PENGAWASAN HASIL EKSPLOITASI MINYAK MENTAH (CRUDE OIL) (Studi di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga Dibuat oleh : NANDA PERMATA HATI NIM. 0810015103 ABSTRAKSI NANDA PERMATA HATI. 0810015103. DR. LA SINA, S. H. , M.HUM. HARIS RETNO SUSMIATI, S. H. , M. H. Pengawasan Hasil Eksploitasi Minyak Mentah (Crude Oil) (Studi di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangsanga & Tarakan Field Sangasanga). Industri minyak dan gas bumi memiliki peranan penting guna mendukung pendapatan negara. Dari total keseluruhan pendapatan negara, 32 % diantaranya berasal dari sektor migas yang disumbangkan oleh 46 perusahaan yang mengeksploitasi migas setiap harinya termasuk PT. PERTAMINA EP UBEP Sangsanga & Tarakan Field Sangasanga. Selain itu juga, diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang melahirkan tata kelola migas yang baru dengan dibentuknya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMIGAS) sebagai pengawas dan pengendali kegiatan usaha hulu migas. Kemudian, keterbukaan informasi publik terkait hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) yang sangat berdampak pada pendapatan daerah penghasil migas juga menjadi sorotan guna menyelengarakan Pemerintah yang Baik (Good Governance) dan representatif dari demokrasi serta kedaulatan dalam mengelola kekayaan sumber daya alam negara ini. Berdasarkan hal tersebut, penulis melakukan kajian terhadap pengawasan hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangsanga yang dilakukan secara internal oleh perusahaan dan eksternal oleh BPMIGAS Perwakilan Kalimantan-Sulawesi. Selain itu, penulis juga mencari kendala pengawasan yang dihadapi dalam melaksanakan dan upaya alternatif penyelesaiannya guna memperoleh penyelesaian masalah yang efektif dan efisien. BPMIGAS merupakan Badan Hukum Milik Negara yang berdiri sendiri dan mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Presiden ini dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam amar putusan Nomor 36/PUU-X/2012 pada 13 Nopember 2012. Dengan bubarnya BPMIGAS yang dianggap inskonstitusional ini, maka tugas, fungsi, dan wewenangnya dialihkan ke Kementerian ESDM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012. Demi menjaga iklim usaha di bidang migas dalam masa transisi ini, Menteri ESDM mengeluarkan SK Nomor 3135 K/08/MEM/2012 dan SK Nomor 3136 K/ 73/MEM/2012 yang menjadi dasar dibentuknya Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegitan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKMIGAS) yang berada dibawah Kementerian ESDM. Maka diharapkan kedepannya tata kelola industri ekstraktif, khususnya migas di Indonesia yang merupakan sektor krusial terkait kedaulatan negara dalam mengelola asetnya dapat diperbaharui agar sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak hanya sekedar menjadi ius constituendum semata. Kata Kunci : Minyak Mentah, Minyak Bumi, Migas, Pertambangan.
1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor minyak dan gas bumi (migas) memiliki peranan penting guna mendukung pendapatan Negara. Dari total keseluruhan pendapatan Negara, 32% diantaranya berasal dari sektor migas yang disumbangkan oleh 46 perusahaan yang mengeksploitasi migas setiap harinya mencapai 951 barel. Saat ini Indonesia masih memiliki cadangan terbukti migas mencapai 11, 9 juta barel yang jika diekploitasi paru akan habis 1.100 tahun ke depan. Sedangkan yang masih dalam perkiraan dan belum terbukti jauh lebih besar (Ramdan Hutasuhut, Staf Ahli Diputi BP MIGAS, 2010). Dimulailah reformasi kebijakan migas dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Sebagai konsekuensi penerapan Undang-undang yang ditetapkan pada tanggal 23 Nopember 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Huku Minyak dan Gas Bumi tanggal 16 Juli 2002, maka urusan pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerjasama atau Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract (PSC) yang sebelumnya dilaksanakan oleh PERTAMINA melalui Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA), kini dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP MIGAS). PERTAMINA beralih bentuk menjadi PT. PERTAMINA (Persero). BP MIGAS sebagai wakil pemerintah di bawah Departemen ESDM bertugas untuk mengawasi seluruh kegiatan operasi hulu semua perusahaan migas di Indonesia yang tergabung dalam Kontaktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Otomatis PT. Pertamina (Persero) hanya bertindak sebagai operator yang menjalin Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan pemerintah yang diwakili oleh BPMIGAS. Pemerintah Kukar mengeluhkan tentang transparansi dan ketidakjelasan asal-usul perhitungan pembagian hasil minyak 15% dan 30% hasil gas kepada daerah penghasil migas. Keterbukaan informasi yang seharusnya data menjadi salah satu sistem pengawasan kinerja aparat pemerintah atas setiap kebijakan yang diambil tampaknya belum membudaya Indonesia. Seperti yang dikutip Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) dan Masyarakat Minyak dan Gas Indonesia (MMGI) bersama Komite II DPR RI dengan agenda bahasan Pembahasan RUU tentang Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi di Jakarta tanggal 31 Mei 2011 lalu.
2
Pada PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga, jumlah lifting actual ini dapat diketahui ketika proses loading, yaitu aktivitas memuat minyak mentah dari Pusat Pengumpul Produksi (PPP) di Sangasanga ke oil barge untuk dibawa ke unit tangki penerima milik PT. PERTAMINA (Persero), Revinery Unit V di Balikpapan. Dengan regulasi baru, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif diharapkan seluruh kegiatan usaha mulai eksplorasi, eksploitasi, hingga penjualan hasil industri migas dan pertambangan bias lebih transparan. Kedua produk hukum tersebut seharusnya dapat menjadi sarana bagi publik sebagai pihak yang terkait dalam berbagai kebijakan pemerintah untuk berpartisipasi langsung mengawasi kinerja aparat pemerintah. Pemerintah Daerah yang mana di satu sisi sebagai Pihak Pemohon Informasi (mewakili kepentingan publik) sudah saatnya bertindak pro aktif dalam meminta informasi terkait dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat terutama yang memiliki hubungan langsung dengan daerahnya. Hal ini untuk membantu mewujudkan praktek penyelenggaraan Pemerintah yang Baik (Good Governance) karena kinerja badan publik (dalam hal ini Departemen Keuangan dan BP MIGAS) yang menggunakan dana rakyat (mendapat
dana
dari
APBN
dan/atau
APBD)
terpantau
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, diharapkan Badan Publik yang bersangkutan akan berusaha memperbaiki kinerja dan mempertanggungjawabkan kegiatannya dengan transfaran. Di sisi lain, masih sedikit pihak yang memiliki ketertarikan dan kepentingan untuk mencari tahu informasi sampai jelas sehingga praktek transfaransi di berbagai bidang belum dapat berjalan dengan maksimal. Perhitungan lifting (minyak mentah siap jual) masih berdasarkan informasi atau laporan laporan masih dipegang oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Jumlah produksi minyak bumi berpengaruh pada lifting, cost recovery, pajak, Dana Bagi Hasil (DBH), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Anggaran Pemasukan dan Belanja Daerah (APBD), dan sebagainya. Padahal jika ditinjau dari urgensinya transparansi dalam mengakses informasi dan data mngenai jumlah hasil produksi minyak sangat dibutuhkan, mengingat kewajibankewajiban perusahaan terhadap daerah dan Negara terkait pajak, bagi hasil (deviden) dari Participating Interest (PI), dan pemasukan daerah. Transparansi pendapatan dan 3
penggunaan uang dari minyak ini menjadi titik kunci yang paling penting dari alur distribusi dana minyak. Dengan demikian publik bias melakukan pengawasa atas apa yang dilakukan perusahaan dan pemerintah yang mewakili kepentingan publik atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengawasan hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga? 2. Apa kendala pengawasan hasil ekploitasi minyak mentah (crude oil) di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga dan upaya alternatif penyelesaiannya?
PEMBAHASAN A. Pengawasan Hasil Eksploitasi Minyak Mentah (Crude Oil) di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga 1. Kewenangan Dalam Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia Konsekuensi dari diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 2001 baik Kegiatan Usaha Hulu maupun Kegiatan Usaha Hilir adalah dibentuknya badan khusus yang mengatur dan melaksanakan kegiatan usaha minyak dan gas. Badan Pelaksana dan Badan Pengatur ini diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pelaksana dan Badan Pengatur dapat membuat kontrak kerja sama dengan badan usaha lain, baik lokal, nasional, maupun internasional. Pembinaan Kegiatan Usaha Migas dilakukan oleh Pemerintah c. q. Menteri ESDM sesuai dengan Pasal 38 UU Nomor 22 Tahun 2001. Pembinaan bersifat Dinamis dan Rutin. Pembinaan Dinamis yaitu Penetapan Kebijakan mengenai kegiatan usaha migas, Pasal 39 Ayat (1) huruf b. proses penetapan kebijakan tersebut dilakukan secara cermat, transparan dan adil, Pasal 39 Ayat (2), serta melibatkan publik (masyarakat migas) dalam proses pengambilan keputusan. Pembinaan Rutin adalah Penyelenggaraan Urusan Pemerintah di bidang kegiatan usaha Migas, Pasal 39 Ayat (1) huruf a. Pengawasan Pekerjaan dan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Migas tertuang dalam Pasal 42 Ayat (1) menyatakan bahwa Pengawasan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi terhadap ditaatinya Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang 4
migas merupakan tanggungjawab Departemen ESDM. Kemudian pada Pasal 42 Ayat (2) menyatakan Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama antara Badan Pelaksana dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
2. Pengawasan Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012 Berdasarkan amanah UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 Ayat (3), Pasal 41 Ayat (2), Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 49 maka ditetapkan PP Nomor 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, itulah yang menjadi dasar BP MIGAS dibentuk. Pada Pasal 1 angka 23, UU Nomor 21 tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi berbunyi, “Badan Pelaksana adalah badan yang dibentuk untuk melakukan pengendali Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi”. Kemudian pada Pasal 6 disebutkan bahwa Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama. Berdasakan Pasal 10 PP Nomor 42 Tahun 2001, Fungsi BP MIGAS adalah melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kementerian ESDM dan Departemen terkait sesuai lingkup dan tugas kewenangan masing-masing melakukan pengawasan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas bumi terhadap ditaatinya Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang migas. Jadi, bisa dikatakan bahwa proses pengawasan dan pengendalian kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yaitu proses Eksplorasi dan Eksploitasi dilaksanakan berdasarkan Kontrak Kerja Sama antara Badan Pelaksana dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), sedangkan Kementerian ESDM hanya melakukan pengawasan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang migas. Berdasarkan pendapat Situmorang dan Juhir (1994:27), Pengawasan Internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organiasai itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Setiap pimpinan unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing.
5
Unit Bisnis EP Sangasanga & Tarakan membuat Pedoman Manajemen Kegiatan Eksploitasi dan Produksi Migas No. A-001/EP1800/2012-S0. Pedoman ini kemudian dijadikan acuan untuk membuat ketentuan yang mengatur prosedur/tata cara penyiapan kegiatan dalam Tata Kerja Organisasi (TKO), Tata Kerja Individu (TKI) dan Tata Kerja Penggunaan Alat (TPKA) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pedoman ini. Berdasarkan pendapat Situmorang dan Juhir (1994:27), Pengawasan Eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri, seperti halnya pengawas di bidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang meliputi seluruh Aparatur negara dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara terhadap departemen dan instansi pemerintah lain. Menurut hasil penelitian, pengawasan ekternal terhadap hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga yang dilakukan oleh BP MIGAS Perwakilan Kalimantan-Sulawesi hanya dilaksanakan pada tahap Crude Oil Loading atau biasa disebut proses Lifting. Proses loading ini adalah proses krusial, karena minyak mentah murni (nett) ini adalah minyak mentah siap jual yang disebut dengan lifting inilah yang akan menjadi pemasukan bagi perusahaan, sebagai pengganti biaya produksi (cost recovery) dan keuntungan serta bagi daerah berupa pajak, Dana Bagi Hasil (DBH), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Anggaran Pemasukan dan Belanja Daerah (APBD), dan sebagainya. Proses loading ini adalah satu-satunya proses yang melibatkan pihak ekternal perusahaan, dalam hal ini BPMIGAS selaku Badan Hukum Milik Negara yang merupakan perpanjangan tangan dari Kementerian ESDM sebagai Witness (Saksi Mata). Tetapi, dalam proses loading pekerjaan BPMIGAS ini dilakukan oleh Surveyor Indonesia yang merupakan kontraktor BPMIGAS. Hal ini dilakukan karena kurangnya sumber daya manusia dalam instansi BPMIGAS Perwakilan KalimantanSulawesi. Menurut Kepala BPMIGAS Perwakilan Kalimantan-Sulawesi saat diwawancarai penulis pada tanggal 1 Juni 2012 mengatakan bahwa jumlah personel yang dimiliki BP MIGAS idealnya satu orang untuk mengawasi proses loading yang tidak sebanding dengan jumlah perusahaan migas yang berada di Pulau Kalimantan dan Sulawesi dan intensitas proses loading. Padahal di dalam Pedoman Tata Kerja Nomor 032/PTK/VII/2009 Tentang Pedoman Tata Kerja Operasional Perwakilan BP MIGAS Huruf O Tentang Alur Administrasi Penugasan Pengawas Lifting Migas dengan Kapal pada angka 4 6
disebutkan bahwa Wakil Lifting BP MIGAS melaksanakan tugas untuk meyaksikan kegiatan lifting bersama-sama dengan Bea Cukai (untuk eksport), Transporter/shipper (kapal pengangkut) dan KKKS, sesuai dengan jadwal yang ditentukan bersama. Kenyataannya bukan Wakil Lifting BP MIGAS yang melaksanakan tugas, tetapi pengawas dari Surveyor Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa BP MIGAS tidak melakukan tugas dan fungsinya berdasarkan PP Nomor 42 Tahun 2002 dan malah mengalihkan tanggung jawab pengawasannya kepada Surveyor Indonesia. Tentu saja hal ini membuat ketidakefektifan dalam pengawasan hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) di KKKS. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Staff Humas PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga pada bulan Januari 2012, meyatakan bahwa Pengawasan Internal dan Eksternal perusahaan dilakukan dengan dua teknik, yaitu Pengawasan Langsung dan Tidak Langsung. Pengawasan Langsung yaitu pengawasan yang dilakukan pada saat proses produksi di lapangan, sedangkan Pengawasan Tidak Langsung yaitu pada saat pelaporan hasil pengawasan dari Fungsi Produksi ke fungsi-fungsi yang lain hingga tingkat menejerial PERTAMINA EP. Ditambahkan pula, Pengawasan Eksternal yang dilakukan BP MIGAS Perwakilan Kalimantan-Sulawesi pun dilakukan dengan dua teknik, yaitu Langsung pada saat proses Crude Oil Loading dan Tidak Langsung pada saat menerima dokumen Bill of Leading setelah proses Crude Oil Loading dilakukan. 3. Pengawasan Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012 Alasan MK mengeluarkan putusan tersebut adalah UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, yang mengatur pengelolaan migas, khususnya kegiatan usaha hulu migas mencerminkan minimnya keberpihakan negara terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) migas. Ini terlihat dengan diperlakukannya BUMN MIgas sama seperti halnya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang lain (tidak ada privilege) dalam ketentuan pengelolaan dan pengusahaan sektor hulu migas nasional. Kemudian ditambahkan bahwa terdapat kerancuan dalam tata kelembagaan yang mencakup bentuk, fungsi, kedudukan, dan tugas BP MIGAS (Badan Pelaksana Hulu Migas) dan BPH MIGAS (Badan Pengatur Usaha Hilir Migas) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001. Kerancuan tersebut berdampak terhadap proses bisnis yang menjadi lebih birokratis dan menyebabkan terjadinya 7
duplikasi atau tumpang tindih terhadap tugas dan kewenangan dari lembaga yang telah ada sebelumnya. Dalam putusannya, MK menyatakan fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh pemerintah, c.q. (casu quo atau dalam hal ini) kementerian terkait sampai diundangkannya Undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut. Langkah pertama yang ditempuh Pemerintah adalah menerbitkan Perpres No. 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Ada empat pasal yang diatur. Kepastian kontrak kerjasama dimuat dalam Pasal 2 Perpres Nomor 95 Tahun 2012, yang menegaskan “…semua Kontrak Kerja Sama (KKS yang ditandatangani antara BP Migas dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir”. Antisipasti tentang kontrak bisa dibaca dari pertimbangan Mahkamah berikut pada halaman 114. “…Dengan demikian segala KKS yang telah ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa yang lain sesuai dengan kesepakatan”. Itu berarti kontrak BP Migas dengan investor tetap sah. Dua pasal lain mengatur tentang pengalihan tugas, fungsi dan organisasi BP Migas ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pasal 3 memberi wewenang kepada Menteri ESDM melanjutkan ‘seluruh proses pengelolaan kegiatan usaha hulu migas yang selama ini ditangani BP Migas’. Satu Pasal lagi (Pasal 4) mengatur tentang mulai berlakunya Perpres Nomor 95 Tahun 2012. Pada hari yang sama dengan terbitnya Perpres Nomor 95 Tahun 2012, Menteri ESDM mengeluarkan Surat Keputusan No. 3135K/08/MEM/2012 tentang Pengalihan Tugas, Fungsi dan Organisasi dalam Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Ada enam poin yang diatur dalam SK ini. Jika Perpres Nomor 95 Tahun 2012 belum menyebut lembaga, SK No. 3135K/08/MEM/2012 sudah menyebut kehadiran Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP). Tugas, fungsi, dan organisasi SKSP, sesuai SK No. 3135K/08/MEM/2012, sama dengan atau peralihan dari tugas, fungsi, dan organisasi BP Migas. Lebih ditegaskan lagi dalam poin ketiga SK ini bahwa kegiatan operasional BP Migas diterapkan pada SKSP. Kegiatan operasional itu meliputi personalia, pendanaan, dan aset. SKSP berada di bawah dan bertanggung
8
jawab kepada Menteri ESDM. Ini berarti pengelolaan KKS dikembalikan kepada pemerintah. Regulasi ketiga yang diterbitkan pemerintah adalah SK Menteri ESDM No. 3136 K/73/MEM/2012. SK ini juga diterbitkan pada 13 November 2012, hari ketika MK membubarkan BP Migas. Pada salinan SK yang sempat dipublikasikan di situs Kementerian ESDM, bagian “tentang” SK tak ada sama sekali. Ada lima poin yang diatur dalam SK No. 3136 K/73/MEM/2012 . Poin pertama adalah pengalihan para wakil kepala dan deputi BP Migas ke SKSP dengan jabatan yang sama. Pejabat dan pekerja lain juga dialihkan dengan status yang sama. Bahkan gaji, tunjangan jabatan, dan fasilitas lain yang selama ini diterima di BP Migas tak dikurangi, seperti yang terdapat pada Poin Ketiga, “…sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebelum pengalihan”. B. Kendala dalam Pengawasan Hasil Eksploitasi Minyak Mentah (Crude Oil) di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga dan Upaya Alternatif Penyelesaiannya 1. Pengalihan Tanggung Jawab Pengawasan Menurut penulis, kewenangan yang diberikan negara kepada pemerintah melalui BP MIGAS seperti yang terdapat dalam PP Nomor 42 Tahun 2002 untuk melakukan pengendalian dan pengawasan Kegiatan Usaha Hulu Migas berdasarkan Kontrak Kerja Sama tidak dilakukan sebagaimana mestinya, ini terlihat dari kelemahan BP MIGAS dalam melakukan Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung. Selanjutnya BP MIGAS tidak maksimal dalam menjalankan fungsinya seperti yang disebutkan dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yaitu melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi disebutkan tugas-tugas BP MIGAS, yang salah satunya yaitu melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama. Tugas inilah yang menurut penulis merupakan tugas pokok dari BP 9
MIGAS dalam kewenangannya untuk mengawasi kegiatan utama operasional Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Dalam Pengawasan Langsung, yaitu saat proses Lifting, BP MIGAS malah mengalihkan tanggung jawab pengawasannya kepada Surveyor Indonesia. Pengalihan tanggung jawab Pengawasan Langsung saat proses lifting itu merupakan bentuk kelemahan internal BP MIGAS dalam hal penyediaan SDM yang berkualitas untuk menjadi petugas pengawas. Merujuk pada Pedoman Tata Kerja No. 032/PTK/VII/2009 Tentang Pedoman Tata Kerja Operasional Perwakilan BPMIGAS tidak menyebutkan secara jelas tentang jumlah wakil BPMIGAS yang menjadi petugas pelaksana lifting. 2. Transparansi Informasi Hasil Eksploitasi Minyak Mentah (Crude Oil) Pengawasan Tidak Langsung yang dilakukan oleh BP MIGAS Perwakilan Kalimantan-Sulawesi terdapat di Tabel 3.6. Pengawasan yang dilakukan BP MIGAS dalam Proses Crude Oil Loading Nomor 7 saja. Jadi, pengawas hanya menerima dokumen pengawasan yaitu Bill of Leading yang akan dibawa ke BP MIGAS Perwakilan Kalimantan-Sulawesi sebagai bentuk pelaporan hasil pengawasan. Pengawasan tidak langsung seperti ini tidak memiliki kendala, tetapi menurut penulis, pengawasan ini memiliki kelemahan, yaitu kecenderungan perusahaan hanya melaporkan hal-hal yang baik saja. Merujuk pada Pedoman Tata Kerja No. 032/PTK/VII/2008 Tentang Pedoman Tata Kerja Operasional Perwakilan Huruf O Tentang Alur Administrasi Penugasan Pengawas Lifting Migas Melalui Kapal, BP MIGAS hanya menerima dokumen lifting/Bill of Leading untuk dijadikan acuan dalam penyusunan Laporan Bulanan Kegiatan Lifting. Celakanya, BP MIGAS yang merupakan representative dari pemerintah hanya dapat menyegatahui hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) siap jual/lifting, bukan hasil eksploitasi secara keseluruhan yang hanya dimiliki oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Kendala pengawasan tersebut adalah terkait transparansi antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama kepada pemerintah melalui BP MIGAS untuk melakukan pengendalian dan pengawasan Kegiatan Usaha Hulu Migas.
10
3. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 36/PUU-X/2012 Setelah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi RI, BP MIGAS dibubarkan dengan dikeluarkannya Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012. Demi menjamin kepastian hukum Kegiatan Usaha Hulu Migas, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Yahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, maka tugas dan fungsi BP MIGAS beralih ke Pemerintah melalui Kementerian ESDM. Menanggapi Perpres tersebut, Menteri ESDM mengeluarkan Surat Keputusan No. 3135K/08/MEM/2012 tentang Pengalihan Tugas, Fungsi dan Organisasi dalam Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Surat Keputusan No. 3136 K/73/MEM/2012. Berdasarkan dua Surat keputusan Menteri ESDM tersebut, maka dibentuklah Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP MIGAS) atau disebut SK MIGAS. Dari ketiga peraturan itu tampak jelas bahwa BP Migas hanya sekadar berganti nama Nama lembaga berbeda, tetapi tugas, fungsi, organisasi, pendanaan, aset, dan personalia masih sama. Bedanya hanya SKSP sepenuhnya berada di bawah pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM.
PENUTUP A. KESIMPULAN Pengawasan hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) di PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 8 Ayat (4) kewenangan pengawasan dilaksanakan oleh BP MIGAS. Pengawasan hasil eksploitasi dibagi berdasarkan Subjek yang mengawasi menjadi Pengawasan Internal dan Pengawasan Ekternal, serta dibagi berdasarkan Teknik Pengawasan, yaitu Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung. Pengawasan Internal yang dilakukan oleh PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga terbagi dalam tiga kegiatan eksploitasi hingga menghasilkan minyak mentah (crude oil), yaitu Pengeboran dan penyelesaian sumur, Pembangunan sarana pengangkutan, peyimpanan dan pengolahan untuk pemisahan dan
11
pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan (Produksi), dan Kegiatan lain yang mendukung (Crude Oil Loading). Pengawasan Internal tersebut dilakukan secara Langsung dan Tidak langsung. Pengawasan Langsung dilaksanakan setingkat operator sumur/juru pumper hingga Pengawas Produksi, sedangkan Pengawasan Tidak langsung dilakukan pada tingkat manajerial internal perusahaan. Kendala yang dihadapi ketika melakukan pengawasan tersebut adalah kendala teknis terkait operasional perusahaan dan ditanggulangi oleh pihak perusahaan. Pengawasan Eksternal terhadap hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) merupakan tanggungjawab BP MIGAS Perwakilan Kalimantan-Sulawesi. Pengawasan hanya dilakukan pada saat proses Crude Oil Loading/Lifting, yaitu pengawas BP MIGAS yang dilakukan oleh Surveyor Indonesia menjadi witness (saksi mata). Setiap proses itu pula lah Pengawasan Tidak Langsung, yaitu berupa penandatangan dokumen pengawasan, Bill of Leading dilakukan. Kendala yang dihadapi dalam Pengawasan Ekternal adalah Pengalihan Tanggung Jawab Pengawasan dari BP MIGAS ke Surveyor Indonesia dalam pengawasan Langsung proses Crude Oil Loading, Transparansi Informasi Hasil Eksploitasi Minyak Mentah (Crude Oil) dari PT. PERTAMINA EP UBEP Sangasanga & Tarakan Field Sangasanga kepada BP MIGAS Perwakilan Kalimantan-Sulawesi dalam pengawasan Tidak Langsung, dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 39/PUU-X/2012. BP MIGAS dibubarkan dengan dikeluarkannya Putusan MK Nomor 36/PUUX/2012. Demi menjamin kepastian hukum Kegiatan Usaha Hulu Migas, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Yahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, maka tugas dan fungsi BP MIGAS beralih ke Pemerintah melalui Kementerian ESDM. Menanggapi Perpres tersebut, Menteri ESDM mengeluarkan Surat Keputusan No. 3135K/08/MEM/2012 tentang Pengalihan Tugas, Fungsi dan Organisasi dalam Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Surat Keputusan No. 3136 K/73/MEM/2012. Berdasarkan dua Surat keputusan Menteri ESDM tersebut, maka dibentuklah Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP MIGAS) atau disebut SK MIGAS. Dari ketiga peraturan itu tampak jelas bahwa BP Migas hanya sekadar berganti nama. Nama lembaga berbeda, tetapi tugas, fungsi, organisasi, pendanaan, aset, dan personalia masih sama. Bedanya hanya SKSP sepenuhnya berada di bawah pemerintah, 12
dalam hal ini Kementerian ESDM. Menurut penulis, SKSP yang merupakan pembungkus BP MIGAS ini tidak lebih mengulang sejarah pengelolaan migas Indonesia sebelum dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Dengan sistem tugas, fungsi, organisasi, pendanaan, asset dan personalia yang sama dengan BP MIGAS, maka SKSP hanya akan menambah panjang daftar institusi yang tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu dalam memanfaatkan masa transisi dan sifat dari SKSP yang sementara, pemerintah untuk segera melakukan perbaikan tata kelola industry migas secara menyeluruh. Mulai dari merevisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi hingga peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut untuk merumuskan tata kelola pengusahaan minyak dan gas bumi sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945.
B. SARAN 1. Dibuatnya aturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tanggung jawab Badan, Institusi atau Satuan Kerja milik pemerintah agar tidak dialihkan ke Pihak Ketiga serta Peningkatan kualitas SDM petugas pengawas hasil eksploitasi minyak mentah (crude oil) dengan melakukan sertifikasi. 2. Merevisi peraturan perudang-undangan terkait pengelolaan migas untuk memasukan informasi-informasi publik terkait hasil produksi minyak mentah (crude oil) Kontraktor Kontrak Kerjasama yang wajib diserahkan kepada negara melalui pemerintah atau Kementerian ESDM. 3. Pemerintah segera membentuk Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi baru yang mengatur fungsi pengawasan migas yang tidak ada unsur hanya mengalihan sistem tata kelola migas lama dan di dalamnya memuat prinsip: a. Tidak ada pengalihan tanggung jawab kepada pihak ketiga; dan b. Mekanisme transparansi informasi terkait hasil eksploitasi minyak mentah.
13
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur
Badan Pusat Statistik. 2011. Kondisi Sosial Ekonomi dan Indikator Penting. Kalimantan Timur. Bohar. 1992. Pengawasan Keuangan Negara. Jakarta: Rajawali Press. Certo, Samuel C. & S. Travis Certo. 2006. Modern Management. Person Prentice Hall. Donnelly, James H. , Gibson, James L., and Ivanceevich, John, 1994, Fundamental of Management, Texas : Business Publication. Donnelly, Gibson, dan Ivancevich. 1996. Manajemen Edisi Sembilan Jilid I. Alih Bahasa : Zuhad Ichyaudin. Jakarta : Erlangga. HS. Salim. 2006. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Koontz, Harorld & Cyril O’Donnel & Heinz Weihrich. 1986. Manajemen Jilid 2 Terjemahan Gunawan Hutauruk. Jakarta : Penerbit Erlangga. M. Situmorang, Victor dan Jusuf Juhir. 1994. Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Maman Ukas. 2004. Manajemen : Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Bandung : Penerbit Aginini. Muhammad, Abdulkasir. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa. Safrudin, Ateng. 1965. Pemerintah Daerah dan Pembangunan. Bandung : Sumur. Siagian, Sondang P. 1989. Filsafat Administrasi. Jakarta : Haji Mas Agung. Susonggono, Bambang. 2006. Metodologi Penelitian Hukum Edisi I, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka. Winardi. 2000. Manajer dan Manajemen. Bandung : Citra Aditya Bakti.
14
B. Peraturan Perundang-Perundangan
Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi Republik Indonesia Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Republik Indonesia Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 36/PUUX/2012 Republik Indonesia Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 3135 K/08/MEM/2012 Tentang Pengalihan Tugas, Fungsi, dan Organisasi dalam Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Republik Indonesia Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 3136 K/ 73/MEM/2012
15