“PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET-ASET NEGARA DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA” Tim Peneliti Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan keuangan dan aset-aset negara dari hasil upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan yaitu denda, perampasan barang bukti untuk negara, uang pengganti, denda tilang dan biaya perkara yang merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) didasarkan pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), prosedur penghapusan piutang terhadap tunggakan piutang negara, serta upaya untuk meningkatkan PNBP dalam penegakan hukum. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe yuridis normatif dan yuridis empiris. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan teknik non probability sampling jenis purposive terhadap 406 responden, berasal dari instansi Kejaksaan yang terdiri dari Kejaksan tinggi dan Kejaksaan negeri; Kepolisian; BPK, BPKP, dan KPPN. Lokasi penelitian 7 (tujuh) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi, yaitu: Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Banten dan DKI Jakarta. Data yang berhasil dikumpulkan diolah secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan persepsi dalam pemahaman pengelolaan PNBP Kejaksaan berdasarkan SAP yang berupa pelaksanaan target PNBP, pemasukan PNBP yang berasal dari denda tilang, biaya lelang lebih besar dari nilai barang, barang bukti sudah mengalami penyusutan, dan permasalahan lainnya yang berkaitan dengan anggaran, serta proses administrasi dalam pelelangan. Selain itu perbedaan persepsi juga terdapat dalam hal penghapusan PNBP hasil penegakan hukum oleh Kejaksaan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang memerlukan izin.
54 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
I.
PENDAHULUAN
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010. SAP ini adalah sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan bahwa SAP diperlukan dalam rangka penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya meliputi Laporan Realitas Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
Tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam suatu negara merupakan suatu kebutuhan yang harus dilaksanakan. Pemerintah wajib menerapkan kaidah-kaidah yang baik dalam menjalankan operasional pemerintahan, termasuk di dalamnya kaidah-kaidah di bidang pengelolaan keuangan negara dan aset-aset negara yang diwujudkan dalam bentuk penerapan prinsip good governance. Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itulah, pemerintah Republik Indonesia telah melakukan reformasi di bidang pengelolaan keuangan dan aset-aset negara yang merupakan modal dasar pembangunan negara secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab, sebagaimana tercermin dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga Undang Undang ini merupakan paket reformasi yang telah mengubah paradigma pengelolaan keuangan negara, baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang lebih transparan dan akuntabilitas sebagai salah satu upaya menuju tertib administrasi dan tertib penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas kolusi.
Berdasarkan audit BPK, Data Pengelolaan Keuangan dan Manajemen Administrasi Keuangan Kejaksaan RI tahun 2008 menunjukkan bahwa selama periode tahun 2004-2008 Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) Kejaksaan masih mendapat opini “disclaimer” dari BPK, dan baru pada tahun 2009 opini atas Laporan Keuangan Kejaksaan ada peningkatan menjadi “Wajar dengan Pengecualian” (WDP/Qualified Opinion). Penilaian BPK tersebut didasarkan kepada hasil temuan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2009, bahwa dari pengelolaan PNBP tahun anggaran 2009 yang telah ditargetkan oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp 30.965.000.000,-(tiga puluh miliar sembilan ratus enam puluh lima juta rupiah); masih ada PNBP yang belum disetor ke kas negara atau terlambat di setor ke kas negara dan rekening untuk penampungan barang bukti yang berupa uang belum mempunyai izin dari Menteri Keuangan.1 Data Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus lebih mempertegas bahwa terhadap PNBP yang belum atau terlambat disetor ke kas negara yang berakibat pada penilaian “wajar dengan pengecualian” kepada Kejaksaan adalah
Salah satu upaya konkret untuk mewujudkan transparansi/keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan aset-aset negara tersebut, adalah mewajibkan Pemerintah (Pusat/Daerah) membuat laporan pertanggung-jawaban keuangan pemerintah yang disusun dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang SAP
1
Pengarahan Jaksa Agung Muda Pembinaan pada Rapat Kerja Kejaksaan RI Tahun 2010 di Cianjur 13-16 Desember 2010.
55 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
dengan menerapkan pidana subsidair (Pasal 18 Undang Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang No. 20 Tahun 2001).
meliputi barang rampasan dan uang pengganti yang belum seluruhnya diselesaikan pelaporannya oleh para Kajati kepada Pimpinan.2
Dalam praktik peradilan sesuai dengan putusan pengadilan, hukuman denda dapat pula dijatuhi dengan pidana subsidair. Perbedaan dalam penghapusan tunggakan piutang negara tersebut berdampak kepada perbedaan hasil Laporan Keuangan antara Kejaksaan dengan BPK sehingga BPK menyimpulkan Kejaksaan belum menyetorkan PNBP hasil penegakan hukum ke kas negara sebagai temuan audit. Sebagai contoh: terhadap PNBP yang berasal dari denda yang dikenakan pidana subsidair dan juga uang pengganti yang dikenakan pidana subsidair apakah dimasukkan juga ke dalam laporan pembukuan sebagai piutang negara oleh Kejaksaan. Demikian halnya dengan denda tilang dimana si pelanggar lalu lintas tidak mau membayar denda tilang, apakah juga harus masuk laporan pembukuan sebagai piutang negara oleh Kejaksaan. Demikian pula terhadap barang rampasan tindak pidana illegal logging berupa kayu glondongan, bagaimana dengan pembukuannya mengingat seiring dengan perjalanan waktu akan mengalami penyusutan nilai, baik secara fisik maupun secara nominal.
Sementara itu realisasi yang dicapai oleh Kejaksaan menurut laporan keuangan BPK tahun anggaran 2009 adalah sebesar Rp 2.974.695.971 (dua miliar sembilan ratus tujuh puluh empat juta enam ratus sembilan puluh lima ribu sembilan ratus tujuh puluh satu rupiah) dari target yang ditetapkan sebesar Rp 547.000.000 (lima ratus empat puluh tujuh juta rupiah). 3 Dari data Kejaksaan dan BPK tersebut di atas terjadi perbedaan realisasi PNBP dari Kejaksaan sebesar Rp 27.990.304.029 (dua puluh tujuh miliar sembilan ratus sembilan puluh juta tiga ratus empat ribu dua puluh sembilan rupiah). Bahwa dalam pengelolaan PNBP menurut SAP, sering terjadi tunggakan piutang negara yang dapat dilakukan penghapusan. Mengacu pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004, terhadap tunggakan piutang negara dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari pembukuan sepanjang ada izin dari Presiden/Menteri Keuangan/Gubernur/Walikota/Bupati dengan jumlah nominal yang telah ditetapkan dalam Undang Undang. Selain itu mengacu pada Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, penghapusan tunggakan piutang negara berupa uang pengganti dapat dilakukan 2
Pengarahan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada Rapat Kerja Kejaksaan RI Tahun 2010 di Cianjur tanggal 13-16 Desember 2010.
3
Badan Pemeriksa Keuangan, ‘Laporan Realisasi Anggaran untuk Tahun-Tahun Yang Berakhir 31 Desember 2009 dan 2008’, diakses dari <www.BPK.go.id.> tanggal 28 Pebruari 2011.
Dalam pengelolaan PNBP menurut SAP terdapat permasalahan yang terjadi dalam praktek, antara lain bagaimana pengelolaan keuangan dan aset-aset negara hasil dari penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan, baik oleh satuan kerja pidsus maupun satuan kerja pidum, bagaimana penghapusan tunggakan-tunggakan piutang negara dari hasil penegakan hukum (PNBP), dan upaya apa yang perlu dilakukan untuk peningkatan penghasilan PNBP melalui penegakan hukum. 56
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
II. TINJAUAN PUSTAKA
Mengingat pentingnya PNBP, maka kemudian dilakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya melalui :
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN ditetapkan setiap tahun dan dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penetapan APBN dilakukan setelah dilakukan pembahasan antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap usulan RAPBN dari Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Seperti tahuntahun sebelumnya, pada tahun 2011, APBN ditetapkan dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2011. Pasal 1 angka 2 Undang Undang ini menyebutkan salah satu unsur APBN adalah anggaran pendapatan negara dan hibah yang diperoleh dari: 1. Penerimaan perpajakan. 2. Penerimaan negara bukan pajak, dan 3. Penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
1.
2.
3.
4.
5.
Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan Penerimaan Negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan (Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 1997). PNBP dalam UU No. 20 Tahun 1997 dapat dikelompokkan meliputi:
PNBP merupakan lingkup keuangan negara yang dikelola dan dipertanggungjawabkan sehingga BPK sebagai lembaga audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan Undang Undang. Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian diserahkan kepada DPR, DPD, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
1.
Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah.
2.
Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
3.
Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah.
4.
57 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
5.
6. 7.
informasi yang harus disajikan kepada pihakpihak di luar organisasi. Para pengguna laporan keuangan di luar organisasi akan dapat memahami informasi yang disajikan jika disajikan dengan kriteria/persepsi yang dipahami secara sama dengan penyusun laporan keuangan. Bagi auditor, khususnya eksternal auditor, SAP digunakan sebagai kriteria dalam menilai informasi yang disajikan apakah sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah, dan Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang Undang tersendiri.
Pengelompokan PNBP ini kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 1998 dengan menjabarkan jenis-jenis PNBP yang berlaku umum di semua Departemen dan Lembaga Non Departemen, sebagai berikut: 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7.
SAP merupakan acuan wajib dalam penyajian laporan keuangan entitas pemerintah. Pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah wajib menyajikan laporan keuangan sesuai dengan SAP. SAP mengatur mengenai informasi yang harus disajikan dalam laporan keuangan, bagaimana menetapkan, mengukur, dan melaporkannya. Oleh karena itu SAP mengatur penyajian pos-pos yang harus disajikan dalam laporan keuangan seperti pos kas, piutang, aset tetap dan seterusnya. Pengguna laporan keuangan termasuk legislatif akan menggunakan SAP untuk memahami informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dan eksternal auditor (BPK) akan menggunakannya sebagai kriteria dalam pelaksanaan audit. Dengan demikian SAP menjadi pedoman untuk menyatukan persepsi antara penyusun, pengguna, dan auditor.4
Penerimaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan sisa anggaran pembangunan). Penerimaan hasil penjualan barang/ kekayaan Negara. Penerimaan hasil penyewaan barang/ kekayaan Negara. Penerimaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro). Penerimaan ganti rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan perbendaharaan). Penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan Penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang.
Oleh karena SAP merupakan standar yang harus diikuti dalam penyajian laporan keuangan instansi pemerintah, maka sistem akuntansi pemerintah harus dapat menyajikan informasi yang dibutuhkan sesuai SAP. Selain itu untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dengan penyampaian
Apabila jenis PNBP belum tercakup dalam jenis-jenis PNBP ini, kecuali yang telah diatur dengan Undang Undang, dapat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Standar akuntansi adalah acuan dalam penyajian laporan keuangan yang ditujukan kepada pihak-pihak di luar organisasi yang mempunyai otoritas tertinggi dalam kerangka akuntansi berterima umum. Standar akuntansi berguna bagi penyusun laporan keuangan dalam menentukan
4
Jamason Sinaga, ‘Selamat Datang Standar Akuntansi Pemerintahan’, makalah, Kelompok Kerja Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), Koordinator Bidang Kajian Standar IAI-Kompartemen Akuntan Sektor Publik, hlm. 6.
58 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti SAP yang telah diterima secara umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 32 Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. SAP adalah prinsipprinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Dengan demikian, SAP merupakan persyaratan yang mempunyai kekuatan hukum dalam upaya meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah di Indonesia.
keuangan yang disajikan auditee adalah wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan SAP. Dengan demikian, tujuan instansi pemerintah dalam menyusun Laporan Keuangan adalah tersusunnya laporan keuangan yang wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Kewajaran sebuah pelaporan keuangan sangat ditentukan oleh integritas berbagai asersi manajemen yang terkandung pada laporan keuangan. Asersi sebuah laporan keuangan meliputi lima hal, yaitu:5
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang SAP maka Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun meski Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 sudah dinyatakan berlaku, secara substansial Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 masih dilaksanakan dalam rangka proses transisi penyusunan laporan keuangan berbasis Kas Menuju Akrual kepada penyusunan laporan Keuangan Berbasis Akrual. Substansi Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 ini dinyatakan dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang SAP. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010, penerapan SAP Berbasis Akrual dapat dilaksanakan secara bertahap. Pemerintah dapat menerapkan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual paling lama 4 (empat) tahun setelah Tahun Anggaran 2010. Tujuan umum sebuah audit atas pelaporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat apakah laporan
1.
Keberadaan dan keterjadian, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah aset/ kewajiban yang tercantum pada laporan keuangan, benar-benar ada pada tanggal laporan keuangan tersebut.
2.
Kelengkapan, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah semua aset/kewajiban/transaksi yang terjadi telah disajikan atau dicatat pada laporan keuangan.
3.
Hak dan Kewajiban, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah aset benarbenar merupakan hak auditee/instansi dan apakah utang merupakan kewajiban auditee/instansi.
4.
Penilaian, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah aset/ kewajiban/transaksi telah disajikan dengan jumlah (nilai) yang semestinya.
5.
Penyajian, yaitu asersi yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen aset/kewajiban/ pendapatan/biaya telah diklasifikasikan, dijelaskan dan diungkapkan sebagaimana mestinya.
5
BPKP, ‘Pengendalian Intern Atas Pelaporan Aset Negara’, dikutip dari laman Syukry Abdullah, 8 Januari 2010 diakses dari http:// syukriy.wordpress.com/2010/01/08/pengendalian-intern-ataspelaporan-aset-negara/ tanggal 27 Januari 2011.
59 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
Dengan dasar penilaian kewajaran tersebut, maka terdapat beberapa risiko yang dapat diidentifikasikan dalam pelaporan aset negara yaitu:6
oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan Piutang Negara.
1.
Adanya aset yang tidak berfungsi, atau bahkan tidak ada, namun masih disajikan pada laporan keuangan.
2.
Adanya aset negara yang tidak masuk dalam laporan keuangan.
3.
Aset negara sudah dalam penguasaaan namun tidak didukung bukti kepemilikan yang kuat dan sah.
4.
Aset negara sulit atau tidak dapat diukur nilainya.
5.
Kesalahan klasifikasi aset.
Kejaksaan Republik Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang penuntutan, dituntut juga untuk lebih berperan dalam proses pembangunan negara dengan turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan, yang diwujudkan dalam bentuk penyelamatan keuangan dan aset-aset negara melalui optimalisasi penegakan hukum (pidana umum) dan pemberantasan tindak pidana korupsi (pidana khusus) berdasarkan Undang Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan penghapusan piutang negara diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah ini memberikan pengertian Piutang Negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2, penghapusan piutang negara dapat dilakukan secara bersyarat dan secara mutlak. Penghapusan Secara Bersyarat dilakukan dengan menghapuskan piutang negara dari pembukuan pemerintah pusat tanpa menghapuskan hak tagih negara kecuali mengenai piutang negara yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam Undang Undang. Sedangkan penghapusan secara mutlak dilakukan dengan menghapuskan hak tagih negara. Kedua cara penghapusan tersebut hanya dapat dilakukan setelah piutang negara diurus secara optimal 6
Hasil-hasil yang yang didapatkan dari upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan baik perkara pidana umum dan pidana khusus tersebut adalah denda, perampasan barang bukti untuk negara, uang pengganti, denda tilang dan biaya perkara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang juga merupakan bagian dari keuangan dan aset-aset negara sebagai modal dasar pembangunan nasional yang diatur dalam Undang Undang No. 20 tahun 1997 tentang PNBP. Dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak menyebutkan jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kejaksaan antara lain yaitu: 1.
Ibid.
Penerimaan dari penjualan barang rampasan.
60 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
2. 3. 4. 5.
6. 7.
3.
Penerimaan dari penjualan hasil sitaan/ rampasan. Penerimaan dari ganti rugi dan tindak pidana korupsi. Penerimaan biaya perkara. Penerimaan lain-lain, berupa uang temuan, hasil lelang. barang temuan dan hasil penjualan barang. Bukti yang tidak diambil oleh yang berhak. Penerimaan denda.
KPPN yang berada di bawah Dirjen Perbendaharaan Kementrian Keuangan RI memiliki tugas melaksanakan penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara termasuk di dalamnya adalah PNBP. Tanggung jawab KPPN tersebut adalah berdasarkan Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Di Lingkungan Departemen Keuangan.
Dalam pelaksaan penyetoran PNBP tersebut, Kejaksaan memiliki hubungan kerja dengan beberapa institusi yaitu: 1.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) BPK memiliki tugas sebagai auditor eksternal pelaksanaan SAP yang dilaksanakan oleh Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
2.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
4.
Kepolisian RI Kepolisian memiliki hubungan kerja pengelolaan PNBP dengan Kejaksaan dalam hal PNBP yang berasal dari denda pelanggaran lalu lintas.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Terdapat beberapa norma dan aturan pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersumber dari Kegiatan Tertentu, sebagi berikut :
BPKP memiliki tugas sebagai auditor internal pelaksanaan SAP yang dilaksanakan oleh Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor : 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang dirubah dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor : 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
a. Pimpinan Instansi Pemerintah harus terlebih dahulu mengajukan permohonan penggunaan PNBP dengan dilengkapi antara lain tujuan penggunaan dana PNBP, rincian kegiatan pokok dan kegiatan yang akan dibiayai, jenis PNBP yang dipungut, laporan realisasi tahun berjalan 61
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
dan perkiraan dua tahun anggaran mendatang. b. Besarnya persentase PNBP yang dapat digunakan dan ijin menggunakan sebagian dana PNBP tersebut harus memperoleh persetujuan dan penetapan Menteri Keuangan.
A. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kejaksaan Berkaitan dengan pengelolaan PNBP pada Kejaksaan, data penelitian menunjukkan belum semua responden memahami tentang pengelolaan PNBP Kejaksaan). Hal ini terlihat dari pendapat atau jawaban responden terhadap:
c. Jenis kegiatan tertentu yang dapat menggunakan PNBP adalah penelitian dan pengembangan teknologi, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, penegakan hukum, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu dan pelestarian sumber daya alam.
1. Target PNBP dalam anggaran Masih ada responden yang menyatakan tidak perlu adanya target PNBP dalam anggaran/DIPA Kejaksaan dan tidak perlu ada upaya peningkatan target. Target yang dimaksudkan disini adalah penyelesaian piutang negara yang merupakan hasil dari PNBP Kejaksaan. Data menunjukkan 254 responden (62,56%) tidak setuju adanya target PNBP dalam anggaran Kejaksaan, dengan pertimbangan Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang bersifat non profit dan bukan mencari keuntungan (profit orientasi) dan fokusnya adalah untuk pelayanan publik. Apabila ditargetkan dikhawatirkan akan menimbulkan perubahan orientasi penegak hukum menjadi profid oriented, cenderung mengedepankan uang daripada penegakan hukum. Di sisi lain PNBP merupakan pendapatan yang bersifat insidentil dan tidak dapat ditargetkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan 152 responden (37,44%) yang menyatakan target PNBP dalam anggaran tetap diperlukan, dengan pertimbangan
d. Pengertian Instansi yang dapat menggunakan sebagian dana PNBP adalah kantor atau satuan kerja unit pelaksana teknis Kementerian/ Lembaga yang memiliki PNBP. e. Jenis pembiayaan Instansi yang dapat dibiayai dari sebagian dana PNBP adalah pembiayaan opersional dan pemeliharaan dan atau investasi termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu aspek penggunaan PNBP memiliki landasan filosofis bahwa hasil pemungutan PNBP yang diperoleh dari masyarakat sudah sewajarnya digunakan kembali atau dialokasikan kembali kepada unit kerja atau satuan kerja yang melakukan kegiatan penggunaan barang atau pemakaian layanan tersebut. Dengan demikian, terdapat kepastian alokasi atas layanan tersebut, sehingga diharapkan hak-hak masyarakat dalam mendapatkan barang atau layanan itu tidak terganggu dan berjalan dengan baik.
62 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
disamping untuk mengetahui dan mengontrol pendapatan negara yang berasal dari hasil dinas penegakan hukum per tahunnya; juga untuk persiapan biaya operasional penanganan perkara yang tidak terduga sebelumnya, seperti misalnya pemanggilan saksi dan pelaksanaan eksekusi.
putusan Pengadilan Tilang harus segera disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. b. Masih ada responden yang menyatakan hasil penyidikan dan penuntutan dapat langsung dibukukan karena merupakan PNBP, padahal PNBP sebenarnya merupakan hasil dari penegakan hukum yang merupakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Data menunjukkan 39 responden (9,60%) menyatakan hasil dari Penyidikan dan Penuntutan sudah dapat dimasukkan ke dalam pembukuan sebagai PNBP sedangkan 259 responden (63,79%) menyatakan hasil dari Penyidikan dan Penuntutan tidak dapat dimasukkan ke dalam pembukuan sebagai PNBP, karena pada kedua tahap tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht); dan 108 responden (26,60%) menyatakan tidak tahu apakah hasil dari Penyidikan dan Penuntutan dapat dimasukkan ke dalam pembukuan sebagai PNBP.
2. Batas waktu pembukuan PNBP a. Tidak semua responden menyatakan PNBP Kejaksaan dimasukkan kedalam pembukuan setelah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Data menunjukkan dari 406 responden yang ada, 53 responden (13,05%) menyatakan bahwa PNBP dari denda, uang pengganti dan denda tilang, dimasukkan kedalam pembukuan setelah putusan Pengadilan Negeri, dan 73 responden yang lain (17,98%) menyatakan tidak tahu kapan PNBP dari denda, uang pengganti dan denda tilang dimasukkan kedalam pembukuan. Pendapat responden yang menyatakan batas waktu pembukuan PNBP adalah pada tahap putusan PN, dapat dibenarkan sepanjang berkenaan dengan biaya perkara dan denda tilang. Terhadap biaya perkara, setelah ada putusan PN harus segera dibayarkan ke bendahara penerima untuk disetor ke kas negara; demikian halnya untuk denda tilang sesuai ketentuan Pasal 267 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setelah ada
Adanya perbedaan pemahaman terhadap batas waktu pembukuan PNBP termasuk di dalamnya batas waktu pembukuan hasil penyidikan dan penuntutan sebagai PNBP sebagaimana tersebut di atas, berdampak kepada masih adanya perbedaan jumlah/besaran nilai PNBP yang dibukukan oleh Kejaksaan, BPK/BPKP dan KPPN, sebagaimana 63
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
PNBP berdasarkan SAP adalah sebagai berikut:
dikemukakan oleh 136 responden (33,00%); dan perbedaan tersebut pada umumnya berkaitan dengan denda dan uang pengganti yang tidak dibayar oleh terdakwa karena memilih menjalankan pidana subsidairnya.
a. Pemasukan PNBP yang berasal dari denda tilang 1) Terhadap putusan verstek yang tidak dilakukan pembayaran dan penyetoran hasil denda tilang yang melebihi 1x24 jam karena wilayah hukum terjadinya pelanggaran letaknya jauh dengan Bank tempat penyetoran, dan denda tilang yang dijatuhkan lebih tinggi dari uang titipan pelanggar kepada penyidik; sehingga putusan verstek tidak dapat dieksekusi.
3. PNBP sebagai piutang negara. Masih ada responden yang berpendapat PNBP yang berasal dari denda dan uang pengganti yang dikenakan pidana subsidair dapat dimasukkan ke dalam pembukuan sebagai piutang negara, padahal PNBP yang berasal dari denda dan uang pengganti yang dikenakan pidana subsidair baru dapat dibukukan setelah ada putusan pengadilan yang inkracht, kemudian dalam pelaksanaannya baru dilakukan penghapusan piutang. Data menunjukkan 275 responden (67,24%) menyatakan PNBP dari denda dan uang pengganti yang dikenakan pidana subsidair dapat dimasukkan ke dalam pembukuan sebagai piutang negara, dengan pertimbangan setiap pendapatan negara termasuk denda dan uang pengganti harus dicatat dan dimasukkan ke dalam pembukuan menjadi piutang negara. Sedangkan 133 responden (32,76%) menyatakan PNBP dari denda dan uang pengganti yang dikenakan pidana subsidair tidak dapat dimasukkan ke dalam pembukuan sebagai piutang negara sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Solusi : dibuat kebijakan atau aturan untuk penghapusan atau penyetoran kadaluarsa waktu penagihan atas putusan verstek, mempermudah akses tempat penyetoran hasil dinas di setiap daerah, dan berkoordinasi dengan hakim agar memutus denda tilang sesuai dengan uang titipan pelanggar. 2) Denda tilang yang sudah diputus hakim tidak bisa disetorkan karena pelanggar tidak membayar denda dan memilih mengurus suratsurat baru. Solusi : dibuat sistem yang dapat memasukan data pelanggar di bagian Satlantas Kepolisian sehingga akan diketahui data pelanggar yang tidak
Permasalahan yang dihadapi oleh responden dalam pengelolaan 64 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
membayar denda tilang dan kepolisian akan memblokir administrasi kendaraan bermotor pelanggar sehingga tidak bisa diterbitkan suratsurat baru untuk pelanggar, seperti misalnya penerbitan SIM baru, perpanjangan STNK, pembelian kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Hal ini dianggap efektif memacu kesadaran pelanggar untuk menyelesaikan dendanya.
minimal/harga barang setelah mengalami penyusutan untuk menutupi biaya lelang; • Sebelum disita sebaiknya barang bukti ditaksir terlebih dahulu harganya untuk menjaga agar negara tidak rugi, dan setelah disita segera dilakukan pelelangan agar barang bukti tidak mengalami penyusutan. • Mengusulkan kepada Pimpinan agar barang bukti yang tidak dapat dilelang segera dihibahkan/ dipergunakan untuk kepentingan kantor/ sosial; atau dihapuskan dari pembukuan piutang negara.
3) Keterlambatan PN menyerahkan berkas tilang dan barang bukti yang sudah diputus verstek ke Kejaksaan sebagai eksekutor sehingga tidak dapat segera dilakukan eksekusi. Solusi: melakukan koordinasi dengan PN melalui panitera untuk segera menyerahkan berkas perkara dan barang bukti; atau koordinasi dengan kepolisian mencari alamat pelanggar lalu lintas untuk segera dilakukan eksekusi.
2) Barang Bukti mengalami penyusutan, solusinya ada beberapa cara, antara lain: • Melakukan koordinasi dengan departemen terkait seperti Deperindag, untuk tetap dilakukan pelelangan berdasarkan harga barang yang telah mengalami penyusutan atau berdasarkan penilaian pihak yang berwenang. • Tergantung penyusutan dan nilai barang, jika masih bisa dilelang dapat dilakukan lelang dengan membuat taksasi harga oleh pihak terkait dan dibuatkan Berita Acara keadaan barang; tetapi
b. Pemasukan PNBP yang berasal dari perampasan barang bukti dan biaya perkara. 1) Biaya lelang lebih besar dari nilai barang, solusinya: • Koordinasi dengan KPKLN atau departemen terkait untuk tetap dilakukan pelelangan secara kolektif berdasarkan harga 65 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
proses penilaiannya memerlukan waktu lebih dari satu hari.
jika tidak menguntungkan maka dapat dirampas untuk dimusnahkan atau d i h i b a h k a n / disumbangkan untuk kepentingan sosial atau dinas dan diusulkan untuk dihapuskan dari pembukuan piutang negara kepada Menteri Keuangan secara berjenjang melalui Jaksa Agung.
Solusinya: Agar dianggarkan dalam DIPA Kejaksaan: • Honor jasa penilai dalam menentukan harga limit barang bukti yang dirampas dalam bentuk premi 25% dari nilai barang yang akan dilelang.
• Segera dilakukan pelelangan melalui prosedur yang ditetapkan sebelum nilai barang semakin menyusut dan hasil lelang serta risalah lelang dijadikan barang bukti di persidangan oleh penuntut umum.
• Honor petugas lelang, agar tidak terjadi penyimpangan prosedur lelang. • Barang Bukti sudah tiga kali dilakukan pelelangan namun tidak ada peminatnya, akan menghambat pembukuan PNBP.
3) Permasalahan lain: • Lambannya proses administrasi antar instansi dalam menentukan kondisi dan taksasi Barang Bukti sehingga menghambat proses penyelesaian barang rampasan; dan
Solusinya: terhadap barang rampasan yang mudah rusak, apabila satu kali proses lelang tidak ada yang penawar, disarankan untuk segera dimusnahkan; atau tidak perlu lelang tetapi minta ijin untuk langsung dijual sesuai dengan harga umum.
• Dana dalam anggaran tidak mencukupi sedangkan kondisi di lapangan membutuhkan anggaran yang lebih besar karena biaya lelang lebih besar daripada nilai barang yang akan dilelang, selain itu letak barang rampasan yang lokasinya tidak selalu ada di kantor Kejaksaan dan
• Barang rampasan yang akan dilelang merupakan barang temuan yang susah untuk digerakkan atau digeser, seperti misalnya kapal asing yang tertangkap melakukan illegal fishing, tidak dapat 66
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
dieksekusi karena pelaku sudah diekstradisi ke negara asalnya sehingga mengurangi potensi PNBP.
(37,44%) menyatakan tidak tahu terhadap permasalahan izin untuk penghapusan PNBP dari denda dan uang pengganti yang dikenakan pidana subsidair.
Solusinya : secepatnya dilakukan pelelangan terhadap kapal asing dimaksud dengan menggunakan prosedur yang disederhanakanatau dipermudah, tidak berbelit-belit yang melibatkan banyak instansi terkait.
2. Untuk melakukan penghapusan piutang negara terhadap barang bukti dan barang rampasan yang sulit dilelang, menurut responden adalah sebagai berikut: a. Barang yang mudah mengalami penyusutan nilai : 1) Menyelenggarakan proses lelang lebih cepat dengan minta keterangan dari instansi terkait tentang kondisi nilai ekonomis dari barang bukti yang disesuaikan dengan limit harga dari tim penguji dari instansi terkait. Untuk itu agar dibuat ketentuan yang mempermudah proses lelang, yang meliputi pengajuan izin dan persetujuan pimpinan/ rekomendasi Menteri keuangan melalui instansi terkait terhadap rencana penghapusan/pemusnahan serta pemanfaatan barang bukti.
B. Penghapusan Piutang Negara 1. Bahwa penghapusan PNBP hasil penegakan hukum oleh Kejaksaan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, harus mendapat izin dari Presiden, Menteri Keuangan dan Kepala Daerah. Sedangkan menurut ketentuan Hukum Pidana, baik Pidana Umum (KUHP) maupun Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001), denda dapat diganti dengan hukumam pidana subsidair. Data penelitian menunjukkan adanya perbedaan persepsi diantara responden terhadap permasalahan izin tersebut, yaitu : 120 responden (29,56%) menyatakan diperlukan adanya izin, 134 responden (33,00%) menyatakan tidak perlu adanya izin, dan 152 responden
2) Meminta ahli untuk mengecek volume/keadaan fisik barang pada saat dilelang, apabila terjadi penyusutan volume barang maka dibuat berita acaranya dan diketahui oleh pimpinan, berita acara menjadi arsip lelang dan diteruskan ke Kejaksaan Tinggi. 67
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
b. Barang yang sudah rusak (tidak ada nilainya lagi) :
harga terhadap barang yang akan dilelang.
1) Sebaiknya segera dimusnahkan dan diusulkan untuk dihapuskan dari pembukuan piutang negara, berdasarkan surat ketetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang ditembuskan ke Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung RI.
3) Apabila dalam 3 (tiga) kali dilakukan pelelangan tidak ada peminatnya, maka diserahkan/ dimanfaatkan oleh instansi terkait atau diserahkan kepada Dinas Sosial kemudian dibuat Berita Acara dan diusulkan untuk dihapuskan dari pembukuan piutang negara.
2) Menerbitkan Surat Keputusan penghapusan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri untuk kemudian diterbitkan Surat Perintah pemusnahan barang bukti.
4) Melalui proses penilaian oleh instansi terkait (instansi teknis dan KPKNL) dengan melakukan pemeriksaan bersama dan dibuatkan BAP yang menyatakan nilai ekonomis barang dan rekomendasi agar dilakukan upaya penyelesaian barang rampasan tersebut sehingga instansi terkait dapat melaksanakan penyelesaian atau penghapusan sesuai kewenangan masingmasing dan barang rampasan tersebut di serahkan kepada lembaga sosial.
3) Melakukan koordinasi dengan Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL). 4) Setelah tiga kali dilakukan lelang barang tidak ada yang menawar maka memohon petunjuk ke Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Agung RI untuk membentuk tim pemusnahan barang bukti. c. Nilai Barang yang akan dilelang lebih kecil dari biaya yang diperlukan untuk pelelangan :
C. Upaya untuk meningkatkan PNBP dalam penegakan hukum (pidum, pidsus) oleh Kejaksaan
1) Tidak dihapuskan tetapi disatukan dengan barangbarang lain (menunggu) sehingga bisa menekan biaya lelang.
1. Peningkatan kinerja. 2. Perlu dilakukan perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi :
2) Koordinasi kepada pejabat terkait yang bisa menentukan/menaksir nilai
a. Merubah Pasal 4. 68
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
e. Dalam upaya meningkatkan PNBP Kejaksaan telah dikeluarkan: Surat Jambin 2010 (Penyelesaian barang rampasan), Surat Jaksa Agung 6 April 2009 (Tata Cara Penyelesaian denda dan Uang Pengganti), Surat Jaksa Agung 11 Mei 2009 (Penentuan Status Benda Sitaan atau Barang Bukti dan Uang Pengganti Dalam Amar Surat Tuntutan), Surat JAM Pidsus 30 Januari 2009 (tentang Bentuk Surat Dakwaan Melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE-003/A/JA/ 02/2010 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi. Menurut responden dalam praktek, kebijakan-kebijakan tersebut sangat sulit untuk bisa dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keadaan-keadaan yang dialami di daerah. Oleh karena itu dalam menyusun suatu kebijaksanaan hendaknya pimpinan melakukan sosialisasi atau penelitian kepada petugas Kejaksaan yang berada di ujung tombak.1)
b. Penerapan pembuktian terbalik dalam arti pada tahap penyidikan semua harta benda milik tersangka disita karena sulit membuktikan antara harta milik tersangka dan harta milik negara, kalau tersangka berkeberatan maka dapat mengajukan gugatan pada sidang pengadilan. c. Perlunya peningkatan anggaran penyelesaian PNBP, baik untuk pelelangan barang bukti yang dirampas maupun biaya penagihan denda atau uang pengganti. d. Dalam rangka peningkatan PNBP perlu berbagai pembenahan dan persamaan persepsi serta koordinasi dari instansi-instansi terkait seperti Kejaksaan, Kepolisian, BPK, BPKP, dan KPPN, terutama dalam hal pelaksanaan PP No. 22 Tahun 1997 Tentang Jenis dan Penyetoran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang PNBP. Hal tersebut sangat penting untuk kedepan khususnya dalam hal pidana subsider, agar pembayaran uang pengganti dan denda dapat dibayarkan oleh terpidana dan tidak menggunakan subsidernya sehingga PNBP meningkat. Selain itu diharapkan adanya pembenahan prosedur dan peraturan yang menyatukan persepsi terutama dalam hal pelelangan, biaya perkara, dan denda tilang.
IV. PENUTUP Pengelolaan PNBP oleh Kejaksaan adalah pengelolaan hasil-hasil dinas oleh Kejaksaan (penanganan perkara Pidum, Pidsus dan denda tilang) berdasarkan SAP yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Dalam praktek belum semua responden memahaminya. 69
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
pengadilan yang inkracht sebagai dasar pembayaran uang denda tilang. h. Terhadap barang bukti tilang yang diputus verstek oleh pengadilan, karena jika demikian maka barang bukti tersebut akan dikembalikan oleh penyidik Polantas sehingga PNBP yang diputus oleh pengadilan tidak bisa dieksekusi dan akan timbul menjadi permasalahan dalam pemasukan PNBP.
Dalam praktek permasalahan yang dihadapi oleh responden adalah sebagai berikut : 1.
pemasukan PNBP yang berasal dari denda tilang : a. Putusan Verstek yang tidak dilakukan pembayaran dan penyetoran hasil denda tilang yang melebihi 1x24 jam karena wilayah hukum yang letaknya jauh dengan Bank tempat penyetoran. b. Dalam hal putusan verstek, denda yang dijatuhkan lebih tinggi dari uang titipan pelanggar kepada penyidik, sehingga putusan tersebut tidak dapat dieksekusi.
2.
Denda tilang yang sudah diputus Pengadilan Negeri tapi tidak bisa disetorkan karena pelanggar tidak membayar denda dan memilih mengurus surat-surat yang baru.
3.
Biaya lelang lebih besar dari nilai barang.
4.
Barang Bukti sudah mengalami penyusutan.
5.
f. Terdakwa tidak mau membayar denda sesuai dengan putusan Hakim.
Permasalahan lain : a. Dalam hal pelelangan sepeda motor yang merupakan hasil rampasan yang tidak di sertai surat-surat kendaraan (STNK dan BPKB). b. Lambannya proses administrasi antar instansi dalam menentukan kondisi dan taksasi barang bukti sehingga menghambat proses penyelesaian barang rampasan. c. Barang Bukti sudah tiga kali dilakukan pelelangan namun tidak ada peminatnya, maka menghambat pembukuan PNBP. d. Belum ada honor untuk petugas lelang barang agar tidak terjadi penyimpangan oleh petugas lelang.
g. Uang titipan yang disetor oleh pelanggar langsung ke Bank yang ditunjuk, tidak dapat dicairkan, hal ini karena belum ada putusan
Belum adanya persamaan persepsi tentang penghapusan piutang PNBP hasil penegakan hukum oleh Kejaksaan antara BPK dengan Kejaksaan.
c. Dalam hal upaya paksa agar pihak yang berkewajiban dapat segera untuk melakukan pembayaran. d. Tidak diambilnya Tilang yang sudah diputus/Verstek sekitar 10% dari jumlah perkara yang telah diputus, dan tidak dapat dipanggil/upaya hukum lain berkaitan identitas terpidana (tilang) tidak jelas di cantumkan didalam berkas Tilang. Tidak segeranya dikirimkan Berkas perkara dan Barang bukti yang sudah diputus/Verstek oleh pihak pengadilan, sehingga tidak dapat segera dilakukan eksekusi terhadap Perkara dimaksud dan memerlukan waktu. e. Lamanya menerima berkas tilang yang telah diputus verstek di Pengadilan Negeri.
70 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
Bahwa upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan PNBP dalam penegakan hukum oleh Kejaksaan sebagai berikut : 1. Perlunya peningkatan kinerja. 2. Perlu dilakukan perubahan Undang Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001 (dengan merubah ketentuan Pasal 4 dan penerapan pembuktian terbalik). 3. Perlunya peningkatan anggaran penyelesaian PNBP, baik untuk pelelangan barang bukti yang dirampas maupun biaya penagihan denda/uang pengganti. 4. Dalam rangka peningkatan PNBP perlu berbagai pembenahan dan persamaan persepsi serta koordinasi dari instansiinstansi terkait seperti Kejaksaan, Kepolisian, BPK, BPKP, dan KPPN (Kementerian Keuangan).
4.
Dalam membuat suatu kebijaksanaan hendaknya juga berpedoman pada pendapat petugas yang berada di ujung tombak, yakni pelaksana pengelola PNBP di Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : Atmadja, Arifin P. Soeria. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum : Teori, Praktik, dan Kritik, Ed. 1, 1. Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Bohari, H. Pengawasan Keuangan Negara Ed.1. Cet.1. Jakarta : Rajawali, 1992. Hakim, Abdul. Pengelolaan Keuangan Negara-Daerah : Hukum, Kerugian Negara, dan Badan Pemeriksa Keuangan, Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2011. Ikatan Akuntansi Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Jakarta : Salemba Empat, 2009. LIPI. Pelaksanaan Penatausahaan Barang Inventaris Milik/Kekayaan Negara di Lingkungan LIPI, Konsep Petunjuk. Jakarta : LIPI, 2001. Mertokusumo, Sudikno. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Yogyakarta : Citra Aditya Bakti, 1993. Rajagukguk, Erman. Badan Hukum, Keuangan Negara, dan Korupsi. Jakarta : Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI: 2009. Rasul, Sjahruddin. Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran Dalam Perspektif UU No. 17/2003 Tentang Keuangan Negara, Jakarta : Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, 2004. Setia Tunggal, Hadi. Himpunan Perundang-undangan Dalam Bidang Keuangan Negara. Jakarta: Harvarindo, 2007.
Dalam rangka lebih meningkatkan PNBP Kejaksaan maka: 1. Perlu dilakukan peningkatan pemahaman tentang Pengelolaan PNBP berdasarkan SAP di lingkungan pegawai Kejaksaan, baik melalui pendidikan yang sifatnya crast program (pendidikan cepat), maupun melalui pemberian mata pelajaran pada diklat PPJ. 2. Perlu adanya persamaan persepsi antara pengelola PNBP Kejaksaan dengan auditor melalui pertemuan-pertemuan dalam bentuk rekonsiliasi rutin dengan instansi terkait. 3. Perlu disusun pedoman yang jelas dan sederhana tentang penghapusan dan penyelesaian barang rampasan dan barang bukti yang berlaku untuk semua institusi yang berkaitan dengan PNBP Kejaksaan sebagai payung hukum. 71 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
UU No. 31 Thn. 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Siregar, D. Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. ————. Manajemen Aset. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Syamsi, Ibnu. Dasar-Dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara. Jakarta : Rineka Cipta, 1994. Sumarsono, Sonny. Manajemen Keuangan Pemerintahan. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009. Tim Kreatif Fokus Media, Pengelolaan Uang Negara/Daerah. Bandung : Fokus Media, 2007. Tim Redaksi Fokus Media, Standar Akuntansi Pemerintahan. Bandung : Fokus Media, 2011. Tim Redaksi Pustaka Pergaulan. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Jakarta: Pustaka Pergaulan, 2005. Wibowo, Oetoet. Dasar-Dasar Akuntansi Pemerintah. Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996. Widjaja, Gunawan. Pengelolaan Harta Kekayaan Negara : Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
UU No. 20 Thn. 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Thn. 1997 Tentang Penerimaan Negara bukan Pajak. UU No. 7 Thn. 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruptions 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31 Thn. 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Kep.Presiden No. 103 Thn. 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. PP Republik Indonesia No. 71 Thn. 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. PP No. 24 Thn. 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. PP No. 1 Thn. 2004 Tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak.
Perundang-undangan:
Peraturan Pemerintah No. 14 Thn. 2005 Tentang Tata Cara Pengahapusan Piutang Negara/Daerah.
UU No. 15 Thn. 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
PP No. 33 Thn. 2006 Tentang Perubahan Atas PP No. 14 Thn. 2005 Tentang Tata Cara Pengahapusan Piutang Negara/Daerah.
UU No. 15 Thn. 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
PP No. 23 Thn. 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. PP No. 52 Thn. 1998 Tentang Perubahan Atas PP No. 22 Thn. 1997 Tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
UU No. 1 Thn. 2004 tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 17 Thn 2003 tentang Keuangan Negara.
Peraturan Presiden RI No. 64 Thn. 2005 Tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden No. 103 Thn. 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
UU No. 22 Thn. 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
72 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
Pengarahan Jaksa Agung Muda Pembinaan, Jaksa Agung Muda Intelijen, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Jaksa Agung Muda Pengawasan pada rapat kerja Republik Indonesia Tahun 2010. Cianjur,13-15 Desember 2010. Pope, Jeremy. Confronting Corruption: The Elements of National Integrity System (dialihbahasakan: Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional), 2003, dalam Artikel Hifdzil Alim, ‘Sengkarut Uang Negara, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum’, UGM. 30 September 2010.http:// webcache.googleusercontent.com. Purnomo, Hadi. ‘Pengelolaan Uang Negara Diperketat’. Media Seputar Indonesia. Selasa, 8 Februari 2011. Pusat Bahasa Kemendiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pengertian Target. Diakses dari http://pusatbahasa, kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. Raker Perencanaan Universitas Negeri Padang,. Bank Data/ 12 Mei 2009.
Makalah, jurnal, Artikel : Abdullah, Syukriy. ‘Pengendalian Intern Atas Pelaporan Aset Negara’. BPKP,http://syukriy.wordpress.com/2010/ 01/08/pengendalian-intern-atas-pelaporanaset-negara/. Asok K. Mookerjee & Frank Hegyi, ‘GIS and GPS Based Asset Management’. 1999.http://www,gisdevelopment,net/ application/utility/transport/pdf/187. Badan Pemeriksa Keuangan. ‘Laporan Realisasi Anggaran Untuk Tahun-Tahun Yang Berakhir 31 Desember 2009 dan 2008’.<www.BPK.go.id.>. BPKP.‘Pengendalian Intern Atas Pelaporan Aset Negara’. dikutip dari laman Syukry Abdullah, 8 Januari 2010. http://syukriy. wordpress.com/2010/01/08/pengendalianintern-atas pelaporan-aset-negara/. BPKP.Kegiatan.2003-2011.http:// www.bpkp.go.id/konten/11/Kegiatan.bpkp. Danylo, N.H. dan A. Lemer. ‘APWA Task Force on Asset Management Reveals Reliminary Findings to Members’. APWA Reporter.December 1998/Januari 1999. Hardjapamekas, Erry Riyana. ‘Transparansi Aset Negara’.<www. media indonesia.com>. Info BPK, Pertemuan Pimpinan Lembaga Negara.Februari 2011. Edisi II. Kuntadi, Cris, Salah Kelola Aset, LKPD Disclaimer. Jurnal Akuntan Indonesia. Edisi No.13 Tahun II/Desember 2008. Jakarta : IAI, 2008. Media Center Ditjen Perbendaharaan. ‘Akuntansi Berbasis Akrual, Tantangan Besar Pemerintah’. 16 Desember 2010.http:/ / w w w. p e r b e n d a h a r a a n . g o . i d / n e w / index.php?pilih=news&aksi=lihat&id=2526. Media Sempurna Indonesia, ’BPKP Temukan Kerugian Rp. 939 M’. 28 Januari 2011. 73 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. V No. 1 - Maret 2012