PENGARUH URBAN COMPACTNESS TERHADAP TINGKAT EMISI KARBON PADA SEKTOR TRANSPORTASI BERBASIS RUMAH TANGGA DI KOTA SURABAYA K.D.M. Erli Handayeni, Eko Budi Santoso
Abstrak Sektor transportasi di Kota Surabaya menyumbang 5,48 juta ton per tahun emisi karbon atau sekitar 96% dari total emisi udara. Sementara, dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) Jawa Timur menetapkan target penurunan emisi sebesar 5,22% atau setara dengan 6,2 juta ton CO2 eq pada tahun 2020 di bidang energi dan transportasi. Oleh karena itu diperlukan strategi penurunan emisi karbon, salah satunya melalui strategi penataan guna lahan yang dapat mengurangi jarak perjalanan yang tidak perlu. Dekat jauhnya jarak perjalanan dipengaruhi oleh pola ruang kota yang direpresentasikan melalui pola penggunaan lahan. Pola ruang kota yang acak (sprawl) menyebabkan jarak perjalanan yang panjang dari pinggiran kota (sub-urban) menuju pusat kota, sebaliknya pola ruang yang kompak (compact city) dipandang sebagai alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan kendaraan bermotor. Melalui analisis Cluster, pada kajian ini dihasilkan tiga (3) kategori kekompakan ruang, yaitu compact, sedang dan sprawl. Melalui teknik analisis ANOVA diperoleh bahwa secara signifikan terdapat perbedaan rata-rata produksi emisi CO2 menurut kategori kekompakan ruang dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,019. Artinya, perbedaan tingkat kekompakan ruang mempengaruhi tingkat produksi emisi CO2, khususnya pada sektor transportasi rumah tangga di Kota Surabaya. Kata kunci: kekompakan ruang kota, emisi karbon, transportasi 1.
PENDAHULUAN
Dampak dari pemanasan global mulai dirasakan di Indonesia. Pemanasan global merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gasgas rumah kaca di atmosfer. Hasil kajian IPCC (2007) menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu kurun 12 tahun terakhir (RAN, 2007). Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya penanggulangannya. Kegiatan manusia yang dapat meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca dapat dilihat dari empat sektor utama (IPPC, 2006) yaitu sektor energi, IPPU (Industrial Processes and Product Use), AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use), dan sampah. Pada sektor energi salah satunya dapat dilihat dari tingkat penggunaan energi pada sektor transportasi. Kegiatan manusia melalui sektor transportasi berperan besar dalam menyumbang emisi gas rumah kaca di udara. Sektor transportasi berkontribusi 20,7% dari total emisi CO2 di Indonesia (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap-ICCSR, 2010). Data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa total konsumsi energi di sektor transportasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 konsumsi energi untuk transportasi sebesar 140 juta sbm, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 179 juta sbm (Emisi Gas Rumah Kaca dalam Angka, 2009). Secara 1
nasional, emisi CO2 yang dihasilkan dari sektor transportasi juga meningkat yaitu dari 58 juta ton pada tahun 2000 menjadi 73 juta ton pada tahun 2007. Kontribusi emisi CO2 terbesar berasal dari konsumsi premium dan turunannya (pertamax, pertamax plus dan super TT), dan solar. Perkiraan emisi karbon pada sektor transportasi terus meningkat dan konsentrasi peningkatan emisi CO2 ini berada di Pulau Jawa. Kegiatan transportasi selain memiliki dampak terhadap peningkatan emisi karbon di udara, juga merupakan kontributor terbesar terhadap polusi udara di wilayah perkotaan. Berdasarkan hasil kajian dari Kementerian Lingkungan Hidup (2005) menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan bermotor merupakan sumber utama penyebab polusi udara di kotakota besar di Jawa seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap-ICCSR, 2010). Proyeksi emisi CO2 dari kendaraan bermotor ini dapat mencapai 180 juta ton pada tahun 2030 dengan asumsi tanpa adanya intervensi apapun (business as usual-BUA). Kota Surabaya juga menunjukkan adanya fenomena peningkatan polusi udara serta emisi karbon dari sektor transportasi. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah kendaraan bermotor dengan tingkat pertumbuhan mencapai 5% setiap tahunnya (Surabaya dalam Angka, 2010). Penggunaan kendaraan bermotor yang semakin meningkat akhirnya akan mempengaruhi tingkat penggunaan energi di sektor transportasi. Menurut Cervero, 1998 (dalam Jabareen, 2006) bahwa bentukan kota (urban form) yang merupakan pola spasial/keruangan kota dapat mempengaruhi perilaku perjalanan yang menggunakan kendaraan bermotor. Penggunaan kendaraan bermotor semakin tinggi akibat pola spasial kota yang semakin terdispersi (menyebar acak). Sehingga pola spasial ini pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat penggunaan energi untuk transportasi. Penelitian di dunia juga menunjukkan bahwa konsentrasi spasial kota/kawasan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi energi pada sektor transportasi dan sektor residensial. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Erling Holden dan Norland (2005) menyebutkan bahwa adanya perbedaan pola keruangan kawasan menyebabkan perbedaan pola konsumsi energi pada sektor transportasi. Perbedaan pola konsumsi energi ini akan berdampak pada perbedaan emisi karbon yang dihasilkan di masing-masing kawasan. Kota Surabaya dengan pola keruangan yang semakin merembet ke arah pinggiran kota (sprawling) memiliki dampak terhadap pemborosan energi khususnya pada sektor transportasi. Adanya Rencana Aksi Daerah (RAD) Jawa Timur yang menargetkan penurunan emisi karbon di sektor energi dan transportasi sebesar 5,22% atau 6.190.738,9 ton CO2 eq membawa konsekuensi perlunya peran aktif Kota Surabaya dalam mendukung upaya mitigasi karbon ini. Salah satu strategi yang dikedepankan dalam RAD ini adalah mengurangi kebutuhan akan perjalanan terutama daerah perkotaan (trip demand management) melalui penatagunaan lahan yang mampu mengurangi perjalanan dan jarak perjalanan yang tidak perlu. Oleh karena itu diperlukan strategi penataan guna lahan untuk mengurangi penggunaan energi dan produksi emisi di sektor transportasi. Penataan guna lahan melalui pola ruang kota yang kompak (compact city) dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi/bermotor (Jabareen, 2006). Pola ruang kota yang kompak mengedepankan aksesibilitas tinggi dan ramah bagi pengguna kendaraan non motorized sehingga mengurangi tingkat penggunaan energi dan produksi emisi karbon di sektor transportasi. Penelitian yang dihasilkan oleh Mahriyar (2010) menunjukkan bahwa perbedaan pola kekompakan ruang di Kota Surabaya mempengaruhi perbedaan rata-rata jarak perjalanan dan pemilihan moda. Temuan ini menarik untuk dikaji bagaimana perbedaan tingkat kekompakan ruang kota terhadap tingkat konsumsi energi untuk transportasi. Penelitian yang berkaitan dengan pengaruh pola ruang kota terhadap konsumsi energi dan produksi emisi karbon di sektor transportasi masih jarang dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk memahami bagaimana perbedaan pola kekompakan ruang Kota Surabaya mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan produksi emisi karbon sehingga dapat dikembangkan upaya mitigasi karbon, khususnya pada sektor transportasi untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca di Jawa Timur. 2
2.
KETERKAITAN COMPACTNESS DENGAN KONSUMSI ENERGI DAN EMISI KARBON
Istilah kekompakan (compactness) didefinisikan secara berbeda-beda menurut level/unit yang diamati (level kota, metropolitan, negara, atau skala neighborhood dan sebagainya). Tidak ada isitilah kompak (compact) yang definitif. Umumnya, istilah ini dikaitkan dengan karakteristik yang dilihat berdasarkan kepadatan populasi (Neuman, 2005). Gordon dan Richardson (1997) mendefinisikan kekompakan (compactness) sebagai pembangunan kepadatan tinggi atau monosentris. Kemudian, Ewing (1997) mendefinisikan sebagai konsentrasi dari tenaga kerja dan perumahan, maupun penggunaan lahan bercampur. Sementara, Anderson et al. (1996) mendefinisikan keduanya baik berupa bentukan kota yang monosentris dan polisentris sebagai bentuk yang kompak (compact). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Mahriyar (2010) dan Kurniadi (2007) mendefinisikan ruang yang kompak dari segi dimensi/aspek kepadatan, fungsi campuran dan intensifikasi. Berdasarkan definisi dari berbagai sumber, maka dapat ditentukan ukuran kekompakan ruang (urban compactness) berdasarkan indikator kepadatan dan fungsi campuran. Indikator kepadatan dapat dilihat dari ukuran kepadatan penduduk dan kepadatan area terbangun. Sementara, indikator fungsi campuran dapat dilihat dari keragaman fungsi guna lahan berdasarkan tingkat ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Konfigurasi ruang kota yang berbeda menunjukkan pola konsumsi energi untuk transportasi yang berbeda pula. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bouwman, 2000 (dalam Neuman, 2005) menunjukkan perbedaan tipologi kepadatan kota berpengaruh terhadap perbedaan rata-rata konsumsi energi perorangan untuk transportasi. Hal ini dapat dilihat seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Perbedaan Rata-rata Konsumsi Energi untuk Transportasi menurut Tipologi Kepadatan di Belanda
Sumber: Bouwman, 2000 dalam Neuman, 2005
Penelitian yang sejenis dilakukan juga oleh Kenworthy dan Newman (1990) mengenai keterkaitan bentuk kota (urban form) terhadap konsumsi energi di 32 kota besar di Eropa, Australia dan Amerika. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa adanya korelasi yang signifikan antara permintaan terhadap bahan bakar minyak (BBM) dengan ukuran kepadatan populasi yang berbeda. Konsumsi energi merupakan fungsi dari emisi gas rumah kaca (CO2) yang merupakan bagian dari sektor energi baik pada industri, transportasi, residensial maupun komersial (IPCC, 2006). Sektor energi ini merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, khususnya CO2. Perhitungan emisi sektor transportasi dihitung berdasarkan emisi CO2 dari data jumlah kendaraan dan rata-rata konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Pada dasarnya penghitungan emisi GRK menggunakan rumus dasar sebagai berikut: Emisi CO2 = Ci x EFi Dimana Ci = konsumsi bahan bakar jenis i; dan EFi = faktor emisi CO2 bahan bakar jenis i
3
Faktor emisi ditentukan berdasarkan penelitian dan sangat spesifik untuk setiap bahan atau produk. Oleh karena belum ada faktor emisi yang spesifik untuk Indonesia, maka digunakan faktor emisi yang sudah ditentukan oleh IPCC. 3.
METODE ANALISIS Metode analisis yang digunakan pada kajian ini adalah metode pengujian hipotesa atas perbedaan kekompakan ruang kota berpengaruh terhadap perbedaan produksi emisi karbon pada sektor transportasi. Pengujian hipotesis ini sifatnya komparatif dan asosiatif (Sugiyono, 2013). Pengujian komparatif merupakan dugaan ada tidaknya perbedaan secara signifikan produksi emisi karbon menurut kelompok urban compactness. Pengujian hipotesis komparatif menggunakan teknik analisis ANOVA (Analysis of Variances) yang akan menguji apakah terdapat perbedaan rata-rata emisi karbon menurut kategori/kelompok tingkat kekompakan ruang. Penentuan kategori/kelompok tingkat kekompakan ruang (urban compactness) di masing-masing kecamatan di Kota Surabaya menggunakan teknik analisis Cluster berdasarkan variabel kekompakan ruang (urban compactness), yaitu kepadatan penduduk, mixed use entropy index, serta jumlah fasilitas pendidikan dan kesehatan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey primer dan sekunder. Survey primer dilakukan dengan cara home-based interview mengenai pola transportasi dan penggunaan energinya. Home-based interview ini didasarkan pada sejumlah responden rumah tangga sebagai sampel dari populasi Kota Surabaya. Ukuran sampel ditentukan berdasarkan rumus Slovin (Sevilla et. al., 1960) sebagai berikut: n = N/(1+Nα2) n = 768.932 / (1+(768.932*0,05^2)) ~ 400 dimana n adalah jumlah sampel; N adalah jumlah populasi rumah tangga di Kota Surabaya pada Tahun 2012; dan alpha adalah batas toleransi kesalahan (5 %). Berdasarkan ukuran sampel yang sudah ditentukan, maka teknik sampling yang digunakan adalah teknik Cluster Sampling. Teknik ini digunakan karena obyek yang diteliti sangat luas, yaitu penduduk Kota Surabaya. Teknik sampling ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap menentukan sampel daerah/area yaitu kelurahan pada setiap kecamatan, dan berikutnya menentukan sampel rumah tangga di dalam kelurahan tersebut secara random. Ukuran sampel pada kajian ini sejumlah 432 rumah tangga. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dibahas mengenai beberapa hasil kajian yang sudah diperoleh melalui metode analisis yang digunakan. Pembahasan ini dibagi menjadi bagian utama yaitu mengenai 1) pola kekompakan ruang (urban compactness) di Kota Surabaya, 2) karakteristik konsumsi energi dan tingkat emisi karbon pada sektor transportasi berbasis rumah tangga di Kota Surabaya, 3) pengaruh pola kekompakan ruang (urban compactness) terhadap tingkat emisi karbon pada sektor transportasi di Kota Surabaya. A. Pola Kekompakan Ruang (Urban compactness) di Kota Surabaya Pola kekompakan ruang kawasan (urban compactness) di Kota Surabaya diukur berdasarkan tiga variabel utama, yaitu kepadatan penduduk; keberagaman guna lahan (mixed use entropy index); dan jumlah fasilitas pendidikan serta kesehatan. Ruang kawasan yang semakin kompak (compact) menunjukkan tingkat kepadatan yang semakin tinggi, tingkat penggunaan lahan yang semakin beragam (mixed uses) dan menawarkan fasilitas kota yang semakin lengkap. Perbandingan karakteristik ketiga variabel tersebut pada 31 kecamatan di Kota Surabaya dapat dilihat seperti pada gambar 1, gambar 2 dan gambar 3 berikut.
4
Gambar 1 Perbandingan Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan di Kota Surabaya
Gambar 2 Perbandingan Mixed Use Entropy Index menurut Kecamatan di Kota Surabaya
Gambar 2 Perbandingan Rasio Jumlah Fasilitas per Jumlah Penduduk menurut Kecamatan di Kota Surabaya Kepadatan penduduk menjadi salah satu variabel yang diukur dari perbandingan jumlah penduduk suatu kawasan/kecamatan dengan total luas wilayahnya. Kepadatan penduduk tertinggi di Kota Surabaya terdapat di Kecamatan Simokerto (Surabaya Pusat), sedangkan 5
kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Lakarsantri (Surabaya Barat). Pada kondisi eksisting pemusatan penduduk terjadi di wilayah Surabaya Pusat. Ukuran keberagaman guna lahan dihitung berdasarkan index keberagaman guna lahan (mixed use entropy index) yang dihitung dengan persamaan: ln Pi * (ln Pi /ln n) dimana Pi adalah proporsi penggunaan lahan jenis i terhadap total luas penggunaan lahan; n adalah jumlah kategori/jenis penggunaan lahan. Nilai index keberagaman guna lahan ini berkisar antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Nilai index yang semakin mendekati 1 artinya semakin beragam jenis penggunaan lahan suatu kawasan/kecamatan, dan sebaliknya. Hasil pengukuran index keberagaman di Kota Surabaya menunjukkan bahwa Kecamatan Simokerto memiliki index keberagaman paling kecil sebesar 0,03 yang artinya jenis penggunaan lahan yang ada masih jauh dari kategori beragam atau cenderung single uses. Sedangkan Kecamatan Bulak memiliki index paling besar dengan nilai 0,72 artinya semakin beragam jenis penggunaan lahan yang ada di kecamatan tersebut. Kelengkapan fasilitas suatu kawasan diukur dari rasio jumlah fasilitas terhadap jumlah penduduk yang ada di kawasan/kecamatan tersebut. Pada tabel di bawah ini dijelaskan jumlah fasilitas dan rasionya di masing-masing kecamatan di Kota Surabaya. Secara keseluruhan, rasio fasilitas terbesar terdapat di Kecamatan Tambaksari. Sementara Kecamatan Asemrowo dan Benowo merupakan kecamatan dengan rasio fasilitas yang sangat rendah. Berdasarkan beberapa variabel pengukur tingat kekompakan ruang kecamatan (urban compactness) maka dapat ditentukan kategori kekompakan ruang kawasan melalui metode analisis Cluster. Metode Cluster yang digunakan adalah dengan metode K-Means Cluster dengan menentukan jumlah cluster yang terbentuk. Melalui metode ini diperoleh 3 cluster yang optimal melalui iterasi sebanyak dua kali. Pada cluster yang terbentuk dihasilkan nilai estimasi cluster menurut variabel ukuran urban compactness seperti pada tabel 2 berikut. Nilai estimasi cluster ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan tipologi cluster. Tabel 2 Nilai Cluster menurut Variabel Urban compactness Cluster 1 Zscore: Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) Zscore: Land Use Mix Entropy Index Zscore: Jumlah Rasio Fasilitas
2
3
1.03658
1.05401
-.65927
.03222
-1.64362
.42066
1.35059
.20096
-.55047
Sumber: hasil pengolahan dengan SPPS 17.
Pada tabel 2, nilai cluster di masing-masing variabel urban compactness menunjukkan tipologi cluster. Pada cluster 1, nilai cluster memiliki tanda positif pada seluruh variabel yang berarti bahwa variabel urban compactness di cluster 1 memiliki karakteristik diatas rata-rata nilai cluster. Hal ini menunjukkan bahwa pada cluster 1 memiliki tingkat kepadatan, tingkat keberagaman guna lahan dan rasio fasilitas yang tinggi dibandingkan dengan cluster lainnya. Cluster 1 dapat ditipologikan sebagai cluster dengan tingkat kekompakan ruang yang tinggi (cenderung compact). Pada cluster 2, nilai cluster pada variabel kepadatan penduduk dan rasio fasilitas menunjukkan nilai yang positif yang artinya berada diatas rata-rata. Namun, variabel keberagaman guna lahan menunjukkan nilai yang negatif, artinya berada dibawah rata-rata. Cluster 2 dapat ditipologikan sebagai cluster dengan tingkat kekompakan sedang. Berbeda dengan cluster 3, nilai cluster pada variabel kepadatan penduduk dan rasio fasilitas bertanda negatif yang artinya nilainya berada dibawah rata-rata cluster, meskipun nilai keberagaman guna lahannya menunjukkan tanda positif. Cluster 3 dapat ditipologikan sebagai cluster dengan tingkat kekompakan ruang yang rendah (cenderung sprawl). Tipologi dan anggota cluster dapat dilihat seperti pada tabel 3 6
dan gambar 4 berikut. Pada tabel 3 dan gambar 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar kawasan di Kota Surabaya masih menunjukkan pola ruang yang cenderung sprawl (penyebaran yang acak). Tabel 3 Tipologi dan Anggota Cluster Urban Compactness di Kota Surabaya No. 1
Cluster Cluster 1
2
Cluster 2
3
Cluster 3
Tipologi Cluster Tingkat kekompakan tinggi (cenderung compact) Tingkat kekompakan sedang Tingkat kekompakan rendah (cenderung sprawl)
Anggota Cluster (Kecamatan) Tegalsari, Genteng, Bubutan, Simokerto, Wonocolo Semampir, Krembangan, Kenjeran, Tambaksari, Gubeng, Sawahan, Wonokromo Pabean Cantikan, Bulak, Rungkut, Tenggilis Mejoyo, Gunung Anyar, Sukolilo, Mulyorejo, Karangpilang, Dukuh Pakis, Wiyung, Gayungan, Jambangan, Tandes, Sukomanunggal, Asemrowo, Benowo, Pakal, Lakarsantri, Sambikerep
Sumber: hasil analisis, 2014
Gambar 4 Tipologi Cluster Urban Compactness B. Karakteristik Konsumsi Energi dan Tingkat Emisi Karbon Pada Sektor Transportasi berbasis Rumah Tangga di Kota Surabaya Konsumsi energi pada sektor transportasi yang dihitung pada penelitian ini adalah konsumsi bahan bakar minyak (BBM) untuk kegiatan transportasi oleh satu rumah tangga. Konsumsi BBM ini termasuk konsumsi untuk seluruh pergerakan yang dilakukan oleh anggota keluarga, baik untuk maksud pergerakan bekerja, bersekolah, berbelanja serta maksud lainnya. Sebagian besar jenis BBM yang digunakan oleh rumah tangga adalah bensin. Jenis BBM yang digunakan ini menentukan tingkat emisi karbon yang dihasilkan. 7
Pada tabel 4 berikut menunjukkan rata-rata konsumsi bensin per bulan per rumah tangga menurut kecamatan. Pada tabel tersebut menunjukkan rata-rata konsumsi energi per bulan terbesar terdapat di Kecamatan Gayungan, sementara konsumsi terendah terdapat di Kecamatan Bulak. Tabel 4 Rata-rata Konsumsi Energi dan Emisi CO2 Pada Sektor Transportasi berbasis Rumah Tangga di Kota Surabaya
Sumber: hasil analisis, 2014
Tinggi rendahnya tingkat konsumsi BBM ini akan mempengaruhi tingkat produksi emisi di masing-masing kecamatan. Pada tabel 4.3 ditunjukkan rata-rata produksi emisi CO2 per bulan per tumah tangga berdasarkan jumlah konsumsi energi per bulan. Perhitungan emisi CO2 dari konsumsi BBM ini dihasilkan dari perhitungan: emisi GRK = jumlah konsumsi x faktor emisi (bensin) dimana faktor emisi bensin ditentukan berdasarkan standar IPCC (2006) sebesar 69.300 kg/TJ. Pada tabel 4.3 dihasilkan perhitungan estimasi produksi emisi CO2 pada sektor transportasi di masing-masing kecamatan dengan mengalikan jumlah rumah tangga di masing-masing kecamatan. Pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa emisi CO2 terbesar tedapat di Kecamatan Sawahan, sedangkan emisi terkecil terdapat di Kecamatan Bulak. Kecenderungan emisi CO2 yang besar terdapat di daerah Surabaya Selatan dan Barat. Sementara kecenderungan emisi CO2 yang lebih kecil terdapat di daerah Surabaya Pusat dan Utara. C. Pengaruh Pola Kekompakan Ruang Kawasan (Urban compactness) dengan Tingkat Emisi Karbon Pada Sektor Transportasi di Kota Surabaya Metode yang digunakan untuk menganalisis bagaimana pengaruh perbedaan tingkat urban compactness terhadap tingkat emisi karbon pada sektor transportasi adalah metode ANOVA (Analysis of Variance). Metode ini mensyaratkan adanya normalitas data dan homogenitas varians. Untuk menguji homogenitas varians menggunakan Uji Statistik Levene melalui hipotesa: H0 (hipotesa awal) : varians ketiga kategori/kelompok sama (homogen) H1 (hipotesa alternatif) : varians ketiga kategori/kelompok berbeda Melalui pengolahan data dengan perangkat lunak SPSS 17 dihasilkan bahwa nilai Statistik Levene adalah 2,156 dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,135. Artinya pada tingkat kepercayaan 95%, probabilitas 0,135 lebih dari 0,05 yang berarti hipotesa awal (H0) diterima. Berdasarkan Uji Statistik Levene ini, maka syarat homogenitas varians sudah dipenuhi sehingga output dari hasil ANOVA dapat digunakan/valid. Melalui ANOVA diuji perbedaan tingkat emisi CO2 menurut tiga kategori/kelompok Urban Compactness. Untuk mengambil kesimpulan atas hasil ANOVA, maka dilakukan pengujian hipotesa sebagai berikut: 8
H0 (hipotesa awal)
: rata-rata emisi CO2 pada ketiga kategori/kelompok Urban Compactness adalah sama H1 (hipotesa alternatif) : rata rata-rata emisi CO2 pada ketiga kategori/kelompok Urban Compactness adalah berbeda Dengan perhitungan nilai Uji F sebesar 4,957 dan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,019 maka dapat disimpulkan bahwa hipotesa awal (H0) ditolak karena nilai probabilitas yang kurang dari 0,05 pada tingkat kepercayaan 95%. Artinya, rata-rata emisi CO2 pada ketiga kategori/kelompok urban compactness adalah berbeda. Perbedaan tingkat urban compactness mempengaruhi perbedaan produksi emisi CO2 pada sektor transportasi di Kota Surabaya. Tabel berikut menunjukkan hasil pengolahan dengan metode ANOVA melalui SPSS 17. Tabel 4 Hasil Pengujian ANOVA Total Emisi CO2 (ton) Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
F 4.597
42061676.380
2
21030838.190
Within Groups
1.281E8
28
4574764.337
Total
1.702E8
30
Sig. .019
Sumber: pengolahan dengan SPSS 17.
Hasil pengujian ANOVA menunjukkan secara signifikan bahwa adanya pengaruh perbedaan Urban Compactness terhadap perbedaan produksi emisi CO2 pada sektor transportasi di Kota Surabaya. Pada tabel 4 menunjukkan perbedaan rata-rata tingkat emisi CO2 per rumah tangga menurut kategori/kelompok urban compactness. Pada kategori kekompakan ruang yang tinggi dan sedang menunjukkan rata-rata tingkat emisi CO2 per rumah tangga yang lebih kecil dibandingkan dengan kategori kekompakan ruang yang rendah. Hal ini disebabkan oleh rata-rata panjang perjalanan per rumah tangga pada kategori kekompakan ruang tinggi dan sedang lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata perjalanan per rumah tangga pada kategori kekompakan ruang yang rendah. Hal ini menjadi indikasi awal bahwa pola keruangan (spasial) kawasan mempengaruhi pola perjalanan dan konsumsi terhadap energi pada sektor transportasi, yang pada akhirnya akan berdampak pada tinggi rendahnya produksi emisi CO2 yang dihasilkan dari konsumsi energi tersebut. 5.
Kesimpulan Sektor transportasi di Kota Surabaya menyumbang emisi karbon yang sangat besar (96% emisi di udara). Pada tahun 2020 ditargetkan penurunan emisi di bidang energi dan transportasi sebesar 5,22% atau setara dengan 6,2 juta ton CO2 dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) Jawa Timur. Hal ini perlu pengembangan strategi penurunan emisi karbon yang bersifat avoid melalui strategi penataan guna lahan yang dapat mengurangi jarak perjalanan yang tidak perlu. Dekat jauhnya jarak perjalanan dipengaruhi oleh pola ruang kota yang direpresentasikan melalui pola penggunaan lahan. Pola ruang kota yang acak (sprawl) dapat menyebabkan jarak perjalanan yang panjang dari pinggiran kota (sub-urban) menuju pusat kota. Melalui kajian ini diketahui sebagian besar wilayah kecamatan (20 kecamatan) di Kota Surabaya masuk kedalam kategori tingkat kekompakan ruang yang rendah (cenderung sprawl). Kecamatan-kecamatan tersebut memiliki karakteristik dengan tingkat kepadatan penduduk dan rasio fasilitas yang rendah, meskipun jenis penggunaan lahannya cenderung menunjukkan penggunaan lahan yang beragam (mixed uses). Kecamatan yang termasuk kedalam kategori kekompakan ruang yang tinggi (cenderung compact) dan sedang memiliki rata-rata konsumsi BBM dan produksi emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan kecamatan yang termasuk kedalam kategori tingkat kekompakan ruang yang rendah. Secara signifikan diketahui adanya perbedaan rata-rata produksi emisi CO2 menurut kategori kekompakan ruang. Artinya, perbedaan tingkat kekompakan ruang mempengaruhi tingkat 9
produksi emisi CO2, khususnya pada sektor transportasi rumah tangga di Kota Surabaya. Oleh karena itu, upaya mitigasi karbon di Kota Surabaya khususnya pada sektor transportasi di masyarakat dapat dikembangkan melalui upaya pengorganisasian penggunaan lahan yang kompak (compact) dengan mengarahkan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, jenis penggunaan lahan yang beragam (mixed uses), serta rasio fasilitas yang tinggi. Akibatnya, konsumsi energi transportasi dengan kendaraan pribadi akan semakin kecil dan produksi emisi CO2 dapat diturunkan. UCAPAN TERIMA KASIH Paper ini ditulis sebagai bagian dari kegiatan penelitian yang didanai oleh LPPM ITS melalui skema Penelitian Pemula dengan dana BOPTN 2014. Penulis pun mengucapkan terimakasih atas dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak terkait. DAFTAR PUSTAKA Anderson, W. P., Kanaroglou, P. S. and Miller, E. J. (1996) Urban form, energy and the environment: a review of issues, evidence and policy,Urban Studies, 33(1), pp. 7 – 35 Ewing, R. (1997) Is Los Angeles-style sprawl desirable?. Journal of the American Planning Association, 63(1), pp. 107 – 126. Gordon, P. and Richardson, H. W. (1997) Are compact cities a desirable planning goal? Journal of the American Planning Association, 63(1), pp. 95 – 106. Holden, E. and Norland. (2005). Three Challenges for the Compact City as a Sustainable Urban Form: Household Consumption of Energi and Transport in Eight Residential Areas in the Greater Oslo Region, Urban Studies, vol. 42, no. 12, pp. 2145-2166 Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. (2010). Synthesis Report, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. (2010). Summary Report Transportation Sector, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Intergovernmental Panel on Climate Change. (2006). IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. Japan: IGES (Institute for Global Environmental Strategies). Jabareen, Yosef R. (2006). Sustainable Urban Forms : Their Typologies, Models, and Concepts. Journal of Planning Education and Research, pp 26-38 Kementerian Negara Lingkungan Hidup. (2009). Emisi Gas Rumah Kaca dalam Angka. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Emisi Gas Rumah Kaca dalam Angka. Jakarta: Urusan Data dan Informasi Lingkungan Kurniawan, Ivan. (2007). Pola Spasial Urban Compaction di Wilayah Metropolitan Bandung. Bandung: Tugas Akhir Departemen Teknik Planologi-ITB Mahriyar, Zia M. (2010). Perumusan Konsep Pendayagunaan Urban Compactness di Kota Surabaya. Surabaya: Tugas Akhir Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota- ITS National Action Plan For Climate Change Adaptation (RAN-API). (2012). Synthesis Report, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Neuman, M. (2005) The Compact City Fallacy, Journal of Planning Education and Research, Vol.25, pp 11-26 Newman, P. and Kenworthy, J. (1989). Gasoline consumption and cities: a comparison of US cities with a global survey, Journal of the American Planning Association, 55:1, 24– 37. Peraturan Gubernur Nomor 67 Tahun 2012 Tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Jawa Timur
10
Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI). (2007). Laporan yang disusun oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup Sevilla, Consuelo G. et. al (2007). Research Methods. Rex Printing Company. Quezon City. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D, Bandung: Penerbit Alfabeta
11