PENGELOMPOKKAN RUMAH BERDASARKAN JARAK KE AKSES FASILITAS UMUM House Clustering Based On Distance To Public Facilities Yulinda Rosa Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Abstrak Jarak merupakan salah satu dimensi utama yang menentukan segmentasi pasar perumahan, khususnya jarak rumah terhadap fasilitas umum. Dengan menggunakan analisa faktor dan analisa klaster dari data sampel 480 kepala keluarga yang diambil di Kota Cirebon bahwa faktor kuat yang mempengaruhi terhadap seseorang untuk menempati rumah adalah jarak lokasi rumah terhadap akses fasilitas kesehatan, kemudian jarak fasilitas pendidikan SD dengan pengaruh sangat kuat, sedangkan jarak terhadap akses fasilitas pendidikan SMA dan pasar/swalayan memperlihatkan pengaruh yang kuat. Persentase terbesar sebesar 71,67% ada pada kelompok rumah dengan jarak terdekat antara 0,75 km - 1,76 km dari akses fasilitas kesehatan, sarana pendidikan SD dan SMA, serta sarana belanja. Kata kunci : Pengelompokkan, rumah, jarak, fasilitas umum Abstract Distance is one of the main dimensions that define segmentation of housing market, in particular the distance to public facilities. Data is collected from 480 householders in Cirebon. By using factor and cluster analysis, it is resulted that the most influencing factor in choosing house location is the distance to health facility, school (elementary and high school), and markets/supermarkets. The greatest percentage of 71.67% is in a house group with the distance of 0.75 km - 1.76 km from those facilities. Keywords : Clustering, houses, distance, public facilities Backlog perumahan merupakan satu permasalahan penting di perkotaan. Penyebabnya adalah di perkotaan terjadi konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya, karena adanya pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas. Sehingga angka pertumbuhan penduduk di perkotaan di atas angka pertumbuhan perumahan. Sampai saat ini permasalah backlog masih belum terselesaikan, terlihat dengan semakin meningkatnya data backlog rumah dari tahun ke tahun. Backlog perumahan pada tahun 2004 tercatat 5 juta unit, tahun 2009 naik menjadi 11 juta, adapun pada tahun 2010 menunjukkan 13,6 juta kepala keluarga tidak memiliki rumah, sedangkan berdasarkan hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mencapai lebih dari 14,2 juta unit rumah (Menpera, 2011). Tahun 2012 backlog perumahan diperkirakan akan melonjak menjadi
34
21,7 juta. Salah satu penyebab terus meningkatnya kebutuhan perumahan disebabkan karena penyediaan perumahan baru tidak sesuai dengan permintaan pasar perumahan. Salah satu dimensi yang dipandang memiliki peranan utama dalam menentukan segmentasi pasar adalah variabel geografi. Menurut Patrick dan Geddes (1904) permukiman dicirikan oleh 3 unsur utama: (1) Place, yaitu tempat tinggal; (2) Work, yaitu tempat bekerja atau berkarya; (3) Folk yaitu tempat bermasyarakat. Ketiga unsur tersebut harus secara serasi dan harmoni terjalin menjadi satu kesatuan interaksi dalam suatu wilayah permukiman. Sebuah permukiman dimana penghuninya hanya mengutamakan faktor work semata, tanpa memperhatikan faktor place dan folk yang seimbang dapat mempengaruhi rusaknya lingkungan sekitar. Dalam menyediakan areal
Masalah Bangunan, Vol. 49 No. 1 Juli 2014
permukiman tempat tinggal atau hunian yang baik (place), para pemukim harus diberikan ruang (space) dengan bangunan perumahan yang memadai. Demikian juga untuk keperluan kenyamanan hidup, kegiatan bermasyarakat (folk) seperti silaturahim dengan tradisi budaya sebagai salah satu kebutuhan pemukim yang perlu dipenuhi. Dalam geografi manusia, jarak adalah sebuah rintangan bagi manusia, karena perlu pengorbanan uang, waktu dan energi. Guna efisiensi tersebut, manusia berupaya meminimalkan jarak, mengorganisasikan pemakaian ruang. Menurut teori lokasi, kekuatan hubungan ekonomi antara dua tempat dikaitkan dengan jumlah penduduk dan jarak antara tempat-tempat tersebut, semakin besar jumlah penduduk kedua tempat, makin besar interaksi ekonominya. Semakin jauh jarak kedua tempat interaksinya makin kurang. Lokasi merupakan masalah penyeimbang antara biaya dan pendapatan yang dihadapkan pada ketidakpastian yang berbeda-beda. Menurut Turner (1972) dalam (Rindarjono, 2010) merujuk pada teori tentang kebutuhan dasar Maslow, terdapat kaitan antara kondisi ekonomi seseorang dengan skala prioritas kebutuhan hidup dan prioritas kebutuhan perumahan. Faktor jarak antara lokasi rumah dengan tempat kerja menempati prioritas utama. Faktor kejelasan status kepemilikan lahan dan rumah menjadi prioritas ke dua, sedangkan bentuk dan kualitas bangunan tetap menempati prioritas yang paling rendah. Berdasarkan hasil beberapa penelitian menunjukkan teori tersebut hanya berlaku untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah yang tinggal di permukiman dekat dengan pusat kegiatan. Sebuah keluarga yang berpendapatan sangat rendah cenderung meletakkan prioritas utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan kesempatan kerja. Status kepemilikan lahan dan rumah menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas rumah merupakan prioritas terakhir. Pada tahap ini yang terpenting tersedia rumah untuk tempat berlindung dan beristirahat dalam upaya mempertahankan hidup.
Pengelompokan Rumah... (Yulinda Rosa)
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kota Cirebon pada tahun 2010, dengan mengambil sampel 480 kepala keluarga yang menempati suatu unit rumah di dapatkan gambaran pengelompokkan rumah berdasarkan jarak minimal rumah terhadap kebutuhan sarana ke tempat bekerja, tempat pendidikan, tempat kesehatan dan tempat belanja. Hasil analisa deskriptif dapat dilihat pada uraian di bawah ini. Jumlah penduduk Kota Cirebon pada tahun 2010 beradasarkan data dari BPS 298.995 orang dengan jumlah kepala keluarga 70.575 KK, 84.335 rumah tangga dengan kepadatan penduduk 7.364 orang/ km2, adapun laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,84%. Jumlah bangunan rumah 84.335 unit yang terdiri dari 21.615 unit rumah layak huni, 176 unit rumah rawan layak huni dan 62.544 unit rumah tidak layak huni. Luas wilayah kota Cirebon 38.991,42 ha dengan luas wilayah permukiman sebesar 23.856,00 ha atau sebesar 61,18% (profil data perumahan dan permukiman Provinsi Jawa Barat, 2010), terbagi dalam 5 kecamatan dan 22 kelurahan.
Gambar 1. Jumlah Rumah Berdasarkan Kondisinya Pengelompokkan Rumah Terhadap Jarak Ke Fasilitas Umum Pengelompokkan rumah berdasarkan jarak rumah terhadap aksesibilitas fasilitas umum dibagi dalam 3 kelompok yaitu: 1. Pengelompokkan fisik rumah berdasarkan jarak terdekat terhadap akses fasilitas tempat bekerja. Pengelompokkan dilakukan terhadap variabel jarak ke tempat kerja suami dan istri.
35
Tabel 1. Pengelompokkan Rumah Berdasarkan Jarak Minimal Terhadap Akses Tempat Bekerja (Dalam Km) Jumlah Rumah Tempat Besar Tempat Besar Kerja Istri Jarak Kerja Suami Jarak (%) (km) (%) (km) 0,0 – 0,09 29.2 0,09 90.2 0,1 - 10 67.7 0.1 - 2 2.9 10,1 - 20 2.3 2.1 - 4 2.9 20,1 - 30 0.0 4.1 - 6 1.5 30,1 - 40 0.6 6.1 - 8 0.8 > 50,0 0.2 8.1 - 10 1.5 > 10 0.2 Total 100.0 Total 100.0
pengelompokkan fisik rumah berjarak maksimal 0,09 km dari akses fasilitas tempat kerja istri, yaitu sebesar 90,2%. Sedangkan untuk pengelompokkan fisik rumah dengan jarak maksimal 0,09 km dari tempat kerja suami hanya 29,2%, persentase paling tinggi pengelompokkan rumah ke tempat kerja suami untuk jarak 0,1 – 10 km yaitu sebesar 67,7%. Berdasarkan hasil analisis deskriptif ada kecenderungan bahwa pengambilan keputusan rumah tangga ketika menentukan tempat tinggal lebih mempertimbangkan untuk mendekati tempat kerja istri. 2. Pengelompokkan fisik rumah berdasarkan jarak terdekat terhadap akses fasilitas tempat pendidikan
Sumber : Hasil pengolahan data primer tahun 2010.
Dengan asumsi bahwa orang tinggal pada suatu rumah sudah mempertimbangkan keinginan, kemampuan dan kebutuhan. Dari tabel di atas terlihat bahwa presentasi terbesar
Akses fasilitas tempat pendidikan diukur melalui jarak terdekat rumah tinggal terhadap aksesibilitas pendidikan tingkat SD, SMP dan SMA. Gambaran lebih detail dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Pengelompokkan Rumah Berdasarkan Jarak Minimal (Dalam Km) Terhadap Akses Fasilitas Tempat Pendidikan Jumlah Rumah Tempat Besar Tempat Besar Tempat Besar Jarak Pendidikan SMP Jarak Pendidikan SMA Pendidikan SD Jarak (%) (km) (%) (km) (%) (km) 0 - 0,09 0,0 0 - 0,09 0 0 - 0,09 0 0,1 - 2 96,0 0,1 - 1 62,7 0,1 - 2 70,4 2,1 – 4 3,3 1,1 - 2 15,0 2,1 - 4 25,6 4,1 – 6 0,4 2,1 - 3 21,9 4,1 - 6 3,8 6,1 – 8 0.0 3,1 - 4 0.0 6,1 - 8 0,0 8,1 - 10 0.0 4,1 - 5 0,4 8,1 - 10 0,2 > 10 0.2 >5 0,0 > 10 0,0 Total 100,0 Total 100,0 Total 100,0 Sumber : Hasil pengolahan data primer tahun 2010.
Dari hasil analisa deskriptif yang dapat dilihat pada tabel 2 di atas bahwa pengelompokkan rumah dengan persentase tertinggi yaitu sebesar 96% adalah untuk rumah dengan jarak terdekat 0,1 – 2 km dengan akses fasilitas tempat pendidikan sekolah SD. Kemudian persentase tertinggi ke dua sebesar 70,4% untuk besar jarak yang sama adalah jarak rumah ke akses fasilitas tempat pendidikan SMA. Untuk jarak rumah ke tempat akses pendidikan SMA ini 96% menempati
36
rumah dengan jarak maksimal 4 km. Sedangkan untuk jarak rumah ke akses fasilitas tempat pendidikan SMP memperlihatkan penyebaran yang lebih bervariatif untuk kelompok rumah dengan jarak 0,1 km sebesar 62,7%, jarak 1,1 – 2 km sebesar 15,0% dan jarak 2,1 – 3 km sebesar 21,9%. Hasil analisis deskriptif untuk jarak rumah terhadap akses fasilitas pendidikan, terlihat adanya kecenderungan dalam memilih tempat tinggal atau kebalikannya dalam memilih
Masalah Bangunan, Vol. 49 No. 1 Juli 2014
sekolah SD jarak rumah terhadap akses fasilitas pendidikan SD cukup dijadikan sebagai bahan pertimbangan. 3. Pengelompokkan fisik rumah berdasarkan jarak terdekat terhadap akses tempat belanja Tabel 3. Pengelompokkan Rumah Berdasarkan Jarak Minimal (Dalam Km) Terhadap Akses Tempat Belanja Jumlah Rumah Besar Jarak Tempat Belanja (km) (%) 0,1 - 2 89,4 2,1 - 4 6,7 4,1 - 6 3,5 6,1 - 8 0,0 8,1 - 10 0,4 >10 0,0 Total 100.0 Sumber : Hasil pengolahan data primer tahun 2010.
Pengelompokkan rumah dengan persentase terbesar adalah untuk rumah dengan jarak 0,1 -2 km dari akses fasilitas tempat belanja yaitu sebesar 89,4%. Sedangkan untuk pengelompokkan rumah berdasarkan jarak terhadap akses fasilitas kesehatan diukur melalui jarak minimal rumah dengan puskesmas terdekat. Terlihat hampir seluruh rumah berjarak maksimal 3 km dari akses fasilitas tempat kesehatan (PUSKESMAS), hal tersebut bisa saja dikarenakan saat ini hampir diseluruh wilayah perkotaan untuk setiap kecamatan memiliki satu puskesmas. Tingginya persentase pengelompokkan rumah di jarak maksimal 3 km terhadap akses fasilitas tempat pelayanan kesehatan, dikarenakan sudah menyebarnya pelayanan kesehatan di Kota Cirebon, dan hal tersebut terjadi hampir di seluruh perkotaan. Hal tersebut sesuai dengan Petunjuk teknis penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan tahun 2010 menyatakan bahwa untuk setiap kecamatan dengan jumlah penduduk lebih dari 30.000 orang harus tersedia satu sarana PUSKESMAS.
Tabel 4. Pengelompokkan Rumah Berdasarkan Jarak Minimal (Dalam Km) Terhadap Akses Tempat Belanja Jumlah Rumah Besar Jarak Tempat Belanja (km) (%) 0-3 99,6 3,1 - 6 0,0 6,1 - 9 0,4 9,1 - 12 0,0 > 12 0,0 Total 100.0 Sumber : Hasil pengolahan data primer tahun 2010.
Disamping itu berdasarkan hasil analisis faktor terhadap data primer untuk Kota Cirebon terhadap faktor terikat kondisi perumahan yang diukur melalui bangunan fisik rumah dan prasarana dasar PU/PSD PU, serta faktor bebas diukur melalui karakteristik penghuni, lokasi bangunan fisik rumah (jarak rumah terhadap lokasi terdekat tempat kegiatan ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan tempat beribadah) didapatkan hasil sebagai berikut: Faktor bebas (karakteristik penghuni, karir perumahan, lokasi/jarak rumah terhadap, kebutuhan rumah dan sarana lingkungan) di Kota Cirebon, tereduksi menjadi 3 faktor, yaitu faktor riwayat memiliki rumah, lokasi bangunan fisik rumah, dan riwayat bekerja. Faktor bangunan fisik rumah diukur melalui jarak (kedekatan rumah) dengan pasar/swalayan, tempat belajar (sekolah SD dan SMA) dan tempat pelayanan kesehatan (PUSKESMAS). Besar korelasi antara faktor lokasi bangunan fisik rumah dengan jarak lokasi pasar/swalayan adalah 0,763 (korelasi kuat), korelasi faktor lokasi bangunan fisik rumah dengan variabel kedekatan terhadap akses pendidikan (SD) adalah 0,853 (korelasi sangat kuat) dan 0,783 (korelasi kuat), dan korelasi faktor lokasi bangunan fisik rumah dengan jarak terhadap akses pelayanan kesehatan adalah 0,877 (korelasi sangat kuat). Besarnya korelasi menyatakan besarnya pengaruh dari setiap variabel tersebut di atas dalam membentuk faktor jarak rumah terhadap akses
Pengelompokan Rumah... (Yulinda Rosa)
37
sarana umum. Korelasi paling tinggi adalah untuk korelasi faktor jarak lokasi rumah terhadap prasarana kesehatan, hal tersebut ditunjang dengan adanya juknis DAK bidang kesehatan tahun 2010, hampir seluruh kecamatan di perkotaan sudah memiliki PUSKESMAS dan sarana pendidikan SD. Sedangkan korelasi faktor jarak lokasi rumah dengan sarana pasar/swalayan hal tersebut dapat dijadikan sebagai penunjang untuk mencari nafkah keluarga, demikian juga dengan jarak terhadap sarana pendidikan SMA. Tingginya pengelompokkan rumah dengan jarak dekat terhadap ke dua akses tersebut (pasar dan sekolah SMA) merupakan nilai penting untuk meningkatkan kualitas rumah dari segi ekonomi, dilihat dari segi harga rumah dan tanah ada kecenderungan akan meningkat, sesuai dengan prinsip ekonomi.
Dari tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa persentase tertinggi yaitu sebesar 71,67% pengelompokkan rumah dengan jarak terhadap akses fasilitas umum 1,36 km dari akses tempat belanja pasar/ supermarket, jarak 1 km dari fasilitas SD, 1,76 km jarak dari SMA serta jarak 0,75 km dari fasilitas kesehatan PUSKESMAS. Dan 24,38% untuk pengelompokkan rumah dengan jarak terhadap akses fasilitas umum 1,39 km dari akses tempat belanja pasar/supermarket, jarak 0,91 km dari fasilitas SD, 1,77 km jarak dari SMA serta jarak 0,66 km dari fasilitas kesehatan PUSKESMAS. Jarak terdekat pengelompokkan rumah terhadap akses fasilitas umum adalah untuk fasilitas pendidikan SD dan fasilitas kesehatan PUSKESMAS. Untuk kedua fasilitas tersebut di perkotaan bukan merupakan hal yang sulit didapat sehingga tidak menjadi permasalahan di perkotaan. Keadaan tersebut dapat juga diakibatkan karena adanya juknis penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan tahun 2010 penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan tahun 2010 dan Peraturan Mendiknas RI nomor 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/ MTs dan SMA/MA.
Gambar 2. Grafik ρ Faktor Jarak Rumah Terhadap Akses Pendididikan Berdasarkan Analisis Faktor Pengelompokkan rumah dari hasil analisis klaster data primer dengan variabel dasar jarak minimal rumah terhadap akses umum adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Grafik Persentase Pengelompokkan Rumah Berdasarkan Analisis Klaster
Tabel 5. Jarak Rata-rata (Dalam Km) Pengelompokkan Rumah Berdasarkan Jarak Minimal Rumah Dengan Akses Umum Jarak Rata-rata Untuk Setiap Kelompok (Km) Keterangan 1 2 3 4 Jarak dari pasar/supermarket terdekat (satuan 5,31 1,39 1,36 5,00 km) Jarak dari SD terdekat (satuan km) 3,08 0,91 1,00 13,00 Jarak dari SMA terdekat (satuan km) 5,28 1,77 1,76 5,00 Jarak dari PUSKESMAS terdekat (satuan km) 3,5 0,66 0,75 3,00 Jumlah unit klaster 18 117 344 1 % unit klaster 3,75 24,38 71,67 0,21 Sumber : Hasil pengolahan data primer tahun 2010.
38
Masalah Bangunan, Vol. 49 No. 1 Juli 2014
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menempati rumah salah satunya jarak lokasi rumah terhadap akses fasilitas kesehatan, kemudian jarak fasilitas pendidikan SD dengan pengaruh sangat kuat, sedangkan jarak terhadap akses fasilitas pendidikan SMA dan pasar/swalayan memperlihatkan pengaruh yang kuat.
Badan Pusat Statistik, 2011, Kota Bandung dalam Angka. Geddes, Patrick, 1904, City Development. Pusat Litbang Permukiman, 2010, Laporan Akhir Penelitian Sistem Penyediaan Perumahan. Rindarjono, 2007, Residential Mobility di Pinggiran Kota Semarang Jawa Tengah, Forum Geografi, Vol. 21, No. 2, Desember 2007. ___________, 2012, Backlog Perumahan Antara Keprihatinan dan Peluang, Kompas, diunduh tanggal 22 Maret 2012. ___________, 2012, Menelisik Backlog Perumahan di Indonesia, beritasatu.com, Properti’ diunduh tanggal 22 Maret 2012; Kemenkes, 2010, Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan. Mendiknas RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/ MTs dan SMA/MA.
Pengelompokkan rumah yang ditempati berdasarkan keempat variabel tersebut dengan menggunakan analisa hirarki terbagi menjadi empat kelompok. Persentase terbesar ada pada kelompok dengan jarak antara 0,75 km - 1,76 km dari akses fasilitas kesehatan, sarana pendidikan SD dan SMA, serta sarana belanja. Terjadinya pemusatan rumah disekitar tempat fasilitas umum yaitu fasilitas kesehatan (rumah sakit/PUSKESMAS, fasilitas pendidikan SD dan SMA serta fasilitas perbelanjaan (pasar/swalayan) merupakan salah satu yang dapat dijadikan sebagai pembuktian bahwa di perkotaan terjadi pemusatan kegiatan di satu lokasi. Akibat dari adanya pemusatan kegiatan tersebut terjadi pemusatan tempat tinggal (rumah).
Pengelompokan Rumah... (Yulinda Rosa)
39