178
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
PENGARUH TINGKAT KUALITAS CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP RISK-TAKING PERUSAHAAN MUHAMMAD FADHLAL MAULA1, NASIR2 1,2)
Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala e-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research examines about the effect of corporate governance quality level to corporate risk-taking. On the research, there are one independent variable that is Corporate Governance Perception Index and one dependent variable that is corporate risk-taking which is measured by systematic risks and non-systematic risks. The sample of this research was taken from all companies listed on Indonesia Stock Exchange and also included in the rank of The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) on 2011-2013. The sample were taken by purposive sampling method. Total sample that were used are 13 corporates with total observation data are 39. Statistical methods using simple linear regression analysis were used to test the hypothesis. The result of this research indicates that the level of corporate governance quality has a negative impact significantly to corporate risk-taking as measured by systematic risk or non-systematic risk. Company with good level of corporate quality will make a small risk decisions. Keywords: Corporate Governance, Corporate Governance Perception Index, RiskTaking, Agenchy Theory
PENDAHULUAN Pengelola bisnis dengan tata kelola yang baik telah menjadi fokus utama bagi seluruh pihak baik itu individu maupun perusahaan. Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana individu atau perusahaan sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Dengan kata lain tujuan akhir dari suatu bisnis adalah memperoleh keuntungan. Bagi individu, bisnis yang dilakukan biasanya dalam skala yang kecil. Seperti penjualan suatu produk/jasa yang dilakukan oleh satu orang. Individu dapat dengan mudah menentukan sumber modal yang akan digunakan dalam kegiatan bisnisnya. Semua keputusan yang diambil dalam bisnis hanya akan bertujuan untuk mesejahterakan individu yang melakukan bisnis tersebut. Di samping itu, semua risiko yang timbul dari keputusan yang diambil pun hanya akan berdampak dan dirasakan oleh individu saja. 178
179
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
Kondisi ini berbeda dengan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan ataupun lembaga. Dalam melakukan kegiatan bisnis, biasanya perusahaan ataupun lembaga melibatkan banyak para pemangku kepentingan dan dalam skala yang relatif besar. Untuk menentukan suatu keputusan harus berdasarkan kesepakatan semua pihak yang ada di dalam perusahaan tersebut. Semua konsekuensi dan risiko yang timbul dari berbagai keputusan tersebut juga harus siap dihadapi oleh semua pemangku kepentingan yang ada. Risiko sendiri memiliki definisi yang beragam. Menurut Roggi (2007) risiko adalah sebuah konsep yang dihubungkan dengan ekspektasi manusia. Konsep tersebut mengindikasikan adanya efek negatif potensial yang berhubungan dengan aset yang mungkin muncul pada masa yang akan datang. Pada umumnya risiko sering digunakan sebagai sinonim probabilitas dari kehilangan atau kerugian. Salah satu yang menjadi faktor timbulnya risiko dalam aktivitas perusahaan adalah risktaking yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Risk-taking didefinisikan sebagai pengambilan keputusan yang mengandung ketidak-pastian untuk meningkatkan keuntungan di mana keputusan tersebut mengandung kemungkinan kerugian dalam bentuk harta atau kehilangan keuntungan atau kemampuan ekonomis. Berdasarkan teori keagenan, salah satu parameter kunci dalam proses pengambilan keputusan adalah kesiapan pemilik dan manajemen perusahaan dalam mengambil tingkat risiko yang ada (corporate risk-taking). Jogiyanto (2010) membagi corporate risk-taking menjadi dua, yaitu risiko sistematis (systematic risk) dan risiko tidak sistematis (unsystematic risk). Kedua risiko ini harus mampu dikendalikan oleh perusahaan agar tidak adanya perbedaan kepentingan (conflict of interest) antara pihak principals (pemegang saham) dan pihak agen (manajer) dalam menetapkan corporate risktaking. Perbedaan kepentingan (conflict of interest) terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Penyebab lain adanya perbedaan konflik kepentingan (conflict of interest) antara manajer dengan pemegang saham adalah adanya perilaku dan preferensi yang berbeda terkait pengambilan risiko (risk-taking). Para pemegang saham hanya perduli terhadap risiko non sistematis dari saham perusahaan, karena mereka
179
180
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
melakukan investasi pada portofolio yang terdiversifikasi dengan baik. Namun manajer sebaliknya lebih peduli pada risiko perusahaan secara keseluruhan. Menurut analisis teori agensi, tingkat risiko perusahaan disusun sedemikian rupa untuk mengurangi konflik yang mungkin terjadi antara pemilik dan manajer perusahaan. Dalam hubugan keagenan, terdapat dua masalah utama, yaitu terjadinya informasi asimetris dan terjadinya konflik kepentingan. Informasi asimetris terjadi ketika manajemen memiliki lebih banyak informasi mengenai perusahaan dibanding pemilik perusahaan, sedangkan konflik kepentingan terjadi karena adanya perbedaan tujuan dan kepentingan antara pemilik dan manajer perusahaan. Salah satu mekanisme untuk mengatasi masalah agensi tersebut adalah corporate governance. Corporate governance adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang saham, manajemen, dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan, pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas. Kebutuhan akan kuatnya corporate governance terbukti dari banyaknya perbaikan dan pengembangan standar-standar corporate governance baik di tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat internasional, Organization for Economics Co-operation and Development (OECD) telah memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan prinsip-prinsip corporate governance yang menjadi acuan bagi setiap negara dalam penerapannya. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan corporate governance di Indonesia, munculah lembaga khusus yang menangani pemeringkatan penerapan corporate governance pada perusahaan di Indonesia, yaitu The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). IICG menerbitkan indeks peringkat atas kualitas penerapan corporate governance pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang disebut dengan Corporate Governance Perception Index (CGPI). Hasil CGPI berupa skor penilaian terhadap tingkat penerapan corporate governance di perusahaan (Nuswandari, 2009).
180
181
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
Corporate Governance Perception Index merupakan pedoman bagi manajer untuk mengelola perusahaan secara best practice. Manajer akan membuat keputusan keuangan yang dapat menguntungkan semua pihak (stakeholder). Manajer bekerja secara efektif dan efisien (Nuswandari, 2009), sehingga perusahaan yang menerapkan corporate governance akan memberikan kualitas laporan keuangan yang baik kepada investor, hal ini akan meningkatkan kredibilitas posisi keuangan perusahaan. Dengan tingginya kredibilitas laporan keuangan perusahaan, maka akan memberikan kepercayaan kepada investor bahwa harga saham perusahaan juga tinggi (Mosher dan Hoffman, 2013). Tingkat kualitas corporate governance suatu perusahaan dapat menghasilkan keputusan penetapan risk-taking yang beraneka ragam. Perusahaan dengan tingkat kualitas corporate governance yang tinggi memiliki lebih sedikit masalah asimetris dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat kualitas corporate governance yang rendah (Jiraporn, 2015). Pihak pricipals dan pihak agen mampu menyatukan persepsi mengenai arah dan tujuan perusahaan. Tujuan utama perusahaan
yaitu mencapai keuntungan maksimal dan mempertahankan
kelangsungan hidup perusahaan. Maka dari itu perusahaan akan menetapkan tingkat pengambilan risiko (risk-taking) yang relatif kecil agar tujuan utama perusahaan dapat tercapai. Perusahaan dengan tingkat corporate governance yang rendah cenderung membuat keputusan yang beresiko tinggi (Shah et al, 2012). Manajer perusahaan akan membuat keputusan yang dapat meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini dikarenakan kompensasi yang diberikan kepada manajer tergantung pada kontrak yang telah dibuat dan tergantung pada performa dan nilai perusahaan. Untuk meningkatkan nilai perusahaan dengan cepat maka manajer akan mengambil keputusan yang beresiko tinggi. KAJIAN KEPUSTAKAAN Risiko Griffin (2002) mengatakan bahwa risiko adalah suatu ketidakpastian tentang peritiwa yang akan terjadi di masa depan atas hasil yang diharapkan atau tidak diharapkan.
181
182
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
Risk-taking Risk-taking merupakan suatu perilaku pengambilan risiko yang akan diterima atau ditanggung sebagai akibat dari suatu tindakan atau keputusan (Nwogugu, 2005). Corporate Governance Konsep corporate governance dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari teori keagenan yang diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk menengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Dimensi pertama adalah stewardship dan akuntabilitas, yang menekankan pada pemantauan kinerja manajemen dan kepastian terwujudnya akuntabilitas manajemen terhadap pemegang saham. Dimensi kedua adalah interprice (penciptaan nilai), yang menekankan pada upaya memotivasi perilaku manajerial kearah peningkatan kesejahteraan perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas dan penciptaan nilai merupakan dua dimensi penting dari corporate governance. Corporate Governance Perception Index Corporate Governance Perception Index (CGPI) merupakan sebuah bentuk penilaian yang dihasilkan dalam bentuk pemeringkatan yang dibuat berdasarkan penerapan good corporate governance pada perusahaan yang ada di Indonesia. Penilaian ini dilakukan melalui sebuah riset yang dibuat untuk menilai penerapan konsep corporate governance yang ada disebuah perusahaan dengan melalui perbaikan yang berkesinambungan dan evaluasi melalui benchmarking. Di Indonesia penelitian CGPI dilaksanakan oleh The Indonesian Insitute For Corporate Governance (IICG) bekerjasama dengan majalah SWA. Agency Theory Jensen dan Meckling (1976), dikenal sebagai yang pertama kali memperkenalkan istilah agency theory, menyatakan bahwa agency theory dikenal sebagai teori mengenai struktur kepemilikan perusahaan yang membahas mengenai hubungan principal dan agent. Principal-agency theory menimbulkan agency problem terkait tiga hal:
182
183
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
1.
Goal conflict dikarenakan agent dan principal mungkin memiliki tujuan yang berbeda
2.
Information asymmetry dikarenakan agent tidak dapat diawasi dan dikontrol secara total oleh principal.
3.
Differential risk preferences dikarenakan principal dan agent mungkin memiliki perilaku dan preferensi yang berbeda terkait pengambilan risiko.
Pengaruh Antar Variabel Pengaruh Tingkat Kualitas Corporate Governance Terhadap Risk-taking Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, terdapat hasil yang berbeda-beda mengenai arah dari hubungan kausalitas antara kualitas corporate governance dan risk-taking perusahaan, apakah negatif ataupun positif. Shah et al. (2012) menyatakan bahwa semakin baik penerapan corporate governance akan semakin mengurangi risktaking perusahaan. Hasil yang sama juga diungkapkan oleh Eling dan Marek (2009) yang menemukan bahwa mekanisme corporate governance yang baik cenderung menurunkan risk-taking. John, Litov, dan Yeung (2008) menemukan bahwa semakin kuat praktik CG akan mengakibatkan perilaku risktaking semakin meningkat. John, Litov, dan Yeung (2008) menyatakan bahwa praktik CG yang baik khususnya pada proteksi investor akan membawa perusahaan melakukan risk-taking yang lebih tinggi. Namun, pengambilan resiko tersebut dilakukan demi meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan teori keagenan, kualitas corporate governance cenderung berpengaruh negatif terhadap risk-taking. Perusahaan dengan tingkat kualitas corporate governance yang tinggi memiliki assymetric information yang lebih sedikit, sehingga diasumsikan hampir mampu menyatukan persepsi antara pemegang saham dan para manajer. Semua keputusan yang diambil bertujuan untuk kesejahteraan bersama dan demi keberlangsungan hidup perusahaan. Keputusan tersebut akan bersifat less-risky agar tercapai kesejahteraan seluruh instrumen dalam perusahaan, sehingga perusahaan dengan kualitas corporate governance yang tinggi akan memiliki tingkat risiko yang rendah. H1 : Tingkat kualitas corporate governance berpengaruh negatif terhadap risktaking
183
184
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011-2013. Sampel menunjukkan bagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang sama dan mewakili populasi penelitian. Pada penelitian ini penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Berdasarkan kriteria tersebut maka jumlah sampel yang memenuhi kriteria yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebanyak 13 perusahaan. Dalam penelitian ini jenis dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung dan melalui media perantara. Variabel Operasional dan Pengukuran Variabel Risk-taking a. Risiko non-sistematis 𝑃i,t - 𝑃i,t-1 𝑅i,t = 𝑃i,t-1 Keterangan: 𝑅i,t
= Return saham i pada periode t
𝑃i,t
= Harga saham penutupan perusahaan i pada periode t
𝑃i,t-1 = Harga saham penutupan perusahaan i pada periode t-1
SD Keterangan: SD
= Standar deviasi Xi
=
Return saham individual n = Jumlah observasi
b. Risiko sistematis
184
185
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
Untuk mengukur risiko sistematis, tiap tahunnya akan diregress excess return perusahaan (saham i) terhadap excess return pasar. Kemudian setelah dilakukan regresi, akan diperoleh nilai residual harian selama satu tahun. Nilai standar deviasi atas nilai residual harian tersebutlah yang nantinya menjadi nilai variabel risiko sistematis perusahaan i pada tahun t. Tingkat Kualitas Corporate Governance (CGPI) Persepsi Tata Kelola (CGPI) Corporate Governance Perception Index merupakan sebuah hasil riset yang dilakukan oleh Indonesia The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) untuk mengukur tingkat corporate governance yang diterapkan di perusahaan Indonesia. Pengukuran variabel CGPI berdasarkan jumlah nilai akhir dari setiap tahapan penilaian, dalam bentuk persentase (Rohman dan Utama, 2013). Model Empiris Secara sistematis model yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: USRISK = 𝜶 + 𝜷𝟏𝑳𝒏𝑪𝑮𝑷𝑰 + 𝒆 𝐒𝐑𝐈𝐒𝐊 = 𝜶 + 𝜷𝟏𝑳𝒏𝑪𝑮𝑷𝑰 + 𝒆 Keterangan: USRISK
= Unsystematic risk
SRISK
= Systematic risk
CGPI
= Corporate Governance Perception Index
e
= Error
HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Analisis Data Statistik deskriptif memberikan gambaran mengenai karakteristik variabel yang diamati. Statistik deskriptif variabel yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Statistik Deskriptif N Minimum USRISK 39 0,0130 39 SRISK 0,0062
Maximum Mean 0,0511 0,022650 0,0149 0,010398
185
Std. Deviation 0,0070291 0,0025543
186
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
CGPI 39 Valid N (listwise) 39 Sumber: Output SPSS (2016)
68,90
91,91
84,1456
6,22326
Menurut hasil analisis statistik deskriptif pada Tabel 1 menunjukkan dari 39 data observasi, nilai risk-taking yang diukur dengan unsystematic risk mempunyai nilai maksimum 0,0511 dan nilai minimum 0,0130, serta mempunyai nilai rata-rata 0,022650. Sedangkan nilai risk-taking yang dihitung menggunakan systematic risk mempunyai nilai maksimum 0,0149 dan nilai minimum 0,0062, serta mempunyai nilai rata-rata 0,010398. Adapun nilai CGPI perusahaan terendah yaitu 68,90 dan nilai tertinggi 91,91 serta nilai rata-rata 84,1456. Dalam metode analisis regresi, peneliti melakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu sebelum melakukan uji hipotesis. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan uji One Kolmogorov-Smirnov dalam melakukan uji normalitas data, dari model yang pertama nilai signifikan sebesar 0.275 > 0.05 untuk model kedua nilai signifikan 0.465 > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal.
Pendeteksian
adanya
heteroskedastisitas
dalam
model,
dengan
menggunakan analisis grafik scatterplot. Hasil uji heteroskedastisitas menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model. Hal ini terlihat dari tidak adanya pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y. Dalam mendeteksi adanya autokorelasi peneliti menggunakan Run Test. Berdasarkan hasil Run Test pada model pertama nilai probabilitas 0.519 lebih besar dari 0.05. Pada model kedua nilai probabilitas 0.332 lebih besar dari 0.05, maka tidak ada autokorelasi pada dua model tersebut.
Pengujian Hipotesis Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier sederhana yang diketahui dapat menguji pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Package For Social Science) 21, pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen menggunakan model satu dan model dua secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Hasil Pengujian Hipotesis
186
187
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
Model
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1 (Constant) 0,151 0,063 0,014 LnCGPI 0,029 2 (Constant) 0,063 0,022 0,005 LnCGPI 0,012 Sumber: Output SPSS (2017)
Standardized Coefficients Beta
T
R Square Sig.
2,417 -2,056
0,021
-0,320
2,806 -2,342
0,008
-0,359
0,047
0,025
0,103
0,129
Berdasarkan hasil perhitungan statistik seperti yang terlihat pada Tabel 2 maka diperoleh persamaan regresi sederhana model satu dan dua sebagai berikut: USRISK= 0,151 –0,029CGPI + e SRISK = 0,063 –0,012CGPI + e Persamaan regresi tersebut menghasilkan data yang dapat disimpulkan bahwa konstanta (a) untuk model satu sebesar 0,151. Artinya jika Corporate Governance Perception Index (CGPI) dianggap konstan maka besarnya risk taking perusahaan yang diukur menggunakan unsystematic risk adalah 15,1%. Koefisien regresi CGPI untuk model satu sebesar 0,029 dan bertanda negatif, artinya setiap kenaikan satu satuan CGPI maka akan menurunkan risk-taking yang diproksikan oleh unsystematic risk negatif (USRISK) sebesar 2,9%. Konstanta (a) untuk model dua sebesar 0,063. Artinya jika Corporate Governance Perception Index (CGPI) dianggap konstan maka besarnya risk taking perusahaan yang diukur menggunakan systematic risk adalah 6,3%. Koefisien regresi CGPI sebesar 0,012 dan bertanda negatif, artinya setiap kenaikan satu satuan CGPI maka akan menurunkan risk-taking yang diproksikan oleh systematic risk negatif (SRISK) sebesar 1,2%. Koefisien determinasi (R2) untuk model satu sebesar 0,103 atau 10,3%. Hal ini menunjukkan bahwa 10,3% variabel dependen (risk-taking) yang diproksikan oleh unsystematic risk dapat dijelaskan oleh variabel independen dalam penelitian ini yaitu tingkat kualitas corporate governance, sedangkan 89,7% sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Koefisien determinasi (R2) untuk model dua sebesar 0,129 atau 12,9%. Hal ini menunjukkan bahwa 12,9% variabel dependen (risk-taking) yang diproksikan
187
188
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
oleh systematic risk dapat dijelaskan oleh variabel independen dalam penelitian ini yaitu tingkat kualitas corporate governance, sedangkan 87,1% sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Pengaruh Tingkat Kualitas Corporate Governance terhadap Risk-Taking Variabel corporate governance pada model 1 memiliki nilai t -2,056 dengan tingkat signifikansi 0,047 lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 dan pada model 2 memiliki nilai t -2,342 dengan tingkat signifikansi 0,025 lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa corporate governance berpengaruh negatif dan signifikan terhadap risk-taking perusahaan yang terdaftar di BEI periode 2011-2013. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai variabel dependen (risk-taking) yang diproksikan dengan unsystematic risk dan systematic risk keduaduanya mampu dipengaruhi oleh nilai corporate governance yang merupakan variabel independen dalam penelitian ini. Pada dasarnya perusahaan dengan corporate governance yang kuat dalam menjalankan aktifitasnya cenderung menggunakan strategi yang kurang beresiko. Corporate governance
yang efektif juga membantu perusahaan dalam
mengendalikan pengambilan resiko serta mampu meringankan ataupun mengontrol perilaku pihak manajerial yang beresiko. Hubungan negatif yang ditunjukkan corporate governance terhadap risktaking bermakna bahwa semakin besar tingkat kualitas corporate governance dalam suatu perusahaan maka risk-taking perusahaan tersebut akan semakin rendah atau kecil. Hal ini dikarenakan semakin besar tingkat kualitas corporate governance perusahaan, maka perusahaan tersebut semakin mampu menerapkan prinsip-prinsip corporate governance dan semakin mampu meminimalkan konflik keagenan yang ada dalam perusahaan. Maka dari itu, manajer akan mengambil keputusan yang bersifat less-risky (berisiko rendah) untuk menjaga keberlangsungan hidup perusahaan dan mensejahterakan semua elemen yang ada dalam perusahaan. Hasil tersebut konsisten dengan penelitian Shah et al (2012) dan Jiraporn et al (2015) yang mendapatkan bukti bahwa corporate governance index mempunyai pengaruh yang negatif signifikan terhadap risk-taking perusahaan. Hasil penelitian ini juga mendukung agency theory yang pertama kali diperkenalkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Pada dasarnya agency theory 188
189
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
merupakan studi yang mempelajari masalah dan solusi yang berkaitan dengan penyerahan tugas, tanggung jawab dan wewenang dari pemilik (principal) kepada agen (agent) yang pada akhirnya menimbulkan konflik kepentingan di antara kedua pihak tersebut (agency problem). Menurut Jensen dan Meckling (1976) serta Subramaniam, et al (2009) untuk mengatasi agency problem salah satu caranya yaitu dengan mekanisme CG yang kuat atau efektif agar dapat meluruskan kepentingan agent dengan kepentingan principal. Perusahaan dengan corporate governance yang kuat akan berusaha melindungi shareholders dari pengambilan risiko yang tidak pasti. Di lain pihak, manajer perusahaan dengan corporate governance yang kuat tidak bebas dalam memformulasikan kebijakan perusahaan. Manajer harus bernegosiasi dengan para shareholders bagaimana memformulasikan kebijakan perusahaan. Kebijakan perusahaan yang akan dijalankan pastinya yang dapat menjaga keberlangsungan hidup perusahaan atau dengan kata lain memiliki risko yang kecil. Dengan kata lain ketika perusahaan tersebut mempertibangkan risikonya maka konflik keagenan pun dapat diminimalisir. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jiraporn (2015). Menurut Jiraporn (2015) semakin baik praktik CG yang diterapkan oleh suatu perusahaan maka perilaku risk-taking perusahaan tersebut semakin berkurang. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya. John, Litov, dan Yeung (2008) menemukan bahwa semakin kuat praktik CG akan mengakibatkan perilaku risk-taking semakin meningkat. John, Litov, dan Yeung (2008) menyatakan bahwa praktik CG yang baik khususnya pada proteksi investor akan membawa perusahaan melakukan risktaking yang lebih tinggi. Namun, pengambilan resiko tersebut dilakukan demi meningkatkan nilai perusahaan.
PENUTUP Penelitian ini menggukan sampel 13 perusahaan yang diobservasi selama tiga tahun yaitu mulai 2011 sampai 2013. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh tingkat kualitas corporate governance secara langsung terhadap perilaku risk-taking perusahaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
189
190
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
pengujian pengaruh tingkat kualitas corporate governance terhadap risk-taking perusahaan yang diukur dengan risiko sistematis dan risiko nonsistematis perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan dengan arah yang negatif. Hal ini terlihat dari variabel corporate governance pada model 1 memiliki nilai t hitung sebear -2,056 dengan tingkat signifikansi 0,047 lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 dan pada model 2 memiliki nilai t hitung -2,342 dengan tingkat signifikansi 0,025 lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Hubungan negatif yang ditunjukkan corporate governance terhadap risk taking bermakna bahwa semakin besar tingkat kualitas corporate governance dalam suatu perusahaan maka risk-taking perusahaan tersebut akan semakin rendah atau kecil. Hal ini disebabkan perusahaan dengan tingkat kualitas corporate governance yang baik mampu menyatukan persepsi semua pemangku kepentingan mengenai risiko yang dianggap sebagai suatu ketidakpastian yang dapat merugikan perusahaan. Maka dari itu manajer akan mengambil keputusan yang berisiko rendah. Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan pembahasan dan kesimpulan penelitian ini adalah: 1.
Bagi investor, tingkat kualitas corporate governance bisa menjadi informasi untuk membantu investor dalam melakukan keputusan investasi. Investor yang tidak menyukai risiko dapat memilih perusahaan dengan tingkat kualitas corporate governance yang baik karena perusahaan dengan tingkat kualitas corporate governance yang baik akan mengambil kebijakan yang rendah risikonya.
2.
Bagi regulator, diharapkan dapat terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kesadaran perusahaan untuk menerapkan prinsipprinsip corporate governance. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisir konflik kepentingan yang ada dalam perusahaan.
3.
Penelitian ini memiliki keterbatasan dimana sampel penelitian tidak dibedakan berdasarkan jenis industri, jadi memungkinkan adanya bias industri. Dalam penelitian berikutnya diharapkan membedakan jenis industri, agar tidak terjadi bias industri.
190
191
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
4.
Dalam penelitian ini corporate governance hanya menggunakan mechanism of corporate governance yang berupa peringkat CGPI. Dalam penelitian berikutnya dapat membreakdown corporate governance menjadi structure of corporate governance dan mechanism of corporate governance lainnya.
REFERENSI Ang, Robert (2007) Buku Pintar Pasar Modal Indonesia (The Intelligent Guide To Indonesian Capital Market). Edisi Pertama. Jakarta: Mediasoft Indonesia. Griffin, John M (2002) Are The Fama And French Factors Global Or Country Specific? The Review Of Financial Studies. Vol. 15, 783-803 Jensen, Michael C. & William H. Meckling (1976) Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure, The Journal of Financial Economics Jiraporn, Pornsit et, al (2015) Does Corporate Governance Influence Corporate Risk-taking? Evidence from the Instituional Shareholder Services (ISS). Journal of Finance Research Letters. Vol. 13, 105-112 Jogiyanto, Hartono (2010) Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Yogyakarta: BPFE John et, al (2008) Corporate Governance and Managerial Risk Taking. Journal of Finance, Vol. 63, 1679-1728 Masdupi (2005) Analisis Dampak Struktur Kepemilikan pada Kebijakan Hutang dalam Mengontrol Konflik Keagenan. Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol.20, (1), 56-69. Mosher, Timothy dan Raymundo Hoffman (2013) Firm Characteristic, Corporate Governance and Firm Value. European Journal of Innovation and Business. Vol.10, 2668-3431 Nuswandari, Cahyani (2009) Pengaruh Corporate Governance Perception Index Terhadap Kinerja Perusahaan Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. .Vol.16(2) Nwogugu, M. (2005) Towards Multi-Factor Models of Decision Making and Risk: A critique of Prospect Theory and Related Approaches. Journal of Risk Finance, Vol. 6(2), 150-162. Rohman, Abdul dan Tito Albi Utama (2013) Pengaruh Corporate Governance Perception Index, Profitabilitas, Leverage, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Nilai Saham. Journal of Accounting. Vol.2(2), 1-9
191
192
JIM EKM. 02(3)178-192 (2017)
Sadgrove, Kit (2005) The Complete Guide To Business Risk Management. 2nd Ed. United Kingdom: Gower Shah, Abid Ali.,Rehana Kouser.,Muhammad Aamir.,Ch.Mazhar Hussain (2012) The Impact of The Corporate Governance and The Ownership Structure on The Firm’s Financial Performance and its Risk Taking Behavior. International Research Journal of Finance and Economics. Subramaniam, N., McManus, L., & Zhang, J (2009) Corporate Governance, Firm Characteristics And Risk-Management Committee Formation In Australian Companies. Managerial Auditing Journal, Vol. 24(4), 316
192