinggi dan terbesar pengguna bahasa Indonesia, Kongres Bahasa Indonesia selalu memberikan arah kemana bahasa Indonesia harus dibawa. Karena sadar bahwa bahasa Indonesia yang keterbatasan kosakata bahasa Indonesia saat itu, Kongres Bahasa Indonesia I (Solo, 25—27 Juni 1938) mengamanatkan agar bahasa Indonesia dikembangkan dengan cara mengambil kata-kata asing untuk ilmu pengetahuan dari perbendaharaan umum. Akan tetapi, penyerapan itu haruslah dilakukan secara hatihati, dan ditugaskan suatu badan tertentu. Tidak memberikan keterangan yang lebih rinci, apa yang dimaksud kata-kata asing dan dilakukan secara hati-hati dalam butir putusan Kongres Bahasa Indonesia itu. Yang tersirat dari putusan itu adalah pengambilan kosakata harus memenuhi syarat sumber dan kriteria tertentu. Kongres Bahasa Indonesia II (Medan, 28 Oktober─2 November 1954) kemudian memberi batasan yang lebih tegas, yaitu bahwa 1.
Kata asing diambil untuk memperlengkap kata-kata yang diperlukan di dalam dunia ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
2.
Istilah-istilah yang telah biasa dipakai diakui.
3.
Istilah itu disaring dari apa yang telah sebarluaskan Komisi Istilah dengan memperhatikan makna utuh, bukan menerjemahan kata demi kata.
4.
Istilah internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (ketika itu disebut istilah dalam lapangan ilmiah), serta istilah kebudayaan dan kebudayaan diterima dengan penyesuaian lafal.
5.
Pengambilan kata-kata dari bahasa daerah dan bahasa serumpun diutamakan.
Kongres Bahasa Indonesia II ini juga telah memberikan arah hubungan timbal balik positif antara pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Pengembangan bahasa Indonesia tidak boleh menghambat perkembangan bahasa-bahasa daerah dan sebaliknya pengembangan bahasa-bahasa daerah tidak boleh pula menolak bahasa Indonesia. Selama ini, bahasa Indonesia dan bahasa daerah dianggap berada pada dua kutup yang tidak bisa dipertemukan. Kewaspadaan para pakar di dalam Kongres Bahasa Indonesia II ini telah mencoba memberi batasan agak kedua kutub itu bisa dipertemukan dengan pola hubungan yang harmonis. Kongres Bahasa Indonesia III (Jakarta, 28 Oktober─3 November 1978) memandang perlu memberikan landasan wawasan kebahasaan yang baik dalam pengembangan
4
Setakat ini, telah diperoleh sekitar 1.714 kata yang potensial akan diangkat menjadi lema Kamus Besar Bahasa Indonesia.
kosakata bahasa Indonesia. Pengembangan kosakata yang tidak dilandasi oleh wawasan bahasa yang baik seringkali akan menjurus ke pertumbuhan yang kurang teratur. Istilah kata-kata asing dalam putusan Kongres Bahasa Indonesia I kemudian dibatasi di dalam Kongres Bahasa Indonesia III, yaitu terutama bahasa Inggris. Kongres Bahasa Indonesia IV (Jakarta, 21─26 November 1983) tidak sekadar mengarahkan strategi pengembangan kosakata bahasa Indonesia, melainkan juga mengamatkan perlunya menyusun kamus besar bahasa Indonesia yang memuat tidak hanya bentuk-bentuk leksikon tetapi juga lafal yang dianggap baku, kategori sintaksis setiap kata, dan batasan, serta contoh pemakaian yang lebih lengkap. Jika mungkin, kamus ini perlu dilengkapi dengan gambar dan keterangan mengenai asal kata. Dalam rangka memegang arah pengembangan bahasa dalam Kongres Bahasa Indonesia II, selain penyusunan kamus bahasa Indonesia, penulisan kamus bahasa daerah yang merupakan sumber untuk memperkaya bahasa nasional juga perlu dilakukan. Lebih teknis lagi, Kongres Bahasa Indonesia IV ini sudah mengarahkan adanya kerja sama penyelarasan istilah yang digunakan oleh lembaga-lembaga pemerintah (departemen dan nondepartemen) dan instansi-instansi swasta yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan. Pembentukan dan penyeragaman istilah serta tata nama hendaknya dibuat dengan kerangka pemerian bahwa istilah-istilah itu perlu memenuhi selera naluri para pemakainya sehingga dapat benar-benar diterima dan dipakai. Pusat Bahasa – ketika itu bernama Pembinaan dan Pengembangan Bahasa – harus mengkoordinasikan kerja sama itu dan menyebarluaskan hasil kerja sama. Tampaknya hingga tahun 1983 itu, kesan bahwa masyarakat tidak mengindahkan arahan Kongres Bahasa Indonesia I tampak di mata peserta kongres. Untuk itu, Kongres Bahasa Indonesia IV, kembali mengingatkan perlunya sikap hati-hati dalam memilih unsur-unsur dari bahasa lain, terutama bahasa asing untuk pengembangan kosakata bahasa Indonesia. Dalam konteks itu penggalian unsur daerah di dalam pengembangan bahasa Indonesia perlu digiatkan. Kesadaran untuk memperlugas ungkaopan bahasa Indonesia muncul tahun 1988. Kongres Bahasa Indonesia V (Jakarta, 28 Oktober─3 November 1988) mengarahkan pengembangan bahasa bahwa pengembangan bahasa Indonesia harus dilakukan dengan landasan temuan penelitian bahasa Indonesia yang dilakukan secara terarah dan terpadu. Pengembangan bahasa Indonesia agar menjadi bahasa ilmiah dan modern, tidak boleh dikungkung oleh sikap nasionalisme sempit yang berlebihan (chauvinisme). Bahasa Indonesia perlu dikembangkan dan dalam perkembangan itu penuturnya tidak usah takut untuk memungut kata baru, baik yang digali dari bumi sendiri maupun yang dari luar sesuai dengan keadaan dan keperluan. Kongres Bahasa Indonesia VI (Jakarta, 28 Oktober─2 November 1993) mengamanatkan agar kegiatan penelitian bahasa dan sastra perlu ditingkatkan dalam jumlah dan mutu untuk memantapkan upaya pengembangan bahasa dan sastra. Karena ada kesejajaran dalam hubungan timbal balik antara pencendekiaan laras bahasa keilmuan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ilmuwan hendaknya mengembangkan laras bahasa keilmuan yang sesuai dengan bidang keahliannya. Untuk memantapkan laras bahasa keilmuan itu, diperlukan kosakata dan peristilahan khusus yang tentu saja melibatkan mereka.
Selain pengembangan kosakata, Kongres Bahasa Indonesia VI memandang perlu adanya kamus dwibahasa untuk meningkatkan mutu terjemahan, baik yang menyangkut karya ilmiah maupun yang menyangkut karya sastra. Kongres juga menganggap perlu adanya buku-buku acuan kebahasaan seperti pedoman pemakaian bahasa yang baik dan benar, pedoman penulisan laporan ilmiah, pedoman penyuntingan, dan berbagai jenis kamus untuk menghasilkan terbitan yang mutunya baik dan segi isi dan bahasanya. Bukubuku acuan seperti ini hendaknya diterbitkan dan disebarluaskan secara komersial. Tentang pengembangan bahasa Indonesia, Kongres Bahasa Indonesia VII (Jakarta, 26─30 Oktober 1998) mengarahkan agar pengembangan kosakata baru perlu ditingkatkan dengan memrioritaskan pada pengembangan peristilahan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan eufemisme secara berlebihan dengan maksud menutup-nutupi kenyataan yang negatif harus dihindarkan, sedangkan eufemisme yang berkaitan dengan kesopansantunan berbahasa serta adat istiadat perlu dilestarikan. Selain itu, Kongres juga memberi arah yang tegas atas tentang bagaimana mengembangkan kosakata dan istilah bahasa Indonesia, tetapi lebih banyak arahan kepada para pengambil kebijakan dan pihak-pihak lain di luar pakar bahasa. Kongres Bahasa Indonesia ini juga mengamatkan perlunya (1) pemanfaatan sumber rujukan yang telah diterbitkan, antara lain, oleh Pusat Bahasa dalam pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia; (2) pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh yang telah berjasa besar dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia oleh pemerintah; (3) pelibatan secara lebih aktif organisasi profesi, termasuk organisasi profesi kebahasaan, dan dunia usaha dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia di bidangnya masing-masing; (4) perlunya aturan perundang-undangan tentang pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah; dan (5) perlunya penyusunan buku acuan khusus untuk pendidikan. Kongres Bahasa Indonesia VIII (Jakarta, 14–17 Oktober 2003) kembali menegaskan perlunya pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitan fungsi bahasa ini sebagai sebagai sarana komunikasi dalam pengembangan ilmu dan teknologi serta seni. Untuk fungsi itu juga, atas bahasa Indonesia perlu dilakukan pemantapan struktur bahasa. Pemerkayaan bahasa Indonesia perlu juga memanfaatkan berbagai sumber dari bahasa daerah secara proporsional. Mutu dan daya ungkap bahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan sehingga dapat menjadi sarana yang lebih ampuh dalam pengembangan ilmu dan teknologi serta seni. Jadi, ddapat dirangkum bahwa arah pengembangan kosakata bahasa Indonesia kelakukan dengan tujuan, cara, dan sumber pengembangan sebagai berikut. Tujuan: 1. menyediakan kosakata ilmu pengetahuan 2. memperlengkap kata-kata yang diperlukan di dalam dunia ilmu pengetahuan dan kebudayaan 3. menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah dan modern
Sumber: 1. kata-kata asing kosakata umum 2. kata asing dan istilah-istilah yang telah biasa dipakai. 3. kata-kata dari bahasa daerah dan bahasa serumpun diutamakan Cara: 1. secara hati-hati 2. menyaring kosakata yang disebarluaskan Komisi Istilah dengan memperhatikan makna utuh, bukan menerjemahan kata demi kata 3. menerima istilah internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (ketika itu disebut istilah dalam lapangan ilmiah), serta istilah kebudayaan dan kebudayaan dengan penyesualian lafal 4. menyelaraskan istilah yang digunakan oleh lembaga pemerintah dan instansi swasta yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan 5. memenuhi selera naluri para pemakai bahasa Indonesia sehingga istilah dapat benar-benar diterima dan dipakai 6. mengembangkan bahasa Indonesia dengan landasan temuan penelitian bahasa Indonesia yang dilakukan secara terarah dan terpadu 7. membebaskan dari kungkungan sikap nasionalisme sempit yang berlebihan (chauvinisme) 8. memantapkan kosakata dan peristilahan khusus untuk laras bahasa keilmuan Atas panduan itu, bahasa Indonesia kemudian berkembang pesat dengan penambahan kosakata yang diambil dari berbagai sumber. Pedoman Umum Pembentukan Istilah Bahasa Indonesia (PUPI) kemudian dibuat untuk memberi arah operasional bagi pengembangan kosakata bahasa Indonesia. PUPI telah diterbitkan pada tahun 1975 dan telah dua kali direvisi, yaitu pada tahun 1989 dan tahun 2004. Kalau dibandingkan, edisi kedua dan edisi ketiga – edisi pertama dan kedua tidak ada perbedaan – akan tampak perbedaan yang amat penting. Perbedaan itu terletak pada konsep sumber pengembangan istilah bahasa Indonesia. Dalam edisi II dinyatakan bahwa kata umum bahasa Indonesia, baik yang lazim maupun yang tidak lazim dapat diangkat menjadi istilah bidang tertentu apabila memenuhi syarat ketepatan pengungkapan konsep, lebih singkat daripada kata lain yang beracuan sama, dan kata itu tidak mempunyai konotasi buruk. Jika bahasa Indonesia tidak memiliki kata yang diperlukan untuk istilah bidang tertentu, usaha pencarian istilah dilanjutkan ke penggalian kosakata bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, termasuk bahasabahasa daerah di Indonesia dengan tetap memperhatikan aspek ketepatan makna, singkat, dan tidak berkonotasi negatif. Jika dari kedua sumber itu tidak ditemukan, barulah digunakan istilah bahasa asing dengan penyesuaian seperlunya (PUPI, 2001:4–5). Perihal sumber pengembangan istilah dalam bahasa Indonesia itu ditetapkan berbeda dalam PUPI edisi ketiga. Dengan kriteria pemilihan kata yang sama, sumber pengembangan istilah dalam bahasa Indonesia mengalami beberapa perubahan. Sumber pengembangan istilah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu bahasa Indonesia – termasuk
unsur yang pernah diserap dari bahasa lain – dan bahasa Melayu5, bahasa Nusantara yang serumpun,6 termasuk bahasa Jawa Kuno, dan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab (PUPI, 2005:3). Dengan demikian, PUPI edisi II menerapkan dua pemrioritasan dalam pengembangan istilah, yaitu pemrioritasan bahasa sumber dan pemrioritasan calon istilah. Bahasa sumber pengembangan istilah disusun secara hierarkis dengan urutan bahasa Indonesia, bahasa serumpun, bahasa Inggris, bahasa asing lain. Calon istilah yang dihasilkan setelah menggali dari keempat sumber tadi kemudian dipilih berdasarkan pola prioritas tertentu. Prosedur pengembangan istilah dalam PUPI edisi III memberi peluang kepada yang sama terhadap setiap sumber istilah. Pemrioritasan sumber istilah tidak ada lagi. Demikian juga penjajaran kandidat istilah dari berbagai sumber itu untuk kemudian dipilih. Artinya, proses pengembangan istilah dipangkas menjadi lebih singkat. Cara pengembangan istilah seperti itu tidak membawa keuntungan bagi bahasa daerah. Penggunaan kata di dalam korpus bahasa Indonesia – yang merupakan cerminan ungkapan masyarakat Indonesia sudah membawa bahasa Indonesia ke arah yang menjauh dari bahasa Melayu – tidak berjalan sejajar dengan pengembangan istilah. Prosedur pengembangan istilah yang terakhir memberi peluang yang amat bagus bagi bahasa daerah dalam pengayaan kosakata bahasa Indonesia. Alih-alih pemrioritasan bahasa sumber, pengembangan istilah lebih didasarkan pada ketepatan konsep, keekonomisan bentuk, dan kebebasan konotasi negatif. Prinsip ini sejalan dengan prinsip perencanaan pengembangan istilah yang termuat di dalam Guidelines for Terminology Policy (2005) yang menekankan perlunya pertimbangan aspek keekonomisan, ketepatan, atau konotasi. Sebuah istilah dianggap lebih tepat daripada istilah yang lain karena istilah itu lebih pendek, lebih tepat maknanya, atau tidak memiliki konotasi negatif, baik secara politis maupun secara semantis. Baik dalam edisi I, II, maupun III, pengembangan istilah di Indonesia belum mencerminkan adanya campur tangan masyarakat secara lebih nyata. Memang penciptaan istilah telah melibatkan mereka, tetapi mereka itu tidak bisa dianggap representasi masyarakat sebab keterlibatan mereka adalah sebagai pakar yang menggubah istilah bersama-sama pakar bahasa. Diharapkan mereka akan menyebarluaskan hasil kerja itu ke lingkungannya masing-masing. Umpan balik, apakah benar istilah itu digunakan oleh masyarakat baru mulai dikaji oleh Mabbim pada tahun 2004 dengan hasil yang tidak memuaskan. Panduan yang dikeluarkan Infoterm menyebutkan empat tahapan dalam pengembangan istilah, mulai dari perencanaan kebijakan hingga implementasinya.7 Di dalam tahap ketiga, ada langkah promosi yang belum terdapat di dalam dilaksanakan secara baik dalam kebijakan peristilahan Mabbim. Hal itu sebenarnya bisa diatasi dengan melibatkan pemangku kepentingan (stake holder) dalam pengembangan istilah. Dalam arti yang sesungguhnya, pemangku kepentingan tidak dapat diwakili oleh pakar yang selama ini terlibat dalam Mabbim, tetapi juga pemakai bahasa seperti halnya dunia penerbitan, 5
Maksudnya bahasa Melayu Malaysia dan Brunei, tidak termasuk bahasa Melayu di Indonesia. Istilah bahasa serumpun dalam kedua edisi PUPI merujuk ke bahasa Melayu Malaysia dan Brunei, sementara dalam edisi ketiga merujuk ke bahasa Nusantara. 7 Guidelines for Terminology Policy menyebutkan ada 4 tahap perencanaan peristilahan, yaitu tahap penyiapan kebijakan peristilahan, tahap pembentukan kebijakan peristilahan, tahap implementasi, dan tahap pemeliharaan keberlanjutan kebijakan. 6
media massa, perguruan tinggi, dan semacamnya. Dari awal, pelibatan pemangku kepentingan sesungguhnya bisa dilakukan melalui identifikasi keinginan masyarakat akan arah pengembangan peristilahan dengan melihat kecenderungan penggunaan mereka di dalam korpus. Langkah pengembangan istilah berikut ini mungkin akan lebih baik karena selain mengakomodasi kehendak masyarakat, juga memotong beberapa prosedur yang tidak perlu. KONSEP BARU
+
ada istilah yang lazim
memenuhi syarat?
+
dari Nusantara?
-
+
pemadanan
penyerapan
-
ada istilah dalam bahasa Nusantara
-
+
memenuhi syarat?
pemantapan
+ memenuhi syarat?
+
-
-
rekacipta
memenuhi syarat?
+ memenuhi syarat?
-
+ KODIFIKASI
PANGKALAN DATA
PUBLIKASI
+
diterima masyarakat
-
Pengembangan istilah didahului oleh identifikasi istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat dan ini harus dilakukan melalui penelitian yang bukan hanya memadai tetapi akurat. Jika istilah itu memenuhi persyaratan, yaitu syarat keekonimosan, ketuntasan makna, dan konotasi, maka istilah itu langsung dikodifikasi dan dipublikasi tidak peduli dari manapun konsep dan sumber istilahnya. Jika langkah ini tidak menghasilkan istilah, baru dipertanyakan apakah konsep itu berasal dari Nusantara. Jika benar, yang dilakukan adalah mencari kosakata bahasa Nusantara, jika tidak baru melihat bahasa asing, dan seterusnya. Sampai di sini, tampaknya pemrioritasan bahasa sebagai sumber istilah perlu dilakukan apabila ingin memperpendek proses pengembangan istilah. Prosedur dalam PUPI terakhir terlalu berpanjang-panjang karena pencarian kandidat istilah dilakukan melalui beberapa jalur, baru kemudian pada tahap akhir ditentukan pilihannya. Yang penting dalam bagan alir di atas adalah, setiap kali langkah dilakukan, uji keterpenuhan syarat dilakukan. Apabila syarat dipenuhi, maka kandidat istilah itu dapat langsung dikodifikasi dan dipublikasi. Hal kedua yang penting adalah tahap evaluasi apakah masyarakat atau pemangku kepentingan mau menerima istilah baru itu. Jika ternyata istilah itu tidak diterima, harus ada mekanisme koreksi yang dalam bagan alir di atas dilakukan dengan mengembalikan konsep dan istilah itu ke langkah awal. Bagaimana pun balikan dari pengguna istilah akan sangat diperlukan. Ini yang kemudian menentukan efektif atau tidaknya kebijakan peristilahan itu.
PENUTUP Kongres Bahasa Indonesia telah mengarahkan pengembangan bahasa Indonesia sehingga bahasa ini mengalami pertumbuhan yang amat pesat. Kosakata bahasa Indonesia berkembang sejalan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa telah diwarnai oleh kosakata dan istilah ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang umumnya diadopsi dari bahasa asing. Kongres memberi arah agar bahasa Indonesia tetap berkembang dengan pondasi peradaban bangsa. Itu sebabnya kemudian bahasa Indonesia tumbuh menjadi bahasa yang berbeda dengan bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dengan dukungan bahasa daerah yang amat beragam di Indonesia. Oleh karenanya, bahasa Indonesia harus berkembang di atas dasar keindonesiaan dengan mempertahankan pondasi dimana bahasa Indonesia tumbuh baik sebagai bahasa nasional, bahasa negara, maupun bahasa ilmu pengetahuan. Perencanaan pengembangan kosakata bahasa Indonesia harus dilandasi pemahaman yang baik atas pengguna bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang berkembang tidak searah dengan kepentingan penutur, akan menjadi bahasa yang tidak fungsional Banyak kosakata yang tidak digunakan karena tidak dimengerti bahkan oleh penutur bahasa Indonesia sendiri. Kajian terhadap bahasa Indonesia tidak hanya dilakukan untuk upanya pendeskripsian bahasa secara linguistik saja, tetapi lebih dari itu juga harus mengkaji aspek persepsi pengguna bahasa Indonesia terhadap bahasanya. Pengembangan bahasa Indonesia dilakukan dengan acuan dasar meningkatkan daya ungkap bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai bahasa maupun sebagai bahasa nasional. Kebijakan bahasa pada prinsipnya mengarahkan pengembangan bahasa agar
bahasa Indonesia menjadi bahasa negara yang memadai dan menjadi bahasa nasional yang baik. Upaya untuk terus mengembangkan bahasa Indonesia agar menjadi bahasa yang dapat menjadi wadah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diamanatkan hampir dalam setiap Kongres Bahasa Indonesia. Pustaka Abdullah Hassan (ed.). 2007. Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu. Kuala Lumpur: Persatuan Penerjemah Malaysia. Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003. Politik Bahasa: Risalah Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Progress. Fishman, Joshua A. 1993. The Earliest Stage of Language Planning: The First Congress Phenomenon. Berlin: Mouton de Gruyter. Infoterm. 2005. Guidelines for Terminology Policies: Formulating and Implementing Terminology Policy in Language Community. Paris: Unesco. Labov, William. 1994. Principles of Linguistic Change. Oxford: Blackwell. Liaw Yock Fang. 2003. “Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia: Persamaan dan Perbedaan” Prosiding Seminar Bahasa dan Sastra, Indonesia. Lyons, John. 1979. Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. McMahon, April M.S. 1994. Understanding Language Change. Cambridge: Cambridge University Press Mohd. Yusof Hj. Othman. 2006. “Keunggulan Bahasa Melayu Menyongsong Tatanan Baharu Dunia” Prosiding Seminar Bahasa dan Sastera, Brunei Darussalam. Puryadi, Dedi. 2007. Peristilahan Keilmuan dalam Bahasa Indonesia: Strategi, Hasil, dan Keterpakaiannya. Disertasi Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Pusat Bahasa. 2001. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pusat Bahasa. 2005. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa. Qodratillah. Meity Taqdir. 2004. Studi Komparatif tentang Keseragaman Istilah di Bidang Kedokteran dan Keuangan dari Sudut Pembakuan. Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia. Sardjoko, Subandi. 2006. “Kesiapan Budaya Nasional dalam Menyikapi Dunia Baru”. Prosiding Seminar Bahasa dan Sastera, Brunei Darussalam. Sugiyono. 2008. “Pengembangan Kosakata dan Istilah Bahasa Indonesia: Potensi, Peluang, dan Tantangan”. Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Mabbim-Mastera. Jakarta: Pusat Bahasa. Sugono. 2003. “Dinamika Bahasa dan Sastra Indonesia/Melayu Peneral Jiwa Bangsa”. Prosiding Seminar Bahasa dan Sastra Mabbim-Mastera, Mataram. Wahab, A. 2000. “Ekologi Bahasa: Kasus Distorsi Perkembangan Bahasa Indonesia menjelang Abad 21”. Prosiding Seminar Kebahasaan Mabbim, Brunei Darussalam.